The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 10 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by warsinisuharnowo, 2021-11-04 03:15:09

Catatan Pinggir 10 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 10 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka AMBA

bahkan optimisme. Tiap surat menggugah.
Benarkah demikian dulu? Sebuah novel tentang 1965 umum-

nya diminta agar ia ”meluruskan sejarah”. Generasi kini sadar,
mereka tak diberi gambaran yang ”benar” tentang yang terjadi di
sekitar kekerasan politik 1965. ”Orde Baru” mendesakkan penje-
lasan mereka, lewat film yang harus ditonton, buku sejarah dan
media massa yang dikendalikan, juga teror dan sensor. Sebagai
reaksi, kini tampak usaha membebaskan diri dari regimentasi
ingatan selama 33 tahun itu.

Tadi saya sebut, kita berada ketika ”lupa menyiapkan keko-
songan”. Kekosongan akan gairah terhadap yang benar dan adil,
kekosongan dari hal-hal yang bukan sekadar hidup yang praktis.
Mungkin sebab itu, kini fiksi berdasarkan sejarah lebih terasa
”benar” ketimbang penulisan sejarah alias historiografi.

Tapi sebenarnya ada kedekatan di antara kedua jenis penceri-
taan tentang masa lalu itu.

Bagaimanapun, masa lalu adalah masa kini dengan sebuah
adaptor. Kita hidup hari ini dengan ingatan yang tak mesti persis
tentang hari kemarin. Kita butuh mekanisme untuk menyesuai-
kan X yang terkenang dengan X-1 yang terceritakan.

Maka historiografi bukanlah sebuah replika pengalaman.
Tentu akan dikatakan, seorang penulis sejarah bekerja dengan
petunjuk institusional—diteguhkan oleh akademi atau komuni-
tas sejarawan yang diakui—agar mendapatkan presentasi yang
se-”obyektif” mungkin. Tapi setidaknya ada dua hal yang sering
membuat buku sejarah tak bisa mewakili sebuah pengalaman
yang hidup.

Yang pertama: dorongan naratifnya. Cerita sejarah perlu alur,
bahkan mungkin perlu ketegangan, dan juga klimaks. Kalau itu
tak ada, pembacanya akan membentuknya sendiri. Tapi hidup,
apalagi hidup sejumlah besar manusia, tak terhingga majemuk-
nya, tak jelas suspens dan klimaksnya—sifat yang akan tampak

376 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka AMBA

bila kita buat rekaman film tentang hidup kita dari menit ke me-
nit katakanlah selama 45 tahun. Di hadapan itu, penulis sejarah
perlu ”bentuk” dalam narasi. Karyanya tak berbeda jauh dari se-
orang penulis novel.

Yang kedua: kehendak ”rasionalitas”. Satu kejadian didorong
untuk bisa ”masuk akal”, terutama harus diletakkan dalam hu-
bungan sebab-dan-akibat. Dalam kehendak ”rasionalitas”, tak
ada yang tanpa penjelasan; tak ada asap kalau tak ada api.

Namun penjelasan yang ”masuk akal”, sebagaimana hubung-
an sebab-dan-akibat, sebenarnya hanyalah bentukan pikiran ma-
nusia—tepatnya sang penulis sejarah yang menganalisis dan me-
ngaitkan satu kejadian dengan kejadian lain. Padahal banyak hal
yang contingent, serba mungkin apa jadinya dan asal-usulnya. Ti-
ap ikhtiar naratif untuk meletakkan mereka dalam sebuah ke-
rangka—dengan alur yang rapi dan hubungan sebab-akibat yang
”masuk akal”—menyebabkan historiografi beberapa meter men-
jauh dari ”yang benar”. Apalagi bila kerangka itu ditentukan se-
buah kekuasaan yang ingin membuat buku sejarah sebagai legiti-
masi diri.

Fiksi, atau sastra, bisa lebih bebas dari kerangka yang menjerat
itu. Sastra tak ”mengingat”, dalam arti mengulang yang sudah.
Sastra ”mencipta”. Ada kata-kata Mark Twain yang terkenal,
”When we remember we are all mad, the mysteries disappear and life
stands explained.” Sastra menyelamatkan misteri dari sikap taka-
bur para penjelas. Sastra bersedia menempuh yang tak ”masuk
akal”.

Mungkin itu sebabnya Midnight’s Children Salman Rushdie
membaurkan sejarah India modern dengan mithologi dan do-
ngeng fantastis, diperkaya sikap bermain-main dengan alegori
dan kata yang bisa lucu. Amba juga membiarkan titik-titik mis-
teri. Ia punya puisi. Tapi ia memilih bentuk yang lebih ”realistis”,
dengan membiarkan benturan antara mithos (kisah Bhisma dan

Catatan Pinggir 10 377

http://facebook.com/indonesiapustaka AMBA

Amba dalam Mahabharata) dan sejarah, antara sejarah dan kehi-
dupan orang seorang. Novel ini, dengan riset yang mengesankan,
tak bermain-main.

Tanpa memperpanjang yang tragis dan seram dari 1965, Am-
ba tampaknya menyadari satu hal, dan ini dibawakannya dengan
elegan: luka sejarah bisa disembuhkan, tapi tak sepatutnya me-
nyebabkan orang ketawa.

Tempo, 7 Oktober 2012

378 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka EL DEMONIO

SETELAH tujuh tahun bersekolah di Eropa, Ibarra pulang
ke Filipina, dan di sepanjang Kota Manila ia tak hanya
melihat Manila. Di matanya, kebun beragam tumbuhan
di kota itu tak putus-putusnya tampak dibayang-bayangi taman-
taman yang pernah dikenalnya di Eropa. Ia tak lagi melihat begi-
tu saja; baginya, tamasya itu sesuatu yang dekat dan sekaligus ja-
uh. Seakan-akan ada setan yang memperdayanya dengan jarak
dan waktu. Ia resah.

Di saat itu, menjelang akhir abad ke-19 itu, tokoh utama da-
lam novel Noli me Tángere yang ditulis pahlawan nasional Filipi-
na José Rizal ini merasakan apa yang disebutnya sebagai el demo-
nio de las comparaciones. Dalam buku Benedict Anderson yang
cemerlang, The Spectre of Comparisons, momen itu diambil seba-
gai salah satu contoh awal kesadaran kebangsaan, terutama di
Asia Tenggara. Ada yang mengatakan bahwa kesadaran itu tak
sekadar tumbuh dari ”mambang”, spectre, tapi dari ”iblis”, demon,
atau el demonio. Begitu menggugah, begitu membakar.

Membandingkan memang mengandung dua titik pandang:
jauh dan dekat. Dalam keduanya kita menemukan yang sama
dan sekaligus beda, universal dan yang partikular. Dalam tafsir
saya, permainan tipu daya sang Iblis terletak dalam ”waktu”.

Dua waktu yang berbeda—waktu Ibarra di Berlin dan waktu
ia berada di Manila—seakan-akan homogen. Masing-masing se-
akan-akan tak berisi apa-apa, seperti bujur sangkar yang secara
universal dikenal sebagai bentuk yang semua sisinya sama pan-
jang, seperti deretan petak di kertas datar. Anderson memakai is-
tilah ”waktu yang homogen dan kosong”, homogenous empty time.

Tapi tentu saja ”waktu” yang seperti itu sepenuhnya abstrak.
Sementara itu ”waktu” yang kita alami sehari-hari, juga yang di-

Catatan Pinggir 10 379

http://facebook.com/indonesiapustaka EL DEMONIO

alami Ibarra, adalah ”waktu fenomenologis”: mengalir terus tapi
sekaligus bersentuhan dengan tubuh dan ruang, dan di dalam
semua itu ada emosi, suasana hati. Ia bergerak dalam proses, tapi
tak seluruhnya terbangun sebagai keragaman yang murni. Detik
ini tak mengulangi detik sebelumnya dan tak akan diulangi oleh
yang sesudahnya, tapi semua itu dipertemukan di sebuah ”kos-
mos”.

Sebab itulah yang terjadi dalam pengalaman Ibarra itu menya-
kitkan: Manila yang begitu miskin, bila dijajarkan dengan Berlin,
meskipun kedua-duanya punya taman kota, adalah Manila tem-
pat ia berdiri, punya masa silam, merasa sebagai seseorang yang
tak seluruhnya cair seperti tinta yang belum membentuk sebuah
gambar.

Kini, hampir satu setengah abad setelah Ibarra kembali ke
Manila, perbandingan dari satu tempat ke tempat lain makin ce-
pat, makin beragam. Inilah di zaman ketika surat kabar dan se-
mua produk ”kapitalisme cetak” mulai menurun pengaruhnya.
Televisi, atau informasi audiovisual yang lain, kian menghubung-
kan satu kejadian di sebuah tempat pada saat yang sama dengan
kejadian di tempat lain. Semakin lama semakin hadir apa yang
dalam bahasa Inggris disebut sebagai real time.

Dalam situasi itu, tentunya kita akan mengatakan, ”sang iblis”
akan semakin memperdaya: dekat dan jauh menjadi semakin ka-
bur. Ketika pada 1755 Kota Lisbon dihantam gempa, yang disu-
sul dengan tsunami dan kebakaran besar—sebanyak 85 persen
gedung hancur, termasuk istana, arsip sejarah dan perpustakaan
musnah—baru sekitar seminggu kemudian berita itu sayup-sa-
yup sampai di kuping orang di Paris. Kini ”waktu fenomenologis”
semakin mendesak. Tsunami di Indonesia dan di Jepang diberita-
kan saat kejadian itu berlangsung. Sebuah jam siaran yang meng-
hadirkan korban-korban pertempuran di Kota Aleppo, Suriah,
serentak dengan itu menyiarkan sebuah fashion show di sebuah

380 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka EL DEMONIO

mall di Jakarta.
Dan tak hanya itu: berbeda dengan berita di koran harian

yang konstruksinya dibuat seragam (harus mengikuti kaidah be-
rita ”5W-1H”, harus menempatkan informasi terakhir dan ter-
penting di baris awal), berita-berita televisi dan Internet meniada-
kan keseragaman konstruksi itu.

Dan lebih dari itu semua, pengalaman informasi tentang pe-
ristiwa X datang dalam waktu yang serentak ketika X itu tengah
berlangsung—meskipun di tempat yang sangat berjauhan dan
berbeda.

Ini membuat kita tak mudah melihat di mana ujung peristiwa
itu. Memang, dalam zaman instant noodle dan quick count ini, ke-
tika televisi merangsang komentar-komentar seketika, yang tam-
paknya dominan adalah ketergesa-gesaan. Berita besar kemarin
segera ditenggelamkan berita besar hari ini. Para peneliti sebuah
bidang kehidupan digantikan ”pengamat”. Sejarawan diambil
alih penyusun timeline. Yang diakronik, yang berkembang dalam
waktu, praktis tak berarti lagi, digantikan yang sinkronik.

Hegel pernah mengatakan, sejarah—karena merupakan riwa-
yat perkembangan akal budi manusia—akhirnya ditulis bukan
lagi dalam bentuk puisi. Baginya, prosa lebih dari puisi, historio-
grafi modern lebih ulung ketimbang tembang-tembang Babad
Tanah Jawi. Prosa punya kemampuan analisis dan sintesis. Seja-
rah dalam prosa akan menghadirkan sebuah kesatuan yang mem-
bayangkan adanya Ide.

Prosa juga keteraturan. Bagi Hegel, sejarah berlangsung da-
lam proses dialektik: beberapa hal yang bertentangan dalam ke-
hidupan bertempuk dan setelah itu terjunjung menjadi sesuatu
yang baru, makin lama makin menuju ke sebuah ujung. Ujung
itu, menurut Hegel, jelas, sesuai dengan akal budi.

Tapi hari makin menjauhi Hegel. Ibarra punya Iblis-nya sen-
diri. Kini, el demonio bukan merisaukan kita dengan perbanding-

Catatan Pinggir 10 381

http://facebook.com/indonesiapustaka EL DEMONIO

an antara wujud yang setara tapi tak sama, melainkan hasrat akan
sebuah ujung yang nyaman dan keserbamungkinan.

Dengan kata lain, kita ada, kita berpikir atau berzikir, dan kita
tetap saja bisa tergelincir.

Tempo, 14 Oktober 2012

382 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka ZARAH

ANAK-ANAK, dengan cara apa mereka percaya? Dalam
novel Dee, Partikel, kita bertemu dengan Zarah. Anak
perempuan ini dididik dan dibentuk ayahnya, Firas, do-
sen Institut Pertanian Bogor yang tak hendak mengirimnya ke se-
kolah. Firas sendiri kemudian berhenti pergi ke kampus. Ia hanya
jadi guru anaknya. Di bawah asuhan bapak yang kelak hilang itu,
Zarah akan bertemu dan memasuki pengetahuan dan pengalam-
an yang tak lazim.

Firas seorang peneliti (dan sahabat) tumbuh-tumbuhan yang
meletakkan fungi di status istimewa. Baginya fungi bukan saja
membuktikan diri sanggup bertahan hidup melampaui dua kia-
mat ketika bumi ditabrak asteroid. Firas juga yakin, fungi adalah
makhluk dengan kecerdasan super, melampaui manusia.

Dari sini kemudian ia berangsur-angsur membawa Zarah ke
pengetahuan tentang hal-ihwal yang ”gaib”, tapi sebenarnya gaib
hanya bagi yang tak mau tahu. Ayahnya mengajaknya ke Bukit
Jambul yang misterius. Setelah pengalaman di bukit yang dijauhi
orang itu Zarah pun tahu, ayahnya mencatat pertemuannya de-
ngan makhluk yang tak datang dari bumi, alien, meskipun mera-
hasiakannya sampai akhir.

Pada suatu hari sang ayah menghilang. Sejak itu Zarah—yang
mengagumi ayahnya dan mengiaskannya sebagai ”dewa”—men-
carinya. Ia masuki pengalaman dari satu benua ke benua lain,
sampai novel yang mengasyikkan ini berhenti—atau berhenti se-
bentar, sebab fiksi ini (delapan tahun setelah episode Petir terbit
pada 2004) tampaknya masih akan berlanjut.

Zarah adalah sebuah pencarian panjang. Ia sejumlah perta-
nyaan hidup yang mengusik jawaban-jawaban yang mati. Di du-
nia yang dibentuk jawaban seperti itu, ia seorang asing yang di-

Catatan Pinggir 10 383

http://facebook.com/indonesiapustaka ZARAH

tampik.
Syahdan, ketika ia akhirnya masuk sekolah—setelah ayahnya

tak ada lagi—Zarah mulai merasakan posisinya yang asing itu. Ia
tak bisa meletakkan keyakinannya di antara keyakinan yang te-
lah dikukuhkan masyarakat.

Pertanyaan: ”Kamu ibadah di mana dong, Zarah?”
Jawab: ”Di kebun.”
Pertanyaan: ”Kamu menyembah apa?”
Jawab: ”Jamur.”
Dan Zarah dikeluarkan dari kelas ketika ia mengajukan satu
teori yang ia dengar dari ayahnya yang berbeda dengan cerita aga-
ma tentang kejadian manusia. Bagi gurunya, Bu Aminah, ”tidak
ada versi lain” selain kisah tentang Adam dan Hawa.
Ketika Zarah mengatakan versi agama belum tentu benar, Bu
Aminah meminta murid yang ganjil itu diskors. Guru itu meng-
anggapnya ”melakukan penghinaan atas dirinya, atas Alquran,
dan atas Islam”.
Zarah mencoba memprotes. ”Kenapa Bu Aminah harus ter-
singgung dengan cerita saya? Kalau beliau nggak percaya dengan
cerita saya, kan, saya juga nggak marah.”
Tapi anak itu harus menghadapi sebuah garis lurus yang tung-
gal. Kakeknya, yang ia panggil Abah, seorang alim dan pengusa-
ha terpandang di dusunnya, menegaskan garis lurus itu dengan
amarah yang keras, begitu ia dengar bahwa cucunya menimbul-
kan heboh di sekolah.
”Dengar, Zarah,” katanya. ”Kita ini keluarga Islam. Sampai
mati, kita semua tetap Islam. Mulai hari ini cuma boleh ada satu
kebenaran yang kamu bawa ke sekolah. Dan ke mana pun kamu
pergi nanti, kebenaran itu tidak berubah. Jangan berani-berani
kamu pertanyakan. Mengerti?”
Zarah akhirnya tunduk. Ia bersedia dikirim ke sebuah pesan-
tren ”kilat” untuk memperbaiki imannya. Selama sebulan itu ia

384 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka ZARAH

mengiyakan semua yang dikatakan para pembimbingnya. Ia tak
hendak beradu argumen.

Orang-orang pun menyangka ia telah berubah jadi manusia
baru. Tapi justru pada saat itulah Zarah sepenuhnya membang-
kang. Anak ini pulang dari pesantren dengan ”kesadaran baru”.
Tapi sebenarnya ia mengikuti sikap ayahnya. ”Aku adalah Firas
berikutnya,” katanya. ”Inilah pemberontakan pertamaku.”

Dengan cara apa anak-anak percaya?
Saya punya cerita lain, kali ini bukan fiktif: cerita seorang pe-
nyair yang ”terkutuk”. Arthur Rimbaud, sastrawan Prancis akhir
abad ke-19 yang dianggap jadi pelopor Surealisme pada usia mu-
da, menulis dengan rasa tak suka yang sengit tentang kepercaya-
an Kristiani—ajaran yang ditanamkan kepadanya di waktu kecil
oleh ibunya. Sajak ”Les pauvres a l’eglise” (Orang-orang Miskin
di Gereja) menyebut ”iman yang bodoh dan mengemis-ngemis”.
Sajaknya yang lain, ”Soleil et chair” (Matahari dan Daging), me-
neriakkan ”jangan ada tuhan-tuhan lagi”.
Rimbaud, yang lahir pada 1854 dan berhenti menulis pada
usia 20, berbeda dengan Zarah dalam novel Partikel.
Rimbaud—yang kemudian disebut sebagai salah satu dari
”penyair-penyair terkutuk”, les poètes maudits maudits—menye-
rukan keharusan ”modern sepenuhnya”; dalam ”Soleil et chair”
ia tegaskan bahwa ”Manusia” adalah Raja dan Tuhan. Sebaliknya
Zarah dididik ayahnya agar mengerti bahwa manusia cuma
makhluk di tengah fungi, dan tak lebih hebat. Ada perspektif
pascamodern di sini.
Tapi baik bagi Zarah maupun Rimbaud, Tuhan didatangkan
ke dalam hidup dengan kaki yang menginjak. Dalam sajak ”Les
poetes de sept ans” (Para Penyair di Usia Tujuh Tahun) Rimbaud
dengan menyentuh dan menusuk menggambarkan seorang anak
yang tiap hari Minggu diharuskan ibunya membaca Injil. Anak
itu tak membantah. Tapi ia takut akan hari-hari Minggu itu,

Catatan Pinggir 10 385

http://facebook.com/indonesiapustaka ZARAH

terutama di bulan Desember yang pucat, ketika ia harus duduk
menghadapi meja mahagoni yang berat dan membaca Alkitab.

Tiap malam di kamarnya yang kecil
mimpi-mimpi menindasnya
Ia tak mencintai Tuhan; ia mencintai manusia.
Kita tahu ia anak yang tak bahagia. Tapi dengan cara apa ia
percaya?
Saya bayangkan anak-anak seperti arus hulu yang tercurah,
yang tak menentukan hilirnya sendiri. Kemudian dunia yang di-
huni orang-orang tua menampungnya dengan waswas. Ada yang
jadi sungai deras, ada yang tersekat di waduk persegi. Di bawah
itu, Tuhan terasa sebagai Tuan yang membuatnya cuma terdiam.

Tempo, 21 Oktober 2012

386 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka MO DAN YU

KATA punya kedaulatannya sendiri. Dengan catatan: da-
lam kedaulatan itu, ada kata yang hadir sebagai sensor
yang mencoba menghalau kata lain—walaupun kata
yang lain itu juga punya kedaulatan sendiri.

Saya melihat sensor sebagai kata dengan ”K”. Sensor sebagai K
(”kalian tidak boleh...”) menenggelamkan kata sebagai ”k” (mi-
salnya ”aku tak yakin”). Sensor sebagai K akan membawa tafsir
sebagai T, yang hendak menggulung tafsir-tafsir (”t”) lain.

Tapi ”k” dan ”t” tak bisa dimatikan. Bahkan di bawah kekua-
saan yang penuh ”K”, karya sastra, ibarat lautan di mana ”k” ber-
gerak dengan hidup, tak pernah sepenuhnya kering. Juga ”T”—
sebagai tafsir yang resmi di tangan yang berkuasa—tak akan me-
lenyapkan ”t”.

Tahun ini Akademi Swedia menghargai Mo Yan, novelis Ci-
na, dengan Hadiah Nobel untuk kesusastraan. Tak urung, ba-
nyak pertanyaan muncul: kata yang manakah yang membangun
karyanya hingga ia dihargai sedemikian rupa? Kata yang bagai-
manakah yang membuatnya justru terasa janggal memperoleh
Hadiah Nobel?

Sebagian besar orang di dunia tak kenal novel Mo Yan. Sebagi-
an besar orang di dunia diharapkan percaya begitu saja kepada
pilihan para juri rahasia Akademi Swedia. Tak ada investigasi ba-
gaimana mereka bisa menemukan Mo Yan di antara tumpukan
nama lain. Sementara itu, ada orang-orang yang lebih mengenal
Mo dalam hubungannya dengan ”K”.

Ia anggota Partai Komunis. Ia memulai kariernya sebagai sas-
trawan ketika ia jadi anggota Tentara Pembebasan Rakyat dan
belajar sastra di akademi milik militer itu. Ketika dalam Pekan
Raya Buku di Frankfurt pada 2010 ada karya-karya sastra penulis

Catatan Pinggir 10 387

http://facebook.com/indonesiapustaka MO DAN YU

Cina yang membangkang pemerintah Beijing, ia memboikot aca-
ra internasional itu. Ketika pada tahun ini dalam London Book
Fair ia ikut memilih karya mana yang mewakili negerinya, ia me-
niadakan nama-nama pembangkang yang diharamkan pemerin-
tahnya.

Yu Jie, seorang pengarang terkemuka yang melarikan diri dari
Cina dan pindah ke Amerika Serikat, melihat penilaian Akademi
Swedia itu dengan sarkastis. ”Seorang sastrawan yang mengu-
mandangkan ’Hitler’ tak akan mungkin menerima Hadiah itu,”
katanya, ”tapi seorang pengarang yang mengumandangkan
’Mao’ bisa.” Dan itu, bagi Yu Jie, menunjukkan betapa tak pedu-
linya dunia Barat akan penindasan hak asasi manusia di bawah
penguasa Beijing.

Mo bukan tak mengakui adanya sensor. Tapi ia punya alasan—
bahkan pembenaran—untuk itu. Dalam sebuah wawancara di
London Book Fair yang lalu ia mengatakan, ”Dalam hidup nyata
kita bisa saja ada soal-soal yang peka dan tajam yang [oleh penu-
lis] tak hendak disentuh. Dalam keadaan itu, seorang penulis da-
pat menyuntikkan imajinasinya sendiri untuk mengisolasi diri-
nya dari dunia nyata atau melebih-lebihkan situasinya—dengan
membuatnya jelas, terang-benderang. Saya percaya, pembatasan
atau sensor itu bagus sekali untuk kreasi sastra.”

Akademi Swedia memang melihat bagaimana imajinasi dima-
sukkan ke dalam karya-karya Mo—dan lahirlah sebuah realisme
yang berkombinasi dengan citraan yang mendekati halusinasi.
Sastranya disejajarkan dengan ”realisme magis” ala Gabriel Gar-
cia Marquez atau penceritaan yang puitis dalam novel William
Faulkner. Dalam karya Mo, sebagaimana dalam pandangannya
tentang proses penulisan, ”K” malah dianggap bisa menyebabkan
”k” tumbuh subur.

Tapi saya kira Mo tak melihat bahwa imajinasi yang lahir dari
dorongan kreatif punya sejarah yang tak sama dengan imajinasi

388 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka MO DAN YU

sebagai keterampilan menyesuaikan diri dengan rasa takut dan
kecemasan. Pada yang pertama, imajinasi ibarat loncatan lincah
yang bersemangat. Ia membawa energi. Pada yang kedua, imaji-
nasi ibarat gerak berkelit karena gentar kena hantam. Yang per-
tama adalah cetusan yang tak dibuat-buat. Yang kedua siasat
dengan akal yang berperhitungan; ada unsur muslihat—yang
mungkin tak disadari sendiri.

Tapi bagi para juri Akademi Swedia, yang penting dinilai bu-
kanlah sejarah imajinasi dalam karya Mo, melainkan bagaimana
imajinasi itu tampak dalam novel-novelnya. Lagi pula Mo me-
mang benar: ia menegaskan bahwa sensor akhirnya tak bisa ber-
kuasa penuh.

Tapi ada yang merisaukan. Mo adalah contoh bagaimana se-
orang pengarang menerima sensor, ”K”, sebagai sebuah lembaga
yang menetralisasi kepedihan kata-kata untuk lahir dan hidup.

Mungkin karena pengalaman Mo berbeda dengan para sas-
trawan Cina lain, terutama Yu Hua. Pengarang novel yang dalam
versi Inggris berjudul To Live ini juga di sana-sini membiarkan
kompromi dengan ketidakbebasan kata-kata. Tapi China in Ten
Words, kumpulan esai Yu tentang Cina, punya satu bab yang me-
narik tentang bagaimana kata-kata hidup terjepit bahkan bukan
dalam hidup seorang penulis, melainkan seorang pembaca.

Ketika Yu yang lahir pada 1960 berumur belasan tahun, di
Cina novel tak boleh dibaca—apalagi novel asing. Tapi ia dan se-
orang temannya berhasil meminjam terjemahan karya Alexandre
Dumas, La Dame aux Camelias. Buku itu hanya boleh di tangan
mereka selama 24 jam. Maka dengan terburu-buru mereka salin
tiap patah katanya dengan tulisan tangan. Mereka bekerja sema-
lam suntuk. Tapi ketika novel Dumas itu mereka kembalikan,
mereka bingung: tulisan tangan Yu tak bisa dibaca temannya, be-
gitu juga sebaliknya. Maka di bawah lampu jalan mereka saling
membacakan salinan buku itu. Dengan rasa bahagia. Mereka

Catatan Pinggir 10 389

http://facebook.com/indonesiapustaka MO DAN YU

menemukan saat yang merdeka.
Berbeda dengan Mo, Yu tak melihat sensor sebagai lembaga

yang paradoksal: sebagai ”K” yang represif tapi juga produktif.
Tapi Yu juga membuktikan bahwa tafsir, ”t”, terhadap realitas tak
bisa dimonopoli ”T”. Ia bisa menunjukkan betapa berdaulatnya
”k”. Sekadar membacanya sudah merupakan sebuah laku pem-
bebasan.

Tempo, 28 Oktober 2012

390 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka SHIH

TAK mudah mengatakan apa itu keadilan, tapi tentang
ketidakadilan orang dapat mengenalinya dengan seketi-
ka.
Pada senja hari 27 Februari 1947, di Taipei, Taiwan, satu regu
yang dikirim Biro Monopoli Tembakau datang ke sebuah sudut
jalan yang sekarang menjadi Nanjing Barat. Mereka merampas
rokok yang dijual Lin Jiang-mai, seorang janda berusia 40 tahun,
dan menyita semua uang hasil kerjanya beberapa tahun. Perem-
puan itu memohon agar uang itu dikembalikan. Ketika ia menco-
ba mempertahankan miliknya, salah seorang petugas menghan-
tamkan gagang pistol ke kepalanya.

Para tetangga yang menyaksikan itu dengan segera menge-
pung orang-orang dari Biro Monopoli Tembakau itu. Para petu-
gas itu pun melarikan diri—tapi sambil menembak. Seorang te-
tangga tewas.

Esoknya, protes meledak. Kerumunan rakyat yang marah,
terutama orang-orang pribumi Formosa, mendatangi kantor Gu-
bernur Jenderal Chen Yi, wakil pemerintahan Republik Cina di
Taiwan semasa Partai Kuomintang berkuasa. Mereka menuntut
agar para agen Biro Monopoli Tembakau yang melakukan ke-
kerasan kemarin malamnya ditangkap. Tapi pasukan keaman-
an menyambut mereka dengan tembakan. Korban berjatuhan—
peristiwa yang kemudian akan diingat sebagai ”Insiden 228”,
awal dari perlawanan yang meluas yang pertama dalam sejarah
Taiwan.

Kantor pemerintahan, bahkan basis militer, direbut. Di luar
Taipei, yang terjadi mirip sebuah pemberontakan. Bank dan kan-
tor pos dijarah. Beberapa kelompok pembangkang merebut sen-
jata dari gudang tentara di Taichung dan Pingtung.

Catatan Pinggir 10 391

http://facebook.com/indonesiapustaka SHIH

Tampak, ketakpuasan orang Taiwan terhadap pemerintahan
Republik Cina yang otoriter begitu intens dan dirasakan dalam
pelbagai bentuk, dari masalah perdagangan tembakau yang di-
monopoli Negara sampai dengan tak adanya pemilihan umum
yang bebas dan otonomi. Tuntutan yang dimajukan ke pemerin-
tah beranjak dari yang lunak sampai dengan yang paling keras.

Jawaban pemerintah Chiang Kai-shek yang waktu itu masih
berpusat di Cina Daratan adalah besi dan darah. Jenderal Chen Yi
menyiapkan pasukan di Provinsi Fujian. Tanggal 8 Maret 1947,
pasukan itu mendarat di Taiwan dan pembersihan besar-besar-
an berlangsung. Beberapa hari kemudian, 29 Maret 1947, The
New York Times mengutip seorang saksi mata: selama tiga hari
pasukan Republik Cina memuaskan diri dengan membunuh—
indulged in three days of killing. Para aktivis Taiwan menyatakan
jumlah korban mencapai 4.000. Angka lain menyebut tak sam-
pai 1.000. Tak berarti tak ada kekerasan dan penindasan—dua
hal yang mudah dilupakan.

Di antara yang tak bisa melupakannya adalah seorang anak
berumur enam tahun. Hampir dua dasawarsa kemudian, anak ini
jadi pelawan kekuasaan yang mengekang Taiwan: Shih Ming-te.
Ia ditangkap karena ia mendirikan Liga Kemerdekaan Taiwan.
Pada umur 21 tahun, ia dihukum seumur hidup, meskipun ke-
mudian kurungannya diperingan jadi 15 tahun. Ia baru bebas 16
Juni 1977.

Dalam sebuah tulisannya yang saya dapat baru-baru ini— da-
lam bentuk manuskrip berbahasa Inggris, selesai ditulis 22 Agus-
tus 1989—ia mengisahkan bagaimana di suatu hari dalam bulan
Februari 1947 itu ia menyaksikan tiga orang murid sekolah te-
was oleh peluru tentara Cina yang bertahan di stasiun kereta api
Kaohsiung. Seorang murid maju terus, sementara dua temannya
telah terbunuh. Baru pada saat terakhir ia juga roboh.

Kejadian itu bisa mengajarkan kepada siapa pun, terutama

392 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka SHIH

Shih, tentang dua perkara.
Pertama, bahwa perasaan dizalimi bisa begitu jelas, sementara

keadilan belum dirumuskan. Sebanyak 32 tuntutan dimajukan
para pembangkang kepada Chiang Kai-shek; tak semuanya sela-
manya tahu dan satu pengertian tentang apa itu yang ”adil”—ter-
masuk tiga anak sekolah yang siap mati itu.

Kedua, bahwa tiap kali ada pelawan yang jatuh, kata Shih, ”se-
barisan yang tak habis-habisnya akan menggantikannya”.

Baru saja dua tahun Shih bebas, ia mengorganisasi sebuah ra-
pat besar menuntut demokrasi—yang tentu saja ditindas lagi. Itu-
lah yang kemudian disebut Insiden Meilitao, 10 Desember 1979.
Setelah mencoba melarikan diri, Shih ditangkap dan dihukum
penjara seumur hidup. Baru ketika rezim otoriter Kuomintang
meniadakan undang-undang darurat perang, ia dibebaskan—
meskipun ia menolak amnesti. Mei 1990, Shih jadi orang merde-
ka setelah total seperempat abad terkurung di penjara.

Apa yang membuatnya demikian?
Tulisannya, tentang dirinya sendiri, menunjukkan seseorang
yang bangga kepada keteguhan, dan di sana-sini mengikuti de-
ngan senang tepuk tangan yang ia dengar memujinya. Tapi pada
saat yang sama ia menemukan metafora tentang hidupnya—dan
menemukannya pada tanaman dan pohon yang dibonsai yang
menemaninya selama dalam kurungan.
Ia, yang mula-mula tak menyukai sikas, akhirnya melihatnya
lain: bersama dengan kaktus, kata Shih, tanaman itu sanggup
bertahan di tanah gersang, dan mereka tumbuh tegak dengan ca-
ra yang anggun. Mereka ”tak malu karena tak punya tampang
dan kembang yang cantik”. Mereka ”buruk dan berduri”, tapi
tampaknya ”menyembunyikan banyak hal yang aneh, dan benar-
benar punya karakter dan integritas”.
Cara Shih melihatnya menunjukkan bahwa metafora adalah
cermin yang dipilih manusia dari alam sekitar di dalam bahasa;

Catatan Pinggir 10 393

http://facebook.com/indonesiapustaka SHIH

di sana ia melihat hidupnya sendiri. Dan Shih melihatnya dalam
benda-benda hidup yang kecil. Agaknya ini menandakan bahwa
ketika hidup yang lebih besar—hidup dengan keadilan—tak se-
lamanya bisa dijelaskan, selalu ada sejenak-sejenak di mana ke-
adilan yang selalu mengelak itu terasa hadir dan makin berarti.

Dengan kata lain, walau keadilan tak pernah total dan leng-
kap, ia bisa, dari momen ke momen, bersama hidup yang memper-
juangkannya.

Tempo, 4 November 2012

394 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka MEKAH

BETAPA berubahnya Mekah. Duduk di salah satu sudut
Masjidil Haram ketika matahari meredakan panasnya,
kita bisa merasakan bayang-bayang sebuah bangunan
yang menjangkau langit dari arah selatan.

Memang: di seberang gerbang Baginda Abdul Aziz, berdiri se-
buah super-gedung (baru diresmikan Agustus tahun ini), yang
disebut Abraj al-Bait. Raksasa ini lebih dari 600 meter tingginya:
menara waktu yang paling jangkung sedunia. Empat muka jam di
puncaknya masing-masing berbentuk mirip Big Ben di London,
meskipun mengalahkannya dalam ukuran: diameternya masing-
masing 46 meter, dengan jarum panjang yang melintang 22 me-
ter. Dan berbeda dengan Big Ben, di jidatnya yang diterangi dua
juta lampu LED tertulis ” , Allahu Akbar”.

Di Abraj al-Bait ada 20 lantai pusat belanja dan sebuah hotel
dengan 800 kamar. Juga tempat tinggal. Garasinya bisa menam-
pung 1.000 mobil. Tapi para tamu dan penghuni juga bisa datang
dengan helikopter (ada lapangan untuk menampung dua pesa-
wat), karena ini memang tempat bagi mereka yang mampu me-
nyewa, atau memiliki, kendaraan terbang itu. Ongkos semalam
di salah satu kamar di Makkah Clock Royal Tower bisa mencapai
7.000.000 rupiah.

Dari ruang yang disejukkan AC itu orang-orang dengan duit
berlimpah bisa memandang ke bawah—ya, jauh ke bawah—
mengamati ribuan muslim yang bertawaf mengelilingi Ka’bah
bagai semut yang berputar mengitari sekerat cokelat.

Saya tak bisa membayangkan, bagaimana dari posisi itu akan
ada orang yang bisa menulis seperti Hamka di tahun 1938. Apa ki-
ni artinya ”di bawah lindungan Ka’bah”? Justru kubus sederhana
tapi penuh aura itu yang sekarang seakan-akan dilindungi ge-

Catatan Pinggir 10 395

http://facebook.com/indonesiapustaka MEKAH

dung-gedung jangkung, terutama Abraj al-Bait yang begitu me-
gah dan gemerlap—dengan 21.000 lampunya yang memancar
sampai sejauh 30 kilometer dan membuat rembulan di langit pun
mungkin tersisih.

Betapa berubahnya Mekah. Atau jangan-jangan malah ber-
akhir. ”It is the end of Mecca,” kata Irfan al-Alawi, Direktur Pelak-
sana Islamic Heritage Research Foundation di London, kepada
The Guardian. Nada suaranya murung seperti juga suara Sami
Angawi.

Hampir 40 tahun yang lalu arsitek ini mendirikan Pusat Pene-
litian Ibadah Haji di Jeddah. Dengan masygul ia menyaksikan
transformasi Mekah berlangsung di bawah kuasa para pengusaha
properti dan pengembang. ”Mereka ubah tempat ziarah suci ini
jadi mesin, sebuah kota tanpa identitas, tanpa peninggalan seja-
rah, tanpa kebudayaan, dan tanpa lingkungan alam. Bahkan me-
reka renggut gunung dan bukit.”

Angawi, 64 tahun, mungkin terlalu romantis. Ia mungkin
tak mau tahu hukum permintaan dan penawaran: jumlah orang
yang pergi haji makin lama makin naik; kalkulasi masa depan
mendesak. Mekah harus siap. Tapi Angawi justru melihat di situ-
lah perkaranya. Ia menyaksikan ”lapisan-lapisan sejarah” Mekah
dibuldoser dan dijadikan lapangan parkir.

Akhirnya ia, yang lahir di Mekah, menetap di Jeddah, di ru-
mah pribadinya yang didesain dengan gaya tradisional Hijaz. Ke-
tika Abraj al-Bait dibangun seperti Big Ben yang digembrotkan
(”Meniru seperti monyet,” kata Angawi), ia merasa kalah total. Ia
lebih suka tinggal di Kairo.

Tapi bisakah transformasi Mekah dicegah? Kapitalisme mem-
buat sebuah kota seperti seonggok besi yang meleleh, untuk ke-
mudian dituangkan dalam cetakan yang itu-itu juga. Dengan
catatan: dalam hal Mekah, bukan hanya karena ”komersialisasi
Baitullah” kota suci itu hilang sifat uniknya. Angawi menyebut

396 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka MEKAH

satu faktor tambahan yang khas Arab Saudi: paham Wahabi.
Wahabisme, kata Angawi, adalah kekuatan di belakang di-

hancurkannya sisa-sisa masa lalu. Dalam catatannya, selama 50
tahun terakhir, sekitar 300 bangunan sejarah telah diruntuhkan.
Paham yang berkuasa di Arab Saudi ini hendak mencegah orang
jadi ”syirik” bila berziarah ke petilasan Nabi, bila menganggap
suci segala bekas yang ditinggalkan Rasulullah—dan sebab itu
harus disembah.

Sejarah Arab Saudi mencatat dihapusnya peninggalan sejarah
itu secara konsisten. April 1925, di Madinah, kubah di makam
Al-Baqi’ diruntuhkan. Beberapa bagian kasidah karya Al-Busiri
(1211–1294) yang diukir di makam Nabi sebagai himne pujaan
ditutupi cat oleh penguasa agar tak bisa dibaca. Di Mekah, ma-
kam Khadijah, istri Nabi, dihancurkan. Kemudian tempat di
mana rumahnya dulu berdiri dijadikan kakus umum.

Contoh lain bisa berderet, juga protes terhadap tindakan pe-
nguasa Wahabi itu. Di awal 1926, di Indonesia berdiri ”Komite
Hijaz” di kediaman KH Abdul Wahab Chasbullah di Surabaya,
ekspresi keprihatinan para ulama.

Reaksi dari seluruh dunia Islam itu berhasil menghentikan
destruksi itu. Tapi kini, di abad ke-21, Wahabisme dan kapitalis-
me bertaut, dan Mekah berubah.

Mengherankan sebenarnya. Di sebuah tulisan dari tahun
1940 Bung Karno mengutip buku Julius Abdulkerim Germanus,
Allah Akbar, Im Banne des Islams. Dari sana Bung Karno meng-
gambarkan kaum Wahabi sebagai orang-orang yang dengan ke-
ras dan angker mencurigai ”kemodernan”; mereka bahkan mem-
bongkar antena radio dan menolak lampu listrik. Tapi kini, se-
perti tampak di kemegahan Abraj al-Bait, bukan hanya lampu
listrik yang diterima, tapi juga transformasi Mekah jadi semacam
London & Las Vegas. Apa yang terjadi?

Mungkin sikap dasar Wahabisme tak berubah. Menghapus-

Catatan Pinggir 10 397

http://facebook.com/indonesiapustaka MEKAH

kan petilasan (menidakkan masa lalu), sebagaimana menampik
”kemodernan” (menidakkan masa depan), adalah sikap yang an-
ti-Waktu. Jam besar di Abraj al-Bait itu akhirnya hanya menjadi-
kan Waktu sebagai jarum besi. Benda mati. Dan bagi yang meng-
anggap Waktu benda mati, yang ada hanya rumus-rumus ibadah
tanpa proses sejarah.

Tapi apa arti perjalanan ziarah, tanpa menapak tilas sejarah
dan menengok yang pedih dan yang dahsyat di masa silam?

Mungkin piknik instan ke kemewahan.

Tempo, 11 November 2012

398 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka SURABAYA

PADA suatu hari, beberapa puluh tahun yang lalu, ketika
saya masih di sekolah dasar, kepala sekolah kami yang ba-
ru memperingati hari 10 November dengan kekhidmat-
an istimewa. Pak Sumadi berdiri di atas sebuah bangku. Para gu-
ru dan murid berkeliling mendengarkannya di halaman belakang
gedung yang dulu gudang seorang saudagar Tionghoa.

Di panggung itu ia tak berpetuah tentang patriotisme dan he-
roisme; ia hanya bercerita tentang pengalamannya sendiri di Su-
rabaya di hari pertempuran besar itu. Suaranya tak keras, tapi me-
mukau.

Ia bercerita tentang rasa cemas yang dirasakannya dan dirasa-
kan para pemuda segenerasinya, bahwa Republik yang belum lagi
berumur empat bulan itu akan dijajah kembali. Ia bercerita ten-
tang keputusannya meninggalkan orang tuanya di Semarang dan
berangkat ke Surabaya tanpa ada harapan pulang. Ia bergabung
dengan ribuan pemuda yang datang dari pelbagai pelosok Repub-
lik, bersiap di sudut-sudut kampung Surabaya. Ia bercerita ten-
tang pertempuran yang tak seimbang, tapi dijalani dengan sete-
ngah nekat. Ia gambarkan ketakutannya menjelang tembakan
pertama dan apa yang kemudian terjadi setelah ketakutan itu raib
oleh api pertempuran. Dua temannya tewas setelah merobohkan
tiga tentara Gurkha; seorang lagi menabrakkan diri dengan gra-
nat ke sebuah tank Inggris.

Ceritanya tanpa kesimpulan. Upacara itu diakhiri dengan pa-
duan suara 20 murid yang membawakan beberapa lagu; salah sa-
tunya menyeru ke tanah air yang dipertahankan di Surabaya itu:
”bumimu suci, angkasa kudus”—negeri yang membuat kami,
pemuda, ”dahaga” akan bakti.

Saya lihat Pak Sumadi menghapus air matanya.

Catatan Pinggir 10 399

http://facebook.com/indonesiapustaka SUR A B AYA

Lalu upacara bubar dan kami kembali ke kelas. Seperti biasa.
Tapi mungkin pelan-pelan yang kami dengar hari itu menyadar-
kan kami akan arti Indonesia yang merdeka. Dinding kelas kami
yang dari kayu kasar itu dihiasi gambar yang dikirim Kementeri-
an Pendidikan tentang tanah air yang sedang dibangun: Bandar
yang sibuk, stasiun kereta api yang besar, murid-murid sekolah
yang rapi dan bergembira.

Dengan cara itu kami diperkenalkan kepada kematian dan ke-
lahiran kembali, pengorbanan dan harapan. Kami tak disiapkan
untuk menghadapi sinisme.

Mungkin itu sebabnya perut saya terasa agak terpilin ketika
pertama kali membaca Surabaya, satu dasawarsa setelah cetakan
pertamanya di tahun 1947. Karya Idroes ini sebuah mozaik kesan
dan kesimpulan sang penulis tentang hari-hari gegap-gempita di
sekitar 10 November 1945.

Selintas, Surabaya merekam keadaan itu: suasana yang tak me-
nentu, tegang, dan ganas. Keberanian dan cinta tanah air meng-
gila. Keyakinan lama roboh. Paragraf awal prosa 64 halaman ini
mengejutkan karena sarkasmenya menusuk, dengan kiasan yang
segar meski tak selalu tepat, tentang situasi kejiwaan saat itu:

Keberanian timbulnya sekonyong-konyong seperti ular dari belukar.
Kepercayaan kepada diri sendiri dan cinta tanah air meluap seperti ruap
bir.

Pemakaian pikiran menjadi berkurang, orang-orang bertindak seperti
binatang dan hasilnya memuaskan. Orang tidak banyak percaya lagi ke-
pada Tuhan. Tuhan baru datang dan namanya macam-macam: bom, mi-
tralyur, mortir.

Setelah itu, cerita pertempuran Surabaya yang mati-matian
itu ditampilkan Idroes sebagai film kelas B, antara ”cowboy” dan
”bandit”. Pasukan Gurkha Inggris yang ”hitam-hitam seperti ke-

400 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka SUR A B AYA

pala kereta api” mendarat di Surabaya. Segera mereka mengha-
dapi para ”cowboy”—pemuda Indonesia yang bersenjata. Bagi
”cowboy”, tentara Gurkha itu ”bandit-bandit yang dibiarkan lepas
dan berkuasa”.

Di tengah jalan cowboy-cowboy ditahan oleh bandit-bandit dan diha-
ruskan menyerahkan senjatanya. Bandit-bandit berteriak, sambil meng-
acungkan bayonetnya: ”Jiwamu atau senjatamu!”

Cowboy-cowboy tidak mengangkat tangannya dan tidak pula mau
memberikan senjatanya. Mereka berteriak: ambillah jiwa kami!—dan
pada waktu berteriak itu mereka mulai menembak. Bandit-bandit pun
menembak dan pertempuran seru terjadi.

Dengan setengah melucu, bagian cerita ini sebenarnya masih
menyiratkan bagaimana para pemuda Indonesia dengan berani
mempertahankan harga diri mereka. Tapi Idroes tak banyak me-
ngisahkan harga diri dan ”pertempuran seru”. Perang hanya di-
tampilkannya dalam garis besar. Detail lebih tampak ketika ia
menggambarkan tempat perempuan-perempuan mengungsi.

Mungkin karena ia hanya tahu sedikit. Waktu itu, dalam usia
24, ia tak turut di garis depan; ia jadi wartawan surat kabar Ber-
djoeang di Malang. Dan sebagai wartawan, ia mengambil jarak: ia
tak memihak.

Tapi sebenarnya prosanya memihak: memilih sikap yang tak
percaya ada pahlawan di hari itu. Catatannya adalah bersit sinis-
me yang menertawai manusia sebagai makhluk yang berpose.
Humornya muram. Surabaya seakan-akan gema dari kalimat ter-
kenal dalam Galileo karya Brecht: ”Tak berbahagia negeri yang
memerlukan pahlawan.”

Tapi saya ingat Pak Sumadi. Mungkin ”pahlawan” hanya kon-
struksi politik di negeri yang ingin menghalalkan sebuah sejarah.
Pada akhirnya ia memang tokoh ”kekal” yang dipoles. Tapi tin-

Catatan Pinggir 10 401

http://facebook.com/indonesiapustaka SUR A B AYA

dakan Pak Sumadi dan teman-temannya tak bisa hanya dilihat
sebagai pose. Laku mereka menunjukkan, tindakan yang heroik
bisa terjadi: kerelaan jadi tumbal buat orang banyak.

Beda antara hero dan laku heroik itu yang tak tampak oleh
Idroes. Mungkin ia tak pernah mengalaminya. Yang ia lihat so-
sok-sosok borjuis kecil yang repot dengan keselamatan dan milik.
Tilikannya pun terbiasa dengan manusia yang tak luar biasa dan
agak menjengkelkan. Hegel akan menganggapnya tatapan ”ka-
cung psikologis”, psychologischen Kammerdiener: orang yang tak
kenal kepahlawanan karena ia memang hanya kacung.

Tempo, 18 November 2012

402 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka LANTAI

ADA sebuah teori tentang lantai.
Dalam teori ini, ada beda antara orang Eropa dan orang
Amerika dalam hal memberi angka lantai sebuah ge-
dung. Di Eropa, lantai paling bawah—yang setinggi jalan—di-
beri angka nol; artinya, lantai yang di atasnya itu yang disebut
”lantai satu”. Sementara itu di Amerika Serikat, lantai satu adalah
yang terletak setinggi jalan.

Perbedaan ini ”menunjukkan sebuah jurang ideologis yang
mendalam”, kata yang empunya teori. Orang Eropa sadar, kata-
nya, bahwa sebelum hitungan dimulai—sebelum keputusan dan
pilihan dibuat—harus ada dasar: sebuah lapisan yang sudah ter-
bentuk jauh-jauh hari dan sebab itu tidak perlu lagi dihitung; ia
disebut ”0”. Sementara itu di Amerika Serikat, ”negeri yang tanpa
tradisi sejarah yang sepatutnya”, seseorang dapat langsung mulai
bertindak dengan bebas—dan kebebasan itu disahkan oleh diri-
nya sendiri. Tidak ada kaitannya dengan dasar apa pun. Tak ada
masa lalu.

Sebuah teori yang menarik—dan terlampau pintar. Yang me-
ngemukakannya Slavoj Žižek, pemikir Slovenia yang terkenal ke
mana-mana itu, yang sangat banyak menulis, sangat cemerlang,
sangat polemis, dan sangat menjengkelkan berhubung dengan se-
mua sifat tadi. Dan tak selamanya meyakinkan. Kali ini Žižek
berbicara tentang pemilihan Presiden Amerika 2012 di harian
Inggris, The Guardian, beberapa hari setelah Obama dipilih buat
kedua kalinya. Kali ini ia ingin menunjukkan bahwa ”ideologi”
konservatif Amerika telah mulai dijebol oleh Obama—tak secara
radikal, tapi lumayan mengguncangkan. Program penyediaan la-
yanan kesehatan oleh Negara—healthcare yang dijuluki Obama-
care—telah ”menyentuh satu saraf di inti bangunan ideologi

Catatan Pinggir 10 403

http://facebook.com/indonesiapustaka L A N TA I

Amerika: kemerdekaan memilih”.
Dalam pandangan Žižek, Amerika harus belajar bahwa di ba-

wah ”ideologi” yang mengutamakan ”kemerdekaan memilih”
itu, ada dasar yang harus diperhitungkan. ”Kemerdekaan memi-
lih,” kata Žižek, ”hanya berfungsi bila ada satu jaringan yang
kompleks yang menghubungkan kondisi legal, pendidikan, ethis,
ekonomis, dan lainnya.” Semua itu hadir sebagai ”latar yang tak
tampak bagi pelaksanaan kemerdekaan kita”.

Tentu saja. Žižek hanya mengemukakan sesuatu yang begitu
jelas kebenarannya hingga tak perlu dikemukakan lagi: tak ada
kemerdekaan yang berada dalam ruang vakum. Tak ada kemer-
dekaan yang lahir dan jadi sah karena dirinya sendiri. Žižek juga
hanya mengulang persangkaan lama orang Eropa terhadap orang
Amerika. Bangsa yang lahir di abad ke-18 ini dianggap tak punya
”tradisi sejarah yang sepatutnya”.

Tapi apa sebenarnya tradisi yang ”sepatutnya”? Sesuatu yang
tak pernah ada. Atau sesuatu yang tergantung. Žižek tak menje-
laskan, mungkin karena ia tak melihat bahwa tiap tradisi, sebagai
bagian dari sejarah, adalah sesuatu yang diputuskan untuk ada
tiap kali dibutuhkan. Ia bisa jadi sesuatu yang ”sepatutnya” keti-
ka sikap terhadapnya mengeras, terutama untuk memegangnya
erat-erat. Dan itulah yang sebenarnya dilakukan orang Amerika
dalam meneriakkan ”kemerdekaan memilih”.

Ketika mereka tak mau melepaskan hak memegang senjata
api, misalnya, mereka tak melihat ”ideologi” itu berangkat cuma
dari lantai satu yang tanpa dasar. Akan mereka ingatkan bahwa
Amerika dibangun orang-orang yang mempersenjatai diri: kaum
patriot yang melawan kekuasaan Inggris, para pendekar dari The
Wild, Wild West, penghuni kota besar seperti New York yang per-
nah dibayangkan penyair Subagio Sastrowardoyo dalam sebuah
sajak di tahun 1960-an: kota di mana tiap orang jadi polisi sendiri.

Bertolak dari sejarah pula, lahir gerakan yang menyebut diri

404 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka L A N TA I

”Tea Party”—yang ingin peran Negara yang terbatas, dan sebab
itu tak ingin memberikan pajak untuk membiayai langkah Nega-
ra yang bagi mereka berlebihan. Dengan nama itu mereka hen-
dak menghidupkan apa yang dilakukan penduduk Boston dahu-
lu kala sebelum Amerika jadi republik: menolak pajak yang dite-
rapkan pemerintah kolonial Inggris yang menguasai kehidupan
mereka.

Dengan mengacu ke masa lalu itu konservatisme berkembang
dalam politik Amerika, terutama dalam Partai Republik: sikap
yang hendak merawat apa yang kelihatan cantik di waktu dahu-
lu, pandangan yang hendak menghormati yang tersimpan sebe-
lum lantai pertama bangunan politik. Russell Baker dalam The
New York Review of Books menggambarkannya dengan tepat dan
tajam: ”Partai Republik telah memperkerdil diri menjadi sebuah
partai reaksioner yang marah kepada dunia modern.”

Dan itulah yang membuat partai itu kalah. Kemarahan kepa-
da dunia modern adalah kemarahan kepada perubahan yang ma-
kin cepat. Dengan kata lain, kepada sesuatu yang tak terelakkan.
Gerakan ”Tea Party” didukung oleh orang Amerika yang seakan-
akan lahir dari gambar-gambar Norman Rockwell dalam maja-
lah Saturday Evening Post tahun 1950-an: laki-laki berkulit putih,
setengah baya, kelas menengah, tidak miskin.

Tapi kini tahun 2012. Demografi Amerika berganti rupa: ma-
kin beragam, makin banyak orang Latino, makin menajam kon-
tras antara miskin dan kaya. Gentar kepada dunia yang seperti
itu—yang tak terelakkan—konservatisme pun mengeras. Ke-
murnian ideologis pun didesakkan, seperti lazimnya ketika sebu-
ah paham tengah terkepung: ada rasa takut kalau tercampur un-
sur ”lain”.

Tapi di zaman campur-aduk kini, tiap usaha pemurnian jus-
tru akan membawa ke keterpencilan. Dan tiap keterpencilan
akan melihat ke bawah, ke lantai nol—lantai yang menandai du-

Catatan Pinggir 10 405

http://facebook.com/indonesiapustaka L A N TA I

nia yang telah hilang atau, kalau tidak, menandai dunia tempat
kita bisa mengurung diri. Konservatisme adalah nostalgia. Kon-
servatisme adalah kecemasan.

Tempo, 25 November 2012

406 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka HALIMA

HALIMA, seorang janda dengan sembilan anak yatim,
berdiri telanjang kaki di tengah hujan. Nama lengkap-
nya Halima al-Hadhalin. Ia perempuan Palestina yang
tinggal di wilayah sangat melarat di Umm al-Kheir yang berde-
katan dengan Carmel, tempat pemukiman Yahudi di bukit-bukit
Hebron selatan. Nasib perempuan itu tak menentu lagi. Beberapa
bulan sebelumnya pemerintah sipil Israel mengirim buldoser,
yang dikawal tentara, untuk menghancurkan gubuknya. Alasan:
teratak itu dibangun tanpa izin.

Mungkin benar. Tapi akankah Halima diberi izin andai pro-
sedur itu ditempuh? Hampir pasti tidak.

David Shulman, wartawan Israel yang menemui Halima hari
itu—dan mengisahkan nasibnya dalam sebuah tulisan yang ta-
jam di The New York Review of Books 7 Juni yang lalu—menyim-
pulkan bahwa ”apa yang terjadi di wilayah [pendudukan] itu bu-
kan pelanggaran sewaktu-waktu saja terhadap hak asasi, sesuatu
yang dapat dikoreksi dengan langkah ad hoc dan kecil-kecilan...”.
Apa yang dialami Halima adalah indikasi bahwa pendudukan Is-
rael, dalam kata-kata Shulman, bersifat ”sistematik” dalam segala
arti. Logika yang mendasarinya gamblang: untuk ”melindungi
permukiman [Yahudi] dan mengambil alih tanah”.

Dengan itu, pemerintah Israel menggertak dan menggerogoti
penduduk Palestina di tanah mereka sendiri—agar mereka mau
hengkang.

Shulman pun bercerita tentang sebuah proyek pelistrikan dan
pembangunan prasarana energi yang mempertautkan sekitar 16
khirbeh Palestina juga di Hebron. Para penggembala dan petani
gurem di wilayah ini hidup dalam gua, tenda, dan dangau. Ke-
adaan hidup mereka tak selayaknya hidup manusia. Menyaksikan

Catatan Pinggir 10 407

http://facebook.com/indonesiapustaka HALIMA

itu, sejumlah aktivis perdamaian Israel seperti Noam Dotan dan
El’ad Orian dari organisasi yang dikenal dengan nama Comet-
Me membangun turbin dan infrastruktur listrik buat desa-desa
berpenduduk 1.500 itu.

Tapi usaha yang dikerjakan dengan susah payah ini tak dibiar-
kan berkembang. Proyek Comet-Me beberapa saat memang ber-
hasil memperbaiki hidup orang Palestina yang tersudut itu. Na-
mun segera ia dihabisi pemerintah Israel. Prasarana itu dirusak
dan dihancurkan. Untung pemerintah Jerman, yang ikut menda-
nai proyek itu, memprotes. Destruksi buat sementara dihentikan.
Tapi sampai kapan?

Tulisan Shulman muram. Di satu saat ia menganjurkan berge-
raknya makin banyak relawan untuk melindungi warga sipil Pa-
lestina dari pemukim [Yahudi] yang berdatangan untuk merebut
tanah dengan dukungan tentara. Biarpun hanya beberapa ratus
orang yang berani melawan para pemukim itu, menurut Shul-
man, perubahan yang berarti bisa terjadi. Tapi segera dalam kali-
mat berikutnya ia menulis: ”Namun mungkin itu sudah terlam-
bat.”

Ia melihat Israel sedang bergerak ke arah sebuah bangunan
yang keji: sebuah ”etnokrasi”, sebuah kekuasaan yang didirikan
satu golongan etnis untuk menguasai golongan etnis lain. Shul-
man melihat analoginya dengan sistem yang dulu berlaku di Af-
rika Selatan, ketika sebuah rezim kulit putih menindas orang-
orang yang warna kulitnya berbeda dan tiap perlawanan dibekuk;
kita ingat bagaimana Mandela dipenjarakan bertahun-tahun.

Bahwa Shulman, seorang Yahudi, menyebut dengan jelas ke-
cenderungan ini—yang dulu pernah dianggap tak benar oleh pa-
ra pembela Israel—menunjukkan bahwa keadaan memang ma-
kin merisaukan. Merisaukan, apabila kita, sebagaimana Shul-
man, masih setia kepada apa yang pada mulanya menggerakkan
politik.

408 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka HALIMA

Politik bermula ketika manusia menemukan dirinya berada
bersama orang lain. Hubungan sosial tak bisa dielakkan. Ada
yang mengatakan hubungan itu bercirikan antagonisme; ada
yang sebaliknya mengatakan bahwa cirinya adalah solidaritas.
Tapi sebenarnya tak ada sifat yang pasti dan permanen. Yang bisa
dikatakan, pada akhirnya politik akan gagal jika arahnya untuk
meniadakan liyan—sebab pada liyan, yang di luarku, yang berbe-
da dariku, ada sesuatu yang bisa kuajak dan mengajakku.

Itu sebabnya perdamaian bukan hal yang mustahil. Itu pula
sebabnya empati bisa terjadi—dan dalam hujan di bukit Hebron
itu, Shulman tersentuh Halima.

Dan ia risau. Dan kita risau. Karena ada yang dilupakan. Pe-
nyair Palestina Mahmoud Darwish menulis sebuah sajak, mung-
kin buat seorang prajurit Israel, untuk mengingatkan:

Jika pernah kau renungkan wajah korban itu,
dan telah kau pikir sepenuhnya, kau akan ingat ibumu
di kamar gas, dan kau akan dibebaskan dari alasan
untuk bersenjata

Kamar gas Hitler membunuh ribuan orang tak berdaya dari
generasi sebelum kelahiran negara dan tentara Israel; kita ingat
bagaimana, untuk menegakkan ”etnokrasi”, Nazi Jerman meng-
habisi nyawa gadis remaja Anne Frank. Halima memang tak se-
perti warga Yahudi Belanda yang terkurung sebelum dimatikan.
Tapi hidupnya juga terkepung dalam perjalanan ke kematian pe-
lan pelan—bersama sembilan anak yatim yang terancam lapar,
sakit, dan bukan mustahil juga bom.

Sesuatu yang menggerakkan politik menggerakkan kita un-
tuk ingat ibu di kamar gas itu dan Halima di Umm al-Kheir—ya,
siapa pun yang tertindas, dari mana pun asalnya, apa pun iman-
nya. Sesuatu yang menggerakkan politik sanggup memanggil, se-

Catatan Pinggir 10 409

http://facebook.com/indonesiapustaka HALIMA

perti sajak lain Mahmoud Darwish ini:
Kau yang berdiri di ambang, masuklah.
Minumlah kopi Arab ini bersama kami.
Dan kau akan rasakan bahwa kau juga manusia
seperti kami.
Tapi di Palestina, di Israel, politik akhirnya terenggut dari apa

yang semula menggerakkan dirinya. Seperti banyak hal dalam
riwayat manusia, politik sibuk memisah-misahkan—bahkan
memberi orang alasan untuk bersenjata.

Tempo, 2 Desember 2012

410 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka THEOKRASI

kelaparan adalah iblis
kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran
—Rendra

KELAPARAN adalah iblis, tapi ia tak datang sendirian.
Ada suatu saat ketika kediktatoran dan kelaparan berka-
it dan sekitar 30 juta manusia mati dalam waktu bebe-
rapa belas bulan saja. Itu tahun 1958 dan 1960, di Cina: masa
Sānnian da jīhuāng tahun-tahun ”kelaparan yang dahsyat”.

Beberapa hari yang lalu, di Guangzhou, saya bertemu dengan
seorang seniman-aktivis yang menunjukkan satu tulisan tentang
masa itu, oleh Yang Jisheng, yang kemudian dimuat dalam versi
Inggris di The New York Times 13 November. Kalimat awalnya:
”36 juta orang mati di Cina, termasuk pamanku, yang membesar-
kanku sebagai seorang ayah; mereka terhantar kelaparan sampai
meninggal antara 1958 dan 1960....”

Seniman-aktivis di Guangzhou itu bercerita bahwa Yang Ji-
sheng adalah orang Cina pertama yang menggali data sejarah
yang tragis (dan brutal) itu. Dulu Yang reporter yang beriman
setia kepada Partai Komunis. Tapi ketika para mahasiswa yang
memprotes ditindas dengan kekerasan di Lapangan Tiananmen
pada 1989, ia berubah. ”Darah anak-anak muda itu membersih-
kan otakku dari semua dusta yang aku terima selama puluhan ta-
hun.”

Dan ia ke Xinjiang. Ia pernah mendengar yang disebut ”Insi-
den Xinjiang”, dan ia ingin tahu lebih jauh. Lalu ia menemukan
cerita untuk bukunya, Mubei: Zhongguo liushi niandai dajihuang
jiushi (Nisan: Sejarah yang sebenarnya tentang Kelaparan Besar
di Cina tahun 1960). Bab awalnya menggambarkan yang terjadi

Catatan Pinggir 10 411

http://facebook.com/indonesiapustaka THEOKRASI

di wilayah itu. Satu dari delapan orang mati kekurangan makan.
Orang berjatuhan tanpa nyawa di tepi-tepi jalan, putus asa di ma-
na-mana, anggota keluarga memakan satu sama lain dalam kani-
balisme yang menakutkan. Rakyat tak punya jalan keluar. Polisi
mencegah orang pergi mengungsi.

Seniman Ghougzhou itu mengutip sebuah ilustrasi kecil (tapi
bukan dari buku Yang) yang ia baca—sebuah laporan yang lugas
dan faktual:

Tanggal: Februari 1960. Tempat: Desa Zhangzigou di komune Hanji.
Nama pelanggar hukum: Yi Wucheng. Status: Petani miskin. Jumlah kor-
ban: Empat. Kejahatan: Membakar jasad para korban dan memakan da-
ging mereka. Alasan: Untuk bisa hidup.

Hasil reportase Yang Jisheng sendiri impresif, meskipun saya
tak mengerti bahasanya: terdiri atas dua jilid dan 1.800 halaman
lebih. Yang bisa membacanya mengatakan buku itu, seperti ba-
nyak karya Cina lain, tak mengalami proses penyuntingan. Penu-
lisannya seperti air bah yang menerabas bendungan. Tapi sejak
terbit pada 2008, Mubei tak ayal jadi bacaan para cendekiawan—
meskipun dilarang beredar di Cina, dicetak di Hong Kong dan
masuk ke Guangzhou dengan sembunyi-sembunyi. Kebetulan
dua bulan sebelumnya saya memperoleh versi Inggrisnya,

Tombstone: The Great Chinese Famine, 1958-1962, terbitan
Farrar, Straus and Giroux. Sebuah versi pendek: tapi tetap 629
halaman.

Yang Jisheng memang yang memulai keberanian membongkar
apa yang disebutnya ”aib besar Cina” itu. Dengan jelas ia menun-
jukkan siapa yang harus disalahkan: Mao Zedong, pemimpin be-
sar RRC itu, orang-orang dekatnya, dan kekuasaan Partai Komu-
nis. Sebab pada mulanya adalah sebuah impian modernisasi yang
tergesa-gesa.

412 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka THEOKRASI

Empat puluh tahun yang lalu, soal ini telah dipaparkan dalam
Mao and China Stanley Karnow: pada 1957 Mao memutuskan,
seluruh rakyat Cina harus membangun dengan bergegas untuk
mencapai tingkat industrialisasi yang melebihi Inggris. Mula-
mula jangka waktu yang jadi patokan 15 tahun. Tapi setahun ke-
mudian, Mao menyatakan, Cina harus dapat mengalahkan Ing-
gris hanya dalam tempo 12 bulan.

Da yuejin, ”Besar ke Depan”, itu adalah optimisme sebuah se-
mangat, tanpa disertai skeptisisme pikiran. ”Aku telah saksikan
energi yang gemuruh dari massa rakyat,” kata Mao. ”Atas dasar
ini tugas apa pun akan dapat dilaksanakan.”

Dan anggaran industrialisasi dinaikkan. Dan tanah, yang di
awal Revolusi dibagikan ke para petani, diambil Negara dijadikan
pertanian kolektif. Jutaan manusia dikerahkan menyumbangkan
tenaga untuk berdirinya pabrik-pabrik baja—juga dengan mem-
buat ”tanur” di pekarangan dan melebur besi apa pun yang mere-
ka temukan. Hampir semua dimobilisasi buat ikhtiar ini, hing-
ga produksi pertanian terabaikan. Panen gagal di mana-mana.
Kekurangan makan mulai, dan kelaparan meluas. Sementara
Yang Jisheng memperkirakan 36 juta yang mati, sejarawan lain
menghitung ada 45 juta. Para pembesar Partai tak mau mengakui
itu. Mereka bikin laporan yang bengkok. Mao mengiyakan bah-
wa yang terjadi adalah akibat ”bencana alam”.

Tak ada yang berani membantah. Mao tak pernah salah. Di
kalangan para pemimpin Partai, mereka yang mempersoalkan
idenya disingkirkan. Di lapis bawah, misalnya di Xinyang, tin-
dakan lebih brutal. Para peragu direnggutkan rambutnya dan di-
pukuli berhari-hari sampai mati. Ada yang digantung dan diba-
kar. Orang takut akan disebut tak bersemangat jika tak menyiksa
para pendosa secara berlebihan.

Yang Jisheng menyebut sistem yang fanatik itu ”theokrasi se-
kuler”, sebuah istilah yang aneh tapi menunjukkan satu hal: seper-

Catatan Pinggir 10 413

http://facebook.com/indonesiapustaka THEOKRASI

ti dalam theokrasi lain, pusat kekuasaan adalah pusat kebenaran.
Yang mahakuasa, Mao, berada di atas ukuran kebaikan dan ke-
kejian—dan lakunya, bahkan yang menimbulkan kesengsaraan,
tak perlu dipahami, tapi selalu diberi apologi.

Maka siapa yang merasa dekat dengan dia, atau ingin dekat de-
ngan dia, juga akan meletakkan diri di atas ukuran kebaikan dan
kekejian—dan menghalalkan diri sendiri. Mereka bisa menyik-
sa, membiarkan orang banyak mati, atau berkorban habis-habis-
an. Theokrasi akhirnya membinasakan manusia—bisa sampai 36
juta korbannya—dengan mematikan pikiran dan pertimbangan
ethis sesama.

Tempo, 9 Desember 2012

414 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka RUSHDIE

HARI itu Selasa yang cerah di London, persisnya 14 Feb-
ruari 1989, Valentine’s Day, dan Salman Rushdie mene-
rima telepon dari seorang wartawan BBC. ”Bagaimana
rasanya mengetahui bahwa Anda dijatuhi hukuman mati Ayatul-
lah Khomeini?”

”Tidak enak,” ia menjawab. Tapi di dalam hati ia tahu: ”Aku
mati.” I am a dead man. Ia tutup teleponnya, ia tutup daun jende-
la, ia kunci pintu depan.

Sejak itulah, setahun setelah novelnya, The Satanic Verses, terbit
dan dikutuk para pemuka Islam sedunia, Rushdie bersembunyi.
Lamanya sembilan tahun—sebuah pengalaman yang kini ia tu-
liskan dalam Joseph Anton, sebuah memoar. Rushdie mencoba
menyusun kembali ingatannya tentang ketakutan hampir seda-
sawarsa itu, ketika ia harus berpindah dari rumah ke rumah, me-
nyadari bahwa fatwa Khomeini—agar ia dibunuh muslim di ma-
na saja—bisa dilaksanakan sewaktu-waktu. Selama sembilan ta-
hun itu pula ia, warga negara Inggris, dijaga siang-malam oleh pa-
sukan khusus Kepolisian Metropolitan. Selama itu pula ia harus
pakai identitas lain. Ia pilih nama ”Joseph Anton”, kombinasi da-
ri Joseph Conrad dan Anton Chekhov, dua sastrawan favoritnya.
Rushdie jadi ”diri” yang baru.

Itu sebabnya di memoar ini ia tak memakai ”aku”, melainkan
”ia”. Seperti berbicara tentang orang lain. Sebab apakah dirinya,
sebenarnya? Bukan sebuah ”aku” yang permanen, bukan sebuah
”aku” yang transparan dan selesai dirangkum. Ia bukan lagi ”Sal-
man” sebagaimana ia bagi teman-temannya, melainkan ”Rush-
die” penulis The Satanic Verses. Bahkan ia berubah, bukan seba-
gai penulis novel dengan judul itu, menjadi sebagai sang penulis
”ayat-ayat setan”. Ia dianggap sekretaris Iblis.

Catatan Pinggir 10 415

http://facebook.com/indonesiapustaka RUSHDIE

Ada yang mengatakan, Joseph Anton menunjukkan, ia bukan
hanya seorang penulis fiksi yang menemukan dan menciptakan
tokoh agar bisa hidup dan kemudian ”mengubah dirinya jadi se-
macam tokoh fiksi juga”. Tapi justru sebaliknya, Rushdie adalah
contoh bahwa seperti umumnya pengarang ia tak pernah mene-
mu-ciptakan, to invent, tokohnya sendirian, apalagi menciptakan
dirinya sendiri. Seperti Gibreel Farishta dan Saladin Chamcha
dalam novelnya, Salman dan Rushdie adalah nama yang diberi-
kan orang lain. Sosoknya juga hasil tafsiran orang lain—tafsir
yang bisa berubah dan berbeda-beda.

Sekali lagi, tak ada ”aku” yang total transparan. Tak ada (tak
perlu ada) ”ia” sebagaimana adanya. Ketika orang membakar po-
tretnya dalam demonstrasi, kian tak jelas apa dan siapa Salman
Rushdie yang sebenarnya. Yang ada hanya ”sebuah rupaan, se-
buah ketidakhadiran”, an effigy, an absence.

Sebagai rupaan, sebagai ketidakhadiran, ia bisa dicitrakan tak
hanya satu. Joseph Anton adalah kisah seseorang yang tajam me-
natap diri dan cacatnya sendiri, tapi juga seseorang yang melam-
bungkan ego. Mungkin karena tiap kisah hidup, sebagaimana
tiap novel, tak hadir dalam ruang vakum: selalu ada orang lain
yang menatap, diharapkan bertepuk atau marah. Karena hasrat
dan trauma mereka. Karena sejarah mereka.

Rushdie sendiri pernah mengatakan bagaimana kuatnya seja-
rah berperan dalam sikap kita menghadapi dunia (dan karya sas-
tra). ”Kita semua terkena radiasi sejarah, kita adalah radioaktif
dengan sejarah dan politik.” Kita hidup di dunia yang ”tanpa su-
dut yang senyap”. Dan tak ada jalan mudah buat melarikan diri
dari kegaduhan itu: perbantahan yang tak selalu menyenangkan,
adu kekuatan terus-menerus untuk memperoleh posisi yang me-
nentukan.

Itu juga yang terjadi dalam riwayat The Satanic Verses. Sebagai
novel yang lebih banyak dihebohkan ketimbang dibaca, ia tak bi-

416 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka RUSHDIE

sa lepas dari ”radiasi sejarah”. Ia masuk ke dalam dunia yang tak
lagi punya ”sudut yang senyap”.

Rushdie bisa membela diri bahwa dalam novelnya, imaji Nabi
Muhammad yang buruk muncul bukan dalam sebuah deskripsi
faktual, melainkan dalam fantasi Gibreel Farishta, orang yang
menderita skizofrenia. Tapi sang novelis hanya bisa menjelaskan.
Apa boleh buat, novelnya menjangkau sudut yang tak senyap
yang tak menyukai atau tak terbiasa dengan perbauran dan para-
doks antara yang ”nyata” dan yang ”ajaib” dalam magic realism—
cara bertutur yang juga dipakai Rushdie dalam Midnight’s Chil-
dren dengan tangkas dan kocak.

Lagi pula, orang bisa meragukan benarkah ia tak sadar, novel-
nya (akan) provokatif. Setidaknya ia tentu tahu satu premis yang
tak asing lagi dalam teori sastra sejak 1960-an: dalam tiap teks,
dalam tiap percakapan, selalu ada aporia atau ketakpastian mak-
na. Sebuah novel tak bisa memberi satu tujuan yang lengkap
dan permanen. ”Membaca” adalah soal yang jauh lebih pelik
ketimbang yang lazimnya diduga. Dalam tiap proses membaca
selalu terkandung proses salah-baca. Dengan memilih judul The
Satanic Verses, Rushdie sendiri sebenarnya masuk ke dalam soal
membaca itu. Apa yang terjadi dalam ”membaca” dan dalam teks
yang dibaca? Benarkah ketika menentukan sebuah teks ”mulia”
dan teks yang lain ”setan”, kita tak dipengaruhi kepentingan ki-
ta, tak dibentuk pertimbangan praktis kita di dunia? Mengapa
orang tak mau mengakui itu? Salahkah bila kita dipengaruhi per-
timbangan praktis yang ”duniawi”?

Tampaknya kita begitu ingin tafsir yang ”benar”, hingga lupa
akan tafsir yang ”adil”....

Saya ingat Althusser. Ia mengatakan, kata ” juste” (adil) bukan-
lah sebuah ajektif untuk justice, tapi untuk justesse. Di dalamnya
ada sikap ”menyesuaikan”, meletakkan tafsir sebagai praxis di te-
ngah dunia yang berubah dari saat ke saat, serba mungkin. Maka

Catatan Pinggir 10 417

http://facebook.com/indonesiapustaka RUSHDIE

tafsir yang ”adil” justru mengandung kearifan akan apa yang ter-
jadi dalam hidup.

Itu sebabnya membaca bukanlah laku dalam keadaan statis.
Kita, sang pembaca novel, sang penafsir Kitab, selamanya berge-
rak, berpindah, meskipun tak selalu bersembunyi.

Tempo, 16 Desember 2012

418 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka ’1965’

ANGKA itu kini jadi sejenis kode yang ditafsiri satu titi-
mangsa, kata orang Sunda, tentang suatu kejadian yang
begitu besar—terkadang disebut ”peristiwa sejarah”—
dan sebab itu selalu disederhanakan. Pembunuhan sejumlah jen-
deral sekaligus. Pembalasan yang mengerikan terhadap orang
PKI. Awal pergantian sejarah politik Indonesia yang traumatis.

Kita tahu, ”1965” lebih dari itu semua. ”Sejarah adalah lang-
kah seorang raksasa yang tak punya hati,” kata-kata itu tercantum
dalam novel Amba, dalam sepucuk surat yang selama bertahun-
tahun disembunyikan di bawah sebatang pohon di Pulau Buru
oleh penulisnya, seorang dokter, seorang tapol, yang kemudian
terbunuh. ”Sejarah menyingkirkan orang-orang kecil dari catat-
an.”

Novel Amba melawan itu: menghadirkan orang-orang yang
tersingkir dari catatan tahun 1965—dan begitu pula Pulang.

Entah kenapa kedua novel tebal itu terbit tahun 2012 ini da-
lam waktu berdekatan. Amba, karya Laksmi Pamuntjak, dengan
prosa yang memukau menggambarkan hidup seorang gadis anak
seorang guru di kota kecil Kadipura, suasana Jawa Tengah dan
Timur yang berubah dan tegang, bentrokan berdarah di Yogya,
dan akhirnya kehidupan mereka yang dibuang di Pulau Buru.
Pulang, karya Leila S. Chudori, dengan cara bertutur yang hidup
dan memikat, mengisahkan mereka yang terpaksa jadi eksil di
Eropa, atau dihabisi di Jakarta—karena dianggap ”PKI”-juga
anak-anak mereka.

Entah mengapa, tampaknya tahun 2012 adalah tahun yang
ingin mengingatkan, dan ”1965” adalah fokusnya. Di salah satu
edisi khususnya majalah Tempo memuat hasil wawancara mereka
yang ikut membunuh orang-orang PKI atau disangka PKI di se-

Catatan Pinggir 10 419

http://facebook.com/indonesiapustaka ’1965’

kitar tahun 1965—sebuah reportase mengenai hal itu yang perta-
ma kali diterbitkan di Indonesia.

Kemudian The Act of Killing Joshua Oppenheimer: sebuah
film dokumenter tentang para algojo 1965 yang membuat film
tentang ke-algojo-an mereka sendiri, terkadang lucu seperti paro-
di, terkadang pongah, menjijikkan, dan mengerikan—sebuah
film yang dengan tepat disebut Zen Rs. sebagai ”gambaran grotesk
dari ke-Indonesia-an”.

Yang grotesk, yang menyentuh, yang faktual—semua bisa ha-
dir, karena mengingat bukanlah menghadirkan foto-foto tua
yang sudah berwarna sepia. Ingatan bukanlah versi yang lemah
dari ”kenyataan”. Mengingat adalah proses kontraksi dan eks-
pansi sekaligus. Kontraksi, karena di dalamnya data yang berte-
baran, berlapis-lapis, berkembang biak, diringkas, melalui proses
seleksi yang spontan ataupun diniatkan. Dari seleksi itu hadir apa
yang diingat dengan tajam. Tapi dari itu pula, mengingat adalah
juga sebuah ekspansi: merengkuh dan mendapatkan sesuatu yang
baru—seperti ketika mengisahkan kembali sebuah pengalaman
yang tak habis-habisnya menyentuh hati.

Maka ingatan bukan replika. Ingatan bukan hafalan, melain-
kan saat-saat membentuk dan dibentuk, sebuah proses yang dila-
kukan dalam kebebasan. Dari sinilah gambaran masa silam lahir.
Menyusun bayangan tentang itu tak sekadar memanggil kemba-
li sesuatu yang pernah ada. ”Imaginer n’est pas se souvenir,” kata
Bergson.

Itu sebabnya Amba dan Pulang, juga The Act of Killing, bisa
menunjukkan bahwa mengingat masa lalu juga memproduksi
apa yang baru: sebuah perspektif yang tidak ada sebelumnya.
Laksmi Pamuntjak mempersembahkan novelnya untuk ”mereka
yang ditahan di Pulau Buru”, yang ”telah memberiku sepasang
mata baru”.

Dalam Pulang, Lintang bagi saya adalah tokoh utama. Ia gadis

420 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka ’1965’

Paris yang beribu Prancis berayah Indonesia. Si bapak, Dimas
Suryo, seorang wartawan Indonesia yang bekerja di kantor be-
rita Nusantara, yang sejak 1965 tak bisa kembali ke Tanah Air.
Menjelang akhir pemerintahan Soeharto, Lintang datang ke ne-
geri ayahnya untuk memenuhi tugas akademiknya: membuat se-
buah film dokumenter tentang korban-korban 1965. Jatuh cinta
kepada Alam (anak sahabat ayahnya yang mati dieksekusi mili-
ter), Lintang terlibat dalam gerakan mahasiswa untuk Reformasi,
meskipun lebih sebagai saksi sejarah ketimbang sebagai pelaku-
nya.

Film dokumenter yang dirancang Lintang dapat dianggap se-
bagai sebuah alegori bahwa ingatan adalah sebuah laku transfor-
matif, sebuah proses kelahiran sesuatu yang lain. Pembuatan do-
kumentasi tentang masa lalu itu mengubah hidupnya.

Sebagai seorang gadis yang lahir dan dibesarkan di Paris, Lin-
tang seharusnya mengartikan kata ”pulang” bukan ke Jakarta.
Tapi sampai di akhir novel ia tak kelihatan memutuskan akan ba-
lik ke Prancis. Di akhir novel, ia merasa betapa bahagia ayahnya
dimakamkan di tanah kelahiran, persisnya di Karet, Jakarta, di
kubur yang diimpikannya selama jadi eksil. Bagi sang ayah, ”pu-
lang” adalah kembali ke masa lalu. Bagi Lintang, ”pulang” adalah
memasuki pengalaman yang baru.

Mungkin itu juga sebabnya pada akhirnya novel ini adalah ce-
rita tentang generasi umur 20-an yang aktif untuk mengubah In-
donesia ke sebuah masa depan. Pulang praktis tanpa nostalgia:
anak-anak muda yang kemudian mengambil alih kisahnya jus-
tru menghendaki sebuah republik yang lain, dengan kemerdeka-
an yang tak pernah dinikmati ayah dan ibu mereka sejak di ba-
wah ”Demokrasi Terpimpin” Bung Karno sampai dengan ”Orde
Baru” Soeharto.

Mungkin itu juga sebabnya tempo novel ini cepat, melayang
tanpa sejarah, seakan-akan ikut terdorong para pemuda yang in-

Catatan Pinggir 10 421

http://facebook.com/indonesiapustaka ’1965’

gin membawa Indonesia berlari, berlari, hingga hilang pedih pe-
rih masa lalu. Bahasa yang dipakai lurus dan transparan, tanpa
ambiguitas dan kegelapan yang membuat kita merenung. Bagi
Lintang dan Alam, Indonesia (atau ”I.N.D.O.N.E.S.I.A.”) ada-
lah sebuah fenomen yang belum didefinisikan. Atau tak perlu di-
definisikan. Back to the future.

Tempo, 23 Desember 2012

422 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka ANAK-ANAK

KENAPA anak-anak itu harus mati ditembaki, 20 orang
sekaligus, sebagian besar baru berumur enam tahun?
Apa yang dicari sang pembunuh, kecuali kematian, ju-
ga buat dirinya sendiri? Hari itu, di pertengahan Desember 2012
yang dingin tapi cerah, Adam Lanza datang ke Sekolah Dasar
Sandy Hook di Newtown, Connecticut, Amerika Serikat. Berpa-
kaian serba hitam, ia menyandang tiga jenis senjata ketika mema-
suki ruangan: sepucuk senapan Bushmaster AR-15 dan dua pis-
tol.

Beberapa menit kemudian polisi mendengar tembakan. Me-
reka temukan orang bersenjata itu telah tewas membunuh diri.
Tak jauh dari jasadnya tampak sejumlah tubuh anak dan guru
mereka, tergeletak, berdekapan. Mereka mati kena tembak ber-
kali-kali....

Segera pembantaian itu pun jadi berita dunia—juga jadi per-
tanyaan dunia. Adam tak diketahui sebagai pemuda jahat. Tapi ia
tega menembak mati ibunya sendiri sebelum berangkat ke Seko-
lah Dasar Sandy Hook. Peter Lanza, ayahnya yang tak lagi ting-
gal bersamanya, mengutarakan kegelisahan beribu-ribu orang
hari itu: ”Kami... bersedih, tapi bergulat untuk mengerti apa yang
telah terjadi.”

Tapi bisakah kita mengerti?
Kita mungkin hanya bisa ”bergulat”. Kita tak tahu apa isi kepa-
la Adam beberapa menit sebelum membantai. Kita tak mudah
menentukan apakah senjata-senjata yang tersimpan di rumahnya
itu yang menggodanya untuk membunuh tanpa motif yang jelas.
Kita juga tak tahu pasti, apakah kejadian di Newtown itu se-
buah kecenderungan sosial negeri seperti Amerika—negeri di
mana orang bisa memiliki senjata pribadi, negeri yang sejak 1917

Catatan Pinggir 10 423

http://facebook.com/indonesiapustaka ANAK-ANAK

terlibat perang di mana-mana setiap kali. Yang jelas, Adam bu-
kan pembantai yang pertama.

Pada 20 April 1999, dua pemuda yang mengenakan T-shirt
bertulisan Wrath membunuh 12 murid dan seorang guru di sebu-
ah sekolah di Littleton, Colorado. Mereka menggunakan senjata
api, pisau, dan bom (meskipun gagal meledak). Tapi berbeda de-
ngan Adam Lanza, Dylan Klebold dan Eric Harris menunjukkan
motifnya: mereka merendahkan dan membenci (atau merasa di-
benci) siapa saja di luar diri mereka. ”Aku seorang dewa—aku de-
wa kesedihan,” tulis si Eric di catatan hariannya.

Tapi orang cuma bisa menduga apa yang membuat mereka
punya sikap macam itu hingga selama setahun menyusun satu
rencana yang bisa membinasakan ratusan orang, andai terlaksana
seluruhnya. Tak jelas pula adakah Klebold dan Harris jadi inspi-
rasi bagi pembunuh lain—seperti T.J. Lane, yang pada pagi akhir
Februari 2012 datang ke cafeteria sebuah sekolah menengah di
Chardon, Ohio, dan menembaki para murid dan membunuh ti-
ga dari anak-anak yang sedang sarapan.

Bisakah semua itu diuntai sebagai satu pola? Tidakkah untai-
an itu hanya cara kita ”bergulat” agar bisa memahaminya, meng-
analisisnya, dan mencari pemecahannya—yang ternyata tak mu-
dah?

Memang ternyata tak mudah. Pembunuhan anak-anak di
Newtown itu tak sepenuhnya bisa disebut sekadar perbuatan kri-
minal. Seorang kriminal lazimnya berbuat dengan motif menda-
patkan sesuatu buat dikuasai. Tapi Adam Lanza tak mendapat-
kan apa-apa. Lebih mencolok lagi, satu kasus di Inggris Utara.
Pada suatu hari di tahun 1990-an dua anak berumur 10 tahun
membunuh seorang bayi yang baru bisa berjalan. Tentu saja tak
tampak ada niat mereka memperoleh uang atau jadi terkenal—
ataupun gejala sakit jiwa. Maka yang terjadi adalah sesuatu yang
lebih muram dan lebih kompleks ketimbang kejahatan biasa.

424 Catatan Pinggir 10

http://facebook.com/indonesiapustaka ANAK-ANAK

Mungkin ini yang harus disebut ”mala”, yang oleh orang Inggris
disebut evil: sesuatu yang membuat hidup jadi sakit, rusak, lam-
pus—baik dalam bentuk perbuatan manusia maupun bencana
alam. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

”Evil is unintelligible,” kata Terry Eagleton. Bukunya, On Evil,
mengambil kasus pembunuhan bayi di Inggris Utara itu sebagai
pengantar—untuk menunjukkan bahwa mala adalah sesuatu
yang tanpa sebab. Juga tanpa pamrih, seperti kebaikan.

Bahkan tanpa keyakinan akan penebusan. Eagleton, seorang
atheis, menolak dalih bahwa mala datang dari rencana Tuhan
yang justru mengasihi manusia. Dengan mala, menurut orang
yang beriman, akan datang kesadaran, dan harmoni pun akan
terjalin antara awal yang buruk dan akhir yang baik.

Tapi kenapa untuk ”harmoni” itu anak-anak yang tak bersa-
lah itu, yang baru dua atau enam tahun hidup, harus mati? Perta-
nyaan ini, yang hanya tersirat dalam pandangan Eagleton, tam-
paknya tak bisa dielakkan. Kita tahu ia dikemukakan 130 tahun
sebelumnya secara lebih terbuka oleh Ivan Karamazov. Dalam
novel Karamazov Bersaudara Dostoyevski, Ivan adalah tokoh
pengganggu iman. Ia antitesis bagi adiknya, Alyosha, yang alim
dan suci. Dalam sebuah percakapan, Ivan bercerita tentang se-
orang jenderal yang membunuh anak pelayannya; si anak bersa-
lah mencederai seekor anjing milik sang majikan. Anak itu pun
diperintahkan lari, dan anjing-anjing ganas mengejarnya dan
mencabik-cabik tubuhnya. Sampai mati.

Dan Ivan bertanya: jika kekejian itu bisa dijelaskan sebagai ba-
gian dari rencana Tuhan yang baik tapi tersembunyi, kenapa ha-
rus anak-anak yang dikorbankan? Demi terbangunnya harmoni
kehidupan nanti, kenapa Tuhan menjadikan korban seperti itu?
Tak ada jawabnya, kata Ivan. Hidup bisa membingungkan. ”Du-
nia tegak di atas absurditas.”

Tapi manusia tak mudah menerima itu. Bahkan Ivan sendiri

Catatan Pinggir 10 425


Click to View FlipBook Version