135 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi kebencian, atau ketidakpuasannya terhadap keadaan yang sedang dihadapinya. Selain itu, penggunaan kata umpatan juga dipakai untuk mengungkapkan pujian, keheranan, dan menciptakan suasana pembicaraan yang akrab. Anderson & Trudgill (1992) mengelompokkan kata umpatan menjadi empat bentuk yaitu: (1) sumpah serapah; (2) kata kasar; (3) lucu; dan (4) tambahan. Selanjutnya, Karjalainen (2002) mengkategorikan umpatan menjadi tujuh bentuk yaitu: (1) sexual organs, sexual relation; (2) religion, church; (3) excrement; (4) death; (5) the physically or mentally disabled; (6) prostitution; (7) narcotics, crime. Sementara itu, Battistella (2005:72) mengkategorikan bentuk umpatan menjadi empat bentuk, yaitu: (1) julukan; (2) kata-kata kotor; (3) kata-kata vulgar; dan (4) kata-kata cabul. Selain itu, Wardhaugh (1986) membagi kata umpatan menjadi enam bentuk, yaitu: (1) ekskresi; (2) kematian; (3) organ tubuh; (4) masalah keagamaan; (5) masalah pelacuran; (6) istilah seks. Sementara itu, menurut Hughes (1991) menjelaskan terdapat enam bentuk kata
Imas Juidah, dkk. 136 umpatan, yaitu (1) istilah genital; (2) istilah ekskretoris; (3) istilah hewan; (4) istilah anatomi; (5) istilah imbecilic; (6) istilah umum. Selain itu, Searle (1975) mengklasifikasikan bentuk umpatan berdasarkan teori tindak tutur, yaitu: (1) representatives; (2) directives; (3) commisives; (4) expressives; dan (5) declarations. Mengumpat adalah proses ketika seseorang berusaha menggunakan kekuatannya untuk menjatuhkan lawan bicaranya (Montagu, 2001, hlm.15). Pada umumnya, umpatan selalu dihubungkan dengan kemarahan atau frustasi. Padahal, orang mengumpat untuk beberapa alasan, fungsi, dan dalam berbagai situasi. Fungsi kata umpatan adalah untuk mengungkapkan perasaan manusia terutama dalam keadaan marah, terkejut, kesal dan bercanda. Menurut Partridge (1984) fungsi sebenarnya dari kata umpatan adalah untuk menghina, mengejek, dan mengutuk seseorang atau sesuatu dengan kata-kata yang tidak senonoh. Sebenarnya banyak jenis umpatan yang dilarang untuk ditampilkan dalam percakapan apapun baik formal maupun informal.
137 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Namun saat ini orang sering menggunakan banyak umpatan dalam percakapannya dengan teman-temannya terutama ketika sedang bercanda. Menurut Crystal (1995: 61) umpatan dapat menjadi ciri kebahasaan yang dominan, dengan kalimat yang mengandung banyak kata tabu. Orang lain menggunakan umpatan untuk mengekspresikan emosi, kemarahan, kekesalan, dan keintimannya. Terkait dengan penjelasan di atas, Crystal (1995: 10) mengatakan umpatan digunakan untuk mengungkapkan perasaan mereka terutama ketika seseorang sedang marah. Fungsi dari umpatan adalah untuk mengekspresikan perasaan mereka, umumnya untuk mengekspresikan kemarahan atau emosi, kekecewaan, lelucon dan kejutan. Dalam penelitian ini konsep umpatan merupakan kata-kata yang dipergunakan dalam mengekspresikan perasaan pembicara. Perasaan itu bisa berupa amarah, kesal, jengkel, bercanda, keintiman, berjanji, atau meyakinkan
Imas Juidah, dkk. 138 sesuatu. Oleh karena itu, beberapa ahli menguraikan fungsi atau tujuan dari kata umpatan. Menurut Rothwell (1973), kata umpatan memiliki lima fungsi atau tujuan, yaitu: (1) untuk mendapatkan perhatian; (2) untuk mediskreditkan seseorang; (3) untuk memprovokasi; (4) menciptakan identifikasi interpersonal; (5) sebagai katarsis. Sementara itu, fungsi kata umpatan menurut Anderson & Trudgill dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) motif psikologis; (2) motif sosial; (3) motif linguistik. Sementara itu, menurut Pinker (2008: 350), kata umpatan bisa digunakan secara deskriptif, idiomatik, kekerasan, empatik, dan sebagai katarsis. 2. Eufemisme Eufemisme secara etimologis berasal dari Bahasa Yunani. Eu artinya bagus dan phemeoo berarti berbicara. Berdasarkan proses morfologisnya, eufemisme dapat diartikan sebagai perkataan yang baik (Almufawez, 2018: 201). Menurut Allan (2001: 148) eufemisme diartikan sebagai bentuk kata atau frasa yang bisa dipakai seseorang sebagai opsi untuk mengungkapkan
139 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi suatu ungkapan yang diperkirakan bisa menimbulkan ketidaksesuaian bagi pendengar. Dengan kata lain, eufemisme bisa dipakai sebagai bentuk ekspresi untuk menjaga perasaan orang lain dan membuat ungkapan yang tidak menyenangkan menjadi pantas untuk di dengar. Selaras dengan pernyataan Duda (dalam Alvestad, 2014: 162) yang menyatakan bahwa eufemisme ialah kata kata ekspresi yang halus dan tidak menyinggung yang dipakai untuk mengganti ungkapan yang tabu atau terlalu kasar dan tidak pantas. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Malo & Mohammed (2014: 3) bahwa eufemisme ialah ungkapan ungkapan yang sopan, halus, dan menyenangkan. Dalam berkomunikasi eufemisme sering dipakai dalam berbagai bahasa ranah sosial seperti hukum, politik, agama, dan bidang pendidikan. Selanjutnya, Fernandez (2014: 6) menjelaskan eufemisme sebagai proses penurunan atau penggantian konsep yang tidak menyenangkan untuk memberikan keamanan dan tidak melanggar konvensi sosial. Lebih lanjut, menurut Keraf
Imas Juidah, dkk. 140 (2005) eufemisme dapat diartikan sebagai perkataan atau tuturan yang lebih halus untuk mengganti perkataan yang dirasa dapat menyinggung perasaan, menghina atau mengatakan sesuatu yang kurang menyenangkan. Selanjutnya, eufemisme merupakan kata-kata atau frasa yang dapat mengubah kata tabu untuk menghindari hal yang tidak mengenakan, dapat menggantikan kata-kata tabu untuk menghindari ketakutan, salah pengertian, tidak menyenangkan, dan lebih dapat diterima dalam interaksi sosial (Habibi & Khairuna, 2018). Penutur perlu mengetahui pengetahuan eufemisme untuk mewakili pelarian ke kenyamanan, dan itu bisa menjadi cara alternatif untuk mengurangi ketegangan saat berkomunikasi meskipun mereka membahas topik tabu. Siswa yang menyukai kata-kata tabu dapat menggunakan eufemisme sebagai penggantinya. Namun, mereka harus mencari banyak informasi tentang hal itu melalui media untuk memahami bagaimana menggunakannya dalam komunikasi sosial.
141 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Eufemisme dapat melunakkan kata-kata kasar, menghaluskan yang kasar, mengubah apa yang negatif terdengar positif. Hal ini juga menciptakan nuansa yang berbeda dalam percakapan meskipun pembicara berbicara tentang kematian, aborsi, atau seks. Komunikator akan menyambut baik kata-kata eufemisme karena tidak terdengar negatif bagi mereka. Misalnya, ketika ingin mengatakan tentang anak-anak yang lahir dari hubungan haram, maka akan mengatakan "anak haram" bukan "anak dosa". Selain itu, mereka akan mengatakan orang-orang berada di jalan, bukan tunawisma. Eufemisme menghadirkan persepsi negatif dari orang lain karena mereka enggan mengatakan kebenaran secara langsung (Enright, 2014). Burridge (2012) berpendapat sebaliknya; ia menyatakan bahwa penggunaan eufemisme menunjukkan pembicara menghormati orang lain. Selain itu, dapat juga membantu untuk mengetahui sikap pembicara dan membantu meningkatkan variasi bahasa. Singkatnya, mengenal eufemisme dalam konteks sosial sangat bermanfaat bagi
Imas Juidah, dkk. 142 siswa karena penggunaan eufemisme dapat menciptakan percakapan yang nyaman dalam situasi sosial, tidak merugikan orang lain, dan melindungi sekelompok orang dari kesalahpahaman. Holder, dikutip dalam Jackova (2010) mengklasifikasikan eufemisme ke dalam beberapa kategori: kematian, agama, politik, bisnis, penyakit dan obat-obatan, tubuh dan seks manusia, dan kecanduan. Kata-kata eufemisme yang berhubungan dengan kematian adalah misalnya dapat dikatakan dengan istilah wafat, berkalang tanah, mati, berpulang ke rahmatullah, tewas, mangkat, ajal datang atau mengembuskan nafas terakhir, serta binasa. Selanjutnya, Shaari (1993), mendefinisikan eufemisme sebagai pemakaian kata atau frasa tertentu yang lebih halus untuk mengganti perkataan yang dianggap menyinggung, kasar, kotor, ataupun menyakitkan. Tujuan eufemisme yaitu agar apa yang disampaikan oleh pembicara tidak menyinggung perasaan lawan bicara atau pendengar. Seperti contoh dalam kalimat, “Saya izin ke belakang” merupakan salah satu contoh pemakaian
143 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi eufemisme yang bermaksud “Saya izin membuang air”. Frasa membuang air tersebut menunjukkan kata eufemisme yang bermaksud kencing. Dengan demikian, eufemisme merupakan bahasa atau sebuah ungkapan yang halus dan sopan. Selanjutnya, eufemisme merupakan bahasa yang sangat cermat dalam memilah kata atau frasa yang sopan untuk menghantarkan pesan serta perasaan (Omar, 2004). Lebih lanjut, Kadir (2003) memaknai eufemisme semacam majas pertautan yang mengandung frasa atau istilah yang lebih sopan yang berperan dalam mengubah frasa atau istilah tertentu yang cenderung tidak sopan, kasar, merisaukan, menyakitkan, seta menyudutkan. Berdasarkan definisi-defenisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa eufemisme ialah suatu penggunaan bahasa yang termasuk istilah halus dan tidak kasar untuk mengganti istilah yang cenderung tidak sopan, terlalu kasar, dan tabu. Istilah-istilah tersebut dapat berbentuk kiasan yang terdiri dari bentuk dilebih-lebihkan untuk memperoleh sebuah kesan tertentu. Selain itu,
Imas Juidah, dkk. 144 eufemisme dapat juga berupa istilah-istilah lainya yang dapat mewakili ungkapan tertentu dengan tujuan untuk memperhalus. Eufemisme terbentuk berdasarkan satuan kebahasaan. Satuan kebahasan tersebut bertingkat mulai dari yang kecil hingga yang terbesar. Satuan terkecil yang bermakna disebut kata dan satuan terbesar dalam sintaksis disebut kalimat. Satuan kebahasaan yang lebih besar dari kata disebut frasa dan yang lebih besar dari frasa disebut klausa. Tingkatan-tingkatan satuan bahasa itu disebut tataran gramatikal. Oleh karena itu, bentuk eufemisme dapat berupa satuan gramatikal yaitu kata, frasa, dan klausa. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Allan (2001: 148) yang menyebutkan bahwa eufemisme merupakan kata atau frasa yang digunakan sebagai alternatif dalam mengungkapkan sesuatu yang tidak disukai. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dipahami bahwa satuan gramatikal yang bisa dipakai dalam menentukan bentuk eufemisme yaitu satuan kata, frasa, dan klausa. Sementara itu, bentuk eufemisme juga dapat
145 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi muncul dalam satuan gramatikal yang lebih besar (kalimat) (Kurniawati, 2011: 51). Lebih lanjut Allan dan Burridge (1991: 11) juga menjelaskan bahwa eufemisme merupkan bentuk pilihan terhadap ungkapan yang tidak sopan atau kurang berkenan dan digunakan untuk menghindari rasa malu. Selanjutnya, bentuk-bentuk eufemisme menurut Allan dan Buridge terdapat 16 bentuk yaitu: figurative expressions, methapor, flippancy, remodelling, circumlocutions, clipping, acronym, abbreviations, omission, one for one substation, general for specific, part for whole eupheisms, hyperbole, understatment, jargon, colloquial. Penggunaan eufemisme dalam kehidupan seharihari maupun dalam berretorika bahasa tidak lepas dari fungsinya. Umumnya, eufemisme berfungsi untuk menjaga penutur dan lawan tutur dari sesuatu atau ungkapan yang tidak menyenangkan (Linfoot & Ham, 2005: 228). Selain itu, Wijana dan Rohmadi (2013:86) mennjelaskan fungsi eufemisme antara lain: (1) sebagai
Imas Juidah, dkk. 146 alat untuk menghaluskan ucapan, (2) sebagai alat untuk merahasiakan sesuatu, (3) sebagai alat untuk berdiplomasi, (4) sebagai alat pendidikan, (5) sebagai alat untuk menolak bahaya. Bentuk kebahasan yang mengandung eufemisme mempunyai hubungan manasuka dengan makna ataupun dengan referensinya. Referensi eufemisme menurut Wijana dan Rohmadi (2013: 79-104) yaitu sebagai berikut. Pertama, benda dan binatang. Menurut Wijana, suatu tempat atau benda yang tidak disukai oleh masyarakat pada umumnya merupakan tempat atau benda yang bernuansa kotor, tidak senonoh, memalukan, melanggar etika, atau berbahaya. Misalnya air kencing digantikan air seni, urine, air kecil yang dianggap lebih halus. Begitu juga nama binatang seperti anjing digantikan dengan bentuk tiruan bunyinya, yaitu guguk. Kedua, bagian tubuh. Bagian-bagian tubuh tertentu yang fungsinya berhubungan dengan aktivitas seksual harus dihindari penyebutannya secara langsung. Ketiga, profesi. Masyarakat seringkali memandang rendah
147 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi profesi yang dijalani oleh seseorang yang dirasa tidak bergengsi dan tidak terhormat. Bentuk eufemisme digunakan untuk menghormati orang-orang yang menjalani profesi semacam itu. Profesi yang sering dianggap rendah, tidak bergengsi dan tidak terhormat seperti babu atau jongos. Kata babu atau jongos merupakan kata yang dianggap kasar dan kurang sopan, maka diganti dengan bentuk eufemisme pramuwisma. Kata pramuwisma merupakan kata yang lebih halus dibandingkan kata babu atau jongos. Keempat, penyakit. Bentuk-bentuk eufemisme nama-nama penyakit ini berupa istilah-istilah yang lazim digunakan di bidang kedokteran. Pemakaian istilah-istilah tersebut digunakan untuk merahasiakan penyakit yang diderita oleh pasien dan untuk meninbulkan kesan sopan, buta, tuli, digantikan dengan tunanetra, tunarungu. Kelima, aktivitas. Aktivitas yang sering memerlukan bentuk eufemisme adalah aktivitas-aktivitas seksual. Kata bersenggama diganti dengan bergaul. Keenam, peristiwa. Peristiwa buruk atau menyedihkan yang
Imas Juidah, dkk. 148 dialami oleh seseorang harus dicarikan bentuk eufemisme untuk menghormati orang lain. Peristiwa buruk atau menyedihkan tersebut seperti kematian. Ketujuh, sifat atau keadaan. Sifat atau keadaan buruk seperti bodoh, tolol, dungu merupakan kata yang dianggap kasar sehingga harus digantikan dengan bentuk lain yang lebih halus, seperti kata kurang atau lemah. Sementara itu, Leech (1981: 53) mengungkapkan bahwa referensi eufemisme terdapat dalam kata-kata yang berhubungan dengan (1) kematian. Referensi ini berkaitan erat dengan sesuatu yang buruk dialami oleh seseorang. Penggunaan kata mati dinilai kurang dapat menghormati orang yang mengalaminya. Oleh karena itu, kata mati diganti dengan kata meninggal. (2) Penyakit. Penggunaan referensi penyakit biasanya dipakai dalam bidang kedokteran untuk menghormati penderitanya dan menutupi kesan menyeramkan. (3) Kejahatan dan pidana. Kejahatan dan pidana biasanya dihubungkan dengan perbuatan yang sadis, amoral, dan tercela. Hal
149 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi tersebut membuat pelakunya merasakan malu dan terkesan dikucilkan di masyarakat. (4) hal-hal tabu. Hal tabu merupakan sesuatu yang dilarang untuk diungkapkan oleh seseorang. Hal ini biasanya berkaitan dengan adat dan budaya suatu masyarakat. (5) Seks dan apa-apa yang keluar dari tubuh. Ungkapan yang berkaitan dengan referensi seks dan apa yang keluar dari tubuh banyak ditemukan di masyarakat. Ungkapan dalam bidang medis misalnya air mani digunakan untuk menggantikan sperma. 3. Etnografi Komunikasi Etnografi komunikasi ialah cabang linguistik. Asal kata 'etnografi' yaitu dari kata 'Ethnos' dalam bahasa Yunani yang artinya 'bangsa' atau 'orang' serta 'graphia' artinya 'tulisan'. Secara turunan, 'etnografi' berarti 'tulisan' tentang 'bangsa' atau 'orang' (Sagaji:2018). Sebutan etnography of speaking awal mulanya dipublikasikan oleh ahli antropologi dan sosiolog yang selanjutnya menjadi ahli linguistik Amerika, yaitu Dell
Imas Juidah, dkk. 150 Hymes. Kajian etnography of speaking awal mulanya disampaikan oleh Hymes melalui beberapa rentetan makalah yang ditulis pada 1960-an dan 1970-an. Selanjutnya, sebutan tersebut diganti oleh Hymes menjadi etnography of communication, sebab sebutan tersebut menurutnya lebih pas dan semakin terkenal belakangan ini. Dalam konteks ini, Hymes menjadikan ikatan secara jelas antara bahasa serta budaya. Hymes sepertinya kurang mempertimbangkan permasalahan psikologis yaitu kesadaran selaku atensi yang nomor satu. Hymes (1972:340) menyatakan ujaran selaku sebuah pola sikap kebudayaan, tetapi ia pribadi tidak menjajaki riset bahasa serta budaya sebagai psikologi ataupun kesadaran. Namun kebalikannya, ia memprioritaskan berartinya riset perilaku ujar, wacana serta kinerja misalnya pembuatan ragam puitis yang seluruhnya diletakkan dalam konteks sosial. Singkatnya, etnografi merupakan bidang studi yang berkaitan dengan deskripsi dan analisis budaya dan linguistik yang terkait dengan kode bahasa.
151 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Etnografi diartikan sebagai bidang studi yang berkaitan dengan deskripsi dan analisis budaya (Cots, 1992). Dengan begitu dapat dikatakan kalau etnografi yaitu kajian mengenai hidup dan kehidupan serta budaya masyarakat ataupun etnik, misalnya mengenai tradisi, kesbiasaan, hukum, seni, agama, bahasa, politik, dan ideologi. Bidang kajian yang bersebelahan dengan etnografi yaitu etnologi. Etnologi merupakan kajian yang membandingkan budaya dari berbagai macam masyarakat ataupun golongan. Etnografi merupakan akar dari antropologi pada dasarnya ialah aktivitas periset untuk mengetahui cara orang-orang berhubungan dan berkolaborasi lewat permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hingga tahun 1960-an sedikit perhatian diberikan pada penggunaan bahasa dan pidato dalam masyarakat yang berbeda (Saville & Troike, 2003: 21). Selanjutnya, Schiffrin menjelaskan bahwa etnografi komunikasi yaitu salah satu metode analisis teks dalam linguistik yang mengacu pada bidang antropologi etnografi (1994). Saat ini,
Imas Juidah, dkk. 152 analisis wacana dan percakapan juga telah diintegrasikan ke dalam Etnografi Komunikasi (LeedsHurwitz, 2005). Meskipun teori-teori ini berfokus pada penggunaan bahasa dalam masyarakat, etnografi komunikasi berfokus terutama pada berbicara sebagai sistem sosial dan budaya dalam konteks khusus populasi bahasa yang lain (Philipsen & Coutu, 2005). Tugas ahli etnografi yaitu menemukan jawaban atas pertanyaan: (i) mengapa peristiwa tertentu terjadi dalam komunitas tutur? (ii) Mengapa komunitas tutur memiliki karakteristik khusus? (Cameron, 2001). Dengan demikian, etnografi bervariasi menurut gaya dan pendekatan yang digunakan dalam mengkaji kehidupan sosial dan budaya. Etnografi klasik atau antropologis adalah studi tentang manusia, institusi, adat istiadat, dan kode budaya (Malinowski dalam Hepburn, 2016: 51). Kritikus awal menyatakan bahwa etnografi mencakup lebih dari sekedar observasi dan analisis kelompok manusia, tetapi juga termasuk studi tentang individu sebagai entitas (Lévi-Strauss, Jacobson, &
153 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Schoepf, 1963). Baru-baru ini, para para ahli menyarankan bahwa etnografi mencakup mencakup "interaksi" dengan subjek (Hobbs & Wright, 2006). Tujuannya adalah untuk memberikan metode yang cocok untuk peneliti dalam memahami aturan sosial dan budaya. Jadi, etnografi budaya menurut Vidich dan Lyman (2000: 40) adalah kajian dalam mendeskripsikan "budaya rakyatnya". Jadi, dalam bentuknya yang paling murni, tujuan etnografi adalah mempelajari interaksi manusia dan mencatat, seakurat mungkin, berbagai atribut yang membentuk suatu budaya dan yang mendukungnya. Selain itu, Duranti (1997) mengartikan etnografi sebagai gambaran tertulis dari organisasi dan aktivitas sosial, sumber daya simbolis dan material, serta praktik penafsiran sebagai ciri dari sekelompok orang tertentu. Etnografi komunikasi di pihak lain yaitu terkait dengan pertanyaan mengenai apa yang diketahui seseorang tentang pola dalam menggunakan bahasa yang tepat dalam pidato atau komunitasnya serta
Imas Juidah, dkk. 154 bagaimana dia mempelajarinya (Farah, 1998). Kontribusi Farah tersebut mengarah pada konsep penting yang sentral untuk pendekatan "kompetensi komunikatif." Kompetensi komunikatif mengacu pada pengetahuan bawaan yang dimiliki setiap anggota kompeten dari komunitas tertentu yang dimiliki yang memungkinkan individu tersebut menggunakan bentukbentuk linguistik dengan benar agar menghasilkan maksud tertentu dalam komunitas tutur (Hymes, 1974). Selanjutnya, Gumperz (1972) berpendapat bahwa kompetensi komunikatif menggambarkan kemampuan pembicara untuk memilih ekspresi yang benar secara gramatikal yang tersedia bagi pembicara, sebagai tambahan, pembicara harus memiliki pengetahuan tentang bentuk yang secara tepat mencerminkan norma sosial yang mengatur perilaku dalam pertemuan tertentu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa etnografi komunikasi berkaitan dengan situasi dan kegunaan, pola dan fungsi berbicara sebagai aktivitasnya sendiri (Hymes dalam Fasold, 1990: 39).
155 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi B. Psikologi Sastra Psikologi sastra melakukan kajian sastra dengan memandang karya sastra sebagai kegiatan kejiwaan baik dari sang penulis maupun para pembacanya (Kinanti, 2006). Karya sastra, terutama yang berbentuk prosa seperti cerpen, drama dan novel pasti selalu menampilkan kisah tokoh-tokoh dalam menjalani kehidupan mereka. Dalam menuliskan karyanya, para pengarang pasti menghadirkan tokoh dengan karakter dan perilaku yang unik untuk menambah daya tarik pada cerita yang dituliskannya. Aspek inilah yang diangkat oleh psikologi sastra sebagai bahan kajian, terutama mengenai latar belakang tindakan dan pikiran dari para tokoh dalam karya sastra terkait. Wellek dan Austin (1989:90) menjelaskan bahwa psikologi sastra memiliki empat arti. Pertama, psikologi sastra adalah pemahaman kejiwaan sang penulis sebagai pribadi atau tipe. Kedua, pengkajian terhadap proses
Imas Juidah, dkk. 156 kreatif dari karya tulis tersebut. Ketiga, analisa terhadap hokum-hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra. Dan keempat, psikologi sastra juga diartikan sebagai studi atas dampak sastra terhadap kondisi kejiwaan daripada pembaca. Sementara itu, menurut Ratna (240:350) psikologi sastra adalah analisa terhadap sebuah karya sastra dengan menggunakan pertimbangan dan relevansi ilmu psikologi. Ini berarti penggunaan ilmu psikologi dalam melakukan analisa terhadap karya sastra dari sisi kejiwaan pengarang, tokoh maupun para pembaca. Dengan kata lain, dapat juga dikatakan bahwa psikologi sastra melakukan kajian terhadap kondisi kejiwaan dari penulis, tokoh maupun pembaca hasil karya sastra. Secara umum dapat diambil kesimpulan adanya hubungan yang erat antara ilmu psikologi dengan karya sastra. Teori psikologi yang banyak dimanfaatkan teorinya dalam studi sastra adalah Sigmund Frued dengan teorri psikoanalisisnya. Selain itu juga banyak
157 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi digunakan teori lain seperti Carl Gustav Jung (psikologi kepribadian, Hurlock (psikologi perkembangan), dan beberapa tokoh lainnya. Berikut akan dipaparkan teori psikologi kepribadian yang sering digunakan dalam penelitian psikologi sastra, yaitu psikoanalsis Frued dan psikologi kepribadian Jung. 1. Psikoanalisis Sigmund Frued Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki tiga tingkat kesadaran, yaitu sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak sadar (unconscious). Freud berpendapat bahwa kepribadian merupakan suatu sistem yang terdiri dari 3 unsur, yaitu das Es, das Ich, dan das Ueber Ich (dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan the Id, the Ego, dan the Super Ego). a. Id (das Es) Freud mengibaratkan id sebagai raja atau ratu, ego sebagai perdana menteri dan superego sebagai pendeta tertinggi. Id berlaku seperti penguasa absolut, harus dihormati, manja, sewenang-wenang, dan mementingkan diri sendiri; apa yang diinginkannya
Imas Juidah, dkk. 158 harus segera terlaksana. Ego selaku perdana menteri yang diibaratkan memiliki tugas harus menyelesaikan segala 19 pekerjaan yang terhubung dengan realitas dan tanggap terhadap keinginan masyarakat. Superego, ibaratnya seorang pendeta yang selalu penuh pertimbangan terhadap nilai-nilai baik dan buruk harus mengingatkan si id yang rakus dan serakah bahwa pentingnya perilaku yang arif dan bijak. Id merupakan energi psikis dan naluri yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar seperti misalnya kebutuhan: makan, sesk menolak rasa sakit atau tidak nyaman. Menurut Freud, id berada di alam bawah sadar, tidak ada kontak dengan realitas. Cara kerja id berhubungan dengan prinsip kesenangan, yakni selalu mencari kenikmatan dan selalu menghindari ketidaknyamanan (Minderop, 2013: 21). b. Ego (das Ich) Ego terperangkap di antara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga serta patuh pada prinsip realitas dengan mencoba memenuhi kesenangan individu yang
159 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi dibatasi oleh realitas. Seseorang penjahat, misalnya, atau seorang yang hanya ingin memenuhi kepuasan diri sendiri, tertahan dan terhalang oleh realitas kehidupan yang dihadapi. Demikian pula dengan adanya individu yang memiliki impuls-impuls seksual dan agresivitas yang tinggi misalnya; tentu saja nafsu-nafsu tersebut tidak terpuaskan tanpa pengawasan. Demikianlah, ego menolong manusia untuk mempertimbangkan apakah ia dapat memuaskan diri tanpa mengakibatkan kesulitan atau penderitaan bagi dirinya sendiri. Ego berada di antara alam sadar dan alam bawah sadar. tugas ego memberi tempat pada fungsi mental utama, misalnya: 20 penalaran, penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan. Dengan alasan ini, ego merupakan pimpinan utama dalam kepribadian; layaknya seorang pimpinan perusahaan yang mampu mengambil keputusan rasional demi kemajuan perusahaan. Id dan ego tidak memiliki moralitas karena keduanya ini tidak mengenal nilai baik dan buruk (Minderop, 2013: 22).
Imas Juidah, dkk. 160 c. Superego (das Über Ich) Struktur yang ketiga ialah superego yang mengacu pada moralitas dalam kepribadian. Superego sama halnya dengan ‘hati nurani’ yang mengenali nilai baik dan buruk (conscience). Sebagaimana id, superego tidak mempertimbangkan realitas karena tidak bergumul dengan hal-hal realistik, kecuali ketika impuls seksual dan agresivitas id dapat terpuaskan dalam pertimbangan moral. Jelasnya, sebagai berikut: misalnya ego seseorang ingin melakukan hubungan seks secara teratur agar karirnya tidak terganggu oleh kehadiran anak; tetapi id orang tersebut menginginkan hubungan seks yang memuaskan karena seks itu nikmat. Kemudian superego timbul dan menengahi dengan anggapan merasa berdosa dengan melakukan hubungan seks (Minderop, 2013: 22-23). 2. Psikologi Kepribadian C. G. Jung Garis besar dari teori kepribadian Jung adalah bahwa kepribadian seseorang terdiri dari dua alam yaitu
161 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi alam kesadaran (conscious) dan alam ketaksadaran (unconscious). Struktur kesadaran mempunyai dua komponen pokok, yaitu fungsi jiwa dan sikap jiwa. Sikap jiwa ialah energi psikis atau libido yang menjelma dalam bentuk orientasi manusia terhadap dunianya. Arah energi psikis itu dapat keluar ataupun ke dalam dan demikian pula arah orientasi manusia terhadap dunianya dapat keluar ataupun ke dalam. Berdasarkan atas sikap jiwanya manusia, dapat digolongkan menjadi dua tipe, yaitu tipe ekstrovert dan tipe introvert. Fungsi jiwa merupakan suatu bentuk aktivitas kejiwaan yang secara teori tidak berubah dalam lingkungan yang berbeda-beda. Jung membedakan empat pokok fungsi jiwa, yaitu pikiran dan perasaan yang merupakan fungsi rasional, serta penginderaan dan instuisi yang merupakan fungsi irasional (Suryabrata, 2010: 158). Sikap dan fungsi jiwa pada struktur kesadaran manusia yang diungkapkan Jung dapat digabungkan menjadi sebuah tipologi. Tipologi Jung merupakan kombinasi sikap dan fungsi untuk
Imas Juidah, dkk. 162 C. Antropologi Sastra mendeskripsikan tipe kepribadian manusia. Jung membagi tipe kepribadian manusia menjadi delapan tipe, yaitu ektrovert pemikir, ekstovert perasa, ekstrovert pengindera, ekstrovert intuitif, introvert pemikir, introvert perasa, introvert pengindera, dan intovert intuitif (Alwisol, 2011: 47). Antropologi sastra menurut Endaswara (2013:4) adalah penelitian terhadap pengaruh timbal balik antara sastra dan kebudayaan. Sejalan dengan pendapat tersebut Ratna (2011:31) antropologi sastra sastra adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan. Kedekatan sastra dan antropologi tidak dapat diragukan antropologi sastra muncul dari banyaknya karya sastra yang syarat nilainilai budaya yang terkandung di dalamnya Dengan
163 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi melihat pembagian antropologi menjadi dua macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan manusia, seperti bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat-istiadat, dan karya seni, khususnya karya sastra (Ratna, 2011: 351). Berkaitan dengan tiga macam bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia, yaitu kompleksitas ide, kompleksitas aktivitas, dan kompleksitas benda-benda, maka antropologi sastra memusatkan perhatian pada kompleksitas ide kebudayaan. Sejalan dengan pendapat di atas, Endraswara (2013:107) menyatakan bahwa penelitian antropologi sastra dapat menitikberatkan pada dua hal. Pertama, meneliti tulisan-tulisan etnografi yang berbau sastra untuk melihat estetikanya. Kedua, meneliti karya sastra dari sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat aspek-aspek budaya masyarakat. Jadi, selain meneliti aspek sastra dari tulisan etnografi, fokus antropologi sastra adalah mengkaji
Imas Juidah, dkk. 164 D. Sastra Bandingan aspek budaya masyarakat dalam teks sastra. Oleh karena itu sesuai konteksnya, penelitian antropologi sastra seperti apa yang dikemukakan oleh Endaswara (2013:19) merupakan telaah struktur sastra (novel, cerpen, puisi, drama, cerita rakyat) lalu menghubungkannya dengan konsep atau konteks situasi sosial budayanya. Terkait dengan karya sastra yang di dalamnya terdapat tokoh dan penokohan, maka sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Endaswara di atas maka penelitian antropologi sastra merupakan penelitian yang menggambarkan perilaku dan sikap tokoh-tokoh (penokohan) dalam karya sastra tersebut guna mengungkap budaya masyarakat tertentu. Sastra bandingan merupakan salah satu dari sekian banyak pendekatan yang ada dalam ilmu sastra.
165 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Pendekatan sastra bandingan pertama kali muncul di Eropa awal abad ke-19. Ide tentang sastra bandingan dikemukan oleh SanteBeuve dalam sebuah artikelnya yang terbit tahun 1868 (Damono, 2005: 14). Dalam artikel tersebut dijelaskanya bahwa pada awal abad ke-19 telah muncul studi sastra bandingan di Prancis. Sedangkan pengukuhan terhadap pendekatan perbandingan terjadi ketika jurnal Revue Litterature Comparee diterbitkan pertama kali pada tahun 1921. Dalam sastra bandingan dikenal dua mazhab, yaitu mazhab Amerika dan Prancis. Mazhab Amerika berpendapat bahwa sastra bandingan memberi peluang untuk membandingkan sastra dengan bidang-bidang lain di luar sastra, misalnya seni, filsafat, sejarah, agama, dan lain-lain. Sedangkan mazhab Prancis berpendapat bahwa sastra bandingan hanya memperbandingkan sastra dengan sastra. Namun demikian, kedua mazhab tersebut bersepakat bahwa sastra bandingan harus bersifat lintas negara, artinya berusaha membandingkan sastra satu negara dengan sastra negara lain.
Imas Juidah, dkk. 166 Menurut Endraswara (2011) sastra bandingan adalah sebuah studi teks across cultural. Studi ini merupakan upaya interdisipliner, yakni lebih banyak memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu dan tempat. Dari aspek waktu, sastra bandingan dapat membandingkan dua atau lebih periode yang berbeda. Sedangkan konteks tempat, akan mengikat sastra bandingan menurut wilayah geografis sastra. Konsep ini mempresentasikan bahwa sastra bandingan memang cukup luas. Bahkan, pada perkembangan selanjutnya, konteks sastra bandingan tertuju pada bandingan sastra dengan bidang lain. Bandingan semacam ini, guna merunut keterkaitan antar aspek kehidupan. Dalam sastra bandingan, perbedaan dan persamaan yang ada dalam sebuah karya sastra merupakan objek yang akan dibandingkan. Remak menjelaskan bahwa dalam sastra bandingan yang dibandingkan adalah kejadian sejarah, pertalian karya sastra, persamaan dan perbedaan, tema, genre, style, perangkat evolusi budaya, dan sebagainya (1990: 13).
167 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Remak lebih jauh juga memberikan batasan tentang objek sastra bandingan. Menurut Remak, yang menjadi objek sastra bandingan hanyalah karya sastra nasional dan karya sastra dunia (adiluhung). Selain itu, dapat dipahami bahwa dasar perbandingan adalah persamaan dan pertalian teks. Jadi, hakikat kajian sastra bandingan adalah mencari perbedaan atau kelainan, di samping persamaan dan pertalian teks dan yang terpenting dari kajian sastra bandingan adalah bagaimana seorang peneliti mampu menemukan serta membandingkan kekhasan sastra yang dibandingkan. Hutomo (1993: 19) menjelaskan bahwa, dalam praktek penelitian sastra bandingan di Indonesia, secara garis besar, dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu sebagai berikut. 1. Sastra bandingan dalam kaitanya dengan filologi. 2. Sastra bandingan dalam hubunganya dengan sastra lisan.
Imas Juidah, dkk. 168 E. Ekranisasi 3. Sastra bandingan modern, yakni sastra bandingan tulis, baik yang tertulis dalam bahasa indonesia yang masih bernama Bahasa Melayu maupun yang ditulis dalam Bahasa Indonesia. Transformasi dari karya sastra ke bentuk film dikenal dengan istilah ekranisasi. Istilah ini berasal dari bahasa Prancis, écran yang berarti ‘layar’. Ekranisasi adalah pelayar putihan atau pemindahan atau pengangkatan sebuah novel ke dalam film. Eneste (1991:60–61) menambahkan yang dimaksud dengan ekranisasi adalah pelayar putihan atau pemindahan atau pengangkatan sebuah novel ke dalam film (ecran dalam bahasa Perancis berarti layar). Pemindahan novel ke layar putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya
169 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi berbagai perubahan. Oleh sebab itu dapat dikatakan, ekranisasi adalah proses perubahan bisa mengalami penciutan, penambahan dan perubahan dengan sejumlah variasi. Alat utama dalam novel adalah kata-kata, segala sesuatu disampaikan dengan kata-kata. Cerita, alur, penokohan, latar, suasana, dan gaya sebuah novel dibangun dengan kata-kata. Pemindahan novel ke layar putih, berarti terjadinya perubahan pada alat-alat yang dipakai, yakni mengubah dunia kata-kata menjadi dunia gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan. Sebab di dalam film, cerita, alur, penokohan, latar, suasana dan gaya diungkapkan melalui gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan. Apa yang tadinya dilukiskan atau diungkapkan dengan katakata, kini harus diterjemahkan ke dunia gambar-gambar. Eneste (1991:60–61) menyatakan bahwa pada proses penggarapannya pun terjadi perubahan. Novel adalah kreasi individual dan merupakan hasil kerja perseorangan. Seseorang yang mempunyai pengalaman,
Imas Juidah, dkk. 170 pemikiran, ide, atau hal lain, dapat saja menuliskannya di atas kertas dan jadilah sebuah novel yang siap untuk dibaca atau tidak dibaca orang lain. Tidak demikian pembuatan film. Film merupakan kerja gotong royong. Bagus tidaknya sebuah film, banyak bergantung pada keharmonisan kerja unit-unit di dalamnya: produser, penulis skenario, sutradara, juru kamera, penata artistik, perekam suara, para pemain, dan lain-lain. Dengan kata lain, ekranisasi berarti proses perubahan dari sesuatu yang dihasilkan secara individual menjadi sesuatu yang dihasilkan secara bersama-sama (gotong-royong). Eneste (1991:61—66) perubahan yang terjadi dalam ekranisasi adalah sebagai berikut. 1. Pengurangan Salah satu langkah yang ditempuh dalam proses transformasi karya sastra ke film adalah pengurangan. Pengurangan adalah pengurangan atau pemotongan unsur cerita karya sastra dalam proses transformasi. Eneste (1991:61) menyatakan bahwa pengurangan dapat dilakukan terhadap unsur karya sastra seperti
171 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi cerita, alur, tokoh, latar, maupun suasana. Dengan adanya proses pengurangan atau pemotongan maka tidak semua hal yang diungkapkan dalam novel akan dijumpai pula dalam film. Dengan demikian akan terjadi pemotongan-pemotongan atau penghilangan bagian di dalam karya sastra dalam proses transformasi ke film. Eneste (1991:61—62) menjelaskan bahwa pengurangan atau pemotongan pada unsur cerita sastra dilakukan karena beberapa hal, yaitu: (1) anggapan bahwa adegan maupun tokoh tertentu dalam karya sastra tersebut tidak diperlukan atau tidak penting ditampilkan dalam film. Selain itu, latar cerita dalam novel tidak mungkin dipindahkan secara keseluruhan ke dalam film, karena film akan menjadi panjang sekali. Oleh karena itu, latar yang ditampilkan dalam film hanya latar yang memadai atau yang penting-penting saja. Hal tersebut tentu saja tidak lepas dari pertimbangan tujuan dan durasi waktu penayangan. (2) Alasan mengganggu, yaitu adanya anggapan atau alasan sineas bahwa menghadirkan unsur-unsur tersebut justru dapat
Imas Juidah, dkk. 172 mengganggu cerita di dalam film. (3) Adanya keterbatasan teknis film atau medium film, bahwa tidak semua bagian adegan atau cerita dalam karya sastra dapat dihadirkan di dalam film. (4) Alasan penonton atau audiens, hal ini juga berkaitan dengan persoalan durasi waktu. 2. Penambahan Eneste (1991:64) menyatakan bahwa seorang sutradara mempunyai alasan tertentu melakukan penambahan dalam filmnya karena penambahan itu penting dari sudut filmis. 3. Perubahan Bervariasi Perubahan bervariasi adalah hal ketiga yang memungkinkan terjadi dalam proses transformasi dari karya sastra ke film. Menurut Eneste (1991:65), ekranisasi memungkinkan terjadinya variasi-variasi tertentu antara novel dan film. Variasi di sini bisa terjadi dalam ranah ide cerita, gaya penceritaan, dan sebagainya. Terjadinya variasi dalam transformasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain media yang digunakan,
173 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi persoalan penonton, durasi waktu pemutaran. Eneste (1991:67) menyatakan bahwa dalam mengekranisasi pembuat film merasa perlu membuat variasi-variasi dalam film, sehingga terkesan film yang didasarkan atas novel itu tidak seasli novelnya.
Imas Juidah, dkk. 174 A. Sinopsis Novel Penerapan Kajian Sosiopragmatik: Umpatan dalam Novel Telembuk Karya Kedung Darma Romansha Safitri merupakan anak seorang telembuk serta bapak yang bajingan, pemabuk, serta suka telembuk. Semenjak umur 9 tahun Safitri ingin jadi penyanyi dangdut populer. Saritem, Ibu Safitri, menyimpan harapan pada anaknya itu, kadang- kadang dia berpakaian muslimah walaupun nampak aneh, supaya memperoleh pujian serta kepedulian dari keluarga Haji Nasir, seseorang kuwu terpandang di Cikedung. Saritem BAB 10
175 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi juga telah menanggalkan status telembuknya cuma buat melindungi kehormatan Haji Nasir. Sebab anaknya, Safitri, jadi artis kasidah kepunyaan Ustaz Musthafa, ialah anak kesatu Haji Nasir. Tetapi tidak disangka. Mukimin, anak bungsu Haji Nasir, kesengsem dengan Safitri. Tiap terdapat latihan kasidah, dia senantiasa mengintip. Sembari bawa majalah porno yang dia curi dari kamar Musthafa, dia mengintip Safitri. Kemudian membayangkan Safitri menyanyi kasidah tanpa busana, serta dituntaskan dengan masturbasi. Aktivitas busuknya ini dia ulang- ulang kala terdapat latihan kasidah di musala bapaknya. Mukimin bergaul dengan begundal- begundal seumurannya, 14 tahun. Bermaksud buat mentlaktir sahabatnya, Mukimin mencuri uang milik bapaknya. Mukimin dapat dibilang tidak sempat mengaji, walaupun dia anak dari pemilik musala terkenal di kampungnya. Sebab, dalam seminggu paling- paling cuma sekali saja. Musthafa sangat geram dengan kelakuan Mukimin yang
Imas Juidah, dkk. 176 jahanam ini. Hingga tidak heran tiap hari pastilah Mukimin serta Musthafa ini beradu mulut. Tidak disangka pula, diam- diam Musthafa menaruh hasrat pada Safitri. Sekian kali, dia sempat datang buat mengutarakan cintanya. Mengatasnamakan menghindari zina, Musthafa melamar Safitri. Mendengar itu, ibu Safitri bahagia bukan kepalang semacam ingin umrah saja. Karena, kesenangannya ini mendekati Haji serta ia hendak besanan dengan seseorang Haji terpandang di kampungnya. Tiap hari dia menasehati Safitri guna segera menerima cinta Musthafa. Namun, siapa yang dapat menyangka, diam- diam Safitri lebih memilah Mukimin yang urakan itu. Sampai sesuatu hari Haji Nasir mencium gelagat ikatan Mukimin dengan Safitri, tanpa pengetahuan jika Musthafa juga jatuh hati pada Safitri. Haji Nasir mengirim suruhannya buat menemui Saritem supaya Safitri tidak berhubungan lagi dengan Mukimin. Pasti demikian merupakan cerita yang klise. Karena, tidak bisa jadi Haji Nasir serta- merta
177 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi melarang ikatan 2 anak ingusan itu, jika sebabnya cuma status sosial belaka. Namun, apabila kita amati kembali kenapa Haji Nasir melarang ikatan Mukimin dengan Safitri, lebih tepatnya sebab Saritem serta Haji Nasir sempat menjalakan ikatan gelap saat sebelum dia naik haji serta jadi seseorang kuwu di desanya. Permasalahan perkara politik ialah kala ia kepingin mencalonkan kuwu lagi pada 1998. Pak Darmawan serta Haji Nasir merupakan rival politik semenjak kampung ini belum terdapat listrik. Sesudah Saritem memperoleh teguran dari Haji Nasir, Saritem nguntap serta mendatangi rumah Haji Nasir dengan kemarahan yang meluap- luap. Dia merasa tidak terima dengan perlakuan Haji Nasir. Saritem merasa karna dia seseorang telembuk, sehingga Safitri tidak layak menjalakan ikatan dengan Mukimin. Saritem berkoar- koar menerangkan ikatan gelapnya dengan Haji Nasir di depan banyak orang dengan kemarahan yang membabi buta. Saritem tidak terima dengan perlakuan
Imas Juidah, dkk. 178 Haji Nasir. Hingga Saritem juga menghalangi ikatan Safitri dan Mukimin guna melindungi gengsi serta harga dirinya. Sampai sesuatu hari, seketika Safitri nongol di tarling dangdut dengan bawa uang saweran sembari bergoyang kesetanan. Kemunculannya di atas panggung dangdut ini mengundang desas- sesus jika Safitri stress sebab ditolak oleh keluarga Haji Nasir. Kemunculan Safitri terus menjadi kerap di panggung dangdut, sampai akhirnya dia turut bernyanyi di atas panggung sembari bergoyang kesetanan. Kadangkala, dia tunggingkan pantatnya hingga nampak celana dalamnya, serta dia melangsungkannya dengan berniat. Di tengah- tengah kemunculan Safitri di atas panggung dangdut, disaat itu pula Safitri banyak dilamar oleh para ustaz, dari mulai ustaz Muhidin, Musthafa, hingga ustaz kampung sebelah melamar Safitri dengan satu hasrat serta tekad berjihad di jalan Allah. Guna mengembalikan Safitri ke jalur yang lurus. Namun, seluruh lamaran itu ditolak olehnya.
179 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Pada malam yang riuh kala penyanyi dangdut melontarkan pantatnya ke hadapan para pemirsa. Safitri terus bergoyang asik di hadapan orang- orang. Haji Caca naik ke panggung, menyawer serta meraba badan Safitri dengan hasrat naik- turun. Hingga pada akhirnya, Haji Caca merasa janggal dengan perut Safitri. Hingga, dia turun dari atas panggung serta memberitahukan kepada Sukirman yang tengah mabuk di warung remangremang. Mendengar apa yang dikisahkan Haji Caca, Sukirman bergegas mendatangi Safitri serta menanyai apakah benar ia berbadan dua. Hingga, dengan muka jengkel, dia buka pakaiannya serta terlihatlah perut buncit itu, dengan teriak“ Ya, aku hamil! Lihat aku! Aku hamil! Mau apa?”, serta orang- orang juga menyangka Safitri sakit jiwa. Tidak sedikit orang yang mengatakan jika Safitri sakit jiwa. Safitri edan. Lalu, Safitri tidak pernah keluar rumah. Sukirman marah, karena dia berpendapat bahwa Mukimin lah yang telah menghamili Safitri. Dia marah kesetanan di depan rumah Haji Nasir. Akhirnya, Sondak
Imas Juidah, dkk. 180 dan orang-orang di sekitar menenangkannya. Tidak ada yang tahu siapa yang menghamili Safitri. Safitri hanya terdiam, lalu menangis. Namun, ketika orang-orang hendak menyelesaikan teka-teki kehamilan Safitri, ia menghilang. Menghilangnya Safitri di pagi itu, bersamaan dengan menghilangnya Mukimin. Sukirman dan Saritem kecewa melihat anaknya kabur dari rumah. Tidak hentihentinya ia menyalahkan keluarga Haji Nasir. Tapi sayangnya ia tidak punya bukti sedikit pun mengenai kehamilan dan hilangnya Safitri, yang diduga dilakukan oleh si bejat Mukimin. Belum lagi masalah selesai, masalah baru menimpanya. Hingga suatu hari Govar dan Aan teman dekat Mukimin, mencurigai seseorang yang bernama Diva Fiesta. Penyanyi dangdut terkenal. Menurut Govar dan Aan wajahnya tidak asing. Sampai pada akhirnya, Govar dan Aan mengetahui sebuah rahasia yang tersembunyi dangdut terkenal berkat mang Alek orang yang telah menolongnya saat ia tergeletak di jalanan karena
181 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi diperkosa oleg segerombolan pria yang mengakibatkan bayi yang dikandungnya harus mengalami keguguran. Mang Alek pula yang menjadikan hidup Safitri jatuh untuk kesekiankalinya dan berantakan. Sebab mang Alek hanya memanfaatkan Safitri untuk mendapatkan banyak uang agar dapat nelembuk dengan gadis lain yang dicintainya. Diva Fiesta alias Safitri menceritakan semua perjalanan hidupnya semenjak ia kabur dari rumah, kepada Govar. Bahkan Safitri mampu memberitahu Govar tentang siapa sebenarnya pelaku pemerkosaannya malam itu. Aan yang penasaran terhadap hal tersebut kerap kali memaksa Govar untuk bercerita. Namun tak pernah berhasil. Hingga akhirnya hanya Safitri dan Govar yang tahu siapa pelaku yang telah memperkosa Safitri malam itu.
Imas Juidah, dkk. 182 B. Analisis Novel Berikut ini penjabaran deskripsi hasil penelitian mengenai umpatan dalam Novel Telembuk Karya Kedung Darma Romansha. 1. Bentuk Umpatan Data bentuk umpatan dalam novel Telembuk disajikan pada tabel dan gambar berikut. Tabel 1. Data Bentuk Umpatan dalam Novel Telembuk No. Bentuk Umpatan Umpatan Kuantitas Persentase (%) 1 Excretion Tai, kopok/pok, sampah 3 1,54% 2 Death Mampus 3 1,54% 3 Body Function Term Kontol 1 0,51% 4 Religious Matter Setan, setan alas, setan semang, 27 13,85%
183 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi nyupang, neraka 5 Mother in Law Telembuk, slindet 4 2,05% 6 Sex Term Nlembuk 2 1,03% 7 Animal Terms Kirik/Rik, kirik jadah, kirik butak, celeng, buaya, tokek 82 42,05% 8 Imbecilic Terms Goblok/blok, koplok/plok, bodoh 32 16,41% 9 General Term Bangsat, sialan, sinting, bajingan, bajingan tengik, bejat, brengsek, keparat, gila, sial 41 21,03% Total 195 100,00%
Imas Juidah, dkk. 184 Gambar 1 Data Bentuk Umpatan dalam Novel Telembuk Berdasarkan tabel dan gambar tersebut, diperoleh total umpatan yang terdapat dalam novel Telembuk berjumlah 195 umpatan. Bentuk umpatan yang paling banyak diucapkan oleh tokoh dalam novel Telembuk yaitu animal term yang diucapkan sebanyak 82 umpatan atau 42,05%. Selanjutnya, bentuk umpatan general term menempati urutan terbanyak kedua yang diucapkan sebanyak 41 umpatan atau 21,03%. Urutan ketiga yaitu bentuk umpatan imbecilic term yang diucapkan 32 kali 3 3 1 27 4 2 82 32 41 1,54% 1,54% 0,51% 13,85% 2,05% 1,03% 42,05% 16,41% 21,03% 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90