The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

20181129101319__F__KMS_BOOK_20180723025129

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Buku Digital, 2023-05-31 13:07:23

20181129101319__F__KMS_BOOK_20180723025129

20181129101319__F__KMS_BOOK_20180723025129

Benang Merah Upaya Pengentasan Kemiskinan Dimulai dengan langkah Presiden Soeharto memanggil empatbelas Menteri untuk mengentaskan kemiskinan, momentum ini makin lama makin kuat gaungnya dan melibatkan pemerintah, swasta dan masyarakat serta lembaga swadaya masyarakat dalam memerangi kemiskinan. Dimulai dengan pernyataan 27,2 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan (Mubyarto, 1993), disusul saran Nasikun (1993) untuk meredefinisikan kemiskinan, dan Adi Sasono yang melihat persoalan kemiskinan dalam perspektif peningkatan keunggulan kompetitif. Pembahasan masalah kemiskinan terus bergulir. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bekerjasama dengan Universitas Mereu Buana dan Pusat Pengembangan Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada telah menyelenggarakan Seminar Peningkatan Kesejahteraan Umat Melalui Pemberantasan Kemiskinan di Jakarta, 18-20 Juni 1993. Padatnya materi yang dibahas dalam seminar ini mendorong penulis untuk menyajikan ke dalam rangkaian benang merah upaya pengentasan kemiskinan. Makalah inti Mubyarto m·enekankan adanya peluang dan tantangan pengembangan ekonomi umat dan mengingatkan bahwa kail bagi si miskin adalah pekerjaan yang kontinu, sedangkan Loekman Soetrisno mengajak semua orang untuk memahami kemiskinan dan orang miskin di Indonesia. Makalah penunjang membahas upaya mengentaskan kemiskinan umat (Sjamsoe'oed Sadjad) dan faktor-faktor penyebab kemiskinan serta penanggulangannya melalui transmigrasi (Tarso Djojoprapto). Makalah inti tersebut didukung profil desa miskin dan orang miskin. Profil Desa Miskin ditunjukkan melalui hasil berbagai penelitian di Jlagran, kampung miskin di perkotaan (Wiwik Widyastuti), Kahelaan, sebuah desa miskin- di kaki pegunungan Meratus (Yuli Nugroho), desa transmigrasi Bumi Asih di Kalimantan Selatan (Agnes Mawarni), kelurahan baru, potret sebuah desa pinggiran. (Kus Dwiwahyuni), profil desa Neglasari (Susapto), profil sebuah dusun perkebunan Cipedes (Winahyu dan Yulius), profil permukiman kumuh di Kelurahan Kebon Melati Jakarta Pusat (Endah Pratiwi dan lsmaryati), Glinggangan, profil desa pegunungan yang miskin (Shanta Curanggana), Worawari, desa perbukitan yang terisolasi (San Afri Awang), Angkatan Lor, sebuah profil desa lahan kering (Putu Sudira), serta profil desa dan penduduk miskin di Kalimantan Barat (Edhie Jatmiko). Profil orang miskin diperlihatkan oleh Sulistyo dan Sri Rejeki (Walimun, kisah nelayan miskin), Syahbudin Latief (sampai mati tidak mengenal sugih), Sylvia lsmawan (keluarga Ujuk, kemiskinan yang tidak kentara), Shinta Herindastri (keluarga Miing bertahan di tengah modernisasi), Otok Pamuji (mencoba bertahan dalam kekurangan), Kus Dwi Wahyuni (Suyadi buruh bangunan yang ulet), Dallan Daniel Sulekale (ldeng, darki petani menjadi pemulung), Yulius (Ppak Etcek, korban kemiskinan struktur), Dewi Linggasari (keluarga tukang sampah), Endah Pratiwi (Suleman, gerobak mandiri), dan Retno Winahyu (Pak Endang profil buruh tebu yang kehilangan harapan). Selanjutnya lsmaryati memperlihatkan kajiannya tentang Hermanto si ulet yang gagal, Bambang Ertanto menceritakan pengalaman lyus dan Haryono yang semangat dalam kemiskinan, Shanta Curanggana (Parmin, petani miskin tanpa pengalaman merantau), Mutiah Amini (kisah hidup keluarga Rakiban, buruh tani di sawah tadah hujan), San Afri Awang (sudah berusaha namun tetap miskin dan mengapa nelayan menjadi miskin), Sri Haryati Mubyarto (liku-liku perjalanan hidup Halimah ke pemukiman kumuh di Jakarta), Ita Setiawai (Wang Tian Xi, profil seorang buruh Gina), Santiasih (nasib seorang buruh tani, kasus di dusun miskin dalam perkebunan jeruk), Syahbudin Latief (kisah keluarga pak Diro, seorang transmigran pecahan kepala keluarga), dan Edhie Djatmiko (Petrus, profil penduduk desa miskin di Kalimantan Barat). Para ahli tidak ketinggalan memberikan tanggapan terhadap makalah yang disajikan. Johan Silas, pakar perumahan dan permukiman dari Surabaya mengupas masalah kemiskinan dari pengalaman lima kasus di Surabaya, disusul identifikasi pengembangan desa miskin dalam rangka pengentasan kemiskinan (Mochtaram Karyudi, Planologi ITB), masalah kemiskinan (Sayogyo, IPB), kail bagi si miskin (Sarif Alqadrie), perilaku menyimpang dan budaya kemiskinan (Ronny Nitibaskara), jembatan dalam upaya mengentas kemiskinan (Totoh Abdul Fatah), penanganan usaha kecil sebagai bagian dari penanggulangan kemiskinan 369


(Rijanto Sastroatmodjo), tanggapan terhadap desa miskin dan orang miskin serta konsep sosial budaya masyarakat dalam konteks lingkungan hidup dan pengentasan kemiskinan (Mattulada), dan tanggapan terhadap makalah inti (Pulungan). Kemiskinan Mubyarto menyatakan bahwa mengurus orang miskin jauh lebih rumit dibandingkan mengurus orang kaya dan berpendidikan. Penjajahan menyebabkan munculnya perilaku masyarakat perdesaan yang dikenal sebagai involusi yang tampak sebagai sifat pribumi yang statis, malas, dan tidak ingin maju. Usaha kecil dan menengah di Indonesia, perekonomian rakyat, telah menjadi sektor yang tahan bantingan dalam berhadapan dengan ekonomi modern yang kapitalistik. Orde Baru memberi peluang untuk maju karena berkembangnya kebebasan ekonomi pasar, namun dalam perkembangannya dipaksa berlomba, sehingga banyak diantaranya yang hancur berantakan. Mubyarto juga menegaskan bahwa di perkotaan ada dua kelompok warga yang miskin dikenal melarat, sedangkan warga miskin penduduk asli memiliki rumah yang lumayan tetapi tidak terjamin kebutuhan dasar hidupnya. Diperlukan gerakan moral bangsa, yaitu tindakan serentak seluruh masyarakat menuju kemajuan kehidupan ekonomi dan sosial bangsa didasarkan Pancasila. Orang miskin menurut Loekman Soetrisno mudah dikenal, dari rumah yang reot dan terbuat dari bahan bangunan bermutu rendah, perlengkapan sangat minim, tidak memiliki MCK sendiri, dan pendapatannya tidak menentu dan dalam jumlah yang tidak memadai. Kemiskinan sejalan dengan ketidakberuntungan, kondisi fisik yang lemah, kerentanan, keterisolasian, dan ketidakberdayaan (Chambers, 1983). Keluarga miskin kesrakat perlu dibantu dengan beras dan sekadar uang untuk menolong mereka agar dapat hidup lebih manusiawi, sedangkan terhadap orang miskin potensial, perlu disediakan kail, seperti terhadap pedagang kakilima, pedagang eceran, pemulung dan sejenisnya, untuk diangkat ke tingkat hidup yang lebih tinggi. Sjamsoe'oed Sadjad membedakan dengan tegas melarat dan miskin. Melarat, apabila kehidupan sesat (a certain moment of period of time) kurang memenuhi kebutuhan wajar, sedangkan miskin apabila melarat itu berlarut-larut dan tidak mempunyai harapan untuk masa depan dengan kehidupan wajar. Pemulung dan abang becak tergolong miskin meskipun tidak melarat, karena punya rumah, pekerjaan, tetapi tidak mempunyai masa depan yang cerah. Sebaliknya, sarjana dapat melarat tetapi tidak miskin. Sangat menarik pernyataan Sjamsoe'oed Sadjad seperti berikut : GBHN mengamanatkan kita untuk memerangi kemiskinan. Dengan upaya mengentaskan umat dari kemiskinan, akan mengurangi dengan sendirinya kemelaratan. Sebaliknya, kurang tepat apabila upaya mengentaskan umat dari kemiskinan hanya dilakukan pada pengurangan kemelaratan semata. Dengan perkataan lain, mengurangi kemelaratan belum tentu akan mengurangi kemiskinan, walaupun demikian, maka garis kemiskinan Sayogyo yang setara beras 360 kg atau Rp 198.000 (Rp 550/kg) per tahun per kapita mungkin harus disebut garis kemelaratan kalau kejadian tersebut hanya sesaat. Kalau petani bisa memanfaatkan lahannya untuk berproduksi, maka petani mampu mengatasi kemelaratannya. Apabila ini dapat dilakukan terus menerus, maka petani ini tidak akan merasa miskin. Demikian pula sarjana dengan ijazahnya. Pegawai negeri yang melarat tidak merasa miskin, karena ada harapan untuk terjamin di masa tuanya. Tiga hal perlu diperhatikan dalam pengentasan kemiskinan, yaitu pendidikan, kesehatan, dan peran asuransi hari tua bagi si miskin. Setelah fasilitas pendidikan dan kesehatan memadai, barulah si miskin diarahkan untuk bisa hidup layak di dalam lingkungan perumahan dan permukiman yang sehat. Tarsi Djojoprapto membuat formula kemiskinan yang merupakan fungsi dari personality, environment, dan opportunity. Miskin didefinisikan sebagai sejumlah pemilihan dalam bentuk bendawi atau visual dengan kondisi kurang dari memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) yang bersifat umum. Faktor personality terdiri atas keimanan, ketaqwaan, kemauan pendidikan, ketrampilan, fisik dan kesehatan, inisiatif, kreatif, otoakivitas, inovatif, kejelian, kepedulian, daya serap iptek, kemampuan mengambil keputusan. Environment terdiri atas lingkungan manusia, fauna, dan flora, termasuk iptek, kemandirian, kepemimpinan, dan falsafah bangsa dan negara. Sifat dan perilaku manusia meliputi partisipasi, responsif, kepedulian dan kesetiakawanan, gotong 370


royong, perikemanusiaan, homo hominilupus, kesadaran hukum dan lingkungan, wawasan orientasi hidup ke masa depan, dan budaya masyarakat. Tanggapan Pakar perumahan dari ITS, Johan Silas, memaparkan lima kasus kemiskinan di Surabaya, yaitu pedagang kakilima, angkutan serbaguna (angguna), penghuni rumah susun Sombo dan Dupak, mitra pasukan kuning pengelola kebersihan kota, dan pengamen. Angkutan serbaguna pengganti becak adalah pengangkut orang dan barang yang digerakkan oleh motor 1 000 cc (truk mini) dengan tarif 1 0% lebih murah dari taksi. Adanya kesamaan pada lima segmen kemiskinan ini adalah tumbuhnya koperasi di antara mereka, tumbuhnya model pembangunan self propeling growth, dan besarnya peranan guru dan tokoh agama dalam menumbuhkan kepedulian, kesetiakawanan, kegotongroyongan, dan kebersamaan. Ahli perencana wilayah dari ITB, Mochtaram Karyoedi, mencari alternatif pengembangan desa dan kawasan miskin, yaitu dengan cara menetapkan desa miskin melalui .kriteria yang jelas, identifikasi masalah, melihat faktor-faktor yang berpengaruh, mencari titik pangkal penanggulangan masalah, melihat faktor-faktor yang berpengaruh, mencari titik pangkal penanggulangan masalah, penyusunan strategi pengembangan ekonomi dan sumberdaya manusia kuratif, dan bantu, dan penyusunan program yang menyangkut prasarana, penyediaan lapangan kerja, penyiapan pemasaran, koperasi, sistem perhubungan, pelatihan, bimbingan dan introduksi sistem dan teknologi baru. Sayogyo menekankan pentingnya delapan jalur pemerataan, kemampuan, asset, dan kebiasaan orang miskin yang harus digali dan dikembangkan, dan perlu ditumbuhkan penghidupan yang berkelanjutan. Ditegaskan pula pentingnya partisipasi, hidup dalam sapu lidi yang terikat, mengurangi kesan tanpa kekuatan, menumbuhkan kepemimpinan, mengaitkan kegiatan informal dalam kegiatan formal, dan membina serta menumbuhkan kemandirian. Syarif Alqadrie dari Universitas Tanjungpura Pontianak, mengemukakan empat paradigma atau perspektif kemiskinan, yaitu budaya, mental dan psikologis (cultural, mental psychological perspective), demografi (demographical perspectif), ekologik dan sumber daya (ecological, resources perspective), budaya dan mental psikologis (non-cultural, mental psychological perspective) atau perspektif struktural (structural perspective). Syarif mengajukan tiga pertanyaan tentang kemiskinan. Pertama, apakah sistem nilai, orientasi nilai budaya yang tidak berorientasi ke depan, faktor mental psikologis yang negatif, fatalisme, rendahnya pendidikan dan motivasi menimbulkan kemiskinan suatu kelompok masyarakat? Atau tidakkah sebaliknya justru kemiskinanlah yang menimbulkan sistem nilai, orientasi nilai budaya, faktor mental psikologis, rendahnya pendidikan dan tingkat motivasi semacam itu. Pertanyaan kedua adalah apakah besarnya jumlah penduduk atau banyaknya jumlah anak dalam tiap keluarga merupakan akibat dari kemiskinan. Ketiga, apakah sumberdaya alam yang miskin, sumberdaya manusia yang tidak unggul menimbulkan kemiskinan atau bukan sebaliknya, kondisi miskin menyebabkan mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi atau mencegah berkurang atau hancurnya sumberdaya alam di sekitar mereka dan untuk meningkatkan sumberdaya manusia, atau tidak memiliki kemampuan dan akses ke dalam sumberdaya alam yang kaya itu sehingga pada akhirnya sumberdaya alam itu sendiri akan berkurang dan tidak dapat menikmatinya. Syarif menyodorkan konsepnya berupa persyaratan dalam upaya pengentasan kemiskinan, yaitu tersedianya lapangan kerja pada semua sektor bagi semua lapisan masyarakat, menampung tenaga kerja lapisan bawah sampai ke pedalaman, padat karya dengan berbagai jenis teknologi, sistem upah dan gaji yang memadai, lapangan kerja dengan tingkat kontinuitas tinggi, dan terciptanya keamanan dan jaminan keselamatan buruh. Juga ditekankan, arah pembangunan yang kurang berorientasi ke bawah, kurang menciptakan kemandirian bagi rakyat kecil, dan menggunakan model atau pendekatan pembangunan satu arah, akan mengakibatkan kemiskinan. Disarankannya agar penanggulangan dan pengentasan kemiskinan dilakukan bertahap, jangka pendek, menengah, dan jangka panjang, didukung kemitraan pemerintah-swasta, dan masyarakat. Dari tujuh kasus yang diamatinya, Ronny Nitibaskara, ahli kriminologi, menyimpulkan bahwa kemiskinan telah membawa dampak sosial yang merupakan faktor potensial kriminogen yang cukup besar, kemiskinan merupakan suatu gejala yang bersifat dinamis dan merupakan proses yang berlangsung terus, dan 371


mengatasi kemiskinan merupakan kewajiban nasional bagi seluruh umat manusia. Mengutip Sudjatmoko (1980), ilmu sosial secara lebih terperinci ditantang untuk menerangkan dimensi kemiskinan struktural dan proses pemelaratan yang dialami sebagian besar penduduk. Kemiskinan untuk sebagian besar disebabkan oleh pengaruh negatif iklim terhadap kegiatan dan daya prestasi manusia (Huttington, 1979), tiadanya hasrat berprestasi (need of achievement) menyebabkan keterbelakangan suatu masyarakat (David Clefland, 1967), kemajuan suatu bangsa disebabkan ajaran agama yang menganjurkan kerja keras, hemat dan sifat-sifat ingin maju (pendapat tokoh agama), penanggulangan kemiskinan struktural merupakan upaya terpadu yang harus didukung berbagai pihak termasuk si miskin (Presiden Soeharto), kepapaan itu dekat kepada kekafiran (sabda Nabi Muhammad SAW), dan akil bagi si miskin adalah pekerjaan yang kontinyu (Mubyarto). Masjid sebagai Baitullah, pusat ibadah dan pembinaan umat, didukung peranan imam dan khatib sebagai panutan, dapat dijadikan sebagai tempat pengentasan kemiskinan. Perpustakaan masjid, BPR Syariah, Puskesmas, pelayanan kesehatan lokal, pendidikan dan pelatihan swadaya masyarakat, merupakan upaya-upaya pengentasan kemiskinan. Muttulada mengutarakan sebab-sebab kemiskinan, yaitu kemalasan, kebodohan, ketidakmampuan fisik atau mental (cacat), kemampuan pribadi seseorang yang terbatas, kelemahan atau kebobrokan struktural yang berada di luar kemampuan pribadi seseorang, dan sebab struktural yang tumbuh dari satu sistem nilai budaya yang menghargai cara-cara kehidupan yang menghindari kesenangan hidup duniawi. Dengan demikian penyebab kemiskinan bersifat kualitatif dan kuantitatif, yang paling umum adalah ketidakmampuan individu mengatasi kesulitan karena tekanan dari luar. Kualitas hidup manusia yang terhindar dari kemiskian, akan terbina dari lingkungan biofisik yang terpelihara, lingkungan sosial yang seimbang, dan lingkungan budaya yang menumbuhkan kreativitas dalam kehidupan. Pulungan membahas kemiskinan dengan menyorot UUD 1945 pasal 27 ayat 2 (Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi manusia) dan pasal 34 (fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara). Islam mengakui adanya kemiskinan dan memerintahkan penanggulangannya, baik ekstern (sukkriyya) maupun intern (daabbah). Syekh Muhammad Yusuf AI Oardlawi merinci enam jalan untuk mengatasi kemiskinan, yaitu bekerja, mencukupi keluarga yang lemah, zakat, dana, bantuan, perbendaharaan. Islam dari berbagai sumbernya, keharusan memenuhi hak-hak selain zakat, dan sadaqah sukarela dan kebajikan individu. Pulungan juga melihat bahwa program-program bantuan kepada rakyat miskin selama ini bersifat forward looking (bagaimana memperbaiki nasib di masa mendatang) dan kurang bersifat inward /oooking (bagaimana si miskin memecahkan utang yang bertumpuk). Di samping pemikiran di atas, pemberantasan kemiskinan memerlukan tindakan konsepsional yang sistematis serta program konkrit yang cepat, tepat dan mengakar, dengan mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat, dari Pusat sampai ke Daerah di seluruh pelosok tanah air. Try Sutrisno menegaskan bahwa pemberantasan kemiskinan akan sulit mencapai hasil, apabila hanya dilakukan dengan memberikan ikan, tetapi tidak memberikan kail, serta tidak diberikan latihan keterampilan tentang bagaimana menggunakan kail. Begitu kompleksnya masalah kemiskinan, sehingga diperlukan konsistensi, sehingga diperlukan kecerdikan dan keuletan serta kearifan dalam mencari dan menemukan akar masalahnya, menentukan prioritas penanganan serta merumuskan alternatif pemecahan secara tepat, baik secara konsepsional maupun operasional. Jayakarta, 9 September 1993 372


Evolusi Pengentasan Kemiskinan di DKI Jakarta Masalah kemiskinan di Indonesia mencuat setelah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Ketua Bappenas Ginanjar Kartasasmita mengangkat permasalahan ini. Padahal Bank Dunia telah menyorot masalah kemiskinan dalam World Development Indicators (World Development Report: Poverty, 1990) dan laporan berjudullndonesia: Poverty Assessment and Strategy Report (Mei 1990). Masalah kemiskinan sangat kompleks, karena itu penanggulangan dan pengentasannya tidak bisa dilakukan secara mendadak atau revolusi, tetapi evolusi, bertahap perlahan-lahan, terintegrasi antara satu program satu dengan yang lain, antara lain menyangkut pendidikan, kesehatan, gizi, penyediaan air bersih dan pengaturan sanitasi, pengelolaan sampah, perbaikan kampung; pembangunan perumahan dan permukiman untuk orang miskin, kelembagaan, dan lembaga swadaya masyarakat. Distribusi pendapatan penduduk Indonesia secara kasar terdiri atas 40% penduduk berpenghasilan rendah, 40% berpenghasilan sedang, dan 20% berpenghasilan tinggi. Di DKI Jakarta, gambaran ini tidak jauh berbeda, yaitu mendekati 50% berpenghasilan rendah dan perbedaan paling kaya dan paling miskin sangat mencolok. Walaupun menurut BPS di DKI Jakarta pada tahun 1993 hanya ada 4 kelurahan miskin, dan 256 selebihnya tidak miskin, kenyataannya hampir di setiap .kelurahan terdapat kantong-kantong kemiskinan. Kemiskinan Perkotaan MUI-P3PK UGM dan Universitas Mereu Buana telah menyelenggarakan seminar. Peningkatan Kesejahteraan Umat Melalui Pemberantasan Kemiskinan. Seminar menyimpulkan perlunya Gerakan Masal yang luas dan secara nasional mengenai pengentasan kemiskinan, tanpa harus menunggu petunjuk-petunjuk dari atas, tetapi secara sadar berusaha mengatasi ketimpangan ekonomi, kesenjangan sosial dan kemiskinan masal yang tidak boleh dibiarkan berkepanjangan. Pembangunan selama PJPT I tidak dapat dipungkiri telah membawa kemajuan besar, tetapi pembangunan yang mentargetkan pertumbuhan ekonomi cenderung bersifat kapitalistik, memojokkan dan tidak mampu mengakomodasi kepentingan rakyat tak mampu, sehingga menumbuhkan kemiskinan perkotaan. Kemiskinan perkotaan dapat dibedakan atas kemiskinan nyata (kelompok yang saat ini mengalami kemiskinan, tetapi melalui proses upaya tertentu bisa menjadi tidak miskin) dan kemiskinan potensial (kelompok yang sebetulnya belum miskin tetapi bisa menjadi miskin akibat kebijaksanaan pemerintah, misalnya yang dialami pedagang kakilima, tukang becak, pedagang asongan, dan sejenisnya. Hal mendasar yang diperlukan adalah perlunya ada pemihakan pada orang miskin, sehingga secara implisit terjadi peru bah an sikap atau pandangan terhadap orang miskin. Orang miskin tidak mampu secara mandiri melakukan aktivitas mengentaskan dirinya, karena itu mereka memerlukan pendamping, yaitu bisa pemerintah, LSM, forum komunikasi, atau universitas, Kelompok miskin, umumnya bekerja pada sektor informal yang sering dihadapkan pada perlakuan tidak adil seperti penggusuran, pemerasan, dan ketidaktenangan dalam berusaha. Agar pengentasan kemiskinan tidak salah arah, diperlukan data dan informasi lengkap tentang peta kemiskihan kota sampai ke kelurahan, termasuk data keberhasilan dan ketidak berhasilan program yang telah dijalankan terhadap lokasi-lokasi miskin. Pengentasan kemiskinan menuntut keterbukaan Pemda, agar diketahui potensi dan kelemahan aparat pemerintah, sejauh mana peran LSM dan universitas, serta ada tidaknya keterkaitan antar proyek di lapangan. Pemukiman kumuh merupakan perangkap kemiskinan mantap dan perangkap manusia rendah diri, yang harus diberantas secara tegas dan segera. Tetapi penanganannya harus dilakukan secara manusiawi. Program penanganan lingkungan kumuh yang berhasil dengan baik, secara psikologis akan meningkatkan rasa percaya dan tumbuhnya diri mereka yang semula diremehkan kemudian masuk ke dalam kehidupan normal. Pemberian penghargaan yang layak kepada golongan pekerja berisiko tinggi, seperti penyapu jalan, pengangkut sampah, petugas parkir, pembersih gedung tinggi, tenaga Satpam, dan sejenisnya, perlu 373


dilakukan dalam bentuk insentif, asuransi kesehatan dan rasa bangga akan profesinya. Pemberian ganti rugi harus dilakukan secara adil, agar kesan membangun tanpa menggusur bisa dihindari. Perencanaan pembangunan kota diharapkan menghindarkan dislokasi dan perubahan fungsi yang merugikan pertambahan nilai pembangunan dan bahkan menimbulkan kemiskinan baru. Pengenaan pajak progresif sudah saatnya diterapkan, agar terjadi keadilan kaya-miskin dalam menikmati hasil pembangunan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus diupayakan agar tidak merugikan si miskin. Evolusi Seperti diutarakan di atas, pengentasan kemiskinan di DKI Jakarta harus dilakukan secara evolusi, bukan revolusi. Siapapun yang menikmati hidup dan kehidupan di Jakarta, baik ber-KTP DKI maupun bukan, wajib berpartisipasi dalam pembangunan kota Jakarta, khususnya dalam ikut berperan serta mengentaskan KELURAHAN Dl DKI JAKARTA YANG TERPADAT PENDUDUKNYA TAHUN 1990 (JIWAIKM2) No. Kelurahan Kepadatan Kecamatan Wilayah Kota 1. Kali Anyar 88.091 Tambora Jakarta Barat 2. Krendang 76.509 Tambora Jakarta Barat 3. Kampllng Rawa 76.153 Johar Baru Jakarta Pusat 4. Galur 73.148 Johar Baru Jakarta Pusat 5. Jembatan Besi 67.160 Tambora Jakarta Barat 6. Tanah Tinggi 66.247 Johar Baru Jakarta Pusat 7. Keagungan 64.950 Taman Sari Jakarta Barat 8. Karang Anyar 57.959 Sawah Besar Jakarta Pusat 9. Duri Utara 55.588 Tambora Jakarta Barat 10. Kampung Melayu 55.252 Jatinegara Jakarta Timur 11. Manggarai Selatan 54.092 Tebet Jakarta Selatan 12. Utan Panjang 54.013 Kemayoran Jakarta Pusat 13. Jembatan Lima 51.578 Tam bora Jakarta Barat 14. Tanah Sareal 49.821 Tam bora Jakarta Barat 15. Menteng Atas 48.776 Setia Budi Jakarta Selatan 16. Duri Pulo 48.389 Gambir Jakarta Pusat 17. Harapan Mulya 48.360 Kemayoran Jakarta Pusat 18. Pisangan Baru 47.465 Matraman Jakarta Timur 19. Kartini 46.636 Sawah Besar Jakarta Pusat 20. Kayu Manis 45.275 Mat raman Jakarta Timur 21. Cipinang Besar Utara 44.664 Jatinegara Jakarta Timur 22. Warakas 43.678 Tanjung Prick Jakarta Utara 23. Angke 43.608 Tambora Jakarta Barat 24. Kemayoran 43.387 Kemayoran Jakarta Pusat 25. Kota Bambu 43.268 Palmerah Jakarta Barat 26. Krukut 41.731 Taman Sari Jakarta Barat 27. Tangki 40.316 Taman Sari Jakarta Barat 28. Kramat 39.644 Senen Jakarta Pusat 29. Kebon Melati 39.531 Tanah Abang Jakarta Pusat 30. Lagoa 39.438 Koja Jakarta Utara 31. Serdang 39.079 Kemayoran Jakarta Pusat 32. Kebon Kacang 38.689 Tanah Abang Jakarta Pusat 33. Cempaka Baru 37.234 Kemayoran Jakarta Pusat 34. Bukit Duri 36.577 Tebet Jakarta Selatan 35. Koja Selatan 35.770 Koja Jakarta Utara 36. Manggarai 35.385 Tebet Jakarta Selatan 37. Pasar Manggis 35.142 Setia Budi Jakarta Selatan 38. Malaka Jaya 34.774 Duren Sawit Jakarta Timur 39. Pela Mapang 31.537 Mampang Prapatan Jakarta Selatan 40. Kebon Bawang 31.113 Tanjung Prick Jakarta Utara Sumber : Kantor Sensus Propinsi DKI Jakarta, Penduduk DKI Jakarta, Hasil Sensus Penduduk 1990, Kepadatan Penduduk rata-rata (Jiwa/Km2) DKI Jakarta (12.435), Jakarta Pusat (22.437), Jakarta Barat (14.390), Jakarta Selatan (13.105), Jakarta Timur (10.997), dan Jakarta Utara (8.844). 374


kemiskinan. Mulailah dengan aparatur pemerintah DKI Jakarta di semua jajarannya, mulai dari Gedung Balaikota sampai ke Kecamatan dan Kelurahan, semua harus punya tekad menumpas kantong-kantong kemiskinan di lima wilayah kota. Pegawai negeri berbagai instansi yang ada di Jakarta, haruslah mendukung dan berperan serta aktif dalam kegiatan pengentasan kemiskinan. Paling sedikit dengan mematuhi berbagai peraturan dan ketentuan Pemda, demi kelancaran pelaksanaan pembangunan. Para pegawai yang tempat tinggalnya tidak di Jakarta, yaitu di Botabek bahkan Karawang, Cianjur, Sukabumi, Bandung dan Serang, harus mencintai kotanya sendiri. Berbuatlah sedikit kebaikan untuk warga Jakarta, karena mereka mencari nafkah juga di kota Jakarta. Pegawai asing yang berdomisili di Jakarta, baik pegawai Kedutaan, Swasta dan Tenaga Ahli/ Konsultan, dihimbau ikut berperan nyata dalam pembangunan kota Jakarta, antara lain dengan mengikuti kegiatan sosial melalui Lions Club dan sejenisnya, Para pekerja yang tiap hari bolak-balik dari rumahnya di Botabek dan mencari nafkah di ibukota, diharapkan berpartisipasimemelihara hasil-hasil pembangunan kota dengan menjaga kebersihan kota dan menaati segala peraturan Pemda dan perundang-undangan yang ada. Berdasarkan Statistik Perumahan dan Lingkungan Tahun 1989, penghasilan per bulan penduduk DKI Jakarta terdiri atas : 32,66% berpenghasilan Rp 200.000,- ke atas (hanya 10,21% berpenghasilan Rp 500.000 ke atas) dan 67,34% berpenghasilan Rp 200.000 ke bawah (ada 39,68% yang berpenghasilan di bawah Rp 150.000). Untuk ukuran Jakarta, sebenarnya 67% penduduk Jakarta inilah yang perlu dimasukkan ke dalam kategori orang miskin, yang tidak mempunyai rumah sendiri, tinggal di rumah kontrakan yang sempit, rumah sewa sederhana, dan bahkan di rumah-rumah kumuh. Dari 260 kelurahan di DKI Jakarta dan 43 kecamatan di DKI Jakarta, penulis mencoba melihat 40 kelurahan terpadat (Lihat Tabel). Di kelurahan-kelurahan yang padat penduduknya inilah sebenarnya berkumpulnya orang-orang miskin di Jakarta. Di kelurahan Kali Anyar dan Krendang Jakarta Barat hampir sulit dinikmati kenyamanan, karena kebisingan siang-malam dan bau air sungai serta tidak adanya fasilitas sanitasi. Demikian pula Kampung Rawa dan Galur di sekitar Senen Jakarta Pusat, merupakan perkampungan yang tidak pernah tidur siang dan malam. Selanjutnya Jembatan Besi di Tambora Jakarta Barat dan Tanah Tinggi di · dekat Senen Jakarta Pusat, juga merupakan lokasi-lokasi padat penduduk yang sering disertai berbagai tindakan kriminal dan kejahatan. Upaya Gubernur DKI Jakarta dengan mengeluarkan Kepgub Nomor 540 Tahun 1990 tentang Juklak Pemberian Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan atas bidang tanah untuk pembangunan fisik kota di DKI Jakarta, yang ditindaklanjuti dengan Kepgub Nom or 354 T ahun 1992 tentang Juknis pelaksanaan pembangunan rumah susun sederhana/murah bagi pemegang SP3L, dan Kepgub Nomor 640 Tahun 1992 tentang ketentuan terhadap pembebasan lokasi/lahan tanpa ijin dari Gubernur, serta perintah Gubernur kepada Kepala Dinas Perumahan untuk memantau pelaksanaan Keputusan Gubernur ini, merupakan bukti besarnya perhatian Gubernur terhadap perumahan kelompok miskin di ibukota. Selanjutnya, pembangunan perumahan dan permukiman dengan lingkungan hunian yang berimbang (1 : 3 : 6) dan pelaksanaan pedoman umum penanganan terpadu perumahan dan permukiman kumuh (perbaikan atau pemugaran, peremajaan dan relokasi) yang menonjolkan kemitraan, sebagai realisasi lnpres Nomor 5 Tahun 1990 tentang peremajaan permukiman kumuh di atas tanah negara, juga merupakan contoh kebijaksanaan pengentasan kemiskinan. Upaya Upaya pengentasan kemiskinan di DKI Jakarta perlu dikaitkan dengan upaya mewujudkan Jakarta BMW yang pada dasarnya harus dipecahkan oleh tiga unsur, yaitu aparat Pemda DKI Jakarta (dan aparat Pemerintah Pusat di DKI Jakarta), warga ibukota (partisipasi dan peran serta Swasta dan Masyarakat) dan Pemda tetangga (khususnya Jabar, Jateng, Jatim, Lampung, dan Kalsel). Secara makro, mulailah dengan perangkat perencanaan pembangunan, yaitu penguasaan pengertian terhadap UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia DKI Jakarta, Repelitada, Pola Dasar Pembangunan DKI Jakarta, RUTR (Rencana Umum Tata Ruang), RBWK (Rencana Bagian Wilayah Kota), RTK (Rencana Terinci Kota), RUPTD (Rencana Umum Pembangunan Tahunan 375


Daerah), RPTK (Rencana Pembangunan Tahunan Kecamatan/Kelurahan), mulai musbang tingkat kelurahan, temu karya pembangunan tingkat kecamatan, dan rakorbang tingkat wilayah kota dan propinsi. Secara mikro, berupa kebijaksanaan khusus dan kebijaksanaan operasional yang menyangkut berbagai sektor pembangunan, baik dibiayai pemerintah, swasta, maupun swadaya masyarakat atau kemitraan (pemerintah-swastamasyarakat). Kota Jakarta yang sedang menuju megapolitan atau megacity pada tahun 2000 menuntut aparatnya yang serba profesional. Pegawai Pemda DKI Jakarta haruslah dinamis, mau terus meningkatkan kemampuan dan keterampilannya dalam rangka melaksanakan manajemen kota yang efektif. Koordinasi dengan Pemda sekitarnya harus diwujudkan atas kepentingan bersama. Kelembagaan Jabotabek jika perlu ditingkatkan lagi ke tingkat Mendagri atau Bappenas, dikaitkan dengan penataan ruang. Lembaga Musyawarah Kota hendaknya bukan sekedar pajangan dan pelengkap bagi Walikota, tetapi harus bisa memberikan masukan pemikiran dan pemecahan masalah pembangunan di wilayah kota, dalam hal ini yang terkait dengan permasalahan kemiskinan. Secara operasional, pemerintah kota Jakarta harus belajar dari keberhasilan pemerintah kota-kota metropolitan di dunia dalam menata kotanya, seperti Tokyo, Amsterdam, Den Haag, Paris, Bonn, London, New York, Mexico City, Shanghai dan lain-lain. Manajemen kota yang efektif akan memberi peluang keberhasilan pelaksanaan berbagai program pembangunan, termasuk pula program pengentasan kemiskinan. Angkatan Bersenjata, 26 Juli 1993 Peran Wanita Dalam Mengentaskan Kemiskinan di DKI Jakarta GBHN 1993 menyebutkan bahwa pembinaan peran wanita untuk meningkatkan peran serta aktif dalam proses pembangunan nasional sesuai dengan kodrat serta harkat dan martabatnya sebagai mitra sejajar pria, telah berhasil menjangkau sebagian besar kaum wanita. Tetapi masih perlu diperhatikan peningkatan kualitasnya dan iklim sosial budaya yang lebih mendukung bagi wanita untuk mengembangkan diri dan perannya dalam berbagai dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam era tinggal landas, wanita sebagai mitra sejajar pria harus lebih dapat berperan dalam pembangunan dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta ikut melestarikan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu perlu terus dikembangkan iklim sosial budaya yang mendukung agar mereka dapat menciptakan dan memanfaatkan seluas-luasnya kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya melalui peningkatan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan dengan tetap memperhatikan kodrat serta harkat dan martabat kaum wanita. Jika diteliti dengan seksama dalam GBHN 1993 ada sebelas butir penting peranan wanita dalam pembangunan bangs~.· yaitu wanita sebagai warganegara dan sumberdaya insani pembangunan, mitra sejajar dengan pria dalam pembangunan, peran aktif dalam kegiatan pembangunan, mewujudkan keluarga sehat, sejahtera dan bahagia: mengembangkan anak, remaja dan pemuda dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya; meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, keterampilan serta ketahanan mental dan spiritual; mampu menghadapi perubahan di dalam masyarakat dan di dunia internasional, mengembangkan iklim sosial budaya, menggalakkan kegiatan PKK dan gerakan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera (NKKBS); menangani berbagai masalah sosial dan ekonomi dalam rangka pemerataan hasil pembangunan, pengembangan sumberdaya manusia yang berkualitas, dan pemeliharaan lingkungan; dan meningkatkan keterampilan, produktivitas, kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja wan ita, termasuk yang bekerja di luar negeri, terutama yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja, perkembangan karier serta jaminan pelayanan sosial bagi tenaga kerja wanita dan keluarganya. 376


Partisipasi Dalam upaya mewujudkan setiap warga negara memperoleh kesempatan berperan dan menikmati hasil-hasil pembangunan secara adil dan merata sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga tidak ada lagi kemiskinan, peran serta wanita sangat penting artinya. Wanita bisa berperan serta aktif paling sedikit dalam tujuh bidang pembangunan, yaitu ekonomi; kesejahteraan rakyat, pendidikan dan kebudayaan; agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; iptek; hukum; politik, aparatur negara, penerangan, komunikasi dan media massa, serta pertahanan keamanan. Khususnya dala bidang iptek, wanita pada masing-masing tempat kerjanya dan keahliannya bisa berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan teknik produksi (meningkatkan penguasaan proses produksi, produktivitas, kemampuan, keterampilan, serta kemampuan rancang bangun dan perekayasaan), teknologi (budaya, iptek, program konkrit, alih teknologi, integrasi dan penciptaan teknologi baru), ilmu pengetahuan terapan (litbang, pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan, kreatif CJan inovatif), ilmu pengetahuan dasar (mendukung peningkatan mutu dan kemampuan sumberdaya manusia), dan kelembagaan iptek (kemitraan pemerintah swasta dan masyarakat, produktif, kreatif, inovatif, penyediaan informasi, dan penghargaan). Jika dalam olahraga dikenal motto memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat, maka dalam kegiatan wanita, juga bisa diwujudkan kegiatan mempartisipasikan wanita dan mewanitakan partisipasi dalam mengentaskan kemiskinan. Mempartisipasikan wanita dalam mengentaskan kemiskinan adalah mengikutsertakan dan memeransertakan wanita dalam berbagai kegiatan pembangunan dalam rangka turut mengentaskan kemiskinan, misalnya partisipasi dalam pengelolaan kebersihan lingkungan, penataan rumah sehat dan lingkungan sehat, gerakan keluarga berencana, dan kesetiakawanan sosial. Sedangkan mewanitakan partisipasi adalah menumbuhkan partisipasi pada kaum wanita, agar tumbuh pembangunan yang partisipatif. Untuk ukuran Jakarta yang akan berkembang menjadi megacity pada tahun 2000, partisipasi wanita haruslah ditandai dengan penguasaan iptek, yaitu bekerja dengan menggunakan pendekatan ilmiah, berpikir logis, kreatif, rasional, dan obyektif. Upaya meningkatkan kecintaan wanita terhadap iptek bisa didukung oleh keingintahuan, minat dan perhatian wanita terhadap kegiatan-kegiatan iptek. lptek diharapkan dapat memecahkan permasalahan kaum wanita/ibu seperti persamaan hak, harkat, martabat, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria dalam berbagai bidang pendidikan dan lapangan kerja. Banyak cara meningkatkan peran wanita dalam pembangunan perkotaan, antara lairi melalui seminar peranan wanita dalam pembangunan, peran serta wanita dalam manajemen, dan partisipasi wanita/ibu dalam berbagai kegiatan iptek. Tingginya peran serta wanita dalam penguasaan iptek dan peran sertanya dalam pembangunan, terlihat dari telah banyaknya jabatan Antariksa, Perdana Menteri, Presiden, dan berbagai pimpinan kegiatan ilmiah lainnya yang dipegang oleh kaum wanita. Beberapa hal perlu diperhatikan dalam menerapkan iptek kaum wanita. Pertama, pemilihan bentuk teknologi yang diperlukan haruslah diputuskan oleh para warga desa sendiri. Kedua, adat, kebiasaan, agama dan sosial budaya wanita pedesaan harus diperhatikan. Jika teknologi yang diperkenalkan bertentangan dengan tata nilai yang berlaku, kemungkinan kaum wanita tidak akan menggunakannya. Ketiga, perlu diperhatikan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dan biasanya sukar diubah baik oleh pria mauupn oleh kaum ibu. Keempat, pemilihan teknologi yang diperkenalkan haruslah ditentukan dengan memperhatikan keadaan lingkungan masyarakat yang akan menggunakannya. Kelima, terjaminnya perlengkapan yang diperlukan, jasa perawatan penyediaan suku cadang dan dan pengawasan terhadap pengoperasiannya. Keenam, para perencana dan pelaksana tidak boleh terlalu cepat kecewa seandainya wanita atau ibu-ibu tidak begitu menghargai bantuan teknologi yang diperolehnya. Ketujuh, perlu ada jaminan kesinambungan alat agar dapat menjamin peningkatan produksi dan memberi kemungkinan komersial. Kedelapan, keselamatan wanita/ibu-ibu yang mengoperasikan teknologi harus terjamin sehingga keselamatan kerja dapat dijaga. Kesembilan, memperbaiki alat-alat dengan melibatkan peranan wanita sebesar-besarnya sehingga keterampilannya dapat ditingkatkan. Kesepuluh, teknologi yang telah diperkenalkan kepada wanita di suatu desa hendaknya dapat disebarluaskan ke desa-desa lainnya (sistem berantai, seperti yang terjadi pada program P2LDT, pembangunan perumahan dan lingkungan desa secara terpadu). 377


Teknologi tepat guna diartikan sebagai teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bersifat dinamis, sesuai dengan kemampuan, tidak merusak lingkungan dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam meningkatkan nilai tambah. Memasyarakatkan teknologi tepat guna akan membantu meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan masyarakat perdesaan melalui pengembangan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam dengan memperhatikan kelestariannya. Kegiatan memasyarakatkan teknologi tepat guna dapat ditempuh melalui lima cara. Yang pertama, inventarisasi berbagai jenis dan bentuk teknologi tradisional yang bisa ditingkatkan dan memberi nilai tambah kepada usaha perekonomian masyarakat serta perbaikan kualitas kehidupannya. Kedua, mempersiapkan masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan yang dapat meningkatkan keterampilan dan wawasan teknologi tepat guna kepada aparatur, petugas lapangan, dan kelompok masyaraka:t. Ketiga, mempersiapkan pelatihan keliling teknologi tepat guna yang berasal dari tenaga lokal atau melalui Kader Pembangunan, Tenaga Kerja S4karela Terdidik, dan Sarjana Penggerak Pembangunan. Keempat, mengembangkan keanekaragaman atau diversifikasi usaha masyarakat dari sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri kerajinan tangan, bahan bangunan, perbengkelan, dan sektor penunjang kebutuhan dasar manusia. Kelima, melaksanakan pelayanan berbagai jenis teknologi tepat guna melalui media komunikasi, media cetak, media elektronika, pameran dan peragaari pembangunan sesuai dengan tipologi wilayah dan permasalahannya. Aspek koordinasi memegang peranan panting. Agar koordinasi yang terarah dan terpadu bisa diwujudkan, para Bupati/Walikotamadya hendaknya memperhatikan PP Nomor 6 Tahun 1988 dan lnmendagri Nomor 18 Tahun 1989 tentang Koordinasi Kegiatan lnstansi Vertikal di Daerah. Jika ketentuan peraturan perundang-undangan ini dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat, maka pembangunan daerah, dalam hal ini pembangunan perdesaan, pasti akan lancar. Naluri kewanitaan akan memperkuat kaum wanita dan ibu-ibu dalam memasyarakatkan informasi iptek kepada masyarakat, antara lain melalui perpustakaan keliling, pameran lptek, pu·sat rekreasi iptek, Iomba penulisan dan karya cipta iptek, pengelolaan lingkungan hidup, peningkatan kemampuan Bahasa Indonesia yang benar, dan karyawisata iptek. Partisipasi kaum wanita dalam kegiatan iptek perlu didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, antara lain adanya museum iptek, publikasi iptek, brosur, leaflet memberikan, dan membina keluarga guna mewujudkan keluarga sejahtera. Kampanye lbu Sehat Sejahtera yang dipopulerkan oleh BKKBN, diarahkan pada perwujudan keluarga sehat sejahtera dan keluarga kecil sejahtera. Pembinaan lptek bagi kaum wanita dapat dilakukan melalui kegiatan menyebarluaskan iptek, koordinasi iptek dan penyiapan tenaga terampil bidang iptek. Pembinaan dan pengembangan wanita serta peningkatan perannya dalam pembangunan nasional dapat dilakukan antara lain dengan meningkatkan penguasaan di bidang iptek. Dengan iptek, tenaga kaum wanita dapat ditingkatkan menjadi suatu sumber daya yang bernilai tinggi dan keterbukaan. Sesuai dengan GBHN 1993, ekonomi berperan sebagai penggerak pembangunan, sedangkan iptek merupakan pemacu pembangunan bangsa. DKI Jakarta Penduduk Jakarta sebanyak 8.222.525 jiwa (Sensus Penduduk 1990), terdiri atas 4.150.055 laki-laki dan 4.072.460 pere,mpuan. lni berarti jumlah wanita sebagai potensi pembangunan sangat besar. Wanita dimanapun dia berada, bisa didayagunakan sebagai subyek pembangunan. Dalam membentuk kelompokkelompok kegiatan bersama masyarakat, peran wanita sangat menonjol. Demikian juga dalam menumbuhkan gerakan kesenian dan olahraga, serta upaya-upaya menumbuhkembangkan kegotongroyongan masyarakat. Dalam kegiatan Posyandu, pengumpulan dana sosial masyarakat, kesetiakawanan sosial, leaflet, booklet, informasi teknologi canggih, penyelenggaraan ceramah iptek, peragaan dan pameran iptek, workship iptek, penghargaan prestasi ilmiah, bimbingan teknis, dan penyuluhan iptek. PKK dengan Dasa Wisma-nya merupakan kelompok terkecil dalam masyarakat yang bisa menumbuhkan, menghimpun, mengarahkan, dan membina keluarga guna mewujudkan menghimpun, mengarahkan kebersihan kampung, penerangan kampung, perbaikan jalan kampung, kursus-kursus penyuluhan, pendidikan dan pelatihan singkat, qan sejenisnya, banyak diperankan oleh wanita. Wanita melalui berbagai organisasi kemasyarakatan hendaknya berperan serta dalam proses 378


perencanaan pembangunan di DKI Jakarta mulai temu karya di tingkat kelurahan, sampai ke kecamatan, wilayah kota, dan tingkat DKI Jakarta. Cara seperti ini akan menumbuhkan pembangunan dari bawah (bottom up approach) yang benar-benar menyalurkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat. Cara lain, wanita pada tingkat kemampuannya yang lain, juga diharapkan berpartisipasi mulai dari atas (top down approach), yaitu mereka yang duduk dalam DPRD, Pemerintah DKI Jakarta, serta lnstansi Pemerintah dan swasta lainnya. Pendekatan dari bawah dan dari atas ini masih perlu didukung oleh adanya kemitraan pemerintahswasta-masyarakat, sehingga masing-masing secara bersama-sama mengusulkan, merencanakan, melaksanakan, membiayai, berpartisipasi dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berhasilguna dan berdayaguna. Angkatan Bersenjata, 23 September 1993 Partisipasi Masyarakat Dalam Pengentasan Kemiskinan Pembangunan yang efektif membutuhkan partisipasi masyarakat dalam berbagai tahapan pembangunan. Partisipasi adalah segala upaya untuk meningkatkan pengawasan terhadap pemanfaatan sumber-sumber dan pelaksanaan peraturan pada situasi sosial tertentu. Secara umum, partisipasi dikenal sebagai keikutsertaan dalam pembuatan keputusan dari semua yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan tersebut. Partisipasi melibatkan banyak pelaku, antara lain individu dan kelompok pada tingkat nasional, regional, lokal, dan kemasyarakatan. Partisipasi didefinisikan: as active and meaningful involvement of the masses of people at different levels, (a) in decision making process for the determination of societal goals and the allocation of resources to achieve them, and (b) in the voluntary execution for resulting programmes and projects. Em pat tipe partisipasi telah dikenal, yaitu (1) partisipasi dalam pembuatan keputusan (membuat beberapa pilihan dari banyak kemungkinan dan menyusun rencana-rencana yang bisa dilaksanakan, dapat atau layak dioperasionalisasikan), (2) partisipasi dalam implementasi (kontribusi sumber daya, administrasi dan koordinasi, kegiatan yang menyangkut tenaga kerja, biaya dan informasi), (3) dalam kegiatan yang memberikan keuntungan (material, sosial, dan personal) dan (4) dalam kegiatan evaluasi termasuk keterlibatan dalam proses yang berjalan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan (John M. Cohen dan Uphoff, d~lam Cheema, 1987). Partisipasi masyarakat ditujukan oleh keterlibatan penduduk lokal secara aktif dalam proses pembuatan keputusan suatu proyek atau pelaksanaan proyek, atau keterlibatan komunitas/masyarakat dalam kegiatan kolektif dan mobilisasi potensi serta sumber daya masyarakat, disertai penyebarluasan informasi dan penyuluhan, yang bertujuan meningkatkan tingkat hidup dan kondisi lingkungan hidup. Peluang dan Kendala Ada tiga pandangan partisipasi masyarakat dalam penyediaan rumah dan pelayanan umum di perkotaan. Pertama, ketergantungan orang miskin terhadap orang kaya dalam penyediaan rumah. Kedua, pentingnya partisipasi masyarakat dalam menentukan: is shaped more by governmental constraints and needs than by local or settlement conditions. Ketiga, partisipasi aktif sangat penting dalam pembangunan rumah. Beberapa metoda penting dalam meningkatkan partisipasi masyarakat yang perlu dikembangkan, antara lain reduksi biaya, perluasan pelayanan pada semua komunitas, mobilisasi sumber daya masyarakat, identifikasi kegiatan masyarakat dalam proyek, identifikasi kebutuhan, penggunaan keterampilan lokal, akumulasi pengalaman masyarakat lokal, peningkatan kepedulian masyarakat, dan akumulasi informasi tentang karakteristik sosial-ekonomi masyarakat. Penerapan metoda-metoda ini baik langsung maupun tidak 379


langsung, akan berperan dalam meningkatkan tarat hidup masyarakat sehingga mereka tidak lagi menjadi kaum miskin. Pendekatan partisipatif dalam pembangunan perumahan dan pelayanan perkotaan dapat mengakibatkan penurunan dalam biaya pembangunan. Biaya akan turun jika masyarakat berpartisipasi dalam salah satu kegiatan, misalnya dalam penyediaan tenaga kerja dan penyediaan material. Pemecahan teknis yang sesuai dengan kebutuhan, juga akan menurunkan biaya pembangunan. Contohnya dalam program penyediaan kapling tanah matang dan kapling siap bangun, jika masyarakat berpartisipasi maka akan menurunkan biaya pelayanann dasar. Penurunan biaya melalui partisipasi masyarakat akan memungkinkan pemerintah memperluas program pengadaan rumah dan pelayanan umum untuk golongan masyarakat tidak mampu. Partisipasi masyarakat juga dapat memobilisasi sumber pana dan sumber daya masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pembiayaan, tenaga kerja dan manajemen dapat diwujudkan di lokasi proyek, juga dalam pemilihan tenaga pelaksana, pimpinan, seleksi, perhitungan keuntungan atau manfaat, dan alokasi sumber daya. Partisipasi masyarakat juga dapat mengidentifikasi kebutuhan nyata proyek, pengadaan peralatan dan pemeliharaannya. Partisipasi juga dapat menekan dan memprediksi kemungkinan kegagalan, karena memperhatikan kebutuhan lokal. Partisipasi akan dapat meningkatkan kemampuan dan keahlian masyarakat serta mendayagunakannya sesuai kebutuhan. Pengalaman partisipasi masyarakat dalam kegiatan lingkungan akan sangat berharga untuk ditingkatkan ke level yang lebih luas (lingkungan, kelurahan, kecamatan, dan wilayah kota). Partisipasi dapat meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat terhadap lingkungannya. Pembangunan peru mahan dalam rangka memperbaiki kondisi hunian golongan miskin dapat membantu dalam penyediaan informasi karakteristik sosial-ekonomi penduduk. T etapi hambatan masih ban yak dijumpai dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat. Hirarki sosio-politis internal seperti kelas, seks, usia, agama dan orsospol, dapat menyebabkan hambatan partisipasi. Ketidakmampuan orang miskin dalam berpartisipasi, terlihat nyata dalam keterbatasan waktu dan ketrampilan teknis. Pendekatan dari bawah (bottom-up approach) belum berjalan lancar, birokrasi pemerintah tumbuh sampai ke tingkat lokal dan kurang profesionalnya aparat pemerintah, dapat merupakan penyebab lemahnya partisipasi masyarakat. Modus partisipasi menurut Hollsteiner ada enam, peran yang dominan dalam tahap perencanaan, pengaruh pimpinan lokal, penentuan rencana final, konsultasi dalam formulasi rencana, representasi masyarakat dalam pembuatan keputusan, dan kontrol masyarakat terhadap pengeluaran anggaran. Nawawi (1984) mengatakan ada empat modus partisipasi, yaitu partisipasi individual (voting, campaigning, contracting government official), partisipasi komunal (common interest, mutuality and interaction), partisipasi relational atau kemitraan (patron-client relationship), dan partisipasi organisasi (position in organization). UNICEF membuat checklist partisipasi, yang memuat identifikasi masalah, kebutuhan, mobilisasi sumber daya, identifikasi tenaga kerja proyek, pengembangan kemampuan dan ketrampilan sosial dan teknis, implementasi proyek, serta pemantauan dan evaluasi secara periodik. Sedangkan Gilbert menyatakan ada tiga unsur partisipasi, yaitu dominasi pimpinan lokal, institusionalisasi, serta kemitraan masyarakat dan pemerintah. UNCRD telah mengidentifikasi enam modus partisipasi, yaitu keterlibatan masyarakat dalam kegiatan proyek, pemilihan tenaga kerja yang tepat, keikutsertaan dalam berbagai kegiatan, serta kontribusi sesuai dengan keahlian masing-masing. Pengalaman di lapangan memperlihatkan bahwa partisipasi diwujudkan melalui kehadiran pada pertemuan masyarakat, keterlibatan dalam berbagai kegiatan, partisipasi dalam negosiasi dan pendekatan, serta keikutsertaan dalam pekerjaan kemasyarakatan. Turner merinci empat alternatif partisipasi masyarakat dalam kegiatan perumahan. Sponsor menentukan dan user menyediakan. Sponsor menyeleksi lokasi, merencanakan bangunan, dan mempersiapkan prosedur administrasi dan keuangan sebelum menyeleksi partisi. Kedua, user memutuskan dan user menyediakan. Ketiga, user memutuskan dan sponsor menyediakan, dan keempat, perencanaan pusat dan pengawasan lokal (what needs to be done and procedural lines to be followed are specified, and a limit to what may be done is established and actors have flexibility within those limits). Perencanaan dan pembuatan keputusan di negara-negara berkembang telah menyadari pentingnya partisipasi dalam program perbaikan lingkungan permukiman kumuh (slums) dan liar (squatters). Para ahli 380


berpendapat bahwa keberhasilan partisipasi didukung oleh beberapa faktor kondusif: kelompok kecil, kepemimpinan yang kuat dan wibawa, kemauan komunitas yang tinggi dan gigih, adanya dukungan pemerintah, pendekatan yang fleksibel, homogenitas masyarakat, pengalaman gotong royong yang baik, adanya kesamaan kebutuhan, alur informasi yang jelas, penyuluhan dan latihan singkat, keteladanan, dan terpeliharanya kesinambungan. Prospek Pengalaman di negara-negara berkembang menunjukkan manfaat partisipasi dalam pengadaan perumahan, khususnya perbaikan lingkungan permukiman kumuh dan liar. Tanggung jawab, otoritas, dan sumber daya dalam penyediaan pelayanan dasar perumahan harus didesentralisasikan dan didelegasikan ke pemerintah lokal. Selanjutnya, perlu disiapkan organisasi masyarakat, pendidikan dan pelatihan bagi pelaksana dan pimpinan lokal, serta pemarifaatan jaringan sosial. Promosi pelayanan perlu diintegrasikan pada semua tingkatan masyarakat. Dialog yang regular perlu diciptakan, baik di lingkungan pemerintah, masyarakat, formal dan informal sektor. Prosedur perencanaan perlu dipahami bersama dan para pelaksana proyek perlu meningkatkan enthusiastic. Usaha-usaha kontinyu perlu dilakukan untuk mendorong dan menciptakan konsensus. Bekerja dengan beberapa kelompok akan lebih baik. Kriteria penilaian perlu dipertegas, peran masyarakat perlu diciptakan dan konsultasi perlu terus menerus dilakukan. Mobilisasi sumber daya masyarakat sangat panting untuk menumbuhkan pelayanan yang partisipatif. Mobilisasi dana dan sumber daya masyarakat meliputi keterlibatan pimpinan formal dan informal, penyediaan informasi, peningkatan kontribusi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan proyek haruslah dilaksanakan dan di bawah pengawasan serta supervisi masyarakat. Pendidikan dan pelatihan yang memadai diperlukan bagi pimpinan lokal dan masyarakat yang meliputi metoda dasar, manajemen pembiayaan, komunikasi, pemantauan proyek dan evaluasi. Ide dan pemikiran tentang partisipasi masyarakat dalam pembangunan perumahan ini bisa diterapkan di DKI Jakarta dalam rangka mengentaskan kemiskinan, khususnya yang terkait dengan masalah perumahan kumuh dan liar. Penerapannya tidak mudah, memerlukan kesabaran aparatur pemerintah dan kesiapan masyarakat untuk berperan serta dan berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan perumahan dengan swadaya masyarakat serta adanya kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat. Di DKI Jakarta, segala bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan perumahan ini akan berperan nyata dalam mengentaskan kemiskinan. Antara lain terlihat dalam penanganan, peremajaan, dan permukiman kembali lingkungan kumuh, contohnya di Karang Anyar, Penjaringan, dan Pulogadung, perbaikan rumah di kampung-kampung dengan swadaya masyarakat, misalnya di Bidaracina dan kawasan penghijauan sepanjang aliran kali Ciliwung. Melalui partisipasi masyarakat dalam pembangunan perumahan, keterlibatan masyarakat yang berarti penyediaan lapangan kerja ditingkatkan, adanya peluang yang lebih besar untuk mempunyai tempat tinggal yang lebih baik, serta diwujudkannya kondisi rumah yang atapnya tidak bocor, pencahayaan dan sirkulasi udara cukup, serta lantai tidak berbau dan lembab. Dengan kata lain dapat diwujudkan rumah sehat dalam lingkungan yang sehat. Peran serta dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan perumahan dalam rangka mengentaskan kemiskinan, hendaknya diwujudkan dengan cara menanamkan, memupuk, menumbuhkembangkan kemitraan (masyarakat-pemerintah-swasta), dan mengikutsertakan masyarakat dalam proses pembangunan (mulai perencanaan sampai dengan pengawasan dan evaluasi) serta menumbuhkan pembangunan yang aspiratif dari bawah, sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat setempat. Angkatan Bersenjata, 23 September 1993 381


Partisipasi Masyarakat DKI Jakarta Dalam Mengentaskan Kemiskinan Berbicara kemiskinan di ibukota, maka terpaut sembilan juta penduduk DKI Jakarta yang lebih dari separuhnya berpenghasilan di bawah Rp 200.000 per bulan, dengan rata-rata 5 jiwa per keluarga, maka penghasilan per hari sekitar Rp 1 .500 per orang. Apa artinya ini? Artinya adalah sebagian besar penduduk ibukota Negara Republik Indonesia DKI Jakarta adalah kelompok miskin. Tidak lebih dari 40% penduduk Jakarta yang berpenghasilan menengah ke atas. Uraian tulisan yang berjudul Partisipasi Masyarakat DKI Jakarta dalam Mengentaskan Kemiskinan ini dibagi atas tiga bagian utama, yaitu kemiskinan masyarakat DKI Jakarta, partisipasi, dan mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan Garis kemiskinan telah ditetapkan BPS berdasarkan konsumsi pangan 2.100 kalori ditambah konsumsi non-pangan sebesar 15,92-17,96% (daerah perkotaan) dan 6,12-6,52% (daerah perdesaan). Mengikuti metoda ini maka penduduk Indonesia yang miskin sebanyak 54,2 juta orang (40,0%) pada tahun 1976, turun menjadi 27 juta orang (15,12%) pada tahun 1990, masing-masing 4,56% di perkotaan dan 20,26% di perdesaan. Kelemahan metoda ini adalah ketidak mampuannya mengukur dimensi relatif kemiskinan. Padahal kemiskinan tidaklah selalu merupakan kemiskinan absolut, tetapi sebagai kemiskinan relatif. Kelemahan lain, ketidak mampuan mengungkapkan dimensi lain dari kemiskinan seperti aspek kesehatan, pendidikan, perlakuan di depan hukum, kerentanan terhadap kriminal, ketakberdayaan di hadapan kekuasaan, dan sebagainya. · Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan pangan dan tingkat pendapatan yang rendah saja, akan tetapi juga tingkat kesehatan yang rendah, pendidikan yang rendah, perlakuan yang tidak adil di muka hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidup sendiri (Sackrey, 1973). Semua aspek ini jalin-menjalin saling berpengaruh menghasilkan siklus kemiskinan. Nasikun (1993) mengusulkan adanya redefinisi kemiskinan, paling tidak dua kali ukuran definisi di atas. Dengan cara ini, jumlah masyarakat miskin tidak lagi 27 juta jiwa, tetapi meningkat menjadi sekitar 120 juta jiwa (66,94%). Demikian pula untuk DKI Jakarta, perlu dibuat seca:ra khusus definisi kemiskinan, karena berpenghasilan per bulan Rp 200.000 di Jakarta bisa disebut miskin padahal di luar Jakarta termasuk berpendapatan sedang. Atau dengan membagi golongan masyarakat menjadi bermacam-macam jenis, mulai dari yang sangat miskin (papa), miskin, hampir miskin, dan tidak miskin. Masyarakat DKI Jakarta yang menjadi pokok bahasan tulisan ini adalah mereka yang terdiri dari warga DKI Jakarta, para pendatang yang bekerja di DKI Jakarta tetapi belum mempunyai kartu tanda penduduk DKI, para pekerja musiman yang mencari nafkah di DKI Jakarta, dan siapa saja yang dalam kehidupannya memperoleh manfaat dari ibukota. Partisipasi Ahli sosiologi Be Ianda, van Dusseldorf (1981) menegaskan bahwa partisipasi warga kota terdiri atas (1) partisipasi bebas yang spontan atau diajak (spontaneous or induced free participation), (2) partisipasi didorong (forced participation), dan (3) partisipasi biasa (customary participation). Pelaksanaannya dapat dilakukan secara langsung (direct), terorganisasi (organized), dan tidak terorganisasi (unorganized), dapat dilihat dari intensitas dan frekuensinya (intensif dan ekstensif), ruang lingkupnya (terbatas dan tidak terbatas), keefektifannya (efektif dan tidak efektif), dan keterlibatan masyarakatnya (penduduk kaya, penduduk miskin, pegawai negeri, pegawai swasta, pegawai kedutaan asing di DKI, pelajar, mahasiswa, pemuda, penduduk di tingkat RT, RW, l«!lurahan, kecamatan, dan wilayah kota, Karang Taruna, Kelompok PKK, Dasa Wisma, Kelompok Kampanye lbu Sehat Sejahtera, kelompok Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera, dan lainlain). 382


Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dalam hal ini dalam kaitannya dengan upaya-upaya pengentasan kemiskinan, harus dilihat paling sedikit pada salah satu langkah di antara enam langkah proses perencanaan pembangunan, yaitu formulasi masalah (termasuk tujuan dan sasaran), riset (survai, pengumpulan data, dan analisis), penyiapan perencanaan, penentuan perencanaan, pelaksanaan (pengoperasian, dan pemeliharaan), dan evaluasi (pengawasan, pengendalian, pemantauan, evaluasi, dan saran tindak lanjut). Dikaitkan dengan hirarki pemerintahan, partisipasi ini dilakukan dalam skala (internasional, nasional, regional, dan lokal), lokasi (pusat kota, pinggir kota, perdesaan, kota besar, kota sedang dan kota kecil), jenis (sektoral dan proyek), dan model pembangunan (top-down dan bottom-up planning). Dari kerangka teori tersebut dapat dilihat perilaku, tindakan partisipasi dan bentuk-bentuk pengabdian masyarakat warga ibukota, orang tua, anak, pelajar, pemuda, wanita, pegawai, semuanya secara masingmasing, perorangan dan bersama-sama, mempunyai kewajiban berpartisipasi dalam pembangunan ibukota DKI Jakarta, dalam konteks ini adalah dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Cara lain melihat partisipasi masyarakat dalam pembangunan khususnya pengentasan kemiskinan penduduk DKI Jakarta adalah dengan melihat 6 langkah proses perencanaan (van Dusseldorf) dan 18 kegiatan pembangunan (atau lebih) yang ditetapkan dalam RUPTD (Rencana Umum Pembangunan Tahunan Daerah), yaitu pembangunan jalan arteri, kolektor dan lokal di samping jalan tol; peningkatan pelayanan angkutan kota yang tertib, lancar, efisien dengan mengkombinasikan berbagai jenis angkutan yang ada; penyediaan perumahan bagi semua kelompok masyarakat, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah; pemantapan sistem pengelolaan kebersihan kota dan sanitasi kota; penyediaan taman dan ruang terbuka hijau; penciptaan iklim usaha yang seimbang; peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan; penciptaan kesempatan kerja sesuai dengan kebutuhan; peningkatan jumlah wisatawan, pengendalian pertumbuhan penduduk; pengendalian, penambahan penduduk ke arah Barat-Timur; peningkatan sumberdaya manusia; pemantapan kerukunan antar umat beragama, pengembangan dan pembinaan seni budaya, peningkatan derajat kesehatan masyarakat, peningkatan kesejahteraan sosial, peningkatan kemampuan aparatur pemerintah dan peningkatan kesadaran hukum. Juga perlu ditingkatkan kegiatan-kegiatan khusus yang sebagian besar menyangkut golongan masyarakat miskin, antara lain peningkatan peran serta masyarakat dalam menumbuhkan gotong royong, citra wisata, budaya bersih, tertib bangunan, penanggulangan kemacetan lalulintas, pedagang asongan, pedagang kakilima, penanganan pemulung, pengendalian keamanan dan ketertiban kota, penciptaan pasar yang bersih, aman dan nyaman, program kali bersih dan udara bersih, serta peningkatan aparatur Pemda yang bersih, manusiawi dan berwibawa. Hubungan antara 6 langkah proses pembangunan dengan 18 kegiatan dalam RUPTD menghasilkan Matrisk Partisipasi Warga Kota dalam pembangunan kotanya, dengan 108 elemen (Komarudin, Partisipasi Membangun Warga Kota, Pelita, 23 Juni 1990). Setiap elemen matriks dapat diisi dengan program atau tindakan yang dapat dilakukan warga kota untuk turut memecahkan pemecahan masalah kota khususnya dalam rangka pengentasan kemiskinan. Melalui matriks ini akan dipertemukan pendekatan pembangunan dari atas (top down) dengan pembangunan yang tumbuh dari aspirasi masyarakat (bottom up), sehingga dapat dicapai efisiensi dan efektivitas pembangunan kota. Pola ini memerlukan dukungan dan komitmen Pemda dan aparatnya yang mampu, disiplin, jujur, wibawa dan penuh pengabdian. Kesadaran mewujudkan Jakarta BMW bukanlah semata-mata tugas warga ibukota, tetapi merupakan tugas aparat Pemda bersama Swasta dan Masyarakat serta siapa pun yang dalam hidupnya menikmati manfaat dari ibukota. Mengentaskan Kemiskinan Untuk mengentaskan kemiskinan di DKI Jakarta, mulailah dari pemimpin tertinggi, yaitu Gubernur DKI Jakarta. Gubernur bersama aparat Pemda DKI Jakarta perlu mencanangkan komitmen politis gerakan pengentasan kemiskinan. Komitmen ini kemudian disampaikan pada DPRD untuk mendapatkan dukungan. Langkah selanjutnya, upaya pengentasan kemiskinan haruslah dijadikan program-program pembangunan tahun pertama Repelita VI, yaitu 1994/1995. Untuk itu, pemikiran mengenai program pengentasan kemiskinan perlu didorong dari atas, sekaligus ditumbuhkan dari bawah. Dari bawah, ditumbuhkan melalui musyawarah 383


pembangunan tingkat kelurahan, forum temu karya pembangunan tingkat kecamatan, Rakorbang II tingkat wilayah kota, dan Rakorbang I tingkat propinsi. lni harus menyangkut program yang didukung dana pemerintah, baik melalui APBN maupun APBD. Kegiatan pengentasan kemiskinan yang didukung oleh dana swasta dan partisipasi masyarakat, perlu disiapkan dengan baik, karena program ini merupakan bentuk dan perwujudan aspirasi masyarakat. Swasta perlu diminta berpartisipasi membiayai program pengentasan kemiskinan. Lembaga Swadaya Masyarakat, Yayasan dan Lembaga Sosial Kemasyarakatan lainnya perlu dihimbau untuk bersama-sama berperan serta dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan. Di samping upaya pengentasan kemiskinan dengan dana pemerintah dan swastalmasyarakat tadi, masih ada lagi program pengentasan kemiskinan yang sifatnya crash program. Program seperti ini perlu dijual atau ditawarkan kepada pihak-pihak tertentu yang memang berniat berperan serta atas berbagai alasan khusus. Misalnya saja, pengentasan kemiskinan masyarakat nelayan, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pengamen, dan sebagainya. Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan umum dan pembangunan, dalam hal ini dalam rangka mengentaskan kemiskinan, mutlak diperlukan. Partisipasi dapat dilakukan dari dalam sistem organisasi atau dari luar sistem tersebut. Partisipasi masyarakat harus tampak pada berbagai tahapan pembangunan, mulai dari persiapan, peninjauan lapangan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pengendalian, pengawasan, dan evaluasi. Partisipasi dari dalam organisasi menyangkut peran serta dan keikutsertaan, sedangkan dari luar organisasi, bersifat kontrol yang berusaha memperbaiki pola kerja untuk mencapai keberhasilan pencapaian tujuan. Dalam mengentaskan kemiskinan, pada dasarnya dituntut partisipasi aktif warga DKI Jakarta, baik aparat pemerintah, swasta, dan masyarakat. Partisipasi dapa_t berupa mobilisasi dana dan sumber daya masyarakat dan merupakan upaya saling menunjang. Partisipasi dapat dilakukan secara bebas, spontan atau melalui percontohan atau keteladanan. Dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung, tergantung permasalahan yang dihadapi. Partisipasi dapat dilakukan pada satu atau lebih tahapan pembangunan baik secara utuh maupun sebagian. Dapat dilakukan secara perorangan maupun organisasi atau kelembagaan. Juga dibedakan atas partisipasi aktif dan pasif, intensif dan ekstensif, terbatas dan tidak terbatas, efektif dan kurang efektif, tingkat perumahan, komunitas, lokal, dan wilayah kota, dilakukan oleh penduduk asli atau pendatang. Pemerintah DKI Jakarta bisa membuat Matriks Pengentasan Kemiskinan yang barisnya terdiri dari 20- 30 elemen program pembangunan DKI Jakarta (pengendalian penduduk, penyediaan sarana dan prasarana, peningkatan kegiatan ekonomi, pembinaan dan pengembangan ekonomi lemah, dan lain-lain) dan kolomnya terdiri dari jenis-jenis partisipasi yang disebutkan di atas. Matriks ini dilengkapi dengan pelaku pembangunan dan siapa saja yang berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Matriks Pengentasan Kemiskinan harus tampak menonjol pada tingkat Kelurahan, karena di kelurahan sebenarnya bisa terlihat kemiskinan yang sesungguhnya dibandingkan dengan kemiskinan tingkat Kecamatan. Matriks ini harus dimengerti oleh semua aparat kelurahan dan ditawarkan kepada berbagai pihak, pengusaha, kalangan bisnis, orang-orang kaya, yayasan dan sebagainya. Sejalan dengan itu, unit data dan informasi di tingkat kelurahan harus selalu siap menginformasikan program pengentasan kemiskinan kepada siapa yang memerlukan informasi kemiskinan di kelurahan. Dengan cara ini, lambat tapi pasti, kemiskinan di tiap kelurahan di ibukota DKI Jakarta secara berangsur-angsur berkurang jumlahnya. Dengan kata lain Gerakan Mengentaskan Kemiskinan membawa keberhasilan. Semoga. Angkatan Bersenjata, 31 Juli 1993 384


Menelusuri Partisipasi Masyarakat Jakarta Dalam Mengentaskan Kemiskinan Kemiskinan mutlak (absolute poverty) diartikan sebagai ketidakcukupan kebutuhan dasar hidup. Sedangkan secara relatif, kemiskinan diartikan sebagai suatu tingkat konsumsi- atau pendapatan yang berada di bawah konsumsi atau pendapatan tertentu yang nilainya relatif masih tinggi. Kemiskinan bisa diartikan secara sederhana atau kompleks. Secara sederhana, memandang orang miskin sebagai orang-orang yang berpenghasilan rendah, di DKI Jakarta, keluarga yang penghasilan per bulannya di bawah Rp 200.000. Sebagai sesuatu yang kompleks, kemiskinan dikaitkan dengan fertilitas, mortalitas, pola struktur keluarga, dan pertumbuhan penduduk. Gutkind (1983) melihat kemiskinan secara obyektif dan subyektif. Keamanan dan persepsi masyarakat dilihat sebagai faktor obyektif, sebaliknya reaksi dan sifat-sifat individu dapat dilihat sebagai faktor subyektif. Penyebab kemiskinan bermacam-macam (Andre Bayo Ala, 1979), ada yang dari luar (alamiah berupa sumber daya alam yang miskin, iklim yang tidak menguntungkan, dan sering terjadi bencana; dan buatan berupa akibat dari kebijaksanaan (ipoleksosbudhankam) dan dari dalam (berupa sikap malas, tidak mau bekerja, dan tidak punya keinginan maju). Kemiskinan penduduk dan penyebabnya dapat diuraikan sebagai berikut. Rendahnya tingkat pendapatan (1) merupakan penyebab kemiskinan (2) mengakibatkan rendahnya tingkat pendidikan (3) kecilnya akumulasi modal (4) dan buruknya kesehatan dan gizi (5) kemiskinan. selanjutnya akan menyebabkan meningkatnya tingkat fertilitas (6) karena bagi mereka yang miskin, tenaga kerja merupakan satu-satunya modal yang dimiliki sehingga cenderung menambah jumlah anak. Rendahnya tingkat pendidikan (3) dan modal produksi (4), berakibat pada rendahnya penguasaan terhadap teknologi produksi (9) dan selanjutnya menyebabkan rendahnya produktivitas (1 0). Tingkat fertilitas yang tinggi (6) menyebabkan jumlah penduduk meningkat (7) yang kemudian berakibat kecilnya penguasaan pada sumber daya (terutama tanah) per kapita (8). Sementara itu tingkat kesehatan dan gizi yang buruk (5) menyebabkan rendahnya produktivitas (1 0), kemudian bersama-sama dengan rendahnya penguasaan sumberdaya (8) menyebabkan rendahnya total produksi (12). Rendahnya tingkat pendidikan (3) dan tingginya jumlah penduduk (7) berakibat pada rendahnya kesempatan kerja di luar sektor pertanian (11) yang pada gilirannya akan kembali pada rendahnya tingkat pendapatan (1 ). Proses ini berlangsung terus menerus, sehingga penduduk miskin terus terbelenggu dalam lingkaran kemiskinan Lihat gambar). Kemiskinan ada dimana-mana, di daerah perkotaan dan perdesaan. Juga di lima wilayah kota DKI Jakarta, di samping kemajuan pembangunan perkantoran dan pusat perbelanjaan seperti Kawasan Blok M, Kelapa Gading, Citra Land, Pondok lndah Mall, kawasan Thamrin dan Sudirman, masih sulit membendung tumbuhnya lingkungan permukiman kumuh seperti di Krendang, Angke, Kalianyar, Karanganyar, Penjaringan, Pademangan, Koja, Bidaracina, Mangggarai, Galur, Senen, dan lingkungan permukiman kumuh lainnya. Partisipasi Masyarakat Patut dihargai upaya Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasionai/Ketua Bappenas membuat peta kantong-kantong kemiskinan per kecamatan, dengan menggunakan data desa miskin yang dikumpulkan BPS. Meskipun ada perbedaan kecil antara desa miskin versi BPS dan jumlah kecamatan miskin buatan Bappenas, namun pada hakekatnya kita ingin mengenali keberadaan orang atau penduduk miskin yang berjumlah paling sedikit 27 juta jiwa di Indonesia. Di DKI Jakarta sendiri, walaupun menurut BPS ada 4· kelurahan miskin dan 256 kelurahan tidak miskin, pada kenyataannya warga Jakarta yang miskin masih cukup banyak. Kemiskinan di kota Jakarta diakibatkan dua fenomena, yaitu pembangunan kota-kota dan desa-desa sekitar Jakarta, termasuk daerah Jawa Tengah, Dl Yogyakarta, dan Jawa Timur yang kurang cepat dan sulit 385


Miskin (2) Pendapatan _____. Rendah (1) SKEMATIS KEMISKI~N PENDUDUK DAN PENYEBA~YA Fasilitas Tinggi (6) Jumlah Penduduk Meningkat (7) Pendidikan ---------------{ r-----__~ Rendah (3) Modal Rendah (4) Kesehatan dan Gizi Buruk (5) Total Produksi Rendah (12) Teknologi Rendah (9) Produktivitas Rendah (10) Sumberdaya per kapita Rendah (8) Kesempatan Kerja Non Pertanian Rendah (11) membendung arus penduduk ke Jakarta dan industrialisasi sekitar Jakarta yang terlalu cepat sehingga menarik penduduk desa menuju Jakarta. Untuk mengatasi hal ini; diperlukan kebijaksanaan ekonomi makro yang didukung kebijaksanaan yang lebih desentralistik. Perumusan kebijaksanaan Pemerintah DKI Jakarta dalam Repelita VI khususnya program anti kemiskinan, haruslah disusun berorientasi dan bersasaran orang (people· oriented) dan haruslah dilaksanakan semakin besar oleh aparat Pemerintah Daerah Tingkat II ke bawah. Jadi harus dilakukan oleh Walikota bersama dengan jajarannya, yaitu aparat Walikota, Kecamatan, dan Kelurahan, serta didukung partisipasi masyarakat dan swasta dalam berbagai bidang pembangunan. Tidak kalah pentingnya, peran berbagai organisasi sosial kemasyarakatan, seperti LSM, Walhi, Lions Club, Gerakan KB, Gerakan PKK, NKKBS, Kampanye lbu Sehat Sejahtera, Posyandu, Karang Taruna, dan gerakan kesetiakawanan sosial nasional. Upaya mengentaskan kemiskinan tidaklah dapat dilakukan terpisah dari kegiatan pembangunan lainnya. Pengentasan kemiskinan harus dapat diwujudkan dalam RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) dan RTRK (Rencana Terinci Ruang Kota), dan RUPTD (Rencana Umum Pembangunan Tahunan Daerah) dan dibahas secara seksama oleh kemitraan tiga unsur (pemerintah-swasta-masyarakat) mulai Musbang (musyawarah pembangunan) tingkat kelurahan, Forum Temu Karya tingkat Kecamatan, Rakorbang II Tingkat Wilayah Kota, dan Rakorbang I Tingkat DKI Jakarta. Sejalan dengan itu, sediakan informasi secukupnya, buat papan pengumuman untuk warga kota, ajak warga DKI Jakarta untuk hidup dinamis, berbudaya iptek, dan menuju kehidupan profesional, lakukan penyuluhan tentang upaya-upaya pengentasan kemiskinan di kelurahan-kelurahan, RW, dan RT. Karena 386


upaya pengentasan kemiskinan menyangkut sebagian besar lapisan bawah masyarakat Jakarta, maka diperlukan upaya yang serius dan terus menerus untuk mengubah posisi kelompok miskin menjadi tidak miskin. Selenggarakan berbagai bentuk kursus ketrampilan pada tingkat kelurahan agar para remaja putus sekolah bisa mengarahkan dirinya menjadi pekerja dan terhindar dari pengangguran. Jika dalam program keluarga berencana digalakkan Gerakan Nasional KB dan dalam mengejar piala Adipura digalakkan gerakan Bebas Sampah, maka dalam mengentaskan kemiskinan perlu dikumandangkan Gerakan Nasional Pengentasan Kemiskinan, yang untuk DKI Jakarta disebut saja Gerakan Penanggulangan Kemiskinan. Gerakan ini dilakukan pada tingkat makro dan mikro. Pada tingkat makro, perlu dituangkan ke dalam produk perencanaan pembangunan dari tingkat DKI Jakarta sampai ke tingkat Kelurahan, dilakukan oleh semua jajaran Pemda DKI Jakarta. Pada tingkat mikro, ditingkatkan partisipasi masyarakat dan swasta dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan. Camat dan Lurah akan berperan sebagai ujung tombak pelaksanaan gerakan penanggulangan · kemiskinan. Misalnya, dengan melakukan penataan lingkungan kumuh, mewujudkan kondisi rumah sehat dalam lingkungan yang sehat, menyelenggarakan kursus-kursus ketrampilan masyarakat, menata tempat dagang para pedagang kakilima, menumbuhkan kegotongroyongan, memobilisasi dana masyarakat, dan menumbuhkan subsidi silang (si kaya diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi si miskin). RPTK (Rencana Pembangunan Tahunan Kecamatan) dan RPTD (Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau Kelurahan) haruslah dimasyarakatkan. RPTK dan RPTD inilah, yang menampung aspirasi rencana pembangunan tahunan kelurahan dan merupakan penjabaran rencana pembangunan tahunan wilayah kota serta menyalurkan aspirasi warga dan masyarakat, secara jelas berisi program-program nyata pengentasan kemiskinan, menyangkut besarnya dana yang tersedia, aparat pelaksana, lokasi dan pelaksanaan proyek, dan tujuan serta sasaran yang ingin dicapai. Walikota hendaknya membentuk kelompok-kelompok kerja penanggulangan kemiskinan di tingkat kotamadya dan kecamatan. Kelompok kerja ini dibantu para pakar perkotaan, secara bersama-sama memikirkan dan merumuskan program-program penanggulangan kemiskinan. Bisa juga dilakukan seminar kecil membahas kasus-kasus tertentu, dihadiri tokoh masyarakat setenipat. Lakukan kunjungan ke lapangan secara kontinu, sehingga benar-benar dapat dilihat kondisi kemiskinan yang sebenarnya, bukan kemiskinan semu. Ajak warga masyarakat miskin untuk berusaha meningkatkan tarat hidupnya dan jangan dibiasakan mereka manja. Budaya selalu memberikan bantuan sudah saatnya dihindari. Mulailah dengan bantuan berupa upaya peningkatan pendidikan, kemampuan, dan ketrampilan masyarakat, jiwa usaha, kewiraswa.staan atau enterpreneurship, sehingga kelompok miskin dapat terangkat dari sekedar berpenghasilan pas-pasan menjadi berkecukupan. Buatlah peta atau potret kemiskinan per kelurahan dan kampung, kalau memungkinkan sampai RW dan RT. Dengan cara ini akan diketahui penduduk miskin wilayah kota yang sebenarnya. lni akan memudahkan Pemda dalam merumuskan program pembangunan kota, baik berupa penataan lingkungan, perbaikan kampung, peremajaan bagian wilayah kota, dan program pengentasan kemiskinan. Adakan Iomba pembuatan peta kemiskinan antar kelurahan. Dengan cara ini, Camat akan berusaha agar Kelurahan di bawahnya meraih pembuat peta kemiskinan terbaik. Dengan pembuatan peta kemiskinan yang baik, akan memudahkan Walikota dan aparatnya mencari upaya~upaya untuk mengatasi kemiskinan tersebut. Kebijaksanaan untuk mengentaskan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan antar wilayah kota, antar golongan maupun antar sektor, memerlukan tersedianya data dan informasi yang lengkap dan akurat. Untuk itulah aparat Kecamatan dan Kelurahan di ibukota perlu menyediakan peta dan profil masyarakat atau daerah miskin. Berbagai program dan proyek pengentasan kemiskinan harus terintegrasi dengan baik, jangan berjalan sendiri-sendiri. Semua ingin memberantas kemiskinan, tetapi kenyataannya, kemiskinan makin meningkat. Segala sumber daya untuk memberantas kemiskinan perlu diintegrasikan agar hasilnya lebih efisien dan efektif. Koordinasi antar unit kerja di lapangan perlu ditingkatkan. Dalam hal ini peran Walikota sangat penting, khususnya dalam melaksanakan PP Nomor 6 Tahun 1988 dan lnmendagri Nomor 18 Tahun 1989 tentang 387


Koordinasi Kegiatan lnstansi Vertikal di Daerah. Demikian pula, DPRD harus berperan lebih nyata lagi dalam program pengentasan kemiskinan. lnpres atau lnstruksi Kepala Daerah, sangat diperlukan dalam mendorong. mobilisasi sumber daya yang ada untuk mengentaskan kemiskinan. Dengan instruksi ini, akan digerakkan segala potensi yang ada dalam rangka mengurangi ketimpangan ekonomi dan memberantas kemiskinan. lnspres Desa Miskin diharapkan dapat diarahkan lansung pada kepentingan masyarakat miskin. BUMN yang diwajibkan mengalokasikan 1-5% dari keuntungan bersihnya untuk membantu masyarakat kecil, dapat diarahkan untuk mendukung program pengentasan kemiskinan. Akhirnya, tidak kalah pentingnya adalah memadukan program pengentasan kemiskinan dengan program-program pembangunan lainnya, sehingga dicapai efisiensi dan efektivitas pembangunan. Jayakarta, 28 Juli 1993 Partisipasi Swasta Dan Masyarakat Dalam Pengentasan Kemiskinan di DKI Jakarta Presiden Soeharto (Agustus 1989) menegaskan bahwa kita harus senantiasa menghilangkan hambatanhambatan yang membatasi inisiatif dan kreativitas masyarakat, yang pada gilirannya akan mengurangi peran serta masyarakat dalam pembangunan. Kita juga akan terus m~ningkatkan peran dan kemampuan pemerintah untuk mengarahkan pelaksanaan pembangunan dan mengawasi serta menerapkan ketentuan-k~tentuan yang adil bagi seluruh rakyat. Mengentaskan kemiskinan bukanlah merupakan tugas pemerintah sendiri, tetapi merupakan tugas bersama antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam program pengentasan kemiskinan, mutlak diperlukan. Untuk itulah maka tulisan ini berusaha mengangkat pentingnya partisipasi swasta dan masyarakat dalam pengentasan kemiskinan di DKI Jakarta. Kemiskinan Dari 8,2 juta penduduk DKI Jakarta (1990), hampir 2 juta tinggal di lingkungan permukiman kumuh. Mereka bisa kita sebut kelompok miskin. Di samping itu, 60% atau 5 juta jiwa atau sekitar 1 juta rumah tangga, berpenghasilan per bulan di bawah Rp 150.000. Kelompok ini, untuk ukuran Jakarta, bisa juga kita masukkan ke dalam orang-orang miskin. lni berarti kelompok miskin di ibukota sebenarnya masih cukup banyak jumlahnya. Kemudian jika kita mengelilingi kota Jakarta, akan dijumpai kantong-kantong kemiskinan yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi, rumah kumuh (sumpek, sempit, tanpa sanitasi, kurang penerangan), dan tidak manusiawi. Di Jakarta Barat, dijumpai di Kecamatan Tambora, Tamansari, dan Palmerah, di Kelurahan Kalianyar, Krendang, Jembatan Besi, Keagungan, Duri Utara, Jembatan Lima, Tanah Sareal, Angke, Kota Bambu, Krukut, dan Tangki. Di Jakarta Selatan, dijumpai di Kecamatan Tebet, Setiabudi, dan Mampang Prapatan, Kelurahan Manggarai Selatan, Menteng Atas, Bukit Duri, Manggarai dan Pasar Manggis. Di Jakarta Timur, dijumpai di Kecamatan Jatinegara, Matraman, dan Duren Sawit, di Kelurahan Kampung Melayu, Pisangan Baru, Kayu Manis, Cipinang Besar Utara, dan Malaka Jaya. Di Jakarta Utara, dapat dilihat di Kecamatan Tanjung Priok dan Koja, Kelurahan Warakas, Lagoa, Koja Selatan, dan Kebon Bawang. Jakarta Pusat juga mempunyai kantong-kantong kemiskinan, yaitu di Kecamatan Johar Baru, Sawah Besar, Kemayoran, Gambir, Senen, Tanah Abang, di Kelurahan Kampung Rawa, Galur, Tanah Tinggi, Karanganyar, Utanpanjang, Duri Pulo, Harapan Mulya, Kartini, Kemayoran, Kramat, Kebon Melati, Kebon Kacang dan Cempaka Baru. 388


Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, termasuk dalam pengentasan kemiskinan, akan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Partisipasi masyarakat memberikan kontribusi pada upaya pemanfaatan sebaik-baiknya sumber dana yang terbatas. Partisipasi masyarakat membuka kemungkinan keputusan diambil didasarkan pada kebutuhan, prioritas dan kemampuan masyarakat. lni akan menghasilkan rancangan rencana, program, dan kebijaksanan yang lebih realistis. Selain itu, memperbesar kemungkinan masyarakat bersedia dan mampu menyumbangkan sumber daya mereka seperti uang dan tenaga pelaksanaan serta pengoperasian dan pemeliharaan. Partisipasi masyarakat juga menjamin penerimaan dan apresiasi yang lebih besar terhadap segala sesuatu yang dibangun (prasarana dan sarana perkotaan). lni akan merangsang pemeliharaan yang baik, bahkan menimbulkan dan menumbuhkan kebangggaan. Setiap warga masyarakat mempunyai hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat untuk berperan serta dalam program pengentasan kemiskinan, baik pada tahap perencanaan maupun tahap peJaksanaan dan penilaian. Dengan peranserta tersebut, anggota masyarakat mempunyai motivasi yang. kuat untuk bersama-sama mengatasi masalah kemiskinan kotanya dan mengusahakan berhasilnya kegiatan pengentasan kemiskinan. Partisipasi masyarakat akan membangkitkan semangat kemandirian dan kerjasama di antara masyarakat, meningkatkan keswadayaan yang pada gilirannya mengurangi ketergantungan pada pemerintah. Kegiatan yang partisipatif meliputi inventarisasi pengalaman masyarakat, studi kasus secara komparatif mengenai partisipasi masyarakat, survai dan analisis kebijaksanaan serta peraturan, perumusan kerangka dan pendekatan konseptual mengenai pembangunan yang bertumpu pada partisipasi masyarakat. Hasan Poerbo (1989) dan Rondinelli (1990) adalah pakar perkotaan yang menganjurkan ditumbuhkembangkannya partisipasi masyarakat dalam pembangunan perkotaan. Partisipasi Swasta Kerjasama Pemerintah-Swasta dalam pembangunan perkotaan makin diperlukan. Peranserta Swasta akan lebih mendorong efisiensi dan efektivitas pembangunan kota, didukung pertumbuhan kota-kota menengah dan kota kecil serta kota satelit di sekitarnya secara berimbang. Sejak 1989 Saleh Afiff telah mendorong peransreta Swasta dalam pembangunan kota, antara lain dalam pembangunan jalan tal, kawasan industri, fasilitas tenaga listrik dan telekomunikasi, pengelolaan sampah, penyediaan air bersih, pembangunan kota baru, perumahan dan permukiman baru, dan pembangunan kawasan wisata. Jika diteliti, ada enam jenis partisipasi swasta dalam pembangunan kota (Hendropranoto Suselo, 1993) dalam Nana Rukmana (1993). Pertama konsep butt, operate, and transfer, dimana swasta membangun, mengoperasikan dan memperoleh pendapatan dari suatu fasilitas selama jangka waktu tertentu yang disepakati. Kedua konsep diverstiture, di mana fasilitas atau badan usaha pemerintah dijual kepada swasta untuk bersaing melalui tender pekerjaan (konstruksi maupun jasa) yang semula hanya diperuntukkan pemerintah. Ketiga konsep leasing, di mana badan usaha swasta menyewa suatu fasilitas pemerintah selama jangka waktu tertentu yang disepakati dan memperoleh pemasukan. Setelah akhir batas waktu perjanjian, fasilitas dikembalikan kepada pemerintah. Keempat, konsep contract operations, di mana pemerintah tetap mengendalikan badan usahanya dan meminta kontraktor untuk memberikan jasa manajemen atau jasa-jasa lainnya selama periode tertentu. Kontraktor dibayar langsung oleh Pemerintah atas jasa-jasa yang diberikannya. Kelima, penerapan konsep kerjasama pemerintah-swasta yang meliputi kegiatan pembangunan kota yang kompleks, seperti kota baru, peremajaan kota dan kawasan industri, di mana pemerintah membantu penyediaan lahan dan swasta merupakan pelaksana utama pembangunannya. Keenam, sektor informal yang telah berperan dalam penyediaan pelayanan kota secara murah. Proyek-proyek pembangunan yang didukung oleh partisipasi swasta ternyata menumbuhkan terobosanterobosan baru dan memberikan peluang kesempatan kerja, mobilisasi dana, mendukung ekonomi daerah, serta memacu pertumbuhan lokal. Karena itu perlu dilakukan analisis dalam bidang apa saja swasta dibutuhkan untuk memacu pembangunan kota. 389


Strategi Dalam mengentaskan kemiskinan di DKI Jakarta, pertama-tama perlu dibuat peta atau potret daerah miskin di tiap kelurahan dan kecamatan pada masing-masing Wilayah Kota (Kotamadya). Sejalan dengan UU Nom or 11 T ahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia DKI Jakarta, tiap Lurah dan Camat, hendaknya berkompetisi mengejar prestasi termasuk dalam program pengentasan kemiskinan. Pada tingkat DKI Jakarta, perlu dibuat Kebijaksanaan dan Strategi Pengentasan Kemiskinan, seperti yang pernah dibuat misalnya, Kebijaksanaan dan Strategi Pembinaan Pemulung dan Pedagang Asongan, serta Pedagang Kakilima. Kebijaksanaan dan strategi ini perlu dijabarkan ke dalam program-program pengentasan kemiskinan antar lnstansi Pemerintah di lingkungan Pemda DKI Jakarta, Pemda Jawa Barat (dan propinsi tetangga DKI yang lain), dan juga lnstansi di Tingkat Pusat. Sesuai dengan UU 11/1990, dalam PE?rencanaan, Pemda DKI Jakarta bekerjasama dengan lnstansi-instansi tersebut, termasuk dengan swasta. Dengan adanya berbagai'program pengentasan kemiskinan ini dan berbagai instansi pelaksana, dapat dibuat Matriks Pengentasan Kemiskinan di DKI Jakarta. Lakukan koordinasi triwulan antar berbagai instansi ini, untuk memantau sejauh mana perkembangan pelaksanaannya. Bentuk Sekretariat Program Pengentasan Kemiskinan di DKI Jakarta, misalnya di bawah Wagub Kesra, Bappeda, atau Dinas Perekonomian. Menyadari perkembangan Jakarta yang pesat dalam menuju megacity dan megapolitan pada tahun 2000 dengan berbagai permasalahannya maka perlu dilakukan upaya pengentasan kemiskinan dengan pendekatan bersistem. Pendekatan ini mengacu pada pengalaman negara maju dalam menangani kemiskinan di kota-kota metropolitannya (Kreshaw, 1970; Lampman, 1971; dan Levitan, 1976; dalam Nasikum, 1993), yaitu mengidentifikasi dan merumuskan empat strategi penanganan masalah kemiskinan yang secara sendirisendiri atau berkombinasi dapat dipilih pada beragam konteks dan bagi segmen penduduk miskin yang berbeda, yaitu (1) membuat pasar bekerja dengan baik, (2) menyerasikan sistem terhadap kepentingan penduduk miskin, (3) menyelaraskan penduduk miskin terhadap tuntutan dan dinamika pasar, dan (4) memberikan santunan bagi penduduk miskin. Strategi pertama menekankan pada pendekatan ekonomi makro, melalui regulasi dan deregulasi lembaga-lembaga serta ekonomi, untuk mendorong dan memelihara tercapainya full employment sehingga jumlah penduduk yang menganggur dan setengah menganggur dapat ditekan atau dieliminasi atau diturunkan. Asumsi yang mendasari strategi ini adalah argumen expansionist di hadapan argumen structuralist (tidak ada pasar tenaga kerja yang tidak sensitif terhadap permintaan agregat apabila permintaan mencapai skala yang cukup tinggi). Misalnya, aplikasi kebijaksanaan moneter dan fiskal untuk menurunkan tingkat pengangguran melalui ekspansi ekonomi. Dengan cara ini, apabila bisnis dapat menjual barang-barang mereka pada tingkat harga yang terbeli oleh karena pertumbuhan skala permintaan yang besar, ia pada akhirnya akan menguntungkan untuk mempekerjakan semua tenaga kerja yang pada waktu yang lalu terlalu mahal. Sejalan dengan kebijaksanaan ini, perlu ditempuh kebijaksanaan pengembangan sumberdaya manusia dan pendidikan yang siap kerja dan siap pakai. Strategi kedua, penyesuaian sistem pasar yang ada untuk dapat melayani secara lebih baik kepentingan penduduk miskin. Contohnya, pengaturan pasar tenaga kerja untuk memberikan kemungkinan dan mendorong penawaran tenaga kerja kolektif, penetapan upah buruh minimum, ·pengembangan organisasi buruh, penyediaan perumahan murah, kebijaksanaan harga barang-barang produk pertanian, sistem perpajakan progresif, pajak pendapatan negatif, dan sebagainya. Dalam strategi ini juga ditingkatkan penyediaan prasarana dan sarana perkotaan, khususnya di daerah-daerah yang berbatasan dengan wilayah Botabek. Misalnya angkutan umum, penyediaan air bersih, pembangunan sanitasi dan drainase, fasilitas pendidikan dasar dan menengah, puskesmas dan posyandu, pasar lokal, serta fasilitas umum lainnya. Strategi ketiga, perwujudan program-program ketenagakerjaan (manpower programs). Landasan teoritik yang mendasari adalah argumen structuralist( ... bahkan pada masa "boom" ekonomi sekalipun, senantiasa akan dihadapi kemiskinan; pertama oleh karena adanya pengangguran struktural, dan kedua karena di dalam full employment sekalipun akan selalu terdapat pekerjaan-pekerjaan yang hanya mampu memberikan upah di bawah garis kemiskinan). Program ketenagakerjaan pada umumnya berusaha melakukan dua hal berikut : pertama, menjamin terjadinya permintaan agregat melalui full employment di dalam ekonomi nasional, dan 390


kedua, menjamin agar sementara pertumbuhan ekonomi terjadi, penduduk miskin melalui berbagai program pelatihan kerja dapat memasuki lapangan kerja. Contoh program dalam strategi ketiga antara lain, kerjasama antar pemda, bimbingan dan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat, bimbingan dan percontohan bagi tenaga kerja wanita, pendayagunaan tukang dalam pembangunan rumah sangat sederhana, partisipasi masyarakat dalam program perbaikan kampung, program sarjana penggerak pembangunan kelurahan, penataan lingkungan kumuh, penyuluhan pendidikan dan kesehatan, penyuluhan dalam perkoperasian, pendidikan dan pelatihan tentang informasi, komunikasi, pendataan, pengetahuan komputer, dan manajemen perkotaan, partisipasi masyarakat dan swasta dalam program P3KT (program pembangunan prasarana kota terpadu), sistem pengumpulan sampah di kampung-kampung, kampanye ibu sehat sejahtera, program norma keluarga kecil bahagia sejahtera (NKKBS), program dasawisma PKK, Karang Taruna dan program kesetiakawanan sosial. Tidak kalah pentingnya adalah pencanangan Gerakan Masal Pengentasan Kemiskinan yang perlu dilaksanakan di seluruh kecamatan. Strategi keempat, berupa program bantuan atau penyantunan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Strategi ini paling tipikal untuk menolong kaum "papa" atau kelompok the distitude,_ yang tidak berdaya untuk mengambil keuntungan dari program pembangunan yang diselenggarakan di atas mekanisme pasar. Untuk mengangkat mereka dari lembah kemiskinan, diperlukan serangkaian kebijaksanaan pengembangan program santunan (relieve programs, food stamp program, atau free food rationing. program). Walaupun programnya didesain untuk menolong orang miskin, sering terjadi yang menikmati adalah lapisan yang bukan miskin. Misalnya dalam program perbaikan kampung, peremajaan lingkungan kumuh, pengembangan kecamatan terpadu, subsidi pangan, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, perbaikan jalan lingkungan, dan sebagainya, orang miskin makin tergusur, sementara orang yang tidak miskin menikmati kenyamanan dari program-program ini. Strategi yang mana yang dipilih untuk mengentaskan kemiskinan penduduk Jakarta, masih harus diteliti dengan cermat dan seksama. Diperlukan agenda penelitian kantong-kantong miskin di DKI Jakarta, anatomi lapisan penduduk sangat miskin dan penduduk miskin, karakteristik penduduk miskin, perilaku penduduk miskin, tanggapan mereka terhadap program pengentasan kemiskinan, penelitian sosiokultur, dan sosio-antropologis penduduk miskin. Secara lebih detaillagi, perlu dilakukan penelitian terhadap tata nilai dan gaya hidup kelompok miskin, sikus kehidupan dan gender (maskulin dan feminin), psikologi manusia dalam lingkungan miskin, konservasi warisan budaya, interaksi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Dari aspek perumahan penduduk miskin, perlu dilakukan penelitian yang memberi gambaran jelas dan aktual tentang keadaan dan potensi perumahan miskin di wilayah tertentu, penelitian potensi sumberdaya perumahan (untuk mengetahui prioritas dan pembagian peran yang lebih tepat dan kena sasaran), aspek non-fisik (yang berpengaruh terhadap dan terkait dengan aspek fisik rumah yang dapat mempengaruhi perilaku penghuni), pengaruh pembangunan terhadap kerusakan lingkungan masyarakat miskin, dan perlunya dukungan ristek terhadap pembangunan perumahan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, yang bertumpu pada kemandirian masyarakat. Akhirnya, kita harapkan bersama agar dalam menyongsong Repelita VI pada 1 April 1994 (tahun anggaran 1994/1995), selain produk perencanaan seperti Pola Dasar Pembangunan Repelita VI, Repelitada, RUPTD (Rencana Umum Pembangunan Tahunan Daerah), sebagai hasil musyawarah pembangunan tingkat kelurahan (musbang), temu karya pembangunan tingkat kecamatan, dan rakorbang, pemerintah DKI Jakarta juga telah mempunyai (1) Kebijaksanaan, Strategi, dan Program Pengentasan Kemiskinan, (2) Proyek-proyek Pengentasan Kemiskinan Tahun Anggaran 1994/1995, (3) Matriks Proyek Pengentasan Kemiskinan, dan (4) Brosur dan lnformasi Program Pengentasan Kemiskinan yang siap disebarluaskan dan dimasyarakatkan. Angkatan Bersenjata, 29 Juli 1993 391


Pengentasan Kemiskinan Dan Partisipasi Masyarakat (Kasus DKI Jakarta) Masyarakat negara-negara maju telah memberikan contoh pengalaman yang baik dalam perumusan pilihan-pilihan kebijaksanaan penanganan masalah kemiskinan (Kershaw, 1970; Lampman, 1971; dan Levitan, 1976; dalam Nasikun, 1993). Para ahli ini mengidentifikasi empat strategi penanganan masalah kemiskinan yang secara sendiri-sendiri atau· di dalam kombinasi dapat dipilih pada beragam konteks dan bagi segmen penduduk miskin yang berbeda : (1) membuat pasar bekerja dengan baik (make the market work), (2) menyerasikan sistem terhadap kepentingan penduduk miskin (adapt the system to the needs of the poor), (3) menyelaraskan penduduk miskin terhadap tuntutan dan dinamika pasar (adapt the poor to the market), dan (4) memberikan santunan bagi penduduk miskin (relieve the distress of the poor). Strategi pertama, menekankan pendekatan ekonomi, melalui pendekatan ekonomi, regulasi dan deregulasi lembaga-lembaga serta mekanisme ekonomi untuk mendorong dan memelihara tercapainya full · employment, sehingga jumlah penduduk yang menganggur dan setengah menganggur dapat ditekan, dieliminasi atau diturunkan. Strategi kedua, dilakukan melalui penyesuaian-penyesuaian sistem pasar yang ada untuk dapat melayani secara lebih baik kepentingan penduduk miskin. Misalnya, pengaturan pasar tenaga kerja untuk memberikan kemungkinan dan mendorong penawaran tenaga kerja kolektif, penetapan upah buruh minimum, pengembangan organisasi buruh, perumahan murah, kebijaksanaan harga barangbarang produk pertanian, sistem perpajakan progresif, pajak pendapatan negatif, dan sejenisnya. Strategi ketiga, memperoleh bentuk pengungkapannya yang paling tipikal melalui program-program ketenagakerjaan (manpower programs). Misalnya mewajibkan perusahaan menggunakan tenaga kerja lokal, adanya jaminan lapangan kerja bagi tenaga kerja wanita, dan adanya kesempatan program pelatihan kerja bagi golongan miskin untuk dapat memasuki lapangan kerja. Strategi keempat, program-program bantuan atau penyantunan, merupakan strategi penanganan masalah kemiskinan yang paling tipikal yang menyangkut kesejahteraan sosial bagi orang-orang miskin yang termasuk ke dalam kelompok the destitude yang tidak berdaya untuk mengambil keuntungan dari program-program pembangunan yang diselenggarakan di atas mekanisme pasar. Strategi mana yang paling tepat dipilih untuk menangani segmen kemiskinan yang mana, di dalam konteks sistem sosial-ekonomi dan sosial-budaya yang mana, masih harus diteliti dengan cermat. Untuk itu perlu agenda penelitian masalah kemiskinan, antara lain identifikasi dan anatomi lapisan penduduk miskin, karakteristik golongan miskin, pola perilaku dan tanggapan kelompok miskin terhadap beragam program pembangunan, serta aset ekonomi, politik dan budaya. Tanpa semua ini, program-program anti kemiskinan dan untuk mengentaskan kemiskinan hanyalah akan menguntungkan lapisan penduduk yang berada di atas garis kemiskinan. Dengan kata lain, program pengentasan kemiskinan mengalami kegagalan. Kemiskinan Kemiskinan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang atau kelompok orang untuk memenuhi kebutuhannya yang paling mendasar sesuai dengan tata nilai dan norma-norma yang berlaku pada suatu masyarakat dalam waktu tertentu. Parsudi Suparlan (1990) menggolongkan kebutuhan manusia untuk dapat hidup lebih baik ke dalam tiga bentuk. Pertama, kebutuhan utama atau primer yang kemunculannya bersumber pada aspek-aspek biologi atau organisme tubuh manusia, antara lain makanan dan minuman, zat asam, buang air, perlindungan dari iklim, istirahat, pelepasan dorongan seksual, dan kesehatan yang baik. Kedua, kebutuhan sosial atau sekunder yang terwujud sebagai akibat usaha-usaha untuk dapat memenuhi kebutuhan yang tergolong primer, yang membutuhkan keterlibatan orang lain, antara lain kebutuhan berkomunikasi dengan sesama, kegiatan bersama, kepuasan akan benda material, sistem 392


pendidikan dan keteraturan sosial. Ketiga, kebutuhan integratif yang muncul dari hakekat manusia sebagai makhluk pemikir dan bermoral, antara lain perasaan benar salah, adil-tidak adil, sentimen, keyakinan diri, ungkapan estetika dan keindahan, rekreasi dan hiburan. Berdasarkan pengertian di atas, keragaman nilai yang terkandung dalam suatu masyarakat terus mengalami perubahan sehingga kemiskinan mempunyai banyak dimensi. Andre Bayo Ala (1979) mengatakan paling sedikit ada 10 dimensi kemiskinan, yaitu miskin kekuasaan, harta, kesehatan, pendidikan atau pengetahuan, ketrampilan, cinta kasih, keadilan, penghargaan, keamanan dan kebebasan. Agar lebih jelas lagi, diperlukan batas kemiskinan yang lebih operasional. Bank Dunia melihat kemiskinan ditandai dengan ketidakcukupan gizi, rendahnya derajat kesehatan, dan rendahnya tingkat pendidikan. Penyebab kemiskinan ada dua macam. Dari dalam man usia sendiri, berupa sikap mal as dan tidak mau bekerja. Kemiskinan bukan 1,1asib atau takdir Tuhan. Faktor luar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang bersifat alamiah (sumber daya alam yang miskin, iklim yang tidak menguntungkan dan sering terjadi bencana) dan buatan (dipengaruhi oleh faktor ekonomi, politik, sosial-budaya). Geerts (1983) melihat faktor-faktor penyebab kemiskinan tidak berdiri sendiri, tetapi membentuk suatu lingkaran yang tidak berujung pangkal. Karena itu Geertz menyebutnya sebagai proses involusi, di mana kemiskinan menjadi penyebab sekaligus akibat dari kemiskinan. Rendahnya tingkat pendapatan merupakan penyebab kemiskinan, kemudian mengakibatkan rendahnya tingkat pendidikan, kecilnya akumulasi modal, dan buruknya tingkat kesehatan dan gizi. Selanjutnya kemiskinan akan menyebabkan meningkatnya tingkat fertilitas karena bagi mereka yang miskin, tenaga kerja merupakan satu-satunya modal yang dimiliki sehingga cenderung menambah jumlah anak. Rendahnya tingkat pendidikan dan modal produksi, berakibat pada rendahnya penguasaan terhadap teknologi produksi dan selanjutnya menyebabkan rendahnya produktivitas. Tingkat fertilitas yang tinggi menyebabkan jumlah penduduk meningkat yang kemudian berakibat kecilnya penguasaan pada sumber daya (terutama tanah) per kapita. Sementara itu tingkat kesehatan dan gizi yang buruk menyebabkan rendahnya produktivitas, kemudian bersama-sama dengan rendahnya penguasaan sumber daya menyebabkan rendahnya total produksi. Rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya jumlah penduduk berakibat pada rendahnya kesempatan kerja di luar sektor pertanian yang pada gilirannya akan kembali pada rendahnya tingkat pendapatan. Proses ini berlangsung terus menerus, sehingga penduduk terus terbelenggu dalam lingkaran kemiskinan. Karena definisi kemiskinan tidak jelas maka saat ini masalah siapa yang termasuk ke dalam kelompok miskin masih terus dipertentangkan. Nasikun menggarisbawahi perlunya redefinisi kriteria batas ambang kemiskinan berwawasan martabat manusia, agar ambang tingkat kemiskinan bewawasan martabat manusia, agar dapat dilihat dan dibedakan mana yang benar-benar miskin. Batas ambang tingkat kemiskinan setara dengan konsumsi pangan 2.100 kalori ditambah konsumsi non-pangan 15,92-17,96% untuk daerah perkotaan dan 6,12-6.52% untuk daerah perdesaan yang selama ini dipakai oleh Biro Pusat Statistik, perlu diredefinisi. Jika ini dilakukan, maka jumlah penduduk miskin 27 juta orang (4,56% diperkotaan dan 20,26% di perdesaan) bisa meningkat menjadi lebih dari 100 juta, bahkan 120 juta orang (Nasikun, 1993). Contoh lain, saat ini di DKI Jakarta hanya ada 4 kelurahan yang masuk ke dalam kategori miskin. Padahallebih dari setengah rumah tangga di DKI Jakarta berpenghasilan di bawah Rp 150.000 per bulan yang sebenarnya bisa disebut golongan miskin. Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat dalam pembangunan kota mutlak diperlukan. Masyarakat cenderung ikut berpartisipasi pada tahap pelaksanaan, pengoperasian dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan, jika mereka telah diberi kesempatan untuk berpartisipasi pada tahap-tahap sebelumnya. Partisipasi adalah tindakan warga dalam suatu kegiatan (the action or state of taking part in an activity), menurut Webster (1976), yang dapat dilakukan secara perorangan maupun kelompok. Bentuk partisipasi bermacam-macam, ada partisipasi .bebas, diajak atau didorong, dan partisipasi biasa. Partisipasi bebas, dapat berbentuk partisipasi spontan atau karena ajakan. Partisipasi didorong, dapat 393


diakibatkan oleh adanya aturan hukum atau peraturan perundang-undangan dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Partisipasi masyarakat dapat diiakukan secara langsung atau tidak langsung, komplit atau parsial, terorganisasi atau tidak terorganisasi, intensif atau ekstensif, terbatas atau tidak terbatas, efektif atau tidak efektif, dilakukan pada tingkat propinsi, wilayah kota, kecamatan, kelurahan, kampung, RW dan RT, pada tahap perencanaan, pelaksanaan, atau pemantauan pembangunan di bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan pertahanan keamanan (Theodorson, 1969, Uphoff dan Vershaagen, 1979). Perwujudan partisipasi masyarakat Jakarta dalam pembangunan kota Jakarta, dalam hal ini untuk mengentaskan kemiskinan, dapat berbentuk keikutsertaan anggota masyarakat dalam kelompok, keterlibatan perorangan dalam diskusi, tindakan warga dalam suatu organisasi masyarakat, berperan serta dalam proses pengambilan keputusan (merumuskan bersama suatu tujuan dan target, menyarankan cara mencapai tujuan dan mengalokasikan sumber-sumber yang tersedia, memilih tenaga yang cocok, menilai efisiensi dan efektivitas suatu program). DKI Jakarta Dengan demikian partisipasi warga DKI Jakarta haruslah tampak dalam penyusunan RUTR (Rencana Umum Tata Ruang), RDTR (Rencana Detail Tata Ruang), RBWK (Rencana Bagian Wilayah Kota), RTK (Rencana Terinci Kota), dan· RUPTD (Rencana Umum Pembangun~n Tahunan Daerah). Di samping itu, harus lebih menonjol dalam program-program penanggulangan kemiskinan, seperti penataan dan peremajaan lingkungan kumuh, perbaikan kampung, pembinaan dan pengembangan para pemulung dan pedagang asongan, pembinaan para pedagang kakilima dan pekerja informal. Program-program subsidi bahan pangan, program bantuan pangan, program pembagian catu pangan, subsidi kesehatan, dan subsidi pendidikan merupakan contoh menarik. Juga program pengembangan kecamatan terpadu (PPKT) dan program pembangunan parasarana kota terpadu (P3KT), perbaikan kampung, pembinaan dan pengembangan pengusaha ekonomi lemah, serta penyediaan perumahan sangat sederhana untuk masyarakat miskin. Jika benar-benar menghendaki penanganan masalah kemiskinan secara lebih mendasar, diperlukan koreksi dan penyesuaian terhadap program-program ini secara lebih mendasar dan dilakukan di atas perspektif teoritik yang lebih handal pula. Migrasi yang tinggi bagi kelompok berpendidikan rendah untuk mencari pekerjaan di ibukota, menumbuhkan lingkungan permukiman kumuh. Di sepanjang sungai, sebagian besar diisi pendatang baru, para kelompok miskin. Orang-orang seperti ini belum bisa ditingkatkan tarat hidupnya, karena masih berada pada tahap memberi pekerjaan atau menyalurkan pada bidang pekerjaan yang mendatangkan hasil. T erhadap mereka, Pemda bisa menempuh cara dengan mengajak kelompok mampu gun a membantu kelompok miskin, melalui kontak langsung dan menyediakan bantuan nyata berupa dana, bahan bangunan, peralatan, dan fasilitas. Terhadap kelompok miskin di atasnya, dapat dilakukan penyuluhan, pendidikan singkat, pelatihan, dan percontohan ketrampilan teknis. Sekarang sudah saatnya pemerintah menyediakan Balai atau Pusat Pendidikan dan Pelatihan bagi lulusan SMPT yang tidak bisa melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Adanya peninjauan kembali gaji minimum buruh kasar di DKI Jakarta, merupakan langkah yang patut dihargai. Penyediaan warung-warung kakilima yang mendapat ijin berusaha di kompleks perkantoran modern, misalnya sepanjang jalan Thamrin dan Sudirman, merupakan perwujudan pembangunan yang didukung oleh kemitraan pemerintah-swasta-masyarakat. Adanya bazar yang diisi oleh para pedagang ekonomi lemah, secara rutin berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya, misalnya hari Minggu di Senayan, Senin di Ragunan, Selasa di Pulo Mas, Rabu di Monas, dan sebagainya, merupakan upaya dalam meningkatkan kemampuan kelompok lemah. Depdikkbud, Depnaker, Deperind, serta Kantor Menpora dan Men-UPW, dapat menyusun program kerja bersama dalam rangka meningkatkan partisipasi dan peran serta pemuda dan wanita dalam pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan. Para pengusaha dan kalangan industri disarankan agar menyediakan perumahan bagi karyawannya melalui koperasi karyawan. Dengan cara ini, para buruh pabrik tidak harus tidur bedesak-desakan di tempat 394


tinggal yang sumpek dan kumuh. Program-program penge(ltasan kemiskinan haruslah diwujudkan mulai tingkat makro sampai mikro dan pada tingkat lokal. Kemiskinan nelayan di Jakarta Utara, buruh di kawasan Tanjung Prick, buruh pabrik di Pulogadung, pedagang kakilima dan pedagang asongan di pusat-pusat keramaian kota, pengumpul sampah yang masih sering dirugikan oleh para lapak, pengecer koran yang perlu tempat dagang, kesemuanya membutuhkan penanganan secara komprehensif dan terpadu. Dalam memberi peran pada Tahun Lingkungan Hidup 1993, menuju Megacity Jakarta Tahun 2000, didukung pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia DKI Jakarta, dan sejalan dengan Dekade Kunungan Indonesia (Dekuni) 2000, marilah kita bersama-sama mengentaskan kemiskinan, melalui partisipasi aktif pemuda dan wanita, serta seluruh warga ibukota, dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan yang diwujudkan melalui kemitraan pemerintahswasta-masyarakat pada semua tingkatan. Angkatan Bersenjata, 4 Agustus 1993 Dari Renstra ke Pengentasan Kemiskinan di DKI Jakarta Kebijaksanaan dan Strategi (Jakstra) 25 tahun dan Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan 5 tahun merupakan perangkat pembangunan di samping acuan GBHN, Repelita, Master Plan, Rencana Umum Tata Ruang, Pola Dasar Pembangunan, Repelitada, dan Rencana Umum Pembangunan Tahunan. Renstra Pembangunan DKI Jakarta 1992-1997 ditetapkan melalui Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 811 Tahun 1993 disusul Pedoman Penyelenggaraan Renstra yang ditetapkan melalui Kepgub KDKI Jakarta Nomor 941 Tahun 1993. Jakstra Pembangunan DKI Jakarta adalah terwujudnya tujuan pembangunan nasional di daerah dan terwujudnya Jakarta sebagai lbukota Negara yang representatif, dihuni oleh masyarakat yang sejahtera dan Teguh Beriman (Teruskan gerakan untuk hidup bersih, · indah, menarik, manusiawi, dan aman). Posisi Renstra dalam Repelita VI DKI Jakarta dapat dilihat dari lima keterkaitan. Pertama, GBHN 1993, Repelitanas, Pola Dasar Pembangunan Daerah, Repelitada, dan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah. Kedua, missi Jakarta sebagai ibukota, menuju Citra Jakarta, sejajar dengan ibukota-ibukota lain yang dihuni oleh masyarakat yang sejahtera. Ketiga, didukung sistem informasi perkotaan, dikembangkan pemikiran untuk menjadikan kota Jakarta sebagai kota jasa, menumbuhkan pembagunan komunitas, dan menata manajemen kota yang efektif (service city, community development, and effective urban management). Keempat, Renstra sebagai pemacu pembangunan pilihan prioritas yang memberikan demonstration effect yang besar. Kelima, pendekatan sistem yang menyangkut fisik dan non-fisik. Maksud dan tujuan Renstra adalah sebagai pedoman umum dan sebagai pemacu pembangunan. Jakarta dengan multi permasalahan yang serba kompleks, besar dan rumit, dituntut menjadi pusat penyelenggaraan pemerintahan dan service city, mengatasi kerawanan dan kesenjangan sosial yang cukup tinggi, dan meningkatkan kinerja aparatur daerah yang masih kurang optimal. Renstra Pembangunan DKI Jakarta 1992-1997 mempunyai em pat prioritas, yakni : (1) Peningkatan kinerja Pemda, utamanya di bidang aparatur, penerimaan daerah dan pelayanan kepada masyarakat yang mendesak, (2) Meningkatkan iklim dunia usaha dan pendapatan masyarakat, utamanya bina sektor informal dan lancarnya lalulintasnya dan angkutan umum, (3) Peningkatan peran serta masyarakat dan kualitas penduduk, utamanya mengurangi permukiman kumuh, keterpaduan program sosial kemasyarakatan dan kependudukan, (4) Peningkatan daya dukung tata ruang dan lingkungan, utamanya meningkatkan kebersihan dan penghijauan. Penyelenggaraan Renstra 1992-1997 diupayakan agar dilakukan konsisten, secara integral, komprehensif, terpadu, mengerahkan potensi swasta dan masyarakat, memandang APBD dan APBN 395


sebagai stimulan, dan didukung aparat yang profesional. Renstra 1992-1997 mempunyai 9 sasaran prioritas, yaitu sasaran strategi pembinaan aparatur, peningkatan pelayanan kepada masyarakat, keterpaduan pembangunan sosial kemasyarakatan, pembinaan kependudukan, penanganan permukiman kumuh, kebersihan dan penghijauan,· peningkatan penerimaan daerah, lalulintas dan angkutan umum, serta pemblnaan sektor informal. Keberhasilan mencapai 9 sasaran prioritas, langsung atau tidak langsung akan bisa menangani permasalahan kemiskinan di ibukota sebagai akibat dari pemerintahan yang bersih, adanya pemihakan kepada kelompok miskin, tersedianya infrastruktur secara merata di seluruh wilayah kota, dan tersedianya lapangan kerja yang memadai. Masalah pembinaan aparatur adalah produktivitas pegawai yang masih rendah, disebabkan oleh kinerja manajemen kepegawaian yang masih perlu ditingkatkan, organisasi dan tatalaksana kurang memadai, kinerja dan job performance pegawai masih belum memadai, dan kinerja sarana kerja pirantilperangkat lunak dim perangkat keras kurang memadai. Sasaran yang ingin dicapai adalah peningkatan produktivitas kerja pegawai dari 65% menjadi 85%, mantapnya organisasi dan tatalaksana, meningkatnya pendelegasian wewenang ke tingkat kotamadya, kecamatan dan kelurahan, serta peningkatan disiplin dan keterampilan personil. Yang perlu diprioritaskan antara lain, upaya meningkatkan waskat dan disiplin kerja, perbaikan insentif dengan prestasi kerja, memantapkan pola karir pegawai, menyempurnakan uraian tugas, menyelenggarakan diklat yang mengarah pada perubahan sikap, diklat koordinasi pelayanan · terpadu, dan menyempurnakan sistem pengadaan pegawai. Masalah pelayanan kepada masyarakat berupa kualitas pelayanan kepada masyarakat yang belum memuaskan, misalnya pelayanan umum pembangunan dan pelayanan kesehatan, perlu diatasi antara lain dengan upaya meningkatkan pelayanan 1MB yang didukung oleh pelayanan SIPPT, hak tanah, penertiban, dan pembuatan rekomendasi, serta meningkatnya pelayanan Puskesmas, kemudahan mendapatkan obatobatan dan semakin bermutunya obat-obatan yang tersedia. Yang perlu diprioritaskan adalah kemudahan pengurusan 1MB, pengadaan dan pemeriharaan piranti keras, pengadaan dan review piranti lunak, peningkatan kemampuan aparat dan motivasi kerja, peningkatan peran serta masyarakat, serta penyuluhan dan penertiban, peningkatan pemasyarakatan Posyandu, pelayanan Puskesmas, peningkatan sarana pelayanan kesehatan, serta peningkatan kemampuan dan motivasi kerja aparat. Permasalahan keterpaduan pembangunan sosial kemasyarakatan, antara lain meningkatnya kesenjangan dan kerawanan sosial, masih rendahnya peran serta masyarakat, dan lemahnya ikatan sosial terutama komunitas spasial (ruang), perlu diatasi melalui upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam segala bidang kehidupan, terutama dalam pembangunan DKI Jakarta, meningkatnya ikatan sosial dalam komunitas spasial, dan makin disiplinnya masyarakat Jakarta. Yang perlu diprioritaskan adalah kegiatan pembinan peran serta masyarakat (peningkatan kualitas aparat di bidang teknis peran serta, stimulasi dan bimbingan kepada satuan kelompok sosial, pendekatan sosial secara formal dan informal, pembentukan pusat komunitas di tiap wilayah, dan peningkatan potensi RT, RW, LKMD, dan LKMK), pembinaan disiplin terpadu penyuluhan dan penertiban (contohnya, pada 20 titik rawan sosial, 10 kelurahan kumuh per tahun, dan jalur Blok M-Kota), dan pembinaan kegiatan strategis sosial kemasyarakatan (pembinaan kelompok sosial primordial, pembinaan kelompok sosial spasial, dan pembinaan kelompok sosial okupasional). Permasalahan pembinaan kependudukan berupa laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi, penyebaran penduduk belum serasi dengan daya tampung lingkungan, dan pengelolaan administrasi kependudukan yang masih kurang efektif, perlu diatasi melalui upaya menurunkan CBR (27,5% menjadi 25%), turunnya angka migrasi (0,5% menjadi 0,4%), dan meningkatnya jumlah pengiriman transmigran spontan (1 0.000 kk menjadi 11.000 kk). Yang perlu diprioritaskan adalah upaya meningkatkan KB di 8 kecamatan yang tingkat partisipasinya rendah, meningkatkan manajemen penerangan trasmigrasi, meningkatkan pola swakarsa jasa, industri, dan jasa mandiri, pelimpahan kewenangan administrasi kependudukan ke wilayah kotamadya, dan peningkatan kerjasama antar daerah. Penanganan permukiman kumuh (pelaksanaan lnpres No.5 Tahun 1990) dan Surat Edaran Menpera tentang Penanganan Terpadu Peremajaan Permukiman Kumuh, diarahkan pada upaya pemecahan permasalahan kawasan permukiman kumuh yang sangat luas (2.885,5 Ha dihuni 1.595.727 jiwa), kondisi dan prasarana lingkungan permukiman yang kurang memadai, penghuni daerah kumuh umumnya penyandang 396


masalah sosial (tidak normatif), dan penghuni daerah kumuh yang tidak merasa kumuh. Upaya penanganan diarahkan pada pencapaian tiga sasaran, yaitu menurunnya jumlah permukiman kumuh dari -2.885,20 Ha menjadi 1.700 Ha dan dari 1.595.727 jiwa menjadi 940.000 jiwa, menambah jumlah rumah susun untuk masyarakat golongan menengah ke bawah, dan memperbaiki lingkungan permukiman kumuh secara mandiri. Yang perlu diprioritaskan adalah pembangunan rumah susun yang diintegrasikan dengan SIPPT, penerbitan permukiman kumuh yang ilegal, menetapkan juklak dan juknis peremajaan, melanjutkan program MHT (bina lingkungan, bina sosial dan bina ekonomi), dan peningkatan pembinaan sosial dan peran serta masyarakat serta perguruan tinggi. Empat masalah pokok kebersihan dan penghijauan, yaitu produksi (timbulan) sampah meningkat, sedangkan kemampuan angkut hanya 83%, kualitas tenaga lapangan dan sarana serta prasarana kebersihan dan penghijauan belum memadai, peran serta masyarakat dan swasta masih rendah, vegetasi hijau makin menurun, dan ruang terbuka hijau masih rendah. Pemecahan masalah perlu diarahkan agar terjadi peningkatan data angkut sampah sampai dengan 95%, integrasi institusi penanganan kebersihan, peningkatan peran serta masyarakat dan swasta dalam kegiatan strategi kebersihan dan penghijauan, peningkatan jumlah vegetasi lahan di Jakarta dari 2,5 juta menjadi 5 juta pohon, dan menambah areal ruang terbuka hijau menjadi 30%. Yang perlu diprioritaskan adalah upaya menambah sarana dan prasarana kebersihan, melanjutkan program khusus (Prokasih - program kali bersih, prodasih - program udara bersih dan sibelut - program siar bersih laut, dan peduli - program daur ulang Indonesia), meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta, refungsionalisasi taman, dan meningkatkan pembinaan flora dan fauna di eagar alam hutan lindung serta pembangunan hutan kota. Permasalahan peningkatan penerimaan daerah, yaitu pendapatan darah yang belum optimal, disebabkan oleh landasan hukum belum memadai, manajemen pengelolaan masih belum memadai, produktivitas sumber daya mam.isia masih rendah, dan partisipasi masyarakat masih kurang. Upaya yang perlu dilakukan adalah peningkatan pendapatan daerah rata-rata 20% per tahun selama 5 tahun dan peningkatan pajak non PKB sebesar 40%. Yang perlu diprioritaskan meliputi upaya meningkatkan pajak (utamanya Non PKB, antara lain reklame dan hiburan), meningkatkan retribusi (utamanya parkir, rencana kota, 1MB dan kebersihan), meningkatnya laba BUMD, menunjang intensifikasi sistem dan mekanisme PBB, menggalakkan kerjasama dengan swasta untuk optimalisasi asset Pemda dan meningkatkan sumber dari pemerintah pusat (hubungan keuangan pusat-daerah). Hambatan Lalulintas dan Angkutan Umum, antara lain sarana dan prasarana masih kurang memadai dan tidak berfungsi secara optimal, sistem jaringan dan manajemen lalulintas belum berfungsi, dan disipplin pemakai jalan masih rendah. Yang ingin dicapai adalah meningkatnya kelancaran lalulintas dan menurunnya waktu perjalanan (travel time), meningkatnya pelayanan angkutan umum dan meningkatnya penumpang angkutan umum (20%), dan meningkatnya ketertiban masyarakat pemakai jalan serta berkurangnya pelanggaran lalulintas. Prioritas kegiatan, antara lain terbangunnya 25 buah flyover dan underpass, terbangunnya sistem satu arah di 6 kawasan, pembangunan lajur khusus bus dan 2 kawasan, pembangunan ATCS pada 6 zona, optimasi kapasitas jalan yang ada, penyuluhan dan tindakan law enforcement, meningkatnya jumlah bus, pembangunan penyeberangan jalan, pembangunan awal mass rapid transit (angkutan massal: p·rioritas utama, penanganan jalur Blok M-Kota didukung persimpangan Hilton, Karet menuju Manggarai, Monas/ Harmoni ke Senen, Gambir dan Grogol, Manggabesar arah ke Timur, dan Gadjahmada arah ke Duri), berfungsinya sistem terminal bus, swastanisasi pengujian kendaraan bermotor, dan moda angkutan umum disesuaikan dengan hirarki jalan. Permasalahan pembinaan sektor informal adalah kurang terkendalinya kegiatan pedagang informal, kurang terpadunya pembinaan, dan kurangnya ruang usaha bagi pedagang informal. Yang kita inginkan adalah terbinanya pedagang kakilima (7 4.000), terkendalinya pedagang asongan (2.000), dan terbinanya pemulung (9.000). Delapan kegiatan perlu diprioritaskan, yaitu membina lokasi 15.000 pedagang kakilima resmi supaya . bersih, tertib dan jumlahnya tidak bertambah, serta disiplin dalam membayar retribusi, mengendalikan daerah operasi secara bertahap, khususnya di jalan protokol, menata lokasi lapak pemulung, membentuk Badan Koordinasi Pengendalian Pedagang Informal dan memantapkan sistem dan mekanisme pembinaan, mengatur tata ruang untuk pedagang informal, membuka pasar terjadwal (seperti Sunday Market di Senayan), yaitu 10 lokasi di Jaksel, 81okasi di Jakbar, 7 lokasi di Jakut, dan 5 lokasi di Jaktim, membuka 397


klinik usaha dan pelayanan kesehatan untuk konsultasi golongan usaha skala kecil, serta alih profesi pemulung dan pedagang asongan. Peran Serta Masyarakat Oari 9 sasaran strategi dan 13 pelaku, yaitu Gubernur, Wagub Pemerintahan, Wagub Kesra, Wagub Ekbang, Setwilda, lnspektur, Ketua Bappeda, Asisten Pamongpraja, Asisten administrasi pembangunan, kelompok sosial, asisten pembinaan dan pengaturan, asisten administrasi, dan kepala dinas serta instansi vertikal di daerah (penanggungjawab umum, penanggungjawab kegiatan strategis, koordinator pelaksana kegiatan strategis, pengawas kegiatan strategis, koordinasi perencanaan dan pelaksanaan, koordinator penyelenggaraan kegiatan strategis wilayah, penanggungjawab, pelaksana harian kegiatan strategis, penanggungjawab administrasi, dan penanggungjawab kegiatan), dapat dibentuk matriks renstra dengan 108 unsur yang masing-masing dapat diisi dengan berbagai kegiatan yang lebih detail. Renstra tingkat propinsi DKI Jakarta perlu dijabarkan lebih lanjut oleh masing-masing Unit Kerja tingkat Propinsi, Kotamadya, Kecamatan, dan Kelurahan, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. setempat. Keberhasilan pelaksanaan Renstra Pembangunan DKI Jakarta 1992-1997 sangat ditentukan oleh kemampuan aparat, baik teknis dan manajerialnya serta penempatan personil yang tepat sesuai dengan pe·ngalaman, bakat, minat dan juga keterlibatan dukungan seluruh masyarakat ibukota. Renstra Pembangunan DKI Jakarta 1992-1997 yang merupakan hasil perumusan maksimal dapat ditinjau kembali berdasarkan perubahan serta akselerasi yang timbul dan berkembang, disesuaikan sewaktu-waktu dengan kebutuhan. Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan Renstra 1992-1997, diperlukan kemitraan (pemerintah, swasta, dan masyarakat) dalam setiap tahap pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian pemantauan dan evaluasi dan mendorong pembangunan bertumpu pada masyarakat/komunitas dalam konteks pembangunan perkotaan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan yang mengintegrasikan lingkungan hidup dalam pembangunan nasional (memperhatikan pengembangan tata ruang/penataan ruang wilayah, baku mutu lingkungan dan baku mutu limbah, analisis mengenai dampak lingkungan, pengendalian pencemaran lingkungan, rehabilitasi dan reklamasi lingkungan, konservasi sumber daya hayati melalui pendekatan ekonomi, meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, dan melakukan pendekatan ekonomi dalam pengelolaan lingkungan hidup). Pembangunan daerah-daerah tertinggal di DKI Jakarta yang umumnya terdiri dari kawasan permukiman kumuh, kawasan permukiman nelayan, kawasan permukiman industri kecil dan kerajinan rumahtangga, kawasan wilayah berbatasan dengan propinsi Jawa Barat/Botabek (sekitar Marunda, Pondok Gede, GanduiCinere, Ciputat, Meruya-Joglo, Rawabuaya dan Semanan, serta kawasan Kepulauan Seribu), perlu diprioritaskan. Upaya peningkatan penanggulangan kemiskinan pada kawasan-kawasan ini, yang dikenal melalui lnpres Nomor 5 Tahun 1993 (Program lnpres Desa Tertinggal, lOT), perlu melibatkan berbagai unsur Tingkat Pusat yang ada di Jakarta dan unsur Pemda DKI Jakarta. Mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia Daerah Khusus lbukota Jakarta, maka perencanaan pembangunan DKI Jakarta perlu melibatkan berbagai instansi di tingkat pusat (Departemen dan Lembaga Pemerintahan Non-Departemen). PKK dengan Dasa Wismanya, LSM dengan pasukan swadayanya, dan tenaga muda pelopor pembangunan desa, secara bersama-sama perlu dikerahkan dalam program pengentasan kemiskinan, terutama berupa upaya menciptakan lapangan kerja, meningkatkan keahlian melalui training dan kursus ketrampilan, memperbaiki lingkungan permukiman baik dengan cara perbaikan, rehabilitasi atau relokasi, maupun pembangunan rumah susun sederhana. Melalui pengelolaan kota yang bersih, efisien, dan efektif, didukung peran serta semua lapisan masyarakat ibukota (termasuk para pendatang yang mencari mata pencaharian di kota Jakarta), kita yakin DKI Jakarta atau Jakarta Metro akan benar-benar merupakan Kota Metropolitan yang kita dambakan. Semoga. Angkatan Bersenjata, 20 Juli 1994 398


Ketenagakerjaan: Perspektif Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan Menteri Tenaga Kerja Abdul Latif menyatakan bahwa masalah ketenagakerjaan di Indonesia ditandai oleh terbatasnya kesempatan kerja akibat pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, kondisi dan kualitas angkatan kerja yang rendah (pengangguran, setengah penganggur, mutu), penyebaran tenaga kerja yang tidak seimbang, pertumbuhan ekonomi yang tidak mampu menyerap seluruh pertambahan angkatan kerja, lapangan kerja yang terbatas, banyaknya pekerja anak, distribusi tenaga kerja dan angkatan kerja yang tidak seimbang, kebijaksanaan di berbagai bidang yang belum terpadu, serta hubungan Industrial Pancasila dan perlindugan tenaga kerja yang belum memadai (Seri Dialog Pembangunan. Politik, CIDES, Jakarta, 8 Desember 1993). Berdasarkan permasalahan tersebut, kebijaksanaan ketenagakerjaan dalam Pelita VI meliputi upaya perluasan kesempatan kerja, penyebaran tenaga kerja, pendidikan dan pelatihan, dan pembinaan hubungan industrial. Menyongsong Pelita VI dalam PJP II, kebijaksanaan pokok ketenagakerjaan yang ditetapkan oleh Menaker Abdul Latif dikenal sebagai Sapta Karyatama Pelita VI Depnaker, yaitu perencanaan tenaga kerja nasional (national manpwer planning), sistem informasi dan bursa tenaga kerja terpadu, tenaga kerja pemuda mandiri profesional, pemagangan, hubungan industrial Pancasila dan perlindungan tenaga kerja, ekspor jasa tenaga kerja, dan pengembangan organisasi (organizational development). Melalui Sapta Karyatama Pelita VI Depnaker, pengembangkan sumberdaya manusia ditujukan untuk mampu menjalankan fungsi sebagai manusia seutuhnya, mampu bekerja secara produktif, inovatif dan kreatif, yang berkualitas sebagai modal dasar pembangunan. Pendayagunaan tenaga kerja, bukan saja sebagai subyek, tetapi juga sebagai obyek pembangunan, yang kualitas hidupnya dan kesejahteraannya harus ditingkatkan, sejalan dengan arah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Dalam memecahkan permasalahan ketenagakerjaan, peranan pendidikan dan pelatihan yang dilakukan melalui prinsip kemitraan pemerintah, swasta, dan masyarakat (public private partnership) sangat menentukan. Strategi yang ditempuh adalah melalui pembuatan perencanaan tenaga kerja yang komprehensif, terarah, dan terpadu, serta kelembagaan sebagai fondasi pendukung program (informasi tenaga kerja), reformasi pelatihan, dan pemantapan pusat produktivitas nasional). Khususnya dalam mengurangi pengangguran, perlu ditempuh upaya-upaya pengembangan usaha mandiri profesional, pengembangan usaha keluarga, dorongan dan insentif bagi pengembangan usaha serta investasi baru yang banyak menyerap tenaga kerja, penempatan langsung, peningkatan ekspor jasa kerja, pengembangan usaha agro-bisnis, dan penggunaan sistem teknologi padat karya. Para perbaikan kampung DKI Jakarta, Darrundono menyorot pekerja formal dan informal dalam dinamika pembangunan di perkotaan dan industrialisasi. Proyek perbaikan kampung merupakan pendekatan dan subsistem pembangunan kota yang paling tepat, karena murah (masyarakat mampu membayar iuran pengembalian dana proyek, affordable, dan cost recovery), menggunakan teknologi tepat guna (mudah digandakan dan berlanjut (sustainable). Proyek perbaikan kampung merupakan kegiatan pembangunan prasarana dan sarana perkotaan skala kecil, sedangkan dalam skala besar dilakukan melalui P3KT (Proyek Pembangunan Prasarana Kota secara Terpadu). Kinerja koperasi karyawan, pengupahan, produktivitas dan kesejahteraan pekerja di Indonesia, disorot oleh Agus Sudano yang telah berhasil menggalakkan peran koperasi karyawan dalam menyediakan perumahan. Berdasarkan pengalamannya, Agus Sudano menyimpulkan bahwa selama Pelita V, koperasi karyawan di Indonesia telah menunjukkan transisi dari sekedar usaha routine dan pelengkap menjadi mitra kerja dengan perusahaan, koperasi lain, lembaga pemerintah, dan swasta, serta serikat kerja. Bahkan telah mampu memperbaiki keunggulan kompetitif perusahaan melalui peningkatan (produktivitas kerja, menurunkan ongkos dan memperbaiki citra usaha). Kopkar, lnkopkar, dan Puskopkar telah berperan nyata dalam penyediaan peru mahan bagi masyarakat 399


berpenghasilan rendah, khususnya bagi pekerja industri, tersebar di 16 lokasi di seluruh Indonesia yang mencapai 15.844 unit rumah. Dalam Pelita VI, dan lnkopkar menargetkan pembangunan 75.000 rumah sederhana dan rumah sangat sederhana. Target ini masih bisa ditingkatkan lagi menjadi 100.000 unit. Berdasarkan pengamatan Agus Sudano, terdapat kenaikan penghasilan pekerja industri setelah mereka menghuni rumah-rumah yang disediakan oleh Kopkar. Pekerja industri lebih mantap, motivsi meningkat, disiplin, inovasi, dan berkurang keinginan mogok, demonstrasi, berkeluh kesah. Melalui kopkar, terkandung dua keinginan, pertama dalam pemilikan saham perusahaan sehingga ada motivasi untuk meningkatkan keunggulan kompetitif dan profit, dan kedua, keikutsertaan pekerja kopkar dalam desain, perencanaan, dan implementasi usaha guna kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang. Karena keterbatasan yang dihadapi Kopkar, seperti modal, akses terhadap tanah, kesulitan dalam pengurusan perijinan, teknologi, dan lain-lain, maka informasi, pelayanan, dan kemudahan yang diberikan pemerintah sangat dibutuhkan. · · Dari pengalamannya menggeluti pembangunan perkotaan, pakar LSM Achmad Rofi'ie dari Lembaga Studi Pembangunan (LSP) mencatat lima rembug tentang fenomena perkotaan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap upaya pengentasan kemiskinan, yaitu ekspansi demografis, heterogenitas warga kota yang cukup tinggi, ikatan tradisional (gotong royong) meluntur diganti sifat-sifat kekerasan, ekspansi bisnis besar/moderen yang bertentangan dengan ekonomi rakyat, dan perencanaan kota yang cenderung kurang tanggap terhadap dinamika pembangunan perkotaan (perlunya pengelolaan pertumbuhan, pengelolaan perubahan, dan pengelolaan konflik). Rofi'ie menekankan pentingnya rencana tata ruang kota terpadu yang menyatukan perencanaan komunitas sosekbudpol, perencanaan sumber daya (manusia, alam, lingkungan), dan perencanaan fisik dan spasial (spatial). Urbanisasi yang cepat tampaknya sulit dibendung. Kota-kota kecil dan kota mandiri tumbuh pesat di pinggiran kota besar, untuk menciptakan keseimbangan pembangunan kota besar, menengah, dan kota kecil dalam suatu megapolitan atau konurbasi, beberapa unsur berikut perlu diperhatikan, yaitu pertumbuhan ekonomi dan diversifikasi, kebijaksanaan dan strategi pembangunan perkotaan, perencanaan DT I dan DT II, pemberantasan kemiskinan, perbaikan aspek fisik daerah perkotaan, manajemen lingkungan, sistem pembiayaan pembangunan, kemitraan, peran serta dan partisipasi masyarakat dan swasta, pembangunan bertumpu pada masyarakat/komunitas, koordinasi perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan pengendalian pembangunan, serta pengembangan dan penataan kelembagaan. Sebagai refleksi dari pengalaman di lapangan, Rofi'ie menyarankan perhatian serius terhadap masalah pertanahan dan penataan ruang perkotaan, perbaikan kampung serta pembangunan prasarana dan sarana perkotaan, data dasar dan sistem informasi perkotaan yang handal. Model pemecahan masalah harus bisa mendorong pengembangan peranserta aktif masyarakat dan penerapan asas keterbukaan dalam pelaksanaan kegiatan, melalui upaya-upaya reposisi ketidakpastian keadaan yang memacu perlunya diselenggarakan pembangunan, pembagian kewenangan di antara anggota masyarakat, penerimaan tanggungjawab di kalangan masyarakat, nilai-nilai kesejahteraan, dan peranan lembaga masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat. Segitiga emas sinergi menurut Rofi'ie (pelaku, katalis serta sumber daya dan kelembagaan) perlu didukung oleh lima ciri model pembangunan yang berkelanjutan dan mandiri, yaitu mempromosikan kegiatan yang berkesinambungan yang bertumpu pada keterjangkauan lokal, mengembangkan peranserta masyarakat dalam kerangka proses pembangunan yang bertumpu pada masyarakat/komunitas, menggerakkan potensi yang ada menuju gerakan yang berkeswadayaan, meluaskan proses pembangunan hingga menjangkau pendekatan yang berasas kemitraan multisektoral dan multi-tataran, dan mengandung elemen replikatif untuk penggandaan selanjutnya di tempat lain dengan penyesuaian lokal. Konseptual Upaya memberantas dan mengentaskan kemiskinan memerlukan pemikiran konsepsional yang mendayagunakan segala potensi dan sumber daya lokal. Pejabat pemerintah (pusat dan daerah), aktivis LSM, pemimpin informal (ulama, pemimpin adat, dan lain-lain) maupun tokoh masyarakat, diharapkan memainkan perannya sebagai katalis pembangunan yang mengacu pada prinsip-prinsip secara falsafah harus memegang etika kerja yang jelas dengan mengacu kepada kepentingan dan konteks nasional, adanya 400


pemihakan kepada kelompok masyarakat kecil, berorientasi nilai kerakyatan, keadilan dan kebangsaan. Mampu menciptakan proses yang berorientasi kepada pengembangan kerjasama dan kemitraan yang konstruktif antar masyarakat dengan pelaku pembangunan lainnya dengan semangat kesetaraan (kemitraan). Memiliki kompetensi teknis dalam mengembangkan berbagai sumber daya pembangunan secara profesional. Secara sosial dan politis dapat diterima oleh pihak-pihak yng bersangkutan atau berkepentingan, baik secara legal maupun fungsional. Yang terakhir, sejauh mungkin katalis dapat bersikap independen secara ekonomis terhadap tarik-menarik kepentingan yang ada, sehingga bisa berfungsi secara efektif untuk menggerakkan pembangunan. Temuan Achmad Rofi'ie menyirt:~pulkan bahwa upaya pengentasan kemiskinan pada dasarnya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia dan lingkungannya, dengan cara mengembangkan peranserta aktif masyarakat luas (melalui skema kemitraan yang setara) agar dicapai rasa kepemilikan, keikutsertaan tanggungjawab untuk kemudian menuju kemandirian dan kesinambungan. Program pembangunan haruslah mengintegrasikan masyarakat ke dalam kegiatan pembangunan dan menjadikannya sebagai bagian dari pengembangan kehidupan masyarakat. Beberapa aspek penting perlu dipertimbangkan, yaitu tradisi lokal (yang berkaitan dengan strategi perubahan, cara dan pengalaman lokal yang pernah ada), bentuk organisasi lokal (pengumpulan informasi dan proses pengambilan keputusan), pembagian peran (kelamin, status sosial, kewenangan), dan motivasi (cara mengatasi hambatan, inovasi, dan perencanaan ke masa depan). Kesinambungan pembangunan berkaitan dengan kehandalan organisasi, didukung oleh sistem administrasi yang efektif dan efisien, cara dan alat untuk pengembangan kerjasama (perencanaan, pelaksanaan, evaluasi), dan pengembangan kapasitas organisasi melalui berbagai pendidikan dan pelatihan (menuju kematangan dan kemantapan organisasi sebagai lembaga pelaksanaan pembangunan yang handal). Beban biaya dan keuntungan pembangunan perlu dihitung dengan cermat. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan antara lain kemungkinan dan keterbatasan situasi ekonomi lokal (ekonomi keluarga, produksi, dan pasar), biaya jangka panjang (pelaksanaan, pemeliharaan dan pengerahan biaya lanjutan), kebutuhan akan sistem keuangan yang tangguh dan ketepatgunaan cara. Pembangunan yang lestari juga membutuhkan ketepatgunaan pemecahan masalah teknis material (fisik) dan sosial (non-fisik), dengan memperhatikan keterampilan teknis yang sudah ada, kehandalan aspek keteknikan dan kemudahan pemeliharaan, kemampuan jangkau keuangan, dukungan sosial-ekonomi masyarakat setempat, dan keterkaitan dengan struktur keuangan politik. Model pembangunan yang rasional perlu didukung oleh keterkaitan program dengan strategi pembangunan (nasional, regional, lokal), dukungan penting oleh struktur kekuasaan politik, keterkaitan program dengan sektor teknis pemerintah dan swasta, dan formulasi program yang relalistis. Perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, merupakan rangkaian tidak terputus dengan memperhatikan aspekaspek kajian tentang penetapan tujuan kualitatif dan kuantitatif dari perencanaan yang partisipatif, kejelasan penetapan waktu dan tahapan program, keluwesan terhadap perubahan yang sulit diramal, dan penerapan sistem pemantauan dan evaluasi yang benar-benar melekat untuk mencapai keragaman kerja yang tinggi. Pembangunan perkotaan yang partisipatif diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan nyata dan kemiskinan potensial. Program pengentasan kemiskinan perlu didukung oleh adanya pemihakan pada orang miskin. Dalam melaksanakan program pengentasan kemiskinan di perkotaan, perlu didahului oleh penyusunan peta kemiskinan di perkotaan. Keterbukaan dan koordinasi antar pemerintah daerah, mutlak diperlukan. Penyediaan peru mahan melalui koperasi merupakan salah satu upaya menghilangkan perangkap kemiskinan di perkotaan (permukiman kumuh), sehingga lambat laun setiap keluarga dapat tinggal dalam rumah yang layak, sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Pendapatan Asli Daerah, pungutan pajak, retribusi, dan sistem pembiayaan pembangunan perkotaan perlu ditingkatkan. lnpres Desa Tertinggal diharapkan dapat dikaitkan dan diintegrasikan dengan program-program peningkatan pendapatan masyarakat. Potensi LSM dan perguruan tinggi yang ada di daerah harus benar401


benar didayagunakan. Survai Nasional Potret Kemiskinan perlu dilaksanakan, untuk menetapkan program pengentasan kemiskinan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah yang bersangkutan. Kualitas sumber daya manusia mutlak perlu ditingkatkan, agar manusia bisa lebih produktif, efisien dan bekerja efektif, menuju masyarakat maju dan mandiri, dan menjadi tenaga karja yang siap melaksanakan program pengentasan kemiskinan dalam pola pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Angkatan Bersenjata, 27 Juli 1994 Mengentaskan Kemiskinan Melalui Program MPMK Selama PJP I Pemerintah Republik Indonesia telah berhasil menurunkan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. lni terlihat dari jumlah penduduk miskin 70 juta (1970) menurun. menjadi 27,7 juta (1990), 25,9 juta (1993) dan 22 juta (1997) dan ditargetkan menjadi 11 juta pada akhir Pelita VI, Maret 1999. Target yang lebih tegas lagi diharapkan mendekati 2003-2004, pengentasan kemiskinan sudah bisa dituntaskan. Upaya yang ditempuh adalah dengan melaksanakan program MPMK (Memantapkan Program Menghapus Kemiskinan). Kegiatan MPMK dipantau langsung oleh Presiden Republik Indonesia dan setiap Departemen, Kantor Menteri Negara, dan Lembaga Pemerintah Non Departemen diharuskan berperan aktif dalam mengisi kegiatan-kegiatan program MPMK. Sekllas Gambaran MPMK Tujuan program MPMK adalah mewujudkan rakyat Indonesia untuk maju, mandiri, tangguh dan sejahtera. Untuk mencapai tujuan tersebut Presiden menyelenggarakan Sidang Kabinet Terbatas 3 (tiga) bulanan membahas perkembangan yang dicapai dalam Pelaksanaan program MPMK, melihat kendala yang muncul dan mencari upaya pemecahan. Program MPMK difokuskan pada (1) peningkatan program kesejahteraan rakyat, yang mencakup (a) kelompok usaha bersama (KUBE), (b) lnpres Nomor 5 Tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan (lnpres Desa Tertinggal, IDT) dan (c) lnpres 3 Tahun 1996 tentang Pembangunan Keluarga Sejahtera dalam rangka Pengentasan Kemiskinan (Takesra, Kukesra), (2) Pengembangan Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi, dan (3) Pembangunan daerah di luar Jawa dan Bali yang mencakup (a) kerjasama Ekonomi Sub Regional (KESR), (b) kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET) dan (c) kerjasama Australia-Indonesia (AIDA). Dari berbagai masukan Menteri terkait, Menke Produksi dan Distribusi telah merumuskan ( 1) langkahlangkah pelaksanaan program peningkatan kesejahteraan rakyat, (2) langkah pembinaan dan pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi dan (3) langkah-langkah pembangunan di luar Jawa dan Bali. Ada tiga kelompok sasaran program peningkatan kesejahteraan rakyat. Pertama, Kelompok Usaha Bersama (KUBE) ditujukan kepada kelompok masyarakat penyandang kesejahteraan sosial. Kedua, IDT. Pemerintah telah menyalurkan dana selama tiga tahun berturut-turut dan untuk 1997/1998 hanya dialokasikan dana kepada daerah IDT yang belum menerima selama tiga tahun penuh. Ketiga, pembangunan keluarga sejahtera melalui Takesra dan Kukesra. Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan kehidupan keluarga prasejahtera dan sejahtera I menjadi sejahtera melalui kegiatan usaha yang tergabung dalam koperasi. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi mencakup dua hal. Pertama, dasar pelaksanaan mengacu pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, yang mengatur iklim usaha, pembinaan dan pengembangan serta koordinaasi dan pengendalian. Rincian kebijaksanaan, strategi dan program, sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Menteri Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil. Agar lebih rnempercepat pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi diperlukan empat dukungan. 402


Pertama, dukungan pendanaan perlu dilakukan penyempurnaan (pelaksanaan dan sasaran) skim kredit seperti Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Koperasi Primer Untuk Anggota (KKPA), Dana Bergulir dan Kredit Usaha Kecil (KUK). Kedua, dukungan peluang usaha (pencadangan bidang/jenis usaha di mana 37 bidang usaha tertutup untuk pengusaha besar yang diatur melalui Keppres Nomor 31 Tahun 1995, pengusaha besar bermitra dengan pengusaha menengah dan kecil, pencadangan lokasi usaha, pembatasan lokasi usaha di Daerah Tingkat II, dan pengadaan barang pemerintah/BUMN. Ketiga, dukungan kemitraan usaha (pelaksanaan kemitraan ushaha nasional di Tingkat Pusat dan Daerah, berdasarkan prinsip "saling menguntungkan"). Keempat, dukungan pengembangan sumber daya manusia dan pembinaan manajemen (menggerakkan jalur pendidikan umum dan kejuruan untuk ikut membina kualitas sumber daya manusia usaha kecil, mendorong dunia usaha agar mampu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan berupa sekolah magang, diklat keterampilan, manajemen agar tercipta jumlah tenaga terlatih yang besar, tenaga profesi dan wirausahaan, pembentukan Lembaga Konsultasi Bisnis dan Klinik Bisnis dan mendorong kegiatan inkubator dalam bentuk kemitraan oleh usaha besar. Langkah-langkah dalam memacu pembangunan luar Jawa dan Bali menyangkut dua hal. Pertama, untuk Kawasan Timur Indonesia (KTI), telah diprogramkan pembentukan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang perlu dikembangkan secara bertahap sesuai kelayakan ekonominya dengan mendorong dunia usaha. Tahap awal akan dibentuk satu kapet untuk satu propinsi, sehingga akan terbentuk 13 kapet di KTI. Pengembangan Kapet akan saling mendukung dengan pengembangan 56 wilayah pusat pertumbuhan di KTI yang telah diidentifikasi oleh Bappenas. Untuk memacu pembangunan KTI, telah ditetapkan Keppres Nomor 120 Tahun 1993 tentang Dewan Pengembangan KTI, Keppres Nomor 89 Tahun 1996 tentang Kapet dan Keppres Nom or 90 T ahun 1996 tentang Kapet Biak, Kapet-Kapet ini akan segera disusul Kapet Sanggau Kalimantan Barat), Kapet DAS Kakab atau Kahayan, Kapuas, Barito (Kalimantan Tengah), Kapet Sasamba atau Samarinda, Sanga-sanga, Muara Jawa, Balikpapan (Kalimantan Timur), Kapet Batulicin/Sakupangbalaut (Kalimantan Selatan), Kapet Manado-Bitung (Sulawesi Utara), Kapet Batui (Sulawesi Tengah), Kapet Parepare dan sekitarnya (Sulawesi Selatan), Kapet Bukari atau Buton, Kolaka, Kendari (Sulawesi Tenggara), Kapet Seram (Maluku), Kapet Benaviq atau Betano, Natarbora, Viqueque (Timor-Timur), Kapet Mbay (Nusa Tenggara Timur), dan Kapet Sima (Nusa Tenggara Barat). Kedua, dalam memacu pertumbuhan daerah di luar Jawa dan Bali sekaligus menyiapkan seluruh wilayah Indonesia dalam memanfaatkan peluang pasar bebas ASEAN 2003, pasar bebas anggota maju APEC 2010 dan pasar bebas 2020 dibentuk Kerjasama Sub-Regional Asean (IMT-GT berdasarkan Keppres Nomor 26 Tahun 1994 dan disempurnakan melalui Keppres 28/1996 dan 7211996; IMS-GT berdasarkan Keppres Nomor 27 Tahun 1995 dan diperbaharui melalui Keppres 31/1996 dan Keppres 74/1994; BIMPEAGA berdasarkan Keppres Nomor 28 Tahun 1994 dan diperbaharui melalui Keppres Nomor 29/1996 dan Keppres 73/1996; Kerjasama Pariwisata lndonesia-Singapura berdasarkan Keppres Nomor 79/1994 dan diperbaharui melalui Keppres Nomor 30/1996), Tim Koordinasi Pembangunan Propinsi Riau (Keppres 49/ 1993, diperbaharui melalui Keppres 27/1996 dan Kerjasama Australia-Indonesia (AIDA). · Pembinaan dan Pengembangan Undang-undang Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil mengandung tiga butir penting. Pertama, Pemerintah menumbuhkan iklim usaha yang sehat untuk usaha kecil dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan dalam aspek-aspek pendanaan (perluasan sumber pendanaan, peningkatan akses, memberikan kemudahan), persaingan (peningkatan kerjasama sesama usaha kecil, pencegahan bentuk pasar yang mengakibatkan persaingan tidak sehat, pencegahan terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh kelompok tertentu), prasarana (penyediaan prasarana umum, keringanan tarif prasarana tertentu), informasi (pemanfaatan bank data, menyebarluaskan informasi), kemitraan (usaha besar-menengah-kecil), perijinan usaha (penyederhanaan tatacara dan jenis perijinan) dan perlindungan (peruntukan tempat usaha, pencadangan bidang dan jenis usaha, mengutamakan produk usaha kecil, pengaturan pengadaan barang dan jasa dan pemborongan kerja Pemerintah dan bantuan konsultasi hukum). Kedua, Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat melakukan pembinaan dan pengembangan usaha 403


kecil dalam bidang-bidang produksi dan pengolahan (peningkatan kemampuan manajemen, rancang bangun dan perekayasaan, pengadaan sarana dan prasarana), pemasaran (penelitian dan pengkajian, pemasaran, peningkatan kemampuan manajemen dan teknik pemasaran, dukungan promosi dan uji coba pasar, pengembangan lembaga pemasaran, pemasaran produk industri kecil), sumberdaya manusia (pemasyarakatan dan pembudayaan kewirausahaan, ketrampilan teknis dan manjerial, pengembangan lembaga pendidikan dan pelatihan serta konsultasi usaha kecil, dan penyediaan tenaga penyuluh dan konsultan usaha kecil), dan teknologi (peningkatan kemampuan di bidang teknologi produksi dan pengendalian mutu, peningkatan kemampuan penelitian untuk pengembangan desain dan produk baru, pemberian insentif, peningkatan kerjasama alih teknologi, peningkatan kemampuan memenuhi standarisasi . teknologi dan upaya menumbuhkembangkan lembaga penelitian dan pengembangan di bidang desain dan teknologi bagi usaha kecil). Ketiga, koordinasi dan pe'llgendalian program pembinaan dan pengembangan usaha keciil, menengah dan koperasi. Sebagai contoh, IDT dan Pembangunan Daerah (Kantor Menneg PPN/Bappenas), Takesra, Kukesra (Kantor Menneg Kependudukan/BKKBN, Kemitraan Usaha (Depkop · & PPK), Penyisihan Laba BUMN 1-5% (Depkeu), Kredit Perbankan (81), Pencadangan Usaha dan Pengerahan Kemitraan melalui Perijinan Usaha Plasma dan Inti (Kantor Menneg Penggerak Dana lnvestasi/BKPM), Penggunaan Produk Dalam Negeri (Kantor Menneg Menko Ekku-Wasbang), Peran lptek dalam pembangunan KTI (kantor Menneg Ristek/BPPT/BPIS), Kerjasama sub-Regional (Kantor Menko Prodis), KUBE (Depsos), Pembangunan SDM (Depnaker, Depdikbud), dan program-program Pengentasan Kemiskinan melalui pembinaan usaha kecil, menengah dan koperasi (Departemen Koperasi, Kantor Menteri Negara dan Lembaga Pemerintah Non Departemen lainnya). Depkop dan PPK telah menetapkan kebijaksanaan dan strategi pembinaan dan pengembangan koperasi dan pengusaha kecil dalam Pelita VI yang dituangkan melalui Kepmenkop dan PPK Nomor 63/Kep/ M/IV/1994 dan lnmenop & PPK Nomor 01/lns/IV/1994 sebagai tindak lanjut Keppres Nomor 17/1995 tentang Repelita VI, khususnya Bab 12 (Pengembangan Usaha Nasional) dan Bab 13 (Koperasi). Landasan kebijaksanaan adalah Pancasila, UUD 1945, GBHN 1993, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan Peraturan perundangundangan lainnya yang terkait. Kendala yang dihadapi adalah kualitas sumber daya manusia yang rendah mengakibatkan lemahnya akses dan pangsa pasar, permodalan teknologi, organisasi dan manajemen dan kemitraan. Juga terlihat iklim yang kurang kondusif, sarana dan prasarana kurang, pembinaan kurang terpadu, kurangnya pemahaman, kepercayaan dan dan kepedulian masyarakat terhadap koperasi. Peluang yang perlu dimanfaatkan adalah kemauan politik dan kehendak masyarakat untuk melaksanakan demokrasi ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya beli, transformasi globalisasi ekonomi, demokrasi dan keterbukaan. Melalui analisis SWOT atau KEKEPAN (kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman) diupayakan memperoleh kebijaksanaan dan strategi yang tepat dalam membina dan mengembangkan usaha kecil dan koperasi. Kondisi pada awal Pelita VI masih kurang memuaskan antara lain terlihat dari 42.061 koperasi (933. 188 Non-KUD dan 8.873 KUD), anggota 24.614 juta orang, 4.934 KUD Mandiri, Modal baru 3,5 triliun dan nilai usaha 9,5 triliun dan terdapat 33,45 juta pengusaha kecil yang perlu dibina dan dikembangkan. Tujuan yang hendak dicapai adalah koperasi yang mandiri dan pengusaha kecil yang tangguh dan modern, koperasi dan pengusaha kecil menjadi kekuatan ekonomi rakyat, dan barakar dalam masyarakat, koperasi dan pengusaha kecil mampu memperkokoh struktur perekonomian nasional. Sasaran yang ingin dicapai pada akhir Pelita VI dibedakan atas sasaran terhadap koperasi dan pengusaha kecil. Pertama koperasi diharapkan makin memiliki daya saing yang tinggi, maju, mandiri, berperan utama dalam perekonomian rakyat dan mengakar kuat dalam masyarakat serta terwujudnya 2.700 KUD Mandiri baru, 3.000 Koperasi Karyawan Mandiri, mantapnya 5.000 KUD Mandiri, 300 KUD Mandiri Inti, tumbuhnya 8.000 Koperasi Karyawan baru, tumbuhnya 209 KUD baru, terkonsolidasinya 4.000 Koperasi Pegawai Negeri dan di lingkungan ABRI 1.500 KSU, 24.000 Unit Jasa Keuangan/Koperasi Jasa Keuangan, 566 Kopinkra, 55 Koperasi Kelistrikan, 350 Kappas, 344 Koperasi Angkutan dan 76 Koperasi Jasa Profesi. Kedua, meningkatnya jumlah pengusaha kecil yang memiliki daya saing tinggi, maju, mandiri, dan 404


tangguh. Dan terwujudnya 7.820.000 pengusaha kecil menjadi pengusaha kecil yang tangguh dan terwujudnya 50.000 pengusaha kecil tangguh menjadi pengusaha menengah. Kebijaksanaan operasional menyangkut dua hal, yaitu (1) meningkatkan prakarsa, kemampuan dan peran serta gerakan koperasi dan masyarakat pengusaha kecil melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam rangka mengembangkan dan memantapkan kelembagaan dan usaha untuk mewujudkan peran utamanya di segala bidang ekonomi rakyat, dan (2) menciptakan iklim usaha yang makin kondusif bagi koperasi dan pengusaha kecil. Kebijaksanaan operasional ini dituangkan ke dalam lima kebijaksanaan dasar, yaitu (1) meningkatkan akses pasar dan memperbesar pangsa pasar, (2) meningkatkan kemampuan akses terhadap sumber modal dan memperkuat struktur modal, (3) meningkatkan kemampuan organisasi dan manajemen, (4) meningkatkan akses dan pengusahaan teknologi, dan (5) meningkatkan kemitraan yang man tap. Dari kebijaksanaan operasional dan kebijaksanaan dasar tersebut maka telah disusun lima program pembinaan dan pengembangan pengusaha kecil, menengah dan kopera$i. Pertama, dalam meningkatkan akses pasar dan pangsa pasar diupayakan peningkatan promosi, penyediaan informasi pasar, peningkatan daya tarik investasi, mencadangan usaha, pengaturan alokasi resiko usaha yang adil, penyediaan usaha dan prasarana usaha, dan pengembangan jaringan usaha. Kedua, dalam meningkatkan akses terhadap permodalan diupayakan peningkatan peran sektor jasa keuangan, baik milik Pemerintah maupun Swasta dan Koperasi, peningkatan peran pemerintah, melanjutkan kredit program dan pinjaman lunak luar negeri, peningkatan simpanan anggota koperasi, penyediaan modal awal, pemanfaatan modal ventura, pemanfaatan dana dari sebagian laba BUMN, pemanfaatan daria yang berasal dari masyarakat dan pengembangan usaha keuangan koperasi. Ketiga, di bidang organissi dan manajemen diupayakan peningkatan kewirausahaan, profesionalisme dan kemampuan teknis bekerjasama dengan perguruan tinggi, pengembangan sistem organisasi dan manajemen yang dinamis sesuai kebutuhan koperasi dan pengusaha kecil, peningkatan partisipasi anggota, penataan status hukum koperasi dan pengusaha kecil, penataan kelembagaan secara vertikal dan horisontal, pengembangan PKL dan pengiriman tenaga terampil ke Kawasan Timur Indonesia. Keempat, dalam meningkatkan akses dan penguasaan tekno1ogi diupayakan peningkatan inovasi, renovasi, rehabilitasi dan penemuan teknologi tepat, penyebarluasan teknologi tepat, dan peningkatan kemampuan dan penguasaan teknologi. Kelima, dalam meningkatkan kemitraan diupayakan pengembangan dan kemantapan pola kemitraan, peningkatan pemilikan saham perusahaan besar oleh koperasi, pengembangan informasi kemitra:an, promosi dan temu usaha kemitraan, dan pemberian insentif. · Posisi Agustus 1997 Saat menyampaikan Pidato Kenegaraan 16 Agustus 1997, Presiden Soeharto menegaskan bahwa dengan daya upaya yang lebih terpadu dan terarah, dengan koordinasi yang lebih baik, maka segenap sumber daya dicurahkan dalam berbagai program pemerataan dan penanggulangan kemiskinan akan mencapai hasil yang lebih optimal. Program MPMK, Program Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah (lnpres 1/1997), lOT (lnpres 5/1993) Takesra, Kukesra (lnpres 5/1996), KUK, KKU, KIK/KMKP, KUT, KUBE, KKPA, Kupedes, Modal Kerja bergulir, PPUK, Proyek Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK), Proyek Kredit Mikro (PKM), kesemuanya merupakan upaya-upaya untuk memacu pengentasan kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan bukanlah satu-satunya program pemerataan. Yang tidak kalah pentingnya adalah upaya membangun Usaha Kecil dan Koperasi, agar menjadi usaha yang kuat, tangguh dan mandiri. KUD Mandiri sebanyak 5.100 unit (1993) telah berkembang menjadi 6.500 (1997), terse bar di 3.500 kecamatan (97% dari seluruh kecamatan yang memerlukan fungsi KUD). Di setiap kabupaten telah ada paling sedikit satu KUD Mandiri Inti berfungsi sebagai kekuatan pendorong pertumbuhan koperasi menonjol dalam meningkatkan kesejahteraan karyawan. Di perkotaan telah bergerak lebih dari 3.300 Koperasi Mandiri (1.900) koperasi karyawan dan 1.400 koperasi perkotaan lainnya. Di setiap kotamadya telah berdiri paling sedikit satu koperasi Perkotaan Mandiri Inti. Julah anggota koperasi telah meningkat dari 24,6 juta (1993) menjadi 27 juta (1997) dan volume usaha meningkat dari 9,5 triliun (1993) menjadi 12,5 triliun (1996). 405


Dalam membina dan mengembangkan usaha kecil, menengah dan koperasi, tidak kalah pentingnya adalah membangun sumber daya manusia yang produktif, terampil, sehat jasmani-rohani, beriman dan taqwa, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, memiliki sikap budaya yang sesuai tuntutan kehidupan modern dan jaman yang penuh persaingan, berbudaya iptek, dinamis, profesional, bekerjasama dan gotong royong, dan siap menghadapi persaingan atau perdagangan bebas Asean 2003, mengambil manfaat dari perdagangan bebas anggota maju APEC 2010, dan siap menghadapi perdagangan APEC 2020. Jayakarta, 15 September 1997 Menuju Gerakan Nasional Desa Cerdas Teknologi Perdagangan bebas pada Era Globalisasi yang penuh dengan berbagai tantangan, membutuhkan penerapan iptek agar produk-produk yang dibuat dan dipasarkan mempunyai daya saing yang tinggi. Untuk itu, Kebijaksanaan dan Strategi, Rencana Strategis Penerapan Teknologi perlu disusun dan dilaksanakan dengan baik dalam upaya mencapai sasaran yang telah ditetapkan dan pada akhirnya iptek dapat berperan sebagai pemacu pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. GBHN 1993 menegaskan bahwa ekonomi merupakan penggerak pembangunan, sedangkan lptek merupakan pemacu pembangunan berkelanjutan dan ber~awasan lingkungan. lptek sebagai Asas Pembangunan mengandung pengertian agar pembangunan nasional dapat memberikan kesejahteraan rakyat lahir batin yang setinggi-tingginya, penyelenggaraannya perlu menerapkan nilai-nilai iptek, serta mendorong pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek secara saksama dan bertanggung jawab dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Dicantumkannya iptek sebagai asas dan bidang pembangunan pada Pelita VI, memperlihatkan pentingnya peran iptek dalam pembangunan nasional. Sasaran yang ingin dicapai dalam pembangunan iptek pada: PJP II : tercapainya kemampuan nasional dalam pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek yang dibutuhkan bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan peradaban, serta ketangguhan dan daya saing bangsa yang diperlukan untuk memacu pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan menuju masyarakat yang berkualitas, maju, mandiri serta sejahtera, yang dilandasi nilai-nilai spiritual, moral, dan etik didasarkan nilai luhur budaya bangsa serta nilai keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pelita VI : peningkatan kemampuan memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai iptek dilaksanakan dengan mengutamakan peningkatan kemampuan alih teknologi melalui perubahan dan pembaharuan teknologi yang didukung oleh pengembangan kemampuan sumber daya manusia, sarana dan prasarana penelitian dan pengembangan yang memadai, serta peningkatan mutu pendidikan sehingga mampu mendukung upaya penguatan, pendalaman, dan perluasan industri dalam rangka menunjang proses industrialisasi menuju terwujudnya bangsa Indonesia yang maju, mandiri, dan sejahtera. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan Kebijaksanaan dan Strategi, Rencana Strategis, dan Aplikasi (Penerapan) Teknologi yang tepat sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jakstra dan Renstra Penerapan Teknologi Untuk mencapai sasaran pembangunan pada PJP II dan Pelita VI di atas, kebijaksanaan pembangunan iptek pada Pelita VI mencakup empat hal. Pertama, kegiatan produksi barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat terus ditingkatkan dan diusahakan untuk mengembangkan produk unggulan yang mampu menerobos pasar internasional. Sejalan dengan itu perlu dikembangkan sumber daya manusia sebagai tenaga ahli dan terampil yang 406


mampu melaksanakan alih berbagai jenis teknologi, termasuk mampu memilih teknologi tepat serta menerapkan, menguasai, dan mengembangkannya sebagai teknologi hasil sendiri yang serasi dengan perkembangan budaya masyarakat agar dapat lebih mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan pendapatan masyarakat. Kedua, pembangunan iptek yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat, termasuk kalangan akademisi dan pengusaha, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya ketangguhan dan keunggulan bangsa. Pembangunan iptek harus ditunjang oleh pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan teknik produksi, teknologi, ilmu pengetahuan terapan dan ilmu pengetahuan dasar secara seimbang dalam hubungan yang dinamis dan efektif antara pembinaan sumber daya manusia, pengembangan· sarana dan prasarana iptek, pelaksanaan penelitian dan pengembangan, serta rekayasa dan produksi barang dan jasa. Ketiga, penguasaan ipt~k terus ditingkatkan dan diarahkan untuk menaikkan tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup bangsa yang harus selaras dengan nilai-nilai agama, nilai luhur budaya bangsa, kondisi sosial budaya, dan lingkungan hidup. · Keempat, pembangunan kelembagaan iptek perlu ditingkatkan untuk tnencapai produktivitas, efisiensi, dan efektivitas penelitian dan pengembangan yang lebih tinggi dalam rangka pemanfaatan dan penguasaan teknologi yang memberikan nilai tambah serta memberikan pemecahan masalah konkret dalam pembangunan. Dalam Pelita VII, pokok-pokok pikiran pembangunan iptek merupakan kelanjutan, peningkatan, perluasan, dan pembaharuan dari apa yang dilakukan pada Pelita VI, untuk menjawab dan memenuhi berbagai peningkatan kebutuhan dan harapan masyarakat serta menghadapi dinamika perkembangan pembangunan. Kesadaran masyarakat terhadap iptek makin tinggi dan peran iptek sebagai pemacu pembangunan makin dirasakan. Transformasi iptek di industri telah mendorong penggunaan teknologi yang mempunyai nilai tambah tinggi, integrasi teknologi, dan pengembangan teknologi, didukung sumber daya manusia yang selalu berusaha menguasai teknologi dan pemantapan kelembagaan serta koordinasi kelembagaan yang makin terarah dan terpadu. Sasaran yang ingin dicapai pada Pelita VII adalah berkembangnya kemampuan nasional dalam pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek yang ditandai dengan meningkatnya efisiensi, produktivitas prestasi nasional, nilai tambah, daya saing, dan percepatan laju pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan (ramah) lingkungan. Peranan iptek makin diperlukan dalam mewujudkan sektor industri yang kuat didukung pertanian yang tangguh. Peran iptek tidak saja sebagai pemacu pembangunan dan memberikan nilai tambah pada proses produksi yang menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, tetapi juga meningkatkan keampuhan dan tulang punggung pelaksanaan pembangunan bidang-bidang lain. Pembangunan iptek menyangkut upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, pengembangan produk unggulan melalui peningkatan kemampuan rancang bangun dan rekayasa, kemitraan pemerintah dan swasta/dunia usaha, pemasyarakatan dan pembudayaan iptek, penguasaan teknik produksi, pengembangan teknologi, pengembangan ilmu pengetahuan terapan dan ilmu pengetahuan dasar, dan transformasi teknologi untuk mengembangkan produk unggulan dan andalan di pasar global, didukung kelembagaan iptek yang mantap, kesadaran dan peran serta aktif masyarakat sehingga dapat ditingkatkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas dalam pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek. Kebijaksanaan dan Strategi Pengkajian dan Penerapan Teknologi (Jakstra PPT) perlu disusun dengan memperhatikan keadaan dan masalah perkembangan iptek, analisis hakikat, peluang dan kendala (analisis kekepan: kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman atau SWOT), prinsip penerapan iptek, tujuan dan sasaran, arah kebijaksanaan dan strategi pelaksanaan. Beberapa prinsip dasar penerapan iptek (Habibie, 1984) yaitu : Perlunya diselenggarakan diklat di dalam dan luar negeri di berbagai bidang iptek yang relevan untuk keperluan pembangunan bangsa. Diperlukan konsep yang jelas, realistis, dan dilaksanakan secara konsekuen tentang masyarakat yang ingin dibangun di masa depan serta teknologi yang diperlukan untuk mewujudkannya. Ukuran tepat tidaknya teknologi bagi Indonesia adalah sejauh mana kegunaannya dalam memecahkan permasalahan nyata di dalam negeri. Teknologi hanya dapat dialihkan, diterapkan dan dikembangkan lebih lanjut jika benar-benar diterapkan 407


pada pemecahan masalah yang konkret. Bangsa yang ingin mengembangkan dirinya secara teknologis harus bertekad untuk berusaha sendiri memecahkan masalahnya. Jika ingin maju, Indonesia harus sanggup mengembangkan sendiri teknologinya. · Pada tahap permulaan transformasi dirinya menjadi ban gsa berteknologi maju, Indonesia harus melindungi perkembangan kemampuan nasionalnya di bidang teknologi hingga saat tercapainya kemampuan bersaing secara internasional. PPT dilaksanakan oleh unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat yang ditujukan untuk mempercepat terwujudnya ketangguhan dan keunggulan bangsa melalui penguasaan, pemanfaatan, dan pengembangan teknologi untuk menciptakan industri yang unggul dan berdaya saing tinggi. · PPT dilakukan secara konsisten melalui tahapan transformasi industri dan teknologi (berawal dari akhir, berakhir di awal): (1) penggunaan teknologi yang telah ada di dunia untuk proses nilai tambah dalam rangka produksi barang-barang yang telah ada di pasaran; (2) tahap integrasi teknologi yang telah ada ke dalam desain dan produksi barang-barang yang baru sama sekali, yang belum ada di pasaran; (3) pengembangan teknologi lebih lanjut; dan (4) penelitian dasar secara besar-besaran untuk transformasi teknologi dan industri. Disiplin ilmu yang diprioritaskan adalah yang diperhitungkan akan memiliki peluang untuk unggul dalam mempercepat laju pembangunan bioteknologi, teknologi kedokteran, teknologi hasil pertanian, rancang bangun, ilmu bahan, ilmu kimia dan proses, teknologi energi, elektronika dan informatika, dan teknologi perlindungan lingkungan. Kegiatan penelitian dan pengembangan hendaknya berlanjut pada kegiatan industri sampai ke pengguna industri, sehingga tercipta jaringan kerja lembaga litbang, lembaga pengkajian dan penerapan teknologi, industri, dan pengguna teknologi. Strategi Penerapan Teknologi, adalah pengembangan sumber daya manusia yang menguasai iptek, bekerja produktif, efisien dan efektif, dan inovatif, serta mampu mengembangkan kemampuan dirinya menghadapi berbagai bentuk persaingan di era globalisasi. Pengembangan sarana dan prasarana iptek, antara lain lembaga ristek/litbang, puspiptek (dirgantara, antariksa, kelautan, dan multidisiplin ilmu), diklat, science center, science based industrial park, dan technopark. Peningkatan pembiayaan kegiatan pengembangan ipte1</ristek, dari 0,3% PDB menjadi 2% PDB pada akhir PJP II, dan peningkatan pendanaan swasta dalam kegiatan ipteklristek dari 10-20% menjadi 70-80% pada akhir PJP II. Pemantapan kebijaksanaan pembangunan bidang iptek: kebijaksanaan satu pintu, RUT, RUTI, RUK, Rusnas, Hibah Bersaing, DAPATI, dan lain-lain. Meningkatkan kegiatan pemasyarakatan dan penyebarluasan iptek serta pembudayaan iptek. Meningkatkan jaringan kerjasama antar lembaga yang bergerak dalam kegiatan iptek/ristek. Melaksanakan empat tahap strategi transformasi industri dan teknologi dan mempercepat pelaksanaannya pada Sembilan Wahana Transformasi lndustri dan Teknologi: industri penerbangan dan kedirgantaraan, maritim dan perkapalan, transportasi darat, telekomunikasi, energi, rekayasa, alat dan mesin pertanian, pertahanan keamanan, dan wahana kesembilan (industri jasa, perumahan, konstruksi, pembuatan komponen, obat-obatan, kesehatan, makanan dan minuman, agroindustri dan agribisnis, dan lain-lain). Tolok Ukur PPT, PPT pada kegiatan-kegiatan teknik produksi, pengembangan teknologi, ilmu pengetahuan terapan, ilmu pengetahuan dasar, kelembagaan, sistem informasi, dan statistik, menggunakan tolok ukur: memecahkan masalah nyata, menambah keahlian, menghasilkan nilai tambah yang tinggi, dan mendukung pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Koordinasi, lntegrasi, dan Sikronisasi, diperlukan dalam meningkatkan kegiatan PPT secara lebih terarah dan terpadu. Renstra PPT perlu disusun mengacu pada kegiatan-kegiatan teknik produksi, pengembangan teknologi, ilmu pengtahuan terapan, ilmu pengetahuan dasar, kelembagaan, sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia, sistem informasi, dan statistik; meliputi kedirgantaraan, kelautan, transportasi, energi, elektronika, telekomunikasi dan komputasi, bioteknologi, ilmu bahan, teknologi proses, rekayasa dan rancang bangun, pengembangan wilayah, pengelolaan dan perlindungan lingkungan, dan pertahanan keamanan; diarahkan untuk menyeimbangkan pembangunan perkotaan dan perdesaan, pembangunan Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia, memacu pembangunan wilayah strategis, mengembangkan sumber daya manusia, memanfaatkan sumber daya alam, dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. 408


Penerapan dan Pemanfaatan Teknologi Penerapan Teknologi dilakukan pada berbagai pembangunan, yaitu: ekonomi (industri, pertanian, . tenaga kerja, perdagangan, transportasi, pertambangan, kehutanan, usaha nasional, pariwisata, pos dan telekomunikasi, koperasi, pembangunan daerah, kelautan, kedirgantaraan, keuangan, transmigrasi, energi, dan lingkungan hidup), Kesejahteraan Rakyat, Pendidikan dan Kebudayaan (kesejahteraan sosial, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, keluarga sejahtera, kependudukan, anak dan remaja, pemuda, peranan wanita, perumahan dan permukiman, dan olah raga), Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pembangunan iptek mencakup teknik produksi, teknologi, ilmu pengetahuan terapan, ilmu pengetahuan dasar, dan kelembagaan, juga diterapkan dalam Bidang Hukum (materi hukum, aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum), Politik, Aparatur Negara, Penerangan, Komunikasi dan Media Massa (politik dalam negeri, hubungan luar negeri, aparatur negara, penerangan, komunikasi dan media massa), Pertahanan Keamanan (rakyat terlatih dan perlindungan masyarakat, ABRI, pendukung). Dikaitkan dengan Gerakan Nasional Desa Cerdas Teknologi, maka perlu makin dipacu kegiatan Teknologi Masuk Desa dan lndustrialisasi Perdesaan. Program Gerakan Kembali ke Desa (GKD) di Jawa Timur (Satu Desa Satu Produk Unggulan, Usaha Desa, Pasar Desa, Teknologi Masuk Desa, lndustrialisasi Perdesaan), Proyek Tamyamsang {Tambak, A yam, Pisang) di Lamongan, Gerakan Terobosan Pengembangan Desa (Gerbos·Bangdes) dan Gerakan Mandiri Pengembangan Desa (Gema Bangdes) di Sulawesi Tengah, dan Marsipature Hutanabe di Sumatera Utara, seperti Program di Oita Prefecture, Jepang, dengan motto "One Village, One Producf' yang dipromosikan oleh Gubernurnya, Morihiko Hiramatsu, merupakan contoh nyata dalam membangun Desa Cerdas Teknologi. Dalam membangun daerah perdesaan, permasalahan yang muncul antara lain mayoritas penduduknya dengan tingkat pendidikan dan ketrampilan yang terbatas, masih bergantung pada sektor pertanian (55-60% angkatan kerja), pemilikan lahan pertanian semakin menurun, perubahan lahan pertanian produktif menjadi lahan non-pertanian (0,23%/tahun di Pulau Jawa, 1%/tahun di Jawa Barat), dan lapangan kerja menyempit sehingga mengakibatkan adanya peningkatan migrasi desa-kota angkatan kerja usia produktif. lndustrialisasi perdesaan, merupakan alternatif dalam memacu pembangunan perdesaan. lndustrialisasi perdesaan berbasis pada hasil sumber daya alam (pertanian, perikanan, hasil hutan, pertambangan dan/atau ketrampilan tradisional sumber daya manusia setempat berupa hasil kerajinan rumahtangga), teknologi yang diterapkan sangat sederhana (industri rumahtangga) sampai teknologi sedang, bersifat padat karya, tenaga kerja dari desa setempat dan sekitarnya, pemasaran lokal sampai ekspor skala kecil, berdiri sendiri (industri rumahtangga) sampai ada hubungan kemitraan dengan industri menengah dan besar (sub-kontrak, bapak-anak angkat), modal terbatas, dan manajemen masih lemah. Sasaran industrialisasi perdesaan adalah (a) pengembangan industri kecil dan menengah yang sudah ada, berupa penerapan dan pengembangan teknologi untuk peningkatan produktivitas dan daya saing produk, serta pengembangan sumber daya manusia untuk peningkatan efisiensi dan produktivitas kerja dan melayani teknologi yang digunakan, dan (b) pendirian industri baru untuk menunjang industri kecil dan menengah yang sudah ada, berupa penerapan dan pengembangan teknologi untuk peningkatan nilai tambah atau penghematan devisa. Penerapan Teknologi Perdesaan, merupakan rangkaian kegiatan (umumnya mendapat dukungan dari luar desa), berkesinambungan dan bersifat pemicu pembangunan swadaya masyarakat dan kemandirian, perlu ditunjang akar yang kuat dan kondisi lingkungan yang mendukung (antara lain komitmen pemerintah daerah dan adanya kesiapan masyarakat). Dalam menerapkan teknologi perdesaan, dibutuhkan pemanfaatan sumber daya lokal dan kontribusi masyarakat (motivasi, evaluasi diri, percaya diri, pengalaman positif, kreativitas, dan kemandirian masyarakat setempat). Penerapan dan pengembangan teknologi perdesaan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dapat dilihat dalam bentuk "pohon kesinambungan" yang mengandung "tujuh elemen". Pertama, lklim Yang Mendukung stabilitas, kondisi sosial ekonomi yang menguntungkan, peraturan yang mendukung (paling tidak, pada tingkat desa dan kecamatan). Kedua, Dukungan Dari Luar Desa: bantuan keuangan, teknis, supervisi, diklat, penyuluhan, bimbingan, pendampingan, kesemuanya merupakan "pupuk" yang menyuburkan penerapan dan pengembangan teknologi perdesaan. 409


Ketiga, Pemanfaatan Sumber Day a Lokal: pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya alam semaksimal mungkin, dan menumbuhkan kegiatan perekonomian perdesaan. Keempat, Kontribusi Masyarakat Yang Kuat: keswadayaan, peran serta dan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan perdesaan. Kelima, Mempunyai Akar Yang Kuat: motivasi, evaluasi diri dan percaya diri, motivasi dan inovasi, kreatif dan mandiri. Keenam, Berkelanjutan Dan Berwawasan Lingkungan: penerapan teknologi tepat guna di perdesaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara lingkungan hidup, "berkelanjutan dan berwawasan lingkungan" yang selalu berusaha mewujudkan "pelestarian lingkungan hidup". Ketujuh, Memperhatikan Enam Cabang Pohon Kesinambungan, yaitu: Orientasi Pada Masyarakat Kelompok Sasaran: penerapan teknologi harus merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, kehidupan sosial-ekonomi dan sosial-budaya masyarakat. Kemampuan Berorganisasi: penerapan teknologi dikelola oleh organisasi lokal desa yang mengerahkan sumber daya manusia yang ada (kelembagaan tingkat desa). BIAYA DAN KEUNTUNGAN MEMADAI: biaya operasi dan perawatan serta biaya-biaya lainnya tidak memberatkan atau mengakibatkan kerugian. Penyesuaian Dan Ketepatan Teknologi: teknologi yang diterapkan, secara sosial/material cocok dengan kondisi setempat, secara ekonomis layak, secara politis menguntungkan, dan secara ekonomis bisa dipertanggungjawabkan. Penyesuaian Dengan Kebijaksanaan Pembangunan: penerapan teknologi perdesaan harus sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan dan strategi pembangunan desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, dan nasional. PERUMUSAN PROGRAM YANG REALISTIS: program penerapan teknologi harus direncanakan dengan tepat, baik pada konsep awal maupun tahap pelaksanaan, adanya peran serta dan partisipasi masyarakat secara aktif, serta dilakukannya pemantauan, evaluasi, pengendalian dan pengawasan secara reguler dan terus menerus. Menuju GN DESTEK Gerakan Nasional Desa Cerdas Teknologi (GN Destek) atau GN-DCT adalah suatu gerakan secara nasional yang dilakukan secara terarah dan terpadu dalam memacu kegiatan penerapan teknologi di perdesaan dan mendorong industrialisasi perdesaan untuk membangun warga desa sehingga menjadi warga yang cerdas dalam penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan teknologi untuk kesejahteraan masyarakat. lnstransi yang terlibat, yaitu Depkok & PPK, Depdagri, Deptan, Deperindag, Dephut, BPPT, LIPI, dan lnstansi terkait lainnya. Contoh sejenis, GN OTA, Gerakan Jiwa Kewirausahaan, Gerakan Disiplin Nasional, Gerakan IDT, Gerakan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Melalui GN Destek, diharapkan migrasi desa-kota bisa ditekan, migrasi kota-desa ditumbuhkan, usaha desa dan pasar desa tumbuh, dan gerakan kembali ke desa makin memasyarakat. Gerakan Nasional ini perlu dibarengi dengan koordinasi secara terarah dan terpadu mulai tingkat Pusat sampai ke tingkat Daerah. GN DESTEK harus sampai pada temuan produk unggulan suatu desa (one village, one product). Contoh produk di kabupaten-kabupaten di Jawa Timur yang dapat dikembangkan dan berpeluang menjadi produk unggulan, yaitu sepatu, batik, ikan, krupuk ikan, bandeng asap, udang, teri nasi, ikan hias, susu sapi, pisang Agung dan pisang nangka, tempe, kripik tempe, kripik nangka, melon, emping belinjo, mangga, jeruk, kelapa, nenas, bawang merah, meubel rotan, tenun sutera, kopi racik, pisang Cavendish, madu, kodak, ayam buras, tenun Gedog, kerajinan kerang, sambel pecel, krupuk lempeng, kacang, terasi, tasbeh, peci/songkok, bubut kayu, kerajinan kulit, sarang burung, cor logam, batu onyx, brem, batu permata, marmer, dan jati. Jayakarta, 29 Desember 1997 410


Menumbuhkan Partisipasi Swasta dalam Pembangunan Kota lnfrastruktur perkotaan makin penting artinya bagi . masyarakat, baik dalam bentuk penyediaan, pengoperasian, pelayanan, dan pemeliharaan. Sebagai contoh, jaringan transportasi, penyediaan air bersih, drainase perkotaan, jaringan listrik, pembangunan perumahan, dan pengelolaan persampahan. Partisipasi swasta dan 01asyarakat dalam pengelolaan jasa infrastruktur perkotaan, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan pembangunan, pengawasan, evaluasi, dan pemantauan, memberikan sumbangan yang berarti bagi upaya perwujudan manajemen perkotaan yang efektif. Pembangunan yang partisipatif mempertimbangkan peranan tokoh masyarakat (stakeholders) pada tingkat komunitas (rumahtangga, organisasi berbasis komunitas, pemimpin masyarakat, peran wanita dan generasi muda), tingkat menengah atau intermediary seperti LSM, Yayasan, dan berbagai Organisasi Kemasyarakatan, dan keteladanan aparatur pemerintah (Pusat, Daerah, BUMN/BUMD, serta berbagai Organisasi lnternasional dan Nasional). Partisipasi mengandung implikasi bahwa masyarakat perkotaan berpartisipasi dan berperanserta dalam pembangunan kotanya, dalam proses pengambilan keputusan (pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan atau pengendalian), baik secara sendiri-sendiri maupun kelompok, didorong ataupun atas kesadaran sendiri, dalam bentuk dana atau pemikiran, untuk inencapai tujuan tertentu pada bidang tertentu dari pelayanan jasa perkotaan. Lingkup partisipasi bisa diwujudkan melalui pendekatan pembangunan berbasis komunitas (skala rumahtangga, kelompok masyarakat, RT/RW, Lingkungan Tertentu), berbasis wilayah (Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kotamadya, atau Propinsi/Daerah Khusus/Daerah lstimewa), berbasis fungsi dan peran (tokoh agama, tokoh olahraga, tokoh penggerak masyarakat), atau berbasis proses pembangunan (tahap perencanaan, pelaksanaan, pengendalian). Karakteristik penting dari setiap pendekatan tersebut adalah pendefinisian partisipasi dan sejauh mana keterkaitan antara pelaku dan unsur pemerintah dalam berbagi peran, baik pada tingkat komunitas maupun struktur pemerintahan. Mitra Pembangunan Partisipatif Pelaku utama mitra pemerintah dalam pembangunan partisipatif adalah organisasi berbasis komunitas (Community-Based Organization, CBO), lembaga swadaya masyarakat atau LSM (Non-Governmental Organization, NGO), aktor sektor swasta, dan otoritas pemerintahan lokal. Wanita sering lebih berperan dalam bermitra pada tingkat CBO, antara lain melalui organisasi sosial kemasyarakatan, PKK, yayasan, dan arisan. LSM berperan memberdayakan peranserta masyarakat dan menumbuhkan ekonomi rakyat. Sektor swasta pengusaha menengah, kecil, dan informal lebih berperan dalam memberdayakan masyarakat, misalnya dalam pengumpulan sampah di kampung-kampung, pengusaha industri kecil, industri kerajinan dan rumahtangga, dan pengusaha kecil bidang jasa. Pemerintahan lokal (kecamatan, kelurahan) berperan memberikan masukan dalam penentuan pengoperasian peralatan sampah yang cocok (appropriate, reliable), meminimumkan ongkos atau pembiayaan (penggunaan tenaga kerja lokal pasukan kuning dalam pengelolaan sampah), dan penerapan prinsip pengambilan modal/biaya (adequate cost-recovery). Apa yang dimaksud dengan "partisipasi"? Partisipasi dalam pengelolaan infrastruktur adalah proses dimana anggota masyarakat, sebagai konsumen dan produsen jasa pelayanan infrastruktur, dan sebagai penduduk setempat, mempengaruhi aliran dan kualitas pelayanan jasa untuk masyarakat. Participation in infrastructure management is a process whereby people-as consumers and producers of infrastructure services, and as citizen - influence the flow and quality of infrastructure service available to 411


them. Partisipasi tidak hanya terjadi pada proyek pembangunan, tetapi pada seluruh kegiatan kehidupan manusia. Fungsi-fungsi manajemen pembangunan dapat dilihat sebagai siklus kegiatan formulasi tujuan dan sasaran, perencanaan jangka panjang, perencanaan dan investasi jangka menengah, pelaksanaan program, pengoperasian dan pemeliharaan, pemantauan dan evaluasi, dan pengawasan atau pengendalian. Strategi partisipasi dalam manajemen pembangunan, mencakup strategi berbasis komunitas (mendukung, memacu, memberdayakan kelompok komunitas dalam proses pembangunan: proses belajar, kemandirian berorganisasi, dan pemberdayaan potensi lokal); strategi berbasis wilayah (kelurahan, kecamatan, dan yang di atasnya), strategi berbasis fungsionalitas (kolaborasi unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat), strategi berbasis proses (sentralisasi, desentralisasi, pemberian kewenangan, privatisasi swasta). Walaupun partisipasi masyarakat dalam pembangunan terus didorong, pada kenyataannya masih diijumpai banyak hambatan. Aotara lain kendala birokrasi pemerintahan, kendala kualitas sumber daya manusia, peraturan perundang-undangan, pengaturan, dan teknis. Contoh-contoh antara lain, SEBESB di Sao Paulo Brazil menghadapi masalah pengaturan dalam menyediakan air bersih untuk orang miskin (favelas), Sindh Katchi Abadi Authority atau SKAA di Pakistan menghadapi banyak hambatan dalam membangun perumahan murah untuk warga permukiman kumuh (katchi abadi), program perbaikan kampung atau Kampung Improvement Programme, KIP, di Jakarta dan Surabaya menghadapi banyak tantangan pada saat awal diperkenalkan. Beberapa elemen perencanaan pembangunan perlu diperhatikan dalam memacu partisipasi masyarakat, yaitu penyempurnaan metoda perencanaan, prosedur manajemen proyek, model yang aplikatif dan praktis, perumusan kembali tujuan dan sasaran, pelayanan infrastruktur berbasis kebutuhan (menerapkan prinsip komersial dan bisnis, kompetisi sehat, pelayanan infrastruktur yang sesuai kebutuhan masyarakat), dan menumbuhkan kemitraan (pemerintah, swasta, dan masyarakat). Beberapa contoh antara lain, pembangunan perumahan bertumpu pada kemandirian masyarakat, privatisasi pelayanan infrastruktur perkotaan (sampah, air bersih), pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan jiwa kewirausahaan, menerapkan model kontrak dan sub-kontrak pada pengusaha menengah dan kecil, dan mobilisasi potensi masyarakat. Belajar dari Pengalaman Siapa saja yang berpartisipasi (participants) dalam pembangunan? Partisipan dapat dikelompokkan · atas pengguna infrastruktur perkotaan, komunitas, organisasi berbasis komunitas, wan ita dan gender dalam pembangunan tingkat lokal, LSM, pengusaha menengah dan kecil, dan individual. lsu-isu penting partisipasi masyarakat adalah tingkat akses pelayanan, reliabilitas dan kualitas pelayanan yang tersedia, keterjangkauan (affordabilitas), nilai pemilikan (properti), keamanan pemilikan, kepemimpinan, organisasi komunitas, bimbingan dan penyuluhan, uji coba dan percontohan, kontribusi masyarakat, peran mediator, manajer, dan konsultan lokal, kondisi kerja, pengoperasian peralatan biaya rendah, keuntungan yang memadai, tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, kualitas hidup, dan berpikir global bertindak lokal (think globaly, act localy). Partisipasi yang dapat dilihat dari sisi konteks (cakupannya luas), proses (terus menerus), aktor (tidak terbatas), dan relasi (komunikasi timbal balik), mendorong pemberdayaan masyarakat (empowerment), Participation is based on voluntary relationship between various actors, which may include government institutions, individual infrastructure users, community-based organizations, individual infrastructure users, organizations, user groups, private enterprises, and non-governmental organization. Dari pengalaman melaksanakan pembangunan untuk memberdayakan masyarakat di berbagai negara, Bank Dunia menyimpulkan enam fungsi manajemen pelayanan infrastruktur, yaitu formulasi tujuan dan sasaran, perencanaan jangka panjang, perencanaan investasi, pelaksanaan, pengoperasian dan pemeliharaan, serta pemantauan dan evaluasi. Tujuan partisipasi adalah membangun landasan manajemen infrastruktur partisipatif yang memungkinkan pembagian peran seimbang dalam pembangunan. Partisipasi membutuhkan dukungan pendekatan berbasis komunitas, pendekatan berbasis wilayah, pendekatan berbasis fungsional (kolaborasi antar berbagai pelaku), pendekatan desentralisasi berbasis 412


proses, menggunakan kriteria yang tepat dan akurat, mewujudkan efisiensi dan efektivitas pengembangan infrastruktur melalui formulasi yang tepat, menumbuhkan kemandirian atau kegotongroyongan informal (informal self-help), keterkaitan sektor formal dan informal, memperhatikan standarisasi dan inovasi, mobilisasi potensi masyarakat, mudah dalam pengoperasian, berorientasi kebutuhan nyata, mengutamakan pengembangan wilayah di atas kepentingan sektoral, menggunakan dan memanfaatkan potensi daerah (equity), didukung komunikasi dua arah, dan dilaksanakan dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Akhir dari pembangunan infrastruktur yang partisipatif adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat, · produktivitas dan efisiensi berbagai unsur pemerintahan, memberikan dampak positif pembangunan (meningkatkan kesejahteraan, efisiensi, efektivitas, dan mewujudkan sustainabilitas), berorientasi pada kebutuhan nyata, didukung pengembangan institusi, menumbuhkan kemitraan dan partisipasi pengguna, menerapkan prinsip belajar dari pengalaman, berpandangan ke depan (reorientasi administrasi, penerapan sistem manajemen modern berorientasi dan berpandangan ke luar, outward atau forward looking, menyederhanakan birokrasi, menata peraturan perundang-undangan, dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Jayakarta, 20 Nopember 1997 Peringatan Habitat Sedunia 1997: Seminar Nasional Perumahan dan Permukiman Menyongsong Abad 21 Perumahan makin penting perana:nnya dalam pembangunan. Kebijaksanaan Umum, Tata Ruang, dan Pertanahan, merupakan issu strategis, disusul kebijaksanaan moneter dan sistem pembiayaan. lssu-issu penting lainnya, peran Pemerintah dan Swasta dalam pembangunan perumahan dan permukiman skala besar dan pembangunan perumahan bertumpu pada komunitas. Pembiayaan, Komitmen Pemerintah, dan Kelembagaan, juga merupakan aspek penting yang mendukung keberhasilan pembangunan perumahan dan permukiman. Menyongsong Pelita VII pada PJP II, diharapkan dapat dirumuskan Kebijaksanaan dan Strategi Pembangunan Perumahan dan Permukiman yang dapat mengakomodasikan kepentingan berbagai kelompok masyarakat. Sejak Konperensi Habitat 1976 di Vancouver Kanada, tiap tahun diperingati Hari Habitat Sedunia dengan memilih tema tertentu. Tema Hari Habitat Sedunia Tahun 1997 adalah Menyongsong Perkotaan Masa Depan dengan sub-sub tema Papan Yang Layak Untuk Semua, P~rmukiman Yang Berkelanjutan, Peningkatan Kualitas Kehidupan, serta Pemberdayaan dan Kemitraan. Penyelenggaraan Seminar Nasional Peru mahan dan Permukiman Menyongsong Abad 21, merupakan salah satu kegiatan dalam mengisi peringatan Hari Habitat Sedunia 1997. Kebijaksanaan Umum dan lssu Strategis Akbar Tanjung (1997) menegaskan lima tujuan penyelenggaraan seminar, yaitu untuk memperingati dan memasyarakatkan Hari Habitat Sedunia 1997, merefleksikan sekaligus mengkaji berbagai peran unsur dan pihak yang mendukung keberhasilan pembangunan perumahan dan permukiman, menggali bahanbahan masukan untuk GBHN 1998 sektor perumahan dan permukiman, mengkaji ·sekaligus memprediksi masukan-masukan menyongsong abad 21, serta menggalang dan meningkatkan kepedulian berbagai pihak dan memantapkan kemitraan dalam mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak bagi semua lapisan masyarakat. 413


Seminar ini merupakan kelanjutan Konperensi Habitat II di Istanbul, 3-14 Juni 1996, dengan tema tempat tinggal yang layak bagi semua dan pembangunan permukiman berkelanjutan (lestari) dalam dunia yang meng-kota. lni mengandung dua makna. Pertama, penduduk dunia kekurangan rumah serta prasarana dan sarana lingkungan belum memadai. Kedua, pembangunan perumahan dan permukiman memadukan aspek sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan bagian dari hak asasi manusia. Penduduk perkotaan yang akan mendekati 60% penduduk Indonesia pada akhir PJP II dan globalisasi, menuntut penyediaan rumah, kantor, fasilitas perdagangan dan berbagai fasilitas umum lainnya dalam konteks pembangunan perkotaan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Akbar Tanjung menegaskan bahwa kunci keberhasilan menyongsong era globalisasi adalah sejauh mana pemerintah kota menjalankan prinsip pemerintahan yang baik (good governance: tanggungjawab yang tinggi, efisien, efektif, manajemen modern, pelayanan yang baik, pemerintah berperan sebagai fasilitator dan enabler serta mewujudkan kemitraan) dan konsisten dalam·misi untuk mewujudkan keadilan, lingkungan yang bersih, kesejahteraan dan pemerataan. Kebijaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman pada Pelita VI yang secara tegas menargetkan pembangunan 500.000 unit Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Sangat Sederhana (RSS) mengandung elemen-elemen: penyelenggaraan pembangunan yang terjangkau oleh masyarakat luas, penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, peningkatan peran serta masyarakat dalam penyediaan pelayanan perumahan dan permukiman, pengembangan sistem pendanaan perumahan dan permukiman terutama yang dapat membantu masyarakat berpenghasilan rendah, pemantapan pengelolaan pembangunan perumahan dan permukiman secara terarah dan terpadu, pengembangan perangkat peraturan perundang-undangan sebagai pendukung pembangunan perumahan dan permukiman. Berbagai usaha yang telah ditempuh antara lain pemantapan kebijaksanaan, penyelenggaraan pembangunan, pembiayaan dan pendanaan, kelembagaan dan peraturan perundang-undangan, teknis teknologis dan pengaturan. Rincian butir-butir pelaksanaannya adalah sebagai berikut. Pertama, SKB Tiga Menteri Tahun 1992 (Menpera, Men-PU, dan Mendagri tentang Pedoman Pembangunan Peru mahan dan Permukiman Dengan Lingkungan Hun ian Berimbang 1 :3:6), disusul Juklak yang dikeluarkan oleh Menpera. Kedua, pengendalian harga tanah untuk menahan harga jual rumah pada harga yang terjangkau oleh masyarakat luas. Ketiga, penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman skala besar melalui KASIBA (kawasan siap bangun) dan LISIBA (lingkungan siap bangun), yang masih menunggu Peraturan Pemerintahnya. Dari ijin lokasi perumahan seluas 121.629 hektar lahan di Botabek, baru 71.784 hektar (59%) yang dibebaskan. Kelima, bantuan, bimbingan dan penyuluhan, serta pelatihan bagi masyarakat perdesaan melalui Pembangunan Perumahan dan Lingkungan Desa Secara Terpadu (P2LDT). Keenam, perbaikan kampung dan peremajaan permukiman kumuh (lnpres 5 Tahun 1990 tentang Peremajaan Permukiman Kumuh yang berada di atas tanah Negara). Ketujuh, pemerintah mendorong pembangunan perumahan dan permukiman bagi masyarakat berpenghasilan rendah, semula di Depok, Bekasi, dan Karawaci Tangerang, sekarang dikembangkan 9.000 hektar di Maja (perbatasan Kabupaten Tangerang, Bogor, dan Lebak). Kedelapan, memantapkan aspek pembiayaan dan pendanaan, antara lain melalui Tabungan Perumahan PNS (Taperum PNS), mobilisasi tabungan masyarakat untuk perumahan, subsidi silang, menyiapkan pasar hipotik sekunder, dana bank dan non-bank, dan dana Jamsostek. Kesembilan, memfokuskan pembangunan perumahan dan permukiman di sembilan wilayah nasional, yaitu Medan, Pakanbaru dan Batam, DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya-Solo, Surabaya, Ujung Pandang, dan Balikpapan-Samarinda. Kesepuluh, memantapkan aspek kelembagaan, yaitu memfungsikan BKP4N (Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional) dibantu BP4D (Badan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Daerah) yang ditetapkan melalui Keppres 37/1994 sebagai pengganti BKPN (Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional). Kesebelas, mendorong pembangunan peru mahan dan permukiman bertumpu pada kelompok masyarakat atau komunitas (P2BPK). Keduabelas, memantapkan Sistem lnformasi Nasional Perumahan dan Permukiman. 414


Ketigabelas, memperhatikan aspek teknis teknologis dan hasil-hasil penelitian di bidang perumahan dan Permukiman. Keempatbelas, menegakkan aspek pengaturan, antara lain tentang rumah susun, penataan ruang, rumah negara, penghunian rumah oleh bukan pemilik, pemilikan satuan rumah susun oleh orang asing. Menyongsong abad 21, kita harus siap untuk menyediakan rumah yang Ia yak untuk semua dalam lingkungan yang sehat. Dalam rangka memberdayakan masyarakat, pembangunan perumahan dan permukiman melalui penataan ruang, diperlukan tiga upaya, yaitu (1) dalam rencana rinci tata ruang kawasan perumahan dan permukiman perlu ditetapkan secara jelas dan tegas lokasi-lokasi lahan yang diperuntukkan bagi pembangunan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, (2) dalam pengalokasian lahan perumahan RS dan RSS pada rencana rinci tata ruang, perlu dipertimbangkan daerah-daerah yang mempunyai akses yang baik bagi buruh dan penghuni dalam mencapai fasilitas sosial, ekonomi, dan kegiatan pekerjaannya, dan .(3) pemberdayaan masyarakat berpenghasilan rendah perlu dilakukan melalui pemberian kemudahan dalam perijinan, permodalan, perkreditan, dan layanan umum, dalam konteks pola pembangunan bertumpu pada masyarakat (community based development). Rencana tata ruang hendaknya tidak hanya dilihat sebagai aspek prosedural dalam penyelenggaraan pembangunan peru mahan, tetapi juga sebagai pencipta kemudahan pembangunan perumahan (Ginanjar Kartasasmita, 1997). · Dari aspek pertanahan, Soni Harsono menekankan pentingnya pembangunan kota masa depan yang memperhatikan kondisi fisik lingkungan, teknologi, dan sosio-kultural. Di bidang perumahan dan permukiman, telah ditempuh berbagai kebijaksanaan, yaitu kebijaksanaan tata ruang/tata guna tanah, RTRW Kota untuk pembangunan peru mahan dan permukiman, pengaturan hak-hak atas tanah, dan pelayanan dalam penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman. Beberapa kebijaksanaan mengenai pengaturan hak-hak atas tanah yang relatif baru dan pelayanan dalam penyediaan tanah, antara lain: UU 16/1985 tentang Rumah Susun dan PP 4/1988 tentang Rumah Susun, UU 4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman, UU 4/1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya, PP 40/1996 tentang Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai, PP 41/1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggai/Hunian Atas Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, PP 24/1997 tentang Pendaftaran T anah, Keppres 97/1993 tentang Penanaman Modal ( Pakto 93), berbagai pengaturan tentang KASIBA, LISIBA, pembangunan skala besar, konsolidasi tanah, pengendalian ijin lokasi, penyediaan tanah untuk perumahan para pekerja industri, penyediaan tanah untuk RS/RSS, hak milik atas tanah untuk pemilik RS/RSS, dan reklamasi pantai. Dari aspek pembiayaan (Mansjurdin Nurdin, 1997), terus diupayakan agar swasta mau berkiprah dalam pembiayaan perumahan. Bank Indonesia tetap berperan dalam mendukung kelancaran pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, antara lain melalui KLBI dan penciptaan iklim kondusif (berusaha menjaga keseimbangan ekonomi makro melalui kebijakan fiskal dan moneter yang berhati-hati dan konsisten, agar permintaan domestik tumbuh dalam batas-batas yang aman sesuai daya dukung kapasitas nasional). Pembiayaan jangka panjang, diupayakan melalui pasar modal (penjualan saham dan obligasi) dan dengan menggunakan pasar atau fasilitas hipotik sekunder (secondary mortgage facility, SMF). Peran Pemerintah Daerah dalam pembangunan perumahan dan permukiman, dibahas oleh Walikota Balikpapan yang berhasil memacu pembangunan perumahan dan permukiman di wilayahnya. Dimulai dari pemantapan kebijaksanaan dan program pembangunan perumahan dan permukiman, Pemda Kotamadya Balikpapan berusaha berperan nyata dalam menyediakan rumah, memperbaiki dan memugar, meremajakan dan merelokasi, serta mengawasi dan mengendalikan pembangunan perumahan dan permukiman. Beberapa kegiatannya antara lain, membangun 1.067 unit RS dan RSS untuk pegawai negeri golongan I dan II, membangun rumah dinas untuk golongan IV, mempercepat proses pemberian persetujuan prinsip, memberikan keringanan pembiayaan investasi, memberikan berbagai kemudahan proses pembangunan, semenisasi gang dan parit, memperbaiki lingkungan permukiman kumuh seluas 10-30 hektar, menyediakan air bersih, mengelola dan menata persampahan (meraih Adipura Kencana) dan sanitasi, meremajakan permukiman kumuh Gunungsari llir, normalisasi Sungai Klandasan Kecil dengan membangun rumah sewa bangunan bertingkat, pembuatan turap kiri-kanan sungai, pembuatan badan jalan inspeksi, perbaikan rumah 415


kumuh, pemantapan dana bergulir, relokasi keluarga pengrajin tahu-tempe di Somber, memfungsikan BP4D, mendorong pengelolaan prasarana permukiman mandiri, dan memberdayakan masyarakat. Ciputra menyorot pembangunan perumahan dan permukiman skala besar dengan melihat kebutuhan versus daya beli, kesenjangan kota-desa, kota baru sebagai alternatif (kota superblok, kota dalam kota, kota satelit, kota mandiri), kota kediaman, kota industri, kota pelabuhan, dan pentingnya kemitraan (unsur pemerintah, pengusaha, dan masyarakat). Lima faktor perlu diperhatikan dalam membangun perumahan dan permukiman skala besar, yaitu pasar, konsep, tanah, perijinan, dan keuangan. Jfka kita teliti, pembangunan perumahan dan permukiman skala besar merupakan perluasan dari pembangunan melalui KASIBA dan LISIBA. Perbedaannya tampak pada pengelola dan siapa yang memperoleh manfaat dari pembangunan model tersebut. Andy Siswanto menyorot pembangunan perumahan dan permukiman melalui pembangunan komunitas, dari aspek teoritis dan praktis. Peristilahan yang muncul dalam konsep ini, yaitu social learning, building capacity, cost-recovery, sustainable, pemberdayaan masyarakat (enabling community), AKKU (aspirasi, kepentingan, kemampuan, dan upaya masyarakat), pemberdayaan pasar (enabling market), kemitraan, serta · pembangunan lingkungan dan komunitas (neighbourhood development). Pande Radja Silalahi mengangkat persoalan dan tantangan yang dihadapi pembangunan perumahan dan permukiman, yaitu dengan melihat permintaan efektif dan permintaan pote·nsial, perlu kehati-hatian dalam membangun perumahan, sulitnya pengadaan tanah untuk membangun perumahan dan permukiman. Kelembagaan pembangunan perumahan dibahas Kristiadi (1997), dengan menyodorkan sepuluh resep, yaitu (1) pemerntah harus lebih mengutamakan pelayanan, pembinaan dan pengendalian, (2) peran serta masyarakat harus ditingkatkan, (3) pemerintah harus menumbuhkan persaingan dalam pelayanan umum, (4) pemerintah harus mempunyai missi dalam memacu tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan, (5) birokrasi harus berorientasi pada prestasi, (6) profesionalisme aparatur pemerintah perlu ditingkatkan, (7) pemerintah harus berjiwa wirausaha, (8) pemerintah harus berorientasi masa depan yang antisipatif, (9) desentralisasi pemerintahan dari sistem hierarki ke sistem partisipasif, dan (1 0) pemerintahan harus bersifat market oriented. Perlu ditingkatkan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi kelembagaan perumahan di Tingkat Pusat, Tingkat Daerah (Tingkat I dan II), BUMN, BUMD, Lembaga Keuangan, serta peran serta masyarakat, swasta, dan koperasi. Menyongsong Pelita VII, perlu ditingkatkan upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perumahan dan permukiman, dalam rangka menciptakan bangsa yang maju dan mandiri di mana tiap orang mendiami unit hunian yang layak dalam lingkungan peru mahan dan permukiman yang lestari. Memperhatikan Agenda Habitat, sepuluh butir perlu diperhatikan, yaitu: permukiman yang berkeadilan, pemberantasan kemiskinan, pembangunan yang berkelanjutan, mutu kehidupan semua orang, penguatan keluarga, hak yang sama bagi setiap orang dalam memperoleh perumahan yang layak, kemitraan, solidaritas kaya-miskin, pemberdayaan lingkungan perumahan dan permukiman, serta kesehatan dan kualitas hidup manusia. Beberapa butir penting dapat dicatat dari pengarahan Presiden Soeharto pada saat meresmikan pembukaan Seminar di lstana Negara. Pertama, apabila kurang perhatian terhadap pembangunan perkotaan dan perdesaan, maka kondisi lingkungan kota-kota di abad 21 akan menurun. Kedua, penduduk kota di Indonesia, masih banyak yang terpaksa harus tinggal di permukiman kumuh dan rumah-rumah yang tidak layak huni, sehingga kota menjadi kumuh dan rawan. Ketiga, perlu diberikan perhatian yang besar untuk membangun rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Keempat, dalam Pelita VI telah dibangun 600.000 unit (dari target 500.000 unit). Walaupun demikian, kita masih harus membangun lebih banyak lagi perumahan. Kelima, perumahan yang layak harus dibangun bersamaan dengan pembangunan permukiman yang tidak merusak lingkungan. Untuk itu perlu dikembangkan lembaga yang dapat beroperasi secara efektif dan efisien mulai di tingkat daerah sampai ke tingkat pusat. Keenam, kita harus membangun perumahan yang ada dan sekaligus meningkatkan efisiensi penggunaan tanah. Caranya dengan meremajakan perumahan kumuh menjadi rumah susun yang modern dan layak huni. Ketujuh, pembuatan buku Pembangunan Perumahan Untuk Kesejahteraan dan Pemerataan serta 416


Pemberian Tanda Penghargaan Adhikara Grahatama bagi penyelenggara pembangunan perumahan dan permukiman (Pemda Kodya Balikpapan, Kodya Bengkulu, Kodya Medan, Kodya Semarang, Kabupaten Sidoardjo), Adhidharma Grahatama bagi pemberdayaan pembangunan perumahan dan permukiman (AI Soewondo, lkah Atikah, dan Hasan Poerbo), dan Adhiyasa Grahatama bagi pelaku pembangunan perumahan dan permukiman (Perum Perumnas Cabang Ill, DPD Real Estat Jawa Timur, BTN Cabang Surabaya, Pusat Koperasi Karyawan Riau, dan Koperasi Swadaya Pembangunan Perumahan Rakyat (KSPPR) Darek Praya Lombok Tengah), diharapkan makin mendorong pembangunan perumahan dan permukiman. Beberapa Kesimpulan Sementara Dari pembahasan di atas, beberapa butir penting dapat dijadikan masukan kebijaksanaan perumahan dan permukiman. Kebutuhan perumahan makin tinggi, terutama di perkotaan. Karena itu, berbagai elemen kebijaksanaan perlu diterapkan, yaitu penataan ruang, pengaturan tanah, pemantapan sistem pembiayaan dan kelembagaan, pembangunan rumah susun berbagai tipe dan jenis, rumah sewa, RS dan RSS, rumah toko, rumah kantor, rumah kost dan berbagai fasilitas umum bagi penduduk perkotaan lainnya. Butir-butir penting Agenda Habitat di Istanbul (1966) perlu dipelajari dan diterapkan disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Lima Rancangan Peraturan Pemerintah yang menindaklanjuti UU 4/ 1992 tentang Perumahan dan Permukiman perlu segera diselesaikan. Elemen kebijaksanaan seperti KASIBA, LISIBA, kemitraan, pembangunan bertumpu pada kelompok!komunitas, peremajaan permukiman kumuh, rumah sehat, dan target pembangunan sejuta rumah pada Pelita VII, perlu membumi, artinya segera diwujudkan dalam kegiatan pembangunan perumahan dan permukiman. Beberapa catatan yang diperoleh dari Agenda Habitat dan Deklarasi Istanbul untuk dijadikan acuan dalam pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia adalah sebagai berikut. Pertama, Limabelas Butir Deklarasi: tujuan umum untuk menyediakan rumah bagi semua orang, kesadaran adanya penurunan kondisi perumahan dan permukiman akibat kota berkembang pesat; komitmen terhadap perumahan yang lebih baik; upaya yang konprehensif; pembangunan lebih intensif dan kerjasama antar berbagai aktor pembangunan; keterkaitan pembangunan perkotaan dan perdesaan; kebutuhan lingkungan permukiman yang aman, nyaman, dan sehat bagi semua orang; komitmen pada penyediaan perumahan secara progresif; penyediaan perumahan yang layak secara besar-besaran; keterkaitan antarsektor pembangunan perkotaan didukung manajemen perkotaan yang efektif; konservasi dan rehabilitasi bangunan perkotaan; strategi pemberdayaan masyarakat; mobilisasi sumber pembiayaan, pendefinisian yang tepat (berpikir global, bertindak lokal); dan kesepakatan era baru kerjasama dan era budaya solidaritas. · Kedua, Agenda Aksi: kecukupan rumah untuk semua orang, pembangunan peru mahan dan permukiman berkelanjutan dalam dunia yang terus berkembang, pengembangan kapasitas dan institusi 'koordinasi dan kerjasama internasional serta implementasi dan tindak lanjut Agenda Habitat II (adequate shelter for all dan sustainable human settlements development in an urbanizing world). Apa yang dibahas dalam seminar dan yang dituliskan pada kesimpulan sementara, tidak terlepas dari hasil rumusan prioritas penanganan tindak lanjut. Deklarasi Istanbul yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu tujuh prioritas penanganan dan sembilan tujuan/prinsip. Pemecahan Tujuh Prioritas: ketidakberlanjutan pola konsumsi dan produksi khususnya di negara-negara industri; ketidakberlanjutan perubahan penduduk yang pesat; mengurangi jumlah orang yang tidak memiliki rumah (homeless) termasuk rumah kumuh dan liar (slums and squatters settlements); mengurangi pengangguran; ketidakcukupan infrastruktur dan pelayanan umum; ketidaksamaan pandangan dan kebringasan; dan ketidakpastian dan ketidakpercayaan diri yang dapat membahayakan. S::mbilan Tujuan/Prinsip komitmen Habitat, yaitu keseimbangan perumahan di mana semua orang berhak atas kesamaan perolehan rumah, ruang terbuka, pelayanan pendidikan dan kesehatan; perigentasan kemiskinan dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; pentingnya kualitas hidup (perkotaan besar, menengah, kecil, dan perdesaan); kebutuhan penekanan keluarga sebagai unit dasar kehidupan bermasyarakat; hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban; kemitraan antar negara dan antar aktor/pelaku pembangunan perumahan dan permukiman; solidaritas terhadap kelompok masyarakat yang tidak berkesempatan dan tidak siap; peningkatan sumber-sumber pembiayaan; 417


dan pelayanan kesehatan, termasuk reproduktif dan pelayanan yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas hidup. Jayakarta, 19 Desember 1997 Perumahan Rakyat Untuk Kesejahteraan dan Pemerataan Kebijsksanaan dan Strategi (Jakstra) Pembangunan Perumahan dan Permukiman, pola kemitraan, peranan Pemerintah Daerah, peran serta pelaku pembangunan perumahan, keberhasilan, permasalahan yang dihadapi, kerjasama dan hubungan internasional, merupakan instrumen dan kenyataan dalam pembangunan perumahan dan permukiman dalam upaya mewujudkan kesejahteraan dan pemerataan. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu diperhatikan aspek-aspek tata ruang nasional, kota baru, perkembangan kota, peremajaan perumahan dan permukiman kota, lingkungan, ijin lokasi, sosial-budaya, permukiman bergerak, kelembagaan, dan upaya pemberdayaan masyarakat. Pembangunan perumahan dan permukiman sangat penting bagi kehidupan rakyat. Bersama sandang dan pangan, papan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi setiap manusia. Rumah bukan hanya sekedar tempat tinggal, namun merupakan tempat pembentukan watak dan jiwa melalui kehidupan keluarga (Presiden Soeharto, Pidato Kenegaraan RUU APBN 1995/1996). Selanjutnya ditegaskan pula, sektor perumahan dan permukiman akan memperoleh anggaran lebih dari Rp. 1,5 trilliun, ditambah lagi dengan dana Jamsostek untuk memacu pembangunan rumah sangat sederhana. Jakstra Nasional Perumahan telah disusun oleh Kantor Menpera melalui Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional (BKPN) yang sekarang telah ditingkatkan fungsinya menjadi Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan Nasional (BKP4N) melalui Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1994. Khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah telah ditempuh berbagai upaya, antara lain penyediaan kapling tanah matang, rumah struktur beratap, rumah inti, rumah sederhana, rumah sangat sederhana, perbaikan kampung, pemugaran perumahan perdesaan, rumah sewa, rumah untuk para nelayan, dan peremajaan permukiman kumuh. Sejalan dengan itu pendanaan diupayakan melalui berbagai sumber, antara lain KPR-BTN, Taperum PNS, dan sekarang segera diperkenalkan dana Jamsostek. Pembangunan Perumahan sampai dengan Pelita VI Pelita I merupakan persiapan program pembangunan perumahan, disusul Pelita II (pengembangan program pembangunan perumahan), Pelita Ill (peningkatan program dan koordinasi pembangunan antar para penyelenggara pembangunan perumahan), Pelita IV (penyiapan tinggal landas pembangunan perumahan), Pelita V (babakan terakhir dari pembangunan jangka panjang tahap pertama), Pelita VI (memasuki era tinggal landas), dan Pelita VII (siap menghadapi perdagangan bebas Asean 2003). Aspek-aspek kebijaksanaan umum, pertanahan, pendanaan dan pembiayaan, kelembagaan dan peraturan perundang-undangan, serta sistem informasi perumahan dan permukiman makin diperhatikan. Strategi pencapaian, memperhatikan aspek-aspek keterjangkauan, pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, peran serta masyarakat dan dunia usaha, kemudahan penyediaan lahan, pemantapan sistem pendanaan, kelembagaan, pola pengelolaan pembangunan secara terarah dan terpadu, dan penataan peraturan perundang-undangan. Dalam Pelita VI, Pemerintah telah menetapkan Arah, Sasaran, dan Kebijaksanaan Pembangunan Perumahan dan Permukiman, antara lain pengadaan 500.000 unit rumah inti, rumah sangat sederhana, dan rumah sederhana, pembangunan kawasan siap bangun (KASIBA) di 3000 desa, perbaikan kawasan kumuh 418


Click to View FlipBook Version