The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by , 2016-05-12 02:40:09

Full Sidang Terbuka (1)

Full Sidang Terbuka (1)

394

Sebagaimana diketahui bahwa Permenhut P 68/2008 menyiapkan sebuah
lembaga yang bertugas membantu Menteri Kehutanan menilai usulan Demonstration
Activities REDD dari para pengembang bernama Kelompok Kerja Pengendalian
Perubahan Iklim di Lingkungan Departemen Kehutanan. Lembaga tersebut kemudian
akan memberikan penilaian usulan pihak ketiga terkait kegiatan mitigasi, adaptasi,
transfer teknologi dalam Kementerian Kehutanan, yang bernama Kelompok Kerja
Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan.

Sedangkan untuk melaksanakan Permenhut P 30/2009 secara keseluruhan,
Departemen Kehutanan harus membentuk atau menunjuk beberapa lembaga, yakni
membentuk Komisi REDD dan menunjuk Komite Akreditasi Nasional untuk
mengakreditasi Lembaga Penilai Independen sebelum keputusan lahir di tingkat
UNFCCC. Komisi REDD merupakan komisi yang dibentuk oleh Menteri Kehutanan
dan bertugas dalam pengurusan pelaksanaan REDD. Namun ironisnya dalam Permenhut
P 30/2009 tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan ketentuan lebih lanjut soal
pembentukan Komisi REDD ini.

Sedangkan Permenhut P 36/2009 sendiri hanya membutuhkan pembentukan satu
lembaga saja, yakni Badan Registrasi Nasional. Pembentukan konsultan atau lembaga
penilai independen sendiri tidak diatur karena bisa memakai lembaga penilai independen
yang ada.

Selain itu pada bulan Juli 2007, Kementerian Kehutanan juga membentuk IFCA
atau Indonesia Forest Climate Alliance yang dimaksudkan sebagai forum untuk
komunikasi / koordinasi para pemangku kepentingan serta memberikan fasilitasi
substansi dalam membahas isu-isu REDD. IFCA secara struktural berada di bawah

395

Badan Litbang Kehutanan. IFCA sendiri tidak mempunyai nama resmi dalam Bahasa
Indonesia padahal kehadirannya merupakan lembaga yang dibentuk oleh Departemen
Kehutanan.

Karena hanya sebagai forum komunikasi, IFCA tidak mempunyai kewenangan
apapun yang sifatnya eksekutif. Ia malah menjadi semacam think tank yang menggodok
skema REDD versi Indonesia atau menyebarluaskan pentingnya skema REDD dan harus
terlibatnya Indonesia REDD kepada segenap khalayak.

Kontribusi IFCA yang dapat dicatat adalah dengan membuat semacam path way
REDD dari mulai tahap perencanaan, readiness sampai implementasi penuh di tahun
2012. Path way ini kemudian dipublikasikan dengan judul IFCA Consolidation Report:
REDD in Indonesia.

Bersandar pada uraian di atas terlihat bahwa dalam hal institusi terdapat konflik
manajemen terkait REDD+ plus khususnya antara persiapan yang dilakukan Satgas
REDD+ dengan Kementerian Kehutanan dengan Komisi REDD. Tentu pada kondisi ini
kelembagaan kedua institusi tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan. Merujuk
pada kondisi faktual saat ini dengan telah berjalannya proyek REDD+ yang ditemukan
beberapa konflik serta ketidakjelasan dari segi aturan baik yang melibatkan agraria,
penataan ruang serta kehutanan itu sendiri maka mutlak perlu hadirnya lembaga yang
memiliki otoritas lintas sektor dan berada lebih tinggi daripada sektor yang ada.

Dalam proses pembentukan lembaga REDD+ yang diusung oleh Satuan Tugas
REDD+ ditekankan bahwa keberhasilan penerapan REDD+ di Indonesia sangat
bergantung pada transformasi kelembagaan. Saat ini, kegiatan-kegiatan terkait dengan
REDD+ tersebar di berbagai kementerian dan di daerah. Oleh karena itu, dibutuhkan

396

koordinasi lintas lembaga pemerintahan di pusat dan daerah, agar penerapan REDD+
dapat berjalan sinergis dan terkoordinasi dalam suatu sistem yang terpadu.
Lembaga REDD+ akan menjadi badan pusat independen yang bertanggungjawab
langsung kepada Presiden untuk memimpin dan mengoordinasikan kinerja nasional
dalam melaksanakan pengurangan emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan
di Indonesia. Untuk dapat melaksanakan tugasnya secara efektif, lembaga REDD+
membutuhkan mandat dan kewenangan dengan dasar hukum yang kuat. Mengingat
tingkat kompleksitas REDD+, Lembaga REDD+ memerlukan mandat lintas kementerian
dan lintas sektor yang kokoh guna memungkinkan implementasi strategi REDD+ yang
komprehensif dan koheren di seluruh kegiatan terkait.

Penulis dalam konteks ini memiliki perbedaan terkait pilihan payung hukum dari
lembaga REDD+ di Indonesia versi Satgas REDD+ yang mengusulkan hadirnya sebuah
Undang Undang. Dalam perspektif penulis Peraturan Presiden menjadi cukup untuk
digunakan sebagai dasar legitimasi hadirnya lembaga REDD+. Lembaga ini menjadi
kesatuan dengan dasar hukum Peraturan Presiden tentang REDD+ di Indonesia. Struktur
fungsional dari Lembaga REDD+ datar, fleksibel, dan fokus terhadap implementasi.
Lembaga REDD+ memimpin, mengkoordinasi atau mengambil bagian dalam berbagai
proses utama seperti misalnya pengembangan strategi REDD+, persetujuan program dan
entitas REDD+, pemantauan dan evaluasi program.

397

Langkah awal menciptakan rezim REDD+ di Indonesia khususnya dalam tataran
kelembagaan tentu perlu diupayakan penguatan dari segi legitimasi, karena REDD+
tidak hanya berkutat dengan hal teknis semata.185 Paling tidak terdapat 2 (dua) metode
untuk dapat menghadirkan legitimasi kelembagaan dalam konteks REDD+. Pertama,
legitimasi akan hadir pada saat dilakukan pendekatan yang berbasis prosedural terutama
pihak yang hendak terlibat dalam pelaksanaan REDD+. Dalam model yang sering
disebut input oriented ini proses demokrasi merupakan hal penting dalam menjamin
hadirnya lembaga yang legitimate.186 Kedua, selain legitimasi yang bersumber dari
adanya keadilan prosedural namun legitimasi juga dapat hadir dari keadilan yang
bersifat substansial. Model yang sering disebut dengan output oriented ini menekankan
pada premis – premis yang lebih inti seperti konsep efisiensi dari sebuah aturan serta
keberadaan dari konsep pemerintahan yang baik.187

Dalam konteks REDD+, model output oriented sebenarnya lebih mudah untuk
dicapai karena konsep REDD+ hadir dari sebuah model yang menekankan adanya
skema yang lebih efisien dalam rangka mitigasi perubahan iklim. Namun Lederer
menekankan pula mengenai pentingnya konsep input oriented sehingga keberadaan dari
lembaga REDD+ pada tingkat nasional dapat hadir secara utuh dengan adanya sinergi

185 Streck, C., et al., Institutional options assessment developing an efficient, effective, and
equitable institutional framework for REDD+ under the UNFCCC. Washington, DC: Meridian Institute.,
2009., hlm. 7.

186 Lihat Scharpf, F.W., Governing in Europe. Effective and Democratic?., (Oxford University
Press, Oxford)., 1999., hlm.

187 Lihat Lövbrand, E., Rindefjäll, T., Nordqvist, J., “Closing the legitimacy gap in global
environmental governance? Lessons from the emerging CDM market”., Global Environmental Politics 9,
2009., hlm. 75.

398

dari keduanya.188 Oleh karena itu dalam konteks Indonesia dengan berkaca ragam
konflik dan tumpang tindih kewenangan yang terjadi selama ini selain kedudukan
lembaga REDD+ langsung di bawah koordinasi Presiden tapi legitimasi dari lembaga
tersebut patut pula dihadirkan dengan pendekatan input oriented dan output oriented.

Sedangkan terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia maka perlu
adanya pelembagaan kebijakan eksistensi lembaga REDD+ mulai dari pemerintah pusat
hingga ke daerah. Proses ini tentu perlu diawali dengan langkah analisis kebijakan yang
ada seperti uraian dari Bromley terkait penguatan institusi pada tingkatan pelaksanaan.
Adapun mekanisme yang dapat dirujuk pada model ini diawali dengan
mengidentifikasikan ulang peraturan yang telah ada, merumuskan tujuan dari kebijakan
kelembagaan yang hendak dibuat, menentukan bentuk kebijakan, mencari pola interaksi
antara pelaku kebijakan, dampak dari kebijakan kelembagaan tersebut hingga penilaian
kebijakan kelembagaan antara harapan dan kenyataan.189 Hadirnya lembaga REDD+ di
Indonesia harus mampu menyentuh mulai dari tataran kebijakan hingga tataran
operasional. Keberadaan lembaga pada setiap tahapan secara hierarki sehingga mampu
memberikan respons secara cepat dalam usaha perbaikan kelembagaan.

188 Lederer, M., “From CDM To REDD+ What Do We Know For Setting Up Effective and
Legitimate Carbon Governance?”., Ecological economics, 70 (11), 2011., hlm. 1901.

189 Lihat Daniel Bromley., Economic Interest and Institutions : The Conceptual Foundation of
Public Policy., (Oxford : Blackswell, 1989)., hlm. 33.

399

GAMBAR IV.20
Proses Hierarki Kebijakan dan Kelembagaan REDD+ di Indonesia

Sumber : Modifikasi Penulis merujuk pada konsep Bromley., hlm. 33

Selain memberikan respons dalam tataran kebijakan dan kelembagaan, Indonesia
juga menanggapi mekanisme REDD dengan melakukan kegiatan – kegiatan yang lebih
luas, termasuk konservasi hutan, pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan
cadangan karbon melalui penghutanan (aforestasi) dan penghutanan kembali
(reboisasi).190 Selain itu momentum tersebut juga seiring dengan Surat Pernyataan
Kehendak pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Norwegia yang memuat
ketentuan untuk sepakat melakukan beberapa tindak lanjut, antara lain191 :

190 Lihat Keputusan 2/CP.15. Copenhagen Accord. FCCC/CP/2009/11/Add, para. 4–9.
191 Lihat dalam http://www.norway.or.id/PageFiles/404362/Letter_of_
Intent_Norway_Indonesia_26_May_2010.pdf. diakses pada tanggal 12 Desember 2012.

400

1. Menyusun Strategi Nasional tentang REDD+;
2. Menetapkan badan khusus untuk menerapkan strategi REDD+, termasuk sistem

pemantauan, pelaporan dan pembuktian (MRV) atas pengurangan emisi dan
instrumen keuangan untuk penyaluran dana; dan
3. Mengembangkan dan menerapkan instrumen kebijakan serta kemampuan untuk
melaksanakannya, termasuk penundaan selama dua tahun bagi pemberian izin
HPH baru untuk konversi kawasan lahan gambut dan hutan alam untuk
penggunaan lainnya.
Dalam hukum nasional pemerintah tepat satu minggu sebelum setahun
penandatanganan LoI Indonesia dengan Norwegia dikeluarkanlah Instruksi Presiden
Nomor 10 Tahun 2011 diterbitkan. Inpres ini mengumumkan moratorium hutan yang
akan memenuhi salah satu tindakan kesepakatan dalam LoI yang paling banyak menarik
perhatian publik.
Inpres ini mencoba untuk menyinergikan beberapa pihak dalam satu langkah
bersama mulai dari pihak Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri
Dalam Negeri, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Ketua Badan Koordinasi Penataan
Ruang Nasional, Kepala Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional hingga
kepada tataran Kepala Daerah di Tingkat Gubernur dan Bupati / Walikota.192
Inpres Nomor 10 Tahun 2011 merupakan langkah Pemerintah Indonesia untuk
mendukung penundaan pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang
berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas,
hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area penggunaan

192 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Penundaan Pemberian
Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut.

401

lain sebagaimana tercantum dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru yang terlampir
dalam Inpres ini.193

Namun, Inpres ini tidak berlaku secara serta merta dan berlaku untuk semua jenis
hutan tapi diberikan pengecualian terhadap 4 (empat) kondisi yaitu (a) Permohonan
yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan; (b) Pelaksanaan
pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu: geothermal , minyak dan gas bumi,
ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu; (c) Perpanjangan izin pemanfaatan hutan
dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya
masih berlaku; dan (d). Restorasi ekosistem.194

Terdapat 3 (tiga) hal yang penting pengaturan dalam Inpres ini yang patut
diperhatikan yaitu penggunaan terminologi Hutan Alam Primer, lalu pemberlakuan dari
segi tempat dan pemberlakuan dari segi waktu. Ditentukan secara limitatif bahwa obyek
moratorium dalam Inpres ini terbatas pada Hutan Alam Primer195, lalu ditentukan pula
dasar dari Moratorium merujuk kepada Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) yang

193 Ibid. Poin Pertama.
194 Ibid., Poin Kedua.
195 Ibid., dikatakan dalam Poin Pertama bahwa pemerintah perlu Mengambil langkah-langkah
yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk mendukung penundaan
pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung,
hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi)
dan area penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru yang menjadi
Lampiran Instruksi Presiden.

402

akan dievaluasi dalam waktu 6 (enam) bulan.196 Sedangkan dalam pemberlakuan waktu

Inpres ini hanya akan berlaku dalam kurun waktu selama 2 (dua) tahun.197

Terkait dengan nomenklatur Hutan Alam Primer yang menjadi obyek pengaturan

Inpres ini tidak dikenal dalam hukum positif. Dalam Undang Undang Kehutanan Nomor

41 Tahun 1999 hanya dikenal konsep pembagian hutan yang didasarkan kepada status

dan wilayah administratif semata.198 Sedangkan terminologi Hutan Primer lebih

menekankan pada penggunaan definisi ekologis yang melihat kondisi suatu hutan.199 Hal

ini tentu akan berdampak pada biasnya upaya penegakan hukum yang akan dilakukan.

Adapun jika pemerintah tetap menggunakan terminologi Hutan Primer maka kondisi

sesungguhnya di Indonesia komposisi Hutan Primer di dominasi oleh kawasan Hutan

Lindung dan Hutan Konservasi200, sehingga tidak perlu lagi untuk diberlakukan

196 Ibid., Tugas Menteri Kehutanan meliputi a. Melakukan penundaan terhadap penerbitan izin
baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi
(hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) berdasarkan
Peta Indikatif Penundaan Izin Baru. b. Menyempurnakan kebijakan tata kelola bagi izin pinjam pakai dan
izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam. c. Meningkatkan efektivitas pengelolaan lahan
kritis dengan memperhatikan kebijakan tata kelola hutan dan lahan gambut yang baik, antara lain melalui
restorasi ekosistem. d. Melakukan revisi terhadap Peta Indikatif Penundaan Izin Baru pada kawasan hutan
setiap 6 (enam) bulan sekali. e. Menetapkan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru hutan alam primer dan
lahan gambut pada kawasan hutan yang telah direvisi.

197 Ibid., “Penundaan pemberian izin baru, rekomendasi, pemberian izin lokasi sebagaimana
dimaksud dalam Diktum KETIGA dilakukan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak Instruksi Presiden ini
dikeluarkan.”

198 Untuk pembagian berdasarkan status dikenal pembagian hutan dengan kategorisasi hutan
negara dan hutan hak. Lihat Pasal 5 Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Sedangkan berdasarkan fungsinya terdapat kategorisasi dengan membagi kawasan hutan menjadi fungsi
konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Lihat Pasal 6 Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999.

199 Lihat definisi Hutan Primer sebagai “is a forest that has attained great age without significant
disturbance, and thereby exhibits unique ecological features and in some cases may be classified as a
climax community.” Dalam David L. White dan F.Thomas Lloyd., Defiling Old Growth: Implications for
Management., hlm.52.

200 Lihat Murdiyarso, D., Dewi, S., Lawrence, D. dan Seymour, F. “Moratorium Hutan Indonesia:
Batu Loncatan untuk Memperbaiki Tata Kelola Hutan?” Working Paper 77., 2011. CIFOR, Bogor,
Indonesia., hlm. 5.

403

moratorium namun sudah dengan sendirinya dengan proses yang ada akan terjaga.
Dalam kata lain hadirnya Inpres Moratorium sebenarnya tidak mempunyai makna
substantif terhadap upaya pemeliharaan hutan Indonesia sebagai bentuk langkah
mitigasi yang signifikan.

Dalam konteks otonomi daerah sekarang ini terjadi perbedaan persepsi terhadap
pelaksanaan Inpres ini pada tingkat lokal. Di tingkat provinsi, memang tidak ada yang
mempersoalkan kebijakan terkait moratorium. Salah satunya dapat dilihat dalam
pernyataan dari Gubernur Kalimantan Tengah yang mendukung kebijakan moratorium
dan menganggapnya tidak bertentangan dengan kepentingan investasi. Namun
sebaliknya di tingkat Kabupaten kebijakan moratorium justru menjadi dipertanyakan
ulang. Atas dasar tersebut, sesungguhnya pihak pemerintah pusat, pemerintah daerah,
pelaku usaha dan masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda dalam melihat isu
moratorium izin kehutanan ini.201

Selanjutnya terkait dengan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) yang akan
dievaluasi dalam waktu 6 (enam) bulan hal ini sebenarnya menjadi alas legalitas bagi
diberlakukannya moratorium. Sampai dengan saat ini telah diterbitkan Revisi dari PIPIB
sebanyak 4 kali yaitu dengan adanya Revisi I dengan Keputusan Menteri
SK.7416/Menhut-VII/IPSDH/2011, Revisi II dengan Keputusan Menteri Nomor
2771/Menhut-VII/IPSDH/2012, Revisi III dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
6315/Menhut-VII/IPSDH/2012 dan Revisi IV dengan Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor: SK.2796/Menhut-VII/IPSDH/2013. Dari keempat revisi yang telah dilakukan

201 Lihat Suraya Affif, Kussaritano dan Bismart Ferry Ibie., “Kajian Para Pihak Terkait dengan
Upaya Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Kalimantan Tengah”., Laporan
Penelitian Kemitraan., 2012., hlm.8.

404

luas daerah yang termasuk di moratorium terus menyusut dari yang pertama hingga
ketiga. Dalam press release yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan alasan
dibalik penyusutan wilayah yang termoratorium ini karena skala yang digunakan masih
terlampau besar sehingga survey dan metodologi teknis yang digunakan kerap kali salah
dalam mengukur.202

Penulis menengarai bahwa hal ini dikarenakan lemahnya pengaturan kawasan
dalam PIPIB, sebagaimana telah ditentukan dalam Poin Kedua Inpres Moratorium
bahwa terdapat pengecualian bagi 4 (empat) kegiatan yang meliputi (i) Permohonan
yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan; (ii) Pelaksanaan
pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu: geothermal , minyak dan gas bumi,
ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu; (iii) Perpanjangan izin pemanfaatan hutan
dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya
masih berlaku; dan (iv) Restorasi ekosistem namun dalam penentuan PIPIB melalui
instrumen Keputusan Menteri Kehutanan No. SK Menhut No 323 tahun 2011 justru
menambahkan poin revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, hal inilah yang akan
menjadi variabel berubah ubahnya wilayah moratorium dalam rezim otonomi daerah.203

202 Lihat pernyataan dari Bambang Soepijanto dalam pernyataan pers terkait dirilisnya PIPIB IV
dari Kementerian Kehutanan. Saat ini skala yan g digunakan adalah 1 : 250.000. Lihat dalam “Revisi
Keempat Peta Indikatif, Luasan Berkurang” terdapat dalam situs
http://cetak.kompas.com/read/2013/05/30/03541519/Revisi.Keempat.Peta.Indikatif..Luasan.Berkurang.
Diakses pada 30 Mei 2013.

203 Lihat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.323/Menhut-II/2011.,
poin Keenam.

405

TABEL IV.11
Luasan PIPIB dari Awal Hingga Revisi IV

No. PIPIB No. SK Menhut Tanggal Luas Pengurangan
Moratorium (Ha)
1 PIPIB SK.323/Menhut-II/2011 20 Juni
2011 (Ha) ------------------
2 Revisi I SK.7416/Menhut- 22 69.144.073 3.769.821
VII/IPSDH/2011 November 65.374.252
2011 92.36
3 Revisi II SK.2771/Menhut- 16 Mei 65.281.892 485.655
4 Revisi III VII/IPSDH/2012 2012 64.796.237
19 119.208
SK. 6315/Menhut- November 64.677.030
VII/IPSDH/2012 2012
16 Mei
5 Revisi IV SK.2796/Menhut- 2013
VII/IPSDH/2013

Sumber : Kementerian Kehutanan, 2013.

Perhatian terakhir terkait dengan jangka waktu keberlakuan dari moratorium

kehutanan yang akan berakhir setelah 2 (dua) tahun setelah Inpres diterbitkan yaitu 20

Mei 2013. Memang dalam konteks ini terdapat pro dan kontra mengenai usia

moratorium, para aktivis lingkungan melihat bahwa dengan memperpanjang usia

moratorium akan melanggengkan perubahan fungsi ekologis dan memberikan kepastian
hukum.204 Sedangkan dari kalangan pengusaha kehutanan khususnya dari Gabungan

Perusahaan Kelapa Sawit (Gapki) melihat bahwa rencana moratorium berjalan tanpa

arah dan cenderung tidak mempunyai action plan yang jelas sehingga menghambat
investasi.205 Dalam perkembangan terkini akhirnya pemerintah memutuskan untuk

memperpanjang moratorium hutan dengan kurun waktu 2 (dua) tahun lagi dengan

204 Lihat “Aktivis Minta Pemerintah Perpanjang Moratorium Hutan” terdapat dalam situs
http://theglobejournal.com/lingkungan/aktivis-minta-pemerintah-perpanjang-moratorium-hutan/index.php
diakses pada tanggal 1 Januari 2013.

205 Lihat “Jangan Perpanjang Inpres Moratorium Hutan” terdapat dalam situs
http://www.bisnis.com/articles/jangan-perpanjang-inpres-moratorium-hutan diakses pada tanggal 1 Januari
2013.

406

hadirnya Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013 terhitung mulai tanggal 13 Mei 2013
hingga 13 Mei 2015. Beberapa kejanggalan yang terlihat dalam Inpres perpanjangan ini
ternyata tidak mampu menjawab ekspektasi beberapa hal.

Pertama, berdasar pada data pelaksanaan Inpres moratorium terdahulu selama 2
(dua) tahun tentu harusnya ada proses pembelajaran mengingat hadirnya beberapa cerita
kegagalan moratorium pada tingkat pelaksanaan di lapangan. Banyak terdapat lesson
learnt yang harusnya dijadikan dasar perubahan sehingga dapat memberikan perbaikan
substansial dibandingkan hanya memperpanjang masa keberlakuan dengan pengaturan
yang persis sama.

Kedua, hadirnya Inpres moratorium Jilid II ini tidak dapat diartikan sebagai
langkah penyelamatan hutan secara serta merta. Jika diperhatikan lebih detil baik dalam
Instruksi Presiden Jilid I maupun Instruksi Presiden perpanjangan keberadaan Peta
Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) memiliki posisi penting. Selama kurun waktu
2011 sampai dengan 2013 tercatat dinamika dari luasan PIPIB diungkapkan di atas
berada dalam tren yang menurun dari periode ke periode. Bahkan beberapa lahan
gambut yang dapat menyerap karbon dalam jumlah besar justru tidak termasuk dalam
PIPIB jilid IV yang terbaru.206 Hal ini diperburuk pula dengan penggunaan skala peta
PIPIB terakhir dengan perbandingan 1 : 250.000 hal ini tentu akan menyulitkan
gambaran detil wilayah yang diatur. Hal inilah yang ditengarai menjadi latar belakang

206 Di Riau, ada kawasan gambut dengan kondisi bagus sekitar 22.442 hektar, tetapi dikeluarkan
dari peta. Lalu sekitar 14 ribuan hektar gambut keluar dari peta berada di perkebunan. Ada juga di
Kalimantan Tengah (Kalteng), 203.270-an hektar hutan gambut dikeluarkan dari peta. Lihat dalam “Revisi
PIPIB IV, Hutan Primer dan Gambut Susut Hampir 165 Ribu Hektar” terdapat dalam situs
http://www.mongabay.co.id/2013/05/28/revisi-pipib-iv-hutan-primer-dan-gambut-susut-hampir-165-ribu-
hektar/ diakses pada tanggal 22 Juni 2013.

407

tumpang tindihnya izin hutan yang berujung pada semakin besarnya laju deforestasi
yang terjadi.

Walaupun tidak secara eksplisit mengatakan Inpres ini bagian dari implementasi
LoI dengan Norwegia namun penulis melihat bahwa terdapat indikasi mengatakan
bahwa hadirnya Inpres ini hadir dalam rangka memenuhi kewajiban LoI Indonesia -
Norwegia. Indikasi ini dapat dilihat dari salah satu klausula dalam LoI Indonesia dengan
Norwegia mencakup penundaan konsesi baru untuk konversi lahan gambut dan hutan
alam selama 2 (dua) tahun pada fase transformasi 2011 sampai dengan 2013. Klausula
yang persis sama diadopsi pula dalam Poin Kelima Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun
2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru bagi Hutan Alam Primer dan Lahan
Gambut serta Penyempurnaan Tata Kelola Hutan dan Gambut dengan kalimat
“Penundaan pemberian izin baru, rekomendasi, pemberian izin lokasi sebagaimana
dimaksud dalam Diktum Ketiga dilakukan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak Instruksi
Presiden ini dikeluarkan”.
4.3.2.2. REDD dan Masyarakat Adat

Salah satu isu sensitif yang dibicarakan dalam pelaksanaan REDD di Indonesia
hadir pada saat kepentingan dari masyarakat hukum adat cenderung di abaikan.
Masyarakat adat meyakini bahwa baik dari segi moral maupun praktis terdapat
kewajiban dalam pengakuan serta perlakuan yang adil terhadap masyarakat adat dalam
…………………

408

konteks REDD.207 Paling tidak terdapat 3 (tiga) hal yang disoroti oleh masyarakat adat

terkait dengan kepentingan mereka dalam proses REDD. Pertama, masyarakat adat

selaku pemangku kepentingan harus mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam proses

perumusan kebijakan dalam skema REDD yang mengikuti Prinsip Free Prior Inform
Consent (FPIC) secara utuh.208 Selanjutnya, keberadaan dari sumber daya alam milik

masyarakat adat termasuk hak atas tanah harus dihormati keberadaannya sesuai dengan

instrumen hak asasi manusia pada tataran kewajiban internasional sesuai prinsip –
prinsip hak asasi manusia yang berlaku secara global.209 Terakhir, peran dan kontribusi

dari masyarakat adat dalam melindungi serta menjaga sumber daya alam yang mereka

miliki dengan bersandar pada nilai – nilai lokal wajib untuk diakui dalam pelaksanaan
REDD.210

Isu mengenai hak masyarakat adat sendiri sebenarnya sudah dibicarakan pada

tataran internasional semenjak dirumuskan pada tahun 1989 dalam instrumen

International Labour Organization's Convention Concerning Indigenous and Tribal

207 Lihat pernyataan dari Adianto P. Simamora., “No Rights, No REDD : Communities:, terdapat
dalam artikel Jakarta Post, 1 Juli 2010. Diakses pada situs
http://www.thejakartapost.com/news/2010/07/01/no-rights-no-redd-communities.html pada tanggal 13
Maret 2013.

208 Lihat pernyataan dari Fincke yang mengatakan bahwa perlunya “Ensure the full and effective
participation of indigenous peoples and local communities, in accordance with the right to free, prior and
informed consent.” Lihat dalam Annelie Fincke, “Indigenous Peoples and REDD-plus: Challenges and
Opportunities for the Engagement of Indigenous Peoples and Local Communities in REDD-plus”,
International Union for Conservation of Nature, terdapat dalam situs
http://cmsdata.iucn.org/downloads/iucn_briefing_ips_and_redd_aug_2010_summary.pdf., hlm. 5

209 Hal ini dinyatakan oleh Fincke sebagai bentuk “Recognize and respect the rights of indigenous
peoples and local communities, in particular their rights to lands, territories and all resources, in
accordance with the United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) and
other relevant international human rights instruments and obligations.”. Lihat Ibid.

210 Hal ini dinyatakan oleh Fincke sebagai bagian dari upaya “Recognize the fundamental role
and contribution of indigenous peoples’ traditional knowledge, innovations and practices.”. Lihat Ibid.

409

Peoples in Independent Countries (ILO 169). Dalam konvensi ini hak – hak dari
masyarakat adat sudah mulai diakui dan konvensi ini pun saat telah diratifikasi oleh 22
(dua puluh dua) negara.211 Konvensi ini secara mendasar dan prinsipil telah mengakui
hak – hak masyarakat adat terutama berkaitan dengan pemilikan dan pengelolaan tanah
mereka, sehingga masyarakat adat dapat melakukan aktifitas berbasis tanah di tempatnya
secara sah.212 Salah satu hal yang relevan dari pembahasan Konvensi ILO 169 dengan
konteks REDD ialah jaminan dari konvensi ini terhadap masyarakat ada untuk
melakukan pengawasan terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan budaya wilayah
mereka serta jaminan untuk dapat terlibat dalam kegiatan yang mempengaruhi mereka
secara langsung.213 Bahkan, secara lebih tegas diatur dalam bagian lainnya dari ILO 169
menjamin bahwa masyarakat hukum adat memiliki hak terhadap kepemilikan dan
penguasaan dari tanah yang telah mereka kuasai secara turun temurun serta mereka tidak

211 Negara – negara yang telah meratifikasi terdiri dari Argentina, Bolivia, Brazil, Republik
Afrika Tengah, Cili, Kolombia, Kostarika, Denmark, Dominica, Ekuador, Fiji, Guatemala, Honduras,
Meksiko, Nepal, Belanda, Nikaragua, Norwegia, Paraguay, Peru, Spanyol, Venezuela. Informasi dapat
dilihat dalam situs http://www.ilo.org/ilolex/cgi-lex/ratifce.pl?C169 diakses pada tanggal 10 Maret 2013.

212 Lihat Kathleen Lawlor & David Huberman, “Reduced Emissions from Deforestation and
Forest Degradation (REDD) and Human Rights”, dalam Jessica Campese., Rights Based Approaches:
Exploring Issues and Opportunities for Conservation., CIFOR., 2009., hlm.276.

213 Lihat perumusan Pasal 7 ayat (1) Konvensi ILO 169 yang berbunyi “The peoples concerned
shall have the right to decide their own priorities for the process of development as it affects their lives,
beliefs, institutions and spiritual well-being and the lands they occupy or otherwise use, and to exercise
control, to the extent possible, over their own economic,social and cultural development. In addition, they
shall participate in the formulation, implementation and evaluation of plans and programmes for national
and regional development which may affect them directly.”

410

boleh disingkirkan dari tanah yang mereka duduki.214 Namun ironisnya hingga kini
Indonesia belum juga melakukan ratifikasi terhadap instrumen internasional ini.

Pengakuan eksistensi dari masyarakat hukum adat memasuki tahapan selanjutnya
pada tahun 2007 dengan hadirnya United Nations Declaration on the Rights of
Indigenous Peoples (UNDRIP). Setelah melalui proses selama 30 (tiga puluh) tahun
dalam sidang – sidang Perserikatan Bangsa Bangsa, tepat pada 13 Desember 2007
akhirnya instrumen pengakuan masyarakat hukum adat ini memperoleh legalitas dalam
sebuah instrumen tersendiri.215 UNDRIP sendiri merupakan tindak lanjut dari ILO 169
dengan memberikan penekanan pada adanya pemahaman serta pemberian informasi
kepada masyarakat hukum adat dengan merujuk pada konsep Free Prior Inform Consent
(FPIC) terhadap kegiatan di tanah yang mereka miliki.216 Walaupun keberadaan dari
UNDRIP tidak memiliki kekuatan mengikat, namun paling tidak keberadaannya sudah
menunjukkan adanya kesepakatan dari masyarakat internasional untuk memberikan hak
…………

214 Lihat perumusan Pasal 14 ayat (1) Konvensi ILO 169 yang menyatakan bahwa “The rights of
ownership and possession of the peoples concerned over the lands which they traditionally occupy shall
be recognised. In addition, measures shall be taken in appropriate cases to safeguard the right of the
peoples concerned to use lands not exclusively occupied by them, but to which they have traditionally had
access for their subsistence and traditional activities. Particular attention shall be paid to the situation of
nomadic peoples and shifting cultivators in this respect.” Lihat pula perumusan Pasal 16 ayat (1) yang
menyatakan “Subject to the following paragraphs of this Article, the peoples concerned shall not be
removed from the lands which they occupy.”

215 Lihat sejarah pembentukan United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples
(UNDRIP) yang terdapat dalam situs http://untreaty.un.org/cod/avl/ha/ga_61-295/ga_61-295.html diakses
pada tanggal 1 Maret 2013.

216 Lihat perumusan Pasal 26 ayat (1) UNDRIP yang menyatakan bahwa “Indigenous peoples
have the right to the lands, territories and resources which they have traditionally owned, occupied or
otherwise used or acquired.”. Lihat pula Kathleen Lawlor & David Huberman, Loc. Cit., hlm. 277.

411

mengatur diri sendiri kepada entitas masyarakat hukum adat.217 Hal ini paling tidak

dapat dilihat dari besarnya atensi dari negara – negara yang memberikan dukungan

kepada Perserikatan Bangsa Bangsa untuk menyetujui UNDRIP yaitu sebanyak 144

(seratus empat puluh empat) negara sedangkan yang menolak hanya 4 (empat) yaitu
Kanada, Selandia Baru, Australia dan Amerika Serikat.218

Khusus dalam regulasi terkait pengakuan masyarakat adat dalam isu perubahan

iklim pada umumnya serta isu REDD pada khususnya sudah dimulai pada saat diadakan

pertemuan Conference Of the Parties (COP) 13 di Bali. Walaupun tidak tegas mengakui

seperti dalam dokumen ILO 169 maupun UNDRIP, namun dalam hasil Bali Action Plan

(BAPA) secara nyata diakui bahwa masyarakat adat harus dipertimbangkan pada saat
penyelenggaraan program REDD di negara – negara berkembang.219

Tonggak selanjutnya isu masyarakat hukum adat dalam skema REDD kembali

dibicarakan pada saat diselenggarakan COP 15 di Kopenhagen. Dalam dokumen hasil

dari pertemuan di Kopenhagen baik hasil dari Subsidiary Body for Scientific and

Technological Advice (SBSTA) maupun Ad Hoc Working Group on Long-Term

Cooperation (AWG-LCA) memasukkan isu masyarakat adat. Sebagaimana tertuang

217 Hal ini sejalan dengan ungkapan Melissa Farris bahwa “Although UNDRIP does not constitute
binding international law, it provides evidence of a worldwide consensus on indigenous peoples' right to
self-determination, which could be persuasive in climate justice claims.”. Lihat dalam Melissa Farris.,
“The Sound of Falling Trees: Integrating Environmental Justice Principles Into The Climate Change
Framework for Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD)”., Fordham
Environmental Law Review., Vol 20., 2010., hlm. 532.

218 Lihat dalam UNDRIP Adopted by the General Assembly, United Nations Permanent Forum
on Indigenous Issues terdapat dalam situs http://www.un.org/esa/socdev/unpfii/en/declaration.html diakses
pada tanggal 15 Maret 2013.

219 Dalam hasil Dokumen Bali Action Plan bagian Menimbang dari Decision 2/CP.13 Reducing
emissions from deforestation in developing countries : approaches to stimulate action dinyatakan bahwa
“that the needs of local and indigenous communities should be addressed when action is taken to reduce
emissions from deforestation and forest degradation in developing countries”

412

dalam Methodological Guidance for Activities Related to REDD sebagai hasil
Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) sudah mulai
mengakui keterlibatan secara efektif dan utuh dari masyarakat adat serta komunitas lokal
dalam rangka memberikan pemahaman mereka terkait proses pengawasan dan
pelaporan.220 Walaupun tidak secara eksplisit namun hal ini dapat dimaknai sebagai
bentuk pengakuan terhadap hak – hak masyarakat adat di wilayah pelaksanaan REDD
itu sendiri. Sedangkan dalam pembahasan Ad Hoc Working Group on Long-Term
Cooperation (AWG-LCA) yang tertuang dalam instrumen Policy Approaches and
Positive Incentives relating to REDD menekankan kepada partisipasi aktif dari
masyarakat lokal serta khususnya masyarakat adat di kawasan proyek REDD. Dikatakan
secara eksplisit dalam paragraf 2 (c) bahwa keberadaan dari masyarakat adat harus
diakui dan diperlakukan sebagaimana diatur dalam ketentuan UNDRIP.221 Bahkan
secara lebih jelas dituangkan dalam perumusan selanjutnya dalam paragraf 2 (d) dan 2
(e) bahwa perlu adanya partisipasi aktif dari masyarakat adat dalam usaha mitigasi serta
……….

220 Dalam dokumen yang tertuang dalam Methodological Guidance for Activities Related to
REDD dikatakan bahwa “need for full and effective engagement of indigenous peoples and local
communities in, and potential contribution of their knowledge to, monitoring and reporting activities”.
Lihat dalam SBSTA draft decision on Methodological Guidance for Activities Related to REDD
FCCC/SBSTA/2009/L.19/Add.1

221 Dalam dokumen Policy Approaches and Positive Incentives relating to REDD dikatakan
bahwa “respect for the knowledge and rights of indigenous peoples and members of local communities, by
taking into account relevant international obligations, national circumstances and laws, and noting that
the General Assembly has adopted the UNDRIP” . Lihat dalam Ad Hoc Working Group on Long-Term
Cooperation (AWG-LCA) FCCC/AWG-LCA/2009/L.19/Add.1

413

adanya jaminan berupa kehadiran safeguards untuk memastikan pembagian keuntungan
ekonomis dan ekologis bagi masyarakat lokal.222

Hal ini berlanjut saat berlangsungnya COP 16 di Cancun dengan COP
menghasilkan keputusan COP FCCC/CP/2010/7/Add.1 yang antara lain memberikan
sejumlah rekomendasi ke negara-negara berkembang agar mengadopsi panduan
pengaman (safeguard) untuk melindungi hak masyarakat adat dan masyarakat lokal.
Dalam Paragraf 70, menyebutkan bahwa negara-negara berkembang diminta untuk
mengembangkan sebuah sistem untuk memberikan informasi mengenai keberadaan
safeguard dalam pelaksanaan kegiatan REDD sambil menghormati kedaulatan.

Terkait dengan partisipasi masyarakat adat dan komunitas lokal, paragraf 72
Cancun Agreement menyebut: Negara berkembang diminta, agar ketika mereka
mengembangkan dan menerapkan strategi nasional atau rencana tindakan, untuk
mengatasi, antara lain, pemicu deforestasi dan degradasi hutan, isu kepemilikan lahan,
masalah tata-kelola hutan, pertimbangan gender dan safeguard sebagaimana
diidentifikasi dalam paragraf 2 lampiran I keputusan ini, negara berkembang perlu
memastikan partisipasi penuh dan efektif pemangku kepentingan yang relevan, secara
khusus masyarakat adat dan komunitas lokal.

Selanjutnya, untuk mendukung paragraf 70, Lampiran I ayat 2 menyebutkan
sejumlah safeguard yang harus dipromosikan dan didukung, antara lain: Menghormati
pengetahuan dan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, dengan memperhatikan

222 Dikatakan bahwa “full and effective participation of relevant stakeholders, including in
particular indigenous peoples and local communities” dan “[the need for taking into account sustainable
livelihoods of indigenous peoples and local communities and their interdependence on forests in most
countries, reflected in the UNDRIP…]”. Lihat dalam Ibid.

414

kewajiban internasional terkait dan mengingat bahwa Majelis Umum PBB telah
mengadopsi Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat Masyarakat.

Dalam konteks Indonesia hal ini menjadi sangat relevan untuk dibicarakan,
terlebih dengan karakteristik hukum positif yang masih meragukan eksistensi
masyarakat hukum adat. Hal ini menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
dikatakan dalam konteks REDD tidak akan dapat dilaksanakan dan mustahil
dilaksanakan di Indonesia, selama tidak ada undang-undang yang mengatur
perlindungan masyarakat adat. Hal ini juga diperburuk selama terus berlakunya
paradigma lama bahwa upaya konservasi oleh negara dapat dilakukan tanpa adanya
pengakuan terhadap kelompok – kelompok masyarakat yang telah turun temurun tinggal
di wilayah hutan tersebut.223

AMAN Sebagai kumpulan dari 1.696 komunitas masyarakat adat dari seluruh
Indonesia, AMAN dalam pernyataan resminya menyampaikan bahwa AMAN akan
mendukung REDD dalam skema mitigasi mengatasi dampak perubahan iklim, jika
terdapat syarat-syarat yang menyertainya, yaitu224 :

1. Kepastian hak kepemilikan dan pengelolaan wilayah adat
2. Pengetahuan dan kearifan tradisional sebagai alternatif solusi
3. Komunitas masyarakat adat yang solid dan memiliki kapasitas

keorganisasian.

223 Lihat dalam Aliansi Masyarakat Hukum Adat., Satu yang Kami Tuntut : Pengakuan., AMAN,
2013., hlm. 7.

224 Lihat pernyataan Abdon Nababan dalam pernyataan resmi AMAN sebagaimana tertuang
dalam “Mengapa Kelompok Masyarakat Adat Menolak REDD dan Konsep Green Economy?” terdapat
dalam situs http://www.mongabay.co.id/2012/06/23/editorial-mengapa-kelompok-masyarakat-adat-
menolak-redd-dan-konsep-green-economy/ diakses pada tanggal 12 Maret 2013.

415

Hal ini dapat dimengerti pada saat kehadiran hutan bagi masyarakat adat tidak
hanya sebagai penyerap karbon semata, namun justru menjadi urat nadi kehidupan sehari
– hari masyarakat seperti sumber makanan, obat hingga kayu yang menjadi bahan bakar
utama.225 Wawancara penulis dengan peneliti di Kalimantan serta Sulawesi
mengemukakan bahwa serangkai mekanisme mulai dari keterlibatan dari masyarakat
adat hingga ketersediaan instrumen Free Prior Inform Consent hanya berada pada
tataran pengguguran kewajiban semata tanpa adanya pemaknaan secara substansial dari
masyarakat adat. Meskipun telah terdapat definisi tentang masyarakat hukum adat,
namun demikian, hingga saat ini Pemerintah Indonesia belum memiliki kebijakan yang
menyeluruh terkait dengan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di
Indonesia.226

Pada awalnya, salah satu penyebab lemahnya posisi tawar dari masyarakat
hukum adat bahkan sudah dimulai pada tataran legislasi itu sendiri. Konsep yang
diusung pada awalnya dalam Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
khususnya ketentuan Pasal 1 Butir 6 ditentukan secara restriktif bahwa hutan adat adalah
merupakan hutan negara, sehingga dengan demikian status penguasaannya berada di
bawah hukum negara. Inilah yang kemudian menjadi akar permasalahan, bahwa selama
keberadaannya tidak diakui maka kelompok masyarakat adat akan tersingkirkan dari
wilayah teritorinya karena tidak memiliki kekuatan hukum yang disahkan oleh negara.
Hal ini yang kemudian mengakibatkan terjadinya perbedaan cara pandang terhadap

225 Lihat Kathleen Lawlor & David Huberman, “Reduced Emissions from Deforestation and
Forest Degradation (REDD) and Human Rights” dalam Jessica Campese et al., Rights Based Approaches:
Exploring Issues and Opportunities for Conservation., 2009., hlm. 271.

226 Penulis melakukan wawancara dengan Mumu Muhajir dari Epsitema Institut terkait dengan
isu keterwakilan masyarakat adat dalam isu REDD pada 12 Desember 2012.

416

konsep masyarakat adat antara Pemerintah dengan masyarakat adat sebagaimana terlihat
dalam tabel di bawah ini.

TABEL IV.12
Perbandingan Konsep Masyarakat Adat Menurut

Pemerintah dan Masyarakat Adat

PEMERINTAH PEMAHAMAN OLEH
MASYARAKAT ADAT
Ciri Masyarakat Adat menurut Pemahaman Oleh Pemerintah
Undang Undang Kehutanan Hukum Adat bisa berupa aturan
lisan yang diingat sepanjang
Terikat dan patuh pada satu Keterikatan dalam bentuk hukum generasi.
hukum adat tertentu tertulis yang dipatuhi dalam
kehidupan seharian.

Terdapat Lembaga Adat Struktur Lembaga Struktur lembaga informal tetapi

Formal/informal yang jelas dan dipatuhi dan menjadi bagian dari

diwujudkan dalam bentuk balai kehidupan menyeluruh

adat atau yang lainnya masyarakat adat.

Wilayah hukum adat yang Belum ada kejelasan konsep Batas dipahami oleh masyarakat
jelas batasnya batas dari wilayah hukum adat. adat yang biasanya menggunakan

batas alam

Masih mengadakan Konsep “pemungutan hasil Konsep yang dimiliki masyarakat
pemungutan hasil hutan di hutan” untuk masyarakat adat adat adalah pengelolaan. Hutan
wilayah hutan dan sekitarnya belum jelas karena yang ada menjadi “Bank” yang akan
untuk memenuhi kebutuhan adalah pemungutan hasil hutan diambil bisa dibutuhkan.
hidup sehari-hari untuk usaha kehutanan

Sumber : Lokakarya Nasional Kesepahaman Hutan Adat dalam Kawasan Hutan Negara, Jakarta 5-6
Desember 2001.

Gambaran yang tidak jauh berbeda hadir pula dalam 3 (tiga) Peraturan Menteri
terkait dengan REDD sebagaimana disebutkan di atas. Dalam Permenhut P. 68/Menhut-
II/2008 tentang Demonstration Activities (DA) Pengurangan Emisi Karbon dari
Deforestasi dan Degradasi Hutan. Permenhut ini sama sekali tidak mencantumkan
bentuk perlindungan yang akan dilakukan oleh pemerintah terhadap hak/kepentingan
masyarakat yang berada di daerah lokasi DA REDD. Dalam proposal DA REDD yang
diajukan oleh pemrakarsa, tidak ada persyaratan yang secara jelas dan kuat mewajibkan

417

pengelola untuk menghormati hak/kepentingan masyarakat adat/lokal. Tidak ada
kewajiban untuk memasukkan dalam proposal itu persetujuan tertulis masyarakat atau
dalam derajat yang lebih rendah, hasil konsultasi dengan masyarakat sekitar lokasi.227
Nampaknya permenhut ini berjalan di keyakinan bahwa lahan hutan yang akan dijadikan
lokasi REDD merupakan lahan dalam status clean and clear. Tidak ada persyaratan
untuk memperlihatkan status hukum kawasan yang diajukan oleh para pemrakarsa.

Ketidakjelasan dari posisi masyarakat dalam proses penyusunan proposal DA
REDD itu sendiri membuat posisi masyarakat dalam DA REDD sendiri menjadi tidak
jelas. Jika saja memang masyarakat mendapatkan alokasi pembagian keuntungan, hal itu
menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai hak dan kewajiban tertentu yang harus
dilakukan agar mendapatkan pembagian pendapatan. Sayangnya dalam Permenhut ini,
posisi masyarakat hanya sebagai pihak penerima dampak.

Sedangkan dalam Permenhut P. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara
Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) memperjelas
ketentuan yang diatur dalam Permenhut P68/2008, terutama dalam hal subyek pemohon,
tata cara permohonan, penilaian dan persetujuan proyek, hak dan kewajiban, penetapan
referensi emisi, pemantauan dan pelaporan, verifikasi dan sertifikasi, serta distribusi
insentif dan liabilitas. Memang dapat dikatakan dalam Permenhut ini terjadi eskalasi
pengakuan eksistensi masyarakat adat yang tidak lagi menjadi obyek namun juga dapat

227 Lihat perumusan Pasal 5 ayat (6) Permenhut P. 68/Menhut-II/2008 tentang Demonstration
Activities (DA) Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan yang menyatakan
bahwa persyaratan yang harus dipenuhi terdiri dari a. penetapan areal dan luasan demonstration activities
berikut peta yang menunjukkan batas lokasi kegiatan. b. jangka waktu kegiatan paling lama 5 tahun. c.
ketentuan yang berkaitan dengan resiko, dan distribusi alokasi pendapatan.

418

menjadi subyek.228 Hanya saja, persyaratan yang dibebankan kepada masyarakat adat
selaku pemilik hak itu hampir sama dengan yang dibebankan kepada pihak lain yang
notabene secara finansial dan kelembagaan jauh lebih kuat. Pada titik ini pemerintah
sebenarnya bisa mengatur soal peningkatan kapasitas atau bentuk lain bantuan pada
pihak masyarakat tersebut.

Partisipasi masyarakat adat/lokal dalam proses penyusunan proposal maupun
persetujuan proyek REDD yang dilakukan oleh pihak ketiga sama sekali tidak
disinggung dalam peraturan ini. Sehingga dapat dikatakan proyek REDD ini dapat
berjalan tanpa harus mengikutsertakan persetujuan dari masyarakat sekitar proyek.

Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam kriteria pemilihan lokasi adalah
aspek sosial, ekonomi dan budaya dimana perinciannya berupa ketergantungan
masyarakat terhadap lokasi; ada/tidaknya konflik; keterlibatan para pihak dalam
pengelolaan hutan, dan kejelasan tentang dimensi pengentasan kemiskinan. Dari kriteria
pemilihan lokasi itu, tidak ada yang mengarah pada bahwa pemrakarsa harus melakukan
konsultasi serta permintaan izin kepada masyarakat sekitar lokasi.

Kondisi tidak jauh berbeda hadir dari Permenhut P. 36/Menhut-II/2009 tentang
Tatacara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada
Hutan Produksi dan Hutan Lindung. Terkait pemenuhan/perlindungan hak atau
kepentingan masyarakat adat/lokal, Permenhut ini tidak jauh berbeda dengan 2 (dua)

228 Lihat perumusan Pasal 4 ayat (2) Permenhut P. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara
Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) yang menyatakan bahwa (2) Pelaku
dari Entitas Nasional terdiri dari: a. Pemegang IUPHHK-HA. b. Pemegang IUPHHK-HT. c. Pemegang
IUPHH-HKM. d. Pemegang IUPHHK-HTR. e. Pemegang IUPHHK-RE. f. Kepala KPHP. g. Kepala
KPHL. h. Kepala KPHK. i. Kepala Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumberdaya Alam atau Kepala Unit
Pelaksana Teknis Taman Nasional j. Pengelola Hutan Adat. k. Pemilik atau Pengelola Hutan Hak. l.
Pengelola Hutan Desa.

419

Permenhut sebelumnya. Tidak ada persyaratan yang mewajibkan pemrakarsa IUP
PAN/RAN Karbon terlebih dahulu melakukan konsultasi atau meminta persetujuan dari
masyarakat adat/lokal yang berada di sekitar wilayah proyek.

Kondisi yang dijelaskan berdasarkan 3 (tiga) peraturan menteri di atas
senyatanya sangat mengkhawatirkan. Perlindungan negara pada hak atas hutan/lahan
yang dimiliki oleh masyarakat adat/lokal sudah demikian terdegradasi. Meskipun hutan
adat diakui adanya, namun pengakuan negara atas masyarakat adat sulit didapatkan
karena adanya persyaratan berupa (i) sistem adatnya masih ada dan (ii) penerapannya
konsisten dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.229

Namun pada sisi lain pengakuan negara atas masyarakat adat itu menjadi syarat
penting untuk mendapatkan hak pengelolaan hutan adat. Sementara masyarakat lokal
yang mencoba menggugat sengketa lahan/hutan dihadapkan pada ketiadaan syarat
formal berupa sertifikat tanah yang seharusnya bisa mereka dapatkan jika sistem
pendaftaran tanahnya berlangsung dengan adil dan transparan. Menariknya pengakuan
terhadap masyarakat hukum adat dalam rezim REDD hadir dalam dimensi top down
approach. Dalam sistem hukum nasional sendiri sebelum dikenal adanya mekanisme
REDD dapat dikatakan tidak terdengar perjuangan pengakuan masyarakat hukum adat.

Terkait dengan REDD, Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) menggarisbawahi bahwa REDD tidak akan dapat dilaksanakan dan
mustahil dilaksanakan di Indonesia, selama tidak ada undang-undang yang mengatur
perlindungan masyarakat adat, serta selama terus berlakunya paradigma lama bahwa

229 Lihat Pasal 4 ayat (3) Undang Undang Nomor 41 Tahun 199 tentang kehutanan yang
menyatakan bahwa “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional.”

420

upaya konservasi oleh negara dapat dilakukan tanpa perlu adanya pengakuan terhadap
kelompok-kelompok masyarakat yang telah meregenerasi tinggal di wilayah hutan
tersebut.230 Hal ini menjadi sangat bertolak belakang dengan yang diungkapkan oleh
Abdon Nababan pada saat membuat surat pernyataan untuk meyakinkan Pemerintah
Kerjaan Norwegia yang menyatakan bahwa serangkaian regulasi hukum yang ada
selama ini baik dalam Undang Undang Dasar, Undang Undang Pemerintahan Daerah,
Undang Undang Hak Asasi Manusia, Undang Undang Otonomi Khusus Bagi Propinsi
Papua, Undang Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, Undang
Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun political will dari
Pemerintah telah menunjukkan keseriusan untuk pengakuan masyarakat hukum adat.231

Pengakuan eksistensi dari masyarakat adat ini pun dapat dilihat dari relatif
sedikitnya pendapatan yang diterima masyarakat adat terkait dengan proyek penyerapan
karbon berbasis REDD di Indonesia. Mekanisme benefit sharing ini didasarkan atas
Undang Undang Kehutanan Indonesia tahun 1999, yang gagal mengakui kepemilikan
adat atas hutan dalam hutan negara, suatu areal yang mencakup hingga sekitar 70% total
areal lahan di Indonesia. Alih-alih, peraturan mengenai REDD dimaksudkan untuk
memastikan bahwa pemerintah pusat tetap secara kuat mengendalikan pengaturan untuk
REDD serta pendapatan yang diperoleh dari REDD, hal tersebut dapat kita lihat dalam
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 36 Tahun 2009 tentang pembagian pendapatan
REDD.

230 Lihat dalam situs http://www.antaranews.com/berita/318305/aman-kalteng-dorong-
pengakuan-hak-masyarakat-adat diakses pada tanggal 25 November 2012.

231 Lihat Surat Pernyataan Resmi Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Perihal
Masukan untuk Program Nasional Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan
(REDD) dan Pengembangan Ekonomi Rendah Karbon di Indonesia., Paragraf 4,5,6.

421

TABEL IV.13
Pembagian Pendapatan Proyek Hutan Menurut Permenhut Nomor 36 Tahun 2009

No. Pemegang Izin / Pemerintah Masyarakat Pengembang
20% 60%
Pengembang jenis hutan
20% 60%
1 IUPHHK-HA 20%
20% 60%
(Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
50% 30%
Hutan Kayu dalam Hutan Alam)
70% 20%
2 IUPHHK-HT 20% 50% 30%
70% 20%
(Izin Usaha Pemanfaatan Hasil 50% 30%
20% 50%
Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman) 20% 30%
20% 30%
3 IUPHHK-RE 20%

(Izin Usaha Pemanfaatan Hasil

Hutan Kayu untuk Restorasi

Ekosistem dalam hutan alam)

4 IUPHHK-HTR (Izin Usaha 20%

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

dalam Hutan Tanaman Rakyat)

5 Hutan Rakyat 10%

6 Hutan Kemasyarakatan

7 Hutan Adat 10%

8 Hutan Desa 20%

9 KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) 30%

10 KHDTK (Kawasan Hutan dengan 50%

Tujuan Khusus)

11 Hutan Lindung 50%

Sumber : Lampiran Permenhut No. 36 Tahun 2009.

Selain pengaruh dari lemahnya eksistensi masyarakat hukum adat yang tercermin
dalam Permenhut Nomor 36 Tahun 2009, mekanisme pembagian keuntungan
berdasarkan Permenhut Nomor 36 Tahun 2009 juga memiliki kerawanan yang sangat
jelas dalam konteks struktur keuangan pemerintahan pusat dan daerah.232 Secara
institusional, Kementerian Kehutanan tidak dapat membuat sebuah regulasi terkait
dengan pembagian keuangan pusat dan daerah secara mandiri, terlebih dengan hanya

232 Lihat dalam pembahasan Syarif, terkait isu Pembagian Keuntungan (Benefit Sharing) yang
telah ditolak oleh Kementerian Keuangan. Laode Syarif., Loc. Cit., hlm.17.

422

bersandar pada tataran Peraturan Menteri Kehutanan. Dalam konteks ini pelibatan dari
Kementerian Keuangan menjadi penting sebagai otoritas pengatur keuangan di
Indonesia. Secara umum paling tidak terdapat 2 (dua) kecacatan hukum yang terlihat
dalam skema pembagian keuntungan REDD+ dengan dasar Permenhut ini.

Pertama, dalam konstruksi hubungan pusat dan daerah yang hadir di Indonesia
rezim otonomi daerah telah memberikan payung hukum sebuah rezim tersendiri di
dalamnya sehingga seharusnya pengaturan pembagian keuntungan dari proyek hutan
tunduk atau paling tidak melibatkan rezim tersebut secara hierarki. Dalam sistem hukum
Indonesia, rezim otonomi daerah telah ditentukan secara konstitusional bahwa daerah
dapat melakukan pengaturan sepanjang telah dikecualikan oleh pemerintah pusat.233
Turunan dari amanat konstitusi ini kemudian dijabarkan dalam Undang Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan Undang
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam legislasi ini
ditentukan bahwa pemerintah pusat memiliki otoritas penuh terhadap 6 (enam) hal yaitu
Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal Nasional serta
Agama. Sedangkan khusus terkait dengan perihal keuangan telah diatur pula dalam
Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Sehingga secara hierarki sangat tidak logis
jika Peraturan Menteri Kehutanan dengan mengusung pola tersendiri di luar rezim
otonomi daerah dapat mengalahkan Undang Undang yang berada dalam posisi lebih
tinggi sehingga dari segi instrumen hukum yang dipilih telah cacat.

233 Lihat perumusan Pasal 18 ayat (5) Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa
“Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.”

423

Kedua, pembagian keuntungan yang di dapat dari proyek REDD+ dengan
merujuk pada konsep Permenhut Nomor 36 Tahun 2009 dapat dikatakan tidak
menyentuh nilai keadilan baik secara hukum maupun secara ekonomis. Mekanisme
dalam Permenhut Nomor 36 Tahun 2009 yang menentukan secara mutlak porsi
Pemerintah Pusat 40%, Pemerintah Provinsi 20% dan Pemerintah Kabupaten 40% bagi
semua daerah, dapat dikatakan tidak berdasar atas kajian hukum dan keadilan yang kuat.
Hal ini dilatarbelakangi karena setiap daerah tentu memiliki karakteristik dan kondisi
lingkungan alam dan lingkungan sosial yang berbeda sehingga tidak dapat diberlakukan
sama. Selain itu, absence-nya peran dari Kementerian Keuangan dalam skema ini terkait
perumusan pembagian porsi keuangan antara pusat dan daerah menjadi rentan terhadap
praktek yang tidak tepat dengan rezim perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Pengaturan dalam Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa
perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai salah satu bentuk konsekuensi logis
dari kewenangan pusat dan daerah secara utuh tidak dapat dilakukan oleh kementerian
sektoral semata namun harus koordinasi dengan Kementerian Keuangan selaku otoritas
lembaga pengatur keuangan di Indonesia.234

234 Lihat Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia jo Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan yang
menetapkan bahwa fungsi dari Kementerian Keuangan meliputi a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan
kebijakan di bidang keuangan dan kekayaan negara; b. pengelolaan Barang Milik/Kekayaan Negara yang
menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan; c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan
Kementerian Keuangan; d. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan
Kementerian Keuangan di daerah; e. pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional; dan f.
pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.

424

Dalam konteks pembagian keuntungan dari proyek REDD+ di Indonesia, salah
satu mekanisme yang dapat menjadi usulan terkait pembagian porsi keuangan ini adalah
merujuk pada pola distribusi insentif berbasis kinerja penurunan emisi yang dicapai.
Mekanisme ini akan berjalan dengan konsep pemaknaan insentif REDD+ sebagai suatu
bentuk imbal jasa atas transaksi penurunan emisi dari sektor kehutanan yang dilakukan
oleh Indonesia. Oleh karena itu, dari nilai transaksi atas proyek REDD+ ini Pemerintah
mempunyai hak untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Untuk kemudian sisa
dari pemotongan PPN ini akan didistribusikan kepada Kelompok Kerja baik pada tingkat
pusat, provinsi, maupun kabupaten kota dengan mengedepankan variabel kepemilikan
lahan, kegiatan pengelolaan hutan, dan keterlibatan pihak – pihak yang terkait sehingga
dapat lebih transparan, proporsional dan berkeadilan bagi pihak yang terkait. model
seperti ini dapat dimasukkan dalam rancangan Peraturan Presiden terkait REDD+ di
Indonesia

Kondisi buruknya pembagian keuntungan di atas ternyata juga berbanding lurus
dengan lemahnya pelaksanaan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat itu sendiri.
Hal tersebut sesuai dengan yang diramalkan oleh Senator Australia Christine Milne yang
menyatakan bahwa proyek REDD yang dibiayai oleh Australia di Kalimantan sebagai
…………..

425

sebuah kegagalan total, bahkan masyarakat di tingkat lokal pun kini mulai kesal dengan
program yang dinilai tidak jelas.235

Langkah progresif diambil oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor
No. 35/PUU-X/2012 dengan menyatakan bahwa hutan adat tidak lagi dianggap bagian
dari hutan negara. Terhitung mulai dari tanggal 16 Mei 2013 maka Hutan Adat bukan
lagi termasuk dalam wilayah hutan negara. Bersamaan dengan keputusan ini pula,
terminologi ‘negara’ dalam Pasal 1 angka 6 itu tidak memiliki kekuatan hukum dan
berubah menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat
hukum adat”. Putusan dari Mahkamah Konstitusi ini dapat dikatakan sebagai sebuah
langkah besar dan mendasar bagi keterlibatan masyarakat adat dalam rangka
memperjuangkan hak – hak atributif yang dimiliki masyarakat adat.

Hal ini menjadi sangat penting pada saat legislasi ini kerap menjadi dasar
pelemah eksistensi dari masyarakat adat dalam berbagai bentuk pengelolaan dan
keikutsertaan pada mekanisme pengambilan kebijakan terkait dengan sumber daya
hutan. Kini dengan hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi berita baik telah berhembus
dengan harapan mampu menaikkan posisi tawar dari masyarakat adat dalam pengelolaan
hutan pada umumnya dan dalam skema REDD+ pada khususnya. Namun kemenangan

235 Dikatakan oleh Milne dalam kesempatan wawancara bahwa “I will switch to another question
in relation to the international climate work. I go to the Kalimantan Forests and Climate Partnership. I
asked a series of questions on notice about that at the last estimates. The answers show that about one-
third of the $100 million has been spent and only 1,000 hectares has been replanted. I come to the
Kalimantan project. It really is quite a serious issue here because this project has been a total failure
compared with what was claimed for it and what has actually happened. The facts sheet said that the
initial work was to avoid deforestation of 50,000 hectares and rehabilitate an additional 50,000 hectares
of degraded peat land. As I said, the answer you gave me showed you spent about one-third of the $100
million and replanted just under 1,000 hectares. So it is a total failure, in other words.” Lihat dalam
http://www.redd-monitor.org/2012/06/04/this-project-has-been-a-total-failure-says-australian-senator-
christine-milne-about-the-kalimantan-forests-and-climate-partnership/ diakses pada tanggal 1 Januari
2013.

426

dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) selaku pihak pemohon juga mutlak
ditindaklanjuti melalui beberapa langkah penting sebagai berikut.

Pertama, pada saat warga negara menempuh jalur Mahkamah Konstitusi guna
mempertahankan Hak Konstitusional maka perlu diingat hal ini menyentuh perubahan
hukum pada tataran hilir. Hal ini bermakna bahwa hadirnya Undang Undang yang
sejatinya merupakan produk Legislatif dan Eksekutif menjadi diubah secara mendasar
dengan hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi yang menganulir atau melakukan
pemaknaan baru terhadap produk hukum yang diuji pada saat inisiatifnya justru berada
bukan pada lembaga legislatif dan eksekutif selaku perumus Undang Undang. Hal ini
berarti pula bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki keterbatasan untuk melakukan
penyesuaian regulasi pada tataran internal pada ranah eksekutif terkait dengan putusan
mahkamah terkait dengan produk undang undang yang diuji. Dalam mekanisme ini
sangat mungkin pihak eksekutif dan legislatif memiliki ketidaksinambungan cara fikir
dan logika dalam konteks sebuah undang – undang yang dihasilkan melalui proses
sengketa di Mahkamah Konstitusi. Kerberlakuan dari Undang Undang Kehutanan yang
telah ada semenjak tahun 1999 hingga 2013 tentu telah diturunkan dalam berbagai
bentuk regulasi terkait baik dalam bidang kehutanan maupun bidang lain. Tentu putusan
ini akan mempengaruhi pola pikir dari pelaksana pemerintahan (eksekutif) pada saat
seluruh regulasi terkait merujuk pada Undang Undang Kehutanan dengan konsep hutan
adat yang merupakan hutan negara telah berubah. Hal ini berarti wajib terjadi
penyesuaian pula dengan sederetan produk pelaksana dari Undang Undang Kehutanan
mulai dari tingkat Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri bahkan ke tataran Peraturan
Daerah yang telah merujuk pada konsep hutan negara adalah hutan adat.

427

Selanjutnya, secara instan memang kehadiran Mahkamah Konstitusi memiliki
daya tarik sendiri untuk dapat melakukan Judicial Review terhadap produk undang –
undang tanpa harus menjalani proses panjang di lembaga legislatif dan eksekutif. Proses
ini menjadi sangat menguntungkan saat kita perlu sebuah gerakan yang berbasis filosofis
dan langkah progresif dari para negarawan yang menduduki posisi sebagai hakim
konstitusi. Namun pada saat tujuan yang hendak dicapai adalah perubahan terkait
kualitas dan cara pandang yang permanen dari para legislator dan pelaksana peraturan,
maka mekanisme ini akan berjalan mundur. Hal ini menjadi sebuah awal dari solusi
jangka pendek semata dengan tidak mengindahkan peningkatan kualitas pada perumus
undang undang itu sendiri, sedangkan dalam kaitannya dengan politik hukum substansi
terpenting adalah perbaikan pada tataran kualitas pemahaman dan kesadaran hukum
sumber daya manusia perumus produk hukum tidak tercapai. Kondisi ini tentu seiring
adanya perubahan Undang Undang Kehutanan terkait dengan konsep Hutan Adat tentu
perlu melakukan diseminasi secara masif guna mengarahkan pola pikir dari para
legislator dan pihak eksekutif selaku pelaksana Undang Undang Kehutanan pada
akhirnya guna menjadi instrumen penyesuaian yang hakiki.

Terakhir, pada saat dilakukan pengujian terhadap hutan adat maka sejatinya
terjadi validasi secara yuridis terhadap salah satu obyek dari masyarakat adat itu sendiri
di bidang kehutanan. Hal ini patut diapresiasi dengan tanpa harus melupakan banyaknya
obyek pada bidang lain yang perlu diakui pula penguasaan dan pemilikannya oleh
masyarakat adat. Bahkan secara sistematis penulis melihat adanya pembahasan dalam
rangka penguatan posisi tawar dari masyarakat adat sekarang ini begitu ramai
dibicarakan saat keberadaannya menjadi prasyarat dari pelaksanaan REDD+. Pola

428

penguatan seperti ini dengan mengusung Top Down Approach akan berada pada posisi
pengakuan secara prosedural semata guna mendapatkan legitimasi masyarakat
internasional semata. Hal ini menjadi ironis dan terkukung pada kondisi paradoksikal
pada saat pengakuan masyarakat adat sendiri sebenarnya telah ada dari lahirnya Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria. Hal ini
lah yang seharusnya menjadi dasar penguatan dengan model Bottom Up Approach
sehingga pengakuan dari masyarakat adat tidak semata – mata terjadi hanya karena
adanya pemenuhan prasyarat dari proyek REDD+ semata.

Keberadaan dari AMAN selaku pihak yang melakukan inisiasi sengketa Hutan
Adat di Mahkamah Konstitusi perlu diteruskan dengan melakukan konsep terima
bongkar terima pasang. Tindakan lebih lanjut yang patut dilakukan pasca hadirnya
putusan dari Mahkamah Konstitusi adalah menginventarisasi serangkaian legislasi dan
regulasi yang terkait dengan perubahan pemaknaan konsep Hutan Adat dalam putusan
Mahkamah Konstitusi. Hal ini untuk selanjutnya akan diderivasikan dalam langkah
sinkronisasi dan harmonisasi secara utuh dan menyeluruh terhadap produk hukum yang
telah dikumpulkan guna disuguhkan kepada pihak legislatif dan eksekutif seiring dengan
upaya perubahan pola pikir dan cara pandang terhadap hutan adat. Hal ini menjadi
mutlak dan penting untuk dilakukan saat pihak eksekutif dan legislatif justru memiliki
cara pandang yang berbeda dan tersesat dalam konsep hutan adat secara cacat logika dan
cacat hukum. Jauh lebih penting lagi hal ini merupakan bentuk pertanggungjawaban
secara ideologis dari para pihak guna menghadirkan konsep pengelolaan hutan adat
secara berkelanjutan.

429

4.3.2.3. Proyek - Proyek REDD di Indonesia : Belajar dari KFCP dan Sulawesi Tengah

Pelaksanaan Proyek REDD di Indonesia dapat dikatakan berlangsung secara

pesat terlebih dengan jumlah daerah hutan yang terus menerus turun sehingga
berbanding lurus dengan potensi penyimpanan karbon yang dapat diserap.236

TABEL IV.14
Perbandingan Jumlah Hutan dan Penyerapan Karbon

Tahun Jumlah Hutan Jumlah Karbon
(Juta Ton)
(Juta Hektar)
16335
1990 119 15182
14229
2000 99 13071

2005 98

2010 94

Sumber : CIFOR

Dalam catatan Departemen Kehutanan yang merujuk kepada data CIFOR saat ini

paling tidak terdapat 44 (empat puluh empat) proyek REDD yang berada di Indonesia

baik yang dilakukan dengan kerjasama pemerintah maupun swasta. Dalam disertasi ini

akan memfokuskan kepada 2 (dua) proyek REDD yaitu proyek REDD yang di adakan di

Kalimantan Tengah berdasarkan Proyek Kalimantan Forest and Climate Partnership

(KFCP) serta Proyek REDD yang berada di Sulawesi Tengah berdasarkan Kerjasama

Pemerintah Indonesia dengan UN-REDD (United Nations-Reducing Emissions from

Deforestation and Forest Degradation) yang merupakan program kolaboratif antara

UNDP, UNEP, dan FAO.

236 Dalam catatan dari CIFOR diketahui bahwa jumlah hutan di Indonesia dalam kurun waktu
1990 sampai dengan 2010 mengalami penurunan. Pada tahun 1990 jumlah hutan di Indonesia tercatat
sebanyak 119 Juta Hektar, lalu pada tahun 2000 menyentuh angka 99 Juta Hektar, pada tahun 2005 turun
ke angka 98 Juta Hektar dan terakhir di tahun 2010 berada pada titik 94 Juta Hektar.

430

Dalam prakteknya, paling tidak terdapat 3 (tiga) mekanisme besar yang
diharapkan dapat menjadi model pelaksanaan REDD.237

Pertama, mekanisme pendanaan berbasis pasar. Pendekatan berbasis pasar seperti
ini akan memberikan kesempatan kepada perusahaan – perusahaan yang berada di
negara maju untuk melakukan transaksi karbon dalam rangka mengurangi kewajiban
mereka di negara berkembang. Pendanaan yang dilakukan pada model ini akan
memberikan pembayaran kepada negara berkembang untuk mengurangi angka
kerusakan hutan secara bertahap dengan peran dari negara maju.238 Konstruksi seperti
ini sebenarnya sama dengan model yang ditawarkan dalam skema Clean Development
Mechanism yang memberikan peluang negara maju untuk dapat mendapatkan
keuntungan di negara berkembang serta dapat kembali ke negara mereka dengan
melakukan business as usual.239 Secara etika, konsep ini dipertanyakan kembali karena
dianggap akan melanggengkan konsep carbon colonialism yang dilakukan oleh negara –
negara maju.240

Kedua, mekanisme pendanaan berbasis non pasar. Pengusung dari ide ini
mayoritas di dominasi oleh lembaga non pemerintah dan perkumpulan masyarakat lokal
di beberapa negara. Dalam konsep ini negara – negara maju dalam mekanisme yang ada

237 Lihat Ross Andrew Clarke, “Moving the REDD Debate from Theory to Practice: Lessons
Learned from the ULU Masen Project”, Law Environmental and Development Journal, 2010., hlm.43.

238 Lihat T. Johns et al., “A Three-Fund Approach to Incorporating Government, Public and
Private Forest Stewards into a REDD Funding Mechanism”, International Forestry Review, 2010.,
hlm.458. Lihat pula Andrew Macintosh, “Can Money Grow on Trees? : Reducing Emissions from
Deforestation and Degradation (REDD) in Developing Countries”, Australia Council for International
Development, 2010., hlm.25.

239 Lihat Andrew Macintosh, Ibid., hlm. 15 .
240 Lihat W. Boyd, “Climate Change, Fragmentation and the Challenges of Global Environmental
Law : Elements of a Post – Copenhagen Assemblage” University of Pennsylvania Journal of International
Law, Vol. 32, 2010., hlm. 521.

431

dalam REDD sebagai bentuk bantuan dan penghargaan kepada negara – negara
berkembang yang memiliki jumlah hutan besar di dunia.241 Mekanisme pendanaan
seperti ini dirasakan merupakan bentuk yang paling aman dan memudahkan bagi
masyarakat lokal yang menghendaki hutan mereka tetap dilindungi. Namun,
kekhawatiran dari masyarakat lokal juga timbul dengan memiliki asumsi bahwa pada
saat tidak terdapat suatu mekanisme transaksi yang jelas maka payung hukum akan
menjadi lemah.242

Ketiga, mekanisme pendanaan dengan model hybrid. Model pendanaan ini
mencoba untuk melakukan kombinasi pendekatan berbasis pasar dan non pasar dalam
pelaksanaan REDD. Para pengusung dari model ini mengutarakan bahwa pendekatan
hybrid ini dapat memberikan keuntungan secara finansial namun juga memberikan
keuntungan bagi masyarakat sekitar.243

Di Indonesia sendiri proyek REDD sekarang ini memiliki berbagai bentuk skema
pendanaan. Dalam rilis yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan pada akhir tahun
2011 terdapat 12 peluang sumber pendanaan untuk proyek REDD di Indonesia dalam
usaha mitigasi perubahan iklim.

241 Lihat T. Johns et al., “A Three-Fund Approach to Incorporating Government, Public and
Private Forest Stewards into a REDD Funding Mechanism”, International Forestry Review, 2010., hlm.
460.

242 Lihat Andrew Macintosh, Op. Cit., hlm. 123.
243 Lihat Stephanie Baez, “The “Right” REDD Framework: National Laws That Best Protect
Indigenous Rights In A Global REDD Regime”, Fordham Law Review
November, 2011., hlm. 89. Lihat pula “Last Gasp for the Forest”, Economist, Sept. 24, 2009, hlm. 93-95.

432

TABEL IV.15
Sumber Pendanaan Perubahan Iklim 2007 – 2016

Sumber : Departemen Keuangan, 2011.
4.3.2.3.1. Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP)

The Kalimantan Forest and Climate Partnership (Kemitraan Hutan dan Iklim
Kalimantan atau KFCP) merupakan komponen dari Indonesia-Australia Forest Carbon
Partnership (Kemitraan Karbon Hutan Indonesia-Australia atau IAFCP) yang bertujuan
untuk memajukan usaha global untuk mengatasi perubahan iklim dan melindungi hutan
dunia dengan mengurangi deforestasi dan kerusakan hutan di negara-negara berkembang
dengan skema REDD. KFCP merupakan proyek percontohan besar pertama di bawah
inisiatif ini dan merupakan salah satu dari proyek percontohan REDD Pemerintah-ke-
Pemerintah pertama dimanapun di dunia.244

Tujuan utama dari KFCP yang akan dilaksanakan selama periode 2009 sampai
dengan 2012 sendiri adalah untuk menunjukkan sebuah pendekatan yang dapat
dipercaya, adil dan efektif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan

244 Lihat Surat Kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australian terkait
KFCP, alinea 1. Terdapat dalam situs
http://www.climatechange.gov.au/government/initiatives/international-forest-carbon-
initiative/~/media/publications/international/kalimantan.ashx diakses pada tanggal 12 Desember 2012.

433

kerusakan hutan, termasuk dari kerusakan lahan gambut, yang dapat menginformasikan
kesepakatan perubahan iklim pasca-2012 dan memungkinkan partisipasi Indonesia
dalam pasar karbon internasional di masa depan. Di antaranya, KFCP diharapkan untuk
mencapai empat hasil jangka menengah utama. Mereka adalah245 :

i. Hasil Jangka Menengah 1 – Keberhasilan dalam mengurangi deforestasi dan
kerusakan hutan rawa gambut melalui intervensi dalam pencegahan
kebakaran, restorasi hutan, penutupan kanal, dan pengembangan mata
pencaharian alternatif;

ii. Hasil Jangka Menengah 2 – Penangkapan pengetahuan yang efektif dan
komunikasi pengetahuan berdasarkan penelitian dan pemantauan kegiatan-
kegiatan proyek percontohan REDD baik dalam Indonesia dan secara
internasional;

iii. Hasil Jangka Menengah 3 - Pembentukan program pengukuran dan
pemantauan emisi gas rumah kaca KFCP serta penghubungan ini kepada
National Carbon Accounting System of Indonesia (Sistem Penghitungan
Karbon Nasional Indonesia atau NCASI); dan

iv. Hasil Jangka Menengah 4 – Demonstrasi mekanisme pembayaran gas rumah
kaca REDD yang praktis dan efektif.

Saat dilaksanakan KFCP dirancang dan dilaksanakan dalam area geografis dan di
bawah kerangka legal dan kelembagaan Instruksi Presiden (INPRES) No. 2 dari 2007
yang mencakup rehabilitasi, pelestarian dan pengembangan Eks-Proyek Pengembangan
Lahan Gambut (Ex Mega Rice Project - EMRP) di propinsi Kalimantan Tengah, yang

245 Lihat Kemitraan Hutan dan Iklim Kalimantan (KFCP), “Laporan Akhir Baseline Sosio-
Ekonomi KFCP”., Australian Agency for International Development, Jakarta. 2009., hlm. 7.

434

terletak pada pulau utama Kalimantan. Proyek PLG ini, yang diinisiasikan pada tahun
1990-an, dirancang untuk mengubah 1 juta hektar yang kebanyakan merupakan lahan
rawa gambut menjadi area untuk menumbuhkan tanaman pangan pokok, beras.246

Secara geografis, Provinsi Kalimantan Tengah (Kalimantan Tengah) merupakan
Provinsi terluas ketiga setelah Provinsi Papua dan Provinsi Kalimantan Timur dengan
luas wilayah 153.564 kilometer persegi. Dari luas wilayah itu, 69,9% diantaranya masih
berupa hutan (10.735.935 hektar). Data ini berdasar kepada hasil padu serasi antara
TGHK dengan RTRWP pada Oktober 1999. Data terbaru masih belum tersedia
mengingat RTRWP baru Kalimantan Tengah yang diajukan sejak tahun 2003 masih
belum kelar pembahasannya. Sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Tengah
merupakan dataran rendah, ketinggiannya berkisar antara 0 s/d 150 meter dari
permukaan air laut. Kecuali sebagian kecil di wilayah Utara merupakan daerah
perbukitan dimana terbentang pegunungan Muller‐Schwanner dengan puncak
tertingginya (Bukit Raya) mencapai 2.278 meter dari permukaan air laut. Jumlah
penduduk pada tahun 2008 adalah 2,1 juta jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk
sebesar 14 jiwa per kilometer persegi; jauh di bawah rata‐rata tingkat kepadatan
penduduk secara nasional yang sebesar 123 jiwa per kilometer persegi . Sebagian besar
penduduk menggantungkan hidupnya pada pertanian (60,67% dari angkatan kerja),
sebagian kecilnya terserap di sektor lainnya. Pada awalnya, Kalimantan Tengah hanya
memiliki lima Kabupaten, namun sejak ada pemekaran wilayah di tahun 2002, jumlah

246 Ibid., hlm. 8.

435

Kabupaten di Kalimantan Tengah bertambah menjadi 13 Kabupaten dan satu Kota.247
KFCP merupakan proyek DA (Demonstration Activities) REDD terbesar yang

diadakan di Indonesia dengan biaya kurang lebih 30 juta dolar Australia yang
ditandatangani pada September 2007. KFCP kemudian dimasukkan ke dalam bagian
dari kerja sama yang lebih luas antara Indonesia dan Australia terkait perubahan iklim
dengan spesifik REDD bernama Indonesia‐Australia Forest Carbon Partnership
(IAFCP) yang ditandatangani oleh PM Australia, Kevin Rudd dan Presiden Indonesia,
SBY pada 13 Juni 2008. Setelah memberikan 30 juta dolar Australia pada KFCP, IAFCP
berkomitmen memberikan dana sebesar 10 juta dolar Australia bagi proyek Hutan dan
Iklim pemerintah Indonesia.248

Kalimantan Selatan sendiri dipilih menjadi DA didasari atas beberapa alasan
penting yaitu Pertama, Kalimantan Selatan sejak tahun 1993 telah merintis kerjasama
dengan pihak internasional dengan melakukan penelitian hutan rawa gambut tropika
dengan mendirikan Laboratorium Hutan Alam Gambut (LHAG) di sekitar Daerah Aliran
Sungai Sabangau, Palangka Raya. Kedua, ketersediaan kawasan hutan alam sebagai
penyerap karbon dioksida dan pemasok oksigen tersedia dalam jumlah yang besar
termasuk hutan gambut di dalamnya. Ketiga, telah terjadi kehancuran hutan besar –
besaran di Provinsi Kalimantan Selatan dalam bentuk mega deforestasi dan degradasi di
kawasan lahan gambut dan Terakhir kuatnya komitmen dari pihak masyarakat dalam

247 Lihat Profil Kalimantan Tengah dalam situs
http://www.kalimantantengah.info/2011/06/profil-kalimantan-tengah.html diakses tanggal 1 Januari 2013.

248 Lihat Lihat Surat Kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australian
terkait KFCP., Op. Cit.

436

menjaga kelestarian sumber daya alam dan lahan gambut sebagai sumber kehidupan dan
pengendali iklim.249

KFCP berusaha membangun beberapa pola yang kemungkinan harus hadir di
dalam proyek REDD, antara lain soal hitung‐hitungan pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan; mendekatkan perhitungan karbon hutan ke dalam sistem
kehutanan Indonesia, pembayaran insentif kepada masyarakat yang tergantung hutan di
Kalimantan Tengah dan membangun kerjasama institusional dengan pemerintah dalam
pelaksanaan REDD. KFCP ini bekerja di areal kurang lebih 150.000 ha yang ada di
Kalimantan Tengah. Namun sampai sekarang penunjukan detail lokasi mana yang akan
dijadikan wilayah DA REDD belum dilakukan. Walaupun demikian, kemungkinan besar
lokasi itu akan berada di sekitar Blok E PLG.6 KFCP sekarang ini menempati salah satu
gedung di perkantoran Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah,

GAMBAR IV.21
Peta Lokasi Kalimantan Tengah Dan Proyek KFCP

Sumber : Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP)
249 Lihat Tim Penyusun Strada Kalimantan Selatan., Strategi Daerah Kalimantan Selatan., 2012.,

hlm. I-3.

437

Terkait dengan pendanaan, proyek KFCP berjalan dengan mekanisme hibah dari
Pemerintah Australia kepada Pemerintah Indonesia dengan bantuan pendanaan
Pemerintah Australia yang bersumber dari BHP Billiton sebuah multinasional korporasi
yang bergerak di bidang pertambangan termasuk di Indonesia.250 Pola yang digunakan
dalam mekanisme kerjasama ini dalam rezim REDD berbasis non pasar sehingga
penurunan emisi tidak dapat ditransaksikan ke dalam suatu mekanisme pasar tertentu.

Sedangkan terkait dengan skala pelaksanaan dari Proyek REDD KFCP sendiri
menganut model bertingkat (nested) hal ini dapat dilihat mulai dari lahirnya perjanjian
antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia sebagai dokumen induk yang
kemudian diturunkan dalam bentuk mikro hingga tingkat desa dengan membuat
perjanjian desa dengan pihak KFCP.251 Perjanjian dengan tingkat desa ini memuat 3
(tiga) tujuan utama yaitu Pertama, memuat tujuan bersama yang hendak dicapai pada
tingkat lokal, prinsip – prinsip kerjasama dengan tetap menghargai kedua belah pihak
yaitu KFCP dan perangkat desa serta beberapa tindakan yang diakomodasi dari
perjanjian ini. Bagian kedua memuat terminologi – terminologi umum serta konsep
dalam menjalankan proyek sesuai dengan standar dan ketentuan yang berlaku serta
Bagian Terakhir memuat ketentuan yang bersifat teknis terkait dengan penjadwalan,

250 Lihat Surat Kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australian terkait
KFCP, Op. Cit. Lihat pula informasi terkait BHP Billiton dalam situs
http://www.bhpbilliton.com/home/aboutus/ourcompany/Pages/default.aspx diakses pada tanggal 1 Januari
2013.

251 Lihat dalam Surat Kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australian
terkait KFCP, alinea 1. Terdapat dalam situs
http://www.climatechange.gov.au/government/initiatives/international-forest-carbon-
initiative/~/media/publications/international/kalimantan.ashx diakses pada tanggal 12 Desember 2012
serta dalam http://www.ausaid.gov.au/countries/eastasia/indonesia/Documents/kfcp-village-agreements-
factsheet-ipm.pdf diakses tanggal 12 Desember 2012.

438

pendanaan dan petunjuk teknis lainnya. Bagian terakhir ini dapat dirubah tanpa harus
merubah isi perjanjian secara keseluruhan dengan memuat prioritas bagi desa.252

Gubernur dan pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah telah mengeluarkan
beberapa peraturan lain yang relevan dengan REDD+, yaitu: (i) Surat Keputusan
Gubernur tentang Status, Posisi dan Fungsi Lembaga Kedamangan (Kedamangan
merupakan lembaga adat antar desa yang terlibat dalam tata kelola sumber daya alam);
(ii) Peraturan Daerah Provinsi tentang Penetapan Wilayah Kedamangan dan Kewajiban
Kepala Damang; (iii) Peraturan Daerah Provinsi tahun 2008 tentang Lembaga Adat
Masyarakat Dayak; dan (iv) Surat Keputusan Gubernur tentang Tanah Adat dan Hak
Adat atas Tanah.

Kalimantan Tengah yang menjadi daerah percontohan dapat dikatakan menjadi
contoh gagal dalam pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Proyek REDD yang didanai oleh
Australia ini bertajuk Kalimantan Forest Carbon Partnership (KFCP) tercatat tidak
memberikan kontribusi maksimal. Fakta kegagalan ini diperkuat dengan temuan
penelitian Erik Olbrei dan Stephen Howes di Australian National University, yang
meneliti Kalimantan Forest Carbon Partnership menemukan bahwa :253

252 Lihat dalam Village Agreement pada dalam
http://www.ausaid.gov.au/countries/eastasia/indonesia/Documents/kfcp-village-agreements-factsheet-
ipm.pdf diakses tanggal 12 Desember 2012.

253 Olbrei, E & Howes, S 2012, ‘A very real and practical contribution? Lessons from the
Kalimantan Forests and Climate Partnership’, Development Policy Centre Discussion Paper #16,
Crawford School of Public Policy, The Australian National University, Canberra.

439

1. Target utama KFCP telah diturunkan secara drastis. Hanya sepuluh
persen, dari target awal yang digembar-gemborkan, karena target awal
terlalu bombastis.254

2. Perkembangan di lapangan sangat lambat. Blokade kanal-kanal utama
belum dimulai, hanya 50.000 pohon yang ditanam, mekanisme
pengukuran emisi belum tuntas, dan baseline emisi bahkan belum
dijelaskan secara detail.

3. Deforestasi dan konversi lahan gambut tetap berlangsung dengan cepat
dan dalam skala besar di Indonesia. Penanaman dan ekspansi perkebunan
sawit makin meluas.

Salah satu hal penting dalam pelaksanaan proyek REDD di Kalimantan Tengah
adalah isu eksistensi dan akomodasi masyarakat adat di sekitar wilayah proyek. FPIC
(Free Prior Informed Consent) atau hak masyarakat secara bebas untuk menentukan
pembangunan berdasarkan informasi diawal tertuang dalam UNDRIP (United Nations
Declaration on Rights of Indigenous Peoples) dan tersirat dalam instrumen HAM
international yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia seperti Perjanjian
International tentang Hak-hak Ekonomi dan Sosial Budaya, Perjanjian International
tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Perjanjian Internasional tentang Keanekaragaman
Hayati, serta standar sosial dan lingkungan dari REDD plus.

Perspektif serupa juga hadir Lorna Howarth, seorang kontributor editor untuk
majalah Resurgence & Ecologist, yang menyatakan bahwa program pengurangan emisi

254 Dari estimasi dalam rencana akan menanam 100 Juta Pohon pada awal komitmen proyek
namun pada akhir dari proyek ini hanya tercapai 50.000 ribu pohon yang ditanam. Tentu dengan jumlah
ini mengalami disparitas penyerapan emisi yang jauh berbeda. Ibid., hlm. 20.

440

dengan skema REDD di Kalimantan Selatan dinilai tidak berhasil menekan laju
deforestasi hutan. Dalam pendapat Lorna menyoroti terdapat deforestasi hutan seluas 13
juta hektar di propinsi Kalimantan Tengah atau sekitar 78% dari luas propinsi tersebut
kini berubah menjadi kawasan konsesi lewat berbagai bentuk izin pengelolaan yang
dikeluarkan oleh pemerintah lokal maupun Kementerian Kehutanan. Pemberian izin ini,
sekaligus melanggar prinsip Free, Prior & Informed Consent, yang memberikan izin
pengelolaan hutan kepada lebih dari 500 kelompok masyarakat adat di Indonesia. 255

Standar sosial dan lingkungan digunakan proyek KFCP sebagai rambu-rambu
keamanan pelaksanaan proyek (safeguard). Dalam konteks Indonesia, pemenuhan hak
FPIC diharapkan dapat digunakan untuk mengurangi dan menyelesaikan konflik dan
terpenuhinya hak-hak dasar rakyat. Kesepakatan kerjasama IAFCP sudah disepakati
semenjak pertengahan tahun 2008 dan proyek KFCP diresmikan oleh Gubernur Kalteng
Maret 2010, rentang waktu yang cukup lama untuk mempersiapkan proyek. Namun
sejauh ini masih banyak pemimpin masyarakat tidak memahami maksud dan tujuan,
serta rencana proyek. Bahkan lebih dari itu masyarakat Dayak yang terdapat dalam
lingkup area KFCP cenderung merasa di abaikan mulai dari eksistensinya hingga
pelaksanaan REDD dan kelestarian hutan adat dapat lestari.256

255 Lihat “REDD Justru Memicu Deforestasi di Kalimantan”., terdapat dalam situs
http://www.mongabay.co.id/2013/01/28/redd-justru-memicu-deforestasi-di-kalimantan/ diakses pada
tanggal 1 Februari 2013.

256 Lihat dalam “Masyarakat Adat Dayak Ngaju Tuntut Hak” terdapat dalam situs

http://cetak.kompas.com/read/2011/10/26/03362569/masyarakat.adat.dayak.ngaju.tuntut.hak diakses

tanggal 13 Desember 2012. Lihat pula “Dayak Ngaju : REDD Harus Hormati Hak Adat” terdapat dalam

situs http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=4713 diakses pada tanggal 13 Desember 2012.

441

4.3.2.3.2. Proyek UN REDD Sulawesi Tengah
Pada tanggal 26 Mei 2010 Pemerintah Indonesia telah menandatangani nota

kesepahaman (Letter of Intent atau LoI) dengan Pemerintah Kerajaan Norwegia untuk
mewujudkan upaya pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi
hutan. Sejak penandatanganan LoI, Pemerintah Indonesia telah banyak membuat
kemajuan dalam persiapan pelaksanaan REDD+, seperti pembentukan Satuan Tugas
(satgas) REDD+, penyusunan Strategi Nasional REDD+, pemilihan provinsi
percontohan pertama, terbitnya Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2011 tentang
Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer
dan Lahan Gambut.257

Pada Maret 2010, dilaksanakan Inception Workshop UN-REDD Indonesia di
Jakarta, dengan tujuan untuk memilih provinsi percontohan program UN-REDD, yang
pesertanya meliputi provinsi yang ada di pulau Sulawesi, provinsi Maluku dan Papua.
Berdasarkan review kriteria pemilihan provinsi pilot oleh UN-REDD, Sulawesi Tengah
terpilih sebagai provinsi percontohan UN-REDD dan Demonstration Activity REDD+,
yang selanjutnya ditetapkan dengan Surat Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan
Nomor : 5.786/II-KLN/2010 tanggal 26 Juli 2010.258

257 Lihat dalam dokumen Strategi Daerah REDD+ (Reducing Emissions From Deforestation and
Forest Degradation Plus) Provinsi Sulawesi Tengah., hlm. 4.

258 Ibid.

442

Pemilihan provinsi percontohan dilakukan oleh UN-REDD Programme
Indonesia berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan yang meliputi hal – hal berikut
ini259 :

1. Masih adanya deforestasi namun tutupan lahan masih baik.
2. Kepadatan karbon yang relatif tinggi.
3. Dukungan politik daerah yang kuat.
4. Kapasitas daerah yang cukup kuat untuk mendorong tercapainya hasil

yang cepat.
5. Penyebab deforestasi dapat dikenali dengan mudah
6. REDD+ di wilayah itu dapat menghasilkan manfaat yang signifikan.
7. Preferensi pemerintah.
8. Belum adanya inisiatif REDD+ lainnya di wilayah itu.
Provinsi Sulawesi Tengah mempunyai potensi penyerapan karbon yang cukup
besar dalam catatan dari hasil kajian Statistik Karbon Hutan Sulawesi Tengah yang
mencapai 817,691,310 Ton Carbon yang tersebar dalam 11 Kabupaten / Kota.260

259 Lihat UN – REDD., “Central Sulawesi’s Readiness to Implement REDD+ after 2012”., hlm.3.
260 Lihat dalam Indrawan Suryadi., Statistik Karbon Hutan Sulawesi Tengah 1990 – 2011., UN
REDD., hlm. 110.

443

GAMBAR IV.22
Wilayah Administrasi dan Penyerapan Karbon Sulawesi Tengah

Sumber : UN – REDD

Terkait dengan pendanaan, program UN REDD menerima dan mengelola dana
sebesar US $ 5,6 juta yang diberikan oleh Pemerintah Kerajaan Norwegia melalui 3
(tiga) lembaga di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa yaitu FAO, UNDP dan UNEP.
Potensi penyerapan karbon yang terjadi kemudian diserahkan baik dapat melalui
instrumen pasar maupun non instrumen pasar.261 Implementasi pada tingkat nasional
melalui 3 (tiga) tahapan yaitu persiapan (preparation), kesiapan (readiness) dan
implementasi (implementation). Indonesia sendiri berkewajiban menyelesaikan tahap
persiapan antara tahun 2008 dan 2009, lalu memasuki tahap kesiapan tahun 2010 - 2012,
dan harus mulai menerapkan program – program yang ada pada tahun 2012. Indonesia
merupakan salah satu dari 16 negara yang mendapatkan dukungan untuk menjalankan
program tersebut. Negara lainnya yaitu, Bolivia, Kamboja, (DRC), Ekuador, Nigeria,

261 Lihat Dokumen Strategi Daerah REDD+., Op.Cit., hlm. 49.


Click to View FlipBook Version