The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

หนังสือบุหลันวรรณกรรม

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search

หนังสือบุหลันวรรณกรรม

หนังสือบุหลันวรรณกรรม

Keywords: บุหลันวรรณกรรม,วรรณกรรม

(62 tahun, kulit putih, gemuk, menderita asma). Matanya memindai
halaman depan paspormu, seperti berusaha meyakinkan dirinya
sendiri bahwa usiamu belum genap tiga puluh, dan sesekali ia mencuri
pandang ke arah syalmu yang cantik. Selayaknya pelayan masyarakat
yang terpuji, ia menyelesaikan laporannya dan berkata hangat, “Kami
akan berusaha sebaik mungkin.”
Di toilet kau berpapasan dengan perempuan lain.
Rambutnya kelabu, berpotongan bob. Usianya mungkin sekitar delapan
puluh. Ia tersenyum ramah, lalu menegurmu dalam bahasa yang sedikit
kaku, “Dari Indonesia, ya?”
Setelah meninggalkan Malang di tahun 60-an, ia tak
pernah pulang lagi. Bertahun-tahun ia tinggal di Den Haag
sebelum pindah ke California.
Dengan jujur kau mengaku baru saja membuat laporan
kehilangan suami. Di New York, kau dan suamimu merencanakan
bulan madu. Kau terbang lebih dulu ke Los Angeles karena ia harus
menghadiri konferensi di Eropa, namun setelah lewat tiga hari ia
belum menyusulmu. Seluruh alat komunikasi tak berfungsi.
Ibu itu mengangguk, tampak bersiaga ketimbang bersimpati.
Ia merogoh tas tangannya dan menyodorkan selembar kartu nama.
Sementara ia mencuci tangan, kau mengamati nama aneh yang tertera
di sana.
“Dulu saya aktif di perkumpulan. Siapa tahu berguna buat
Anda. Bilang saja dengar dari saya, Yunita.”
“Bu Yunita datang kemari---juga karena kehilangan suami?”
“Oh, bukan! Saya kehilangan dompet,” ia menutup keran air.
“Sudah empat puluh tahun lebih suami saya mati.”
Ibu Yunita membolak-balikkan tangan keriputnya di bawah

บุหลันวรรณกรรม 319

mesin pengering. Ucapan maafmu tertelan deru mesin. Ia sempat
menengok cermin untuk merapikan rambut pendeknya.
“Yuk, saya duluan. Mudah-mudahan suami Anda ketemu.”

***
Klub Solidaritas Suami Hilang tak menemukan yang hilang,
tetapi menghidupi kehilangan. Meski demikian Doña Manuela
selalu siap membagi kontaknya -- polisi, detektif swasta, jaringan
aktivis–serta membahas kiat-kiat berhadapan dengan aparat negara.
Jangan sampai kita jadi korban dua kali, begitu prinsipnya. Ia aktif di
beberapa kelompok yang menuntut keadilan untuk korban Perang
Kotor di Argentina. Mertuanya adalah anggota Asosiasi Ibu Plaza de
Mayo.
“Ada beberapa foto yang belum kuperlihatkan.”
Itu adalah suara serak-serak basah Carmencita. Ia membuka
laptop Dell mungil berbungkus ungu, siap memamerkan sejumlah
foto.
Carmencita dan suaminya pergi ke Paris tiga tahun lalu,
tepatnya di musim semi 2005, untuk membuat foto-foto pra-pernikah-
an. Mereka menautkan gembok bertuliskan “Carmencita & Pablo”
pada jembatan cinta legendaris Pont des Arts. Seorang kawan fotografer
mengabadikan Carmencita, dalam pelukan Pablo, dengan gaun putih
yang pendek di depan namun menjuntai di belakang. Ia mirip
bintang telenovela.
Pablo pamit ke supermarket Walmart di suatu sore tanpa
pernah kembali. Sampai kini pakaiannya masih tersimpan rapi di
lemari.

320 Bulan Sastra

“Gembok itu akan di sana selamanya, seperti cinta kami.”
Di sebelah Carmencita, Andy Horowitz memutar bola
matanya ke atas.
“Aih, romantis! Semoga tak ada orang gila mengamuk dan
membakar jembatan, ya.”
“Jahat sekali!”
“Menurutku – menurutku lho,” Andy berucap manis. “Cuma
orang bodoh yang menggantung gembok cinta.”
“Aku kenal pasangan pengarang dari Guadalajara yang
melakukannya!” tukas Carmencita.
Andy tak percaya banyak hal, termasuk pernikahan,
setidaknya sampai ia mengalami kecelakaan parah dan harus
dioperasi. Karena Greg, pasangannya selama satu dekade, tidak
dianggap keluarga sungguhan, Ibu Andy terbang dari Boston untuk
menandatangani surat persetujuan. Setelah sembuh, Andy banyak
berpikir tentang hukum. Jika ia koma berbulan-bulan, ia memilih
disuntik mati. Ia ingin Greg lah yang membuat keputusan medis
terakhir untuknya. Tapi sebelum euthanasia memisahkan keduanya,
Greg menghilang. Terakhir kali ia menelepon Andy saat hendak
menyeberangi Selat Hekate yang rawan badai dan cuaca buruk.
Di Klub Solidaritas Suami Hilang, kita mengingat yang tak
hadir lewat cerita berulang. Kita bisa berangkat dari titik manapun,
baik secara linear -- dari awal pertemuan sampai hilangnya
suami–maupun dengan alur mundur. Sebagian memilih teknik in
medias res.
Perenungan tentang masa tua memicu keputusan Andy
menikah di Toronto (di tahun 2006 ini belum dimungkinkan di
California). Cerita Andy kemudian bergerak ke belakang, ke galeri
seni tempat ia dan Greg bertemu. Ia seorang editor film, bekerja di

บหุ ลันวรรณกรรม 321

ruang tertutup, sedangkan Greg seorang fotografer pencinta alam.
Ketika tiba kesempatanmu bicara, kau merunut kronologi
kehilangan seperti di kantor polisi. Carmencita, terlihat lebih sendu
darimu, bertanya, “Apa yang paling kau ingat tentang suamimu?”
Kau menatap sekeliling sambil berusaha mengingat-ingat.
Sedikit gugup, kau balas bertanya, “Bisa kuceritakan lain kali?”
Rekan-rekanmu mengangguk meski tampak kebingungan.
Lalu terdengar suara Soonyi, pelan dan ringkih, persis gerak-gerik
tubuhnya. Wajahnya manis, meski tentu ia lebih tua dari Doña
Manuela.
“Tidak apa-apa. Aku juga tak punya banyak kenangan
tentang suamiku.”
Ada yang tercecer setelah Perang Korea usai dan Amerika
menarik mundur tentaranya. Hal besar seperti perang kerap
meninggalkan serpihan kecil, tak berguna dan jorok, seperti sifilis dan
bayi.
Di umur 17, Soonyi melahirkan anak berkulit kulit hitam dari
seorang tentara yang ia sebut suami meski upacara pernikahan tak
pernah ada.
“Laki-laki itu tak pernah menghubungiku. Bahkan alamatnya
palsu,” kata Soonyi, masih bersuara pelan. “Tapi tak ada ingatan yang
lebih nyata dari Jihoon, putraku. Karena dia aku menjadi sundal.
Karena dia tidak berbapak dan kulitnya hitam.”
Para peserta memilih diam. Entah bagaimana kau tahu inilah
yang selalu terjadi. Sebagian cerita selalu menikam, tak pernah
tumpul meski diulang-ulang.
Suara Doña Manuela memecah hening,
“Selanjutnya?”

***

322 Bulan Sastra

Kau mulai paham bagaimana para anggota mengakrabi
kehilangan. Ingatan menjadi kuil yang mesti dilap hingga berkilat,
seperti tiap sudut bingkai foto yang dibersihkan Doña Manuela dengan
saksama. Beberapa perempuan sibuk merajut. Carmencita memilih
mengecat kuku. Soonyi selalu memasak bibimbap (yang menurutmu
mirip nasi campur gado-gado) untuk dimakan bersama. Hanya Andy
sang editor yang merasa tak butuh prakarya, sebab setiap hari ia sudah
melakukannya: menggunting, memindahkan, dan merekat cerita.
Di hari-hari tertentu rajutan dibongkar paksa dan cat kuku
luber di kulit.
Di hari macam itulah kau datang lebih awal dan berpapasan
dengan Soonyi di pintu. Tampak kurang sehat, ia bergegas pulang.
Tak lama kemudian kau temukan sesuatu di lantai kamar mandi.
Seseorang telah meludah seenaknya.
“Kau melihatnya?” Doña Manuela menghampirimu. “Maaf.
Itu pasti Soonyi.”
“Dia sakit?”
“Jantungnya lemah, ya. Tapi soal meludah – sudah lama dia
berhenti,” kata Doña Manuela. “Dulu dia kecanduan. Dia
melakukannya di tempat-tempat yang dijaga ketat, seperti kantor
pemerintah dan perpustakaan kota.”
Kau tak tahu pasti apa rasanya punya anak haram berkulit
hitam di Korea sesudah perang.
Soonyi bertekad kabur. Lewat sebuah perkawinan singkat, ia
akhirnya menjejakkan kaki di Amerika pada tahun 1975. Sejak itulah
ia kerap dilanda hasrat menggebu-gebu untuk meludahi fasilitas
publik. Ia pernah ditangkap satpam, tapi kemudian dibebaskan karena
dianggap sedang sakit. Lagi pula, wajahnya manis tanpa dosa.

บหุ ลันวรรณกรรม 323

Kau teringat mencicipi bibimbap. Setelah Soonyi meludah,
mulutmu terasa jorok.
Saat membantu membersihkan kamar mandi, kau tak hanya
mendengar lebih banyak tentang Soonyi tetapi juga Doña Manuela,
yang kehilangan suami semasa rezim militer di akhir 1970-an.
“Jelas dia sudah mati. Tapi dengan cara apa, aku tidak tahu,”
ujarnya. “Mungkin tak jauh beda dengan suami Yunita.”
Deru mesin pengering tangan di toilet kantor polisi
kembali terngiang.
Yunita, kata Doña Manuela, tak pernah tahu apakah
suaminya ditembak atau disembelih.
“Apakah suaminya mati di Jawa atau Bali, dia juga tak tahu
pasti.”
Tak ada mesin, dan tenggorokanmu kering.
Di tempatku orang dihilangkan dengan beragam cara,
lanjutnya. Ia bisa ditelanjangi dan dilempar ke sungai yang dingin,
atau dipaksa terjun dari helikopter. Setiap hari kami memilih
khayalan sendiri.
Di kamar mandi itu kau mengharapkan bising. Tapi
kau hanya menemukan gelondongan tisu, bersih dan bisu, tak
menyelamatkanmu.
“Anda pasti sangat mencintai suami Anda, Doña.”
“Apa itu penting?”
Ia bertanya apa kau mencintai suamimu. Kau tak menjawab.
“Yang jelas negara telah menzalimiku,” ia seperti bersabda.
Kini suaranya lambat dan ganjil, “Dalam kitab disebutkan: barang
siapa menumpahkan darah manusia, oleh manusia darahnya akan
tertumpah.”

324 Bulan Sastra

Doña Manuela, kokoh dan teduh, terlihat seperti gunung api
yang memampatkan murka lewat pekerjaan-pekerjaan kecil, telaten,
sepele. Perihal kapan ia akan meletus tak berani kau bayangkan.

***
Kau sudah tak datang lagi ke klub ketika Soonyi pergi. Kau
terbang ke Los Angeles hanya untuk menghadiri pemakamannya.
Untuk terakhir kali kau lihat, di gereja, jenazahnya cantik bagai peri
dalam peti. Carmencita periasnya.
Kau ingat pernah merasa jijik dengan bibimbap, namun
suatu hari di klub mengubah semuanya. Sejak itu, bibimbap yang
dibawa Soonyi selalu habis. Bahkan ketika kesehatan Soonyi
memburuk, Doña Manuela datang ke rumahnya hanya untuk
membantunya memasak.
Hari itu Carmencita dan Andy bertengkar. ‘Suami Hilang’
perlu definisi ulang, kata Andy, sebab itu tak berlaku buat
Carmencita. Ternyata suaminya tidak hilang, tapi kabur.
“Oh bangunlah, Carmencita. Kita semua tahu apa yang ter-
jadi. Suamimu masih di L.A., tinggal bersama pacar barunya!”
Mendengar ucapan sinis Andy, Carmencita menangis
histeris. Doña Manuela menatap Andy tajam.
“Maaf,” Andy terlihat sedikit menyesal. “Kupikir kita
semua perlu ditampar oleh kenyataan.”
“Orang kemari bukan untuk ditampar,” tegas Doña
Manuela.
Di saat itulah Soonyi, yang sebelumnya bungkam,
membuka mulutnya.

บุหลนั วรรณกรรม 325

“Andy benar. Kita butuh tamparan,” katanya. “Suamiku ---
aku sudah bertemu dengannya, tahun 1980.”
Semua mata tertuju pada perempuan mungil itu. Doña Ma-
nuela mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Bahunya yang lebar turun
naik. Fakta baru yang tiba-tiba muncul – setahun setelah Soonyi
bergabung di klub – membuatnya seperti binatang yang dikhianati.
“Sungguh menarik, Soonyi,” suara Doña Manuela
sedingin es. “Setelah sekian lama, kami baru tahu kalau suamimu tidak
hilang.”
Soonyi tertunduk lama. Kemudian kau dengar suaranya be-
gitu tenang,
“Dia tidak hilang. Aku menghilangkannya.”
Seorang pencerita adalah juga seorang penghapus.
Di tahun 1953, ayah bayi Soonyi kembali dari Korea dan
menikahi perempuan Amerika. Ketika Soonyi akhirnya menemukan
lelaki itu, ia telah ditinggal mati istrinya. Ia bersumpah tak tahu kalau
punya anak di Korea, lalu mengajak Soonyi menikah dan melupakan
penderitaan yang sudah lewat.
Dua hari setelah pernikahan mereka, Soonyi memasukkan
sebuah koper ke dalam bagasi mobilnya. Ia menyetir jauh sekali.
“Aku merindukannya. Kadang, setelah puluhan tahun, aku
merasa ia masih berbaring di sampingku.”
Soonyi menyeka matanya yang basah.
“Barangkali yang kusimpan di dalam koper itu,” ia
berhenti sesaat. “Bukan dia.”
Setelah itu: sunyi.
Doña Manuela beranjak dan mengedarkan bibimbap.
Berbaju hitam, kau dan kawan-kawanmu pergi ke restoran

326 Bulan Sastra

Korea seusai pemakaman. Suamimu belum ditemukan. Barangkali kau
tidak mencintainya, tapi itu tak penting. Hilang dan kehilangan adalah
lekuk yang lain, pelik sekaligus licin. Kadang keduanya terhubungkan
dengan cara yang ajaib, sebagaimana yang kau pelajari dari Doña
Manuela, Soonyi, dan Klub Solidaritas Suami Hilang.

Catatan tentang Luta, Manusia yang Hidup Abadi

Linda Christanty

HELMUT Herzog, seorang antropolog Jerman, pernah
memperlihatkan potret lelaki ini pada saya tiga tahun lalu. Ketika itu
Helmut tengah meneliti tentang orang-orang yang hidup abadi. Dia
sempat pergi selama dua bulan ke berbagai tempat di Kalimantan
untuk mengumpulkan cerita-cerita tentang mereka.
Lelaki dalam potret itu tertawa lebar, berjongkok sambil
memegang seekor ayam jantan. Helmut menemuinya satu kali, lalu
pulang ke Jerman untuk libur musim panas. Tapi ternyata Helmut tidak
kembali lagi ke Indonesia. Dia menulis surat elektronik untuk saya,
mengabarkan antara lain dia bertemu dengan pacarnya waktu masih
kuliah dulu dan kembali jatuh cinta, lalu mereka memutuskan
berkeluarga. Dia meminta saya melanjutkan penelitiannya dan
memberi nama-nama yang bisa saya hubungi untuk membantu saya
menemui orang-orang yang hidup abadi itu.
Saya tidak langsung mewujudkan permintaan Helmut,
karena kesibukan saya meneliti piring-piring beracun di Aceh. Pada
17 September 2011 saya pergi ke Kalimantan.

328 Bulan Sastra

Saya memutuskan mencari lelaki dalam potret tersebut, seseorang yang
setidaknya pernah bertemu Helmut dan mengerti maksud
penelitian ini. Luta, nama lelaki itu, ternyata tidak lagi tinggal di
tempat yang sama. Saya lumayan putus asa, sampai akhirnya
seorang pemuda suku Meratus mengetahui tempat tinggalnya yang
baru dan bersedia mengantar saya serta seorang penerjemah ke sana.
Saya menyampaikan salam Helmut kepadanya saat kami
bertemu. Lelaki Iban ini bertinggi sekitar 160 sentimeter. Bertubuh
kurus. Kedua lengan, kaki, dan pundaknya, dada maupun
punggungnya penuh rajang warna biru dan hijau. Di kebun ini dia
tinggal bersama 17 harimau, yang terdiri dari tiga harimau
dewasa, dua betina dan seekor jantan, dan 14 ekor anak harimau.
Harimau-harimau tersebut berasal dari perbatasan Serawak,
Sumatra dan Riau. Mereka diterbangkan dari tempat-tempat itu
untuknya. Sebelum pindah bersama rumah dan 17 harimaunya ke
Kuala Kapuas, dia tinggal di pegunungan Meratus. Katanya, dia baru
pindah seminggu yang lalu, dengan terbang. Kadang-kadang dia naik
garuda emas peninggalan Ayahnya untuk bepergian ke lain pulau atau
menyeberang laut sendirian. Dia lebih suka menunggang harimau putih
untuk bepergian di daratan yang sama.
Beberapa harimau mondar-mandir di halaman rumahnya pagi
itu. Mereka kelihatan tidak peduli pada tamu-tamu Luta.
Sebenarnya saya merasa takut dan mencoba menyembunyikan
perasaan itu dengan bersikap tenang. Luta tiba-tiba berkata,
“Harimau-harimau ini jinak.”
Usia Luta 350 tahun. Dia hanya makan sekali setahun, saat
upacara. Makan lemang persembahan. Agamanya, Hindu Kaharingan.
Kata yang terakhir ini berarti “kehidupan”. Pemeluk Hindu

บุหลนั วรรณกรรม 329

Kaharingan memuja Sanghyang Jagat Dewa Bhatara dan percaya
bahwa mereka merupakan keturunan langsung Bhatari Maluja Bulan
dan Sanghyang Babariang Langit atau disebut Ibu Bulan dan Bapak
Langit.
Luta hidup abadi untuk menjaga sukunya dari kepunahan dan
bahaya. Dia bertapa selama 30 tahun untuk itu. Mereka yang gagal
dalam pertapaan langsung meninggal dunia. Luta punya tiga teman
seperguruan: Datu Pasir, Datu Kutai dan Panglima Burung, yang
lebih suka disebutnya sebagai kakak seperguruan. Usia Panglima
Burung paling tua di antara mereka berempat, delapan ratus tahun.
Tinggi tubuhnya dulu sekitar tiga meter. Sekarang Panglima Burung
menjelma lelaki setinggi Luta, 160 sentimeter. Di masa sekarang badan
yang terlalu tinggi akan membuat orang takut, kata Luta, mengulang
ucapan Panglima Burung tentang tinggi tubuhnya yang berubah. Kata
Luta, kakak seperguruannya itu tengah berkebun di satu pulau, tanpa
memerinci letak pulau tersebut. Luta tidak yakin apakah Panglima
Burung bersedia diwawancarai oleh saya.
Ketika kami sedang bercakap-cakap, Luta tiba-tiba
menunjuk ke lantai kayu dan berkata, “Ini Datu Pasir.” Seekor
bengkarung kecil melata di lantai.
Helmut belum pernah bertemu Datu Pasir. Saya cukup
beruntung bertemu dengan sahabat Luta ini. Datu Pasir bersedia
diwawancarai, kata Luta. Nanti dia akan menjelma manusia lagi kalau
harus menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.
Ibu Luta juga hidup abadi, begitu pula abangnya, Menoa. Ibu
dan abangnya sekarang tinggal di perkampungan orang-orang Kenyah.
Ibunya fasih berbahasa Kenyah dan hanya menggunakan bahasa Iban
saat bertemu Luta. Menoa adalah kepala suku di situ. Menurut Luta,

330 Bulan Sastra

Ibunya telah mandiwata atau menjadi dewa. Seperti perempuan Iban
pada umumnya, Ibu Luta bertelinga panjang dengan gelang-gelang
logam di cuping. Kekuatan Ibunya makin melemah, sehingga tidak
lagi mewujud. Luta harus menyelenggarakan upacara atau bebalian
untuk membuat Ibunya kembali memiliki tubuh yang nyata. Dia juga
rajin membakar dupa untuk Ibunya. Asap dupa yang harum itu
tercium sampai ke kampung orang-orang Kenyah. Ibunya senang
sekali. Ketika ingin bertemu Ibunya, Luta langsung mewujud di
kampung orang-orang Kenyah. Dia tidak menjelma makhluk lain,
kecuali dirinya sendiri.
Beberapa orang yang dia kenal menjelma bengkarung, burung,
tupai, angin atau guci emas. Gurunya, seorang balian sakti bernama
Datu Garuhuk, selalu menjelma sebatang ranting kering. Datu Garuhuk
tinggal dalam gua di Gunung Bondang. Dia raja seluruh hantu dan
memiliki puluhan ribu pasukan samar. Usia Datu Garuhuk lima ribu
tahun.
Luta bersahabat akrab dengan manusia abadi lainnya, Datu
Papua. Mereka bertemu waktu Luta bertapa di Puncak Jaya. Dulu Datu
Papua pernah menawarkan diri untuk menerbangkan sepasang harimau
dari hutan Riau ke muka rumah Luta di pegunungan Meratus itu. Tapi
tubuh dua ekor harimau ternyata terlalu berat bagi Datu Papua, yang
akhirnya menyerah. Luta maklum. Dia juga khawatir harimau-harimau
tersebut tiba-tiba jatuh dari langit dan menimpa orang-orang yang
sedang berkebun atau tengah mendayung sampan di sungai,
gara-gara Datu Papua tak sanggup memikul mereka sambil terbang.
Dia juga tidak ingin dua ekor harimau itu terhempas di
keramaian pasar atau di kantor pemerintahan di tengah kota dan
menimbulkan kegemparan.


บหุ ลนั วรรณกรรม 331

Akhirnya Panglima Burung membantu Luta. Panglima Burung tidak
hanya memindahkan sepasang harimau dewasa itu, melainkan 14 anak
harimau dan seekor induk harimau dari hutan Sumatra serta perbatasan
Serawak. Luta ingin menghadiahkan semua harimau untuk cucu Datu
Tingkas, raja manusia harimau di Sumatra. Secara tak sengaja, dia
berpapasan dengan Harimau Garang di hutan. Pemuda itu tengah dalam
perjalanan ke Serawak, melarikan diri dari kejaran polisi untuk
kejahatan yang tidak dilakukannya.
Luta mengatakan pada saya bahwa Harimau Garang kini
berada di Malaka. Dia telah memberi Luta sebuah telepon seluler,
supaya mereka mudah berhubungan. Seorang pemuda suku Ngaju
telah mengajarinya menggunakan telepon itu.
Di malam hari Luta membawa seluruh anak harimau tidur
bersamanya, tapi saat dia terjaga tidak seekor harimau pun ada di
dekatnya. Harimau-harimau ini turun ke tanah sebelum hari terang.
Mereka sebenarnya tidak tahan bau manusia, katanya. Tiga ekor
harimau dewasa lebih senang duduk-duduk di bawah rumah atau tidur
di siang hari. Empat belas anak harimau itu senang bermain-main dan
mandi di sungai. Seekor anak harimau agak berbeda perangainya
dibanding yang lain. Kemampuannya mengejutkan Luta. Dengan gesit
harimau kecil ini menerkam seekor ikan di sungai, lalu menyeret
tubuh ikan yang hampir sebesar dirinya itu ke hadapan saudara-
saudaranya untuk dimakan bersama. Kuning bulunya lebih cemerlang,
berkilau seperti emas.
Luta meninggalkan kampung halamannya saat berusia 11
tahun. Dia tidak pernah kembali lagi ke situ. Sejak saat itu pula dia
terus terpisah dengan Ibunya, mencari penghidupan sendiri yang tidak
mudah.


332 Bulan Sastra

Di usia 11 tahun dia juga pertama kali ikut perang dan
mengayau atau memenggal kepala musuh. Dia langsung dirajang
sesudahnya, lalu memperoleh gelar bujang barani. Mengayau dan
mengembara merupakan tradisi penting bagi laki-laki suku Iban.
Namun, tradisi mengayau tidak dijalankan lagi di masa sekarang.
Pada abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda melarang
suku-suku Dayak mengayau. Meski tradisi mengayau hanya
terjadi di kalangan suku-suku Dayak dengan sasaran orang-orang
Dayak, tapi pemerintah kolonial cemas kalau tradisi ini meluas dan
menjadikan orang-orang kulit putih sebagai sasaran umum.
Beberapa tentara dan pastor memang telah jadi korban. Menurut
catatan antropolog Jan van Kampen, pengayauan terhadap
orang-orang kulit putih sebenarnya merupakan tindakan perlawanan
terhadap penjajah kolonial. Para pastor yang tidak punya kaitan
langsung dengan administrasi kolonial dianggap sebagai kaki
tangan penjajah, karena warna kulit mereka sama. Di lain sisi,
kebiasaan mengayau juga merugikan orang-orang Dayak. Suku-suku
Dayak terancam punah bila tradisi ini tetap berlangsung. Ketika satu
suku kehilangan 10 laki-laki mereka, maka suku itu harus mengayau
atau memenggal kepala 10 laki-laki dari suku musuhnya.
Dalam sejarahnya, laki-laki suku Iban juga melanun. Pada
abad ke-18 orang-orang Sulu mengajari orang-orang Iban melanun,
karena gagal menaklukkan mereka. Semula orang-orang ini ikut kapal
lanun orang Sulu, tapi setelah itu membuat armada lanun sendiri dan
berlayar sampai ke Vietnam, Teluk Tongkin, India dan Siam.
 
DI usia 20 tahun, Luta telah mengayau 200 musuh dan
mendapat gelar pamegen. Roh-roh musuh itu, berdasarkan
kepercayaannya, akan mengabdi sebagai budak di alam sebelah atau

บหุ ลันวรรณกรรม 333

disebut jipen. Kakek ayahnya adalah pamegen terbesar, yang
memenggal Raja Mempawah, sekutu Mahapatih Gajah Mada
waktu perang di Siam.
Majapahit adalah kerajaan besar waktu itu. Armada lautnya
menguasai pantai dan laut kerajaan Siam, sehingga orang-orang Siam
hanya menguasai kota-kota saja. Kerajaan Siam dan negara-negara
pantai harus membayar upeti pada Majapahit, kalau tidak ingin
dirompak di wilayah mereka sendiri. Dari Teluk Benggala sampai
Teluk Tongkin, mulai perbatasan Vietnam hingga Laut Cina Selatan,
dikuasai armada laut terkuat di Asia Tenggara ini.
Majapahit juga menaklukkan kerajaan Kutai Martadipura di
Muara Kaman. Orang-orang yang tidak mau tunduk akhirnya
menyingkir ke pedalaman. Luta tidak mengalami peristiwa itu.
Dia belum lahir. Tapi beberapa abad kemudian, hantu-hantu bumburaya,
pemakan bangkai hewan dan manusia, mengancam nyawa orang-orang
di berbagai tempat di pulau ini. Ciri-ciri hantu bumburaya: tinggi tiga
meter, berbadan gempal, berkulit hitam legam, bulu-bulu yang tumbuh
lebat di badannya sebesar jari kelingking, dapat menjelma anjing atau
kerbau, menggendong salipang atau keranjang rotan yang di
dalamnya tersimpan senjata untuk perang seperti parang, selain
obat-obatan maupun azimat-azimat.
Menurut Luta, dia dan orang-orang sukunya tidak keberatan
hidup berdampingan dengan hantu. Sebab mereka terbiasa bergaul
dengan berjenis-jenis hantu. Tapi hantu bumburaya bukan hantu pada
umumnya. Hantu jenis ini tidak ingin tinggal berdampingan dengan
manusia. Mereka ingin membangun negeri hantu. Mereka merusak
balai-balai pemujaan dan mendirikan rumah-rumah di hutan-hutan
larangan, termasuk di permukiman pertama kakek moyang manusia
berajang dan bertelinga panjang, Datah Otap. Mereka punya Tuhan

334 Bulan Sastra

sendiri yang dipuja dengan dengung. Bunyi dengung itu membuat
binatang-binatang langsung sakit, mati atau mandul. Banyak pohon
tumbang. Sungai-sungai mengering.
Keterangan tentang keberadaan hantu bumburaya ini
pertama kali diungkap seorang kolonel Belanda yang suka
berjalan-jalan keluar bentengnya di Kuala Kapuas pada akhir abad
ke-19 dan dicatat antropolog Christopher Otten sebagai “makhluk yang
belum diketahui asal-usulnya”.
Hantu bumburaya akhirnya membunuh manusia. Perempuan
hamil diserang di hutan. Bayinya dikeluarkan dan dimakan.
Lama-kelamaan hantu bumburaya sengaja berburu perempuan-
perempuan hamil untuk mengambil bayi-bayi mereka. Para kepala
suku mulai marah. Mereka sepakat bertindak. Panimba Sagara,
Pembelah Batung, Garuntung Manau dan Garuntung Waluh adalah
nama-nama kepala suku utama yang mengusulkan upacara penting
itu diselenggarakan. Semua panglima dan rakyat dikumpulkan di
balai pemujaan untuk melaksanakan upacara bedarak begelak,
memberi makan roh binatang, manusia dan jin untuk bersama-sama
melawan hantu bumburaya. Kamang tariu akan membangkitkan
pasukan gaib yang paling ganas.
Balai besar ini didirikan di tanah petak malai. Tanah bertuah.
Di tanah semacam ini sering terjadi keanehan, seperti ular diinjak tidak
mau mematuk, nyamuk hinggap tidak mau menggigit.
Untuk menghadapi hantu, upacara lain juga diselenggarakan. Para
panglima yang telah tiada dipanggil ke alam manusia. Bebalian besar
ini akan membuat mereka kembali berjasad. Ketika seorang pemimpin
atau panglima meninggal, jasadnya dibaringkan di atas balai kayu
setinggi 2,5 meter. Jasad itu diselimuti kain. Di bawah jasadnya

บุหลันวรรณกรรม 335

diletakkan belanga besar atau tajau. Dupa dibakar. Asap menyentuh
mayat. Daging mulai meleleh, lalu menetes ke dalam tajau. Cairan
mayat ini nanti dicampur dengan minyak kelapa gading dan bermacam
ramuan lain, lalu disimpan sebagai minyak pusaka suku tersebut. Bila
terjadi perang besar, maka bebalian dilaksanakan untuk menghidupkan
kembali para pemimpin. Mereka akan menjelma manusia dan
memimpin pasukan manusia serta pasukan gaib untuk mengalahkan
musuh. Persembahan upacara bermacam-macam, seperti kerbau, babi,
anjing, ayam atau lemang.
Tiang untuk menggantung benda-benda upacara di balai pemujaan
terbuat dari kayu pulantan. Tiang lalalai tidak boleh berasal dari kayu
lain. Para pemimpin pernah mengadakan sayembara untuk membuat
tiang lalalai. Luta ingat bahwa Marubai raja dari Melawi ikut dalam
sayembara ini. Marubai terkenal sakti. Tapi Luta tidak gentar. Dia
langsung menerbangkan kayu pulantan yang berdiameter sedepa dari
hutan Serawak dan mendarat tegak lurus sebagai tiang di tempat itu.
Dalam keadaan normal, kayu pulantan sebesar ini hanya mampu
dipikul 100 orang. Itulah kayu terbesar yang pernah dilihat orang-orang
sukunya.
Tiang kayu pulantan melambangkan batang garing atau
pohon kehidupan. Dalam kepercayaan leluhur Luta, pohon adalah
asal-mula kehidupan. Emas, batu, manusia, semua yang ada di muka
bumi berasal dari pohon yang sama. Tidak semua suku memiliki
balai pemujaan, meski sama-sama mempercayai pohon kehidupan.
Dua ratus tahun lalu Luta membangun balai pemujaan untuk
orang-orang Meratus. Sejak itu pula orang-orang Meratus mengenal
balai pemujaan. Dia juga pernah jadi kepala suku Meratus. Sebagai
seorang Iban sejati, Luta selalu mengembara. Di mana dia singgah,

336 Bulan Sastra

dia biasanya dihormati atau diangkat sebagai kepala suku.
Hantu-hantu bumburaya kemudian berhadapan dengan
pasukan manusia dan pasukan gaib. Mereka kalah, kemudian
menyingkir lebih jauh ke pedalaman. Luta memusnahkan seribu
hantu dalam pertempuran itu.
Kadang-kadang sejumlah orang melaporkan melihat hantu
bumburaya berkelebat di hutan setelah perang berakhir. Tapi
hantu-hantu tidak berani mendekati mereka.
 
MANUSIA abadi hanya punya satu persoalan, yaitu
kesepian abadi. Memiliki sahabat amat penting untuk menjalani hidup
sampai akhir zaman. Sebagian besar manusia abadi, menurut Luta,
mengasingkan diri dari keramaian dan menjalani hidup hanya dengan
bertapa. Luta tidak seperti itu. Dia senang bertemu orang-orang di
berbagai tempat dan membantu menyelesaikan masalah-masalah
mereka. Dia mempunyai lima anak angkat, yang membantunya
merawat anak-anak harimau.
Tapi beberapa waktu lalu Luta sempat terganggu oleh
mimpinya yang sama dan berulang-ulang. Dalam mimpi, dia
melihat seekor burung raksasa berdiri menjulang di hadapannya.
Ketika dia menengadah, di punggung burung itu tampak seorang
lelaki duduk memegang tombak di satu tangan dan tangan yang lain
menggenggam tali kekang. Dia tiba-tiba mendengar teriakan perang
yang dikenalnya. Dia melihat burung-burung raksasa bergerak maju
di belakang pemimpin pasukan ini. Para penunggangnya orang-orang
berkulit merah, seperti dirinya. Lelaki-lelaki hitam berbaju kulit macan
tutul menyongsong kedatangan pasukan burung dengan perisai dan
lembing. Tapi dengan cepat tubuh mereka terjungkal dan terlentang

บหุ ลนั วรรณกรรม 337

di tanah begitu tombak menembus dada. Dengan cekatan,
prajurit- prajurit kulit merah turun dari punggung burung, lalu
menghampiri tubuh-tubuh yang sekarat tersebut dan memenggal
kepala mereka dengan pedang.
Luta sudah mengunjungi seorang basir untuk mengetahui arti
mimpinya. Basir segera membuka tusut, kitab tentang asal-usul Iban,
termasuk tentang datu pertama dan perang-perang yang telah terjadi.
Tapi basir tak menemukan kisah yang sesuai dengan mimpi Luta.
Peristiwa itu tentu lebih tua dari apa yang tertulis.
Basir sang penghubung alam manusia dan alam roh,
mengetahui masa lalu dan masa depan, mulai mencari jawaban dengan
cara lain, ia menembus ke alam roh.
Menurut basir, itu para leluhur Luta, penakluk Hujung
Wulangga, tanah asal buah Pao Janggi. Hujung Wulangga berarti
Madagaskar.
Pada abad pertama Masehi, orang-orang Dayak telah
mengarungi lautan ke arah barat, sejauh belasan ribu kilometer,
mengkoloni dan menguasai pulau terpenting di sebelah timur benua
Afrika, yang kita kenal kemudian sebagai Pulau Madagaskar. Mereka
mendirikan Kerajaan Merina, melakukan kegiatan penambangan dan
menghormati buaya yang menunjukkan tradisi kepercayaan bangsa
Melayu. Bangsa ini tetap jadi kelompok dominan di Madagaskar
sampai dikalahkan Perancis sebagai kekuatan imperialisme Barat
modern menjelang abad ke-20.
Fakta terakhir juga menunjukkan bahwa orang-orang
bertelinga panjang di kepulauan Paskah di Samudra Pasifik,
penyebaran awalnya berasal dari kepulauan Nusantara.
Burung-burung raksasa dalam mimpi Luta merupakan

338 Bulan Sastra

unggas purba yang hidup di Madagaskar, dikenal dengan nama
aepyornis maximus atau orang-orang Inggris menyebutnya, burung
gajah. Tingginya sekitar tiga meter, berat 400 kilogram, dan ukuran
telurnya 160 kali telur ayam. Burung itu terakhir dilihat orang di abad
ke-17 dan setelah itu hilang atau punah. Sebab-sebab kepunahan tidak
diketahui dengan jelas. Penulis HG. Wells pernah mengarang satu
cerita pendek dengan judul “Aepyornis Island”, terinspirasi oleh burung
terbesar dalam sejarah ini.
Luta berencana ke Madagaskar, tapi dia tidak akan
membawa serta rumah dan seluruh harimaunya. Dia hanya akan
melihat-lihat tempat itu. “Mungkin Datu Pasir akan ikut,” katanya,
seraya menatap bengkarung yang melata di lantai. Mereka akan terbang
ke sana.***

Laluba

Nukila Amal

Mari ke laut, anakku. Kini saatnya. Kurasa mereka sudah
dekat. Aku bisa mendengar gema suara mereka terbawa angin subuh.
Dengar, dini hari ini desir angin seperti sayatan sepanjang jalan.
Menderitkan ngilu jendela kayu, mendesiskan retak daun pintu,
menangkupkan dingin ke dalam rumah. Lilin tercakar: sebentar ia
berkobar, sekejap ia mengerjap-ngerjap. Gelap memaksa masuk
merasuk-rasuk.
Telah semalaman aku duduk di sini, berdiang dekat cahaya
lilin di dapur. Aku menatap tepi cahayanya meliuk kuning biru,
menjatuhkan bayanganku pada dinding kayu—ia bergerak ke
sana-ke mari seperti penari, padahal aku duduk diam. Berjam-jam
aku mengamati bilah-bilah kayu, menelusuri permukaannya yang
memecah seperti urat nadi pucat. Tapi aku tak bicara pada mereka.
Aku tak bicara padamu. Aku tak bicara pada siapa-siapa. Aku hanya
duduk di sudut, menunggu.
Kita akan melangkah keluar dengan pelan sekali, tak perlu
buru-buru. Aku ingin telapak kakiku menjejak penuh, merasai lantai

340 Bulan Sastra

kayu, tanah, rerumputan basah, dan bunga jambu luruh. Benang-benang
halus bunga jambu terasa lembut di kaki, banyak juga yang tersangkut
di pagar bambu. Akan kusemat satu di telingaku. Pohon ini ditanam
ayahmu, ini kali pertama ia berbuah—pasti rasanya manis, segar.
Lihatlah pohonnya, permukaannya hampir tertutupi warna merah muda
menyala, nyaris elektrik. Jika malam tiba, orang-orang dapat melihatnya
dari ujung kampung.
Kampung kita: rumah-rumah yang berderet menunggu ajal,
tembok-tembok pejal yang menggigil. Gelap. Lampu minyak di dalam
rumah-rumah menyala lemah, merayapi mimpi jiwa-jiwa yang tak
lagi bisa tidur lelap. Kuyakin kau juga tak tidur. Betapa sepi. Hanya
ada suara angin, serangga satu dua, dan ombak pecah. Di saat-saat
hening seperti ini, aku berharap bisa menangkap bunyi denyut jantung
atau dengkurmu. Ada pula suara pria-pria berjaga yang bercakap
dengan suara rendah. Kita tak perlu melewati mereka, kita akan lewat
samping menuju belakang rumah. Aku sedang tak ingin
ditanya-tanya.
Di belakang rumah ada pohon ketapang. Di bawahnya ada
sebuah perahu yang dibalikkan—perahu ayahmu. Punggungku terasa
kram, akhir-akhir ini aku merasa cepat lelah. Kita akan duduk di sini.
Menunggu matahari, pagi, dan yang lain lagi.
Dari sini kita bisa melihat rumah, kampung, tanjung,
pantai, dan langit sekaligus. Lihatlah rumah kita. Rumah panggung
kayu, di atapnya ada pucuk pohon jambu yang menyembul merah
muda. Masih lama ia berbuah, padahal aku sangat ingin merasai sebuah
saja. Rumah kita, telah tiga tahun lebih aku mendiaminya. Penduduk
kampung membantu ayahmu mendirikannya dulu. Tanpa bayaran—
terkecuali dua tiga orang pekerja bangunan. Cukup dengan kopi dua

บหุ ลนั วรรณกรรม 341

cerek dan rokok kretek yang diedarkan dalam gelas di sore hari.
Kadang ditambah dengan ubi rebus atau pisang goreng. Banyak yang
telah dibuat beramai-ramai di kampung ini: sekolah, rumah, tempat
ibadah, balai desa, hingga perahu. Aku ingat memasakkan nasi kuning
saat syukuran. Malam harinya ada sinar lampu teplok baru di rumah
baru. Aku dan ayahmu keasyikan menonton bayang-bayang yang
bergerak-gerak tersentak sepanjang dinding kayu. Bukan hanya aku
dan ayahmu yang menari, juga meja kursi dan lemari.
Perahu ini terasa lembab. Juga batang ketapang yang
kusandari. Apakah kau bersandar nyaman pada dinding rahimku?
Anakku, tumpuanku. Betapa keadaan mengubahmu dari tumpuan
harapan menjadi tumpuan kecemasan. Apa yang sedang berkecamuk
dalam benakmu saat ini? Apakah seperti aku? Ataukah kau
melewati semua ini tanpa kenangan, harapan, beban, halangan? Aku
tak bisa lagi menatap tanah di bawah kakiku, terhalang olehmu. Tapi
aku tak keberatan membawa-bawamu, walau kau memenuhi tubuhku
hampir penuh—aku bengkak seperti sapi.
Aku ingat seekor sapi di geladak kapal motor, dulu
sekali. Ia rebah dengan kaki-kaki terikat, matanya terbeliak ke
arah langit, meronta-ronta. Kapal seperti akan terbalik, keras
berguncang-guncang oleh sepak terjang si sapi malang, bukan oleh
gelombang. Aku mencekal lengan ayahmu kuat-kuat, ia tersenyum
menenangkan. Lihat, katanya dengan jari menunjuk ke sisi kapal.
Tampak dua ekor lumba-lumba berbadan kelabu berenang
mengiringi kapal. Anak-anak kecil di dalam kapal bersorak
menunjuk-nunjuk, oi, laluba, laluba! Punggung keduanya melengkung
timbul-tenggelam dengan wajah bersenyum seperti ayahmu.
Ayahmu: guru, pekerja bumi, suami, lelaki, manusia. Juga

342 Bulan Sastra

perempuan. Ya, kadang ia lebih bisa mengibu engkau daripada aku.
Jika perutku sakit, ia akan duduk di sisiku dan menenteramkanmu
dengan bisikan-bisikan manis, menyanyi, atau bercerita untukmu. Ada
saat-saat ketika ia diam, mengelus bentukan wujudmu di kulit
perutku dengan ketakjuban yang sarat. Kami dapat merasakan tangan
kecilmu di permukaan kulitku, tinjumu yang mengepal, tendangan
kakimu (barangkali kau laki-laki, atau perempuan?). Ia akan terdiam
di saat-saat itu, menatapmu dan aku berganti-ganti dengan bola mata
hitam yang penuh. Kukira, ada kecamuk pikiran dan perasaan dalam
dirinya yang tak cukup diujarkan oleh kata-kata. Aku ingat matanya
dipenuhi hitam itu, ketika ia berangkat pergi di suatu malam. Tak
banyak yang diucapkan. Tak ada janji. Tak ada ucapan selamat
tinggal sentimental seperti di film-film perjuangan. Aku hanya ingat
melihat kakinya yang basah naik ke kapal motor yang bergoyang
diterpa ombak pantai. Lalu mesin kapal menggerung. Ayahmu
berdiri tegak lurus menghadap ke barat, ke arah tanjung di seberang,
ke arah matahari hilang. Tak sekali pun ia menoleh, hingga deru
kapal terdengar melemah dan berbelok di tanjung.
Ayahmu, mendiang dari sebuah seteru yang bukan
keinginannya.
Pandanglah pantai. Di sebelah sana, di mana barisan bakau
dan karang agak menjorok ke laut, itulah tanjung. Tempat perayaan
kami. Aku dan ayahmu pergi ke sana suatu pagi, setelah mengetahui
kau telah menjelma seorang jabang bayi dalam perutku. Saat itu
langit cerah sehabis hujan subuh hari, ada pelangi membusur di langit
barat daya. Di depanku, ayahmu mengayuh sampan perlahan.
Di antara kami ada termos berisi kopi, roti kenari, sagu tumbuk, dua
buah muk, dan segulung tikar. Di atas melintas beberapa burung

บหุ ลันวรรณกรรม 343

kecil terbang rendah menebar cicit. Di bawah tampak koral
warna-warni tertabiri air hijau biru jernih. Dan ikan. Ikan-ikan kecil
berwarna terang berenang-renang di antara karang. Di pantai, kami
makan, bercakap panjang hingga ayahmu tertidur di pinggir gerumbun
bakau. Aku rebah menatap langit, merasa diriku dan semuanya teramat
manis. Aku membawa pulang bahagia itu, ketika matahari telah
berpindah tepat di atas kepala. Kami menaiki sampan, pulang. Air
berkecipak di dayung dan aku bilang pada ayahmu bahwa aku telah
punya nama untukmu. Laluba.
Kalau lelaki? tanya ayahmu.
Laluba, jawabku.
Kalau perempuan?
Laluba. Kau akan gesit berenang seperti lumba-lumba.
Seperti anak-anak nelayan di sini. Badan-badan mereka meruapkan
harum laut. Rambut mereka kemerahan hampir pirang, dengan
kulit legam tembaga serupa kulit ayah-ayah mereka yang bekerja
bertelanjang dada di bawah matahari. Di pagi hari mereka akan
berhamburan lari dengan sorak-sorai menyambut perahu ayah-ayah
mereka yang pulang melaut . . . Ayah-ayah yang kemudian
berangkat. Sedikit yang kembali.
Mereka kekurangan lelaki untuk mempertahankan
kecamatan. Betapa aneh, pikirku saat itu, kurang lelaki di sebuah
dunia yang berlebih lelaki, dunia di mana apa-apa dilakukan
dengan cara mereka.
Malam hari saat keberangkatan untuk tambahan lelaki.
Ketika itu telah larut, tapi kampung kita tak tidur. Orang-orang
berkemas-kemas. Ibu-ibu berdiri dengan wajah-wajah cemas.
Anak-anak berlarian ke sana-ke mari. Di pantai, barang-barang
bertumpuk dalam gunungan-gunungan kecil seperti panenan pala dan

344 Bulan Sastra

kopra. Aku berdiri di pantai, mengamati semuanya. Di dekatku,
sekelompok bapak sedang berbicara tentang mayat-mayat yang tak
lagi utuh, tentang mayat-mayat yang dibuang ke laut, tentang
anak-anak kecil yang diculik . . . Ayahmu menarik lenganku yang
merinding, mengajakku menjauh dari semua keriuhan. Kami duduk di
sebatang pohon kelapa tumbang, menatap langit yang melengkung
penuh bintang. Ayahmu bicara, banyak yang cedera . . .
Yang cedera, yang terluka, yang sekarat. Semua kita di sini
sedang sekarat, anakku.
Ah, maafkan ingatan-ingatan ini, Nak. Kenangan datang
berkelebatan dan aku ingin membenamkan semuanya ke dasar laut
terdalam, hingga tak ada lagi yang bersisa untuk berenang naik ke
permukaan.
Jam berapa ini. Lihatlah laut. Permukaannya telah
berubah kelabu perak. Bintang tinggal dua tiga, dan cahaya jingga
keemasan menjanji matahari di cakrawala. Aku selalu suka langit pagi
yang selalu cantik, juga langit sore. Matahari akan terbit, ataukah akan
terbenam, langit akan tampak sama berlukis warna-warna lembut.
Jingga. Merah jingga. Merah muda. Biru. Ungu. Kelabu. Kita tak
pernah tahu awal atau akhir sesuatu. Ragu akan waktu . . . Kau akan
belajar bagaimana menghikmati pagi, anakku.
Aku memimpikanmu beberapa malam yang lalu. Kau,
seorang anak ikan yang tenggelam, tak berenang naik ke permukaan.
Warnamu putih cemerlang, sedang laut berubah-ubah biru jadi merah
jadi hijau, jernih memperlihatkanmu di kedalamannya. Di atasmu ada ikan
besar yang memakan ikan sedang yang memakan ikan kecil. Rahang-
rahang ikan itu menganga lebar dengan gigi-gigi runcing. Kuingat
menceritakan mimpiku pada ayahmu di pagi hari. Duga ayahmu,

บุหลันวรรณกรรม 345

mungkin karena kemarin sore kita terlalu lama berada di pasar,
sejuta macam bentuk dan warna ikan pasti memenuhi pikiranku
hingga terbawa tidur. Duduk di beranda sambil minum kopi, ayahmu
bercerita tentang awal kehidupan bumi di dalam laut, tentang
hewan-hewan yang bernenek moyang makhluk laut, tentang ikan yang
menyusui anaknya, ikan-ikan yang buta, hantu laut berwujud gurita
bermata besar, jurang-jurang laut—palung, demikian ayahmu mengutip
namanya dari buku. Kubayangkan jurang-jurang di kedalaman itu
menyimpan abadi mimpi-mimpi ikan purba yang ingin merangkaki
daratan. Apakah kau juga bermimpi? Apakah kau bermimpi tentang
karang dan jurang, tentang ibumu, tentang manusia? Barangkali
mimpimu tanpa imaji, seperti mimpi ikan-ikan buta di dasar-dasar
gua, di palung samudra atau di—
. . . mereka telah datang.
. . . ketika hari telah terang. Cukup terang untuk datang
menyerang.
Ah, kau menendang-nendang di dalam sana. Nyaris
seperti menerjang, bisa kurasakan kepal tinju kecilmu pada dinding
perutku. Apa yang kau gelisahkan? Sssh, ssshh . . . tak usah
gelisah. Itu hanya bunyi bom. Atau granat barangkali. Tahukah kau,
mereka bisa merakit bom kedap suara memakai kelapa? Tanpa
hingar-bingar yang memekakkan telinga, hanya bunyi letupan kecil
dalam batok kelapa. Yang terdengar kemudian cuma jeritan atau
erangan batok-batok kepala yang pecah . . . Mari bangkit. Orang-orang
itu, mereka telah berada di ujung kampung. Teriakan-teriakan
mereka memang kasar sekali. Tak usah kau dengarkan, apalagi
diambil hati. Mereka telah terbiasa saling berteriak di dalam hutan
atau di antara gemuruh laut. Bisakah kau dengar suara-suara? . . .

346 Bulan Sastra

Begitu banyak suara, masuk menerjang gendang telinga, tapi aku masih
mendengar suara ombak samudra. Ada juga cicit seekor burung entah
dari pohon mana. Atau mungkin itu jeritan manusia, aku tak lagi
pasti. Ada semacam bau yang aneh mendekam di udara, bukan harum
laut bergaram atau rerumputan, tapi seperti bau rumah jagal di
kecamatan.
Ke mana wajahmu kini menghadap? Pandangmu bening,
menembus kulit perutku. Di depanmu, pasir dan air berkilau jernih
seperti ditumpahi seribu berlian. Juga embun di pucuk-pucuk ilalang.
Matahari telah menjelma bola besar, menjingga merah emas, diam,
jauh dari semua keriuhan ini. Betapa, ketika maut menghampiri
begitu dekat, kehidupan seakan memelukmu kuat-kuat dalam
dekapannya. Kubayangkan, barangkali engkau akan seperti itu saat
pertama menatap dunia. Akankah kau lega meninggalkan kegelapan
menuju warna-warni dunia? Kau akan seperti aku saat ini yang
melihat warna-warna pada nuansa tertajamnya, takjub akan
keindahannya yang tiba-tiba mencekam. Segalanya menghampar hidup.
Pandanglah dengan mata jernih, menghikmati, menikmati. Anakku,
apakah kau bahagia dapat melihat semua ini?
Ataukah kau tengah menatap ke belakang lewat punggungku,
pada kerumunan orang di sana? Mereka berlarian berserakan
bertumbukan seperti kepiting di peti kayu yang terdampar di pasar,
seperti ikan-ikan yang hendak meloloskan diri dari jerat jaring nelayan.
Dan mata-mata mereka membeliak merah seperti ikan yang tertinggal
sehari tak terbeli. Asap bergulungan hitam ke udara (kudengar
mereka tak pernah menyisakan apa-apa, atau siapa-siapa). Nyala api
oranye, tampak lebih pongah ketimbang matahari . . . kesumat yang
lebih pongah ketimbang matahati . . .

บุหลนั วรรณกรรม 347

Bukan yang baik, bukan yang buruk, tapi yang teradu.
Maafkan mereka, anakku. Lelaki-lelaki itu cuma tak pernah
merasai membawa-bawa kehidupan dalam tubuhnya seperti
perempuan mengandung. Mereka membawa-bawa kematian di lengan
dan jari-jari. Benda-benda pembunuh, saling beradu gemuruh, sedang
mereka adalah kaum-kaum yang teradu. Mungkin mereka tahu itu
atau setengah tahu atau sangat tahu atau tidak mau tahu.
Tapi kau perlu tahu, anakku. Karena percaya saja tidak
pernah cukup. Kau bisa-bisa teperdaya. Hingga akhirnya tak
berdaya. Aku, kau, ia, mereka, Galela, Halmahera, tak berdaya.
Di dekat kakiku ada sebuah kerang kosong, sekecil ibu jari,
tergeletak di antara pasir. Aku akan menimangnya di depan perutku
agar kau bisa melihatnya lebih dekat. Ini rumah siput laut. Rumah
yang cantik, dengan tangga spiral berputar menuju puncak. Ombak
telah membasuhnya berkali-kali dengan air garam hingga warna
salemnya memudar, kini putih pucat, tak mengilat. Tampaknya telah
lama ditinggalkan sang penghuni. Mengapa ia pergi. Mungkin rumah
ini jadi terlalu menyesakkan baginya, tak lagi nyaman memuat badan,
tak lagi aman sebagai perlindungan, tak lagi berarti untuk dihuni.
Mengapa mesti tinggal? Ia memutuskan pergi, mungkin kembali ke
laut. Merangkak-rangkak di sepanjang pasir, mencari sebuah rumah
lain di kedalaman. Ya, mengapa mesti tinggal, anakku? Mereka tak
mengizinkan kita besar di sini, di pesisir indah ini. Tempat ini,
seperti tempat-tempat lainnya tak pernah dibangun untuk kekal. Mari
pergi.
Ke laut. Cuma laut yang akan membebaskan. Semua
cecabang sungai berakhir di sini. Tak lagi punya asal-usul atau
jumlah atau jejak atau warna. Semua sama. Biru laut. Luas. Datar.

348 Bulan Sastra

Tenang. Di sini bulir-bulir air melebur, mengapung, mengombak, naik
menderas ke langit. Biru langit.
. . . apa ini. Ada sesuatu yang baru saja melesat masuk ke
air, tak jauh dari lenganku. Biar kucari sebentar . . . Ah, anak panah
rupanya, meleset dari sasaran. Mungkin benda ini juga yang sedang
menancap di pundakku. Rasanya tak begitu sakit, seperti patukan
paruh kakatua. Kucabut saja . . . ada darah di mata panah. Merah
tajam. Darahku. Untunglah tak mengenai punggungku, kau bisa saja
terluka di dalam sana.
Nak, berbalik dan lihatlah wajahnya. Sang pemanah, berdiri
tegak di antara ilalang. Ia mengurungkan niatnya mengangkat busur
untuk kembali membidik. Benda itu terkulai saja di jarinya. Mungkin
karena aku menoleh untuk menatapnya, tersenyum ke dalam
wajahnya. Ia tampak lelah dan tampan, kemejanya kotak-kotak
seperti remaja kebanyakan. Sekian belas tahun hidup telah cukup
baginya untuk merasa berhak dan berwajib menghabisi kita, Izrail
cilik itu.
Kubuang saja anak panah ini. Jangan menangis, anak
manis. Kau sudah besar, hampir delapan bulan, mesti tegar. Mari
lanjutkan perjalanan. Lengan laut telah membentang ramah,
menyambut selutut. Aku janji, ini tak akan menyakitkan sama sekali.
Kau, aku, ia, mereka, akan mati. Cuma tinggal cara. Manusia tak
pernah tahu bagaimana maut akan mewajah di hadapannya.
Aku hanya tak ingin tangan-tangan setan mereka menyobek perutku
dan merenggutmu dari diriku, kau, kesucian kecilku yang tak boleh
ternoda. Kau tak boleh mati dengan cara itu, terlalu menyakitkan
bagimu. Aku akan menyelamatkanmu.
Janin jelita, anak ikan cantik dalam lautan rahimku,
Laluba. Bersamamu, aku melengkap. Aku telah jadi segala yang

บหุ ลนั วรรณกรรม 349

pernah kuinginkan: anak, pelajar, pekerja, istri, ibu, perempuan,
saksi, pemenang. Kiamat dini, bayi, apakah benakmu digeluti perta-
nyaan-pertanyaan? Mengapa dadamu terendam, ibu, mengapa bunga
jambu di rambutmu hanyut tersapu ombak, mengapa kerang lepas dari
genggamanmu, mengapa kau musnahkan aku?
Akankah kau percayai jawabanku, alasan dari semua alasan
yang pernah ada. Apakah kau akan meyakini? Karena aku mengasihimu.
Sepanjang umur ruhku, aku tak pernah ingin membunuh tubuh,
menyudahi kehidupan yang hanya sekali. Izinkan aku menyelamat-
kanmu, meski aku mesti mati untuk itu.
Cukupkah itu, anakku? Karena aku sungguh mengasihimu,
lebih dari kehidupan.
. . . aku telah bersaksi sepanjang jalan, aku bersaksi di
kedalaman.
Untuk-Mu Tuhan, tuju seluruh panjatan doa dan kesaksian dan
pertanyaan pada malam-malam terkejam dari nyawa-nyawa meregang.
Ribuan gumaman hening yang lepas putus ke udara menuju langit.
Apakah satu doa lagi akan berarti? Aku telah lelah berdoa, bahkan
doa-doa itu tak pernah untukku sendiri, tapi untuk semua
manusia-manusia malang. Kudoakan juga hati manusia-manusia yang
mencintai-Mu, tapi tak bisa mencintai sesama dengan hati itu. Dan
kali ini, Tuhan, aku berdoa untuk anak-anak yang tak pernah
terlahirkan.
Senyap sekali. Hangat. Sinar matahari sampai ke dalam sini,
menerangi air cerah biru. Biru berbayang, mengelabu. Berganti
kelabu hijau. Kian menghijau. Ikan-ikan kecil datang berputar,
berkitaran tak heran. Di belakang mereka mengambang
bayang-bayang, terbang. Pria-pria. Putih pucat, biru, ungu. Mereka
menatap kita tak berkedip, tak berbicara, hanya rambut, jemari dan

350 Bulan Sastra

pakaian mereka yang melambai. Terumbu-terumbu karang yang malang
. . . Ah, aku dapat melihat ayahmu, Nak. Ia mendatangi kita, melayang
di antara pria-pria. Lihat rambutnya, berkibar seperti surai kuda,
bajunya meliuk seperti ganggang. Ia memandangmu dengan wajah
bening dan senyum seluas awan, kau, yang masih meringkuk
malu-malu. Sambut tangannya, Nak, telapaknya putih halus
membawakan buah jambu merah muda, ranum berair samudera.
Reguklah dalam, rasanya manis segar, dalam-dalam . . .

Edelweiss Melayat ke Ciputat

Yusi Avianto Pareanom

MINGGU, 10-10-10. Beberapa orang memilih menikah atau
melahirkan pada hari bertanggal biner itu. Aya ditemukan pada hari
tersebut dengan tubuh terpotong sepuluh dalam empat kantong plastik
hitam besar. Kantong-kantong yang ditaruh di pembatas jalur di jalan
raya depan Pasar Ciputat, Tangerang Selatan, itu selama tiga hari
sempat dikelirukan sebagai kantong sampah lainnya yang banyak
bertumpuk di sana.
  EDELWEISS mendengar kabar itu sepuluh jam kemudian di
rumahnya di Nitiprayan, Jogjakarta. Ia sedang istirahat makan malam
setelah seharian melukis di studionya. Ia makan sambil iseng
menonton televisi, tangan kirinya yang masih berbau minyak cat
memindah-mindahkan saluran.  Breaking news  di sebuah stasiun
menyebutkan nama lengkap Aya, dan Edelweiss meletakkan remote
control di meja.
Berita itu menyebutkan bahwa tersangka sudah tercokok,
seorang ibu rumah tangga yang masih kerabat jauh Aya dan
tinggal di kawasan Ciputat juga. Pagi tiga hari yang lalu Aya menagih

352 Bulan Sastra

uang yang dipinjam kerabatnya itu, jumlahnya Rp 10 juta. Menurut
pengakuan tersangka, ketika ia minta tempo lagi Aya marah dan
menyerangnya sehingga ia refleks membela diri. Aya kemudian
terdorong jatuh, bagian belakang kepalanya menghantam meja mar-
mer di ruang tamu. Tersangka kemudian memotong-motong tubuh Aya
di kamar mandi, meletakkannya ke dalam kantong plastik, menyem-
bunyikannya di dapur, menunggu tengah malam tiba sampai anak-anak
dan suaminya tidur, lalu dengan dua kali naik sepeda motor
menaruhnya di depan pasar. Ia berharap kantong-kantong itu langsung
terangkut truk sampah keesokan paginya.
Edelweiss tanpa sadar mengikuti awal berita ini dengan masih
menyendokkan makanan ke mulutnya sekali lagi. Tapi, begitu narasi
berjalan, ia berhenti mengunyah. Ketika berita selesai, rendang yang
belum betul-betul lumat di mulutnya meluncur ke tenggorokannya
tanpa ia maui. Ia cepat-cepat mendorongnya dengan teh tawar untuk
kemudian lari memuntahkan semuanya di kamar mandi.
Masih lemas, ia keluar kamar mandi. Pikiran pertamanya
setelah itu adalah mengapa Pandan tak langsung menghubunginya.
Pandan adalah suami Aya. Lima tahun yang lalu, laki-laki itu masih
menjadi suami Edelweiss.
“Bapak dari tadi siang belum pulang dari kantor polisi, Bu.
Diperiksa, katanya,” kata pembantu rumah Pandan. Pembantu itu
juga bilang bahwa Pandan pada kemarin lusa sebetulnya sudah
melaporkan hilangnya Aya ke polisi. Tapi, saat itu Pandan disuruh
menunggu.
Edelweiss keluar ke halaman depan, menyalakan sebatang
rokok dan mengisapnya dengan cepat. Ia menyalakan sebatang lagi
sampai habis sebelum masuk rumah. Ia mulai menduga-duga

บหุ ลนั วรรณกรรม 353

sekiranya Danae sudah mendengar berita mengejutkan tersebut.
Danae adalah anak tunggal Edelweiss dan Pandan, usianya sembilan
tahun. Edelweiss dan Danae tinggal berdua saja di rumah mereka yang
besar.
Edelweiss mengetuk pintu kamar anaknya dan masuk
setelah anaknya menyahut. Danae sedang mengerjakan tugas
matematika. Ia mengusap kepala anaknya dan dari belakang
sekilas membaca soal-soal yang ia rasa terlalu rumit untuk anak
kelas empat SD. Dari sikap Danae, Edelweiss yakin anaknya belum
tahu. Seperti dirinya, anaknya juga tak begitu gemar menonton televisi.
“Ibu mesti ke Jakarta, ketemu ayahmu.”
Wajah Danae langsung gembira. “Ikut, kangen adik.”
Edelweiss menggeleng. Lalu, dengan amat berhati-hati ia
menyampaikan berita duka itu tanpa menyinggung sama sekali
tentang mutilasi. Danae menangis.
  EDELWEISS mencari tiket pesawat paling pagi ke Jakarta.
Tapi, ia baru bisa mendapatkan penerbangan pukul sepuluh. Danae
sebetulnya berkeras ikut, Edelweiss melarang dan memilih menitipkan
Danae ke rumah kakak sepupunya di Jalan Kaliurang.
Di atas pesawat, ingatan tentang Aya yang paling kuat
menyerbu Edelweiss adalah pertemuan terakhir mereka di rumah
Ciputat. Saat itu ia menjemput Danae yang berlibur Lebaran di sana.
Ia sebetulnya malas jika harus masuk ke rumah yang dulu pernah ia
tempati juga, tapi seperti biasa Danae harus benar-benar ditarik
karena anak itu sangat tak rela berpisah dengan adik tirinya, Zulaika,
anak satu setengah tahun yang lucu dan benar-benar menggemaskan:
kulit terang, mata besar, bulu mata seperti bulu sapi saking lentiknya,
alis tebal, hidung mungil, rambut hitam ikal, dan pipi yang gembil.

354 Bulan Sastra

Gengsi belaka yang mencegah Edelweiss tak memeluk atau
mencium-cium anak itu.
“Kak Danae, masih ingat pesan Mama Aya, kan?” tanya Aya
kepada Danae ketika anak itu berpamitan.
Danae mengangguk. Edelweiss penasaran. “Pesan apa,
memangnya?”
“Sekadar cerita kok, Kak, tentang baiknya meneladani perilaku
nabi-nabi,” kata Aya.
Edelweiss mengangkat bahu dan pamit dengan senyum basa-basi.
Di dalam taksi yang mengantar mereka ke bandara,
Danae buka mulut. “Mama Aya bilang patung sama saja dengan
berhala, semestinya dihancurkan. Nabi Ibrahim melakukannya.”
“Menurutmu, patung yang Bunda buat itu berhala?”
“Enggaklah, kan tidak disembah-sembah. Bunda aneh
tanyanya.”
Jawaban anaknya menenangkan Edelweiss. Sesaat tadi,
kepengin betul ia meminta sopir taksi memutar haluan kembali ke
Ciputat. Aya sudah berani menyerangnya, mencoba memanipulasi
Danae pula. Tapi, keesokan harinya Danae mesti bersekolah dan ia
juga punya janji ketemu dengan seorang juragan tembakau asal
Temanggung yang ingin membeli karya lukisnya periode 2000-an
awal.
Hanya saja, tak mungkin Edelweiss membiarkannya begitu
saja. Di bandara, ia menelepon Pandan. Seperti dugaannya, bekas
suaminya itu pertama-tama meminta permakluman seperti pegawai
pemerintah daerah yang tak punya jawaban lain saat ditanya
mengapa banjir tak bisa dicegah, kemudian membela Aya mati-
matian. Kata Pandan, Aya tak punya maksud buruk, mulia malah,

บุหลนั วรรณกรรม 355

karena ingin mempertebal iman Danae.

Edelweiss yang sudah gusar semakin marah ketika Pandan
kemudian menyebut bahwa kehadiran patung-patung di rumah Jogja
memang kurang baik bagi anak mereka, dan sebaiknya Danae tak
diajak ikut-ikut gaya hidup ibunya. Dengan suara tertahan karena tak
ingin didengar anaknya dan membuat drama di ruang tunggu, Edelweiss
bilang bahwa jika Pandan tak menarik kata-katanya, ia tak akan sudi
mengizinkan Danae datang lagi ke Ciputat. Pandan kaget dan nada
suaranya mulai berubah, ia minta maaf mengiba-iba.
Kemarahan Edelweiss dengan cepat berubah menjadi rasa
nelangsa. Ia betul-betul sedih. Dahulu lelaki itu sangat dipujanya,
mataharinya, teman terbaiknya. Sekarang, sepertinya kualitas terbaik
yang dimiliki Pandan hanyalah mudah terharu.
Insiden lain yang masih membekas pada Edelweiss
terjadi setengah tahun sebelumnya, juga saat menjemput Danae. Saat
itu ia masih bersedia duduk di teras berlama-lama menunggu Danae
bermain-main dengan adiknya. Ketika itulah mendengar Aya
menyanyikan lirik ini kepada Zulaika.
“Yahudi laknatullah, Amerika laknatullah….” Pertahanan diri
Edelweiss jebol ketika lagu itu diulang-ulang.
“Mengapa menyanyikan lagu seperti itu?”
“Kan bagus, Kak,” jawab Aya.
“Berat sekali.”
“Sejak kecil kan anak mesti diajarkan siapa saja
musuhnya.”
“Aduh, mengapa harus punya musuh, lagi pula siapa
Yahudi yang kaumaksud?”

356 Bulan Sastra

“Ya semuanya.”
“Bangsanya atau agamanya?”
“Semuanya.”
“Termasuk para nabi: Ishak, Sulaiman, Musa,Yahya, Isa, dan
masih banyak lagi?”
“Mereka kan Islam, Kak.”
Edelweiss bisa paham jika musuh yang Aya maksudkan
adalah pemerintahan Zionis Israel yang menindas bangsa Palestina.
Tapi, semua Yahudi kena laknat? Ingin betul ia menjitak kepala Aya
sambil bilang bahwa tidak semua bangsa Yahudi beragama Yahudi
dan tak semua yang memeluk agama Yahudi berdarah Yahudi. Tidak
semua Yahudi pula selalu sepakat dengan pemerintah Israel. Ia tahu
bahwa ia tak mungkin menang omongan dengan orang semacam Aya,
tapi bukan berarti ia harus membiarkannya, apalagi kata-kata itu
diucapkannya di depan Danae.
“Jadi, semua Yahudi bakal kena laknat? Aduh, kalau ikut
hitungan kamu, Tuhan tidak adil, dong.”
“Mereka kan selalu melawan Allah, Kak. Pantas kena laknat.
Orang Amerika juga.”
Kalau bertahan lima menit lagi, Edelweiss yakin ia bakal
membakar rumah itu. Maka ia cepat-cepat berlalu. Kalau saja
bukan karena Danae yang selalu merengek rindu kepada adiknya, tak
mungkin Edelweiss sudi mengantarkan anaknya ke rumah
Ciputat lagi pada kesempatan-kesempatan berikutnya.Yang pasti,
sejak obrolan soal Yahudi itu ia mulai berupaya menghindari
bercakap-cakap dengan Aya lebih dari sepuluh detik seperti halnya
Hemingway berusaha keras menghindari pemakaian kata sifat dan juru
masak yang baik menghindari monosodium glutamate.

บหุ ลันวรรณกรรม 357

Insiden patung membuat Edelweiss yang sudah tidak suka
kepada Aya menjadi benci plus mengasihani. Ia kemudian kadang
membayangkan betapa nikmatnya bila suatu hari mendengar kabar
Aya tertangkap suku kanibal dan direbus dengan api kecil terlebih
dahulu sebelum dimakan.
Pikiran jahat yang mendadak teringat itu membuat perut
Edelweiss mual.
  PERJALANAN udara Jogja-Jakarta yang hanya 45 menit
itu ternyata mampu mengedukmampatkan kenangan Edelweiss akan
Aya. Semakin ia berusaha mengingat hal-hal baik tentang Aya,
semakin banyak alasan yang ia dapatkan untuk tidak suka. Bukan
karena perempuan yang lebih muda lima belas tahun darinya itu
menikahi atau bahkan merebut Pandan. Pernikahan Aya dan Pandan
berlangsung hampir tiga tahun yang lalu, dua tahun setelah perceraian
Pandan dan Edelweiss.
Edelweiss awalnya menilai perilaku Aya di depannya
merupakan campuran rasa sungkan, minder, dan menjilat. Edelweiss
menduga hal ini mungkin ia sekadar bekas istri Pandan melainkan
juga boleh dibilang setengah pemilik rumah Ciputat. Sekalipun lahan
rumah itu adalah warisan yang diterima Pandan, Edelweisslah yang
kemudian dengan uangnya membeli lahan di samping kanan dan kiri
dan mendirikan bangunan rumah baru. Ketika berpisah, Edelweiss tak
pernah menyinggung-nyinggung soal rumah itu dan pergi hanya
dengan membawa Danae.
Edelweiss tahu bahwa sekalipun ia seorang perupa
kontemporer terdepan Indonesia yang karyanya dibicarakan dan
diburu kolektor dalam dan luar negeri, hal ini tak masuk di
hitungan Aya. Tapi, Edelweiss tahu kalau Aya awalnya cukup

358 Bulan Sastra

sadar posisi. Yang tidak ia ketahui atau tak ia perkirakan adalah
akhirnya Aya berani menggusur karya-karyanya yang masih tersisa
di rumah Ciputat ke bagian gudang dengan cara menumpuknya
begitu saja.
Edelweiss tak mau ribut dan lebih menyalahkan dirinya dan
segera mengirim karya-karya itu ke Jogja. Hanya saja, ia betul-betul
terluka mengetahui bahwa Pandan tak berusaha menahan sedikit pun.
Padahal, dulu laki-laki itu yang paling bersemangat mendorong
Edelweiss berkarya dan memperbarui gagasan-gagasannya.
Karya-karya yang ia tinggal ia rumah Ciputat adalah karya yang
sangat personal, yang tak akan pernah ia jula karena ia buat khusus
untuk Pandan, sekalipun ia tak pernah menyatakannya secara langsung.
Saat mengepak karya-karya itu Edelweiss bertanya-tanya ke
mana perginya Pandan yang dulu periang dan lucu. Ia ingat bahwa
mereka bisa semalaman berbual-bual tentang soal-soal remeh-temeh
yang menggembirakan hati. Tentang Bruce Lee, misalnya. Pandan
menunjukkan bagaimana bagian akhir film Game of Death  berisi
kesalahan yang menggelikan. Adegan yang dimulai dengan Bruce Lee
masuk ke pagoda musuh pada malam hari tiba-tiba berubah menjadi
siang ketika si pendekar berkostum kuning setrip hitam bertarung
dengan bintang basket Kareem Abdul Jabbar. Hal itu terlihat saat
Bruce Lee melubangi dinding agar sinar matahari masuk
mengganggu mata lawannya yang peka. Ketika Bruce Lee turun dari
pagoda, suasana di luar sudah malam kembali.
“Siapa tahu ia Lee ketiduran sampai malam,” kata
Edelweiss, geli.
“Pluk, menurutmu, kalau tarung beneran, siapa yang
menang: si Naga Kecil atau Raksasa Kribo?” tanya Pandan. Pluk, atau
Cempluk, adalah panggilan sayang Pandan kepada Edelweiss.

บหุ ลนั วรรณกรรม 359

“Serius? Tidak tahu. Menurutmu?”
“Aku juga tidak tahu. Tapi, yang kutahu, dari sekian
musuh Bruce Lee di film, yang paling hebat adalah Chuck
Norris. Aku yakin, kalau berkelahi sungguhan, Chuck Norris yang
menang.”
“Masa?”
“Kau tidak tahu? Chuck itu tidak saja jago tetapi juga sakti.
Air matanya dipercaya bisa menyembuhkan kanker dan penyakit
gawat lainnya.”
“Ngawur.”
“Betul, Sayang, Chuck Norris tak pernah menangis.”
Edelweiss tak pernah tertawa sekeras malam itu sebelumnya.
Pada detik itu ia yakin bisa hidup bersama sampai mati dengan
Pandan, apa pun keadaannya. Ia tidak tahu bahwa ia terlalu
optimistis saat itu.
Setahun sebelum mereka berpisah, ayah Pandan di
Semarang sakit-sakitan. Tak lama kemudian, ia meninggal dunia.
Selama sakit itu, Pandan hanya sempat datang sekali karena sibuk
menjadi konsultan sebuah perusahaan pengembang yang akan go
public.
Kematian itu menyulut rasa bersalah Pandan sehingga
pekerjaannya di kantor terbengkalai dan ia kemudian mengundurkan
diri. Ia lantas mengikuti kelompok pengajian yang alirannya sama
dengan yang diikuti almarhum ayahnya. Mula-mula, Edelweiss
memaklumi yang dilakukan Pandan. Rasa berduka sangat pribadi, dan
kalau Pandan bisa mendapatkan penghiburan lewat kegiatan barunya,
tak apa, demikian pikir Edelweiss.
Yang tak disangka Edelweiss, kelompok yang diikuti
Pandan sangat senang melarang ini dan itu. Betul-betul ini dan itu.

360 Bulan Sastra

Bahkan Yasinan pun tidak boleh. Kapan pun Edelweiss keberatan,
Pandan selalu berdalih pilihan kelompoknya selalu bersandar pada
kitab suci.
Mereka tak pernah bertengkar hebat dalam artian yang satu
berteriak yang lain membalas dengan jeritan. Tak ada kata-kata kasar
yang keluar. Tak ada pula barang-barang yang pecahterbanting.
Pandan juga tak menuntut Edelweiss melakoni apa yang ia jalani. Tapi,
ketegangan yang merambat setiap hari ini mencekik Edelweiss. Ia
sesak dan mulai merasa tak bisa membedakan warna. Padahal, ia bukan
sopir angkot yang hanya butuh paham tiga warna: merah, kuning, dan
hijau. Ia tak bisa berkarya di rumah itu, padahal saat itu dalam
waktu dekat ia mesti menyiapkan pameran tunggal di Singapura.
Perceraian mereka berlangsung cepat. Banyak kerabat dan
tetangga yang menyayangkan. Mereka juga sedih ketika Edelweiss
pergi membawa Danae. Selanjutnya, setiap berapa bulan sekali
Edelweiss mengantarkan Danae menginap di Ciputat. Ia melakukannya
bukan karena Pandan tak mau datang ke Jogja melainkan karena
ia justru tak ingin. Pandan pernah mengunjungi sekali, dan ia
benar-benar merasa tak nyaman.
Selama Danae di Ciputat, Edelweiss biasanya menggunakan
waktunya di Jakarta untuk bertemu klien, kawan, atau sekadar
memuaskan makan di tempat-tempat yang ia senangi. Awalnya, ia
masih bertandang ke tetangga-tetangga lamanya di Ciputat, tapi
pertanyaan-pertanyaan mereka seputar kepemilikan rumah nyaris
seperti hasutan sehingga ia memilih menghindari mereka sebisa
mungkin.
Edelweiss juga tak betah lama-lama di rumah Ciputat
karena setiap kali melihat Pandan hatinya perih. Fisik bekas
suaminya itu baik-baik saja tapi seluruh geraknya tampak lembek

บหุ ลนั วรรณกรรม 361

di matanya.Tak ada lagi sorot mata yang dulu sering bersinar nakal.
Tak ada lagi panggilan Cempluk untuknya, yang ada hanyalah Bunda
Danae. Tujuh belas samurai merana, maki Edelweiss dalam hati
ketika pertama kali sapaan itu ia dengar.
Maka, ketika Pandan berkata akan menikah lagi dengan Aya,
seorang guru taman kanak-kanak, Edelweiss sungguh-sungguh berharap
kegembiraan Pandan kembali sekalipun ia menyimpan cemburu.
Namun, begitu tahu bahwa Pandan menikahi Aya karena dijodohkan
ketua kelompoknya, dan Aya bekerja di taman kanak-kanak yang
dikelola kelompok itu, Edelweiss mengecilkan harapannya.
Mengingat saat itu Pandan tak lagi bekerja dan hidup dari
mengandalkan tabungan, Edelweiss memberi saran agar Pandan
membangun rumah-rumah petak untuk kos-kosan di lahan kiri
rumah Ciputat yang masih cukup luas. Pandan menurut. Berkat
rumah-rumah petak yang kemudian dengan cepat bertambah dua kali
lipat itulah Pandan beroleh penghasilan yang lumayan. Penghasilan
yang memungkinkan Aya meminjamkan uang kepada kerabatnya yang
kemudian memotong-motongnya menjadi sepuluh bagian.
  AYA sudah dimakamkan ketika Edelweiss sampai di rumah
Ciputat pada tengah hari. Begitu jenazah boleh keluar dari rumah
sakit pada pagi hari, Pandan memilih langsung memakamkannya
ketimbang menyemayamkannya di rumah. Edelweiss merasa itu
pilihan yang bijak.
Saat datang, setelah kecanggungan dua-tiga detik, Edelweiss
memeluk Pandan. Laki-laki itu menangis di pundak Edelweiss,
semenit, Edelweiss merasakannya berjam-jam. Beberapa mata
tetangga ikut basah. Beberapa mata anggota kelompok pengajian
menatap bertanya, tapi mereka tak angkat suara. Edelweiss juga

362 Bulan Sastra

bersalaman dengan kedua orang tua Aya, tak keluar kata-kata apa pun
dari mulutnya.
Sampai malam para pelayat masih berdatangan. Beberapa
kerabat Aya terlihat kikuk karena korban dan pelaku adalah anggota
keluarga besar mereka. Sejak sore Edelweiss memilih menyingkir ke
halaman belakang. Ia menyempatkan memetik dan memakan srikaya
supermanis yang dulu ditanamnya. Di sini pula, ia untuk pertama
kalinya memeluk, menggendong, dan mencium-cium Zulaika yang
sebelumnya dipegang pengasuhnya.
Pengajian selesai pukul setengah sembilan malam. Edelweiss
sempat ikut sebentar. Ia sebetulnya agak berharap mendapatkan
pengajian yang menggetarkan hati. Ia keliru, acaranya berjalan datar.
Kelelahan, Edelweiss beristirahat di kamar Danae, kamar
yang sampai sekarang hanya digunakan jika anak itu datang
menginap. Edelweiss tak tahu sudah berapa lama ia terlelap. Ketika
terbangun, ia mendapati Pandan sudah duduk di kursi tak jauh dari
ranjang. Mata laki-laki itu letih tetapi bibirnya mencoba tersenyum.
Edelweiss bangkit dan memeluknya. Pandan menangis lagi. Beberapa
menit kemudian, digerakkan oleh perasaan yang ganjil bagi keduanya,
mereka membuka pakaian dan melakukannya. Edelweiss merasai air
mata Panda di bahunya. Setelah selesai, Pandan tertidur.
Edelweiss melihat jam tangan, pukul satu dini hari malam.
Ia mengenakan pakaiannya, membasuh muka di kamar mandi.
Kepalanya belum sanggup mencerna yang baru saja terjadi.
Penghiburan? Ia merapikan diri dan keluar kamar. Di lorong depan
kamar tak ada siapa pun. Ia mengambil tasnya dan berjalan keluar
rumah. Di halaman depan, ia menyalakan rokok. Ia melangkah ke arah
jalan raya mencari taksi.  

Otobiografififi Gloria

A.S. Laksana

Setelah malam itu, kau tahu, nenekku harus menjalani lagi
seluruh hal yang ia sendiri sudah bosan melakukannya dan ia
menjalaninya sendirian karena kakekku sudah tidak lagi
menemaninya. Lelaki itu masih hidup, tetapi ia tidak mungkin
meninggalkan kerangkeng yang mengurungnya. Kakek dan
nenekku, selanjutnya kusebut saja Bob dan Leli, tinggal di lereng bukit
di daerah selatan Semarang, tak jauh dari kuburan Cina yang
beberapa makamnya sudah pernah dibongkar orang. Kupakai nama
Bob dan Leli karena mereka mungkin tidak suka jika aku
menyebut nama asli mereka (tetapi orang-orang pasti tahu siapa yang
kumaksud sebab hanya keluargaku yang mengalami kisah ini). Bob
dan Leli memiliki tiga orang anak dan sudah bertahun-tahun
mendambakan cucu.
Anak pertama mereka, pamanku, menamatkan pendidikannya di
Madrasah Tsanawiyah; ia mendapatkan banyak pelajaran agama di
sekolah tetapi tidak suka mengaji. Selanjutnya pamanku tumbuh di
tengah gelak pesta para gali dan menjadi pemuda mabuk yang tidak

364 Bulan Sastra

beristri hingga usianya empat puluh. Berkali-kali kakek dan nenekku
mengingatkan agar pamanku segera menikah, tetapi upaya itu sia-sia.
Pamanku tetap seorang bujangan di hari kematiannya, dua bulan
menjelang usianya empat puluh tiga.
Harapan Bob dan Leli untuk mempunyai cucu hanya bisa
dipikulkan pada anak kedua mereka, seorang perempuan yang
mula-mula jatuh cinta kepada tukang amplas di perusahaan mebel
samping rumah tetapi kemudian menikah dengan karyawan asuransi
yang kalem dan tampak tua. Mungkin kau ingin mengetahui bagaimana
karyawan asuransi berhasil mengalahkan si tukang amplas dalam
perebutan cinta, tetapi aku harus membatasi diri untuk tidak
menceritakannya sekarang. Di kesempatan lain, aku berharap bisa
meluangkan waktu khusus untuk menyampaikan kisah cinta mereka.
Hanya anak kedua inilah yang sudah menikah; anak ketiga, seorang
perempuan juga, belum menikah sampai usia dua puluh delapan dan
seterusnya.
Aku akan mundur ke masa tiga tahun sebelum aku lahir. Pada
waktu itu anak kedua sudah tujuh tahun menikah dan ia tidak pernah
hamil, sementara keinginan Bob dan Leli untuk memperoleh cucu
makin tak tertahankan. Karena tidak bisa hanya menunggu, Bob dan
Leli kemudian rajin mengunjungi rumah orang-orang sakti dan senang
bertandang ke tempat-tempat keramat. Di rumah-rumah orang sakti
mereka mendapatkan pelbagai mantra dan nasihat tentang apa yang
harus dimakan oleh anak mereka yang tidak kunjung hamil; di
tempat-tempat keramat mereka memanjatkan doa.
Pada kunjungan pertama mereka ke orang sakti, mereka
mendapatkan resep bahwa anak perempuan mereka harus meminum
air kelapa hijau tiap malam Jumat selama tujuh kali tanpa jeda. Resep

บุหลันวรรณกรรม 365

ini tidak mendatangkan keajaiban dan mereka beralih ke orang sakti
lain yang yang memberikan mantra dan resep berbeda. Setelah
mengunjungi empat orang sakti, mereka memindahkan kunjungan ke
tempat-tempat keramat. Mula-mula mereka mendatangi sebuah tugu
yang tegak di pulau kecil di tengah sungai. Empat bulan setelah itu,
menuruti saran seorang tetangga, mereka pergi ke sebuah sendang,
bermalam di sana, dan membawa pulang airnya untuk diminumkan
kepada anak perempuan mereka. Tiga bulan kemudian, atas saran dari
tetangga juga dan dengan ongkos perjalanan yang dipinjam dari seorang
rentenir, mereka mengunjungi sebuah meriam tua di Jakarta.
“Kalian tahu seperti apa bentuk meriam tua itu,” kata si
tetangga.
“Semua orang yang datang ke sana tak pernah kecewa.”
Ketika tiba di sana, keduanya merasa sangat yakin bahwa
sebentar lagi mereka akan diberkahi cucu. Bentuk meriam itu, kau
tahu, memang bisa mempertebal keyakinan siapa pun yang berdoa
kepadanya. Pada pangkalnya ada bentuk tangan terkepal, dengan
jempol diapit oleh jari telunjuk dan jari tengah—itu seperti jika kau
mengepalkan tangan di saat jengkel pada seseorang. Duduk di
samping meriam itu, Bob dan Leli menunjukkan sikap khidmat dan
berdoa sangat khusyuk.
Lima bulan setelah kunjungan itu, setelah Bob dan Leli
menghabiskan waktu dua tahun untuk kelayapan ke sana kemari, ibuku
sering merasa mual-mual. Ia hamil. Doa Bob dan Leli dikabulkan oleh
si meriam; beberapa bulan lagi mereka akan beroleh cucu. Tetapi, kau
tahu, kegembiraan kadang datang bersama keruwetan. Mereka sama
sekali tidak mengharapkan ibuku, anak ketiga mereka, yang
mengandung; ibuku belum menikah dan tetangga-tetangga tentu akan

366 Bulan Sastra

menggunjingkan perempuan yang hamil tanpa menikah. Gunjingan
ini sesungguhnya bisa diatasi dengan mudah sekiranya Bob dan Leli
pada saat itu sudah memiliki dua belas cucu. Mereka bisa membentak-
bentak ibuku dan membawanya ke dukun penggugur kandungan
sebelum orang-orang melihat perut ibuku membesar. Tetapi, mereka
tidak mungkin melakukan itu karena yang tumbuh di rahim ibuku
adalah cucu pertama mereka—ialah aku.
“Coba tanyakan kepada kawan-kawanmu, barangkali ada
yang mau menikah dengan si cacing,” kata Bob kepada pamanku.
Betapa kalapnya kakekku. Memasrahkan ibuku kepada
kawan-kawan pamanku berarti menyerahkan nasibnya, dan nasibku
kelak, di tangan gali. Tetapi aku bisa memahami kekalapannya. Ia
sudah berkali-kali menanyai ibuku siapa lelaki yang menyuntikkan
benih ke dalam rahimnya dan ibuku tidak pernah mengatakan siapa
lelaki itu. Pamanku tidak sekalap kakekku. Ia mengatakan kepada Bob
bahwa seharusnya si cacinglah yang mencari jodoh buat dirinya
sendiri.
“Hanya ia yang tahu siapa ayah dari janin yang menyumpal
di dalam rahimnya,” kata pamanku.
“Hanya ia yang bisa menemukan orang itu dan
mengajaknya menikah.”
Tetapi si cacing, mereka memanggil ibuku dengan sebutan
itu, sepertinya tidak peduli pada keresahan orang tuanya. Dengan
paras mukanya yang mengantuk, ia memang selalu tampak tidak
pedulian. “Zaman dulu ada juga perempuan yang melahirkan tanpa
suami dan bayinya tumbuh menjadi nabi,” katanya.

บุหลันวรรณกรรม 367

“Nabi mbahmu,” kata Bob. “Pada zaman dulu yang
datang kepadanya malaikat, tetapi siapa yang datang kepadamu?”
“Seorang lelaki, mungkin ia juga malaikat,” kata si cacing.
“Siapa tahu?”
Pamanku, dengan ingatan samar-samar pada pelajaran
agama yang pernah didapatnya di sekolah, tampaknya senang sekali
mendengar jawaban ibuku. Pada suatu hari, dengan kepala dipenuhi
uap alkohol, ia mengatakan kepada orang-orang yang berpesta di
tempat minum bahwa adiknya dititipi benih oleh malaikat yang
menyelinap ke kamar melalui bubungan atap. “Karena itu si cacing
hamil meskipun tanpa suami,” katanya. “Anaknya kelak menjadi nabi.”
Bob tidak pernah segembira pamanku. Makin hari perut si
cacing makin membukit, meskipun tubuhnya tetap kurus, dan ia tetap
tidak menunjukkan minat untuk mendapatkan suami. Bob makin
kalap menghadapi ibuku—mungkin putus asa. Sebetulnya ia sangat
berharap ibuku menjadi penari. Dulu, ia pernah berpacaran dengan
penari balet, seorang perempuan setinggi galah yang mampu berdiri
dengan satu ujung kaki dalam waktu beberapa lama. Kupikir-pikir
aneh juga seorang lelaki yang sejak lama mendekam di pelosok
selatan Semarang, dekat kuburan Cina, bisa memiliki pacar seorang
penari balet. Aku tak tahu di mana mereka pertama kali bertemu dan
bagaimana seorang penari balet bisa jatuh cinta kepada lelaki
kampungan.
Angan-angan Bob untuk menjadikan ibuku seorang penari
balet tidak pernah disetujui oleh Leli, sebab hal itu mengingatkannya pada
perempuan yang pernah menjadi pacar Bob. “Lebih baik ia menjadi
pegawai bank,” kata Leli.

368 Bulan Sastra


Click to View FlipBook Version