The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

E-book ini merupakan buku untuk mata kuliah Apresiasi Prosa Fiksi

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by imas.juidah, 2023-05-04 19:46:03

Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

E-book ini merupakan buku untuk mata kuliah Apresiasi Prosa Fiksi

Keywords: apresiasi prosa fiksi,apresiasi,prosa,fiksi,sastra

385 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi ucap ibuku diiringi pelukan beliau yang erat. (Afif Awalan, 2020: 27-29). h. Genre (G) Genre berkaitan dengan jenis atau bentuk penyampaian. Bentuk penyampaian dalam peristiwa tutur yang digunakan dalam novel tersebut yaitu berbentuk dialog. Hal tersebut namapk pada kutipan berikut. “Gadung gadung priook!” Suara kondektur memecah lamunanku. “kemana, A?” tanyanya sambil memegang kardus yang ada di sampingku. Bahasa tubuh agar aku setuju untuk naik. “Rambutan, Kang,” jawabku sambil memasang muka enggan “Ayo. Lewat kok, Kang” Ia meyakinkanku dan meraih kardusku. “Jangan bohong. Nanti saya diturunkan di tengah jalan lagi ah”. “Ora lah, A. Masa karo wong dhewek boong si” “Yasudah. Awas boong, ya!” (Afif Awalan, 2020: 41-42).


Imas Juidah, dkk. 386 A. Pendahuluan Penerapan Kajian Feminisme: Fenomena Gender Violence Tokoh Utama Perempuan dalam Novel Dwilogi Slindet Karya Kedung Darma Romansha Karya sastra merupakan proses kreatif dari seorang pengarang yang menghasilkan sebuah gagasan, konsep, dan ide yang mengambil tema dari masyarakat. Proses kreatif ini menjadikan masyarakat (pembaca) merasa bahwa karya sastra yang dibuat pengarang menggambarkan kehidupan dirinya sendiri, walaupun gambaran kehidupan ini berdasarkan imajinasi yang BAB 13


387 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi dibuat pengarang. Sastra dengan demikian menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial (Damono, 1979:1). Sastra sebagai bagian dari kebudayaan memiliki peranan yang cukup penting dalam mendokumentasikan apa yang terjadi dalam masyarakat. Karya sastra pada dasarnya terdiri atas tiga jenis, yaitu puisi, prosa, dan drama. Masingmasing jenis karya sastra tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Khusus prosa, memiliki cara tersendiri dalam menyampaikan suatu cerita. Prosa biasanya berisi cerita yang panjang, di dalamnya terdapat konflik dan diakhiri dengan penyelesaian yang disesuaikan dengan tema cerita. Prosa terdiri atas dua macam, yaitu prosa fiksi dan prosa nonfiksi. Salah satu jenis prosa fiksi adalah novel. Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang di dalamnya memuat sejumlah peristiwa, gejala sosial, budaya, politik yang pernah terjadi di masyarakat pada masa tertentu. Kisah yang dimuat dalam novel pun beragam sangat beragam seperti kisah percintaan, sosial,


Imas Juidah, dkk. 388 agama, sindiran ekonomi, dan yang paling mendapat perhatian yaitu tentang seks, perempuan, dan kesetaraan gender. Kesadaran mengenai pentingnya keadilan dan kesetaraan gender, atau yang lebih dikenal dengan feminisme merupakan salah satu fenomena yang mengemukan dalam sejumlah karya sastra di Indonesia. Walaupun tidak digambarkan secara eksplisit, sejumlah novel Indonesia sejak awal perkembangannya, ternyata telah mempersoalkan pentingnya keadilan dan kesetaraan gender. Kekerasan gender telah mengakibatkan hal-hal yang tidak menyenangkan seperti pembunuhan, penyiksaan, dan pencerahan terhadap perempuan baik secara fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi. Sebuah artikel yang diterbitkan oleh pusat penelitian UNICEF dengan judul Domestic Violence Against Women and Girls mengungkapkan bahwa deklarasi PBB telah menetapkan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan gender yang telah menyebabkan penderitaan fisik, seksual dan psikologis terhadap kaum perempuan,


389 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi termasuk ancaman bagi kemerdekaannya baik di dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat (Coomaraswamy, 2008: 2). Perbedaan gender ini kemudian menimbulkan terjadinya struktur ketidakadilan seperti marginalisasi, subordinasi, dan bahkan kekerasan (violence) terhadap kaum perempuan. Perempuan selama ini dipandang sebagai sosok yang lemah. Banyak anggapan yang beredar di masyarakat tentang diri perempuan itu sendiri yang menyebabkan perempuan semakin terpinggirkan. Berdasarkan hal tersebut, dapat diasumsikan bahwa kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam masyarakat juga dapat ditemukan dalam karya sastra, termasuk Dwilogi “Slindet” karya Kedung Darma Romansha yang berlatar di Cikedung-Indramayu. Oleh karena itu, pembahasan mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam Dwilogi “Slindet” karya Kedung Darma Romansha penting dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat Indramayu.


Imas Juidah, dkk. 390 B. Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk gender violence yang dialami tokoh utama perempuan dalam novel Dwilogi Kelir Slindet karya Kedung Darma Romansha yang meliputi physical violence, psychological violence, dan sexual violence tokoh utama novel Dwilogi Kelir Slindet karya Kedung Darma Romansha. Fenomena Gender Violence Novel Kelir Slindet Karya Kedung Darma Romansha. 1. Kekerasan Fisik (Physical Violence) Berdasarkan hasil analisis data ditemukan wujud kekerasan fisik dalam tokoh utama pada novel Kelir Slindet karya Kedung Darma Romansha, yaitu “Penyanyi dangdut” dan “Safitri”. Berikut data dan hasil analisisnya. Jika ada yang bergoyang dalam posisi rendah, maka anak-anak usil itu, dengan sebatang lidi kecil


391 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi menyogok-nyogokkan lidi ke bagian tubuh tertentu si penyanyi dangdut (Kelir Slindet, 2014: 28). Ditariknya tangan Safitri, tapi Safitri menolak. Malah ia kembali naik kembali ke panggung (Kelir Slindet, 2014: 172). 2. Kekerasan Psikologi (Psychological Violence) Psychological violence atau kekerasan psikologi adalah setiap perbuatan dan ucapan mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya pada seseorang. Kekerasan psikologi memang tidak meninggalkan bekas sebagaimana kekerasan fisik, tetapi berkaitan dengan harga diri perempuan. Pelanggaran komitmen, penyelewengan, teror mental dan teror pembunuhan, serta pengucapan kata-kata yang tidak menyenangkan merupakan kekerasan psikologi yang dialami oleh tokoh perempuan (Sofia, 2009:42). Kekerasan psikologi pada tokoh perempuan dalam novel Kelir Slindet karya Kedung Darma Romansha yaitu


Imas Juidah, dkk. 392 berupa pengucapan kata-kata yang tidak menyenangkan. Berikut data dan hasil analisisnya. “Sedang apa kamu di sini? Tidak lihat ada orang latihan kasidah? Mengganggu latihan saja, pergi! Dasar anak malas! Bodoh!” bentak musthafa dengan ketus (Kelir Slindet, 2014: 4). “Anak telembuk, tetap telembuk! Ngimpi jadi orang terkenal!” Ketus Sukirman (Kelir Slindet, 2014: 20). “Mending dengan Santi, masih kencang tubuhnya. Daripada sama kamu, hah, sudah kendor. Urus saja anakmu itu, jangan bermimpi banyak jadi penyanyi dangdur terkenal. Goblok!” (Kelir Slindet, 2014: 21). “Biarkan saja, namanya juga anaknya kaji nyupang, cocok sama anaknya telembuk, sama-sama tidak benarnya,” lanjut Sulistiowati. Mulutnya kadang melenceng ke kanan dan ke kiri mengikuti muatan kata yang diucapkannya (Kelir Slindet, 2014: 44). “Anak bodoh, kalau kamu menikah dengan Musthafa, semua beban taka da lagi. Hidup kita makmur, Fit. Emak tidak perlu bercita-cita jadi TKW ke Arab Saudi lagi. Cukup di Cikedung sambil menimang cucu (Kelir Slindet, 2014: 72). “Emak lakukan seperti ini untuk masa depanmu. Goblok! Kamu ingin Emak jadi telembuk lagi?! Punya anak satu-satunya susah diatur. Diajak benar tidak mau. Sudah


393 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi untung kita diperhatikan keluarga Kaji Nasir. Dasar anak tidak tahu diri!” (Kelir Slindet, 2014: 72-73). “Hei! Mau kemana kamu? Kalau mau pergi tapenya dimatiin dulu! Goblok! Anak sialan!” mulut Saritem terus nyerocos mengantarkan Safitri pergi. Saritem masuk ke dalam kamar Safitri dan mematikan tapenya (Kelir Slindet, 2014: 74). “Kenapa kamu menolak lamarannya? Sudah untung dia menyukaimu. Jarang-jarang orang seperti musthafa melamarmu. Kurang apa dia? Kaya, pandai, dan terpandang di kampung ini. Kamu sudah cukup umur Safitri. Dasar anak bodoh! Dikasih hati malah meludahi. Kamu ingin emakmu ini jadi telembuk lagi? Kita ini miskin. Ingat, miskin Safitri,” terang Saritem sambil memendam kejengkelannya (Kelir Slindet, 2014: 95). “Hei, sudah berani melawan orang tua. Sudah untung anak telembuk dilamar seorang dari keluarga baik-baik. Koplok! Memang susah ngurus anak gadis satu ini. Terus saja nyanyi dangdut, lama-lama kamu jadi penyanyi danggut keliling. Sialan!” (Kelir Slindet, 2014: 97). 3. Kekerasan Seksual (Sexual Violence)


Imas Juidah, dkk. 394 Sexual violence atau kekerasan seksual dilakukan dengan pemaksaan hubungan seksual melalui ancaman, intimidasi atau paksaan secara fisik, memaksa hubungan seksual yang tidak diinginkan atau memaksa hubungan dengan orang lain (Coomarawamy, 2008:2). Kekerasan seksual dirasakan langsung oleh penyanyi dangdut dalam novel Kelir Slindet yang melakukan paksaan secara fisik dengan cara memasukkan kepala seorang penyawer ke dalam rok penyanyi dangdut, menyelipkan uang saweran ke dalam bra penyanyi dangdut dan tangan penyawer meraba bagian punggung sampai pinggul. Berikut data dan kutipannya. Ada penyawer yang tiba-tiba terlentang dan kepalanya masuk ke dalam rok. “Awas jatuh yang di dalam rok!” teriak seseorang dari belakang. Kemudian penyawer segera bangkit dan berlagak mabuk sambil menyelipkan uang ke dalam bra perempuan bahenol itu. Sementara di gigir punggung depan, tangantangan menyerempet pinggul penyanyi dangdut, kemudian ia cium kembali tangannya – semacam bau birahi yang membuatnya bergairah (Kelir Slindet, 2014: 27).


395 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Keseluruhan masalah kekerasan terhadap tokoh perempuan yang terdapat pada novel Kelir Slindet karya Kedung Darma Romansha yaitu meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikologi, dan kekerasan seksual. Fenomena Gender Violence Tokoh Utama Perempuan dalam Novel Telembuk Karya Kedung Darma Romansha 1. Kekerasan Fisik (Physical Violence) Berdasarkan hasil analisis data ditemukan wujud kekerasan fisik dalam tokoh utama pada novel Telembuk karya Kedung Darma Romansha, yaitu “Safitri”. Berikut data dan hasil analisisnya. Safitri, yang tiba-tiba dibungkam dari belakang oleh segerombolan para lelaki yang berjumlah tiga orang, iya membabibuta tangan Safitri menjambak rambut orang yang tengah membungkam dari belakang sesaat orang itu melepas bungkamnya Safitri mendorongnya dengan kuat-kuat dan orang tersebut hampir saja terjatuh. Tak lama kemudian Safitri melepaskan celana dalamnya."Ayo! Kalian mau ini?!" Safitri duduk mengangkang, memperlihatkan kemaluannya."kenapa


Imas Juidah, dkk. 396 diam?! Bajingan! Kirik!"ketiga laki-laki itu diam."ayo lakukan, bajingan! kalau cuma tubuhku yang kalian mau, aku kasih! Bajingan tengik!" Safitri meradang. "Yang ini jangan diambil, kirik!"iya berdiri dengan sempoyongan sambil tarik-menarik dengan laki-laki itu.laki-laki itu meluap kemarahannya kemudian ia tarik tas itu dengan paksa lalu didorongnya Safitri dengan kasar. Tubuh Safitri tersungkur ke depan. Safitri tak sadarkan diri (Telembuk, 2017:133). "Bajingan...!!!! Kirik!!" teriak Diva kalap. "Pantas saja uang ku selalu habis, pasti karena Telembuk satu ini! Kirik! Setan! Bangsat kamu!" Diva menjerit campur tangis yang berlebih. Iya lempar sepatu hak tinggi nya kearah perempuan itu. Satu sepatu lolos melewati atas kepala perempuan itu, yang satunya lagi mengenai buah dada sebelah kiri perempuan itu. Plak! Satu tamparan bang Alek mengenai pipi Diva."Dasar tlembuk nyupang!" ujar Mang Alek (Telembuk, 2017: 89). "Setelah perempuan sialan itu menemukan ku, aku langsung digamparnya dan di dorong nya hingga terjatuh. Seluruh barang-barangku ia pecahkan. Dilemparnya segala barang ke dinding persis diatas ku. Aku meringkuk kesakitan sambil terus menangis. Bahkan aku tak tahu apa yang aku tangisi. Bergerak pun aku takut. Aku tak tahu salahku apa dan harus bagaimana. Sementara orang-orang hanya melihat dan mengerumuni rumahku.


397 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Ada juga yang menggunjing ku. Ujar Mak Dayem (Telembuk, 2017: 72). "Benar, suamiku sedang mesra-mesraan dengan seorang gadis seumuran denganku. Bajingan! Setan! Aku marah. Entah marah pada diriku sendiri atau pada suamiku. Aku kalap. Aku lempar botol minuman ke arah suamiku dan perempuan itu. Meja warung berantakan. Satu botol bir mengenai lengan perempuan itu. Satunya lagi entah melesat ke mana. Suamiku marah besar. Dan dengan alasan itu dia menceraikanku. Sangat sepele. Begitu gampang seperti orang meludah. Bajingan! Hidupku tak karuan teringat kejadian itu. Setan!"Mak diam kembali menghentikan ceritanya (Telembuk, 2017: 74). 2. Kekerasan Psikologi (Psychological Violence) Psychological violence atau kekerasan psikologi adalah setiap perbuatan dan ucapan mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya pada seseorang. Kekerasan psikologi memang tidak meninggalkan bekas sebagaimana kekerasan fisik, tetapi berkaitan dengan harga diri perempuan. Pelanggaran


Imas Juidah, dkk. 398 komitmen, penyelewengan, teror mental dan teror pembunuhan, serta pengucapan kata-kata yang tidak menyenangkan merupakan kekerasan psikologi yang dialami oleh tokoh perempuan (Sofia, 2009:42). Kekerasan psikologi pada tokoh perempuan dalam novel Telembuk karya Kedung Darma Romansha yaitu berupa penyelewengan dan pengucapan kata-kata yang tidak menyenangkan. Berikut data dan hasil analisisnya. “Aku ingin terlepas dari pikiran-pikiran buruk. Aku ingin lupa tentang semua yang terjadi terutama tentang malam keparat itu. Aku ini senang aku ingin melepaskan bayangan hitam itu sebab begitu menyesakkan. Aku tidak tahu bagaimana semua itu bisa terjadi di malam itu. Seolah seperti mimpi saja, mimpi buruk yang setiap orang tak akan mau mengingatnya” (Telembuk, 2017: 383). “Dan gara-gara malam keparat itu pula orangorang menganggapku perempuan stress,bagaimana seorang perempuan yang awalnya menyanyi kasidah lalu tiba-tiba menjadi penyanyi dangdut dengan goyang kesetanan di atas panggung. Ini gila. Ya. Aku memang gila.”. (Telembuk, 2017: 191). “Aku buka perutku dihadapan semua orang dan aku teriak kalau aku memang hamil.pasti kalian ingin tahu siapa yang menghamili ku.kenapa kalian harus tahu?


399 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi sepenting itukah aku bagi kalian? lalu ketika kalian tahu siapa yang menghamiliku, kalian akan merasa puas? Hidup ini cuma berisi celotehan celotehan orang. Mulut mulut genit dan cerewet akan menghiasi sepanjang hidup kalian”. “Dengan mulut kalian, kalian bisa mengubah nasib seseorang jauh lebih buruk. Itulah mulut. Kalian boleh tertawa. Menertawai diri sendiri.karena kesenangan kalian belum tentu menjadi kesenangan orang lain. Kalian lupa dengan hal ini. Aku, akulah salah satunya. Kalian lupa denganku?aku Safitri anak Telembuk dengan seorang bapak bajingan yang suka mabuk dan doyan Telembuk. Itulah aku.” (Telembuk, 2017: 192-193). Bagaimana rasanya jika seseorang dianggap sampah? Dipermalukan banyak orang. Bahkan waktu itu tidak ada satu orang pun yang mau mengulurkan tangannya untukku. semua orang menyalahkanku.Aku tidak tahu siapa yang mesti aku salahkan (Telembuk, 2017: 378). “Sejak saat itu, rasanya pernikahan seperti sesuatu yang hambar dan biasa. Maka, setahun kemudian aku menikah kembali. Sebenarnya waktu itu aku sudah menjadi Tembuk. Aku sudah tidak peduli apa itu cinta. Yang terpenting adalah suami ku sanggup bertahan hidup denganku sampai matiku. Aku bertemu dengan suamiku


Imas Juidah, dkk. 400 itu di warung Cilege Indah. Ketika aku mangkal. Dia pikir aku bukan Telembuk”. Ujar Mak Dayem (Telembuk, 2017:75). “Sekitar empat bulan aku memendam pedih dan sakit hati dari kejadian itu. Aku hamil. Tapi kemudian Aku berusaha menepis itu. Ditambah kekecewaanku pada mukimin. Aku sudah tak peduli dengan orangorang.Apalagi ibu selalu mendesakku untuk menikah dengan Ustadz Musthafa, dan beberapa orang yang pernah menaruh cinta padaku. Di depanku, mereka tampak seperti orang-orang tolol”(Telembuk, 2017: 382- 383). "Tersenyumlah dengan tulus, seperti kamu tersenyum pada orang yang kamu cintai."kata-kata itu begitu melekat di kepala Safitri. Safitri mengusap air matanya. Kenangan-kenangan itu timbul tenggelam. Kadang ia harus menyelami waktu yang lampau itu. Kadang ia harus menghirup nafas untuk keluar dari kenangan itu. "Masalah wong Urip iku mung ana loro, Nok. Lambe duwur karo lambe sor."kata-kata Mada yang kembali datang menemuinya. Seandainya saat ini ada Mak Dayem, bentuk iya tak serapuh itu, pikirnya. Safitri sangat membutuhkan orang untuk menguatkan hatinya. Tapi tak ada. Iya harus menguatkan dirinya sendiri. Sepanjang jalan Safitri hanya diam. Hatinya seolah-olah sudah menjadi batu.”(Telembuk, 2017: 226).


401 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi 3. Kekerasan Seksual (Sexual Violence) Sexual violence atau kekerasan seksual dilakukan dengan pemaksaan hubungan seksual melalui ancaman, intimidasi atau paksaan secara fisik, memaksa hubungan seksual yang tidak diinginkan atau memaksa hubungan dengan orang lain (Coomarawamy, 2008:2). Kekerasan seksual dirasakan langsung oleh tokoh utama dalam novel Telembuk yaitu “Safitri” yang dirampas paksa harga dirinya oleh orang yang tidak bertanggung jawab, lantaran kejadian yang terjadi pada malam keparat itu. Kekerasan seksual yang dialami tokoh utama pada novel Telembuk karya Kedung Darma romansha yaitu berupa pemerkosaan, berikut data dan kutipannya. “Aku mencoba mengingat siapa lelaki itu. Tidak bukan dia orangnya. Tidak mungkin. Aku berusaha lari dari kejaran sesosok wajah gelap yang selama ini mengintai ku.Aku tutup wajahku rapat-rapat aku coba mengingat-ingat tapi tak bisa malam itu aku seperti dibius. Dengan gusar aku coba memberontak. Tanganku terus bergerak-gerak dengan berat, berusaha meraih


Imas Juidah, dkk. 402 benda entah apa di kanan-kiriku. Tapi tak bisa dengan cepat tangan si lelaki mulai mencengkram kedua tanganku. Nafas lelaki itu bagai anjing yang lapar. Bau debu basah, keringat, parfum murahan, tahi tikus, menguar di kamar itu. Selangkanganku sakit, tubuhku ngilu, dan nafasku sesak. Aku terus menangis sambil menahan sakit. Pisahan Lamat, dengus nafas yang bacin, air liur membasahi leher dan dadaku yang mungil. Tulang tulang seperti remuk. Ngilu dan dadaku tambah sesak. Tiba-tiba aku teringat hantu genderuwo yang pernah diceritakan ibuku. Apa ini semacam jelmaan genderuwo? Di dalam ketakberdayaan itu, aku teringat wajah kedua orang tuaku.”(Telembuk 2017:370-380). "Benar, suamiku sedang mesra-mesraan dengan seorang gadis seumuran denganku. Bajingan! Setan! Aku marah. Entah marah pada diriku sendiri atau pada suamiku. Aku kalap. Aku lempar botol minuman ke arah suamiku dan perempuan itu. Meja warung berantakan. Satu botol bir mengenai lengan perempuan itu. Satunya lagi entah melesat ke mana. Suamiku marah besar. Dan dengan alasan itu dia menceraikanku. Sangat sepele. Begitu gampang seperti orang meludah. Bajingan! Hidupku tak karuan teringat kejadian itu. Setan!"Mak diam kembali menghentikan ceritanya (Telembuk, 2017: 74).


403 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Plok! Seseorang menapuk pantat perempuan yang tengah duduk di warung remang-remang. "Kirik setan!" umpat perempuan itu, "Bayar, pok!" lanjutnya. Laki-laki itu hanya melengos sambil tertawa kecil (Telembuk, 2017: 38). "Pantas saja uang ku selalu habis, pasti karena Telembuk satu ini! Kirik! Setan! Bangsat kamu!" Diva menjerit campur tangis yang berlebih. Iya lempar sepatu hak tinggi nya kearah perempuan itu. Satu sepatu lolos melewati atas kepala perempuan itu, yang satunya lagi mengenai buah dada sebelah kiri perempuan itu (Telembuk, 2017: 89). Aku masih merasakan sakit di bagian selangkangan. Bau tubuh lelaki itu pun masih melekat ditubuh ku. Rasa ngilu tak juga hilang di kedua tanganku. Lelaki itu meninggalkan goresan di beberapa bagian tubuhku (Telembuk, 2017: 382). Diva menggelayut di pundak Carta dan mencium pipinya. Carta gemas dan terpancing berahinya. Lalu ia remas pantat Diva dengan keras. "Kirik! Sakit goblok! Halus dikit dong A...," ujar Diva manja. "Memangnya kamu suka yang halus halus?" "Ih, Aa ini. Malu ada Bos."


Imas Juidah, dkk. 404 "Aw! Kirik! Sakit setan," teriak Carta, setelah Diva meremas selangkangan Carta. Diva tertawa cekikikan. Begitu juga dengan si Bos (Telembuk, 2017: 84-85). Keseluruhan masalah kekerasan terhadap tokoh perempuan yang terdapat pada novel Telembuk Karya Kedung Darma Romansha yaitu meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikologi, dan kekerasan seksual.


405 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi DAFTAR PUSTAKA Allan, K., Burridge, K. (2006). Forbidden Words: Taboo and the Censoring of Language. New York: Cambridge University Press. Alvestad, S.S. (2014). “Evaluative language in academic discourse: Euphemisms vs. dysphemisms in andrews’ & kalpakli’s the age of beloveds (2005) as a case in point”. Journal of Arabic and Islamic Studies, 155-177. Almufawez, dkk. (2018). “A contrastive study of using euphemism in english and arabic”. Journal of Applied Linguistics and Language Research. Volume 5, Issue 4, 2018, pp. 200-209. ISSN: 2376- 760X. Aminuddin. (2009). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Anderson, L. G., & Trudgill, P. (1992). Bad Language. London: Penguin Books. Aziez, Furqon dan Abdul Hasyim. (2010). Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.


Imas Juidah, dkk. 406 Burridge, K. (2012). “Euphemism and language change: The sixth and seventhages”. Lexis. Journal in English Lexicology (7). Cameron, Deborah. (2001). Gender Language Ideologies: In Janet Holmes & Miriam Meyerhoff (eds.), Handbook of Language and Gender. Oxford: Blackwell. Cots, J. (1992). “Norms of Interaction and Interpretation: An Ethnographic Approach to Discourse in a Catalan University Context”. Syntagma, 61-67. Crystal, David. (1995). The Cambridge Encyclopedia of The English Language. Cambridge: Cambridge University Perss. Depdiknas. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Duranti, A. (1997). Linguistic Anthropology. New York: Cambridge University Press. Endraswara, Suwardi. (2013). Teori Kritik Sastra. Yogyakarta: CAPS. Enright, D. (2014). In other words. London: Michael O’Mara Books Limited.


407 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Fagersten, K. Beers. (2012). Who’s Swearing Now? The Social Aspects of Conversational Swearing. UK: Cambridge Scholars Publishing. Farah, I. (1998). The Ethnography of Communication. (N. Hornberger, & P. Corson, Eds.) Encyclopedia of Language and Education, 125-7. Fasold, Ralph. (1990). Sociolinguitics of Language. Cambridge USA: Basil Blackwell. Fernandez, E.C. (2014). “Euphemism and political discourse in the british regional press”. Brno Studies in English.Volume 40, No. 1. Hal. 5-26. Gumperz, J.J & Hymes, D. (eds.). (1972). Directions in sociolinguistics: the ethnography of communication. New York: Holt, Rinehart and Winston. Habibi, A & Rizky, K. (2018). “Euphemism and gender: The euphemism used by male and female in Minangkabau songs”. Proceeding of the 1st Annual International Conference on Language and Literature, Fakultas Sastra, UISI, Medan. Hepburn, Carol. (2016). “Ethnography of Communication in Praxis in the Literature Classroom”. Journal of Instructional Research, Vol. 5 p50-60, 2016.


Imas Juidah, dkk. 408 (https://eric.ed.gov/?q=Ethnography+of+commu nication+in+praxis&id=EJ1127630). Hobbs, D., & Wright, R. (2006). The Sage Handbook of Fieldwork. London: Sage Publication. Hymes, Dell. (1972). “Models of the Interaction of Language and Social Life”, in J. J. Gumperz and D. Hymes (eds) Directions in Sociolinguistics: The Ethnography of Communication. New York: Holt, Rinehart & Winston. Jackova, M. (2010). Euphemism in today’s English. Tomas Bata University in Zlin Faculty of humanities. Kadir, Nik Hassan Basri Nik Ab. (2003). Teori Bahasa: Implikasinya Terhadap Pengajaran Tatabahasa. Tanjung Malim: Universiti Pendidikan Sultan Idris. Karjalainen, Markus. (2002). Where have all the swearwords gone?. Unpublished Pro Gradu Thesis. Helsinki: University of Helsinki http://www.punch.co.uk. Keraf, Gorys. (2005). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama. Kosasih, E. (2014). Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Nobel Edumedia.


409 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Kurniawati, H. (2011). “Eufemisme dan disfemisme dalam spiegel online”. Litera. Volume 10, Nomor 1. Leech, G. (1981). Semantics: The Study of Meaning. New York: Penguin Books. Leeds- Hurwitz, W. (2005). Ethnography. (U. Ammon, & N. Dittmar, Eds.) Handbook of Language and Social Interaction, 1, 1196-1205. Lévi-Strauss, C., Jacobson, C., & Schoepf, B. G. (1963). Structural anthropology. New York: Basic Books. Linfoot, K. & Ham. (2005). “The linguistics of euphemism: A diachronic study of euphemism formation”. Journal of Language and Linguistics. Vol. 4 No. 2, ISSN 1475 – 8989. McEnery, Tony. (2006). Swearing in English: Bad Language, Purity and Power from 1958 to the Present. USA: Routledge. Minderop, Albertine. (2010). Psikologi Sastra. Karya Sastra, Metode , Teori dan Contoh Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Malo, S.S. & Mohammed, F.O. (2014). “The use of euphemism and dysphemism in bahdeni dialect”. Journal of University of Duhok. Vol. 17, No.1. 1- 14.


Imas Juidah, dkk. 410 Montagu, A. (2001). The Anatomy of Swearing. Philadelphia: University of Pennsylvania. Nurgiyantoro, Burhan. (2013). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada. Omar, Asmah Haji. (2004). Setia dan Santun Bahasa. Tanjung Malim: Universiti Pendidikan Sultan Idris. Pinker, S. (2008). The Stuff of Thought: Language as a Window into Human Nature. New York: Penguin Books. Philipsen, G., & Coutu, L. (2005). The Ethnography of Speaking. (K. Fitch, & R. Sanders, Eds.) Handbook of Language and Social Interaction, 355-381. Priyatni, Endah Tri. (2010). Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: Bumi Aksara. Ratna, Nyoman Kutha. (2011). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. (2011). Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Romansha, Kedung Darma. (2014). Kelir Slindet. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


411 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Romansha, Kedung Darma. (2017). Telembuk: Dangdut dan Kisat Cinta yang Keparat. Yogyakarta: Indie Book Corner. Rosidi, Ajip. (1976). Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta. Rokhmansyah, Alfian. (2014). Studi dan Pengkajian sastra: Perkenalan Awal terhadap Ilmu Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu. Rothwell, J. Dan. (1973). “Verbal Obscenity Time for Second Thought”, dalam Liedlich, editor. Coming to Term with Language. USA: John Wiley and Sons, Inc. Sagaji, Rokade Malik. (2018). “Ethnography of Communication”. UGC Journal, Vol. 5/Issue: 12, June 2018. Saville- Troike, M. (2003). The Ethnography of Communication: An Introduction. Oxford: Blackwell Publishing. Sayuti, Suminto A. (2017). Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Cantrik Pustaka. Schiffrin, D. (1994). Approaches to Discourse: The Ethnography of Communication. Blackwell Publishing.


Imas Juidah, dkk. 412 Shaari, Rahman. (1993). Memahami Gaya Bahasa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Siswanto, Wahyudi. (2008). Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. Stanton, Robert. (2012). Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Stephens, R., Atkins, J., & Kingston, A. (2009). Swearing as a Response to Pain. NeuroReport, 20(12), 1056- 1060. Sumardjo dan Saini. (1988). Apresiasi Kesusatraan. Jakarta: Gramedia. Sumardjo, Jakob. (1981). Segi Sosiologis Novel Indonesia. Bandung: Pustaka Prima. Tarigan, Henry Guntur. (2011). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Teeuw. A. (1980). Sastra Baru Indonesia. Flores: Nusa Indah. Toyidin. (2012). Sastra Indonesia Puisi, Prosa, Drama. Subang: Pustaka Bintang. Wellek, Rene dan Austin Warren. (1995). Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia. Wijana, K., & M. Rohmadi. (2013). Semantik: Teori dan Analisis. Surakarta: Yusma Putaka.


413 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Zaidan, Abdul Rozak. Dkk. (2007). Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.


Imas Juidah, dkk. 414 RIWAYAT HIDUP Imas Juidah, lahir di Indramayu pada 5 Februari 1989. Ia sekarang tinggal di Desa Tegalgirang blok Girang RT 09 RW 04 Kecamatan Bangodua Kabupaten Indramayu. Ia merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dilahirkan oleh pasangan Ibu Juju Juariah dan Bapak Kamid. Ia mengawali pendidikannya di SD Karanggetas II pada 1995-2001. Ia melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 2 Widasari pada 2001- 2004. Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikannya di SMK Negeri 1 Indramayu pada 2004-2007. Pada 2008 ia melanjutkan Pendidikan di Universitas wiralodra Indramayu mengambil Program Studi Pendidikan


415 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Bahasa dan Sastra Indonesia dan lulus menjadi Sarjana Pendidikan (S.Pd.) pada 2012. Pada tahun yang sama, ia menjadi dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sembari melanjutkan Pendidikan S2 di Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon dengan mengambil Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Tepat dua tahun kemudian, ia berhasil menyelesaikan pendidikannya dan meraih gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada 2014. Sekarang ia sedang menempuh pendidikan S3 di Universitas Sebelas Maret.


Imas Juidah, dkk. 416 RIWAYAT HIDUP


417 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi RIWAYAT HIDUP


Imas Juidah, dkk. 418 RIWAYAT HIDUP


419 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi


Click to View FlipBook Version