www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
membuatku tertarik.”
Mitch masih tersesat di dalam hutan kenyataan baru ini.
“Maksudmu kau punya, benar-benar punya, dua juta dolar di
bank?”
“Aku harus mencairkan beberapa investasi. Itu bisa dilakukan
lewat telepon, komputer, begitu bursa dibuka besok. Tiga jam
paling lama.”
Benih-benih harapan mengembang dengan adanya irigasi yang
dialirkan oleh berita menakjubkan dan mencengangkan ini.
Mitch berkata, “Berapa ... berapa banyak uang yang kau punya?
Maksudku, seluruhnya.”
“Ini nyaris akan menyapu bersih likuiditasku,” kata Anson, “tapi
aku masih akan memiliki aset kondoku. ”
“Menyapu bersih hartamu. Aku tidak bisa membiarkan itu
terjadi.”
“Jika aku pernah menghasilkannya pada suatu waktu, aku akan
bisa menghasilkannya lagi nanti.”
“Tidak sebanyak itu. Tidak dengan mudah.”
“Apa yang kulakukan dengan uangku adalah urusanku, Mickey.
Dan yang ingin kulakukan dengan uang itu adalah mengembalikan
Holly ke rumah dengan selamat.”
Menerobos cahaya merah tua yang mengalir, menerobos
bayang-bayang kelam samar yang dengan cepat menghitam menje-
lang malam, datang seekor kucing berbulu oranye menyusuri gang.
Terjerat dalam emosi campur aduk, Mitch tidak memercayai
dirinya sendiri untuk bicara, jadi ia memandangi kucing itu dan
menghela napas dalam dan perlahan.
Anson berkata, “Karena aku belum menikah, tidak punya anak,
maka bajingan-bajingan itu menyasar Holly dan kau sebagai cara
untuk mendapatkanku.”
Terungkapnya kekayaan Anson membuat Mitch begitu ter-
/ 141 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
cengang sampai ia tidak segera menangkap penjelasan gamblang
dari penculikan yang sebelum ini tidak dapat dimengerti itu.
“Jika ada seseorang yang lebih dekat padaku,” Anson
meneruskan, “jika keadaanku lebih rentan seperti itu, istri atau
anakku pasti sudah akan diculik, dan Holly tidak akan terlibat.”
Mengendap-endap perlahan sampai akhirnya diam tak ber-
geming, kucing oranye itu berhenti di depan mobil Expedition
mereka, mendongak dan memandang tajam ke arah Mitch. Dalam
sebentang jalan penuh pantulan cahaya berkobar, hanya mata sang
kucing yang memancarkan satu-satunya cahaya tulen, hijau radium.
“Bisa saja salah satu adik kita yang mereka culik, ’kan? Megan,
Connie, Portia? Dan ini tidak berbeda dari itu.”
Mitch bertanya-tanya, “Dengan gaya hidupmu yang seperti itu,
sangat khas kelas menengah, bagaimana mereka bisa tahu?”
“Seseorang yang bekerja di bank, seorang pialang saham, orang
tidak beres yang seharusnya tidak berada di tempat ia berada.”
“Kau punya dugaan kira-kira siapa orang itu?”
“Aku belum punya waktu untuk memikirkannya, Mickey. Tanya
aku besok.”
Memecah keheningan, menyelinap maju, kucing oranye itu
lewat di dekat SUV mereka, menghilang dari penglihatan.
Tepat saat itu, seekor burung terbang ke atas, seekor burung
dara atau merpati yang sebelumnya berlambat-lambat di atas
remah-remah yang tercecer, menabrakkan sayapnya ke kaca pintu
sopir tatkala menyambar terbang menuju pergola yang aman.
Mitch terperanjat oleh suara itu dan oleh persepsi bagai mimpi
bahwa kucing tadi, saat menghilang, berubah wujud menjadi seekor
burung.
Menatap sang kakak lagi, Mitch berkata, “Sebelumnya aku tidak
melihat adanya kemungkinan untuk melapor ke polisi. Tapi
semuanya sudah berubah sekarang. Kau punya pilihan untuk
/ 142 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
melakukan itu.”
Anson menggelengkan kepala. “Mereka menembak mati se-
orang laki-laki persis di depanmu untuk menegaskan maksud
mereka.”
“Ya.”
“Dan kau menangkap maksud mereka itu.”
“Ya.”
“Yah, begitu juga aku. Kecuali mereka mendapatkan apa yang
mereka inginkan, mereka akan membunuh tanpa perasaan menye-
sal, dan mereka akan melimpahkan kejahatan itu padamu atau pada
kita berdua. Kita dapatkan Holly kembali, kemudian baru kita lapor
ke polisi.”
“Dua juta dolar.”
“Itu hanya uang,” kata Anson.
Mitch teringat apa yang dikatakan kakaknya tentang bagaimana
ia tidak peduli memiliki foto yang terpampang di halaman sosialita,
tentang bagaimana ia justru tertarik pada ide-ide, dan “men-
dapatkan kebebasan yang sesungguhnya suatu hari nanti.”
Sekarang ia mengulangi pernyataan tersebut dan berkata, “Aku
tahu apa artinya itu. Kapal layar pesiar. Sebuah kehidupan di laut
bebas.”
“Itu tidak penting, Mickey.”
“Tentu saja itu penting. Dengan uang sebanyak itu kau sudah
nyaris memiliki kapal itu dan sebuah kehidupan tanpa belenggu.”
Tiba giliran Anson untuk mencari kucing tadi atau pengalih per-
hatian lain yang sepadan di dalam cahaya merah itu, di dalam
bayang-bayang yang menggigit.
Mitch berkata, “Aku tahu kau seorang perencana. Kau selalu
begitu sejak dulu. Kapan kau berencana untuk pensiun, untuk men-
jadikan impianmu kenyataan?”
“Lagipula itu impian anak kecil, Mickey. Dongeng-dongeng
/ 143 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
bajak laut dan pertempuran laut.”
“Kapan?” Mitch mendesak.
“Dalam waktu dua tahun. Saat aku berusia tiga puluh lima. Jadi
masih beberapa tahun lagi. Dan aku mungkin akan mengumpulkan
kembali uang itu lebih cepat dari yang kukira. Bisnisku berkembang
pesat.”
“Transaksi bisnis dengan China.”
“Transaksi dengan China dan yang lain-lainnya. Aku ahli dalam
pekerjaanku.”
“Aku tidak mungkin menolak tawaranmu,” kata Mitch. “Aku
bersedia mati demi Holly, jadi aku sudah pasti bersedia mem-
biarkanmu bangkrut demi dia. Tapi aku tidak akan membiarkanmu
menganggap remeh pengorbananmu itu. Itu pengorbanan yang luar
biasa. ”
Anson mengulurkan tangan, meletakkannya di belakang leher
Mitch dan menariknya dekat padanya, kemudian dengan lembut
menekan keningnya pada kening Mitch sehingga mereka tidak saling
memandang melainkan melihat ke bawah pada persneling di antara
mereka. “Akan kuceritakan sesuatu padamu, bro.”
“Ceritakan padaku.”
“Biasanya aku tidak akan pernah menceritakan ini. Tapi supaya
kau tidak menggerogoti hatimu sendiri dengan perasaan bersalah,
yang memang seperti itulah dirimu … kau harus tahu bahwa kau
bukan satu-satunya yang pernah membutuhkan bantuan.”
“Apa maksudmu?”
“Kau pikir bagaimana Connie bisa membeli toko kuenya?”
“Kau?”
“Aku menyusun pinjamannya sedemikian rupa sehingga seba-
gian dari itu diubah menjadi hadiah bebas pajak setiap tahun. Aku
tidak ingin dibayar kembali. Senang rasanya bisa melakukan itu. Dan
juga bisnis salon anjing Megan.”
/ 144 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Mitch berkata, “Restoran yang sedang dibuka Portia dan Frank.”
“Itu juga.”
Masih duduk dengan kepala mereka yang tertunduk saling me-
nempel, Mitch berkata, “Bagaimana mereka bisa tahu kau punya
begitu banyak uang?”
“Mereka tidak tahu. Aku melihat apa yang mereka butuhkan.
Selama ini aku berusaha memikirkan apa yang kau butuhkan, tapi
kau selalu tampak … begitu mandiri.”
“Ini sangat jauh berbeda dari sebuah pinjaman untuk membeli
toko roti atau membuka restoran kecil.”
“Memang betul, Sherlock.”
Mitch tertawa gemetar.
“Tumbuh besar di dalam lorong sesat milik Daniel,” kata Anson,
“satu-satunya yang dimiliki siapa pun di antara kita juga jadi milik
yang lainnya. Itu satu-satunya hal yang penting. Sekarang pun masih
seperti itu, fratello piccolo. Akan selalu seperti itu.”
“Aku tidak akan melupakan ini,” kata Mitch.
“Itu sudah pasti. Kau berhutang padaku selamanya.”
Mitch kembali tertawa, tidak begitu gemetar lagi. “Jasa per-
tamanan gratis seumur hidup.”
“Hei, bro?”
“Ya?”
“Apa kau akan meneteskan ingus di perseneling?”
“Tidak,” Mitch berjanji.
“Bagus. Aku suka mobil yang bersih. Kau siap untuk menyetir?”
“Ya.”
“Kau yakin?”
“Ya.”
“Kalau begitu, ayo kita jalan.”
/ 145 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
22
HHANYA LUKA TIPIS DARI HARI YANG TELAH BERGULIR, YANG MENGELUARKAN
darah di sepanjang garis ufuk jauh di sana. Selain itu langit gelap,
laut pun gelap; dan bulan belum lagi naik untuk menghamparkan
warna perak di pantai yang sepi.
Anson berkata ia perlu untuk berpikir, dan ia berpikir dengan
baik dan jernih di dalam mobil yang sedang bergerak, karena itu
serupa dengan perahu yang tengah berlayar. Ia menyarankan pada
Mitch untuk menyetir ke arah selatan.
Pada jam itu, lalu lintas yang lengang menyusuri jalan bebas
hambatan Pacific Coast, dan Mitch tetap berada di jalur sebelah
kanan, tidak tergesa-gesa.
“Mereka akan menelepon ke rumah tengah hari besok,” kata
Anson, “untuk mengecek kemajuan apa yang telah kulakukan
menyangkut dananya.”
“Aku tidak suka masalah pengiriman uang ke Kepulauan
Cayman itu.”
“Aku juga. Dengan begitu mereka akan mendapatkan uangnya
dan Holly.”
“Lebih baik jika kita bertemu langsung,” kata Mitch. “Mereka
membawa Holly, kita membawa beberapa koper berisi uang tunai.”
/ 146 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
“Itu juga riskan. Mereka mengambil uangnya, menembaki kita
semua.”
“Tidak jika kita menetapkan syarat bahwa kita diperbolehkan
membawa senjata.”
Anson ragu. “Itu akan membuat mereka terintimidasi. Mereka
benar-benar akan percaya kita tahu tentang senjata?”
“Mungkin tidak. Kalau begitu kita bawa senjata yang tidak
mengharuskan kita menjadi penembak hebat. Contohnya senapan
berburu.”
“Di mana kita bisa mendapatkan senapan berburu?”
“Kita beli di toko senjata, di Wal-Mart, di mana saja.”
“Bukankah ada masa jedanya sebelum kita diperbolehkan
menggunakan senjata itu?”
“Aku rasa tidak. Itu hanya berlaku untuk pembelian pistol.”
“Kita akan perlu berlatih menggunakannya.”
“Tidak banyak,” kata Mitch, “hanya untuk menjadi terbiasa
saja.”
“Mungkin kita bisa keluar ke Ortega Highway. Maksudku, se-
telah kita mendapatkan senjatanya. Masih ada beberapa gurun di
sana yang belum dijejali rumah-rumah. Kita bisa mencari tempat
yang sepi, berlatih menembakkan beberapa peluru.”
Mitch menyetir dalam diam, dan Anson berkendara dalam
diam. Perbukitan di timur dibercaki lampu dari rumah-rumah
mewah. Laut yang hitam terhampar di sebelah barat mereka. Langit
pun hitam, garis ufuk tak lagi tampak. Laut dan langit menyatu men-
jadi satu kehampaan hitam yang besar.
Lalu Mitch berkata, “Terasa tidak nyata bagiku. Senapan berburu
itu.”
“Rasanya seperti di film,” Anson setuju.
“Aku seorang tukang kebun. Kau ahli bahasa.”
“Lagipula,” kata Anson, “aku tidak bisa membayangkan para
/ 147 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
penculik itu membiarkan kita menetapkan syarat. Siapa yang
berkuasa, dialah yang membuat aturannya.”
Mereka terus mengarah ke selatan. Jalan bebas hambatan yang
anggun itu meliuk, naik, dan menurun menuju pusat kota Laguna
Beach.
Pada pertengahan Mei musim turis telah tiba. Orang-orang ber-
jalan-jalan menyusuri trotoar, pergi menuju dan pulang dari makan
malam, mengintip ke dalam jendela-jendela toko dan galeri yang
sudah tutup.
Saat kakaknya mengusulkan supaya mereka membeli sesuatu
untuk dimakan, Mitch berkata ia tidak lapar. “Kau harus makan,”
Anson memaksa.
Menolak, Mitch berkata, “Apa yang akan kita bicarakan sambil
makan malam? Olahraga? Kita tidak ingin terdengar sedang mem-
bicarakan masalah ini.”
“Kalau begitu kita makan di mobil.”
Mitch memarkir mobil di depan sebuah restoran China. Lukisan
di jendela-jendelanya adalah seekor naga yang berdiri di atas kaki
belakangnya dan mengibaskan surainya yang bersisik.
Sementara Anson menunggu di dalam SUV, Mitch masuk ke
dalam restoran. Gadis di bagian layanan makanan untuk dibawa
pulang meyakinkan pesanannya akan siap dalam waktu sepuluh
menit.
Obrolan semarak para pengunjung di meja-meja restoran itu
menggerusnya. Ia membenci tawa mereka yang tanpa beban.
Aroma nasi kelapa, nasi cabai manis, bola-bola jagung goreng,
cilantro, bawang putih, kacang mete yang mendesis di penggoreng-
an membangkitkan selera. Tapi tak lama kemudian udara yang
semerbak itu berubah berminyak dan menyesakkan napas; mulut-
nya menjadi kering dan masam.
Holly masih berada di tangan para pembunuh.
/ 148 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Mereka telah memukulnya.
Mereka telah membuatnya menjerit untuk dirinya, dan untuk
Anson.
Memesan makanan China untuk dibawa pulang, menyantap
makan malam, mengurus tugas apa pun dalam kehidupan normal
terasa bagai pengkhianatan terhadap Holly, terasa seperti mengu-
rangi keparahan situasi yang tengah ia hadapi.
Jika ia mendengar ancaman-ancaman yang dilontarkan pada
Mitch lewat telepon—bahwa jari-jarinya akan digergaji, lidahnya
dipotong—rasa takutnya pasti tak tertahankan, rasa takut yang
menghancurkan.
Saat Mitch membayangkan rasa takut Holly yang tak kunjung
hilang, memikirkannya terikat di dalam gelap, kerendahan hati yang
timbul dari ketidakberdayaannya akhirnya mulai menyingkir dan
memberi jalan untuk kemarahan yang lebih hebat, untuk
kemurkaan. Wajahnya terasa panas, matanya pedas, tenggorokan-
nya begitu membengkak dengan kegeraman sampai ia tak dapat
menelan.
Secara tidak masuk akal ia merasa iri pada para pengunjung
restoran dengan intensitas yang membuatnya ingin menggulingkan
mereka dari kursi yang sedang mereka duduki, menghajar wajah
mereka.
Penataan ruangan yang teratur itu menyakitkan hatinya.
Hidupnya telah terhempas ke dalam kekacauan, dan ia berkobar
dengan hasrat untuk melewati penderitaannya dalam ledakan
kebengisan tak terkendali.
Sebuah serpihan liar dalam dirinya, yang tadinya tersembunyi
dan telah lama membusuk, sekarang merebak menjadi infeksi yang
menghebat, memenuhinya dengan desakan untuk merobek-robek
lampion kertas warna-warni, mengoyak huruf-huruf China dari kayu
bercat merah yang tertempel di dinding-dinding dan memutarnya,
/ 149 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
seolah mereka adalah bintang-bintang senjata seni bela diri, untuk
menyayat dan mencungkil semua yang ada di hadapan mereka,
untuk menghancurkan jendela-jendela.
Menyodorkan dua kantong putih besar berisi pesanannya, sang
gadis penjaga meja layan merasakan badai yang bergejolak dalam
diri Mitch. Mata gadis itu membelalak, dan ia menegang.
Baru satu minggu lalu seorang pelanggan gila di sebuah restoran
pizza menembak dan membunuh seorang kasir dan dua pelayan
sebelum seorang pelanggan lain—seorang polisi yang sedang tidak
bertugas—menumbangkannya dengan dua tembakan. Gadis itu
mungkin tengah membayangkan kembali laporan-laporan berita
televisi mengenai pembantaian itu di dalam benaknya.
Kesadaran bahwa ia mungkin membuat gadis itu takut adalah
sebuah tali penyelamat yang menarik Mitch kembali dari kemurkaan
ke kemarahan, kemudian ke kesengsaraan pasif yang menurunkan
tekanan darah dan meredakan jantungnya yang bergemuruh.
Meninggalkan restoran itu, melangkah memasuki malam musim
semi yang sejuk, ia melihat kakaknya, di dalam mobil Expedition,
sedang menelepon.
Saat Mitch mapan di belakang setir, Anson menyudahi telepon-
nya, dan Mitch berkata, “Apakah itu mereka?”
“Bukan. Ada seorang laki-laki yang menurutku sebaiknya kita
bicara padanya. ”
Sambil memberikan Anson kantung makanan yang lebih besar,
Mitch berkata, “Laki-laki apa?”
“Kita ada di laut yang dalam bersama hiu-hiu. Kita bukan
tandingan bagi mereka. Kita butuh nasihat dari seseorang yang bisa
mencegah kita untuk dimakan seperti potongan-potongan ikan
kecil.”
Meski sebelumnya ia memberikan kakaknya pilihan untuk me-
lapor ke polisi, Mitch berkata, “Mereka akan membunuh Holly jika
/ 150 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
kita memberitahu siapa pun.”
“Mereka bilang jangan libatkan polisi. Kita tidak akan melapor
ke polisi.”
“Itu tetap saja membuatku tidak tenang.”
“Mickey, aku paham risikonya. Kita sedang memainkan kawat
pemicu menggunakan penggesek biola. Tapi jika kita tidak mencoba
bermain sedikit musik, tetap saja kita ada dalam masalah besar.”
Lelah merasa tidak berdaya, yakin bahwa kepatuhan terhadap
para penculik akan dibalas dengan penghinaan dan kekejaman,
Mitch berkata, “Ya sudah. Tapi bagaimana jika mereka sedang
mendengarkan kita sekarang?”
“Tidak. Untuk menyadap mobil dan mendengarkannya selagi
percakapan itu berlangsung, bukankah mereka harus memasang
lebih dari sebuah mikrofon? Bukankah mereka harus melengkapinya
dengan pemancar gelombang mikro dan sumber listrik?”
“Begitu? Aku tidak tahu. Dari mana aku mesti tahu?”
“Menurutku begitu. Itu akan memerlukan terlalu banyak per-
alatan, terlalu besar, terlalu rumit untuk disembunyikan dengan
mudah atau dipasang dengan cepat.”
Menggunakan sumpit yang tadi ia minta, Anson menyantap
Szechuan daging sapi dari satu wadah, dan nasi beserta jamur dari
wadah yang lain.
“Bagaimana dengan mikrofon directional?”
“Aku juga menonton film-film yang kau tonton,” kata Anson.
“Mikrofon directional bekerja paling bagus saat angin tenang. Lihat
saja pohon-pohon sekarang. Ada angin sepoi-sepoi malam ini.”
Mitch menyantap moo goo gai pan menggunakan garpu plas-
tik. Ia membenci kelezatan makanan itu, seolah ia akan lebih setia
terhadap Holly jika ia menjejali dirinya dengan santapan yang
hambar.
“Lagipula,” kata Anson, “Mikrofon directional tidak berfungsi
/ 151 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
antara satu kendaraan yang sedang bergerak dengan yang lainnya.”
“Kalau begitu jangan bicarakan ini lagi sampai kita bergerak.”
“Mickey, ada batas yang sangat tipis antara kehati-hatian yang
masuk akal dan kecemasan ekstrem.”
“Aku sudah melewati batas itu berjam-jam yang lalu,” kata
Mitch, “dan bagiku tidak ada jalan untuk kembali.”
/ 152 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
23
MMOO GOO GAI PAN ITU MENYISAKAN RASA TAK ENAK YANG COBA IA
gelontor tanpa sukses menggunakan Diet Pepsi sembari menyetir.
Mitch mengarah ke selatan di Coast Highway. Gedung-gedung
dan pepohonan menutupi laut dari penglihatan, kecuali beberapa
pandangan sekilas akan kegelapan pekat tanpa batas.
Menyeruput teh limun dari sebuah gelas kertas tinggi, Anson
berkata, “Namanya Campbell. Ia mantan FBI.”
Terperanjat, Mitch berkata, “Justru orang seperti itulah yang
tidak bisa kita mintai tolong.”
“Penekanannya pada kata mantan, Mickey. Mantan FBI. Ia per-
nah ditembak, ditembak parah, saat usia dua puluh delapan. Laki-
laki lain mungkin sudah akan hidup dalam kecacatan, tapi ia mem-
bangun kerajaan bisnis kecilnya sendiri.”
“Bagaimana jika mereka memasang alat pelacak di Expedition
ini dan tahu kita menemui seorang mantan agen FBI?”
“Mereka tidak akan tahu ia mantan agen FBI. Jika mereka tahu
apa pun mengenai laki-laki ini, mereka mungkin tahu aku pernah
melakukan bisnis besar dengannya beberapa tahun lalu. Ini hanya
akan terlihat seolah aku sedang mengumpulkan uang tebusannya.”
Ban mobil bergemuruh di atas jalan campuran aspal dan kerikil
/ 153 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
itu, tapi Mitch merasa seolah jalan di bawah mereka tidak lebih
kokoh ketimbang lapisan permukaan yang menegang di atas danau,
dimana seekor nyamuk mungkin dengan yakinnya berselancar me-
lintas sebelum seekor ikan pemangsa melesat naik dan melahapnya.
“Aku tahu apa yang dibutuhkan bougainvillea tanah, apa yang
diperlukan loropetalum sinar matahari,” katanya. “Tapi hal
semacam ini adalah alam semesta yang sama sekali lain bagiku.”
“Bagiku juga, Mickey. Itu sebabnya kita butuh bantuan. Tak ada
seorang pun yang punya lebih banyak pengetahuan dunia nyata,
lebih banyak kelihaian, dibanding Julian Campbell.”
Mitch telah mulai merasa bahwa setiap keputusan ya-tidak
bagai sebuah saklar di detonator bom: satu keputusan yang salah
akan meledakkan istrinya hingga berkeping-keping.
Jika ini terus berlanjut, tak lama lagi ia akan membuat dirinya
cemas sampai pada taraf kelumpuhan. Berdiam diri tidak akan
menyelamatkan Holly. Ketidaktegasan berarti kematian baginya.
“Baiklah,” ia melunak. “Di mana si Campbell ini tinggal?”
“Masuklah ke jalan antarkota. Kita akan menuju selatan ke
Rancho Santa Fe.”
Terletak di sebelah timur timur-laut San Diego, Rancho Santa Fe
adalah sebuah komunitas berisi tempat peristirahatan bintang
empat, lapangan golf, dan perumahan-perumahan bernilai jutaan
dolar.
“Kebut saja,” kata Anson, “dan kita akan tiba di sana dalam
waktu sembilan puluh menit.”
Saat sedang berdua, mereka merasa lebih nyaman dalam diam,
barangkali karena masing-masing, saat kecil, banyak menghabiskan
waktu di dalam ruang pembelajaran secara terpisah dan sendirian.
Ruangan itu lebih kedap suara ketimbang studio stasiun radio. Tidak
ada suara yang menembus dari dunia luar.
Selama perjalanan itu, kebisuan Mitch dan sang kakak berbeda
/ 154 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
satu sama lain. Kebisuan Mitch adalah keheningan dari gerakan-
gerakan mengamuk yang sia-sia di dalam ruang hampa, dari seorang
astronot bisu yang berjungkir balik di gravitasi nol.
Kebisuan Anson adalah keheningan pemikiran yang menggele-
gak namun teratur. Pikirannya berpacu di sepanjang rangkaian jalan
pemikiran induktif dan deduktif lebih cepat dari komputer mana
pun, tanpa suara dengungan penghitungan elektronik.
Mereka telah berada di jalan I-5 selama dua puluh menit saat
Anson berkata, “Apakah terkadang kau merasa kita disandera demi
uang tebusan sepanjang seluruh masa kecil kita?”
“Jika bukan karena dirimu,” kata Mitch, “aku pasti membenci
mereka.”
“Aku memang terkadang membenci mereka,” kata Anson,
“secara mendalam namun singkat. Mereka terlalu menyedihkan
untuk dibenci selama lebih dari sekejap saja. Itu akan seperti menyia-
nyiakan hidupmu dengan membenci SinterKlas karena ia tidak
benar-benar ada.”
“Ingat saat aku tertangkap basah dengan buku Charlotte’s
Web?”
“Umurmu hampir sembilan tahun. Kau menghabiskan dua
puluh hari di dalam ruang pembelajaran.” Anson mengutip Daniel:
“Fantasi adalah pintu gerbang menuju takhayul.”
“Binatang-binatang yang bisa bicara, babi yang rendah hati,
laba-laba yang cerdik—“
“’Pengaruh yang merusak,’” kutip Anson. “’Langkah pertama
menuju hidup yang penuh dengan hal-hal yang tidak masuk akal
dan kepercayaan irasional.”
Ayah mereka tidak melihat misteri dalam alam. Baginya alam
hanyalah sebuah mesin hijau semata.
Mitch berkata, “Akan lebih baik jika mereka memukul kita.”
“Jauh lebih baik. Memar, patah tulang—hal-hal semacam itulah
/ 155 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
yang mendapat perhatian dari Pelayanan Perlindungan Anak.”
Setelah hening lagi untuk sesaat, Mitch berkata, “Connie di
Chicago, Megan di Atlanta, Portia di Birmingham. Kenapa kau dan
aku masih ada di sini?”
“Mungkin kita suka cuacanya,” kata Anson. “Mungkin kita tidak
berpikir bahwa jarak bisa menyembuhkan. Mungkin kita merasa kita
masih punya urusan yang belum terselesaikan.”
Penjelasan yang terakhir itu dipahami benar oleh Mitch. Ia se-
ringkali memikirkan apa yang akan ia katakan pada orangtuanya jika
muncul kesempatan untuk mempertanyakan ketidaksesuaian antara
niat dan cara yang mereka gunakan, atau kejamnya usaha mereka
untuk merampas rasa takjub dan rasa ingin tahu dari anak-anak.
Saat Mitch keluar dari jalan antarkota dan menyetir menjauh
dari daerah pantai di jalan-jalan dalam kota, ngengat-ngengat gurun
melayang berputar-putar, sama putihnya dengan kepingan-kepingan
salju, di lampu depan mobil dan pecah membentur kaca depan.
Julian Campbell tinggal di balik tembok-tembok batu, di balik
gerbang besi mengagumkan yang dibingkai oleh kerangka batu
kapur raksasa. Lis samping kerangka itu penuh ukir-ukiran tanaman
merambat berdaun lebat yang naik ke atas menuju lis atas,
bergabung untuk membentuk lingkaran bunga raksasa di tengah.
“Gerbang ini,” kata Mitch, “pasti sama mahalnya dengan
rumahku.”
Anson menjamin: “Dua kali lipatnya.”
/ 156 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
24
DDI SEBELAH KIRI GERBANG UTAMA, TEMBOK BATU BERTUMPUK DARI RUMAH
besar itu juga mencakup sebuah rumah penjaga. Saat mobil
Expedition mereka perlahan berhenti, pintunya terbuka, dan se-
orang laki-laki muda bertubuh tinggi mengenakan setelan hitam
muncul.
Mata gelapnya yang jernih membaca Mitch dengan segera,
sama cepatnya dengan sebuah alat pemindai kasir yang membaca
barcode sebuah produk. “Selamat malam, Pak.” Ia langsung meng-
alihkan pandangannya dari Mitch ke Anson. “Senang bertemu de-
ngan Anda, Tuan Rafferty.”
Tanpa suara yang bisa didengar Mitch, gerbang besi berhias itu
mengayun ke dalam. Di belakangnya terhampar jalan masuk mobil
dua jalur yang dilapisi dengan batu kwarsa, diapit oleh pohon-
pohon palem phoenix megah, tiap pohon disinari lampu dari
dasarnya, mahkota-mahkotanya yang besar membentuk kanopi dan
memayungi jalan itu.
Mitch menyetir masuk ke dalam komplek rumah besar itu de-
ngan perasaan bahwa, karena semua dosa telah terampuni, Taman
Firdaus telah muncul kembali.
Jalan masuk mobil itu seperempat mil panjangnya. Halaman-
/ 157 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
halaman rumput dan kebun luas yang diterangi secara magis meng-
hampar ke kedua sisi, surut ke dalam misteri.
Anson berkata, “Enam belas akre halaman rumput yang
terawat.”
“Pasti staf pertamanannya saja ada satu lusin.”
“Aku yakin begitu.”
Dari genteng-genteng merah, dinding-dinding batu kapur, jen-
dela yang tersekat-sekat dan bersinar dengan cahaya keemasan,
tiang-tiang batu, birai-birai, dan terasnya, sang arsitek telah mem-
bangkitkan keanggunan dengan sama hebatnya seperti kemewahan
yang terpancar dari rumah itu. Begitu besar sehingga seharusnya
tampak mengintimidasi, rumah bergaya Itali itu justru tampak
mengundang.
Jalan masuk mobil itu berakhir dengan mengitari sebuah danau
berkilau yang ada air mancur di tengahnya, yang darinya semburan
air yang saling-silang menyilang melengkung dan bekerlap-kerlip
pada malam itu bagai semburan koin-koin perak. Mitch memarkir
mobil di samping danau tersebut.
“Apa orang ini punya izin untuk mencetak uang?”
“Ia punya bisnis hiburan. Film, kasino, sebut saja semuanya.”
Kemegahan ini membuat Mitch takluk namun juga mem-
bangkitkan harapannya bahwa Julian Campbell akan sanggup mem-
bantu mereka. Dengan membangun kekayaan semacam itu setelah
terluka parah dan dibebas-tugaskan dari FBI dengan alasan ke-
cacatan permanen, setelah berada pada kondisi yang begitu tidak
menguntungkan namun tetap bermain untuk menang, Campbell
pasti selihai yang dijanjikan Anson.
Laki-laki berambut keperakan, dengan sikap layaknya seorang
kepala pelayan, menyapa mereka di teras, mengatakan namanya
adalah Winslow, dan mengantar mereka masuk.
Mereka mengikuti Winslow melintasi serambi penerima tamu
/ 158 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
lapang yang bermarmer putih dan dinaungi langit-langit plester
berceruk dengan detail daun emas. Setelah melewati sebuah ruang
tamu berukuran paling tidak 60 x 80 kaki, mereka akhirnya tiba di
perpustakaan berdinding kayu mahagoni.
Menjawab pertanyaan Mitch, Winslow mengungkapkan bahwa
koleksi buku di perpustakaan itu berjumlah lebih dari enam puluh
ribu jilid. “Tuan Campbell akan menemui Anda sebentar lagi,”
katanya, dan meninggalkan mereka.
Perpustakaan itu, yang menempati luas tanah lebih besar
dibanding bungalo Mitch, menyediakan setengah lusin area duduk
dengan sofa-sofa dan kursi-kursi.
Mereka mapan ke dalam kursi-kursi tangan, saling berhadapan
dengan sebuah meja kopi di antara mereka, dan Anson menghela
napas. “Ini hal yang tepat untuk dilakukan.”
“Jika dia setengah saja sama mengesankannya dengan rumahnya
ini—“
“Julian adalah yang terbaik, Mickey. Dia orang yang tepat.”
“Dia pasti sangat menghargaimu untuk mau bertemu dengan
pemberitahuan begitu singkat, di atas jam sepuluh malam.”
Anson tersenyum dengan wajah menyesal. “Apa yang akan
dikatakan Daniel dan Kathy jika aku menolak pujianmu dengan
beberapa kata penuh kerendahan hati?”
“’Kerendahan hati berkaitan dengan ketidakpercayaan diri,’”
Mitch mengutip. “’Kerendahan hati berkaitan dengan rasa malu.
Rasa malu sinonim dari minder. Minder adalah karakteristik orang
yang penurut. Orang-orang penurut tidak mewarisi bumi, mereka
melayani orang-orang yang percaya diri dan asertif.’”
“Aku sayang padamu, adik kecil. Kau mengagumkan.”
“Aku yakin kau juga bisa mengutipnya kata per kata.”
“Bukan itu maksudku. Kau dibesarkan di dalam kotak Skinner
itu, lorong sesat tikus itu. Namun kau mungkin laki-laki paling
/ 159 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
rendah hati yang kukenal.”
“Aku punya masalah-masalahku sendiri,” Mitch meyakinkannya.
“Banyak masalah.”
“Tuh kan … tanggapanmu saat disebut rendah hati adalah kri-
tik terhadap diri sendiri.”
Mitch tersenyum. “Aku rasa aku tidak belajar banyak di dalam
ruang pembelajaran.”
“Bagiku, ruang pembelajaran itu bukan yang terparah,” kata
Anson. “Yang tidak akan pernah aku kikis dari benakku adalah ‘per-
mainan malu’ itu.”
Kenangan membuat wajah Mitch merah padam. “’Rasa malu
tidak memiliki kegunaan sosial. Itu pertanda pikiran yang tidak
rasional.’”
“Kapan pertama kali mereka membuatmu memainkan ‘per-
mainan malu’ itu, Mickey?”
“Aku rasa aku lima tahun saat itu.”
“Seberapa sering kau harus memainkannya?”
“Aku rasa enam kali sepanjang beberapa tahun itu.”
“Seingatku mereka membuatku melakukannya sebelas kali, yang
terakhir saat aku tiga belas tahun.”
Mitch meringis. “Ya ampun, aku ingat yang itu. Kau harus
melakukannya satu minggu penuh.”
“Telanjang selama dua puluh empat jam sehari dan tujuh hari
seminggu sementara orang lain di dalam rumah tetap berpakaian.
Diharuskan menjawab di depan semua orang pertanyaan-
pertanyaan paling memalukan dan intim tentang pikiran, kebiasaan
dan hasrat pribadi kita. Ditonton oleh dua anggota keluarga lain di
dalam setiap kamar mandi, paling tidak salah satunya adalah
saudara perempuan, tidak dibiarkan memiliki sedikit pun momen
pribadi.... Apakah itu menyembuhkanmu dari rasa malu, Mickey?”
“Lihat saja wajahku,” kata Mitch.
/ 160 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
“Aku bisa menyalakan lilin dari merah mukamu itu.” Anson
tertawa pelan, tawa yang hangat dan berat seperti beruang.
“Terkutuklah kita jika membelikannya apa pun untuk Hari Ayah.”
“Bahkan cologne pun tidak?” tanya Mitch.
Ini lelucon rutin dari masa kecil mereka.
“Bahkan wadah untuk tempat kencing pun tidak,” kata Anson.
“Bagaimana jika kencingnya saja, tanpa wadahnya?”
“Bagaimana aku akan membungkusnya?”
“Dengan cinta,” kata Mitch, dan mereka saling menyeringai satu
sama lain.
“Aku bangga padamu, Mickey. Kau mengalahkan mereka. Yang
mereka lakukan tidak berhasil padamu seperti itu berhasil padaku.”
“Apa yang berhasil?”
“Mereka mengalahkanku, Mitch. Aku tidak punya rasa malu,
tidak punya kemampuan untuk merasa bersalah.” Dari balik jaket
olahraganya, Anson mengeluarkan sebuah pistol.
/ 161 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
25
MMITCH MENAHAN SENYUMNYA, MENGANTISIPASI KLIMAKS LELUCON ITU,
seolah akan terungkap bahwa pistol tersebut bukan senjata sung-
guhan melainkan sebuah pemantik rokok atau barang dari toko per-
nak-pernik yang menembakkan gelembung-gelembung sabun.
Jika air laut yang asin dapat membeku dan tetap mempertahankan
warnanya, nuansa warnanya akan menyerupai warna mata Anson.
Matanya jernih seperti biasa, senantiasa tajam, namun lebih dari itu
memiliki nuansa yang belum pernah dilihat Mitch sebelumnya, yang
tidak dapat ia kenali, atau lebih tepatnya, tidak mau ia kenali.
“Dua juta. Sebenarnya,” kata Anson nyaris dengan sedih, tanpa
kesinisan atau kegetiran, “Aku tidak akan membayar dua juta untuk
menebusmu, jadi Holly sama saja sudah mati pada detik ia diculik.”
Wajah Mitch mengeras sekeras marmer, dan tenggorokannya
terasa penuh dengan serpihan-serpihan batu yang menghambat
kemampuannya untuk bicara.
“Beberapa orang yang untuknya aku melakukan pekerjaan kon-
sultasi—terkadang mereka menjumpai peluang yang bagi mereka
remah-remah namun daging empuk bagiku. Bukan pekerjaan yang
biasa aku lakukan, tapi hal-hal yang sifatnya lebih kriminal.”
Mitch harus berusaha keras untuk memfokuskan diri,
/ 162 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
mendengarkan apa yang tengah dikatakan, karena kepalanya di-
penuhi suara gemuruh persepsi-persepsi seumur hidup yang tengah
runtuh bagai bangunan kayu dikeroposi rayap.
“Orang-orang yang menculik Holly adalah tim yang aku bentuk
untuk salah satu pekerjaan itu. Mereka mendapat segepok uang dari
pekerjaan itu, tapi mereka akhirnya tahu bagianku lebih besar dari
yang kukatakan pada mereka, dan sekarang mereka menjadi serakah.”
Jadi Holly diculik bukan semata-mata karena Anson punya
cukup uang untuk menebusnya, namun juga karena—terutama
karena—Anson telah mencurangi para penculiknya.
“Mereka takut untuk langsung menyasarku. Aku adalah sumber
daya berharga bagi orang-orang penting yang akan menghabisi
siapa pun yang menghabisiku.”
Mitch menduga tak lama lagi ia akan bertemu dengan beberapa
“orang-orang penting” itu. Tetapi ancaman macam apa pun mereka
baginya, itu tidak mungkin menyamai kehancuran akibat pengkhi-
anatan ini.
“Di telepon,” ungkap Anson, “mereka bilang jika aku tidak
menebus Holly, mereka akan membunuhnya dan kemudian me-
nembakmu di jalanan suatu hari nanti, seperti mereka menembak
Jason Osteen. Orang-orang cengeng malang itu. Mereka pikir mere-
ka mengenalku, tapi mereka tidak tahu siapa aku sebenarnya. Tak
seorang pun tahu.”
Mitch menggigil, karena daratan dalam batinnya telah berubah
menjadi musim dingin, pikiran-pikirannya bagai badai hujan dan es,
gempuran yang dingin dan tak mau reda.
“Omong-omong, Jason salah satu dari mereka. Si Breezer manis
yang tidak punya otak. Dia pikir teman-temannya akan menembak
anjing itu untuk menyampaikan ketegasan mereka padamu. Dengan
menembaknya, mereka menyampaikan maksud mereka dengan
lebih baik lagi dan juga memperbesar bagian yang akan didapat
/ 163 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
masing-masing orang yang tertinggal.”
Tentu saja, Anson mengenal Jason sama lamanya seperti Mitch.
Tapi rupanya Anson tetap berhubungan dengan Jason lama setelah
Mitch kehilangan jejak mantan teman sekamarnya itu.
“Apa ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku, Mitch?”
Mungkin laki-laki lain yang berada di posisinya sudah akan me-
lontarkan seribu pertanyaan penuh amarah, menyumpahi dengan
getir. Namun Mitch duduk termangu, baru saja mengalami pergeser-
an emosi dan pemikiran dari dua kutub yang saling berlawanan.
Pandangan hidupnya yang sebelumnya berada di daerah khatulis-
tiwa yang panas berubah menjadi daerah kutub dalam sekejap.
Daratan di realitas baru ini asing baginya, dan laki-laki yang begitu
mirip dengan kakaknya ini bukanlah kakak yang ia kenal selama ini,
melainkan orang yang asing baginya. Mereka asing bagi satu sama
lain, tanpa bahasa yang sama, di sini, di daratan yang terpencil.
Anson sepertinya menganggap kebisuan Mitch sebagai sebuah
tantangan, atau bahkan penghinaan. Mencondongkan badannya ke
depan di dalam tempat duduknya, ia mencari-cari sebuah reaksi,
meski ia berbicara dengan suara seorang kakak yang selalu ia
gunakan sebelumnya, seolah lidahnya sudah begitu terbiasa dengan
nada-nada lembut penipuan sampai lidahnya itu tidak dapat me-
najamkan diri sesuai dengan situasi ini.
“Supaya kau tidak merasa dirimu kurang berarti bagiku diban-
ding Megan, Connie, dan Portia, aku sebaiknya memperjelas sesu-
atu. Aku tidak memberi mereka uang untuk memulai bisnis mereka.
Itu omong kosong, bro. Aku memperdayaimu.”
Justru karena Anson jelas-jelas menginginkan sebuah tanggapan,
Mitch tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Seseorang yang tengah menderita demam bisa menggigil
kedinginan, dan tatapan Anson tetap dingin meski intensitasnya
menunjukkan pikiran yang bergejolak panas. “Dua juta tidak akan
/ 164 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
membuatku bangkrut, bro. Yang sebenarnya adalah … aku sudah
mendekati delapan.”
Dari balik pesona seorang laki-laki besar tegap yang hangat,
sosok lain yang tak bermoral memandanginya. Mitch merasa, tanpa
sepenuhnya paham apa yang ia maksud, ia dan sang kakak yang te-
ngah sendirian di dalam ruangan itu sesungguhnya tidak sendirian.
“Aku membeli kapal pesiar itu pada bulan Maret,” kata Anson.
“Bulan September nanti, aku akan menjalankan jasa konsultasiku
dari laut, menggunakan transmisi satelit. Kebebasan. Aku sudah
bekerja keras untuk mendapatkannya, dan tak seorang pun akan
memeras bahkan dua sen dariku.”
Pintu perpustakaan itu menutup. Seseorang telah datang—dan
menginginkan privasi untuk apa yang akan terjadi selanjutnya.
Bangkit dari duduknya, dengan pistol siap sedia, Anson sekali
lagi berusaha menggugah reaksi Mitch dengan menyengatnya. “Kau
bisa tenang mengetahui bahwa semua ini akan berakhir bagi Holly
lebih cepat sekarang dibanding Rabu tengah malam.”
Ditandai kepercayaan diri dan keanggunan yang mengesankan
adanya perkawinan silang dengan seekor harimau kumbang dalam
silsilah nenek moyangnya, seorang laki-laki tinggi datang, mata abu-
abu besinya bersinar dengan rasa ingin tahu, hidungnya terangkat
seolah mencari bau yang sulit ditangkap.
Kepada Mitch, Anson berkata, “Saat aku tidak ada di rumah
untuk menerima telepon mereka pada tengah hari, dan saat mere-
ka tidak dapat menghubungimu di telepon genggammu, mereka
akan tahu mereka tidak bisa main-main denganku. Mereka akan
menghabisinya, membuangnya, dan kabur.”
Laki-laki yang percaya diri itu mengenakan sepatu bertali,
pantalon sutra hitam, dan kemeja sutra abu-abu yang bernuansa
warna sama seperti matanya. Sebuah jam tangan Rolex emas mem-
buat pergelangan tangan kirinya bersinar, dan kuku-kukunya yang
/ 165 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
terawat rapi digosok sampai mengkilat.
“Mereka tidak akan menyiksanya,” Anson meneruskan. “Itu
hanya gertak sambal. Mereka bahkan mungkin tidak akan
memerkosanya sebelum membunuhnya, meski aku akan melakukan
itu jika aku salah satu dari mereka.”
Dua laki-laki kokoh melangkah dari balik kursi Mitch, mengapit-
nya. Keduanya membawa pistol yang dilengkapi peredam suara,
dan mata mereka tampak seperti mata yang biasanya hanya kita
lihat dari sisi luar sebuah kandang.
“Ia membawa senjata di lekuk punggungnya,” Anson memberi-
tahu mereka. Pada Mitch ia berkata, “Aku merasakannya saat
memelukmu, bro.”
Melihat kembali ke belakang, Mitch bertanya-tanya pada
dirinya sendiri mengapa ia tidak menyinggung soal pistol itu kepada
Anson begitu mereka berada di dalam mobil Expedition yang
sedang bergerak dan kemungkinan besar tidak sedang diawasi.
Mungkin di dalam kuburan bawah tanah paling dalam di benaknya
terkubur suatu ketidakpercayaan terhadap sang kakak yang tak sang-
gup ia akui keberadaannya.
Salah satu laki-laki yang memegang senjata itu memiliki corak
kulit yang buruk. Seperti kutu tanaman di selembar daun, jerawat
melubangi wajahnya. Ia menyuruh Mitch berdiri, dan Mitch bang-
kit dari kursinya.
Pemegang senjata yang satu lagi menaikkan bagian belakang
jaket olahraga Mitch dan mengambil pistolnya.
Saat diperintahkan untuk duduk kembali, Mitch menurut.
Akhirnya ia berbicara pada Anson namun hanya untuk menyata-
kan, “Aku kasihan padamu,” yang adalah benar, meski itu adalah jenis
belas kasihan yang getir, dengan sedikit simpati namun tanpa kelem-
butan, tersedot habis akan pengampunan namun dialiri rasa jijik.
Bagaimanapun jenisnya belas kasihan ini, Anson tidak
/ 166 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
menginginkannya sama sekali. Ia tadi mengatakan bahwa ia bangga
akan Mickey karena tidak berhasil terbentuk dalam tempaan orang-
tua mereka, bahwa ia sendiri merasa terkalahkan. Semua itu adalah
kebohongan, minyak pelumas seorang manipulator.
Rasa bangganya ia sisihkan untuk kelicikan dan kekejamannya
sendiri. Menanggapi pernyataan belas kasihan Mitch, ketidaksukaan
yang teramat sangat memicingkan mata Anson, dan kebenciannya
yang tampak jelas menampilkan nuansa kebrutalan yang lebih tajam
pada wajahnya.
Seolah merasakan bahwa Anson cukup tersinggung untuk
melakukan sesuatu dengan gegabah, laki-laki berbusana sutra itu
mengangkat satu tangan, jam Rolexnya berkilauan, untuk mencegah
letusan senjata. “Jangan di sini.”
Setelah ragu sesaat, Anson mengembalikan pistolnya ke sarung
senjata bahu di bawah jaket olahraganya.
Tanpa dicari, ke dalam benak Mitch merasuk tujuh kata yang
diungkapkan Detektif Taggart padanya delapan jam sebelum ini,
dan meski ia tidak mengetahui sumber kata-kata itu maupun
sepenuhnya memahami kesesuaian kata-kata tersebut dengan situasi
ini, ia merasa terdorong untuk melontarkannya. “’Darah berteriak
kepada-Ku dari tanah.’”
Untuk sesaat, Anson dan rekan-rekannya sama bergemingnya
dengan figur-figur di dalam sebuah lukisan, perpustakaan memerin-
tahkan angin untuk diam, malam meringkuk di pintu-pintu bergaya
Prancis itu, kemudian Anson melangkah keluar dari ruangan, dan
dua laki-laki pemegang senjata itu mundur beberapa langkah, tetap
waspada. Sang laki-laki berbusana sutra bertengger di atas lengan
kursi di mana Anson duduk sebelumnya.
“Mitch,” katanya, “kau cukup mengecewakan bagi kakakmu.”
/ 167 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
26
JJULIAN CAMPBELL MEMILIKI RONA KULIT KEEMASAN YANG HANYA BISA
diperoleh menggunakan mesin berjemur miliknya sendiri, bentuk
tubuh terpahat yang merupakan bukti adanya ruang kebugaran di
rumah dan seorang pelatih olahraga pribadi, dan wajah mulus yang,
bagi seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan, menunjukkan
adanya seorang dokter bedah plastik yang bekerja untuknya.
Luka yang telah menamatkan karirnya di FBI tidak terlihat,
begitupun tanda-tanda kecacatan lainnya. Kemenangannya atas
luka-luka fisiknya jelas menyamai kesuksesan ekonominya.
“Mitch, aku penasaran.”
“Tentang apa?”
Alih-alih menjawab, Campbell berkata, “Aku adalah orang yang
praktis. Dalam bisnisku, aku melakukan apa yang perlu kulakukan,
dan aku tidak menderita sakit maag karenanya.”
Mitch mengartikan kata-kata itu sebagai pernyataan bahwa
Campbell tidak membiarkan dirinya sendiri terganggu oleh perasaan
bersalah.
“Aku kenal banyak orang yang melakukan apa yang harus
dilakukan. Orang-orang yang praktis.”
Dalam waktu tiga belas setengah jam, para penculik itu akan
/ 168 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
menelepon rumah Anson. Jika Mitch tidak ada di sana untuk men-
jawab telepon itu, Holly akan dibunuh.
“Tapi ini pertama kalinya aku melihat seorang laki-laki men-
jebak dan mencelakakan adiknya sendiri semata-mata demi mem-
buktikan dirinya paling tangguh dari semuanya di luar sana.”
“Demi uang,” Mitch membenarkannya.
Campbell menggelengkan kepala. “Tidak. Anson bisa saja me-
mintaku memberi pengecut-pengecut itu pelajaran. Mereka tidak
setangguh yang mereka kira.”
Di bawah lapisan paling gelap dari hari yang telah tenggelam ini
terhampar sesuatu yang lebih gelap.
“Dalam waktu dua belas jam, kita bisa membuat mereka me-
mohon-mohon untuk membayar kita demi mengambil istrimu kem-
bali tanpa terluka.”
Mitch menunggu. Untuk sekarang tak ada yang bisa dilakukan
selain menunggu.
“Orang-orang itu punya ibu. Kita bakar rumah salah satu ibu
mereka, mungkin meremukkan wajah ibu yang lain sampai ia mem-
butuhkan satu tahun operasi untuk memulihkannya.”
Campbell bicara dengan nada apa adanya seolah ia tengah
menjelaskan syarat-syarat transaksi real estat.
“Salah satu dari mereka punya seorang anak perempuan dengan
mantan istrinya. Anak itu berarti baginya. Kita cegat anak itu dalam
perjalanan pulang ke rumah dari sekolah, menelanjanginya, mem-
bakar pakaiannya. Kita katakan pada ayahnya—lain kali kita bakar
si Suzie kecil bersama pakaiannya.”
Sebelumnya, dalam keluguannya, Mitch bersedia menyeret Iggy
ke dalam kekacauan ini untuk menyelamatkan Anson.
Sekarang ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri apakah ia rela
orang-orang tak bersalah lainnya dipukuli, dibakar, dan dianiaya
dengan brutal demi menyelamatkan Holly. Mungkin ia seharusnya
/ 169 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
bersyukur pilihan itu tidak ditawarkan padanya.
“Jika kita menyakiti dua belas orang tercinta mereka dalam
waktu dua belas jam, pengecut-pengecut itu akan mengembalikan
istrimu ke rumah beserta permintaan maaf sekaligus kupon hadiah
Nordstrom untuk pakaian baru.”
Dua laki-laki pemegang senjata itu tidak pernah memalingkan
tatapan mereka dari Mitch.
“Tapi Anson,” lanjut Campbell, “ia ingin membuat pernyataan
supaya tak seorang pun pernah menyepelekannya lagi. Secara tidak
langsung, pernyataan itu juga menguntungkan bagiku. Dan harus
kuakui ... aku terkesan.”
Mitch tidak dapat membiarkan mereka melihat intensitas kenge-
riannya yang sesungguhnya. Mereka akan menganggap rasa takut
yang berlebih akan membuatnya gegabah, dan mereka akan meng-
awasinya bahkan lebih seksama lagi dibanding yang telah mereka
lakukan sekarang.
Ia harus tampak ketakutan namun, lebih dari ketakutan, putus
asa. Seorang laki-laki dalam cengkeraman keputusasaan, yang telah
melepaskan segala harapan, bukanlah seorang laki-laki dengan
semangat juang.
“Aku penasaran,” Campbell mengulang, akhirnya kembali ke
tempat ia mulai. “Sampai kakakmu tega melakukan ini padamu ...
apa yang telah kau lakukan?”
“Menyayanginya,” kata Mitch.
Campbell memandangi Mitch seperti seekor burung bangau di
air dangkal memandangi ikan yang sedang berenang, dan kemudian
tersenyum. “Ya, itu bisa juga. Bagaimana kalau suatu hari nanti ia
mendapati dirinya membalas perasaanmu itu?”
“Ia selalu ingin berhasil sampai di atas, dan melakukannya
dengan cepat.”
“Perasaan yang halus adalah sebuah beban,” kata Campbell.
/ 170 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Dengan suara yang terbebani oleh keputusasaan, Mitch berkata,
“Oh, itu memang seperti belenggu.”
Dari meja kopi di mana salah satu laki-laki pemegang senjata
tadi menaruhnya, Campbell memungut pistol yang tadi diambil dari
Mitch. “Kau pernah menembakkan ini?”
Mitch nyaris mengatakan belum, namun kemudian sadar maga-
sinnya berkurang satu peluru, peluru yang secara tidak sadar di-
tembakkan Knox pada dirinya sendiri. “Sekali. Aku menembakkan-
nya sekali. Untuk merasakan seperti apa rasanya.”
Merasa geli, Campbell berkata, “Dan apakah rasanya
menakutkan?”
“Cukup menakutkan.”
“Kakakmu bilang, kau bukan laki-laki yang suka senjata.”
“Ia mengenalku dengan lebih baik daripada aku mengenalnya.”
“Jadi dari mana kau mendapatkan senjata ini?”
“Istriku merasa kami sebaiknya menyimpan satu di dalam
rumah.”
“Betapa benarnya dia.”
“Senjata itu tersimpan di dalam laci nakas tempat tidur sejak
hari kami membelinya,” Mitch berbohong.
Campbell bangkit. Dengan lengan kanan terjulur, ia menodong-
kan pistol ke wajah Mitch. “Berdiri.”
/ 171 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
27
MMEMBALAS TATAPAN KOSONG PISTOL ITU, MITCH BANGKIT DARI KURSI
tangannya.
Dua laki-laki pemegang senjata tak bernama itu bergeser ke
posisi baru, seolah mereka berniat menumbangkan Mitch dengan
tembakan dari tiga titik yang membentuk segitiga.
“Lepas jaketmu dan letakkan di atas meja,” kata Campbell.
Mitch melakukan apa yang diperintahkan, dan kemudian
mengikuti perintah lain untuk mengosongkan saku celana jinsnya. Ia
menaruh serangkaian kuncinya, dompet, dan beberapa gumpalan
tisu Kleenex di atas meja kopi.
Ia teringat pernah menjadi seorang bocah di dalam kegelapan
dan kesunyian. Alih-alih memfokuskan diri selama berhari-hari pada
pelajaran sederhana yang dimaksudkan untuk diajarkan padanya
melalui pengurungan itu, ia melakukan percakapan imajiner dengan
seekor laba-laba bernama Charlotte, seekor babi bernama Wilbur,
dan seekor tikus bernama Templeton. Itulah tindakan paling dekat
dengan perlawanan yang pernah ia lakukan—saat itu ataupun se-
telahnya.
Mitch meragukan orang-orang ini akan menembaknya di dalam
rumah. Bahkan jika digosok sampai bersih dan tak lagi kasat mata,
/ 172 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
darah meninggalkan sisa-sisa protein yang dapat tersingkap oleh
bahan-bahan kimia dan lampu khusus.
Salah satu laki-laki pemegang senjata itu mengambil jaket Mitch,
memeriksa sakunya, dan hanya menemukan telepon genggamnya.
Kepada tuan rumahnya yang senantiasa mengawasi, Mitch
berkata, “Bagaimana kau bisa berubah dari seorang pahlawan FBI
menjadi ini?”
Kebingungan Campbell hanya berlangsung sekejap. “Apakah itu
cerita yang dikarang Anson untuk membuatmu datang kemari?
Julian Campbell—pahlawan FBI?”
Meski sejauh ini para pemegang senjata itu tampak sama sekali
tidak punya selera humor seperti kumbang pemakan bangkai, laki-
laki dengan kulit yang mulus tertawa, dan satunya lagi tersenyum.
“Kau mungkin juga tidak menghasilkan uangmu dari bisnis
hiburan,” kata Mitch.
“Hiburan? Itu bisa jadi benar,” kata Campbell, “jika kau memi-
liki definisi yang luwes untuk kata hiburan.”
Si laki-laki dengan bekas jerawat mengeluarkan kantung sampah
plastik yang masih terlipat dari saku pinggang. Ia mengibas-
ngibaskannya supaya terbuka.
Campbell berkata, “Dan Mitch, jika Anson mengatakan padamu
dua laki-laki ini kandidat pendeta, aku sebaiknya memperingatkan-
mu bahwa itu tidak benar.”
Kedua kumbang pemakan bangkai itu semakin geli.
Laki-laki yang memegang kantong plastik mengisinya dengan
jaket olahraga, telepon genggam, dan barang-barang lain yang telah
mereka ambil dari Mitch. Sebelum melempar masuk dompetnya, ia
mengeluarkan uang tunainya dan menyerahkannya pada Campbell.
Mitch tetap berdiri, menunggu.
Ketiga laki-laki itu lebih santai menghadapinya sekarang di-
banding saat pertama tadi. Mereka telah mengenalnya sekarang.
/ 173 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
Mitch adalah adik Anson, namun hanya secara pertalian darah.
Ia seorang penghindar, bukan pemburu. Ia akan patuh. Mereka tahu
ia tidak akan melawan dengan berhasil. Ia akan mundur ke dalam
dirinya sendiri. Pada akhirnya ia akan mengemis.
Mereka mengenalnya, mengenal orang semacam dirinya.
Setelah laki-laki pemegang senjata itu selesai memasukkan barang-
barang ke dalam kantung sampah, ia mengeluarkan sepasang
borgol.
Sebelum Mitch diminta untuk mengulurkan tangannya, ia sudah
menyodorkannya.
Laki-laki dengan borgol itu ragu, dan Campbell mengangkat
bahunya. Laki-laki dengan borgol itu pun mengatupkannya di
pergelangan tangan Mitch.
“Kau tampak sangat lelah,” kata Campbell.
“Aneh betapa lelahnya,” Mitch setuju.
Meletakkan senjata yang tadi mereka sita, Campbell berkata,
“Memang seperti itu terkadang.”
Mitch tidak bersusah-susah menguji borgolnya. Borgol itu ken-
cang, dan rantai di antara kedua pergelangannya pendek.
Sembari menghitung empat puluh sekian dolar yang diambil
dari dompet Mitch, suara Campbell nyaris memiliki sentuhan ke-
lembutan di dalamnya: “Kau bahkan mungkin akan tertidur di
dalam perjalanan.”
“Ke mana kita akan pergi?”
“Aku tahu seorang laki-laki yang tertidur suatu malam, dalam
perjalanan seperti yang akan kau lakukan. Nyaris disayangkan kami
harus membangunkannya saat kami tiba di sana.”
“Apa kau ikut?” tanya Mitch.
“Oh, aku sudah tidak ikut selama bertahun-tahun. Aku akan
tetap di sini bersama buku-bukuku. Kau tidak membutuhkanku. Kau
akan baik-baik saja. Mereka semua baik-baik saja, pada akhirnya.”
/ 174 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Mitch melempar pandangan ke sekeliling, ke deretan buku-
buku. “Ada yang sudah kau baca?”
“Yang tentang sejarah. Aku terpikat oleh sejarah, bagaimana
bisa hampir tak seorang pun pernah belajar darinya.”
“Apa kau pernah belajar darinya?”
“Akulah sejarah. Akulah yang tak seorang pun ingin mem-
pelajari.”
Tangan Campbell, sama cekatannya seperti tangan seorang
tukang sulap, melipat uang Mitch ke dalam dompetnya sendiri
dengan gerakan seadanya, namun pada saat yang sama tetap tam-
pak dibuat-buat.
“Orang-orang ini akan mengantarmu ke paviliun mobil. Tidak
melewati rumah, melainkan melewati kebun-kebun.”
Mitch berasumsi para staf rumah tangga—pelayan-pelayan
malam, kepala pelayan—tidak sadar akan sisi gelap bisnis Campbell
atau bekerja sama dengan berpura-pura tidak tahu-menahu.
“Selamat tinggal, Mitch. Kau akan baik-baik saja. Tidak akan
lama lagi sekarang. Kau bahkan mungkin akan tertidur dalam per-
jalanan.”
Mengapit Mitch, masing-masing menggamit satu lengannya,
para pemegang senjata itu menggiringnya melintasi perpustakaan
menuju pintu bergaya Prancis. Laki-laki dengan wajah berlubang
bekas jerawat, di sebelah kanannya, menekan moncong sebuah pistol
ke pinggang Mitch, tidak dengan kejam, hanya sebagai peringatan.
Sesaat sebelum melangkah melewati ambang pintu, Mitch
menoleh ke belakang dan melihat Campbell tengah melihat-lihat
berbagai judul buku di sebuah rak. Ia berdiri dengan keanggunan
seorang penari balet yang tengah bersantai, dengan satu sisi pinggul-
nya terangkat ke atas.
Tampaknya ia sedang memilih sebuah buku untuk dibaca
sebelum tidur.
/ 175 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
Atau mungkin bukan sebelum tidur. Seekor laba-laba tidak tidur;
begitu juga sejarah.
Dari teras menuju tangga, turun menuju teras lain, orang-orang
itu dengan sigap menggiring Mitch.
Sang bulan tergeletak tenggelam di dalam kolam renang, pucat
dan hilang timbul bagai sebuah penampakan.
Menyusuri jalan setapak kebun di mana katak-katak yang
bersembunyi menyanyi, menyeberangi halaman yang luas; menem-
bus semak-semak lebat tumbuhan silver sheen tinggi dan berenda
yang berkerlip redup seperti sisik-sisik sekelompok ikan, dengan rute
yang memutar, mereka tiba di sebuah bangunan besar namun ele-
gan dikelilingi serambi beratap yang diterangi dengan romantis.
Kewaspadaan para pemegang senjata itu tidak pernah goyah
sepanjang perjalanan.
Melati yang bermekaran di malam hari menjalari tiang-tiang
serambi dan menghiasi lis atapnya.
Mitch menghela napas dalam dan perlahan. Aroma yang me-
nyengat itu demikian manisnya sampai nyaris membuainya terlelap.
Seekor kumbang hitam bertanduk panjang yang bergerak
lamban melintasi lantai serambi. Kedua laki-laki itu menuntun Mitch
mengitari serangga tersebut.
Paviliun itu berisi mobil-mobil dari tahun 1930-an dan 1940-an
yang telah diperbaiki seperti aslinya dengan sangat halus—Buick,
Lincoln, Packard, Cadillac, Pontiac, Ford, Chevrolet, Kaizer,
Studebaker, dan bahkan sebuah Tucker Torpedo. Semuanya
dipamerkan seperti perhiasan di bawah serangkaian lampu yang
diarahkan dengan cermat.
Kendaraan-kendaraan rumah yang digunakan sehari-hari tidak
disimpan di sini. Rupanya, jika membawanya ke garasi utama,
mereka akan mengambil risiko berpapasan dengan para staf rumah
tangga.
/ 176 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Laki-laki dengan wajah bopeng mengeluarkan serangkaian kunci
dari sakunya dan membuka bagasi mobil Chrysler Windsor warna
biru gelap dari tahun 1940-an. “Masuk.”
Untuk alasan yang sama mereka tidak menembaknya di dalam
perpustakaan, mereka pun tidak akan menembaknya di sini. Lagi-
pula, mereka tidak akan mau mengambil risiko merusakkan mobil.
Bagasi mobil itu lebih lapang dari bagasi mobil-mobil zaman
sekarang. Mitch berbaring menyamping, dalam posisi meringkuk
seperti janin.
“Kau tidak bisa membuka kuncinya dari dalam,” sang laki-laki
bopeng berkata. “Zaman dulu mereka tidak punya kesadaran akan
keamanan anak-anak.”
Temannya berkata, “Kita akan melewati jalan-jalan belakang di
mana tak seorang pun akan mendengarmu. Jadi jika kau membuat
banyak suara, itu tak akan ada gunanya bagimu.”
Mitch diam.
Laki-laki berwajah bopeng berkata, “Itu hanya akan membuat
kami kesal. Kalau itu terjadi kami akan lebih keras terhadapmu dari-
pada yang seharusnya.”
“Aku tidak mau itu.”
“Tidak. Kau tidak mau itu terjadi.”
Mitch berkata, “Aku harap kita tidak harus melakukan ini.”
“Yah,” kata laki-laki dengan kulit yang mulus, “memang harus
begini.”
Dilatarbelakangi cahaya dari lampu-lampu, kedua wajah mereka
menggelayut di atas Mitch seperti dua bulan yang terselubung
bayang-bayang. Satu dengan ekspresi wajah ketidakacuhan yang
datar, satunya lagi tegang dan terlubangi dengan kebencian.
Mereka membanting pintu bagasi, dan kegelapannya sempurna.
/ 177 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
28
HHOLLY BERBARING DI DALAM KEGELAPAN, BERDOA SUPAYA MITCH TETAP
hidup.
Ia lebih mencemaskan Mitch ketimbang dirinya sendiri. Orang-
orang yang menawannya senantiasa mengenakan topeng ski di se-
kitarnya, dan Holly beranggapan mereka tidak akan bersusah payah
menyembunyikan wajah mereka jika mereka berniat untuk mem-
bunuhnya.
Mereka tidak memakai topeng-topeng itu hanya sekadar untuk
bergaya. Tak seorang pun tampak bagus memakai topeng ski.
Jika kau memiliki cacat yang menyeramkan, seperti Phantom of
the Opera, mungkin kau akan ingin memakai topeng ski. Tapi tidak
masuk akal jika keempat laki-laki ini semuanya punya cacat yang
menyeramkan.
Tentu saja, bahkan jika mereka berharap tidak harus menyakiti-
nya, bisa saja terjadi sesuatu yang salah dengan rencana mereka.
Dalam situasi genting, ia mungkin saja tertembak dengan tidak se-
ngaja. Atau berbagai kejadian bisa mengubah niat para penculik ter-
hadap dirinya.
Senantiasa optimis, sejak kecil selalu percaya bahwa setiap
kehidupan memiliki makna dan bahwa hidupnya tidak akan lewat
/ 178 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
begitu saja sebelum ia menemukan tujuannya, Holly tidak berkutat
memikirkan apa yang tidak akan berjalan mulus, melainkan mem-
bayangkan dirinya bebas, tanpa terluka.
Holly percaya, membayangkan masa depan akan membantu
mewujudkannya. Bukan berarti ia dapat menjadi seorang aktris
terkenal hanya dengan membayangkan dirinya menerima peng-
hargaan Academy Award. Kerja keraslah, bukan keinginan, yang
membangun karir.
Lagipula, ia tidak ingin menjadi seorang aktris terkenal. Dengan
begitu ia harus menghabiskan banyak waktu bersama aktor-aktor
terkenal, dan kebanyakan aktor-aktor zaman sekarang membuatnya
merinding.
Kembali bebas, ia akan menyantap marzipan dan es krim coke-
lat selai kacang dan keripik kentang sampai ia mempermalukan
dirinya sendiri atau menjadi mual. Ia sudah tidak muntah sejak kecil.
Namun muntah adalah sebuah bentuk penegasan akan hidup.
Bebas, ia akan merayakannya dengan pergi ke Baby Style, toko
di pusat perbelanjaan itu, dan membeli boneka besar berbulu yang
ia lihat di etalase saat ia lewat belum lama ini. Boneka itu berbulu
lembut dan putih, dan sungguh lucu.
Bahkan saat remaja, ia menyukai boneka beruang. Dan sekarang
ia tetap membutuhkannya.
Jika bebas, ia akan bercinta dengan Mitch. Saat ia sudah selesai
dengannya, Mitch akan merasa bagaikan baru saja tertabrak kereta
api.
Yah, itu bukan gambaran yang terlalu romantis. Bukan gam-
baran yang menjual jutaan novel karya Nicholas Sparks.
Ia bercinta dengannya dengan setiap serat dirinya, jiwa dan
raga, dan ketika akhirnya gairah mereka mereda, ia terciprat ke selu-
ruh ruangan seolah baru saja menjatuhkan diri di depan kereta.
Membayangkan dirinya sebagai seorang pengarang novel laris
/ 179 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
hanya akan menghabis-habiskan tenaga. Untungnya, cita-cita Holly
adalah menjadi agen real estat.
Jadi ia berdoa suaminya yang tampan akan bertahan hidup
melewati kengerian ini. Secara fisik ia memang tampan, tapi hal pa-
ling indah mengenai Mitch adalah hatinya yang lembut.
Holly mencintainya karena kelembutan hatinya, juga sikap ma-
nisnya. Namun ia khawatir aspek-aspek tertentu dari kelembutan-
nya itu, seperti kecenderungannya untuk menerima secara pasif,
akan membuatnya terbunuh.
Mitch juga memiliki kekuatan yang mendalam dan tidak
menonjol, tulang belakang dari baja, yang terungkap dalam cara-
cara yang halus. Tanpa kekuatan itu, ia pasti sudah akan terkalahkan
oleh kedua orangtuanya yang aneh. Tanpa kekuatan itu, Holly tidak
akan membuat Mitch mengejar dirinya sampai ke pelaminan.
Jadi Holly berdoa supaya Mitch tetap kuat, tetap hidup.
Selama doa-doanya, selama renungannya tentang gaya ber-
busana para penculik dan tentang kerakusan dan muntah serta
boneka beruang besar berbulu lembut, ia terus menggarap sepotong
paku di lantai papan. Sejak dulu ia hebat dalam melakukan lebih
dari satu hal dalam waktu bersamaan.
Lantai kayu itu kasar. Ia menduga papan-papannya cukup tebal
sehingga membutuhkan paku-paku lantai yang lebih kuat dari
biasanya.
Paku yang menarik perhatiannya punya kepala yang besar dan
pipih. Ukuran kepalanya menunjukkan paku ini mungkin cukup
besar untuk bisa disebut sebuah paku beton.
Dalam situasi genting, sebuah paku besar mungkin dapat di-
gunakan sebagai senjata.
Kepala paku yang pipih itu tidak merapat pada kayu. Kepalanya
menyembul sekitar seperenambelas inci dari lantai. Celah ini
memberinya sedikit ruang untuk mengungkit, pegangan untuk
/ 180 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
menggoyang paku itu ke sana kemari.
Meski paku itu tidak goyah, salah satu sifat baik Holly terletak
pada ketekunannya. Ia akan terus menggarap paku itu, dan ia akan
membayangkannya menjadi goyah, untuk kemudian dapat ia cabut
dari papan.
Holly berharap memiliki kuku yang dilapisi akrilik. Kelihatannya
bagus. Jika sudah menjadi agen real estat nanti, ia jelas akan mem-
butuhkannya. Kuku akrilik yang bagus mungkin bisa memberinya
keuntungan dengan paku besar itu.
Di sisi lain, kuku semacam itu mungkin akan patah dan pecah
lebih cepat ketimbang kuku aslinya. Jika ia punya kuku akrilik, bisa
jadi hal itu justru akan menjadi kelemahan yang merugikan.
Idealnya, saat diculik ia semestinya memiliki kuku akrilik di
tangan kiri dan bukan di tangan kanannya. Dan juga dua gigi besi
dengan sebuah celah di tengah pada bagian depan mulutnya.
Sebuah borgol kaki dan seutas rantai membelenggu kaki kanan-
nya ke sebuah cincin besi di lantai. Ini membuat kedua tangannya
bebas untuk menggarap paku yang belum juga goyah itu.
Para penculik itu telah memikirkan kenyamanannya. Mereka
menyediakan kasur udara untuknya berbaring, enam pak botol air
minum, dan sebuah pispot. Sebelumnya mereka juga memberinya
setengah pizza sosis keju.
Ini bukan berarti bahwa mereka adalah orang-orang baik.
Mereka bukan orang-orang baik.
Saat mereka membutuhkan dirinya agar berteriak untuk Mitch,
mereka memukulnya. Saat mereka membutuhkannya supaya ber-
teriak untuk Anson, mereka tiba-tiba menjambak rambutnya,
dengan menyentak, dan begitu keras sampai ia mengira kulit kepala-
nya akan terkelupas.
Meski mereka bukan orang-orang yang akan pernah kau temui
di gereja, mereka tidak kejam hanya untuk kesenangan belaka.
/ 181 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
Mereka jahat, namun mereka punya suatu tujuan bisnis, bisa di-
bilang begitu, yang membuat mereka tetap fokus.
Salah satu dari mereka jahat dan tidak waras.
Dialah yang membuat Holly cemas.
Mereka belum memberitahunya rencana mereka, tetapi secara
samar-samar Holly paham mereka menahannya untuk memanfaat-
kan Mitch dalam rangka memanipulasi Anson.
Ia tidak mengerti mengapa atau bagaimana mereka mengira
Anson dapat mendapatkan begitu banyak uang sebagai tebusan
dirinya untuk Mitch, tapi ia tidak terkejut Anson berada di tengah-
tengah pusaran angin ini. Sudah sejak lama ia merasa Anson bukan
sekadar apa yang ia tampilkan pada orang lain.
Sesekali ia mendapati Anson memandangi dirinya dengan cara
yang seharusnya tidak pernah dilakukan seorang kakak tersayang
dari suaminya. Saat sadar ia tertangkap basah, nafsu ganas di sorot
matanya dan ekspresi lapar di wajahnya menghilang dengan begitu
cepat di balik pesonanya sehingga mudah untuk merasa bahwa kau
pasti telah mengkhayalkan kilatan ketertarikan buas itu.
Terkadang saat ia tertawa, bagi Holly keriangannya terdengar
dibuat-buat. Tampaknya ia sendirian dalam merasakan hal ini. Yang
lain menganggap tawa Anson menular.
Ia tidak pernah berbagi keraguannya terhadap Anson. Sebelum
ia bertemu Mitch, yang Mitch miliki hanyalah saudara-saudara
perempuannya—yang telah melarikan diri ke titik-titik paling jauh di
kompas—sang kakak, dan kegemarannya bekerja di tanah yang
subur, membuat hijau-hijauan tumbuh. Harapan Holly adalah
senantiasa memperkaya hidup Mitch, bukan untuk mengurangi apa
pun darinya.
Ia bisa meletakkan hidupnya di dalam tangan kuat milik Mitch
dan langsung terbuai ke dalam tidur tak bermimpi. Boleh dibilang,
itulah arti pernikahan—pernikahan yang baik—kepercayaan penuh
/ 182 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
dengan hatimu, pikiranmu, hidupmu.
Namun dengan nasibnya berada di tangan Anson, selain di
tangan Mitch, ia mungkin tidak akan sanggup tidur sedikit pun. Dan
jika ia tidur maka akan ada mimpi buruk.
Ia terus menggoyang, menggoyang, menggoyang paku itu sam-
pai jari-jarinya nyeri. Kemudian ia menggunakan dua jari yang
berbeda.
Dengan berlalunya menit-menit yang gelap dan sunyi, ia ber-
usaha tidak terus memikirkan bagaimana sebuah hari yang dimulai
dengan kegembiraan bisa bergulir tak terkendali menjadi situasi
berbahaya dan penuh keputusasaan semacam ini. Setelah Mitch
berangkat kerja dan sebelum orang-orang bertopeng itu menyeruak
masuk ke dalam dapurnya, ia telah menggunakan alat yang sudah ia
beli sejak hari sebelumnya namun terlalu gugup untuk ia gunakan
sampai tadi pagi. Menstruasinya terlambat sembilan hari, dan me-
nurut tes kehamilan itu, ia akan punya seorang bayi.
Selama satu tahun, ia dan Mitch mengharapkan ini. Sekarang
saat itu telah datang, pada hari ini di antara hari-hari lain yang ada.
Para penculik itu tidak menyadari ada dua kehidupan yang
berada dalam belas kasihan mereka, dan Mitch pun tidak menyadari
bahwa bukan hanya istrinya, melainkan juga anaknya yang ber-
gantung pada kelihaian dan keberaniannya, tapi Holly tahu.
Pengetahuan ini adalah sebuah kegembiraan sekaligus kesedihan
yang mendalam.
Holly membayangkan seorang anak berusia tiga tahun—
terkadang perempuan, terkadang laki-laki—sedang bermain di
halaman belakang rumah mereka dan tertawa. Ia membayangkan-
nya dengan lebih jelas ketimbang saat ia membayangkan apa pun
sebelumnya, dengan harapan ia akan bisa mewujudkannya.
Ia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia akan tegar, tidak
akan menangis. Ia tidak terisak atau dengan cara lain mengusik
/ 183 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
keheningan itu, tapi terkadang air mata datang.
Untuk menghambat aliran air mata panas itu, ia bekerja dengan
lebih giat pada paku tersebut, paku brengsek yang keras kepala itu,
di dalam kegelapan yang membutakan.
Setelah keheningan yang lama, didengarnya suara berdebuk
keras dengan sentuhan suara logam bergaung: ca-chunk.
Waspada, awas, ia menunggu, namun suara berdebuk itu tidak
terdengar lagi. Tidak ada suara lain setelahnya.
Suara itu terdengar akrab dan menggugah. Suara yang sangat
biasa—namun nalurinya mengatakan nasibnya bergantung pada
suara ca-chunk itu.
Ia bisa mendengarkan kembali suara itu di dalam ingatannya,
namun pada awalnya tak mampu menghubungkannya dengan
sebuah penyebab.
Setelah beberapa waktu, Holly mulai curiga suara itu hanya
sebuah khayalan, tidak nyata. Lebih tepatnya, suara itu terjadi di
dalam kepalanya sendiri, bukan di balik dinding-dinding ruangan
ini. Ini pikiran yang aneh namun terus menghantuinya.
Kemudian ia mengenali sumber suara itu, sesuatu yang mungkin
telah ia dengar ratusan kali. Meski suara itu tidak berhubungan
dengan sesuatu yang mengancam dirinya, ia merinding. Suara ca-
chunk itu adalah suara tutup bagasi yang dibanting tertutup.
Suara bagasi menutup saja, baik hanya dalam khayalan ataupun
benar-benar didengar, seharusnya tidak menyebabkan kristal-kristal
es yang merayap untuk mengendap dalam ceruk-ceruk tulangnya. Ia
duduk sangat tegak, paku itu terlupakan untuk sesaat, sama sekali
tidak bernapas, kemudian bernapas pendek-pendek, dan dengan
pelan.
/ 184 /
www.facebook.com/indonesiapustaka Bagian Dua
Apa Kau Bersedia
Mati atau Membunuh
Demi Cinta?
/ 185 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
29
PPADA AKHIR 1940-AN, JIKA KAU PUNYA MOBIL SEPERTI CHRYSLER WINDSOR,
kau tahu mesinnya berukuran besar karena mengeluarkan suara
yang keras. Suaranya memiliki debaran jantung seekor sapi jantan,
dengusan sengit yang rendah dan hentakan keras kakinya.
Perang sudah berakhir, kau bertahan hidup, daratan Eropa
banyak yang berada dalam kehancuran, namun kampung halaman
tak tersentuh, dan kau ingin merasa hidup. Kau tidak menginginkan
ruang mesin yang kedap suara. Kau tidak menginginkan teknologi
pengendali suara. Kau menginginkan tenaga, kestabilan, dan
kecepatan.
Ruang bagasi mobil yang gelap bergaung dengan ketokan mesin
dan suara gemuruh menjalari poros gardan, melewati badan dan
kerangka mobil. Suara deruman dan terputus-putus dari jalan timbul
tenggelam mengikuti irama roda yang berputar.
Mitch membaui sisa-sisa samar gas knalpot, mungkin berasal
dari kebocoran di dalam saringan, namun ia tidak berada dalam
bahaya keracunan karbon monoksida. Yang lebih kuat tercium
adalah aroma karet dari karpet tempat ia tengah berbaring dan bau
asam keringat rasa takutnya sendiri.
Meski sama gelapnya dengan ruangan di rumah orangtuanya,
/ 186 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
ruang pembelajaran berjalan ini gagal menghilangkan semua
rangsang sensoris. Namun salah satu pelajaran paling penting dalam
hidupnya disodorkan padanya mil demi mil.
Menurut ayahnya, tao itu tidak ada, tidak ada hukum alam
yang kita dilahirkan untuk mengerti. Dalam pandangan materialistis-
nya, seharusnya kita berperilaku tidak menurut aturan apa pun,
melainkan semata-mata menurut minat kita sendiri.
Rasionalitas selalu ada dalam minat manusia, kata Daniel. Maka
dari itu, tindakan apa pun yang rasional adalah benar, baik, dan ter-
puji.
Kejahatan tidak ada di dalam filosofi Daniel. Mencuri, memer-
kosa, membunuh orang-orang tak berdosa, dan tindakan-tindakan
kejahatan lain hanya dianggap tidak rasional karena menempatkan
orang yang melakukannya dalam bahaya akan kehilangan ke-
bebasannya.
Namun Daniel mengakui, tingkat ketidakrasionalan sebuah tin-
dakan bergantung pada peluang sang pelaku untuk menghindar dari
hukuman. Maka dari itu, tindakan-tindakan irasional yang berhasil
dan hanya memberikan akibat positif bagi sang pelaku mungkin
adalah tindakan yang benar dan terpuji, jika tidak bisa dikatakan
baik untuk masyarakat.
Pencuri, pemerkosa, pembunuh, dan orang-orang semacam itu
mungkin mendapat manfaat dari terapi dan rehabilitasi, atau
mungkin juga tidak. Pada masing-masing kasus, kata Daniel, mereka
tidak jahat; mereka adalah orang-orang irasional yang sedang dalam
proses penyembuhan—atau tak dapat disembuhkan. Itu saja, tidak
lebih.
Mitch mengira ajaran-ajaran ini tidak menembus dirinya, bahwa
ia tidak terbakar oleh api pendidikan seorang Daniel Rafferty.
Namun api menghasilkan asap; ia telah diasapi dalam fanatisme
ayahnya sedemikian lama sampai beberapa hal yang meresap ke
/ 187 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
dalam dirinya tetap tinggal.
Ia dapat melihat namun buta. Ia dapat mendengar namun tuli.
Hari ini, malam ini, Mitch berhadap-hadapan dengan kejahatan.
Dan kejahatan itu sama nyatanya dengan batu.
Meski seorang irasionalis harus dihadapi dengan kasih sayang
dan terapi, seorang yang jahat tidak pantas mendapatkan lebih atau
kurang dari perlawanan dan pembalasan, kemurkaan keadilan yang
sepantasnya.
Di dalam perpustakaan Julian Campbell, saat salah seorang laki-
laki pemegang senjata itu mengeluarkan borgol, Mitch langsung
menyodorkan kedua tangannya. Ia tidak menunggu perintah.
Jika ia tidak tampak letih, tidak tampak patuh dan menyerah
terhadap nasibnya, mereka mungkin akan memborgol tangan di
belakang tubuhnya. Meraih senjata di sarung pergelangan kakinya
akan lebih sulit seperti itu; menggunakannya dengan akurat akan
mustahil.
Campbell bahkan mengomentari keletihan Mitch, terutama
keletihan pikiran dan batin.
Mereka pikir mereka tahu laki-laki macam apa dirinya, dan
mungkin mereka memang tahu. Tapi mereka tidak tahu bisa menjadi
laki-laki macam apa dirinya saat hidup sang istri berada dalam
bahaya.
Dibuat geli oleh kurangnya pengalaman dirinya dengan pistol
yang mereka sita, mereka tidak mengira ia akan memiliki senjata
kedua. Bukan hanya laki-laki baik saja yang dirugikan oleh perkiraan
mereka.
Mitch mengangkat kaki celana jinsnya dan mengambil senjata
itu. Ia membuka sarung senjata dan membuangnya.
Sebelumnya ia telah memeriksa senjata itu dan tidak menemu-
kan alat pengaman. Di film-film, hanya beberapa pistol saja yang
punya alat pengaman; revolver tidak pernah memilikinya.
/ 188 /
www.facebook.com/indonesiapustaka The Husband
Jika ia bertahan hidup melewati dua hari berikut dan men-
dapatkan Holly kembali dalam keadaan hidup, ia tak akan pernah
lagi membiarkan dirinya berada dalam posisi di mana ia harus
bergantung pada realitas versi Tinseltown untuk kelangsungan hidup
diri atau keluarganya.
Saat pertama kali membuka silinder senjata itu, ia menemukan
lima peluru di dalam lima bilik, di saat ia mengharapkan enam.
Ia harus tepat mengenai dua sasaran dengan lima peluru.
Tembakan tepat sasaran, bukan hanya sekadar tembakan tidak lang-
sung.
Mungkin salah satu pemegang senjata itu akan membuka
bagasinya. Akan lebih baik lagi jika keduanya ada di situ, mem-
berinya keuntungan untuk mengejutkan mereka berdua sekaligus.
Keduanya pasti akan siap dengan pistol mereka di tangan—atau
hanya seorang dari mereka. Jika hanya seorang, Mitch harus cukup
cepat membidik lawannya yang bersenjata terlebih dulu.
Seorang laki-laki cinta damai tengah merencanakan kekerasan,
digerogoti oleh pikiran-pikiran yang tidak membantu: Saat remaja,
dikutuk dengan letupan jerawat-jerawat yang membuat wajahnya
bagai permukaan bulan, laki-laki bopeng itu pasti mengalami
penghinaan yang teramat sangat.
Simpati bagi sang iblis dalam bentuk yang paling ringan adalah
sejenis masokhisme*, dan dalam bentuk yang terparah adalah has-
rat untuk mati.
Untuk beberapa saat, berayun mengikuti irama jalanan dan
karet, dan pembakaran dalam, Mitch berusaha membayangkan
semua cara bagaimana kekerasan itu mungkin akan bergulir saat
tutup bagasinya dibuka. Kemudian ia berusaha untuk tidak mem-
bayangkan.
* Kekejaman atau kekerasan yang memberikan kepuasan kepada yang menerimanya
(bentuk kelainan seksual)—ed.
/ 189 /
www.facebook.com/indonesiapustaka DEAN KOONTZ
Menurut jamnya yang menyala, mereka telah berkendara se-
lama setengah jam lebih, untuk kemudian melambat, beralih dari
jalan aspal ke jalan tanah. Bebatuan kecil bergemeretak melalui
kerangka penopang mobil, mengetok keras pada lantai.
Ia mencium bau debu dan menjilat citarasa alkali di bibirnya,
namun udara tidak pernah menjadi cukup kotor untuk men-
cekiknya.
Setelah dua belas menit bergerak dengan kecepatan rendah di
atas jalan tanah, mobil itu perlahan berhenti. Mesinnya tetap hidup
selama setengah menit, kemudian sang sopir mematikannya.
Setelah empat puluh lima menit penuh dengan suara ber-
dengung dan ketokan, keheningan itu bagai tuli mendadak.
Satu pintu membuka, diikuti satu lagi.
Mereka mendekat.
Menghadap bagian belakang mobil, Mitch merenggangkan ke-
dua kakinya, menahannya di sudut-sudut yang saling berseberangan
di dalam ruang itu. Ia tidak bisa duduk tegak sebelum tutup
bagasinya diangkat, namun ia menunggu dengan punggung sedikit
terangkat dari lantai bagasi seolah tengah melakukan olahraga sit up
di pusat kebugaran.
Borgolnya mengharuskannya mencengkeram revolver itu de-
ngan dua tangan, yang mungkin memang lebih baik seperti itu.
Ia tidak mendengar suara langkah kaki, hanya suara jantungnya
yang berdegup. Namun kemudian didengarnya suara kunci berputar
di lubang kunci bagasi.
Di dalam benaknya terlintas bayangan Jason Osteen ditembak
kepalanya, bayangan itu berkedip dan berkedip, berulang seperti
potongan-potongan film, Jason terhantam oleh peluru, tengkorak-
nya meledak, terhantam oleh peluru, tengkorak meledak....
Saat tutup bagasi membuka, Mitch sadar bagasi itu tidak memi-
liki lampu dalam, dan ia mulai menegakkan duduknya, mendorong
/ 190 /