The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by , 2016-05-12 02:40:09

Full Sidang Terbuka (1)

Full Sidang Terbuka (1)

144

precautionary principle dan akan dipertimbangkan dalam pasal – pasal
kemudian.90

Prinsip keempat dalam UNFCCC secara tegas menyatakan bahwa setiap
negara mempunyai hak dan wajib memperjuangkan prinsip pembangunan
berkelanjutan. Dalam hal ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (4)
UNFCCC menyatakan :

“The Parties have a right to, and should, promote
sustainable development. Policies and measures to protect
the climate system against human-induced change should
be appropriate for the specific conditions of each Party and
should be integrated with national development programs,
taking into account that economic development is essential
for adopting measures to address climate change.”

Perumusan prinsip ini merupakan titik temu dari keinginan negara –
negara berkembang dan negara maju. Negara berkembang bersikukuh untuk
mendapatkan jaminan untuk memperoleh kehidupan yang layak sebagai hak
asasi manusia yang tidak dapat dipindahtangankan.91 Sedangkan dari negara
maju khususnya Amerika Serikat menolak secara tegas masuknya “right to
development” dalam kategori hak asasi manusia, karena ini ditengarai akan

90 Ibid.
91 Mengusung gagasan “the right to development is an inalienable human right” dan “all peoples
have an equal right in matters relating to reasonable living standards” beberapa negara berkembang
menuangkan hasrat mereka untuk mendapatkan prioritas dalam proses penanggulangan perubahan iklim.
Lihat Consolidated Working Document in Report Intergovernmental Negotiating Committee for a
Framework Convention on the Work of Its Fourth Session, U.N. GAOR INC/FCCC, 4th Sess., U.N. Doc.
A/AC.237/15, art. II.1

145

menjadi dasar dari negara berkembang untuk meminta bantuan pendanaan
kepada negara maju.92

Terakhir konvensi ini menghendaki adanya komitmen bersama untuk
mendukung sistem perekonomian internasional yang terbuka.93 UNFCCC dalam
Pasal 3 ayat (5) menyatakan bahwa :

“The Parties should cooperate to promote a supportive and
open international economic system that would lead to
sustainable economic growth and development in all
Parties, particularly developing country Parties, thus
enabling them better to address the problems of climate
change. Measures taken to combat climate change,
including unilateral ones, should not constitute a means of
arbitrary or unjustifiable discrimination or a disguised
restriction on international trade.”

Ketentuan ini merupakan bentuk yang sama dengan Prinsip 12 Deklarasi
Rio, selain itu prinsip ini merupakan afirmasi dari prinsip dalam General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang melarang keras untuk “constitute
a means of arbitrary or unjustifiable discrimination between countries . . . or a
disguised restriction on international trade.”94 Dalam konteks ini prinsip non
diskriminasi menjadi penekanan utama dalam rangka melakukan
penanggulangan perubahan iklim.

92 Hal ini pernah ditunjukkan oleh Amerika Serikat pada saat menolak U.N. Declaration on the
Right to Development dalam G.A. Res. 128, U.N. GAOR, 41st Sess., 97th plen. mtg., Supp. No. 53, U.N.
Doc. A/41/53 (1986).

93 Pasal 3 ayat (5) UNFCCC
94 General Agreement on Trade and Tariffs, Oct. 30, 1947, art. 20

146

3.3.2.4. Kelembagaan UNFCCC

Selain mengatur mengenai prinsip – prinsip utama dalam penanggulangan

perubahan iklim, UNFCC juga menetapkan beberapa lembaga yang menjadi pelaksana

beberapa kegiatan dalam UNFCCC. Paling tidak dalam bagian ini terdapat 3 (tiga) organ

dalam UNFCC yang akan dibahas yaitu Conference of the Parties (COP), Subsidiary

Body for Implementation (SBI) dan Subsidiary Body for Scientific and Technological

Advice (SBSTA).

GAMBAR III. 2
Struktur UNFCCC

Sumber : United Nations Framework Convention on Climate Change terdapat
dalam situs http://unfccc.int/bodies/items/6241.php

3.3.2.4.1. Conference of the Parties (COP)
Secara kelembagaan terdapat beberapa organ penting dalam menjalankan

amanat dari UNFCCC. Salah satu organ terutama dalam struktur UNFCCC
adalah keberadaan dari Conference of the Parties (COP). Secara struktural
keberadaan Conference of the Parties dalam rezim perubahan iklim yang

147

merupakan amanat dari perumusan Pasal 7 United Nations Framework
Convention on Climate Change merupakan institusi tertinggi dalam konvensi
tersebut.95 Tugas utama yang diemban oleh Conference of the Parties ditentukan
bahwa :

“The Conference of the Parties, as the supreme body of this
Convention, shall keep under regular review the
implementation of the Convention and any related legal
instruments that the Conference of the Parties may adopt,
and shall make, within its mandate, the decisions necessary
to promote the effective implementation of the
Convention.”96
Dengan demikian, tugas utama COP adalah membuat keputusan-
keputusan untuk menunjang efektivitas pelaksanaan UNFCCC, serta melakukan
review atas pelaksanaan UNFCCC dan instrument-instrumen hukum yang
dihasilkannya.
Dalam rangka mencapai tujuan secara umum tersebut, UNFCCC
mengamanatkan 13 (tiga belas) hal pokok yang harus dilakukan oleh
Conference of the Parties97, yaitu (i) secara berkala melakukan kajian terhadap
kewajiban – kewajiban para pihak serta keberadaan perjanjian – perjanjian
institusi yang merupakan tindak lanjut dari konvensi dalam rangka pencapaian
tujuan konvensi; (ii) meningkatkan dan memfasilitasi pertukaran informasi di
antara peserta konvensi dalam rangka menunjang pelaksanaan komitmen dari
satu sama lain berdasarkan keadaan, tanggung jawab dan kemampuan masing –

95 Chapeau Pasal 7 ayat (2) UNFCCC
96 Chapeau Pasal 7 (2) UNFCCC
97 Pasal 7 ayat (2) butir a sampai dengan m UNFCCC.

148

masing; (iii) melakukan fasilitasi terhadap 2 atau lebih anggota konvensi dalam
melakukan kerjasama untuk mewujudkan tujuan konvensi berdasarkan keadaan,
tanggung jawab dan kemampuan masing – masing untuk mewujudkan komitmen
yang telah ditetapkan; (iv) meningkatkan dan memandu pelaksanaan tujuan
konvensi dengan berbagi kajian metodologi berdasarkan laporan dari masing –
masing negara terhadap upaya mitigasi gas rumah kaca antara lain seperti
melakukan identifikasi terhadap sumber – sumber emisi yang ada; (v) melakukan
penilaian berdasarkan semua informasi yang tersedia sesuai dengan ketentuan –
ketentuan yang terdapat dalam konvensi, pelaksanaan konvensi oleh para pihak
serta keseluruhan efek dari tindakan yang diambil berdasarkan isi konvensi
khususnya yang menyangkut kondisi lingkungan hidup, ekonomi dan efek sosial
serta dampak kumulatif dari komponen tersebut dan sejauh mana kemajuan
tujuan konvensi ini dicapai; (vi) mempertimbangkan serta menggunakan setiap
laporan dari negara peserta dan memastikan negara peserta tersebut melakukan
publikasi terhadap laporan yang ada; (vii) memberikan rekomendasi terhadap hal
apapun yang dapat menunjang pelaksanaan konvensi; (viii) berusaha untuk
melakukan optimalisasi sumber – sumber finansial dalam rangka pelaksanaan
mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim; (ix) membentuk badan pendukung
yang dipandang perlu untuk pelaksanaan konvensi; (x) meninjau laporan dan
membimbing hasil kerja dari badan pendukung yang disampaikan dalam
konferensi; (xi) menyepakati dan mengadopsi dengan konsensus terlebih dahulu
dari peserta konferensi terhadap setiap aturan prosedur dan aturan keuangan baik
yang digunakan untuk sendiri maupun dalam keperluan setiap badan pendukung;

149

(xii) mencari serta memanfaatkan apabila dianggap tepat bentuk – bentuk
pelayanan, kerjasama serta informasi yang diberikan oleh organisasi
internasional yang kompeten dan antar pemerintah dan badan non-pemerintah,
dan (xiii) melaksanakan fungsi – fungsi lain yang dianggap diperlukan dalam
rangka pencapaian tujuan konvensi serta semua fungsi lainnya ditugaskan untuk
di bawah konvensi.

Selain negara peserta, beberapa pihak lain juga dapat diakomodir untuk
hadir dalam Conference of the Parties baik dalam kapasitas sebagai pengamat,
perwakilan dari Non-Governmental Organization, wakil-wakil khusus dari
Perserikatan Bangsa Bangsa atau pihak lain yang terlebih dahulu
menginformasikan kepada sekretariat dari konferensi terhadap rencana
kedatangan dengan minimum konferensi tersebut dihadiri oleh sepertiga negara
peserta.98

Konferensi ini dilakukan secara rutin setiap tahunnya dengan
menghasilkan keputusan penting di dalamnya kecuali dalam kondisi tertentu para
pihak menghendaki adanya pengecualian terhadap agenda tersebut.99 Hingga
tahun 2011 Conference of the Parties telah dilakukan sebanyak 17 kali (COP 17
dilaksanakan di Durban, Afrika Selatan) yang bertempat di Durban, Afrika
Selatan. Penentuan tempat pelaksanaan Conference of the Parties pada umumnya
diserahkan pada penawaran para peserta konferensi, namun jika para pihak tidak

98 Pasal 7 ayat (6) United Nations Framework Convention on Climate Change.
99 Hal ini pernah terjadi pada saat Conference of the Parties 6 yang berlangsung mulai tanggal 13
sampai dengan 25 November 2000 di The Hague, Belanda tidak dapat menuntaskan tugasnya dan
menghasilkan rekomendasi apapun sehingga dilakukan perpanjangan dengan melanjutkan Conference of
the Parties 6 lanjutan yang diselenggarakan di Bonn, Jerman pada tanggal 17 – 27 Juli 2001.

150

ada yang menawarkan maka konferensi akan dilakukan di Sekretariat UNFCCC

di Bonn, Jerman.

Dalam setiap pertemuannya, proses negosiasi dalam Conference of the

Parties menggambarkan adanya tonggak – tonggak penting oleh para pihak

dalam melakukan langkah – langkah mitigasi terkait perubahan iklim. Berikut

akan dipaparkan mengenai temuan serta diskusi yang dilakukan dalam

pertemuan Conference of the Parties setiap tahunnya.

3.3.2.4.2. Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA)

Keberadaan tugas dan tanggung jawab dari lembaga Conference of the

Parties tentu mempunyai beban berat yang perlu asupan baik teknis ilmiah

maupun dalam tataran penentuan kebijakan.100 Dalam konteks perubahan iklim

paling tidak terdapat 2 (dua) Subsidiary Bodies yang hadir dalam menunjang

pelaksanaan dari Konvensi Perubahan Iklim. Badan pembantuan yang pertama

adalah Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice. Kehadiran

badan ini bertujuan untuk memberikan masukan dan pendapat ilmiah serta

100 Secara umum dalam Hukum Lingkungan Internasional terdapat 3 (tiga) bentuk dari badan
pembantuan yaitu Pertama badan pembantuan dalam kapasitas sebagai lembaga penasehat atau sebagai
lembaga yang memberikan pendapat yang berkaitan dengan topik yang dibahas. Contoh dari jenis
lembaga ini adalah Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice yang merupakan amanat dari
Climate Change Convention dan juga Scientific Council yang merupakan tindak lanjut dari Bonn
Convention, namun terkadang terdapat pula lembaga sejenis ini yang berada di luar sumber hukum
lingkungan internasional seperti keberadaan Intergovernmental Panel on Climate Change yang dibentuk
oleh United Nations Environment Programme (UNEP) dan World Meteorological Organization (WMO)
sebelum adanya Konvensi Perubahan Iklim. Selanjutnya, bentuk badan pembantuan yang mengkhususkan
diri pada mekanisme pembantuan finansial dan transfer teknologi, salah satu contoh dari lembaga bentuk
ini adalah pelaksanaan amanat dari Pasal 10 Protokol Montreal yang menghendaki adanya lembaga yang
bertugas melakukan pembantuan finansial dan transfer teknologi dan hal ini dilakukan oleh Komite
Eksekutif. Terakhir, adalah lembaga pembantuan yang bertanggung jawab melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan dari isu yang terdapat dalam sumber hukum lingkungan yang dimaksud seperti
keberadaan Subsidiary Body for Implementation (SBI) di bawah naungan Climate Change Convention.
Lihat Robin R. Churchill dan Geir Ulfstein., “Autonomous Institutional Arrangements In Multilateral
Environmental Agreements: A Little-Noticed Phenomenon In International Law”., American Journal of
International Law October, 2000., hlm.625.

151

teknologi secara rutin dalam yang diperlukan dalam pelaksanaan konvensi yang
berkaitan dengan pertimbangan teknis.101

Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA), hadir
dari hasil perundingan di Berlin, Jerman pada saat Conference of the Parties
(COP) dari UNFCCC diselenggarakan untuk pertama kali.102 Pertemuan ini
menghasilkan Berlin Mandate, yang dalam konteks SBSTA mengatakan bahwa
lembaga ini mempunyai fungsi untuk menjembatani antara kemampuan ilmiah,
teknis dan penilaian teknologi serta menyediakan informasi yang berasal dari
lembaga internasional yang berkompeten dan menyalurkan informasi tersebut
pada saat diadakannya Conference of the Parties.103

Konvensi Perubahan Iklim menyatakan bahwa SBSTA di bawah panduan
Conference of the Parties mempunyai tugas untuk memberikan jalan keluar
seputar permasalahan yang timbul dari perubahan iklim, seperti mempersiapkan
penilaian – penilai terkini seputar perubahan iklim, mengidentifikasi temuan –
temuan yang dihasilkan dalam rangka penanggulangan perubahan iklim, dan
mengusung pola pendekatan berbasis efisiensi, serta hal – hal yang berkaitan
dengan masalah metodologi.104

101 Lihat perumusan Pasal 9 ayat (1) United Nations Framework Convention on Climate Change.
102 United Nations Framework Convention on Climate Change Conference of the Parties:
Decisions Adopted by the First Session (Berlin), March 28 - April 7, 1995, Introductory Notes 1687.
103 UNFCCC, Report of the Conference of the Parties on Its First Session, annex 1, 44, 46, U.N.
Doc. FCCC/CP/1995/7/Add.1 (1995) para. 3(a).
104 Lihat perumusan Pasal 7 huruf a, b, c, d, dan e United Nations Framework Convention on
Climate Change.

152

Saat berlangsungnya Conference of the Parties yang menjadi cikal bakal
dari kehadiran SBSTA ditetapkan pula tugas SBSTA lebih lanjut yang meliputi;
Pertama, mencari, mempertimbangkan dan melakukan diseminasi terhadap
informasi – informasi yang relevan terhadap usaha perbaikan iklim, Kedua,
menyediakan penilaian terhadap informasi yang diterima dan, Ketiga, melakukan
evaluasi terhadap usaha – usaha yang telah dilakukan oleh negara – negara
peserta dalam perspektif keilmuan. Atas dasar tersebut SBSTA juga dapat
meminta kepada Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan
lembaga – lembaga lainnya untuk menyusun Laporan Khusus (Special Report)
atau makalah teknis (Technical Papers) di sela-sela tugas utamanya untuk
menyusun Laporan Pengkajian (Assessment Report) tentang perubahan iklim
secara berkala. 105

Berbeda dengan Conference of the Parties dan Meeting of the Parties
yang pertemuannya diselenggarakan tahunan, berdasarkan Draft Rules of
Procedure yang dihasilkan pada COP 1, ditentukan bahwa SBSTA
menyelenggarakan pertemuan setiap dua tahun sekali dalam rangka merumuskan
tanggung jawab yang dimilikinya.106 Hasil kajian inilah yang kemudian
………………

105 Lihat perumusan paras. A(4)-(5) United Nations Framework Convention on Climate Change.
106 Lihat UNFCCC, Organizational Matters: Adoption of the Rules of Procedure: Note by the
Secretariat, U.N. Doc. FCCC/CP/1996/2 (1996), terdapat dalam situs
http://unfccc.int/resource/docs/cop2/02.pdf

153

dipresentasikan oleh ketua dari lembaga ini dan menjadi lampiran dari hasil
pertemuan yang dihasilkan pada tingkatan Conference of the Parties107

Anggota dari pertemuan yang dilakukan serta struktur yang berada dalam
SBSTA pada prinsipnya sama dengan Conference of the Parties yang terbuka
untuk semua negara anggota, negara pengamat serta negara – negara berkembang
yang ingin menghadiri namun dalam pertemuan dan struktur SBSTA lebih
menekankan bahwa setiap perwakilan negara – negara yang turut hadir dalam
pertemuan ini memiliki kemampuan yang terkait dengan tugas utama dari badan
ini yaitu melakukan kajian berdasarkan pada data ilmiah dan teknologi.108
3.3.2.4.3. Subsidiary Body for Implementation (SBI)

Badan pembantuan selanjutnya yang hadir dalam usaha penanggulangan
perubahan iklim adalah Subsidiary Body for Implementation (SBI).109 Badan ini
hadir dalam rangka melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan dari konvensi, hal
ini mempunyai peran penting terutama dalam kaitan dengan penyampaian
laporan Komunikasi Nasional para negara peserta serta laporan Inventarisasi
Emisi.110 Selain itu SBI juga berperan dalam memberikan saran – saran kepada

107 Lihat UNFCCC, Part Two: Action Taken by the Conference of the Parties at Its Ninth Session,
dec. 11/CP.9, U.N. Doc. FCCC/CP/2003/6/Add.1 (2004), paras. 53-58 terdapat dalam situs
http://unfccc.int/resource/docs/cop9/06a01.pdf.

108 Lihat perumusan Pasal 9 ayat (1) United Nations Framework Convention on Climate Change.
109 Pasal 10 United Nations Framework Convention on Climate Change.
110 Pasal 12 United Nations Framework Convention on Climate Change.

154

Conference of the Parties dalam hal mekanisme keuangan yang dioperasikan
oleh Global Environmental Facility (GEF).111

Dalam setiap Conference of the Parties, SBSTA dan SBI memiliki sesi
yang terpisah untuk membahas masalah dan tugasnya masing – masing. Namun
demikian, SBSTA dan SBI juga kerap bekerjasama untuk menyelesaikan
masalah – masalah umum yang lintas batas (cross – cutting issue) yang biasanya
diselenggarakan di dalam Conference of the Parties. Namun demikian hanya
para pihak yang telah melakukan ratifikasi yang berhak membuat keputusan.112

3.3.3. Protokol Kyoto

3.3.3.1. Menuju Protokol Kyoto: Pengantar

Pada 11 Desember 1997 telah berkumpul 170 negara bersama dengan

ratusan Non-Governmental Organization dan insan media dalam suatu proses

negosiasi panjang dalam perjalanan penanggulangan perubahan iklim. Untuk

pertama kalinya hadir suatu dokumen mengikat pada tataran internasional yang

merupakan bentuk tindak lanjut dari United Nation Framework Convention on

Climate Change. Kesepakatan dalam pertemuan Konferensi Para Pihak ke 3 ini

dipimpin oleh Raul Estrada-Oyuela dan atas usulan dari Estrada tanggal 10

111 Lihat RTM Sutamihardja, Climate Change : Dokumen Penting Perubahan Iklim (IPCC,
UNFCCC, Protokol Kyoto)., Bogor : Yayasan pasir Luhur Bogor, 2011., hlm. 63.

112 Masalah – masalah yang lintas isu tersebut antara lain seperti Mekanisme Protokol Kyoto
(Joint Implementation, Clean Development Mechanism, dan Emission Trading), penaatan, pengembangan
kapasitas, dan kerentanan negara – negara. Lihat Ibid.

155

Desember sebagai awal negosiasi Protokol Kyoto ditetapkan sebagai Hari
Atmosfir.113

Pembicaraan seputar perlu adanya regulasi mengikat para pihak
sebenarnya telah dimulai sejak 2 tahun setelah eksistensi dari UNFCCC.
Konvensi perubahan iklim mengamanatkan para pihak yang tergabung dalam
konvensi untuk membuat langkah nyata dalam rangka mewujudkan tujuan dari
konvensi yaitu melakukan upaya stabilisasi konsentrasi atmosfir yang aman bagi
sistem iklim dari kegiatan manusia.114 Proses negosiasi dari Protokol Kyoto
paling tidak dipicu oleh 3 (tiga) hal utama yaitu: 115

Pertama adanya kepentingan politik dari kumpulan negara – negara untuk
memimpin dan bertindak sebagai leader dalam penanggulangan perubahan iklim.

Selanjutnya, serangkaian bukti ilmiah sudah semakin menunjukkan perlu
adanya langkah signifikan dalam perubahan iklim khususnya serangkaian hasil
laporan dari IPCC.

Terakhir, sebagai bentuk tindak lanjut dari Konvensi Perubahan Iklim itu
sendiri.

Proses perumusan regulasi dalam penanggulangan dalam perubahan
iklim dan dalam ketentuan Protokol Kyoto dapat dikatakan hadir dalam suatu

113 The Protocol was formally adopted at the COP-3 Closing Plenary chaired by Mr. Hiroshi
Okhi, Minister of Japan’s Environment Agency, by consensus. COP-3 had agreed to establish a
Committee of the Whole (COW), chaired by Ambassador Estrada, which was charged with the actual
negotiations. It was the COW which undertook the marathon final negotiating round which concluded
with delegates agreeing unanimously to recommend the adoption of the Protocol by COP-3.

114 Lihat perumusan Pasal 2 United Nations Framework Convention on Climate Change.
115 Lihat Farhana Yamin, “The Kyoto Protocol : Origins, Assessment and Future Challenges”.,
Review of European Community and International Environmental Law Volume 7 Issue 2, 1998., hlm.1.

156

kondisi yang unik. Terdapat beberapa alasan yang mendukung dari pernyataan

ini, seperti diutarakan oleh Yamin, antara lain (i) di tengah derasnya arus

informasi ilmiah mengenai dampak perubahan iklim pada saat perumusan

negosiasi mengenai Protokol Kyoto, namun hal ini tidak diikuti adanya

perhitungan mengenai biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka

menanggulangi dampak tersebut, (ii) begitu panjangnya rentan waktu antara

kondisi emisi yang dikeluarkan dengan dampak yang harus diterima di kemudian

hari, (iii) kondisi dampak yang sukar untuk diperbaiki dalam waktu yang relatif

singkat, dan (iv) aspek global dari regulasi perubahan iklim yang mendudukkan

setiap negara yang berdaulat dengan karakteristik yang berbeda baik dari segi
ekonomi maupun ekologi.116

3.3.3.2. Negosiasi terkait Penentuan Komitmen

Dalam hal kepentingan dari para pihak yang terikat dalam UNFCCC,

paling tidak terdapat 3 (tiga) kelompok negara yang melakukan negosiasi

berdasarkan kepentingan yang berbeda pada proses perumusan Protokol Kyoto.

Pertama adalah kelompok yang tergabung dalam negara – negara

kepulauan kecil yang memiliki kerentanan begitu tinggi terhadap perubahan

iklim. Kelompok yang tergabung dalam Alliance of Small Island States (AOSIS)

ini mempunyai kepentingan lebih tinggi dari perspektif dampak yang akan

diterima negara – negara ini terutama berupa kenaikan permukaan air laut dan

116 Ibid., hlm. 2.

157

cuaca ekstrim berupa kekeringan yang akan dialami oleh negara – negara di

kawasan Afrika.117

Kelompok negara kedua adalah negara – negara yang tergabung dalam

Organization for Petroleum Exporting Countries (OPEC) sebagai wadah tempat

berkumpulnya negara – negara yang berstatus sebagai eksportir minyak besar di

dunia. Kepentingan yang begitu besar dari kelompok negara ini hadir pada saat

mereka mempertimbangkan perhitungan dari biaya yang harus dikeluarkan

dalam rangka penanggulangan emisi yang dapat mengganggu proses produksi.118

117 Alliance of Small Island States (OASIS) merupakan komunitas gabungan dari negara – negara
kepulauan kecil dan negara – negara dataran rendah yang diharapkan akan bersinergi dengan Small Island
Developing States (SIDS) dalam rangka menanggulangi perubahan iklim pada umumnya dan perundingan
dalam rangka mempersiapkan naskah Protokol Kyoto pada khususnya. Saat ini terdapat 42 anggota dari
OASIS yang terdiri dari Antigua and Barbuda, Bahamas, Barbados, Belize, Cape Verde, Cuba, Dominican
Republic, Grenada, Guinea-Bissau, Guyana, Haiti, Jamaica, Saint Kitts and Nevis, Saint Lucia, Saint
Vincent and the Grenadines, São Tomé and Príncipe, Suriname, Trinidad and Tobago, Comoros,
Maldives, Mauritius, Seychelles, Cook Islands, Fiji, Kiribati, Marshall Islands, Federated States of
Micronesia, Nauru, Niue, Palau, Papua New Guinea, Samoa, Singapore, Solomon Islands, Tonga, Tuvalu,
Vanuatu. Informasi mengenai OASIS dapat dilihat dalam situs http://www.sidsnet.org/aosis/members.html
diakses pada tanggal 29 Februari 2012. Untuk pembahasan mendalam mengenai dampak perubahan iklim
bagi OASIS dapat dilihat dalam Emma L. Tompkins et al., “Surviving Climate Change in Small Islands --
A Guidebook 11”., Tyndall Centre for Climate Change Research 2005. Lihat pula W. Jackson Davis, “The
Alliance of Small Island States (AOSIS): The International Conscience, Asia-Pacific Mag., May 1996,
terdapat dalam situs http://coombs.anu.edu.au/SpecialProj/APM/TXT/davis-j-02-96.html diakses pada
tanggal 29 Februari 2012. Lihat pula World Conference on the Sustainable Development of Small Island
Developing States, Apr. 25-May 6, 1994, Report of the Global Conference on the Sustainable
Development of Small Island Developing States, U.N. Doc. A/CONF.167/9 (Oct. 1994).

118 Organization for Petroleum Exporting Countries (OPEC) merupakan perkumpulan tetap
negara eksportir minyak di dunia yang didirikan sebagai hasil dari pertemuan Baghdad Conference pda
tanggal 10 – 14 September 1960. Pada awalnya OPEC beranggotakan 5 (lima) pendiri utama yaitu Iran,
Iraq, Kuwait, Saudi Arabia dan Venezuela. Dalam perkembangannya beberapa negara lainnya turut
bergabung dalam keanggotaannya berturut – turut adalah Qatar (1961), Indonesia (1962), Libya (1962),
Uni Emirat Arab (1967), Algeria (1969), Nigeria (1971), Ekuador (1973), Gabon (1975) dan Angola
(2007). Pada bulan Desember 1992 sampai dengan Oktober 2007 Ekuador ditunda sementara
keanggotaannya dari OPEC, Selain itu pada tahun 1995 Gabin dicabut keanggotaannya dan Indonesia
dicabut sementara keanggotaannya mulai dari Januari 2009. Informasi ini terdapat dalam situs
http://www.opec.org/opec_web/en/about_us/25.htm diakses pada tanggal 29 Februari 2012. Untuk
pembahasan lebih lanjut mengenai hubungan antara OPEC secara umum dan industri perminyakan pada
khususnya dengan perubahan iklim dapat dilihat dalam Ned Farquhar., “Energy, Security, Climate:
Converging Solutions”., Journal of Land, Resources, and Environmental Law., 2009., hlm. 2. Lihat pula
James Horward Kunstler, The Long Emergency : Surviving The End Of Oil, Climate Change, and Other
Converging Catastrophes of Twenty- First Century., New York : Publisher Gold West, 2005., hlm.3.

158

Ketiga adalah negara – negara anggota konvensi yang tergabung dalam
kelompok Group of 77 (G-77). Perhatian utama dari kelompok G-77
menitikberatkan pada kepastian bahwa kondisi ekonomi dan sosial dari negara –
negara yang tergabung dalam G-77 tidak akan terkorbankan sebagai bentuk
usaha penanggulangan perubahan iklim yang kemungkinan disebabkan oleh
negara lain.119

Terakhir adalah kepentingan dari negara – negara maju (developed
country).

Kelahiran dari Protokol Kyoto sebenarnya merupakan suatu bentuk
amanat dari adanya perumusan Pasal 4 ayat (2) huruf d UNFCCC yang
mengamanatkan perlu adanya konferensi para pihak yang mengadakan
peninjauan terhadap usaha penurunan emisi secara nyata dengan membatasi
emisi antropogenik dari negara – negara maju serta negara – negara yang
terdapat dalam Lampiran I.120 Hal ini pun diwujudkan dalam konferensi para

119 Kelompok G-77 merupakan perkumpulan negara – negara berkembang yang didirikan pada 15
Juni 1964 oleh 77 (tujuh puluh tujuh) negara berkembang yang menandatangani “Joint Declaration of the
Seventy-Seven Countries” yang dihasilkan saat akhir dari pertemuan pertama United Nations Conference
on Trade and Development (UNCTAD) di Jenewa. Saat ini dapat dikatakan bahwa kelompok G-77
merupakan kelompok antar pemerintahan terbesar dari negara berkembang. Kelompok ini hadir dalam
rangka memperkuat kondisi ketahanan ekonomi dari negara – negara berkembang dalam mengatasi isu –
isu besar di bidang ekonomi nasional. Untuk informasi lebih lanjut mengenai profil G-77 dapat dilihat
dalam situs http://www.g77.org/doc/ diakses pada tanggal 1 Maret 2012. Pembahasan mengenai perspektif
dari negara – negara G-77 terhadap perubahan iklim dapat dilihat salah satunya dalam Antto Vihma,
“Elephant in the Room: The New G77 and China Dynamics in Climate Talks 1”, 2010., Finnish
Institution of International Affairs, Briefing Paper No. 6, May 26. Lihat pula Martin Khor, “G77/China
outlines challenges in facing climate crisis” dalam South-North Development Monitor (SUNS, No. 6307,
6 August 2007)

120 Lihat perumusan Pasal 4 ayat (2) huruf d United Nations Framework Convention on Climate
Change.

159

pihak pertama kali yang diadakan di Berlin pada tahun 1995 yang menghasilkan
kesepakatan yang dituangkan dalam Berlin Mandate.121

Salah satu hasil dari Berlin Mandate menegaskan kembali bahwa
komitmen yang ada di dalam UNFCCC bagi kelompok negara – negara yang
terdapat di Lampiran I tidaklah cukup dalam mencapai tujuan dari konvensi.122
Hal ini tentu wajib ditindaklanjuti berupa proses negosiasi yang dituangkan
secara lebih lanjut baik dalam instrumen protokol maupun instrumen lainnya
dalam menghadapi era tahun 2000. Proses negosiasi ini akan dilakukan dengan
mendasari pada prinsip – prinsip yang terdapat dalam UNFCCC pada umumnya
dan prinsip Common but Differentiated Responsibility pada khususnya.123

Beberapa tujuan yang diharapkan dapat diraih dalam perundingan Berlin
Mandate antara lain menyentuh 3 (tiga) hal utama. Pertama adalah usaha
mempertegas komitmen dari negara – negara maju yang termasuk dalam
Lampiran I sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Perubahan Iklim guna
merumuskan regulasi baik pada tingkat regional maupun nasional dalam rangka

121 Konferensi Para Pihak untuk pertama kali dalam pelaksanaan dari UNFCCC diadakan pada
tanggal 28 Maret – 7 April 1995. Hadir pada saat itu 117 negara sebagai anggota dan 53 negara sebagai
observer. Untuk pembahasan lebih mendalam mengenai hasil dari COP 1 serta isi dari Berlin Mandate
dapat dilihat dalam S. Oberthur and H. Ott, ‘The First Conference of the Parties’, Environmental Law and
Policy, (1995)., hlm 4. Lihat pula D. Bodansky, ‘The Emerging Climate Change Regime’, Annual Review
Energy Environment, (1995)., hlm. 425.

122 Lihat Report of COP-1 in FCCC/CP/1995/7/Add.1, 6 June 1995.
123 Dalam pembahasan awal yang dilakukan dalam rangka menindaklanjuti Berlin Mandate, para
pihak sepakat untuk membentuk Ad Hoc Group on the Berlin Mandate (AGBM). Lihat Report of the Ad
Hoc Group on the Berlin Mandate FCCC/AGBM/1995/L.1/Add.1 29 Agustus 1995

160

penurunan emisi.124 Proses ini ditempuh dengan melengkapi kebijakan dan tata

cara pengurangan emisi antropogenik dari sumbernya serta peningkatan daya

serap oleh sumber – sumber penyerap emisi. Hal ini diperlukan dalam rangka

menentukan Komitmen Pembatasan dan Pengurangan Emisi secara Kuantitatif

(Quantified Emission Limitation and Reduction Commitments) dengan kerangka

waktu yang spesifik misalnya, 2005, 2010 atau 2020.125

Kedua adalah mandat ini tidak akan memberikan komitmen baru bagi

negara-negara yang berada di luar kelompok Lampiran I, tetapi mandat ini

…………..

124 Lihat perumusan Pasal 4 ayat (2) huruf a United Nations Framework Convention on Climate
Change. yang menyatakan bahwa “Each of these Parties shall adopt national policies and take
corresponding measures on the mitigation of climate change, by limiting its anthropogenic emissions of
greenhouse gases and protecting and enhancing its greenhouse gas sinks and reservoirs. These policies
and measures will demonstrate that developed countries are taking the lead in modifying longer-term
trends in anthropogenic emissions consistent with the objective of the Convention, recognizing that the
return by the end of the present decade to earlier levels of anthropogenic emissions of carbon dioxide and
other greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol would contribute to such modification,
and taking into account the differences in these Parties’ starting points and approaches, economic
structures and resource bases, the need to maintain strong and sustainable economic growth, available
technologies and other individual circumstances, as well as the need for equitable and appropriate
contributions by each of these Parties to the global effort regarding that objective. These Parties may
implement such policies and measures jointly with other Parties and may assist other Parties in
contributing to the achievement of the objective of the Convention and, in particular, that of this sub
paragraph” Lihat pula Perumusan Pasal 4 ayat (2) huruf b yang menyatakan “In order to promote
progress to this end, each of these Parties shall communicate, within six months of the entry into force of
the Convention for it and periodically thereafter, and in accordance with Article 12, detailed information
on its policies and measures referred to in subparagraph (a) above, as well as on its resulting projected
anthropogenic emissions by sources and removals by sinks of greenhouse gases not controlled by the
Montreal Protocol for the period referred to in subparagraph (a), with the aim of returning individually
or jointly to their 1990 levels these anthropogenic emissions of carbon dioxide and other greenhouse
gases not controlled by the Montreal Protocol. This information will be reviewed by the Conference of the
Parties, at its first session and periodically thereafter, in accordance with Article 7”

125 Lihat Report of the Report Of The Conference Of The Parties On Its First Session, Held At
Berlin From 28 March To 7 April 1995 FCCC/CP/1995/7/Add.1.6 June 1995., Prov. II. Art. 2 (a).

161

diharapkan dapat mempertegas komitmen semua pihak yang telah diatur dalam
konvensi perubahan iklim.126

Ketiga serangkaian proses dalam rangka mengimplementasikan Berlin
Mandate hendaknya dilakukan dalam proses yang tidak terlalu lama dengan
membentuk Ad Hoc Group the Parties. Diharapkan eksistensi dari Ad Hoc
Group the Parties dapat melahirkan laporan yang akan disampaikan pada sesi
Konferensi Para Pihak ke 2 untuk dapat diadopsi pada bagian sidang Konferensi
Para Pihak ke 3.127

Menindaklanjuti amanat tersebut maka dibentuklah Ad Hoc Group on the
Berlin Mandate (AGBM) melalui keputusan dari UNFCCC Nomor
FCCC/CP/1995/7/Add.1/ Decision 1/CP.1. Badan sementara ini sebelum sampai
pada menetapkan Protokol Kyoto melakukan proses negosiasi sebanyak 8
(delapan) kali mulai dari kurun waktu 1995 sampai dengan 1997.128 Dalam hasil

126 Lihat Report of the Report Of The Conference Of The Parties On Its First Session, Held At
Berlin From 28 March To 7 April 1995 FCCC/CP/1995/7/Add.1.6 June 1995., Prov. II. Art. 2 (b).

127 Lihat Report of the Report Of The Conference Of The Parties On Its First Session, Held At
Berlin From 28 March To 7 April 1995 FCCC/CP/1995/7/Add.1.6 June 1995., Prov. II. Art. 6.

128 Sidang dari Ad Hoc Group on the Berlin Mandate (AGBM) dilakukan berturut – turut Sidang
Pertama di Jenewa pada 21 Agustus 1995 sampai dengan 25 Agustus 1995, Sidang Kedua di Jenewa
tanggal 30 Oktober 1995 sampai dengan 3 November 1995, Sidang Ketiga 5 Maret 1995 sampai dengan 8
Maret 1995 di Jenewa, Sidang Keempat di Jenewa pada tanggal 1 Juli 1996 sampai dengan 19 Juli 1996,
Sidang Kelima di Jenewa pada tanggal 9 Desember 1995 sampai dengan 13 Desember 1995, Sidang
Keenam di Bonn pada tanggal 3 April 1997 sampai dengan 7 April 1997, Sidang Ketujuh di Bonn pada
tanggal 4 Agustus 1997 sampai dengan 7 Agustus 1997 dan Sidang Kedelapan pada di Bonn pada tanggal
20 Oktober 1997 sampai dengan 31 Oktober 1997. Informasi lebih lanjut mengenai keberadaan dari Ad
Hoc Group on the Berlin Mandate (AGBM) dapat dilihat dalam situs
http://unfccc.int/cop3/resource/agbmar.htm diakses pada tanggal 3 Maret 2012.

162

keputusan akhir dari AGBM terdapat beberapa sumbangsih yang diberikan
sebagai landasan pemikiran dari Protokol Kyoto.129

GAMBAR III. 3
Anatomi Protokol Kyoto

Sumber : International Institute for Sustainable Development, “On Behalf of My Delegation, A Survival
Guide for Developing Country Climate Negotiators” hlm. 11.

Dalam proses perumusan komitmen yang terdapat dari Protokol Kyoto
dapat dikatakan tidak berjalan mulus semata. Beberapa negara yang tergabung
dalam Annex I mencoba untuk memberikan usulan terkait komitmen yang akan
dibentuk. Langkah besar terjadi saat perundingan saat salah seorang Campaigner
Perubahan Iklim dari Amerika Serikat, Al Gore menghadiri pertemuan di Kyoto
guna dapat menyuarakan kepentingan umum mengenai urgensi keikutsertaan

129 Lihat ‘Report of the Ad Hoc Group on the Berlin Mandate on the work of its Sixth Session’
Bonn, 3-7 March 1997, Addendum, Proposals for a Protocol or another legal instrument, Negotiating text
by the Chairman, FCCC/AGBM/1997/3/Add.1.

163

Amerika Serikat dari Protokol yang akan dibentuk. Pada perkembangannya,
Amerika Serikat mengajukan usulan untuk komitmen penurunan emisi dilakukan
dengan target dan waktu pencapaian yang fleksibel antara negara yang satu
dengan negara yang lain. Hal ini tentu berdampak pada negara yang wajib
menurunkan emisi lainnya. Hal ini direspons oleh Jepang dengan mengajukan
perubahan target penurunan emisi. Langkah ini tentu dikritisi oleh negara –
negara peserta lainnya yang menghendaki Jepang memainkan peran maksimal
sebagai tuan rumah perundingan.130

Pada sisi lain negara – negara yang tergabung dalam Uni Eropa
bersikeras untuk mempertahankan “bubble concept” yang memperbolehkan
mereka untuk bertransaksi di antara negara anggota. Hal ini diprotes oleh
Amerika Serikat dengan memberikan argumentasi bahwa negara – negara dalam
Uni Eropa memiliki ketidaksamaan struktur secara ekonomis sehingga akan
terjadi pasar yang tidak sempurna satu sama lain. Dalam tataran lebih ekstrem
bahkan Amerika Serikat mengatakan bahwa mereka juga punya hak untuk
melakukan konsep bubble di antara anggota Umbrella Group.131

Pada sisa waktu 2 (dua) hari sebelum penutupan COP di Kyoto, Amerika
Serikat sebagai salah satu pencemar besar akhirnya setuju untuk menurunkan
emisi sebanyak 3% dengan baseline 1990. Setelah melewati perundingan yang
cukup alot selama empat puluh delapan jam nonstop, akhirnya kesepakatan pun

130 Lihat David Hunter, et. al. International Environmental Law and Policy (Second Edition).,
(New York : Foundation Press, 2002)., hlm. 629.

131 Ibid.

164

tercapai dalam konsep penurunan emisi sebagaimana terdapat dalam Protokol
Kyoto yang akan di bahas di bawah ini.132

3.3.3.3. Gambaran Umum tentang Isi dari Protokol Kyoto

Secara umum Protokol Kyoto dapat dikelompokkan dalam beberapa

kelompok pembahasan utama.

Kelompok Pertama adalah bagian awal dari Protokol Kyoto yang

mengatur secara detil baik definisi – definisi yang akan digunakan dalam
pelaksanaan protokol.133 Selain itu dalam bagian awal juga memuat kewajiban
yang dipisah menjadi kewajiban semua pihak134 dan kewajiban dari pihak yang
terdapat dalam Lampiran I.135

Di bawah naungan Protokol Kyoto pula setiap negara maju yang

tergabung dalam Annex I dituntut untuk dapat menurunkan nilai kandungan 6

komponen utama emisi gas rumah kaca (karbon dioksida, metan, and nitro

oksida, HFC, SF6, dan PFCs) sebesar 5 % dalam kurun waktu 2008–2012

berdasarkan perhitungan emisi yang ada pada tahun 1990.

132 Ibid., hlm. 630.

133 Lihat perumusan Pasal 1 Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On
Climate Change.

134 Lihat perumusan Pasal 2 ayat (1) Kyoto Protocol To The United Nations Framework
Convention On Climate Change.

135 Lihat perumusan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (3) Kyoto Protocol To The United Nations
Framework Convention On Climate Change.

165

TABEL III. 2
Kewajiban Penurunan Emisi

Dalam Protokol Kyoto

Negara Target Penurunan
Peserta Protokol Kyoto Emisi Gas Rumah

(Annex) Kaca
2008 – 2012
Uni Eropa, Bulgaria, Republik Ceko,
Estonia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, -8%
Monaco, Romania, Slovakia, Slovenia,
Swiss -7%
Amerika Serikat136 -6%
Kanada137, Hungaria, Jepang, Polandia -5%
Kroasia
Selandia Baru, Federasi Rusia, Ukraine 0
Norwegia +1%
Australia +8%
Islandia +10%

Sumber : Intergovernmental on Panel Climate Change

Kelompok Kedua memuat ketentuan mengenai komitmen dari para pihak

dalam rangka pelaksanaan penurunan emisi. Bagian ini pada satu sisi mengatur

secara umum mengenai tugas dari seluruh negara untuk melaksanakan komitmen
yang telah ditentukan.138 Pada sisi lain bagian ini juga memberikan panduan

mengenai tata cara penurunan emisi yang dapat dilakukan khusus oleh negara –

136 Amerika Serikat mengambil posisi untuk tidak melakukan ratifikasi terhadap mekanisme
penurunan emisi yang terdapat dalam Protokol Kyoto.

137 Pada tahun 2010 Kanada bersama Jepang dan Rusia sudah mengindikasikan bahwa tidak akan
melanjutkan lagi usaha penurunan emisi gas rumah kaca dalam skema Protokol Kyoto. Kanada
memutuskan menarik diri dari Protokol Kyoto pada Senin, 12 Desember 2011. Alasannya, kesepakatan
yang diterima di Kyoto, Jepang, pada 11 Desember 1997 itu tidak akan membantu menyelesaikan krisis
iklim. Keputusan Kanada tentu saja menjadi pukulan besar bagi perjanjian anti-pemanasan global itu yang
secara resmi belum pernah ditinggalkan oleh negara manapun. Menteri Lingkungan Kanada Peter Kent
mengatakan, Kanada meminta haknya yang sah untuk keluar dan mengatakan Protokol Kyoto tidak
mewakili langkah maju Kanada ataupun dunia. Tahun lalu, Kanada bersama Jepang dan Rusia
menyatakan tidak akan menerima komitmen baru terkait kesepakatan itu. Lihat “Canada pulls out of
Kyoto protocol". The Guardian. 13 December 2011.

138 Lihat perumusan Pasal 10 Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On
Climate Change.

166

negara maju dengan memberikan bantuan finansial kepada negara berkembang
dalam rangka melaksanakan komitmen yang ditentukan.139

Kelompok Ketiga mengatur beberapa mekanisme pasar yang dapat

digunakan dalam usaha penurunan emisi gas rumah kaca. Protokol Kyoto

mengatur secara eksplisit 5 (lima) mekanisme yang dapat digunakan dalam

rangka usaha penurunan emisi gas rumah kaca secara sistematis yaitu

pemenuhan target secara bersama - sama, joint implementation (JI), clean

development mechanism (CDM), emissions trading (ET), dan pembantuan

finansial dalam rangka pelaksanaan isi perjanjian yang akan dibahas secara

mendetil dalam uraian di akhir bab ini.

3.3.3.4. Perdebatan mengenai Protokol Kyoto

Beberapa pengamat perubahan iklim melihat terdapat beberapa

keunggulan serta kelemahan dari Protokol Kyoto. Gupta, misalnya, melihat

keberadaan dari protokol ini pada satu sisi telah menentukan secara tegas

mengenai target penurunan emisi yang hendak dicapai serta zat-zat yang

mengalami penurunan tersebut. Namun sebaliknya angka yang ditetapkan dalam

penurunan tersebut dirasakan tidaklah cukup signifikan mengingat adanya

dampak kelambatan “delayed effect” dari perubahan iklim terlebih saat
mekanisme penurunan yang diakui dalam Protokol Kyoto berbasis pasar.140

139 Lihat perumusan Pasal 11 Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On
Climate Change.

140 Lihat Joyeeta Gupta., Loc., Cit. hlm. 643.

167

Sedangkan Pardy dalam tulisannya menggambarkan bahwa memang
paling tidak terdapat 2 (dua) keunggulan dari Protokol Kyoto yang dapat bernilai
lebih dibandingkan dengan regulasi lain. Pertama, Protokol Kyoto dapat
memberikan panduan serta contoh nyata dalam mengatasi masalah perubahan
iklim ke depan. Kedua, secara simbolis kehadiran dari Protokol Kyoto dapat
dimaknai sebagai bentuk langkah besar dalam perhatian masyarakat internasional
dalam perubahan iklim.141 Namun dibalik itu semua, Pardy mengungkapkan
bahwa Kyoto Protocol merupakan sebuah bentuk kesepakatan politik yang tidak
mengindahkan kaidah ekologis. Hal ini dalam perspektif Pardy akan berujung
pada gagalnya usaha penurunan emisi saat mengedepankan proses negosiasi
yang memuat kepentingan politis.142

141 Salah satu kritik Pardy terhadap Protokol Kyoto adalah mekanisme penurunan emisi tanpa
adanya batas emisi yang hendak dicapai. Analogi yang digunakan Pardy dalam konteks ini digambarkan
sebagai sebuah keluarga Smith yang terdiri dari Ayah, Ibu dan 3 (tiga) orang anak yaitu Ted, Kate dan
Rose. Keluarga ini tidak mengetahui secara pasti berapa pemasukan mereka setiap bulannya (yaitu 4.000
US $), namun mereka tahu dengan pasti jumlah pengeluaran mereka setiap bulannya yaitu 10.200 US$
yang terdiri dari pengeluaran ayah dan ibu masing – masing 3000 US$, Ted dan Kate masing – masing
2.000 US$ dan si bungsu Rose sebesar 200 US$. Hal lain yang mereka tidak ketahui ialah jumlah tagihan
hutang mereka (yakni 100.000 US$), mereka hanya tahu bahwa hutang mereka banyak karena tagihan
hutang mereka selalu datang setiap bulannya. Dalam rangka menanggulangi masalah ekonomi keluarga
Smith mengeluarkan sebuah aturan, yaitu setiap anggota keluarga Smith kecuali si bungsu akan
melakukan pengurangan pengeluaran sebesar 5% setiap bulannya. Model seperti ini merupakan gambaran
yang terdapat dalam Protokol Kyoto, negara yang diwajibkan melakukan penurunan emisi didasarkan atas
informasi yang tidak jelas sehingga tingkat keberhasilan atau efektifitas dari Protokol Kyoto relatif
diragukan. Lihat dalam Bruce Pardy, “The Kyoto Protocol : Bad News for the Global Environment”.,
Journal Of Environmental Law & Practice., 2004, Volume 14. hlm. 2.

142 Ibid., hlm. 20.

168

3.4. Komitmen Mitigasi dalam Rezim Perubahan Iklim

3.4.1. Sebelum Tahun 2012

Seperti perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup lainnya,

Konvensi Perubahan Iklim juga melakukan kategorisasi terhadap komitmen
negara-negara yang turut serta dalam konvensi tersebut.143 Dalam struktur

UNFCCC, klasifikasi tidak hanya terdapat dalam kategorisasi negara dalam

rangka penurunan emisi namun juga terdapat dalam komitmen yang harus

dilakukan. Paling tidak terdapat 3 (tiga) bentuk komitmen berdasarkan subyek

hukum nya di dalam ketentuan yang termuat dalam UNFCCC.

Pertama adalah komitmen yang mengikat secara umum semua negara

anggota baik negara – negara berkembang maupun negara maju. Kedua adalah

komitmen yang mengikat dalam hal menentukan sumber dan sink dari emisi gas

rumah kaca yang untuk kemudian digunakan dalam upaya penurunan konsentrasi

emisi gas rumah kaca. Komitmen ini ditujukan kepada negara – negara yang
tergabung dalam Annex I.144 Ketiga adalah komitmen yang berkaitan dengan

143 Dalam perjanjian hukum lingkungan internasional lainnya juga kerap ditemui adanya
klasifikasi negara. Hal ini dapat ditemui antara lain dalam The Montreal Protocol on Substances That
Deplete the Ozone Layer dan The Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer. Untuk
pembahasan lebih mendalam mengenai perlu adanya diferensiasi dalam sebuah perjanjian lingkungan
internasional dapat dilihat dalam Daniel B. Magraw, “Legal Treatment of Developing Countries:
Differential, Contextual, and Absolute Norms”, Colorado Journal International Environmental Law and
Policy, 1990., Volume 69 hlm.89-98.

144 Negara – negara yang tergabung dalam Lampiran I adalah sebagian negara – negara anggota
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan mantan negara – negara yang
tergabung dalam Blok Timur. Secara rinci negara – negara yang terdapat dalam Lampiran I meliputi
Australia, Austria, Belarusa, Belgium, Bulgariaa, Canada, Croatiaa, Czech Republica, Denmark, European
Economic Community, Estoniaa, Finland, France, Germany, Greece, Hungarya, Iceland, Ireland, Italy,
Japan, Latviaa, Liechtenstein, Lithuaniaa, Luxembourg, Monaco, Netherlands, New Zealand, Norway,
Polanda, Portugal, Romaniaa, Russian Federationa, Slovakiaa, Sloveniaa, Spain, Sweden, Switzerland,
Turkey, Ukrainea, United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland, United States of America.

169

pendanaan serta alih teknologi dalam rangka penurunan emisi yang ditujukan
kepada negara – negara yang terdapat dalam Annex II.145

Adanya dikotomi antara komitmen yang mengikat secara umum serta
komitmen yang mengikat secara khusus sebagaimana diungkapkan di atas dalam
prakteknya seringkali menimbulkan masalah. Hampir semua negara – negara
yang tergabung dalam kelompok negara berkembang mengatakan bahwa
tindakan mereka untuk melaksanakan komitmen dalam kerangka umum sangat
tergantung pada mekanisme pendanaan dan alih teknologi yang dilakukan oleh
negara maju.146 Namun sebaliknya negara maju menganggap usaha mereka
untuk melakukan komitmen khusus terbatas pada saat negara-negara
berkembang telah menggugurkan kewajiban untuk melakukan komitmen secara
umum.147

Salah satu bentuk komitmen umum yang penting adalah keharusan dari
seluruh negara peserta anggota untuk melakukan perencanaan jangka panjang
…………..

145 Negara – negara yang tergabung dalam Lampiran II UNFCCC adalah negara – negara yang
termasuk dalam anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang terdiri
dari : Australia, Austria, Belgium, Canada, Denmark, European Economic Community, Finland, France,
Germany, Greece, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Luxembourg, Netherlands, New Zealand, Norway,
Portugal, Spain, Sweden, Switzerland, United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland, United
States of America.

146 Lihat Daniel A. Reifsnyder, Remarks at the 1992 Seoul Symposium on UNCED and Prospects
for the Environmental Regime in the 21st Century, 2 September 1992., halaman., 23.

147 Lihat Daniel Bodansky., “The United Nations Framework Convention On Climate Change: A
Commentary”., Yale Journal of International Law, 1993., Summer, hlm. 12.

170

terhadap penurunan emisi dalam tataran internasional dan melakukan peninjauan
dalam pelaksanaan pada tingkat nasional.148

Mekanisme konsep komitmen secara umum yang digambarkan di
paragraf di atas secara khusus telah dituangkan dalam perumusan UNFCCC yang
meminta setiap negara untuk merumuskan serta mengembangkan laporan emisi
gas rumah kaca dalam kondisi terkini dengan menggunakan perpaduan
metodologi yang telah disepakati sebelumnya dalam Konferensi Para Pihak.149

Terhadap beberapa komitmen umum yang telah diungkapkan di atas
terjadi perdebatan antara negara – negara maju dan negara berkembang
mengenai beberapa hal utama. Pertama, negara maju menganggap bahwa dalam
rangka menyusun laporan mengenai kondisi terkini dari kondisi emisi gas rumah
kaca harusnya diberikan kewenangan kepada masing – masing negara untuk
menentukan metodologi yang dianut. Hal ini ditolak oleh negara – negara
berkembang karena dianggap akan menguntungkan negara maju dan merugikan
negara berkembang dengan keterbatasan teknologi yang ada.150

Kedua, beberapa anggota negara berkembang beranggapan bahwa kata
“strategies” dalam perumusan Pasal 4 ayat (1) huruf g dan huruf h dalam

148 Dalam pandangan Bodansky hal ini diistilahkan dengan mekanisme “pledge and review” yang
mengandung makan suatu usaha penurunan emisi harus dilaksanakan secara berkesinambungan antara
pelaksanaan lalu pengkajian kembali terhadap kegagalan dari usaha yang telah di lakukan. Ibid., hlm. 17.

149 Lihat perumusan Pasal 7 ayat (2) huruf (d) United Nations Framework Convention on Climate
Change yang berbunyi “Promote and guide, in accordance with the objective and provisions of the
Convention, the development and periodic refinement of comparable methodologies, to be agreed on by
the Conference of the Parties, inter alia, for preparing inventories of greenhouse gas emissions by sources
and removals by sinks, and for evaluating the effectiveness of measures to limit the emissions and enhance
the removals of these gases”

150 Lihat Bodansky, Op. Cit., hlm. 20.

171

UNFCCC sebagai bentuk intervensi dari konvensi terhadap kedaulatan
negara.151 Menurut pandangan dari negara berkembang, hal ini cukup

digambarkan dalam konsep program yang harus dilakukan oleh negara

berkembang, karena akan lebih umum dan tidak mengganggu kedaulatan
mereka.152

Ketiga, dalam hal penyampaian laporan yang wajib disampaikan pada
setiap tahunnya dalam rangka pelaksanaan dari konvensi,153 negara berkembang

berpandangan bahwa seharusnya tidak ada kewajiban seperti itu bagi negara
berkembang.154 Hal ini didasari pada pemikiran bahwa sesungguhnya yang

mempunyai kontribusi lebih besar dan pengaturan lebih banyak dalam konvensi
ini adalah bagi negara – negara maju yang terdapat dalam Annex I.155

Selain mengatur ketentuan komitmen secara umum sebagaimana

diungkapkan dalam pemahaman di atas, dalam UNFCCC juga terdapat

komitmen khusus yang berlaku secara spesifik bagi kelompok negara tertentu.

151 Sebagai contoh adalah rumusan Pasal 4 ayat (1) huruf g yang berbunyi bahwa setiap negara
wajib untuk “Promote and cooperate in scientific, technological, technical, socio-economic and other
research, systematic observation and development of data archives related to the climate system and
intended to further the understanding and to reduce or eliminate the remaining uncertainties regarding
the causes, effects, magnitude and timing of climate change and the economic and social consequences of
various response strategies (cetak tebal oleh penulis)” Lihat pula perumusan Pasal 4 ayat (1) huruf h yang
mewajibkan semua pihak untuk “Promote and cooperate in the full, open and prompt exchange of
relevant scientific, technological, technical, socio-economic and legal information related to the climate
system and climate change, and to the economic and social consequences of various response strategies
(cetak tebal oleh penulis)”

152 Lihat Bodansky, Op. Cit., hlm. 21.
153 Pasal 4 ayat (1) huruf j United Nations Framework Convention on Climate Change yang
berbunyi “Communicate to the Conference of the Parties information related to implementation, in
accordance with Article 12.”
154 Lihat Bodansky, Op. Cit., hlm. 22.
155 Ibid.

172

Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber dari emisi gas rumah kaca paling

tidak terdapat 3 (tiga) komitmen khusus yang diatur secara jelas dalam dokumen

UNFCCC.

Pertama, setiap negara yang termasuk dalam negara-negara yang terdapat

dalam Annex I wajib melakukan adopsi dalam tataran kebijakan nasional untuk

pengukuran serta pengontrolan dari emisi gas rumah kaca secara

berkelanjutan.156

Kedua, negara- negara yang tergabung dalam kelompok Lampiran I

diwajibkan untuk memberikan laporan baik mengenai tenggat waktu penurunan

emisi serta upaya nyata dalam penurunan emisi tersebut. Dalam ketentuan yang

tertuang dalam UNFCCC negara- negara tersebut wajib untuk melakukan

komunikasi mengenai hal tersebut 6 (enam) bulan setelah keberlakuan konvensi

156 Hal ini sebenarnya serupa dengan komitmen yang berlaku umum, namun dituangkan dalam
bentuk komitmen khusus yang berbeda pasal. Dalam hal ini, Pasal 4 ayat (2) huruf a UNFCCC
menyatakan:

“Each of these Parties shall adopt national policies and take corresponding measures on the
mitigation of climate change, by limiting its anthropogenic emissions of greenhouse gases and protecting
and enhancing its greenhouse gas sinks and reservoirs. These policies and measures will demonstrate that
developed countries are taking the lead in modifying longer-term trends in anthropogenic emissions
consistent with the objective of the Convention, recognizing that the return by the end of the present
decade to earlier levels of anthropogenic emissions of carbon dioxide and other greenhouse gases not
controlled by the Montreal Protocol would contribute to such modification, and taking into account the
differences in these Parties’ starting points and approaches, economic structures and resource bases, the
need to maintain strong and sustainable economic growth, available technologies and other individual
circumstances, as well as the need for equitable and appropriate contributions by each of these Parties to
the global effort regarding that objective. These Parties may implement such policies and measures jointly
with other Parties and may assist other Parties in contributing to the achievement of the objective of the
Convention and, in particular, that of this subparagraph”

Dalam konteks komitmen sebagaimana tertuang di atas, secara eksplisit dapat diartikan bahwa
negara – negara maju yang tergabung dalam Annex I memiliki kewajiban untuk dapat melakukan tindakan
mitigasi dengan kebijakan tingkat nasional yang sesuai dalam rangka menekan angka emisi dari manusia.
Kebijakan ini sebagai wujud nyata bahwa negara – negara maju diharapkan dapat mengambil peran lebih
maksimal dalam memandu upaya penanggulangan perbaikan iklim ke depan. Oleh karena itu negara –
negara yang tergabung dalam kelompok Annex I dapat melakukan kerjasama guna mencapai target
penurunan emisi yang diharapkan.

173

dan harus selesai pelaporan tersebut dalam waktu 3 (tiga) tahun.157 Selain itu

negara – negara dalam Lampiran I juga wajib untuk menyampaikan laporan yang

terperinci memuat serangkaian kebijakan dan tindakan dalam rangka penurunan
emisi gas rumah kaca dengan bersandar pada konsep pengetahuan terbaik.158

…………...

157Pasal 4 ayat (2) huruf b United Nations Framework Convention on Climate Change yang
berbunyi:

“In order to promote progress to this end, each of these Parties shall communicate, within six
months of the entry into force of the Convention for it and periodically thereafter, and in accordance with
Article 12, detailed information on its policies and measures referred to in subparagraph (a) above, as
well as on its resulting projected anthropogenic emissions by sources and removals by sinks of
greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol for the period referred to in subparagraph (a),
with the aim of returning individually or jointly to their 1990 levels these anthropogenic emissions of
carbon dioxide and other greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol. This information will
be reviewed by the Conference of the Parties, at its first session and periodically thereafter, in accordance
with Article 7”

Dalam ketentuan ini secara imperatif telah dikatakan bahwa negara – negara yang tergabung
dalam Annex I berkewajiban untuk melakukan komunikasi secara intensif dalam waktu 6 (enam) bulan
setelah memberlakukan konvensi perubahan iklim. Hal ini dilakukan dalam rangka melakukan
pengontrolan secara periodik guna dapat ditinjau kemajuan yang terjadi pada saat diadakannya pertemuan
tahunan dari Konvensi Perubahan Iklim

158Pasal 4 ayat (2) huruf c UNFCCC menyatakan bahwa
“Calculations of emissions by sources and removals by sinks of greenhouse gases for the
purposes of subparagraph (b) above should take into account the best available scientific knowledge,
including of the effective capacity of sinks and the respective contributions of such gases to climate
change. The Conference of the Parties shall consider and agree on methodologies for these calculations at
its first session and review them regularly thereafter”
Dari perumusan di atas dapat disimpulkan bahwa negara – negara yang tergabung dalam Annex I
berkewajiban menggunakan pemahaman yang maksimal mereka punyai dengan menggunakan pola
metodologi yang disepakati pada saat diadakannya pertemuan tahunan dari Konvensi Perubahan Iklim.

174

Dalam rangka itu Conference Of the Parties (COP) menjadi wadah untuk

penyampaian laporan dan tempat pencapaian kesepakatan teknologi159.

Ketiga, komitmen khusus kepada negara – negara yang tercantum dalam

Lampiran I berkaitan dengan kewajiban dari negara – negara tersebut untuk

melakukan koordinasi dan evaluasi dalam beberapa hal tertentu yaitu (i)

berkaitan dengan kondisi ekonomi terkini serta perlunya instrumen administrasi

dalam rangka mewujudkan tujuan konvensi160 dan (ii) melakukan identifikasi

secara berkala mengenai hal – hal yang berkaitan dengan emisi gas rumah kaca

namun belum diatur dalam regulasi sebelumnya.161

Beberapa catatan menarik yang dapat ditemukan dalam pengaturan

komitmen di UNFCCC adalah adanya kegamangan dalam mengambil tindakan

tegas dalam perjanjian internasional di bidang perubahan iklim ini. Hal ini paling

tidak dilatarbelakangi oleh kondisi bahwa UNFCCC adalah dokumen yang

159 Pasal 4 ayat (2) huruf d UNFCCC menyatakan
“The Conference of the Parties shall, at its first session, review the adequacy of subparagraphs
(a) and (b) above. Such review shall be carried out in the light of the best available scientific information
and assessment on climate change and its impacts, as well as relevant technical, social and economic
information. Based on this review, the Conference of the Parties shall take appropriate action, which may
include the adoption of amendments to the commitments in subparagraphs (a) and (b) above. The
Conference of the Parties, at its first session, shall also take decisions regarding criteria for joint
implementation as indicated in subparagraph (a) above. A second review of subparagraphs (a) and (b)
shall take place not later than 31 December 1998, and thereafter at regular intervals determined by the
Conference of the Parties, until the objective of the Convention is met”
Uraian di atas menggambarkan mengenai pentingnya pertemuan yang dikenal dengan Conference
Of the Parties (COP) dari Konvensi Perubahan Iklim yang dilaksanakan setiap tahunnya. Berbagai
petunjuk pelaksanaan serta petunjuk teknis terkait informasi dan penilaian ilmiah pada bidang sosial dan
ekonomi akan dikaji secara mendalam pada pertemuan ini.
160 Pasal 4 ayat (2) huruf e point (i) UNFCCC menyatakan bahwa negara-negara (annex I) harus
“coordinate as appropriate with other such Parties, relevant economic and administrative instruments
developed to achieve the objective of the Convention.”
161 Pasal 4 ayat (2) huruf e point (ii) UNFCCC menyatakan pula bahwa negara-negara (annex I)
memiliki kewajiban untuk “identify and periodically review its own policies and practices which
encourage activities that lead to greater levels of anthropogenic emissions of greenhouse gases not
controlled by the Montreal Protocol than would otherwise occur”

175

pertama kali memadukan isu perubahan iklim, serta besarnya ketidakpastian

secara ilmiah mengenai perubahan iklim serta dampaknya bagi ekonomi pada
saat itu.162 Atas dasar yang sama pula maka dalam UNFCCC belum ditentukan

mengenai besaran jumlah emisi yang harus diturunkan, melainkan para negara

yang turut serta dalam konvensi ini baru bersepakat bahwa mereka menggunakan
perhitungan dasar di tahun 1990. 163

Salah satu pembahasan panjang yang dilakukan dalam proses negosiasi

UNFCCC adalah penentuan mengenai target penurunan emisi yang harus dicapai

dan waktu yang dibutuhkan. Walaupun dalam arti umum target seringkali

dimaknai sebagai tujuan, namun dalam konteks penurunan emisi dikaitkan
dengan bentuk pendekatan yang bersifat kuantitatif.164

Pembahasan mengenai target dan jadwal waktu yang diperlukan dalam

pemenuhan target ini juga menjadi topik negosiasi menarik pada sebelum dan

berlangsungnya sidang yang menyepakati UNFCCC. Sebagian besar dari negara

barat mendapat perhatian besar dari anggota konferensi pada tahun 1992 untuk

162 Lihat Xueman Wang dan Glenn Wiser., “The Implementation and Compliance Regimes under
the Climate Change Convention and its Kyoto Protocol”., Review of European Community &
International Environmental Law., 2002, Vol. 11(2) . hlm. 184.

163 Lihat perumusan dalam Pasal 4 ayat (2) United Nations Framework Convention on Climate
Change.

164 Lihat pemaknaan kata “Target” dalam American Heritage Dictionary yang diartikan sebagai
defining “target” sebagai “anything aimed or fired at; . . . a desired goal”. Lihat American Heritage
Dictionary 2nd Edition, 1982., hlm. 1244. Dalam beberapa era belakangan penentuan target dan kurun
waktu yang diperlukan dalam pencapaian target telah digunakan dalam berbagai bentuk regulasi yang
terkait dengan pencemaran atmosfir. Hal ini menurut sebagian pendapat dianggap akan lebih mudah untuk
diberlakukan karena akan memberikan kewenangan kepada masing – masing negara untuk melakukan
upaya penurunan emisi sendiri baik dapat berupa regulasi penurunan secara langsung, mekanisme pasar
karbon ataupun pajak. Lihat Michael Grubb, “The Greenhouse Effect: Negotiating Targets”, International
Affair.Vol. 66, 1990, hlm. 71 – 72.

176

melakukan upaya adopsi terhadap stabilisasi dan penurunan emisi gas rumah

kaca secara ketat.165

Salah satu kelompok negara yang telah menentukan langkah serta target

penurunan emisi secara tegas adalah Uni Eropa dengan menentukan akan

menurunkan sebanyak 20% pada tahun 2000.166 Sebagai bentuk regulasi yang

ditetapkan dalam konteks kesatuan negara – negara Eropa, model ini mendapat

kritik besar dari Amerika Serikat yang menganggap pendekatan top down dari

Uni Eropa akan memiliki kesulitan pada saat implementasi dengan karakteristik

dan kondisi masing – masing negara.167 Atas dasar kritik tersebut Amerika

Serikat mengusulkan pendekatan yang berbasis bottom up sebagai alternatif yang

165 Lihat EC Council Conclusions on Climate Change Policy, Council of the European
Communities Press Release 9482/90 (Oct. 29, 1990). Lihat pula Proceedings of the World Conference on
the Changing Atmosphere: Implications for Global Security, Toronto, June 27-30, 1988, WMO & U.N.
Environment Program (UNEP), WMO/OMM Doc. 710. Lihat pula Robert F. Van Lierop, Permanent
Representative to the United Nations and Chairman of the Delegation of Vanuatu, Statement to the
Plenary Session of the INC/FCCC, at 3, Feb. 5, 1991. Lihat pula Compilation of Texts Related to
Principles, INC/FCCC, 3d Sess., Provisional Agenda Item 2(a), U.N. Doc. A/AC.237/Misc.6 (1991);
Compilation of Proposals Related to Commitments, INC/FCCC, 3d Sess., Provisional Agenda Item 2(a),
U.N. Doc. A/AC.237/Misc.7 (1991). Lihat pula Report of the Intergovernmental Negotiating Committee
for a Framework Convention on the Work of Its Fourth Session, U.N. GAOR INC/FCCC, 4th Sess., U.N.
Doc. A/AC.237/15 (1992).

166 Walaupun pada faktanya beberapa negara barat telah berjalan sendiri – sendiri dengan target
penurunan emisi serta rencana kerja yang dibuat secara sepihak. Pada saat itu misalnya Denmark telah
menetapkan action plan yang akan menurunkan pula jumlah emisi sebanyak 20% pada tahun 2005 dengan
bersandar pada jumlah emisi yang terdapat pada tahun 1988. Jerman pun tidak mau tertinggal dengan
menetapkan target penurunan emisi pada tahun 2005 sebanyak 25% dengan basis perhitungan pada tahun
1987. Lihat Report of the Intergovernmental Negotiating Committee for a Framework Convention on the
Work of Its Fourth Session, U.N. GAOR INC/FCCC, 4th Sess., U.N. Doc. A/AC.237/15 (1992).

167 Dalam perspektif Amerika Serikat, model penentuan target serta waktu penurunan emisi yang
telah dilakukan oleh Uni Eropa mempunyai pendekatan yang bersifat top down seperti ini akan
mengakibatkan upaya penurunan emisi yang berbiaya tinggi. Hal ini pun diamini oleh Perwakilan Jepang
dalam Konferensi Perubahan Iklim 1992 dengan mengatakan bahwa konvensi hendaknya bertujuan untuk
mewujudkan adanya strategi serta upaya yang sesuai dengan kemampuan masing – masing negara. Lihat
Matthew Patterson & Michael Grubb, “The International Politics of Climate Change” ”, International
Affair, vol. 68, 1992. hlm. 265. Lihat pula James K. Sebenius, “Designing Negotiations Towards a New
Regime: The Case of Global Warming”, International Security, Spring, Vol. 1594), 1991, hlm. 122. Lihat
pula Nobutoshi Akao, Head of Delegation of Japan, Feb. 1991, hlm. 3.

177

dapat meningkatkan penyajian informasi, strategi kebijakan nasional serta
rencana kerja yang lebih baik.168

Selain membicarakan mengenai adanya penentuan target penurunan

emisi serta rencana waktu penurunan emisi tersebut di atas, pembahasan

mengenai komitmen pembantuan finansial serta peralihan teknologi juga menjadi
isu kontroversial yang dibahas saat negosiasi.169 Walaupun banyak pengamat

mengatakan bahwa biaya untuk penurunan emisi di negara – negara berkembang

memiliki biaya yang lebih kecil dibandingkan dengan negara maju, namun dalam

prakteknya dengan memperhatikan kemampuan untuk membayar dari negara
berkembang hal tersebut sepertinya terbantahkan.170

Dalam pandangan dari negara – negara berkembang mereka menegaskan

bahwa tindakan mereka untuk melakukan komitmen secara umum untuk

melawan perubahan iklim akan tergantung pada penerimaan bantuan finansial

168 Lihat Office Of The President, America's Climate Change Strategy: An Action Agenda (1991).
Lihat pula Daniel A. Reifsnyder, Remarks at the 1992 Seoul Symposium on UNCED and Prospects for the
Environmental Regime in the 21st Century (Sept. 2, 1992)

169 Untuk mengetahui latar belakang serta kondisi yang terjadi pada saat itu dapat dilihat misalnya
dalam pembahasan Laura Bulatao & Philippe Sands, “Financial Resources and International Funding
Mechanisms For The Climate Change Convention”., Centre for International Environmental Law (CIEL)-
AOSIS Background Paper No. 3, 1991.

170 Biaya yang harus diemban dari negara berkembang disini diartikan sebagai bentuk akumulasi
dari biaya yang harus dilakukan dalam menginventarisasi sumber – sumber emisi, biaya merancang dan
menerapkan program nasional penurunan emisi gas rumah kaca, biaya penelitian yang menunjang
kebijakan perubahan iklim, biaya pendidikan dan pelatihan penurunan emisi, biaya pembangunan fasilitas
baru yang terkait dengan teknologi ramah lingkungan, biaya pembuatan laporan serta biaya yang harus
dikeluarkan di kemudian hari sebagai konsekuensi dari perencanaan di bidang perubahan iklim. Lihat
Ibid., hlm. 2.

Dalam pandangan Nicholas Stern, diungkapkan bahwa biaya penurunan emisi (abatement cost)
di negara maju dan negara berkembang relatif sama karena adanya biaya – biaya lain seperti biaya sosial
di negara berkembang yang harus diemban. Lihat dalam Lihat Nicholas Stern, Executive Summary The
Economics of Climate Change: The Stern Review, 2007., hlm. 13.

178

dari negara maju untuk menutupi peningkatan biaya yang harus dilakukan.171 Hal
ini dimafhumi oleh negara – negara maju namun dengan kondisi bahwa paling
tidak negara berkembang turut serta dalam komitmen untuk melakukan beberapa
hal seperti inventarisasi emisi gas rumah kaca, menyusun program nasional
penurunan emisi serta membentuk institusi-institusi dalam rangka melaksanakan
isi konvensi.172

Hal lain yang termasuk dalam pembahasan komitmen pada kerangka
UNFCCC berkutat dengan peralihan teknologi dari negara maju ke negara
berkembang.173 Dapat dikatakan bahwa sebagian besar dari delegasi dalam
……………

171 Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Direktur Eksekutif dari UNEP yang mengatakan bahwa
“Developing countries cannot be expected to accept the discipline of legally-binding [commitments to
reduce economic activities implicated in emissions of] greenhouse gases . . . unless they have [a] clear
indication that they will receive the necessary financial support to finance the major up-front investments
associated with any significant action.” Lihat Mostafa K. Tolba, Carrying the Stone of Hope, Statement to
the Third Plenary Session of IPCC, Washington, D.C., Feb. 5-7, 1990., hlm.5 – 6.

172 Dalam pemahaman negara – negara maju hal ini dimaknai sebagai bentuk pelaksanaan prinsip
Quid Pro Quo yang bermakna bahwa sesuatu dilakukan berdasar pada timbal balik yang dilakukan oleh
pihak lain. Lihat dalam Rene Bowser, History of the Montreal Protocol's Ozone Fund, 14 International
Environmental Report, hlm. 638. Mengenai pemaknaan dari Prinsip Quid Pro Quo terdapat dalam situs
http://www.lectlaw.com/def2/q003.htm diakses pada tanggal 5 Maret 2012.

173 Untuk mempunyai pemahaman dasar mengenai topik ini secara umum terdapat beberapa
literatur yang dapat dijadikan panduan. Lihat antara lain M. Blakeney, Legal Aspects Of The Transfer Of
Technology To Developing Countries, Australia : Law Book Co Of Australasia., 1989. Lihat pula Peter
Lawrence, “Technology Transfer Funds and the Law: Recent Amendments to the Montreal Protocol on
Substances that Deplete the Ozone Layer”, Journal of Environmental Law., 1992., hlm.15. Lihat pula
Gordon J. MacDonald, “Technology Transfer: The Climate Change Challenge”, Journal Law and
Development., Volume 1., No.1, 1992., hlm.1.

179

konvensi perubahan iklim meyakini bahwa alih teknologi merupakan hal yang

penting dalam upaya penurunan emisi.174

Perdebatan terjadi di antara negara – negara maju dengan negara – negara

berkembang saat membicarakan mengenai konsep peralihan teknologi itu

sendiri.175 Dalam pandangan negara berkembang, alih teknologi dan peralihan

paten dari teknologi dalam usaha mitigasi gas rumah kaca dianggap sebagai

suatu hal yang mutlak harus diberikan kepada negara – negara maju. Hal ini

dilatarbelakangi pemahaman bahwa negara – negara berkembang dalam rangka

pelaksanaan konvensi membutuhkan teknologi yang dapat dilakukan dengan

biaya terjangkau. 176 Sebaliknya negara – negara maju lebih mempunyai

pemahaman alih teknologi serta paten dalam teknologi tersebut sebagai suatu

174 Tidak dapat dipungkiri negara – negara berkembang pada saat itu memiliki keterbatasan
dalam usaha penurunan emisi yang berkaitan dengan alih teknologi. Hambatan – hambatan tersebut
meliputi hambatan yang berkaitan dengan perangkat keras maupun hambatan yang berkaitan dengan
sumber daya manusia seperti keterbatasan untuk mendapatkan dan menggunakan teknologi, termasuk
kurangnya lembaga yang diperlukan dan personil terlatih, faktor sosial yang menghambat inovasi. Selain
itu permasalahan alih teknologi juga mencakup kekurangan modal untuk membeli, mengoperasikan, dan
memelihara teknologi baru, dan hambatan hukum dan praktek perdagangan terbatas. Dalam konteks ini
salah satu solusi yang dapat digunakan dalam upaya mitigasi ras rumah kaca termasuk dalam bentuk
menyediakan sumber daya keuangan yang lebih besar; meningkatkan infrastruktur kelembagaan dan
teknis; menetapkan insentif untuk transfer sektor swasta. Lihat Report of the 2nd Session of IPCC Working
Group III/Response Strategies Working Group, Geneva, Oct. 2-6, 1989, WMO & UNEP., hlm. 5 – 6.

175 Salah satu topik perdebatan hanya mengenai konsep alih teknologi dilatarbelakangi risiko dari
pemanfaatan teknologi nuklir yang ada pada saat itu. Negara – negara berkembang seperti Arab Saudi
mengatakan bahwa dalam pelaksanaan dari alih teknologi betul – betul harus memperhatikan konsep
keamanan terlebih dahulu sebelum adanya proses peralihan teknologi yang ramah lingkungan. Hal ini pun
mendapat kecaman dari Perancis sebagai salah satu negara yang menghasilkan teknologi nuklir pada saat
itu yang beranggapan bahwa pemikiran dari Arab Saudi mengandung makna bahwa ada keraguan dari
negara – negara berkembang. Lihat dalam Stanley P. Johnson ed., The Earth Summit: The United Nations
Conference On Environment And Development (UNCED)., 1993., hlm. 452.

176 Hal ini diungkapkan oleh Ghana yang mewakili negara – negara G77 dengan mengatakan
bahwa perlu adanya juga peralihan paten yang bersifat non komersial terhadap teknologi yang dialihkan
kepada negara berkembang dalam kaitannya dengan upaya mitigasi gas rumah kaca. Lihat Set of Informal
Papers Provided by Delegations, Addendum 15, INC/FCCC, 4th Sess., Provisional Agenda Item 2, at 3,
U.N. Doc. A/AC.237/Misc.1/Add.15 (1991)., hlm. 3 – 4.

180

bentuk skema kerjasama antara negara – negara maju dengan negara

berkembang, bukan dalam skema peralihan dari negara maju kepada negara
berkembang.177

Perdebatan ini pun berakhir saat dicantumkan dalam dokumen UNFCCC

bahwa negara-negara maju diwajibkan untuk menempuh langkah – langkah

praktis untuk memajukan, mempermudah, dan membiayai secara tepat proses

pengalihan atau akses ke teknologi yang ramah lingkungan ke negara – negara

berkembang dalam rangka mendukung pengembangan dan peningkatan
kemampuan dari negara – negara berkembang itu sendiri.178

Berbeda dengan komitmen yang terdapat dalam UNFCCC, pengaturan

dalam Protokol Kyoto hadir sepenuhnya dalam semangat menuntut adanya
pertanggungjawaban dari negara maju dalam mitigasi perubahan iklim.179 Para

ahli berpendapat bahwa salah satu sumbangan ilmiah terbesar dari keberadaan

Protokol Kyoto adalah hasil kajian dari IPCC 1995 yang secara tegas

177 Amerika Serikat pada khususnya mengatakan bahwa transfer teknologi akan berguna hanya
jika terjadi dalam konteks yang lebih luas yaitu skema kerjasama teknologi yang meliputi penilaian,
pelatihan, serta program pengembangan kapasitas. Lihat dalam Press Release, Secretariat, Framework
Convention On Climate Change, United Nations Climate Change Conference Agrees on Future Critical
Steps to Tackle Climate Change (Dec. 10, 2005).

178 Lihat perumusan Pasal 4 ayat (5) United Nations Framework Convention on Climate Change
yang berbunyi “The developed country Parties and other developed Parties included in Annex II shall take
all practicable steps to promote, facilitate and finance, as appropriate, the transfer of, or access to,
environmentally sound technologies and know-how to other Parties, particularly developing country
Parties, to enable them to implement the provisions of the Convention. In this process, the developed
country Parties shall support the development and enhancement of endogenous capacities and
technologies of developing country Parties. Other Parties and organizations in a position to do so may
also assist in facilitating the transfer of such technologies.”

179 Lihat Department of Foreign Affairs and Trade, Australia, Submission to Joint Standing
Committee on Treaties: Inquiry into the Kyoto Protocol (2000) [1.5.5] <http://
www.dfat.gov.au/environment/climate/jscot_sub.html diakses pada tanggal 30 Juli 2013..

181

menyatakan bahwa dari tolak ukur ilmiah terdapat keyakinan bahwa manusia
merupakan kontributor utama terhadap perubahan iklim.180

Pada saat Konvensi Perubahan Iklim mengatur komitmen dalam 2 (dua)
bentuk besar yaitu komitmen yang berlaku secara umum serta komitmen yang
berlaku secara khusus, dalam dokumen Protokol Kyoto komitmen dititikberatkan
pada kewajiban dari negara – negara maju semata. Ditentukan secara pasti dalam
Protokol Kyoto bahwa negara – negara yang terdapat dalam Lampiran I wajib
untuk menurunkan emisi sebesar 5% dalam periode 2008 – 2012 berdasarkan
emisi yang ada pada tahun 1990.181

Beberapa prasyarat lainnya mengikat bagi negara-negara maju yang
terdapat dalam Lampiran I untuk melaksanakan amanat tersebut di atas antara
lain meliputi :

Pertama, negara – negara maju diwajibkan untuk melakukan peningkatan
kebijakan yang berbasis efisiensi energi di sektor nasional terkait;182

Kedua, negara – negara maju diwajibkan untuk melakukan tindakan yang
berkaitan dengan penyimpanan gas rumah kaca yang tidak diatur oleh Protokol
Montreal dengan mempertimbangkan komitmen yang ada dalam perjanjian

180 Dalam kalimat yang terdapat dalam IPCC Report 1995 dinyatakan bahwa “the balance of
evidence suggests ... a discernible human influence on global climate.” Lihat Intergovernmental Panel On
Climate Change, Working Group I, The Science Of Climate Change 5 (Second Assessment Report, 1995),
hlm. 5.

181 Lihat perumusan Pasal 3 ayat (1) United Nations Framework Convention on Climate Change.
182 Lihat perumusan Pasal 2 ayat (1) huruf a point (i) Kyoto Protocol To The United Nations
Framework Convention On Climate Change.

182

hukum lingkungan internasional lainnya yang mendorong pengelolaan hutan
berkelanjutan, afforestasi serta reforestasi;183

Ketiga, mendorong pola pertanian berkelanjutan sesuai dengan
pertimbangan perubahan iklim;184

Keempat melakukan kegiatan penelitian yang mendorong pemanfaatan
energi terbarukan dalam rangka pengurangan karbondioksida serta penemuan
teknologi ramah lingkungan;185

Kelima, pengurangan secara progresif atau penghapusan secara bertahap
ketidaksempurnaan pasar melalui instrumen ekonomi seperti insentif fiskal,
pembebasan pajak, pembebasan bea dan pajak pada semua sektor yang dapat
menyumbangkan emisi;186
Keenam, mendorong pembaharuan yang sesuai dalam sektor – sektor yang
terkait dengan pengenalan kebijakan dan tindakan yang membatasi emisi namun
tidak diatur dalam Protokol Montreal selaku salah satu Protokol yang mengatur
negara wajib melakukan penghapusan zat perusak ozon seperti
…………………………..

183 Lihat perumusan Pasal 2 ayat (1) huruf a point (ii) Kyoto Protocol To The United Nations
Framework Convention On Climate Change.

184 Lihat perumusan Pasal 2 ayat (1) huruf a point (iii) Kyoto Protocol To The United Nations
Framework Convention On Climate Change.

185 Lihat perumusan Pasal 2 ayat (1) huruf a point (iv) Kyoto Protocol To The United Nations
Framework Convention On Climate Change.

186 Lihat perumusan Pasal 2 ayat (1) huruf a point (v) Kyoto Protocol To The United Nations
Framework Convention On Climate Change.

183

chlorofluorocarbons’ (CFC). Penghapusan CFC berefek positif terhadap iklim
bumi karena CFC merupakan salah satu gas rumah kaca.;187

Ketujuh, melakukan pembatasan serta penurunan emisi gas rumah kaca
yang tidak diatur dalam Protokol Montreal dari sektor transportasi;188 dan;

Kedelapan, melakukan pembatasan dan atau penurunan emisi metan
melalui pemulihan serta pemanfaatan pengelolaan limbah di sektor produksi,
transportasi serta distribusi energi.189

Pelaksanaan dari komitmen penurunan emisi yang harus dilakukan oleh
negara – negara maju dapat dilakukan dalam 2 (dua) satuan subjek yang tersedia
yaitu dilakukan melalui sendiri – sendiri individu setiap negara ataupun secara

187 Lihat perumusan Pasal 2 ayat (1) huruf a point (vi) Kyoto Protocol To The United Nations
Framework Convention On Climate Change.

188 Lihat perumusan Pasal 2 ayat (1) huruf a point (vii) Kyoto Protocol To The United Nations
Framework Convention On Climate Change.

189 Lihat perumusan Pasal 2 ayat (1) huruf a point (viii) Kyoto Protocol To The United Nations
Framework Convention On Climate Change.

184

bersama – sama namun tetap dalam kewajiban yang sama menurunkan emisi zat

– zat yang terdapat dalam Lampiran A Protokol Kyoto.190

Sebagai bagian penutup dalam pembahasan mengenai komitmen dalam

rezim perubahan iklim, menarik rasanya jika diperhatikan pendapat dari

Bodansky yang memperlihatkan beberapa topik utama dalam komitmen di

bidang perubahan iklim. Pertama Bodansky berpendapat bahwa banyak pihak

yang mempertanyakan mengenai jenis komitmen yang harus dilakukan.

Perseteruan utama dalam jenis atau ragam komitmen yang harus dilakukan

biasanya timbul dari pembahasan kekuatan mengikat dari sebuah komitmen.191

Menurut Bodanksy, paling tidak terdapat 4 (empat) varian dari komitmen

itu sendiri dalam pelaksanaannya. Pertama adalah komitmen yang dapat

dikatakan tidak memiliki kekuatan mengikat secara pasti. Perdebatan yang

seringkali muncul pada saat suatu negara ingin memberikan komitmennya adalah

pertimbangan mengenai apakah komitmen tersebut akan mengikat secara politis

190 Zat – zat yang termasuk dalam Gas Rumah Kaca pada Lampiran A adalah Karbondioksida
(CO2), Metan (CH4), Nitrous Oksida (N2), Hidroflourkarbon (HFC5), Perfluokarbon (PFC5) serta Sulfur
Heksaflourida (SF6). Lihat pula perumusan Pasal 3 ayat (1) huruf a point (viii) Kyoto Protocol To The
United Nations Framework Convention On Climate Change yang berbunyi “The Parties included in
Annex I shall, individually or jointly, ensure that their aggregate anthropogenic carbon dioxide equivalent
emissions of the greenhouse gases listed in Annex A do not exceed their assigned amounts, calculated
pursuant to their quantified emission limitation and reduction commitments inscribed in Annex B and in
accordance with the provisions of this Article, with a view to reducing their overall emissions of such
gases by at least 5 per cent below 1990 levels in the commitment period 2008 to 2012.” Lihat pula
perumusan Pasal 4 ayat (1) huruf a point (viii) Kyoto Protocol To The United Nations Framework
Convention On Climate Change yang berbunyi “Any Parties included in Annex I that have reached an
agreement to fulfill their commitments under Article 3 jointly, shall be deemed to have met those
commitments provided that their total combined aggregate anthropogenic carbon dioxide equivalent
emissions of the greenhouse gases listed in Annex A do not exceed their assigned amounts calculated
pursuant to their quantified emission limitation and reduction commitments inscribed in Annex B and in
accordance with the provisions of Article 3. The respective emission level allocated to each of the Parties
to the agreement shall be set out in that agreement.”

191 Lihat Daniel Bodanksy, “Climate Commitments: Assessing the Options” dalam Beyond Kyoto
Advancing The International Effort Against Climate Change., 2003, hlm.36.

185

atau yuridis.192 Dalam bentuk pertama ini komitmen yang dibuat seringkali
hanya mendepankan anjuran – anjuran tanpa adanya kewajiban sehingga
seringkali dalam teks perjanjian lingkungan internasional bentuk ini
menggunakan terminologi “should” dibandingkan dengan “shall”.193 Hal inilah
yang jika ingin diakui secara sadar terdapat dan diadopsi dalam dokumen
UNFCCC. Serangkaian komitmen-komitmen yang ada di dalamnya dapat
dikatakan hanya menggambarkan perhatian serius serta adanya kesadaran
terhadap kondisi iklim yang berubah dari waktu ke waktu.194

Kedua adalah bentuk komitmen satu arah yang disebut oleh Bodansky
sebagai “No Lose” komitmen.195 Model komitmen ini pada dasarnya memiliki
kesamaan dengan model yang ada pada bentuk pertama, namun dalam model ini
pihak yang turut serta dalam komitmen tersebut memungkinkan untuk
mendapatkan keuntungan apabila komitmen tersebut dilaksanakan.196 Salah satu
contoh yang kompatibel dalam menggambarkan bentuk ini adalah pada saat
suatu negara mempunyai komitmen yang tidak mengikat untuk menurunkan
emisi berdasarkan target tertentu, negara tersebut saat melakukan komitmennya
dapat menjual kembali kelebihan upaya penurunan emisi yang telah dilakukan.
Dalam model seperti ini negara yang bersangkutan dapat mempunyai
keuntungan dalam proses transaksi kelebihan emisi tersebut. Konstruksi serupa

192 Ibid, hlm.39.
193 Ibid.
194 Lihat perumusan Pasal 4 United Nations Framework Convention On Climate Change.
195 Lihat Bodansky., Op. Cit., hlm. 40
196 Ibid.

186

sebenarnya dapat dilihat dalam keberadaan Clean Development Mechanism

(CDM) sebagai salah satu skema penurunan emisi yang ada dalam Protokol
Kyoto.197 Negara-negara yang melakukan kegiatan berbasis Clean Development

Mechanism memiliki keuntungan saat adanya Certified Emission Reduction

(CER) yang kemudian dikonversi menjadi Assigned Amount Units (AAUs)
sebagai satuan transaksi dalam pasar karbon.198 Konstruksi seperti ini

digambarkan oleh Rolf H. Weber dan Aline Darbellay sebagai bentuk pasar

primer dan pasar sekunder dalam rezim CDM. Pasar primer sebagai bentuk

penerimaan CER yang dimiliki negara investor negara tuan rumah

penyelenggara proyek, sedangkan pasar sekunder digambarkan dalam bentuk
AAUs yang dapat diperjualbelikan dalam pasar karbon.199

Ketiga adalah bentuk komitmen yang secara yuridis mempunyai kekuatan

mengikat bagi pihak yang turut serta di dalamnya. Komitmen semacam ini

biasanya ditandai dengan penggunaan kata “shall” dalam perjanjian lingkungan
internasional.200 Hal ini misalnya bisa ditemui dalam bentuk komitmen yang ada

197 Lihat Philibert Cédric dan Jonathan Pershing., “Considering the Options: Climate Targets for
All Countries,” 2001., Climate Policy 20., hlm.17.

198 Lihat perumusan Pasal 12 Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On
Climate Change. Lihat pula perumusan dalam Pasal 17 Kyoto Protocol To The United Nations Framework
Convention On Climate Change yang menyatakan “The Conference of the Parties shall define the relevant
principles, modalities, rules and guidelines, in particular for verification, reporting and accountability for
emissions trading. The Parties included in Annex B may participate in emissions trading for the purposes
of fulfilling their commitments under Article 3. Any such trading shall be supplemental to domestic actions
for the purpose of meeting quantified emission limitation and reduction commitments under that Article”
yang memberikan ruang adanya transaksi dalam pola seperti CDM.

199 Lihat dalam Rolf H. Weber dan Aline Darbellay., “Regulation and Financial Intermediation in
The Kyoto Protocol's Clean Development Mechanism”., Georgetown International Environmental Law
Review., Vol. 22. 2010., hlm. 275.

200 Lihat Bodansky., Op.Cit.

187

dalam Protokol Kyoto, khususnya ketentuan mengenai target penurunan emisi
serta kurun waktu yang dibutuhkan. Namun seringkali yang menjadi penghalang
dalam model ini adalah tidak adanya mekanisme yang mengatur secara terperinci
penaatan di dalamnya.201 Kedua hal ini (penaatan dan komitmen yang mengikat
secara yuridis) sesungguhnya merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan satu
sama lain karena mekanisme penaatan ini lah yang kemudian diharapkan
menjadi instrumen evaluasi komitmen yang dilakukan oleh pihak – pihak yang
turut di dalamnya.

Keempat adalah bentuk komitmen yang secara nyata dapat dijamin
pelaksanaannya yang bersandar pada kesiapan sistem secara utuh. Bentuk
komitmen semacam ini lazimnya hadir dari sebuah sistem penegakan aturan
secara spesifik mulai dari pelanggaran yang memungkinkan untuk dilakukan
hingga mekanisme penyelesaian sengketa yang ada di dalamnya secara
spesifik.202

Selain bentuk dari komitmen serta subyek yang melakukan komitmen
dalam rangka menjamin berjalannya suatu rezim mitigasi perubahan iklim,
pilihan instrumen yang tepat dalam suatu komitmen juga mempunyai peran
tersendiri dalam kepentingannya. Dalam hal penurunan emisi gas rumah kaca

201 Sampai dengan saat ini mekanisme penaatan yang dijalankan secara konsisten dan terpantau
hanyalah mekanisme yang terdapat dalam World Trade Organization. Lihat beberapa tulisan yang
membahas mengenai korelasi antara penaatan dan komitmen dalam hukum internasional seperti Simmons
Beth A. “International Law And State Behavior: Commitment And Compliance In International Monetary
Affairs”. 2000., American Political Science Review 94, No. 4., hlm. 819 – 835. Lihat pula Andrew T.
Guzman., A Compliance Based Theory of International Law., 2012. Lihat pula Dinah Shelton.,
Commitment and Compliance : The Role of Non-Binding Norms in the International Legal System., Oxfor
University Press, 2000.

202 Lihat Bodansky., Op.Cit.

188

misalnya, target penurunan yang hendak dicapai harus ditentukan secara tegas.
Paling tidak terdapat 4 (empat) ragam target penurunan emisi yang dapat
dipilih.203

Pertama adalah target penurunan emisi yang bersifat absolut.204 Dalam
kondisi kekinian, hampir seluruh negara mempunyai kesamaan cara pandang
dalam menentukan tolak ukur target penurunan emisi yang hendak dicapai.
Protokol Kyoto misalnya, menentukan secara jelas bahwa negara – negara maju
mempunyai target penurunan emisi yang hendak dicapai adalah 5% pada tahun
2012 berdasarkan tolak ukur tahun 1990.205

Kedua adalah penentuan target yang bersifat target yang terindeks. Model
target semacam ini dilatarbelakangi oleh kondisi bahwa begitu banyaknya
variabel yang mempengaruhi dalam penurunan emisi baik berupa penggunaan
teknologi, cuaca, pertumbuhan ekonomi serta variabel yang berpengaruh
lainnya.206

Bentuk ketiga adalah bentuk penetapan target penurunan emisi yang
bersyarat. Berada dalam garis yang berseberangan dengan target penurunan
emisi dalam mekanisme Protokol Kyoto, model ini mensyaratkan beberapa

203 Marrakech Accords merupakan dokumen yang dihasilkan dari hasil Konferensi Para Pihak ke-
7 yang diselenggarakan pada 29 Oktober sampai dengan 10 November 2001. Di Marrakesh, Maroko.
Salah satu isi dari Marrakech Accords adalah memperbincangkan secara serius dan mendalam mengenai
implementasi dari Protokol Kyoto serta melakukan evaluasi variabel – variabel yang mempengaruhi
pelaksanaan dari isi protokol tersebut.

204 Lihat Bodansky., Op.Cit.
205 Lihat perumusan Pasal 3 Ayat (1) Kyoto Protocol To The United Nations Framework
Convention On Climate Change.
206 Lihat Bodansky., Op.Cit. hlm. 41.

189

kondisi untuk dapat melakukan usaha penurunan emisi.207 Dalam prakteknya
model ini berjalan dalam bentuk bahwa pada kondisi prasyarat yang telah
ditetapkan terlebih dahulu gagal untuk dicapai, maka target penurunan emisi
dinyatakan batal untuk berlaku.208Contoh untuk menggambarkan model ini
adalah menentukan secara kuantitatif Pendapat Domestik Bruto suatu negara
berkembang sebagai prasyarat penentuan langkah penurunan emisi. Dalam
perkembangannya, konsep ini juga dikenal sebagai bentuk “safety valve” yang
akan melindungi kepentingan negara dalam usaha penurunan emisi serta
menghindari risiko yang memungkinkan merugikan negara tersebut.209

Bentuk keempat adalah bentuk penurunan emisi yang berbasis pada
sektor tertentu.210 Harus diakui kadang secara politis penentuan emisi yang
bersumber pada alokasi sektor tertentu lebih mudah untuk dilakukan
dibandingkan dengan menetapkan emisi nasional secara keseluruhan. Sektor –
sektor yang menjadi primadona sebagai penghasil emisi biasanya lebih mudah
untuk diatur secara mendetil dengan pendekatan ini, seperti emisi yang

207 Lihat Bodansky., Op.Cit.
208 Dalam bentuk ini model pendekatan bersyarat dianggap sebagai bentuk pendekatan yang
berbasis “hybrid” karena mencampur kuantitas berbasis instrumen dan kuantitas berbasis harga yang
berarti pada saat tolak ukur yang telah ditetapkan tidak tercapai makan harga dari masing – masing unit
instrumen penurunan emisi dianggap tidak dapat diberlakukan. Lihat Eirik Haites., “Linking Domestic and
Industry Greenhouse Gas Emission Trading Systems”, 2002., hlm.13. Makalah dalam konferensi yang
dilaksanakan kerjasama Electric Power Research Institute, International Energy Agency dan International
Experience and Technical Assistance.
209 Lihat Kopp, Raymond, Richard Morgenstern, and William Pizer. “Something for Everyone: A
Climate that Both Environmentalists and Industry Could Live With,” Resources for the Future, 1997
Washington D.C., hlm. 245.
210 Lihat Bodansky., Op.Cit.

190

dihasilkan dari sektor industri, sektor transportasi bahkan dari sektor
kehutanan.211

Varian dari komitmen sebagaimana yang diungkapkan di atas tentu akan
berhasil guna saat kita tahun persis siapa subyek yang diatur dalam mekanisme
komitmen mitigasi yang ada. Paling tidak terdapat 2 (dua) subyek utama yang
dibicarakan apabila kita membahas komitmen pada tataran internasional yaitu
negara dan aktor non negara.

Walaupun saat ini dari serangkaian bentuk komitmen mitigasi gas rumah
kaca yang ada mengikat negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional,
namun ke depan perlu ada pertimbangan tersendiri bahwa terdapat aktor – aktor
di luar negara seperti halnya individu, kota atau bahkan perusahaan menjadi
subyek dalam komitmen yang dibuat.212 Menempatkan aktor non negara sebagai
subyek hukum sebenarnya bukan hal baru dalam hukum internasional. Dalam
skema hukum pidana internasional misalnya, aktor non negara seperti individu
dapat diajukan ke Mahkamah Internasional untuk bertanggungjawab atas
………………

211 Lihat Samaniego, Joséluis and Christiana Figueres. “Evolving to a Sector-Based Clean
Development Mechanism.” 2002. Chapter 4. Dalam Baumert et al., Building on the Kyoto Protocol:
Options for Protecting the Climate, World Resources Institute, Washington, D.C.

212 Lihat Bodansky., Op.Cit. hlm. 44.

191

perbuatan penyiksaan atau genosida.213 Walaupun konteks kejahatan

kemanusiaan dengan mitigasi gas rumah kaca secara drastis berbeda, namun

beberapa konteks perubahan iklim terlihat kompatibel dalam bentuk ini. Salah

satu contoh misalnya usulan untuk mengatakan bahwa produsen serta konsumen

dari bahan bakar fosil dapat dikenakan pajak secara langsung sebagai salah satu
pemicu perubahan iklim.214

Subyek selanjutnya dalam mengalamatkan komitmen mitigasi gas rumah

kaca adalah negara sebagai aktor dominan dalam kancah pergaulan internasional.

Bersandar pada fakta bahwa perubahan iklim adalah bentuk bencana secara

global, kecenderungan yang ada ditujukan untuk mengikat komitmen mitigasi

ditujukan kepada negara. UNFCCC sebagai konvensi yang pertama kali secara

spesifik membicarakan topik perubahan iklim menggunakan pendekatan ini

213 Baik dalam ketentuan internasional yang mengatur mengenai Genosida maupun Konvensi
Penyiksaan mendefinisikan kejahatan yang dapat menjadikan individu untuk dapat bertanggung jawab.
Dalam perumusan Pasal 6 Rome Statute of the International Criminal Court dinyatakan bahwa termasuk
dalam Genosida mencakup (a) Killing members of the group; (b) Causing serious bodily or mental harm
to members of the group; (c) Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring
about its physical destruction in whole or in part; (d) Imposing measures intended to prevent births within
the group; (e) Forcibly transferring children of the group to another group. Lihat Ciara Damgaard,
Individual Criminal Responsibility for Core International Crimes: Selected Pertinent Issues (Berlin:
Springer, 2008). Lihat untuk mengetahui lebih mendalam mengenai salah satu penerapan kasus ini dalam
Case Concerning the Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of
Genocide (Bosnia and Herzegovina v. Serbia and Montenegro), Judgment of 27 February 2007 terdapat
dalam situs www.icj-cij.org

214 Lihat Elizabeth Symons, John Proops dan Philip Gay., “Carbon Taxes, Consumer Demand
and Carbon Dioxide Emissions: A Simulation Analysis for the UK”., Fiscal Studies., 1994. vol. 15, no. 2,
hlm. 42. Lihat pula “Consumers And Business Will Feel The Pain Of Emissions Tax” terdapat dalam situs
http://www.smh.com.au/business/consumers-and-business-will-feel-the-pain-of-emissions-tax-20110301-
1bd5q.html#ixzz1oWBEgTnN diakses pada tanggal 8 Maret 2012. Lihat pula Michael Hoel., “Emission
Taxes versus Other Environmental Policies”., The Scandinavian Journal of Economics
Vol. 100, No. 1, 100th Anniversary Symposium: Public Policy and Economic Theory., hlm. 90.

192

untuk usaha menurunkan emisi gas rumah kaca yang ada di lapisan atmosfir
dengan mengedepankan common but differentiated responsibility.215

Reaksi pun hadir dari pengamat yang mempertanyakan seputar konsep
dasar pembedaan yang ada pada prinsip common but differentiated
responsibility. Dalam konteks perubahan iklim, beberapa parameter pun hadir
menjadi landasan berfikir dalam membedakan perlakuan serta komitmen yang
dirumuskan. Paling tidak terdapat 4 (empat) kategorisasi yang dapat digunakan
dalam membuat diferensiasi komitmen penurunan emisi gas rumah kaca.

Kelompok pertama adalah negara – negara yang dalam kondisi saat itu
tercatat sebagai emitter besar di dunia. Merujuk pada pendekatan berdasarkan
emitter demikian dan bersandar pada pemahaman simplifikasi mak masalah
perubahan iklim di dunia akan terselesaikan jika negara – negara tersebut
menjadi kelompok yang mempunyai komitmen secara tegas dalam mitigasi gas
rumah kaca.216

Kelompok kedua adalah negara – negara yang mempunyai sejarah
sumbangsih emisi besar di dunia.217 Sebagaimana diketahui secara umum,
momentum revolusi industri menjadi salah satu tonggak adanya perusakan serta

215 Lihat perumusan Pasal 3 ayat (1) United Nations Framework Convention On Climate Change.
216 Lihat Bodansky., Op.Cit. hlm. 45.
217 Ibid.

193

pencemaran lingkungan secara masif termasuk perubahan iklim di dalamnya.218
Negara – negara maju yang telah mempelopori kegiatan berbasis industri terlebih
dahulu tentu saat ini telah menikmati hasilnya dalam bentuk pembangunan.
Tentu kenikmatan yang ada sekarang ini patut untuk diminta
pertanggungjawaban berupa komitmen yang lebih besar dalam usaha perubahan
iklim.219

Kelompok ketiga adalah mengalamatkan komitmen mitigasi gas rumah
kaca terhadap negara – negara yang tergolong kaya dan sejahtera. Bersandar
pada tolak ukur yang dimiliki oleh Bank Dunia misalnya, atau ukuran yang lazim
diterima masyarakat internasional pada umumnya dapat menjadi dasar pembenar
bahwa negara – negara tersebut mempunyai kemampuan lebih untuk melakukan
tindakan nyata dalam perubahan iklim.220

Kelompok terakhir dari bentuk negara yang dapat dijadikan subyek
dalam komitmen mitigasi gas rumah kaca adalah negara – negara yang menaruh
perhatian dan mempunyai kesepahaman terhadap masalah perubahan iklim.221
Kelompok ini menitikberatkan kepada negara – negara yang mempunyai
perhatian besar kepada masalah perubahan iklim sehingga mereka tidak akan

218 Lihat Leah H.Martinez., Post Industrial Revolution Human Activity And Climate Change :
Why The United States Must Implement Mandatory Limits On Industrial Greenhouse Gas Emissions., hlm.
407. Lihat pula “Human Activities Adding To Climate Change Since The Industrial Revolution” terdapat
dalam situs http://www.greenandsave.com/green_news/climate-weather/human-activities-adding-climate-
change-industrial-revolution-5246 diakses pada tanggal 8 Maret 2012.

219 Lihat Eric A. Posner and Cass R. Sunstein., “Climate Change Justice”., Georgetown Law
Journal., Volume 96., 2008., hlm. 1569.

220 Lihat Bodansky., Op.Cit. hlm. 46.
221 Ibid.


Click to View FlipBook Version