The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-04-20 20:56:21

The Husband (Kisah Cinta Sejati)

By Dean Koontz

Keywords: Dean Koontz,The Husband (Kisah Cinta Sejati

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

diri. Semak-semak bergoyang-goyang seolah berusaha bangkit de-
ngan menarik akar mereka. Tenda jendela yang robek—sebenarnya
berwarna hijau, namun tampak hitam dalam cahaya seperti ini—
mengelepak hebat seperti bendera sebuah bangsa yang bengis.
Pepohonan eucalyptus memberi angin ribuan suara mendesis, dan
tampaknya seolah bulan akan tertiup jatuh dan bintang-bintang ter-
padamkan seperti lilin.

Di dalam Chrysler yang berhantu, Mitch memulai pencarian
Anson.

/ 241 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

39

HHOLLY TERUS MENGGARAP PAKU ITU MESKI IA TIDAK MEMBUAT KEMAJUAN
sama sekali, karena jika tidak menggarap paku itu ia tidak akan
punya apa pun untuk dikerjakan, dan tanpa apa pun untuk di-
kerjakan ia akan gila.
Entah kenapa ia teringat Glenn Close yang berperan sebagai
perempuan gila di film Fatal Attraction. Bahkan jika ia menjadi gila,
Holly tidak akan sanggup merebus kelinci piaraan siapa pun di
dalam panci sup, kecuali tentu saja keluarganya kelaparan dan tidak
punya apa-apa untuk dimakan atau kelinci itu dirasuki oleh setan.
Kalau itu terjadi, hal-hal lain tidak akan berlaku lagi.
Tiba-tiba paku itu mulai goyah, dan itu membuatnya ber-
semangat. Ia begitu bersemangat sampai nyaris membutuhkan pis-
pot yang ditinggalkan para penculik itu bersamanya.
Semangatnya menyusut saat, selama setengah jam berikutnya, ia
hanya berhasil mencabut seperempat inci paku itu dari papan lan-
tai. Kemudian paku itu menempel dengan kuat dan tak mau ber-
gerak lagi.
Meski begitu, seperempat inci lebih baik daripada tidak sama
sekali. Paku itu mungkin—apa?—tiga inci panjangnya. Secara keselu-
ruhan—tanpa menghitung istirahat yang ia lakukan untuk makan

/ 242 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

pizza yang diizinkan mereka untuk ia makan, dan untuk mengistira-
hatkan jari-jarinya—ia telah menghabiskan tujuh jam menggarap
paku itu. Jika ia bisa mengeluarkannya sedikit lebih cepat, satu inci
per hari, saat batas waktu Rabu tengah malam itu tiba, hanya akan
tinggal satu inci yang tersisa.

Jika Mitch berhasil mengumpulkan uang tebusan sebelum waktu
itu, mereka semua harus menunggu satu hari lagi sampai ia berhasil
mencabut paku sialan itu.

Sejak dulu ia selalu optimis. Orang-orang menyebutnya cerah,
periang, bersemangat dan ceria; dan jengkel terhadap pandangan
positifnya yang tak kunjung padam, sekali waktu seorang tukang
mengomel dan bertanya apakah ia anak dari Mickey Mouse dan
Tinkerbell.

Ia bisa saja berlaku kejam dan mengatakan yang sesungguhnya,
bahwa ayahnya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas dan ibunya
meninggal saat melahirkan, bahwa ia dibesarkan oleh seorang nenek
yang penuh cinta dan keriangan.

Namun ia justru berkata: Ya, tapi karena Tink tidak punya ping-
gul untuk melahirkan anak, aku dikandung oleh Daisy Duck.

Sekarang ini, tak seperti biasanya, ia merasa sulit untuk tetap
bersemangat. Diculik bisa meretakkan tulang kelucuanmu.

Ia punya dua kuku yang patah, dan bantalan jari-jarinya terasa
nyeri. Jika ia tidak membungkusnya di dalam bagian bawah blus-
nya, untuk melapisinya sementara ia menggarap paku itu, jari-
jarinya mungkin sudah akan berdarah.

Tapi di dalam situasi seperti ini, luka-lukanya itu tidak berarti.
Jika para penculiknya mulai memotongi jari-jarinya seperti yang
mereka janjikan pada Mitch, itu baru sesuatu yang patut di-
khawatirkan.

Ia beristirahat dari apa yang ia lakukan dengan paku tersebut. Ia
berbaring terlentang di atas kasur udara dalam gelap.

/ 243 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

Meski letih, ia tidak berharap dapat tidur. Kemudian ia
bermimpi berada di sebuah tempat tanpa sinar yang berbeda dari
ruangan tempat para penculik itu menyekapnya.

Di dalam mimpi, ia tidak tertambat pada sebuah cincin besi di
lantai. Ia tengah berjalan di dalam gelap, membawa buntelan di
tangannya.

Ia tidak berada di sebuah ruangan melainkan di serangkaian
gang. Lorong-lorong yang ruwet dan simpang siur. Sebuah labirin.

Buntelan itu semakin berat. Lengannya nyeri. Ia tidak tahu apa
yang sedang ia bawa, namun sesuatu yang mengerikan akan terjadi
jika ia meletakkannya.

Cahaya yang temaram menariknya untuk mendekat. Ia tiba di
sebuah ruangan yang diterangi oleh sebatang lilin.

Mitch ada di situ. Ia begitu bahagia melihatnya. Ayah dan ibu-
nya, yang tak pernah ia kenal kecuali melalui foto, juga ada di situ.

Buntelan di tangannya adalah seorang bayi yang sedang ter-
lelap. Bayinya yang sedang terlelap.

Tersenyum, ibunya melangkah maju untuk mengambil bayi itu.
Tangan Holly terasa nyeri, namun ia memegang buntelan berharga
itu dengan kencang.

Mitch berkata Berikan pada kami bayinya, Sayang. Ia seharus-
nya bersama kami. Di sini bukan tempatmu.

Kedua orangtuanya sudah mati, begitu pula Mitch, dan jika ia
melepaskan sang bayi, bayi itu tidak hanya akan sekadar terlelap.

Ia menolak menyerahkan anaknya pada mereka—kemudian
tiba-tiba entah bagaimana bayi itu sudah berada di dalam pelukan
ibunya. Ayahnya meniup lilin itu hingga padam.

Holly terbangun mendengar binatang buas melolong yang
sesungguhnya hanyalah angin, namun cukup ganas, menghantam-
hantam dinding, merontokkan debu dari palang-palang atap.

Cahaya yang temaram, bukan sebatang lilin melainkan senter

/ 244 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

kecil, membawa sedikit kelegaan dari kegelapan tempat ia dipenjara
selama ini. Cahaya itu menyingkap topeng ski rajut warna hitam,
bibir pecah-pecah, dan mata biru beryl milik salah satu penawannya
yang tengah berlutut di hadapannya—laki-laki yang membuatnya
cemas.

“Aku membawakanmu permen,” katanya.
Ia mengulurkan sepotong Mr. Goodbar pada Holly.
Jari-jarinya lentik dan putih. Kukunya bekas digigiti.
Holly benci menyentuh apa pun yang telah disentuh laki-laki
itu. Menyembunyikan ketidaksukaannya, ia menerima potongan
cokelat itu.
“Mereka sedang tidur. Sekarang giliranku.” Ditaruhnya sekaleng
minuman cola yang bertutulkan butiran-butiran keringat dingin di
lantai di hadapan Holly. “Kau suka Pepsi?”
“Ya. Terima kasih.”
“Kau tahu Chamisal, New Mexico?” tanyanya.
Laki-laki itu memiliki suara yang lembut dan merdu seperti
musik. Nyaris bisa dikatakan seperti suara perempuan, tapi tidak
juga bisa dikatakan begitu.
“Chamisal?” kata Holly. “Tidak. Aku belum pernah ke sana.”
“Aku punya pengalaman di sana,” katanya. “Hidupku berubah.”
Angin berdentum dan sesuatu berderak di atas atap, dan ia
memanfaatkan suara berisik itu sebagai alasan untuk menengadah,
berharap untuk melihat detail yang mudah diingat dari penjara itu
untuk kesaksiannya nanti.
Ia dibawa ke sini dalam keadaan mata tertutup. Di akhir per-
jalanan, mereka menaiki tangga yang sempit. Ia menduga ia
mungkin sedang berada di sebuah loteng.
Setengah lensa senter kecil itu ditutupi oleh plester. Langit-langit
tetap tidak tersingkap di dalam kesuraman itu. Cahayanya hanya
mencapai dinding papan terdekat yang kosong, dan semua hal lain

/ 245 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

di sekitarnya hilang dalam bayang-bayang.
Mereka berhati-hati.
“Kau pernah ke Rio Lucio, New Mexico?” tanyanya.
“Tidak. Belum pernah ke sana juga.”
“Di Rio Luccio, ada sebuah rumah berplester yang dicat biru

dengan lis kuning. Kenapa kau tidak makan cokelatmu itu?”
“Aku menyimpannya untuk nanti.”
“Siapa yang tahu berapa banyak waktu lagi yang kita semua

miliki?” tanyanya. “Nikmati saja sekarang. Aku suka melihatmu
makan.”

Dengan enggan Holly mengelupas kertas pembungkus cokelat
itu.

“Seorang perempuan suci bernama Ermina Lavato tinggal di
rumah biru kuning di Rio Lucio itu. Ia berusia tujuh puluh dua
tahun.”

Laki-laki tersebut merasa pernyataan-pernyataan semacam itu
merupakan sebuah percakapan. Jeda-jeda di antara kalimat-kalimat-
nya menandakan bahwa Holly diharapkan mengisinya dengan
tanggapan.

Setelah menelan cokelat, Holly berkata, “Apakah Ermina
kerabatmu?”

“Bukan. Ia keturunan Spanyol. Ia membuat fajitas * ayam yang
sangat lezat di dapur yang kelihatan seperti berasal dari tahun 1920-
an.”

“Aku tidak begitu hebat dalam hal masak-memasak,” kata Holly
kosong.

Tatapan laki-laki itu terpaku pada mulut Holly, dan ia menggigit
batangan Mr. Goodbar itu dengan perasaan seolah ia tengah
melakukan sesuatu yang cabul.

* masakan khas Meksiko yang terdiri dari potongan daging atau ayam yang di-
bumbui, sayur-sayuran yang dipotong-potong, dan keju parut, dibungkus dalam
tortilla lembut dan sering disajikan bersama susu asam—ed.

/ 246 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

“Ermina sangat miskin. Rumahnya mungil tapi sangat indah.
Tiap kamar dicat dengan warna-warna berbeda yang menyejuk-
kan.”

Saat ia memandangi mulutnya, Holly balas memandanginya,
sejauh yang diperlihatkan oleh topengnya. Gigi-giginya berwarna
kuning. Gigi serinya tajam, gigi taringnya runcing tidak wajar.

“Di dinding-dinding kamarnya terpampang empat puluh dua
gambar Bunda Maria.”

Bibirnya tampak selalu pecah-pecah. Terkadang ia menggigiti
serpihan-serpihan kulit bibirnya yang agak terlepas saat sedang tidak
bicara.

“Di dalam ruang tamunya ada tiga puluh sembilan gambar
Jantung Suci Yesus, tertusuk oleh duri-duri.”

Retakan di bibirnya berkilau seolah mungkin akan mulai me-
ngeluarkan cairan.

“Di halaman belakang rumah Ermina Lavato, aku mengubur
harta karun.”

“Sebagai hadiah untuknya?”
“Tidak. Ia tidak akan menyetujui apa yang aku kubur. Minum
Pepsimu.”
Holly tidak ingin minum dari kaleng yang pernah ia pegang.
Namun ia tetap membukanya dan mengambil satu tegukan.
“Kau tahu Penasco, New Mexico?”
“Aku tidak banyak melakukan perjalanan di New Mexico.”
Ia terdiam sejenak, dan angin melolong mengisi kekosongan-
nya, dan tatapannya jatuh pada tenggorokan Holly saat ia sedang
menenggak Pepsi. Kemudian: “Hidupku berubah di Penasco.”
“Kupikir itu terjadi di Chamisal.”
“Hidupku telah seringkali berubah di New Mexico. Itu sebuah
tempat perubahan dan misteri besar.”
Terpikir akan manfaat kaleng Pepsi itu, Holly menyisihkannya

/ 247 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

dengan harapan laki-laki itu akan membiarkannya menyimpannya
jika ia belum menghabiskan minuman cola itu saat ia pergi nanti.

“Kau akan menikmati Chamisal, Penasco, Rodarte, begitu
banyak tempat yang indah dan misterius.”

Holly mempertimbangkan kata-katanya baik-baik sebelum
berbicara. “Kita berdoa saja aku masih hidup untuk melihat tempat-
tempat itu.”

Laki-laki itu membalas tatapan Holly dengan langsung. Matanya
berwarna biru langit suram yang menandakan datangnya badai
bahkan saat tidak ada awan.

Dengan suara lebih pelan dari biasanya, bukan berbisik,
melainkan dengan kelembutan yang tenang, ia berkata, “Bolehkah
aku bicara empat mata denganmu?”

Jika laki-laki itu menyentuhnya, ia akan berteriak sampai ia
membangunkan yang lain.

Mengartikan ekspresi wajahnya sebagai persetujuan, ia berkata,
“Tadinya kami berlima, sekarang hanya tinggal bertiga.”

Ini bukan apa yang Holly kira akan ia dengar. Ia tetap beradu
pandang dengan laki-laki itu kendati itu membuatnya tidak nyaman.

“Untuk memperbesar hasil pembagiannya dari dibagi lima men-
jadi dibagi empat, kami membunuh Jason.”

Ia tersentak di dalam hati mendengar pengungkapan sebuah
nama tersebut. Ia tidak ingin mengetahui nama-nama atau melihat
wajah-wajah.

“Sekarang John Knox menghilang,” katanya. “Johnny
melakukan pengintaian, ia belum melapor kembali. Kami bertiga—
kami tidak pernah sepakat untuk memperbesar bagiannya dari
empat orang menjadi tiga orang. Masalah itu tidak pernah dibahas.”

Mitch, pikir Holly segera.
Di luar, suara angin berubah. Berhenti menjerit, ia berembus
kencang dengan suara hush keras, membimbing Holly di dalam

/ 248 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

kebijaksanaan keheningan.
“Dua yang lain keluar untuk melakukan tugas kemarin,” lanjut-

nya, “secara terpisah, dalam waktu yang berbeda. Salah satu dari
mereka bisa saja membunuh Johnny.”

Untuk membalas budi laki-laki itu karena telah mengungkapkan
fakta-fakta ini, Holly melahap lebih banyak cokelat.

Memandangi mulutnya sekali lagi, ia berkata, “Mungkin mereka
memutuskan untuk melakukan pembagian dua arah. Atau mungkin
salah satu dari mereka ingin mendapatkan semuanya.”

Tidak ingin terlihat menyuburkan perpecahan di antara mereka,
Holly berkata, “Mereka tidak akan melakukan itu.”

“Mungkin saja,” katanya. “Kau tahu Vallecito, New Mexico?”
Menjilat cokelat dari bibirnya, Holly berkata, “Tidak.”
“Suram,” katanya. “Ada banyak dari tempat-tempat ini yang
suram tapi sangat indah. Hidupku berubah di Vallecito.”
“Berubah bagaimana?”
Alih-alih menjawab, ia berkata, “Kau harus melihat Las Trampas,
New Mexico, saat sedang bersalju. Beberapa gedung sederhana,
padang putih, bukit-bukit landai yang tampak gelap dengan chapar-
ral, dan langit yang sama putihnya dengan ladang-ladang itu.”
“Kau cukup puitis,” kata Holly, setengah bersungguh-sungguh.
“Mereka tidak punya kasino di Las Vegas, New Mexico. Mereka
punya kehidupan dan misteri.”
Kedua tangan putihnya saling menyatu, bukan dalam perenung-
an, dan pastinya bukan dalam doa, namun seolah masing-masih
memiliki kesadarannya sendiri, seolah mereka menikmati sentuhan
satu sama lain.
“Di Rio Lucio, Eloisa Sandoval memiliki tempat suci yang di-
persembahkan untuk Santo Anthony di dapur kecilnya yang ber-
dinding batako. Dua belas patung keramik disusun dalam deretan
bertingkat, satu untuk setiap anak dan cucu. Lilin-lilin dihidupkan

/ 249 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

setiap malam pada jam kebaktian.”
Holly berharap ia akan menyingkap rahasia lain mengenai

rekan-rekannya, tapi ia tahu ia harus menunjukkan ketertarikan
yang tidak berlebihan pada semua yang ia katakan.

“Ernest Sandoval menyetir mobil Chevy Impala tahun ’64
dengan rantai besi besar sebagai setirnya, dasbor yang dicat sesuai
pesanan, dan plafon yang dilapisi kain beludru merah.”

Jemari lentik dengan bantalan-bantalan menyerupai daun
mengusap satu sama lain, mengusap, dan mengusap.

“Ernest tertarik pada santo-santo yang asing bagi istrinya yang
alim. Dan ia tahu ... tempat-tempat yang mengagumkan.”

Batangan Mr. Goodbar itu mulai terasa mual di dalam mulut
Holly, menempel di dalam tenggorokannya, namun ia menggigitnya
sekali lagi.

“Arwah-arwah masa lalu mendiami New Mexico, sejak sebelum
peradaban manusia. Apakah kau seorang pencari?”

Jika Holly terlalu membesarkan hati laki-laki itu, ia akan mem-
baca ketidaktulusannya. “Aku rasa tidak. Terkadang kita semua
merasa ... ada sesuatu yang hilang. Tapi semua orang seperti itu. Itu
sifat dasar manusia.”

“Aku melihat sosok pencari di dalam dirimu, Holly Rafferty.
Sebutir benih jiwa mungil yang menanti untuk mekar.”

Matanya sebening sungai yang jernih, namun terselubung oleh
endapan lumpur yang di bagian bawahnya terdapat sosok-sosok
aneh yang tidak dapat ia kenali.

Menurunkan tatapannya, Holly berkata dengan sopan, “Aku
rasa kau melihat terlalu banyak dalam diriku. Aku bukan seorang
pemikir yang dalam.”

“Rahasianya bukanlah berpikir. Kita berpikir menggunakan kata-
kata. Dan apa yang terletak di bawah kenyataan yang kita lihat
adalah sebuah kebenaran yang tidak dapat diungkapkan dengan

/ 250 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

kata-kata. Rahasianya adalah untuk merasakan.” “Benar kan, bagi-
mu itu konsep yang sederhana, tapi bahkan itu terlalu dalam
bagiku.” Holly menertawakan dirinya sendiri dengan pelan.
“Impian terbesarku adalah berkecimpung di dunia real estat.”

“Kau terlalu meremehkan dirimu sendiri,” ia meyakinkannya.
“Di dalam dirimu terdapat … kemungkinan-kemungkinan hebat.”

Pergelangan tangannya yang kurus besar dan tangannya yang
panjang dan pucat sama sekali tidak berbulu, entah secara alami
begitu atau karena ia menggunakan krim penghilang rambut.

/ 251 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

40

DDENGAN ANGIN MENGANCAM DI KACA JENDELA YANG TERBUKA DI BAGIAN
pintu sopir, Mitch meluncur melewati rumah Anson di Corona del
Mar.
Bunga-bungaan besar berwarna putih agak krem rontok dari
pohon magnolia besar dan tertiup angin menerpa pintu depan, ter-
singkap di bawah lampu di atas pintu yang tetap menyala sepanjang
malam. Selain itu, rumah tampak gelap.
Mitch tidak berpendapat Anson pulang ke rumah, member-
sihkan diri, dan pergi tidur dengan gembira nyaris segera setelah ia
membunuh orangtua mereka. Ia pasti ada di luar sana di suatu tem-
pat—dan sedang merencanakan sesuatu.
Mobil Honda Mitch tak lagi bertengger di trotoar di mana ia
meninggalkannya saat pertama kali datang ke sini atas perintah para
penculik.
Di blok berikut ia memarkir mobil, menghabiskan sebatang
cokelat Hershey, menaikkan kaca jendelanya dan mengunci Chrysler
Windsor itu. Sialnya, mobil itu menarik perhatian di antara
kendaraan-kendaraan sekitar yang lebih modern, keagungan
museum di dalam sebuah arena bermain.
Mitch berjalan menuju gang yang bisa dimasuki dari garasi

/ 252 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

Anson. Cahaya memancar di seluruh lantai dasar kondo bagian
belakang yang terletak di atas garasi dua mobil itu.

Beberapa orang mungkin punya pekerjaan yang membuat
mereka tetap sibuk pada pukul setengah empat lewat sedikit pada
dini hari. Atau insomnia.

Berdiri di gang, Mitch menjejakkan kakinya dengan lebar untuk
menahan angin yang berembus kencang. Ia mempelajari jendela-
jendela tinggi yang tertutup tirai itu.

Sejak berada di perpustakaan Campbell, ia telah memasuki
sebuah realitas baru. Sekarang ia melihat berbagai hal dengan lebih
jelas dibanding ketika ia melihatnya dengan sudut pandang lama.

Jika Anson punya delapan juta dolar dan sebuah kapal pesiar
yang sudah terbayar lunas, kemungkinan ia memiliki kedua kondo
itu, bukan hanya satu seperti yang ia akui. Ia tinggal di unit depan
dan memakai kondo belakang sebagai kantor tempat ia menerapkan
teori linguistik untuk merancang peranti lunak, atau apa pun itu
yang ia lakukan untuk bisa menjadi kaya.

Pekerja malam di balik jendela bertirai itu bukanlah seorang
tetangga. Anson sendiri tengah duduk di atas sana, membungkuk di
depan komputer.

Mungkin ia tengah merencanakan sebuah rute perjalanan,
menggunakan kapal pesiar, menuju tempat perlindungan di luar
batas kewenangan hukum mana pun.

Sebuah gerbang membuka ke arah jalan setapak sempit di se-
belah garasi. Mitch menyusurinya menuju halaman batu bata yang
memisahkan kedua unit kondo. Lampu-lampu halaman itu tidak ada
yang menyala.

Membatasi halaman batu bata itu adalah petak-petak tanaman
yang lebat dengan nandina dan beraneka ragam pakis, ditambah
bromeliad dan anthurium untuk memberikan aksen kelopak-
kelopak merah.

/ 253 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

Rumah-rumah di depan dan belakang kondo, pagar samping
yang tinggi, dan rumah-rumah sebelah yang merapat dekat di
pekarangan-pekarangan sempit mereka, semuanya menahan angin.
Meski masih ditandai aliran-aliran angin dari arah saling berlawanan
yang berembus kencang, versi yang lebih halus meluncur menuruni
atap dan menari bersama tumbuh-tumbuhan hijau di halaman,
bukan mencambuki mereka.

Mitch menyelinap ke bawah dedaunan pohon pakis Tasmania
yang melengkung dan bergoyang, bergetar. Ia meringkuk di sana,
mengintip ke arah halaman.

Hamparan dedaunan pakis yang berenda, lebar, dan mem-
bentang naik dan turun, naik dan turun, namun halaman itu tidak
sepenuhnya terlindungi dari pandangannya sepanjang waktu. Jika ia
tetap waspada, tidak mungkin ia tidak akan melihat seorang laki-laki
melintas dari kondo belakang ke depan.

Di bawah lindungan kanopi daun pakis itu, ia mencium aroma
tanah yang pekat, pupuk anorganik, dan aroma musky lumut yang
samar.

Awalnya hal ini membuatnya nyaman, mengingatkannya akan
hidup saat hidup masih sederhana, hanya enam belas jam yang lalu.
Namun setelah beberapa menit, campuran beraneka ragam aroma
itu justru mengingatkannya pada bau darah. ...

Di dalam kondo di atas garasi, lampu-lampunya dimatikan.
Mungkin terbantu oleh badai angin, sebuah pintu terbanting
tertutup. Paduan suara angin tidak sepenuhnya menyamarkan suara
berdebuk langkah kaki berat dan tergesa-gesa yang menuruni tang-
ga sebelah luar menuju halaman.
Di antara dedaunan pakis, Mitch menangkap sekilas figur
beruang seorang laki-laki tengah menyeberangi halaman batu bata.
Anson tidak sadar akan kehadiran sang adik di belakangnya,
semakin mendekat, dan mengeluarkan jeritan yang tertahan hanya

/ 254 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

ketika alat Taser menyetrum sistem sarafnya.
Saat Anson terhuyung-huyung ke depan, berusaha tidak ter-

jatuh, Mitch tetap merapat. Alat Taser itu menghantarkan satu lagi
kecupan lima puluh ribu volt.

Anson menghantam tembok batu bata. Ia berguling terlentang.
Tubuhnya yang besar dan tegap mengejang. Kedua tangannya ter-
kulai lemas. Kepalanya bergoyang-goyang dari kiri ke kanan dan ia
mengeluarkan suara yang mengesankan ia akan menelan lidahnya
sendiri.

Mitch tidak ingin Anson menelan lidahnya sendiri, tapi ia juga
tidak akan melakukan apa pun untuk mencegahnya.

/ 255 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

41

SSEKAWANAN ANGIN YANG MERAMALKAN KEHANCURAN MEMBENTURKAN
sayap-sayapnya pada dinding, menukik menuruni atap, dan ke-
gelapan itu sendiri seolah bergetar.
Tangan tak berbulu, putih bagai merpati, mengelus satu sama
lain di dalam cahaya temaram senter yang setengah tertutup.
Suara yang lembut itu tengah menghiburnya: “Di El Valle, New
Mexico, ada sebuah pekuburan yang rumputnya jarang dipangkas.
Beberapa makam memiliki nisan, yang lainnya tidak.”
Holly telah menghabiskan cokelatnya. Ia merasa setengah mual.
Mulutnya terasa seperti darah. Ia menggunakan Pepsi sebagai air
kumur.
“Beberapa kuburan tanpa nisan dikelilingi oleh pagar kayu kecil
yang dibuat dari lempengan-lempengan kayu peti buah-buahan dan
sayuran tua.”
Semua ini mengarah ke sesuatu, namun pemikiran laki-laki ini
berjalan menyusuri jalan saraf yang hanya bisa diduga oleh pikiran
yang sama miringnya dengan miliknya.
“Orang-orang tercinta mengecat pagar-pagar itu dengan warna
pastel—warna biru telur burung robin, hijau pucat, warna kuning
bunga matahari yang layu.”

/ 256 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

Kendati ada misteri yang tampak jelas di balik warna matanya
yang lembut, sekarang matanya tidak terlalu membuatnya jijik
dibanding tangannya.

“Di bawah bulan yang tinggal seperempat, berjam-jam setelah
sebuah makam baru ditutup, kami menggali dengan sekop dan
membuka peti kayu berisi anak kecil.”

“Warna kuning bunga matahari yang layu,” Holly mengulangi,
berusaha mengisi benaknya dengan warna itu sebagai pertahanan
terhadap bayangan seorang anak di dalam peti mati.”

“Ia berusia delapan tahun, meninggal karena kanker. Mereka
menguburnya bersama medalion Santo Christopher yang ter-
genggam di tangan kirinya, sebuah patung Cinderella dari porselen
di tangan kanannya, karena ia menyukai dongeng itu.”

Bayangan bunga matahari tidak mau bertahan, dan di dalam
benaknya Holly melihat tangan-tangan kecil itu berpegangan erat
pada perlindungan sang santo dan harapan akan seorang gadis yang
menjadi putri.

“Karena berjam-jam berada di dalam kuburan seseorang yang
tak berdosa, barang-barang itu mendapatkan kekuatan besar.
Mereka tercucikan oleh kematian dan dipoles oleh arwah.”

Semakin lama Holly menatap matanya, semakin kedua mata itu
asing baginya.

“Kami mengambil medalion dan patung itu dari tangannya dan
menggantikannya dengan ... barang-barang lain.”

Satu tangan pucat menghilang ke dalam saku jaket hitamnya.
Saat muncul kembali, tangan itu memegang medalion Santo
Christopher pada seutas rantai perak.

Ia berkata, “Ini. Ambillah.”
Kenyataan bahwa barang itu berasal dari kuburan tidak mem-
buatnya jijik, namun bahwa itu telah diambil dari tangan seorang
anak kecil yang sudah meninggal telah melampaui batas-batas yang

/ 257 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

bisa ia terima.
Ada lebih banyak hal yang terjadi di sini dibanding yang di-

ungkap laki-laki itu dalam kata-kata. Ada sebuah subteks yang tidak
dipahami Holly.

Ia merasa, menolak medalion itu dengan alasan apa pun akan
berakibat buruk. Ia mengulurkan tangan kanannya, dan laki-laki itu
menjatuhkan medalionnya ke dalamnya. Rantainya mengusut men-
jadi gelungan-gelungan acak di atas telapak tangannya.

“Kau tahu Espanola, New Mexico?”
Sembari mengatupkan tangannya menutupi medalion itu, ia
berkata, “Itu satu tempat lagi yang terlewatkan olehku.”
“Hidupku akan berubah di sana,” ungkapnya seraya memungut
senter dan bangkit berdiri.
Ia meninggalkannya dalam kegelapan pekat bersama kaleng
Pepsi yang masih setengah penuh, yang Holly pikir akan ia ambil.
Mulanya ia berniat meremas kaleng itu dan menciptakan batang
pengungkit mini darinya untuk digunakan pada paku yang keras
kepala itu.
Medalion Santo Christopher tersebut akan melakukannya de-
ngan lebih baik. Dicetak dalam logam kuningan dan dilapisi perak
atau nikel, benda itu lebih keras ketimbang bahan aluminium lunak
dari kaleng Pepsi.
Kunjungan penculiknya telah mengubah suasana dari ruang tak
bercahaya ini. Tadinya tempat ini sangat gelap dan sepi. Sekarang
Holly membayangkannya didiami oleh tikus dan kecoak serta
segerombolan besar makhluk-makhluk merayap lainnya.

/ 258 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

42

AANSON TERJATUH DENGAN KERAS DI DEPAN PINTU BELAKANG, DAN ANGIN
sepertinya menyoraki robohnya dia.
Seperti makhluk yang terbiasa menyaring oksigennya dari air
dan sekarang terdampar tak berdaya di pantai, ia berkedut, menge-
jang. Kedua tangannya terkulai, dan buku-buku jarinya mengetuk-
ngetuk lantai batu bata.
Ia menganga pada Mitch, menggerak-gerakkan mulutnya, se-
olah berusaha bicara, atau mungkin ia sedang berusaha menjerit
kesakitan. Yang keluar dari mulutnya hanyalah lengkingan kecil,
sebenang tipis suara, seolah esofagusnya telah mengerut menjadi
seukuran diameter jarum.
Mitch memeriksa pintunya. Tidak terkunci. Ia mendorongnya
terbuka dan melangkah masuk ke dalam dapur.
Semua lampu di dalam mati. Ia tidak menyalakannya.
Tidak yakin berapa lama pengaruh setruman itu akan berlang-
sung, berharap paling tidak satu atau dua menit, ia meletakkan Taser
itu di atas meja layan dapur dan kembali ke pintu yang terbuka.
Dengan berhati-hati ia mencengkeram Anson di bagian per-
gelangan kakinya, tapi sang kakak tidak punya kemampuan bahkan
untuk berusaha menendangnya. Mitch menyeretnya ke dalam

/ 259 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

rumah, dan mengernyit saat bagian belakang kepala Anson ter-
bentur-bentur ambang pintu yang ditinggikan.

Setelah menutup pintu, ia menyalakan lampu. Tirai-tirainya ter-
tutup, seperti saat ia dan Anson menerima telepon dari para pen-
culik.

Panci berisi zuppa massaia masih ada di atas kompor, dingin
namun masih harum.

Bersebelahan dengan dapur itu adalah sebuah ruang cuci. Mitch
memeriksanya dan mendapatinya sama seperti yang ia ingat: kecil,
tanpa jendela.

Di meja dapur, keempat kursi makannya yang bergaya retro chic
terbuat dari baja tak berkarat dan kain vinil merah. Dipindahkannya
salah satu kursi ke dalam ruang cuci.

Di lantai, memeluk dirinya sendiri seolah sangat kedinginan,
namun kemungkinan besar tengah berusaha berhenti berkedut,
berusaha mengendalikan kejang-kejang otot yang tak lagi dramatis
namun masih berkelanjutan, Anson mengeluarkan suara
menyedihkan seekor anjing yang tengah kesakitan.

Penderitaan itu mungkin tidak dibuat-buat. Mungkin juga hanya
pertunjukan belaka. Mitch menjaga jarak aman.

Diambilnya alat Taser. Meraih ke lekuk punggungnya ia menarik
pistol yang sebelumnya ia jejalkan ke balik sabuknya.

“Anson, aku ingin kau berguling menghadap ke lantai.”
Kepala kakaknya bergoyang dari sisi ke sisi, bukan tanda peno-
lakan melainkan mungkin sesuatu yang terjadi di luar kendalinya.
Antisipasi akan balas dendam, dalam caranya sendiri, adalah
semacam aliran zat gula yang mengalir deras dalam tubuh kita.
Kenyataannya, itu tak sedikit pun terasa manis.
“Dengarkan aku. Aku ingin kau berguling dan merangkak
sebisamu menuju ruang cuci.”
Air liur menetes dari sudut mulut Anson. Dagunya berkilau.

/ 260 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

“Aku memberimu kesempatan untuk melakukannya dengan cara
yang mudah.”

Anson terus terlihat kehilangan orientasi dan tidak bisa mengen-
dalikan tubuhnya dengan mudah.

Mitch bertanya-tanya apakah dua sengatan Taser secara berurut-
an, dan yang kedua mungkin ditahan terlalu lama, bisa meng-
akibatkan kerusakan permanen. Anson tampaknya lebih parah dari
sekadar tersetrum.

Jatuhnya laki-laki bongsor ini mungkin saja memiliki unsur
tragedi jika ia jatuh dari ketinggian, namun ia jatuh dari tempat ren-
dah ke tempat yang lebih rendah lagi.

Mitch mendesaknya, berulang kali menyerukan perintah yang
sama. Kemudian: “Brengsek kau, Anson. Kalau memang perlu, aku
bisa memberimu setruman ketiga dan menyeret bokongmu ke
dalam sana saat kau tak berdaya.”

Pintu belakang berderak, mengalihkan perhatian Mitch. Hanya
tangan sang angin yang menguji gerendel pintu saat hembusan yang
kuat bertiup lebih kencang menuju halaman yang terlindung.

Saat ia kembali memandang Anson, dilihatnya kesadaran yang
tajam dalam sorot matanya, perhitungan yang lihai, yang meng-
hilang di balik selubung disorientasi itu. Kedua mata Anson ber-
putar-putar di dalam kepalanya.

Mitch menunggu setengah menit. Kemudian ia bergerak dengan
sigap menuju sang kakak.

Anson tahu Mitch akan mendekat, mengira ia akan meng-
gunakan alat Taser itu lagi dan bangkit duduk untuk menepisnya,
merebutnya.

Namun Mitch justru melepaskan tembakan, dengan sengaja
tidak mengenai sang kakak, namun luput hanya dengan jarak sangat
sedikit. Mendengar suara letusan pistol, Anson tersentak kaget ke
belakang dan Mitch menghantamkan pistolnya dengan keras ke sisi

/ 261 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

kepalanya, cukup keras untuk terasa sangat sakit—cukup keras,
ternyata, untuk membuatnya tak sadarkan diri.

Tujuannya untuk mendapatkan kerja sama dari Anson dengan
meyakinkannya bahwa ia tidak lagi berurusan dengan Mitch yang
sama. Tapi cara ini juga berhasil.

/ 262 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

43

IIA TIDAK BERAT, IA ADALAH KAKAKKU. OMONG KOSONG. IA ADALAH KAKAK
Mitch, dan ia berat.
Menyeret Anson melintasi lantai kayu dapur berpelitur dan
masuk ke dalam ruang cuci ternyata lebih sulit dari yang
dibayangkan Mitch. Menaikkannya ke kursi adalah pekerjaan yang
nyaris mustahil, namun Mitch berhasil melakukannya.
Papan berlapis di bagian sandaran kursi terpasang di antara dua
palang besi. Di antara masing-masing sisi papan itu dengan kerang-
ka besi di sebelahnya adalah celah kosong.
Mitch memasukkan tangan Anson melewati kedua celah ter-
sebut. Menggunakan borgol yang sebelumnya ia pakai sendiri, ia
membelenggu pergelangan tangan kakaknya di belakang kursi.
Di antara barang-barang di dalam laci serba guna terdapat tiga
kabel listrik tak terpakai. Seutas kabel oranye tebal memiliki panjang
sekitar empat puluh kaki.
Setelah menyelipkan kabel itu melalui kaki-kaki kursi, Mitch
mengikatkannya ke sekeliling mesin cuci. Tidak selentur tali, kabel
karet itu hanya bisa diikat dengan longgar, jadi Mitch membuat tiga
simpul ikatan.
Meski Anson mungkin mampu bangkit sampai setengah mem-

/ 263 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

bungkuk, ia harus turut mengangkat kursi itu bersamanya. Namun
tertambat pada mesin cuci, ia tidak akan bisa pergi ke mana-mana.

Hantaman pistol tadi telah menggores telinganya. Ia berdarah
namun tidak deras.

Denyut jantungnya lambat tapi teratur. Ia mungkin akan segera
siuman.

Membiarkan lampu langit-langit tetap menyala, Mitch naik ke
atas menuju ruang tidur utama. Ia melihat apa yang sudah ia duga:
dua lampu malam kecil tercolok ke dalam saklar dinding, keduanya
sedang tidak menyala.

Saat masih kecil, Anson tidur dangan lampu yang menyala
temaram. Saat remaja, ia menyukai lampu malam yang mirip de-
ngan kedua lampu ini. Di dalam setiap kamar di rumah ini, sebagai
persiapan terputusnya arus listrik, ia menyimpan sebuah senter yang
diisi dengan batu baterai baru empat kali dalam setahun.

Kembali ke lantai bawah, Mitch melihat sepintas ke arah ruang
cuci. Anson masih tak sadarkan diri di kursi.

Mitch menggeledah laci-laci dapur sampai ia menemukan di
mana Anson menyimpan kunci-kunci. Ia memungut sebuah kunci
rumah serep. Ia juga mengambil kunci untuk tiga mobil yang ber-
beda, termasuk mobil Hondanya, dan meninggalkan rumah itu
lewat pintu belakang.

Ia meragukan para tetangga bisa mendengar suara tembakan
tadi—atau, jika mendengarnya, bisa mengenali suara apa itu sesung-
guhnya—setelah suara tersebut tersaring oleh dentuman dan
pekikan angin yang tengah berperang dengan dirinya sendiri.
Namun begitu, ia tetap lega melihat tidak ada lampu yang menyala
di rumah-rumah sebelah.

Mitch menaiki tangga menuju kondo belakang di atas garasi dan
mencoba pintunya yang terkunci. Seperti telah ia duga, kunci rumah
Anson juga membuka pintu ini.

/ 264 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

Di dalam, ia mendapati kantor rumah Anson menempati ruang-
an yang biasanya digunakan sebagai ruang tamu dan ruang makan.
Lukisan-lukisan bertema laut yang ada di situ merupakan karya
beberapa seniman yang karyanya juga terpampang di kondo depan.

Empat komputer yang ada di situ hanya dilayani oleh satu kursi
kantor beroda. Ukuran unit-unit komputer yang berfungsi untuk
melakukan penghitungan, jauh lebih besar dari yang biasanya ada di
sebuah rumah, menunjukkan pekerjaan Anson melibatkan peng-
hitungan bertingkat-tingkat yang cepat dan penyimpanan data
dalam jumlah besar.

Mitch bukanlah seorang jagoan komputer. Ia tidak berkhayal
dapat memboot up mesin-mesin itu—jika boot up bahkan adalah
istilah yang masih digunakan—dan mengetahui pekerjaan macam
apa yang telah membuat kakaknya kaya raya.

Lagipula, Anson pasti memasang berlapis-lapis pengamanan,
kata kunci, dan prosedur, untuk mencegah bahkan hacker yang pa-
ling serius sekalipun. Sejak dulu ia menyukai kode-kode rumit dan
simbolisme rahasia di peta-peta yang digambar oleh bajak laut
untuk menunjukkan tempat persembunyian harta karun dalam
dongeng-dongeng yang memikatnya saat kecil.

Mitch keluar, mengunci pintu, dan turun ke garasi pertama. Di
sinilah mobil Expedition yang ia kendarai ke rumah mewah
Campbell di Rancho Santa Fe dan mobil Buick Super Woody Wagon
tahun 1947 berada.

Di dalam garasi dua mobil satunya lagi terdapat satu ruang
kosong dan Honda milik Mitch, yang sebelumnya ia tinggalkan di
jalan.

Mungkin Anson menyimpannya di sini setelah mengendarainya
ke Orange dan mengambil dua peralatan kebun milik Mitch dan
juga beberapa pakaiannya, ke rumah Daniel dan Kathy untuk mem-
bunuh mereka, dan kemudian balik ke rumah Mitch untuk

/ 265 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

menanamkan bukti-bukti yang memberatkan dirinya itu.
Mitch membuka bagasi Hondanya. Tubuh John Knox masih ter-

bungkus di dalam kain terpal lusuh.
Kecelakaan di loteng itu rasanya telah terjadi lama sebelum ini,

di dalam sebuah kehidupan lain.
Ia kembali ke garasi pertama, menghidupkan mesin Expedition,

dan memindahkannya ke ruang kosong di dalam garasi kedua.
Setelah memindahkan Hondanya untuk diparkir di sebelah

mobil Buick, ditutupnya pintu besar garasi itu.
Dengan jijik ia bergumul dengan tubuh yang sulit diatur itu

untuk mengeluarkannya dari bagasi Honda. Sementara mayat ter-
sebut tergeletak di lantai garasi, Mitch menggulingkannya keluar
dari kain terpal.

Proses pembusukan yang parah belum mulai menggerogoti
mayat itu. Namun ia mengeluarkan bau manis-asam mengancam
yang ingin segera Mitch hindari.

Sang angin meratap di jendela-jendela kecil tinggi garasi itu, se-
olah berselera terhadap hal-hal yang menyeramkan dan mengem-
buskan dirinya sendiri jauh-jauh melintasi dunia untuk melihat Mitch
melakukan pekerjaan yang mengerikan itu.

Ia merasa semua kegiatan seret-menyeret tubuh yang sejak tadi
ia lakukan ini semestinya memiliki nuansa komedi satir, terutama
mengingat Knox yang kaku dan luar biasa sulit untuk ditangani.
Namun saat ini, ia tengah menderita gangguan defisit tawa yang
serius.

Setelah memuat Knox ke dalam mobil Buick dan menutup pintu
belakangnya, ia melipat kain terpal tersebut dan memasukkannya ke
dalam bagasi Honda. Nantinya ia akan membuangnya di tempat
pembuangan sampah atau di dalam tong sampah orang tak dikenal.

Ia tidak ingat pernah merasa seletih ini: secara fisik, mental,
emosional. Kedua matanya terasa terbakar, sendi-sendinya setengah

/ 266 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

meleleh, ototnya matang termasak dan cukup lunak untuk rontok
dari tulangnya.

Mungkin gula dan kafein di dalam batang-batang Hershey itu
mencegah mesinnya supaya tidak mogok. Rasa takut juga terus
mengisinya dengan bahan bakar. Namun yang paling menjaga roda-
nya tetap berputar adalah bayangan akan Holly di dalam tangan
monster-monster itu.

Sampai maut memisahkan kita adalah komitmen yang ter-
nyatakan dalam sumpah mereka. Namun bagi Mitch kehilangan
Holly tidak akan membuatnya terbebas dari ikatan sumpah itu.
Komitmen itu akan bertahan. Sisa hidupnya akan dihabiskan dalam
penantian yang sabar.

Ia menyusuri gang menuju jalan, kembali ke mobil Chrysler
Windsor, dan mengendarainya ke dalam garasi kedua. Ia
memarkirnya di samping mobil Expedition dan menutup pintu
garasi dengan menggesernya ke bawah.

Ia memeriksa jam tangannya—4: 09.
Dalam waktu sembilan puluh menit, mungkin lebih lama lagi,
mungkin lebih cepat, angin yang gusar akan mengembuskan senja
dari arah timur. Dikarenakan debu yang terlontar tinggi ke atmosfer,
cahaya yang pertama menyembul akan berwarna merah jambu, dan
dengan cepat tersapu angin melintasi langit, memudar menjadi
warna langit yang lebih matang saat tertiup menuju laut.
Sejak bertemu Holly, ia menyapa tiap hari dengan harapan
besar. Hari ini berbeda.
Ia kembali ke rumah dan mendapati Anson terjaga di dalam
ruang cuci, dengan suasana hati yang buruk.

/ 267 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

44

GGORESAN DI TELINGA ANSON TELAH MENGERING TERTUTUP, DAN PANAS
tubuh dengan cepat mengeringkan darah yang tadinya menetes di
pipi dan lehernya.
Sosok beruangnya yang tampan tampak mengeras, seolah
pencemaran genetis memasukkan DNA serigala dalam jumlah besar
ke dalam wajahnya. Rahang mencengkeram begitu kencang se-
hingga otot-otot wajahnya mengejang, mata meleleh dengan
kemurkaan, Anson duduk dalam diam yang menggelegak.
Angin tidak terdengar keras di sini. Sepotong pipa angin meng-
hantarkan desahan dan bisikan dari luar ke dalam mesin pengering,
sehingga seolah sesosok arwah penasaran menghantui mesin itu.
Mitch berkata, “Kau akan membantuku mendapatkan Holly
kembali dalam keadaan hidup.”
Pernyataan tersebut tidak memperoleh persetujuan maupun
penolakan, hanya tatapan mendidih.
“Mereka akan menelepon dalam waktu tujuh setengah jam
lebih sedikit dengan instruksi cara pengiriman uangnya.”
Bertentangan dengan yang seharusnya terjadi, tertambat ke
kursi, terbelenggu, Anson justru tampak lebih besar dari sebelum-
nya. Borgol menekankan kekuatan fisiknya, dan tampaknya seakan-

/ 268 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

akan, seperti tokoh dalam dongeng, jika ia mencapai puncak
kemurkaan, ia akan mampu memutus ikatannya seolah itu hanyalah
benang.

Saat Mitch tidak ada, Anson mencoba dengan tekad kuat untuk
merenggut kursi supaya terlepas dari mesin cuci. Kaki besi kursi itu
bergeser dan bergemeretak di atas ubin, meninggalkan goresan yang
memperlihatkan intensitas usahanya yang sia-sia. Mesin cuci pun tak
lagi sejajar dengan mesin pengeringnya.

“Kau bilang kau bisa mengumpulkan uangnya lewat telepon,
lewat komputer,” Mitch mengingatkannya. “Kau bilang tiga jam,
paling lama.”

Anson meludah di lantai di antara mereka.
“Jika kau punya delapan juta, kau bisa menyisihkan dua juta
untuk Holly. Saat semua ini selesai, kau dan aku tidak akan pernah
saling bertemu lagi. Kau bisa kembali ke kehidupan kotor yang telah
kau ciptakan untuk dirimu sendiri.”
Jika Anson mengetahui bahwa Mitch telah tahu mengenai
Daniel dan Kathy yang tewas di dalam ruang pembelajaran, tidak
akan ada cara untuk memaksanya bekerja sama. Ia akan mengira
Mitch telah membersihkan bukti-bukti yang ia tanam dan meng-
arahkan hukum pada pelaku kejahatan yang sesungguhnya.
Selama ia mengira pembunuhan itu belum diketahui, Anson
dapat berharap bahwa kerja sama akan mengarah pada saat Mitch
akan membuat kesalahan yang akan memutarbalikkan keberuntun-
gan mereka berdua.
“Campbell tidak melepaskanmu begitu saja,” kata Anson.
“Tidak.”
“Jadi … bagaimana?”
“Membunuh dua orang itu.”
“Kau?”
“Sekarang aku harus hidup dengan perbuatan itu.”

/ 269 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

“Kau bunuh Vosky dan Creed?”
“Aku tidak tahu nama mereka.”
“Ya, itu nama mereka.”
“Karena kau,” kata Mitch.
“Vosky dan Creed? Itu tidak masuk akal.”
“Kalau begitu Campbell pasti telah melepaskanku.”
“Campbell tidak akan pernah melepaskanmu.”
“Jadi percayai saja apa yang kau mau.”
Dari bawah alis yang menaungi, Anson mengamatinya dengan
tatapan masam. “Dari mana kau mendapatkannya—alat Taser itu?”
“Vosky dan Creed,” Mitch berbohong.
“Kau mengambilnya begitu saja dari mereka, hah?”
“Seperti yang kubilang padamu—aku mengambil semua dari
mereka. Sekarang aku akan memberimu waktu beberapa jam untuk
memikirkan semuanya.”
“Kau boleh mendapatkan uangnya.”
“Bukan itu yang aku ingin kau pikirkan.”
“Kau bisa mendapatkannya, tapi aku punya beberapa syarat.”
“Kau tidak boleh membuat aturannya,” kata Mitch.
“Itu dua juta dolar milikku.”
“Bukan. Sekarang milikku. Aku pantas mendapatkannya.”
“Hei, tenang saja, oke?”
“Jika kau adalah mereka, kau akan memerkosanya lebih dulu.”
“Hei, tahu tidak, itu hanya sesuatu yang aku katakan tanpa
berpikir.”
“Jika kau adalah mereka, kau akan membunuhnya tapi
memerkosanya lebih dulu.”
“Itu hanya sebatas perkataan saja. Lagipula aku bukan mereka.”
“Bukan, kau memang bukan mereka. Kau adalah penyebab
adanya mereka.”
“Salah. Hal-hal seperti ini biasa terjadi. Terjadi begitu saja.”

/ 270 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

“Tanpamu, ini takkan terjadi padaku.”
“Jika kau ingin melihatnya seperti itu, ya memang akan tampak
seperti itu.”
“Inilah yang perlu kau pikirkan sekarang—siapa aku sekarang.”
“Kau ingin aku memikirkan siapa dirimu?”
“Tidak ada lagi fratello piccolo. Hah? Kau mengerti?”
“Tapi kau memang adik kecilku.”
“Jika kau memandangku seperti itu, kau akan melakukan tipu
muslihat bodoh yang dulu akan berhasil padaku. Tetapi aku tidak
akan memercayainya lagi sekarang.”
“Jika kita bisa menyepakati sesuatu, aku tidak akan main-main.”
“Kita sudah membuat kesepakatan.”
“Hei, kau harus memberiku keringanan.”
“Supaya kau bisa menggantungku dengannya?”
“Bagaimana kesepakatan bisa berhasil tanpa paling tidak sedikit
rasa percaya?”
“Kau duduk saja di sini dan pikirkan seberapa cepat kau bisa
mati.”
Mitch mematikan lampu dan melangkah melewati ambang
pintu.
Di dalam ruang cuci yang gelap dan tak berjendela, Anson
berkata, “Apa yang kau lakukan?”
“Memberimu situasi belajar yang terbaik,” kata Mitch, dan
menutup pintunya.
“Mickey?” panggil Anson.
Mickey. Setelah semua yang terjadi, Mickey.
“Mickey, jangan lakukan ini.”
Di wastafel dapur, Mitch mengosok-gosok tangannya, dengan
banyak sabun dan air panas, berusaha menghilangkan ingatan akan
sentuhan mayat John Knox, yang terasa seolah terpateri di kulitnya.
Dari kulkas ia mengeluarkan sebungkus lembaran keju cheddar

/ 271 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

dan sebotol mostar. Ditemukannya sepotong roti dan ia membuat
roti isi keju dingin.

“Aku bisa mendengarmu di luar sana,” Anson berteriak dari
ruang cuci. “Apa yang sedang kau lakukan, Mickey?”

Mitch menaruh roti-isinya di atas piring. Ia menambahkan acar
timun. Dari kulkas ia mengambil sebotol bir.

“Apa gunanya ini, Mickey? Kita sudah sepakat. Ini tidak ada
gunanya.”

Mitch menyandarkan satu lagi kursi dapur di bawah knop pintu
ruang cuci, untuk menahannya.

“Apa itu?” tanya Anson. “Apa yang terjadi?”
Mitch mematikan lampu dapur. Ia beranjak ke atas menuju
kamar tidur Anson.
Setelah meletakkan pistol dan alat Taser di atas nakas, ia duduk
di atas tempat tidur, punggungnya menyandar pada sandaran
kepala yang empuk.
Ia tidak menurunkan penutup tempat tidur perca dari sutra itu.
Ia tidak melepas sepatunya.
Setelah menyantap roti isi dan acar, dan menenggak birnya, ia
menyetel jam radio untuk berbunyi pada pukul 8:30 pagi.
Ia ingin Anson memiliki waktu untuk berpikir, namun ia
melakukan istirahat empat jam ini terutama karena daya pikirnya
telah melambat akibat kelelahan. Ia membutuhkan kepala yang
jernih untuk apa yang menanti selanjutnya.
Mengamuk di atas atap, memukuli jendela, berbicara dengan
suara liar segerombolan orang yang marah, sang angin seperti
mencemoohnya, menjanjikan bahwa setiap rencananya akan
berakhir dalam kekacauan.
Itu Santa Ana, angin kering yang merampas kelembaban dari
tumbuh-tumbuhan di tebing-tebing yang di sekelilingnya banyak
komunitas California selatan dibangun, mengubah tumbuh-tumbuhan

/ 272 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

lebat itu menjadi rabuk. Seorang penyulut api biasa melemparkan
kain yang terbakar, yang lain menggunakan pemantik rokok, yang
lainnya menyalakan korek api—dan selama berhari-hari acara beri-
ta televisi akan dipenuhi kebakaran.

Tirai-tirai tertutup, dan saat ia mematikan lampu, selimut ke-
gelapan meliputinya. Ia tidak menggunakan satu pun lampu malam
milik Anson.

Wajah cantik Holly menyusup ke dalam benaknya, dan ia
berkata keras-keras, “Tuhan, tolong beri aku kekuatan dan kebijak-
sanaan untuk membantunya.”

Ini pertama kali dalam hidupnya ia berbicara pada Tuhan.
Ia tidak membuat janji untuk menjadi saleh atau melakukan
amal. Menurutnya bukan seperti itu caranya. Kau tidak bisa mem-
buat kesepakatan dengan Tuhan.
Dengan hari paling penting dalam hidupnya segera menjelang,
ia tidak mengira akan bisa tidur. Namun ia terlelap.

/ 273 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

45

PPAKU ITU MENANTI.
Holly duduk dalam gelap, mendengarkan angin, meraba-raba
medalion Santo Christopher.
Ia menyingkirkan kaleng Pepsi tanpa meminum setengah yang
tersisa. Ia tidak mau harus menggunakan pispot itu lagi. Paling tidak
bukan saat penjaga yang bertugas adalah si brengsek dengan tangan-
tangan putih tak berbulu.
Bayangan akan laki-laki itu mengosongkan pispotnya membuat-
nya merinding. Sekadar memintanya melakukan itu akan men-
ciptakan keintiman yang takkan tertahankan.
Sementara ia meraba-raba medalion itu dengan tangan kirinya,
tangan kanannya turun ke perutnya. Pinggangnya ramping, perut-
nya datar. Anak itu tumbuh di dalam dirinya, sebuah rahasia, sama
intimnya dengan sebuah mimpi.
Mereka bilang jika kau mendengarkan musik klasik saat sedang
mengandung, anakmu akan punya IQ lebih tinggi. Saat bayi, ia akan
menangis lebih sedikit dan menjadi lebih ceria.
Mungkin itu benar. Kehidupan ini rumit dan misterius. Sebab
dan akibat tidak selalu jelas. Para fisikawan kuantum berkata
terkadang akibat terjadi sebelum sebab. Holly pernah menonton

/ 274 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

acara berdurasi satu jam mengenai hal itu di Discovery Channel. Ia
tidak begitu memahaminya; dan para ilmuwan yang menjelaskan
berbagai fenomena tersebut mengaku tidak bisa menjelaskannya,
hanya bisa mengamati.

Ia menggerakkan tangannya membuat lingkaran-lingkaran kecil
di atas perut, berpikir betapa indahnya, betapa manisnya jika sang
bayi membuat sedikit gerakan yang dapat ia rasakan. Tentu saja, ia
masih berupa segumpal sel-sel pada tahap ini, belum mampu mem-
berikan tendangan menyapa Halo, Mama. ...

Namun bahkan sekarang, potensinya yang utuh sudah ada di
dalam sana, sesosok mungil di dalam cangkang tubuhnya, seperti
sebutir mutiara tumbuh perlahan tapi pasti di dalam tiram, dan
semua yang ia lakukan akan berpengaruh terhadap penumpang
kecilnya itu. Tak ada lagi minum anggur saat makan malam. Harus
banyak mengurangi minum kopi. Melakukan olahraga teratur tapi
tidak berlebihan. Menghindari penculikan lain.

Santo Christopher, yang merupakan pelindung anak-anak,
membuatnya berpikir kembali mengenai paku itu saat ia menyusuri
cetakan gambarnya dengan ujung jari tanpa melihat.

Mungkin ia tidak rasional, menanggapi pemikiran—bahwa bayi
belajar di dalam rahim—itu terlalu serius. Namun sepertinya jika
saat sedang hamil ia menghunjamkan paku ke dalam pembuluh nadi
leher seorang laki-laki atau menusuk mata sampai ke otaknya, insi-
den itu pasti akan berpengaruh terhadap sang bayi.

Emosi yang sangat kuat—lagi-lagi menurut Discovery Channel—
membuat otak memerintahkan pelepasan aliran deras hormon dan
zat kimia lain ke dalam darah. Gejolak untuk membunuh tam-
paknya bisa dianggap sebagai emosi kuat.

Jika terlalu banyak kafein di dalam darah bisa membahayakan
bayi dalam kandungan, aliran deras enzim ibu yang seorang pem-
bunuh tentu tidak diinginkan. Tentu saja ia bermaksud meng-

/ 275 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

gunakan paku itu pada orang jahat, orang yang sangat jahat, tapi
sang bayi tidak akan tahu kalau sang korban bukan orang baik-baik.

Bayi itu tidak akan lahir dengan kecenderungan membunuh
hanya karena satu insiden pembelaan diri yang bengis. Namun begi-
tu, Holly terus-menerus memikirkan apa yang sebaiknya ia lakukan
dengan paku itu.

Kecemasan irasional ini mungkin sebuah simtom kehamilan,
seperti mual-mual di pagi hari, yang belum ia alami sampai
sekarang, atau seperti mengidam es krim cokelat dan acar.

Kehati-hatian juga berperan dalam membuatnya memikirkan kem-
bali rencana menggunakan paku itu. Saat kau berurusan dengan orang-
orang seperti para penculik itu, akan lebih baik jika kau tidak melawan
kecuali kau yakin bisa melakukan penyerangan itu dengan berhasil.

Jika kau berusaha menghunjamkan paku ke mata seseorang na-
mun justru menusuk hidungnya, kau akan berhadapan dengan seorang
penjahat psikopat murka yang tertusuk hidungnya. Itu tidak bagus.

Ia masih meraba-raba medalion Santo Christopher, mempertim-
bangkan baik-buruknya melawan penjahat-penjahat keji dengan
hanya menggunakan paku sepanjang tiga inci, saat perwakilan dari
Dewan Turis New Mexico datang kembali.

Ia mendekat di belakang senter yang lensanya setengah ter-
tutup, sama seperti sebelumnya, dan masih punya sepasang tangan
seorang pemain piano dari Neraka. Ia berlutut di hadapannya dan
menaruh senternya di lantai.

“Kau suka medalion itu,” katanya, terdengar senang menyak-
sikan Holly mengelus benda itu di antara jemarinya seolah itu
adalah kalung rosario.

Naluri mendorong Holly ikut bermain mengikuti keanehan laki-
laki itu. “Sentuhannya terasa ... menyenangkan.”

“Anak perempuan di dalam peti mati itu mengenakan gaun
putih sederhana dengan renda murahan terpasang di kerah dan

/ 276 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

mansetnya. Ia tampak sangat damai.”
Ia telah menggigiti semua serpihan kulit yang terlepas dari

bibirnya yang pecah-pecah. Bibirnya tampak berbercak-bercak
merah dan tampak perih, bengkak.

“Ia memakai bunga gardenia di rambutnya. Saat kami membuka
tutup petinya, harum gardenia yang tertahan di dalamnya benar-
benar semerbak.”

Holly memejamkan mata untuk menghindari tatapannya.
“Kami mengambil medalion dan patung Cinderellanya ke
sebuah tempat dekat Angel Fire, New Mexico, di mana terdapat
pusaran air.”
Rupanya, ia mengira Holly tahu apa yang ia maksud dengan
pusaran air.
Suaranya yang lembut menjadi lebih lembut, dan nyaris muram,
saat ia menambahkan, “Aku membunuh mereka berdua saat mereka
tidur.”
Untuk sesaat, Holly mengira pernyataan itu mengacu pada
pusaran air di Angel Fire, New Mexico, dan ia berusaha mema-
haminya dalam konteks itu. Saat menyadari maksud lelaki itu, ia
menyalangkan matanya.
“Mereka berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi pada John
Knox, tapi paling tidak salah satu dari mereka pasti tahu, itu pasti,
dan mungkin malah keduanya.”
Di dalam sebuah ruangan di dekatnya terdapat dua laki-laki
mati. Ia tidak mendengar suara tembakan. Mungkin ia menggorok
tenggorokan mereka.
Ia dapat membayangkan kedua tangannya yang pucat tak
berbulu menggunakan sebilah pisau cukur lurus dengan keanggunan
seorang pesulap yang menggulirkan koin-koin di atas buku jarinya.
Holly telah terbiasa dengan belenggu di pergelangan kakinya,
terhadap rantai yang menghubungkannya dengan cincin besi di

/ 277 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

lantai. Namun mendadak kesadaran yang tajam datang kembali
padanya, bahwa bukan saja ia terpenjara di dalam ruangan tak
berjendela, namun ruang geraknya pun terbatas pada bagian
ruangan yang dimungkinkan rantai itu untuk ia capai.

Laki-laki itu berkata, “Aku pasti sudah akan menjadi yang berikut-
nya, dan mereka pasti akan melakukan pembagian dua arah.”

Lima orang telah merencanakan penculikannya. Hanya tinggal
satu yang tersisa.

Jika ia menyentuhnya, tak ada seorang pun yang akan menang-
gapi teriakannya. Tinggal mereka berdua sekarang.

“Apa yang terjadi sekarang?” tanya Holly, dan langsung
berharap ia tidak menanyakan itu.

“Aku akan bicara dengan suamimu tengah hari nanti, seperti
yang dijadwalkan. Anson pasti telah menyediakan uangnya. Setelah
itu terserah padamu.”

Holly berusaha menguraikan kalimat ketiganya, namun itu
bagaikan buah lemon kering yang tidak bisa diperas sarinya. “Apa
maksudmu?”

Alih-alih menjawab pertanyaannya, ia berkata, “Sebagai bagian
dari festival gereja, ada karnaval kecil yang datang ke Penasco, New
Mexico, pada bulan Agustus.”

Holly memiliki pemikiran gila bahwa jika ia merenggut topeng
ski rajut itu dari wajahnya, tidak akan ada bagian-bagian wajah lain
selain mata berwarna biru beryl dan mulut bergigi kuning dan bibir
yang bengkak. Tak ada alis, hidung, telinga, kulitnya semulus dan
serata kain vinil putih.

“Hanya bianglala dan beberapa wahana lain, beberapa per-
mainan—dan tahun lalu ada seorang peramal.”

Tangannya melambai ke atas untuk menjelaskan bentuk
bianglala itu namun kemudian bertengger di atas pahanya sendiri.

“Peramal itu memanggil dirinya sendiri Madame Tiresias, tapi

/ 278 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

tentu saja itu bukan nama aslinya.”
Holly meremas medalionnya dengan begitu erat dalam satu ta-

ngan sampai buku jarinya terasa nyeri dan gambar sang Santo yang
timbul itu tak diragukan lagi pasti tercetak pada telapak tangannya.

“Madame Tiserias adalah peramal gadungan, tapi anehnya, ia
punya kekuatan yang ia sendiri tidak sadari.”

Ia berhenti setelah setiap kalimat, seolah apa yang ia katakan,
maknanya begitu dalam sehingga ia ingin Holly memiliki waktu
untuk meresapinya.

“Ia tidak harus menjadi peramal gadungan jika bisa mengenali
siapa dirinya sesungguhnya, dan aku berniat menunjukkan itu
padanya tahun ini.”

Berbicara tanpa getaran di dalam suaranya membutuhkan kon-
trol diri, namun Holly membawanya kembali pada pertanyaan yang
tidak mau ia jawab: “Apa maksudmu—setelah itu terserah padaku?”

Saat ia tersenyum, sebagian mulutnya menghilang dari celah
horisontal di topengnya. Ini membuat senyumnya tampak licik dan
penuh arti, seolah tidak ada rahasia yang aman darinya.

“Kau tahu apa maksudku,” katanya. “Kau bukan Madame
Tirerias. Kau memiliki pemahaman penuh akan dirimu sendiri.”

Holly merasa jika ia menyangkal pernyataan tegasnya itu, ia akan
menguji kesabarannya dan mungkin membuatnya marah. Suara pelan
dan gerak-geriknya yang lembut adalah bulu domba. Dan Holly tidak
ingin membangkitkan sang serigala di balik bulu domba itu.

“Kau telah memberiku begitu banyak hal untuk direnungkan,”
kata Holly.

“Aku tahu itu. Selama ini kau hidup di belakang tirai, dan
sekarang kau tahu bukan saja ada jendela di baliknya, namun juga
sebentang dunia baru di luar sana.”

Khawatir satu kata yang tidak tepat akan menghancurkan pe-
sona yang dihamparkan sang pembunuh pada dirinya sendiri, Holly

/ 279 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

sekadar berkata, “Ya.”
Laki-laki itu bangkit berdiri. “Kau masih punya beberapa jam

untuk membuat keputusan. Kau butuh sesuatu?”
Sebuah pistol, pikir Holly, namun ia berkata, “Tidak.”
“Aku tahu apa yang akan menjadi keputusanmu, tapi kau harus

mencapainya sendiri. Kau pernah ke Guadalupita, New Mexico?”
“Tidak.”
Senyumnya melengkung di balik celah topeng hitam itu. “Kau

akan pergi ke sana, dan kau akan takjub.”
Ia mengikuti pancaran sinar senternya, meninggalkan Holly

sendirian di dalam gelap.
Perlahan Holly menyadari angin masih berembus kencang. Sejak

laki-laki tadi mengatakan padanya ia membunuh para penculik yang
lain, angin telah menghilang dari kesadarannya.

Selama beberapa saat, ia hanya mendengar suara laki-laki itu.
Suaranya yang meliuk-liuk, menjebak.

Ia bahkan tidak mendengar suara jantungnya sendiri, namun ia
mendengarnya sekarang, dan juga merasakannya, mengguncang
kungkungan tulang rusuk yang digedornya.

Sang bayi, segumpal kecil sel-sel, sekarang bermandikan hor-
mon-hormon reaksi “melawan atau melarikan diri” yang diperin-
tahkan otaknya untuk dilepaskan ke dalam darah. Mungkin itu tidak
terlalu jelek. Mungkin itu bahkan bagus. Mungkin terendam di
dalam genangan akan membuat Bayi Rafferty, perempuan atau laki-
laki, lebih tangguh daripada jika ia tidak mengalami ini.

Ini adalah dunia yang semakin membutuhkan ketangguhan dari
orang-orang baik.

Menggunakan medalion Santo Christophernya, Holly mulai
menggarap dengan tekun paku keras kepala itu.

/ 280 /

www.facebook.com/indonesiapustaka Bagian Tiga

Sampai Maut
Memisahkan Kita

/ 281 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

46

SSUARA WEKER MEMBANGUNKAN MITCH PADA PUKUL SETENGAH SEMBILAN,
dan angin yang mengganggu mimpinya masih mengguncang-
guncang dunia nyata.
Ia duduk di tepi tempat tidur untuk sesaat, menguap, meman-
dangi punggung kedua tangannya, telapak tangannya. Setelah apa
yang mereka lakukan malam sebelumnya, semestinya mereka ter-
lihat berbeda dari bagaimana mereka selalu terlihat sebelumnya.
Namun ia tak dapat melihat perubahan apa pun di kedua tangan-
nya itu.
Melewati pintu lemari pakaian yang bercermin, ia melihat
pakaiannya tidak kusut terlalu parah. Ia telah terbangun dalam
posisi yang sama dengan saat ia tertidur; dan ia pasti tidak bergerak
sama sekali selama empat jam.
Di dalam kamar mandi, menggeledah laci-laci, ia menemukan
beberapa sikat gigi yang masih baru. Ia membuka satu dan
memakainya, kemudian bercukur menggunakan pisau cukur listrik
milik Anson.
Membawa pistol dan alat Tasernya, ia turun ke dapur.
Kursi masih terjepit di bawah kenop pintu ruang cuci. Tidak ada
suara yang terdengar dari dalam sana.

/ 282 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

Ia memecah tiga telur, membumbuinya dengan saus Tabasco,
membuat telur orak-arik, menaburi keju Parmesan di atasnya, dan
memakannya bersama dua lembar roti bakar bermentega dan se-
gelas jus jeruk.

Sesuai kebiasaan, ia mulai mengumpulkan piring-piring untuk
mencucinya, namun kemudian menyadari betapa konyolnya men-
jadi seorang tamu yang tahu diri dalam situasi seperti ini.
Ditinggalkannya piring-piring kotor itu di atas meja.

Saat ia membuka pintu ruang cuci dan menyalakan lampunya,
ia mendapati Anson terborgol seperti sebelumnya, bermandikan
keringat. Ruangan itu tidak terlalu panas.

“Kau sudah memikirkan siapa aku?” tanya Mitch.
Anson tak lagi tampak gusar. Ia duduk merosot di kursinya dan
menundukkan kepalanya yang kokoh. Secara fisik ia tidak tampak
lebih kecil; tapi sedikit banyak ia tampak menyusut.
Saat sang kakak tidak menjawab, Mitch mengulangi pertanyaan-
nya: “Kau sudah memikirkan siapa aku?”
Anson mengangkat kepalanya. Kedua matanya merah darah,
namun bibirnya pucat. Butiran-butiran keringat berkerlap-kerlip di
pangkal janggutnya.
“Keadaanku benar-benar buruk di sini,” ia mengeluh dengan
suara yang tidak pernah ia gunakan sebelumnya, suara merengek
dan mengandung nada sakit hati yang menandakan ia merasa men-
jadi seorang korban.
“Sekali lagi. Kau sudah memikirkan siapa aku?”
“Kau adalah Mitch, tapi kau bukan Mitch yang aku kenal.”
“Itu sebuah permulaan.”
“Ada bagian dari dirimu sekarang yang ... aku tidak tahu siapa
dirimu.”
“Aku seorang suami. Aku menanam. Memelihara.”
“Apa maksudnya itu?”

/ 283 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

“Aku tidak mengharapkan kau untuk mengerti.”
“Aku harus ke kamar mandi.”
“Silakan.”
“Aku kebelet. Aku benar-benar harus pipis.”
“Kau takkan membuatku tersinggung.”
“Maksudmu di sini?”
“Akan berantakan namun nyaman.”
“Jangan lakukan ini padaku, bro.”
“Jangan panggil aku bro.”
Anson berkata, “Kau masih adikku.”
“Secara biologis.”
“Ya ampun, ini tidak benar.”
“Ya, memang.”
Kaki-kaki kursi itu telah mengelupas jauh lebih banyak lapisan
ubin. Dua ubin retak.
“Di mana kau menyimpan uang tunaimu?’ tanya Mitch.
“Aku tidak akan mengambil harga dirimu seperti ini.”
“Kau menyerahkanku pada pembunuh.”
“Aku tidak mempermalukanmu sebelumnya.”
“Kau bilang kau akan memerkosa istriku dan membunuhnya.”
“Kau masih terpaku pada itu? Aku menjelaskan apa maksudku.”
Ia telah berjuang begitu keras untuk melepaskan kursi dari mesin
cuci sampai kabel oranye tebal itu mencuil potongan besi mesin cuci
di salah satu sudutnya.
“Di mana kau menyimpan uang tunaimu, Anson?”
“Aku punya, aku tidak tahu, beberapa ratus dolar dalam dom-
petku.”
“Aku tidak bodoh. Jangan perdayai aku.”
Suara Anson pecah. “Ini gila-gilaan sakitnya.”
“Apa yang sakit?”
“Lenganku. Bahuku serasa terbakar. Biarkan aku berubah posisi.

/ 284 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

Borgol tanganku di depan. Ini penyiksaan.”
Nyaris memanyunkan bibirnya, Anson tampak seperti anak kecil

bertubuh bongsor. Anak kecil dengan otak reptil dan perhitungan
berdarah dingin.

“Mari kita bicarakan uang tunai itu terlebih dulu,” kata Mitch.
“Kau pikir ada uang tunai, uang tunai dalam jumlah banyak? Itu
tidak ada.”
“Jika aku tidak mengirim uangnya, aku tidak akan pernah ber-
temu Holly lagi.”
“Mungkin saja. Mereka tidak mau kau menangis mengadu ke
polisi.”
“Mereka tidak akan mengambil risiko Holly mengenali mereka
di pengadilan.”
“Campbell bisa memaksa mereka untuk menghentikan semua
ini.”
“Dengan cara memukuli ibu mereka, memerkosa saudara
perempuan mereka?”
“Kau ingin mendapatkan Holly kembali atau tidak?”
“Aku membunuh dua antek-anteknya. Sekarang ia masih akan
membantuku?”
“Mungkin saja. Ia akan punya rasa hormat padamu sekarang.”
“Itu tidak akan berlaku dua arah.”
“Ya ampun, kau harus fleksibel dalam menghadapi orang-
orang.”
“Aku akan mengatakan pada mereka bahwa pertukaran itu
harus dilakukan secara langsung menggunakan uang tunai.”
“Kalau begitu itu tidak akan terjadi.”
“Kau punya uang tunai di suatu tempat,” Mitch mendesak.
“Uang menghasilkan bunga, dividen. Aku tidak menyimpannya
di dalam kasur.”
“Kau membaca semua dongeng bajak laut itu.”

/ 285 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

“Lalu?”
“Kau mengidentifikasikan dirimu dengan para bajak laut itu,
menganggap mereka sangat keren.”
Meringis seolah kesakitan, Anson berkata, “Tolonglah, biarkan
aku pergi ke kamar mandi. Aku benar-benar menderita di sini.”
“Sekarang kau adalah seorang bajak laut. Kau bahkan punya
kapalmu sendiri, berencana untuk menjalankan bisnismu dari laut.
Bajak laut tidak menyimpan uang mereka di bank. Mereka suka
menyentuhnya, memandanginya. Mereka menguburnya di banyak
tempat supaya mereka dapat mencapainya dengan mudah saat
nasib mereka berubah.”
“Mitch, tolonglah, kandung kemihku kejang-kejang.”
“Uang yang kau dapat dari pekerjaan konsultasi—ya, itu masuk
ke dalam bank. Tapi uang dari pekerjaan-pekerjaan yang—
bagaimana kau menyebutnya—‘lebih bersifat kriminal’, seperti
pekerjaan apalah itu yang kau lakukan dengan orang-orang ini dan
kemudian mencurangi mereka dalam pembagiannya, uang itu tidak
masuk ke dalam bank. Kau tidak membayar pajak dari penghasilan
itu.”
Anson tak berkata apa pun.
“Aku tidak akan menggiringmu dengan paksa ke kantormu dan
menonton sementara kau menggunakan komputer untuk
memindah-mindahkan dana, mengatur pengiriman uang. Kau lebih
besar dariku. Kau putus asa. Aku tidak akan memberimu kesempatan
untuk membalikkan keadaan. Kau tetap di kursi itu sampai semua ini
berakhir.”
Dengan menuduh, Anson berkata, “Aku selalu ada untukmu.”
“Tidak selalu.”
“Saat kecil, maksudku. Aku selalu ada untukmu saat kita kecil.”
“Sebenarnya,” kata Mitch, “kita saling ada untuk satu sama
lain.”

/ 286 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

“Kita memang begitu. Itu benar. Saudara sejati. Kita bisa kembali
menjadi seperti itu,” Anson meyakinkannya.

“Ya? Bagaimana kita kembali menjadi seperti itu?”
“Aku tidak berkata itu akan mudah. Mungkin kita mulai dengan
beberapa kejujuran. Aku mengacau, Mitch. Mengerikan apa yang
kulakukan padamu. Aku memakai obat-obatan, dan itu membuat
otakku kacau.”
“Kau tidak memakai obat-obatan. Jangan salahkan itu. Di mana
uang tunainya?”
“Bro, aku bersumpah padamu, uang kotor itu kemudian dicuci.
Akhirnya masuk ke dalam bank juga.”
“Aku tidak percaya itu.”
“Kau bisa terus menggerusku, tapi itu tidak akan mengubah apa
yang sesungguhnya.”
“Bagaimana jika kau memikirkannya lebih lama lagi?” Mitch
menganjurkan.
“Tidak ada apa-apa lagi untuk dipikirkan. Itulah kenyataannya.”
Mitch mematikan lampu
“Hei, jangan,” kata Anson sayu.
Melewati ambang pintu, menutup pintu di belakangnya, Mitch
mengurung sang kakak dalam kegelapan.

/ 287 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

47

MMITCH MEMULAI DI LOTENG. SEBUAH PINTU PERANGKAP DI LANGIT-LANGIT
ruang ganti baju yang tersambung dengan kamar tidur utama mem-
beri jalan masuk. Sepotong tangga membuka turun dari pintu itu.
Dua bola lampu temaram menyinari ruangan tinggi itu dengan
tidak memadai, menyingkap jaring laba-laba di sudut-sudut balok
penyangga atap.
Suara napas yang bernafsu, suara mendesis, dan suara terengah-
engah yang lapar muncul di setiap lubang angin, seolah loteng itu
adalah kandang burung kenari dan angin seekor kucing rakus.
Begitulah sifat menggelisahkan dari angin Santa Ana, bahkan
para laba-laba pun dibuat resah olehnya. Mereka bergerak-gerak
dengan gelisah di jaring mereka.
Tidak ada satu pun barang yang disimpan di dalam loteng. Mitch
nyaris mundur kembali, namun tertahan oleh kecurigaan, sebuah firasat.
Ruang kosong ini dialasi dengan kayu tripleks. Anson mungkin
tidak akan menyembunyikan segepok uang di bawah selembar kayu
tripleks yang ditahan dengan enam belas paku. Ia tidak akan bisa
mencapainya dengan cepat dalam keadaan darurat.
Namun begitu, merunduk untuk menghindari balok-balok
penyangga yang lebih rendah, Mitch berjalan ke sana kemari,

/ 288 /

www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband

mendengarkan langkah kakinya yang bergaung. Sebuah perasaan
yang ganjil menguasai dirinya, perasaan bahwa ia tengah berada di
ambang sebuah penemuan.

Perhatiannya tertarik oleh sepotong paku. Paku-paku lain di
lantai itu diketok sampai rapat dengan kayu, namun satu paku
terangkat sekitar seperempat inci.

Ia berlutut di depan paku itu untuk memeriksanya. Kepala
pakunya lebar dan pipih. Menilai dari ukuran kepala dan ketebalan
seperempat inci batangnya yang tampak, paku itu paling tidak tiga
inci panjangnya.

Saat ia menjepit paku itu di antara jempol serta jari telunjuknya
dan berusaha menggoyang-goyangkannya, ia mendapati paku itu
tertanam dengan kuat.

Sebuah perasaan yang luar biasa meliputinya, serupa dengan—
namun berbeda dari—apa yang ia alami saat pertama kali melihat
padang rumput ekor bajing yang menjelma menjadi pusaran air
perak akibat pusaran angin kecil dan sinar bulan.

Mendadak ia merasa begitu dekat dengan Holly sehingga ia
menoleh ke belakang, setengah berharap dia ada di sana. Perasaan
itu tidak memudar, namun terasa semakin kuat, sampai bulu
tengkuknya berdiri.

Ia meninggalkan loteng dan turun menuju dapur. Di dalam laci,
tempat sebelumnya ia menemukan kunci-kunci mobil, terdapat
sekumpulan kecil perkakas yang sering digunakan. Ia memilih se-
batang obeng dan palu cakar.

Dari ruang cuci, Anson berkata, “Apa yang sedang terjadi?”
Mitch tidak menanggapi.
Kembali di loteng, ia menggunakan ujung palu yang bercakar
dan menarik paku tadi. Menggunakan obeng sebagai pengungkit,
mengetok-ngetokkan pegangannya dengan palu, diungkitnya paku
berikutnya seperempat inci dari kayu tripleks, kemudian meng-

/ 289 /

www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ

gunakan cakar palu untuk mencabutnya seperti tadi.
Beberapa laba-laba yang gelisah memetik nada-nada tanpa

suara dari harpa mereka yang mengkilap seperti benang sutra.
Sementara angin tak pernah diam.

Udara dingin yang terasa di belakang lehernya semakin me-
nguat paku demi paku. Saat paku terakhir dicabut, dengan semangat
ia menyingkirkan lembaran kayu tripleks itu.

Ia hanya menemukan balok-balok silang penyangga lantai.
Lapisan-lapisan kaca fiber penyekat mengisi ruang di antara balok-
balok tersebut.

Ia mengangkat kaca fiber itu. Tidak ada peti besi atau buntelan
berbungkus plastik berisi mata uang yang tersembunyi di bawah
penyekat.

Perasaan ganjil tadi telah berlalu, seperti juga perasaan bahwa
entah bagaimana ia tadi berada dekat dengan Holly. Ia duduk
tertegun.

Apa-apaan perasaan itu tadi?
Mengedarkan pandangan ke seluruh loteng, ia tidak merasakan
dorongan untuk melepas lembaran-lembaran tripleks lain.
Penilaian awalnya benar. Khawatir akan kebakaran, jika bukan
untuk alasan lain, Anson tidak akan menyembunyikan banyak uang
di tempat yang ia tidak akan bisa mencapainya dengan cepat.
Mitch meninggalkan laba-laba di dalam kegelapan bersama
angin yang tak surut mencari.
Di dalam ruang ganti utama, setelah menaikkan kembali tangga
lipat dan pintu perangkap itu, ia meneruskan pencariannya. Ia me-
longok di balik pakaian-pakaian yang tergantung, memeriksa setiap
laci untuk menemukan alas rahasia, meraba-raba di bawah setiap
rak dan sepanjang tiap lis dinding untuk mencari tuas tersembunyi
yang mungkin akan menyingkap terbuka sehelai papan di dinding.
Di dalam kamar tidur, ia mengintip ke belakang lukisan-lukisan,

/ 290 /


Click to View FlipBook Version