The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 10 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by warsinisuharnowo, 2021-11-04 03:15:09

Catatan Pinggir 10 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 10 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka SREBRENICA

hendak mengakui bahwa mereka yang paling lemah dan paling
dianiaya yang justru mengingatkan apa yang menakjubkan da-
lam manusia: sebuah pertalian yang tak tampak.

Tempo, 31 Juli 2011

126 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka KEBAKHILAN

IA tak gila. Atau ia bagian dari patologi yang tak tersendiri.
Anders Behring Breivik, memakai seragam polisi, membidik
dengan tepat anak-anak muda yang sedang berkemah di Pu-
lau Utoeya. Sebanyak 68 orang terbunuh di pulau di Danau Tyri-
fjorden, 38 kilometer dari Oslo, itu pekan lalu. Delapan lain mati
karena ledakan bom. Breivik ditangkap. Pengacaranya membela-
nya dengan mengatakan: orang ini sakit jiwa.

Pada kesan pertama, orang Norwegia itu memang ganjil. Ke-
kerasan dengan darah dingin di sebuah negeri tempat pemberian
Hadiah Nobel Perdamaian? Gerakan sayap Kanan? Begitu kuat-
kah gerakan itu di bagian dunia yang pernah dianggap tauladan
sosialis-demokrat ini?

Tapi zaman berubah. Sosialisme, dan bersama paham ini se-
mangat yang lebih toleran, tengah surut di Skandinavia. Juga di
seluruh Eropa. Tembakan Breivik yang membunuh para kader
Partai Buruh itu berbareng dengan keruwetan jiwa yang setengah
tersembunyi di masyarakatnya. Sinting atau tidak, apa yang dila-
kukannya sebuah isyarat: kita tengah memasuki zaman kebakhil-
an. Eropalah yang memulainya.

Breivik tak sendirian, meskipun tak semua orang yang sepa-
ham akan mau membunuhi sejumlah pemuda yang kesalahannya
hanya karena mereka pendukung Partai Buruh. Bagi Breivik,
Partai Buruh harus dihabisi; partai inilah yang dengan mudah
membiarkan kaum imigran, terutama yang muslim, masuk ke
Norwegia.

Breivik dulu anggota Partai Kemajuan Norwegia, Fremskritts-
partiet. Partai ini tak jauh pandangannya dari sang pembantai,
meskipun pemimpinnya, Siv Jensen, menyatakan merasa sedih
bahwa bekas anggotanya bertindak demikian. Yang menegaskan

Catatan Pinggir 10 127

http://facebook.com/indonesiapustaka KEBAKHILAN

bahwa Breivik tak sendirian: Partai Kemajuan kini berada dalam
posisi yang naik.

Di bagian Eropa lain, seorang tokoh politik sayap Kanan Ita-
lia, Francesco Speroni—yang pernah duduk dalam kabinet Ber-
lusconi yang berkuasa—menyebut gagasan Breivik bertujuan
”membela peradaban Barat”. Eropa sedang terancam oleh Islam,
kata mereka, Eropa sedang berubah jadi ”Eurabia”....

Kecemasan itu adalah ekspresi kebakhilan—yang membuat
pandangan Kanan kembali jadi antitesis gerakan Kiri. Inti pan-
dangan ala Breivik dan Speroni adalah eksklusivisme. Bagi mere-
ka, pelbagai hal di dalam hidup—lapangan kerja, bantuan sosial,
peradaban Barat—adalah milik eksklusif.

Eksklusivisme atau kebakhilan menampik orang lain ikut da-
lam ruang dan waktu, di sebuah wilayah yang batasnya mereka
tentukan dan tutup sepihak.

Batas itu mereka beri dasar agama; mereka menyebutnya
”Kristen”. Seperti halnya di sementara kalangan Islam, mereka
anggap kebenaran dan Tuhan milik eksklusif mereka. Batas itu
mereka beri wilayah: ”Eropa”. Dan waktu mereka adalah waktu
yang ”dulu”—artinya terbatas, bukan waktu yang berlanjut dan
membawa perubahan.

Itu sebabnya mereka konservatif. Konservatisme juga eksklusi-
visme. Bila pemikiran Breivik hendak mengembalikan perempu-
an ke status yang lebih rendah ketimbang yang telah berlaku sejak
akhir abad ke-20, itu juga menunjukkan bahwa konservatisme
itu bergabung dengan kebakhilan: bagi mereka, hak-hak tertentu
hanya hak kaum lelaki. Orang harus kembali seperti dulu, kata
mereka. Yang tak mereka sebut, ”dulu” itu adalah ”dulu” dalam
ingatan yang eksklusif. Ingatan pihak lain, misalnya ingatan ka-
um perempuan, tak boleh ikut.

Dibandingkan dengan itu semua, kaum Kiri punya tradisi
anti-kebakhilan. Tradisi itu bisa ditarik ke gagasan komunisme

128 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka KEBAKHILAN

awal. Dalam The Idea of Communism (editor: Slavoj Žižek dan
Costas Douzinas), Jean-Luc Nancy menyebut ”the Diggers” di
Inggris abad ke-16, yang menganggap tanah sebagai ”common
treasure” atau harta bersama. Dari sini pula kata ”commonwealth”
lahir dan dibawa oleh Republik pertama.

Dalam semangat commonwealth, kekayaan bukanlah semata-
mata milik eksklusif. Sosialisme menegaskan sah dan adilnya
redistribusi sumber-sumber material dan intelektual. Dan untuk
beberapa dasawarsa, sosialisme didengar.

Tapi sejarah sosial dan ekonomi Eropa tak membiarkan itu
berlanjut. Kini sosialisme yang ingin adil pada gilirannya ditu-
duh tak berlaku adil. Agenda partai-partai sosialis adalah mem-
bagikan dana yang ditakik, dalam bentuk pajak, dari hasil jerih
payah orang. Hasil itu dibagikan kepada orang miskin, yang
umumnya tak punya kerja dan sebab itu dianggap tak berjerih pa-
yah. Para penerima subsidi—sebagian besar orang yang datang
sebagai imigran—dengan mudah dianggap parasit. Para pemba-
yar pajak marah. Mereka mulai menentang agenda sosialis. Tak
mengherankan bila partai-partai Kanan merebut posisi. Keba-
khilan bergema. Yang paling mencolok di Belgia. Partai Kepen-
tingan Vlaams dan Partai Aliansi Vlaams Baru berteriak bukan
saja untuk membatasi masuknya imigran dari Dunia Ketiga.
Mereka juga berjuang agar orang berbahasa Vlaams, sebagai ”su-
ku” tersendiri, memisahkan diri dari Kerajaan Belgia. Tapi bukan
soal bahasa yang memicunya. Pada dasarnya yang diutarakan
adalah sikap menolak membiayai. Mereka tak mau membiarkan
uang pajak mereka dipakai untuk subsidi bagi orang-orang yang
berbahasa Prancis di Belgia Selatan yang lebih miskin. Dengan
kata lain, persoalan yang dihadapi Belgia bukanlah taal, ”baha-
sa”, melainkan betaal, ”bayar”.

Kebakhilan macam itu kini mudah mendapatkan legitimasi.
Pada mulanya adalah milik—yang jadi bagian kerja kelas borjuis

Catatan Pinggir 10 129

http://facebook.com/indonesiapustaka KEBAKHILAN

yang mengubah sejarah. Tak semua menyenangkan. ”Kaum bor-
juis itu seperti babi,” kata sebaris lagu Jacques Brel, penyanyi Bel-
gia termasyhur itu. Tak terlalu tepat: babi tak ditandai oleh sikap
eksklusif. Dari babi tak akan muncul kebakhilan yang agresif—
kebakhilan kaum Kanan baru.

Tempo, 7 Agustus 2011

130 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka ISAK

SERING tak terduga: kemurnian menghendaki kekerasan.
Bahkan kematian. Meskipun pada awalnya ini bukan te-
ma kisah Isak, orang dalam cerita ini, yang berjalan naik
ke hutan:

”Lelaki itu datang, berjalan ke utara. Seorang yang wungkul dan kuat,
dengan jenggot kemerahan yang kaku, dan bekas luka di tangan dan wa-
jahnya... sosok laki-laki dalam kesendirian yang gagah....”

Isak, itulah tokoh novel Markens Grøde Knut Hamsun (terbit
1917, diterjemahkan W.W. Worster menjadi Growth of the Soil).
Isak menjauh dari ”peradaban”—karena ”adab” telah ditentukan
oleh abad ke-20. Dengan kata lain, inilah peradaban dengan eko-
nomi kapitalis yang dilecut loba dan laba, gemuruh mesin yang
menggusur apa yang alami, keberisikan suara sumbang karena
bunyi-bunyi dari luar yang tak cocok.

Isak masuk hutan: daerah Almenning yang belum dipecah jadi
milik yang bisa diperjualbelikan. Ia sampai ke kaki sebuah bukit,
tempat kali kecil mengalir dan kelinci meloncat-loncat di antara
pakis dan kembang bintang berpucuk tujuh.

Di situ lelaki itu berhenti. Di situ ia menginap. Ia mulai menyi-
apkan tempat, termasuk membawa tiga ekor kambing. Suatu ke-
tika seorang Lapp pengembara lewat dan melihatnya. ”Akan
tinggal di sini selamanya?” tanyanya. ”Ya,” jawab Isak.

Dari orang-orang Lapp yang lewat itu juga Isak mendapatkan
seorang pembantu perempuan yang dibutuhkannya. Namanya
Inger. Perempuan ini bersedia hidup dengan lelaki wungkul itu
karena ia tak punya banyak pilihan di desanya. Bibirnya men-
cong, cacat.

Catatan Pinggir 10 131

http://facebook.com/indonesiapustaka ISAK

Tapi pelan-pelan, Isak mencintainya, meskipun hubungan
mereka tak lepas dari kepentingan praktis. Suatu hari Inger da-
tang membawakannya seekor sapi. Merasa berutang, Isak mem-
bawakan seekor kuda.

Mereka akhirnya beranak, meskipun dengan tragedi. Inger
selalu takut anaknya akan mewarisi cacat tubuhnya, dan ketika
itu benar terjadi pada anak ketiga, bayi itu dibunuhnya.

Kemudian perempuan ini beroleh kemahiran menjahit. Ia
mulai hidup lepas dan riang. Akhirnya Inger, yang memperbaiki
bentuk mulutnya dengan operasi, pada usia sekitar 30 meninggal-
kan Isak. Bisiknya kepada diri sendiri tentang lelaki gunung itu:
”Uh, kamu, tetap saja macam dulu....”

Sebenarnya Isak juga berubah. Ia tak bisa lepas dari abad ke-20
dan ”kemajuan”. Bersama Geissler, temannya yang terdidik, ma-
hir berbisnis, dan seperti tak terikat pada lokalitas mana pun, Isak
mengubah hubungannya dengan tanah: ia memiliki dan mengu-
asainya. Ia jadi tuan tanah Sellanraa, lengkap dengan sistem iri-
gasi. Ia bahkan jadi kaya setelah tanahnya, yang mengandung
tembaga, ia jual ke pengusaha Swedia.

Tapi kemudian hartanya habis dan ia kembali mengolah ta-
nah. Isak menyesali anaknya, Eleseus, yang jadi pedagang, hidup
dari komoditas, benda yang cuma dihargai dengan nilai tukar.
Isak lebih akrab ke bumi, sesuatu yang tak bergantung pada harga
tapi punya makna. ”Bumi yang tumbuh...,” kata Isak, ”adalah sa-
tu-satunya sumber, asal dari semuanya.”

Asli, murni. Pada dasarnya ia tokoh ideal Knut Hamsun.
Yang asli dan yang murni memang bisa mempesona sebagai
sesuatu yang tanpa najis—walau keaslian dan kemurnian sebe-
narnya tak pernah mungkin. Tapi Hamsun percaya itu sebagai-
mana ia percaya ke masa sebelum ”peradaban”, dan sebab itu ia
menentang kapitalisme yang membawa mesin dan ketamakan.
Menjelang akhir novelnya, ia gambarkan Isak sebagai hero:

132 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka ISAK

”Seorang penggarap ladang, jasad dan jiwa; seorang pekerja di
tanah yang tanpa jeda. Sesosok hantu yang bangkit dari masa lalu
yang menuju ke masa depan... tapi, dengan semua itu, seorang ma-
nusia hari ini.”

Hamsun tak menyebut, ”hantu” itu tak punya masa lalu yang
murni, juga bukan makhluk yang tak tersentuh. Sejarah Isak
dibangun dari pertemuan dengan orang Lapp, Inger, Geissler,
orang Swedia, dan entah apa lagi. Dan sebenarnya tak jelas benar-
kah Isak di akhir novel itu masih asli seperti bumi.

Tapi Hamsun memegang mithos tentang ”asli” dan ”murni”
dalam hidupnya. Pada 1882 ia berkelana di Amerika Serikat dan
melihat orang-orang ”Indian”. Ia makin yakin, perbedaan ras itu
soal yang hakiki. Bukunya tentang ”kehidupan budaya Amerika
modern” yang terbit pada 1889 menganjurkan agar orang Hitam,
makhluk ”setengah-monyet” itu, dikembalikan ke Afrika. Tak
hanya itu. Dalam majalah Nationalt Tidsskrift 1925 Hamsun me-
nyatakan pentingnya orang Yahudi dipindahkan dari Eropa, agar
”ras Putih dapat menghindarkan percampuran darah lebih jauh”.

Ia, tentu saja, mengagumi Naziisme.
Juga sebaliknya. ”Pemikir” Nazi terkemuka, Alfred Rosen-
berg, menganggap Markens Grøde sebagai ”epos besar masa kini
tentang kemauan bangsa Nordik dalam bentuknya yang primor-
dial dan kekal”. Bahkan Hitler mengirimkan ucapan selamat ke-
tika Hamsun mencapai usia 80.
Pada 1921 Hamsun menerima Hadiah Nobel Kesusastraan,
terutama karena novel yang kita bicarakan di sini. Medalinya ia
kirimkan ke Goebbels, tangan kanan Hitler. Ia bertemu dengan
Hitler sendiri tiga tahun sebelum pemimpin besar Nazi itu bunuh
diri. Setelah kematian itu, Hamsun masih menulis memuja pah-
lawannya. Hitler, katanya, ”seorang pendekar perang untuk umat
manusia, seorang nabi dengan syi’ar baik bagi semua bangsa.”
Hamsun tak peduli bahwa syi’ar tentang kemurnian, keaslian,

Catatan Pinggir 10 133

http://facebook.com/indonesiapustaka ISAK

dan primordialisme dari iman Naziisme akhirnya membinasa-
kan: yang tak murni dan tak asli harus dihabisi.

2011: kita ketemu Anders Behring Breivik, sang pembunuh
77 pemuda. Tak mustahil Hamsun hidup lagi di hatinya. Hanya
kini yang harus disingkirkan bukanlah Yahudi, melainkan mus-
lim—sebagai ”najis” Eropa.

Kemurnian: alasan yang tua untuk pembunuhan baru.

Tempo, 14 Agustus 2011

134 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka BAIK

TIGA dewa yang lelah bertemu dengan Wong, penjual air,
di tepi kota. Mereka sudah beberapa lama berada di bumi
untuk menemukan seorang yang baik hati tapi tak kun-
jung dapat. Mereka sudah menurunkan firman kebaikan, namun
yang mereka temui selama ini hanyalah kekejian, sifat tamak, cu-
las, dan mementingkan-diri.

Lakon Bertolt Brecht, Der gute Mensch von Sezuan, yang ditu-
lis di masa buruk, 1938-1943, dimulai dengan pembuka yang
mirip dongeng itu; dunia begitu gelap dan keras hingga realisme
membutuhkan parabel. Tak berarti Brecht—waktu itu mening-
galkan tanah airnya, Jerman, dan hidup di pengasingan meng-
hindari kaum Nazi—hendak menyingkirkan kita dari hidup dan
pelbagai tanda tanyanya. ”Orang Baik dari Sezuan” memasukkan
kita ke dalam pertanyaan yang bahkan bergema di Indonesia ki-
ni: masih adakah orang baik? Bagaimana ia bisa bertahan?

Syahdan, Wong mengantar para dewa itu mencari tempat
menginap, tapi tak ada penduduk yang mau menerima. Kecuali
Shen Te, seorang pelacur. Ia membatalkan niatnya menemui
langganan. Ia lebih baik menolong ketiga tamu asing itu.

Dewa-dewa itu merasa mereka telah menemukan yang mere-
ka cari. Mereka nyatakan Shen Te sebagai orang baik. Tak cuma
itu: mereka juga memberinya uang agar bisa membeli satu kedai
tembakau. Dengan itu juga mereka ingin melihat, sejauh mana
Shen Te bisa merawat kebaikan hatinya dalam keadaan tak lagi
miskin.

Shen Te memang baik hati—meskipun orang akan melihatnya
sebagai perempuan yang naïf. Ia mengalah terus-menerus kepada
keserakahan, kedengkian, kecemburuan, dan kelicikan orang.
Kedai tembakaunya dengan segera jadi sasaran permintaan, tun-

Catatan Pinggir 10 135

http://facebook.com/indonesiapustaka BAIK

tutan, rongrongan. Ia sendiri diporot orang yang disangkanya te-
lah jadi kekasihnya: Yang Sun, pilot pesawat pos yang mengang-
gur. Di sebuah taman ia ketemu lelaki itu yang mencoba bunuh
diri karena putus asa. Ia menolongnya. Shen Te jatuh cinta. Ia
bersedia memberikan 500 dolar perak ketika Yang Sun memerlu-
kannya agar mendapat pekerjaan lagi.

Makin lama, perempuan itu makin terpojok. Pada titik pun-
caknya, ke kedai tembakau yang hampir bangkrut itu muncul
Shui Ta. Laki-laki ini mengaku sepupu Shen Te. Ia datang meng-
gantikannya—Shen Te sedang ke luar kota, katanya. Ia pun
mengurus kedai. Shui Ta berhasil. Diusirnya semua orang yang
menumpang di sana. Kedai tembakau itu jadi tertib.

Pada akhirnya Shui Ta lebih lama tinggal, dan lebih lama pula
berperan. Selama itu Shen Te tak juga tampak.

Watak lelaki itu berlawanan dengan sifat sepupunya. Shui Ta
keras, tega hati, dan bisa bengis kepada orang lain, juga yang se-
dang dalam kesulitan. Orang membencinya. Tapi di bawah ma-
najemennya, kedai tembakau itu berkembang. Dari sana lahir se-
buah pabrik.

Yang menarik dari lakon Brecht ini ialah bahwa ternyata Shui
Ta adalah Shen Te sendiri, yang menyamar sebagai lelaki. Ini
diketahui ketika ia didakwa telah membunuh sepupunya dan
mengambil alih miliknya. Di depan hakim, yang terdiri atas para
dewa yang dulu menemuinya, Shen Te tampil sebagai sebuah per-
tanyaan: bisakah orang baik tak hancur lebur di tengah masyara-
kat yang telah jadi getir dan busuk?

”Bagaimana bisa baik jika semua begitu mahal?” tanya Shen
Te. ”Perbuatan baik, itu berarti hancur jadi puing!” ujar Shui Ta.

Dewa-dewa mengajarkan apa yang baik, tapi tak hendak me-
lindungi orang yang menjalankan ajaran itu.

Malah kebaikan, dalam pengalaman Shen Te, mirip sebuah
hukuman. Orang yang keji justru bebas dari hukuman macam

136 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka BAIK

itu. Mengapa demikian para dewa tak menjawab—juga Brecht.
Dengan ”teater epik”-nya, ia letakkan kewajiban menjawab per-
tanyaan itu kepada para penonton.

Sekilas Der gute Mensch von Sezuan terasa ditulis untuk me-
nampar muka orang yang lembut hati—yang berarti juga lemah
hati. Saya ragu bila lakon ini membenarkan kebakhilan seorang
kapitalis seperti Shui Ta. Brecht seorang Marxis yang yakin.
Mungkin ia lebih menggugat para dewa yang gagal. Ketika kita
menilai manusia demikian keji, kita secara tersirat menuduh para
dewa sia-sia.

Atau kita jadi seorang tokoh lakon lain: Alceste, dalam karya
Moliere, Le Misanthrope. Orang ini merasa diri paling jujur dan
menuntut orang harus jujur. ”Di mana-mana yang kutemukan
hanya mulut manis yang palu, ketidakadilan, kepentingan-diri,
sikap culas, dan penipuan.”

Alceste berniat tak punya hubungan lagi dengan manusia. Se-
perti Sodom dan Gomorrah, seperti kota tempat Shen Te tinggal,
masyarakatnya bagi Alceste tak cukup punya orang baik buat
memulihkan harapannya kepada manusia. Maka tempat itu,
lingkungan itu, harus ditinggalkan.

Tapi Le Misanthrope yang dipentaskan pertama kali pada 1666
di sebuah teater yang terhormat di Paris tak punya akhir yang tak
enak. Setidaknya Alceste tak bunuh diri dan tak menggugat Tu-
han. Moliere tak berbicara bahwa masyarakat yang dibenci Al-
ceste harus diubah.

Orang seperti Alceste memang tak hendak mengubah apa
pun: manusia tak dilihat sebagai sejarah; manusia akan tetap, se-
suai dengan esensinya: busuk.

Dalam hal itu, ia mirip Shen Te + Shui Ta. Tokoh ini bersikap
hanya dalam hubungannya dengan dunia yang tak lebih lebar da-
ri kedai tembakau. Shen Te bukan saja terlampau lemah. Kebaik-
annya hanyalah laku yang secara otomatis lahir—bukan sebagai

Catatan Pinggir 10 137

http://facebook.com/indonesiapustaka BAIK

perlawanan terhadap sinisme. Shui Ta sepenuhnya suara sinisme:
ia hanya melihat kekejian sebagai norma di masyarakatnya.

Seperti Brecht, saya tak akan menawarkan jawab yang bisa ja-
di formula bagi siapa saja. Tapi saya percaya, berhasil atau tidak,
perlawanan terhadap sinisme menegaskan bahwa ada yang berni-
lai dalam hidup, khususnya hidup bersama yang lain. Kita belum
pantas membantai atau bunuh diri.

Tempo, 21 Agustus 2011

138 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka TEH

MUNGKIN inilah zaman, abad ke-21, ketika kebakhil-
an menghalalkan dirinya dengan keadilan.
Dimulai dengan teh, sekitar 400 tahun yang lalu—ke-
tika orang belum belajar dari kesalahan kolonialisme. Pada 1773,
pemerintah konservatif Inggris memberi hak monopoli perda-
gangan teh kepada perusahaan swasta East India Company. Se-
perti VOC Belanda di Indonesia, East India Company mendapat
kekuasaan yang untuk zaman ini tak masuk akal: ia boleh me-
naklukkan, memerintah, dan mereguk keuntungan tanah asing.
Dalam hal ini: India.

Demikian berkuasanya perusahaan swasta itu di negeri jajah-
an, hingga kekayaan pun lekas terhimpun. Tapi, seperti umum-
nya pada harta yang terlalu cepat di tangan kekuasaan yang ter-
amat besar, penyelewengan pun berjangkit. Pejabat East India
Company ramai-ramai korup, sementara perusahaan mereka
sendiri pelan-pelan terancam bangkrut (sebagaimana VOC juga
bangkrut).

Tahun 1773 adalah tahun ketika kejatuhannya sangat dekat,
dan pemerintah Inggris datang menolong. Diputuskan untuk
membantu Kumpeni dengan cara menjualkan tehnya—komodi-
tas yang nyaris tak ada pembelinya karena mahal. Harganya na-
ik karena pajak yang dipungut atas perdagangan teh; akibatnya
di pelbagai koloni, ke mana barang itu dijual, muncul boikot.
Orang Amerika, misalnya, lebih baik menyelundupkan teh dari
Belanda.

Pemerintah Inggris mencoba memperbaiki keadaan. Diputus-
kan, tak ada pajak yang ditarik pada teh sebelum komoditas ini
dikirim ke koloni Inggris. Teh bisa diimpor koloni itu tanpa bea
masuk, hanya dengan pajak ringan. Dengan demikian orang di

Catatan Pinggir 10 139

http://facebook.com/indonesiapustaka TEH

Amerika, terutama, dapat memperoleh teh murah.
Tapi, sebagaimana dituturkan sejarawan Page Smith dalam A

New Age Now Begins, sebuah catatan sejarah Amerika, pemerin-
tah Inggris tetap melakukan satu kesalahan serius: pemberian
monopoli kepada East India Company dalam perdagangan ini.
Sebab, di ujungnya, monopoli juga berlaku di Amerika: hanya pe-
dagang yang dekat dengan Gubernur Hutchinson, wakil Keraja-
an Inggris, yang bisa ikut. Teman, keluarga, anak.

Orang-orang Amerika melihat itu dengan cemas, takut bila
komoditas lain juga akan diatur demikian. Tak dapat diabaikan
tentu rasa marah, terutama di kalangan pedagang, karena mereka
tak diperbolehkan bersaing. Monopoli menampakkan ketakadil-
annya: di New York seseorang menulis di koran setempat tentang
”kebiadaban”, barbarity, yang dilakukan East India Company
terhadap ”orang Asia”. Bersama itu, orang Amerika menganggap
kemerdekaan mereka diabaikan. Bagi mereka, pajak atas teh, be-
tapapun ringannya, diberlakukan tanpa persetujuan mereka—
sebagaimana halnya pemberian monopoli. Pada dasarnya, mere-
ka menuntut bangunan kekuasaan yang bisa berbagi.

Kasus teh tak terpisah dari proses ketakpuasan orang Amerika
terhadap kolonisasi yang berlaku atas diri dan wilayah mereka—
sebuah ketakpuasan yang sudah lama menyebar. Para ”patriot”
tak hanya muncul di sekitar perdagangan teh, dan tak cuma di
satu daerah.

Tapi di Boston-lah sejarah dibuat. Ketika di akhir 1773 kapal
Dartmouth datang membawa teh dari Inggris, perlawanan sudah
berkecamuk sebenarnya. Orang-orang Boston sudah menggere-
bek para pedagang teh hingga ada yang melarikan diri. Kampa-
nye anti-teh (”minuman ini akan membuat kelaki-lakian orang
Amerika melemah”, kata para dokter yang patriotik) sudah dilan-
carkan. Tapi Gubernur Hutchinson berkeras. Sementara di New
York kapal pembawa teh mendapat ancaman rakyat hingga me-

140 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka TEH

mutuskan kembali ke London, di Boston sang Gubernur tak
membiarkan itu. Jalan keluar dari pelabuhan ditutup.

Pada 17 Desember, para patriot bertindak. Dengan menyamar
sebagai orang Mohawk—mungkin karena orang Indian berada
di luar hukum—mereka naik ke kapal dan membuang kotak-ko-
tak teh yang ada di sana ke laut. Mereka dengan jelas menantang
pemerintah Inggris. Sebuah peristiwa bersejarah, ”The Boston
Tea Party”, menandai awal Revolusi Amerika.

Empat ratus tahun kemudian, aksi itu jadi kiasan yang berbe-
da.

Hari-hari ini, di Amerika Serikat ada orang-orang yang mera-
sa tergusur. Mereka kelas menengah yang merasa terancam pu-
nah oleh ongkos hidup yang naik—dan marah karena dengan
uang pajak mereka Negara memberi subsidi kepada orang-orang
yang ”sudah selayaknya melarat”, the losers. Mereka tak ingin
membayar pajak. Mereka bergabung dalam gerakan ”Tea Party”.
Mereka mengacu ke Boston 1773.

Tapi ini zaman lain. Dengan segera, gerakan ”Tea Party’” ber-
taut dengan orang-orang yang tak ingin berbagi. Mereka anggap
Negara tak boleh punya peran. Negara harus minimal saja hadir,
dan tak perlu membuang-buang uang untuk membantu orang
miskin. Bagi mereka, tiap orang harus berusaha sendiri untuk
bangkit. Seperti orang-orang Boston yang memboikot perda-
gangan teh atas nama keadilan, mereka mencoba memakai alasan
yang sejajar.

Tapi ada yang palsu di baliknya.
Terutama karena, seperti ditulis dalam koran Inggris The
Guardian, ”Tea Party” tak dimulai oleh orang yang kepepet.
Sebuah organisasi yang didanai miliarwan Charles dan David
Koch, American for Prosperity, membangkitkannya. Selama 15
tahun, tulis The Guardian, Koch bersaudara—yang memiliki
pelbagai perusahaan tambang dan pengolahan kayu—mengha-

Catatan Pinggir 10 141

http://facebook.com/indonesiapustaka TEH

biskan US$ 85 juta untuk melobi keputusan yang mengurangi
pajak orang kaya....

Tampak, kebakhilan mencoba memakai kiasan yang meng-
ingatkan orang pada amarah orang-orang yang tak punya kekua-
saan dan ingin berbagi. ”Tea Party” 2011 mungkin sebuah paro-
di—tapi yang mirip tipu daya. Bagi mereka ”pesta minum teh”
sebuah upacara kapitalisme yang telah berjasa menyebarkan ba-
rang paling jauh itu ke pasar yang luas—dengan sejarah kerakus-
an yang mereka anggap sah.

Tempo, 28 Agustus 2011

142 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka MULTITUDE

SIAPA yang memimpin para pemberontak yang mengge-
dor Tripoli? Siapa yang mengomando ribuan orang yang
menjatuhkan Mubarak dari Lapangan Tahrir di Mesir,
mengerahkan ribuan orang yang memprotes di Puerta del Sol di
Spanyol, dan mengarahkan demonstran yang menuntut demo-
krasi di jalanan kota Hamas di Suriah?

Tidak ada.
Belum ada.
Entah.
Mereka ibarat ”orkes... tanpa dirigen, yang akan terdiam bila
ada yang naik ke podium”.
Dengan perumpamaan itu mungkin kita bisa lebih mengerti
apa yang terjadi: Michael Hardt dan Antonio Negri dalam Com-
monwealth, buku terakhir dalam trilogi mereka, menggunakan-
nya—sebuah perumpamaan yang bisa menggambarkan apa yang
mereka maksud dengan multitude. Istilah ini belum bisa saya ter-
jemahkan; ia identitas yang dimaksudkan untuk menggantikan
pengertian Marx tentang proletariat.
Bagi Hardt dan Negri, Marx tak bisa lagi menjelaskan apa
yang terjadi di dunia sekarang. Hidup tiga abad yang lalu, Marx
menemukan lapisan manusia yang paling menderita (dan sebab
itu juga paling berpotensi untuk menjadi pembebas) di kalangan
buruh yang diisap tenaganya di pabrik-pabrik.
Namun sejak awal abad ke-20 Marxisme sebenarnya telah ma-
suk ke dalam satu pengalaman yang ganjil: para penganut nya
ternyata berhasil membuat sejarah justru di negeri di mana tak
banyak buruh di pabrik—di Rusia, Cina, Korea, Kuba....
Belum bisa dikatakan bahwa analisis Marx keliru; tapi me-
mang datang pengalaman lain: kapitalisme tak juga runtuh, bak

Catatan Pinggir 10 143

http://facebook.com/indonesiapustaka MULTITUDE

Drakula (saya suka kiasan Žižek ini), si pengisap darah yang tiap
dicoba dibunuh tetap saja tak mati. Akhirnya Marxisme juga me-
nyaksikan bahwa pembebasan berlangsung bukan cuma oleh
proletariat, yang dianggap wakil tunggal penderitaan manusia.

Seorang pemikir ”post-Marxis’ menunjukkan bahwa tak hanya
ada satu pembebasan. Emancipations, tulis Laclau, dengan s. Kaum
Hitam di Amerika Serikat memerdekakan diri pada tahun 1960-
an, kemudian kaum perempuan pada tahun 1970-an. Kemudian
orang-orang kulit berwarna di Afrika Selatan. Sementara orang
Palestina terus menerjang penjajahan Israel, di Iran terjadi pembe-
basan yang menemukan lambangnya pada Ayatullah Khomeini.
Dan perlawanan buruh di Polandia terhadap Partai Komunis.

Gerakan emansipasi yang bermacam-macam itu menyebab-
kan kita sulit meletakkan proletariat sebagai kelas yang memim-
pin. Tapi tak berarti yang ”bermacam-macam” itu tak berkaitan
sama sekali. Perempuan, Hitam, Palestina, Iran, Islamis, orang
Katolik dan Protestan di Irlandia, penganut Ahmadiyah di Pakis-
tan dan Indonesia—mereka menanggungkan penindasan yang
berbeda-beda, tapi semuanya tak bisa mengelak dari dampak mo-
dal. Mereka harus hidup dengan komoditas, benda-benda yang
akhirnya dibentuk oleh nilai tukar, dan nilai tukar yang diaktua-
lisasikan dalam uang.

Dengan kata lain, meskipun proletariat bukan pelaku sejarah
yang istimewa, resistansi terhadap kekuasaan kapital dan negara
yang mendukungnya bukan sebuah perjuangan yang kedaluwar-
sa. Hanya, kita kini hidup dengan ”kerja imaterial” yang prak-
tis menguasai semua: informasi, komunikasi, pengetahuan, jasa.
Kerja tak lagi bisa diukur dengan waktu yang tetap, dan masa
senggang dan masa kerja jadi kabur. Kerja merasuki semua sudut
kehidupan sosial. Produksi kini jadi ”biopolitikal”. Mana yang le-
bih ”menderita” atau ”enak” tak bisa ditentukan dengan mudah,
dan jaringan pun terjalin di antara mereka yang terlibat dalam

144 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka MULTITUDE

produksi biopolitikal itu.
Maka tak ada proletariat yang tersendiri. Yang ada multitude.

Di dalamnya kita temukan kesetaraan, orang-orang yang me-
ngembangkan diri sebagai pelaku, sebagai subyek, tapi bekerja
sama dalam jaringan yang berlangsung dengan adil dan bebas.
Tak ada dirigen, tak ada komandan, tak ada penyambung lidah.

Mungkinkah multitude itu yang tampak di Libya, Mesir, Suri-
ah, Spanyol belakangan ini? Tapi seberapa lama bertahan orkes
tanpa dirigen itu? Akankah mereka membisu jika kemudian ses-
eorang muncul dengan tongkat mengarahkan? Tidakkah ia sebe-
narnya sebuah himpunan yang retak-retak, dan mengandung an-
tagonisme? Mungkinkah sebuah revolusi hanya lahir dari gerak
yang spontan, tanpa organisasi yang matang? Apa jadinya Revo-
lusi Oktober 1917, andai tak ada partai pelopor, andai Lenin tak
membentuk kelompok revolusioner yang bergerak dengan teori:
kaum Bolsyewik?

Tiap kali sebuah gerakan pembebasan menghadapi musuh,
tiap kali biopower yang berkuasa menindas, kaum revolusioner
membentuk identifikasi ”kita” dan ”mereka”. Pada saat itu waca-
na pun disusun. Pada saat itu ada satu segmen dalam gerakan itu
yang punya wibawa atau kekuasaan untuk menentukan apa itu
”kita”. Belum lagi ketika organisasi diperlukan, baik untuk meng-
atur perang maupun untuk bernegosiasi.

Perlawanan multitude, jaring-jaring yang batasnya tak kedap,
memang bisa mengesankan. Tapi dalam tiap gerak politik eman-
sipasi terkandung titik yang tragis: kebersamaan yang sama-rata-
sama-rasa itu akan berlalu. Untung, ada yang menghibur dalam
sejarah manusia: kemungkinan adalah kemungkinan, bukan
takdir. Manusia bisa secara kreatif memanfaatkannya.

Itu sebabnya di Libya, Mesir, Suriah, Palestina, dan lain-lain
orang tampak sedang membuka jalan—bernama harapan.

Tempo, 4 September 2011

Catatan Pinggir 10 145

http://facebook.com/indonesiapustaka

146 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka LIBYA

LIBYA, akhir Agustus 2011. Di wilayah Suq al-Juma, bagi-
an tepi timur Tripoli, perang praktis selesai. Lebaran di-
rayakan dengan takbir di masjid-masjid dan anak-anak
terus bermain sampai lewat tengah malam. Tiga hari yang lalu
pasukan pemberontak menduduki wilayah ini, dan keadaan rela-
tif rapi. Laporan Nicolas Pelham di The New York Review of Books
pekan ini menyebut para sukarelawan yang siap memanen korma
dan tomat, menggantikan buruh Mesir yang sudah menyingkir.
Seorang pekerja perminyakan yang jadi penjaga toko pangan
yang dibuka terus selama pertempuran agar penduduk tetap bisa
makan. Orang yang menggali sumur untuk menjaga suplai air,
bensin yang didapatkan dan dibagikan gratis, sebuah masjid yang
menampung bekas tahanan politik yang masih tampak pucat.

Akan demikian seterusnyakah Libya, setelah ribuan orang
membebaskan diri dari otokrasi yang berkuasa bertahun-tahun?
Selalu ada saat yang indah dalam tiap revolusi kemerdekaan: keti-
ka banyak orang merasakan pertalian dengan para teman seper-
juangan dan sepengharapan; ketika masa depan yang sedang di-
tegakkan adalah masa untuk berbagi; ketika liyan dan sesama ber-
temu kembali—dan orang merasakan sesuatu yang universal pa-
da manusia, meskipun yang universal itu tak dapat dirumuskan,
meskipun mungkin sebenarnya mustahil, tapi, di saat seperti itu,
memberi arti bagi sebuah perlawanan untuk kemerdekaan. Biar-
pun tak untuk selama-lamanya.

Tak untuk selama-lamanya; sampai kapan?
Perlawanan di Libya, seperti halnya di Tunisia, Mesir, Suriah,
disebut ”Musim Semi Arab”. Kiasan ini di satu pihak mengan-
dung citra kesegaran kembang yang muncul setelah tertimbun
musim dingin. Di lain pihak, mengandung kesan umur pendek,

Catatan Pinggir 10 147

http://facebook.com/indonesiapustaka LIBYA

tiga bulan. Setelah itu: musim panas. Di Timur Tengah, itu bisa
berarti udara gerah dan terik yang memungkinkan api membasmi
cepat dan luas. Kemudian musim gugur, the Fall....

Tak berarti keadaan ditakdirkan jadi buruk. Siklus musim
bisa mengandung optimisme. Bahkan musim dingin yang lazim
muram bisa juga mengandung janji. Tentu saja itu tergantung di
posisi mana orang memandangnya. Dalam lakon Shakespeare
Richard III musim dingin adalah harapan bagi Gloster yang ber-
ada dekat takhta. Ia adik Raja Edward IV yang berhasil melintasi
perang dan menang. Ia di pihak yang memutuskan masa de-
pan. ”This is the winter of our discontent...,” katanya di awal lakon.
Musim panas akan dibuat gemilang. Tanda kemenangan akan
teruntai di alis. Lengan yang luka akan terjuntai ke monumen.
Suara tegas tanda bahaya akan berubah jadi suara riang perjum-
paan, dan langkah barisan yang gemuruh beringas akan jadi
langkah gembira.

Now are our brows bound with victorious wreaths;
Our bruised arms hung up for monuments;
Our stern alarums chang’ d to merry meetings,
Our dreadful marches to delightful measures.

Tapi kita belum tahu adakah ”musim semi Arab” akhir dari
sebuah masa yang suram. Kita belum tahu adakah barisan yang
beringas itu akan berubah jadi gembira. Dan kita tak tahu akan-
kah dari gegap-gempita optimisme muncul seorang Gloster yang
jadi Richard III: bengis, culas, untuk berkuasa.

Yang kita tahu, pesimisme sudah terdengar. ”Sungguh ma-
lang, musim panas Mesir 2011 akan diingat sebagai tanda akhir
revolusi... ketika potensi pembebasan dicekik.”

Itu kesimpulan Slavoj Žižek di sebuah artikel di The London
Review of Books. Adapun para pencekik, para penggali kubur, me-

148 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka LIBYA

nurut pemikir Slovenia ini, adalah tentara dan kaum Islamis. Ka-
langan ”liberal pro-Barat” Mesir lemah, dan bagi Žižek bukan di
situ berhimpun ”potensi pembebasan”. Pelaku sejati revolusi Me-
sir adalah ”kaum kiri sekuler yang baru muncul, yang telah men-
coba membangun satu jaringan masyarakat madani dari serikat
buruh sampai gerakan feminis”.

Žižek tampaknya ingin mengatakan ”kaum kiri sekuler” begi-
tu mudah dicekik karena mereka tak membangun kekuatan poli-
tik yang terorganisasi. Mereka belum menjawab, tatanan baru apa
yang seharusnya menggantikan tatanan lama setelah pemberon-
takan usai, ketika ”gairah yang sublim dari saat pertama” sudah
lewat.

Žižek menengok ke para demonstran di Madrid, kaum indig-
nados, yang dari bermacam aliran memprotes keadaan ekonomi
Spanyol. Mereka menolak kekuatan politik mana pun, kiri atau
kanan. Tapi tak jelas kepada siapa mereka mempertaruhkan ha-
rapan perubahan.

Kelemahan fatal gerakan protes seperti ini, kata Žižek, adalah
”menyatakan amarah yang sungguh-sungguh tanpa bisa meng-
ubahnya jadi program yang tegas untuk perubahan sosial-poli-
tik”. Mereka hanya ”mengekspresikan semangat pemberontakan
tanpa revolusi”.

Agaknya Žižek hendak menganjurkan sesuatu yang mirip
partai Leninis: ”Diperlukan satu badan yang kuat yang mampu
mencapai keputusan cepat dan menerapkannya dengan kekeras-
an yang perlu,” tulis Žižek di akhir esainya.

Sebuah anjuran yang masuk akal. Tapi ada catatan.
Kini, seperti dulu, kekuatan yang dihadapi kaum ”kiri seku-
ler” adalah kapitalisme. Tapi kapitalisme kini, kata Žižek, lebih
berbahaya: ”Dimensi global kapitalisme mewakili kebenaran
tanpa makna.” Kapitalisme tak perlu makna hidup, asal dan arah-
nya, tak peduli sangkan paraning dumadi dan apa konsekuensinya

Catatan Pinggir 10 149

http://facebook.com/indonesiapustaka LIBYA

bagi sikap dan perbuatan.
Melawan keadaan itu berarti melawan ketiadaan makna. Per-

tanyaan besar yang harus dijawab gerakan ”kiri sekuler” ialah ba-
gaimana di abad ini ia menawarkan makna—bukan teori revolu-
si semata, tapi makna yang tumbuh dari laku dan perjuangan se-
hari-hari. Mungkin seperti laku orang Suq al-Juma: dengan ber-
sahaja mereka tumbuhkan kesetaraan dan kebebasan, antara se-
sama dan liyan.

Tempo, 11 September 2011

150 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka 11/9

SUDAH sepuluh tahun lewat. 11 September 2001. Tapi sa-
ya ingat: malam itu, sembilan jam setelah dua pesawat itu
ditabrakkan ke Menara Kembar di New York dan seluruh
dunia terguncang, saya berdiri di tepi Bleecker Street, Greenwich
Village.

Saya bersama komponis Tony Prabowo. Kami terdampar di
New York. Berdua dalam perjalanan ke sebuah kota kecil di Cali-
fornia untuk menyiapkan revisi opera kami Kali, kami tak bisa
bergerak oleh kejadian 11 September itu: tak ada pesawat boleh
terbang dari kota ini, masuk ke kota ini.

New York jadi aneh. Malam itu, tak tahu apa yang harus dila-
kukan, kami berjalan ke arah selatan. Tak ada kereta subway. Tak
ada taksi. Hari tambah gelap, ketika, didorong oleh separuh iseng
dan separuh ingin tahu, kami menyusuri Mercer Street, ke Wall
Street, di mana Menara Kembar masih dalam api dan asap yang
menggagahinya.

Cahaya listrik hilang di wilayah itu. Beberapa belas meter dari
Duane Street kami lihat lampu-lampu sorot besar di antara ba-
yangan hitam gedung-gedung. Sejumlah prajurit bersenjata ber-
siaga, di antara asap dan abu yang membuat kabut. Bagian kota
ini seperti dalam keadaan perang.

Di dekat stasiun metro Chambers Street yang ditutup, seorang
tentara menghentikan kami. ”Anda tak bisa terus. Dilarang ma-
suk ke wilayah ini.”

Dengan setengah kecewa kami kembali, berjalan dalam se-
nyap yang hampir mutlak. Hanya ada satu bar kecil di pojok
Worth Street yang buka. Kami masuk. Ada empat orang lelaki di
sana. Berbisik-bisik. Kami minum. Praktis terdiam.

Berubahkah New York? Dua malam berikutnya, kami menyu-

Catatan Pinggir 10 151

http://facebook.com/indonesiapustaka 11/9

suri jalan-jalan Manhattan. Di beberapa pojok tampak deretan
lilin dipasang. Ada potret-potret dilekatkan dan sederet ucapan
yang dituliskan seperti doa—untuk mereka yang tak kembali da-
ri Menara Kembar, yang hilang, mungkin hangus atau hancur.

Beberapa belas jam setelah 11/9, New York tampak jadi mez-
bah. Di altar itu orang mempersembahkan segalanya untuk ha-
rapan dalam kecemasan. Ada sesuatu yang tak terduga dan tak
bisa dipahami yang menghantam kota perkasa ini. Hidup sehari-
hari yang kemarin banal tiba-tiba direngkuh oleh yang sublim—
yang tak terperikan, yang ngeri, yang nyeri.

Dari suasana itu Tony Prabowo membuat sebuah komposisi
yang ia sebut ”Psalms”, untuk piano dan orkes kamar.

Tapi musik yang menangkap suasana itu bukanlah tandingan
retorika yang menerjemahkan 11 September 2001. Dengan sege-
ra New York diubah dari mezbah jadi podium, dari mana kata-
kata memberi nama dan dalih. Juga dusta.

Nama itu: ”11/9”. Derrida memakai kata fait date untuk pe-
namaan itu: orang menyebut sebuah tanggal dalam sejarah yang
menandai sebuah kejadian yang rasanya tak terbandingkan. Ta-
pi, seperti diingatkan Derrida, kata ”rasanya” itu sebenarnya tak
sepenuhnya spontan: perasaan tentang tanggal itu, tentang nama
itu, juga dibentuk dan diedarkan melalui media, melalui seper-
angkat ”mesin tekno-sosio-politis”. Dengan nama itu pelbagai
peristiwa, pelbagai sebab-musabab, dan pelbagai sikap diringkus
jadi satu—dan jadilah ia sebuah penanda yang maknanya diten-
tukan oleh suara yang paling keras dan, di hari-hari itu, paling
sempit.

Dengan nama itu pula, dari Gedung Putih, sejumlah stasiun
televisi dan kantor media merumuskan sebuah citra yang hendak
membuat kejadian yang tak terperi itu jadi sesuatu yang bisa di-
pahami. ”Amerika sedang diserang!” begitulah yang terdengar
berkali-kali—dengan keterangan bahwa ini serangan kedua ke

152 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka 11/9

wilayah Amerika setelah bom-bom Jepang menghantam Pearl
Harbor pada 1945.

Retorika Amerika pasca-11/9 berhasil memberi bentuk kepada
karut-marut perasaan cemas, bingung, marah yang berkecamuk
itu. Teror itu dijinakkan ke dalam sebuah kerangka penjelasan,
hingga rasa waswas jadi sesuatu yang bisa dikuasai akal. Retorika
itu juga menghadirkan Amerika Serikat sebagai satu kesatuan
yang harmonis, tubuh yang tak terdiri atas konflik. Retorika itu
juga menghadirkan Amerika Serikat sebagai sesuatu yang tak ter-
cemar oleh sejarah kebijakan luar negeri yang membuat orang, di
bagian dunia lain, begitu benci dan begitu nekat hingga menab-
rakkan dua pesawat terbang ke Menara Kembar hari itu.

Retorika pasca-11/9 adalah sebuah dalih. Kemudian dusta.
Sebab ”11/9” tak sebanding dengan serangan Jepang di Pearl
Harbor 1945. Yang bisa dibandingkan sebenarnya sebuah aksi te-
ror di Kota Oklahoma, 19 April 1995. Di sana bom diledakkan di
sebuah gedung pemerintah pusat; 168 orang tewas (termasuk 16
bocah di bawah umur 6 tahun) dan 324 gedung hancur atau ru-
sak. Tapi teror ini tak disebut dalam retorika pasca-11/9 karena
ia dilakukan orang Amerika sendiri, Timothy McVeigh dan ka-
wan-kawannya. Para penentang pemerintah federal Amerika ini
adalah indikasi bahwa negeri itu bukanlah sebuah keutuhan. Se-
mentara itu, para teroris 11/9 (sebagaimana pesawat-pesawat Je-
pang di Pearl Harbor) adalah ”orang luar” yang dengan ancaman-
nya justru membentuk citra tentang Amerika Serikat sebagai ku-
bu yang tak retak.

Beberapa hari setelah 11/9, bendera garis-dan-bintang dipa-
sang di mana-mana. Ia bahkan satu-satunya yang dikibarkan
di Rockefeller Plaza di 50th Street; bendera negara-negara dunia
yang sebelumnya terpasang di sana telah dicopot. Amerika Seri-
kat telah mengambil alih posisi korban, juga suasana berkabung
dan kecemasan yang universal, jadi miliknya sendiri. Dengan

Catatan Pinggir 10 153

http://facebook.com/indonesiapustaka 11/9

kata lain: sebuah pengucapan nasionalisme yang tak baru.
Maka aneh bila orang menandaskan, 11/9 telah mengubah

dunia. Apa yang berubah? Al-Qaidah tetap tak mengalahkan
Amerika dan perang Amerika yang menyusul setelah itu tetap
sebuah kekerasan imperial yang lama. Sajak Robinson Jeffers di
akhir 1930-an tetap bersuara tajam di abad ke-21: ”Never weep, let
them play/ Old violence is not too old to beget new values.”

Tempo, 18 September 2011

154 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka GUANTÁNAMO

ADA sepatah kata yang agaknya dicoba dilupakan Oba-
ma—kata yang dicoba dilontarkan jauh-jauh tapi berge-
tar seperti lembing yang tertancap di tempat lain: ”Guan-
tánamo”.

Nama itu tak lagi menandai sebuah wilayah. Ia menunjuk ke
serangkai ketakjelasan.

Hanya setahun setelah ”11/9”—setelah Kota New York digun-
cang dua pesawat teroris yang menghancurkan Menara Kembar
dan membunuh hampir 3.000 orang sekaligus—Amerika Seri-
kat menyerbu Afganistan. Sejumlah orang tertangkap.

Dari Afganistan mereka diterbangkan jauh ke pantai Teluk
Guantánamo, wilayah tenggara Kuba yang sejak 1903 disewa AS
untuk pangkalan angkatan laut. Pemerintah Kuba yang seka-
rang menganggap perjanjian itu tak berlaku, tapi Castro tak bisa
mengubah keadaan. Anehnya, pemerintah AS sendiri yang ke-
mudian menentukan tempat itu di luar yurisdiksi hukumnya.

Akhirnya ”Guantánamo” adalah wilayah yang tak jelas status-
nya untuk tahanan yang tak jelas statusnya—orang-orang yang
dianggap bukan ”tawanan perang” yang berhak diperlakukan de-
ngan ketentuan Konvensi Jenewa.

Dalam ketakjelasan itu pemerintah Bush mengelak dari hu-
kum internasional. Sekaligus ia menunjukkan, sebagaimana ke-
tika menyerbu Irak tanpa mengindahkan PBB, bahwa Amerika
Serikat adalah sebuah perkecualian. Negeri lain di muka bumi
harus menaati hukum antarbangsa, tapi AS tidak.

Syahdan, di satu sudut Washington Square, satu hari setelah
”11/9”, saya melihat sederet kalimat terpasang, konon dikutip da-
ri Nelson Mandela. Kata-kata itu seakan-akan memperingatkan
agar AS, dalam amarah dan kepedihan, tak terjerumus: ”Rasa ta-

Catatan Pinggir 10 155

http://facebook.com/indonesiapustaka GUANTÁNAMO

kut kita yang terdalam bukanlah karena kita tak memadai. Rasa
takut kita yang terdalam adalah karena kita kuat, lebih kuat dari
yang bisa dibayangkan. Terang-benderang kitalah yang mena-
kutkan kita, bukan kegelapan kita.”

Tapi apa mau dikata. Itu cuma kalimat di pojok taman New
York. Sejak ”11/9”, AS merasa jadi korban; ia merasa membawa
terang-benderang, bukan kegelapan. Dan ia sadar ia sangat kuat.

Dengan itulah ia memang terjerumus.
”Guantánamo” jadi kata yang terpaut erat dengan kesewe-
nang-wenangan: di sana ditahan ratusan orang yang belum ter-
bukti bersalah untuk waktu yang tak ditentukan. ”Guantánamo”
juga terpaut dengan penyiksaan.
Satu fragmen penuturan Abu Zubaydah yang ditangkap ten-
tara Amerika dalam satu serbuan di Faisalabad, Pakistan, 28 Ma-
ret 2002: ”Saya dikeluarkan dari sel saya dan salah seorang intero-
gator membungkus leher saya dengan sehelai handuk, dan dengan
itu mereka mengayunkan tubuh saya dan membenturkannya
berulang kali ke tembok keras kamar....”
Orang Palestina berumur 31 itu diduga orang penting dalam
Al-Qaidah, meskipun belum pernah terbukti. Dalam The New
York Review of Books 13 Oktober 2011, dengan tajam dan masy-
gul Mark Danner menulis bagaimana Amerika telah masuk ke
state of exception, keadaan luar biasa yang memperkenankan pe-
langgaran konstitusi dan hak-hak asasi. Yang ditanggungkan
Abu Zubaydah adalah contohnya.
Tapi state of exception itu sebenarnya bukan benar-benar ke-
adaan ”luar biasa”. Penyiksaan atas Abu Zubaydah adalah satu
”de-nasionalisasi” (atau ”internasionalisasi”) kekejaman: seorang
tersangka bisa diperkosa hak-haknya dengan cara mengirimnya
ke luar wilayah nasional. Guantánamo dinyatakan berada di luar
yurisdiksi hukum Amerika. Para tahanan dikirim ke negeri-nege-
ri lain yang mau bekerja sama, ke bui-bui rahasia nun di Polandia,

156 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka GUANTÁNAMO

Maroko, Lithuania, Pakistan, Rumania, juga mungkin Libya. Di
sana mereka bisa disiksa untuk ”mengaku”.

Dengan itu Amerika mengukuhkan keburukan berabad-
abad: kesewenang-wenangan terhadap orang yang dianggap mu-
suh adalah hal yang wajar, di mana saja, dulu dan kini. Artinya
Amerika tak berada di pihak yang ingin mengubah dunia jadi le-
bih baik: ia termasuk suara yang yakin tak ada harapan. Presiden
Obama, yang mendapat Hadiah Nobel Perdamaian dan pernah
berjanji menutup kamp Guantánamo, ternyata seakan-akan me-
lupakannya.

Atau mungkin juga ini peneguhan pandangan yang percaya
bahwa semua keputusan tentang baik dan buruk tak memerlukan
ingatan panjang, sebab tak ada yang kekal. Yang baik dan yang
buruk adalah hasil keputusan politik. ”De-nasionalisasi” keke-
jaman justru menunjukkan bahwa di mana-mana tak ada dasar
yang universal yang menentukan apa yang sewenang-wenang
dan yang tidak. Kita harus mengakui contingency sebagai kondisi
satu-satunya ketika kita coba tentukan nilai-nilai kita: semua ber-
gantung pada konteks; tak ada yang pasti.

Agaknya di sini bergaung pragmatisme yang dikukuhkan
Richard Rorty. Bagi Rorty, filsafat, yang hendak menentukan apa
yang benar dan yang baik, seyogianya ditinggalkan. Metafisika,
yang berpretensi mengetahui apa yang universal, sebenarnya ha-
nya melihat dari luar, dari atas, kejadian. Sebab itu lebih baik sas-
tra ketimbang filsafat. Kata Rorty, lebih baik ”menyajikan kisah-
kisah yang memberi inspirasi tentang episoda atau tokoh dalam
masa lalu bangsa—episoda dan tokoh yang jadi panutan sebuah
negeri”.

Tapi dengan itu ia menangkis tesisnya sendiri: bukankah ”epi-
soda” atau ”tokoh” tauladan itu dipilih dengan dasar yang kukuh
tentang apa yang baik? Bukan nilai yang hanya lahir dari satu ru-
ang dan waktu?

Catatan Pinggir 10 157

http://facebook.com/indonesiapustaka GUANTÁNAMO

Ada yang mencatat, pembangkangan di Dunia Arab kini ter-
paut juga dengan kata ”Guantánamo”. Di sana banyak orang
Arab dianiaya. Akhirnya ”Guantánamo” jadi lembing yang bisa
ditusukkan siapa saja, di mana saja—dan sebab itu membangkit-
kan amarah orang-orang di negeri lain, tentang kesewenang-we-
nangan penguasa mereka.

Pada saat seperti itu, ”Guantánamo” punya gema yang mung-
kin tak disangka Obama.

Tempo, 25 September 2011

158 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka REPRESENTASI

POLITIK tak bisa dikurung di satu tempat. Politik tak ha-
nya berkisar di sejumlah lembaga. Bahkan partai, parle-
men, dan pemerintahan bukanlah ruang dan waktu poli-
tik yang sebenarnya. Penghitungan suara, adu kata-kata yang se-
tengah jujur dan yang culas, kalkulasi yang tak bisa dielakkan
untuk memenangi pemilihan umum yang akan datang—semua
itu ”politik” dalam arti yang terbatas: sebuah persaingan kekuat-
an. Di situ belum ditegaskan, persaingan antara siapa dan siapa.

Dalam teori, apa yang terjadi di lembaga-lembaga itu merupa-
kan gema dari yang di luar, di jalan, di tengah sawah-ladang, di
laut dan pantai dan wilayah hutan, di tambang minyak dan mi-
neral. Tapi ada yang salah dalam anggapan ini.

Terutama ketika hampir tiap hari kita saksikan betapa tak pro-
duktifnya parlemen melahirkan legislasi, betapa korup dan ang-
kuhnya para politikus yang duduk di dalamnya, betapa jauhnya
lembaga-lembaga itu—DPR, kabinet, aparat penegak hukum—
dari orang-orang yang teraniaya. Terutama ketika yang teraniaya
itu mereka yang tak masuk hitungan dalam percaturan kekuasa-
an: umat Ahmadiyah yang dibakar rumah ibadahnya dan diusir
bahkan dibunuh, orang Kristen yang dicegah menggunakan ge-
reja mereka, buruh tambang yang digaji begitu tak adil, pekerja
seks yang diusir, seniman yang dilarang karyanya....

Agaknya kita perlu meninjau kembali, benarkah sistem yang
kita kenal kini—katakanlah ”demokrasi liberal”—merupakan
format yang tak punya alternatif lain.

Kita mulai dengan parlemen, lembaga yang berperan sentral
dalam sistem itu. Kata yang lazim dipakai untuk parlemen adalah
”representasi”. Dalam bahasa Indonesia: ”perwakilan”. Yang per-
tama menunjukkan ada yang dihadirkan kembali, dari kata re-

Catatan Pinggir 10 159

http://facebook.com/indonesiapustaka REPRESENTASI

present. Yang kedua lebih jelas bagi apa yang ingin saya kemu-
kakan: wakil bukanlah yang diwakili; wakil dari X bukanlah X
yang [seakan-akan] dihadirkan kembali. Antara yang ”mewakili”
dan yang ”diwakili” ada persamaan posisi, tapi masing-masing
oknum yang berbeda.

Oknum yang diwakili, dalam tatanan demokrasi, adalah
”rakyat”. Penamaan ini saja sudah sebuah problem. Sebab dengan
demikian diasumsikan ada sesuatu yang bisa diidentifikasikan:
sesuatu yang utuh dan tetap. Tapi bahkan sehimpun pemilih se-
buah partai politik—apalagi seluruh ”rakyat”—tak pernah sela-
manya berada dalam ruang dan waktu yang sama. Tak ada iden-
tifikasi yang tak meleset. Tak ada identitas yang tak berubah.

Perubahan itu menyebabkan ”representasi” selalu tak mema-
dai. ”Rakyat” yang menurut hukum diwakili di sana sering mera-
sa tak diperhitungkan. Los indignados, ”kaum yang amarah”, ra-
tusan ribu orang yang berkumpul di Puerta del Sol, di ibu kota
Spanyol yang ”demokratis”, adalah contohnya. Mereka menco-
ba menggugat demokrasi yang bagi mereka tak mengajak mereka
ikut serta dalam keputusan untuk publik.

Memang, dengan segera Puerta del Sol sepi kembali. Amarah
ribuan orang itu dijinakkan—dengan pemilihan umum, misal-
nya. Sudah tentu, lembaga yang ada dengan sendirinya berusaha
agar ”kaum yang amarah” tak mencederainya. Sang lembaga ha-
rus kukuh dalam sistem dan prosedurnya sendiri. Maka perwa-
kilan yang tak memadai itu pada akhirnya memagari apa yang
tengah dan akan berubah. Lembaga menegakkan tata. Lembaga,
dalam istilah Jacques Rancière, adalah ”Polisi”. Di sana politik di-
ambil alih, tapi juga dibekukan.

Tapi ada yang mustahil. Tiap rezim mengandung ketegang-
an. Di satu pihak ia bertolak dari asumsi kesetaraan: antara yang
mengatur dan yang diatur tak ada celah dalam kapasitas, hingga
kebijakan diharapkan akan dipahami dan diikuti. Tapi di lain pi-

160 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka REPRESENTASI

hak tiap rezim bertolak dari hierarki.
Dengan kata lain, Polisi akan selalu ada, tapi selalu ada juga si-

kap yang menampung asumsi kesetaraan yang mendasari sistem
politik modern. Pada gilirannya sikap itu bertahan, bahkan akan
selalu jadi gerak yang melawan hierarki.

Gerak itulah politik. Politik, kata Rancière, ”tak dapat didefi-
nisikan semata-mata sebagai pengorganisasian sebuah komuni-
tas”. Politik juga tak bisa disamakan dengan ”pengisian tempat
pemerintahan”. Politik selamanya adalah ”alternatif bagi tata Po-
lisi yang mana pun”.

Dewasa ini, beberapa dasawarsa setelah ”demokrasi liberal”
dinyatakan sebagai pemenang di akhir sejarah—setelah rezim-
rezim yang menyebut diri ”demokrasi rakyat” atas nama sosialis-
me runtuh—orang memang makin merasa tepuk tangan itu ter-
lalu cepat. Makin terasa ada pintu yang tertutup. Ada suara-suara
yang jadi terasing, atau tak diakui, atau tak diperhitungkan. Ju-
rang antara ”wakil” dan yang ”diwakili” terasa membentang. Re-
presentasi hanya membentuk sebuah kerowak. Pintu itu harus di-
jebol.

Tapi tak mudah: perubahan senantiasa membentuk masyara-
kat. Dalam perubahan itu, akan ada ”kaum yang amarah” baru,
yang menerabas ”pengorganisasian sebuah komunitas”. Kecuali
apabila tak ada lagi hierarki dan tak ditegakkan lagi lembaga. Na-
mun, seperti disebut tadi, Polisi akan selalu ada. Apa boleh buat.

Memang kita tak bisa berbicara tentang optimisme di dalam
hal ini: pembebasan manusia dari tata yang lama akan selalu ber-
akhir dengan benturan ke dinding tata yang baru. Tapi pada saat
yang sama kita tak bisa menawarkan pesimisme, sebab perlawan-
an akan selalu terjadi terhadap tata yang eksklusif. Politik akan
selalu hidup, dengan gejolak yang bermacam-macam.

Tapi dengan demikian setidaknya kita menyadari, sebuah
demokrasi tak berhenti dalam satu bentuk. Tanpa, seperti kata

Catatan Pinggir 10 161

http://facebook.com/indonesiapustaka REPRESENTASI

Marx, kita tergoda ”menulis resep untuk kedai masa depan”—ka-
rena kita tak mampu—pada akhirnya kita harus membayangkan
politik sebagai arus yang belum berhenti. Bukan tebing.

Tempo, 2 Oktober 2011

162 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka PANAH

MEMANAH adalah membinasakan secara persis. Pada
satu titik.
Pada suatu hari Durna menyuruh para muridnya
membidik seekor burung di dahan pohon. ”Apa yang kaulihat?”
tanya sang Guru.

Suyudana: ”Hamba lihat seekor burung di dahan sebelah ki-
ri.”

Arjuna: ”Hamba tak melihat apa-apa. Tak ada dahan dan tak
ada unggas. Yang hamba lihat hanya kepala seekor burung.”

Bagi sang Guru, Arjuna-lah yang benar. Membidik berarti
menentukan fokus. Bagi sang pemanah ulung, titik yang harus
dihantamnya itulah segala-galanya. Dengan kata lain, ia menia-
dakan—atau tak mencerap—hal-ihwal di luar sasaran yang diin-
car: konteks, latar, sejarah harus dianggap tak ada. Dengan cara
itu, destruksi akan lebih pasti. Yang terpacak di sana itu tak diberi
kesempatan untuk berpindah dan berubah.

Analogi memanah adalah kekuatan/kekuasaan, terutama da-
lam sifatnya yang agresif: sebuah ketegasan yang lurus. Yang akan
dihancurkan tak dibiarkan bergeser. Dengan niat mengalahkan,
kekuatan/kekuasaan meletakkan dunia dalam bidikan, dalam se-
buah pusat persepsi. Dari pusat itu ditentukan mana yang dekat
dan yang jauh, mana yang patut masuk ke dalam lingkaran per-
tama dan mana yang ditampik.

Dalam derajat yang berbeda, itu juga perilaku Negara, lemba-
ga agama, dan kekuasaan lain seperti kapitalisme. Di pusat per-
sepsi kapitalisme, ada sebuah klasifikasi tentang mana yang bisa
diasimilasikan karena ”menguntungkan” dan mana yang akan
”merugikan”. Bagi lembaga agama, ada yang di luar garis dan di
dalam garis ”iman”. Negara punya pembagian yang berbeda, tapi

Catatan Pinggir 10 163

http://facebook.com/indonesiapustaka PANAH

dengan kehendak penguasaan yang sama.
Negara Hindia Belanda adalah satu contohnya. Divide et im-

pera menampilkan masyarakat Indonesia yang dibagi-bagi, bu-
kan untuk menghormati perbedaan yang ada, melainkan untuk
mengendalikan yang ada. Dengan pembagian itu, administrasi
kekuasaan akan lebih efisien dan efektif.

Maka dibentuklah kategori ”Timur asing”, ”pribumi”, ”Jawa”,
”Dayak”, ”Sunda”, ”Papua”, dan seterusnya— identitas-identitas
yang sebelum kolonialisme tak pernah jelas dan stabil. Dengan
menegakkan identifikasi itu sang penjajah membidik dan melon-
tarkan laso ke arah hiruk-pikuk manusia di luar gedung guberne-
men dan menjerat mereka di dalam sederet nama. Juga dalam se-
deret konsep.

Maka lahirlah ”golongan” atau ”suku”. Maka dicampakkanlah
apa yang ambigu, yang remang-remang, yang labil, yang merupa-
kan perkecualian dalam tiap ”golongan” atau ”suku” itu. Lalu dik-
erahkanlah risalah, argumentasi, wacana, kata-kata, dan seluruh
tata simbolik untuk meneguhkan identitas-identitas itu—se-
akan-akan semuanya datang sejak masa Adam beranak-pinak.

Kolonialisme bertakhta di atas klasifikasi yang menjerat
”yang-lain” secara radikal. Orang-orang di koloni ditahbiskan se-
bagai unit-unit yang sama sekali bersih dari pelbagai ”yang-lain”:
dalam golongan ”Timur asing” tak boleh ada aneka-ragam yang
berubah dalam sejarah. Mereka dianggap mandek. Mereka dipa-
tok seakan-akan punya esensi yang tetap. ”Cina” tetap ”Cina”,
”Jawa” dianggap satu, meskipun bahasa Tegal tak akan dipahami
orang di Magelang.

Dengan jerat divide et impera, dalam diri identitas-identitas
itu semua anasir harus dianggap sepenuhnya tampak. Tak ada
yang remang, tak tercerap, tak tertangkap, yang membuat kita ra-
gu. Panah kekuasaan itu harus mengena.

Tapi mungkinkah? Panah dan jerat kekuasaan akhirnya pu-

164 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka PANAH

nya batas. Administrasi, kontrol, seluruh bahasa kekuasaan, jang-
kauan Gereja dan ulama, tangan-tangan kapital yang panjang—
semua itu bukanlah operasi para dewa. Dengan tubuh dan zat-
nya, hidup punya dinamikanya sendiri yang melawan atau mena-
han jerat klasifikasi apa pun. Atau mengelak.

Ada sebuah tenaga dalam hidup yang tak masuk dalam struk-
tur persepsi kekuasaan, energi yang bergerak tanpa henti. Dalam
momen itulah apa yang disebut Deleuze sebagai ”menjadi-mino-
ri-tas” (devenir-minorité) berlangsung. Di sini ”minoritas” tidak
ditandai oleh jumlah, tapi oleh sifatnya: ia antitesis bagi kekuasa-
an ”mayoritas” (dari kata major, yang berarti ”besar”, ”penting”)
yang mendiktekan struktur. Di sanalah, dalam apa yang ”kabur”,
tak jelas, tak mandek, mengalir—dan tak terbidik oleh sang pe-
nakluk—tersimpan bibit perlawanan.

Maka kekuasaan kolonial selamanya sebuah situasi yang re-
tak. Salah kaprah mengatakan Indonesia hidup di bawah koloni-
alisme selama 350 tahun. Yang benar: Indonesia adalah kerepotan
kolonialisme selama 400 tahun. Sejak usaha penguasaan Eropa
dipatahkan di Banda pada 1529, sampai dengan Perang Aceh
yang baru berakhir pada 1904, diteruskan dengan perang kemer-
dekaan pada 1946-1949, muncul ratusan letupan ”minoritas”
yang tak tertangkap laso kekuasaan. Tak terlihat.

Memang akhirnya selalu ada wilayah yang tak terlihat, juga
oleh raja di raja. Mungkin itu maksud Italo Calvino ketika ia me-
nulis Le città invisibili (”Kota-kota yang Tak Tampak”): Marco
Polo, pengembara dari Venesia itu, berkisah kepada Kublai Khan
tentang 55 kota yang ganjil: kota-kota yang tak tercerap, kota-ko-
ta dalam 11 kategori di luar klasifikasi sang penguasa.

Dalam kehidupan para maharaja, ada satu saat yang menyusul rasa
bangga setelah kita taklukkan wilayah-wilayah luas tanpa batas, rasa sayu
dan lega ketika kita tahu bahwa kita tak akan lagi berpikir untuk bisa

Catatan Pinggir 10 165

http://facebook.com/indonesiapustaka PANAH

mengenal dan memahaminya.
Ada sekelumit rasa hampa yang datang meliputi, bersama bau gajah

setelah hari hujan dan abu kayu cendana yang jadi dingin di liang pem-
bakaran....

Sejak awal, Marco Polo menyebut ”bau” dan bukan ”peman-
dangan”. Ketika kita tak membidiknya untuk menguasai, dunia
bisa sangat ajaib dan tak sepenuhnya kelihatan.

Tempo, 9 Oktober 2011

166 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka PUNAKAWAN

SEHABIS sebuah guncangan, datang gurau. Dalam wa-
yang kulit, humor dipentaskan sehabis gorogoro—setelah
bumi terguncang dan langit bergetar hingga bintang nya-
ris padam dan gunung dan hutan tampak seakan-akan terbang.
Adegan kalang-kabut itu segera diikuti bagian punakawan: Pe-
truk, Gareng, Bagong, dan Semar muncul.

Dalam King Lear, Shakespeare juga menampilkan ”the Fool”
setelah raja tua itu secara dramatis meninggalkan istana dan hi-
dup di padang rumput yang dingin. Atau si penggali kubur dalam
Hamlet setelah Ophelia yang malang itu bunuh diri. Atau si pen-
jaga pintu dalam Macbeth setelah Raja ditikam di kamar tamu.

Seperti para punakawan, tokoh-tokoh itu juga sering disama-
kan dengan badut. Tapi tak tepat. Ada yang tersirat lebih jauh da-
lam gurau mereka, setelah chaos dan destruksi: mereka tak cuma
ingin disambut ketawa. Jan Kott, penelaah Shakespeare yang ter-
masyhur itu, benar ketika ia mengatakan bahwa ”the Fool”, si Bo-
dor dalam King Lear, hadir dalam tragedi itu sebagai penolakan
terhadap semua yang lahiriah, hukum dan tatanan moral. De-
ngan kata lain, penolakan terhadap semua hal yang dikukuhkan
raja-raja; si Bodor telah menyaksikan yang brutal dan didera naf-
su di lingkungan istana. Maka baginya Lear, raja tua yang terusir
itu, menggelikan; jauh di keluasan padang yang muram itu ia
masih hendak menegakkan aura kekuasaannya yang fiktif. ”Si
Bodor tahu,” tulis Kott, ”satu-satunya kegilaan yang sejati adalah
mengenali dunia sebagai sesuatu yang rasional.”

Dengan kata lain orang akan lebih selamat bila tahu kehidup-
an di dunia adalah sesuatu yang tak rasional—sebuah pandang-
an yang mengandung protes dan kritik dari lapisan paling bawah.
Sebab tatanan selamanya ditegakkan dengan cara membagi-bagi

Catatan Pinggir 10 167

http://facebook.com/indonesiapustaka PUN A K AWA N

hal-ihwal di dunia, sementara hal-ihwal itu sebenarnya terus-me-
nerus berubah, bergeser, bercampur. Ada yang dipaksakan dalam
tiap tatanan; apa saja yang berbeda dianggap sesat atau kurang.
Yang ”normal” menyingkirkan yang ”abnormal”—padahal sesu-
atu dianggap ”normal” hanya karena adanya yang ”abnormal”.

Petruk, Gareng, Bagong, dan Semar adalah tokoh-tokoh yang
abnormal. Tubuh dan wajah mereka grotesk. Hidung Petruk pan-
jang seperti lobak, hidung Gareng seperti sarung tinju, dan ra-
hang Bagong seperti roda becak yang ketabrak. Semar yang ber-
kuncung—ia sering dikatakan ”bukan-pria-bukan-wanita”—
punya pantat yang menggelembung seperti balon yang gagal
naik.

Kita tak pernah tahu asal-usul mereka. Yang pasti, mereka tak
ada dalam Mahabharata. Yang pasti, mereka pengacau: mereka,
seperti si Bodor menurut Kott, adalah sebuah penolakan. Yang
mereka tolak, dan sekaligus mereka kacaukan, adalah rezim este-
tika yang berlaku. Mereka sebuah interupsi yang mengganggu
apa yang disebut Rancière sebagai ”le partage du sensible”: konsen-
sus atau tatanan yang memisahkan dan membagi-bagi sesama
(manusia, makhluk, hal-ihwal) dalam klasifikasi berdasarkan ke-
mampuan berpikir, selera, dan sikap—tentu saja sebagai bagian
keinginan yang berkuasa.

Dalam rezim estetika itu, yang ”halus” ditaruh di tempat yang
diunggulkan. Yang ”halus” ditandai keapikan aristokratik: ang-
gun, gemulai, rapi, ramping (bukan kurus kering)—tanda fisik
dan kejiwaan orang yang tak harus bekerja di lingkungan yang
keras dan kotor, cukup punya waktu senggang dan kekuasaan
hingga tak perlu menyampaikan kehendak dengan suara tak sa-
bar. Mereka juga orang-orang yang cukup gizi hingga biasa ma-
kan dengan kalem, tak tampak gelojoh.

Adapun mereka yang tak punya ciri-ciri itu dianggap hina,
bahkan sebagai musuh: orang seberang, raksasa, atau Kurawa.

168 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka PUN A K AWA N

Jelas rezim estetik itu terkait dengan kekuatan dan posisi poli-
tik. Mahabharata adalah epos para pangeran di sebuah masyara-
kat yang ditata dengan klasifikasi yang yakin. Ketika epos itu ber-
kembang di Jawa (mungkin di abad ke-7), klasifikasi dari India
itu tak sepenuhnya diterima.

Mungkin para dalang, yang umumnya berasal dari luar pagar
para bangsawan, menyusupkan sebuah protes. Wujudnya Semar,
Gareng, Petruk, dan Bagong, makhluk yang tak elegan tapi per-
lu. Di tiap pagelaran dalang akan mengisyaratkan tak stabilnya
rezim dan konsensus; gorogoro selalu terjadi—dan sejarah Jawa
memang tak asing dengan guncangan-guncangan politik yang
besar.

Sehabis gorogoro: gurau. Gurau sebenarnya sebuah interupsi,
bahkan pengacauan, dalam bentuk lain. Sifatnya bertentangan
dan sebab itu tak bisa dijinakkan. Ada yang agresif, ketika gurau
itu menjadikan orang lain sasaran untuk ditertawai; tapi ada juga
solidaritas, hingga orang bisa ketawa bersama-sama. Ada yang
anarkistis dalam lelucon, tapi juga ada kehendak untuk memu-
lihkan keadaan, misalnya dengan menghibur.

Dengan paradoks itulah gurau para punakawan berperan.
Bahkan sesekali diciptakan kisah dengan satire yang radikal: da-
lam lakon Taliputro-Taliputri, Petruk dan Gareng mengalahkan
para dewa.

Tentu saja akhirnya para demos itu kembali ke bawah. Sebuah
gurauan hanya efektif bila tak berkepanjangan. Tiap penonton
wayang tahu, para punakawan tak berencana mengubah nasib.
Tak ada seruan pembebasan dari dan untuk para Petruk. Bahkan
tiap kali Semar akan memulihkan keadaan; ia akan menghen-
tikan pengacauan mereka dengan petuah-petuah. Bukankah ia
dewa Ismaya yang mengambil wujud manusia yang mengabdi:
sang penegak tata itu juga pelayan tata?

Tapi mungkin inilah ”hiburan”: sebuah emansipasi sejenak.

Catatan Pinggir 10 169

http://facebook.com/indonesiapustaka PUN A K AWA N

Saat-saat egaliter terjadi ketika si hamba tampil tak terkait pada
rezim apa pun, bahkan mengolok-olok si majikan. Siapa tahu
yang sejenak itu bisa juga memberi inspirasi.

Tempo, 16 Oktober 2011

170 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka LA GUERRE

KINI tak akan ada lagi orang tua bertubuh kurus tapi pe-
nuh energi itu di restoran di rue Vaugirard nomor 12,
Paris.
Umar Said, pemula ”Restaurant Indonesia” itu, baru saja me-
ninggal. Umurnya panjang, kisah hidupnya beragam: ia lahir 26
Oktober 1928, di dekat Kota Tumpang, beberapa puluh kilome-
ter dari Malang; ia menyaksikan amarah rakyat kepada penindas-
an Jepang; ia ikut bertempur di Surabaya dan nyaris terbunuh di
bulan November 1945; ia jadi wartawan Indonesia Raya di bawah
Mochtar Lubis di Jakarta pada tahun 1950-an—sebuah koran
yang menentang Bung Karno dan PKI—dan kemudian memilih
bekerja untuk Harian Rakyat, koran resmi PKI.

Sejak PKI dihancurkan, Umar Said terbuang. Ketika peristi-
wa Oktober 1965 meletus, ia sedang berkunjung ke Aljazair. Ia
tak bisa kembali. Akhirnya ia, bersama sejumlah eksil lain, sete-
lah beberapa tahun hidup di Cina, menetap di Paris, jadi warga
negara Prancis, memakai nama André Aumars, membuka ”Res-
taurant Indonesia” untuk memberi nafkah dan pekerjaan bagi
orang-orang yang terbuang itu, dan....

Riwayatnya (saya baca dari bukunya, Perjalanan Hidup Saya,
yang terbit pada 2004) mungkin bukan riwayat seorang tokoh
besar. Tapi sejarah Indonesia melekat dalam riwayat itu—juga
sejarah seseorang, yang, sebagaimana banyak cendekiawan kiri,
punya cita-cita besar untuk Indonesia, dan kemudian terbentur
pada yang tragis dalam cita-cita besar itu.

Yang tragis itu bukan saja kematian berpuluh-puluh ribu
orang kiri karena dibunuh. Juga tragis bahwa setelah itu ada per-
tanyaan yang belum dijawab, seakan-akan ada kegaguan yang
murung: apa yang jadi pikiran Umar Said, juga mereka yang se-

Catatan Pinggir 10 171

http://facebook.com/indonesiapustaka LA GUERRE

nasib, ketika setelah pengorbanan yang demikian mengerikan,
Partai hancur dengan cepat, praktis tanpa perlawanan, dan tak
ada perannya ketika Orde Baru diruntuhkan? Apa juga yang me-
reka pikirkan ketika setelah itu negara-negara sosialis ambruk da-
ri dalam, dan Cina mengambil ”jalan kapitalis” yang dulu diku-
tuk Mao?

Saya bertemu beberapa kali dengan Umar Said; tak tampak
oleh saya ia seorang yang lelah. Rosihan Anwar, wartawan segene-
rasinya yang memberi kata pengantar untuk buku Perjalanan
Hidup, menulis: dalam diri orang ini ”selalu ada cause, selalu ada
tujuan yang diperjuangkannya”.

Beberapa belas tahun setelah ia hidup di Prancis, Umar Said
terlibat dalam ikhtiar untuk menegakkan hak-hak asasi manusia
yang universal—satu hal yang ganjil bagi seorang simpatisan ko-
munis. Marxisme-Leninisme tak berbicara untuk ”manusia yang
universal”. Tapi agaknya Umar Said berubah. Ia mengalami sen-
diri, betapa ia dan kawan-kawannya tertolong oleh mereka yang
berjuang untuk hak-hak itu, termasuk Amnesty International.

Apa yang disebut ”ironi sejarah” terjadi: ketika Mochtar Lubis
ditutup korannya dan dipenjarakan di bawah ”Demokrasi Ter-
pimpin”—dan orang-orang komunis bersenang hati karena itu—
Amnesty International juga yang memperjuangkan pembebasan
wartawan antikomunis itu.

Beberapa puluh tahun setelah 1965: sebuah era baru. Umar
Said sendiri menulis bahwa ia telah melihat betapa ”hal-ihwal
adalah rumit, sering kali bersegi banyak”, dan selalu berubah. Ju-
ga ”saya sendiri sudah mengubah pandangan, atau memang hal-
ihwal itu sendiri sudah berubah”. Tak ada yang mutlak dan man-
deg, katanya. Tak ada yang 100% putih atau hitam.

Tapi agaknya ada yang tak berubah bagi seseorang yang ”se-
lalu ada cause, selalu ada tujuan yang diperjuangkannya”: ia tak
akan mengatakan, ”Perang telah usai.”

172 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka LA GUERRE

Tokoh Diego Mora dalam La guerre est finie, sebuah film
Alain Resnais dari tahun 1966, juga tak mengatakan demikian.
Tapi anggota Partai Komunis Spanyol ini (dimainkan oleh Yves
Montand) makin ragu akan masa depan perjuangannya sendiri.
Ia tinggal sebagai eksil di Paris dan diberi tugas menghubungi ka-
wan-kawan seperjuangannya di bawah tanah untuk melakukan
pemogokan umum sebagai perlawanan terhadap rezim Jenderal
Franco yang berkuasa. Namun Spanyol telah berubah. Sudah
hampir 30 tahun berlalu sejak Perang Saudara yang meletus ta-
hun 1936 selesai pada 1939. Selama itu yang Kiri tersingkir dan
ditindas, dan Spanyol hanya jadi ”puisi liris hati nurani kaum
Kiri dan mitos para bekas pejuang”.

Diego mulai lelah. Ketika ia menghadapi anak-anak muda
yang punya impian revolusioner dengan jalan kekerasan—de-
ngan menyiapkan bom—ia mencoba membenarkan sikapnya
yang berbeda dengan mengatakan, dengan berdalih: ”Kesabaran
dan ironi adalah kebajikan seorang Bolsyewik.”

Saya tak tahu kesabaran macam apa dan untuk apa bagi para
pejuang Bolsyewik macam Diego dan kawan-kawan—kecuali
kesabaran yang menyadari bahwa kemungkinan sebuah revolusi
makin jauh. Tapi kesadaran akan ironi lebih perlu: perubahan
Spanyol itu bukan hasil mereka yang menghendaki perubahan,
melainkan hasil mereka yang justru tak menghendaki perubah-
an. Sekitar satu dasawarsa setelah La guerre est finie dibuat, Jende-
ral Franco wafat. Ia siapkan Pangeran Juan Carlos menjadi raja—
seorang aristokrat yang mengubah Spanyol jadi sebuah demokra-
si.

Kesadaran akan yang tragis dan yang ironis, yang pada akhir-
nya membentuk kesabaran—itukah yang membuat seseorang
lebih arif membaca jalan sejarah? Di akhir bukunya Umar Said
melihat dirinya hanya semacam noktah di tengah semesta perja-
lanan manusia—satu titik yang segera akan tenggelam. Sang pe-

Catatan Pinggir 10 173

http://facebook.com/indonesiapustaka LA GUERRE

juang sampai pada sebuah kearifan: manusia bukanlah pusat
penggerak yang serba perkasa dalam perjuangan.

Tapi tiap titik yang terbatas itu akan meninggalkan bekas bila
ia lahir dalam perjuangan pembebasan bagaikan percik api; de-
ngan kata lain, bila ia menolak mengatakan, ”Perang telah usai.”

Tempo, 23 Oktober 2011

174 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka OWS

KAPITALISME yang penuh gairah, kapitalisme yang
mapan—agaknya itulah yang semula hendak ditam-
pakkan di Taman Zuccotti. Di tengah area seluas 3.000
meter persegi di Distrik Finansial New York itu ada dua buah pa-
tung. Yang satu konstruksi merah yang menjulang: Joie de Vivre
karya Mark di Suvero; yang lain sebuah pahatan perunggu melu-
kiskan seorang pebisnis yang duduk tenang.

Hari-hari ini tentu saja tak seorang pun mempedulikan kedua-
nya. Sejak tiga pekan lalu taman itu dipadati sekitar 2.000 pe-
mrotes yang mendatangi wilayah itu untuk menggebrak kekuasa-
an modal: ”Occupy Wall Street!”. Taman Zuccotti jadi statemen:
tak ada joie de vivre dalam kapitalisme, mantap ataupun krisis.

Amerika Serikat, di mana ”kapitalisme” bukan kata yang ter-
cela, sedang oleng. Indeks kepercayaan konsumen jatuh ke titik
yang belum pernah terjadi selama seperempat abad lebih. Jumlah
orang yang punya pekerjaan makin sedikit, dan tentu saja juga
pendapatan rata-rata. Di tengah kegalauan itu makin tampak
angka-angka yang menimbulkan marah. Statistik resmi pekan
lalu menunjukkan, secara kolektif perolehan yang diterima 99%
pekerja turun, sementara upah mereka yang berpenghasilan satu
juta dolar setahun (hanya sekitar 94 ribu orang) naik sampai 22%
dibanding tahun 2009.

Ketimpangan itu bukan hal baru. Tiga tahun yang lalu Lehm-
an Brothers bangkrut. Pasar modal dunia guncang, ribuan orang
kehilangan uang, dan kepercayaan kepada industri perbankan
guyah: sebuah krisis paling gawat konon selama 80 tahun. Tapi
diketahui bahwa CEO perusahaan investasi itu, Richard Fuld,
hidup dengan gaji dan kompensasi yang royal (lebih dari US$ 500
juta)—jumlah yang begitu tak pantas yang ia coba sembunyikan.

Catatan Pinggir 10 175


Click to View FlipBook Version