www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Ia mengarah ke utara sepanjang beberapa ratus yar menuju
sebuah putaran jalan, kemudian berputar mengarah ke selatan.
Saat ia melewati pompa bensin itu lagi, belum ada perempuan
tinggi berambut pirang marah yang muncul. Ia melesat melewati
tempat itu, namun tetap mematuhi batas kecepatan yang ter-
pampang.
Biasanya, ia bukan seorang pengemudi tidak sabaran yang me-
ngomel-ngomeli pengendara lain yang berjalan dengan pelan dan
tidak memiliki perhatian terhadap sekitarnya. Sepanjang perjalanan
itu ia berdoa supaya mereka dijatuhi berbagai macam penyakit dan
kesialan.
Pada pukul 1:56, ia tiba di lingkungan perumahan tempat
kesalahan bodoh Turnbridge berdiri tak terselesaikan. Di tempat
yang tak terlihat dari rumah besar itu, ia berhenti di trotoar.
Menyumpahi kancing-kancing yang keras kepala, ia melepaskan
kemejanya. Jimmy Null juga kemungkinan besar akan membuatnya
melepasnya, untuk membuktikan ia tidak membawa senjata.
Ia telah diperintahkan untuk datang tanpa senjata. Ia ingin ter-
lihat seperti ia memenuhi permintaan tersebut.
Dari dalam kantung plastik ia mengambil kotak amunisi .45, dan
dari saku celana jinsnya ia mengeluarkan magasin asli dari senjata
Springfield Championnya. Ia menambahkan tiga selongsong ter-
hadap tujuh yang sudah ada di dalam magasin.
Ingatannya akan sebuah film membantunya. Ia menarik peng-
gesernya dan memasukkan selongsong ke sebelas ke dalam.
Selongsong-selongsong itu terasa licin di jemarinya yang
gemetar dan berkeringat, sehingga ia hanya punya waktu untuk
mengisi dua dari tiga magasin ekstra yang ia beli. Ia menjejalkan
kotak berisi amunisi dan magasin ekstra itu ke bawah kursi penge-
mudi.
Satu menit sebelum jam dua.
/ 391 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
Ia memasukkan dua magasin lainnya yang sudah terisi ke dalam
saku celana jins, meletakkan senjata penuh amunisi ke dalam kan-
tung plastik bersama uangnya, memelintir bagian atas kantung
namun tidak mengikatnya, dan menyetir ke arah rumah Turnbridge.
Pagar konstruksi dari kawat yang ditutupi bahan plastik ber-
warna hijau untuk privasi, memisahkan jalan dari tanah milik
Turnbridge yang luas. Warga-warga sekitar yang telah berbetah diri
dengan kejelekan itu selama bertahun-tahun pasti berharap
Turnbridge tidak bunuh diri supaya mereka bisa menyiksanya
dengan pengacara dan makian para tetangga.
Gerbang itu tertutup, dipasangi rantai. Seperti yang dijanjikan
Jimmy Null, rantai itu tidak terkunci.
Mitch menyetir masuk ke dalam pekarangan itu dan parkir
dengan posisi bagian belakang SUV menghadap ke rumah. Ia keluar
dan membuka kelima pintu mobil, berharap melalui tindakan itu ia
memperlihatkan keinginannya untuk memenuhi syarat-syarat ke-
sepakatan sebaik yang bisa ia lakukan.
Ia menutup gerbang konstruksi dan memasang rantainya di tem-
pat semula.
Membawa kantung plastiknya, ia berjalan ke sebuah titik di
antara Escalade dan rumah, berhenti, dan menunggu.
Hari itu hangat, tidak panas, namun matahari menyengat.
Sinarnya menusuk matanya, begitu juga angin.
Telepon genggam Anson berbunyi.
Ia mengangkatnya. “Ini Mitch.”
Jimmy Null berkata, “Sekarang jam dua lebih satu menit. Oh,
sekarang lewat dua menit. Kau terlambat.”
/ 392 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
65
RRUMAH YANG BELUM TERSELESAIKAN ITU TAMPAK SAMA BESARNYA DENGAN
sebuah hotel. Jimmy Null bisa mengawasi Mitch dari jendela mana
pun di antara sejumlah jendela yang sangat banyak itu.
“Seharusnya kau datang dengan Hondamu,” katanya.
“Honda itu tidak bisa dipakai.”
“Dari mana kau dapatkan Escalade itu?”
“Aku mencurinya.”
“Yang benar saja.”
“Sungguh.”
“Parkir mobil itu sejajar dengan rumah, supaya aku bisa lang-
sung melihat melalui kursi depan dan belakang.”
Mitch melakukan apa yang diperintahkan, tetap membiarkan
pintu-pintunya terbuka saat ia mengubah posisi mobil tersebut. Ia
melangkah menjauh dari SUV itu dan menunggu dengan kantung
plastik di tangan, telepon genggam menempel di telinga.
Ia bertanya-tanya apakah Null akan menembaknya sampai mati
dari jauh dan kemudian datang untuk mengambil uangnya. Ia
bertanya-tanya kenapa ia tidak akan melakukan itu.
“Aku merasa tidak tenang kau tidak datang dengan mobil
Honda.”
/ 393 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
“Sudah kukatakan tadi, mobil itu tidak bisa dipakai.”
“Apa yang terjadi?”
“Bannya kempes. Kau mempercepat pertukarannya menjadi
satu jam lebih awal, jadi aku tidak punya waktu untuk mengganti-
nya.”
“Mobil curian—polisi bisa saja mengejarmu sampai ke sini.”
“Tidak ada yang melihatku mengambilnya.”
“Dari mana kau belajar menghidupkan mesinnya?”
“Kuncinya ada di lubang kontak.”
Null menimbang-nimbang dalam diam. Kemudian: “Masuk ke
dalam rumah lewat pintu depan. Jangan matikan teleponnya.”
Mitch melihat pintu depan telah dibuka. Ia masuk ke dalam.
Ruang depan rumah itu sangat luas. Meski belum ada pekerjaan
penyelesaian yang dilakukan, bahkan Julian Campbell pasti akan
terkesan.
Setelah membiarkan Mitch gelisah untuk sesaat, Jimmy Null
berkata, “Lewati lorong dengan tiang-tiang itu menuju ruang tamu
tepat di hadapanmu.”
Mitch masuk ke dalam ruang tamu, di mana jendela-jendela di
sebelah barat memanjang dari lantai ke langit-langit. Meski terlihat
dari kaca-kaca berdebu, pemandangannya begitu memukau sehing-
ga ia mengerti kenapa Turnbridge ingin mati bersama pemandangan
tersebut.
“Baiklah. Aku sudah di sini.”
“Belok ke kiri dan seberangi ruangan itu,” Null mengarahkan.
“Sebuah ambang pintu besar mengarah ke ruang tamu kedua.”
Tidak ada daun pintu yang terpasang. Pintu yang memisahkan
kedua ruangan ini harus mencapai sembilan kaki panjangnya untuk
bisa mengisi bukaan tersebut.
Saat Mitch tiba di ruang tamu kedua, yang memberikan pe-
mandangan sama spektakulernya, Null berkata, “Kau akan melihat
/ 394 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
ambang pintu besar lainnya di seberang tempat kau berdiri, dan
sebuah pintu di sebelah kirimu.”
“Ya.”
“Pintu itu mengarah ke sebuah gang. Gang itu melewati kamar-
kamar lain dan mengarah ke dapur. Dia ada di dapur. Tapi jangan
dekati dia.”
Bergerak menyeberangi ruang tamu itu menuju pintu yang
dimaksud, Mitch berkata, “Kenapa tidak?”
“Karena masih aku yang membuat aturannya. Ia dirantai ke
sebuah pipa. Aku memegang kuncinya. Kau cukup berhenti tepat di
dalam dapur.”
Gang itu tampak menyurut darinya semakin jauh ia menyusuri-
nya, tapi ia tahu efek teleskop itu pasti psikologis sifatnya. Ia tidak
sabaran untuk melihat Holly.
Ia tidak melongok ke dalam kamar-kamar yang ia lewati. Null
mungkin ada di dalam salah satu kamar itu. Itu tidak penting.
Saat Mitch memasuki dapur, ia langsung melihatnya, dan jan-
tungnya membengkak, mulutnya menjadi kering. Semua yang telah
ia lewati, setiap rasa sakit yang telah ia derita, setiap hal mengerikan
yang telah ia lakukan, langsung terasa sepadan saat itu juga.
/ 395 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
66
KKARENA ORANG MENYERAMKAN ITU TIBA DI DAPUR UNTUK BERDIRI DI
sampingnya selama bagian terakhir percakapan telepon, Holly
mendengarnya memberikan petunjuk-petunjuk terakhir.
Ia menahan napas, memasang telinga untuk mendengarkan
suara langkah kaki. Saat ia mendengar Mitch mendekat, air mata
panas mengancam untuk keluar. Namun ia mengerjap-ngerjapkan
mata menahannya.
Sesaat kemudian Mitch masuk ke dalam ruangan. Ia mengucap-
kan namanya dengan begitu lembut. Suaminya.
Sejak tadi ia berdiri dengan kedua tangan menyilang di atas
dadanya, tangan mengepal di dalam ketiak. Sekarang ia menurunk-
an kedua tangannya itu dan berdiri dengan tangan mengepal di
samping tubuhnya.
Orang menyeramkan itu, yang telah mengeluarkan sebuah
pistol yang tampak keji, memfokuskan dirinya dengan sungguh-
sungguh pada Mitch. “Lebarkan lengan keluar seperti burung.”
Mitch menurut, sebuah kantung sampah putih menggantung
dari tangan kanannya.
Pakaiannya dekil. Rambutnya acak-acakan karena angin. Semua
rona warna telah menghilang dari wajahnya. Ia tampan.
/ 396 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Sang pembunuh berkata, “Mendekat perlahan.”
Seperti diperintahkan, Mitch mendekat, dan orang menyeram-
kan itu menyuruhnya untuk berhenti lima belas kaki jauhnya.
Saat Mitch berhenti, sang pembunuh berkata, “Letakkan kan-
tung itu di lantai.”
Mitch merendahkan kantungnya ke lantai batu kapur yang
berdebu. Kantung itu tergeletak di lantai namun tidak membuka.
Mengacungkan pistolnya pada Mitch, pembunuh itu berkata,
“Aku ingin melihat uangnya. Berlutut di depan kantung itu.”
Holly tidak suka melihat Mitch berlutut. Ini adalah posisi yang
diperintahkan para penjagal pada korban mereka sebelum momen
maut itu.
Ia harus bertindak, namun waktunya tidak terasa tepat. Jika ia
mulai bergerak terlalu awal, rencananya mungkin akan gagal.
Nalurinya mengatakan untuk menunggu, meski menunggu dengan
Mitch bertumpu pada lututnya sungguh terasa sulit.
“Tunjukkan padaku uangnya,” kata sang pembunuh, dan ia
mencengkeram pistolnya dengan dua tangan, jari mengencang pada
pelatuk.
Mitch membuka leher kantung tersebut dan mengeluarkan
setumpuk uang berbungkus plastik. Ia merobek salah satu ujung
plastiknya, dan mengibarkan lembaran-lembaran seratus dolar itu
dengan jempolnya.
“Surat obligasinya?”
Mitch menjatuhkan uang tunai itu kembali ke dalam kantung.
Orang menyeramkan itu menegang, menyorongkan pistolnya
ke depan saat Mitch memasukkan tangannya ke dalam kantung
sekali lagi, dan ia tidak mengendur bahkan ketika Mitch hanya me-
ngeluarkan selembar amplop besar.
Dari dalam amplop, Mitch mengeluarkan setengah lusin lem-
baran sertifikat yang tampak resmi. Ia mengacungkan satu ke depan
/ 397 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
supaya sang pembunuh dapat membacanya.
“Baik. Taruh kembali ke dalam kantung.”
Mitch menurut, masih berlutut.
Orang menyeramkan tersebut berkata, “Mitch, jika istrimu
punya peluang untuk mendapatkan kepuasan pribadi yang sebelum-
nya tak terbayangkan, kesempatan untuk mendapat pencerahan,
untuk mengalami pengalaman batin luar biasa, tentu kau ingin dia
mengikuti arah takdirnya yang lebih baik itu.”
Tercengang oleh perubahan ini, Mitch tidak tahu harus berkata
apa, namun Holly tahu. Waktunya telah tiba.
Ia berkata, “Aku telah dikirim sebuah pertanda, masa depanku
adalah New Mexico.”
Mengangkat kedua tangan dari samping tubuhnya, membuka
kepalan tangannya, ia menyingkap luka-lukanya yang berdarah-
darah.
Teriakan yang berada di luar kontrol keluar dari mulut Mitch,
sang pembunuh menoleh pada Holly, dan noda darahnya menetes
untuk mencengangkannya.
Lubang-lubang paku itu sungguhan, meski tidak menembus
tangannya. Ia menusuk dirinya sendiri dan menggarap luka-lukanya
dengan keteguhan hati yang dahsyat.
Hal yang terparah adalah harus menahan setiap jerit kesakitan.
Jika pembunuh itu mendengarnya kesakitan, ia pasti sudah akan
datang untuk melihat apa yang sedang ia lakukan.
Segera setelah ditusuk, lukanya mengeluarkan darah terlalu
banyak. Ia menutupnya dengan serbuk plaster untuk menghentikan
pendarahannya. Sebelum plester itu berhasil, darah telah menetes ke
lantai, tapi ia menutupinya dengan menyebarkan tumpukan serbuk
tebal itu.
Dengan kedua tangannya terkepal di ketiak, saat Mitch mema-
suki ruangan, Holly telah mencakar sumbat plester itu dari luka-
/ 398 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
lukanya, membuatnya kembali terbuka.
Sekarang darah mengalir, sang pembunuh takjub, dan Holly
berkata, “Di Espanola, di mana hidupmu akan berubah, tinggal se-
orang perempuan bernama Rosa Gonzales bersama dua anjing
putih.”
Dengan tangan kirinya, ia menarik leher sweaternya turun,
menyingkap belahan dada.
Tatapan laki-laki itu naik dari dadanya ke matanya.
Holly menyelipkan tangan kanannya ke antara payudaranya,
menggenggam paku itu, dan takut tidak akan sanggup
memegangnya di jemarinya yang licin.
Sang pembunuh melirik ke arah Mitch.
Holly mencengkeram paku itu dengan cukup mantap, me-
nyingkapnya, dan menghujamkannya ke wajah sang pembunuh,
menyasar matanya, namun justru menyematkan topeng laki-laki itu
menempel ke wajahnya, menusuk cekung pipinya dan merobek.
Berteriak, lidahnya mencambuki paku, ia terhuyung-huyung ke
belakang menjauhi Holly, dan pistolnya meletus dengan liar, peluru-
peluru menghantam dinding.
Holly melihat Mitch bangkit dan bergerak dengan cepat,
dengan senjatanya sendiri.
/ 399 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
67
MMITCH BERTERIAK, “HOLLY, MENYINGKIR,” DAN IA TELAH MULAI MENYINGKIR
pada suku kata pertama dari kata Holly, memisahkan dirinya dari
Jimmy Null sejauh yang dimungkinkan oleh rantai itu.
Dari jarak dekat, menyasar ke perut, mengenai dada, tertarik ke
bawah karena sentakan, menembak lagi, tertarik ke bawah, menem-
bak, menembak, ia merasa beberapa tembakan sangat melenceng
dari sasaran, tapi melihat tiga atau empat selongsong merobek ke
dalam jaket, masing-masing gemuruh begitu besar bergaung me-
lewati seluruh rumah besar itu.
Null terhuyung-huyung ke belakang, kehilangan keseimbangan.
Pistolnya memiliki magasin tambahan. Tampaknya otomatis se-
penuhnya. Peluru-peluru menjahit sebuah dinding, sebagian langit-
langit.
Karena ia sekarang hanya mencengkeram senjatanya dengan
satu tangan, mungkin sentakan akibat tembakan membuat senjata
itu terjatuh dari tangannya, mungkin ia kehilangan kekuatannya.
Namun apa pun alasannya, senjata itu melayang terlepas dari
pegangan. Senjata tersebut menghantam dinding, terjatuh ber-
keletak di lantai batu kapur.
Terdorong ke belakang oleh hantaman peluru-peluru .45,
/ 400 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
bergoyang-goyang bertumpu pada tumitnya, Null berjalan sempo-
yongan, terjatuh menyamping, kemudian berguling menelungkup.
Saat gaung demi gaung dari suara tembakan itu memudar, Mitch
dapat mendengar suara napas Jimmy Null yang berdesing tak ber-
aturan. Mungkin seperti itulah kau bernapas jika menderita luka
dada yang fatal.
Mitch tidak merasa bangga akan apa yang ia lakukan berikut-
nya, bahkan tidak mendapatkan kenikmatan yang bengis dari tin-
dakan itu. Malah ia nyaris tidak melakukannya, tapi ia tahu bahwa
nyaris tidak akan memberinya dispensasi saat tiba waktunya untuk
mempertimbangkan bagaimana ia menjalani hidupnya.
Ia melangkahi laki-laki mati itu dan menembaknya dua kali di
punggung. Ia sudah akan menembaknya untuk ketiga kali, tapi ia
telah mengeluarkan kesebelas peluru dalam pistolnya.
Meringkuk melindungi diri selama tembakan senjata itu ber-
langsung, Holly bangkit untuk menemui Mitch tepat saat suaminya
itu berpaling padanya.
“Ada yang lain?”
“Hanya dia, hanya dia.”
Ia menghambur ke Mitch, memeluknya. Belum pernah sebelum-
nya Mitch dipeluk seerat ini, dengan keganasan yang manis.
“Tanganmu.”
“Tidak apa-apa.”
“Tanganmu,” Mitch mendesak.
“Tanganku tidak apa-apa, kau masih hidup, tanganku tidak apa-
apa.”
Mitch mencium setiap bagian wajahnya. Mulutnya, matanya,
alisnya, matanya lagi, sekarang terasa asin akibat air mata, mulut-
nya.
Ruangan itu berbau tajam bekas tembakan, seorang laki-laki
mati tergeletak di lantai, Holly berdarah, dan kakinya terasa lemas.
/ 401 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
Ia menginginkan udara segar, angin yang bersemangat, sinar mata-
hari untuk mencium Holly.
“Ayo kita keluar dari sini,” katanya.
“Rantainya.”
Sebuah gembok baja tak berkarat menyatukan mata-mata rantai
di sekeliling pergelangan tangannya.
“Ia memegang kuncinya,” kata Holly.
Memandangi tubuh di lantai itu, Mitch mengeluarkan sebuah
magasin ekstra dari saku celana jinsnya. Ia mengeluarkan magasin
yang telah kosong dari pistol dan menggantinya dengan yang baru.
Menekan moncong senjata pada belakang kepala sang penculik,
ia berkata, “Satu gerakan, aku akan meledakkan kepalamu,” tapi
tentu saja ia tidak mendapat jawaban.
Namun begitu, ia tetap menekan senjata itu dengan keras dan,
dengan tangannya yang bebas, bisa menggeledah saku di bagian
samping jaket. Ia menemukan kuncinya di saku kedua.
Rantai itu mengurai terlepas dari pergelangan tangan Holly
begitu gembok terjatuh mengetuk lantai batu kapur.
“Tanganmu,” katanya, “tanganmu yang indah.”
Melihat darahnya menusuk dirinya, dan ia terpikir akan tempat
pembunuhan bohongan yang ditata oleh para penculik di dapur
mereka, jejak-jejak tangan berdarah, tapi ini lebih parah, jauh lebih
parah untuk melihatnya mengeluarkan darah.
“Apa yang terjadi pada tanganmu?”
“New Mexico. Ini tidak separah kelihatannya. Nanti aku
jelaskan. Ayo. Kita keluar dari sini.”
Mitch menyambar kantung berisi uang tebusan dari lantai.
Holly menuju ke sebuah pintu, namun ia menggiringnya ke pintu
masuk dari arah gang, satu-satunya rute yang ia tahu.
Mereka berjalan dengan lengan kanan Holly merangkul bahu
Mitch dan lengan kiri Mitch di sekeliling pinggang Holly, melewati
/ 402 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
kamar-kamar kosong entah berhantu atau tidak, dan jantungnya
tidak berdetak lebih lembut dan lebih perlahan dibanding saat ia
melepaskan tembakan-tembakan itu tadi. Mungkin jantungnya akan
berpacu seperti ini terus selama sisa hidupnya.
Gang itu panjang, dan di dalam ruang tamu kedua, mereka
tidak dapat mencegah diri untuk melihat ke arah pemandangan
yang luas dan terselaput debu.
Saat mereka melangkah ke dalam ruang tamu, suara mesin
bergemuruh di suatu tempat lain di rumah ini. Suara berisik itu
berpindah dari kamar ke gang menuju kamar, dan memantul pada
langit-langit yang tinggi, membuatnya mustahil untuk memastikan
dari mana suara itu berasal.
“Sepeda motor,” kata Holly.
“Antipeluru,” kata Mitch. “Rompi di bawah jaketnya.”
Hantaman peluru-peluru tadi, terutama dua di punggung,
menghantam tulang punggungnya, pasti telah membuat Jimmy Null
pingsan beberapa lama.
Ia tidak berniat untuk pergi menggunakan mobil van yang tadi
ia bawa ke sini. Telah menyembunyikan motor di dekat dapur,
mungkin di dalam ruang sarapan, ia telah siap untuk pergi—jika ada
sesuatu yang tidak berjalan semestinya—melalui sayap mana pun di
rumah ini, melalui pintu mana pun. Begitu berada di luar rumah, ia
bisa kabur bukan hanya melalui pintu gerbang konstruksi yang meng-
arah ke jalan, tapi juga menuruni tebing, atau lewat rute ketiga.
Saat suara berisik mesin itu bertambah keras, Mitch tahu Jimmy
tidak berniat untuk kabur. Dan juga bukan uang tebusan yang
menariknya mendekat.
Apa pun yang terjadi antara Null dan Holly—New Mexico dan
Rosa Gonzales dan, anjing putih dan luka berdarah—semua hal itu
menariknya, dan ia juga ditarik oleh rasa malu dengan dihujamkan-
nya paku di wajahnya. Karena paku itu, ia menginginkan Holly
/ 403 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
lebih daripada uang, menginginkannya mati.
Logika mengatakan bahwa ia berada di belakang mereka dan
akan muncul dari ruang tamu kedua.
Mitch bergegas mengarahkan Holly melintasi ruang tamu yang
luas, ke arah ruang depan yang sama luasnya dan pintu depan di
belakangnya.
Logika salah total. Mereka baru menyeberangi kurang dari
setengah ruang tamu saat Jimmy Null di atas sebuah Kawasaki
menyeruak keluar dari suatu tempat, melesat menyusuri lorong
yang diapit tiang-tiang batu kapur yang memisahkan mereka dari
ruang depan.
Mitch menarik Holly ke belakang saat Null mengendarai
motornya di antara tiang-tiang menuju ruang depan. Ia berbelok di
sana dan langsung menuju mereka, melintasi ruangan itu, menye-
berangi lebar lorong, melaju semakin cepat.
Null tidak memegang pistolnya. Kehabisan amunisi. Atau kare-
na liar dengan kemarahan, senjata itu terlupakan.
Mendorong Holly ke belakangnya, Mitch mengangkat
Championnya dengan dua tangan, mengingat pandangan ke depan,
titik putih, dan melepaskan tembakan saat Null melintasi lorong.
Menyasar dadanya kali ini, berharap dapat mengenai kepala.
Lima puluh kaki dan semakin mendekat, gemuruh menghantam
dinding-dinding. Tembakan pertama terlalu tinggi, turunkan lagi,
kedua, turunkan, tiga puluh kaki dan semakin mendekat, tembakan
ketiga. TURUNKAN! Tembakan keempat melumpuhkan otak Jimmy
Null dengan begitu mendadak, kedua tangannya terlontar dari
setang.
Laki-laki mati itu berhenti, tapi motornya tidak, melaju dengan
roda belakangnya, ban melengking, berasap, terus menderu ke
depan sampai motor itu roboh, jatuh berguling-guling ke arah mere-
ka, menghantam salah satu jendela besar dan menembus kaca yang
/ 404 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
pecah, hilang.
Pastikan. Kejahatan memiliki daya tahan seekor kecoa. Pastikan,
pastikan. Champion tergenggam di kedua tangan, mendekatinya
dengan tenang, jangan tergesa-gesa sekarang, kitari dia. Melangkah
menghindari percikan-percikan di lantai. Percikan abu-abu-merah
muda, serpihan tulang dan rambut. Ia tidak mungkin hidup. Jangan
anggap sesuatu pasti tanpa bukti.
Mitch mengelupas topeng untuk melihat wajahnya, tapi itu
bukan lagi sesosok wajah, dan mereka sudah selesai sekarang.
Mereka sudah selesai.
/ 405 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
68
PPADA MUSIM PANAS SAAT ANTHONY BERUSIA TIGA TAHUN, MEREKA
merayakan ulang tahun Mitch ke tiga puluh dua dengan sebuah
pesta di halaman belakang.
Big Green memiliki tiga truk sekarang, dan ada lima pegawai
lain selain Iggy Barnes. Mereka semua datang bersama istri dan anak
mereka, dan Iggy membawa seorang cewek peselancar bernama
Madelaine.
Holly menjalin pertemanan yang akrab—seperti yang selalu ia
lakukan—di kantor agen real estat di mana sejauh ini ia berada di
peringkat kedua dalam penjualan tahun ini.
Meski Dorothy lahir dua belas bulan setelah Anthony, mereka
belum pindah ke rumah yang lebih besar. Holly dibesarkan di sini;
rumah ini adalah sejarahnya. Lagipula, belum-belum mereka berdua
telah menorehkan sejarah yang cukup luar biasa di sini.
Mereka akan menambahkan tingkat kedua di rumah ini sebelum
anak ketiga hadir. Dan akan ada anak ketiga.
Kejahatan telah melintasi ambang pintu, tapi kenangan akan hal
itu tidak akan membuat mereka lari dari tempat ini. Cinta bisa
menggosok noda paling parah hingga bersih. Lagipula, kejahatan
tidak akan bisa dihadapi dengan mundur, hanya dengan per-
/ 406 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
lawanan. Dan komitmen.
Sandy Taggart juga hadir, bersama istrinya, Jennifer, dan kedua
anak perempuan mereka. Ia membawa koran hari itu, bertanya-
tanya apakah Mitch telah melihat beritanya. Mitch belum melihat-
nya: Julian Campbell, di antara jeda waktu antara penjatuhan
hukuman dan permohonan banding, digorok lehernya di penjara—
diduga itu pembunuhan berencana, tapi belum ada tahanan lain
yang diidentifikasi sebagai pembunuhnya.
Meski Anson berada di penjara yang berbeda dengan yang di-
diami Campbell, pada akhirnya ia akan mendengar tentang kejadi-
an itu. Itu akan memberinya sesuatu untuk direnungkan sementara
para pengacaranya bekerja untuk menghindarkannya dari hukuman
suntikan mati.
Adik perempuan Mitch, Portia, datang ke pesta itu jauh-jauh
dari Birmingham, Alabama, dengan suaminya yang pengusaha
restoran, Frank, dan lima anak mereka. Megan dan Connie tetap
jauh bukan saja dalam hal jarak. Tetapi hubungan Mitch dan Portia
semakin dekat, dan ia masih memiliki harapan untuk menemukan
cara mendekatkan kedua saudara perempuannya tersebut pada
dirinya, suatu waktu nanti.
Daniel dan Kathy menghasilkan lima anak karena Daniel berkata
bahwa kelanjutan spesies tidak bisa diserahkan kepada para irasi-
onalis. Para materialis harus berkembang biak dengan giat atau
dunia akan masuk ke Neraka dengan melalui cara Tuhan.
Portia telah menyeimbangkan lima anak yang dimiliki ayahnya
dengan memiliki lima anaknya sendiri, dan membesarkan mereka
dengan cara-cara tradisional yang tidak melibatkan ruang pem-
belajaran.
Pada malam ulang tahunnya ini, mereka menyantap banyak
hidangan di meja-meja yang diletakkan di teras dan halaman, dan
Anthony duduk dengan bangga di kursi khususnya. Mitch membuat
/ 407 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
kursi itu untuknya dengan mengikuti rancangan yang digambar
Holly, dan ia mencatnya dengan warna merah ceria.
“Kursi ini,” Holly bercerita pada Anthony, “untuk mengenang
seorang anak laki-laki yang berusia enam tahun selama lima puluh
tahun dan sangat dicintai selama lima puluh enam tahun. Jika kau
pernah merasa kau tidak dicintai, duduklah di kursi ini dan ketahuilah
bahwa kau dicintai dengan sama mendalamnya seperti Anthony satu-
nya itu dicintai, sedalam anak laki-laki mana pun pernah dicintai.”
Anthony, dengan usianya yang tiga tahun, saat itu berkata, “Apa
aku boleh makan es krim?”
Setelah makan malam, mereka memasang lantai dansa di
halaman. Bandnya tidak seberisik band saat hari pernikahan mere-
ka. Tidak ada tamborin dan akordeon.
Setelah itu, lama setelah itu, saat bandnya sudah pergi dan
semua tamu-tamu telah pulang, saat Anthony dan Dorothy terlelap
nyenyak di kursi ayunan teras belakang, Mitch mengajak Holly
berdansa mengikuti musik dari radio, setelah sekarang mereka
memiliki seluruh lantai dansa itu untuk mereka sendiri. Ia
memeluknya dekat, namun tidak terlalu kencang, karena ia bisa
pecah. Saat mereka berdansa, suami dan istri, Holly menyentuhkan
tangannya pada wajah Mitch, seolah setelah sekian lama ini ia masih
takjub Mitch telah membawanya kembali ke rumah padanya. Mitch
mengecup luka parut di telapak tangannya, dan kemudian luka di
telapak satunya. Di bawah hamparan bintang-bintang yang
menawan, di bawah sinar bulan, ia tampak begitu cantik sampai ia
kehilangan kata-kata, seperti yang sudah sering terjadi sebelumnya.
Meski ia mengenalnya sebaik ia mengenal dirinya sendiri, ia sama
misteriusnya dengan ia menawan, kedalaman abadi di dalam
matanya. Tetapi ia tidak lebih misterius dibanding bintang-bintang
dan bulan dan semua hal di bumi.
/ 408 /
www.facebook.com/indonesiapustaka