The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

20181129101319__F__KMS_BOOK_20180723025129

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Buku Digital, 2023-05-31 13:07:23

20181129101319__F__KMS_BOOK_20180723025129

20181129101319__F__KMS_BOOK_20180723025129

yaitu komponen utama, lingkungan, dan kelembagaan. Komponen utama meliputi sistem aktivitas/kegiatan atau sistem demand (penduduk dan segenap kegiatannya serta ruang, darat, laut, dan udara, dan beragam penggunaannya) dan sarana pelayanan sosial dan ekonomi. Komponen lingkungan terdiri atas sistem lingkungan atau sistem environment, fisik - sosial - ekonomi - politik misalnya masalah produktivitas dan kemiskinan, dan lokal - regional - nasional - internasional misalnya kota dengan wilayah sekitarnya dalam era borderless country. Komponen kelembagaan mencakup sistem kelembagaan/institusional atau sistem penunjang/pelengkap, aspek legal (kebijaksanaan, hukum, dan peraturan perundang-undangan), keuangan atau sumber dana, dan organisasi (lembaga/pelaku terkait). Sistem perkotaan yang ideal berkaitan dengan perkembangan konsep kota-kota tertentu, seperti kota taman, kota teknologi, kota masa depan, kota pariwisata, kota jasa, kota industri, kota pertanian, dan sebagainya. Sistem ideal ini menyangkut keserasian hubungan intra dan antar-sistem serta kelengkapan yang diharapkan dari sistem kelembagaan. Fungsi manajemen meliputi rangkaian tahapan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan. Pendekatan manajemen terus berkembang, antara lain telah dikenal scientific management administration and functional management, contingency approach, total quality management (TOM), kaizen, dan creagement. Manajemen perkotaan (Kusbiantoro, 1993) dapat didefinisikan berdasarkan batasan tentang manajemen dan perkotaan, proses manajemen dari kondisi sistem kota saat ini menuju sistem kota yang dikehendaki berdasarkan pada tujuan idealistic dan dynamic. Manajemen perkotaan perlu dikaitkan dengan penataan ruang kota, memperhatikan komponen utama, komponen kelembagaan, dan proses berbagai komunikasi. Warga kota haruslah dinamis sejalan dengan perkembangan kota yang cepat. Pendidikan dan pelatihan diperlukan dalam rangka meningkatkan ketrampilan aparat pemerintah dan warga kota, dapat melihat ke de pan dan akrab dengan situasi setempat (think globally, act locally). Pucuk pimpinan kota selain sebagai manager (doing the thing right) juga sekaligus harus berfungsi sebagai leader (doing the right thing) yang bisa membaca kelompok sasaran (target groups), didukung kreativitas yang tinggi (management for creation atau creagement). Pakar perkotaan dan keciptakaryaan, Hendropranoto Suselo, membedakan manajemen perkotaan dengan manajemen pembangunan kota. Manajemen perkotaan pada dasarnya mempunyai dua sisi, yaitu manajemen pemerintahan dan manajemen pembangunan kota. Hendropranoto mempertanyakan, apakah suatu kota selalu membangun atau perlukah kota membangun kota? Banyak perilaku dan sikap di negara berkembang yang masih mencerminkan anti-urban bias (Rondinelli, 1984), yang diakibatkan tiga hal, pertama, keliru dalam menanggapi pengertian urbanisasi, kedua, cerminan sikap kurang akrab terhadap masalah perkotaan, dan ketiga, perhatian terhadap masalah perkotaan belum dihayati dalam pembagian tugas pemerntahan. Di Indonesia, belum ada Undang-undang Perkotaan dan UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang masih menunggu tindak lanjut enam Rancangan Peraturan Pemerintah. P3KT (Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu) merupakan salah satu upaya dalam mewujudkan manajemen pembangunan kota terpadu, yang menuntut keterpaduan semua aspek pembangunan perkotaan (perencanaan, keuangan, kelembagaan dan pengembangan sumber daya manusia), keterpaduan sikap dan perilaku serta kemitraan para pelaku pembangunan. lsu penting manajemen pembangunan kota terpadu yang dikemukakan Hendropranoto adalah keterpaduan kebijaksanaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah/lokal, koordinasi antar-instansi, mekanisme perencanaan sistem pembiayaan pembangunan, keseimbangan program fisik dan non-fisik, keseimbangan aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, dan hankam, keterpaduan pengelolaan lahan, peningkatan mutu Bappeda, pendidikan dan pelatihan yang terus menerus, dan tumbuhnya partisipasi dan peran serta masyarakat, dalam mendukung pembangunan bertumpu pada masyarakat dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Pakar perencanaan pembangunan daerah, Mochamad Sidarta, menyarankan agar pemerintah daerah memikirkan alternatif strategi pembiayaan pembangunan disamping dana pembangunan dari APBN dan APBD serta bantuan luar negeri. Berdasarkan pengalamannya di Bappeda DKI Jakarta, Sidarta menekankan pentingnya pelibatan masyarakat secara langsung dalam pembangunan, mulai dari penyediaan informasi, perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan hingga pengawasan. Dana swasta bisa digunakan dalam bentuk concessions (swasta diberi hak membangun sarana, 17


mengoperasikannya, dan menarik retribusi dengan tarif yang ditentukan pemerintah), after-merge (kerja sama swasta dan pemerintah, misalnya sarana dibangun pemerintah dan swasta mengoperasikannya), dan kontrak manajemen (menunjuk swasta sebagai pengelola sarana), sebagai modifikasi dari BOT (build, operate, and transfer- sarana dibangun swasta, dioperasikan swasta, dan pada suatu saat diserahkan kepada pemerintah), dan BOO (build, own, and operate, suatu cara penyertaan swasta), antara lain dalam proyek perhubungan (terminal, angkutan massal, elevated railway, guided bus system, kebersihan kota, transfer station, angkutan sampah, pelayanan limbah, dan pengelolaan air bersih). Pendapatan Asli Daerah (PAD) perlu diupayakan peningkatannya, yaitu dari pajak daerah, retribusi daerah, penerimaan dinas, perusahaan daerah, dan pinjaman daerah untuk membantu pembiayaan pembangunan perkotaan dalam mendukung keberhasilan manajemen perkotaan terpadu. Fenomena mega-urban dan tantangan pengelolaannya menjadi fokus pembahasan pakar pembangunan wilayah. Ida Ayu Indira Dharmapatni menyatakan bahwa globalisasi ekonomi, teknologi, dan informasi telah mengakibatkan perubahan dramatis dalam proses dan pola urbanisasi di Asia sejak 1970-an. Fungsi pemerintahan, desentralisasi, dekonsentrasi, perbantuan, koordinasi investasi, pengelolaan lingkungan, penataan lahan, pembiayaan pembangunan, dan pengembangan sistem informasi, merupakan isu pokok kota-mega (mega-urban, megacity) Jakarta, Jabotabek, Bandung Raya, Purwasuka (Purwakarta, Subang, Karawang), kota-kota menengah (Bogor, Cianjur), kota-kota kecil di sepanjang jalur koridor Jakarta- Bandung (Conurbation Jakarta - Bandung: Jakarta - Bogor - Cianjur - Bandung, Jakarta - Cikampek - Subang - Bandung, Jakarta - Cikampek - Purwakarta - Bandung, dan Jakarta - Cileungsi - Jonggol - Cianjur - Bandung), kawasan Bopunjur, dan kota-kota baru yang mandiri (Bumi Bekasi Baru, Bogor Baru, Lippo City, Cikarang Baru, dan Bukit lndah City). Pertumbuhan konurbasi tidak hanya terjadi pada koridor Jakarta - Bandung, bahkan terjadi pada poros yang lebih panjang lagi, yaitu Cilegon - Surabaya melalui pantai utara pulau Jawa, Semarang - Solo, Solo - Madiun - Surabaya, Surabaya - Malang, dan pada koridor-koridor pendek seperti Jakarta - Cileduk - Tangerang, Jakarta- Depok- Bogor, Jakarta- Cibinong- Citeureup- Cileungsi, Jakarta- Bekasi- Tambun - Cikarang, Bandung - Banjar, Cicalengka - Majalaya, dan Ciparay - Majalaya. Dalam mendukung perwujudan manajemen pembangunan perkotaan yang efektif, sudah saatnya dibuat perencanaan perkotaan yang didukung oleh penerapan sistem informasi ruang (spasial), antara lain Computer Aided Design, Land Information System, and Geographic Information System. GIS sangat berperan dalam kegiatan perencanaan dan pemodelan tata ruang, pembuatan data dasar, model proyeksi, dan manajemen data (Roos Akbar, 1993). Akurasi data bisa diwujudkan melalui penerapan teknologi GIS. Data dasar GIS yang disertai hasil analisis dan model statistik, serta analisis tata ruang, akan bisa mewujudkan perencanaan wilayah dan kota yang komprehensif. Dalam upaya mewujudkan manajemen perkotaan yang efektif, diperlukan peningkatan kemampuan dan keterampilan aparat pembangunan perkotaan, antara lain melalui pendidikan dan pelatihan perkotaan. Jay Rosengard dan William Kugler (1993), pakar pembiayaan pembangunan perkotaan, menyarankan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan yang terintegrasi dan terkoordinasi pada tingkat lokal dan pusat. Manajemen Efektif Manajemen perkotaan yang efektif perlu mengacu pad a UU Nomor 5 Tahun 197 4 ten tang Pokokpokok Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 45 Tahun 1992 tentang Otonomi Daerah Tingkat II. Pola P3KT yang mendukung upaya perwujudan manajemen perkotaan yang efektif, mengalihkan prinsip sektoral terpadu ke terpadu dan mendaerah (desentralisasi), mengefektifkan peningkatan pendapatan asli daerah, mendorong pendekatan inovatif, memperhatikan pelaku pembangunan kota, memelihara sustainabilitas kota, mengelola pendidikan dan pelatihan, menata sistem informasi, adanya mekanisme perencanaan yang terarah dan terpadu, dan mendorong kemitraan (pemerintah, swasta, dan masyarakat). Pengelolaan kota metropolitan menuntut profesionalisme aparatur pemerintah dalam berbagai bidang pembangunan perkotaan, antara lain organisasi dan manajemen, air bersih, transportasi, perumahan dan permukiman, ketenagakerjaan, lingkungan hidup, dan penataan ruang. P3KT yang didukung kegiatan informasi dan komunikasi pembangunan perkotaan, akan dapat menjawab tantangan dan permasalahan 18


masa depan, menuju pada pembangunan kota terpadu. Prasyarat keberhasilan pembangunan kota terpadu ditandai oleh manajemen perkotaan yang efektif, adanya prinsip-prinsip dasar pendekatan, menggali sumbersumber pembiayaan pembangunan, penyiapan dan penyusunan serta pelaksanaan program secara terarah dan terpadu, upaya peningkatan kemampuan teknis dan manajerial Pemda Tingkat II, serta pelibatan swasta dan masyarakat (kemitraan). P3KT sebagai pendekatan inovatif menuju manajemen pembangunan kota yang efektif, mempertemukan mekanisme perencanaan dari bawah ke atas (bottom-up planning) dengan perencanaan dari atas ke bawah (top-down planning), memacu perbaikan dan pembangunan prasarana perkotaan dalam skala kecil, (dilakukan melalui program perbaikan kampung), memadukan berbagai pembangunan sektoral pada tingkat lokal, mendorong peran Pemda, meningkatkan peran serta masyarakat, menumbuhkan kemitraan, dan dilaksanakan atas prinsip optimasi, mobilisasi, desentralisasi dan dekonsentrasi, kesepakatan dan keterpaduan, dan kesei mbangan. Suara Karya, 22 Juni 1994 Pembiayaan Pembangunan Perkotaan Pada tahun 1980 penduduk perkotaan di Indonesia mencapai 32,8 juta jiwa atau 20% dari penduduk Indonesia. Tahun 1990, meningkat menjadi 55,5 juta (31 %) dan pada tahun 2000 diperkirakan mencapai 80 juta jiwa (sekitar 40%) dari penduduk Indonesia. Dirjen Cipta Karya (1993) menyatakan bahwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk perkotaan sekitar 3-6% dan dengan cara-cara penanganan pengembangan perkotaan seperti sekarang, maka setiap tahunnya diperlukan sedikitnya 30.000 Ha lahan untuk diubah menjadi kawasan perkotaan. lni berakibat pada kenaikan investasi infrastruktur perkotaan (di luar listrik dan telekomunikasi) sebesar 600 miliar sampai dengan 1 trilyun rupiah untuk menampung perkembangan dan kebutuhan setiap tahun akibat pertambahan penduduk perkotaan. Masalah tanah dan perumahan di perkotaan khususnya untuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah semakin kompleks (Devas, 1987). Me. Nail & Raine (1978) bahkan telah menyorot kebutuhan air bersih di perkotaan meningkat pesat. Untuk menangani permasalahan perkotaan yang makin kompleks, sangat diperlukan upaya terobosan, yang menyangkut aspek pengembangan lahan, lingkungan hidup, kesempatan kerja, pengembangan sistem, dan penyediaan infrastruktur perkotaan, serta pembiayaan pembangunan perkotaan. Pembiayaan Kristiadi (1992) menegaskan bahwa secara garis besar, terdapat enam kelompok sumber utama pembiayaan yang selama ini secara klasik dipergunakan untuk pembangunan pelayanan kota dan permukiman, yaitu pendapatan asli daerah (PAD) dalam bentuk retribusi daerah, pajak daerah, dan lain-lain, bagi hasil pajak (pajak bumi dan bangunan), subsidi dan bantuan, alokasi sektoral atau departemen, pinjaman serta swadaya masyarakat dan swasta. Untuk beberapa pelayanan kota, direct recovery melalui retribusi bisa dilaksanakan, misalnya air bersih, pasar, pengelolaan sampah, dan sanitasi, serta drainase dan jalan (untuk daerah baru). Pajak daerah dikenal antara lain berupa pajak pembangunan I, pajak tontonan, pajak reklame, dan pajak penerangan jalan. Pajak bumi dan bangunan (PBS, dahulu dikenal sebagai lpeda), merupakan pajak pusat yang dibagihasilkan sebesar 90% kepada daerah. Lebih dari 80% penerimaan Dati II berasal dari subsidi atau Bantuan Pusat, sehingga sebagian besar pelayanan perkotaan diperoleh dari sumber ini. Bantuan proyek, sering diperoleh dari Dati I, antara lain truk sampah dan mobil pemadam kebakaran. Mulai tahun 1990 telah disediakan dana untuk mendukung penyusunan rencana umum tata ruang. Pembangunan jalan, sarana air besih, dan pelayanan umum, didukung oleh pembiayaan dari Departemen Pekerjaan Umum. Pinjaman untuk mendorong pembangunan perkotaan, antara lain digunakan untuk 19


investasi pelayanan umum, jalan, air bersih, proyek perbaikan kampung (KIP), pasar, dan cargo terminal. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan perkotaan makin diperlukan dan mobilisasi dana masyarakat makin ditumbuhkembangkan. Pembangunan dalam Repelita VI dan Repelita selanjutnya makin didorong agar bertumpu pada peran serta, partisipasi, dan kemandirian masyarakat. Permasalahan Pada Seminar Munas Real Estate Indonesia 1992 yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 21 November 1992, Kristiadi menyorot permasalahan utama pembiayaan perkotaan dari dua segi, yaitu masalah fragmentasi pembiayaan dan masalah kekurangan dana. Yang pertama, terlihat dalam kesulitan alokasi sektoral sehingga integrasi perencanaan, pemrograman dan pelaksanaan sulit dilakukan. lni mengakibatkan dana optimal tidak dapat dipergunakan dan efisiensi rendah. Timbul pendapat, kegotongroyongan dalam pembiayaan pembangunan perkotaan dapat berakibat negatif untuk perencanaan, pemrograman dan pelaksanaan. Yang kedua, masih terbatasnya dana pembangunan perkotaan. Studi NUDS (National Urban Development Study) 1985 menyimpulkan bahwa kebutuhan investasi sektor perkotaan sampai tahun 2000 mencapai Rp. 11.122 miliar bukan merupakan jumlah yang sedikit dalam situasi keuangan negara yang prihatin. Akibatnya, perkembangan perkotaan sulit dikendalikan. Konsep cost recovery pada retribusi masih belum sepenuhnya dapat diterapkan. Kesulitan dalam realokasi hasil pungutan seringkali sangat berpengaruh pada pemberian pelayanan. Pajak Daerah masih sering dihadapkan pada berbagai masalah. Devas (1986) dan Kristiadi (1987) mengatakan bahwa dari 50 jenis pajak daerah, hanya 5 - 6 jenis pajak saja yang hasilnya relatif berarti. Selebihnya, seringkali ongkos untuk memungutnya jauh lebih besar dari hasil yang diperoleh. Reformasi PBB memberi kemungkinan peningkatan pajak ini, tetapi masalah administrasi sering merupakan hambatan utama pada tahap awal pelaksanaan pajak ini. Subsidi atau bantuan merupakan sumber yang dominan dalam pembiayaan perkotaan. Misalnya, bantuan sektoral menurun dan bantuan lnpres Dati I dan Dati II pada umumnya digunakan untuk pembangunan jalan dan jembatan, sedangkan sektor lainnya belum mendapat perhatian. Bagi daerah Kabupaten, bantuan masih harus dibagi menjadi daerah perkotaan dan perdesaan. Pinjaman yang diterima Pemda Tingkat II sering menghadapi hambatan, antara lain jumlahnya tidak memadai atau kadang-kadang Pemda sendiri tidak mampu membayar pinjaman. Fragmentasi berbagai bentuk pinjaman dengan persyaratan dan kondisi yang berbeda-beda, juga merupakan salah satu masalah yang dihadapi dalam pembiayaan perkotaan dari sumber pinjaman. Akibatnya, perencanaan investasi menjadi sulit dilaksanakan dan dikoordinasikan. Kurang jelasnya mekanisme pembiayaan pembangunan perkotaan, mengakibatkan swasta sulit berpartisipasi. ldealnya investasi di sektor perkotaan dilakukan bersama oleh pemerintah dan swasta. Ketidakjelasan hak dan kewajiban pemerintah dan swasta, mengakibatkan partisipasi swasta dalam pembiayaan pembangunan perkotaan tidak sepenuh hati atau setengah-setengah. Dalam hal ini diperlukan niat baik kedua belah pihak untuk mendorong perkembangan pembangunan perkotaan. Upaya Strategi pemecahan masalah pembiayaan pembangunan perkotaan pada masa datang adalah mengusahakan koordinasi dan integrasi yang lebih terpadu, sehingga berbagai sumber pembiayaan pembangunan perkotaan dapat dikelola dengan baik. Di samping itu, penyempurnaan serta pembaruan sistem pembiayaan perlu diupayakan. Berbagai pajak daerah perlu ditinjau kembali, agar benar-benar membawa manfaat bagi pembangunan perkotaan. Kepala Biro Analisa Keuangan Daerah, Departemen Keuangan, Dr. Susiyati B. Hirawan, dalam ceramahnya di depan mahasiswa S3 dan pengajar jurusan Planologi ITB pada tanggal 1 Mei 1993, menegaskan pembangunan perkotaan di Indonesia (dalam upaya desentralisasi Dati II sekarang ini) memerlukan perhatian yang semakin besar. Sarana dan prasarana perkotaan masih memerlukan peningkatan, baik mutu maupun jumlahnya. Disarankannya agar ditingkatkan terus dan dicari upaya-upaya penyempurnaan yang menyangkut sistem pembinaan dari pemerintah pusat (hibah serta bagi hasil pajak dan bukan pajak), pembiayaan dari Pemerintah Daerah (berupa APBD), pembiayaan dari hasil pungutan atas prasarana dan 20


pelayanan umum (retribusi daerah atau user charges dan kebijaksanaan harga pricing policy), pembiayaan melalui pinjaman non-tradisional (betterment levies or valorization charges, land readjustment), dan partisipasi sektor swasta. Dalam konteks perkotaan itu sendiri, perlu dikembangkan suatu strategi pengembangan perkotaan yang menyeluruh dan terpadu serta berkelanjutan yang mengacu pada pengembangan sistem perkotaan yang selaras dengan tujuan dan arah pembangunan nasional dan daerah. Perlu didayagunakan potensi dan sumber-daya perkotaan secara bijaksana dalam menumbuhkan dan memantapkan kemandirian dan keberkelanjutan pengembangan perkotaan (sustainable urban development), dikembangkan upaya pengembangan perkotaan yang dilandaskan atas partisipasi dan kontribusi semua pihak atas asas kebersamaan, pemerataan, dan keselarasan, serta dikembangkannya manajemen pengembangan kota yang terpadu. Sesuai dengan keinginan Departemen Pekerjaan Umum, maka pengembangan sistem pembiayaan perkotaan masa datang perlu diarahkan pada perwujudan pola pengembangan kota yang mempunyai ciri-ciri (1) mempunyai pola pengembangan prasarana kota yang terpadu sehingga banyak menghemat biaya yang harus dipikul oleh pemerintah daerah dan masyarakat kota, (2) dilandaskan atas manajemen pengembangan kota yang terpadu, dapat menciptakan kesempatan usaha dan kesempatan kerja yang luas bagi masyarakat, (3) dilandaskan atas kemandirian atau pendayagunaan potensi dan sumberdaya perkotaan dan masyarakatnya secara bijaksana dan mempertimbangkan keberlanjutan pengembangan kotanya, (4) bertumpu atas.kemampuan pemerintah daerah dan partisipasi masyarakatnya, dan (5) dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi peningkatan kualitas manusia dan masyarakat secara keseluruhan. Jayakarta, 27 Mei 1993 Strategi Pembangunan Perkotaan Dalam membahas pembangunan perkotaan, penting dilihat konsep-konsep ruang, daerah atau wilayah, regionalisasi, teori-teori pembangunan yang terkait, antara lagin Regional Rural Development and Planning, pertumbuhan dan pembangunan (Hirschman, 1959; Myrdal, 1957; Richardson, 1969; Holand, 1976), domination theory', centre and periphery (Friedman, 1969; Hilhorst, 1971 ), pembangunan perkotaan dalam konteks urbanisasi (central place rank - size city, dan secondary cities), growth pole, pembangunan kota kecil, dan agropolitan development (Friedman dan Douglas, 1978). Kesemuanya ini saling terkait satu dengan lainnya dalam lingkup pembangunan perkotaan, perdesaan, dan regional. Dalam PJPT II kita akan memasuki proses tinggallandas di mana terjadi pergeseran struktur ekonomi dari pertanian ke industri dan jasa. Pergeseran ini menuntut adanya kebijaksanaan, strategi dan program yang mendukung kelancaran proses industrialisasi. Pembangunan perkotaan dan perdesaan pada hakekatnya akan menimbulkan berbagai akses atau konsekuensi yang perlu diwaspadai, antara lain tertib bangunan, produktivitas kota, efisiensi sarana dan prasarana, pembangunan yang bertumpu pada komunitas, kemiskinan, manajemen pembangunan kota, penataan ruang, pengembangan sumber daya manusia, koordinasi, dan masalah kelembagaan. Kota yang merupakan mesin penggerak ekonomi pembangunan, mempunyai kontribusi yang besar pada pembangunan nasional dan pembangunan daerah melalui efisiensi produktivitas nasional yang didukung antara lain oleh pelayanan prasarana dan sarana perkotaan yang memadai. Perkembangan Menteri Pekerjaan Umum, Radinal Moochtar, dihadapan peserta seminar nasional lkatan Ahli Perencanaan (Jakarta, 25-26 Mei 1993) mengutarakan tantangan pembangunan kota dan wilayah serta pentingnya peranan profesi perencanaan masa datang. Pada kesempatan yang sama, Rachmadi B. Sumadiyo, Dirjen Cipta Karya, memaparkan kajian perkembangan kota dan wilayah dalam dua dasa warsa terakhir. Perkembangan kota dan wilayah mempunyai dinamika yang tinggi dan ditandai oleh pertemuan antara banyak pelaku dan berbagai kepentingan dalam proses pembangunan, tetapi tetap dipengaruhi oleh kebijaksanaan nasional. Untuk mengantisipasi perkembangan kota yang dikaitkan dengan pengembangan 21


wilayah, diperlukan kebijaksanaan pembangunan kota yang dinamis. Perkembangan perkotaan di Indonesia pada dasarnya dipacu oleh proses industrialisasi dan urbanisasi yang tinggi. Hasil Sensus Penduduk Tahun 1990 menunjukkan tingkat pertumbuhan penduduk perkotaan mencapai 5,4% dalam periode 1980-1990, merupakan salah satu tingkat pertumbuhan penduduk perkotaan yang tertinggi di dunia. Pertumbuhan penduduk kota besar (penduduk 200.000-2,5 juta jiwa) rata-rata pertahun sekitar 3-6 %. Penduduk perkotaan pada tahun 1980 yang baru mencapai 32,8 juta jiwa, pada tahun 1990 meningkat menjadi 55,5 juta jiwa (31% dari penduduk Indonesia sebanyak 179 juta jiwa). Dengan pertumbuhan penduduk 5,4% per tahun, pada tahun 2000 jumlah penduduk perkotaan meningkat menjadi 80 juta jiwa, hampir setengah dari jumlah penduduk Indonesia. Direktur Jenderal Cipta Karya (1993) menyatakan bahwa di luar keperluan listrik dan telekomunikasi, diperlukan investasi infrastruktur perkotaan sebesar Rp. 600 milyar sampai 1 trilyun. Untuk menjawab tantangan ini, perlu dibuat terobosan agar bisa memecahkan masalah perkotaan yang meliputi pengembangan lahan, lingkungan hidup, permukiman kumuh, kesempatan kerja, perumahan, pengembangan sistem perkotaan, dan penyediaan prasarana dan sarana perkotaan. Dengan peran perkotaan yang bisa menciptakan produktivitas yang tinggi, 40- 50% dari produk domestik bruto (GOP), perkotaan yang berfungsi multiple, sebagai penggerak perkembangan ekonomi, pusat inovasi, dan pusat perubahan sosial, maka peran kota akan makin penting, apalagi dikaitkan dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dan masyarakat serta peningkatan nilai tambah dalam seluruh proses pembangunan. Peran kota dalam PJP II makin penting, karena dua pertiga dari produk domestik akan dihasilkan dari kota dan separuh jumlah penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Peran kota tidak sekedar sebagai mesin pertumbuhan ekonomi, tetapi merupakan pusat inovasi dan transformasi sosial. Pada akhir PJP II, lebih dari separuh penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan, beberapa kota dan kawasan akan membentuk megacity. lndustrialisasi, urbanisasi dan modernisasi kait mengkait, dan posisi Indonesia di dalam sistem dan perubahan global mengharuskan adanya penyesuaian dengan perkembangan negara-negara terkait agar bisa menarik keuntungan sebesar-besarnya. Issue penataan ruang dan pengembangan perkotaan mulai muncul sekitar tahun 1970-an sejalan dengan munculnya berbagai persoalan di perkotaan, seperti pertambahan penduduk yang tinggi, peningkatan pertumbuhan ekonomi, pergeseran kegiatan andalan pembangunan dari pertanian ke non-pertanian (khususnya industri), keterbatasan lahan, degradasi kualitas lingkungan hidup dan sebagainya, merupakan beberapa aktor pendorong penataan ruang dan pembangunan perkotaan di Indonesia. Pada masa datang, penataan ruang, pengembangan regional dan perkotaan beserta infrastrukturnya merupakan permasalahan penting dalam pembangunan nasional. Kontradiksi dengan peran kota yang makin penting dalam pembangunan nasional, ternyata dari tingkat pelayanan infrastruktur yang masih jauh dari yang diharapkan. Pelayanan air bersih perkotaan dengan sistem perpipaan baru menjangkau 43% penduduk perkotaan, pelayanan jaringan drainase dan pengaturan air limbah baru mencapai 20%, tingkat pelayanan persampahan baru 12% dan pelayanan jaringan jalan dengan kondisi baik dan layak baru mencapai 60-70%. P3KT baru mencapai 300 kota, dari target 500 kota dalam Pelita V. Permasalahan laju perkembangan perkotaan yang tinggi dan infrastruktur perkotaan masih terbatas, muncul berbagai tantangan yang akan menjadi permasalahan besar di perkotaan yaitu : a. Belum adanya suatu pola kebijaksanaan pengembangan perkotaan yang menyeluruh. Kebijaksanaan pengembangan perkotaan hendaknya tidak berjalan sendiri dan terpisah, tetapi harus berada dalam suatu sistem pengembangan kota yang menyeluruh dan terkait, mulai dari kota kecil, kota sedang, sampai ke kota besar (metropolitan). b. Keterbatasan lahan perkotaan untuk menampung pertumbuhan penduduk, perkembangan perumahan dan permukiman, perkembangan kegiatan utama perkotaan (industri, perdagangan, dan jasa), menuntut pembangunan yang hemat lahan. c. Menurunnya kualitas lingkungan hidup dan sosial di perkotaan sebagai dampak pembangunan kota yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan alam, daya dukung lingkungan binaan, dan daya dukung lingkungan sosial, serta pelanggaran terhadap pola pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. 22


d. Masih tingginya kemiskinan di perkotaan (17% penduduk perkotaan berada di bawah garis kemiskinan pada tahuun 1990). Terhadap total penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, kontribusi penduduk perkotaan meningkat dari 19% tahun 1976 menjadi 35% tahun 1990 (Rachmadi, 1993). e. Makin sempitnya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja di sektor formal dan potensi sektor informal kurang didayagunakan. f. Masih terbatasnya penyediaan prasarana dan sarana perkotaan, terbatasnya keterjangkauan masyarakat dan pemanfaatan infrastruktur masih relatif rendah. g. Masih terbatasnya peluang bisnis dan belum tumbuhnya kemitraan pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam pembangunan prasarana dan sarana perkotaan. Banyaknya permasalahan dan tantangan ini, masih juga dihadapkan pada berbagai kendala, seperti terbatasnya perangkat hukum dalam pengembangan perkotaan, terbatasnya kemampuan aparat pemerintah daerah, terbatasnya sumberdaya manusia dengan jumlah kualitas yang memadai, serta terbatasnya informasi, data, dan prosedur yang memadai dalam pengelolaan dan pengendalian pertumbuhan kota yang efisien, efektif dan tertib. Strategi Untuk mengoptimasikan keberhasilan pengembangan daerah perkotaan diperlukan strategi dan pendekatan yang tepat. Strategi pembangunan perkotaan yang disarankan oleh USAID (1990) adalah meningkatkan produktivitas perkotaan, menekan pertumbuhan kemiskinan penduduk perkotaan melalui peningkatan penyediaan prasarana dan sarana perkotaan, pendekatan berkelanjutan dalam pengelolaan lingkungan perkotaan, dan kebutuhan untuk meningkatkan kegiatan riset dan pengembangan di sektor perkotaan. Juga perlu ditingkatkan pengertian pertumbuhan perkotaan dalam menuju megacity. Strategi ini perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan-kegiatan riset dan evaluasi kebijaksanaan, pendekatan pembangunan yang lebih fleksibel, penanganan masalah urbanisasi, keempatan kerja, penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, pembangunan kota menengah, pembiayaan perkotaan, desentralisasi dan privatisasi penyediaan prasarana dan sarana perkotaan, pengendalian tata guna tanah, konsistensi hukum dan peraturan, perencanaan jangka pendek dan ad-hoc harus selalu diupayakan agar terkait dengan pembangunan jangka panjang, siklus pembangunan sampai dengan evaluasi harus terjaga, serta diperlukannya mekanisme dan model penyelesaian maalah yang tipikal. Pelaksanaan di lapangan perlu diwujudkan berupa kegiatan pendidikan dan penyebarluasan informasi program pembangunan, perlunya badan koordinasi perencanaan dan pembangunan daerah perkotaan, pengembangan pendanaan dan pengawasan bentuk-bentuk pendanaan yang ada (PBB, retribusi prasarana, 1MB), intervensi pemerintah dalam perpajakan, pendanaan, pola investasi, perijinan, pertanahan, program mendesak harus tetap mengacu pada pembangunan jangka panjang, peningkatan profesionalisme dan tersedianya penghargaan bagi yang berprestasi, pengutamaan program yang antisipatif dan preventif di samping program yang represif, kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat, dan rekayasa sosial di dalam pembangunan perkotaan. Dukungan tindakan untuk mempercepat keberhasilan pembangunan perkotaan, antara lain pengadaan sarana dan prasarana bukan hanya tanggung jawab Departemen PU/Ditjen Cipta Karya, tetapi menjadi tanggungjawab sektor-sektor strategis lainnya (Deppenrind, Deptan, Deparpostel dll), koordinasi dari semua unsur terkait dalam penyediaan sarana dan prasarana kota (penyediaan informasi, persiapan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi), mobilisasi dana pembangunan sarana dan prasarana kota, perlu forum komunikasi dan penggalangan potensi kota, dana yang terbatas perlu didukung oleh keswadayaan, kajian pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, hemat energi, pemantauan kelembagaan, perlu akurasi data, sistem informasi (perangkat lunak dan keras) dan perlu didukung sikap mental pelaku pembangunan perkotaan. Pada masa datang, diperlukan pengembangan kota dalam suatu kerangka sistem pengembangan kota dan wilayah serta sistem penataan ruang nasional. Dengan cara ini, upaya pengembangan kota tidak berjalan sendiri, tetapi diletakkan atas landasan keterpaduan sehingga pengembangan antar kota terkait dalam suatu 23


sistem. Strategi Pengembangan Kota di masa depan adalah : 1. Melaksanakan pengembangan perkotaan yang terpadu, menyeluruh, dan berkelanjutan, mengacu pada pengembangan kesisteman (pengembangan kota) yang selaras dengan tujuan, sasaran dan arah pembangunan nasional dan pembangunan daerah. 2. Mendayagunakan potensi dan sumberdaya perkotaan secara bijaksana dalam menumbuhkan dan memantapkan kemandirian dan keberlanjutan pengembangan perkotaan (sustainable urban development). 3. Menerapkan upaya pengembangan perkotaan yang dilandaskan atas partisipasi dan kontribusi semua pihak dengan menekankan pada asas kebersamaan, pemerataan, keselarasan, dan keberlanjutan pengembangan perkotaan (Pengembangan perkotaan yang bertumpu pada potensi, kemampuan, prakarsa dan kemandirian masyarakat). 4. Mengembangkan manajemen pengembangan kota yang terpadu, berlandaskan pendayagunaan potensi dan sumberdaya kota, dengan titik berat pada pemerintah daerah yang bersangkutan dan peran serta swasta dan masyarakat (kemitraan pemerintah, swasta, dan masyarakat, public, private, and people partnership). Sejalan dengan strategi ini, perlu dilakukan pendekatan berupa pengembangan infrastruktur perkotaan yang bisa menumbuhkan keterkaitan erat dan saling menunjang antar kawasan dalam kota, antar kota dan kawasan pengaruhnya serta antar kota melalui sistem yang terpadu, efisien dan efektif (Sivaramakrishnan dan Leslie Green, 1986), peningkatan penyediaan dan pemanfaatan infrastruktur perkotaan terutama untuk kawasan yang mendesak pertumbuhannya (kawasan penggerak ekonomi kota) dan yang bersifat memeratakan perkembangan kota (kawasan kumuh dan miskin di perkotaan), menciptakan peluang yang luas bagi dunia usaha dan masyarakat untuk berperan serta dalam pengembangan infrastruktur perkotaan, dan memperkuat perangkat kelembagaan, hukum, dan sumberdaya manusia yang akan menjalankan roda proses pengembangan dan pengelolaan infrastruktur perkotaan. Dalam Seminar ke-8 AAPH, Sugijanto Soegijoko (1992) menegaskan aspek-aspek yang perlu diperhatikan pada masa datang, yaitu pemantapan sistem administrasi pemerintahan, pengaturan, pengelolaan tanah, mobilisasi sumberdaya masyarakat, maksimisasi dan pemanfaatan bantuan asing, dan pemanfaatan infrastruktur yang efektif. Tindakan yang harus dilakukan dalam menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian, disarankan oleh Sugijanto Soegijoko (1992) pada Konperensi Pertumbuhan Kota dan Lingkungan Menuju Tahun 2000, yaitu program pembangunan kota dan regional yang memungkinkan fleksibilitas tetapi tetap memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan yang mencakup aspek geografis, pembiayaan, pengelolaan tanah, menekan kemiskinan, pengelolaan lingkungan, dan mobilisasi LSM. Khusus pembiayaan pembangunan, perlu ditingkatkan berbagai sumber dana pembangunan perkotaan, yaitu pendapatan asli daerah (retribusi daerah, pajak daerah), bagi hasil pajak (PBS), subsidi dan bantuan, alokasi sektoral/departemen, pinjaman, partisipasi swasta, dan swadaya masyarakat. Ciri dari pola pengembangan kota yang dikehendaki pada masa datang adalah pengembangan kota yang: a. Mempunyai pola pengembangan prasarana kota yang terpadu sehingga menghemat biaya yang harus dipikul Pemda dan Masyarakat. b. Berlandaskan pada manajemen pengembangan kota yang efektif dan terpadu, dapat menciptakan kesempatan usaha dan kesempatan kerja yang luas bagi masyarakatnya. c. Berlandaskan atas kemandirian dan pendayagunaan potensi serta sumberdaya perkotaan dan masyarakatnya secara bijaksana dan memperhatikan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. d. Bertumpu pada kemampuan Pemda dan partisipasi masyarakatnya (kemitraan pemerintah, swasta, dan masyarakat). e. Dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi peningkatan kualitas manusia dan masyarakat secara keseluruhan. 24


Perlu Keserasian Belakangan ini mulai disadari kurang serasinya pembangunan perkotaan dan pengembangan wilayah. Pengembangan infrastruktur, khususnya prasarana dan sarana perkotaan, diharapkan dapat mempersempit kesenjangan atau disparitas pertumbuhan antara wilayah-wilayah yang berkembang pesat dengan wilayah yang relatif terbelakang, baik antara IBB dan IBT (KBI dan KTI), maupun antar kawasan, antar kelompok atau lapisan masyarakat, dan antar sektor. Peran serta dan partisipasi dunia usaha masih perlu terus ditumbuhkan, antara lain melalui mobilisasi sumber dana dan menumbuhkan kemandirian. Perangkat kelembagaan, hukum dan sumber daya manusia perlu ditingkatkan kapasitasnya, khususnya bobot perhatian perlu diberikan pada pemerintah daerah sesuai dengan asas desentralisasi. Disiplin dan tertib penggunaan serta pemanfaatan prasarana dan sarana perkotaan perlu ditingkatkan, agar penggunaan hasil-hasil pembangunan dapat dinikmati dalam periode yang lama. Issue kebijaksanaan pembangunan perkotaan meliputi banyak hal, antara lain perluasan lapangan kerja, penciptaan kondisi yang memungkinkan investasi, kesempatan kerja di kota besar, menengah, dan kecil, pengembalian biaya proyek perkotaan, peningkatan peran swasta dalam penyediaan prasarana dan sarana perkotaan, mobilisasi dana, desentralisasi, penyuluhan dan bimbingan, penyediaan informasi dan pengelolaan lingkungan. Untuk memacu pertumbuhan daerah, perlu dikembangkan pengembangan kota-kota menengah dan kota-kota kecil (Rondinelli, 1983; Hardoy dan Satterthwaite, 1986; Prakash Mathur, 1986), kebijaksanaan nasional urbanisasi (Renaud, 1981 ), pengembangan kota besar dengan kota-kota sekitarnya seperti Jabotabek, Mebidang (Medan, Binjai, Deli Serdang), Bandung Raya, Gerbang Kertasusila, pengembangan beberapa kawasan khusus, misalnya pengembangan kawasan atau wilayah pertumbuhan, seperti Batam dan sekitarnya, Nunukan dan daerah perbatasan, Mamberamo, segitiga Manado-PhilipinaMalaysia, Sijori (Singapura, Johor, Riau), Batam-Rempang-Galang (Barelang) dan Bintan. Untuk menciptakan keserasian pembangunan antar daerah, maka pembangunan perkotaan hendaknya mengantisipasi perubahan ekonomi akibat globalisasi, anti urban bias (Todaro, 1980), pendekatan pembangunan regional dan perkotaan yang lebih terintegrasi, desentralisasi, privatisasi dalam penyediaan infrastruktur dan pelayanan umum (utilitas), menekankan pentingnya produktivitas perkotaan, mengurangi kemiskinan masyarakat perkotaan, mengurangi kemiskinan masyarakat perkotaan, pengelolaan pertumbuhan kota, pengelolaan lingkungan hidup, penataan kelembagaan, dan pemantapan sistem informasi manajemen pembangunan daerah (SIMDA) perkotaan. Untuk menciptakan keserasian pembangunan kota dan pengembangan wilayah, Radinal Moochtar menyarankan penanganan kawasan kumuh, penanganan kantong kemiskinan, kawasan terbelakang dan rawan bencana/banjir, perumusan kebijaksanaan dan stretegi pembangunan kota dan wilayah yang mengacu pada perundang-undangan terkait, menyerasikan pembangunan kota dan wilayah dengan pelestarian lingkungan, meningkatkan dan memperluas pelayanan sarana dan prasarana, memantapkan kelembagaan dan aparat yang handal dan mampu mengelola kota secara efisien dan efektif, dan memantapkan perencanaan yang matang dan akurat. Untuk itu perlu dikembangkan perencanaan yang mampu menjabarkan UU Penataan Ruang, menemukenali potensi nasional, regoinal, dan lokal, mewujudkan perencanaan dalam kerangka spasial yang terkoordinasi, terpadu dan sinkron, mengembangkan perencanaan yang tanggap dan memenuhi tuntutan pengkajian, penerapan dan pengembangan iptek dan sumberdaya manusia, dan mengembangkan perencanaan yang terpadu, dinamis, mengikutsertakan seluruh potensi masyarakat, dan menumbuhkan kemitraan (pemerintah-swasta-masyarakat), dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan yang bertumpu pada kemandirian masyarakat. Angkatan Bersenjata, 29 September 1993 Pengembangan Kota Baru Di Indonesia . Sekarang banyak dikenal kota baru, kota yang direncanakan dan dibangun secara utuh dan lengkap. Perkembangan kota baru dalam konteks pengembangan wilayah dan konsepsi pedoman perencanaan kota 25


baru, telah dibahas oleh para pakar perencanaan kota dalam majalah Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota edisi September 1993. Sari panting perkembangan kota baru dan pengembangannya di Indonesia akan menjadi fokus pembahasan tulisan ini. Kota baru telah dikenal sejak prakemerdekaan, antara lain Menteng di Jakarta. Candi di Semarang, dan Darmo di Surabaya. Setelah kemerdekaan, dikenal kota baru Banjarbaru di Kalimantan Selatan, Palangkaraya, Tembagapura, Bontang, Soroako, Arun, dan lain-lain. Kota baru ini mempunyai salah satu fungsi memecahkan masalah perumahan dan permukiman kota, di samping menangani permasalahan pembangunan kota lainnya. Kota Baru Djoko Sujarto (mengutip Lloyd Rodwin) mendefinisikan kota baru sebagai kota atau kota-kota yang direncanakan, didirikan dan kemudian dikembangkan secara lengkap, pada daerah yang telah ada kota atau kota-kota lainnya yang telah tumbuh dan berkembang terlebih dahulu. Urban Land Institute, Amerika Serikat (1972) mendefinisikan kota baru sebagai suatu proyek pengembangan lahan yang luasnya mencakup perumahan, perdagangan dan industri, yang secara keseluruhan dapat memberikan (a) kesempatan untuk hidup dan bekerja di dalam lingkungan tersebut, (b) suatu spektrum jenis dan harga rumah yang lengkap, (c) ruang terbuka bagi kegiatan aktif dan pasif yang permanen serta ruang-ruang terbuka yang melindungi kawasan tempat tinggal dari dampak kegiatan industri, (d) pengendalian segi estetika yang kuat, dan (e) pengadaan biaya/investasi yang cukup besar untuk keperluan pembangunan awal. Advisory Commission on Intergovernmental Relations (1972), meninjau kota baru dari sisi permukiman, yaitu permukiman yang mandiri dan berencana dengan skala yang cukup besar, sehingga (a) memungkinkan untuk menunjang kebutuhan berbagai jenis rumah tinggal dan kegiatan ekonomi sebagai lapangan kerja bagi penduduk di dalam perrnukiman itu sendiri, (b) dike1ilingi oleh jalur hijau yang menghubungkan secara langsung dari wilayah pertanian di sekitarnya dan juga sebagai pembatas perkembangan kota dari segi jumlah penduduk dan luas wilayahnya, (c) dengan memperhatikan kendala dan limitasi yang ada, dapat menentukan suatu proporsi peruntukan lahan yang sesuai untuk kegiatan industri, perdagangan, perumahan, fasilitas dan utilitas umum serta ruang terbuka, pad a proses perencanaannya, dan (d) dengan mempertimbangkan fungsi serta lahan yang tersedia, dapat ditentukan pol a kepadatan penduduk yang serasi. Dalam perkembangannya, pengembangan kota baru sangat beragam. Ada yang dipengaruhi faktor peradaban dan kebudayaann, teknologi, tuntutan kebutuhan dan komunikasi. Jika diamati secara teliti, dapat dibedakan kota-kota baru masa silam, masa prarevolusi industri, masa revolusi industri, masa pasca revolusi industri, dan masa kini. Munculnya kota baru di Indonesia terkait erat dengan urbanisasi dan industrialisasi, migrasi yang tinggi, perkembangan metropolis dan wilayah metropolitan, degradasi kualitas kehidupan dan lingkungan di kota besar atau metropolitan, perkembangan kota secara sporadis dan kontinyu, serta upaya menghambat arus urbanisasi dan memperbaiki kualitas kehidupan dan lingkungan. Motivasi pengembangan kota baru, antara lain, keseimbangan kota-desa, pemerataan pembangunan, menghambat arus urbanisasi, memperbaiki kehidupan masyarakat, memecahkan masalah perumahan dan permukiman serta transportasi, dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Kota-kota baru di Indonesia dapat dibedakan atas, kota mandiri dan kota penunjang. Kota mandiri terdiri atas kota umum (pusat pemerintahan), kota perusahaan (industri, pertambangan, usaha hutan), dan kota khusus (instalasi militer, ketenagaan, pusat penelitian dan percobaan, iptek, pusat rekreasi atau resort, dan permukiman khusus). Sedangkan kota baru penunjang dapat berupa kota satelit atau kota baru di pinggiran luar kota besar (perumahan dan permukiman skala besar) dan kota baru metropolitian (perumahan dan permukiman skala besar, tetapi penduduknya bekerja di kota besar). Kota baru (satelit dan mandiri) di lnggris berjarak 43 - 82 km dari kota induk, dengan jumlah penduduk maksimal1 00.000 jiwa. Di India, dikenal kota-kota baru Chandigarh, Durgapur, Faridabad, dan Jagannathnagar yang berjarak 12 - 250 Km dari kota metropolitan, dengan jumlah penduduk 42.000 - 125.000 jiwa. Kota-kota baru, baik satelit maupun mandiri lainnya, antara lain Hino dan Yokkaichi di Jepang, Petaling Jaya di Malaysia, Tsuen Wau di Hong Kong, Bernardino di Meksiko, dan Santo Tome de Guyana di Venezuela. 26


Contoh kota baru metropolitan terdapat di Belanda, misalnya Beverwijk, Emmeloord, Almere, dan Zoetemeer. Secara geografis kota baru di Indonesia dibagi menjadi empat jenis, yaitu kota baru dalam kota: Cipaganti Bandung, Pontianak, Malang, Semarang, Surabaya, Jakarta, Medan. Kota baru satelit: Kebayoran Baru Jakarta, Darmo Surabaya, Bale Endah Bandung. Kota baru di pinggiran dalam dan pinggiran luar kota induk, kota baru mandiri: Bandar Kemayoran, Kelapa Gading, Modernland, Cinere. Dan kota baru yang berdiri menyendiri, kota baru khusus: Bumi Serpong Damai, Bekasi Baru, Asahan, Lhokseumawe, Bontang, Batam Center, Cilegon. Sejak 1950 sampai dengan saat ini, jumlah kota baru tersebut mencapai 187 buah, yaitu 139 (Pulau Jawa), 23 kota (Sumatra), 10 kota (Kalimantan), 5 kota (Sulawesi), dan 10 kota (pulau-pulau lainnya). Kesimpulan Djoko Sujarto menyarankan pendefinisian kembali kota baru, menyangkut masa pengembangan, sifat pendirian, segi motivasi, dan lokasi geografis. Berdasarkan masa pengembangannya, kota baru dibagi menjadi empat generasi, yaitu kota baru masa silam dan masa prarevolusi industri, masa revolusi industri, masa pascarevolusi industri, dan masa kini. Dua yang terakhir, dikenal sebagai kota baru kontemporer, yaitu kota baru yang direncanakan dan dikembangkan berdasarkan kaidah-kaidah perencanaan kota modern. Berdasarkan kebutuhan dan motivasi pengembangannya, kota baru diklasifikasikan atas kota baru penunjang (merupakan bagian integral dari kota induk atau kota metropolis) dan kota baru mandiri (mandiri dalam memenuhi kebutuhan sosial-ekonomi penduduknya). Substansi penting yang dapat ditarik dari pengembangan kota baru, antara lain, landasan falsafah dan motivasi perencanaan dan pengembangan, batasan dan besaran kota baru yang optimal, komponen kota baru, penentuan lokasi yang sesuai dengan tujuan fungsional, dan landasan pola kebijaksanaan. Kota baru di Indonesia dibedakan atas tiga generasi, yaitu generasi pertama (prakemerdekaan), generasi kedua (pada dasawarsa 50-an dan 60-an), dan generasi ketiga (dasawarsa 70-an sampai dengan sekarang). Kota baru generasi ketiga dikembangkan berdasarkan pertimbangan pengembangan industri, perumahan dan permukiman skala besar, pemanfaatan sumber daya alam, pembangunan kota khusus (pusat iptek atau kota wisata). Menurut Mochtarram Karjoedi (1993), tujuan sampingan pembangunan kota baru di Indonesia nampaknya difokuskan pada pengurangan tekanan kebutuhan perumahan di daerah kota, misalnya di Jakarta dan Surabaya. Sebelum membangun kota baru, diperlukan formulasi kebijaksanaan dalam konteks regional dan nasional sehingga sejalan dengan kebijaksanaan dan strategi pembangunan perkotaan. Analisis lokasi dan tapak mengenai kesesuaian kota baru sangat penting dalam proses perencanaan pengembangan kota baru. Keputusan politis-administratif perlu didukung pertimbangan dan pembenaran aspek teknis, fungsional, dan rasionalitas. Pembangunan kota baru, harus memperhatikan pertimbangan pengadaan lahan dan dapat menghindari spekulasi tanah, kericuhan dalam pembebasan lahan, dan ketidakpuasan masyarakat terhadap pembangunan kota baru. Tumbuhnya kota baru jangan sampai memindahkan persoalan kota metropolitan ke kota baru tersebut. Misalnya kesemrawutan, kekumuhan, kemacetan lalulintas kendaraan angkutan pribadi, ketiadaan lapangan kerja, dan kekurangan kendaraan angkutan umum. Janji-janji pembangunan kota baru untuk menyediakan berbagai fasilitas perkotaan yang memadai, seperti kendaraan angkutan umum, fasilitas rekreasi, pendidikan, kesehatan, tempat ibadah, ruang pertemuan serbaguna, pasar lokal, taman, ruang terbuka hijau, penjernihan air, dan lokasi pembuangan sampah, harus segera diwujudkan. Eksklusivitas kota baru dan ketimpangan kehidupan dengan masyarakat penduduk asli di sekitar kota baru perlu diredam. Pembangunan perumahan dan permukiman skala besar dengan lingkungan hunian yang berimbang, perlu diwujudkan. Harapan kita semua, pembangunan kota baru, dapat berperan nyata dalam memecahkan permasalahan kota metropolitan. Semoga. Suara Pembaruan, 22 Oktober 1993 27


Merencanakan Kota Baru Kota baru dapat dibedakan atas kota mandiri (kota umum, kota perusahaan, dan kota khusus) dan kota penunjang (kota satelit dan kotabaru metropolitan). Pengembangan kota baru merupakan bagian dari pengembangan kota yang meliputi program perbaikan kampung, pengembangan kelembagaan, penyediaan perumahan murah, penyediaan air bersih dan pengelolaan sampah, drainase, angkutan kota, dan program prasarana kota. Asas-asas yang perlu dianut dalam pengembangan kota baru di Indonesia (Boy Kombaitan dan Djoko Sujarto, 1993) meliputi asas pemerataan daerah, tata ruang wilayah, pemerataan penyebaran penduduk, dan pembangunan kota berwawasan lingkungan. Mengacu pada empat asas tersebut, Kombaitan dan Djoko Sujarto menegaskan perlunya diperhatikan enam arahan pengembangan kota baru. Pertama, penentuan jenis kota baru yang didasarkan pada fungsi pengembangan yang disesuaikan dengan kebutuhan masa kini maupun masa yang akan datang. Kedua, penentuan lokasi dan pengembangan kota baru perlu didasarkan atas pertimbangan untuk dapat menunjang pengembangan wilayah dan membantu memecahkan masalah kota besar. Ketiga, penentuan dan pengembangan jenis kota baru perlu disesuaikan dengan jumlah penduduk, kegiatan usaha serta komponen kebutuhan yang menunjang kehidupan dan penghidupan di kota tersebut sampai batas yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan kota baru mandiri atau penunjang. Keempat, penentuan dan pengembangan kota baru harus dilihat dari wawasan dan ruang lingkup perwilayahan yang lebih luas, sehingga fungsi yang diharapkan dapat dicapai, termasuk pentingnya keterpaduan pengembangan kota baru dengan sistem jaringan prasarana perangkutan wilayah yang dapat menghubungkan dengan kota besar, kota menengah dan kota kecil di sekitarnya. Kelima, pengadaan dan pengembangan prasarana dan sarana perkotaan perlu dipadukan dengan program pengembangan prasarana kota terpadu agar efisien dan efektif. Keenam, penentuan, perencanaan dan pembangunan kota baru perlu ditunjang oleh suatu penelitian guna menentukan wilayah yang memungkinkan dikembangkan, wilayah kendala serta wilayah limitasi. Perencanaan Proses teknis dan prosedur perencanaan kota baru dapat dibagi menjadi tiga kegiatan, yaitu masukan, ,proses analisis, dan keluaran. Langkah-langkah kegiatan mencapai duapuluh dua kegiatan, yang terdiri atas tujuh kegiatan masukan, tujuh proses analisis dan delapan keluaran. Duapuluh dua langkah teknis dan prosedur perencanaan kota baru yang disarankan Kombaitan dan Djoko Sujarto (1993) adalah sebagai berikut : pengamatan Pola Dasar Pembangunan Kota (M, Masukan), interpretasi kebijaksanaan (PA, Proses Analisis), perumusan kebijaksanaan umum pengembangan kota (K), alternatif wilayah perencanaan (M), analisis pemilihan (K), kedudukan dan hubungan regional (M), analisis perwilayahan (PA), potensi sosial ekonomi regional (K), RUTP Kota Baru (K), survai wilayah perencanaan kota baru (M), analisis perencanaan kotabaru (PA), dasar pertimbangan dan alternatif konsep rencana kota baru (K), pertimbangan optimasi dan standar (M), analisis evaluasi konsepsi (PA), RUTRK kota baru (K), survai site spesifik (M), analisis peruntukan spesifik (PA), RDTRK bagian-bagian Kota Baru (K), survai site peruntukan kawasan fungsional (M), analisis tapak wilayah peruntukan (PA), dan RTRK kawasan fungsional kota baru (K). Langkah-langkah ini dapat dikelompokkan ke dalam tujuh kegiatan. Pertama review Pola Dasar Pembangunan Kota, yang meliputi kebijaksanaan nasional pembangunan perkotaan, kebijaksanaan pengembangan kota di daerah/wilayah (propinsi dan wilayah pembangunan) di mana kota baru tersebut berada dan kebijaksanaan pengembangan kota di DT II di mana kota baru berada. Kedua, pemilihan lokasi. Jika lokasi belum ditentukan secara definitif, maka perlu dilakukan proses seleksi dari beberapa alternatif yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Perlu dikembangkan kriteria dasar dari segi sosialdemografis, sosial ekonomis dan fisiografis. Dengan memberi skor dan bobot tertentu, maka secara kuantitatif dapat dihasilkan nilai tertinggi yang akan menjadi prioritas pilihan. Jika telah ditentukan secara pasti, maka lokasi langsung menjadi designated area. Ketiga, potensi perwilayahan dimaksudkan untuk melihat potensi kota baru yang akan direncanakan dalam konstelasi wilayah yang lebih luas. Kebijaksanaan dasar pengembangan kota baru sebaiknya 28


diarahkan pada tujuan pengembangan suatu pusat pengembangan wilayah. Perlu dilihat fungsi perwilayahan terhadap wilayah sekitarnya, kota-kota lain di sekitarnya dan terhadap kota induk terutama secara demografis (khususnya migrasi), hubungan fungsi perekonomian dan dari segi lingkungan fisik. Contohnya, Serpong terhadap Tangerang, Parung, Ciputat, dan Jakarta. Demikian pula Cikarang terhadap Bekasi dan Jakarta. Data yang diperlukan untuk menunjang analisis perwilayahan terdiri atas data sosial, ekonomi dan fisiografis. Data sosial meliputi kependudukan di wilayah yang akan dijadikan kota baru, penduduk yang ditargetkan akan menjadi penghuni kota baru, fasilitas pendidikan, dan masalah migrasi. Data ekonomi mencakup data produksi wilayah (pertanian, industri, jasa atau kombinasi dari sektor-sektor tersebut), ketenagakerjaan, tingkat pendapatan rata-rata wilayah, pola angkutan dan mobilitas orang dan barang. Data fisiografis mencakup letak geografis wilayah, klimatologi makro, keadaan geologi dan hidrologi makro, serta penggunaan lahan makro. Hasil analisis perwilayahan akan merupakan masukan dasar bagi penyusunan RUTR Perkotaan Kota Baru. Keempat, Survai wilayah perencanaan kota baru untuk memperoleh data dan maksud bagi proses teknis penyusunan RUTR Kota baru. Data yang diperlukan meliputi data sosial, ekonomi, fisiografis dan pertanahan. Data sosial mencakup data kependudukan masa sekarang dan masa yang akan datang, jenjang sosial dan tingkat pendidikan, serta lapangan pekerjaan. Data ekonomi meliputi pendapatan rata-rata penduduk, produktivitas wilayah, prasarana dan sarana angkutan, dan lapangan kerja yang tersedia. Data fisiografis terdiri atas topografi kemiringan lahan, geologi dan hidrologi mikro, iklim mikro, pola vegetasi, pola permukiman, penggunaan lahan sekarang, penggunaan dan kondisi bangunan, serta masalah dan potensi lingkungan. Data pertanahan meliputi status pemilikan lahan, permasalahan lahan, ketentuan mengenai pertanahan, dan kondisi lahan. Data kelembagaan antara lain peranan Bappeda Tingkat II. Dinasdinas, keberadaan produk perencanaan (RUTRP dan RUTRK) berbagai peraturan daerah dan ketentuan pertanahan. Data diperoleh baik dalam bentuk data sekunder maupun primer, time series paling sedikit 3 tahun. Kelima, untuk keperluan penyusunan RDTRK, yaitu rencana pengembangan bagian-bagian wilayah kota baru, diperlukan data seperti di atas, tetapi kedalamannya yang berbeda. Diperlukan data spesifik pada wilayah tertentu. Juga peruntukan bagian wilayah kota 1 : 5.000. Keenam, dalam rangka pengembangan RDTRK Kota Baru, diperlukan data yang lebih rinci, yaitu menyangkut kawasan fungsional tertentu, misalnya kawasan industri, kawasan perumahan dan permukiman, kawasan rekreasi dan sebagainya. Survai hendaknya menyangkut data kepala keluarga dan individu. Produk RDTRK Kota Baru adalah rancangan geometrik tata letak bangunan dan bangun-membangun, pola lansekap, jaringan jalan, ultilitas umum dan unsur struktural penunjang lingkungan lainnya. Ketujuh, pengembangan kota baru perlu ditunjang suatu studi kelayakan ekonomis, terlebih apabila pola kebijaksanaan dasar pengembangan kota baru diarahkan pada suatu kota baru yang mandiri (self sufficient). Untuk itu diperlukan suatu studi analisis kelayakan, kependudukan dan ekonomi. Analisis kelayakan kependudukan berusaha melihat siapa dan bagaimana pola struktur kedudukan penghuni yang akan menjadi kelompok sasaran penghuni kota baru, serta tingkat pendapatan dan kemampuan pengeluaran kelompok sasaran yang akan menjadi penghuni kota baru. Analisis kelayakan ekonomi berusaha melihat potensi kegiatan industri yang mungkin dapat dikembangkan atau berminat untuk menginvestasikan modalnya di kota baru, potensi kegiatan perdagangan, potensi usaha pembangunan perumahan sektor swasta, potensi kegiatan perkoperasian, kegiatan pemerintah dan BUMN/BUMD, partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dan potensi pengembangan kegiatan jasa di kota baru. Data yang diperlukan untuk membuat analisis kelayakan kependudukan dan ekonomis, didasarkan pada studi sampel dan dengan survai kegiatan sosial ekonomi. Penutup Munculnya Kota Baru sudah merupakan kebutuhan mendesak, karena cepatnya pertumbuhan kotakota raya (metropolitan) seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, dan Ujungpandang. Di sekitar Jakarta kita kenai kota baru Serpong (14.000 Ha) di mana di dalamnya terdapat 29


Kota Mandiri Bumi Serpong Damai (6.000 Ha), Kota Baru Bekasi (1.500 Ha), Kota Baru Tigaraksa (ibukota Kabupaten Tangerang), Kota Baru Cibinong yang dijadikan ibukota Kabupaten Bogar. Kota Baru Driyorejo (1.000 Ha, Barat Daya Surabaya) diharapkan mendukung pengembangan kota metropolitan Surabaya. Menurut Johan Silas, pembangunan Kota Baru terkait erat dengan pengembangan kota menengah dan kampung pedesaan. Pada masa datang, kota-kota inilah yang berkembang pesat, sementara kota-kota raya (metropolitan) mendekati kejenuhan. Pakar perkotaan Belanda, Han Verschure, menyatakan bahwa merencanakan kota baru tanpa perencanaan yang jelas pasti akan menjumpai kegagalan. Pakar ini membedakan kota baru menjadi kota baru yang benar-benar asli, besar dan ambisius (Chandigarch, Islamabad, Brasilia, Dodoma), kota satelit atau kota baru yang berdekatan dengan kota-kota besar atau menengah dan kota baru yang tumbuh akibat berkembangnya permukiman skala besar (Karachi, New Delhi, Tangshan, Nairobi, Lusaka dan Lima). Di samping itu ada juga kota baru yang tidak baru (Bangkok, Ayudayha, Nairobi, Lamu, Pale, Kilwa). Dari pengalaman pembangunan kota baru yang terjadi di berbagai negara, Han Verschure menyarankan perlu diperhatikannya mitos tentang corak baru, universalitas vs kontekstualitas, ide atau rencana vs pelaksanaan dan pembiayaan, pesimisme vs optimisme dan pentingnya evaluasi. Angkatan Bersenjata, 26 Januari 1994 Upaya Meningkatkan Cinta Jakarta Tiga artikel terdahulu melatarbelakangi tulisan ini, yaitu Warga DKI Harus Merasa Memiliki dan Mencintai Jakarta (Merdeka, 24 Juni 1989), Jakarta 2005, Kendala dan Masalah (Jayakarta, 16 Desember 1989), dan Jakarta, evolusi dari BEMO ke BMW (Angkatan Bersenjata, 28 Juni 1990). Artikel pertama mengupas master plan (RUTR 2005, RDTR/RBWK, dan RTK) dan perlu ditanamkannya kepada masyarakat ibukota rasa ikut memiliki dan mencintai kota Jakarta dalam menuju kota BMW. Artikel kedua menekankan berbagai kendala dan masalah ibukota tahun 2005 yang harus diprediksi dari sekarang, sehingga pada saatnya nanti kebijaksanaan pembangunan yang ditempuh diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang ada. Artikel ketiga, menjabarkan perubahan warga kota yang lambat dari sikap belum efektif mengatur orang (BEMO) menuju bersih, manusiawi dan berwibawa (BMW). Menyongsong HUT DKI Jakarta ke-464, artikel ini berusaha mengidentifkasi upaya-upaya untuk meningkatkan cinta warga ibukota terhadap kota Jakarta. Cinta Jakarta Tak kenai maka tak sayang. Maka setiap warga ibukota harus mengenal ibukota, mulai dari kondisi geografis sampai ke pembangunan di berbagai bidang. Warga Jakarta perlu mengetahui wilayah kota, jumlah dan distribusi penduduk kotanya, lingkungan hidup, perumahan, fasilitas kantor kelurahan, peranan hansip dan wanra, kehidupan tuna karya, gubuk liar, ancaman bencana alam, kriminalitas, tempat rekreasi dan kegiatan olah raga, tempat ibadat, fasilitas kesehatan, pasar, koperasi, penyediaan air minum dan listrik, dan lokasi wisata. Sejalan dengan itu warga kota harus mengetahui berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya Perda No. 5/1982 tentang Kebersihan Lingkungan. Dua tahun terakhir Jakarta meraih urutan kedua dalam pembuatan Norma Kependudukan dan Lingkungan Hidup Daerah (NKLD) yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri KLH (di bawah Jatim dan di atas Riau serta Lampung). Jakarta Pusat juga telah dua kali memperoleh sertifikat kota bersih, dan berusaha sekuat tenaga meraih Piala Adipura, lambang kota terbersih kategori kota raya yang tahun ini diraih Surabaya dan Semarang. Sebagai warga kota, siapapun, selain menikmati hak-haknya juga dituntut untuk mematuhi berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Warga DKI, masyarakat dan pejabatnya harus berlomba memberi contoh dan teladan partisipasi, peran serta, dan sumbangannya terhadap pengembangan kotanya. 30


Untuk menumbuhkan cinta warga ibukota terhadap kota Jakarta, mulailah dengan menginformasikan RUTR (Rencana Umum dan Tata Ruang), RBWK (Rencana Bagian Wilayah Kota), RTK (Rencana Terinci Kota). RUPTD (Rencana Umum Pembangunan Tahunan Daerah), Musbang (Musyawarah Pembangunan) tingkat Kelurahan dan diikuti forum Temu Karya tingkat Kecamatan, Rakorbang II (Rapat Koordinasi Pembangunan) Tingkat Wilayah Kota, dan Rakorbang I Tingkat Propinsi DKI Jakarta. lnformasi bisa diberikan dalam bentuk buku kecil, selebaran, model koran, brosur/leaflet, dan berita daerah yang ditempel di papan pengumuman untuk umum. Papan pengumuman yang besar dan bisa dibaca umum, perlu dibuat di terminal besar seperti Blok M, Senen, Rawamangun, Cililitan, Kampung Melayu, Tanjung Priok, dan sebagainya, di pasar, di tempat hiburan, di daerah perdagangan, di stasiun kereta api, dan di lapangan terbang. lni dimaksudkan untuk menginformasikan pembangunan ibukota. Aparat Pemda dengan mobil keliling harus terus menerus mendengungkan Jakarta BMW, nyaman, aman, rapi, sehat, dan teratur. Sejalan dengan itu, perlu dilakukan upaya untuk mengajak warga DKI agar merasa memiliki dan mencintai kota Jakarta. Untuk merasa memiliki, harus ditanamkan rasa ingin mengenal, mengetahui, menjaga, dan memelihara hasilhasil pembangunan. Mencintai, perlu didahului dengan mengetahui, mengenal, menyayangi, dan akhirnya mencintai kota sebagaimana mencintai pacar, istri, atau keluarga. Caranya, bisa dimulai dengan membuat brosur singkat, sederhana, dan jelas mengenai pengertian Jakarta BMW yang berisi latar belakang, maksud dan tujuan, serta ajakan kepada warga kota untuk berpartisipasi dalam pembangunan ibukota. Bersih, harus diwujudkan mulai dari lingkup pribadi, keluarga, tempat tinggal, lingkungan perumahan maupun tempat kerja, serta bersih dalam tindakan masyarakat dan aparat Pemda. Manusiawi, perlu diwujudkan dengan tindakan yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, antara lain toleransi, sifat gotong royong, memperkecil jurang kaya-miskin, tidak main gusur, tidak main tilang, dan mewujudkan perbuatan dan pengamalan Pancasila. Wibawa, perlu diwujudkan dalam bentuk keteladanan, disiplin, jujur, tidak pilih kasih, tepat waktu, dan pantas dicontoh. Jakarta BMW perlu diwujudkan di segala jenis kegiatan kota, perkantoran, pelayanan umum, pemerintahan, perdagangan, perumahan, tempat hiburan, tempat ibadah, lalu lintas, dan dalam segala bentuk serta jenis kehidupan. Upaya Berbagai upaya perlu dicoba dalam rangka meningkatkan cinta warga Jakarta terhadap lbukota DKI Jakarta. Pertama, sediakan buku kecil informasi Jakarta yang dicetak hanya dengan kertas koran agar biaya murah. Bagikan buku ini kepada seluruh warga ibukota, seperti layaknya buku informasi wisata. Kedua, petugas lnstansi Penerangan dan aparat terkait lainnya memanfaatkan para penyebar informasi (pence ramah umum dan agama/dakwah, mahasiswa, dan unit kerja public relation atau humas), penyiar radio, tv, dan wartawan untuk memasyarakatkan Jakarta BMW. Ketiga, sediakan papan pengumuman di tempat-tempat umum (tempat hiburan, stasiun kereta api, terminal bus, pertokoan, pusat perbelanjaan, pasar, sarana olahraga, dan lain-lain), untuk menempelkan informasi pembangunan dan informasi penting lainnya termasuk surat kabar. lni akan banyak menolong penduduk miskin ibukota yang tidak mampu membeli koran, Pos Kota sekalipun. Keempat, selenggarakan pertunjukan film (layar tancap) ke tiap Kelurahan untuk memutar film Indonesia dan film pembangunan ibukota. Cara ini sekaligus menanamkan rasa cinta warga terhadap kotanya. Kelima, acara radio dan televisi perlu secara kontinu diisi dengan penyebarluasan Jakarta Menuju BMW, agar warga tergugah dan tumbuh rasa sayang dan cintanya terhadap tempat tinggal, lingkungan, dan kotanya. Keenam, selenggarakan hiburan keliling kota disertai dengan pagelaran pelawak yang sekaligus menjadi jubir Jakarta BMW. Ketujuh, sediakan papan pengumuman besar di depan Balai Kota dan di tiap Kantor Walikota, Camat, dan Lurah, untuk diisi dengan berbagai informasi pembangunan dan saran warga. Papan pengumuman ini sekaligus menjadi alat komunikasi aparat-warga kota. Kedelapan, buatlah stiker Jakarta BMW (seperti stiker Sapta Pesona Wisata misalnya). Setiap toko 31


perlu membuat sticker untuk diberikan kepada pembeli barang-barang di tokonya. Selain stiker, juga perlu dibuat tas plastik untuk belanja yang diberi cap Jakarta BMW. Dengan demikian di mana-mana akan selalu kita lihat tulisan Jakarta BMW yang mengakibatkan tumbuhnya rasa cinta warga ibukota terhadap kotanya. Kesembilan, selenggarakan tour bus terbuka keliling kota untuk melihat kebanggaan ibukota, misalnya bandara Soekarno-Hatta, pelabuhan nelayan Kamal, rumah susun Pluit dan Penjaringan, Pasar lkan, Museum, Monas, TMII, Ancol, dan sebagainya. lni dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta warga kota terhadap potensi dan prestasi ibukota. Kesepuluh, selenggarakan penyuluhan hukum dan perundang-undangan yang menyangkut peraturan penyelenggaraan pemerintahan di DKI Jakarta, Wilayah Kota, Kecamatan, dan Kelurahan. Materi penyuluhan meliputi organisasi dan tatalaksana, kepegawaian, pembinaan administrasi, politik, keamanan dan ketertiban, pelayanan masyarakat, pembinaan sarana dan prasarana fisik, perijinan, kerjasama antar daerah, Iomba wilayah, pembinaan lembaga masyarakat, pendaftaran penduduk dan catatan sipil, pemerintahan Wilayah Kota, Kecamatan, dan Kelurahan. Materi penyuluhan juga harus berisi informasi pembangunan kota, antara lain perbaikan kampung, peremajaan lingkungan kumuh, penyediaan air minum, pengelolaan sampah, lalu lintas kota, pertanian dan perikanan, ruang terbuka hijau, lingkungan hidup, kebersihan dan pertamanan, pemeliharaan bangunan sejarah dan pemugaran, perpasaran, pergudangan, retribusi, statistik, pembangunan desa, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), LKMD, UDKP, Iomba desa, bantuan dana pembangunan, pengawasan, komputerisasi, humas, dan perpustakaan. Kesebelas, segitiga pemerintah, swasta, dan masyarakat perlu diwujudkan dalam setiap upaya program/proyek pembangunan kota. Warga kota harus dijadikan sebagai subyek dan obyek pembangunan, pada semua tingkatan (Kelurahan, Kecamatan, Wilayah Kota, dan Propinsi DKI Jakarta). Keduabelas, berikan perhatian yang lebih besar lagi kepada masyarakat miskin. Kelompok miskin atau yang berpenghasilan rendah yang jumlahnya lebih dari setengah penduduk DKI, memerlukan perhatian lebih. Pendekatan terhadap mereka jangan kasar dan harus lebih manusiawi, didukung oleh aparat Pemda yang berwibawa. Ketigabelas, tanamkan kebanggaan warga terhadap Wilayah Kota. Misalnya tempat berdagang di kakilima dan macam-macam pedagang pinggir jalan serta penjual jasa lainnya, diberi warna khusus (merah untuk Jakarta Pusat, kuning Jakarta Barat, hijau Jakarta Selatan, biru Jakarta Timur dan oranye Jakarta Utara). Dengan cara ini mereka akan berkompetisi sehat menata kebersihan tempat dagangnya untuk menciptakan suasana yang benar-benar bersih dan hijau. Keempatbelas, tanamkan kesadaran, disiplin, tekad, kerja keras, semangat pengabdian, peran serta, dan partisipasi semua warga kota (aparat pemerintah, swasta, dan masyarakat) untuk bersama-sama menyumbangkan tenaga dan kemampuannya bagi pembangunan kota dalam menuju Jakarta BMW. Jika ini berhasil, berarti telah tumbuh rasa cinta semua warga kota terhadap DKI Jakarta yang sedang menuju menjadi kota metropolitan, megapolitan, atau megacity (dengan jumlah penduduk di atas 10 juta) pada tahun 2005 nanti. Semoga. 32 Neraca, 22 Juni 1991 Juara I Lomba Karya Tulis HUT OK/ Jakarta ke-464 Tahun 1991


Mempertahankan Habitat Kampung Membanjirnya migran ke ibukota, mengakibatkan pertumbuhan kampung berkembang pesat sebagai akibat penyediaan perumahan belum menjangkau golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Hasil berbagai pengamatan yang dilakukan oleh Bianpoen, Wirutomo, dan Darrundono (1992) menunjukkan bahwa kepadatan penduduk ibukota di kampung-kampung makin tinggi dan kampung-kampung di pinggir kota tumbuh subur. Kampung, merupakan bagian yang tak terhindarkan dari wajah kota besar. Banyaknya kampung di Jakarta yang telah memperoleh proyek perbaikan kampung (MHT, Mohammad Husni Thamrin) mencapai 13.000 Ha dengan jumlah penduduk 5 juta jiwa. Luas kampung menunjukkan 18% dari luas wilayah Jakarta sekitar 35% dari luas wilayah Permukiman di ibukota yang dihuni oleh 65% penduduk Jakarta (Darrundono, 1992). Dalam bahasa daerah, pemakaian lahan untuk kampung sangat mangkus dan sangkil (efisien dan efektif, berdayaguna dan berhasilguna). Perbaikan Program Perbaikan Kampung telah dimulai sejak 1969 pada Pelita I yang dikenal sebagai MHT I (Pelita I - Ill), bertujuan memperbaiki fisik lingkungan agar lebih baik dari kondisi semula. Sasaran program adalah sektor prasarana, sarana dan kesejahteraan sosial. Program MHT II dilaksanakan pada Pelita IV dan MHT Ill dilaksanakan pada Pelita V. Program MHT Ill meliputi perbaikan aspek fisik, sosial dan ekonomi. Sasaran MHT Ill mencakup komponen program pembangunan yang terpadu di mana untuk program di daerah miskin aspek peningkatan ekonomi (bina usaha) diutamakan selain meningkatkan kesadaran masyarakat (bina manusia dan bina sosial). Maksud MHT Ill adalah memperbaiki kondisi kehidupan dan penghidupan masyarakat berpenghasilan rendah di perkampungan dengan cakupan tiga bina, yaitu bina lingkungan (memperbaiki dan menambah prasarana dasar guna peningkatan mobilitas dan penunjang tujuan pembangunan), bina manusialsosial (memperbaiki dan memantapkan kelembagaan serta kemampuan pengelolaan dan mendayagunakan sumberdaya manusia), dan bina usahalekonomi (memperbaiki dan memantapkan usaha formal, non-formal dan informal yang saling terkait dengan seluruh sumberdaya manusia). Pelaksanaan komponen program fisik dan non-fisik MHT Ill meliputi (1) jalan kendaraan dan orang beserta jembatannya; (2) saluran penghubung dan saluran jalan; (3) mandi cuci-kakus dan jamban keluarga; (4) bak sampah dan gerobak sampah; (5) rehabilitasi saluran/drainase dan pengerukannya; (6) perbaikan sarana sosial dan pendidikan; (7) penyuluhan sosial dan ekonomi; (8) pendidikan keterampilan; dan (9) pembinaan dan bimbingan ekonomi. Sasaran pokok program MHT Ill adalah (a) lingkungan perkampungan sebagai tempat hunian tetap terjamin kelangsungan keberadaannya dan dapat diserasikan dengan kehidupan metropolitan; (b) meningkatnya pendapatan dan menurunnya pengeluaran per kapita penduduk; (c) mantapnya institusi dan kelembagaan formal dan informal; dan (d) terhimpunnya piranti prakarsa dan peran serta masyarakat dalam semua sektor dan golongan. Sasaran wilayah meliputi daerah pemukiman kumuh di wilayah pengembangan penduduknya di atas 400 jiwa/Ha dan penghasilan rendah, daerah dengan sanitasi lingkungannya tidak memenuhi persyaratan kualitas dan kesehatan, serta prasarana lingkungannya buruk, dan daerah rawan sosial dan ekonomi. Habitat kampung Dari hasil penelitian, ternyata 15% kampung-kampung di Jakarta berasal dari empang-empang. Darrundono menyatakan bahwa tidak kurang dari 40 juta meter kubik tanah telah digunakan untuk menguruk kampung-kampung sedalam 2 meter. Perbaikan kampung yang dibiayai swadaya masyarakat merupakan langkah yang berani dalam memacu pembangunan rumah oleh masyarakat sendiri. Perumahan dan permukiman kampung (habitat kampung), sebenarnya tidak bertentangan dengan penataan perumahan kota, asalkan keberadaannya tidak melanggar penataan ruang kota. Program perbaikan kampung mudah digandakan (replicable), terjangkau oleh masyarakat miskin (affordable), dan dapat berkesinambungan atau berlanjut 33


(sustainable). Alasannya antara lain, dengan dana terbatas dapat membawa manfaat kepada banyak penghuni, teknologi yang digunakan adalah teknologi sederhana dan biaya rendah, penataan lingkungan mudah dilakukan, dan peran serta atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan perumahan dan perbaikan kampung mudah diwujudkan. Dengan demikian, keberadaan kampung jangan dilihat sebagai masalah permukiman perkotaan, bahkan harus diakui sebagai salah satu pemecahan masalah perumahan dan permukiman perkotaan. Dengan dana pemerintah yang terbatas, program peremajaan lingkungan perumahan dan permukiman kumuh di atas tanah negara (lnpres Nomor 5 Tahun 1990), perlu diselaraskan dengan perbaikan kampung dan penataan lingkungan habitat kampung berdasarkan swadaya dan kemandirian masyarakat. Perbaikan kampung akan saling mendukung dengan program pembangunan perumahan yang bertumpu pada kemandirian masyarakat. Masalah perumahan di Jakarta Uuga di kota-kota besar) dapat dibagi menjadi masalah kekurangan rumah, kualitas rumah yang rendah dan menurun, serta tambahan jumlah rumah tidak bisa mengejar kebutuhan rumah, baik akibat pertambahan penduduk maupun bertambahnya rumah tua, perlunya perbaikan dan penggantian rumah, serta adanya penggusuran (demolition) akibat peremajaan kota (urban renewal). Kebutuhan rumah di DKI Jakarta sebanyak 64.500 unit per tahun dalam periode 1985 - 2005 yang telah ditetapkan dalam RUTR DKI Jakarta 2005, menurut Darrundono sulit dipenuhi. Pertambahan penduduk ibukota sebanyak 200.000 jiwa pertahun saja (dengan jumlah hari 360, 5 jiwa/keluarga, 60% orang miskin, 24 jam sehari), mengakibatkan adanya kebutuhan 3 unit rumah/jam. lni sesuatu yang sulit dipenuhi. Sekalipun dengan program pengadaan Rumah Sangat Sederhana (ASS) yang harganya murah, tetapi lokasinya jauh di luar batas kota Jakarta dan rumah susun sewa sederhana yang letaknya di pusat kota. Dari 4.000 Ha lingkungan permukiman kumuh di DKI Jakarta yang dihuni 2,4 juta jiwa (Kantor Menpera, 1991), berarti ada sekitar 480.000 keluarga yang membutuhkan rumah. Darrundono (1992) menghitung, dengan harga satu unit rumah susun sederhana/murah yang disewakan (Model Sarana Jaya dan Model Pulogadung) yang harga per unitnya Rp 6 juta, berarti diperlukan dana Rp 2.800 milliar atau Rp 2,8 triliun. Jika dana Pemda DKI Jakarta untuk itu harga Rp 100 miliar pertahun, berarti paling sedikit diperlukan 28 tahun untuk merumahkan penghuni lingkungan kumuh. Berkembangnya permukiman modern perkotaan dengan superblok, rumah susun mewah, menengah, dan sederhana serta murah, rumah susun sederhana yang disewakan, peremajaan lingkungan (Segitiga Senen, Blok M, Segitiga Kuningan, Segitiga Sudirman) dan lain-lain, yang hanya dapat dinikmati oleh golongan masyarakat tertentu, ternyata tidak akan mematikan pertumbuhan habitat kampung di perkotaan. Di Jakarta, habitat kampung masih perlu terus ditata agar bisa bersih, hijau, dan lestari serta dapat memenuhi persyaratan rumah sehat. Keberadaan habitat kampung tidak dapat terelakkan. Kehadirannya turut membantu penyediaan rumah bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah yang tidak mampu menjangkau harga rumah yang disediakan oleh pemerintah dan sektor formal lainnya. Kampung perlu ditingkatkan kualitas fisik lingkungannya, kualitas hidup penghuninya, dan diciptakan peluang kesempatan kerja bagi penghuni kampung. Pola bina usaha, bina manusia, dan bina lingkungan harus benar-benar diterapkan di habitat kampung, agar peran kampung dalam konteks pembangunan kota juga dapat dirasakan. Kampung jangan dianggap sebagai musuh pembangunan kota, bahkan kampung merupakan potret kota besar di samping gedung-gedung bertingkat dan modern yang bermunculan. Pertumbuhan kampung yang tidak terelakkan, menuntut adanya perubahan sikap, pandangan dan perilaku para pemikir dan pembangunan perumahan, dari pandangan menggusur kampung menjadi menata kampung. Pandangan terhadap kampung harus ditinjau secara holistik dan komprehensif serta dari sudut pandang inter/multidisipliner. Rumah di lingkungan kampung, harus bisa berfungsi baik sebagai tempat tinggal, tempat pembinaan keluarga, tempat bekerja, tempat kegiatan keluarga, dan tempat yang menentukan produktivitas keluarga. Lingkungan yang tertib, sehat, nyaman, dan aman sangat diidam-idamkan. Rumah-rumah di lingkungan habitat kampung harus diarahkan dan dipelihara agar dapat memenuhi persyaratan rumah sehat. Sehat dari segi kesehatan, antara lain cukupnya penerangan dan peranginan, penyediaan air bersih, 34


pengaturan pembuangan air limbah dan sampah (tidak menimbulkan pencemaran), tidak lembabnya bagianbagian ruang seperti lantai dan dinding, serta terhindar dari pengaruh pencemaran seperti bau, rembesan air kotor, udara kotor, kebisingan, dan sebagainya. Sehat dari segi kekuatan bangunan, ditunjukkan oleh konstruksi bangunan yang cukup kuat (walaupun menggunakan bahan bangunan lokal, bekas, dan sederhana), terhindar dari ancaman angin dan hujan, dan terhindar dari pengaruh kebakaran. Segi kenyamanan rumah perlu diwujudkan oleh penyediaan ruangan yang mencukupi, ukuran ruangan yang disesuaikan dengan kegiatan penghuninya, penataan ruangan yang sempit, tetapi produktif, dekorasi dan warna ruangan yang serasi disesuaikan dengan kemampuan, penghijauan halaman antara lain dengan pot bunga dan tanaman hias yang murah harganya. Aspek lain yang tidak kalah penting adalah keterjangkauan. Rumah hendaknya diatur dan dipeliihara sesuai dengan kemampuan penghasilan keluarga. Angkatan Bersenjata, 14 Agustus 1993 Menelusuri Butir-butir Penataan Ruang Tahun 1992 ditandai dengan ditetapkannya dua Undang-Undang yang terkait, yaitu UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Peru mahan dan Permukiman yang ditetapkan tanggal 10 Maret 1992 dan UU Nomor 24 T ahun 1992 tentang Penataan Ruang yang ditetapkan 13 Oktober 1992. Undang-undang tentang Peru mahan dan Permukiman menyangkut rumah, perumahan, permukiman, satuan lingkungan permukiman, prasarana lingkungan, sarana lingkungan, kawasan siap bangun, lingkungan siap bangun, kaveling tanah matang, dan konsolidasi tanah. Saat ini sedang disiapkan Sembilan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) yang merupakan operasionalisasi dari UU tentang Perumahan dan Permukiman, yaitu yang mengatur persyaratan teknis permukiman, penghunian dan sewa menyewa perumahan, kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun, pelepasan hak atas tanah, kelembagaan (badan pengelola perumahan), peningkatan kualitas perumahan dan permukiman, pembinaan dan pendataan, rumah negara, penyerahan sebagian urusan kepada Pemda, ditambah satu RPP tentang ketentuan Penerapan UU tentang Perumahan dan Permukiman. Undang-Undang tentang Penataan Ruang didasarkan atas pertimbangan bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan letak dan kedudukannya yang strategis sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman ekosistemnya merupakan sumber daya alam yang perlu disyukuri, dilindungi, dan dikelola untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Pengelolaan sumber daya alam yang beraneka ragam di daratan, di lautan, dan di udara, perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan dalam pola pembangunan yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan pembangunan berwawasan lingkungan, yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Penataan Ruang Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Tata ruang, adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Beberapa pengertian lain yang terkait dengan penataan ruang, antara lain rencana tata ruang (hasil perencanaan tata ruang), wilayah, kawasan, kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu. Struktur UU tentang Penataan Ruang meliputi delapan bab, yaitu ketentuan umum, asas dan tujuan, hak dan kewajiban, perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian, rencana tata ruang, wewenang dan pembinaan, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup. Ketentuan umum meliputi kawasan lindung, 35


kawasan budidaya, kawasan perdesaan/perkotaan, dan kawasan terpadu. Asas penataan ruang adalah pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara tertentu, berdayaguna dan berhasilguna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan, serta keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum. Penataan ruang mempunyai tiga tujuan. Pertama, terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Kedua, terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya. Ketiga, tercapainya pemanfaatan ruang yag berkualitas untuk ( 1) mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera, (2) mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia, (3) meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan secara berdayaguna, berhasilguna, dan tepatguna untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, (4) mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan (5) mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan. Penataan ruang mengatur hak dan kewajiban seseorang. Setiap orang berhak menikmati manfaat ruang dan pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang, berhak mengetahui rencana tata ruang, berperanserta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, dan memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang. Setiap orang berkewajiban berperanserta dalam memelihara kualitas ruang dan menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penataan ruang diatur berdasarkan tungsi utama kawasan lindung dan kawasan budidaya, aspek administratif, fungsi kawasan dan kegiatannya, apakah untuk perdesaan, perkotaan atau kawasan tertentu, memperhatikan keterpaduan dan keterkaitan penataan ruang di berbagai tingkatan. Penataan ruang kawasan perdesaan, perkotaan dan kawasan tertentu, diselenggarakan sebagai bagian dari penataan ruang wilayah Nasional, DT I atau DT II. Penataan ruang kawasan perdesaan dan perkotaan diselenggarakan untuk mencapai tata ruang kawasan perdesaan/perkotaan yang optimal, serasi, selaras, dan meningkatkan fungsi kawasan secara serasi, selaras, dan seimbang, guna mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan. Penataan ruang kawasan tertentu diselenggarakan untuk mengembangkan tata ruang kawasan strategis yang diprioritaskan, serta meningkatkan fungsi kawasan lindung dan fungsi kawasan budidaya. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang, antara lain lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial, dan interaksi antar lingkungan, memperhatikan tahapan, pembiayaan, pengelolaan pembangunan, serta pembinaan dan kelembagaan. Masyarakat berperanserta dalam melakukan penataan ruang yang dikerjakan oleh Pemerintah. Perencanaan tata ruang dilakukan melalui proses dan prosedur penyusunan serta penetapan rencana tata ruang. Rencana tata ruang ditinjau kembali dan atau disempurnakan secara berkala, mengikuti kriteria dan tatacara yang ditetapkan Peraturan Pemerintah. Perencanaan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan fungsi budidaya dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi serta fungsi hankam. Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tataguna tanah, tataguna air, tataguna udara dan tataguna sumberdaya alam lainnya. Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya yang didasarkan atas rencana tata ruang dan diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan jangka waktu perencanaan. Dalam pemanfaatan ruang, dikembangkan pola pengelolaan tataguna tanah, tataguna udara dan tataguna sumberdaya alam lainnya sesuai dengan asas penataan ruang dan dikembangkannya pula perangkat yang bersifat insentif dan disinsentif. Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang. Pengawasan dilakukan melalui pelaporan, pemantauan, evaluasi, sedangkan penertiban dilakukan melalui penerapan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tingkatan atau hirarki rencana tata ruang, dimulai dari rencana tata ruang wilayah Nasional (15 tahun), ke rencana tata ruang w11ayah propinsi DT I, dan rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya DT II. 36


Rencana tata ruang wilayah Nasional berisi penetapan kawasan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan tertentu yang ditetapkan secara nasional, norma dan kriteria pemanfaatan ruang, dan pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. RTRWN dijadikan pedoman dalam perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah nasional, mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah serta keserasian antar sektor, pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan atau masyarakat, dan penataan ruang wilayah Propinsi DT I dan wilayah Kabupaten/Kotamadya DT II. RTRWP berisi arahan pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya, arahan pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan dan kawasan tertentu, arahan pengembangan kawasan permukiman, kehutanan, pertanian, pertambangan, perindustrian, pariwisata, dan kawasan lainnya, arahan pengembangan sistem pusat permukiman perdesaan dan perkotaan, arahan pengembangan sistem prasarana wilayah yang meliputi prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan dan prasarana pengelolaan lingkungan, arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan, dan arahan kebijaksanaan tataguna tanah, tataguna air, tataguna udara dan tataguna sumberdaya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. RTRWKIK berisi kawasan lindung dan kawasan budidaya, pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu, sistem kegiatan pembangunan dan sistem permukiman perdesaan dan perkotaan, sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan lingkungan, penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya manusia dan sumberdaya buatan. Rencana tata ruang kawasan perdesaan dan rencana tata ruang kawasan perkotaan merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya DT II. Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah. lni memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk mengatur dan menyelenggarakan penataan ruang serta mengatur tugas dan kewajiban instansi pemerintah dalam penataan ruang. Pemerintah juga menyelenggarakan pembinaan dengan mengumumkan dan menyebarluaskan rencana tata ruang kepada masyarakat serta menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat melalui penyuluhan bimbingan, pendidikan, dan pelatihan. Penataan ruang wilayah Propinsi diatur oleh Gubernur, sedangkan penataan ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya diatur oleh Bupati/Walikotamadya. Untuk DKI Jakarta, pelaksanaan penataan ruang dilakukan oleh Gubernur KDKI NRI Jakarta dengan memperhatikan pertimbangan dari Departemen, Lembaga, dan Badan-badan Pemerintah lainnya serta koordinasi dengan Pemerintah Daerah sekitarnya sesuai dengan ketentuan UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan DKI NRI Jakarta. Tindak lanjut UU Penataan Ruang terkait erat dengan Undang-undang lain, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Daerah, yang terkait dengan perundang-undangan, antara lain penataan ruang wilayah propinsi DT I dan DT II di samping meliputi ruang daratan, juga mencakup ruang lautan dan ruang udara sampai batas tertentu yang diatur dengan peraturan perundang-undangan, penataan ruang lautan dan penataan ruang udara di luar yang dimaksud di atas, pengelolaan kawasan tertentu yang diselenggarakan oleh pemerintah, perencanaan tata ruang yang dilakukan melalui proses dan prosedur penyusunan serta penetapan rencana tata ruang, perencanaan tata ruang yang berkaitan dengan fungsi Hankam sebagai subsistem perencanaan tata ruang, penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang diselenggarakan dalam bentuk pengenaan sanksi, dan rencana tata ruang digambarkan dalam peta dan tingkat ketelitian tertentu. Presiden menunjuk seorang Menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan ruang. Tugas koordinasi termasuk pengendalian perubahan fungsi ruang suatu kawasan dan pemanfaatannya yang berskala besar dan berdampak panting, perlu dikoordinasikan oleh Menteri setelah berkonsultasi dengan DPR. Beberapa Peraturan Pemerintah yang perlu disiapkan sebagai tindaklanjut UU Penataan Ruang, meliputi pengaturan tentang pelaksanaan hak dan kewajiban setiap orang, kriteria dan tatacara peninjauan kembali dan atau penyempurnaan rencana tata ruang, pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata 37


guna udara, dan tata guna sumberdaya lainnya, rencana tata ruang wilayah nasional, kawasan, pedoman, tatacara, dan lain-lain yang diperlukan bagi penyusunan tata ruang. Peraturan Daerah yang harus disiapkan, meliputi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DT I dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kotamadya DT II. Angkatan Bersenjata, 15 Januari 1993 Koordinasi Pengembangan Kota Mandiri Jonggol Munculnya Keputusan Presiden Nomor 1 T ahun 1997 Ten tang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri yang ditetapkan 15 Januari 1997 merupakan pertanda dimulainya pembangunan Kota Jonggol dan sekitarnya (sebagian Cileungsi, Cariu, dan Tanjungrasa) menjadi Kota Mandiri. Keppres ini mempertimbangkan lima hal. Pertama, peningkatan kegiatan ekonomi dan perkembangan penduduk yang tinggal di wilayah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) perlu diimbangi dengan pengembangan pusat-pusat permukiman baru yang dilengkapi dengan sistem prasarana dan sarana serta fasilitas pendukung yang mandiri di wilayah Jabotabek. Kedua, dalam rangka pengembangan pusat-pusat permukiman baru di wilayah Jabotabek tersebut, dipandang perlu mengembangkan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri. Ketiga, pengembangan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peningkatan kualitas ruang wilayah dalam upaya menciptakan perkembangan wilayah yang telah seimbang. Keempat, pengembangan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri dimaksudkan untuk mengurangi kepadatan penduduk dan kegiatan masyarakat di kota besar yang sudah padat, meningkatkan pengelolaan sumberdaya air, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menterpadukan pemanfaatan ruang di sekitarnya, dan meningkatkan fungsi ruang yang lebih seimbang. Ke/ima, dalam rangka mewujudkan hal-hal tersebut di atas, pengembangan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri memerlukan koordinasi pengelolaan yang serasi dan terpadu. Beberapa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden dijadikan landasan dalam penetapan Keppres ini, yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, Undang-Undang tentang Pembentukan Propinsi Jaw a Barat (UU 11 /1950), ten tang Peraturan Daerah Pokok-pokok Agraria (UU 5/1960), Pokok-pokok pemerintah di Daerah (UU 5/1974), Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 4/1982), Perumahan dan Permukiman (UU 4/1992), dan Penataan Ruang (UU 24/1992). Peraturan Pemerintah yang dijadikan acuan adalah tentang Koordinasi Kegiatan lnstansi Vertikal di Daerah (PP 6/1988) dan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang (PP 69/1996), sedangkan Keppres yang dijadikan acuan adalah Keppres tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional (Keppres 75/1993). Jonggol Kota Mandiri Untuk menyatukan pengertian, maka pengertian tentang Pengembangan Kawasan Jonggol Sebagai Kota Mandiri mencakup enam hal. Pertama, penyusunan rencana pemanfaatan ruang kawasan Jonggol dengan mempertimbangkan batasan peraturan perundang-undangan yang ada serta mempertimbangkan asas pelestarian lingkungan yang serasi dan seimbang guna menunjang pembangunan kota yang berkesinambungan. Kedua, penyusunan dan penetapan rencana pemanfaatan ruang perkotaan (kawasan permukiman, 38


kawasan perdagangan, kawasan pendidikan, dan lain-lain) dan wilayah untuk kegiatan non-perkotaan (kawasan pertanian, kawasan perkebunan, kawasan lindung, waduk dan bendung dan lain-lain) yang serasi dan seimbang. Ketiga, penyusunan dan penetapan rencana pengembangan ekonomi, sosial dan budaya yang saling menunjang, baik di dalam kawasan Jonggol maupun keterkaitannya dengan wilayah lain di dalam wilayah Jabotabek yang berwawasan lingkungan dan kemitraan. Keempat, pemberdayaan masyarakat terutama masyarakat setempat untuk ikut serta secara langsung dalam pengembangan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri. Kelima, perwujudan rencana tersebut di atas dalam rangka membangun dan mewujudkan kota yang mandiri yang didukung oleh sistem prasarana, sarana perkotaan, serta fasilitas pendukung yang terpadu. Keenam, pembangunan kemitraan yang saling menguntungkan antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam pengembangan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri. Wilayah perencanaan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri (lihat tabel), secara administratif berada di Kabupaten DT II Boger meliputi tiga kecamatan dan 24 desa, yaitu Kecamatan Cileungsi (Desa Leuwikaret), Kecamatan Jonggol (Desa Sukawangi, Wargajaya, Sirnajaya, Sukamulya, Cibadak, Sukamakmur, Pabuaran, Sukajaya, sebagian desa-desa Cibodas, Singasari, Sukaresmi, Sukanegara, Sukadamai, dan Sukaharja), Kecamatan Cariu (Desa Sukarasa, Selawangi, dan sebagian Desa-desa Karyamekar, Bantarkuning, Tanjungrasa, Cibadak, Tanjungsari, Sirnasari, dan Sirnarasa). Wilayah perencanaan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri yang disebutkan di atas terletak pada kawasan yang diapit oleh jalan utama jalur Jakarta-Bandung melalui Jakarta-Ciawi-Puncak-Cianjur dan Jakarta-Jonggoi-Cariu-Cianjur. Dalam rangka mengendalikan koordinasi pengembangan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri, dengan Keppres ini dibentuk Tim Pengarah Pengembangan Kawasan Jonggol Sebagai Kota Mandiri dan Badan Pengendali Pengembangan Kawasan Jonggol Sebagai Kota Mandiri. Tim Pengarah dipimpin oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasionai/Ketua Bappenas (merangkap anggota) dengan sembilan anggota (Menteri Sekretaris Negara, Mendagri, Menhankam, MenPU, Menhub, Menneg Agraria/Kepala BPN, Menneg LH, Mennegpera) dan Deputi Ketua Bappenas Bidang Regional dan Daerah selaku Sekretaris Tim Pengarah. Gubernur Kepala DT I Propinsi Jawa Barat ditugaskan sebagai Ketua/Pelaksana Harian adalah Wagub Bidang Ekonomi dan Pembangunan dan Ketua Bappeda Tingkat I Propinsi Jawa Barat sebagai Sekretaris. Tujuh Anggota BADAN PENGENDALI terdiri atas Kakanwil Pertanahan, Kakanwil PU, Kakanwil Kehutanan, Kakanwil Pertanian (walau menterinya tak menjadi anggota pengarah?), Kakanwil Perhubungan, Bupati Kepala DT II Kabupaten Boger, dan pejabat Pemerintah terkait lainnya yang dipandang perlu, yang pengangkatannya dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat selaku Ketua BAD AN PENGENDALI. Untuk kelancaran administratif, Sekretaris BADAN PENGENDALI membawahkan sebuah Sekretariat. TIM PENGARAH mempunyai tugas (a) memberi pengarahan kepada BADAN PENGENDALI dalam mewujudkan kota Jonggol yang mandiri, (b) melakukan koordinasi penataan ruang kawasan Jonggol sebagai bagian dari penataan ruang wilayah Jabotabek, dan (c) melakukan koordinasi perencanaan program-program pembangunan lintas sektoral yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan terkait dengan pengembangaan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri. Mekanisme pengarahan dapat dilakukan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dan dalam hal pengarahan diperlukan secara bersama-sama, koordinasinya dilakukan oleh Menneg PPN/Ketua Bappenas selaku Ketua TIM PENGARAH. BADAN PENGENDALI yang bertanggungjawab kepada Presiden dan melaporkan secara berkala kemajuan perkembangan pembangunan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri kepada Tim Pengarah, bertugas (a) mengendalikan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri, dan (b) mengendalikan koordinasi penataan ruang wilayah kawasan Jonggol sebagai kota mandiri agar terpadu dengan penataan ruang wilayah Jabotabek sesuai dengan arahan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (yang dipimpin oleh Menneg PPN/Ketua Bappenas selaku ketua BKTRN). Wewenang dan tanggungjawab koordinasi pengembangan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri berada pada Gubernur Kepala DT I Propinsi Jawa Barat. 39


Untuk menyelenggarakan pengembangan kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri, Gubernur Jawa Barat membentuk Badan Pelaksana Pengembangan Kawasan Jonggol Sebagai Kota Mandiri beranggotakan wakil-wakil dari Pemerintah DT I Propinsi Jawa Barat, Pemerintah DT II Kabupaten Bogor, dan pihak-pihak terkait lainnya yang dipandang perlu. BADAN PELAKSANA yang penting peranannya di lapangan, mempunyai lima tugas. Pertama, menyusun rencana tata ruang kawasan Jonggol sebagai kota mandiri yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RUTRW) Kabupaten DT II Bogor. Kedua, menterpadukan penataan ruang kawasan Jonggol sebagai kota mandiri sebagai bagian dari pemanfaatan ruang wilayah Jabotabek. Ketiga, menjabarkan rencana tata ruang kawasan Jonggol sebagai kota mandiri ke dalam program pembangunan jangka panjang (25 tahun), program pembangunan jangka menengah (5 tahun), dan program pembangunan tahunan. Keempat, menyelenggarakan koordinasi pelaksanaan program-program pembangunan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri, baik yang dilakukan melalui pola kemitraan antara BAD AN PELAKSANA dengan BADAN USAHA SWASTA, yang dilakukan oleh MASYARAKAT, maupun yang dilakukan oleh PEMERINTAH. Kelima, secara berkala BADAN PELAKSANA melaporkan perkembangan dan kemajuan pembangunan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri kepada BADAN PENGENDALI. Dalam melaksanakan program-program pembangunan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri, BADAN PELAKSANA dapat melakukan kerjasama usaha dengan pihak lain. Syarat-syarat, tata cara, dan pola kerjasama usaha diatur oleh Gubernur Jawa Barat. Penyelenggaraan pengembangan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri dan kerjasama model di atas tidak mengurangi wewenang dan tanggungjawab Gubernur Jawa Barat. Mengenai perolehan tanah dan pemberian hak-hak atas tanah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Barangkali merupakan hal yang menarik, yaitu segala biaya yang diperlukan bagi penyelenggaraan pembangunan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri dilakukan sepenuhnya oleh usaha swasta dengan tetap mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dalam kegiatankegiatan pembangunan tertentu, Pemerintah dapat membantu dengan tetap berpegang kepada pola kemitraan. Harapan Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri yang luasnya di atas 10.000 Ha, hampir mendekati luas Kecamatan Serpong 11.000 Ha (di dalamnya terdapat kota mandiri Bumi Serpong Damai yang direncanakan 6.000 Ha, sebagian besar dihuni orang Jakarta dan belum dapat diciptakan kesempatan kerja dan lapangan kerja yang memadai), diharapkan dapat dibangun dan dikembangkan menjadi kota yang mandiri. Kota Mandiri Jonggol yang belakangan ini "disebut-sebut" menjadi alternatif calon ibukota negara Republik Indonesia yang baru, hendaknya dibangun dalam konteks pembangunan wilayah yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Kota Mandiri Jonggol seperti juga kota-kota mandiri lainnya di Indonesia yang diisi pembangunan perumahan dan permukiman skala besar, antara lain Bumi Serpong Damai, Drioredjo di Gresik, Kota Legenda di Bekasi, Kota Lippo di Cikarang, dan Lippo Karawaci Tangerang, diharapkan pembangunannya tidak mengganggu kelestarian lingkungan. Lokasinya yang berada di Kabupaten Bogor dan Cianjur mengharuskan adanya keterpaduan koordinasi Pemda Tingkat II Kabupaten Bogor dan DT II Kabupaten Cianjur, serta koordinasi dengan DT II tetangga, yaitu Pemerintah DT II Kabupaten Bekasi dan DT II Kabupaten Karawang. Pengembangan Kota Mandiri Jonggol hendaknya belajar dari pengalaman penataan Kawasan Puncak. Pengendalian pembangunan Kawasan Puncak diatur melalui Keppres 48/1983 tentang Penanganan Khusus Penentuan Ruang dan Penertiban serta Pengendalian Pembangunan pada Kawasan Pariwisata Puncak dan Wilayah Jalur Jalan Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur di luar wilayah DKI Jakarta (dikenal sebagai wilayah Bopunjur) dan Keppres 79/1985 ten tang Penetapan Rencana Umum T ata Ruang Kawasan Puncak, tetapi pada kenyataannya, masih terdapat berbagai penyimpangan, sehingga menimbulkan banyak permasalahan lingkungan hidup. Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri haruslah mengantisipasi permasalahan yang diperkirakan akan muncul, antara lain penataan ruang, sumber air bersih, jaringan transportasi, banjir, 40


berkurangnya lahan sawah dan lahan pertanian, penyediaan listrik, sistem pemerintahan (peningkatan dari Kecamatan menjadi Kota Administratif), pemanfaatan lahan bekas kebun karet, penggalian pasir dan tanah, penyediaan lapangan kerja bagi penduduk setempat dan konsep "pembangunan tanpa menggusur". Posisi strategis Jonggol yang dapat dengan mudah ditempuh dari Jakarta melalui Cibubur (JakartaCibubur-Cibucii-Jonggol), dan Cikarang (Jakarta-Bekasi-Cikarang-Lemahabang-Cibarusah-Cibucii-Jonggol) akan menjadi incaran warga Jakarta dan Bogor yang "berduit". Keberadaan Jonggol yang tidak jauh dari taman buah Mekar Sari dan letaknya pada jalur alternatif jalan baru Cibubur-Cileungsi-Jonggoi-CariuTanjungrasa-Tanjungsari-Cibeet-Cianjur (untuk menghindari kemacetan jalur Cibubur-Ciawi-Puncak-Cianjur), merupakan daya tarik tersendiri. Semoga kehadiran Kota Mandiri Jonggol dapat dijadikan contoh salah satu pengembangan wilayah yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, memberi lapangan pekerjaan kepada penduduk setempat, dan dapat meningkatkan tarat kehidupan masyarakat di kawasan ini. Penulis yang dilahirkan di Sirnagalih Jonggol, sangat mengharapkan agar pengembangan kota mandiri Jonggol dapat berperan sebagai penyangga bagi ibukota Jakarta dan dapat berkembang menjadi kota masa depan yang bersih, lestari, dan berwawasan lingkungan. Jayakarta, 3 Juli 1997 Kecamatan (3) dan Desa (24) Yang Termasuk Pengembangan Kawasan Jonggol Seba~ Kota Mandiri ~ I Cileungsi Jonggol Cariu a ----- Des a Leuwikaret Sukawangi Sukarasa Wargajaya Selawangi -l Sirnajaya Sukamulya Cibadak I Sukamakmur Pabuaran Sukajaya ------------- ----------------- .... ------------------- ................................. Sebagian Desa Cibodas Karyamekar Singasari Bantarkuning Sukaresmi Tanjungrasa Sukanegara Cibadak Sukadamai Tanjungsari Sukaharja Sirnasari Sirnarasa Sumber: Jumlah Lampiran Desa Keputusan Presiden Nomor 1 1 Tahun 1997. 14 9 ~ 41


Penataan Kawasan Pantai DKI Jakarta Sejarah kota Jakarta erat hubungannya dengan kota pelabuhan Sunda Kelapa di Teluk Jakarta, di muara Kali Ciliwung. Perubahan Sunda Kelapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527 (Abdul Hakim: Jakarta Tempo Doeloe, 1989) merupakan titik awal kemenangan berjaya yang akhirnya menuju DKI Jakarta sebagai lbukota Negara Republik Indonesia (UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan DKI NRI Jakarta). RUTR DKI Jakarta 2005 merencanakan pembangunan ibukota melalui sembilan Wilayah Pengembangan, yaitu WP Barat Laut (8.073,4 Ha), Utara (8.465,8 Ha), Tanjung Priok (3,337,4 Ha), Timur Laut (7.709,6 Ha), Barat (7.545,2 Ha), Pusat (7.736,0 Ha), Timur (8.630,8 Ha), Selatan (12.948,0 Ha) dan Kepulauan Seribu (1.500 Ha). Diinginkan agar pengembangan ke arah Selatan berkurang, sedangkan poros Barat-Timur ditingkatkan, termasuk pengembangan WP Barat Laut, Utara, dan Timur Laut. Kawasan Pantai Jakarta meliputi WP Barat Laut, Utara dan Timur Laut serta Kepulauan Seribu. Tanjung Priok di WP Utara telah tumbuh dengan fasilitas pelabuhan dan permukiman khususnya bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah, WP Timur Laut banyak dihuni nelayan dengan prasarana lingkungan yang serba kurang. Sedangkan WP Barat Laut yang belakangan ini lebih dikenal sebagai Kawasan Pantai Kapuk, Muara Angke, dan Muara Karang, selain sebagian digunakan sebagai hutan kota, juga diprioritaskan pada · pengembangan perumahan mewah bagi golongan masyarakat berpenghasilan tinggi dan sangat tinggi. Antara Barat Laut dan Timur Laut Jakarta ironis kelihatannya, tetapi itulah kenyataannya. Permasalahan pengelolaan kawasan pantai antara lain kurangnya data dasar, kompleksnya permasalahan lingkungan, kurangnya kelengkapan administrasi dan peraturan perundang-undangan, kurangnya pengetahuan kelautan dan usaha pengembangan kawasan pantai, kurangnya tenaga ahli, dan lemahnya sistem koordinasi dalam mengembangkan wilayah secara menyeluruh dan terpadu. Yang terakhir ini kelihatannya paling penting dan menentukan, karena melibatkan kepentingan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Swasta. Noer Sajidi (1989) mengatakan bahwa kawasan perairan yang meliputi pantai laut, sungai dan danau, adalah daerah yang terdiri atas bagian daratan dan perairan yang saling mempengaruhi baik karena sifat alam maupun pengaruh habitatnya. Ditegaskannya bahwa hubungan ilegal di tepi pantai dan sungai sangat kontradiktif dengan upaya yang dilakukan pemerintah. lronisnya, bangunan di kawasan itu justru memperoleh fasilitas jaringan air minum, listrik, dan telepon. Pertumbuhan bangunan yang ilegal dan tidak terkendali menyebabkan terhalangnya obyek wisata (Danau Toba), terganggunya lalu lintas di daerah aliran sungai (Sungai Musi), kerusakan dan kehancuran biota dan abiota air (Teluk Jakarta), meningkatkan kerawanan lingkungan terhadap keamanan, bahaya kebakaran dan obyek wisata itu sendiri. Radinal Moochtar, Menteri PU, menyatakan bahwa banyak kota pantai yang perkembangannya sangat pesat, jauh melampaui daya dukung fasilitas dan utilitas kota. Banyak sungai yang tingkat pencemarannya parah karena meningkatnya kegiatan industri yang tidak memperhatikan peraturan lingkungan, misalnya membuang limbah atau sampah industri ke sungai. Departemen PU berperan terutama yang berkaitan dengan permukiman melalui program pengendalian pencemaran, pembinaan daerah pantai dan usaha pemanfaatan kawasan pantai. Tenaga coastal engineering yang masih sedikit, memerlukan perhatian kita bersama untuk secepatnya mengisi kekurangan tersebut. Penataan kawasan pantai perlu dilakukan melalui pelaksanaan pengaturan dan peraturan, kelompok kerja pelestarian lingkungan, pusat-pusat studi lingkungan, penataan bangunan oleh pemerintah daerah, investor, developer, pedagang, dan peran masyarakat. Seorang peneliti Puslitbang Oseanologi LIPI, Dr. Otto Ongkosono, telah melakukan berbagai penelitian 42


mengenai pemanfaatan wilayah pesisir di Teluk Jakarta, Muara Karang, Sunda Kelapa, Marunda, Kepulauan Seribu, dan Cilacap. lsu negatif pencemaran, erosi, sedimentasi, kekeruhan perairan, dan pemiskinan terjadi sebagai akibat perbuatan yang merusak lingkungan, antara lain pengerukan dasar laut, pengurugan, penanggulan, pembangunan pelabuhan, penggalian pasir, penambangan karang pantai, penebangan mangrove, kegiatan PL TU, pertambakan dan pembangunan taman rekreasi dan pariwisata yang tidak teratur. Di dalam pengembangan Sembilan Wilayah Pengembangan DKI Jakarta pada RUTR DKI Jakarta 2005, terkandung kebijaksanaan rencana umum tata ruang mengenai lingkungan/ruang terbuka hijau, daerah pengamanan lingkungan, daerah pemugaran, kawasan Condet, dan pengembangan wilayah khusus (daerah pesisir pantai, kepulauan Seribu, kawasan Halim, TMII dan Makohankam, bekas pelabuhan udara Kemayoran, dan lingkungan Monas. Penataan lingkungan dan ruang terbuka hijau dalam rangka pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, berusaha memelihara keseimbangan lingkungan alam dan lingkungan binaan, memperkecil berbagai polusi (udara, air, suara dan visual), serta menciptakan lingkungan perkotaan yang baik dan nyaman. Pantai Jakarta pada WP Barat Laut dikhususkan sebagai daerah pengamanan dari daerah pantai (penahan intrusi air laut dan pengaman dari kemungkinan abrasi pantai). Dari Barat sampai dengan Muara Angke (kurang lebih 5 kilometer) ditetapkan sebagai Hutan Lindung atau daerah preservasi hijau. Telah ditentukan, 100 meter dari tepi pantai ditetapkan sebagai hutan lindung atau daerah preservasi hijau. Dari batas hutan lindung ini ke Jalan Lingkar Utara, ditetapkan sebagai daerah pengembangan Hutan Wisata. Sejalan dengan itu, dikembangkan kegiatan rekreasi dan olahraga di arena terbuka seperti olahraga air, golf course, camping ground, dan olahraga orang kaya lainnya. Sebagian dapat dibangun untuk Wisma Taman dan kepadatan rendah. Program penghijauan yang lokasinya bertetangga dengan kawasan Pantai Barat Laut atau Pantai Kapuk, antara lain penghijauan sepanjang Cengkareng Drain, sepanjang kali Banjir Kanal Muara Angke, sekitar waduk pengendalian banjir, sepanjang jalur hijau jaringan jalan raya dan kereta api, dan di bawah sepanjang jaringan listrik tegangan tinggi. RUTR OKI 2005 menegaskan bahwa Taman a tau lahan kota yang mempunyai potensi tinggi untuk menunjang ekosistem dan ekologi kota akan dipertahankan sebagai areal terbuka dengan kehidupan alam aslinya atau sebagai daerah hijau. lni dilakukan pada daerah yang peka terhadap lingkungan, seperti kawasan hutan Angke Kapuk, Condet untuk buah-buahan, dan Selatan Jakarta sebagai daerah resapan, dan pengamanan daerah rawan banjir di Wilayah Barat Laut, Utara, dan Timur Laut. Pemugaran dilakukan terhadap lingkungan yang sudah teratur, bangunan bersejarah dan memiliki nilai arsitektur tinggi. Pengamanan daerah pesisir pantai Jakarta (membujur dari perbatasan Pemda Jawa Barat-DKI, dari Pantai Muara Kamal di sebelah Barat sampai dengan Pantai Marunda di sebelah Timur, dan dibatasi di Selatan oleh jalur harbour road. Tiga kebijaksanaan pokok telah dituangkan, yaitu konservasi, preservasi, dan pembangunan. Konservasi dimaksudkan untuk mempertahankan daerah penghijauan yang masih mungkin sekaligus mengurangi tingkat pencemaran, khususnya daerah pesisir pantai Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Preservasi, untuk meningkatkan peran lingkungan yang memiliki nilai-nilai historis bagi kepentingan pendidikan dan rekreasi. Pembangunan kawasan pesisir dan pantai dilakukan untuk memberi ruang gerak terhadap kegiatan pembangunan yang memiliki nilai khusus dalam konteks nasional dan regional (Pelabuhan Tanjung Priok serta PLTU Muara Karang dan Tanjung Priok) tanpa menambah beban baru pada lingkungan serta mengembangkan sarana rekreasi bagi kepentingan umum (Piuit, Ancol, Kapuk, dan sebagainya). RUTR ini tidak secara tegas menyebutkan pengembangan permukiman di sekitar kawasan pantai. lnsgub DKI Jakarta Nomor 6787/IX/1982 dan SK Menteri Pertanian Nomor 524/Kpts/Um/7/1982 serta Keputusan Menteri terkait lainnya mengenai penataan Kepulauan Seribu, pada dasarnya berusaha meningkatkan kawasan ini sebagai daerah kegiatan pariwisata dan perikanan, nelayan, konservasi serta pelestarian alam dan biota laut dalam konteks Taman Nasional. Penataan kawasan Halim, TMII, Makohankam, Kemayoran, dan Monas, telah mulai nampak sebagai perwujudan cita-cita pembangunan berwawasan lingkungan. Proyek Permukiman Mewah Pantai lndah Kapuk yang konon bisa mengurangi luas kawasan hutan 43


lindung dan hutan kota (dengan ruijslag menggantinya menjadi hutan bukan kota yang sudah tentu letaknya tidak di ibukota DKI Jakarta tercinta), tetapi mendukung penyediaan berbagai prasarana lingkungan dan fasilitas umum (pendidikan, kesehatan, olahraga, rekreasi, perdagangan, perkantoran, dan sebagainya, khususnya untuk golongan masyarakat berpenghasilan tinggi dan sangat tinggi), di satu pihak membantu pembukaan daerah baru Kapuk yang belum berkembang, mengurug rawa-rawa yang tidak berfungsi ekonomi menjadi kawasan produktif, membuka kesempatan kerja dan berusaha, di pihak lain hanya akan berhasil dan bisa bermanfaat bagi warga ibukota, jika pembangunan tersebut tidak merusak penataan lingkungan hidup setempat. Pantai lndah Kapuk yang dibangun oleh PT Mandara Permai (Pondok lndah Group: Real Estate Expo '91 ), merupakan sebuah kota impian yang meliputi area seluas 1.200 Ha di Pantai Barat Laut Jakarta. Lokasinya sangat strategis, pada persimpangan jalan tol Prof. Sediyatmo dengan jalur Lingkar Luar Jakarta, hanya 10 Km dari Bandara lnternasional Soekarno-Hatta, 6 Km dari pusat perdagangan Pintu Kecil, Glodok dan Manggadua, serta tidak jauh dari Taman lmpian Jaya Ancol dan Pelabuhan Tanjung Priok. Pantai lndah Kapuk memadukan tiga fungsi, wisata dan rekreasi, komersial, serta hunian. Danau dan jalur pejalan kaki serta taman, melengkapi keindahan dan kenyamanan kawasan ini. Pantai lndah Kapuk didesain untuk menjawab kebutuhan kota metropolitan, megapolitan, dan kosmopolitan modern dengan suasana kota air, hijau, dan kota wisata. Kawasan ini akan menjadi bagian kota berwawasan internasional yang dilengkapi berbagai fasilitas perkotaan, yaitu pusat komersial, perkantoran, hotel, apartemen, sarana wisata belanja (shopping mall), pusat seni, wisata boga, rumah golf yang kesemuanya mendukung kehidupan kosmopolitan. Pantai Kapuk juga akan merupakan kota air, marina dengan kanal-kanal yang terbuka bagi kapal motor, rumah mungil di pantai, dan kehidupan bahari modern. Kawasan ini suatu saat akan bisa dinikmati seperti Amsterdam, Rotterdam, San Diego, atau Venesia. Harapan. Berbagai peraturan perundang-undangan telah disiapkan oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk mengamankan pembangunan Jakarta, dari RUTR DKI Jakarta 2005, Pola Dasar Pembangunan DKI Jakarta, RBWK, dan RTK, Repelita V DKI Jakarta, sampai ke Rencana Pembangunan Tahunan DKI Jakarta, Tingkat propinsi Wilayah Kota, Kecamatan, dan Kelurahan. Yang tidak kalah pentingnya adalah SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 540 Tahun 1990 tentang kewajiban pemegang SP3L (Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan) dalam pembangunan fisik kota seluas 5.000 m2 atau lebih, untuk membiayai dan membangun rumah susun murah beserta fasilitasnya seluas 20 persen dari areal manfaat secara komersiil. Kepgub ini disusul Kepgub Nomor 354 Tahun 1992 tentang Juknis Kepgub Nomor 540 Tahun 1990 dan Kepgub Nomor 640 T a hun 1992 tentang Ketentuan terhadap Pembebasan Lokasi/Lahan tanpa ijin dari Gubernur. Permasalahannya adalah sejauh mana konsistensi pelaksanaannya dan seberapa kuat aparat pengawasan benar-benar bisa mengawasi pelaksanaannya. Harapan kita, seperti secara tegas dalam lingkup nasional diharapkan oleh Soeriaatmadja, Asisten Menneg KLH, pembangunan hendaknya berorientasi pada pembangunan berwawasan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, berusaha membasmi kemiskinan, mengendalikan perubahan pola konsumsi, mengatasi masalah kependudukan, pendidikan dan kesehatan, menggunakan sumber alam dan sumber daya manusia secara rasional, menciptakan keseimbangan daya dorong terhadap keseimbangan produksi dan konsumsi, yang dilakukan melalui peningkatan persepsi masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan hidup (alam dan binaan), pemantauan (indikator, kriteria dan daya dukung lingkungan), serta menekan pencemaran dan kemungkinan bencana. UU tentang Perumahan dan Permukiman dan UU tentang Penataan Ruang telah ada. Tantangan bagi semua pihak adalah pelaksanaan secara murni dan konsekwen butir-butir yang dikandung pada dua undang-undang tersebut. Khusus pada pengembangan Pantai lndah Kapuk, semoga hasil-hasil pembangunan di kawasan ini bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat ibukota khususnya dan bangsa Indonesia umumnya. Pengembangan Kawasan Pantai lndah Kapuk diharapkan memacu dan ikut berperan mendukung keterpaduan pengembangan kawasan lindung Muara Angke Kapuk, eagar alam Kapuk, Pulau Bokor dan 44


Pulau Rambut, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Taman Wisata Alam Kapuk, Pulau Penjaliran Barat dan Timur, kawasan resapan air, sepadan sungai, penataan sekitar danau dan waduk, sekitar mata air, eagar budaya, hutan kota, pusat penelitian iptek laut dan kelautan, serta hutan wisata agro. Semoga. Merdeka, 14 Ju/i 1994 Penataan Ruang Wilayah Pesisir Undang Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (yang mengandung pengertian ruang, tata ruang, penataan ruang, rencana tata ruang, wilayah, kawasan, kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu) yang berasaskan pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdayaguna dan berhasilguna, serta keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum, mempunyai tiga tujuan. Pertama, terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Kedua, terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya. Ketiga, tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas, untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera, mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia, meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara berdayaguna, berhasilguna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan. Dalam penataan ruang dikenal adanya pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya sesuai dengan asas penataan ruang. Salah satu kawasan yang juga perlu diatur adalah pembangunan dan pengembangan kawasan pantai dalam kaitannya dengan penataan ruang wilayah pesisir. Tulisan ini berusaha membahas pokok-pokok pikiran tentang penataan ruang wilayah pesisir, mengacu pada makalah yang disajikan oleh Aca Sugandhy, Asisten Menneg LH Bidang Perumusan Kebijaksanaan, yang disajikan pada Seminar Teknik Pantai '93, diselenggarakan oleh Laboratorium Pengkajian Teknik Pantai, BPP Teknologi di Yogyakarta tanggal 10- 11 Desember 1993. Wilayah Pesisir Lima pengertian yang menyangkut pesisir perlu diketahui. Wilayah Pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut. Secara fisiografis didefinisikan sebagai wilayah antara garis pantai hingga ke arah daratan yang masih dipengaruhi pasang surut air laut, dengan Iebar yang ditentukan oleh kelandaian (% lereng) pantai dan dasar laut, serta dibentuk oleh endapan lempung hingga pasir yang bersifat lepas, dan kadang materinya berupa kerikil. Ruang Wilayah Pesisir merupakan ruang wilayah di antara ruang daratan dengan ruang lautan yang saling berbatasan. Ruang daratan dengan ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan termasuk perairan darat dan sisi darat dari garis laut terendah. Ruang lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis laut terendah, termasuk dasar !aut dan bagian bumi di bawahnya. Pantai a tau Pesisir merupakan daerah darat, atau bisa berundulasi (bergelombang) dengan perbedaan ketinggian tidak lebih dari 200 m, yang dibentuk oleh endapan pantai dan sungai yang bersifat lepas. Umumnya dicirikan dengan adanya bagian yang kering (daratan) dan basah (rawa). Garis Pantai merupakan suatu garis batas pertemuan (Kontak) antara daratan dengan air !aut. Posisinya bersifat tidak tetap, dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. Berdasarkan asal mula pembentukannya, pantai di Indonesia dikategorikan menjadi pantai tenggelam 45


(sub-emergence), timbul (emergence), pantai netral, dan pantai campuran (compound), sedangkan berdasarkan tipe-tipe paparan (shelf) perairan pantai dikategorikan atas pantai paparan (Utara Jawa, Timur Sumatera, Selatan dan Timur Kalimantan, Selatan Irian Jaya), pantai samudera (Selatan Jawa, Barat Sumatera, Utara dan Timur Sulawesi, dan Utara Irian Jaya), dan pantai pulau (Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Nias, dan Sangihe-T alaud). Kawasan Permukiman Pesisir merupakan suatu lingkungan hunian dan tempat kegiatan mendukung peri kehidupan dan penghidupan yang dipengaruhi oleh sifat alam wilayah pesisir. Tipe permukiman pesisir dibagi atas permukiman tradisional (petani nelayan, petani garam, petani tambak udang, peternak, petani budidaya dan pendulang batuan) dan permukiman modern (penjual jasa pariwisata dan permukiman campuran). Dalam perkembangannya, di wilayah pesisir terdapat kawasan kota pantai (Jakarta, Surabaya, Semarang, Ujunpandang, Banjarmasin) dan kawasan desa pantai. Ada beberapa macam pola pemanfaatan ruang wilayah pesisir, antara lain kawasan berfungsi budidaya (industri, pariwisata, pelabuhan, budidaya sumber daya laut, permukiman) dan kawasan berfungsi lindung (rawa pantai, hutan bakau, terumbu karang, rumput laut, dan lain-lain). Berbagai peraturan perundang-undangan dijadikan acuan dalam penyusunan tata ruang wilayah pesisir, antara lain UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, PP Nomor 29 Tahun 1986 tentang AMDAL, Keppres Nomor 57 Tahun 1989 tentang Tim Tata Ruang Nasional dan Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan Keppres Nomor 33 Tahun 1990 tentang Kawasan lndustri. Pendekatan pemanfaatan ruang untuk penyusunan penataan ruang wilayah pesisir tidak dapat dipisahkan dari konsep perencanaan tata ruang untuk keseluruhan wilayah. Struktur rencana tata ruang, mengacu pada Strategi Nasional Pembangunan Pola Tata Ruang (SNPPTR), Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DT I dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kotamadya DT II. Pendekatan pembangunan dan penataan ruang wilayah pesisir (Aca Sugandhy, 1993) mengacu pada teknik pengamanan kawasan fungsi lindung di wilayah pesisir (kawasan konservasi dan spesies yang dilindungi, garis sepadan pantai, hutan bakau, padang lamun, dan terumbu karang) dan teknik pengembangan kawasan budidaya di wilayah pesisir (pertanian tambak, pertanian garam, budidaya laut, industri, permukiman, perhubungan laut, dan pariwisata bahari). Penataan Ruang Di dalam penataan ruang wilayah perlu diperhatikan rekayasa teknik pemanfaatan ruang dan rekayasa sosial budaya. Rekayasa teknik sangat dibutuhkan, karena pembudidayaan wilayah pesisir haruslah memperhatikan asas konservasi, dalam rangka meminimalkan tekanan dan dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya. Zonasi sebagai salah satu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang, merupakan upaya penetapan batas-batas fungsional suatu peruntukan (kawasan budidaya, permukiman, dan kawasan lindung). Penetapan batas-batas fungsional wilayah pesisir erat kaitannya dengan aspek sosial budaya masyarakat pesisir. Untuk kawasan permukiman, teknik bangunan sangat dipengaruhi keadaan alam pesisir. Permukiman nelayan ditata mengikuti nilai-nilai sosial-budaya penduduk setempat dan tidak bisa diseragamkan di seluruh tanah air. Juga perlu diperhatikan siklus pasang surut air laut, potensi erosi yang berkaitan dengan pembentukan sedimen, siklus hidrologi, dan limbah. Selain itu, perlu diperhatikan pula fungsi tanah basah (Wetland), meminimalkan kegiatan pengurukan (reklamasi laut), mengikuti persyaratan garis sepadan pantai dan mempelajari kemungkinan rekayasa konstruksi terapung. Bangunan permukiman petani dan nelayan wilayah pesisir memerlukan dukungan transportasi pantai, baik transportasi sungai maupun transportasi darat. Sarana ini membutuhkan bangunan pendukung seperti tempat sandar perahu (skala kecil), dermaga beserta prasarananya dan terminal yang mempertemukan transportasi laut, sungai dan darat. Rekayasa sosial-budaya berkaitan erat dengan unsur manusia dan aktivitasnya, yang menyangkut perilaku dan budaya yang berorientasi ke laut dan darat. Kebiasaan para nelayan kapan ke laut dan kapan kembali ke darat membawa pengaruh pada kehidupan sosial budaya, seperti waktu dan kondisi pasar hasil laut, waktu senggang, waktu beristirahat, dan sebagainya. Penataan 46


ruang wilayah pesisir sekaligus harus berusaha mengubah citra nelayan yang pada umumnya termasuk ke dalam kelompok masyarakat miskin, terbelakang, dan tertinggal. Pengendalian pencemaran wilayah pesisir dan lautan mencakup pencemaran akibat kegiatan di daratan (land based pollution) dan pencemaran dari aktivitas di laut seperti tumpahan minyak, pengelolaan sampah di laut (sea-debris) dan lain-lain. Dalam kegiatan pengendalian pencemaran wilayah pesisir, perlu diperhatikan penetapan baku mutu laut dan AMDAL wilayah pesisir. Karena laut merupakan tempat hidup bagi biota laut yang sangat berguna bagi kehidupan manusia, maka mengacu pada penetapan baku mutu laut, perlu dilakukan pengendalian pencemaran lingkungan secara teratur dan terus menerus, serta ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi terhadap para pelanggar. RPP tentang Pengendalian Pencemaran Lingkungan Laut diharapkan dapat diselesaikan secepatnya, agar kekayaan laut dapat terpelihara dan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan di wilayah pesisir bisa diwujudkan. AMDAL yang ditetapkan melalui PP Nomor 29 Tahun 1986 dan baru saja diperbaharui melalui PP 51 Tahun 1993, harus benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pesatnya perkembangan transportasi laut dan pembangunan wilayah pantai dan pesisir, mengharuskan pengetatan kegiatan AMDAL dalam rangka mewujudkan kelestarian lingkungan wilayah pesisir. Angkatan Bersenjata, 24 Januari 1994 Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu Pemerhati kelautan dari IPB, Rokhmin Dahuri telah mewakili Indonesia pada Lokakarya International Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu di Negara-negara Berkembang Daerah Tropika. Belajar Dari Pengalaman Keberhasilan Dan Kegagalan di Xianmen, Gina, 24 - 28 Mei 1996. Oleh-oleh dari seminar tersebut, Rokhmin menerjemahkan buku berjudul Mengembangkan Keberhasilan Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu: Beberapa Kiat Keberhasilan Dalam Formulasi, Perancangan dan lmplementasi Kegiatan Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu diterbitkan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Dan Lautan, IPB, 1996. Tulisan ini berusaha mengangkat pokok-pokok pikiran penting dari Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu (PPST) yang dibahas dalam buku tersebut dengan harapan dapat meningkatkan pengertian masyarakat luas dan koordinasi pengelolaan wilayah pesisir makin terarah dan terpadu. Pengertian PPST Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan pembangunan secara terpadu (sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Rokhmin Dahuri, Jacub Rais, Sapta Putra Ginting, dan Sitepu, 1996). Lima pengertian yang menyangkut pesisir perlu diketahui (Aca Sugandhy, 1993). Pertama, Wilayah Pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut. Secara fisiografis didefinisikan sebagai wilayah antara garis pantai hingga ke arah daratan yang masih dipengaruhi pasang surut air laut, dengan Iebar yang ditentukan oleh kelandaian (% lereng) pantai dan dasar laut, serta dibentuk oleh endapan lempung hingga pasir yang bersifat lepas dan kadang materinya berupa kerikil. Kedua, Ruang Wilayah Pesisir, merupakan ruang wilayah di antara ruang daratan dengan ruang lautan yang saling berbatasan. Ruang Daratan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan 47


termasuk perairan darat dan sisi darat dari garis laut terendah. Ruang Lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis laut terendah termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya. Ketiga, Pantai atau Pesisir, merupakan daerah darat atau bisa berundulasi (bergelombang) dengan perbedaan ketinggian tidak lebih dari 200 m, yang dibentuk oleh endapan pantai dan sungai yang bersifat lepas. Umumnya dicirikan dengan adanya bagian yang kering (daratan) dan basah (rawa). Keempat. Garis Pantai, merupakan suatu garis batas pertemuan (kontak) antara daratan dengan air laut. Posisinya bersifat tidak tetap dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. Kelima, Kawasan Permukiman Pesisir merupakan suatu lingkungan hunian dan tempat kegiatan mendukung perikehidupan dan penghidupan yang dipengaruhi oleh sifat alam wilayah pesisir (Permukiman tradisional petani nelayan, petani garam, petani tambak udang, peternak, petani budidaya, pendulang batuan dan permukiman modern akibat tumbuhnya pariwisata dan permukiman campuran. Ada beberapa pola pemanfaatan ruang wilayah pesisir antara lain kawasan berfungsi budidaya (industri, pertanian, pariwisata, pelabuhan, budidaya sumber daya laut, permukiman) dan kawasan berfungsi lindung (rawa pantai, hutan bakau, terumbu karang, rumput laut dan lain-lain). Pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir yang kaya dan beragam dipengaruhi oleh pola kegiatan manusia yang kompleks dan tingkat persaingan yang tinggi antar berbagai sektor ekonomi. Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan dan perencanaan penggunaan lahan yang bersifat sektoral, tidak berhasil dalam mencapai pemanfaatan secara berkelanjutan dan bijaksana ekosistem pesisir bagi kelangsungan hidup manusia. PPST merupakan salah satu alternatif pendekatan pengelolaan wilayah pesisir untuk memperoleh pemanfaatan sebesar-besarnya. PPST memfasilitasi optimalisasi keuntungan ekonomi dan sosial dari pemanfaatan sumberdaya man usia dan sumberdaya alam serta jasa lingkungan wilayah pesisir. PPST juga berperan sebagai alat untuk menyelesaikan berbagai isu dan permasalahan lintas batas internasional, seperti pencemaran laut, overeksploitasi stok (cadangan) sumberdaya (ikan) milik bersama, dan konservasi keanekaragaman hayati. PPST mempunyai empat ciri. Pertama, perhatian yang lebih mendalam dan menyeluruh mengenai sistem sumberdaya alam yang unik yang terdapat di wilayah pesisir beserta kapasitas keberlanjutannya bagi berbagai macam kegiatan manusia. Kedua, optimalisasi pemanfaatan serba aneka (ganda) dari ekosistem pesisir serta seluruh sumberdaya alam yang terdapat didalamnya dengan memperhatikan atau mengintegrasikan informasi ekologis, ekonomis dan sosial. Ketiga, pendekatan interdisipliner dan koordinasi serta kerjasama intersektor dalam mengatasi permasalahan pembangunan yang kompleks, kemudian memformulasikan strategis bagi perluasan dan diversifikasi berbagai kegiatan ekonomi. Keempat, membantu pemerintah dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas investasi kapital, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia guna mencapai tujuan pembangunan nasional dalam bidang ekonomi, sosial serta lingkungan hidup, dan sekaligus memenuhi ketentuan atau kewajiban internasional tentang perlindungan lingkungan wilayah pesisir dan lautan. PPST akan lebih efektif jika diterapkan sebagai mekanisme perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara proaktif, melalui empat tahap yaitu pendataan dan perencanaan (identifikasi dan analisis permasalahan, pendefinisian tujuan dan sasaran, pembuatan kebijaksanaan dan pemilihan strategi dan pemilihan struktur implementasi, langkah-langkah dan upaya), formulasi (adopsi program secara formal, dukungan dana dan sumberdaya manusia untuk implementasi), implementasi (kegiatan, kaji tindak, pemantauan, didukung peraturan perundang-undangan), dan evaluasi (analisis kemajuan, redefinisi ruang lingkup dan pengelolaan). Sejalan dengan itu, perlu didorong penyadaran masyarakat, peningkatan kerjasama antar instansi terkait, koordinasi mulai perencanaan sampai ke evaluasi, dan integrasi berbagai kegiatan yang menyangkut wilayah pesisir. Kiat-kiat Keberhasilan Kiat-kiat keberhasilan PPST harus memperhatikan tiga hal, yaitu masalah (pencemaran, tangkap lebih banyak, konflik penggunaan, dan lain-lain), proses (perencanaan, implementasi, pemantauan dan evaluasi), 48


dan kegiatan (piranti kelembagaan dan organisasi,insentif, penyuluhan, peranserta/partisipasi masyarakat, dan koordinasi). Ada tujuh kiat pedoman keberhasilan PPST. Pertama, gunakan pendekatan secara sistematis dan bertahap dalam mengembangkan dan mengimplementasikan setiap proyek dan PPST. Terapkan kerangka pendekatan PPST dalam pengelolaan kegiatan sektoral pengelolaan wilayah pesisir (perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata, pelabuhan, dan taman laut). Gunakan kombinasi beberapa instrumen pengelolaan. Gunakan pendekatan pengelolaan yang bersifat pencegahan. lkuti prosedur PPST secara taat as as. Kedua, libatkan masyarakat dalam proses PPST (konsultasi, koordinasi, integrasi, partisipasi). Ketiga, integrasikan informasi lingkungan, ekonomi dan sosial sejak awal dari suatu proses PPST (identifikasi masalah, pengumpulan dan pengolahan data, analisis dan informal PPST). Tingkatkan penelitian yang berorientasi untuk pengelolaan, lakukan AMDAL terpadu dalam pengembangan dan implementasi program PPST, pertimbangkan sifat pemilikan bersama dari wilayah pesisir dalam penilaian ekonomi, dan gunakan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis) dalam penilaian alternatif pembangunan. Keempat, ciptakan mekanisme untuk integrasi dan koordinasi (harmonisasi kebijaksanaan, strategi, dan peraturan perundangundangan, keterkaitan antar instansi dan subsistem sumberdaya alam, koordinasi fungsional (vertikal, horisontal dan diagonal). Kelima, ciptakan mekanisme keuangan/pendanaan yang berkesinambungan. Keenam, kembangkan kemampuan sumberdaya manusia dalam bidang PPST pada semua tingkat pemerintah (Pemerintah Tingkat Pusat, DT I, DT II, Kecamatan, Desa/Kelurahan, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Lembaga Riset). Sejalan dengan itu tingkatkan profesionalisme bidang-bidang keahlian pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir, antara lain lingkungan dan sumberdaya, ekonomi sumberdaya, dampak lingkungan, sistem informasi geografis, sistem informasi manajemen, sosiologi, ekonomi, hukum, matematika, dan fisika, meteorologi dan geofisika, perencanaan, kebijaksanaan, tata guna lahan, teknologi penanggulangan pencemaran, komunikasi, dan ilmu-ilmu terkait lainnya. Ketujuh, pantau efektivitas proyek dan program PPST, untuk mengetahui sejauh mana efektivitas pelaksanaan program PPST dalam memacu kegiatan ekonomi wilayah dan melestarikan wilayah secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Tujuh kiat pedoman PPST di atas perlu dipantau terus menerus dan dievaluasi, agar bisa dilakukan perbaikan pengelolaan secepatnya sesuai keperluan. PPST harus dilaksanakan secara bertahap (evolusi) dan tidak mengakibatkan perubahan drastis atau mengagetkan. Terapkan evolusi dalam kegiatan-kegiatan demonstrasi (pilot plant, demonstration project) penciptaan proyek dan percontohan konsolidasi terhadap hasil-hasil yang telah dicapai dan meraih kepercayaan yang lebih tinggi dalam pelaksanaan program PPST yang skalanya lebih luas, replikasi, serta bimbingan dan penyuluhan. Demonstrasi atau penyuluhan, dilakukan dalam rangka menciptakan dukungan pengelolaan, memilih lokasi percontohan berdasarkan kriteria tertentu (dapat dikelola, dapat diterapkan ditempat lain. bernilai penting), memfokuskan pada penyelesaian beberapa isu spesifik di wilayah pesisir, menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat, mempertajam program PPST, mewujudkan mekanisme koordinasi terarah dan terpadu, meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia di daerah, melakukan penelitian dan kajian masalah khusus, memperkuat peraturan perundang-undangan wilayah pesisir dan kelautan, mengupayakan sumber dana yang memadai dan melaksanakan kegiatan PPST secara berdaya guna dan berhasil guna. Konsolidasi mencakup pemantauan perkembangan pelaksanaan penyaringan kegiatan strategis, penyempurnaan rencana, pemantauan dan evaluasi, pemeliharaan program agar berkelanjutan, serta koordinasi dari berbagai elemen konsolidasi (pengalaman, pengetahuan, pendekatan metoda, keterampilan dan keahlian). Replikasi atau pengulangan, dimaksudkan untuk memasyarakatkan dan menyebarluaskan hasil yang telah dicapai, memperlihatkan kepada masyarakat luas pentingnya dan ampuhnya PPST, mempromosikan PPST ke wilayah lain, menyempurnakan kegiatan, memperbaiki pendekatan dan metoda, meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah daerah serta sumberdaya manusia wilayah pesisir dan kelautan, dan memelihara kesinambungan PPST. Bimbingan dan Penyuluhan PPST perlu dilakukan terus menerus dalam menyukseskan program PPST di Tingkat Pusat dan Daerah, antara lain berisi materi landasan kebijaksanaan, kebijaksanaan dan strategi 49


PPST, subyek-subyek metoda PST, lingkungan strategis, program yang tepat, penyelarasan peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan PPST di daerah, peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan serta pengkajian dan penerapan teknologi pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan dalam rangka meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan teknologi untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin, menumbuhkan kemitraan pemerintah swasta-masyarakat, mengintegrasikan PPST dengan program terkait lainnya, mengembangkan mekanisme koordinasi terarah dan terpadu, dan mengusahakan PPST agar berdampak pada peningkatan kegiatan ekonomi pada skala lokal, nasional dan internasional. Lebih rugi lagi, materi bimbingan dan penyuluhan hendaknya memuat konsep dan definisi pengelolaan wilayah pesisir dan lautan, karakteristik, struktur dan dinamika ekosistem wilayah pesisir dan lautan, potensi dan permasalahan pembangunan wilayah pesisir dan lautan, kebijaksanaan dan strategi pengelolaan wilayah pesisir dan lautan, elemen dan proses pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu, pedoman pengelolaan, ekosistem dan sektor pembangunan wilayah, pengalaman negara-negara lain dalam pengelolaan wilayah pesisir, pengembangan sistem informasi, iptek dan sumber daya manusia dalam mendukung pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Harapan Penerapan AMDAL (PP 29/1986 dan PP 51 /1993) harus benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan yang ada, agar PPST berdayaguna dan berhasil guna. Ditetapkannya konsepsi Benua Maritim Indonesia pada tanggal 18 Desember 1996 di Ujung Pandang yang mencakup kemaritiman dan kelautan (sumberdaya manusia, sumberdaya alam, iptek dan kelembagaan) dan ditetapkannya Keppres 77/1996 tentang Dewan Kelautan Nasional, hendaknya ditindaklanjuti dengan program dan pelaksanaan pembangunan maritim dan kelautan secara lebih terarah dan terpadu. PPST hanya merupakan salah satu alat untuk menindaklanjuti isi konsepsi Benua Maritim Indonesia (BMI) dan Keppres tentang Dewan Kelautan Nasional di samping bidang-bidang lainnya dalam konteks Benua Maritim Indonesia, yaitu perikanan (laut, pantai, pesisir, perhubungan laut, industri maritim, masyarakata bahari dan desa pesisir, hukum dan penataan maritim, penerapan bahari, survai, pemetaan dan iptek maritim. Pemantauan konsolidasi, penyuluhan, pemasyarakatan dan penyebarluasan PPST dalam kehidupan masyarakat, diharapkan makin meningkatkan kecintaan Bangsa Indonesia pada Benua Maritim Indonesia, makin meningkatkan cinta Bahari, makin meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap wilayah pesisir dan lautan (dengan panjang garis pantai 81.000 Km dan luas lautan 5,8 juta Km2) mencakup zona pantai, landas benua, lereng benua, cekungan samudera di bawahnya dan dirgantara di atasnya. Jayakarta, 7 Oktober 1997 Penataan Kawasan Pantai, Tepian Sungai dan Tepian Danau Pengendalian Tata Ruang Kawasan Puncak telah diatur oleh Keppres Nomor 49 Tahun 1983, Keppres Nomor 79 Tahun 1985, dan Kepmendagri Nomor 22 Tahun 1989. Penataan Ruang diatur melalui UU Nomor 24 Tahun 1992 yang segera disusul oleh 6 Rancangan Peraturan Pemerintah. Sekarang belum terlambat untuk menata kawasan pantai, tepian sungai dan tepian danau. Hasil seminar sehari PSAI (Persatuan Sarjana Arsitektur Indonesia) empat tahun yang lalu, 1 Juli 1989 tentang Penataan Kawasan Pantai, Tepian Sungai dan Tepian Danau hendaknya dilihat kembali dan diupayakan terobosan untuk menyatukan usulan penataan kawasan pantai, tepian sungai, dan tepian danau sebagai salah satu tindak lanjut UU Penataan Ruang, dalam menyongsong Pelita VI. 50


Kawasan Perairan Permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan pantai antara lain kurangnya data dasar, kompleksnya permasalahan lingkungan, kurangnya kelengkapan administrasi dan peraturan perundangundangan, kurangnya pengetahuan kelautan dan usaha pengembangan kawasan pantai. kurangnya tenaga ahli, dan sistem koordinasi yang lemah dalam mengembangkan w1layah secara menyeluruh dan terpadu. Kawasan perairan yang meliputi pantai laut, sungai dan danau (Noer Sajidi, Direktur Tata Bangunan, Ditjen Cipta Karya Deppu, 1989) adalah daerah yang terdiri atas bagian daratan dan perairan yang saling mempengaruhi baik karena sifat alam maupun pengaruh habitatnya. Ditegaskannya bahwa bangunan ilegal di tepi pantai dan sungai sangat kontradiktif dengan upaya yang dilakukan pemerintah. lroninya bangunan di kawasan itu justru memperoleh fasilitas jaringan air minum, listrik dan telepon. Pertumbuhan bangunan yang ilegal dan tidak terkendali ini menyebabkan terhalangnya obyek wisata (Danau Toba), terganggu lalu lintas di daerah aliran sungai (Sungai Musi), kerusakan dan kehancuran biota dan abiota air (Teluk Jakarta), meningkatkan kerawanan lingkungan terhadap keamanan, bahaya kebakaran dan obyek wisata itu sendiri. Menteri PU menyatakan bahwa banyak kota pantai yang perkembangannya sangat pesat, jauh melampaui daya dukung fasilitas dan utilitas kota. Banyak sungai yang tingkat pencemarannya parah karena meningkatnya kegiatan industri yang tidak memperhatikan peraturan lingkungan, misalnya membuang !imbah atau sampah industri ke sungai. Peran Departemen PU terutama berkaitan dengan pemukiman melalui program pengendalian pencemaran, pembinaan daerah pantai dan usaha memanfaatkan kawasan pantai. T enaga coastal engineering yang masih sedikit, memerlukan perhatian kita bersama untuk secepatnya mengisi kekurangan tersebut. Penataan kawasan pantai dilakukan melalui pelaksanaan pengaturan dan peraturan, kelompok kerja pelestarian lingkungan, pusat-pusat studi lingkungan, penataan bangunan oleh pemerintah daerah, investor, developer, pedagang, dan peran masyarakat. Contoh-contoh kondisi lingkungan pantai yang mencemaskan di Jambi, Palembang, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Denpasar, dan Jakarta, memberikan gambaran baik buruknya penataan kawasan pantai. Proyek Perbaikan Kampung di kota pantai akan lain bentuknya dengan di kota daratan. Demikian juga bentuk MCK-nya. Koordinasi antara Pemda dengan Pengelola Pelabuhan perlu ditingkatkan, misalnya bagaimana menyediakan air bersih untuk daerah pelabuhan di Banjarmasin, siapa yang paling bertanggungjawab dalam pengelolaan bagan pencari ikan. Ahli Peneliti Utama di Puslitbang Oseanologi LIP!, Dr. Otto Ongkosono, mengupas secara panjang Iebar potensi dan pemanfaatan wilayah pesisir di Teluk Jakarta, Muara Karang, Sunda Kelapa, Marunda, Kepulauan Seribu dan Cilacap. lsu negatif pencemaran, erosi, sedimentasi, kekeruhan perairan, dan pemiskinan terjadi sebagai akibat perbuatan yang merusak lingkungan, antara lain pengerukan dasar !aut, pengurugan, penanggulangan, pembangunan pelabuhan, penggalian pasir, penambangan karang pantai, penebangan mangrove, kegiatan PL TU, pertambakan dan pembangunan taman rekreasi dan pariwisata yang tidak teratur. Pembangunan kawasan pantai di Australia yang teratur dan memperhatikan peraturan dan perundangundangan lingkungan di Australia telah menggugah kita untuk meniru. Di antaranya waterfront development Sydney Harbour, Darling Harbour, North Heaven Harbour, Gold Coast, North Ho//ywe/1 Harbour, North Kongscliff Resort dan Monte Cristo Beach Resort yang kesemuanya dibangun melalui riset pasar, penyelidikan lokasi dan lingkungan, studi kelayakan yang memperhatikan aspek teknis, ekonomis, sosial serta memperhitungkan risiko yang akan terjadi. Kesepakatan Seminar menyimpulkan perlu adanya Keppres mengenai Kawasan Pantai, Tepian Sungai dan Tepian Danau. Juga diperlukan lnpres Pembangunan Kawasan Pantai untuk meningkatkan kehidupan masyarakat pantai, khususnya nelayan. Keppres akan mengatur keterpaduan program pengadaan air bersih, penyehatan lingkungan pemukiman, perumahan rakyat atau perbaikan kampung dan penanganan serius kawasan kumuh kota dan desa pantai. Pengendalian tata ruang kawasan pantai hendaknya memperhatikan berbagai kepentingan, antara lain 51


pariw1sata. perindustrian, transportasi, penyediaan air bersih, listrik dan penataan bangunan. Garis sempadan air di pantai. danau dan sungai perlu diatur agar dicapai keselarasan, kenyamanan. keseimbangan dan keamanan. Strategi penataan bangunan kawasan pantai perlu disusun melalui penelitian dan pengkajian, pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan pola penertiban serta pengendalian yang memperhatikan kelestarian lingkungan. sasaran konservasi (perlindungan, pengawetan terhadap keanekaragaman sumber plasma nuftah, dan pelestarian). ljin bangunan untuk kegiatan pariwisata, perekonomian, transportasi, perindustrian, perumahan dan pemukiman perlu diperketat. Penataan dan perencanaan bangunan perlu ditangani serius, jika perlu menggunakan konsultan perencana yang qualified. Kesadaran lingkungan dan ekosistem wilayah pantai perlu diwujudkan dalam tindakan nyata, khususnya dalam bentuk tindakan preservasi dan konservasi. Pembangunan gedung dan hotel .pencakar langit perlu dibatasi, karena akan mengganggu sistem pertukaran udara dan mikroklimat setempat. Penyedotan air tanah perlu diawasi secara ketat agar intrusi air laut bisa dikurangi. Semua pihak, setiap orang, aparat Pemda, investor, developer, pedagang, dan anggota masyarakat perlu menyadari pentingnya pengendalian tata ruang dan terpeliharanya kelestarian lingkungan kawasan pantai, tepian sungai, dan tepian danau agar keserasian, keseimbangan, kenyamanan, keselamatan dan keamanan dapat dicapai secara optimal dan terciptanya penataan yang efektif. Pengendalian lingkungan perumahan dan permukiman kawasan pantai hendaknya memperhatikan penataan ruang dan penataan bangunan. Penataan bangunan haruslah memperhatikan keselamatan bangunan, standar konstruksi bangunan, tertib bangunan, tertib hukum, dan tertib penataan bangunan dan lingkungan. Mengingat luasnya kawasan pantai dan tersedianya sumberdaya kawasan pantai dan laut. seperti macam-macam mineral (pasir besi, pasir kwarsa, timah), berbagai sumber energi (minyak dan gas bumi, batubara, gambut, gelombang, angin), dan sumber daya hayati (ikan, udang, rumput laut, bakau, kerang) termasuk pengawasan kawasan pantai dan laut, maka diperukan adanya suatu lembaga khusus yang mengelola kawasan pantai dan laut, suatu Badan Pengelola Kawasan Pantai. Usulan badan ini bukan ikutikutan dengan akan lahirnya Badan Pengendalian Pembangunan Perumahan atau Badan-badan sejenis lainnya. Semoga. Angkatan Bersenjata, 18 Maret 1994 Penataan Ruang ~~conurbationll antara Jakarta - Bandung Deputi Ketua Bappenas Bidang Regional dan Oaerah, Sugijanto Soegijoko mengemukakan bahwa masalah conurbation pernah dilontarkan oleh Patrick Geddes lebih dari 80 tahun yang lalu, yaitu menyatukan serangkaian kota-kota (urban areas) sehingga fenomena penataan kota meluas mempunyai dimensi regional. Tigapuluh tahun yang lalu, Jean Gottman, ahli Perancis menamakan fenomena ini sebagai megalopolis (kawasan perkotaan yang menyambung jadi satu), seperti dari kota Washington DC sampai dengan kota Boston, di negara bagian Massachussetts, Amerika Serikat. Masalah pengembangan Conurbation Jakarta- Bandung telah dibahas dalam simposium di Bandung, akhir tahun lalu yang diselenggarakan oleh IAI Jawa Barat bekerjasama dengan Jurusan Arsitektur ITB dengan tema lmplikasi Conurbation Jakarta - Bandung terhadap perubahan pengelolaan tata ruang dan perancangan wilayah/kota serta peran profesi arsitek. T erhadap conurbation Jakarta - Bandung, Sugijanto menyorot lima hal. Pertama, OKI Jakarta dan Bandung Raya masing-masing menangani masalah kependudukan, prasarana dan sarana sosial-ekonomi dan fisik, sandang pangan dan papan, infrastruktur dasar, serta pemenuhan kebutuhan kehidupan metropolitan 52


seperti transportasi dan jenis modanya. Dua kota ini merupakan pusat kegiatan ekonomi nasional dan regional, pusat industri dan manufaktur, dan merangsang tumbuhnya kegiatan jasa (transportasi, komunikasi, dan perkantoran). Kedua, kawasan perdesaan yang dilalui conurbation ini, misalnya pada jalur BogorPuncak-Cianjur dan Jakarta-Bekasi-Cikampek-Purwakarta-Bandung, mengalami pergeseran pekerjaan dari pertanian ke non-pertanian (industri), yang menuntut peningkatan produksi dan efisiensi. Ketiga, ada perbedaan orientasi pertumbuhan pada jalur, yaitu industri dan permukiman (jalur Utara) dan pariwisata Oalur Selatan). Keempat, perkembangan kawasan pada dua jalur ini menuntut kemudahan dan kenyamanan akses serta kelestarian lingkungan. Kawasan Bopunjur yang diamankan sebagai daerah resapan air, mutlak perlu diperhatikan. Kelima, pengaturan perkembangan kota ini dilakukan antara lain melalui Keppres, Kepgub, strategi guided land development, mendorong pengembangan pusat pertumbuhan, serta tumbuhnya kawasan industri dan permukiman. Dikaitkan Kelima butir ini dikaitkan Sugijanto dengan pengembangan iptek, pengembangan industri, tumbuhnya kemandirian dan produktivitas masyarakat, peningkatan efisiensi dan daya saing, pemantapan Otonomi DT II, dan pengelolaan lingkungan hidup. Melihat keterkaitan antara Conurbation Jakarta- Bandung dengan Repelita VI, Sugijanto menemukan delapan butir penting, yaitu : 1. Conurbation adalah fenomena yang akan terjadi dan tidak dapat dihindari. 2. Kerangka pertumbuhan ekonomi diupayakan melalui peningkatan produktivitas dan efisiensi (di samping pemanfaatan pertumbuhan tenaga kerja dan modal), tergantung pada peningkatan kualitas sumber daya man usia. 3. Pelaksanaan Otonomi DT II ditujukan pada perwujudan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab. 4. Dalam proses pembangunan di mana conurbation muncul, ditemukenali unsur Pemerintah (menstimulasi pembangunan), para ahli (intellectual leader), dan masyarakat (pelaku utama pembangunan sebagai penerima atau recipient dan yang memanfaatkan peluang pembangunan). 5. Perlu dicari alternatif penyelesaian masalah pengembangan conurbation Jakarta - Bandung, antara lain dengan perencanaan modern. 6. Perlu lebih tekun menata dan mengorganisasi kegiatan persiapan perencanaan megalopolis. 7. Perlu terus menerus menggalang kerjasama dan menyamakan wawasan (pemerintah, ahli, dan masyarakat) dalam perencanaan dan pelaksanaan. 8. Perlu reorientasi pendidikan dan meningkatkan kepekaan dalam menangkap fenomena penting, antara lain dalam pendidikan pasca sarjana melalui seminar dan laboratorium. Menparpostel Joop Ave yang menjelaskan pembangunan pariwisata dilakukan menyeluruh dan berwawasan lingkungan serta peningkatan diversifikasi produk, menegaskan pentingnya peran arsitek dalam melestarikan tradisi dan budaya bangsa, serta berperan aktif dalam dunia rancang bangun dan rekayasa, dalam kreativitas pembangunan di lingkungan obyek dan daya tarik kawasan, akomodasi (arsitektur perhotelan) dan non-hotel, serta fasilitas kepariwisataan lainnya. Dalam membahas Conurbation Jakarta - Bandung, Ateng Syafrudin yang memaparkan kesinambungan pemikiran dan kebijaksanaan, menyarankan agar kita semua selalu melihat ke depan, meningkatkan koordinasi, meluruskan pelaksanaan dengan perencanaan, melibatkan pihak swasta pada tiap proses (perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengendalian), profesionalisme aparatur pemerintah, meningkatkan kemandirian dan keterbukaan, memantapkan desentralisasi, dekonsentrasi, deregulasi, dan devolusi, menciptakan iklim yang kondusif, meningkatkan kualitas dan kapasitas aparatur perkotaan, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. 53


Pol a Pola Grid disodorkan oleh Slamet Wirasonjaya, dengan mengetengahkan berbagai jenis kota, yaitu Desa Terpadu (Robert Owen), Konsep Kota lndustri (Tony Garnier), Konsep Kota Linear (Don Arturo), Konsep Kota Baru (Antonio Sant'Eiia), Konsep Kota dengan Tiga Juta Penduduk dan Konsep Kota Linear Antar Kota (Le Corbusier), Konsep menara 1 mil (Frank Lloyd Wright), Konsep Kota Broadacre, dan Rencana Kota Tokyo (Kenzo Tange). Wirasonjaya menyatakan bahwa kota-kota Utopia ini mengajukan bentuk kota pada tingkat metapolis, yaitu suatu model habitat dan lingkungan yang mengvisualisasikan keseimbangan antara kompleksitas kehidupan, kebudayaan, industri, dan rekreasi. Space Grid merupakan pola yang sudah teruji sejak jaman antkwitas (Eropa, India, Gina, Jepang) hingga kota Manhattan yang canggih, merupakan salah satu alternatif yang siap pakai seperti dalam pepatah perencanaan. None of the plants is perfect, almost any is better than no plan at all. Konurbasi menurut Wirasonjaya adalah pusat-pusat pertumbuhan penduduk sekaligus merupakan pusat strategis yang menguasai lingkungan sekitar. Kota-kota besar di Indonesia mengalami krisis kotanya, sebagian disebabkan oleh kampung-kampung dalam kota, adanya daerah vacum di perbatasan, dan perkembangan lebih cepat dari rencana. Kampung dalam kota makin padat penduduknya, gelombang slum makin tinggi, daerah pertanian sepanjang JakartaBandung terkena beban limpahan konurbasi, dan batas fisik jadi kabur. Cepat atau lambat, konurbasi cepat tumbuh, padahal aksesibilitas menjadi barang langka. Space Grid ibarat Principle of Life (metabolisms dan metamorphosa), tidak akan pernah selesai, tidak ada pangkal dan akhir, tiap perubahan akan memancing perubahan lainnya. Perubahan adalah proses, dan proses tersebut adalah Space Grid yang mempunyai sejumlah kemudahan, antara lain antisipasi terhadap segala bentuk perubahan dan pertumbuhan baik yang dapat diduga maupun yang tidak terduga, efisien dan kreatif dalam penggunaan lahan, gerak aksesibilitas dan komunikasi ke segala arah (hirarki dan orde jalan), fleksibilitas dalam sistem transportasi, kesempatan dan kebebasan memiilh tempat, penataan bangunan, ruang terbuka dan fasilitas umum, daya tarik jika diolah dengan baik akan memberikan keindahan khas grid (Park System, Town Space, Superblock Development, Urban Revitalization), memberikan landasan bagi lahirnya kota masa depan (Future City Was Made In The Past). lndrayati Subagio mengetengahkan peranan sistem mass transit Jabotabek dalam proses Conurbation Jakarta - Bandung (mass transit adalah angkutan umum perkotaan yang bersifat massal cepat di perkotaan, yang mempunyai pelayanan (performance) yang baik, berkapasitas besar atau disebut massal, berkecepatan tinggi dengan sistem keamanan perjalanan yang baik, terdiri atas street transit, semi rapid transit, dan rapid transit). Dalam membahas peranan sistem mass transit Jabotabek dalam proses konurbasi Jakarta-Bandung, lndrayati menghasilkan empat kesimpulan. Pertama, DKI Jakarta telah berkembang sebagai kota metropolitan yang tentunya memerlukan wilayah sekitarnya sebagai daerah pendukung pertumbuhan perekonomiannya. Kedua, diperkirakan sistem transportasi yang dapat memberikan pelayanan yang baik sehingga diperoleh manfaat ekonomi tidak saja untuk wilayah DKI Jakarta, namun juga secara regional maupun nasional, terutama dalam hal penghematan waktu dan sumber daya di mana sistem mass transit mampu menyediakannya. Ketiga, dengan penerapan sistem mass transit akan terdapat peluang-peluang yang mengikuti sepanjang jaringan mass transit karena adanya aksesibilitas yang mendukungnya, di mana akan memberikan manfaat terhadap pengembangan perkotaan. Keempat, sistem mass transit berperan aktif dalam meningkatkan aksesibilitas antar kota, dan bukan tidak mungkin juga dalam proses munculnya conurbation kota-kota besar yang saling berkepentingan. Pertanian Pertanian berduapola pada era abad 21, bersendi bioteknologi (yang mempunyai target high yield and efficiency) dan biokonservatif (bertarget sustainable diversity) menurut Samsoe'oed Sadjad, berkaitan dengan conurbation maupun agroindustrialization. Petani modern harus menjadi penduduk · kota industri yang dibangun oleh proses konurbasi, petani yang hidup di dua binatang yang dipelihara, yaitu agroindustri dan 54


conurbation yang Pancasilaistis. Menghadapi pertanian berduapola yang berorientasi homogenitas dan heterogenitas, harus diupayakan agar rakyat yang melebihi 220 juta nanti dapat hidup berkecukupan yang makmur dan adil, dapat berperan dalam geopolitik maupun geoekonomi di silang dua samudera, dan jalur lintas dunia Utara dan Selatan, serta sebagai negeri tropika basah harus mampu melestarikan atmosfir bumi dengan sumber daya fauna dan floranya. Kalau proses konurbasi dan agroindustri akan disejajarkan, maka sumber daya manusianya harus dipersiapkan. Apabila konurbasi akan berujung pada lahirnya kota industri yang terkait dengan kota-kota kecil, menengah, dan kota mega (mega-urban, megacity), maka sumber daya manusianya harus dididik untuk bisa berkaitan dengan pola pertanian yang homogeneous dan heterogenous. Samsoe'oed Sadjad sampai pada kesimpulan bahwa konurbasi merupakan proses yang memang tidak dapat dibendung kalau itu kita melihatnya pada tata ruang di antara Jakarta dan Bandung. Didorong oleh pandangan demi pembangunan ekonomi maupun demi tuntutan zaman yang berbendera modernisme ataupun era globalisasi, konurbasi makin berproses pada jangkauan kurun waktu yang relatif memendek. Maka berpaculah kita dengan kondisi transisi berupa permasalahan alih fungsinya lahan-lahan pertanian (sawah) yang subur dan terdesaknya manusia yang berprofesi tani. Jika tidak hati-hati, bukan tidak mungkin di akhir abad 21 nanti kita akan mewariskan kekecewaan bagi cucu-cicit, karena mereka bermukim di kotakota yang berada di atas lahan subur. Kondisi ini membutuhkan pemikiran bersama. Uraian mengenai perancangan dan penataan ruang Bukit lndah City yang terdiri atas 2000 Ha (poros Jakarta-Cikampek-Cirebon) dan 7100 Ha (Cikampek-Bandung) merupakan salah satu contoh kota baru yang berorientasi industri pada konurbasi Jakarta-Bandung. Pembangunan kota baru ini sudah melalui tahap-tahap penyusunan struktur tata ruang kota, rencana umum tata ruang yang sudah diperdakan yang memperhatikan aspek kebijaksanaan pembangunan, pengembangan kependudukan dan tenaga kerja, perekonomian, integrasi wilayah, sistem transportasi (jaringan jalan raya, jalan kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan udara), dan permukiman. Struktur tata ruang memperhatikan keseimbangan komposisi karya, wisma, suka, marga, dan penyempurnaan (ruang terbuka hijau), didukung utilitas (fasilitas daya listrik, sistem telekomunikasi, air bersih, air limbah, limbah padat) dan setelah melalui proses AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan), RKL (rencana pengelolaan lingkungan), dan RPL (rencana pemantauan lingkungan). Pengembangan kota mandiri dan kota baru Bukit lndah City sebagai kota industri yang dilengkapi sarana permukiman, komersial, perdagangan, rekreasi, dan kepranataan, yang akan dapat menampung 750.000 sampai dengan 1 juta penduduk, dilakukan melalui studi, penelitian perencanaan dan perancangan dengan memperhatikan kondisi lingkungan yang ada. Pertimbangan segi bisnis dikaitkan dengan dorongan kecintaan akan lingkungan untuk mewujudkan quality of life dan aspek waktu yang membutuhkan perhatian terhadap teknologi, nilai sosial, dan budaya masyarakat. Kota lndustri Bukit lndah City yang terdiri atas Kota lndustri Bukit lndah Barat, 7100 Ha (300 Ha di Kabupaten Purwakarta dan 6800 Ha di Kabupaten Karawang) dan Kota lndustri Bukit lndah Timur, 2000 Ha (1200 Ha di Kabupaten Purwakarta dan 800 Ha di Kabupaten Karawang) akan memacu pembangunan kota-kota kecil dan kota sedang di sekitarnya seperti Dawuan, Klari, Cibungur, Pamanukan, Jatiluhur. Karawang, Cikampek, dan Purwakarta. Harapan Konurbasi Jakarta - Bandung yang berkembang pesat tidak dapat dihindari. Yang perlu dilakukan adalah mengelola pertumbuhan konurbasi ini agar perkembangan perdesaan, kota-kota kecil dan kota sedang pada koridor ini dapat saling menunjang. Perkembangan industri perlu diimbangi dengan pembangunan agroindustri. Jaringan transportasi perlu dikaitkan dengan pembangunan kawasan permukiman, pariwisata, sarana, dan prasarana lingkungan. Perilaku dan budaya masyarakat, perlu diarahkan selain pada pertanian 55


duapola juga disiapkan menuju masyarakat berbudaya industri. Pengembangan kota baru dan kota mandiri yang berorientasi industri, perlu didukung oleh penataan ruang. Suara Pembaruan, 8 Ju/i 1994 Pembangunan Kota dan Wilayah Masa Mendatang Dalam Seminar Nasional 1993 Pengembangan Profesi Perencanaan di Jakarta (25-26 Mei 1993) yang diselenggarakan oleh lkatan Ahli Perencanaan (lAP), dibahas pengembangan profesi perencanaan dalam menghadapi tantangan pembangunan kota dan wilayah di masa mendatang. Seminar ini membahas pengalaman pembangunan pasca PJPT I, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan pelaksanaannya, khususnya dalam konteks pembangunan kota dan wilayah. Sasaran seminar ini adalah mengidentifikasi kemajuan dan permasalahan pembangunan kota dan wilayah, mengkaji peran dan kedudukan, tugas, tanggungjawab dan wewenang para perencana, mengkaji bentuk program pelatihan yang tepat untuk meningkatkan kualifikasi para perencana kota dan wilayah agar mampu bekerja efektif dengan ahli disiplin lain, serta meningkatkan kerjasama antar profesi, antar lembaga (pemerintah, swasta, dan masyarakat) yang berkepentingan dengan pembangunan kota dan wilayah sehingga kontribusi para perencana dalam pembangunan nasional dapat lebih intensif. Penataan Ruang Menteri Pekerjaan Umum Radinal Moochtar menyorot tantangan pembangunan kota dan wilayah serta peranan profesi perencanaan pada masa mendatang. Ada enam ciri perencanaan yang dituntut sumbangsihnya secara nyata, efisien, dan efektif. Pertama, mengembangkan perencanaan yang mampu menjabarkan UU 24/ 1992 secara jelas. Kedua, mengembangkan perencanaan yang mampu menemukenali potensi nasional dan lokal dalam rangka meningkatkan kemandirian pembangunan. Ketiga, mengembangkan perencanaan yang dapat mendudukkan peran dan sumbangan sektor-sektor pembangunan dalam kerangka spasial yang terkoordinasi, terpadu dan sinkron. Keempat, melakukan dan mengembangkan perencanaan yang tanggap dan mampu memecahkan masalah khusus dan spesifik. Kelima, mengembangkan perencanaan yang mampu memenuhi tuntutan pengembangan iptek dan tuntutan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Keenam, mengembangkan perencanaan yang lebih terpadu dan berorientasi pada pelaksanaan yang dinamis dengan mengikutsertakan seluruh potensi masyarakat dan pelestarian lingkungan. Bertolak dari enam ciri tersebut, maka upaya-upaya yang perlu ditempuh dalam meningkatkan peran perencana adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia perencana pembangunan kota dan wilayah yang handal, pengembangan pendekatan, cara ketatalaksanaan yang mendukung pelaksanaan pencapaian tujuan pembangunan, serta pengembangan cara-cara praktis, mudah dipahami dan dilaksanakan oleh masyarakat dalam rangka memecahkan masalah ketataruangan, sarana dan prasarana, lingkungan hunian, perumahan dan permukiman, lingkungan hidup dan masalah ekonomi serta sosial budaya. Rachmadi, Dirjen Cipta Karya memaparkan kebijaksanaan pembangunan yang berdampak pada perkembangan kota dan wilayah dalam periode 1970-1980 dan 1980-1990. lsu pembangunan kota dan wilayah masa datang masih berkisar sekitar kesenjangan perkembangan antar wilayah, masih besarnya jumlah penduduk miskin, persebaran penduduk yang tidak merata dan terkonsentrasi pada kawasan dan wilayah berkembang, tidak meratanya pertumbuhan dan perkembangan perkotaan, adanya tuntutan perubahan fungsi lahan perkotaan dan perdesaan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, dan masih besarnya potensi ekonomi yang belum dimanfaatkan secara produktif. Dikaitkan dengan aspek penataan ruang, delapan pokok pemikiran pembangunan kota dan wilayah perlu diperhatikan, yaitu pembangunan kota dan wilayah didasarkaan pada penataan ruang, memperhatikan 56


kemampuan bagian wilayah, mengindikasikan fungsi dan hirarki kota, pengembangan fungsi kota, menyelaraskan pengembangan kegiatan budidaya dengan kemampuan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, dukungan yang berkelanjutan dalam aspek kelembagaan, peraturan perundangan, iptek, pembiayaan dan peran serta masyarakat, penataan ruang yang tanggap terhadap dinamika pemanfaatan ruang, serta diciptakannya mekanisme dan kelembagaan penataan ruang. Pentingnya pembangunan infrastruktur ditegaskan oleh Sekjen PU, Ruslan Diwiryo. lnfrastruktur merupakan salah satu komponen yang menentukan pola struktur kota dan wilayah sehingga pada masa datang diupayakan agar mendukung keseimbangan struktur ekonomi perkotaan dan wilayah, integrasi pembangunan infrastruktur dengan pembangunan kota dan wilayah, serta pengembangan profesi perencanaan. Ketua Bappeda 01 Yogyakarta dan Jawa Timur, masing-masing mengutarakan pengalamannya dan menegaskan pentingnya koordinasi di daerah, baik dalam penataan ruang perkotaan, perdesaan, dan kawasan tertentu (Gerbang Kertosusilo), propinsi, kabupaten/kotamadya, dan kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah propinsi dan lebih dari satu wilayah kabupaten/kotamadya. Ditegaskannya bahwa pola topdown seringkali mengalahkan mekanisme bottom-up. Kendala umum yang dihadapi Swasta dalam pembangunan kota dan wilayah, dikemukakan oleh Sekjen REI, Edwin Kawilarang, yaitu kebijaksanaan pemerintah, tanah, infrastruktur, perijinan. kepastian hukum, dan pendanaan. Guna menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pembangunan, pemerintah diharapkan dapat membantu melalui kebijaksanaan dan rencana pembangunan yang didukung koordinasi antar instansi dengan baik, mengefektifkan program konsolidasi tanah dan bank tanah, memperpendek rantai proses perijinan, memberikan kepastian hukum dan keamanan investasi, mengusahakan sumber dana jangka panjang pembangunan perkotaan, dan menyediakan jaminan yang dibutuhkan guna melaksanakan pembangunan. Pola pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dalam Repelita VI telah diyakini Emil Salim, mantan Menneg KLH. GBHN 1993 menegaskan pola pembangunan berwawasan lingkungan yang memperlakukan sumberdaya alam sebagai komponen dari tatanan lingkungan, pengolahan suatu sumberdaya alam dapat menghasilkan lingkungan buatan manusia sehingga berbagai fungsi alam diambil alih oleh fungsi alam buatan manusia, dan sumber daya alam dapat diolah untuk berbagai kepentingan. Sejalan dengan itu, Emil mengingatkan bahwa penataan ruang harus dapat menjamin adil dan berimbangnya kepentingan pemerintah, swasta dan masyarakat, dan pembangunan berlangsung secara berkelanjutan mencakup berbagai generasi. Melengkapi penjelasan Emil Salim, Budhi Tjahyati dari Bappenas membahas aspek perencanaan. pemanfaatan, dan pengendalian penataan ruang. Tidak kalah pentingnya unsur penunjang, yaitu sistem informasi geografis, sistem informasi pertanahan, kesadaran masyarakat, peranan, tugas dan tanggungjawab berbagai lembaga dan semua pihak dalam penataan ruang. Susijati Herawan dari Departemen Keuangan mengupas pentingnya menggali sumber-sumber pembiayaan pembangunan perkotaan dengan memperhatikan sumber yang relevan (insentif) dan mengganti atau menyempurnakan sumber yang tidak relevan (disinsentif). Contoh penataan ruang propinsi, khususnya dalam mendukung pariwisata, diberikan oleh Gubernur Bali, Ida Bagus Oka. Pola hidup masyarakat Bali ternyata mendukung keberhasilan penerapan penataan ruang, tetapi apakah kondisi tersebut bisa dipertahankan dalam sepuluh atau duapuluh tahun yang akan datang. Dari aspek hukum, isu penting adalah prinsip keterbukaan (transparan), peran serta masyarakat. penggantian yang layak atas kondisi yang dialami akibat pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang, batas ruang lautan dan udara, konsultasi dengan DPR dan DPRD, berbagai jenis perencanaan (tataguna tanah, tataguna air, tataguna udara, dan tataguna sumberdaya lainnya), inventarisasi penataan ruang yang sudah ada, dan keterpaduan penanganan. Untuk mewujudkan keberhasilan penataan ruang, diperlukan masukan dari berbagai pihak (pengalaman empirik para pejabat di lapangan, dari perguruan tinggi (perencanaan dan iptek), dan asosiasi profesi. Pembangunan industri juga erat kaitannya dengan penataan ruang. Deputi Promosi BKPM, Sugihono Kadarisman, membeberkan data perkembangan kawasan industri yang kurang menggembirakan pengelolaan lingkungan dan pengendalian pencemaran. Diperlukan keseimbangan penggunaan lahan untuk pertanian, industri, permukiman, dan fasilitas perkotaan lainnya. 57


Kesimpulan lAP dituntut makin berperan dalam perencanaan pembangunan, khususnya dalam melancarkan pelaksanaan UU 24/1992 tentang Penataan Ruang. Perlu dilakukan upaya memasyarakatkan (sosialisasi) UU Penataan Ruang, oleh pemerintah, swasta dan masyarakat. Kemitraan tiga unsur ini makin diperlukan dalam Repelita VI dan Repelita-repelita selanjutnya. Mengingat persoalan penataan ruang sangat kompleks, maka tidak bisa diatasi hanya oleh Tim Koordinasi Tata Ruang Nasional (Keppres Nomor 57 Tahun 1989), tetapi harus dilaksanakan oleh suatu lembaga, misalnya LPND berupa Badan Pengelolaan Penataan Ruang, sehingga akan kita kenai Menneg Perencanaan Pembangunan Nasionai!Ketua Bappenas/Kepala Badan Pengelolaan Penataan Ruang, seperti halnya Menristek!Ketua BPP Teknologi!Kepala Badan Pengelola lndustri Strategis. Rancangan Peraturan Pemerintah yang menindaklanjuti UU Penataan Ruang perlu secepatnya diselesaikan agar operasionalisasi UU ini dapat dilakukan secepatnya. Pemasyarakatan atau sosialisasi UU 24/1992 perlu dilakukan oleh semua pihak dan kemitraan pemerintah, swasta, dan masyarakat perlu diwujudkan. UU Penataan Ruang sudah ada. Pertanyaannya, what next yang perlu dilakukan terhadap UU ini. Secara kontekstual, perlu diperhatikan pandangan Emil Salim (ketidakseimbangan kawasan Timur dan Barat Indonesia, dampak globalisasi, perubahan struktur ekonomi ke industri, dan upaya memacu mobilitas) secara makro perlu diperhatikan upaya-uupaya penataan ruang (perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian penataan ruang), kelembagaan (disinsentif dan insentif), dan secara mikro perlu diperhatikan upaya perwujudan keadilan dan peran serta masyarakat dalam penataan ruang. lni semua perlu dikembalikan pada dasar penataan ruang, yaitu pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdayaguna ·dan berhasilguna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlidungan hukum. Angkatan Bersenjata, 19 Agustus 1993 Perencanaan dan Transportasi Kota Menurut Ciputra Sebagai pengusaha yang banyak membangun bagian kota Jakarta, Ciputra berkesempatan menjadi pembicara dalam Seminar Sehari Teknologi Abad 21 di BPP Teknologi tanggal 25 Agustus 1993 dalam rangkaian peringatan HUT BPP Teknologi ke 15. Dalam seminar tersebut, Ciputra membahas Pengembangan Perencanaan Kota dan Sistem Transportasinya dari sudut pandang pengusaha. lntisari makalahnya adalah keinginan membentuk Jakarta sebagai kota metropolitan yang serba modern seperti kota-kota metropolitan di dunia, antara lain Tokyo, San Francisco, Los Angeles, New York, San Diego, Paris, Amsterdam, dan lain-lain, didukung oleh perencanaan kota yang baik serta adanya sistem transportasi kota secara terpadu. Perencanaan Transportasi Ciputra menegaskan bahwa dalam PJP II struktur ekonomi Indonesia akan bergeser dari ekonomi pertanian ke ekonomi industri dan jasa. Dengan asumsi tingkat pertumbuhan penduduk 2,4% per tahun (kelahiran, urbanisasi, dan migrasi), maka jumlah penduduk pada tahun 2005 mencapai 244,8 juta jiwa dan lebih dari 80 juta tinggal di perkotaaan. Pesatnya pertambahan penduduk perkotaan melahirkan berbagai tantangan berupa penyediaan prasarana dan sarana seperti perumahan, pusat perbelanjaan, pendidikan, tempat peribadatan, olahraga, rekreasi, dan transportasi. Untuk menjawab tantangan tersebut, Ciputra mengatakan perlunya terobosan berupa perencanaan kota yang dilandasi optimalisasi pemanfaatan lahan, sistem manajemen kota terpadu, termasuk sistem 58


transportasinya. Pandangan Ciputra ini ternyata sejalan dengan pemikiran Leslie Green dan Sivaramakhrisnan (1986) dalam bukunya Metropolitan Management, The Asian Experience dan Alan Strouts (1989) dalam makalahnya berjudul Jakarta in the 21st century: large, yes ; great, why not? Masalah Jabotabek Mengacu pada RUTR Jakarta 2005, semakin padat, berisi, dan mencerminkan kota metropolitan. Superblok dan gedung-gedung pencakar langit berlantai 23 tumbuh di tempat-tempat strategis, seperti sepanjang Jalan Thamrin dan Sudirman, Segitiga Kuningan, Segitiga Senen, dan sebagainya. Pada tahun 2005, luas Jakarta di atas 650 Km2 Uika beberapa Kelurahan di Jawa Barat sekitar DKI Jakarta dimasukkan ke Kota Jakarta termasuk 9 Km2 Kepulauan Seribu, penduduknya akan berada di atas 12 juta jiwa). Menu rut United Nations Center for Human Settlements (UNCHS, 1987), penduduk Jakarta tahun 2000 akan mencapai 12,8 juta jiwa dan menurut Bank Dunia (1990), penduduk Jakarta tahun 2000 akan berkembang menjadi 13,3 juta, berada pada ukuran ke 12 di antara kota-kota terbesar di dunia, seperti juga Kairo (13,2 juta jiwa), Buenos Aires, Delhi, Rio de Janeiro, Shanghai, dan Seoul (13,3- 13,5 juta jiwa). Sistem dan manajemen transportasi kota yang makin padat penduduknya ini akan makin sulit ditangani, karena makin kompleksnya permasalahan. Bahkan Sivarakhrisman dan Leslie Green (1986) menyarankan perlu adanya manajemen kota yang efektif. Para perencana kota saat ini terdorong untuk membangun kota dalam kota (city within the city) guna mengatasi kelengkaan lahan di pusat kota. Superblok, merupakan kompleks yang luas, multi fungsi dan terpadu sebagai tempat tinggal, bekerja, pendidikan, peribadatan dan olah raga, merupakan salah satu alternatif di samping membangun kota baru di sekitar kota induk. Sebagai orang yang berpengalaman dalam membangun kota, Ciputra menegaskan bahwa superblok yang merupakan alternatif kota masa depan, masih dihadapkan pada berbagai kendala, antara lain secara planologis sejak awal kota-kota besar di Indonesia tidak ditata secara grid (blok/papan catur), terbatasnya lahan dengan satuan luas yang ideal untuk lokasinya (superblok memerlukan lahan minimal 5 Ha), biaya pembangunan superblok sangat tinggi sehingga harga jual tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat, dan pasar relatif terbatas. Penduduk Jabotabek tahun 2005 akan mencapai sekitar 20 juta. Pertambahan penduduk per tahun saat ini sekitar 3,36 juta jiwa (sekitar 672.000 kepala keluarga). Menurut Ciputra, dengan perhitungan setiap 100 orang membutuhkan 1 Ha lahan, maka dalam sepuluh tahun yang akan datang diperlukan lahan 33,6 Ha lahan, yaitu sama dengan lahan yang akan dibangun untuk membangun Kota Baru seluas Kota Mandiri Bumi Serpong Damai (BSD). Jika harga lahan siap bangun Rp. 200.000,-/m2 (kenyataannya jauh di atas harga ini), maka untuk pengadaan lahan dibutuhkan dana Rp. 6,72 trilyun. Jika harga bangunan rumah (tanpa lahan) Rp. 20 juta/unit maka untuk membangun 672.000 unit rumah dibutuhkan dana Rp. 13,44 triliun, sehingga total dana yang harus disediakan untuk rumah dan lahan mencapai Rp. 20,15 triliun atau Rp. 1 ,68 triliun per tahun, tidak mudah menyediakannya. Untuk membangun kota yang ideal, ada baiknya dikutip pendapat Hariri Hady, salah seorang pakar perkotaan. Pertama, perlu lebih diperhatikan pengembangan kota-kota menengah dan kota kecil, dan penduduk kota dipertahankan tidak melebihi 2 juta jiwa. Kedua, kota-kota kecil (ibukota kecamatan) dan kotakota menengah (ibukota kabupaten) dapat dikembangkan sebagai pusat pengolahan produksi pertanian, pusat pelayanan jasa lainnya bagi wilayah belakangnya (hinterland) yang merupakan daerah pertanian. Dengan sistem ini arus urbanisasi dapat dibendung. Ketiga, kota-kota metropolitan seperti Jakarta sangat dikehendaki, karena investasi prasarana dan sarananya sangat mahal, belum lagi masalah sosial politik yang timbul sangat berat dan sulit diatasi. Selain mengerem Jakarta dengan sistem Jabotabek, hendaknya juga mengerem perkembangan kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, dan Ujungpandang. Keempat, harus dapat dikembangkan kota yang lebih manusiawi, di mana manusia dan kemanusiaan diberi tempat yang terhormat, Jakarta BMW (Bersih, Manusiawi, Berwibawa) menurut Wiyogo, dan Jakarta Teguh Beriman (Teruskan Gerakan Untuk Hidup Bersih, lndah, Manusiawi, Aman dan Nyaman) yang diinginkan Soerjadi Sudirdja. Juga perlu diupayakan lebih sungguh-sungguh agar penduduk kota tidak merasa kesepian dan terasing di kotanya sendiri. 59


Kelima, alam pembangunan kota, diperlukan adanya keterl1batan berbagai disiplin keahlian yang harus bekerjasama secara terpadu untuk mewujudkan aspirasi masyarakat daerah dalam tata kota, desain kota, arsitektur kota, bangunan dan gaya berbagai prasarana dan sarananya. Pembangunan kota Jakarta dihadapkan pada berbagai permasalahan, antara lain masalah terbatasnya lahan, penyediaan perumahan yang jauh di bawah kebutuhan, pelayanan air bersih yang kurang memadai, prasarana dan sarana serta jaringan transportasi yang kurang teratur, pengelolaan sampah yang belum efisien dan efektif, dan perencanaan kota yang kurang terpadu. Perlu Pemecahan Sebagai orang Swasta, Ciputra menegaskan bahwa Swasta perlu dilibatkan untuk membangun kota baru mengingat biaya pembangunan kota sangat besar dan kemampuan Pemda terbatas. Kerjasama Pemerintah-Swasta hendaknya merupakan kerjasama yang paling menguntungkan. Kerjasama ini populer dikenal sebagai kemitraan (public private partnership). Saat ini swasta sudah melaksanakan pembangunan kota baru di delapan lokasi seluas 20.900 Ha, yaitu Bintaro Jaya (1.700 Ha), BSD (6.000 Ha), Bekasi 2000 (2.000 Ha), Pantai lndah Kapuk (1.200 Ha), Tigaraksa Tangerang (3.000 Ha), Citraland Tangerang (500 Ha), Kelapa Gading (1.000 Ha), Sunter (500 Ha), dan lain-lain (5.000 Ha). Lokasi ini belum termasuk beberapa lokasi seperti Modernland, Greenview, Lotus Garden, dan berbagai lokasi yang lain. Partisipasi swasta dalam pembangunan kota memperlihatkan aktualisasi diri membantu Pemerintah dalam menyediakan perumahan dan fasilitasnya, kegiatan bisnis dan investasi, serta mewujudkan tanggungjawab sosial, yaitu ikut menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan, dan memelihara kelestarian lingkungan. Walaupun telah berpengalaman membangun beberapa bagian kota seperti Bintaro Jaya, Taman lmpian Jaya Ancol, Bumi Serpong Damai, dan Pantai lndah Kapuk yang akan membuat Jakarta seperti San Diego, Tokyo, dan Paris. Ciputra dan Swasta umumnya, dihadapkan pada berbagai masalah pembangunan kota, antara lain masalah hukum (pemilikan tanah, spekulasi tanah, perangkat hukum untuk kota baru dan condominium), koordinasi yang belum terpadu (terpadu, sering diartikan "tergantung pada duit"), kesulitan dalam pengadaan lahan (faktor hukum sosial), prasarana kota Ualan, drainase, utilitas umum seperti: air, listrik, gas, telepon) masih serba terbatas, pasar belum terbuka (daya beli rendah, kesenjangan kaya-miskin), dan hambatan dalam pengelolaan (UU Penataan Ruang dan UU Perumahan dan Permukiman, masih harus ditindaklanjuti dengan berbagai Peraturan Pemerintah). Bertambahnya penduduk kota Jakarta mengakibatkan peningkatan kebutuhan sarana transportasi kota. Jumlah kendaraan bermotor terus meningkat sejalan dengan meningkatnya kemakmuran rakyat, tetapi tidak dibarengi oleh peningkatan penyediaan sarana dan prasarana perhubungan seperti jalan dan jembatan, sehingga kemacetan lalulintas terjadi hampir merata di seluruh pelosok kota Jakarta. Secara ekonomis, kemacetan lalulintas menimbulkan kerugian yang sangat besar, antara lain hilangnya waktu. dan pemborosan penggunaan energi, gagalnya transaksi bisnis, dan sebagainya. Secara psikologis, kemacetan lalulintas menimbulkan stress dengan segala dampaknya. Diperlukan adanya perencanaan terpadu dan sistem transportasi kota yang terpadu untuk memecahkan masalah transportasi kota Jakarta. Sistem ini mencakup transportasi dari rumah ke simpul-simpul di pusat perumahan dan permukiman dan sebaliknya (mobil pribadi, kendaraan angkutan umum mikrolet, bajaj, dan sejenisnya), dari pusat permukiman ke simpul-simpul utama dan sebaliknya (mobil pribadi, bis kota, kereta api, taksi, dan sejenisnya), dan dari simpul-simpul utama ke tempat kerja dan sebaliknya (taksi, bis kota). Agar perumusan, pengembangan, dan penerapan sistem ini berjalan lancar, diperlukan pengkajian secara seksama mengenai fisik sarana jalan dan perlengkapan yang menghubungkan berbagai fungsi perkotaan, hirarki jalan (primer, sekunder, tersier, arteri, lingkat), pemilihan moda atau sarana transportasi yang tepat (mobil, bis, kereta api, angkutan umum lokal) sehingga seluruh aspek transportasi kota dapat memecahkan permasalahan warga kota dalam kehidupannya sehari-hari. Diperlukan pengendalian sistem transportasi terpadu yang terkait erat dengan perencanaan kota, pengendalian penduduk, dan pengendalian pembangunan fisik kota. 60


Sistem Angkutan Umum Masal (SAUM) perlu segera diwujudkan, antara lain mencakup angkutan kereta api ringan (light rail transit1.RT sebagai sarana transportasi cepat masal), jaringan utama LRT menjadi jaringan inti (trunk line) sebagai tumpuan dan penampung semua jaringan pengumpul (feeder line) yang diselenggarakan oleh bis kota. SAUM perlu dibarengi oleh jalur jalan berlapis, antara lain lapis pertama (dasar) untuk pejalan kaki, lapis dua untuk kendaraan pribadi, dan lapis tiga untuk kendaraan angkutan penumpang umum. Swasta sangat diharapkan peranserta dan partisipasinya dalam pembangunan SAUM di kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Penutup Sebagai penutup, beberapa hal yang memerlukan perhatian serius adalah pertumbuhan penduduk dan distribusinya, penyediaan prasarana dan sarana perkotaan yang memadai, perencanaan kota yang terpadu, sistem transportasi terpadu, peran serta dan partisipasi Swasta dalam pembangunan kota, pengelolaan kota yang efektif dan efisien, peningkatan kualitas sumberdaya manusia di perkotaan, penerapan sistem angkutan umum masal (SAUM), dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan untuk mewujudkan kelestarian llingkungan. Sejalan dengan itu, perlu ditingkatkan manajemen kota metropolitan Jakarta yang sedang menuju megacity, kota internasional (city of diversity, city of trees, and city of the future) mengacu pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia DKI Jakarta. Jayakarta, 11 Oktober 1993 Keterkaitan Kota Mega Dan Kota Kecil Pengembangan kota mega (megacity) berpacu dengan pengembangan kota menengah dan kota kecil. Jakarta yang berkembang menjadi kota mega, metropolitan, megapolitan, dan megalopolitan, dibarengi dengan berkembang pesatnya kota-kota Bogor, Tangerang, dan Bekasi, serta Depok. Cibinong, Citeureup, Parung, Sawangan, Cinere, Serpong, dan Bumi Serpong Oamai, Cileduk, Ciputat, Pondok Gede, Tambun dan Cikarang. Kota-kota ini semua pada tahun 2000 akan menyatu menjadi satu dalam satu kota yang dikenal sebagai Metro Jakarta. Didukung pandangan para pakar kependudukan dan perencana wilayah serta informasi yang dikupas pada jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, tulisan ini berusaha membahas pengembangan kota mega (mega-urban) dan peran kota-kota kecil. Pembahasan ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi para perencana kota dan aparatur pemerintahan di seluruh Indonesia dalam merumuskan perencanaan pembangunan di wilayahnya masing-masing. Kependudukan Pakar kependudukan, Haryono Suyono menegaskan bahwa pada tahun 2000 sekitar 51,1% dari 6,3 milyar penduduk dunia bermukim di perkotaan. Perkembangan kota-kota metropolitan dan kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Palembang, Medan, dan Ujungpandang, dibarengi dengan berkembang pesatnya kota-kota menengah di sekitarnya (Bogor, Tangerang, Bekasi, Purwakarta, Cimahi, Padalarang, Ciwidey, Kendal, Gerbang Kertosusila) dan kota-kota kecil seperti Cileduk, Ciputat, Serpong, Cibinong, Depok, Bumi Bekasi Baru, Tambun, dan Cikarang yang mengelilingi Jakarta. Perkembangan kota menengah dan kota kecil yang pesat ini ternyata dipacu oleh meningkatnya investasi industri di Tangerang (3000 Ha), Bekasi (3000 Ha), Karawang (13.000 Ha), dan Purwakarta (4000 Ha). Haryono juga melihat kecenderungan berkembangnya beberapa kota yang letaknya berdekatan, antara lain Jabotabek, Purwasuka (Purwakarta, Subang, Karawang), Bandung Raya, Semarang dan sekitarnya, dan Gerbang Kertosusila. Untuk menekan pertumbuhan penduduk perkotaan, masyarakat tidak boleh lupa program keluarga berencana. Pakar transportasi dan tata ruang, Budhy Tjahjati, menyorot reorganisasi sistem kota dan sebaran 61


kota, seperti yang diungkapkan Carol A. Smith (1990). Sebaran kota-kota di Indonesia dalam periode 1971- 1990 ternyata mengarah pada sistem kota yang terintegrasi dan tersebar. Karena itu, perkembangan dan pertumbuhan kota prim at (urban primacy) cenderung ditekan. Disarankan agar kebijaksanaan desentralisasi perkotaan berusaha mencapai pemerataan dan efisiensi ekonomi, untuk mengatasi dua masalah besar perkotaan. yaitu tidak terkendalinya pertumbuhan kota primat, pertumbuhan kota-kota kecil yang belum mandiri tetapi menimbulkan masalah bagi kota inti seperti masalah transportasi dan menurunnya fasilitas pelayanan kota, institusi pengelolaan perkotaan yang kurang mendukung, kurang berfungsinya Badan-badan kerjasama antar kota seperti Badan Kerjasama Pengembangan Jabotabek (makro) dan permasalahan perumahan dan permukiman. efisiensi pelayanan prasarana perkotaan, menurunnya mutu lingkungan, pencemaran dan kemiskinan (mikro). Bertolak dari masalah pokok perkotaan seperti kondisi lingkungan yang kurang baik, jaringan transportasi yang serba terbatas, serta kelembagaan dan pembiayaan pembangunan perkotaan yang kurang mendukung, Budhy Tjahjati menyarankan perlunya kebijaksanaan tata ruang yang ketat, menyangkut pengembangan kawasan prioritas, pengembangan kota-kota prioritas (pusat pertumbuhan wilayah, pusat pertumbuhan antar wilayah, kota wisata baru, kota industri pengolahan, dan kota pertambangan), pengendalian perkembangan metropolitan (Jabotabek, Gerbang Kertosusila, Bandung Raya, Medan-Belawan), kebijaksanaan dan strategi tingkat makro (sistem transportasi intra dan interregional sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, jaringan transportasi yang menghubungkan kota inti dengan wilayah belakang, pemanfaatan koridor, sistem transportasi kolektor dan angkutan penumpang intermoda, serta pengembangan dan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan) dan mikro (sektoral: perumahan, pendidikan, kesehatan, pariwisata), dan pelestarian kawasan lindung. Pelaksanaan Dalam pelaksanaannya, rencana umum tata ruang wilayah propinsi dan rencana umum tata ruang wilayah kabupaten/kotamadya hendaknya merupakan suatu hirarki perencanaan yang bersumber pada Strategi Nasional Pengembangan Pola Tata Ruang (SNPPTR). Karena adanya kendala pembiayaan pembangunan perkotaan, maka pelaksanaan RUTR di lapangan hendaknya mengacu pada pola kemitraan (pemerintah, swasta, dan masyarakat) yang terarah dan terpadu dalam suatu pola pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Ahmadin mengetengahkan kebijaksanaan Pemerintah DKI Jakarta dalam menghadapi fenomena wilayah mega urban. Setiap wilayah di sekitar kota mega Jakarta atau Jabotabek, cenderung berkembang menjadi kota pelayanan (service city), baik sebagai pusat pelayanan masyarakat, perdagangan dan distribusi barang, keuangan, jasa, pariwisata, industri kecil, dan pusat iptek. UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus lbukota Negara Republik Indonesia Jakarta membuka peluang penyusunan Rencana lnduk sebagai penyempurnaan dari RUTR DKI Jakarta 2005. Sejalan dengan itu, telah digariskan kekhususan pembangunan di tiap wilayah kota (Jakpus, Jakbar, Jakut, Jaksel, dan Jaktim) serta kebijaksanaan dalam rangka pembangunan Jabotabek (sistem angkutan massal, penyediaan air bersih, pengendalian pencemaran, penataan jalan, pembangunan permukiman, pembangunan daerah pinggiran. serta pembangunan kota-kota baru dan kota satelit di sekitar Jakarta. Dalam perkembangannya, Bogor, Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung, Bekasi, Tambun, Cikarang, Tangerang, Serpong, Ciputat, Cileduk, cenderung masing-masing memantapkan sebagai kota pusat pelayanan. Butir-butir Kebijaksanaan pengembangan kota kecil dan wilayah perdesaan di sekitar metropolitan dibahas oleh Parawansa, Dirjen Pembangunan Daerah Depdagri, dengan menyodorkan enam butir penting. Pertama. proses globalisasi mempercepat perkembangan kota metropolitan (mega urban) yang mengakibatkan perbedaan makin besar dengan kota-kota menengah dan kota kecil di sekitarnya. Sebagai contoh, perkembangan industri yang cepat (Keppres Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan lndustri) ikut mengakibatkan perkembangan yang sangat pesat bagi Jabotabek. Kedua, kerjasama pembangunan kota mega dengan kota inti dan kota kecil di sekitarnya merupakan kunci utama manajemen perkotaan. Kota inti dan kota kecil harus mempunyai strategi pembangunan yang 62


konsisten agar bisa turut berperan. Rencana tata ruang kota mti dan kota kecil ini haruslah mengacu pada RUTR kota mega tadi. Program pembangunan infrastruktur kota inti dan kota kecil harus terintegrasi dan kerjasama pembiayaan dalam pembangunan daerah perbatasan kota inti, kota kecil, dan kota mega, juga harus terarah dan terpadu. Ketiga, Pengelolaan lahan harus diatasi dengan ketat, karena sangat berpengaruh terhadap pembangunan kota. Keempat, perlu dikembangkan pola pembangunan kota mandiri didukung kemitraan. Contohnya adalah Citra Niaga di Samarinda, Bumi Serpong Damai, dan Bumi Bekasi Baru. Kelima, diperlukan penataan kelembagaan dan koordinasi pembangunan. Keenam, perlu dikembangkan program pengembangan wilayah terpadu (PPWT) dan program kawasan terpadu (PPT) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kemampuan aparatur Pemda Tingkat I, II dan Kecamatan, membuka daerah terisolir, terpencil, tertinggal, perbatasan, kritis, minus, pusat produksi dan pemasaran, serta kawasan wisata (pantai Utara Bekasi dan Tangerang), menciptakan keterbukaan masyarakat dan mendorong penciptaan lapangan kerja. Ketergantungan Mengacu pada pendapat pakar perkotaan McGee (1992), Gilbert dan Gugler (1989), Prakash Mathur (1986), Rondinelli (1984), serta Hardoy dan Satterthwaite (1986), Hastu Prabatmodjo menyorot saling ketergantungan kota inti dan kota kecil dengan kota meganya. Dalam perkembangan Jakarta dan Bandung, terdapat tiga temuan. Adanya kecenderungan perubahan penggunaan lahan yang cepat di wilayah perbatasan yang mendorong urbanisasi. Pada saat yang sama, terjadi urbanisasi dan migrasi desa-kota dan internal migrasi antara satu kawasan ke kawasan lain. Berikutnya, terdapat interaksi yang makin kuat, arus pertukaran, komunikasi, dan mobilitas penduduk antara kota inti dengan kota kecil di sekitar kota mega (Depok, Cibinong, Parung, Ciputat, dan Cileduk di sekitar Jakarta; Cimahi, Padalarang, Lembang, Ciwidey, Soreang, Majalaya, Cileunyi, di sekitar Bandung). Peran kota kecil tidaklah sekedar tempat permukiman, tetapi mampu menekan pertumbuhan penduduk di kota mega dan mempercepat pembangunan infrastruktur daerah perbatasan kota mega. Kota kecil dan kota inti di sekitar kota mega akan menyatu dengan kota induknya, misalnya Jabotabek yang terus berkembang sampai ke Tigaraksa dan Serang, Cicurug dan Jasinga, Jonggol, Tambun dan Cikarang. Fenomena kota mega dengan kota inti dan kota kecil di sekitarnya perlu diteliti terus menerus dan koordinasi di antara kota-kota ini mutlak diperlukan. Ketua Bappeda Jabar, Arifin Yoesoef, membahas kebijaksanaan Pemda Jawa Barat dalam menghadapi fenomena wilayah mega urban. Sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan lbukota, maka kerjasama Pemda DKI Jakarta dengan Pemda sekitarnya makin ditingkatkan, antara lain dengan Pemda Jabar, Jateng, DIY dan Jatim, serta Lampung dan Kalsel. Pembangunan kota-kota berdekatan atau koridor cenderung terus berkembang, misalnya Botabek, Purwasuka, Cianjur-Sukabumi, CimahiPadalarang, Soreang-Banjaran-Ciwidey, Merak-Cikande-Serang, Bekasi-Tambun-Cikarang-Lemah Abang, Jakarta-Cikampek-Bandung, Jakarta-Bogor-Cianjur-Bandung, Karawang-Cikampek, Cikampek-Cirebon, Cikampek-Purwakarta-Bandung, kesemuanya mendukung pengembangan kota mega. Kondisi Kondisi ini memperlihatkan pesatnya perkembangan simpul-simpul pertumbuhan di sekitar kota mega. lni sebenarnya memperlihatkan model pengembangan wilayah jangka panjang (functional integraton) dengan karakteristik sistem perwilayahan yang menyebar, keterkaitan kota mega dengan daerah belakangnya (hinterland), keterkaitan internal dan eksternal. Bagi Jawa Barat sendiri, pusat-pusat pertumbuhan Botabek. Cianjur, Purwasuka, Cirebon, serta Garut-Tasik, perlu terus dikembangkan menjadi satu koridor besar yang saling berinteraksi. Krishna Nur Pribadi mengamati implikasi pertumbuhan ekonomi dan industri di wilayah mega urban Jakarta-Bandung. Koridor yang sekarang dikenal sebagai poros Jakarta-Cikampek-Bandung dan JakartaBogor-Cianjur-Bandung, pada masa yang akan datang akan berkembang pula Jakarta-Jonggoi-CianjurBandung lebih dikenal sebagai poros wisata agro. Perkembangan ini tidak dapat dilepaskan dari permasalahan 63


kependudukan, penyediaan lahan untuk industri dan permukiman, transportasi, dan lingkungan hidup. Pengembangan kota inti dan kota kecil tidaklah harus dipusatkan pada kota-kota yang berada di sekitar kota mega, melainkan pada kota-kota inti, kota kecil, dan kota pusat pertumbuhan yang berada di jalur koridor Jakarta-Bandung dan koridor lainnya. Kasus koridor Jakarta-Bandung, juga terjadi pada kota-kota besar lainnya seperti Semarang-Solo, Surabaya-Malang, Medan-Pematang Siantar, Palembang, Banjarmasin, dan Ujungpandang. lmplikasi conurbation Jakarta-Bandung terhadap perubahan pengelolaan tata ruang dan perancangan wilayah/kota, serta peran profesi arsitek, telah dibahas dalam seminar di Bandung tanggal 18 Desember 1993. Prospek dan masalah pembangunan rumah susun di kota kecil, dikemukakan oleh Uton Rustan Harun. Saat ini belum dirasakan kepentingan membangun rumah susun di kota-kota kecil, karena masih dipusatkan di pusat kota. Pada tahun 2000 nanti, lokasi rumah susun akan menyebar di sekitar kota mega. Bahkan pakar perkotaan Ciputra menegaskan dalam Seminar Profesionalisme Pengelolaan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Layak Huni Dalam PJP II (Jakarta, 27 Desember 1993) bahwa sudah saatnya rumah susun (apartemen, kondominium) dibangun tidak hanya di pusat kota Jakarta, tetapi di Serpong dan bahkan sampai ke Cikarang (Lippo-City). lni disebabkan kemudahan jaringan transportasi dari lokasi tersebut ke kota Jakarta. Waktu perjalanan Lippo City-Jakarta dan Bogor-Jakarta melalui jalan tol ternyata lebih cepat dari waktu perjalanan Bekasi-Jakarta, Depok-Jakarta, dan Tangerang-Jakarta melalui jalan lama. Catatan Penutup Gambaran di atas menunjukkan pentingnya peran kota inti dan kota kecil di sekitar kota mega. Pengembangan koridor Jakarta-Bandung dan koridor-koridor lainnya serta pembangunan antar kota (segitiga Botabek, Purwasuka, dan lain-lain) memperlihatkan perkembangan yang pesat dan saling keterkaitan di antara kota-kota tersebut. Menyongsong pengembangan kota Jakarta sebagai kota mega pada tahun 2000- an, maka tepatlah rasanya bagi kota Jakarta yang pada tanggal 2 Agustus 1993 yang lalu menjadi penyelenggara Rapat Tahunan Koordinator Megacities VII yang membahas model-model pembangunan perkotaan di negara maju dan keberhasilan model-model pembangunan di negara berkembang. Masalah-masalah kependudukan, tenaga kerja, tata ruang, perumahan dan permukiman, infrastruktur perkotaan, transportasi, kegiatan ekonomi, pariwisata, akan makin menonjol dalam konteks pengembangan kota mega. Dalam mendukung perkembangan menuju kota mega, maka pengelolaan kota yang efektif dan efisien makin diperlukan, yang ditandai oleh terciptanya lingkungan yang bersih, sehat, rapi, tertib, aman dan nyaman serta tersedianya sarana dan prasarana perkotaan yang layak. Pengelolaan kota yang efektif ini didukung pengembangan kualitas sumber daya manusia serta memandang manusia sebagai obyek dan subyek pembangunan yang berperan aktif sebagai pelaku pembangunan, menumbuhkan kemitraan dalam pembangunan, dan berusaha mewujudkan pembangunan perkotaan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Suara Pembaruan, 14 Januari 1994 64


Pasca-Musyawarah Antarkota Seluruh Indonesia Musyawarah Antarkota Seluruh Indonesia (MAKSI) XII telah diselenggarakan di Solo tanggal 15 Juli 1994. Melalui MAKSI, para Bupati!Walikotamadya me(lgadakan evaluasi terhadap pelaksanaan programprogram kerja yang telah dirumuskan bersama pada pertemuan tiga tahun sebelumnya. Pertemuan di Solo itu juga membahas berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi kota-kota dalam PJP II serta upaya-upaya yang perlu dilaksanakan dalam Repelita VI. Beberapa butir penting pengarahan Presiden Rl pada pembukaan Maksi XI adalah sebagai berikut : Pertama, akibat kemajuan masyarakat, peranan kota makin bertambah penting, karena itu pengelolaan kota makin penting. Kedua, kota merupakan pusat berbagai kegiatan (industri, perdagangan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kegiatan pemerintahan), tempat konsentrasi modal dan tempat bermukimnya tenaga-tenaga terdidik dan terampil, merupakan pusat modernisasi dan inovasi teknologi, pintu gerbang hubungan dengan dunia luar, dan menjadi motor penggerak pembangunan. Ketiga, arus globalisasi menuntut kita untuk pintar menggunakan kesempatan dalam menghadapi berbagai tantangan, menuntut kita untuk makin mampu bersaing, memproduksi barang dan jasa yang bermutu tinggi dan dengan harga yang murah atau berproduksi secara lebih efisien. Keempat, sebagai pusat industri, pusat perdagangan dan pintu gerbang hubungan dengan dunia luar, kota hendaknya dapat menyediakan fasilitas produksi yang diperlukan dengan cepat, mudah, dan dengan harga murah. Kelima, mengacu pada GBHN 1993, telah digariskan bahwa tujuan PJP II adalah mewujudkan bangsa kita menjadi bangsa yang maju dan mandiri sejahtera lahir dan batin. Titik berat pembangunan dalam PJP II diletakkan pada bidang ekonomi, yang merupakan penggerak utama pembangunan seiring dengan kualitas sumber daya manusia (iptek merupakan pemacu pembangunan bangsa). Dalam Repelita VI, prioritas pembangunan perlu diletakkan pada pembangunan sektor-sektor di bidang ekonomi, dengan keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya dan dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Keenam, perkembangan pesat daerah perkotaan dipacu oleh pesatnya pembangunan ekonomi, industri, perdagangan dan jasa. lni mengakibatkan pesatnya urbanisasi sehingga penduduk perkotaan terus meningkat: 20 persen ( 1980) menjadi 30 persen ( 1990) dan 40 persen (2000). Dampak negatif urbanisasi adalah terus bertambahnya penduduk miskin di perkotaan. Ketujuh, kecepatan peningkatan jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan kecepatan pembangunan kota, akan menyebabkan tumbuhnya lingkungan permukiman kumuh, bertambahnya jumlah pengangguran, meningkatnya angka kejahatan dan masalah sosiallainnya. Untuk menghindari dan menangani permasalahan ini, diperlukan perencanaan kota yang baik. Kedelapan, pemanfaatan sumber daya alam secara efektif dan efisien, rencana tata ruang yang makin baik, perekonomian perkotaan yang mantap, produktivitas yang tinggi sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pemerintahan yang mantap dan didukung oleh masyarakat, penyempurnaan dan pemantapan fungsi dan struktur kelembagaan pemerintahan kota, peningkatan pelayanan perkotaan, peningkatan pemerataan dan upaya-upaya menggerakkan pembangunan, perlu dibarengi dengan penyediaan dana pembiayaan pembangunan perkotaan yang memadai. Kesembilan, peranan teknologi dan penggunaan sistem informasi pembangunan perkotaan semakin penting dan kerja sama antar kota dan antardaerah penyangga, dan kerja sama antar kota (internasional) perlu terus ditingkatkan. Kesepuluh, pemerintah kota harus selalu berpandangan jauh menjangkau ke depan, harus berwawasan nasional dan selalu membaca kecenderungan perkembangan internasional. 65


Pengelolaan kota yang efektif Perkembangan kota yang pesat menuntut pengelolaan kota yang efektif (Sivaramakrishnan dalam bukunya Metropolitan Management - The Asian Experience, 1986), membutuhkan kebijaksanaan terpadu peningkatan perekonomian perkotaan (Sukanto Reksoprodjo), pembentukan kota menuju modern metropolis (Hans Blumenfeld dan Paul D. Spreingen, 1967), dan pengelolaan lingkungan hidup perkotaan (seminar Megacities di Jakarta, 1-9 Agustus 1993, diikuti pengelolaan kota metropolitan Bangkok, Beijing, Bombay, Buenos Aires, Delhi, Jakarta, London, Los Angeles, Mexico City, Moskwa, New York, Rio de Janeiro, Sao Paulo, dan Tokyo). Pertemuan MAKSI hendaknya selain membahas evaluasi pelaksanaan program tiga tahun sebelumnya, juga saling bertukar pengalaman dalam mengelola kota. Misalnya, bagaimana menciptakan kota bersih (mencontoh keberhasilan kota Kitakyushu dan kota-kota lainnya di Jepang dalam mengelola sampah), meningkatkan peran PKK dan wanita dalam pembangunan kota, meningkatkan peran serta dan partisipasi masyarakat, meningkatkan kemitraan (pemerintah, swasta, dan masyarakat), melaksanakan program-program dengan model BOT (build, operate, transfer) dan BOO (build, operate, own), keberhasilan dalam penanganan prokasih, keberhasilan dalam penanganan kawasan pantai dan wilayah pesisir, keberhasilan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), memobilisasi dana masyarakat untuk pembangunan kota, pengalaman Wagiman (wali kota gila taman), pengalaman kerja sama antarkota sedunia melalui program sister city, pengalaman kunjungan dan studi perbandingan ke kota-kota metropolitan di duina, pengalaman melaksanakan pembangunan rumah susun untuk berbagai kelompok penghasilan masyarakat, pengalaman melaksanakan program penanggulangan dan pengentasan kemiskinan, dan sebagainya. Sepuluh hal yang perlu diperhatikan sebagai ungkapan kesepakatan Seminar Megacity di Jakarta bulan Agustus 1993, perlu diperhatikan oleh para pengelola pembangunan kota. Pertama, pada tahun 2000 nanti, sebagian terbesar penduduk dunia hidup di daerah perkotaan, tinggal di 23 kota-kota berpenduduk di atas 10 juta jiwa yang dikenal sebagai megacity. Kedua, megacity ini, kay a atau miskin, kapitalis atau sosialis, masing-masing dihadapkan pada permasalahan degradasi dan kerusakan lingkungan yang bisa mengancam kehidupan manusia dan kelestarian lingkungan. Ketiga, kaum migran yang terus bertambah dihadapkan pada tantangan untuk melepaskan diri dari status kelompok miskin perkotaan. Keempat, permasalahan kota yang makin kompleks menuntut penerapan teknologi di berbagai bidang atau sektor pembangunan perkotaan agar bisa diwujudkan kota yang produktif, efektif, dan efisien. Kelima, diperlukan cara-cara kreatif untuk mendayagunakan sumber-sumber daya manusia, alam dan pembiayaan perkotaan untuk meningkatkan tarat hidup masyarakat perkotaan. Keenam, dalam situasi kesulitan mendapatkan tenaga ahli perkotaan, perlu didayagunakan pakar lokal perkotaan baik dari kalangan pemerintah, swasta, perguruan tinggi, dan komunitas. Ketujuh, diperlukan mekaniisme dan koordinasi pengelolaan perkotaan yang efektif dan efisien. Kedelapan, keberhasilan masa depan ditentukan oleh keberhasilan pemecahan masa kini yang memadukan kegiatan antarsektor, komunitas, dan menumbuhkembangkan peranserta masyarakat serta pembangunan yang berorientasi atau memihak pada kepentingan masyarakat. Kesembilan, makin kompleksnya permasalahan megacity menuntut adanya desentralisasi manajemen perkotaan, peningkatan produktivitas sektoral informal termasuk peran wanita dan sistem sirkular selain sistem linier dalam penanganan masalah air, sampah, saluran pembuangan, energi, pangan dalam menuju kesinambungan dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (keserasian megacity dengan kota-kota sekitar, kota baru, kota satelit). Kesepuluh, diperlukan inovasi dan kreativitas, bekerja produktif, berorientasi iptek, mencontoh keberhasilan megacity lain, memaksimumkan hasil pembangunan, mengefisienkan dan mengefektifkan cara kerja, dan meminimumkan dampak pembangunan. Berpandangan ke depan Pengelola kota harus berpandangan ke depan dan menyiapkan kotanya menghadapi globalisasi. Pakar perkotaan Prof. Alan Strout menegaskan, Jakarta in the 21st century: large, yes; great. why not. 66


Click to View FlipBook Version