SIDANG PROMOSI
MITIGASI PERUBAHAN IKLIM : PERANAN
HUKUM DALAM INSTRUMEN DAN INSTITUSI
INTERNASIONAL SERTA NASIONAL
DENI BRAM
0906597502
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
JAKARTA
2013
MITIGASI PERUBAHAN IKLIM : PERAN HUKUM SEBAGAI
INSTRUMEN DAN INSTITUSI INTERNASIONAL SERTA NASIONAL
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang Penelitian……………………………………….. 1
1.2 Perumusan Masalah……………………………………………... 19
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………… 20
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………….. 21
1.5 Kerangka Teoretis………………………………………………… 22
1.6 Tinjauan Pustaka………………………………………………… 34
1.7 Kerangka Konseptual…………………………………………….. 39
1.8 Metode Penelitian…………………………………………………. 42
1.9 Sistematika Penulisan……………………………………………... 45
BAB II. PERUBAHAN IKLIM DALAM KEPENTINGAN MASYARAKAT 47
INTERNASIONAL SERTA RESPONS GLOBAL TERHADAP 47
PERUBAHAN IKLIM …………………………………………...…… 50
2.1 Perubahan Iklim Sebagai Isu Internasional……………………………….
2.1.1. Sumber dan Dampak Perubahan Iklim…………………………….
2.2 Perubahan Iklim Sebagai Kajian Internasional…………………………… 74
2.3 Upaya Mitigasi Gas Rumah Kaca Sebagai Pilihan Penanggulangan 81
89
Perubahan Iklim…………………….……………………………………..
2.4 Tanggapan Masyarakat Internasional dalam Penanggulangan
Perubahan Iklim…………………….………………………………………
BAB III. PILIHAN MODEL KOMITMEN MITIGASI PERUBAHAN 107
IKLIM YANG ADIL DAN EFEKTIF ………………...…………... 107
110
3.1 Pengantar ………………………………………………………………..
3.2 Peran dan Kepentingan Nasional dalam Rezim Perubahan Iklim………. 124
3.3 Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim dalam Kerangka United Nations 125
132
Framework Convention On Climate Change (UNFCCC) 154
dan Kelengkapannya…………………………………………………… 168
168
3.2.1. Tahapan Sebelum UNFCCC………………………………… 201
3.2.2. UNFCCC……………………………………………………. 214
3.2.3. Protokol Kyoto……………………………………………… 217
3.4 Komitmen Mitigasi dalam Rezim Perubahan Iklim……………………. 220
3.3.1. Sebelum Tahun 2012………………………………………..
3.3.2. Setelah Tahun 2012………………………………………….
3.5 Pendekatan Berbasis Top Down………………………………………….
3.6 Pendekatan Berbass Bottom Up………………………………………….
3.7 Pendekatan Berbasis Multi Track………………………………………...
3.8 Flexible Mechanism sebagai Instrumen Mitigasi Perubahan Iklim……… 225
3.8.1 Perdagangan Emisi (Emission Trading)……………………… 225
3.8.2 Implementasi Bersama (Joint Implementation)……………… 233
3.8.3 Mekanisme Pembangunan Bersih
(Clean Development Mechanism)……………………………. 243
3.8.4 Reduction of Emissions from Deforestation and
Forest Degradation (REDD)…………………………………. 252
BAB IV. PERAN DAN LANGKAH HUKUM INDONESIA TERKAIT 268
DENGAN ISU MITIGASI DALAM PENANGGULANGAN
PERUBAHAN IKLIM………………………………………………. 270
276
4.1. Mengukur Keseriusan dan Kesiapan Indonesia menghadapi 283
Isu Mitigasi dalam Perumusan Kebijakan Nasional……………………….. 298
4.1.1 Perubahan Iklim dalam Regulasi Lingkungan Hidup……………… 355
4.1.2 Mitigasi Perubahan Iklim sebagai Rencana Aksi Nasional………… 358
4.1.3 Perubahan Iklim dalam Regulasi Sektoral…………………………. 366
367
4.2 Kewenangan Institusional Nasional Dalam Perubahan Iklim……………… 367
4.2.1 Kewenangan dan Peran Institusi Perubahan Iklim…………………. 371
4.2.2 Lembaga Sektoral…………………………………………………..
4.3 Posisi Pelaksanaan REDD di Indonesia…………………………….………
4.3.1 Pengantar……………………………………………………….……
4.3.2 Evaluasi atas Praktek REDD di Indonesia…………………………..
BAB V. PENUTUP………………………………………………………………… 465
5.1. Simpulan…………………………………………………………………… 465
5.2. Saran……………………………………………………………………….. 469
DAFTAR TABEL
TABEL II. 1 66
Luas Lahan yang Rentan Terhadap Intrusi Air Laut
dan Kenaikan Muka Air Laut…………………………………………………………
TABEL II. 2 79
Karakteristik Gas Rumah Kaca Utama……………………………………………….
TABEL II. 3 87
Perbandingan Mitigasi dan Adaptasi Dalam Perubahan Iklim………………………
TABEL II. 4
Hasil Penting dan Isu Utama Perubahan Iklim Sebelum Era 1990 …………………. 102
TABEL III. 1 123
Kelompok Negara dan Kepentingan Dalam Perundingan Perubahan Iklim………..
TABEL III.2 165
Kewajiban Penurunan Emisi Dalam Protokol Kyoto……………………………….
TABEL IV. 1 288
Profil Emisi Indonesia 2005 dan 2020 dengan
Skenario Penurunan Emisi 26 Persen dan 41 Persen………………………………….
TABEL IV. 2 289
Pembagian Penurunan Emisi Berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011…………………………………………..
TABEL IV. 3
Target Penurunan Emisi di Beberapa Negara…………………………………………. 294
TABEL IV. 4
Angka Laju Deforestasi Dari Tahun Ke Tahun……………………………………….. 305
TABEL IV. 5 317
Angka Penanganan Perkara Illegal Logging 2007 – 2012……………………………
TABEL IV. 6 322
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008………………………………………….
TABEL IV. 7 333
Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis 334
Tahun 1987-2010 di Indonesia………………………………………………….. 357
387
TABEL IV. 8 405
Jumlah Kendaraan Bermotor di Jakarta………………………………………….
416
TABEL IV. 9
Kelembagaan Perubahan Iklim Negara – Negara ASEAN………………………… 421
429
TABEL IV. 10 432
Peraturan Perundang‐Undangan Mengenai Pemanfaatan Jasa Lingkungan…….
TABEL IV.11
Luasan PIPIB dari Awal Hingga Revisi IV………………………………………..
TABEL IV.12
Perbandingan Konsep Masyarakat Adat Menurut Pemerintah
dan Masyarakat Adat………………………………………………………………
TABEL IV.13
Pembagian Pendapatan Proyek Hutan Menurut Permenhut
Nomor 36 Tahun 2009…………………………………………………………….
TABEL IV.14
Perbandingan Jumlah Hutan dan Penyerapan Karbon……………………………
TABEL IV.15
Sumber Pendanaan Perubahan Iklim 2007 – 2016……………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Dari serangkaian revolusi yang telah terjadi dalam bidang politik, ekonomi,
dan sosial di beberapa negara, tidak ada yang dapat memberikan perubahan besar-
besaran terhadap nilai dan prilaku manusia dalam menjalankan kehidupan sebesar
sumbangsih dari revolusi lingkungan.1 Salah satu isu lingkungan hidup yang
memberikan pengaruh signifikan terhadap semua komponen kehidupan dan sistem
kehidupan banyak kalangan saat ini adalah mengenai fenomena perubahan iklim
(climate change).2 Perubahan iklim hadir sebagai suatu bentuk fenomena kerusakan
lingkungan yang memiliki dampak pada hampir setiap bidang kehidupan yang
1 John McCormick, The Global Environment Movement, (New York : John Wiley & Son, 1989).,
hlm.ix.
2 Menurut United Nation Framework Convention on Climate Change atau UNFCCC Perubahan
iklim didefinisikan sebagai bentuk perubahan terhadap iklim yang ada baik disebabkan secara langsung
maupun tidak langsung dari tindakan manusia yang memicu perubahan komposisi atmosfir global yang
juga berpengaruh pada tingkat variabilitas iklim pada kurun waktu tertentu, lihat Perumusan Pasal 1 ayat
(2) United Nation Framework Convention on Climate Change. Isu perubahan iklim merupakan salah satu
isu yang menjadi perhatian besar setiap negara di dunia, bahkan salah seorang ilmuwan terkemuka asal
Inggris, Sir David King, mengatakan bahwa isu perubahan iklim lebih mengkhawatirkan daripada isu
terorisme. Lihat Sir David King, “Climate change science: Adapt, mitigate, or ignore?” Science.
303.(2004). 1776-1777, Selain itu Heather dalam tulisannya memperlihatkan beberapa contoh bencana di
berbagai belahan dunia seperti peningkatan intensitas badai di kawasan Kanada, Alaska dan Selatan
Amerika bencana lainnya juga hadir dalam bentuk banjir di Bangladesh dan India.. Lihat Tompkins
Heather, “Climate Change and Extreme Weather Events: Is there a Connection?” Cicerone 3 (2002).,
hlm.2
1
2
mengancam eksistensi kehidupan manusia baik pada tataran lokal, nasional dan juga
pada tataran global.3
Dalam beberapa penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan perubahan iklim,
diketemukan fakta bahwa aktifitas manusia seperti pembakaran fosil, kegiatan
industri, dan penggunaan lahan secara eksploitatif telah berkontribusi pada
peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2) dan lainnya seperti, methane (CH4),
nitrous oxide (N2O), hydro fluorocarbons (HFCs), per fluorocarbons (PFCs) and
sulfur hexafluoride (SF6) yang pada akhirnya akan berujung pada peningkatan suhu
global secara keseluruhan.4 Pemahaman dasar dari pentingnya kondisi iklim
digambarkan oleh para ilmuwan secara sederhana bahwa tanpa adanya kandungan
gas rumah kaca secara berlebihan bumi ini akan lebih nyaman dan mahkluk hidup
yang ada di dalam nya dapat hidup dengan nyaman.
Berdasarkan hasil laporan tahunan rutin yang disampaikan pada forum
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 6 April 2007 yang
berjudul Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability, dituangkan
beberapa proyeksi ilmiah dampak dari perubahan iklim yang akan terjadi secara
3 Lihat Reuven S. Avi-Yonah David M. Uhlmann Combating Global Climate Change: Why a
Carbon Tax Is a Better Response to Global Warming Than Cap and Trade., 2009. hlm.4. Lihat pula
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), IPCC Second Assessment, Climate Change 1995: A
Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change., hlm.27-36. Lihat pula IPCC, Climate Change
2007: Synthesis Report., hlm.30.
4 Lihat B.D. Santer et al., Detection of Climate Change and Attribution of Causes, in Climate
Change 1995: The Science Of Climate Change 407, 412 (J.T. Houghton et al. eds., 1996). Terdapat 6
(enam) zat yang disebutkan secara spesifik dalam dokumen Protokol Kyoto yang terdiri dari Carbon
dioxide (CO2); Methane (CH4); Nitrous oxide (N2O); Hydrofluorocarbons (HFCs); Perfluorocarbons
(PFCs) dan Sulphur hexafluoride (SF6), kekuatan radiatif dari zat tersebut sebelumnya menyebabkan
umur dari zat tersebut relatif panjang sehingga dampak yang diberikan dapat dikatakan berlangsung lama.
Untuk pemahaman lebih lanjut dapat dilihat pada D. Schimel et al., “Radiative Forcing of Climate
Change” dalam., J.T. Houhton et. al.., Climate Change 1995: The Science Of Climate Change (J.T.
Houghton et al. eds., 1996)., hlm. 76.
3
masif di beberapa negara secara berbeda, antara lain di benua Afrika, antara 75 dan
250 juta orang yang diproyeksikan akan menghadapi peningkatan tekanan air yang
berakibat pada kelangkaan air sebagai derivasi dampak perubahan iklim pada tahun
2020. Produksi pertanian, termasuk akses ke makanan, diproyeksikan akan sangat
membahayakan dan hal ini akan berdampak buruk mata pencaharian, keamanan
pangan dan memperparah gizi buruk di seluruh benua Afrika.5
Dampak yang diperkirakan terjadi di Benua Asia diproyeksikan akan timbul
dari proses pencairan gletser di sekitar pegunungan Himalaya yang akan
mengakibatkan banjir besar dan mempengaruhi sumberdaya air dalam dua hingga
tiga dekade mendatang.6 Fenomena ini akan diikuti oleh arus sungai yang menurun
dan mempengaruhi ketersediaan air tawar di kawasan Asia Tengah, Asia Selatan,
Asia Timur dan Asia Tenggara dan memberikan dampak kepada lebih dari satu
miliar orang pada tahun 2050.7 Sedangkan untuk negara – negara kepulauan yang
terletak di sekitar garis khatulistiwa diproyeksikan akan menerima dampak dari
kenaikan permukaan air laut yang akan menyebabkan majunya garis pantai dan akan
mempengaruhi aktifitas secara keseluruhan.8
5 Lihat Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Report, Climate Change 2007:
Impacts, Adaptation and Vulnerability., (Cambridge : Cambridge University Press, 2007), hlm.435.
6 Lihat M. Akhtar, N. Ahmad, M.J. Booij., “The Impact of Climate Change on The Water
Resources of Hindukush–Karakorum–Himalaya Region Under Different Glacier Coverage Scenarios”.,
Journal of Hydrology (2008)., hlm. 148.
7 Lihat E. Lioubimtseva, G.M. Henebry., “Climate and Environmental Change in Arid Central
Asia: Impacts, Vulnerability, and Adaptations”., Journal of Arid Environments, Vol. 73, 2009, hlm. 963.
8 United Nation Framework of Climate Change., Climate Change : Indonesia Country Study on
Climate Change., 1998. hlm.18.
4
Dalam konteks Indonesia, dampak perubahan iklim yang diprediksi akan
terjadi adalah kenaikan muka air laut setinggi satu meter yang akan mengakibatkan
masalah besar pada masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Abrasi pantai dan
mundurnya garis pantai sampai beberapa kilometer menyebabkan banyak
masyarakat kehilangan tempat tinggal dan sumber daya. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa kenaikan permukaan air laut setinggi 60 cm akan berpengaruh
langsung terhadap jutaan penduduk yang hidup di daerah pesisir. Panjang garis
pantai Indonesia yang lebih dari 80.000 km memiliki konsentrasi penduduk dan
kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang tinggi, termasuk kota pantai dan
pelabuhan. Demikian juga ekosistem alami seperti mangrove akan banyak
mengalami gangguan dari pelumpuran dan penggenangan yang makin tinggi.9
Uraian data ilmiah mengenai akibat yang dihasilkan dari perubahan iklim
secara jelas menggambarkan bahwa dampak dari perubahan iklim telah terjadi
secara nyata saat ini dan berimbas pada masa yang akan datang.10 Eksistensi negara-
negara kepulauan yang semakin terancam serta dampak simultan yang akan dialami
9 Selain itu, suhu udara yang meningkat secara langsung akan mempengaruhi produksi sereal
termasuk padi, makanan pokok penduduk Indonesia. Dalam hasil laporan Indonesia Country Study on
Climate Change pada tahun 1998, dikatakan bahwa kerentanan sistem produksi pertanian terhadap adanya
perubahan iklim: anomali iklim pada tahun 1991 dan 1994 menyebabkan Indonesia harus mengimpor
beras 600.000 ton pada 1991 dan lebih dari satu juta ton pada 1994. Padi dan sereal lainnya sangat peka
terhadap perubahan suhu udara meskipun kecil. Hal ini juga telah diprediksi oleh badan pangan
Perserikatan Bangsa Bangsa FAO yang menyebutkan bahwa perubahan iklim, seperti halnya perubahan
terhadap pola penyakit dan hama akan mempengaruhi bagaimana sistem produksi pangan akan dilakukan
di masa yang akan datang.9 Lihat pula Daniel Mudiyarso,. Protokol Kyoto. Implikasinya bagi Negara
Berkembang. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas., 2003), hlm., 20-23.
10 Lihat Intergovernmental Panel on Climate Change, Contribution of Working Group II to the
Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Climate Change 2007:
Impacts, Adaptation and Vulnerability, Summary for Policymakers (M. Parry et al., eds., 2007), terdapat
dalam situs http://www.ipcc-wg2.org/index.html diakses 5 Februari 2011.
5
oleh negara-negara miskin menjadi cerminan ketidakadilan iklim bagi saat ini.11
Pada masa yang akan datang, kondisi sekarang ini turut andil dalam memperburuk
iklim yang akan dirasakan oleh generasi ke depan.12
Prediksi ilmiah dan proyeksi dampak simultan dari perubahan pada
ekosistem bumi telah mendorong masyarakat global untuk bekerja sama mencari
solusi bagi masalah pemanasan global.13 Sifat global dari masalah tersebut tentunya
membutuhkan partisipasi universal semua anggota masyarakat internasional atau
setidaknya dari orang-orang yang memikul tanggung jawab terbesar dan yang
sebagian besar memberikan kontribusi terhadap masalah perubahan iklim.14
Di tengah derasnya informasi serta proyeksi ilmiah mengenai betapa
hebatnya dampak dari perubahan iklim terhadap ekosistem bumi, terdapat pendapat
11 Lihat Geoffrey Lean, Disappearing World: Global Warming Claims Tropical Island, The
Independent, Dec. 24, 2006, terdapat dalam situs www.independent.co.uk/environment/climate-
change/disappearing-world-global-warming-claims-tropical-island-429764.html. diakses 5 Februari 2011.
Lihat pula Roger Blakeley, Global Warming: A Pacific Perspective, 2 Transnat'l L. & Contemp. Probs.
173 (1992), Lihat pula Richard A. Warrick & Atiq A. Rahman, Future Sea-Level Rise: Environmental and
Socio-Political Considerations, in Confronting Climate Change., hlm.97-110.
12 Lihat U.N. Env't Programme & World Meteorological Org., Intergovernmental Panel on
Climate Change [IPCC], IPCC Second Assessment, Climate Change 1995: A Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change, terdapat dalam situs http://www.ipcc.ch/pdf/climate-
changes-1995/ipcc-2nd-assessment/2nd-assessment-en.pdf diakses 5 Februari 2011. Lihat pula
Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC Reports terdapat dalam situs
http://www.ipcc.ch/ipccreports/index.htm diakses 5 Februari 2011. Lihat pula U.N. Env't Programme &
World Meteorological Org., IPCC, IPCC Fourth Assessment Report, Climate Change 2007: Synthesis
Report (2007), terdapat dalam situs http://www.ipcc.ch/ipccreports/ar4- syr.htm diakses 5 Februari 2011,
Lihat pula Mark Lynas, Six Degrees: Our Future On A Hotter Planet (2007). see U.N. Dev. Programme,
Human Development Report 2007/2008, Fighting Climate Change: Human Solidarity in a Divided World,
2 (2007), terdapat dalam situs http://hdr.undp.org/en/reports/global/hdr2007-2008 diakses 5 Februari
2011.
13 Lihat Intergovernmental Panel On Climate Change, Climate Change 2001: Synthesis Report,
Summary For Policymakers., hlm.8-12.
14 Lihat Intergovernmental Panel On Climate Change, Climate Change 2001: Impacts,
Adaptations, And Vulnerability, Contribution of the Working Group II to the Third Assessment Report of
the Intergovernmental Panel on Climate Change (J. McCarthy et al. eds., Cambridge University Press
2001)., hlm. 7.
6
lain yang mengambil sisi berseberangan dengan mainstream yang berkembang.
Professor Bjorn Lomborg15 dalam karya fenomenalnya The Skeptical
Environmentalists menarik perhatian beberapa kalangan pemikir lingkungan hidup
dengan menyatakan secara tegas bahwa isu perubahan iklim tidak cukup signifikan
untuk ditangani secara serius dengan ketentuan yang mengatur secara ketat dan
tegas.16 Bahkan Lomborg dengan manifesto berupa Copenhagen Consensus
menempatkan isu penurunan jumlah emisi karbon dalam nomor urut 30 (tiga puluh)
dari 30 (tiga puluh) masalah global yang dihadapi dunia saat ini.17
Lomborg dalam hipotesanya dengan menggunakan perhitungan secara
ekonomis sampai pada kesimpulan bahwa masalah perubahan iklim bukanlah
masalah serius yang dihadapi dunia saat ini. Bahkan dengan Protokol Kyoto yang
menentukan limitasi jumlah emisi gas rumah kaca, negara–negara akan menanggung
biaya yang lebih besar dari pada manfaat yang diraih.18
15Bjorn Lomborg adalah dosen di Copenhagen Business School. Lomborg adalah pendiri
Copenhagen Consensus Centre, yang menyatukan beberapa ekonom tingkat dunia termasuk di dalamnya
5 (lima) penyusun Hadiah Nobel untuk menetapkan prioritas bagi dunia. Majalah Time menempatkan
Lomborg sebagai salah satu dari 100 orang di dunia paling berpengaruh di tahun 2004. Pada tahun 2008
ia diangkat salah satu dari 50 orang yang bisa “menyelamatkan planet” oleh Guardian Inggris; salah satu
dari 100 intelektual top publik oleh Foreign Policy dan majalah Prospek, dan salah satu dari 75 penduduk
dunia paling berpengaruh dari abad 21 oleh Esquire. Lihat Lomborg Biography terdapat dalam situs
http://www.lomborg.com/about/short_bio/ diakses tanggal 24 April 2011.
16 Lihat Bjorn Lomborg, The Skeptical Environmentalist's Guide To Global Warming,
(Cambridge University Press : 2001)., hlm. 42.
17 Lihat Bjorn Lomborg¸ Copenhagen Consensus 2008 Results., terdapat dalam situs
www.copenhagenconsensus.com diakses pada tanggal 25 April 2011.
18Dalam karya Lomborg lainnya, mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Nordhaus dan
Boyer pada tahun 2000 tergambarkan bahwa mekanisme penurunan nilai emisi gas rumah kaca yang
terdapat dalam instrumen Protokol Kyoto hanya mampu memberikan sumbangsih minimal dibandingkan
dengan tanpa adanya Protokol Kyoto. Lihat Bjorn Lomborg., Global Crises, Global Solutions,
(Cambridge University Press : 2000)., Cambridge., hlm.28.
7
Terlepas dari berbagai pendapat mengenai keabsahan perubahan iklim yang
terjadi, namun kondisi kekinian mengatakan lingkungan hidup telah berubah. Saat
kondisi inilah peran hukum diharapkan dapat berkontribusi dalam melakukan upaya
penanggulangan terhadap perubahan iklim secara lebih berarti.19 Beberapa negara
telah melakukan tindakan awal dalam rangka menindaklanjuti kesepakatan yang
tertuang dalam Protokol Kyoto. Uni Eropa, misalnya, telah memulai dengan
melakukan pembatasan terhadap beberapa kegiatan yang dapat menjadi pemicu
peningkatan konsentrasi gas rumah kaca pada masa yang akan datang seperti
penggunaan energi yang berlebihan. Namun, hal ini tidak memberikan suatu
sumbangsih yang signifikan jika dibandingkan dengan tujuan yang hendak
dicapai.20 Bersandar pada berbagai tolak ukur yang kerap digunakan, sumbangsih
manusia dalam perubahan iklim telah memasuki tahapan yang membahayakan serta
memberikan dampak yang merugikan bagi kerusakan ekosistem bumi pada
umumnya dan negara-negara miskin pada khususnya.21
Secara umum, usaha perbaikan iklim ke arah yang lebih baik sebagaimana
diharapkan oleh para pembuat kesepakatan tentang perubahan iklim dan juga para
ilmuwan yang terlibat dalam Intergovernmental Panel on Climate Change serta para
19 Levinson mengatakan peranan mencakup tiga hal, antara lain : (i) Peranan meliputi norma-
norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini
merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat;
(ii) Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat
sebagai organisasi; (iii) Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur
sosial masyarakat. Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Baru, 2009., Jakarta :
Rajawali Pers., hlm. 213.
20 Lihat Paul G. Harris, Europe and Environmental Change: Sharing the Burdens of Global
Warming, 17 Colo. J. International Environmental Law & Policyy 309, (2006)., hlm. 341.
21 Lihat IPCC, 2007: Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution
of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change,
Cambridge University Press, Cambridge, UK hlm. 32.
8
ahli lainnya sepakat untuk mengatakan bahwa rezim pengaturan internasional
tentang perubahan iklim yang ada sekarang ini telah gagal.22 Hal ini ditunjukkan
dari tingkat keikutsertaan dari negara – negara maju dalam skema Protokol Kyoto.
Walaupun para ilmuwan telah sepakat bahwa perlu adanya upaya penurunan
kandungan karbon dioksida serta gas rumah kaca lainnya sebesar 60% dalam
menjaga sistem iklim23, namun negara maju enggan menanggapi hal tersebut
sebagai suatu hal yang serius termasuk di dalamnya Amerika Serikat sebagai salah
satu emitter besar dari dampak pemanasan global yang terjadi.24
Dalam konteks yang lebih jauh para ilmuwan mengatakan bahwa Protokol
Kyoto hanya merupakan hasil kompromi yang bersifat simbolistik dan tidak
menyentuh hal yang substansial.25 Bahkan, pelaksanaan Protokol Kyoto secara utuh
pun dalam perspektif ilmuwan hanya akan memberikan sumbangsih sebesar 0.05
……………
22 Dalam tulisan Paul G. Harris dengan menggunakan teori Mancur Olson mengemukakan bahwa
Collective Action tidak selamanya serta merta dapat berhasil dalam ranah Hukum Lingkungan
Internasional. Harris mencontohkan eksistensi teori Collective Action dapat relatif berhasil dalam
pengaturan di Montreal Protocol namun cenderung gagal bagi Kyoto Protocol. Paul G. Harris, Collective
Action on Climate Change: The Logic of Regime Failure, 47 Natural. Resources Journal., (2007)., hlm.
198.
23 Informasi mengenai hal ini dapat dilihat dalam hasil kajian World Resources Institute., The
Difficulty of Stabilizing Emissions, dalam World Resources 1996-97: The Urban Environment, terdapat
dalam situs http://population.wri.org/pubscontent_text.cfm?ContentlD=792 Diakses pada tanggal 30
Januari 2013.
24 Lihat dalam Bruce E. Johansen, Global Warming in The 21st Century : Our Evolving Climate
Crisis., English : Paerger Press., 2006., hlm. 120.
25 Lihat Richard N. Cooper,, “The Kyoto Protocol: A Flawed Concept”, Vol. 31 Environmental
Law Report., 2001., hlm.2.
9
derajat Celcius dari usaha 2 derajat Celcius yang diharapkan dalam usaha perbaikan
iklim di masa yang akan datang.26
Kehadiran Protokol Kyoto yang semula diharapkan dapat memberikan
kontribusi dalam usaha penurunan nilai emisi gas rumah kaca yang memicu
terjadinya perubahan iklim, ternyata tidak dapat memberikan hasil yang
memuaskan. Hal ini paling tidak disebabkan oleh beberapa hal, pertama, lemahnya
keikutsertaan dan komitmen Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang
memiliki sumbangsih terbesar dalam peningkatan konsentrasi emisi gas rumah
…………………
26 Dalam sebuah Simposium yang diselenggarakan di Georgetown University, Amerika Serikat
pada 15 April 1999, Edith Brown Weiss selaku moderator menanyakan mengenai proyeksi secara ilmiah
mengenai kemungkinan Protokol Kyoto mencapai tujuannya. Para ilmuwan yang hadir dalam pertemuan
tersebut antara lain Dr. S. Fred Singer, President, Science and Environmental Policy Project, David
Doniger, Counsel to the Assistant Administrator, Air & Radiation, U.S. Environmental Protection Agency
dan Dr. Marlo Lewis, Director, House Subcommittee on National Economic Growth meyakini bahwa
target yang dikehendaki akan sulit dicapai. Bahkan secara eksplisit Doniger menggunakan analogi
bencana kapal pesiar Titanic sebagai contoh. Doniger mengatakan bahwa bencana Titanic tidak dapat
dielakkan karena Kapten Kapal mengambil langkah – langkah yang terlambat sehingga tetap kapal
tersebut menabrak karang. Hal yang sama menurut Doniger akan terjadi dengan perubahan iklim, saat
beberapa instrumen internasional disepakati maka sesungguhnya sudah terlambat dan langkah yang
ditempuh hanya akan berujung sia – sia. Lihat Symposium Transcript An Assessment Of The Kyoto
Protocol Transcript From Panel Discussion April 15, 1999. Georgetown International Environmental Law
Review Spring, 1999., hlm. 777.
10
kaca.27 Selanjutnya, Protokol Kyoto juga tidak dapat berperan maksimal pada saat
negara-negara Annex I yang diharapkan menjadi subyek utama dalam usaha
penanggulangan perubahan iklim justru merumuskan kebijakan – kebijakan pada
skala lokal dan nasional yang justru tidak mendukung dari Protokol Kyoto dan
membuat target penurunan konsentrasi gas rumah kaca menjadi sulit untuk
dicapai.28 Akhirnya, besarnya kepentingan yang termuat dalam proses pembuatan
………………
27 Tercatat pada tahun 2005 Amerika Serikat bersumbangsih sebanyak 21% dari total emisi
keseluruhan. Lihat Susan R. Fletcher, Global Climate Change: The Kyoto Protocol, at CRS-1 to CRS-2
(2003), terdapat dalam situs http://ncseonline.org/NLE/CRSreports/03Sep/RL30692.pdfdiakses 5 Februari
2011. Lihat pula Christoph B hringer & Andreas L schel, Market Power and Hot Air in International
Emissions Trading: The Impacts of US Withdrawal from the Kyoto Protocol, 35 Applied Economic. 651,
651 (2003). Terlepas dari kegagalan dari Protokol Kyoto, kehadiran protokol ini paling tidak memberikan
2 (dua) sumbangsih utama bagi perkembangan hukum lingkungan internasional yaitu; Pertama, Protokol
Kyoto menjadi tonggak awal kerangka hukum dalam penanggulangan masalah perubahan iklim pada
khususnya dan masalah lingkungan hidup pada tataran global pada umumnya. Kedua, secara politis
keberadaan Protokol Kyoto menjadi langkah signifikan yang menunjukkan kepedulian masyarakat
internasional terhadap permasalahan perubahan iklim dan solusi ke depan yang ditempuh. Lihat Bruce
Pardy, “The Kyoto Protocol: Bad News for the Global Environment”, Journal of Environmental Law and
Practice 2004., hlm.1. Dalam perspektif Behavioral Law and Economics keengganan Amerika Serikat
sejalan dengan premis pemikiran tradisional ekonomis yang mengungkapkan bahwa tindakan dari entitas
Homo Economicus dipengaruhi tidak terbatasnya kekuatan untuk mengatur dan dipandu dengan
kepentingan diri sendiri yang begitu besar. Lihat B.S. Frey dan M. Benz, 2002, “From Imperialism to
Inspiration : A survey of Economics and Psychology”, Working Paper No 118, Institute of Empirical
Research in economics, University of Zurich, May, hlm.6. terdapat dalam Muhamad Ramdan Andri
Gunawan Wibisana, Law and Economic Analysis of Precautionary Principle., Maastricht : Maastricht
University, 2008., hlm. 222.
28 Konsensus yang disepakati pada tahun 2004 adalah kewajiban untuk menurunkan nilai emisi
gas rumah kaca sebesar 5,2% dari nilai emisi yang ada pada tahun 1990. Lihat Tom Athanasiou & Paul
Baer, “Bonn and Genoa: A Tale of Two Cities and Two Movements, Foreign Pol'y in Focus”, Discussion
Paper, Aug. 2001, at 3 dan juga Miranda A. Schreurs, “Competing Agendas and the Climate Change
Negotiations: The United States, the European Union, and Japan”, 31 Environmental Law. Report.,
(2001). 11218.
11
dan pelaksanaan mekanisme penaatan yang termuat dalam Protokol Kyoto semakin
memberikan antipati dalam usaha penanggulangan perubahan iklim.29
Masa depan tentang rezim perubahan iklim saat ini berada dalam kondisi
yang problematis. Keberadaan komitmen pertama (2007-2012) dari Protokol Kyoto
pada tahun 2012 memasuki akhir keberlakuan dari komitmen pertama. Beberapa
pertanyaan muncul termasuk serta perdebatan seputar kehadiran instrumen hukum
dan mekanisme yang telah dilakukan dalam beberapa tahun belakangan, membuat
beberapa kalangan akademisi dan ilmuwan mempertanyakan efektifitas instrumen
penurunan emisi pasca periode komitmen pertama Protokol Kyoto untuk
menurunkan konsentrasi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan manusia.30
Keraguan terhadap usaha menuju iklim yang lebih baik pasca periode
komitmen I (2008 – 2012) dari Protokol Kyoto paling tidak dilatarbelakangi oleh
beberapa pemikiran utama. Pertama, perubahan iklim adalah masalah klasik yang
merupakan dampak dari tindakan manusia (anthropogenic) yang memerlukan
tindakan kolektif.31 Keberadaan iklim sebagai milik bersama membuat komunitas di
dalamnya dapat bertindak tanpa mempertimbangkan akibat yang akan diderita oleh
29 Kritik lain yang mengungkapkan proyeksi kegagalan Protokol Kyoto didasari oleh pemahaman
bahwa Protokol Kyoto hanya memberikan limitasi dan target penurunan emisi yang relatif sedikit bagi
negara – negara maju. Hal ini pun diperburuk dengan keengganan dari negara maju dalam mencapai target
penurunan emisi. Seiring dengan waktu dampak terhadap perubahan iklim akan segera dihadapi dan
kebijakan Protokol Kyoto akan dirasakan terlambat. Lihat Clive Ponting, A New Green History of the
World : The Environment and the Collapse of Great Civilizations.m Vintage, 2007., hlm. x. Lihat pula
Fiona Mullins, “International Energy Agency, Organization For Economic Cooperation And
Development, Kyoto Mechanisms, Monitoring And Compliance”., (2001)., hlm.41.
30 Lihat Feng Gao, The International Climate Regime: Where Do We Stand?, in The Kyoto
Protocol and Beyond., hlm.7-8.
31 Lihat Ann M. Florini, Who Does What? Collective Action and the Changing Nature of
Authority, in Non-State Actors and Authority in the Global System 15, 16 (Richard A. Higgott et al. eds.,
2000).
12
bagian dari komunitas lainnya.32 Hal ini tentu berdampak pada keseriusan dari
negara – negara dunia, sehingga usaha bersama pada tataran lokal dan nasional
menjadi hal yang mutlak untuk dilakukan demi terciptanya tujuan global.33
Kedua, walaupun dalam instrumen hukum lingkungan internasional yang
tertuang dalam Protokol Kyoto menuntut adanya penyesuaian tindakan dalam
rangka menuju konsentrasi gas rumah kaca yang aman, hal ini tentu perlu diikuti
dengan tindakan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.34 Hal ini tentu
perlu diikuti dengan kemampuan atau keadaan ekonomi dari suatu negara,
mengingat untuk melakukan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil perlu
ditunjang dengan kesiapan finansial dan kebijakan strategis dalam pemanfaatan
energi alternatif.35 Dikotomi antara stabilitas lingkungan dan pertumbuhan ekonomi
seperti ini di kemudian hari dapat ditengarai sebagai penghalang dalam pelaksanaan
komitmen internasional pasca Protokol Kyoto.36
32 Lihat Sophie Thoyer, Global Public Goods and Governance of Sustainable Development, in
Participation for Sustainability in Trade 43, 53 (Sophie Thoyer & Beno t Martimort-Asso eds., 2007).
33 Dikatakan oleh Harris bahwa “It seems likely that the collective action necessary to protect the
Earth from climate change is not very likely in the medium term, either. More agreements and promises
by governments to act are likely, and increasing action at local levels may be about to take off, but those
countries that enact major new commitments will be few (if any).” Lihat Paul G. Harris, “Collective
Action on Climate Change: The Logic of Regime Failure”, Vol. 47 Natural Resources Journal., 2007.,
hlm. 220.
34 Lihat Martin I. Hoffert et al., Advanced Technology Paths to Global Climate Stability: Energy
for a Greenhouse Planet, 298 Science 981, 981 (2002)
35 Lihat Terry Barker et al., The Costs of Greenhouse Gas Mitigation with Induced Technological
Change: A Meta-Analysis of Estimates in the Literature 38
36 Lihat Bruce Berkowitz, Hot Air and Cold Facts: The Politics of Global Warming, Am. Int.,
Sept./Oct. 2008, hlm.46.
13
Terakhir, walaupun beberapa negara telah sadar mengenai dampak bahaya
dari perubahan iklim namun seringkali kesadaran tersebut tidak dituangkan secara
nyata dalam arah kebijakan yang ditempuh. Bahkan ketika kebijakan itu telah dibuat
justru dapat dikatakan terlambat karena perubahan iklim telah terjadi.37 Kondisi
demikian membuat konsep keadilan iklim menjadi kembali dipertanyakan untuk
masuk dalam tataran implementasi. Sehingga keberadaan dari teori keadilan iklim
tidak hanya berada dalam ranah abstrak namun juga berada dalam tataran praktis.38
Menurut perspektif negara maju, salah satu penyebab kegagalan usaha untuk
memperbaiki kondisi iklim sebagaimana yang terdapat dalam amanat Protokol
Kyoto dihasilkan dari lemahnya peran negara berkembang dalam usaha mitigasi.39
Walaupun keberadaan negara-negara dalam kelompok Non Annex40 tidak memiliki
kewajiban untuk menurunkan emisi, namun komitmen serta dukungan dari negara
………………
37 Lihat Steffen Kallbekken & Nathan Rive, Why Delaying Emission Reductions is a Gamble, 82
Climatic Change 27, 27 (2007).
38 Lihat Henry Shue, The Unavoidability of Justice, in Andrew Hurrell & Benedict Kingsbury,
The International Politics of the Environment 373, 385 (Clarendon Press 1992).
39 Dalam perspektif Negara Maju, keberadaan negara berkembang memiliki peran penting dalam
usaha penanggulangan perubahan iklim. Jumlah penduduk dan juga sektor Industri yang berkembang
pesat di negara-negara berkembang menjadi alasan pembenar terhadap pentingnya peran serta dari negara
berkembang dalam sukses atau gagalnya rezim internasional dalam penanggulangan perubahan iklim.
Lihat Kevin Baumert & Jonathan Pershing, “Climate Data: Insights and Observations” Prepared for the
Pew Center on Global Climate Change, November 2004., hlm. 37. Lihat pula Richard W. Stevenson &
Alan Cowell, “Bush Arrives at Summit Session, Ready to Stand Alone”, N.Y. Times, July 7, 2005,
hlm.A14.
40 Negara Annex I adalah negara – negara maju yang memiliki kewajiban melakukan penurunan
emisi dalam usaha perbaikan iklim. Target secara spesifik untuk penurunan atau pembatasan emisi dari
masing-masing negara Annex I kemudian dipaparkan di dalam Annex B dari Protokol Kyoto. Dengan
demikian, negara Non Annex adalah kelompok dari negara – negara yang tidak terikat dalam ketentuan
untuk melakukan mitigasi gas rumah kaca atau negara yang bukan tergabung dalam kelompok Annex I
tersebut di atas.
14
berkembang memiliki peran substansial.41 Kondisi perubahan iklim dan kerjasama
dari negara berkembang dan negara maju dipercaya akan mampu menghadirkan
kondisi iklim yang lebih baik dengan mengutamakan tindakan kolektif dengan
semangat yang sama dalam menghadirkan ekosistem bumi yang semakin baik.42
Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan, selain berpotensi untuk
terkena dampak dari perubahan iklim dituntut pula untuk dapat memberikan
sumbangsih baik pada bentuk institusi maupun instrumen mitigasi perubahan
iklim.43 Meskipun tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi Gas Rumah
Kaca, namun Indonesia diharapkan untuk berperan aktif dalam upaya global untuk
menghambat laju penurunan kondisi biosfer karena perubahan iklim. Hal ini
diperkuat dengan serangkaian fakta bahwa dalam tingkat nasional kontribusi emisi
dari berbagai sektor cukup memberikan pengaruh yang signifikan. Merujuk kepada
41 Dalam hasil pertemuan COP 13 di Bali diperkuat kembali bahwa perlu komitmen dari negara
– negara berkembang dan negara maju dalam mewujudkan tujuan dari United Nation Framework
Convention on Climate Change dengan mendasari pada prinsip Common but Differentiated
Responsibilities dengan kemampuan masing – masing pihak pada sektor – sektor yang relevan. Lihat
Framework Convention on Climate Change, Bali, Indon., Dec, 3- 15, Conference of the Parties, Report of
the Conference of the Parties on its Thirteenth Session, 1/CP.13, U.N. Doc. FCCC/CP/2007/6/Add.1,
Paragraph 1.
42 Kerjasama internasional mutlak diperlukan untuk mengatasi perubahan iklim karena
disebabkan oleh pencemaran yang berasal dari lokasi yang tak terhitung jumlahnya di setiap negara di
dunia, dan akibatnya akan sangat berbahaya. Bahwa hanya dengan bantuan internasional negara – negara
lemah dan miskin dari negara maju mampu untuk melakukan tindakan adaptasi dan mitigasi yang
berorientasi dengan masa depan kondisi lingkungan yang lebih baik. Lihat Duncan Snidel, Coordination
Versus Prisoners' Dilemma: Implications for International Cooperation Regimes, 79 American. Politic.
Science. Review. hlm. 923 (1985); Lihat pula Kenneth N. Waltz, Theory of International Politics.,
(Addison – Wesley Publishing : 1979)., hlm.210.
43 Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 5 pulau utama dan
30 kelompok kepulauan yang lebih kecil; mencakup 17.500 pulau, yang terletak antara 06°08’ Lintang
Utara - 11°15’ Lintang Selatan, dan 94°45’ - 141°05’ Bujur Timur. Luas Indonesia terdiri atas 3,1 juta
km2 wilayah perairan (62% dari total luas) dan sekitar 2 juta km2 wilayah daratan (38% dari total luas),
dengan panjang garis pantai 81.000 km. Jika Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km2 dimasukkan,
area yurisdiksi total Indonesia menjadi 7,8 juta km2. Lihat Charles Himawan, Asian Legal System,
Butterworth, Sydney 2008 dalam La Ode Muhamad Syarif, The Implementation of International
Responsibilities for Atmospheric Pollution : A Comparison Between Indonesia and Australia., Jakarta :
Indonesian Center for Environmental Law, 2001., hlm. 9.
15
Laporan Komunikasi Kedua tentang perubahan iklim pada tahun 2000
teridentifikasi bahwa 3 (tiga) komponen utama gas rumah kaca yaitu CO2, CH4,
N2O, dan PFC serta dari sektor LULUCF (Land Use, Land-Use Change and
Forestry) menyentuh angka 1, 377,982.95 Gg CO2 yang dikontribusikan oleh
sektor Land-Use Change and Forestry, energi, kebakaran lahan gambut, limbah,
agrikultur dan terakhir sektor industri.44
Sampai saat ini Indonesia telah meratifikasi Konvensi Kerangka PBB
mengenai Perubahan Iklim lewat Undang Undang Nomor 6 tahun 1994. Sepuluh
tahun kemudian Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto lewat Undang Undang
Nomor 17 tahun 2004. Komitmen tersebut saat ini membutuhkan usaha dan
tindakan nyata yang menyeluruh, mencakup seluruh sektor yang menjadi sumber
gas rumah kaca. Komitmen tersebut harus pula secara serentak diterapkan dengan
usaha perbaikan pemenuhan syarat kualitas hidup rakyat dan kualitas lingkungan
hidup, dan tercermin dalam pengelolaan sektor – sektor produksi dan konsumsi
prioritas untuk tindakan mitigasi dan adaptasi.
Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan merumuskan Rencana Aksi
Nasional Perubahan Iklim pada tahun 2007 dengan mengedepankan beberapa isu
utama yaitu :
Pertama, penyelarasan semua instrumen kebijakan dan hukum agar
perluasan kegiatan ekonomi dan pemeliharaan daya saing dari sistem – sistem
produksi utama taat pada ketiga syarat kelayakan sosial ekologis pembangunan
44 Lihat Indonesia Second National Communication Under The United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC), hlm. II-3.
16
berkelanjutan (keselamatan manusia/alam, produktivitas, dan kelangsungan layanan
alam).
Kedua, instrumen utama dari kepatuhan tersebut adalah integrasi dan
penyelarasan penggunaan ruang beserta penggunaan sumber-sumberdaya publik,
untuk mengatasi ”status quo” ego sektoral yang menjadi penghambat cita-cita
pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Ketiga, pencapaian sasaran-sasaran mitigasi perubahan iklim beserta
sasaran-sasaran sosial ekologis yang menyertainya, harus dilakukan lewat
penyesuaian pola konsumsi dan produksi berkelanjutan dari segenap pelaku
perubahan.
Keempat, integrasi setiap sasaran mitigasi dan adaptasi dengan aspek –
aspek sosial budaya melalui persiapan sosial dan rekayasa sosial yang dilakukan
berbasiskan pada kekhasan masyarakat dan lingkungan setempat.45
Sedangkan pada tataran institusi, sesuai amanat Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim maka
Indonesia telah menindaklanjuti dengan membentuk Dewan Nasional Perubahan
Iklim sebagai institusi yang secara khusus bertugas untuk :46
1. Merumuskan kebijakan nasional, strategi, program dan kegiatan pengendalian
perubahan iklim;
45 Lihat Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi
Perubahan Iklim, 2007., hlm. 28.
46 Lihat Pasal 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2008 tentang Dewan
Nasional Perubahan Iklim.
17
2. Mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan
iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi dan pendanaan;
3. Merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan
karbon;
4. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi implementasi kebijakan tentang
pengendalian perubahan iklim;
5. Memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong negara – negara maju untuk
lebih bertanggung jawab dalam pengendalian perubahan iklim.
Sedangkan dalam tataran yang lebih luas yaitu regulasi hukum lingkungan
pada umumnya seperti yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009
dapat dilihat bahwa isu perubahan iklim mulai dimasukkan sebagai salah satu unsur
pertimbangan.47
Namun sayangnya, keberadaan institusi dan instrumen dalam tataran
internasional yang merupakan bentuk tindak lanjut dari ketentuan hukum
lingkungan internasional tidak dirasakan memberikan manfaat berarti pada upaya
perbaikan iklim baik pada tataran internasional, nasional maupun lokal. Kondisi
yang digambarkan dalam uraian di atas mendeskripsikan bahwa terdapat peluang
bagi eksistensi hukum internasional untuk dapat berperan dalam usaha perbaikan
iklim yang lebih berkeadilan. Eksistensi hukum internasional yang dimulai pada
abad ke 17 pada awalnya hanya berada dalam pemikiran hukum di masa lalu dan
saat ini. Namun kini eksistensi dari hukum internasional juga dituntut untuk dapat
memberikan kepastian terhadap keberadaan generasi saat ini dan yang akan
47 Lihat Bagian Menimbang Butir c Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
18
datang.48 Dalam kerangka teori hukum internasional, keberadaan hukum
internasional dianggap sebagai instrumen regulasi antar bangsa – bangsa yang dapat
digunakan sebagai landasan utama untuk dapat mempengaruhi perilaku dari suatu
negara.49 Bahkan dalam pandangan pemikir hukum internasional modern, terdapat
suatu hubungan antara tindakan nasional dari lemahnya usaha pengaturan dengan
penegakan hukum internasional.50 Hal ini tentu dapat diterapkan pula dalam usaha
perbaikan iklim dalam konteks global sekarang ini. Lebih jauh lagi terdapat suatu
asumsi bahwa hukum internasional tidak hanya memiliki daya guna untuk saat ini
namun juga memberikan suatu perlindungan dan kepastian hukum dalam konteks
………………
48 Lihat Brown Weiss, In Fairness to Future Generations: International Law, Common Patrimony,
and Intergenerational Equity., Transnational, 1989., hlm. 5.
49 Dalam pendekatan tradisional Hukum Internasional, negara mempunyai kewajiban moral dan
juga kewajiban normatif untuk patuh terhadap keberadaan Hukum Internasional. Lihat Jack L. Goldsmith
& Eric A. Posner, The Limits of International Law 15 (1st ed. Oxford Univ. Press 2005). Lihat pula Louis
Henkin, How Nations Behave: Law and Foreign Policy 46-48 (1979); Abram H. Chayes & Antonia
Chayes, On Compliance, 47 International Organization. 175, 176 (1993). Lihat pula Malcolm N Shaw,
International Law : Fifth Edition., (Cambridge University Press, 2005) .hlm.42. Perdebatan mengenai
eksistensi dari keberadaan Hukum Internasional pada saat ini juga kembali dipertanyakan untuk dapat
mengemban amanah ekosistem bumi saat banyak produk dari hukum internasional menjadi alat
kepentingan dari negara maju yang dalam konteks perubahan iklim menjadi negara yang bersumbangsih
mayoritas dalam perubahan iklim. Selain itu, dalam kepentingan Negara Maju seringkali memanfaatkan
Hukum Internasional sebagai sarana pengubah konsep untuk dapat mengakomodasi kepentingan dari
Negara Maju. Perdebatan mengenai perbedaan cara pandang dari negara maju dan negara berkembang
dapat dilihat dalam Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan ekonomi
Negara Berkembang dan Negara Maju”., hlm. 4 – 5. Sedangkan pembahasan mengenai Hukum
Internasional sebagai pengubah konsep dapat dilihat dalam Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasional
Sebagai Instrumen Politik : Beberapa Pengalaman Indonesia sebagai Studi Kasus”., hlm. 27. Terdapat
dalam Hikmahanto Juwana, Hukum Internasional : Dalam Perspektif Indonesia Sebagai Negara
Berkembang., Jakarta :PT Yarsif Watampone, Jakarta, 2010.
50 Lihat Jeffrey L. Dunoff & Joel P. Trachtman, Economic Analysis of International Law, 24 Yale
Journal. International Law. 1, 28 (1999); Lihat pula Harold Hongju Koh, Why Do Nations Obey
International Law?, 106 Yale Law .Journal. 2599 (1997); Lihat pula John K. Setear, An Iterative
Perspective on Treaties: A Synthesis of International Relations Theory and International Law, Harvard
International Law Journal 139, 147 (1996).
19
perubahan iklim bagi penduduk bumi di masa yang akan datang.51 Atas dasar
ketertarikan pada latar belakang yang terdapat dalam uraian di atas, maka penelitian
disertasi mengedepankan judul Mitigasi Perubahan Iklim : Peran Hukum
Sebagai Instrumen dan Institusi Internasional Serta Nasional.
1.2. Perumusan Masalah
Fenomena perubahan iklim hadir sebagai permasalahan yang menjadi
perhatian utama dalam beberapa dekade belakangan ini. Berbagai bentuk dampak
serta akibat yang perlahan dirasakan sebagai akumulasi perubahan iklim makin
terasa di berbagai dunia. Tidak hanya merusak unsur ekosistem secara langsung,
namun berbagai aspek dimensi kehidupan termasuk dampak ekonomi juga menjadi
resultante dari perubahan iklim.
Sebagai fenomena yang melanda ekosistem bumi secara keseluruhan, jelas
diperlukan adanya suatu komitmen bersama dalam mewujudkan usaha nyata dan
berkesinambungan untuk mengatasi perubahan iklim. Eksistensi Protokol Kyoto
sebagai instrumen hukum lingkungan internasional yang legally binding bagi negara
peserta protokol diharapkan menjadi sarana yang tepat. Namun sayangnya, berbagai
perundingan dan tindakan dari negara peserta Protokol Kyoto tidak menunjukkan
suatu usaha optimalisasi secara serius dari instrumen dan institusi yang telah
disepakati dalam ketentuan tersebut. Kondisi demikian memang menjadi suatu
kulminasi dari permasalahan seputar tidak berdayanya instrumen penaatan yang ada
untuk mengubah prilaku dari negara peserta Protokol Kyoto. Dalam penelitian
51 Lihat Roda Verheyen,. Climate Change Damage and International Law. (Netherlands :
Martinus Nijhoff Publishers, 2005), hlm.,2.
20
disertasi ini akan dititikberatkan kepada suatu bentuk analisis kritis terhadap
kehadiran serta optimalisasi instrumen dan institusi hukum internasional sebagai
upaya penerapan keadilan iklim dalam memberikan jaminan bukan hanya pada
kelayakan kondisi bumi saat ini bagi negara – negara dalam ekosistem bumi namun
juga kelayakan yang akan digunakan di masa yang akan datang.
Berdasarkan uraian di atas, untuk menguraikan dan memberikan arahan yang
terperinci dalam penelitian ini, maka pertanyaan penelitian dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi perubahan iklim yang terjadi saat ini bagi kepentingan
masyarakat internasional kini dan akan datang serta tanggapan masyarakat
internasional yang terkait dengan perubahan iklim ?
2. Model komitmen negara yang bagaimanakah yang dapat mewujudkan
mitigasi perubahan iklim yang adil dan efektif ?
3. Sejauh mana peran dan langkah hukum Indonesia terkait dengan isu mitigasi
dalam penanggulangan perubahan iklim ?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan suatu bentuk pencapaian yang hendak
diperoleh dalam suatu penulisan ilmiah. Diharapkan dengan dikemukakannya tujuan
yang hendak dicapai tersebut, maka arah penulisan disertasi ini akan semakin
difokuskan atau terpusat dalam suatu pembahasan yang optimal. Sehubungan
dengan penelitian yang akan dilakukan, maka secara khusus penelitian ini bertujuan
untuk :
21
Pertama, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan kondisi iklim
yang terjadi sekarang ini termasuk dengan faktor – faktor yang menjadi penyebab
utama serta proyeksi terhadap kemungkinan dan kenyataan dampak yang akan dan
telah terjadi pada ekosistem bumi. Termasuk pula akan membahas tolak ukur dan
target yang dikehendaki dalam perumusan Pasal 2 United Nation Framework of
Climate Change yang menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah
mencapai stabilitas konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang
akan mencegah gangguan antropogenik yang berbahaya kepada sistem iklim. Selain
itu bab ini juga akan membahas mengenai reaksi masyarakat Internasional yang
hadir sebagai respon dalam menanggapi dampak perubahan iklim.
Kedua, penelitian ini akan mengemukakan model komitmen negara yang
dapat mewujudkan mitigasi perubahan iklim yang adil dan efektif. Bab ini akan
mengupas mengenai pilihan konsep mitigasi yang ideal untuk digunakan dalam
rangka melakukan penurunan emisi gas rumah kaca.
Ketiga, penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisa peran yang dapat
dilakukan oleh Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam Protokol
Kyoto serta tindak lanjut yang telah dan harus dilakukan oleh Indonesia baik dalam
bentuk aturan maupun kelembagaan dalam usaha perbaikan iklim.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian sumbangsih dari hukum internasional terhadap upaya
mitigasi perubahan iklim ini selain diharapkan dapat memberikan pandangan yang
lebih komprehensif dalam melihat keberadaan instrumen dan institusi hukum
22
internasional secara menyeluruh. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat baik dalam tataran teoretis maupun dalam tataran praktis. Dari sisi teoretis
penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap
perkembangan institusi dan instrumen hukum lingkungan internasional yang
dikategorikan sebagai suatu cabang ilmu baru dalam hukum internasional pada
umumnya serta menggambarkan evolusi kepedulian masyarakat internasional pada
isu perubahan iklim melalui indikator normatif pada khususnya.
Sedangkan dalam tataran praktis diharapkan penelitian ini dapat memberikan
sumbangsih berupa guidance dalam perumusan dan perdebatan pada pembentukan
institusi dan instrumen hukum lingkungan internasional pada umumnya dan usaha
dan pembentukan institusi dan instrumen hukum internasional dalam
penanggulangan perubahan iklim pada khususnya.
1.5. Kerangka Teoretis
Permasalahan seputar perubahan iklim telah menyentuh suatu kondisi yang
multidimensional dengan kompleksitas yang tinggi di bidang ilmu pengetahuan,
ekonomi dan keadilan. Saat ini perhatian banyak dituangkan dalam dampak dari
perubahan iklim terhadap sektor ekonomi dan ilmu pengetahuan52, namun
pembahasan dalam perspektif keadilan terhadap kondisi iklim jarang mendapat
……………..
52 Lihat William Nordhaus, The Challenge of Global Warming: Economic Models and
Environmental Policy (2007), terdapat dalam situs
http://www.econ.yale.edu/nordhaus/DICEGAMS/dice_mss_060707_pub.pdf., hlm. 5.
23
perhatian yang serius.53 Keberadaan dari pendekatan teori keadilan dalam dimensi
lingkungan hidup menjadi suatu pembahasan yang bersifat lintas sektoral dan lintas
kepentingan. Oleh karena itu pembahasan keadilan lingkungan dapat dilakukan baik
dalam dimensi internasional, nasional bahkan lokal. Pada tataran internasional,
kajian mengenai adanya kecurigaan telah terjadinya eksploitasi terhadap negara –
negara berkembang dari perusahaan pada tingkat multinasional di negara maju
merupakan perdebatan yang tidak dapat dielakkan. Sedangkan pada tataran nasional
kerap kali muncul tuduhan mengenai perbedaan perlakuan baik berdasarkan ras
maupun kepentingan masing – masing daerah menjadi titik analisis dalam
pengelolaan lingkungan hidup. Pada tingkatan lokal diskursus alokasi tanggung
jawab dan bebas dalam pengelolaan lingkungan seringkali diperspektifkan sebagai
bentuk keadilan lingkungan.54
Kondisi ekosistem bumi yang tidak terikat pada suatu batas administratif
wilayah serta keterkaitan antara kondisi saat ini dengan proyeksi keadaan iklim ke
depan menjadikan teori keadilan lingkungan bertitik tumpu pada 2 (dua) premis
utama yaitu keadilan inter generasi dan keadilan antar generasi. Terdapat 2 (dua)
relevansi penting dalam pembahasan mengenai keadilan inter generasi yang
diungkapkan oleh pemikir di bidang ekologi manusia, yaitu hubungan antara
manusia dengan spesies mahkluk hidup lainnya dan hubungan antara manusia
dengan sistem lingkungan yang manusia terdapat di dalamnya. Terciptanya keadilan
53 Lihat J Driver., “Ideal Decision-Making and Green Virtues” dalam W Sinnort Amstrong dan
R. Howarth., Perspective on Climate Change : Science, Economics, Politics and Ethics., (Amsterdam :
Elvieser)., 2005., hlm. 249.
54 Robert R. Kuehn., “A Taxonomy of Environmental Justice”., Environmental Law Reporter
Vol. 30, 2000., hlm. 10681.
24
lingkungan secara umum dalam lintasan pemikiran filosofis membutuhkan suatu
netralitas sebagai dasar pijakan utama.55 Oleh karena itu pembahasan mengenai
keadilan inter generasi tidak hanya berkutat pada kenyataan perlindungan generasi
yang akan datang untuk mendapatkan hak terhadap lingkungan yang layak semata,
namun juga menyentuh pembahasan mengenai kondisi bumi yang proporsional
sebagai kaidah dasar moral.56
Teori keadilan antar generasi telah berkembang dalam perbincangan hukum
internasional pada umumnya. Hal ini dapat diindikasikan antara lain dalam kalimat
Pembukaan dalam Universal Declaration of Human Rights yang berisi, “Whereas
recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all
members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the
world." Penggunaan terminologi “all members” yang digunakan dalam kalimat di
atas tentu tidak hanya terbatas pada kondisi saat ini namun juga bersifat pemikiran
…………
55 John Rawls dengan original position yang diusung sebagai premis utama dalam Teori Keadilan
mengatakan bahwa setiap generasi tidak mempunyai pilihan untuk mendapatkan hak lebih dari generasi
yang akan datang. Lihat John Rawls, A Theory Of Justice., 1970., hlm. 103.
56 Secara moral, negara – negara maju wajib menerima kuota dan mematuhi pembatasan emisi
yang dirumuskan dalam Protokol Kyoto tanpa mengharapkan itu terlebih dahulu oleh negara – negara
berkembang karena mereka perlu melakukan kegiatan yang ditengarai dapat menjadi pemicu emisi dalam
rangka memenuhi kebutuhan warga nya. Lihat Laura Westra, Environmental Justice and The Rights of
Unborn and Future Generations., (London : Earthscan, 2006)., hlm. 136
25
ke depan dan cita dari hukum internasional yang hendak dicapai.57 Penekanan lain
dalam diadopsinya konsep keadilan
Dalam perkembangan hukum lingkungan internasional pada khususnya, teori
keadilan inter generasi mulai dibicarakan pada saat persiapan Konferensi Tingkat
Tinggi tentang Manusia dan Lingkungan Hidup pada tahun 1972 sebagai pertemuan
internasional pertama kali yang membicarakan eksistensi manusia dan lingkungan
hidup.58 Dalam kalimat pembukaan deklarasi, beberapa kali ditegaskan secara
eksplisit bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam konferensi ini adalah terciptanya
kondisi lingkungan yang layak untuk saat ini dan masa yang akan datang.59
Pembahasan selanjutnya mengenai teori keadilan inter generasi termuat dalam
57 Kehadiran konsep Keadilan Inter Generasi ini juga secara perlahan diadopsi dalam beberapa
dokumen Perjanjian Internasional baik secara umum maupun yang langsung berkaitan dengan lingkungan
hidup, seperti : The United Nations Charter, the International Covenant on Civil and Political Rights, the
Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, the American Declaration on the
Rights and Duties of Man, the Declaration on the Elimination of Discrimination against Women, the
Declaration on the Rights of the Child. Lihat Anthony D'Amato., “Agora : What Obligation Does Our
Generation Owe to the Next? An Approach to Global Environmental Responsibility”, American Journal
of International Law January, 1992., hlm. 194.
58 Lihat Conference on the Human Environment, Stockholm, Swed., June 5-16, 1972, Report of
the United Nations Conference on the Human Environment, 3, U.N. Doc. A/CONF.48/14/REV.1 (June 16,
1972); Lihat pula International Law And World Order: Basic Documents V.B.3 (Burns H. Weston &
Jonathan C. Carlson eds., 12th ed. 2006). Lihat pula International Convention for the Regulation of
Whaling, pmbl. Dec. 2, 1946, 161 U.N.T.S. 72 Lihat pula Argument of the United States, Fur Seal
Arbitration (U.S. v. Gr. Brit.), Fur Seal Arbitration: Proceedings Of The Tribunal Of Arbitration
(Government Printing Office 1895).
59 Lihat Stockholm Declaration, , Principe.1. Dalam tambahannya yang terdapat dalam, Principle
2 dari Stockholm Declaration dikatakan bahwa "the natural resources of the earth, including the air,
water, land, flora and fauna, and especially representative samples of natural ecosystems, must be
safeguarded for the benefit of present and future generations through careful planning or management, as
appropriate.". Pada saat yang hampir bersamaan hadir pula perjanjian internasional yang mengedepankan
isu keadilan inter generasi seperti 1972 London Ocean Dumping Convention, 1972 World Cultural and
Natural Heritage Convention, 1973 Endangered Species Convention, dan 1974 Charter of Economic
Rights and Duties of States, sedangkan pada tataran regional juga terdapat konten sejenis seperti yang
dapat ditemui pada 1976 Barcelona Mediterranean Sea Convention. Tonggak kepedulian masyarakat
internasional terhadap isu keadilan inter generasi ini juga dituangkan dalam 1982 U.N. World Charter for
Nature dan 1997 UNESCO Declaration on Responsibilities Towards Future Generations sebagai dokumen
hukum internasional yang secara eksplisit mengemukakan tentang konsep keadilan inter generasi.
26
laporan U.N. World Commission on Environment and Development (WCED) yang
dikenal dengan Bruntland Commission Report on Our Common Future yang
memberikan definisi keadilan inter generasi secara konkrit dan nyata. Dalam
perumusan Burtland Report, keadilan inter generasi menekankan pada pemahaman
mengenai pemenuhan kebutuhan saat ini tanpa menelantarkan kebutuhan generasi
masa yang akan datang.60 Isu keadilan inter generasi ini pun bergulir sampai dengan
perhelatan Earth Summit pada tahun 1992 yang menghasilkan Rio Declaration on
Environment and Development dan Agenda 21 yang menempatkan eksistensi
generasi saat ini dan yang akan datang sebagai prioritas utama.61
Teori hukum mentransformasikan isu keadilan lingkungan inter generasi
dalam premis hak dan kewajiban. Dalam ranah teori hukum, generasi saat ini
berkewajiban untuk menerima kepercayaan dan bekerjasama dengan generasi lain
dalam penciptaan keadilan lintas generasi.62 Kondisi kewajiban yang dilakukan
dalam kepentingan lintas generasi menurut Weiss meliputi 3 (tiga) prinsip utama
yaitu Pertama prinsip kewajiban untuk adanya perlindungan terhadap pilihan
sumber daya alam yang ada, Kedua prinsip dalam rangka menghadirkan kualitas
lingkungan yang sama baiknya kepada generasi mendatang serta Terakhir prinsip
60 Lihat Gro Harlem Brundtland Et Al., Our Common Future: The World Commission On
Environment And Development, Our Common Future (1987).hlm.8. Lihat pula WCED report U.N. G.A.
Res. 42/427.
61 Lihat The Rio Declaration On Environment And Development, Rio de Janeiro, Braz., June 13,
1992, Report of the United Nations Conference on Environment and Development, U.N. Doc.
A/CONF.151/26 (vol. I) (Aug. 12, 1992), Lihat pula U.N. Dep't of Int'l Econ. & Soc. Affairs, Div. for
Sustainable Dev., Agenda 21, Report of the United Nations Conference on Environment and
Development, vols. I-III, U.N. Doc. A/CONF.151/26 (June 3-14, 1992).
62 Lihat Edith Brown Weiss, “Intergenerational Equity: Toward an International Legal
Framework”, dalam Nazli Choucri., Global Accord: Environmental Challenges and International
Responses., (Massachusetts : MIT Press, 1993)., hlm. 334..
27
untuk menyediakan akses yang sama kepada generasi yang akan datang terkait
sumber daya alam.63
Bersandar pada dua premis utama kewajiban dari setiap generasi yang
diungkapkan di atas, hal ini untuk kemudian diturunkan dalam beberapa variabel
khusus yang memuat hak dan kewajiban dari setiap generasi secara khusus. Edith
Brown Weiss dalam tulisannya mengemukakan 3 (tiga) tugas khusus dari setiap
generasi untuk menjamin keberlanjutan iklim yaitu Pertama, memelihara
keanekaragaman sumber alam dan budaya yang ada pada saat ini. Kedua,
Memelihara kualitas dari lingkungan hidup saat ini untuk dapat dinikmati oleh
generasi yang akan datang. Selanjutnya, menyediakan akses bagi semua komunitas
ekosistem bumi untuk dapat menikmati kondisi lingkungan saat ini yang diwariskan
dari generasi sebelumnya. Terakhir, menjaga akses yang dimiliki sekarang untuk
dapat diberikan kepada generasi yang akan datang.64
Dalam kenyataannya, tidak semua negara memiliki kemampuan serta potensi
yang sama dalam melakukan usah perlindungan lingkungan dan perbaikan
lingkungan. Sebaliknya, setiap negara juga memiliki kontribusi yang berbeda dalam
perubahan iklim. Memperhatikan track record sumbangsih dalam perubahan iklim
dan inisiatif yang berbeda dari setiap negara tersebut. Edith Brown Weiss
mengintrodusir keadilan intra generasi yang merupakan suatu teori kewajiban antara
63 Lihat Edith Brown Weiss, “Climate Change, Intergenerational Equity and International Law:
An Introductory Note”., Climatic Change October 1989, Volume 15, Issue 1-2., hlm. 330.
64 Op. Cit. hlm.38.
28
negara maju kepada negara berkembang atau miskin dalam upaya perbaikan kondisi
iklim saat ini untuk kepentingan generasi yang akan datang.65
Keadilan intra generasi secara umum dapat diartikan sebagai suatu
pemahaman bahwa setiap orang yang berada dalam lingkup satu generasi yang sama
memiliki hak dan akses yang sama untuk memperoleh manfaat dari sumber alam
yang ada serta dapat memperoleh kondisi lingkungan hidup yang baik dan sehat.66
Teori keadilan intra generasi dapat dimaknai secara umum dalam konteks nasional
maupun dalam konteks internasional. Dalam skala nasional, teori ini mencoba
memberikan akses secara merata kepada seluruh warga negara terhadap sumber
daya alam yang ada termasuk di dalamnya air bersih, udara serta pemanfaatan
sumber laut. Teori ini juga dapat digunakan untuk mempertanyakan kembali
pemanfaatan sumber daya alam oleh sektor swasta dalam pemanfaatan lingkungan
hidup di lingkup nasional. Sedangkan pada tataran internasional, teori ini
menekankan pada kesetaraan alokasi dari udara, air serta keanekaragaman hayati
yang terdapat di belahan dunia untuk masing – masing pihak dapat memperoleh
manfaat yang sama serta mendayagunakan sesuai dengan kebutuhan dan sistem
penyangga kehidupan bumi yang ada.67
65 Lihat Edith Brown Weiss, In Fairness to Future Generations, Environment, Apr. 1990, hlm. 27-
28.
66 Lihat Ronnie Harding et al., Interpretation of the Principles for the Finer Conference on the
Environment: Sustainability -- Principles to Practice 1., Unisearch, University of New South Wales,
1994, hlm.25.
67 Lihat Ben Boer Willamette Institutionalizing Ecologically Sustainable Development: The
Roles Of National, State, And Local Governments In Translating Grand Strategy Into Action., Law
Review Spring, 1995 hlm.6.
29
Salah satu bentuk adopsi teori keadilan intra generasi hadir dengan adanya
pemahaman Common But Differentiated Responsibilities (CBDR) yang menekankan
perlunya perbedaan perlakukan untuk setiap subyek yang berbeda sehingga tidak
memungkinkan sebuah perlakuan berlaku untuk semua.68 Dalam perspektif Edith
Brown Weiss dikatakan bahwa perlu adanya CBDR dalam perspektif masing –
masing negara. Weiss memberikan penekanan terhadap 3 (tiga) hal utama yaitu
Shared Aspect, Contextual Aspect dan Equity Aspect. Penekanan pertama menurut
Weiss menitikberatkan pada kondisi lingkungan hidup saat ini yang borderless
sehingga kerusakan lingkungan pada satu negara akan mempengaruhi negara lain
karena berbagi langit yang sama.69 Selanjutnya Weiss menekankan pada aspek yang
lebih kontekstual dengan memperhatikan kondisi ekonomi, sosial dan budaya suatu
negara dalam menyikapi sebuah kondisi lingkungan hidup.70 Terakhir Weiss
menekankan pada pentingnya aspek keadilan sebagai dasar penentu kontribusi dan
tanggung jawab yang harus diemban masing – masing negara.71
Membahas kepentingan dalam dimensi yang sama, Kuehn menggunakan
konsep keadilan distributif sebagai bentuk dasar dari penerapan CBDR sebagai
……………..
68 Michael Weisslitz., “Rethinking The Equitable Principle of Common But Differentiated
Responsibility : Differential Versus Absolute Norms of Compliance and Contribution in The Global
Climate Change Context”., Colorado Journal of International Environmental Law Vol. 13., 2002., hlm.
479.
69 Edith Brown Weiss., “Common but Differentiated Responsibilities in Perspective”.,
Proceedings of the Annual Meeting (American Society of International Law), Vol. 96 (March 13-16,
2002)., hlm. 366.
70 Ibid., hlm. 367.
71 Ibid., hlm. 368.
30
bentuk distribusi dari keadilan .72 Paling tidak Kuehn menekankan pada 3 (tiga) hal
penting terkait keadilan distributif. Pertama, konsep keadilan distributif pada
dimensi lingkungan bertumpu pada distribusi keuntungan yang sama dari
pemerintah baik kepada pihak korporasi besar maupun kepada masyarakat dengan
tingkat pendapatan yang lebih rendah.73 Selanjutnya, merujuk pada konsep yang
ditawarkan Bullard74, konsep keadilan distributif dalam konteks lingkungan
hendaknya menangkap keadilan secara geografis baik dalam arti wilayah maupun
dalam arti diferensiasi masyarakat itu sendiri berupa ras, etnis maupun tingkat
pendapatan dari masyarakat.75 Terakhir, keadilan distributif dalam konteks
lingkungan tidak dapat diartikan pemerataan dari risiko dari kerusakan lingkungan
yang terjadi namun sebaliknya justru akan memberikan perlindungan yang lebih
kepada wilayah dengan tingkat kerentanan yang lebih tinggi.76
Keberadaan dari pentingnya CBDR juga diafirmasi oleh Duncan French
yang menekankan pentingnya adanya pembedaan dalam tataran hukum internasional
terutama menurut perspektif negara berkembang. Beberapa argumentasi yang
memuat justifikasi ini oleh French diuraikan dalam hal – hal tertentu. Pertama,
72 Keadilan Distributif diartikan oleh Dworkin sebagai bentuk hak untuk mendapatkan perlakuan
yang sama yang meliputi distribusi akses dan kesempatan terhadap barang tertentu. Lihat dalam Ronald
Dworkin, Taking Rights Seriously., (USA : Harvard University Press)., 1978., hlm. 273. Sedangkan
Aristoteles memaknai keadilan distributif dengan menekankan pada bentuk distribusi kehormatan,
kesejahteraan serta kekayaan yang dialokasikan kepada setiap anggota masyarakat. Lihat dalam Aristotle:
The Nichomachean Ethics, Book V (H. Rackham trans., Cambridge Univ. Press)., 1982., hlm. 267.
73 Lihat dalam Robert R. Kuehn., Op. Cit., hlm. 10684.
74 Robert D. Bullard, “Overcoming Racism in Environmental Decision Making”, dalam Laura
Westra et al., eds., Faces of Environmental Racism: Confronting Issues of Global Justice. (Savage, MD:
Rowan & Littlefield)., 1995., hlm. 13.
75 Ibid.
76 Ibid.
31
negara – negara maju diyakini telah memberikan kontribusi lebih terhadap rusaknya
ekosistem lingkungan saat ini. Oleh karena itu mutlak adanya pembedaan dengan
melihat perbedaan kontribusi antara negara maju dan negara berkembang.77
Selanjutnya, dalam perspektif negara berkembang mereka layak untuk diperlakukan
beda karena kondisi ekonomi dari negara maju yang terjadi sekarang ini merupakan
bentuk hasil dari kerusakan lingkungan yang mereka lakukan di masa terdahulu.
Dalam konteks ini sebagai penerima manfaat yang lebih besar maka negara – negara
maju wajib untuk melakukan lebih banyak terhadap manfaat yang telah diperoleh di
masa lampau.78 Terakhir, dikatakan oleh French bahwa pembedaan wajib dilakukan
dalam rangka mencari pihak yang bertanggung jawab dalam kerusakan yang terjadi.
French menggunakan terminologi Current Responsibility dan Conceptual
Responsibility. Konsep Current Responsibility dimaknai sebagai bentuk tanggung
jawab terhadap tindakan yang dilakukan pada saat ini yang berkontribusi terhadap
degradasi lingkungan. Sedangkan Conceptual Responsibility merupakan bentuk
tanggung jawab masing – masing negara terhadap kerusakan lingkungan dalam
77 Lihat Duncan French., “Developing States and International Environmental Law: The
Importance of Differentiated Responsibilities”., The International and Comparative Law Quarterly, Vol.
49, No. 1 (Jan., 2000), hlm. 46. Hal ini pun diperkuat pendapat ahli lainnya seperti diungkapkan oleh
Chowdhury yang menyatakan bahwa “contribution to global degradation being unequal, responsibility
has to be unequal and commensurate with the differential contribution to such degradation” Lihat dalam
S. Chowdhury, “Common but Differentiated Responsibility in International Environmental Law : from
Stockholm (1972) to Rio (1992)” dalam K. Ginther et al. Sustainable Development and Good
Governance (1995)., hlm. 333.
78 Lihat Duncan French., Ibid., hlm. 49. Hal ini juga diafirmasi oleh Hurrell dan Kingsbury yang
menyatakan bahwa “as principal beneficiaries of past emissions, [the North should] bear a
disproportionate are of the costs”. Lihat dalam A. Hurrell dan B. Kingsbury, “An Introduction” dalam A.
Hurrell dan B. Kingsbury (Eds), The International Politics of the Environment (1992), hlm. 39.
32
kurun waktu yang lebih luas sehingga tidak menutup kemungkinan negara
berkembang untuk turut bertanggungjawab.79
Bahkan dalam tataran yang lebih ekstrem, teori keadilan intra generasi
menuntut adanya pembatasan konsumsi negara – negara maju dari sumber alam baik
berupa air, udara dan barang – barang lainnya.80 Teori keadilan intra generasi ini,
disadari atau tidak, berhubungan erat dengan komitmen politik dan ekonomi dalam
pelaksanaannya. Oleh karena itu, perlu ada kesungguhan komitmen dari masyarakat
internasional dalam pelaksanaan teori keadilan intra generasi terutama dalam
perubahan cara pandang dari negara dan pemangku kepentingan internasional. 81
Teori keadilan yang menyentuh keadilan inter generasi dan keadilan intra
generasi bersifat saling melengkapi satu sama lain dalam rangka menghadirkan
suatu hipotesis yang saling terkait satu sama lain. Paling tidak terdapat 3 hipotesis
utama yang menggambarkan korelasi antara keadilan inter generasi dan keadilan
intra generasi yaitu independensi, fasilitasi dan persaingan.82 Korelasi independensi
antara keadilan inter generasi dan keadilan intra generasi diartikan sebagai bentuk
kemandirian setiap teori dalam pencapaian tujuannya masing – masing. Pelaksanaan
keadilan yang bersifat intra generasi pada saat ini tidak akan menghilangkan
79 Lihat Duncan French., Ibid., hlm. 50.
80 G.F. Maggio., “Inter/Intra-Generational Equity: Current Applications Under International Law
For Promoting The Sustainable Development of Natural Resources”., Buffalo Environmental Law
Journal., 1997., hlm. 164.
81 Op. Cit.
82 Lihat Stefanie Glotzbach dan Stefan Baumgartner, The Relationship Between
Intragenerational And Intergenerational Ecological Justice. Department of Sustainability Sciences and
Department of Economics, Leuphana Universit, 2010. hlm.2
33
kewajiban dan juga kegagalan untuk mewujudkan tujuan yang dikehendaki oleh
keadilan inter generasi.
Dalam tataran fasilitasi, kehadiran teori keadilan inter generasi dan intra
generasi saling mendukung satu sama lain. Pelaksanaan teori keadilan intra generasi
yang dilakukan secara optimal dalam kurun waktu saat ini dalam pemahaman ini
dapat menunjang pelaksanaan dan kesempurnaan tujuan dari keadilan inter generasi
di masa yang akan datang.83 Sedangkan pada tataran hipotesis persaingan,
mengatakan bahwa masing – masing teori keadilan saling berkompetisi satu sama
lain. Hipotesis ini menyatakan secara umum bahwa maksimalisasi dari satu teori
tidak akan mengakibatkan melemahnya teori keadilan yang lain.84
Teori keadilan lingkungan yang dikhususkan pada keadilan inter generasi
dan keadilan antar generasi dalam penelitian ini akan digunakan sebagai pisau
analisa untuk mengetahui telah atau belum terpenuhinya dimensi keadilan dalam
konvensi tentang perubahan iklim sekarang ini. Variabel – variabel yang terdapat
dalam teori Keadilan Inter Generasi dan Keadilan Antar Generasi ini akan
digunakan dalam rangka menjawab permasalahan utama mengenai peran yang dapat
dilakukan oleh Hukum Internasional dalam penanggulangan perubahan iklim. Teori
ini pula akan digunakan dalam memberikan sumbangsih dalam melakukan
formulasi ulang institusi dan instrumen hukum internasional pada masa yang akan
datang dalam menanggulangi perubahan iklim.
83 Ibid., hlm.15.
84 Ibid, hlm.18.
34
Dalam konteks nasional, pelaksanaan dari teori keadilan akan dilihat pula
dalam bentuk harmonisasi dan sinkronisasi pada tataran hukum nasional.85
Menggunakan Teori Transformasi yang dikawinkan dengan Teori Keadilan Iklim
penulis menguraikan mengenai sinkronisasi serta harmonisasi isu keadilan iklim
dalam tataran internasional ke tataran nasional.86
1.6. Tinjauan Pustaka
Dalam suatu penelitian pada tingkatan program Strata 3 atau Doktoral, suatu
kebaharuan atau novelty memiliki peran yang sangat penting, Karakteristik yang
menjadi ciri khas dan pembeda dari suatu penelitian disertasi wajib untuk dapat
dituangkan secara jelas dengan mengungkapkan penelitian terdahulu dengan tema
yang memiliki keserupaan dengan penelitian kali ini. Dalam sub bab tinjuan
………………
85 Sebagai bagian dari masyarakat internasional, selain memiliki kewajiban untuk
mengimplementasikan berbagai perjanjian internasional yang telah diratifikasinya (prinsip pacta sunt
servanda), maka sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk segera melakukan harmonisasi dan
sinkronisasi antara hukum nasionalnya dengan standar internasional yang berlaku. Upaya harmonisasi
dan sinkronisasi antara hukum nasional dengan hukum internasional ini harus dilakukan dengan tetap
berusaha untuk mengakomodasikan kecenderungan internasional (international trend) di samping
memperhatikan aspirasi domestik. Lihat Muhammad Thoha, “Globalisasi: Antara Harapan dan
Kecemasan”, dalam buku Globalisasi Krisis Ekonomi dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan, Pustaka
Quantum., Jakarta, 2002., hlm. 7
86 Lihat Hikmahanto Juwana, “Kewajiban Negara Mentransformasikan Ketentuan Perjanjian
Internasional Pasca Keikutsertaan”., dalam Hukum Internasional dalam Perspektif Indonesia sebagai
Negara Berkembang., Jakarta : Yasrif Watampone, 2010., hlm. 88.
35
pustaka87 ini, peneliti mencoba mengungkapkan beberapa hal tentang penelitian
sejenis dengan topik disertasi yang hendak ditulis. Penelitian ilmiah yang
melakukan pembahasan mengenai perubahan iklim dalam perspektif Hukum
Internasional saat ini dapat dikatakan kurang. Pada tahun 2010, Idris pernah
melakukan penelitian pada tingkat Disertasi yang mengangkat wacana untuk dapat
digunakannya instrumen Mahkamah Internasional sebagai salah satu langkah
penyelesaian sengketa lingkungan internasional.88 Disertasi ini menitikberatkan
kepada wacana untuk pembentukan Mahkamah Lingkungan Internasional sebagai
salah satu institusi internasional yang diharapkan dapat menjadi salah satu lembaga
penyelesaian sengketa internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Adapun penelitian yang secara khusus membahas mengenai perubahan iklim
pernah dilakukan oleh Roda Verheyen dalam disertasinya yang dibukukan dengan
87 Tinjauan Pustaka mempunyai arti : peninjauan kembali pustaka-pustaka yang terkait (review
of related literature). Sesuai dengan arti tersebut, suatu tinjauan pustaka berfungsi sebagai peninjauan
kembali (review) pustaka (laporan penelitian, dan sebagainya) tentang masalah yang berkaitan—tidak
selalu harus tepat identik dengan bidang permasalahan yang dihadapi—tetapi termasuk pula yang seiring
dan berkaitan (collateral). Sedangkan fungsi dari adanya Tinjauan Pustaka itu sendiri mencakup (1)
mengungkapkan penelitian-penelitian yang serupa dengan penelitian yang (akan) kita lakukan; dalam hal
ini, diperlihatkan pula cara penelitian-penelitian tersebut menjawab permasalahan dan merancang metode
penelitiannya; (2) membantu memberi gambaran tentang metoda dan teknik yang dipakai dalam
penelitian yang mempunyai permasalahan serupa atau mirip penelitian yang kita hadapi; (3)
mengungkapkan sumber-sumber data (atau judul-judul pustaka yang berkaitan) yang mungkin belum kita
ketahui sebelumnya; (4) mengenal peneliti-peneliti yang karyanya penting dalam permasalahan yang kita
hadapi (yang mungkin dapat dijadikan nara sumber atau dapat ditelusuri karya -karya tulisnya yang
lain—yang mungkin terkait); (5) memperlihatkan kedudukan penelitian yang (akan) kita lakukan dalam
sejarah perkembangan dan konteks ilmu pengetahuan atau teori tempat penelitian ini berada; (6)
mengungkapkan ide-ide dan pendekatan-pendekatan yang mungkin belum kita kenal sebelumnya; (7)
membuktikan keaslian penelitian (bahwa penelitian yang kita lakukan berbeda dengan penelitian-
penelitian sebelumnya); dan (8) mampu menambah percaya diri kita pada topik yang kita pilih karena
telah ada pihak – pihak lain yang sebelumnya juga tertarik pada topik tersebut dan mereka telah
mencurahkan tenaga, waktu dan biaya untuk meneliti topik tersebut. Lihat Leedy, Paul D. 1997. Practical
Research: Planning and Design. Sixth Edition. Prectice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. Chapter
4: “The Review of the Related Literature”, hlm. 71-91.
88 Idris, “Pembentukan Model Law Tentang Mahkamah Lingkungan Internasional”, (Disertasi
Doktor Universitas Padjajaran, Bandung, 2010), hlm. 113.
36
menengahkan pendekatan internasional pada umumnya serta kerugian yang dialami
oleh negara – negara pada khususnya serta sejauh mana peran dan posisi hukum dari
negara tersebut.89 Penelitian ini menitikberatkan pada konsep tanggung jawab
sebagai akibat yang muncul dari dampak perubahan iklim oleh beberapa negara.
Roda secara cermat membahas tentang kemungkinan – kemungkinan penerapan
instrumen hukum internasional untuk dapat meminta pertanggungjawaban terhadap
dampak kerugian yang diterima oleh negara – negara sebagai efek perubahan iklim.
Penelitian lain dengan tema yang sejenis pernah dilakukan pula dalam
program Doctor of Philosophy di Stanford Law School oleh Cui Yan, yang
dituangkan dalam disertasi dengan judul Climate Change And International
Consensus Building: A Content Analysis Of The UNFCCC Negotiations Toward
Multilateral Environmental Agreement pada tahun 2010.90 Disertasi ini fokus
kepada usaha penguatan konsensus internasional dalam upaya perbaikan iklim
khususnya melalui usaha negosiasi yang kerap dilakukan dalam pertemuan rutin
tahunan negara anggota konvensi perubahan iklim. Mengusung pendekatan content
analysis, Cui Yan mencoba menelaah dokumen – dokumen negosiasi yang terjadi
dalam pertemuan tahunan konferensi perubahan iklim.
Pada tataran tulisan jurnal ilmiah yang menengahkan isu seputar perubahan
iklim dan respon dari hukum internasional, pembicaraan lebih marak dibandingkan
89 Lihat Roda Verheyen,. Climate Change Damage and International Law. (Netherlands :
Martinus Nijhoff Publishers, 2005), hlm.,1.
90 Cui Yan, “Climate Change And International Consensus Building: A Content Analysis Of The
UNFCCC Negotiations Toward Multilateral Environmental Agreement”, (Disertasi Ph.D. Stanford Law
School, Stanford, 2010), hlm.3.
37
dengan tulisan dalam penelitian disertasi. Paul G. Harris dalam Penn State
Environmental Law Review Winter 2008 mencoba membuka wacana tentang
kegagalan hukum internasional dalam merespon isu perubahan iklim dalam
perspektif keadilan cosmopolitan. Dalam pandangannya, Haris mencoba
memberikan pemahaman bahwa hukum internasional tidak mampu menghadirkan
nilai – nilai keadilan bagi satu negara dengan negara yang lain, sehingga perlu ada
perombakan ulang dari sistem hukum internasional.91 Selain itu terdapat pula
Professor Elizabeth Burleson, Guru Besar Hukum Politik dan Ekonomi dari
Connecticut School of Law yang dalam tulisannya melakukan analisa terhadap hasil
pertemuan Conference of Parties di Copenhagen serta proyeksi ke depan mengenai
penanggulangan perubahan iklim dengan beberapa instrumen sehingga mampu
menepis ketakutan masyarakat internasional mengenai kondisi iklim yang semakin
memburuk.92
Sedangkan mewakili pemikiran dari negara berkembang terhadap upaya
penanggulangan perubahan iklim dan peran dari hukum internasional, Deepa
Badrinarayana, seorang Assistant Professor dari National Law School of India
University melihat peran positif dan negatif dari hukum internasional yang dapat
digunakan dalam rangka mengatasi pemanasan global. Deepa mengkhususkan diri
91 Paul G. Harris, “Climate Change And The Impotence Of International Environmental Law:
Seeking A Cosmopolitan Cure”, Penn State Environmental Law Review Winter 2008., hlm.4.
92 Elizabeth Burleson, “Climate Change Consensus: Emerging International Law”.,
Environmental Law and Policy Review William & Mary Environmental Law and Policy Review 2010,
hlm.1.
38
pada pembahasan paham kedaulatan yang dapat menjadi bumerang dalam upaya
pengelolaan lingkungan internasional.93
Bersandar pada penelitian dalam bentuk disertasi, buku maupun tulisan
jurnal ilmiah sebagaimana diungkapkan di atas, penelitian yang hendak dilakukan
dalam disertasi ini memiliki kebaharuan dari penelitian sebelumnya.
Pertama, penelitian ini melakukan mengkhususkan diri pada upaya mitigasi
dalam penanggulangan perubahan iklim sehingga penelitian ini tidak akan
menyentuh pembahasan yang bersifat kebijakan – kebijakan adaptif sebagai upaya
penanggulangan perubahan iklim.94
Kedua, penelitian ini mengusung teori Keadilan Iklim sebagai pisau analisa
dan parameter utama untuk melihat terpenuhi atau tidaknya teori keadilan antar
generasi dan keadilan inter generasi sebagai prasyarat keberadaan institusi dan
instrumen perubahan iklim.
Ketiga, penelitian ini akan berpusat pada kritik dan analisa terhadap institusi
dan instrumen hukum internasional yang hadir dalam rangka mengatasi perubahan
iklim.
93 Deepa Badrinarayana, “Global Warming: A Second Coming For International Law ?”.,
Washington Law Review, 2010, hlm.1.
94 Dalam pembahasan mengenai penanggulangan perubahan iklim kerap kali terdapat dikotomi
antara adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Adaptasi diartikan sebagai tindakan penyesuaian sistem
alami atau sistem manusia dalam menanggapi perubahan iklim aktual yang berdampak pada kegiatan
manusia. Sedangkan Mitigasi dalam konteks perubahan iklim diartikan sebagai sebuah upaya intervensi
manusia untuk mengurangi sumber atau meningkatkan dampak dari gas rumah kaca. Contohnya seperti
menggunakan bahan bakar fosil lebih efisien untuk proses industri atau pembangkit listrik, beralih ke
tenaga energi matahari atau angin, peningkatan isolasi bangunan, dan memperluas hutan dan lainnya
"tenggelam" untuk menghilangkan jumlah yang lebih besar dari karbon dioksida dari atmosfer. Lihat
Glossary Of Climate Change Acronyms terdapat dalam situs
http://unfccc.int/essential_background/glossary/items/3666.php diakses 15 Februari 2011.
39
Terakhir, penelitian ini menjadi beda karena akan dilakukan dalam
perspektif Indonesia baik dalam kapasitasnya sebagai negara berkembang maupun
dalam kedudukannya sebagai negara Non Annex. Hal inilah yang akan menjadi
pembeda utama dari penelitian disertasi ini dengan penelitian disertasi yang lain.
Penggunaan instrumen teori keadilan iklim baik pada ranah internasional maupun
nasional dalam kajian penelitian ini memberikan karakteristik yang kuat dalam
penelitian ini yang diharapkan memberikan sumbangsih pada tataran keilmuan
maupun kebijakan.
1.7. Kerangka Konseptual
Dalam penelitian hukum, teori ilmu hukum yang disusun oleh para ahli,
rumusan dalam peraturan maupun doktrin – doktrin yang berkembang, dapat
dipergunakan sebagai unsur dalam kerangka konsep. Kerangka konseptual
merupakan penggambaran hubungan antara konsep - konsep yang ingin diteliti, oleh
karena itu keberadaan kerangka konseptual dalam suatu penelitian sangatlah
diperlukan guna dijadikan pedoman dalam meneliti suatu konsep, bukan merupakan
gejala yang akan diteliti melainkan abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri
biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai
hubungan-hubungan dalam fakta tersebut yang akan memberikan penyelesaian
kepada kasus-kasus yang timbul karena hal tersebut.95 Dalam kerangka konsep ini
pula dikemukakan beberapa definisi operasional yang dalam penelitian ini akan
kerap digunakan dalam penulisan disertasi.
95 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1986), hlm.132
40
Sebagai titik tolak dari perumusan kerangka konseptual, dapat diuraikan
beberapa konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Perubahan Iklim adalah Perubahan iklim didefinisikan sebagai bentuk
perubahan terhadap iklim yang ada baik disebabkan secara langsung
maupun tidak langsung dari tindakan manusia yang memicu perubahan
komposisi atmosfir global yang juga berpengaruh pada tingkat
variabilitas iklim pada kurun waktu tertentu.96
2. Negara adalah subjek hukum internasional yang memiliki penduduk
tetap, wilayah tertentu, pemerintahan; dan kapasitas untuk berhubungan
dengan negara lain.97
3. Masyarakat Internasional adalah kesatuan dari negara – negara baik yang
terikat dalam tataran bilateral, trilateral, regional maupun universal.98
4. Negara Annex I adalah negara – negara yang memiliki kewajiban untuk
menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan konvensi Perubahan
Iklim yang telah disepakati dalam kurun waktu 2008 – 2012.99
5. Negara Annex II adalah negara – negara yang berkewajiban untuk
membantu negara – negara berkembang dalam hal alih teknologi dan
96 Lihat perumusan Pasal 1 ayat (2) United Nation Framework Convention on Climate Change.
97 Pasal 1 Montevedio The Convention on Rights and Duties of State of 1933
98 Martin Dixon, Textbook on International Law, Blackstone Press Limited, fourth edition, 2001,
hlm. 12
99 Lihat Glossary Of Climate Change Acronyms terdapat dalam situs
http://unfccc.int/essential_background/glossary/items/3666.php diakses 15 Februari 2011.
41
bantuan pendanaan sebagai salah satu bentuk langkah penanggulangan
perubahan iklim.100
6. Mitigasi adalah tindakan manusia dalam rangka mengurangi
peningkatan angka konsentrasi gas rumah kaca.101
7. Gas Rumah Kaca adalah Gas pada lapisan atmosfer yang menjadi
penyebab pemanasan global dan perubahan iklim. Kandungan dari gas
ini adalah Carbon dioxide (CO2), Methane (CH4), Nitrous oxide (N2O),
Hydrofluorocarbons (HFCs), Perfluorocarbons (PFCs) dan Sulphur
hexafluoride (SF6).102
8. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain..103
9. Protokol Kyoto adalah protokol dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB
tentang Perubahan Iklim dalam perjanjian lingkungan internasional yang
bertujuan untuk memerangi pemanasan global dan mencapai stabilisasi
konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang akan
100 Ibid.
101 Ibid.
102Ibid.
103 Lihat Pasal 1 Butir 1 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
42
mencegah gangguan antropogenik yang berbahaya dengan sistem
iklim.104
1.8. Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan manusia dalam rangka
memperkuat, membina serta mengemban ilmu pengetahuan. Secara umum
terminologi penelitian kerap kali digunakan untuk menggambarkan sebuah proses
secara hati – hati dan sistematis untuk menjawab permasalahan yang timbul pada
topik yang hendak diteliti. Oleh karena itu dalam penelitian dituntut untuk dapat
berlangsung secara sistematis, kehati – hatian serta menyeluruh.105
Penelitian ini menitikberatkan pada bentuk penelitian yuridis normatif, yang
akan melihat dan menganalisis norma – norma hukum (normatif – analisis) dalam
perjanjian internasional di bidang perubahan iklim. Untuk itu dalam disertasi ini
akan dilakukan tinjauan terhadap dokumen – dokumen yang memuat instrumen dan
institusi hukum internasional yang ada pada saat ini dengan merujuk pada The
United Nations Framework Convention on Climate Change dan Kyoto Protocol
serta sumbangsih yang diberikan instrumen dan institusi tersebut dalam upaya
perbaikan iklim dengan menggunakan perspektif keadilan iklim sebagai landasan
teoretis.
Dalam rangka menjawab permasalahan penelitian dan juga pertanyaan
penelitian yang telah ditentukan, penelitian ini mengeksplorasi beberapa isu utama
104 The United Nations Framework Convention on Climate Change. Article 2.
105 Tan W, Practical Research Methods (2nd ed, Prentice Hall, Singapore, 2004), hlm.3.
43
dalam mekanisme instrumen dan institusi yang hadir sebagai upaya perbaikan iklim
yang terdapat di luar Protokol Kyoto, selain itu juga akan dilakukan analisis
mengenai perkembangan kepedulian masyarakat internasional dalam menanggapi
isu perubahan iklim yang bersandar pada dokumen pertemuan tahunan perubahan
iklim.
Penelitian ini mendasari pada data baik yang diperoleh langsung dari
normatif maupun lapangan (empiris). Data yang bersumber dari bahan pustaka baik
yang telah tertuang dalam buku, karya ilmiah dan tulisan lainnya yang disebut
dengan data sekunder penulis dapatkan baik dalam bentuk buku, jurnal maupun
hasil perundingan perubahan iklim.106 Dalam penelitian ini, sebagian data penelitian
yang berlandaskan data sekunder berupa bahan – bahan hukum berupa :
1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan – bahan hukum yang mengikat.107 Dalam
penelitian ini sesuai dengan konteks internasional maka selain peraturan
perundang –undangan pada tingkat nasional, juga digunakan sumber hukum
internasional yang terdiri dari (i) Perjanjian Internasional; (ii) Kebiasaan
Internasional; (iii) Prinsip – prinsip hukum umum; dan (iv) putusan
pengadilan internasional dan ajaran – ajaran hukum dari berbagai negara
yang memiliki reputasi internasional yang dinyatakan sebagai sumber
pelengkap.108 Dalam penelitian ini bahan primer yang digunakan antara lain
United Nations Framework Convention on Climate Change, Kyoto Protocol
106 Ibid., hlm.12.
107 Ibid.
108 Pasal 38 ayat (1)., Statute International Court of Justice.