http://facebook.com/indonesiapustaka TARI
memiliki bangunan faali s itu. Seorang penari adalah tubuh itu
sendiri. Padanya, kata Martha Graham, ada ”satu sikap khidmat
kepada hal-hal yang dilupakan, misalnya mukjizat tulang-tulang
lentik dengan kekuatannya yang halus”.
Maka bila metafisika—seperti yang dirumuskan Descartes di
abad ke-17 Eropa—menganggap tubuh, atau lebih tepat ”jasad”,
sebagai hal yang terpisah dari kesadaran, persisnya pusat kognitif,
sang penari menegaskan betapa ganjilnya dualisme itu: dalam
menari aku bergerak, bukan aku menggerakkan, dan bukan pula
aku digerakkan.
Memang tari klasik, seperti bedhaya ketawang di Jawa, dengan
gerak yang ditentukan pakem yang pasti, meletakkan penari
hanya sebagai instrumen yang melaksanakan desain. Ketika
George Balanchine mengatakan para penarinya adalah ”instru-
men, seperti sebuah piano yang dimainkan sang koreografer”,
agaknya ia mengatakannya dengan semangat seorang penata ta-
ri yang dididik dalam tradisi klasik di Sekolah Balet Imperial di
St. Petersburg, Rusia, di awal abad ke-20. Ia belum seorang Bal-
anchine yang menciptakan Apollon musagete bersama Stravinsky
pada 1928: sebuah koreografi yang membawa masuk gerak musik
jazz—sebuah karya yang diakuinya sebagai ”titik perubahan da-
lam hidupku”.
Dalam temperamen pasca-klasik, seperti jazz, tari adalah pro-
ses ”penemuan”, bukan gerak yang mengikut jejak. Dan ketika
tubuh menemukan dan ditemukan, kita akan bersua dengan
pengalaman yang lain: tubuh bukanlah sebuah meja kosong yang
putih bersih. Tubuh bukanlah yang seperti dibayangkan doktrin
agama yang yakin bahwa sisi manusia ini bisa diisi atau dibentuk
demikian rupa hingga berubah, terlepas dari apa saja yang tak
suci-murni. Doktrin agama umumnya enggan melihat—meski-
pun diam-diam mengakui dengan was-was—bahwa tubuh ada-
lah lipatan dan buhul dari arus yang tak tepermanai. Ia tak bisa
76 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka TARI
sepenuhnya diarahkan. Ia punya sejarah.
Tari mengukuhkan pakta kita dengan dunia yang membentuk
dan dibentuk sejarah itu. Dunia bukanlah wilayah yang terpisah.
Dengan tubuh kita terpaut di dalamnya. Maka dalam tari, kita
yang mencipta tahu apa yang kita ingin temukan, sebab sejarah
yang merasuk ke dalam tubuh ikut memberi makna dunia kita.
Tapi dalam tari juga kita yang mencipta akan menemukan bahwa
hanya sedikit yang kita mampu. Tubuh dan dunia tak sepenuhnya
bisa kita kuasai: kita tak kunjung mengetahui apa yang akan ter-
jadi, sebagaimana juga dialami ilmu kedokteran dan geologi.
Saya ingat Pina Bausch. Pada musim semi 1995, saya mengun-
junginya di Wuppertal, dekat Dusseldorf, Jerman. Pencipta Tanz-
theater termasyhur itu sedang menyiapkan pementasan ulang Le
Sacre du Printemps berdasarkan musik Stravinsky. Para penari di
komunitas ini tak terdiri atas mereka yang berpotongan ”rata-rata
indah” dan tak berasal dari satu tradisi. Pina Bausch memberikan
instruksi dalam tiga bahasa. Metodenya terkenal: ia akan melatih
para penari dengan mengajukan pertanyaan tentang kenangan
dan hidup sehari-hari mereka. Pina akan minta mereka me-”men-
tas”-kan ingatan itu dan mencipta minidrama dari respons mere-
ka. ”Aku tak tahu di mana awal dan akhirnya,” saya ingat katanya
dalam sebuah wawancara.
Tapi tentu saja pada tari ada yang disebut ”bentuk”. Bisa di-
katakan bahwa tari adalah tubuh yang menyambut bentuk—
meskipun pada saat gerak mulai, bentuk itu belum ada, atau se-
dang akan ada, meskipun mungkin samar dan sementara. Dalam
proses itulah terletak kemerdekaan dalam watak pasca-klasik: ke-
leluasaan menjelajah sebuah horizon, yang sebagaimana halnya
kaki langit, tak pernah jelas di mana berhentinya.
Maka sering tari dilihat—kalau bukan sebagai hiasan upaca-
ra—sebagai proses yang tanpa hasil. Zaman ini, yang tiap menit
menuntut ”hasil”, akan mencemooh mereka yang menari 24 jam
Catatan Pinggir 10 77
http://facebook.com/indonesiapustaka TARI
dan sesudah itu menghilang. Tapi siapa yang tak menghendaki
sebuah masyarakat yang hanya punya satu mata perlu mengata-
kan (dengan sedikit menirukan Nietzsche): ”Aku hanya percaya
kepada hidup yang menari—yang menemukan, menemukan,
menemukan....”
Tempo, 8 Mei 2011
78 Catatan Pinggir 10
HAYY
http://facebook.com/indonesiapustaka SEMAKIN ramai agama dalam percakapan, semakin tera-
sa pentingnya orang menemukan kembali gua yang hi-
lang. Saya kira itulah yang saya temukan dalam membaca
kisah Hayy Ibnu Yaqzan, yang ditulis Ibnu Tufayl, pemikir Spa-
nyol abad ke-12 itu.
Di dalamnya kita bersua dengan seorang anak yang dibuang
ibunya yang ketakutan ke laut. Bayi itu terdampar di sebuah pulau
di khatulistiwa. Di pulau tanpa manusia itu ia dirawat seekor ki-
jang betina. Ia disusui, dan ketika sudah bisa berjalan, diantar ke
pohon-pohon buah, dan bila haus, dibawa ke tempat air.
Pelan-pelan, anak itu juga belajar perbedaan dan makna sua-
ra-suara hewan. Kemudian ia mulai menyadari beda tubuh dan
kemampuan dirinya dibandingkan dengan binatang-binatang
yang mengelilinginya. Ia menambah pengetahuannya tentang
dunia. Pada umur 21 tahun ia sudah membuat pakaian, rumah
(juga gudang penyimpanan), dan juga senjata.
Berangsur-angsur, pengalaman hidup membuatnya berpikir
terus, dengan rasa ingin tahu yang intens—hingga ia sampai pa-
da keyakinan adanya Wujud yang jadi sebab pertama dari segala
yang ada.
Dari cerita fiksi ini—yang terus-menerus disela lapisan para-
graf yang membahas pelbagai soal yang diamati dan direnungkan
dari hidup—kita dibawa ke suatu kesimpulan: iman, bahkan da-
lam bentuk tauhid, bisa dicapai sendiri oleh seseorang yang ter-
buka pikirannya dan tekun. Hasilnya akan tak berbeda dengan
iman yang datang dari wahyu dan diyakini orang ramai. Itu ter-
jadi karena ”mata hatinya terbuka, nyala pikirannya bersinar”,
hingga ”ajaran akal budi pun akur dengan ajaran tradisi”, demiki-
an tertulis dalam Hayy Ibnu Yaqzan.
Catatan Pinggir 10 79
http://facebook.com/indonesiapustaka H AY Y
Dengan kata lain, Ibnu Tufayl—yang hidup di masa cemer-
lang sastra dan filsafat Islam Spanyol—ingin menunjukkan bah-
wa agama wahyu, khususnya Islam, punya dasar yang universal.
Tapi justru dengan demikian, tauhid yang tanpa wahyu—atau
keimanan di luar Islam—juga tak berbeda nilainya.
Kesimpulan itu tentu membuat agama punya peran yang nis-
bi: ia perlu, tapi tak mutlak harus ada.
Dalam kisah yang dibawakan Ibnu Tufayl, ada dua tokoh lain.
Salaman, seorang penguasa, lebih dekat ke makna harfiah dari
ajaran. Ia memilih ”Percakapan”. Ia tak hendak menyendiri. Ia
masuk ke dalam kehidupan sosial. Ia ikut serta dalam keimanan
sebagai cara meramaikan komunitas, celebration of community,
ketimbang cara menyatakan dalamnya keyakinan, jika kita pakai
hasil pengamatan Ernest Gellner.
Sebaliknya Asâl: ia lebih mencari ke dalam batin, lebih bersen-
tuhan dengan makna mistik hal-ihwal dunia. Ia memilih meng-
hidupkan iman yang dibentuk kesendirian.
Maka ia pun datang ke pulau tempat Hayy hidup. Mereka
bertemu. Asâl mengajari Hayy bahasa manusia. Mereka saling
berkisah dan Asâl bercerita tentang kehidupan beragama dan ber-
Tuhan di masyarakat muslim dari mana ia datang.
Hayy heran. Ia tak mengerti kenapa Rasulullah menyampai-
kan ajarannya dalam pelbagai perumpamaan—yang menyebab-
kan umatnya menggambarkan Tuhan dalam citra mirip manusia.
Tuhan yang seperti itu akan bersifat terbatas. Ia tak mencegah
manusia mengejar omong kosong: kekayaan, misalnya. Memang
ada aturan tentang zakat dan amal, tapi itu justru membuka pin-
tu bagi hasrat yang menganggap milik dan kekayaan itu barang
yang tak sia-sia.
Merasa pandangannya lebih benar, Hayy berniat berdakwah.
Bersama Asâl ia naik perahu ke pulau di mana Salaman dan
orang-orang lain hidup. Di kota itu diwejangnya khalayak.
80 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka H AY Y
Tapi ia tak dimengerti. Ia terus tak dipahami.
Akhirnya Hayy sadar, manusia tak berani mencari kebenaran
dengan menempuh jalan yang tanpa pemandu, dengan keyakin-
an bahwa ada nalar yang bisa mencapai dan menemukan kebe-
naran yang universal.
Hayy kecewa. Tapi ia tak melihat semuanya dengan pahit. Ia
malah mengakui, Rasulullah benar: dengan menggunakan per-
umpamaan, dengan menggunakan citra manusia untuk membi-
carakan Tuhan, dengan hukum yang menyederhanakan soal,
manusia mudah ditertibkan.
Tapi jika iman berarti ketertiban sosial, sangat mungkin Tu-
han hanya dihadirkan sebagai komandan sebuah kamp. Tiap
kamp ada perbatasan. Tiap kamp adalah indikasi bahwa ada ”ki-
ta” dan ”mereka”, ada ”Tuhan kita” dan ”Tuhan mereka”. Dalam
kamp itu, orang cenderung tak mengakui ada yang universal da-
lam iman—tak mengakui bahwa ada yang mempersatukan ma-
nusia yang berbeda-beda.
Mungkin sebab itu Hayy tak bersedia ikut. Ia sejak dulu lebih
cocok dengan keadaan yang jauh dari ”Percakapan”. Di akhir ce-
rita, ia pun kembali ke pulaunya. Ia kembali ke guanya.
Gua, dalam kisah ini, bukanlah alegori ketertutupan yang ge-
lap. Justru sebaliknya: gua, seperti dalam Gua Hira, ketika Rasu-
lullah menerima wahyu pertamanya, adalah proses pencarian ke
dalam batin, proses dari gelap ke terang.
Di luar gua, suara batin umumnya lenyap dalam ”Percakap-
an”. ”Percakapan” mengasumsikan adanya jalan dua jalur yang
lurus dan jelas, sementara bahasa bukan itu. Bahasa selalu punya
bagian yang gelap dan licin dan membuat kita tergelincir. Bahasa
selalu mengandung suara gaduh orang ramai yang ikut memben-
tuknya.
Di antara ketidakpastian itu, agaknya Hayy mendahului apa
yang dikatakan Raymond Panikkar ketika ia menunjukkan tak
Catatan Pinggir 10 81
http://facebook.com/indonesiapustaka H AY Y
perlunya kita heboh dengan wacana tentang Tuhan dan iman.
Kita justru perlu melihatnya sebagai ”a discourse that inevitably
completes itself again in a new silence”.
Tempo, 15 Mei 2011
82 Catatan Pinggir 10
SI JUM’AT
http://facebook.com/indonesiapustaka Bila Tuhan demikian kuasa, kenapa Ia tak bunuh Iblis,
supaya tak berbuat jahat?
ITU pertanyaan Si Jum’at, orang ”biadab” yang sedang bela-
jar menerima ajaran Kristen dalam Robinson Crusoe. Dialog
tentang Tuhan tentu bukan bagian paling seru bagi umum-
nya pembaca buku termasyhur ini. Daniel Defoe lazim diingat
sebagai orang yang menuliskan petualangan seorang Inggris di
pulau terpencil tempat ia terdampar selama 28 tahun.
Tapi Defoe tak cuma berbicara tentang seorang lelaki perkasa
yang mengalahkan alam dan menjinakkan orang kanibal di ”Pu-
lau Putus Harapan”, nun di wilayah tropis dekat Trinidad. Ia juga
berbicara tentang Tuhan dan manusia. Hampir satu setengah
abad setelah buku itu terbit, Dublin University Magazine (1856)
menyebutnya sebagai ”sebuah puisi religius yang dahsyat, yang
menunjukkan, Tuhan ditemukan di mana manusia tak hadir”.
Tak mengherankan bila ada yang mengira Defoe terpengaruh
kitab Hayy Ibnu Yaqzan, karya Ibnu Tufayl. Dalam karya ini filo-
sof Spanyol zaman Islam itu juga membahas Tuhan, iman, dan
akal budi dalam kehidupan seseorang yang tumbuh sendiri di se-
buah pulau. Hayy Ibnu Yaqzan yang terbit di abad ke-12 diterje-
mahkan ke dalam bahasa Inggris pada 1713; Robinson Crusoe ter-
bit setahun kemudian. Mungkin Defoe membacanya. Tapi ada
perbedaan besar di antara kedua karya itu.
Hayy orang yang memilih kesunyian dalam mengenal Tuhan.
Crusoe sebaliknya. Ia selalu ingin kembali ke negeri asalnya. Ia ju-
ga ingin ada orang lain—sebagai budak. Akhirnya niatnya sam-
pai, dalam bentuk lain: pada suatu hari, tampak olehnya bebera-
pa orang kanibal membawa tawanan ke pulau itu untuk disantap.
Catatan Pinggir 10 83
http://facebook.com/indonesiapustaka SI JUM’AT
Crusoe membunuh mereka.
Dengan itu, seorang tawanan diselamatkannya. Pemuda ini
berterima kasih tak terhingga, dan sejak itu hidup bersama Cru-
soe. Ia diberi nama ”Si Jum’at”, sesuai dengan hari ia ditemukan.
Crusoe ingin Si Jum’at jadi pemeluk Kristen. Tapi pelaut Ing-
gris ini bukan penginjil yang siap. Ia menemukan Tuhan-nya de-
ngan belajar tanpa pemandu, tanpa sekolah. Maka ia tak bisa
menjawab pertanyaan yang rumit seperti tadi: bila Tuhan demi-
kian kuasa, kenapa Iblis tak ditiadakannya?
Crusoe: Bukankah Tuhan tak membunuh aku dan engkau, ketika
kita berbuat keji? Kita dibiarkan agar kita bertobat dan
mendapatkan ampun kelak.
Jum’at: Oh, jadi kita, Iblis dan semua, dibiarkan agar bertobat dan
dapat ampunan kelak....
Bagaimana ia harus melanjutkan percakapan itu bila baginya
Iblis tak termasuk dalam daftar yang diharapkan bertobat? Pen-
jelasan Crusoe macet. Ia pun cari alasan untuk meninggalkan
pembicaraan—dan diam-diam berdoa agar ia mampu menyela-
matkan ”orang buas yang malang” itu.
Tapi tak mudah. Ia datang dari tradisi Protestan yang militan,
di sebuah zaman ketika di Eropa konflik keyakinan bertaut de-
ngan perang antarbangsa. Ia anti-Katolik (”papists”) yang yakin
Tuhan tak bisa diwakili lembaga dan pendeta. Dari pengalaman-
nya—sejak ia meninggalkan rumah menentang nasihat ayahnya
untuk tak bertualang—iman dan penebusan dosa ditempuhnya
sendiri. Di pulau yang terpencil itu ia membaca dan menafsir Injil
tanpa orang lain.
Dengan kata lain, tak mungkin ia jadi penyambung sabda Tu-
han ke dalam sukma Si Jum’at. Pemuda ini harus mendapatkan
pencerahan langsung: ”Hanya wahyu Ilahi dapat membentuk
84 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka SI JUM’AT
Pengetahuan tentang Yesus Kristus”—itulah keyakinannya.
Tapi di pulau itu ia tahu, wahyu tak datang ke semua orang. Ia
menyaksikan kebuasan orang-orang kanibal. Berdosakah mereka
bila mereka tak pernah bersua dengan Kitab Suci? Mengapa ”Tu-
han senang menyembunyikan Pengetahuan yang menyelamat-
kan itu dari berjuta-juta Jiwa?”
Ia merasa tak bisa memberi kata akhir. Bahkan ketika ia ber-
kuasa atas tiga orang lain di pulau sunyi itu: Si Jum’at, yang bagi-
nya sudah jadi Protestan, seorang serdadu Spanyol, orang Katolik
yang diselamatkannya dari para kanibal, dan ayah Si Jum’at, se-
orang kafir yang juga ditolongnya dari pembantaian—tiga orang
warga yang tunduk penuh karena berutang budi kepadanya. Ga-
ris politik Crusoe: ”Aku mengizinkan kebebasan Hati Nurani di
wilayah kekuasaanku.”
Mungkin Robinson Crusoe sebuah kisah pemerintahan sekuler
pertama dalam sejarah, ketika agama-agama membenarkan diri
secara absolut untuk memandu peperangan. Untunglah: pulau
itu jauh dari Eropa yang terbakar. Di situ Crusoe melihat, ada
percakapan yang mungkin, juga kebaikan, yang bisa dilakukan-
nya bersama orang-orang itu, meskipun iman mereka sesat atau
doktrin mereka tak selesai.
Apalagi ia sendiri tak bisa merasa suci. Bahkan baginya, Si
Jum’at orang Kristen yang lebih baik ketimbang dirinya. Seorang
yang dekat dengan tradisi Puritanisme, Defoe menampilkan
Crusoe sebagai orang yang yakin akan kekuatan Iblis di mana-
mana. Keyakinan ini memang tak bisa menjawab bagaimana Tu-
han, yang digambarkan sebagai Maha Pengasih, tega menghadir-
kan kekejian dalam hidup manusia—seperti tersirat dalam per-
tanyaan Si Jum’at. Tapi dengan sejenis paranoia seorang Puritan,
Crusoe bisa melihat betapa dekatnya manusia, yakni dirinya sen-
diri, dengan kejatuhan.
Kejatuhan itu datang sedikit-sedikit. Ia suka memanfaatkan
Catatan Pinggir 10 85
http://facebook.com/indonesiapustaka SI JUM’AT
Tuhan, dengan menyatakan bahwa Tuhan-lah yang menggerak-
kan jarinya menarik pelatuk bedil, seakan-akan tak ada kehen-
daknya sendiri untuk membunuh. Ia pernah berencana jadi se-
orang Katolik dan pergi ke Brasil, untuk mendapatkan kembali
hartanya.
Dengan demikian ia seorang gagah berani, dalam arti lain.
Robinson Crusoe juga sebuah statemen bahwa keberanian manusia
adalah untuk mengakui, ia tak bisa dengan mudah menghakimi.
Tempo, 22 Mei 2011
86 Catatan Pinggir 10
KHAOS
http://facebook.com/indonesiapustaka SEBELUM turun takhta menjelang pertengahan Februari
2011, Husni Mubarak mengatakan, akan terjadi ”khaos”
di Mesir jika ia tak ada. Ia bukan meramal. Mungkin ia
mengutuk. Tapi mungkin juga ia menyatakan sesuatu yang logis.
Orang malah bisa mengatakan: Mubarak benar.
Di pekan pertama Mei 2011, di Distrik Imbaba di Kairo, be-
berapa orang muslim mencoba memaksa masuk ke dalam gereja
umat Koptik setempat. Mereka menuntut agar seorang perempu-
an bernama Abir dibebaskan. Mereka yakin, Abir disekap di Ge-
reja Santo Mina itu oleh orang-orang Koptik; wanita itu dikabar-
kan dicegah masuk Islam.
Dengan mudah desas-desus (yang beredar melalui Twitter)
beredar, dan dengan mudah pula kekerasan meledak. Abir bu-
kannya masuk Islam dan ditahan orang Koptik; ia ternyata ada di
tahanan tentara, dengan tuduhan melakukan poliandri. Sebelum
Abir, Camilla juga dikabarkan masuk Islam dan juga disekap ka-
langan Koptik. Tapi Camilla ternyata muncul di TV membantah
desas-desus yang diedarkan kelompok Salafi tentang dirinya.
Tapi hanya dengan kabar bohong, dua gereja dibakar, 15
orang tewas, dan sekitar 240 luka-luka. Kekerasan tak hanya da-
tang dari satu arah. Yasmine el-Rashidi menulis laporan dan ana-
lisisnya dalam The New York Review of Books edisi 17 Mei 2011
mengisahkan bagaimana serombongan orang Islam dari gerakan
Salafi dan beberapa preman mendatangi gereja dengan membawa
tongkat dan pedang sambil berseru ”Allahu Akbar”. Di tengah
ancaman yang gaduh itu, dari sebuah kafe dekat situ, seorang
Koptik mengeluarkan bedil dan menembaki kerumunan orang
Islam yang berteriak-teriak itu. Para tetangganya meniru. Tak
ayal, perang pun terjadi.
Catatan Pinggir 10 87
http://facebook.com/indonesiapustaka KHAOS
Ledakan itu bukan yang pertama kalinya. Sebelumnya, di
awal Maret, sebuah gereja dibuldoser para preman bersenjata, de-
ngan alasan: ada seorang laki-laki Koptik yang berzina dengan se-
orang perempuan muslim. Diambrukkannya gereja itu membu-
ka jalan bagi bentrokan yang ganas. Korban: 13 mati, 140 luka-
luka.
Kekerasan seperti itu menyebabkan orang mempersenjatai di-
ri. Kini jual-beli gada pemukul banyak ditemukan di sudut-sudut
Kairo. ”Di beberapa malam, saya tidur dengan diiringi suara tem-
bakan,” tulis Yasmine el-Rashidi. Esoknya ia ”bangun dengan su-
rat kabar pagi yang memasang headline tentang kejahatan yang
bengis”.
Tapi adakah ini sebuah khaos? Saya punya teori bahwa yang
berlangsung justru bukan khaos, melainkan konfrontasi, dan
hasrat akan kekuasaan yang utuh, yang membentuk sebagian
masyarakat Kairo ke dalam sikap tegas memihak—kalau perlu
dengan kekerasan.
Itu sebabnya penguasa militer tampaknya tak hendak membe-
reskan persoalan. Mungkin Marsekal Tantawi, perwira tinggi
yang kini memegang kekuasaan negara, membiarkan kekacauan
berlanjut. Dengan itu akan ada alasan dia dan militer akan dibu-
tuhkan. Ia akan jadi Leviathan yang dahsyat kekuasaannya—Le-
viathan yang akan dirindukan oleh mereka yang jemu dengan
khaos.
Tapi tidak mungkinkah tatanan yang demokratis lahir, karena
orang Mesir melihatnya sebagai alternatif hidup bagi kekerasan?
Juga alternatif bagi perlunya Leviathan?
Ada satu titik di mana militer dan kaum beragama yang mili-
tan bertemu: kedua-duanya menyimpan ketakutan akan hal yang
tak terduga-duga, keduanya dirundung kecemasan akan runtuh-
nya pegangan bersama untuk menegakkan tertib. Maka militer
gemar menyodorkan senjata sebagai penjaga, dan sementara itu
88 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka KHAOS
kaum beragama yang militan menawarkan fikih dan sanksi Tu-
han.
Tapi sejarah membuktikan, bedil yang melahirkan kekuasa-
an belum tentu bisa efektif mempertahankannya. Kekuasaan
tak sekadar membutuhkan kepatuhan sosial yang disebabkan
oleh takut. Kekuasaan membutuhkan sejenis iman. Tapi untuk
”iman” itu kaum beragama sering memperlakukan Tuhan dan
agama sebagai sarana paling agung bagi tertib masyarakat. Tu-
han pun jadi Tuhannya orang-orang yang praktis.
Penyair Jerman Heinrich Heine pernah menulis dengan jena-
ka tentang Kant, sang filosof. Ia gambarkan Kant berjalan bersa-
ma pembantunya di tanah kosong yang luas setelah menulis Kri-
tik der reinen Vernunft. Dalam buku ini, ditunjukkan bahwa ma-
nusia tak tahu apakah Tuhan ada atau tidak.
Sesaat, kata sahibulhikayat, setelah buku itu, Kant pun meli-
hat ke arah pembantunya—dan ia jadi iba: apa jadinya orang ini
jika Tuhan tidak ada? Karena belas kasihan itulah Kant pun me-
nulis buku kedua, Kritik der praktischen Vernunft. Di situ ia kem-
balikan Tuhan dengan memberi-Nya peran sosial. Biarpun kita
tak tahu pasti Tuhan itu ada, kita bisa bekerja yang baik dengan
menjadikan-Nya ”pembimbing”.
Manusia takut menemukan hal yang tak terduga-duga. Ia
waswas memikirkan bahwa Tuhan jangan-jangan sebenarnya su-
dah mati. Syahdan, seperti dikutip di atas, Mubarak mengatakan
bahwa khaos selalu menunggu, jika ia tak ada, baik karena ia per-
gi maupun mati. Tapi ia mungkin tak menyadari, khaos selalu
akan tersembul, seandainya pun presiden itu tetap berkuasa.
Maka kehidupan politik yang berhasil agaknya harus bermula
dari itu: bukan mengharapkan datangnya sang Leviathan, tapi
mencoba menghargai khaos. Khaos tak bisa disamakan dengan
kekerasan. Seperti terjadi di Mesir, justru kekerasan dijalankan
oleh orang-orang yang jelas garis demarkasinya. Khaos meniada-
Catatan Pinggir 10 89
http://facebook.com/indonesiapustaka KHAOS
kan garis demarkasi, berlangsung dengan apa yang tak terduga-
duga. Khaos adalah bagian sah dari kehidupan—betapapun An-
da risau akan dia.
Semoga Tuhan bersama khaos.
Tempo, 29 Mei 2011
90 Catatan Pinggir 10
LOS INDIGNADOS
http://facebook.com/indonesiapustaka ”Bukan kami menentang sistem, tapi sistem yang menentang kami.”
POLITIK adalah keributan lalu-lalang melalui pintu yang
tak pernah bisa ditutup. Tak seorang pun tahu apa yang
akan menghentikannya. Hari-hari ini, Madrid adalah se-
buah gejala.
Pada 15 Mei itu, ribuan orang muncul di Puerta del Sol. Mere-
ka menyuarakan protes di lapangan bersejarah itu—lapangan
yang pernah masuk dalam lukisan Goya, ”Tanggal Dua Mei
1808”, sebagai tempat bentrokan berdarah ketika sejumlah orang
Spanyol menyerang tentara Napoleon. Sampai beberapa hari se-
jak tanggal 15 itu, 30 ribu orang itu tak saling terikat, tak ada yang
mengomando, tapi tiba-tiba membentuk semacam gerakan, dan
menyebut diri los indignados, ”kaum yang amarah”. Berhari-ha-
ri mereka di sana, ada yang tidur berkemah di bawah iklan besar
sherry, Tio Pepe, yang lampu neonnya terpasang di atap Hotel
Paris sejak 1946—penanda khas Madrid yang bertahun-tahun
mempertautkan modal, ketertiban urban, dan kehidupan borjuis
yang asyik.
Los indignados pernah menikmati semua itu.
Tapi ini tahun 2011. Spanyol adalah sebuah perekonomian
yang terguncang. Angka pengangguran mencapai 21 persen, dan
45 persen anak muda tak punya pekerjaan. Pemerintah, di bawah
Partai Sosialis yang mengelola negeri itu, akhirnya dicatat seba-
gai pemerintah terburuk sejak demokrasi ditegakkan di tahun
1975—setidaknya ini kabinet Partido Socialista Obrero Espanol
yang paling gagal dalam sejarah. Ketika pemilihan umum di-
langsungkan hanya beberapa hari sejak aksi di Puerta del Sol itu,
PSOE kalah. Kehilangan 1,5 juta suara.
Catatan Pinggir 10 91
http://facebook.com/indonesiapustaka LOS INDIGNADOS
Saya tak tahu berapa persen orang yang datang memilih. Juga
tak pasti bagaimana menilai kemenangan partai konservatif hari
itu. Sebuah penerbitan sosialis menyebut jumlah suara Partido
Popular cuma bertambah 500 ribu. Tapi analis lain meramalkan
partai inilah yang kelak akan memimpin Spanyol—kalau kema-
rahan los indignados ternyata benar tak berumur panjang.
Mungkinkah tak akan berumur panjang? Orang-orang, seba-
gian besar anak muda, yang memadati Puerta del Sol itu menun-
jukkan kekecewaan yang dalam terhadap sistem demokrasi yang
ada. Mereka merasa demokrasi Spanyol bukan demokrasi yang
partisipatif. Mereka menghendaki ”demokrasi yang nyata”, bu-
kan himpunan pemilihan yang tak punya efek dan yang tak
mengajak mereka ikut atau diperhitungkan. Mereka merasa sis-
tem menolak mereka. Satu semboyan tertulis di Puerta del Sol:
”No estamos en contra del sistema, el sistema es en contra de nosotros.”
Tak ada revolusi di Spanyol di bulan Mei 2011, meskipun para
pemuda itu menyebut Puerta del Sol mereka sebagai ”Lapangan
Tahrir”. Yang terjadi di Madrid berbeda dengan yang terjadi di
Kairo. Tapi di Mesir, di Spanyol, dan di mana saja, berkali-kali se-
jarah mencatat tuntutan orang-orang yang di ”luar” untuk meng-
ambil tempat di ”dalam”. Pada saat seperti itu, kekuasaan seakan-
akan sebuah ruang yang menentukan.
Tapi tiap ruang ada dalam waktu. Marx juga melihat kekuasa-
an sebagai ruang, dan yang di ”luar” itu adalah proletariat, yang
mengorganisasi diri jadi satu ”kelas” dan berhimpun untuk ma-
suk. Tapi kelebihan Marx: ia juga menekankan unsur waktu; ru-
ang itu berangsur-angsur akan lapuk. Semua berubah.
Tak semua perubahan akan absolut—sisa masa lalu sering ma-
sih hinggap di dalam pemikiran generasi hari ini, kadang-kadang
sebagai mimpi buruk. Tapi sejarah adalah kisah rapuhnya masa
silam: bukan saja karena masa itu akan punah, melainkan juga
karena masa lalu hanya ada, dan hanya punya arti, sepanjang di-
92 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka LOS INDIGNADOS
tafsirkan masa kini. Dan dengan itu diubah.
Puerta del Sol adalah sisa masa lalu yang tak akan diubah—
dan punya tafsir banyak. Dulu ia gerbang di dinding Kota Madrid
abad ke-15, pintu yang menghadap ke timur: gapura matahari.
Dengan kata lain, ia bagian tembok yang menyediakan jalan, dan
sekaligus harus menyambut pagi, siang, malam. Sejak awal ia me-
nyaksikan dari waktu ke waktu siapa yang ada di dalam ruang
dan siapa yang keluar, dikeluarkan—atau masuk, menyerbu ma-
suk. Padri, aristokrat, kaum borjuis, kaum proletar....
Hari-hari ini, ”siapa” itu tak mudah diidentifikasikan. Identi-
tas-identitas lama telah lapuk. Kelas? Gender? Asal-usul? Ideolo-
gi? Partai? Kategori itu juga ruang yang dimakan waktu. Mung-
kin itu sebabnya kini orang berbicara tentang ”multitude”. Dalam
pengertian Agamben: sosok-sosok singular yang ”membentuk se-
buah komunitas tanpa meneguhkan sebuah identitas”—sebuah
komunitas yang bilang ”Tidak”.
Seperti para pemuda di Gerbang Tiananmen di Beijing tahun
1989. Seperti mereka yang tanpa partai, tanpa organisasi, tapi
dengan cara tersendiri menjadi los indignados dan menjatuhkan
Soeharto dengan menduduki Gedung Parlemen di Senayan di ta-
hun 1998. Seperti para demonstran di Lapangan Tahrir.
Mereka yang di Madrid mungkin tak akan mengguncang sis-
tem politik Spanyol. Tapi mereka—yang berdebat tentang segala
hal sepanjang malam di bawah patung beruang dan pohon ma-
droño di lapangan itu—adalah keanekaragaman yang tak teper-
manai. Mereka wujud pembangkangan abad ke-21: ketika modal,
kerja, informasi, perilaku bergerak dan berpindah dengan lekas,
los indignados akan membuat kewalahan ideologi, teori politik,
tesis revolusi, disiplin partai, dan kodifikasi Negara—pendeknya
semua kekuatan yang takut akan hal yang tak dapat dijelaskan.
Itulah kata ”Tidak” paling mendasar zaman ini: ”Tidak” ke-
pada kekuatan apa pun yang akan mematikan yang singular,
Catatan Pinggir 10 93
http://facebook.com/indonesiapustaka LOS INDIGNADOS
yang masing-masing unik, tapi punya pertalian dengan yang uni-
versal.
Seperti ditulis di salah satu sudut Puerta del Sol: ”Tiap hati
adalah sebuah sel revolusi. Tanpa pagar. Tanpa dinding yang
membatasi.”
Tempo, 5 Juni 2011
94 Catatan Pinggir 10
AN + ARCHOS
http://facebook.com/indonesiapustaka DALAM bentuknya yang paling brutal sekalipun, politik
mengandung sebuah salam. Selalu ada orang lain yang
disambut atau dijawab. Kekuasaan selamanya menun-
tut hadirnya ”sahaya”.
Satu bagian dari Pangeran Kecil Antoine de St. Exupery: Sang
pangeran berjalan-jalan ke beberapa asteroid di sekitar tempat
asalnya. Syahdan, ia berjumpa dengan seorang raja. Orang itu hi-
dup sendirian di benda angkasa yang kecil itu, duduk kesepian di
sebuah takhta. Melihat seseorang datang, ia berseru senang: ”Ah,
itu dia. Seorang sahaya!”
Sang raja butuh orang yang bisa diperintahnya. Kebutuhan
itu begitu besar hingga ia bersedia mengubah titah: jika orang
yang ia perintahkan agar tak menguap ternyata tak patuh dan
tetap menguap, baginda akan mengganti komandonya dengan
”menguaplah!” Yang penting bukanlah patuhnya orang lain, me-
lainkan pengakuan bahwa dialah sumber perintah.
Dari kisah itu kita juga tahu: si ”sahaya” yang diperlukan itu
akhirnya jadi ”saya”: yang semula direndahkan, sujet sebagai rak-
yat, jadi sujet sebagai manusia yang punya otoritas sendiri. Kekua-
saan harus bernegosiasi dengan ”saya”. Belajar dari sejarah, Hegel
pernah menunjukkan, dalam hubungan antara majikan dan bu-
dak, pada gilirannya sang majikan akan bergantung kepada si
budak. Sejarah politik sebenarnya sejarah manusia yang tegang,
mengandung sengketa, tapi juga mengandung keinginan akan
sesama.
Di sela-sela itulah saat ”ethis” dalam politik: ketika orang lain
dijangkau, bahkan disambut dengan terbuka dan murah hati.
Zoon politicon berarti ”hewan sosial” dan ”hewan politik” sekali-
gus, sebab bangunan sosial selalu mengandung yang politik: per-
Catatan Pinggir 10 95
http://facebook.com/indonesiapustaka AN + ARCHOS
saingan, konflik, kuasa-menguasai. Begitu juga proses politik tak
akan terlepas dari yang sosial, di mana konflik tak sepenuhnya
hadir dalam kehidupan.
Dikatakan secara lain, saat ”ethis” adalah saat ketika manusia
mengusahakan hidupnya hubungan tanpa antagonisme, tanpa
kuasa-menguasai. Ketika Marx membayangkan masyarakat ko-
munis, yang diharapkannya adalah sebuah hubungan antarma-
nusia tanpa perang kelas, di mana Negara—yang diartikannya
sebagai instrumen pemaksaan—praktis tak diperlukan lagi. De-
ngan kata lain, saat ”ethis” dalam politik adalah saat yang mem-
perjuangkan hidup yang egaliter. Dalam bentuknya yang radikal,
itulah saat yang merindukan anarki. Tentu saja ”anarki” dari pe-
ngertiannya yang awal: an (tanpa) dan archos (penguasa).
Tapi politik sebagai perjuangan ke arah an + archos selamanya
menantikan yang berharga dan sekaligus mustahil.
Kita ingat 1966: Mao Zedong memulai ”Revolusi Kebudaya-
an”. Juli tahun itu, ia kerahkan para mahasiswa yang kemudian
disebut ”Pengawal Merah” buat menghantam Partai Komunis
Cina yang berkuasa. ”Berontak itu sah!” katanya.
Banyak penjelasan kenapa Mao, yang memenangi revolusi
pada 1949 dengan menggunakan mesin Partai yang efektif itu,
akhirnya menampik apa yang dulu dibangunnya. Tapi satu hal
agaknya diakui: dukungan yang luas dan fanatik dari para pemu-
da terhadap ”Revolusi Kebudayaan” tumbuh dari persepsi bahwa
Partai, semenjak menguasai Cina, telah jadi sarana yang korup.
Para pengagum Mao mencatatnya sebagai pelopor sebuah perju-
angan egaliter yang anti-Partai. ”Revolusi Kebudayaan” dilihat
sebagai aksi yang memisahkan Partai dari politik revolusioner.
Partai adalah kutukan sejarah. Perjuangan melepaskan diri dari
kutukan itulah kemudian jadi cita-cita orang seperti Alain Ba-
diou dan barangkali juga sejumlah orang di Indonesia kini, keti-
ka demokrasi parlementer mengecewakan.
96 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka AN + ARCHOS
Tapi akhirnya ”Revolusi Kebudayaan” berhenti. Mao takut
Cina kacau-balau, sebab bentrokan bukan lagi hanya antara ”Pe-
ngawal Merah” dan aparat Partai, tapi juga buruh. Ekonomi ter-
ancam, terutama di kota-kota. April 1969, ”Revolusi Kebudaya-
an” dinyatakan berakhir. Ironis, bahwa keputusan itu diambil
dan disahkan oleh Sidang Ke-9 Partai. Sampai hari ini, Partai
Komunis Cina—di bawah para pemimpin pasca-Mao—tetap
berkuasa. Semangat ”Revolusi Kebudayaan” yang merayakan an
+ archos telah dibuang ke keranjang sampah sejarah.
Saat ”ethis” dalam politik memang tak bisa selalu bertahan.
Setelah gelora revolusi yang memberontak, Partai dan Negara se-
gera diterima—kalaupun bukan bentuk yang ideal, setidaknya
sebagai hal buruk yang tak dapat dielakkan.
Apalagi kini.
Kini, kapitalisme bergerak sekaligus ke dua arah yang para-
doksal. Di satu pihak, selalu ke arah akumulasi dan tegaknya tata
yang normal yang menjaga kelangsungan akumulasi kekuasaan
itu. Di lain pihak, berlangsung apa yang dikatakan Brian Massu-
mi: kapitalisme justru mendorong kendurnya ”normalitas” de-
ngan menciptakan perbedaan yang tak henti-hentinya, karena
pasar semakin mudah jenuh. Di tengah kapitalisme seperti itu,
Partai dan Negara semakin jadi an evil necessity.
Tampaknya, dari waktu ke waktu, manusia butuh tegaknya
Sang Penjaga Makna. Tapi pada saat yang sama, Makna bisa men-
jepit, dan dorongan untuk mengatakan bahwa ”Berontak itu sah”
akan selalu terbit. Sejarah berulang dalam pengertian itu: pengu-
langan yang sebenarnya menciptakan yang baru kembali. Dulu
budak-budak memberontak dengan pimpinan Spartakus, seratus
tahun sebelum Masehi. Berabad-abad kemudian para ”Sparta-
kis” seperti Rosa Luxemburg membangkang kekuatan borjuasi
abad ke-20.
Ada semacam roh yang tampaknya tak akan berhenti di satu
Catatan Pinggir 10 97
http://facebook.com/indonesiapustaka AN + ARCHOS
titik yang aktual. Dalam bentuknya yang cacat sekalipun, ber-
ulang kali politik membuka kemungkinan untuk sebuah saat
”ethis”—untuk sebuah salam.
Tempo, 12 Juni 2011
98 Catatan Pinggir 10
PERINDU
http://facebook.com/indonesiapustaka DUA nama, satu kehilangan. Saya makin sering ketemu
orang-orang yang menyebut nama ”Sukarno” atau
”Soeharto” seraya meletakkan kedua presiden itu da-
lam satu masa yang dirasakan hilang. Para perindu ini orang-
orang yang berbeda, tentu. Tapi sebenarnya mereka sejajar: dalam
kemurungan mereka, sejarah adalah nostalgia.
Sejarah sebagai nostalgia adalah gejala kesadaran modern. Pa-
ra perindu tak hidup seperti orang-orang di sebuah masyarakat di
mana tradisi punya peran yang sentral. Di alam pikiran masyara-
kat tradisional, masa lalu tak pernah absen. Ia hadir di mana-ma-
na. Ia tak perlu dirindukan kembali.
Tapi Indonesia sejak awal abad ke-20 adalah Indonesia yang
dibentuk oleh pembicaraan tentang sejarah sebagai rupture, ”pa-
tahan”, bukan kesinambungan. Sejak awal abad ke-20, ada kecen-
derungan menampilkan ”baru”—yang patah arang dengan yang
”lama”—seakan-akan sebuah bagian dari drama perbenturan.
Dalam pergerakan pemuda tahun 1910-an, misalnya. ”Jong
Java”, ”Jong Sumatranen Bond”, ”Jong Ambon”, dan lain-lain
menunjukkan yang ”muda” sebagai sebuah energi tersendiri:
yang ”muda” dianggap harus menggantikan yang ”tua”. Energi
itu berlanjut sampai ke tahun 1920-an: di masyarakat politik di-
cetuskan ”Sumpah Pemuda”; di dunia bacaan, novel seperti Siti
Noerbaja jadi terkenal sebagai penampikan terhadap ”adat” (yang
”kuno”). Di tahun 1930-an, dengan sebuah majalah beroplah ke-
cil tapi bersuara lantang, S. Takdir Alisjahbana memaklumkan
lahirnya ”pujangga baru”, dengan kesadaran tentang ”Indonesia”
yang bukan zaman ”jahiliyah” sebelumnya.
Sejak itu sejarah (setidaknya sejarah intelektual) dilihat seba-
gai sebuah cerita pergantian ”angkatan”. Ada ”Angkatan ’45”
Catatan Pinggir 10 99
http://facebook.com/indonesiapustaka PERINDU
yang menolak angkatan sebelumnya. Dua dasawarsa kemudian
diumumkan datangnya ”Angkatan ’66”. Seakan-akan yang ter-
jadi adalah satu progresi, dengan tenaga yang dengan militan
membedakan diri, bahkan meruntuhkan, tenaga lama.
Sejarah politik juga seakan-akan terkait dengan itu. Malah
mungkin menandai ”patahan” yang lebih tegas. Periode 1945-
1958, masa ”demokrasi parlementer”, ditinggalkan secara radikal
oleh periode 1958-1966, masa ”demokrasi terpimpin”. Pada gilir-
annya itu pun dicampakkan oleh periode 1966-1998, masa ”Orde
Baru”. Sejak 1998, ada patahan baru: masa Reformasi sampai hari
ini.
Tiap patahan separuhnya adalah ilusi. Tak ada satu generasi
yang bisa mengubah sejarah seperti yang dirancangnya, dan masa
kini tak pernah jadi baru sama sekali. Generasi sebelumnya selalu
punya sisa yang menghuni hidup generasi sekarang (seperti ”mim-
pi buruk”, kata Marx), meskipun tak diakui. Revolusi Prancis di
abad ke-18, yang merupakan cikal-bakal pandangan sejarah se-
bagai rupture, yang hendak melangkah dari tahun nol, tetap me-
nampung ambisi kontrarevolusi yang mengendap. Dari endapan
inilah Napoleon Bonaparte, seorang opsir Revolusi, menegakkan
takhta di akhir 1804, hanya lima tahun setelah Revolusi berakhir.
Dalam pada itu, imajinasi tentang sejarah sebagai ”patahan”
berangsur-angsur mengubah posisi masa silam. Masa yang dipi-
sahkan itu makin terasa jauh, bak sebuah benua lain yang asing
dan misterius—yang justru menyebabkan orang pergi menjang-
kau. Yang asing, kata Fernando Pessoa, ”punya parfumnya sendi-
ri”.
Untuk menjangkau benua waktu yang hilang itu kita pun
mengingat—tapi dengan kenangan yang sayu. Nostalgia me-
ngandung melankoli, tapi juga mengandung penghiburan. ”Par-
fum” masa silam itu membuat para perindu berbahagia.
Mungkin itu sebabnya dalam nostalgia masa lalu mendapat
100 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka PERINDU
posisi normatif: masa kini, kata para perindu, seharusnya seper-
ti masa lalu. ”Seharusnya” adalah kata yang mengacu ke depan.
Maka tak jarang nostalgia juga jadi bagian gerakan untuk per-
ubahan radikal. Cita-cita ”negara Islam”, yang dikemukakan
sebagai pengganti jenis negara yang ada sekarang, adalah buah
imajinasi tentang masa lalu yang memikat. Semangat konservatif
dan hasrat progresif tak jarang tumpang-tindih.
Terutama masa kini, ketika hidup membuat nostalgia bertaut
dengan rasa waswas, ketika hidup berlangsung di tengah kesim-
pangsiuran dan kemajemukan yang tak tepermanai. Ini bukan
cerita baru: ketika orang gila dalam cerita Nietzsche mengabar-
kan bahwa Tuhan mati, langit digambarkan buyar dan cuaca ki-
an kelam. Maka Tuhan tak boleh mati: bayang-bayang-Nya akan
terus diperlihatkan beribu-ribu tahun setelah kabar kematian-
Nya. Bagi banyak orang, Tuhan hidup bersama kebutuhan mere-
ka untuk menegakkan tata.
Di saat itulah nostalgia memberi bentuk. Ia hasil seleksi dari
carut-marut ingatan. Zaman tidak lagi diingat sebagai sebuah
masa di atas bumi yang kacau di bawah langit yang buyar. ”Masa
Sukarno” dan ”masa Soeharto” masing-masing berolah identitas
yang terpisah dan tak punya kontradiksi dalam dirinya. Dengan
itu, terbangun sebuah patokan, satu pusat—meskipun hanya
imajiner—pemberi norma dan sanksi.
Yang jadi pertanyaan: adakah dunia imajiner yang dibentuk
para perindu membebaskan kita. Bagi saya, emansipasi justru di-
mulai ketika kita tak disandera satu gambaran tentang masyara-
kat yang terpaut pada kesatuan memori.
Memori tak pernah punya kesatuan. Sebuah zaman, juga se-
buah masyarakat, ibarat kaleidoskop: sebuah tube dari cermin
dan kaca yang beraneka ragam, yang kita lihat dari satu lubang,
dan pola pantulannya pun berubah-ubah seraya kita mengubah
pegangan kita pada tube itu. Ada yang kelihatan, ada yang tidak.
Catatan Pinggir 10 101
http://facebook.com/indonesiapustaka PERINDU
Tak sepenuhnya terang, selalu ada kegelapan. Sebuah zaman,
juga sebuah masyarakat, bisa punya satu sosok, satu identitas, tapi
selamanya dalam ambiguitas.
Dan para perindu akan selamanya terkenang sayu.
Tempo, 19 Juni 2011
102 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka KOTA
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah
—Bung Karno, 17 Agustus 1966
JAKARTA meninggalkan sejarah, terkadang sadar, terka-
dang tidak. Mungkin tiap kota demikian. Setidaknya tiap
kota di mana revolusi datang dan revolusi pergi.
Weltevreden yang tenang dan berpohon-pohon, daerah
yang disiapkan dengan selera orang-orang mapan (tevreden ber-
arti ”puas”), gedung-gedung kekuasaan dengan tembok putih
yang tinggi seperti tak akan terganggu oleh debu dan dera wak-
tu—kita tahu semua itu kini tak tersisa dalam ingatan kolektif.
Kita menemukan tilasnya secara kebetulan, atau dengan riset
yang tak mudah: Batavia dalam gambar warna sepia.
Dan bukan hanya jejak abad ke-19 yang pudar. Atau terhapus.
Jika kini kita lewat Tugu Proklamasi, kita sebenarnya melihat se-
suatu yang bertaut tak langsung dengan sejarah. Rumah yang
dulu di dekat sana, di jalan yang dulu bernama Pegangsaan Ti-
mur—rumah yang bernomor 56 tempat Bung Karno dan Fatma-
wati tinggal waktu itu—sudah tak ada lagi.
Bung Karno sendiri yang melenyapkannya. Di tempat itu ia
ingin menandai sesuatu yang menengok ke masa depan, bukan
ke masa lalu: 1 Januari 1961 ia, presiden di pucuk kekuasaan ”de-
mokrasi terpimpin”, mengayunkan cangkul pertama untuk men-
dirikan sebuah tugu berbentuk bulatan tinggi dengan pucuk ber-
lambang petir. Sekitar 50 meter di belakangnya didirikan sebuah
gedung petak, gaya arsitektur modern. Dari sinilah akan dilaksa-
nakan ”Pembangunan Nasional Semesta Berencana”.
Masa lalu pun tersisih. Pernah di tempat itu ada tugu peringat-
an yang didirikan sejumlah aktivis perempuan Jakarta pada 1946,
Catatan Pinggir 10 103
http://facebook.com/indonesiapustaka KOTA
untuk memperingati setahun kemerdekaan—ketika pasukan Se-
kutu masih menduduki kota dan suasana tegang. Tapi sejak seta-
hun sebelum Bung Karno mengayunkan cangkul di sana, tugu
itu sudah dihancurkan.
Baru pada 1968, sekitar dua tahun setelah ia tak berkuasa lagi,
jejak sejarah itu ditangkap kembali. Sejumlah tokoh perempuan
yang dulu aktif dalam persiapan proklamasi, terutama Yos Mas-
dani, mendapat dukungan Gubernur Ali Sadikin untuk mendiri-
kan kembali tugu tahun 1946 itu. Pada 1972, renovasi selesai. Tu-
gu kembali hadir—meskipun tanpa rumah Bung Karno yang da-
hulu.
Saya tak tahu persis mengapa Bung Karno menghapus petilas-
an yang penting itu. Mungkin karena tugu kecil itu dulu diresmi-
kan Sjahrir, penentangnya yang kemudian, di tahun 1962, dipen-
jarakannya: politik ingatan sering berlangsung bersama politik
kekuasaan. Atau mungkin pula itu juga bagian dari keyakinan
lazim seorang revolusioner. Di tahun 1930-an, seperti kita temu-
kan dalam Dibawah Bendera Revolusi, ia menyerukan agar bang-
sa Indonesia menyambut ”zaman sekarang”. Apa yang disebutnya
”oude-cultuur-maniak”, kegilaan kepada kebudayaan lama, harus
dicampakkan. Juga ”pikiran dan angan-angan” yang ”hanya me-
rindui candi-candi, Negarakertagama, Empu Tantular dan Pa-
nuluh, dan lain-lain barang kuno”.
Revolusi punya cara sendiri dalam memandang waktu dan
memilih lupa. Pada 1792 Revolusi Prancis menghapuskan monar-
ki, institusi berabad-abad itu, dan menetapkan kalender baru
yang dimulai dari ”tahun satu”. Ketika Khmer Merah merebut
kekuasaan Kamboja pada 1975, tahun itu disebut ”Tahun Nol”.
Tampaknya revolusi adalah ”instan” (l’ instant) dalam gambaran
Bachelard: menawarkan apa yang ”secara mutlak baru”. Tiap ”in-
stan”, kata Bachelard, mewakili apa yang ab origo, murni asli.
Tentu ada yang berlebihan dalam pandangan ini. Sejarah ber-
104 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka KOTA
langsung dalam waktu, dan waktu memang terdiri atas deretan
”instan”—tapi tiap ”instan” tak pernah berbatas mati dengan
”instan” lain. Yang memisahkan hanya membran yang dengan
mudah tembus dan bergerak terus. Saya tetap menyukai baris-ba-
ris puisi T.S. Eliot, penyair yang mengikuti kuliah umum Berg-
son tentang waktu di Collège de France di awal abad ke-20:
Time present and time past
Are both perhaps present in time future,
And time future contained in time past.
Ingatan tak bisa dipilah-pilah. Ia bergerak, bersama waktu
yang bagaikan arus sungai yang deras: tampak koheren dari luar,
tapi sesungguhnya kelipatan yang beraneka, tak terbilang, saling
menyusup, berbenturan, saling mengubah.
Tapi apa boleh buat: manusia perlu pegangan yang praktis dan
jelas. Manusia perlu titik-titik perhentian, betapapun cuma da-
lam peta di pikirannya. Ia perlu mengambil jarak dari pengalam-
an, dari waktu—ya, agar bisa mengalahkan waktu.
Itulah yang diinginkan revolusi: menang atas masa lalu, me-
nang atas masa depan.
Tapi bukan hanya revolusi yang berniat demikian. Aneh atau
tak aneh, juga kapitalisme. Juga kekuasaan politik yang melupa-
kan revolusi.
Maka Jakarta meninggalkan sejarah—baik karena Bung Kar-
no (yang kemudian meminta kita agar tak meninggalkan sejarah)
maupun masa pasca-Bung Karno: ketika masa lalu kalah laku di
perdagangan ingatan. Dan tak cuma Jakarta.
Beijing juga. Kota itu kini seakan-akan punya ”tahun nol”-
nya sendiri. Dalam The New York Review of Books terbaru, 23 Juni
2011, Ian Johnson mencatat perubahan Beijing dalam gairah ka-
pitalisme. Tapi mania perubahan tak dimulai di situ. Johnson ju-
Catatan Pinggir 10 105
http://facebook.com/indonesiapustaka KOTA
ga mengutip dari buku Wang Jun, Beijing Record, cerita tentang
nasib tragis arsitek Liang Sicheng.
Sejak awal sejarah RRC Liang mencoba menyelamatkan Bei-
jing dari transformasi besar menjadi kota ”sosialis”. Tapi ia kalah.
Pada 1955 ia dituduh ”kanan” dan dipaksa mengaku dosa. Sean-
dainya Liang masih hidup, ia kini akan dituduh ”kekiri-kirian”.
Di manakah sejarah? Tidak selalu di kiri atau di kanan. Kota,
sosialisme, kapitalisme—semua bergegas.
Tempo, 26 Juni 2011
106 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka GRRR
DI depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku
kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau
dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan:
”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat
yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia.
Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai
bagian dari cerita pem-bangun-an—”bangun” dalam arti jiwa
yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama tea-
ter ini, melihat peran pem-bangun-an ini sebagai ”teror”—de-
ngan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia pu-
nya pendekatan tersendiri kepada kata.
Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi
yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi
dan imaji, sesuatu yang fisik yang menggebrak persepsi kita. Ia
tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif
atau tak punya manfaat yang besar.
Ini terutama hadir dalam teaternya— yang membuat Teater
Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai pe-
ristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan.
Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak je-
las sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau seli-
mut— hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele.
Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian
yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena
ia hanya bercerita tentang kalangan miskin; Putu Wijaya tak ter-
tarik untuk berbicara tentang lapisan-lapisan sosial. Teater Man-
diri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudi-
Catatan Pinggir 10 107
http://facebook.com/indonesiapustaka GRRR
an dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang
ada”.
Saya ingat bagaimana pada 1971 Putu Wijaya memulainya. Ia
bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkan-
tor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang go-
yang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertu-
gas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan
menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk
latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang
kayu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor,
seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan
itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka
untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia mem-
buat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya ce-
rita.
Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya:
sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan
”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya ba-
gian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi
dan kata sebagai benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari ta-
rik-menarik antara pathos dan humor, antara suasana yang terba-
ngun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu.
Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun
(dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa
dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan
elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah
”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu
juga menganggap bahwa ke-bangun-an adalah kebangkitan dari
ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam
hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pan-
dangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata
selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan
108 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka GRRR
selalu tersembunyi ketidaksadaran. Sartre pernah mengatakan,
salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata
di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam
keragaman hal-ihwal”. Saya kira ia salah. Ia mungkin berpikir
tentang keindahan dalam pengertian klasik, di mana tata amat
penting. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di
sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi
juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang ber-
laku.
Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi,
bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam
pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengko-
munikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Tapi di sini pun Sartre
salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu ber-
taut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater
ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Seba-
gaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam
sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater
Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan,
apalagi khotbah. Dan ini penting, di zaman ketika komunikasi
hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi
akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian
asing.
Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia meng-
akui bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkap-
kan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hi-
dup yang dijalani, le vecul. Ia tentu belum pernah menyaksikan
pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai
ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti
Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasi-
kan dalam hidup.
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dan
Catatan Pinggir 10 109
dari sana kreativitas yang sejati bertolak. GRRR
Tempo, 3 Juli 2011
http://facebook.com/indonesiapustaka 110 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka BASTIAT
SEORANG ”neo-liberal” adalah orang yang jengkel kepa-
da ”Negara”. Tapi ada seorang pendahulunya yang tak
jengkel, malah kocak: Frédéric Bastiat, orang Prancis di
abad ke-19. Ia mempersamakan Negara dengan tokoh Figaro
yang harus mendengarkan tuntutan dari delapan penjuru angin:
”Aturlah buruh dan pekerjaan mereka!”
”Habisi egoisme!”
”Lawan kekurangajaran dan tirani modal!”
”Bikin eksperimen dengan tahi sapi dan telur!”
”Bentangkan jalan kereta api di pedusunan!”
”Tanam pohon di pegunungan!”
”Jadikan Aljazair koloni kita!”
”Setarakan laba usaha industri!”
”Pinjamkan uang tanpa bunga kepada yang perlu!”
”Perbaiki keturunan kuda tunggangan!”
”Hidupkan seni, latih musisi dan penari!”
”Temukan kebenaran dan ketok kepala kami agar berpikir!”
Kutipan saya tak lengkap, tapi cukup banyak, dan Sang Nega-
ra akan mendengarkan semuanya dengan agak gelagapan. Ia pun
akan mengimbau: ”Sabar, tuan, sabar! Akan saya penuhi permin-
taan tuan semua, tapi saya perlu dana, dong. Saya perlu memu-
ngut pajak, dan tentu saja, seperti tuan kehendaki, tak akan
membebani.”
Tapi seketika itu juga akan terdengar teriakan menyahut: ”Ah,
kok gampangan! Apa tak malu! Siapa saja dapat melakukan apa
saja dengan dana. Kalau cuma begitu, kamu tak layak disebut
’Negara’! Ayo, jangan bikin pajak baru! Malah hapuskan pajak
Catatan Pinggir 10 111
http://facebook.com/indonesiapustaka BASTIAT
lama!”
Harus diakui, ada nada simpati terhadap Negara dalam esai
Bastiat itu—dan mungkin itu yang membedakannya dengan
mereka yang disebut ”neo-liberal” atau siapa saja yang dianggap
penganut pemikiran ekonomi Milton Friedman. Bastiat melihat
kontradiksi dalam tuntutan delapan-penjuru-angin yang saya
kutip di atas. Jika ia pun datang dengan rumusannya tentang
”Negara” ia tak serta-merta menafikannya.
Negara, tulis Bastiat, adalah ”sosok yang misterius, dan yang
pasti sosok yang paling banyak menerima permintaan, yang pa-
ling tersiksa, paling sibuk, paling dinasihati, paling disalahkan,
paling dituntut, dan paling diprovokasi di seluruh dunia”.
Tapi Bastiat tak berhenti di sana. Ia melihat lebih jauh untuk
memahami kenapa ”Negara” diperlukan. Manusia, menurut
Bastiat, adalah makhluk yang menampik kepedihan dan pende-
ritaan. Tapi manusia juga dihukum akan menderita kekurangan
jika ia tak bekerja buat hidup. Maka ia menemukan cara: menik-
mati hasil kerja orang lain.
Perbudakan bermula dari sifat itu. Tapi juga perang, peram-
pasan, penipuan, dan hal-hal lain yang mengerikan tapi cocok
dengan akal manusia untuk mengatasi dilemanya. Dengan kata
lain: tak aneh. ”Kita harus membenci dan melawan penindas,”
tulis Bastiat, ”tapi kita tak bisa mengatakan mereka absurd, edan,
dan tak masuk akal.”
Apalagi dalam perkembangannya, si penindas tak lagi berhu-
bungan langsung dengan si tertindas. Dewasa ini antara penindas
dan korbannya ada ”perantara”, yaitu Negara. Dari sini Bastiat
memberikan definisinya yang orisinal: ”Negara adalah satu enti-
tas imajiner yang dipakai tiap orang untuk hidup dengan ongkos
(dépens) orang lain.”
Definisi ini menohok tajam. Umumnya orang tak ingin meng-
akui secara terbuka bahwa, seperti kata Bastiat, ia hidup dengan
112 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka BASTIAT
memanfaatkan kerja orang lain. Orang lebih suka menunjuk ke
Negara dan menyuruh, ”Hai kamu, yang bisa mengambil dengan
adil dan terhormat, ambillah dari masyarakat dan bagikan kepa-
da kami!”
Mengaitkan Negara dengan hubungan eksploitatif—yang
tak selamanya tampak—adalah juga yang tersirat dalam pikiran
Marx. Saya tak yakin bapak sosialisme modern itu terilhami oleh
Bastiat (1801-1850), yang meninggal hampir dua dasawarsa sebe-
lum terbit Das Kapital. Tapi Marx juga melihat Negara bukan se-
bagai sebuah bangunan suci, melainkan sebagai instrumen repre-
si dari satu kelas terhadap kelas lain.
Hanya Bastiat sedikit lebih jeli: ia tak melihat Negara sebagai
”sistem” atau ”instrumen” semata-mata. Negara, dalam praktek-
nya, terdiri atas ”para menteri kabinet, birokrat, orang-orang
yang, pendek kata, seperti umumnya orang, menyimpan dalam
hati mereka hasrat untuk memperbesar kekayaan dan pengaruh,
dan dengan bersemangat menangkap kesempatan untuk itu”.
Yang menarik tentulah pandangan yang sejajar tentang Nega-
ra itu: di satu sisi Marx, di sisi lain Bastiat yang punya gema dalam
pemikiran kubu sebelah ”kanan”: Hayek dan Friedman. Tak
mengherankan: baik Marx maupun Bastiat bertolak dari peng-
alaman dalam ruang dan waktu. Marx menampik Hegel yang
memandang Negara sebagai penubuhan dari ide; ia merumuskan
Negara dari apa yang berlangsung dalam sejarah. Bastiat demiki-
an pula: ia seorang pencatat, bukan teoretikus, bukan filosof.
Schumpeter menganggapnya ”wartawan ekonomi yang paling
cemerlang yang pernah hidup”.
Maka ia menemui fakta dan mencemooh ”ilusi ganjil” tentang
Negara. Di atas saya kutip ia menyebut Negara sebagai ”entitas
imajiner”. Saya kira Bastiat melihat Negara sebagai proses politik,
bukan satu bangunan yang mandek di atas pergulatan politik di
mana ia berdiri. Sebab itu ia punya keterbatasannya sendiri: Ne-
Catatan Pinggir 10 113
http://facebook.com/indonesiapustaka BASTIAT
gara tak terbentuk untuk bisa memuaskan semua orang di semua
sudut sekaligus. Tiap politik punya utopia dan punya kalkulasi—
dan di antara itulah hadir Negara.
Bastiat memang seorang ”liberal” dalam pengertian politik
Eropa—dan ia berbicara dengan nada yang ringan. Ia masih
mengakui Negara sebagai ”kekuatan polisi bersama” dengan cu-
kup optimisme: baginya, kekuatan itu bisa dipakai bukan untuk
merampok dan menindas, melainkan untuk ”menjamin tiap
orang haknya sendiri dan membuat keadilan dan keamanan me-
nang”.
Memang hanya seorang yang dogmatis yang bisa melihat
Negara tanpa ambiguitas.
Tempo, 10 Juli 2011
114 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka JULI
JULI 1776 dan Juli 1789: penanda waktu yang penting da-
lam sejarah, ketika kita mengingat sebuah optimisme yang
mungkin berlebihan. Revolusi Amerika dan Prancis (dan sa-
tu abad lebih kemudian Revolusi Rusia) tak akan tercetus
andai kata sejumlah orang tak yakin penuh bahwa mereka, seba-
gai layaknya manusia, mampu mengubah sejarah.
Tapi setelah itu—
Setelah Juli dan tahun itu berlalu, lewat satu periode lain, opti-
misme pun tergerus. Revolusi ternyata tak membuat manusia se-
penuhnya bebas, berkeadilan, berpunya, berbahagia—dan orang
tak jarang melihat kembali perubahan besar itu dengan muram.
Sinisme beredar. Revolusi seakan-akan berawal dengan sebuah
ilusi di cermin. Revolusi seakan-akan bermula dari anggapan
yang berlebihan tentang kehebatan manusia dan sebab itu kemer-
dekaan adalah hak dan kemerdekaan itu mungkin.
Napoleon, opsir pasukan Revolusi Prancis yang hebat itu,
kemudian meninggalkan cita-cita Juli 1789. Pada suatu hari ia
mengangkat diri jadi maharaja dan mengatakan bahwa bukan
hasrat kemerdekaan yang mendorong manusia menggerakkan re-
volusi. Yang membuat revolusi, katanya, adalah ”kekenesan”, la
vanité. Kemerdekaan, itu hanya dalih.
Kadang-kadang sinisme memang terdengar cerdas, seperti
gugatan yang menusuk: benarkah kita sebenarnya tak cuma se-
dang berpose, kenes, mengira kita bisa berubah, bisa berbuat baik
untuk orang banyak, dengan atau tanpa revolusi? Padahal tidak?
Harus saya tambahkan: pertanyaan itu (kita juga sering men-
dengarnya di Indonesia pasca-Reformasi) tak hanya ungkapan
sinisme. Pertanyaan ini menandai zaman yang konservatif kini.
Dalam beragama, dalam perilaku dan hubungan berkeluarga,
Catatan Pinggir 10 115
http://facebook.com/indonesiapustaka JULI
banyak orang melihat perubahan sebagai langkah ke malapetaka.
Harus pula saya tambahkan: tak semuanya cuma karena kon-
servatisme. Ada sebab lain: semacam relativisme. Bila perempuan
ditindas di sebuah tempat, sikap ini akan menerima penindasan
itu dengan mengatakan bahwa nilai-nilai orang lain tak bisa kita
ubah dengan nilai-nilai kita. Politik dewasa ini sering mendesak-
kan agar kita menghargai kearifan lokal, identitas-identitas yang
berlainan, atau keunikan sebuah kaum. Yang tak disadari, sikap
ini bisa berakhir dengan politik yang, seperti sikap konservatif,
tak menghendaki transformasi.
Seakan-akan tak ada konflik dalam sejarah. Seakan-akan tak
ada dialektik, seakan-akan perbedaan dalam hidup ibarat dua sisi
rel kereta api yang sejajar, tak bertaut, maka tak akan bertabrak-
an.
Dengan pandangan itu orang lupa, bahkan sebatang rel pun
sebuah entitas yang tak permanen. Ia terdiri atas zat yang ber-
ubah. Dalam tiap perubahan terjadi konflik.
Terutama ini berlaku pada manusia. Mereka yang percaya ma-
nusia tak berubah adalah mereka yang percaya bahwa manusia
dibentuk oleh kodrat yang tetap—sementara dalam tubuh, tiap
saat sel berganti, napas tak pernah menghirup oksigen yang sama,
ingatan baru selalu datang menumpuk mengubah apa yang ada
di bawah sadar.
Kita memang perlu diingatkan bahwa, untuk meminjam dari
Alain Badiou, yang ada hanyalah ”tubuh dan bahasa-bahasa”.
Dengan kata lain, diperlukan satu pendekatan seorang materialis
yang menampik bahwa ada ide abadi yang membentuk dunia,
seorang materialis yang melihat perubahan sebagai hal yang nis-
caya: tubuh tak bisa tetap. Juga bahasa—yang terbentuk dari in-
teraksi sosial di suatu masa di suatu tempat dan diungkapkan me-
lalui badan—bukanlah bangunan yang selesai dalam satu gra-
matika.
116 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka JULI
Tapi persoalannya: apa yang terjadi dalam perubahan?
Kita ingat kaum konservatif. Mereka akan mengatakan bah-
wa yang terjadi hanya ilusi yang riskan. Tapi sebaliknya ada kaum
antikonservatif yang mengatakan bahwa perubahan tak ada jika
bukan sesuatu yang radikal. Revolusi dipertentangkan dengan
evolusi. Dunia harus diciptakan baru—dan tiap sisa dari dunia
yang lama akan dilihat sebagai tanda kesia-siaan ikhtiar transfor-
masi. Walhasil: sejenis gugatan yang mirip sinisme lama, yang
mungkin akan menghalalkan sinisme setua Napoleon: para pem-
baharu hanya dianggap orang-orang kenes, selama tak ada refor-
masi yang radikal.
Tapi yang tragis, atau mungkin juga tak tragis, dalam sejarah
adalah bahwa manusia tak bisa membangun dunia dari nihil.
Yang berbicara ”kun fayakun” hanya Tuhan. Saya suka meng-
ulang Marx: manusia membuat sejarah, tapi membuatnya dalam
kondisi yang tak ditentukannya sendiri. Transformasi sosial, se-
bagaimana transformasi tubuh, tak datang dari simsalabim tran-
sendental. Langkah baru adalah langkah baru, tapi dengan bekas
lumpur, pasir, dan debu yang menempel pada kaki dari pergulat-
an kemarin petang.
Yang penting adalah, dengan bekas-bekas itu, kita tak lupa
bahwa ada subyek yang membawa kabar lain: bukan kekenesan
yang mendorong perubahan, melainkan rasa sakit manusiawi
yang dicekik ketidakadilan—yang membuat keadilan begitu je-
las meskipun tak datang dari wasiat purba ataupun dari ensiklo-
pedia.
Di saat itu, perubahan bisa disebut membawa sesuatu yang ra-
dikal baru—satu ”instan” ala Bachelard: hasil dari penampikan
total yang tergerak untuk menjangkau yang mustahil. Yang mus-
tahil itu adalah kebaruan yang menggugah. Ia membangkitkan
kita di malam gelap yang tanpa tidur.
Ketika fajar tiba, kita memang akan melihat yang tak tercapai
Catatan Pinggir 10 117
http://facebook.com/indonesiapustaka JULI
masih banyak. Yang masih harus dihancurkan akan selalu ada.
Namun yang telah tercapai bukannya tanpa makna. Revolusi
yang melahirkan emansipasi—betapapun tak utuh dan tak sta-
bilnya itu—memberi bekal untuk mengilhami transformasi ba-
ru. Revolusi Juli, Oktober, Agustus, dan lain-lain yang tak terca-
tat: masing-masing isyarat bahwa sinisme adalah putus asa. Putus
asa yang keliru.
Tempo, 17 Juli 2011
118 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka KEMBANG
MAO Zedong tiba-tiba berbicara tentang kembang kri-
san. ”Tahukah tuan, apa sebutan kembang krisan di
Pameran Hangzhou belakangan ini? Sang penari ma-
buk, kuil tua di bawah matahari senja, sang pencinta yang mem-
bedaki sang kekasih.”
André Malraux mencatat kata-kata itu dalam Antimémoires, di
bagian ketika ia mengenang pertemuannya dengan para pemim-
pin Cina pada tahun 1960-an.
Hari itu Mao rupanya hendak mengumpamakan masyarakat
sebagai kembang krisan, sebuah organisme yang tak sederhana.
Masyarakat adalah wilayah di mana ”penari” dan ”mabuk”, dua
hal yang tak pas, bisa terjadi di satu wadah: ”Bukan mustahil ke-
dua tendensi itu hadir, dan banyak konflik yang tersimpan,” kata-
nya.
Perumpamaan, atau kiasan, adalah bagian yang wajar dalam
percakapan Mao; ia penyair. Dengan kiasan, satu ide (”masyara-
kat”) ditampilkan sebagai sesuatu yang bisa ditangkap pancain-
dra, dalam wujud imaji: ”penari mabuk”, ”kuil tua”. Dengan ki-
asan, satu ide dianggap akan bisa lebih terbayangkan.
Tapi puisi dan kiasan juga bisa membuat sebuah konsep tak
stabil acuannya. ”Penari mabuk, kuil tua di bawah matahari, sang
pencinta yang membedaki kekasih...”. Mao memilih imaji-imaji
itu (jika kita percaya kepada kutipan Malraux), dan dengan itu
memang orang bisa tak pasti tentang bagaimana seharusnya me-
mahami sebuah ”masyarakat”.
Mungkin karena Mao tahu: sebuah masyarakat memang sesu-
atu yang tak mudah dirumuskan. Sebuah masyarakat selamanya
kompleks, rumit hubungan-hubungannya, beraneka tendensi-
nya, dan tak mandek. Hanya pikiran kita yang menangkapnya
Catatan Pinggir 10 119
http://facebook.com/indonesiapustaka KEMBANG
sebagai satu organisme yang tersusun.
Mao seorang Marxis. Ia bisa melihat, dalam tiap hal yang bisa
diidentifikasikan—”masyarakat Cina” atau ”kembang krisan”—
ada yang luput dari identifikasi itu. Katanya kepada Malraux:
”Tuan telah melihat satu sisi. Sisi yang lain mungkin lepas dari
penglihatan.”
Ia memang berakar dalam tradisi Materialisme; ia menampik
pemikiran Idealis. Materialisme melihat dunia, apalagi sejarah,
sebagai arus yang tak konsisten, yang bahkan tak cuma punya
dua sisi. Sisi itu tak terhingga. Manusia kemudian memberinya
bentuk, merumuskan, dan mengarahkan. Tapi dialektika ini tak
pernah tuntas.
Sebaliknya, bagi filsafat Idealis, dunia adalah perwujudan
dari Ide yang utuh dan abadi. Apa yang ada (”masyarakat Cina”)
dianggap sudah dicetak dengan esensi yang tetap. Idealisme per-
caya bahwa kesadaran manusia yang rasional, seakan-akan didu-
kung oleh kekuatan sabda yang transendental, bisa membentuk
apa-yang-ada. Bentuknya konsep-konsep. Dengan konsep itu
aku merengkuh dan memasukkan dunia ke dalam diriku. Idea-
lisme mirip kegairahan pikiran yang mengremus dunia: ”Idealis-
mus als Wut,” kata Adorno, pemikir yang menunjukkan cacat be-
sar filsafat ini.
Dalam menampik pemikiran Idealis, kecenderungan puitik
Mao bertemu dengan pandangan Marxisnya. Seorang Idealis
akan mengatakan, ”Aku berpikir, maka aku ada.” Seorang Marx-
is, ”Aku ada, maka aku berpikir.” Pikiran lahir dari hidup yang
dialami, dari tubuh, benda, dan bahasa. Maka Marxisme Mao
bersentuhan dengan realitas yang konkret. Malraux mengutip-
nya: ”Tak ada Marxisme yang abstrak. Hanya ada Marxisme
yang konkret, yang disesuaikan dengan kenyataan Cina, dengan
pohon-pohon yang telanjang, sebagai telanjangnya rakyat yang
sibuk memakannya.”
120 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka KEMBANG
Pohon-pohon yang telanjang....
Tapi, apa boleh buat, Mao bukan hanya penyair. Ia pemimpin
revolusi yang harus menaklukkan: mengalahkan musuh, gua-
gua Yenan, arus Sungai Yangtze, kemiskinan dan ketidakadilan
di dusun-dusun—bahkan, kemudian, dalam ”Revolusi Kebuda-
yaan”, menghancurkan markas besar Partai Komunis Cina sendi-
ri. Ia harus mengukuhkan diri sebagai Subyek (dengan ”S”) yang
mengremus obyek-obyek, melulur liyan.
Untuk itu, Mao membuat doktrin yang mengukuhkan diri-
nya. Cetusan pikirannya dicetak dalam ”Buku Merah”. Berjuta-
juta orang harus menghafalkannya. Di masa ”Revolusi Kebuda-
yaan”, para ”Pengawal Merah” bahkan berlomba menghafal bu-
ku itu terbalik dari huruf terakhir ke pagina depan. Ada petani
yang percaya, dengan membaca ”Buku Merah” di dekat pohon
limaunya, tanaman itu akan berbuah cepat.
Di situ semangat Materialisme mati. Benda-benda konkret di-
anggap bisa dikuasai pikiran sang Ketua. Sang Ketua seakan wu-
jud transendental, di luar dunia yang rumit, di atas organisme apa
pun.
Mao wafat 1976. Tapi ia roh agung yang tak bisa mati. Minggu
ini Partai Komunis Cina berumur 90 tahun. Partai itu tetap me-
ngutip Sabdanya—seakan-akan untuk menebus dosa Cina yang
kini menempuh jalan kapitalisme yang dulu dikutuk. Marxisme
jadi agama. Seperti agama lain, ia punya penafsir baru dan juga
kaum munafik. Seperti agama lain, Marxisme Cina yakin: ”Pada
mulanya adalah Sabda,” dan dari sabda terjadilah dunia.
Dengan kata lain, hidup bergantung pada Sabda, tunduk pa-
da Kata. Kata tak lagi datang dari hidup yang dijalani, hidup yang
kompleks, yang berubah dan tak terumuskan—sesuatu yang du-
lu bisa dicitrakan sebagai ”penari mabuk, kuil tua di bawah mata-
hari”. Kini, Kata seakan-akan berdiri sendiri. Berwibawa, tapi
beku. Ia mantra, juga berhala.
Catatan Pinggir 10 121
http://facebook.com/indonesiapustaka KEMBANG
Tak mengherankan bila kini penguasa Cina bisa cemas de-
ngan ”melati”. Setelah ”Revolusi Melati” merebak di dunia Arab,
dan kata itu muncul di kalangan mereka yang menuntut demo-
krasi di Cina, kata ”melati” dihapus bahkan dari lagu Mo Li Hua.
Tak cuma itu: para petani Daxing tak bisa menjual kembang
yang disebut demikian.
Syahdan, ada yang berubah. Dulu ”krisan” terbit dalam jiwa
kreatif yang berpuisi. Kini ”melati” jadi teror bagi jiwa yang tak-
luk, yang menganggap Kata makhluk sakti, asing, tanpa bumi.
Tempo, 24 Juli 2011
122 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka SREBRENICA
DI sebuah tempat yang dulu tak dikenal dunia, sekitar
8.000 muslim dibunuh. Sejak itu Srebrenica, sebuah
kota kecil pegunungan di sebelah timur Bosnia dan
Herzegovina, jadi sebuah nama yang menakutkan. Atau menji-
jikkan. Atau memalukan.
Di situlah selama tujuh hari di pertengahan kedua Juli 1995,
Jenderal Ratko Mladic, panglima tentara yang berdarah Serbia,
menjalankan apa yang jadi kehendak dan rencananya. Mungkin
baginya inilah penyelesaian final untuk persoalan masa depan
Bosnia, seperti endgültige Lösung Hitler untuk masalah Yahudi:
orang-orang Bosnia yang bukan Serbia, terutama yang muslim,
harus dihabisi.
Mladic memang perwujudan klise tokoh algojo dalam cerita
picisan: tambun dan kasar, ia pernah diceritakan membunuh se-
seorang dengan tangan telanjang—setelah ia meyakinkan si kor-
ban bahwa tak akan terjadi apa-apa, sambil ia melatih otot-otot
tangannya untuk membinasakan si tahanan. Ketika pasukan-
nya mengepung Kota Sarajevo, ia perintahkan pasukannya untuk
meningkatkan gempuran artileri secara ber-”irama” sampai pi-
kiran penghuni kota itu ”terpelintir”.
Dalam salah satu sajaknya, penyair Bosnia Abdullah Sidran
menyebut Mladic sebagai ”monster dengan epaulet”. Orang lain
menamainya ”jagal dari Srebrenica”.
Semula Srebrenica adalah wilayah yang terlindung: orang-
orang muslim menemukan tempat yang aman di sana. Ada pasu-
kan PBB yang menjaga orang-orang yang melarikan diri dari pe-
rang etnis di Yugoslavia yang pecah itu. Terutama mereka yang
melarikan diri dari pembantaian, yang tahu bahwa kaum ”nasio-
nalis” Serbia akan menghabisi mereka.
Catatan Pinggir 10 123
http://facebook.com/indonesiapustaka SREBRENICA
Tapi Juli itu keadaan berubah. Sejak pekan pertama bulan itu,
pasukan Serbia mengepung. Berangsur-angsur Srebrenica keha-
bisan bahan bakar. Persediaan makanan menipis. Dalam Post-
cards from the Grave Emir Suljagic mengisahkan bagaimana ra-
tusan orang dengan tali dan kapak mendaki tebing yang terjal di
atas kota, menuju hutan untuk mencari kayu buat menyalakan
api, jauh sebelum kabut hilang....
Di tengah pengepungan itu, pasukan PBB yang bertugas di
sana, satu kontingen tentara Belanda yang terdiri atas 600 person-
el dan tak bersenjata berat, mencoba bertahan. Komandan mere-
ka, Letkol Karremans, meminta ke Panglima Pasukan PBB, Jen-
deral Bernard Janvier dari Prancis, agar mendapat dukungan dari
udara. Tapi yang terjadi adalah kecelakaan prosedur: permintaan
Karremans untuk mendapat bantuan udara ternyata ditulis di
formulir yang salah. Akhirnya memang dipenuhi, tapi terlambat.
Karremans memang mendapatkan bantuan lain. Dua pesa-
wat tempur F-16 Belanda menjatuhkan dua bom di atas posisi
pasukan Serbia yang mengepung. Tapi tentara di bawah Mladic
telah berhasil memiliki kartu kuat tersendiri: sebelumnya mereka
telah menyerang satu pos pasukan PBB dan menahan 30 prajurit
Belanda. Jenderal Serbia itu mengultimatum: jika pengeboman
diteruskan, tahanan itu akan mereka bunuh.
Sekitar dua jam setelah itu, menjelang sore hari 11 Juli, Mladic
dan tentaranya memasuki Srebrenica. Malamnya ia memanggil
Karremans untuk menemuinya dan mendengarkan sebuah tun-
tutan: orang-orang muslim harus menyerahkan senjata mereka
atau dihabisi. Direkam oleh juru kamera Serbia, di malam itu
Karremans mengangkat gelas, bersulang dengan Mladic. Terde-
ngar suaranya: ”Saya seorang pemain piano. Jangan tembak sang
pianis.” Dan Mladic menjawab, entah bergurau entah tidak: ”Tu-
an seorang pianis yang buruk.”
Yang mungkin bisa dikatakan: opsir Belanda itu komandan
124 Catatan Pinggir 10
http://facebook.com/indonesiapustaka SREBRENICA
pasukan yang buruk. Pasukannya meninggalkan Srebrenica,
membiarkan orang-orang muslim mulai ditembaki. Tanggal 13
Juli, pembunuhan mulai dilakukan di sebuah gudang dekat Desa
Kravica. Di hari yang sama, Karremans menyerahkan 5.000
muslim ke tangan Mladic, untuk dipertukarkan dengan 15 pra-
jurit Belanda yang ditahan di Nova Kasaba. Tiga hari kemudian,
mulai masuk laporan pembantaian....
Dan Karremans tak melaporkan peristiwa itu ke atasannya.
Seorang wartawan Belanda, Frank Westerman, pengarang buku
Srebrenica: Het zwartste scenario menulis: di saat perpisahan res-
mi, Karremans bahkan menerima sebuah cendera mata dari Mla-
dic: ”Yang ini buat istri saya?” tanyanya, tersenyum.
Tapi mereka yang jadi korban tak diam. Dua muslim Bosnia
yang keluarganya dibantai Mladic berusaha mengajukan kasus
itu ke pengadilan negeri Den Haag. Persis 16 tahun setelah kebu-
asan di Srebrenica itu, para hakim Belanda memutuskan: Negara
Belanda memang bertanggung jawab atas kesalahan tindakan
tentaranya yang membiarkan ribuan orang tak bersenjata diban-
tai.
Persis 16 tahun juga dunia menyaksikan Mladic bisa dibawa
ke Den Haag, untuk diadili di Mahkamah Internasional.
Hari-hari ini, sebuah negeri sedang merasa malu dan menebus
kesalahan di masa lalu: kesalahan bangsa sendiri terhadap mere-
ka yang datang dari negeri jauh, dengan iman dan sejarah yang
berjarak. Di saat seperti itu, ”liyan” tak hanya berarti mereka
yang bukan-kami, tapi juga ”sesama” yang tak berbeda dari kami.
Di wajah-wajah yang tak berdaya di depan para algojo, di deret-
an kepala yang berlubang ditembak, di tumpukan jasad yang di-
bantai hanya karena asal-usul yang janggal dan biodata yang be-
da, seorang muslim di Srebrenica menyerupai seorang Yahudi di
kamp Auschwitz.
Srebrenica berlumur darah karena orang macam Mladic tak
Catatan Pinggir 10 125