The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

E-book ini merupakan buku untuk mata kuliah Apresiasi Prosa Fiksi

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by imas.juidah, 2023-05-04 19:46:03

Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

E-book ini merupakan buku untuk mata kuliah Apresiasi Prosa Fiksi

Keywords: apresiasi prosa fiksi,apresiasi,prosa,fiksi,sastra

85 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi pembaca terhadap novel-novel. Cerita itu sendiri hanya merupakan rangkaian kronologis dari peristiwaperistiwa yang diceritakan. 3. Analisis Motif Secara sangat umum, motif berarti sebuah unsur yang penuh arti dan yang diulang-ulang di dalam satu atau sejumlah karya. Di dalam satu karya, motif merupakan unsur arti yang paling kecil di dalam cerita. Pengertian motif di sini memperoleh fungsi sintaksis. Bila motif itu dibaca dan direfleksi maka pembaca melihat motif-motif itu dalam keseluruhan dan dapat menyimpulkan satu motif dasarnya. Bila motif dasar tadi dirumuskan kembali secara metabahasa, maka kita akan menjumpai tema sebuah karya. Misalnya dalam cerita Panji dijumpai tema cinta sejati mengatasi segala rintangan. Bila berkaitan dengan berbagai karya (pendekatan historis-komparatif), sebuah kesatuan semantis yang selalu muncul dalam karya-karya itu. Misalnya motif pencarian seorang ayah atau kekasih


Imas Juidah, dkk. 86 (motif Panji yang dijumpai dalam berbagai cerita di Asia Tenggara), atau motif Oedipus, dan sebagainya. Boris Tomashevsky menyebut motif sebagai satuan alur terkecil. Ia membedakan motif terikat dengan motif bebas. Motif terikat adalah motif yang sungguhsungguh diperlukan oleh cerita, sedangkan motif bebas merupakan aspek yang tidak esensial ditinjau dari sudut pandang cerita. Meskipun demikian, motif bebas justru secara potensial merupakan fokus seni karena memberikan peluang kepada pengarang untuk menyisipkan unsur-unsur artistik ke dalam keseluruhan alurnya. 4. Fungsi Puitik dan Objek Estetik Istilah fungsi mengacu pada penempatan suatu karya sastra dalam suatu modul komunikasi yang meliputi relasi antara pengarang, teks, dan pembaca. Isitlah ini muncul sebagai reaksi terhadap studi sastra Formalisme yang terlalu terpaku pada aspek sarana kesusastraan tanpa menempatkannya dalam konteks tertentu. Menurut Jakobson, dalam setiap ungkapan


87 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi bahasa terdapat sejumlah fungsi, misalnya fungsi referensial, emotif, konatif, dan puitik, yang berkaitan dengan beberapa faktor seperti konteks, juru bicara, pengarang, penerima, pembaca, dan isi atau pesan bahasa itu sendiri. Dalam pemakaian bahasa sastra, fungsi puitis paling dominan. Pesan bahasa dimanipulasi secara fonis, grafis, leksikosemantis sehingga kita menyadari bahwa pesan yang bersangkutan harus dibaca sebagai karya sastra. Jan Mukarovsky, seorang ahli strukturalisme Praha, memperkenalkan istilah “objek estetik” sebagai lawan dari istilah “artefak”. Artefak adalah karya sastra yang sudah utuh dan tidak berubah. Artefak itu akan menjadi objek setetik bila sudah dihayati dan dinikmati oleh pembaca. Dalam pengalaman pencerapan pembaca, karya sastra dapat memiliki arti yang berbeda-beda tergantung pada harapan pembacanya. Sumbangan penting kaum formalis bagi ilmu sastra adalah secara prinsip mereka mengarahkan perhatian kita kepada unsur-unsur kesastraan dan fungsi puitik. Sampai


Imas Juidah, dkk. 88 B. Strukturalisme sekarang masih banyak dipergunakan istilah teori sastra dan analisis sastra yang berasal dari kaum Formalis. Istilah struktur (structurlism dalam bahasa Inggris) secara etimologis berasal dari bahasa Latin struere yang berarti mendirikan atau membangun. Konsep struktur pertama kali digunakan sebagai konsep arsitektur, yang mengandung arti dasar sebagai cara sebuah bangunan didirikan. Pengertian teori strukturalisme secara definitif memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya. Setiap karya sastra, baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda, memiliki unsur-unsur yang berbeda, Ratna (2006: 93). Sedangkan, Nurgiyantoro (2013: 57), mengatakan bahwa pendekatan struktural dipelopori


89 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi oleh kaum formalis dan Strukturalisme Praha. Ia mendapat pengaruh langsung dari teori Saussure yang mengubah studi linguistik dari pendekatan diakronik ke sinkronik. Menurut Endraswara (2003:50), ide dasar strukturalis adalah menolak kaum mimetik (yang menganggap karya sastra sebagai tiruan kenyataan), teori ekspresif (yang menganggap karya sastra sebagai ungkapan watak dan perasaan pengarang), dan menentang asumsi bahwa karya sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembaca. Pendapat yang berbeda juga dikemukakan oleh Nurgiyantoro. Menurut Nurgiyantoro (2007:36-37), strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antar unsur pembangun karya sastra yang bersangkutan. Definisi strukturalisme oleh Nurgiyantoro ini tidak lagi merupakan definisi secara umum namun lebih menekankan definisi strukturalisme dalam dunia sastra. Strukturalisme dalam penelitian sastra, sering


Imas Juidah, dkk. 90 dipandang sebagai teori atau pendekatan. Hal ini pun tidak salah karena baik pendekatan maupun teori saling melengkapi dalam penelitian sastra. Endraswara (2003:49), menjelaskan bahwa kehadiran strukturalisme dalam penelitian sastra, sering dipandang sebagai teori atau pendekatan. Hal ini tidak salah karena baik pendekatan maupun teori saling melengkapi dalam penelitian sastra. pendekatan strukturalisme akan menjadi sisi pandang apa yang akan diungkap melalui karya sastra, sedangkan teori adalah pisau analisisnya. Teeuw (1983:61), menyatakan bahwa prioritas pertama sebelum yang lain-lain, tanpa itu kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya itu sendiri, tidak akan tertangkap. Makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan kaarya sastra. Karena pandangan keotonomian, di samping juga pandangan bahwa setiap karya sastra memiliki sifat keunikanya sendiri, analisis


91 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi sebuah karya pun tak perlu dikaitkan dengan karyakarya yang lain. Jika terlibat pun hanya terbatas pada karya-karya tertentu yang berkaitan. Untuk mengungkapkan struktur sesuai dengan teori strukturalisme maka dilakukan tahap-tahap dalam analisis. Hawkes dalamTeeuw (1988:141) menunjukan tiga aspek konsep struktur yaitu: a. Gagasan keseluruhan (wholeness), koherensi intrinsik: bagian-bagiannya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktr maupun bagian-bagiannya. b. Gagasan transformasi (transformation): struktur itu menyanggupi prosedur-prosedur transformasi yang terus menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. c. Gagasan regulasi diri (self-regulation): strutur tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformsainya;


Imas Juidah, dkk. 92 struktur itu otonom terhadap rujukan pada sistem-sistem lain. Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan di atas strukturalisme menurut Ratna (2007: 91) berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar hubungannya, mengenai unsur yang satu dengan unsur yang lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur-unsur dengan totalitasnya. Secara etimologi, struktur berasal dari kata struktural (latin) yang berarti bentuk atau bangunan. Teori struktural merupakan salah satu teori yang digunakan dalam penelitian sastra dengan mengaitkan unsur-unsur yang ada di dalamnya menjadi satu kesatuan yang utuh. Adapun langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam menganalisis struktur dalam karya sastra, seperti yang diungkapkan Nurgiyantoro (2013: 55-56), dalam langkah-langkah analisis struktural sebagai berikut: 1) mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra secara lengkap dan jelas, mana yang tema dan mana yang tokoh;


93 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi 2) mengkaji unsur-unsur yang telah diidentifikasi sehingga diketahui tema, alur, penokohan, dan latar dalam sebuah karya sastra; 3) menghubungkan masing-masing unsur sehingga memperoleh kepaduan makna secara menyeluruh dari sebuah karya sastra. Berikut ini beberapa perkembangan teori strukturalisme. 1. Strukturalisme Dinamik Strukturalisme dinamik pertama kali dikemukakan oleh Jan Mukarovsky dan Felik Vodicka, didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan dari formalisme. Strukturalisme dinamik bertujuan untuk menyempurnakan strukturalisme yang hanya memprioritaskan unsur-unsur intrinsik karya sastra. Strukturalisme dinamik adalah pendekatan atas karya sastra dengan menerapkan kerja strukturalisme atas dasar konsep semiotik. Analisis struktural murni mengasingkan karya sastra dari kerangka kesejarahan


Imas Juidah, dkk. 94 dan relevansi eksistensialnya. Strukturalisme dinamik yang dikembangkan Mukarovsky dan Vodicka mencoba memahami karya sastra berdasarkan kesadaran bahwa karya sastra sebagai struktur paad hakikatnya memiliki ciri khas yaitu sebagai tanda (sign). Tanda baru mendapat makna sepenuhnya bila sudah melalui tanggapan pembaca. Dengan demikian, ada pengaruh timbal balik antara tanda dan pembacanya. Pembaca dalam memberi makna terikat pada konvensi tanda. Jadi, dengan kerangka semiotik itu dapat diproduksi makna dalam karya sastra yang merupakan struktur sistem tanda (Rokhmansyah, 2014: 73). 2. Strukturalisme Genetik Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Terori ini dikemukannya pada tahun 1956 dengan terbitnya buku The Hidden God: a Study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the Tragedies of Racine. Teori dan pendekatan yang dimunculkannya ini dikembangkan sebagai sintesis atas pemikirann Jean Piaget, George


95 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Lukacs, dan Karl Marx. Strukturalisme genetik mencoba mengaitkan antara teks sastra, penulis, pembaca (dalam rangka komunikasi sastra), dan struktur sosial (Rokhmansyah, 2014: 74). Secara definitif, Ratna menjelaskan lebih lanjut bahwa strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul teks sastra. Meskipun demikian, strukturalisme genetik masih ditopang oleh beberapa konsep teori sosial lainnya seperti fakta kemausiaan, homologi, kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia (2009:203). 3. Strukturalisme Naratologi Naratologi berasal dari kata narratio dan logos. Narratio berarti cerita, perkataan, kisah, hikayat, dan logos berarti ilmu. Naratologi dissebut juga sebagai teori wacana (teks) naratif. Baik naratologi maupun teori wacana (teks) naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan penceritaan. Naratologi berkembang atas dasar analogi linguistik, seperti model


Imas Juidah, dkk. 96 C. Semiotika sintaksis, sebagaimana hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita (Ratna, 2009: 128). Awal perkembangan teori narasi terdapat beerapa tokoh pelopornya, yaitu Aristoteles (cerita dan teks), Henry James (tokoh dan cerita), Forster (tokoh bundar dan datar). Percy Lubbock (teknik naratif), Vladimir Propp (peran dan fungsi), claude Levi-Strauss (struktur mitos), Tzevetan Todorov (historie dan discourse), Claude Bremond (struktur dan fungsi), Mieke Bal (fabula, story, text), Greimas (tata bahasa naratif dan struktur aktan), dan Sholmith Rimmon-Kenan (story, text, narration). Pada dasarnya kelahiran strukturalisme dan semiotik masing-masing berakar dalam kondisi yang berbeda sesuai dengan latar belakang sosial yang menghasilkannya. Menurut Noth (1990: 307,346) ada


97 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi empat tradisi yang melatarbelakangi kelahiran semiotika, yaitu semantik, logika, retorika, dan hermeneutika. Culler (1977: 6) menyebutkan strukturalisme dan semiotika sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika pada tanda. Selden (1986: 54) menganggap strukturalisme dan semiotik termasuk ke dalam bidang ilmu yang sama, sehingga keduanya dapat dioperasikan secara bersama-sama. Secara definitif, menurut Paul Cobley dan Litza Janz (2002: 4) semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebuah teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Menurut van Zoest (1993:1), semiotika memperoleh perhatian yang lebih serius abad ke-18, sekaligus mulai menggunakan istilah semiotika, yaitu


Imas Juidah, dkk. 98 oleh J.H. Lambert. Atas dasar perkembangan ilmu ketandaan seperti di ataslah Halliday (1992: 4-5) menyebutkan semiotika sebagai kajian umum, di mana bahasa dan sastra hanyalah satu di antara bidang di dalamnya. Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa analisis semiotik modern telah diwarnai dengan dua nama, yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand Saussure dan seorang filsuf Amerika bernama Charles Sanders Pierce. 1. Teori Semiotic Peirce Teori Peirce mengatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda –yang disebutnya sebagai representamen– haruslah mengacu (atau mewakili) sesuatu yang disebutnya sebagai objek (acuan, ia juga menyebutnya sebagai designatum, detotatum, dan dewasa ini orang menyebutnya dengan istilah referent). Proses pewakilan tanda terhadap acuannya terjadi pada saat tanda itu ditafsirkan dalam hubunganya dengan yang diwakili. Hal itulah yang disebutnya sebagai interpretant, yaitu


99 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi pemahaman makna yang timbul dengan kognisi (penerima tanda) lewat interpretasi. Proses pewakilan itu disebut semiosis. Semiosis adalah suatu proses dimana suatu tanda berfungsi sebagai tanda, yaitu mewakili sesuatu yang ditandainya Hoed dalam Nurgiyantoro (2013: 68). Proses semiosis yang menuntut kehadiran bersama antara tanda objek dan interpretant itu oleh Peirce disebut sebagai triadic. Preice membedakan hubungan antara tanda denagn acuannya ke dalam tiga jenis hubungan, yaitu (1) ikon, jika ia berupa hubungan kemiripan, (2) Indeks, jika ia berupa hubungan kedekatan eksistensi , dan (3) simbol , jika ia berupa hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi Abram dan Van Zoes dalam Nurgiyantoro (2013: 68). 2. Teori Semiotik Saussure Teori Saussure sebenarnya berkaitan dengan pengembangan teori linguistik secara umum, maka istilah-istilah yang dipakai (oleh para penganutnya pun) untuk bidang kajian semiotik meminjam dari istilah-


Imas Juidah, dkk. 100 istilah dan model linguistik. Bahasa sebagai sebuah sistem tanda menurut Saussure, memiliki dua unsure yang tak terpisahkan: signifier dan signified, signifiant dan signifie, atau penanda dan petanda. Wujud significant (penanda) dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan, sedang signifie (petanda) adalah unsur konseptual, gagasan, atau makna yang terkandung dalam penanda tersebut Abrams dalam Nurgiyantoro (2013: 70). Menurut Todorov dalam Nurgiyantoro (2013: 71), kajian dikelompokkan berdasarkan aspek verbal, sintaksis, dan semantik, sedang menurut kaum formalis Rusia dibedakan ke dalam wilayah kajian stilistika, komposisi, dan tematik. Kajian semiotik karya sastra, dengan demikian dapat dimulai dengan mengkaji kebahasaannya dengan menggunakan tataran-tataran seperti dalam studi linguistik. Salah satu teori Saussure yang dipergunakan secara luas di bidang kesastraan adalah konsep sintagmatik dan paradigmatik dalam sebuah wacana,


101 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi kata-kata saling berhubungan dan berkesinambungan sesuai dengan sifat liniaritas bahasa, dan tidak mungkin orang melafalkan dua unsur sekaligus. Di pihak lain, di luar wacana, kata-kata yang mempunyai kesamaan berasosiasi dalam ingatan dan menjadi bagian kekayaan tiap individu dalam bentuk langue. Hubungan yang bersifat linier itu disebut hubungan sintagmatik, sedang hubungan asosiatif itu disebut hubungan paradigmatik. Hubungan sintagmatik dan paradigmatik dapat atau sering diterapkan pada kajian fiksi ataupun puisi. Berhadapan dengan sebuah karya fiksi, kita akan melihat adanya hubungan antara penanda dengan petanda yang jumlahnya amat banyak. Pertama, kita akan melihat aspek formal karya itu yang berupa deretan kata, kalimat, alinea, dan seterusnya membentuk sebuah teks yang utuh. Hubungan tersebut adalah hubungan antara penanda dan petanda, hubungan antara unsur-unsur yang hadir secara bersama. Karena baik kata, kalimat, alinea maupun yang lain dapat dilihat kehadirannya


Imas Juidah, dkk. 102 dalam teks itu, hubungan iitu juga sering disebut sebagai hubungan in praesentia. Tiap aspek formal, kata, kalimat, tersebut pasti berhubungan dengan aspek makna sebab tidak mungkin kehadiran aspek formal (bahasa) itu tanpa didahului oleh kehadiran konsep makna. Hubungan sintagmatik dipergunakan untuk menelaah struktur karya dengan menekankan urutan satuan-satuan makna karya yang analisis. Hubungan sintagmatik adalah hubungan yang bersifat linear, hubungan konfigurasi, peristiwa, atau tokoh. Tiap satuan cerita juga disebut sekuens, dapat terdiri dari sejumlah motif (satuan makna, biasanya berisi satu peristiwa) dalam kajian karya fiksi tiap satuan cerita dan motif diberi simbol-simbol atau notasi-notasi tertentu. Menurut Barthes dalam Nurgiyantoro (2013: 74), satuan cerita mempunyai dua fungsi: fungsi utama dan fungsi katalisator. Satuan fungsi utama yang sebagai fungsi utama adalah berfungsi menentukan jalan cerita (plot), sedang yang sebagai katalisator berfungsi


103 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi D. Resepsi Sastra menghubungkan funfsi-fungsi utama itu. Hubungan paradigmatik di pihk lain merupakan hubungan makna dan perlambangan, hubungan asosiatif, pertautan makna, antara unsur yang hadir dengan yang tidak hadir. Dengan demikian kajian paradigmatik dalam sebuah karya fiksi berupa kajina tentang tokoh, perwatakan tokoh, hubungan antartokoh, suasana, gagasan, hubungannya dengan latar, dan lain-lain. Dasar kajian ini adalah konotasi asosiasi-asosiasi yang muncul dalam pikiran pembaca. Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan.


Imas Juidah, dkk. 104 Resepsi sastra berasal dari bahasa Latin yaitu recipere yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Rokhmansyah, 2014:111). Lebih lanjut, Junus (1985:1) mengemukakan hakikat resepsi sastra adalah pemaknaan oleh pembaca terhadap karya sastra sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan. Selanjutnya, Segers (2000:35) mengemukakan estetika resepsi adalah ajaran yang menyelidiki teks sastra dengan dasar reaksi pembaca terhadap teks sastra. Dengan penyelidikan tersebut, pembaca dapat memutuskan sebuah teks sastra digolongkan memiliki mutu sastra atau tidak. Sementara itu, Vodicka (dalam Segers, 2000:52) berpendapat resepsi sastra memahami karya sastra sebagai objek


105 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi estetis dalam kesadaran pembaca. Pembaca menerima, menafsirkan, dan mengevaluasi karya sastra secara estetis. Suatu teks baru punya makna bila sudah memiliki hubungan dengan pembaca. Siswanto (2008:93) memaknai resepsi sastra sebagai kajian yang mempelajari tentang bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan tanggapan aktif atau pasif. Pradopo (2013: 206) memaknai estetika resepsi adalah ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Endraswara (2013: 119) berpendapat resepsi sastra merupakan reaksi pembaca terhadap teks. Reaksi tersebut dapat positif dan juga negatif. Resepsi yang bersifat positif mungkin akan membuat pembaca senang atau tertawa, sebaliknya resepsi negatif mungkin akan membuat pembaca sedih, jengkel, atau antipati terhadap teks sastra. Abdullah (dalam Jabrohim, 2015:145) mengemukakan resepsi sastra adalah aliran yang meneliti teks sastra dengan


Imas Juidah, dkk. 106 bertitik tolak pada reaksi atau tanggapan pembaca terhadap teks. Dalam dunia kesusastraan, teori resepsi yang banyak digunakan adalah teori resepsi Hans Robert Jauss (horizon harapan) dan Wolfgang Iser (pembaca implisit). 1. Hans Robert Jauss: Horizon Harapan Hans Robert Jauss menjadi pemikir yang terkenal mengenai nasib pembaca dalam teori resepsi. Jauss dan Iser sama-sama memandang bahwa penafsiran bukan sebagai penemuan makna objektif atau makna yang tersembunyi dalam teks (Nuryatin 1998: 133). Kata kunci dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah Rezeptions und wirkungsästhetik atau estetika tanggapan dan efek. Menurutnya, pembacalah yang menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya sastra. Pembaca dalam kondisi demikianlah yang mampu menentukan nasib dan peranannya dari segi sejarah sastra dan estetika. Resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya seperti yang terwujud


107 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi dalam horison harapan pembaca masing-masing. Baru dalam kaitannya dengan pembaca, karya sastra mendapat makna dan fungsinya. Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari sisi pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya (Jauss 1983: 21). Teori resepsi meletakkan posisi pembaca pada sesuatu yang penting. Resepsi dapat dikatakan sebagai teori yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada


Imas Juidah, dkk. 108 pembaca yang memberikan reaksi atau tanggapan pada teks sastra tersebut. Perbedaan tanggapan antara satu pembaca dengan pembaca yang lain disebabkan karena adanya perbedaan horizon harapan dari masing-masing pembaca tersebut. Jauss mengungkapkan bahwa setiap penelitian sastra umunya harus bersifat historis, artinya penelitian resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari kerangka sejarahnya seperti yang terwujud dari horizon harapan setiap pembacanya. Horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca karya sastra sebelum membacanya. Pembaca sudah mempunyai wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya. Horison harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk masing-masing karya di dalam momen historis melalui bentuk dan pemahaman atas ganre, dari bentuk dan tema karya yang telah dikenal, dan dari oposisi antara puisi dan bahasa praktis. Karya sastra tidak berada dalam kekosongan informasi. Dengan kondisi tersebut, teks karya sastra


109 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi mampu menstimulus proses psikis pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang dibacanya sehingga bagian dari proses tersebut mengimplikasikan adanya harapan-harapan atas karya yang dibacanya. Horizon harapan seseorang ditentukan oleh tingkat pendidikan, pengalaman, pengetahuan dan kemampuan seseorang dalam menanggapi suatu karya sastra. Menurut Segers (dalam Pradopo 2003: 208) horizon harapan ditentukan oleh tiga kriteria, pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teksteks yang telah dibaca oleh pembaca. Kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya. Ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari harapanharapan sastra maupun dalam horizon luas dari pengetahuannya tentang kehidupan. Menurut Jauss horizon harapan setiap pembaca sastra dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: (1) pengetahuan pembaca mengenai genre-genre sastra, (2)


Imas Juidah, dkk. 110 pengetahuan dan pemahaman mengenai tema dan bentuk sastra yang mereka dapat melalui pengalaman membaca karya sastra, (3) pengetahuan dan pemahaman terhadap pertentangan antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari atau bahasa nonsastra pada umumnya, dan (4) sidang pembaca bayangan. Dalam buku Toward an Aesthetic of Reception, Jauss (1983: 20-45) dipaparkan tujuh tesis sebagai berikut. Pertama, karya sastra bukanlah obyek yang bisa berdiri sendiri dengan persepsi yang sama kepada pembaca di setiap waktu. Karya sastra tersebut bukan sebuah monolog, tetapi lebih menyerupai sebuah orkestra yang beresonansi baru kepada pembacanya. Karya sastra membebaskan sebuah teks dari kumpulan kata-katanya. Kedua, karya sastra ketika muncul sebagai karya baru, tidaklah muncul sebagai sesuatu yang benarbenar baru, tetapi membawa sinyal yang jelas atau tersirat dan karakter-karakter yang akrab maupun kiasan kepada pembaca. Hal ini membangkitkan perasaan kepada pembaca seolah-olah ia pernah


111 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi membaca dan membawa pembaca ke perasaan emosional atau spesifik. Ketiga, jarak antara harapan dan karya sastra antara sesuatu yang pernah didengar atau dibaca dan dengan perubahannya dituntut dalam sebuah resepsi dari sebuah karya baru. Keempat, jenis resepsi yang berbeda akan dihasilkan pada zaman yang berbeda. Karya yang dihasilkan pada masa lalu akan diresepsi berbeda pada masa ini. Kelima, deskripsi dari sebuah karya sastra merupakan pertemuan antara sesuatu yang baru dengan lama. Keenam, jika sebuah perspektif dari sebuah resepsi berbenturan dengan pemahaman sebuah karya baru dengan yang lama, maka dimungkinkan untuk mengambil jalan tengah sinkronik. Ketujuh, fungsi sosial dari suatu karya sastra terwujud ketika pembaca memasuki ruang ekspektasinya, memunculkan pemahaman akan dunia sehingga akan mempengaruhi sikap sosialnya. Dari berbagai pendapat mengenai resepsi sastra tersebut, dapat disimpulkan bahwa resepsi sastra merupakan pemberian tanggapan positif


Imas Juidah, dkk. 112 atau negatif terhadap sebuah karya sastra oleh pembaca. Zaman yang berbeda ketika meresepsi sebuah karya sastra yang sama, dapat menghasilkan resepsi yang berbeda. 2. Wolfgang Iser: Pembacaan Implisit Wolfgang Iser (1926-2007) adalah salah seorang pakar ilmu-ilmu sastra berkebangsaan Jerman yang terkenal dengan teori respons pembaca (reader-response theory). Iser lebih menfokuskan perhatiannya kepada hubungan individual antara teks dan pembaca (Wirkungs Estetik, estetika pengolahan). Pembaca yang dimaksud oleh Iser bukanlah pembaca konkret individual, melainkan Implied Reader (pembaca implisit). Secara singkat dapat dikatakan bahwa ‘pembaca Implisit’ merupakan suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks–teks itu sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu. Iser mengemukakan resepsinya dalam bukunya yang terkenal The Arch of Reading: A Theory of Aesthetic Response (1978). Menurut Iser, tak seorang pun yang


113 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi menyangkal keberadaan pembaca dalam memberi penilaian terhadap karya sastra. Sekalipun orang berbicara mengenai otonomi sastra. Oleh karena itu, observasi terhadap respon pembaca merupakan studi yang esensial. Pusat kegiatan membaca adalah interaksi antara struktur teks dan pembacanya. Teori Fenomenologi seni telah menekankan bahwa pembacaan sastra tidak hanya melibatkan sebuah teks sastra, melainkan juga aksi dalam menanggapi teks. Teks itu sendiri hanyalah aspek-aspek skematik yang diciptakan pengarang, yang akan digantikan dengan kegiatan konkretisasi (realisasi makna teks oleh pembaca). Iser (1978:20-21), menyebutkan bahwa karya sastra memiliki dua kutub, yakni kutub artistik dan kutub estetik. Kutub artistik adalah kutub pengarang, dan kutub estetik merupakan realisasi yang diberikan oleh pembaca. Aktualisasi yang benar terjadi di dalam interaksi antara teks (perhatian terhadap teknik pengarang, struktur bahasa) dan pembaca (psikologi pembaca dalam proses membaca, fungsi struktur bahasa terhadap pembaca). Penelitian sastra harus dimulai dari kode-kode struktur yang di muat dalam teks.


Imas Juidah, dkk. 114 E. Intertekstual Aspek verbal (struktur bahasa) perlu dipahami agar menghindarkan penerimaan yang arbitrer. Fungsi struktur itu tidak berlaku selama belum ada efeknya bagi pembaca. Oleh karena itu penelitian perlu dilanjutkan dengan mendeskripsikan interaksi antara bahasa dan pembaca, yang merupakan kepenuhan penerimaan teks. Pendekatan intertekstual diperkenalkan atau dikembangkan lebih jauh oleh Julia Cristeva. Intertekstual pertama kali ilhami oleh gagasan pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang mempunyai minat besar pada sastra. Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan, sisipan, atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan, atau kutipan.


115 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Menurut Cristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (Rokhmansyah, 2014: 119). Cristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, pengarang akan mengambil komponen-komponen teks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh. Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Cristeva mengajukan dua alasan. Pertama, pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua, sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan (Worton dalam Rokhmansyah, 2014: 120).


Imas Juidah, dkk. 116 Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lain-lain, di antara teks-teks yang dikaji. Tujuan kajian intertekstual itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut masalah ada dan tidaknya hubungan antarteks dan kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini Luxemburg dkk. dalam Nurgiyantoro (2013: 77), mengartikan intertekstualitas sebagai: kita menulis dan membaca dalam suatu interteks suatu tradisi budaya, sosial dan sastra, yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks sebagian bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya. Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapanpun karya ditulis ia tidak


117 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teksteks kesastrsaan yang ditulis sebelumnya. Hiporgam merupakan teks-teks kesastraan yang dijadikan dasar penulisan bagi teks (Riffaterre dalam Nurgiyantoro (2013: 78)). Istilah hipogram, barangkali dapat di Indonesiakan menjadi latar, yaitu dasar walau mungkin tidak tampak secara eksplisit, bagi penulisan teks yang lain. Ada di bagian lain, dinyatakan bahwa untuk mendapatkan makna yang sepenuhnya itu dalam menganalisis tidak boleh dilepaskan karya sastra dari konteks sejarah dan konteks sosial-budayanya, dalam hubungan pembicaraan intertekstual ini berkenaan dengan konteks sejarah sastranya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sebuah karya sastra baik itu puisi maupun prosa mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah ini baik berupa persamaan maupun pertentangan. Dengan demikian, membicarakan


Imas Juidah, dkk. 118 karya sastra itu sebaiknya dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum, atau sesudahnya (Pradopo, 2013: 167). Sejalan dengan pendapat di atas, Culler dalam Ratna (2007: 213), mengungkapkan ada beberapa konsep penting yang harus dijelaskan agar pemahaman secara intertekstual dapat dicapai secara maksimal. Konsep-konsep yang dimaksudkan di antaranya: recuperation (prinsip penemuan kembali), naturalization (prinsip untuk membuat yang semula menjadi asing menjadi biasa), motivation (prinsip penyesuaian, bahwa teks tidak arbitrer atau tidak koheren ), vraisemblation (prinsip integrasi antara satu teks dengan teks atau sesuatu yang lain). Lebih lanjut Todorov dalam Ratna (2007: 213), menunjukkan tiga model hubungan teks dalam kaitannya dengan ciri-ciri vraisemblation, yaitu: 1) sebagai model hubungan teks tertentu dengan teks lain yang tersebar di masyarakat, yang disebut sebagai opini umum, 2) hubungan teks terhadap genre tertentu, dan 3) kedok


119 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi F. Dekonstruksi yang menutupi teks itu sendiri, tetapi yang memungkinkanya untuk menghubungkan dengan realitas, bukan pada hukum-hukumnya sendiri. Munculnya pascastrukturalis secara otomatis akan melupakan struktur dan akan mendekonstruksi karya sastra sehingga pascastrukturalis juga sering disebut dengan istilah dekonstruksi. Dekonstruksi merupakan ragam teori sastra yang tidak begitu menghiraukan struktur karya sastra. Menurut Ratna (2009: 222) dekonstruksi, yang dipelopori oleh Jaques Derrida, menolak adanya logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan


Imas Juidah, dkk. 120 oposisi biner dan cara-cara berpikir lain yang bersifat hierarkis dikhotomis. Dekonstruksi pada hakikatnya merupakan suatu cara membaca sebuah teks yang menumbangkan anggapan (walau hal itu hanya secara implisit) bahwa sebauh teks itu memiliki landasan, dalam sistem bahasa yang berlaku, untuk menegaskan struktur, keutuhan, dan makna yang telah menentu Abrams dalam Nurgiyantoro (2013: 89). Teori dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memilki makna yang pasti, tertentu, dan konstan, sebagaimana halnya pandangan strukturalisme klasik. Tidak ada ungkapan atau bentuk-bentuk kebahasaan yang dipergunakan untuk membahasakan objek yang bermakna tertentu dan pasti. Mendekonstruksi sebuah wacana (kesastraan), dengan demikian adalah menunjukkan bagaimana meruntuhkan filososif yang melandasinya atau beroposisi secara hierarkhis terhadap sesuatu yang menjadi landasannya, dengan cara mengidentifikasi


121 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi bentuk-bentuk operasional retorika yang ada dalam teks itu yang memproduksi dasar argument yang merupakan konsep utama Culler dalam Nurgiyantoro (2013: 90). Paham dekonstruksi mula-mula dikembangkan oleh seorang filosofis Perancis, Jacques Derrida, dan kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh seperti Paul de Man, J Hills Militer, dan bahkan juga Levy-Strauss. Langkah-langkah penereapan pendekatan dekonstruksi, seperti disintesiskan oleh Rodolph Gasche (dalam Rokhmansyah, 2014: 125) adalah sebagai berikut. 1. Mengidentifikasi hierarki oposisi dalam teks dimana biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak. 2. Membongkar oposisi biner yaitu dengan cara membalik oposisi biner marginal menjadi dominan, decentering, sous rature, dan pengubahan perspektif.


Imas Juidah, dkk. 122 G. Feminisme Sastra 3. Memperkenalkan sebuah gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisi lama. Langkah-langkah tersebut jelas menunjukkan bahwa pembacaan dekonstrukstif berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna yang ada dalam teks, sedangkan dekonstruksi berupaya untuk membuktikan bahwa makna itu tidak tunggal. Lahirnya pendekatan ini berawal pada kebanyakan cerita fiksi kedudukan tokoh perempuan sering diperlakukan, dipandang, atau diposisikan rendah daripada tokoh laki-laki. Pada umumnya novel angkatan Balai Pustaka, tokoh perempuan tidak berhak memilih


123 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi jodoh sendiri, tidak memiliki suara untuk ikut mengambil keputusan bahkan yang menyangkut kepentingan dirinya sebagai manusia. Keadaan inilah yang menyebabkan perempuan menggugat karena merasa tidak diperlakukan secara adil. Mereka tidak mau menerima keadaan yang memandang dan memperlakukannya sebagai warga negara kelas dua, keadaan yang menyubordinasikan kaumnya. Keadaan tersebut menyebabkan munculnya gerakan atau paham feminisme sebagai bagian dari kajian sastra dan budaya tahun 1970-an. Di Indonesia, emansipasi mulai diperhatikan sejak Repelita III (1979/1980-1983 /1984), ditandai dengan pengangkatan menteri Negara urusan peranan wanita. Secara akademis ditandai dengan dibukanya program studi kajian wanita di UGM dan Universitas Indonesia. Tokoh tokoh feminis atau pengarang perempuan di Indonesia antara lain: Saryamin, Hamidah, Maria Amin, Nursyamsyu, Waluyati, Idah Nasution, S.Rukiah, Siti Nuraini, Swarsih Djojo Puspito, NH. Dini, Titie Said, Titis


Imas Juidah, dkk. 124 Basino, Popi Hutagalung, Isma Sawitri, Marga T., La Rose, Aryanti, Marianne Katoppo, Maria A. Sarjono, Yati M. Wiharja, Oka Rusmini, Ayu Utami, Dee, dan sebagainya. Menurut Maggie Hum dalam Nurgiyantoro (2013: 108), mengemukakan bahwa feminisme menggabungkan doktrin persamaan hak bagi perempuan menjadi gerakan yang terorganisasi untuk mencapai hak asasi dengan sebuah ideologi transformasi sosial yang bertujuan menciptakan dunia bagi perempuan. Sedangkan menurut Ratna (2013: 184), dalam pengertian yang paling luas feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi mauoun kehiduoan sosial pada umumnya. Dalam pengertian yang lebih sempit yaitu dalam sastra, feminis dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra abik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi.


125 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Feminisme menurut Goefe (melalui Sugihastuti dan Suharto, 2002: 18) adalah teori tentang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan di segala bidang. Suatu kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hakhak serta kepentingan perempuan. Hal ini disebabkan perempuan mengalami ketimpangan gender selama ini. Feminisme hegemoni patriarkat. Identitas diperlukan sebagai dasar pergerakan memperjuangkan kesamaan hak dan membongkar akar dari segala ketertindasan perempuan. Tujuan feeminnis adalah mengakhiri dominasi laki-laki dengan cara menghancurkan struktur budaya, segala hukum dan aturan-aturan yang menempatkan perempuan sebagai korban yang tidak tampak dan tidak berharga. Hal ini diterima perempuan sebagai marginalisasi, subordinasi, stereotipe, dan kekerasan. Menurut Fakih (2003: 99-100) feminisme berangkat dari asumsi bahwa perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem


Imas Juidah, dkk. 126 H. Poskolonialisme yang dahulu tidak adil menuju ke sistem yang lebih adil bagi kedua jenis kelamin. Hakikat feminisme adalah gerakan transformasi sosial. Puncak cita-cita feminis adalah menciptakan sebuah tatanan baru yang lebih baik dan lebih adil untuk laki-laki dan perempuan. Teori poskolonial dapat didefinisikan sebagai teori kritis yang mencoba mengungkapkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kolonialisme (Ratna, 2008: 120). Analisis menggunakan teori poskolonial dapat digunakan untuk menelusuri aspek-aspek tersembunyi atau dengan sengaja disembunyikan sehingga dapat diketahui bagaimana kekuasaan itu bekerja. Selain itu, untuk membonngkar disiplin, lembaga, ideologi, yang mendasarinya. Dalam hubungan inilah, bahasa, sastra, dan kebudayaan dapat memainkan peranan sebab dalam


127 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi ketiga gejala tersebut mengandung wacana sebagaimana diintensikan oleh kelompok kolonialis (Ratna, 2008: 104). Teori poskolonial awanya dikhususkan bagi penelitian negara-negara yang secara langsung pernah menjadi koloni. Tetapi, pada perkembangannya, poskolonialisme dianggap telah berpengaruh secara global. Fungsi selanjutnya, dengan adanya teori tersebut adalah adanya kesadaran nasional. Selanjutnya, pengalaman yang pernah ada di Indonesia mengenai hegemoni penjajah terhadap bangsa Indonesia bisa dijadikan pelajaran untuk menata masa depan yang lebih baik. Objek kajian poskolonialisme di Indonesia yang secara umum mengacu kepada poskolonialisme Barat, mengalami beberapa masalah. Pertama, objek tidak bisa dibatasi secara pasti. Meskipun demikian, dalam ruang lingkup yang paling sempit, objek poskolonialisme di Indonesia adalah masa-masa sesudah proklamasi. Dalam hal ini, poskolonialisme sama dengan pascakolonialisme.


Imas Juidah, dkk. 128 Secara harfiah, pascakolonialisme di Indonesia mulai tanggal 17 Agustus 1945, sejak diumumkannya proklamasi kemerdekaan Soekarno-Hatta. Kedua, secara definitif poskolonialisme adalah teori, pemahaman, dalam kaitannya dengan kondisikondisi suatu wilayah negara yang pernah mengalami kolonisasi. Jadi, objeknya terbentang sejak Belanda tiba pertama kali di Banten sampai sekarang. Ketiga, dengan mempertimbangkan kaitannya dengan orientalisme maka objek poskolonialisme sudah ada sebelum kedatangan bangsa Belanda dan kolonialis lain hingga sekarang. Tokoh-tokoh poskolonialisme yaitu Edward Said, Homi, K Bhaba, dan Gayatri Spivak.


129 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi A. Sosiologi Sastra Kajian Sastra Interdisipliner Bidang sosiologi sastra merupakan bidang interdispliner ilmu sastra dengan teori-teori ilmu sosial. Sosiologi sasta menurut Damono (1979: 2) merupakan pendekatan terhadap karya sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatn. Menurut Endraswara (2008: 87-88) sosiologi sastra adalah penelitian tentang: a) studi ilmiah manusia dan masyarakat secara objektif, b) studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya, c) studi proses sosial BAB 9


Imas Juidah, dkk. 130 yaitu bagaimana masyarakat bekerja dan bagaimanaa masyarakat melangsungkan kehidupannya. Menurut Ratna (2003: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain: 1) pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya; 2) pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya; 3) pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakngi; 4) sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat; dan 5) sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdepedensi antara sastra dengan masyarakat. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial. Wellek dan warren (dalam


131 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Rokhmansyah, 2014: 148) membagi sosiologi sastra sebagai berikut. 1. Sosiologi pengarang, profesi pengaramg, dan isntitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan ideologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai mahluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren, 1989: 112). 2. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum


Imas Juidah, dkk. 132 B. Sosiopragmatik dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. 3. Sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuk banyak orang meniru gaya hidup tokohtokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya. Sosiopragmatik merupakan kajian atau telaah tentang lingkungan setempat khususnya mengenai penggunaan bahasa (Tarigan, 1986:26). Berdasarkan hal tersebut, sosiopragmatik tidak hanya telaah tentang bahasa tetapi juga lingkungan sosial setempat yang


133 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi mendukung bahasa tersebut. Dapat disimpulkan bahwa sosiopragmatik sangat erat kaitannya dengan sosiologi. Dengan demikian, sosiopragmatik merupakan titik temu antara sosiologi dan pragmatik. Sosiopragmatik sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang mempersoalkan penggunaan bahasa dalam lingkungan sosial terdiri dari berbagai macam pokok permasalahan yang dapat dijadikan dasar pengkajian. Permasalahan dalam sosiopragmatik yang dapat dijadikan dasar pengkajian di antaranya yaitu mengenai telaah penggunaan umpatan, eufemisme, dan peristiwa tutur yang akan dijelaskan sebagai berikut. 1. Umpatan Umpatan digambarkan sebagai penggunaan bahasa yang menyinggung dan terjadi di hampir semua budaya (Stephens, Atkins, & Kingston, 2009). Sementara itu, menurut McEnery (2006: 2) umpatan termasuk dalam salah satu contoh bahasa yang buruk. Kata umpatan memiliki banyak sebutan, seperti kata-kata


Imas Juidah, dkk. 134 kotor, kata makian, sumpah serapah, bahasa cabul, bahasa kasar, bahasa tabu, dan bahasa vulgar. Dalam istilah yang mendasar, umpatan mengacu pada penggunaan kata-kata yang berpotensi menyinggung, tidak pantas, dan tidak diterima dalam konteks sosial (Fagersten, 2012: 3). Umpatan ialah perkataan yang kasar dan kotor yang diucapkan karena marah. Sedangkan, mengumpat yaitu mengeluarkan perkataan yang buruk-buruk disebabkan marah pada seseorang. Sejalan dengan hal tersebut, Crystal (1995: 172) menjelaskan bahwa kata umpatan ialah perkataan yang cenderung dijauhi oleh masyarakat karena mereka menganggap perkataan tersebut terasa kurang pantas apabila dikatakan. Sementara itu, Wijana dan Rohmadi juga menjelaskan bahwa umpatan ialah ekspresi yang dilakukan oleh seseorang ketika mengalami tekanan ataupun dalam situasi yang kurang nyaman (2013: 165). Selanjutnya, menurut Allan (2006) kata umpatan atau makian ialah kata yang digunakan untuk mengungkapkan segala macam ketidaksukaan,


Click to View FlipBook Version