Jakarta harus melihat pengalaman Mexico City, membandingkan perkembangan kota Bangkok dan Kuala Lumpur, menjadikan city of diversity, city of trees, city for the future, service city. Mau tidak mau, Jakarta harus segera menata transportasi kota menuju sistem angkutan massal, misalnya membangun underground Blok MKota dengan beberapa persimpangan, dan harus cepat menindaklanjuti UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia DKI Jakarta. Manajemen perkotaan harus bisa mewujudkan koordinasi pembangunan pada berbagai tingkatan (Metropolitan Management should be able to identify a city's economic ills, research its economic advantages and opportunities, and formulate relevant action programs that can be incorporated, in whole or in part, in local, regional, national and international development plans). Saran pakar perkotaan Renaud (1985), Rondinelli (1983), Hardoy dan Satterhwaite (1986), Prakash Mathur dan Harry Richardson (1986) perlu diperhatikan, yaitu perlunya membangun kota-kota kecil, strategi urbanisasi, pembangunan tata ruang, kota-kota menengah dan sedang di sekitar kota metropolitan, kota multifungsi, dan mengaitkan bottom up approach dengan top down. Selain itu harus dikembangmantapkan sistem pembangunan perkotaan, kelembagaan dan kemampuan keuangan perkotaan, produktivitas kota, kemampuan sumber daya manusia, pengelolaan pembangunan terarah, terencana dan terpadu, dan ditingkatkannya kualitas lingkungan fisik dan sosial-ekonomi perkotaan. Kompas, 1 Agustus 1994 Menyongsong Seminar Proyek Megacity Organisasi Proyek Megacity dipantau oleh Janice Perlman dari Universitas New York. Proyek Megacity ini merupakan organisasi kesekretariatan di antara beberapa kota berpenduduk di atas 10 juta jiwa. Tercatat pada tahun 2000 ada 23 kota di dunia yang jumlah penduduknya di atas 10 juta jiwa, 15 di antaranya di negara-negara berkembang atau bukan di negara maju. Berdasarkan catatan Bank Dunia (1987), 13 kota terbesar tahun 2000 adalah Mexico City (26 juta jiwa), San Paulo, Tokyo, Kalkuta, Bombay, New York City, Shanghai, Seoul, Teheran, Rio de Janeiro, Jakarta, New Delhi, dan Buenos Aires. Sepuluh kota dibawahnya adalah Karachi, Beijing, Dacca, Kairo, Manila, Los Angeles, Bangkok, London, Osaka, dan Moskow. Perbandingan kota-kota terbanyak penduduknya tahun 1960, 1980 dan 2000 (UNCHS, 1987) dan penduduk kota metropolitan tahun 1990, 1995 dan 2000 (UN, 1982) dapat dilihat pada tabel berikut. Pertemuan megacity tahun 1990 di New York memilih tema Innovations for sustainable cities of the 21st century, sedangkan pertemuan di Jakarta tanggal1 0 Agustus 1993 memilih tema Pengentasan kemiskinan, think tank demokrasi, jaringan capacity building, dan familiarisasi pembangunan Jakarta. Pada dasarnya proyek megacity berusaha mencari pendekatan inovatif untuk menangani permasalahan kemiskinan dan lingkungan hidup. Megacity Kota hampir selalu menjadi pusat pemerintahan, kebudayaan, dan berbagai kegiatan sosial-politik. Juga merupakan magnit kegiatan masyarakat, ide, dan kewirausahaan. Sejalan dengan perkembangan kota yang pesat, kota membutuhkan pengembangan kapasitas dan inovasi, kesiapan masyarakat dalam kehidupan yang serba dinamis, peraturan perundang-undangan yang mendukung, dan manajemen perkotaan yang efektif. Proyek Megacity merupakan hasil kesepakatan para pemimpin pemerintahan, bisnis, dan komunitas di beberapa megacity. Proyek ini berusaha mengidentifikasi dan menyebarluaskan berbagai pendekatan penanganan perkotaan, serta menekankan peran berbagai kelompok pemerhati perkotaan termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat. Proyek memperhatikan dua pendekatan, teoritis dan praktis, menggabungkan keberhasilan dari pengalaman dengan berbagai pendekatan baru yang sifatnya inovatif. Proyek Megacity yang dilahirkan tahun 1987, sekarang melibatkan 13 kota, yaitu Bangkok, Bombay, Buenos Aires, London, Mexico City, Nairobi, 67
New Delhi, New York, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Tokyo, Los Angeles dan Moskow. Struktur organisasi didasarkan atas koordinator lokal di tiap kota, bertemu dalam Tim Pengarah, merepresentasikan tokoh perkotaan (dari kalangan pemerintah, swasta dan masyarakat), tokoh media masa dan perguruan tinggi. Proyek megacity mengacu pada sepuluh argumen. Pertama, pada tahun 2000, sebagian besar penduduk dunia hid up di daerah perkotaan, di antaranya tinggal di 23 kota berpenduduk di atas 10 juta jiwa yang dikenal sebagai megacity. Kedua, megacity ini, kaya atau miskin, kapitalis atau sosialis, masing-masing dihadapkan pada permasalahan degradasi dan kerusakan lingkungan yang bisa mengancam kehidupan manusia dan kelestarian lingkungan. Ketiga, walaupun para pendatang (migran) berusaha dihindari dan kaum miskin di perkotaan hidup tidak berkecukupan, pada kenyataannya golongan ini bisa mengatasi hidupnya sendiri disesuaikan dengan kondisinya masing-masing. Keempat, menghadapi kenyataan kompleksitas permasalahan megacity, pendekatan konvensional dalam sistem teknologi dan manajemen abad 19 tidak cukup ampuh untuk menangani permasalahan kota yang semakin kompleks. Kelima, diperlukan cara-cara kreatif untuk mendayagunakan sumber-sumber daya man usia, alam, dan pembiayaan perkotaan untuk meningkatkan tarat hidup masyarakat perkotaan. Keenam, dalam situasi kesulitan mendapatkan tenaga ahli perkotaan, perlu didayagunakan pakar lokal perkotaan baik dari pemerintah, swasta, perguruan tinggi, dan komunitas. Ketujuh, didasari kecukupan energi dan kreativitas di perkotaan untuk menangani masalah, tanpa mekanisme yang baik, akan menyulitkan pembuatan keputusan. Kedelapan, keberhasilan masa depan ditentukan oleh prestasi dan pengalaman masa kini yang bisa menerpadukan penanganan tiap sektor, komunitas, dan menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat serta pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Kesembilan, makin kompleksnya permasalahan megacity menuntut adanya desentralisasi manajemen perkotaan, peningkatan produktivitas sektor informal termasuk peran wanita, dan sistem sirkulasi selain sistem linier dalam penanganan masalah air, sampah, saluran pembuangan, energi, pangan, dalam menuju kesinambungan dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan untuk megacity, serta kota besar, kota sedang, kota kecil, kota satelit, dan daerah perdesaan di sekitar megacity. Kesepuluh, tantangan untuk menggali inovasi, bekerja produktif, berorientasi iptek, mencontoh keberhasilan megacity lain, memaksimumkan hasil-hasil pembangunan dan meminimumkan dampak pembangunan, merupakan tantangan masa depan megacity. Proyek-proyek megacity yang telah diterapkan antara lain penanganan polusi udara, pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah industri, penyediaan air bersih, pengaturan sanitasi dan drainase, pengelolaan lingkungan hidup, dan penerapan teknologi tepat guna. Proyek Megacity Jakarta Kota Jakarta berpartisipasi menyelenggarakan pertemuan Proyek Megacity pada tanggal 1 - 9 Agustus 1993. Misi megacity adalah mengurangi kesenjangan antara inovasi perkotaan dan implementasinya. Megacity telah mendisain sekumpulan kriteria evaluasi suatu inovasi, meningkatkan nilai-nilai (secara sosial equitable, ekonomi viable, politik participatory, ecologically berkelanjutan, dan culturally adaptable; menekan dampak, melancarkan pengoperasian pembangunan. Konsentrasi megacity adalah pada regenerasi lingkungan hidup, kemiskinan dan upaya peningkatan pendapat masyarakat, desentralisasi dan demokratisasi, serta peningkatan peran wanita dalam pembangunan. Proyek Megacity didukung oleh jaringan komunikasi dan informasi antar megacity (Bangkok, Beijing, Bombay, Buenos Aires, Delhi, Jakarta, London, Los Angeles, Mexico City, Moskow, New York, Rio de Janeiro, Sao Paulo, dan Tokyo), serta adanya komitmen masing-masing megacity untuk saling menginformasikan penemuan inovatif pendekatan penanganan masalah perkotaan. Pertemuan Megacity di Jakarta akan membahas empat bidang. Pertama, jaringan kemiskinan dan lingkungan hidup, membahas 12 studi kasus masalah kemiskinan dan lingkungan (9 dari Asia, Amerika Latin dan Afrika, serta New York, Los Angeles, dan Tokyo), isu-isu lingkungan hidup, analisis siklus inovasi dan kemitraan pemerintah-swastamasyarakat. Kedua, think tank demokrasi dan megacity membahas demokratisasi, desentralisasi dan partisipasi, keterkaitan kepemimpinan dan inovasi, membahas proyek kepemimpinan Perusahaan Kellog, dan mengintegrasikan pengalaman Manuel Castells ke dalam kerangka riset proyek megacity. Ketiga, pembentukan 68
kapasitas untuk jaringan megacity, membahas sistem komunikasi, membahas 15 tahap penyusunan jaringan, evaluasi proyek-proyek, rencana strategis, dan memikirkan perencanaan pertemuan di Kairo dengan tema Role of Megacities in the New World Order. Keempat. familiarisasi Jakarta, mencakup gambaran perkembangan Jakarta dan Jabotabek, pertemuan Tim Pengarah, dan kunjungan ke lokasi proyek pemerintah lokal (kelurahan) dan masyarakat lapisan bawah (grassroots) di Pisangan Baru dan Kayu Manis Jatinegara (pernah dikunjungi Dirjen UNCHS tahun 1990) serta penghijauan dan penataan pinggiran Kali Ciliwung di sekitar Kampung Melayu dan Manggarai. Pertemuan proyek megacity di Jakarta ini akan menerima pengarahan Presiden Soeharto dan dihadiri oleh para tokoh perkotaan seperti Janice Perlman, Shabbir Cheema, Om Prakash Mathur, Emil Salim, dan Adi Sasono. Penutup Keberhasilan manajemen perkotaan banyak ditentukan oleh adanya political will. Aparat pemerintah DKI Jakarta perlu melakukan studi perbandingan ke megacity yang lain seperti Tokyo, New York, Los Angeles, London, Mexico City, Rio de Janeiro, serta melihat pengelolaan kota Kinshasa Zaire dan Curitiba Brazil. Rene Dubos menyarankan think globally, act locally dan symbiotic relationships mean creative partnership. lni menunjukkan pentingnya desentralisasi, pembangunan pada tingkat wilayah kota kecamatan dan kelurahan, serta perlu ditumbuhkembangkan kemitraan pemerintah-swasta-masyarakat (public. private and people partnerships). Menyongsong pertemuan internasional Proyek Megacity, Jakarta harus sudah siap dengan pendekatan inovatif dalam menuju manajemen kota metropolitan Jakarta yang efektif, menyangkut biaya, institusi, luas kota, sumber daya manusia dan sumber daya alam, pertumbuhan kota menjadi megacity atau metropolitan (megapolitan, megalopolitan), kesiapan warga ibukota, dan faktor-faktor pendukung. Manajemen kota yang efektif harus bisa diciptakan pada semua tingkatan, mulai dari tingkat propinsi DKI Jakarta sam~ai ke Kelurahan. Aparatur pemerintah harus mau belajar terus menerus, berorientasi iptek, dan mengikuti diklat dalam usaha meningkatkan pelayanan perkotaan sesuai dengan kebutuhan yang pesat. Manajemen kota metropolitan Jakarta yang efektif akan bisa menekan permasalahan kota, termasuk masalah kemiskinan dan lingkungan hidup, dan pada saatnya nanti dapat diwujudkan Daerah Khusus lbukota Negara Republik Indonesia Jakarta atau Jakarta Metro, sesuai dengan isi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan DKI NRI Jakarta. Jayakarta, 2 Agustus 1993 69
Tabel1. KOTA-KOTA TERBANYAK PENDUDUKNYA 01 DUNIA TAHUN 1960, 1980, DAN 2000 (JUTA) 1960 1980 2000 No. Kota Pddk Kota Pddk Kola Pddk 1. New York/NE 14.2 Tokyo/ 17,7 Mexico City 25.8 New Jersey Yokohama 2. London 10,7 New York!NE 15,6 Sao Paulo 24,0 New Jersey 3. Tokyo/ 10,7 Mexico City 14,5 Tokyo/ 20,2 Yokohama Yokohama 4. Shanghai 10,7 Sao Paulo 12,8 Calcuta 16,5 5. Rhein-Ruhr 8,7 Shanghai 11 ,8 Greater Bombay 16,0 6. Beijing, New Jersey 7,3 London 10,3 New York!NE 15,8 7. Paris 7,2 Buenos Aires 10,1 Seoul 13,8 8. Buenos Aires 6,9 Calcuta 9,5 Teheran 13,6 9. Los Angeles/Long Beach 6,6 Los Angeles/ 9,5 Shanghai 13,3 10. Moscow, Janeiro 6,3 Rhein-Ruhr 9,5 Rio de Janeiro 13.3 11. Chicago/NE. Indiana, Jeneiro 6,0 Rio de Jenairo 9,2 Delhi 13,3 12. Tianjin 6,0 Beijing 9,1 JAKARTA 13,3 13. Osaka I Kobe 5,7 Paris 8,7 Buenos Aires 13,2 14. Calcuta 5,6 Osaka/Kobe 8,7 Karachi 12,0 15. Mexico City 5,2 Greater Bombay 8,5 Dhaka 11,2 16. Rio de Janeiro 5,1 Seoul 8,5 Cairo I Giza 11 '1 17. Sao Paulo 4,8 Moscow 8,2 Manila 11 '1 18. Milan , Long Beach 4,5 Tianjin 7,7 Los Angeles/ 11,0 19. Cairo I Giza 4,5 Cairo I Giza 6,9 Bangkok 10,7 20. Greater Bombay, Indiana 4,2 Chicago/NE 6,8 Osaka I Kobe 10,5 21. Philadelpia 3,7 JAKARTA 6,7 Beijing 10,4 22. Detroit 3,6 Milan 6,7 Moscow 10,4 23. Leningrad 3,5 Manila 6,0 Tianjin 9.1 24. Naples 3,2 Delhi 5,9 Paris 8,7 25. JAKARTA 2,8 Baghdad 3,9 Baghdad 7,4 Sumber: United Nations Centre tor Human Settlements (UNCHS), Global Report on Human Settlement, New York: Oxford University Press, t9R7. p. 28 (dikutip dari Thesis Studi Program Master di Coral Gables, Florida. o/eh Dedy Supriady, Agustus 1991, him. 22). 70
Tabel 2. PERKIRAAN URUTAN KOTA METROPOLITAN TAHUN 1990, 1995 DAN 200 (JUTA) 1990 1995 2000 No. Kota Pdk Kola Pdk Kola Pdk 1 . Mexico City 21,3 Mexico City 24,2 Mexico City 26,3 2. Sao Paulo 18,8 Sao Paulo 21,5 Sao Paulo 24,0 3. Tokyo 17,2 Tokyo/Yokohama 17,1 Tokyo/Yokohama 17,1 4. New York/NE NJ 15,3 New York/NE NJ 15,3 Calcuta 16,6 5. Calcuta 12,6 Calcuta 14,5 Greater Bombay i6,0 6. Shanghai 12,0 Greater Bombay 13,8 New York/NE NJ 15,5 7. Greater Bombay 11 ,9 Seoul 12,7 Seoul 13,5 8. G. Buenos Aires 11,7 Shanghai 12,5 Shanghai 13,5 9. Seoul 11,5 G. Buenos Aires 12,3 Rio de Janeiro 13,3 10. Rio de Janeiro 11 ,4 Rio de Janeiro 12,3 Delhi 13,3 11. Los Angles/LB 10,5 Cairo/Giza/lm 11 ,5 G. Buenos Aires 13,2 12. Cairo/Giza/lmb 10,0 Delhi 11 '1 Cairo/Giza/lmb 13,2 13. London 9,5 JAKARTA 11,0 JAKARTA 12,8 14. Beijing 9,5 Teheran 10,9 Baghdad 12,8 15. JAKARTA 9,3 Los Angeles/LB 10,9 Teheran 12,7 16. Moscow 9,2 Baghdad 10,8 Karachi 12,2 17. Delhi 9,2 Istanbul 10,2 Istanbul 11 ,9 18. Rhein-Ruhr 9,1 Karachi 10,1 Los Angeles/LB 11 ,2 19. Paris 9,0 Beijing 9,9 Dhaka 11 ,2 20. Teheran 9,0 Moscow 9,7 Manila 11 '1 21. Baghdad 8,9 Manila 9,7 Beijing 10,8 22. Istanbul 8,4 London 9,3 Moscow 10,1 23. Manila 8,3 Paris 9,1 Bangkok/Thonb. 9,5 24. Karachi 8,2 Rhein-Ruhr 8,9 Tianjin 9,2 25. Tianjin 8,0 Dhaka 8,6 Paris 9,2 26. Osaka/Kobe 7,8 Tianjin 8,5 Lima-Callo 9,1 27. Milan 7,3 Lima-Callo 8,0 London 9,1 28. Chicaco/NE NJ 6,9 Bangkok/Thonb. 7,8 Kinshasa 8,9 29. Lima-Callo 6,8 Osaka/Kobe 7,7 Rhein-Ruhr 8,6 30. Dhaka 6,5 Milan 7,5 Lagos 8,3 31. Bangkok 6,5 Kinshasa 7,3 Madras 8,2 32. Madras 6,1 Madras 7,1 Bangalore 8,0 33. Kinshasa 5,8 Chicago/NE Ind. 7,0 Osaka/Kobe 7,7 34. Hong Kong 5,6 Ban galore 6,5 Milan 7,5 35. Madrid 5,5 Lagos 6,4 Chicago/NE Ind. 7.2 Sumber: United Nations. Estimates and Projections of Urban, Rural, and City Populations, 1950-2025: The 1982 Assessment, New York, January 1985 (Dikutip dari Metropolitan Management, The Asian Experience, K.C. Sivaramakhrishnan dan Leslie Green, New York, 1986). 71
UDKP, Model Pembangunan Kecamatan Terpadu Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP) di tingkat kecamatan, mempertemukan perencanaan pembangunan dari bawah ke atas (bottom up planning) dengan pembangunan dari atas ke bawah (top down planning). UDKP juga berperan dalam meningkatkan koordinasi pembangunan desa. UDKP dikembangkan menjadi suatu sistem pengembangan desa-desa dalam suatu kecamatan yang komprehensif, efektif dan efisien. Lingkup UDKP adalah wilayah kecamatan, merupakan pelaksanaan pembangunan desa secara intensif, terarah dan terkoordinasikan di bawah camat, memungkinkan koordinasi terpadu antar-instansi atau dinas di tingkat kecamatan. Model UDKP UDKP merupakan sistem perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan pembangunan wilayah kecamatan yang menyeluruh dan terpadu. Pada mulanya UDKP diterapkan di 1.045 kecamatan (Pelita Ill) yang tergolong miskin, minus, rawan, terbelakang, terpencil. daerah perbatasan, kepulauan dan padat penduduk yang sebagian besar terdiri atas golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam berbagai penyuluhan yang dilakukan oleh Ditjen Bangdes, ditegaskan adanya tiga pertimbangan yang dijadikan dasar pelaksanaan UDKP pada wilayah kecamatan. Pertama, posisi strategis Pemerintah Wilayah Kecamatan. UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah menetapkan bahwa kedudukan Pemerintah Wilayah Kecamatan dalam sistem pemerintahan negara Rl merupakan perangkat terbawah dari pelaksanaan asas dekonsentrasi. Penjelasan UU tersebut menyebutkan bahwa asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi dengan memberi kemungkinan pelaksanaan asas tugas perbantuan. Kecamatan juga merupakan unit pemerintahan dan pembangunan di tingkat bawah dari wilayah kabupaten dan kotamadya DT II yang memiliki organisasi pemerintah dan unsur aparatur relatif lengkap. Camat sebagai kepala wilayah, mempunyai wewenang untuk mengkoordinasikan berbagai instansi vertikal dan instansi otonom tingkat kecamatan (UU Nomor 5/197 4, PP Nomor 6/1988 dan lnmendagri 18/1989 tentang Koordinasi Kegiatan lnstansi Vertikal di Daerah). Kedua, pengembangan wilayah kecamatan. Perkembangan suatu wilayah memerlukan persyaratan adanya kegiatan yang dapat mendorong pertumbuhan wilayah. Pada tingkat desa dan kecamatan, perlu ditumbuhkan dan dikembangkan kegiatan yang mendorong pertumbuhan wilayah kecamatan, tumbuhnya pusat pengembangan lokal dan antar wilayah. Pusat-pusat ini dikenal sebagai Pusat Pengembangan Terpadu Antar Desa (PPTAD), umumnya ibukota kecamatan. Mengingat kecamatan di Indonesia terdiri atas 15- 20 desa, maka perencanaan menyeluruh dan terpadu dalam suatu kecamatan akan mendorong pencapaian desa-desa swasembada. Ketiga, pengelolaan keterpaduan pembangunan, baik sektoral, daerah dan lnpres yang berasal dari berbagai departemen, LPND, Pemda dan lembaga non pemerintah yang masuk desa, serta kegiatan pembangunan yang dilaksanakan atas dasar swadaya murni masyarakat. Keadaan seperti ini memerlukan sistem perencanaan yang memungkinkan terciptanya keterpaduan antara kegiatan pemerintah, swasta dan masyarakat. UDKP, diharapkan merupakan perencanaan strategis untuk menjawab tantangan permasalahan pembangunan di tingkat kecamatan. Apakah sebenarnya model UDKP itu? UDKP adalah sistem manajemen pembangunan desa terpadu tingkat kecamatan. Penjabarannya satu per satu adalah sebagai berikut. Sistem, merupakan rangkaian dari berbagai organ yang secara bersama-sama merupakan suatu kesatuan untuk melakukan fungsi dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Prinsip sistem adalah kejelasan tujuan, keluaran, kegiatan, proses, masukan dan umpan balik dari hasil evaluasi atas keluaran yang dicapai. Manajemen adalah cara atau teknik mencapai tujuan melalui pengelolaan sumberdaya yang dimiliki. Pembangunan desa adalah seluruh kegiatan pembangunan yang berlangsung di desa, meliputi seluruh aspek kehidupan, dilaksanakan secara terpadu dengan mengembangkan swadaya gotong-royong. 72
Terpadu, diartikan bahwa dalam keg1atan pembangunan harus ada keterkaitan wilayah, fungsi, keharmonisan, waktu dan sasaran. Rinciannya masing-masing, keterkaitan w1layah (desa satu dengan yang lain, kecamatan satu dengan yang lain merupakan satu kesatuan yang utuh), fungsional (kegiatan antar sektor saling mendukung dan tidak berdiri sendiri), keharmonisan (kesesuaian antara kebijaksanaan pemerintah dengan aspirasi masyarakat), keterpaduan waktu (waktu pelaksanaan pembangunan mengacu pada jadwal yang ditetapkan dan saling mendukung), sasaran (kesamaan tujuan tercapainya desa swasembada), dan lokasi (memprioritaskan desa-desa yang memerlukan penanganan). Kecamatan, merupakan lingkungan kerja perangkat pemerintah wilayah kecamatan yang meliputi beberapa desa/kelurahan. UDKP mempunyai empat tujuan, yaitu: (1) mempercepat pencapaian desa swasembada yang mantap di wilayah kecamatan; (2) mendorong tumbuhnya keswadayaan masyarakat; (3) memacu pertumbuhan dan perkembangan wilayah kecamatan; dan (4) menopang terwujudnya Otonomi DT II secara nyata dan bertanggungjawab. Dalam melaksanakan tugasnya, UDKP menyelenggarakan dua fungsi. Pertama, pengelolaan informasi pembangunan di tingkat kecamatan (mengolah dan menganalisis data, memantau dan menjabarkan kegiatan pembangunan di wilayah kecamatan), dan kedua, pengelolaan keterpaduan kegiatan pembangunan di tingkat kecamatan (mulai dari perencanaan sampai evaluasi dan tindak lanjut). Pada prinsipnya UDKP dimaksudkan untuk membantu camat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai administrator pembangunan. Metoda pendekatan sistem UDKP dapat dijabarkan atas komponen masukan, proses, keluaran, dan umpan balik. Masukan antara lain data dan informasi, pengetahuan, keterampilan, teknologi, paket program, proyek, dan paket UDKP. UDKP memerlukan masukan instrumental yang terdiri atas kelembagaan yang mantap, pembinaan yang terus-menerus (kontinyu), dan landasan hukum yang mantap, serta masukan environmental yang terdiri dari aparat yang memadai, sarana dan prasarana penunjang, dana, dan situasi yang mendukung. Sebagai proses pembangunan desa terpadu tingkat kecamatan, UDKP harus berfungsi dalam pendataan potensi kecamatan, perencanaan pembangunan. pelaksanaan dan pengendalian pembangunan, evaluasi dan tindak lanjut pembangunan. Keluaran dari UDKP adalah tersusunnya data dan informasi pembangunan tingkat kecamatan, tersusunnya Pola Pengembangan Wilayah Kecamatan (PPWK) dan Rencana Pembangunan Tahunan Kecamatan (RPTK), terwujudnya hasil-hasil pembangunan di wilayah kecamatan yang memberikan manfaat dalam hal perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, peningkatan kemandirian dan keswadayan, perluasan pelayanan sosial dasar serta tumbuhnya sentra produksi dan pelayanan, terkendalinya pertumbuhan penduduk serta diketahuinya keberhasilan pembangunan di wilayah kecamatan. Semua keluaran ini diarahkan pada empat tujuan UDKP yang disebutkan di atas. Umpan balik merupakan tindakan perbaikan atau refleksi terhadap hasil evaluasi, untuk menentukan langkah tindak lanjut berikutnya. Mekanisme kegiatan UDKP dapat dibagi atas lima jenis kegiatan pokok, yaitu pendataan potensi kecamatan, penyusunan PPWK, penyusunan RPTK, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan, evaluasi dan tindak lanjut pembangunan. Proses pendataan potensi kecamatan dibagi atas perencanaan (penjelasan teknis kegiatan pendataan, penetapan tim pendataan potensi kecamatan, dan penyiapan instrumen pengumpul data) dan pelaksanaan (pengumpulan data, pengolahan data, pembahasan draft laporan, analisis singkat, dan finalisasi laporan), dan tindak lanjut. Langkah-langkah penyusunan PPWK terdiri atas pembentukan tim penyusun, penjelasan teknis, pengumpulan bahan, penyusunan rancangan, pembahasan rancangan, dan finalisasi PPWK. Langkahlangkah penyusunan RPTK sama dengan penyusunan PPWK, tetapi RPTK telah membagi kedalam tiga bidang, yaitu umum, sosial budaya dan ekonomi. Kegiatan pelaksanaan dan pengendalian pembangunan (lakdalbang) dimulai dari penjelasan teknis lakdal, inventarisasi proyek atau kegiatan yang dibiayai swadaya masyarakat, pengorganisasian lakdalbang, teknis koordinasi, teknis pemantauan, pertemuan pemantauan, dan tindak lanjut. · Evaluasi dan tindak lanjut kegiatan pembangunan terdiri atas kegiatan persiapan (penjelasan teknis kegiatan evaluasi dan tindak lanjut serta pengumpulan bahan) dan pelaksanaan (pengumpulan bahan dan data, tabulasi dan analisis data, penyusunan draft laporan, pembahasan hasil evaluasi, penyusunan rencana tindak lanjut, dan finalisasi). 73
Prospek Mengartikan UDKP sebagai sistem manajemen pembangunan desa terpadu tingkat kecamatan, memang enak dikumandangkan. T etapi pelaksanaannya di lapangan tidaklah semudah mengucapkannya. LKMD di tiap desa dikembangkan untuk dapat menampung aspirasi masyarakat dan dapat menyampaikan pesan pembangunan kepada masyarakat desa. Melalui koordinasi dalam UDKP, upaya pembangunan desadesa dapat diserasikan agar lebih efisien dan efektif. Pelaksanaan UDKP cukup kompleks, karena paling sedikit harus dilalui lima kegiatan utama UDKP, yaitu pendataan potensi kecamatan, penyusunan PPWK, penyusunan RPTK, lakdalbang, dan evaluasi dan tindak lanjut kegiatan pembangunan di wilayah kecamatan. Terbatasnya aparat kecamatan dan kurang tersedianya tenaga terampil yang membantu camat, mengakibatkan pelaksanaan model UDKP tersendatsendat. Pembinaan UDKP harus terus-menerus dilakukan, baik melalui pendidikan dan latihan aparat kecamatan, dukungan untuk menyusun rencana pembangunan desa atau pun bimbingan dalam menyusun rencana proyek pembangunan desa untuk bahan rapat koordinasi pembangunan desa di tingkat kecamatan. Panduan Operasional UDKP, pendataan potensi kecamatan, penyusunan PPWK, penyusunan RPTK, lakdalbang, dan evaluasi dan tindak lanjut kegiatan pembangunan di wilayah kecamatan telah disiapkan oleh Ditjen Pembangunan Masyarakat Desa. Penyuluhan dan pelatihan camat dalam rangka pembangunan desa terpadu telah dilaksanakan secara kontinyu. Persoalannya kembali kepada camat, instansi vertikal dan otonom tingkat kecamatan serta aparat kecamatan (Sekwilcam, Kaur Pembangunan, Pemerintahan, Administrasi, Mantri Polisi Pamong Praja, Kamawil Hansip, Juru Penerang, Kaur Kemasyarakatan, Kepala Puskesmas. Kakandep Dikbud, Kepala Ranting Dinas Dikbud, Kepala KUA, PPLKB, Ketua Tim Penggerak PKK Tingkat Kecamatan, Mantri Pertanian, Mantri Peternakan, Mantri Perikanan, Petugas PU, Mantri Statistik). Danramil dan Kapolsek (dibantu oleh Ketua Bappeda Tingkat II dan Kepala Kantor Bangdes Kabupaten atau Kotamadya), apakah mereka mau memantapkan kerjasama dalam proses perencanaan, pelaksanaan. pengendlian dan evaluasi pelaksanaan pembangunan desa, dan antar-desa yang menyeluruh dan terpadu pada tingkat kecamatan. Angkatan Bersenjata, 16 Juli 1991 Jakarta Tempo Doeloe dan Tahun 2003 lJulu bernama Sunda Kelapa, kemudian menjadi Jayakarta. Tahun 1527, Pasukan Fatahillah berhasil menduduki kota pelabuhan Sunda Kelapa. Ketika armada Portugis datang pasukan Fatahillah akan menghancurkannya. Menandai kemenangannya, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang berarti "kemenangan berjaya" yang kemudian dijadikan lahirnya kota Jakarta. Tahun ini diperingati pada umur 470 tahun dengan tema Jakarta 1527-1997: Dengan semangat Jayakarta serta motto Teguh Beriman, kita rayakan Jakarta 470 tahun, dengan terus kembang mantapkan Persatuan, Kesatuan dan Kekeluargaan untuk sukseskan Pemilu 1997, SEA Games XIX dan Sidang Umum MPR 1998. Tema HUT Jakarta ke 470 ini mengandung tujuh kata kunci yang penting, yaitu Jakarta 470 tahun, Persatuan, Kesatuan, Kekeluargaan, Pemilu 1997, SEA Games XIX dan Sidang Umum MPR 1998. Tanggal 30 Mei 1619 Jan Pieterszoon Coen menaklukkan Jayakarta sehingga Jayakarta diganti menjadi Batavia (Batavieren) walaupun Coen menghendaki nama Noew Hoorn. Ketika Jepang merebut kekuasaan dari tangan Belanda pada tahun 1942, Batavia diganti namanya Jakarta. Nama-nama tempat yang sudah dikenal sejak penjajahan Belanda (buku "Jakarta Tempo Doeloe" oleh Abdul Hakim, 1989), antara lain Pasar lkan, Taman Fatahillah, Pulau Onrust, Jacatreweg (daerah elite), Jalan Majapahit, Mester, Kramat Bunder, Matraman, Gedung Arsip di Molenvliet (Jalan Hayam Wuruk-Gajah Mada), Harmoni, Weltervreden (daerah yang lebih tinggi dan sehat), Koninsplein (Medan Merdeka), Waterlooplein (Lapangan Banteng), Gedung Hooggerechtshof (Mahkamah Agung) dan Gedung Volksraad (sekarang Gedung Pancasila), Gedung Putih 160 meter (sekarang Departemen Keuangan), Willemskerk (Gereja !manuel dekat Stasiun 74
Gambir), dan bekas kantor Konmklijke Paketvaart Maatschappi; atau KPM (sekarang Ditjen Perhubungan Laut). Juga dikenal Pa/veris rijswijk (sekarang lstana Negara), Paleis Koninsplein (sekarang lstana Merdeka), Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenshappen (sekarang Museum Nasional). Stadsschpburg (sekarang Gedung Kesenian), Hoofdpostkantoor (sekarang Kantor Pos Pusat). Groote Zuiderweg (Gunung Sahari), Gedung Aneta (Antara, Pintu Air Wilhelma Park (lstiqlal), Boplo dan Gondangdia, Matraman (Matraman). Saat ini orang masih mengenal Luar Satang, Meriem Si Jagur, Roemah Gadjah (Museum), Glodok (dari kosong menjadi rapat), Rawa Bangke, sepeda motor merk Hildebrand Und Wolfmuller (1893), kereta api Stasiun Gambir ke Sawah Besar dan Senen ke Tanjung Priok, sado (dos a dos atau beradu punggung) di Pintu Ketjil, lalu lintas Segitiga Senen, pangkalan taksi di Merdeka Barat dan Gondangdia, mandi cahaya di Pasar Gambir, Kebun Binatang, mesjid tertua di Jalan Karet, Kebun Jeruk, Tanah Abang, dan Raden Saleh, gereja di pintu Besi, bioskop pertama Talbot di Gambir yang bisa pindah-pindah, ambtenaar (pegawai negeri) berpakaian jas putih-putih, topi helm keras seperti topi baja. Sekarang, Kota Jakarta berpenduduk hampir 10 juta jiwa a tau dikenal menjadi Kota Mega (megacity) atau Metropolitan. Bersama dengan Bogor, Tangerang, dan Bekasi, dikenal sebagai Jabotabek, berpenduduk sekitar 15 juta jiwa. Dengan jumlah pneduduk sebanyak ini, Jabotabek dapat disejajarkan luasnya dengan kota-kota tersebar di dunia, yaitu Mexico City (25 juta), Sao Paulo (23), Tokyo (20), Calcuta (17), Bombay (16), New York (15), Shanghai (14), Seoul (13), Teheran (13), Rio de Janeiro (13), Delhi (13), Buenos Aires (13), Karachi (12) dan Beijing (12). Kota-kota yang menyusul di bawahnya adalah Dacca, Cairo, Manila, Los Angeles, Bangkok, London, Osaka-Kobe, Moscow, Tianjin, dan Lima. Dengan penduduknya yang sepuluh juta ini, banyak permasalahan yang dijumpa1 Kota Jakarta, yaitu manajemen pemerintahan yang belum efektif, aparatur pemerintah yang belum siap bekerja profesional dalam menghadapi globalisasi, manajemen modern belum operasional, masalah keterbatasan tanah, perumahan, transportasi, pengelolaan sampah, penyediaan air bersih, jaringan drainase, kurang terarah dan terpadu koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan, masih banyaknya lingkungan perumahan dan permukiman kumuh, banyaknya pengangguran, kurang tempat parkir, banjir tahunan, kurang sarana dan prasarana olah raga, kurang ruang terbuka hijau dan masih terdapat cukup banyak kantongkantong permukiman miskin dan warga ibukota yang miskin serta migrasi desa-kota sulit ditahan. Jakarta Saat lni Jakarta masa datang ditandai dengan perubahan yang cepat di berbagai bidang pembangunan, kehidupan dan penghidupan. Jakarta bersaing ketat dengan Kuala Lumpur, Bangkok, Manila, dan Singapura. Sarana dan prasarana kota Jakarta terus dilengkapi dan disempurnakan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia DKI Jakarta, dituntut penyelenggaraan pemerintahan umum dan pembangunan yang fleksibel, rasional dan dinamis. Untuk mengisi keinginan Undang-undang ini, Jakarta telah menyiapkan proyek-proyek mega seperti Reklamasi Pantai Utara (Pantura) Jakarta (Keppres 52/1995), pembangunan kawasan pantai (waterfront city) seperti Darling Harbour di Sydney Australia, terminal terpadu Manggarai, pembangunan kereta Jabotabek, pembangunan jaringan kereta api dan jalan tol triple decker, kereta bawah tanah (subway, underground). penataan bawah tanah kawasan Jalan Merdeka, Monas dan sekitarnya (Keppres 25/1995), penataan pusat perdagangan Mangga Dua dan Glodok, penyebaran pusat perbelanjaan (Citra Land, Mal Anggrek, Kelapa Gading, Blok M, Pondok Gede, Lippo Cikarang, dan Lippo Karawaci), pembangunan berbagai segitiga pertumbuhan (perkantoran Sudirman dan Kuningan, perdagangan Senen), peremajaan bus kola, penanganan taksi secara terpadu, pembangunan kota baru Bandar Kemayoran, perluasan Taman lmpian Jaya Ancol, perluasan TMII, serta berbagai sarana dan prasarana kota lainnya. Gubernur DKI Jakarta Surjadi Soedirdja yang berprestasi tinggi pada masa jabatannya tetapi tidak di perpanjang untuk masa jabatan kedua, sudah menanamkan tonggak-tonggak penting bagi pemerintahan ibukota dalam menghadapi perdagangan bebas Asean 2003 dan perdagangan bebas tahun-tahun berikutnya 2010 dan 2020. Program Jakarta Mengkilap (menjadikan ibukota bersih sepanjang hari dengan penanganan 75
sistem mekanis dan menggunakan kendaraan penyapu jalan yang mutakhir) dicanangkan oleh Abdul Kahfi, Walikota Jakarta Pusat yang berpeluang menjadi Wakil Gubernur. Program trotoar indah segera menyusul program kali bersih dan program udara bersih. Gubernur Surjadi menekankan agar jajaran pegawai dan pejabat DKI Jakarta inovatif, menegakkan etika moral, bertaqwa, konsisten dalam kebijakan, rendah hati dan tidak arogan, peka terhadap kepentingan masyarakat dan mampu berfikir inovatif untuk meningkatkan pelayanan. lni sesuai Keppres 3/1995 tentang Gerakan Disiplin Nasional dan In pres 1/1995 ten tang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan aparatur Pemerintah kepada masyarakat. lbu Surjadi menyarankan agar wanita melalui PKK dan organisasi kewanitaan lainya berperan serta dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan kota Jakarta, sebagai tindak lanjut lnpres 5/1995 tentang Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan di Daerah dan lnpres 4/1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan. Ketua DPRD DKI Jakarta, Ritonga tidak bosan-bosan mengajak warga Jakarta melaksanakan ibadah dengan tertib, berpuasa, silaturahmi dan meningkatkan siraman rohani, meningkatkan iman dan taqwa sejalan dengan menguasai iptek, memperhatikan masjid, majelis taklim dan anak yatim, menegakkan persatuan dan kesatuan. Dengan Teguh Beriman (teruskan gerakan untuk hidup bersih, indah menarik, manusiawi dan aman), wujudkan persatuan dan kesatuan, mantapkan kekeluargaan, kebersamaan, dan kepedulian sosial. Pemilu 1997 sudah sukses, tinggal SEA Games XIX diambang pintu dan puncaknya, Sidang Umum MPR 1998 yang sangat penting bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi abad ke-21. Berikut ini catatan Gubernur Surjadi menghadapi tahun 1997 yang bisa dijadikan catatan bagi Gubernur berikutnya: Penayangan berita diimbau Gubernur agar selalu obyektif, positif dan konstruktif jangan sampai merugikan masyarakat. Kritikan setajam apapun harus diterima aparat Pemda, asalkan didukung fakta dan data. Pers harus sadar menginformasikan situasi dan kondisi sebenarnya mengenai kota Jakarta. Semua lapisan warga ibukota harus ikut berpartisipasi dalam mewujudkan Jakarta Teguh Beriman. Aparatur Pemerintah DKI Jakarta harus merumuskan, merencanakan, melaksanakan, mengawasi, memantau dan mengevaluasi pembangunan ibukota dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada khususnya yang menyangkut DKI Jakarta, yaitu UU 5/197 4 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, UU 11/1990 tentang Susunan Negara Republik Indonesia DKI Jakarta, Pola Dasar Pembangunan Daerah dan RUTR 2005 (dan hasil revisi), Undang-undang 24/1992 tentang Penataan Ruang berikut tindaklanjutnya seperti RTR, RTWK dan RTK, Repelita VI (disusul Repelita VII) DKI Jakarta, RUPTD (Rencana Umum Pembangunan Tahunan Daerah), Mekanisme Anggaran (Nota Keuangan/RAPBD DKI Jakarta), Renstra 1992-1997 (disusul Renstra 1997 /1998-2002/2003), Pokok-pokok Pikiran DPRD DKI Jakarta dan Pedoman lain mengacu pada UU, PP, Keppres, lnpres, SKB Menteri, Kepmen, lnmen, serta Kepgub dan lngub. Operasionalisasi pembangunan, perlu mengacu pada kesepakatan Muspida dan upaya menyejajarkan kota Jakarta dan kota-kota besar/metropolitan di dunia, dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat ibukota. Aparatur Pemerintah DKI Jakarta di semua tingkatan, harus memahami, mengerti dan melaksanakan program pembangunan. Masyarakat diharapkan berpartisipasi aktif dalam pembangunan ibukota. Swasta dihimbau dan diharapkan bermitra dengan Pemerintah dalam memacu pembangunan kota metropolitan Jakarta. Prestasi dan Masalah "ter" selama tahun 1996 antara lain Parasamnya Purnakarya Nugraha (tertinggi), Adipura Kencana dan Adipura (terbersih), Kenduri Nasional 1995 (terbesar), Banjir 50 Tahunan (terdahsyat), Peristiwa 27 Juli 1996 (terhebat), Hasil Pemilu 1997 (tersukses), lnvestasi Nasional (tertinggi), Pembangunan Properti (tercepat), Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh (termaju), Pembangunan Rumah Susun Sederhana (tercepat), Pembangunan kawasan Pantai (Terhebat), Kemacetan Lalulintas dan Polusi Kendaraan (terberat), Migrasi Desa-Kota (tertinggi) dan Pembangunan Waserda (tergugah). Penataan pasar (pasar lnpres, pasar lnduk Kramat Jati), pusat pertokoan, pusat perdagangan, penyebaran lokasi mal, selesainya pembangunan 17 dari rencana 25 simpang susun (akan disusul 46-50 simpang susun lainnya), underpass atau terowongan, penataan lingkungan bersih dan hijau melalui Gerakan Sejuta Pohon, penataan trotoar khususnya di sepanjang jalan Thamrin dan Sudirman, perbaikan pelayanan bus kota, dan penataan terminal, merupakan bukti keseriusan Pemerintah DKI Jakarta dalam membangun Jakarta menjadi kota metropolitan. Penertiban bangunan, penanganan kamtibmas secara terpadu, kerukunan 76
hidup beragama, lndeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, keberhasilan mengentaskan kemiskinan dari 11% penduduk (1994) menjadi 5,7% (1995), struktur Jakarta menuju kota jasa dan konvensi (services). Sembilan sasaran prioritas Renstra 1992-1997 yang belum berhasil diwujudkan akan menjadi pekerjaan rumah Gubernur pengganti Surjadi termasuk tugas-tugas baru yang dirumuskan sesuai dengan skala prioritas di era perdagangan bebas pada abad 21, yaitu pembinaan aparatur (profesional, disiplin, bekerja efisien dan efektif). Meningkatkan pelayanan yang cepat, mudah dan murah kepada masyarakat, menerpadukan pembangunan sosial kemasyarakatan (GN OTA), penataan lingkungan kumuh, gerakan PKK, dana ZIS, silaturahmi penyebarluasan Waserda KSU (Warung Serba Ada Koperasi Serba Usaha) di tiap Kelurahan dan RT, pengendalian laju penduduk, penanganan permukiman kumuh (pembangunan rusun sederhana, pelaksanaan SK Gubernur Nomor 540/1990), kebersihan, penghijauan dan kesehatan lingkungan, peningkatan penerimaan daerah, penataan lalu lintas dan angkutan umum (akhir 1997 diharapkan dapat diselesaikan 25 simpang susun (fly over), rencana pembangunan triple-decker), Saumaja (Sistem angkutan umum massal Jakarta) khususnya kereta bawah tanah Blok M-Kota (14,5 Km), serta pembinaan sektor informal dan pengusaha kecil. Di samping melaksanakan Renstra 1992-1997, Pemerintah DKI Jakarta juga melaksanakan program nasional. di ibukota, antara lain berbagai pertemuan internasional di bidang industri, perdagangan, jasa, pariwisata, politik, ekonomi, sosial budaya, olahraga, dan lain-lain, program PIN dan Balita, KB Lestari, penghijauan, penanganan emisi kendaraan, lOT dan pembangunan keluarga pra sejahtera, sejahtera (1, 2, 3 dan 3 plus), gerakan nasional sayang ibu dari PKK, PON XIV 1996 dan rencana Sea Games XIX/1997. Menyongsong 2003, APBD DKI Jakarta ditargetkan meningkat, aparatur pemerintah dididik dan dilatih agar lebih profesional, kerjasama kota kembar (sister city) ditingkatkan, partisipasi masyarakat ditingkatkan, kemitraan pemerintah swasta makin diwujudkan, koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan makin terpadu, kawasan bangunan tua dilestarikan, pantura Jakarta (Jakarta waterfront city) makin tertata dengan baik, mal makin tersebar, pusat perdagangan Mangga Dua makin menawan, kota mandiri di sekitar Jakarta makin berperan. Penataan lingkungan kumuh dengan membangun rumah susun sederhana makin baik, pemasyarakatan dan pembudayaan rumah susun makin intensif, terminal terpadu Manggarai dapat diwujudkan dan terminal antar kota makin teratur, dan udara makin bersih, Saumaja bisa diwujudkan, kerukunan beragama makin kokoh, gerakan disiplin nasional makin memasyarakat, migrasi desa-kota bisa ditekan, kebersamaan dan kepedulian masyarakat makin tinggi, rakyat miskin makin sedikit, ibukota makin aman, nyaman dan tenang. Aparatur Pemerintah Metropolitan Jakarta makin profesional dan partisipasi masyarakat makin tinggi, budaya iptek makin mantap, sistem manajemen modern makin dikuasai, kota jasa dan pusat belanja makin bersih dan menarik, dan menghadapi perdagangan bebas Asean tahun 2003 makin siap. Menyongsong 2003 perlu riset dan evaluasi pembangunan kota, perlu ditingkatkan penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan iptek. Jakarta harus terus dibangun menjadi pusat kehidupan politik nasional dan internasional, penyelenggaraan acara kenegaraan, kota industri, perdagangan, dan pariwisata, kota wisata belanja, kota jasa, kota bersih, indah, hijau, manusiawi, aman dan nyaman. Jakarta 2003 walaupun barangkali belum dapat menyamai kemajuan Singapura, diharapkan dapat lebih menarik dan atraktif dibandingkan dengan Bangkok, Kuala Lumpur, Manila dan kota-kota besar lainnya di Asia T enggara dan Asia. Jakarta harus belajar dari New York dan San Francisco (sebagai kota jasa dan wisata), Tokyo (kota modern), Sydney (Darling Harbour waterfront city), Paris (kota wisata), Amsterdam dan Rotterdam (pemanfaatan sungai), London (jaringan transportasi), dan hindari kemacetan lalulintas seperti terjadi di Bangkok dan Manila. Selamat Jalan kita ucapkan kepada Gubernur Surjadi Sudirdja (dan lbu Surjadi) serta para Pejabat Pembantu beliau yang telah membangun DKI demikian pesat dan menyiapkan berbagai perangkat, sarana dan prasarana di ibukota, sebagai modal yang sangat berharga dalam menghadapi perdagangan bebas Asean 2003 dan perdagangan bebas Asia Pasifik 2010 dan 2020. Kepada Gubernur penerus atau pengganti Gubernur Surjadi Soedirdja, kita ucapkan Selamat Bekerja, menjadikan kota metropolitan Jakarta seperti 77
yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia DKI Jakarta. Jayakarta, 28 Agustus 1997 Mengenal UU Nomor 4 Tahun 1982: Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Lingkungan hidup, merupakan sistem yang meliputi lingkungan alam hayati, non-hayati, buatan, dan lingkungan sosial yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. lstilah lingkungan hidup dan lingkungan sering digunakan dalam pengertian yang sama. Dalam rangka mengatur pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan yang terpadu dan menyeluruh, telah ditetapkan UU Nomor 4/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini menetapkan ketentuan umum berupa definisi tentang lingkungan hidup, pengelolaan lingkungan hidup, ekosistem, daya dukung lingkungan, sumber daya, baku mutu lingkungan, pencemaran lingkungan, perusakan lingkungan, dampak lingkungan, analisis mengenai dampak lingkungan, konservasi sumber daya alam, lembaga swadaya masyarakat, dan pembangunan berwawasan lingkungan. Berdasarkan Wawasan Nusantara, lingkungan hidup mempunyai ruang lingkup yang meliputi ruang, tempat Negara Rl melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, serta yurisdiksinya. Pembangunan berwawasan lingkungan itu sendiri diartikan sebagai upaya sadar dan berencana menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup. Pengelolaan Asas pengelolaan lingkungan hidup adalah pelestarian lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Tujuan pengelolaan lingkungan hidup meliputi (1) tercapainya keselarasan hubungan antara man usia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya, (2) terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana, (3) terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup, (4) terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang, dan (5) terlindunginya negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Dalam permasalahan lingkungan hidup, setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sejalan dengan itu, setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan. Pemerintah berkewajiban menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran masyarakat akan tanggungjawabnya dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan, dan penelitian tentang lingkungan hidup. Hak menguasai dan mengatur sumber daya alam dan sumber daya buatan, memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk (a) mengatur peruntukan, pengembangan, penggunaan, penggunaan kembali, daur ulang, penyediaan, pengelolaan, dan pengawasan sumber daya, (b) mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan atau subyek hukum lainnya terhadap sumber daya, dan (c) mengatur pajak dan retribusi lingkungan. Ketentuan tentang perlindungan sumber daya alam non-hayati, konservasi sumber daya alam hayati, 78
dan ekosistemnya, perlindungan sumber daya buatan, perlindungan eagar budaya, pencegahan dan penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup serta pengawasannya, diatur dan ditetapkan dengan undang-undang berdasarkan baku mutu lingkungan. Pengelolaan lingkungan hidup dilakukan pada tingkat nasional dan daerah. Di tingkat nasional, dilakukan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dipimpin oleh Menteri KLH. Keterpaduan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup secara sektoral, dilakukan oleh Departemen/Lembaga Pemerintah Non-Departemen sesuai dengan tugas dan fungsinya. Di Tingkat Daerah, pengelolaan lingkungan hidup dilakukan oleh Pemda Tingkat I dan Tingkat II. UU ini juga menegaskan peran serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam menunjang upaya pengelolaan lingkungan hidup. LSM mencakup antara lain (a) kelompok profesi yang berdasarkan profesinya tergerak menangani masalah lingkungan, (b) kelompok hobi, yang mencintai kehidupan alam dan terdorong untuk melestarikannya, dan (c) kelompok minat, yang berminat untuk berbuat sesuatu bagi pengembangan lingkungan hidup. Dalam menjalankan peranannya sebagai penunjang, LSM mendayagunakan dirinya sebagai sarana untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup. Ganti rugi dan biaya pemulihan, diatur dalam UU ini. Barang siapa merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup berkewajiban memikul tanggungjawab dengan membayar ganti kerugian kepada penderita yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta membayar biaya pemulihan lingkungan hidup kepada Negara. Tiga ketentuan pi dana diatur dalam UU ini. Pertama, barangsiapa dengan sengaja melakukan perbuatan menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup yang diatur dalam undang-undang ini atau undang-undang lain, diancam pidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 100 juta. Kedua, barangsiapa karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup yang diatur dalam undang-undang ini atau undang-undang lain diancam pidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda sebanyakbanyaknya Rp 1 juta. Ketiga, perbuatan sebagaimana butir pertama adalah kejahatan dan perbuatan sebagaimana butir kedua merupakan pelanggaran. Upaya Pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya sistem terpadu yang meliputi perumusan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan. PP No. 29/1986 tentang AMDAL, UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, PP No. 20/1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, dan Keppres No. 23/1990 tentang BAPEDAL merupakan upaya mengamankan pelaksanaan UU No. 4/ 1982. Bapedal mempunyai tugas melaksanakan pengendalian dampak lingkungan yang meliputi upaya pencegahan kerusakan, penanggulangan dampak serta pemulihan kualitas lingkungan dan fungsi-fungsi perumusan kebijaksanaan pengendalian pencemaran lingkungan hidup, pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, pemantauan dan pengendalian terhadap kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, pengembangan laboratorium rujukan, pengolahan data dan informasi pencemaran lingkungan hidup, dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan hidup. Untuk mendukung dan mengamankan pelaksanaan UU No. 4/1982 dan peraturan perundangundangan tersebut di atas, paling sedikit lima Menteri telah mengeluarkan ketetapan yang menyangkut pengelolaan lingkungan hidup. MenKLH menetapkan tujuh Kepmen/Surat Edaran, yaitu No. Kep-49/MenKLH/ 6/87 tentang Pedoman Penentuan Dampak Penting, No. Kep-50/MenKLH/6/87 (Pedoman Penentuan Dampak Lingkungan), No. Kep-51/MenKLH/6/87 (Pedoman Penyusunan Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan), No. Kep. 52/MeKLH/6/87 (Batas Waktu Penyusunan Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan), No. Kep-53/ MenKLH/6/87 (Pedoman Susunan Keanggotaan dan Tatakerja Komisi), Surat Edaran No. 03/SE/MenKLH/6/ 87 (Prosedur Penanggulangan Kasus Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup), dan Kep. No. 02/ MenKLH/88 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Kepmendagri No.8/1988 menetapkan 79
Pedoman Teknis Tatacara AMDAL bagi proyek-proyek PMA dan PMDN. Kepmentamben No. 1158/008/ M.PE/1989 menetapkan Ketentuan Pelaksanaan AMDAL dalam usaha pertambangan dan enegi, dan Kepmen PU No. 45/PKT/90 menetapkan Pengendalian Mutu Air pada Sumber-sumber Air. Empat Surat Keputusan Menperind yang merupakan upaya pengelolaan lingkungan hidup, terdiri atas SK No. 148/M/SK/4/ 85 tentang Pengamanan Bahan Beracun dan Berbahaya di Perusahaan lndustri, No. 20/M/Sk/1/86 tentang Lingkup Tugas Deperind Dalam Pengendalian Pencemaran lndustri terhadap lingkungan hidup, No. 134/M/ SK/4/88 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran sebagai akibat kegiatan usaha industri terhadap lingkungan hidup, dan No. 135/M/SK/4/88 tentang Pembentukan Komisi Pusat AMDAL Deperind. Seperangkat peraturan perundang-undangan tersebut baru bisa berjalan efektif jika dapat diwujudkan koordinasi terpadu di antara berbagai pelaku pengelolaan lingkungan hidup. Selain koordinasi di antara lima Menteri tersebut di atas dan dengan lnstansi terkait lainnya, koordinasi MenKLH/Ketua AMDAL dengan Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Rl, Gubernur Kepala DT I, dan Bupati!Walikotamadya Kepala DT. II, perlu lebih ditingkatkan. Menyambut peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang tahun ini diselenggarakan pada tanggal 4 Juni 1991 dengan tema Pengembangan lndustri Berwawasan Lingkungan (yang diturunkan dari tema internasional Perubahan iklim, mendorong kebutuhan mengembangkan kemitraan global atau Climate change, need for global partnership), penting rasanya untuk mengutip pernyataan Emil Salim. Proses pembangunan dapat menghasilkan dampak negatif berupa pencemaran dan perusakan lingkungan sebagai produk samping. Sumber alam dan lingkungan hidup harus diolah tidak saja untuk meningkatkan kesejahteraan generasi masa kini, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan generasi masa depan. Pengusaha dan seluruh masyarakat diajak untuk berperanserta aktif mengembangkan industri yang berwawasan lingkungan agar masyarakat kita menjadi semakin sejahtera. generasi demi generasi, dalam tanah air Indonesia yang hijau, utuh lingkungan dan lestari. Semoga. Neraca, 12 Juni 1991 BAPEDAL : Tugas Berat Kendalikan Dampak Lingkungan Hidup Lingkungan hidup adalah suatu kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteran manusia serta makhluk hidup lainnya. UU Rl Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup menekankan pentingnya pengelolaan lingkungan hidup yang merupakan upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan dan pengembangan lingkungan hidup. Pembangunan yang semakin meningkat akan menimbulkan dampak yang semakin besar dan memerlukan pengendalian sehingga pembangunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan (sustainable development). Mengingat pentingnya pengelolaan lingkungan hidup dan dampak lingkungan seperti tertuang pada pasal 4 ayat (1) UUD 1945, UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, UU Nomor 4 Tahun 1982, dan PP Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, maka dibentuklah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) dengan tugas pokok membantu Presiden dalam melaksanakan pengendalian dampak lingkungan hidup yang meliputi upaya pencegahan kerusakan, penanggulangan dampak serta pemulihan kualitas lingkungan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. BAPEDAL Dalam menganalisis dampak lingkungan perlu dibedakan dua hal. Pertama adalah Analisis Mengenai 80
Dampak Lingkungan (AMDAL), yaitu hasil studi mengenai dampak suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. Yang kedua, Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) sebagai telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu kegiatan yang direncanakan. Dampak Penting, merupakan perubahan lingkungan yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu kegiatan. AMDAL perlu didukung oleh tiga telaahan. Pertama, Penyajian lnformasi Lingkungan (PIL) yang merupakan telaahan secara garis besar tentang rencana kegiatan yang akan dilaksanakan, rona lingkungan tempat kegiatan, kemungkinan timbulnya dampak lingkungan oleh kegiatan tersebut dan rencana tindakan pengendalian dampak negatifnya. Kedua, Penyajian Evaluasi Lingkungan (PEL) sebagai telaahan secara garis besar tentang kegiatan yang sedang dilaksanakan, rona lingkungan pada saat penyajian ini dibuat, dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut, dan rencana tindakan pengendalian dampak negatifnya. Ketiga, Studi Evaluasi Lingkungan (SEL) berupa telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu kegiatan yang sedang dilaksanakan. PIL wajib dibuat jika setiap rencana kegiatan yang mempunyai dampak terhadap lingkungan hidup merupakan (a) pengubahan bentuk lahan dan bentang alam, (b) eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui, (c) proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, kerusakan dan kemerosotan pemanfaatan sumber daya alam, (d) proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan sosial dan budaya, (e) proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan atau perlindungan eagar budaya, (f) introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik, (g) pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non-hayati, dan (h) penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan. Setiap rencana kegiatan yang disebutkan tadi wajib dilengkapi AMDAL apabila mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup yang ditentukan oleh jumlah manusia yang akan terkena dampak, luas wilayah persebaran dampak, lamanya dampak berlangsung, intensitas dampak, banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena dampak, sifat kumulatif dampak, dan berbalik tidaknya dampak. BAPEDAL, suatu badan yang mengendalikan dampak lingkungan hidup dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 23 Tahun 1990 tanggal 5 Juni 1990. BAPEDAL merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen, seperti LIPI, BPP TEKNOLOGI, BAT AN, BPS, dan lain-lain. Dalam melaksanakan tugas pokoknya, BAPEDAL menyelenggarakan fungsi-fungsi (a) membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan mengenai pelaksanaan upaya pengendalian pencemaran lingkungan hidup, (b) melaksanakan upaya pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun (83), (c) melaksanakan pemantauan dan pengendalian terhadap kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, (d) melaksanakan pengembangan laboratorium rujukan dan pengolahan data dan informasi mengenai pencemaran lingkungan hidup, (e) melaksanakan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan hidup, dan (f) melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh Presiden. Organisasi BAPEDAL dipimpin oleh Kepala (eselon Ia) yang dibantu oleh Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan (eselon lb-la), Deputi Bidang Pengembangan (eselon lb-la), dan Sekretaris (eselon lla). Kepala diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup, sedangkan Deputi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Kepala BAPEDAL. Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan menangani pekerjaan di bidang pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup, penegakan olahan limbah bahan berbahaya dan beracun. Fungsi Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan mencakup (a) pelaksanaan pengendalian pencemaran air, tanah, udara, laut, dan kebisingan serta pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, (b) penegakan dan penerapan baku mutu lingkungan dalam rangka pelaksanaan UU Nomor 4 Tahun 1982, (c) koordinasi pemulihan kemampuan lingkungan hidup serta pengembangan sistem pengendalian keadaan darurat pencemaran lingkungan, (d) penyusunan dan penetapan baku mutu limbah untuk setiap jenis kegiatan dan rencana pengendalian dampak kegiatan skala kecil, (e) penyusunan dan penetapan persyaratan pembuangan limbah, termasuk persyaratan bagi kegiatan penghasil limbah bahan berbahaya dan beracun, pelaksanaan pengawasan pembuangan limbah dan pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan Kepala. 81
Deputi Bidang Pengembangan melaksanakan tugas di bidang pengembangan, pengendalian dan pemantapan AMDAL, pembinaan teknis kemampuan pengendalian pencemaran, pengembangan laboratorium rujukan dan pengolahan data serta informasi mengenai pencemaran lingkungan. Dalam melaksanakan tugasnya, Deputi Bidang Pengembangan menyelenggarakan fungsi (a) pelaksanaan pengembangan sistem dan penerapan AMDAL, (b) pemantauan pelaksanaan AMDAL dan pembuatan evaluasi mengenai dampak penting kegiatan di berbagai bidang dan perubahan kualitas lingkungan, (c) persiapan keputusan persetujuan terhadap kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, (d) pelaksanaan pembinaan teknis kemampuan pengendalian pencemaran lingkungan hidup dan pemantauan pencemaran lingkungan hidup, (e) pengembangan laboratorium rujukan dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan hidup, (f) pelaksanaan pengumpulan dan pengolahan data dan informasi mengenai pencemaran lingkungan hidup, dan (g) pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala. Dua Deputi tersebut masing-masing mempunyai tiga Direktorat. Deputi Bidang Pengendalian Pengendalian Pencemaran Lingkungan membawahi Direktorat-direktorat (1) Pengendalian Pencemaran Air dan Tanah, (2) Pengendalian Pencemaran Laut dan Udara, dan (3) Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Deputi Bidang Pengembangan membawahi Direktorat-direktorat (1) Pengembangan Pengendalian dan Pemantauan AMDAL, (2) Pembinaan Teknis, dan (3) Pengembangan Laboratorium Rujukan dan Pengolahan Data. Pelaksanaan sebagian tugas penanggulangan pencemaran lingkungan hidup di Daerah dilaksanakan oleh Pemda dengan bimbingan BAPEDAL. Kepanjangan organisasi BAPEDAL direncanakan sampai ke propinsi dan kabupaten/kotamadya, pelaksanaan tugas berdasarkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi baik dalam lingkup BAPEDAL sendiri maupun dalam hubungan antar lnstansi Pemerintah untuk kesatuan gerak sesuai dengan tugasnya. Harapan Tujuh Kepmen KLH mendukung pelaksanaan tugas-tugas BAPEDAL, yaitu Kepmen KLH Nomor 49 Tahun 1987 tentang pedoman Penentuan Dampak Penting, Kepmen KLH Nomor 50 Tahun 1987 tentang Pedoman Penentuan Dampak Lingkungan, Kepmen KLH Nomor 51 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan, Kepmen KLH Nomor 52 Tahun 1987 tentang Batas Waktu Penyusunan Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan, Kepmen KLH Nomor 53 Tahun 1987 tentang Pedoman Susunan Keanggotaan dan Tata Kerja Komisi, Surat Edaran Menteri Negara KLH Nomor 3 Tahun 1987 tentang Prosedur Penanggulangan Kasus Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup, dan Kepmen KLH Nomor 2 Tahun 1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Mendagri dalam Keputusannya Nomor 8 Tahun 1988 menetapkan Pedoman Teknis Tata Cara Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Bagi Proyek-proyek PMA dan PMDN, Menteri Perindustrian menetapkan tiga keputusan, yaitu Nomor 148 T a hun 1985 tentang Pengamanan Bahan Beracun dan Berbahaya di Perusahaan lndustri, Nomor 20 Tahun 1986 tentang Lingkup Tugas Departemen Perindustrian Dalam Pengendalian Pencemaran lndustri Terhadap Lingkungan Hidup, dan Nomor 135 Tahun 1988 tentang Pembentukan Komisi Pusat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Departemen Perindustrian. Menteri Pertambangan dan Energi menetapkan Keputusan Nomor 1158 Tahun 1989 tentang Ketentuan Pelaksanaan AMDAL Dalam Usaha Pertambahan dan Energi dan Nomor 45, sedangkan Menteri PU menetapkan Peraturan Nomor 45 Tahun 1990 tentang Pengendalian Mutu Air Pada Sumber-sumber Air. Dengan terbentuknya BAPEDAL, segala kegiatan pengendalian dampak lingkungan hidup dilaksanakan oleh BAPEDAL. Personil BAPEDAL harus kuat, karena banyaknya masalah pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang harus ditangani. BAPEDAL harus selalu bekerjasama dengan Depdagri, Deperind, Deppu, Deptamben, Dephut, dan Deptan, serta lnstansi terkait lainnya. Di samping itu yang menyangkut penegakan hukum, Kepala BAPEDAL harus selalu berkoordinasi dengan Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, dan Kapolri. Masyarakat mengharapkan agar BAPEDAL berperan dalam mengamankan pelaksanaan sanksi atas · pelanggaran perusakan lingkungan hidup. Barang siapa mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup memikul tangungjawab dengan kewajiban membayar (a) ganti kerugian kepada penderita yang telah 82
dilanggar haknya atas lingkungan yang baik dan sehat, dan (b) biaya pemulihan lingkungan hidup kepada negara. 8arang siapa melakukan perbuatan yang menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup atau rusaknya lingkungan hid up dian cam pi dana (a) apabila dengan sengaJa, dengan pi dana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 100 juta, dan (b) apabila karen a kelalaiannya, dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 1 juta. Dalam menangani kerusakan lingkungan akibat industri, 8APEDAL harus selalu bekerjasama dengan Deperind dalam upaya penanganan bahan beracun dan berbahaya (bahan beracun, peledak, mudah terbakar, oksidator atau reduktor, gas bertekanan, bahan korosi!iritasi, dan bahan radioaktif) dan pengendalian (pencegahan dan penanggulangan) pencemaran industri yang menimbulkan dampak kurang penting (wajib PIL) dan industri yang menimbulkan dampak penting (wajib ANDAL, misalnya industri pellet besi baja, ingot kuningan, pulp, semen, olefin, aromatik, dan pupuk kimia). Sesuai tugas pokok dan fungsinya, 8APEDAL perlu didukung oleh lnstansi terkait, Swasta dan masyarakat, untuk bersama-sama berusaha mencegah kerusakan lingkungan, memantau dan menanggulangi dampak serta memulihkan kualitas lingkungan, berupaya mengelola limbah 83, mengembangkan laboratorium, memantau Pemda dalam program Prokasih dan Udara 8ersih, serta kota bersih, menyongsong tahun 2000, 8APEDAL diharapkan turut mengamankan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan melalui pengelolaan total (total management) pelaksanaan pengendalian dampak lingkungan hidup. Sejalan dengan itu pulalah, Peraturan Pemerintah tentang 83 diharapkan cepat ditetapkan. Jayakarta, 11 Juni 1991 Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan Dalam Seminar Pola Pembangunan 8erkelanjutan dan 8erwawasan Lingkungan yang diselenggarakan di Jakarta, 3 Agustus 1993, oleh Yayasan Mitra Teknologi Indonesia, Sarwono Kusumaatmadja (1993) menegaskan bahwa penerapan sain dan teknologi (iptek) dan segala usaha untuk meningkatkan produksi dan pendapatan per kapita serta memperbaiki infrastruktur, perlu dilakukan secara serasi dan terpadu dengan proses perubahan sosial budaya masyarakat, sehingga membuka kemungkinan tercapainya pemerataan pendapatan (equitability), mengecilnya perbedaan (disparity) antara desa-kota, kaya-miskin, pria-wanita, menjamin kemantapan (stability) dan keberlanjutan (sustainability) yang kesemuanya merupakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (sustainable ecodevelopment). Sejalan dengan itu, diharapkan dapat berkembang suatu pola pembangunan yang menggunakan teknologi yang bersifat preventif dan bukan semata-mata teknologi end-of pipe treatment bel aka, yang mampu memanfaatkan sumberdaya secara berkelanjutan, serta tidak merusak fungsi-fungsi lingkungan. Kebijaksanaan dan penerapan iptek perlu diupayakan agar melindungi basis sumberdaya sekaligus meningkatkan produktivitas dan kualitas hidup masyarakat, antara lain dalam pengelolaan tata guna lahan dan tata ruang, pengelolaan air, agro ekoteknologi, agroforestry, bioteknologi, teknologi pascapanen, dan teknologi bersih. Berwawasan Lingkungan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup mendefinisikan pengertian pembangunan berwawasan lingkungan sebagai upaya sadar dan berencana menggunakan dan mengelola sumberdaya secara bijaksana (senantiasa memperhitungkan dampak kegiatan tersebut terhadap lingkungan serta kemampuan sumberdaya untuk menopang pembangunan secara berkesinambungan) dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup. Mengacu pada The World Commission on Environment and Development, pembangunan industri berwawasan lingkungan adalah proses pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi masa sekarang tanpa 83
mengesampingkan dan atau mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan batasan ini, UNIDO mengusulkan pembangunan industri yang berwawasan lingkungan (ecologically sustainable industrial development, ESID) yang sering ditekankan sebagai Ecologically Sound and Sustainable Industrial Development, ESSID sebagai Those patterns of industrialization that enhance economic and social benefits for present and future generation without impairing basic ecological processes. Menteri Perindustrian Tungky Ariwibowo mengatakan bahwa atas dasar definisi tersebut, maka pembangunan industri berwawasan lingkungan harus memenuhi tiga kriteria. Pertama, dapat melindungi biosfir, ini menyangkut pemeliharaan kualitas lingkungan hidup fisik untuk kehidupan yang sehat dan nyaman, terutama cuaca, udara, daya dukung sistem sumberdaya serap maupun daya assimilasi sistem lingkungan udara, air dan tanah terhadap pencemaran emisi maupun limbah. Kedua, harus mampu mendayagunakan seefisien mungkin modal buatan dan modal alam (man made and natural capital). Penerapan prinsip ini dalam kegiatan industri biasanya dijabarkan dalam penggunaan teknologi yang efisien, yaitu yang minimum dalam pemakaian input (bahan baku, energi, dan sebagainya) per satuan output atau memaksimumkan output per satuan input. Ketiga, harus menerapkan prinsip adil atau pemerataan (equity) yang mencakup pengertian keadilan dalam memikul beban, yaitu (a) keadilan dapat menikmati kesejahteraan dari hasil pembangunan antara negara-negara industri maju yang telah banyak mengambil manfaat dari eksploitasi sumber alam di bumi dan telah banyak membebani lingkungan biosfir dibandingkan dengan negara-negara berkembang, dan (b) keadilan antar generasi umat manusia dan makhluk hidup lain dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Dalam konteks pembangunan industri, mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984, dianut pengembangan industri berwawasan lingkungan, termasuk di dalamnya pembangunan kawasan industri berwawasan lingkungan, yang mengandung makna dipeliharanya fungsi dan keseimbangan ekologi agar kegiatan pembangunan dapat berkelanjutan tanpa menimbulkan gangguan, korban, kerugian dan kerusakan terhadap lingkungan hayati dan non-hayati, terutama akibat pencemaran. Menteri Kehutanan, Djamaludin mengutip hasil United Nations Conference on Human Environment di Stockholm tahun 1972, yang menyatakan bahwa selain pengelolaan hutan yang tidak bijaksana, maka kemiskinan dan kebodohan juga merupakan penyebab permasalahan lingkungan, dan oleh karena itu penyebab-penyebab tersebut harus dilenyapkan dari muka bumi. Kemudian pada tahun 1980 dihasilkan Strategi Konservasi Dunia yang menekankan perlunya keseimbangan antara perlindungan alam, pengawetan biodiversity, dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Diharapkan tidak ada lagi persepsi tentang pembangunan merusak lingkungan dan lingkungan menghambat pembangunan. Dalam melihat hubungan antara pembangunan, kependudukan dan lingkungan, Djamaludin menyarankan untuk melihat 27 Prinsip Deklarasi Rio sebagai hasil KTT Bumi yang menegaskan pentingnya perwujudan kemitraan global, yang baru dan adil dengan mewujudkan tingkat kerjasama yang baru dan erat di antara negara-negara yang merupakan pelaku utama dalam kehidupan dan pengenalan masyarakat dan bangsabangsa, antara lain manusia yang merupakan perhatian utama pembangunan berkelanjutan, kedaulatan memanfaatkan sumber alam di negeri sendiri dan tidak menyebabkan kerusakan di negara lain, kerjasama dalam menghilangkan kemiskinan, kebijaksanaan di bidang demografi, penanganan masalah lingkungan hendaknya mengikutsertakan semua pihak dan anggota masyarakat, tidak boleh melakukan diskriminatif dalam perdagangan internasional. Amdal sebagai instrumen nasional, penduduk asli dan anggota masyarakat serta masyarakat setempat mempunyai peranan penting dalam pengelolaan lingkungan, dan yang tidak kalah pentingnya, negara dan anggota masyarakat dengan niat baik dan berdasarkan semangat kemitraan bersama, dapat bekerjasama dalam mewujudkan dan melaksanakan pengelolaan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan. Pengelolaan hutan dan lingkungan hidup tidak hanya memberi manfaat ekonomi, lapangan kerja dan menghasilkan devisa, tetapi menjadi harapan dan amanat meningkatnya kesadaran akan pentingnya konservasi dan keanekaragaman hayati, meningkatnya kepedulian sosial, peran serta masyarakat luas dan peran serta Pemda, serta meningkatnya manfaat dan kesejahteraan kepada lebih banyak pihak, lebih merata, lebih memperhatikan usaha kecil dan lebih menyebar ke seluruh wilayah tanah air. Adapun arah kebijaksanaan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah 84
meningkatnya kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang bertumpu pada Trilogi Pembangunan. potensi sumberdaya nasional yang diarahkan menjadi kekuatan ekonomi, perlu diberikan perhatian pada usaha kecil dan tradisional serta golongan ekonomi lemah, sumberdaya alam harus dijaga agar kemampuannya untuk memperbaharui diri selalu terpelihara, pemerataan pembangunan di seluruh wilayah tanah air, dan pembangunan iptek yang diarahkan agar pemanfaatan, pengembangan dan penguasaannya dapat mempercepat peningkatan kecerdasan dan kemampuan bangsa, mempercepat proses pembaharuan. meningkatkan produktivitas dan efisiensi, memperluas lapangan kerja, meningkatkan kualitas, harkat dan martabat bangsa, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Partisipasi Masyarakat Rosyid Hariyadi, Ketua Panitia Penyelenggara Seminar Nasional Pola Pembangunan Berwawasan Lingkungan mengatakan bahwa pembangunan lingkungan hidup diarahkan pada terwujudnya kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam keseimbangan dan keserasian yang dinamis dengan perkembangan kependudukan, agar dapat menjamin pembangunan nasional yang berkelanjutan. Pakar lingkungan, Otto Soemarwoto, menyarankan pentingnya pertimbangan daya dukung dalam pembangunan nasional. Untuk itu, diperlukan penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan. Wiranto Arismunandar (1993), sebagai Rektor ITB dan Pengelola Yayasan Mitra Teknologi Indonesia, menegaskan pentingnya pendidikan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. lptek yang berkembang dengan pesat, haruslah bermanfaat dan meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Manusia dan mesin harus berfungsi serta dijalankan dan dirawat dengan baik, sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku. Manusia harus ramah pada lingkungannya supaya lingkungan dapat menjamin kebutuhan hidupnya. Manusia juga dapat membuat supaya lingkungan dapat menunjang keperluan hidupnya, sebaliknya teknologi juga dapat dimanfaatkan untuk menciptakan lingkungan (buatan) yang memberikan rasa senang, aman dan tenteram serta unsur lain yang memungkinkan tumbuhnya kreativitas, meningkatkan mutu dan produktivitas, menghilangkan ketegangan, dan menciptakan suasana santai. Wiranto Arismunandar juga menyodorkan beberapa kunci yang baik untuk digunakan sebagai pedoman keselamatan lingkungan hidup yang mempunyai sifat langgeng, antara lain he mat dan sederhana, pembangunan berkelanjutan, mutu, ramah dan mencintai, bersih dan tidak mengotori, disiplin, menaati peraturan dan prosedur, hidup sehat dan kreatif, efektif, efisien dan ekonomis, asas manfaat tanpa kemubaziran, zero waste. zero defect, dan zero accident. Pencemaran lingkungan harus dapat diatasi dan dicegah, antara lain melalui pemilihan bahan dan proses, instalasi serta instrumentasi serta sistem kontrol, operasi dan perawatan yang tepat, keamanan, dan kehandalan manusia yang bersangkutan. Penanggulangan pencemaran lingkungan hendaknya sekaligus dapat memanfaatkan dan mendaur ulang barang bekas atau buangan. Dengan asas manfaat, industri akan menuju proses tanpa buangan (zero waste). Buangan dikurangi atau diperkecil tetapi tidak mengotori lingkungan atau boleh dibuang (disposable), tidak merusak lingkungan. Yang kita inginkan adalah teknologi baru yang dibuat recyclable, bioegradible, dan dispocable. Teknologi hendaknya dimanfaatkan untuk menciptakan lingkungan (buatan) yang memberikan rasa senang, aman dan tenteram serta unsur lain yang memungkinkan tumbuhnya kreativitas, meningkatkan mutu dan produktivitas. menghilangkan ketegangan, dan menciptakan suasana yang santai. Pembangunan berwawasan lingkungan menurut Rosyid Hariyadi (1993) memerlukan tatanan agar sumberdaya alam dapat secara berlanjut menunjang pembangunan, pada masa kini dan mendatang, generasi demi generasi dan khususnya dalam meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Prinsip pembangunan berkelanjutan mencakup pemikiran aspek lingkungan hidup sedini mungkin dan pada setiap tahapan pembangunan, pengelolaan sumberdaya alam sebijaksana mungkin, pembangunan yang memperhitungkan daya dukung lingkungan, dan pembangunan di bawah nilai ambang batas. Menyongsong masa depan, Herman Haeruman (1993) mengingatkan banyaknya tantangan yang meliputi permasalahan lingkungan hidup perkotaan (pemakaian energi yang berlebihan, penumpukan limbah kota, kesemrawutan angkutan kota, perumahan dan permukiman yang tidak teratur) dan permasalahan di pedesaan (kerusakan sumberdaya alam). Diperlukan upaya komprehensif yang memadukan penggunaan instrumen regulasi, efisiensi pembangunan dalam mengurangi kerusakan ekosistem, adanya peraturan yang 85
efektif dan dilaksanakan, manfaat gerakan lingkungan hidup dan forum lingkungan hidup, tersedianya informasi lingkungan yang memadai, serta tumbuhnya kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam menangani berbagai permasalahan. Angkatan Bersenjata, 5 Januari 1994 Mengintegrasikan Lingkungan Hidup Dalam Pembangunan Nasional lndustrialisasi dan lntegrasi Lingkungan Hidup dalam PJP II dan Pelita VI merupakan salah satu topik bahasan dalam Seminar Ekonomi Menyongsong Pelaksanaan PJP II yang diselenggarakan oleh Suara Pembaruan di Jakarta pada tanggal 18-19 Januari 1994. Masalah industrialisasi dibahas oleh Menko lndag Hartarto, sedangkan masalah lingkungan hidup dikupas oleh Menneg LH Sarwono Kusumaatmadja. Tulisan ini berusaha mengangkat butir-butir penting yang telah dilontarkan oleh dua orang pakar, bidang industri dan lingkungan. lndustrialisasi Menurut Hartarto, tinggal landas adalah saat yang kritis, karena jika berhasil maka bangsa Indonesia akan dapat mencapai kemajuan yang pesat, namun kalau gagal, kita akan menghadapi kesulitan yang berkepanjangan. Berkat prestasi di bidang industri yang telah dicapai pada Pelita V, maka menyongsong Pelita VI, industri sudah siap tinggal landas untuk menjadi penggerak utama pembangunan. Produk-produk manufaktur Indonesia telah semakin didorong daya saingnya tidak saja pada keunggulan komparatif, melainkan lebih pada keunggulan kompetitif baik di pasar dalam negeri maupun pasar global. Penciptaan iklim usaha yang kondusif ditempuh melalui rangkaian langkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi yang dilaksanakan secara dinamis mencakup kebijaksanaan fiskal, moneter dan perbankan, kepabeanan dan tata niaga, tata ruang, perijiinan dalam arti luas, dan standarisasi. Pengembangan ekspor non-migas sebagai penggerak utama pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan momentum yang tepat, yaitu memanfaatkan hasil putaran Uruguay, secara kontinu mendorong deregulasi sehingga daya saing semakin kuat, mengembangkan industri yang berdaya saing kuat dengan memanfaatkan teknologi yang tepat (industri yang mengolah sumber daya alam dengan peningkatan nilai tambah, industri yang memanfaatkan sumber daya manusia, gabungan industri keduanya dan industri yang memanfaatkan dukungan teknologi canggih, antara lain mesin-mesin elektronika, alat angkut, pabrik secara utuh dan lain-lain), serta mendorong tumbuh dan berkembangnya Indonesia sebagai trading nation. Di samping mendorong ekspor non-migas juga dikembangkan upaya penting dan strategis berupa pengembangan usaha kecil dan koperasi, pengembangan industri barang modal dan industri hulu, pengembangan kemampuan penguasaan teknologi dalam arti luas (rancang bangun, perekayasaan industri, dan litbang terapan) dan pengembangan sumber daya manusia. Dengan laju pertumbuhannya yang tinggi, peranan industri pada PDB pada Pel ita V mencapai 21% dan diharapkan pada akhir Pel ita VI mencapai 25% serta peranan ekspornya sangat dominan. Kondisi ini memperlihatkan industri telah siap tinggal landas, menjadi penggerak utama pembangunan yang menghela sektor ekonomi lainnya dan pada gilirannya berdampak luas pada pembangunan nasional pada umumnya. Lingkungan hidup Menurut Sarwono, kondisi dan kecenderungan lingkungan saat ini mengarah pada tiga kesimpulan dasar. Pertama, pertumbuhan dan pembangunan masa depan, termasuk proses industrialisasi akan sangat bergantung kepada cadangan sumber daya alam utama Indonesia (tanah, air dan energi) dan keberlanjutan tatanan lingkungan yang strategis (termasuk sumber air tanah di daerah perkotaan dan ekosistem pantai dan lautan). Kedua, pertumbuhan sektor industri akan terus berlanjut terkonsentrasi di daerah perkotaan, 86
khususnya di Pulau Jawa. Jika kurang hati-hati melakukan pengawasan, maka pencernaran industri sulit dicegah, kemacetan lalulintas hampir merata, efisiensi dan efektivitas pengelolaaan perkotaan rendah, investasi asing sulit ditingkatkan dan ketimpangan antar daerah sulit dihindari. Ketiga, akibat dari pertumbuhan ekonomi yang cepat, konflik pada penggunaan tanah dan akses pada sumber daya lainnya akan terus meningkat dibarengi dengan meningkatnya jumlah masyarakat yang terkena pencemaran lingkungan, sehingga mempengaruhi upaya peningkatan kualitas hidupnya. Sebagai obat dari penyakit ini, maka perencanaan pembangunan jangka panjang dan perencanaan program Pelita VI serta pelaksanaan tahunannya haruslah dilandasi oleh konsep Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan (PBBL) yang bertumpu pada kondisi sumber daya alam, kualitas lingkungan dan faktor kependudukan. PBBL menurut Soeriaatmadja, mempunyai ciri pertumbuhan ekonomi yang mempunyai pembangkitan (penduduk yang masih miskin perlu disentuh), pertumbuhan ekonomi yang menuju perubahan kualitas pertumbuhan, pemenuhan kebutuhan dasar akan lapangan kerja, air (sumber daya). pangan, energi, dan kesehatan lingkungan, pelestarian dan pendayagunaan sumber alam, energ1 berkelanjutan, dan daya serap biosfera, pendayagunaan iptek yang mampu mengelola dan mengendalikan resiko, dan keterpaduan pertimbangan ekonomi dan ekologi dalam proses pengambilan keputusan. Soeriaatmadja juga menyodorkan asas PBBL, yaitu keterkaitan dan ketergantungan antara manusia dan lingkungan serta sumber daya alam di dalamnya menuntut perlunya keserasian dan keselarasan dalam pendayagunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, kemitraan global dan nasional diperlukan untuk mendorong PBBL atas dasar kepentingan bersama, diperlukan perubahan gaya hidup, pola konsumsi dan pola produksi untuk menjamin kehidupan berkelanjutan, diperlukan pembinaan sistem kelembagaan untuk keberhasilan PBBL, dan produk hijau adalah tujuan industrialisasi PBBL. lntegrasi Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Nasional menurut pemikiran Sarwono adalah upaya melibatkan delapan unsur dan melaksanakannya dalam pembangunan nasional, yaitu pengembangan tata ruang, penetapan baku mutu lingkungan dan baku mutu limbah, analisis mengenai dampak lingkungan, pengendalian pencemaran lingkungan, rehabilitasi dan reklamasi lingkungan, konservasi sumber daya hayati melalui pendekatan ekonomi, peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan pendekatan ekonomi dalam pengelolaan lingkungan hid up (menginternalkan eksternalitas, retribusi untuk biaya sosial, peratuan pemerintah tentang kualitas, mengeliminasikan distorsi harga, serta analisis manfaat dan biaya). Pengembangan tata ruang mengacu pada UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang yang ditindaklanjuti oleh Keppres Nomor 75 Tahun 1993 tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) yang dipimpin oleh Menneg PPN/ Ketua Bappenas, Ginanjar Kartasasmita. Keppres Nomor 75 Tahun 1993 ini merupakan pembaruan (penyempurnaan) dari Keppres Nomor 57 tahun 1989 tentang Tim Tata Ruang Nasional. Hirarki rencana tata ruang terdiri atas Strategi Nasional Pembangunan Tata Ruang (SNPPTR), Rencana Struktur Ruang Propinsi (RSTRP) dan Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten/Kota/Wilayah (RUTRK/W), masing-masing berdimensi waktu 25, 15 dan 10 tahun. Ketentuan mengenai baku mutu lingkungan (batas atau kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar terdapat dalam media lingkungan sehingga dapat tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya) dan baku mutu limbah (cair, bahan beracun dan berbahaya, B3) ditetapkan melalui PP. Keppres, atau Kepgub, dimaksudkan untuk mengindari pencemaran dalam upaya pelestarian lingkungan untuk rnendukung pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. AMDAL yang diatur melalui PP nomor 51 Tahun 1993 (pengganti PP Nomor 29 Tahun 1986), memuat ketentuan analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan terpadu/multisektor, analisis mengenai dampak lingkungan kawasan, analisis mengenai dampak lingkungan regional. AMDAL, adalah hasil studi mengenai dampak penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. Baku mutu limbah ditetapkan dalam upaya pengendalian pencemaran dan industri yang membuang limbahnya ke media lingkungan harus di bawah baku mutu limbah yang telah ditetapkan. Penanggulangan pencemaran air, udara dan tanah mengutamakan penanggulangan bahan beracun dan berbahaya agar limbah dapat dikendalikan dan tidak membahayakan masyarakat serta penanggulangan limbah padat terutama di kota-kota agar tidak mengganggu kesehatan lingkungan. Sarwono menegaskan bahwa upaya pengendalian pencemaran lingkungan diikuti oleh pentaatan (complience. upaya agar ketetapan tentang baku 87
mutu lingkungan, baku mutu limbah dan pengendalian pencemaran dilaksanakan) dan melakukan audit lingkungan bagi kegiatan pembangunan yang dianggap melanggar ketentuan baku mutu lingkungan dan baku mutu limbah. Oi samping penataan ruang yang merupakan kebijaksanaan proaktif, dianut kebijaksanaan reaktif berupa rehabilitasi dan reklamasi, yaitu pengendalian setelah timbul pencemaran lingkungan, antara lain program reboisasi, Adipura (dengan lambang-lambang kota Teguh Beriman, Bersinar, Berseri dan sebagainya), program kali bersih, program langit biru, program sinar bersih laut (Sibelut) dan program daur ulang Indonesia (Peduli). Konservasi sumber daya alam yang hidup (tumbuhan, binatang dan mikro-organisme, serta unsurunsur non hayati dari lingkungan yang menjadi sandarannya), sangat penting bagi pembangunan. Taman nasional, reboisasi, konservasi alam, penataan hutan tropik, merupakan upaya-upaya dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Peran serta masyarakat dalam konservasi sangat diperlukan. Pembagian tugas dan tanggungjawab kepada berbagai instansi dan institusi, sistem manajemen sumber daya alam berbasis komunitas, pengelolaan lingkungan bertumpu pada masyarakat, serta koordinasi antar instansi dan institusi, akan mendukung keberhasilan upaya pelestarian lingkungan. Peran serta masyarakat dibutuhkan tidak hanya untuk konservasi, tetapi lebih luas lagi, peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Di samping peran serta masyarakat, sangat diperlukan ditumbuhkembangkannya kemitraan (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam pengelolaan lingkungan. Peraturan Pemerintah tentang peran serta masyarakat, sebagai tindak lanjut UU Penataan Ruang, diharapkan dapat secara jelas dan tegas bentuk-bentuk peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Berdasarkan pendekatan ekonomi dalam pengelolaan lingkungan hidup, maka diupayakan pendayagunaan sumber daya, diberikan perhatian terhadap mekanisme pasar, diupayakan pencegahan eksploitasi, penekanan ongkos dan biaya pengelolaan lingkungan, efisiensi dan efektivitas organisasi, dalam rangka pengelolaan mutu lingkungan (environmental quality management). Langkah-langkah yang ditempuh antara lain menginternalkan externality (memasukkan biaya yang timbul untuk memperkecil dampak lingkungan), retribusi untuk biaya sosial (retribusi limbah, retribusi sampah), Peraturan Pemerintah tentang kuantitas (pelepasan limbah, ekstraksi sumber daya alam), mengeliminasikan distorsi harga (penetapan kebijaksanaan yang mempertimbangkan aspek lingkungan hidup), serta analisis manfaat dan biaya (benefit cost analysis, pada tingkat proyek, sektoral, regional, dan nasional). Berwawasan Lingkungan Keberhasilan pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam akan menjadi kunci untuk terpenuhinya harkat hidup seluruh masyarakat dan pelestarian kualitas lingkungan sangat ditentukan oleh pelestarian kualitas tata air, tata udara, serta ketersediaan kebutuhan dasar, meliputi pelestarian kawasan fungsi lindung, pelestarian hutan tropis atau keberadaan tegakan pohon (canopy), pelestarian hutan bakau, dan usaha swasembada pangan (Surna T. Djajadiningrat, 1992) serta penataan kawasan lahan pertanian, hubungan struktural pola tata ruang perkotaan dan pedesaan, perwilayahan pembangunan sarana dan prasarana. Halhal yang perlu diperhatikan antara lain kepekaan masyarakat terhadap aspek lingkungan fisik dan lingkungan sosial, lemahnya gerakan yang memihak pada kepentingan masyarakat, dan lemahnya fungsi pengawasan. Strategi pengelolaan lingkungan hidup yang terintegrasi dalam pembangunan nasional memperhatikan elemen-elemen lingkungan alam dan lingkungan buatan, pemantauan lingkungan hidup (berdasarkan indikator, kriteria, dan daya dukung lingkungan), persepsi dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, pelanggaran (menghambat pembangunan, melampaui batas toleransi, dan timbulnya bencana), baku mutu lingkungan hidup dan hukum lingkungan. Bertolak dari kenyataan bahwa pembangunan ekonomi telah menimbulkan perubahan secara dinamis terhadap hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan (perubahan alami dan perubahan antropogenik), Soeriaatmadja menekankan pentingnya dinamika pembangunan ekonomi yang menuntut pembangunan ekonomi berimbang, pemenuhan kebutuhan pokok dan peningkatan kualitas hidup, dan pemerataan, sebagai upaya perwujudan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (pasca KTT Bumi Rio de Janeiro 1992). Pakar LSM, M.S. Zulkarnaen (Direktur Eksekutif Walhi) mengingatkan pentingnya kekuatan rakyat dan daya dukung lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan. Menurut pandangannya, pembangunan 88
berkelanjutan memuat tiga aspek demokrasi (politik, budaya, dan ekonomi) dan dua aspek etika (ekologi dan kemanusiaan). Dalam konteks ini, pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan harus dilandaskan pada gagasan lokal (karakter demokrasi dan etika harus sesuai dengan kondisi lokal), gagasan sesuai dengan sumber daya alam yang tersedia baik kualitas dan kuantitas (sifat daur ulang) dan gagasan merupakan karya sumber daya manusia pada tingkat lokal dan sesuai dengan sumber daya alamnya (pemanfaatan sumber daya lokal). Angkatan Bersenjata, 25 Maret 1994 Teknologi Berwawasan Lingkungan, Antara Arif Lingkungan dan Mendukung Pembangunan Berkelanjutan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa pengelolaan hidup berasaskan (Pasal 3) pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan membangun manusia lndoonesia seutuhnya, terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana, terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup, terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang, dan terlindunginya negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa pembangunan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan berencana menggunakan dan mengelola sumberdaya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu kehidupan. Kemajuan teknologi yang diikuti dengan perkembangan industri memang menciptakan kenikmatan dan kesejahteraan materiil bagi manusia, tetapi apabila tidak dikendalikan, dapat menimbulkan pencemaran berupa bahaya, kerugian dan gangguan bagi manusia. Oleh karena itu penerapan teknologi haruslah arif lingkungan, berwawasan lingkungan dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Teknologi Teknologi merupakan kunci pembangunan ekonomi, kunci bagi orang yang bijaksana, permainan bagi yang kaya, dan mimpi bagi si miskin (Nawas, Sharif: technology is a game for the rich, a dream for the poor. but a key for the wise, it is the master key for economic development). Hyung Sup Choi (1989) mengatakan bahwa keterlibatan pemerintah secara aktif dan terus-menerus sangat penting dalam pemanfaatan teknologi, berpikir teknologis, tidak mengkhayal (Rabindranath Tagore), dan teknologi merupakan kunci yang menjembatani kesenjangan, menyatukan komitmen bersama untuk menjalankan missi bersama (UN-ESCAP). Teknologi akan mendorong peningkatan daya pikir manusia, menciptakan lingkungan lebih nyaman, dan berusaha meningkatkan kualitas hidup manusia. Teknologi membutuhkan fasilitas, prasarana dan sarana yang memadai, manusia yang trampil, dokumentasi dan informasi yang lengkap dan akurat, serta institusi dan organisasi yang menunjang. Teknologi merupakan kombinasi dari fasilitas, kemampuan, fakta dan kerangka kerja. Pemacuan teknologi harus ditunjang oleh perubahan sikap masyarakat yang statis ke pemikiran intermediaris, aktif dan dinamis, peningkatan sinkronisasi dan koordinasi antara aparat pemerintah, sektor swasta, konsumen dan profesional dan perlu ada komitmen sebagai landasan berpacu. Tidak kalah pentingnya adalah perlu komitmen, dukungan administratif, pembiayaan dan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional. 89
Tiga pilar pembangunan ekonomi saling mendukung, yaitu pendidikan, pengetahuan ilmiah kumulatif dan penerapan teknologi. Pendidikan dapat meningkatkan ketrampilan, sedangkan pengetahuan dan teknologi saling bergantung. Menyadari keterbatasan sumberdaya, dana dan ketinggalan dari negara maju, maka spesialisasi keahlian bangsa Indonesia perlu diprioritaskan dan strategi membuat teknologi beberapa dan membeli beberapa (make-some-and-by-some), merupakan strategi yang fragmatis untuk menjaga kelangsungan pembangunan. Pembangunan yang berorientasi pada teknologi dan lingkungan (technology and environment-based development) memperhatikan hubungan antara teknologi dengan lingkungan, masyarakat, ilmu pengetahuan, komponen, pengembangan, seni kepemimpinan, sumber alam, inovasi, strategi, pengkajian, kebijaksanaan, tepat guna, pemindahan, ramalan dan pengkajian. Agar negara-negara berkembang bisa mengejar ketinggalan teknologinya dari negara-negara maju, perlu disiapkan instrumentasi yang tepat dan peningkatan sikap masyarakat dari sikap primitif dan statis ke dinamis. Pemikiran masyarakat dalam penggunaan teknologi berkembang dari pengumpulan informasi sampai ke analisis dan sintesis. Teknologi telah diakui sebagai faktor dominan dalam kehidupan masyarakat modern, membuka kesempatan alternatif mana yang harus diambil oleh manusia, yaitu kelanjutan dari keadaan sekarang, pengendalian dan perkembangan teknologi, serta pengelolaan pengembangan teknologi. T eknologi selalu berorientasi praktis dan logis, menyangkut produksi dari bahan baku (know-how), sedangkan ilmu pengetahuan bersifat fenomena yang menyangkut pengembangan pengetahuan (know-why). Menu rut UN-ESCAP (1989), komponen teknologi terdiri atas peralatan dan fasilitas produksi (technoware), ketrampilan dan pengalaman produksi (humanware), informasi dan fakta produksi (inforware), serta persiapan dan jaringan produksi (orgaware). Tingkat kecanggihan suatu teknologi dapat dilihat antara lain dalam fasilitas manual atau komputer, pengoperasian dan inovasi, ketersediaan data, serta ketersediaan organisasi sumberdaya. Proses pembangunan yang berorientasi pada teknologi dan lingkungan, memerlukan penanganan masalah technoware, humanware, inforware dan orgaware, peningkatan peran lembaga promosi teknologi, peningkatan efisiensi dan efektivitas, peningkatan jaringan antara unit produksi dengan pengguna, serta pemanfaatan sumber alam dan sumberdaya manusia. Arif lingkungan Teknologi yang arif lingkungan, berwawasan lingkungan, dan mendukung pembangunan berkelanjutan, adalah teknologi yang tidak menimbulkan dampak negatif lingkungan. Teknologi ini antara lain akan membatasi atau mengisolasi limbah, menetralisasi limbah dengan penambahan zat kimia tertentu sehingga tidak membahayakan manusia serta makhluk hidup lainnya, mengubah proses untuk mencegah, mengurangi volume limbah, menciptakan sistem daur ulang limbah, menggunakan bahan baku maupun bahan tambahan lainnya yang kurang atau tidak menghasilkan limbah bahan beracun dan berbahaya (83). Untuk mencegah, mengurangi dan memperbaiki kerusakan serta menanggulangi pemborosan sumber daya alam, dalam melakukan pengelolaan lingkungan antara lain diupayakan pencegahan erosi dengan sistem terasering atau penanaman tumbuhan penutup tanah, reklamasi erosi atau konvensi untuk kepentingan pembangunan lain, dan peningkatan pendayagunaan bahan baku untuk mengurangi pemborosan penggunaan sumberdaya alam. Perkembangan industri dan kemajuan teknologi yang semakin meningkat dengan menerapkan proses teknologi canggih, sering menimbulkan atau menghasilkan limbah bahan beracun dan berbahaya. Menteri Perindustrian telah mengeluarkan SK Nomor 148/M/SK/4/1985 tentang Pengamanan Bahan Beracun dan Berbahaya di Perusahaan lndustri. Ada pun 83 ialah bahan yang termasuk dalam salah satu golongan atau lebih dari bahan-bahan berikut, yaitu bahan beracun, bahan peledak, bahan mudah terbakar atau menyala, bahan oksidator dan reduktor, bahan yang mudah meledak dan terbakar, gas bertekanan, bahan korosi atau iritasi, bahan radioaktif (90 jenis), serta bahan beracun dan berbahaya lainnya yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian. Untuk menghindari timbulnya dampak negatif akibat dipergunakannya 83 oleh perusahaan industri, maka perusahaan industri bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pengelolaan 83 mulai dari pengadaan di pabrik, penyimpanan, pengolahan, pengemasan dan pengangkutan sampai di distributor. Langkah-langkah 90
pengamanan teknis B3 mencakup perencanaan dan pembangunan industri (pemilihan lokasi, pemilihan teknologi proses dan pemilihan desain serta peralatan) dan tahap operasi industri (pengadaan, penyimpanan, pengolahan, pengemasan, pengangkutan B3, kearnanan dan keselamatan alat, proses, instalasi, serta keselamatan dan kesehatan kerja para karyawan perusahaan). UU Nomor 4 Tahun 1982 perlu dikaitkan dengan UU Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian dan UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup, bertujuan mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. Pembangunan perumahan, pembangunan industri berlandaskan demokrasi ekonomi, kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri, manfaat dan kelestarian lingkungan hidup, salah satu tujuannya adalah meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata dengan memanfaatkan dana, sumberdaya alam dan atau hasil budidaya serta dengan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan h1dup. Perusahaan industri berkewajiban mencegah timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri yang dilakukannya. Dalam mengembangkan bidang usaha industri, perusahaan industri menggunakan dan menciptakan teknologi industri yang tepat guna dengan memanfaatkan perangkat yang tersedia dan telah dikembangkan di dalam negeri. Jika perangkat teknologi yang diperlukan tidak tersedia, dilakukan pengalihan atau pemindahan teknologi dari luar negeri. Emil Salim (1990) menyatakan bahwa dalam menyongsong abad ke-21, proses tranformasi masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh lima perkembangan penting, yaitu kependudukan, teknologi, ekonomi, lingkungan hidup dan politik. Perkembangan teknologi besar pengaruhnya terhadap perkembangan kehidupan manusia dan lingkungannya. Pembangunan yang didukung penerapan teknologi arif lingkungan, hendaknya mengacu pada pola pembangunan berkelanjutan yang memuat wawasan lingkungan dan mencakup keberlanjutan lingkungan alam (environmental sustainability) maupun keberlanjutan sosial (social sustainability). Angkatan Bersenjata. 13 Juli 1992 Administrasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Tata Ruang Peringatan Hari Lingkungan Hidup tanggal 5 Juni 1990 ditandai dengan diterbitkannya buku Kualitas Lingkungan Hidup di Indonesia 1990 oleh Kantor Menteri Negara KLH. Masalah dan penanggulangan isu global lingkungan, tanah, air, udara, hutan, pesisir dan lautan, serta administrasi lingkungan menarik untuk diketahui masyarakat apalagi dalam kaitannya dengan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Administrasi lingkungan menyangkut tata ruang, penataan ruang wilayah, kondisi kualitas tata ruang dan penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Tata Ruang Kantor Menteri Negara KLH menegaskan bahwa permasalahan dalam penataan ruang antara lain keterbatasan tersedianya luas lahan dan ruang, yang relatif tidak bertambah, tidak semua areal lahan dan atau ruang cocok untuk suatu kegiatan manusia, terjadinya tubrukan dalam penggunaan lahan dan ruang untuk berbagai keperluan, dan belum adanya pengaturan kelembagaan yang jelas untuk penanganan tata ruang wilayah yang berwawasan lingkungan (belum lengkapnya perangkat peraturan perundang-undangan tata ruang dan belum siapnya perangkat pengelolaan penataan ruang). Penataan ruang yang tidak baik mengakibatkan berbagai dampak negatif seperti kerusakan berbagai sumber daya alam (kerusakan hutan, pencemaran sumberdaya air, hilangnya plasma nuftah), tidak tertatanya sumberdaya buatan (menimbulkan pencemaran tanah, udara dan perairan, kemacetan lalu lintas dan 91
bertambah luasnya daerah pemukiman kumuh), konflik penggunaan lahan yang tidak efisien (rusaknya hutan lindung, tidak terkendalinya harga tanah), dan terhambatnya pembangunan wilayah akibat tidak terkoordinasinya pembangunan. Usaha pengelolaan penataan ruang dapat diartikan sebagai upaya pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam melalui peningkatan kualitas lingkungan fisik dan pemanfaatan ruang yang optimal, seimbang, serasi, terpadu dan berlanjut. Penataan ruang sejauh mungkin memperhatikan usaha perlindungan terhadap proses ekologi dan pendukung kehidupan, pelestarian keanekaragaman jenis dan plasma nuftah, dan pemanfaatan sumberdaya alam yang berwawasan lingkungan. Penataan ruang wilayah mencakup perencanaan tata ruang (penyusunan, penetapann, pengesahan rencana tata ruag dengan mempertimbangkan aspek waktu, modal, dan optimasi penggunaan bumi, air, angkasa dan keseimbangan daya dukung lingkungan), pembuatan rencana teknik dan pemanfaatan ruang, serta pengendalian, pengaturan, pengawasan dan penertiban dalam pemanfaatan ruang. Menurut lsa Karmisa dkk (1990), kawasan budaya ditujukan bagi kepentingan pemukiman beserta sarana penunjangnya, pembangunan sektoral dan daerah dan overall revenue macro tingkat nasional, sedangkan kawasan nonbudidaya (mempunyai fungsi konservasi dan preservasi terhadap air, tanah, udara, flora, fauna, dan sejarah) diperlukan untuk menyelamatkan sumber air, plasma nuftah, penyelamatan iklim dan cuaca, pencegahan erosi serta perlindungan tumbuhan dan satwa langka. Pada dasarnya Rencana T ata Ruang terdiri atas tiga tingkat berdasarkan skala cakupan dan kedalamannya. Pertama, Strategi Pembangunan Pola Tata Ruang (SNPPTR) berupa kebijaksanaan pengembangan pola tata ruang pada tingkat nasional dengan ruang lingkup kawasan yang harus dilindungi, kawasan budidaya, dan kawasan industri. SNPPTR disusun oleh instansi pemerintah terkait di bawah koordinasi Tim Tata Ruang, ditetapkan dengan Keputusan Pemerintah, mengacu pada GBHN dan Repelita. Kedua, Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi (RSTRP) berupa penataan struktur ruang provinsi meliputi kawasan yang harus dilindungi, pengembangan kawasan budidaya termasuk kawasan produksi dan pemukiman, dan jaringan prasarana yang menghubungkan antar kawasan wilayah yang akan diprioritaskan pengembangannya. RSTRP disusun dengan tingkat ketelitian minimal dalam peta skala 1 : 250.000 bagi Pemda untuk menyusun program lima tahunan dan tahunan, disusun oleh Pemda Tingkat I dan ditetapkan melalui Perda. Ketiga, Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten/Kota/Wilayah (RUTRKIW) berupa penataan struktur ruang Kabupaten/Kota/Wilayah dengan ruang lingkup kawasan yang harus dilindungi, pengembangan kawasan budidaya termasuk kawasan produksi dan kawasan pemukiman, pola jaringan prasarana, dan wilayah yang akan diprioritaskan pengembangannya. RUTRKIW digambarkan dalam peta Kabupaten skala 1 : 100.000 (luar pulau Jawa) dan skala 1 : 10.000 (pulau Jawa), serta peta kota/wilayah skala 1 : 10.000. RUTRKIW mengacu pada RSTRP dan dijadikan pedoman bagi Pemda dalam menetapkan lokasi, memanfaatkan ruang dalam program-program dan proyek pembangunan lima tahunan dan tahunan, dan dasar dalam memberikan perijinan lokasi pembangunan. RUTRKIW disusun oleh Pemda Tingkat II dan ditetapkan melalui Perda. Dimensi Perencanaan Tata Ruang, SNPPTR (25 tahun), RSTRP (15 tahun), dan RUTRS/W (10 tahun). Setiap lima tahun sekali atau jika dianggap perlu, Rencana Tata Ruang dievaluasi untuk mengakomodasikan perkembangan yang terjadi. Untuk DKI Jakarta misalnya, dikenal adanya RUTR Jabotabek, Pola Dasar Pembangunan Daerah (skala 1 : 50.000), Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 1985-2005 (1 : 20.000), Rencana Peruntukan Tanah/Rencana Bagian Wilayah Kota (1 : 5.000), Rencana Terinci Kota (1 : 1.000), dan Rencana Unsur Kota Terperinci (1 : 1.000 atau 1 : 5.000). Pola tata ruang pada dasarnya dibagi dua, yaitu perkotaan dan perdesaan. Pola tata ruang perkotaan menampung kegiatan perdagangan dan jasa serta pemukiman. lni menggambarkan mobilitas manusia dari tempat tinggal ke tempat kerjanya, kecenderungan penurunan jumlah penduduk di pusat kegiatan dan peningkatan kepadatan penduduk di pinggiran kota, semakin berkurangnya lahan pertanian dan lahan terbuka, dan terciptanya pemanfaatan ruang kota yang sangat kontras (antara gedung tinggi dengan pemukiman kumuh di belakangnya). Pola tata ruang perdesaan lebih dikaitkan pada konservasi dan preservasi sumber daya alam serta kelestarian lingkungan. 92
Kriteria pemanfaatan ruang mengklasifikasikan jenis-jenis kawasan lindung dan kawasan budidaya yang dibedakan atas kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya (kawasan hutan lindung, bergambut, resapan air), kawasan perlindungan setempat (sepadan pantai, sungai, sekitar danau/ waduk, sekitar mata air), kawasan suaka alam dan eagar budaya (kawasan suaka alam, pantai berhutan bakau, suaka alam laut dan perairan lainnya, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, eagar budaya dan ilmu pengetahuan), dan kawasan rawan beneana. Jenis-jenis produk reneana tata ruang yang telah dihasilkan antara lain Reneana Umum Tata Ruang (RUTR), Penyiapan Program lnvestasi Pembangunan Daerah (PPIPD), Reneana Umum Tata Ruang Perkotaan (RUTRP) dan Reneana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), Studi Kesatuan Lahan Kota (SKLK), Reneana Detail Tata Ruang (RDTRK), Reneana Teknik Ruang Kota (RTRK), lndikasi Program Pembangunan Kota (IPPK), Reneana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD), Reneana Detail Tata Ruang Daerah (RDTRD), dan Reneana Teknik Ruang Daerah (RTRD). Penerapan PP Nomor 29 Tahun 1986 tentang AMDAL masih belum optimal. Penyebabnya antara lain masih terjadinya penyimpangan, peraturan yang kurang operasional, dan kurang berjalannya pengawasan yang efektif. Pelaksanaan pengolahan lingkungan yang terpadu dengan kebijaksanaan nasional, seeara sektoral di tingkat Pusat dilakukan oleh Departemen/LPND sesuai bidang tugasnya dan di daerah dilaksanakan oleh Pemda. Sejalan dengan itu, PP Nomor 29 Tahun 1986 menegaskan pembentukan Komisi AMDAL Daerah. Pengaturan mengenai AMDAL mengaeu pada Kepmen KLH No. 53/MENKLH/6/1987 yang menonjolkan pengutamaan peran Bappeda dalam proses pereneanaan pembangunan termasuk AMDAL dan Kepmendagri Nomor 14 Tahun 1989 yang menambahkan peran Asisten Setwilda yang membawahi BKLH di samping Bappeda. Keterbatasan tenaga yang bekerja tidak full time karena kebanyakan pinjaman dari universitas, mengakibatkan Komisi AMDAL kurang berjalan lanear. Di samping AMDAL, ada ketentuan mengenai kegiatan PIL dan ANDAL (ada kegiatan yang perlu PIL dan ada yang langsung ANDAL). Pedoman teknis pelaksanaan ANDAL dibuat oleh Departemen Teknis, sedangkan pedoman umum dapat mengaeu pada Kepmen KLH No. 50/MENKLH/6/87. Harus diakui bahwa pada saat ini kualitas penyusunan AMDAL pada umumnya masih di bawah standar dan kemampuan Komisi AMDAL dalam mengevaluasi hasil studi AMDAL juga masih terbatas. Untuk mengatasinya bisa ditempuh pemberian lisensi (PP No. 29 Tahun 1986) dan meningkatkan kemampuan evaluator melalui pendidikan, training dan lokakarya. Menteri Negara KLH juga menetapkan batas waktu pengajuan SEMDAL untuk kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beraeun (83) pada tanggal 5 Juni 1990, tetapi kenyataannya sulit dilakukan. Penyebabnya antara lain waktu penilaian yang sangat terbatas dan beban kerja Komisi AMDAL yang melampaui batas. Dalam upaya memprioritaskan kegiatan yang memerlukan SEL, Kantor Menneg KLH dan Depdagri serta Departemen Teknis menginventarisasikan kegiatan yang ada di daerah. Dalam pemberian perijinan, seharusnya berdasarkan atas RKL dan RPL, tetapi kenyataannya masih banyak penyimpangan atas ketentuan yang berlaku. Beberapa daerah memanfaatkan persetujuan AMDAL untuk pemberian ijin lokasi, tanpa harus memperhatikan RKL dan RPL. Upaya Berbagai peraturan perundang-undangan mengenai dampak lingkungan dan penataan ruang wilayah telah ditetapkan. Pedoman teknis mengenai SNPPTR, RSTRP, RUTR, RUTRD, RUTRP, RUTRK, RUTRW, RDTRK, dan lain-lain, dimaksudkan untuk menciptakan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Persoalan koordinasi muneul dimana-mana, baik antar Pemda maupun antara Pemda dengan Pemerintah Pusat. Salah satu penyebab kurang lanearnya koordinasi antara lain tidak tersedianya tenaga ahli yang memadai dan tidak tersedianya dana. Akibatnya sering terjadi kebijaksanaan di tingkat Pusat yang selalu berlainan atau sulit dilaksanakan di tingkat Daerah. Pelaksanaan RUTR Pengendalian Kawasan Puneak sebagai eontoh, banyak sekali hambatannya. Banyak sekali pelanggaran pembangunan di kawasan Puneak karena berbagai alasan, antara lain kondisi di lapangan yang sudah jauh berbeda dengan reneana peruntukannya, prosedur yang berbelit-belit, belum memadainya aparat pengawasan, kurang ketatnya pengawasan, dan sering terjadinya negosiasi perijinan dengan dalih untuk kepentingan umum. 93
Untuk menekan penyimpangan terhadap PP Nomor 29 Tahun 1986 tentang AMDAL dan penyimpangan dalam bebagai kegiatan penataan ruang, perlu diwujudkan koordinasi terarah dan terpadu dalam penataan ruang di tingkat Pusat dan Daerah serta pemantapan sarana/prasarana administrasi lingkungan di tingkat Daerah. Menyongsong peringatan Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 1991, hendaknya upaya penyebarluasan pembangunan berwawasan lingkungan umumnya dan administrasi lingkungan dalam pengelolaan tata ruang khususnya, perlu semakin digalakkan. BAPEDAL sebagai lembaga baru yang mempunyai tugas pokok membantu Presiden dalam melaksanakan pengendalian dampak lingkungan hidup yang meliputi upaya pencegahan kerusakan, penanggulangan dampak serta pemulihan kualitas lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, akan sangat diharapkan perannya dalam menata administrasi lingkungan sebagai bagian dari pembangunan berwawasan lingkungan. Antara lain melalui upaya-upaya perumusan kebijaksanaan pengendalian perencanaan lingkungan hidup, pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, pemantauan dan pengendalian terhadap kegiatan yang berdampak panting terhadap lingkungan hidup, pengembangan laboratorium rujukan, pengolahan data dan informasi pencemaran lingkungan hidup, dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan hidup. Angkatan Bersenjata, 5 Juni 1991 Menyorot Pembangunan Berkelanjutan Saat ini dimana-mana orang mudah mengatakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Kita kenai pembangunan perumahan berkelanjutan dan pembangunan industri berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, tetapi kenyataannya, masih jauh dari pemenuhan persyaratan berke/anjutan dan persyaratan berwawasan lingkungan. Mengingat pentingnya motto berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, maka dalam artikel ini penulis mencoba mengangkat pembangunan berkelanjutan, mengacu pada pola pikir pakar lingkungan hidup Surna Tjahja (Pilihan kepada pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, Majalah KP2L, Vol. 5 Maret 1992), Soeriaatmadja (Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan), dan Sarwono Kusumaatmadja (lntegrasi Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Nasional, Jakarta, 18 Januari 1994). Berkelanjutan Upaya yang perlu dilaksanakan dalam pembangunan berkelanjutan, meliputi upaya menggiatkan kembali pertumbuhan, mengubah kualitas pertumbuhan, memenuhi kebutuhan manusia (lapangan kerja, pangan, energi, air dan sanitasi), mengendalikan jumlah penduduk, menjaga kelestarian dan meningkatkan sumber daya, mereorientasikan teknologi dan pengelolaan resiko, dan menggabungkan lingkungan dengan ekonomi dalam proses pengambilan keputusan. Syarat keberhasilan pembangunan berkelanjutan antara lain: adanya suatu sistem politik yang menjamin partisipasi efektif masyarakat dalam pengambilan keputusan, suatu sistem ekonomi yang mampu menghasilkan surplus serta pengetahuan teknis berdasarkan kemampuan sendiri dan bersifat berlanjut, suatu sistem sosial yang memberi penyelesaian bagi ketegangan yang muncul akibat pembangunan yang tidak selaras, suatu sistem produksi yang menghormati kewajiban untuk melestarikan ekologi bagi pembangunan, suatu sistem teknologi yang dapat menemukan terus menerus jawaban-jawaban baru, suatu sistem internasional yang membantu perkembangan hak-hak perdagangan dan hubungan yang berlanjut, dan suatu sistem administrasi yang luwes dan mempunyai k13mampuan memperbaiki diri. Jadi pembangunan berkelanjutan adalah sebuah proses pemanfaatan sumberdaya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi, serta perubahan kelembagaan yang konsisten dengan kebutuhan hari depan dan hari ini, didukung oleh kemauan politik. Adapun prinsip pembangunan berkelanjutan adalah pemerataan, partisipasi, keanekaragaman, ~;erta integrasi dan perspektif jangka panjang. Pembangunan berkelanjutan menjamin partisipasi aktif pelaku pembangunan, baik pernerintah, swasta maupun masyarakat. Keanekaragaman (diversity) menuntut pemeliharaan secara bijaksana dan berorientasi pada kepentingan masa depan. 94
Pembangunan berkelanjutan memerlukan pendekatan integratif dan komprehensif, yang memadukan sistem alam dan sistem sosial, dan harus berperspektif jangka panjang, dengan tujuan mewujudkan keberlanjutan ekologis, ekonomi, sosial-budaya, dan politik. Keberlanjutan ekologis diupayakan melalui upaya memelihara atau mempertahankan integritas tatanan lingkungan (ekosistem) agar produktivitas, adaptabilitas, dan pemulihan tanah, air, udara dan seluruh kehidupan menggantungkan keberlanjutannya. Untuk memelihara integrasi tatanan lingkungan, perlu diperhatikan daya dukung lingkungan. daya asimilatif dan berkelanjutan pemanfaatan sumber daya terpulihkan. Berkelanjutan, perlu diwujudkan dengan bukti memelihara dan mempertahankan keanekaragaman hayati, antara lain pencegahan pencemaran lingkungan, rehabilitasi dan pemulihan ekosistem dan sumberdaya alam yang rusak, serta meningkatkan kapasitas produksi dan ekosistem alam dan binaan manusia. Keberlanjutan ekonomi, perlu diwujudkan melalui keberlanjutan ekonomi makro, ekonomi sektoral, dan ekonomi mikro (perusahaan). Keberlanjutan sosial dan budaya menyangkut stabilitas penduduk, memenuhi kebutuhan dasar manusia (dengan memerangi kemiskinan absolut), mempertahankan keanekaragaman budaya, serta mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan. Keberlanjutan politik perlu diperlihatkan oleh sikap respek terhadap human right, demokrasi, kepastian ekologis, kepastian kesediaan pangan, air dan permukiman. Pokok-pokok Proses pembangunan berkelanjutan (Surna Tjahja, 1994) menegaskan bahwa proses pembangunan berkelanjutan bertumpu pada tiga faktor, yaitu kondisi sumberdaya alam, kualitas lingkungan dan faktor kependudukan. Upaya pembangunan berwawasan lingkungan perlu memuat ikhtiar pembangunan yang memelihara keutuhan fungsi tatanan lingkungan agar sumber daya alam dapat secara berlanjut menopang proses pembangunan secara terus menerus, generasi demi generasi, meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Surna Tjahja kembali menegaskan ada sembilan pokok kebijaksanaan yang mendukung pembangunan secara berkelanjutan. Pertama, pengelolaan sumberdaya alam yang direncanakan sesuai dengan daya dukung lingkungannya, pembangunan daerah disesuaikan dengan kondisi lingkungan, biogeofisik sosekbud, misalnya zona industri, zona permukiman, zona perkebunan dan pertanian, melalui rencana tata ruang wilayah yang ketat. Kedua, penerapan AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan), studi kelayakan, studi ANDAL, dan penyusunan RKL (rencana pengelolaan lingkungan) yang mengendalikan dampak negatif dan meningkatkan dampak positif. Ketiga, penanggulangan pencemaran air, udara dan tanah dengan mengutamakan penanggulangan bahan beracun dan berbahaya agar limbah dapat dikendalikan dan tidak membahayakan masyarakat, penanggulangan limbah padat terutama di kota-kota besar supaya tidak mengganggu kesehatan lingkungan, penetapan baku mutu emisi dan efluen, dan pengembangan baku mutu air dan udara. Keempat, pengembangan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan, serta kebijaksanaan pengelolaan hutan tropis dan secara khusus melestarikan habitat flora dan fauna dalam taman nasional, suaka alam, suaka margasatwa, eagar alam dan lain-lain serta pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang secara khusus melestarikan keanekaragaman hayati di wilayah pesisir dan lautan. Kelima, pengendalian kerusakan lingkungan melalui pengelolaan daerah aliran sungai, rehabilitasi dan reklamasi bekas penambangan dan galian C, dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Keenam, pengembangan kebijaksanaan ekonomi yang memperhatikan pertimbangan lingkungan, antara lain analisis ekonomi yang memperhatikan manfaat dan biaya lingkungan, perhitungan pengelolaan sumberdaya alam sebagai faktor produksi yang memperhatikan segi lingkungan, pengurusan sumberdaya alam (resource deplection) perlu memperhatikan aspek lingkungan dan memasukkan pertimbangan lingkungan dalam kebijaksanaan investasi, perpajakan dan perdagangan. Ketujuh, pengembangan peran serta masyarakat, kelembagaan dan ketenagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup, dengan cara merangsang peranserta masyarakat dalam pengembangan lingkungan melalui pembinaan kesadaran masyarakat (profesi, hobi dan minat), pengembangan lembaga daerah dan lembaga Pusat Studi Lingkungan, pembinaan sarana informasi yang menunjang pengelolaan lingkungan. 95
pengembangan pendidikan dan pelatihan serta ketrampilan dalam pengelolaan lingkungan, dan pengembangan peraturan perundang-undangan. Kedelapan, pengembangan hukum lingkungan yang mendorong peradilan menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan, dan Kesembilan, pengembangan kerjasama luar negeri. Pembagian peran lntegrasi Lingkungan Hidup ke dalam Pembangunan Lingkungan, saran Men-LH Sarwono Kusumaatmadja dalam Seminar Ekonomi Menyongsong Pelaksanaan PJP II yang diselenggarakan Suara Pembaruan (18-19 Januari 1994). Dengan memperhatikan kondisi sumber daya alam, kualitas lingkungan, dan faktor kependudukan, perlu diatur pengembangan tata ruang, penataan ruang wilayah, penetapan baku mutu lingkungan dan baku mutu limbah, analisis mengenai dampak lingkungan, pengendalian pencemaran lingkungan, rehabilitasi dan reklamasi lingkungan, peningkatan peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, konservasi sumberdaya hayati melalui pendekatan ekonomi dan pendekatan ekonomi dalam pengelolaan lingkungan hidup (menginternalkan, eksternalitas, retribusi, untuk biaya sosial, peraturan pemerintah tentang kuantitas, mengetiminasikan distorsi harga, serta analisis manfaat dan biaya). Lima unsur pendekatan ekonomi dalam pengelolaan lingkungan hidup ini, menurut Surna Tjahja yang disampaikan dalam Seminar Lingkungan Hidup di Kampus Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga (27 November 1991 ), perlu diintegrasikan dalam keberlanjutan pembangunan ekonomi dan sosial yang mensyaratkan adanya tingkat nilai ambang batas baku mutu lingkungan untuk meningkatkan pengelolaan mutu lingkungan hidup (environmental quality management). Soeriaatmadja, pakar lingkungan dari ITB yang menjadi pejabat di Kantor Men-LH, mengemukakan bahwa pembangunan ekonomi telah menimbulkan perubahan secara dinamis terhadap hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan, perubahan alami dan perubahan antropogenik. Perubahan dinamis ini terdiri atas perubahan yang terencana dan terancangkan berdasarkan tujuan Jakstra yang sudah digariskan, dan perbahan yang tak terencana dan tercanangkan, sehingga dapat muncul tak terduga dan mengejutkan. lnilah yang disebut dampak pembangunan (ekonomi). Dampak pembangunan ekonomi menimbulkan akibat/konsekuensi ekonomi dan sosial juga, terutama dampak yang menimbulkan kelangkaan dan kelestarian sumber daya alam dan kemerosotan kualitas dan kemampuan daya dukung lingkungan. Dampak pembangunan terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup ini sekarang sudah terjadi dalam: skala global, regional, nasional, fluvial (DAS) dan lokal. Selanjutnya Soeriaatmadja mengatakan bahwa sebenarnya peringatan terhadap dampak pembangunan pada sumber daya alam dan lingkungan hidup sudah diluncurkan sejak 25 tahun yang lalu. Pembangunan ekonomi di Indonesia juga menerima amanat itu, sehingga muncul juga berbagai dinamikanya (konseptual) pembangunan ekonomi berimbang, pembangunan pemenuhan kebutuhan pokok (Butsarman), pembangunan dan pemerataan, dan pembangunan dengan peningkatan kualitas hidup, menuju Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkugnan (PBBL) yang merupakan Pasca KTI Bumi Rio de Janeiro 1992. Ada enam ciri PBBL menu rut Soeriaatmadja, yaitu (1) Pertumbuhan ekonomi yang mempunyai Pembangkitan (Penduduk yang masih miskin perlu disentuh), (2) Pertumbuhan ekonomi yang menuju perubahan kualitas pertumbuhan, (3) Pemenuhan kebutuhan dasar akan: lapangan kerja, air (sumber daya), pangan, energi, dan kesehatan lingkungan, (4) Pelestarian dan pendayagunaan sumber daya alam (pelestarian sumber alam, energi berkelanjutan, dan daya serap biosfera), (5) Pendayagunaan iptek yang mampu mengelola/mengendalikan risiko, dan (6) Keterpaduan pertimbangan ekonomi dan ekologi dalam proses pengambilan keputusan. Adapun asas PBBL adalah ( 1) Keterkaitan dan ketergantungan an tara man usia dan lingkungan serta sumber daya alam di dalamnya menuntut perlunya keserasian dan keselarasan dalam pendayagunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, (2) Kemitraan global/nasional diperlukan untuk mendorong PBBL atas dasar kepentingan bersama, (3) Diperlukan perubahan gaya hidup, pola konsumsi dan pola produksi untuk menjamin kehidupan berkelanjutan, (4) Diperlukan pembinaan sistem kelembagaan untuk keberhasilan PBBL, dan (5) Produk Hijau adalah tujuan industrialisasi PBBL. Pembangunan tidak mungkin dilakukan tanpa peranserta semua pihak dalam menangani dua masalah 96
pembangunan sekaligus, yaitu risiko lingkungan yang timbul dari kegiatan, perilaku, · sikap dan kebiasaan masyarakat tradisional, dan risiko modern yang tumbuh dari kebiasaan dan cara hidup yang datang bersama dengan modernisasi. Karena itu salah satu isi UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkugnan Hidup yang mengatur hak dan kewajiban masyarakat, perlu diaplikasikan. Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Setiap manusia juga berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemaran, dan lebih jauh lagi, adanya hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Pembangunan adalah proses pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan memanfaatkan teknologi, secara berkelanjutan, memperhatikan aspek lingkungan hidup, mengutamakan prinsip-prinsip keberlanjutan ekosistem, ekonomi, sosial budaya, politik dan pertahanan keamanan, untuk menjaga kelestarian kehidupan generasi masa kini dan masa yang akan datang. Angkatan Bersenjata, 28 Februari 1994 97
Peremajaan Permukiman Kumuh (Suatu Studi Kasus Angke, Pulogadung Dan Kampung Sawah) DKI Jakarta yang pada tahun 1990 penduduknya 8,2 juta jiwa diharapkan pada tahun 2005 tidak melampaui 12 juta jiwa. Perkiraan Bank Dunia, bahkan lebih dari itu, penduduk Jakarta akan mencapai 16,6 juta, sehingga merupakan satu megacity di antara 22 megacities di dunia. Pertambahan penduduk yang tinggi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, ternyata tidak dibarengi dengan menurunnya jumlah lingkungan permukiman kumuh dan liar. Untuk menata lingkungan permukiman kumuh, telah dikeluarkan lnpres Nomor 5 Tahun 1990 tentang Peremajaan Lingkungan Permukiman Kumuh di atas tanah negara. Pelaksanaan program ini sangat menonjol di Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, dan diharapkan dapat diterapkan di kota-kota besar lainnya di Indonesia seperti Palembang, Bandarlampung, Banjarmasin, Ujungpandang, dan lain-lain. Peremajaan permukiman kumuh di Kelurahan Angke Kecamatan Tambora, Kelurahan Pulogadung, dan Kampung Sawah, Jakarta, menarik untuk diangkat ke permukaan. Keunikan Angke adalah perpaduan program MHT dengan PD Pembangunan Sarana Jaya, di mana penghuni lingkungan kumuh bisa ditampung sementara di rumah susun yang telah tersedia. Yang menarik dari peremajaan lingkungan kumuh Pulogadung adalah tanahnya milik negara dan koordinasi instansi terkait sangat menonjol. Peremajaan Kampung Sawah yang letaknya strategis di awal jalan tal Jakarta - Tangerang - Merak, merupakan pintu gerbang Jakarta dari arah Barat, menarik karena merupakan perpaduan program Pemerintah dan Swasta. Rumah Sewa Angke Peremajaan lingkungan permukiman kumuh Angke dilakukan oleh Bappem Proyek MHT DKI Jakarta dengan tujuan meremajakan lingkungan kumuh dan menambah fasilitas permukiman. Sasaran yang ingin dicapai adalah berkurangnya permukiman kumuh, bertambahnya perumahan dengan fasilitasnya, dan terbangunnya rumah susun sewa sederhana di atas tanah RW 03 Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Kepadatan penduduk lingkungan permukiman kumuh Angke mencapai 700 jiwa/ha. Mengacu pada RBWK dan RTK DKI, kawasan ini diperuntukkan bagi perumahan. SK Gubernur Nomor 1704/1988 tentang Penetapan Penguasaan Perencanaan/Peruntukan Bidang Tanah seluas 6 ha untuk pembangunan rumah susun dengan fasilitasnya, sampai sekarang realisasinya tersendat-sendat. Penerimaan uang sewa pada tahun 1990/1991 mencapai Rp 122 juta, sedangkan pengeluaran mencapai Rp 104,9 juta, terdiri dari biaya utilitas listrik Rp 39 juta (37,2%), air PAM Rp 24 juta (29,9%), perawatan Rp 29 juta (27,6%), upah dan honor karyawan serta petugas keamanan Rp 9,2 juta (8,8%), alat tulis kantor dan sejenisnya Rp 1,5 juta (1 ,4%), serta pengelolaan sampah dan kebersihan Rp 2,2 juta (2, 1 %). Penghuni yang jumlahnya mencapai 439 kk (2.1 09 jiwa) terdiri dari karyawan, pedagang, buruh, mahasiswa, pelajar, dan anak-anak. Personil pengelola terdiri dari 8 orang, masing-masing seorang penanggungjawab lokasi (Penjalok), pembantu administrasi, dan petugas teknik, 2 orang petugas keamanan (Satpam) dibantu tenaga Bimas, Babinsa Hansip RW, dan 3 orang petugas kebersihan. Dari 482 unit rumah susun yang telah dibangun, telah diisi 322 unit terutama untuk warga yang lokasi tanahnya dibebaskan. Sisanya 160 unit disiapkan untuk para penghuni bangunan yang akan dibebaskan berikutnya. Sewa satu unit rumah susun per hari masing-masing Rp 1.300 (lantai 1), Rp 1.200 (lantai II), Rp 1.100 (Lantai Ill), dan Rp 1.000 (lantai IV), termasuk fasilitas air bersih PDAM dan listrik 55 Watt/Unit. Rumah Susun ini dikelola oleh PO Pembangunan Sarana Jaya. Rumah Sewa Bertingkat Tambora dibangun oleh Bappem MHT DKI Jakarta dengan anggaran APBD, terdiri dari blok A, B, C, dan D dengan jumlah 482 unit tipe 16M2 dan 56 unit tipe 36M2 di atas tanah seluas 9.270 m2 dan bangunan 10.533 m2. Fasilitas umum terdiri atas kantor pengelola, balai pertemuan dan aula, musholla, air PAM, dan penerangan listrik 55 Wattper unit hunian. Jumlah unit efektif disewakan 466 unit dan tingkat penghunian (occupancy rate) 85%. Sebanyak 160 unit dicadangkan untuk penampungan warga RW 03 Kelurahan Angke yang terkena pembongkaran/pembebasan tanah untuk pembangunan rumah susun 98
Tahap II. Dari rencana pembebasan tanah seluas 6 Ha, direncanakan akan dibangun 20 Blok Rumah Susun Sewa Sederhana (Rumah Sewa Bertingkat, RSB) tipe 18m2 (1.320 unit, dihuni 1.320 kk atau 3.960 jiwa) dan 27 m2 (600 unit, dihuni 600 kk atau 3.000 jiwa). Pembebasan lokasi dilakukan tiga tahap. Tahap I (1986/ 1987) seluas 4.685 m2, dibangun RSB Blok A (121 unit) dan Blok B (121 unit). Di luar 121 unit tadi, pada tiap Blok disediakan masing-masing 1 unit ruang pengelola, warung, ruang serbaguna, dan pos kesehatan. Karena kesulitan membebaskan tanah, maka pembebasan tanah Tahap Ill (1988/1989) seluas 4.567 m2 untuk pembangunan RSB Blok C dan D masing-masing 120 unit (termasuk masing-masing 1 unit ruang panel, ruang pengelola, warung, ruang serbaguna, dan pos kesehatan), dilaksanakan mendahului Tahap II. Pada tahap kesatu ini, dibangun dua blok rumah susun Tambora terdiri dari 242 unit, tipe 18 m2. Tahap ketiga, dibebaskan tanah 4.567 m2 tahun 1986/1987 dari pemilik H. Mukri dkk dengan bangunan tanpa 1MB, santunan Rp. 50.000/m2 atas bangunan. Tahun 1987/1988 dibangun dua blok rumah susun, terdiri dari 240 unit tipe 18m2. Tahap kedua, diRT 09, RT. 14 RW 01 dibebaskan tanah pada tahun 1987 dari pemiliknya, Ny. H. Muksin dkk, ahli waris H. Abdul Manaf, sertifikat hak milik No. 2 Jembatan Lima (Angke) seluas 7.295 m2, direncanakan akan dibangun Blok E (1 06 unit) dan Blok F (96 unit) serta ruko di Blok G. Pengosongan bangunan terkatung-katung, karena warga tidak mau memperoleh penggantian Rp. 65.000/m2 bangunan, sesuai dengan lnsgub DKI Nomor 65/1989 tanggal 1 Maret 1989. Dari tanah seluas 7.295 m2 dengan rumah tanpa 1MB 92 buah (114 KK), sampai 1990 baru dibebaskan 16 bangunan seluas 1.424 m2. Sisanya 76 bangunan pada areal 5.871 m2 sampai dengan Juli 1991 belum dapat dikosongkan. Pengosongan baru bisa dilakukan menjelang akhir tahun 1991, setelah dilakukan melalui berbagai cara termasuk kekerasan tetapi masih tetap manusiawi. Untuk melaksanakan program ini, Pemda DKI Jakarta telah melakukan penyuluhan dan pendekatan kepada penghuni bangunan tanpa izin tersebut, baik secara langsung maupun melalui tokoh masyarakat setempat. lnventarisasi pertama dilakukan 7 Februari 1990 dan inventarisasi kedua dilakukan 14 Agustus 1990. Tindak lanjut lnsgrub Nomor 65 Tahun 1989 adalah pemberitahuan untuk mengambil uang santunan/ pesangon melalui surat tanggal 25 September 1990, 20 Oktober 1990, dan 25 Oktober 1990. Tetapi warga kelihatannya tidak mau tahu dengan anjuran tersebut. Surat Perintah Bongkar pertama dikeluarkan 23 November 1990. Warga diperintahkan membongkar sendiri bangunannya dan mengambil uang santunan. Untuk penampungan, mereka diberi hak menyewa rumah susun di sebelah lokasi perumahan mereka. Surat Perintah Bongkar kedua dikeluarkan 17 Desember 1990 dan Ketiga 23 November 1991. Setelah surat perintah bongkar ketiga, penduduk masih tidak mau membongkar bangunannya. Akhirnya sesuai dengan hasil rapat Muspika Jakarta Barat dengan instansi terkait, diputuskan untuk membongkar secara paksa, walaupun dianggap kurang manusiawi. Pembongkaran terpadu dilakukan 29 Mei 1991. Hari pertama mendapat reaksi dari penghuni, namun bisa diatasi dan pembongkaran berjalan lancar. Wakil warga, Djunaedi, Wakil Ketua RW 03 membuat pernyataan bersedia membongkar sendiri paling lambat 31 Mei 1991. Jika belum dilakukan sampai batas waktu tersebut, mereka setuju rumahnya dibongkar petugas. Hari kedua, Kamis 30 Mei 1991 ada sebagian warga terkena hasutan oknum tertentu. Empat puluh warga dipimpin Dadang, diterima anggota DPR Rl. Hari ketiga, Jum'at 31 Mei 1991, pembongkaran sendiri rumah dilaksanakan dengan bantuan buruh yang dikerahkan Pemda DKI, sehingga barang-barang milik warga bisa diselamatkan. Setelah pembongkaran secara paksa mulai 29 Mei 1991, sebagian warga mulai masuk ke rumah susun dan sebagian lainnya mengambil pesangon. Dibandingkan dengan saat dilakukan inventarisasi, jumlah kk meningkat menjadi 157 kk, yaitu 68 kk pemilik bangunan dan 89 kk penyewa. Dari 160 unit hunian yang dicadangkan, pada bulan Juni 1991 tercatat 134 kk telah mendaftarkan untuk tinggal di rumah susun. Yang mau masuk ke rumah susun 111 kk, yaitu 46 kk pemilik bangunan dan 65 kk penyewa bangunan. Yang mengambil uang santunan sampai dengan 1 Juni 1991 ada 11 orang. Pulogading Dan Kampung Sawah Peremajaan lingkungan permukiman kumuh RW 01 dan RW 03 Kelurahan Pulogadung Jakarta Timur seluas 3,47 Ha, dilakukan terhadap tanah negara (11.426 m2), PALAD (1.797 m2), dan DLLAJR DKI (21.455 99
m2). Penghuni lama sebanyak 154 kk pemilik rumah dan 90 kk penyewa akan ditampung di rumah susun hasil peremajaan, DLLAJR dipindahkan ke Ujung Karawang di atas tanah seluas 2,1 Ha, dan PALAD melepas tanahnya secara ruislag dan memperoleh 10 unit rumah berikut prasarana di lokasi lain. Pembangunan lima blok rumah susun seluas 15.000 m2 dilengkapi pertokoan (796m2), masjid dan ruang serbaguna (531 m2), dan lahan komersil (16.000 m2) dengan nilai jual Rp 16 milyar. Biaya seluruh proyek peremajaan sebesar Rp 12,5 milyar akan disediakan YDBKS. Peresmian tiang pancang pondasi pertama rumah susun Blok C yang dilakukan Juni 1991 telah diresmikan penghuniannya pada tanggal 14 Maret 1992 sekaligus peresmian pemancangan tiang pondasi pertama rumah susun Blok B. Lingkungan permukiman kumuh Kampung Sawah Jakarta Barat seluas 5,3875 Ha (2,6505 Ha di Kelurahan Kemanggisan dan 2,7370 di Kelurahan Tanjung Duren) diharapkan dapat dibebaskan dan dikosongkan pada bulan Agustus 1992 sebelum KTT Non Blok. Penghuni dibebaskan memilih Kapling Siap Bangun, Rumah Sangat Sederhana, atau mencari sendiri tempat permukimannya yang baru. Jika memilih fasilitas RSS, pemerintah memberikan subsidi hampir setengahnya dari harga KSB (kapling siap bangun) yang ditetapkan. Masih banyaknya penghuni yang mengakui memiliki hak atas tanah di atasnya, ketidakjelasan pemilikan status hak tanah, belum disepakatinya pesangon atas bangunan rumah, dan musyawarah yang belum mencapai kesepakatan, mengakibatkan program pengosongan lingkungan permukiman kumuh Kampung Sawah tertunda. Penutup Satu hal bisa ditarik dari tiga kasus program peremajaan lingkungan permukiman kumuh di Angke, Pulogadung, dan Kampung Sawah, yaitu diperlukannya perencanaan (fisik dan non-fisik) yang komprehensif dan integratif, pengorganisasian yang baik, penggerakan, pengawasan, dan pengkoordinasian yang terpadu di antara semua unsur/instansi terkait, serta perlu dilibatkannya partisipasi masyarakat penghuni lingkungan kumuh sedini mungkin. Pol a membangun tanpa menggusur perlu ditanamkan kepada penghuni lingkungan kumuh agar mereka dengan sadar menerima, mendukung dan mengikuti program peremajaan lingkungan permukiman kumuh. Sikap main gusur perlu dihilangkan dan aparat Walikota dan unsur terkait lainnya perlu memberikan penyuluhan kepada masyarakat secara terus menerus dan manusiawi. Suara Karya, 15 Juli 1992 Potret Lingkungan Kumuh di DKI Jakarta Dalam papernya yang berjudul Timbulnya Permukiman-permukiman Liar Di Oaerah Perkotaan Sebagai Akibat Dari Urbanisasi Yang Tinggi, Menpera Siswono Judohusodo menginformasikan empat kota di Indonesia yang mempunyai lingkungan permukiman kumuh (slums) dan permukiman liar (squatters) persentase tinggi, yaitu DKI Jakarta, (4.481,6 Ha dihuni 2.377.000 jiwa), 264 permukiman liar), Surabaya (2.196 Ha, dihuni 900.870 jiwa, 25), Semarang (2.244 Ha dihuni 438.688 jiwa. 23), dan Bandung (402 Ha dihuni 205.465 jiwa. 20). Lingkungan permukiman kumuh dan liar sukar diawasi (uncontroled settlements), karena kepadatan rumah dan penduduk sangat tinggi, pencatatan kependudukan kurang teratur karena penghuni sering berpindahpindah, mata pencaharian tidak tetap sehingga penghuni sulit dijumpai. Siswono juga menyatakan bahwa permukiman kumuh tidak selalu liar dan yang liar tidak selamanya kumuh. Lingkungan kumuh dikaitkan dengan prasarana dan sarana lingkungan, sedangkan hunian liar dikaitkan dengan status pemilikan, misalnya bermukim di atas tanah negara. Dalam lingkungan kumuh dan liar, Siswono membedakan beberapa jenis permukiman kumuh-liar, yaitu lingkungan permukiman kumuh tidak liar, liar tidak kumuh, kumuh, liar, dan kumuh-liar. Potret Kumuh lnpres Nomor 5 Tahun 1990 tentang Peremajaan Permukiman Kumuh Di Atas Tanah Negara 100
menegaskan bahwa peremajaan permukiman kumuh yang perlu dilakukan secara terkoordinasi oleh instansiinstansi terkait dan perlu mendorong keikutsertaan BUMN, BUMD, Yayasan, Perusahaan, dan masyarakat luas, dilaksanakan dalam rangka mempercepat peningkatan mutu kehidupan masyarakat terutama bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah (gmbr) yang berada di atas tanah negara. lnpres ini menugaskan Menpera, Mennegrenbangnas/Ketua Bappenas, Menneg KLH, Mendagri, Menpu, Menkeu, Kepala BPN, Para Gubernur Kepala DT I, dan Para Bupati/Walikotamadya Kepala DT II, untuk melaksanakan peremajaan permukiman kumuh di daerah perkotaan terutama yang berada di atas tanah negara di seluruh Indonesia. Peremajaan permukiman kumuh diartikan sebagai pembongkaran sebagian atau seluruh permukiman kumuh yang sebagian besar atau seluruhnya berada di atas tanah negara dan kemudian ditempat yang sama dibangun prasarana dan fasilitas lingkungan rumah susun serta bangunan-bangunan lainnya sesuai dengan rencana tata ruang kota yang bersangkutan. Peremajaan lingkungan permukiman kumuh mempunyai tiga tujuan. Pertama, meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan, harkat, derajat dan martabat masyarakat penghuni permukiman kumuh terutama gmbr dengan memperoleh perumahan yang layak dalam lingkungan permukiman yang sehat dan teratur. Kedua, mewujudkan kawasan kota yang ditata secara lebih baik sesuai dengan fungsinya sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang kota yang bersangkutan. Ketiga, mendorong penggunaan tanah yang lebih efisien dengan pembangunan rumah susun, meningkatkan tertib bangunan, memudahkan penyediaan prasarana dan fasilitas lingkungan permukiman yang diperlukan serta mengurangi kesenjangan kesejahteraan penghuni dari berbagai kawasan di daerah perkotaan. Gambaran lingkungan kumuh (lingkungan buruk menu rut Bianpoen, 1991 ), adalah lingkungan permukiman yang kondisi tempat tinggal atau tempat huniannya berdesakan, luas rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni, rumah berfungsi sekedar tempat istirahat dan melindungi diri dari panas, dingin dan hujan, lingkungan dan tata permukiman tidak teratur, bangunan sementara, acak-acakan tanpa perencanaan, prasarana kurang (mck, air bersih, saluran buangan, listrik, gang, lingkungan jorok dan menjadi sarang penyakit), fasilitas sosial kurang (sekolah, rumah ibadah, balai pengobatan), mata pencaharian penghuni tidak tetap dan usaha non-formal, tanah bukan milik penghuni, pendidikan rendah, penghuni sering tidak tercatat sebagai warga setempat, rawan kebakaran, banjir dan rawan terhadap timbulnya penyakit. Penanganan lingkungan permukiman kumuh di DKI Jakarta sudah dirasakan mendesak. Beberapa pola peremajaan permukiman kumuh telah dan sedang dicoba diterapkan. Lingkungan kumuh Angke diremajakan melalui keterpaduan Proyek yang ditangani Proyek Perbaikan Kampung (Bappem MHT) dan Pembangunan Rumah Sewa Bertingkat (PD Pembangunan Sarana Jaya). Tanah dibebaskan, rumah digusur (diusahakan membangun tanpa menggusur), penghuni ditampung sementara di rumah sewa yang telah ada, rumah sewa bertingkat atau rumah susun dibangun, dan setelah pembangunan selesai, penghuni tadi pindah ke rumah susun ini. Demikian seterusnya sehingga diciptakan sistem berantai (perantaian). Kawasan kumuh Kemayoran diremajakan melalui pembangunan Kota Baru Bandar Kemayoran yang dikelola oleh BPKK (Badan Pengelola Kawasan Kemayoran). Penghuni diusahakan masuk ke Rumah Susun Kemayoran yang dibangun Perum Perumnas atau pindah ke Rumah Sederhana/Rumah San gat Sederhana di Tangerang, Depok dan Bekasi. Di Pulogadung, Perumnas membangun rumah susun (model Sombo Surabaya) di atas tanah negara yang dikuasai DLLAJR (direncanakan termasuk tanah PALAD). Blok C sudah selesai dibangun di atas tanah negara yang masih kosong. Sebanyak 26 kk penghuni kawasan kumuh di atas tanah DLLAJR dipersilakan masuk ke rumah susun secara gratis, dengan luas yang proporsional terhadap luas rumah sebelumnya (memilih 2-4 modul, 1 modul sekitar 11 m2). Pemerintah memanfaatkan tanah bekas hunian kumuh tadi untuk rumah susun baru dan fasilitas komersial. Kampung Sawah yang berada di kiri-kanan awal jalan tal JakartaTangerang-Merak akan dibebaskan dan ditata. Penataan lingkungan kumuh ini diduga ada keterkaitannya dengan memperindah wajah Jakarta menyongsong Konperensi Non-Biok. Peremajaan lingkungan kumuh akan diteruskan ke beberapa wilayah kota yang benar-benar kumuh. Jakarta Selatan sedikit lingkungan kumuhnya, yaitu terdapat di Kelurahan Manggarai Selatan (kepadatan kelurahan 54,092 jiwa/km2). Bukit Duri (36.577), Menteng Atas (48.776), Pasar Manggis (35.142), Pela Mampang (31.537), dan Kebayoran Lama Selatan (25.731 ), termasuk lingkungan kumuh yang berbatasan dengan Jakarta Pusat dan Jakarta Timur. Lingkungan kumuh Jakarta Timur sedang diinventarisasi oleh aparat Walikota. Yang mudah tampak terlihat di sepanjang kiri-kanan sungai Ciliwung, Kampung Melayu 101
(55.252 jiwa/km2), Pisangan Baru (41.4oSJ, Kayu Manis (45.275), Cipinang Besar Utara (44.664), dan Malaka Jaya (34.774). Kawasan kumuh Jakarta Pusat cukup luas, yaitu berada di kelurahan-kelurahan Kampung Rawa (76.153 jiwa/km2), Galur (73.148). Tanah Tinggi (66.247jiwa/km2), Karang Anyar (57.959), Utan Panjang Kemayoran (54.013), Duri Pulo (48.389). Harapan Mulya (48.360, Kartini Sawah Besar (46.636), Kemayoran (43.387), Kramat (39.644), Kebon Mel a\! 139.531 ). dan Kebon Kacang (38.689). Tingkat kepadatan penduduk tertinggi ada di Jakarta Barat yaitu di Kecamatan Tambora yang meliputi kelurahan-kelurahan Kali Anyar (88.091) jiwa/km2), Krendang (76.509). Jembatan Besi (67.160), Duri Utara (55.588), Jembatan Lima (51.578), Tanah Sa real (49.821 ). dan Angke ( 43.608). Kecamatan terpadat berikutnya adalah Tamansari, yaitu di kelurahan-kelurahan Keagungan (64.950 jiwa/km2), Krukut (41 .731 ), dan Tangki (40.316), disusul Kecamatan Palmerah di Kelurahan Kota Bambu (43.268). Kepadatan penduduk tiap Kelurahan di Jakarta Utara memang tidak terlalu tinggi, karena penduduknya jarang, tetapi mutu lingkungan peru mahan dan permukimannya sangat rendah dan banyak yang termasuk ke dalam kategori lingkungan kumuh, misalnya di Kecamatan Cilincing (kelurahan Kali Baru dan Semper Barat), Koja (Kelurahan Koja, Koja Selatan, Koja Utara dan Tugu Utara), Tanjung Priok (Kelurahan Warakas dan Kebon Bawang), dan Pademangan (Kelurahan Pademangan Timur dan Pademangan Barat), serta Penjaringan (Kelurahan Pejagalan dan Penjaringan). Lingkungan kumuh di Jakarta Utara ditandai dengan luas rumah yang sempit, seringnya terjadi kebakaran. musibah banjir, sampah yang menumpuk, air sungai yang kotor dan bau, dan berjangkitnya penyakit menular. Dalam jangka pendek, Pemerintah Kotamadya Bandung merencanakan peremajaan di dua tempat, yaitu Jalan lndustri Dalam (2,25 Ha, 250 kk, dana 5,0 milyar) dan kawasan Pasar Simpang (1 ,80 Ha, 208 kk dan dana 8,6 milyar). Surabaya akan meremajakan lingkungan kumuh Jalan Semarang (0,92 Ha, 340 kk, dana 5 milyar). Walikotamadya Semarang bekerjasama dengan Swasta akan meremajakan permukiman kumuh di Kelurahan Pekunden (4,9 Ha, dihuni 88 kk, dengan dana 2,7 milyar, dibangun kawasan komersial), Kelurahan Sekayu (6,3 Ha, 222 kk), dan Lokasi Jagalan. Manado juga akan meremajakan lingkungan kumuh sepanjang pantai pada tanah milik negara (6.8 Ha, 650 kk, dana 7,4 milyar). Pendekatan Penghuni lingkungan kumuh beraneka ragam pandangan[lya. Ada yang sudah betah menyesuaikan dirinya dengan lingkungan permukimannya, transisi dari belum punya rumah ke punya rumah atau tinggal di rumah sewa yang kondisinya lebih baik, terpaksa karena tidak ada alternatif lain, dan bahagia dalam kemiskinan. Dengan kondisi ini timbul pertanyaan, apakah lingkungan kumuh akan dilestarikan kekumuhannya, ditata, diperbaiki, diremajakan menjadi rumah susun, atau digusur untuk kepentingan pembangunan sektor lain. Apapun pilihan yang diambil, sebaiknya perlu ditempuh melalui pendekatan yang bersistem (system approach), tidak main kuasa dan asal gusur, hindari protes warga, dan lakukan penyuluhan terpadu. Penataan dan peremajaan lingkungan kumuh bisa ditempuh bermacam-macam caranya, antara lain dikaitkan dengan program perbaikan kampung (MHT), diperbaiki sarana dan prasarana lingkungannya, ditingkatkan partisipasi warganya dalam pengelolaan lingkungan mereka, disediakan kredit perbaikan rumah dan penyediaan bahan bangunan, diubah fungsinya menjadi daerah komersial dengan ganti rugi yang memadai, ditingkatkan daya tampungnya melalui pembangunan rumah sewa bertingkat. Semua program ini perlu ditempuh melalui pendekatan bersistem dan manusiawi, sehingga permasalahan sosial bisa ditekan dan bahkan diusahakan dapat dihilangkan. Tujuan akhir program ini tentunya diarahkan agar seluruh kepala keluarga dan anggota masyarakat dapat menghuni rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat dan teratur, baik dengan status pemilik atau penyewa rumah. Terpenuhinya kebutuhan papan (perumahan) di samping sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan, akan meningkatkan produktivitas kerja dan mempercepat perwujudan kesejahteran sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Merdeka, 16 Agustus 1992 102
PEREMAJAAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN KUMUH Studi Perbandingan Jakarta dan Semarang Peremajaan lingkungan permukiman kumuh di atas tanah negara telah diatur melalui lnpres Nomor 5 Tahun 1990. Peremajaan lingkungan kumuh diatas tanah lainnya, masih memerlukan pengaturan lebih lanjut, dengan kata lain diperlukan lnpres baru. Tulisan ini membandingkan program peremajaan lingkungan permukiman kumuh di Pulogadung, Pekunden, Sekayu dan Jagalan Semarang, Kampung Sawah Jakarta Barat, dan Kemayoran Jakarta Pusat. Tujuan membandingkan beberapa lokasi peremajaan lingkungan kumuh ini adalah untuk menemukan model-model peremajaan lingkungan kumuh yang bisa dijadikan masukan dalam penyusunan kebijaksanaan nasional peremajaan lingkungan permukiman kumuh sebagai dasar pelaksanaan dan penerapan peremajaan lingkungan permukiman kumuh di daerah perkotaan di Indonesia Perbandingan Dalam melaksanakan lnpres Nomor 5 Tahun 1990, Kantor Menpera bersama dengan Depsos telah melakukan kerjasama dengan Pemda/para Walikota untuk melaksanakan Peremajaan Permukiman Kumuh yang berada di atas tanah negara. Saat ini telah dirintis upaya peremajaan lingkungan permukiman kumuh seluas 92,05 Ha tersebar di beberapa kota besar. Di Pulogadung Jakarta Timur, tanah seluas 3,4 Ha yang dihuni 145 kk diremajakan menjadi 5 blok hunian, dilengkapi 1 mesjid dan fasilitas umum, mulai dilaksanakan Juli 1990, mengikuti model Dupakl Bangunrejo Surabaya. Kawasan kumuh seluas 7,8 Ha di Duri Utara Jakarta Barat dengan penduduk 874 kk (4.650 jiwa) juga diremajakan. Demikian pula Pademangan Barat (6,4 Ha) dengan penduduk 978 kk (5.328 jiwa) juga akan diremajakan. Bendungan Hilir Jakarta Pusat seluas 29 Ha (876 kk, 3.682 jiwa) telah diteliti, demikian pula 30,3 Ha di Tanah Abang (354 kk, 1.753 jiwa) telah distudi kemungkinannya untuk dilakukan peremajaan lingkungan kumuh. Permukiman kumuh Jalan Semarang di Surabaya seluas 0,92 Ha telah distudi, tanah 6,8 Ha (dihuni 600 kk, 3.000 jiwa) di sepanjang pantai Manado juga diremajakan, Pekunden, Sekayu dan Jagalan di Semarang merupakan lokasi peremajaan lingkungan kumuh pertama di Jawa Tengah, dengan biaya Pemda dan Swasta. Bandung telah melaksanakan peremajaan di Jalan lndustri Dalam (pembangunan 224 unit rumah susun ditambah 360m2 TK dan SO, 100M2 mesjid, sarana jalan lingkungan, saluran, serta prasarana listrik dan air bersih PDAM) dan merencanakan peremajaan Pasar Simpang Dago. Koperasi Pedagang Kaki Lima Panca Bhakti (Kopanti) di Bandung, merencanakan akan meremajakan lingkungan sekitar Pasar Simpang Dago seluas 13.585 m2 (bisa diperluas menjadi 17.563 m2) dengan dana Rp 8,6 miliar, menjadi pusat perbelanjaan koperasi dan permukiman. Di Pekunden Semarang (4.975 m2 tanah negara) yang dihuni 88 kk (440 jiwa) dengan kepadatan 900 jiwa/Ha, akan dibangun 5 blok rumah susun (108 unit) 41antai dengan dana Rp 2,7 miliar (APBN, APBD, dan YDBKS). Di Sekayu, akan dibangun 272 unit rumah susun pada 7 blok masing-masing 4 lantai, demikian pula Jagalan akan diremajakan. Lingkungan kumuh di tiga lokasi ini memerlukan dana Rp 12 miliar, dengan prioritas pembangunan di Pekunden didahulukan. Secara detail, lingkungan kumuh Pulogadung yang diremajakan seluas 34.678 m2, terdiri dari tanah negara (11.462 m2), PALAD (1.797 m2) dan DLLAJR DKI (21.455 m2). Penghuni terdiri atas 154 kk pemilik rumah dan 90 kk penyewa. Fasilitas umum terdiri dari kantor kelurahan, musholla, dan mck. Bangunan yang direncanakan, 5 blok rumah susun (3000 m2), termasuk pertokoan 796 m2, mesjid dan gedung serbaguna 531 m2. Biaya yang dibutuhkan Rp 12,5 miliar. Tanah komersial seluas 16.000 m2 dengan harga tanah Rp 1 juta/m2 akan mempunyai nilai Rp 16 miliar. 103
Melalui program ini, kompleks DLLAJR akan dipindahken ke Ujung Karawang (2,4 Ha) dengan fasilitas bangunan yang lebih memadai dan PALAD akan memperoleh tanah ruijslag (1 0 unit rumah) di lokasi lain. Tahap pertama telah dibangun satu blok rumah susun Blok C yang dihuni 26 kk dengan biaya Rp 1,7 miliar, diresmikan penghuniannya 14 Maret 1992 oleh Menko Kesra, sekaligus persemaian pemancangan tiang pondasi pembangunan rumah susun Blok B. Sambi! berjalan, dilakukan perubahan atau penyempurnaan tataletak blok-blok rumah susun agar pembangunarJ dipercepat dan pemanfaatan tanah dan ruang lebih optimal. Kampung Sawah akhirnya berhasil dikosongkan. Penghuni sebanyak 1 .622 kk (7.039 jiwa) ditambah 500 kk penyewa atau pengontrak telah pindah ke ASS di Karawaci dan Depok. Lokasi Kampung Sawah yang terbagi dua, 1.001 kk (4.349 jiwa) di kelurahan Kemanggisan dan 621 kk, 2.689 jiwa di Kelurahan Tanjung Duren ini, sangat strategis di ujung jalan Tol Tomang-Tangerang-Merak. Kalaupun akan dibangun, tidak boleh melebihi kepadatan 20%. Tetapi agar tidak menimbulkan gejolak sosial dan dampak negatif lainnya, di lokasi ini sebaiknya tidak dibangun rumah susun, karena akan membikin iri para penghuni yang tergusur. Kawasan Kebon Kosong Kemayoran dan Gunung Sahari Selatan seluas 37,5 Ha yang terdiri atas19,5 Ha Tanah Negara dan 18 Ha Tanah Hak Negara, sedang diremajakan. Pemanfaatan tanah terdiri atas 26,85 Ha untuk bangunan dan fasilitas lingkungan (3,0 Ha dikembalikan kepada masyarakat melalui konsolidasi dan relokasi tanah, 17,5 Ha oleh Perum Perumnas, 3,5 Ha fasilitas lingkungan (mesjid, gedung serbaguna dan lapangan olah raga), jalan dan saluran 2,85 Ha) dan 10,65 Ha lahan yang masih dapat dimanfaatkan (6,2 Ha di kelurahan Kebon Kosong dan 4,45 Ha di Gunung Sahari Selatan). Sudah dibebaskan 6,22 Ha tanah negara dan 8,5 Ha tanah penduduk, ditambah 3,45 Ha dalam proses konsolidasi dan relokasi tanah. Jumlah warga mencapai 3.963 kk, masing-masing 3.283 kk di tanah negara dan 680 kk di tanah hak masyarakat. Pembebasan sudah mencapai 1.570 kk, yaitu 1.163 kk (35,4%) di tanah negara dan 407 kk (60%) di tanah hak masyarakat. Sebanyak 912 kk sudah mengambil rumah Perumnas/ BTN, yaitu 435 kk (KPR BTN) dan 477 kk mengambil rumah susun Kemayoran. Hanya karena ketidakmampuan membayar cicilan di rumah susun dan menghendaki areal perumahan yang lebih luas, kebanyakan warga memutuskan pindah ke RS/RSS T -21 Bumi Bekasi Baru (Bekasi 2000) di Rawalumbu Bekasi. Biaya pembebasan kawasan Kemayoran ini mencapai Rp 118 miliar, dikurangi Rp 19 miliar karena konsolidasi dan relokasi tanah. Dana diusahakan Rp 50 miliar dari Badan Pengelola Kawasan Kemayoran (BPKK), Rp 30 miliar dari YDBKS, dan Rp. 20 miliar pinjaman Bank. Dengan harga tanah Rp 800.000/m2, diharapkan YDBKS bisa memperoleh tanah 3.75 Ha di Jalan Arteri Utara-Selatan dan Timur Barat. Rumah Susun Perumnas telah terbangun 1.454 unit. Dari 576 unit yang disewakan, 477 unit dihuni warga Kemayoran, 61 unit masyarakat umum, dan 38 unit belum dihuni tetapi peminatnya sangat banyak. Fasilitas KPR ada 878 unit, masing-masing 435 unit dihuni warga Kemayoran, 35 unit dari masyarakat umum, dan 408 unit belum dihuni (segera dihuni oleh warga Kemayoran yang akan memperoleh ganti rugi). Harapan Semua program peremajaan lingkungan permukiman kumuh di atas mempunyai tujuan untuk meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan, harkat, derajat dan martabat masyarakat penghuni permukiman kumuh, mewujudkan kawasan kota yang ditata secara baik dan teratur, dan mendorong penggunaan tanah secara lebih efisien dan produktif. Prinsip peremajaan permukiman kumuh adalah berusaha memukimkan kembali penghuni lingkungan kumuh yang diremajakan, pada lingkungan yang sudah diremajakan. Dengan kata lain, penghuni asli (lama) ditampung kembali di bangunan hasil peremajaan, baik dengan cara memiliki ataupun menyewa. Di samping itu sesuai dengan Pola Dasar Pembangunan Daerah, RUTR, atau RDTR/RDTRK, perlu dilakukan pendekatan kepada masyarakat setempat agar mereka bisa berperan serta dan berpartisipasi aktif dalam proses peremajaan lingkungan kumuh. Prinsip subsidi silang juga perlu diterapkan, di mana areal komersial mensubsidi pembangunan rumah susun murah untuk penghuni lingkungan kumuh yang kemampuan ekonominya lemah. Pola di DKI Jakarta 104
yang menerapkan ketentuan terhadap developer (pemegang SP3L, Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan) yang membebaskan tanah seluas 5000 m2 atau lebih untuk pembangunan fisik kota di DKI Jakarta, agar membangun rumah susun sederhana/murah di atas areal 20% dari tanah yang dibebaskannya, patut ditiru oleh kota-kota besar lainnya di Indonesia. Jayakarta, 27 Nopember 1993 Masalah Dan Penanganan Kawasan Kumuh Kawasan kumuh merupakan salah satu masalah di kota-kota besar negara berkembang. Di Indonesia, kawasan kumuh mudah dijumpai di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Palembang, Medan, dan Ujungpandang. Pentingnya penataan, penanganan, perbaikan, peremajaan, dan rehabilitasi daerah kumuh, terbukti dari terjunnya Presiden Soeharto pada kegiatan HKSN (Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional) ke lokasi lingkungan perumahan, perkampungan dan permukiman kumuh. Kawasan kumuh dapat dilihat dari kondisi rawan fisik lingkungan (rawan banjir, kebakaran, prasarana tidak memadai, sanitasi lingkungan buruk, tidak ada sumber air bersih, dan perumahan kurang layak huni serta tempat hunian penduduknya sangat padat), kondisi ekonomi lemah (penduduknya berpenghasilan rendah dan sangat rendah serta tingkat pengangguran tinggi), kondisi sosial rendah (tingkat pendidikan rendah, tempat sumber kriminalitas, dan tingkat kesehatan rendah), serta aspek hukum (hunian tidak sesuai dengan ketentuan dan peraturan). Kawasan kumuh di Jakarta bisa dilihat di Kepa Duri, Petamburan, Teluk Gong, Krendang, Angke, Jembatan Besi, Tanah Tinggi, Matraman, Pademangan, Mampang, Bendungan Hilir, Warakas, dan Cengkareng. Penyebab tumbuhnya kawasan kumuh cukup banyak, antara lain tingkat urbanisasi yang tinggi (1-1 ,5% per tahun), para pendatang umumnya tidak terampil dan berpendidikan rendah, kurangnya persediaan rumah (kebutuhan lebih tinggi dari penyediaan) pengawasan tanah kurang ketat, kurangnya pengetahuan dan kesadaran hukum dari sebagian besar masyarakat dan aparat pemerintah. Juga desakan ekonomi akibat keterbatasan penghasilan sehingga golongan masyarakat berpenghasilan sangat rendah bermukim di sembarang tempat, pada lingkungan perumahan dan permukiman kumuh (kumuh dan liar, slums dan liar squatters). Dari segi perencanaan kota, dikenal peruntukan lingkungan perumahan dan bukan lingkungan perumahan, sedangkan dari segi penguasaan tanah dikenal pengertian diakui dan tidak diakui. Contoh lingkungan kawasan perumahan dan permukiman kumuh yang diakui (hak milik dan hak garap), adalah Tambora dan Karang Anyar Jakarta Barat. Dan yang tidak diakui adalah di Mandala Jakarta Timur, sedangkan bukan lingkungan perumahan yang diakui di Kali Baru Jakarta Utara dan tidak diakui di Plumpang, Kampung Sawah, Bantaran Kali, dan Bantalan Rei Kereta Api. Upaya Upaya penanganan kawasan kumuh menjumpai banyak hambatan. Urbanisasi sulit dibendung dan dikurangi. Anggaran Pemerintah dalam bidang perumahan terbatas, sehingga penyediaan rumah baru jauh di bawah kebutuhan rumah. Peremajaan perumahan kumuh dengan membangun rumah susun membutuhkan dana yang besar, padahal kemampuan anggaran Pemerintah terbatas. Mekanisme peremajaan permukiman kumuh belum jelas. lnpres Nomor 5 Tahun 1990 tentang Peremajaan Permukiman Kumuh Di Atas Tanah Negara, tidak didukung penyediaan. anggaran yang memadai. Demikian pula, pedoman penanganan peremajaan permukiman kumuh dan peremajaan kota belum dibuat. Pembangunan perumahan sederhana dan rumah sangat sederhana cenderung bersifat sosial sehingga tidak menarik minat pengusaha swasta yang lebih berorientasi pada keuntungan. Budaya hidup bersih dan sehat bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah masih kurang. Penyuluhan hukum dan ketentuan mengenai perumahan, rumah sehat, perizinan dan 105
sebagainya, kurang efektif dan kurang !ancar, disebabkan keterbatasa~1 dana dan keterbatasan personil. Pengendalian lahan kurang efektir dan penguasaan lahan oleh pemerintah kurang ketat. Pencatatan tanah kurang teratur sehingga sering terjadi sengketa tanah yang mengakibatkan kesulitan dalam menata, memperbaiki, dan meremajakan lingkungan permukiman. Developer tidak tertarik untuk membangun rumah sederhana dan rnembangun rumah susun murah, karena jelas tidak menguntungkan. Masyarakat kurang berminat tmggai di rumah susun, karena sempit, tidak tersedia ruang bermain anak-anak, dan sulit menyelenggarakan pesta keluarga. Permasalahan ini hanya bisa diatasi melalui ketekunan aparat pemerintah bersama swasta dan masyarakat dalam bentuk kemitraan (partnership). Dikenal beberapa upaya penanganan lingkungan kumuh, yaitu perbaikan kampung, bantuan penataan, perbaikan dan rehabilitasi kawasan kumuh, serta peremajaan lingkungan dengan pembangunan rumah susun dan pemindahan penduduk. Perbaikan kampung telah dilakukan melalui program MHT I (12.700 Ha; membangun prasarana jalan dan saluran, penyediaan sarana mck, bak sampah, dan penyediaan air minum deep well dan hidrant), MHT II (6.250 Ha; peningkatan kualitas fisik lingkungan perkampungan dan perbaikan sanitasi), dan MHT Ill (7.206 Ha; bina fisik lingkungan), mendukung perwujudan asas tri-bina, yaitu bina manusia, bina lingkungan, dan bina usaha. Bina manusia bertujuan menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran akan kemampuan diri sendiri dalam memenuhi kebutuhannya secara mandiri, bina lingkungan menuju pada terwujudnya perumahan layak dalam lingkungan yang sehat dan teratur serta kehidupan dan penghidupan yang lebih sejahtera, dan bina usaha diarahkan untuk memobilisasi sumber daya masyarakat dalam meningkatkan penghasilan mereka. Bantuan perbaikan lingkungan kumuh dilakukan oleh Ditjen Bangdes Depdagri untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi penduduk, program ABRI Masuk Desa, Depsos melalui HKSN, Ditjen Cipta Karya Dep-PU melalui program rumah sehat, Bappenas melalui penyediaan hydrant dan program PKT, serta bantuan-bantuan lainnya. Peremajaan Peremajaan lingkungan dengan membangun rumah susun telah mencapai 5.728 unit (kk), yaitu di Penjaringan Jakarta Utara (840 kk tahun 1986 oleh Cipta Karya untuk menampung warga setempat eks kebakaran dan 480 kk tahun 1990 oleh Sarana Jaya untuk relokasi warga setempat), Tambora Jakarta Barat ( 480 kk tahun 1986 oleh Bappem MHT untuk relokasi warga setempat dan 240 kk tahun 1992 oleh PT Danayasa) untuk kompensasi SP3L (Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan) di Jalan Sudirman, dan Karang Anyar Jakarta Pusat (480 kk oleh Bappem MHT untuk menampung warga setempat eks kebakaran). Juga Tanah Abang Jakarta Pusat (960 kk tahun 1982 oleh Perum Perumnas untuk relokasi warga setempat). Kebon Kacang Jakarta Pusat (536 kk tahun 1984 oleh Perum Perumnas untuk relokasi warga setempat), Pulogadung Jakarta Timur (240 kk oleh Perum Perumnas tahun 1992 untuk relokasi warga setempat), dan Kemayoran Jakarta Pusat (1.472 unit tahun 1990 oleh Perum Perumnas untuk relokasi warga setempat yang terkena pembebasan). Peremajaan lingkungan permukiman kumuh dengan pola pemindahan penduduk telah dilakukan di empat lokasi. Tahun 1992, disediakan 1.659 Rumah Sangat Sederhana (RSS) di atas tanah seluas 15 Ha di Karawaci untuk menampung 1.621 kk relokasi warga Kampung Sa wah Jakarta Barat. Tahun 1991, pembebasan lokasi Jalan Sudirman terhadap 1 .500 kk diberikan ganti rugi yang memadai oleh PT Danayasa dan disediakan rumah susun sederhana/murah di Tambora. Pemberian pesangon diberikan oleh Walikota Jakarta Utara/Pertamina pada tahun 1992 kepada 300 kk penduduk di lokasi seluas 160 Ha eks tanah Pertamina Plumpang. Mulai 1989, ganti rugi dan 400 kaveling disediakan oleh PO Pembangunan Sarana Jaya kepada 372 kk yang tanahnya seluas 6 ha terkena proyek peremajaan Segitiga Senen. T erbatasnya kemainpuan pemerintah dan luasnya kawasan permukiman kumuh di ibukota, menuntut pola penanganan kawasan kumuh yang komprehensif, terpadu, dan berencana. Peningkatan kualitas 106
lingkungan kumuh melalui perba1kan kampung (model MHT Iii) diharapkan merupakan upaya trans1si dalam menuju peremajaan. Peremajaan permukiman kumuh di atas tanah negara (lnpres Nomor 5 Tahun 1990) yang didukung dana YDBKS/SDSB dan Swasta perlu ditingkatkan. Untuk itu, pedoman umum penanganan perumahan dan permukiman kumuh serta pedoman umum peremajaan kota perlu segera ditetapkan. Peremajaan lingkungan kumuh di DKI Jakarta dengan membangun rumah susun sederhanalmurah yang mengacu pada Kepgub Nomor 540 Tahun 1990, Nomor 354 Tahun 1992, dan Nomor 640 Tahun 1992 serta lnsgub Nomor 281 Tahun 1992 kepada Kepala Dinas Perumahan untuk meningkatkan pelaksanaan tiga Kepgub tersebut, perlu ditingkatkan. Demikian pula peremajaan lingkungan kumuh dengan pembanguanan rumah susun untuk golongan menengah/sedang. Dana Triliunan Kawasan kumuh dengan kategori kawasan bukan peruntukan perumahan dan penguasaan tanah tidak jelas (dalam sengketa), serta berbahaya, sebaiknya ditangani dengan merelokasi penduduk ke rumah susun sederhana di lokasi lain atau relokasi ke RSS di pinggir kota. Agar pertumbuhan kawasan kumuh bisa ditekan, perlu dilakukan penanganan hukum dan ketentuan serta peraturan perundang-undangan secara konsisten dan berkesinambungan, peningkatan kesadaran masyarakat dan aparat pemerintah, kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat, pengawasan ketat oleh aparat Kecamatan dan Kelurahan, serta upayaupaya untuk menekan atau mengurangi tingkat urbanisasi. Menpera Siswono mengatakan bahwa diperlukan dana triliunan rupiah untuk melakukan perbaikan permukiman kumuh di 643 kota dan 1.249 desa yang dihuni oleh 1.059.037 kk (Jayakarta, 30 Desember 1992). Menghadapi kendala dana, maka program perbaikan lingkungan kumuh baik melalui penataan, pemugaran, peremajaan, dan relokasi, perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi kota yang bersangkutan serta ketersediaan dana. Bantuan HKSN dalam rehabilitasi daerah kumuh perlu dilihat sebagai pendorong atau perangsang yang masih perlu ditindaklanjuti oleh program perbaikan lingkungan kumuh lainnya. Sejalan dengan itu, Pemerintah Daerah Tingkat II (kabupaten/kotamadya) perlu secara teliti melakukan inventarisasi dan klasifikasi (bahkan tipologi) kawasan kumuh di kotanya masing-masing. Kerja sama dengan pihak swasta dan masyarakat melalui kemitraan dan pola pembangunan yang menumbuhkan partisipasi dan peran serta masyarakat serta bertumpu pada kemandirian masyarakat, perlu diprioritaskan. Harus dihindari jangan sampai perbaikan lingkungan kumuh tidak dapat mengurangi atau melenyapkan kawasan kumuh, bahkan memunculkan atau merangsang munculnya lingkungan kumuh baru akibat daya tarik yang besar dari kawasan yang telah diperbaiki. Dalam hal ini, kepastian hukum dan tertib hukum serta aparatur pemerintah yang berwibawa sangat diperlukan agar penyerobotan tanah serta pembangunan rumah kumuh dan liar bisa dihindari. Pada semua alternatif penanganan di atas, dituntut adanya keterpaduan pola koordinasi dan penanganan peremajaan kota serta peremajaan lingkungan permukiman kumuh yang disusun oleh Kantor Menpera dengan pola penanggulangan lingkungan kumuh yang disusun oleh Pemerintah Daerah setempat, sehingga bisa dicapai hasil yang optimal. Suara Pembaruan, 6 Januari 1993 Profil dan Alternatif Perbaikan Lingkungan Kumuh Lingkungan kumuh (kepadatan penduduk di atas 500 orang/Ha) bertebaran di kota-kota raya Jakarta, kota besar Bandung, Surabaya, Semarang dan Medan. Rumah-rumah di lingkungan pemukiman kumuh berukuran kurang dari 10 m2 dan dibangun secara liar di atas tanah negara, instansi, perorangan, badan hukum atau yayasan. Jelas rumahnya tidak terdaftar, apalagi 1MB. Penghuninya dapat pemilik tanah dan 107
bangunan, sewa, atau penyerobotan tanah. Bangunan rumah digunakan untuk tempat hunian, dagang makanan atau kegiatan campuran. Tanah yang mereka tempati menurut perencanaan kota pada umumnya untuk taman, jalur hijau, daerah terbuka, dan jalur pengamanan. Prasarana dan fasilitas lingkungan hampir tidak ada. Kondisi bangunan memprihatinkan, tidak teratur dan mudah terjadi kebakaran. Sejalan dengan petunjuk Presiden yang disampaikan kepada Menpera pada tanggal 15 Januari 1990, BPPT pada tanggal 1 Maret 1990 telah menyelenggarakan Diskusi Sehari perumahan dengan tema Pemukiman Kumuh dalam kaitannya dengan Perbaikan Pemukiman Kumuh Perkotaan. Profil dan alternatif pembangunan lingkungan kumuh merupakan bahasan seminar dan diskusi. Pro til Kelompok Pengkajian Sistem Perkotaan BPP Teknologi telah melaksanakan survai lapangan perumahan kumuh dengan menggunakan 1000 kuesioner di kelurahan-kelurahan terpadat penduduknya yang tersebar di lima wilayah kota DKI Jakarta, yaitu Karang Anyar Jakpus (Kepadatan 655 orang/Ha), Warakas Jakut (415 orang/Ha), Kalianyar Jakbar (881 orang/Ha), Manggarai Selatan Jaksel (656 orang/Ha), dan Pisangan Baru Jaktim (567 orang/Ha). Mayoritas responden adalah pendatang (63,8%) dari luar Jakarta dan hanya 36,2% penduduk asli Jakarta. Proporsi responden pendatang dan penduduk asli di tiap wilayah, masing-masing 60 : 40 (Jakpus), 73 : 27 (Jakut), 71 : 29 (Jakbar), 60 : 40 (Jaksel), dan 55 : 45 (Jaktim). Sifat tinggal responden pendatang adalah 83% menetap dan 17% tidak tetap (musiman), sedangkan dari seluruh responden, 89% menetap dan 11 % musiman. Pekerjaan penghuni lingkungan kumuh sebagian besar pedagang (33%), buruh harian (20%) dan karyawan swasta (17%). lstri anggota keluarga (pedagang, buruh harian dan karyawan swasta) sebagian besar bekerja, masing-masing 38% berdagang, 15% pegawai swasta dan 11 % buruh harian. Dari segi pendidikan, 46% berpendidikan SO, 22% SLTP, 18% SL TA, dan 12% tidak sekolah. Dari 1000 responden, hanya 984 bekerja, 71% diantarnya berpenghasilan dibawah Rp 150.000,- (12% di bawah Rp 50.000,-, 34% antara Rp 50.000 - 99.999, dan 23% antara Rp 100.000 - 149.999). lni berarti permukiman kumuh didominasi oleh warga yang tingkat pendidikan maupun penghasilannya rendah. Tempat kerja mereka sebagian besar di pusat kota, 61% tetap dan 14% keliling, hanya 10% di pinggir kota dan 15% di luar kota sebagai buruh bangunan. Jarak dari rumah ke tempat kerja, 52% (kurang dari 5 km), 12% (5-10 km), 19% (lebih dari 10 km) dan 17% (sulit mengukur jarak dari rumah ke tempat kerja). Waktu perjalanan ke tempat kerja, 56% (kurang dari 1,5 jam), 16% (0,5-1 jam), 11% (lebih dari 1 jam), dan 17% sulit mengukur waktu perjalanannya karena sifat pekerjaan yang berpindah-pindah. Ada kecenderungan lokasi rumah diinginkan berdekatan dengan tempat kerja. Rumah yang ditempati adalah milik sendiri (64%), rumah sewa (27%), rumah dinas (10%), dan sisanya menumpang. Yang tinggal di rumah sewa 75%, kontrak tahunan atau bulanan dan hanya 1,4% harian atau mingguan. Uang sewa bulanan 81% kurang dari Rp 30.000,-, 299% (kurang dari 10.000) 37% (Rp10.000- 20.000), dan 15% (Rp 20.000 - 30.000). Status tanah hanya 16% milik sendiri dan 84% tanah negara atau milik orang lain. Kondisi bangunan, 40% permanen, 43% semi permanen dan 18% sementara. Dari gambaran ini terlihat seolah-olah tempat tinggal mereka tidak kumuh lagi. Luas lantai bangunan, 93% kurang dari 10 m2 dan 20% diantaranya di atas 50 m2. Umumnya bangunan berbentuk dua lantai walaupun sederhana. Jumlah kk dalam satu unit bangunan, 81% (1 kk), 13% (2 kk), 3% (3 kk), dan 2% (lebih dari 3 kk). Jumlah penghuni per unit bangunan 31% (lebih dari 6 orang), masing-masing 23% (3 orang), 18% (4 orang), 10% (5 orang) dan 12% (6 orang). Dari segi responden, 66% responden puas terhadap tempat tinggalnya. Hal ini barangkali karena tidak ada pilihan lain kecuali tinggal di rumahnya sekarang. Jawaban responden memperlihatkan bahwa 70% hubungan antar tetangga baik, 29% kamtibmas baik, dan 28% tempat kerja baik. Di samping itu 25% menyatakan tempat tinggal mereka perlu diperbaiki. Cara membangun rumah 51% (bertahap), 20% (KPRBTN), 6% (rumah sewa), 1% (kredit pemilikan Kapling Siap Bangun), dan 18% (lain-lain, swadaya dan 108
bertahap, disesuaikan dengan kemarnpuan tabungan). Oi antara responden, 32% ing1n tetap di lokasi sekarang, 15% ingin di pusat kota, 29% 1ngin di pinggir kota, dan 22% ingin di mana saja. Alternatif Perbaikan Paling sedikit 10 gambaran permukiman kumuh telah dikenal. Pertama, tempat tinggal hun ian berdesakan, tidak seimbang dengan jumlah penghuni, hanya sebagai tempat istirahat, melindungi diri dari pengaruh panas, dingin, hujan dan angin. Kedua, lingkungan dan tata pemukiman tidak teratur, tidak direncanakan dengan baik, bangunan sementara, tidak sedap dipandang, dan berkesan acak-acakan. Ketiga, fasilitas prasarana kurang atau tidak memadai (mck, air bersih, saluran air buangan, drainase, listrik, jalan dan gang, berkesan jorok, tidak sehat, dan sarang penyakit). Keempat, fasilitas sosial (sekolah, tempat ibadah, kesehatan, posyandu) kurang. Kelima, mata pencaharian penghuni tidak tetap dan tarat hidup masyarakat rendah. Keenam, bidang usaha sebagian besar informal. Ketujuh, jenis tempat tinggal biasanya rumah sewa di atas milik perorangan, swasta atau rumah di atas tanah negara. Kedelapan, tingkat pendidikan dan keahlian penduduk rendah. Kesembilan, banyak penghuni yang tidak tercatat sebagai penduduk setempat. Kesepuluh lingkungan permukiman mereka rawan terhadap kebakaran dan penyakit. Oari segi pembiayaan, BPO OKI Jakarta melihat ada lima alternatif perbaikan lingkungan kumuh, yaitu (1) program seperti yang selama ini dijalankan (perbaikan kampung/MHT, JUOP, percontohan), (2) penataan daerah kumuh dengan membangun rumah susun yang disewakan kepada penghuni lama (pola PO Pembangunan Sarana Jaya), (3) penataan daerah kumuh dengan membangun rumah susun Perumnas (subsidi silang seperti di Kebon Kacang), (4) pembebasan tanah dan pembangunan rumah susun sederhana (Penghuni lama dibebaskan memilih apakah akan tinggal di rumah susun atau pindah membeli rumah yang harganya masih murah, atau mencicil rumah KPR-BTN), dan (5) peremajaan kumuh oleh swasta (Pembangunan rumah susun dikombinasikan dengan perkantoran dan perdagangan). Kesimpulan Sementara Oari seminar tersebut terlihat bahwa sebagian penduduk Jakarta tinggal di daerah kumuh karena terpaksa dan tidak ada alternatif lain untuk tempat tinggalnya. Mereka belum mampu mencicil rumah Perumnas atau fasilitas KPR-BTN, baik untuk membayar uang muka maupun cicilan bulanannya. Kalaupun mampu, mencicil rumah BTN, harus diperhitungkan biaya transportasi harian dari rumah ke tempat kerja yang cukup besar. Mahalnya biaya transportasi dibandingkan dengan cicilan rumah mengakibatkan banyak warga tetap ingin tinggal di pusat kota walaupun berdesak-desakan dalam kamar yang sempit dan tidak memenuhi persyaratan kesehatan maupun lingkungan. Survai lapangan permukiman di lima wilayah kota OKI yang telah dilakukan oleh BPP Teknologi diharapkan dapat memberi masukan kepada Pemda OKI Jakarta dalam upaya meremajakan lingkungan pemukiman kumuh. Menentukan daerah mana yang perlu diprioritaskan untuk diremajakan, model peremajaan lingkungan kumuh apa yang akan dipilih, subsidi silang yang bagaimana yang akan diterapkan, dan sejauh mana peran swasta perlu dilibatkan dalam program peremajaan lingkungan kumuh. Salah satu alternatif peremajaan lingkungan kumuh adalah meremajakan lingkungan kumuh tanpa menggusur atau tanpa memindahkan penduduk asli ke tempat lain (memukimkan penduduk asli di tempat yang telah diremajakan), mengkombinasikan rumah susun sederhana (pola Perumnas di Kebon Kacang), rumah susun sewa sederhana (pola PO Pembangunan Sarana Jaya di Tambora, Karang Anyar, Penjaringan dan beberapa lokasi lainnya), dan rumah susun sederhana beserta perkantoran, perdagangan, dan industri kerajinan/rumah tangga (pola partisipasi swasta). Pelita, 30 Juli 1990 109
Meremajakan Lingkungan Kumuh Tanpa Menggusur Warganya Belakangan ini program peremajaan kota dan peremajaan lingkungan kumuh sudah dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak, terutama di kota-kota Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, dan Medan. Pola peremajaan lingkungan kumuh apa pun yang ditempuh, perlu berpedoman pada prinsip membangun tanpa menggusur warganya. Kalaupun mereka akan pindah semata-mata karena tidak menghendaki tinggal di kawasan baru dan mereka pindah ke pinggiran kota agar bisa menyisihkan uangnya untuk keperluan lain. Lingkungan Kumuh Peremajaan Kota merupakan segala upaya dan kegiatan pembangunan yang terencana untuk mengubah atau memperbaharui suatu kawasan terbangun di kota yang sudah merosot fungsinya agar kawasan tersebut fungsinya meningkat lagi sesuai dengan pengembangan kota (Suyono,1990). Peremajaan lingkungan kumuh yang merupakan bagian dari peremajaan kota adalah peremajaan kawasan pemukiman kumuh menjadi lingkungan terpadu dan fungsional (pemukiman, perkantoran, pertokoan, dan perdagangan). Dalam peremajaan lingkungan kumuh, dianut pola tidak menggusur warga, bahkan harus meningkatkan pendapatan mereka. Lingkungan kumuh yang diremajakan terdiri atas lingkungan pada lokasi strategis yang mendukung fungsi kota, kurang strategis tetapi secara komersial punya potensi, kurang strategis tetapi cocok untuk daerah permukiman, di daerah perdagangan, dan daerah berbahaya (banjir, jaringan listrik tegangan tinggi, dan rei kereta api). Peremajaan lingkungan kumuh sering dikaitkan dengan pembangunan rumah susun dan penerapan subsidi silang, si kaya membantu si miskin. Penghuni lama disubsidi oleh penghuni baru yang akan tinggal di rumah susun, demikian pula penyewa fasilitas perkantoran, pertokoan dan perdagangan memberikan subsidi kepada penduduk asli. Kantor Menpera telah mengidentifikasi luas lingkungan kumuh di beberapa kota, yaitu 4.481 Ha (22.377 juta jiwa) di Jakarta, 402 Ha (205.465 jiwa) di Bandung, 2.244 Ha (438.688 jiwa) di Semarang, dan 2.196 Ha (900.870 jiwa) di Surabaya. Langkah-langkah peremajaan lingkungan kumuh dimulai dengan identifikasi permukiman kumuh, pemilihan investor, studi kelayakan, engineering design, dan pelaksanaan. Dukungan lainnya antara lain penyuluhan, pemantauan, evaluasi, dan dokumentasi. Ciri-ciri lingkungan kumuh ditandai dengan status tanah (milik negara, instansi, badan hukum, yayasan atau milik orang lain), penghunian tanpa seijin pemilik, penggunaan bangunan tidak tentu dan tidak memenuhi standar kesehatan, berdiri di atas jalur pengaman, ruang terbuka hijau dan sejenisnya, prasarana lingkungan tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan, fasilitas lingkungan tidak lengkap, dan kondisi bangunan mudah terbakar. Bank Pembangunan Daerah DKI Jakarta mendefinisikan lingkungan kumuh berdasarkan kriteria jumlah penghuni minimum 500 orang/Ha, lingkungan dan bangunan tidak teratur, fasilitas prasarana sangat kurang, dan fasilitas sosial tidak ada atau kurang. Gambaran lingkungan permukiman kumuh memperlihatkan kondisi tempat tinggal atau tempat hunian berdesakan (rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni, tempat tinggal berfungsi sekedar tempat istirahat dan melindungi diri dari panas, dingin dan hujan), lingkungan dan tata permukiman tidak teratur (bangunan sementara, acak-acakan, tanpa perencanaan), prasarana kurang (mck, air bersih, saluran buangan, listrik, gang, lingkungan terkesan jorok dan menjadi sarang penyakit), fasilitas sosial kurang (sekolah, rumah ibadah, balai pengobatan) mata pencaharian penghuni tidak tetap, usaha non-formal, tanah bukan milik penghuni, tingkat pendidikan rendah, tidak tercatat sebagai warga setempat, rawan kebakaran dan rawan timbulnya penyakit. Peremajaan lingkungan kumuh tanpa penggusuran bukan pekerjaan mudah. Penanganan masalah lingkungan kumuh harus sederhana tetapi memerlukan pemikiran yang sophisticated. Hasan Poerbo (1990) menegaskan peremajaan lingkungan kumuh menyangkut kesiapan sosial dan kelembagaan masyarakat, 110
pemecahan masalah lingkungan kumuh harus didasarkan atas kondisi setempat yang spesifik dan pendekatan bersifat partisipatif. Partisipatif perlu diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat yang lingkungan permukimannya akan diremajakan di dalam menentukan nasib sendiri. Di pihak lain, Nugroho Sukmanto (REI, 1990) menyarankan empat pola peremajaan lingkungan kumuh, yaitu relokasi (resettlement), pembebasan tanah, konsolidasi tanah (penataan kembali), dan partisipasi masyarakat setempat dengan sistem bank tanah (land banking). Relokasi bisa dilakukan semacam transmigrasi bedol desa, pembebasan tanah memberi peluang kepada warga setempat untuk tinggal di rumah susun atau pindah ke daerah lain di pinggir kota, konsolidasi tanah adalah pengefektifan tanah dan wilayah perkotaan, sedangkan bank tanah dapat mengendalikan harga tanah yang memperhatikan analisa biaya manfaat (cost benefit analysis). Dalam kaitannya dengan upaya melihat kondisi lingkungan pemukiman kumuh, Kelompok Pengkajian Sistem Perkotaan BPPT (Siswanto Sewoyo dkk, 1990) mengidentifikasi lingkungan permukimnan kumuh di DKI dengan melihat asal responden dan sifat tinggal di Jakarta, kondisi sosial ekonomi (pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan rumahtangga), lokasi pekerjaan, status rumah dan tanah, kondisi fisik rumah dan penghuni rumah (klasifikasi bangunan, luas lantai bangunan, jumlah ruang, banyaknya keluarga/orang per rumah), pendapat responden penghuni lingkungan kumuh (faktor positif dan negatif lingkungan perumahan yang meliputi kondisi bangunan rumah, cukup tidaknya ruangan, air bersih, listrik, lokasi tempat kerja, hubungan dengan tetangga, kualitas dan kuantitas fasilitas sosial, kamtibmas, kebersihan lingkungan dan fasilitas transportasi, pilihan rumah dan cara membangun rumah). Alternatif Usaha peremajaan lingkungan kumuh harus dilakukan secara terpadu di antara pihak-pihak yang terkait seperti Pemda, kalangan Swasta, lembaga keuangan/bank, termasuk warga setempat yang lingkungan permukimannya akan diremajakan. Pemda melakukan kegiatan pencatatan luas tanah, status tanah, jumlah penduduk, pemilikan tanah dan rumah, ijin bangunan, mata pencaharian warga, dan menyusun perkiraan kebutuhan anggaran pembebasan. Pihak Swasta yang akan membangun kawasan tersebut memperhitungkan jumlah pembiayaan dan perkiraan keuntungan yang akan diperolehnya dalam tenggang waktu tertentu. Jika menguntungkan, Swasta akan melakukan peremajaan lingkungan kumuh seperti yang telah dan sedang dilaksanakan di Kebon Kacang, Bendungan Hilir, dan Manggadua Selatan, Jakarta Pusat. Dalam peremajaan lingkungan kumuh, perlu dilakukan penelitian tentang sikap, perilaku dan pandangan masyarakat di lingkungan kumuh, terhadap usaha peremajaan lingkungan kumuh. Perlu dilakukan penyuluhan intensif dan terus menerus sebelum, selama, dan setelah selesai pekerjaan fisik peremajaan tentang kepastian pemilikan rumah, untung-rugi tinggal di rumah susun, dan tinggal yang lebih nyaman. Peremajaan lingkungan kumuh harus dapat memecahkan masalah kumuh secara mendasar. Warga harus tidak tergusur, kecuali atas kemauannya sendiri untuk pindah ke pinggiran kota atau mengontrak di tempat lain sehingga mereka akan memiliki tabungan dari biaya pembebasan tanah akibat peremajaan lingkungan kumuh. Paling sedikit dapat dikenal lima alternatif peremajaan lingkungan kumuh, yaitu (1) program perbaikan kampung (MHT dan JUDP di Jakarta) dan GRIMP (Gradual Improvement Programme), (2) relokasi dan penataan lingkungan permukiman kumuh dengan membangun rumah susun sederhana yang disewakan kepada penghuni lama (pola PO Pembangunan Sarana Jaya di DKI Jakarta yang membangun rumah susun sewa sederhana di Tambora, Karang Anyar, Cipinang, Pondok Kelapa, dan Penjaringan), (3) penataan daerah kumuh dengan memasukkan Perumnas (penghuni lama menyewa dengan biaya murah sebesar operating cost saja), (4) pembangunan rumah susun sederhana (Penghuni lama diberi ganti rugi, yang cukup untuk membayar uang muka KPR), dan (5) pembebasan tanah dan melibatkan peran serta Swasta (pembangunan lingkungan permukiman kumuh menjadi kawasan permukiman, pertokoan, perkantoran dan perdagangan), dan (6) konsolidasi tanah perkotaan. Betapa pun sukarnya melaksanakan prinsip peremajaan lingkungan kumuh tanpa menggusur warga setempat, dalam setiap program peremajaan kota dan peremajaan lingkungan kumuh haruslah memperhatikan kepentingan warga di samping kepentingan lainnya. Pengalaman pelaksanaan program peremajaan lingkungan kumuh yang dilakukan oleh Perum Perumnas dengan membangun Rumah Susun Kebon Kacang pada tahun 111
1984 (dihuni oleh rumah tangga yang berpenghasilan per bulan Rp 350.000,- ke atas, hanya 20% penduduk asli yang tinggal di rumah susun, selebihnya pindah ke pinggiran kota atau menyewa di rumah-rumah petak sewa di sekitar rumah susun) dan pembangunan rumah susun sewa sederhana pola PO Pembangunan Sarana Jaya untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dengan sewa Rp 900 s/d Rp 1.200,- per hari, harus dijadikan masukan dalam program peremajaan lingkungan kumuh berikutnya. Subsidi silang (cross subsidy) perlu diterapkan dalam peremajaan lingkungan kumuh dengan membangun rumah susun. Semakin berkembangya rumah-rumah sewa dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi Pemerintah untuk mengkaji penyediaan kredit rumah sewa (bagi para pembangun rumah sewa) dan kredit sewa rumah (bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah yang akan menyewa rumah) di samping KPR Rumah Sederhana dan KPR KSB (Kapling Siap Bangun). Untuk mendorong pembangunan rumah sewa dan rumah susun, perlu diberikan kemudahan, antara lain pembebasan pajak atas nilai, keringanan pembayaran PBB, dan keringanan dalam persyaratan perencanaan bangunan. Di sampiing itu, perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap ketaatan pihak Swasta dalam menyediakan sebagian dari tanah proyeknya untuk pembangunan rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pelita, 31 Agustus 1990 Koordinasi Penanganan Permukiman Kumuh lnstruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1990 tentang peremajaan permukiman kumuh yang berada di atas tanah Negara ditetapkan setelah menimbang, (a) bahwa dalam rangka mempercepat peningkatan mutu kehidupan masyarakat terutama bagi golongan masyarakat terutama bagi go Iongan masyarakat berpenghasilan rendah yang bertempat tinggal di kawasan permukiman kumuh yang berada di atas tanah Negara, perlu dilaksanakan peremajaan permukiman kumuh, (b) bahwa untuk mempercepat pelaksanaan peremajaan permukiman kumuh tersebut, perlu didorong keikutsertaan BUMN, BUMD, Yayasan dan Perusahaan Swasta serta masyarakat luas, (c) bahwa penanganan peremajaan permukiman kumuh tersebut perlu dilakukan secara terkoordinasi oleh instansi-instansi yang terkait, dan (d) bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut dipandang perlu untuk mengeluarkan lnpres. lnpres ini menginstruksikan Menpera, Mennegrenbangnas/Ketua Bappenas, Menneg-KLH, Mendagri, Men-PU, Mensos, Menkeu, Kepala BPN, Para Gubernur Kepala DT I, dan Para Bupati!Walikotamadya Kepala DT II, untuk melaksanakan peremajaan permukiman kumuh di daerah perkotaan terutama yang berada di atas tanah Negara di seluruh Indonesia. Yang dimaksud dengan Peremajaan Permukiman Kumuh (PPK) di sini adalah pembongkaran sebagian atau seluruh permukiman kumuh yang sebagian besar atau seluruhnya berada di atas tanah Negara dan kemudian di tempat yang sama dibangun prasarana dan fasilitas lingkungan rumah susun serta bangunan-bangunan lainnya sesuai dengan rencana tata ruang kota yang bersangkutan. Menpera menindaklanjuti lnpres Nomor 5 Tahun 1990 dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 04/ SE/M/1/93 tanggal 7 Januari 1993 yang dikirim kepada para Gubernur dan Bupati!Walikotamadya di seluruh Indonesia perihal Pedoman Umum Penanganan Terpadu Perumahan dan Permukiman Kumuh. Data perkembangan program peremajaan permukiman kumuh sampai dengan 1990 dapat dilihat pa.da Tabel 1. Untuk meningkatkan koordinasi, maka tulisan ini berusaha menyampaikan pemikiran tentang koordinasi penanganan peremajaan permukiman kumuh. Koordinasi Sebagai tindak lanjut dari lnpres Nomor 5 Tahun 1990, Menpera telah membentuk Tim Pembina dan Tim T eknis Koordinasi dan Evaluasi In pres Nomor 5 Tahun 1990 melalui Kepmenpera Nomor 02/Kpts/1992 tanggal 2 Maret 1992. Tim Pembina yang dipimpin oleh Asmen II Menpera dan beranggotakan Dirjen Cipta 112
Karya, Dirjen Bina Kesejahteraan Sosial, Staf Ahli Mendagri, Dirjen Anggaran, Staf Ahli Kantor Menneg-KLH, Deputi Bidang Pengaturan, Penguasaan dan Penatagunaan Tanah BPN, dan Banas Asmenpera Urusan Peremajaan Kota dan Rumah Susun, bertugas (a) menyusun kebijaksanaan dan pedoman pelaksanaan secara nasional untuk ditetapkan oleh instansi yang bersangkutan, (b) melakukan pembinaan secara terkoordinir atas keikutsertaan dan peranan aktif Pemda, BUMN/BUMD, Yayasan, Perusahaan Swasta, dalam program kegiatan peremajaan permukiman kumuh di daerah perkotaan terutama yang berada di atas tanah negara, (c) melaksanakan monitoring, evaluasi dan pembinaan kegiatan peremajaan permukiman kumuh yang diprogramkan oleh Pemda, dan (d) melaporkan hasil program peremajaan permukiman kumuh secara periodik kepada Menpera selaku Koordinator lnpres Nomor 5 Tahun 1990. Tim Teknis dipimpin oleh Banas II Menpera Urusan Peremajaan Kota dan Rumah Susun, beranggotakan Direktur Perumahan, Banas Asisten I Menpera Urusan Kelembagaan, Karo Kesejahteraan Sosial dan Perumahan Rakyat Bappenas, Kantor Menneg-KLH, Direktur Bina Pengembangan Perkotaan Depdagri, Direktur Penyuluhan dan Bimbingan Sosial Depsos, Direktur lnvestasi Depkeu, Direktur Penyediaan Tanah lnstansi Pemerintah BPN, dan Staf Banasrumta pada Asisten II Menpera, bertugas (a) menyiapkan materi pedoman dan pelaksanaan operasional, (b) menyiapkan konsep-konsep pembinaan dan koordinasi kepada instansi-instansi yang terkait dalam program kegiatan peremajaan permukiman kumuh, (c) membantu Tim Pembina dalam melakukan monitoring dan evaluasi program peremajaan permukiman kumuh di daerahdaerah, dan (d) membantu Tim Pembina menyiapkan laporan hasil program peremajaan permukiman kumuh yang dilaksanakan. Mengacu pada Kepmenpera Nomor 02/Kpts/1992, perlu segera dibentuk petunjuk teknis (juknis), label 1 . Perkembangan Program Peremajaan Permukiman Kumuh Jumlah Tahun No. Lokasi Luas (Ha) Pembangunan Pelaksana (Unit) A. Yang telah selesai : 1' Kebon Kacang, Jakarta Pusat 2,00 536 81-83 Perumnas 2. Sukarame, Medan 5,00 400 85-87 Perumnas 3. llir Barat, Palembang 24,00 3.584 82·86 Perumnas 4. Penjaringan, Jakarta Utara 4,24 702 84·87 APBN/APBD 5. Kentingan, Solo 0,30 50 89-90 Cipta Karya 6. Bangunrejo, Surabaya 0,20 50 89-90 APBN/APBD B. Sedang dalam Pelaksanaan : 1' Bangunrejo, Surabaya 0,50 100 89·90 APBN/APBD 2. Kampung Sombo, Surabaya 2,00 132 90·91 Swasta/ABPD 3. Kemayoran, Jakarta 30,00 6.432 90·93 Perumnas 4. Sukarame, Medan 3,32 400 90 Swasta 5. Muara Angke, Jakarta Barat . . 90 APBD 6. Karanganyar, Jakarta Pusat . . 90 PO Sarana Jaya c. Sedang dalam persiapan : 1 ' Pulogadung, Jakarta Timur 3,00 428 90 YDBKS 2. Pejompongan, Jakarta Pusat 2,00 300 90 Swasta 3. Tanah Abang, Jakarta Pusat 2,00 960 90 Swasta 4. Kebon Melati, Jakarta Pusat 12,00 2.000 90 REI 5. Kalilio, Jakarta Pusat 3,00 400 90 Swasta 6. Duri Utara, Jakarta Barat 7,80 600 90 YDBKS 7. Pademangan, Jakarta Utara 6,30 1.000 90 YDBKS Sumber: Kantor Menpera (1990), "Pokok-pokok Materi untuk dilaporkan pada Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekuin" Tanggal 7 Nopember 1990. 113
petunjuk pelaksanaan Uuklak), pedoman teknis (domnis), pedornan pelaksanaan (domlak), dan pedoman penanganan peremajaan permukiman kumuh (secara terpadu), pedornan koordinasi penanganan peremajaan permukiman kumuh, pedoman pelaksanaan operasional peremajaan permukiman kumuh, pedoman pembinaan terhadap instansi dan masyarakat dalam rangka peremajaan permukiman kumuh, pedoman monitoring (pemantauan) dan evaluasi program peremajaan permukiman kumuh, dan pedoman pembuatan laporan hasil program peremajaan permukiman kumuh, yang dapat digunakan oleh Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kegiatan yang terkait dengan peremajaan permukiman kumuh. · - Tabel 2. Program Peremajaan Lingkungan Kumuh Berdasarkan lnpres Nomor 5 Tahun 1990 tentang Peremajaan Permukiman Kumuh di atas tanah Negara LUAS JUMLAH BIAYA NO. LOKASI (Ha) (KK) (Milyar Rp) Sedang berjalan : 1. Jakarta Duri Utara, Jakarta Barat 7,83 874 30,8 Pademangan, Jakarta Utara 6,40 987 21,2 Bendungan Hilir, Jakarta Pusat 3,30 876 15,1 Kebon Kacang, Jakarta Pusat 3,43 354 12,7 Pulogadung, Jakarta Timur 3,40 154 12,5 2. Bandung Jalan lndustri Dalam 2,25 250 5,0 3. Surabaya Jalan Semarang 0,92 340 5,0 Jumlah (*) 27,53 3.835 102,3 Direncanakan : 1. Jakarta Kebon Kosong dan Gunung Sahari, 37,50 3.963 118,0 Jakarta Pusat Kampung Sawah, Jakarta Barat 5,39 1.670 5,0 Pulogadung, Jakarta Timur 3,47 244 12,5 2. Bandung Kawasan Pasar Simpang 1,80 112 8,6 Jalan lndustri Dalam 2,00 208 4,0 3. Semarang Kelurahan Pekunden 4,90 88 2,7 Kelurahan Sekayu 6,30 222 - Lokasi Jagalan - - - 4. Manado Tanah Kotamadya 6,80 650 7,4 Keterangan: (*) belum termasuk lokasi Sombo di Surabaya dan Sukarame Medan. Sumber: Diolah dari data pada Kantor Menpera, Mei 1992. Berbagai pedoman ini harus sejalan dengan isi UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman serta UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Dikaitkan dengan keterbatasan dana Pemerintah, maka seperti kebijaksanaan pembangunan perumahan yang lainnya, penanganan PPK harus mengutamakan kegiatan yang bertumpu pada kemandirian masyarakat (Soeroto, 1992) dan komunitas (Hasan Purbo, 1992). Untuk menciptakan perumahan dan permukiman yang layak, sehat, aman, serasi, dan teratur dalam menuju pembangunan yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan kelestarian lingkungan hidup, serta 114
meningkatkan harkat dan martabat khususnya golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah, mutu kehidupan dan kesejahteraan, kualitas kehidupan manusia Indonesia dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka perlu ditingkatkan dan ditumbuhkembangkan penanganan PPK secara terpadu, terarah, berencana dan berkesinambungan. Penanganan ini tetap harus mengacu pada asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, dan keterjangkauan. PPK menyangkut pembangunan fisik dan pembinaan sosial-ekonomi masyarakat, melalui program perbaikan, pemugaran, peremajaan, dan relokasi permukiman kumuh. Karena itu penanganan dan pembinaan masyarakat yang terkena program PPK harus bisa menciptakan kebutuhan fisik dan manusianya. Peran serta harus merata, baik Pemerintah Pusat, maupun Pemda Tingkat I, Pemda Tingkat II, BUMN, BUMD, Koperasi, Yayasan, Perusahaan Swasta, dan Masyarakat (penghuni dan masyarakat umum). Dikaitkan dengan keterjangkauan, maka program PPK perlu dikaitkan dengan pengadaan rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah inti atau rumah tumbuh, rumah susun sederhana/murah, rumah sewa, dan kapling siap bangun. Kegiatan yang terkait dengan pembinaan sosial-ekonomi masyarakat, meliputi pendekatan perilaku dan kebiasaan masyarakat, kegiatan usaha, ketrampilan dan kerajinan, penyuluhan, bimbingan teknis dan sosial, pengembangan kegiatan kelompok, arisan, jimpitan, budaya gotong royong, pembinaan kesejahteraan keluarga melalui ujung tombak kelompok dasawisma ibu-ibu, karang taruna, LKMD, LSM, penyuluhan di bidang pendidikan dan kesehatan, budaya hidup bersih dan sehat, penataan permukiman sehat, kesadaran dan kemampuan teknik produksi, ilmu pengetahuan dan teknologi, kelembagaan, keterkaitan dengan kegiatan proyek sektor lain, teknologi tepat guna, pemeliharaan dan pengelolaan fasilitas lingkungan. Peran Pemda Melalui Surat Edaran Mendagri Nomor 648/1703/PUOD tanggal 3 Mei 1991 kepada para Gubernur dan Bupati/Walikotamadya, para Gubernur dan Bupati/Walikotamadya diminta menentukan pokok-pokok kebijaksanaan dan strategi dibidang perumahan dan meningkatkan koordinasi pembangunan perumahan di Daerah. Sebagai Pembina, diharuskan menyusun program yang didukung berbagai sumber dana, menggerakkan kegiatan usaha Swasta dan Swadaya Masyarakat, memadukan penyelenggaraan program APBN, APBD, dan Dana Swasta/Masyarakat, serta melakukan pemantauan dan evaluasi kegiatan pembangunan perumahan, dalam hal ini penanganan perumahan dan permukiman kumuh. Data yang harus selalu diperbaharui antara lain menyangkut keadaan dan masalah perumahan (kota dan desa), berbagai kegiatan koordinasi, perkembangan proyek perumahan yang dibangun BUMN, BUMD, Swasta, dan Swadaya Masyarakat, serta kebijaksanaan dan peraturan yang dibuat. Program peremajaan lingkungan kumuh yang telah direncanakan di Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan Man ado dapat dilihat pad a T abel 2. Keberhasilan penanganan perumahan dan permukiman kumuh di kota-kota besar di seluruh Indonesia banyak ditentukan oleh sejuah mana Bupati!Walikotamadya dapat memobilisasi dana dan sumber daya untuk menangani secara terpadu perumahan dan permukiman kumuh, baik melalui perbaikan atau pemugaran, peremajaan atau relokasi. Prinsip bina manusia, bina lingkungan, dan bina usaha haruslah diterapkan secara bersamaan dalam menangani permukiman kumuh. Peran serta dan partisipasi Swasta dan Masyarakat harus ditumbuhkan melalui pola kemitraan (pemerintah, swasta, masyarakat) dalam penanganan perumahan dan permukiman kumuh secara terarah dan terpadu. Pemerintah, Swasta, Yayasan, LSM, Koperasi, PKK, Gerakan melalui HKSN, pakar perumahan, tokoh masyarakat, kesemuanya perlu dikerahkan secara terpadu dalam menangani permasalahan perumahan dan permukiman kumuh. Suara Pembaruan, 4 Februari 1994 115
Relokasi Permukiman Kumuh Nelayan Program pengadaan Perumahan Sangat Sederhana (Rumah Sangat Sederhana, RSS), yang semula disediakan untuk pegawai negeri golongan I dan II, buruh pabrik, dan pekerja sektor informal, diperluas sehingga menjangkau masyarakat nelayan yang sebagian besar tinggal di permukiman kumuh. Kantor Menpera mencatat bahwa dari 62.061 desa di Indonesia ada 7.121 desa (11.4%) dengan jumlah penduduk sekitar 2.4 juta kk yang mata pencahariannya di bidang perikanan atau pekerjaannya nelayan. Mereka dapat dirinci menjadi 1.004.667 kk (41 ,5%) nelayan penangkap ikan di laut, 445.776 kk (18,5%) penangkap ikan di perairan lepas, 11.269 kk (4,5%) petani tambak, dan 852.163 kk (35,5%) petani air tawar. Sekitar 1,5 juta kk (65%) nelayan (petani tambak) bermukim di desa pantai yang letaknya pada umumnya terpencil, sulit memperoleh bahan bangunan lokal dan sumber air bersih. Hasil penelitian yang dilakukan Direktorat Perumahan, Ditjen Cipta Karya PU, mencatat hanya 0.4% dari perumahan masyarakat nelayan yang kondisinya baik, 40,5% agak baik, dan 59% sisanya buruk serta tidak. memenuhi syarat kesehatan. Desa nelayan berkembang secara spontan atas swadaya masyarakat, belum memperoleh pembinaan dan pengaturan dari pemerintah. Lambat laun, permukiman mereka cenderung menjadi lingkungan kumuh. Beberapa Pemda Tingkat II mulai memberikan perhatian terhadap permukiman nelayan, dengan melakukan perbaikan lingkungannya, antara lain di Balikpapan, Asahan, Medan, Padang, Gorontalo, dan Muna. Pengalaman di beberapa kota tersebut, dapat dijadikan masukan dalam merumuskan kebijaksanaan pembangunan perumahan untuk nelayan. Kebijaksanaan Permasalahan desa nelayan yang menonjol antara lain lokasinya yang berada di atas tanah basah atau rawa yang dipengaruhi air pasang surut. Tingkat pendapatan masyarakat nelayan umumnya rendah dan sangat terbatas, padahal mata pencaharian di laut bertarung dengan nyawa serta merupakan pekerjaan yang berat dan keras. Kurangnya bimbingan dan penyuluhan dari pemerintah, m'engakibatkan sikap negatif masyarakat nelayan sukar dihilangkan, misalnya sikap acuh terhadap upaya pembaruan dan kemajuan, mudah menyerah pada nasib, pasrah dan percaya kepada pertolongan Tuhan semata-mata, jarang menabung, masih melekatnya budaya konsumtif Oika memperoleh rezeki atau panen ikan, digunakan untuk keperluan konsumtif yang berlebihan). Salah satu alternatif kebijaksanaan permukiman masyarakat nelayan adalah relokasi permukiman kumuh masyarakat nelayan. Sidang Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional (BKPN) tanggal 24 September 1992 mencoba merumuskan enam langkah kebijaksanaan relokasi permukiman kumuh masyarakat nelayan. Pertama, secara planologis, permukiman kumuh masyarakat nelayan ada yang sesuai dan ada juga yang tidak sesuai dengan RUTR atau RDTR dan secara demografis kepadatannya berbeda-beda. Permukiman yang sesuai dengan RUTR, dan kurang padat penduduknya, diperbaiki, dipugar, atau ditata kembali (konsolidasi). Yang sesuai dengan RUTR tetapi sangat padat penduduknya, diremajakan atau direlokasi. Yang tidak sesuai dengan RUTR, permukimannya direlokasi. Kedua, pemrakarsa program relokasi pembangunan perumahan nelayan adalah Pemda Tingkat II, didukung Pemda Tingkat I, Proyek sektoral di daerah, dan fasilitas RSS dari BTN. Ketiga, perhitungan harga jual rumah bagi masyarakat nelayan tidak termasuk harga tanah dan pematangan tanah maupun biaya pembangunan prasarana lingkungan. Keempat, standar teknis lingkungan dan konstruksi bangunan, maupun kualitas dan jenis bahan bangunan RSS, didasarkan pada kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan, tingkat penghasilan, kemampuan memberi, serta persediaan bahan bangunan lokal, terutama yang diusahakan masyarakat desa setempat. Kelima, pemerintah mengusahakan alternatif baru bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya, seperti melalui industri rumahtangga, usaha tambak gotong-royong, dan sebagainya. Masyarakat nelayan akan tetap miskin jika hanya mengandalkan mata pencaharian pencari ikan. Keenam, relokasi permukiman kumuh masyarakat nelayan dilakukan melalui tiga penanganan kegiatan secara terpadu, yaitu pembangunan lingkungan permukiman nelayan, pengadaan RSS. dan pembinaan masyarakat nelayan. 116