www.facebook.com/indonesiapustaka
“Thriller mendebarkan dengan gaung Hitchcock dan Cornell Woolrich …
Koontz meningkatkan ketegangannya. Pasti akan memikat.”
— Publishers Weekly
“Kecepatan yang berbahaya dan keruwetan. ... Seperti semua novel karya
Koontz, akan ada semakin banyak kejutan di depan, menjamin pembaca akan
tetap bergeming dan terhibur sampai akhir. Koontz adalah seorang ahli dalam
thriller paranoid yang membuat pembaca duduk di pinggir kursi mereka, dan
mungkin pengarang Amerika terdepan yang menganut bentuk penuturan cerita
semacam itu.”
— Newark Star-Ledger
“Anda harus membaca buku ini. Bukan saja hasil karya Koontz yang terhe-
bat, buku ini juga merupakan salah satu buku terbaik karangan siapa pun tahun
ini ... sebuah karya yang kuat dan percaya diri di mana setiap dan semua kelebi-
han Koontz—karakterisasi, dialog, alur cerita, narasi—muncul dalam kondisi
matang, segar dan siap, menunjukkan bagaimana cara karya yang hebat dibuat.
Di titik ketika kebanyakan buku akan tiba pada akhir cerita, The Husband baru
akan mulai. Ada kejutan dan monster tak kasat mata, kekerasan dan percintaan,
dan Koontz berada pada titik paling tinggi kehebatannya. Rafferty adalah karak-
ter yang hebat dan mengundang empati, tokoh jahat akan membuat darah Anda
membeku, alur ceritanya menikung dan berliku, dan penuturannya yang begitu
orisinil akan mengejutkan Anda. Anda akan mengira ini adalah novel pertama
karya Koontz. Jangan pernah terpikir untuk meletakkannya. Rekomendasi ter-
tinggi yang bisa diberikan.”
— Bookreporter.com
“Mendebarkan.”
www.facebook.com/indonesiapustaka — Women’s World
“Rahasia, kejutan, dan pengkhianatan pada setiap tikungan. ... Novel
terbaru karya Koontz yang menggairahkan ini tidak akan mengecewakan para
penggemarnya.”
— Library Journal
www.facebook.com/indonesiapustaka “Tidak ada apa pun yang tampak seperti aslinya. ... Sebuah kisah tentang
cinta abadi dan perkembangan batin yang dengan lihai digabungkan dengan aksi
dan ketegangan yang liar, membuat jantung berhenti berdetak. Jika ceritanya
hanya tentang salah satu dari hal-hal tersebut, buku ini tidak akan menjadi luar
biasa seperti ini, tapi Koontz ahli dalam apa yang ia lakukan. Dengan me-
nambahkan kedalaman pada unsur aksinya, ditambah kejutan-kejutan, ia mem-
berikan kegairahan yang dinikmati para penggemar dari genre apa pun. Bacaan
yang menarik dan menyegarkan, yang terus merangsang kelima pancaindera
hingga akhir cerita.”
— New Mystery Reader
“Akan membuat para penggemar Koontz senang sampai novel yang berikut-
nya. … Bisa dikatakan, jika Anda membaca The Husband Anda tidak akan
pernah mendengar siapa pun bertanya, ‘Kau pernah ke New Mexico?’ dengan
nada tak berdosa yang sama seperti dulu.”
— Dallas Morning News
“[Koontz] adalah salah satu penulis laris yang paling dapat diandalkan untuk
menciptakan karya hebat dalam tiga puluh tahun belakangan ini. Ia cenderung
... menjadi lebih bagus dan bahkan lebih bagus lagi. Ia menciptakan dasar cerita
yang bisa ditemukan kedalaman dan kompleksitasnya hanya oleh segelintir
penulis lain. ... Bukan hanya ketegangan yang memuncak, tapi karakter-karakter-
nya juga menjadi semakin dalam dan nyata. Sudah pasti akan menjadi satu lagi
buku terlaris darinya.”
— Sullivan County Democrat
“Novel thriller yang dahsyat. … Koontz menambahkan kejutan-kejutan
yang mengagumkan terhadap alur cerita. The Husband adalah novel luar biasa
yang tidak boleh dilewatkan.”
— Reviewingtheevidence.com
“Salah satu novel hebat dengan dasar pemikiran sederhana ... menegangkan
dan bergulir cepat. Sudah pasti direkomendasikan bagi siapa pun penggemar
Koontz atau genre novel-novel menegangkan.”
— Bookfetish.org
www.facebook.com/indonesiapustaka “Beralur cepat ... Koontz sering mementahkan asumsi para pembaca tentang
karakter-karakternya dan motivasi mereka secara mengejutkan. Dalam The
Husband, alasan penculikan Holly ternyata lebih dekat dari yang pernah dapat
dibayangkan Mitch, dan itu adalah sebuah kejutan dengan akibat mematikan.”
—Associated Press
“Novel-novel thriller karya Dean Koontz adalah teman yang sempurna
untuk bersantai di suatu hari musim panas. Dalam The Husband, seorang pria
biasa harus menentukan apakah cintanya memiliki batas.”
— Chicago Tribune
“Novel-novel terakhir karya Koontz memiliki beberapa pemikat paling
berkonsep tinggi yang dapat dibayangkan. Meski novel-novel tersebut pada per-
mukaannya tampak memiliki nilai moral yang luhur dan bersih, mereka juga
dapat menuntut perhatian dengan mengancam untuk menembak anjing Anda.
Koontz menulis alur cerita yang kuat. Ia juga memasukkan elemen spiritual ...
dan tikungan-tikungan tajam yang wajib ada. Karakter utama Koontz simpatik
dan setia.”
— New York Times
“Seharusnya tidak ada rahasia yang boleh diungkap mengenai perkembang-
an alur cerita yang berliku-liku dari novel mendebarkan ini ... semuanya mem-
bantu meningkatkan ketegangan. Koontz adalah seorang seniman dalam mem-
perjuangkan kekuatan baik dan tekadnya untuk membuat pembaca beridenti-
fikasi dengan kekuatan tersebut, seperti yang dibuktikan novel thriller yang mem-
buat bulu kuduk berdiri ini.”
— Booklist
“Karya terbaru Dean Koontz, The Husband, bergerak seperti rollercoaster
tanpa rem. Alur cerita gaya Alfred Hitchcock milik Koontz mungkin terdengar
sederhana, namun berbagai hal menjadi semakin rumit. Seperti biasa, ia me-
masukkan beberapa pelintiran alur cerita tak terduga, menjadikan novel ini salah
satu novel thriller terbaiknya sampai sejauh ini. Koontz tampaknya mampu
menulis halaman-halaman yang membuat penasaran, tak peduli genre apa yang
tengah ia buat. … Kegemarannya untuk condong pada tokoh-tokoh utama
“orang luar” dan memainkan kecurigaan ekstrem pembacanya sangat cocok
dengan novel ini. Kemudahan Koontz dalam membentuk karakter sangat kuat …
www.facebook.com/indonesiapustaka salah satu penculik itu ternyata adalah salah satu karakter paling menyeramkan
sejak Intensity. Tak diragukan lagi, Koontz adalah penulis novel thriller nomor
satu di Amerika hari ini, selalu menepati janjinya untuk memberikan lebih banyak
sensasi dan ketegangan dibanding tiga penulis lain mana pun di daftar penulis
laris. The Husband adalah salah satu novel terbaiknya.”
— Denver Post
“Menampilkan salah satu tokoh jahat paling menyeramkan milik Koontz.”
— Albany Times-Union
“Kecepatan yang berbahaya … bacaan yang langsung dilahap seketika.
Koontz menampilkan bakat seorang ahli dalam ketegangan. Sebagian dari
keajaiban Koontz adalah kemampuannya menempatkan kengerian yang ia cip-
takan pada situasi nyata dan menangkap rasa takut serta frustasi orang-orang
biasa yang secara tak terduga berhadapan dengan bahaya. Sebuah wahana kar-
naval yang menggairahkan sekaligus mendebarkan, menukik dan menikung
tajam, yang akan membuat Anda kehabisan napas dan puas.”
— Omaba World-Herald
“Koontz telah bertambah matang, menjadi seorang penutur cerita yang
berwawasan dan dramatis. Cerita berkecepatan tinggi ini merenggut dan me-
nahan Anda di pinggiran kursi. Anda tidak akan menyingkirkannya sebelum
selesai.”
— Halifax Sunday-Herald
“Koontz … bisa melanggar aturan apa pun yang ia inginkan karena ia cukup
lihai dalam melakukannya … selalu merupakan tanda pengarang terbaik. Bab
pertama The Husband adalah contoh sempurna tentang bagaimana sebuah
pemikat cerita seharusnya ditulis. Bab itu meningkatkan kecepatan dari nol
menjadi enam puluh dalam sembilan halaman. Salah satu hiburan paling
menarik yang disuguhkan Koontz.”
— Locus
“Salah satu alur cerita kesenangan Koontz melibatkan seorang pria biasa
yang tiba-tiba diserang oleh kekuatan dahsyat dan misterius yang menuntut hal
mustahil darinya. Seorang maestro novel menegangkan, Koontz bisa meng-
hasilkan ketegangan dan sensasi dari alur cerita mendasar semacam itu, tak peduli
seberapa sering ia menggunakannya. Namun ia menangani tema itu dengan san-
gat baik dalam The Husband. Ketegangannya memuncak sampai pada tingkat
yang tak tertahankan. Karakter-karakter rekaan Koontz sama kokohnya seperti
alur ceritanya. Ambillah The Husband dan Anda akan sangat merinding bahkan
pada hari paling panas sekalipun.”
— Flint Journal
“Sebuah kejutan baru yang menyeramkan dari sebuah penculikan. …
Wahana yang membuat bulu kuduk merinding dari pengarang maestro Koontz.”
— Ottawa Citizen
“Yang awalnya tampak sebagai alur cerita yang tak mungkin dijalankan
dengan baik oleh Koontz … ternyata cukup cerdas, terampil, dan nyata. Koontz
terus menghasilkan novel-novel jempolan yang unik dan tak mudah dilupakan.”
— Syracuse Post-Standard
“Ceritanya dimulai dengan kecepatan yang membahayakan, menumpuk
kejutan demi kejutan. Penggemar novel Odd Thomas karya Koontz akan meng-
hargai nuansa supranatural dari hubungan antara Mitch dan Holly, dan pembaca
novel-novel thriller akan mendapati novel yang tak mudah untuk disingkirkan.”
— VOYA
www.facebook.com/indonesiapustaka
Keberanian adalah keanggunan di bawah tekanan.
— Ernest Hemingway
Bahwa hanyalah Cinta yang ada
Hanya itulah yang kita ketahui tentang Cinta.
— Emily Dickinson
www.facebook.com/indonesiapustaka
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
(Kisah Cinta Sejati)
hak cipta © Dean Koontz, 2006
Edisi terjemahan ini diterbitkan atas kerja sama dengan
LENNART SANE AGENCY AB, SWEDIA
Hak terjemahan Indonesia pada penerbit
All rights reserved
Penerjemah: Kunti Saptoworini;
Editor: Aisyah
Cetakan 1, Agustus 2007
Diterbitkan oleh Pustaka Alvabet
Anggota IKAPI
Ciputat Mas Plaza, Blok B/AD,
Jl. Ir. H. Juanda, Ciputat - Tangerang 15412
Telp. (021) 74704875, 7494032 - Faks. (021) 74704875
e-mail: [email protected]
www. alvabet. co.id
Desain sampul: MN. Jihad
Tata letak: Priyanto
Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan
(KDT)
Koontz, Dean
THE HUSBAND oleh Dean Koontz;
Penerjemah: Kunti Saptoworini; Editor: Aisyah
Cet. 1 — Jakarta: Pustaka Alvabet, Agustus 2007
420 hlm. 12,5 x 20 cm
ISBN 978-979-3064-48-2
I. Judul.
813
Novel ini didedikasikan kepada
Andy dan Anne Wickstrom,
juga Wesley J. Smith
dan Debra J. Saunders:
DUA SUAMI ISTRI YANG BAIK,
JUGA TEMAN YANG BAIK,
YANG SELALU MENERANGI
SUDUT TEMPAT MEREKA BERADA
www.facebook.com/indonesiapustaka
www.facebook.com/indonesiapustaka
www.facebook.com/indonesiapustaka Bagian Satu
Apa yang Sanggup
Kau Lakukan
Demi Cinta?
/1/
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
1
MMANUSIA MULAI SEKARAT SEJAK SAAT IA DILAHIRKAN. KEBANYAKAN ORANG
sepanjang hidupnya menyangkal cumbu rayu Sang Maut yang sabar
hingga, di ujung hidup dan di kedalaman sakit yang parah, mereka
baru menyadari keberadaan Sang Maut yang duduk di tepi ranjang.
Pada akhirnya, Mitchell Rafferty akan sanggup menyebutkan
menit saat ia mulai menyadari ajalnya tak terelakkan lagi: Senin, 14
Mei, pukul 11:43 pagi—tiga minggu sebelum ulang tahunnya yang
keduapuluh delapan.
Sebelum itu, ia jarang memikirkan kematian. Terlahir sebagai
seorang optimis, terpesona keindahan alam dan terpikat oleh
kemanusiaan, ia tak memiliki alasan atau kecenderungan hati untuk
bertanya-tanya kapan dan bagaimana kematiannya akan terbukti.
Saat panggilan itu datang, ia sedang berlutut.
Tiga puluh kotak berisi bunga impatiens ungu dan merah
menunggu untuk ditanam. Bunga-bunga itu tidak beraroma, namun
aroma kesuburan dari tanah itu menyenangkan hatinya.
Para pelanggannya, khususnya para pemilih rumah-rumah ini,
menyukai warna-warna pekat: merah, ungu, kuning tua, merah
muda mencolok. Mereka tidak mau menerima bunga-bungaan
berwarna putih atau pastel.
/2/
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Mitch memahami mereka. Dibesarkan dalam kemiskinan,
mereka telah membangun bisnis yang sukses dengan cara bekerja
keras dan mengambil risiko. Bagi mereka, kehidupan penuh dengan
semangat, dan warna-warna pekat mencerminkan sifat menggebu-
gebu yang sesungguhnya dari alam.
Pada pagi yang tampak biasa namun sesungguhnya penting ini,
matahari California bagai bola beroles mentega. Langit memiliki
kemilau seolah dilapisi air.
Hangat menyenangkan, tidak menyengat, hari itu tetap saja
meninggalkan keringat berminyak pada Ignatius Barnes. Alisnya
berkilau. Dagunya meneteskan keringat.
Bekerja di petak bunga yang sama, sepuluh kaki jaraknya dari
Mitch, Iggy tampak bagai direbus. Dari bulan Mei sampai Juni, kulit-
nya tidak bereaksi terhadap matahari dengan melanin melainkan
dengan rona merah yang dahsyat. Selama seperenam tahun,
sebelum kulitnya akhirnya berubah kecokelatan, ia seperti tak henti-
hentinya tampak tersipu.
Iggy tidak memiliki pemahaman akan simetri dan keserasian
dalam perancangan taman, dan ia tak dapat dipercaya untuk me-
mangkas tanaman mawar dengan benar. Namun ia seorang pekerja
keras, dan teman yang baik, jika tidak bisa dibilang menyegarkan
secara intelektual.
“Kau dengar apa yang terjadi pada Ralph Gandhi?” tanya Iggy.
“Siapa Ralph Gandhi?”
“Saudara laki-laki Mickey.”
“Mickey Gandhi? Aku juga tidak mengenalnya.”
“Tentu saja kau mengenalnya,” kata Iggy. “Mickey, ia nong-
krong sesekali di Rolling Thunder.”
Rolling Thunder adalah bar para peselancar.
“Sudah bertahun-tahun aku tidak pergi ke sana,” kata Mitch.
“Bertahun-tahun? Yang benar?”
/3/
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
“Ya.”
“Aku pikir kau masih mampir sesekali.”
“Jadi aku benar-benar dirindukan, huh?’
“Kuakui, tidak ada yang menamakan kursi bar dengan namamu.
Kenapa—kau menemukan tempat lain yang lebih baik daripada
Rolling Thunder?”
“Kau masih ingat datang ke pesta perkawinanku tiga tahun
lalu?” tanya Mitch.
“Tentu. Kau menghidangkan taco makanan laut yang lezat, tapi
bandnya terlalu berisik.”
“Mereka tidak berisik.”
“Ya ampun, mereka punya tamborin.”
“Dana kami terbatas. Paling tidak mereka tidak punya akor-
deon.”
“Itu karena memainkan akordeon melebihi tingkat kemampuan
mereka.”
Mitch menggali lubang di tanah yang gembur. “Mereka juga
tidak punya lonceng tangan.”
Mengusap alis dengan salah satu lengannya, Iggy mengeluh,
“Aku pasti punya gen orang Eskimo. Aku berkeringat pada suhu lima
puluh derajat.”
Mitch berkata, “Aku tidak berurusan dengan bar lagi. Aku ber-
urusan dengan perkawinan.”
“Ya, tapi tak bisakah kau berurusan dengan perkawinann dan
Rolling Thunder?”
“Aku hanya lebih memilih berada di rumah daripada di tempat
lain.”
“Oh, bos, itu menyedihkan,” kata Iggy.
“Itu tidak menyedihkan. Itu yang terbaik.”
“Jika kau menempatkan seekor singa di dalam kebun binatang
selama tiga tahun, enam tahun, ia takkan pernah lupa seperti apa
/4/
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
kebebasan itu.”
Sambil menanam impatiens berwarna ungu, Mitch berkata,
“Bagaimana kau bisa tahu? Kau pernah bertanya pada seekor
singa?”
“Aku tidak harus bertanya. Akulah seekor singa.”
“Kau peselancar angin tanpa harapan.”
“Dan bangga akan itu. Aku senang kau menemukan Holly. Dia
perempuan yang hebat. Tapi aku memiliki kebebasanku.”
“Bagus untukmu, Iggy. Lalu apa yang kau lakukan dengan itu?”
“Dengan apa?”
“Kebebasanmu. Apa yang kau lakukan dengan kebebasanmu?”
“Apa pun yang kuinginkan.”
“Contohnya?”
“Apa pun. Contohnya, kalau aku ingin makan pizza sosis untuk
makan malam, aku tidak harus bertanya pada siapa pun apa yang
dia inginkan.”
“Radikal.”
“Jika aku ingin pergi ke Rolling Thunder untuk minum beberapa
botol bir, tak ada siapa pun yang akan mengomeliku.”
“Holly tidak mengomel.”
“Aku bisa mabuk tiap malam kalau aku mau, dan tak ada se-
orang pun yang akan menelepon untuk bertanya kapan aku
pulang.”
Mitch mulai bersiul menyenandungkan “Born Free.”
“Seorang peselancar cewek merayuku,” kata Iggy, “Aku bebas
untuk gila-gilaan.”
“Mereka selalu merayumu ya, peselancar-peselancar perempuan
seksi itu?”
“Perempuan zaman sekarang berani, bos. Mereka mengerti apa
yang mereka mau, mereka langsung mengambilnya.”
Mitch berkata, “Iggy, terakhir kali kau bercinta adalah saat John
/5/
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
Kerry mengira ia akan menjadi presiden.”
“Itu belum terlalu lama.”
“Jadi apa yang terjadi pada Ralph?”
“Ralph siapa?”
“Saudara laki-laki Mickey Gandhi.”
“Oh, ya. Seekor iguana menggigit hidungnya sampai copot.”
“Mengerikan.”
“Waktu itu ada ombak keren setinggi sepuluh kaki, jadi Ralph
dan beberapa orang pergi berselancar malam di The Wedge.”
The Wedge adalah lokasi berselancar terkenal di ujung
Semenanjung Balboa, di Pantai Newport.
Iggy berkata, “Mereka membawa kotak-kotak pendingin penuh
dengan sandwich submarine dan bir, dan salah seorang dari mereka
membawa Ming.”
“Ming?”
“Itu nama iguananya.”
“Jadi iguana itu binatang peliharaan?”
“Ming, ia selalu bersikap manis sebelumnya.”
“Aku mengira iguana bukan binatang yang ramah.”
“Tidak, mereka penyayang. Yang sebenarnya terjadi, orang
brengsek yang sok keren, bahkan bukan seorang peselancar, hanya
seseorang yang mau ikut-ikutan, menyelipkan seperempat dosis
kokain dalam sepotong salami untuk Ming.”
“Reptil yang bersemangat,” kata Mitch, “adalah ide yang
buruk.”
“Meth Ming adalah binatang yang sama sekali berbeda dari
Ming yang tidak mabuk,” tegas Iggy.
Menaruh sekop dan duduk bertumpu pada tumit sepatu kerja-
nya, Mitch berkata, “Jadi, sekarang Ralph Gandhi tidak punya
hidung?”
“Ming tidak memakan hidungnya. Ia hanya menggigitnya
/6/
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
sampai lepas dan meludahkannya.”
“Mungkin ia tidak suka makanan India.”
“Mereka membawa kotak pendingin besar penuh dengan air es
dan bir. Mereka taruh hidungnya di dalam kotak itu dan melarikan-
nya ke rumah sakit.”
“Apa mereka juga membawa Ralph?”
“Mereka harus membawa Ralph. Itu kan hidungnya.”
“Yah,” kata Mitch, “kita kan sedang membicarakan para maniak
selancar angin.”
“Mereka bilang hidungnya berwarna kebiru-biruan saat mereka
mengeluarkannya dari dalam air es, tapi seorang dokter bedah plas-
tik menjahitnya kembali, dan sekarang warnanya tidak biru lagi.”
“Apa yang terjadi pada Ming?”
“Ia ambruk. Ia teler seharian. Sekarang ia sudah kembali men-
jadi dirinya sendiri.”
“Itu bagus. Mungkin akan sulit menemukan klinik yang
melakukan rehabilitasi untuk iguana.”
Mitch berdiri dan mengambil tiga lusin pot tanaman plastik
kosong. Ia membawanya ke truk pick up miliknya yang baknya
diperluas.
Truk itu terparkir di atas trotoar, di bawah naungan pohon
salam India. Meski lingkungan perumahan itu baru mulai dibangun
lima tahun silam, pohon besar itu sudah mengangkat trotoar. Lama
kelamaan akar-akarnya yang mendesak akan menyumbat pipa salur-
an kebun dan memasuki sistem saluran air.
Keputusan pihak pengembang untuk menghemat seratus dolar
dengan tidak memasang pembatas akar akan menghasilkan pekerja-
an perbaikan senilai puluhan ribu dolar bagi tukang ledeng, pekerja
taman, dan kontraktor beton.
Jika Mitch menanam pohon salam India, ia selalu menggunakan
pembatas akar. Ia tidak perlu menciptakan pekerjaan baru bagi
/7/
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
dirinya sendiri di masa datang. Sang alam yang selalu tumbuh hijau
akan membuatnya sibuk.
Jalan itu lengang, tanpa lalu lintas. Tak sedikit pun embusan
angin sepoi-sepoi menggerakkan pepohonan.
Dari jarak satu blok, di sisi seberang jalan, seorang laki-laki dan
seekor anjing berjalan mendekat. Anjing itu, jenis retriever, lebih
banyak menghabiskan waktu mengendus-endus pesan yang di-
tinggalkan oleh teman sejenisnya dibandingkan berjalan.
Keheningan itu terbendung begitu dalam sampai Mitch nyaris
yakin ia dapat mendengar suara terengah-engah anjing di kejauhan
itu.
Keemasan: matahari dan anjing itu, udara dan harapan yang
dibawa oleh hari, rumah-rumah indah di belakang halaman rumput
luas.
Mitch Rafferty tidak mampu memiliki rumah di lingkungan ini.
Ia sudah cukup puas hanya dengan bisa bekerja di situ.
Kau bisa mencintai karya seni yang indah namun tidak memiliki
keinginan untuk tinggal di dalam museum.
Mitch memerhatikan sebuah kepala alat penyiram yang rusak di
perbatasan antara halaman rumput dan trotoar. Ia mengambil per-
alatannya dari truk dan berlutut di atas rumput, meninggalkan
impatiensnya sejenak.
Telepon genggamnya berdering. Ia melepaskannya dari sabuk,
dan membuka tutupnya. Waktu yang tertera saat itu di sana—
11:43—namun tidak ada nomor penelepon yang terpampang di
layar. Mitch tetap saja menerima teleponnya.
“Big Green,” katanya, yang merupakan nama yang ia berikan
untuk bisnis dua orangnya sembilan tahun silam, kendati ia tak lagi
ingat mengapa.
“Mitch, aku mencintaimu,” kata Holly.
“Hai, sayang.”
/8/
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
“Apa pun yang terjadi, aku mencintaimu.”
Holly menjerit kesakitan. Suara gaduh memberi kesan adanya
perlawanan.
Terkejut, Mitch berdiri. “Holly?”
Seorang laki-laki mengatakan sesuatu, seorang laki-laki yang
sekarang memegang teleponnya. Mitch tidak mendengar kata-
katanya karena ia berkonsentrasi pada suara berisik di latar
belakang.
Holly melengking. Mitch belum pernah mendengar suara
semacam itu keluar dari mulut Holly, rasa takut semacam itu.
“Bajingan,” kata Holly, dan dibungkam oleh suara gemeretak
tajam, seolah ia telah ditampar.
Orang tak dikenal di ujung telepon itu berkata, “Kau dengar
aku, Rafferty?”
“Holly? Di mana Holly?”
Sekarang laki-laki itu berbicara menjauh dari telepon, bukan
kepada Mitch: “Jangan bertindak bodoh. Tetap di lantai.”
Laki-laki lain berbicara di latar belakang, kata-katanya terdengar
sayup-sayup.
Laki-laki yang memegang telepon berkata, “Ia berdiri, tinju dia.
Kau mau kehilangan beberapa gigi, sayang?”
Holly sedang bersama dua orang laki-laki. Salah satu dari
mereka telah memukulnya. Memukulnya.
Mitch tidak bisa membuat dirinya memahami situasi itu. Realitas
tiba-tiba terasa sama tidak pastinya dengan alur cerita mimpi buruk.
Seekor iguana yang gila karena kokain lebih nyata daripada ini.
Di dekat rumah, Iggy sedang menanam impatiens. Berkeringat,
kulitnya memerah karena matahari, kokoh seperti biasanya.
“Itu lebih baik, sayang. Gadis pintar.”
Mitch tidak dapat menarik napas. Beban berat menekan paru-
parunya. Ia berusaha bicara namun tak dapat menemukan suaranya,
/9/
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
tak tahu apa yang harus dikatakan. Di sini di bawah matahari yang
bersinar terang, ia merasa dimasukkan ke dalam peti mati, dikubur
hidup-hidup.
“Kami menyandera istrimu,” kata laki-laki di telepon itu.
Mitch mendengar dirinya sendiri berkata, “Kenapa?”
“Menurutmu kenapa, bajingan?”
Mitch tidak tahu kenapa. Ia tidak ingin tahu. Ia tidak ingin
menggunakan akalnya untuk mencari jawaban karena setiap jawab-
an mungkin akan menjadi sesuatu yang mengerikan.
“Aku sedang menanam bunga.”
“Ada apa denganmu, Rafferty?”
“Itu pekerjaanku. Menanam bunga. Memperbaiki alat pe-
nyiram.”
“Kau sedang teler atau bagaimana?”
“Aku hanya seorang tukang kebun.”
“Jadi kami menyandera istrimu. Kau bisa mendapatkannya kem-
bali dengan dua juta, tunai.”
Mitch tahu itu bukan lelucon. Jika ini sebuah lelucon, Holly
harus ikut ambil bagian di dalamnya, tapi selera humornya tidak
kejam.
“Kau telah membuat kesalahan.”
“Kau dengar apa yang kukatakan tadi? Dua juta.”
“Kau tidak mendengarkan. Aku seorang tukang kebun.”
“Kami tahu.”
“Aku punya sekitar sebelas ribu dolar di bank.”
“Kami tahu.”
Dipenuhi oleh ketakutan dan kebingungan, Mitch tidak memi-
liki ruang untuk kemarahan. Terdorong untuk menjelaskan, mungkin
lebih kepada dirinya sendiri daripada sang penelepon, ia berkata,
“Aku hanya menjalankan bisnis dua orang yang kecil.”
“Kau punya waktu sampai Rabu tengah malam. Enam puluh
/ 10 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
jam. Kami akan menghubungi lagi untuk detail-detailnya.”
Mitch berkeringat. “Ini gila. Dari mana aku akan mendapatkan
dua juta dolar?”
“Kau akan menemukan cara.”
Suara orang tak dikenal itu terdengar keras, tak tergoyahkan. Di
dalam film, Maut mungkin akan terdengar seperti itu.
“Itu tidak mungkin,” kata Mitch.
“Kau ingin mendengarnya berteriak lagi?”
“Tidak. Jangan.”
“Apakah kau mencintainya?”
“Ya.”
“Benar-benar mencintainya?”
“Dia segalanya bagiku.”
Betapa aneh, bagaimana ia berkeringat namun merasa begitu
dingin.
“Jika ia segalanya bagimu,” kata laki-laki tak dikenal itu, “maka
kau akan menemukan cara.”
“Tidak ada cara.”
“Jika kau melapor ke polisi, kami akan memotong jari-jarinya
satu per satu, dan menyundutnya sejalan dengan itu. Kami akan
memotong lidahnya. Dan matanya. Kemudian kami akan tinggalkan
dia untuk mati secepat atau sepelan yang ia inginkan.”
Laki-laki tak dikenal itu berbicara tanpa mengancam, dengan
nada bicara apa adanya, seolah ia tidak sedang membuat ancaman
melainkan hanya sekadar menjelaskan detail-detail model bisnisnya.
Mitchell Rafferty tidak berpengalaman berurusan dengan laki-
laki semacam itu. Ia sama saja seperti sedang berbicara pada seorang
tamu dari ujung paling jauh galaksi ini.
Ia tak dapat bicara karena tiba-tiba sepertinya ia bisa dengan
mudah dan tanpa disengaja mengatakan hal yang salah dan memas-
tikan terjadinya kematian Holly lebih cepat daripada lebih lambat.
/ 11 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
Sang penculik berkata, “Supaya kau tahu kami serius….”
Setelah hening sesaat, Mitch bertanya, “Apa?”
“Lihat laki-laki di seberang jalan itu?”
Mitch membalikkan badan dan melihat satu-satunya pejalan
kaki, laki-laki yang tengah membawa anjingnya yang lamban ber-
jalan-jalan. Mereka telah berjalan setengah blok.
Hari yang cerah itu memiliki lapisan bak porselen. Tembakan
senapan memecah keheningan, dan sang pejalan kaki ambruk,
ditembak di bagian kepalanya.
“Rabu tengah malam,” kata laki-laki di telepon itu. “Kami san-
gat serius.”
/ 12 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
2
AANJING ITU BERDIRI SEOLAH MEMBEKU: SATU KAKI DEPAN TERANGKAT, EKOR
terjulur namun tak bergeming, hidung terangkat untuk mencari bau.
Sebenarnya, anjing itu tak melihat sang penembak. Ia terhenti di
tengah-tengah langkah, terkejut oleh robohnya sang tuan, ter-
cengang oleh kebingungan.
Tepat di seberang jalan dari anjing itu, Mitch pun berdiri
lumpuh. Sang penculik telah mengakhiri teleponnya, namun ia
masih memegang telepon genggamnya ke telinga.
Takhayul menjanjikan bahwa selama jalan itu tetap hening, se-
lama ia maupun anjing itu tak bergerak, kekejaman itu mungkin
akan terbatalkan, dan waktu berputar kembali, peluru tertarik
kembali ke larasnya.
Akal sehat mengalahkan pemikiran gaib. Mitch menyeberangi
jalan, awalnya ragu, kemudian berlari.
Jika laki-laki yang roboh itu terluka, sesuatu mungkin bisa
dilakukan untuk menyelamatkannya.
Saat Mitch mendekat, anjing itu memberi persetujuan dengan
satu kibasan ekornya.
Pandangan sekilas ke arah sang korban menghilangkan semua
harapan bahwa tindakan pertolongan pertama mungkin dapat
/ 13 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
memperpanjang hidupnya sampai tenaga paramedis tiba. Sebagian
besar tengkoraknya telah hancur.
Awam terhadap kekerasan yang sesungguhnya, hanya terbiasa
dengan jenis kekerasan di berita televisi yang telah disunting, di-
analisis, dimaafkan, dan dibuat seolah tak berbahaya, dan terbiasa
dengan kekerasan kartun di film-film, Mitch dibikin tak berdaya oleh
kengerian itu. Lebih dari rasa takut, keterkejutan melumpuhkannya.
Lebih dari keterkejutan, kesadaran mendadak akan dimensi-
dimensi yang sebelumnya tak ia rasakan membuatnya terpaku. Ia
bagai seekor tikus di dalam jaringan jalan ruwet yang tertutup, dan
untuk pertama kalinya menengadah dari lorong-lorong yang telah
ia kenal untuk melihat dunia di balik tutup kaca, berbagai bentuk
dan sosok, gerakan-gerakan misterius.
Berbaring di atas trotorar di dekat tuannya, anjing itu gemetar,
mendengking.
Mitch merasakan kehadiran orang lain selain anjing itu, dan
merasa diamati, namun lebih dari sekadar diamati. Dipelajari.
Ditunggui. Diburu.
Jantungnya bagai segerombolan binatang yang bergemuruh,
berderap di atas batu.
Ia mengedarkan pandangan namun tak melihat seorang pun
penembak. Senapan tadi bisa saja ditembakkan dari rumah mana
pun, dari atap atau jendela mana pun, atau dari belakang mobil
yang terparkir.
Lagipula, kehadiran yang ia rasakan bukanlah kehadiran sang
penembak. Ia tidak merasa sedang diawasi dari kejauhan, melainkan
dari titik yang sangat dekat. Ia merasa seolah-olah seseorang mem-
bayanginya.
Tidak lebih dari setengah menit telah berlalu sejak sang pejalan
kaki dibunuh.
Letusan senapan tadi tidak membuat seorang pun keluar dari
/ 14 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
salah satu rumah-rumah indah itu. Di lingkungan ini, suara tembak-
an akan dikira sebagai suara pintu yang dibanting, tak dihiraukan
bahkan saat suaranya bergaung.
Di seberang jalan, di rumah pelanggan tadi, Iggy Barnes telah
bangkit berdiri. Ia tidak tampak terkejut, hanya semata-mata bi-
ngung, seolah ia juga mendengar suara pintu dan tidak memahami
makna dari laki-laki yang tumbang, anjing yang tengah bersedih.
Rabu tengah malam. Enam puluh jam. Waktu terbakar, menit-
menitnya berkobar. Mitch tidak bisa membiarkan jam-jam berubah
menjadi abu sementara ia disibukkan oleh penyidikan polisi.
Di atas trotoar, sederet semut yang sedang berbaris mengubah
arah mereka, merayap menuju santapan di dalam tengkorak yang
berlubang.
Pada hari yang jernih itu, awan tipis bergerak melintasi mata-
hari. Hari berubah pucat. Bayang-bayang memudar.
Merinding, Mitch berpaling dari mayat itu, turun dari trotoar,
dan berhenti.
Dia dan Iggy tidak bisa memuat impatiens yang belum ditanam
begitu saja ke dalam truk dan menyetir pergi. Mereka mungkin tidak
akan bisa melakukannya sebelum seseorang datang dan melihat laki-
laki tewas itu. Ketidakacuhan mereka terhadap korban dan juga
kaburnya mereka akan memberi kesan pada orang lewat yang lugu
sekalipun, dan pastinya kepada polisi, bahwa mereka bersalah.
Telepon genggamnya, masih terlipat, tetap berada di tangan-
nya. Ia memandangnya dengan rasa takut.
Jika kau melapor ke polisi, kami akan memotong jari- jarinya
satu per satu….
Para penculik itu tentunya sudah menduga Mitch akan memang-
gil pihak berwajib atau menunggu orang lain untuk melakukan itu.
Namun, yang tak boleh ia lakukan adalah menyinggung masalah
Holly, atau penculikan itu, atau kenyataan bahwa sang pejalan kaki
/ 15 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
telah dibunuh untuk memberi contoh kepada Mitch.
Memang, lawan-lawan yang tak dikenalnya itu mungkin me-
nempatkannya dalam situasi sulit terutama untuk menguji ke-
mampuannya tetap bungkam saat ia tengah berada dalam kondisi
terguncang yang paling parah dan kemungkinan besar kehilangan
kendali.
Mitch membuka telepon genggamnya. Layarnya menyala de-
ngan gambar ikan berwarna-warni dalam air yang gelap.
Setelah menekan 9 dan 1, Mitch ragu, namun kemudian me-
masukkan digit yang terakhir.
Iggy menjatuhkan sekopnya, beranjak menuju jalan.
Baru ketika operator polisi menjawab telepon pada deringan
kedua Mitch sadar bahwa sejak ia melihat kepala sang laki-laki tewas
yang hancur, napasnya tersenggal-senggal, tak teratur, kasar. Untuk
sesaat, kata-katanya tak mau keluar, kemudian meluncur keluar de-
ngan suara kasar yang nyaris tak ia kenali.
“Seorang laki-laki telah tertembak. Aku sudah mati. Maksudku,
ia sudah mati. Ia telah ditembak, dan ia mati.”
/ 16 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
3
PPOLISI TELAH MEMASANG GARIS POLISI DI KEDUA UJUNG BLOK. MOBIL-MOBIL
patroli, mobil-mobil van CSI, dan sebuah mobil jenazah tersebar di
sepanjang jalan dengan ketidakpedulian mereka pada peraturan
parkir.
Di bawah tatapan matahari yang tak berkedip, kaca depan
mobil-mobil membara dan lempengan-lempengan metal yang
dipoles mengkilap. Tak ada lagi awan yang tersisa untuk menutupi
matahari layaknya penutup mata sang bajak laut, dan sinarnya tak
memiliki belas kasihan.
Para polisi mengenakan kaca mata hitam. Di balik lensa gelap-
nya, mungkin mereka melempar pandangan mencurigakan kepada
Mitchell Rafferty, atau mungkin mereka tak acuh terhadapnya.
Di depan rumah pelanggannya, Mitch duduk di halaman rum-
put, punggungnya menyandar pada batang pohon palem phoenix.
Sesekali ia mendengar suara tikus mengais-ngais di atas pohon.
Mereka suka membuat sarang yang tinggi di pohon palem phoenix,
di antara mahkota pohon dan hamparan daunnya. Bayang-bayang
halus daun-daun palem itu tidak membuatnya merasa terlindungi
dari pandangan. Ia merasa bagaikan tengah berada di atas pang-
gung.
/ 17 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
Ia telah diperiksa dua kali dalam waktu satu jam. Dua detektif
berpakaian preman menanyainya pada kesempatan pertama, dan
hanya satu detektif pada kesempatan kedua.
Mitch merasa telah membawa dirinya dengan baik. Namun
mereka belum memberitahunya bahwa ia sudah bisa pergi.
Sejauh ini, Iggy baru diperiksa sekali. Ia tidak memiliki istri yang
sedang berada dalam bahaya, tak ada apa pun untuk disembun-
yikan. Lagipula, Iggy punya bakat menipu lebih sedikit dibanding
kebanyakan anak usia enam tahun, yang akan tampak jelas di mata
para penyelidik berpengalaman.
Mungkin ketertarikan polisi yang lebih besar terhadap Mitch
adalah pertanda buruk. Atau mungkin itu tidak berarti apa-apa.
Lebih dari satu jam yang lalu Iggy telah kembali ke petak bunga.
Ia hampir menyelesaikan penanaman impatiens.
Mitch sebenarnya lebih memilih untuk tetap sibuk menanam
bunga. Duduk tanpa melakukan apa-apa membuatnya sangat sadar
akan berlalunya waktu: dua dari enam puluh jamnya telah hilang.
Para detektif telah dengan tegas menyarankan supaya Iggy dan
Mitch tetap terpisah karena, dalam ketidakbersalahan mereka, jika
mereka berdua membicarakan kejahatan itu, secara tidak sengaja
mereka mungkin akan saling menyamakan ingatan. Ini akan ber-
akibat pada hilangnya detail penting dari kesaksian salah satu di
antara mereka.
Mungkin, itulah hal yang sebenarnya atau barangkali juga hanya
omong kosong. Alasan untuk tetap memisahkan mereka mungkin
lebih jahat, untuk mengasingkan Mitch dan memastikan ia tetap
goyah. Tak satu pun dari detektif itu memakai kaca mata hitam,
namun Mitch tak mampu membaca mata mereka.
Duduk di bawah pohon palem, ia telah menelepon tiga kali,
yang pertama ke nomor rumahnya. Mesin penjawab telepon
berbunyi.
/ 18 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Setelah suara beep yang biasa, ia berkata, “Holly, apa kau di
sana?”
Para penculik itu tidak akan mengambil risiko menyekapnya di
dalam rumahnya sendiri.
Meski demikian, Mitch berkata, “Kalau kau ada di sana, tolong
angkat teleponnya.”
Mitch berada dalam penyangkalan karena situasi ini tidak masuk
akal. Penculik tidak menyasar istri para laki-laki yang masih harus
mencemaskan harga bensin dan bahan makanan.
Kau tidak mendengarkan. Aku seorang tukang kebun.
Kami tahu.
Aku punya sekitar sebelas ribu dolar di bank.
Kami tahu.
Mereka pasti tidak waras. Berkhayal. Rencana mereka
didasarkan pada semacam fantasi gila yang tidak dapat dipahami
oleh seorang pun yang berakal sehat.
Atau mereka memiliki rencana yang belum mereka ungkap pada-
nya. Mungkin mereka ingin dia merampok bank untuk mereka.
Mitch teringat sebuah berita, beberapa tahun silam, tentang se-
orang laki-laki tak bersalah yang merampok bank sambil menge-
nakan kalung bahan peledak. Para kriminal yang mengalungkan
benda itu padanya berusaha menggunakannya seperti robot yang
dikendalikan dari jarak jauh. Saat polisi mengepung bajingan
malang itu, orang-orang yang mengendalikannya meledakkan bom
itu dari jarak jauh, membuat kepalanya terlepas dari tubuhnya
sehingga ia tidak akan pernah bisa bersaksi.
Satu masalah. Tidak ada bank yang memiliki dua juta dolar
tersedia dalam bentuk tunai di dalam laci para kasirnya, dan bahkan
mungkin juga tidak di dalam ruangan besi.
Setelah tak mendapat jawaban saat menelepon rumah, Mitch
mencoba telepon genggam Holly namun belum berhasil
/ 19 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
menghubunginya di nomor itu.
Ia juga telah menelepon kantor agen real estat tempat Holly
bekerja sebagai sekretaris sembari belajar untuk mendapatkan lisen-
si real estatnya.
Sekretaris lain di kantor itu, Nancy Farasand, berkata, “Ia
menelepon untuk minta ijin karena sakit, Mitch. Kau tidak tahu?”
“Ketika aku meninggalkan rumah pagi tadi ia merasa sedikit
mual,” Mitch berbohong, “tapi ia mengira itu akan hilang.”
“Tidak. Katanya itu seperti flu musim panas. Ia sangat kecewa.”
“Sebaiknya aku meneleponnya ke rumah,” kata Mitch, tapi
tentu saja ia sudah berusaha menghubunginya di sana.
Mitch berbicara dengan Nancy lebih dari sembilan puluh menit
yang lalu, di sela-sela percakapannya dengan para detektif.
Menit-menit yang berlalu memutar longgar pegas pada sebuah
jam; namun menit-menit itu membuat urat saraf Mitch mengencang.
Ia merasa seolah-olah sesuatu di dalam kepalanya akan meledak.
Seekor tawon besar gendut menghampirinya sesekali, me-
layang-layang, berdengung di dekatnya, mungkin tertarik oleh kaos
warna kuningnya.
Di seberang jalan, menjelang ujung blok, dua orang perempuan
dan seorang laki-laki tengah berdiri di halaman depan, menonton
para polisi: para tetangga yang berkerumun untuk kehebohan itu.
Mereka sudah ada di sana sejak bunyi sirene menarik mereka keluar.
Tidak berapa lama sebelumnya, salah seorang dari mereka
masuk ke dalam sebuah rumah dan kembali dengan membawa
nampan berisi gelas-gelas yang kemungkinan berisi es teh. Gelas-
gelas itu berkilau di bawah sinar matahari.
Sebelumnya, para detektif menyusuri jalan untuk memeriksa
ketiga orang itu. Mereka hanya menanyai mereka sekali saja.
Sekarang ketiga orang itu berdiri sambil menyeruput teh,
mengobrol, seolah tak prihatin seorang penembak gelap telah me-
/ 20 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
lenyapkan nyawa seseorang yang tengah berjalan-jalan di lingkung-
an perumahan mereka. Mereka tampaknya menikmati selingan ini,
seolah hal tersebut memberi jeda yang menggembirakan dari
rutinitas biasa mereka, bahkan jika itu terjadi dengan harga sebuah
nyawa.
Bagi Mitch, para tetangga itu sepertinya menghabiskan lebih
banyak waktu memandangi dirinya dibanding memandangi para
polisi atau teknisi CSI. Ia bertanya-tanya apa—jika mereka me-
nanyakan dirinya sama sekali—yang telah ditanyakan para detektif
itu pada mereka.
Tak seorang pun dari ketiga orang itu menggunakan jasa Big
Green. Namun, dari waktu ke waktu, mereka pasti pernah melihat-
nya di lingkungan ini, karena ia merawat empat taman di jalan ini.
Mitch tidak menyukai para peminum teh itu. Ia belum pernah
bertemu dengan mereka, tidak tahu nama mereka, namun ia
memandang mereka dengan kebencian yang getir.
Mitch tidak menyukai mereka bukan karena mereka tampaknya
dengan tak wajar menikmati situasi ini, dan bukan karena apa yang
mungkin telah mereka katakan pada polisi tentang dirinya. Ia tidak
menyukai ketiganya—bahkan bisa menggelorakan kebencian ter-
hadap mereka—karena hidup mereka masih berjalan dengan mulus,
karena mereka tidak hidup di bawah ancaman kekerasan yang mem-
bayangi seseorang yang mereka cintai.
Meski tidak masuk akal, rasa permusuhan yang Mitch rasakan
memiliki manfaat tertentu. Hal itu mengalihkan perhatiannya dari
rasa khawatirnya pada Holly, begitu juga analisis meresahkan yang
terus-menerus ia lakukan terhadap tindakan para detektif.
Jika Mitch berani menyerahkan diri sepenuhnya untuk
mencemaskan istrinya, ia akan luluh lantak. Itu tidak berlebihan. Ia
terkejut akan betapa ringkihnya ia merasa, seperti yang belum
pernah ia rasakan sebelumnya.
/ 21 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
Setiap kali wajah Holly muncul dalam benaknya, Mitch harus
mengenyahkannya karena matanya menjadi terasa panas, pandang-
annya menjadi kabur. Jantungnya berdegup mengikuti irama berat
yang menandakan firasat buruk.
Mempertontonkan emosi, yang berlebihan bahkan untuk
keguncangan akibat melihat seorang laki-laki tertembak, akan mem-
butuhkan suatu penjelasan. Ia tidak berani mengungkap hal yang
sebenarnya, dan ia tidak memercayai dirinya sendiri untuk me-
ngarang sebuah penjelasan yang akan meyakinkan para polisi.
Salah satu detektif pembunuhan itu—Mortonson—mengenakan
sepatu resmi, pantalon hitam, dan kemeja biru pucat. Ia bertubuh
tinggi, tegap, dan tidak main-main.
Detektif satunya—Letnan Taggart—memakai sepatu olahraga
karet berwarna putih, celana khaki, dan kemeja Hawaii merah dan
cokelat tua. Secara fisik ia lebih tidak mengintimidasi dibanding
Mortonson. Gaya berbusananya lebih tidak resmi.
Kehati-hatian Mitch akan Taggart melebihi kekhawatirannya
pada Mortonson yang lebih mengesankan. Rambut sang letnan
yang dipangkas rapi, cukurannya yang mulus, giginya yang dilapis
sempurna, dan sepatu karet putihnya yang tak bernoda memberi
kesan bahwa ia mengenakan busana kasual dan bersikap santai
untuk menyesatkan dan membuat nyaman para tersangka yang
cukup sial untuk berada di bawah selidiknya.
Awalnya kedua detektif itu menanyai Mitch secara bersamaan.
Belakangan, menurut pengakuannya, Taggart kembali sendirian
untuk meminta Mitch “menyempurnakan” sesuatu yang telah ia
katakan sebelumnya. Tapi kenyataannya, sang Letnan mengulangi
semua pertanyaan yang telah ia dan Mortonson ajukan, kemung-
kinan mengantisipasi kontradiksi antara jawaban Mitch sekarang
dan jawaban yang diberikan sebelumnya.
Rupanya, Mitch adalah seorang saksi. Namun, bagi seorang
/ 22 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
polisi, saat sang pembunuh belum teridentifikasi, setiap saksi juga
merupakan seorang tersangka.
Mitch tidak punya alasan untuk membunuh orang tak dikenal
yang sedang berjalan-jalan dengan anjingnya. Bahkan jika mereka
cukup gila untuk berpikir ia telah melakukan itu, mereka harus per-
caya bahwa Iggy adalah kaki tangannya; dan jelas Iggy tidak
menarik bagi mereka.
Yang lebih mungkin, meski tahu ia tidak terlibat dalam penem-
bakan itu, naluri mereka mengatakan bahwa Mitch sedang menyem-
bunyikan sesuatu.
Sekarang lagi-lagi Taggart datang kembali, sepatu karetnya begi-
tu putih sampai tampak bersinar-sinar.
Selagi sang Letnan datang mendekat, Mitch bangkit dari
duduknya, penuh curiga dan mual karena cemas, namun berusaha
tampak sekadar letih dan tak sabaran.
/ 23 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
4
DDETEKTIF TAGGART MEMAMERKAN KULIT KECOKELATAN BAK DARI PULAU YANG
sesuai dengan kemeja Hawaiinya. Kontras dengan wajah merah
tuanya, giginya seputih daratan kutub utara.
“Saya minta maaf untuk semua ketidaknyamanan ini, Tuan
Rafferty. Tapi saya punya beberapa pertanyaan lagi, setelah itu Anda
bebas untuk pergi.”
Mitch bisa saja menanggapi dengan mengangkat bahu atau
menganggukkan kepala. Tapi ia merasa diam akan terlihat ganjil,
bahwa seorang laki-laki yang tidak memiliki apa pun untuk di-
sembunyikan akan bersikap terbuka.
Setelah keragu-raguan tidak menguntungkan yang berlangsung
cukup lama untuk mengesankan adanya pertimbangan pada
dirinya, Mitch berkata, “Saya tidak mengeluh, Letnan. Itu bisa
dengan sama mudahnya saya yang ditembak. Saya bersyukur masih
hidup.”
Sang detektif berusaha menampakkan sikap santai, tapi ia me-
miliki mata seperti mata burung pemangsa, tajam bagai rajawali dan
tak gentar bagai elang. “Kenapa Anda berkata begitu?”
“Yah, jika itu adalah penembakan acak...”
“Kami tidak tahu seperti itu kasusnya,” kata Taggart. “Malah,
/ 24 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
bukti mengarah pada perhitungan yang cermat. Satu tembakan,
ditempatkan dengan sempurna.”
“Tidak mungkinkah orang gila dengan senapan adalah seorang
penembak yang terampil?”
“Tentu saja. Tapi orang-orang gila biasanya ingin menembak
sebanyak mungkin orang. Seorang psikopat dengan senapan sudah
akan menembak Anda juga. Orang ini tahu pasti siapa yang ingin ia
tembak.”
Secara tidak masuk akal, Mitch merasa ikut bertanggung jawab
atas kematian itu. Pembunuhan itu dilakukan untuk memastikan ia
menganggap para pencullik itu serius dan tidak akan mencari bantu-
an polisi.
Mungkin sang detektif menangkap aroma rasa bersalah yang
sesungguhnya tak pantas ia dapatkan namun terus menghantui ini.
Menoleh ke arah mayat di seberang jalan, di mana di sekeliling-
nya tim CSI masih bekerja, Mitch berkata, “Siapa korbannya?”
“Kami belum tahu. Ia tidak membawa kartu identitas. Tidak ada
dompet. Tidakkah menurut Anda itu aneh?”
“Keluar rumah hanya untuk membawa anjing berjalan-jalan,
kita tidak butuh dompet.”
“Itu adalah kebiasaan bagi kebanyakan laki-laki,” kata Taggart.
“Bahkan jika ia sedang mencuci mobil di jalan masuk rumahnya
sendiri, ia membawa dompetnya.”
“Bagaimana Anda akan mengidentifikasinya?”
“Tidak ada identitas di ban leher anjingnya. Tapi anjing itu jenis
golden retriever yang nyaris berkualitas pameran, jadi ia mungkin
memiliki identitas mikrochip yang tertanam. Begitu kita mendapat-
kan alat pemindai, kita akan memeriksanya.”
Setelah dipindah ke sisi jalan sebelah sini dan diikat ke sebuah
tiang kotak surat, anjing tersebut beristirahat di tempat teduh, de-
ngan anggun menerima perhatian dari pengagum-pengagum yang
/ 25 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
terus mengalir teratur.
Taggart tersenyum. “Golden retriever adalah jenis yang terbaik.
Saya punya satu waktu kecil. Saya menyayangi anjing itu.”
Perhatiannya kembali pada Mitch. Senyumnya tetap pada
tempatnya, namun nuansanya berubah. “Pertanyaan-pertanyaan
yang saya singgung tadi. Anda pernah bergabung di militer, Tuan
Rafferty?”
“Militer? Tidak. Saya dulu operator mesin pemotong rumput di
perusahaan lain, mengambil beberapa kelas hortikultura, dan mem-
bangun bisnis saya sendiri satu tahun setelah lulus sekolah menengah
atas.”
“Saya pikir Anda mungkin mantan anggota militer, melihat
bagaimana penembakan tadi tidak membuat Anda terguncang.”
“Oh, saya terguncang,” Mitch meyakinkannya.
Tatapan langsung Taggart dimaksudkan untuk mengintimidasi.
Seolah kedua mata Mitch adalah lensa bening lewat mana pikir-
annya tersingkap bagai kuman di bawah mikroskop, ia merasa ter-
dorong untuk menghindari tatapan sang detektif, namun ia merasa
sebaiknya tidak melakukan itu.
“Anda mendengar bunyi senapan,” kata Taggart, “melihat se-
orang laki-laki tertembak, namun Anda bergegas menyeberangi
jalan, masuk ke dalam lapangan tembakan.”
“Saya tidak tahu ia sudah mati. Mungkin masih ada sesuatu yang
bisa saya lakukan untuknya.”
“Itu patut dipuji. Kebanyakan orang akan pontang-panting
mencari perlindungan.”
“Hei, saya bukan pahlawan. Naluri saya hanya mengesamping-
kan akal sehat saya.”
“Mungkin itulah seorang pahlawan—seseorang yang secara
naluriah melakukan hal yang benar.”
Mitch memberanikan diri untuk memalingkan pandangan dari
/ 26 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Taggart, berharap penghindarannya akan diartikan sebagai
kerendahan hati. “Saya bodoh, Letnan, bukan berani. Saya tidak
berhenti untuk berpikir saya mungkin berada dalam bahaya.”
“Apa—Anda kira ia tertembak secara tidak sengaja?”
“Tidak. Mungkin. Saya tidak tahu. Saya tidak berpikir apa pun.
Saya tidak berpikir, saya hanya bereaksi.”
“Tapi Anda benar-benar tidak merasa sedang berada dalam
bahaya?”
“Tidak.”
“Anda tidak menyadari itu bahkan saat Anda melihat luka
kepalanya?”
“Mungkin sedikit. Saya lebih merasa mual.”
Pertanyaan-pertanyaan itu datang terlalu bertubi-tubi. Mitch
merasa goyah. Ia mungkin tanpa sengaja akan mengungkapkan
bahwa ia tahu mengapa sang pejalan kaki itu dibunuh.
Dengan suara dengungan sayap-sayap sibuk, tawon tadi datang
kembali. Ia tidak tertarik pada Taggart, melainkan melayang-layang
di dekat wajah Mitch, seolah memberi kesaksian atas pernyataan-
nya.
“Anda menyaksikan luka kepalanya,” lanjut Taggart, “tapi Anda
masih tidak pontang-panting mencari perlindungan.”
“Tidak.”
“Kenapa tidak?”
“Saya beranggapan jika seseorang belum menembak saya pada
saat itu, mereka tidak akan menembak saya.”
“Jadi Anda masih tidak merasa berada dalam bahaya.”
“Ya.”
Menyingkap buku catatan kecil berspiralnya, Taggart berkata,
“Anda mengatakan pada operator 911 bahwa Anda mati.”
Terkejut, Mitch kembali beradu pandang dengan mata sang
detektif, “Bahwa saya mati?”
/ 27 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
Taggart mengutip dari buku catatannya: “Seorang laki-laki telah
tertembak. Aku sudah mati. Maksudku, ia sudah mati. Ia telah
ditembak, dan ia mati.”
“Apakah itu yang saya katakan?”
“Saya mendengar rekamannya. Anda kehabisan napas. Anda
terdengar ketakutan setengah mati.”
Mitch lupa bahwa telepon 911 direkam. “Saya rasa saya lebih
takut dari yang saya ingat.”
“Jelas, Anda memang sadar akan adanya bahaya terhadap diri
Anda, tapi tetap saja Anda tidak berlindung.”
Entah bisa atau tidak Taggart membaca sedikit pun pikiran
Mitch, halaman-halaman benak sang detektif sendiri tertutup,
matanya hangat namun biru mengandung teka-teki.
“Aku sudah mati,” sang detektif kembali mengutip.
“Keseleo lidah. Dalam kebingungan, kepanikan itu.”
Taggart memandang anjing itu lagi, dan kembali tersenyum.
Dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya, ia berkata, “Apa
ada hal lain yang sebaiknya saya tanyakan pada Anda? Sesuatu yang
ingin Anda katakan?”
Dalam ingatannya, Mitch mendengar teriakan kesakitan Holly.
Penculik selalu mengancam untuk membunuh sandera mereka
jika polisi dilibatkan. Untuk menang, kau tidak harus bermain
dengan aturan mereka.
Pihak kepolisian akan menghubungi Federal Bureau of
Investigation. FBI punya pengalaman luas dalam kasus penculikan.
Berhubung Mitch tidak mungkin mengumpulkan dua juta dolar,
awalnya polisi akan meragukan ceritanya. Namun saat para pen-
culik kembali menelepon, mereka akan teryakinkan.
Bagaimana jika tidak akan ada telepon kedua? Bagaimana jika,
tahu bahwa Mitch telah melapor ke polisi, para penculik itu mem-
buktikan ancamannya, memotong-motong Holly, membunuhnya,
/ 28 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
dan tidak pernah menelepon lagi?
Jika itu terjadi polisi mungkin akan mengira Mitch mengarang
cerita penculikan itu untuk menutupi kenyataan bahwa Holly sudah
mati, bahwa ia sendirilah yang telah membunuhnya. Sang suami
selalu merupakan tersangka utama.
Jika ia kehilangan Holly, tak akan ada lagi yang berarti baginya.
Takkan pernah ada lagi. Tidak ada kekuatan yang bisa menyem-
buhkan luka yang akan Holly torehkan dalam hidupnya.
Tapi untuk dicurigai menyakitinya—itu akan menjadi serpihan
peluru panas di dalam lukanya, selalu membakar, selamanya
mengoyak.
Menutup buku catatan dan memasukkannya kembali ke saku
pinggang, mengalihkan perhatian dari anjing tersebut ke Mitch,
Taggart kembali bertanya, “Apa saja, Tuan Rafferty?”
Pada satu waktu selama pemeriksaan itu, tawon tadi telah ter-
bang pergi. Baru sekarang Mitch sadar suara dengungannya telah
berhenti.
Jika ia menyimpan rahasia penculikan Holly, ia akan berdiri
sendirian melawan para penculiknya.
Ia tidak sanggup sendirian. Ia dibesarkan bersama tiga saudara
perempuan dan seorang saudara laki-laki, semuanya dilahirkan
dalam jangka waktu tujuh tahun. Mereka adalah orang kepercaya-
an, penerima pengakuan dosa, penasihat, dan pembela bagi satu
sama lain.
Satu tahun setelah lulus Sekolah Menengah Atas, ia pindah dari
rumah orang tuanya ke sebuah apartemen bersama. Belakangan ia
memiliki tempat tinggalnya sendiri, di mana ia merasa terasing. Ia
bekerja enam puluh jam seminggu, dan lebih lama lagi, semata-mata
untuk menghindari berada di kamarnya sendirian.
Ia merasa utuh sekali lagi, sempurna, terhubung, hanya ketika
Holly masuk ke dalam dunianya. Aku adalah kata yang dingin; kita
/ 29 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
terdengar lebih hangat. Kita terdengar lebih manis di telinga di-
banding aku.
Mata Letnan Taggart tampak lebih bersahabat dibanding
sebelumnya.
Mitch berkata, “Yah....”
Sang detektif menjilat bibirnya.
Udara saat itu hangat, kelembabannya rendah. Bibir Mitch pun
terasa kering.
Namun tetap saja gerakan sekilas lidah merah jambu Taggart
tampak bagai binatang melata, dan mengesankan ia tengah
menikmati secara mental citarasa mangsa yang menanti.
Hanya kecurigaan ekstrem yang bisa memungkinkan pemikiran
gila bahwa seorang detektif pembunuhan mungkin bekerja sama
dengan penculik Holly. Momen pribadi antara sang saksi dan sang
penyelidik ini sesungguhnya mungkin merupakan ujian mendasar
atas kesediaan Mitch untuk mengikuti perintah para penculik.
Semua bendera ketakutan, baik yang masuk akal maupun tidak,
terangkat tinggi dalam benak Mitch. Parade rasa takut yang me-
rajalela dan kecurigaan kelam ini tidak memudahkannya berpikir
dengan jernih.
Ia setengah yakin bahwa jika ia memberitahu Taggart yang se-
benarnya, sang detektif akan menyeringai dan berkata Kami harus
membunuhnya sekarang, Tuan Rafferty. Kami tidak dapat memer-
cayai Anda lagi. Tapi kami akan membiarkan Anda memilih apa
yang akan kami potong terlebih dulu—jari-jarinya atau telinganya.
Sama seperti sebelumnya saat ia sedang berdiri di atas laki-laki
mati itu, Mitch merasa diawasi, bukan hanya oleh Taggart dan para
tetangga peminum teh itu, tapi oleh sesosok kehadiran yang tak ter-
lihat. Diawasi, dianalisa.
“Tidak, Letnan,” katanya. “Tidak ada apa-apa lagi.”
Sang detektif mengambil kaca mata hitam dari saku kemejanya
/ 30 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
dan memakainya.
Pada lensa berkaca tersebut Mitch nyaris tidak mengenali
bayangan ganda wajahnya. Lengkungan lensa yang mengubah
bentuk itu membuatnya tampak tua.
“Saya sudah memberi Anda kartu nama saya,” Taggart meng-
ingatkannya.
“Ya, Pak. Ada pada saya.”
“Hubungi saya jika Anda teringat sesuatu yang tampaknya pen-
ting.”
Kilau mulus dan tak berkarakter kaca mata hitam itu bagai tatap-
an seekor serangga: tanpa emosi, berhasrat, rakus.
Taggart berkata, “Anda tampak gelisah, Tuan Rafferty.”
Sambil mengangkat kedua tangannya untuk menunjukkan
betapa gemetarnya mereka, Mitch berkata, “Bukan gelisah, Letnan.
Terguncang. Sangat terguncang.”
Taggart menjilat bibirnya sekali lagi.
Mitch berkata, “Saya belum pernah melihat seorang laki-laki
dibunuh sebelumnya.”
“Kita tidak akan pernah menjadi terbiasa,” kata sang detektif.
Menurunkan tangannya, Mitch berkata, “Saya rasa tidak.”
“Lebih parah jika korbannya adalah perempuan.”
Mitch tidak tahu bagaimana harus mengartikan pernyataan itu.
Mungkin itu sebuah kebenaran sederhana dari pengalaman seorang
detektif pembunuhan—atau sebuah ancaman.
“Seorang perempuan atau anak-anak,” kata Taggart.
“Saya tidak akan menginginkan pekerjaan Anda.”
“Tidak. Anda tidak akan menginginkannya.” Berpaling, sang
detektif berkata, “Sampai bertemu lagi, Tuan Rafferty.”
“Bertemu?”
Menoleh ke belakang, Taggart berkata, “Saya dan Anda—kita
berdua akan menjadi saksi di pengadilan suatu hari nanti.”
/ 31 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
“Tampaknya kasus yang sulit untuk dipecahkan.”
“’Darah berteriak kepada-Ku dari tanah’, Tuan Rafferty,” kata
sang detektif, rupanya mengutip seseorang. “’Darah berteriak ke-
pada-Ku dari tanah.’”
Mitch memandangi Taggart melenggang pergi.
Kemudian ia melihat rumput di bawah kakinya.
Perjalanan sang matahari telah menempatkan bayangan daun
palem di belakangnya. Mitch berdiri di bawah sinar, namun tak
terhangatkan olehnya.
/ 32 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
5
JJAM DASBOR ITU ADALAH JAM DIGITAL, BEGITU JUGA JAM TANGAN MITCH,
namun ia tetap dapat mendengar waktu berdetak, sama cepatnya
dengan suara klik-klik-klik jarum penunjuk yang berderak pada
pasak-pasak penanda roda keberuntungan yang tengah berputar.
Mitch ingin langsung mengebut pulang ke rumahnya dari tem-
pat kejadian itu. Menurut logika Holly pasti telah diculik di rumah.
Mereka tidak akan menculiknya dalam perjalanan menuju kantor,
tidak di jalan umum.
Mereka mungkin tanpa sengaja meninggalkan sesuatu yang bisa
memberi petunjuk akan identitas mereka. Kemungkinan besar,
mereka pasti telah meninggalkan sebuah pesan untuknya, instruksi
lebih lanjut.
Seperti biasa Mitch memulai harinya dengan menjemput Iggy di
apartemennya di Santa Ana. Sekarang ia harus mengantarnya
pulang.
Menyetir dari tempat mereka bekerja di lingkungan perumahan
pinggir pantai Orange County yang legendaris dan mewah, menuju
ke selatan, ke lingkungan rumah mereka yang lebih sederhana,
Mitch berpindah dari jalan bebas hambatan yang padat ke jalan
dalam kota, namun juga berhadapan dengan kemacetan di sana.
/ 33 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
Iggy ingin berbicara mengenai pembunuhan dan para polisi
tadi. Mitch harus berpura-pura sama bersemangatnya akan peng-
alaman baru itu seperti Iggy, di saat sesungguhnya benaknya tetap
dipenuhi pikiran akan Holly dan kecemasan tentang apa yang
mungkin terjadi selanjutnya.
Untungnya, seperti biasa, percakapan Iggy tak lama kemudian
mulai berputar dan berbelok dan menjadi kusut seperti segulung
benang yang diurai oleh anak kucing.
Berpura-pura terlibat dalam percakapan yang melantur itu
memerlukan lebih sedikit konsentrasi dibanding jika topik pem-
bicaraannya adalah sang pejalan kaki yang tewas.
“Sepupuku Louis punya teman bernama Booger,” kata Iggy.
“Hal yang sama terjadi padanya, ditembak saat sedang mengajak
anjingnya berjalan-jalan. Bedanya, ia tidak ditembak oleh senapan
dan bukan seekor anjing yang sedang ia ajak jalan-jalan.”
“Booger?” Mitch bertanya-tanya.
“Booker,” Iggy membetulkan. “B-o-o-k-e-r. Ia punya seekor
kucing yang ia namai Hairball. Ia sedang mengajak Hairball ber-
jalan-jalan, dan ia ditembak.”
“Orang mengajak kucing berjalan-jalan?”
“Yang terjadi adalah—Hairball sedang nyaman berada di dalam
kandang bepergian, dan Booker sedang membawanya ke dokter
hewan.”
Mitch berulang kali memeriksa kaca spion belakang dan sam-
ping. Sebuah mobil SUV Cadillac hitam meninggalkan jalan bebas
hambatan di belakang mereka. Blok demi blok, mobil itu tetap
berada di belakang mereka.
“Jadi Booker tidak benar-benar sedang mengajak kucingnya ber-
jalan-jalan,” kata Mitch.
“Ia sedang berjalan bersama kucingnya, dan seorang anak
bandel usia dua belas tahunan, berandalan yang hidungnya seperti
/ 34 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
keran itu, menembak Booker dengan senapan bola cat.”
“Jadi ia tidak terbunuh.”
“Tidak, ia tidak ambruk, dan itu adalah seekor kucing, bukan
anjing, tapi Booker jadi biru semua.”
“Biru?”
“Rambutnya biru, wajahnya biru. Ia benar-benar kesal.”
SUV Cadillac itu terus berada dua atau tiga kendaraan di
belakang mereka. Mungkin sopirnya berharap Mitch tidak akan
memerhatikannya.
“Jadi Booker biru semua. Apa yang terjadi pada anak itu?”
tanya Mitch.
“Booker baru saja akan mematahkan tangan berandalan kecil
itu, tapi ia menembak selangkangannya dan kabur. Hei, Mitch, kau
tahu ada kota di Pennsylvania yang namanya Blue Balls?”
“Aku tidak tahu.”
“Letaknya di wilayah Amish. Ada kota lain di dekatnya yang
bernama Intercourse.”
“Wah, wah, wah.”
“Orang-orang Amish itu ternyata tidak sealim yang kita kira.”
Mitch mempercepat laju kendaraan untuk menyeberangi per-
simpangan sebelum lampu lalu lintas berubah merah. Di belakang-
nya, SUV hitam itu berpindah jalur, berjalan lebih kencang, dan
berhasil melewati lampu kuning.
“Kau pernah makan shoofly pie dari Amish?” tanya Iggy.
“Tidak. Tidak pernah.”
“Berlemak sekali, lebih manis dari enam film Gidget. Seperti
memakan sirop gula. Berbahaya.”
Mobil Cadillac itu pelan-pelan kembali, kembali ke jalur Mitch.
Sekali lagi tiga mobil memisahkan mereka.
Iggy berkata, “Earl Potter kehilangan kakinya karena makan
shoofly pie.”
/ 35 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
“Earl Potter?”
“Ayah Tim Potter. Ia punya penyakit diabetes tapi ia tidak tahu,
dan ia benar-benar melahap seember makanan manis setiap hari.
Apa kau pernah makan kue pai Quakertown?”
“Bagaimana dengan kaki Earl?” tanya Mitch.
“Aneh, bro. Suatu hari kakinya mati rasa, ia tidak bisa berjalan
dengan benar. Ternyata tidak ada peredaran darah di bawah sana
karena diabetes parah. Mereka menggergaji kaki kirinya di bagian
atas lutut.”
“Saat ia sedang makan shoofly pie.”
“Tidak. Ia sadar harus berhenti makan makanan manis.”
“Itu bagus.”
“Jadi pada hari sebelum operasi ia makan makanan pencuci
mulut untuk terakhir kalinya, dan ia memilih sepotong shoofly pie
utuh dengan banyak sekali krim kocok kental, mungkin dari satu
sapi utuh. Kau pernah nonton film Amish keren yang ada Harrison
Ford dan cewek dengan payudara besar itu?”
Setelah melewati Hairball, Blue Balls, Intercourse, shoofly pie,
dan Harrison Ford, mereka tiba di gedung apartemen Iggy.
Mitch berhenti di trotoar, dan mobil SUV hitam itu melintas
tanpa memelankan kecepatan. Jendela sampingnya gelap sehingga
Mitch tak dapat melihat sopir atau satu pun penumpangnya.
Membuka pintu, sebelum keluar dari truk, Iggy berkata, “Kau
baik-baik saja, bos?”
“Aku baik-baik saja.”
“Kau tampak kacau.”
“Aku melihat seorang laki-laki ditembak sampai mati,” Mitch
mengingatkannya.
“Ya. Tidakkah itu keren? Aku rasa aku tahu siapa yang akan men-
jadi pusat perhatian di Rolling Thunder malam ini. Mungkin kau
sebaiknya mampir.”
/ 36 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
“Tidak usah sisihkan tempat duduk untukku.”
Cadillac SUV itu kelihatan semakin kecil menuju ke arah barat.
Matahari sore membungkus kendaraan mencurigakan tersebut
dalam kilap dan kilau. Ia berkerlip dan seperti menghilang ke dalam
mulut sang matahari.
Iggy keluar dari truk, menoleh kembali ke dalam pada Mitch,
dan menampilkan wajah sedih. “Istrimu, pengekangmu.”
“Inspirasi dan kekuatan dalam hidupku.”
“Waduh, itu omongan cengeng.”
“Pergi gila-gilaan sana.”
“Aku memang berniat jadi teler sedikit,” Iggy meyakinkannya.
“Dr. Ig meresepkan paling tidak enam pak cerveza untukmu.
Katakan pada Nyonya Mitch menurutku ia cewek paling top.”
Iggy membanting pintu mobilnya dan berjalan pergi, besar dan
setia, manis dan sama sekali tak tahu apa pun.
Dengan tangan yang mendadak gemetar di atas setir, Mitch
sekali lagi mengarahkan truknya menuju jalan.
Mengarah ke selatan tadi, ia tak sabar untuk melepaskan diri
dari Iggy dan pulang ke rumah. Sekarang perutnya serasa dikocok
memikirkan apa yang mungkin menantinya di sana.
Yang paling ia takutkan adalah menemukan darah.
/ 37 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
6
MMITCH MENYETIR DENGAN JENDELA TRUK TERBUKA, MENGINGINKAN SUARA-
suara dari jalan, bukti akan kehidupan.
Mobil SUV Cadillac tadi tidak muncul kembali. Tak ada
kendaraan lain yang mengambil alih untuk membuntutinya.
Tampaknya Mitch telah mengkhayalkan pengejaran itu.
Perasaan Mitch bahwa ia tengah diawasi perlahan menghilang.
Sesekali matanya melihat ke arah kaca spion belakang, namun tak
lagi dengan perasaan akan melihat sesuatu yang mencurigakan.
Ia merasa sendirian, dan lebih parah dari sendirian. Terasing. Ia
nyaris berharap SUV hitam itu akan muncul kembali.
Rumah mereka berada di salah satu lingkungan tua di Orange,
salah satu kota paling tua di wilayah itu. Saat ia berbelok memasuki
jalan tempat mereka tinggal, kecuali untuk model mobil dan
truknya, tirai waktu seolah telah dibuka, menyambutnya ke tahun
1945.
Bungalo itu—papan kayu berlapis-lapis warna kuning pucat, lis
putih, atap kayu cedar—berdiri di belakang pagar kayu tempat
tanaman mawar merambat. Beberapa rumah yang lebih besar dan
lebih bagus mendiami blok itu, tapi tak ada yang memamerkan
taman yang lebih indah.
/ 38 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Ia parkir di jalan masuk mobil di samping rumah, di bawah
pohon lada California tua raksasa, dan menapak keluar memasuki
sore yang tak berangin.
Trotoar dan halaman-halaman tampak lengang. Di lingkungan
ini, kebanyakan keluarga mengandalkan dua pemasukan; jadi semua
orang masih berada di tempat kerja mereka. Pada pukul 3:04,
belum ada anak-anak tanpa pengawasan yang sudah kembali dari
sekolah.
Tak ada pembantu, tukang pembersih jendela, atau jasa per-
kebunan yang sibuk dengan mesin pembersih daun. Para pemilik
rumah di sini menyapu sendiri karpet mereka, memotong sendiri
rumput mereka.
Pohon lada itu menganyam sinar matahari di antara helai-helai
daunnya yang menjuntai, dan mengotori jalan beraspal yang teduh
itu dengan serpihan-serpihan cahaya lonjong.
Mitch membuka gerbang samping di pagar. Ia menyeberangi
halaman menuju tangga depan.
Beranda depan rumahnya sejuk dan lapang. Kursi-kursi rotan
putih dengan bantalan hijau berdiri di samping meja-meja rotan
kecil beralas kaca.
Setiap hari Minggu sore ia dan Holly seringkali duduk di situ,
mengobrol, membaca koran, memandangi burung kolibri meloncat
dari satu kuntum bunga merah tua ke kuntum lainnya di tanaman
bunga terompet rambat yang tumbuh subur di tiang-tiang beranda.
Terkadang mereka menggelar meja untuk bermain kartu di
antara kursi-kursi rotan itu. Holly biasa mengalahkannya pada per-
mainan Scrabble. Sedang Mitch mendominasi permainan-permainan
teka-teki.
Mereka tidak menghabiskan banyak uang untuk hiburan. Tak
ada liburan untuk bermain ski, tak ada akhir minggu di Baja. Mereka
jarang pergi keluar untuk menonton bioskop. Menghabiskan waktu
/ 39 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
berdua di beranda depan memberikan kenikmatan yang sama
seperti menghabiskan waktu berdua di Paris.
Mereka menghemat uang untuk hal-hal yang berarti. Untuk
memungkinkan Holly mengambil risiko pergantian karir dari se-
orang sekretaris menjadi agen real estate. Untuk memungkinkan
Mitch memasang iklan, membeli truk kedua, dan memperbesar
usahanya.
Juga masalah anak. Mereka berencana memiliki anak. Dua atau
tiga. Pada hari-hari libur tertentu, di saat mereka merasa paling sen-
timentil, bahkan empat orang anak rasanya tidak terlalu banyak.
Mereka tidak menginginkan dunia, dan tidak ingin mengubah-
nya. Mereka mendambakan pojok kecil mereka sendiri di dunia,
dan kesempatan untuk mengisinya dengan keluarga dan tawa.
Mitch mencoba membuka pintu depan. Tidak terkunci. Ia men-
dorongnya ke dalam dan berdiri ragu di ambang pintu.
Ia menoleh ke belakang ke arah jalan, setengah berharap akan
melihat SUV hitam tadi. Mobil itu tidak ada di sana.
Setelah melangkah masuk, ia berdiri sejenak, membiarkan
matanya menjadi terbiasa. Ruang tamu hanya disinari oleh sisa sinar
matahari yang telah tersaring oleh pepohonan dan menembus
jendela.
Semuanya tampak teratur. Ia tidak dapat mendeteksi adaya
tanda-tanda perlawanan.
Mitch menutup pintu di belakangnya. Untuk beberapa saat ia
butuh bersandar di situ.
Jika Holly ada di rumah, pasti sudah akan ada suara musik. Ia
menyukai musik-musik band jazz. Miller, Goodman, Ellington,
Shaw. Katanya musik tahun empat puluhan sesuai untuk rumah ini.
Juga sesuai dengan dirinya. Klasik.
Sebuah lorong dengan langit-langit melengkung meng-
hubungkan ruang tamu dengan ruang makan yang kecil. Tak ada
/ 40 /