The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

หนังสือบุหลันวรรณกรรม

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search

หนังสือบุหลันวรรณกรรม

หนังสือบุหลันวรรณกรรม

Keywords: บุหลันวรรณกรรม,วรรณกรรม

kembali. Kesimpulannya banyak yang masih kebingungan dengan
apa yang terjadi sejak kekacauan di awal tadi hingga akhirnya
mereka menemukan tubuh kakek Phrom pingsan di antara jerami.
Waktu sudah sore, langit masih cerah, awan melayang menghiasi
langit dengan indahnya bagaikan kebahagiaan menghampiri dunia yang
sangat bertolak belakang dengan beberapa jam sebelumnya.
Sebelumnya desa ini bagai terisolasi dari dunia luar. Akhirnya
beberapa orang warga mengantar kakek Phrom pulang ke rumah
dengan kereta dorong.
Badai belum berlalu, bukan badai sembarang badai, tetapi
badai yang masih berkecamuk dalam diri kakek Phrom. Ternyata sang
dewa belum beranjak pergi tetapi masih merasuki raga kakek Phrom.
Namun selama ini wahana rasukan ini, tubuhnya gemetaran seperti
terkena malaria dan seperti masih ketakutan sekaligus kapok akan
sesuatu. Dia masih mengigau sambil berulang kali mengucap
“Jauhkan itu” dan sesekali terdengar kalimat-kalimat panjang
kira-kira seperti ini .
“Anak cucu durhaka! Kalian tidak berdaya melawanku, lalu
kalian memanggil raksasa untuk menyantap aku. Bagaimana kalian
mau makmur? Bahkan nenek moyang kalian sendiri mau dimusnahkan
dengan bantuan raksasa. Kalian mempercayai mereka, sampai kalian
tega membantai roh aku. Kalian percaya kalau panci nasi kalian bisa
terisi dengan mantra-mantra mereka. Ketika mereka berkata bahwa
mulai saat terdengar ayam berkokok esok hari, kalian tidak akan
miskin lagi, dan kalian percaya. Ketika mereka berkata, marilah
kemari satu per satu dan anak-anak kalian tidak perlu menjadi petani
seumur hidup, namun bisa tumbuh besar menjadi pejabat, kalian
percaya. Ketika mereka berkata, tidak ada sulitnya jika semua ingin
bisa terbang, kalian percaya. Ketika mereka katakan, besok kalian
akan mengeluarkan kotoran berupa emas, kalian percaya. Ketika

บหุ ลนั วรรณกรรม 219

mereka, mulai sekarang kalian akan hidup bak seorang raja, kalian
pun percaya. Saking percayanya kalian, sampai harus memanggil
raksasa untuk menyantap jeroanku. Dasar anak cucu durhaka!”
Kelihatannya sang dewa dalam wahana kakek Phrom gemar dengan
kalimat terakhir.
“Nenek moyang saja bisa kalian tindas, lalu nanti apa yang
akan kalian jaga? Aku bisa ramalkan, di masa depan, jangankan rumah,
tempat berteduh pun kalian tidak punya. Kalian akan jadi gelandangan.
Ke mana pun kalian pergi di hina orang-orang. Terus seperti itu
sampai 3 turunan dan beberapa tidak akan memiliki keturunan. Kalian
yang pernah hidup bebas di tanah yang luas tanpa batas, di masa depan
nanti, saat berebah tidur pun tidak ada tempat untuk dapat meluruskan
kakimu. Kalian akan jatuh miskin semiskin-miskinnya. Makanan
sehari-hari hampir tidak ada. Anak-anak akan jadi anak-anak gelan-
dangan. Aku ini sangat prihatin dengan hidup anak-anak kalian.
Mengapa sewaktu masih kesempatan untuk melakukan amalan baik,
kalian tidak mau melakukannya. Mengapa kalian suka melakukan
dosa sehingga hidupmu penuh dengan dosa. Kalian sudah dewasa,
anggapannya kalian sudah mampu berpikir, tidak perlu dikhawatirkan.
Namun anak-anak masih polos, karma apa yang mereka perbuat
hingga harus ikut sengsara dengan kalian. Atau jangan-jangan
mereka memang harus menjalani karma dari kehidupan yang lalu.
Entahlah, aku sama sekali tidak habis pikir.” Begitulah ucapan di
tengah tidur raga wahana dewa, walaupun tidak sama persis setiap
kata-katanya. Jelas saja, siapa yang bisa ingat, kejadiannya sudah
berlalu 40 tahun lebih. Kakek So sendiri waktu itu tidak sepenuhnya
memahaminya. Namun setelah waktu berlalu hingga kini, rangkaian
kalimat di hari sang dewa turun ke dalam raga kakek Phrom
baru-baru, membuat kakek berpikir. Setelah berpikir dengan seksama,
kemungkinan hanya kebetulan saja hal yang dikatakan wahana dewa,

220 Bulan Sastra

si kakek Phrom, bahwa beberapa orang akan tidak punya tempat
tinggal, mereka akan terus berkelana tanpa menetap. Kini sudah
menjadi kenyataan. Siapa yang bakal mengira bahwa beberapa orang
yang pernah dikenal akan menjadi orang yang tidak lagi memiliki
tanah sepetak pun. Bahkan untuk membangun gubuk sekali pun, tidak
punya. Siapa sangka hutang tak seberapa pada awalnya, akan
berkembang terus sampai hartanya ludes. Sehingga terpaksa merantau
ke kota demi sesuap nasi. Kabar dari orang sekampung yang pernah
bertemu dengan mereka di kota, orang yang merantau dari kampung
sekarang tinggal di bawah jembatan atau di daerah kumuh. Mata
pencahariannya memulung sampah dari tong-tong sampah lalu di jual
ke loak. Kakek So menghela nafas panjang dengan penuh
keprihatinan. Tidak tahu mesti bilang apa, hanya bisa menyimpan
kesedihan dalam hatinya. Dia merasa kasihan dengan seorang
tetangga sekampungnya yang sudah lama dia kenal. Kakek So
teringat pada kakek Ma, teman sebayanya. Bagaimana bisa kakek Ma
hidup seperti itu sementara selama hidupnya terbiasa menikmati alam
luas. Sama seperti yang lainnya, kakek Ma juga tidak menyangka
hutangnya yang tidak seberapa bisa berkembang menjadi raksasa
jahanam yang menggerogotinya hingga nyawanya pun akhirnya
terkorbankan.
Pada waktu itu Bank Pertanian dan Koperasi belum berjaya
dan menjadi pegangan hidup warga seperti sekarang ini. Zaman itu
para rentenirlah yang bersedia memberikan pinjaman kepada siapa
pun yang mengajukan sertifikat tanah menjadi jaminan. Hanya ada
Thong dan beberapa kawanannya saja waktu itu. Kalau tanah sudah
tidak dimiliki, siapa yang dapat bertahan menyewa tanahnya sendiri.
Kalau tidak minggat merantau, mungkin akan membuka lahan baru
di hutan. Terdengar kabar ada pembukaan lahan hutan oleh warga
dari segala penjuru. Mereka harus rela dan siap menghadapi

บหุ ลันวรรณกรรม 221

binatang-binatang buas, resiko terkena penyakit malaria hingga bahaya
dari sesama manusia. Akhirnya kalau tidak mampu membuka lahan
lebih baik merantau ke kota-kota. Namun semua orang itu
mengatakan hal yang sama yaitu seandainya nanti mereka sudah
mempunyai banyak uang, mereka akan membeli kembali tanah
tempat dikuburnya jasad para nenek moyang mereka itu.
“Bagaimana bisa hidup tenteram jika pada hari tahun baru
tidak datang berziarah dan menyiram air suci persembahan pada tulang
belulang sisa jasad kakek nenek.” Semuanya mengatakan seperti itu.
Namun nasib terkadang tidak berpihak padanya hingga tak seorang
pun yang kembali ke kampung halamannya ini. Ada juga yang
sesekali menengok dan sempat berziarah ke makam nenek kakeknya.
Mereka akan menginap di rumah sanak saudaranya, berbincang-
bincang tentang makna kehidupan secara mendalam lalu harus
mengucapkan salam berpisah dan berkelana lagi.
“Seperti ada yang memanggilnya untuk pulang” Itulah yang
sama-sama dikatakan mereka saat mereka kembali ke kampung. Kakek
So paling jauh pergi ke kotamadya waktu harus menjenguk anak
perempuannya melahirkan di rumah sakit. Hanya sejauh itu saja,
kakek So sudah merindukan rumahnya sampai ingin menangis.
Segalanya tidak nyaman apalagi suasana saat menjenguk di rumah
sakit, jelas-jelas seperti di neraka. Pemandangannya penuh keseng-
saraan. Berbagai suara penuh siksa seperti hewan dijagal atau suara
jerit para anggota keluarga saat sanak saudaranya menghela nafas
terakhirnya. Dalam suasana seperti itu, kakek So jadi serba salah.
Ayam panggang, ketan, sup daging jadi tawar, tidak ada rasanya seperti
jerami. Walaupun sebenarnya dia jarang punya kesempatan untuk
makan makanan seperti itu. Sementara di rumah dia makan nasi
dengan sambal dan lalapan tetapi makanan rumah itu bagai makanan
istimewa yang selalu lezat rasanya. Kakek So pun merasa sangat

222 Bulan Sastra

bangga karena dirinya ini sangat beruntung. Berdasarkan cerita orang
Tionghoa di pasar bahwa orang yang makan di mana saja enak, tidur
di mana saja lelap adalah orang yang sangat beruntung. Kakek So
menganggap kepercayaan itu 100 persen benar. Apa lagi yang
didambakan kalau sudah enak makan enak tidur. Biar mempunyai
segunung uang, tetapi jika menelan rasanya seperti kerikil, untuk apa
punya uang. Untuk apa punya emas bergelimpangan tetapi saat tidur,
bantal terasa seperti arang panas. Pada hari kakek So kembali dari
rumah sakit, segera setelah turun dari mobil song thaew7. Kakek So
langsung muntah-muntah seolah keluar semua isi perutnya. Sekitar
setengah bulan, kakek So terkapar di kasur dan hanya bisa disuapi
bubur sampai akhirnya sembuh berkat obat mujarab dari kakek Phrom.
Sang kakek mengingat ulang kembali sampai kejadian
keesokan harinya setelah peristiwa heboh. Tidak ada yang tau jelas
bahwa sang dewa mengamuk sampai kehabisan energi sendiri atau
beliau sudah melayang kembali ke kahyangan dan membiarkan tubuh
wahana rasukannya terbaring tak berdaya di kasurnya. Sampai di titik
ini mulai ada orang yang membawa sesajen untuk memuja dewa baru
yang akan turun nantinya di kampung ini.
Pagi itu kejadian menjadi semakin seram, ketika tiba-tiba
terdengar suara jeritan ketakutan dari rumah kakek Phrom. Sementara
itu, terdengar juga suara geraman seperti suara teriakan gajah dan
melengking seperti hantu pred8 menggelegar ke seluruh kampung.
Lalu berlanjut dengan suara aneh yang tidak dapat tertangkap maknanya
seperti suara hantu gentayangan yang sedang tertawa bercampur suara
ratapan. Sempat berhenti sejenak, lalu menggelegar lagi seperti

7 mobil mirip truk kecil yang di bagian belakangnya dijadikan tempat penumpang duduk
berhadapan. Tidak ada pintu. Penumpang masuk dari belakang mobil.
8 hantu menurut kepercayaan Thailand. Berwujuh sangat tinggi hingg beberapa meter, telapak
tangannya lebar, bibirnya sangat kecil

บหุ ลนั วรรณกรรม 223

serombongan gajah sedang menerobos hutan belantara. Tetapi yang
paling persis dengan apa yang dibayangkan, adalah suara hantu pred.
Saat itu, bagai dunia dan segala kehidupan di dalamnya terhenyak
ketika terdengar kembali erangan yang lebih keras lagi seakan ingin
terdengar sampai dapat menggetarkan bintang di angkasa hingga ke
tujuh samudera. Tidak pernah ada yang pernah mendengar suara
sedashyat bagai dunia mau runtuh ini. Bunga pun jadi menguncup,
telur pun enggan menetas, roh bayi yang mau lahir malah ketakutan
kembali ke surga, sapi dan kerbau sejenakterpatri mematung di
tempat hingga akhirnya lari tunggang langgang seperti festival karapan
sapi, debu serpihan tanah beterbangan menyelimuti persis waktu badai
kemarin. Desa gempar bagai tanah mau terbelah. Saat semua tersadar
dan mulai mendengarkan dengan seksama ternyata sumber suara
geram yang menggemparkan langit itu berasal dari rumah lurah Wai.
Warga berbondong-bondong menuju rumah lurah dengan
tidak lupa membawa pistol, kayu, pisau, dan tongkat, untuk
berjaga-jaga seandainya nanti ada bahaya. Kalau pun bukan untuk
melindungi orang lain, paling tidak bisa untuk membela diri dari hal
yang belum dapat terbayangkan rupanya seperti apa.
Ternyata di halaman rumah lurah sama sekali tidak hal yang
menakutkan. Hanya ada sekelompok orang yang sedang minum-minum
arak. Suasananya seperti sedang ada acara penyambutan kunjungan
pejabat. Semuanya kelihatan sedang asyik tertawa terbahak-bahak
seakan hidupnya sedang menuju kebahagiaan tiada tara yang belum
dirasakan sebelumnya. Seorang pemuda berbadan kekar seperti
monster berdiri sambil tersenyum sombong dengan menyelempangkan
di badannya gergaji mesinyang sudah dipamerkan lurah kepada
warga kemarin dan dia juga melakukan sesuatu hingga deru dashyat
mesin itu bisa sewaktu-waktu menggelegar. Akan tetapi suara
gemuruh yang masih belum diketahui suara apa sebenarnya, masih

224 Bulan Sastra

terus terdengar. Kadang-kadang terdengar seperti kalau kita menyelam
ke dasar laut yang menggemakan telinga kita. Kadang-kadang
terdengar seperti segerombolan ribuan lebah yang terbang bersama
menyelimuti langit menjadi hitam mendung. Pada saat pemuda kekar
bagai prajurit raksasa dalam legenda rakyat itu menyalakan gergaji
mesin hingga berderu dashyat, tidak ada lagi yang cocok dibandingkan
dengan suaranya itu selain suara hantu pred dalam khayalan.
Kelihatannya bilah gergaji yang berkilau itu lebih tajam pedang Lek
Nam Phi9 milik Pho Khun Tab. Pho Khun Tab pernah berjasa dalam
perang melawan musuh kerajaan zaman itu hingga pada masa tuanya
diberi jabatan menjadi camat di kecamatan Thung Sala sampai akhir
hayatnya. Khun Tab inilah yang mempunyai senapan lontak yang
panjangnya sama dengan senapan milik Maharaja Naresuan10. Beliau
memiliki pedang Lek Nam Phi yang katanya mampu membelah tubuh
musuhnya hanya dengan sekali tebas. Namun tidak ada yang pernah
melihat Khun Tab menebaskan pedang itu kepada siapa-siapa. Selain
tersimpan begitu saja di dalam sarung pedang dan diselempangkan di
badannya dan dibawa ke mana-mana. Sesekali ditariknya pedang itu
dari sarungnya untuk diasah dan dipamerkan kepada anak cucu di
malam purnama. Namun bilah gergaji itu tadi tampaknya jauh lebih
tajam daripada pedang sakti Lek Nam Phi milik Khun Tab. Gawatnya
lagi, bilah itu bisa bergerak sendiri seperti hidup atau disihir. Ya,
betul! Sihir! Saat ini, seluruh desa ini sedang berada di bawah pengaruh
ilmu sihir, tidak salah lagi. Apa lagi sebabnya kalau bukan karena
berani-beraninya menumbangkan tempat tinggal hantu nenek moyang.
Ketika itu hilang sudah rasa heran warga desa beralih
menjadi terpana, menganga, kaki bagai terpatri dan tak satu pun yang
sanggup melangkah kecuali yang sudah tahu lebih dulu. Mobil pengeruk

9 Pedang dari bahan baja dari tambang besi baja di desa Namphi, provinsi Utaradit
10 Raja dari era Ayuthaya

บหุ ลนั วรรณกรรม 225

itu bergerak keluar dari belakang rerumpunan bambu yang entah
siapa yang menanamnya hingga menjadi benteng tinggi menjulang.
Mobil itu seakan mau menggilas segalanya di bawah kaki bajanya.
Pada akhirnya kakek So mengetahui bahwa mobil pengeruk itu
bukannya bisa berjalan dengan kaki yang tumbuh dari badannya
sebagaimana yang dibayangkan sebelumnya melainkan dengan onderdil
dari besi yang tersusun sedemikian rupa sehingga dapat berputar
seperti layaknya mobil pada umumnya. Anehnya adalah roda
umumnya berbentuk bundar dan berputar tegak di keempat sudut bodi
mobil tetapi roda mobil pengeruk ini agak gepeng mirip kapal pengeruk.
Lempengan besi yang melapisi bagian atas rodanya itu kelihatan
seperti rantai sepeda. Nah, tepat! Rantai sepeda! Rantai raksasa ini
membantu menggerakan rodanya agar dapat berputar maju ke depan
dan saat bergerak itulah dunia ini seakan bergetar seperti sedang
bertengger di ujung ranting pohon lalu digoyang-goyang oleh
raksasa. Si mobil pengeruk ini berjalan sejenak lalu berhenti.
Kemudian bagian pinggangnya berputar, mengeluarkan suara
melengking menusuk jiwa. Waktu badannya berputar itu, para ibu-ibu
dan anak-anak bahkan beberapa bapak-bapak juga berteriak
ketakutan. Mobil itu terus berputar lebih dari 10 putaran,
sebentar-sebentar berputar, sebentar-sebentar berhenti. Kadang-
kadang berputar ke kiri setengah putaran lalu berputar balik ke kanan.
Lalu berputar ke kanan setengah putaran lalu tiba-tiba membalik
putar ke kiri lagi. Orang yang tidak menjerit, hanya berdiri diam
seperti disihir menjadi batu. Tiba-tiba mobil itu bergerak dengan
cepat mengarah ke kerumunan warga. Kali ini warga terpaksa
berlarian ke sana kemari lagi setelah kemarin sudah lari dari kekuatan
amukan dewa. Ibu yang punya langsung menggendong anak berlari
menjauhi monster yang sedang melesat kemari. Kekacauan kembali
terjadi. Persis sekali dengan kejadian kemarin. Hanya saja, kalau

226 Bulan Sastra

kemarin mereka harus berlarian di tengah sawah, kali ini di halaman
rumah orang. Andai orang lebih banyak dari yang ada saat ini,
mungkin sudah injak-injakan. Seketika itu mobil pengeruk tiba-tiba
berhenti dan melakukan sesuatu yang menakutkan lagi. Ia
memanjangkan lengannya jauh ke atas langit seakan siap mencabuk
segerombolan orang hingga hancur lebur. Walaupun para warga kabur
berhamburan namun tidak lupa sempat mengintip di balik
semak-semak atau sambil sesekali menoleh ke arah mobil itu. Saat
itulah tanpa diduga, mobil itu menghempaskan lengannya ke tengah
lahan sampai bersuara menggelegar bagai batang pohon menembus di
tengah jantung hati. Semua terpaku bagai sebuah batu. Napas serasa
berhenti seakan lengan raksasa mobil pengeruk itu membuat jiwa
terbius mantranya. Lahan depan rumah lurah Wai yang rata rapi
sebagaimana lantai dari semen pun tergeruk sedikit tanahnya. Tanah
lahan itu meretak bagai sungai dilanda kemarau panjang dan ia
semakin menekan tangan raksasanya sampai masuk lebih dalam ke
dalam tanah sampai kaki-kaki besi yang berjalan kaku itu melayang
di atas tanah. Ketika itu kakek So jadi teringat kepada kisah
Devadatta11 di telan bumi. Sementara beberapa warga memperhatikan
bahwa orang-orang yang sedang duduk minum-minum arak sama
sekali tidak takjub atau terkejut sebagaimana yang mereka rasakan.
Mereka masih duduk dengan tenangnya sambil menonton mobil
pengeruk dengan bangga campur sombong. Warga baru melihat
dengan jelas yang duduk di dalam ruang kendali itu ternyata manusia.
Baru ada di antara mereka satu per satu yang perlahan-lahan
mendekati mobil pengeruk sampai sedekat mungkin. Ketika si Piam,
yang waktu itu masih berumur lima atau enam tahun mencoba
menyentuh mobil, buru-buru lurah Wai membentak melarang sambil

11 Seorang tokoh biksu agung yang berlaku tidak baik terhadap Sang Buddha Gautama dalam
kisah ajaran agama Buddha

บุหลันวรรณกรรม 227

lalu dengan cemas menoleh ke arah seseorang di antara pasukan truk
yang belakangan diketahui adalah kepala rombongan. Namun bapak
kumis lebat malah mengatakan tidak apa dan nanti akan mengajak
anak-anak jalan-jalan naiik mobil itu berkeliling kampung.
Pernyataan itu mengundang teriakan kesenangan bagi anak-anak
termasuk beberapa orang dewasa juga menyampaikan niatnya bahwa
mereka sendiri juga ingin naik truk keliling kampung. Bapak kumis
lebat hanya minta, kalau sedang bekerja jangan sampai ada anak-anak
ataupun orang dewasa mendekati tru dan peralatannya. Sebab lengah
sedikit bisa berarti nyawa yang hilang. Dalam hal ini menurut kakek
So semua juga pasti sudah tahu dan sudah melihat dengan kepala
sendiri resikonya.
Saat itu orang yang berada di atas truk pengeruk
menghentikan kerja dan suara mesinnya termasuk gergaji-gergaji
mesin. Ketika segalanya suara mesin lenyap dunia seakan kembali ke
dalam kesunyian. Sejenak, sebelum sempat ada yang menanyakan
tentang yang terjadi di depan muka, terdengar tiba-tiba suara terbahak
membahana dari belakang seketika sampai berdiri semua bulu kuduk.
Suara bahak itu bagai membaur menjadi satu dengan tanah, daun dan
angin yang berhembus. Setiap pasang mata memandang ke pemilik
suara tersebut, ternyata sang kakek Phrom.
Kakek berdiri bak gunung tegak berdiri sambil tersenyum
sebagai tanda siap menyerbu segala marabahaya tanpa rasa takut apa
pun. Mata merah membara bagai terseram darah melotot tajam ke arah
gerombolan orang yang sedang minum-minum. Tubuhnya yang
tanpa baju dipenuhi jaringan pembuluh darah yang bermunculan dan
simpang siur lalu bersimpul di dahinya kelihatan seperti mata ketiga.
Tubuh kakek Phrom kerasukan hari ini persis waktu kerasukan
kemarin. Melihat begitu, warga langsung tiarap termasuk lurah Wai.
Hanya orang-orang truk saja yang masing terbengong-bengong.

228 Bulan Sastra

Sebab utama yang membuat para warga tidak sanggup
bergerak ke mana-mana bukan hanya mata merah membara tetapi
juga ketakutan akan kapak baja hitam legam di tangan kakek Phrom
itu.
Semua orang tau kapak baja ini sangat berat yang tidak
sanggup diangkat oleh anak kecil atau wanita perkasa sekalipun. Kakek
Phrom pesan khusus kapak ini dari tukang bernama Leng, tukang besi
handal desa ini. Walaupun kakinya pincang sebelah, sehingga
bagian bawah badannya bergerak lamban, namun sebaliknya kekuatan
miliknya menjadi berlipat ganda di bagian lengannya. Otot lengannya
kekar seperti kaki lelaki dewasa. Dadanya padat tebal seperti gentong
naga. Andai dipukul dengan tiang rumah pun sepertinya tidak ada
pengaruh apa-apa bagi sang kakek. Ketika dia memindahkan kapak
dari tangan kiri ke tangan kanan, langsung para lelaki yang tubuhnya
besar namun masih kalah besar dari kakek Phrom, yang datang
dengan truk waktu itu sampai terpuruk melutut sambil memadukan
kedua tangannya di depan dadanya sama seperti warga yang lain.
Sampai-sampai gergaji mesin di tangan salah satu dari mereka terlepas
dari genggaman dan jatuh terpelanting merobohkan pohon kecil dan
dari suaranya kelihatannya ada onderdil yang pecah. Orang-orang
masih belum ada yang berani mendongakkan mukanya, ketika ada
orang di baris depan merunduk menyembah di atas tanah, orang-orang
di belakangnya mengikutinya. Melihat begitu, yang lain juga ikutan
menyembah termasuk orang-orang yang datang dengan truk itu juga.
Sunyi senyap menyelimuti suasana sekitar. Hanya terdengar suara
angin berhembus bagai suara jutaan lebah terbang bersamaan. Orang-
orang yang sedang menyembah, hatinya dilanda kecemasan. Kakek
So sendiri tidak tahu apa yang di dalam pikiran orang-orang itu.
Walaupun sedang dalam ketakutan namun pikirannya masih sanggup

บุหลนั วรรณกรรม 229

melayang ke mana-mana. Ini adalah kejadian yang paling aneh dalam
hidupnya.Dua hari belakangan ini berasa sedang dalam mimpi atau
memang hidup manusia itu bagaikan sebuah mimpi? Saat kita mati,
mungkin kita akan terbangun di dunia lain yaitu dunia nyata. Di
dunia itu, mungkin dia bukan kakek So. Mungkin dia adalah seorang
raja dan bahkan bukan orang Thailand. Mungkin dia adalah raja
negara bule atau keeling yang punya ratusan abdi dayang. Apa pun
yang diinginkannya selalu ada. Selain itu, biar sudah tua bangka juga
selalu dilayani oleh selir-selir cantik. Sampai titik ini angan kakek
sudah melayang jauh hingga tawa ringan tak sengaja terlepas.

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba terdengar suara buang angin
dari belakang kakek So. Dari suaranya kelihatan si pemilik angin
sudah sekuat tenaga menahannya. Gelak tawa yang juga tak mampu
tertahan lagi pun pecah saat itu. Semakin mendengar suara tawa yang
membahana bak dunia mau pecah, semakin melihat orang lain tertawa,
rasa kocak itu semakin menjadi. Kekocakan itu jika sudah mencapai
puncak sudah tidak ada dapat membendungnya lagi. Secara sederhana
bisa dikatakan, urat tertawanya sudah terpacu maksimal. Warga masih
tertawa terbahak-bahak hingga muka mereka memerah dan sejenak
lupa dengan keajaiban sang kakek Phrom yang masih berdiri tegap
bak gunung di depan mereka. Bagaikan ada yang membantu mencabut
sesuatu yang menusuk perasaan yang tertekan tak mampu terbebaskan.
Bagai langit terang secara tiba-tiba. Bagai Tuhan menghilangkan
segala badai yang siap mencambuk bumi ini.

Pada ujungnya, situasi luar dugaan bagai mimpi itu mereda
dan semua harus kembali menghadapi rasa ketakutan besar bagaikan
gunung menjulang yang kini berada di hadapan mereka. Selepas gelak
tawa memudar hilang di tengah terik matahari yang semakin panas,
warga mulai perlahan menengadahkan kepala dan hampir serentak

230 Bulan Sastra

langsung memandang ke arah kakek Phrom. Seandainya kakek So
tidak salah lihat, sepertinya ada bersit senyum dan pancaran mata geli
samar-samar dari kakek Phrom. Saat itu semua sepenuhnya kembali
ke dunia nyata. Dunia nyata yang tidak ada kejelasan apa
sebenarnya yang sedang mereka hadapi itu. Bagaimana nasib mereka
selanjutnya. Suara angin tadi seperti mimpi tipuan yang hanya
sekejap. Sebelum semua kembali pada kenyataan adalah bencana yang
terjadi di depan dan tinggal hanya suara hembusan napas saja. Kali
ini tidak ada lagi gangguan suara yang membuat dunia nyata yang
sedang dihadapi hancur berantakan.Tersisa raut muka penuh dengan
semrawutnya pembuluh darah seperti simpul tali.
Kala itu raga kakek Phrom menghantam tanah dengan
kapaknya. Buk! Buk! Buk! Berirama bagai hitungan waktu saat
bencana siap melanda semua warga. Kakek Phrom terbahak
membahana ke seluruh penjuru bagai diringi suara pohon dan
rerumputan yang turut tertawa bersama kakek Phrom. Mata merah
milik kakek Phrom bagai dicat darah itu sampai kakek Phrom pikir
makhluk di seluruh jagad raya ini tidak ada yang sanggup melawan
kakek Phrom. Raga itu kemudian berkata

“Jadi kalian mau mengambil rumahku untuk membangun
tempat tak berguna itu?” kakek mulai mengangkat palu besi raksasa
mengarah pada warga yang kini hanya bisa diam menundukkan
kepalanya. Hanya sebagian kecil yang berani mengintip asura yang
tegap berdiri di mukanya.

“Sebenarnya, biar aku tenggelamkan saja desa ini. Jadi
daratan kosong seperti yang terjadi di Nong Han Luang zaman
dahulu kala. Aku akan melakukan itu jika kalian masih keras kepala
dan meneruskan ulah gilaini. Aku tidak mau berbicara lagi dengan
kalian karena aku sudah bicarakan semuanya.Aku, sebagai moyang

บุหลนั วรรณกรรม 231

kalian, aku peringatkan kalian untuk terakhir kalinya, jika kalian masih
ngotot, niscaya bencana yang tak terduga akan melanda kalian. Tidak
akan ada yang terselamatkan bahkan nyawa kalian semua. Aku
peringatkan kalian untuk terakhir kali” Tubuh kakek tegap berdiri bagai
arca yang tak bakal rapuh di makan waktu atau terkikis butiran hujan.
Sang kakek menggenggam kapak baja besar itu hanya dengan tangan
sebelah. Kapak yang bagi laki-laki perkasa saja dirasa sangat berat
bila diangkat dengan dua tangan tetapi kakek Phrom menggenggamnya
seperti kapak mungil. Dia berbicara sambil mengibas-ngibaskan
kapaknya itu. Ketika kakek itu sudah selesai bicara, tangan
kanannya ditarik ke belakang dengan sekuat tenaga. Di tengah warga
yang sedang terkesima, sebelum ada yang sempat kabur atau berniat
apa pun, kapak itu sudah melayang dan menghantam keras mobil
pengeruk itu hingga menggelegar. Orang yang menyaksikannya
bercerita bahwa ada percikan api tersebar dari bodi mesin mobil
pengeruk seperti kembang api meledak. Namun hal yang terlihat oleh
semua adalah mobil pengeruk itu hancur bagai ditempa kayu batangan
setelah suara ledakan membahana tadi. Orang-orang seperti tidak tahu
harus melakukan apa, hingga tak ada yang berani bersuara bahkan
saking sepinya jarum jatuh pun mungkin dapat terdengar. Asap
mengepul dari mobil pengeruk. Setelah itu terjadi ledakan sana sini.
Kemudian terdengar suara terbakar seperti minyak mendidih di dalam
mobil terus menerus. Mobil pengeruk gemetar seperti orang meriang.
Raksasa yang pernah membuat orang-orang ketakutan itu kini men-
jadi rongsokan seperti kapal tenggelam yang terdampar di pantai yang
menanti datangnya hembusan angin sehingga dapat kembali melaut
lagi. Tiba-tiba kakek So jadi merasa prihatin bercampur takut atas
kekacauan yang telah terjadi. Sejak lahir kakek baru kali ini
mengalami hal yang aneh bin ajaib seperti ini bahkan waktu kejadian
Lamyai semuanya tidak serumit kali ini.

232 Bulan Sastra

Selayaknya dikemudikan oleh sesuatu, semua pandangan
menuju kehancuran mobil pengeruk itu. Kadang mobil pengeruk
seperti sudah remuk berkeping-keping. Setiap onderdilnya hangus di
makan dewa api dan di buang kotorannya menjadi asap yang
menggumpal. Mobil pengeruk yang menjulang bagai sebuah tebing
setelah terluluhkan hanya meninggalkan gundukan abu yang tak
seberapa selayaknya sepasang karung gabah terbakar. Hati nurani
kakek So meman merasakan seperti itu. Keangkuhan tak terpancar
lagi dari si mobil pengeruk. Kini hanya kerapuhan yang sedang
menggerogotinya. Ibarat bangkai yang digerogoti burung bangkai dan
hanya tersisa tulang belulang. Bagaikan petinju yang sudah hilang
stamina, babak belur, hanya tinggal tubuh lunglai di arena pertandingan.

Begitulah nasib mobil pengeruk pada akhirnya. Setelah
ledakan bak kembang api mereda, suasana kembali sunyi hanya
tinggal gumpalan asap seperti asap sisa kebakaran hutan yang telah
padam. Selayaknya pondok usang tak berpenghuni yang pada
akhirnya hanya ada kesunyian bagaikan hanya ada diri ini sebatang
kara. Mobil pengeruk bukannya tumbang hanya tersisa gundukan abu
seperti yang seharusnya tetapi menjadi batang besi kusam yang
kelihatan tak berharga dan tak dapat dimanfaatkan lagi seperti sampah.
Segalanya menjadi hening, sunyi senyap. Jika ada yang mengatakan
bahwa ini adalah hari kiamat, kakek So mungkin akan percaya atau
bukan begitu, ini adalah hari terciptanya bumi ini.
Saat warga kembali menegok ke belakang, yang terlihat
adalah tubuh kakek Phrom terbaring seperti mayat. Sejenak tidak ada
yang berani mengatakan apa-apa atau menyentuh tubuh yang
terbaring di sana. Tubuh itu kelihatan lemah persis mobil pengeruk,
musuhnya tadi. Namun akhirnya Pham, anak kakek Phrom berdiri

บุหลันวรรณกรรม 233

dan berjalan lalu membangunkan ayahnya sambil memanggil nama
ayahnya keras-keras beberapa kali sampai tiba-tiba kakek Phrom
mulai sadar dan menengadahkan wajahnya. Sampai di sini para
warga mulai siap siaga untuk berlari tetapi masih menunggu situasi.
Ketika mereka sudah yakin bahwa yang terkapar itu memang si kakek
Phrom yang pincang, baru warga berani mendekati kakek dan
menanyakan keadaannya. Ada salah satu yang tanpa basa basi langsung
menanyakan nomor lotere. Setelah pertanyaan tentang loterei sudah
terucap, saat itu seolah bencana hilang sudah. Segala kebingungan,
ketakutan akan kejadian yang terjadi sudah tersimpan di relung hati
yang paling dalam. Dorongan keingintahuan akan nomor loterei yang
bakal muncul pada undian yang akan datang lebih dahsyat bagai
magma yang tersembur dari gunung berapi yang tak dapat terbendung
oleh apa pun. Termasuk para lelaki kekar yang datang bersama truk
tadi. Entah ke mana sudah rasa terkejut dan kekhawatiran akan
mobil pengeruk yang sudah hancur lebur itu hingga sinar mata
mereka yang berbinar-binar penuh rasa ingin tahu tentang nomor
loterei melebihi semuanya. Namun akhirnya dipotong oleh ucapan
kakek Phrom yang malah menambah harapan bagi warga.

“Nanti dibicarakan di rumah”

Dan kebenaran yang muncul jelas sekarang adalah selama
dua hari kejadian menghebohkan itu, kakek Phrom sama sekali tidak
mengetahuinya. Kakek Phrom aru tersadarkan diri saat si Pham
memanggil dan membangunkannya yang ternyata sedang terkapar di
tengah halaman rumah Lurah Wai. Semuanya mengarah kepada
kesimpulan yang kini menjadi berita besar yang menyebar cepat bagai
penyakit menakutkan yang menggerogoti tubuh. Warga sudah
sepakat bahwa pohon karet besar sudah tidak dapat diganggu lagi.

234 Bulan Sastra

Sudah terjadi bencana, kalau masih bandel menebang pohon karet itu,
tidak ada yang bisa menjamin apa yang bakal menimpa desa ini.
Apalagi kali ini kakek Sun sudah mengisi penuh senapannya dengan
peluru yang kalau sudah terkena bakal tidak bisa menjadi manusia
lagi. Kakek Sun mengatakan barang siapa yang masih mau
coba-coba mengganggu pohon karet besar milik arwah moyang lagi,
silakan rasakan peluru ini. Jika mempan menahan timah panas, tidak
perlu lagi takut hantu atau arwah mana pun. Kakek Sun sudah
mengancam seperti itu, siapa lagi yang berani. Zaman itu senapan
masih dianggap hal yang urusannya harus sampai ke pengadilan asal
jangan di tunjukkan sembarangan di tempat umum saja. Sebenarnya
tidak perlu mendapat ancaman dari kakek Sun juga, warga sudah
ketakutan. Masalahnya sekrang adalah bagaimana harus mengganti
rugi kerusakan mobil pengeruk itu kepada pemiliknya.

Dengan rasa segan bercampur rasa takut yang terlihat jelas
di wajahnya, seorang yang berkumis yang rupanya adalah pemimpin
rombongan truk mengatakan sebenarnya mereka bukannya mau minta
ganti rugi karena sudah lihat sendiri kesaktiannya tetapi masalahnya
mobil itu bukan miliknya pribadi melainkan adalah kepunyaan seorang
pedagang. Kalau dia kembali dengan truk yang sudah menjadi ron-
gsokan, dialah yang akan ditagih ganti ruginya.
Itu bukan suatu masalah. Sampaikan saja kepada warga,
maka warga akan dengan senang hati membantu urunan agar wahana
dewa tidak perlu disalahkan. Tidak mungkin kita akan membiarkan
duta penghubung dari surga harus kesusahan. Warga meminta agar
Pak kumis mengembalikan truk itu kepada pemiliknya supaya dapat
dihitung berapa besar kerugiannya. Lurah Wai akan mendampinginya
juga untuk membantu menjelaskan semua duduk perkaranya. Lurah

บุหลันวรรณกรรม 235

Wai mengatakan kemungkinan pemiliknya tidak akan minta ganti rugi
yang berlebihan seperti pedagang Tiongkok pada umumnya karena
pemiliknya juga tertarik dengan hal-hal supranatural seperti ini. Selain
itu sebenarnya mobilnya tidak sehancur yang dibayangkan karena
setelah dicek, hanya kaca depan kabin saja yang hancur tertembus
kapak sampai ke kaca belakang. Lalu mengapa setelah kejadian
pelemparan kapak oleh kakek Phrom, mobil itu kelihatannya seperti
sudah hancur lebur tinggal abu saja. Apalah gunanya mencari alasan
yang masuk akal, dua hari belakangan ini hidup kakek So juga
seperti berada di dalam sebuah mimpi yang tak masuk akal.
Itulah sebabnya pohon karet besar itu masih tegap berdiri
dan berkembang sampai sekarang. Kakek Phrom masih lanjut
menjadi raga rasukan dewa yang bertanggung jawab untuk meringankan
kesusahan warga. Dialah yang akan mengusir segala hal buruk dalam
hidup seseorang. Dia telah menjadi utusan dewa yang agung yang
berpenampilan gagah. Di sekitar desa Baan Khok Sii, Kecamatan
Thung Sala ini tidak ada yang mampu menandinginya, bahkan bisa
dikatakan di seluruh negeri ini berbondong-bondong mendatangi
utusan sang dewa yang dapat mengubah nasib menuju kehidupan yang
penuh kemenangan. Sampai-sampai banyak dari para pejabat yang
rela menyembah demi mendapat kekayaan. Itu semakin meyakinkan
bahwa kakek Phrom adalah benar utusan sang dewa.

Sebenarnya kakek Phrom dapat kapan saja mengambil
keuntungan dan menjadi kaya raya dari orang-orang yang berguru
padanya. Namun dia masih tinggal di rumah tuanya. Ada sedikit nilai
lebih yang diperolehnya yaitu rumah tambahan berupa setengah beton
setengah kayu yang merupakan persembahan dari orang yang
berguru padanya dan dia tidak usah repot-repot pergi membeli

236 Bulan Sastra

minuman sampai tukang warungnya bosan malihat mukanya seperti
beberapa puluh tahun yang lalu.
Kalau kakek Phrom itu pantas disebut utusan dewa tetapi
kalau si pemuda itu kemungkinannya hanya pob saja. Tidak mungkin
tidak atau sekurang-kurangnya dia berperilaku seperti pob. Orang
seperti apa yang bisa tinggal rumah yang berantakan seperti kandang
harimau. Sehari-hari tidak pernah berbincang dengan siapa-siapa.
Kalau pun pernah, tidak pernah dia memandang mata pasangan
bincangannya. Kakek So memijat kepala dan lehernya untuk
mengusir rasa kebingungan yang menyerangnya tiba-tiba. Hembusan
angin masuk dari telinga kiri lalu mengendap sejenak sebelum
akhirnya berhembus keluar lewat telinga kanannya yang membuat
dirinya pusing, penglihatannya mulai buram. Dia tidak mampu
merunut kronologi ceritanya. Ludahnya di kerongkongannya terasa
kering kerontang seolah akan menetes dari sudut mulutnya. Angin
kencang keluar dari lambung terasa seperti lambungnya, ususnya,
semua organ dalamnya akan ikut berhamburan keluar. Kakek bangun
sambil membungkuk dan ingin memuntah namun tidak ada apa pun
yang keluar dari mulutnya selain bau busuk menjijikan yang melayang
di udara beberapa waktu sampai kakek kaget dan bergumam.

“Jangan-jangan aku sudah membusuk.” Kakek jatuh terduduk
lemah. Kata-kata seolah berbisik mengatakan.

“Gila. Dia itu pob atau bukan juga tidak ada hubungannya
dengan aku.” Beberapa saat kemudian, baru kakek berdiri dan berpikir
dengan otak yang sudah usang selayaknya pisau butut yang sudah
karatan sampai diketuk ke kayu pun bisa patah, bahwa sudah saatnya
mengangon sapi kembali ke kampung.

บหุ ลนั วรรณกรรม 237

Terpisah dan menyendiri untuk berbincang dengan lubuk hati
Then memandang lukisan berjudul “Perbincangan Dengan
Lubuk Hati” nomor 14. Sudah dua minggu dia mendalaminya.
Sambil duduk sudah, sambil tiduran sudah, sambil miring sudah,
sambil menyipitkan mata pun sudah. Lihat dari jauh dan dari dekat.
Usahanya untuk makna yang tersembunyi dalam lukisan itu. Dia
mencari kekuatan yang mungkin dia abaikan padahal dia sendiri yang
melukisnya. Judulnya “Perbincangan dengan Lubuk Hati” juga
terdengar ketinggalan zaman. Seperti judul puisi zaman pencarian.
Sementara kini orang sudah berbicara tentang zaman pasca-modern.
Entah pasca zaman apa, dia sendiri tidak tahu. Dia tidak begitu tahu
ilmunya orang-orang bule sih. Walaupun dia mampu berdiskusi
tentang seniman barat panjang lebar.
Dia sedang berkarya seni berseri “Berbincang dengan Lubuk
Hati”. Then berniat akan melukis sebanyak 40 buah. Namun setelah
masuk ke karya yang ke 14, dia merasa buntu. Bukan sekedar masalah
pikiran tidak lancar, tetapi penyakit malasnya kumat sehingga
rasanya tidak ingin melakukan apa-apa. Namun tidak bisa kalau sama
sekali tidak melakukan sesuatu. Walaupun melukis itu hanya
menghasilkan sedikit tidak sebanding dengan usaha yang
dikeluarkannya sama sekali tetapi setidaknya dia bisa makan, bisa beli
keperluan sehari-hari dari hasil itu. Selain itu Then juga punya
keyakinan bodoh bahwa dia harus punya karya bertaraf internasional.
Entah hantu mana yang mengilhaminya untuk melakukan hal aneh
seperti itu. Sementara Then justru berpikir di masa yang akan datang
jika ada yang menyebut nama seorang seniman yang terkenal taraf
dunia pastinya dia termasuk di dalamnya. Somsak Jemkrathok, ingat
nama ini. Dia pernah pengumuman tentang impiannya itu dengan
semangat hingga sudah malas mengumumkannya lagi.

238 Bulan Sastra

Kini sudah masuk usia setengah baya. Ketenangan sudah
merasuki hidupnya. Dia lalu mengatakan pada dirinya sendiri bahwa
dia akan hidup demi profesinya. Dia tidak akan bergantung pada
ketenaran dan kekayaan. Hanya kebutuhan pokok saja yang
diperlukan. Bahkan obat-obatan pun bukan kebutuhan sehari-hari,
jika tidak jatuh sakit. Obat dan dia seperti sesuatu yang sama sekali
tidak akur. Selain rokok lintingan merek kucing hitam dan ganja
sekali-kali.
Ketika pikiran berjalan sampai tahap ini, dia malah berang-
gapan bahwa dirinya sudah paham betul sari dari ajaran Buddha
hingga Then sendiri berikrar lagi bahwa aku mau menjadi seniman
hanya untuk kehidupan sekarang saja. Jika kehidupan depan12 benar
adanya aku harus bersuci sampai tingkat arahat13.
Sebab hidup ini sudah dijalankan sebagai seorang seniman,
maka harus dijalankan sebaik mungkin.
Di kehidupan baru nantilah, Then bertekad untuk menuju
dunia arahat.
Lelah hatinya mengingat warga desa. Merupakan rasa lelah
yang menggembirakan. Oleh karena dia sendiri yang memilih suasana
seperti ini yang sangat berbeda dengan suasana di desa Lisu. Di sana
dia bisa menyatu dengan masyarakat dan pegunungan. Waktu Then
melukis seri “Dalam Pelukan Pegunungan”. Judulnya ketinggalan
zaman lagi. Ada teman yang bilang, judulnya mirip judul buku seorang
penulis. Laki-laki itu juga mungkin tidak terkenal sama seperti
dirinya. Eh, jangan-jangan penulis perempuan. Lukisan dalam seri itu

12 Kehidupan depan yang dimaksud adalah kehidupan setelah rekinkarnasi
13 Arahat adalah seorang yang sudah bebas dari segala hawa nafsu dengan jalan pencapaian
yang sempurna

บุหลนั วรรณกรรม 239

terjual 5 buah. Hasil dari penjualan lumayan dibandingkan dengan
penghasilan para petani. Namun selama 5 tahun kemudian, dia tidak
ada karya yang bisa dipamerkan. Sempat ada pameran bersama
dengan seniman lain, tetapi sayangnya karya Then tidak satu pun laku
terjual.

Namun dia tidak berniat menjalankan profesi lain. Bukannya
dia tidak menganggap profesi lain hanya saja apa pun yang dia
kerjakan, hatinya selalu kembali memikirkan tentang melukis. Hasilnya
jika dia masih bertahan kerja, yang sebenarnya di beberapa tempat dia
bisa melakukannya karena atasannya adalah kakak kelasnya
sealmamater yang mengajaknya bekerja tanpa berharap bahwa
dirinya mampu menciptakan suatu inovasi apa pun. Cukup hanya
menjalankan dan bertanggung atas tugas yang diberikan saja agar Then
bisa mempunyai penghasilan seperti orang-orang kebanyakan biar
tidak kantung kering. Biar sore-sore bisa ikut nongkrong di kafe
dengan teman-teman dengan bangga dan tidak perlu menunggu ajakan
untuk pergi minum-minum, yang kadang membuat orang-orang jadi
sebal.
Jika Then masih nekat kerja di kantor, dia akan menjadi orang
yang hidupnya rutin pagi kerja sore pulang, itulah yang sangat
dibencinya. Dia sendiri pernah mengkritik orang-orang yang
hidupnya seperti itu. Then tidak sanggup menerima seandainya dia
harus mengikuti arus menunggu datangnya akhir bulan untuk
menerima gaji yang baginya itu sangat menghina martabatnya sebagai
manusia. Dia merasa hal itu merupakan sesuatu tindakan curang.
Saat kepenatan sudah mencapai puncaknya, Then akhirnya harus
melangkah meninggalkan pekerjaannya. Begitu dilakukan berulang
kali sehingga akhirnya kini dia sama sekali tidak punya pikiran untuk
kembali bekerja kantoran di mana-mana lagi. Selain itu karena
umurnya yang juga kelihatan sudah tidak terlalu enak dipandang

240 Bulan Sastra

untuk menjadi pegawai baru.
Dia hanya cinta pada kegiatan mengecat, menggunakan
berbagai perkakas untuk memahat, mengelas besi sesuai kegemaran-
nya.
Lelah sudah hatinya menghadapi para warga di desa ini
tetapi merupakan lelah yang menyenangkan. Bukankah dia sendiri
yang sengaja merancang suasana hidupnya seperti ini. Bukannya
beginilah yang disebut “Terpisah dan Menyendiri demi Pencarian yang
Mendalam”. Eh, atau lebih baik memakai istilah “Terpisah dan
Menyendiri” digabungkan dengan judul lama menjadi “Terpisah dan
Menyendiri Demi Perbincangan dengan Lubuk Hati” atau
“Perbincangan Dengan Lubuk Hati Orang yang Terpisah dan
Menyendiri”. Entahlah, selama 40 buah karya tercipta nantinya,
pasti akan ada judul yang pas.
Then membayangkan saat nanti karyanya dipamerkan.
Dia membayangkan akan pujian dan penghargaan dari para penggemar
seni. Kelak dunianya akan cerah kembali setelah lama berada di dalam
kegelapan.
Warga sendiri hampir tidak mengerti siapa sebenarnya Then
itu. Pak Mi pemilik rumah adalah saudaranya seorang teman.
Mereka bertemu saat nongkrong minum-minum dan akhirnya
mengetahui bahwa beliau memiliki rumah yang masih baik yang cukup
untuk dijadikan tempatnya berkarya seni sekaligus layak juga untuk
dijadikan tempat berkumpul dengan teman-teman, dan cukup untuk
memancing kunjungan para wanita sesekali waktu.
Then teringat saat dia harus terdampar di sebuah sekolah les
untuk mengajar menggambar demi upah. Walaupun tidak banyak
mendapatkan manfaat dan kadan-kadang kalau ada kesempatan dia
akan mengatakan dengan jujur bahwa biarkan saja anak-anak bermain
apa yang diinginkannya. Sebab itulah cara yang lebih baik untuk

บุหลนั วรรณกรรม 241

membangun karakter dan membina daya imajinasi di bidang seni
dibandingkan dengan membiarkan anak-anak dikurung di tempat yang
sempit dan dilatih untuk menjadi manusia hebat yang serba bisa
seperti sekarang ini.
Dari mulai menari sampai berhitung lebih cepat dari
komputer. Jika semua manusia menjadi hebat lalu apa yang bisa
dijadikan nilai lebih dari masing-masing individu. Semua sama
sempurna sehingga kesempurnaan itu akan menjadi suatu yang biasa
saja. Di mana-mana terdapat kesempurnaan. Semua adalah orang
hebat dan istimewa. Jika dilihat dari kenyataannya, tidak mungkin
hal itu akan terjadi. Sehingga dia kembali ingat para warga desa ini.
Walaupun sudah berusaha memahami semaksimal mungkin dengan
membaca artikel-artikel hasil analisa dari para pakar, berdiskusi
dengan teman-teman peminat politik, namun Then belum mempercayai
bahwa kampanye seperti “Besok tidak akan ada lagi orang yang jatuh
miskin” itu masih ada orang yang percaya.
Sebenarnya dia tidak seharusnya mengungkapkan benyak
pendapat. Sebab dia hanya seorang pelukis yang kelihatannya tidak
bakal sukses. Namun Then berpikir, seharusnya warga desa bisa
lebih maju lagi daripada sekedar menjunjung para politikus. Sebab
pada dasarnya, politikus seharusnya menjadi bawahan rakyat.
Bukan malah rakyat menjadi budak politikus. Rakyat harus bisa
mendayagunakan politikus bukan membiarkan politikus memanfaat
rakyat. Itu teorinya. Sedangkan prakteknya, kemungkinan itu tidak
akan pernah terjadi selamanya. Itu sudah biasa. Orang bodoh pasti
menjadi korban orang yang pintar dan orang bodoh akan menjadi
lebih mudah menjadi korban apabila mereka dibuat percaya bahwa
mereka itu pintar.
Bahkan kepada “dia” pun, Then ingin mengatakan agar

242 Bulan Sastra

jangan terlalu percaya denga warga. Warga itu adalah duplikat “dia”
berukuran kecil. Duplikat berjumlah banyak ini pastinya ada di
antaranya yang akan melangkah menjadi nomor satu. Sampai dapat
menandingi “dia” menjadi setaraf “dia”. Namun “dia” sendiri sudah
mengetahui resiko ini. “Dia” bukan orang yan bodoh. Orang lain yang
bodoh. Then tersentak ketika kata itu muncul. Dia sendiri adalah
seorang warga. Nenek moyangnya juga warga biasa. Semuanya itu
mungkin adalah evolusi politik. Baik di mana pun pasti akan
melalui jalur yang tidak mulus sebelum sampai jalan yang mulus.
Sejenak serasa ada jarum menusuk hatinya, itu artinya setiap tahap
sejarah pasti ada orang bodoh, pasti ada orang mati. Dunia tidak akan
musnah sebelum waktu yang tepat atau tidak lama dunia akan
memasuki krisis alam yang akan memusnahkan semua makhluk dari
bumi ini. Proses sosial atau apalah itu, masih dalam tahap balita
sebelum negara kita melangkah menuju kebaikan sesuai dengan
omongan politikus dari partai apa pun. Entah berapa ratus tahun lagi.
Kalau begitu caranya, apakah bumi tidak akan musnah dulu?
Namun Then tidak memihak pihak lain yang berseberangan
dengan “dia”. Dia salut dengan pihak itu dari segi pembukaan kedok
kejahatan korupsi yang dilakukan oleh politikus. Benar atau tidak,
tidak diketahuinya. Namun dia berpendapat bahwa rakyat sebaiknya
tidak sepihak dengan politikus. Apalagi berada dibawah naungan
perintah mereka. Kita harus menjadi pemeriksa bahkan kalau bisa
menjadi pengawas.
Medan yang penting manusia bukan masalah kasta namun
bagaimana caranya menjaga sesuatu yang diberikan oleh jagad raya
yang bernama bumi ini agar tetap kekal. Menurut Then kita kalah jika
sebagian orang masih memikirkan perbedaan penampilan luar saja.
Waktu masih mahasiswa, teman-temannya sering
mengucapkan kalimat mutiara “Manusia menggunakan akalnya

บุหลันวรรณกรรม 243

terlalu banyak. Jika mencoba menggunakan perasaan, dunia mungkin
tidak akan kacau seperti ini.” kurang lebih seperti itu. Bagaimana
sekarang, negeri kita ini menggunakan perasaan secara maksimal.
Saya rasa, kamu rasa, saya cinta, kamu benci, saya suka, kamu benci,
saya mau yang itu, kamu mau yang ini.
Namun Then sedikit banyak harus peduli dengan jalannya
dunia ini. Paling tidak dapat menjadi informasi penting untuk
pekerjaannya.
Ingat kerjaan, Then langsung tersulut hatinya, dan sudah
saatnya bangun tidur. Berpikir sampai kepala mau pecah. Paling tidak
dari segi nilai yang dapat terhitung, bagi dia segalanya hanya sebuah
fenomena. Sepanjang manusia masih bodoh, pembunuhan akan
selalu terjadi.
Buat apa dia berpikir keras. Lebih baik dia memikirkan
kerjaan. Seandainya ingin memberi teguran sebaiknya tegur lewat
lukisan. Then teringat beberapa kawannya yang telah mendedikasikan
hidupnya berpihak pada sebuah warna. Padahal sebelumnya para
seniman ini di pihak yang sama. Sama-sama melayani masyarakat.
Sekarang malah memihak sampai segan untuk bertemu. Berhubungan
dengan perselisihan ini, jika ingin memandangnya sampai kelihatan
inti masalahnya masih bica dicari caranya. Ini penajaman pemikiran,
mempertajam untuk mengetahui apakah kecerdasan kita dapat
mengikuti fenomena atau tidak. Semua pihak saling mengatakan
bahwa lawannya bodoh. Sampai-sampai orang yang tidak berpihak
seperti dia masih mengatakan bahwa semua bodoh. Kapan manusia
benar-benar bebas. Terlepas dari segala bentuk pengekangan.
Menjadi jiwa yang bebas terbang ke angkasa. Mungkin itu hanya
angan belaka. Then sangat heran dengan orang yang tidak berani
berangan-angan bahwa dia berada di bawah langit dengan bebas

244 Bulan Sastra

tanpa pengekang dari orde mana pun. Walaupun mereka paham betul
bahwa angan-angan dan kenyataan itu tidak sama namun paling tidak
kita harus berani melangkah menuju keindahan dunia indah dalam
angan-angan.
Matahari di sore hari sudah mulai datang. Sudah saatnya
bangun dari tidurnya. Hari ini dia hanya berdiam sepanjang hari.
Makanan juga belum dia sentuh. Dia mau keluar berlari. Berlari
menyambut sinar sore hari. Berlari agar warga bingung dan memandang
dengan mata merendahkan. Namun dia tidak akan menjelaskan
apa-apa. Kan dia sudah mengatakan bahwa saat ini dia sedang
melakukan “Perbincangan dengan Lubuk Hati”. Walaupun baru
hanya 14 perbincangan yang dihasilkan, bagaimana pun juga Then
harus berhasil sesuai impiannya.
Kali ini dunia mungkin berubah. Then menutup matanya,
dan membayangkan riuh suara tepuk tangan. Semua orang memandang
salut padanya di hari pembukaan pameran lukisan berjudul “Perbin-
cangan Dengan Lubuk Hati”. Eh, atau lebih baik menggunakan nama
lain. Biarlah. Sampai nanti lunas 40 lukisan, mungkin dia akan
menemukan nama yang tepat lainnya. Then sudah banyak buang
waktu memikirkan hal yang tidak-tidak. Malam inilah “Perbincangan
dengan Lubuk Hati” akan berlanjut kembali.

Kumpulan cerita pendek “Reuang Khong Reuang” 2013

Nenek Sihir di Atแasม่มGดeบdนuตnกึg

Paretas Hutanggura
Diterjemahkan oleh Sari Suharyo

(1)
Di tanah yang diselimuti kabut pegunungan di wilayah
utara nun jauh di sana, sebuah kecamatan bernama “Can Kapho”.
Sama dengan judul lagu ciptaan penyair tingkat guru. Dia yang tak
kenal Van Gough dan Picasso. Apalagi Joseph Bay atau Andy
Warhall yang semuanya merupakan para seniman papan atas di
dunia ini. Tetapi kalau urusan ayam kentucky, kentang goreng, label
musik Grammy dan RS Entertainment, dia tentu tidak akan
ketinggalan trennya.
Dia bernama Muansaaykham. Seorang gadis remaja terkini
yang menjadi saksi teman-teman sejak kecilnya, Euang dan Koy
hilang ditelan gemerlapnya kehidupan kota. Di desa yang bobrok,
kecamatan yang bobrok, tempat yang siapa saja mau melakukan apa
saja demi lepas dari kemiskinan. Bagi para penguasa, hukum
tinggallah hukum. Pegawai negeri atau pegawai saya. Walaupun dia
hanya seorang gadi pemalu namun dia sudah muak dengan suasana

246 Bulan Sastra

gila yang semakin menekan dari segala arah. Hal itu perlahan
menjadi kedendaman yang harus takluk terhadap propaganda hebat di
negeri ini. Pendidikan atau penindasan? Itu sama sekali tidak
membangun norma lain selain uang itu surga dunia dan itu memang
benar jika didapat dengan waktu cepat.
Kini panasnya terik matahari di bulan April menerangi dalam
ruangan. Setelah Muansaayphin, kakaknya yang cantik mengunjungi
rumah dengan wajah yang jelita yang dipamerkannya seperti mobil
yang dimodifikasi untuk balap. Kedatangannya membuat warga yang
melihatnya sedikit merasa segar. Juga tidak lupa melipat uang
menjadi kecil-kecil untuk diberikan kepada kakek neneknya.
Muansaaykham bertekad membuang kehidupannya yang miskin dan
membereskan tasnya untuk ikut bersama kakaknya mengadu nasib ke
kota.
Setengah tahun sudah Muansaaykham tinggal sekamar
berlima, dengan kakaknya dan teman-temannya kakaknya. Hanya
kakaknya dan kawanannya yang berhak bangun siang. Syaratnya
mereka harus berdandan cantik sebelum jam 12 siang untuk bertugas
di salon bawah. Kaca depan salon dilapisi film hitam pekat hingga
membuat suasana salon seakan-akan hanya mengenal waktu malam
sepanjang hari. Mereka akan melayani para pelanggan sampai jam 12
malam. Setelah itu, entahlah, mau terima kerja sampingan lain juga
terserah.
Berkat sinetron-sinetron top yang pernah ditontonnya,
Muansaaykham segera dapat menyimpulkan bahwa kakaknya adalah
pemeran tokoh pendosa bukan tokoh utama baik hati. Aktivitas rias
merias cuma sebagai kamuflase supaya bisa memboyong para lelaki
naik ke kamar sempit yang hanya diberi sekat-sekat seadanya.

บหุ ลนั วรรณกรรม 247

Warna dinding hijau juga bikin mual jadi ingat dahak atau ingus.
Namun apa boleh buat dia terpaksa menjalankan tugasnya
bersih-bersih secara kakaknya menitip dirinya kepada pemilik salon.
Suatu hari Muansaaykham merasa bosan, lalu mulai berbicara

dengan cermin.
” “Bekerja di sini bakal dapat apa? Aku ini sudah 18 tahun.

Badanku juga gak jauh beda. Kenapa aku gak bisa kerja sep-
erti kakak Saayphin. Jadi bisa bantu cari uang tambah banyak
lagi.”
Lama-kelamaan dia pun punya keberanian dengan
membobol benteng rasa malunya untuk mengutarakan isi hatinya
kepada kakaknya. Tamparan keras pun melayang dan kemudian
memerahkan pipinya, merah bagai kulit leci walaupun kakaknya
menyetujui ide sang adik. Setelah itu mereka pun saling berpelukan
dan menangis. Suasana haru melanda dan turut terharu juga Si
Taengkhaaw, Si Cheunchaba dan Si Somwaandaeng, para kawanan
penghuni kamar.
Si Tante tersenyum bagai bidadari, lalu mengelus kepala
“Besok nih” Muansaaykham bergumam di depan cermin.
“Besok sudah waktunya aku harus melucuti beha dan celana
dalamku di depan lelaki yang entah siapa dia. Apakah aku sanggup?
Sudahlah. Tutup mata dan biarlah segalanya berlalu saja. Aku hanya
kasihan kepada kakek nenek yang mungkin sedang mendoakan aku
agar aku jadi orang yang baik-baik. Doanya tiga hal, semoga makmur,
bermartabat dan bernasib baik, serta bias jaga diri dengan baik tetapi
takut juga. Bagaimana kita bisa tahu, kita akan bertemu dengan orang
baik hati atau bajingan.

248 Bulan Sastra

“Kak Saayphin, aku tidak sanggup. Aku tidak bisa. Maafin
aku”
“Loh, Saaykham, kok kamu tiba-tiba jadi takut begitu.
Uangnya kan sudah diterima. Aku tau, kamu punya impian jadi artis,
jadi penyanyi, tapi itu susah untuk terwujud, tau tidak?
“Tetapi aku takut”
“Kamu harus berani!”
“Aku tidak berani”
“Tidak berani aku gampar!”
Berjam-jam sudah, masih belum ada kesimpulan sehingga
akhirnya campur tangan si tante besarlah yang dibutuhkan,
sampai-sampai dia harus naik ke tingkat 3. Sesampainya di kamar,
diusirlah semua termasuk sang kakak. Lalu dia duduk di atas kasur
butut sambil memanggil Muansaaykham. Dielusnya pipi Saaykham
dan diberinya senyum manis bak sang dewi khayangan.
“Dalam perjalanan hidup yang begitu panjang ini, sebagai
orang yang sudah makan asam garam sebelum kamu. Hati manusia
itu sangat sulit terjangkau dalamnya. Tetapi kamu tau, tante besar
inilah yang mampu menguasai hati manusia. Kamu percaya tidak, dari
keempat ruang jantung hati manusia, ruang 1-2 sebelah kanan adalah
tempat untuk keberanian. Ruang 3-4 sebelah kiri, sebagai
pengimbangnya, sebagai tempat rasa malu, rasa takut terhadap
segala perbuatan dosa. Manusia itu seringkali gagal melakukan
sesuatu, ya ruang malu inilah penyebabnya. Makanya, sumbat saja!”
“Waduh, apanya yang disumbat?”
“Ya, ruang malumu itu. Kamu ini orang baik-baik, tante tau.
Di sini bukan tempat untuk kebaikan. Kamu masih punya apa selain
rasa cinta, serakah, marah, emosi seperti manusia-manusia umumnya.

บหุ ลันวรรณกรรม 249

Sayangnya kamu masih kurang lihai dengan dunia yang penuh dengan
binatang buas ini. Punya wajah cantik sejak lahir masih juga tidak
berani dipertunjukkan ke siapa-siapa. Tante besar cinta semua
anak-anak di sini. Tante ingin membantu. Apakah kamu percaya
dengan tante?”
Muansaaykham menyimak tanpa suara. Kata-kata tante itu
seakan menghantam bendungan jiwanya hingga tercurah menjadi
aliran air mata yang kini membasahi pipinya. Dia teringat pada kakek
neneknya yang telah mengasuhnya sedari kecil sebagai pengganti orang
tuanya. Betapa bayangan akan gigi-gigi mereka yang sudah rapuh
itu menusuk lubuk hatinya dan semakin lama beralih menyelimuti
sayup doa-doa mereka hingga senyap dan seketika dia memutuskan
“Aku percaya tante besar.”
“Di gang Patpong sesudah dari jam 11 malam, saat
pertunjukan pantat cewek sambil gelantungan di tiang-tiang mulai.
Pengunjung yang mabuk birahi serta mengisap narkoba. Berhentilah
kamu di tengah gang. Tante akan kontak si banci kawakan bertato
lalat di dahi untuk jemput kamu. Dia akan bawa kamu ketemu den-
gan nenek sihir umur 143 tahun yang menobatkan dirinya sebagai
penyihir di gedung hitam 54 tingkat 3. Dia akan melakukan ritual
dengan tanah rebus yang diberi mantra untuk menyumpal ruang hati
yang pengecut yang malu terhadap perbuatan dosa. Tidak ada lagi
bantuan yang layak aku berikan kecuali ruang hati keberanian yang
akan mengendalikan menuju kemenangan dan kesuksesan padamu.
Percayalah aku, sumbatlah malam ini langsung. Mau naik taksi atau
bus kota, coba kamu pikirkan.”

250 Bulan Sastra

(2)
Jam 8 malam tepat, sesudah mandi dan dandan, Muansaykham
lagi-lagi merasa lemah. Sepertinya rasa malunya masih berfungsi
mengalir ke seluruh tubuhnya. Rasa panas menjalar ke seluruh
tubuhnya bahkan sampai ke titik rahasianya. Semua bercampuraduk
dengan rasa ragu dan dendam di hati hingga rasanya ingin
menangisi keadaannya ini. Ketika semangatnya kembali membara jadi
ingin menertawai suara sayup doa kakek neneknya. “Ah sudah cukup”
pikirnya. Sekarang dia harus konsentrasi untuk menemui sang nenek
sihir itu. Kan kalau sudah disumbat lubang malunya, apa pun bisa
dilakukan dengan mudah.
Muansaykham berjalan “tok tok” menyusuri rel kereta ke
stasiun. Dia harus menembus jalan ke arah halte bus. Di tangannya
ada lipatan katung kresek Robinson yang isinya surat dari tante
kepada nenek sihir. Dia sih pernah dengar soal santet kulit kerbau ke
dalam lambung tetapi menyumbat hati dengan tanah rasanya aneh dan
kok bisa terjadi padanya.
Suara isak sayup-sayup terdengar dari tempat yang
dilewatinya. Setelah diperhatian, di sekitarnya hanya ada rel kereta di
mana-mana. Selain itu ada orang-orang yang berada di stasiun jauh
di depan sana, lalu ada anak-anak sedang bermain dengan seekor
anjing. Suara sendu masih terdengar berselingan dengan teriakan
anak-anak. Dia mencoba mendekat, setelah dekat dia melihat seekor
anjing besar yang bulunya berantakan sedang menangis tersedu-sedu.
Seorang anak menarik ekornya, anak yang satu lagi mecolek-colek-nya
dengan batang kayu, yang satu malah menginjak kepala anjing itu.
Dia merasa kasihan dan mengusir sambil memaki hingga anak-anak
itu kabur luntang-lanting.

บหุ ลันวรรณกรรม 251

“Anjing besar, suara tangis seperti manusia”
“Huh u… aku ini bukan anjing. Aku singa.”
“Walah….kamu bisa bicara bahasaku, kamu singa, gawat!
Kamu bakal mencabik-cabik dagingku tidak nih?”
Singa duduk, lalu menyeka air matanya dan mengkibaskan
kepalanya agar bulunya kembali tertata. Sinar dari tiang tinggi
mengenai tubuh kumal dengan bekas luka di beberapa bagian.
Walaupun sudah hilang kharismanya sebagai raja hutan namun aura
menyegankannya yang tersembunyi di telapak kakinya yang besar
sebagai tempat tersimpannya kuku-kuku tajam. Singa berusaha
berhenti menangis saat diperhatikan oleh Muansaaykham.
Muansaaykham memberanikan diri untuk memberinya saputangan
bergambar penguin sebelum bertanya apa-apa.
“Aku baru saja mencabik daging seorang manusia” singa
bercerita dengan tersedu-sedu.
“Walah…”
“Aku dibayar untuk makan si manusia tak beruntung itu.
Sangat mengerikan. Aku tidak pernah membunuh atau makan
siapa-siapa. Namun kali ini aku terpaksa melakukannya….hu….hu…”
“Kamu adalah pembunuh” Muansaaykham keceplosan.
“Aku tahu. Tetapi yang disalahkan harusnya bangsa anjing,
kucing, budak dan rakyat jelata bodoh itu yang menertawakan raja
hutan yang harus menjadi pelayan, tukang bersih kaca mobil, jadi
pegawai pom bensin, padahal aku sendiri tidak pernah memandang
rendah semua profesi itu. Namun lama kelamaan, saking seringnya
diledek, aku jadi benar-benar benci. Aku akhirnya berhenti. Aku rela
menjadi singa yang melarat di kota. Semakin hari, aku merasa lapar

252 Bulan Sastra

dan merindukan saat bermain dengan landak, gajah, banteng. Aku
membutuhkan uang untuk kembali ke hutan. Sampai akhirnya ada
yang menawarkan pekerjaan.”
“Dia menyuruh aku membunuh orang.”
“Betul kakak.Dia membayar aku tiga puluh ribu untuk makan
yang memberinya hutang.”
Singa menceritakan rincian lainnya sampai selesai.Setelah
itu dia minta gentian si gadis yang bercerita kisahnya.Muansaaykham
bercerita segala isi hatinya sampai akhirnya pecah tangisnya. Singa
menunjukkan keprihatinannya dengan menjilat muka sang gadis.
Ketika dia sadar bahwa bisa-bisa dia jadi makan sang gadis, lalu dia
bergerak menjauh. Saat Muansaaykham menatap matanya sekali lagi,
kelihatan kilau aneh yang terpancar dari mata singa, lalu singa pun
berkata.
“Kakak, tolong bawa aku ke nenek sihir.Biar nenek sihir
sumbat hatiku yang lembut ini sehingga aku tidak usah menangis
bersedih lagi dengan segala perbuatanku.Aku jadi bisa leluasa mencari
uang dengan bekal hati yang berani saja.Aku hanya butuh sejumlah
uang agar aku bisa kembali ke hutan dan tidak akan keluar-keluar
lagi.”
Muansaaykham sedikit merasa malu sudah menceritakan
hidupnya yang kotor itu kepada singa tetapi biarlah…. Orang dan
hewan kadang tidak jauh beda nasibnya. Siapa juga yang peduli. Oleh
karena itu malam ini sang gadis memberikan senyuman bercampur
dendam terpendam sebelum teriak keras “Believe in tante besar!” lalu
berlari supaya dikejar oleh singa sepajang rel kereta api “Tuut!” suara
kereta api melesat dengan pancaran sinar menembus gelap malam.
Muansaaykham kini jadi menunggang singa.Sang singa

บุหลนั วรรณกรรม 253

membawanya lompat lincah masuk ke dalam stasiun Hualampong,
melewati gelandangan yang tidur seperti anjing jalanan.Dia lihat
beberapa orang tumbuh buntut jadi anjing sungguhan. Singa melangkah
lebar-lebar dan melompat ke trotoar. Lalu lompat menginjak atap
mobil yang sedang parkir sepanjang tepi jalan depan toko jam, warung
bakso, warung nasi babi sampai halte bis. Dia merasa banyak sekali
orang dan mulai memandang penuh rasa ingin tahu.Lalu menyuruh
singa melangkah pelan ke halte selanjutnya yang lebih lengang.Namun
harus menemui hal yang mengejutkan.
Keduanya melihat kaki orang muncul dari tong sampah.
Kepala dan badannya sepertinya tersungkur di dalam.Singa mengaum
“Aum!” Muangsaaykham berteriak “Walah!”.
“Siapa yang ada di situ.Tolong aku.”
Ada suara membelah aroma busuk sampah.Muansaaykham
lompat turun dari punggung singa dan menyuruh singa membantu
sosok itu. Singa memukul tong sampai guling. Lalu dengan perlahan
menggunakan rahangnya yang kuat menarik sumber suara tadi keluar.
Saat terlepas, tampak tubuh dengan pakaian petani warna biru tua yang
sudah butut, kancingnya pun sudah hilang beberapa. Di kepalanya ada
topi berwarna hitam. Yang aneh adalah bagian tubuhnya itu
semuanya dari jerami yang disatukan erat dan ada tusukan sate
menancap di mana-mana.
“Wah… orangan sawah, apa yang kamu lakukan di sini. Lalu
kamu bisa bicara bahasa manusia.”
“Aum” singa mengaum.
Orangan sawah segera mengucapkan terima kasih.
Kemudian setelah dibantu mencabut tusuk-tusuk sate, dia berterima
kasih sekali lagi. Muansaaykham mengajaknya berbincang dan
menanyakan asal usulnya. Sedangkan ada beberapa orang yang

254 Bulan Sastra

hampir menyerempet lalu memandang dengan antusias sambil lalu
tersenyum meledek karena merasa dirinya lebih beruntung.
“Karena saya ingin menjadi manusia, saya bosan berdiri di tengah
sawah, kepanasan dan kehujanan. Tidak ada harapan dan tidak ada
hiburan. Lalu siapa yang menduga bahwa suatu hari sayang yang
berotak tipis ini dibisiki oleh gagak kesayangan bahwa di dalam
tanah ada sesuattu yang muncul karena terkikis air. Kami berdua saling
membantu menggali, teryata adalah sebuah tas James Bonn besar
berwarna hitam. Di dalamnya padat dengan uang lembaran seribuan.
Kami berdua tidak berniat mencari pemiliknya atau mengembalikannya
kepada siapa pun. Selain berseru di tengah sawah, kalau kita sudah
kaya, kita akan pergi dari sini.”
Lalu orangan sawah mjulai memijat kepalanya. Badannya
gemetar seperti masih ada trauma dalam hatinya. Muansaaykham
harus menggoyang tubuh orangan sawah supaya sadar dan dapat me-
neruskan ceritanya.
“Saya harus mengakui bahwa uang banyak membuat saya
stres. Saya ingin menjadi orang yang bisa berhura-hura minum-minum,
punya mobil, dikelilingi cewek-cewek, dipuji banyak orang. Saya
pernah mencoba menghitung uang di dalam tas itu. Menurut perhi-
tungan saya, kalau isi tas ini dibagi dua dengan gagak, jumlahnya tidak
cukup. Lalu saya…….saya membunuh gagak itu. Saya cekik dengan
tangan saya. Hu….. hu……”
Orangan sawah mulai menangis tersedu-sedu. Dia merasa
menyesal. Ingin menjadi biksu untuk membayar dosanya pun tidak
bisa. Jadi harus kabur ke Bangkok tetapi gambar kejadian gagak
matanya membelalak di tangan saya ini masih menghantui saya
sampai hampir gila. Orang-orang yang melihat saya selalu
mengerjai saya, anjing suka mengejar saya, anak-anak suka menyiram

บหุ ลนั วรรณกรรม 255

saya dan kadang-kadang menusuk saya dengan tusuk sate. Paling
parah disungkurkan ke dalam tong sampah oleh pemuda-pemuda iseng.
Walaupun Muansaaykham merasa jijik dengan pengkhianatan
seperti itu. Namun melihat kondisinya yang kacau berantakan,
dia bisa turut merasakan siksanya. Dia menghiburnya dengan
menceritakan tentang nenek sihir sambil basa-basi mengajaknya
pergi bersama. Walaupun masih ragu apakah tindakannya ini benar
atau salah dengan menawarkan diri menjadi pemimpin mereka
menuju medan pemusnahan rasa malu. Namun dia berpikir tentang
perasaan bersalah yang tersimpan lama yang bisa dianggap sebagai
langkah salah besar dalam hidupnya yang tidak patut dimaafkan.
Saat orangan sawah selesai mendengarkan ceritanya langsung segera
minta ikut ke nenek sihir berapa pun biayanya. Muansaaykham dan
singa tertawa lalu mempersiapkan diri saat melihat bus kota jurusan
keinginan melaju mendekat halte. Akhirnya semua naik bersama.
Bus itu berlari kencang. Tidak banyak penumpang. Udara
malam di kota menghembuskan angin bercampur polusi yang
menimpa wajahnya hingga harus menahannya dengan kresek
Robinson. Kursi depan ada dia dan orangan sawah. Sedangkan kursi
belakang, tidak dia perhatikan sampai ada tangan yang mencoleknya
dari belakang, baru dia menengok ke belakang.
“Anu…dik.”
“Walah…”
Muansaaykham menjerit setelah melihat yang mencoleknya
tadi. Bukan manusia melainkan sebuah robot kaleng berwajah kocak.
Persis mesin cuci dua bak zaman dulu. Punya kaki tangan berwarna
hitam mirip selang penyedot toilet. Saat orangan sawah dan singa
ikut menoleh ke belakang, si robot kaleng terkejut sampai mesinnya
sempat kacau.

256 Bulan Sastra

“Anu… maaf. Om robot kaleng. Kebetulan tadi menguping
adik berbincang di halte bahwa adik mau ke nenek sihir. Om sangat
tertarik jadi buru-buru loncat ke atas bus ini.”
Lalu dia mulai menjabarkan alasan keinginannya untuk mati
karena sudah ketinggalan zaman. Dia ditendang oleh pemiliknya
seperti sampah kaleng. Lalu dijual oleh pecandu narkoba ke sebuah
grup lawak. Pelawak-pelawak itu menerimanya dan mendandaninya
menjadi waria lalu dipaksa berbicara jorok, lalu menari idiot, main
lawakan kasar, jadi kabur dengan perasaan malu sebagai mantan
inovasi hebat di bidang elektronik tetapi harus sengsara tak berharga
diri seperti ini hingga ingin meminta kepada nenek sihir untuk
menyumbat program malunya agar bebas dari masalah kesengsaraannya.
Singa memberi saran, kalau sudah disumbat, buat saja grup lawak
sendiri. Orangan sawah menyetujuinya. Muansaaykham tertawa lega
yang merupakan tawa lega pertama di malam ini sebab tiba-tiba dia
punya tambahan teman setekad 3 sosok lagi.

(3)

Jam setengah sepuluh malam, Muansaay dengan wajah
bening, memakai rok jins dengan baju kotak-kotak. Kak Taengkhaw
yang telah merajut kepang dua untuknya. Dia kelihatan seperti bintang
film Tionghoa. Saat dia melangkah memasuki gang Patpong yang
sarat dengan gerombolan turis seperti laron yang mengerumuni bohlam
dan agaknya tidak kecewa dengan yang ada di sini. Di sini ada bohlam
besar ada juga bohlam kecil bergelantungan di kedua sisi jalan
sampai ke atas gedung-gedungnya yang terangkai menjadi hiasan
pintu, menjadi sebuah tulisan.

บุหลันวรรณกรรม 257

“Masa kecil tak sekolah, besarnya jadi tukang semir…”
Lagu popular itu berkumandang membuat Muansaay mengayunkan
kantung plastiknya dan kepalanya bergoyang. Dia ingin sekali
menjadi penari latar. Singa mengikutinya dari belakang dengan
perasaan was-was dan mulai menyadari akan kekuatan manusia
hingga dia merasa tidak mungkin dia berprofesi jadi pemakan
manusia. Orangan sawah juga berjalan di sampingnya. Di sekujur
tubuhnya mulai ada tusukan sate menancap lagi. Sedangkan robot
kaleng berada di paling terakhir dan dengan ciri matanya yang besar,
mulutnya seperti laci besar mirip kartun sehingga sering digoda
perempuan-perempuan berpakaian seksi. Sementara yang laki-laki
gemar membuka mulutnya lalu membuang puntung rokok ke dalam
supaya si robot kaleng teriak kesakitan.
Semuanya berhenti di tengah gang diantara kedua sisi
kemaksiatan. Sementara beberapa pasang mata sedang mencari keun-
tungan. Pandangan mata Muansaaykham beradu dengan seorang
banci kawakan yang diceritakan tante besar. Dia agak sedikit kekar
tetapi ada sedikit kecantikan dalam raut wajahnya. Bibirnya yang
merah seperti baru makan darah kelihatan menakutkan. Saat berbincang,
Muansaaykham memperkenalkan anggota yang baru bergabung.
Semua berlanjut, banci kawakan yang punya tato bergambar lalat di
dahinya itu membawa mereka berjalan menghindar dari kerumunan
manusia dan masuk ke dalam jalan sempit. Ada seorang bule
menggodanya. Sejenak mereka sudah sampai gedung hitam berbentuk
kotak 3 tingkat. Nomor yang tertera adalah 54 yang tertulis dengan
lampu neon terang dan jelas. Rombongan mereka diajak menaiki lift
ke tingkat 3 lalu memasuki ruangan berAC dingin. Selanjutnya
mereka dibawa untuk membuat kartu di konter. Setelah itu duduk di

258 Bulan Sastra

sebelah seorang wakil rakyat muda, pegawai negeri lugu, artis, anjing,
dan anak gadis 2 orang yang kelihatan gugup. Di hadapannya adalah
pembatas ruangan yang dicat hitam. Ada pintu kaca stain glass
berbentuk hati terbelah dua masing-masing sisi berwarna hitam dan
merah untuk menemui nenek sihir.
Akhirnya jam sepuluh malam menjadi sebelas malam atau
tengah malam. Semua upacara selesai. Kejadian tatap muka dengan
nenek sihir dengan mereka tidak setegang yang dipikirkan. Ada saat
merasa malu yaitu waktu harus telanjang memamerkan buah-buah
indah di depan teman-teman. Sedangkan sang nenek sihir bagai
dibungkus dengan kain kusam di dalam ruangan sempit sambil
bergumam kata-kata yang aneh pada sebuah kendi keramik yang
berisi dupa-dupa dan lilin-lilin. Setelah itu menunjuk ke arah jantung.
Dia baru mau berbicara hanya saat membujuk untuk menambah biaya
ekstra untuk beberapa jasa special tambahan. Sebelum keluar dari
tempat tersebut, sekretaris nenek sihir akan menngingatkan lagi
kepada para pelanggannya semua bahwa hati yang disumbat rasa
malunya itu akan mulai bekerja maksimal setelah 1 jam kemudian.
Mereka berempat kembali ke jalan di luar. Kali ini
gemerlap sinar, cewek-cewek yang berpakaian minim tidak lagi
menggangggu hatinya. Semua sedang mengalami keresahan jiwa.
Belum dapat terduga, selepas waktu 1 jam nanti, hatinya yang baru ini
akan berpengaruh seperti apa kepada mereka.
Muansaaykham berjalam mendahului singa, orangan sawah,
dan robot kaleng paling terakhir. Sesampainya di Jalan Silom, banyak
taksi yang ngetem dan menawarkan jasanya. Dia merasa terganggu
sehingga mengajak semuanya menyeberang ke sisi yang lain yang
lebih lengang. Kemudian berjalan menyusuri pertokoan yang sudah

บุหลนั วรรณกรรม 259

banyak yang tutup sampai di ujung jalan di depan hotel Dusit Thani.
Dia melihat taman Lumphini di depannya dan melihat bayangan
pohon-pohon hitam. Dia berkeputusan untuk mengajak semuanya
menyeberang ke sana.
Sampai di sini, semua mengeluh keberatan hati.

(4)
Pukul 01.00 di taman Lumphini
“Terlalu cepat bagi kakek yang sudah renta seperti aku untuk
mengingatnya. Aku melihat 4 sosok lompat melewati pagar masuk
seperti hantu. Aku dengar mereka bertengkar. Singa mengaku
punya nafsu birahi terhadap Muansaaykham dan minta bercinta
dengannya duluan. Dia mengumbar sumber keuangannya yang dapat
membahagiakan Muansaaykham dari profesinya sebagai pemakan
manusia. Si orangan sawah membantah tidak rela dengan nada tinggi
dan mengambil bergepok-gepok uang yang entah uang apa. Dia
katakana akan diberikan semua pada si gadis kalau mau tidur
dengannya dulu.
Sedangkan robot kaleng menari-nari, lalu menendang kaki
orangan sawah, menendang bokong singa, lalu mengatakan bahwa
Muansaaykham harus menjadi bininya dulu. Dia akan membawa sang
gadis kabur lalu membuat grup lawak yang paling tenar. Muang-
saaykham tertawa terbahak-bahak sambil menghentak kakinya seraya
berteriak “Hidup yang tidak ada malu itu bagus sekali”
“Lalu aku lihat mereka berkelahi dan saling tinju, sebelum
akhirnya bersepakat. Aku dengar Muansaaykham mengatakan tentang
tas James Bonn warna hitam dan bersedia ditiduri oleh orangan sawah
terlebih dulu.

260 Bulan Sastra

Sayangnya, kakek renta seperti aku ini, batu penyumbat malu
sudah usang, kalau tidak pasti aku sudah rampok mereka”

(5)
Beberapa tahun kemudian, suara lagu “Over The Rainbow” oleh Judy
Garland diperdengarkan di sebuah kondominium milik sang gadis.
Dia pernah bermimpi untuk menjadi putri dalam waktu semalam
seperti Cinderella, tetapi hanya bias jadi “Pasca Cinderella” atau istri
simpanan saja.
Dia tidak menyesal dan berkata,
“Karena serigala telah merubah dunia kek”
Notebene : Dengan penuh rasa hormat terhadap cerita The Wizard of
Oz, dongeng anak-anak karya L. Frank Baum.

Roh Penunggu
เจา้ ท่ี

Mala Khamchan
Diterjemahkan oleh Hamam Supriyadi

Noiyuang sangat khawatir dengan penyakit Si Deang anak
bungsunya yang berumur 5 tahun. Sudah 4 hari Si Deang sakit.
Meskipun dokter Ai mampir untuk menyuntiknya setiap hari.
Malam-malam Deang sering mengigau dan menjerit ketakutan.
Dokter Ai bilang Deang kena demam jilatan anjing Apabila disuntik
hingga 10 kali barulah akan sembuh. Sepuluh kali harganya 200 Bath.
Dia khawatir mengenai pembayarannya karena uang yang pernah dia
pinjam dari tetangga belum dia kembalikan. Kalau cari pinjaman lagi,
mungkin nanti akan menjadi bahan gunjingan orang sedesa.
Hari itu menjelang senja. Sinar matahari memancar dan
mengenai pagar di pojok belakang rumah, tempat rumah roh
penunggu itu ditempatkan. Senja itu Noi Yuang duduk di pintu
belakang gubuknya. Dia memandangi tempat itu sembari berpikir.
“Si Deang kencing di rumah roh penunggu itu” Si Dong anak
lelaki Nanloon yang berumur sepuluh tahun mengatakan hal itu
kepadanya di hari pertama si Deang jatuh sakit. Dia bercerita hari

262 Bulan Sastra

itu mereka sedang bermain di sekitar tempat suci itu. Si Deang
kebelet kencing, jadi dia kencing di dekat rumah roh penunggu itu
tanpa mememinta ijin terlebih dahulu. Malam itu setelah mendengar
kabar kalau Si Deang mendadak sakit, tetangganya datang untuk
menengok.
“Sudah kuduga sebelumnya ! ” Nanloon menampar lututnya
sendiri “ Kejadian ini tidak wajar. Si Deang sakit karena roh
penunggu menghukumnya ” Kamu harus secepatnya minta kakek Long
untuk melakukan upacara permintaan maaf.
Ada sesuatu yang tertangkap dalam penglihatan Noi Yuang.
Dia melihat Dam, seekor anjing hitam sedang kencing di dekat rumah
roh dengan cara mengangkat satu kakinya dan air kencingnya
menyemprot ke tiang tempat suci itu. Seusai kencing, anjing itu
langsung berlari.
Tidak ada seorang pun yang bisa tahu kalau roh penunggu
akan melindungi orang yang tinggal di kawasan itu. Tidak juga bisa
dijelaskan, sejak kapan roh penunggu berdiam di situ. Noi Yuang
hanya bisa ingat sewaktu kecil dia pernah duduk untuk mennyembah
roh penunggu dan dia terus melakukannya sampai sekarang.
Sekarang Noi Yuang merasa roh penunggu berlaku tidak adil. Dia
selalu menghormatinya, tetapi mengapa dia menghukum anak
semata wayangnya.
“Makan malam sudah siap! Ayolah makan Pak” Istrinya
tiba-tiba memanggilnya.
“Aku pikir roh penunggu sedang memberi pelajaran Si Deang,
anak kita.” Istrinya bergumam.
“Emm ! ” Noi Yuang tetap makan nasi ketan dengan lauk
sambal dan irisan babi panggang yang Si Deang tidak mau

บุหลันวรรณกรรม 263

memakannya tadi siang . “Aku sudah melakukan upacara permohonan
maaf kepadanya.”
“Mungkin kamu tidak melakukannya dengan benar, pak. Saya
pikir sebaiknya kita menemui Mbah Pha, dukun perantara ”
“Mbah Long sudah melakukan upacara permintaan maaf
untuk Si Deang” Dia menghentikan makannya sebentar. Saya pikir
itu suatu pemikiran yang baik.
Sementara itu kondisi Si Deang, dia selalu mengigau, bahkan
kadang-kadang dia seperti berbicara sendiri. Suhu badannya
kadang-kadang sangat dingin, kadang-kadang sangat panas. Obat
dokter Ai tidak bisa menolong Si Deang.
Suami-istri itu merawat anaknya sampai larut malam
“Dokter Ai menipu kita”
“Aku pikir juga begitu”
Demam “jilatan anjing”? Bedebah! Anak perempuan guru
Tong juga menderita penyakit yang sama pada musim hujan yang lalu.
Tapi dia tidak mengigau seperti Si Deang. Lihat, dia mengigau lagi
seperti ada arwah yang merasukinya. Kita harus cepat mengatasinya.
Badan dukun itu bergetar dengan hebat, sesaat kemudian badannya
mendadak lemas dan terjatuh di atas tikar yang sudah dipersiapkan
sebelumnya. Dukun itu kemudian mengambil bajunya yang berkerah
persegi, dan sarung bercorak Burma yang dililitkan pada pinggangnya.
Dia bangkit, lalu mulai menari dengan gerakan menghentak-hentak.
“ Hai manusia! Kamu punya masalah apa ? Sampaikan kepada saya!”
Noi Yuang menyembah dan menceritakan tentang gejala yang
dialami oleh Si Deang. Dukun itu lalu duduk bersila dan menutup
matanya, sambil menggoyang-goyangkan badannya di atas karpet
yang tebal. Di tempat itu banyak orang yang datang menyaksikannya.
“Sebuah satuong kecil harus dipersiapkan sebagai uba rampe upacara

264 Bulan Sastra

permohonan maaf. Roh penjaga berkata begitu.”
Setelah mendengar jawabab dari dukun itu, Noi Yuang
beranjak mundur untuk memberi kesempatan orang lain untuk maju
ke depan.
“Satuang” dengan ukuran 30 cm yang terbuat dari pohon
pisang. Boneka sapi dan kerbau. Nasi putih, nasi hitam, bunga, lilin,
dan dupa sudah dipersiapkan. Mbah Pha akan melakukan upacara
itu
“Kamu juga harus memberi sesaji untuk roh-roh penunggu
itu sebotol minuman keras dan dua ekor ayam!”
Mbah Pha berkata dengan suara yang dingin. Setelah membawa
Satuang ke rumah roh penunggu. Upacara dilakukan berikutnya
setelah dia menemui dukun.
Kham, istri Noi Yuan terlihat tergopoh-gopoh menuruni
tangga rumah, lalu berbicara dengan suaminya.
“Si Deang sudah mulai punya selera makan hari ini.” “Roh
sudah memberkatinya”. Noi Yuang berjongkok sambil mengangkat
kedua tangannya di atas kepala untuk menyembah, sambil memandang
ke rumah roh tersebut dia berkata: “Saya mohon untuk berbelas
kasihan kepada Deang. Saya berjanji akan membangun satu rumah
roh yang baru”
Keesokan harinya di rumah roh ada bunga lilin dan dupa yang
disiapkan untuk memuja roh.
Si Deang tidur. Dia tidak mengigau lagi, tetapi masih terus
merintih. Malam itu anjing-anjing melolong semalaman. Dan malam
itu juga Si Deang meninggal dunia dalam pelukan ibunya.
“Oh..mengapa roh tidak menaruh belas kasihan kepadaku”
Noi Yuang menangis

บุหลันวรรณกรรม 265

Rumah roh masih berada di tempatnya. Noi Yuang sedang termenung
seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Dam, anjing hitam itu
masih tetap melolong seperti biasanya. Waktu berlalu anjing itu
sudah beranak 4 ekor.
Hari itu Kham sedang mengukus nasi ketan, lalu memberi
makan ayam. Mendadak dia menjadi bingung melihat kelakuan
suaminya “Apa yang kamu lakukan pak?” Dia melihat Noi Yuan,
suaminya sedang menghancurkan tempat roh. Tak berapa lama,
tempat roh penunggu itu sudah hancur rata dengan tanah.
“Pak?”
Noi Yuang membersihkan wajahnya yang penuh dengan
keringat.
“Tak perlu menghormati roh itu lagi. Roh itu tidak bijak. Dia
menghukum anakku, Si Deang sampai meninggal. Pergilah roh
penunggu aku tidak percaya padamu lagi!”

Beberapa Kenangan yang Kabur

ความทรงจ�ำบางอย่างช่างรางเลือน

Rachasak Jirawat
Diterjemahkan oleh Haman Supriyadi

1.
Wanita yang duduk di hadapan saya ini wajahnya tidak berbeda
dari fotonya yang pernah saya lihat sebelumnya. Walaupun foto itu
sudah diambil lebih dari 20 tahun yang lalu, dan walaupun sekarang
ini wajahnya sudah ada kerutannya, tetapi pancaran matanya masihlah
tetap sama. Sepasang mata itu memancar dengan tajam yang
mencerminkan suatu perjuangan sekaligus menyembunyikan
kesedihan di dalamnya. Rambutnya pendek dan berwarna coklat
kemerah-merahan. Membuat penampilannya kelihatan lebih muda
daripada umur yang sesungguhnya. Postur tubuh dan wajahnya
mengingatkan saya kepada Yoko Ono pada usia tuanya. Betul, dia
berkebangsaan yang sama dengan istri almarhum penyanyi terkenal
itu. Saat bertemu dengan saya, dia berbicara dengan saya dengan
bahasa inggris yang sangat fasih. Maka pembawaannya kelihatan jauh
lebih intelek daripada seorang artis.

บุหลนั วรรณกรรม 267

Waktu pertemuan itu adalah pada suatu pagi hari di hari
Minggu di akhir bulan Juli. Sesampai di toko kopi, tempat kami
berjanji untuk bertemu. Kita berjabatan tangan, lalu dia memperkenal-
kan diri. “Apakah anda Khata? Saya Miyama…Miyama Hiroko.”


2.
Semua peristiwa itu dimulai dari buku-buku itu. Buku yang
tersimpan di dalam lemari buku milik ayah. Seperti biasanya,
kegiatan rutin yang saya lakukan ketika saya punya waktu senggang
di hari libur adalah saya akan memilih dan membaca buku yang
tersimpan di dalam lemari ayah. Lemari itu adalah lemari permanen
yang terbuat dari kayu. Panjangnya 3 meter. Lemari itu terbagi ke
dalam 3 lapis dan terbagi lagi ke dalam rak-rak. Setiap raknya padat
terisi dengan berbagai jenis buku, baik buku yang berbahasa Thai
maupun yang berbahasa Inggris. Beberapa rak ditempati dengan
buku-buku yang ditata sesuai kategori bukunya, atau ditata
berdasarkan nama penulisnya. Namun juga ada rak yang isinya
campur aduk berbagai jenis buku. Sebagian dari buku, usianya sudah
sangat tua sehingga kertasnya berwarna kuning. Saat membuka buku
itu, aroma buku tua tercium kuat masuk ke dalam hidung. Beberapa
buku kondisinya masih tetap baik, walaupun usianya sudah
melewati berbagai dekade. Meskipun ayah telah meninggal dunia pada
dua tahun yang lalu, tetapi setiap kali saya berdiri di depan lemari
buku ini dan memandangi buku-buku itu saya masih dapat
merasakan kehadiran ayah di situ. Setiap kali ketika saya mengambil
buku milik ayah, lalu membacanya saya merasa beliau berada di dekat

268 Bulan Sastra


Click to View FlipBook Version