The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-04-20 20:56:21

The Husband (Kisah Cinta Sejati)

By Dean Koontz

Keywords: Dean Koontz,The Husband (Kisah Cinta Sejati

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

saluran radio polisi.
Lampu lalu lintas berubah hijau. Ia menyeberangi jalur-jalur

yang mengarah ke selatan dan berbelok ke kiri, menuju ke utara di
Coast Highway.

Satu butir keringat mengejar butiran lain di belakang lehernya,
di bawah kerahnya, sepanjang tulang belakangnya.

Ia baru menempuh satu blok di Coast Highway saat sirene
melengking di belakangnya: kali ini, di kaca spionnya, mobil polisi.

Hanya orang-orang bodoh saja yang membuat polisi mengejar
mereka. Para polisi itu memiliki sumber daya di udara dan juga
banyak bala bantuan di darat.

Takluk, Mitch mengarahkan mobil menuju trotoar. Saat ia
meninggalkan jalurnya, mobil polisi itu melesat melewatinya dan
menghilang.

Dari trotoar, Mitch menonton sampai mobil itu meninggalkan
jalan dua blok di depan sana. Mobil itu berbelok ke kiri menuju
ujung utara The Village.

Rupanya Taggart belum cukup memulihkan daya pikirnya untuk
memberikan deskripsi mobil Hondanya.

Mitch menghela napas dalam. Ia menghela satu napas lagi. Ia
mengusap bagian belakang lehernya dengan satu tangan. Ia menge-
ringkan kedua tangannya di celana jins.

Ia telah menyerang seorang petugas polisi.
Pelan-pelan mengarahkan Hondanya kembali memasuki arus
lalu lintas yang mengarah ke utara, ia bertanya-tanya apakah ia
telah kehilangan akalnya. Ia merasa mantap, dan mungkin sem-
brono dalam artian berani, tapi tidak berpandangan pendek ke
depan. Tentu saja, orang gila tidak akan bisa mengenali kegilaan dari
dalam gelembungnya.

/ 341 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

57

SSETELAH HOLLY MENCABUT PAKU ITU DARI PAPAN, IA MEMBOLAK-BALIK
papan itu dengan jemarinya yang kaku dan nyeri, menimbang-
nimbang apakah paku itu bisa membawa maut seperti yang ia
bayangkan saat masih tertanam di dalam kayu.
Lurus, lebih dari tiga namun kurang dari empat inci panjangnya,
dengan batang yang tebal, paku itu memang bisa dianggap paku
beton. Ujungnya tidak setajam, katakan saja, ujung tusukan daging
ayam, namun lebih dari cukup.
Sementara angin menyenandungkan kekerasan, Holly meng-
habiskan waktu membayangkan beragam cara paku itu mungkin
digunakan untuk melawan orang mengerikan itu. Daya khayalnya
cukup subur untuk membuatnya merasa gelisah.
Setelah dengan cepat membuat dirinya sendiri merasa jijik, ia
mengubah topik pemikirannya dari kegunaan paku menjadi tempat-
tempat paku itu mungkin disembunyikan. Nilai yang dimiliki paku
tersebut adalah nilai kejut yang akan dihasilkannya.
Meski paku itu mungkin takkan terlihat jika diselipkan di dalam
saku celana jinsnya, Holly khawatir ia takkan bisa mengeluarkannya
dengan cepat dalam situasi genting. Saat mereka membawanya dari
rumah ke tempat ini, mereka mengikat pergelangan tangannya

/ 342 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

dengan kencang menggunakan selembar selendang. Jika laki-laki itu
melakukan hal yang sama saat membawanya pergi dari sini, ia
takkan sanggup membebaskan tangannya dan, dengan begitu,
mungkin takkan bisa menjejalkan jarinya dengan mudah ke dalam
saku tertentu.

Sabuknya tidak menawarkan kemungkinan, tapi di dalam gelap,
dengan meraba-raba, ia mempertimbangkan sepatu olahraganya. Ia
tidak bisa membawa paku itu di dalam sepatu; paku itu paling tidak
akan menggesek dan melepuhkan kakinya. Mungkin ia bisa
menyembunyikannya di bagian luar sepatu.

Ia melonggarkan tali sepatu sebelah kirinya, dengan hati-hati
menyelipkan paku itu di antara lidah dan salah satu penutupnya,
kemudian mengikat talinya kembali.

Ketika berdiri dan berjalan berputar satu lingkaran mengelilingi
cincin besi ke mana ia tertambat, ia segera sadar paku yang kaku itu
menghalanginya untuk berjalan dengan mulus dan lentur. Ia tidak
bisa menghindari berjalan pincang.

Akhirnya ia mengangkat sweaternya dan menyembunyikan
paku itu di dalam behanya. Ia tidak diberkati secara berlebih seper-
ti kebanyakan pegulat lumpur perempuan, tapi alam telah berlaku
lebih dari adil. Untuk mencegah paku itu meluncur jatuh di antara
kedua mangkuk beha, ia menekan ujungnya menembus pinggiran
elastis, dengan begitu menahannya di tempat.

Ia telah mempersenjatai dirinya sendiri.
Dengan tugas itu terselesaikan, persiapan yang ia lakukan
sebelumnya terasa konyol.
Gelisah, ia berpaling ke cincin besi itu, bertanya-tanya apakah ia
bisa membebaskan diri atau paling tidak memperbanyak per-
senjataannya yang sangat minim.
Dengan tangannya yang menyelidik, sebelumnya ia telah
memastikan cincin besi itu terpateri pada selembar pelat besi setebal

/ 343 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

setengah inci yang panjang sisinya sekitar delapan inci. Pelat itu ter-
tahan ke lantai oleh empat sekrup yang masing-masing tertanam di
dalam sebuah cerukan.

Ia tidak bisa berkata dengan yakin bahwa itu adalah sekrup,
karena sedikit cairan telah dituang ke dalam cerukan di sekeliling
masing-masing sekrup sehingga membentuk genangan keras. Ini
tidak memberinya akses terhadap celah di kepala tiap sekrup, jika
memang benar itu adalah sekrup.

Patah semangat, ia berbaring terlentang di atas kasur udara,
kepalanya terangkat di bagian bantalnya.

Sebelumnya, ia tidur dengan gelisah. Kelelahan emosionalnya
menimbulkan kelelahan fisik, dan ia tahu ia bisa tidur kembali. Tapi
ia tidak ingin tidur.

Ia takut nanti akan terbangun hanya ketika sang laki-laki sudah
menindihnya.

Ia berbaring dengan mata terbuka, meski kegelapan ini lebih
pekat dari kegelapan di balik kelopak matanya, dan ia mendengar-
kan angin, meski tidak ada kenyamanan yang ia dapat darinya.

Beberapa waktu kemudian, waktu yang tak terdefinisikan oleh
detik, menit, ataupun jam, saat terbangun, ia masih berada dalam
kegelapan total. Namun ia tahu dirinya tidak sendirian. Aroma
samar memperingatkannya akan bahaya itu, atau mungkin itu intu-
isi akan dirinya yang tengah dilanggar batasnya.

Ia bangkit terduduk dengan kaget, kasur udara itu mencicit di
bawah tubuhnya, rantainya bergemertak di lantai antara borgol dan
cincin besi.

“Ini hanya aku,” laki-laki itu menenangkannya.
Mata Holly berusaha keras untuk melihat karena daya gravitasi
kegilaan laki-laki itu seharusnya memadatkan kegelapan di sekitar-
nya menjadi sesuatu yang bahkan lebih gelap lagi, namun ia tetap
tak terlihat.

/ 344 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

“Aku sedang memandangimu tidur,” katanya, “kemudian setelah
beberapa saat, aku khawatir senterku akan membuatmu terbangun.”

Mengira-ngira posisinya lewat suaranya tidak semudah yang
Holly bayangkan.

“Ini menyenangkan,” katanya, “bersama denganmu di dalam
kegelapan yang suci ini.”

Di sebelah kanannya. Tidak lebih dari tiga kaki jauhnya.
Mungkin berlutut, mungkin berdiri.

“Apa kau takut?”
“Tidak,” Holly berbohong tanpa ragu.
“Kau akan membuatku kecewa jika kau takut. Aku percaya kau
tengah bangkit menuju jiwamu yang utuh, dan dia yang sedang
bangkit harus berada di luar jangkauan rasa takut.”
Seraya berbicara sepertinya dia bergerak ke belakangnya. Holly
memalingkan kepala, mendengarkan dengan seksama.
“Di El Valle, New Mexico, suatu malam salju turun dengan
derasnya seperti yang belum pernah terjadi di mana pun juga.”
Jika ia benar, laki-laki itu telah bergeser ke sisi kanannya dan
berdiri di atasnya, tanpa membuat suara yang gagal untuk
disamarkan sang angin.
“Dasar lembah menerima salju setebal enam inci dalam waktu
empat jam, dan daratan itu tampak menyeramkan dalam cahaya
salju ... ”
Bulu-bulu tubuhnya bergetar, bulu kuduk berdiri memikirkan
laki-laki itu bergerak dengan mantap dalam kondisi gelap yang
pekat. Ia tidak menampakkan dirinya, bahkan tidak dengan kilatan
mata, seperti yang mungkin dilakukan seekor kucing.
“ ... menyeramkan dengan cara yang tidak pernah terjadi di
mana pun di dunia ini, dataran-datarannya menyusut dan bukit-
bukit landai membubung seolah mereka hanya padang-padang
kabut dan dinding halimun, ilusi bentuk dan dimensi, pantulan dari

/ 345 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

pantulan, dan pantulan itu hanya pantulan sebuah mimpi.”
Suara lembut itu ada di hadapannya sekarang, dan Holly memi-

lih untuk meyakini bahwa suara itu tidak pernah bergerak: bahwa
suara itu sejak tadi selalu berada di hadapannya.

Terbangun kaget dari tidurnya, ia seharusnya telah menduga
pada awalnya indera-inderanya tidak akan dapat dipercaya.
Kegelapan sempurna semacam itu memindahkan suara, menyebab-
kan disorientasi.

Ia berkata, “Badai tidak berangin di daratan, tapi angin kencang
bertiup di tempat yang lebih tinggi. Karena saat salju mereda,
kebanyakan awan dengan cepat tercabik-cabik menjadi kain com-
pang-camping dan terlontar ke sana kemari. Di antara awan yang
tersisa, langitnya gelap, dihiasi kalung-kalung bintang yang rumit.”

Holly dapat merasakan paku di antara kedua payudaranya,
dihangatkan oleh panas tubuhnya, dan berusaha mendapatkan rasa
nyaman dari kehangatan itu.

“Tukang pembuat kaca punya kembang api yang tersisa dari
bulan Juli yang lalu, dan perempuan yang bermimpi tentang kuda-
kuda mati menawarkan diri untuk membantunya memasang dan
menyalakannya.”

Cerita-ceritanya selalu mengarah pada sesuatu, meski Holly
telah belajar untuk memiliki firasat buruk tentang tujuan-tujuan
ceritanya itu.

“Ada jenis kerang bintang, roda Catherine, jenis yang mendesis,
girandole, bentuk bunga krisan yang berubah dua kali, dan pohon
palem emas ... “

Suara memelan, dan ia dekat padanya sekarang. Ia mungkin
mencondongkan tubuh ke arahnya, wajahnya satu kaki dari wajah
Holly.

“Ledakan merah, hijau, biru safir dan emas menerangi langit
hitam, tapi mereka juga berwarna-warni dan terpantul menyebar di

/ 346 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

padang-padang salju, aliran-aliran warna yang berdenyut di
padang-padang salju.”

Saat sang pembunuh berbicara, Holly memiliki firasat ia akan
menciumnya di sini di dalam kegelapan. Bagaimana ia akan bereaksi
ketika, tak terhindarkan lagi, Holly tersentak karena jijik?

“Beberapa salju terakhir tengah turun, beberapa serpihan yang
terlambat turun berukuran sebesar koin perak, jatuh dalam pusaran-
pusaran lebar yang lambat. Serpihan-serpihan salju itu juga me-
nangkap warnanya.”

Holly menyandar ke belakang dan memalingkan wajahnya ke
samping, mengantisipasi dengan takut ciuman itu. Kemudian ia ter-
pikir ciuman itu mungkin tidak akan mendarat di bibir melainkan di
belakang lehernya.

“Berpendar-pendar dengan cahaya biru dan merah dan emas,
serpihan-serpihan itu perlahan berkerlip turun ke tanah, seolah se-
suatu yang magis sedang terbakar tinggi di atas langit malam, istana
megah yang terbakar di sisi lain Surga, merontokkan bara api
seterang batu permata.”

Ia berhenti bicara sejenak, jelas mengharapkan tanggapan.
Selama ia terus dibuat bicara, ia tidak akan mencium.
Holly berkata, “Kedengarannya begitu megah, begitu indah.
Coba aku ada di sana.”
“Aku juga berharap kau ada di sana,” ia setuju.
Menyadari apa yang baru saja ia katakan mungkin diartikan
sebagai sebuah undangan, Holly memohon padanya: “Pasti masih
ada lagi. Apa lagi yang terjadi di El Valle malam itu? Ceritakan lagi
lebih banyak padaku.”
“Perempuan yang bermimpi tentang kuda-kuda mati punya se-
orang teman yang mengaku bangsawan dari sebuah negara Eropa
Timur. Kau pernah mengenal seorang bangsawan?”
“Tidak.”

/ 347 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

“Bangsawan itu punya masalah dengan depresi. Ia menye-
imbangkannya dengan mengonsumsi ekstasi. Ia memakai terlalu
banyak ekstasi dan berjalan menuju padang salju yang telah diubah
wujudnya oleh kembang api. Lebih bahagia dari apa pun yang per-
nah ia rasakan sepanjang hidupnya, ia membunuh dirinya sendiri.”

Satu lagi jeda membutuhkan sebuah tanggapan, dan Holly tak
bisa terpikir akan sesuatu yang berani ia katakan kecuali, “Betapa
menyedihkan.”

“Aku tahu kau akan melihatnya seperti itu. Ya, sedih. Sedih dan
konyol. El Valle adalah pintu gerbang yang memungkinkan per-
jalanan menuju perubahan besar. Malam itu, dan pada momen spe-
sial itu, sebuah pengalaman batin yang luar biasa, yang melampaui
dunia materi, ditawarkan pada semua yang hadir di situ. Namun
selalu saja ada mereka yang tidak dapat melihat.”

“Sang bangsawan.”
“Ya. Bangsawan itu.”
Holly merasakan napasnya yang hangat pada alisnya, pada
matanya. Napas itu tidak berbau. Dan kemudian menghilang.
Mungkin sesungguhnya ia bukan merasakan napasnya, hanya
angin yang bertiup.
Holly ingin percaya itu embusan angin, dan ia memikirkan hal-
hal yang bersih, seperti suami dan bayinya, dan matahari yang
cerah.
Laki-laki itu berkata, “Apakah kau percaya pada pertanda, Holly
Rafferty?”
“Ya.”
“Pertanda. Isyarat. Firasat, burung hantu, burung laut, kucing
hitam dan cermin retak, cahaya-cahaya misterius di langit. Apakah
kau pernah melihat suatu pertanda, Holly Rafferty?”
“Aku rasa tidak.”
“Apakah kau berharap dapat melihat suatu pertanda?”

/ 348 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

Ia tahu apa yang laki-laki itu ingin ia katakan, dan ia segera me-
ngatakannya, “Ya. Aku berharap dapat melihat suatu pertanda.”

Pada pipi kirinya ia merasakan napas hangat, kemudian pada
bibirnya.

Jika ini adalah dia—dan di dalam hatinya ia tahu tidak ada
jika—ia tetap menyatu dalam kekelaman meski hanya beberapa inci
saja jarak yang memisahkan mereka.

Kegelapan di dalam ruangan menyeru pada kegelapan di dalam
benaknya. Holly membayangkan laki-laki itu berlutut telanjang di
hadapannya, tubuhnya yang pucat dihiasi simbol-simbol misterius
yang dilukis menggunakan darah orang-orang yang ia bunuh.

Berjuang mencegah rasa takutnya yang meningkat untuk me-
masuki suaranya, ia berkata, “Kau sudah melihat banyak pertanda,
benar begitu?”

Napas itu, napas itu, napas itu pada bibirnya, namun bukan
ciuman, dan kemudian bukan lagi napas itu, saat ia menarik diri dan
berkata, “Aku sudah melihat beberapa. Aku punya bakat untuk me-
lihatnya.”

“Tolong ceritakan padaku mengenai salah satunya.”
Ia terdiam. Diamnya adalah bobot yang tajam dan mem-
bayangi, pedang di atas kepala Holly.
Mungkin ia sudah mulai bertanya-tanya apakah Holly berbicara
untuk mencegah ciuman itu.
Jika mungkin, Holly harus menghindar menyinggung perasaan-
nya. Sebagaimana pentingnya itu untuk meninggalkan tempat ini
tanpa diperkosa, penting pula untuk meninggalkan tempat ini tanpa
membebaskan laki-laki itu dari fantasi romantis aneh dan kelam
yang tampaknya mencengkeramnya.
Ia tampaknya percaya bahwa pada akhirnya Holly akan memu-
tuskan ia harus pergi ke Guadalupita, New Mexico, bersamanya dan
bahwa di Guadalupita ia akan “takjub”. Selama ia terus memercayai

/ 349 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

itu, yang dikuatkan oleh Holly tanpa kentara dan tanpa membang-
kitkan kecurigaan, ia mungkin akan bisa mendapatkan keuntungan
atas dirinya di saat yang paling penting, pada momen yang paling
genting baginya.

Saat diamnya mulai terasa lama dan mengancam, laki-laki itu
berkata, “Ini terjadi tepat saat musim panas berubah menjadi musim
gugur tahun itu, dan semua orang bilang burung-burung telah pergi
lebih awal menuju selatan, dan serigala terlihat di tempat yang
mereka sudah tak terlihat lagi selama satu dekade.”

Waspada di dalam gelap, Holly duduk sangat tegak, dengan
kedua lengan terlipat di atas payudaranya.

“Langit tampak seperti berongga. Kau merasa kau akan dapat
memecahkannya dengan batu. Kau pernah ke Eagle Nest, New
Mexico?”

“Tidak.”
“Aku sedang menyetir ke arah selatan dari Eagle Nest, di jalan
aspal dua jalur, paling tidak dua puluh mil ke timur dari Taos. Ada
dua orang gadis di jalan, mencari tumpangan ke utara.”
Di sepanjang atap, angin menemukan cerukan atau tonjolan
baru yang dihantamnya untuk membuat suara baru, dan sekarang
suara itu menyerupai lolongan anjing hutan yang tengah berburu.
“Usia mereka sepantaran dengan mahasiswa, tapi mereka bukan
mahasiswa. Mereka para pencari yang serius, kau akan bisa melihat-
nya, dan percaya diri dengan sepatu bot mereka yang bagus dan
juga ransel, dengan tongkat berjalan mereka, dan semua peng-
alaman mereka.”
Ia berhenti sejenak, mungkin untuk memberi efek dramatis,
mungkin tengah menikmati kenangan itu.
“Aku melihat pertanda itu dan langsung tahu bahwa itu
memang sebuah pertanda. Melayang-layang rendah di atas kepala
mereka, seekor burung hitam, sayap-sayapnya terbentang lebar,

/ 350 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

tidak mengepak-ngepak. Burung itu seperti menumpang tanpa me-
ngeluarkan tenaga, pada arus udara hangat tapi bergerak dengan
tepat, tidak lebih cepat atau lambat dari gadis-gadis yang sedang
berjalan itu.”

Holly menyesal telah memancing cerita ini. Ia memejamkan
matanya menahan bayangan yang ia takut akan digambarkan oleh
laki-laki itu.

“Hanya enam kaki di atas kepala mereka dan satu atau dua kaki
di belakang mereka burung itu melayang-layang. Namun mereka
tidak sadar akan kehadirannya. Mereka tidak sadar, dan aku tahu
apa artinya itu.”

Holly terlalu takut akan kegelapan di sekelilingnya untuk bisa
menutup matanya terhadap kegelapan itu. Ia kembali menyalang-
kan matanya meski tidak bisa melihat apa pun.

“Apa kau tahu apa makna dari pertanda burung itu, Holly
Rafferty?”

“Kematian,” ia menjawab.
“Ya, tepat sekali. Kau memang sedang bangkit menuju jiwa yang
utuh. Aku melihat burung itu dan percaya bahwa maut tengah
menghampiri gadis-gadis itu, bahwa mereka tidak akan lama lagi
ada di dunia ini.”
“Dan ... apakah itu benar?”
“Musim dingin datang lebih awal tahun itu. Banyak salju yang
turun tak henti-hentinya, dan udara dinginnya sangat parah. Udara
hangat musim semi yang mencairkan es berlangsung sampai musim
panas. Lalu saat salju meleleh, mayat-mayat mereka ditemukan pada
akhir bulan Juni, dibuang di sebuah lapangan dekat Arroyo Hondo,
di sisi lain Wheeler Peak dari arah tempat aku melihat mereka di
jalan. Aku mengenali gambar mereka di koran.”
Holly memanjatkan doa di dalam hati bagi keluarga-keluarga
kedua gadis tak dikenal itu.

/ 351 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

“Siapa yang tahu apa yang terjadi pada mereka?” ia
meneruskan. “Mereka ditemukan dalam keadaan telanjang. Jadi kita
bisa membayangkan beberapa hal yang mungkin mereka alami. Tapi
meski bagi kita itu tampaknya kematian yang sangat mengerikan
dan tragis karena kemudaan mereka, selalu ada kemungkinan akan
adanya pencerahan bahkan di situasi paling parah sekalipun. Jika
kita adalah pencari, kita belajar dari semua hal, dan berkembang.
Mungkin setiap kematian melibatkan momen-momen keindahan
yang mencerahkan dan kemungkinan akan pengalaman batin yang
luar biasa.”

Ia menghidupkan senternya dan ternyata tengah duduk tepat di
hadapan Holly, bersila di lantai.

Jika sinarnya mengagetkannya lebih awal tadi, ia mungkin
sudah akan tersentak. Sekarang ia tidak semudah itu untuk dibuat
kaget, begitu juga ia mungkin tidak akan tersentak karena sinar apa
pun itu, sinar itu begitu didambakannya.

Ia mengenakan topeng ski yang hanya memperlihatkan bibirnya
yang telah digigiti sampai bengkak dan mata biru beryl-nya. Ia tidak
telanjang maupun dilukisi oleh darah mereka yang telah ia bunuh.

“Waktunya untuk pergi,” katanya. “Kau akan ditebus dengan
satu juta empat ratus ribu dolar, dan saat aku sudah mendapatkan
uangnya nanti, tiba waktunya untuk keputusan yang telah kau
buat.”

Jumlah uang itu membuatnya termangu. Mungkin itu adalah
kebohongan.

Holly telah kehilangan jejak waktu, tapi ia dibuat bingung dan
takjub oleh arti di balik kata-katanya. “Apakah ini sudah … hari
Rabu tengah malam?”

Di dalam topeng skinya ia tersenyum. “Baru beberapa menit
sebelum jam satu siang hari Selasa,” katanya. “Suamimu yang gigih
telah memaksa kakaknya untuk menyediakan uang lebih cepat dari

/ 352 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

yang mungkin bisa dilakukan. Semua ini telah berjalan dengan begi-
tu mulusnya sehingga ini semua pasti meluncur di atas roda-roda
takdir.”

Berdiri, laki-laki itu memberi tanda pada Holly untuk ikut
berdiri, dan ia menurut.

Di belakang punggungnya, laki-laki itu mengikat kedua perge-
langan tangannya dengan sehelai selendang biru, seperti sebelum-
nya.

Melangkah ke hadapannya lagi, ia menyingkirkan rambut di
keningnya ke belakang dengan lembut, karena beberapa helai ter-
jatuh menutupi wajahnya. Saat ia melakukan tindakan itu dengan
kedua tangan yang sangat dingin dan pucat, laki-laki itu terus
memandangi wajahnya dengan semangat tantangan romantis.

Holly tak berani memalingkan pandangannya, dan meme-
jamkan mata hanya saat laki-laki itu menempelkan bantalan kain
kasa tebal yang telah dibasahi supaya menempel. Ia menahan ban-
talan-bantalan tersebut supaya tidak bergerak menggunakan kain
sutra yang lebih panjang, yang ia lilitkan tiga kali mengelilingi
kepalanya dan ia ikat dengan kencang di belakang.

Tangannya menyenggol pergelangan kaki kanan Holly dan
membuka kunci borgol itu, membebaskannya dari rantai dan cincin
besi.

Ia menggerak-gerakkan senter di depan penutup matanya, dan
Holly melihat cahaya suram menembus kain kasa dan sutra tersebut.
Rupanya sudah puas dengan pekerjaan yang telah ia selesaikan, ia
menurunkan cahaya senternya.

“Jika kita sudah sampai di tempat pengambilan uang tebusan
nanti,” ia berjanji, “ikatan-ikatan itu akan kulepas. Itu hanya untuk
melumpuhkanmu selama perjalanan.”

Karena ia bukan laki-laki yang kemarin memukul dan menarik
rambutnya untuk membuatnya berteriak, ia mampu terdengar tulus

/ 353 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

saat berkata, “Kau tidak pernah berlaku kejam padaku.”
Laki-laki itu mempelajarinya tanpa mengatakan sepatah kata

pun. Holly menduga ia mempelajarinya karena ia merasa telanjang,
dilucuti pakaiannya oleh tatapannya.

Angin, kegelapan, dugaan mengerikan itu, semuanya membuat
jantungnya melompat seperti kelinci yang menghantam-hantamkan
dirinya sendiri ke jeruji sebuah kandang perangkap.

Holly merasakan napas laki-laki itu menyentuh ringan bibirnya
dan ia tetap bertahan.

Setelah laki-laki itu mengembuskan napas empat kali di atas
bibirnya, ia berbisik, “Di Guadalupita, langitnya begitu luas sampai
bulan tampak menciut, kecil, dan bintang-bintang dari ujung ke
ujung, berjumlah lebih dari semua kematian manusia dalam sejarah.
Sekarang kita harus pergi.”

Ia menggamit satu lengan Holly, dan ia tidak menjauhkan diri
dari sentuhannya yang menjijikkan, melainkan bergerak bersamanya
melintasi ruangan dan melewati pintu yang terbuka.

Di sinilah tangga-tangga itu, yang ia naiki hari sebelumnya.
Dengan sabar laki-laki itu menuntunnya menuruni tangga, tapi
Holly tidak bisa memegang langkan tangga itu, sehingga menjejak-
kan setiap kaki dengan coba-coba.

Dari loteng ke lantai dua, ke lantai dasar, dan kemudian masuk
ke dalam garasi, laki-laki itu membesarkan hatinya: “Ada tangga di
situ. Bagus. Tundukkan kepalamu. Dan sekarang ke kiri. Hati-hati di
sini. Dan sekarang ada ambang pintu.”

Di dalam garasi, Holly mendengarnya membuka pintu sebuah
kendaraan.

“Ini mobil van yang membawamu ke sini,” katanya, dan mem-
bantunya melewati pintu belakang, masuk ke dalam ruang muatan.
Lantai berkarpet itu berbau sama busuknya dengan yang ia ingat.
“Berbaringlah menyamping.”

/ 354 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

Ia keluar, menutup pintu di belakangnya. Suara logam khas
kunci berputar di lubangnya meniadakan pemikiran ia mungkin
akan dapat keluar dari mobil itu di suatu tempat sepanjang per-
jalanan.

Pintu sopir membuka, dan laki-laki itu masuk ke belakang setir.
“Ini mobil van dua pintu. Tidak ada pembatas antara kursi-kursi
depan dengan ruang muatan, itulah mengapa kau bisa mendengar-
ku dengan demikian jelas. Kau mendengarku dengan jelas?”

“Ya.”
Ia menutup pintunya. “Aku bisa berbalik di kursiku dan melihat-
mu. Saat perjalanan menuju ke sini, ada beberapa laki-laki yang
duduk di belakang bersamamu, untuk memastikan kau tidak
macam-macam. Aku sendirian sekarang. Jadi ... di sepanjang jalan,
jika kita berhenti di lampu merah dan kau pikir suara teriakan akan
dapat terdengar, aku harus mengatasimu dengan lebih keras dari
yang aku suka.”
“Aku tidak akan berteriak.”
“Bagus. Tapi biarkan aku menjelaskan. Di atas kursi penumpang
di sebelahku ada sebuah pistol yang dilengkapi dengan peredam
suara. Begitu kau mulai berteriak, aku akan memungut pistol itu,
berputar di kursiku, dan menembakmu sampai mati. Baik kau hidup
atau mati, aku masih akan mengambil uang tebusannya. Kau
mengerti bagaimana keadaannya?”
“Ya.”
“Itu terdengar dingin, bukan?” ia bertanya.
“Aku mengerti … posisimu.”
“Jujurlah sekarang. Jawabanmu tadi memang terdengar dingin.”
“Ya.”
“Pikirkanlah ini. Aku bisa saja menyumpal mulutmu, tapi aku
tidak melakukannya. Aku bisa saja menjejalkan bola karet ke mulut-
mu dan menutup bibirmu dengan plester. Bukankah aku bisa saja

/ 355 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

melakukan itu dengan mudah?”
“Ya.”
“Kenapa aku tidak melakukannya?”
“Karena kau tahu kau bisa memercayaiku,” sahut Holly.
“Aku harap aku bisa memercayaimu. Dan karena aku laki-laki

dengan harapan, yang menjalani hidupnya dengan harapan dalam
setiap jamnya, aku tidak menyumpal mulutmu, Holly. Sumpalan
mulut seperti yang aku gambarkan tadi efektif tapi sangat tidak nya-
man. Aku tidak ingin ada ketidaknyamanan seperti itu di antara kita
kalau-kalau saja ... dengan harapan akan Gaudalupita.”

Otak Holly bekerja untuk memerdayai dengan lebih mulus dari
yang ia pikir mungkin dilakukan satu hari yang lalu.

Dengan suara yang sama sekali tidak menggoda melainkan
serius dan penuh rasa hormat, Holly membeberkan padanya detail-
detail yang menunjukkan kalau memang benar laki-laki itu telah
memesonanya: “Guadalupita, Rodarte, Rio Lucio, Penasco, di mana
hidupmu berubah, dan Chamisal, di mana hidupmu juga berubah,
Vallecito, Las Trampas, dan Espanola, di mana hidupmu akan kem-
bali berubah.”

Laki-laki itu terdiam untuk sesaat. Kemudian: “Aku minta maaf
untuk ketidaknyamanan ini, Holly. Ini akan segera berakhir, kemu-
dian pengalaman batin luar biasa … jika kau menginginkannya.”

/ 356 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

58

AARSITEKTUR TOKO SENJATA ITU TERILHAMI OLEH TOKO-TOKO PAKAIAN DI FILM-
film koboi yang tak terhitung jumlahnya. Atap dengan langkan
datar, papan-papan kayu yang disusun berlapis-lapis secara vertikal
sebagai dinding, jalan yang dilapisi kayu sepanjang bagian depan
bangunan yang panjang itu, dan sebuah tiang membangkitkan
perasaan bahwa sewaktu-waktu John Wayne akan keluar dari pintu
depan, berpakaian seperti yang ia tampilkan di The Searchers.
Lebih merasa seperti karakter pendukung yang tertembak di
adegan kedua dibanding seperti John Wayne sendiri, Mitch duduk
di dalam Honda, di tempat parkir toko senjata itu, memeriksa pis-
tol yang ia bawa dari Rancho Santa Fe.
Beberapa hal terukir di lapisan bajanya, jika memang itu baja.
Beberapa darinya adalah nomor-nomor dan huruf yang tidak ber-
arti apa pun baginya. Hal-hal lain yang terukir di situ memberikan
informasi berguna bagi seorang laki-laki yang tidak punya penge-
tahuan sedikit pun tentang senjata.
Di dekat moncongnya, adalah kata-kata Super Tuned. Lebih ke
belakang lagi kata CHAMPION tampak seperti diukir dengan meng-
gunakan laser dalam huruf-huruf besar, dan CAL .45 tepat berada di
bawahnya.

/ 357 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

Mitch lebih suka untuk tidak mengantar uang tebusan itu
dengan hanya tujuh peluru di magasin senjatanya. Sekarang ia tahu
ia harus membeli amunisi kaliber .45.

Tujuh peluru mungkin sudah lebih dari cukup. Pertempuran sen-
jata kemungkinan besar berlangsung lama hanya di film-film. Dalam
kehidupan nyata, seseorang melepaskan tembakan pertama, sese-
orang menanggapi, lalu dengan total peluru empat butir, salah satu
dari kedua orang itu sudah akan terluka atau mati.

Membeli amunisi bukanlah untuk memenuhi kebutuhan nyata,
melainkan kebutuhan psikologis. Ia tidak peduli. Amunisi tambahan
akan membuatnya merasa memiliki persiapan lebih baik.

Di sisi lain penggesernya, ia menemukan kata SPRINGFIELD. Ia
menduga itu adalah perusahaan pembuatnya.

Kata CHAMPION kemungkinan besar mengacu pada model
senjata itu. Ia memiliki sebuah pistol Springfield Champion .45. Itu
terdengar lebih mungkin dibanding sebuah pistol Champion
Springfield .45.

Ia ingin menghindari menarik perhatian saat masuk ke toko itu
nanti. Ia ingin terdengar seperti ia tahu apa yang ia bicarakan.

Setelah mengeluarkan magasinnya dari pistol, ia mengeluarkan
sebuah selongsong dari dalamnya. Selubungnya mengidentifikasikan
selongsong itu sebagai .45 ACP, tapi ia tidak tahu apa artinya huruf-
huruf tersebut.

Ia mengembalikan selongsongnya ke dalam magasin dan me-
masukkan magasin itu ke dalam saku celana jinsnya. Diselipkannya
pistol ke bawah pintu sopir.

Dari dalam laci penyimpanan di dasbor, ia mengambil dompet
milik John Knox. Menggunakan uang laki-laki mati itu mengusik
nuraninya, tapi ia tidak punya pilihan lain. Dompetnya sendiri telah
dirampas darinya di dalam perpustakaan Julian Campbell. Ia
mengambil seluruh uang berjumlah $585 itu dan mengembalikan

/ 358 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

dompetnya ke dalam laci.
Ia keluar dari mobil ke dalam angin, mengunci mobilnya, dan

masuk ke dalam toko senjata. Kata toko rasanya tidak memadai
untuk tempat sebesar itu. Di situ terdapat gang demi gang berisi
pernak-pernik yang berhubungan dengan senjata.

Di meja layan kasir yang panjang, ia mendapat bantuan dari
seorang laki-laki besar dengan kumis anjing laut. Tanda pengenalnya
menunjukkan ia bernama ROLAND.

“Sebuah Springfield Champion,” kata Roland. “Itu versi stainless
steel dari Colt Commander, kan?”

Mitch tidak punya bayangan sama sekali apakah itu benar atau
tidak, tapi ia menduga Roland ahli dalam bidangnya. “Ya, benar.”

“Lubang magasin yang menyerong, lubang memasukkan peluru
yang dibuat lebih besar, lubang pelontar yang diturunkan dan
mengembang, semuanya standar.”

“Senjata yang manis,” kata Mitch, berharap orang-orang
memang bicara seperti itu. “Aku butuh tiga magasin ekstra. Untuk
latihan menembak sasaran.”

Ia menambahkan kalimat terakhir karena sepertinya kebanyakan
orang tidak membutuhkan magasin ekstra kecuali mereka berencana
merampok bank atau menembaki orang dari menara jam.

Roland tampak sama sekali tidak curiga. “Apa kau punya seluruh
paket Super Tuned dari Springfield?”

Mengingat kata-kata yang terukir di dekat moncong senjatanya,
Mitch berkata, “Ya. Seluruh paketnya.”

“Ada perubahan-perubahan lain yang kau buat pada senjata
itu?”

“Tidak,” Mitch hanya menebak.
“Kau tidak membawa senjatanya bersamamu? Aku akan merasa
lebih mantap kalau aku bisa melihatnya.”
Salah menduga, Mitch mengira jika ia membawa sebuah pistol

/ 359 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

ke dalam toko, ia akan terlihat seperti pengutil atau perampok
bersenjata atau apalah.

“Aku membawa ini.” Ia meletakkan magasinnya di atas meja
layan.

“Aku lebih suka jika ada senjatanya, tapi mari kita lihat apakah
ini bisa membantu.”

Lima menit kemudian, Mitch telah membayar untuk tiga
magasin dan satu kotak berisi seratus selongsong .45 ACP.

Sepanjang transaksi tadi, ia merasa tanda bahaya akan berbunyi
setiap saat. Ia merasa dicurigai, diawasi, dan diketahui siapa dia
sebenarnya. Jelas, saraf-sarafnya tidak memiliki kekuatan lentur
yang dibutuhkan seorang buronan.

Saat ia baru saja meninggalkan toko, ia melihat keluar melalui
pintu kaca dan menyaksikan sebuah mobil patroli polisi di tempat
parkir, merintangi mobilnya. Seorang polisi berdiri di pintu sopir,
mengintip ke dalam Honda yang terkunci.

/ 360 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

59

SSETELAH MELIHAT LEBIH SEKSAMA, MITCH SADAR PINTU BAGIAN SOPIR MOBIL
itu tidak dihiasi segel sebuah kota, melainkan dengan nama—First
Enforcement—dan sebuah logo berdetail rumit dari sebuah per-
usahaan keamanaan swasta. Laki-laki berseragam di mobil Honda
itu pasti seorang petugas keamanan, tapi bukan polisi.
Namun tetap saja, Honda itu akan menarik baginya hanya jika
ia tahu sebuah buletin telah disiarkan tentang mobil itu. Rupanya
laki-laki ini mendengarkan saluran radio polisi.
Laki-laki itu meninggalkan mobilnya dalam posisi melintang ter-
hadap Honda dan mendekati toko senjata. Ia tampak memiliki
suatu tujuan dalam benaknya.
Besar kemungkinannya ia berhenti di situ untuk urusan pribadi
dan dengan beruntung mendapati Honda itu ada di sana. Sekarang
ia tengah bersemangat untuk menangkap seorang buronan dan
merasakan citarasa kebanggaan diri.
Seorang polisi sungguhan sudah akan memanggil bala bantuan
sebelum masuk ke dalam toko. Mitch merasa ia seharusnya
bersyukur mendapatkan keberuntungan, bahkan yang sekecil itu.
Tempat parkir itu terhampar pada dua sisi bangunan toko, dan
ada dua pintu masuk ke dalam toko. Mitch segera mundur dari

/ 361 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

pintu itu dan dengan cepat menuju pintu satunya.
Ia keluar melalui pintu samping dan bergegas ke bagian depan

toko. Laki-laki tadi sudah masuk ke dalam.
Mitch sendirian berdiri di dalam angin. Tidak untuk waktu yang

lama. Ia langsung melesat masuk ke dalam Honda.
Mobil First Enforcement itu mengurungnya. Bagian belakang

tempat parkir itu memiliki pembatas pengaman dari palang-palang
baja di atas beton setebal enam inci karena, dari tempat parkir itu
permukaannya melandai dengan tajam sejauh enam kaki ke arah
trotoar di bawahnya.

Ini tidak bagus. Tidak ada jalan keluar. Ia harus meninggalkan
mobil Hondanya.

Ia membuka kunci pintu sopir dan mengambil pistol Springfield
Champion .45 dari bawah kursi.

Saat ia menutup pintu, seseorang yang tengah keluar dari toko
senjata menarik perhatiannya. Bukan laki-laki tadi.

Ia membuka bagasi dan menyambar kantung plastik sampah
putih dari lubang ban serep. Ia meletakkan pistol dan barang
belanjaannya bersama uang itu, memelintir ujung kantungnya,
menutup bagasi, dan berjalan menjauh.

Setelah melewati lima kendaraan yang terparkir di situ, ia
melangkah ke antara dua mobil SUV. Ia mengintip masing-masing
mobil tersebut, berharap salah satu pengemudinya telah mening-
galkan kunci di lubang kontak, tapi ia sedang tidak beruntung.

Ia berjalan dengan cepat—tidak berlari—melintasi aspal tempat
parkir itu secara diagonal, menuju sisi bangunan tempat ia keluar
tadi.

Selagi ia mendekati sudut bangunan, sudut matanya menangkap
gerakan di pintu depan toko senjata. Saat ia melirik ke jalan ber-
papan di sepanjang depan toko itu, dilihatnya laki-laki tadi tengah
keluar dari toko.

/ 362 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

Ia tidak merasa laki-laki itu melihatnya, dan setelah itu ia
menghilang dari cakupan pandang laki-laki tersebut, melewati sudut
toko.

Tempat parkir di sisi toko berakhir di sebuah tembok beton ren-
dah. Ia melompatinya, masuk ke dalam pekarangan sebuah restoran
cepat saji waralaba.

Mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak berlari seperti seorang
buronan, ia menyeberangi tempat parkir, melewati sederetan
kendaraan yang tengah mengantre makanan untuk dibawa
pulang—udaranya berbau tajam asap knalpot dan kentang goreng
berminyak, mengitari bagian belakang restoran, tiba di tembok
rendah lain, melompatinya.

Di depannya terdapat kompleks pertokoan kecil dengan enam
atau delapan toko. Ia memelankan langkahnya, memandangi
jendela-jendela kaca toko saat melewatinya, hanya seorang laki-laki
yang tengah keluar rumah untuk suatu urusan, dengan satu koma
empat juta untuk dibelanjakan.

Saat ia tiba di ujung deretan toko itu, sebuah mobil patroli lewat
di jalan besar utama, lampu daruratnya berkerlap-kerlip merah-biru,
merah-biru, merah-biru, mengarah ke toko senjata. Dan tepat di
belakangnya melesat satu lagi mobil patroli.

Mitch berbelok kiri ke jalan kecil, menjauh dari jalan utama. Ia
kembali mempercepat langkahnya.

Zona pertokoan itu hanya satu lot lebarnya, menghadap ke
jalan besar. Di belakangnya terdapat sebuah kompleks perumahan.

Di blok pertama terdapat kondominium dan apartemen.
Setelah itu ia menemukan rumah-rumah untuk keluarga kecil,
kebanyakan bertingkat dua, dan terkadang sebuah bungalo.

Pepohonan yang ada di jalan itu adalah podocarpuses tua yang
besar-besar dan menghamparkan banyak bayang-bayang di jalan.
Kebanyakan halaman-halaman rumputnya hijau, dipangkas rapi,

/ 363 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

dan semak-semaknya terawat. Tapi setiap lingkungan pasti memiliki
orang-orang yang sembrono dalam menjaga taman mereka, ber-
nafsu untuk menggunakan hak mereka sebagai tetangga yang buruk.

Ketika nanti polisi tidak menemukannya di dalam toko senjata,
mereka akan menggeledah lingkungan-lingkungan di sekitarnya.
Dalam beberapa menit saja, mereka bisa mengerahkan setengah
lusin atau lebih mobil patroli untuk menyusuri wilayah itu.

Ia telah menyerang seorang petugas polisi. Mereka cenderung
menempatkan orang semacam itu di posisi paling atas daftar priori-
tas mereka.

Kebanyakan kendaraan yang terparkir di jalan pemukiman ini
adalah SUV. Ia memelankan langkah, memicingkan mata untuk me-
lihat melewati jendela-jendela pintu penumpang ke arah lubang
kontak, berharap melihat sebuah kunci.

Saat ia melirik sekilas pada jamnya, dilihatnya saat itu pukul
1:14. Pertukaran dijadwalkan akan dilakukan pada jam 3:00, dan
sekarang ia tidak punya alat transportasi.

/ 364 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

60

PPERJALANAN ITU BERLANGSUNG SELAMA SEKITAR LIMA BELAS MENIT, DAN
Holly, diikat dan diberi penutup mata, terlalu sibuk memikirkan
berbagai rencana mempertimbangkan untuk berteriak.
Kali ini saat sopir gilanya berhenti, ia mendengarnya memarkir
mobil van itu dan menarik rem tangan. Ia keluar dari mobil,
meninggalkan pintunya tetap terbuka.
Di Rio Lucio, New Mexico, seorang perempuan suci bernama
Ermina Entah Siapa tinggal di sebuah rumah berplester berwarna
biru-hijau, atau mungkin itu adalah biru-kuning. Ia berusia tujuh
puluh dua tahun.
Sang pembunuh kembali ke van dan menyetir maju sekitar dua
puluh kaki, dan kemudian keluar lagi.
Di dalam ruang tamu Ermina Entah Siapa terdapat mungkin
empat puluh dua atau tiga puluh sembilan gambar Jantung Suci
Jesus, tertusuk oleh duri-duri.
Itu memberi Holly sebuah gagasan. Gagasan itu berani.
Sekaligus menakutkan. Tapi terasa tepat.
Saat sang pembunuh kembali ke van, Holly menduga tadi ia
membuka gerbang untuk memasukkan mobil mereka ke suatu tempat,
dan kemudian telah menutup gerbang itu kembali di belakangnya.

/ 365 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

Di halaman belakang Ermina Entah Siapa, sang pembunuh me-
ngubur sebuah “harta karun” yang tidak akan disetujui oleh perem-
puan tua itu. Holly bertanya-tanya apa kiranya harta karun itu,
namun berharap ia tidak akan pernah tahu.

Mobil van meluncur ke depan sekitar enam puluh kaki, di atas
permukaan tak beraspal. Bebatuan kecil tergerus bersama-sama dan
bergemeretak di bawah ban.

Laki-laki itu kembali berhenti dan kali ini mematikan mesin
mobilnya. “Kita sudah sampai.”

“Bagus,” sahutnya, karena ia berusaha menjalani ini bukan se-
olah-olah ia seorang sandera yang ketakutan melainkan perempuan
yang jiwanya tengah bangkit menuju keutuhan.

Laki-laki itu membuka kunci pintu belakang dan membantunya
keluar dari van.

Angin yang hangat berbau samar asap kayu. Mungkin ada
tebing-tebing yang sedang terbakar jauh di sebelah timur sana.

Untuk pertama kalinya dalam waktu lebih dari dua puluh
empat jam, ia merasakan matahari di wajahnya. Matahari itu terasa
begitu nikmat sampai-sampai ia bisa menangis.

Menopang lengan kanannya, mendampinginya dengan cara
yang nyaris elegan, laki-laki itu menggiringnya melintasi tanah,
melewati rerumputan liar. Kemudian mereka menyusuri permukaan
yang keras dengan bau kapur yang samar.

Saat mereka berhenti, sebuah terdengat suara yang teredam
berulang tiga kali—thup, thup, thup—diikuti suara-suara kayu robek
dan logam melengking.

“Apa itu?” tanya Holly.
“Aku menembak pintunya supaya terbuka.”
Sekarang ia tahu seperti apa suara pistol yang dilengkapi
peredam suara. Thup, thup, thup. Tiga tembakan.
Laki-laki itu membawanya melewati ambang masuk dari tempat

/ 366 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

yang tadi ia tembak terbuka pintunya. “Tidak jauh lagi sekarang.”
Suara gaung langkah kaki mereka memberinya kesan akan sebuah

tempat yang besar dan tinggi. “Rasanya seperti sebuah gereja.”
“Sedikit banyak ini memang gereja,” katanya. “Kita sedang

berada di katedral kegembiraan yang berlebihan.”
Ia mencium plester dan serbuk gergaji. Ia masih dapat men-

dengar angin, namun dinding-dinding tempat ini pasti dilapisi de-
ngan baik dan kaca-kaca jendelanya berlapis tiga, karena suara angin
yang keras dibungkam.

Akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan yang terdengar lebih
kecil dari ruangan-ruangan lain sebelumnya, dengan langit-langit
yang lebih rendah.

Setelah menghentikan langkah Holly, sang pembunuh berkata,
“Tunggu di sini.” Ia melepaskan pegangan pada lengannya.

Ia mendengar suara yang sudah tidak asing lagi, yang membuat
jantungnya terjun bebas: suara gemeretak rantai.

Di sini aroma serbuk gergaji tidak setajam di ruangan-ruangan
lain, namun saat ia teringat ancaman mereka untuk memotong jari-
jarinya, ia bertanya-tanya apakah di dalam ruangan ini terdapat
meja gergaji.

“Satu koma empat juta dolar,” Holly berkata dengan satu tujuan
dalam benaknya. “Itu bisa membeli banyak pencarian.”

“Itu bisa membeli banyak segalanya,” sahut laki-laki itu.
Ia menyentuh tangannya lagi, dan Holly tidak menyentak ke
belakang. Di sekeliling pergelangan tangannya ia melilitkan rantai
dan membuat semacam sambungan.
“Di saat selalu ada kebutuhan untuk bekerja,” Holly berkata,
“tidak akan pernah ada waktu untuk mencari,” dan meski ia tahu itu
sebuah kebodohan, ia berharap itu kebodohan yang merupakan
bagian dari dunia laki-laki itu.
“Pekerjaan ibarat seekor katak yang menduduki hidup kita,”

/ 367 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

katanya, dan Holly tahu ia telah tepat mengenai sasaran.
Laki-laki itu membuka ikatan selendang di pergelangan tangan-

nya, dan ia berterima kasih padanya.
Saat laki-laki itu membuka penutup matanya, Holly memicing-

kan mata dan berkedip, menyesuaikan diri dengan cahaya, dan tahu
ia tengah berada di sebuah rumah yang belum selesai dibangun.

Setelah memasuki tempat ini, laki-laki tersebut telah memakai
topeng skinya kembali. Paling tidak ia berpura-pura bahwa Holly
bisa memilih suaminya ketimbang dia dan membiarkan mereka
berdua hidup.

“Ini pasti dapurnya,” kata laki-laki itu.
Ruangan ini sangat besar untuk sebuah dapur, mungkin lima
puluh kali tiga puluh kaki, yang sangat ideal untuk menyediakan
makanan untuk pesta-pesta besar. Lantai batu kapurnya diselimuti
debu yang melayang-layang di atasnya. Dinding batunya telah se-
lesai dibuat, meski tidak ada lemari atau peralatan lain yang sudah
terpasang.
Sebatang pipa logam berukuran diameter sekitar dua inci,
mungkin saluran gas, menonjol di bagian bawah sebuah dinding.
Ujung rantai satunya telah digembok pada pipa itu, seperti juga
digembok pada pergelangan tangannya. Tutup logam di bagian
ujung pipa, yang ukuran diameternya satu inci lebih lebar dari pipa
itu sendiri, mencegah rantai untuk bisa diselipkan melewatinya.
Laki-laki itu telah memberinya rantai sepanjang delapan kaki. Ia
bisa duduk, berdiri, dan bahkan berjalan-jalan sedikit.
“Ada di mana kita?” ia bertanya-tanya dengan keras.
“Rumah Turnbridge.”
“Oh. Tapi kenapa? Apa kau ada sangkut pautnya dengan tem-
pat ini?”
“Aku sudah pernah ke sini beberapa kali,” katanya, “meski aku
selalu masuk dengan lebih berhati-hati daripada menembak

/ 368 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

gemboknya. Ia menarikku untuk datang ke sini. Ia masih di sini.”
“Siapa?”
“Turnbridge. Ia belum beralih ke alam baka. Arwahnya masih

ada di sini, meringkuk rapat ke dalam dirinya sendiri seperti salah
satu dari sepuluh ribu kutu kayu mati yang mengotori tempat ini.”

Holly berkata, “Sejak tadi aku memikirkan Ermina di Rio Lucio.”
“Ermina Lavato.”
“Ya,” katanya, seolah ia tidak pernah lupa dengan nama
belakang itu. “Aku nyaris bisa melihat kamar-kamar di dalam rumah-
nya, masing-masing dengan warna menenteramkan yang berbeda.
Aku tidak tahu kenapa aku terus memikirkannya.”
Di balik topeng skinya, sepasang mata birunya memandangi
Holly dengan intensitas yang bergejolak.
Memejamkan mata, berdiri dengan kedua lengannya terkulai di
sisinya dan dengan wajah menengadah ke langit-langit, Holly
berbicara dengan berbisik. “Aku bisa melihat dinding-dinding kamar
tidurnya dipenuhi gambar Bunda Maria.”
“Empat puluh dua,” katanya.
“Dan ada lilin-lilinnya juga, kan?” Holly menebak.
“Ya. Lilin-lilin persembahan.”
“Itu kamar yang indah. Ia bahagia di sana.”
“Ia sangat miskin,” katanya, “namun lebih bahagia dibanding
orang kaya mana pun.”
“Dan dapur tahun 1920-annya yang tua tapi menarik, aroma
fajitas ayam.” Ia menarik napas dalam, menikmati, kemudian
mengembuskannya.
Laki-laki itu tidak mengatakan satu patah kata pun.
Membuka matanya, Holly berkata, “Aku belum pernah ke sana,
aku belum pernah bertemu dengannya. Kenapa aku tidak bisa
mengenyahkan bayangan dirinya dan rumahnya dari benakku?”
Kebisuan laki-laki itu yang berkelanjutan mulai membuatnya

/ 369 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

cemas. Ia takut ia terlalu berlebihan, mengatakan sesuatu yang salah.
Akhirnya laki-laki itu berkata, “Terkadang orang-orang yang

belum pernah saling bertemu bisa merasakan getaran satu sama
lain.”

Ia menimbang-nimbang kata-kata itu: “Merasakan getaran.”
“Bisa saja kau tinggal jauh darinya, tapi dalam artian tertentu
bisa saja kalian adalah tetangga.”
Jika Holly membacanya dengan benar, ia telah menimbulkan
lebih banyak ketertarikan ketimbang kecurigaan. Tentu saja,
barangkali adalah sebuah kesalahan fatal untuk berpikir ia akan per-
nah bisa membaca laki-laki itu dengan benar.
“Aneh,” kata Holly, dan berhenti membicarakan topik itu.
Laki-laki tersebut membasahi bibirnya yang terkelupas dengan
lidahnya, menjilatinya lagi, dan lagi. Kemudian: “Aku harus
melakukan beberapa persiapan. Aku minta maaf untuk rantai itu. Itu
tidak akan diperlukan lebih lama lagi.”
Setelah laki-laki itu meninggalkan dapur, Holly mendengar
langkah kakinya perlahan menghilang melewati ruang-ruang kosong
yang luas.
Getaran-getaran dingin menguasainya. Ia tidak bisa mengenda-
likannya, dan mata-mata rantai yang membelenggunya mendesing
membentur satu sama lain.

/ 370 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

61

MMITCH DI BAWAH BAYANG-BAYANG GEMETAR PEPOHONAN PODOCARPUS
yang digoyang-goyang angin, memicingkan mata melalui jendela-
jendela mobil, akhirnya mulai memeriksa pintu-pintu kendaraan
yang terparkir di trotoar. Saat ada yang tidak dikunci, ia mem-
bukanya dan melongok ke dalam.
Jika kuncinya tidak ada di lubang kontak, mungkin kunci itu dis-
impan di dalam tempat gelas atau diselipkan di balik pelindung sinar
matahari. Setiap kali ia tidak menemukan kunci di tempat-tempat
itu, ia menutup pintunya dan beralih ke mobil lain.
Tumbuh karena keputusasaan, kenekatannya tetap saja mem-
buatnya terkejut. Namun berhubung mobil polisi mungkin akan
muncul dari balik tikungan setiap saat, justru kehati-hatianlah yang
dapat menjatuhkannya, bukan keyakinan akan tindakannya.
Ia berharap warga di sini bukan orang-orang yang memiliki
kepedulian tinggi akan lingkungan mereka, bahwa mereka tidak
bergabung dalam program Pengawasan Lingkungan. Pelatih dari
kepolisian pasti sudah akan mengajari mereka untuk memerhatikan
dan melaporkan orang-orang mencurigakan, persis seperti dirinya.
Bagi California selatan yang santai, bagi Newport Beach yang
tingkat kejahatannya rendah, persentase yang tinggi dari orang-

/ 371 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

orang ini mengunci mobil mereka yang terparkir. Kecurigaan mere-
ka yang ekstrem itu perlahan mulai membuatnya kesal.

Ketika ia telah melewati dua blok, di depan ia melihat sebuah
mobil Lexus diparkir di jalan masuk mobil, mesinnya hidup, pintu
bagian pengemudinya terbuka. Tak seorang pun duduk di belakang
setir.

Pintu garasi juga terbuka. Ia mendekati mobil itu dengan
berhati-hati, tapi di garasi pun tidak ada siapa-siapa. Sang pengemu-
di pasti telah masuk kembali ke dalam rumah untuk mengambil se-
suatu yang tertinggal.

Mobil Lexus itu pasti akan dilaporkan telah dicuri hanya dalam
waktu beberapa menit saja, tapi polisi tidak akan langsung mencari-
nya. Akan ada proses yang harus dilalui untuk melaporkan pencuri-
an mobil; proses adalah bagian dari sebuah sistem, sistem adalah
akibat dari birokrasi, urusan dengan birokrasi memperlambat.

Ia mungkin punya beberapa jam sebelum polisi mulai mencari
mobil itu. Ia tidak butuh waktu lebih lama dari dua jam.

Berhubung mobil itu menghadap ke jalan, ia menyelinap masuk
ke belakang setir, menjatuhkan kantung sampahnya di atas kursi
penumpang, menutup pintu, dan langsung meluncur keluar dari
jalan masuk mobil, berbelok ke kanan, menjauh dari jalan besar dan
toko senjata tadi.

Di sebuah sudut jalan, mengabaikan tanda berhenti, ia berbelok
ke kanan sekali lagi dan menempuh sekitar sepertiga blok sebelum
ia mendengar suara pelan yang gemetar di kursi belakang me-
ngatakan, “Siapa namamu, sayang?”

Seorang laki-laki tua duduk merosot di pojok. Ia mengenakan
kaca mata setebal pantat botol Coca Cola, alat bantu dengar, dan
celananya dinaikkan sampai bawah dadanya. Ia tampak berusia se-
ratus tahun. Waktu telah membuatnya menciut, meski tidak semua
bagian tubuh saling proporsional satu sama lain.

/ 372 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

“Oh, kau Debbie,” kata laki-laki tua itu. “Kita akan pergi ke
mana, Debbie?”

Satu tindak kejahatan mengarah pada tindak kejahatan lain, dan
inilah harga yang harus dibayar untuk kejahatan: kehancuran ter-
tentu. Mitch sendiri sekarang telah menjadi seorang penculik.

“Apakah kita akan pergi ke toko kue pie?” sang laki-laki tua
bertanya, ada nuansa harapan dalam suaranya yang gemetar.

Mungkin laki-laki ini mengidap Alzheimer.
“Ya,” kata Mitch, “kita sedang menuju toko pie,” dan ia ber-
belok ke kanan lagi di sudut jalan berikut.
“Aku suka pie.”
“Semua orang suka pie,” Mitch setuju.
Jika jantungnya tidak sedang berdebar begitu kencangnya sam-
pai terasa sakit, jika hidup istrinya tidak bergantung padanya yang
harus tetap bebas bergerak, jika ia tidak merasa akan bertemu de-
ngan polisi yang sedang berpatroli setiap saat, dan jika ia tidak men-
duga mereka akan menembak terlebih dulu dan baru mendiskusikan
hak-haknya belakangan, ia mungkin akan merasa geli dengan situasi
ini. Tapi situasi ini tidak menggelikan; ini seperti tidak nyata.
“Kau bukan Debbie,” kata laki-laki tua itu. “Aku Norman, tapi
kau bukan Debbie.”
“Bukan. Kau benar. Aku bukan Debbie.”
“Siapa kau?”
“Aku hanya seorang laki-laki yang berbuat kesalahan.”
Norman memikirkan kalimat itu sampai Mitch berbelok ke
kanan di sudut jalan ketiga, dan kemudian ia berkata, “Kau akan
menyakitiku. Itulah yang akan kau lakukan.”
Rasa takut dalam suara laki-laki tua itu membangkitkan belas
kasihan. “Tidak, tidak. Tidak ada yang akan menyakitimu.”
“Kau akan menyakitiku, kau laki-laki jahat.”
“Tidak. Aku hanya berbuat kesalahan. Aku akan mengantarmu

/ 373 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

kembali ke rumah,” Mitch menenangkannya.
“Ada di mana kita? Ini bukan di rumah. Kita tidak ada di dekat

rumah.” Suara tersebut, sampai saat itu masih lemah, mendadak
bertambah keras dan melengking. “Kau bajingan jahat!”

“Jangan marah-marah. Tolong, jangan.” Mitch merasa kasihan
pada laki-laki itu, merasa bertanggung jawab atas dirinya. “Kita
hampir tiba di sana. Kau akan tiba di rumah sebentar lagi.”

“Kau bajingan jahat! Kau bajingan jahat!”
Di sudut jalan keempat, Mitch berbelok ke kanan, memasuki
jalan tempat ia tadi mencuri mobil itu.
“KAU BAJINGAN JAHAT!”
Di dalam kedalaman yang telah mengering dari tubuh yang
telah digempur oleh waktu, Norman menemukan kemudaan yang
memekik keras.
“KAU BAJINGAN JAHAT!”
“Tolong, Norman. Kau akan mendapatkan serangan jantung.”
Ia berharap dapat menyetir masuk ke dalam jalan masuk mobil
tempat ia tadi menemukan mobil itu dan meninggalkannya di sana,
tanpa seorang pun saksi. Tapi seorang perempuan telah keluar dari
rumah dan berada di jalan. Ia melihatnya berbelok dari tikungan.
Ia tampak luar biasa takut. Ia pasti mengira Norman berada di
belakang setir.
“KAU BAJINGAN JAHAT, BAJINGAN YANG JAHAT, JAHAT!”
Mitch berhenti di jalan dekat perempuan itu, memarkir mobil-
nya, menginjak rem darurat, menyambar kantung sampah miliknya,
dan keluar, meninggalkan pintu terbuka di belakangnya.
Berusia empat puluh sekian, agak gempal, ia adalah perempuan
yang berpenampilan menarik, dengan rambut model Rod Stewart
yang telah diberi highlight warna pirang dengan susah payah oleh
seorang penata rambut. Ia memakai setelan kerja dan hak yang ter-
lalu tinggi untuk dipakai ke toko pie.

/ 374 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

“Apakah kau Debbie?” Mitch bertanya.
Bingung, ia berkata, “Apakah aku Debbie?”
Mungkin tidak ada yang bernama Debbie.
Norman masih melengking di dalam mobil, dan Mitch berkata,
“Aku minta maaf. Ini kesalahan besar.”
Ia berjalan menjauh dari perempuan itu, menuju sudut pertama
dari empat sudut jalan di mana ia telah mengajak Norman berputar-
putar, dan mendengarnya berkata, “Kakek? Kau tidak apa-apa,
kakek?”
Saat ia tiba di tanda berhenti, ia menoleh dan melihat perem-
puan itu mencondongkan tubuhnya ke dalam mobil, menenangkan
laki-laki tua tadi.
Mitch berbelok di sudut jalan itu dan bergegas keluar dari
cakupan pandang perempuan tersebut. Tanpa berlari. Berjalan
dengan cepat.
Satu blok kemudian, saat ia mencapai sudut berikutnya, suara
klakson menggelegar di belakangnya. Perempuan itu mengejarnya
dengan mobil Lexusnya.
Mitch dapat melihatnya melalui kaca depan: satu tangan
memegang setir, satu lagi memegang telepon genggam. Ia tidak
sedang menelepon saudara perempuannya di Omaha. Ia tidak
sedang menelepon untuk menanyakan waktu. Ia sedang menelepon
911.

/ 375 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

62

MMENCONDONGKAN TUBUHNYA KE ARAH ANGIN YANG MELAWAN, MITCH
bergegas menyusuri trotoar, dan dengan ajaib terhindar dari sengat-
an saat embusan angin keras menggoyang sekawanan lebah dari
sarangnya di pohon.
Perempuan gigih di dalam Lexus itu tetap menjaga jarak cukup
jauh di belakang Mitch supaya ia bisa berputar balik dan melepaskan
diri jika Mitch memutuskan untuk mengubah arah dan berlari ke
arahnya, namun ia tetap menjaga supaya Mitch tetap berada dalam
jarak pandangnya. Mitch mulai berlari, dan ia mempercepat laju
kendaraan untuk menyamai kecepatannya.
Rupanya ia berniat untuk terus mengetahui posisinya sampai
polisi tiba. Mitch mengagumi keberaniannya meski ia ingin me-
nembak ban-ban mobilnya.
Polisi akan tiba tidak lama lagi. Setelah menemukan mobil
Hondanya, mereka tahu ia berada di wilayah itu. Percobaan pen-
curian mobil Lexus hanya beberapa blok dari toko senjata akan
langsung membuat mereka bersiaga.
Klakson mobil itu berbunyi, berbunyi lagi, kemudian tidak
berhenti berbunyi. Perempuan itu pasti berharap dapat menarik per-
hatian para tetangganya, memberi tahu mereka akan keberadaan

/ 376 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

seorang kriminal di tengah-tengah mereka. Urgensi bunyi klakson
yang berlebihan itu memberi kesan Osama bin Laden tengah ber-
keliaran di jalan.

Mitch meninggalkan trotoar, menyeberangi sebuah halaman,
membuka sebuah gerbang, dan bergegas mengitari samping sebuah
rumah, berharap ia tidak akan menemukan anjing pitbull di halaman
belakang. Tidak diragukan lagi kebanyakan anjing pitbull sama
ramahnya dengan seorang biarawati, tapi mengingat bagaimana
nasibnya bergulir sejauh ini, ia tidak akan bertemu dengan Suster Pit,
melainkan seekor anjing iblis.

Halaman belakang itu ternyata sempit, dikelilingi pagar kayu
cedar setinggi tujuh kaki dengan batang-batang yang runcing. Ia
tidak melihat sebuah gerbang. Setelah mengikatkan ujung kantung
plastik yang terpilin pada sabuknya, ia memanjat ke atas pohon
coral, menyeberangi pagar itu dengan menyusuri sebuah dahan
besar, dan meloncat ke sebuah gang.

Polisi pasti menduga ia akan lebih menyukai gang-gang kecil
seperti ini ketimbang jalan besar, jadi ia tidak dapat melaluinya.

Ia melewati sebuah pekarangan kosong, yang terlindung dahan-
dahan besar pohon lada California yang sudah lama tidak
dipangkas, yang berputar dan menyentak-nyentak seperti rok
berlapis-lapis seorang penari waltz di abad kedelapan belas.

Saat ia tengah menyeberangi jalan berikutnya di tengah-tengah
blok, sebuah mobil polisi melintasi persimpangan di sebelah
timurnya. Suara mencicit rem mobil itu mengatakan padanya ia
telah terlihat.

Menyeberangi sebuah halaman, melompati pagar, menye-
berangi gang, melewati sebuah gerbang, menyeberangi jalan lain,
bergerak sangat cepat sekarang, kantung plastik itu menampar-
nampar kakinya. Ia cemas kantung itu akan robek, memuntahkan
tumpukan-tumpukan lembaran seratus dolar.

/ 377 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

Deretan terakhir rumah-rumah di lingkungan itu membelakangi
sebuah jurang kecil, sekitar dua ratus kaki dalamnya dan tiga ratus
kaki lebarnya. Ia memanjat sebuah pagar besi dan segera tiba di
lereng curam dengan tanah yang longgar. Daya gravitasi dan tanah
yang bergeser ke bawah membawanya turun.

Seperti seorang peselancar yang tengah mengejar kepuasan de-
ngan mengendarai ombak besar yang berbahaya, ia berusaha untuk
tetap tegak, namun tanah berpasir itu ternyata tidak sama ramah-
nya dengan laut. Kakinya tergelincir, dan ia meluncur di atas pung-
gungnya sepanjang sepuluh yar terakhir, membangkitkan kepulan
debu putih, kemudian menerobos dengan kaki terlebih dulu ke arah
setembok rumput-rumputan liar tinggi.

Ia terhenti di bawah kanopi dahan-dahan. Dari atas sana, dasar
jurang ini tampak dipadati dengan hijau-hijauan, tapi ia tidak meng-
harapkan akan menemukan pepohonan besar. Tapi selain beberapa
pohon semak-semak dan belukar yang telah ia lihat, ia menemukan
sebuah hutan eklektik

Pepohonan buckeye California dihiasi dengan bunga-bunga
putih harum. Pohon-pohon palem kincir angin yang berbulu tum-
buh subur bersama pohon salam California dan pohon prem
myrobalan hitam. Banyak dari pohon-pohon ini yang bermonggol-
monggol, memelintir dan kasar, spesimen-spesimen buangan, seolah
tanah jurang urban menyuplai zat-zat yang menyebabkan mutasi ke
dalam akar-akar mereka, namun ada juga tanaman acer japonicum
dan pohon getah Tasmania yang kapan pun akan dengan senang
hati ia gunakan untuk pekerjaan taman kelas atasnya.

Beberapa tikus berlarian ke sana kemari menyambut kedatang-
annya, dan seekor ular merayap menjauh melewati bayang-bayang.
Mungkin itu ular berbisa. Ia tidak yakin.

Selama ia tetap berada di bawah lindungan pepohonan ini, tak
seorang pun bisa melihatnya dari bibir jurang. Ia tidak lagi berada

/ 378 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

dalam risiko akan ditangkap segera.
Ada begitu banyak dahan dari pepohonan yang berbeda-beda

itu yang saling menjalin, sehingga bahkan angin yang tengah meng-
amuk pun tidak akan bisa menyibak kanopi itu dan membiarkan
cahaya matahari masuk secara langsung. Cahaya di bawah kanopi
itu hijau dan seperti berair. Bayang-bayangnya bergetar, bergoyang-
goyang seperti anemone laut.

Sebuah aliran air dangkal menyelip melewati jurang itu, tidak
mengagetkan secepat ini setelah musim hujan. Permukaan air di sini
mungkin sangat dekat dengan permukaan tanah sehingga sebuah
sumur tetap menjaga aliran air itu sepanjang tahun.

Ia membuka ikatan kantung plastik dari sabuknya dan memerik-
sanya. Kantung itu tertusuk di tiga tempat dan robek sepanjang satu
inci, namun tampaknya tidak ada yang terjatuh dari dalamnya.

Mitch membuat ikatan sementara yang longgar di leher kantung
itu dan membawanya dekat dengan tubuhnya, di lekuk siku kirinya.

Sementara ia menghafal susunan tempat itu, jurangnya semakin
menyempit dan lantainya melandai ke atas dengan tajam ke arah
barat. Air yang mengalir berputar-putar keluar dengan malasnya
dari arah itu, dan ia berjalan sejajar dengannya dengan kecepatan
yang lebih tinggi.

Dedaunan mati yang membentuk karpet lembab meredam
langkah kakinya. Campuran aroma yang menyenangkan dari tanah
lembab, dedaunan basah, dan jamur-jamur payung memberi bobot
lebih pada udara.

Meski populasi wilayah Orange melebihi tiga juta, dasar jurang
itu terasa begitu terpencil hingga ia merasa berada bermil-mil dari
peradaban. Sampai ia mendengar suara helikopter.

Ia terkejut mereka ada di atas sana dalam angin seperti ini.
Menilai dari suaranya, helikopter itu menyeberangi jurang tepat
di atas kepala Mitch. Helikopter itu mengarah ke utara dan

/ 379 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

mengitari lingkungan perumahan yang ia lewati tadi saat melarikan
diri, suaranya terdengar semakin keras, kemudian memelan, kemu-
dan mengeras kembali.

Mereka mencarinya dari udara, tapi di tempat yang salah.
Mereka tidak tahu ia telah menuruni jurang.

Ia terus bergerak—namun kemudian berhenti dan berteriak
terkejut saat telepon genggam Anson berdering. Ia mengeluarkan-
nya dari saku, lega ia tidak menghilangkan atau merusaknya.

“Ini Mitch.”
Jimmy Null berkata, “Apa kau merasa penuh harapan?”
“Ya. Biarkan aku bicara pada Holly.”
“Tidak kali ini. Kau akan bertemu dengannya tidak lama lagi.
Aku mempercepat pertukarannya dari jam tiga ke jam dua.”
“Kau tidak bisa melakukan itu.”
“Aku baru saja melakukannya.”
“Jam berapa sekarang?”
“Setengah satu,” kata Jimmy Null.
“Hei, jangan, aku tidak bisa sampai di sana jam dua.”
“Kenapa tidak? Rumah Anson hanya beberapa menit dari
rumah Turnbridge.”
“Aku sedang tidak berada di rumah Anson.”
“Di mana kau, apa yang sedang kau lakukan?”
Kedua kakinya tertanam lebar di dedaunan basah, Mitch ber-
kata, “Menyetir berkeliling-keliling, menghabiskan waktu.”
“Itu bodoh. Seharusnya kau tetap tinggal di rumahnya.”
“Jam setengah tiga saja. Uangnya ada padaku di sini. Satu juga
empat ratus. Aku sudah membawanya bersamaku.”
“Biarkan aku mengatakan sesuatu padamu.”
Mitch menunggu, dan saat Null tidak meneruskan, ia berkata,
“Apa? Mengatakan apa padaku?”
“Tentang uangnya. Biarkan aku mengatakan sesuatu padamu

/ 380 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

tentang uang itu.”
“Baiklah.”
“Aku tidak hidup untuk uang. Aku punya uang. Ada hal-hal yang

lebih berarti bagiku dibanding uang.”
Ada sesuatu yang salah. Mitch telah merasakannya sebelumnya,

saat berbicara dengan Holly, saat ia terdengar tidak leluasa dan
tidak mengatakan padanya ia mencintainya.

“Dengar, aku sudah sampai sejauh ini, kita telah sampai sejauh
ini, adalah hal yang tepat jika kita menyelesaikannya.”

“Jam dua,” kata Null. “Itu waktu baru. Jika kau tidak ada di
tempat di mana kau semestinya berada pada jam dua, maka
semuanya berakhir. Tidak ada kesempatan kedua.”

“Baiklah.”
“Jam dua.”
“Baiklah.”
Jimmy Null mengakhiri teleponnya.
Mitch berlari.

/ 381 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

63

TTERBELENGGU KE PIPA GAS, HOLLY TAHU APA YANG HARUS IA LAKUKAN, APA
yang akan ia lakukan. Karenanya, ia bisa menghabiskan waktunya
hanya dengan mencemaskan bagaimana rencananya tidak akan ber-
jalan lancar atau mengagumi apa yang bisa ia lihat dari rumah
mewah yang belum selesai ini.
Thomas Turnbridge pasti akan punya dapur yang hebat
seandainya ia masih hidup. Saat semua peralatannya telah dipasang,
seorang juru masak hebat dengan sekelompok staf bisa memasak dan
melayani makan malam dari sini untuk enam ratus orang di teras.
Turnbridge dulu seorang milioner internet. Perusahaan yang ia
dirikan—dan yang membuatnya kaya—tidak menghasilkan produk
apa pun, namun membuat aplikasi pengiklanan yang canggih untuk
internet.
Saat Forbes memperkirakan kekayaan bersih Turnbridge bernilai
tiga triliun, ia telah membeli rumah-rumah di tebing yang dramatis
dengan pandangan ke laut Pasifik, di sebuah lingkungan perumahan
kelas atas. Ia membeli sembilan rumah, yang saling berdampingan,
dengan membayar lebih dari dua kali lipat harga yang berlaku saat
itu. Ia menghabiskan lebih dari enam puluh juta dolar untuk rumah-
rumah itu dan merobohkannya untuk membuat satu komplek

/ 382 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

perumahan seluas tiga akre, sesuatu yang hampir tidak ada
tandingannya di pantai California selatan.

Sebuah perusahaan konsultan arsitektur besar mengerahkan tim
sejumlah tiga puluh orang untuk merancang sebuah rumah tiga
tingkat yang meliputi delapan puluh lima ribu kaki persegi, sebuah
luas tanah yang tidak termasuk garasi-garasi besar di bawah tanah
dan pabrik mekanik. Tempat itu dimaksudkan memiliki gaya rumah
rancangan Alberto Pinto di Brazil.

Beberapa elemen seperti air terjun di luar dan di dalam, arena
menembak bawah tanah, dan sebuah arena seluncur es di dalam
rumah, memerlukan keterampilan yang luar biasa dari para insinyur
struktural, sistem, dan tanah. Dibutuhkan dua tahun untuk perencana-
annya saja. Selama dua tahun pertama pembangunan, para pemba-
ngunnya hanya mengerjakan fondasi dan ruang-ruang bawah tanah.

Tidak ada dana lagi. Turnbridge telah menghabiskan semua uang
yang ia butuhkan.

Batu-batu marmer dan granit dibeli dalam jumlah besar.
Eksterior rumah itu rencananya akan dilapisi dengan batu kapur
Prancis; enam puluh tiang-tiang batu kapur tanpa sambungan, dari
bawah sampai atas, dibuat dengan biaya tujuh puluh ribu dolar per
tiangnya. Turnbridge memiliki kegairahan dan komitmen yang sama
terhadap perusahaan yang ia ciptakan dengan rumah yang ia bangun.
Ia percaya perusahaannya akan menjadi salah satu dari sepuluh
perusahaan terbesar di dunia.

Ia masih memercayai itu bahkan setelah adanya berbagai ke-
cacatan dalam model bisnisnya yang terungkap lewat internet. Sejak
awal, ia menjual sahamnya hanya untuk membiayai gaya hidupnya,
bukan untuk memperluas investasi. Saat harga saham perusahaan-
nya merosot, ia meminjam uang untuk membeli lebih banyak saham
di pasar. Harganya semakin anjlok, dan ia mengangkatnya dengan
membeli lebih banyak saham.

/ 383 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

Ketika harga sahamnya tidak pernah pulih kembali dan per-
usahaannya hancur, Turnbridge juga turut hancur. Pembangunan
rumahnya dihentikan.

Dikejar-kejar oleh para kreditor, penanam saham, dan seorang
mantan istri yang marah, Thomas Turnbridge pulang ke rumahnya
yang belum selesai dibangun, duduk di sebuah kursi lipat di balkon
kamar tidur utama, dan dengan pemandangan lampu-lampu kota
dan laut 240 derajat untuk memesonanya, menenggak barbiturat
dosis tinggi dengan sebotol Dom Perignon dingin.

Burung-burung pemakan bangkai menemukannya satu hari
sebelum sang mantan istri menemukannya.

Meski tanah di pinggir pantai seluas tiga akre itu adalah sesuatu
yang luar biasa, tidak ada yang membelinya setelah kematian
Turnbridge. Sejumlah perkara hukum yang ruwet menjeratnya. Nilai
tanah itu sekarang seharga enam puluh juta dolar, nilai yang dulu
dibayar Turnbridge saat membelinya dengan harga yang lebih mahal
dari semestinya. Dengan nilai sebesar itu, hanya ada sejumlah kecil
pembeli potensial.

Untuk menyelesaikan proyek seperti yang dijabarkan pada
rencana pembangunan, seorang pembeli harus mengeluarkan lima
puluh juta dolar untuk pekerjaan penyelesaiannya, jadi sebaiknya ia
menyukai gaya rumah itu. Jika ia tidak menyukai konstruksi yang
sudah ada dan memulai dari awal, ia harus bersiap-siap menghabiskan
lima juta di luar enam puluh juta harga tanah itu, karena ia harus ber-
urusan dengan konstruksi beton dan baja yang dimaksudkan untuk
bertahan terhadap gempa bumi berskala 8.2 tanpa kerusakan sama
sekali.

Sebagai seseorang yang bercita-cita menjadi agen real estat,
Holly tidak bermimpi bisa mendapatkan komisi untuk rumah
Turnbridge. Ia sudah akan cukup puas menjual rumah-rumah di
lingkungan menengah kepada orang-orang yang bersemangat untuk

/ 384 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

memiliki rumah mereka sendiri.
Bahkan, jika ia bisa menukarkan impiannya menjadi seorang

agen real estat untuk sebuah jaminan bahwa ia dan Mitch akan bisa
bertahan melewati pertukaran ini, ia akan cukup puas tetap menjadi
seorang sekretaris. Ia adalah sekretaris yang baik dan seorang istri
yang baik; ia juga akan berusaha keras untuk menjadi ibu yang baik,
dan ia akan bahagia dengan apa yang dimillikinya itu, dengan
kehidupan, dengan cinta.

Tetapi transaksi semacam itu tidak akan bisa terjadi; nasibnya
tetap berada di tangannya sendiri, secara harfiah dan secara kiasan.
Ia harus bertindak saat tiba waktunya untuk bertindak. Ia punya se-
buah rencana. Ia siap menghadapi risikonya, rasa sakitnya, darahnya.

Orang menyeramkan itu telah kembali. Ia mengenakan jaket
penahan angin warna abu-abu dan sepasang sarung tangan yang
tipis dan lentur.

Holly tengah duduk di lantai saat ia masuk, namun ia segera
berdiri ketika laki-laki itu mendekat.

Melanggar konsep ruang pribadi, ia berdiri sangat dekat dengan
Holly, seperti seorang laki-laki akan berdiri tepat sebelum ia
memeluk seorang perempuan untuk berdansa dengannya.

“Di rumah Duvijio dan Eloisa Pacheco di Rio Lucio, ada dua
kursi kayu berwarna merah di ruang tamunya, kursi kayu dengan
bagian atas sandaran yang diukir.”

Ia meletakkan tangan kanannya di atas bahu kiri Holly. Holly
senang tangan itu terbungkus sarung tangan.

“Di atas salah satu kursi merah itu,” ia melanjutkan, “berdiri
sebuah patung keramik Santo Anthony murahan. Di atas kursi satu-
nya lagi berdiri patung keramik seorang anak laki-laki yang ber-
pakaian rapi untuk pergi ke gereja.”

“Siapa anak laki-laki itu?”
“Patung kecil itu menggambarkan anak laki-laki mereka, juga

/ 385 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

diberi nama Anthony, yang tertabrak dan terbunuh oleh seorang
pengemudi mabuk saat ia berusia enam tahun. Itu terjadi lima puluh
tahun lalu, saat Duvijio dan Eloisa masih berusia dua puluhan.”

Belum lagi menjadi ibu namun berharap akan hal itu, ia tidak
dapat membayangkan sakitnya kehilangan semacam itu, kengerian
dari ketiba-tibaannya. Ia berkata, “Sebuah tempat pemujaan.”

“Ya, sebuah tempat pemujaan dengan dua kursi merah. Tak se-
orang pun duduk di kursi-kursi itu selama lima puluh tahun.
Keduanya hanya diperuntukkan bagi patung-patung kecil itu.”

“Kedua Anthony itu,” Holly membetulkan.
Laki-laki itu mungkin tidak mengenalinya sebagai pembetulan.
“Bayangkan,” katanya, “duka dan harapan, cinta dan keputus-
asaan yang dipusatkan pada kedua patung itu. Setengah abad penuh
dengan kerinduan dan pendambaan telah mengaruniai benda-
benda itu dengan kekuatan luar biasa.”
Holly teringat anak perempuan dengan baju berpinggiran
renda, dikubur dengan medalion Santo Christopher dan patung
Cinderella kecil.
“Aku akan mengunjungi Duvijio dan Eloisa suatu hari nanti saat
mereka tidak ada di rumah, dan mengambil patung keramik anak
laki-laki itu.”
Laki-laki ini bisa jadi apa saja, termasuk seorang perampas kejam
akan kepercayaan dan harapan serta kenangan berharga orang lain.
“Aku tidak tertarik pada Anthony yang satu lagi, santo itu, tapi
anak laki-laki itu adalah sebuah totem dengan potensi magis. Aku
akan membawanya ke Espanola—“
“Di mana hidupmu akan berubah lagi.”
“Dengan amat sangat,” katanya. “Dan mungkin bukan hanya
hidupku.”
Holly memejamkan matanya dan berbisik, “Kursi merah,” se-
olah ia tengah membayangkan tempat itu.

/ 386 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

Tampaknya itu cukup membesarkan hati laki-laki tersebut untuk
saat ini, karena setelah terdiam ia berkata, “Mitch akan tiba di sini
dalam waktu dua puluh menit lebih sedikit.”

Jantung Holly berpacu mendengar berita itu, tapi harapannya
disurutkan oleh rasa takut, dan ia tidak membuka matanya.

“Aku akan pergi sekarang untuk memantau kedatangannya. Ia
akan membawa uang itu ke dalam ruangan ini—dan setelah itu tiba
waktunya untuk memutuskan.”

“Di Espanola, apakah ada seorang perempuan dengan dua ekor
anjing putih?”

“Apakah itu yang kau lihat?”
“Anjing-anjing yang tampaknya menghilang dalam salju.”
“Aku tidak tahu. Tapi jika kau melihatnya, maka aku yakin
mereka pasti ada di Espanola.”
“Aku melihat diriku sendiri sedang tertawa bersama perempuan
itu, dan anjing-anjingnya begitu putih.” Ia membuka matanya dan
berpandangan dengan laki-laki itu. “Kau lebih baik pergi melihat
kedatangannya.”
“Dua puluh menit,” ia berjanji, dan meninggalkan dapur.
Holly berdiri diam tak bergerak untuk sesaat, takjub pada
dirinya sendiri.
Anjing putih. Dari mana ia mendapatkan ide itu? Anjing-anjing
putih dan perempuan yang sedang tertawa.
Sekarang ia nyaris menertawakan keluguan laki-laki itu, namun
tidak ada yang lucu dalam kenyataan bahwa ia telah masuk cukup
dalam ke dalam kepala laki-laki itu untuk mengetahui bayangan apa
yang akan berhasil baginya. Kenyataan bahwa ia sama sekali bisa
berkelana di dalam dunia sintingnya sepertinya tidak sepenuhnya
mengagumkan.
Getaran-getaran itu kembali menguasainya, dan ia duduk. Ke-
dua tangannya dingin, dan udara dingin menyusuri setiap tikungan

/ 387 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

ususnya.
Ia menyelipkan tangan ke balik sweaternya, ke antara dua payu-

daranya, dan mengeluarkan paku dari behanya.
Meski paku itu tajam, ia berharap benda itu lebih tajam lagi. Ia

tidak punya alat untuk mengikir ujungnya supaya lebih tajam.
Menggunakan kepala paku, ia menggaruk-garuk dengan se-

mangat dinding dapur itu sampai ia menghasilkan setumpuk kecil
plester bubuk.

Waktunya telah tiba.
Saat Holly masih seorang gadis kecil, untuk beberapa waktu ia
takut akan serangkaian monster yang muncul karena daya khayal-
nya yang subur: di dalam lemari, di bawah tempat tidur, di jendela.
Neneknya, Dorothy yang baik, mengajarkannya sebuah puisi
yang, menurutnya, akan menolak setiap monster: menguapkan
monster yang ada di lemari, mengubah yang ada di bawah tempat
tidur menjadi debu, dan mengirim mereka yang ada di jendela ke
rawa-rawa dan gua-gua tempat mereka semestinya berada.
Bertahun-tahun kemudian, Holly tahu bahwa puisi tersebut,
yang menyembuhkan ketakutannya atas monster, berjudul “Seorang
Tentara—Doanya.” Puisi itu dikarang oleh seorang tentara Inggris
tak dikenal dan ditemukan di secarik kertas di sebuah parit di Tunisia
saat peperangan El Aghelia.
Dengan suara pelan, ia membacanya sekarang:

“Tetaplah bersamaku, Tuhan. Malam ini gelap,
Malam ini begitu dingin: bunga api kecil
Keberanianku padam. Malam ini panjang;
Temanilah aku, Tuhan, dan buat aku kuat.”

Ia ragu setelahnya, namun hanya untuk sesaat.
Waktunya telah tiba.

/ 388 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

64

SSEPATU YANG LENGKET DENGAN DEDAUNAN DAN LUMPUR, PAKAIAN KUSUT
dan dekil, sebuah kantung plastik putih yang dibuai dalam tangan-
nya dan ditekan pada dadanya seolah itu bayi yang berharga, mata
yang begitu terang dengan keputusasaan kedua mata itu bisa jadi
adalah lampu untuk menerangi jalannya sekiranya itu malam hari,
Mitch bergegas menyusuri bahu jalan.
Tidak akan ada petugas hukum, yang kebetulan lewat, akan lalai
memerhatikannya dengan cermat. Ia memiliki tampilan seorang
buronan atau orang gila, atau malah keduanya.
Lima puluh yar di depannya ada sebuah pompa bensin dan
minimarket. Mengiklankan diskon untuk ban, sederetan panji yang
cerah mengelepak dalam angin.
Ia bertanya-tanya apakah sepuluh ribu dolar akan bisa membeli
tumpangan ke rumah Turnbridge. Mungkin tidak. Dengan
penampilan seperti itu, kebanyakan orang mengira ia akan mem-
bunuh mereka dalam perjalanan.
Seorang laki-laki yang tampak seperti gelandangan, melambai-
lambaikan sepuluh ribu dolar, ingin membeli tumpangan, akan
membuat pengelola pompa bensin itu cemas. Ia mungkin akan
menelepon polisi.

/ 389 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

Namun tetap saja membeli tumpangan tampaknya satu-satunya
pilihan yang ia miliki selain membajak mobil seseorang dengan
menggunakan senjata, yang tidak akan ia lakukan. Pemilik mobil itu
mungkin akan dengan bodoh berusaha merebut senjatanya dan
tertembak tanpa sengaja.

Saat ia berjalan semakin mendekati pompa bensin tersebut,
sebuah mobil Cadillac Escalade berbelok keluar dari jalan bebas
hambatan dan berhenti di deretan pompa paling luar. Seorang
perempuan berambut pirang keluar, menggenggam dompetnya,
dan berjalan santai menuju minimarket, meninggalkan pintu bagian
pengemudinya tetap terbuka.

Dua deret pompa di situ adalah pompa self service. Tidak ada
petugas yang terlihat.

Seorang pelanggan lain tengah mengisi bensin sebuah Ford
Explorer. Ia sedang berkonsentrasi pada jendelanya, menggunakan
alat penyeka jendela.

Mitch berjalan dengan menyeret kakinya mendekati Escalade
dan mengintip melalui pintu yang terbuka. Kuncinya ada di lubang
kontak.

Mencondongkan tubuhnya ke depan, ia memeriksa kursi
belakang. Tidak ada seorang kakek, tidak ada anak di dalam kursi
pengaman bayi, tidak ada anjing pit bull.

Ia masuk ke belakang setir, menutup pintunya, menghidupkan
mesin, dan menyetir masuk ke dalam jalan bebas hambatan.

Meski ia setengah yakin bahwa akan ada orang-orang yang
mengejarnya, melambai-lambaikan tangan mereka dan berteriak,
kaca spion belakang tidak menampakkan apa pun.

Jalan itu dibagi dua oleh sebuah pembatas. Ia terpikir untuk
melewati pembatas jalan tersebut. Mobil Escalade ini akan mampu
melakukannya. Tapi nasib adalah nasib, sebuah mobil patroli polisi
lewat tepat pada saat itu.

/ 390 /


Click to View FlipBook Version