Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya hlm judul + isi hlm.; 15,5 x 23 cm ISBN: 978-xxx Penulis : Penulis Editor : Editor Tata Letak : Layouter Desain Sampul : Desainer Cetakan 1 : Bulan 2022 Copyright © 2022 by Penerbit K-Media All rights reserved Hak Cipta dilindungi Undang-Undang No 19 Tahun 2002. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektris maupun mekanis, termasuk memfotocopy, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penulis dan Penerbit. Isi di luar tanggung jawab percetakan Penerbit K-Media Anggota IKAPI No.106/DIY/2018 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. e-mail: [email protected]
i Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi lhamdulillah, penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt., setelah sekian lama bergulat dengan tumpukan buku-buku dan laptop, akhirnya buku sederhana ini berhasil penulis rampungkan. Buku sederhana ini berjudul Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya. Buku Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya ini merupakan salah satu luaran disertasi penulis pada Program Doktoral Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. A Prakata
Imas Juidah, dkk. ii Semoga buku teks ini dapat dijadikan sebagai referensi dalam mata kuliah Apresiasi Prosa Fiksi di perguruan tinggi dan dapat dijadikan rujukan dalam penelitian sastra. Referensi penulisan buku Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya ini, mengambil, merangkum, menghimpun dari berbagai pendapat para ahli dan juga sebagian merupakan hasil penelitian penulis sendiri. Buku teks ini memuat dua belas bab, yaitu: (1) Apresiasi Sastra; (2) Prosa Fiksi; (3) Plot dan Pemplotan; (4) Tokoh dan Penokohan; (5) Pelataran; (6) Penyudutpandangan; (7) Tema dan Amanat; (8) Teoriteori Kajian Sastra Mutakhir; (9) Teori Kajian Sastra Interdisipliner; (10) Penerapan Kajian Sosiopragmatik: Umpatan dalam Novel; (11) Penerapan Kajian Sosiopragmatik: Eufemisme dalam Novel; (12) Penerapan Kajian Sosiopragmatik: SPEAKING dalam Novel; (13) Penerapan Kajian Feminisme: Fenomena Gender Violence dalam Novel. Buku Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya ini mungkin tidak akan terwujud tanpa dorongan, bantuan pemikiran, sumbang saran, lebih-
iii Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi lebih semangat. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Buku Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya ini tentunya masih jauh seperti apa yang diharapkan. Oleh karena itu penulis meminta kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan buku bahan ajar ini di masa mendatang. Semoga buku teks yang sederhana ini dapat bermanfaat khususnya bagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia. Aamiin.
Imas Juidah, dkk. iv KATA PENGANTAR ~ i DAFTAR ISI ~ iv BAB 1 APRESIASI SASTRA A. Hakikat Apresiasi ~ 1 B. Tujuan dan Fungsi Apresiasi ~ 3 C. Langkah-langkah Apresiasi ~ 5 BAB 2 PROSA FIKSI A. Hakikat Prosa Fiksi ~ 8 B. Pembedaan Fiksi ~ 12 1. Cerpen ~ 12 2. Novelet ~ 15 3. Novel ~ 16 4. Roman ~ 18 Daftar Isi
Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi v C. Novel Populer dan Novel Serius ~ 20 D. Unsur-unsur Fiksi ~ 23 1. Intrinsik dan Ekstrinsik ~ 23 2. Fakta, Tema, dan Sarana Cerita ~ 25 3. Cerita dan Wacana ~ 27 BAB 3 PLOT DAN PEMPLOTAN A. Hakikat Plot dan Pemplotan ~ 28 B. Struktur Plot ~ 32 C. Kaidah Plot ~ 35 D. Jenis Plot ~ 38 BAB 4 TOKOH DAN PENOKOHAN A. Hakikat Tokoh dan Penokohan ~ 44 B. Jenis Tokoh ~ 47 C. Cara Pelukisan Tokoh ~ 50 BAB 5 PELATARAN A. Hakikat Latar ~ 56 B. Unsur Latar ~ 58 C. Tipe Latar ~ 59 D. Fungsi Latar ~ 60
Imas Juidah, dkk. vi BAB 6 PENYUDUTPANDANGAN A. Hakikat Sudut Pandang ~ 63 B. Jenis Sudut Pandang ~ 64 C. Pentingnya Sudut Pandang ~ 70 BAB 7 TEMA A. Hakikat Tema ~ 72 B. Jenis Tema ~ 74 C. Fungsi Tema ~ 77 D. Penafsiran Tema ~ 78 BAB 8 TEORI-TEORI SASTRA MUTAKHIR A. Formalisme Rusia ~ 80 B. Strukturalisme ~ 88 C. Semiotika ~ 96 D. Resepsi Sastra ~ 103 E. Intertekstual ~ 114 F. Dekonstruksi ~ 119 G. Feminisme Sastra ~ 122 H. Poskolonialisme ~ 126
Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi vii BAB 9 TEORI SASTRA INTERDISIPLINER A. Sosiologi Sastra ~ 129 B. Sosiopragmatik~ 132 C. Psikologi Sastra ~ 155 D. Antropologi Sastra ~ 162 E. Sastra Bandingan ~ 164 F. Ekranisasi~ 168 BAB 10 PENERAPAN KAJIAN SOSIOPRAGMATIK: UMPATAN DALAM NOVEL TELEMBUK KARYA KEDUNG DARMA ROMANSHA A. Sinopsis Novel ~ 174 B. Analisis Novel ~ 182 1. Bentuk Umpatan ~ 182 2. Fungsi Umpatan ~ 202 BAB 11 PENERAPAN KAJIAN SOSIOPRAGMATIK: EUFEMISME DALAM NOVEL AIB DAN NASIB KARYA MINANTO A. Sinopsis Novel ~ 220 B. Analisis Novel ~ 225 1. Bentuk Eufemisme ~ 225
Imas Juidah, dkk. viii 2. Referensi Eufemisme ~ 273 3. Fungsi Eufemisme ~ 314 BAB 12 PENERAPAN KAJIAN SOSIOPRAGMATIK: SPEAKING MODEL DELL HYMES DALAM NOVEL BARIDEEN: CINTA SEPOTONG AGAMA KARYA AFIF AWALAN A. Sinposis Novel ~ 363 B. Analisis Novel ~ 366 1. Setting (S) ~366 2. Participant (P) ~ 370 3. Ends (E) ~ 373 4. Act Sequence (A) ~ 375 5. Key (K) ~ 378 6. Instrumentalities (I) ~ 382 7. Norms (N) ~ 382 8. Genre (G) ~ 385 BAB 13 PENERAPAN TEORI FEMINISME: FENOMENA GENDER VIOLENCE TOKOH UTAMA PEREMPUAN DALAM NOVEL DWILOGI
Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi ix SLINDET KARYA KEDUNG DARMA ROMANSHA A. Pendahuluan ~ 386 B. Pembahasan ~ 390 DAFTAR PUSTAKA ~ 405 RIWAYAT HIDUP ~ 414
1 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi A. Hakikat Apresiasi Apresiasi Sastra Kegiatan membaca prosa fiksi pada dasarnya merupakan kegiatan apresiasi sastra secara langsung. Apakah arti kata “apresisasi”? langkah-langkah apa sajakah yang tercakup dalam kata apresiasi? Jawaban dari pertanyaan tersebut akan diuraikan sebagai berikut. Secara etimologis apresiasi berasal dari dari bahasa latin apreciatio yang berarti “mengindahkan” atau “menghargai”. Sedangkan, dalam Bahasa Iggris appreciation yang berati mengenal, memahami, dan menghargai sebuah karya seni (Gasong, 2019). Dalam KBBI kata apresiasi mempunyai beberapa arti diantaranya: (1) ‘Kesadaran terhadap nilai seni dan budaya’, (2) ‘penilaian atau penghargaan terhadap BAB 1
Imas Juidah, dkk. 2 sesuatu’ (Depdiknas, 2002:63). Secara leksikal istilah apresiasi mengacu pada pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian, dan pernyataan yang memberikan penilaian (Hornby, 1973). Secara harfiah apresiasi adalah memahami, menikmati, dan menghargai atau menilai. Dalam hubungan dengan kegiatan membaca karya sastra, jelas bahwa seorang pembaca tidak akan dapat menikmati karya itu sebelum ia memahami dan juga merasakan apa yang terkandung dalam karya sastra sastra itu sendiri. Demikian juga halnya dengan penghargaan dan penilaian; seorang pembaca tidak akan dapat menghargai atau memberi penilaian terhadap mutu suatu karya sastra tanpa terlebih dulu ia memahami, menikmati, atau tidak menikmatinya. Selanjutnya, dalam kamus istilah sastra Indonesia, apresiasi berarti penghargaan. Apresiasi sastra berarti penghargaan terhadap karya sastra. Penghargaan dalam konteks apresiasi adalah penghargaan yang timbul atas dasar kesadaran dan pemahaman nilai-nilai karya sastra (Tusthi, 1991:24). Pengertian yang sejalan juga
3 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi B. Tujuan dan Fungsi Apresiasi diungkapkan oleh Effendi bahwa apresiasi adalah menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra (2002: 6). Pendapat Effendi tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi merupakan sebuah kebutuhan yang mampu memuaskan rohaninya. Tujuan seseorang membaca karya sastra yaitu ingin memahami dan menemukan makna yang terkandung dalam karya yang dibacanya. Fungsi apresiasi sastra di antaranya yaitu sebagai berikut. 1. Fungsi Eksperensial Fungsi eksperensial merupakan fungsi yang berperan untuk menawarkan, menghidangkan dan menyuguhkan pengalaman manusia kepada apresiator. Ketika yang ditawarkan mampu
Imas Juidah, dkk. 4 berelaborasi, maka pengapreasiasi akan ikut menjiwai, menghayati dan menikmati setiap pengalaman yang ditawarkan. 2. Fungsi Informatif Fungsi informatif yakni fungsi yang menyuguhkan, menghidangkan dan menawarkan pengetahuan kepada apresiator sastra. Tujuannya agar dapat dihayati dan dinikmati. 3. Fungsi Penyadaran Fungsi penyadaran merupakan upaya untuk menawarkan, menyediakan, menghidangkan dan menyuguhkan sinyal-sinyal kesadaran ke pengapreasiasi sastra. harapannya, apresiator sastra mampu menyadari pesan, hakikat hidup, kewajiban hidup, hakikat manusia dan tanggung jawab manusia. Jadi, fungsi penyadaran berperan sebagai stimulus atau umpan atau sinyal agar penikmat menyadari akan sesuatu hal. 4. Fungsi Kreatif
5 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi C. Langkah-langkah Apresiasi Fungsi rekreatif yakni fungsi yang menawarkan dan menghidangkan hiburan kepada apresiator sebagai penghibur yang sifatnya sebagai hiburan batiniah. Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk memahami karya sastra paling tidak meliputi tiga hal, yaitu interpretasi tau penafsiran, analisis atau penguraian, dan evaluasi atau penilaian (Simatupang 1980; Pradopo 1982). Berikut penjelasan langkahlangkah apresiasi. Penafsiran adalah upaya memahami karya sastra dengan memberikan tafsiran berdasarkan sifat-sifat karya sastra itu sendiri. Dalam hubungan ini, Abrams membedakan tafsiran menjadi dua hal, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, penafsiran merupakan upaya untuk memperjelas arti bahasa dengan
Imas Juidah, dkk. 6 sarana analisis, parafrase, dan komentar. Lazimnya penafsiran difokuskan pada kegelapan, ambiguitas, atau kiasan-kiasan. Dalam arti luas, penafsiran atau menafsirkan ialah membuat jelas arti karya sastra yang bermediakan bahasa itu, yaitu meliputi struktur karya sastra seperti tema, plot, tokoh, dan lain sebagainya (Sayuti, 2017: 52). Analisis ialah pengguraian karya sastra atas bagian-bagian atau norma-normanya. Analisis fiksi meliputi analisis terhadap semua elemen pembangun fiksi, yang mencakup fakta cerita dan sarana cerita. Fakta cerita meliputi plot, tokoh, dan latar. Sedangkan, sarana cerita meliputi hal-hal yang dimanfaatkan oleh pengarang dalam memilih dan menata detail-detail cerita sehingga tercipta pola yang bermakna, seperti unsur judul, sudut pandang, gaya dan nada, dan sebagainya. Penafsiran dan analisis memungkinkan pembaca untuk memberikan penilaian kepada karya sastra secara tepat sesuai dengan hakikatnya (Sayuti, 2017: 53). Penilaian adalah usaha menemukan kadar keberhasilan atau keindahan suatu karya sastra. Dengan
7 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi adanya penilaian dimungkinkan untuk membuat pemilihan antarkarya sastra yang baik dan yang jelek, yang berhasil dan yang gagal, yang bermutu tinggi, sedang, rendah. Jika penilaian dapat dilakukan sebaikbaiknya, penghargaan kepada karya sastra pun dapat dilakukan secara wajar dan sepantasnya. Untuk itu, diperlukan suatu kriteria, yakni kriteria keindahan atau keberhasilan suatu karya sastra . pembicaraan mengenai penilaian ini membutuhkan wawasan estetika (Sayuti, 2017: 54).
Imas Juidah, dkk. 8 A. Hakikat Prosa Fiksi Prosa Fiksi Apa itu prosa? Kamus istilah sastra (2007: 157), mengemukakan bahwa prosa adalah jenis karya sastra yang dibedakan dari puisi karena tidak terikat oleh kaidah puitika. Sedangkan menurut KBBI (2001: 899), Prosa adalah karangan bebas (tidak terikat oleh ikatan/kaidah seperti dalam puisi). Menurut Nurgiyantoro (2013: 1-2), istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian yang lebih luas. Ia dapat mencakup berbagai karya tulis yang ditulis dalam bentuk prosa, bukan dalam bentuk puisi atau drama, tiap baris dimulai dari margin kiri penuh sampai ke margin kanan. Prosa dalam pengertian ini tidak hanya terbatas pada tulisan yang digolongkan sebagai karya sastra, melainkan BAB 2
9 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi juga berbagai karya nonfiksi termasuk penulisan berita dalam surat kabar. Namun, dalam penulisan ini istilah dan pengertian prosa dibatasi pada prosa sebagai salah satu genre sastra. Senada yang disampaikan pendapat sebelumnya, Toyidin (2012: 187), mengemukakan bahwa salah satu genre karya sastra dan kalau dibandingkan dengan puisi dan drama, prosa lebih memiliki cerita berupa teks panjang dan memiliki unsurunsur tersendiri. Fiksi, di sisi lain merupakan rekaan atau khayalan. Secara etimologi, kata fiksi atau fiction berasal dari bahasa Latin fictio atau fictum yang berarti, “membentuk, membuat, mengadakan, menciptakan” (Webster’s New Collegiate Dictionary dalam Toyidin, 2012: 188). Sementara itu, fiksi menurut Alterbernd dan Lewis (1966), dapat diartikan sebagai “prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan
Imas Juidah, dkk. 10 pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia.” Selanjutnya, menurut Abrams (1981: 61), fiksi menyaran pada prosa narataif, yang dalam hal ini adalah novel dan cerpen, bahkan kemudian fiksi sering dianggap bersinonim dengan novel. Fiksi dengan demikian menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama juga interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau berupa khayalan, tidak benar jika fiksi dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan perenungan secara mendalam, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Fiksi merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas
11 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi sebagai karya seni. Fiksi menawarkan “model-model” kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang sekaligus menunjukkan sosoknya sebagai karya seni yang berunsur estetik dominan (Nurgiyantoro, 2013: 3). Oleh karena itu, bagaimanapun, fiksi merupakan sebuah cerita, dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca di samping adanya tujuan estetik. Membaca sebuah karya fiksi berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Betapa pun saratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, tetap merupakan bangun struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan estetik (Wellek & Warren dalam Nurgiyantoro, 2013: 3). Prosa fiksi dalam pengertian kesusastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discource) dalam pendekatan struktural dan semiotik (Nurgiyantoro, 2013: 2). Demikian, dari beberapa pendapat di atas dapat
Imas Juidah, dkk. 12 B. Pembedaan Fiksi disimpulkan bahwa prosa fiksi merupakan jenis karya sastra yang berupa prosa, yang memiliki unsur-unsu di dalamnya dan bersifat imajinatif (khayalan). Istilah dan pengertian fiksi dalam penulisan ini dibatasi pada karya yang berbentuk prosa, prosa naratif, atau teks naratif (narrative text). Dengan demikian, karya fiksi dalam hal ini menunjuk pada karya yang berwujud cerpen, novelet, novel, dan roman. Pada bagian ini akan dibicarakan beberapa perbeedaan antara subgenre prosa fiksi tersebut secara garis besar. 1. Cerpen Cerita pendek atau yang biasa disingkat menjadi cerpen merupakan ekspresi pikiran pengarang yang menggunakan media bahasa. Apa yang digambarkan dalam sebuah cerpen merupakan rekaan pengarangnya,
13 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi bukan kejadian yang sebenarnya. Akan tetapi, tidak mustahil pengarang mengambil ide ceritanya dari peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini riwayat penulisan cerpen di Indonesia pada awal 1910-an, yaitu ketika dikenalkannya cerita-cerita yang pendek dan lucu yang ditulis oleh M. Kasim bersama Suman Hs. Cerpen “Bertengkar Berbisik” (1929) karya M. Kasim dianggap sebagai cerpen pertama di Indonesia, sedangkan “Teman Duduk” (Balai Pustaka, 1936) karya M. Kasim juga dianggap sebagai kumpulan cerpen pertama dalam sastra Indonesia. Menurut Sumardjo dalam Toyidin (2012: 223), cerpen ialah cerita yang pendek. Pendek di sini berarti cerita yang habis dibaca sekitar 10 menit, atau sekitar setengah jam. Cerita yang dapat dibaca sekali duduk. Atau cerita yang terdiri dari 500 hingga 5000 kata. Bahkan ada pula cerpen yang berisikan beberapa puluh dan ribuan kata, itulah yang dikatakan cerpen yang panjang. Pada umumnya cerpen-cerpen Indonesia berisikan 5-4 lembar
Imas Juidah, dkk. 14 folio dengan maksimal 20 lembar folio yang menggunakan spasi rangkap. Senada yang disampaikan pendapat sebelumnya, Ajip Rosidi dalam Tarigan (2011: 180), mengemukakan bahwa cerpen atau cerita pendek adalah cerita yang pendek dan merupakan suatu kubalatan ide yang lengkap, bulat, dan singkat. Semua bagian dari sebuah cerpen harus terikat pada suatu kesatuan jiwa: pendek, padat, dan lengkap. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas bahwa cerpen ialah cerita pendek yang dibaca sekali duduk yang artinya tidak memerlukan waktu yang lama antara setengah sampai dua jam, yang terdiri dari 500 hingga 5000 kata, dan merupakan suatu kebulatan ide yang lengkap dan singkat. Sebuah cerpen biasanya memiliki plot yang diarahkan pada insiden atau peristiwa tunggal yang memiliki signifikansi besar bagi tokohnya. Selain itu, watak tokoh dalam cerpen jarang dikembangkan secara penuh. Tokoh dalam cerpen biasanya langsung ditunjukkan karakternya. Selanjutnya, dimensi waktu dalam cerpen juga cenderung terbatas walaupun
15 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi dijumpai juga cerpen-cerpen yang menunjukkan dimensi waktu yang relatif luas. Ringkasnya, cerpen menunjukkan kualitas yang bersifat pemadatan (compression), pemusatan (concenstration), dan pendalaman (intensity) yang semuanya berkaitan dengan panjang cerita dan kualitas struktural yang diisyaratkan oleh panjang cerita tersebut (Sayuti, 2017: 56). 2. Novelet Kata Novellette diturunkan dari kata novel ditambah dengan suffiks-ette yang berarti “kecil”. Dengan singkat Novelette merupakan “novel kecil” atau sebuah karya fiksi yang cukup panjang, tidak terlalu panjang, tidak pula terlalu pendek. Menurut Nurgiyantoro (2013: 12) Novelet adalah karya sastra yang lebih pendek daripada novel, tetapi lebih panjang dari pada cerpen, katakanlah pertengahan diantara keduanya. Menurut Tarigan (2011: 178) Novelet jika ditinjau dari segi jumlah katanya yakni berkisar antara 10.000 – 35.000 kata; minimal 10.000 kata, maksimal 35.000 kata. Sedangkan menurut Sumardjo dan Saini (1988: 31) novelet adalah
Imas Juidah, dkk. 16 cerita berbentuk prosa yang panjangnya antara novel dan cerita pendek yang ukuran tebalnya sekitar 60 sampai 100 halaman. Misalnya contoh dari novelet Indonesia adalah karya Mira W. yang berjudul Sematkan Rinduku di Dadamu, Pudarnya Pesona Cleao Patra karya Habiburrahman El-Shirazy. 3. Novel Hampir berkebalikan dengan cerpen yang bersifat padat, novel cenderung bersifat luas. Jika cerpen lebih mengutamakan intensitas, novel yang baik cenderung menitikberatkan munculnya kompleksitas. Novel dari bahasa Italia Novella yang berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’. Novel juga bisa dikatakan sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja, juga bersifat imajinatif (Nurgiyantoro, 2013: 5). Selain bersifat imajinatif tentu saja sastra harus bersifat menarik, sastra
17 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi harus memiliki struktur dan tujuan estetis, koherensi dan efek tertentu (Wellek dan Warren, 2014: 254). Sedangkan menurut Sumardjo dan Saini (1988: 29), menjelaskan bahwa novel secara arti luas adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran luas. Ukuran yang luas di sini dapat berarti cerita dangan plot (alur), tema, yang kompleks, karakter yang banyak, dan suasana serta setting yang beragam. Sebuah novel jelas tidak dapat selesai dibaca dalam sekali duduk. Karena panjangnya, sebuah novel secara khusus memiliki peluang yang cukup untuk mempermasalahkan karakter tokoh dalam sebuah perjalanan waktu dan kronologi. Novel juga memungkinkan adanya penyajian secara panjang lebar mengenai tempat (ruang) tertentu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika posisi manusia dalam masyarakat menjadi pokok permasalahan yang selalu menarik perhatian para novelis (Sayuti, 2017: 57). Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel merupakan sebuah karangan
Imas Juidah, dkk. 18 imajinatif dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang yang mengisahkan peristiwa dengan permasalahan yang sangat kompleks dari tokohtokohnya yang diadaptasi dari kehidupan nyata. Berikut contoh-contoh novel yaitu Amba karya Laksmi Pamuntjak, Pulang karya Leila S. Chudori, Telembuk karya Kedung Darma Romansha, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, dan Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono dan lain sebagainya. 4. Roman Roman masuk ke Indonesia lewat kesusastraan Belanda pada abad ke-19. Roman yang masuk ke Indonesia kabur pengertiannya dengan novel. Namun, pada dasarnya baik novel maupun roman menceritakan hal luar biasa yang terjadi dalam kehidupan manusia sehingga jalan hidup tokoh cerita yang ditampilkan dapat berubah. Jassin (dalam Nurgiyantoro) berpendapat bahwa roman yakni cerita prosa yang melukiskan
19 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi pengalaman batin dari beberapa orang yang berhubungan satu dengan yang lain dalam suatu keadaan. Pengertian itu mungkin ditambah lagi dengan ‘menceritakan tokoh sejak dari ayunan sampai ke kubur’ dan ‘lebih banyak melukiskan seluruh kehidupan pelaku, mendalami sifat watak, dan melukiskan sekitar tempat hidup pelaku roman’ (Nurgiantoro, 2013 :15-16). Pengertian roman yang hampir mirip dengan pengertian roman di atas diajukan oleh Surana (1983:25) yang mendefinisikan roman sebagai karangan yang menceritakan kehidupan manusia dengan suka dan duka. Biasanya menceritakan kehidupan-kehidupan pelakunya sejak kecil hingga meninggal. Sedangkan menurut KBBI Pusat Bahasa, roman adalah karangan prosa yang melukiskan perbuatan pelakunya menurut watak dan isi jiwa masing-masing, pengertian roman ini pun ditambahkan dengan lebih banyak membawa sifat-sifat zamannya daripada drama atau puisi. Terdapat perbedaan tentang penafsiran antara roman Jerman dan roman Indonesia.
Imas Juidah, dkk. 20 D. Novel Populer & Novel Serius Dilihat dari sudut isinya, roman Jerman dapat dipadankan dengan novel Indonesia karena isinya hanya memuat tentang peristiwa-peristiwa spesial atau penting dalam kehidupan tokohnya yang dialami dalam suatu waktu saja, sedangkan roman Indonesia berisikan tentang riwayat hidup seseorang (tokoh utama) dari masa kecil hingga ia dewasa atau sampai ia meninggal. Dari pernyataan tentang arti dan isi roman seperti yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa roman adalah sebuah karya saatra yang menceritakan tentang kehidupan seseorang (tokoh utama) dari kecil hingga dewasa, namun juga memuat peristiwa-peristiwa yang khusus dalam perjalanan hidupnya. Nurgiyantoro (2013: 19-28), mengemukakan bahwa novel popular adalah novel yang popular pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca
21 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi di kalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah aktual dan selalu menjaman, namun hanya sampai tingkat permukaan. Sastra popular adalah perekam kehidupan, dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali pengalamanpengalamannya sehingga merasa terhibur karena seseorang telah menceritakan pengalamanya itu. Novel serius di pihak lain, justru ”harus” sanggup memberikan yang serba berkemungkinan, dan itulah sebenarnya makna sastra yang satra. Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata menyampaikan cerita (Stanton, 1965: 2). Berhubung novel populer lebih mengejar selera pembaca, komersial, ia tak akan menceritakan sesuatu
Imas Juidah, dkk. 22 yang bersifat serius sebab hal itu dapat berarti akan berkurangnya jumlah penggemarnya. Masalah percintaan banyak juga diangkat ke dalam novel serius, namun ia bukan satu-satunya masalah yang penting dan menarik untuk diungkap, masalah kehidupan amat komplek, bukan sekedar cinta asmara, melainkan juga hubungan sosial, ketuhanan, maut, takut, cemas, dan bahkan masalah cinta itu pun dapat ditujukan terhadap berbagai hal, misalnya cinta kepada orang tua, saudara, tanah air, dan lain-lain. Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara pengucapan yang baru pula. Singkatnya: unsur kebaruan diutamakan. Novel serius mengambil realitas kehidupan ini sebagai model, menuntut pembaca untuk “mengoperasikan” daya intelektualnya, pembaca dituntut untuk ikut merekonstruksikan duduk persoalan masalah dan hubungan antar tokoh. Novel serius tidak bersifat mengabdi kepada selera pembaca, dan memang, pembaca novel jenis ini tidak (mungkin) banyak. Hal itu tidak perlu dirisaukan
23 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi E. Unsur-unsur Fiksi benar (walau tentu saja hal itu tetap saja memprihatinkan). Sebuah karya fiksi merupakan sebuah bangun cerita yang menampilkan sebuah dunia yang sengaja dikreasikan oleh pengarang. Sebuah karya fiksi merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, karya fiksi mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan dan saling menggantungkan. 1. Intrinsik dan Ekstrinsik Unsur-unsur pembangun sebuah novel yang bersama-sama membentuk sebuah totalitas, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur intrinsik
Imas Juidah, dkk. 24 dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai ketika seseorang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Atau, sebaliknya, jika dilihat dari sudut pembaca, unsur-unsur cerita inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel. Unsur yang dimaksud yaitu, peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, gaya bahasa, dan lain sebagainya (Nurgiyantoro, 2013: 23). Unsur ekstrinsik (extrinsic) dipihak lain, adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Dengan kata lain, unsurunsur yang memengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walau demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh
25 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan. Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaksud antara lain yaitu keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan memengaruhi karya yang ditulisnya. Pendek kata, unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkan. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik psikologi pengarang, psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra (Nurgiyantoro, 2013: 23-24). 2. Fakta, Tema, dan Sarana Cerita Stanton membedakan unsur pembangun sebuah novel ke dalam tiga bagian yaitu fakta, tema, dan sarana cerita. Fakta (fact) dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot, dan setting. Ketiganya merupakan
Imas Juidah, dkk. 26 unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan peristiwanya, eksistensinya, dalam sebuah novel. Oleh karena itu, ketiganya dapat pula disebut sebagai struktur faktual (factual structure) atau derajat faktual (factual structure) sebuah cerita. Ketiga unsur tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, tema dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita. Sarana cerita adalah teknik yang digunakan oleh pengarang untuk memilih dan menyusun detail-detail cerita menjadi pola yang bermakna. Tujuan penggunaan sarana kesastraan adalah untuk memungkinkan pembaca melihat fakta sebagaimana yang ditafsirkan pengarang, menafsirkan makna fakta sebagaimana yang ditafsirkan pengarang, dan merasakan pengalaman seperti yang dirasakan pengarang. Sarana cerita yang dimaksud antara lain berupa sudut pandang penceritaan, gaya
27 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi bahasa dan nada, simbolisme, dan ironi (Nurgiyantoro, 2013: 25). 3. Cerita dan Wacana Menurut pandangan strukturalisme, unsur fiksi dapat dibedakan ke dalam unsur cerita dan wacana. Cerita merupakan isi dari ekspresi naratif, sedang wacana merupakan bentuk dari sesuatu (cerita, isi) yang diekspresikan. Cerita terdiri dari peristiwa dan wujud keberadaannya atau eksistensinya. Peristiwa itu sendiri dapat berupa tindakan, aksi, dan kejadian. Wujud eksistensinya terdiri dari tokoh dan unsur-unsur latar. Wacana di pihak lain, merupakan sarana untuk mengungkapkan isi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa unsur cerita adalah apa yang ingin dilukiskan dalam teks naratif, sedang wacana adalah bagaimana cara melukiskannya (Chatman dalam Nurgiyantoro, 2013: 26).
Imas Juidah, dkk. 28 A. Hakikat Plot dan Pemplotan Plot dan Pemplotan Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang menganggap plot sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain. Secara umum, plot merupakan cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain (Stanton, 2012: 26). Menurut Kosasih (2014: 63), plot merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab akibat. Forster dalam Nurgiyantoro (2013: 167), berpendapat bahwa plot merupakan BAB 3
29 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas. Senada dengan pendapat sebelumnya menurut Nurgiyantoro (2013: 167), plot adalah urutan cerita yang terjadi atau peristiwa yang selalu berdasarkan sebab akibat. Selanjutnya, menurut Kenny (1966: 14) mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Plot sebagai salah satu unsur fiksi memiliki tiga unsur penting dalam pengembangan sebuah plot cerita.. Eksistensi plot itu sendiri sangat ditentukan oleh ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur tersebut yaitu peristiwa, konflik, dan klimaks. Peristiwa adalah peralihan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain (Luxemburg dalam Nurgiyantoro, 2013: 173). Berkaitan tentang pengertian peristiwa Luxemburg dalam Nurgiyantoro (2013: 174- 175) mengategorikan peristiwa menjadi tiga yaitu peristiwa fungsional, peristiwa kaitan, dan peristiwa
Imas Juidah, dkk. 30 acuan. Peristiwa fungsional adalah peristiwa-peristiwa yang menentukan dan atau memengaruhi perkembangan plot. Peristiwa kaitan adalah peristiwaperistiwa yang berfungsi mengaitkan peristiwaperistiwa penting dalam pengurutan penyajian cerita atau secara plot. Peristiwa acuan adalah peristiwa yang tidak secara langsung berpengaruh dan atau berhubungan dengan pengembangan plot, melainkan mengacu pada unsur-unsur lain, misalnya berhubungan dengan masalah perwatakan atau suasana yang melingkupi batin seorang tokoh. Sedangkan, Ronald Barthes dalam Nurgiyantoro (2013: 176) mengategorikan peristiwa menjadi dua yaitu peristiwa utama (peristiwa mayor) dan peristiwa pekengkap (peristiwa minor). Dan istilah lain juga dikemukakan oleh Chatman dalam Nurgiyantoro (2013: 177) dalam mendefinisikan peristiwa menyebutkan bahwa peristiwa utama itu sebagai kernel (kernels), sedangkan peristiwa pelengkap sebagai satelit (satelits).
31 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Konflik merupakan unsur yang esensial dalam pengembangan plot sebuah fiksi, baik dari wujud dan isi konflik, kualitas konflik, dan bangunan konflik yang ditampilkan. Menurut Meredith dan Fitzgerald dalam Nurgiyantoro (2013: 179) menjelaskan bahwa konflik adalah sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita, ia (mereka) tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya. Klimaks adalah saat konflik telat mencapai tingkat intensitas tertinggi dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari terjadinya (Stanton dalam Nurgiyantoro, 2013: 184).
Imas Juidah, dkk. 32 B. Struktur Plot Struktur plot sebuah karya fiksi secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu awal, tengah, akhir. Aristoteles dalam Nurgiyantoro (2013: 201-205), mengemukakan bahwa sebuah plot haruslah terdiri dari tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), dan tahap akhir (end). Tahap Awal merupakan tahap pada sebuah cerita yang biasanya disebut perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Tahap Tengah merupakan tahap cerita yang dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Tahap akhir merupakan tahap cerita yang dapat juga disebut
33 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi tahap pelarian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi, bagian ini misalnya berisi kesudahan cerita, atau menyarankan pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita. Sementara itu, Menurut Tasrif dalam Nurgiyantoro (2013: 209-210), menjelaskan tahapan plot menjadi lima bagian. Tahap Penyituasian (Situation) adalah tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal dan lain-lain. Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumstances) yaitu suatu tahap di mana masalahmasalah dan peristiwa yang menyangkut terjadinya konflik itu akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap Peningkatan Konflik (Rising Action) adalah tahap konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita makin mencekam dan menegangkan.
Imas Juidah, dkk. 34 Konflik terjadi secara internal, eksternal, ataupun keduanya antara kepentingannya masalah dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari. Tahap Klimaks (Climax) yaitu suatu tahap konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dijalankan dan atau ditampilkan para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita menjadi konflik utama. Tahap Penyelesaian (Denouement) adalah tahap konflik telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik lain, sub konflik, atau konflik-konflik tambahan jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri.