The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 10 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by warsinisuharnowo, 2021-11-04 03:15:09

Catatan Pinggir 10 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 10 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka OWS

The Love of Money (judul film dokumenter BBC tentang bang-
krutnya Lehman Brothers), akhirnya itulah yang bisa dikatakan
tentang zaman ini, ketika ”finansialisasi” menyibukkan kapitalis-
me: bukan lagi berputar di pabrik dan bangunan, tapi di bursa sa-
ham, di pertukaran valuta, di permainan bunga dan segala hal
yang cair, dan ketika euforia untuk berspekulasi (”speculative ex-
citement”, kata Keynes) membubung. Pada saat yang sama, lem-
baga-lembaga keuangan makin hanya dimiliki segelintir perusa-
haan.

Walhasil, ini keasyikan yang bukan bagian hidup orang ra-
mai, meskipun risikonya mengorbankan orang ramai. Bahkan,
seperti terbukti dari krisis 2008 dan krisis 2011, risiko itu menge-
nai jutaan manusia di seluruh dunia.

Dengan kata lain, orang ramai adalah multitude yang terasing.
Maka atas nama orang ramai Taman Zuccotti diduduki. Sebuah
manifesto disusun. ”¡Ya basta! Aquí el pueblo manda y el gobierno
obedece!” ‘Cukup! Di sini rakyat memberi titah dan lembaga-
lembaga global tunduk!’ Mereka menirukan seruan perlawanan
kaum Zapatista di Chiapas, Meksiko.

Tentu saja mereka juga mencoba menirukan orang ramai yang
berkumpul di Lapangan Tahrir, Kairo, untuk melawan kedikta-
toran Mubarak dan ”para amarah” yang memprotes keadaan eko-
nomi di Puerta del Sol, Madrid. ”Let us globalise Tahrir Square! Let
us globalise Puerta del Sol!” kata mereka.

Ya, mereka secara militan menyerukan keadilan—tapi mereka
terbuka seperti Taman Zuccotti. Mereka tak hendak membentuk
sebuah himpunan yang intensional, yang menentukan prasyarat
bagi orang-orang yang bisa dimasukkan ke dalam himpunan itu.
Mereka pasti ingat deklarasi gerilyawan Zapatista yang bang-
kit sejak 1994. Bendera revolusi yang dikibarkan di Chiapas itu
adalah bendera bagi semua kecenderungan, ”pikiran yang paling
berbeda-beda, jalan perjuangan yang berlain-lainan, tapi hanya

176 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka OWS

dengan satu kerinduan dan satu tujuan: kemerdekaan, demokra-
si, keadilan”.

Di Taman Zuccotti, ”yang berbeda-beda” juga disambut, de-
ngan hasrat untuk sesuatu yang terasa jelas tapi belum terkata-
kan. Mereka hadir tanpa hierarki, tanpa klasifikasi, tanpa pro-
gram. Hanya ada yang disebut ”majelis umum” yang berembuk
untuk memutuskan langkah yang akan diambil atau statemen
yang akan diutarakan.

Maka yang berlangsung adalah sejenis anarkisme yang me-
nampik struktur tanpa mesiu dan tinju—yang justru membuat
mereka, seperti kaum Zapatista, mendapatkan simpati yang luas.
Gema ”Occupy Wall Street” dengan cepat bergaung di seluruh
dunia: terhadap kapitalisme global, lahir internasionalisme baru.
Gerakan ”OWS” muncul bahkan sampai ke Jakarta.

Tapi memang belum ada tanda bahwa kapitalisme yang se-
dang oleng kini akan jadi roboh. Ia masih bisa menyedot apa saja
dan membuat lupa. Beberapa tahun setelah kaum Zapatista ber-
gerak, dengan pemimpin dan juru bicaranya yang misterius dan
memikat, Subcomandante Marcos, dunia tak lagi terkejut tapi
terpukau. Maka ke Chiapas datang ”turisme revolusioner”. Mula-
mula orang-orang jauh itu ke sana sebagai dukungan kepada per-
juangan, atau membantu penduduk miskin di pedusunan. Ke-
mudian kaum Zapatista sendiri mengundang siapa saja untuk
berkunjung. Tentu saja dengan biaya tertentu. Di San Cristóbal
ada papan iklan: ”Kunjungilah Oventic dan San Andrés, jantung
Zapatistas”.

Iklan mungkin juga akan muncul tentang Taman Zuccotti:
sebuah obyek wisata baru. Tak akan mengejutkan bila populari-
tas ”OWS” akan memudahkan simbol gerakan itu jadi komodi-
tas—sebagaimana wajah Che Guevara jadi desain T-shirt. Me-
mang ajaib dan menjengkelkan bahwa dalam sakitnya kapitalis-
me sanggup membius orang seraya menyebarkan sinisme: semua

Catatan Pinggir 10 177

http://facebook.com/indonesiapustaka OWS

bisa dan mau diperdagangkan, juga protes terhadap ketidakadil-
an.

Kecuali jika kita mengentak ”tidak” sepenuhnya.
Tapi tampaknya Taman Zuccotti, didirikan oleh sebuah per-
usahaan baja dan dimiliki sebuah perusahaan properti, bukan
untuk revolusi.

Tempo, 30 Oktober 2011

178 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka EDAN

SEJARAH bergerak dengan keluhan; tiap zaman punya
gerutunya sendiri. Suasana muram ala Kalatidha yang di-
gambarkan Ranggawarsita akan selalu dirasakan di suatu
masa, di suatu tempat. Para pembaca sastra Jawa kenal benar de-
ngan karya berbentuk tembang sepanjang 12 pupuh itu. Setidak-
nya kalimat, ”Amenangi jaman édan....” Dan tiap kali mereka
ingat baris itu, mereka akan merasa bahwa yang mereka alami ju-
ga sebuah ”zaman gila”....

Mungkin itu sebabnya Serat Kalatidha, dengan bahasa yang
tak lazim bagi lidah sehari-hari itu, sering dianggap ”ramalan”.
Ranggawarsita pun jadi makhluk dongeng. Hampir seabad yang
lalu satu tim ditugasi menyusun biografinya. Hasilnya Babad Ca-
riyos Lelampahanipun Suwargi Raden Ngabèhi Ronggawarsita,
yang terbit dalam tiga jilid di awal 1930-an. Di sana dikatakan
bahwa cahaya dari langit masuk ke dalam diri pemuda bandel
yang kemudian jadi penyair itu—sebab itu ia mampu menulis
sastra yang canggih. Buah tangannya lahir dengan kekuatan spi-
ritual yang tinggi; ia mampu melihat masa yang belum tiba.

Tapi sebenarnya sastra selalu mengandung anasir yang profe-
tik. Sebuah karya hidup dan bergetar dalam sebuah paradoks.
Ia lahir dari sebuah situasi kini-dan-di-sini, latar yang konkret,
momen yang tak akan terulang. Tapi ia bergabung dengan para
pembaca yang akan datang: orang-orang yang akan menemuinya
dan menafsirkannya setelah ia beredar. Dalam hal itu, Kalatidha
adalah sebuah monumen—seperti tiap puisi yang berarti. Sebuah
monumen, kata Deleuze & Guattari, tak merayakan masa lalu,
melainkan berbisik ke ”telinga masa depan”—dan akan terde-
ngar ”penderitaan manusia yang dihidupkan lagi tak henti-hen-
tinya, protesnya yang diperbaharui, perjuangannya yang dibang-

Catatan Pinggir 10 179

http://facebook.com/indonesiapustaka EDAN

kitkan kembali”.
Kalatidha ditulis sekitar tahun 1860—kurang-lebih seperem-

pat abad setelah ”Manifesto Komunis” dan sedasawarsa setelah
novel David Copperfield Charles Dickens. Artinya ia diolah di se-
buah masa ketika orang memandang dunia sebagai himpunan
data, bukan wahyu. Marx & Engels merumuskan sesuatu dari
pengalaman, bukan dari firman. Begitu pula realisme novel
Dickens.

Juga Ranggawarsita: ia menulis dari pengamatannya tentang
hidup sehari-hari, meskipun tak rinci dan di sana-sini tersekat da-
lam prosodi tembang sinom. Kalatidha menyebut sebuah keada-
an sosial-politik di mana raja dan para pejabat tingginya bisa di-
puji, tapi orang—terutama dirinya—hidup di tengah suasana cu-
rang, penuh intrik, fitnah, dan ucapan palsu (ujar lamis). Sebagi-
an besar tembang panjang itu bersifat deskriptif.

Dari dalamnya kita bisa merasakan keluhan, amarah, sedikit
humor pahit, dan introspeksi—yang menunjukkan betapa ak-
rabnya Kalatidha dengan pengalaman pribadi penulisnya. Rang-
gawarsita, sang pujangga istana, memang menulis dengan luka
dan trauma. Hidup di sebuah masa ketika Kerajaan Surakarta
praktis habis, ia sendiri miskin. ”Ronggawarsita’s own poverty is
legendary” tulis Nancy K. Florida dalam ”Reading the Unread in
Traditional Javanese Literature”.

Florida memaparkan satu telaah yang perseptif tentang pu-
jangga ini—khususnya dalam hubungannya dengan Serat Ja-
yèngbaya, yang digubah Ranggawarsita ketika berumur 28, yakni
pada 1830. Itu berarti menjelang akhir Perang Diponegoro, pe-
rang lima tahun yang mengguncang Pulau Jawa dan selesai seba-
gai pembangkangan yang kalah. Diperkirakan 200 ribu orang di
Jawa tewas; ketika itu penduduk hanya tiga juta. Bisa dibayang-
kan kerusakan ekonomi yang terjadi.

Para nayaka dan sentana di lingkungan Keraton Surakarta

180 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka EDAN

pun harus hidup terengah-engah dan mengerahkan pelbagai akal
cerdik. Raja mereka, Pakubuwana VI, yang diam-diam memban-
tu gerilya Diponegoro, ditangkap. Belanda membuangnya ke
Ambon. Dua tahun sebelumnya, pada 1828, ayah Ranggawarsita
sendiri juga disingkirkan ke Batavia.

Suasana amat represif. Florida mengutip satu bagian Jayèngba-
ya tentang bagaimana mudahnya guru dan para murid ditindak
bila mereka bertemu secara rahasia dan membicarakan hal yang
”aneh-aneh”. Tanpa peringatan, mereka akan ”tinalikung, ki-
nungkung kukum kunjara”: ditelikung, dikungkung dalam pen-
jara.

Saat itu ” jaman édan” sudah mulai. Jayèngbaya saksinya: se-
rangkai tembang dengan humor hitam, sinisme tajam, tapi terde-
ngar seperti permainan nakal anak-anak.

Dengan gaya mengejek diri sendiri, Ranggawarsita mencemo-
oh karier dan status yang umumnya dimimpikan orang di masa
itu. Jadi guru, misalnya, mudah: dengan hanya mengucapkan
”kalimah” (klimah) dan dengan ”ilmu” yang tak lebih dari kata
”asyhadu’alah”. Status guru [agama] itu akhirnya tampak sepele
dan oportunistis: bisa mengumpulkan uang banyak (”nglumpuk
selawé pethak”) tapi akan celaka jika mendapatkan murid yang
pintar.

Begitu pula jadi tentara, hakim, dan lain-lain. Bahkan posisi
sebagai Tuhan tak luput dari lelucon: status ini memang enak,
berkuasa dan punya banyak pembantu, tapi berada di luar ruang
dan waktu—dan ini praktis sama saja dengan tunawisma!

Dengan sekali pukul, dan dengan jenaka, yang suci dan yang
rendah disamaratakan: guru, tentara, algojo, anjing, pedagang
obat.... Tatanan dan klasifikasi dirobohkan.

Tampak, Ranggawarsita memisahkan diri dari sana. Ia mener-
tawakannya—atau ia memilih menyendiri: mati sajroning ngau-
rip, kalis ing rèh huru hara. Justru dengan begitu ia berbisik ke

Catatan Pinggir 10 181

http://facebook.com/indonesiapustaka EDAN

”telinga masa depan”: ke sebuah masyarakat lain, yang belum ha-
dir tapi dihasratkan, di mana status dan klasifikasi hilang.

Gerutu dan ejekannya menandai jalan ke masa itu—meskipun
tak selalu jelas seperti apa. Yang jelas, penderitaan manusia dirasa-
kan kembali, protes diperbaharui, perjuangan dibangkitkan lagi.

Tempo, 6 November 2011

182 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka AHAB

”Why is Moammar Gadhafi like Captain Ahab?”
—The Wall Street Journal, 20 Oktober 2011

KAPTEN Ahab, dengan satu kaki palsu, dengan api
amarah yang berlanjut sampai tubuhnya tenggelam: ia
tak mati-mati. Ia tokoh yang tak terlupakan di antara
deretan novel Amerika.

Entah kenapa Herman Melville tak memilih nama Ahab un-
tuk judul novelnya, melainkan Moby Dick. Sosok kapten kapal
pemburu paus ini juga tak segera ia tampilkan. Novel 135 bab itu
praktis kisah Ishmael, seorang pelaut yang baru pertama kalinya
ikut dalam perburuan seperti itu—sang pencerita yang seperti
seorang murid yang terkesima akan penjelajahannya sendiri.

Bagi pembaca hari ini, Moby Dick (terbit tahun 1851) sebuah
buku yang kedodoran. Uraiannya menyimpang ke sana-kemari,
komentarnya melimpah ruah. Ada bagian yang seperti esai. Ada
beberapa solilokui pendek, seperti dalam lakon Shakespeare abad
ke-17. Tapi novel ini tetap saja seperti tak mau dilupakan. Na-
thaniel Philbrick, seorang penulis sejarah maritim, bulan lalu me-
nerbitkan Why Read Moby-Dick?. Dalam wawancara dengan The
Wall Street Journal, Philbrick menjawab: dari novel ini kita me-
nyadari bagaimana kekejian, mala, bisa merayap, pelan-pelan,
menakutkan.

Dan itu berkisar pada diri Ahab.
Ahab baru mengambil tempat di akhir bab 16 Moby Dick: cu-
ma sebagai bahan percakapan, lalu menghilang. Di bab 21 ia dise-
but sebagai sesuatu yang tak tampak. Ketika itu kapal Pequod si-
ap berlayar. Awak kapal mulai naik, para penjaga layar bekerja,
kelasi sibuk. Tapi, ”Kapten Ahab tetap tak terlihat, dalam perse-

Catatan Pinggir 10 183

http://facebook.com/indonesiapustaka AHAB

mayaman kabinnya.”
Baru ketika Pequod sudah beberapa hari di laut, Ahab muncul

di geladak. Ishmael menggambarkan sosoknya: sang kapten te-
gak, kaki kirinya yang palsu yang terbuat dari gading menancap
ke dalam lubang di geladak. Ia menatap laut. Tak berbicara. Tapi
ia sepenuhnya sebuah aura.

Para awak kapal yang berada di sekitarnya tampak tak nya-
man, rikuh, merasa diawasi oleh lelaki tua yang angker dan mu-
ram yang terkadang duduk di kursi gadingnya itu. Ahab adalah
bayangan raja di bahtera, seorang Khan di anjungan, sultan kapal
yang kadang-kadang mengundang makan para perwiranya ke
dalam kabin. Dan di jamuan yang khidmat itu, sang kapten iba-
rat singa laut dikitari anak-anaknya yang merunduk hormat.

Wibawa itu terbit dari sebuah energi: endapan dendam, ma-
rah, obsesi. Dengan kata lain: kegilaan yang setengah terpendam.
”Aku kesetanan, aku adalah kegilaan yang dipergila,” katanya da-
lam sebuah solilokui.

Ishmael menuturkan apa sebabnya: kaki kiri Ahab dibabat se-
ekor paus putih raksasa yang buas yang hampir tak pernah tam-
pak, makhluk buruan sekaligus teror. Para pemburu menamainya
Moby Dick. Dalam sebuah perburuan, Ahab menghunus pisau-
nya, menyerang monster itu dengan sengit. Tapi ia kalah. Moby
Dick menghilang, dan Ahab berbulan-bulan tergeletak kesakitan
di kapalnya yang melintasi dingin Tanjung Patagonia. Sejak itu,
kegilaan mencengkeramnya. Ia harus diikat di hamoknya di ka-
bin yang diguncang ombak.

Pelan-pelan, ia tampak pulih. Tapi sebenarnya kegilaan itu
meresap lebih dalam....

Ia ingin membalas. Ia hendak menemui kembali Moby Dick.
Ia jadi nakhoda Pequod buat mencapai tujuan tunggal itu. Ia bu-
kan seperti pemburu paus yang lain yang melaut untuk menda-
patkan penghasilan. Bagi Ahab, tujuannya lebih berarti. Bagi-

184 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka AHAB

nya, obsesinya sah. Tapi itu menyebabkan mala itu merasuk ke
dalam dirinya. Ia, yang dipenuhi dendam + benci, menganggap
Moby Dick inkarnasi dendam + benci. Membunuhnya adalah se-
buah misi yang berharga.

Dan bila Moby Dick ia anggap topeng kekejian yang total, se-
perti Setan, Ahab pun meletakkan diri sebagai seorang pelawan
yang absolut. Hidup sehari-hari menjadi hal yang boleh ada, bo-
leh tidak. Ia tak peduli bila banyak orang akan terbunuh dalam
misi itu.

Tapi di atas Pequod yang melewati beberapa samudra, perja-
lanan ke tujuan besar justru dibangun oleh hidup orang-orang
yang tak mau terbunuh. Ahab tahu itu. Ia harus menjaga agar ti-
tahnya tetap dipatuhi. Ia masih sadar bahwa di luar egonya, ma-
nusia tak bisa hidup hanya dengan tujuan yang absolut, apalagi
yang ditentukan dari atas. Maka ia sesekali berkompromi. Ia
memberi peluang agar dalam hidup sehari-hari awak kapal tetap
ada angan-angan tentang tujuan-tujuan kecil: uang, waktu berse-
nang, saat-saat penting sebelum mati.

Apalagi ”yang keji” baginya belum tentu ”keji” bagi orang
lain.

Sadar akan itu, Ahab meninggalkan sikap angkernya yang di-
am. Ia mengimbau. Ia tak berbicara tentang kemungkinan yang
fatal. Ia berbicara tentang heroisme. Kata & kharismanya mem-
buat ia akhirnya didukung bahkan oleh orang yang tahu bahwa
perjalanan Pequod adalah ekspedisi yang gila. Sang nakhoda me-
naklukkan para peragu.

Ia menaklukkan Starbuck: perwira kapal ini menentangnya.
Starbuck mengingatkan bahwa seorang pemburu paus akan ha-
rus menghitung keuntungan untuk pulang. Pada Starbuck (yang
namanya dipakai untuk bisnis kedai kopi itu) tersisa sifat borjuis
para majikan di bandar Nantucket, tempat kapal itu mendapat-
kan modalnya.

Catatan Pinggir 10 185

http://facebook.com/indonesiapustaka AHAB

Tapi akhirnya sifat borjuis itu lumer. Ahab pun membawa se-
luruh kapal menemui Moby Dick, menemui kematian: sesuatu
yang tak bisa dihitung dengan uang, sesuatu yang tak mudah di-
pahami—juga oleh Ishmael, satu-satunya kelasi yang selamat.

Namun agaknya ada yang mengagumkan dalam sebuah obse-
si yang tak pernah gentar, di mana kekejian dan anti-kekejian ber-
gulat dan sekaligus bertaut. Mungkin itu sebabnya sejak abad ke-
20 (ketika imajinasi besar diramaikan orang ramai), para pemim-
pin yang gagah, berwibawa, dan terkadang ngawur, juga para
diktator, tak selalu dikutuk.

Tempo, 13 November 2011

186 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka HEWAN

”Sesungguhnya Allah memerintahkan agar berbuat baik terhadap segala
sesuatu.... Hendaklah kalian menajamkan pisau [yang akan dipakai] dan
senangkanlah hewan yang akan disembelih”—Hadith.

DI abad ke-21, hewan menghilang. Kita memang melihat
kambing dan sapi berderet di pasar tepi jalan. Tapi bah-
kan di hari raya kurban, orang kota besar tak menemui
makhluk hidup itu. Ternak itu hanya komoditas, benda-benda
yang muncul dalam nilai tukar. Mereka dengan mudah dibeli
dan dikirim ke tempat penyembelihan. Dan dalam pesta makan
yang asyik kemudian, ada sesuatu yang dilupakan—sesuatu yang
sebenarnya hari itu dikukuhkan kembali: pertalian manusia de-
ngan apa yang hidup dan yang mati.

Pertalian itulah (yang diisyaratkan hadith, hingga kita harus
”berbuat baik terhadap segala sesuatu”) yang membuat hari raya
kurban tak dimaksudkan sebagai hari pembantaian massal. Ke-
matian hewan adalah saat yang khidmat. Ia secara radikal berbe-
da dengan jam-jam produksi daging di abattoir Amerika, yang se-
jak pertengahan kedua abad ke-20 didesain Grandin untuk me-
ningkatkan efisiensi dan laba. Di ruang-ruang pembunuhan itu,
trauma, kesedihan, dan hal sejenisnya akan dianggap pemboros-
an.

Di situlah bedanya: hari raya kurban bukan hari yang acuh tak
acuh. Di hari itu kita sebenarnya tak hanya mendengar cerita ten-
tang dahsyatnya iman Nabi Ibrahim, tapi juga kesedihan hatinya
yang dalam: pengorbanan itu amat besar maknanya karena ada
hubungan yang tak tergantikan antara yang akan mengorbankan
dan yang akan dikorbankan. Maka di hari kurban, manusia di-
harapkan peka akan kekejaman yang akan dilakukan dan kesa-

Catatan Pinggir 10 187

http://facebook.com/indonesiapustaka HEWAN

lahan yang bisa terjadi. Dengan pisau yang terhunus, manusia tak
pantas berlaku bengis. Nabi pernah menegur seseorang yang se-
belum menyembelih menginjakkan kakinya di atas pipi kambing
seraya mengasah pisau. Kekejaman tak boleh berkali-kali.

Di rumah jagal modern, kekejaman bisa berkali-kali. Tapi de-
ngan teknologi yang berjarak. Manusia tak akan berbisik buat
menyenangkan lembu yang akan dibunuh; nyawa hanya angka.
Para operator abattoir tak akan peduli bila yang akan dipotong se-
ekor sapi muda yang kemarin berdiri manis di padang rumput—
sapi yang tak tergantikan, sapi yang menitikkan air mata—bu-
kan calon daging yang akan diganti uang.

Kapitalisme, atau sistem apa pun yang mengasingkan hidup
dari kehidupan, membuat alam & hewan hanya sebagai cadang-
an konsumsi yang dihitung. Orang lupa bahwa ”ada” berarti
”menjadi-dengan-yang-lain”. Tiap kali manusia mengkonsumsi
sesuatu, sesuatu pun berkorban, sesuatu pun dikorbankan.

Tapi manusia rakus dan hewan diubah. Para satwa diletakkan
dalam kotak; ”mereka” bukan lagi ”kita”. Dinding pemisah diba-
ngun, sering secara harfiah.

Dari Jardin des Plantes, Paris, Rilke, sang penyair, melukiskan
dinding pemisah itu dalam sajaknya yang menyentuh, Der Pan-
ther. Di kebun itu ia lihat seekor macan kumbang menatap ke luar
dari kerangkengnya, tapi

Pandangannya, dari balik lintasan jeruji
jadi lelah, tak mampu menangkap
apa pun lagi. Seakan ada ribuan jeruji,
dan di belakang sana: dunia tak ada lagi.

Jardin des Plantes, tempat macan itu disisihkan, dibangun pa-
da 1793. Seperti London Zoo (didirikan pada 1828) ia bagian da-
ri zaman yang makin mendorong ”the cultural marginalization of

188 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka HEWAN

animals” yang digambarkan John Berger: zaman kerakusan, za-
man kemajuan. Berger (dalam Why Look at Animals) memandang
kebun binatang sebagai ”dukungan untuk kekuasaan kolonial
modern”. Ke Paris dan London satwa negeri jajahan didatangkan
sebagai bagian dari jarahan.

Dan penjajahan tak hanya di situ. Hewan dibawa mendekat,
tapi dihapus. Imajinasi modern membuatnya hanya makhluk
imitasi. Walt Disney menciptakan Donald Duck pada 1934: si
bebek berperilaku seperti warga kelas menengah Amerika. Da-
lam kartun ini manusia adalah template—pola yang sebelumnya
sudah tampak dalam The Jungle Book Rudyard Kipling. Kita ingat
tokohnya, Mowgli. Anak ini besar bersama serigala di hutan In-
dia itu. Tapi di sekitarnya satwa liar yang berbudi atau yang jahat
tampil dalam wajah orang: si penyayang atau si pembenci. Di
akhir abad ke-19 itu, Kipling membaca sejarah hanya sebagai wa-
cana manusia. Bahkan baginya ”manusia” adalah sang pemben-
tuk peradaban, dan peradaban adalah kolonisasi modernitas, tu-
gas orang kulit putih, ”the white man’s burden”.

Tak ada lagi sejarah lain. Dulu ada catatan tentang pertautan
satwa dengan manusia. Manusia menamai hewan dan meman-
dang diri sendiri dengan nama itu: ”Crazy Horse” di Amerika,
”Hayam Wuruk” di Majapahit. Hubungan mimetik itu juga hu-
bungan empatik: hewan adalah liyan, bukan imitasi; ia tak untuk
diringkus. Kerbau Si Binuang dalam cerita Cindur Mata punya
misterinya sendiri.

Tentu, hewan bisa jadi korban; ia ”korban bakaran” dalam
tradisi Yahudi dan kurban sembelihan dalam Islam. Ia bisa diper-
lakukan hanya sebagai alat tukar untuk beroleh sesuatu dari Tu-
han. Tapi tak cuma itu. Jika kita ingat yang menggantikan putra
Ibrahim adalah seekor domba hidup, bukan benda, kita akan sa-
dar betapa akrab dan ambigunya hubungan sesama makhluk
bernyawa.

Catatan Pinggir 10 189

http://facebook.com/indonesiapustaka HEWAN

Aśvamedhá, upacara raja-raja Hindu, lebih menegaskan ambi-
guitas itu: antara kekuasaan dan bukan kekuasaan, antara penak-
lukan dan ketakjuban. Seekor kuda dilepas ke timur laut selama
setahun. Bila ia memasuki wilayah yang bermusuhan, daerah itu
harus direbut. Ketika kuda itu akhirnya kembali, ia pun dibu-
nuh—dengan upacara pengorbanan yang penuh hormat.

Kekejaman, kekuasaan, pengorbanan: agaknya manusia sela-
lu diingatkan, ia hidup bersama ”hewan yang lain”. Dalam arti
tertentu, ia juga ”hewan yang lain”.

Tempo, 20 November 2011

190 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka AROK

SEPERTI orang lain, saya ingin menulis tentang Ken Arok:
perampok dari Pangkur, pembunuh yang tak takut, peran-
cang kekuasaan yang membuat sejarah jadi cerita tentang
ambisi dan kematian.

Tentu saya tak bisa menulisnya seperti Muhammad Yamin pa-
da 1928, masa kebangkitan nasional: Ken Arok dan Ken Dedes-
nya berakhir dengan sang tokoh rela ditikam untuk menjaga per-
satuan sebuah negeri.

Saya juga tak akan bisa menulisnya seperti Pramoedya Ananta
Toer. Dengan tepat dan tajam Pramoedya menunjukkan, takhta
dan kasta adalah tempat yang oleh sejarah bisa diisi siapa saja, ju-
ga oleh seorang sudra seperti si Temu. Orang yang kemudian jadi
Arok ini tanpa ”sedikit pun darah Hindu dalam dirinya,” seperti
disebut dalam Arok Dedes. Tapi tokoh Pramoedya, yang berhasil
mengenal 100 ribu bait Mahabharata, adalah pembangun keraja-
an, justru karena ia di luar klasifikasi sosial dan keyakinan di ma-
sanya.

Ken Arok yang ingin saya tulis akan lain. Hari ini kita butuh
kiasan yang berbeda.

Sebagian akan saya ikuti Pararaton, riwayat hidup si berandal
yang kemudian mendirikan Kerajaan Singasari itu. Dalam nas-
kah dari abad ke-15 itu diceritakan, bahkan sebelum ia menitis se-
bagai Arok (ditulis ”Angrok”), ia sudah orang yang ”berperilaku
tak baik, memutuskan kendali kesusilaan, jadi pengganggu Hy-
ang yang gaib”, lumaku tan rahayu amegati apusira pinakapamañ-
cananing hyan Suksma.

Kemudian ia dilahirkan kembali di Desa Pangkur, di wilayah
Tumapel. Tapi tak lama keluar dari rahim, oleh ibunya—yang
mengandung karena perselingkuhan (dalam Pararaton disebut

Catatan Pinggir 10 191

http://facebook.com/indonesiapustaka AROK

perempuan itu dihamili Dewa Brahma)—ia dibuang di sebuah
pekuburan anak-anak. Seorang pencuri menemukannya dan
membesarkannya. Dan Arok pun tumbuh jadi penjudi, perusuh,
pemerkosa, yang berkali-kali dikejar dan diburu, tapi selalu lepas.

Kata sang pencerita, dewa-dewa menolong menyelamatkan-
nya.

Mithos sering punya keganjilan yang arif: dewa-dewa tak pe-
duli akan ”kebaikan” dan ”kejahatan”. Mungkin karena semua
itu akhirnya membingungkan, di sebuah masa ketika sistem ke-
yakinan tak bisa utuh lagi. Pararaton ditulis ketika agama Hindu
bersilang-selisih, dan tentu saja bersentuhan, dengan Buddhisme.
Dalam keadaan itu, kekuatan yang berhasil—bukan sistem keya-
kinan—adalah yang dianggap penentu sejarah. Maka sejumlah
orang pun menyingsingkan desain kekuasaan. Seperti hari ini.

Dalam Pararaton kita temukan imaji yang destruktif di sekitar
sang tokoh—bagian dari karisma dan apa yang dianggap nubuat:
orang luar biasa ini kelak punya kekuasaan yang brutal dan eks-
pansif.

Maka saya akan memulai cerita saya dengan satu adegan ma-
lam: Arok terbaring tidur. Pada saat itu, dari ubun-ubunnya kelu-
ar beratus-ratus kelelawar, hitam, tanpa henti. Pararaton melukis-
kannya dalam satu kalimat Jawa Kawi yang lugas: ”lalawah metu
saking wunwunanira Ken Angrok adulurdulur tanpapegatan”. Tapi
di situ kita lihat satu momen yang ajaib, seram, dan ganas: imaji
yang menggambarkan hasrat yang tak pernah puas untuk mere-
but dan mengerkah.

Jika nanti saya menafsirkan Pararaton, pembaca tentu telah
mengenal Macbeth. Dalam lakon ini Shakespeare juga menampil-
kan hasrat yang tak pernah puas, tapi juga tak tenteram: sebuah
keadaan tragik, bukan kisah yang heroik.

Sebab Arok, bagi saya, adalah makhluk yang keluar dari cer-
min, tempat kita berkaca. Di sana tersimpan tuah dan tulah. Saya

192 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka AROK

sebut ”tuah” karena, dengan hasrat yang membuat kita perkasa,
kita mampu melakukan yang hampir mustahil; ”tulah” karena
itu bisa merupakan kutukan. Dalam Pararaton, Arok bisa terbang
dengan bersayapkan dua helai daun tal. Ia melampaui kemampu-
an manusia biasa. Tapi itu juga awal dari tulah yang membentuk
dirinya: ia tidak hanya melampaui apa yang fisik, tapi juga me-
lampaui keinginan orang kebanyakan; dengan itu ia mulai jalan
ke kematiannya sendiri.

Orang ini dengan gampang membunuh. Ia tikam Empu Gan-
dring, sang pembuat keris. Kesalahan orang tua ini hanya terlam-
bat menyelesaikan kerjanya yang didesak-desak itu. Kita tahu,
Arok tak punya kesetiaan kepada siapa pun. Ia selalu siap berkhi-
anat dengan menumpahkan darah.

Pada satu tahap dalam hidupnya, ia meninggalkan dunia kri-
minal. Ia tak lagi di luar tata sosial. Ia diterima dan dipercaya se-
bagai pengawal penguasa Tumapel, Tunggul Ametung. Tapi pa-
da suatu malam yang gelap, ia bunuh akuwu itu. Setelah itu, ia
korbankan Kebo Hijo. Pemuda ini dihukum mati karena dialah
yang dituduh sebagai si durjana. Arok tak membelanya. Meski-
pun Pararaton menyebut Kebo Hijo punya hubungan cinta (asih-
sihan) dengan dirinya.

Arok dan Macbeth: para peraih. Macbeth memulai serangkai-
an pembunuhan untuk meraih takhta dan mempertahankannya.
Dan ia coba menghalalkan semuanya dengan sikap seorang nihi-
lis, meskipun ia sedikit gemetar. Tak ada nilai, tak mungkin ada
makna. Merisaukan. Tapi akhirnya kesimpulannya suram: hidup
hanya sebuah kisah yang disampaikan seorang idiot, ”penuh hi-
ngar dan murka, tanpa arti apa-apa”.

Pada Arok, nihilisme itu dikukuhkan Lohgawe.
Lohgawe, seorang pendeta dari seberang, mendampinginya.
Tapi bahkan dengan keyakinan agama yang dibawanya, baginya
Arok hanyalah sebuah proyek kekuasaan. Agama hanya berarti

Catatan Pinggir 10 193

http://facebook.com/indonesiapustaka AROK

jika masa depan adalah kemenangan.
Demikianlah pada suatu hari pemuda itu datang mengung-

kapkan niatnya menghabisi Tunggul Ametung, untuk merebut
istrinya, Ken Dedes. Nasihat Lohgawe ambigu: ”tan ulahaning
pandita, ahingan sakaharepira”. Ia orang suci, tak bisa memberi
Arok restu untuk kejahatan itu; tapi ia persilakan Arok melaku-
kan apa yang dikehendakinya.

Dan yang ganas pun terjadi. Dan kita yang kenal kisah Ken
Arok tahu: kebrutalan dan ambisi itu berjalin, terus.

Tempo, 27 November 2011

194 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka TINTIN

SAYA menemukan Tintin pertama kali di sebuah rumah di
dusun Marly-le-Roi, beberapa kilometer dari Paris, tempat
saya berlibur bila kuliah jeda. Itu tahun 1965. Pada suatu
malam, saya lihat setumpuk buku cerita bergambar di sudut ka-
mar. Saya memungutnya. Saya pun tak berhenti membacanya—
dan tertawa berkali-kali: humor adalah pemikat awal (dan akhir)
komik ini.

Yang punya rumah dari ruang makan mendengar saya tertawa
sendirian. ”Kasihan kamu,” katanya. ”Baru sekarang kamu kenal
Tintin.”

Tentu saja ia benar. Ia orang Belgia; ia dibesarkan dengan ceri-
ta bergambar itu; saya orang Indonesia, dari sebuah masa ketika
bacaan dari ”Barat” hampir mustahil masuk. Tapi sebetulnya tak
jadi soal kapan dan bagaimana seseorang mengenal tokoh fiktif
ciptaan Georges Prosper Remi ini. Sejak 1929, sejak Remi, de-
ngan nama Hergé (”R.G.”), memuatnya tiap pekan di halaman
Le Petit Vingtieme, sampai 2011, ketika Steven Spielberg membu-
at The Adventures of Tintin, tiap hari orang menemukan Tintin.
Dengan senang hati.

Sebenarnya jagoan ini tak akan memikat, andai ia tampil sen-
diri di luar cerita. Ia tak tinggi, tak tegap. Parasnya klimis; pipi itu
tampak lunak seperti kue sus. Kulitnya putih susu. Dengan ram-
but pirang yang berjambul, dengan pakaian yang sesopan siswa
sekolah Minggu, Tintin tampak bersih sampai ke ulu hati. Ia tak
pernah mencoba mengganggu. Ia sopan. Ia datar. Ia membosan-
kan.

”Every hero becomes a bore at last,” kata Ralph Waldo Emerson.
Pahlawan, tokoh cerita yang dipaparkan untuk memenangkan
niat baik, umumnya diletakkan dalam kategori manusia luar bia-

Catatan Pinggir 10 195

http://facebook.com/indonesiapustaka TINTIN

sa—tapi dengan norma kebajikan yang biasa. Superman: ia, yang
hidup dalam imajinasi Amerika sejak tahun 1930-an, seorang
makhluk ajaib dan sekaligus imigran dari planet lain. Tapi ia se-
benarnya menegakkan nilai-nilai yang tecermin dari cara Clark
Kent berperilaku sehari-hari: seorang warga mayoritas yang me-
rasa utuh bila mengenakan jas dan dasi. Ia orang yang tak akan
menggebrak sekitarnya. Ia pahlawan karena ia meneguhkan apa
yang bisa membuat tenteram orang ramai.

Seperti Clark Kent, Tintin tak tampak asing. Lagi pula ia bu-
kan imigran. Lahir untuk mengisi lembaran anak muda dari ko-
ran Le Vingtième Siècle—sebuah surat kabar Katolik Belgia yang
konservatif—Tintin sejenis santo sehari-hari: orang amat ba-
ik yang tak datang dari pengorbanan yang ekstrem. Umurnya
mungkin 20-an. Saya tak tahu latar belakang keluarganya, tapi
pasti bukan pembangkang konformitas warga Brussel yang lama.
Ia bukan pemuda nakal. Tak akan ada adegan Tintin minum-mi-
num di bar di antara perkelahian. Tak akan ada ciuman bernafsu.
Dalam Tintin, pahlawan ditampilkan sebagai selibat, tubuh yang
tanpa seks—karena seks, seperti difatwakan Gereja, adalah najis.

Itu sebabnya ia tak memikat—terutama di zaman ini, ketika
para santo tak disalibkan, melainkan ditertawakan.

Namun ada yang berharga dari Tintin: ia mengajak kita seje-
nak lepas dari zaman yang penuh sinisme ini. Memang, sikapnya
yang lurus bisa membuat tertawa mereka yang tak percaya bahwa
masih ada kesatria yang tanpa pamrih. Tapi ada tertawa lain yang
terdengar. Kisah petualangannya menimbulkan gelak, tapi gelak
yang tak ganas, gelak yang justru membuat kita akrab dengan
orang lain, betapapun menggelikannya orang itu.

Tintin dikenang bukan sebagai kisah keberanian. Yang tak
terlupakan adalah apa yang nakal dari Milou alias Snowy, anjing-
nya yang bandel, apa yang konyol dari Thompson & Thomson,
dua agen rahasia yang bodoh itu, dan apa yang meledak-ledak da-

196 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka TINTIN

ri Haddock, si pemabuk yang ribut.
Demikianlah sang pahlawan yang membosankan membe-

ri ruang bagi sosok yang tak seperti dirinya: orang-orang yang
mengasyikkan.

Itu sebabnya gambar Hergé terdiri atas dua lapis. Lapis perta-
ma tanpa detail yang ”realistis”: wajah Tintin yang datar. Lapis
kedua: latar yang rinci dan ramai tentang sebuah tempat, kata-
kanlah di Rusia atau di India.

Di lapis pertama kita temukan Tintin yang rapi seperti dalam
formula. Di lapis kedua: kocak yang gila-gilaan. Di sini Haddock
melontarkan lebih dari 200 jenis sumpah serapah; atau kita de-
ngar suara sopran yang bikin pusing dari Bianca Castafiore; atau
interupsi yang menjengkelkan dari agen asuransi Seraphin Lam-
pion (alias Jolyon Wagg).

Begitulah, dalam Tintin humor tumbuh dari sikap membuka
diri terhadap yang beda: mereka yang menggelikan, yang tak kita
kagumi, tapi kita sayangi. Tak aneh bila cerita ini bisa memperta-
likan manusia lewat 80 bahasa.

Tapi tak dengan sendirinya. Tintin juga punya sejarah myopia
Eropa. Petualangan di Kongo (terbit pada 1930) mencerminkan
Hergé yang memandang bangsa Afrika sebagai makhluk asing
yang ditundukkannya. Mereka mirip monyet hitam yang malas
dan bodoh. Di satu adegan seorang perempuan Kongo berterima
kasih dan menyembah Tintin—dan Milou, anjingnya, dengan
pongah berkata, ”Kita paling top, kan?”

Hergé kemudian menyesal dengan karya itu. Ia berubah.
Pada usia 27, ia ketemu Chang, seorang mahasiswa Cina yang
belajar di Brussel. Mereka bersahabat. Ketika pada 1958 lahir pe-
tualangan Tintin di Tibet, ikatan batinnya dengan orang asing
muncul: dengan tekad luar biasa, Tintin menyelamatkan Chang,
sahabat kecilnya yang disekap oleh yeti, hewan misterius di Hima-
laya itu. Dalam proses itu, para rahib Buddha menyumbangkan

Catatan Pinggir 10 197

http://facebook.com/indonesiapustaka TINTIN

ilmu gaib mereka.
Chang pun selamat, dan yeti itu ternyata bukan makhluk ja-

hat. Ia memandang Chang pergi meninggalkannya. Sayu, tapi re-
la. Ia seakan-akan saksi: dengan cinta yang besar, makhluk yang
aneh itu, manusia, bisa berhasil, tapi bukan menang.

Tempo, 4 Desember 2011

198 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka PEKIK

IA selintas mirip Ho Chi Minh yang menyamar jadi buruh
perkebunan tebu. Kurus. Misainya memanjang tapi tak rim-
bun. Rambutnya yang lurus rada kacau, gondrong tapi tak
berjela. Keriputnya kentara di kulit wajahnya yang gelap terjemur
matahari, tapi otot itu tampak masih liat. Matanya sipit, dengan
tilikan tajam (lewat kacamata) yang jail. Atau jenaka.

Djoko Pekik, 70 sekian tahun, masih bisa menertawakan na-
sib dan dirinya. Saya rasa pelukis ini, dengan sikap ironis, sedang
berbahagia.

Dan itu sebuah cerita tersendiri.
Siang itu saya berdiri di sebelahnya, di tepi Kali Bedhog yang
mengalir tipis dan lirih di kiri rumahnya. Serumpun bambu ting-
gi menaungi petak tanah itu, sebagaimana ratusan pohon mene-
duhkan tanahnya di Desa Sembungan itu. Tenteram. Tadi, keti-
ka kami duduk di bangku, menghadapi gelas kopi manis dan pi-
ring pisang rebus, ia serius bertanya: apa sebenarnya nasib bagi-
nya? Saya tiba-tiba teringat sebaris sajak saya sendiri: ”Tuhan, ke-
napa kita bisa bahagia?”
Pada tahun 1965, Djoko Pekik ditangkap, bersama ribuan
orang yang dianggap mendukung PKI. Bersama sederet pelukis
lain, anggota grup Bumi Tarung yang aktif di Yogya, juga hampir
semua anggota Lekra, ia disekap. Pekik dikurung di Benteng Vre-
deburg, bangunan buatan VOC ketika mempertahankan ceng-
keramannya di wilayah Mataram.
Entah berapa ratus orang ditahan di sana. Bisa saya bayangkan
betapa padatnya benteng itu. Hampir tiap hari ada tahanan yang
mati, dan tak cuma satu: karena sakit, kelaparan, penyiksaan. Pe-
kik teringat ketika pagi hari para tahanan dijemur, disuruh duduk
mencangkung dan menatap ke tanah berjam-jam—sementara

Catatan Pinggir 10 199

http://facebook.com/indonesiapustaka PEKIK

ada tentara yang naik dan berjalan menginjak-injak deretan kepa-
la mereka, menendangkan sepatu, memukulkan popor bedil.

Trauma merasuk ke dalam diri Pekik sejak itu; ia gemetar tiap
melihat warna hijau, warna seragam militer. Setelah 1972, setelah
ia lepas dari tahanan dan punya rumah sendiri, ia lawan trauma-
nya dengan cara seorang pelukis: ia cat semua dinding rumahnya
dengan warna hijau. Trauma itu pun hilang.

”Saya ini orang yang beruntung,” katanya. Di antara kebrutal-
an yang disaksikan dan dialaminya, dalam penjara ia masih kete-
mu tentara yang menunjukkan kebaikan-kebaikan kecil: meng-
ajarinya mengecat topi baja dan kopelrim, membiarkannya ma-
kan di dapur sampai hampir mati kekenyangan, tak menyiksanya
ketika ia dipergoki lepas sebentar untuk beli gula jawa di pasar de-
kat Benteng Vredeburg.

Tapi nasib baiknya yang terbesar datang karena Bung Karno.
Sekitar awal 1966 Bung Karno, yang tahu penyekapan besar-be-
saran yang terjadi tapi tak cukup kuasa untuk melepaskan mere-
ka (waktu itu, Soeharto, bukan Sukarno, yang praktis mengen-
dalikan keadaan), diam-diam memanggil Overste Mus Subag-
yo. Perwira polisi militer yang berkuasa di Yogya ini kemudian
bercerita kepada Pekik: Bung Karno berpesan agar para seniman
yang ditahan tak dihabisi. ”Menghasilkan seniman itu lebih su-
sah dari menghasilkan insinyur, Mus,” kata Bung Karno menu-
rut cerita Mus Subagyo kepada Pekik.

Mus Subagyo—kabarnya perwira yang ikut menangkap Ke-
tua PKI D.N. Aidit—menghormati Bung Karno sungguh-sung-
guh, dan ia tahu Bung Karno benar. Ia laksanakan pesan itu.

Djoko Pekik salah seorang yang diam-diam diselamatkannya.
Pelukis itu (waktu itu ia bukan apa-apa) diberi ruangan tersendiri
di sebuah rumah di luar Vredeburg. Ia tetap dikurung, tapi punya
kesempatan berkarya. Pekik sempat membuat sebuah patung. Ia
tampaknya tak pernah melupakan jasa perwira polisi militer itu.

200 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka PEKIK

Pada 1969, dalam umur 30, di tahanan, Pekik menikahi Tini
Purwaningsih. Perempuan manis yang lebih muda 12 tahun ini
dikenalnya ketika ia masih kuliah di Akademi Seni Rupa Indone-
sia di Gampingan. Tini dulu tinggal di belakang sekolah itu. Pasti
ada yang mengikat hati gadis Katolik ini hingga ia mau bersuami-
kan seorang tahanan ”Gestapu”, lelaki dari keluarga tani Dusun
Kedungwaru di Grobogan yang tak punya apa-apa. Apa pun
yang menjadikannya, pernikahan mereka panjang dan tenang.
Delapan anak lahir, yang sulung ketika Pekik masih dalam status
tahanan.

Ketika ia akhirnya bebas, ia mencari nafkah dengan jadi pen-
jahit. Sesekali melukis dengan bahan seadanya. Hidup amat-
amat sulit. Ia berjualan kain dengan naik sepeda ke tempat-tem-
pat jauh. Tapi akhirnya ia ”ditemukan”: karya-karya cat minyak-
nya yang sempat ia buat mengejutkan para peminat seni rupa. Sa-
lah satunya, Ketika Keretaku Tak Berhenti Lama, dipilih untuk
ikut dibawa ke Amerika buat pameran seni Indonesia besar-besar-
an di tahun 1991.

Hidup Pekik berubah. Ia jadi dikenal, ia jadi makmur. Ia mem-
beli tanah yang luas di Kelurahan Bangunjiwo di Kecamatan Ka-
sihan, Bantul. Saya lihat ada seperangkat gamelan yang dimain-
kan para niyaga, konon tiap Jumat Kliwon. Teman lamanya, juga
teman baru, hampir tiap kali bertandang.

Tapi ia tak lupa, lebih dengan rasa sedih ketimbang sakit hati,
bagaimana di hari-hari awal kebebasannya ia tetap disisihkan, ju-
ga oleh sesama seniman. Saya kira Reformasi 1998 yang membe-
rinya lebih banyak momen bersyukur tanpa mengucapkannya.

Apa sebenarnya arti nasib?
Siang itu saya berdiri di sebelahnya, memandangi Kali Bedhog
yang mengalir lirih. Pekik sedang merencanakan pameran yang
unik: membawa karya beberapa pelukis di atas rakit, bersama
arus. Ketika ia minta bantuan untuk membersihkan sungai itu,

Catatan Pinggir 10 201

http://facebook.com/indonesiapustaka PEKIK

tak disangkanya komandan militer setempat mengirim 150 pra-
jurit. Kemudian datang bekerja beberapa puluh polisi.

”Saya orang yang beruntung,” kata Djoko Pekik.
Juga Indonesia, tanah airnya, negeri yang beruntung: teror,
trauma, dendam, permusuhan lama, akhirnya bisa juga dilarung,
dibawa arus waktu. Entah ke mana.

Tempo, 11 Desember 2011

202 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka PRABANGKARA

DAHULU, di Majapahit, seorang pelukis diperintah Ra-
ja Brawijaya membuat potret sang Permaisuri. Hasilnya
menakjubkan. Ratu Mas Andarawati seakan-akan ber-
pindah ke kertas itu.

Prabangkara memang dikenal sebagai juru sungging yang pia-
wai. Brawijaya menyayangi pemuda tampan dan berbakat itu,
yang sebetulnya anak kandungnya sendiri dari seorang janda
yang ia tiduri di sebuah perjalanan di luar kota. Ketika Baginda
datang melihat hasil karya itu, ia termangu-mangu, kagum.

Tapi sesuatu terjadi.
Brawijaya menemukan satu noktah di lukisan itu. Ia naik da-
rah.
Prabangkara gugup dan mencoba menjelaskan: ”Mohon ma-
af, Paduka, tetesan tinta ini belum sempat hamba hilangkan.”
Tapi justru bukan kecerobohan yang membuat Raja marah.
Noktah itu persis terletak di tempat yang, dalam keyakinan Ba-
ginda, hanya dia yang tahu. Babad Jaka Tingkir menuliskan ung-
kapan Brawijaya dengan tembang dalam metrum sinom:

jroning kėn-nya yayi dėwi
punang as ana cirinya
andheng-andhengira wilis.

(Dalam kain permaisuriku,
‘as’-nya ada cirinya,
yakni tahi lalat warna hijau tua).

Raja memakai kata ”as”, mungkin untuk memperhalus. Ke-
mudian dijelaskan, kata itu berarti ”pawadonan” atau ”vagina”.

Catatan Pinggir 10 203

http://facebook.com/indonesiapustaka PRABANGKARA

Sesungguhnya Brawijaya meradang. Prabangkara tak mungkin
akan dapat tahu ciri rahasia pada as itu, kecuali—dan inilah ke-
simpulan Baginda—bila anak muda yang rupawan itu pernah
bersebadan dengan sang Permaisuri.

Di sini kita tahu, sebenarnya sang pencerita mengisahkan se-
suatu yang mustahil. Bagaimana bisa di gambar itu Raja melihat
ada titik di bagian vagina jika karya Prabangkara bukan potret
Andarawati yang telanjang?

Tapi umumnya kita memaafkan keanehan penulis babad—
dan menduga-duga sesuatu yang tersirat dalam cerita ganjil se-
perti ini.

Maka baiklah saya teruskan: Brawijaya cemburu dan murka.
Ia perintahkan Prabangkara dibunuh.

Penulis Babad Jaka Tingkir menunjukkan, Raja keliru. Diki-
sahkan Patih Gajah Mada mengingatkan: hukuman itu hanya
cetusan amarah; Baginda kelak akan menyesalinya.

Brawijaya mendengar.
Tapi bagi saya ia keliru sejak mula: ia tak mengerti bahwa da-
lam sebuah karya kreatif, setetes tinta bisa sebuah peristiwa ter-
sendiri, terlepas dari wilayahnya semula. Bak mawar yang terlepas
dari tangkainya dan disematkan di baju, terjadi metamorfosis; la-
hir sesuatu yang baru.
Artinya, tak ada makna yang ditentukan oleh wujud sebelum-
nya. Pada potret Andarawati, makna noktah itu tak terkait de-
ngan gambar tubuh sang Ratu. Bahkan tak diarahkan si pelukis.
Tapi bisa dikatakan Brawijaya tak 100% salah. Prabangkara
diasumsikan hanya memotret. Maka Raja anggap titik hitam itu
mengacu ke ciri rahasia Permaisuri. Baginda meletakkan tetesan
tinta itu dalam sebuah wilayah tafsir yang ia kuasai. Sebagai raja,
Brawijaya memang ”teritorial”: menguasai wilayah, mendominasi
ruang hidup berikut simbol dan artinya. Di situ pula diletakkan-
nya Andarawati: perempuan itu istri, ia milik. Batas pun didiri-

204 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka PRABANGKARA

kan; dalam bahasa Jawa, itulah pager ayu.
Tapi cerita Prabangkara justru berlanjut dengan pagar yang

tak tampak.
Brawijaya akhirnya tak membunuh pelukis itu. Prabangkara

diperintahkan pergi. Sejauh-jauhnya. Sebuah rencana disiapkan
Gajah Mada: Prabangkara akan diberangkatkan ke angkasa. Un-
tuk itu dibuat layang-layang dengan lebar hampir 12 meter.

Saya tak tahu apa yang dimaksud dengan ”layangan” dalam
babad ini. Dikatakan oleh penulisnya, teks ini digubah pada 23
Agustus 1820; mungkin saja imajinasinya bersentuhan dengan
kabar tentang balon di Negeri Belanda yang pertama kali diken-
darai manusia 16 tahun sebelumnya: 29 September 1804.

Pendek kata, Prabangkara naik. Kendaraan itu dilengkapi ka-
mar, bekal, dan peralatan. Baginda, kata sang Patih, memerintah-
kan agar anak muda itu ”melukis semua isi angkasa”.

Tak jelas seriuskah titah itu. Ada kata yang mengesankannya
hanya dusta yang halus, ingapuskrama. Babad Jaka Tingkir penuh
ambiguitas di sekitar kepergian Prabangkara.

Bisa diartikan, dengan mengirim pemuda itu ke angkasa, Raja
menegaskan, Prabangkara tak pantas jadi bagian teritorium apa
pun.

Sebaliknya bisa juga diartikan, Brawijaya menebus kesalahan-
nya. Ia tahu Prabangkara bukan seperti dirinya, penguasa yang
selalu ingin menegakkan milik dan wilayah. Seorang seniman
mencipta, dan ia berada dalam proses ”deteritorialisasi”.

Tapi ini pun ambigu. Prabangkara diperintah ”menggambar
seantero isi langit”. Melukis saniskara isining gegana mengasumsi-
kan adanya kemampuan panoptik. Di sana, daya melihat semesta
adalah tanda kekuasaan.

Melihat memang bisa berarti menguasai, tapi menggambar
adalah menghadirkan kembali dunia. Tugas Prabangkara hanya
menirukan, bukan melahirkan sesuatu yang baru. Seninya sebu-

Catatan Pinggir 10 205

http://facebook.com/indonesiapustaka PRABANGKARA

ah laku mimetik, untuk dinilai oleh ”publik” (dan kekuasaan
yang mengendalikan wacana publik), sebagai ”persis” atau ”tak
persis”. Bukan kreatif atau tidak.

Bahkan obyek gambarnya diberi batasan oleh Raja dan patih-
nya: angkasa, bukan as di balik kain; langit jauh, bukan tabu yang
dikukuhkan lembaga penguasa nilai-nilai di wilayahnya....

Syahdan, akhirnya, Prabangkara mendarat di dusun Yut-wa-
hi, di Cina. Ia jadi anak angkat seorang janda. Ia kemudian sukses
sebagai perupa. Ia diterima di Istana Kaisar, bahkan dinikahkan
dengan putri Putra Mahkota.

Dan ia tak pulang. Ia tak kembali ke Majapahit, tapi kembali
jadi bagian sebuah wilayah. Ia masuk ke kehidupan baru—yang
sebenarnya tak baru: istana, takhta, tembok, tabu.

Prabangkara, yang berbakat menirukan apa yang sudah ada,
dengan cepat menyesuaikan diri. Jinak. Tak ada lagi dawat mun-
crat tak terduga, tetesan liar yang jadi peristiwa kreatif tersendiri.

Tempo, 18 Desember 2011

206 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka MACHIAVELLI, MARX, DAN MUNGKIN

...ide-ide Niccolo Machiavelli... sangat bermanfaat... pendekatannya ter-
fokus pada peran individu sebagai aktor mandiri yang memiliki, mencip-
takan, dan memanfaatkan sumber daya politik. Pendekatan ini berbeda
sekali dengan fokus Marx dan pengikutnya... yang amat membatasi atau
malah menafikan peran individu selaku penyebab perubahan sosial.
—R. William Liddle, ”Marx atau Machiavelli: Menuju Demokrasi
yang Bermutu di Indonesia dan Amerika”, Nurcholish Madjid Memori-
al Lecture, di Aula Universitas Paramadina, Jakarta, 8 Desember 2011.

MACHIAVELLI adalah kata kotor yang sulit dielakkan.
Nama itu selalu dikaitkan dengan kalimat ”tujuan
menghalalkan cara”. Tapi orang Italia ini juga menu-
lis sebuah buku yang selama 500 tahun diperbincangkan, ten-
tang manusia dan politik. Ia bukan pengarang dengan semboyan
pendek.

Tapi ia juga bukan filosof dengan teori besar. Ia berangkat dari
pengalaman—jalan yang ujungnya kegagalan. Bukunya itu, Il
Principe, yang rampung di tahun 1516, ditulisnya di sebuah vila
tua tempat ia mengundurkan diri. Setelah kalah.

Tiga tahun sebelumnya, ia, pejabat tinggi Republik Firenze, ter-
gusur karena perang dan politik. Ia kehilangan jabatan, sempat di-
tahan dan disiksa. Selepas itu, bersama istri dan empat anaknya ia
menyingkir ke San Casciano, 15 kilometer di barat daya Firenze.

Dari sini lahir ”pamflet” itu: Il Principe, sebuah pedoman ke-
kuasaan. Bila ”teori politik” sebelumnya mengajarkan, seorang
pemimpin baru mampu menggunakan kekuasaannya bila diser-
tai moral yang benar, Il Principe tidak. Bagi kitab ini, politik ada-
lah kiat untuk membentuk, merebut, mempertahankan, dan
memperkuat negara, lo stato. Moralitas dan agama hanya penting
sepanjang membantu politik.

Catatan Pinggir 10 207

http://facebook.com/indonesiapustaka MACHIAVELLI, MARX, DAN MUNGKIN

Buku itu dilarang Gereja pada 1559. Machiavelli memang tak
berharap banyak dari agama. Baginya, agama, dalam hal ini Kris-
ten, hanya mengagungkan manusia yang lembut hati dan kon-
templatif, bukan manusia yang bertindak. Padahal dalam politik
yang terpenting adalah virtù.

Virtù berarti kejantanan, yang bertaut dengan tindakan: kete-
gasan, keberanian, kegesitan, kegarangan, kelicikan—semua si-
kap yang perlu buat berkuasa.

Dengan virtù manusia melawan nasib, Fortuna. Machiavelli
mengiaskan Fortuna sebagai ”sungai yang destruktif”, yang bila
marah, membawa banjir. Tapi ”sungai” itu, Fortuna, bisa dijinak-
kan, meskipun tak bisa dilumpuhkan. Dengan bahasa seorang
misogynist, Machiavelli mengibaratkan Fortuna seorang perem-
puan yang perlu dipukul dan dihajar agar bisa ”dikendalikan”.
Dengan virtù.

***
Machiavelli hidup di zaman Renaissance yang meyakini ma-
nusia sebagai pusat pengukur semesta. Tak mengherankan bila
dengan konsep virtù ia dianggap membuka jalan bagi keyakinan
yang kemudian jadi ciri dunia modern: manusia sebagai subyek
yang tak gentar akan sihir alam. Dengan akalku, aku, subyek,
mengatur nasib dan dunia.
Saya kira ide tentang subyek yang solid itulah yang bergema
dalam paparan Liddle: ia mengasumsikan pentingnya ”individu”
dalam pemikiran Machiavelli. Individu, kata Liddle, adalah ”ak-
tor mandiri” yang ”memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan
sumber daya politik”.
Tapi sebenarnya premis ini tak kuat benar.

***
”Individu” sebagai ”aktor mandiri” adalah sebuah ilusi. Sejak
psikoanalisis Freud, tak mudah lagi orang berbicara tentang ”sub-

208 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka MACHIAVELLI, MARX, DAN MUNGKIN

yek”, ”aku”, sebagai sesuatu yang utuh. ”Aku” sesungguhnya
ungkapan diri yang didesakkan bahasa, dikondisikan oleh tata
simbolik yang dikukuhkan struktur sosial—tapi akhirnya tetap
saja diri itu tak bisa transparan sepenuhnya.

Mungkin saja seorang ”aktor” politik yang merasa mandiri se-
benarnya dikendalikan berhala yang dibangunnya sendiri, baik
berupa benda, sistem, tradisi, maupun agama. Sejauh mana ada
”kemauan bebas” dalam dirinya, itu masih sebuah persoalan.

Dan dalam hal Machiavelli, saya ragu bahwa ia yakin ”kemau-
an bebas” itu termasuk hakikat manusia. Mungkin ia malah tak
yakin ada yang bisa dirumuskan sebagai hakikat manusia. Yang
ia saksikan, manusia tak merdeka penuh dari Fortuna. Nasib itu-
lah, tulis Machiavelli, yang memutuskan sebagian yang kita laku-
kan. Kita hanya bebas mengendalikan sebagiannya lagi.

Sebab itu ia sebenarnya tak memastikan peran individu dalam
politik. Risalahnya, yang berjudul Latin De principatibus (bahasa
Inggrisnya: principalities), lahir dari keprihatinan membangun
keutuhan wilayah dalam satu negara yang kukuh; Machiavelli
ingin Italia perkasa. Bila ia menghendaki sesosok individu yang
teguh, sang Raja, saya kira itu karena baginya penguasa itu adalah
proyeksi lo stato. Maka kita tak melihat bahwa Il Principe sebenar-
nya meletakkan Raja, seorang individu, hanya alat memperkuat
lo stato. Ia harus mengikuti diktat tertentu—misalnya mengabai-
kan dorongan hatinya sendiri, demi tugas memimpin. Ia terbelah:
ia subyek, ia obyek.

Mungkin itu sebabnya dalam bukunya yang lain, Discorsi so-
pra la prima deca di Tito Livio, Machiavelli tak yakin sang Pengu-
asa sosok yang solid dalam merawat Republik. ”Orang banyak (la
molitudine),” tulisnya, ”lebih arif dan lebih konstan ketimbang
Raja.” Dalam hal berhati-hati dan menjaga stabilitas, ”Rakyat
punya pertimbangan yang lebih baik.” Maka, ”Bukan tanpa ala-
san jika dikatakan, suara rakyat adalah suara Tuhan.” Sebab, kata

Catatan Pinggir 10 209

http://facebook.com/indonesiapustaka MACHIAVELLI, MARX, DAN MUNGKIN

Machiavelli, ”opini yang universal” bisa menghasilkan hal yang
mengagumkan.

Bukan berarti Machiavelli seorang demokrat jenis abad ini. Ia
tak menegaskan rakyat sebagai penyangga utama kekuasaan Re-
publik. Tapi ia tak juga meletakkan pemimpin sebagai sumber
tunggal kekuatan. Pandangannya lahir dari keprihatinan yang
terus-menerus tentang kemungkinan seorang Raja gagal menjaga
kelanjutan hidup negara. Virtù perlu tegak. Juga hukum. Juga sis-
tem untuk tak bergantung pada satu Pemimpin.

Keprihatinan Machiavelli terbit karena baginya kehidupan
politik adalah antagonisme—mirip pandangan Schmitt, Laclau,
dan Moufle di abad ke-20. Kekuasaan negara niscaya tumbuh da-
ri benturan. Ketika ia anjurkan sebuah Republik agar merevitali-
sasi diri dengan ”kembali ke dasar awal”-nya, Machiavelli men-
contohkan prosedur di Firenze pada 1434-1494: tiap lima tahun
dilakukan ripigliare lo stato, seakan-akan negara kembali ditegak-
kan, dengan membangkitkan rasa jeri (kepada musuh) seperti ke-
tika di awal dulu.

Artinya, bagi Machiavelli, kekuasaan tak datang dengan ma-
nis—dan bukan dari sesuatu yang sudah hadir di luar gerak seja-
rah. Ia tak mengikuti teori Plato. Ia tak anggap Republik diben-
tuk dari ide.

***
Mungkin itu sebabnya Machiavelli pernah dianggap sebagai
”pendahulu pendekatan materialisme terhadap sejarah”. Dalam
Political Thought from Machiavelli to Stalin: Revolutionary Machi-
avellism (Palgrave Macmillan: 2004), E.A. Rees mengutip kesim-
pulan itu dari ensiklopedia yang diterbitkan Akademi Komunis
di Uni Soviet di tahun 1925-1926. Di sini Machiavelli dirapatkan
ke Marx, seperti pernah dicoba pemikir Marxis Italia terkenal
itu, Gramsci.
Memang ada titik temu: sebagaimana bagi tiap pandangan se-

210 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka MACHIAVELLI, MARX, DAN MUNGKIN

jarah materialistis, bagi Marx dan Machiavelli tak ada kehadiran
yang transendental dalam hidup yang mengalir berubah. Tak ada
rekayasa dari Langit atau ”Aku” di luar proses ruang & waktu.
Subyek dan identitas—baik sebagai Raja dengan virtù-nya, seba-
gai rakyat yang militan untuk kemerdekaannya, maupun prole-
tariat dalam revolusinya—justru baru muncul menegas dalam
perjuangan politik.

Tapi titik temu itu tentu tak tepat benar. Marx lebih optimis-
tis; baginya kelak akan lahir dunia baru yang lebih baik. Bagi Ma-
chiavelli, corak dunia tak secerah itu.

Dari abad ke-16 yang diguncang-guncang politik, ia memang
peka terhadap ketidakajekan. Ia kutip banyak cerita dari sejara-
wan Livio tentang negara yang terletak genting di antara stabilitas
dan kejatuhan—cerminan kondisi manusiawi yang fana.

Marx juga melihat kondisi manusiawi itu sebagai ”basis” dari
kekuasaan politik yang berganti-ganti. Tapi ia hidup di abad ke-
19 yang mempercayai kepastian ilmu; sosialismenya pun disebut
”ilmiah”. Dengan metode ilmu, Marx melihat sejarah menuju ke
akhir yang jelas dan kekal: masyarakat yang tanpa konflik dan
pengisapan.

Kini kita tahu ilmu bisa salah dan dunia tak kunjung lepas da-
ri kapitalisme dan krisis-krisisnya. Kini sejarah berjalan tak pas-
ti—dan debar jantung Machiavelli bergema lagi.

Di titik inilah Althusser, filosof terkenal dan anggota setia Par-
tai Komunis Prancis, menulis Machiavel et Nous. Naskahnya ter-
bit pada 1990, setelah ia meninggal. Mikko Lahtinen mengurai-
kan dengan bagus perkembangan pikiran tokoh Marxisme ini
dalam Politics and Philosophy: Niccolo Machiavelli and Louis Al-
thusser’s Aleatory Materialism (Koninklijke Brill NV: 2009)—
salah satu sumber tulisan saya ini.

Althusser sepakat, Machiavelli adalah ”pemikir materialis ter-
besar dalam sejarah”. Tapi pandangan materialisnya terbentuk

Catatan Pinggir 10 211

http://facebook.com/indonesiapustaka MACHIAVELLI, MARX, DAN MUNGKIN

oleh praxis politik, hasil pergulatan dengan keadaan di suatu saat,
mengikuti kaki yang bergerak terus di atas tanah. Ini materialis-
me tanpa perspektif yang punya arah. Berbeda dengan Marxisme.

Althusser menyebutnya matérialisme aléatoire—dan ia meng-
adopsinya sebagai pengembangan materialisme Marx. Akar kata-
nya, alea (Latin), berarti dadu. Materialisme ini bertolak dari
konsep ”materi” yang tak cenderung berbentuk; ia ibarat lem-
pung meleleh yang tak menjurus ke sebuah wujud karya keramik.
Dalam sejarah politik, ”materi” ala Machiavelli adalah percatur-
an sosial-politik sehari-hari, dunia kehidupan (Lebenswelt) yang
bergerak acak. Tanpa desain. Bentuk akan muncul dari pergeser-
an ”materi” itu sendiri bersama energinya, tapi tak terduga, seper-
ti jatuhnya dadu di ruang kosong. Tak ada rumus dan otoritas
yang mengaturnya. Serba-mungkin.

Selama itu, persaingan terus. Tak ada satu subyek politik pun
yang bisa mengklaim hak untuk menang. Gelombang yang mem-
bentuk dinamika sejarah akan tetap mengempas: perjuangan
mereka yang tak masuk hitungan melawan mereka yang menen-
tukan hitungan. Tiap bentuk kekuasaan (juga ”demokrasi libe-
ral” kini) tak bisa mengelakkannya. Dan kita tak tahu apa selan-
jutnya. Mungkin A, mungkin X.

Itulah sejarah demokrasi: cerita tegang untuk memilih satu
di antara pelbagai ”mungkin”. Pilihan itu tak akan ”benar” sela-
manya. Bagi Machiavelli, yang bisa diharapkan memang bukan
”benar” yang kekal, tapi ”benar” dalam arti efektif: verità effet-
tuale della cosa. Tentu saja tak cukup. Juga dalam zaman yang tak
pasti ini, politik demokratisasi hanya akan bersungguh-sungguh
bila mengusung ”benar” yang universal, dan sebab itu terus ber-
kobar: cita-cita ke arah hidup yang tanpa penindasan. Cita-cita
Marx.

Tempo, 25 Desember 2011

212 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka

2012

Catatan Pinggir 10 213

http://facebook.com/indonesiapustaka

214 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka HAVEL

Sastrawan Cekoslovakia (lahir 1936, wafat 2011), Presiden Republik
Cekoslovakia (1989-1992), Presiden Republik Cek (1993-2003 )

HAVEL adalah saksi yang langka. Padanya puisi dan ke-
kuasaan bisa bertaut sebentar di abad politik yang ge-
muruh, abad ke-20. Ya, sebentar—jauh lebih ringkas
ketimbang umurnya yang berakhir pekan lalu, pada tahun ke-75.

Pertama-tama, puisi: percakapan yang tumbuh dengan baha-
sa yang datang dari dalam diri, kalimat-kalimat yang muncul tan-
pa dijinakkan kamus dan tata yang berlaku. Puisi tak membuat
tenteram kekuasaan: yang tak bisa dijinakkan bisa mengacaukan
wacana yang dikendalikan oleh kuasa dan doktrin yang mera-
sa benar selamanya. Sejak Havel remaja, di Cekoslovakia, seperti
halnya di seluruh Eropa Timur, kuasa itu Partai Komunis.

Di bawah sensornya tumbuh percakapan lain.
Sastrawan Polandia pemenang Nobel, Czeslaw Milosz, yang
merasa dicekik doktrin Marxisme-Leninisme negerinya, mem-
perkenalkan istilah ”Ketman”. Kata ini diambil dari sejarah ke-
kuasaan Islam di Timur Tengah: ”Ketman” adalah strategi verbal
orang-orang yang takut. Dengan ”Ketman” orang hanya meng-
utarakan pikiran yang dibentuk oleh bahasa resmi—dan dalam
kasus Polandia, oleh frasa-frasa yang disusun karena ngeri me-
langgar akidah Partai. Dengan ”Ketman”, orang menyensor diri
dan memasang topeng kata-kata. Tak jarang, dalam proses keta-
kutan yang panjang topeng itu menyatu dengan wajah, dan wajah
pun berubah.
Havel, yang menulis esai dan lakon, melukiskan situasi itu di
atas panggung. Karya pentasnya akrab dengan ”teater absurd” ala
Ionesco, dramawan Rumania yang lari ke Paris: teater yang meng-

Catatan Pinggir 10 215

http://facebook.com/indonesiapustaka HAVEL

hadirkan ”bahasa otomatik”—bahasa yang keluar dari mulut be-
gitu saja tanpa makna, karena makna bukan bagian yang hidup
dalam diri mereka. Tokoh lakon Havel, ”Pesta Kebun” (Zahradni
slavnost, 1963), adalah Hugo Pladek: pecatur muda yang beroleh
jabatan penting setelah menyerap bahasa birokratik—dengan
1.000 slogan dan 1.000 klise. Di babak IV, bahasa itu mengubah
dirinya. Orang tuanya tak mengenal Hugo lagi.

Selama hidupnya, Havel mencoba melawan situasi yang ab-
surd seperti itu. Ia mengusahakan hidup yang tanpa kalimat pal-
su.

Mungkin karena ia sejak mula menulis puisi dan belajar dari
penyair yang menjauhi petunjuk resmi dan sebab itu disingkir-
kan. Dalam umur 20-an, pada 1956, di sebuah pertemuan penga-
rang, Havel yang pemalu itu nekat menyerang doktrin ”realisme
sosialis” yang meletakkan kesusastraan di bawah komando Par-
tai. Para hadirin kaget, tapi dengan berbisik dan kata yang berca-
dar mereka mengakui anak muda itu benar.

Berbeda dengan mereka, Havel terbebas dari ”Ketman”. Ia le-
pas dari ketakutan di hadapan bahasa resmi. Maka ia bisa memba-
ca apa yang salah di Cekoslovakia, terutama sejak gerakan refor-
masi (yang terkenal sebagai ”Musim Semi Praha” 1968) dihenti-
kan oleh kekuatan militer Uni Soviet. Kecuali seorang mahasiswa
filsafat yang memprotes membakar diri, Jan Palach, Cekoslova-
kia merunduk.

Tapi tak takluk. Havel, waktu itu 32 tahun, mengirim surat ke
perdana menteri, menggugat. Ia dipenjarakan. Lakon-lakonnya
dilarang dipentaskan.

Tapi ia tak bisa dipisahkan dari Teater Di Balustrada. Di ge-
dung di sisi timur Sungai Vitava, Praha, itu Laterna Magika ber-
pentas. Ruang bawah teater itu kemudian jadi tempat rapat gelap.
Di sanalah dibentuk Obcanské Forum, forum yang menyatakan
diri mewakili warga yang menentang rezim komunis, lingkaran

216 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka HAVEL

200-an orang yang berembuk dengan dukungan ribuan pemuda
yang tak sabar.

Di situ, Havel adalah suara moral; ia pemandu.
Akhirnya: kekuasaan datang. Pada 1998, setelah sederet de-
monstrasi besar, rezim Komunis jatuh. Obcanské Forum me-
nang—tanpa kekerasan: sebuah ”Revolusi Beludru” yang mirip
lakon romantik Laterna Magika. Memang ada yang ”magika”
saat itu: sang pemimpin moral bermetamorfosis jadi pemimpin
politik. Havel jadi presiden.
Sekian tahun kemudian ia turun. Ditengoknya kembali jalan
hidupnya. Dirinya telah terkena ”jerat setan”, katanya, meski de-
ngan tambahan secercah humor: ”Hanya dalam semalam, saya
dilontarkan ke dunia dongeng.”
Kemudian terbukti bahwa ”dunia tak distruktur seperti do-
ngeng”. Sang presiden segera dibenturkan dengan sederet kenis-
cayaan. Ia mengutarakannya dengan agak melankolis: ”Untuk
menapak di jalan nalar, perdamaian dan keadilan, perlu banyak
kerja keras, sikap mengabaikan diri, sabar... dan kesediaan untuk
disalahpahami.”
Ia sering disalahpahami—dan berbuat salah. Havel menun-
jukkan kebesaran hati yang jarang: ia tak menjebloskan para pe-
jabat Komunis yang dulu menganiaya ke penjara; ia memilih re-
konsiliasi. Meski seorang warga Praha berbisik kagum kepada sa-
ya, ”Ia seperti orang suci,” banyak bekas korban rezim lama yang
mengecamnya.
Tapi memang Havel tak selalu suci: di bawah kepresidenannya,
Cek mendukung serbuan Amerika ke Irak dengan dalih yang bo-
hong.
Sementara itu, kapitalisme mendera. Havel tak tampak gigih
melawannya. Mungkin ia naif. Yang jelas, ia—yang keluar dari
sel seorang pembangkang dan langsung masuk istana—tak per-
nah mengalami rumit (dan kotornya) proses politik kepartaian

Catatan Pinggir 10 217

http://facebook.com/indonesiapustaka HAVEL

dalam demokrasi. Ia berada di atas partai: bersih, tapi tak punya
radar di kaki.

Akhirnya ia tetap di haribaan puisi. Dan itulah posisinya: gen-
ting, di antara politik sebagai kiat mencapai yang mungkin dan
sebagai hasrat menggapai yang tak mungkin. Tapi Havel tahu
impian dan batasnya: ”Suara peringatan seorang penyair harus
didengarkan... mungkin dengan lebih serius ketimbang suara
bankir dan pialang saham. Tapi juga kita tak bisa mengharap du-
nia—di tangan penyair—akan berubah seketika jadi sebuah sa-
jak.”

Tempo, 1 Januari 2012

218 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka HUJAN

ANAK muda yang marah itu, Mohamed Bouazizi, mem-
bakar diri 17 Desember 2010, dan revolusi meletus di
Tunisia. Tapi tak tiap orang yang membakar diri un-
tuk menggugat bisa menggerakkan perubahan seperti pedagang
kecil di tepi jalan Tunis yang dianiaya kekuasaan itu. Di Kairo,
sebulan kemudian, Abdou Abdel-Monaam Hamadah juga men-
coba membakar diri, tapi ia—yang tak meninggal—tak pernah
disebut sebagai pemicu ”Revolusi 25 Januari” yang bergerak dari
Alun-alun Tahrir. Empat orang lain menyusul di Aljazair, na-
mun, tragisnya, hanya menimbulkan guncangan kecil.

Revolusi selalu punya pengagum dan epigonnya, tapi tak per-
nah merupakan fotokopi. Tiruan jarang bisa menggugah. ”Seja-
rah berulang,” kata Marx, ”pertama kali sebagai tragedi, yang ke-
dua kali sebagai dagelan.” Dengan kata lain, tak ada formula yang
bisa dipakai berkali-kali, di mana saja.

Paling-paling kita hanya punya satu nama, ”revolusi”, yang ki-
ta terapkan setelah bermula sebuah aksi transformasi politik. Pa-
ling-paling kita susun teori yang kita anggap berlaku umum. Ta-
pi sebenarnya tak ada titik tunggal penyebab sebuah revolusi. Tak
ada satu garis lurus ke perubahan. Proklamasi 17 Agustus 1945
muncul bukan cuma dari satu awal. Kekuasaan Jepang runtuh,
tapi waktu itu sebuah situasi hadir, yang di dalamnya berkeca-
muk macam-macam anasir yang tak searah dan sejalan. Kemudi-
an Bung Karno, Bung Hatta, dan para pemuda memutuskan un-
tuk memberi bentuk kepada chaos itu. Bersama itu, ada keingin-
an untuk mempertautkan hal-hal yang bertentangan—misalnya
”cara yang seksama” dengan ”tempo yang sesingkat-singkatnya”.

Hal-hal yang bertentangan itulah yang menyebabkan teori
revolusi dibutuhkan, tapi sekaligus diabaikan. ”Tanpa satu teori

Catatan Pinggir 10 219

http://facebook.com/indonesiapustaka HUJAN

revolusi, tak akan ada gerakan revolusioner,” kata Lenin di tahun
1905. Tapi di hari-hari yang menentukan dalam Revolusi Okto-
ber 1917, Lenin tak menerjemahkan sebuah gagasan yang sudah
jadi. Ia bertolak dari analisis keadaan konkret dari saat ke saat. Al-
thusser, pemikir Marxis Prancis itu, menyebut Lenin bertindak
atas ”konjunktur” (kombinasi yang genting antara pelbagai keja-
dian) di Rusia saat itu.

Kata ”konjunktur” agaknya makin harus dianggap penting ki-
ni—bukan hanya karena wibawa atau kontroversi Althusser. Sa-
ya kira kata itu mengacu ke satu konsep yang merespons apa yang
terjadi sejak akhir 1960-an: gerakan revolusioner berbenturan de-
ngan keadaan yang berbeda-beda. Hasilnya tak bisa diprediksi.
Dan yang pasti tak semuanya berhasil. Ada yang salah dengan
”teori”. PKI pernah bersemboyan ”Tahu Marxisme dan kenal ke-
adaan”, namun akhirnya dengan Althusser kaum Marxis bisa pu-
nya semboyan lain: ”Biarkan teori Marxis ditentukan keadaan”.

Mereka yang ortodoks akan mengecam pandangan Althusser
sebagai ”revisionis”. Tapi bagi pemikir ini, itulah justru semangat
”materialisme” yang konsekuen: yakin bahwa bukan ide atau ke-
sadaran yang mewujudkan tindakan dan membuat sejarah. Bagi
Althusser, yang menggerakkan sejarah adalah zat (materi) yang
juga membentuk tubuh manusia. Tokoh Marxisme Prancis ini te-
lah memisahkan diri dari ”materialisme” yang berakar dalam tra-
disi ”rasionalis”. Ia menilai—artinya mengkritik—materialisme
macam itu, termasuk Marxisme dan Leninisme, sebagai ”bentuk
idealisme yang tersamar”.

Dan ia menyebut ”hujan”. Hujan, larik air yang berjatuhan tak
terhitung, sepenuhnya zat yang saling ketemu dalam curah. Tak
dirancang. Gerak dan arahnya tak bisa didalilkan. Maka inilah
jenis materialisme yang hendak diperkenalkan Althusser: ”mate-
rialisme hujan, penyimpangan, ketemu di jalan”, matėrialisme de
la pluie, de la dėviation, de la rencontre.

220 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka HUJAN

Di sini agaknya hujan bukan cuma metafor merdu perjalanan
manusia dalam sejarah. Bisa dibayangkan jutaan tetes air itu,
meskipun hanya ”ketemu” (dan bukan ”bertemu”), meskipun di-
anggap menyimpang dari teori apa pun, punya tenaga yang hasil-
nya tak terduga. Di tanah, hujan adalah air yang membantu hi-
dup tumbuh-tumbuhan, merevitalisasi makhluk, jadi sungai
atau banjir yang mengalir. Hujan bisa menggerakkan turbin, me-
robohkan pohon, mengikis batu, dan merusak bangunan.

Tentu, setidaknya bagi saya, ”hujan” Althusser tak persis pas
untuk jadi kiasan yang menggambarkan perjuangan manusia. Ia
mengabaikan dialektika, ketika manusia dengan kesadaran dan
tubuhnya ikut membuat perubahan, tak sekadar hidup sebagai
zat yang mengucur mekanistis. Meskipun begitu, Althusser ada
benarnya: aksi protes hari-hari ini—kini, setelah Tunisia, Mesir,
dan Madrid, juga New York, dan terakhir Moskow—memang
mirip ”ketemu di jalan”. Seperti jutaan titik hujan, tanpa dalil
dan teori, orang ramai itu bersama-sama turun ke jalan. Tak ada
argumen yang menang yang membuat mereka bersepakat untuk
menuntut. Dan, seperti hujan, tak ada arah yang dipasang di ha-
dapan, sebelum mereka berjalan.

Bahwa mereka bersua, mungkin karena imaji menular lewat
media yang tak berbatas. Mungkin yang berlangsung hanya pe-
nyebaran visualisasi, bukan rasionalisasi. Akhirnya masing-ma-
sing akan mengalir ke arah yang muncul di tempat dan di musim
yang berbeda.

Tapi tak berarti tak ada yang mempertemukan mereka. Di sini
kita tak bisa lebih jauh dengan Althusser. Tindakan Bouazizi se-
suatu yang singular, tak terbandingkan. Tapi bahwa ia ditiru, itu
karena ia bergaung sebagai variasi atas tema yang universal: per-
gulatan untuk merdeka, tapi tak cuma merdeka, juga adil. Dan
itulah yang membuat laku politik berarti, meskipun terkadang
sesudah itu mati. Dan itulah yang membuat laku manusia tak

Catatan Pinggir 10 221

http://facebook.com/indonesiapustaka HUJAN

hanya seperti air tercurah, tanpa hasrat.
Dan itu akan berlangsung terus, berabad-abad.

Tempo, 8 Januari 2012

222 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka BUNGLON

19 Januari 1942. Sebuah pesawat pengintai angkatan udara
Jepang melintasi Sibolga; Perang Pasifik mulai membakar
”Hindia Belanda”. Dan siang itu, pesawat itu mengebom
Van Imhoff yang baru lepas dari pantai Nias.

Tubuh kapal itu kena; satu lubang besar menganga di antara
palka I dan II. Air laut menyerbu. Kapten memerintahkan agar
kapal ditinggalkan.

Tapi tak semua diberi tempat dalam sekoci penyelamat.
Di kapal milik maskapai Belanda itu, ada 411 orang internir-
an; mereka sebagian dari warga negara Jerman yang diasingkan
pemerintah Hindia Belanda ke Kutacane, Aceh Tenggara.
Orang-orang itu, yang sebelumnya hidup di pelbagai tempat di
Nusantara—sebagai kelasi, pebisnis, administrator perkebunan,
pengabar Injil, bekas tentara, ilmuwan, seniman—dengan serta-
merta jadi penduduk yang dicurigai. Perang Eropa meniscayakan
keadaan itu, terutama setelah Hitler menyerbu Nederland.
Perang memang tengah memuncak. Di awal 1940-an itu pa-
sukan Jepang sudah di Semenanjung Malaya. Pemerintah di Ba-
tavia pun memutuskan untuk mengungsikan para interniran ke
India. Ada dua kapal lebih dulu berangkat. Keduanya selamat.
Tapi Van Imhoff, yang ketiga, tidak.
Juga tak selamat orang-orang Jerman yang dikurung di perja-
lanan laut itu. Mereka dibiarkan dimangsa nasib. Ditinggalkan
di kapal yang tenggelam itu, lebih dari 200 orang punah.
Di antaranya Walter Spies.
Nama yang termasyhur, yang sejak 1930-an tak bisa dipisah-
kan dari kehidupan seni Bali. Nama yang termasyhur, yang tak
banyak diketahui kisah kematiannya. Kini buku Walter Spies: A
Life in Art oleh John Stowell, produksi tahun 2011 penerbit Indo-

Catatan Pinggir 10 223

http://facebook.com/indonesiapustaka BUNGLON

nesia, Afterhours Books, mengisahkan hari terakhir yang tragis
itu. Meskipun tak cuma itu, sebab Stowell menulis biografi Spies
yang rinci sejak pelukis itu lahir di Moskow pada 1895 sampai
dengan hidupnya di Indonesia. Hasilnya adalah sebuah riwayat
yang memukau tentang sebuah ”janji kebahagiaan”, une promesse
de bonheur, yang tak terpenuhi.

”Janji kebahagiaan” adalah ungkapan lain untuk keindahan,
kata Stendhal, tapi saya pakai untuk kesenian umumnya. ”Janji”
itu jadi terasa nyaring ketika hidup seakan-akan jadi gambar mati
diformat oleh modal dan kekuasaan politik, bukan hidup sebagai
arus yang mengalir, menggelegak, tanpa tapal batas.

Riwayat Spies bisa dikatakan sebuah kisah penebusan kemba-
li: ia hendak memulihkan arus itu, yang terancam abad ke-20, de-
ngan musik, seni rupa, tari, sejak dari Rusia, Jerman, sampai de-
ngan Indonesia. Sebab ada sesuatu dalam kesenian yang memang
tak terjamah oleh yang disebut Adorno sebagai ”administered life”.
Juga dalam hidup dan seni Walter Spies.

Ia lahir dalam keluarga Jerman yang hidup di Rusia sampai
akhir abad ke-19. Kakek dan ayahnya pengusaha yang terpandang
di negeri itu, tapi mereka tetap saja berlaku dan diperlakukan seb-
agai orang asing. Mereka tak jadi warga negara Rusia. Dan ketika
perang Jerman dan Rusia pecah pada 1914, ayah Walter, Léon
Spies, disingkirkan bersama orang Jerman lain ke Wologda. Itu
juga yang kemudian terjadi pada Walter. Sekitar ulang tahunnya
yang ke-20, ia harus hidup jauh di Sterlitamak, di Pegunungan
Ural.

Ia tak sepenuhnya merasa menderita. Ia mendapatkan yang
berharga. Selama di Sterlitamak, sejak 1915, ia bergaul dengan
suku Tartar, bermain musik dengan mereka, hidup, bercanda,
dan berbisik dalam bahasa mereka. Ia praktis ”jadi orang Tartar”.
Baginya itu masa yang membahagiakan. Dengan bersemangat
pula ia menyambut Revolusi Rusia 1917—yang pada awalnya pe-

224 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka BUNGLON

nuh energi kebebasan, begitu kekuasaan Tsar jatuh. Di masa per-
golakan itu ia diam-diam kembali ke Moskow; ia lihat kesenian
bangkit dalam pelbagai gerakan pembaharuan.

Tapi apa lacur: Revolusi itu kemudian jadi administrasi baru,
bahkan regimentasi yang ketat. Kesenian jadi wilayah kekuasaan
Partai Komunis. Walter pun pindah ke tanah leluhurnya, Jer-
man. Di Dresden ia menyambut Dadaisme, gerakan seni yang
ingkar terhadap ”seni”, sebuah negasi terhadap batas pengertian
yang ada.

Dari sini tampak betapa beda Walter dari ayah dan kakeknya:
mereka tak bisa melintasi batas ke-Jerman-an, sementara Spies
muda bukan saja seorang pengembara, tapi juga bunglon. Ia mele-
bur diri ke dalam suku Tartar di Pegunungan Ural sebagaimana
ia menyatukan diri dengan kehidupan dan kerja kreatif di Bali. Ia
ingkari pentingnya ”asal yang asli”.

Sebelum kita mengejek bunglon, baiklah kita lihat: mem-
bunglon juga sejenis laku kreatif. Bunglon adalah hidup yang
”men-jadi”. Sama dengan karya seni: garis dan warna mengisi ru-
ang kanvas dan berubah jadi seni rupa; gerak tubuh mengisi pen-
tas dan berubah jadi tari. Dengan kata lain, garis, warna, gerak—
sebagaimana bunglon—mampu ”menjadi-yang-lain”.

Terutama dalam hidup Walter, kebunglonan bukan laku de-
fensif untuk bersembunyi dari hidup yang buas. Di kanvas Spies,
hidup tak mengerikan. Ia mengagumi Otto Dix. Tapi berbeda
dengan karya Dix yang menampilkan wajah dan tubuh grotesk
sebagai protes terhadap hidup yang rusak oleh perang dan kapita-
lisme, karya Spies terbangun dari pesona kepada daun, pohon, sa-
wah, dan manusia yang bergerak antara misteri dan melankoli,
selintas menakutkan, setengah suram setengah bercahaya. Kita
larut, ikut berubah, dalam satu suasana ke suasana lain.

Terasa ada ”janji kebahagiaan” di sana. Tapi kita tahu keseni-
an bukan pemberi segalanya, pengubah segalanya. Hidup tetap

Catatan Pinggir 10 225


Click to View FlipBook Version