The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by , 2016-05-12 02:40:09

Full Sidang Terbuka (1)

Full Sidang Terbuka (1)

44

dan putusan – putusan dari Conference Of the Parties yang dilaksanakan
setiap tahunnya sebagai bentuk tindak lanjut pertemuan di bidang perubahan
iklim.
2. Bahan hukum Sekunder, yaitu bahan - bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer.109 Dalam penelitian ini akan digunakan
beberapa buku acuan yang membahas mengenai prinsip – prinsip dasar
hukum internasional, hukum lingkungan internasional serta ilmu lingkungan
dalam rangka menguraikan fakta ilmiah seputar perubahan iklim.
Sedangkan data dari hasil penelitian lapangan yang sering disebut data
primer dalam hal ini dilakukan dengan wawancara kepada beberapa pihak yang
mempunyai kompetensi terkait dengan penelitian ini seperti Dewan Nasional
Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup, Lembaga Swadaya Masyarakat
serta ahli terkait isu perubahan iklim.
Bahan – bahan yang didapatkan kemudian diolah dengan menggunakan
pendekatan sifat dan bentuk penelitian deskriptif – preskriptif – analitis dan dicoba
untuk menggambarkan permasalahan yang terjadi yang kemudian akan dianalisis
dengan situasi dan kondisi aktual yang terjadi untuk mendapatkan jawaban dari
hipotesa sementara. Selain itu penelitian ini juga menggunakan beberapa data
kuantitatif pada tataran second level data dengan memperhitungkan keberadaan
angka dan kalkulasi ekonomis dan ekologis dalam melihat permasalahan seputar isu
perubahan iklim.

109 Soerjono Soekanto, Loc..Cit., hlm.12.

45

1.9. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian disertasi ini terbagi dalam 5 (lima) Bab, masing –

masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang
hendak diteliti. Dalam Bab I sebagai pendahuluan, memuat latar belakang penelitian
yang hendak dilakukan, dilanjutkan dengan rumusan permasalahan yang ada, tujuan
penulisan, kerangka teoretis, tinjauan pustaka, landasan konseptual, metode
penelitian yang digunakan serta sistematika penulisan.

Bab II menguraikan tentang kondisi perubahan iklim serta dampaknya yang
dirasakan oleh masyarakat internasional. Bab ini akan berisi kajian ilmiah mengenai
penyebab serta dampak dari perubahan iklim yang terjadi saat ini serta proyeksi
masa yang akan datang. Bab ini juga memuat respon yang hadir oleh masyarakat
internasional sebagai bentuk reaksi terhadap permasalahan perubahan iklim.

Bab III akan memuat mengenai pilihan komitmen dalam rangka upaya
mitigasi perubahan iklim dalam rangka mencari keadilan dan efektifitas dalam rezim
perubahan iklim. Bab ini juga menggambarkan kehadiran instrumen dan institusi
yang terdapat dalam The United Nations Framework Convention on Climate
Change dan Protokol Kyoto baik dari segi efektifitas dan keadilan maupun dalam
proses negosiasi yang dilakukan dalam rangka menindaklanjuti upaya mitigasi
perubahan iklim.

Bab IV dari bab ini berisi mengenai peran dan langkah Indonesia sebagai
salah satu negara peserta Protokol Kyoto untuk dapat memberikan sumbangsih
maksimal yang diikuti pula dengan analisis mengenai kesiapan Indonesia baik

46

dalam bentuk instrumen dan institusi dalam mewujudkan upaya perbaikan iklim dari
perspektif negara berkembang atau negara Non Annex

Bab V sebagai penutup memuat kesimpulan penulis yang merupakan
jawaban atas pokok permasalahan yang diungkapkan dalam bab pendahuluan serta
rekomendasi yang dapat disumbangkan dalam memperbaiki situasi dan kondisi yang
relevan dengan penelitian ini.

BAB II

PERUBAHAN IKLIM DALAM KEPENTINGAN MASYARAKAT

INTERNASIONAL SERTA RESPONS GLOBAL TERHADAP

PERUBAHAN IKLIM

2.1. Perubahan Iklim Sebagai Isu Internasional

Pada awal perbincangan mengenai perubahan iklim banyak kalangan
mengatakan bahwa perubahan iklim hanya hal yang bersifat prediksi semata.93

Namun seiring dengan berbagai bentuk dampak nyata seperti kenaikan suhu bumi

secara terus menerus, kenaikan air laut secara berkesinambungan, hingga cuaca
ekstrim di berbagai belahan dunia membuat pernyataan di atas terbantahkan.94

Untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya dianggap perlu untuk dituangkan

93 Pada abad ke 19 dan ke 20 isu perubahan iklim hanya dianggap sebagai sebuah fenomena yang
tidak akan terjadi pada masa kekinian. Hal ini mempunyai justifikasi pada saat memang serangkaian
penelitian yang dilakukan pada saat itu hanya bersandar pada dokumen dan hipotesis ilmiah tanpa
menghadirkan bukti nyata pada saat itu. Lihat J.J. Houghton, L.G. Meiro Filho, IS. A. Callander, N.
Harris, A. Kattenberg and K. Maskell Climate Change 1995 - The Science of Climate Change
Contribution of Working Group I to the Second Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change. Cambridge University Press : Cambridge., 1995., hlm. 64.

94 Hasil kajian Intergovernmental Panel On Climate Change (IPCC) yang dirilis pada tahun 2007
menunjukkan bahwa 11 dari 12 tahun terpanas sejak tahun 1850 terjadi dalam waktu kurun 12 tahun
terakhir. Tercatat bahwa kenaikan temperatur total dari tahun 1850-1899 sampai dengan tahun 2001-2005
adalah 0,76 derajat Celsius. Sedangkan kenaikan air laut rata – rata global telah meningkat dengan laju
rata-rata 1,8 mm per tahun dalam rentang waktu antara tahun 1961 sampai 2003. Kenaikan total muka air
laut yang berhasil dicatat pada abad ke-20 diperkirakan 0,17 Meter. Laporan IPCC secara gamblang juga
menyatakan bahwa tindakan manusia ikut berperan dalam pemanasan global sejak pertengahan abad ke-
20. Lihat Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor and
H.L. Miller (eds.). Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change., Cambridge University Press : Cambridge, United Kingdom
and New York, NY, USA, 2007., hlm. 5.

47

48

secara spesifik dalam instrumen hukum internasional. Atas dasar tersebut masyarakat

internasional bersepakat pada tahun 1992 untuk menyepakati United Nations

Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Konvensi ini bertujuan

menentukan langkah-langkah yang dianggap perlu untuk menstabilkan konsentrasi

gas rumah kaca (GRK) pada tingkat konsentrasi yang dapat mengeliminir dampak
berbahaya dari kegiatan manusia terhadap perubahan sistem iklim.95 Hal tersebut di

atas dapat dilakukan dengan secara sistematis mengurangi kandungan carbon

dioxide (CO2), methane (CH4), dan nitrous oxide (N2O) yang secara kolektif
memberikan pengaruh sebanyak 88% terhadap pemanasan global96, dan memberikan

sumbangsih 24% terhadap peningkatan suhu yang kembali dari pancaran sinar
matahari.97 Kondisi tersebut diperparah dengan keadaan ekosistem bumi yang kita
tempati sekarang ini telah mengalami peningkatan suhu 0,4 derajat Celcius98 yang
tercatat merupakan peningkatan yang paling tinggi dalam seribu tahun terakhir.99

95 Lihat perumusan Pasal 2 UNFCCC “The ultimate objective of this Convention and any related
legal instruments that the Conference of the Parties may adopt is to achieve, in accordance with the
relevant provisions of the Convention, stabilization of greenhouse gas concentrations in the atmosphere at
a level that would prevent dangerous anthropogenic interference with the climate system. Such a level
should be achieved within a time frame sufficient to allow ecosystems to adapt naturally to climate
change, to ensure that food production is not threatened and to enable economic development to proceed
in a sustainable manner.”

96 Dalam laporan dari World Meteorological Organization dinyatakan bahwa gas kandungan
utama dari gas rumah kaca seperti CO2, N2O, dan CH4 berkontribusi secara berturut – turut sebanyak 63%,
6,2% dan 18,5% dari keseluruhan gas rumah kaca yang ada di atmosfir. Lihat World Meteorological
Organization, Greenhouse Gas Bulletin No. 4: The State Of Greenhouse Gases In The Atmosphere Using
Global Observations Through 2007, 2008., hlm. 2 – 3.

97 Ibid., hlm.1.
98 Lihat James Hansen et al., Global Temperature Change, Proceedings National Academic of
Science United States, 2008., hlm. 14288.
99 Lihat Lenny Bernstein et al. eds., Intergovernmental Panel On Climate Change, Climate
Change 2007: Synthesis Report., 2007., hlm. 37 – 38.

49

Paling tidak terdapat 2 (dua) pemahaman yang membahas mengenai
kontribusi mengenai penyebab dari terjadinya perubahan iklim sebagaimana
diungkapkan di muka.

Pertama, adalah mereka yang mengusung pendekatan bahwa perubahan
iklim terjadi akibat kondisi natural dari sistem iklim yang ada.100 Preposisi dari
kelompok ini menyatakan bahwa sistem iklim memang secara alami dan terus
menerus mengalami perubahan yang akan berdampak kepada hubungan kosmis yang
ada.101

Kedua, adalah pendapat mengatakan bahwa akumulasi dari gas rumah kaca
pada lapisan atmosfir berasal dari tindakan manusia (anthropogenic). Hal inilah yang
kemudian telah memberikan dampak terhadap peningkatan konsentrasi gas rumah
kaca yang berujung pada pemanasan global. Hadirnya pemanasan global ini pada
akhirnya berdampak pada perubahan pada permukaan air laut, dan kenaikan
temperatur suhu bumi. Berbagai aktifitas yang dilakukan saat ini seperti proses
produksi energi, aktifitas industri, perkebunan dan kehutanan menghasilkan potensi
– potensi dampak terhadap memburuknya kondisi iklim di masa yang akan
datang.102.

100 Hipotesis seperti ini misalnya digunakan oleh para peneliti di United Kingdom’s Hadley
Centre mengatakan bahwa pengaruh fenomena alam seperti aktivitas gunung berapi serta pengaruh radiasi
Matahari memberikan sumbangsih dalam perubahan iklim secara umum. Lihat Department for
Environment, Food and Rural Affairs., The environment in your pocket 2009 : Key facts and figures on the
environment of the United Kingdom., London : 2009., hlm. 41.

101 Lihat B. Sudhakara Reddy dan Gaudenz B. Assenza, “The Great Climate Debate”., Energy
Policy 37 (2009)., hlm. 2997–3008.

102 Lihat James C Wood., “Intergenerational Equity And Climate Change”., Georgetown
International Environmental Law Review Spring, 1996., Volume 8., 1995 – 1996., hlm.4.

50

Kontroversi di atas pada akhirnya memicu adanya penelitian lebih lanjut
mengenai perubahan iklim baik dalam tataran teoretis maupun praktis. Berbagai
indikator perubahan iklim yang telah terjadi pun mulai dirilis oleh beberapa negara
pada umumnya dan lembaga – lembaga yang membawahi masalah iklim pada
khususnya. Di Amerika Serikat misalnya pada era tahun 1990an telah terjadi
peningkatan kesadaran di kalangan pemerintah terhadap adanya kondisi perubahan
iklim seiring dengan dirilisnya hasil studi dari US Commerce Department's National
Climatic Data Centre pada Juli 1998 yang mencatat telah terjadi peningkatan suhu
secara drastis dan signifikan yang merupakan tertinggi pada sejarah Amerika
Serikat.103

2.1.1. Sumber dan Dampak Perubahan Iklim
Kenyataan bahwa perubahan iklim menjadi suatu momok yang sangat

menakutkan bagi seluruh masyarakat internasional tidak dapat dielakkan lagi saat
ini.104 Perubahan iklim global sebagai implikasi dari pemanasan global telah
mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang dekat
dengan permukaan bumi. Pemanasan global ini disebabkan oleh meningkatnya
gas – gas rumah kaca yang dominan ditimbulkan oleh industri – industri.

103 Dalam pres rilisnya, Thomas Karl, direktur dari lembaga tersebut mengatakan bahwa tahun
1998 adalah tahun terpanas sepanjang sejarah, dan era 1980an merupakan dekade terpanas dalam 600
tahun terakhir. Pada kesempatan sebelumnya Karl juga mengatakan bahwa dekade 1980an juga
diperhitungkan sebagai dekade terpanas dalam abad ke 20. Lihat Record-Breaking July Adds to Evidence
of Human-Caused Warming, International Environmental Report (Aug. 19, 1998)., hlm.21. Lihat pula
Paul Brown, Climate Change Conference: Coral Alarm Dwarfs Pact to Cut Gasses, Guardian (London),
Nov. 13, 1998, hlm.18.

104 Lihat Working Group Intergovernmental Panel on Climate Change., Summary For
Policymakers: The Physical Science Basis. Contribution Of Working Group I To The Fourth Assessment
Report Of The Intergovernmental Panel On Climate Change., 2007.hlm.5.

51

Pengamatan temperatur global sejak abad 19 menunjukkan adanya perubahan

rata – rata temperatur yang menjadi indikator adanya perubahan iklim.

Perubahan temperatur global ini ditunjukkan dengan naiknya rata – rata
temperatur hingga 0.74oC antara tahun 1906 hingga tahun 2005. Temperatur rata
– rata global ini diproyeksikan akan terus meningkat sekitar 1.8 – 4.0o Celsius di

abad sekarang ini, dan bahkan menurut kajian lain dalam IPCC diproyeksikan
berkisar antara 1.1 – 6.4o Celsius.105

Hal tersebut paling tidak dapat ditunjukkan dari fakta bahwa setelah

mengalami peningkatan sebanyak 1% pada tahun 2009, emisi global meningkat
secara drastis sebanyak 5% pada tahun 2010. 106 Berbagai sektor pun bersiap –

siap menghadapi segala bentuk dampak dengan perubahan iklim, mulai dari

kondisi kelautan saat ini, agrikultur, hewan hingga eksistensi keberadaan
manusia di hari depan.107 Sebagian besar dari para ilmuwan percaya bahwa peran

serta manusia dalam perubahan iklim memiliki porsi yang signifikan terhadap

……………

105 Lihat Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)., “Summary For Policymakers”
dalam Parry ML, Canziani OF, Palutikof JP, et al. (eds), Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and
Vulnerability., Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge: Cambridge University Press, 2007., hlm. 22.
Lihat pula Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)., “Summary For Policymakers” dalam
Solomon S, Qin D, Manning M, et al. (eds)., Climate Change 2007: The Physical Science Basis.
Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change. Cambridge : Cambridge University Press, 2007., hlm. 18.

106 Hal ini berada di luar prediksi dari berbagai pihak yang dilakukan pada beberapa dekade
terakhir. Pada tahun 2010 tercatat terjadi peningkatan sebesar 33 juta ton emisi CO2 . Peningkatan
konsumsi global terhadap gas alam dan batubara menyumbangkan 60% dari peningkatan secara
keseluruhan. Lihat Blunden, J., D. S. Arndt, and M. O. Baringer, Eds.,(2011), State of the Climate in
2010. Bulletin of the American Meteorological Society 92, S1-S266.

107 Lihat Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), IPCC Second Assessment, Climate
Change 1995: A Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change., hlm. 27-36.

52

peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir.108 Hal ini disebabkan oleh

beberapa sektor antara lain pembakaran bahan bakar fosil, laju kerusakan hutan

baik dari pembakaran lahan dan hutan109, alih fungsi lahan110 serta dari kegiatan

industri.111

Dalam perbandingan secara umum dari emisi yang dihasilkan dalam 20

tahun terakhir, dapat dilihat bahwa negara – negara maju mendominasi dari

peningkatan emisi gas rumah kaca secara keseluruhan. Pengelompokan antara

negara maju dan negara berkembang menunjukkan perbedaan yang signifikan

terhadap jumlah emisi yang dikeluarkan kedua kelompok tersebut di atas.112

108 Dalam melihat realitas hipotesa perubahan iklim yang diakibatkan oleh tindakan manusia,
terjadi perdebatan yang cukup sengit antara kelompok yang sedari awal sudah mempercayai bahwa
perubahan iklim memang terjadi dengan kelompok yang berada pada posisi berseberangan. Pada awalnya
secara umum terdapat dikotomi dalam memandang realitas perubahan iklim. Kelompok pertama yang
digadang – gadang oleh Al Gore berkeyakinan bahwa perubahan iklim telah terjadi dan merupakan
ancaman paling serius umat manusia saat ini. Kelompok kedua dengan salah satu pemikirnya Bjorn
Lomborg secara kontradiktif mengambil posisi berseberangan bahwa perubahan iklim hanyalah sebuah isu
besar yang kebenarannya tidak terbukti. Namun dalam perkembangan terakhir kelompok kedua yang
dikenal sebagai pemikir skeptis dalam perubahan iklim mulai yakin bahwa perubahan iklim memang
terjadi walaupun mereka masih meragukan efektifitas dan efisiensi dari regulasi perubahan iklim yang ada
saat ini. Untuk pembahasan secara menyeluruh dapat dilihat dalam B. Sudhakara Reddy dan Gaudenz
B.Assenza The Great Climate Debate., Energy Policy 37 (2009)., hlm. 2997–3008.

109 Lihat White House Office of Science and Technology Policy, Climate Change: State of
Knowledge., 1997. hlm.3. Lihat pula J.F. Rischard, High Noon: Twenty Global Problems, Twenty Years to
Solve Them. 2002., hlm.70.

110 Lihat R.T. Watson et al. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Summary for
Policymakers, in IPCC Special Report on the Regional Impacts of Climate Change: An Assessment of
Vulnerability., 1997, Lihat pula Barton H. Thompson, Jr., Tragically Difficult: The Obstacles to
Governing the Commons, 30 Environmental Law. 2000., hlm. 241 – 242.

111 Lihat United Nations Environment Programme (UNEP), Climate Change Information Sheet 1:
An Introduction to Climate Change.

112 G. Marland, et. al., Global, Regional, and National Fossil Fuel CO2 Emissions, in Trends: A
Compendium Of Data On Global Change (Carbon Dioxide Information Analysis Center, 2003), terdapat
dalam situs http://www.cdiac.ornl.gov/trends/emis/em_cont.htm diakses pada tanggal 13 Januari 2012.

53

GAMBAR II. 1
Kontribusi Pemanasan Global

Sumber : Carbon Dioxide Information Analysis Center

Dalam laporan terakhir yang dirilis oleh Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) secara nyata dikatakan bahwa sekarang ini kondisi bumi
semakin menghangat dari waktu ke waktu. Keseimbangan sistem iklim yang
terjadi sekarang ini dalam kajian IPCC dipengaruhi oleh konsentrasi gas rumah
kaca dan aerosol, radiasi matahari dan tutupan lahan. Secara simultan IPCC
dalam laporannya menyuguhkan data bahwa peran manusia dalam perubahan
iklim sudah mengalami eskalasi semenjak tahun 1750.113

113 Salah satu tugas utama dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) adalah

memberikan laporan berkala, beberapa laporan yang telah dirilis adalah Climate Change 2007: The

Physical Science Basis (2007), Climate Change 2007: Impacts, Adaptation And Vulnerability (2007),

Climate Change 2007: Mitigation Of Climate Change (2007), dan Climate Change 2007: Synthesis Report

(2007) sebagaimana termuat dalam situs

http://www.ipcc.ch/organization/organization.shtml#.UOJh_HfC26o diakses pada tanggal 1 Januari 2013.

54

Keberadaan gas karbon dioksida (CO2) sebagai salah satu penyumbang

penting yang dihasilkan oleh manusia dalam peningkatan konsentrasi emisi gas

rumah kaca dalam kurun waktu 1970 sampai dengan 2004 mengalami

peningkatan secara signifikan. Tercatat paling tidak terjadi peningkatan sebanyak

80% dari jumlah awal pada tahun 1970 sebanyak 21 Gigaton menjadi 38 Gigaton

pada tahun 2004. Peningkatan ini pun terhitung memberikan sumbangsih

sebanyak 77% dari total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh manusia

(anthropogenic) pada tahun 2004 secara keseluruhan. Bahkan peningkatan pada

kurun waktu 1995 sampai dengan 2004 tercatat berada pada intensitas paling

tinggi dibandingkan dengan peningkatan yang terjadi pada periode sebelumnya
yaitu 1970 sampai dengan 2004.114

Secara umum kontribusi peningkatan konsentrasi emisi gas rumah kaca

antara negara maju dan negara berkembang dilatarbelakangi kebutuhan yang

berbeda. Di negara-negara maju tingkat emisi yang dihasilkan secara umum

berasal dari sektor penggunaan bahan bakar fosil, sedangkan di negara

berkembang angka terbesar disumbangkan dari alih fungsi lahan yang terjadi

114 Data mengenai peningkatan yang signifikan dari kandungan Karbon Dioksida dapat dilihat
dalam beberapa sumber seperti dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) : Climate
Change 2007: Synthesis Report (2007)., hlm.36. Lihat pula hasil publikasi dari Pieter Tans dalam
publikasi National Oceanic and Atmospheric Administration dan Earth System Research Laboratory yang
menggambarkan peningkatan kandungan karbon dari tahun ke tahun dalam situs
http://www.carbonify.com/carbon-dioxide-levels.htm diakses pada tanggal 14 Oktober 2012. Dalam ranah
klimatologi hingga saat ini masih menjadi perdebatan mengenai sumbangsih dan signifikansi dari unsur
CO2 dalam perubahan iklim. Bahkan dalam pandangan Zbigniew Jaworowski, M.D., Ph.D., D.Sc.
dinyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa unsur CO2 bukanlah penyumbang utama dalam perubahan
iklim yang terjadi. Terdapat 2 (dua) alasan yang dikemukakan oleh Jaworowski yaitu pertama berdasar
pada Hukum Avogadro bahwa CO2 mempunyai massa jenis yang lebih ringan daripada masa jenis
atmosfir, sehingga dikatakan bahwa CO2 hanya mampu bertahan pada ketinggian 200 meter di atas
permukaan laut. Alasan kedua adalah unsur CO2 menurut Jaworowski sangat mudah untuk larut dalam air,
oleh karena itu pada saat zat ini melintasi lautan maka zat ini akan luruh dengan sendirinya. Lihat
Zbigniew Jaworowski,., “CO2: The Greatest Scientific. Scandal of Our Time”., 21st Century Science &
Technology Spring/Summer 2007., hlm. 16.

55

secara sporadis.115 Perbedaan orientasi setiap negara menjadi latar belakang
utama yang menyebabkan perbedaan unsur yang menjadi penyumbang utama
dalam peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di setiap negara.

Peningkatan yang signifikan terhadap laju konsentrasi emisi gas rumah
kaca yang kemudian mengakibatkan perubahan iklim dalam kurun waktu 1970
sampai dengan 2004 berasal dari sektor penggunaan energi, transportasi dan
industri. Sedangkan penyumbang lainnya dalam jumlah yang lebih kecil berasal
dari rumah tangga, sektor kehutanan dan sektor perkebunan.116 Karbon dioksida
(CO2) sebagai gas dengan sifat radiative forcing yang dimiliki mampu
melakukan akselerasi dengan cepat sehingga meningkatkan nilai konsentrasi
gas rumah kaca dalam dua dekade terakhir.117

115 Lihat Pim Martens dan Jan Rotmans., Climate Change: An Integrated Perspective,
International Centre for Integrative Studies (ICIS), Maastricht University,Kluwer 1999., hlm. 144.

116 Lihat Jonathan Adams, Mark Maslin & Ellen Thomas, Sudden Climate Transitions During the
Quaternary, 23 Progress In Physical Geography 1 (1999).

117 Lihat laporan dari Ocean and Climate Change Institute, Are We on the Brink of a 'New Little
Ice Age?' (Feb. 10, 2003), terdapat dalam situs http://www.whoi.edu/institutes/occi/view. diakses pada
tanggal 2 Desember 2011.

56

GAMBAR II. 2
Sumber Emisi Gas Rumah Kaca Global

Sumber : Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa sektor dari pembakaran fosil dan
pemenuhan kebutuhan energi merupakan penyumbang terbesar dalam
meningkatkan nilai konsentrasi emisi gas rumah kaca. Dalam kenyataan sehari –
hari, dapat dilihat bahwa peningkatan konsentrasi gas rumah kaca terkait dengan

57

gaya hidup dan perilaku konsumerisme suatu negara.118 Dalam sebuah penelian

tahun 2009 terlihat bahwa ppenggunaan bahan bakar fosil untuk keperluan

asupan listrik baik berupa pemanas, pendingin serta alat elektronik lainnya serta

sektor transportasi menjadi salah satu penghasil emisi tertinggi yang dihasilkan.

Negara – negara seperti Australia, Cina, India, Polandia dan Afrika Selatan

tercatat menggunakan batu bara untuk memenuhi 68 % - 94 % kebutuhan mereka

untuk listrik dan penghangat.119

Pada sisi lain, negara – negara yang sedang merangkak dalam kegiatan

ekonomi berbasis non industri namun kaya dengan sumber daya alam pada

sektor kehutanan seperti halnya Indonesia, Zaire, dan Brazil turut pula

memberikan sumbangsih terhadap laju peningkatan konsentrasi emisi gas rumah

118 Dalam beberapa penelitian yang memang difokuskan untuk melakukan kajian yang
memperlihatkan korelasi antara tingkat daya beli dan gaya hidup terhadap peningkatan emisi ditemukan
fakta bahwa terdapat perbandingan lurus antara peningkatan daya beli dengan jumlah emisi yang
dihasilkan. Studi yang dilakukan oleh Elizabeth A. Stanton, Frank Ackerman, dan Kristen Sheeran
misalnya mengungkapkan bahwa kebutuhan energi dari sektor Industri serta kebutuhan rumah tangga di
wilayah Amerika Serikat memberikan sumbangsih signifikan dalam angka emisi yang dihasilkan oleh
Amerika Serikat secara keseluruhan. Lihat Elizabeth A. Stanton, Frank Ackerman, dan Kristen Sheeran.,
“Greenhouse Gases and the American Lifestyle: Understanding Interstate Differences in Emissions”
Published May 2009., hlm.12. Sedangkan dalam studi sejenis yang dilakukan di Cina ditemukan fakta
bahwa terdapat hubungan linear antara gaya hidup dari beberapa kota di Cina dengan laju nilai emisi yang
begitu tinggi di Cina. Lihat Kuishuang Feng, Klaus Hubacek, Dabo Guan, “Lifestyles, technology and
CO2 emissions in China: A regional comparative analysis”, Ecological Economics 69 (2009)., hlm. 145–
154. Hal serupa juga penulis temukan dalam kesempatan wawancara secara langsung dengan salah satu
staf dari The Netherlands Environmental Assessment Agency yang menyatakan bahwa tingkat kebutuhan
energi yang diperlukan oleh Belanda begitu tinggi sedangkan banyaknya energi alternatif yang terdapat di
Belanda seperti keberadaan pembangkit listrik tenaga angin yang menjadi ciri khas dari Belanda hanya
mampu menyediakan 1% dari total energi yang dibutuhkan secara keseluruhan.

119 Antara tahun 2008 dan 2009 total Emisi CO2 dari sektor kebutuhan listrik dan pemanas
meningkat sebanyak 1,7%. Dalam proyeksi yang dirilis oleh World Energy Outlook pada tahun 2009
diestimasikan pada tahun 2035 permintaan akan kebutuhan energi untuk sektor kelistrikan akan
meningkat 3 (tiga) kali lipat dari kondisi saat ini . Peningkatan ini dilatarbelakangi oleh peningkatan
jumlah populasi yang berbanding lurus dengan peningkatan kemampuan daya beli dari negara – negara
berkembang termasuk peralatan yang berbasis tenaga listrik di kawasan perumahan dan perkantoran. Lihat
International Energy Agency, World Energy Outlook 2010 : Executive Summary., hlm.10.

58

kaca dari sektor kehutanan.120 Tercatat paling tidak hingga saat ini sektor

kehutanan memberikan sumbangsih sekitar 20% dari emisi global gas rumah
kaca secara keseluruhan .121

Memang saat ini keberadaan sumber daya hutan dan gambut di beberapa

negara yang memiliki kondisi luas tutupan hutan tropis kerap menjadi sorotan.

Selain kemampuan yang dimiliki untuk menyerap karbon, keberadaan tutupan

hutan tropis dengan laju kerusakan hutan yang tinggi justru akan menjadi

sumbangsih utama dalam peningkatan konsentrasi emisi gas rumah kaca di
lapisan atmosfer.122 Hutan Indonesia dengan luas antara 90 – 100 juta hektar

begitu menjanjikan untuk dapat menyerap emisi dari seluruh emitter – emitter
besar123, namun pada saat yang bersamaan Indonesia harus berhadapan dengan

predikat sebagai pemegang rekor negara dengan penghancur hutan tercepat di

…………..

120 Berbagai kajian telah dilakukan dalam memperlihatkan korelasi antara kerusakan hutan dan
perubahan iklim yang terjadi, berbagai bukti ilmiah menunjukkan bahwa keberadaan hutan tropis memiliki
fungsi ganda yang dilematis. Pada satu sisi dapat berfungsi sebagai wadah atau tempat untuk penyerapan
karbon sebagai unsur utama emisi gas rumah kaca, namun pada sisi lain pada saat terjadi kerusakan hutan
melalui medium apapun seperti kebakaran hutan, alih fungsi lahan maupun pembalakan liar dapat memicu
lepasnya kembali penyimpanan karbon yang telah dilakukan. Lihat Paulo Moutinho and Stephan
Schwartzman., Tropical Deforestation and Climate Change., Amazon Institute for Environmental
Research, 2005.

121 Lihat Intergovernmental Panel on Climate Change, “Working Group I Contribution to the
Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change,” Climate Change 2007:
The Physical Science Basis (2007)., hlm. 78.

122 Lihat pula Paulo Moutinho et al., Introduction, in Tropical Deforestation and Climate Change
7, 2005., hlm.8.

123 Kondisi luas tutupan hutan di Indonesia diproyeksikan dapat menyerap karbon sebanyak 3,5
Milyar Ton Karbon yang ada. Lihat Christopher Barr et al., Decentralization of Forest Administration in
Indonesia: An Overview, in Decentralization of Forest Administration in Indonesia., hlm.1.

59

dunia, yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi dalam peningkatan
konsentrasi GRK di udara.124

Pada kondisi seperti ini Indonesia menduduki posisi emitter 3 (tiga) besar
di dunia dari sektor kehutanan dan alih fungsi lahan sebagaimana tergambar
dalam grafik di bawah ini.

GAMBAR II. 3
Perhitungan Emisi Indonesia Per Sektor

Sumber : Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

124 Deforestasi di negara berkembang meskipun latar belakangnya beragam, namun secara umum
adalah alasan ekonomi, antara lain kebutuhan pembangunan sejalan dengan bertambahnya populasi tidak
terkecuali Indonesia. Kawasan hutan di Indonesia yang mencapai 120,5 juta ha atau sekitar 60 persen dari
luas total Indonesia, mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung yang telah dikenal secara luas.
Selain berperan sebagai sumber pendapatan untuk 1,35 % angkatan kerja langsung dan 5,4 % angkatan
kerja tidak langsung, sektor kehutanan merupakan salah satu tulang punggung ekonomi nasional pada
periode 1985 sampai dengan saat ini. Emisi gas rumah kaca yang terjadi di sektor kehutanan Indonesia
bersumber dari deforestasi (konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan,
pemukiman, pertambangan, prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan akibat illegal
logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah (slash and burn), serta perambahan. Lihat Food
and Agriculture Organization (FAO): Ownership of forest and other wooded land 2000. FRA (Global
Forest Resources Assessment) 2005—global tables (2005)., Lihat pula D. Agus Purnomo, “Pemilihan
Kepala Daerah dan Deforestasi”., Tempo., A10 8 Maret 2011.

60

Di Indonesia, laju kerusakan hutan lebih banyak dihasilkan dari proses
alih fungsi hutan menjadi kawasan-kawasan HPH-HTI, industri-industri
ekstraktif pertambangan dan perkebunan kelapa sawit skala besar.125 Saat ini saja
diketahui kawasan hutan menyusut dari 143 juta hektar menjadi 72 juta hektar
akibat dikonversi menjadi peruntukan lainnya tersebut. Dalam laporan “The UN
Intergovernmental Panel on Forests” menemukan bahwa penyebab dari
penebangan dan degradasi hutan adalah kebijakan-kebijakan pemerintah yang
menggantikan hutan dengan perkebunan industri, seperti minyak sawit. Ini
terjadi bersamaan dengan semakin majunya industri pertanian di bawah tekanan
dari perkebunan monokultur.126

Perluasan perkebunan minyak sawit adalah penyebab pertama dari
penebangan hutan yang terjadi di Malaysia dan Indonesia. Bersamaan dengan itu,
tingkat penebangan hutan naik secara dramatis di kedua Negara tersebut
beberapa tahun terakhir ini. Di Malaysia terjadi peningkatan sebesar 86% antara
1990 dan 2000, dan antara 2000 dan 2005, dimana perkebunan kelapa sawit
……………..

125 Lihat materi presentasi Direktur Eksekutif WALHI, Abetnego Tarigan., Mencermati Persoalan
Dibalik Alih Fungsi Hutan dengan Study Kasus Kelapa Sawit., disampaikan dalam Lokakarya:
Monitoring Kinerja Penegak Hukum dalam Tindak Pidana Kehutanan Melalui Praktek Alih Fungsi
Hutan., Jakarta, 3 Februari 2010., hlm. 2.

126 Lihat Berry Nahdian Forqan., “Pemanasan Global, Skema Global dan Implikasinya Bagi
Indonesia”., Jurnal Legislasi BPHN., 2010., hlm. 2.

61

meluas sehingga 4.2 juta hektar. Indonesia, dengan wilayah terluas yang
ditanami minyak sawit, memiliki tingkat perusakan hutan tropis terbesar di
dunia.127

Saat beberapa ilmuwan tengah membuktikan sejumlah penyebab dari
perubahan iklim yang terjadi, tidak dapat dielakkan bahwa akibatnya sudah
mulai dirasakan secara nyata.128 Salah satu dampak yang dirasakan meluas
sekarang ini adalah kenaikan air laut yang terjadi secara merata dan massif di
beberapa belahan dunia.129

Bencana kenaikan air laut tidaklah berdiri sendiri. Berbagai bencana
yang menjadi derivasi dari kenaikan air laut hadir antara lain dalam konteks
eksodus besar – besaran dari penduduk yang tinggal dekat dengan garis pantai
………………

127 Lihat 'International Declaration Against the 'Greenwashing' of Palm Oil by the Roundtable on
Sustainable Palm Oil (RSPO), Oktober 2008.

128 Lihat United Nations Framework Convention On Climate Change: Adaptation, Lihat pula
Pew Center On Global Climate Change, Climate Change 101: Adaptation, terdapat dalam situs
http://www.pewclimate.org/docUploads/Adaptation_0.pdf diakses pada tanggal 1 Januari 2012.

129 Lihat Intergovernmental Panel On Climate Change, Contribution Of Working Group I To The
Fourth Assessment Report Of The Intergovernmental Panel On Climate Change., hlm. 421.

62

dan pulau – pulau kecil ke tempat yang lebih aman.130 Kondisi demikian tentu

berdampak pada banyak orang yang akan kehilangan tempat tinggal dan

memaksa mereka untuk mencari tempat baru atau bahkan negara baru untuk

memulai kehidupan baru.131

Pada awalnya kondisi air laut berada dalam kondisi yang stabil, namun

selama kurun waktu abad ke-20 terdapat bukti awal bahwa telah terjadi kenaikan

volume air laut sebanyak 1,7 milimeter setiap tahunnya.132 Dalam hasil kajian

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang dituangkan dalam

Fourth Assessment Report dinyatakan bahwa terdapat 2 (dua) penyebab utama

yang mengakibatkan kenaikan air laut. Pertama, kenaikan permukaan air laut

terjadi sebagai dampak dari ekspansi termal dari air laut yang diakibatkan oleh

130 James Titus salah satu ilmuwan Amerika Serikat mengidentifikasikan terdapat setidaknya 8
(delapan) dampak nyata dari kenaikan air laut : (1) akan terjadi genangan di lahan basah dan dataran
rendah, (2) pengikisan garis pantai, (3) memperburuk kondisi banjir di daerah pesisir, (4) meningkatkan
kadar garam dan pori –pori tanah yang mengganggu kualitas air tanah lainnya, (5) mengubah rentang
pasang surut di sungai dan teluk, (6) mengubah lokasi deposit sedimen sungai, (7) meningkatkan tinggi
gelombang laut dan (8) mengurangi penerimaan cahaya ke dalam bagian dasar laut. Lihat James G. Titus,
Greenhouse Effect, Sea Level Rise and Land Use, 7 Land Use Policy 138, 140 (1990). Lihat pula Norman
Myers with Jennifer Kent, Climate Institute., Environmental Exodus: An Emergent Crisis in the Global
Arena., 1995., hlm.134 – 139. Lihat pula Jeremy Weiss & Jonathan Overpeck, University of Arizona
Department of Geosciences Environmental Studies Laboratory, Climate Change and Sea Level (2006),
terdapat dalam situs http://www.geo.arizona.edu/dgesl/research/other/climate_change_and_sea_ level/
sea_ level_rise/ sea_ level_rise.htm Lihat pula Rising Seas Will Reshape the U.S., L.A. Times, Sept. 23,
2007, hlm. A16 untuk mendalami mengenai dampak kenaikan air laut dalam sejarah Amerika Serikat.
Dalam konteks Indonesia, dampak dari perubahan iklim yang dialami oleh masyarakat di kawasan Pantai
Utara Jawa memberikan dampak berupa rusaknya lahan padi yang mereka miliki sehingga memaksa
mereka mencari pekerjaan lain antara lain di Jakarta untuk menjadi penghibur. Lihat informasi hal ini
dalam situs http://www.thejakartaglobe.com/home/climate-change-drives-exodus-to-jakarta/521778
diakses pada tanggal 14 Oktober 2012.

131 Bahkan diprediksikan pada tahun 2050 akan terdapat 200 juta orang yang akan melakukan
migrasi sebagai dampak dari kenaikan air laut. Lihat Lisa Friedman, Coming Soon: Mass Migrations
Spurred by Climate Change, N.Y. Times, Mar. 2, 2009

132 Dalam kajian yang dilakukan oleh U.S. Environmental Protection Agency ditemukan data
bahwa terjadi peningkatan sebesar 12 – 22 centimeter pada setiap 10 (sepuluh) tahun. Lihat U.S.
Environmental Protection Agency, Sea Level Changes, terdapat dalam situs
http://www.epa.gov/climatechange/science/recentslc.html diakses pada tanggal 2 Januari 2012.

63

menghangatnya air laut. Kedua, kenaikan permukaan air laut terjadi karena
mencairnya beberapa lapisan es di kawasan daratan yang bersumbangsih pada
meningkatnya volume air laut itu sendiri.133

Paling tidak dalam melihat dampak perubahan iklim terhadap kenaikan
air laut terdapat 2 (dua) hal utama yang patut diperhatikan.

Pertama adalah kenyataan bahwa dampak kenaikan air laut tidaklah
dirasakan secara sama oleh semua kondisi wilayah di bumi ini, besar atau
tidaknya dampak yang dirasakan sangat tergantung dari kondisi geografis dari
wilayah yang bersangkutan.134

Kedua adalah kecenderungan untuk semakin meningkatnya akselerasi
dari kenaikan air laut dari tahun ke tahun.135

Dalam konteks kenaikan air laut juga akan terlihat dengan jelas
perbedaan dampak yang diterima dari negara – negara maju dan negara – negara

133 Berdasarkan kajian yang dilakukan mulai dari tahun 1993 sampai dengan 2003 tercatat bahwa
kontribusi dari kedua variabel tersebut sama terhadap kenaikan air laut. Penelitian telah menunjukkan
bahwa sejak 1961 suhu rata – rata air laut secara global telah meningkat menjadi kedalaman sedikitnya
3.000 meter dan telah menyerap lebih dari 80% dari panas yang dikontribusikan ke dalam sistem iklim.
Lihat Intergovernmental Panel on Climate Change, “Working Group I Contribution to the Fourth
Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change,” Climate Change 2007: The
Physical Science Basis (2007)., hlm. 409. Lihat pula Michael Byrnes, Southern Ocean Rise due to
Warming, Not Ice Melts, Environmental News Network, Feb. 18, 2008, terdapat dalam situs
http://www.enn.com/top_stories/article/31325 diakses pada tanggal 30 Desember 2011. Lihat pula Orrin
H. Pilkey & J. Andrew. G. Cooper, Society and Sea Level Rise, 303 Science 1781 (2004). Lihat pula
Nathaniel L. Bindoff et al., Observations: Oceanic Climate Change and Sea Level, in Climate Change
2007. Lihat pula John A. Church, Climate Change: How Fast Are Sea Levels Rising?, 294 Science 802,
802.

134 Lihat Intergovernmental Panel on Climate Change, Contribution of Working Group II to the
Fourth Assessment Report on the Intergovernmental Panel on Climate Change., hlm.336.

135 Ibid.

64

berkembang.136 Secara eksplisit dapat dikatakan bahwa keberadaan negara –
negara kepulauan yang tergolong negara berkembang dan hanya memberikan
kontribusi minimal dalam peningkatan konsentrasi gas rumah kaca justru
menjadi pihak yang lebih menderita sebagai dampak kenaikan air laut.137 Hal ini
dapat ditelusuri melalui beberapa penelitian yang telah dilakukan di beberapa
negara kepulauan kecil. Di Kepulauan Marshal misalnya, kenaikan air laut
sebesar 1 (satu) meter akan mengakibatkan terendamnya daratan di Majuro
Atoll.138 Keadaan serupa dapat ditemui di negara Maldives dengan di dalamnya
terdapat 1300 pulau – pulau kecil yang berukuran rata – rata dua kilometer
persegi yang akan tenggelam seketika saat kenaikan air laut mencapai 2 meter.139

Indonesia sebagai negara kepulauan juga memiliki tingkat kerentanan
yang tinggi dari dampak kenaikan air laut secara massif. Hal ini paling tidak
dapat dilihat dari jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia. Dalam survey yang
dilakukan pada era pemerintahan orde baru, tercatat bahwa Indonesia merupakan
negara kepulauan yang memiliki 17.480 pulau termasuk di dalamnya pulau –
pulau besar seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.140 Namun

136 Lihat IPCC, The Regional Impacts of Climate Change: An Assessment of Vulnerability., hlm.
15 – 16. Lihat pula IPCC, Climate Change 2001: Impacts, Adaptations, and Vulnerability., hlm. 11.

137 Lihat Report of the Global Conference on the Sustainable Development of Small Island
Developing States, Global Conference on the Sustainable Development of Small Island Developing States,
Annex I, part 1, sec. III, U.N. Doc. A/CONF.167/9 (Oct. 1994).

138 Lihat IPCC, Climate Change 1995: Impacts, Adaptations and Mitigation of Climate Change:
Scientific-Technical Analyses., hlm.11.

139 Lihat Toddleoo Tuvalu, New Scientist, Mar. 25, 1989, hlm.22.
140 Lihat “Hasil Survei Terbaru Jumlah Pulau Indonesia” terdapat dalam situs
http://www.antaranews.com/berita/1282043158/hasil-survei-terbaru-jumlah-pulau-indonesia diakses pada
1 Januari 2012.

65

dalam survey lanjutan yang dibuat oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan
pada Agustus 2010 tercatat bahwa saat ini Indonesia hanya memiliki 13.446
pulau.141 Selain itu dengan struktur negara kepulauan seperti Indonesia saat ini
dengan luas 1,904,569 kilometer persegi diperkirakan akan terdapat banyak pulau
– pulau yang akan mengalami kemajuan garis pantai di daerah pesisir. 142

Karakteristik Jakarta sebagai ibukota Indonesia dan juga sebagai pusat
daya tarik ekonomi dan sosial memiliki tingkat kerentanan yang besar terhadap
dampak perubahan iklim pada sektor kelautan. Pada banyak proyeksi dikatakan
bahwa Teluk Jakarta akan mengalami peningkatan setinggi 0,57 centimeter per
tahun dan akan mencapai ketinggian 4,17 meter pada tahun 2050.143 Hal yang
sama pun terjadi di beberapa daerah yang memiliki pusat – pusat usaha strategis
di sepanjang pesisir pantai.144 Kenaikan air laut setinggi satu meter akan
menyebabkan masalah besar pada masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Abrasi
pantai dan mundurnya garis pantai sampai beberapa kilometer menyebabkan banyak
masyarakat kehilangan tempat tinggal dan sumber daya. Di Indonesia penelitian
menunjukkan bahwa kenaikan permukaan air laut setinggi 60 cm akan berpengaruh
langsung terhadap jutaan penduduk yang hidup di daerah pesisir. Panjang garis

141 Lihat “Indonesia Miliki 13.466 Pulau” terdapat dalam situs
http://cetak.kompas.com/read/2011/04/08/03050788/indonesia.miliki.13.466.pulau diakses pada 5 Januari
2012.

142 Lihat kajian dari United Nations Development Programme Indonesia, Sisi Lain Perubahan
Iklim : Mengapa Indonesia Harus Beradaptasi Untuk Melindungi Rakyat Miskinnya., 2007, hlm.8.

143 Lihat Susandi, A, The impact of international greenhouse gas emissions reduction on
Indonesia. Report on Earth System Science, Max Planck Institute for Meteorology, Jerman,2004., hlm. 61.

144 Salah satu sentra beras yang dimiliki oleh Indonesia di kawasan Karawang juga diproyeksikan
sebagai salah satu daerah yang akan mengalami dampak kenaikan air laut dari Pantai Utara Jawa. Lihat
Antonio R. Magalhaes and Nguyen Huu Nih, The Potential Socio-Economic Effects of Climate Change a
summary of three regional assessments., Environmental Change Unit, University of Oxford., hlm.2.

66

pantai Indonesia yang lebih dari 80.000 km memiliki konsentrasi penduduk dan
kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang tinggi, termasuk kota pantai dan
pelabuhan. Demikian juga ekosistem alami seperti mangrove akan banyak
mengalami gangguan dari pelumpuran dan penggenangan yang makin tinggi.145

Laporan Bappedal/KMNLH pada tahun 1999 menyebutkan bahwa
kenaikan muka air laut akibat pemanasan global tahun 1990 – 2100
diprediksikan sebesar 5-10 mm/tahun atau rata-rata 6 mm/tahun. Kenaikan air
laut dapat menyebabkan abrasi pantai, intrusi air asin ke dalam estuarial dan
akuifer, meningkatkan risiko banjir, hilangnya struktur pantai alami maupun
buatan dan terganggunya ekologi pantai. Kerusakan ekologi dapat meliputi
kerusakan batu karang, berkurangnya keanekaragaman hayati, rusaknya hutan
mangrove, serta perubahan sifat biofisik dan biokimia zona pesisir.146

TABEL II. 1
Luas Lahan yang Rentan Terhadap Intrusi Air Laut

dan Kenaikan Muka Air Laut

Sumber : Kajian Kemenlh / Bapedal Kenaikan Air Laut 1990 – 2100

145 Mudiyarso, Daniel. Protokol Kyoto. Implikasinya bagi Negara Berkembang. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas. 2003, hlm. 20-23.

146 Lihat Laporan Kajian Kemenlh / Bapedal Kenaikan Air Laut 1990 – 2100.

67

Sejalan dengan naiknya temperatur permukaan laut, wilayah lautan yang
akan terkena siklon tropis (topan, badai, dan bencana sejenis lainnya) akan
meningkat juga. Siklon tropis ini tidak hanya dirasakan dan mengakibatkan
kerugian bagi negara yang sedang berkembang tapi juga pada negara yang sudah
maju. Potensi perubahan kondisi cuaca secara ekstrim yang berkaitan dengan
perubahan iklim paling tidak dapat dikategorikan dalam 3 (tiga) bentuk utama,
yaitu Pertama kondisi perubahan cuaca sederhana baik berupa penurunan atau
kenaikan suhu udara bumi. Kedua yaitu perubahan yang berkaitan dengan
kondisi cuaca yang lebih kompleks seperti angin topan dan badai. Terakhir
adalah bentuk cuaca ekstrim yang terjadi dalam bentuk masif sehingga
mengakibatkan terjadinya perubahan cuaca dalam skala regional karena
terjadinya sistem iklim secara luas.147

Terdapat paling tidak 2 (dua) argumentasi yang kerap menjadi alasan
korelasi antara perubahan iklim dengan cuaca ekstrim yang terjadi.

Pertama adalah hubungan yang menggambarkan peningkatan suhu bumi
akan merubah distribusi hawa panas dan aliran energi dalam sistem iklim
sehingga kemudian hal inilah yang akan menjadi awal dari cuaca ekstrim yang
terjadi. Hal ini pada akhirnya akan mengubah pola sirkulasi dari atmosfer dan

147 Perubahan iklim di prediksikan selain memiliki dampak dalam jangka waktu yang panjang
seperti halnya penyebaran penyakit dan kenaikan air laut namun juga memiliki dampak yang dapat
dirasakan dalam waktu dekat seperti kenaikan intensitas air hujan dan banjir. Proses inilah yang dianggap
berkontribusi terhadap terjadinya berbagai bencana alam seperti kenaikan suhu secara ekstrim yang
membawa kenakan cuaca panas secara signifikan, badai besar termasuk di dalamnya angin topan dan
angin ribut serta proses gurunisasi dan kebakaran hutan secara masif Lihat Jason Anderson and Dr.
Camilla Bausch Policy Brief for the EP Environment Committee IP/A/ENVI/FWC/2005-35, Climate
change and natural disasters: Scientific evidence of a possible relation between recent natural disasters
and climate change., Brief number 02a/2006., hlm. 2.

68

lautan serta akan memodifikasi siklus hidrologi di mana air yang disirkulasikan
antara permukaan bumi dan udara tidaklah berjalan normal.148

Kedua yang lebih menarik untuk menggambarkan hubungan antara
pemanasan rumah kaca dan cuaca ekstrem. Kondisi perubahan iklim yang
menyebabkan kondisi iklim lebih hangat dari sesungguhnya menghasilkan
berbagai jenis fenomena cuaca yang di luar kondisi normal. Kenaikan suhu bumi
secara global diyakini beberapa ilmuwan akan meningkatkan jumlah air dalam
proses di atas. Selain itu dampak dari proses ini juga akan mengakibatkan
peningkatan kelembaban air di dalam awan sehingga akan mengakibatkan
tingginya curah hujan atau bahkan salju di berbagai belahan dunia dalam kurun
waktu yang tidak diduga.149

Beberapa kejadian telah membuktikan eksistensi dari dampak perubahan
iklim pada sektor cuaca sebagaimana diungkapkan dalam uraian di atas. Badai
Gilbert yang diestimasikan telah menyebabkan kerusakan sampai dengan 6
milyar dollar di Jamaika150, serta Badai Hugo pada 1989 menyebabkan
kerusakan yang luar biasa di kawasan pantai Carolina Amerika Serikat
merupakan contoh nyata dari dampak cuaca ekstrim.151 Pada tahun 1987 Inggris

148 Lihat hasil kajian dari Antarctic Climate & Ecosystems Cooperative Research Centre, Position
Analysis: Climate change, sea-level rise and extreme events: impacts and adaptation issues., 2008.
hlm.11.

149 Ibid., hlm.12.
150 Lihat James L. Franklin, Tropical Cyclone Report Hurricane Proceeding, 13-23 August 2007
National Hurricane Center 31 January 2008., hlm.5.
151 Lihat Eric S. Blake Christopher W, NOAAA Technical Memorandum Nws Nhc-6 The
Deadliest, Costliest, And Most Intense United States Tropical Cyclones From 1851 To 2010., hlm.132.

69

belahan selatan bahkan tertimpa badai terburuk semenjak 1705.152 Sepanjang era

1990-an, berbagai kejadian yang berkaitan dengan keganasan alam telah

menyambangi secara merata hampir di seluruh belahan dunia mulai dari Kanada,

Amerika Serikat, Eropa, Cina Selatan, Vietnam hingga Korea Selatan. Pada

tahun 1993 misalnya bagian pantai selatan Amerika Serikat mengalami bencana
badai salju terbesar selama satu abad terakhir.153 Belahan Asia lainnya pun tidak

tertinggal dalam mengalami bencana ini, pada tahun 1995 terhitung lebih dari

550 orang meregang nyawa di Negara bagian India selatan dan pusat karena
kekeringan berkepanjangan dan hawa panas yang terjadi secara ekstrim.154

Sedangkan pada akhir tahun 1996 merupakan giliran dari Negara Bagian Victoria

di Australia yang mengalami kejadian serupa dengan sangat besar sepanjang
sejarah cuaca di Australia.155 Seakan tidak mau tertinggal, Kanada pada Januari

1998 melengkapi dengan badai es di bagian Pegunungan Montreal dan Ontario
selama seminggu.156 Beberapa fenomena di atas juga disimpulkan oleh peneliti

dari National Aeronautics and Space Administration (NASA), James Hansen,

152 Lihat Risk Management Solutions Report, The Great Storm Of 1987: 20-Year Retrospective.,
London : 2007., hlm.3.

153 Lihat M Hughes, A Frei, dan D A Robinson, “Historical Analysis of North American Snow
Cover Extent”., 53rd Eastern Snow Conference., Williamsburg, Virginia., hlm.5.

154 Lihat R.K. Dubel dan G.S. Prakasa Rao., “Extreme Weather Events over India in the last 100
years”., Journal of India Geography’s Union ., July 2005, Vol.9, No.3, hlm.5.

155 Lihat Joseph E Ibrahim dan Judith McInnes., “Reducing Harm To Older Persons In Victoria
From Extreme Hot Weather”., Final report to the Department of Human Services, Victoria, 2008., hlm.3.
Lihat pula Dr Margaret Loughnan, Professor Neville Nicholls, Professor Nigel Tapper., Temperature
Thresholds Associated With Increased Mortality In Ten Major Population Centres In Rural Victoria,
Australia, Monash Climate School of Geography and Environmental Science, 2008., hlm.1.

156 Lihat David Francis dan Henry Hengeveld, Minister of the Environment Extreme Weather and
Climate Change,.hlm.1.

70

yang menyatakan bahwa perubahan iklim adalah sumber dari adanya berbagai
cuaca ekstrim yang terjadi hampir di seluruh belahan dunia.157

GAMBAR II. 4
Persebaran Bencana Yang Bersumber Dari Perubahan Iklim

Sumber : Media Indonesia, 2 Januari 2012.

Berdasarkan data kejadian bencana yang dicatat dalam International
Disaster Database, sepuluh kejadian bencana terbesar di Indonesia yang terjadi
dalam periode waktu antara tahun 1907 dan 2007 terjadi setelah tahun 1990an
dan sebagian besar merupakan bencana yang terkait dengan iklim, khususnya

157 Lihat hasil pres release dari hasil penelitian NASA yang dituangkan dalam Proceedings of the
National Academy of Sciences mengenai penyebab dari perubahan iklim. Terdapat dalam situs
http://www.washingtonpost.com/opinions/climate-change-is-here--and-worse-th%20an-we-
thought/2012/08/03/6ae604c2-dd90-11e1-8e43-4a3c4375504a_story.html diakses pada tanggal 14
Oktober 2012.

71

banjir, kemudian kekeringan, kebakaran hutan, dan wabah penyakit.158 Hal ini
menunjukkan bahwa kejadian bencana terkait iklim mengalami peningkatan baik
dari sisi frekuensi maupun intensitasnya. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan
oleh beberapa bencana terbesar tersebut mencapai hampir 26 milyar dolar dan
sekitar 70% nya merupakan kerugian akibat bencana yang terkait dengan
iklim.159

Sedangkan menurut World Disaster Report, kerugian ekonomi akibat
bencana iklim di tingkat global yang terjadi sekarang dibanding dengan yang
terjadi di tahun 1950-an sudah meningkat 14 kali lipat, yaitu mencapai 50-100
milyar USD per-tahun. Demikian juga jumlah kematian akibat bencana iklim
juga meningkat 50% per-dekadenya. Pada tahun 2050, apabila pemanasan global
terus terjadi dan tidak ada upaya – upaya adaptasi dan mitigasi yang terencana
dan dilakukan dari sekarang, maka diperkirakan kerugian ekonomi akibat
bencana iklim akan meningkat mencapai 300 milyar dolar per-tahun dan jumlah
kematian bisa mencapai 100 ribu orang per tahun.160

158 Lihat Krishna S Pribadi., “Climate Change Adaptation Research in Indonesia”., Asian
Universities for Environment and Disaster Management: Focusing on Higher Education on Disaster
Reduction and Climate Change Adaptation., hlm.2.

159 Lihat EM-DAT: The OFDA/CRED International Disaster Database.
160 Lihat International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies., World Disaster
Report 2011., hlm.17.

72

GAMBAR II. 5
Kerusakan Rumah Akibat Bencana Indonesia 2011

Sumber : Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Sampai dengan akhir tahun 2011 tercatat bahwa Indonesia merupakan
negara yang sangat rentan terhadap terjadinya berbagai bentuk bencana.161
Sebagaimana terlihat dalam rilis akhir tahun dari Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) bahwa serangkaian dampak dari bencana yang

161 Pada dekade terakhir ini, 90 persen bencana yang terjadi di berbagai belahan dunia terkait

dengan perubahan iklim. Demikian dikemukakan Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia

(WMO) Michel Jarraud dalam pembukaan lokakarya Media 21 Global Journalism Network dengan tema

”Perubahan Iklim III: Dampak Terhadap Kawasan Pantai dan Negara Kepulauan”. Lihat “90 Persen

Bencana Terkait Perubahan Iklim” terdapat dalam situs

http://nasional.kompas.com/read/2008/06/25/10184820/90.persen.bencana.terkait.perubahan.iklim diakses

pada tanggal 2 Januari 2012.

73

terjadi di Indonesia membuat Indonesia layaknya supermarket bencana.162 Saat

kondisi musim hujan maka mayoritas kota – kota besar di Indonesia akan

mengalami banjir yang begitu hebat dan melumpuhkan beberapa sentra – sentra

ekonomi. Sedangkan saat musim kemarau datang, kekeringan berkepanjangan

………………

162 Trend bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Jika tahun 2002 ada 190,
2005 ada 691 bencana dan 2010 ada 2.232 kejadian bencana. Bencana hidrometeorologi seperti banjir,
banjir bandang, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang merupakan jenis
bencana yang dominan di Indonesia. Data bencana tahun 2002-2011 menunjukkan bahwa sekitar 89% dari
total bencana di Indonesia didominasi oleh bencana hidrometeorologi. Bencana hidrometeorologi terjadi
rata-rata hampir 70% dari total bencana di Indonesia. Perubahan iklim global, degradasi lingkungan,
kemiskinan, dan bertambahnya jumlah penduduk makin memperbesar ancaman risiko bencana. Bencana
tersebut telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian yang besar. Pada tahun 2011, bencana di Indonesia
terjadi sekitar 1.598 kejadian bencana. Data ini masih sementara karena belum seluruhnya data di
kementerian/lembaga dan pemerintah daerah terkumpul. Jumlah orang meninggal dan hilang mencapai
834 orang. Menderita dan mengungsi 325.361 orang. Rumah rusak berat 15.166 unit, rusak sedang 3.302
unit dan rusak ringan 41.795 unit. Dari 1.598 kejadian bencana tersebut, sekitar 75% adalah bencana
hidrometerologi. Sedangkan bencana geologi seperti gempa bumi, tsunami dan gunung meletus masing-
masing terjadi 11 kali (0,7%), 1 kali (0,06%) dan 4 kali (0,2%). Dampak yang ditimbulkan oleh gempa
bumi 5 orang meninggal dan rumah rusak sebanyak 7.251 unit. Berdasarkan jumlah kejadian terbanyak,
paling banyak adalah banjir (403 kejadian), kemudian kebakaran (355), dan puting beliung (284). Puting
beliung merupakan fenomena kejadian yang terus meningkat secara tajam jumlah kejadiannya dalam 10
tahun terakhir. Hal ini sangat berkaitan dengan perubahan iklim global dan lingkungan. Berdasarkan
korban meninggal dan hilang, kecelakaan transportasi kapal mendominasi dibandingkan dengan bencana
lain. Korban jiwa dari kecelakaan transportasi 372 orang meninggal, sedangkan tanah longsor 192 orang
dan banjir 160 orang. Kecelakaan yang dimaksud ini bukan lalu lintas. Sedangkan berdasarkan jumlah
orang mengungsi, banjir mencapai 279.523 orang, erupsi gunung api 9.699 orang, dan banjir dan longsor
9.053 orang. Dibandingkan dengan tahun 2010, jumlah kejadian dan korban serta kerugian yang
ditimbulkan bencana lebih kecil pada tahun 2010. Pada tahun 2010, jumlah kejadian bencana mencapai
2.232 kejadian. Jumlah korban meninggal dan hilang mencapai 2.139 orang, menderita dan mengungsi
sekitar 1,7 juta orang dan menimbulkan rumah rusak berat 52.401unit. Bencana banjir bandang Wasior,
tsunami Mentawai dan erupsi Gunung Merapi adalah bencana terbesar pada tahun 2010. Lihat Press
Release Akhir Tahun Badan Nasional Penanggulangan Bencana 2011., “Bencana Terus Meningkat:
Statistik Bencana 2011” terdapat dalam situs http://www.bnpb.go.id/website/asp/berita_list.asp?id=704
diakses tanggal 2 Januari 2012

74

juga akan memberikan dampak yang sama buruknya ditambah lagi dengan
bencana lainnya sebagai bentuk derivasi dari cuaca yang tidak bersahabat.163

2.2. Perubahan Iklim sebagai Kajian Internasional
Kondisi faktual di atas menegaskan bahwa kondisi perubahan iklim

tidaklah mempunyai limitasi dari segi tempat dan waktu. Oleh karena itu pula
melatarbelakangi perhatian dalam ranah penelitian dan kegiatan berbasis
akademis.

Beberapa karya para ilmuwan yang membicarakan tentang perubahan
iklim memang telah dimulai sejak waktu yang relatif lama. Salah satu tulisan
pada awal pembahasan tentang perubahan iklim pernah dipublikasikan pada
tahun 1827 oleh Baron Jean-Baptiste Fourier. Tulisan ini untuk pertama kalinya
mengutarakan bahwa kondisi iklim yang ada dapat berubah akibat aktifitas
manusia.164 Pada saat itu jelas publikasi dari Fourier disambut dengan
ketidakpercayaan dari beberapa kalangan karena tidak mampu untuk didukung
oleh data yang valid dan hanya bersandar pada asumsi dari Fourier semata.
Kebuntuan ini pun menarik perhatian dan dikembangkan oleh pemikir lainnya,
antara lain pada tahun 1890 John Tyndall yang memberikan sumbangsih dengan
menyuguhkan serangkaian data mengenai daya serap dari berbagai komponen

163 Berbagai bencana yang hadir baik yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung
terkait cuaca ekstrim ditengarai memiliki kaitan dengan perubahan iklim. Mulai dari bencana yang terkait
dengan kecelakaan transportasi sebagai bentuk dampak langsung dari cuaca ekstrim sampai dengan
konflik sosial yang timbul di tengah bencana yang terjadi. Lihat “Rekapitulasi Bencana Tahun 2011”
terdapat dalam situs http://www.bnpb.go.id/website/asp/content.asp?id=3 diakses pada tanggal 2 Januari
2011.

164 Lihat informasi yang terdapat dalam C. J. van der Veen., “Fourier and The “Greenhouse
Effect” , Polar Geography, 2000., hlm. 132.

75

gas yang ada dalam ekosistem bumi.165 Publikasi dari Tyndall ini tentu saja

memiliki peran penting dalam memberikan gambaran lebih nyata terhadap

perubahan iklim. Hal ini pula coba membantah keraguan terhadap adanya potensi
perubahan pada kondisi iklim yang tidak hanya terjadi secara natural.166

Salah satu ilmuwan yang terkenal dalam pembahasan perubahan iklim
dalam abad ini adalah Svante Arrhenius.167 Pada tahun 1896, Arrhenius

memberikan proyeksi ke depan bahwa perubahan cuaca secara global akan

dihadapi oleh umat manusia dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama sebagai

akibat dari tindakan manusia dalam meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca.

Lebih lanjut Arrhenius merincikan prediksinya bahwa akan terjadi penggandaan

(doubling) komposisi CO2 di lapisan atmosfir yang akan meningkatkan suhu
permukaan bumi sebanyak 5 derajat Celcius.168 Namun sayangnya, pada masa

tersebut jumlah peningkatan dari komposisi CO2 di lapisan atmosfir belum
menjadi perhatian utama dari para ilmuwan. Perhatian masyarakat ilmuwan

internasional mulai teralihkan kepada masalah perubahan iklim secara serius

165 Lihat Grafi H., A Discernible Human Influence On The Global Climate. How The IPCC
Affected Climate Politics. Gaia, 18(3)., 2001., hlm. 255–256.

166 Lihat Op. Cit., hlm. 136.
167 Svante Arrhenius merupakan seorang ilmuwan kelahiran Swedia pada 19 Februari 1859.
Arrhenius dalam karirnya dikenal sebagai ahli di bidang fisika dan juga kimia sehingga beberapa lokasi di
Stockholm University menggunakan namanya sebagai tempat kelas. Salah satu sumbangsihnya dalam
rezim perubahan iklim adalah karyanya On the Influence of Carbonic Acid in the Air upon the
Temperature of the Ground yang menjelaskan mengenai pengaruh karbon dioksida terhadap perubahan
iklim. Lihat Svante Arrhenius, 1896, “Influence of Carbonic Acid in the Air upon the Temperature of the
Ground”, London, Edinburgh, and Dublin., Philosophical Magazine and Journal of Science (fifth series),
April 1896. Volume 41, hlm. 237–275.
168 Lihat Svante Arrhenius, 1896, On the Influence of Carbonic Acid in the Air upon the
Temperature of the Ground, London, Edinburgh, and Dublin Philosophical Magazine and Journal of
Science (fifth series), April 1896. vol 41, hlm. 240.

76

pada saat Guy Stewart Callendar pada era 1930an dalam publikasinya
menyampaikan secara ilmiah korelasi dari kegiatan manusia (anthropogenic)
melalui pembakaran bahan bakar fossil dengan peningkatan konsentrasi emisi
CO2 yang terdapat dalam lapisan atmosfir.169

Data ilmiah selanjutnya pada era 1950-an dan 1960-an disuguhkan oleh
Roger Revelle dan beberapa ilmuwan Amerika Serikat lainnya dengan
menggambarkan bahwa kemampuan dari laut untuk menyerap emisi CO2 yang
dihasilkan oleh tindakan manusia memiliki keterbatasan, sehingga perlu adanya
tindakan nyata dalam rangka mengeliminasi penyebab perubahan iklim.170
Bahkan Revelle dalam laporan pada terbitan berikutnya yang tertuang pada
laporan resmi United States (US) Presidential Advisory Council tentang isu – isu
lingkungan hidup menguatkan pemahaman bahwa pembakaran bahan bakar fosil
menjadi penyebab utama peningkatan kadar emisi CO2 yang berujung pada
kenaikan suhu di muka bumi.171

Dalam dekade belakangan ini memang dampak nyata dari perubahan
iklim dapat dirasakan lebih masif dibandingkan dari dekade – dekade
sebelumnya. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa pada abad 20,
temperatur rata – rata bumi naik 0,4 – 0,8oC. Kenaikan ini diduga akan terus

169 Dalam perkembangannya pada saat itu preposisi yang disampaikan oleh Callendar dikenal
dengan istilah ‘‘Callendar-Effect’’ yang terus menerus dikaji dalam ranah ilmiah sampai dengan akhir era
1950an. Lihat Callendar GS (1938) The Artificial Production Of Carbon Dioxide And Its Influence On
Temperature. Quarter Journal Meteorologi Social 64., hlm. 223.

170 Lihat Weart SR (2009) The Discovery Of Global Warming. Terdapat dalam situs
http://www.aip.org/history/climate/index.html. diakses pada tanggal 15 Januari 2012.

171 Lihat The White House Restoring The Quality Of Our Environment. Report of the
Environmental Pollution Panel President’s Science Advisory Committee. ( 1965) Washington, DC., hlm.
125.

77

berlangsung, dan pada tahun 2100 temperatur rata-rata global akan menjadi 1,4-
5,8oC lebih hangat.172 Para ilmuwan percaya bahwa peningkatan kualitas dan
kuantitas perubahan iklim yang terjadi belakangan ini dikontribusikan secara
mayoritas oleh manusia yang mempercepat akselerasi gejala alam pada
umumnya. Beberapa variabel menjadi unsur utama dalam tindakan manusia yang
mengubah sistem iklim berasal dari kegiatan industri, peternakan, proses land
clearing dan perubahan dari fungsi lahan.173

Pada prinsipnya unsur – unsur iklim seperti suhu udara dan curah hujan
dikendalikan oleh keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer.174 Radiasi
matahari yang sampai di permukaan bumi berupa cahaya sebagian diserap oleh
permukaan bumi dan atmosfir di atasnya. Rata – rata jumlah radiasi yang
diterima bumi berupa cahaya seimbang dengan jumlah yang dipancarkan
kembali ke atmosfir berupa inframerah yang bersifat panas dan menyebabkan
pemanasan atmosfir bumi. Gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2),
metana (CH4), nitrous oksida (N2O) dan uap air (H2O) yang terdapat di atmosfer
…………….

172 Lihat Tompkins, Heather. Climate Change and Extreme Weather Events: Is there a
Connection? 2002,terdapat dalam situs http://www.cicero.uio.no/media/1862.pdf diakses pada tanggal 1
Januari 2012

173 Lihat Ando Arike, Owning the Weather: The Ugly Politics of the Pathetic Fallacy, Harper's
Magazine., Jan. 2006, hlm.72. Lihat pula Elisabeth Rosenthal & Andrew C. Revkin, Science Panel Says
Global Warming is ‘Unequivocal,’ N.Y. Times, Feb. 3, 2007, hlm. A1

174 Lihat Elizabeth Kolbert, Field Notes from a Catastrophe: Man, Nature, and Climate Change.,
2006., hlm. 35-44.

78

secara alami menyerap radiasi panas tersebut di atmosfer bagian bawah. Inilah

yang disebut dengan efek rumah kaca.175

Tanpa adanya gas rumah kaca alami tersebut, suhu bumi akan 34° C lebih

dingin dari yang kita alami sekarang.176 Namun masalah mulai terjadi seiring

dengan meningkatnya taraf hidup dan juga gaya hidup dari manusia yang

memicu meningkatnya penggunaan bahan bakar fosil sejak revolusi industri pada

pertengahan tahun 1880-an.177 Meskipun dalam dekade terakhir ini emisi Metana

(CH4) mengalami penurunan hingga 22 juta ton per tahun dari 27 juta ton per

tahun pada dekade sebelumnya, dan emisi nitrous oksida (N2O) juga mengalami

penurunan walau sedikit dari 3,9 juta ton per tahun menjadi 3,8 juta ton per

tahun. Keadaan sebaliknya terjadi ada pos emisi karbon dioksida (CO2) yang

meningkat lebih dari dua kali lipat dari 1400 juta ton per tahun menjadi 2900 juta

ton per tahun dalam dekade yang sama. Akumulasi peningkatan dari gas rumah

175 Lihat . R. Petit et al., Climate and Atmospheric History of the Past 420,000 Years from the
Vostok Ice Core, Antarctica, 399 Nature 429 (1999)., hlm. 431.

176 Secara periodik dan alami sesungguhnya iklim bumi mengalami fluktuasi antara musim dingin
dan musim panas pada setiap era nya. Sherwood Rowland dalam karyanya mengatakan bahwa “During
the last million years, the Earth has passed through a series of very cold spells (the Ice Ages) interspersed
with warmer, interglacial periods, such as the current one which began about 10,000 years ago.” Lihat F.
Sherwood Rowland, “Atmospheric Changes Caused by Human Activities: From Science to Regulation”,
27 Ecology Law Quarterly., 2000-2001., hlm. 1284 – 1285.

177 Revolusi industri pada satu sisi secara massif meningkatkan produktivitas di belahan Eropa,
namun pada sisi lain kegiatan produksi pada saat itu dilakukan dengan basis bahan bakar fosil sebagai
komoditas utama seperti batu bara, minyak dan gas alam. Proses ini lah yang kemudian meningkatkan
nilai kandungan komponen gas rumah kaca di lapisan atmosfer. Lihat Leah H. Martinez, Post Industrial
Revolution Human Activity and Climate Change: Why the United States Must Implement Mandatory
Limits on Industrial Greenhouse Gas Emissions, 20 Journal Land Use & Environmental Law. 403, 404
(2005). Lihat pula Climate Change 2001, Lihat pula Intergovernmental Panel on Climate Change, Climate
Change 2001: The Scientific Basis (2001), Perdebatan mengenai hal ini juga pernah dimuat dalam media
masa Amerika Serikat. Lihat Andrew C. Revkin, Warming's Likely Victims, N.Y. Times, Feb. 19, 2001,
hlm. A4.; Lihat pula Mark A. Drumbl, Poverty, Wealth, and Obligation in International Environmental
Law, 76 Tulane Law Review 843, 872 (2002).

79

kaca inilah yang secara umum meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca secara
keseluruhan. 178

TABEL II. 2
Karakteristik Gas Rumah Kaca Utama

Karakteristik CO2 CH4 N2O
Konsentrasi pada pra Industri 290 ppmv 700 ppbv 275 ppbv
311 ppbv
Konsentrasi pada 1992 355 ppmv 1714 ppbv 314 ppbv
0,8 ppbv
Konsentrasi pada 1998 360 ppmv 1745 ppbv
0,3
Laju pertumbuhan per tahun 1,5 ppmv 7 ppbv 114
206
Prosentase pertumbuhan per tahun 0,4 0,8

Masa hidup (tahun) 5 – 200 12 – 17

Kemampuan memperkuat radiasi 1 21

Keterangan : ppmv = part per million; ppbv = part per billion

Sumber : Intergovernmental on Panel Climate Change, 2007, hlm.196.

Keberadaan unsur uap air (H2O) sebenarnya secara kimiawi merupakan

gas rumah kaca yang paling potensial serta pengaruhnya dapat segera dirasakan,

misalnya pada saat keawanan dan kelembaban menjelang turun hujan dengan

intensitas tinggi. Udara akan terasa panas karena radiasi gelombang panjang

yang tertahan uap air atau mendung yang menggantung di atmosfir. Namun, H2O
tidak diperhitungkan sebagai gas rumah kaca yang efektif dan tidak

dipergunakan dalam prediksi perubahan iklim karena pertimbangan keberadaan

atau masa hidup dari zat tersebut sangat singkat yaitu 9,2 hari. Sementara itu

untuk karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O) memiliki
masa hidup yang lebih panjang.

Merujuk pada dasar perhitungan teknis umur serta masa hidup dari

beberapa gas utama yang termasuk gas rumah kaca di atas dapat disimpulkan

178 Lihat Intergovernmental Panel on Climate Change, Climate Change 2007: The Physical
Science Basis, Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change (2007)., hlm. 74.

80

bahwa dampak saat ini merupakan akumulasi dari tahun – tahun sebelumnya.
Oleh karena itu meskipun langkah pengurangan emisi dilakukan secara sporadis
dalam kurun waktu yang singkat sekalipun, tidak mampu untuk menghentikan
dampak secara seketika. Bahkan dampak tersebut akan bertahan dalam waktu
puluhan atau ratusan tahun ke depan.179

Pertimbangan lainnya yang patut diperhatikan adalah kemampuan masing
– masing zat untuk memperkuat radiasi (radiative forcing). Meskipun
konsentrasi dan laju pertumbuhan metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O) relatif
rendah, namun kemampuan untuk memperkuat radiasi gelombang pendek
menjadi gelombang panjang yang bersifat panas jauh lebih besar dibandingkan
dengan karbon dioksida (CO2) yang konsentrasi dan pertumbuhannya jauh lebih
besar. Kedua gas rumah kaca yang disebutkan di awal tersebut masing – masing
mampu untuk memperkuat radiasi sekitar 20 dan 200 kali kemampuan karbon
dioksida (CO2).180

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan iklim
sekarang ini merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan lagi telah terjadi
pada saat ini. Adapun sifat lintas batas dari perubahan iklim dari karakteristik
dapat dilihat terjadi dalam 2 (dua) dimensi yaitu dimensi lintas batas negara
karena aspek perubahan iklim yang global sehingga tidak terikat ruang dan
dimensi lintas batas waktu karena perubahan iklim yang diakibatkan oleh gas
emisi rumah kaca memiliki waktu hidup yang relatif lama.

179 Lihat Daniel Murdiyarso., Seri Perubahan Iklim : Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi
Konvensi Perubahan Iklim (Jakarta : Kompas, 2005), hlm. 13.

180 Ibid., 14.

81

2.3. Upaya Mitigasi Gas Rumah Kaca sebagai Pilihan Penanggulangan
Perubahan Iklim
Serangkaian bukti ilmiah yang terungkap dalam melihat sumber dan

dampak dari perubahan iklim baik pada sektor ekologi, ekonomi maupun sosial
sebagaimana diungkapkan di atas cukup menarik perhatian masyarakat
internasional pada umumnya dan negara sebagai subyek hukum utama dalam
hukum internasional pada khususnya.181 Dampak yang lebih nyata dan rentan tentu
akan dirasakan bagi masyarakat miskin di negara – negara berkembang. Dalam
sebuah penelitian yang dirilis oleh Nicholls et al misalnya memprediksikan bahwa
dengan pola konsumsi bahan bakar fossil seperti sekarang ini maka pada tahun
2080 masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai – sungai negara berkembang
seperti tepi Sungai Nil, Sungai Mekong dan Sungai di Bangladesh akan mengalami
dampak perubahan iklim secara massif.182

Kondisi yang digambarkan di atas tidak dapat dipungkiri menjadi beban
bagi banyak negara dalam menentukan langkah yang tepat dalam penanggulangan
perubahan iklim. Berbagai bentuk pilihan kebijakan memang tersedia untuk
dilakukan oleh masing – masin negara, namun sebagai sebuah masalah yang
berdampak global tentu tidak akan mudah dalam menentukan pilihan. Atas dasar

181 Salah satu pendapat datang dari Inggris Sir David King yang mengatakan bahwa “Climate
change is the most severe problem that we are facing today, more serious even than the threat of
terrorism” Lihat David A. King, “Climate Change Science: Adapt, Mitigate, or Ignore”, 303 Science.,
2004., hlm. 176.

182 Lihat R. J. Nicholls, F. Hoozemans, M. Marchand, Global Environment Change, 1999., hlm.
569.

82

tersebut dalam hasil kerja Working Group III dari Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) pada tahun 1995 memberikan arahan bahwa183 :

“…a considerable number of remaining uncertainties (which
are inherent in the complexity of the problems), the potential
for irreversible damages or costs, a very long planning
horizon, long time lags between emissions and effects, wide
regional variation in causes and effects, the irreducibly
global scope of the problem, and the need to consider
multiple greenhouse gases and aerosols. Yet another
complication arises from the fact that effective protection of
the climate system requires global cooperation.”

Dari rumusan di atas, IPCC memberikan 3 (tiga) rekomendasi tindakan
utama yang dapat digunakan pada saat itu yaitu mitigasi, adaptasi dan
penelitian.184

Dalam perkembangannya 2 (dua) opsi yang disebutkan pertama dalam
paragraf di atas menjadi opsi yang banyak dipilih oleh banyak negara. Pertama
adalah melakukan tindakan yang berbasis adaptasi berupa penyesuaian –
……………………..

183 Lihat Intergovernmental Panel on Climate Change, Climate Change 1995: Economic and
Social Dimensions of Climate Change Contribution of Working Group III to the Second Assessment
Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change., hlm. 5.

184 Ibid., hlm.8.

83

penyesuaian terhadap dampak yang dirasakan di masing – masing negara.185

Kedua adalah tindakan yang berbasis pada upaya mitigasi yang menitikberatkan

pada upaya pengurangan konsentrasi emisi gas rumah kaca di lapisan atmosfir

secara sistematis dan berkelanjutan.186

Kedua instrumen di atas pada hakikatnya memberikan manfaat masing –

masing untuk proses penanggulangan perubahan iklim. Dalam konteks mitigasi

setiap masyarakat internasional akan melakukan serangkaian kebijakan dalam

rangka melakukan tindakan nyata dalam mengurangi sumber – sumber emisi,

185 Adaptasi dalam konteks perubahan iklim dapat diartikan dalam beberapa definisi antara lain
definisi Adaptasi yang digunakan dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang
merujuk pada pengertian “Adjustment in natural or human systems in response to actual or expected
climatic stimuli or their effects, which moderates harm or exploits beneficial opportunities”. Sedangkan
definisi Adaptasi menurut Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change
diartikan sebagai “Practical steps to protect countries and communities from the likely disruption and
damage that will result from effects of climate change.” Definisi lain juga diberikan oleh badan
Perserikatan Bangsa Bangsa yang membawahi pembangunan, United National Development Programme
yang mengartikan Adaptasi sebagai “Is a process by which strategies to moderate, cope with and take
advantage of the consequences of climatic events are enhanced, developed, and implemented. Dari ketiga
definisi di atas, terdapat titik singgung di antara ketiganya yaitu pemahaman bahwa adaptasi merupakan
suatu proses penyesuaian terhadap kondisi lingkungan yang ada. Bahkan secara lebih lengkap IPCC
memberikan panduan bahwa proses adaptasi dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti tindakan
antisipasi, tindakan reaksioner dan tindakan perencanaan. IPCC pula menekankan pada pemahaman
bahwa adaptasi tidak hanya bertitik berat kepada manusia namun menyentuh kepada seluruh sistem
ekologi. Lihat Intergovernmental Panel on Climate Change, Climate Change 2007: Impacts, Adaptation,
and Vulnerability: Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the IPCC app. 1,
hlm. 878.

186 Terminologi Mitigasi dalam kamus yang dirilis oleh Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) sebagai “Technological change and substitution that reduce resource inputs and emissions
per unit of output. Although several social, economic and technological policies would produce an
emission reduction, with respect to climate change, mitigation means implementing policies to reduce
GHG emissions and enhance sinks.” Definisi berbeda diberikan oleh United Nations Framework
Convention on Climate Change yang mengatakan bahwa Mitigasi sebagai “a human intervention to
reduce the sources or enhance the sinks of greenhouse gases”. Selain kedua mekanisme penanggulangan
perubahan iklim di atas, sebenarnya juga terdapat opsi terakhir yaitu tidak bertindak sama sekali terhadap
ancaman perubahan iklim yang terjadi. Lihat John P. Holdren, President & Director of Woods Hole
Research Centre., “Meeting the Climate-Change Challenge, Eighth Annual John H. Chafee Memorial
Lecture on Science and the Environment” dalam, 8 Meeting the Climate-Change Challenge., 2008., hlm.
13.

84

sedangkan dalam konteks adaptasi masyarakat internasional akan mencoba untuk
mengurangi sensitivitas dari pengaruh nyata perubahan iklim.187

Memang tidak dapat dipungkiri mekanisme mitigasi dalam penanggulangan
masalah lingkungan hidup pada umumnya dan konteks perubahan iklim pada
khususnya lebih populer dibandingkan dengan upaya adaptasi.188 Namun kini
seiring dengan meningkatnya pemahaman masyarakat luas terhadap perubahan
iklim itu sendiri maupun terhadap konsep adaptasi, perhatian terhadap harus
adanya upaya sinergi antara mitigasi dan adaptasi pada tataran kebijakan dirasakan
sebagai sebuah isu yang penting.189

Sejumlah ahli membagi 2 (dua) mekanisme disebut di atas mengatur subjek
yang berbeda dalam rezim perubahan iklim. Mitigasi dalam pendapat ahli
mengatakan ditujukan kepada negara – negara maju yang telah mapan dengan
pertumbuhan ekonomi serta pembangunan berbasis sumber energi yang begitu
tinggi, atas dasar itu perlu ada tindakan pengurangan emisi yang dihasilkan.190
Sedangkan adaptasi dalam pendapat ahli pada umumnya ditujukan kepada negara –

187 J. Houghton and B. Metz et al., Climate Change 2001: Mitigation (Cambridge: Cambridge
University Press, 2001)., hlm. 13.

188 Menurut sebagian kalangan berpendapat bahwa Adaptasi dalam konteks perubahan iklim lebih
lemah karena hanya membahas setelah dampak dari perubahan iklim itu dirasakan tanpa mampu
mengurangi sumber dari dampak tersebut. Lihat J.B. Ruhl, “Climate Change Adaptation and the Structural
Transformation of Environmental Law”, Environmental Law Review, Vol. 40, 2010., hlm. 369.

189 Lihat Robin Kundis Craig, “Stationarity Is Dead : Long Live Transformation: Five Principles
for Climate Change Adaptation Law”, Harvard Environmental Law Review, Vol. 34, 2010. hlm. 18-19.

190 Lihat Pielke, R.A., “Rethinking the Role of Adaptation in Climate Policy”., Global
Environmental Change, Vol. 8(2), 1998., hlm. 159–170.

85

negara berkembang atau miskin karena golongan ini lah yang mempunyai tingkat
kerentanan lebih besar dalam menerima dampak perubahan iklim.191

Perbandingan antara konsep mitigasi dan adaptasi juga dilakukan oleh

Thomas J. Wilbanks, Sally M. Kane et. al dalam karya mereka Integration
Mitigation and Adaptation.192 Dalam penelitian ini diungkapkan beberapa

indikator yang menjadi perbedaan nyata antara konsep mitigasi dan adaptasi.

Pertama, bersandar pada parameter momentum waktu yang melandasi

perhitungan untung rugi dari mitigasi dan adaptasi. Mitigasi sebagai upaya

pengurangan emisi tentu harus dilakukan secepat mungkin dengan biaya yang

harus ditanggung saat ini namun dengan bukti nyata atau keuntungan yang akan

diterima di jauh kemudian hari. Sebaliknya, adaptasi mempunyai kemungkinan

untuk mengeluarkan biaya sepanjang proses penyesuaian dilakukan dan dengan
keuntungan yang dirasakan seketika pada saat itu.193

191 Dalam beberapa dokumen hasil kajian dan penelitian lembaga internasional baik dalam
lingkup Perserikatan Bangsa Bangsa maupun institusi lainnya secara nyata menyebutkan bahwa negara –
negara berkembang dengan keterbatasan dalam bidang teknologi dan finansial memiliki kerentanan lebih
tinggi dibandingkan dengan negara – negara maju. Dalam laporan Sidang Umum Perserikatan Bangsa
Bangsa misalnya, menggunakan terminologi negara – negara yang tergolong dalam Least developed
countries (LDCs) dan Small island developing states (SIDS) sebagai kelompok yang sangat rentan
terhadap dampak perubahan iklim dari segi lingkungan, ekonomi dan sosial budaya. Lihat United Nations
General Assembly, Climate Change And The Most Vulnerable Countries: The Imperative To Act, 2008.
Lihat pula Draft Final Report of the AIACC Project, Climate Change Vulnerability and Adaptation in
Developing Country Regions., 2007. Lihat pula Daniel Cole, “Climate Change, Adaptation, and
Development”, UCLA Journal Environmental Law & Policy, Vol. 26, 2008., hlm.2. Lihat pula Orr
Karassin, “Mind the Gap: Knowledge and Need in Regulating Adaptation to Climate Change”, Georgia
International Environmental Law Review., Vol. 22, 2010 hlm. 383. (“[G]lobal attention has focused on
adaptation needs in developing countries ....”).

192 Thomas J. Wilbanks, Sally M. Kane, Paul N. Leiby, Robert D. Perlack, Chad Settle, Jason F.
Shogren & Joel B. Smith., “Possible Responses to Global Climate Change: Integrating Mitigation and
Adaptation”, 2003., Environment: Science and Policy for Sustainable Development, 45:5, hlm. 28-38.

193 Ibid., hlm.31.

86

Parameter kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah limitasi dari
mitigasi dan adaptasi dari pendekatan tempat. Walaupun praktek dari kebijakan
mitigasi kerap kali dilakukan pada tingkatan lokal, namun hal ini akan berdampak
pada tingkatan global dengan menurunnya angka emisi gas rumah kaca di lapisan
atmosfer. Sedangkan mekanisme adaptasi yang dilakukan pada tingkatan lokal
hanya akan memberikan keuntungan praktis pada tingkatan lokal tertentu saja.194
Model seperti ini menguatkan bukti ilmiah bahwa tindakan adaptasi menekankan
kepada perlunya penyesuaian terhadap dampak sedangkan mitigasi bertitik berat
kepada penyebab dari perubahan iklim.

GAMBAR II. 6
Perubahan Iklim Dalam Dimensi Kebijakan

MITIGASI

KEBIJAKAN
PERUBAHAN IKLIM

ADAPTASI

Terakhir, komparasi dapat dilakukan antara pilihan mitigasi dan adaptasi
melalui pendekatan yang berkaitan dengan uncertainty perubahan iklim sebagai

194 Ibid., hlm.32.

87

variabel yang harus dipertimbangkan. Dalam konsep mitigasi, tindakan harus

segera dilakukan walaupun masih terdapat ketidakpastian terhadap perubahan

iklim. Hal ini dilatarbelakangi pada tindakan mitigasi akan terlambat jika

menunggu adanya kepastian ilmiah terlebih dahulu. Sebaliknya, konsep adaptasi

akan berjalan efektif jika sudah terdapat gambaran dan proyeksi mengenai

perubahan iklim sebagai suatu fenomena yang valid. Hal ini lah yang kemudian
akan digunakan sebagai landasan penyesuaian dalam kerangka adaptasi.195

TABEL II. 3
Perbandingan Mitigasi dan Adaptasi

Dalam Perubahan Iklim

Variabel Mitigasi Adaptasi
Pembanding

Momentum Waktu Berbuat sekarang untuk Berbuat sekarang untuk

manfaat di masa yang akan manfaat saat ini dan akan

datang datang

Limitasi Tempat Berbuat pada tingkat lokal Berbuat pada tingkat lokal
dan bermanfaat pada untuk kemanfaatan lokal
tingkat global

Uncertainty Tidak tergantung pada Bersandar pada dampak
dan proyeksi nyata terlebih
ketidakpastian untuk dahulu untuk penyesuaian

menghindari keterlambatan

bertindak

Diadaptasi dari : T. J. Wilbanks, S. M. Kane, P N. Leiby, R. D. Perlack, C. Settle, J. F. Shogren,
dan J. B. Smith., Possible Responses to Global Climate Change: Integrating
Mitigation and Adaptation, 2003, hlm.30.

Dari perbandingan di atas, baik melihat dalam perspektif keadilan iklim
yang diusung sebagai landasan teori dalam penelitian disertasi ini serta
memperhatikan dampak dan penyebab dari perubahan iklim yang telah
diungkapkan dalam sub bab sebelumnya terdapat beberapa alasan pendekatan

195 Ibid., hlm.33.

88

mitigasi menjadi pilihan dalam pembahasan ini. Pertama, dalam konteks penyebab
dan dampak dari perubahan iklim dapat dilihat bahwa perubahan iklim merupakan
suatu bencana yang tidak mengindahkan batasan waktu dan tempat. Konsep
mitigasi memiliki keunggulan pada saat mampu mencakup proses penanggulangan
perubahan iklim dalam waktu yang relatif lama dan tidak hanya bermanfaat pada
tingkat lokal semata.

Selanjutnya, dalam perspektif keadilan iklim upaya mitigasi mempunyai
celah untuk dapat melakukan kajian berdasarkan keadilan masing – masing pihak.
Pendekatan adaptasi yang kadang hanya berbasis pada kemampuan masing –
masing negara untuk dapat melakukan penyesuaian berkaitan hal yang bersifat
teknis dalam upaya penanggulangan perubahan iklim, sedangkan mitigasi lebih
bicara tentang upaya penurunan yang kerap kali dibicarakan pada tingkatan
regulasi internasional.

Terakhir, penelitian disertasi yang dilakukan dalam perspektif Indonesia ini
akan melakukan kajian mendalam mengenai upaya yang dapat dilakukan dalam
mitigasi perubahan iklim. Hal ini dilatarbelakangi kondisi bahwa negara
berkembang seperti halnya Indonesia mempunyai potensi untuk peningkatan
sumbangsih peningkatan konsentrasi gas rumah kaca sebanyak 84%. Oleh karena

89

itu penekanan pada upaya mitigasi mempunyai peran besar dari upaya
menghadirkan konsep keadilan iklim.196

GAMBAR II. 7
Perbandingan Kontribusi Negara Maju

Dan Negara Berkembang

Sumber : World Resources Institute (WRI). Projections are based on EIA (2003) (reference case,
CO from fossil fuels) and POLES (non-CO2
2 gases) (EC 2003).

2.4. Tanggapan Masyarakat Internasional dalam Penanggulangan Perubahan
Iklim
Perubahan iklim hadir sebagai suatu bentuk fenomena yang menarik

perhatian masyarakat internasional dalam abad ke 19 hingga saat ini. Dampaknya
yang dirasakan tidak mengenal batas wilayah dan waktu membuat banyak pihak
dalam tataran internasional, regional dan nasional merasakan perlu adanya payung

196 Lihat misalnya kajian dalam Fabian Schuppert, “Climate Change Mitigation and
Intergenerational Justice”, Environmental Politics, 2011., hlm. 303. Dalam penelitiannya ini Schuppert
mencoba untuk menggunakan analisis terhadap 3 (tiga) instrumen utama dalam melihat korelasi antara
mitigasi dan keadilan intra generasi yaitu tradable emission permits, carbon emission taxes dan personal
ecological space quotas. Dalam kesimpulannya, Schuppert melihat adanya kelemahan dan kelebihan dari
masing – masing instrumen dan perlu adanya penguatan konteks keadilan di dalamnya.

90

hukum yang memberikan perlindungan bagi manusia dan juga ekosistem baik pada
saat ini maupun di masa yang akan datang. Penyebab dan dampak dari perubahan
iklim yang diuraikan pada bagian awal dari bab ini selain menghadirkan
kontroversi dalam perspektif keadilan iklim namun juga memberikan respons
global dari masyarakat internasional.

Walaupun tidak dibicarakan secara khusus, isu yang terkait dengan
perubahan iklim telah disentuh dalam pertemuan masyarakat internasional pertama
kali dalam membicarakan eksistensi manusia dan lingkungan hidup di Stockholm
1972.197 Salah satu isu yang terkait dengan perubahan iklim yang telah dirintis
sejak Stockholm Conference 1972 adalah melihat masalah perubahan iklim sebagai

197 Pertemuan yang diadakan pada tanggal 5–16 Juni 1972 ini dihadiri oleh 113 negara, 19 agensi
antarpemerintahan, dan lebih dari 400 organisasi nonpemerintah dari berbagai penjuru dunia. Dalam
pertemuan ini menghasilkan suatu deklarasi yang bersisi 26 butir prinsip-prinsip utama dan action plan
yang harus diadopsi negara peserta di bidang pengembangan manusia dan lingkungan secara khusus. 26
Prinsip yang dihasilkan dari Deklarasi Stockholm secara umum terbagi dalam 5 hal utama yang meliputi:
(1) Upaya perlindungan lingkungan hidup dengan memperhatikan kapasitas produksi dari bumi serta
menggunakan secara bijak sumber-sumber alam yang tidak dapat diperbaharui; (2) Pembangunan dan
pelestarian lingkungan hidup harus dijalankan secara beriringan dengan kerja sama yang dibangun
antarnegara; (3) Setiap negara harus mempunyai standar terhadap proses pengelolaan dan penggunaan
sumber daya alam; (4) Polusi yang dihasilkan dari setiap kegiatan usaha tidak boleh melampaui dari
kapasitas lingkungan itu sendiri untuk melakukan proses pengolahan secara alami; (5) Ilmu pengetahuan,
teknologi, pendidikan dan penelitian harus diikutsertakan dalam usaha perlindungan lingkungan. Lihat
John McCormick, The Global Environment Movement, New York : John Wiley & Son, 1989., hlm. 126.

91

salah satu tantang terbesar dalam pelaksanaan konsep pembangunan
berkelanjutan.198

Sebagai suatu konsep yang telah diterima sebagai prinsip hukum

lingkungan internasional, pembangunan berkelanjutan tidak hanya menekankan

pada ketahanan ekologi atau ekonomi semata namun berupaya mengawinkan
keduanya.199 Konsep pembangunan berkelanjutan itu sendiri bertitik tumpu pada 3

(tiga) pilar utama yaitu kepentingan lingkungan hidup, kepentingan ekonomi dan

198 Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, Sustainable Development.
yang diperkenalkan dalam World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh
United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature and
Natural Resources (IUCN), dan World Wide Fund for Nature (WWF) pada 1980. Pada 1982, UNEP
menyelenggarakan sidang istimewa memperingati 10 tahun gerakan lingkungan dunia (1972-1982) di
Nairobi, Kenya, sebagai reaksi ketidakpuasan atas penanganan lingkungan selama ini. Dalam sidang
istimewa tersebut disepakati pembentukan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World
Commission on Environment and Development - WCED). PBB memilih PM Norwegia Ny. Harlem
Brundtland dan mantan Menlu Sudan Mansyur Khaled, masing-masing menjadi Ketua dan Wakil Ketua
WCED. Menurut Brundtland Report dari PBB (1987), pembangunan berkelanjutan adalah proses
pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk
mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa
mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Konsep Pembangunan
Berkelanjutan ini kemudian dipopulerkan melalui laporan WCED berjudul “Our Common Future” (Hari
Depan Kita Bersama) yang diterbitkan pada 1987. Laporan ini mendefinisikan Pembangunan
Berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Lihat World Summit on
Sustainable Development, Johannesburg, S. Aft., Aug. 26-Sept. 4, 2002, Report of the World Summit on
Sustainable Development, 1, U.N. Doc A/CONF. 199/20

199 Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa pada saat itu, Kofie Atta Anan mengatakan
bahwa tujuan dari Pembangunan Berkelanjutan adalah “to meet the economic needs of the present without
compromising the ability of the planet to provide for the needs of future generations” Lihat Kofi A.
Annan, We, the Peoples, the Role of the United Nations in the 21st Century 55 (2000).

92

laju pembangunan.200 Dalam konteks ini, terdapat titik singgung yang sama antara
kebijakan di bidang pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim. Kebijakan
perubahan iklim menitikberatkan pada keberlanjutan ekonomi sebagai salah satu
tumpuan utama dalam rangka melakukan kegiatan berbasis mitigasi dan
adaptasi.201

GAMBAR II. 8
Piramida Pembangunan Berkelanjutan

EKONOMI

SOSIAL LINGKUNGAN

Tonggak respons masyarakat internasional selanjutnya terjadi pada tahun
1979 dengan diadakannya World Climate Conference.202 Momentum ini untuk

200 Lihat World Summit on Sustainable Development, Johannesburg, S. Aft., Aug. 26-Sept. 4,
2002, Report of the World Summit on Sustainable Development, 1, U.N. Doc A/CONF. 199/20, terdapat
dalam situs http://www.unctad.org/en/docs/aconfl99d20&c _en.pdf diakses pada tanggal 15 Februari
2012.

201 Lihat Anita M. Halvorssen., “Global Response To Climate Change from Stockholm To
Copenhagen”., 85 Denver University Law Review., 2007 – 2008., hlm. 846.

202 Declaration of the World Climate Conference, WMO Proceedings of the World Climate
Conference: A Conference of Experts on Climate and Mankind, Geneva, February 12–32, 1979, WMO
No. 537.

93

kemudian menjadi cikal bakal dari pertemuan – pertemuan internasional
selanjutnya pada tataran global yang membahas mengenai masalah perubahan
iklim seperti di Villach pada tahun 1985, Hamburg pada tahun 1987 dan Toronto
pada tahun 1988.203 Tonggak selanjutnya ditandai dengan adanya laporan dari
Brundtland dalam pertemuan World Commission on Environment and
Development yang mencoba untuk menyinergikan antara perbincangan perubahan
iklim dalam konteks global dan laju pembangunan.204

Melihat semakin seriusnya pembahasan mengenai perubahan iklim baik
dari penjabaran ilmiah maupun politis, pada tahun 1985 dibentuklah badan khusus
yang melakukan kajian ilmiah terhadap perubahan iklim yang dikenal dengan
Advisory Group on Greenhouse Gases. Badan inilah yang kemudian menjadi cikal
bakal dari adanya Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang
dibentuk pada tahun 1988 oleh United Nations Environment Programme (UNEP)
dan World Meteorological Organization (WMO).205

IPCC hadir dalam rezim perubahan iklim sebagai amanat kedua organisasi
tersebut untuk menangani masalah perubahan iklim global yang telah masuk
menjadi agenda politik di Perserikatan Bangsa Bangsa sejak tahun 1980.206
Eksistensi IPCC sebagai sumber utama yang memberikan hasil kajian teknis

203 Lihat Conference Statement, Conference on The Changing Atmosphere: Implications for
Global Security, organized by the Government of Canada, Toronto, June 27–30, 1988.

204 Lihat WCED. Our Common Future, The World Commission on Environment and
Development. Oxford: Oxford University Press; 1987, hlm.400.

205 Lihat Thomas D. Potter Advisory Group on Greenhouse Gases Established Jointly by WMO,
UNEP, and ICSU dalam Environmental Conservation December 1986 13., hlm. 365.

206 Lihat RTM Sutamihardja, Op., Cit., hlm.3.


Click to View FlipBook Version