The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

20181129101319__F__KMS_BOOK_20180723025129

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Buku Digital, 2023-05-31 13:07:23

20181129101319__F__KMS_BOOK_20180723025129

20181129101319__F__KMS_BOOK_20180723025129

Operasionalisasi kebijak::;anaan relokasi permukiman kurr1uh masyarakat nelayan perlu mengacu pada prosedur pengajuan dan persetujuan rencana pembangunan sebagai berikut. Menpera menetapkan Pedoman Pengadaan RSS dan Pembangunan Permukiman Nelayan dalam rangka program Relokasi Permukiman Kumuh Masyarakat Nelayan. Pemda Tingkat II menyusun Rencana Pengadaan RSS dan Pembangunan Permukiman Nelayan secara terpadu dan mengajukannya kepada Menpera (mengacu pada Surat Mendagri Nomor 648/PUOD/17 43 Tahun 1990) untuk mendapatkan persetujuan. Menpera membentuk Tim Evaluasi beranggotakan unsur terkait, dengan tugas meneliti kelayakan usulan rencana Pemda Tingkat II dan mengusahakan keterpaduan pelaksanaan perencanaan program dan anggaran proyek sektoral terkait. Berdasarkan laporan Tim Evaluasi dan Bahan Pertimbangan lainnya. Menpera dapat menyutujui atau menangguhkan usulan rencana Pemda Tingkat II. Pembangunan lingkungan permukiman nelayan, dilakukan melalui keterpaduan perencanaan lingkungan permukiman nelayan dengan pembangunan prasarana dan fasilitas lingkungan. Dalam merencanakan lingkungan permukiman nelayan, Pemda Tingkat II memilih lokasi (pada tanah yang dikuasai negara dan sesuai dengan RUTR) dan dengan mempertimbangkan luas tanah untuk menampung penduduk di lingkungan permukiman kumuh yang akan dipindahkan. Pemda Tingkat II juga merencanakan dan menetapkan Perda tentang Kawasan Permukiman Nelayan yang fungsional dan terpadu (termasuk Rencana Lingkungan Permukiman Nelayan dan Rencana Kaveling Tanah Matang, didukung Pemda Tingkat I dan Pemerintah Pusat), mengacu pada UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Dalam membangun prasarana dan fasilitas lingkungan, Pemda Tingkat II melaksanakan dan menguasai pengadaan tanah bagi relokasi permukiman kumuh masyarakat nelayan, serta mengusahakan kelancaran proses sertifikasi tanah dan dengan biaya perizinan serendah mungkin. Pemda Tingkat I dan instansi sektoral terkait mendukung Pemda Tingkat II dalam pembangunan prasarana dan fasilitas lingkungan. Pemda Tingkat I dan instansi sektoral yang terkait, mendukung Pemda Tingkat II dalam membangun prasarana dan fasilitas lingkungan serta prasarana usaha perikanan. Koordinasi dilakukan secara berjenjang, oleh Kantor Menpera di Tingkat Pusat dan Pemda Tingkat I dan II di Tingkat Daerah. Rumah Sangat Sederhana Rumah Sangat Sederhana (RSS), dibangun di desa nelayan dalam upaya meningkatkan kondisi lingkungan perumahan dan permukiman nelayan sekaligus meningkatkan tarat hidup mereka. Agar program pengadaan RSS untuk nelayan berhasil mencapai .sasaran, perlu dilakukan inventarisasi desa nelayan, tingkat pendapatan, keinginan dan aspirasi nelayan, penyuluhan, serta koordinasi. Menurut Depdagri ada beberapa tipe desa nelayan, yaitu desa pantai tipe tanaman pangan, tanaman industri, usaha transportasi, perdagangan, serta tipe nelayan dan tambak. Koordinaasi di daerah dilaksanakan sesuai dengan PP Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan lnstansi Vertikal di Daerah yang petunjuk pelaksanaannya ditetapkan melalui lnmendagri Nomor 18 Tahun 1989 (koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, pengawasan dan pembinaan). Beberapa Pemda Tingkat II mulai menaruh perhatian terhadap perbaikan perumahan nelayan, contohnya di Kabupaten Asahan, Kotamadya Medan, Kotamadya Gorontalo, dan Kabupaten Cilacap. Caranya antara lain dengan memindahkan masyarakat nelayan ke permukiman baru yang tanahnya disediakan oleh Pemda Tingkat II, prasarana lingkungan dibiayai APBD Tingkat II atau lnpres. Dari 1.137 Ha tanah negara di Kotamadya Medan, 80 Ha akan dijadikan areal permukiman nelayan, 20 Ha fasilitas pendukung permukiman, dan 1.037 Ha dijadikan kawasan industri. Tahap pertama akan dibangun 1.714 unit rumah, masing-masing 1.200 unit T-27 dan 514 unit T-36. Langkah berikutnya, akan dibangun rumah sangat sederhana (RSS) sesuai dengan yang disarankan Menpera. Percontohan perumahan nelayan yang berjejer rapi dan berkesan bersih, terdapat di Desa Dahari, Selebar, Kecamatan Tatawai, Kabupaten Asahan (126 km Tenggara Medan). Rumah 7x5 meter persegi berbentuk kopel, atap rumbia, dinding papan, dicicil Rp 250 perhari selama 4 tahun. Sebanyak 30 kopel (60 rumah), dilengkapi satu unit Tempat Pelelangan lkan, rumah makan, kedai kopi, dan warung serba ada, serta poskamling. Subsidi Pemda Tingkat II sebesar 65% dan 35% sisanya dicicil para nelayan melalui arisan atau tabungan keluarga. 117


Pada Sidang BKPN tanggal 24 September 1992, Menpera menyatakan bahwa dari pengamatan di beberapa daerah, disimpulkan bahwa pengadaan RSS dengan fasilitas KPR-BTN atau KP-RSS bagi para nelayan, layak. Penanganannya bisa dilakukan bersama oleh Pemerintah Daerah Tingkat I dan II, BTN, Perum Perumnas, Koperasi, dan jika mungkin BPD. Pengadaan rumah sargat sederhana untuk para nelayan ini bisa saling mengisi dengan penerapan P2LDT, permukiman terpadu, pembinaan para nelayan, penerapan asas tribina (bina manusia, usaha dan lingkungan fisik) yang bertumpu pada masyarakat dan berwawasan lingkungan. Sarana dan prasarana lingkungan ditangani Pemda Tingkat I dan II, pengadaan tanah dan pernatangannya dilakukan Pemda Tingkat II, prasarana perikanan dilakukan Ditjen Perikanan, kegiatan koperasi nelayan dibina Departemen Koperasi, dan keterpaduan berbagai progrnm ditangani Depdagri. Pengadaan RSS mengikuti Ketentuan Menpera yang telah berlaku, yaitu mengacu pada Kepmenpera Nomor 03/Kpts/1992 tentang pengadaan perumahan dan permukiman dengan dukungan fasiitas Kredit Pemilikan untuk Kapling Siap Bangun (KP-KSB) dan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk rumah sederhana dan rumah sangat sederhana. RSS dapat dibangun oleh Perum Perumnas, developer swasta, koperasi atau masyarakat secara perorangan, dengan dukungan KP-RSS. Jika RSS dibangun Perumnas, deVf~loper swasta atau koperasi, diberlakukan KP-RSS dengan tarif sistem progresif (setelah 1-2 tahun, cicilan dinaikkan disesuaikan dengan peningkatan pendapatan penghuni). Jika RSS dibangun sendiri oleh penghuni, diberikan pinjaman pembangunan sebesar maksimum 90% dari maksimum harga jual RSS. Suku bunga 10% per tahun selama 20 tahun. Sejalan dengan itu, Tabungan RSS dimasyarakatkan di kalangan masyarakat nelayan. Mengingat pengadaan rumah sangat sederhana untuk nelayan dibantu oleh Pemda Tingkat II, terutama dalam pengadaan tanah, maka maksimum KP-RSS yang semula Rp 3 juta berkurang menjadi sekitar Rp 1 ,5 juta. Dengan demikian cicilan juga menjadi lebih rendah dibandingkan dengan cicilan RSS yang selama ini telah berjalan di daerah perkotaan. Sejalan dengan program pengadaan rumah sangat sederhana untuk para nelayan, perlu sedini mungkin dilakukan penyuluhan, penyebarluasan, dan pemasyarakatan terpadu mengenai perumahan nelayan serta penggalangan dan pengorganisasiarr masyarakat nelayan agar mereka mempunyai kesiapan fisik dan mental untuk tinggal di rumah sangat sederhana dengan fasilitas KPR-BTN. Untuk itu, jalur LKMD harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, tokoh masyarakat nelayan diinformasikan secepatnya, arisan masyarakat ditingkatkan, dan budaya menabung masyarakat ne!ayan perlu makin dikembangkan. Sejalan dengan pengadaan RSS untuk nelayan, perlu dilakukan pembinaan terhadap masyarakat nelayan yang meliputi penyuluhan, pembentukan kelompok arisan perumahan, program kelompok belajar usaha dan program Kejar Paket A (Depdikbud), pembinaan usaha ekonomi masyarakat (program usaha per.ingkatan pendapatan, program bantuan kesejahteraan sosial, program usaha ekonomi desa, dan bantuan sarana usaha perikanan), program rumah sehat, serta pembinaan masyarakat di bidang pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan permukiman, pemeliharaan fasilitas prasarana dan sarana desa. Dengan upaya-upaya tadi, relokasi permukiman kumuh nelayan (di desa) yang identik dengan peremajaan lingkungan permukiman kumuh di atas tanah negara (di kota) diharapkan dapat dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia, sehingga penyediaan rumah untuk seluruh masyarakat (housing for all to the year 2000) seperti yang dikehendaki oleh UNCHS/Habitat dapat segera diwujudkan. Angkatan Br.rsenjata, 13 Nopember 1992 Lingkungan Kumuh Menanti Peran Swasta Tingkat urbanisasi yang tinggi dan pertambahan penduduk perkotaan 4,26% per tahun, mengakibatkan pesatnya pertumbuhan kota. Rumah sebagai sala.h satu kebutuhan dasar manusia sangat penting artinya bagi penduduk perkotaan. Hanya 15% dari kebutuhan rumah yang dapat disediakan oleh sektor formal 118


(Pemerintah, Perum Perumnas, BUMN, SUMO, Perusahaan Daerah, dan Swasta) dan 85% sisanya disediakan oleh sektor informal di atas tanah yang legal maupun ilegal, tidak teratur, tidak ada saluran pembuangan air hujan dan air limbah, fasilitas air bersih, pembuangan sampah dan jaringan listrik. Mahalnya harga tanah dan kurang ketatnya pengawasan pembangunan kota menyebabkan tumbuhnya rumah-rumah liar dan rumah siput berukuran 9-12 meter persegi. Ketidakmampuan golongan masyarakat berpenghasilan rendah (GMBR) untuk mencicil rumah yang disediakan oleh Perumnas, KPR BTN, KPR KSB, atau menyewa rumah susun sederhana yang disediakan BUMN (PO Pembangunan Sarana Jaya DKI Jakarta), mengakibatkan banyaknya warga membangun rumah-rumah gubuk di atas tanah kosong milik negara. Misalnya di bantaran kali, kanal, sepanjang tepi rei kereta api, pojok-pojok taman, kolong jembatan. Rumah mereka dikenal sebagai rumah kumuh (slums) dan rumah-rumah yang tidak teratur (squatters). Jelasnya lingkungan perumahan yang sangat padat penduduknya, tetapi tidak memiliki prasarana dan sarana lingkungan yang memenuhi syarat teknik dan kesehatan. Peremajaan Menurut Menpera, lingkungan kumuh adalah salah satu unsur pendukung fungsi kota dan dapat dibagi ke dalam lima jenis. Pertama, lingkungan kumuh di lokasi yang sangat strategis dalam mendukung ekonomi kota. Lingkungan ini cocok untuk diremajakan melalui prinsip membiayai sendiri, mengembalikan modal sendiri (cost recovery) atau subsidi silang (cross subsidy). Kedua, lingkungan kumuh yang kurang strategis dalam mendukung fungsi ekonomi kota. Peremajaan kota pada daerah ini tidak memikirkan pengembalian modal secara penuh. Ketiga, lingkungan kumuh di daerah tidak strategis yang dapat diremajakan untuk perumahan. Keempat, lingkungan kumuh di lokasi bukan untuk perumahan yang jika diremajakan seluruh penghuninya harus dipindahkan. Kelima, lingkungan kumuh di lokasi berbahaya (daerah pengamanan), misalnya di sepanjang bantaran sungai, rei kereta api, dan kolong jembatan. Lingkungan seperti ini harus dibongkar dan perlu dibersihkan. Contohnya, Tanah Abang Bongkaran dan sepanjang Banjir Kanal. Data proyek perbaikan kampung menunjukkan bahwa lingkungan kumuh di empat kota besar di Pulau Jawa cukup luas, masing-masing 4.481,6 Ha (dihuni 2.377.000 jiwa) di DKI Jakarta, 402,5 Ha (205.465 jiwa) di Bandung, 2.244 Ha ( 438.688 jiwa) di Semarang dan 2.196 Ha (900.870 jiwa) di Surabaya. Demikian juga lingkungan kumuh di kota-kota besar atau kota sedang lainnya seperti Medan, Palembang dan Ujung Pandang. Peremajaan lingkungan kumuh adalah bagian dari peremajaan kota. Peremajaan kota (Menpera, 1990) adalah segala upaya dan kegiatan pembangunan yang terencana untuk mengubah dan memperbaharui suatu kawasan terbangun di kota yang sudah merosot fungsinya agar meningkat lagi sesuai dengan pengembangan kota. Setelah diremajakan, diharapkan kawasan tersebut lebih efektif, efisien dan produktif, baik fisik maupun tatanan sosial ekonomi masyarakatnya. Peremajaan lingkungan perumahan merupakan bagian dari peremajaan kota di mana yang diremajakan adalah kawasan hunian atau lingkungan perumahan. Apapun bentuk peremajaan lingkungan perumahan, sebaiknya harus dapat menampung atau memukimkan kembali seluruh penduduk semula di dalam lokasi yang diremajakan. Peremajaan lingkungan Kebon Kacang dengan pembangunan rumah susun Perumnas ternyata hanya dapat menampung 20% penduduk asli, karena ketidakmampuan mereka untuk mencicil unit rumah susun. Kemudian, tanah di sebelahnya yang semula akan dibangun rumah susun Perumnas, ternyata akan diremajakan menjadi bangunan gedung bank dan perkantoran sambungan Jalan Thamrin, sehingga warga terpaksa lari ke pinggiran kota. Sementara itu, belakangan ini masyarakat lbukota disuguhi pula berita-berita mengenai peremajaan lingkungan kumuh dan rencana pembangunan rumah susun sederhana. Mulai dari rencana pembangunan 7.300 unit rumah susun berbagai tipe dan jenis di Kemayoran, rumah susun sewa yang dibangun PO Pembangunan Sarana Jaya dan rumah susun yang akan dibangun oleh perusahaan swasta. Siapa pun yang akan membangun rumah susun, paling sedikit lima hal harus diperhatikan. Pertama, biaya pembebasan tanah tinggi dan biaya pembangunan rumah susun sangat tinggi. Kedua, GMBR tidak mampu menjangkau cicilan rumah susun dan mereka belum biasa tinggal di rumah susun. Karena itu pemasyarakatan, penyuluhan dan pembudayaan hidup di rumah susun, perlu dilakukan. 119


Ketiga, masyaral\at belum menyukai tinggal di rumah su3un. Uari 3.584 unit rumah susun yang dibangun di Palembang, sedikit sekali yang berminat tinggal di sana. Keempat, subsidi silang dalam pembangunan rumah susun belum berjalan. Terbukti dari pembayaran yang sama oleh penghuni penduduk asli dan pendatang baru. Ke!ima, peremajaan yang hanya membangun rumah susun kurang menguntungkan. Pemecahan Masalah Memperhatikan kendala-kendala di atas, ada dua alternatif penanganan lingkungan kumuh, yaitu perbaikan kampung (untuk lingkungan yang tidak terlalu padat) dan peremajaan lingkungan padat penduduk. Dalam perbaikan kampung, pemerintah memperbaiki sarana dan prasarana lingkungan seperti pengerasan jalan, pembuatan saluran, pembuangan air hujan atau air limbah, penyediaan air bersih dan pembuangan sampah. Pembangunan rumahnya sendiri diserahkan kepada para pemilik. Dalam peremajaan lingkungan padat penduduk, kampung dibongkar dan dibangun prasarana dan sarana lingkungan, perumahan, perkantoran, pertokoan dan fasilitas lingkungan. Contohnya, 960 unit rumah susun Perumnas di Tanah Abang, 536 unit Kebon Kacang dan 7.800 unit yang akan dibangun di Kemayoran. Untuk menangani lingkungan kumuh, pihak swasta juga dituntut untuk berperan serta. Jika saat ini swasta telah berhasil menyediakan berbagai jenis rumah khususnya untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke atas, maka dalam Pelita V dan selanjutnya peran swasta ditunggu untuk bisa membantu kalangan bawah masyarakat. Swasta jangan hanya membebaskan tanah untuk kepentingan sendiri, tetapi sebagian tanah yang dibebaskan hendaknya dapat dihuni kembali oleh penduduk semula, baik berupa rumah susun sederhana Perumnas maupun rumah susun sewa sederhana. Pokok-pokok peremajaan lingkungan perumahan kota terdiri atas dua bagian, yaitu persiapan dan pelaksanaan pembangunan. Persiapan antara lain berupa studi kelayakan. Pelaksanaan pembangunan terdiri dari langkah-langkah pembentukan lembaga penanganan peremajaan (Pemda, BUMN/BUMD dan Developer), perencanaan kawasan, penyiapan dan pengadaan anggaran, pembebasan lahan termasuk ganti rugi dan penampungan sementara penghuni kawasan yang dibebaskan, pembangunan prasarana, dan penempatan penghuni di kawasan baru. Kantor Menpera telah mengajak swasta untuk berperan serta dalam meremajakan kota dan lingkungan kumuh melalui lima tahap (sepuluh langkah) peremajaan lingkungan permukiman kumuh. Tahap pertama, penentuan prioritas pembangunan pada tingkat bagian atau wilayah kota (RBWK) untuk memperoleh wilayah atau kawasan yang akan diremajakan. Langkah 1, menentukan prioritas pembangunan wilayah kota berdasarkan atas kebijaksanaan umum, rencana umum dan rencana detail tata ruang kota serta kajian pembangunan kota yang menyeluruh. Langkah 2, menentukan batas wilayah kota yang akan diremajakan. Tahap kedua, analisis wilayah perencanaan dan rencana peremajaan untuk mendapatkan gambaran spesifik dari wilayah yang akan diremajakan dan kemungkinan pengembangannya. Langkah 3, menganalisis potensi kota dan masyarakat, kendala dan masalah yang menonjol. Langkah 4, menyelenggarakan rembug kampung untuk memperoleh kesepakatan warga yang daerahnya akan diremajakan. Tahap ketiga, perencanaan peremajaan untuk mengembangkan rencana detail peremajaan. Langkah 5, menganalisis kemungkinan pengembangan terinci dan perencanaan definitif. Langkah 6, rembug kampung untuk memperoleh kesepakatan rencana detail peremajaan dan rancangan fisik. Tahap keempat, penyusunan program peremajaan yang terdiri atas kegiatan terinci. Langkah 7, menyusun prioritas kegiatan secara terinci. Langkah 8, rem bug kampung untuk menyepakati jenis dan tahapan kegiatan peremajaan. Tahap kelima, pelaksanaan peremajaan lingkungan perumahan untuk mewujudkan lingkungan perumahan terpadu dan fungsional. Langkah 9, menata lahan dan melaksanakan pembangunan baru. Langkah 10, melaksanakan pembangunan prasarana, unit hunian dan sarana perumahan. Penutup Penataan dan peremajaan lingkungan kumuh difokuskan di enam kota besar (kota raya/metropolitan), yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Palembang. Kehadiran swasta sangat dinantikan dalam program peremajaan lingkungan kumuh. Agar tidak menimbulkan keresahan, swasta perlu 120


memperhatikan langkah-langkah peremajaan lingkungan kumuh, yaitu mengidentifikasi permukiman kumuh, memilih investor yang tepat, melaksanakan studi pendahuluan, mencari developer yang berminat, menyelenggarakan perundingan Pemda dengan developer dan masyarakat, melaksanakan studi kelayakan dan engineering design, melaksanakan, memantau dan melakukan evaluasi proyek. Sejalan dengan itu, pemerintah perlu melakukan ujicoba peremajaan lingkungan kumuh dan membentuk Kelompok Kerja untuk menyusun pedoman atau petunjuk teknis pengelolaan lingkungan kumuh yang beranggotakan wakil-wakil dari Kantor Menpera, KLH, Ristek!BPPT, PU, Depdagri, BPN, Depkeu, Depsos, Bl, BPD, Perum Perumnas, BTN dan REI. Bisnis Indonesia, 14 Mei 1990 Pemasyarakatan: Dari Permukiman Kumuh ke Rusun Untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah yang bertempat tinggal di perumahan dan permukiman kumuh perkotaan, perlu dilakukan penanganan perumahan dan permukiman kumuh secara terpadu, dengan meremajakan lingkungan melalui pembangunan rumah susun sederhana. Penataan permukiman kumuh dikenal berupa perbaikan kampung, pemugaran, rehabilitasi, peremajaan, dan relokasi penghuni lingkungan permukiman kumuh, peremajaan kota, serta penanganan dan koordinasi secara terpadu. Agar lingkungan permukiman kumuh dalam waktu sesingkat-singkatnya berubah menjadi hunian di rumah susun, maka perlu dilakukan pemasyarakatan, penyuluhan, dan pembudayaan rumah susun secara terarah dan terpadu. Peremajaan Permukiman Kumuh Perumahan dan permukiman kumuh adalah lingkungan tempat tinggal yang keadaannya tidak memenuhi persyaratan layak huni, antara lain tidak sesuai dengan rencana tata ruang, kepadatan bangunan sangat tinggi, kualitas bangunan sangat rendah, prasarana lingkungan tidak memenuhi syarat dan rawan, yang dapat membahayakan kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuninya. Maksud dan tujuan penanganan permukiman kumuh adalah (1) meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan penghuni perumahan dan permukiman kumuh dengan mengadakan perumahan dan permukiman yang lebih baik, dan (2) mewujudkan lingkungan perumahan dan permukiman yang ditata secara tertib dan memenuhi persyaratan pembangunan. Asas yang dipakai adalah manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kesetiakawanan sosial, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan dan kelestarian lingkungan hidup, serta diselenggarakan dengan pendekatan pembangunan bertumpu pada kemampuan masyarakat, dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Penanganan permukiman kumuh dapat ditempuh melalui perbaikan atau pemugaran, peremajaan, dan relokasi. Perbaikan a tau pemugaran perumahan dan permukiman, adalah kegiatan tanpa membongkar secara keseluruhan bangunan yang ada untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni, yang dapat dilaksanakan secara bertahap oleh masyarakat dengan bimbingan dan bantuan pemerintah. Kegiatan ini dilakukan terhadap perumahan dan permukiman kumuh yang lokasinya sesuai dengan rencana tata ruang dengan tingkat kepadatan penduduk dan bangunan yang tidak sangat tinggi. Peremajaan perumahan dan permukiman kumuh adalah kegiatan pembongkaran seluruh bangunan lama dan pembangunan baru untuk meningkatkan kualitas lingkungan kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni, dilaksanakan oleh masyarakat dengan bimbingan dan bantuan pemerintah atau oleh pemerintah 121


bersama masyarakat. Berdasarkan lnpres 5/1990, Peremajaan Permukiman Kumuh adalah pembongkaran sebagian atau seluruh permukiman kumuh yang sebagian besar atau seluruhnya berada di atas tanah Negara dan kemudian di tempat yang sama dibangun prasarana dan fasilitas lingkungan rumah susun serta bangunan-bangunan lainnya sesuai dengan rencana tata ruang kota yang bersangkutan. Kegiatan ini dilakukan terhadap perumahan dan permukiman kumuh yang lokasinya sesuai dengan rencana tata ruang dengan tingkat kepadatan penduduk dan bangunan yang sangat tinggi. Relokasi penghuni perumahan dan permukiman kumuh adalah pemindahan penghuni permukiman kumuh ke lingkungan perumahan dan permukiman baru yang layak huni, yang lokasinya sesuai tata ruang, demi meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni, dengan mengusahakan kesinambungan mata pencaharian dan kesempatan peningkatan pendapatan. Penanganan perumahan dan permukiman secara terpadu adalah upaya untuk menerpadukan kegiatan dan anggaran dari berbagai program pembangunan sektoral dan pembangunan daerah serta masyarakat luas yang secara bersamasama menangani perumahan dan permukiman kumuh. Rehabilitasi Sosial Oaerah Kumuh (Kepmensos Nomor 1 0/HUK/1997 tanggal 27 Maret 1997), adalah kegiatan peningkatan kesejahteraan sosial keluarga berumah tidak layak huni, di daerah kumuh dengan melakukan penyuluhan dan bimbingan sosial serta perbaikan rumah dan lingkungannya. Oaerah Kumuh adalah daerah yang antara lain mempunyai kriteria (a) kondisi sasaran pelayanan sosial (keluarga): umumnya tingkat kepadatan penduduk tinggi, semua anggota keluarga termasuk anak mencari nafkah, keterlambatan dalam pendidikan bagi anggota keluarga, kesadaran warga untuk ikut serta memiliki dan memelihara lingkungan umumnya rendah, dan perilaku hidup sehat umumnya rendah, (b) kondisi rumah tidak memenuhi syarat kesehatan (pengap dan lembab), kekuatan dan kenyamanan, pembagian ruangan, pencahayaan sinar matahari dan ventilasi, letak rumah tidak teratur dan berdempetan, dan tidak memiliki sumur/air bersih dan kakus, dan (c) kondisi lingkungan: sangat kumuh, saluran pembuangan air limbah tidak memenuhi standar, jalan setapak tidak teratur, MCK dan air bersih tidak memadai, dan sarana pelayanan sosial kurang memadai. Tujuan rehabilitasi sosial daerah kumuh adalah menghilangkan sifat kekumuhan suatu daerah sehingga masyarakat setempat dapat menempati perumahan yang layak huni dalam lingkungan yang sehat dan teratur, dan sasaran rehabilitasi sosial daerah kumuh mencakup populasi (bertempat tinggal di daerah kumuh, rumahnya tidak layak huni, dan mempunyai penghasilan rendah dan tidak tetap), lokasi (daerah kumuh perkotaan), fisik (tidak layak huni, tidak memenuhi persyaratan kesehatan, teknis bangunan, dan persyaratan sosial), dan lingkungan (saluran air limbah kurang baik, sarana pelayanan sosial tidak memadai, jalan setapak tidak teratur, MCK dan air bersih tidak memadai). Kebijaksanaan rehabilitasi daerah kumuh diarahkan pada upaya meningkatkan kualitas kehidupan keluarga dan penghidupan masyarakat serta menciptakan suasana kerukunan hidup keluarga, kesetiakawanan dan kepedulian sosial, serta pelestarian nilai budaya bangsa (pengelolaan sarana permukiman dan lingkungan secara swadaya, peningkatan peran serta masyarakat dalam usaha perbaikan permukiman kumuh, keterpaduan lintas sektoral, dan peningkatan pelayanan sosial). Langkah-langkah yang perlu ditempuh meliputi pemantapan administrasi daerah kumuh, peningkatan kesadaran dan tanggungjawab sosial masyarakat, bimbingan dan penyuluhan, penggalangan mobilisasi masyarakat, pemantapan koordinasi dan keterpaduan intra dan intersektoral, bantuan sarana usaha, pemugaran rumah dan perbaikan sarana lingkungan permukiman, serta pemasyarakatan budaya hidup bersih dan sehat. Koordinasi pelaksanaan rehabilitasi daerah kumuh dilaksanakan pada Tingkat Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kotamadya, melibatkan unsur-unsur Depsos, Kantor Menpera, Depdagri, Dep-PU, Depkes, Pemda, Swasta, Masyarakat, dan instansi terkait lainnya. lnpres 5/1990 yang mengatur Peremajaan Permukiman Kumuh Di Atas Tanah Negara, menegaskan bahwa penghuni lingkungan yang diremajakan ditampung kembali di rusun hasil peremajaan atau di lokasi lain yang berdekatan dengan cara memiliki yang didukung fasilitas KPR maupun dengan cara menyewa. Selama proses pembangunan rusun, pengembang (developer) menyediakan rumah penampungan sementara bagi penghuni permukiman kumuh sepanjang diperlukan. Dalam menetapkan lokasi peremajaan permukiman kumuh, di samping harus sesuai dengan RUTR atau ROTA, perlu dilakukan pendekatan kepada masyarakat setempat agar masyarakat berperanserta aktif dalam proses peremajaan permukiman kumuh. Peremajaan permukiman kumuh dilakukan dengan menerapkan subsidi silang antara pembangunan 122


rusun dengan areal komersil yang berada di aeral yang diremajakan. Rusun yang dibangun di lokasi peremajaan berikut tanahnya menjadi milik negara dan Menteri Keuangan menyerahkan pengelolaan rusun tersebut kepada Perum Perumnas. Sumber pembiayaan peremajaan permukiman kumuh disediakan Perum Perumnas, Yayasan, dan pengembang swasta. Presiden menetapkan peremajaan permukiman kumuh di DKI Jakarta sebagai proyek percontohan untuk dapat dikembangkan di kota-kota lain. Menpera ditugaskan Presiden mengkoordinasikan instansi terkait dalam melaksanakan kegiatan peremajaan permukiman kumuh (Menrenbangnas/Ketua Bappenas, Menneg LH, Mendagri, Men-PU, Mensos, Menkeu, Kepala BPN, para Gubernur, dan para Bupati/Walikotamadya). Pembangunan Rusun di DKI Jakarta diatur melalui Perda Nomor 1 Tahun 1991 dan Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 924 Tahun 1991 tentang Petunjuk Teknis Rumah Susun. Terkait dengan itu, ditetapkan Kepgub KDKI Jakarta Nomor 540 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan (SP3L) Atas Bidang Tanah Untuk Pembangunan Fisik Kota di DKI Jakarta. Melalui Kepgub ini, diatur kewajiban pengembang yang membangun lahan 5.000 M2 atau lebih, untuk membiayai dan membangun rusun murah beserta fasilitasnya seluas 20% dari areal manfaat secara komersial dan atau ketentuan lainnya yang ditetapkan Gubernur KDKI Jakarta (penerapan subsidi silang). Pemasyarakatan Rumah Susun Pemasyarakatan rusun perlu dilakukan terhadap penghuni permukiman kumuh dan masyarakat perkotaan calon penghuni rumah susun. Kantor Menpera bekerjasama dengan Depdagri, Depsos, Depkes, Departemen PU, Perum Perumnas, dan Pemerintah Daerah, bersama-sama merumuskan pola pemasyarakatan rusun. Dengan pola pemasyarakatan rusun yang dibuat, diupayakan keterlibatan masing-masing instansi dalam kegiatan pemasyarakatan rusun. Sebagai contoh, Depdagri dan Pemda menginformasikan tata ruang (RUTR, RDTR), Depsos memberikan bimbingan dan penyuluhan sosial, Dep-PU dan Perum Perumnas menyampaikan masalah teknis pembangunan rusun dan pemanfaatan sarana-prasarana lingkungan, Depkes memberikan percontohan hidup bersih dan sehat, dan Dinas Perumahan melakukan pencatatan berbagai aspek kegitan di rusun. Tokoh masyarakat juga perlu dilibatkan dalam kegiatan pemasyarakatan dan pembudayaan rusun. Cara pelaksanaan pemasyarakatan rusun hendaknya dilakukan secara sederhana, mudah dicerna, dan penyampaiannya menggunakan bahasa sehari-hari masyarakat perkotaan. Bagi penduduk Jakarta, pemasyarakatan rusun sebaiknya melibatkan tokoh Betawi dan kalau memungkinkan, sebaiknya menggunakan artis Betawi. Pemasyarakatan, penyuluhan, dan pembudayaan rusun harus dilakukan terus menerus dan penuh kesabaran. Budaya hidup di rumah tunggal (biasa) tidak mudah diubah ke budaya hidup di rusun. lbu-ibu yang tergabung dalam PKK sebaiknya diikutsertakan dalam kegiatan pemasyarakatan rusun, karena PKK telah berpengalaman dalam pada berbagai kegiatan penyuluhan, antara lain penyuluhan kebersihan rumah dan lingkungan (budaya hidup bersih dan sehat), budaya tertib, dan budaya kerja, penyuluhan rumah sehat, dan penyuluhan keluarga berencana. Dalam kegiatan pemasyarakatan, sebaiknya juga diikutsertakan kepala keluarga yang telah menghuni rumah susun sederhana, yang dapat menginformasikan pahit-getir dan suka-dukanya tinggal di rusun. Angkatan Bersenjata, 8 Agustus 1997 123


Penanganan Terpadu Perumahan Dan Permukiman Kumuh Ada tiga tujuan peremajaan permukiman kumuh. Pertama. meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan, harkat, derajat dan martabat masyarakat penghuni permukiman kumuh terutama golongan masyarakat berpenghasilan rendah dengan memperoleh perumahan yang layak dalam lingkungan permukiman yang sehat dan teratur. Kedua, mewujudkan kawasan kota yang ditata secara lebih baik sesuai dengan fungsinya sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang kota yang bersangkutan. Ketiga, mendorong penggunaan tanah yang lebih efisien dengan pembangunan rumah susun, meningkatkan tertib bangunan, memudahkan penyediaan prasarana dan fasilitas lingkungan permukiman yang diperlukan serta mengurangi kesenjangan kesejahteraan penghuni dari berbagai kawasan di daerah perkotaan. Peremajaan Permukiman Dalam melaksanakan peremajaan permukiman kumuh, beberapa prinsip perlu diperhatikan. Penghuni Lingkungan yang diremajakan ditampung kembali di rumah susun hasil peremajaan atau di lokasi lain yang berdekatan dengan lokasi peremajaan, baik dengan cara memiliki yang didukung dengan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah maupun dengan cara menyewa. Selama proses pembangunan rumah susun, Developer menyediakan rumah penampungan sementara bagi penghuni permukiman kumuh sepanjang diperlukan. Dalam menetapkan lokasi permukiman kumuh yang akan diremajakan, di samping memperhatikan Pola Dasar Rencana Pembangunan Daerah dan atau Rencana Umum Tata Ruang Kota, perlu dilakukan pendekatan kepada masyarakat setempat agar masyarakat berperan secara aktif dalam proses peremajaan. Peremajaan dilakukan dengan menerapkan sistem subsidi silang antara pembangunan rumah susun dengan areal komersial yang berada di kawasan yang diremajakan. Biaya yang dikeluarkan oleh developer untuk pengosongan permukiman kumuh, penampungan sementara para penghuni permukiman kumuh, pembangunan rumah susun lengkap dengan prasarana dan fasilitas lingkungannya (sesuai dengan UU Nomor 16 Tahun 1985 dan PP Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, serta Perda tentang rumah Susun), pemindahan penghuninya ke rumah susun dan tingkat keuntungan yang wajar, memperoleh imbalan berupa areal komersial yang senilai. Rumah susun yang dibangun di lokasi peremajaan berikut tanahnya menjadi milik negara dan Menteri Keuangan menyerahkan pengelolaan rumah susun ini kepada Perum Perumnas, contohnya adalah Rumah Susun peremajaan permukiman kumuh di Pulogadung dan Kemayoran. Sumber pembiayaan untuk pelaksanaan peremajaan permukiman kumuh adalah BUMN khususnya Perum Perumnas, Yayasan khususnya Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (perlu dipertanyakan apakah masih bisa menyediakan dana setelah SDSB dihapus), Developer Swasta, dan sumber-sumber dana lainnya. Ratio lahan rumah susun dan areal komersial serta banyaknya satuan rumah susun yang dibangun ditetapkan oleh Bupati/Walikotamadya (di DKI Jakarta ditetapkan oleh Gubernur) dan peremajaan permukiman kumuh di DKI Jakarta ditetapkan sebagai proyek percontohan untuk dapat dikembangkan di kota-kota lain. Pedoman Umum lstilah lain yang ingin dipopulerkan adalah Penanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh Secara Terpadu (P3KST). Menpera meminta perhatian (menghimbau) para Gubernur dan Bupati/Walikotamadya untuk memperhatikan pedoman umum penanganan terpadu perumahan dan permukiman kumuh dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan golongan masyarakat berpenghasilan rendah yang menghuni perumahan dan permukiman kumuh. Beberapa pengertian yang terkait dengan konteks ini antara lain perumahan dan permukiman kumuh, 124


rencana tata ruang (mengacu pada UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang), perbaikan atau pemugaran perumahan dan permukiman (di perdesaan dikenal sebagai P2LDT, pembangunan perumahan dan lingkungan desa secara terpadu, dan di perkotaan dikenal program perbaikan kampung), peremajaan perumahan dan permukiman kumuh, peremajaan kota, relokasi penghuni perumahan dan permukiman kumuh, penanganan terpadu perumahan dan permukiman kumuh, pemrakarsa, dan pelaku pembangunan dalam penanganan terpadu perumahan dan permukiman kumuh. Perumahan dan permukiman kumuh adalah lingkungan tempat tinggal yang keadaannya tidak memenuhi persyaratan layak huni, antara lain tidak sesuai dengan rencana tata ruang, kepadatan bangunan sangat tinggi, kualitas bangunan sangat rendah, prasarana lingkungan tidak memenuhi syarat dan rawan, yang dapat membahayakan kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuninya. Asas dan pendekatan penanganan terpadu perumahan dan permukiman kumuh adalah asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kesetiakawanan sosial, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan pendekatan pembangunan yang bertumpu kepada kemampuan masyarakat luas. Pola pembangunan bertumpu pada kemandirian masyarakat/komunitas menjadi pokok bahasan dalam Pra Loknas dan Loknas Perumahan dan Permukiman 1992 dan akan dikembangkan dalam Pelita VI. Lebih Baik Maksud dan tujuan penanganan ini adalah (1) meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan penghuni perumahan dan permukiman kumuh dengan mengadakan perumahan dan permukiman yang lebih baik, yaitu yang lebih layak, sehat, aman, serasi, dan teratur, demi meningkatkan harkat, derajat dan martabat serta kesejahteraannya, dan (2) mewujudkan lingkungan perumahan dan permukiman yang ditata secara tertib dan memenuhi persyaratan pembangunan yang berlaku. Kebijaksanaan penanganan disesuaikan dengan kepadatan penduduk dan kondisi bangunan, prasarana dan sarana lingkungan serta utilitasnya dan kesesuaian lokasi dengan rencana tata ruang dalam bentuk penanganan berupa perbaikan atau pemugaran, peremajaan, dan relokasi. Perbaikan atau pemugaran perumahan dan permukiman adalah kegiatan tanpa membongkar secara keseluruhan yang ada untuk meningkatkan kualitas lingkungan kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni, yang dapat dilaksanakan secara bertahap oleh masyarakat dengan bimbingan dan bantuan pemerintah. Perbaikan atau pemugaran dilakukan terhadap perumahan dan permukiman kumuh yang lokasinya sesuai dengan rencana tata ruang dengan tingkat kepadatan penduduk dan bangunan yang tidak sangat tinggi. Peremajaan perumahan dan permukiman kumuh adalah kegiatan pembongkaran seluruh bangunan lama dan pembangunan bangunan yang baru untuk meningkatkan kualitas lingkungan kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni, yang dilaksanakan oleh masyarakat dengan bimbingan dan bantuuan pemerintah bersama dengan masyarakat. Peremajaan dilakukan terhadap perumahan dan permukiman kumuh yang lokasinya sesuai dengan rencana tata ruang dengan tingkat kepadatan penduduk dan bangunan yang sangat tinggi. Relokasi penghuni perumahan dan permukiman kumuh adalah pemindahan penghuni permukiman kumuh ke lingkungan perumahan dan permukiman baru yang layak huni, yang lokasinya sesuai dengan rencana tata ruang, demi meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni dengan mengusahakan kesinambungan mata pencaharian dan kesempatan peningkatan pendapatan. Relokasi dari perumahan dan permukiman kumuh yang lokasinya tidak sesuai dengan rencana tata ruang ke lokasi yang telah dipersiapkan sesuai dengan peruntukannya, dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat penghuni. Penanganan perumahan dan permukiman kumuh secara terpadu (P3KST) adalah upaya untuk menterpadukan kegiatan dan anggaran dari berbagai program pembangunan sektor dan program pembangunan daerah serta masyarakat luas yang secara bersama-sama menangani perumahan dan permukiman kumuh. 125


Berbagi Peran Untuk mewujudkan prinsip berbagi peran, dibedakan atas pemrakarsa, pelaku pembangunan, dan koordinator. Pemrakarsa penanganan perumahan dan permukiman kumuh dapat terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah DT I, Pemerintah DT II, Unit-unit Pemerintahan, BUMN, BUMD, Koperasi, Yayasan, Organisasi Sosial, Organisasi Profesi, Badan Usaha Swasta, Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat dan berbagai Organisasi Kemasyarakatan. Pemerintah DT II melakukan inventarisasi seluruh perumahan dan permukiman kumuh di wilayahnya, klasifikasi penanganan perumahan dan permukiman kumuh (perbaikan atau pemugaran, peremajaan, dan relokasi), penetapan prioritas penanganan perumahan dan permukiman kumuh secara terpadu, penyusunan program P3KST, koordinasi anggaran program P3KST dengan Departemen/LPND dan lnstansi terkait, usulan proyek kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah DT I atau penawaran usulan proyek kepada BUMN, BUMD, Badan Usaha Swasta dan Masyarakat luas, pembinaan secara berkelanjutan melalui bina manusia, bina lingkungan, dan bina usaha, pemilihan lokasi untuk program relokasi (sejauh mungkin memanfaatkan tanah negara), pemberian kemudahan prosedur dan keringanan biaya perijinan, dan pencegahan timbulnya perumahan dan permukiman kumuh kembali di atas tanah yang telah dikosongkan atau dibebaskan. Pemerintah DT I melakukan inventarisasi perumahan dan permukiman kumuh di daerahnya, penetapan prioritas penanganan perumahan dan permukiman kumuh di DT II di wilayahnya, pembinaan kemampuan dan pengarahan program kepada Pemerintah DT II dalam mempersiapkan P3KST, pemberian bantuan dan dukungan kepada para pelaku pembangunan program penanganan perumahan dan permukiman kumuh secara terpadu, koordinasi dalam penanganan perumahan dan permukiman secara terpadu dengan berbagai Departemen/LPND dan lnstansi terkait serta masyarakat luas, pembinaan secara berkelanjutan usaha-usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam rangka penanganan P3KST, pemberian kemudahan prosedur dan keringanan biaya perijinan, dan pencegahan timbulnya perumahan dan permukiman kumuh kembali di atas tanah yang telah dikosongkan atau dibebaskan. Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengarahan kepada Pemerintah DT I dan Pemerintah DT II dalam P3KST serta pemberian bantuan dan dukungan pendanaan melalui APBN atau sumber pendanaan lain. BUMN, BUMD, Koperasi, Yayasan, Organisasi Profesi, Organisasi Sosial, Badan Usaha Swasta dan Masyarakat serta Lembaga Swadaya Masyarakat berpartisipasi dan berperan serta dalam P3KST sebagai pemrakarsa, penyandang dana, sponsor, motivator, mediator, penggerak partisipasi masyarakat dan pelaksana pembangunan. Masyarakat penghuni berperan serta dalam P3KST di lokasinya dan menyalurkan aspirasinya kepada Pemerintah melalui LKMD atau lembaga kemasyarakatan lainnya, sedangkan masyarakat luas secara perorangan, kelompok atau lembaga, dapat berperan sebagai penyandang dana, motivator atau penggerak partisipasi masyarakat. Hubungan pemerintah, swasta, dan masyarakat perlu diwujudkan dalam bentuk kemitraan (partnership). Menpera bertindak sebagai koordinator P3KST di tingkat Pusat, Gubernur sebagai koordinator di tingkat DT I (pelaksana harian adalah Ketua Bappeda Tingkat I) dan Bupati/Walikotamadya menjadi koordinator di tingkat DT II (Ketua Bappeda Tingkat II sebagai pelaksana harian). Koordinasi secara terpadu dilakukan Kantor Menpera dengan Departemen PU (Direktorat Perumahan, Direktorat Air Bersih, Direktorat Penyehatan Lingkungan Permukiman, Direktorat Bina Program, dan Puslitbang Permukiman), Departemen Dalam Negeri (Direktorat Pembinaan Pemerintahan Daerah, Direktorat Pembinaan Pembangunan Perkotaan), Departemen Sosial (Direktorat Bin a Rehabilitasi Sosial, Direktorat Penyuluhan dan Bimbingan Sosial), Departemen Kesehatan (Direktorat Penyehatan Lingkungan Permukiman), BPN (Direktorat Pengaturan Penguasaan Tanah, Direktorat Pengurusan Hak Atas Tanah), LPND (Kantor Menristek, BPPT, LIPI), lnstansi Pemerintah yang terkait lainnya, Swasta dan Dunia Usaha, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan lainnya. Dalam program P3KST, kepada penghuni yang lingkungan perumahan dan permukimannya ditata atau ditangani, disediakan perumahan dalam bentuk rumah sederhana, rumah sangat sederhana, kaveling siap bangun (KSB), dan rumah sewa (rumah susun yang disewakan atau rumah sewa bertingkat) yang dibangun oleh BUMN, BUMD, koperasi, yayasan, badan usaha swasta atau kelompok usaha bersama yang didukung kredit kepemilikan rumah. Agar tipe-tipe perumahan ini terjangkau oleh golongan masyarakat berpenghasilan 126


rendah dan sangat rendah, pemerintah mengusahakan tanah negara serta biaya pembangunan sarana, prasarana lingkungan dan utilitas umum dari APBN, APBD Tingkat I dan APBD Tingkat II. Standar teknis dan rancang bangun disesuaikan dengan kemampuan masyarakat dan kondisi setempat. Yang sama sekali tidak mampu, diusahakan pembinaan dan bantuan usaha serta upaya peningkatan kegiatan ekonomi mereka agar pendapatannya secara berangsur dapat meningkat, misalnya melalui LIPOSOS (lingkungan pondok sosial) dan BLK (balai latihan kerja). Pembinaan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat secara berkelanjutan ditujukan agar dicapai peningkatan kualitas perumahan dan permukiman, pendidikan, kesehatan dan usaha ekonomi, pengelolaan lingkungan, pembentukan kelompok arisan dan usaha bersama perumahan melalui jalur LKMD. Kepedulian Keberhasilan pedoman umum P3KST dan berbagai program lainnya yang berusaha meniadakan lingkungan perumahan dan permukiman kumuh, hanya akan berhasil jika didukung kepedulian sosial dan kesetiakawanan sosial masyarakat untuk memberantas kemiskinan sehingga jurang yang Iebar antara si kaya dan si miskin bisa diperkecil. Pembinaan masyarakat untuk mengubah kebiasaan dan perilaku mau enak sendiri secara bertahap dialihkan ke rasa kebersamaan menikmati hasil-hasil pembangunan. Untuk itu, pembinaan, penyuluhan, dan bimbingan sosial perlu dilakukan terus menerus. Presiden Soeharto minta dan menganjurkan penghuni daerah kumuh di atas tanah negara untuk meninggalkan daerah itu atas kesadarannya sendiri secara sukarela tanpa menunggu perintah dipindahkan. Kepada keluarga yang secara sukarela pindah ini, Depsos mengusahakan untuk menyediakan dana bantuan Rp. 800.000 per keluarga, seperti yang terjadi terhadap keluarga permukiman kumuh yang terkena musibah kebakaran di Balikpapan. Bantuan dana dalam rangka kegiatan HKSN setiap bulan Desember hendaknya dapat memacu mobilisasi dana Swasta dan Masyarakat dalam melakukan penataan lingkungan kumuh. Dengan model ini, Pemerintah DT II harus melakukan inventarisasi dan klasifikasi lingkungan perumahan dan permukiman kumuh secara rinci di wilayahnya masing-masing, agar tidak setaiap keluarga menyatakan dirinya penghuni permukiman kumuh dan minta bantuan Rp. 800.000,-. Saat ini telah banyak dilakukan program penanganan lingkungan perumahan dan permukiman kumuh, baik perbaikan, pemugaran, rehabilitasi, peremajaan, dan relokasi. Misalnya, tindak lanjut lnpres Nomor 5 Tahun 1990 dan melalui program HKSN (Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional), serta yayasan/organisasi kemasyarakat (lbu, Sosial, PKK, Dharma Wanita, LSM). Tetapi semua program ini masih terlihat berjalan sendiri-sendiri dan belum memadukan upaya perwujudan tribina (bina manusia, bina usaha, dan bina lingkungan). Prinsip subsidi silang ternyata masih dalam khayalan, terbukti dari belum lancarnya pembangunan perumahan dengan lingkungan hunian yang berimbang dan belum patuhnya pihak swasta dalam menyediakan rumah susun sederhana/murah di daerah perkotaan. Program P3KST tidak dapat dilepaskan dari program pembangunan kota lainnya, baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan hankam. P3KST perlu didukung oleh penyuluhan sosial ekonomi dan budaya masyarakat sedini mungkin, agar dampak negatif penanganan perumahan dan permukiman kumuh bisa dihindari. Agar gaung P3KST cepat terasa di seluruh Indonesia, khususnya di kota-kota besar, maka perlu dicanangkan secara nasional Gerakan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh seperti juga Gerakan Perumahan dan Permukiman Sehat, Proyek Kali Bersih, Sapta Pesona Wisata, Gerakan Keluarga Berencana Nasional, serta Gerakan Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat. Suara Pembaruan, 25 Maret 1994 127


Memacu Pembangunan Rumah Susun Dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan permukiman, dan untuk lebih meningkatkan kualitas lingkungan permukiman terutama di daerah-daerah yang berpenduduk padat tetapi hanya tersedia luas tanah terbatas, dirasa perlu membangun perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai, yang dibagi atas bagian-bagian yang dimiliki bersama dan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki secara terpisah untuk dihuni dengan memperhatikan faktor sosial budaya yang hidup dalam masyarakat. Sejalan dengan pertimbangan tersebut, maka ditetapkanlah Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Peraturan pelaksanaan Undang-undang ini ditetapkan tiga tahun kemudian, melalui PP Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun. Selanjutnya ditetapkan pula peraturan perundang-undangan dalam upaya memperlancar pembangunan rumah susun. Antara lain, Permendagri Nomor 60/PRT/1992 tentang Pedoman Teknik Pembangunan Rumah Susun, Permendagri Nomor 3 Tahun 1992 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah Ten tang Rumah Susun, Peraturan BPN Nomor 2 T a hun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian Pendaftaran Akte Pemisahan Rumah Susun, dan Peraturan BPN Nomor 4 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah Serta Penerbitan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Di atas semua peraturan ini, telah ditetapkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, yang akan segera. disusul oleh sembilan Peraturan Pemerintahnya. Pada Tingkat DKI Jakarta, telah ditetapkan Perda Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Rumah Susun di DKI Jakarta dan Kepgub Nomor 924 Tahun 1991 tentang Peraturan Pelaksanaan Rumah Susun di DKI Jakarta. Dalam mendorong pembangunan rumah susun (murah), Gubernur telah mengeluarkan Kepgub Nomor 540 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Lokasi!Lahan (SP3L) atas Bidang Tanah untuk Pembangunan Fisik Kota di DKI Jakarta. Kepgub Nomor 354 Tahun 1992 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pembangunan Rumah Susun Sederhana/Murah bagi pemegang SP3L, dan Kepgub Nomor 640 Tahun 1992 tentang Ketentuan terhadap Pembebasan Lokasi/Lahan tanpa izin dari Gubernur KDKI Jakarta. Sehubungan dengan banyaknya perusahaan yang telah memperoleh SP3L tetapi belum melaksanakan kewajibannya membangun Rumah Susun Sederhana/Murah sesuai ketentuan yang telah ditetapkan dan dalam rangka mempercepat pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, maka dikeluarkan lnstruksi Gubernur KDKI Jakarta kepada Kepala Dinas Perumahan DKI Jakarta. lsinya, untuk segera melaksanakan Kepgub DKI Jakarta Nomor 354 Tahun 1992 yang berkaitan dengan penerbitan Persetujuan Prinsip Pembangunan Rumah Susun Sederhana/Murah (P3RSSM). Semua instansi terkait di jajaran Pemerintah DKI Jakarta juga diminta membantu pelaksanaan instruksi ini. Sulitnya Tanah . Saat membuka Lokakarya Nasional Perumahan dan Permukiman 1992 tanggal 16 Nopember 1992, Presiden Soeharto menegaskan, salah satu kendala yang kini telah mulai kita rasakan dalam pembangunan perumahan dan permukiman adalah makin sulitnya mendapatkan tanah dengan harga yang terjangkau, khususnya di kota-kota besar. Kecenderungan ini akan terus berlangsung di masa datang. Karena itu agar harga rumah tetap terjangkau oleh mereka yang berpenghasilan rendah dan sedang, maka pembangunan rumah susun hendaknya terus dimasyarakatkan. Apabila kita gaga! memasyarakatkannya, maka tidak lama lagi lahanlahan pertanian di sekitar kota-kota akan berubah menjadi tempat permukiman. Harga tanah pun akan terus meningkat. Dewasa ini, masyarakat kita memang belum terbiasa tinggal di rumah-rumah susun. Biaya pembangunan rumah susun pun relatif masih lebih mahal daripada pembangunan rumah-rumah biasa. Namun sudah saatnya kita mulai membangun dan menggunakan rumah-rumah susun, baik yang sederhana maupun yang 128


lebih mahal. Sebab, jika tidak segera kita mulai dari sekarang, masyarakat kita tidak akan terbiasa tinggal di rumah-rumah susun. Yang juga tidak kalah penting adalah menekan biaya pembangunannya. Pembangunan rumah susun hendaknya dipadukan pula dengan usaha memperbaiki kualitas perumahan yang ada serta lingkungannya, terutama di daerah-daerah kumuh yang berada di sekitar pusat-pusat kegiatan di kota-kota besar. Baik Gubernur DKI Jakarta Surjadi Soedirdja maupun Siswono Yudohusodo pada saat menjadi Menpera, dan Enggartiasto Ketua Umum DPP REI, ketiganya menyatakan rumah susun merupakan alternatif hunian penduduk perkotaan di masa datang. Prospek pembangunan rumah susun cerah, menyangkut berbagai jenis, yaitu rumah susun mewah, menengah, dan sederhana. Ketiga jenis rumah susun ini perlu dikaitkan dengan segmen penduduk Jakarta, disesuaikan dengan kemampuan dan daya belinya terhadap tempat huniannya. Siswono Yudohusodo saat masih Menpera, pada pembukaan Seminar Rumah Susun dan Condominium Expo di Jakarta tanggal 18 Februari 1993 menegaskan bahwa penyebutan kata-kata asing condominium, apartment, flat, sebenarnya adalah rumah susun, disingkat rusun di mana didalamnya ada satuan rumah susun (sarusun). Hal serupa dikemukakan lbu Try Sutrisno dalam memberikan sambutan pada Pameran Pemukiman Modern-Trend Housing '94, di Jakarta tanggal 12 September 1993. Katanya, diharapkan dapat dibangun komplek perumahan dan permukiman yang selalu menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan dijalin kerjasama dengan Pemda setempat. Inti penting untuk menjamin keterpaduan dan keterkaitan pembangunan perumahan dengan program-program lainnya, sehingga tercipta suatu komplek perumahan dan permukiman yang sehat, aman, dan serasi dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Dalam pengertian keserasian ini, termasuk pemakaian nama komplek perumahan agar menggunakan Bahasa Indonesia dan pemilihan nama yang sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia. Dua Belas Peristilahan Berbicara tentang rumah susun, haruslah dimulai dengan mengerti duabelas peristilahan rumah susun yang dituangkan dalam Pasal1 UU Nomor 16 Tahun 1985. Rumah Susun adalah permukiman gedung betingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan. Terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal, dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah. Terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Satuan rumah susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum. Lingkungan, adalah sebidang tanah dengan batas-batas yang jelas, yang di atasnya dibangun rumah susun termasuk prasarana dan fasilitasnya, yang secara keseluruhan merupakan kesatuan tempat pemukiman. Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun. Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin bangunan. Hipotek merupakan hak tanggungan yang pengertiannya sesuai dengan Pas a I 11 02 Kitab Undangundang Hukum Perdata Indonesia. Yang selama pengaturannya belum dilengkapi dengan Undang-undang sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, menggunakan ketentuanketentuan tentang hipotik dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang belum ada pengaturannya dalam Undang-undang ini. Fidusia adalah hak jaminan yang berupa penyerahan hak atas benda berdasarkan kepercayaan yang disepakati sebagai jaminan bagi pelunasan piutang kreditur. Pemilik adalah perorangan atau badan hukum yang memiliki satuan rumah susun yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Penghuni 129


adalah perseorangan yang bertempat tinggal dalam satuan rumah susun. Perhimpunan penghuni adalah perhimpunan yang anggotanya terdiri dari para penghuni. Badan pengelola adalah badan yang bertugas untuk mengelola rumah susun. Selanjutnya hal-hal yang harus diketahui dari Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985, adalah landasan dan tujuan pembangunan rumah susun, yaitu berlandaskan pada asas kesejahteraan umum, keadilan dan pemerataan, serta keserasian dan keseimbangan dalam perikehidupan, dengan dua tujuan. Pertama, memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan masyarakat berpenghasilan rendah yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya, serta meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan menciptakan lingkungan permukiman yang lengkap, serasi, dan seimbang. Kedua, memenuhi kebutuhan untuk kepentingan lainnya yang berguna bagi kehidupan masyarakat dengan tetap mengutamakan kepentingan golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Juga harus dimengerti pengaturan dan pembinaan rumah susun, persyaratan pembangunan rumah susun, pemilikan satuan rumah susun, pembebasan dengan hipotik dan fidusia, penghunian dan pengelolaan rumah susun, pengawasan, dan ketentuan pidana. Dari Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988, dapat dipelajari pengertian-pengertian tentang pengaturan dan pembinaan rumah susun (arah kebijaksanaan, wewenang dan tanggungjawab, rumah susun untuk hunian dan bukan hunian), persyaratan teknis dan administratif pembangunan rumah susun (persyaratan teknis, struktur, komponen dan bahan bangunan, kelengkapan rumah susun, satuan rumah susun, bagian bersama dan benda bersama, kepadatan dan tata letak bangunan, prasarana dan fasilitas lingkungan, persyaratan administratif). Selanjutnya mengenai izin layak huni, pemilikan satuan rumah susun (pemisahan hak atas satuan rumah susun, batas pemilikan satuan rumah susun, peralihan, pembebanan dan pendaftaran hak milik atas satuan rumah susun, perubahan dan penghapusan hak pemilikan, serta kemudahan pembangunan dan pemilikan), penghunian dan pengelolaan (penghunian, pengelolan, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga perhimpunan penghuni), pengawasan, dan ketentuan pidana. Berbagai Masalah Sebagai sesuatu yang baru bagi kehidupan bangsa Indonesia, cukup banyak permasalahan yang menyangkut rumah susun. Antara lain menyangkut aspek peraturan perundang-undangan, kebijaksanaan umum, pertanahan, pembiayaan, investasi, keuangan, perbankan, pemasaran, pemilikan, perlindungan konsumen, kelembagaan, lingkungan penghunian, pengelolaan, dan pemerataan. Rincian permasalahan tersebut: masalah hak milik, hak pakai atas tanah Negara, hak guna bangunan, dan hak pengelolaan, tanah tempat rumah susun dibangun, hak milik atas satuan rumah susun, sertifikat hak milik atas satuan rumah susun. Lalu, dokumen yang terkait dengan penerbitan sertifikat, akte jual beli, ikatan jual beli, pewarisan, kewajiban dan hak pemilik satuan rumah susun, hak dan kewajiban (penyelenggaraan pembangunan rumah susun, pembeli, penyewa), hubungan antarpenghuni dan jaminan rumah susun. Dari sisi Pemerintah Daerah, perlu diperhatikan aspek tata ruang dan tata guna tanah, sosial-ekonomi, pembiayaan, dan pengawasan pembangunan, kebijaksanan pertanahan, kawasan strategis, peraturan daerah, ketentuan dan kewajiban real estate, peningkatan sistem administrasi dan aparatur pelaksana. Dari sisi developer dan pengusaha perlu diatur masalah pengelolaan, kemungkinan pemilii<an satuan rumah susun untuk orang asing, dan strata title. Pentingnya rumah susun di kota-kota besar khususnya di DKI Jakarta, mendorong Asia Pacific Institute for Management Development untuk menyelenggarakan seminar Pemilikan, Pembangunan dan Peraturan Terakhir Rumah Susun dan Sistem Strata Title di Indonesia, tanggal 11-12 Nopember 1992 di Jakarta. Seminar yang dibuka Menpera Akbar Tanjung ini, akan membahas perkembangan terakhir sistem stata title di Indonesia, pengembalian modal rumah susun, sertifikat hak milik atas satuan rumah susun, aspek pemilikan rumah susun sebagai barang jaminan yang berhubungan dengan kredit konstruksi dan kredit pemilikan rumah susun, segi hukum pemilikan rumah susun implication ownership of apartments for foreigner in Indonesia, The Singapore experience in implementing the Land Title (Strata Title Act Chapter 158), aspek desain pokok 130


untuk strata type apartment, dan beberapa aspek penghunian rumah susun pada masa pasca huni (pembentukan perhimpunan penghuni, dokumen rumah susun, badan pengelola, dan biaya pengelolaan). Center for Management Technology juga akan menyelenggarakan seminar Strata Titles dan implikasi pada Pengelolaaan Kondominium di Jakarta, tanggal 1 - 2 Desember 1993. Seminar ini akan membahas investasi pembangunan kondominium (termasuk pembahasan kepemilikan oleh warga negara asing), sertifikat hak milik atas satuan rumah susun dan proses sertifikasi hak milik rumah susun. Juga tentang pengelolaan rumah susun, rencana pembangunan rumah susun berkaitan dengan perizinan, masalah yuridis praktis dalam penjualan, pembebanan serta pengelolaan rumah susun, pajak atas tanah dan bangunan, aspek pemasaran dan manajemen kondominium, serta prospek pasar pada pembangunan kondominium. Dua seminar dengan pembayaran masing-masing Rp. 1,5 juta dan US$ 795 per orang ini, diharapkan dapat memacu pembangunan rumah susun serta menjawab pertanyaan dan mengatasi permasalahan. Misalnya tentang segi hukum penyelenggaraan rumah susun, strata title, penerbitan sertifikat, penghunian dan pengelolaan, hak dan kewajiban (pemilik, penghuni, penyelenggara, penyewa), perizinan, nilai jual tanah dan bangunan, hipotik dan fidus!a, peralihan hak, kredit konstruksi dan kredit pemilikan rumah susun. Juga mengenai pengembalian modal, ketentuan peraturan perundang-undangan terakhir, barang jaminan, hak atas tanah dan bangunan atas sertifikat hak milik satuan rumah susun, peninjauan pasar dan kecenderungan masyarakat di masa datang, kemungkinan bagi orang asing untuk memiliki apartemen dan implikasinya, nilai dan keuntungan rumah susun, aspek desain pokok rumah susun. Peningkatan pemahaman terhadap rumah susun, akan besar manfaatnya dalam mengantisipasi dan menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan rumah susun dan sistem strata title. Mengubah Sikap Rumah susun, bukan berarti hanya kondominium dan apartemen saja, tapi termasuk pula rumah susun menengah untuk kalangan menengah ke bawah. Pemerintah Daerah (Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya) telah membangun rumah susun sederhana murah untuk masyarakat berpenghasilan sangat rendah. Yaitu 2.881 unit di Jakarta (Pondok Kelapa, Pondok Bambu, Cipinang Besar, Cengkareng, Tambora, Penjaringan, Karang Anyar, dan Rawasari), Bandung (Jalan lndustri Dalam). Semarang (Pekunden, direncanakan di Sekayu), dan Surabaya (Dupak dan Sombo). Perum Perumnas telah membangun rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah sebanyak 8.344 unit. Di Sukarame Medan (400), llir Barat Palembang (3.584), Klender (1.280), Tanah Abang (960), Kebon Kacang (600), Sarijadi Bandung (864), dan Mananggal Surabaya (656). Untuk golongan menengah di Jakarta telah dibangun rumah susun di Pulo Mas dan Pluit. Lebih dari 5.000 unit rumah susun mewah telah dan sedang dibangun di Jakarta. Seperti Park Royale, Hilton Residence, Borobudur International, Palm Court, Menteng Park Apartments, Senayan Apartements, Metro Sunter, Palace View, Greenview, Mangga Dua Court, Senopati, Warung Buncit, Emerald, Bintaro Jaya, Citra Land, Pondok lndah, Park View, Sea View, Permata Hijau, Pavilion Park, dan lain-lain. Untuk mempercepat pembangunan rumah susun, semua pihak yang terkait harus berkoordinasi secara terintegrasi, menyeluruh dan terpadu. Para notaris, lawyer, developer, kontraktor, konsultan, perencana, insinyur, pakar perumahan, dan pengusaha, dituntut bekerja sama dengan baik dalam menggalakkan pembangunan rumah susun. Kawasan rumah susun yang merupakan mixed development, memanfaatkan suatu lokasi untuk berbagai kepentingan, perumahan, perkantoran, pelayanan sosial, kegiatan usaha, hiburan, kesenian, kebudayaan, olahraga, perbelanjaan, fasilitas ibadah, gedung pertemuan, dan kegiatan sosial-kemasyarakatan. Memperhatikan penegasan Presiden, maka pembangunan perumahan dan permukiman di daerah perkotaan perlu memadukan dan mengintegrasikan berbagai program pembangunan. Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat, yang dicanangkan Kepala Negara pada tanggal 16 Nopember 1992, yang merupakan upaya dalam mengubah sikap, perilaku, dan kesadaran masyarakat guna meningkatkan 131


pengetahuan, pengertian, kepedul!an dan rasa membutuhkan terhadap perumahan dan permukiman yang sehat, perlu kita barengi dengan upaya Pemasyarakatan Rumah Susun di Perkotaan. Suara Pembaruan, 31 Desember 1993 Menelusuri Pembangunan Rusun di DKI Jakarta Terbatasnya lahan di daerah perkotaan mengakibatkan pembangunan rumah vertikal (rumah susun, disingkat rusun) merupakan salah satu alternatif pembangunan perumahan di perkotaan. Di Indonesia saat ini dikenal beberapa tipe rumah susun, antara lain (a) rumah susun mewah yang penghuninya sebagian besar tenaga kerja asing, (b) rumah susun golongan menengah yang dilluni oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke atas. (c) rumah susun sederhana yagn dihuni oleh masyarakat golongan berpenghasilan menengah dan rendah, dan (d) rumah susun murah yang dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah ke bawah. Tulisan ini berusaha mengindentifikasi pembangunan rumah susun di DKI Jakarta khususnya, dengan cara menelusuri berbagai permasalahan rumah susun untuk selanjutnya diupayakan pemecahannya. Rusun di Perkotaan Sejak 1988 Perum Perumnas telah membangun 8.296 unit rumah susun di beberapa kota besar di Indonesia, yaitu di Sukarame Medan (416 unit), llir Barat Palembang (3.585 unit), Klender Jakarta Timur (1 .280 unit), Tanah Abang Jakarta Pusat (960 unit), Kebon Kacang Jakarta Pusat (536 unit), Sarijadi Bandung (864 unit), dan Mananggal Surabaya (656 unit). Di Kota Baru Bandar Kemayoran, Perum Perumnas telah membangun rumah susun sebagai elemen dari model permukiman modern kota baru. Untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke atas, telah dibangun rumah susun di Pulo Mas (596 unit) dan Pluit (480 unit). PD Pembangunan Sarana Jaya di Jakarta telah membangun rumah susun sederhanalmurah yang dikenal sebagai rumah sewa bertingkat, tersebar di Cengkareng, Karang Anyar, Tambora, Jati Rawasari, Penjaringan, Cipinang, Pondok Kelapa, Pondok Bambu, dan Tebet. Rusun mewah juga telah ada di Jakarta. REI menginformasikan bahwa di Jakarta telah ada 4000 unit satuan rumah susun mewah yang sedang dipasarkan dan 4000-5000 unit lagi sedang dibangun. Pemerintah Kotamadya Surabaya telah membangun rumah susun sewa untuk masyarakat miskin, yaitu di Sombo dan Dupak (Johan Silas, 1991 ). Model ini yang dikenal sebagai model peremajaan lingkungan permukiman kumuh, telah dikembangkan di Pulogadung dan akan dikembangkan di beberapa lokasi lainnya. Pemerintah Kotamadya Semarang juga telah mulai membangun rumah susun sederhana, yaitu di Sekayu dan Pekunden (Eko Budihardjo, 1992). Model pembangunan rumah susun sederhana dalam program peremajaan permukiman kumuh juga dilakukan di Jalan lndustri Dalam Bandung. Dari gambaran singkat ini terlihat adanya beberapa tipe rumah susun, yaitu rumah susun mewah, menengah, dan sederhana, dan pelaku pembangunan yang berbeda, yaitu swasta penuh, perusahaan daerah, dan pemerintah. Persoalan yang harus segera dijawab adalah perlu dicari model pembangunan rumah susun yang bisa dih,uni oleh berbagai kelompok penghasilan masyarakat. Permasalahan dan Analisis Rusun Banyak permasalahan dalam pembangunan rumah susun. Permasalahan yang utama adalah dana, disusul berbagai permasalahan lainnya seperti : ( 1) belum adanya standardisasi pembangunan rumah susun, (2) belum adanya keringanan penyediaan sarana dan prasarana lingkungan rumah susun (air, listrik, PBB, perijinan, dan sejenisnya), (3) belum adanya penyuluhan dan pemasyarakatan rumah susun, (4) keringanan tarif langganan air bersih, listrik dan gas, dan (5) belum tersedianya fasilitas telepon, pelayanan pos, trayek angkutan umum ke lokasi rumah susun, dan pemilihan lokasi yang strategis untuk lingkungan rumah susun. Permasalahan lain yang lebih bersifat teknis antara lain belum menyebarnya informasi pembangunan rumah susun, belum adanya pernasyarakatan rumah susun secara intensif, terbatasnya kemampuan 132


keuangan, dana, belum dimengerti status kepemilikan dan penghunian, belum jelasnya keseimbangan kewajiban dan hak, pengelolaan, pemasaran, serta belum dimengertinya Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 T ahun 1988 ten tang Rumah Susun serta Keputusan Menteri PU Nomor 60/PRT/1991 tentang pedoman petunjuk teknik pembangunan rumah susun. Pada dasarnya permasalahan rumah susun dapat dikelompokkan menjadi permasalahan kebijaksanaan, pertanahan, pendanaan, peraturan perundang-undangan, dan sosial-budaya masyarakat. Pad a tahun 1990 lahan yang tersedia di OKI Jakarta adalah 143 juta m2• Oaerah efektif hanya 60 persen atau 85 juta m2 dan luas dasar bangunan 60 persen atau 51 juta m2• Kebutuhan rumah sampai dengan tahun 2000 adalah 1,609 juta. Oengan target 4,23 jiwa per kepala keluarga dan luas rata-rata 68m2, maka kebutuhan luas bangunan adalah 1.609 juga x 68 m2, yaitu 109,4 juta m2• lni berarti kebutuhan bangunan adalah dua kali luas dasar bangunan yang tersedia. Oengan kata lain paling sedikit diperlukan bangunan bertingkat dua. Agar masih dapat menampung pertambahan penduduk yang terus meningkat, maka rumah susun berlantai 4 ke atas, sangat disarankan pembangunannya. Rumah Susun di OKI Jakarta sudah merupakan salah satu alternatif hunian kota metropolitan. Oengan demikian rumah susun yang dibangun tidak hanya disediakan untuk masyarakat berpenghasilan rendah saja, tetapi semua kelompok penghasilan masyarakat. Rumah susun mewah (condominium) yang dibangun secara mixed development yang pembayarannya dengan uang dolar telah mulai bermunculan, antara lain Park Royale, Permata Hijau, Segitiga Kuningan, Kemang, Citra Land, dan lain-lain. Untuk golongan menengah, model Pluit dan Pulo Mas akan dikembangkan di beberapa lokasi lain di Jakarta. Model Perum Perumnas di Klender, Tanah Abang, dan Kebon Kacang, telah dimodifikasi menjadi model Kemayoran. Model rumah susun sewa (rumah sewa bertingkat) yang dibangun oleh PO Pembangunan Sarana Jaya juga memerlukan modifikasi seperlunya, sehingga kesan fasilitas rumah susun yang serba minimum, bisa dihapuskan. Oalam melakukan peremajaan permukiman kumuh, di Pulo Gadung telah dicoba menerapkan model rumah susun Sombo dan Oupak (Surabaya), dengan memanfaatkan tanah milik Pemerintah Oaerah. Persyaratan teknis dan administratif pembangunan rumah susun telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988. Secara rinci lagi, persyaratan teknis yang meliputi struktur bangunan, keamanan, keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan lain-lain yang berhubungan dengan rancang bangun termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan diatur melalui Keputusan Menteri PU. Persyaratan administratif, perijinan, dan sejenisnya, diatur oleh Peraturan OKI Jakarta. Pemasyarakatan rumah susun melalui penyuluhan, pembuatan brosur, penyediaan fasilitas penerangan umum, yang merupakan upaya penyebarluasan rumah susun, belum dilakukan secara intensif dan terpadu. Lebih jauh lagi, pembudayaan hidup di rumah susun belum ada yang melakukan. Hasil penelitian di rumah susun yang dibangun Perum Perumnas di Jakarta dan Bandung serta penelitian di rumah susun sederhana PO Pembangunan Sarana Jaya di Penjaringan Jakarta Utara (Komarudin, 1991), memunculkan beberapa kesimpulan dan saran yang perlu dijawab dalam rangka pembudayaan hidup di rumah susun yaitu : (1) Keadaan rumah susun perlu disesuaikan dengan keinginan penghuni. (2) Keadaan rumah susun sangat berbeda dengan harapan penghuni. (3) Kekurangan fasilitas di rumah susun. (4) Hambatan bermukim di rumah susun. (5) Gangguan akibat kekurangan fasilitas dan keterbatasan luas satuan rumah susun. (6) Usaha penghuni mengatasi hambatan. (7) Kondisi yang menunjang di rumah susun. (8) Prospek hunian di rumah susun. (9) Status pemilikan dan penghunian di rumah susun. (1 0) Saran penghuni tentang kondisi fisik rumah susun. Prospek Rusun di DKI Pada Pembukaan Lokakarya Nasional Perumahan dan Permukiman 1992 tanggal 16 Nopember 1992, Presiden Soeharto menegaskan bahwa salah satu kendala pembangunan perumahan adalah makin sulitnya 133


mendapatkan tanah dengan harga yang terjangkau, khususnya di kota-kota besar. Kecenderungan ini akan terus berkembang di masa datang. Karena itu agar harga tanah tetap terjangkau oleh mereka yang berpenghasilan rendah dan sedang, maka pembangunan rumah susun hendaknya terus dimasyarakatkan. Presiden juga mengingatkan bahwa apabila kita gaga! menerapkan pembangunan rumah susun, maka tidak lama lagi lahan-lahan pertaman di sekitar kota besar akan berubah menjadi tempat permukiman dan harga tanah pun akan terus meningkat. DKI Jakarta sebagai kota pusat pemerintahan, perdagangan, pariwisata, dan perkantoran nasional maupun internasional, memerlukan fasilitas perkotaan modern. Salah satu fasilitas tersebut adalah permukiman rumah susun di dalam suatu lokasi dengan pola mixed development. Di dalam lokasi ini segala fasilitas perumahan dan permukiman tersedia, antara lain rumah susun dan satuan rumah susun, fasilitas parkir, pertokoan, perkantoran, gedung perternuan umum, tempat hiburan, fasilitas olahraga dan rekreasi, serta jaringan transportasi. Rumah Susun sudah merupakan alternatif permukiman masa depan di DKI Jakarta. Pola ini dikembangkan tidak hanya di pusat kota saja, tetapi dibangun di setiap lokasi permukiman mewah dan menengah, tersebar di Jakarta Barat dan Jakarta Timur, sebagian di Jakarta Selatan dan Jakarta Utara. Di Jakarta Pusat, mengingat sangat terbatasnya lahan, maka pembangunannya dilakukan seefisien dan seefektif mungkin. Prospek rumah susun di DKI Jakarta cerah. lni dapat ditunjukkan dengan kecenderungan sebagai berikut : (a) Jumlah penduduk yang meningkat pesat mengakibatkan kebutuhan perumahan tiap tahun makin tinggi; (b) Kebutuhan rumah per tahun mencapai 64.500 unit, sedangkan penyediaan tidak lebih dari 10 persen; (c) Tenaga karja asing yang berdomisili di DKI Jakarta, banyak yang membutuhkan tempat hunian di pusat kota.; (d) Mobilitas penduduk yang tinggi membutuhkan tempat hunian berupa rumah susun yang lokasinya di pusat kota.; (e) Tingkat penghunian di rumah susun PO Pembangunan Sarana Jaya tinggi dan masih banyak keluarga yang belum tertampung masuk ke lingkungan rumah susun. Pembangunan rumah susun mewah dan menengah diserahkan sepenuhnya kepada swasta. Pemerintah menciptakan iklim usaha yang menunjang dan berbagai kemudahan dalam memperlancar proses pembangunan. Pemerintah memprioritaskan pembangunan rumah susun murah. lni telah dilakukan melalui Keputusan Gubernur DKI Jakarta yang mewajibkan pemegang SP3L untuk membangun 20% lokasi pembangunannya untuk rumah susun. Tiga surat keputusan saling terkait, yaitu : 1. Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 540 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan (SP3L) atas Bidang Tanah untuk Pembangunan Fisik Kota di DKI Jakarta. 2. Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 354 Tahun 1992 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pembangunan Rumah Susun Sederhana/Murah Bagi Pemegang SP3L di Wilayah DKI Jakarta. 3. Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 640 Tahun 1992 tentang Ketentuan Terhadap Pembebasan Lokasi/Lahan Tanpa ljin dari Gubernur KDKI Jakarta. Sejalan dengan itu, Gubernur telah memerintahkan Kepala Dinas Perumahan DKI Jakarta (lnsgub Nomor 281 Tahun 1992) perihal Pelaksanaan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 354 Tahun 1992 tanggal 29 Februari 1992 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pembangunan Rumah Susun Sederhana Murah Bagi Pemegang Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan (SP3L) di Wilayah DKI Jakarta. Dalam usaha mempercepat pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, melalui Surat Keputusan ini gubernur menginstruksikan Kepala Din as Perumahan DKI Jakarta untuk (1) segera melaksanakan Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 354 Tahun 1992, dan (2) instansi terkait agar membantu pelaksanaan instruksi ini. Surat Keputusan Gubernur ini merupakan bukti besarnya perhatian terhadap pembangunan rumah susun sederhana/murah yang disediakan untuk masyarakat berpenghasilan rendah di DKI Jakarta. Kesimpulan dan Saran 1. Memasyarakatkan rumah susun adalah usaha menjadikan masyarakat mau dan suka tinggal di 134


rumah susun. Memasyarakatkan rumah susun dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan kepada mereka yang sudah tinggal di rumah susun, yang akan tinggal di rumah susun, dan kepada masyarakat luas. 2. Penyuluhan rumah susun dimaksudkan untuk mengubah pandangan dan sikap masyarakat dan aparat pemerintah terhadap keberadaan rumah susun dan kehidupan di rumah susun. Masyarakat perlu diyakinkan tentang berbagai keuntungan tinggal di rumah susun, misalnya tidak perlu memelihara pekarangan yang luas, hidup dalam lingkungan yang bersih dan sehat, ada taman lingkungan, tersedia berbagai fasilitas modern perkotaan, dan menuju pada kehidupan produktif. 3. Merumahsusunkan masyarakat merupakan upaya membangun rumah susun secara besar-besaran. Merumahsusunkan masyarakat adalah menyediakan rumah susun sebanyak-banyaknya dan mengimbau masyarakat untuk tinggal di rumah susun. 4. Program memasyarakatkan rumah susun dan merumahsusunkan masyarakat perlu dilakukan bersamaan, agar pola hidup masyarakat perkotaan cepat berubah ke arah terciptanya lingkungan rumah susun yang beraneka ragam bentuknya: mulai dari rumah susun sewa sederhana, rumah susun sederhana, rumah susun murah, rumah susun golongan menengah, rumah susun golongan kaya, dan rumah susun mewah serta rumah susun untuk orang asing (condominium). 5. Program memasyarakatkan rumah susun dan merumahsusunkan masyarakat perlu dilaksanakan melalui koordinasi secara komprehensif, terarah dan terpadu di antara berbagai instansi Pemerintah dan Swasta, antara lain Kantor Menpera, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Dalam Negeri, Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, Badan Pertanahan Nasional, Perum Perumnas, Departemen Penerangan, Real Estate Indonesia, Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Perguruan Tinggi Lembaga Penelitian Swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan berbagai Lembaga Sosial dan Kemasyarakatan. Jayakarta, 3- 4 September 1993 Bagaimana Tinggal Di Rumah Susun Penduduk Kota Jakarta terus berkembang walaupun ada upaya menahan. Migrasi desa-kota terus berlangsung walaupun telah ada Program Gerakan Kembali Ke Desa, Teknologi Masuk Desa, lndustrialisasi Perdesaan, Pemasyarakatan dan Pemanfaatan Teknologi Tepat Guna di Perdesaan. Bahkan Pemerintah segera meluncurkan program Gerakan Nasional Desa Cerdas Teknologi yang merupakan salah satu kegiatan dalam meningkatkan kemampuan dan keterampilan pengusaha kecil di perdesaan, sebagai bagian dari upaya mengentaskan kemiskinan dan mengatasi kesenjangan ekonomi (struktural, sektoral, dan spasial). Terbatasnya lahan di kota Jakarta dan sangat mahalnya harga tanah di ibukota, mengakibatkan rumah susun merupakan alternatif yang perlu diprioritaskan dalam mengatasi masalah perumahan bagi warga kota metropolitan Jakarta. Biaya pembangunan rumah susun memang mahal, tetapi dengan kepadatan penduduk yang tinggi di tanah rumah susun yang tidak terlalu luas, maka sudah saatnya dilakukan kegiatan pemasyarakatan dan penyebarluasan informasi rumah susun, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah di kota Jakarta, khususnya dalam konteks meremajakan lingkungan permukiman kumuh menjadi rumah susun. Tinggal di Rumah Susun Rumah, semula dikenal sebagai sangkar, kemudian berkembang menjadi tempat menyelenggarakan kehidupan, dan bangunannya berkembang dari tunggal ke susun. Lingkungan perumahan dan permukiman (Lawton, 1970) ditandai oleh lima komponen, yaitu individu, lingkungan fisik, lingkungan personal, lingkungan supra-personal, dan lingkungan sosial, dapat dijabarkan dalam hubungan B = f(P.E), di mana B (behavior), P 135


(person), dan E (environment). Dampak rumah terhadap penl&ku oenghuni, d1pengaruhi oleh faktor ruang (space), waktu (time), kegiatan (activity), dan kedudukan (status dan posisi), peranan (role), dan perilaku (behavior). Kegiatan manusia apa saja yang terjadi di lingkungan rumah susun, akan mempengaruhi perilaku setiap penghuni, karena kedekatan antar penghuni rumah susun. Rumah Susun masih dirasakan sebagai suatu bentuk budaya hunian yang tergolong baru. Rumah Susun yang terdiri atas beberapa lantai hunian, merupakan bentuk perubahan hidup yang biasa melekat dengan tanah, bercocok tanam, berubah ke hunian yang tidak memiliki tanah untuk ditanami. Davis mengungkapkan bahwa salah satu faktor stress penghuni di rumah susun adalah kepadatan penghunian, sedangkan Mumfcrd menyimpulkan, tingkat gangguan suara (gaduh, ribut) yang dialami individu, mengakibatkan stress. Di samping itu, faktor kepuasan tinggal di rumah susun, akan menentukan nyaman tidaknya tinggal di rumah susun. Kepuasan, terkait dengan fasilitas di rumah susun, nilai jual sarusun, status pemilikan, kedekatan dengan tetangga, ukuran sarusun, ruang bagi perorangan, dan penggunaan ruang yang sempit untuk kehidupan keluarga. Tayback mengklasifikasikan penyebab ketidaknyamanan tinggal di rumah susun, yaitu padatnya penghuni, tidak sesuainya dapur (sempit), kurang baiknya instalasi listrik, kurangnya pencahayaan dan penerangan, tidak stabilnya tangga, tidak kokohnya bangunan, dan tidak tersedianya tempat bermain anak. Tinggal di rumah susun membutuhkan penyesuaian diri. Penyesuaian diri, dapat dilihat sebagai adjustment (penyesuaian dengan tuntutan lingkungan) atau adaptatipn (adjustment yang efektif). Tingkah laku penghuni, mengaitkan manusia dengan lingkungannya yang terdiri dari aspek-aspek fisik alamiah, sosial-ekonomi, sosial-budaya, iptek, dan agama. Maslow mencatat faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia. Internal, meliputi lima kebutuhan manusia (kebutuhan fisik, akan rasa aman, cinta, akan penghargaan diri, dan akan aktualisasi diri) dan motivasi. Eksternal terdiri atas latar belakang kebudayaan seseorang dan latar belakang pendidikan. Berbagai kegiatan di rumah susun, seperti gotong royong, kebersamaan, kepedulian, olah raga, penataan lingkungan, pesta, rekreasi, penanganan musibah dan kematian, arisan, kegiatan keagamaan, peringatan nasional, dan siskamling, akan menumbuhkan dan mempercepat hubungan antar penghuni. Ketersediaan ruang tamu, ruang tidur, ruang belajar, ruang kerja, ruang keluarga, dapur, kamar mandi, tangga, listrik, air bersih, gas, serambi/selasar, akan mewujudkan kenyamanan penghunian. Fasilitas umum di rumah susun, tempat bermain, warung (Waserda), TK dan SO, taman, fasilitas olah raga, balai pertemuan, tempat ibadah, tempat penampungan sampah, drainasi/saluran limbah, sangat diperlukan penghuni. Pemasyarakatan Rusun Puslitbang Permukiman pada Balitbang Pekerjaan Umum, telah sejak lama berupaya memasyarakatkan rumah susun, di samping memasyarakatkan pembangunan perumahan bertumpu pada masyarakat, pembangunan rumah sederhana dan sangat sederhana, pembangunan rumah tahan gempa, dan rumah sehat. Pembangunan rumah susun di Indonesia telah dimulai sekitar duapuluh tahun yang lalu dan pada awalnya terbatas pada pembangunan Rumah Dinas. Saat ini rumah susun telah banyak dibangun di kotakota besar, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, dan Ujung Pandang. Pembangunan rumah susun dilaksanakan untuk meremajakan kota yang sudah tidak manusiawi (kumuh, kotor) dan mengefisienkan penggunaan lahan di pusat kota. Agar dapat meningkatkan minat masyarakat untuk tinggal di rumah susun, maka pembangunan rumah susun harus dibarengi dengan kegiatan pemasyarakatan, penyebarluasan, dan pembudayaan hidup di rumah susun. Menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 1984 tentang Rumah Susun, yang dimaksud dengan rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horisontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara tepisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Contoh bagian bersama, yaitu ruang masuk, selasar, atap, pipa air kotor dan limbah, pipa air hujan, pondasi, kolom, dinding, dan lantai. Benda Bersama di rumah susun berupa taman, tempat parkir, tempat bermain, jalan kendaraari, saluran air hujan, dan saluran air kotor. Tanah Bersama adalah sebidang tanah 136


tempat berdirinya bangunan rumah susun. Satuan Rumah Susun adalah luas unit rumah susun yang dihuni, sebagai contoh, Tipe 21, Tipe 36, Tipe 54 dan lain-lain. Untuk memudahkan kelancaran mengurus warga atau penghuni rumah susun, maka dibentuk Ketua RT dan Ketua RW, di samping dibentuk kelompok PKK, grup Olah Raga, kelompok pengajian, arisan, dan lain-lain. Yang menjadi pertanyaan adalah, apa dan bagaimana hubungan Ketua RT dan Ketua RW dengan Badan Pengelola Rumah Susun dan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS), yang diamanatkan Undang-Undang tentang Rumah Susun. Semua penghuni rumah susun diwajibkan menjadi anggota Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS), PPRS mengatur tata tertib penghunian serta mengatur pemeliharaan dan perbaikan lingkungan, dan PPRS berbentuk Badan Hukum mempunyai AD dan ART. Diperlukan saling pengertian antar warga penghuni rumah susun. Tinggal dii rumah susun sangat berbeda dengan tinggal di perumahan biasa, karena kebebasannya terbatas, hidup tidak dapat seenaknya. Sebagai contoh, duduk di luar satuan rumah susun (sarusun) atau di lorong dan halaman, menjemur pakaian di luar sarusun, bercakap-capkap dengan tetangga, menyanyi, bercocok tanam di lantai dasar, berkebun, memelihara binatang dan lain-lain. Untuk membina hubungan yang harmonis, diperlukan saling pengertian antar penghuni. Sebaiknya penghuni menghindari penggunaan alat musik bersuara keras, tidak membuat gaduh dan berisik serta tidak mengganggu kenyamanan tetangga. Hindari berbicara keras atau berteriak. Hindari duduk-duduk di tangga, karena dapat mengganggu atau menghalangi orang lewat. Tidak dibenarkan memelihara kucing, anjing, dan sejenisnya, karena dapat mengganggu tetangga. Nasehatilah anak-anak agar jangan bermain seenaknya dan berisik di lorong atau halaman. Jika menyetel radio atau televisi, suaranya jangan terlalu keras dan upayakan suaranya kecil atau secukupnya. Harus dihindari memasak masakan yang baunya menyengat. Hati-hati memindahkan perabotan rumahtangga, sebaiknya tidak membuat getaran keras yang dapat mengganggu penghuni di lantai bawah, kanan atau kiri. Hindari tumbukan di tembok dan pukulan di tembok yang mengakibatkan getaran pada lantai dan dinding bangunan. Setiap penghuni rumah susun harus menjaga kebersihan lingkungan. Untuk menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan permukiman rumah susun, sebaiknya tidak membuang sampah sembarang sehingga berserakan, berbau busuk atau dikerumuni lalat. Sampah sebaiknya dimasukkan ke dalam kantong-kantong plastik, pisahkan sampah organik dan anorganik atau sampah basah dan kering, kemudian buanglah masingmasing sampah tersebut ke tempat yang telah disediakan. Tidak dibenarkan membuang sampah dari ruangan sarusun di atas atau dari jendela, dilarang meludah dari atas, apalagi buang air kecil (kencing) dari jendela. Di depan pintu, sebaiknya disediakan tempat sampah. Sampah tidak boleh disapu melalui tangga. Tegurlah anak-anak yang mengotori dan mencoret-coret dinding bangunan. Tidak diperkenankan menaruh benda atau perabot rumah yang sudah rusak atau kotor di teras rumah, lebih baik dibuang agar lingkungan tidak kotor. Tidak diizinkan menjemur atau menggantung pakaian atau barang lain di jendela, agar tidak terkesan kumuh dan kotor. Rawatlah rumah dan kamar mandi agar jangan bocor ke lantai bawah, dan agar tetangga tidak terganggu. Penghuni berkewajiban menjaga dan memelihara taman lingkungan. Tam an sebagai sarana penghijauan berfungsi sebagai penyedia udara bersih, serta membuat lingkungan sejuk dan nyaman. Peliharalah taman dengan baik, tanamannya harus disiram terus menerus secara teratur, taman jangan digunakan untuk tanaman pribadi, karena taman adalah milik bersama dan jagalah taman jangan sampai ada yang merusak. Taman harus dipelihara secara gotong royong. Hindari menjemur cucian di pagar halaman, sebab akan mengganggu pemandangan sehingga lingkungan tidak terkesan kotor dan kumuh. Untuk menghijaukan lingkungan dianjurkan agar penghuni memelihara tanaman dalam pot asalkan tidak mengganggu tetangga. Kendaraan bermotor roda empat (sedan dan lain-lain) harus diparkir di tempat yang telah disediakan, agar tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Penghuni berkewajiban menjaga keamanan dan keselamatan. Bencana sering terjadi secara mendadak, antara lain gempa, kebakaran dan lain-lain. Untuk menumbuhkan rasa aman kepada penghuni, diperlukan informasi tentang cara-cara penanggulangan. Antara lain, anjuran agar jika terjadi gempa, penghuni tidak panik, matikan listrik dan gas. Kemudian menghindar ke tempat yang dianggap aman, yaitu di bawah meja, tempat tidur, atau ke tempat terbuka. Jika keadaan sudah aman, cepat lari ke luar. Demi keamanan dan keselamatan penghuni, sebaiknya 137


jendela dan pintu menggunakan teralis pengaman. Penghuni dilarang melempar atau membuang benda dari jendela langsung ke bawah, karena mengganggu penghuni di bawahnya. Untuk menghindari terjadinya kebakaran dan demi keselamatan bersama, perlu diperhatikan saransaran berikut. Hindari penggunaan bahan listrik terlalu banyak pada satu stop kontak. Jangan menyimpan bahan-bahan kimia yang membahayakan. Jangan membuang puntung rokok yang masih menyala di sebarang tempat dan nasehatilah anak-anak agar tidak bermain api. Rawatlah tangga darurat secara rutin, agar tidak terganggu penggunaannya saat terjadi kebakaran. Penghuni harus menyesuaikan dirinya agar berperilaku mengutamakan kebersamaan, kepedulian, dan kepentingan bersama. Perilaku penghuni yang tidak bijaksana akan menimbulkan kesan negatif terhadap lingkungan hunian rumah susun secara keseluruhan. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, penghuni rumah susun tidak dibenarkan melakukan perbuatan asusila, berbuat maksiat, berjudi, dan mabukmabukan. Berjualan minuman keras dan obat-obat terlarang, dilarang di rumah susun. Pertemuan di rumah susun harus menggunakan ruang serbaguna yang telah disediakan dan dilarang memanfaatkan ruang serbaguna untuk tujuan kriminal atau politik yang membahayakan negara. Jika ingin mengubah atau memperbaiki ruangan, harus melaporkan kepada PPRS dan meminta persetujuan tetangga terdekat. Kekhususan hunian di rumah susun adalah pada kepemilikan bersama, yang memberikan konsekuensi untuk mematuhi ketentuan yang sudah ditetapkan. Penghuni tidak diizinkan menambah bangunan di teras rumah, sehingga mengganggu lalulintas penghuni lain. Tangga adalah fasilitas untuk kepentingan umum, milik bersama, karena itu harus dibersihkan dan dipelihara bersama-sama, jangan sampai kotor atau terkesan tidak diurus. Lorong, gang atau koridor dalam bangunan rumah susun di luar sarusun masing-masing, harus bebas dari penyimpanan berbagai barang, sehingga setiap penghuni dapat berjalan dan bergerak leluasa dari satu tempat ke tempat lain. Fasilitas umum di rumah susun seperti musholla, ruang serbaguna, pos satpam, tempat parkir, gandu listrik, dan lain-lain, harus dipelihara dan diamankan terhadap berbagai gangguan kepentingan umum. Butir-butir yang dibahas di atas, dapat dirangkum dan dirumuskan menjadi masukan untuk penyusunan pedoman teknis atau petunjuk pelaksanaan pemasyarakatan rumah susun, disertai butir-butir yang terkandung dalam perundang-undangan rumah susun (Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri dan lnstruksi Menteri, Keputusan Gubernur dan Peraturan Daerah). Tempat tinggal warga Jakarta pada perdagangan bebas ASEAN tahun 2003 dan seterusnya adalah rumah susun berbagai jenis dan tipe. Menyongsong era rumah susun ini, perlu diintensifkan kegiatan pemasyarakatan dan pembudayaan rumah susun, bagi semua kelompok masyarakat (penghuni lingkungan permukiman kumuh, pelajar, masyarakat umum, pegawai negeri, pegawai swasta, khususnya yang berpenghasilan rendah). Tidak mustahil, jika pemasyarakatan rumah susun ini ditingkatkan menjadi Gerakan Nasional Pemasyarakatan Rumah Susun, seperti juga Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat, Gerakan Nasional Orang Tua Asuh, Gerakan Nasional Pemasyarakatan Kewirausahaan, dan lain-lain. Angkatan Bersenjata, 29 Agustus 1997 Sulit, Membangun Dan Memasyarakatkan Rumah Susun Sejak 1988 Perum Perumnas telah membangun 8.296 unit rumah di beberapa kota besar di Indonesia, yaitu di Sukarame Medan (416 unit), llir Barat Palembang (3.585 unit), Klender Jakarta Timur (1 .280 unit), Tanah Abang Jakarta Pusat (960 unit), Kebon Kacang Jakarta Pusat (536 unit), Sarijadi Bandung (864 unit), dan Mananggal Surabaya (656 unit). Di Kota Baru Bandar Kemayoran, Perum Perumnas telah membangun rumah susun (rusun) sebagai elemen dari model permukiman modern kota baru. Golongan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas, dapat menikmati rusun di Pulo Mas (596 unit) dan Pluit (480 unit). 138


Rusun mewah (kondominium) di Jakarta diperkirakan telah mencapai 10.000 unit. Pemerintah DT II Kotamadya Semarang membangun rusun di Sekayu dan Pekunden dan Pemerintah DT II Kotamadya Surabaya membangun rusun di Dupak, Sombo, dan Mananggal. PD Pembangunan Sarana Jaya telah membangun rusun sederhana sewa murah yang tersebar di lima wilayah kota Jakarta. Termasuk rusun yang dibangun Perum Perumnas (di luar rusun mewah), di Jakarta tercatat ada 8.734 unit, yaitu di Jakarta Pusat (3.564): Kebon Kacang (536), Tanah Abang (960), Kemayoran (832), Rawasari (152), Karang Anyar (360), Benhil (296), dan Tanah Tinggi (428), Jakarta Utara [1.862]: Penjaringan (1.382) dan Pluit (480) Jakarta Barat [849]: Tambora Angke (240), Tambora I & II (489), dan Cengkareng (120), Jakarta Timur [2.395]: Pulo Mas (592), Pondok Bambu (125), Cipinang Besar (152), Pondok Kelapa (150), Pulo Gadung (160), dan Klender (1.216), dan Jakarta Selatan [64]: Rawa Bilal (64). Pada tahun 1994-1995 dibangun 2.687 unit, yaitu di Jakarta Pusat [1.039]: Benhil ex kebakaran (634), Karet Tengsin (365), dan Jati Sunder (40), Jakarta Utara [192]: Penjaringan (192), Jakarta Barat [480]: BuJak Wadon (480), Jakarta Timur [688]: Bindara Cina (688), dan Jakarta Selatan [288]: Tebet Barat (288). Sampai dengan tahun 2000, Pemerintah DKI Jakarta mentargetkan pembangunan rusun sederhana sebanyak 27.568 unit, yang terdiri atas rusun di Jakarta Pusat [6.880]: Karet Tengsin (1.180), Benhil lanjutan ( 1.200), Jati Sunder (520), Tanah Tinggi (780), Mangga Dua Selatan (540), Karang Anyar (460), Kampung Rawa (340), Kwitang (320), Paseban (360), Petaburan (660), Utan Panjang (220), dan Menteng Sukabumi (3000), Jakarta Utara [10.120]: Cilincing (5000), Kapuk (1200), Pluit (120), Lagoa (800), Semper Barat (880), Papanggo (1 080), Sukapura (160), Tugu Utara (80), dan Sungai Bambu (800), Jakarta Barat [4.120]: Jati Pulo (320), Kota Bambu (640), Kali Anyar (560), Duri Utara (80), dan masing-masign 360 di Jembatan Besi, Angke, Pekojan, Meruya Selatan, Cideng Barat, Krukut, dan Maphar, di Jakarta Timur [4912]: Rawa Bunga (1800), Bidara Cina (1752), Cipinang Besar (600), Cillitan (120), Klender (320), Pondok Bambu (80), dan Pisangan Baru (240), dan di Jakarta Selatan [1.536]: Pela Mampang (1100), Mampang Prapatan (340), dan Tebet Barat (96). Pembangunan rusun ini dimaksudkan untuk menata dan meremajakan lingkungan permukiman kumuh yang tersebar di Pisangan Baru, Pondok Bambu, Rawa Bunga, dan Bidaracina (Jakarta Timur), Pela Mampang, Mampang Prapatan, dan Tebet Barat (Jakarta Selatan), Angke Tambora, Duri Utara, Kali Anyar, Pekojan, Jembatan Besi, Meruya Selatan, dan Cengkareng Barat (Jakarta Barat), Cilincing, Sukapura, Tugu Utara, Papanggo, Lagoa, dan Semper (Jakarta Utara), Karet Tengsin, Jati Sunder, Bendungan Hilir, dan Tanah Tinggi (Jakarta Pusat). Angka di atas dalam ribuan masih sangat kecil dibandingkan kebutuhan rumah di Jakarta sebanyak 70.000 unit/tahun. Persoalan yang harus dijawab adalah model pembangunan rusun yang bisa dihuni oleh berbagai kelompok penghasilan masyarakat dan pelaksanaan pemasyarakatan dan penyuluhan rusun secara terpadu, agar minat masyarakat untuk tinggal di rusun makin besar. Anal isis Mengapa rumah susun diperlukan di kota metropolitan Jakarta? Suyono (Asisten Menpera, 1994) menegaskan bahwa dengan jumlah penduduk besar dan pertumbuhan penduduk tinggi mengakibatkan makin besarnya pertambahan penduduk besar, kebutuhan rumah baru, dan kebutuhan tanah. Akibatnya kota tumbuh melebar dan konversi tanah pertanian ke non-pertanian juga makin besar. Akibat dari keterbatasan lahan perkotaan, biaya tinggi (prasarana kota, utilitas kota, pelayanan kota), kehilangan waktu lama dalam membangun rumah tunggal/biasa, dan lokasi makin melebar, maka rumah susun menjadi pilihan utama hunian di kota metropolitan. Akibat biaya pembangunan tinggi dan kemampuan ekonomi masyarakat perkotaan aneka ragam, maka perlu dibangun rumah susun berbagai jenis dan tipe, yaitu rusun mewah, untuk kelas menengah atas, kelas menengah bawah, dan rusun sederhana baik sewa-beli atau sewa. Rusun mewah dan menengah dibangun oleh Swasta dan rusun sederhana dibangun oleh Pemda BUMN/BUMD, dan melibatkan peranserta aktif masyarakat. Pentingnya rusun di kota metropolitan Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, telah ditegaskan oleh Presiden Soeharto pada saat membuka Lokakarya Nasional Perumahan dan Permukiman 139


1992 tanggal 16 Nopember 1992 di lstana Negara. Bapak Presiden menegaskan, "Dewasa ini masyarakat kita memang belum terbiasa tinggal di rumah susun. Biaya pembangunan rumah susun pun relatif masih lebih mahal daripada pembangunan rumah biasa. Namun sudah saatnya kita mulai membangun dan menggunakan rumah-rumah susun, baik yang sederhana maupun yang lebih mahal. Sebab, jika tidak segera kita mulai dari sekarang juga, masyarakat kita tidak akan terbiasa tinggal di rumah-sumah susun". "Yang juga tidak kalah pentingnya adalah menekan biaya pembangunannya. Pembangunan rumah susun hendaknya dipadukan pula dengan usaha memperbaiki kualitas perumahan yang ada serta lingkungan, terutama di daerah kumuh yang berada di sekitar pusat-pusat kegiatan di kota-kota besar. Apabila kita gagal memasyarakatkan rumah susun, maka tidak lama lagi lahan-lahan pertanian di sekitar kota-kota akan berubah menjadi tempat permukiman. Harga tanah pun akan terus meningkat". Empat faktor utama harus diperhatikan dalam membangun perumahan termasuk rumah susun, yaitu kebijaksanaan umum dan khusus, pertanahan, pembiayaan, serta kelembagaan dan peraturan perundangundangan. Di samping itu, beberapa aspek perlu diperhatikan dalam membangun rumah susun, yaitu aspek hukum dan kepemilikan, pemasaran, perlindungan kosumen, dan keuangan. Undang-undang 16/1985 dan Peraturan Pemerintah 4/1988 tentang Rumah Susun merupakan acuan dasar dalam membangun rusun. lnpres 5/1990 merupakan acuan dalam meremajakan lingkungan kumuh yang berada di atas tanah negara dengan membangun rumah susun. Aspek teknis mengacu pad a Peraturan Menteri PU Nomor 60/PRT /1990, Kepmenpera, Kepmenagraria/Kepala BPN, Perda, dan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis. Aspek pemasaran menyangkut kemampuan membeli berbagai kelompok masyarakat (berpenghasilan rendah, sedang, menengah, dan tinggi). Prinsip subsidi silang harus diperhatikan dalam membangun rumah susun mewah dan rumah susun sederhana. Pelaksanaannya di lapangan mengacu pada Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 540 Tahun 1990. Bisnis rusun berisiko tinggi dan waktu pengembalian yang panjang. Survai Pasar penting dilakukan untuk melihat kebutuhan akan rusun pada berbagai kelompok penghasilan. Perlindungan kosumen rusun perlu diupayakan, mulai tahap penawaran sampai dengan transaksi rusun dan penghunian, meliputi hak-hak memperoleh keamanan dan keselamatan, informasi, hak untuk didengar, hak memilih, dan hak mendapat lingkungan permukiman yang sehat. Dari sisi keuangan, perlu diperhatikan aspek keterjangkauan (affordability), kenyamanan (convenience to work and leisure acivities), keamanan (home and personal security), dan kualitas hidup (quality of life). Pembangunan rusun di kota besar sudah merupakan pilihan yang tidak bisa ditolak kehadirannya. Aspek pengelolaan rusun disorot dari dua sisi, yaitu pemerintah dan swasta pengusaha rusun. Pemerintah DKI Jakarta telah mengintegrasikan pembangunan rusun hunian dan non-hunian untuk perkantoran dan perdagangan, yaitu rumah sewa bertingkat (ruseb), rumah toko (ruko), dan rumah kantor (rukan), dan maisonette. Dalam konteks pengelolaan rumah susun, perlu diperhatikan hubungan fungsional antara Badan Pengelola dengan Perhimpunan Penghuni. Lingkup pengelolaan meliputi penghasilan penghuni, teknologi konstruksi, status sosial, jenis pekerjaan, iuran penghuni, penerapan teknologi (lift, alat komunikasi), pengoperasian penggunaan dan pemeliharaan benda bersama, bagian bersama, dan tanah bersama, pencegahan kebakaran, keamanan, kebersihan, keuangan, dan administrasi. Pembangunan rusun di kota Jakarta masih sulit dilakukan, penyebabnya antara lain harga tanah yang mahal, sulit memperoleh tanah, belum terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah, subsidi silang masih sulit dilaksanakan, pemasyarakatan dan penyuluhnan rumah susun belum efektif, dan minat masyarakat untuk tinggal di rumah susun masih rendah. Namun dengan ditetapkannya Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 540 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan (SP3L) Atas Bidang Tanah Untuk Pembangunan Fisik Kota di DKI Jakarta, diharapkan pembangunan rumah susun dapat dipacu. Salah satu ketetapan dari Kepgub ini adalah sebagai berikut: "Terhadap lokasi/lahan yang dimohon dengan kondisi lapangan dan atau rencana kota peruntukannya adalah perumahan yang luasnya 5.000 M2 atau lebih, kepada pemohon diwajibkan membiayai dan membangun rumah susun murah beserta fasilitasnya seluas 20% dari areal manfaat secara komersial, dan atau ketentuan lainnya yang ditetapkan Gubernur KDKI Jakarta. Pembangunan rumah susun murah dimaksud, lokasi dan persyaratan penjualannya ditetapkan kemudian oleh Gubernur KDKI Jakarta". 140


Perlu dipacu Pengalaman menunjukkan, dijumpai banyak hambatan dalam membangun rumah susun. Contoh aktual, akibat ganti rugi macet, maka Warga Karet Tengsin kecewa (Jayakarta, 31 Juli 1997). Sebagian besar korban kebakaran RW 07 Kelurahan Karet Tengsin, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, kecewa. Pasalnya, Pemerintah DKI Jakarta hingga kini belum membayar ganti rugi atas tanah dan bangunan, yang rencananya dijadikan rusun. Walaupun pelaksanaan pembayaran ganti rugi dijanjikan sebelum Pemilu 1997, sampai sekarang ganti rugi belum diterima warga. Walaupun banyak hambatan, Pemerintah DKI Jakarta terus berusaha sekuat tenaga membangun rumah susun khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (sebagian besar dibangun oleh PD Pembagunan Sarana Jaya). Tiap tahun Pemerintah Daerah bersama BUMN/BUMD ditargetkan membangun 3.150 unit rusun sederhana dan 7.450 unit dibangun oleh Swasta dan berbagai pihak, sedangkan 10.500 unit rusun murah dibangun sepenuhnya oleh Swasta (Dinas Perumahan DKI Jakarta, 1994). Angka 21.000 unit ini menunjukkan 30% dari 70.000 unit per tahun, kebutuhan rumah penduduk DKI Jakarta, dan 70% dari 70.000 unit atau 49.000 unit adalah rumah biasa (bukan rusun). Pemasyarakatan rusun pada dasarnya berisi informasi berbagai hal yang terkait dengan pengertian rusun, perencanaan, pembangunan, penghunian, dan pengelolaan rusun, situasi dan kondisi rusun, sikap hidup dan perilaku penghuni rusun, kebijaksanaan pembangunan rusun, perundang-undangan dan kelembagaan rusun, kewajiban dan hak atas satuan rumah susun, benda bersama, bagian bersama, dan tanah bersama, pertanahan, pembiayaan, proses perubahan kehidupan keluarga dari tinggal di permukiman kumuh atau permukiman tidak teratur ke rusun, dan budaya masyarakat rusun. Butir-butir penting pemasyarakatan rusun di kota metropolitan Jakarta adalah sebagai berikut. Pertama, beberapa pengertian yang terkait dengan rusun, yaitu Rumah Susun, Benda Bersama, Bagian Bersama, Tanah Bersama, Permukiman Kumuh dan lain-lain. Kedua, penyelenggara pembangunan rusun, yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN/BUMD, dan Swasta. Ketiga, bahan pemasyarakatan, yaitu UU, PP, Kepmen/lnmen, Perda, Kepgub, lngub, Kepbup/Kepwlkt, Kebijaksanaan Rusun, Peremajaan Permukiman Kumuh. Keempat, proses peremajaan permukiman kumuh, yaitu Rumah Sehat, Pendaftaran, Penentuan Lokasi, Ganti Rugi, Penyuluhan, Penghunian, dan Pengelolaan. Kelima, lokasi, antara lain Rencana Peruntukan, Permukiman Kumuh dan Liar, Penataan dan Peremajaan. Keenam, lahan, yaitu penetapan lahan harus dilakukan 2 tahun sebelum pembangunan dan terencana dengan baik, sesuai RUTR dan RBWK, kepadatan tinggi, eks kebakaran, membangun tanpa menggusur, memprioritaskan penghuni yang lahannya digunakan rusun, dan tidak dalam keadaan sengketa atau jelas status pemilikannya. Ketujuh, perencanaan fisik, antara lain Tipe 18, Tipe 21, Tipe 36, Lantai 4 sampai 8, lift, tangga, tempat parkir dan pemanfaatan bersama lantai dasar. Kedelapan, pembangunan rusun, mengacu pada SK Gub. No. 501/1989, pembangunan cepat-murah, koordinasi modular dalam pembangunan rusun. Kesembilan, fasilitas dalam gedung (air bersih, listrik, gas, tempat bermain anak, fasilitas mekanikal dan elektrikal, kamar mandi dan dapur), dan luar gedung (masjid, gardu listrik, taman, ruang serbaguna, dan telepon umum). Kesepu/uh, perijinan, meliputi Surat ljin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPT), Rencana Kota, 1MB, ljin Membangun Prasarana Kota, ljin Layak Huni, ljin Penggunaan Bangunan. Kesebelas, penyuluhan, adalah upaya menyamakan persepsi tentang rusun, meningkatkan minat tinggal di rusun, upaya pemasyarakatan sistematis, serius dan kontinu, koordinasi terarah dan terpadu. Penyuluhan melalui media elektronika, media cetak, panel, bilboard, plakat, tatap muka, sarasehan (memanfaatkan tokoh masyarakat dan artis), jalur agama, ormas, seniman, hiburan, film, sinetron, jalur pendidikan. Keduabelas, pembinaan masyarakat didahului penyiapan masyarakat untuk membina kesiapan calon penghuni rusun (aspek sosial, budaya, dan ekonomi), budaya tinggal di rusun, dan cinta rusun. Pembinaan masyarakat menyangkut pembinaan jiwa-raga, sosial, budaya, perilaku, untuk mengubah kebiasaan tinggal di rumah biasa ke rusun (pembinaan perilaku, menjakartakan penghuni rusun, pelatihan, kebersamaan dan gotong royong, kepedulian), pembinaan untuk meningkatkan pendapatan (pelatihan, kursus, kredit skala 141


kecil, pola bapak angkat, waserda, kursus keterampilan), pengaturan, bimbingan, dan bantuan kemudahan. Ketigabelas, penghunian, memperhatikan kelompok sasaran (belum memperoleh rumah dinas, belum memiliki rumah, berpenghasilan tetap, berpenghasilan rendah), sewa-beli atau sewa, perhimpunan penghuni, dan badan pengelola. Keempatbelas, pengelolaan, meliputi pemeliharaan, perbaikan, pembangunan prasarana lingkungan (fasum dan fasos), bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Kelimabelas, pembiayaan oleh Pemerintah (APBN, Departemen, LPND, lnpres Rusun Dati II, lnpres 5/1990, APBD, Kepgub 540/1990), mobilisasi dana masyarakat, BLN, kemitraan pemerintah-swasta-masyarakat, kesetiakawanan sosial nasional, harga sewa dan harga jual. Keenambelas, kelompok sasaran pemasyarakatan, yaitu masyarakat berpendapatan rendah (diutamakan), menengah dan tinggi, RT, RW, dan Warga Permukiman Kumuh , Pegawai Negeri, Anggota ABRI, Pegawai Swasta, baik perorangan maupun kelompok. Ketujuhbelas, waktu penyuluhan dan pemasyarakatan adalah pagi hari, siang hari, atau malam hari, baik pada jam kerja maupun hari libur. Kedelapanbelas, cara penyuluhan dilakukan melalui diskusi, penerangan, kunjungan, publikasi, pameran, dan peragaan. Kesembilanbelas, tempat pemasyarakatan bisa di gedung, kampus, sekolah, ruang terbuka/ tertutup, aula, atau di lapangan. Keduapuluh, peralatan yang digunakan dalam penyuluhan terdiri atas overhead projector, transparan sheet, leaflet, kaset video, film, melalui sinetron, pelawak di tv dan radio, lagu, buku panduan pemasyarakatan dan penyuluhan rusun (seperti penyuluhan KB). Keduapuluh satu, pengawasan dan pemantauan serta evaluasi, untuk melihat keberhasilan/kekurang berhasilan kegiatan pemasyarakatan dan penyuluhan rusun. Keduapuluh dua, kegiatan riset, penelitian dan pengembangan, termasuk pengkajian dan penerapan teknologi, antara lain koordinasi modular pembangunan rusun (efisiensi penggunaan bahan, elemen, dan komponen bangunan), sosial-budaya, sosial ekonomi, psikologis, kelembagaan, hukum, sewa dan sewa-beli, perilaku, kesiapan masyarakat, studi perbandingan, dan pengelolaan sampah. Keduapuluh tiga, penyelenggaraan workshop, seminar dan lokakarya rumah susun. Keduapuluh empat, pemberian penghargaan kepada penghuni teladan yang tinggal di rusun (disiplin, kebersamaan, kepedulian, gotong royong, suasana tenang, budaya bersih dan sehat). Keduapuluh lima, menumbuhkan kekeluargaan warga rusun yang tercermin dalam kehidupan keluarga dan tetangga yang harmonis, saling menghargai dan menghormati, dan memelihara segala fasilitas rusun untuk kepentingan bersama. Duapuluh lima butir penyuluhan dan pemasyarakatan rusun ini perlu dilaksanakan secara serentak di semua wilayah kota Jakarta, dalam upaya memacu pembangunan rusun dan mendorong minat masyarakat ibukota untuk menyenangi tinggal di rusun. Harapan Penyuluhan dan pemasyarakatan rusun yang baik dan tepat, akan meningkatkan minat masyarakat untuk tinggal di rusun. Sebaliknya, penyuluhan dan pemasyarakatan rusun yang kurang efektif dan tidak terkoordinasi dengan baik, akan mengakibatkan tetap rendahnya minat warga metropolitan Jakarta untuk tinggal di rusun. Dengan kata lain, pembangunan rusun di Jakarta gagal! Harapan Pemerintah DKI Jakarta dan harapan kita semua, kiranya dalam waktu yang tidak terlalu lama, bermunculan banyak rumah susun sederhana yang diminati masyarakat Jakarta, sehingga budaya rusun tumbuh pada masyarakat ibukota yang sedang mempersiapkan diri menyongsong perdagangan bebas pada tahun-tahun 2003 (Asean), 2010 (anggota maju di Kawasan Asia Pasifik), dan 2020 (semua negara di Kawasan Asia Pasifik) di era globalisasi. Angkatan Bersenjata, 7 Agustus 1997 142


Memasyarakatkan Rusun Di Jakarta Penyelenggaraan pembangunan rumah susun haruslah berasaskan pembinaan manusia seutuhnya dan menggunakan metode pendekatan ekonomi, sosial dan fisik secara komprehensif. Menjadi pertanyaan apakah Pemda masih mampu menyediakan lahan di ibukota? Rumah adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, di samping sandang dan pangan. Sulitnya memperoleh lahan di perkotaan mengakibatkan rumah susun yang merupakan pembangunan rumah hemat lahan sebagai salah satu alternaif pemecahan masalah perumahan. Rumah susun bermacam-macam jenisnya, mulai dari rumah susun mewah dalam bentuk kondominium (apartemen/flat), apartemen kelas menengah (model Pluit, Kayu Putih) dan rumah susun sederhana (model Penjaringan, Pejompongan). Perkembangan kota metropolitan Jakarta yang sangat cepat dan jumlah penduduknya yang akan mencapai 10 juta pada periode tahun 2000-2005, tidak akan lagi bisa bertahan dengan hun ian bangunan tunggal, tetapi sudah harus memasuki era rumah susun. Menghadapi era tersebut, maka pembangunan rumah susun perlu dibarengi pemasyarakatan rumah susun, agar masyarakat ibukota siap dan tanggap, dan akan memilih rumah susun sebagai tempat hunian. Menuju Pembangunan Rumah Susun di DKI Jakarta Pembangunan Perumahan dan Permukiman di DKI Jakarta telah tertuang dalam Pola Dasar Pembangunan Daerah Rencana Umum Tata Ruang 1985-2005 dan RBWK, dan Renstra 1992-1997. Sesuai RUTR dan RBWK, pembangunan rumah susun berpedoman pada rencana pembangunan fisik tata ruang DKI Jakarta, yaitu pembangunannya berada di lokasi yang peruntukannya untuk perumahan dan permukiman, dan pembangunan rumah susun ikut mendukung pengembangan pusat-pusat kegiatan sektor usaha lainnya. Pembangunan rumah susun merupakan salah satu upaya penyediaan rumah bagi warga ibukota. Pelaksanaan pembangunannya diharapkan pada lokasi menyebar, meliputi berbagai segmen rumah susun, dapat dikombinasikan dengan program peremajaan lingkungan permukiman kumuh dan penertiban rumah ilegal. Renstra Jakarta 1992-1997 menegaskan bahwa Jakarta dibangun agar sejajar dengan kota-kota besar di dunia (Kualalumpur, Bangkok, Manila, dan lain-lain) dan dihuni oleh warga kota yang sejahtera, ditunjang program pengentasan kemiskinan dan penanganan permukiman kumuh, serta pembangunan rumah susun yang tepat guna, berhasilguna dan berdayaguna. Penyelenggaraan pembangunan rumah susun haruslah berasaskan pembinaan manusia seutuhnya dan menggunakan metode pendekatan ekonomi, sosial dan fisik secara komprehensif. Dalam hal ini dilakukan bimbingan dan pelatihan agar masyarakat lebih produktif dalam memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada. Pendekatan sosial menyentuh faktor manusia warga Jakarta agar lebih mencintai kotanya, memahami arti dan hakikat pembangunan, peranan dan tanggung jawab serta partisipasi aktif dalam pembangunan rumah susun. Rumah susun adalah segmen baru perumahan daerah perkotaan. Karena rumah susun merupakan "barang baru", maka barang baru ini haruslah diperkenalkan kepada masyarakat luas, apa itu rumah susun, bagaimana membangunnya, dari mana biaya pembangunannya, bagaimana hidup di rumah susun, status penghunian, kewajiban penghuni, organisasi pengelola, apa itu satuan rumah susun, lahan itu milik siapa, apa saja infrastruktur yang tersedia, bagaimana memperoleh air, gas, listrik, tempat pembuangan sampah sementara, bagaimana tempat parkir, dan sebagainya. Beberapa ketentuan tentang rumah susun perlu diketahui masyarakat penghuni atau calon penghuni, antara lain UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, PP Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, Peraturan Menteri PU Nomor 60/PRT/1992 tentang Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun, Keputusan Gubernur KDKI Jakarta nomor 540 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan (SP3L) Atas Bidang Tanah Untuk Pembangunan Fisik Kota di DKI Jakarta. 143


Dalam memacu pembangunan rumah susun, dikenal beberapa pendekatan, yaitu pendekatan sosial (masyarakat didorong untuk memahami arti pembangunan rumah susun), pendekatan ekonomi (rumah susun dapat meningkatkan produktivitas rumah-tangga karena lokasinya di pusat kota atau dekat tempat kerja), dan pendekatan fisik (pembangunan rumah susun diharapkan memenuhi kebutuhan berbagai kelompok masyarakat disesuaikan dengan kemampuannya). Kebutuhan rumah bagi penduduk Jakarta yang telah mencapai hampir 10 juta jiwa makin tinggi, padahal lahan yang masih bisa dibangun perumahan makin sempit. Akibatnya, rumah susun merupakan salah satu alternatif penyediaan perumahan bagi penduduk ibukota. Tetapi sampai saat ini pembangunan rumah susun masih dihadapkan pada berbagai masalah, antara lain sulitnya memperoleh lahan, bervariasinya kelompok masyarakat (dari mulai yang paling kaya sampai ke yang sangat miskin), penyuluhan rumah susun yang belum berjalan dengan baik, pengelolaan rumah susun yang belum efektif, dan koordinasi pembangunan rumah susun yang belum terarah dan terpadu. Hasil beberapa penelitian tentang perumahan menunjukkan bahwa kebutuhan rumah di DKI Jakarta mencapai 64.000 unit/tahun (RUTR DKI Jakarta 1985-2005), 79.000 unit/tahun (BPPT), dan 70.000 unit/tahun (konsultan). Dari angka-angka ini dapat disimpulkan bahwa kebutuhan rumah di DKI Jakarta per tahun adalah 70.000 unit. Kebutuhan rumah ini didasarkan atas perhitungan (a) pertambahan penduduk, perbaikan rumah yang rusak a tau tergusur, dan kekurangan rumah dari tahun sebelumnya, (b) target pengadaan 10 persen masyarakat berpenghasilan tinggi, 40 persen berpenghasilan menengah, dan 50 persen berpenghasilan rendah, (c) pengadaan rumah 75 persen oleh masyarakat dan 25 persen oleh sektor formal (pemerintah dan bahan usaha), (d) 70 persen non-rusun dan 30 persen rusun dan flat. Rumah susun yang diperlukan adalah 30 persen dari 70.000 unit atau 21.000 unit/tahun dan untuk masyarakat berpenghasilan rendah adalah 50 persen atau 10.500 unit/tahun. Mengingat keterbatasan dana, maka pemerintah daerah diperkirakan dapat menyediakan dana untuk pembangunan 30 persen atau 3.150 unit/tahun. Rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan menengah dan tinggi, dibangun melalui subsidi silang (SK Gubernur Nomor 540 Tahun 1990), sumber dana lainnya, dan berbagai sektor formal (badan usaha dan pembangunan). Dengan asumsi 1 unit rumah susun tipe 21 luasnya 35 m2, maka dibutuhkan lahan 3.150 x 35 m2 atau 110.250 m2 (11 hektar). Berarti kebutuhan lahan selama lima tahun mencapai 55 hektar. Pertanyaan yang muncul, masih mampukah pemerintah daerah menyediakan lahan di ibukota untuk pembangunan rumah susun ini? Masyarakat ibukota masih senang tinggal di rumah-rumah tunggal walaupun kondisinya belum memenuhi pemasyarakatan kesehatan. Pembangunan rumah susun merupakan alternatif utama dari keseluruhan program pengadaan perumahan di DKI Jakarta. Pembangunan rumah susun yang mempunyai daya tampung tinggi, dibangun dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang terjangkau masyarakat luas. Pembangunan rumah susun, dapat mengoptimalkan penggunaan lahan perkotaan. Kebijaksanaan yang ditempuh dalam membangun rumah susun di wilayah-wilayah kota Jakarta, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur dan Jakarta Utara. Kebijaksanaan yang ditempuh meliputi penataan ruang dan bangunan (lokasi, lahan, perencanaan, pembangunan, fasilitas dan perizinan), bimbingan dan penyuluhan, pembinaan masyarakat, penghuni dan pengelolaan, serta pembiayaan dan penetapan harga. Strategi yang ditempuh adalah peningkatan koordinasi berbagai instasi dan unit kerja terkait, peningkatan penyuluhan rumah susun, pemantapan sistem pembiayaan, kelembagaan, pola pengelolaaan, peraturan, dan pemasyarakatan rumah susun. Kebijaksanaan penataan ruang meliputi penataan kota, penanganan permukiman kumuh dengan membangun rumah susun dan memperhatikan kepadatan penduduk yang ada, tata letak bangunan, konstruksi, ventilasi, kepadatan bangunan, keadaan jalan, air bersih, pembuangan sampah dan limbah, jaringan air minum, gas, dan listrik. Dalam menggalakkan pembangunan rumah susun, dapat kita rumuskan melalui pola pikir yang terdiri dari tujuh elemen. Pertama, melihat kondisi pembangunan rumah susun di kota metropolitan Jakarta saat ini 144


(rumah susun mewah, menengah, sederhana). Kedua, memperhatikan nilai-nilai dasar (Pancasila dan UUD 1945) dan nilai instrumental pembangunan (Wasantara, Tannas, GBHN, UU, PP, Keppres, lnpres, Kepmen, lnmen), dan Petunjuk Operasional dan Petunjuk Teknik Pembangunan. Ketiga, perkembangan lingkungan strategis internasional (pengaruh globalisasi terhadap pembangunan rumah susun), regional (perbandingan dengan wilayah ASEAN, Kualalumpur, Bangkok, Manila), dan nasional (dalam lingkup perkotaan di Indonesia). Dalam hal ini dibuat analisis SWOT (strength, weaknesses, opportunities, threats atau kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman). Keempat, kotak kegiatan yang terdiri dari kebijaksanaan, strategi, dan upaya (subyek, obyek, metoda), yaitu unsur manusia sebagai subyek (aparatur pemerintah, swasta, dan masyarakat), obyek (mutu dan teknis bangunan), serta metode (aspek teknis, sosial-budaya, sosial ekonomi, sosio-psikologis). Kelima, kondisi lingkungan perumahan susun yang diinginkan, yaitu rumah susun berbagai jenis dan tipe disesuaikan dengan kelompok pendapatan masyarakat. Keenam, pembangunan rumah susun sebagai salah satu elemen pembangunan perumahan dan pemukiman dan sebagai salah satu bidang pembangunan nasional. Ketujuh, keberhasilan pembangunan rumah susun yang mendukung keberhasilan pembangunan perumahan dan pemukiman, akan turut berperan dalam mencapai tujunan nasional. Akhir dari analisis pada tujuh elemen ini adalah dapat dirumuskannya kebijaksanaan, strategi, dan upaya pembangunan rumah susun di kota metropolitan Jakarta. Upaya-upaya dapat dijabarkan ke dalam langkah-langkah pencapaian tujuan dan sasaran, baik jangka panjang, menengah dan jangka pendek. Upaya ini perlu dijabarkan lagi ke dalam kegiatan bulanan, mingguan, dan harian yang dapat dipantau terus menerus, termasuk di dalamnya upaya pemasyarakatan rumah susun dalam mendukung keberhasilan pembangunan rumah susun. Perlu Pemasyarakatan Rumah Susun Masyarakat ibukota masih senang tinggal di rumah-rumah tunggal walaupun kondisinya belum memenuhi pemasyarakatan kesehatan. Upaya Pemerintah DKI Jakarta untuk meremajakan dan menata lingkungan permukiman kumuh menjadi permukiman susun, tidak akan berhasil apabila hanya memperhatikan aspek teknis pembangunan rumah susun. Pembangunan rumah susun hanya akan berhasil jika disertai atau dibarengi dengan upaya-upaya pemasyarakatan rumah susun. Melalui pemasyarakatan rumah susun, diharapkan agar warga ibukota dalam waktu sesingkat-singkatnya mau tinggal di rumah susun sebagai pengganti rumah kumuh dan rumah liar yang tidak manusiawi. Pemasyarakatan rumah susun dapat dilakukan sebagai berikut. Pemerintah pusat dalam hal ini kantor Menpera menetapkan kebijaksanaan pembangunan rumah susun yang berisi pemasyarakatan rumah susun pada tingkat nasional, setelah memperoleh masukan dari instansi terkait yang bekerja bersama-sama dalam Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Pemukiman (BKP4N). Kebijaksanaan yang dijabarkan oleh gubernur KDKI Jakarta ke dalam Kebijaksanaan Pembangunan Rumah Susun di DKI Jakarta, termasuk di dalamnya kebijaksanaan pemasyarakatan rumah susun, bimbingan dan penyuluhan rumah susun. Pemasyarakatan dilakukan terus menerus di tiap wilayah kota, dengan kelompok sasaran masyarakat umum, calon penghuni rumah susun, aparatur pemerintah, para penyelenggara pembangunan rumah susun, pelajar dan mahasiswa. Kegiatan penyuluhan melibatkan aparatur wilayah kotamadya, dikoordinasikan oleh kepala Sub-Dinas Perumahan di Wilayah Kota. Bentuk pemasyarakatan bisa ditempuh melalui diskusi-diskusi, seminar dan lokakarya, bimbingan dan penyuluhan, penataran dan lokakarya, penyebarluasan informasi melalui televisi (iklan, promosi, informasi, sinetron rumah susun), media cetak, media massa, media elektronika, brosur dan leaflet, dan Iomba penulisan rumah susun. Dinas Perumahan mengevaluasi secara reguler/berkala kegiatan pemasyarakatan rumah susun dan melaporkan kepada Gubernur tentang hasil-hasil yang dicapai, pengarahan gubernur tentang hasil-hasil yang dicapai. Pengarahan gubernur dijadikan pegangan dalam melakukan kegiatan pemasyarakatan rumah susun berikutnya. Kegiatan pemasyarakatan rumah susun disertai kunjungan ke berbagai lokasi rumah susun, sehingga masyarakat bisa menilai situasi dan kondisi hunian di rumah susun yang dikunjunginya. 145


Dinas Perumahan juga menyed1akan pusat informasi rumah susun yang bisa dilihat warga ibukota setiap saat, termasuk informasi rumah susun yang bisa dilihat warga ibukota setiap saat, informasi beberapa jumlah rumah susun yang sudah ada, sedang dibangun, dan yang akan dibangun. Di mana lokasinya, dan berapa biaya pembangunannya, serta berapa biaya sewa atau sewa beli. Brosur rumah susun yang singkat dan jelas, perlu dibuat lebih menarik, disertai gambar-gambar lucu tentang kehidupan di rumah susun. Dengan melaksanakan pemasyarakatan rumah susun seperti ini dan melibatkan berbagai instansi pemerintah dan swasta, maka dalam waktu sesingkat-singkatnya warga metropolitan Jakarta akan tumbuh minatnya untuk tinggal di rumah susun, sebagai hunian masa depan kota metropolitan di era globalisasi. T erbit, 29-30 Juli 1997 Memasyarakatkan dan Membudayakan Rumah Susun di Kota Metropolitan Terbatasnya lahan di daerah perkotaan mengakibatkan pembangunan rumah vertikal (rumah susun, disingkat rusun) merupakan salah satu alternatif pembangunan perumahan di perkotaan. Di Indonesia saat ini dikenal beberapa tipe rumah susun, antara lain (1) rumah susun mewah yang dihuni orang kaya dan orang asing, (2) rumah susun yang dihuni golongan menengah ke atas, (3) rumah susun yang dihuni golongan menengah bawah, dan (4) rumah susun yang dihuni masyarakat berpenghasilan rendah ke bawah. Kota metropolitan Jakarta yang jumlah penduduknya mendekati 10 juta jiwa, diperkirakan menjadi 12 juta jiwa pada tahun 2000 (menempati urutan kota sebelas terbesar di dunia, jika disatukan dalam Jabotabek mencapai 16 juta jiwa merupakan urutan kelima setelah Mexico City, Sao Paulo, Tokyo, Calcuta, dan Bombay), sudah membutuhkan rumah susun untuk kepentingan warganya. Rumah Susun Jakarta Rumah Susun dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna hunian penduduk metropolitan. Melalui rumah susun, Jakarta akan semakin cantik karena dengan banyaknya rumah susun, permukiman kumuh akan berkurang jumlahnya. Rumah susun juga dapat menunjang pembangunan Jakarta sebagai Kota Jasa (Service City). Mahalnya harga tanah dan sulitnya memperoleh tanah di kota metropolitan Jakarta, mengakibatkan rumah susun merupakan alternatif utama pemecahan masalah pembangunan perumahan. Sejak 1988 Perumnas telah membangun lebih dari 9000 unit rumah susun di beberapa kota di Indonesia, yaitu di Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Pemerintah DKI Jakarta, Pemerintah Kotamadya Surabaya, juga telah memulai pembangunan rumah susun bagi warganya. Pelaksanaan pembangunannya mengacu pada ketentuan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun dan Peraturan Menteri PU Tahun 1990. Dinas Perumahan DKI Jakarta telah menghitung kebutuhan rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah adalah 3.150 unit/tahun yang dihasilkan dari perhitungan berikut. Kebutuhan tambahan rumah per tahun adalah 70.000 unit, sehingga kebutuhan tambahan rumah susun selama 5 tahun mencapai 350.000 unit. Kebutuhan rumah susun ini diupayakan pemenuhannya melalui rumah tunggal (landed houses) 70% atau 49.000 unit/tahun dan rumah susun (flat, apartement) 30% atau 21.000 unit/tahun. Diasumsikan kebutuhan rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah adalah 50% dari 21.000 unit atau 10.500 unit dan dari angka ini, diharapkan dapat dipenuhi oleh Pemerintah DKI Jakarta (Dinas Perumahan, PO Pembangunan Sarana Jaya, Yayasan) sebanyak 30% atau 3.150 unit/tahun. REI menginformasikan saat ini tidak kurang dari 10.000 unit rumah susun mewah telah terbangun di DKI Jakarta. Perum Perumnas juga terus mencari lokasi di ibukota untuk pembangunan rumah susun, 146


sebagai perluasan dari rumah susun di Kemayoran Rumah Susun Sederhana (Sewa Murah atau Sewa Beli) di Jakarta sampai dengan tahun 1994 telah mencapai 8.734 unit, tersebar di Jakarta Selatan (11okasi), Jakarta Timur (6 lokasi), Jakarta Barat (3 lokasi), Jakarta Utara (2 lokasi), dan Jakarta Pusat (7 lokasi). Mulai tahun 1995 direncanakan pembangunan 2.687 unit yang tersebar di Jakarta Pusat (3 lokasi), Jakarta Utara (1 lokasi), Jakarta Barat (1 lokasi), Jakarta Timur (1 lokasi), dan Jakarta Selatan (1 lokasi). Sampai tahun 2000 diharapkan ada tam bah an lagi sebanyak dibangun di Jakarta Utara (1 0.120), disusul Jakarta Pusat (6.880 unit), Jakarta Timur ( 4.912 unit), Jakarta Barat (4.120 unit), dan Jakarta Selatan (1.536). Dari gambaran terse but terlihat bahwa jenis rumah susun ada yang mewah, menengah dan sederhana, pelaku pembangunannya terdiri atas Pemerintah Pusat, Pemerintah Deaerah, dan Swasta. Permasalahan yang menonjol adalah dana, sulit dan mahalnya lahan, mahalnya biaya pembangunan, belum adanya standarisasi pembangunan rumah susun, belum adanya keringanan penyediaan sarana dan prasarana lingkungan rumah susun (air, listrik, telepon, PBB, perijinan), belum intensifnya penyuluhan dan pemasyarakatan rumah susun dan belum terpadunya pembangunan rumah susun dengan sarana dan prasarana perkotaan lainnya. Permasalahan lain adalah belum tersedianya informasi pembangunan rumah susun secara akurat, terbatasnya kemampuan dana pembangunan, belum tumbuhnya kemitraan, belum dimengertinya status kepemilikan dan penghunian, belum jelasnya kewajiban dan hak penghunian, belum jelasnya status dan pengelola dan belum adanya kesatuan pemahaman Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang Rumah Susun. Pemasyarakatan dan penyebarluasan informasi rumah susun belum dilakukan dengan baik dan pembudayaan hidup di rumah susun hampir belum ada yang melakukannya. Hasil penelitian di rumah susun Penjaringan dan Tanah Abang pada tahun 1991, mencatat sepuluh butir yang terkait dengan upaya pemasyarakatan dan pembudayaan rumah susun. Pertama, keadaan rumah susun perlu disesuaikan dengan keinginan penghuni. Kedua, rumah susun yang dibangun saat ini terkesan berbeda dengan keinginan penghuni. Ketiga, masih terdapat cukup banyak kekurangan fasilitas di rumah susun. Keempat, cukup besar hambatan bermukim di rumah susun. Kelima, luas satuan rumah susun yang terlalu kecil (18 m2 dan 21 m2) sering meimbulkan stress para penghuninya. Keenam, masih dijumpai kesulitan bagi penghuni untuk memecahkan berbagai permasalahan hunian di rumah susun yang dihadapinya. Ketujuh, kondisi lingkungan rumah susun masih belum mendorong kehidupan yang efisien dan produktif. Kedelapan, masih perlu waktu panjang untuk membudayakan rumah susun bagi warga perkotaan. Kesembilan, sulitnya pengurusan status pemilikan satuan rumah susun. Kesepuluh, masih kurangnya perhatian terhadap aspek sosial-ekonomi, sosial budaya, dan psikologis penghunian di rumah susun. DKI Jakarta yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Negara Republik Indonesia Daerah Khusus lbukota Jakarta, sebagai kota pusat pemerintahan, perdagangan, pariwisata, konvensi, dan perkantoran nasional dan internasional, memerlukan fasillitas perkotaan yang modern. Salah satu fasilitas tersebut adalah permukiman di rumah susun dalam suatu lokasi mixed development. Dalam konteks ini rumah susun berada dalam suatu lingkungan yang memiliki fasilitas parkir. pertokoan, perkantoran, gedung pertemuan umum, tempat hiburan, fasilitas olahraga dan rekreasi, serta jaringan transportasi. Prospek rumah susun di kota metropolitan Jakarta cerah. lni dibuktikan dari penghasilan penduduk ibukota yang terus meningkat mengakibatkan peningkatan daya beli satuan rumah susun, tingkat hunian di rumah susun kelas menengah (Pulo Mas dan Pluit) dan rumah susun sederhana (Penjaringan, Pejompongan), tinggi, sehingga hampir tidak ada satuan rumah susun yang kosong tidak ada penghuninya, mobilitas penduduk yang tinggi membutuhkan hunian di pusat kota dan ini dapat dipenuhi oleh rumah susun. Rumah susun memberikan kemungkinan dan peluang bagi penghuninya untuk bekerja sampai larut malam, karena fasilitas yang memadai. Perlu Pemasyarakatan Rumah Susun Pembangunan rumah susun tanpa disertai pemasyarakatan tidak akan meningkatkan minat masyarakat untuk tinggal di rumah susun. Memasyarakatkan rumah susun adalah usaha menjadikan masyarakat untuk 147


mau dan suka tinggal di rumah susun. Memasyarakatkan rumah susun harus dilakukan terus-menerus dan dilaksanakan secara intensif, sabar dan tepat mengenai kelompok sasaran (target group). Penyuluhan rumah susun diperlukan untuk mengubah pandangan dan sikap masyarakat ibukota dari kurang mengerti rumah susun menjadi cinta rumah susun. Masyarakat perlu diyakinkan tentang berbagai keuntungan tinggal di rumah susun, misalnya tidak perlu mernelihara pekarangan, membeli dan memiliki perabotan rumah tangga seperlunya, hidup efisien, efektif, dan produktif, hidup dalam lingkungan yang bersih dan sehat, waktu kerja dan istirahat diatur dengan baik dan selalu menghargai waktu. Aspek sosio-psikologis hunian di rumah susun perlu diperhatikan disamping sosio-ekonomi dan sosialbudaya. Hunian di rumah susun terkait erat dengan struktur sosial masyarakat, komunitas warga apartemen, interaksi intra dan antar keluarga, tersedianya sarana pendidikan, tempat ibadah, olahraga, taman dan rekreasi. Profesor Yaumil Chairiah Agoes Achir menyorot aspek sosial-budaya masyarakat penghuni rumah susun. Rumah susun perlu diwujudkan sebagai home, bukan sekedar shelter, yang harus bermanfaat bagi kepentingan sosial keluarga, dapat dinikmati oleh istri, anak, wanita, pemuda, dan manusia lanjut usia. Kompleksnya tinggal dirumah susun menuntut pengelolaan rumah susun secara profesional yang memperhatikan peraturan perundang-undangan yang ada. Pemasyarakatan rumah susun perlu dilakukan sedini mungkin agar dapat menghindari dampak negatif penghunian di rumah susun. Rumah Susun dengan berbagai permasalahannya, menarik untuk diteliti dan dikaji. Karena itu para pakar perumahan dan permukiman, pakar sosial-ekonomi, pakar sosial-budaya, pakar sisio-psikologis, secara sendiri-sendiri atau berencana, perlu melakukan kajian komprehensif tentang hunian di rumah susun. Pemasyarakatan rumah susun juga harus menginformasikan bahwa pembangunan rumah susun disesuaikan dengan keperluan dan kemampuan masyarakat terutama berpenghasilan rendah, baik mengenai jumlah, kualitas bangunan, lingkungan, maupun persyaratan dan tatacara memperolehnya. Rumah Susun harus dibangun di lokasi yang sesuai dengan peruntukan dan keserasian lingkungan dengan memperhatikan rencana tata ruang dan tata guna tanah yang ada. Rumah susun harus dibangun pada lokasi yang memungkinkan fungsinya dengan baik, saluran pembuangan dalam lingkungan ke sistem jaringan pembuangan air hujan dan jaringan air limbah kota. Lokasi rumah susun harus mudah dicapai angkutan yang diperlukan baik langsung maupun tidak langsung pada waktu pembuangan maupun penghunian serta perkembangan masa mendatang, dengan memperhatikan keamanan, ketertiban, dan kemungkinan gangguan pada lokasi sekitarnya. Lokasi rumah susun harus dijangkau pelayanan jaringan air bersih, listrik, dan gas. Dalam hal ini belum dapat dijangkau, maka penyelenggara pembangunan rumah susun wajib menyediakan secara tersendiri sarana air bersih dan listrik sesuai dengan tingkat keperluannya, dan dikelola berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rumah Susun harus mempunyai kelengkapan sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, yaitu jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan gas, saluran pembuangan air hujan, saluran pembuangan air limbah, saluran dan atau tempat pewadahan dan pembuangan sampah, tempat pemasangan jaringan telepon dan peralatan komunikasi, alat transportasi berupa tangga, lift dan eskalator, pintu dan tangga darurat kebakaran, tempat jemuran, alat pemadam kebakaran, penangkal petir, alat dan sistem alarm, pintu kedap asap dan generator listrik. Pemasyarakatan rumah susun harus memberikan informasi tentang pengaturan dan pembinaan rumah susun. Pengaturan dan pembinaan rumah susun diarahkan untuk dapat meningkatkan usaha pembangunan perumahan dan permukiman yang fungsional bagi kepentingan rakyat banyak. Pengaturan dan pembinaan ini dimaksudkan untuk mendukung konsepsi tata ruang yang dikaitkan dengan pengembangan pembangunan daerah perkotaan ke arah vertikal dan untuk meremajakan atau menata daerah kumuh, meningkatkan optimasi penggunaan sumber daya lahan perkotaan, dan mendorong pembangunan perumahan dan permukiman berkepadatan tinggi. Jayakarta, 30 Juli 1997 148


Sampah di Rumah Susun Pengelolaan sampah dapat dibagi ke dalam enam tahap, berawal dari timbulan atau produksi sampai ke pembuangan akhir. Prosesnya yaitu (1) penampungan, pewadahan atau pemilihan, dan pengelolaan sampai di tempat dengan pola individual (mengurangi volume, mengubah bentuk atau memusnahkan sampah). (2) Pengumpulan (di dari rumah ke rumah), (3) pemindahan sampah ke TPS (tempat pembuangan sementara) atau ke stasiun pemindahan (transfer), (4) pengangkutan (dengan berbagai jenis kendaraan), (5) pengolahan (dibakar dalam mesin pembakar sampah atau incinerator), dan (6) pembuangan akhir sampah ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Jenis-jenis sampah terdiri atas sampah dari pemukiman, pasar, pertokoan dan pusat perdagangan, hotel, pabrik, rumah sakit, industri, dan sebagainya. Tulisan ini mengupas pengumpulan sampah di rumah susun yang mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 1985 oleh Kelompok Sanitasi Lingkungan, Direktorat Riset Operasi dan Manajemen, BPP Teknologi bekerjasama dengan P4L dan Dinas Kebersihan Pemerintah DKI Jakarta terhadap 100 responden penghuni rumah susun Kebon Kacang dan 1 0 responden penghuni rumah kumuh di sebelah Selatan rumah susun. RSKK (Rumah Susun Kebon Kacang) terdiri dari 536 unit, masing-masing 232 tipe F.21 I 160 tipee F.421 72 tipe F.51 I dan 70 tipe F.42 Gabungan. Penduduk asli Kebon Kacang yang menghuni rumah susun ini sebanyak 35% dan 65%, sisanya adalah pendatang. Rata-rata jumlah jiwa per tempat hunian adalah 315 jiwa tipe F.51 I 316 tipe F.21, 419 tipe F.42 Gabungan dari 512 tipe F.42. Rata-rata jumlah jiwa per kkl masingmasing 6,1 orang untuk penduduk kumuhl 513 orang penduduk aslil dan 316 orang penduduk pendatang. Pekerjaan penduduk kumuh sebagian besar buruh dan usaha tidak tetapl penduduk asli RSKK adalah pegawai negeri dan pedagangl sedangkan penduduk pendatang adalah pegawai swasta. Timbulan sampah rata-rata per kepala keluarga per hari (dalam kg) masing-masing untuk penduduk kumuh (1 I 116 sampah basah, 0,355 sampah kering, dan 1,471 sampah campuranl penduduk asli (0,959 sampah basahl 0,319 sampah keringl dan 1,278 sampah campuran dan penduduk pendatang (01561 sampah basahl 01261 sampah kering, dan 0,822 sampah campuran. Dihitung per kapital maka timbulan sampah rata-rata per kapita per hari, masing-masing untuk penduduk kumuh (0~183 kg sampah basah, 0,058 sampah kering, dan 01241 sampah campuran)~ penduduk asli (0, 181 kg sampah basah, 0,060 sampah kering, dan 0,241 sampah campuran)~ dan penduduk pendatang (0, 156 sampah basah, 0,073 sampah keringl dan 0,229 sampah campuran). Komposisi sampah RSKK terdiri dari 73121% sampah organik1 11,56% kertas, 0168% plastik, 2,06% logam, 1,96% gel as dan kaca, 1 ,06% kain, 0,32% karet dan kulit tiruan, dan 0,15% kayu. Perhitungan karakteristik sampah RSKK memperlihatkan kadar air 57154% dan nilai kalor 1.257,11 kcal/kg. Memperhatikan persyaratan sampah yang bisa dibakar di incinerator seperti yang terdapat di Ulu Pandan Singapura (nilai kalor antara 955,4 dan 2.14916 kcal/kg dan kadar air 35-55%1 berarti kadar air sampah RSKK masih melebihi standar yang diperbolehkan. Sampah RSKK dan rumah susun lainnyal hotel, bioskopl dan pertokoan masih perlu diteliti kembali kemungkinannya bisa dibakar di dalam mesin pembakar sampah dan dijadikan tenaga listrik. Saat ini ada tiga pola pengumpulan sampah di RSKK. Pertamal pewadahan sampah di unit rumah susun menggunakan kantong plastik yang disediakan oleh Perum Perumnas. Penghuni membungkus sampah dengan plastik, diambil oleh petugas sampah dan dimasukkan ke dalam gerobakl dan selanjutnya dibawa dan dimasukkan ke dalam TSP kontainer 1 m21 tiap blok rumah susun memiliki bak sampah beton. Sebagian besar penghuni membuang sampah ke dalam bak sampah, sebagian lagi meletakkan sampah di depan rumahnya baik dalam kantong ataupun bungkus atau kotak pembuangan lainnya. Petugas pengumpul sampah mengambil sampah dari depan unit rumah susun dan dari bak sampah untuk selanjutnya dibawa dan dimasukkan ke dalam TPS. Ketigal penghuni membawa sendiri sampah dan memasukkan ke kontainer. 149


Sarana pengumpulan sampah terdiri dari 4 kontainer kapasitas masing-masing 1 m3, 2 gerobak sampah kapasitas 1,584 m3, sapu lidi, pengki, kantong plastik, dan 2 bak sampah bertutup. Prasarana pengumpulan sampah terdiri atas jalan gang Iebar 1 ,5 m, jalan lingkungan Iebar 1 0 m, lokasi penempatan bak sampah dan kontainer, dan lokasi pemindahan dari gerobak ke kontainer seluas 20m3. Beberapa masalah yang timbul antara lain kesulitan naik-turun tangga bagi penghuni maupun pengumpul sampah, pembagian plastik yang tidak teratur (keterlambatan pembayaran cicilan rumah mengakibatkan keterlambatan pembagian kantong plastik), kurangnya kesadaran warga dalam memelihara kebersihan lingkungan, dan masih adanya penghuni yang menggunakan plastik untuk keperluan lain. Antara 80-97% penghuni bersedia menggunakan kantong plastik, 11-28% penghuni pernah melaporkan masalah kebersihan ke instansi yang berwenang (Dinas Kebersihan, Perum Perumnas, RW, dan RT), dan 67-70%) warga menyatakan pengumpulan sampah sekarang sudah menjamin kebersihan lingkungan. Masih adanya warga yang acuh terhadap kebersihan, memerlukan adanya penyuluhan oleh instansi yang berwenang. Penghuni atau warga RSKK sebagian besar, 60-85% bersedia memisahkan sampah basah dan sampah kering agar ada bagian sampah yang bisa dimanfaatkan dan bagian lainnya yang sama sekali harus dibuang. Jadwal pengambilan sampah di bak sampah oleh petugas harus jelas, agar warga menyesuaikan waktu pembuangan sampah sehingga bau busuk di bak sampah dapat dihindari. Dari besarnya iuran sampah antara Rp. 3.000- Rp. 4.000,- setiap kk setiap bulan, 58--89% penduduk asli yang penghasilannya rendah. Alasan keberatan juga disebabkan pengambilan sampah tidak teratur, petugas terbatas dan gerobak sampah kurang memadai. Alternatif Perbaikan Pengumpulan sampah yang baik perlu ditunjang oleh kesadaran warga (mengumpulkan sampah dalam plastik, membuang ke dalam bak sampah atau langsung ke kontainer, membayar iuran kebersihan), tersedianya sarana dan prasarana persampahan yang memadai dan memenuhi persyaratan kesehatan pengelola sampah, petugas kebersihan yang jumlahnya memadai, jadwal pengumpulan dan pengangkutan sampah yang tepat (petugas pengumpul dan petugas pengangkut sampah dari kotainer dibuang ke TPA, tempat pembuangan akhir). Agar lebih estetis, bak sampah perlu dicat menyolok (misalnya merah, kuning atau oranye), gerobak yang kokoh dengan cat yang rapih, petugas menggunakan pakaian uniform kebersihan, dan pencucian bak sampah dilakukan secara periodik. Di samping itu penyelenggaraan Iomba kebersihan unit rumah susun, Iomba kebersihan antar blok rumah susun, dan Iomba tanaman dalam pot di setiap unit rumah susun akan dapat meningkatkan kesadaran warga terhadap kebersihan pemukiman dan lingkungannnya. Neraca, 18 April 1990 Memasyarakatkan Rumah Sehat United Nations Centre for Human Settlements (UNCHS) atau Habitat pada tahun 1989 menekankan pentingnya rumah sehat bagi keluarga (shelter, health, and the family). Para birokrat melihat rumah bisa dilihat sebagai kata benda, seperti yang disampaikan Komarudin dengan berbagai angka dan target pembangunan rumah (Workshop Kebutuhan Perumahan di DKI Jakarta, 29 Juli 1992), sedangkan pakar perumahan melihatnya sebagai kata kerja, merupakan suatu on going process (Maria Hertiningsih, wartawan Kompas). Sebaliknya Ketua Direksi Pelaksana Pengendalian Pembangunan Kompleks Kemayoran (dikenal sebagai Kota Baru Bandar Kemayoran), Hindro Tjahjono Sumardjan, mengajak semua orang untuk melihat perbedaan pandangan tersebut tak harus dipertajam, karena keduanya saling melengkapi. Aspek teknis dan sosial 150


perumahan seharusnyalah dipertemukan, sampai pada akhirnya diperoleh cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan rumah yang semakin tinggi pada berbagai tingkat pendapatan masyarakat. Rumah sehat dalam lingkungan yang sehat, merupakan idaman setiap keluarga. Untuk mewujudkan Rumah Sehat, perlu diperhatikan konstruksi b~ngunan, bahan bangunan, komponen dan elemen bangunan, pengaruh lingkungan, jarak antar ruang, saranci dan prasarana yang mendukung, aspek psikologis, kesehatan, keamanan, budaya atau kultur, dan kebiasaan penghuni yang dapat mendukung perwujudan penghunian yang layak, aman, serasi dan tenteram. Rumah Sehat UNICEF menyatakan bahwa duapertiga kehidupan manusia berada di rumah dan sepertiga sisanya berada di luar rumah. Rumah mempunyai paling sedikit tiga fungsi, yaitu tempat berlindung, tempat pembinaan keluarga, dan tempat kegiatan keluarga. Dengan demikian fungsi rumah adalah menjaga dari sengatan matahari, cuaca, gangguan binatang bua§. tempat pertumbuhan keluarga, pendidikan, berkreasi, kerukunan dan kebahagiaan keluarga, pertemuan keluarga, dan tempat menjalankan berbagai kegiatan dengan rasa senang, tenteram dan nyaman. Karena itu, rumah jangan digunakan untuk keperluan kehidupan yang kurang menguntungkan, seperti ngobrol berkepanjangan, membicarakan hal-hal yang tidak pantas, ribut dalam keuarga, atau dengan tetangga, berbuat yang mengakibatkan kebisingan dan sebagainya. Direktorat Perumahan Ditjen Cipta Karya menegaskan ada empat persyaratan rumah sehat, yaitu kesehatan, kekuatan bangunan, kenyamanan dan keterjangkauan. Pertanyaan muncul, apakah rumah sangat sederhana atau RSS (yang saat ini dikembangkan), memenuhi persyaratan rumah sehat? Untuk menjawabnya, perlu dikaitkan dengan ketentuan Menteri PU Nom or 20/Kpts/i 986 tentang Pedoman T eknik Pembangunan Rumah Sederhana Tidak Bersusun, yang menyangkut persyaratan minimum rumah sehat, antara lain dinding batako tras kapur, anyaman bambu yang dipasang pada rangka kayu atau tripleks, lantai tanah diperkeras, plesteran tras kapur yang diaci semen atau plesteran semen pasir, tutup atap dari asbes semen gelombang kecil, seng gelombang atau genteng sederhana, serta · adanya ventilasi agar mendukung pertukaran udara yang baik. UNCHS bahkan telah menetapkan sebelas persyaratan rumah sehat, yaitu (1) proteksi terhadap penyakit yang dapat menular, (2) proteksi terhadap kecelakaan dan gangguan pencemaran pada peralatan rumahtangga, polusi udara, zat kimiawi, dan bangunan rumah untuk tempat kerja, (3) promosi kesehatan mental. (4) penciptaan kesehatan lingkungan perumahan dan permukiman, (5) promosi kebersihan rumah dan lingkungan yang mendorong penghuni untuk selalu menjaga kesehatan keluarga, (6) penciptaan keamanan lingkungan dan upaya peniadaan gangguan terhadap ibu, wanita dan anak-anak, (7) penciptaan kesehatan sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah dan swasta, (8) penciptaan kesehatan yang selalu dikaitkan dengan daya dukung tanah, ruang terbuka hijau dan lingkungan, (9) rumah sebagai wadah proses pengembangan sosial ekonomi, (1 0) tempat pendidikan kesehatan umum dan profesi bagi anggota keluarga, dan (11) adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan rumah sehat dalam lingkungan yang sehat. Semua persyaratan yang dikemukakan ini sebenarnya jika dilihat dengan teliti, terkandung di dalam UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Setiap petugas penyuluh perumahan harus menginformasikan aspek-aspek panting rumah sehat yang meliputi aspek fisiologis yang dititikberatkan pada keadaan fisik bangunan yang bisa mempengaruhi perilaku penghuni (ventilasi, penerangan alam dan buatan, kondisi lantai, dinding, langit-langit, dan atap rumah, kelengkapan bangunan seperti WC, kamar mandi, tempat cuci, sumber air bersih, tempat sampah, serta saluran air hujan dan pembuangan, perencanaan ruang), aspek psikologis, aspek menghindar dari penyakit menular (perletakan bangunan, pengaruh hujan, saluran air buangan, penanggulangan sampah, dan penyesuaian terhadap lingkungan), dan aspek administratif (persyaratan pembangunan, perijinan, pemilikan, pendaftaran, pemilikan, bukti Buku Tanda Pemilikan Perumahan atau BTPP, bukti penghuninan rumah sewa dan rumah kost, serta Surat Penetapan Petunjuk Penggunaan atau Penghunian Perumahan (SP5) sesuai dengan hubungan hukum antara pemiilik dan penghuni. Rumah sehat harus memenuhi persyGJ.ratan penyehatan lingkungan permukiman, ketertiban, dan kesehatan lingkungan. Komponen yang perlu diperhatikan antara lain penyediaan prasarana lingkungan yang 151


memadab(par:i1 :sesuai dengan jumlah penghuni, pengamanan lingkungan perumahan terhadap pencemaran, pemeliharan ·sumber air bersih, dan pengelolaan pembuangan sampah' rumah tangga dan lingkungan. Tertib bangunan bisa menghindari kemungkinan bencana, runtuh, kebakaran, dan kepad;:1tan yang terlalu tinggi. Kerjasama dalam keuarga dan antar keluarga dapat meriumbuhkan rumah sehat. Rasa kebersamaan dapat menumbuhkan pembangunan rumah secara bersama, pemanfaatan tenaga kerja lokal, gotong royong, dan rasa persaudaraan. Pengertian warga terhadap rumah sehat menyebabkan keteraturan perletakan bangunan dan penyediaan ruang kegiatan, pengurangan sinar matahari dan silau, tampias hujan, pengaturan ruang untuk kerja dan usaha, penempatan perabot, pengaturan sirkulasi, penempatan anggota keluarga, pemeliharaan lantai kering, ruang makan dan ruang tamu, fasilitas mck, dinding, pintu, jendela, lobang angin, langit-langit atap, saluran air buangan dan air hujan, tempat pembuangan sampah, penyediaan air bersih dan penataan halaman rumah. Pola tata letak lingkungan peru mahan yang sehat, perlu memperhatikan jarak antar rumah, jarak antar rumah dengan jalan, letak perumahan, pemeliharaan kelestarian lingkungan, penyediaan ruang untuk menampung kegiatan (istirahat, tidur dan santai keluarga, memasak, menjahit, bertanam, mencuci, mandi, cuci dan warung) penyediaan ruangan dan pengaturan tata ruang. · Aspek-aspek rumah sehat perlu diperhatikan di semua jenis rumah. Khususnya bagi para penghuni golongan masyarakat berpenghasilan rendah di daerah perkotaan yang tinggal di rumah-rumah gubuk, petak, rumah sewa sederhana, rumah sewa bertingkat dan rumah susun, persyaratan rumah sehat perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi huniannya. Artinya, persyaratan rumah sehat harus diterjemahkan ke dalam kondisi perumahan serta lingkungan perumahan dan permukimannya. Misalnya pengaturan tanaman hijau dalam pot bunga dari kaleng, dan bekas, dan pembuatan pagar sederhana di lingkungan permukiman kumuh, tempat bermain anak, ruang terbuka hijau seadanya, fasilitas olahraga secukupnya (tempat bermain bulutangkis dan senam) dan penyediaan pos keamanan. Penyuluhan mengenai rumah sehat (dilakukan oleh Dinas Perumahan) yang dikaitkan dan dipadukan dengan penyuluhan perumahan dan lingkungan yang bersih dan sehat (PKK), penyehatan lingkungan perumahan dan permukiman (Direktorat PLP Departemen Kesehatan dan Departemen PU), dan kampanye ibu sehat sejahtera yang mencakup pendewasaan usia perkawinan, pendidikan reproduksi sehat, penyuluhan pra, .dan pasca-persalinan, pelayanan kontrasepsi, imunisasi dan penanggulangan diare, peningkatan pen,ggunaan air susu ibu, gerakan bina keluarga balita, usaha perbaikan gizi keluarga, peningkatan pefrdidikan dan ketrampilan ibu, bapak, wanita dan remaja, serta peningkatan dan pemanfaatan pelaksanaan keluarga berencana (KISS oleh BKKBN dari Dharma Wanita), kita harapkan semuanya bisa bermuara kepada satu tujuan, yaitu penciptaan lingkungan perumahan yang bersih dan sehat yang dihuni oleh keluarga sehat seja,htera. . . . ~· AfWka1ar1 Bersenjata, 6 Agustus 1992 lndikator Rumah Sehat di .Perkotaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, Pasal 4, menyebutkan bahwa penataan perumahan dan permukiman bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar man usia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat, mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur, memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional, dan menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan bidang-bidang lain. Dari keterituan ini tersirat pentingnya rumah sehat dalam lingkungan yang sehat. Khususnya perumahan dan permukiman di kampung-kampung dan lingkungan kurnuh perkotaan, harus benar-benar memperhatikan persyaratan rumah sehat. 152


lndikator Oalam makalahnya yang berjudullndikator Pemukiman Sehat di Perkotaan pada Seminar Peru mahan, Lingkungan dan Kesehatan tanggal 30 Juni 1990, Umar Fachmi Achmadi, menyodorkan beberapa indikator rumah sehat. Pertama, perilaku hidup sehat penduduk kota. Membuang sampah ke sungai, buang hajat besar di sungai, membiarkan selokan kotor dan air. tergenang di halaman, merupakan perilaku hidup tidak sehat. Perilaku hidup sehat adalah budaya hidup bersih di rumah, halaman dan lingkungan. Kedua, yang berkenaan dengan kondisi fisik perumahan, yaitu ukuran rumah dan pengaruhnya terhadap kesehatan, lingkungan fisik perumahan, kualitas udara permukiman dan ventilasi, dan sarana kesehatan lingkungan permukiman. Hasil penelitian Oarrundono (1988) menyimpulkan bahwa 68% rumah-rumah di kampung perkotaan mempunyai luas lantai kurang dari 50 m2, sebagian besar di bawah 30 m2 yang dihuni oleh 4-5 anggota keluarga. lni berarti setiap orang menempati luas lantai rumah di bawah 6-7 m2. Penyakit menular seperti infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) mudah berjangkit pada lingkungan perumahan dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Standar Oepkes (1988) menyebutkan bahwa satu orang memerlukan kamar ideal 4,5 m2. Anak-anak usia 1-10 tahun memerlukan 1 ,5 m2. Secara umum, ratio penghuni terhadap luas lantai kamar adalah 1 orang 4,5 m2 atau 1,5 orang 7,0 m2. Lingkungan fisik perumahan berupa pencahayaan dan kebisingan harus diperhatikan. Survai Rumah Tangga Nasional yang dilakukan Oepkes tahun 1987 menyimpulkan bahwa 36% rumah di perkotaan tidak mempunyai kamar tidur dan 34% tidak mempunyai ventilasi dan pencahayaan dinding. Kurangnya pencahayaan akan mengakibatkan gangguan psikologis, antara lain stress, sulit konsentrasi dan sulit istirahat. Kualitas udara permukiman meliputi udara dalam rumah (berkaitan dengan ventilasi) dan udara di sekitar rumah (harus memenuhi syarat tidak melampaui ambang bcrtas). Kualitas udara yang jelek sering mengakibatkan penyakit batuk, infeksi kuman, serta pencemaran udara dalam rumah dan lingkungan permukiman. Sarana kesehatan lingkungan permukiman meliputi prasarana jalan, saluran air, pembuangan sampah, penyediaan air bersih, fasilitas mck yang kesemuanya amat penting untuk menunjang kesehatan. Sri Soewasti, ahli peneliti utama di Oepkes menegaskan bahwa kurangnya pencahayaan, terlalu sempitnya luas rumah, dan lantai yang basah, sering mengakibatkan gangguan mental anggota keluarga, teriris di dapur waktu memasaknasi, keracunan di dapur waktu menanak nasi, keracunan di dapur dan kamar mandi, kebakaran, sesak nafas, jatuh karena lantai licin dan tersengat listrik akibat pemasangan stop-contact tidak baik. Amir Karamoy, dari REI, me~yarankan pembudidayaan hidup bersih dan sehat sejak anak-anak dan menegaskan motto kebersihpn dimulai dari rumah. Mochamad S. Hidayat, Ketua Umuni REI, menekankan pentingnya fasilitas lingkungan dalam mendukung perwujudan rumah sehat, yaitu prasarana jalan dan jembatan yang memadai, sa luran pembuangan air lim bah dan air hujan, ultimatum umum (air bersih, listrik, telepon, pembuangan sampah dan pemadaman kebakaran), taman kanak-kanak dan SO, puskesmas, klinik, apotik, pasar, toko, kios, poskamling, pos polisi, dan fasilitas ibadah. Apa yang disodorkan Hidayat ini kelihatannya hanya dapat disediakan pada lingkungan perumahan golongan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas yang dibangun oleh REI. Adi Sasono, tokoh LSM memandang rumah sehat sebagai salah satu pesan konstitusi kita. Penyediaan rumah sehat haruslah dilakukan dalam dimensi kemanusiaan. Untuk itu, partisipasi dan peran serta masyarakat dalam penyediaan rumah sehat perlu dikembangkan. Forum Kelompok Kerja Swadaya Masyarakat bersama-sama masyarakat lapisan terbawah, berusaha menyediakan rumah sehat menu rut ukuran kemampuan mereka, didukung keterjangkauan dan kelayakan ekonomis mereka yang serba terbatas. Oari sisi penataan perkampungan daerah perkotaan, Oarrundono (pakar perbaikan kampung, MHT), mengatakan bahwa Jakarta dengan 8,3 juta penduduk pada tahun 1990 dan pertambahan 200.000 jiwa per tahun, 600 jiwa/hari, 120 keluarga/hari (1 kk = 5 orang), 72 keluarga orang miskin/hari (sekitar 60% miskin), menyhasilkan kebutuhan rumah paling sedikit 3 rumah/jam. Juga di Jakarta, dari 4000 ha lingkungan pemukiman kumuh yang dihuni 2,4 juta jiwa atau 480.000 keluarga, dibutuhkan biaya 480.000 x Rp 6 juta (tipe 18 m2 = Rp 2.880 milyar untuk membangun rumah susun sederhana model Tambora dan Karanganyar yang dibangun PO Pembangunan Sarana Jaya. Oengan dana hanya Rp 100 milyar per tahun, Pemerintah OKI Jakarta perlu 28 tahun menuntaskan lingkungan permukiman kumuh menjadikannya lingkungan rumah sewa bertingkat yang sehat. 153


Program Perbaikan Kampung (MHT) di DKI Jakarta telah mendefinisikan dengan jelas lingkungan permukiman yang sehat. Lingkungan permukiman sehat harus memenuhi tiga persyaratan, yaitu fisik (tersedianya sarana air bersih yang memenuhi syarat fisik, bakteriologis dan kimia, sarana sanitasi, pengelolaan sampah dan air limbah, serta perumahan sehat), biologis (lingkungan bebas dari binatang serangga dan pengerat), dan sosial (periiaku hidup bersih dan sehat). lndikator penting adalah menurunnya angka penyakit saluran pencernaan, pernafasan dan kulit. Rumah bagi penduduk, berfungsi sebagai tempat melepas Ieiah dan beristirahat, tempat bergaul dan membina keluarga, tempat berlindung dari bahaya, sebagai lambang status sosial, serta tempat penyimpanan dan peletakan barang-barang rumahtangga. Rumah Sehat harus memenuhi 4 persyaratan. Pertama, memenuhi kebutuhan fisik penghuni, antara lain suhu lingkungan dapat dipertahankan, cukup penerangan, mempunyai ventilasi yang sempurna, dan terlindung dari gangguan bising. Kedua, memenuhi kebutuhan kejiwaan, menjamin privacy penghuni, menjamin hubungan yang serasi, antar anggota keluarga, menyediakan sarana tanpa menimbulkan kelelahan, membina dan menjamin kepuasan estetis dan sesuai dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Ketiga, dapat melindungi penghuni dari kemungkinan penularan penyakit. Keempat, dapat melindungi penghuni dari kemungkinan terjadinya bahaya atau kecelakaan. Sehat tidaknya rumah ditentukan oleh sistem pengadaan air di rumah yang baik dan memenuhi syarat kesehatan, fasilitas untuk mandi, cuci dan kakus, sistem pembuangan air bekas atau limbah, tersedianya fasilitas pembuangan tinja dan kotoran, tersedianya ventilasi dan jendela untuk kelua~ masuk udara, dan kekuatan bangunan rumah. Pentingnya ventilasi dan aliran udara adalah untuk menjaga kesegaran dan kadar oksigen yang cukup, mempertahankan dan mengatur kelembaban (humidity) sesuai dengan yang diinginkan dan suhu udara dapat diciptakan sedemikian rupa sehingga tubuh tidak banyak kehilangan panas. Cahaya dan pencahayaan, baik buatan (listrik, lampu minyak tanah, dan lampu gas) maupun alamiah (cahaya matahari, bulan dan bintang) sangat penting bagi mata guna melihat suatu obyek dengan jelas. Guna mendapatkan cahaya yang cukup, diperlukan sekurang-kurangnya ukuran jendela 10-20% dari luas lantai. Bunyi yang menyebabkan kebisingan atau gangguan lainnya (intensitas dan frekuensi serta lamanya seseorang berada di dekat bunyi keras atau bunyi bising), tidak boleh melebihi 50 desibel. Dari aspek kesehatan, ada delapan persyaratan rumah sehat. Pertama, tersedianya air bersih, ada penampungan air bekas, ada tempat sampah, ada jamban, dan ada saluran pembuangan hujan. Kedua, halaman rumah harus selalu dibersihkan. Pekarangan ditanami tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat. Ketiga, ruangan rumah cukup luas dan tidak padat penghuninya. Keempat, kamar-kamar harus berjendela. Ada lubang angin dan sinar matahari dapat masuk ruangan rumah. Kelima, dimanapun, tidak terdapat jentik-jentik nyamuk, kecoa dan tikus. Keenam, dinding dan lantai harus kering serta tidak lembab. Ketujuh, ada jalan keluar untuk asap dapur melalui lubang langit-langit. Kedelapan, kandang ternak terpisah paling tidak 1 0 meter jaraknya dari rumah. Perlu Mengubah Sikap lndikator perumahan dan permukiman sehat di perkotaan mencakup kondisi kebersihan perumahan dan lingkungan serta ketersediaan prasarana sanitasi, tumbuhnya perilaku hidup bersih dan sehat, dan dipenuhinya indikator fisik perumahan, antara lain ratio (penghuni : luas lantai kamar) = 1 : 4,5 m2 dengan memperhatikan kenyamanan keluarga (privacy), menjaga agar kebisingan permukiman NAB 45-60 dba, pencahayaan ruangan rumah yang mencukupi, ruang baca dan dapur 300 luks, kamar tidur 100 luks, ventilasi 10-20% dari luas lantai, rendahnya angka kejadian infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), terpeliharanya kualitas udara dalam rumah, dan kualitas air minum sesuai dengan Peraturan Menkes Nomor 01/Birhukmas/ 1/1975. Di ibukota, harus dipenuhi SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 1608 Tahun 1988 tentang Peruntukan dan baku mutu air sungai serta baku mutu air limbah di DKI Jakarta. Persyaratan kesehatan pengelolaan sampah rumahtangga, haruslah mengacu pada Kepdirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Permukiman (PPMPLP) Depkes Nomor 281- 11/PD.03:04.LP tanggal 30 Oktober 1989 yang mengatur penampungan dan pewadahan sampah, pengolahan sampah setempat, pengumpulan dan pengangkutan sampah, pengolahan, dan pembuangan akhir sampah. Penciptaan Rumah Sehat dalam Lingkungan yang Sehat hendaknya mengacu pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Direktur Penyehatan Lingkungan dan Direktur Perumahan Ditjen Cipta Karya Departemen PU 154


dan ketentuan mengenai kesehatan lingkungan permukiman yang ditetapkan oleh Direktur Penyehatan Lingkungan Permukiman Ditjen PPMPLP Depkes. Menurut pakar perumahan dari ITS, Johan Silas, dalam Repelita VI dan PJP II standar ruang perlu ditingkatkan dari 12 m2 (Pelita V) menjadi 14 m2/orang (Repelita VI). Sasaran ini kelihatannya ambisius, karena memperhitungkan kebutuhan ruang termasuk untuk keperluan kewanitaan, anak-anak, integrasi rumah dengan ruang kerja dan usaha, padahal ketersediaan tanah makin kecil, harga bahan bangunan dan upah kerja makin tinggi sehingga harga rumah makin mahal, dan peningkatan penghasilan masyarakat berpenghasilan rendah sulit mengejar lonjakan harga jual rumah. Kondisi ini juga digarisbawahi oleh Presiden Soeharto saat memberikan pengarahan pada pembukaan Lokakarya Nasional Perumahan dan Permukiman 1992 tanggal 16 Nopember 1992 di lstana Negara, makin sulitnya mendapatkan tanah dengan harga yang terjangkau mengharuskan dilakukannya pemasyarakatan rumah susun yang dipadukan dengan usaha memperbaiki kualitas perumahan dan lingkungannya terutama di kawasan kumuh di sekitar pusat kegiatan di kota-kota besar. Presiden Soeharto juga menegaskan bahwa diperlukan upaya mengubah sikap, perilaku dan kesadaran masyarakat, baik pengetahuan, pengertian, kepedulian dan rasa kebutuhan terhadap perumahan dan permukiman sehat. Untuk itulah, Presiden mencanangkan Gera~an Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat. Gerakan ini perlu segera ditindaklanjuti dengan Pedoman Umum, Pedoman Teknis, dan Petunjuk Pelaksanaan Perumahan dan Permukiman Sehat. Angkatan Bersenjata, 13 Januari 1993 Perlu Redefinisi Pengertian Rumah Sehat Prakarsa dan swadaya masyarakat diperlukan dalam mengembangkan rumah sehat dalam lingkungan pemukiman yang sehat. Tahun 1989, United Nation Centre for Human Settlements (UNCHS) menekankan pentingnya rumah sehat bagi keluarga (Shelter, Health and the Family). Tantangan untuk mewujudkan rumah sehat muncul terutama pada lingkungan rumah sederhana dan rumah sangat sederhana, kapling siap bangun (KSB), rumah inti, rumah tumbuh dan permukiman di kampung-kampung perkotaan dan perdesaan. Aparat Pemerintah yang tugas dan fungsinya terkait dengan rumah sehat, antara lain Direktorat Perumahan Ditjen Cipta Karya, Puslitbang Pemukiman, Direktorat Penyehatan Lingkungan dan Pemukiman (PLP) Ditjen Cipta Karya Deppu dan Direktorat PLP Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan PLP Depkes, Depsos, Depdagri, dan Pemda, perlu terus berusaha memberikan penyuluhan dan memasyarakatkan program sehat. Tempat Pertemuan Rumah sebagai tempat pertemuan berbagai kegiatan keluarga, mempunyai arti penting dalam memberikan ruang dan suasana yang menunjang kegiatan itu sendiri. Perlu dipersiapkan rumah sehat yang dapat menampung anggota keluarga dan mewujudkan kesehatan serta keseimbangan jasmani-rohani setiap anggota keluarga. Rumah yang sehat dan sejahtera akan menumbuhkan suasana hidup tenteram, aman dan tertib. Karena itu Menneg Kependudukan Haryono Suyono mengusulkan RSS adalah Rumah Sehat Sejahtera, bukan Rumah Sangat Sederhana. Dari rumah yang sangat sederhana pun dapat dibentuk menjadi rumah sehat dalam lingkungan pemukiman yang sehat. Direktorat Perumahan Ditjen Cipta Karya menegaskan bahwa rumah sehat harus memenuhi empat persyaratan, yaitu aspek kesehatan, kekuatan bangunan, kenyamanan, dan keterjangkauan. Bagian-bagian rumah yang mempengaruhi kesehatan keluarga hendaknya dipersiapkan dengan baik, terutama penerangan dan peranginan yang cukup, penyediaan air bersih, pengaturan pembuangan air limbah dan sampah 155


sehingga tidak menimbulkan peneemaran, bagian-bagian ruang seperti lantai dan dinding tidak lembab, dan tidak terpengaruh peneemaran seperti bau, rembesan air kotor, dan udara kotor. Bagian-bagian bangunan rumah harus mempunyai konstruksi dan bahan bangunan yang menjamin keamaan, seperti konstruksi bangunan yang eukup kuat, baik untuk menahan beratnya sendiri maupun pengaruh luar (angin, hujan, gempa, dan lain-lain), pemakaian bahan bangunan yang bisa dijamin keawetan dan kemudahan dalam pemeliharaan, dan penggunaan bahan tahan api (untuk bagian yang mudah terbakar) dan bahan tahan air (untuk bagian yang selalu basah). Agar keluarga dapat tinggal dengan nyaman dan dapat melakukan kegiatan dengan mudah, diperlukan rumah dengan penyediaan ruangan yang mencukupi, ukuran ruangan yang sesuai dengan kegiatan penghuni di dalamnya, penataan ruangan yang eukup baik, dekorasi dan warna ruang yang serasi, dan penghijauan halaman yang diatur sesuai kebutuhan. Siswono (1991) menyatakan bahwa rumah sang at sederhana (pada saat diperkenalkan pertama kali, harganya sekitar Rp 2,5 juta dan harganya meningkat menjadi Rp 3 juta pada saat dikeluarkan SK Menpera tentang RSS) yang masih memenuhi persyaratan minimum rumah sehat dapat terdiri atas dinding batako tras kapur, anyaman bambu yang dipasang pada rangka kayu atau tripleks, lantai tanah diperkeras, plesteran tras kapur yang diaei semen pasir, penutup atap dari asbes semen gelombang kecil, sedang gelombang atau genteng sederhana. Rumah seperti ini tetap harus memperhatikan persyaratan yang ditetapkan melalui Pedoman Teknik Pembangunan Rumah Sederhana Tidak Bersusun (SK Menteri PU No. 20/Kpts/1986). Beberapa ketentuan SK Menpu tersebut antara lain luas lantai maksimal 36 m2, ada aliran listrik, air bersih minimal dari sumur, lantai rumah diberi perkerasan untuk memudahkan pembersihan dan mengurangi kelembaban, khusus lantai kamar mandi dari plesteran semen pasir, bahan penutup dinding minimal dari anyaman bambu (bilik) yang dipasang di atas dinding bata setinggi minimal 90 em dari muka lantai, dinding kamar mandi dibuat dari pasangan tembok dan dinding kapur dilapis bahan tahan api (minimal sampai ketinggian 150 em dari muka lantai). Rangka atap dari kuda-kuda dan gordeng kayu, kaso dan reng boleh dari bambu, penutup atap dari asbes semen gelombang, seng gelombang atau genteng sederhana, tidak perlu dipasang penutup langitlangit, luas kapling minimum 54 m2 dan maksimum 200 m2. Prasarana lingkungan berupa jalan tanah yang diperkeras dengan segala jenis batuan (minimal dari kerikil atau sirtu), Iebar jalan setapak minimal 3 m (dilengkapi parit tanah sebagai saluran pembuangan air hujan). Kelompok rumah sangat sederhana dapat dibangun tersendiri atau sebagai bagian dari kawasan perumahan yang lengkap dengan syarat warga penghuni rumah sangat sederhana dapat memanfaatkan fasilitas lingkungan yang tersdia di sekitarnya. UNCHS menetapkan sebelas persyaratan rumah sehat (Komarudin, Neraca, 23 Maret 1991), yaitu proteksi terhadap keraeunan. Kebisingan mengakibatkan gangguan psikologis, antara lain stress, sulit konsentrasi dan sulit istirahat. Kualitas udara pemukiman meliputi udara dalam rumah (berkaitan dengan ventilasi) dan udara di sekitar rumah (harus memenuhi syarat tidak melampaui ambang batas). Kualitas udara yang jelek sering mengakibatkan penyakit batuk, infeksi kuman, serta peneemaran udara dalam rumah dan lingkungan pemukiman. Sarana kesehatan lingkungan pemukiman meliputi prasarana jalan, saluran air, pembuangan sampah, penyediaan air bersih, fasilitas mek yang kesemuanya amat penting untuk menunjang kesehatan. Sri Soewasti, ahli peneliti utama di Depkes menegaskan bahwa kurangnya peneahayaan, terlalu sempitnya luas rumah, dan lantai yang basah, sering mengakibatkan gangguan mental anggota keluarga, teriris di dapur waktu memasak nasi, keraeunan di dapur dan kamar mandi, kebakaran, sesak nafas, jatuh karena lantai liein, dan tersengat listrik akibat pemasangan stop-contact tidak baik. Amir Karamoy, dari REI, menyarankan pembudidayaan hidup bersih dan sehat sejak anak-anak dan menegaskan motto kebersihan dimulai dari rumah. Moehamad S. Hidayat, Ketua Umum REI, menekankan pentingnya fasilitas lingkungan dalam mendukung perwujudan rumah sehat, yaitu prasarana jalan dan jembatan yang memadai, saluran pembuangan air limbah dan air hujan, utilitas umum (air bersih, listrik, telepon, pembuangan sampah, dan pemadaman kebakaran), taman kanak-kanak dan SO, puskesmas, klinik, apotik, pasar, toko, kios, poskamling, pos polisi, dan fasilitas ibadah. Apa yang disodorkan Hidayat ini kelihatannya hanya dapat disediakan pada lingkungan perumahan golongan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas yang dibangun oleh REI. 156


Adi Sasono, tokoh LSM memandang rumah sehat sebagai salah satu pesan konstitusi kita. Penyediaan rumah sehat haruslah dilakukan dalam dimensi kemanusiaan. Untuk itu, partisipasi dan peran serta masyarakat dalam penyediaan rumah sehat perlu ditumbuhkembangkan. Forum Kelompok Kerja Swadaya Masyarakat bersama-sama masyarakat lapisan terbawah, berusaha menyediakan rumah sehat menurut ukuran kemampuan mereka, didukung keterjangkauan dan kelayakan ekonomis mereka yang serba terbatas. Dari sisi penataan perkampungan daerah perkotaan, Darrundono (pakar perbaikan kampung, MHT), mengatakan bahwa Jakarta dengan 8,3 juta penduduk pada tahun 1990 dan pertambahan 200.000 jiwa per tahun, 600 jiwa/hari, 120 keluarga/hari (1 kk = 5 orang), 72 keluarga orang miskin/hari (sekitar 60% miskin), menghasilkan kebutuhan rumah paling sedikit 3 rumah/jam. Juga di Jakarta, dari 4000 ha lingkungan permukiman kumuh yang dihuni 2,4 juta jiwa atau 480.000 keluarga, dibutuhkan biaya 480.000 x Rp 6 juta (tipe 18m2)= Rp 2.800 milyar untuk membangun rumah susun sederhana model Tambora dan Karanganyar yang dibangun PO Pembangunan Sarana Jaya. Dengan dana hanya Rp 100 milyar per tahun, Pemerintah DKI Jakarta perlu 28 tahun menuntaskan lingkungan permukiman kumuh menjadikannya lingkungan rumah sewa bertingkat yang sehat. Program Perbaikan Kampung (MHT) di DKI Jakarta telah mendefinisikan dengan jelas lingkungan pemukiman yang sehat. Lingkungan pemukiman sehat harus memenuhi tiga persyaratan, yaitu fisik (tersedianya sarana air bersih yang memenuhi syarat fisik, bakteriologis dan kimia, sarana sanitasi, pengelolaan sampah dan air limbah, serta perumahan sehat), biologis (lingkungan bebas dari binatang serangga dan pengerat), dan sosial (perilaku hidup bersih dan sehat). lndikator panting adalah menurunnya angka penyakit saluran pencernaan, pernafasan dan kulit. Rumah bagi penduduk, berfungsi sebagai tempat melepas Ieiah dan beristirahat, tempat bergaul dan membina keluarga, tempat berlindung dari bahaya, sebagai lambang status sosial, serta tempat penyimpanan dan peletakan barang-barang rumahtangga. Sehat tidaknya rumah ditentukan oleh sistem pengadaan air di rumah yang baik dan memenuhi syarat kesehatan, fasilitas untuk mandi, cuci, dan kakus, sistem pembuangan air bekas atau limbah, tersedianya fasilitas pembuangan tinja dan kotoran, tersedianya ventilasi dan jendela untuk keluar masuk udara, dan kekuatan bangunan rumah. Pentingnya ventilasi dan ali ran udara adalah untuk menjaga kesegaran dan kadar oksigen yang cukup, mempertahankan dan mengatur kelembabar) (humidity) sesuai .dengan yang diinginkan dan suhu udara dapat diciptakan sedemikian rupa sehingga tubuh tidak banyak kehilangan panas. Cahaya dan pencahayaan, baik buatan (listrik, lampu minyak tanah, dan lampu gas) maupun alamiah (cahaya matahari, bulan dan bintang) sangat panting bagi mata guna melihat suatu obyek dengan jelas. Guna mendapatkan cahaya yang cukup, diperlukan sekurang-kurangnya ukuran jendela 10-20% dari luas lantai, bunyi yang menyebabkan kebisingan atau gangguan lainnya (intensitas dan frekuensi serta lamanya sese.orang berada di dekat bunyi keras atau bunyi bising), tidak boleh melebihi 50 desibel. Dari aspek kesehatan, ada delapan persyaratan rumah sehat. Pertama, tersedia air bersih, ada penampungan air bekas, ada tempat sampah, ada jamban, dan ada saluran pembuangan air hujan. Kedua, halaman rumah harus selalu dibersihkan. Pekarangan ditanami tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat. Ketiga, ruangan rumah cukup luas dan tidak padat penghuninya. Keempat, kamar-kamar harus berjendela. Ada lubang angin dan sinar matahari dapat masuk ruangan rumah. Kelima, dimanapun, tidak terdapat jentik-jentik nyamuk, kecoa dan tikus. Keenam, dinding dan lantai harus kering dan tidak lembab. Ketujuh, ada jalan keluar untuk asap dapur melalui lubang langit-langit. Kedelapan, kandang ternak terpisah paling tidak 10 meter jaraknya dari rumah. Catatan Penutup Rumah Sehat harus memenuhi empat persyaratan. Pertama, memenuhi kebutuhan fisik penghuni, antara lain suhu lingkungan dapat dipertahankan, cukup penerangan, mempunyai ventilasi yang sempurna, dan terlindung dari gangguan bising. Kedua, memenuhi kebutuhan kejiwaan, menjamin privacy penghuni, menjamin hubungan yang serasi antar anggota keluarga, menyediakan sarana tanpa menimbulkan kelelahan, membina dan menjamin kepuasan estetis, dan sesuai dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Ketiga, dapat melindungi penghuni dari kemungkinan penularan penyakit. Keempat, dapat melindungi penghuni dari kemungkinan terjadinya bahaya atau kecelakaan. lndikator 157


perumahan dan permukiman sehat di perkotaan mencakup kondisi kebersihan perumahan dan lingkungan serta ketersediaan prasarana sanitasi, tumbuhnya perilaku hidup sehat, dan dipenuhinya indikator fisik perumahan, antara lain ratio penghuni : luas lantai kamar = 1 : 4.5 m2 dengan memperhatikan privacy atau kenyamanan keluarga, kebisingan pemukiman NAB 45-60 dba, pencahayaan ruangan rumah yang mencukupi, ruang baca dan dapur 300 luks, kamar tidur 100 luks, ventilasi 10-20% dari luas lantai, rendahnya angka kejadian infeksi saluran nafas atas. terpeliharanya kualitas udara dalam rumah, dan kuaitas air minum sesuai dengan Peraturan Menkes Nom or 01 /Birhukmas/1/1975. Di ibukota, harus dipatuhi SK Gubernur OKI Jakarta Nomor 1608 Tahun 1988 tentang Peruntukan dan baku mutu air sungai serta baku mutu air limbah di DKI Jakarta. Persyaratan kesehatan pengelolaan sampah rumah tangga, haruslah mengacu pada Kepdirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PPMPLP) Depkes Nomor 281-11/ PD.03:04.LP tanggal 30 Oktober 1989 yang mengatur penampungan dan pewadahan sampah, pengolahan sampah setempat, pengumpulan dan pengangkutan sampah, pengolahan, dan pembuangan akhir sampah. Penciptaan Rumah Sehat dalam Lingkungan yang Sehat hendaknya mengacu pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Direktorat Perumahan Ditjen Cipta Karya Departemen PU dan ketentuan mengenai kesehatan lingkungan permukiman yang ditetapkan oleh Direktorat Penyehatan Lingkungan Pemukiman Ditjen PPMPLP Depkes. Ketentuan persyaratan satu orang memerlukan luas lantai kamar ideal 4,5 m2 dan anak usia 1-10 tahun memerlukan 2,5 m2 (Depkes, 1988) minimal 9 m2 per orang (Ditjen Cipta Karya, Deppu), dan rata-rata nasional 12 m2/orang (perkotaan) dan 14 m2/orang (perdesaan) yang di akhir Pelita VI akan ditingkatkan menjadi 14-15 m2/orang (perkotaan) dan 15-16 m2/orang di perdesaan (Johan Silas, 1992), perlu ditinjau kembali. Peninjauan kembali definisi rumah sehat yang Ia yak huni perlu dilakukan, karena RS dan RSS yang luas bangunannya 18 m2 kenyataannya sangat memprihatinkan dan masih sulit disebut sebagai rumah sehat, apalagi rumah sehat sejahtera. Suara Pembaruan, 21 Januari 1994 Kampanye Gerakan Nasional Rumah Sehat Persyaratan kesehatan, perencanaan fisik, dan kekuatan struktur rumah merupakan faktor-faktor penting dalam mewujudkan rumah sehat. Sejak 1986 Ditjen Cipta Karya Departemen PU telah menentukan persyaratan rumah sehat, sedangkan tahun 1988 Depkes juga menetapkan persyaratan rumah sehat. Ditetapkannya target pembangunan perumahan rakyat yang disubsidi sebanyak 600.000 unit dalam Pelita VI, terdiri atas 480.000 unit Rumah Sangat Sederhana (RSS), 115.000 Rumah Sederhana (RS), dan 5.000 unit Kapling Siap Bangun (KSB), ternyata belum diikuti oleh upaya-upaya mewujudkan rumah sehat. lni terlihat dari belum dilibatkannya unsur Depkes di dalam proses pembangunan perumahan rakyat, sehingga Depkes baru masuk ke perumahan dan permukiman setelah ada wabah atau timbulnya penyakit. Sebelum terlambat, dalam menyongsong Repelita VI pada bulan April 1994 nanti, pembangunan perumahan rakyat perlu dibarengi dengan upaya-upaya untuk mewujudkan rumah sehat. Sejalan dengan itu, penyebarluasan, pemasyarakatan, dan kampanye Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat (yang dicanangkan oleh Presiden Soeharto pada Pembukaan Lokakarya Nasional Perumahan dan Permukiman 1992 tanggal 16 Nopember 1992), perlu dilaksanakan di seluruh tanah air. Rumah Sehat Rumah berfungsi sebagai tempat berlindung, tempat pembinaan keluarga, dan membangun kehidupan keluarga. Ada em pat faktor yang merupakan penentu rumah sehat, yaitu aspek fisiologis, psikologis, terhindar dari penyakit menular dan kecelakaan, serta aspek administrasi (Dinas Perumahan, 1991 ). Aspek fisiografis menitikberatkan pada keadaan fisik bangunan yang mana yang dapat mempengaruhi perilaku penghuni 158


dalam menentukan kegiatan bagi setiap keluarga. Aspek fisiologis meliputi unsur-unsur ventilasi, penerangan, kondisi rumah, kelengkapan bangunan, dan pereneanaan ruang. Ditjen Cipta Karya menetapkan persyaratan luas bukaan ventilasi 1 m2 a tau minimal 1/9 luas lantai. Penerangan terdiri atas penerangan alam dan penerangan buatan (malam hari). Untuk memperoleh penerangan alam yang eukup, letak rumah haruslah sesuai dengan orientasi matahari, daerah kerja ditempatkan pada arah Timur-Barat, daerah hunian pada arah Utara-Selatan, dan distribusi sinar matahari merata. Ruang baea dan ruang kerja penerangan minimum 150 lux (10 watt lampu TL atau 40 Watt lampu pijar). Lantai rumah (panggung atau bukan panggung) harus kering dan tidak lembab. Tinggi lantai bukan panggung 1 0 em pekarangan atau 25 em dari jalan. Dinding harus tidak tembus pandang dan dapat menahan angin serta tidak tembus air (kedap air). Tinggi langit-langit minimum 240 em dan sudut kemiringan atap harus disesuaikan dengan bahan penutup atas dan merupakan bidang rata. Kelengkapan bangunan terdiri atas we/kamar mandi, tempat euci, sumber air bersih, tempat sampah, dan saluran air hujan. Luas lantai we minimum 1 m2, kamar mandi 2,5 m2, dan sebuah kamar mandi/we sebaiknya digunakan oleh maksimum 6 orang. Tempat euci pakaian dan alat-alat dapur untuk 10 orang penghuni memiliki luas lantai 2 m2. Sumber air bersih bisa diperoleh dari paneuran air, air kali, air hujan, sumur, sumur pompa, atau PAM. Lokasi sumur harus dekat kamar mandi atau tempat euci dengan jarak sumber air ke kakus minimal 1 0 m, dan di sekeliling sumur diberi pengerasan agar air tidak tergenang. Tempat sampah sebaiknya ada tutupnya dan saluran air hujan sebaiknyaa terbuka dan dapat mengalirkan air hujan ke selokan di pinggir jalan. Pereneanaan ruang, minimal 9 m2 per orang dan pada setiap rumah minimal harus terdapat kamar tamu dan kamar makan, kamar tidur, dapur dan fasilitas mek (we, dan kamar mandi). Aspek psikologis rumah berkaitan erat dengan kondisi penghuni dan lingkungan sekitarnya. Hubungan antar keluarga dan hubungan dengan keluarga lain harus harmon is dengan memperhatikan sosio-kultur yang melekat pada individu setiap keluarga. Seluruh anggota masyarakat hendaknya memperhatikan kelestarian hubungan antar warga dan kelestarian lingkungan serta selalu mengupayakan terciptanya lingkungan yang bersih, tertib, teratur, aman, dan nyaman. Agar dapat terhindar dari penyakit menular dan keeelakaan, maka perletakan bangunan harus teratur, tampias hujan perlu dihindari agar bangunan tidak mudah lapuk, saluran air buangan harus lanear (air hujan, air bekas mandi dan euci, dan air kotor), pengumpulan, penampungan, dan pembuangan sampah harus teratur (pengumpulan sampah seeara teratur, penyediaan tempat penampungan sampah sementara, pengangkutan sampah, pemusnahan sampah, penimbunan sampah, didukung kesadaran keluarga serta budaya hidup bersih dan sehat). Pembangunan rumah juga harus memperhatikan penyesuaian terhadap lingkungan, yaitu serasi dengan rumah-rumah disekitarnya. Aspek administrasi juga perlu diperhatikan, antara lain sesuai dengan penataan ruang kota (desa), mempunyai surat ijin mendirikan bangunan, memenuhi berbagai persyaratan pembangunan, melakukan pendaftaran perumahan, melakukan peneatatan jumlah penghuni dalam keluarga kepada RT dan RW setempat, dan mematuhi berbagai peraturan lingkungan perumahan dan permukiman (RT, RW, dan Komplek Peru mahan). Lingkungan perumahan sehat menyangkut tata letak perumahan dan penyediaan ruang kegiatan yang mendukung produktivitas keluarga. Lingkungan perumahan yang sehat merupakan kebutuhan bagi setiap warga masyarakat yang tinggal pada suatu lingkungan perumahan. Lingkungan perumahan yang sehat perlu dibarengi oleh terbinanya kerukunan kehidupan antar warga. Untuk mendukung pembinaan ini, harus diperhatikan keserasian jarak antar rumah, jarak antara rumah dengan jalan, letak peru mahan dan kelestarian lingkungan. Jarak antar rumah yang terlalu dekat mengakibatkan penyinaran matahari berkurang. Jarak antara rumah dengan jalan yang terlalu dekat menimbulkan masalah bagi anak-anak, menimbulkan kebisingan dan banyaknya debu masuk rumah. Letak perumahan harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak merugikan rumah yang lain. Misalnya pada saat terjadi hujan tidak terjadi banjir dan rumah satu ke rumah lain. Upaya 159


pelestarian lingkungan dilakukan antara lain dengan melakukan tanaman rindang dan menyediakan pot bunga serta penghijauan halaman. Rumah juga merupakan tempat kegiatan istirahat, bekerja, membersihkan badan, sosial, dan kegiatan khusus. Rumah sekaligus merupakan tempat bekerja, istirahat, dan santai, memasak, mencuci, menjahit, berkebun, mandi, dan berfungsi juga sebagai tempat memperoleh mata pencaharian (berupa warung, toko, tempat privat-les, kursus, dan bimbingan belajar, kegiatan olah raga seperti senam, dan latihan seni-budaya). Penyediaan ruangan harus disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. Terbatasnya ruang, memungkinkan untuk menggunakan ruang tamu untuk ruang keluarga, dan ruang makan sebagai tempat belajar. Penataan ruang pada rumah yang betapapun sempitnya, haruslah diupayakan agar tampak nyaman, indah, bersih, penataan dekorasi yang baik dan menarik, adanya pemandangan ke luar yang enak, penerangan yang cukup, ventilasi yang memadai, tempat tidur yang bebas dari kebisingan, air buangan yang tidak menimbulkan bau tidak sedap, saluran yang memungkinkan lancarnya aliran air kotor, dan terciptanya penataan bersama antar tetangga pada bagian-bagian tanah atau halaman yang besinggungan. Menuju Rumah Sehat Sedikit berbeda dengan ketentuan Ditjen Cipta Karya, Depkes (1988) menentukan persyaratan luas lantai kamar ideal 4,5 m2 per orang dan 2,5 m2 untuk anak-anak usia 1-10 tahun. Rasio penghuni terhadap luas lantai kamar adalah 1 orang berbanding 4,5 m2 atau 1 ,5 orang berbanding 7 m2. Dengan demikian untuk satu keluarga (bapak, ibu, pembantu, dan 2 anak), dibutuhkan rumah dengan luas lantai bangunan 18,5 m2 (3 x 4,5 m2 ditambah 2 x 2,5 m2). Mewujudkan rumah sehat di perdesaan lebih mudah dibandingkan dengan di perkotaan. lndikator perumahan sehat di perkotaan meliputi kondisi kebersihan lingkungan pemukiman dan ketersediaan prasarana sanitasi lingkungan, jumlah pelanggaran terhadap norma kehidupan komunal yang telah disepakati sebagai manifestasi perilaku hidup sehat, dan diperhatikannya indikator rumah sehat (ratio penghuni : luas lantai kamar = 1 : 4,5 M2 dengan memperhatikan privacy dan jumlah anggota keluarga, kebisingan permukiman NAB 45-60 dba, pencahayaan ruang rumah, ruang baca, ruang tidur, dan dapur, yang cukup (ruang baca, ruang keluarga, dapur 300 luks, dan ruang tidur 100 luks; ventilasi 10-20% luas lantai, angka kejadian infeksi saluran nafas bagian atas, ISPA, rendah, kualitas udara dalam rumah memadai, dan kualitas air minum terpelihara). Maria Hartiningsih (Kompas, 1992} melihat rumah bukan hanya tempat tinggal, tapi rumah sebagai kata kerja adalah suatu on going process. Rumah bukan sekedar shelter, tapi merupakan home. Hindro Tjahjono Sumardjan, pembangunan Kota Baru Bandar Kemayoran yang telah membangun rumah susun Kemayoran, menyarankan bahwa dalam mewujudkan rumah sehat, perlu diperhatikan konstruksi bangunan, bahan bangunan, komponen dan elemen bangunan, pengaruh lingkungan, jarak antar ruang, sarana dan prasarana yang mendukung, aspek psikologis. kesehatan, keamanan, budaya atau kultur, dan kebiasaan penghuni yang dapat mendukung perwujudan penghunian yang layak, aman, serasi, dan tenteram. UNICEF (1989) menegaskan bahwa paling sedikit ada tiga fungsi rumah, yaitu tempat berlindung, tempat pembinaan keluarga, dan tempat kegiatan keluarga. Dalam menuju rumah sehat, sebelas persyaratan perlu diperhatikan, yaitu (1) proteksi terhadap penyakit yang dapat menular, (2) proteksi terhadap kecelakaan dan gangguan pencernaan pada peralatan rumahtangga, polusi udara, zat kimiawi, dan bangunan rumah untuk tempat kerja, (3) promosi kesehatan mental, (4) penciptaan kesehatan lingkungan perumahan dan permukiman, (5) promosi kebersihan rumah dan lingkungan yang mendorong penghuni untuk selalu menjaga kesehatan keluarga, (6) penciptaan keamanan lingkungan dan upaya peniadaan gangguan terhadap ibu, wanita, pemuda, dan anak, (7) penciptaan kesehatan sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah dan swasta, (8) penciptaan kesehatan yang dikaitkan dengan daya dukung tanah, ruang terbuka hijau, dan lingkungan, (9) rumah sebagai wadah proses sosial-ekonomi, (1 0) rumah sebagai tempat pendidikan kesehatan umum, dan (11) tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan rumah sehat dalam lingkungan yang sehat. 160


Perlu Kampanye Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat yang dicanangkan tahun 1992 perlu segera disebarluaskan, dimasyarakatkan, dan dilaksanakan di seluruh tanah air. Untuk keperluan tersebut, oleh Departemen PU, Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, dan Kantor Menpera, perlu disiapkan bahanbahan dan brosur tentang rumah sehat. Kampanye Nasional Gerakan Rumah Sehat perlu dilakukan seperti pada awal melakukan Kampanye Keluarga Berencana. Kampanye ini penting terutama bagi para penghuni yang tinggal di kampung-kampung (perkotaan dan perdesaan), yang tinggal di atas kapling siap bangun, yang tinggal di lingkungan permukiman perkotaan (baik yang telah menerima proyek perbaikan kampung maupun yang masih kumuh), serta di lingkungan permukiman Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana. Sejalan dengan itu, bekerjasama dengan PKK dan LSM, perlu ditumbuhkembangkan sejak kecil, sedini mungkin, budaya hidup bersih dan sehat. Perlu dibudayakan dan dimasyarakatkan perlunya lingkungan hidup yang bersih dan sehat, serta perlu terus dikumandangkan pentingnya perwujudan rumah sehat. Penyuluhan kesehatan lingkungan dan penyuluhan rumah sehat serta pembinaan penghunian perumahan, perlu dilaksanakan secara terintegrasi oleh unsur-unsur terkait seperti Depdagri dan Pemerintah Daerah/Dinas Perumahan, Deppu, Depkes, Depsos, PKK, dan LSM. Penyuluhan tentang rumah sehat ini dimaksudkan untuk lebih mendorong usaha pembangunan rumah sehat, menumbuhkan partisipasi masyarakat, menciptakan lingkungan fisik perumahan yang memenuhi persyaratan ketertiban, kesehatan, kebersihan, keindahan, dan pemilikan, menuju pada terciptanya perumahan yang sehat bagi masyarakat perkotaan dan perdesaan. Suara Pembaruan, 28 Januari 1994 161


Dekade Kunjungan Indonesia Kepariwisataan Nasional, merupakan tatanan yang menyeluruh dari segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata, baik pariwisata mancanegara maupun Nusantara yang mencakup berbagai aspek kehidupan dalam upaya menunjang pencapaian cita-cita nasional, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam penyelenggaraan negara, kepariwisataan mempunyai makna politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam. Sifat yang dianut adalah terbuka, pragmatis, ambeg paramaarta, multi upaya dan multi dimensi, selektif, serta berwawasan internasional. Tahun Kunjungan Wisata Indonesia 1991 dan Tah,un Kunjungan Wisata ASEAN 1992 telah berhasil meningkatkan arus kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Untuk lebih meningkatkan arus kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dan mempererat persahabatan antar bangsa serta untuk lebih memperkenalkan obyek dan day a tarik wisata di Indonesia, dipandang perlu menetapkan T ahun 1993- 2000 sebagai Dekade Kunjungan Indonesia. Untuk itulah, maka pada tanggal 21 Oktober 1992 ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1992 tentang Dekade Kunjung~n Indonesia. Dekade Kebijaksanaan Nasional di Sektor Kepariwiiataan mengandung tujuh butir panting. Pertama, kepariwisataan nasional harus mampu menjadi salah satu pendorong utama pembangunan terutama di daerah atau tempat di mana sektor lain sulit dikembangkan. Kedua, harus bermanfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Ketiga, dalam mencapai tujuan nasional, harus menunjang dan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan sektor permbangunan lainnya. Keempat, harus berwawasan politik, sosialekonomi, sosial-budaya, dan hankam secara u1uh dan bulat. Kelima, harus mempelopori pengembangan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Keenam, harus memberikan kesempatan berusaha dan menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi perorangan ataupun kelompok masyarakat Indonesia. Ketujuh, harus mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada wisatawan nusantara dan mancanegara tanpa mengorbankan kehormatan bangsa dan kepentingan Nasional. Untuk mencapai tujuan yang telah digariskan, kegiatan kepariwisataan nasional perlu didukung sepenuhnya oleh komponen pelaku {pelaksana dan organisasinya), pranata (sarana, prasarana, dan peraturan perundang-undangan), dan kegiatan (studi pasar, kawasan dan produk, penyediaan informasi, pengelolaan obyek dan daya tarik wisata, aksesibilitas, pelayanan akomodasi, transportasi dan panduan, peningkatan mutu produk, pengembangan kawasan pariwisata, pengembangan surnberdaya manusia, dan pembinaan masyarakat. Koordinasi di antara kegiatan kepariwisataan dengan subsistem pelaku dan pranata harus terintegrasi sehingga secara optimal dapat diarahkan untuk mencapai tujuan pembangunan kepariwisataan sebagai bagian dari pembangunan nasional. Tahun 2000 tinggal delapan tahun lagi. Menyongsong tahun 2000, perlu ditunjang oleh kegiatan tahunan kepariwisataan. Tahun 1993 adalah tahun lingkungan hidup. Pada tahun ini diharapkan dapat disebarluaskan dan ditumbuhkan pengertian berbagai aspek yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup, mulai dari UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, AMDAL, ANDAL, PIL, SEL, SEMDAL, SNPTR, Penataan Ruang, Proyek Kali Bersih dan Gerakan Kali Bersih, Proyek Udara Bersih, HKSN, BAPEDAL, Limbah 83, Lembaga Swadaya Masyarakat dan lain-lain. Tahun 1994 merupakan tahun peranan wanita dalam pembangunan, pemuda dan olahraga. Peranan wanita dalam pembangunan perlu ditunjukkan dengan keterlibatan wanita dalam pembangunan, pemuda dan olahraga. Peranan wanita dalam pembangunan perlu ditunjukkan dengan keterlibatan wanita dalam pembangunan, iptek, olahraga, seni-budaya, dan lain-lain. Kepemudaan, juga perlu ditandai oleh peran serta dan partisipasi pemuda dalam pembangunan bangsa. Olahraga, perlu diwujudkan melalui peningkatan prestasi olah raga nasional pada tingkat regional dan internasional. Tahun 1995 merupakan peringatan 50 tahun Kemerdekaan Rl. Peringatan perlu didukung oleh 162


pengertian yang mendalam dan kesadaran bernegara dan berbangsa yang tinggi dari semua bangsa Indonesia. Pada tahun ini, perlu diselenggarakan Pameran Produksi Indonesia 1995 secara besar-besaran, sebagai kelanjutan dari PPI 1985 dan PPI 1990. Akan lebih baik lagi jika PPI 1995 selain dipusatkan di Jakarta, juga diselenggarakan di tiap ibukota propinsi dan kabupaten/kotamadya di seluruh Indonesia. Pada tahun 1996, merupakan tahun bahari dan dirgantara. Pada tahun ini akan diselenggarakan Pameran Maritim Indonesia berskala internasional dan Pameran Kedirgantaraan (Indonesian Airshow II) sebagai bukti kemajuan teknologi Indonesia di bidang maritim dan kedirgantaraan. Pameran Maritim, Perkapalan dan Kelautan ini diharapkan dapat memperlihatkan kemajuan yang dicapai Indonesia di bidang maritim, perkapalan, pelayaran, dan kelautan. Kita akan bisa melihat prestasi bangsa Indonesia dalam memproduksi kapallaut, kapal barang, penumpang dan kapal perang. Kemajuan putra putri Indonesia dalam produksi pesawat terbang, akan dipamerkan dalam pameran kedirgantaraan II, sebagai lanjutan dari pameran serupa tahun 1986. Pada tahun ini juga akan dipamerkan kemajuan industri-industri strategis di Indonesia yang disebut BUMNIS (Badan Usaha Milik Negara lndustri Strategis) dan BPIS (Badan Pengelola lndustri Strategis), dengan produk-produknya seperti alat berat, rekayasa dan rancang bangun, motor diesel, peralatan pertanian dan barang tempa, industri bahan peledak dan propellant, kereta penumpang, gerbong barang, KRL dan KRD, sentral telepon digital, produk switching dan terminal, pesawat telepon elektronik, pesawat transmisi, pesawat terbang N-250, sistem senjata, produk besi baja dan kawat baja, stasiun tv, stasiun bumi kecill, produksi kapal niaga dan kapal perang, serta produk persenjataan. Tahun telekomunikasi jatuh pada tahun 1997. Pada tahun ini akan digali dan digalakkan berbagai kegiatan yang mendukung pengembangan telekomunikasi hasil bangsa Indonesia, khususnya melalui PT INTI dan PT Telkom. Kegiatan seni dan budaya Indonesia akan makin dipasarkan pada tahun 1998, yang mencakup berbagai nilai budaya bangsa Indonesia sejak jaman prakemerdekaan, kemerdekaan sampai sekarang. Tahun 1999 ditentukan sebagai tahun karya (kriya) dan rekayasa, yaitu perwujudan hasil rancang bangun dan rekayasa industri bangsa Indonesia dalam era tinggal landas dan industrialisasi. Puncak dekade kunjungan wisata akan terjadi pada tahun 2000 yang dijadikan sebagai tahun pemanfaatan teknologi untuk peningkatan kualitas hidup. Pada tahun ini diharapkan kemampuan bangsa Indonesia dalam bidang teknologi dan pemanfaatannya telah benar-benar memasyarakat ke seluruh bangsa Indonesia. Pada tahun ini akan dihasilkan berbagai inovasi teknologi yang dihasilkan putra putri Indonesia dalam berbagai kegiatan industri. Untuk mendukung keberhasilan setiap tahun selama Dekade Kunjungan Indonesia, dilakukan berbagai pengisian program dan kegiatan. Pengisian program dan kegiatan untuk tahun-tahun yang bersangkutan, dilaksanakan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang-bidang yang menjadi tema Dekade Kunjungan Indonesia untuk tiap tahun. Menparpostel mempersiapkan program kepariwisataan terpadu dengan penyelenggaraan program dan kegiatan .setiap tahun dalam rangka Dekade Kunjungan Indonesia. Dalam menyusun program kepariwisataan terpadu tersebut, Menparpostel mengambillangkah-langkah yang dipandang perlu guna menunjang Dekade Kunjungan Indonesia, melalui (a) peningkatan promosi pariwisata secara terpadu dengan mencurahkan kegiatannya pada pusat-pusat wisata di luar negeri, (b) peningkatan citra dan mutu pelayanan pariwisata nasional (c) peningkatan aksesibilitas ke obyek dan daya tarik wisata di seluruh pelosok tanah air, dan (d) peningkatan koordinasi dan kerjasama yang sebaik-baiknya dengan Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Pemerintah Daerah, Usaha Swasta Nasional serta organisasi masyarakat lainnya dalam rangka persiapan dan penyelenggaraan Dekade Kunjungan Indonesia. Peran Pemda Jika kita telaah, di samping Departemen, LPND, Swasta, dan Masyarakat/Lembaga Swadaya Masyarakat, peran Pemda akan sangat penting dalam mendukung keberhasilan setiap tahun selama Dekade Kunjugnan Wisata. Tahun lingkungan hidup haruslah didukung oleh perwujudan kota-kota bersih, menurunnya pencemaran dan kerusakan lingkungan dan tumbuh serta berkembangnya kesadaran bangsa Indonesia terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Peran wanita, pemuda dan olahraga, hendaknya dibuktikan dengan peningkatan 163


prestasi regional dan internasional dalam berbagai kegiatan wanita, pemuda dan olahraga. Peringatan 50 tahun kemerdekaan Rl perlu ditandai dengan kesatuan dan persatuan nasional, prestasi bangsa di berbagai bidang, penguasaan iptek, peningkatan kualitas bangsa Indonesia dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tahun Bahari dan Dirgantara, tidak dapat dilepaskan dari kesiapan Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kesiapan kota-kota pelabuhan lainnya di Indonesia serta kota-kota nelayan dalam menggalakkan kemampuan produksi kapal dan produk kelautan lainnya. Seni dan Budaya, akan semakin menonjol di Medan, Danau Toba, Ngarai Sianouk, Jakarta, TMII, Jakarta Convention Hall, Kepulauan Seribu, Bandung, Pangandaran, Yogyakarta, Bali, Toraja, dan lain-lain. Tahun Kriya dan Rekayasa perlu menampilkan hasil-hasil rekayasa dan rancang bangun karya putra-putri terbaik bangsa Indonesia. Puncak dekade kunjungan Indonesia pada tahun 2000 perlu diperlihatkan oleh prestasi bangsa Indonesia dalam pemanfaatan iptek untuk peningkatan kualitas hidup bangsa Indonesia. Angkatan Bersenjata, 18 Oesember 1992 Kampanye Sadar Wisata Perlu Merakyat lnstruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1989 tanggal4 April1989 yang diterima Menparpostel memuat lima perintah. Pertama, mengambil langkah-langkah persiapan dan menyelenggara Tahun Kunju~gan Wisata Indonesia 1991. Kedua, mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu guna memantapkan persiapan keikutsertaan lndonsia dalam penyelenggaraan Tahun Kunjungan Wisata ASEAN 1992. Ketiga, menyelenggarakan Kampanye Sadar Wisata secara nasional guna menggalang seluruh potensi nasional, baik sebagai upaya yang berkelanjutan guna mendorong pertumbuhan dan pengembangan pariwisata di Indonesia pada umumnya maupun sebagai upaya yang secara langsung mendukung suksesnya pelaksanaan Tahun Kunjungan Wisata Indonesia 1991 khususnya dan mendukung Tahun Kunjungan Wisata ASEAN 1992. Keempat, meningkatkan pemahaman seluruh lapisan masyarakat tentang manfaat pariwisata dalam pembangunan, citra dan mutu pelayanan pariwisata nasional, penyelenggaraan promosi Indonesia terutama di luar negeri, dan mengadakan koordinasi dengan negara-negara ASEAN dalam upaya penyelenggaraan promosi bersama. Kelima, melakukan koordinasi sebaik-baiknya dengan Departemen, LPND, Pemda, dan Usaha Swasta Nasional serta organisasi masyarakat lainnya guna menyerasikan langkah dan upaya dalam rangka keberhasilan penyelenggaraan Kampanye Sadar Wisata secara nasional. Kampanye Kampanye Nasional Sadar Wisata ( 1989-1990) bertujuan meningkatkan per an serta masyarakat, menggalang sikap perilaku untuk menjadi tuan rumah yang baik serta meningkatkan citra, mutu produk dan pelayanan pariwisata yang dilandasi atas meningkatnya penerapan Sapta Pesona (aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah tamah, dan kenangan). Sasarannya adalah suksesnya Tahun Kunjungan Wisata ASEAN 1992 umumnya. Kelompok sasaran terdiri atas kalangan pemerintah, usaha pariwisata dan usaha terkait lainnya, cendekiawan, mahasiswa, pemuda dan pelajar, media massa, tokoh masyarakat, pemimpin atau pemuka agama dan adat, serta lembaga swadaya masyarakat. Pariwisata merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh manusia baik secara perorangan maupun kelompok di dalam wilayah negara sendiri atau di negara lain dengan menggunakan kemudahan, jasa, dan faktor penunjang lainnya yang diadakan oleh pemerintah dan atau masyarakat, agar dapat diwujudkan keinginan wisatawan. Keberhasilan sektor pariwisata selama Pelita IV perlu disebarluaskan kepada masyarakat. Kunjungan wisatawan pada tahun 1989 (akhir Pelita IV) mencapai 1.301.049 orang, masing-masing 976.810 melalui Soekarno-Hatta, Ngurah Rai dan Polonia, 237.182 ke Batam dan 97.057 ke pelabuhan lainnya. Wisatawan terbanyak selama lima tahun terakhir, mengunjungi Jakarta, Bali, Sumatera 164


Utara, Jawa Barat dan Yogyakarta. Perkembangan industri pariwisata dirasakan antara lain meningkatnya fasilitas akomodasi, jumlah hotel yang mencapai 400 buah dan 30.990 kamar, restoran dan usaha jasa boga, usaha perjalanan wisata (dari 502 perusahaan pada tahun 1986 mencapai 837 buah pada bulan Juli 1989), angkutan wisata, obyek dan atraksi wisata. Kampanye Sadar Wisata harus menginformasikan empat pokok kebijaksanaan pariwisata Repelita V. Pertama, pematangan citra produk dan pelayanan wisata dengan upaya yang didasari Sapta Pesona, yaitu keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan (lingkungan), keindahan, keramahtamahan, dan kenangan (yang disebabkan oleh akomodasi yang nyaman, makanan yang lezat, budaya yang mempesona, dan cinderamata yang murah dan menarik). Pelaksanaan kampanye dilakukan melalui berbagai media massa, penyuluhan pemantapan citra sadar wisata, dan penyuluhan pariwisata kepada masyarakat luas. Kedua, pengembangan daya tarik wisata melalui pengembangan kawasan atau obyek wisata potensial yang berperan sebagai pusat pengembangan di daerah dan mengembangkan daya tarik wisata khas daerah sebagai pemancing Utama. Misalnya, wisata rimba dan air deras (wildlife) di Aceh, Danau Toba dan Pantai Cermin di Sumut, wisata Batam di Riau, wisata seni budaya di Jambi, taman dan seni-budaya di Sumbar, wisata sungai di Sumsel, wisata berburu di Bengkulu, wildlife dan Krakatau di Lampung, rekreasi gunung dan pantai di Jabar, TMII dan museum di Jakarta, Borobudur dan Prambanan di Jateng, seni-budaya dan festival di Yogyakarta, Bromo di Jatim, wisata pantai di Bali, wisata tirta di NTB, komodo di NTT, wisata laut di Maluku, wisata gunung di lrja, wisata bahari dan penyelaman di Sulut, taman nasional di Sulteng, wisata adat dan Toraja di Sulsel, wisata tirta di Sultra, wisata rimba dan sungai serta wisata adat di Kalbar, Kalteng, Kaltim, dan Kalsel dan wisata sejarah di Timtim. Ketiga, pengembangan sentra-sentra daerah tujuan wisata seperti Lhokseumawe, Danau Toba, Bukittinggi, Batam, TMII dan TIJA, Carita dan Pangandaran, Kepulauan Seribu, Borobudur dan Prambanan, Pantai Senggigi di NTB, Maumere di NTT, Ambon, Biak, Bunaken di Manado, Bantimurung di Sulsel, dan Tenggarong di Kaltim. Keempat, dorongan terhadap swasta dan masyarakat di lingkungan obyek wisata untuk berperan serta dalam pengembangan pariwisata berwawasan lingkungan dan pengembangan budaya bangsa. Upaya mendorong partisipasi swasta dan masyarakat dilakukan melalui kegiatan bina masyarakat wisata, peningkatan kualitas kebudayaan bangsa, peningkatan fasilitas akomodasi, restoran, rekreasi dan hiburan umum, investasi, pembinaan wisata remaja, penyediaan cinderamata yang mudah dibawa dan murah, usaha perjalanan, pemimpin perjalanan dan pramuwisata, angkutan wisata jalan raya, kawasan wisata, pengembangan wisata tirta, pemasaran dan pengaturan kelembagaan. Pemasaran memperhatikan aspek teknologi canggih, tema produk wisata, pola pemasaran, peningkatan aksesibilitas, kerjasama dengan bagian pemasaran dan promosi wisata pada KBRI, wisata konvensi, peningkatan potensi wisata dalam negeri, tenaga kerja, diklat dan litbang, dan pengawasan. Pengaturan kelembagaan antara lain penyusunan RUU Pariwisata, penyempurnaan organisasi Ditjen Pariwisata, organisasi dan permodalan kawasan wisata, perluasan usaha BUMN Pariwisata, dan tataniaga industri pariwisata. Langkah-langkah yang perlu ditempuh antara lain kampanye dan iklan pariwisata, pemasaran ke Jepang, Australia, Eropa Barat, ASEAN, Hongkong, Taiwan, Korea Selatan dan Amerika Utara, optimasi pemanfaatan sarana dan prasarana, wisata remaja dan seni budaya, peningkatan profesionalisme aparat industri pariwisata, peningkatan peranan dan fungsi Bapparnas, peningkatan sistem informasi pariwisata, dan menciptakan perangsang investasi di bidang pariwisata. Kerjasama dan koordinasi antar instansi terkait dan dorongan terhadap upaya peningkatan peran serta masyarakat perlu ditingkatkan, antara lain melalui kerjasama dan koordinasi lintas sektoral, memperjelas kewenangan kelembagaan lintas sektoral, menggalang peran serta masyarakat (komponen pemerintah, penyelenggara pariwisata, masyarakat penerima pariwisata, dan wisatawan). Sapta Pesona Sapta Pesona merupakan perwujudan tujuh pesona wisata. Keamanan (bebas dari rasa takut) dan keselamatan jiwa, raga dan harta, sarana dan prasarana, serta terhindar dari tindakan kejahatan dan kekerasan (penodongan, perampokan, pemerasan dan penipuan). Ketertiban mencerminkan kondisi dan suasana teratur, tertib dan disiplin dalam semua kehidupan masyarakat (tertib peraturan, waktu, mutu 165


pelayanan, dan informasi). Kebersihan perlu diwujudkan melalui lingkungan yang bersih dan bebas dari sampah, limbah, pencemaran limbah dan kotoran lainnya. Sejuk diciptakan melalui penataan lingkungan, penghijauan, taman dan pemanfaatan pot-pot bunga di halaman. lndah dilihat dari tatawarna, keserasian interior dan eksterior kota, penataan papan reklame dan slogan atau spanduk dan lingkungan yang memikat. Ramah-tamah ditunjukkan oleh sikap dan perilaku masyarakat yang murah senyum, komunikatif dan memberikan pelayanan dalam menyambut wisatawan. Kenangan dapat dilihat dari segi akomodasi yang nyaman, atraktsi budaya yang mempesona, makanan khas daerah yang lezat, dan cinderamata yang mungil, bermutu, menawan dan harga yang wajar. Aparat Pemda menciptakan kondisi yang memungkinkan terwujudnya Sapta Pesona. Masyarakat lebih mudah memahami apa yang mereka lihat dan rasakan, karenanya pelaksanaan kampanye jangan bersifat teoritis. lntensifikasi dan ekstensifikasi usaha sapta pesona perlu dilakukan secara gencar dan terus menerus, antara lain dengan memasang pesan-pesan sapta pesona melalui papan himbauan, spanduk, poster, pengadaan dan penempatan fasilitas pelayanan kebersihan dan pariwisata (tong sampah, telepon umum, tempat informasi wisata dan wartel), penertiban pemasangan spanduk dan papan reklame, dan penanaman pohon atau bunga sepanjang kiri-kanan jalan, pekarangan kantor, pusat perbelanjaan, stasiun KA dan bus, sekolah, universitas, ruang terbuka hijau dan taman umum. Kelompok masyarakat yang bisa diajak berperan serta dalam melakukan penyuluhan sadar wisata dan sapta pesona, antara lain pejabat pemerintah yang tugas-tugasnya terkait dengan bidang kepariwisataan, kalangan industri pariwisata dan industri terkait, pemuka agama dan adat serta tokoh masyarakat, pelajar, mahasiswa dan generasi muda lainnya, cendekiawan dan ilmuwan, masyarakat umum, organisasi kewanitaan dan kemasyarakatan, organisasi politik, seniman dan budayawan, kalangan media massa (publikasi, leaflet, radio, televisi dan berbagai wadah promosi serta informasi lainnya). Pemerintah harus memberikan contoh teladan, mampu menggerakkan masyarakat, mendorong dan mengarahkan segala potensi daerah dalam mendukung program kepariwisataan. Terobosan Kampanye Sapta Pesona harus merakyat. Sapta Pesona harus diterima masyarakat seperti program Keluarga Berencana. Semua kelompok masyarakat, mulai dari mereka yang bekerja di instansi pemerintah dan swasta sampai ke para pedagang dan buruh informal, harus berperilaku positif terhadap sapta pesona. Obyek wisata dan lingkungan yang aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah tamah dan kenangan, merupakan dambaan kita bersama. Sejalan dengan upaya Menparpostel dan aparat Ditjen Pariwisata serta lnstansi terkait lainnya, diperlukan berbagai upaya terobosan disesuaikan dengan kondisi daerah untuk mewujudkan kesiapan kawasan wisata dan obyek wisata dalam menyambut Tahun Kunjungan Wisata Asean 1992. Angkatan Bersenjata, 26 september 1992 Membangun Jakarta Melalui Sadar Wisata Dan Sadar Lingkungan Pada peringatan HUT DKI Jakarta ke-463, Wiyogo kembali menekankan sasaran Jakarta BMW melalui upaya Menjakartakan Warga Jakarta atau Memanusiakan Manusia Jakarta agar bersikap mental dan berperilaku sesuai dengan perkembangan kota Jakarta. Ditegaskannya pula warga Jakarta harus berdisiplin, taat kepada peraturan, memiliki kesadaran hukum yang tinggi, dan dinamis sesuai dengan tata kehidupan masyarakat modern. Pada kesempatan yang sama, Rudini mengatakan paling sedikit ada lima masalah DKI yang menonjol, yaitu kependudukan, pertanahan, penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan, dan masalah pemeliharaan hasil-hasil pembangunan. 166


Click to View FlipBook Version