The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 10 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by warsinisuharnowo, 2021-11-04 03:15:09

Catatan Pinggir 10 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 10 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka BUNGLON

saja punya tata, tapal batas, sensus, kamp, dan orang-orang yang
disisihkan dan mati karena itu.

Termasuk Walter. Pada 1938, administrasi kolonial Belanda
menghukumnya 8 bulan karena ia seorang homoseksual. Pada
1942, kapten kapal meninggalkannya tenggelam di laut karena
ia Jerman.

Tempo, 15 Januari 2012

226 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka DI BIARA

BARANGKALI ini kisah cinta yang paling dalam dan
mencemaskan, dimulai dengan tujuh kepala manusia
yang ditemukan di tepi jalan di dekat Médéa, Aljazair, 90
kilometer dari ibu kota. Di antaranya dibungkus plastik dan ter-
gantung di pohon-pohon. Akhir Mei 1996.

Tujuh kepala itu berasal dari tujuh biarawan dari bukit Tibhi-
rine. Tak diketahui di mana tubuh mereka.

Dua bulan sebelumnya, lewat tengah malam, sekitar 20 orang
bersenjata memasuki Notre Dame de l’Atlas, sebuah biara Trap-
pis. Mereka bangunkan penghuninya, lalu dengan paksa mereka
angkut orang-orang tua itu dalam sebuah konvoi mobil yang se-
gera pergi. Dari sembilan biarawan, hanya dua yang luput.

Kemudian diketahui, para rahib warga negara Prancis itu dicu-
lik ”Grup Islam Bersenjata” sebagai sandera. Grup itu menuntut
agar pemimpin mereka yang ditangkap pasukan pemerintah Al-
jazair dibebaskan. Kalau tidak, para sandera akan mati.

Dan rupanya tak ada perundingan. Ketujuh biarawan itu pun
disembelih, 21 Mei 1996.

Perang akhirnya juga memusnahkan para rahib Trappis di
Tibhirine yang khusyuk berdoa, rajin bertani, dan rukun berte-
tangga itu: Perang Saudara Aljazair sejak 1991, ketika kaum ”Isla-
mis” melawan pemerintah yang menindas mereka dengan gerilya
yang garang dan ganas. Kebrutalan kedua pihak akhirnya menja-
lar; grup-grup ”Islamis” itu sendiri malah baku bunuh. Pemban-
taian kian sering. Sampai dengan tahun 2000, 150 ribu orang te-
was.

Mengapa, dalam ketakutan, para rohaniwan itu tak mau me-
ninggalkan bukit itu, bahkan menolak perlindungan pasukan
pemerintah?

Catatan Pinggir 10 227

http://facebook.com/indonesiapustaka DI BIARA

Tujuh tahun kemudian terbit sebuah buku John Kiser, The
Monks of Tibhirine: Faith, Love, and Terror in Algeria. Dalam satu
wawancara Kiser menawarkan sebuah jawab: kisah para padri itu
adalah ”sebuah kisah cinta”. Kata ”cinta”, love, dalam bahasa In-
donesia bisa juga berarti ”kasih”, dan agaknya itulah kaitan dan
getar hati yang dalam yang membuat kesembilan rahib itu tak
pergi dari Tibhirine.

Film Des hommes et des dieux, yang disutradarai Xavier Beau-
vois (2010), dengan takzim mengisahkan kembali hari-hari ter-
akhir di biara itu. Tanpa menyimpulkan. Tapi satu adegan kecil
agaknya menjelaskan. Biarawan tua Luc Dochier, yang jadi dok-
ter bagi dusun kecil itu, tampak duduk di bawah pohon di sam-
ping seorang anak perempuan yang curhat kepadanya karena se-
dang jatuh cinta.

”Apakah Romo pernah jatuh cinta juga?” tanya remaja itu.
Pernah, beberapa kali, jawab sang pastor, ”Sampai akhirnya aku
menemukan cinta yang lebih besar.”

”Cinta yang lebih besar” itu tentu saja cinta kepada Tuhan. Ju-
ga cinta dalam Tuhan: kasih yang tak terlarai, tapi yang tak mu-
dah, sebab kasih itu membuat iman tak berdiri sendiri, bahkan
merapat dan bersentuhan dengan dunia yang berdosa, berbeda,
dan tak terduga. Juga kasih itu tak mudah karena mampu meng-
ubah seseorang hingga bersedia, seperti tulis Luc kemudian, me-
nempuh ”kemiskinan, kegagalan, dan kematian”.

Di Tibhirine kegagalan dan kematian tegak di ambang pintu
hari-hari itu. Dunia kesembilan orang itu ditodong: bisakah me-
reka, dengan kasih, menyelamatkan kegembiraan memanen la-
dang, menyapa tetangga, mempercayai orang lain, melagukan ki-
dung syukur untuk sang Pencipta? Bukankah justru untuk itu
mereka harus meninggalkan Tibhirine, membangun tempat
lain?

Bimbang mencekam. ”Kita di sini bukan untuk bunuh diri

228 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka DI BIARA

kolektif,” kata seorang padri yang ingin pergi, meskipun kemudi-
an ia tinggal—dan mati.

Suatu malam, menjelang Natal, sepasukan gerilyawan meng-
gedor pintu Notre Dame de l’Atlas. Komandannya, Ali Fayyatia,
meminta agar para rahib itu memberi mereka obat atau meng-
obati temannya yang luka. Kepala biara, Christian de Chergé,
menolak: persediaan obat terbatas dan orang dusun membutuh-
kannya.

Suasana tegang. Tapi di saat itu Christian menunjukkan ha-
rapannya kepada muslim yang memegang bedil di depannya itu.
Dikutipnya ayat Quran, bahwa yang dekat di hati muslim ada-
lah mereka yang menyatakan diri Nasrani—dan dalam Surah
Al-Maidah memang disebut contoh orang Kristen yang baik itu:
”para pendeta dan rahib”.

Sejenak Ali tercengang mendengar seorang pastor mengutip
Quran, tapi segera ia menyelesaikan ayat itu: ”Karena sesungguh-
nya mereka tak menyombongkan diri.” Dan Christian pun me-
nyambung: ”Kami bersahabat dengan penduduk dusun ini.”

Komandan gerilya itu pun menyalami Christian, lalu pergi
meninggalkan tempat itu. Mungkin ia tahu, mungkin tidak, bia-
ra itu sudah di sana sejak 1938 dan Islam dihormati.

Di satu makan malam bersama Christian mengatakan, ke-
jadian menjelang Natal itu—Ali datang dengan senjata, Ali pergi
dengan salam—baginya meneguhkan kembali makna hidup dan
kelahiran Kristus. Maka ketika Ali tertangkap tewas, mungkin
disiksa, dan Christian melihat jenazahnya di pos militer, ia men-
doakannya dengan intens sampai ia diusir opsir penjaga.

Kasih memang tak mudah dipahami. Ada semacam wasiat
yang ditemukan di meja Christian (di mana terdapat juga Quran).
Bila satu hari ia jadi korban terorisme, demikian di sana tertulis,
jangan terlalu gampang menyamakan Islam dengan fundamen-
talisme penganutnya yang ekstremis. Sebab, ”Aljazair dan Islam

Catatan Pinggir 10 229

http://facebook.com/indonesiapustaka DI BIARA

lain; mereka satu tubuh, satu sukma.”
Saya tak tahu bagaimana di hari-hari itu iman yang begitu

dalam bisa membuka hati begitu luas. Mungkin karena wajah-
wajah ramah di Tibhirine, bukit hening, dan ladang yang akrab.
Mungkin juga ”sukacita rahasia” di hati Christian dalam mene-
guhkan la communion, memulihkan la ressemblance (”persama-
an”), dan ”bermain dengan perbedaan”.

Di akhir wasiatnya, padri yang kemudian disembelih itu me-
nulis, dalam huruf Arab, ”Insya Allah.”

Ada harapan yang bisa dicemooh tapi tak takut gagal.

Tempo, 22 Januari 2012

230 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka LOMPATAN

KAUM revolusioner sering menganggap waktu sebagai
musuh. Juga di negeri yang ribuan tahun umurnya:
Cina.
Mungkin itu sebabnya Mao Zedong memerintahkan agar
Konghucu tak diikuti. Sang Guru purba pernah mengatakan
bahwa berlaku pelan bukanlah sesuatu yang salah, asal kita tak
berhenti melakukan kerja. Tapi bagi pemimpin besar Revolusi
Cina, Mao, pelan sama artinya dengan ”anti-kiri”. Di tahun 1957,
Mao memperkenalkan istilah yuejin atau ”lompatan”, menggan-
tikan semboyan maojin, ”bergegas ke depan”.

Pada 1957-1958 Mao membuat ancang-ancang untuk menya-
mai kemajuan Inggris selama 15 tahun—kemudian dipersingkat
jadi tujuh tahun, dan kemudian lebih cepat lagi: tiga tahun. Ia
mengecam mereka yang menentang gagasannya untuk mengge-
rakkan industrialisasi Cina dengan cara melompat, memotong
waktu. Baginya, ketinggalan dari dunia kapitalis harus cepat di-
tebus.

Tak ada yang berani membantahnya. Dalam catatan di buku
Judith Shapiro, Mao’s War Against Nature, salah seorang tokoh
partai, Chen Boda, kemudian dengan bangga mengatakan: di
Cina, ”satu hari sama dengan 20 tahun”.

Dan waktu pun diringkus. Menjelang akhir 1958, ada 90 juta
penduduk bekerja membuat ”tanur” di pekarangan: melumerkan
apa saja yang dari besi untuk diproses jadi baja. Selama kerja ber-
jam-jam itu, tanah pertanian terabaikan. Kelelahan jadi epidemi.
Kita melihat gejalanya tergambar dalam film Zhang Yimou, Huo-
zhe (produksi 1994): seorang anak kecapekan, jatuh tertidur, dan
disembunyikan ayahnya di balik sebuah dinding. Kepala Distrik
yang juga dalam keadaan lelah memundurkan mobilnya, menab-

Catatan Pinggir 10 231

http://facebook.com/indonesiapustaka LOMPATAN

rak dinding itu—dan si anak tewas.
Sejarah kemudian mencatat, ”lompatan besar” itu bukan ha-

nya gagal. Ekologi terganggu sampai gawat karena pepohonan,
bahkan burung-burung, harus dikorbankan. Yang lebih buruk:
kerja pertanian telantar, pangan segera habis, dan kelaparan pun
merebak meluas. Jutaan orang mati.

Cina jera. Dimulai tahun 1978, setelah Mao tak ada lagi, Par-
tai Komunis Cina memulai Gâigé kāifàng, ”Reformasi dan Keter-
bukaan”, sebuah kebijakan yang digariskan Deng Xiaoping,
orang yang dulu disingkirkan Mao karena dituduh memilih ”ja-
lan kapitalis”.

Ironisnya, bayang-bayang Mao berlanjut: Cina tampak kem-
bali dalam yuejin. Bentangan waktu seakan-akan dianggap sesu-
atu yang tak relevan. Dalam periode tiga dasawarsa, sejak 1978
sampai 2010, ekonomi Cina tiap tahun tumbuh 9,5 persen. De-
ngan segera ia jadi perekonomian terkuat nomor dua di dunia se-
telah Amerika Serikat. Cita-cita Mao buat menyamai Inggris ter-
capai, bahkan lebih dari itu.

Tentu, pada mulanya bukanlah kecepatan. Dalam Prisoner of
the State, memoar rahasia Zhao Ziyang—Perdana Menteri Cina
yang dicopot dan ditahan karena menolak untuk menggunakan
kekerasan terhadap demonstrasi mahasiswa di Tiananmen, tapi
juga orang yang mendukung garis Deng dalam Reformasi—kita
dapat melihat bahwa pada mulanya adalah pragmatisme: jalan
baru itu diambil ”setelah pengalaman praktis”, dan ”setelah rang-
kaian panjang maju-mundur”. Mungkin itu sebabnya seorang to-
koh Partai merumuskan langkah baru itu sebagai ”berjalan me-
nyeberangi sungai dengan kaki meraba batu”.

Dan berbeda dari ”lompatan besar” Mao, yuejin baru ini ber-
mula kecil-kecil, dari bawah.

Di Dusun Xiaogang di Provinsi Anhui Timur, seorang pemu-
da berumur 18 tahun, Yan Hongchang, membuat perjanjian ra-

232 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka LOMPATAN

hasia dengan 18 petani: tanah komunal dusun itu dibagi jadi por-
si individual. Mula-mula ketakutan karena akan dituduh ”kon-
trarevolusioner”, Yan tak menyangka bahwa pemerintahan sema-
sa Deng mendukungnya—dan menjadikannya model ke selu-
ruh Cina. Pertanian tak lagi kolektif. Hasrat mendapatkan laba
ditumbuhkan. Semboyan ”jadi kaya itu jaya”, zhìfù guāngróng,
bergema di mana-mana.

Tapi pada saat yang sama, ”jadi kaya” dengan ”lompatan be-
sar” juga jadi semacam tekad di mana-mana. Yang terjadi di Cina
adalah waktu yang kembali dilawan. Dulu oleh revolusi, kini oleh
sesuatu yang seakan-akan menyimpang dari revolusi, tapi sebe-
narnya merupakan versinya yang lain: agenda kemajuan.

Yang sering terlupa, seperti halnya revolusi, kemajuan tak ber-
langsung hanya dengan desain, tapi juga dengan sedimentasi se-
jarah. Baik ”Lompatan Besar” Mao maupun yang terjadi di Cina
sekarang tak bisa melepaskan diri dari waktu—dalam arti: wak-
tu yang berwujud sebagai endapan masa lalu, bersama impian
buruk dan baiknya. Kemajuan yang hanya berupa lompatan be-
sar yang menampik sedimentasi itu akan melahirkan Ordos.

Ordos, khususnya kota baru Kangbashi, adalah sebuah desain
di tengah gurun. Terletak di Mongolia Dalam, salah satu wilayah
terkaya di Cina, desain itu diwakili dengan megah di sebuah layar
besar menampilkan animasi tiga dimensi yang menggambarkan
bagaimana lengkapnya nanti kompleks hunian dan perdagangan
di area seluas 30 kilometer persegi itu. Puluhan ribu rumah dan
beberapa lusin bangunan mentereng didirikan menyesuaikan de-
ngan itu, tapi praktis selama lima tahun kosong.

Kota tanpa penghuni ini, disebut sebagai ”kota hantu mo-
dern”, banyak terdapat di Cina kini. Sebuah laporan mengatakan
ada 64 juta apartemen yang berdiri dan praktis tak ada yang men-
diaminya.

Para perancang pembangunan Cina tampaknya kembali me-

Catatan Pinggir 10 233

http://facebook.com/indonesiapustaka LOMPATAN

ngumandangkan semboyan Mao, Duo, Kuai, Hao, Sheng (”Lebih
Besar, Lebih Cepat, Lebih Baik, Lebih Hemat”), dengan tekanan
pada ”cepat” dan ”besar”. Mereka mampu menumbuhkan ekono-
mi dengan mengesankan, tapi mereka tak begitu mampu menge-
nal—dengan mekanisme pasar atau dengan campur tangan Ne-
gara—bahwa kota adalah waktu.

Maksud saya, kota tumbuh dengan berjalan kaki sebagaima-
na sejarah tak terbang dari ujung awan.

Tempo, 29 Januari 2012

234 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka KEMUDIAN

DI alun-alun Tahrir, juga ketika malam musim dingin
turun di Kairo, mereka berhimpun lagi, setahun persis
setelah 24 Januari 2011. Tempat itu jadi hangat karena
deretan bendera Mesir dan optimisme. Bersama itu: nostalgia. Se-
orang perempuan muda, menyebut diri Nia, yang ikut dalam ge-
rakan protes yang telah menggulingkan Presiden Mubarak tahun
lalu, berkata dalam bahasa Inggris: ”Kami begitu penuh harap.”

Kalimatnya dalam bentuk past tense: dulu. Tahun lalu.
Kini tak jelas masih penuhkah harapan itu. Seperti ribuan ak-
tivis 2011 yang lain, Nia melihat keadaan belum banyak berubah:
militer masih berkuasa; harga pangan dan bensin masih tinggi—
seakan-akan kedua hal itu berhubungan. Memang bagi banyak
orang, ada jalan terang yang mulai terbuka: berlangsungnya se-
buah pemilihan umum yang bebas, yang pertama dalam 60 ta-
hun. Siapa pun yang menang adalah suara rakyat banyak yang
sah.
Tapi setelah itu?
Seorang Indonesia yang lebih tua ketimbang Nia akan menja-
wab dengan kearifan yang sedikit murung: Nak, harapan mudah
jadi kenangan. Perubahan besar dalam politik biasanya dibuka
dengan kebebasan yang luas untuk perbaikan hidup (di Indone-
sia: 1945, 1958, 1966, 1998...), namun kemudian yang tersisa
adalah nostalgia—seperti yang kalian rasakan di Mesir hari ini.
Dan harapan yang tanggal.
Ada sebuah film Lewat Jam Malam karya Usmar Ismail dari
tahun 1954. Ini kisah Iskandar (diperankan dengan bagus oleh
A.N. Alcaff), seorang bekas gerilyawan dalam perang kemerde-
kaan. Di awal 1950-an, setelah perang selesai, dari hutan ia ma-
suk ke kehidupan kota. Ia bekerja di sebuah kantor yang dipimpin

Catatan Pinggir 10 235

http://facebook.com/indonesiapustaka KEMUDIAN

temannya dari masa gerilya. Tapi ternyata ia tak siap dengan jam-
jam yang rutin dan hambar, tanpa suasana tegang dengan senja-
ta dan cita-cita—tanpa 24 jam keberanian untuk mengorbankan
diri yang bertali-temali dengan keasyikan bertindak. Ia jemu dan
frustrasi. Pada saat itu pula, ia lihat teman seperjuangannya jadi
gemuk dan korup. Di satu saat dengan marah ia desak teman itu
untuk mengakui dosanya—tapi tanpa sengaja pistolnya meletus
dan teman itu mati. Iskandar melarikan diri ketika Bandung da-
lam keadaan jam malam.

Ia akhirnya tewas—dan kita bertanya: apa arti revolusi? Bagi-
nya? Bagi banyak orang lain?

Tiap tahun ada peringatan hari kemerdekaan 1945. Di tiap
peringatan itu ada simtom Lewat Jam Malam dalam versi yang tak
sedramatis film itu: orang bicara seperti hendak menegaskan bah-
wa perjuangan masa lalu punya kedahsyatan yang tak terlupakan
dan hidup hari ini hanya pengingkaran terhadap kedahsyatan
itu. Maka yang dimuat di koran atau dilihat di TV di tiap 17
Agustus adalah sebuah ritual keluhan, nostalgia, dan melankoli.

Hanya begitukah revolusi? Kita buka arsip akhir 1960-an: ada
sebuah perdebatan politik yang tajam. Sebagian pemimpin me-
ngatakan ”revolusi belum selesai”. Sebagian lain mengatakan ”re-
volusi tak bisa permanen”. Yang pertama disuarakan Bung Kar-
no. Yang kedua oleh Bung Hatta.

Jika dilihat hari ini, kedua-duanya keliru. Bung Karno me-
ngatakan ”revolusi belum selesai” seakan-akan ujung jalan itu
akan terjelang; tapi ternyata revolusi tak pernah selesai. Bung
Hatta mengatakan ”revolusi tak bisa permanen”, tapi—sebagai
sebuah kejadian, event, yang mampu menggugah dan mengubah
sebuah dunia—revolusi adalah saat-saat yang, meskipun tak per-
manen, bisa jadi inspirasi selama-lamanya.

Inspirasi itu bukan datang dari arwah kaum revolusioner yang
sudah mati; inspirasi itu datang karena keadaan di suatu hari, di

236 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka KEMUDIAN

suatu tempat, membutuhkannya. Dan keadaan berulang kali
membutuhkannya karena sejauh ini tuntutan untuk keadilan tak
kunjung terpenuhi. Keadilan belum pernah punya formula. Ke-
adilan bukan dari dunia ide yang sudah siap.

Tapi kemudian tuntutan untuk keadilan itu—melalui revo-
lusi atau reformasi—akhirnya membuat formula, organisasi, sis-
tem, agar keadilan bisa dipenuhi. Dan demokrasi pun lahir.

Tak berarti tuntutan untuk keadilan akan selesai, seperti
yang terbukti di Indonesia setelah Revolusi 1945 dan Reformasi
1998—dan mungkin kelak akan juga terbukti di Mesir beberapa
tahun setelah kemenangan di Alun-alun Tahrir.

Sebab demokrasi punya dua makna dan dua gerak.
Demokrasi sering diterjemahkan sebagai lembaga dan prose-
dur. Partai-partai politik. Majelis perwakilan rakyat. Perundang-
an-undangan. Lembaga hukum. Pemilihan umum untuk menye-
leksi wakil-wakil.
Dalam proses itu, Negara terjadi. Tapi Negara, seperti kata
Stuart Hall, adalah ”the instance of the performance of a condensa-
tion”. Pelbagai kepentingan, aliran, dan kekuatan sosial tak akan
bisa tertampung dan tersalur sekaligus. ”Peringkasan”, condensa-
tion, pun tak terelakkan. Tak terelakkan pula di satu saat dan satu
kasus tertentu ada elemen yang ”masuk” dan ada yang ”tak ma-
suk” hitungan. Lalu tiba masa ketika kaum yang ”masuk” mam-
pu mengawetkan posisinya dengan daya dan dana yang mereka
peroleh. Sebuah oligarki pun terbangun. Di masa itulah ketakse-
taraan, yang sering berarti ketidakadilan, terjadi. Terutama dira-
sakan oleh mereka yang disebut Rancière ”les incomptés”.
Dengan mengidentifikasi mereka yang ”tak masuk hitungan”
itu Rancière menunjukkan makna lain dari demokrasi. Demo-
krasi bukan bentuk, melainkan laku. Lebih tepat lagi, ”tindakan
yang terus-menerus merebut monopoli atas kehidupan publik da-
ri pemerintahan yang oligarkis”.

Catatan Pinggir 10 237

http://facebook.com/indonesiapustaka KEMUDIAN

Kata ”terus-menerus” itu memang dicatat sejarah sampai de-
ngan hari ini. Bila kita ingat itu, kita tak akan terkejut ketika
kelak bendera di Alun-alun Tahrir berkibar lagi: bukan tanda op-
timisme yang sudah didapat, tapi inspirasi revolusi yang diimbau
datang kembali.

Tempo, 5 Februari 2012

238 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka FANA

SELALU ada yang pergi. Kematian adalah momen luar bi-
asa bagi yang tak bisa kembali, tapi, akhirnya, ia peristiwa
yang tak istimewa bagi dunia.

Biarlah orang melakukan yang diinginkannya,
lalu mereka mati, semua, satu-satu.
Bagi awan, himpunan itu, tak ada
yang ganjil di saat itu.

Dan Wislawa Szymborska meninggal pada usia 88 tahun pe-
kan lalu, beberapa puluh tahun setelah ia menuliskan bait itu. Sa-
ya kira ia tak akan berkeberatan jika kita katakan bahwa keper-
giannya tak terasa seperti direnggutkan. Dalam Wielka Liczba
(”Jumlah Besar”) ia menulis bahwa di antara miliaran manusia
yang melewati sejarah, hidup hanya ”terentang sepanjang bekas
cakar kita pada pasir”.

Di ujung bekas cakar itu ada garis yang putus. Senapas dengan
itu, penyair Polandia ini juga menulis tentang ”lenyap”—tentang
hilangnya sambungan yang tak bisa diubah. Di sebuah ruang, de-
mikian baris-baris dalam Kot W Pustym Mieszkaniu (”Kucing di
Apartemen”),

seseorang pernah selalu ada di sana,
selalu ada di sini, kemudian
tiba-tiba lenyap
dan terus-menerus lenyap.

Lenyap. Atau lebih baik: mati. Tapi kematian punya batas.
Dengan ironi dan nada rendah, Szymborska memberi tahu, ”Sia-

Catatan Pinggir 10 239

http://facebook.com/indonesiapustaka FANA

pa pun yang mengatakan bahwa maut mahakuasa ia sendiri bukti
bahwa tak demikian halnya.” Sebab baginya,

Tak ada hidup
yang tak bisa kekal
meskipun cuma sebentar.

Mungkin itu sebabnya penyair ini menulis—dengan kalimat
yang bersahaja, tak melambung, tak berliku—tentang hal-hal
yang fana, tapi kita temukan di antara itu bayang-bayang keke-
kalan.

Bukan karena ia seseorang yang percaya kepada yang transen-
dental. Saya tak tahu benar apakah ia seseorang yang beriman.
Baginya, ”kekal” yang ”cuma sebentar” itu tampak pada materia,
dalam alam (”lanskap”) yang berubah terus. Awan tak pernah
mengulangi bentuknya semula. Pada ”alir kali, bentuk hutan,
pantai, gurun, dan glasir”, kita merasa seakan-akan ada ”ruh yang
kecil” yang mengembara di sela-selanya, ”menghilang, kembali,
mendekat, menjauh, mengelak, dan jadi asing bagi dirinya sendi-
ri”.

Seorang penyair acap kali punya sejenis animisme dalam diri-
nya: menemukan sesuatu yang membuat alam terasa terkadang
akrab, terkadang ganjil, terkadang menantang, terkadang mem-
bujuk. Tak ada yang ”jadi”. Yang ada ”men-jadi”. Ya, ”ruh yang
kecil” itu ada di sana.

Karena merasakan ”ruh yang kecil” itu pula agaknya Szym-
borska merekam percakapan dengan batu dalam Rozmowa z Ka-
mieniem:

Kuketuk pintu-depan batu itu.
Ini aku, izinkan memasukimu.

240 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka FANA

Dalam sajak ini, sang tamu ingin masuk ke dalam batu antara
lain karena ingin tahu. Tapi juga, ”masuk” baginya berarti berpe-
ran sebagai saksi yang menyaksikan apa yang di dalam.

Kudengar ada balairung kosong dalam dirimu,
sesuatu yang tak tampak: indah, namun percuma,
sesuatu yang tak bersuara: ruang yang tak punya gema.

Sang pengetuk tampaknya berasumsi bahwa kesaksiannya be-
gitu menentukan: hanya dengan kehadirannya dunia yang ter-
hampar bisa punya nilai dan makna. Tapi bagi sang batu, justru
asumsi itulah yang harus ditolak. Yang ada dalam dirinya tak me-
merlukan kesaksian dari jauh. Mungkin ruang itu indah, sahut-
nya, tapi tidak buat seleramu yang hanya sebegitu saja. ”Pergilah,”
katanya, ”aku tertutup rapat.” Lalu ia patahkan ambisi di depan
pintu itu:

Kau mungkin akhirnya mengenalku,
tapi tak akan sepenuhnya mengetahuiku.
Seluruh permukaanku menyambutmu.
Yang di dalam diriku melepaskan diri.

”Masuk” berarti ”invasi”, usaha menduduki, bila disertai has-
rat ”sepenuhnya mengetahui”. Dan ini penting ditunjukkan ke-
pada sang pengetuk pintu, yang menganggap ”tak mengetahui”
sebuah cacat, sebagaimana ia nyatakan kepada sang batu: akuilah
bahwa kau sendiri tak mengetahui balairung di dalam dirimu.

”Mengetahui”.... Dalam pidatonya sewaktu menerima Ha-
diah Nobel Kesusastraan 1996, Szymborska justru menegaskan
pentingnya posisi ”tak mengetahui”. ”Aku-tak-tahu,” katanya,
adalah kalimat yang harus selalu diulang penyair. ”Tiap sajak me-
nandai sebuah usaha menjawab pernyataan itu. Tapi begitu tahap

Catatan Pinggir 10 241

http://facebook.com/indonesiapustaka FANA

terakhir sampai di halamannya, sang penyair mulai ragu, mulai
menyadari bahwa jawabannya itu hanyalah sesuatu yang diba-
ngun seadanya....”

Maka yang penting bukanlah ambisi ”aku-tahu”. Ambisi itu
akhirnya cuma bisa sejenak ”masuk” mencapai sebuah penguasa-
an kognitif (”tahu”). Lagi pula, ambisi itu—dan akhirnya sebuah
klaim—hanya akan meletakkan dunia dan liyan sebagai obyek.
Padahal di dunia yang dirundung kekuasaan ini (kita anak ”za-
man politik”, kata Szymborska) yang dibutuhkan adalah sebuah
laku yang lebih akrab, lebih hangat.

Dalam sajak di atas, sang batu menyalahkan tamunya: kau tak
memiliki ”rasa ikut ambil bagian” (a sense of taking part), ujarnya.
Di saat ”ikut ambil bagian”, aku bukan obyekmu, kau bukan
obyekku. Kita sama-sama aktif dalam sebuah proses yang disebut
”ada”, atau lebih tepat, ”men-jadi”.

Dengan itu, yang fana mendapatkan artinya. Dan kerja se-
orang penyair adalah ”ikut ambil bagian” dalam yang fana itu:
keragaman dan kesementaraan benda-benda dari saat ke saat.
Szymborska mengutip Rilke, yang sajaknya, ”Musim Gugur”,
pernah diterjemahkan Chairil Anwar dengan indah itu. Rilke
menasihati para penyair muda agar tak menuliskan konsep-kon-
sep besar, tapi justru menyambut yang sehari-hari. ”Jika kehidup-
an sehari-hari sepertinya memiskinkan engkau,” tulis Rilke, ”ja-
ngan salahkan kehidupan. Salahkan dirimu. Kau tak cukup me-
madai sebagai penyair untuk mencerap kekayaannya.”

Szymborska sendiri adalah contoh penyair yang seperti itu.

Tempo, 12 Februari 2012

242 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka TAMAK

APA yang baru? Berubahkah manusia? Selama ribuan ta-
hun, kita mendengar petuah para nabi, pemimpin berba-
gai agama, dan para aulia yang mengecam keserakahan.
Hari-hari ini, di Amerika Serikat, debat politik berkecamuk ten-
tang orang-orang kaya yang cuma sedikit membayar pajak, seper-
ti di Indonesia. Tak hanya itu: di negeri ini (tapi juga di negeri la-
in) tiap hari orang bercerita tentang politikus dan pejabat yang
tak puas-puasnya melakukan korupsi.

Dengan kata lain: keserakahan, sebuah tema universal, adalah
kisah lama, variasi baru.

Dan kita pun terusik: jangan-jangan rakus memang amat de-
kat dengan sifat manusia. Jangan-jangan Milton Friedman benar.
Ekonom pembela kapitalisme itu meminta kita berpikir kembali:
”Adakah sebuah masyarakat yang bisa berlangsung tanpa ber-
dasarkan keserakahan?”

”You think China doesn’t run on greed?” ia bertanya.
Cina memang sebuah contoh yang baik. Dalam sejarahnya
yang panjang, ia pernah beberapa kali cemas mengalami akibat
buruk sifat tamak: akumulasi kekayaan di tangan sejumlah kecil
orang yang mengakibatkan penindasan, rasa cemburu, dan kon-
flik sosial yang tajam.
Di abad ke-11, di bawah Dinasti Sung, dengan kecemasan itu
Perdana Menteri Wang Anshi menjadikan Cina sebuah negeri
”sosialis” sebelum kata itu ditemukan. ”Negara,” kata Wang, ”ha-
rus mengambil alih seluruh pengelolaan niaga, industri, dan per-
tanian, menjaga agar pekerja yang jelata tertolong dari kesulitan
dan tak diluluh-lantakkan oleh mereka yang kaya.”
Di abad ke-20, Mao Zedong melakukan yang serupa. Bentuk-
nya yang ekstrem tampak waktu ia melancarkan Revolusi Kebu-

Catatan Pinggir 10 243

http://facebook.com/indonesiapustaka TAMAK

dayaan. Sebagaimana dikisahkan Liang Heng dalam Anak Revo-
lusi, pada 1969 para kader Partai Komunis dikirim ke pedesaan.
Mereka harus ”memotong ekor kapitalisme” di pedalaman. Arti-
nya, penduduk dusun harus melenyapkan peternakan itik, babi,
dan bebek milik mereka. Seorang petani akhirnya membunuh se-
mua bebek di kandangnya.

Di abad ke-11, eksperimen Wang Anshi gagal. Untuk menge-
lola pelbagai sendi kehidupan, ia membutuhkan biaya besar dan
birokrasi yang berlipat-lipat. Korupsi merebak. Akhirnya, seperti
ditulis Will Durant dalam The Story of Civilization, Cina, seperti
banyak negeri sejak itu, ”Harus menghadapi pilihan yang tua dan
pahit, antara kerakusan swasta dan korupsi negara.”

Di abad ke-20, pilihannya berbeda: antara kekuasaan negara
yang menjaga semangat kolektif dan kebutuhan warga yang tak
bisa dipenuhi oleh kolektivitas itu. Yang sama adalah bahwa, se-
perti Wang Anshi, ide Mao juga gagal.

Pada 1979, dua tahun setelah ia wafat, di Dusun Xiaogang se-
jumlah petani membuat sebuah kesepakatan rahasia. Idenya di-
bisikkan oleh Yen Jinchang, seorang pemuda berumur 19 tahun:
mereka hendak mengecoh sistem pertanian kolektif.

Waktu itu, seperti di seluruh pedusunan Cina, di Xiaogang
para petani mengolah tanah yang tak bisa jadi miliknya pribadi.
”Bahkan sebatang galah pun milik kelompok,” kata Yen. Ada satu
anekdot: dalam sebuah rapat umum desa, seorang petani berta-
nya kepada kader Partai Komunis yang memimpin: ”Apakah gigi
di mulutku juga bukan milikku?” Jawabnya: tidak.

Tanpa memiliki apa-apa, seorang warga dianggap sebagai pe-
nyumbang bagi kebersamaan. Ada yang mulia dalam ide ini—
tapi ia telah membuat para petani tak bergairah. Kepentingannya
sendiri tak dianggap ada.

Sadar bahwa produktivitas turun—dan dengan demikian im-
balan yang didapat pun turun—para petani menyetujui usul Yen.

244 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka TAMAK

Secara rahasia mereka membagi-bagi tanah kolektif itu. Tiap ke-
luarga akan mendapat sepetak, dan hasil tanam mereka sebagian
diserahkan ke pemerintah dan ke lumbung kolektif—tapi sebagi-
an mereka makan sendiri.

Perbuatan seperti itu berbahaya; ia melanggar garis Partai. Ta-
kut akan yang mungkin terjadi, dalam perjanjian itu disebutkan:
jika ada di antara mereka yang dipenjarakan atau dihukum mati,
anggota kelompok lain akan memelihara anak yang ditinggalkan
sampai umur 18. Setelah mereka tandatangani, naskah itu pun
disimpan dalam sepotong bambu yang disembunyikan di atap
rumah Yen.

Hasilnya: secara tersembunyi pula para petani Xiaogang itu
merasa memiliki—dan sebab itu mereka bekerja lebih bersema-
ngat, karena hasilnya akan mereka nikmati sendiri. Produksi naik
drastis. Dan semua berakhir baik. Mereka tak dihukum. Bahkan
di bawah pemerintahan Deng Xiaoping, sistem yang disarankan
Yen akhirnya diadopsi sebagai sistem yang tepat: dengan empu-
nya, dari milik, ada antusiasme.

Tapi kapan ”milik” tetap menjadi ”milik”, tak tumbuh jadi se-
suatu yang lain?

Di Cina, pertanyaan itu tak sempat ditanyakan—apalagi di-
coba dijawab. Dengan pesat, milik dan kerakusan berbaur. Yen
yang sekadar mencoba hidup dari sepetak tanah dengan segera
jadi tokoh kuno. Kisah Cina sekarang kisah Liu Yikian.

Liu, lahir 1963, mula-mula berjualan tas di tepi jalan Shang-
hai. Hasil kerjanya bertambah sejak kapitalisme merasuk ke kehi-
dupan Cina pada 1980. Hartanya membubung ke langit. Okto-
ber 2010, Liu mampu membayar sekitar US$ 11 juta untuk se-
buah mahkota antik dari zaman Dinasti Qing. Kini ia termasuk
dari sebuah kelas yang bisa membeli kue pengantin seharga US$
314 ribu dari toko roti Angsa Hitam di Beijing.

Orang akan mengatakan, Liu tak berdosa karena kemewahan

Catatan Pinggir 10 245

http://facebook.com/indonesiapustaka TAMAK

itu; uang itu hasil jerih payahnya sendiri. Tapi saya termasuk me-
reka yang ingin menjawab: sejauh mana ”milik” bisa jeda dan tak
jadi ”kemewahan”, dan ”kemewahan” jeda dan tak jadi ”kesera-
kahan”?

Tema lama, tentu. Variasi baru. Tapi bila itu seperti berulang
mungkin karena manusia tak kunjung sepenuhnya mengerti si-
fatnya sendiri.

Tempo, 19 Februari 2012

246 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka YANG PENTING

BARANGKALI di tiap bongkah batu di Yerusalem ter-
simpan jejak sesuatu yang agung tapi juga mengerikan:
peradaban. Dengan kata lain, cerita besar, masa lalu yang
dahsyat, raja dan iman dengan teriak yang sengit dan berdarah-
darah. Di depan tamasya itu, orang mudah lupa bahwa ada yang
lebih penting.

Sebuah sajak Yehuda Amichai, penyair Israel itu, mengingat-
kan kita tentang itu—mengingatkan tamu, peziarah, dan pelan-
cong yang berdiri atau jongkok, agak cuek ataupun sok berempa-
ti, mendengarkan kisah Yerusalem dari pemandu wisata, lalu ber-
foto-foto dan tertawa renyah di kamar hotel mereka—dan tak ta-
hu apa sebenarnya yang mereka lihat.

Suatu ketika aku duduk di tangga dekat gapura Menara Daud, ku-
letakkan dua keranjang berat di dekatku. Sekelompok turis berdiri menge-
lilingi pemandu mereka, dan aku pun jadi penanda letak.

”Anda lihat lelaki dengan keranjang itu? Persis di arah kanan kepala-
nya ada lengkung dari zaman Romawi. Persis di arah kanan kepalanya.”

”Tapi dia bergerak, dia bergerak!”
Aku berkata dalam hati: akan datang penebusan bila pemandu itu
berkata: ”Anda lihat lengkung dari zaman Romawi itu? Bukan itu yang
penting: tapi yang di sebelahnya, ke arah kiri ke bawah sedikit: seorang le-
laki yang baru membeli buah dan sayur untuk keluarganya.”

Seseorang yang hidup, tanpa drama, menyiapkan makan ma-
lam bersama anak-istrinya: itulah yang penting. Bukan monu-
men, bukan Yerusalem yang dipahat ambisi kemenangan dan ke-
agungan—bahkan juga hasrat kesucian. Terlampau dalam en-
dapan yang muram tentang itu, dan akhirnya, untuk apa?

Catatan Pinggir 10 247

http://facebook.com/indonesiapustaka YANG PENTING

Banyak catatan merekam peristiwa brutal dalam sejarah Yeru-
salem yang panjang, tapi agaknya buku Simon Sebag Montefiore,
Jerusalem: The Biography, memakai prolog yang paling pas: di akh-
ir Juli tahun ke-70 Masehi, Titus, putra Kaisar Romawi Vespasia-
nus, menyerbu kenisah suci Yahudi, setelah selama empat bulan
mengepung kota. Sebanyak 60 ribu legioner Romawi dan pasu-
kan lokal disiapkan. Tak kunjung berhasil—perlawanan orang
Yerusalem begitu gigih—ia pun memerintahkan bangunan suci
itu dibakar. Setelah itu, titahnya lebih ganas: semua tahanan dan
pembangkang disalibkan. Tiap hari 500 orang dipaku di palang,
hingga Bukit Zaitun dan sekitarnya penuh sesak. Penjarahan tak
mengenal batas. Tahu bahwa ada penduduk Yerusalem yang me-
nyembunyikan mata uangnya di dalam perutnya—gobang-go-
bang berharga mereka telan—para serdadu merobek perut para
tahanan. Mereka rogoh usus dan waduk orang-orang tak berdaya
itu, bahkan ketika mereka belum mati.

Kebuasan tak hanya terbatas pada penguasa Romawi. Bebera-
pa puluh tahun sebelumnya, Yehonatan, raja Yahudi yang mema-
kai nama Alexander, merebut kembali Yerusalem dari pesaing-
nya. Di kota itu ia bunuh 50 ribu penduduk, dan ia rayakan ke-
menangannya dengan bersantap bersama gundik-gundiknya
sembari menyaksikan 800 musuh disalibkan di bukit-bukit. ”Le-
her para istri dan anak-anak mereka disembelih di depan mere-
ka,” tulis Montefiore.

Seribu tahun kemudian, para prajurit Perang Salib dari Ero-
pa merebut kota tua itu dari kekuasaan Turki. Pembantaian ber-
ulang. Orang-orang Frank membunuh apa saja yang ditemukan,
memotong kepala, tangan, dan kaki penduduk Yerusalem yang
Islam dan Yahudi. Seorang saksi mata, Raymond dari Aguilers,
punya catatan yang bersemangat tentang kejadian itu: ”Pengli-
hatan yang menakjubkan,” tulisnya. ”Unggunan kepala, tangan,
dan kaki tampak di jalan-jalan.” Bayi-bayi direnggutkan dari ibu

248 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka YANG PENTING

mereka dan dihantamkan ke tembok. ”Benar-benar penghakim-
an Tuhan yang adil dan memukau, bahwa tempat ini penuh de-
ngan darah orang-orang yang tak beriman,” tulis saksi mata itu
pula.

Iman, tak beriman, darah, pembantaian.... Kata-kata itu se-
perti berulang dan seakan-akan terekam di batu-batu Yerusalem.

”Selama 1.000 tahun, Yerusalem secara eksklusif Yahudi, sela-
ma 400 tahun Kristen, dan 1.300 tahun Islam, dan tak ada satu
pun dari ketiga agama ini yang memenangi Yerusalem tanpa pe-
dang, atau mesin pelontar, atau howitzer,” tulis Montefiore dalam
epilog buku yang setebal 650 halaman ini.

Jika demikian halnya, apa sebenarnya yang penting dari kota
ini?

Para sejarawan, juga Montefiore, punya kecenderungan meli-
hat Yerusalem sebagai sesuatu yang hadir tapi sebenarnya tak
tampak: sebagai ide, simbol, titik strategi, teritorium politik. Ma-
ka orang sering lupa kepada si laki-laki dalam sajak Amichai: se-
seorang yang membawa keranjang sayur dan buah-buahan untuk
anak dan istrinya, seorang sehari-hari yang duduk istirahat seje-
nak di lantai batu di bawah bayangan gereja, masjid, Tembok Ta-
ngisan, lengkung Romawi. Di momen itu, Yerusalem menggetar-
kan: ia bagian dari tanah yang diinjak, ditanami, diolah, dihuni.
Di momen lain, Yerusalem adalah sebuah trauma.

Untung Jerusalem: The Biography menyelipkan sebuah cerita
tentang Muawiya. Penguasa Islam di abad ke-7 ini, yang mene-
ruskan kebijakan Khalifah Umar yang adil dan terbuka, meme-
rintah Yerusalem selama 40 tahun. Ia bangun sebuah masjid per-
sis di tengah Haram as-Sharif, area paling suci dari umat Yahudi,
tapi tak untuk menutup pintu. Ia tak usik umat Yahudi bersem-
bahyang di sana. Montefiore menggambarkannya sebagai se-
orang penguasa yang tak berat sebelah—juga orang yang suka
humor, termasuk lelucon yang menertawakan dirinya. Katanya,

Catatan Pinggir 10 249

http://facebook.com/indonesiapustaka YANG PENTING

”Bahkan bila sehelai rambut saja yang mempertalikan aku de-
ngan sesama, aku tak akan memutuskannya.”

Memang itulah yang penting: bukan kekuasaan memutus,
melainkan hasrat menyambung, bukan kolonisasi, melainkan si-
laturahmi sehari-hari.

Tempo, 26 Februari 2012

250 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka BANTEN

BANTEN, abad ke-17, adalah sebuah kasus dalam sejarah
ketika dunia luar tak lagi ”luar”, ketika batas lokal dan in-
ternasional bercampur-baur dan peradaban terjadi.
Sebuah buku yang baru terbit kembali versi bahasa Indone-
sianya, terdiri atas telaah sejarawan Claude Guillot, Banten: Se-
jarah dan Peradaban Abad X-XVII, yang diterbitkan École Fran-
çais d’Extrême-Orient, menggambarkan suasana pertemuan dan
benturan dalam arus globalisasi pertama di Asia masa itu. Tak se-
luruhnya apik, tak seluruhnya buruk.

Dalam catatan Edmund Scott, orang Inggris yang tinggal di
Banten pada 1603-65, kehidupan menakutkan. Kebakaran dan
pembunuhan menguasai wilayah itu. Scott punya pengalaman
traumatis: ia lihat sendiri bunuh-membunuh antara kaum bang-
sawan dan para saudagar yang dipimpin ponggawa kerajaan, se-
orang keturunan Tamil.

Bagi Scott, Banten adalah negeri maut. Tanahnya tertutup ra-
wa, beracun, kumuh, dan gersang. Hasil bumi hanya biji lada.
Dan bagi Scott, orang Banten malas dan ”haus darah”.

Mungkin saja kesimpulan Scott lahir dari ketakutan yang akut
terhadap mereka yang di luar dunianya—yang menyebabkan
juga ia dengan bengis menghukum penduduk lokal yang menco-
ba mencoleng. Ia bakar bagian dalam kuku jari orang itu dengan
besi panas, sebelum dicabut. Setelah ditancapkan sekrup besi di
tulang lengan, si terhukum dimasukkan ke sel penjara ”di mana
semut-semut putih... menyeruak ke dalam lukanya...”.

Bagi Scott, ada tembok yang membedakan yang ”Banten”
yang ”asing” dan ”maksiat” dengan yang ”Inggris” atau yang
”Kristen”. Ia buas terhadap pencoleng setempat, tapi, seperti di-
katakan Guillot, tak menganggap sebagai pencurian perompak-

Catatan Pinggir 10 251

http://facebook.com/indonesiapustaka BANTEN

an kapal yang sering dilakukan orang Eropa—sebuah kejahatan
yang selalu disertai pembunuhan.

Awal abad ke-17 adalah awal konflik bersenjata di antara
orang-orang Eropa di Banten. Perdagangan lada antara Banten
dan Cina membawa hasil besar. Orang Portugis, yang sejak sebe-
lum pertengahan abad ke-16 telah berada di ujung barat Pulau
Jawa itu, kemudian ambil peran dalam bisnis ini. Tapi mereka
akhirnya menimbulkan permusuhan dengan penguasa Banten—
dan para saudagar Belanda yang menginginkan monopoli meng-
ambil celah ini.

Ketika orang Portugis datang kembali dengan sebuah armada
besar, di Teluk Banten sudah hadir lima kapal Belanda. Di hari
Natal 1601, perang laut yang dahsyat pecah. Armada Portugis ka-
lah. Sejak itu orang Portugis tak lagi berusaha menghalangi keha-
diran orang Belanda di perairan Nusantara; mereka pun mening-
galkan Banten selama kurang-lebih 70 tahun. Sebagai gantinya,
mereka mengalihkan perdagangan mereka ke Makassar.

Antara 1640 dan 1660, ekonomi Makassar maju pesat. Di ba-
wah Sultan Mohamad Said dan Hasanuddin, ada Perdana Men-
teri Karaeng Pattingaloang dan Karaeng Karunrung. Keduanya
tampak bergairah menimba ilmu pengetahuan Eropa: mereka
tak hanya berbicara lancar dalam bahasa Portugis dan Spanyol,
tapi juga membaca pelbagai buku dalam kedua bahasa itu yang
mereka jadikan bagian penting perpustakaan.

Seperti Makassar, juga Banten maju. Kedua kerajaan itu ber-
hubungan akrab. Keduanya juga menjalin hubungan dagang de-
ngan Manila, di Filipina. Waktu itu di sana berlaku mata uang
real yang berasal dari Meksiko. Real dari perak ini sangat dibu-
tuhkan dalam perdagangan di Asia: jumlah mata uang yang ada
terbatas, dan para saudagar Eropa di wilayah timur itu harus me-
nunggu kedatangan kapal yang membawa uang tunai. Dalam
keadaan itu, mereka tak bisa membeli produk lokal di saat yang

252 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka BANTEN

tepat. Maka Manila penting.
Bahwa pada Maret 1663 sebuah kapal Kesultanan Banten be-

rangkat ke kota di Filipina itu menunjukkan bahwa Sultan Ageng
Tirtayasa mengetahui apa yang disebut sebagai ”rahasia Manila”
itu. Ia siap dengan kapal-kapal Banten; ia menyewa sejumlah
orang ”asing”: nakhoda Inggris.

Orang asing tak selamanya diterima dengan mudah dalam se-
jarah Banten, tapi para penguasa wilayah ini agaknya punya pe-
ngertian tersendiri tentang batas ”asing” dan ”bukan asing”. Se-
perti tampak dalam sebuah peta tahun 1596, di Banten ada yang
tak terdapat dalam kerajaan di Jawa umumnya: para pegawai
tinggi dan pedagang besar adalah orang yang datang dari negeri
lain. Mereka berdiam dalam kota berbenteng. Bahkan seorang
Tamil memegang pucuk administrasi pemerintahan di bawah
raja.

Mereka bukan bangsawan; dan memang untuk beberapa lama
terjadi konflik bersenjata antara para pangeran dan pendukung
ponggawa Tamil itu. Tapi kemudian berakhir. Di bawah Sultan
Ageng, ada seorang keturunan Cina, Kaytsu namanya. Berkat
ikhtiarnya Banten punya armada niaga yang besar, hingga keraja-
an terlibat dalam perdagangan luar negeri. Dia membuka jalur
perdagangan ke Manila, Taiwan, Vietnam, Thailand, dan Je-
pang. Kapal yang besar pun dipesan dari Rembang, Jawa Tengah,
tempat pertukangan yang terkenal, dan kapal pertama bahkan
dilayarkan ke Coromandel di India.

Banten pun makmur dan maju. Dalam pada itu, Sultan
Ageng membangun. Ada Kiai Ngabehi Cakradana. Orang ini
berperan penting dalam perubahan tata kota Banten antara 1651
dan 1682. Ia mendirikan kompleks permukiman, membuat ben-
teng dan jembatan batu—sebuah teknik yang sebelumnya tak di-
kenal di Jawa. Seperti Kaytsu, Cakradana, yang bermula sebagai
pandai besi, juga keturunan Cina. Dan bersama Kaytsu, ia ”ber-

Catatan Pinggir 10 253

http://facebook.com/indonesiapustaka BANTEN

bagi pengabdian sepenuh hati” kepada Raja.
Dunia, di Banten dan Makassar di abad ke-17, tampak menye-

diakan banyak hal di luar pintu. Tapi apakah arti ”luar”? Sultan
Ageng bukan orang macam Scott. Ia tak menegakkan tembok
yang kedap. Dan ternyata ia mengakhiri kejayaannya dalam seng-
keta dengan sesuatu yang di ”luar” tapi juga ”di dalam”: putranya
sendiri.

Tempo, 4 Maret 2012

254 Catatan Pinggir 10

BERANI

DI sebuah kota, di sebuah negeri, di mana kekerasan ter-
dengar sebagai ungkapan keberanian (bom bunuh diri,
pembantaian di siang hari, bentrokan berdarah atas na-
ma geng atau agama), kita memang perlu bertanya: apa arti ”ke-

beranian”?

Pertanyaan yang tua sekali. Lebih dari 2.000 tahun yang lalu,

sejumlah orang berkumpul di sebuah palaistra di Athena. Mereka

juga memperdebatkan hal itu; mereka Sokrates, dua orang jende-

ral, dan sejumlah orang lagi. Platon, murid Sokrates yang termasy-

hur itu, menciptakan kembali debat itu dalam sebuah tulisan,

”Lakhes” ( ), mengikuti nama salah seorang jenderal yang

ikut aktif di dalamnya. Kita beruntung. Buku Mari Berbincang

Bersama Platon: Keberanian (Lakhes) adalah terjemahan dan taf-

sir A. Setyo Wibowo atas karya kuno itu. Terbit September 2011,

ditulis dengan bahasa Indonesia yang terang dan hidup, buku ini

datang di waktu yang tepat.

Tapi tidak tiap buku dimaksudkan untuk menjawab pertanya-

an yang sukar—dan tidak tiap dialog Sokrates memuaskan mere-

ka yang ingin kepastian. Bahkan Lakhes termasuk ” dialog apore-

tik”, sebuah proses mencari jawab yang berakhir buntu. Di bagi-

an akhir Sokrates berkata, ”Jadi, Nikias, kita belum berhasil me-

nemukan apa itu keberanian.”

Tapi justru karena itu manusia, juga yang hidup semenjak itu,

http://facebook.com/indonesiapustaka mencari terus. Dan, seperti Sokrates, tak henti-hentinya menyoal

tiap kesimpulan. Kita tak jera dengan aporia. Berkali-kali kita te-

ngok percakapan yang terdahulu, juga percakapan Sokrates, dan

kita coba telaah di mana ia benar di mana ia khilaf.

Saya (bukan pakar filsafat Yunani) memberanikan diri untuk

melihat di mana ia khilaf: bagi saya, Sokrates terlalu cenderung

Catatan Pinggir 10 255

http://facebook.com/indonesiapustaka BERANI

memprioritaskan rumusan. Definisi adalah panglima. ”Ayo,” ka-
tanya kepada Lakhes, ”cobalah merumuskan... apa itu [kodrat]
keberanian.”

Dalam pengantarnya, Setyo Wibowo menyebutkan kecender-
ungan itu: Sokrates selalu ingin menemukan definisi. Ia inginkan
rumusan yang universal bagi ”hal-hal yang etis yang ia diskusi-
kan”. Di sini, ”universal” berarti bisa diterapkan pada semua ka-
sus, bisa berlaku ”untuk semua manusia dengan perilaku mereka
yang beragam”.

Tapi tiap definisi sebuah reduksi. Perilaku yang beragam sela-
manya berlangsung dalam pengalaman yang beragam, peng-
alaman yang konkret. Terutama dalam Grenzsituation, ”situasi
perbatasan”, antara hidup dan mati, antara selamat dan celaka.
Dalam situasi genting itu tiap pilihan menyangkut bukan cuma
kesadaran, bukan cuma proses penalaran, tapi juga endapan trau-
ma, magma nafsu dan hasrat.

Hanya di permukaan saja si X, ketika memilih, berperilaku se-
perti si Z: katakanlah laku keduanya punya titik-titik persama-
an—semacam indikator bahwa ada sesuatu yang universal. Titik-
titik persamaan itulah yang dikonsolidasikan dalam sebuah ru-
musan.

Tapi dengan demikian sebuah definisi mengabaikan titik-titik
lain yang tak sama, tak terhingga, dan tetap tersisa. Padahal, de-
ngan ”sisa” itu, seutuhnya, kita akan tahu bahwa sebuah perilaku
adalah sebuah pengalaman utuh yang tak bisa dijadikan formula.

Begitulah keberanian. Keberanian para pembajak pesawat
yang menabrakkan diri ke Menara Kembar New York 11 Septem-
ber 2001 punya titik persamaan dengan keberanian seorang pra-
jurit yang menubruk granat yang meledak agar teman-temannya
selamat; tapi masing-masing mengandung pertimbangan, peng-
alaman, dan hasrat yang sama sekali lain.

Itu sebabnya semua rumusan Jenderal Lakhes dan Jenderal

256 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka BERANI

Nikias tentang keberanian akhirnya tak bisa pas ketika dihadap-
kan dengan kasus yang berbeda-beda. Sia-sia saja mereka meme-
nuhi keinginan Sokrates yang sia-sia: mencapai kriteria yang bisa
berlaku kapan saja dan di mana saja. Andai kata mereka juga hi-
dup di zaman ini, mereka akan kaget: tauladan keberanian So-
krates sebagai prajurit yang melawan tentara Sparta—dalam per-
tempuran dengan tombak, perisai, dan tubuh yang nyaris telan-
jang—tak akan berlaku untuk abad ke-21, ketika perang dijalan-
kan dengan pesawat terbang yang tanpa pilot.

Dengan itu pula kita sebenarnya bisa mempersoalkan benar-
nya asumsi bahwa ”keberanian” hanya lahir dari perang dan ke-
kerasan—seperti terbayang dari percakapan 2.000 tahun yang
lalu. Dengan itu pula kita perlu bertanya benarkah keberanian
bisa dianggap sifat utama manusia—atau bagian dari keutamaan
umumnya.

Saya kira Platon, dengan Lakhes, bukan orang yang tepat un-
tuk mempersoalkan itu. Ia keturunan raja-raja Athena. Ia seorang
aristokrat yang mendapatkan bintang jasa dari salah satu pepe-
rangan membela negerinya. Ia melihat sejarah dari ketinggian
dan menganggap Ide (juga definisi) di atas perubahan dan perbe-
daan hidup. Pandangannya tentang perang dan keberanian ber-
bias kebangsawanan: keberanian adalah bagian dari gairah untuk
keagungan.

Ia bukan orang zaman ini. Di zaman ini, di antara kita, perang
semakin ”aman”: yang penting bukan lagi keberanian fisik me-
lainkan kalkulasi yang rapi. Tapi juga semakin terkutuk: yang
penting bukan keagungan melainkan kepentingan.

Di zaman ini, telah lahir kesaksian Brecht.
Dalam Mutter Courage und ihre Kinder, lakonnya yang kocak
tapi juga muram, perang mendapatkan wajah yang culas: perang
adalah bisnis melalui cara lain. Komandan hanya memuji kebera-
nian para serdadu yang menyerbu petani miskin. Sementara itu

Catatan Pinggir 10 257

http://facebook.com/indonesiapustaka BERANI

keberanian yang heroik mencelakakan, seperti terjadi pada Julius
Caesar yang dibunuh. ”Beneidenswert, wer frei davon!” seru se-
buah lagu di adegan ke-9. ”Beruntunglah orang yang bebas dari
itu!”

Kini kita mengerti kenapa Sokrates tiba di jalan buntu.

Tempo, 11 Maret 2012

258 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka CAESAR

PERTENGAHAN Maret pernah jadi sebuah hari yang
menentukan. Orang Inggris menyebutnya ”the ides of
March”. Di hari itu, 44 Sebelum Masehi, Julius Caesar
dibunuh sekelompok tokoh politik Romawi; ia ditikam di tangga
Senat dan tewas dengan 23 luka.

Shakespeare menulis tragedi Julius Caesar di tahun 1599 (di-
terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Yamin
di tahun 1920-an). Di babak kedua lakon yang termasyhur ini
tampak adegan di kamar istana, tatkala malam berderak-derak
oleh petir. Caesar, penguasa Roma itu, dalam baju tidur, mende-
ngarkan ketakutan istrinya, Calpurnia.

Perempuan itu bermimpi tentang patung suaminya yang me-
mancurkan darah. Orang-orang Roma yang perkasa datang
mencuci tangan mereka ke sana, sambil tersenyum.

Calpurnia biasanya tak percaya kepada mimpi, tapi kali ini ia
takut. Sebab ia juga mendengar orang istana melihat tanda-tan-
da: seekor singa betina melahirkan di jalan-jalan, kuburan me-
muntahkan mayat, kesatria-kesatria berperang sengit di angkasa,
dan darah mengucur bagaikan hujan di atas Gedung Kapitol. ”Bi-
sing pertempuran menggemparkan udara, kuda-kuda mering-
kik, orang sekarat mengaduh, dan jin-jin memekik....”

Ia minta agar suaminya jangan ke luar rumah. Caesar meng-
abaikannya.

”Pengecut mati berkali-kali sebelum napas penghabisan, pem-
berani mati hanya satu kali,” katanya.

Pemberanikah dia hingga tak mengacuhkan isyarat gelap dari
yang gaib? Bukan. Caesar tetap membuka kuping untuk peramal
dan perantara dewa-dewa. Ia menyuruh pelayan mengadakan
persembahan dan menunggu apa pesan dari langit. Ia bukannya

Catatan Pinggir 10 259

http://facebook.com/indonesiapustaka CAESAR

tak percaya kepada mimpi dan pesan itu, tapi tafsirnya berbeda.
Ia lebih memilih tafsir yang dikemukakan Decius, yang sebe-

narnya menjebaknya: patung yang memancurkan darah yang di-
tampung orang-orang Roma itu menandai bahwa mereka men-
dapatkan sumber hidup dari Caesar; mereka datang menunjuk-
kan takzim.

Mudah membayangkan Caesar, panglima perang dan penak-
luk benua, sebagai pemberani. Tapi Shakespeare menggambar-
kan sosoknya lebih kompleks. Ada fatalisme dalam sikapnya
menghadapi Maut. ”Bagaimana sesuatu yang telah dewa-dewa
rancang akan bisa dihindarkan?” katanya.

Tapi dalam pada itu, Caesar, dengan kata-kata yang berderet,
meletakkan diri di atas manusia lain, di atas apa pun, bahkan di
atas Bahaya. Ia lahir bersama Bahaya, katanya, tapi ia lebih tua
dan lebih mengerikan. Di depan orang yang memohon belas ka-
sihnya ia bandingkan dirinya dengan Bintang Utara di langit:
konstan, teguh, bukan seperti ribuan bintang lain. Ia Gunung
Olympus yang tak bisa digeser, apalagi tergerak oleh tangis dan
sikap yang meminta-minta.

Itu sebabnya, tafsir yang dipilihnya dari mimpi Calpurnia
adalah tafsir yang menggelembungkan dirinya. Ia mengabaikan
kemungkinan bahwa Decius memberikan tafsir yang salah—
bahkan menyesatkan.

Saya tak akan mengatakan Caesar orang yang benar-benar
berani. Ia malu kelihatan lemah. ”Aku malu menyerah kepada
ketakutanmu, Calpurnia,” katanya sebelum melangkah ke luar.
Keputusannya untuk berangkat ke Senat bukan merupakan per-
lawanan terhadap bahaya yang menakutkan, sebab ia, seperti su-
dah disebut tadi, menganggap diri di atas bahaya. ”Danger knows
full well/That Caesar is more dangerous than he,” katanya membu-
sungkan dada.

Bagaimana ia bisa disebut berani bila berani adalah lawan dari

260 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka CAESAR

ketakutan? Keberanian hanya punya makna jika ketakutan hen-
dak mengalahkannya.

Saya ingat novel Mochtar Lubis yang sangat bagus, Jalan Tak
Ada Ujung. Guru Isa hidup penuh ketakutan di hari-hari ketika
tentara Belanda menduduki Jakarta dan perlawanan dari bawah
tanah anak-anak muda berlanjut. Ia begitu takut hingga ia impo-
ten. Tapi akhirnya, setelah ia ditangkap dan disiksa pasukan pen-
dudukan, guru itu menerima ketakutannya dengan mudah; ia
melampaui itu. Ia melampaui keteguhan Hazil, pemuda yang
tak kenal takut itu, yang justru tak kuat dipukuli serdadu musuh.
Guru Isa bermula dari ketakutan; bukan ketakaburan.

Caesar lain. Benar, akhirnya ia hanya mati satu kali, tapi de-
ngan sikapnya di pucuk kekuasaan itu ia juga hanya hidup satu
kali.

Kita ingat adegan di babak ketiga. Para senator berhasil mem-
bunuhnya: mereka yang membencinya, yang mendendam kepa-
danya, dan yang, seperti Brutus, hendak mencegahnya jadi ma-
haraja yang berkuasa mutlak atas Republik. Saat yang tragis di
adegan ini ialah ketika ia melihat Brutus termasuk orang yang
ikut menghunjamkan pisau. Brutus, orang yang paling tak punya
pamrih, bahkan tak punya kebencian, ternyata hendak membina-
sakannya juga. Caesar pun berseru: ”Dan kau juga, Brutus! Maka
jatuhlah Caesar!”

Ia jatuh bukan karena tubuhnya tertikam dan kehabisan da-
rah. Ia jatuh karena akhirnya ia tahu ia sendirian; ia tak punya lagi
Brutus, tak punya lagi orang lain yang jadi penopang legitimasi.

Kita ingat kata-kata Chairil Anwar untuk Diponegoro di me-
dan perang, ”Sekali berarti/Sudah itu mati.” Tapi ”arti” yang di-
peroleh Caesar, nilai yang mendorongnya untuk maju, adalah
keagungan diri—bukan untuk orang lain. Sebab bagi Caesar,
orang lain hanya ada untuk mengukuhkan keunggulan dirinya
dan kekuasaannya.

Catatan Pinggir 10 261

http://facebook.com/indonesiapustaka CAESAR

Itu sebabnya, bila ada keberanian dalam sikapnya di perte-
ngahan Maret 44 SM itu, sikap itu tak punya momen yang patah.
Pilihan tindakannya bukan terpaut dengan pengorbanan untuk
sesuatu yang lebih luhur ketimbang dirinya sendiri—keberanian
untuk memutuskan diri dari keadaan yang terbatas karena ter-
panggil oleh sesuatu yang tak terbatas, yang mutlak. Keberanian-
nya bukan keberanian seorang martir yang mati hanya satu kali
tapi hidup kembali berkali-kali.

Tragedi Julius Caesar: pada usia 55 tahun, ia mati sendirian.

Tempo, 18 Maret 2012

262 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka MATA

CHANGI-Singapura: sebuah bandara, sehimpun mall, se-
buah titik temu pelbagai manusia dalam peristiwa visu-
al. Duduk menunggu jam keberangkatan pesawat, atau
berjalan ke arah gerbang-gerbang kepergian, ribuan orang hadir
di lorong-lorongnya yang berliku: jalan terang yang disiapkan un-
tuk menonton deretan logo. Orang melihat, atau sudah tak perlu
lagi menatap, tapi tetap diharapkan untuk terkesima. Atau untuk
ingat.

Huruf-huruf itu, yang membentuk kata yang tak kita pahami,
menyentuh dan kemudian terekam dalam retina kita. Mereka
langsung punya arti: ”Zara”, ”Emporio Armani”, ”D&G”, ”Pra-
da”, ”Ermenegildo Zegna”, ”Salvatore Ferragamo”.... Terjemah-
annya: ”keren”, ”rupawan”, ”elegan”, ”mentereng”, ”memikat”,
”seksi”.

Logo pun jadi ”kata”. ”Makna” jadi image. Dan di bandara in-
ternasional yang juga himpunan etalase itu manusia sedunia di-
anggap menemukan konsensus dalam pemujaan kepada yang vi-
sual. Changi adalah tauladan dari asumsi itu, yang tampak kini
berlaku di Asia-Pasifik: bila di Hong Kong seseorang menulis the
malling of Hong Kong, di Jakarta orang bisa juga menulis dengan
tema yang sama.

Di Jakarta, mall makin menegaskan bahwa kota tak lagi sebu-
ah area untuk ngluyur—berjalan tanpa arah, dengan sedikit iseng
dan sedikit rasa ingin tahu tentang tempat yang ada di peta atau
tidak.

Perlu saya tambahkan: ada perbedaan antara ngluyur di Jakar-
ta lama dan flâneurie dalam deskripsi Walter Benjamin. Kedua-
nya laku seseorang yang punya banyak waktu senggang dan kebe-
basan bergerak. Seorang pengluyur bisa seperti penyair Baude-

Catatan Pinggir 10 263

http://facebook.com/indonesiapustaka MATA

laire di Paris abad ke-19, model yang diambil Benjamin sebagai
flâneur: seorang pejalan sendirian yang asyik melihat-lihat (”de-
ngan tatapan terarah seorang detektif”) tanpa tenggelam ke da-
lam orang ramai.

Tapi seorang pengluyur bukan bagian dari kelas yang di Eropa
dulu mengunjungi galeria. Dalam pengalaman Indonesia tak ada
galeria.

Galeria, atau passage, sebuah fenomena Eropa abad ke-19, pada
dasarnya sama dengan mall. Di dalamnya seorang pengunjung
terlindung dari cuaca yang tak nyaman, dan ia bisa menyusuri ru-
ang, memandang komoditas yang secara keren dipamerkan.

Tapi berbeda dengan mall zaman ini, yang kita lihat di Jakarta,
ada ambivalensi dalam hubungan antara sebuah galeria dan jalan
besar. Pada Galeria Umberto I di Napoli, misalnya, ada kontinui-
tas antara koridornya dan jalur yang di luar itu. Tapi jalan itu juga
bagian dari gedung Opera San Carlo yang megah; dengan kata
lain, merupakan area dari kelas orang berpunya. Mungkin itu se-
babnya galeria ini tak berpintu dengan daun yang bisa ditutup;
entrance itu terbuka terus, meskipun bangunan ini bukan bagian
kegemuruhan kota.

Galeria dilindungi atap. Tapi atap itu, dengan kaca, menam-
pakkan langit. Cahaya matahari selalu ditunggu buat menerangi.
Sebaliknya, mall di Jakarta tak menanti matahari. Ia terpisah dari
angkasa dan bumi. Ada pintu yang hanya dibuka di jangka waktu
tertentu. Terang itu sepenuhnya listrik. Dan dengan itu etalase le-
bih memancarkan warna dan rupa.

Di dalam mall, yang visual jadi dasar yang mutlak; tatapan
sepenuhnya diharapkan ke arah tertentu. Dengan langit-langit
dan lantai yang datar linear, mall adalah latar yang tak mencuri
perhatian. Meskipun banyak yang mencoba menyajikan pelbagai
atraksi, terutama buat anak-anak, mall punya efek sama: orang
tak diharap ngluyur ke tempat lain; mata hanya diminta bergerak

264 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka MATA

di antara logo yang silih berganti.
Berbeda dengan galeria. Dengan atap kaca yang ditopang ba-

lungan besi yang seperti ornamen, dengan lantai yang menampil-
kan mosaik tata warna, tiang pualam, dan jam besar berukir, in-
terior sebuah galeri bisa jadi satu pameran tersendiri.

Dengan kata lain, mall adalah sebuah hiperbol di tengah keda-
taran. Ia meletakkan diri di kehidupan kota yang gemuruh de-
ngan melambungkan yang spektakuler. Sejak 1930, Georg Sim-
mel, yang mengamati kehidupan kejiwaan manusia kota besar,
telah mencatat bahwa yang mencolok dalam hubungan interper-
sonal di kota-kota besar adalah aktivitas visual, bukan aktivitas
kuping. Di abad ke-21, yang visual, dalam mall, bahkan tidak saja
membentuk hubungan antarmanusia, tapi manusia dengan ko-
moditas. Sementara hubungan antarmanusia bisa saling menum-
buhkan, hubungan manusia dengan komoditas tidak.

”Spektakularisasi” itu telah menyisihkan sang pengluyur. Kini
lahir kerumunan orang yang menatap dengan terpukau: badaud.
Kata ini diperkenalkan Victor Fournel dalam telaah tentang ke-
hidupan kota di tahun 1858. Ketika itu Paris berubah besar-be-
saran. Toko-toko raksasa, les grands magasins, berdiri sepanjang
bulevar yang baru. Badaud terkesima. Kata Fournel, berbeda de-
ngan flâneur, badaud tak punya lagi individualitas: ”Di bawah pe-
ngaruh tontonan yang tersaji di hadapannya, badaud jadi makh-
luk impersonal.” Kepribadiannya disedot. Ia jadi unsur orang ra-
mai.

Tentu, Fournel berlebihan. Mereka yang di bawah lindungan
mall tak dengan serta-merta ”impersonal”. Tapi mereka memang
diasumsikan demikian. Merek, gambar, dan kata menyerbu ber-
ulang-ulang, sama dari satu tempat ke tempat lain. Orang pun bi-
sa lupa apa yang khas di tempat itu di saat itu; kita hanya ada di
ruang-dan-waktu-pada-umumnya. Rentangan visual itu sebuah
generalisasi.

Catatan Pinggir 10 265

http://facebook.com/indonesiapustaka MATA

Dan pada mulanya adalah logo. Bukan logos. Kita tak perlu la-
gi alasan, daya analisis pikiran, apalagi perdebatan. Dari mata te-
rus ke hati. Komoditas itu menegakkan konsensus. Masing-ma-
sing kita menyesuaikan diri: di pintumu aku mengetuk, aku tak
bisa berpaling. Aku tak akan kluyuran.

Tempo, 25 Maret 2012

266 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka AKSARA

INDONESIA, 2012. Seorang buruh bangunan duduk ber-
istirahat sebentar di dekat gundukan pasir, bersandar di ti-
ang pancang yang baru didirikan. Ia mengeluarkan sesuatu
dari saku bajunya yang penuh bercak tanah: sebuah telepon selu-
ler.

Ia tak menekan satu nomor buat berbicara. Ia mengirim san-
dek.

Atau sesuatu yang lain: ia menulis satu dua kalimat pada din-
ding Facebook-nya. Atau membaca 140 karakter pada Twitter-
nya.

Dengan kata lain, ia berhubungan dengan mereka yang jauh
dari gundukan pasir itu—entah siapa—dengan huruf.

Bagi saya, yang hanya satu dasawarsa yang lalu tak pernah me-
nyaksikan adegan seperti itu—ketika telepon sebuah kemewahan
yang tak akan dimimpikan seorang tukang batu—ada kegembi-
raan tersendiri memandangi si buruh bangunan. Tentu karena ia
kini bisa punya akses lebih gampang buat mencapai wilayah yang
lebih luas dengan orang lain. Tapi bukan hanya karena teknologi
itu saya merasa bersenang hati. Adegan itu menunjukkan sebuah
perkembangan yang dulu dengan cemas diharapkan oleh pemba-
wa ide ”kemajuan” sejak generasi Kartini di akhir abad ke-19: se-
buah bangsa Indonesia yang akrab dengan aksara.

Kini 92 persen orang Indonesia tak buta huruf lagi—sebuah
persentase yang belum ideal, tapi setidaknya lebih tinggi ketim-
bang India (74 persen) dan Brasil (90 persen). Penggunaan aksa-
ra juga tampak dari jumlah pengguna Facebook dan Twitter. Se-
buah angka menyebutkan, akun Facebook di Indonesia mencapai
43,5 juta, atau nomor tiga di dunia setelah Amerika Serikat (155
juta) dan India (45 juta). Pengguna Twitter di sini merupakan

Catatan Pinggir 10 267

http://facebook.com/indonesiapustaka AKSARA

24 persen dari jumlah seluruh dunia; Indonesia tercatat nomor
enam.

Siapa tahu sebuah transformasi telah terjadi. Atau sedang ter-
jadi. ”The medium is the message,” kata-kata Marshall McLuhan
yang tersohor jauh sebelum telepon seluler ditemukan. Aksara,
sebuah medium, merupakan pesan tersendiri—pesan yang ber-
beda bila disampaikan secara lisan.

Ke-beraksara-an adalah isyarat bahwa isi yang disampaikan
terbangun dari kata-kata yang bisa ditangkap kembali, dipikirkan
lagi, atau dibahas dengan lebih akurat. Pesan lisan berbeda: sua-
ra akan bergerak menghilang bersama waktu. Untuk dihidup-
kan lagi, kata itu harus diingat. Untuk mudah diingat, perlu pola
yang tetap.

Saya coba baca lagi buku klasik Walter Ong, Orality and Liter-
acy: sejak 6.000 tahun yang lalu manusia mengenal aksara, tam-
pak perbedaan antara kebudayaan lisan dan kebudayaan tulis.
Karena harus bersandar pada pola yang tetap untuk menyimpan
khazanah pemikiran, komunikasi lisan cenderung konservatif.
Karena kalimat yang disampaikan secara lisan tak bisa ditelaah
kembali dengan saksama, mereka yang bersandar pada budaya li-
san akan tak cukup punya daya analitis. Tak mudah membentuk
satu wacana konseptual, karena bahasa lisan tak memberi pelu-
ang untuk abstraksi—sebuah proses yang melepaskan pemikiran
dari konteks. Komunikasi lisan senantiasa bertaut dengan sebuah
konteks: tempat, waktu, lawan bicara, dan suasana saat itu.

Dikotomi Ong—antara kebudayaan lisan dan kebudaya-
an tulis—tentu saja bisa dikritik, dan sudah dikritik. Teknologi,
juga teknologi kata-kata dalam bentuk aksara, pena, dan mesin
cetak, punya pengaruh, tapi tak sepenuhnya. Determinisme tek-
nologi sama melesetnya dengan determinisme apa pun dalam
melihat kebudayaan.

Indonesia, 2012: apa gerangan yang ditulis oleh buruh ba-

268 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka AKSARA

ngunan itu? Saya tak akan tahu. Tapi bila ada pengaruh teknologi
yang kini membentuk Facebook dan Twitter—dan media sosi-
al lain—pengaruh itu menyusup dalam waktu. Kecepatan yang
tinggi ikut membentuk sifat dan dengan demikian isi pesan.

Bukan mustahil bila dalam kecepatan itu beda jadi tipis antara
pesan lisan dan pesan dengan aksara. Desakan sesaat untuk me-
ngemukakan sesuatu secara tertulis tak membuka peluang bagi
apa yang oleh Ong diasumsikan terjadi dalam ke-beraksara-an:
penelaahan kembali, analisis, jarak dari konteks, ingatan yang le-
bih permanen.

Tak mengherankan bila dalam Twitter, misalnya, cetusan
spontan kadang-kadang mencerminkan ketiadaan sikap reflektif.
Pendapat jadi teramat gampang, hanya mengikuti opini yang su-
dah terpola. Prasangka tak ditinjau lagi. Data dan analisis mem-
butuhkan waktu dan kecermatan—yang sulit dipenuhi bila kita
harus saat itu juga menyimpulkan.

Tapi bukankah orang bisa mencari lebih jauh, dengan Google
dan lain-lain? Kita dengar optimisme ini berkali-kali. Benar. Tapi
ada yang menunjukkan bahwa justru dalam samudra informasi
yang mahaluas, orang akan gagap—dan memilih yang pas buat
dirinya. Tak akan ada temuan yang tak diduga-duga.

Sebuah esai yang memikat dalam The Economist mengemuka-
kan satu hal yang hilang: serendipity. Kata itu masuk ke dalam ba-
hasa Inggris (dan tak ada dalam bahasa lain) oleh Horace Walpo-
le, dalam sepucuk surat bertahun 1754. Ia memakainya dengan
mengacu ke dongeng Persia tentang tiga putri negeri Serendip.
Mereka ini selalu membuat penemuan, secara kebetulan dan lan-
taran keberanian—justru lewat hal yang semula tak mereka cari.

Kini, diduga orang enggan bertualang untuk kepergok de-
ngan yang kebetulan. Tapi saya kira keliru menyimpulkan bahwa
dari informasi yang melimpah ruah itu—dengan kebingungan
kita dalam kancahnya—serendipity jadi mustahil. Sekali lagi, ada

Catatan Pinggir 10 269

http://facebook.com/indonesiapustaka AKSARA

batas teknologi dalam menentukan perilaku manusia. Satu hal
yang tak kalah menggembirakan bagi saya ketika melihat buruh
bangunan itu memegang telepon selulernya dan menulis: sendi-
ri di dekat gunduk pasir, ia tak tampak gentar. Mungkin bebas.
Setidaknya di momen itu.

Tempo, 1 April 2012

270 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka IKHNATON

O” , dewa yang tunggal, yang kuasanya tak tertandingi....”
Pada tahun 1380 sebelum Masehi, di Mesir kuno, se-
orang raja menulis puisi yang indah untuk Yang Maha-
Tunggal. Mungkin itu suara pemujaan seorang monotheis yang
paling purba, 700 tahun sebelum Isaiah. Yang lebih banyak ditu-
lis para pakar, ia seorang firaun yang mengubah agama nenek
moyangnya menjadi sebuah keyakinan yang kemudian mirip de-
ngan agama-agama Ibrahimi.

Ikhnaton, sang firaun, menyebut tuhan yang tunggal itu
Aton, nama dewa lama yang dipakainya untuk mempermudah
pemujaan. Tapi berbeda secara radikal dengan agama Mesir sebe-
lumnya, keyakinan Ikhnaton melarang orang membuat arca tu-
han itu. Sebab, kata raja yang masih muda itu, tuhan yang maha-
tak-terbayangkan itu tak bisa diwakili dengan rupa apa pun.

Ia tuhan seluruh umat manusia, bukan cuma untuk bangsa
Mesir—suatu kesimpulan dan inspirasi yang baru untuk zaman
itu. Bahkan dalam himne, Mesir disebut yang terakhir dalam de-
retan bangsa yang diayomi Aton.

Dewa, atau tuhan ini, adalah tuhan kasih yang, seperti tertu-
lis dalam himne itu, ”mengisi Dua Telatah Mesir dengan penuh
rahman dan rahim”. Aton bukan dewa di tengah perang dan ke-
menangan, melainkan dalam kembang dan pepohonan, di mana
kehidupan tumbuh. Aton adalah kegembiraan yang membuat
anak-anak domba ”menari dengan kaki mereka” dan unggas
”berkecimpung di rawa-rawa”.

Dapatkah dikatakan ia sebenarnya penegak taukhid pertama?
Tak mungkin menjawab pertanyaan ini sebelum kita mengetahui
dengan persis asal-usul keyakinan Ikhnaton dan sejarah penga-
ruh agama-agama sekian belas ribu tahun yang lalu.

Catatan Pinggir 10 271

http://facebook.com/indonesiapustaka IKHNATON

Pada 1937, buku Sigmund Freud Der Mann Moses und die mo-
notheistische Religion (dua tahun kemudian terbit versi Inggrisnya,
Moses and Monotheism) mengajukan sebuah hipotesis yang me-
ngejutkan. Pertama, bahwa berbeda dengan keyakinan umat Ya-
hudi, Musa bukanlah seorang Yahudi, melainkan seorang bang-
sawan Mesir. Kedua, bahwa monotheisme Musa bukan dari wah-
yu, melainkan berasal dari Ikhnaton. Atau bahkan ia sendiri se-
benarnya Ikhnaton.

Musa, menurut pembacaan Freud atas Alkitab, membawa se-
jumlah pengikutnya yang terpilih ke luar Mesir. Tapi dalam per-
jalanan mereka membunuhnya. Mereka kemudian bergabung
dengan suku lain yang juga memeluk monotheisme. Dalam per-
kembangannya, mereka menyesal telah membunuh pemimpin
mereka, dan sejak itu mengharapkan akan datang kembali Musa
sebagai Messiah.

Saya tak segera percaya tafsir Freud. Pengetahuan saya amat
tipis tentang Mesir lama. Tapi banyak pakar yang melihat nada
yang sama antara himne Ikhnaton dan kata-kata dalam Mazmur
104:

MAZMUR: Engkau yang berpakaian keagungan dan semarak, yang
berselimutkan terang seperti kain, yang membentangkan langit seperti ten-
da, yang mendirikan kamar-kamar loteng-Mu di air....

HIMNE IKHNATON: Jukung berlayar ke hilir atau ke hulu, tiap
jalan raya terbuka karena fajarmu. Ikan di sungai berloncatan karena
kau. Kaulah sinar di tengah lautan raya yang hijau....

Tapi barangkali yang terjadi di antara dua lagu puja itu bukan
sebab dan akibat. Hubungan itu bukan hubungan A yang lebih
tua dan lebih dominan ketimbang B atau sebaliknya. Bisa jadi ke-
dua-duanya tercetus dari élan kreatif yang selalu ada dalam se-
jarah manusia—getar yang merindukan Tuhan dan membuat

272 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka IKHNATON

kidung, dari mana doa lahir dan nyanyian digubah. Barangkali
salah untuk melihat bahwa selalu ada hubungan sebab-akibat da-
lam dua kejadian yang berbeda, sebab tiap kejadian adalah sebu-
ah aktualisasi tersendiri. Seperti halnya puisi yang tercipta hari
ini bukan gema apalagi terpengaruh oleh sebuah puisi dari masa
sebelumnya, meskipun keduanya katakanlah sajak cinta.

Sejarah berulang, tapi sebenarnya tak berulang. Tiap kali ke-
jadian selalu baru, meskipun di sana ada masa lalu yang tersisa
dalam endapan ingatan—dan ikut membentuk sejarah.

Yang tragis dalam riwayat manusia ialah bahwa sejarah juga
mengandung cerita kehilangan. Ikhnaton tak bisa bertahan, bu-
kan saja dalam takhtanya. Keyakinannya untuk membawa kabar
baik baru—sebuah keyakinan yang dahsyat—telah membuatnya
agresif.

Ia hancurkan patung-patung dewa lama. Ia hapus dari inskrip-
si batu kata-kata yang menyebut ”dewa” dalam bentuk jamak.
Bahkan ia rusak bagian dari istana ayahnya sendiri, untuk meng-
hilangkan nama dewa lain yang menempel dalam nama si ayah,
baginda yang telah wafat. Di Thebes, ibu kota kerajaan, wilayah
kuil lama ia ubah namanya agar mengandung nama Aton. Tentu
saja ia membuat marah kelas pendeta agama lama yang begitu
penting kedudukannya.

Konflik pun meletus. Baginda terdesak dan meninggalkan
kota. Keyakinan monotheismenya dihapuskan.

Baru berabad-abad kemudian orang menemukan sumbangan
Ikhnaton kembali. Bukan dalam hal iman kepada tuhan yang
maha-tunggal, melainkan dalam hal iman kepada tuhan yang
maha-pengasih. ”Aton” , begitulah tuhan itu disebut untuk mem-
permudah pemujaan, berbeda jauh dari Yahwe, tuhan Bani Israel
pada sejarah awal kepercayaan mereka—tuhan gunung berapi,
kara Freud, yang cemburu, pendendam, dan ganas.

Tapi untunglah: seperti Ikhnaton, selalu ada seseorang atau

Catatan Pinggir 10 273

http://facebook.com/indonesiapustaka IKHNATON

sekelompok orang yang melepaskan diri tanpa ingin kehilangan
menyanyi, memuja, dan menemui Tuhan yang membuat sebuah
siang, ya biarpun sebuah siang, berbahagia:

Jukung berlayar ke hilir atau ke hulu, tiap jalan raya terbuka karena
fajarmu. Ikan di sungai berloncatan karena kau. Kaulah sinar di tengah
lautan raya yang hijau....

Tempo, 8 April 2012

274 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka BISU

ADAKAH yang bisa dikatakan dengan diam? Film-bisu
menjawab: ada. Banyak yang bisa dikatakan tanpa kata.
Tapi tak hanya film-bisu yang menegaskan itu.
Adegan pertama film The Artist: seorang tahanan yang disiksa
agar dia buka suara, tapi tetap menolak. Di layar tertulis kata-ka-
ta: ”Aku tak mau bicara! Tak sepatah kata pun!” Dan ia pingsan.

Dalam pingsan dan membisu itu ada cerita panjang tentang
diam, makna dan nilainya—dan saya kira itu metafora pertama
sutradara Michel Hazanavicius dalam filmnya ini, yang menyen-
tuh kita di beberapa lapisan.

Yang menyentuh dari film ini bukan cuma tali halus percinta-
an (atau persahabatan) yang tak pernah diverbalkan di antara dua
orang yang berbeda nasib di zaman perubahan Hollywood, keti-
ka film-bisu tengah tergusur dari industri budaya.

Sentuhan The Artist bisa lebih dalam: ia menghadirkan nos-
talgia.

Masa silam yang dikenang manis itu digambarkan sebagai
Hollywood tahun 1920-an: kita lihat sebuah teater yang rapi dan
gemerlap. Kita tahu, nostalgia adalah pementasan kembali yang
diperindah dari sebuah arsip ingatan yang separuh hilang. Siapa
menyadari ini akan tahu betapa rapuhnya sejarah.

Hazanavicius menyajikan The Artist bukan untuk mengatakan
bahwa arsip masa lalunya ”benar”. Filmnya bukan satu rekon-
struksi yang realistis dari masa itu; ia tak seperti yang dibangun
Richard Attenborough dalam Gandhi, misalnya. The Artist tak
akan menyebut diri sebuah ”film sejarah”. Ia menirukan dengan
asyik sebuah film-bisu yang tak pernah ada: set, kostum, dan ge-
rak di dalamnya adalah kutipan dari kehidupan yang hanya ada
dalam layar putih.

Catatan Pinggir 10 275


Click to View FlipBook Version