The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

E-book ini merupakan buku untuk mata kuliah Apresiasi Prosa Fiksi

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by imas.juidah, 2023-05-04 19:46:03

Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

E-book ini merupakan buku untuk mata kuliah Apresiasi Prosa Fiksi

Keywords: apresiasi prosa fiksi,apresiasi,prosa,fiksi,sastra

35 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi C. Kaidah Plot Menurut Kenny dalam Nurgiyantoro (2013: 188), mengemukakan bahwa kaidah-kaidah pemplotan yaitu plausibilitas (plausibility), kejutan (surprise), rasa ingin tahu (suspense), kesatupaduan (unity). 1. Plausibilitas (plausibility) Plausibilitas menunjuk pada pengertian suatu hal yang dapat dipercaya sesuai dengan logika cerita. Plausibilitas mungkin dikaitkan dengan realitas kehidupan, sesuatu yang ada dan terjadi di dunia nyata. Jadi, sebuah cerita yang mencerminkan realitas kehidupan sesuai atau tidak bertentangan dengan sifatsifat dalam kehidupan faktual atau dapat diterima secara akal dan tentu saja dengan menggunakan kriteria realitas. Stanton dalam Nurgiyantoro (2013: 189), juga mengemukakan sebuah cerita dikatakan memiliki sifat plausible jika tokoh-tokoh cerita dan dunianya dapat


Imas Juidah, dkk. 36 diimajinasi dan jika para tokoh serta dunianya tersebut serta peristiwa-peristiwa yang dikemukakan mungkin saja dapat terjadi. 2. Rasa Ingin Tahu (Suspense) Sebuah cerita yang baik pasti memiliki kadar suspense yang tinggi dan terjaga. Atau lebih tepatnya, mampu membangkitkan suspense, membangkitkan rasa ingin tahu di hati pembaca. Suspense menunjuk pada adanya perasaan semacam kurang pasti terhadap peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, khususnya yang menimpa tokoh yang diberi simpati oleh pembaca (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2013: 193). Atau, menunjuk pada adanya harapan yang belum pasti pada pasti pembaca terhadap akhir sebuah cerita (Kenny dalam Nurgiyantoro, 2013: 193). Istilah di dalam suspense ada juga yang dinamakan foreshadowing, jika suspense dipandang mampu memotivasi, menarik, dan mengikat pembaca, ia haruslah dijaga terus menerus “keberadaannya” dalam sebuah cerita.


37 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi 3. Kejutan (surprise); Plot sebuah cerita yang menarik, di samping mampu membangkitkan suspense, rasa ingin tahu pembaca, juga mampu memberikan surprise, kejutan, sesuatu yang bersifat mengejutkan. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2013: 195), plot sebuah cerita fiksi dikatakan memberikan kejutan jika sesuatu yang dikisahkan atau kejadian-kejadian yang ditampilkan menyimpang atau bahkan bertentangan dengan harapan kita sebagai pembaca. 4. Kepaduan (unity) Plot sebuah karya fiksi selain mengandung palusibilitas, suspense, dan surprise haruslah dituntut memiliki sebuah kesatupaduan atau keutuhan (unity). Kesatupaduan menunjuk pada pengertian bahwa berbagai unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwaperistiwa dan konflik, serta seluruh pengalaman kehidupan yang hendak dikomunikasikan, memiliki keterkaitan satu dengan yang lain.


Imas Juidah, dkk. 38 D. Jenis Plot Plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis yang berbeda berdasarkan sudut-sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula. Jenis plot menurut Nurgiyantoro (2013: 153-163) dapat dikategorikan berdasarkan kriteria urutan waktu, jumlah, kepadatan, dan isi. 1. Plot Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu Nurgiyantoro (2013: 213-215), membedakan alur berdasarkan urutan waktu menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut. a. Plot Lurus, Maju, atau Progresif Plot lurus, maju, atau progresif merupakan alurnya peristiwa-peristiwa yang dikisahkan yang bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh peristiwa-peristiwa kemudian. Cerita ini diuraiakan secara urut dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik


39 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian). Apabila diwujudkan dalam bentuk skema, sebagai berikut: A-----B-----C-----D-----E b. Plot Sorot Balik, Mundur, atau Flash-back Plot sorot balik, mundur, atau Flash-back tidak memulai cerita dari tahap awal, melainkan dari tahap tengah atau bahkan dari tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Plot ini langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik, padahal pembaca belum mengetahui permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik. Plot yang menghadapkan langsung pembaca pada adegan-adegan konflik yang telah meninggi, langsung menerjunkan pembaca ke tengah pusaran pertentangan, disebut plot in medias res. Apabila diwujudkan dengan sekma, sebagai berikut: D1-----A-----B-----C-----D2-----E c. Plot Campuran Plot campuran merupakan gabungan dari plot maju dan plot mundur. Pengkategorian plot sebuah novel lebih didasarkan pada plot yang menonjol. Oleh karena


Imas Juidah, dkk. 40 itu, dalam plot ini cerita diuraikan secara progresif namun di dalamnya terdapat adegan sorot balik atau plot mundur. Alur atau plot merupakan salah satu unsur yang terpenting di dalam sebuah novel. Cerita yang menarik tentu berawal dari alur atau jalan cerita yang menarik pula. Di dalam alur terdapat beberapa peristiwaperistiwa yang mampu menarik minat pembaca terhadap novel tersebut. 2. Plot Berdasarkan Kriteria Jumlah Nurgiyantoro (2013: 2017), mengemukakan bahwa berdasarkan kriteria jumlah membagi menjadi dua karya fiksi berplot tunggal dan plot paralel atau subsubplot. Adapun penjelasannya sebagai berikut: a. Plot tunggal. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya hanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis yang sebagai pahlawan (hero). Plot tunggal digunakan jika pengarang ingin memfokuskan “dominasi” seorang tokoh tertentu


41 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi sebagai pahlawan (hero), atau permasalahan tertentu yang ditokohutamai seorang tertentu pula. b. Plot paralel atau plot sub-subplot. Sebuah karya fiksi yang memiliki lebih dari satu baik tokoh, alur cerita, permasalahan dan konflik yang dihadapinya. Struktur plot tersebut memiliki plot utama (main plot) dan plot-plot tambahan (sub-subplot). 3. Plot Berdasarkan Kriteria Kepadatan Nurgiyantoro (2013: 219-220), mengemukakan bahwa kriteria kepadatan dimaksudkan sebagai padat atau tidaknya pengembangan dan perkembangan cerita pada sebuah karya fiksi. a. Plot Padat Plot padat merupakan plot yang disajikan secara cepat, peristiwa fungsional terjadi susu-menyusul dengan cepat, hubungan antar peristiwa juga terjalin secara erat.


Imas Juidah, dkk. 42 b. Plot Longgar. Plot longgat merupakan plot yang pergantian peristiwa demi peristiwa penting (fungsional) berlangsung lambat di samping hubungan antarperistiwa tersebut juga tidaklah begitu erat benar. Bahkan, antar peristiwa penting yang satu dengan yang lain sering disisipi oleh berbagai peristiwa tambahan, atau berbagai pelukisan tertentu seperti penyituasian latar dan suasana, yang kesemuanya itu dapat memperlambat ketegangan cerita. Dalam kaitan ini pengarang sengaja memanfaatkan apa yang disebut digresi. Menurut Hartoko dan Rahmanto dalam Nurgiyantoro (2013: 220), digresi adalah penyimpangan dari tema pokok sekedar untuk mempercantik cerita dengan unsur-unsur yang tidak langsung berkaitan dengan tema. 4. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Isi Friedman dalam Nurgiyantoro (2013: 222-223), membedakan plot berdasarkan kriteria isi adalah


43 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi a. Plot peruntungan (plot of fortune) berhubungan dengan cerita yang mengungkapkan nasib atau peruntungan yang menimpa tokoh (utama) cerita pada sebuah cerita fiksi. Plot peruntungan dibedakan menjadi: plot gerak, plot sedih, plot tragis, plot penghukuman, plot sentimental, dan plot kekaguman. b. Plot tokohan menunjuk pada adanya sifat pementingan tokoh, ada tokoh, yang menjadi fokus perhatian. Plot tokohan dibedakan menjadi plot pendewasaan, plot pembentukan, plot pengujian, dan plot kemunduran. c. Plot pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan, berbagai macam obsesi dan lain lain yang menjadi masalah hidup dan kehidupan manusia. Dibedakan menjadi plot pendidikan, plot pembukaan rahasia, plot afektif, dan plot kekecewaan.


Imas Juidah, dkk. 44 A. Hakikat Tokoh dan Penokohan Tokoh dan Penokohan Istilah penokohan dan tokoh, perwatakan dan watak atau karakterisasi dan karakter merupakan isitilah-istilah dalam pembicaraan karya fiksi. Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, atau si pelaku cerita. Watak dan perwatakan serta karakater atau juga disebut penokohan menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh dalam sebuah cerita seperti yang ditafsirkan oleh pembaca. Nurgiyantoro (2013: 247), tokoh adalah orang yang ditampilkan dalam sebuah cerita, sedangkan BAB 4


45 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi penokohan adalah pelukisan atau gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Hal sama juga diungkapkan Kosasih (2014: 67), penokohan adalah cara pengarang mengggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh cerita. Dalam menganalisis sebuah tokoh dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu dimensi fisologis, dimensi psikologis, dan dimensi sosial. Dimensi fisiologis dapat dilihat dari bagaimana pengarang menggambarkan fisik tokoh. Dimensi psikologis dapat dilihat dari bagaimana tokoh dalam menghadapi dan memecahkan masalah. Dimensi sosial dapat dilihat dari bagaimana hubungan tokoh dengan tokoh yang lain. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2013: 247), mengemukakan bahwa tokoh cerita adalah orangorang yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan


Imas Juidah, dkk. 46 dalam tindakan. Istilah penokohan lebih luas pengertiannya dari pada tokoh dan perwatakan. Kewajaran. Fiksi adalah suatu bentuk karya kreatif, maka bagaimana pengarang mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak lepas dari kebebasan kreativitasnya. Walau tokoh cerita ‘hanya’ merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2013: 248-249). Kesepertihidupan. Masalah kewajaran tokoh cerita sering dikaitkan dengan kenyataan kehidupan manusia sehari-hari. Tokoh cerita hendaknya bersifat alami, memiliki sifat lifelikeness, ‘kesepertihidupan’, paling tidak itulah harapan dari pembaca. Usaha memahami atau menilai tokoh cerita hanya mendasarkan diri pada kriteria kesepertihidupan saja tidak cukup atau bahkan tidak tepat. Realitas kehidupan


47 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi manusia memang perlu dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kehidupan tokoh cerita (Nurgiyantoro, 2013: 250-251). Nurgiyantoro (2013: 258-260), membedakan tokoh cerita dalam sebuah karya fiksi ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan Dilihat dari segi peranan dan tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utama adalah B. Jenis Tokoh


Imas Juidah, dkk. 48 tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terusmenerus sehingga mendominasi sebagian besar cerita, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh-tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita. 2. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis Dilihat dari fungsi penampilan tokoh tokoh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita. Sebuah fiksi harus mengandung konflik, ketegangan, khususnya konflik dan ketegangan yang dialami tokoh protagonis. Tokoh penyebab terjadinya konflik disebut tokoh antagonis. 3. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat Dilihat dari perwatakannya tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana dan tokoh kompleks atau tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi dan satu


49 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi sifat atau watak tertentu saja, sedangkan tokoh kompleks atau bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai sisi kehidupannya, sisi kepribadiannya, dan jati dirinya. 4. Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang Dilihat dari berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot yang dikisahkan. 5. Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral Berdasarkan kemunginan pencerminan tokoh cerita terhadap (sekelompok) manusia dari kehidupan nyata, cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, atau penunjukan terhadap orang, atau


Imas Juidah, dkk. 50 C. Cara Pelukisan Tokoh sekelompok orang yang terikat dalam sebuah lembaga, atau seorang invidu sebagai bagian dari suatu lembaga, yang ada di dunia nyata. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri, tokoh imajinatif yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi, tokoh itu hadir (atau dihadirkan) sematamata demi cinta, atau bahkan dialah sebenarnya yang empunya cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan. Dalam memahami watak pelaku atau tokoh, Aminuddin (2013: 80), mengatakan ada beberapa cara bagi pembaca untuk menelusurinya misalnya sebagai berikut. 1. lewat tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya;


51 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi 2. gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun cara berpakaian; 3. menunjukan bagaimana perilakunya; 4. melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri; 5. memahami bagaimana jalan pikirannya; 6. melihat tokoh lain berbicara tentangnya; 7. melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya; melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberikan reaksi terhadapnya; 8. melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya. Nurgiyantoro (2013: 278-301), menjelaskan teknik pelukisan tokoh dibagi menjadi dua yaitu teknik ekspositori dan teknik dramatik. 1. Teknik Ekspositori Teknik ekspositori disebut juga sebagai teknik analitis, pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh


Imas Juidah, dkk. 52 pengarang kehadapan pembaca dengan cara tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya, yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan ciri fisiknya. 2. Teknik Dramatik Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik, artinya mirip dengan yang ditampilkan pada drama, yaitu dilakukan secara tidak langsung. Pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku para tokoh. Lebih lanjut, Nurgiyantoro (2013: 285-300), membagi dan menjelaskan wujud penggambaran teknik dramatik sebagai berikut. a. Teknik Cakapan Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk mengembangkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. b. Teknik Tingkah Laku Jika teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjukkan tingkah laku verbal yang berwujud kata-


53 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi kata dan atau dialog para tokoh, teknik tingkah laku menunjuk pada tindakan verbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak dapat dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan perwatakannya. c. Teknik Pikiran dan Perasaan Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang (sering) dipikir dan dirasakan oleh seorang tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat jati dirinya juga. d. Teknis Arus Kesadaran Teknik arus kesadaran berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tidak dapat dibedakan secara pilah, bahkan mungkin dianggap sama karena memang sama-sama menggambarkan tingkah laku batin seorang tokoh.


Imas Juidah, dkk. 54 e. Teknik Reaksi Tokoh Teknis reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap -tingkah-laku orang lain, dan sebagainya yang berupa rangasang dari luar diri koh yang bersangkutan. f. Teknik Reaksi Tokoh Lain Reaksi tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Pendek kata, reaksi tokoh lain merupakan penilaian kedirian tokoh (utama) cerita oleh tokoh-tokoh cerita yang lain dalam sebuah karya. g. Teknik Pelukisan Latar Suasana latar atau dalam hal ini tempat sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan jati dirinya. Pelukisan suasana latar dan dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain.


55 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi h. Teknik Pelukisan Fisik Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu. Misalnya bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis dan bawel, rambut lurus menyaran pada sifat tidak mau mengalah.


Imas Juidah, dkk. 56 A. Hakikat Latar Pelataran Latar atau setting meliputi tempat, waktu, dan budaya yang digunakan dalam suatu cerita (Kosasih, 2014: 67). Menurut Stanton (2012: 35), latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwaperistiwa yang sedang berlangsung. Menurut Abrams dalam Stanton (2012: 216), latar atau setting disebut juga sebagai tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang akan diceritakan. BAB 5


57 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Menurut Nurgiyantoro (2013: 302), latar adalah landas tumpu yang menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita yang secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realitas kepada pembaca. Latar menurut Nurgiyantoro (2013: 227-230), ada tiga macam, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat adalah latar yang menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu adalah latar yang berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Jadi dapat disimpulkan bahwa latar adalah tempat, waktu, setting dan hubungan lingkungan sekitar


Imas Juidah, dkk. 58 B. Unsur Latar dengan terjadinya sebuah cerita yang konkret dan jelas serta memberikan kesan realitas kepada pembaca. Unsur latar dapat dibedakan ke tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan dan saling memengaruhi satu sama lain. 1. Latar Tempat Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristowa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. 2. Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut


59 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi C. Tipe Latar biasanyadihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. 3. Latar Sosial Latar sosial budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah lingkup yang cukup kompleks, berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual. Latar suatu fiksi biasanya dibedakan menjadi dua tipe, yaitu latar netral dan latar tipikal. Latar netral


Imas Juidah, dkk. 60 D. Fungsi Latar merupakan latar yang menunjukan sifat umum pada latar itu sendiri, tidak memiliki dan tidak mendeskripsikan sifat khusus tertentu yang menonjol yang terdapat dalam sebuah latar. Sifat yang ditunjukkan latar netral lebih merupakan sifat umum terhadap hal yang sejenis, misalnya desa, kota, hutan, pasar, yang dapat berlaku dimana saja. Latar tipikal di pihak lain, adalah unsur latar yang memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu baik yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial. Jika membaca Telembuk misalnya, kita akan merasakan dominannya lingkungan sosial yang digambarkan, yaitu lingkungan sosial masyarakat Cikedung-Indramayu. Ada beberapa fungsi yang dapat ditempati oleh latar dalam fiksi, yaitu latar sebagai metafora, latar sebagai atmosfer, dan latar sebagai pengedepanan.


61 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi 1. Latar sebagai Metaforik Istilah metafora menunjuk pada suatu pembandingan yang mungkin berupa sifat, keadaan, suasana, ataupun sesuatu yang lain. Novel sebagai sebuah karya kreatif tentu saja karya bentuk-bentuk ungkapan metafora, khususnya sebagai sarana pendayagunaan unsur stile, sesuai dengan budaya bangsa yang bersangkutan. 2. Latar sebagai Atmosfer Istilah atmosfer mengingatkan kita lapisan udara tempat kehidupan dunia berlangsung. Atmosfer dalam cerita merupakan udara yang dihirup pembaca sewaktu memasuki dunia rekaan. Atmosfer berupa deskripsi kondisi latar yang mampu menciptakan suasana tertentu, misalnya suasana ceria, romantik, sedih, muram, maut, misteri dan sebagainya. 3. Latar sebagai Pengedepanan Pengedapanan elemen latar dalam fiksi dapat berupa penonjolan waktu dan dapat pula berupa penonjolan tempat saja. Dalam banyak fiksi, waktu


Imas Juidah, dkk. 62 terjadinya peristiwa atau tindakan tertentu adalah sangat penting. Seperti dalam tokoh “Bawuk” dalam Bawuk, dan “Karman” dalam Kubah adalah tokoh-tokoh yang kehidupannya begitu terpengaruh oleh latar G30S/PKI.


63 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi A. Hakikat Sudut Pandang Penyudutpandangan Sudut pandang, point of view, viewpoint, merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh Stanton digolongkan sebagai sarana cerita, literaty device. Walau demikian, tidak berarti bahwa peran sudut pandang dalam fiksi tidak penting. Sudut pandang haruslah diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilihan sudut pandang akan berpengaruh terhadap penyajian cerita. Reaksi afektif pembaca terhadap sebuah karya fiksi pun dalam banyak hal akan dipengaruhi oleh bentuk sudut pandang. Abrams dalam Nurgiyantoro (2013: 338), mengatakan bahwa sudut BAB 6


Imas Juidah, dkk. 64 B. Jenis Sudut Pandang pandang, point of view, menunjuk pada pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi, memang milik pengarang, pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam karya fiksi disalurkan melalui sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh cerita. Umumnya, sudut pandang dikelompokkan menjadi tiga jenis berdasarkan persona tokoh cerita, yaitu, persona pertama, ketiga dan campuran.


65 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi 1. Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku” Menurut Nurgiyantoro (2013: 352), menjelaskan bahwa sudut pandang persona pertama, first-person point of view, “aku”, narator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. “Aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self consciousness, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. b. “Aku” Tokoh Utama Sudut pandang “aku” tokoh utama ini mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. “Aku” menjadi fokus, pusat kesadaran, pusat cerita. Tokoh “aku” menjadi tokoh utama ini, firstperson central, memiliki kebebasan untuk memilih masalah-masalah yang akan diceritakan, tokoh ini biasanya menjadi tokoh protagonis memungkinkan


Imas Juidah, dkk. 66 pembaca menjadi benar-benar terlibat dan mendapat empati penuh dari pembaca itu sendiri. b. “Aku” Tokoh Tambahan Dalam sudut pandang ini tokoh “aku” muncul sebagai tokoh tambahan hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedang tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian “dibiarkan’ untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Adapun contoh “Aku” Tokoh Tambahan dikutip dari sebuah novel sebagai berikut. Aku sandarkan kepalaku pada tugu Jono. Aku pandang tamasya di sekitar bukit lewat lindungan sejuk Ray Ban. Pribadi Jono akulah yang paling kenal. Rumahnya dekat rumahku. Sejak SMP hingga SMA duduk sebangku atau berdampingan. Pasukan kami sama. Angin sejuk dan lembut: hawa panas dan kering. Aku nyalakan sebatang “Wembley” lagi dan Jono berkata dalam makamnya:…………. (“Senyum” dalam Hujan Kepagian, 1966: 12) .


67 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi 2. Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia” Sudut pandang persona ketiga “dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia mereka. Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. a. “Dia” Mahatahu Nurgiyantoro (2013: 348), menjelaskan bahwa “Dia” mahatahu merupakan pihak pengarang, narator, dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”. Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun pengarang, narator, dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya, bahkan ia mampu berpindah-pindah dari tokoh “dia” yang satu ke


Imas Juidah, dkk. 68 “dia” yang lain. Adapun contoh sudut pandang “Dia” mahatahu dikutip dari sebuah novel sebagai berikut. Dia melihat betapa Maria sekuat tenaga menjaga dirinya jangan menangis terisak-isak karena ada ibunya, dan karena ibunya telah mengatakan padanya, bahwa semua ini akan terjadi, dan Maria mengatakan pada ibunya dia akan kuat menahanya. Apa yang dilakukan Maria kini? tanya Sadeli pada dirinya sendiri. Dan Sadeli tak tahu, bahwa saat itu Maria sedang terbaring di tempat tidurnya, air mata mengalir membasahi pipinya, membasahi bantalnya, dan dia mencoba menghidupkan kembali dalam ingatannya, dalam seluruh badannya apa yang pernah terjadi di tempat tidur antara dia dengan Sadeli (Maut dan Cinta, 1977: 245-246). b. “Dia” Terbatas, “Dia” sebagai Pengamat. Stanton dalam Nurgiyantoro (2013: 350), mengemukakan bahwa sudut pandang “dia” terbatas, seperti halnya dalam “dia” mahatahu, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja. Adapun contoh “Dia” Terbatas,


69 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi “Dia” sebagai Pengamat dikutip dari sebuah novel sebagai berikut. Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah payah mencabut sebatang singkong. Namun ketiganya masih masih terlampau lemah untuk mengalahkan cengkeraman akar ketela yang terpendam dalam tanah kapur. Kering dan membatu. Mereka terengah-engah, namun batang singkong itu tetap tegak di tengahnya. Ketiganya hampir berputus asa seandainya salah seorang anak di antara mereka tidak menemukan akal. “Cari sebatang cungkil”, kata Rasus kepada dua temannya, “tanpa cungkil mustahil kita dapat mencabut singkong sialan ini” (Ronggeng Dukuh Paruk, 1986: 7-8). 3. Sudut Pandang Campuran Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang dituliskannya. Sudut pandang campuran dalam sebuah novel, mungkin berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia” mahatahu dan “dia” sebagai pengamat,


Imas Juidah, dkk. 70 C. Pentingnya Sudut Pandang persona pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi. Pemilihan sudut pandang menjadi penting karena hal itu tidak hanya berhubungan dengan masalah gaya saja, walau tidak dapat disangkal bahwa pemilihan bentuk-bentuk gramatika dan retorika juga penting dan berpengaruh. Sudut pandang memunyai hubungan psikologis dengan pembaca. Pembaca membutuhkan persepsi yang jelas tentang sudut pandang cerita. Pemahaman pemahaman pembaca terhadap sebuah novel akan dipengaruhi oleh kejelasan sudut pandangnya. Menurut Stevick dalam Nurgiyantoro (2013: 340), pemahaman pembaca pada sudut pandang akan menentukan


71 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi seberapa jauh persepsi dan penghayatan, bahkan juga penilaiannya terhadap novel bersangkutan.


Imas Juidah, dkk. 72 A. Hakikat Tema Tema Menurut Stanton (2012: 41), tema adalah makna sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Kemudian Nurgiyantoro (2013: 114), juga menjelaskan tema adalah gagasan dasar secara umum menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motifmotif dan biasanya dilakukan secara implisit (terkandung di dalam teks). Sedangkan menurut Kosasih (2014: 60), tema adalah gagasan yang menjalin struktur isi cerita. BAB 7


73 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia: sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat adanya banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua (Stanton, 2012: 36-37). Untuk menemukan sebuah tema karya fiksi, pembaca harus memahami kandungan dan isi cerita. Tema dari novel biasanya mengambil dari masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, baik pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.


Imas Juidah, dkk. 74 B. Jenis Tema Tema dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis bergantung dari segi mana penjenisan itu dilakukan. Penjenisan tema berikut ini dilakukan berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu penggolongan dikotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional, penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dan penggolongan dari tingkat keutamaannya. 1. Tema Tradisional dan Nontradisional Menurut Nurgiyantoro (2013: 125-126), tema yang berdasarkan kebiasaan jalan cerita dari tema tersebut terbagi menjadi dua bagian: pertama tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema hanya “itu-itu” saja, dalam arti tema itu telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan diberbagai cerita, termasuk cerita lama. Kedua tema non-tradisional mengangkat sesuatu yang tidak lazim, mungkin tidak


75 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi sesuai dengan harapan pembaca, menjadi melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif yang lain. 2. Tingkatan tema menurut Shipley Dalam Dictionary of World Literature, Shipley dalam Nurgiyantoro (2013: 130), mengartikan tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan dalam cerita. Kemudian juga Shipley dalam Nurgiyantoro (2013: 130-132), membedakan tema-tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan semuanya ada lima tingkatan berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa yang disusun dari tingkatan yang paling sederhana, tingkatan tumbuhan dan mahkluk hidup ke tingkat yang paling tinggi dicapai oleh manusia. Tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut. a. Tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) molekul, man as molecule. b. Tema tingkat organik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) protoplasma, man a protoplasm.


Imas Juidah, dkk. 76 c. Tema tingkat sosial, manusia sebagai mahkluk sosial, man as socius. d. Tema tingkat egois, manusia sebagai individu, man as individualism. e. Tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya. 3. Tema Utama dan Tema Tambahan Menurut Nurgiyantoro (2013: 133), berdasarkan tema yang mendasari jalannya cerita terbagi menjadi dua yaitu tema utama (pokok) atau tema mayor merupakan makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Tema tambahan atau tema minor merupakan makna-makna tambahan bersifat mempertegas eksistensi makna utama atau tema mayor.


77 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi C. Fungsi Tema Fungsi tema menurut Sayuti (2017: 203) yaitu sebagai berikut. Pertama, memberi kontribusi bagi elemen struktural lain seperti plot, tokoh, dan latar. Kedua, menjadi elemen penyatu terakhir bagi keseluruhan fiksi. Artinya, pengarang menciptaka n dan membentuk plot, membawa tokohnya menjadi ada, baik secara sadar maupun tidak, eksplisit maupun implisit, pada dasarnya merupakan perilaku responsif terhadap tema yang telah dipilih dan telah mengarahkannya. Ketiga, tema berfungsi melayani visi. Artinya, responsi total sang pengarang terhadap pengalaman dan hubungan totalnya dengan jagat raya.


Imas Juidah, dkk. 78 D. Penafsiran Tema Dalam menafsirkan sebuah tema tentu pembaca tidaklah mudah untuk menemukan apa tema yang terkandung dalam sebuah cerita atau karya sastra itu sendiri, karena tema memiliki sifat ekspilisit atau tersembunyi. Menurut Nurgiyantoro (2013: 136-137), ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menafsirkan tema sebagai berikut. 1. Memahami cerita itu sendiri. 2. Memahami dan mencari kejelasan ide-ide perwatakan. 3. Memahami peristiwa-peristiwa konflik. 4. Memahami latar. 5. Memahami tokoh. Stanton (2012: 44-45), mengemukakan dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel,


79 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi secara lebih khusus dan rinci, adapun kriterianya sebagai brikut. 1. Penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detail cerita yang menonjol. 2. Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detail cerita. 3. Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam novel yang bersangkutan. 4. Penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan dalam cerita.


Imas Juidah, dkk. 80 A. Formalisme Rusia Teori-teori Sastra Mutakhir Teori formalisme muncul berkembang di Rusia dan dibawa oleh kelompok Formalisme Rusia. Teori formalisme muncul sebagai akibat penolakan pada paradigma positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas dan sebagai reaksi terhadap studi biografi. Pada umumnya, Formalisme Rusia dianggap sebagai pelopor bagi tumbuh dan berkembangnya teori-teori strukturalisme. Formalisme adalah salah satu mazhab dalam teori sastra modern. Kelahiran mazhab ini dirintis oleh sejumlah ahli linguitik BAB 8


81 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi dan ahli sastra di Rusia. Kaum formalis cenderung untuk mengkaji teks secara formal, yaitu dalam kaitannya dengan struktur bahasa (Rokhmansyah, 2014: 63). Kaum formalis berupaya mengkaji karya sastra genre fiksi dan mencoba memadukan unsur-unsur yang membentuk karya sastra ke dalam suatu sistem yang padu dan menyeluruh (Rokhmansyah, 2014: 64). Lebih lanjut menurut Jefferson dalam Rokhmansyah (2014: 65) bahwa pengkajian sastra kaum formalis berdasar pada perbedaan antara peristiwa di satu pihak dengan penciptaan di pihak lain, yaitu antara fabula dengan sjuzet. Fabula merupakan bahan dasar yang berupa jalan cerita menurut kronologi peristiwa, sedangkan sjuzet merupakan sarana untuk menjadikan jalan cerita menjadi ganjil dan aneh. Perbedaan antara “cerita” dengan “alur” diberi tempat yang penting dalam teori naratif kaum formalis Rusia. Mereka menekankan bahwa hanya “alur” (sjuzet) yang sungguh-sungguh bersifat kesastraan, sedangkan “cerita” (fabula) hanya sebagai bahan mentah yang


Imas Juidah, dkk. 82 menunggu pengolahan dari tangan pengarang. Sjuzet bukan hanya susunan peristiwa-peristiwa cerita, melainkan juga semua sarana yang digunakan untuk menyela dan menunda penceritaan, serta yang ditujukan untuk menarik perhatian pembaca terhadap bentuk prosa tersebut. Penyusunan sjuzet didasarkan pada gagasan defamiliarisasi yang mencegah pembaca dari cara memandang peristiwa-peristiwa sebagai hal yang khas dan sudah lazim (Selden dalam Rokhmansyah, 2014: 65). Menurut Rokhmansyah (2014 : 66-68) secara lebih rinci, pokok gagasan, istilah dan dalil utama formalisme terhadap karya sastra adalah sebagai berikut. 1. Defamiliarisasi dan Deotomatisasi Menurut kaum formalis, sifat kesastraan munculsebagai akibat penyusunan dan penggubahan bahan yang semula bersifat netral. Para pengarang menyulap teks-teks dengan efek mengasingkan dan melepaskannya dari otomatisasi. Proses penyulapan oleh pengarang ini disebut defamiliarisasi,


83 Pengantar Apresiasi Prosa Fiksi yakni teknik membuat teks menjadi aneh dan asing. Istilah defamiliarisasi dikemukakan oleh Skhlovsky untuk menyebut teknik bercerita dengan gaya bahasa yang menonjol dan menyimpang dari biasanya. Dalam proses penikmatan atau pencerapan pembaca, efek deotomatisasi dirasakan sebagai sesuatu yang aneh atau defamiliar. Proses defamiliarisasi itu mengubah tanggapan kita terhadap dunia. Dengan teknik penyingkapan rahasia, pembaca dapat meneliti dan memahami sarana-sarana (bahasa) yang dipergunakan pengarang. Teknik-teknik itu misalnya menunda, menyisipi, memperlambat, memperpanjang, atau mengulur-ulur suatu kisah sehingga menarik perhatian karena tidak dapat ditanggapi secara otomatis. 2. Teori Naratif Dengan menerima konsep struktur, kaum formalis Rusia memperkenalkan dikotomi baru antara struktur (yang terorganisasi) dengan bahan material (yang tak terorganisir), menggantikan dikotomi


Imas Juidah, dkk. 84 lama antara bentuk dan isi. Jadi struktur sebuah teks sastra mencakup baik aspek formal maupun semantik. Kaum formalis Rusia memberikan perhatian khusus terhadap teori naratif. Untuk kepentingan analisis teks naratif, mereka menekankan perbedaan antara cerita, alur, dan motif Menurut mereka, yang sungguh-sungguh bersifat kesusastraan adalah alur, sedangkan cerita hanyalah bahan mentah yang masih membutuhkan pengolahan pengarang. Motif merupakan kesatuan terkecil dalam peristiwa yang diceritakan. Alur adalah penyusunan artistik motif-motif sebagai akibat penerapan penyulapan terhadap cerita. Alur bukan hanya sekedar susunan peristiwa melainkan juga sarana yang dipergunakan pengarang untuk menyela dan menunda penceritaan. Digresi-digresi, permainan-permainan tipograifs, pemindahan bagian-bagian teks serta deskripsideskripsi yang diperluas merupakan sarana yang ditujukan untuk menarik dan mengaktifkan perhatian


Click to View FlipBook Version