The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

หนังสือบุหลันวรรณกรรม

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search

หนังสือบุหลันวรรณกรรม

หนังสือบุหลันวรรณกรรม

Keywords: บุหลันวรรณกรรม,วรรณกรรม

saya. Seolah-olah kami sedang berkomunikasi melalui pembacaan
buku.
Bapak mengoleksi banyak buku karangan Kukrit Pramoj dan
Rong Wongsawan, buku-buku karangan dua orang penulis ini
mengisi hampir dua pertiga dari keseluruhan rak buku yang ada.
Semasa saya masih sekolah di tingkat SMP, yaitu ketika musim libur
semesteran tiba, saya tidak tahu harus melakukan kegiatan apa, maka
saya kemudian membaca buku-buku karya dua penulis ini. Waktu itu
saya tidak tahu bahwa dua orang ini adalah pujangga besar yang
dikagumi banyak orang. Pada waktu saya membacanya, ada banyak
bagian, atau episode yang saya tidak memahami maksudnya.
Mungkin waktu itu saya masih kurang berpengalaman. Itulah
sebabnya, saat saya membacanya saya tidak bisa menamatkannya.
Namun, ketika saya sudah mulai kuliah di universitas, lalu saya
mencoba membacanya sekali lagi, barulah saya mengerti isi buku
tersebut. Bahkan saya bisa menikmati keindahan bahasa yang
digunakannya. Sampai sekarang pun buku yang berjudul “Phai Daeng”
dan “Lai Chiwit” masih tetap menjadi buku legendaris bagi saya.
Untaian kata-kata di dalam “Sa Nim Soi” dan “Se Play Boy Chao
Rai” tetaplah menjadi mantra yang membius saya sampai sekarang.
Akhir bulan yang lalu, saya memakai waktu kosong di rumah
seperti biasa. Di sini saya bisa istirahat setelah bekerja keras sejak hari
Senin sampai Jumat. Saya bangun hampir jam 10 pagi, lalu melihat
sebuah kertas kecil yang ditulis oleh ibu. Isinya dia pergi ke pasar
pohon Jatujak dengan temannya dan sarapan untuk saya sudah
disiapkannya di ruang dapur. Setelah mandi dan sudah makan pagi
saya berada di depan lemari buku ayah, lalu mencari buku yang

บุหลนั วรรณกรรม 269

menarik untuk dibaca seperti biasanya. Walaupun saya sudah pernah
membaca puluhan buku tetapi jumlahnya masih belum sampai
setengah dari jumlah buku yang ada. Tentu saja walau saya akan
mempergunakan seluruh hidup saya pun, saya tidak bisa membaca
semuanya sampai habis. Hal ini membuat saya bertekad untuk tidak
akan membeli buku yang baru lagi hingga saya mampu membaca
semua buku-buku koleksi ayah ini sampai habis. Itu artinya, dalam
hidup saya ini, bahkan mungkin sampai saya matipun, saya mungkin
tidak akan membeli buku baru lagi karena saya tidak akan mampu
membacanya sampai habis karena buku-buku koleksi ayah itu jum-
lahnya sangat banyak. Mungkin orang menganggap saya sinting,
tetapi saya tidak penyebabnya, setiap kali pada saat saya membaca
buku koleksi ayah ini, saya merasa bapak hadir di dekat saya, dan
kami berkomunikasi melalui buku-buku ini. Itu juga menjadi penyebab
mengapa saya tidak perlu untuk membeli buku baru lagi. Saya
berbahagia dapat membaca buku-buku lama koleksi ayah, dan saya
semakin berbahagia ketika melihat masih banyak buku lain
menunggu untuk saya baca.
Pada suatu waktu, secara tiba-tiba pandangan mata saya
tertuju pada sisi pojok lemari buku dan secara sekilas saya mencoba
memperhatikan buku-buku yang tersimpan di pojok lemari itu. Saat
itu secara tiba-tiba keingintahuan saya mulai muncul di benak saya,
rasa itu kemudian berubah menjadi suatu pertanyaan tentang isi dari
buku-buku yang tertata rapi di sudut itu. Sebenarnya saya sudah tahu
buku apa saja yang ada di sudut itu, tapi anehnya, sebelum ini,
buku-buku ini tidak pernah membuat saya penasaran dan

270 Bulan Sastra

bertanya-tanya. Bukankah sudah sangat lama buku-buku itu tertata
dengan rapi di situ. Ya, bahkan sudah sangat lama buku itu tidak
tersentuh oleh siapapun. Bisa diibaratkan seperti seseorang yang
kesepian dan menunggu kedatangan seseorang untuk mengajaknya
bertegur sapa.
Lebih dari 30 judul buku yang berhubungan dengan negara
Jepang berada di rak itu. Buku-buku itu antara lain tentang sejarah,
sastra, kebudayaan, tempat wisata, dan buku pelajaran membaca dan
menulis Bahasa Jepang untuk pemula.
“Aneh! Kenapa ayah mengoleksi buku-buku tentang Jepang
sebanyak ini ya?” Saya bertanya pada diri sendiri.
Seingat saya, tak seorang pun yang tahu kalau ayah punya
ketertarikan khusus terhadap negara Jepang. Setahu saya ayah juga
hanya bisa mahir berbicara dengan dua bahasa saja, yaitu bahasa Thai
dan Inggris. Sejauh ini ayah juga belum pernah menunjukkan
kemampuannya berbahasa Jepang. Setahu saya, kalaupun ada sesuatu
yang berkaitan dengan Jepang, hal itu hanyalah berkaitan dengan
perusahaan desain bangunan tempat ayah bekerja, pernah mengirim-
kan ayah ke Jepang untuk mengikuti kegiatan studi banding selama
dua minggu. Saya masih ingat kejadian itu, waktu itu saya masih
bersekolah di SMP. Saya belum pernah berjauhan dengan orang tua
untuk waktu yang cukup lama. Walaupun ayah tidak berada di rumah
hanya dua minggu, tetapi dalam perasaan kanak-kanak seperti saya
waktu itu, saya merasa saya harus berpisah dengan ayah untuk
waktu yang lama sekali. Meskipun ibu masih menemani saya di rumah
tapi tanpa ada ayah di rumah, saya merasa ada sesuatu yang hilang

บุหลันวรรณกรรม 271

dalam hidup saya. Pada awalnya saya sering menangis karena saya
merasa kangen dengan ayah, tapi beberapa waktu kemudian, saya
merasa terbiasa, bahkan merasa senang karena tidak ada orang yang
melarang saya ketika membaca komik dan menonton TV sampai larut
malam. Tetapi ayah hanya tinggal di Jepang selama dua minggu saja.
Dalam pemikiran saya, waktu sependek itu, belum bisa membuat ayah
tertarik kepada Jepang sampai rela berlatih Bahasa Jepang atau
membeli buku tentang Jepang sebanyak ini. Saya mengambil buku itu
satu per satu untuk saya buka dan saya lihat sampulnya, mulai dari
sampul depan, lalu membaliknya untuk melihat sampul belakangnya.
Kusamnya warna sampul bisa digunakan untuk memprediksi umur
dari buku tersebut. Saya mencoba membaca dalamnya secara sekilas,
dengan cara membuka-buka dan membacanya dengan cepat.
Lembaran-lembaran kertas yang awalnya berwarna putih, kini men-
jadi kuning pucat. Aroma tua dari buku-buku itu bisa tercium pada
hidung saya ketika saya menarik nafas. Beberapa baris kalimat dalam
buku itu digarisbawahi dengan pena untuk menandai bagian mana
yang dianggapnya penting isinya. Sedangkan beberapa buku yang
lain disisipi kertas di dalamnya.
Dengan secara tiba-tiba rasa keingintahuan saya muncul
kembali pada saat saya menemukan sebuah foto tersisip di tengah
sebuah buku. Foto itu sangat lama dan kusam. Tanggal yang tertulis
dalam foto itu menunjukkan bahwa foto itu diambil sekitar dua puluh
tahun yang lalu. Foto itu adalah foto seorang perempuan yang wa-
jahnya cantik yang sedang tersenyum menawan. Matanya bersinar
tajam menyimpan keseriusan di dalamnya. Rambutnya panjang dan

272 Bulan Sastra

diikat ke belakang. Dia berkaos warna putih dan bercelana jeans.
Ketika di balik, di belakang foto ada tulisan dalam bahasa Inggris
dengan memakai huruf cetak.
Tulisannya tersebut berbunyi:
Hope to see you again, Kevin
Miyama Hiroki.

3
“Saya ingat waktu itu adalah bulan Juli tahun 1990, saat pertama
kali saya bertemu dengan Kevin.” Miyama Hiroki memulai
ceritanya setelah dia melihat foto tersebut. Saya sengaja membawa
foto ini untuk saya perlihatkan kepadanya. Setelah dia melihat foto
itu, ada senyuman muncul dari bibirnya. Namun ketika melihat tulisan
yang ada di belakang foto, terlihat ada sedikit air mata menitik dari
sudut matanya.
“Kevin adalah salah seorang wakil pegawai perusahaan desain
bangunan dari Thailand yang datang ke perusahaan kami di Jepang
untuk studi banding tentang desain bangunan.” Nama Kevin yang dia
sebut itu adalah nama ayah saya. Sebenarnya nama ayah saya adalah
Kanin, tetapi dia dipanggil Kevin semenjak dia belajar di Amerika
Serikat karena teman-temannya di sana lebih mudah untuk
mengucapkannya.
“Jajaran pimpinan di perusahaan di tempat saya bekerja kurang
lancar berbicara Bahasa Inggris. Jadi saya harus menjadi interpreter
perusahaan sewaktu mereka berbicara dengan rombongan orang Thai
tersebut. Kevin adalah orang yang paling lancar berbicara Bahasa

บุหลันวรรณกรรม 273

Inggris dari rombongan itu. Oleh karena itu, saya dan Kevin menjadi
interpreter tetap dari masing-masing pihak. Sebab itulah saya dengan
dia punya banyak kesempatan untuk berbicara dan tukar pikiran
dibandingkan dengan yang peserta yang lain”. Miyama bercerita
sambil memandang seorang gadis yang duduk di sampingnya.
Sesekali gadis itu akan mengangkat cangkir teh hijaunya dan
meminumnya. Sementara matanya terus membaca buku berbahasa
Jepang tanpa memperdulikan sekelilingnya.
Beberapa waktu yang lalu, sebelum kami mulai berbincang-
bincang, Miyama mengenalkan gadis yang duduk di sampingnya itu
kepada saya. Dia bermana Keiko, anak semata wayang milik Miyama.
Keiko sedikit membungkukkan badannya kepada saya tanpa ada
senyuman dan ucapan salam dari bibirnya yang berwarna pink itu.
Saya menyimpulkan dia berperilaku seperti itu karena tidak ada
suatu kepentingan apapun untuk kenal dengan saya. Untuknya, saya
hanya satu orang asing yang singgah sebentar dalam hidupnya.
Setelah itu semuanya akan berlalu dan berjalan seperti biasa, tanpa
ada kenangan. Oleh karena itu, dia melakukannya untuk suatu sopan
santun saja.
Secara sekilas saya memperkirakan umur Keiko sekitar 18-19,
kalaupun lebih umurnya mungkin baru memasuki angka 20. Mungkin
juga, dia baru masuk ke universitas. Dia kelihatan diam tapi diamnya
itu kelihatan tidak wajar. Dia diam saja dan tidak perduli dengan
apapun yang ada di sekelilingnya. Dia kelihatan seperti orang yang
sedang asyik dengan dunianya sendiri. Akan tetapi ada sesuatu hal
yang membuat saya merasa bahwa sebelumnya saya pernah ketemu

274 Bulan Sastra

dengannya. Ya, karena pandangan matanya mirip dengan pandangan
mata seseorang yang pernah saya kenal.
“Kevin adalah orang yang gigih dan selalu bersungguh-sungguh
dalam bekerja. Selain itu dia juga orang yang periang.” Miyama
memejamkan matanya, dia kelihatan sedang mencoba mengingat
kenangan pada masa lalu. Tidak lama kemudian dia membuka
matanya dan berkata “Waktu itu kami cepat menjadi saling akrab
karena kami punya banyak kesamaan, hobi yang sama, gaya hidup
dan pemikiran yang sama. Miyama kembali memandang Keiko, lalu
kembali menatap saya. “Tapi waktu itu saya tidak tahu sama sekali
kalau dia sudah mempunyai anak dan istri di Thailand”.

4.
Banyak pertanyaan muncul yang asalnya dari foto itu – foto
Miyama Hiroki yang ada di dalam buku ayah.
Rasa ingin tahu membawa diri saya duduk di depan
komputer untuk mengakses internet. Saya mengetik namanya di dalam
aplikasi Google, kemudian data yang ingin saya ketahui muncul di
depan layar.
Saya menge-klik berbagai situs web yang ada namanya
Miyama Hiroki. Namanya bermunculan dari berbagai sumber. Dari
situ saya bisa tahu bahwa dia pernah bekerja di satu perusahaan desain
bangunan di Tokyo selama berpuluh-puluh tahun. Sebelum dia
berhenti dan bekerja di rumah sebagai penerjemah bebas untuk
menghidupi diri sendiri. Ada beberapa fotonya yang muncul di dalam
beberapa situs web, jumlahnya sekitar 3-4 foto. Kebanyakan foto itu

บุหลนั วรรณกรรม 275

adalah fotonya sewaktu dia masih bekerja di perusahaan itu. Tapi saya
tak yakin berapa lama foto-foto itu diambil. Selain itu, saya juga
menemukan alamat e-mailnya. Namun saya masih ragu, perlukah
saya mengirim e-mail kepadanya?
Mengapa saya harus menghubunginya? Saya mencoba
bertanya kepada diri sendiri. Apa keperluannya? Mengapa saya harus
tahu perihal dia? Mungkin saja dia hanya sekedar teman ayah dan dia
belum tahu kalau ayah sudah meninggal. Namun hal yang paling
penting adalah mungkin saja dia sudah tidak ingat lagi kepada ayah.
Akan tetapi, ada sesuatu yang mengusik hati saya untuk mencari
jawabannya. Akhirnya saya memutuskan untuk mengirim e-mail
kepadanya. Dalam e-mail itu saya memperkenalkan diri, siapa diri
saya, dari mana, bagaimana cara saya mendapat e-mailnya dan
mengapa saya mengirim e-mail kepadanya. Setelah e-mail terkirim,
saya merasa resah karena tidak tahu apakah dia akan membalasnya
atau tidak.
Namun akhirnya, Miyama pun membalas e-mail saya pada
sore harinya.
Dalam e-mailnya, dia menulis bahwa dia merupakan teman
lama ayah. Mereka bertemu saat ayah studi banding di perusahaannya
di Jepang. Setelah ayah pulang ke Thailand, keduanya masih saling
berkabar tapi hanya dua bulan saja. Setelah itu keduanya tidak saling
berkiriman surat lagi. Akan tetapi, ada hal yang membuat saya kaget
sekaligus bergembira adalah jawaban Miyama yang mengatakan
bahwa sekarang dia dan anak perempuannya sedang tidak berada di
Jepang tapi sudah seminggu mereka berada di Krabi, Thailand untuk
istirahat. Mereka akan tinggal di Thailand untuk satu minggu

276 Bulan Sastra

lagi sebelum pulang ke Jepang. Saya membalas e-mailnya untuk
menanyakan apakah saya bisa bertemu dengannya. Dia membalas dan
menjawab bahwa dia bersedia menemui saya.
Peristiwa itu yang menjadi penyebab mengapa orang asing
yang berbeda bahasa, dan belum pernah saling mengenal sebelumnya,
kini dapat bertemu di dalam warung kopi ini.
Miyama terdiam lama sekali. Matanya menerawang dan
memandang sesuatu yang jauh di luar warung. Saya pun tidak
berani berbicara meskipun sepatah kata. Saya belum bisa menemukan
kalimat yang tepat untuk menanggapi perkataannya. Sementara itu
Keiko masih terus membaca buku yang ada di dalam tangannya.
Dengan perlahan-lahan matanya menelusuri tulisan itu dan
berkonsentrasi dengan ceritanya.
Saya mengamati wajah Miyama satu kali lagi, kerut di
wajahnya tidak hanya menunjukkan usianya namun juga menunjukkan
kekerasan hatinya. Selain itu matanya yang tajam dan bersinar juga
nampak menyimpan suatu kesedihan yang disembunyikannya.
“Siapa yang akan mengira” tiba-tiba Miyama berkata “Saya
tidak pernah berpikir bahwa Kevin akan meninggal secepat ini.
Rasanya saya baru saja bertemu dengan dia beberapa waktu yang lalu.
Senyumannya masih jelas tersimpan dalam kenangan saya”
“Kematian akan mendatangi seseorang kapanpun dan di
manapun. Saya masih ingat, pada waktu pagi di hari meninggalnya
ayah. Sebelum saya keluar dari rumah, ayah masih bercakap-cakap
dengan saya seperti hari-hari biasanya. Wajahnya juga masih terlihat
segar tak nampak seperti orang yang sedang sakit. Namun pada sore
harinya tiba-tiba ayah pingsan, lalu ibu membawanya ke rumah

บหุ ลนั วรรณกรรม 277

sakit yang terdekat. Namun tetap saja tidak bisa tertolong. Dokter
mengatakan bahwa ayah terkena serangan jantung. Kejadian ini
sangat aneh karena sebelumnya tidak pernah ada indikasi sedikitpun
kalau ayah mengidap penyakit jantung.”
Seusai saya berbicara, Keiko membanting bukunya ke atas
meja. Hal itu membuat saya dan Miyama menoleh memandang dia
hampir bersamaan. Begitu juga dengan orang lain yang berada di dalam
warung itu. Mereka juga memandang ke arahnya dengan ingin tahu
apa yang terjadi. Miyama lalu berbicara dengan Keiko dengan
Bahasa Jepang, saya pikir dia sedang bertanya kepada Keiko
mengapa dia berbuat seperti itu. Akan tetapi Keiko diam saja namun
matanya memandang keluar. Tak lama kemudian dia mengambil lagi
bukunya untuk dibacanya kembali.
“Pada akhir-akhir ini Keiko bersikap agak aneh seperti itu.
Jangan diambil hati ya!” Miyama menyampaikan permintaan
maafnya kepada saya. Saya bersenyum sebagai jawaban bahwa saya
tidak mempermasalahkannya. “Em…saya lupa menyampaikan
kepada anda, Keiko diam saja karena dia adalah tuna wicara.”
Saya tertegun ketika tahu penyebab mengapa Keiko tidak
pernah berbicara dan terus berada di dunianya sendiri. Melihat saya
terdiam, Miyama lalu melanjutkan penjelasannya “Keiko tidak bisa
berbicara sejak dia lahir tapi hal yang mengherankan saya adalah dia
bisa mengerti semua perkataan saya. Jadi dia tak perlu mengunakan
bahasa tangan karena dia bisa mengerti perkataan orang lain. Ketika
dia ingin berkomunikasi dengan saya, dia akan menuliskannya dalam
kertas”. Saya mengangguk dan memandang Keiko, sementara itu dia
tetap membaca buku itu. Saya tidak tahu dari mana asal pemikiran

278 Bulan Sastra

saya ini, namun saya merasa saya pernah melihat dia sebelumnya.
“Tambahan lagi ayahnya baru saja meninggal, jadi dia
terlihat semakin pendiam saja.” Miyama melanjutkan ceritanya bahwa
Kenji suaminya dan ayahnya Keiko baru saja meninggal dunia dalam
suatu bencana gempa bumi dan tsunami di Jepang pada awal tahun
yang lalu. Bencana itu membawa dampak yang besar, baik dalam
kehidupan orang di seluruh negeri, maupun dalam kehidupan rumah
tangganya. Miyama menceritakan bahwa pada hari saat terjadinya
musibah tersebut, Kenji berada di propinsi Miyagi, yaitu kota
kelahirannya. Dia pulang ke sana untuk mengunjungi orang tuanya
karena jarang sekali dia punya kesempatan pulang ke sana.
Sementara itu, dia dengan Keiko ada kegiatan di Tokyo, jadi mereka
tidak bisa ikut Kenji ke sana.
“Mungkin anda sudah pernah mendengar beritanya. Kabar
bencana alam yang membawa kerugian yang jauh lebih besar dari
angka yang bisa kita perkirakan. Bencana ini menyebabkan kematian
dan penderitaan banyak orang, termasuk Kenji dan orangtuanya. Ya…!
Anda benar bahwa kematian akan datang pada kita kapanpun.”
“Saya turut duka cita Bu.”
Dia bersenyum sepertinya dia mau mengatakan bahwa tidak
apa-apa. Dia melanjutkan ceritanya. “Miyagi merupakan satu dari
sekian propinsi yang mengalami kerusakan yang dasyat akibat
hantaman tsunami. Banyak gedung-gedung yang hancur dan banyak
orang yang tewas, bahkan juga hilang dan tidak ketemukan. Tapi kami
masih beruntung karena akhirnya mayat Kenji dapat ditemukan. Jadi
kami bisa melaksanakan upacara kematian untuknya.”
Suasana duka itu seolah-olah hadir mengelilingi kami. Saya

บุหลันวรรณกรรม 279

dapat merasakannya. Suatu bencana yang membuat orang di seluruh
dunia juga ikut berduka. Sebelumnya, saya hanya membaca kabar
tentang bencana ini melalui TV dan internet. Saya tidak pernah berfikir
kalau hari ini saya bisa merasakan kesedihan itu, bahkan bersama
dengan orang mengalami musibah itu secara langsung.
“Cukup lama saya dan Keiko tenggelam dalam rasa duka ini,
karena bagi kami Kenji bagaikan tiang keluarga. Tanpa ada dia, kami
seperti mengambang dan terombang-ambing di lautan yang dalam.”
Miyama diam sebentar, tampaknya dia sedang berusaha menahan satu
perasaan. Setelah itu dia melanjutkan berbicara dengan suara yang
lebih tegas, “Namun pada saat saya menoleh dan mencoba memandangi
sekeliling saya, saya lalu menyadari bahwa bukan hanya keluarga
kami saja yang mendapat musibah ini, namun masih banyak orang di
luar sana yang bernasib sama seperti kami. Beberapa orang, bahkan
mendapat musibah yang lebih berat daripada musibah yang
menimpa kami. Saya lalu bertekad untuk bangkit dan mencoba
mengatasi musibah ini.”
“Kalau musibah ini terjadi di Thailand atau terjadi dengan
keluarga saya, saya tak tahu bagaimana cara saya menyelesaikannya.”
“Orang Jepang mempunyai satu sifat yang disebut sebagai
Gaman maksudnya adalah seseorang harus punya ketabahan dan
kesabaran dalam menghadapi suatu kesulitan. Saya rasa orang Jepang
masih memiliki sifat ini, jadi kami bisa mengatasi kejadian yang
sangat buruk ini.”
Benar juga…Gaman. Sifat ini yang membuat orang Jepang
bisa bertahan hidup sampai sekarang. Baik pada waktu mereka
menghadapi kejadian buruk akibat perbuatan manusia maupun

280 Bulan Sastra

kejadian buruk yang terjadi karena alam.
Saya bersenyum kepadanya karena merasa kagum terhadap
ketabahan dan keteguhan hatinya itu.
“Pada saat saya sudah mulai mampu menata hati saya, saya
berusaha menjalani kehidupan ini seperti biasanya.” Ujar Miyama
sambil melihat kepada Keiko. “Akan tetapi Keiko masih tenggelam
di dalam kesedihan itu. Dia semakin jarang bersenyum dan juga
semakin sedikit berkomunikasi dengan saya. Saya kemudian
memutuskan untuk membawanya ke sini agar dia bisa beristirahat.
Dengan berada di lingkungan yang berbeda, mungkin dia akan
merasa lebih tenang. Inilah alasan saya datang ke Thailand kali ini.”
“Ini merupakan keberuntungan saya juga, karena dengan
kedatangan anda ke sini membuat saya dapat bertemu dengan teman
lama ayah saya.”
“Saya juga tak pernah menduga punya kesempatan bertemu
dengan anaknya Kevin. Kalau anda tidak mengirim e-mail kepada
saya, saya pun juga tidak tahu bahwa Kevin sudah meninggal dunia.”
“Apa anda ingin bertemu dengan ayah saya?”
Wajah Miyama nampak bingung tidak mengerti.
“Maksud saya adalah tempat penyimpanan abu ayah saya.
Saya bisa membawa anda ke sana kalau anda berkenan.”

5.
Kami keluar dari warung kopi itu pada sore hari, lalu saya
mengendarai mobil untuk mengantar Miyama dengan Keiko ke
wihara ini.
Sinar matahari pada sore ini tidak terlalu menyengat seperti

บหุ ลันวรรณกรรม 281

yang diperkirakan. Mungkin karena gumpalan awan yang tebal
menghalanginya. Walaupun demikian langit tidak kelihatan mendung
mungkin karena sinar matahari masih bisa menembus awan dan tetap
bisa menyinari bumi. Suasana di dalam wihara ini tenang, hanya ada
3-4 mobil yang diparkir di samping dinding wihara. Untuk
menghilangkan kebosanannya, seorang penjual bunga, dupa dan lilin
sedang mendengarkan lagu looktoong1 dari radio transistor kecil.
Di sampingnya ada anaknya, seorang gadis kecil yang sedang membaca
komik. Sementara seorang penjual perlengkapan pemujaan biksu
sedang menguap dan di tangannya memegang sebuah kipas yang
dikipas-kipaskan untuk mengusir nyamuk.
Saya mengantar Miyama dan Keiko di depan tempat
menyimpan abu milik ayah. Ada foto, nama, tanggal lahir dan tanggal
meninggal ayah nampak jelas di depan tempatnya. Wajah ayah di
dalam foto itu terlihat lebih muda dibandingkan sewaktu terakhir saya
bertemu dengan beliau. Mata ayah di dalam foto juga nampak
bersinar dan seolah-olah beliau sedang menatap saya.
Ingatan saya kembali pada kejadian sore hari itu, ibu
menelepon saya yang saat itu sedang sibuk dengan pekerjaan yang
menumpuk di atas meja. Suara ibu tidak seperti biasanya, suara ibu
tersendat-sendat membuat saya kurang bisa mengerti maksudnya.
Ketika saya sudah bisa memahami maksudnya, saya langsung
meninggalkan semua pekerjaan di atas meja dan minta izin kepada
kepala untuk pergi ke rumah sakit secepatnya. Sesampai di sana saya
melihat mata ibu berwarna merah, wajahnya juga terlihat pucat pasi

1 Looktoong adalah jenis irama musik khas Thailand
282 Bulan Sastra

seperti tidak ada darah di dalamnya. Ibu lalu berkata dengan suara
serak bahwa ayah sudah pergi, ayah sudah meninggal dunia.
“Kevin… ini saya Miyama.” Miyama berbicara dengan lemah
lembut, matanya yang biasanya tampak tegang itu juga terlihat lembut
dan ada kesedihan di dalamnya. Sementara itu Keiko berdiri di
samping ibunya sambil memegang tangan ibunya. Lama sekali mata
Keiko menatap foto ayah seolah-olah dia terkena sihir.
“Aku datang ke Thailand bersama Keiko, anak perempuanku.
Katha anak lelakimu telah membawaku bertemu dengan kamu.
Menakjubkan! Aku bisa bertemu dengan anakmu sini…atau mungkin
ini adalah merupakan takdir.” Miyama terdiam sebentar lalu dia
bersenyum kepada ayah. Senyuman yang merupakan campuran be-
berapa perasaan yang sulit dijelaskan.
“Terima kasih…terima kasih untuk semuanya”
Angin pada sore hari itu bertiup sepoi-sepoi dan menyibakkan
rambut Keiko sehingga wajahnya kelihatan jelas. Saya memperhatikan
mata dan wajahnya cukup lama. Seperti ada suatu kekuatan yang
menarik saya sehingga saya tidak mampu mengalihkan pandangan
saya ke arah yang lain.
Saya ingat sekarang…
Tiba-tiba saya menjadi ingat. Wajah dan mata seperti ini
pernah saya lihat. Wajah dan mata Keiko mirip……..
“Ada apa Keiko?” Suara Miyama membuyarkan lamunan
saya. Tiba-tiba Keiko bersimpuh di lantai, air matanya berlinang,
badannya sempoyongan. Miyama berlutut di sampingnya dan
bertanya lagi, tapi Keiko tetap menangis. Pipinya yang putih dipenuhi
dengan air matanya. Miyama lalu menarik Keiko ke dalam

บุหลนั วรรณกรรม 283

pelukannya. Dia lalu berbicara lirih sambil mengusap-usap kepala
Keiko dengan lemah lembut. Mata Miyama juga memerah hampir
menangis, sama seperti anaknya. Tak seberapa lama tangisan Keiko
mulai reda, namun dia masih berada di dalam pelukan ibunya. Air
matanya juga sudah berhenti tetapi wajahnya masih terlihat sedih.
Menyaksikan kejadian yang baru saja terjadi, saya merasa
kasihan sekaligus penasaran karena saya tidak mengerti apa yang
terjadi dengan Keiko. Sebenarnya perasaan ini sudah mulai muncul
semenjak kejadian di dalam warung kopi itu. Atau mungkin dia
adalah seorang anak yang sedang punya masalah, sehingga
perasaannya sedang tidak stabil? Atau dia seorang anak yang suka
mencari perhatian dari ibunya? Akan tetapi, Keiko bukan lagi anak
kecil yang bisa bertingkah laku seperti itu. Atau mungkin dia baru
saja ditinggalkan oleh ayahnya dalam musibah yang terjadi pada awal
tahun ini? Mungkin dia masih merasa sedih dan belum bisa menerima
kenyataan ini? Maka sewaktu dia memandang foto ayah saya, hal itu
membuatnya rindu kepada ayahnya? Lalu dia tidak bisa menahan
perasaannya, hingga akhirnya dia menangis seperti ini?
Saat ini dalam kepala saya penuh dengan dugaan-dugaan yang
bercampur aduk. Saya mengingatkan diri sendiri untuk menghentikan
pikiran yang tidak karuan itu. Karena saya tidak akan bisa tahu semua
itu melebihi Keiko sendiri. Lalu saya juga punya hak apa untuk
mengakimi dia? Padahal saya sama sekali juga belum pernah
berkomunikasi dengan dia.
“Mari kita pergi!” Miyama berjalan menghampiri saya dan
berkata “Kami harus mengemas barang karena akan pulang ke Tokyo
besok pagi.”

284 Bulan Sastra

6.
Pagi ini seharusnya saya berada di kantor tapi saya justru berdiri
di tengah kerumunan orang yang berbeda bangsa dan bahasa di bandara
Suwannabhumi. Tidak tahu mengapa saya tidak bekerja, tetapi justru
saya datang ke sini untuk mengantarkan Miyama dan Keiko pulang
ke Tokyo. Seolah-olah ada seseorang yang membisiki saya agar saya
datang ke sini.
Keduanya sudah check-in dan tas-tasnya juga sudah
dimasukkan di atas pesawat. Saat ini masih ada waktu sekitar satu jam
sebelum mereka harus masuk ke pesawat. Kami bertiga masuk ke satu
restoran untuk sarapan. Keiko tetap diam seperti biasanya, tapi
kadang-kadang saya merasa dia sembunyi sembunyi memandang saya.
Namun apabila saya balik memandangnya, dia akan menoleh ke arah
yang lain sambil makan.
“Saya minta ijin ke kamar kecil sebentar ya.” Miyama
berkata kepada saya, lalu dia menoleh arah ke anaknya. Keiko
menggelengkan wajahnya karena dia tidak mau ikut. Miyama lalu
pergi ke kamar kecil sendiri.
Ketika saya tinggal berdua dengan Keiko, kami berdua hanya
diam membisu saja. Saya tahu, walaupun saya mengajaknya
berbicara, tapi tetap saja, dia tidak bisa menjawabnya. Jadi saya
hanya bersenyum kepadanya, lalu saya kembali konsentrasi ke makanan
yang ada di depan saya.
“Katha…Katha! Begitu mendengar panggilan itu, saya lalu
mendongakkan kepala, menoleh ke kanan, ke kiri untuk mencari orang
yang memanggil saya. Tetapi semua orang di dalam restoran tetap
seperti biasa. Para tamu sedang makan ataupun minum kopi sambil

บหุ ลันวรรณกรรม 285

berbicara dengan temannya.
“Katha…kamu harus tentang itu! Saya rasa kamu harus tahu
kenyataan itu!” Saya menoleh dan memandang sekeliling saya sekali
lagi, tapi tetap saja tidak melihat siapapun yang memanggil saya. Saya
juga tak melihat seorangpun yang saya kenal berada di dalam restoran
ini.
Kalau begitu, siapa yang memanggil saya? Suara itu suara
perempuan dan berbicara dengan bahasa Inggris. Saya merasakan
suara itu seolah-olah ada di dalam kepala saya sendiri.
Saat saya sedang menoleh ke kanan dan ke kiri, mata saya
beradu pandang dengan mata Keiko. Dia sedang memandang saya.
Kali ini dia tidak menghindari pandangan mata saya.
“Saya sendiri yang sedang berbicara dengan kamu!” Suara itu
sungguh-sungguh masuk di dalam kepala saya. “Saya sendiri, Keiko!”
Saya memandang Keiko dengan ekpresi mata heran. Banyak
pertanyaan berkecamuk di dalam hati saya.
“Tidak usah bingung! Saya sendiri yang sedang berbicara
dengan kamu. Saya berkomunikasi dengan cara yang orang
menyebutnya cara berkomunikasi lewat batin.” Keiko tak menggerakkan
mulutnya tapi ekpresi matanya menunjukkan bahwa dia sedang
berkomunikasi dengan saya. Saya merasakan bahwa ekpresi matanya
hari ini terlihat lebih bersahabat daripada kemarin.
“Saya tahu kamu punya banyak pertanyaan dalam benak kamu
sekarang. Nanti akan saya ceritakan semuanya kepada kamu. Saya
pikir kamu harus tahu kenyataan seperti yang telah saya ketahui.” Saya
menelan air liur dengan susah payah karena tak percaya apa yang
sedang terjadi.

286 Bulan Sastra

“Sewaktu saya berumur 6 tahun, saya mulai menyadari kalau
saya memiliki kemampuan seperti ini. Pada waktu itu saya menyadari
bahwa saya bisa membaca pikiran orang lain dan bisa berkomunikasi
melewati batin. Mungkin karena saya tuna wicara, maka saya punya
kemampuan seperti ini. Pertama kali saya mulai membaca pikiran
teman-teman dan guru di dalam kelas. Saya tahu apa yang sedang
mereka pikirkan atau apa yang sedang mereka rasakan terhadap
suasana yang ada disekelilingnya. Pada suatu hari, pada saat guru
sedang mengajarkan cara pemakaian bahasa isyarat, saya bertanya
kepadanya melewati batin. Saya bertanya bagaimana cara membuat
isyarat untuk kata ini, kata itu. Suara itu membuat guru kaget, lalu
memperhatikan sekeliling ruang kelas dengan perasaan takut.
Seolah-olah dia sedang melihat hantu. Dia lalu menangis dan berlari
keluar. Setelah hari itu dia tak pernah kembali ke sekolah lagi. Saya
tahu, dia berpikir bahwa dirinya sudah gila karena mendengar suara
dalam kepala dirinya. Dia merasa bahwa harus bertemu dengan
dokter jiwa. Setelah kejadian itu dia selalu menyembunyikan dirinya
di dalam ruma. Dia tidak mau keluar karena dia takut dengan suara
hantu itu”. Suara di dalam kepala saya itu terdiam. Sesaat Keiko
menarik nafas, lalu menghembuskannya secara perlahan. Sesaat
kemudian suaranya kembali masuk ke dalam kepala saya .
“Sayalah yang bersalah karena saya berbuat seperti itu. Sejak
hari itu, saya tidak mau lagi berkomunikasi dengan siapapun
melewati batin. Hal yang masih saya lakukan hanyalah membaca
pikiran orang lain saja. Itulah sebabnya mengapa ibu tidak perlu
memakai bahasa isyarat sewaktu berkomunikasi dengan saya, karena
saya tahu apa yang ibu pikirkan dan apa yang akan dia katakan. Maka

บุหลันวรรณกรรม 287

saya akan menulis jawabannya untuk ibu. Saya tak pernah bercerita
kepada ibu tentang kemampuan saya ini. Saya juga tidak berani
berbicara dengan ibu melewati batin. Saya takut ibu akan menjadi
ketakutan seperti guru itu.”
“Tapi kamu memakai cara ini dalam berkomunikasi dengan
saya?” saya menyahut.
“Saya minta maaf tapi saya betul-betul perlu melakukannya,
karena setelah hari ini mungkin kita tidak bisa bertemu lagi. Jadi saya
harus berbicara dengan kamu.”
“Tak apa-apa.” Jawaban saya sambil bersenyum. “Sepertinya
saya sudah mulai terbiasa dengan suara kamu.”
Dia juga membalas senyuman saya. Senyuman itu adalah
senyuman pertama yang saya lihat dari Keiko.
“Sejak umur 6 tahun saya hidup dengan kemampuan khusus
saya seperti ini. Ketika saya berumur 15 tahun, saya pun mendapatkan
satu kemampuan baru, yaitu selain saya bisa mengerti pikiran orang
lain, saya pun juga bisa membaca kenangan masa lalu orang lain. Ibu
adalah orang pertama yang bisa saya baca kenangan masa lalunya.
Berikutnya saya mencoba masuk ke dalam kenangan ayah.
Berikutnya lagi kenangan milik orang-orang yang saya temui di
warung kopi, tempat perbelanjaan atau di bioskop. Hal yang saya
dapatkan ketika membaca kenangan mereka, sangatlah
menggembirakan saya. Saya seolah-olah sedang menonton beberapa
film yang berbeda ceritanya. Berkali-kali saya merasa gembira bila
bersentuhan dengan kenangan masa lalu mereka yang indah, namun
apabila saya bersentuhan dengan kenangan masa lalu yang buruk,
sayapun juga akan ikut merasa bersedih. Kadangkala saya merasa

288 Bulan Sastra

bersedih seharian karena bersentuhan dengan kenangan masa lalu yang
sangat buruk. Jadi saya tak mau terlalu sering menggunakan
kemampuan saya ini”.
“Tapi keinginan untuk tahu kisah masa lalu orang lain,
tidaklah mudah untuk dihentikan. Maka, saya lalu suka masuk dalam
kenangan ibu. Saya ingin tahu apa saja yang ibu lakukan pada hari
itu, ibu pergi ke mana saja? Dengan siapa saja? Pada waktu itu saya
belum bisa melihat kenangan yang sudah lama berlalu. Kejadian yang
paling jauh adalah kejadian masa saya kanak-kanak saja dan melihat
gambar sewaktu ayah dan ibu sedang mengasuh saya. Saya pernah
mencoba untuk duduk dan berkonsentrasi agar bisa melihat gambar
yang lebih jauh dari pada itu, namun saya tidak berhasil. Apa yang
bisa saya lihat hanyalah kenangan yang kabur, beberapa kali kenangan
itu mulai jelas tapi tak lama kemudian kenangan itu pun kembali
kabur lagi. Setiap kali saya mencoba konsentrai untuk melihat
kenangan masa lalu ibu yang kabur. Saya melihat gambar kabur
seorang lelaki. Dari postur tubuhnya, saya duga bahwa gambar itu
kemungkinan bukan ayah saya. Ketika usaha itu gagal, saya tidak
perduli pada hal itu lagi, bahkan akhirnya saya melupakannya.
Namun ketika saya berumur 18 tahun atau pada dua tahun yang lalu
saya dapat melihat gambar lelaki kabur itu dengan jelas.”
“Kalau saya boleh menduga, sepertinya jiwa kamu semakin
kuat mengikuti bertambahnya umurmu ya.” Saya berkomentar.
“Saya juga berpikir begitu.” Keiko kembali menjawab.
“Waktu itu secara tak terduga saya bisa membaca kenangan masa lalu
ibu lebih lama daripada biasanya. Lama sampai masa sebelum saya
dilahirkan dan saya dapat melihat wajah lelaki itu. Lelaki dalam

บุหลนั วรรณกรรม 289

kenangan kabur milik ibu. Laki-laki itu bukan bapak saya, wajahnya
tak seperti orang Jepang pada umumnya. Saya baru tahu belakangan
ini, kalau lelaki itu adalah Kevin, orang Thai. Dia adalah ayahmu..
Katha.”
“Saya mencoba untuk lebih berkonsentrasi, hingga saya
mengerti semua kejadian sewaktu ibuku kenal dan akrab dengan Kevin.
Katha…kamu dengarkan hal ini baik-baik ya! Ibuku dan Kevin,
bapakmu tidak hanya berteman biasa, tapi mereka berdua sangat dekat
satu sama lain. Meskipun mereka berdua baru saja bertemu, namun
ibuku mencintai Kevin sepenuh hati. Karena Kevin orang yang pintar,
cerdas dan dan bisa memahami perasaan ibu. Demikian juga dengan
Kevin, dia pun juga mencintai ibuku. Memang betul, dia sudah
berumah tangga di Thailand, tapi dia tidak bisa menahan perasaannya
pada saat dia berdekatan dengan ibu. Ibu adalah seorang perempuan
yang cantik dan pintar. Itulah yang membuat Kevin semakin
menyukai ibu. Mereka berdua melakukan hubungan yang sangat dalam
pada malam terakhir sebelum Kevin akan pulang ke Thailand. Setelah
dia pulang, ibu masih tetap merindukannya. Setiap hari Ibu menulis
surat kepadanya. Kevin juga membalas surat ibu. Hal itu sangatlah
menyenangkan hati ibu. Dengan penuh rasa cinta di dalam dada,
ibu berniat ingin mengunjungi dia di Thailand. Tapi, karena
kesibukannya yang sangat luar biasa, ibu tak mampu pergi. Setelah
saling berkiriman surat selama 2 bulan, dalam sebuah suratnya, Kevin
mengaku kepada ibu bahwa dia sudah punya keluarga di Thailand.
Hati ibu hancur lebur ketika membaca surat itu. Keteguhan dan
ketabahannya pun hilang lenyap. Ibu menangis sehingga tak ada lagi

290 Bulan Sastra

air mata yang bisa keluar. Ketika perasaannya sudah mulai tenang,
ibu memutuskan untuk tidak menghubunginya lagi, karena tak mau
menghancurkan rumah tangganya di Thailand. Pada waktu itu ibu baru
menyadari bahwa dia sudah hamil 2 bulan.”
Keheningan seolah-olah mengelilingi kami. Meskipun di
tempat itu orang-orang tetap bergerak dan tetap saling berbicara. Saya
tak bisa mendengar suara apa pun, bahkan suara Keiko di dalam
kepala sayapun tidak terdengar. Keiko mungkin mengerti perasaan
saya, tangannya lalu memegang tangan saya. Dia mencoba mengirim
perasaan itu melewati matanya – mata yang mirip dengan mata ayah.
“Sekarang ini mungkin kamu sudah bisa mengerti semuanya.
Pak Kenji bukan ayah kandungku” Sekali lagi suara Keiko masuk ke
kepala saya. “Saya pun juga terkejut ketika mengetahui kenyataan ini
melalui kenangan ibu. Meskipun demikian, saya tetap mencintai dan
menghormati pak Kenji seperti dulu. Mungkin karena tak ada
siapapun yang bersikap baik kepada ibu dan saya seperti yang telah
dilakukan Pak Kenji.”
“Waktu itu ibu tidak mau memberitahu siapapun bahwa dia
sedang hamil. Hanya ada satu orang teman akrabnya saja yang tahu.
Dia tinggal di rumah kontrakan yang sama dengan ibu. Nenek dan
kakek saya tinggal di provinsi yang lain. Jadi kecil kemungkinan
bagi mereka untuk tahu tentang hal ini. Perasaan ibu waktu itu
sangatlah gundah, seperti hari mendung akan turun hujan. Ibu tak bisa
makan dan tidur. Hatinya sangat risau memikirkan bagaimana cara
dia menyelesaikan masalah ini. Rasa takut datang dan menciutkan
hatinya. Ibu takut dimarahi oleh orangtuanya apabila orang tuanya

บหุ ลันวรรณกรรม 291

sampai tahu tentang kenyataan ini. Dia juga takut akan dihina
orang-orang karena hamil tanpa suami. Perasaan takut, bingung
campur aduk di dalam hatinya. Akhirnya, ibu minum obat tidur yang
jumlahnya melebihi dosis. Beruntung karena teman ibu memergokinya,
lalu membawanya ke rumah sakit. Ibu bisa diselamatkan, demikian
juga bayinya.”
“Pada waktu itu ibu minta cuti kerja beberapa minggu. Hal
itu membuat ayah khawatir…hem maksud saya adalah pak Kenji. Pak
Kenji adalah teman sekerja ibu. Dia sudah lama kenal dan mencintai
ibu. Tapi ibu menganggap dia sebagai teman baik saja. Pak Kenji
penasaran dengan menghilangnya ibu dari tempat kerja karena
biasanya ibu adalah orang yang rajin. Dia tak pernah cuti kerja untuk
pergi kemanapun. Pak Kenji memutuskan datang ke rumah kontrakan
ibu, hingga dia bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tak berapa lama
kemudian dia kembali ke rumah ibu lagi, dan mengatakan bahwa dia
siap untuk menjadi ayah untuk bayinya dan juga dengan senang
hatiakan merawat ibu. Ibu menolaknya karena ibu tak mau dia harus
bertanggung jawab terhadap apa yang tak dia lakukan. Tapi setelah
itu pak Kenji sering mengunjungi ibu, dan tak putus asa menyampaikan
kesungguhan hatinya. Ibupun mulai lunak dan melihat ketulusan
hatinya. Akhirnya ibu bersedia untuk menikah dengan dia.”
“Ketika saya lahir, pak Kenji merawat saya dengan baik, dia
mencintai saya seperti anak kandungnya sendiri. Ketika usia saya
hampir satu tahun, mereka berdua mulai tahu kalau saya tak bisa
berbicara. Ibu berpikir ini pasti efek dari ibu minum obat tidur sampai
over dosis pada waktu itu. Perasaan bersalah selalu tersimpan di dalam
hatinya, saya bisa merasakannya. Sewaktu saya melihat kenangan ini

saya menangis dan marah kepada ibu. Namun tidak lama kemudian,
saya bisa memahamnya karena kejadian yang harus ibu hadapi saat
itu, pastilah suatu kejadian yang sangat mengerikan dan menyakitkan.”
Keiko terdiam dan matanya mulai memerah. Tak lama kemu-
dian suaranya kembali lagi terdengar ke dalam kepala saya.
“Pada suatu waktu saya pernah ingin menyampaikan tentang
perihal ini kepada ayahmu agar dia mengetahuinya. Saya ingin agar
ayah kamu tahu bahwa ada seorang perempuan Jepang yang tak
pernah bisa melupakannya. Lebih daripada itu, dia mempunyai seorang
anak perempuan di Jepang. Saya berusaha memusatkan pikiran saya
untuk mencarinya. Dengan cara itu saya bisa berkomunikasi
dengannya. Waktu yang saya gunakan untuk mencarinya cukup lama,
sampai akhirnya saya bisa bertemu dia. Saya menceritakan semuanya
kepada dia melewati batin. Saya harus betul-betul harus berkonsentrasi
karena dia tinggal di Thailand. Hal itu menjadikan saya menjadi lemah
dan semakin susah berkomunikasi dengan dia. Kesadaran saya mulai
berkurang, tiba-tiba semuanya menjadi hilang.”
“Ketika siuman kembali, saya sudah terbaring di rumah
sakit. Ibu berkata bahwa saya tak sadar diri selama 2 hari. Saya tidak
tahu bahwa berkomunikasi batin dengan orang yang berjauhan akan
menjadikan badan menjadi lemah. Namun pada saat saya selesai
menjalani proses penyembuhan di rumah, dan fisik saya sudah mulai
bugar seperti sedia kala, saya barulah bisa merasakan kalau Kevin
sudah tidak ada lagi. Dia…sudah meninggal dunia.”
Sampai di sini saya mulai mengerti semua kejadiannya.
Sulit untuk dipercaya bahwa semua ini suatu kenyataan. Keiko menarik
nafas dalam-dalam, menahan perasaannya yang mulai bergejolak.

บุหลนั วรรณกรรม 293

Dengan air mata yang mulai berlinang, dia memegang tangan saya
lebih erat
“Ya, seperti yang kamu ketahui, aku terlalu banyak memakai
tenaga batin sehingga mengakibatkan ayahmu terkena serangan jantung.
Saya… saya…. saya minta maaf ya! Saya tak sengaja semuanya akan
seperti ini. Saya sungguh-sungguh minta maaf.” Air matanya
bercucuran di pipi Keiko, suaranya terputus-putus karena mau
menangis. Saya pun mulai melihat wajahnya tidak jelas, karena
wajahnya mulai tertutup oleh air mata.
“Saya…saya selalu merasa bersalah walau kami tak pernah
bertemu tapi bagaimanapun juga dia adalah orang membuat aku
terlahir di dunia ini. Saya …saya sungguh-sungguh minta maaf
kepadamu”
Saya berusaha untuk menahan diri agar tidak emosional,
berusaha menyimpan rasa bingung, marah, benci di dalam hati. Dada
saya terasa sesak, lengan dan kaki saya tidak ada tenaga, seolah-olah
darah berhenti mengalir dalam tubuh.
“Saya tak pernah bercerita kepada ibu kalau saya sudah tahu
semuanya. Dan ibu sendiri tak pernah bercerita tentang Kevin kepada
saya, sepertinya ibu mau menyimpan masa lalunya sendiri. Dia tidak
ingin saya tahu tentang jati diri saya yang sebenarnya. Tetapi saya
tak marah pada ibu, saya paham ibu tak mau mengungkit luka lama
untuk menyakitinya kembali. Ibu juga ingin menyimpan kenangan
yang indah dengan Kevin untuk dirinya sendiri saja.”
Sekarang air mata sayalah yang mulai bercucuran di pipi. Saya
memejamkan mata, lalu gambar kejadian hari itu muncul dalam benak
saya. Gambar mayat ayah di atas tempat tidur rumah sakit. Suatu

294 Bulan Sastra

gambar yang tidak pernah saya khayalkan sebelumnya pun juga
tiba-tiba muncul di depan saya.
Gadis yang berdiri di depan saya ini adalah orang yang
menyebabkan ayah saya meninggal dunia.
Keiko memegang tangan saya dengan erat, tapi saya menarik
tangan saya. Saya lalu berjalan keluar dari restoran karena saya tak
ingin berhadapan dengan orang yang mencelakai ayah. Saat berada di
depan restoran, saya menoleh ke kiri dan ke kanan. Ada banyak orang
yang berlalu lalang. Waktu itu wajah saya penuh dengan air mata
sehingga saya tidak mampu melihat segala sesuatu dengan jelas.

Apa yang harus saya lakukan? Gadis ini yang pembunuh
ayah saya. Gadis ini yang menghancurkan keluarga saya. Gadis ini
yang menghancurkan semuanya. Tapi…tapi dia masih sedarah dengan
saya. Bahkan, setiap kali saya melihat wajah dan mata Keiko,
seolah-olah ayah kembali muncul di depan saya.
Saya menarik nafas dalam-dalam dan menghapus air mata
dengan telapak tangan, lalu saya mencoba menata diri. Waktu
berkomunikasi batin dengan Keiko dan mendengar cerita dari Keiko,
apa yang ayah rasakan? Mungkin ayah bergembira karena mendapat
satu orang anak perempuan. Atau mungkin ayah merasa sangat shock,
karena ayah berpikir ayah lah telah menyengsarakan hidup Miyama,
sampai-sampai Miyama memutuskan ingin bunuh diri. Atau mungkin
ayah merasa menyesal dan bersalah kepada ibu. Saat mengetahui
kenyataan yang terjadi pada dua puluh tahun yang lalu, mungkin
membuat perasaan ayah menjadi sangat kacau. Kenangan masa lalu
yang terkubur dalam-dalam di dalam hati tiba-tiba menguak ke
permukaan. Seandainya ayah belum meninggal dunia, mungkin dia

บุหลนั วรรณกรรม 295

akan merasa bersalah seumur hidupnya.
Ketika hati mulai tenang, saya kembali masuk ke dalam
restoran. Keiko masih duduk di kursinya, matanya yang penuh dengan
air mata, memandang dengan tatapan kosong. Ketika dia sadar bahwa
saya kembali, dia menoleh seraya beranjak dari kursi. Matanya yang
merah menatap saya. Mata itu mencerminkan kesedihan dan perasaan
bersalah karena dia telah mengirimkan suara batinnya ke dalam
kepala saya. Saya lalu memeluk dirinya.
“Semuanya akan baik-baik saja.” Saya membisiki telinganya
“Biarkanlah Keiko, biarkan saja! ”
Keiko memeluk saya erat-erat sambil menangis terisak-isak
hingga badannya sempoyongan. Kejadian ini membuat orang-orang
yang ada di dalam restoran itu memandang ke arah kami. Tapi saya
pun tak memperdulikannya karena saat itu saya merasa di tempat itu
hanya ada kami berdua saja. Di benak saya, ada banyak pikiran dan
perasaan yang ingin saya sampaikan kepada Keiko tapi mulut saya
terasa kelu tidak bisa berbicara sepatah katapun.
Tapi itu bukan masalah karena Keiko bisa tahu apa yang
tersimpan di dalam hati saya.
Setelah kami duduk kembali di kursi, saya mengambil sapu tangan
untuk menghapus air mata. Keiko juga demikian, dia juga mengambil
sapu tangan dan menghapus air matanya. Pada saat yang sama
Miyama pun masuk kembali ke dalam restoran.
“Mohon maaf sekali, saya pergi lama. Tadi di kamar kecil
wanita, banyak orang yang mengantri.” Miyama berkata sambil
melihat jam tangannya. “Sudah sampai waktunya kami harus pergi.
Ayolah Keiko!”

296 Bulan Sastra

Kami memanggil pelayan untuk membayar harga makanan.
Saya menawarkan diri untuk menjamu mereka. Miyama mengucapkan
terima kasih. Saya bersenyum seraya menjawab “Dengan senang hati”.
Dalam hati saya berharap agar dia tidak melihat air mata di pipi kami
yang baru saja kering.
Saya mengatar Miyama dan Keiko sampai di depan pintu
imigrasi. Kami saling berjabat tangan dan berpamitan. Miyama
berkata kapanpun saya berencana pergi ke Jepang, dia minta untuk
dikabari. Saya meng-iyakannya. Mereka membungkukkan badan
sebagai wujud penghormatan ala Jepang, lalu masuk ke pintu
imigrasi.
Sebelum kedua hilang dari pandangan mata, Keiko menoleh
dan memandang saya sekali lagi.
“Meskipun pertemuan ini hanya dalam waktu yang singkat,
tapi saya ingin mengucapkan terima kasih untuk semuanya kak.”
Dia bersenyum kepada saya dan menghormat kepada saya
satu kali lagi. Setelah itu mereka hilang dari pandangan saya.

7.
Pada malam harinya, di hari yang sama, saya berdiri dan
memandangi buku-buku tersebut untuk beberapa waktu. Yaitu
buku-buku yang ada di lemari buku milik ayah.
Buku-buku yang berjumlah lebih dari 30 buah di dalam rak
itu adalah buku-buku yang berhubungan negara Jepang. Ada buku
tentang sejarah, sastra, kebudayaan, objek wisata maupun buku tentang
pelajaran bahasa Jepang.

บุหลันวรรณกรรม 297

Kenapa ayah sampai punya buku tentang Jepang sebanyak
ini? Saya pikir saya sudah mendapat jawabannya.
Tetapi saya tak bisa menjawab pertanyaan diri sendiri. Apakah
saya marah kepada bapak atau tidak? Karena kejadian ini adalah
suatu kejadian yang terjadi pada masa lalu. Jadi tidak akan ada
gunanya apabila diungkit-ungkit lagi. Kenangan ini mungkin saja
sudah terbakar menjadi abu bersamaan dengan dibakarnya jazad ayah.
Kalau saja saya tidak mengambil buku itu secara kebetulan lalu mem-
bacanya.
Tetapi apakah kejadian ini hanya kebetulan saja?
“Katha…ayo makan malam!” Ibu berteriak dari dapur.
“Ya ibu, tunggu sebentar !” saya menjawab dengan berteriak
juga.
Saya memutuskan untuk tidak menceritakan perihal ini
kepada ibu. Biarlah semuanya tetap menjadi masa lalu. Tidak
perduli apakah itu kenangan yang manis ataupun kenangan yang
pahit. Saya mengambil buku itu dari dalam lemari satu kali lagi. Foto
Miyama yang berada di dalam tangan saya itu, lalu saya masukkan
kembali ke dalam buku di tempat semula. Saya baru memperhatikannya,
ternyata buku yang digunakan untuk menyimpan foto Miyama itu
adalah buku kesusastraan Jepang yang diterjemahan ke dalam
bahasa Inggris dengan judul Beauty and Sadness. Buku ini karya
Yatsunari Kawabata. Dia adalah penulis Jepang pertama yang
mendapat hadiah Nobel Sastra. Sayangnya saya belum tahu isi buku
ini tentang apa. Kapan-kapan saya akan membacanya.
Saya memandangi buku itu sekali lagi, sebelum memasukannya
ke lemari seperti semula.

298 Bulan Sastra

8.
Benda itu adalah sebuah lemari permanen yang panjangnya 3 meter
dari sisi dinding ke sisi dinding satunya. Pada setiap raknya dipenuhi
dengan bermacam-macam buku baik yang berbahasa Thai dan Inggris.
Pada beberapa raknya, buku-buku itu ditata berdasarkan kategori
bukunya ataupun penulisnya. Namun di beberapa rak, ada buku-buku
yang ditata secara campur aduk, tidak ditata secara khusus.
Waktu sekarang ini saya baru menemukannya bahwa
beberapa rak dapat menyimpan suatu kenangan yang kabur tapi tetap
ada di dalam hati untuk selamanya.

Gadis dengan Seragam
เด็กสาวกบั ชดุ นกั เรียน

Kla Samudavanija
Diterjemahkan oleh Hamam Supriyadi

Baju seragam sekolah itu pertama kali ditemukan oleh di
dalam lemari baju. Baju seragam itu tergantung dan tercampur dengan
baju seragamnya yang lain. Pada pagi hari sewaktu dia mengambil
seragam sekolah di lemari pakaian untuk dipakainya ke sekolah, secara
sekilas, dia melihat ada seragam sekolah yang asing baginya juga
berada di dalam lemari pakaiannya.
Pada sore harinya, dia lalu menenteng baju seragam sekolah
itu untuk ditunjukkan kepada “Bibi Jong”, pembantu rumah tangga
dalam keluarganya. “Ini bukan seragamku Bi!” Kata Nisara.
“Lho kok bisa?” Jawab bibi Jong dengan perasaan bingung. “Bibi
melihat baju ini jatuh di lantai halaman di bawah balkon. Bibi pikir
itu punya non Nisara. Jadi bibi lalu mencuci dan menyeterikanya. Bibi
sendiri merasa aneh karena seragam ini tidak sama dengan seragam
sekolah yang lain milik nona.” “Namun saya pikir ini seragam
model lain yang akan nona kenakan pada hari-hari khusus.

300 Bulan Sastra

Seragam sekolah itu tentu saja bukan baju seragam
sekolahnya, karena seragam sekolah SMA-nya adalah baju putih yang
tidak ada bordiran apapun. Yang ada hanyalah pin sekolah saja
sebagai perlengkapannya. Adapun baju yang ditemukan itu adalah baju
seragam dengan model kerah “kelasi”, seperti seragam sekolah yang
dikenakan oleh siswi SMP pada umumnya. Namun perbedaannya yang
menyolok apabila dibandingkan dengan seragam sekolah negeri
adalah seragam itu berlengan panjang, pada bagian dada sebelah kiri
ada bordiran huruf Thai “สร (so – ro)” dan nomor “1932”. Nomor itu
mungkin merupakan nomor induk dari siswa yang mengenakannya.
Seragam ini datangnya dari mana ya? Ataukah baju itu baju punya
tetangga sebelah yang diterbangkan angin? Namun saya rasa bukan.
Karena rumah di sebelah kiri rumahnya adalah rumah suami istri yang
punya bisnis impor dan berdagang mainan anak-anak lewat internet.
Selain itu sudah beberapa bulan dia tidak pernah melihat mereka
berdua. Hal itu karena rumah mereka lebih banyak dipergunakan
sebagai tempat penyimpanan dagangan daripada digunakan sebagai
tempat tinggal. Sementara rumah yang berada di sebelah kanannya,
meskipun mereka adalah pasangan muda, tapi anak perempuan
mereka masih berumur sekitar 4 sampai 5 tahun, tidak akan lebih dari
usia ini. Jadi tidak mungkin akan menjadi pemilik seragam sekolah
ini.
Meskipun Nisara tidak bisa tahu dari mana datangnya baju
tersebut, tetapi dia tidak berpikir untuk membuangnya karena
mungkin suatu waktu pemiliknya akan datang mencarinya. Oleh

บุหลันวรรณกรรม 301

karena itu, dia melipatnya dengan rapi dan memasukkannya ke dalam
kantong plastik zip lock. Baju itu disimpan di dalam laci almari
pakaian yang berada di bagian tengah, yang biasanya digunakan oleh
anggota keluarga untuk menyimpan baju hangat, jas, ataupun pakaian
yang jarang-jarang dipakai.
Nisara mungkin sudah lupa akan seragam itu, jika saja tidak ada
pakaian lain yang tidak tahu asal-usulnya dia temukan di depan balkon
kamar tidur yang biasanya dia pergunakan untuk menjemur pakaian
dalam yang harus dicucinya sendiri. Pakaian itu adalah sebuah
celana dalam terbuat dari kain katun tipis berwarna putih. Meskipun
Nisara mempunyai celana dalam yang mirip dengan celana itu, tapi
celana dalam itu pasti bukan miliknya. Dia tidak pernah memakainya,
karena selain ukurannya lebih kecil daripada ukuran yang
dipakainya, celana dalam itu memakai jenis kain katun yang tipis dan
menerawang. Maka dia yakin bahwa celana itu bukan miliknya. Pada
awalnya gadis kecil itu akan menanyakan siapa pemilik celana itu
kepada pembantunya, tapi dia berubah pikiran. Dengan menggunakan
penggaris dia mengais celana misterius itu, dan membuangnya ke
dalam tempat sampah. Pada saat melakukan itu dia merasa jijik dan
bulu kuduknya berdiri semua.
Dia berjalan menuju ke lemari baju tempat dia menyimpan
seragam sekolah yang diketemukannya waktu yang lalu. Dia
berprasangka bahwa pakaian dalam dengan seragam sekolah itu
adalah milik orang yang sama. Tetapi pada waktu dia membuka lemari
laci itu dia tidak dapat menemukan seragam sekolah itu lagi. Dia

302 Bulan Sastra

mencoba mencarinya di tempat lain, tetapi tidak dia temukan juga.
Saat itu Nisara merasa ada sesuatu yang janggal terjadi di rumahnya.
Meskipun Nisara tidak punya banyak kesempatan tinggal bersama
keluarganya seperti keluarga-keluarga yang lain, tetapi Nisara pun
tidak pernah berpikir bahwa keluarganya sedang punya masalah
apapun. Hal itu bisa jadi karena dia bisa memahami kekurangan dan
keinginan dari masing-masing anggota keluarga. Jika dilihat dari
golongan sosial, keluarganya adalah termasuk keluarga tingkat sosial
menengah. Ayah Nisara adalah gubernur di salah satu provinsi di
utara Thailand. Ayah Nisara menginginkan keluarganya tinggal di
Bangkok. Beliau tidak ingin keluarganya pindah mengikutinya
karena beliau ingin mereka hidup dengan nyaman di ibu kota. Bahkan
ayahnya ingin anak-anaknya bisa masuk sekolah yang terbaik.
Harapannya tidak sia sia karena Nisara bisa diterima di SMA yang
tertua dan terbaik di kota Bangkok. Ibunya juga merupakan salah
seorang tamatan dari sekolah itu juga. Sementara itu Ninat, adik
lelakinya bisa diterima di sekolah lain yang mutunya juga baik. Ayah
Nisara, biasanya pulang ke Bangkok dua kali per bulan.
Kadang-kadang pulang lebih dari dua kali, apabila beliau ada urusan
yang penting atau ada urusan kedinasan.
Sama halnya dengan ibu Nisara, beliau juga jarang ada di
rumah. Semenjak mengajukan pensiun dini dari sebuah kantor bank
ternama, beliau banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan
kegiatan kerohanian bersama dengan teman-temannya. Mereka suka
bepergian di berbagai tempat di luar kota untuk mengikuti kegiatan

บุหลันวรรณกรรม 303

Darma yang bertujuan dalam peningkatan ketenteraman pikiran.
Kalau dihitung-hitung dalam satu bulan, hampir 20 hari Nisara dan
adik laki-lakinya tinggal sendiri ditemani bibi Jong, pembantu rumah
tangga yang dapat diandalkan karena sudah sangat lama dia bekerja
pada keluarga ini. Keluarga Nisara tinggal di sebuah rumah besar
yang berada di sebuah komplek perumahan yang lokasinya ada di
dalam kota. Komplek perumahan ini mempunyai sistem pengamanan
yang sangat baik. Jadi tidak perlu kuatir dengan ancaman kejahatan
yang datangnya dari luar perumahan. Nisara sendiri merupakan anak
yang baik dan mampu menjaga dirinya. Jadi ayah ibunya tidak pernah
merasa kuatir saat meninggalkannya di rumah.
Namun kali ini Nisara merasa tidak mampu mengatasi
masalah ini sendiri. Dia menginginkan kehadiran seseorang untuk
dapat membantunya dalam mengatasi rasa takutnya terhadap dua
potong pakaian yang muncul secara misterius di dalam rumah
mereka.
Bagaimana dengan adik lelakinya? Apakah dia bisa
membantunya? Nisara mengakui bahwa akhir-akhir ini, atau tepatnya
dimulai semenjak adiknya naik di kelas tiga SMP, hubungan dia de-
ngan adiknya seolah-olah dibatasi dengan sebuah tembok pembatas,
jarang mengobrol bersama. Hal itu bukan berarti mereka bermusuhan.
Karena hingga saat ini adiknya masih mendengarkan nasehat kakak
perempuannya. Adapun perubahannya adalah, setelah ulang tahun
yang ke-15, adiknya menjadi semakin pendiam. Kegiatan favorit yang

304 Bulan Sastra

dahulu suka dilakukannya, misalnya main video game atau melihat
film kartun Jepang, kini mulai berkurang, bahkan hampir ditinggalkannya.
Sekarang dia lebih suka mendekam di kamarnya untuk membaca
bacaan-bacaan serius.
Nisara teringat, waktu itu ada buku yang dikirim ke
rumahnya. Ada nama adiknya sebagai penerima buku tertulis di atas
amplop paket itu. Seperti biasanya, Nisara membuka paket buku itu.
Kali ini isinya adalah sebuah buku jurnal ilmu sosial.
“Bukankah buku ini buku yang dilarang beredar?” Nisara
bertanya pada adiknya.
“Akh ….Isinya kan hanya tentang masalah hukum teknik
aja.” Dia menjawab sekenanya setelah beberapa saat terdiam. Dia lalu
menjawab lagi “Bisa jadi, walaupun buku itu dilarang untuk
diperdagangkan, tapi mungkin tidak dilarang untuk dimiliki oleh
seseorang?”
“Terserah kamulah, tapi membaca buku apapun jangan langsung per-
caya pada isinya!” Nisara mengingatkan. Adik diam tanpa ada ban-
tahan sedikitpun, Nisara merasa peristiwa itu merupakan satu penyebab
semakin menjauhnya hubungan mereka.
Ketika teringat kepada adiknya, dia langsung memandang
kamar adiknya yang berada di ujung. Kamar dia dan kamar adiknya
dipisahkan dengan kamar mandi yang mereka pergunakan berdua.
Nisara berjalan ke depan kamar adiknya, lalu masuk ke kamar
adiknya. Sebelum masuk kamar, secara otomatis dia melihat jam yang

บหุ ลันวรรณกรรม 305

terpasang di dinding depan kamar. Waktu menunjukkan pukul lima
lebih dua puluh tiga. Itu berarti belum sampai waktunya pemilik kamar
ini akan kembali dari sekolah. Secara sekilas dia teringat bahwa yang
akan dilakukan itu tidak semestinya dilakukan, karena dia akan
masuk ke kamar pribadi adiknya tanpa seijin pemiliknya. Namun
setelah dipikir-pikir, selaku wakil dari keluarga dia punya hak untuk
melakukannya untuk mengantisipasi terjadinya hal yang tidak
diinginkan.
Kamar adiknya sangat rapi tidak seperti kamar remaja
laki-laki lain. Di meja pelajar ada tumpukan buku yang diletakkan
di sisi komputer. Game play station ada di bawah TV. Dia melihat
buku-buku itu. Ada buku komik, buku game dicampur dengan novel
fiksi. Buku persiapan ujian akhir juga ada di situ. Selain itu Nisara
juga melihat ada majalah ilmiah dan buku saku dari penerbit yang
sama.
Nisara hampir saja keluar dari kamar itu kalau saja dia tidak
melihat sesuatu yang mencurigakan di dalam kamar adiknya. Nisara
melihat sesuatu yang tergantung di pegangan pintu lemari pakaian.
Itu adalah seragam sekolah milik anak perempuan!
Dia merasa keringat dingin membasah seluruh badannya,
mulai dari kepala sampai dengan mata kaki. Tenggorokannya pun
tiba-tiba terasa kering. Dengan berdebar dia berjalan mendekati lemari
pakaian itu.
Ya, seragam itu adalah seragam yang sama atau setidaknya
punya model yang sama dengan seragam yang dia temukan waktu itu.

306 Bulan Sastra

Sebuah seragam sekolah anak perempuan dengan tulisan SR. 1932.
Walaupun dia tidak begitu yakin dengan tulisan itu, tetapi dia yakin
bahwa model tulisannya sama dengan model tulisan yang pernah
dilihatnya. Nisara mencoba menyentuh baju itu. Baju itu hampir
kering, nampaknya baru saja dicuci.
Nisara sedikit gemetar ketika membuka lemari pakaian.
Selain seragam sekolah yang biasa dipakai adiknya, di dalam lemari
itu juga ada dua stel seragam sekolah anak perempuan dengan
model yang sama dengan yang tergantung di luar. Dia lalu membuka
laci lemari, pada laci di sebelah kanan ada pakaian dalam milik
adiknya. Lalu dia membuka laci yang di sebelah kiri, isinya di luar
dugaannya karena di dalam laci itu dia menemukan pakaian dalam
perempuan. Pakaian dalam itu tertata secara teratur, selain ada BH dan
celana dalam, di laci itu juga ditemukan dobelan seragam. Nisara
menarik tangannya dari laci itu dengan perasaan yang tidak menentu.
Dia yakin model celana dalam warna putih itu adalah sama dengan
celana dalam yang pernah dia temukan di balkon kamar tidurnya
waktu itu.
Walaupun pada akhirnya Nisara mendapatkan jawaban
tentang pakaian misterius itu, namun jawaban itu sekarang ini justru
memunculkan pertanyaan baru yang lebih berat dari sebelumnya.
Nisara menutup laci itu dengan memakai lutut kakinya. Kemudian
menutup kedua daun pintu lemari pakaian itu secara bersama-sama.
Lalu mengusap-usapkan kedua tangannya ke bokongnya, seolah-olah
dia sedang membersihkan diri dari kotoran yang menempel di

tangannya. Setelah itu dia keluar dari kamar adiknya dengan sisa
kekuatan dan kesadaran yang masih tersisa.
Nisara menulis permasalahannya itu ke dalam di sebuah web
rubrik kesehatan. Kemudian dia membaca komentar dari netizen yang
membaca rubrik itu. Ada sekitar 2-3 komentar yang menarik hatinya.
Komentar yang paling menarik adalah yang menulis bahwa adiknya
mungkin menderita Cross-dressing atau CD. Orang yang mempunyai
gejala ini suka memakai pakaian dan berdandan seperti layaknya orang
yang punya jenis kelamin yang berlawanan dengan sendirinya. Ada
juga yang berpendapat mungkin adiknya menginapkan seorang gadis
di dalam rumah. Namun orang yang berpikiran positif mengatakan
mungki sedang latihan akting, dan dalam pertunjukan drama itu dia
harus memerankan tokoh pelajar wanita. Adapun kelompok yang
berpendapat adiknya menderita CD, menyarankannya untuk melihat
ukuran seragam dan pakaian dalam yang diketemukan itu apakah
punya ukuran yang sama dengan ukuran pakaian adiknya. Apabila
sama, maka benarlah dugaan itu.
“Tidak perlu dilihat kembali” Dia bisa langsung menjawab-
nya dengan yakin karena seragam yang diketemukan itu ukurannya
lebih kecil dari pada ukuran pakaian adik. Pakaian seragam itu untuk
perempuan yang kecil dan langsing. Bahkan baju itu terlalu kecil
untuk dirinya. Apalagi untuk adiknya yang punya postur besar
seperti umumnya remaja berumur 15 tahun laki-laki yang suka berolah
raga. Maka dugaan kalau baju itu oleh adikknya disiapkan untuk
kostum bermain drama pun juga menjadi tidak mungkin.

308 Bulan Sastra

Kalau begitu, apakah mungkin adiknya membawa perempuan ke
rumah? Dia tidak percaya adiknya melakukan hal itu. Karena tidak
mungkin adiknya bisa masuk rumah kalau dia atau bibi Jong tidak
membukakan pintu. Karena dia sendiri yang membuat peraturan untuk
melarang adiknya memegang kunci rumah sendiri. Hal itu dilakukan
agar adiknya tidak bisa sembunyi-sembunyi keluar rumah.
Sementara itu kalau ada dugaan, mereka berjanji untuk ketemuan
setelah waktu tersebut, kemungkinannya juga kecil sekali. Karena
sistem keamanan komplek yang sangat ketat, jadi tidak diijinkan orang
luar masuk ke dalam komplek tanpa mendapat izin dari pemilik rumah
yang bersangkutan. Kalau dugaan ini benar, pelajar wanita itu tentu
juga tinggal di dalam komplek perumahan itu. Lalu pada malam hari
mereka sembunyi-sembunyi bertemu setelah dia dan bibi Jong tidur
lelap. Nisara merasa dugaan ini terlalu berlebihan.
Adapun orang yang membantu dia untuk mencari jawabannya
adalah seorang laki-laki, teman akrabnya. Nisara menceritakan
perihal adiknya pada temannya. Namun yang dia ceritakan itu bukan
kejadian yang sebenarnya. Dia bercerita bahwa dia merasa kuatir
adiknya melakukan perbuatan yang tidak baik atau merokok di dalam
kamar. Dia ingin menyelidiki hal itu tanpa sepengetahuan dari
adiknya. Pada waktu siang temannya memberikannya sebuah USB
flash drive kepadanya.
“Ini program super spy cam yang bisa merubah komputer
yang ada web camnya menjadi kamera CCTV. Jadi, nanti bisa
dipantau dari komputer kita ” Dia menjelaskannya.

บหุ ลันวรรณกรรม 309

Cara kerja program ini sangat canggih, yaitu apabila di-instal
pada komputer target, datanya langsung bisa ditransmisikan ke
komputer induk.
“Jangan-jangan kamu pernah memasangnya di komputerku
ya?” Nisara bertanya. Temannya tertawa tanpa menjawab. Nisara tak
bisa menahan kesabarannya lalu memukul perut temannya 2-3 kali.
Sampai di rumah Nisara langsung memasang program itu di
komputer adiknya dan juga di komputernya. Setelah selesai dia
mengetesnya. Dia merasa yakin bahwa program ini telah bekerja
dengan baik.
Makan malam hari itu berlangsung dengan hening. Adik
Nisara membaca suatu majalah sambil menyuapkan Pad Thai udang
segar masakan bibi Jong ke dalam mulutnya. Sementara itu dengan
sembunyi-sembunyi Nisara berkali-kali memandangi adiknya.
Berkali-kali dia berimajinasi adiknya mengenakan seragam sekolah
anak perempuan. Seusai makan Nisara cepat mandi dan mengenakan
pakaian. Setelah itu dia menghidupkan komputernya dan membuka
program spy cam yang sudah terhubung dengan komputer adiknya.
Dia kaget ketika tiba-tiba wajah adiknya muncul di layar
komputer. Dia berpikir mungkin adiknya sedang membuat pekerjaan
rumah. Adiknya menatap layar komputer dan mengetik di keyboard
secara bergantian. Dari gerak-geriknya, dia sedang membuka website
chat. Nampaknya dia sedang mengobrol. Ekspresi wajahnya
biasa-biasa saja. Kadang-kadang raut mukanya kelihatan kalau dia
sedang berpikir. Nisa beranjak untuk duduk di atas tempat tidur dan

310 Bulan Sastra

terus memantau adiknya dari layar komputernya.
Dua puluh menit berikutnya, adiknya bangkit dan membuka
seragam sekolahnya. Dilanjutkan dengan membuka kaos oblong
warna putih. Setelah itu dia melepas celana sekolahnya yang
berwarna hitam, dilanjutkan dengan mencopot celana dalamnya.
Nisara yang sedang memantau dari komputernya segera menutup
matanya sesaat sebelum adikknya melorotkan celana dalamnya. Dia
mengambil handuk dan melilitkan pada pinggangnya. Setelah itu,
Nisara mendengar suara pintu dibuka dan mendengar suara orang
berjalan dan membuka pintu kamar mandi yang ada di sebelah
kamarnya. Setelah itu dia mendengar suara gemercik air. Nisara
mencoba untuk menelan air ludah untuk mengatasi rasa gugupnya.
Adiknya menggunakan waktu kira-kira 30 menit untuk mandi.
Dia kembali ke kamarnya dengan membawa pakaian ganti yang
berupa kaos oblong tua dan memakai celana sepak bola. Nisara tak
sempat menghindarinya, pada saat adikknya melepas handuk dan akan
mengenakan celana. Dia melihat telah terjadi perubahan fisik pada
adiknya. Kini adikknya telah menjadi lelaki seutuhnya, berbeda
dengan kenangan tentang adikknya sewaktu masih kecil, berlari me-
ngitari rumah tanpa pakaian.
Nisara berpikir akan menutup program yang menyebalkan
ini. Tetapi perasaan ingin tahu tentang hal yang sebenarnya kembali
berkecamuk di kepalanya. Maka tidak jadi menutup programnya, lalu
melanjutkan pantauannya.
Dalam layar muncul gambar adiknya sedang tidur terkurap

บหุ ลันวรรณกรรม 311

sambil membaca buku. Dia memandang komputer yang dia pikir dia
telah mematikannya. Dia meletakkan buku di atas kasur dan mulai
pelan-pelan membacanya. Nisara tidak tahu buku apa yang sedang
dibaca oleh adiknya. Nisara tanpa berkedip memantau kelakuan
adiknya itu. Waktu berjalan sampai berapa lama tidak ada yang tahu,
hingga adiknya berjalan dan mematikan lampu utama, yang tersisa
hanya lampu belajar yang sinarnya warna kuning yang ada di atas
meja belajar, di dekat komputer. Hal itu membuat gambar dalam web
cam buram, maka perlu dirubah settingannya agar kelihatan lebih
jernih. Sekarang gambar yang muncul dalam layar adalah gambar
yang berwarna merah dan agak kabur. Namun gambar tersebut masih
cukup jelas untuk suatu pemantauan.
Adik laki-lakinya lalu membuka lemari pakaian. Dia
mengambil seragam sekolah perempuan. Satu persatu, dia menempatkan
semua bagian seragam itu ke tempat tidur. Waktu melihat kelakuan
adiknya, Nisara menelan ludah dan merasa sangat berdebar-debar.
Tidak lama lagi, dia akan mendapatkan jawaban tentang kecurigaannya
selama ini. Adiknya menata pakaian itu di atas tempat tidur. Mulai
dari baju di bagian atas dan rok di bagian bawah. Lalu memasukkan
BH, lalu baju rangkapan ke dalam baju seragam itu, lalu memasukkan
celana dalam di dalam rok. Kemudian menempatkan kaos kaki putih
di bawah rok seragam warna biru tua itu. Semua gerakan di itu
dilihat oleh Nisara dengan setengah sadar dan setengah tidur.
Gambar itu seperti bayangan dalam sinar infra red yang kualitasnya
memburuk melalui program webcam. Adiknya kemudian merebahkan
badannya di samping pakaian seragam itu. Sambil memejamkan mata,

312 Bulan Sastra

tangan kanannya perlahan-lahan menyentuh di bagian kiri seragam
yang ada tulisan dan nomornya. Tangan satunya memegang dadanya
sendiri. Gerakan itu dilakukannya secara terus menerus. Nisara
semakin heran sewaktu melihat seragam itu perlahan-lahan mulai
bergerak seperti melayang. Nisara segera bangkit dari tempat tidur
untuk melihat di layar apakah seragam itu betul-betul melayang. Tapi
tidak, seragam itu tidak melayang tapi menggelembung seperti sebuah
balon sedang diisi angin. Seragam itu menggelembung sebesar
ukuran manusia. Dia seperti bermimpi karena peristiwanya sangat
cepat. Dari layar komputer nampak ada tangan dan kaki keluar dari
seragam itu. Selain itu juga menyembul sebuah kepala yang
berwarna merah, seperti warna teh yang belum dicampur dengan susu.
Pada akhirnya seragam itu menjema menjadi seorang gadis langsing
yang tidur di samping adiknya. Adiknya lalu mencium bibir gadis
yang tidur di sampingnya. Lalu keduanya bangkit dan berdiri, lalu
berpelukan. Nisara melihat adiknya membelai rambut merah tua
milik gadis dalam seragam itu dengan penuh kasih sayang. Gadis itu
lalu berdiri tegak. Gambar yang terlihat dalam layar adalah seorang
gadis misterius itu lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan adiknya.
Tingginya kira-kira 170 cm. Postur tubuhnya langsing. Meskipun dari
camera yang pencahayaannya kurang, dapat dilihat gadis itu berkulit
putih. Berambut panjang semampai sampai ke punggung. Wajahnya
cantik. Nisara melihat bahwa gadis yang muncul dari baju seragam
itu adalah gadis blasteran bule.
Adiknya lalu mengambil buku yang dibacanya tadi. Gadis
itu lalu berjalan mendekatinya, lalu ikut duduk di sampingnya.

บุหลนั วรรณกรรม 313

Mereka membaca buku itu bersama-sama. Mereka berbicara dengan
berbisik-bisik. Nisara tidak bisa mendengar pembicaraan mereka,
karena program web cam itu tidak mampu mentransmisikan suara.
Dia berusaha membaca judul buku itu dari sampul luarnya, tapi tetap
saja dia tidak bisa melihatnya karena keterbatasan kemampuan
kamera dan pencahayaannya. Secara bergantian jari mereka
menunjuk ke arah beberapa bagian dari buku. Kepala mereka saling
beradu dengan mesra. Adiknya lalu mencium bibir gadis misterius itu
sekali lagi. Gadis itupun kemudian memegang tangan adiknya itu, lalu
membimbingnya untuk memegang dadanya, kemudian menekankan
tangan adiknya ke buah dadanya. Gadis misterius itu, lalu memejamkan
matanya dan membelakangkan kepalanya hingga badannya terbaring
di atas tempat tidur dengan rambut yang terurai memenuhi tempat
tidur. Perlahan-lahan gadis itu mulai membuka kancing bajunya satu
per satu. Setelah terbuka semuanya, dia mulai melepas baju
seragamnya, diikuti melepas pakaian dalamnya lalu melempar
semuanya ke bawah.
Nisara menelan air ludah ke kerongkongannya dengan
perlahan-lahan. Dada gadis yang muncul di layar itu tidak begitu
besar. Sepertinya layaknya dada milik remaja. Kelihatan juga puting
panyudaranya pun masih kecil. Itu artinya bahwa dia masih belum
tumbuh menjadi wanita dewasa sepenuhnya. Sementara itu Nisara
yang menyaksikan adegan itu dadanya terasa berdegup dengan keras
sampai terdengar detak jantungnya jelas terdengar. Gadis dalam layar
itu kemudian memasukkan tangannya ke dalam roknya, lalu melorot

314 Bulan Sastra

celana dalamnya dan melemparkannya. Sementara adk laki-laki itu
kemudian melorotkan celana sepak bolanya dan menutup tubuh
bagian bawahnya dengan selimut. Setelah itu dia mendekat ke arah
gadis yang tinggal memakai rok saja. Mereka kemudian bergumul
dan bercinta di atas tempat tidur dengan penuh gairah. Setelah
berakhir, suasana menjadi senyap dan tempat tidur adiknya juga sudah
berhenti bergoyang. Beberapa saat kemudian, gadis itu bangkit dari
tempat tidur dan berdiri. Saat itu nampak jelas dalam pandangan
Nisara bahwa gadis itu masihlah sangat muda. Setelah menutup
auratnya dengan handuk putih, adiknya pun segera mengambil handuk
dengan warna yang sama dan menyelimutkan ke tubuh gadis itu.
Gadis itu lalu berjalan ke luar dari kamar. Suara kamar terbuka dari
ujung koridor rumah terdengar dengan jelas. Nisara ingin juga keluar
dari kamar. Dia ingin melihat gadis itu langsung dengan mata kepala
sendiri. Namun tiba-tiba dia tidak bisa menggerakkan kakinya. Kaki
itu seolah-olah dibelenggu. Dia akhirnya merebahkan diri di atas
tempat tidur. Kini yang bisa dia lakukan adalah hanya mendengarkan
suara. Mulai dari suara langkah kaki ke arah kamar mandi. Lalu
suara kamar mandi dan ditutup lagi. Sesaat kemudian sayup-sayup
dia mendengar suara gemercik air seperti suara rintik hujan di luar
rumah. Suara itu terus terdengar sehingga dia jatuh tertidur.
Pada pagi hari, Nisara bangun seperti biasanya. Dia langsung
melihat komputernya , tapi komputernya sudah padam, karena dia
memasang program padam otomatis sesuai waktu yang diinginkan.
Nisara kemudian pergi ke kamar mandi untuk melaksanakan hajat

บุหลนั วรรณกรรม 315

rutin yang selalu lakukan pada pagi hari. Pagi ini lantai kamar mandi
kering dan dingin seperti biasanya. Nisara lalu melorotkan celana
tidurnya dan duduk di atas jamban. Namun pada saat dia menyentuh
kain celananya, dia merasa malu sehingga mukanya menjadi merah
padam. Dia lalu melepas celananya, dan segera melemparkannya ke
dalam ember kecil yang disediakan untuk mencuci pakaian. Setelah
itu dia melepaskan semua pakaiannya dan langsung mandi.
Air mengucur dari shower dan membasahi seluruh tubuhnya. Pada
saat air menetes dan membasahi lantai kamar mandi, air juga
menghanyutkan rambut yang berwarna coklat tua yang tercecer di
lantai kamar mandi masuk ke dalam saluran pembuangan air.


Bangkok, Maret 2011

Cerpen Indonesia

บหุ ลนั วรรณกรรม 317

Klub Solidaritas Suami Hilang

Intan Paramaditha

Berbaju hitam, semua orang termasuk dirimu duduk
membentuk lingkaran. Kau mulai menghafal beberapa nama:
Carmencita dari Mexico, Soonyi dari Korea Selatan, dan Andy yang
lahir di Boston. Doña Manuela, perempuan Argentina tinggi
gempal berumur enam puluh lima, adalah pendiri perkumpulan.
Ia terus mendengarkan sambil mengelap bingkai foto, kotak musik,
atau koleksi miniatur rumahnya. Kecuali dirimu, seluruh anggota
bermukim di Los Angeles. Namun di ruang tamu Doña Manuela,
perbatasan mesti dilewati demi perjalanan ke belakang. Menelusuri
ingatan dari Tijuana hingga Laut Cina Timur, Klub Solidaritas Suami
Hilang adalah sebuah klub internasional.
Kau tak mengira kota dengan sistem transportasi umum yang
buruk bisa mengantarmu ke sana. Namun bukan pada Los Angeles
kau berutang, melainkan sebuah toilet di kantor polisi.
Seorang polisi perempuan mencatat perihal kehilangan
suamimu. Alisnya berkerut saat kau sebutkan beberapa ciri

318 Bulan Sastra


Click to View FlipBook Version