www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
14
HHANYA BEBERAPA DETIK SAJA BERLALU SEJAK JATUHNYA KARDUS YANG
pertama sampai terdengarnya suara tembakan yang menegaskan
berakhirnya rangkaian peristiwa tersebut. Mitch berdiri terpana tak
percaya lebih lama dibanding waktu yang dibutuhkan oleh kejadian
itu sendiri untuk bergulir.
Keheningan mengguncangnya keluar dari kelumpuhan.
Keheningan di bawah.
Ia bergegas ke tangga, dan di bawah kakinya papan-papan
tangga itu mengeluarkan suara gemuruh menggelegar, seolah mere-
ka menyimpannya dari badai-badai yang dahulu kala telah men-
cambuki pohon-pohon yang darinya mereka dibuat.
Saat Mitch menyeberangi garasi di lantai dasar, melewati bagian
depan truk, melewati Honda yang mesinnya masih hidup, kegembi-
raan bersaing dengan keputusasaan untuk mengendalikan dirinya. Ia
tidak tahu apa yang akan ia temukan, sehingga ia pun tidak tahu apa
yang harus ia rasakan.
Sang pemegang senjata tergeletak menelungkup, kepala dan
bahunya di bawah kereta sorong yang terbalik. Ia pasti telah ter-
hempas ke salah satu tepi kereta sorong itu, membuatnya terbalik
dan menelungkupi dirinya.
/ 91 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
Jatuh dari ketinggian delapan kaki semestinya tidak membuat-
nya bergeming teramat sangat seperti itu.
Terengah-engah namun bukan karena kelelahan fisik, Mitch
menegakkan kereta sorong itu, menggesernya ke samping. Tiap
tarikan napas membawakannya aroma oli mesin, potongan rumput
segar. Saat ia berjongkok di sisi laki-laki itu, ia pun mencium tajam-
nya aroma tembakan yang pahit dan setelah itu manisnya darah.
Digulingkannya mayat tersebut dan ia melihat wajahnya dengan
jelas untuk pertama kalinya. Orang tak dikenal itu berusia per-
tengahan dua puluhan, namun memiliki corak kulit bersih seorang
anak remaja, mata hijau giok, dan bulu mata tebal. Ia tidak tampak
seperti laki-laki yang bisa berbicara tanpa emosi mengenai mutilasi
dan pembunuhan seorang perempuan.
Ia mendarat dengan tenggorokan menghantam bagian pinggir
metal nampan kereta. Hantaman itu tampaknya telah menghancur-
kan pangkal tenggorokan dan mengempiskan batang tenggorokan-
nya.
Lengan kanannya patah, dan tangan kanannya, yang terjepit di
bawah tubuhnya, telah dengan refleks menembakkan pistol. Jari
telunjuknya masih terkait pada lubang pelatuk.
Peluru menembus tepat di bawah tulang dada, membelok ke
atas dan ke sebelah kiri. Pendarahan yang minimal menunjukkan
adanya luka pada jantung, kematian seketika.
Jika tembakan itu tidak langsung membunuhnya, jalan udara
yang gagal pasti sudah akan membunuhnya dengan cepat.
Keberuntungan ini terlalu banyak untuk bisa dianggap sekadar
keberuntungan.
Apa pun itu—keberuntungan atau sesuatu yang lebih baik,
keberuntungan atau sesuatu yang lebih buruk—pada awalnya Mitch
tidak tahu apakah itu sebuah perkembangan yang berguna atau
yang tidak dikehendaki.
/ 92 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Jumlah musuhnya telah berkurang satu. Kegembiraan yang
compang-camping, terkoyak oleh pinggiran tajam balas dendam,
berdenyut di dalam dirinya dan mungkin saja memunculkan tawa
yang tercabik dan usang jika ia tidak langsung menyadari bahwa
kematian itu membuat situasinya semakin rumit.
Saat laki-laki ini tidak melapor balik pada rekan-rekannya, mere-
ka akan meneleponnya. Saat mereka tidak dapat menghubunginya
di telepon, mereka mungkin akan datang mencarinya. Jika mereka
menemukannya sudah mati, mereka akan mengira Mitch telah
membunuhnya, dan tak lama setelah itu jari-jari Holly akan di-
potong satu per satu, setiap puntung akan disundutkan tanpa meng-
gunakan obat bius.
Mitch bergegas ke Honda dan mematikan mesinnya. Ia meng-
gunakan remote control untuk menutup pintu garasi.
Saat bayang-bayang mulai mengepung, ia menghidupkan
lampu.
Suara tembakan tunggal tadi mungkin tidak terdengar oleh siapa
pun. Jika terdengar, Mitch yakin suara itu tidak dikenali sebagai
suara tembakan.
Pada jam ini, para tetangga belum pulang dari tempat kerja
mereka. Beberapa anak mungkin sudah kembali dari sekolah, na-
mun mereka pasti mendengarkan CD atau tenggelam dalam dunia
Xbox, dan suara tembakan yang teredam mungkin akan ditangkap
sebagai bagian dari musik atau perkusi permainan komputer.
Mitch kembali ke mayat itu dan berdiri terpatung meman-
danginya.
Untuk sesaat, ia tak mampu melakukan apa pun lebih lanjut. Ia
tahu apa yang harus dilakukan, namun tak sanggup bertindak.
Ia telah hidup selama hampir dua puluh delapan tahun tanpa
menyaksikan kematian. Sekarang ia telah melihat dua laki-laki
tertembak pada hari yang sama.
/ 93 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
Pikiran-pikiran akan kematiannya sendiri mengusik benaknya,
dan saat ia berusaha menekan pikiran-pikiran tersebut, mereka tak
bisa dikurung. Suara bisikan di telinganya hanyalah suara darahnya
yang mengalir deras, terdorong oleh dayung-dayung jantungnya
yang tengah mengayuh, namun daya khayalnya menyediakan
sayap-sayap gelap yang mengepak di sekeliling benaknya.
Meski ia jijik menggeledah mayat itu, kebutuhan mendesaknya
untuk berlutut di sampingnya.
Dari tangan yang begitu hangat sampai-sampai kematian bisa
jadi hanyalah kepura-puraan, ia melepaskan sebuah pistol dan
ditaruhnya di dalam kereta sorong dekat situ.
Jika kaki celana sebelah kanan laki-laki itu tidak tertarik ke atas
saat ia terjatuh, Mitch tidak akan melihat senjata kedua. Laki-laki itu
membawa pistol revolver bermoncong pendek dalam sebuah
sarung senjata di pergelangan kakinya.
Setelah menaruh revolver itu bersama pistol tadi, Mitch menim-
bang-nimbang apa yang akan dilakukannya dengan sarung pistol
tersebut. Dibukanya penutup Velcronya, dan diletakkannya sarung
itu bersama kedua senjata tadi.
Ia merogoh-rogoh ke dalam saku jaket olahraga laki-laki itu, dan
mengosongkan saku-saku celananya.
Ia menemukan serangkaian kunci—satu untuk mobil, dan ada
tiga lainnya—yang ia timbang-timbang namun kemudian ia kem-
balikan ke saku tempat ia menemukannya. Setelah ragu sejenak, ia
mengambilnya kembali dan menambahkannya ke kereta sorong.
Mitch tidak menemukan apa-apa lagi yang menarik selain
sebuah dompet dan telepon genggam. Dompet itu semestinya berisi
identitas, dan telepon genggamnya mungkin telah diprogram untuk
memutar secara otomatis beberapa nomor, antara lain, nomor
masing-masing kaki tangan laki-laki mati itu.
Jika telepon itu berbunyi, Mitch tidak akan berani menjawab-
/ 94 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
nya. Bahkan jika ia hanya berbicara menggunakan kata-kata bersuku
kata tunggal dan laki-laki di ujung sana untuk sesaat mengira
suaranya adalah suara laki-laki yang sudah mati itu, ia pasti akan
membuat dirinya ketahuan dengan terpeleset berbicara.
Mitch mematikan telepon tersebut. Mereka akan curiga saat
mendapati pesan suara saat menelepon, namun tidak akan ber-
tindak tergesa-gesa berdasarkan kecurigaan semata.
Mengendalikan rasa ingin tahunya, Mitch menyisihkan dompet
dan telepon itu ke dalam kereta sorong. Tugas lain, tugas yang lebih
mendesak, menantinya.
/ 95 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
15
DDARI BAK TRUKNYA, MITCH MENGAMBIL KAIN TERPAL YANG TADINYA
digunakan untuk membungkus potongan-potongan semak bunga
mawar. Duri-durinya tidak bisa menembus kain itu dengan mudah,
seperti yang biasa terjadi pada kain goni.
Jika seandainya salah seorang penculik yang lain datang mencari
laki-laki mati ini, Mitch tidak dapat meninggalkan mayatnya di sini.
Membayangkan mengendarai mobil dengan mayat di dalam
bagasi membuat lambungnya terasa masam. Ia harus membeli
beberapa antasid.
Kain terpal itu telah melemas akibat sering digunakan dan tam-
pak sama retaknya dengan lapisan pada sebuah vas antik. Kendati
tidak anti-tembus air, kain itu cukup tahan terhadap air.
Berhubung jantung sang laki-laki telah berhenti seketika, hanya
ada sedikit darah yang keluar dari lukanya. Mitch tidak mencemas-
kan noda darah.
Ia tidak tahu berapa lama ia harus menyimpan mayat itu di
dalam bagasi mobilnya. Beberapa jam, satu hari, dua hari? Cepat
atau lambat, cairan-cairan lain selain darah akan merembes darinya.
Ia membentangkan kain terpal di atas lantai dan menggulingkan
mayat tersebut ke atasnya. Gelombang rasa jijik menerpanya,
/ 96 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
dibangkitkan oleh pemandangan akan lengan laki-laki mati yang
terkulai itu, bagaimana kepalanya bergoyang-goyang dengan malas.
Mengingat bahaya yang tengah dihadapi Holly, yang meng-
haruskannya untuk tidak berkecut hati bahkan dari tugas-tugas
paling mengerikan sekalipun, Mitch memejamkan mata dan meng-
hela beberapa napas dalam dan perlahan. Ditelannya rasa jijik itu.
Kepalanya yang bergoyang-goyang menunjukkan bahwa leher
laki-laki itu patah. Dengan begitu, ia tewas lewat tiga cara: leher
yang patah, batang tenggorokan yang hancur, dan jantung yang
terkoyak peluru.
Ini tidak mungkin sebuah keberuntungan. Kengerian berlapis
semacam itu tidak mungkin merupakan nasib baik. Menganggapnya
demikian tentu menjijikkan.
Luar biasa, ya. Sebuah insiden yang luar biasa. Dan aneh.
Namun tidak menguntungkan.
Lagipula, ia belum bisa mengatakan kecelakaan itu meng-
untungkan baginya. Mungkin akan dengan mudah terbukti bahwa
itu adalah hasil perbuatannya.
Setelah menggulingkan mayat tersebut ke dalam kain terpal, ia
tidak menyempatkan diri menyelipkan benang tali melalui lubang-
lubangnya dan mengikat bungkusan itu. Kecemasan adalah jam
yang berdetak, jam pasir yang mengalir, dan ia takut akan adanya
gangguan apa pun sebelum pembersihan ini bisa diselesaikan.
Diseretnya mayat berbungkus kain terpal itu ke belakang mobil
Honda. Saat ia membuka bagasi, getaran rasa takut menjalarinya,
pemikiran tak masuk akal bahwa ia akan mendapati laki-laki mati
lain sudah mendiami bagasi itu; namun tentu saja bagasi itu kosong.
Imajinasinya tidak pernah menjadi rawa kegelisahan sebelum-
nya, dan belum pernah mengkhayalkan hal-hal “sakit” sampai
sekarang ini. Ia bertanya-tanya apakah dugaan adanya mayat kedua
mungkin bukan merupakan kilatan fantasi melainkan sesungguhnya
/ 97 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
firasat akan adanya para lelaki mati lain dalam masa depannya yang
menjelang.
Memuat mayat itu ke dalam bagasi ternyata menjadi pekerjaan
melelahkan. Laki-laki itu beratnya kurang dari Mitch, tapi
bagaimanapun juga ia adalah bobot mati.
Jika Mitch bukan laki-laki bertenaga kuat dan pekerjaannya
tidak terus menjaganya dalam kondisi fisik yang bugar, mayat itu
barangkali sudah akan mengalahkannya. Keringat berkilat melapisi
tubuhnya ketika akhirnya ia membanting tutup bagasi dan me-
nguncinya.
Pemeriksaan seksama menunjukkan tidak ada darah di dalam
kereta sorong. Tidak pula di lantai.
Ia mengumpulkan tiang-tiang penyangga yang patah dan
langkan yang runtuh, membawanya keluar dari garasi dan menyem-
bunyikannya di antara tumpukan kayu bakar yang sudah setengah
habis, kayu yang mengisi perapian ruang tamu pada musim dingin
kemarin.
Kembali di dalam garasi sekali lagi, ia menaiki tangga ke arah
loteng dan kembali ke titik naas di ujung gang paling selatan itu.
Penyebab kecelakaan tersebut segera terlihat dengan sendirinya.
Kardus-kardus yang ditumpuk itu banyak yang disegel dengan
plester, tapi ada juga yang diikat menggunakan tali. Leher kunci pas
tadi masih tersangkut di lubang simpul sebuah tali.
Membawa kunci pas di samping namun agak menjauh dari
tubuhnya, sang laki-laki pasti menjerat simpul tali yang menjuntai.
Ia telah meruntuhkan Halloween pada dirinya sendiri.
Mitch menumpuk sebagian besar kardus-kardus yang terjatuh
seperti semula. Ia juga membuat satu deret tumpukan-tumpukan
rendah di depan bagian langkan yang menganga untuk menutupi
kerusakannya.
Jika teman-teman lelaki itu datang mencarinya, tiang-tiang
/ 98 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
penyangga yang terkoyak dan bagian langkan yang menghilang
akan memberi mereka kesan telah terjadi pergumulan.
Celah yang tidak beraturan di langkan itu masih akan terlihat
oleh mereka dari sudut tenggara lantai dasar. Namun begitu, tangga
ada di sudut timur laut dan mereka mungkin tidak akan pernah
berada dalam posisi untuk melihat kerusakan itu.
Meski Mitch sesungguhnya ingin menyalurkan kemarahan de-
ngan membanting alat-alat penyadap elektronik yang diatur di gang
sepanjang dinding barat itu, ia meninggalkannya tetap tak ter-
sentuh.
Saat ia memungut kunci pas yang panjang itu, alat tersebut
terasa lebih berat dari yang ia ingat.
Dalam kesunyian, dalam keheningan, ia bisa merasakan tipu
daya. Merasa diawasi. Merasa dicemooh.
Di dekatnya, laba-laba yang bergelantungan pada jaringnya
pasti dengan sabar mendambakan potongan-potongan santapan
hidup yang ranum. Satu atau dua ekor lalat gendut musim semi pasti
melayang berdengung mendekati jerat-jerat sutra.
Lebih dari sekadar lalat, lebih buruk dari laba-laba, sesuatu
membayangi. Mitch berbalik, namun tampaknya ia sendirian.
Sepotong kebenaran penting disembunyikan darinya, tidak di-
sembunyikan dalam bayang-bayang, bukan di balik hiasan-hiasan
dalam kardus, melainkan disembunyikan terang-terangan tepat di
depan matanya. Ia melihat tapi buta. Ia mendengar namun tuli.
Persepsi luar biasa ini terasa semakin kuat, kian membengkak
sampai menyesakkan dada, sampai memiliki dimensi fisik sehingga
paru-parunya terimpit. Kemudian mereda dengan cepat, meng-
hilang.
Dibawanya kunci pasnya ke bawah dan ia gantungkan pada
tempat semestinya di rak perkakas.
Dari dalam kereta sorong, ia memungut telepon genggam,
/ 99 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
dompet, kunci-kunci, kedua senjata, dan sarung pistol pergelangan
kaki laki-laki itu. Diletakkannya semua itu di kursi penumpang
depan mobil Honda.
Mitch menyetir keluar dari garasi, parkir di samping rumah, dan
masuk sekejap ke dalam untuk mengambil jaket. Ia sedang memakai
kemeja flannel saat itu dan meski malam yang menjelang tidak akan
terlalu dingin untuk memerlukan sebuah jaket, ia tetap saja mem-
butuhkannya.
Saat keluar dari rumah, ia menduga akan mendapati Taggart
tengah menunggunya di samping mobil Honda. Sang detektif tidak
muncul.
Sekali lagi berada di dalam mobil, ia meletakkan jaket olahraga
ringannya di tempat duduk penumpang, menutupi barang-barang
yang ia ambil dari mayat tadi.
Jam dasbor cocok dengan jam tangannya—5:11
Ia menyetir keluar menuju jalan dan berbelok ke kanan, dengan
laki-laki yang tewas tiga kali di dalam bagasi mobilnya dan ke-
ngerian-kengerian yang lebih parah lagi berlarian bebas dalam
benaknya.
/ 100 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
16
DDUA BLOK DARI RUMAHNYA, MITCH MEMARKIR MOBIL DI ATAS TROTOAR. IA
membiarkan mesinnya tetap hidup, jendelanya tertutup dan pintu-
nya terkunci.
Ia tidak dapat mengingat sebelumnya pernah mengunci mobil
saat tengah berada di dalamnya.
Ia melihat sekilas pada kaca spion belakang, mendadak yakin
bagasinya tidak terkunci dengan aman: tutupnya telah menyembul
terbuka, menyajikan mayat yang dibedung itu untuk ditonton.
Bagasinya masih tetap tertutup.
Di dalam dompet laki-laki mati itu terdapat beberapa kartu
kredit dan sebuah surat ijin mengemudi California atas nama John
Knox. Untuk foto SIM-nya, sang pemegang senjata yang tampak
awet muda memamerkan senyum yang sama menawannya dengan
senyum seorang anggota boy band idola remaja.
Knox membawa $585, termasuk lima lembar uang seratus
dolar. Mitch menghitung uangnya tanpa mengeluarkannya dari
bagian penyimpanan uang di dompet.
Tak satu hal pun di dompet itu mengungkap fakta mengenai
profesi, minat, atau pergaulan laki-laki tersebut. Tidak ada kartu
nama, kartu perpustakaan, kartu asuransi kesehatan. Tidak ada foto-
/ 101 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
foto orang tercinta. Tidak ada catatan-catatan pengingat, kartu
jaminan sosial, atau tanda terima.
Menurut keterangan dalam SIM-nya, Knox tinggal di Laguna
Beach. Sesuatu yang berguna mungkin dapat diketahui dengan
memeriksa tempat tinggalnya.
Mitch butuh waktu untuk menimbang-nimbang risiko pergi ke
tempat tinggal Knox. Lagipula, ada orang lain yang perlu ia kunjungi
sebelum telepon jam enam yang telah dijadwalkan itu.
Ia menyimpan dompet, telepon genggam, dan serangkaian
kunci sang laki-laki mati di dalam laci kecil dekat setir. Diselipkannya
revolver dan sarungnya di bawah kursi sopir.
Pistolnya tetap berada di kursi sebelah, di bawah jaket olah-
raganya.
Melewati jalan-jalan pemukiman yang sepi dan berkelok-kelok,
tak menghiraukan batas kecepatan dan bahkan beberapa tanda
berhenti, Mitch tiba di rumah orangtuanya di bagian timur Orange
pada pukul 5:35. Ia memarkir Hondanya di jalan masuk mobil dan
menguncinya.
Rumah indah tersebut bertengger di tingkat kedua dari per-
bukitan yang bertingkat-tingkat, dengan bukit-bukit lain di atasnya.
Jalan dua jalur itu, melandai ke arah daratan yang lebih datar, tidak
memperlihatkan kendaraan mencurigakan yang mungkin mem-
buntuti di belakangnya.
Angin sepoi-sepoi yang lemah terurai dari arah timur. Dengan
ribuan lidah hijau keperakan, pepohonan eucalyptus yang tinggi
saling berbisik satu sama lain.
Mitch menengadah ke arah satu-satunya jendela di ruang pem-
belajaran. Ketika ia berusia delapan tahun, ia pernah menghabiskan
dua puluh hari berturut-turut di sana, dengan daun jendela terkunci
rapat menutupi jendela tersebut.
Penghilangan rangsang sensoris memfokuskan pikiran,
/ 102 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
menjernihkan pikiran. Itulah teori yang melatarbelakangi ruang
pembelajaran yang gelap, senyap, dan kosong.
Ayah Mitch, Daniel, membukakan pintu. Pada usia enam puluh
satu tahun, ia masih tetap laki-laki yang sangat tampan, masih
memiliki semua rambutnya meski warnanya telah berubah putih.
Mungkin karena bagian-bagian wajahnya tampak menonjol,
dalam cara yang menyenangkan,—sempurna jika ia ingin menjadi
seorang aktor panggung—gigi-giginya tampak terlalu kecil.
Semuanya, masing-masing gigi itu, adalah gigi aslinya. Ia sangat di-
siplin dalam hal kebersihan gigi. Diputihkan dengan laser, gigi-gigi
itu berkilau namun tampak kecil, seperti deretan biji jagung putih di
tongkolnya.
Mengerjapkan mata karena kaget dengan cara yang sedikit
terlalu dibuat-buat, ia berkata, “Mitch, Katherine tak pernah cerita
padaku kau menelepon.”
Katherine adalah ibu Mitch.
“Aku tidak menelepon,” Mitch mengaku. “Mudah-mudahan
tidak apa-apa kalau aku mampir begitu saja.”
“Lebih seringnya aku pasti sibuk dengan satu atau lain ke-
wajiban, dan kau akan tidak beruntung. Tapi malam ini aku bebas.”
“Bagus.”
“Walaupun sebenarnya aku memang berharap dapat membaca
selama beberapa jam.”
“Aku tidak bisa tinggal lama,” Mitch meyakinkannya.
Anak-anak dari Daniel dan Katherine Rafferty, yang sekarang
semuanya telah dewasa, memahami bahwa, demi menghormati
kebebasan pribadi orangtua, mereka diharapkan menjadwalkan
kunjungan dan menghindari mampir secara mendadak.
Menyingkir dari pintu, ayahnya berkata, “Masuklah kalau
begitu.”
Di dalam serambi, dengan lantai marmer putihnya, Mitch
/ 103 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
menoleh ke kiri dan kanan pada sejumlah Mitch yang tak terhingga,
bayangan yang saling memantul dari dua cermin besar berkerangka
baja tak berkarat yang saling berhadapan
Ia bertanya, “Apa Kathy ada?”
“Ini malamnya para perempuan pergi keluar,” kata ayahnya.
“Dia, Donna Watson, dan perempuan dari keluarga Robinson itu
sedang pergi ke sebuah pertunjukan atau apa.”
“Tadinya aku berharap bisa bertemu dengannya.”
“Mereka akan pulang larut,” kata ayahnya sambil menutup
pintu. “Mereka selalu pulang larut malam. Mereka saling mengoceh
sepanjang malam. Saat mereka memasuki jalan masuk mobil pun,
mereka masih mengoceh. Kau tahu perempuan Robinson itu?”
“Tidak. Ini pertama kali aku mendengar namanya.”
“Ia menjengkelkan,” kata ayahnya. “Aku tidak mengerti kenapa
Katherine senang menghabiskan waktu bersamanya. Ia seorang ahli
matematika.”
“Aku tidak tahu kalau ahli matematika membuatmu jengkel.”
“Yang ini begitu.”
Orangtua Mitch keduanya doktor dalam bidang psikologi peri-
laku, dosen tetap di UCI*. Orang-orang di dalam lingkungan per-
gaulan mereka kebanyakan berasal dari apa yang baru-baru ini
mulai disebut para akademisi sebagai ilmu humanisme, terutama
untuk menghindari istilah “ilmu lunak”. Di antara kumpulan orang
semacam itu, seorang ahli matematika mungkin akan terasa meng-
ganggu bak kerikil dalam sepatu.
“Aku baru saja membuat Scotch dan soda,” kata ayahnya. “Kau
ingin minum sesuatu?”
“Tidak, terima kasih, Pak.”
“Apa kau baru saja memanggilku pak?”
“Maaf, Daniel.”
* University of California, Irvine—ed.
/ 104 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
“Hubungan biologis semata—“
“—seharusnya tidak memberikan status sosial,” Mitch menyele-
saikan.
Kelima anak keluarga Rafferty, pada ulang tahun ketiga belas
mereka, diharapkan berhenti memanggil orangtua mereka Ayah dan
Ibu, dan mulai menggunakan nama depan mereka. Ibu Mitch,
Katherine, lebih suka dipanggil Kathy, namun ayahnya tidak ber-
sedia dipanggil Danny dan lebih memilih Daniel.
Pada masa mudanya, Dr. Daniel Rafferty memiliki pandangan
kuat perihal cara pengasuhan anak yang benar. Kathy tidak punya
pendapat yang gamblang mengenai bidang itu, namun ia tergugah
minatnya oleh teori-teori Daniel yang tidak biasa dan penasaran
apakah teori-teori tersebut akan terbukti berhasil.
Untuk sesaat, Mitch dan Daniel berdiri di serambi, dan Daniel
tampak tidak yakin bagaimana harus bertindak selanjutnya, namun
lalu berkata, “Masuklah, lihat apa yang baru saja kubeli.”
Mereka melintasi ruang tamu besar yang diperlengkapi meja-
meja besi dan kaca, sofa kulit abu-abu, dan kursi-kursi hitam. Karya
seni di situ berwarna hitam-putih, beberapa memiliki segaris atau
segumpal warna: di sini persegi panjang biru, di sini kotak biru
kehijauan, di sini bentuk “V” kuning mostar.
Sepatu Daniel Rafferty membuat suara keras saat menapaki
lantai Santos-mahoni itu. Mitch mengikuti dengan keheningan yang
sama seperti arwah yang mengintai.
Di dalam ruang kerja, seraya menunjuk pada sebuah benda di
atas meja, Daniel berkata, “Ini barang paling bagus di antara
koleksiku.”
/ 105 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
17
DDEKORASI RUANG KERJA SERUPA DENGAN DEKORASI RUANG TAMU, DENGAN
rak-rak pajangan berlampu yang menyajikan koleksi bola-bola batu
yang dipoles.
Sendirian di atas meja, mendekam di dalam sebuah wadah
perunggu, bola terbaru itu memiliki garis tengah lebih panjang
dibanding sebuah baseball. Urat-urat merah tua bebercak kuning
meliuk di dalam warna cokelat tembaga yang pekat.
Bagi mereka yang tidak tahu, bola itu mungkin tampak sebagai
sepotong batu granit eksotis, yang diasah dan dipoles untuk
memancarkan keindahannya. Padahal sebenarnya, benda itu me-
rupakan kotoran dinosaurus, yang oleh waktu dan tekanan telah
diubah menjadi batu.
“Analisis mineral memastikan ini berasal dari seekor pemakan
daging,” kata ayah Mitch.
“Tyrannosaurus?”
“Ukuran seluruh endapan kotorannya menandakan sesuatu
yang lebih kecil dari T-rex.”
“Gorgosaurus?”
“Jika ditemukan di Kanada, kembali pada masa Cretaceous
Akhir, maka kemungkinan seekor gorgosaurus. Tapi endapan itu
/ 106 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
ditemukan di Colorado.”
“Jurassic Akhir?” tanya Mitch.
“Ya. Jadi ini mungkin kotoran ceratosaurus.”
Selagi ayahnya mengambil segelas Scotch dan soda dari meja,
Mitch beranjak ke rak-rak pajangan.
Ia berkata, “Aku menelepon Connie beberapa malam yang lalu.”
Connie adalah kakak perempuan tertuanya, tiga puluh satu
tahun. Ia tinggal di Chicago.
“Apa ia masih kerja rodi di toko roti itu?” tanya ayahnya.
“Ya, tapi sekarang ia telah jadi pemiliknya.”
“Kau serius? Ya, tentu saja. Itu khas Connie. Jika ia menapakkan
satu kaki di dalam lubang penuh aspal, ia tidak akan mundur, han-
tam terus pantang mundur.”
“Katanya, ia menikmatinya.”
“Itu yang akan ia katakan, tak peduli apa yang terjadi.”
Connie mendapat gelar master dalam bidang ilmu politik
sebelum banting setir dan terjun ke dunia kewiraswastaan. Beberapa
orang dibuat tercengang dengan perubahan dirinya itu, tapi Mitch
memahaminya.
Koleksi bola-bola kotoran dinosaurus yang dipoles itu telah
bertambah banyak sejak terakhir Mitch melihatnya. “Ada berapa
yang kau punya sekarang, Daniel?”
“Tujuh puluh tiga. Aku punya informasi tentang empat lagi yang
luar biasa.”
Beberapa bola garis tengahnya hanya berukuran dua inci. Yang
paling besar berukuran sebesar bola boling.
Warna-warnanya cenderung mengarah ke cokelat, emas, dan
tembaga, untuk alasan yang jelas; meski begitu, setiap nuansa
warna, bahkan biru, berkilau di bawah lampu-lampu pajangan.
Kebanyakan memperlihatkan pola-pola yang bebercak; pola seperti
urat-urat halus jarang terjadi.
/ 107 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
“Aku mengobrol bersama Megan pada malam yang sama,” kata
Mitch.
Megan, berusia dua puluh sembilan tahun, punya IQ tertinggi
dalam keluarga yang semua anggotanya ber-IQ tinggi. Masing-
masing anak keluarga Rafferty telah dites tiga kali: pada minggu
ulang tahun mereka yang kesembilan, tiga belas, dan tujuh belas.
Setelah tahun kedua, Megan berhenti kuliah. Sekarang ia tinggal
di Atlanta dan menjalankan usaha salon anjing yang maju dengan
pesat, sebuah jasa salon tetap dan salon berjalan.
“Ia menelepon pada hari Paskah, bertanya berapa telur yang
kami warnai,” kata ayah Mitch. “Aku rasa ia menganggap itu lucu.
Katherine dan aku sudah cukup lega ia tidak mengumumkan dirinya
sedang hamil.”
Megan menikah dengan Carmine Maffuci, seorang tukang batu
yang memiliki tangan sebesar piring makan. Daniel dan Kathy merasa
Megan telah memilih seorang suami yang berada di bawah dirinya,
dalam hal intelektualitas. Mereka berharap ia akan menyadari ke-
salahannya dan bercerai dari suaminya—jika anak-anak tidak muncul
lebih dulu untuk membuat situasinya semakin rumit.
Mitch menyukai Carmine. Laki-laki itu punya pembawaan yang
manis, tawa yang menular, dan sebuah tato burung Tweety di otot
lengan atas sebelah kanan.
“Yang ini kelihatan seperti porfiri,” katanya, menunjuk sebuah
contoh kotoran yang memiliki massa dasar ungu-merah dan bintik-
bintik sesuatu yang kelihatan seperti felspar.
Mitch belum lama ini juga berbicara dengan adiknya yang
paling kecil, Portia, tapi ia tidak menyinggungnya karena tidak ingin
memulai sebuah pertengkaran.
Mengisi kembali Scotch dan sodanya di bar sudut, Daniel
berkata, “Anson mengundang kami makan malam dua malam yang
lalu.”
/ 108 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Anson, satu-satunya kakak laki-laki Mitch, sekarang berusia tiga
puluh tiga tahun sebagai anak paling tua, adalah yang paling patuh
pada Daniel dan Kathy.
Jika ingin adil terhadap Mitch dan adik-adik perempuannya,
Anson sejak lama telah menjadi kesayangan orangtuanya. Lebih mu-
dah menjadi anak yang patuh jika antusiasme kita tidak dianalisis
untuk melihat tanda-tanda gangguan penyesuaian diri psikologis
dan jika undangan kita tidak disambut dengan kecurigaan setajam
mata bor atau ketidaksabaran.
Jika ingin adil terhadap Anson, ia memang pantas mendapatkan
kedudukannya sebagai anak kesayangan dengan memenuhi harapan-
harapan orang tuanya. Ia telah membuktikan, seperti yang tidak
dapat dibuktikan oleh anak-anak yang lain, bahwa teori-teori peng-
asuhan anak milik Daniel bisa membuahkan hasil.
Memiliki prestasi tertinggi dalam kelasnya saat SMA, pemain
gelandang bintang, ia menolak beasiswa football. Sebagai gantinya
ia menerima tawaran beasiswa yang menghargai kecemerlangan
otaknya.
Dunia akademis ibarat sebuah pekarangan ayam dan Anson
musangnya. Ia bukan sekadar menyerap pengetahuan namun me-
lahapnya dengan nafsu makan seekor pemakan daging yang tak per-
nah puas. Ia meraih gelar sarjananya dalam waktu dua tahun, gelar
master dalam waktu satu tahun, dan gelar doktor pada usia dua
puluh tiga tahun.
Anson tidak dibenci oleh saudara-saudaranya atau sedikit pun
terasing dari mereka. Sebaliknya, jika Mitch dan saudara-saudara
perempuannya mengadakan pemungutan suara rahasia untuk me-
milih orang favorit mereka di dalam keluarga, keempat kertas suara
mereka sudah pasti akan ditandai untuk memilih sang kakak tertua.
Kebaikan hati dan keluwesan alaminya memungkinkan Anson
dapat menyenangkan hati kedua orangtuanya tanpa berubah
/ 109 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
menjadi seperti mereka. Pencapaian tersebut tidak kurang menge-
sankan dibanding jika ilmuwan abad kesembilan belas, tanpa apa
pun kecuali tenaga uap dan baterai sederhana, berhasil mengirim
astronot ke bulan.
“Anson baru saja menandatangani kontrak konsultasi besar
dengan China,” kata Daniel.
Brontosaurus, diplodocus, brachiosaurus, iguanodon, moschops,
stegosaurus, triceratops, dan kotoran-kotoran lain diberi keterangan
dengan ukiran yang terpateri pada wadah-wadah perunggu yang
menampung bola-bola tersebut.
“Ia akan bekerja dengan departemen perdagangan,” kata
Daniel.
Mitch tidak tahu apakah kotoran yang telah membatu dapat
dianalisis dengan begitu tepat sampai bisa mengidentifikasi jenis atau
golongan dinosaurusnya secara pasti. Mungkin ayahnya me-
nyimpulkan keterangan tersebut dengan menerapkan teori-teori
yang memiliki sedikit atau tanpa bukti ilmiah konkret sama sekali
untuk mendukungnya.
Pada beberapa area tertentu dalam penelitian ilmiah yang
jawaban pasti tidak bisa dipertanggungjawabkan, Daniel tetap saja
menganutnya.
“Dan secara langsung dengan departemen pendidikan,” lanjut
Daniel.
Kesuksesan Anson sejak lama telah digunakan untuk mendorong
Mitch supaya mempertimbangkan karir yang lebih ambisius di-
banding pekerjaannya sekarang. Namun tusukan-tusukan itu tidak
pernah menyayat kulit jiwanya. Mitch mengagumi Anson namun
tidak iri padanya.
Selagi Daniel terus melecuti Mitch dengan prestasi-prestasi
Anson yang lain, Mitch memeriksa jam tangannya. Tak lama lagi ia
harus pergi untuk menerima telepon sang penculik sendirian.
/ 110 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Namun waktu baru menunjukkan pukul 5:42.
Mitch merasa seolah ia telah berada di rumah itu selama paling
tidak dua puluh menit, padahal sesungguhnya baru tujuh menit.
“Apa kau punya janji?”
Mitch mendeteksi adanya nada berharap dalam suara ayahnya,
namun ia tidak merasa tersinggung oleh itu. Sudah sejak lama ia
menyadari bahwa emosi sepahit dan sekuat kebencian tidak sesuai
untuk hubungan ini.
Sebagai pengarang tiga belas buku-buku “berat” dan mem-
bosankan, Daniel menganggap dirinya seorang raksasa dalam ilmu
psikologi, seorang laki-laki dengan prinsip teguh dan pendirian baja
sedemikian rupa, yang membuat dirinya bagai sebuah batu di dalam
sungai intelektualisme kontemporer Amerika, di mana di sekeliling-
nya pemikiran-pemikiran yang lebih rendah hanyut ke dalam ke-
tidakjelasan.
Mitch tahu tanpa keraguan sama sekali bahwa ayahnya bukan
sebuah batu. Daniel adalah bayang-bayang yang melintas dengan
cepat di atas sungai itu, mengalir di atas permukaan, tidak meng-
gelisahkan ataupun menenangkan arusnya.
Jika Mitch memupuk kebencian terhadap laki-laki yang
kehadirannya sekadar lewat begitu saja semacam itu, ia akan mem-
buat dirinya lebih gila ketimbang Kapten Ahab dalam pencariannya
akan paus putih yang tak berkesudahan.
Sepanjang masa kanak-kanak mereka, Anson telah membimbing
Mitch dan saudara-saudara perempuannya dalam melawan amarah,
mendorong kesabaran, mengajarkan nilai humor sebagai per-
tahanan melawan kelaliman yang dilakukan secara tak sadar oleh
ayah mereka. Dan sekarang Daniel tidak membangkitkan apa pun
dalam diri Mitch kecuali ketidakacuhan dan ketidaksabaran.
Pada hari ketika Mitch meninggalkan rumah untuk berbagi
apartemen dengan Jason Osteen, Anson mengatakan padanya
/ 111 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
bahwa setelah menyingkirkan amarah, pada akhirnya ia akan me-
ngasihani ayah mereka. Mitch tidak memercayainya, dan sejauh ini
ia baru sampai pada taraf bertoleransi dengan terpaksa, dan belum
lebih maju dari itu.
“Ya,” katanya, “aku punya janji. Sebaiknya aku pergi sekarang.”
Memandangi anaknya dengan ketertarikan mendalam yang dua
puluh tahun lalu pasti sudah akan mengintimidasi Mitch, Daniel
berkata, “Apa sebenarnya maksud kunjungan ini?”
Apa pun yang direncanakan para penculik Holly terhadap
Mitch, peluangnya untuk bertahan hidup mungkin tidak tinggi.
Terlintas dalam benaknya, ini mungkin merupakan kesempatan ter-
akhir yang ia miliki untuk bertemu orangtuanya.
Tak sanggup mengungkapkan kondisi yang sedang membelitnya,
Mitch berkata, “Aku datang untuk menemui Kathy. Mungkin aku
akan datang lagi besok.”
“Menemuinya tentang apa?”
Seorang anak bisa mencintai seorang ibu yang tidak memiliki
kemampuan untuk balik mencintainya, tapi seiring waktu, Mitch
sadar ia menumpahkan kasih sayangnya bukan pada tanah yang
subur, melainkan pada batu, di mana apa pun tidak akan bisa tum-
buh. Jika itu terjadi maka sang anak akan menjalani hidup yang
ditandai kemarahan yang mengendap atau belas kasihan terhadap
diri sendiri.
Jika sang ibu bukan sesosok monster, jika sebaliknya ia justru ter-
putus secara emosional dan sibuk dengan dirinya sendiri, dan jika ia
bukan seorang penyiksa aktif melainkan pengamat pasif di dalam
rumahnya sendiri, anaknya punya pilihan ketiga. Ia bisa memilih
untuk memberinya belas kasihan tanpa pengampunan, dan
merasakan kasih sayang untuknya dengan menyadari bahwa
perkembangan emosinya yang kerdil telah merampas kemampuan-
nya untuk menikmati hidup secara utuh.
/ 112 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Meski sarat dengan prestasi akademis, pengetahuan Kathy ten-
tang kebutuhan anak-anak dan ikatan antara ibu dan anak terbilang
nol. Dalam interaksi manusia ia percaya pada prinsip sebab akibat,
perlunya memberi hadiah untuk perilaku yang diharapkan, namun
hadiahnya selalu bersifat materialistik.
Ia percaya pada kesempurnaan umat manusia. Ia merasa anak-
anak seharusnya dibesarkan menurut sebuah sistem yang darinya
kita tidak boleh menyimpang dan dengannya kita dapat memasti-
kan anak-anak akan menjadi beradab.
Ia tidak mengkhususkan diri pada bidang psikologi yang mem-
pelajari itu. Akibatnya, ia mungkin tidak akan menjadi seorang ibu
jika ia tidak bertemu seorang laki-laki dengan teori-teori teguh me-
ngenai perkembangan anak dan juga sebuah sistem untuk menerap-
kannya.
Karena Mitch tidak akan punya kehidupan tanpa ibunya, dan
karena ketidaktahuan sang ibu tidak mengandung unsur kebencian,
sang ibu membangkitkan dalam dirinya suatu kelembutan yang
bukan cinta atau bahkan kasih sayang. Kelembutan itu justru me-
rupakan pandangan sedih akan ketidakmampuan bawaan sang ibu
untuk berperasaan.
“Bukan sesuatu yang penting,” kata Mitch. “Itu bisa menunggu.”
“Aku bisa menyampaikan pesan padanya,” kata Daniel,
mengikuti Mitch melintasi ruang tamu.
“Tidak ada pesan. Aku sedang ada di dekat sini, jadi aku hanya
mampir untuk menyapanya.”
Berhubung pelanggaran etika keluarga semacam itu belum per-
nah terjadi sebelumnya, Daniel tetap tak teryakinkan. “Ada sesuatu
yang sedang kau pikirkan.”
Mitch ingin mengatakan Mungkin satu minggu tanpa rangsang-
an sensoris di dalam ruang pembelajaran akan membuatku me-
ngatakannya.
/ 113 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
Sebagai gantinya ia tersenyum dan berkata, “Aku baik-baik saja.
Semuanya baik-baik saja.”
Meski memiliki pemahaman yang dangkal akan hati manusia,
Daniel punya hidung seekor anjing pelacak untuk ancaman-
ancaman yang sifatnya finansial. “Jika ini masalah uang, kau tahu
pendapat kami mengenai hal itu.”
“Aku tidak datang untuk meminjam uang.” Mitch meyakinkan-
nya.
“Dalam setiap spesies binatang, tugas utama orangtua adalah
mengajarkan kemampuan mencukupi diri sendiri pada anak-anak
mereka. Si mangsa harus belajar untuk menghindar, dan si pemangsa
harus belajar untuk berburu.”
Sembari membuka pintu, Mitch berkata, “Aku adalah pemangsa
yang bisa mencukupi diri sendiri, Daniel.”
“Bagus, aku senang mendengarnya.”
Ia memberi tanda persetujuannya pada Mitch dengan sebuah
senyum di mana gigi-giginya yang kecil dan putih tidak alami tam-
pak bertambah tajam sejak ia terakhir kali memamerkannya.
Kali ini Mitch tidak dapat mengembangkan sebuah senyum,
bahkan untuk menghindari kecurigaan ayahnya.
“Parasitisme,” kata Daniel, “bukanlah sesuatu yang alamiah bagi
homo sapiens atau spesies mamalia lainnya.”
Beaver Cleaver tak akan pernah mendengar kalimat itu dari
ayahnya.
Melangkah keluar dari rumah, Mitch berkata, “Sampaikan
salamku pada Kathy.”
“Ia akan pulang larut malam. Mereka selalu pulang larut jika si
perempuan Robinson itu bergabung dengan kelompoknya.”
“Para ahli matematika,” kata Mitch dengan nada menghina.
“Terutama yang ini.”
Mitch menutup pintu di belakangnya. Beberapa langkah dari
/ 114 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
rumah, ia berhenti, berbalik badan, dan mempelajari tempat itu
mungkin untuk terakhir kalinya.
Ia bukan saja pernah tinggal di sini tapi juga menjalani sekolah
rumah di sini dari kelas satu sampai dua belas. Ia menghabiskan lebih
banyak waktu dalam hidupnya di dalam rumah itu ketimbang di
luarnya.
Seperti biasa, tatapannya melayang ke satu jendela tertentu di
lantai dua, yang ditutup dari sebelah dalam. Ruang pembelajaran.
Dengan tidak adanya lagi anak-anak di rumah, mereka gunakan
untuk apa ruang tinggi itu sekarang?
Berhubung jalan setapak di depan rumah melengkung menjauh
dari rumah dan bukannya lurus langsung menuju jalan, tatkala
Mitch merendahkan perhatiannya dari lantai dua, ia bukan tengah
menghadap pintu depan melainkan jendela kaca di samping pintu
depan. Melalui kaca gaya Prancis itu, ia melihat sang ayah.
Daniel berdiri di depan salah satu cermin besar berkerangka besi
di serambi itu, rupanya sedang menimbang-nimbang penampilan-
nya. Ia melicinkan rambut putihnya dengan satu tangan. Ia meng-
usap sudut-sudut bibirnya.
Meski merasa seperti seorang pengintip, Mitch tidak dapat
memalingkan pandangan.
Ketika kecil, ia percaya ada rahasia-rahasia mengenai kedua
orangtuanya yang akan membebaskan dirinya jika saja ia bisa
mengetahui apa rahasia-rahasia itu. Namun Daniel dan Kathy ter-
masuk pasangan yang sangat berhati-hati, sama berhati-hatinya
dengan seekor gegat.
Berada di serambi sekarang, Daniel mencubit pipi kirinya
dengan jempol dan jari telunjuk, kemudian pipi kanannya, seolah
untuk membuatnya berona.
Mitch menduga lebih dari setengah kunjungannya telah me-
mudar dari benak sang ayah, setelah sekarang ancaman akan
/ 115 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
permintaan pinjaman telah dicabut.
Di dalam serambi, Daniel berdiri menyamping menghadap cer-
min, seolah berbangga diri akan kedalaman dadanya, kerampingan
pinggangnya.
Betapa mudahnya membayangkan bahwa di antara kedua cer-
min yang saling berhadapan itu, ayahnya tidak menebarkan pantul-
an-pantulan bayangan dalam jumlah tak terhingga, seperti yang ter-
jadi pada Mitch, dan bahwa bayangan tunggal dirinya memiliki
begitu sedikit esensi sehingga, bagi mata siapapun kecuali dirinya
sendiri, ia akan tampak sama transparannya dengan bayangan
sesosok hantu.
/ 116 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
18
PPUKUL 5:50, HANYA LIMA BELAS MENIT SETELAH TIBA DI RUMAH DANIEL DAN
Kathy, Mitch menyetir pergi. Ia berbelok dan menempuh satu
setengah blok dengan cepat.
Mungkin siang hari tinggal tersisa dua jam lagi. Ia bisa dengan
mudah melihat adanya pembuntutan jika seseorang mengikutinya.
Ia mengendarai Honda masuk ke dalam tempat parkir kosong
di sebuah gereja.
Bagian muka berbatu bata yang tidak bersahabat, mata-mata
retak dari jendela kaca warna-warni yang suram tanpa adanya
cahaya dari dalam, menjulang menjadi sebuah menara yang men-
cungkil langit dan menghamparkan bayangan nyata di atas aspal.
Ketakutan ayahnya tidak beralasan. Mitch tidak bermaksud
untuk meminta uang.
Kedua orangtuanya sukses secara finansial. Tak diragukan lagi
mereka mampu menyumbang seratus ribu dolar untuk masalah ini
tanpa merasa kekurangan sedikit pun. Namun bahkan jika mereka
mau memberinya dua kali jumlah itu, dan mengingat sumber ke-
uangannya sendiri yang amat minim, ia hanya akan punya sepuluh
persen lebih sedikit dari uang tebusan itu di tangan.
Lagipula, ia tidak akan pernah meminta karena ia tahu mereka
/ 117 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
akan menolak, dengan menggunakan teori-teori pengasuhan anak
mereka sebagai kedok.
Ditambah lagi, ia sampai pada kecurigaan bahwa para penculik
itu mencari lebih dari sekadar uang. Ia sama sekali tidak punya
bayangan apa yang mereka inginkan selain uang, tapi menculik istri
seorang tukang kebun yang memiliki penghasilan lima digit adalah
sesuatu yang tidak masuk akal, kecuali mereka menginginkan hal lain
yang hanya dapat diberikan oleh Mitch.
Selama ini ia yakin mereka berencana melakukan perampokan
besar-besaran secara tidak langsung, dengan menggunakannya
sebagai robot yang bisa dikendalikan dari jarak jauh. Ia tidak dapat
mengesampingkan skenario itu, namun kemungkinan tersebut tak
lagi membuatnya yakin.
Dari bawah kursi sopir, ia mengambil revolver bermoncong
pendek dan sarung pergelangan kakinya.
Diperiksanya senjata itu dengan hati-hati. Sejauh yang dapat ia
lihat, senjata itu tidak memiliki alat pengaman.
Saat ia membuka silindernya, ia mendapatinya berisi lima
selongsong. Ini membuatnya terkejut, berhubung ia berharap akan
menemukan enam.
Semua yang ia ketahui tentang senjata adalah apa yang telah ia
pelajari dari buku dan film.
Meski Daniel bicara tentang mengilhami anak-anak untuk men-
cukupi diri mereka sendiri, ia tidak menyiapkan Mitch untuk meng-
hadapi orang semacam John Knox.
Si mangsa harus belajar untuk menghindar, dan si pemangsa
harus belajar untuk berburu.
Orangtuanya telah membesarkannya untuk menjadi si mangsa.
Namun dengan adanya Holly di tangan para pembunuh, Mitch tidak
bisa lari ke mana pun. Ia lebih memilih mati daripada bersembunyi
dan membiarkannya berada dalam belas kasihan para penculik.
/ 118 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Penutup velcro sarung senjata itu memungkinkan Mitch
memasangnya cukup jauh di atas mata kaki untuk menghindari
menyingkapnya jika celananya tertarik ke atas saat duduk. Ia tidak
suka celana jins berkaki sempit dan lurus, dan celana ini punya ruang
untuk senjata yang ringkas tersebut.
Ia mengenakan jaket olahraganya. Sebelum keluar dari mobil, ia
akan menyelipkan pistol itu di bawah ikat pinggang, di lekuk kecil
pada punggung yang akan tertutup jaket.
Diperiksanya senjata itu. Lagi-lagi ia tak menemukan alat peng-
aman.
Dengan jari-jari kikuk, ia mengeluarkan magasinnya. Isinya
delapan selongsong. Saat ia menarik penggesernya ke belakang, ia
menemukan selongsong kesembilan berkilau di lubangnya.
Setelah memasukkan kembali magasin itu dan memastikannya
terkunci dengan aman pada tempatnya, Mitch meletakkan pistol itu
di atas kursi penumpang.
Telepon genggamnya berdering. Jam mobil terbaca 5:59.
Sang penculik berkata, “Apa kau menikmati kunjunganmu ke
rumah Ayah dan Ibu?”
Ia tidak dibuntuti saat menuju rumah orangtuanya atau ketika
pulang dari sana, namun tetap saja mereka tahu ke mana ia telah
pergi.
Ia segera menyahut, “Aku tidak bercerita apa pun pada
mereka.”
“Apa yang kau cari—susu dan camilan?”
“Jika kau pikir aku bisa mendapatkan uang dari mereka, kau
salah. Mereka tidak sekaya itu.”
“Kami tahu, Mitch. Kami tahu.”
“Biarkan aku bicara pada Holly.”
“Tidak kali ini.”
“Biarkan aku bicara padanya,” Mitch mendesak.
/ 119 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
“Tenang. Ia baik-baik saja. Aku akan membiarkannya bicara
pada telepon yang berikutnya. Apakah itu gereja yang biasa kau dan
orangtuamu datangi?”
Mobilnya adalah satu-satunya mobil di tempat parkir itu, dan
tak ada kendaraan lain yang tengah lewat. Di seberang jalan dari
gereja, kendaraan yang ada hanyalah yang terparkir di jalan masuk
mobil rumah-rumah di situ, tidak ada yang terparkir di trotoar.
“Apa kau biasa mendatangi gereja itu?” sang penculik kembali
bertanya.
“Tidak.”
Meski berada di dalam mobil tertutup dengan pintu terkunci,
Mitch merasa sama tak terlindungnya seperti seekor tikus di lapang-
an terbuka dengan suara bergetar sepasang sayap elang tepat di
atasnya.
“Apakah kau dulu seorang putra altar, Mitch?”
“Bukan.”
“Mungkinkah itu benar?”
“Kau sepertinya tahu segalanya. Kau tahu itu benar.”
“Untuk seorang laki-laki yang tidak pernah menjadi putra altar,
kau begitu mirip dengan seorang putra altar.”
Ketika ia pada awalnya tidak menanggapi, menganggap per-
nyataan itu tidak berhubungan dengan apa yang baru saja ia
katakan tadi, dan ketika sang penculik menunggu dalam diam,
Mitch akhirnya berkata, “Aku tidak tahu apa maksudmu itu.”
“Yah, aku tidak bermaksud mengatakan kau alim, itu pasti. Dan
aku juga tidak bermaksud mengatakan kau selalu mengutarakan
yang sebenarnya. Dengan Detektif Taggart, terbukti kau pembohong
yang lihai.”
Pada dua percakapan mereka sebelumnya, laki-laki di telepon ini
terdengar profesional, profesional yang menakutkan. Cemoohan
yang remeh ini terasa tidak selaras dengan pembawaannya yang lalu.
/ 120 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Namun begitu, ia pernah menyebut dirinya seorang pengendali.
Ia telah dengan terang-terangan menyatakan bahwa Mitch adalah
sebuah alat untuk dimanipulasi, diperdaya.
Cemoohan ini pasti bertujuan, meski apa tujuannya tidak dapat
tertangkap oleh Mitch. Sang penculik ingin masuk ke dalam
kepalanya dan mengacaukannya, untuk suatu tujuan tersembunyi,
dalam rangka mencapai hasil tertentu.
“Mitch, jangan tersinggung, karena ini sebenarnya cukup
manis—tapi kau sama lugunya dengan seorang putra altar.”
“Jika menurutmu begitu.”
“Ya. Menurutku begitu.”
Ini mungkin sebuah usaha untuk membakar amarahnya.
Amarah merupakan penghambat untuk berpikir jernih. Atau,
mungkin tujuannya untuk menanamkan pada diri Mitch keraguan
yang sedemikian rupa akan kemampuan dirinya sehingga ia akan
tetap takut dan patuh.
Ia telah mengakui pada dirinya sendiri ketidakberdayaannya
yang mutlak dalam masalah ini. Mereka tidak akan bisa mengasah
kerendahan hatinya menjadi lebih tajam dari yang sekarang.
“Matamu terbuka lebar, Mitch, tapi kau tidak melihat.”
Pernyataan itu membuatnya limbung lebih dari apa pun yang
telah dikatakan sang penculik. Belum sampai satu jam yang lalu, di
dalam loteng garasinya, pemikiran yang persis sama, ternyatakan
dengan kata-kata yang mirip, telah tebersit di benaknya sendiri.
Setelah memuat John Knox ke dalam bagasi mobil, ia telah kem-
bali ke loteng untuk memecahkan teka-teki bagaimana kecelakaan
itu terjadi. Setelah menyaksikan leher kunci pas yang tersangkut di
dalam lubang simpul, ia mendapatkan jawaban atas misteri tersebut.
Namun tepat pada saat itu ia merasa telah diperdaya, diawasi,
diperolok. Ia diliputi perasaan naluriah bahwa sebuah kebenaran
yang lebih dahsyat tengah menanti untuk ditemukan di dalam
/ 121 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
loteng itu, bahwa kebenaran itu bersembunyi secara terang-
terangan di depan kedua matanya.
Tatkala itu ia terguncang oleh pemikiran bahwa ia melihat
namun buta, bahwa ia mendengar namun tuli.
Sekarang laki-laki yang mencemooh di telepon itu: Matamu
terbuka lebar, Mitch, tapi kau tidak melihat.
Gaib rasanya bukan kata yang terlalu kuat untuk menjelaskan
fenomena ini. Ia merasa mereka bukan hanya dapat mengawasi dan
mendengarkannya di mana pun, kapan pun, namun juga bisa
mengulik pikirannya.
Mitch meraih pistol yang ada di atas kursi penumpang. Tidak
ada ancaman langsung yang tengah membayangi saat itu, namun ia
merasa lebih aman memegang senjata.
“Kau masih di situ, Mitch?”
“Aku mendengarkan.”
“Aku akan meneleponmu lagi jam setengah delapan—”
“Menunggu lagi? Kenapa?” Ketidaksabaran menggerogotinya,
dan ia tak sanggup mengurungnya, meski tahu bahaya infeksinya
bisa berlanjut menjadi kenekatan yang meluap-luap “Ayo cepat kita
selesaikan saja ini...”
“Tenang, Mitch. Aku baru saja akan mengatakan padamu apa
yang harus kau lakukan berikutnya saat kau menyela.”
“Kalau begitu, katakan padaku, sialan.”
“Seorang putra altar yang baik tahu ritualnya, litaninya. Seorang
putra altar yang baik menanggapi, tapi ia tidak menyela. Jika kau
menyela lagi, aku akan membuatmu menunggu sampai setengah
sembilan.”
Mitch menahan ketidaksabarannya. Ia menghela napas panjang,
mengembuskannya perlahan, dan berkata, “Aku mengerti.”
“Bagus. Jadi, setelah aku menutup telepon, kau akan mengen-
darai mobilmu ke Newport Beach, ke rumah kakak laki-lakimu.”
/ 122 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Kaget, Mitch menyahut, “Ke rumah Anson?”
“Kau akan menunggu telepon jam setengah delapan itu
bersamanya.”
“Kenapa kakakku harus dilibatkan dalam semua ini?”
“Kau tidak bisa melakukan apa yang harus dilakukan sendirian,”
kata sang penculik.
“Memangnya apa yang harus kulakukan? Kau belum memberi-
tahuku.”
“Kami akan memberitahumu. Segera.”
“Jika itu membutuhkan dua orang, orang yang satu lagi tidak
harus Anson. Aku tidak mau Anson terseret ke dalam semua ini.”
“Pikirkan, Mitch. Siapa yang lebih baik dibanding kakakmu? Ia
menyayangimu, kan? Ia tidak akan mau istrimu dipotong kecil-kecil
seperti seekor babi di rumah jagal.”
Sepanjang masa kanak-kanak mereka yang terkepung, Anson
merupakan tali yang bisa diandalkan, yang membuat Mitch tetap
terikat pada tambatan. Adalah Anson yang selalu mengibarkan
layar-layar harapan saat tampaknya tak ada angin untuk mengem-
bangkannya.
Kepada kakaknya, Mitch berhutang ketenangan batin dan ke-
bahagiaan yang akhirnya ia temukan ketika pada akhirnya terbebas
dari orangtuanya, keringanan jiwa yang telah memungkinkannya
memenangkan Holly sebagai seorang istri.
“Kau telah menjebakku,” kata Mitch. “Jika apa pun itu yang kau
ingin untuk kulakukan tidak berjalan lancar, kau telah menjebakku
supaya terlihat seolah aku membunuh istriku.”
“Jeratnya bahkan lebih kencang dari yang kau sadari, Mitch.”
Mereka mungkin tengah bertanya-tanya mengenai John Knox,
tapi mereka tidak tahu ia sudah mati di dalam bagasi mobil
Hondanya. Seorang konspirator mati adalah bukti yang cukup dari
cerita yang dapat Mitch ungkapkan pada pihak berwajib.
/ 123 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
Atau apakah benar begitu adanya? Ia belum memikirkan dengan
cermat semua cara bagaimana polisi mungkin akan mengartikan
kematian Knox, mungkin sebagian besar penjelasan itu justru akan
lebih memberatkan ketimbang membebaskan dirinya.
“Maksudku,” kata Mitch, “apakah kau akan melakukan hal yang
sama terhadap Anson. Kau akan membelitnya dengan serangkaian
bukti-bukti tidak langsung untuk membuatnya tetap bekerja sama.
Itu cara kalian bekerja.”
“Itu semua tidak penting jika kalian berdua melakukan apa yang
kami inginkan, dan kau akan mendapatkan Holly kembali.”
“Tapi itu tidak adil,” Mitch menyatakan protes, dan sadar ia
pasti memang terdengar sama naif dan lugunya dengan seorang
putra altar.
Sang penculik terbahak, “Dan bertolak belakang dengan itu, kau
merasa kami telah berurusan secara adil denganmu? Begitu?”
Mencengkeram pistol, tangannya menjadi dingin dan lembab.
“Apa kau lebih suka jika kami tidak melibatkan kakakmu dan
memasangkanmu dengan Iggy Barnes?”
“Ya,” kata Mitch, dan segera merasa malu karena telah begitu
cepat mengorbankan seorang teman tak berdosa untuk me-
nyelamatkan orang yang ia sayangi.
“Dan itu adil bagi Tuan Barnes?”
Ayah Mitch percaya bahwa rasa malu tidak punya kegunaan
sosial. Emosi semacam itu jadi pertanda pikiran yang tidak rasional,
dan bahwa seseorang yang berakal sehat dan menjalani hidup yang
rasional harus terbebas dari perasaan semacam itu. Ia juga percaya,
kerentanan seseorang untuk merasakan emosi malu dapat dihilang-
kan oleh pendidikan.
Dalam kasus Mitch, ayahnya sungguh-sungguh salah, paling
tidak dalam situasi ini. Meski bajingan di telepon itu adalah satu-
satunya saksi akan kesediaannya menyelamatkan seorang kakak
/ 124 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
dengan mengorbankan seorang teman, Mitch merasa wajahnya
memanas karena malu.
“Tuan Barnes,” kata sang penculik, “bukanlah pisau paling tajam
di dalam laci. Untuk alasan itu, temanmu tidak akan menjadi peng-
ganti yang pantas untuk kakakmu. Sekarang pergilah ke rumah
Anson dan tunggu telepon kami.”
Menyerah terhadap perkembangan terakhir ini namun merasa
mual dengan keputusasaan bahwa sang kakak harus terancam
bahaya, Mitch berkata, “Apa yang harus kukatakan padanya?”
“Sama sekali tidak ada. Aku mewajibkanmu untuk tidak me-
ngatakan apa pun padanya. Akulah pengendali yang berpengalam-
an, bukan kau. Saat aku menelepon nanti, aku akan membiarkannya
mendengar Holly berteriak, dan kemudian membeberkan fakta-
faktanya.”
Terkejut, Mitch berkata, “Itu tidak perlu, membuatnya berteriak
seperti itu. Kau berjanji untuk tidak menyakitinya.”
“Aku berjanji untuk tidak memerkosanya, Mitch. Tak satu hal
pun yang kau katakan pada kakakmu akan sama meyakinkannya
dengan teriakan Holly. Aku tahu lebih baik darimu bagaimana harus
melakukan ini.”
Cengkeramannya yang dingin dan berkeringat pada pistol sulit
untuk dikendalikan. Saat tangannya mulai gemetar, diletakkannya
kembali senjata itu di atas kursi penumpang.
“Bagaimana jika Anson tidak ada di rumah?”
“Ia ada. Cepat bergerak, Mitch. Sekarang jam sibuk. Kau tidak
ingin terlambat tiba di Newport Beach.”
Sang penculik memutus teleponnya.
Saat Mitch menekan tombol END di telepon genggamnya,
tindakan itu terasa memiliki nilai peramalan yang suram.
Ia memejamkan mata untuk sesaat, mencoba menghimpun
saraf-sarafnya yang terurai, namun kemudian menyalangkannya
/ 125 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
kembali karena merasa rentan dengan mata terpejam.
Saat ia menghidupkan mesin, sekawanan burung gagak terbang
dari tempat parkir beraspal itu, dari bayang-bayang menara gereja
menuju menara gereja itu sendiri.
/ 126 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
19
TTERKENAL AKAN PELABUHAN KAPAL PESIARNYA, RUMAH-RUMAH MEWAHNYA,
dan surga belanja kelas atasnya, Newport Beach bukan tempat ting-
gal yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang kaya raya. Anson
tinggal di distrik Corona del Mar, di bagian depan sebuah kondo-
minium dua unit.
Diteduhi pohon magnolia raksasa, dihampiri jalan setapak batu
bata usang, dengan arsitektur gaya New England yang diinterpretasi
seorang romantis yang mendayu-dayu, rumah itu tidak memberi
kesan kuat, namun memikat.
Bel pintu memainkan beberapa balok not dari “Ode to Joy”
milik Beethoven.
Anson tiba di pintu sebelum Mitch memencet tombol bel untuk
kedua kalinya.
Meski bugar bak seorang olahragawan, Anson punya jenis ben-
tuk tubuh yang berbeda dari Mitch: seperti beruang, dada bidang
membusung, leher pendek padat. Bahwa ia seorang pemain football
gelandang bintang saat SMA merupakan bukti akan kecepatan dan
kegesitannya, karena ia lebih terlihat seperti seorang pemain tengah
belakang.
Wajahnya yang tampan, lebar, dan terbuka tampak selalu
/ 127 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
mengantisipasi sebuah alasan untuk tersenyum. Senyumnya ter-
sungging begitu melihat Mitch.
“Fratello mio!”* Anson berseru, memeluk sang adik dan
menariknya ke dalam rumah. “Entrino! Entrino!”**
Udara di dalam berbau harum bawang putih, bawang bombay,
bacon.
“Sedang memasak makanan Itali?” tanya Mitch.
“Bravissimo, fratello piccolo! *** Dari sekadar aroma dan
bahasa Italiku yang buruk, kau membuat kesimpulan yang hebat.
Sini aku gantung jaketmu.”
Mitch tidak ingin meninggalkan pistolnya di dalam mobil. Pistol
itu sekarang terselip di bawah ikat pinggangnya, dalam lekuk sempit
pada punggungnya.
“Tidak usah,”katanya. “Tidak apa-apa. Aku akan tetap me-
makainya.”
“Ayo ke dapur. Aku sudah ngeri membayangkan akan makan
malam sendirian lagi.”
“Kau kebal terhadap ngeri,” kata Mitch.
“Tidak ada yang namanya antibodi terhadap rasa ngeri, adik
kecil.”
Rumah itu memiliki dekorasi yang maskulin namun gaya,
menonjolkan hiasan-hiasan berbau laut. Lukisan-lukisan kapal layar
menggambarkan perahu angkuh yang terombang-ambing dalam ba-
dai, dan perahu lainnya yang berlayar di bawah langit yang berseri.
Sejak kecil Anson percaya bahwa kebebasan yang sempurna
tidak akan pernah bisa ditemukan di darat, hanya di laut, di bawah
layar.
Anson sejak dulu menggemari dongeng bajak laut, cerita-cerita
* “Adikku!”
** “Masuk! masuk!”
*** “Hebat, adik kecil!”
/ 128 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
mengenai pertempuran laut, dan kisah-kisah petualangan di atas
kapal. Ia biasa membacakan banyak cerita semacam itu pada Mitch,
yang duduk terpikat selama berjam-jam.
Daniel dan Kathy menderita mabuk laut bahkan di sampan di
sebuah danau. Kebencian mereka terhadap laut merupakan hal per-
tama yang membangkitkan minat Anson terhadap kehidupan laut.
Di dalam dapur yang nyaman dan wangi, Anson menunjuk
sebuah panci yang tengah mengepulkan uap di atas kompor.
“Zuppa massaia.”
“Sup macam apa massaia itu?”
“Sup ibu rumah tangga klasik. Tanpa seorang istri, aku harus
menggugah sisi femininku dulu untuk membuatnya.”
Terkadang Mitch sulit untuk percaya sepasang orangtua sekelam
orangtua mereka dapat menghasilkan seorang anak seceria Anson.
Jam dapur terbaca 7:24. Kemacetan lalu lintas akibat sebuah
kecelakaan membuatnya terlambat.
Di atas meja bertengger satu botol Chianti Classico* dan sebuah
gelas yang setengah penuh. Anson membuka lemari, mencomot satu
gelas lain dari rak.
Mitch nyaris menolak minuman anggur itu. Tapi satu gelas tidak
akan menumpulkan akalnya dan mungkin dapat memulihkan daya
lenting saraf-sarafnya yang rapuh.
Seraya menuangkan Chianti, Anson menirukan suara ayah me-
reka dengan cukup lumayan. “Ya, aku senang bertemu denganmu,
Mitch, meski aku tidak melihat namamu di jadwal kunjungan anak-
anak, dan aku berencana menghabiskan malam ini dengan menyik-
sa marmut dalam lorong sesat berlistrik.”
Sambil menerima Chiantinya, Mitch berkata, “Aku baru saja dari
sana.”
“Itu menjelaskan sikapmu yang tidak bersemangat dan wajahmu
* Anggur merah Itali yang diproduksi dari anggur merah kering di Tuscany—ed.
/ 129 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
yang kelabu.” Anson mengangkat gelasnya untuk merayakan “La
dolce vita.”
“Untuk perjanjian kerjamu yang baru dengan China.”
“Apa aku digunakan sebagai jarum lagi?”
“Selalu. Tapi ia tidak bisa lagi menusukku dengan cukup keras
untuk merendahkanku. Kedengarannya kesempatan yang besar.”
“Urusan dengan China itu? Ia pasti melebih-lebihkan apa yang
kuceritakan padanya. Mereka tidak akan membubarkan Partai
Komunis dan memberikan tahta Sang Kaisar padaku.”
Pekerjaan konsultasi yang dilakukan Anson sifatnya begitu raha-
sia dan memerlukan pengetahuan yang hanya dikuasai segelintir
orang saja sampai-sampai Mitch tidak pernah bisa memahaminya. Ia
mendapatkan gelar doktor dalam bidang linguistik, ilmu bahasa,
tapi juga memiliki latar belakang mendalam dalam bidang bahasa
komputer dan teori digitalisasi, apa pun itu artinya.
“Setiap kali aku meninggalkan rumah mereka,” kata Mitch, “aku
merasakan kebutuhan untuk menggali di tanah, bekerja dengan
tanganku, sesuatu.”
“Mereka membuatmu ingin melarikan diri ke sesuatu yang
nyata.”
“Tepat sekali. Anggur ini enak.”
“Setelah supnya, kita akan menyantap lombo di maiale con
castagne.”
“Aku tidak bisa mencerna sesuatu yang tidak bisa kulafalkan.”
“Daging pinggang babi panggang dengan kastanye.”
“Kedengarannya enak, tapi aku tidak mau makan malam.”
“Aku membuat banyak. Resepnya untuk enam porsi. Aku tidak
tahu bagaimana cara menguranginya, jadi aku selalu membuatnya
untuk enam orang.”
Mitch melirik ke jendela. Bagus—tirainya tertutup.
Dari meja layan dekat telepon dapur, ia memungut sebuah
/ 130 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
pulpen dan notes. “Kau sempat berlayar akhir-akhir ini?”
Anson memimpikan suatu hari nanti dapat memiliki sebuah
kapal pesiar. Kapal itu idealnya cukup besar untuk tidak tampak
seperti akan membuat sesak napas selama perjalanan jauh menyisiri
pantai atau mungkin bahkan perjalanan ke Hawaii, tapi cukup kecil
untuk dapat dikendalikan bersama seorang pasangan dan serangkai-
an motor layar.
Ia menggunakan kata pasangan untuk mengacu pada teman
berlayarnya, sekaligus pasangannya di atas tempat tidur. Meski
berpenampilan kasar dan memiliki selera humor yang terkadang
menusuk, Anson seorang yang romantis, bukan saja menyangkut
laut namun juga menyangkut lawan jenis.
Ketertarikan yang dirasakan para perempuan terhadapnya tidak
cukup hanya dibilang bagaikan magnet. Ia menarik mereka seperti
daya gravitasi bulan menarik air pasang.
Namun begitu ia bukan seorang Don Juan. Dengan keluwesan
luar biasa, ia menolak kebanyakan para pengejarnya. Dan setiap
perempuan yang ia harap mungkin adalah perempuan idealnya
tampaknya selalu menghancurkan hatinya, meski ia sendiri tak akan
mengatakannya dengan begitu sentimentil.
Kapal mungilnya—sebuah American Sail sepanjang delapan
belas kaki—yang sekarang ia tambatkan pada sebuah pelampung di
pelabuhan, masih jauh untuk bisa disebut sebuah kapal pesiar.
Namun dengan keberuntungannya dalam hal percintaan, mungkin
suatu hari nanti ia akan memiliki kapal impiannya lama sebelum ia
menemukan seseorang yang dengannya ia akan melayarkannya.
Sebagai jawaban terhadap pertanyaan Mitch, ia berkata, “Aku
belum punya waktu untuk melakukan lebih dari sekadar meng-
apung-apung di pelabuhan seperti bebek, berpal-pal di kanal.”
Duduk di meja dapur, menulis dalam huruf-huruf besar di atas
notes, Mitch berkata, “Mestinya aku punya hobi. Kau punya hobi
/ 131 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
berlayar, dan ayah punya sampah dinosaurus itu.”
Mitch menyobek lembar paling atas dan menyorongkannya di
atas meja supaya Anson yang masih berdiri dapat membacanya:
RUMAHMU MUNGKIN DISADAP.
Wajah tercengang Anson memiliki nuansa takjub yang dikenali
Mitch mirip ekspresi yang menguasainya saat ia membacakan do-
ngeng bajak laut dan kisah-kisah pertempuran laut gagah berani
yang membuatnya bergairah saat kecil. Reaksi awalnya seolah se-
perti suatu petualangan aneh telah dimulai, dan ia tampak tidak
menangkap adanya bahaya yang mengintai.
Untuk menyamarkan sikap Anson yang diam terperangah,
Mitch berkata, “Ia baru saja membeli spesimen baru. Katanya, itu
kotoran ceratosaurus. Dari Colorado, Jurassic Akhir.”
Ia menyodorkan kertas lain di mana ia telah menulis besar-besar
MEREKA SERIUS. AKU MELIHAT MEREKA MEMBUNUH SE-
ORANG LAKI-LAKI.
Sementara Anson membaca, Mitch mengeluarkan telepon
genggamnya dari saku jaket bagian dalam dan meletakkannya di
atas meja. “Mengingat sejarah keluarga kita, itu cocok sekali—
mewarisi koleksi tahi yang dipoles.”
Saat Anson menarik sebuah kursi dan duduk di meja, ekspresi
kekanakan penuh harap yang tadinya terpampang di wajahnya
mengeruh oleh kecemasan. Ia bekerja sama untuk berpura-pura
tengah bercakap-cakap seperti biasa: “Ada berapa yang ia punya
sekarang?”
“Ia memberitahuku. Aku tidak ingat. Bisa dikatakan ruang kerja-
nya telah berubah menjadi tempat pembuangan kotoran.”
“Beberapa bola itu sebenarnya memang cantik.”
“Sangat cantik,” Mitch menyetujui sambil menulis MEREKA
AKAN MENELEPON JAM 7: 30.
Bingung, Anson bertanya tanpa mengeluarkan suara: Siapa? Apa?
/ 132 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Mitch menggelengkan kepalanya. Ia menunjuk jam dinding—
7:27.
Mereka bercakap-cakap dengan sangat sadar diri dan tanpa
makna sampai telepon berdering tepat pada menit ketigapuluh.
Deringan itu tidak berasal dari telepon genggam Mitch melainkan
dari telepon dapur.
Anson memandang Mitch, meminta petunjuk apa yang harus ia
lakukan.
Seandainya, yang sangat mungkin terjadi, waktu datangnya
telepon itu kebetulan bersamaan dan telepon yang ia harapkan akan
masuk ke telepon genggamnya, Mitch memberi tanda supaya
kakaknya menerima telepon itu.
Anson menyambarnya pada deringan ketiga dan wajahnya
berubah cerah saat mendengar suara sang penelepon, “Holly!”
Mitch memejamkan mata, menundukkan kepala, menutupi
wajahnya dengan tangan, dan dari reaksi Anson, tahu kapan Holly
menjerit.
/ 133 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
20
MMITCH MENGIRA AKAN DILIBATKAN DALAM PERCAKAPAN TELEPON ITU, TAPI
sang penculik hanya berbicara pada Anson, selama lebih dari tiga
menit.
Inti dari bagian pertama percakapan itu jelas, dan dapat di-
simpulkan dengan mendengarkan bagian Anson. Menit-menit ter-
akhir ternyata tidak mudah untuk diikuti, antara lain karena
tanggapan Anson menjadi lebih singkat, bahkan saat nada suaranya
menjadi lebih suram.
Saat Anson menutup telepon, Mitch berkata, “Apa yang mereka
ingin kita lakukan?”
Alih-alih menjawab, Anson mendekati meja dan memungut
botol Chianti tadi. Ia mengisi gelasnya hingga nyaris luber.
Mitch terkejut melihat gelasnya sendiri kosong. Seingatnya ia
baru meneguk satu atau dua kali. Ia menolak untuk diisikan kembali.
Sambil tetap menuangkan anggur meski Mitch menolak, Anson
berkata, “Jika jantungmu berada pada posisi gigi yang sama dengan
milikku, kau akan langsung membakar habis dua gelas minuman ini
bahkan selagi kau masih menelannya.”
Tangan Mitch gemetar, meski bukan pengaruh dari Chianti itu,
dan anggur itu mungkin justru dapat menenangkannya.
/ 134 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
“Dan Mickey?” kata Anson.
Mickey adalah panggilan kesayangan Anson untuk adiknya
selama masa yang sangat sulit dalam masa kanak-kanak mereka.
Saat Mitch menengadahkan tatapannya dari tangannya yang
gemetar, Anson berkata, “Tidak ada satu hal pun yang akan terjadi
padanya. Aku berjanji padamu, Mickey. Aku bersumpah tak satu hal
pun akan terjadi pada Holly. Tak satu hal pun.”
Sepanjang tahun-tahun awal hidup Mitch, kakaknya telah
berperan sebagai pilot tepercaya yang membawa mereka menero-
bos badai, atau penerbang pengawal seperti yang dibutuhkan saat
itu. Namun tampaknya ia berharap terlalu tinggi sekarang, saat ia
menjanjikan pendaratan yang selamat, karena sudah pasti para pen-
culik itulah yang mengendalikan penerbangan ini.
“Apa yang mereka ingin kita lakukan?” Mitch kembali bertanya.
“Apakah itu bahkan sesuatu yang mungkin, sesuatu yang bisa
dilakukan, atau sama edannya dengan yang kurasakan saat pertama
kudengar ia meminta dua juta dolar?”
Alih-alih menjawab, Anson duduk. Mencondongkan badan ke
depan, bahu membungkuk, lengannya yang gempal di atas meja,
gelas anggur tertutup oleh kedua tangannya yang besar, ia sosok
yang mengesankan.
Ia masih tampak besar bak seekor beruang namun tak lagi
menggemaskan. Para perempuan yang biasanya tertarik padanya
seperti air pasang terhadap bulan, saat melihatnya dalam suasana
hati seperti ini, akan berjalan memutar jauh untuk menghindarinya.
Rahang Anson yang mengeras seperti ini, lubang hidungnya
yang mengembang, perubahan yang ditangkap Mitch pada
matanya dari warna air laut yang teduh menjadi hijau zamrud yang
keras, membesarkan hati Mitch. Ia tahu ekspresi wajah seperti itu:
menandakan Anson tengah bangkit untuk menghadapi ketidak-
adilan, yang selalu memunculkan perlawanan pantang menyerah
/ 135 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
dan efektif dari dalam dirinya.
Meski lega mendapatkan bantuan dari sang kakak, Mitch juga
merasa bersalah. “Aku minta maaf tentang semua ini. Aku tidak per-
nah menduga kau akan terseret ke dalamnya. Aku dikejutkan oleh
itu. Maaf.”
“Kau tidak harus minta maaf untuk apa pun. Tak satu pun, nihil,
nol.”
“Jika saja aku melakukan sesuatu dengan berbeda....”
“Jika kau melakukan apa pun dengan berbeda, mungkin Holly
sudah mati sekarang. Jadi apa yang telah kau lakukan sejauh ini
adalah hal yang tepat.”
Mitch mengangguk. Ia butuh untuk memercayai apa yang
dikatakan kakaknya. Namun tetap saja ia merasa tak berguna. “Apa
yang mereka ingin kita lakukan?” ia bertanya lagi.
“Pertama-tama, Mickey, aku ingin mendengar semua yang telah
terjadi. Apa yang dikatakan bajingan di telepon itu belum seberapa.
Aku perlu mendengar semuanya sejak awal sampai kau datang ke
sini membunyikan bel rumahku.”
Mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan itu, Mitch ber-
tanya-tanya di mana kiranya alat penyadap mungkin disembunyi-
kan.
“Mungkin mereka sedang mendengarkan kita saat ini, mungkin
juga tidak,” kata Anson. “Itu tidak penting, Mickey. Mereka sudah
tahu semua yang akan kau ceritakan padaku karena mereka
melakukannya padamu.”
Mitch mengangguk. Ia menguatkan dirinya dengan Chianti.
Kemudian ia memberikan Anson ulasan hari yang mengerikan itu.
Kalau saja mereka sedang diawasi, Mitch tidak mengungkapkan
cerita mengenai pertemuannya dengan John Knox di loteng garasi.
Anson mendengarkan dengan seksama dan hanya menyela
beberapa kali untuk mengajukan pertanyaan supaya lebih jelas. Saat
/ 136 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Mitch selesai bercerita, kakaknya duduk dengan mata terpejam,
memikirkan dalam-dalam apa yang baru saja diungkapkan padanya.
Megan punya IQ tertinggi di antara anak-anak keluarga
Rafferty, namun Anson selalu menempati urutan kedua, dengan skor
tidak berbeda jauh darinya. Situasi yang dihadapi Holly masih sama
mengerikannya sekarang dengan setengah jam yang lalu, namun
Mitch merasa terhibur oleh kenyataan bahwa sang kakak telah
bergabung dalam pertarungan ini.
Ia sendiri biasa mendapat hasil hampir sama baiknya dengan
Anson pada tes-tes tersebut. Ia merasa agak terhibur bukan karena
otak yang lebih pintar telah mulai berusaha memecahkan masalah
ini, melainkan karena ia tidak lagi sendirian.
Mitch tidak pernah bisa sendirian.
Bangkit dari kursinya, Anson berkata, “Tetaplah duduk di situ,
Mickey. Aku akan segera kembali,” dan meninggalkan dapur.
Mitch memandangi telepon. Ia bertanya-tanya apakah ia akan
mengenali sebuah alat penyadap jika ia membongkar telepon itu.
Ia menoleh sekilas pada jam—7:48. Ia telah diberi waktu enam
puluh jam untuk mengumpulkan uang tebusan, dan tinggal tersisa
lima puluh dua.
Rasanya itu tidak benar. Berbagai kejadian yang membawanya
ke sini telah menyisakannya untuk merasa terkuras, tertindih hingga
gepeng. Ia merasa seolah telah melewati seluruh enam puluh jam
itu.
Karena tak merasakan pengaruh apa pun dari apa yang ia
minum sedari tadi, Mitch menenggak habis sisa anggur di dalam
gelasnya.
Anson muncul kembali dengan mengenakan jaket olahraga.
“Kita harus pergi ke beberapa tempat. Akan kuceritakan semuanya
padamu di dalam mobil. Aku lebih suka kau yang menyetir.”
“Beri aku waktu untuk menghabiskan anggur ini,” sahut Mitch,
/ 137 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
meski gelasnya kosong.
Di atas notes, ia menuliskan satu lagi pesan: MEREKA BISA
MELACAK MOBILKU.
Meski tak ada yang membuntutinya dalam perjalanan ke rumah
orangtuanya, para penculik itu tahu ia pergi ke sana. Dan setelah itu,
saat ia memarkir mobilnya di lapangan parkir gereja untuk meneri-
ma telepon jam enam, mereka tahu dengan persis di mana ia ten-
gah berada.
Apakah itu gereja yang biasa kau dan orangtuamu datangi?
Jika mereka telah melekatkan alat pelacak pada truk dan mobil
Hondanya, mereka bisa mengikutinya dari kejauhan, tanpa terlihat,
mengawasi keberadaannya secara elektronik.
Walau Mitch tidak tahu detail-detail praktis bagaimana teknolo-
gi semacam itu berfungsi, ia paham bahwa penggunaannya menan-
dakan betapa para penculik Holly bahkan lebih canggih dari yang
awalnya ia kira. Luasnya sumber daya mereka—yaitu pengetahuan
dan pengalaman kriminal mereka—membuatnya semakin jelas
bahwa usaha perlawanan apa pun besar kemungkinannya tidak
akan berhasil.
Sisi baiknya, profesionalisme mereka akan memastikan bahwa
tindakan apa pun yang mereka arahkan untuk dilakukan Mitch dan
Anson telah dipikirkan dengan matang dan kemungkinan besar akan
berhasil, apakah itu perampokan tidak langsung maupun tindak
kejahatan lain. Dengan keberuntungan, uang tebusan itu akan
terkumpul.
Menanggapi peringatan yang tertera di tulisan terakhir Mitch,
Anson mematikan api di bawah panci sup, dan mengeluarkan kunci
SUV-nya. “Ayo kita pakai mobil Expedition-ku. Kau yang menyetir.”
Mitch menangkap kunci itu saat dilemparkan padanya, lalu
dengan cepat mengumpulkan tulisan-tulisan yang telah ia buat, dan
membuangnya ke tempat sampah.
/ 138 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Ia dan sang kakak keluar dari rumah lewat pintu dapur. Anson
tidak mematikan lampu maupun mengunci rumah. Ia menyadari
bahwa, dalam prahara ini, ia tidak dapat mencegah masuk mereka
yang tidak ia inginkan, melainkan hanya mereka yang memang
tidak punya keinginan untuk masuk.
Diperlembut oleh pepohonan pakis dan semak-semak nandina
kerdil, sebentang halaman batu bata memisahkan kondominium
bagian depan dan belakang. Unit lebih kecil yang terletak di
belakang berada di atas sepasang garasi.
Garasi dua mobil milik Anson berisi sebuah mobil Expedition
dan Buick Super Woody Wagon tahun 1974, yang telah ia perbaiki
sendiri.
Mitch masuk ke belakang setir mobil SUV itu. “Bagaimana jika
mereka juga memasang alat pelacak di mobilmu?”
Sambil menutup pintu penumpang, Anson berkata, “Itu tidak
penting. Aku akan melakukan persis apa yang mereka inginkan. Jika
mereka bisa melacak kita, mereka akan teryakinkan.”
Memundurkan mobil keluar dari garasi, menuju gang, Mitch
berkata, “Jadi apa yang mereka mau, apa yang harus kita lakukan?
Ceritakan semua padaku.”
“Mereka mau dua juta dolar dikirim ke sebuah nomor rekening
di Kepulauan Cayman.”
“Yah, aku rasa itu lebih baik ketimbang harus memberi sejumlah
itu pada mereka dengan uang recehan, dua ratus juta receh sialan,
tapi uang siapa yang harus kita rampok?”
Cahaya terang dari rona merah matahari yang tenggelam mem-
banjiri gang.
Anson menekan remote control untuk menutup pintu garasi. Ia
berkata, “Kita tidak harus merampok siapa pun. Itu uangku, Mickey.
Mereka menginginkan uangku, dan untuk ini mereka boleh menda-
patkannya.”
/ 139 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
21
LLANGIT YANG BERKOBAR MEMBUAT GANG ITU MEMANCARKAN SINAR. PIJARAN
cahaya bak dari tungku pemanas memenuhi mobil Expedition.
Bersemu merah dengan pantulan menyala dari matahari yang
membara, wajah Anson tampak garang. Pancaran cahaya keemasan
menyepuh tatapannya. Namun, di dalam suaranya yang halus
terkandung kelembutan yang sesungguhnya dari dirinya: “Semua
yang aku punya adalah milikmu, Mickey.”
Seolah baru saja menyeberangi sebuah jalan kota yang ramai
dan, menoleh ke belakang, melihat hutan zaman purba di mana
sebuah kota metropolitan baru saja berdiri, Mitch duduk sesaat
dalam diam, tertegun, dan kemudian berkata, “Kau punya dua juta
dolar? Dari mana kau mendapatkan dua juta dolar?”
“Aku ahli dalam pekerjaanku, dan aku telah bekerja keras.”
“Aku yakin kau ahli dalam pekerjaanmu, kau ahli dalam apa pun
yang kau lakukan, tapi kau tidak hidup layaknya laki-laki kaya.”
“Aku tidak mau. Gengsi dan status tidak menarik bagiku.”
“Aku tahu beberapa orang berduit tetap membumi, tapi...”
“Ide-ide membuatku tertarik,” kata Anson, “”juga kenyataan
bisa mendapatkan kebebasan yang sesungguhnya suatu hari nanti.
Tetapi memampangkan gambarku di halaman sosialita tidak
/ 140 /