244
yang merupakan akumulasi dana yang diperoleh dari ketidakpatuhan negara –
negara maju terhadap komitmen yang telah ditentukan.357
Konsep ini pun kemudian menemui pro dan kontra dalam
perkembangannya. Barisan yang menyetujui konsep ini salah satunya adalah
negara – negara berkembang lainnya yang pada saat itu mengusung perlu adanya
skema yang memberikan kesempatan kepada negara berkembang untuk ikut serta
dalam perubahan iklim yang disebut sebagai Activities Implemented Jointly
(AIJ). Sedangkan barisan yang kontra dipelopori oleh negara – negara yang
tergabung dalam G77+Cina yang menentang adanya konsep penghukuman
kepada tindakan yang tidak mematuhi komitmen yang telah ditentukan.358
Setelah melalaui proses negosiasi panjang yang melibatkan para ahli
negosiasi terutama dari Brasil dan Amerika Serikat, akhirnya konsep
keikutsertaan dari negara – negara berkembang dalam upaya penanggulangan
perubahan iklim dengan dirumuskan skema Clean Development Mechanism
(CDM) dalam perumusan Pasal 12 Protokol Kyoto dengan menekankan kepada
upaya untuk mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di negara
………………..
357 Lihat Grubb, M., C. Vrolijk, and D. Brack., The Kyoto Protocol: A Guide and Assessment.
London: Earthscan/James and James. 1999., hlm. 234.
358 Lihat Michaelowa, A. 1999. Baseline Setting in the AIJ Pilot Phase. In Reports on AIJ
Projects and Contributions to the Discussion of the Kyoto Mechanisms, edited by Wuppertal-Institut and
Bundesumweltministerium 82–93. Berlin: Bundesumweltministerium., hlm. 28.
245
berkembang pada satu sisi serta mendukung negara maju untuk mencapai
komitmen pada sisi lain.359
Melalui keberadaan proyek – proyek berbasis CDM, negara – negara
maju akan memperoleh kredit penurunan emisi dalam bentuk sertifikat
penurunan emisi yang dapat digunakan dalam pasar karbon dunia yang disebut
Certified Emission Reduction (CER). Dalam rezim CDM, setiap negara
berkembang diminta untuk memiliki institusi yang disebut dengan Designated
National Authority atau (DNA). Keberadaan dari institusi DNA ini merupakan
hal penting terutama bagi negara berkembang karena merupakan prasyarat dalam
hal ingin berpartisipasi pada proyek CDM.360 Untuk Indonesia sendiri
sebagaimana terdapat dalam register UNFCCC telah memasukkan Komisi
Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih yang berada di bawah Kementerian
Lingkungan Hidup sebagai badan DNA Indonesia.361
Sementara itu, institusi yang mempunyai fungsi untuk memberikan CER
adalah Badan Pelaksana CDM (Executive Board) pada tingkat global yang
berfungsi untuk lembaga verifikasi pada tingkatan internasional.362
359 Lihat perumusan Pasal 12 ayat (2) Protokol Kyoto yang menyatakan bahwa “The purpose of
the clean development mechanism shall be to assist Parties not included in Annex I in achieving
sustainable development and in contributing to the ultimate objective of the Convention, and to assist
Parties included in Annex I in achieving compliance with their quantified emission limitation and
reduction commitments under Article 3”
360 Lihat General FCCC/KP/CMP/2005/8/Add.1., 30 March 2006.
361 Lihat dalam http://cdm.unfccc.int/DNA/index.html diakses pada tanggal 1 Januari 2013.
362 Lihat The Gold Standard. 2006. The gold standard manual for CDM project developers.
Version 3 : May 2006., terdapat dalam situs
http://www.cdmgoldstandard.org/uploads/file/DeveloperManual GS-CER.pdf diakses pada tanggal 23
Maret 2012.
246
Pada perspektif negara berkembang keuntungan yang dapat dicapai hadir
dalam bentuk tambahan bantuan pendanaan (financial additionally) dari investor
dalam rangka melaksanakan proyek – proyek yang ramah lingkungan. Selain itu
keuntungan yang diperoleh dari negara – negara berkembang juga terdapat dalam
bentuk tambahan alih teknologi (technological additionally) dari negara – negara
maju yang dapat menekan angka emisi gas rumah kaca dari industri yang ada di
negara berkembang.363
Sebagaimana telah disepakati dalam isi ketentuan Protokol Kyoto,
kehadiran dari proyek – proyek CDM bertujuan untuk mendukung serta
menjamin terlaksananya pembangunan berkelanjutan di negara berkembang. Hal
inilah yang kemudian menjadi dasar perdebatan serta pemikiran bahwa isu
pelaksanaan CDM mutlak mempertimbangkan variabel pembangunan di
dalamnya yang mencakup aspek – aspek lingkungan, sosial, ekonomi dan
budaya.364
Walaupun telah tercapai kesepakatan secara tekstual dalam dokumen
Protokol Kyoto, beberapa masalah masih tersisa dalam pemaknaan skema CDM.
Paling tidak terdapat 2 (dua) perdebatan yang muncul saat hadirnya ketentuan
mengenai keterlibatan dari negara berkembang tersebut.
363 Lihat Laporan Greenpeace International (2nd) The Clean Development Mechanism: an
instrument for sustainable development or a new nuclear subsidy?, terdapat dalam situs
http://www.greenpeace.org/ climate/politics/lyonnuke.html diakses pada tanggal 23 Maret 2012. Lihat
pula Thorne, S., and E. L. La Rovere. 1999. Criteria and Indicators for Appraising Clean Development
Mechanism (CDM) Projects. Paris: Helio, hlm. 25.
364 Lihat Nhan T. Nguyen, et. al. “Improving The Clean Development Mechanism Post-2012: A
Developing Country Perspective.”., Carbon and Climate Law Review., 2010., volume, hlm. 80.
247
Pertama, terdapat perbedaan cara pandang di antara dua kelompok yang
merupakan subyek utama dalam pelaksanaan CDM yaitu negara maju dan negara
berkembang. Negara maju melihat keberadaan CDM sebagai sebuah alternatif
instrumen penurunan emisi yang dapat dilakukan dengan biaya yang relatif
murah dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan di negara mereka
sendiri. Sedangkan negara berkembang melihat keberadaan dari CDM sebagai
sebuah peluang dari adanya proses pembantuan dalam rangka mempercepat
proses pembangunan. Perbedaan pandangan tersebut tentu saling bertolak
belakang satu sama lain dan akan menghambat pelaksanaan dari upaya mitigasi
itu sendiri pada akhirnya.365
Kedua, kehadiran CDM menciptakan sebuah kejanggalan baru dalam
pasar karbon dunia. Keberadaan dari negara – negara maju yang terikat dengan
komitmen penurunan emisi melakukan CDM dengan mendapatkan credit dari
skema yang ada. Sedangkan negara – negara berkembang merupakan kelompok
yang tidak terikat dengan komitmen dalam Protokol Kyoto tentu tidak
berorientasi pada keuntungan kewajiban penurunan emisi. Kondisi ini akan
mengakibatkan pasar credit dalam mitigasi gas rumah kaca menjadi tidak
sempurna karena negara berkembang tidak akan melakukan penawaran karena
tidak dibebankannya kewajiban bagi mereka.366
365 Lihat Anatole Boute., “Carbon Capture And Storage Under The Clean Development
Mechanism - An Overview Of Regulatory Challenges.”., Carbon and Climate Law Review., 2008., hlm.
345.
366 Lihat Anita M. Halvorssen., “The Kyoto Protocol And Developing Countries The Clean
Development Mechanism”., Colorado Journal of International Environmental Law and Policy
Spring 2005., Volume 6, Papers Presented: 2004 ILSA Fall Conference, Oct. 21-23, 2004 University of
Colorado School of Law Panel: Sustainable Development and Smart Energy., hlm. 25.
248
Tidak seperti skema penurunan emisi lainnya yang ada dalam Protokol
Kyoto, keberadaan dari tata cara, modalitas hingga teknis pelaksanaan dari CDM
dibahas secara intensif serta menunjukkan pola yang dinamis karena terdapat
negara berkembang di dalamnya. Terdapat beberapa pandangan yang mencolok
dari keberadaan CDM ini di perspektif negara maju serta negara berkembang.
Negara berkembang tetap mengusung pembangunan sebagai isu utama termasuk
dalam skema CDM. Negara – negara berkembang bersikukuh bahwa keberadaan
dari CDM tidak boleh mengganggu laju pembangunan yang sedang mereka
lakukan. Sedangkan negara – negara maju kerap kali memperbincangkan
mengenai partisipasi dari negara berkembang untuk dapat menjamin pengakuan
dan keberlangsungan dari usaha penurunan emisi yang dilakukan sebagai tujuan
utama.367
Atas dasar dari adanya keraguan dari negara – negara maju serta negara
berkembang tersebut, akhirnya disepakati bahwa perlu adanya bentuk
mekanisme serta tata cara yang mengatur keberadaan CDM baik yang mengatur
mengenai peserta proyek, pendaftaran proyek, validasi proyek verifikasi
penurunan emisi hingga penerbitan sertifikat dari proyek tersebut.368
Keberadaan dari CDM dalam perspektif keadilan iklim mempunyai
beberapa kendala tersendiri. Walaupun mekanisme CDM merupakan satu –
367 Lihat Haites, E & Yamin, F., “The Clean Development Mechanism: Proposals For Its
Operation And Governance”, Global Environmental Change, 10, 2000, hlm. 30 Lihat pula Harald
Winkler, Ogunlade Davidson & Stanford Mwakasonda (2005)., “Developing Institutions For The Clean
Development Mechanism (CDM): African Perspectives”, Climate Policy, 5:2, Volume, hlm. 215.
368 Lihat Thorne, S., La Rovere, E., 1999. Criteria and Indicators for the Appraisal of Clean
Development (CDM) Projects. Fifth Conference of the Parties to the Framework Convention on Climate
Change, Bonn, 26 November. Helio International.
249
satunya instrumen penurunan emisi yang melibatkan negara berkembang, namun
ketidakadilan tetap hadir dalam beberapa bentuk utama.
Pertama, ketidakadilan dalam pelaksanaan CDM akan dirasakan oleh
negara – negara berkembang yang berada pada ekonomi yang tidak stabil.
Sebagaimana diketahui, proyek-proyek CDM sebenarnya ditujukan kepada
negara-negara berkembang yang telah mapan baik secara ekonomi maupun laju
pembangunan.369 Negara – negara maju dalam rangka menggelontorkan dana
dalam skema CDM tentu akan mempertimbangkan banyak hal untuk menunjang
keberhasilan dari proyek CDM mereka. Terdapat paling tidak 2 (dua) butir utama
yang menjadi pertimbangan dari negara yang menjadi pelaksana program CDM
yaitu (i) kestabilan secara institusi dari negara pelaksana CDM. Keberadaan
lembaga – lembaga penunjang dari proyek CDM itu sendiri membawa kepastian
hukum dan perhitungan dalam konteks proyek CDM dan 370(ii) negara – negara
maju cenderung untuk memilih negara berkembang yang telah berada dalam
jalan menuju negara industri.371 Hal ini menjadi penting pada saat negara –
negara berkembang dipersyaratkan untuk dapat membuktikan telah terjadi
penurunan emisi sebelum dan sesudah adanya proyek emisi terhadap kegiatan
369 Lihat Anil Agarwal, “A Southern Perspective on Curbing Global Climate Change”, Climate
Change Policy., 2002., volume, hlm. 380. Lihat pula Patricia Nelson, “An African Dimension to the Clean
Development Mechanism: Finding a Path to Sustainable Development in the Energy Sector”, Denver
Journal International Law and Policy., 2004., Volume, 631.
370 Lihat Randall Spalding-Fecher et al., The Clean Development Mechanism: Energy Projects
for Africa, in African Perspectives on the Clean Development Mechanism., Cassandra Brooke & John
Turkson eds., 1999, hlm. 63.
371 Ibid.
250
yang didanai.372 Disadari atau tidak kedua alasan ini akan semakin meninggalkan
negara – negara miskin dalam skema mitigasi gas rumah kaca termasuk transfer
teknologi dan transfer finansial di dalamnya.373
Kedua, ketidakadilan terjadi pada saat negara – negara berkembang tidak
memiliki posisi tawar yang seimbang dengan negara maju dalam perumusan dan
pelaksanaan proyek – proyek CDM. Keberadaan proyek CDM dengan
menempatkan negara berkembang sebagai salah satu pihak yang terikat dalam
upaya mitigasi gas rumah kaca dalam perspektif investasi sangatlah
menguntungkan negara maju.374 Terdapat dikotomi kepentingan dari negara
maju dan negara berkembang dalam dimensi pelaksanaan dari proyek CDM itu
sendiri. Pada satu sisi negara – negara maju tentu akan memilih untuk
menempatkan dana yang mereka miliki kepada negara berkembang sebagai
372 Lihat perumusan Pasal 12 ayat (5) yang menyatakan bahwa “Emission reductions resulting
from each project activity shall be certified by operational entities to be designated by the Conference of
the Parties serving as the meeting of the Parties to this Protocol, on the basis of: (a) Voluntary
participation approved by each Party involved; (b) Real, measurable, and long-term benefits related to
the mitigation of climate change; and (c) Reductions in emissions that are additional to any that would
occur in the absence of the certified project activity.” Lihat pula Ruchi Anand, International
Environmental Justice: A North-South Dimension., Ashgate Pub. Co. 2004., hlm. 49. Lihat pula Patricia
Nelson, “An African Dimension to the Clean Development Mechanism: Finding a Path to Sustainable
Development in the Energy Sector”, 32 Denver Journal of International Law and Policy 615, tahun, hlm.
649.
373 Secara statistik sebenarnya hal ini terbukti pada saat merujuk kepada data dari Bank Dunia
mengenai proyek – proyek yang ada pada tahun 2005 dan 2006 di dominasi oleh Cina sebanyak dua per
tiga dari keseluruhan proyek. Sebaliknya, negara – negara di belahan Afrika hanya menerima 12 dari 156
proyek CDM yang ada. Lihat Maxine Burkett, “Just Solutions to Climate Change: A Climate Justice
Proposal for a Domestic Clean Development Mechanism”, 56 Buffalo Law Review. 2008., hlm. 211. Lihat
pula Nelson., Ibid., hlm. 634.
374 Lihat Press Release, A SEED et al., Bonn Statement on Climate Change-- ‘Saving’ the Kyoto
Protocol Means Ending the Market Mania, terdapat dalam situs
http://www.corporateeurope.org/climate/bonnstatement.html diakses pada tanggal 20 Maret 2012. Lihat
pula Burket., Ibid., hlm. 211.
251
upaya pengguguran kewajiban untuk menurunkan emisi.375 Sebaliknya negara
berkembang yang sebenarnya berada di posisi yang dibutuhkan namun memiliki
mempunyai posisi tawar yang lemah pada saat negara berkembang sangat
mendambakan bantuan baik berupa pendanaan maupun teknologi dari negara
maju kepada negara berkembang.376 Posisi asimetris ini tentu akan berdampak
kepada adanya kompetisi di antara negara – negara berkembang dalam rangka
mendapatkan proyek CDM walaupun mereka harus ”discount their future”.377
Ketiga, bentuk ketidakadilan dari CDM juga lahir dari kerangka
prosedural pelaksanaan proyek CDM itu sendiri. Sebagaimana telah ditentukan
dalam hasil perundingan Marrakesh, keterlibatan dari masyarakat lokal terhadap
perumusan serta pelaksanaan dari proyek – proyek CDM wajib untuk
dilakukan.378 Bersandar pada sudut pandang negara – negara miskin atau bahkan
negara miskin yang memiliki keterbatasan tentu tidak akan mudah untuk
melakukan korespondensi pada tingkat internasional untuk proyek – proyek
375 Lihat Anil Agarwal, “A Southern Perspective on Curbing Global Climate Change”, Climate
Change Policy., 2002., volume, hlm. 340.
376 Lihat Ruchi Anand, International Environmental Justice: A North-South Dimension., Ashgate
Pub. Co. 2004., hlm. 49. Lihat pula Patricia Nelson, “An African Dimension to the Clean Development
Mechanism: Finding a Path to Sustainable Development in the Energy Sector”, 32 Denver Journal of
International Law and Policy 615, hlm. 639.
377 Lihat Anil Agarwal., Op. Cit., hlm. 384. Lihat pula Boiling Point, dalam Anil Agarwal et al.
Green Politics eds., Centre for Science & the Environment 1999., hlm. 78.
378 Lihat Conference of the Parties to the Framework Convention of Climate Change, Marrakesh,
Morocco, Oct. 29-Nov. 11, 2001, The Marrakesh Accords, U.N. Doc. FCCC/CP/2001/13/Add.2, Decision
17/CP.7 (Jan. 21, 2002)., hlm. 34 yang menyatakan bahwa dalam rangka memiliki validasi proyek CDM
maka harus ada keterlibatan aktif dari komunitas lokal.
252
CDM.379 Selain itu ketidakadilan prosedural juga terjadi pada saat perundingan
Marrakesh mensyaratkan pula perlu adanya kajian lingkungan terlebih dahulu
terhadap daerah yang akan melaksanakan proyek – proyek CDM tersebut.380
Dalam kondisi kekinian, tentu hal ini akan mempunyai dampak yang bagus
secara teoretis. Namun perlu dicermati bahwa dengan perkembangan
pengetahuan dan teknologi antara negara maju dengan negara berkembang atau
bahkan dengan negara miskin maka akan memperlebar jurang pengetahuan
mengenai analisis dampak lingkungan yang dimaksud. Ketidakadaan suatu
formulasi serta tolak ukur yang jelas juga melengkapi adanya ketidakadilan
dalam upaya mewujudkan pola – pola pelaksanaan proyek CDM yang
berkeadilan.
3.8.4. Reduction of Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD)
Secara eksplisit dalam dokumen yang dirilis oleh United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), dinyatakan bahwa
perubahan iklim terjadi pada saat komposisi atmosfir global berubah baik yang
disebabkan secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan manusia.381
Beberapa variabel telah dideteksi menjadi sumber dari perubahan atmosfir
tersebut meliputi sektor energi, laju kerusakan hutan, transportasi, dan
379 Lihat Malte Meinshausen & Bill Hare, Sinks in the CDM: An Analysis of the CDM Sinks
Agreement at COP-9, 2003., hlm., 7 – 8.
380 Lihat Conference of the Parties to the Framework Convention of Climate Change, Marrakesh,
Morocco, Oct. 29-Nov. 11, 2001, The Marrakesh Accords, U.N. Doc. FCCC/CP/2001/13/Add.2, Decision
17/CP.7 (Jan. 21, 2002)., hlm. 35.
381 Lihat Climate Change Glossary, United Nations Framework Convention on Climate Change,
terdapat dalam http://unfccc.int/files/documentation/text/html/list_search.php?what= diakses pada tanggal
5 Mei 2012.
253
perkebunan.382 Hal ini pun telah menjadi perhatian dari masyarakat internasional
pada saat permasalahan perubahan iklim telah memberikan pengaruh besar baik
pada angka populasi manusia, gurunisasi, kerusakan tanah hingga masalah
keanekaragaman hayati.383
Pada awal perbincangan mengenai usaha mitigasi perubahan iklim dapat
dikatakan sektor kehutanan merupakan anak tiri yang selalu dianggap tidak
berperan penting. Sektor – sektor yang mendominasi dalam usaha mitigasi
selama beberapa tahun dikuasai oleh sektor – sektor primadona lain seperti
sektor energi dan bahan bakar.384 Terdapat beberapa signifikansi dijadikannya
sektor kehutanan sebagai salah satu usaha mitigasi gas rumah kaca.
Pertama, berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Perserikatan
Bangsa Bangsa dan lembaga yang berwenang lainnya terlihat perkiraan bahwa
20% kandungan CO2 secara global hadir dari laju kerusakan hutan di negara –
negara berkembang.385
382 Lihat Lenny Bernstein et al., Intergovernmental Panel on Climate Change, Climate Change
2007: Synthesis Report., hlm.5..
383 Lihat Charlotte Streck et al., Climate Change and Forestry: An Introduction, in Climate
Change and Forests: Emerging Policy and Market Opportunities., 2008., hlm.8.
384 Lihat W. Boyd, “Ways of Seeing in Environmental Law : How Deforestation Became an
Object of Climate Governance”, Ecology Law Quarterly, Vol.37,2010., hlm. 869.
385 Lihat Climate Change 2007: Synthesis Report, Intergovernmental Panel on Climate Change
(2007), terdapat dalam situs http://www.ipcc.ch/pdf/report//syr/ar4_syr.pdf. Lihat pula Climate Change
“Can Be Tackled,” BBC, terdapat dalam situs http://news.bbc.co.uk/2/hi/science/nature/6620909.stm
diakses pada tanggal 4 Mei 2012.
254
Kedua, bersandar pada hasil kajian yang dilakukan oleh Stern pada tahun
2007 diperhitungkan sebagai mekanisme mitigasi gas rumah kaca yang relatif
murah.386
Randall S. Abate dalam tulisannya mengatakan bahwa Protokol Kyoto
dapat dikatakan gagal dalam konteks reduksi emisi dari sektor kehutanan dalam
beberapa bentuk utama.387
Pertama, instrumen hukum terhadap perubahan iklim ini tidak mampu
untuk dapat mengidentifikasi sumber – sumber emisi secara komprehensif
sehingga tindakan yang dilakukan tidak tepat sasaran. Berdasarkan catatan dari
Stern, terlihat bahwa laju kerusakan menyumbang sebanyak 18% dari total emisi
yang ada sekarang ini.388 Namun sayangnya hutan tidak masuk dalam skema
penurunan emisi yang diperkenalkan dalam mekanisme yang ada dalam Protokol
Kyoto.389
386 Lihat Nicholas Stern, Executive Summary The Economics of Climate Change: The Stern
Review, 2007., hlm. 13.
387 Randall S. Abate., “Redd, White, and Blue: Is Proposed U.S. Climate Legislation Adequate to
Promote A Global Carbon Credits System for Avoided Deforestation in A Post-Kyoto Regime?”., Tulane
Journal of International and Comparative Law Winter 2010., hlm.1.
388 Nicholas Stern, The Economics of Climate Change: The Stern Review,2006., hlm. x,
http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/226271-1170911056314/3428109-
1174614780539/SternReviewEng.pdf. Diakses pada tanggal 1 Juli 2013.
389 Walaupun proyek – proyek berbasis hutan eligible termasuk dalam skema Clean Development
Mechanism, namun dalam mekanisme ini hanya terbatas pada bentuk aforestasi dan reforestasi sedangkan
deforestasi tidak masuk dalam lingkup mitigasi yang dapat dilakukan. Lihat pembahasan dalam Bernard
Schlamadinger et al., Should We Include Avoidance of Deforestation in the International Response to
Climate Change?, in Tropical Deforestation and Climate Change., hlm.53. Lihat pula Clément Chenost et
al., Bringing Forest Carbon Projects to the Market, terdapat dalam situs
http://www.unep.fr/energy/activities/forest_carbon/pdf/Guidebook%20English%C20Final%2019-5-
2010%20high%20res.pdf diakses pada tanggal 1 Juli 2013 yang mengungkapkan bahwa dari total
keseluruhan proyek CDM hanya 0,4 persen yang berbasis kehutanan
255
Kedua, berbagai mekanisme mitigasi emisi yang ada di dalam Protokol
Kyoto tidak melibatkan secara besar dari negara – negara berkembang yang
notabene merupakan pemilik dari hutan – hutan besar di dunia selaku penyerap
emisi dan penyumbang deforestasi.390
Terakhir, kehadiran dari instrumen penurunan emisi sebagus apapun
tanpa melibatkan dari Amerika Serikat selaku penyumbang emisi nomor satu di
dunia akan sia – sia.391
Ide pertama kali mengenai konsep REDD yang dikenal sekarang berawal
dari ide yang dibicarakan pada saat diadakannya Seminar of Government Experts
di Bonn, Jerman pada tahun 2005 oleh Wakil dari Papua New Guinea, Robert
Aisi.392 Usulan ini kemudian ditindaklanjuti dalam bentuk usulan formal oleh
Papua New Guinea dan Kostarika, yang mengusulkan 2 (dua) hal sebagai
tindakan lanjutan yaitu pertama membuat mekanisme pengurangan laju
deforestasi dalam skema RED (Reducing Emissions from Deforestation) dan
Kedua adalah merevisi dari Marrakesh Accords untuk membuka kesempatan
masuknya pembahasan pengurangan laju deforestasi dalam skema CDM di
periode komitmen pertama.393
390 Lihat Randall S. Abate., Loc. Cit.
391 Ibid.
392 Lihat K. Kulovesi, M. Muñoz and C. Spence, ‘Summary of the UNFCCC Seminar of
Governmental Experts, 16–17 May 2005’, 12:261 Earth Negotiations Bulletin (19 May 2005), 4.
393 Untuk melihat lebih detail mengenai pengajuan konsep oleh Papua New Guinea dan Kostarika
dapat dilihat dalam Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries: Approaches to
Stimulate Action (FCCC/CP/2005/MISC.1, 11 November 2005).
256
Momentum perhatian para negosiator iklim selanjutnya terhadap
keberadaan hutan sebagai salah satu instrumen mitigasi sudah mulai terjadi pada
saat diadakannya COP 11 di Montreal, Kanada. Pada saat itu isu untuk
memperkenalkan sektor kehutanan dilakukan oleh 2 (dua) negara utama yaitu
Papua New Guinea dan Kosta Rika dengan mengeluarkan usulan untuk dapat
memanfaatkan keberadaan hutan di negara berkembang dalam rangka mitigasi
perubahan iklim yang dikenal dengan terminologi RED (Reducing Emissions
from Deforestation).394 Pengajuan dari kedua negara tersebut mengatakan bahwa
dengan memperhatikan tingginya angka laju kerusakan hutan saat ini maka perlu
kiranya ada kajian ilmiah yang melihat kemampuan ilmiah, kemampuan teknis,
kebijakan serta kapasitas dari negara – negara pemilik hutan dalam usaha
mitigasi.395 Selanjutnya pada saat diadakannya COP 13 di Bali, Indonesia
mengutarakan bahwa isu kehutanan yang tertuang dalam skema Reducing
Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) layak menjadi
perbincangan sebagai kebijakan mitigasi pasca periode komitmen pertama
Protokol Kyoto.
Setelah mendapat pengakuan dalam hasil dari COP ke 13 di Bali yang
dituangkan dalam Bali Action Plan, REDD mendapatkan perhatian besar dari
masyarakat internasional. Salah satu faktor yang mengakibatkan maraknya atensi
dari masyarakat internasional pada umumnya serta negara berkembang pada
khususnya adalah besarnya dana yang dapat diperoleh negara berkembang dalam
394 Fry I., “Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation : Opportunities and
Pitfalls in Developing a New Legal Regime”., RECIEL 2008, hlm. 167.
395 Lihat Boyd., Op.Cit. 873.
257
mekanisme ini. Pada tahun 2007 tercatat dana yang berputar pada mekanisme
REDD setiap tahunnya tidak kurang dari 30 Milyar US $.396 Pada waktu yang
sama tercatat pula terdapat 13 lembaga keuangan internasional yang turut
menyumbang dalam skema berbasis sukarela ini dan terus meningkat angka
lembaga hingga sekarang.397
Momentum selanjutnya terjadi pada saat mekanisme REDD berubah
menjadi REDD + pada saat diadakannya COP 14 di Poznan dengan memasukkan
tambahan berupa konservasi dan pengelolaan hutan secara lestari, pemulihan
hutan dan penghutanan kembali, serta peningkatan cadangan karbon hutan.398
Eskalasi isu REDD+ selanjutnya meningkat menjadi perbincangan mulai dari
dimasukkannya dalam hasil Copenhagen Accord yang melakukan affirmative
action mengenai peran penting dari sektor kehutanan dalam rangka pengurangan
emisi. Sebagai pelengkap, mekanisme REDD+ telah dijadikan agenda dalam
perbincangan perubahan iklim yang telah pula diformulasikan dalam Cancun
Agreement dalam Lampiran I yang khusus bicara mengenai isu REDD+.
Terkait dengan model finansial yang akan diadopsi dalam rezim REDD
paling tidak Angelsen memberikan 4 (empat) model dari pola transaksi yang
dapat dilakukan dari hasil penurunan emisi dengan instrumen REDD yaitu Cap
396 Lihat Till Neeff & Francisco Ascui, “Lessons from carbon markets for designing an effective
REDD architecture, Climate Policy, Vol. 9. No.3, hlm. 306.
397 Ibid., hlm. 311.
398 Lihat Randall S. Abate, “REDD, White, and Blue: Is Proposed U.S. Climate Legislation
Adequate To Promote a Global Carbon Credits System for Avoided Deforestation in a Post-Kyoto
Regime?”, Tulane Journal of International and Comparative Law, Vol. 19, 2010., hlm. 100.
258
and Trade, Compensated Reduction, CDM+ dan Conservation Project.399
Merujuk kepada pengajuan dari The Centre for International Sustainable
Development Law (CISDL) meyakini bahwa penurunan emisi yang dihasilkan
dari REDD seharusnya dapat ditransaksikan melalui pasar karbon. Melalui
mekanisme ini besaran dari karbon yang tersimpan di wilayah yang memiliki
hutan harus dihitung terlebih dahulu. Dalam kawasan area hutan sendiri untuk
kemudian dibagi dalam 2 (dua) wilayah yang memiliki fungsi berbeda yaitu
fungsi penyerapan serta hutan yang akan mempunyai fungsi sebagai bagian dari
upaya pembangunan. Berdasarkan model Cap and Trade ini hanyalah hutan
konservasi yang dapat menyerap karbon secara maksimal.400
Namun mekanisme pasar ini bukan berarti tanpa masalah, justru
problema utama dari model seperti ini adalah akan membanjirnya pasar dengan
nilai emisi yang dihasilkan dari rezim REDD. Hal ini dikarenakan melalui
mekanisme penurunan emisi dengan REDD akan mengeluarkan biaya yang
relatif murah sehingga harga karbon itu sendiri akan terkurang dengan
sendirinya. Sebagai konsekuensi logis dari hal tersebut tentu negara – negara
maju yang tergabung dalam Annex I akan mendapatkan insentif untuk
menurunkan emisinya lebih kecil dalam tataran domestik. Pada bentuk ini maka
sesungguhnya mekanisme penurunan emisi hasil dari REDD melalui instrumen
pasar secara etika menjadi dipertanyakan ulang karena negara – negara maju
secara moralitas hendaknya melakukan tindakan penurunan emisi di negaranya
399 Angelsen, A. “REDD Models and Baselines”, International Forestry Review, 2008, 10(3),
hlm. 468.
400 Ibid., hlm. 467 – 468.
259
sendiri lebih banyak dibandingkan dengan negara lain.401 Kritik lain pun hadir
pada saat mencoba mengkonstruksikan model seperti ini sebagai kolonialisme
modern dengan menggunakan karbon sebagai alat transaksi sehingga negara
berkembang akan melakukan penurunan emisi namun tidak di negara maju.402
Model lain diusung oleh beberapa LSM Brazil dengan model yang
mereka namakan dengan compensated reductions. Model ini memiliki perbedaan
mendasar dengan model yang ditawarkan oleh mekanisme pasar. Pertama, model
ini memiliki pengajuan bahwa dana yang akan digunakan dalam mekanisme
REDD lebih baik melalui pendanaan secara multilateral dibandingkan harus
dilempar ke mekanisme pasar. Kedua, menurut usulan Brazil mekanisme
pendanaan dalam REDD harus diatur secara tersendiri di luar dari mekanisme
yang ada dalam protokol – protokol sebelumnya terkait perubahan iklim.403
Mekanisme selanjutnya yang ditawarkan dalam rezim REDD mencoba
untuk memperluas wilayah dari penerapan Clean Development Mechanism
(CDM) itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa turunan dari proyek – proyek
CDM hanya dibatasi dengan mekanisme Aforestasi dan Reforestasi (AR) semata,
namun beberapa usulan mencoba untuk memasukkan variabel penundaan laju
kerusakan hutan atau Avoided Deforestation (AD) sebagai salah satu bentuk
perluasan proyek CDM. Para pihak mempertahankan tidak dimasukkannya
401 Danish, K. and Ceronsky, M. “International Offsets and U.S. Climate Legislation”,
Environmental Law Reporter News & Analysis, 2010, 40, hlm. 10612.
402 Boyd, W. “Climate Change, Fragmentation, and the Challenges of Global Environmental
Law: Elements of a Post-Copenhagen Assemblage”, University of Pennsylvania Journal of International
Law, 2010, 32(2), hlm. 521.
403 Lihat Angelsen., Op. Cit., hlm. 469.
260
mekanisme AD dalam perhitungan CDM karena diperkirakan metode
pengukuran akan sulit dilakukan sehingga potensi kebocoran yang terjadi sangat
rentan. 404
Terakhir usulan yang berkembang seputar mekanisme pendanaan REDD
adalah berdasarkan proyek – proyek konservasi kawasan hutan. Dalam model ini
hutan didasari sebagai salah satu bentuk jasa yang memberikan perlindungan
bagi dunia sehingga perlu adanya pendanaan seperti Payment for Environmental
Services (PES). Salah satu model yang memungkinkan dalam model ini seperti
hadirnya Global Environmental Facility (GEF), yang dikelola secara bersama –
sama oleh UNDP, UNEP dan Bank Dunia.405
Perdebatan lainnya juga muncul pada saat menentukan batas ambang
(baseline) deforestasi yang digunakan. Terkait dengan hal ini Angelsen
mengajukan beberapa usulan untuk dapat digunakan yaitu sejarah laju kerusakan
hutan tingkat nasional, sejarah kerusakan hutan global, Development Adjustment
Factor (DAF) dan pemberian berdasarkan tindakan awal (rewarding early
action).406 Dalam model yang diusung oleh Papua New Guinea dan Kostarika
pada tahun 2005, model perhitungan baseline REDD yang digunakan
berdasarkan sejarah laju kerusakan hutan yang terjadi yaitu besarnya perubahan
rata – rata laju kerusakan hutan yang terjadi dikonversi menjadi emisi karbon
404 Ibid., hlm. 470.
405 Ibid.
406 Ibid., hlm. 472.
261
yang dapat diserap oleh perubahan tersebut.407 Model yang mirip pun digunakan
oleh Brazil dalam rangka penentuan baseline dari REDD dengan skema
compensated reduction, pola inventarisasi laju kerusakan hutan yang
diperbaharui setiap 3 (tiga) tahun akan digunakan sebagai dasar guna menjadi
dasar perhitungan dana internasional yang diberikan.408
Model perhitungan dengan menggunakan sejarah laju kerusakan hutan
secara nasional seperti diungkapkan di atas dapat dikatakan bukanlah tanpa
kritik. Model yang berbasis pada jumlah pengurangan laju kerusakan hutan dapat
dimaknai sebagai bentuk keuntungan bagi negara – negara yang memiliki laju
kerusakan hutan relatif besar. Hal ini disoroti oleh Alvorado dan Wertz
Kanounnikof dengan mengatakan bahwa akan terjadi ketimpangan pada saat
perhitungan baseline hanya didasari pada laju kerusakan hutan di masa lalu,
sedangkan negara – negara yang merawat hutannya hingga kini dengan baik
tidak mendapatkan insentif. 409
Sedangkan model selanjutnya yaitu perhitungan sejarah laju kerusakan
hutan pada tingkat dapat global justru menurut Alvorado dan Wertz Kanounnikof
lebih bernuansa keadilan. Berdasarkan model ini maka perhitungan akan
didasarkan pada sejarah laju kerusakan hutan pada tingkat global sehingga
negara – negara dengan laju kerusakan hutan sedikit atau bahkan tidak memiliki
407 Karsenty, A. “The Architecture of Proposed REDD Schemes After Bali: Facing Critical
Choices‘, International Forestry Review, 2008., 10(3), hlm. 445 – 446.
408 Op., Cit.
409 Alvarado, L.X.R. and Wertz-Kanounnikoff, “Why are We Seeing ―REDD?” An Analysis of
the International Debate on Reducing Emissions from Deforestation and Degradation in Developing
Countries, IDDRI Working Paper No. 1. 2008, hlm. 11 – 12.
262
sejarah kerusakan hutan di dalam kawasan hutan negaranya akan diberikan
kompensasi untuk tidak melepaskan emisi melalui laju deforestasi.410
Pada saat laju kerusakan hanya memperhitungkan kondisi masa lalu dan
saat ini, penting kiranya untuk melihat pola laju kerusakan hutan di masa yang
akan datang berdasarkan kondisi karakteristik negara yang bersangkutan. Hal ini
sebetulnya telah disinggung dalam dokumen Bali Action Plan yang
mempertimbangkan kondisi nasional sebuah negara dalam rangka melaksanakan
REDD. Model ini yang diusung dalam pendekatan Development Adjustment
Factor (DAF) dengan mendasari pada Produk Domestik Bruto yang dihasilkan
sebuah negara sehingga dengan perhitungan ini diharapkan dapat memberikan
akselerasi pembangunan yang terjadi di negara – negara miskin.411 Hal ini pun
diamini oleh Alvorado dan Wertz Kanounnikof yang menyatakan bahwa selain
meningkatkan akselerasi dari negara – negara miskin mencapai pembangunan,
konsep DAF ini juga sejalan dengan amanat prinsip Common But Differentiated
Responsibilities dalam rangka tindakan mitigasi perubahan iklim.412 Hal ini
dalam perspektif Jay Tufano dikatakan sebagai sebuah mekanisme pengukuran
baseline berdasarkan pengukuran berbasis proyek kegiatan sehingga dapat
mengusung pendekatan Business As Usual (BAU) guna mempertimbangkan
kondisi sosial, ekonomi, politik dan teknologi dari para pihak terkait upaya
410 Ibid., hlm. 21
411 Angelsen, A. “How Do We Set the Reference Levels for REDD Payments?‘, dalam A.
Angelsen (ed), Moving Ahead with REDD: Issues, Options, and Implications, Bogor: CIFOR, 2008., hlm.
56 – 57.
412 Op. Cit., hlm. 21.
263
penurunan laju kerusakan hutan serta jumlah perlindungan hutan yang dapat
dilakukan.413
Hal penting lainnya dalam rangka penurunan emisi GRK yang menjadi
target pemerintah pada tahun 2020, baik emisi GRK yang alami maupun
antropogenik, maka diperlukan suatu sistem yang terukur (measurable), dapat
dilaporkan (reportable) dan dapat diverifikasi (verifiable). Sistem MRV
(measuring, reporting and verifying) yang merupakan singkatan dari measuring
(pengukuran), reporting (pelaporan) dan verifying (verifikasi) adalah suatu
sistem yang mencakup kegiatan pengukuran, pelaporan dan verifikasi yang
konsisten, transparan, lengkap, akurat dan comparable terhadap emisi dan
serapan GRK dalam rangka baik untuk REDD+ (pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi, konservasi, pengelolaan hutan lestari/SFM dan
peningkatan cadangan karbon) maupun untuk NAMA (Nationally Appropriate
Mitigation Actions (NAMA’s) pada sektor Agriculture, Forestry and Land Use
(AFOLU). Agar sistem MRV yang dibangun akuntabel dan transparan, maka
diperlukan (1) menyusun standar nasional yang sejalan dengan protokol
internasional dan praktek yang baik untuk pengukuran perubahan simpanan
karbon; (2) mendirikan lembaga nasional yang independen untuk melakukan
pengukuran, pelaporan dan verifikasi serta (3) mengembangkan mekanisme
…………….
413 Jay Tufano., “Forests and Climate Change Policy: An Analysis of Three REDD-Plus Design
Options”., Carbon & Climate Law Review 2011., Vol.4., hlm. 450.
264
koordinasi dan harmonisasi perhitungan karbon dan sistem MRV lintas sektor
dan skala.414
Kegiatan MRV akan mengukur dan melaporkan efektivitas pengurangan
emisi dan/atau serapan GRK secara kuantitatif menggunakan metode dan
prosedur yang handal (akurat, presisi, tepat waktu, lengkap, standar, kompatibel),
transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. MRV merupakan bagian dari
sistem monitoring dimana metode pengukuran dan hasil yang disampaikan
menggunakan kaidah-kaidah ilmiah yang baku dan konsisten. Hasil dari MRV
akan dijadikan sebagai dasar pembayaran atas output/kinerja yang dilakukan
oleh lembaga Dana Kemitraan REDD+. Setiap kegiatan MRV harus sejalan
dengan prinsip-prinsip pelaporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate
Change), yaitu harus transparan, dapat dibandingkan, konsisten, akurat dan
lengkap, ketidakpastian yang minimal, sepanjang sesuai dengan kemampuan dan
kapasitas nasional.
Dalam implementasinya, MRV harus dilakukan dengan prinsip – prinsip
utama sebagai berikut.415
Pertama, konsisten (taat azas). Sistem MRV harus menggunakan metoda
dan prosedur yang konsisten sehingga hasil pengukuran, pelaporan dan verifikasi
pengurangan emisi GRK dapat diperbandingkan dari waktu ke waktu. Sebuah
414 Lihat IGG Maha Adi, “Pengantar Perubahan Iklim” dalam Kertas Kebijakan Strategi
Pembangunan Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim : Status dan Kebijakan Saat Ini., hlm. 162.
415 Lihat Tim Cadman & Tek Maraseni, “The governance of REDD+: an institutional analysis in
the Asia Pacific region and beyond”, Journal of Environmental Planning and Management., Vol. 55 (5),
2010, hlm. 87.
265
sistem MRV akan menentukan nilai acuan level emisi (reference level / RL)
yang akan digunakan sebagai “benchmark” implementasi REDD +.
Kedua, transparansi. Hasil MRV harus mempunyai kredibilitas yang
memadai oleh karena itu sistem MRV terbuka untuk publik dan dapat
diverifikasi oleh lembaga independen.
Ketiga, laporan harus tersusun lengkap. Sistem MRV menggunakan input
data dan menghasilkan informasi yang lengkap. Informasi menyajikan semua
cadangan carbon dari semua komponen ekosistemnya yaitu biomasa di atas
permukaan tanah (above-ground biomass) (batang, cabang, ranting dan daun)
dan biomasa di bawah permukaan tanah (below-ground biomass akar) dan
biomass yang sudah mengalami dekomposisi sebagian atau seluruhnya (kayu
mati/nekromas, serasah, karbon tanah).
Keempat, akurasi dari pelaporan. Akurat diartikan sebagai tingkat
kemampuan memberikan hasil pengukuran yang benar. Sedangkan ketelitian
menyatakan tingkat ketepatan yang dapat digambarkan dengan keragaman.
Tingkat keakuratan sangat bergantung pada input data dan metode pengukuran
yang digunakan. Sistem MRV harus menghasilkan informasi dengan penuh
kehati-hatian yang diturunkan dari data yang diukur secara cermat dan diolah
dengan metode yang handal.
Kelima, dapat diperbandingkan. Hasil MRV dapat dibandingkan dengan
hasil MRV dari negara-negara lain, khususnya dikaitkan dengan perdagangan
karbon internasional.
266
Isu lainnya yang ramai diperbincangkan dalam pelaksanaan REDD
adalah mengenai isu skala penerapan dari proyek – proyek dengan skema REDD.
Terdapat 3 (tiga) bentuk skala pelaksanaan REDD yaitu nasional, sub nasional
dan model bertingkat.
Pertama, adalah model pendekatan nasional yang diusung oleh banyak
pihak yang tergabung dalam UNFCCC. Model ini hadir sebagai bentuk tindak
lanjut kegagalan dari proyek – proyek sebelumnya yang rentan dengan adanya
isu kebocoran dan biaya mahal seperti yang dialami dalam Afforestation and
Reforestation dalam Clean Development Mechanism. Model ini mencoba untuk
mendudukkan isu kedaulatan sebagai hal yang utama serta pentingnya dari
sebuah payung hukum dalam kerangka kebijakan nasional dalam tataran nasional
untuk menjamin pelaksanaan secara utuh. Konsekuensi dari sistem ini adalah
tidak adanya hubungan langsung antara pemberi proyek REDD dengan tingkat
daerah, namun semua kebijakan termasuk mekanisme MRV merupakan tugas
dari pemerintah tingkat pusat.416
Kedua adalah pendekatan berbasis sub nasional. Berada pada posisi
berseberangan dengan pendekatan nasional, pendekatan sub nasional
mengajukan usulan berupa pelaksanaan proyek REDD dalam pendekatan
wilayah tertentu sehingga dapat dilaksanakan oleh perorangan, sekelompok
masyarakat, lembaga non pemerintah, perusahaan swasta atau pemerintahan
tingkat kabupaten ataupun kota. Mekanisme dengan pendekatan sub nasional ini
dapat berada pada tataran carbon trading sebagaimana ada dalam mekanisme
416 Lihat A. Angelsen, et. al., “What is the Right Scale for REDD?” dalam A. Angelsen (ed),
Moving Ahead with REDD : Issue, Option and Implication., Bogor : CIFOR, 2008., hlm. 33 – 34.
267
CDM maupun mekanisme yang berbasis sukarela berupa langkah – langkah
pencegahan laju kerusakan hutan. Walaupun bentuk dari pendekatan sub
nasional ini lebih mudah untuk digunakan, namun isu kebocoran yang terjadi
karena perpindahan wilayah proyek REDD kerap kali mengganggu pelaksanaan
REDD.417
Ketiga adalah model bertingkat dengan mengkombinasikan pendekatan
sub nasional dengan pendekatan nasional. Model ini mencoba memberikan solusi
jalan tengah dengan mengusung konsep bahwa proyek REDD akan dilaksanakan
pada skala sub nasional terlebih dahulu yang kemudian akan dilegitimasi kan
pada tingkat pusat.418
417 Ibid., hlm. 32 – 34.
418 Ibid., hlm. 34 – 35.
BAB IV
PERAN DAN LANGKAH HUKUM INDONESIA TERKAIT
DENGAN ISU MITIGASI DALAM PENANGGULANGAN
PERUBAHAN IKLIM
Aspek global dari perubahan iklim saat ini sepertinya tidak terbantahkan lagi.
Namun demikian, dari rangkaian kebijakan perubahan iklim, dengan tujuan akhir berupa
penurunan emisi, dapat dikatakan akan menjadi sia-sia jika teks, perjanjian, serta segala
dokumen kesepakatan yang mengikutinya hanya berada pada tataran internasional
semata. Karenanya, pada akhirnya penting juga untuk melihat kebijakan mitigasi
perubahan iklim pada level nasional.
Terdapat setidaknya dua alasan penting yang menjelaskan perlunya realisasi
peraturan internasional di bidang perubahan iklim pada tataran nasional.
Alasan pertama adalah alasan yuridis. Dalam ketentuan hukum internasional
dinyatakan bahwa setiap negara yang telah mengikuti perjanjian internasional wajib
untuk melakukan tindakan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan nasional.
Secara umum dalam diskursus hukum internasional ditentukan bahwa sebuah negara
yang telah mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional maka wajib untuk
melakukan tindakan penyesuaian dalam peraturan pada tingkat nasional. Hal ini sesuai
268
269
dengan Doktrin Pacta Sunt Servanda yang mewajibkan setiap negara untuk
melaksanakan isi kewajiban dengan itikad baik. Prinsip ini merupakan dasar pokok
hukum perjanjian internasional dan telah diterima sebagai general principle of law.1 Hal
ini merupakan suatu bentuk kewajiban dari tindakan negara dalam kebijakan nasional
untuk memberikan jaminan hukum serta kepastian hukum dalam pergaulan hubungan
internasional. Secara khusus dalam konteks perubahan iklim terdapat 2 (dua) jenis
kelompok negara yang wajib melakukan tindak lanjut dalam porsi yang berbeda yaitu
sebagai Kelompok Annex dan Non Annex.2
Kedua adalah alasan ekologis. Dalam konteks ini, penanggulangan perubahan
iklim membutuhkan tindakan aktif pada tataran lokal. Meskipun perubahan iklim telah
menjadi isu global, namun penanganannya tetap perlu dilakukan secara bertingkat,
mulai dari lokal, nasional, regional hingga global. Peran serta dari para pemangku
kepentingan pada tingkat lokal mendapat perhatian penting oleh pemerhati dan peneliti
1 Perjanjian internasional pada hakikatnya merupakan species dari genus yang berupa perjanjian
pada umumnya. Dalam setiap perjanjian termasuk perjanjian internasional terdapat asas-asas yang
dijadikan sebagai landasan dalam pelaksanannya. Adapun asas yang paling fundamental adalah asas pacta
sunt servanda, yaitu bahwa janji mengikat sebagaimana undang-undang bagi yang membuatnya. Asas
itikad baik yang tersimpul dalam norma dasar pacta sunt servanda ternyata sudah merupakan pokok
ajaran sejak jaman kuno. Sebagaimana ditulis oleh Grotius, bahwa tepat apa yang dikatakan oleh
Aristoteles, kalau itikad baik ditiadakan, maka semua hubungan antar manusia akan menjadi tidak
mungkin. Lebih lanjut Grotius sendiri mengatakan bahwa tidak saja tiap negara itu sendiri terpelihara
keutuhannya oleh itikad baik, tetapi begitu juga masyarakat internasional dimana negara-negara menjadi
anggotanya. Hans Wehberg dalam tulisannya mengatakan bahwa Asas Pacta Sunt Servanda memiliki
basis dari nilai – nilai religius, sebagaimana dikatakannya “For the Islamic peoples, the principle, Pacta
sunt servanda, has also a religious basis: "Muslims must abide by their stipulations." This is clearly
expressed by the Koran in many places, for example, where it is said: "Be you true to the obligations
which you have undertaken.... Your obligations which you have taken in the sight of Allah. . . . For Allah is
your Witness.”. Selain itu ditemui pula dalam BAB 5 Verses 33 sampai 37, yang berbunyi “But let your
communication be, Yea, yea; Nay, nay: for whatsoever is more than these cometh of evil.”. Hal ini
kemudia diadopsi dalam Hukum Internasional yang termuat dalam Pasal 26 Vienna Convention on the
Law of Treaties yang berbunyi “Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be
performed by them in good faith.” Lihat Hans Wehberg., “Pacta Sunt Servanda”., The American Journal
of International Law, Vol. 53, No. 4 (Oct., 1959), hlm. 775.
2 Pasal 4 United Nations Framework Convention on Climate Change.
270
perubahan iklim. Hal ini paling tidak ditunjukkan dengan diadakannya pertemuan lebih
dari 200 Kepala Pemerintahan pada tingkat lokal dari 43 negara di New York, Amerika
Serikat pada tahun 1990 yang berujung pada pembentukan komunitas International
Council for Local Environmental Initiatives.3 Dalam beberapa penelitian yang dilakukan
dalam rangka usaha mitigasi perubahan iklim ditemui fakta bahwa usaha penurunan
emisi dapat berjalan maksimal pada saat terdapat tindakan aktif pada tingkat lokal.4
Bab ini secara khusus akan membahas mengenai tindak lanjut Indonesia dalam
menghadapi isu perubahan iklim pada umumnya dan pasca proses ratifikasi United
Nations Framework Convention on Climate Change dan Kyoto Protocol pada
khususnya. Proses analisis yang akan dilakukan bersandar kepada ketentuan
internasional ke dalam tingkat nasional dengan parameter instrumen dan institusi yang
hadir dalam rangka upaya mitigasi perubahan iklim.
4.1. Mengukur Keseriusan dan Kesiapan Indonesia Menghadapi Isu Mitigasi
dalam Perumusan Kebijakan Nasional
Upaya-upaya penanganan perubahan iklim telah dan akan memberikan berbagai
pengaruh, baik kepada negara maju maupun negara berkembang. Indonesia sebagai
salah satu negara yang turut serta dalam perundingan perubahan iklim mau tidak mau
harus terlibat dalam dinamika hukum lingkungan internasional terkait perubahan iklim.
Kiprah Indonesia dalam perubahan iklim paling tidak dapat dilihat mulai dari
3 Lihat Art Von Lehe, “Cities, Climate And Cops”., Southeastern Environmental Law Journal.,
Vol. 19:2. 2011, hlm. 219.
4 Lihat David Satterthwaite., “The Contribution of Cities to Global Warming and their Potential
Contributions to Solutions”., Environment and Urbanization Asia, 2010., hlm. 1.
271
keikutsertaan dalam United Nations Framework Convention On Climate Change pada
tahun 1992 yang diteruskan dalam Kyoto Protocol To The United Nations Framework
Convention On Climate Change pada tahun 1997 hingga dengan pembahasan –
pembahasan tahunan baik dalam forum Conference Of the Parties maupun pertemuan
terkait lainnya dalam rangka menyiapkan kebijakan perubahan iklim periode komitmen
kedua pasca Protokol Kyoto.
Terkait dengan isu regulasi dalam perubahan iklim sebagai proses kelanjutan
dari persetujuan Pemerintah Indonesia dalam tataran Internasional, saat ini Indonesia
telah melakukan ratifikasi terhadap ketentuan internasional yang diikuti. Ratifikasi
tersebut telah dilakukan baik terhadap United Nations Framework Convention on
Climate Change melalui Undang Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan
United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja
Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) maupun terhadap Protokol
Kyoto dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 tentang
Pengesahan Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate
Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa – Bangsa
Tentang Perubahan Iklim).
Namun langkah ratifikasi semata terhadap suatu perjanjian internasional tidaklah
cukup dalam perspektif Hikmahanto Juwana. Hikmahanto dengan mengusung
pentingnya proses transformasi menilai bahwa keberadaan Undang Undang maupun
Keputusan Presiden sebagai instrumen ratifikasi hanya memuat pengesahan perjanjian
internasional dan keberlakuan dari perjanjian internasional tersebut, namun tidak
………………
272
menyentuh hal yang substansial.5 Dalam perspektif Hukum Internasional, transformasi
hukum hadir sebagai salah satu bentuk pemberlakuan hukum internasional ke dalam
hukum nasional dengan memaknai sebuah perjanjian internasional secara utuh dalam
peraturan perundangan nasional yang tidak hanya sekedar ratifikasi.6 Bahkan secara
lebih eksplisit dikatakan oleh William Boyd bahwa isu perubahan iklim mempunyai
karakteristik sendiri dalam tataran internasional yaitu sebuah pokok kegiatan
transformasi dalam rangka menghadirkan ketertiban dunia.7 Boyd mengatakan bahwa
terhadap konteks isu perubahan iklim yang dibutuhkan saat ini tidak hanya dapat diatasi
dengan melakukan download dari tingkat internasional ke tingkat nasional atau sekedar
5Hikmahanto Juwana, “Kewajiban Negara Mentransformasikan Ketentuan Perjanjian
Internasional Pasca Keikutsertaan”., dalam Hukum Internasional dalam Perspektif Indonesia sebagai
Negara Berkembang., Jakarta : Yasrif Watampone, 2010., hlm. 88.
Bandingkan dengan pendapat dari George W. Downs et. al. yang dalam penelitiannya yang
mengatakan bahwa tidak semua area pengaturan dari hukum internasional menjadi kompatibel untuk
diterapkan proses transformasi. Paling tidak terdapat 4 (empat) karakteristik dari sebuah perjanjian
internasional yang dapat memfasilitasi terjadinya transformasi. Pertama, jumlah negara yang ikut serta
dalam sumber hukum internasional (perjanjian) yang diatur diikuti oleh sebagian besar negara dunia atau
mayoritas dari keseluruhan. Kedua, komitmen yang diatur dalam sebuah perjanjian internasional
hendaknya mengatur secara jelas mengenai target, jangka waktu serta kinerja yang harus dilakukan oleh
negara peserta. Ketiga, peraturan d0alam pengambilan keputusan dari perjanjian internasional tersebut
berlaku Prinsip Unanimity yang mengatur bahwa kebulatan suara wajib untuk diraih dalam pengambilan
suatu keputusan. Keempat, proses yang dilakukan untuk mempertahankan tingkat penaatan lebih
menekankan pada menghindari perselisihan dan pengaturan tingkat penaatan dengan mengesampingkan
mekanisme yang lebih cenderung koersif. Lihat George W. Downs, Kyle W. Danish & Peter N. Barsoom,
“The Transformational Model Of International Regime Design: Triumph Of Hope Or Experience?”,
Columbia Journal of Transnational Law Association., 1999-2000., Vol. 38. hlm. 467.
6 Lihat pembahasan mengenai pengantar Teori Transformasi dalam Hukum Internasional yang
ditulis antara lain oleh Anne-Marie Slaughter et al., “International Law and International Relations
Theory: A New Generation of Interdisciplinary Scholarship”, American Journal International Law. Vol.
92, tahun, hlm. 367. Lihat pula Anne-Marie Slaughter Burley, “International Law and International
Relations Theory: A Dual Agenda”, American Journal International Law, Vol. 87, tahun, hlm.205. Lihat
pula Edwin M. Smith, “Understanding Dynamic Obligations: Arms Control Agreements”, California Law
Review, Vol. 64, tahun, hlm. 1549. Lihat pula Kenneth W. Abbott, “Modern International Relations
Theory: A Prospectus for International Lawyers”, Yale Journal International Law, Vol. 14, 1989, hlm.
335.
7 Lihat William Boyd., “Climate Change, Fragmentation, and The Challenges of Global
Environmental Law: Elements Of A Post-Copenhagen Assemblage”., University of Pennsylvania Journal
of International Law Winter.,Vol. 32.2010., hlm. 459.
273
melakukan transplant dari satu sistem hukum ke sistem hukum lain semata, walaupun
keduanya merupakan hal penting. Boyd secara metafora mengusulkan pendekatan untuk
melakukan assemblage dari berbagai bentuk regulasi dan institusi pada tingkat
internasional untuk dapat diimplementasikan pada tingkat nasional dan sub nasional.8
Hikmahanto menilai bahwa paling tidak terdapat 3 (tiga) alasan utama mengenai
pentingnya tindakan transformasi tersebut.9 Pertama, keterbatasan dari hukum
internasional dalam pengaturan subyek hukum yang hanya terbatas pada negara. Hal ini
mengakibatkan bahwa perjanjian internasional tidak mempunyai daya ikat yang cukup
kuat untuk mempunyai hubungan dengan subyek hukum nasional yang terdiri dari
sistem hukum pidana nasional, hukum perdata nasional, hukum tata negara dan hukum
administrasi negara. Keberadaan perubahan iklim sebagai isu global dengan pencetus
lokal tentu mutlak memberikan pembenaran terhadap hal ini.
Kedua, hukum internasional juga memiliki keterbatasan saat dipergunakan dalam
tataran nasional jika tidak dilakukan transformasi. Keberadaan lembaga yudikatif pada
tataran nasional suatu negara sebagai institusi yang menjadi katalisator bagi pemenuhan
hak dari warganya sepenuhnya mengandalkan sumber hukum nasional.
Ketiga, dalam beberapa perjanjian internasional mengamanatkan baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan penyesuaian terhadap peraturan
perundang – undangan nasional. Bahkan secara lebih eksplisit ditentukan bahwa
8 Walaupun dalam ranah teoretik terdapat berbagai konsep dari assemblage itu sendiri, namun
Boyd memaknai sebagai bentuk sebagai sebuah konsep yang menyediakan pendekatan yang bersifat fokus
dan eksklusif terhadap sebuah penerapan pada tingkat pemerintahan lokal dalam rangka menyoroti sebuah
fenomena yang muncul secara massif, menyangkut kepentingan banyak orang, serta membutuhkan
perlakuan secara teknologi, praktis dan rasionalitas yang khusus. Lihat Ibid., hlm. 468.
9 Hikmahanto., Op. Cit.,hlm. 90.
274
tindakan penyesuai ke dalam peraturan perundang – undangan nasional suatu negara
sebagai suatu bentuk pelaksanaan kewajiban dari suatu negara.
Sedangkan dalam konteks Hukum Lingkungan Internasional pada umumnya
serta Hukum Perubahan Iklim pada khususnya, pandangan serupa disampaikan pula oleh
William Boyd yang menyatakan bahwa transformasi dalam konteks hukum perubahan
iklim mutlak diperlukan dalam rangka membatasi banyaknya zat gas rumah kaca pada
beberapa tingkatan mulai dari internasional, nasional hingga lokal.10
Salah satu hal menarik dalam dinamika langkah Indonesia terkait perubahan
iklim adalah pergerakan komitmen Indonesia dalam langkah mitigasi perubahan iklim.
Keberadaan Indonesia sebagai negara yang tergabung dalam Kelompok Negara Non
Annex, pada hakikatnya tidak membebani Indonesia untuk melakukan suatu langkah
yang bersifat wajib dalam mitigasi perubahan iklim.11 Namun, diawali dengan pidato
resmi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan G-20 di Pittsburgh
Amerika Serikat tahun 2009, Indonesia melakukan terobosan untuk menurunkan emisi
pada tingkat global. Dalam kesempatan itu Presiden Yudhoyono mengungkapkan
komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi secara sukarela sebesar 26% pada tahun
10 Lihat William Boyd., “Ways of Seeing in Environmental Law: How Deforestation Became an
Object of Climate Governance”., Ecology Law Quarterly., 2010., hlm. 14.
11 Lihat perumusan dalam Pasal 1 Ayat (7) Kyoto Protocol To The United Nations Framework
Convention On Climate Change.
275
2020 dengan kondisi tanpa bantuan asing dan sebesar 41% dengan bantuan asing
berdasarkan perhitungan emisi di tahun 2005.12
Komitmen Pemerintah Republik Indonesia terhadap penurunan emisi berawal
dari penerimaan Indonesia terhadap hasil dari Copenhagen Accord. Hal ini kemudian
menjadi dasar bagi Delegasi Republik Indonesia (DELRI) saat menghadiri pertemuan
tahunan dalam membahas langkah – langkah perubahan iklim.13 Bahkan melalui
instrumen berbasis Unilateral Approach Indonesia juga telah menyampaikan informasi
mengenai Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) Indonesia ke Sekretariat
UNFCCC oleh Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) pada tanggal 30
Januari 2010 perihal penurunan emisi secara sukarela tersebut.14
Perdebatan pun muncul dalam deklarasi komitmen dari pemerintah Indonesia
mengenai upaya mitigasi gas rumah kaca ini. Salah satu isu yang ramai diperdebatkan
dalam pernyataan komitmen ini ialah data awal yang menjadi sumber kemampuan
pemerintah Indonesia untuk mencapai komitmen tersebut. Pada satu sisi pihak
12 Hal ini ditanggapi beragam oleh berbagai pihak mengingat posisi Indonesia sebagai Non Annex
Country. Al Gore misalnya memuji Indonesia untuk mengambil langkah proaktif dengan menggunakan
pendekatan sukarela yang menetapkan secara langsung skenario penurunan emisi yang dicapai. Sedangkan
Greenpeace International justru menganggap bahwa hal ini tidak mungkin dilakukan karena pada saat
yang sama rekor penghancur hutan tercepat di dunia masih dipegang oleh Indonesia. Dari sisi lain peneliti
dari Australian National University, Frank Jotzo, melihat bahwa kelemahan mendasar dari komitmen ini
adalah diragukannya perhitungan teknis dari jumlah emisi yang dapat diturunkan. Lihat “Gore lauds
Yudhoyono’s commitment, but challenges remain” terdapat dalam situs
http://www.thejakartapost.com/news/2011/01/10/gore-lauds-yudhoyono%E2%80%99s-commitment-
challenges-remain.html diakses pada tanggal 1 Juli 2012. Lihat pula Frank Jotzo., “Indonesia cutting
emissions by up to 41 per cent: How?” terdapat dalam situs
http://www.eastasiaforum.org/2009/10/05/indonesia-cutting-emissions-by-up-to-41-per-cent-how/ diakses
pada tanggal 1 Juli 2012.
13 Lihat Hasil dari Conference Of The Parties Fifteenth session Copenhagen, 7.18 December
2009., Copenhagen Accord., FCCC/CP/2009/L.7., Page 2. Point 5.
14 Lihat pelaporan Rachmat Witoelar selaku Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim yang
terdapat dalam situs
http://unfccc.int/files/meetings/cop_15/copenhagen_accord/application/pdf/indonesiacphaccord_app2.pdf
diakses pada tanggal 1 Juli 2013.
276
Pemerintah Indonesia mengatakan bahwa komitmen untuk menurunkan emisi sebesar
26% pada tahun 2020 dengan kondisi tanpa bantuan asing dan sebesar 41% dengan
bantuan asing berdasarkan perhitungan emisi di tahun 2005 didasarkan perhitungan
yang akurat dan cermat dari konsultan McKinsey.15 Namun pada sisi lain pihak dari
peneliti dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengatakan bahwa perhitungan
angka 26% ini hanya didasari pada usaha Presiden Yudhoyono untuk dapat menarik
perhatian dari dunia internasional dengan mengalahkan komitmen dari negara
berkembang lainnya seperti India dan Cina.16
Bagian ini selanjutnya akan melakukan analisis secara mendalam mengenai
penerapan komitmen internasional tersebut baik dalam skala nasional maupun lokal
serta kendala dan tantangan yang dapat dioptimalkan.
4.1.1. Perubahan Iklim dalam Regulasi Lingkungan Hidup
Persoalan lingkungan merupakan salah satu persoalan dunia yang mengemuka
pada seperempat abad terakhir, termasuk di Indonesia, sehingga isu lingkungan ini
menjadi sangat menarik untuk didiskusikan. Ada berbagai variabel yang mempengaruhi
15 Lihat Hasil Press Release dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang disampaikan
oleh Ketua Harian DNP Rachmat Witoelar sesaat setelah Presiden Yudhoyono memberikan pidato pada
Pertemuan G 20 di Pittsburg yang menyatakan bahwa “A draft study by McKinsey for Indonesia’s
National Council on Climate Change (DNPI), released in August, says that Indonesia’s total greenhouse
gas emissions under business-as-usual are expected to reach 3.6 Gt CO2-equivalent in 2030 (2.8 Gt in
2020). That would be about 5 per cent of the global total. Of the 3.6 Gt in 2030 (2020 data is not
available), 0.85 would be from forestry, 1.2 from peatlands, and most of the rest from power and
transportation. The study suggests that the total could potentially be reduced by more than a third, with
around 80 per cent of the reductions to come from forests and peat. The estimated incremental costs are
quite low compared to current carbon prices in the EU and elsewhere”., terdapat dalam situs
http://www.eastasiaforum.org/2009/10/05/indonesia-cutting-emissions-by-up-to-41-per-cent-how/ diakses
pada tanggal 27 Juli 2012.
16 Penulis mendapatkan asumsi ini dari hasil wawancara dengan Girogio Budi Indarto selaku
pihak masyarakat sipil (Civil Society Forum for Climate Justice) yang menyatakan bahwa komitmen
tersebut hanya sebagai upaya mendapat perhatian dari masyarakat internasional. Wawancara dilakukan
pada 12 Desember 2012.
277
lingkungan, mulai dari politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya bahkan agama, sehingga
pengelolaannya harus dipandang pula sebagai masalah yang interdisipliner.17
Upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan idealnya dilakukan secara
sistematis dan terpadu bagi pelestarian fungsi lingkungan hidup dan bagi pencegahan
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup melalui instrumen
pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Upaya pengelolaan dan perlindungan
lingkungan itu sendiri meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum.18 Amanat dari uraian sebelumnya, dapat dimaknai
bahwa terdapat korelasi antara negara, wujud perbuatan hukumnya berupa kebijakan
(policy making), serta sistem tata kelola lingkungan yang bertanggung jawab.
Memang harus diakui dalam sejarah perjalanan hukum lingkungan di Indonesia
hingga saat ini belum ada peraturan perundangan pada tingkat nasional yang secara
khusus mengatur perubahan iklim di dalamnya. Adapun isu perubahan iklim termasuk
mitigasi di dalamnya dapat ditelusuri dalam regulasi di bidang lingkungan hidup secara
umum di Indonesia yang diatur dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Salah satu bentuk tindak lanjut dari proses ratifikasi yang telah dilakukan dengan
instrumen Undang Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations
Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan
17 Interdisipliner dimaknai sebagai penggunaan dua atau lebih disiplin yang digunakan untuk
meneliti sebuah topik atau isu, di mana terjadi komunikasi, kolaborasi dan integrasi mulai dari definisi,
tujuan, proses, pengumpulan data sampai analisis dan kesimpulan. Lihat Candra Kusuma., Penelitian
Interdisipliner Tentang Hukum., (Jakarta : Epistema Institute)., 2013., hlm. xiv.
18 Lihat perumusan Pasal 1 Angka 2 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
278
Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim), antara lain dapat dilihat dengan telah
diintegrasikannya pertimbangan perubahan iklim dalam Undang Undang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terbaru.19 Hal ini paling tidak tertuang dalam butir
konsiderans yang menyatakan bahwa saat ini fenomena pemanasan global yang semakin
meningkat telah mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan
kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.20
Selain itu isu perubahan iklim juga dapat dilihat dalam definisi yang dimuat
dalam bagian awal Undang Undang ini yang dimaknai sebagai berubahnya iklim yang
diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan
perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan
variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.21
Definisi ini dapat dikatakan merupakan suatu bentuk transformasi hukum internasional
di bidang perubahan iklim ketika konsep perubahan iklim yang digunakan sama dengan
perumusan Pasal 1 ayat (2) UNFCCC.22
19 Hal ini sebenarnya merupakan suatu hal baru yang menyebut secara spesifik mengenai isu
perubahan iklim. Dalam regulasi terdahulu yaitu Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup hanya menggunakan istilah “memperhatikan tingkat kesadaran
masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan
dengan lingkungan hidup”. Lihat perumusan Butir d Bagian Konsiderans Undang Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
20 Lihat perumusan Butir e Bagian Konsiderans Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
21 Lihat perumusan Pasal 1 Angka 19 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
22 Perubahan Iklim (Climate Change) dalam perumusan Pasal 1 ayat (2) diartikan dalam kalimat
“a change of climate which is attributed directly or indirectly to human activity that alters the composition
of the global atmosphere and which is in addition to natural climate variability observed over comparable
time periods”
279
Keberadaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang memuat beberapa
ketentuan terkait perubahan iklim, dapat dianggap sebagai langkah untuk menangani
adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim. Beberapa ketentuan tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut. Pertama, dalam konteks penentuan kawasan ekoregion setiap daerah
wajib untuk memasukkan pertimbangan kondisi iklim yang ada. Dalam hal ini Undang
Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyatakan perlu adanya suatu posisi yang penting dari
kondisi iklim yang ada dalam penentuan karakteristik wilayah ekoregion tertentu.23
Kedua, pertimbangan perubahan iklim juga wajib dimasukkan dalam keberadaan
dari Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.24 Sebagai suatu bentuk
dokumen yang hadir dalam tahapan perencanaan yang memuat potensi, masalah
lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaan dalam kurun waktu tertentu
maka aspek perubahan iklim telah patut untuk menjadi pertimbangan yang dimasukkan
dalam tahapan perencanaan. Kondisi Indonesia yang memiliki tingkat kerentanan besar
23 Pasal 7 Angka 2 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pengaturan ekoregion sendiri merupakan hal baru dalam sistem hukum lingkungan Indonesia.
Secara umum konsep ekoregion mencoba memberikan opsi pendekatan perumusan kebijakan dengan
membuat klasifikasi berdasarkan perspektif ekosistem termasuk iklim di dalamnya. Lihat Kementerian
Lingkungan Hidup – BAKOSURTANAL, Deskripsi Ekoregion Nasional, Kerjasama Kementerian
Lingkungan Hidup – BAKOSURTANAL, 2011., hlm. 3.
Hal ini kemudian akan digunakan akan beberapa perumusan kebijakan lingkungan regional
maupun nasional. Dalam hal ini, Ekoregion yang telah ditetapkan kemudian akan digunakan dalam
menyusun Dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) baik pada
tingkat Nasional, Provinsi maupun Kabupaten / Kota. Lihat Pasal 5 Undang Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Namun demikian, konsep ini belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Keberadaan
variabel iklim dalam wilayah ekoregion yang diharapkan menjadi dasar penentuan Rencana Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) hingga
saat ini belum dituangkan dalam bentuk peraturan lebih lanjut baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah
(PP), Peraturan Daerah Provinsi maupun Peraturan Daerah Kabupaten Kota. Bersandar pada konsep
legalitas yang diusung dalam sistem hukum Indonesia tentu hal ini akan menjadi ganjalan dalam tataran
implementasi.
24 Pasal 10 ayat (2) butir f Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
280
dengan model negara kepulauan dalam konteks perubahan iklim menuntut harus adanya
identifikasi awal terhadap penentuan rencana pengelolaan lingkungan.25
Ketiga, pertimbangan perubahan iklim turut menjadi variabel penentu dalam
penentu Kajian Lingkungan Hidup Strategis.26 Hadir dalam bentuk kajian analisis secara
sistematis, menyeluruh, integratif dan partisipatif, KLHS mempunyai tujuan untuk
memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan
terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan / atau kebijakan, rencana, dan / atau
program.27 Dalam konteks ini dapat dimaknai bahwa kegiatan seputar perubahan iklim
pada umumnya, serta mitigasi pada khususnya merupakan instrumen dalam mencapai
pembangunan berkelanjutan pada umumnya.28 Namun sayangnya keberadaan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagai salah satu instrumen pencegahan dan
perusakan lingkungan hidup tidak memuat sanksi jika pemerintah tidak merumuskan
instrumen tersebut. Hal ini mengandung kelemahan mendasar dalam perumusan suatu
norma. Dalam perspektif John Austin, sebuah norma hukum hendaknya memuat sanksi
agar dapat dipatuhi dan berdaulat.29 Hal ini pun dimaknai serupa oleh Reisman, yang
25 Lihat perumusan Pasal 10 ayat (2) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
26 Lihat perumusan Pasal 16 huruf e Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
27 Lihat Pasal 1 butir 10 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
28 Lihat perumusan Pasal 16 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
29 John Austin sebagai salah satu pemikir positivism hukum membuat rumusan menarik tentang
keberlakuan sebuah norma hukum. Dalam pandangan Austin, hukum digambarkan dalam rumusan L (law)
= W(wish) S(sanction) E(expression of wish) G(generality) + S(sovereign). Lihat pengantar pemikiran
Austin dalam J.W. Harris, Law and Legal Science : An Inquiry into the Concepts Legal Rule and Legal
System, Oxford : Clarendon Press, 1982., hlm. 24 – 25.
281
melihat ketiadaan sanksi dalam suatu norma hukum sebagai suatu bentuk hukum yang
tidak sempurna (lex imperfecta) sehingga membuat suatu peraturan tidak mempunyai
efek jera dalam pelaksanaan.30 Pada bentuk ini dapat dilihat bahwa keberadaan dokumen
Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang semula diharapkan dapat memuat
pertimbangan iklim di dalamnya menjadi seakan mandul tanpa adanya sanksi terhadap
pelanggaran oleh Pemerintah.
Terakhir, diskursus perubahan iklim yang termasuk dalam domain udara dan
atmosfir mengatur secara eksplisit bahwa dalam rangka pemeliharaan fungsi atmosfir
patut pula memperhatikan aspek perubahan iklim. Pelestarian fungsi atmosfir
sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 dilakukan
dalam bentuk nyata baik berupa tindakan berbasis mitigasi maupun adaptasi.31
Langkah – langkah di atas seharusnya dilanjutkan dalam tataran yang lebih
praktis dan mengikat sebagai langkah kongkrit dari komitmen Presiden SBY dalam
penurunan emisi nasional. Beberapa tindakan nyata yang dapat ditempuh dalam hal ini
dapat dilakukan dengan beberapa cara.
Pertama, menjalankan amanat dari perumusan Pasal 63 ayat (1) huruf j dikatakan
bahwa pemerintah wajib untuk melakukan tindak lanjut dalam kebijakan pengendalian
perubahan iklim dengan merumuskan dalam Peraturan Pemerintah. Dalam perspektif
30 Lihat W. Michael Reisman, Folded Lies: Bribery, Crusades, and Reform, Tanpa Kota, Tanpa
Penerbit, 1979., hlm. 45. Lihat pula Myres S. McDougal, Harold D. Lasswell & W. Michael Reisman,
“The World Constitutive Process of Authoritative Decision”, dalam International Law Essays, 1981., hlm.
191. Lihat pula W. Michael Reisman, “The View from the New Haven School of International Law”, 86
American Society International Law Proceeding, 1992., hlm. 118.
31 Lihat perumusan Pasal 57 ayat (4) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan Pelestarian fungsi atmosfer
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; b.
upaya perlindungan lapisan ozon; dan c. upaya perlindungan terhadap hujan asam.
282
ilmu perundang – undangan hal ini merupakan bentuk pendelegasian wewenang dengan
adanya regulasi khusus untuk menindaklanjuti isu perubahan iklim sehingga dapat
dikatakan eksistensi sebuah Peraturan Pemerintah tidak melanggar undang undang
sebagai norma di atasnya itu sendiri.32 Sedangkan dalam optik hukum lingkungan hal ini
dapat dimaknai sebagai pintu masuk dalam perumusan peraturan dalam rangka
menetapkan standar sebagai langkah menurunkan emisi rumah kaca pada tingkat
nasional. Konstruksi sejenis sebetulnya sudah dilakukan di Amerika Serikat yang
berawal pada saat terjadi gugatan dari Pemerintah Negara Bagian California yang
dipimpin oleh Arnold Schwarzenegger kepada Environmental Protection Agency (EPA)
selaku otoritas pengelolaan lingkungan utama di Amerika Serikat terkait penolakan
standar emisi yang dikeluarkan California untuk kendaraan bermotor.33 Dalam kasus ini
Negara Bagian California yang memiliki standar emisi lebih tinggi dan telah diikuti oleh
14 negara bagian lainnya dibandingkan EPA menuntut adanya perubahan standar dalam
Clean Air Act yang berlaku nasional sebagai wujud tindakan nyata menanggulangi
perubahan iklim secara nasional. Hal ini pada awalnya diputus bahwa EPA sebagai
32 Lihat Maria Farida Indriati S. Ilmu Perundang-undangan : Jenis, Fungsi dan Materi Muatan.
(Yogyakarta: Kanisius. 1996)., hlm. 55.
33 Kasus ini bermula pada saat Peraturan Negara Bagian California yang mengatur mengenai
batas emisi kendaraan bermotor yang dihasilkan oleh California Air Resources Board, mengatur bahwa
kendaraan bermotor yang diproduksi tahun 2009 harus mengurangi emisi karbon dioksida sebanyak 30%.
Hal ini kemudian ditentang oleh Environmental Protection Agency (EPA) yang menganggap peraturan ini
bertentangan dengan standar yang diberlakukan secara nasional. Lihat dalam sengketa persidangan Case
No. 1: 07-CV-02024 EPA v. California yang mendudukkan State of California dan California Air
Resources Board sebagai Penggugat serta The Commonwealth of Massachusetts, The State of New York,
The State of Arizona, The State of Connecticut, The State of Illinois, The State of Maine, The State of
Maryland, The State of New Jersey, The State of Oregon, The Commonwealth of Pennsylvania
Department of Environmental Protection, The State of Rhode Island, The State of Vermont, dan The State
of Washington sebagai Penggugat Intervensi melawan United States Environmental Protection Agency
sebagai Tergugat.
283
posisi yang menang hingga akhirnya di bawah rezim Obama terjadi peninjauan ulang
mengenai Clean Air Act dan menentukan bahwa standar yang berlaku di California
diterima secara nasional.34
Kedua, melakukan harmonisasi dan sinkronisasi komitmen nasional dalam
bentuk melakukan reformulasi kebijakan di bidang pengendalian pencemaran udara
nasional. Hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara yang hanya mengatur keberadaan dari zat SO2, CO, NO2, O3, HC,
PM10, TSP, Pb, Dust fall (Debu Jatuh), Total Fluorides, Fluor Indeks, Khlorine &
Khlorine Dioksida, dan Sulphat Indeks perlu dilakukan koreksi. Sedangkan dalam
Konvensi Perubahan Iklim diatur pula secara spesifik mengenai gas rumah kaca sebagai
sumber utama perubahan iklim secara langsung yaitu CO2, CH4, N2O, PFCs, maupun
tidak langsung seperti HFCs - SF6 SO2, NOx, CO dan NMVOC. Hal yang sama pun
dapat diterapkan dalam berbagai metode upaya penaatan dalam berbagai bentuk kegiatan
berbasis penaatan sukarela seperti Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dan
Program Langit Biru untuk penilaian Kota di Indonesia.
4.1.2. Mitigasi Perubahan Iklim sebagai Rencana Aksi Nasional
Indonesia memberikan perhatian khusus pada pengelolaan lingkungan hidup
sejak awal 1980-an. Besarnya kerusakan sosial ekologis sampai saat ini merupakan
tantangan nyata bagi Indonesia untuk mengambil prakarsa – prakarsa yang lebih
berkesungguhan dalam perbaikan dan pengelolaan lingkungan hidup. Meskipun tidak
34 Hal ini dituangkan dalam Presidential Memorandum, EPA Waiver yang dikeluarkan oleh
Presiden Amerika Barack Obama pada tanggal 26 Januari 2009 kepada The Administrator of The
Environmental Protection Agency, terdapat dalam situs http://www.whitehouse.gov/the-press-
office/Presidential-Memorandum-EPA-Waiver/ diakses pada tanggal 15 Maret 2013.
284
memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca, namun Indonesia sangat
berkepentingan untuk berperan aktif dalam upaya global untuk menghambat laju
penurunan kondisi biosfer karena perubahan iklim.
Indonesia meratifikasi Konvensi Kerangka PBB mengenai Perubahan Iklim
lewat Undang Undang Nomor 6 tahun 1994. Sepuluh tahun kemudian Indonesia
meratifikasi Protokol Kyoto lewat Undang Undang Nomor 17 tahun 2004. Komitmen
tersebut saat ini membutuhkan usaha dan tindakan nyata yang menyeluruh, mencakup
seluruh sektor yang menyumbang emisi gas rumah kaca. Komitmen tersebut harus pula
secara serentak diterapkan dengan usaha perbaikan pemenuhan syarat kualitas hidup
rakyat dan kualitas lingkungan hidup, dan tercermin dalam pengelolaan sektor-sektor
produksi dan konsumsi prioritas untuk tindakan mitigasi dan adaptasi.
Dalam kaitan di atas Indonesia sudah melakukan beberapa kajian strategi
nasional (National Strategy Studies) untuk sektor energi dan kehutanan. Disamping itu
program-program yang potensial untuk menurunkan emisi baik dari sektor migas,
kehutanan, transportasi, limbah padat, pemanfaatan energi baru dan terbarukan juga
sudah diidentifikasi melalui kajian yang cukup komprehensif. Strategi nasional beserta
rencana aksi nasional (RAN) untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim merupakan
panduan bagi usaha besar itu. RAN adalah sebuah instrumen dinamis yang secara
berkala diperiksa daya guna dan kinerjanya serta diperbarui untuk memperbaiki
efektivitasnya.
Dalam konteks mitigasi salah satu dokumen penting yang dihasilkan oleh Bali
Road Map adalah Bali Action Plan yang antara lain memuat NAMA (Nationality
Appropriate Mitigation Action), yang merujuk pada serangkaian tindakan kebijakan dan
285
aksi dari pemerintah untuk mengurangi emisi gas – gas rumah kaca. Implementasi
NAMA berbeda – beda setiap negara, sesuai prinsip “common but differentiate
responsibilities and respective capabilities”. Fokus NAMA Indonesia adalah
mengitegrasikan kebijakan berbasis perubahan iklim dengan aspek-aspek pembangunan
ekonomi lainnya yang berbasis pro growth, pro job, pro poor dan pro-environment.
Kegiatan-kegitan yang dilaksanakan di bawah NAMA antara lain pemantauan
pengurangan emisi (pengurangan lahan kritis hingga 51% pada tahun 2012), menambah
sumber-sumber energi ramah lingkungan dalam bauran energi nasional seperti
geothermal, untuk mengurangi emisi sektor energi sebesar 17% pada tahun 2025 dan
konversi limbah menjadi energi. Program lain adalah meningkatkan partisipasi swasta
dalam CDM dan program pengelolaan pesisir dan kelautan secara integratif.35
Dalam pertemuan G-20 di Pittsburgh Amerika Serikat tahun 2009, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan komitmen Indonesia untuk mengurangi
emisi secara sukarela sebesar 26% pada tahun 2020, berbasis tingkat emisi tahun 2005.
Komitmen ini lebih tinggi dari Jepang dan Australia (25%) bahkan dari Amerika Serikat
(17%). Pemerintah memiliki tujuh sektor prioritas penurunan emisi sampai tahun 2020
yaitu sektor energi yang diupayakan mampu menurunkan emisi karbon sebesar 1 persen.
Sektor transportasi dan industri yang diperkirakan mendukung penurunan emisi karbon
masing-masing 0,3 persen dan 0,01 persen. Lalu ada pula sektor pertanian yang
diharapkan menyumbang penurunan emisi sebesar 0,3 persen, sektor kehutanan 13,3
persen, pengelolaan limbah 1,6 persen dan pengelolaan lahan gambut yang bisa
mencapai 9,6%. Menurut perhitungan Bappenas, penurunan emisi karbon hingga 26
35 Bratasida, Liana, 2005, “What is Nationally Appropriate Mitigation Action?” Presentation at
OECD Annec I Expert Group, Paris, May 5-6 2008.
286
persen pada 2020 membutuhkan dana Rp 83,3 triliun. Dalam skenario pemerintah, bila
target itu dibantu oleh negara lain, lembaga donor internasional dan dana program
tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), maka pengurangan emisi karbon bisa
mencapai 41% pada 2020.36
Sebagai turunan komitmen Indonesia dalam usaha global menghambat laju
kerusakan sistemik dari lingkungan biosfer dan sistem-sistem sosial ekonomi global
akibat perubahan iklim, pengelolaan kinerja ekonomi dan kualitas hidup rakyat sekarang
harus secara tegas mengacu juga pada sasaran-sasaran reduksi emisi gas rumah kaca dan
intensitas energi. Sasaran-sasaran mitigasi tersebut akan sangat sulit sekali dicapai
selama unsur-unsur penekan yang menjadi kendala pencapaian keselamatan manusia dan
keamanan sosial, produktivitas sosial untuk memenuhi syarat kualitas hidup, serta
pemeliharaan keberlanjutan layanan alam tidak serta merta juga direduksi. Perluasan
deforestasi dan degradasi lahan khususnya dalam dasawarsa terakhir adalah salah satu
pelajaran mahal dari kegagalan pengelolaan ekonomi yang hanya mengacu pada
pencapaian ketiga prinsip dasar tersebut di atas. Pada tingkat kehidupan sosial, sasaran
mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim akan bersinggungan dengan cara berpikir
publik (public mind-set) sampai dengan pola hidup (life-style patterns). Rekayasa sosial
dalam kesiapan masyarakat menuju cara berpikir dan pola hidup yang sesuai dengan
dampak perubahan iklim perlu dikembangkan secara sistematis dan terencana.
Komitmen Indonesia diperkuat pula dalam surat yang dikirimkan oleh Rachmat
Witoelar, Ketua Harian DNPI kepada Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Yvo de Boer,
36 Lihat “Penurunan Emisi 26% butuh 83,3 Triliun” terdapat dalam situs
http://www.antranews.com/berita/1261581375/penurunan-emisi-26-persen-butuh-rp83-3-triliun. Diakses
pada tanggal 5 Mei 2012.
287
Indonesia merinci 7 bentuk aksi untuk pencapaian penurunan emisi 26% dari skenario
BAU pada tahun 2020, yaitu:37
i. Pengelolaan lahan gambut yang menjamin berkelanjutannya.
ii. Penurunan laju deforestasi dan degradasi lahan hutan.
iii. Pengembangan proyek penyerapan emisi karbon di sektor kehutanan dan
pertanian.
iv. Promosi penghematan dan efisiensi energi.
v. Pengembangan dan pemanfaatan sumber energi alternatif dan terbarukan.
vi. Penurunan limbah padat dan cair.
vii. Perpindahan kepada moda transportasi rendah emisi.
Salah satu upaya yang telah dilakukan Indonesia saat ini adalah dengan
ditandatanganinya Letter of Intent (LoI) dengan pemerintah Norwegia dalam
menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) global akibat deforestasi, degradasi hutan dan
konversi lahan gambut di Indonesia. Implementasi LoI akan dilaksanakan dalam 3
tahunan yaitu tahap 1 hingga akhir 2010, tahap 2 selama tahun 2011-2013 dan tahap 3
sejak 2014 hingga akhir tahun 2016.
Upaya yang lebih terstruktur adalah memadukan target penurunan 26 persen dan
dokumen roadmap ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-
2014 dan prioritas kerja pemerintah untuk 2010 yang dituangkan dalam Inpres 1/2010.
Hasilnya adalah skenario penurunan emisi 26 dan 41 persen dari 7 sektor pada tahun
2020. Pada tahun 2010 Mubariq dalam proyeksinya merinci perkiraan upaya realisasi
dari komitmen penurunan emisi pada tingkat nasional sebagai berikut.
37 Lihat Indonesian Letter Nationally Appropriate Mitigation Actions dari Rachmat Witoelar
selaku Pelaksana Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim kepada Yvo De Boer selaku Sekretaris
Eksekutif dari UNFCCC., terdapat dalam situs
http://unfccc.int/files/meetings/cop_15/copenhagen_accord/application/pdf/indonesiacphaccord_app2.pdf
diakses tanggal 12 Desember 2012.
288
TABEL IV.1
Profil Emisi Indonesia 2005 dan 2020 dengan
Skenario Penurunan Emisi 26 Persen dan 41 Persen
(dalam giga ton)
Sektor Profil Emisi Target Penurunan Target Profil Emisi 2020
Emisi 26% Tambahan
Penurunan
Emisi 15%
Emisi BAU Emisi % dari Emisi % dari Skenario Skenario
26% 41%
2005 2020 BAU BAU 0,81 0,75
Lahan 0,83 1,09 0,280 9,5 0,057 2,03
Gambut
Sampah 0,17 0,25 0,048 1,6 0,03 1,07 0,20 0,17
0,10 (0,21)
Kehutanan 0,65 0,49 0,392 13,3 0,31 11,02 0,05 0,05
0,06 0,06
Pertanian 0,05 0,06 0,008 0,3 0,003 0,11 (0,01) (0,02)
0,97 0,96
Industri 0,05 0,06 0,001 0,0 0,004 0,14 2,18 1,76
Transportasi - - 0,008 0,3 0,008 0,28
Energi 0,37 1,00 0,030 1,0 0,01 0,38
Total 2,12 2,95 0,767 26 0,422 15,01
Sumber : Mubariq Ahmad (Prisma, Volume 3 Tahun 2010)
Namun prediksi ini ternyata tidak sejalan dengan kondisi regulasi yang
dikeluarkan dalam instrumen perundang – undangan secara nasional. Secara normatif
pemerintah Republik Indonesia pada 20 September 2011 telah mengeluarkan Peraturan
Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca. Dalam peraturan ini, komitmen dari Pemerintah Indonesia untuk tindakan
mitigasi gas rumah kaca dibagi dalam porsi nyata dari berbagai sektor. Sesuai amanat
dari Pasal 2 yang terdapat peraturan tersebut, paling tidak terdapat 6 (enam) sektor yang
mendapatkan amanat untuk melakukan tindakan mitigasi yaitu Pertanian, Kehutanan dan
lahan gambut, Energi dan transportasi, Industri, Pengelolaan limbah dan Kegiatan
pendukung lain.
289
TABELIV.2
Pembagian Penurunan Emisi Berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011
Bersandar pada kondisi demikian, sasaran – sasaran mitigasi sektor –sektor
ekonomi prioritas, yaitu sektor energi, industri (termasuk UKM), kehutanan, pertanian,
perikanan, infrastruktur; harus dirumuskan strategi pencapaiannya serta pilihan
skenarionya, bukan saja lewat optimalisasi internal masing-masing sektor, melainkan
juga dengan mempertimbangkan kerangka pertimbangan yang bisa disebut sebagai
“wilayah mitigasi sosial ekologis”, yaitu perbaikan dalam ketiga prinsip dasar
(keselamatan manusia/alam, produktivitas, dan kelangsungan layanan alam). Wilayah
mitigasi sosial ekologis ini, meskipun secara formal bersifat sekunder dalam konteks
komitmen Indonesia pada Konvensi Kerangka Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto,
tetap merupakan bagian strategis dari tujuan pembangunan nasional yang juga sangat
berperan dalam menjamin pencapaian sasaran mitigasi perubahan iklim.
290
Tindakan berbasis regulasi ini pun berlanjut dengan melakukan kegiatan aktif
dalam tataran lokal dengan hadirnya Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional sebagai tindak lanjut dari
pelaksanaan komitmen dalam tataran lokal. Namun hal ini ditanggapi lamban oleh
Pemerintah Daerah, dari pengamatan penulis saat melakukan wawancara dengan
beberapa perwakilan pemerintahan daerah hampir seluruh daerah baru memulai pada
tataran melakukan sosialisasi terkait dengan Rencana Aksi Daerah.
Berdasarkan skenario dalam laporan Second National Communication yang
dilaporkan pada tahun 2010, maka target penurunan emisi GRK sebesar 26% pada tahun
2020 adalah 0,767 Gton CO2 e. Target tersebut akan bertambah 15% (0,477 Gton CO2e)
menjadi 41% penurunan emisi GRK apabila ada dukungan pendanaan internasional.38
Namun demikian, besaran target penurunan emisi GRK tersebut akan diperhitungkan
kembali secara lebih akurat dengan menggunakan metodologi, data, dan informasi yang
lebih baik.
Penyusunan RAN-GRK merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dalam kerangka
kebijakan pembangunan berkelanjutan untuk menanggulangi dampak perubahan iklim,
khususnya untuk menurunkan emisi GRK. Pengertian emisi GRK sendiri adalah emisi
dihasilkan dari alam dan berbagai kegiatan pembangunan terutama di bidang kehutanan,
lahan gambut, limbah, pertanian, transportasi, industri dan energi. Selain itu, rencana
aksi ini disusun berdasarkan prinsip terukur, dapat dilaporkan dan dapat diverifikasi
(Measurable, Reportable, Verifiable), agar dapat dipertanggungjawabkan hasilnya
38 Lihat Kementerian Negara Lingkungan Hidup., Second National Communication., 2010., hlm.
xiii.
291
secara nasional dan sesuai dengan prinsip yang akan diterapkan oleh United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) untuk aksi mitigasi yang
dilakukan oleh negara para pihak.
Adapun sasaran dari RAN-GRK ini meliputi beberapa hal utama :39
1. Sebagai acuan pelaksanaan penurunan emisi GRK oleh bidang – bidang
prioritas di tingkat nasional dan daerah;
2. Sebagai acuan investasi terkait penurunan emisi GRK yang terkoordinasi
pada tingkat nasional dan daerah;
3. Sebagai acuan pengembangan strategi dan rencana aksi penurunan emisi
GRK oleh daerah-daerah di Indonesia.
Indonesia sendiri juga telah menyampaikan informasi mengenai Nationally
Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) Indonesia ke Sekretariat UNFCCC oleh
Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) pada tanggal 30 Januari 2010.
Tujuh bidang utama telah disampaikan untuk mencapai penurunan emisi GRK sebesar
26% pada tahun 2020 dari skenario BAU sebagai baseline. Untuk mencapai tujuan dan
target tersebut perlu disusun berbagai intervensi dan rencana aksi yang disesuaikan
dengan kebijakan program mitigasi perubahan iklim yang dilaksanakan dan didukung
oleh berbagai Kementerian/ Lembaga serta Pemerintah Daerah.
39 Lihat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional., Naskah Akademik Rencana Aksi Nasional
Gas Rumah Kaca., 2010., hlm. 16.
292
GAMBAR IV.1
Komitmen Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Nasional
Sumber : BAPEENAS, Pedoman Pelaksanaan Rencana Aksi Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca. 2011
Salah satu tindak lanjut dari Rencana Aksi Nasional hadir dengan tindakan
Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) periode 2005-2025 yang
merupakan blueprint arah pembangunan Indonesia. Salah satu misi yang terdapat dalam
dokumen tersebut menjadi visi dalam RAN GRK ini yaitu untuk: “Mewujudkan
Indonesia asri dan lestari”. Misi tersebut menekankan pada upaya untuk memperbaiki
pengelolaan pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara
memanfaatkan sumber daya alam dan menjaga fungsi serta daya dukung lingkungan
hidup melalui penataan ruang yang serasi bagi pemukiman, sosial ekonomi, dan upaya
konservasi; meningkatkan pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan lingkungan
293
yang berkesinambungan; memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup untuk mendukung kualitas kehidupan; memberikan keindahan dan kenyamanan
kehidupan; serta meningkatkan pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati
sebagai modal dasar pembangunan.
Rencana Aksi ini disusun berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJMN 2010-2014) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN 2005-2025).
Gambar di bawah ini menunjukkan hubungan antara RAN-GRK dengan sistem
perencanaan pembangunan baik nasional dan daerah.
GAMBAR IV.2
Kedudukan Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca
Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan
Sumber : BAPPENAS, Pedoman Pelaksanaan Rencana Aksi Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca. 2011.