The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by , 2016-05-12 02:40:09

Full Sidang Terbuka (1)

Full Sidang Terbuka (1)

344

4.1.3.3. Sektor Energi
Berdasarkan perkiraan INFORSE pada tahun 2009 di Eropa, untuk menstabilkan

konsentrasi gas rumah kaca, menjelang tahun 2050, khususnya CO2 pada tingkat 550
ppm di atmosfer maka untuk skenario 100% pemanfaatan sumber – sumber energi
terbarukan maka peran dari energi surya dan biomassa akan menjadi sangat menonjol.
Bila skenario dapat dilaksanakan maka konsentrasi gas CO2 di atmosfir secara bertahap
dikurangi. Menjelang tahun 2050 diperkirakan negara – negara maju akan kekurangan
sumber energi primernya, sedangkan negara-negara berkembang walaupun tingkat
konsumsi energi perkapita meningkat dari tahun 2000 dari sekitar 2000 kWh/kapita
menjadi lebih dari dua kali lipat dalam tahun 2050, yaitu menjadi sekitar 4500 kWh.105

Di lain pihak ketersediaan sumber energi primer akan semakin menipis di negara
maju menjadi sekitar 7000 an TWh dibanding negara berkembang walaupun kebutuhan
energinya makin meningkat sumber energi primernya masa pada posisi sekitar lima kali
lipatnya, yaitu sebesar 31,000 TWh.106

105 Lihat Gunnar Boye Olesen, Michael Kvetny, and Emilio Lebre la Rovere,2009. Sustainable
Energy Vision 2050:A proposal to achieve a sustainable energy system,following environmental and
social imperatives. INFORSE - International Network for Sustainable Energy

106 Ibid.

345

GAMBAR IV.15
Perbandingan Antara Konsumsi Energi Primer Berdasarkan IEA

dan Proyeksi Kondisi 2050

Sumber : GRES (Global Renewable Energy Supply)-INFORSE 2009
Dalam konteks Indonesia, proyeksi emisi GRK dari sektor energi tahun 2020 dan
2030 menunjukkan adanya potensi kenaikan yang signifikan. Emisi sektor energi secara
kumulatif disumbang oleh pembangkit listrik, produksi minyak dan gas bumi serta
sektor transportasi.
Dibandingkan tahun 2005, emisi GRK dari pembangkit listrik diperkirakan naik
hampir 4 kali lipat pada 2020 menjadi 370 MtCO2e dan 7 kali lipat pada tahun 2030
menjadi 810 MtCO2e. Kenaikan ini disebabkan oleh peningkatan laju elektrifikasi dari
60 persen menjadi 100 persen yang diperkirakan terjadi sebelum tahun 2030 dan
kenaikan permintaan tenaga listrik karena meningkatnya usaha manufaktur dan jasa.
Konsumsi tenaga listrik diperkirakan meningkat dari 120 Terrawatt-hour (TWh) pada
tahun 2005, menjadi 970 TWh pada tahun 2030.107

107 Ibid.

346

Dalam dua dekade ke depan diperkirakan lebih dari 80 persen pembangkit tenaga
listrik yang beroperasi membakar bahan bakar fosil (batubara, minyak dan gas bumi),
dimana 66 persen diantaranya adalah pembangkit listrik tenaga batubara. Pemerintah
Indonesia juga merencanakan untuk mengoptimalkan pemanfaatan panas bumi
(geothermal) dengan mentargetkan beroperasinya 9 Gigawatt (GW) Pembangkit Listrik
Tenaga Panas bumi (PLTP) pada tahun 2030.108

Sektor ketenagalistrikan memiliki potensi pengurangan emisi sebesar 260
MtCO2e, dimana sekitar 225 MtCO2e bisa didapatkan dari peningkatan pemanfaatan
sumber-sumber energi terbarukan seperti optimalisasi panas bumi (geothermal),
pemanfaatan biomassa untuk pembangkit listrik, pembangkit listrik tenaga nuklir dan
penggunaan teknologi pembangkit batubara bersih, yaitu teknologi Carbon Capture and
Storage (CCS). Tambahan penurunan emisi sebesar 47 MtCO2e bisa diperoleh dengan
melaksanakan tindakan-tindakan pengelolaan di sisi permintaan (demand side
management), yang dapat menurunkan tingkat permintaan tenaga listrik.109

Biaya pengurangan emisi GRK di sektor pembangkit listrik bervariasi antara
US$ 10 hingga 40 per tCO2e. Penambahan kapasitas panas bumi dari yang telah
direncanakan sebelumnya sebesar 6 GW pada 2020 membutuhkan biaya US$ 27 per
tCO2e, pemanfaatan limbah biomassa yang berasal dari limbah pengolahan kayu, limbah
kelapa sawit, limbah pertanian dan lain sebagainya, membutuhkan biaya US$ 45 per
tCO2e. Pembangunan PLTU batubara dengan teknologi CCS diperkirakan

108 Ibid.
109 Ibid.

347

membutuhkan biaya US$ 10 per tCO2e, sedangkan pembangunan PLTN membutuhkan
biaya US$ 14 per tCO2e.110

Emisi dari sektor transportasi diperkirakan meningkat 7 kali lipat pada 2030
menjadi 443 MtCO2e, dari 60 MtCO2e pada 2005. Kenaikan ini disumbang oleh
peningkatan jumlah kendaraan bermotor pribadi dan komersial sebesar 3 kali lipat dari
jumlah saat ini, yang berkorelasi dengan bertambahnya konsumsi bahan bakar minyak
untuk sektor transportasi.

Terdapat potensi untuk menurunkan emisi sektor transportasi sampai dengan 100
MtCO2e pada tahun 2030 melalui tiga pilihan mitigasi utama, yaitu dengan: (1)
perbaikan sistem pembakaran internal mesin; (2) peralihan dari kendaraan bertenaga
BBM ke kendaraan hibrida dan listrik; dan (3) dengan mengadopsi bahan bakar
biodiesel yang terbuat dari kelapa sawit. Tiga perempat dari total potensi penurunan
emisi (atau 75 MtCO2e) berasal dari penyempurnaan mesin pembakaran internal
konvensional (international combustion engines-ICE) di semua kelas kendaraan yang
dapat didorong melalui standar efisiensi bahan bakar yang lebih tinggi, yang dapat
dicapai dengan biaya negatif. Pilihan seperti pemanfaatan biodiesel dari kelapa sawit
menambah pengurangan sebesar 10 MtCO2e dengan biaya mencapai US$ 100 per
tCO2e, sedangkan penerapan mobil listrik membutuhkan biaya US$ 300 per tCO2e.

Sebagai bentuk komitmen yang tinggi terhadap penurunan emisi gas-gas rumah
kaca, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang
Kebijakan Energi Nasional. Beleid ini, antara lain, memberikan wewenang kepada

110 Hingga saat ini aplikasi PLTU batubara dengan CCS belum dilaksanakan secara komersial
dan perkirakan baru matang dan layak secara komersial setelah 2020. Perhitungan dan analisis yang
dilakukan dalam studi DNPI (2010) untuk PLTU batubara dengan CCS menggunakan estimasi investasi,
semsentara untuk PLTN berdasarkan investasi saat ini.

348

Dewan Energi Nasional (DEN) untuk menyusun cetak biru energi yang akan dipakai
pemerintah Indonesia untuk menetapkan berbagai kebijakan energi di masa mendatang.
Dalam Peraturan Presiden tersebut diatur pula bauran energi (mix energy) nasional tahun
2025, yang menetapkan batas penggunaan minyak bumi kurang dari 20%

GAMBAR IV.16
Upaya Penurunan Emisi CO2 di Sektor Energi Melalui Berbagai Program,
Diversifikasi dan Konservasi (Perpres), Pembangkit Listrik Tenaga Geotermal,

dan Penerapan Ccs

Sumber : Rencana Aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim,
Kementerian Lingkungan Hidup. 2007, hlm. 34.

Pada dekade 1970-an Indonesia merupakan salah satu produsen minyak bumi
yang diperhitungkan dunia dan bergabung sebagai anggota Negara-negara Eksportir
Minyak Bumi (OPEC). Indonesia menikmati kenaikan harga minyak mentah dunia pada
era 1970-an dan rata-rata mampu memproduksi 1,3 juta baret per hari, tetapi terus
menurun hingga mencapai rata-rata 900 ribu barel per hari. Tahun 2004, jumlah impor
mulai lebih besar dibandingkan jumlah ekspor, yaitu rata-rata ekspor 400 ribu barel,
dibandingkan volume impor sekitar 500 ribu barel. Karena volume impor melebihi

349

produksi dalam negeri serta ekspor, maka sejak tahun 2004 Indonesia telah menjadi net-
oil importer.

Tahun 2003 batas konsumsi BBM 60 juta kiloliter atau setara satu juta barel per
hari (bph) tercapai, sedangkan produksi total BBM sekitar 0,8 juta bph sedangkan
sisanya merupakan produk non BBM (pelumas, LPG, bahan baku petrokimia dan
sebagainya). Jadi sekitar 20% dari BBM yang digunakan di dalam negeri berasal dari
impor. Jika sektor minyak bumi dan sektor BBM digabung, Indonesia defisit 12 juta KL
(20% kali 60 juta KL). Untuk menutup defisit ini, paling tidak produksi minyak bumi
Indonesia harus ditingkatkan menjadi 1,25 juta bph. Sementara itu, permintaan BBM
akan masih terus tumbuh, apalagi jika harga BBM tetap relatif lebih murah dari energi
alternatifnya, sehingga penggunaan BBM secara besar-besaranya tidak dapat
dihindarkan.111

Data yang disajikan dalam laporan tentang perubahan iklim di Indonesia tahun
2007 menunjukkan, sektor energi hanya menyumbang 9% atau sebesar 275 Mton CO2e
dari total emisi GRK Indonesia pada tahun 2005 sebesar 3.104 Mton CO2e. Tetapi,
pemakaian energi meningkat rata-rata 7% setiap tahun dan tahun 2007, misalnya lebih
dari 75% masyarakat Indonesia mengkonsumsi energi berbasis fosil, yaitu minyak bumi,
gas dan batubara.112

Peningkatan konsumsi energi berbasis fosil itu, diperkirakan akan meningkatkan
emisi sampai 3 (tiga) kali lipat dan menjadi sektor penyumbang emisi GRK terbesar di

111 Lihat http://dbm.djmbp.esdm.go.id/old/portal-dpmb/modlues/_news/news_detail.php diakses
pada tanggal 5 Mei 2012.

112 Lihat Maritje, Hutapea, Energy dan Climate Change in Indonesia., Paper presented at
Workshop on Climate Change and Energy, Bangkok, 26-27 March, 2009.

350

Indonesia.113 Tanpa adanya usaha-usaha diversifikasi dan konservasi energi, emisi GRK
dari sektor pembangkit pada tahun 2025 akan naik menjadi enam kali lipat dari emisi
GRK pada saat ini, menjadi sebesar 2.167 juta ton CO2e. Sedangkan dengan asumsi
usaha-usaha diversifikasi dan konservasi energi berjalan sesuai dengan rencana, emisi
GRK dari sektor energi pada tahu 2025 akan naik 3 (tiga) kali lipat dari emisi GRK saat
ini, yaitu sebesar 1.100 juta ton CO2e.114

Selain mempunyai kebijakan energi dalam bentuk kelembagaan yaitu Dewan
Energi Nasional (DEN), pemerintah juga telah merilis Instruksi Presiden Nomor 10
Tahun 2005 yang dilanjutkan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral Nomor 31 Tahun 2005 tentang pelaksanaan hemat energi di Indonesia.

Beberapa langkah yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Nomor 31 Tahun 2005 tentang pelaksanaan hemat energi di
Indonesia mencakup penghematan baik berupa penggunaan Air Conditioner (AC),
penggunaan lampu, maupun bahan bakar baik untuk kalangan pemerintah, rumah tangga
maupun industri.

Andri Gunawan Wibisana dalam catatan kritisnya terhadap sektor energi
mengungkapkan paling tidak terdapat 2 (dua) kelemahan yang timbul dari kebijakan ini.

Pertama, terjadi ketidakharmonisan ruang lingkup dari pengaturan gerakan hemat
energi. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 31 Tahun 2005
tentang pelaksanaan hemat energi di Indonesia yang mempunyai ruang lingkup secara

113 Lihat Peace, Indonesia and Climate Change: Working Paper on Current Status and Policies,
Jakarta, March 2007.

114 Lestari Gita, Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim di Sektor Energi. 2007, http://lead.co.id/.
Diakses pada tanggal 12 Maret 2012.

351

luas baik kalangan pemerintahan maupun swasta menyalahi peraturan di atasnya yang
menjadi dasar dikeluarkan peraturan ini yaitu Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2005
tentang Penghematan Energi yang hanya berlaku dalam lingkup internal
pemerintahan.115

Kedua, Wibisana, melihat bahwa peraturan yang ada dicurigai tidak akan efektif
karena regulasi yang ada tidak disertai dengan sanksi terhadap tindakan pelanggaran
terhadap ketentuan tersebut. Bahkan dalam rencana Surat Keputusan Bersama (SKB)
Lima Menteri beberapa tahun silam tentang penghematan listrik menuju muara yang
tidak berujung dan hal ini justru menunjukkan ketidakseriusan dari Pemerintah dalam
melakukan gerakan hemat energi.116

Kondisi dilematis lainnya dalam sektor energi adalah keberadaan subsidi bahan
bakar minyak yang ada saat ini. Sejatinya akar permasalahan (root cause)-nya adalah
karena stok minyak bumi Indonesia maupun dunia semakin menipis, dan akhirnya akan
habis (exhausted), karena sifat minyak bumi yang tidak dapat pulih (non-renewable
resource). Besarnya subsidi yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat untuk
bahan bakar jenis premium menyebabkan penggunaan bahan bakar tersebut mengalami
terus peningkatan. Hal ini tentu mempunyai korelasi dengan peningkatan jumlah
kendaraan bermotor sebagaimana dibahas dalam sub sebelumnya.

Kondisi ini diperparah pula dengan peta energi yang ada di Indonesia saat ini
didominasi oleh perusahaan – perusahaan asing yang tentu akan mengakomodasi

115 Andri Gunawan Wibisana., “A Critical View on the Indonesia‘s Legal Responses to Climate
Change” dalam Michael Faure and Andri G. Wibisana (eds.), Regulating Disasters, Climate Change and
Environmental Harm: Lessons from the Indonesian Experience (Cheltenham, UK: Edward Elgar, 2013,
forthcoming)., hlm. 55.

116 Ibid.

352

kepentingan negara masing – masing sehingga kedaulatan energi dari bangsa Indonesia
menjadi dipertaruhkan.

GAMBAR IV.17
Sebaran Kepemilikan Sumber Energi Di Indonesia

Catatan lainnya juga hadir dari lemahnya pemahaman yang komprehensif dari
segenap pemangku kepentingan dalam menyiasati kebijakan jangka panjang dari
penyelenggaraan kebijakan hemat energi. Idealnya dalam menganalisa permasalahan
energi, pemerintah harus melihat energi sebagai suatu sistem. Energi sebagai suatu
sistem ini didasarkan pada pemikiran systems thinking.

Menurut Ward dan Schriefer dalam Fahey dan Randall, systems thinking dapat
dimaknai sebagai suatu proses memahami bagaimana satu elemen dapat mempengaruhi
………..

353

elemen lain atau lingkungan tempat elemen tersebut berada.117 Semuanya bekerja dalam
satu kesatuan dalam satu sistem. Akibat ketiadaan pendekatan yang melihat
permasalahan kebijakan energi secara menyeluruh, permasalahan kebijakan energi di
Indonesia semakin kompleks. Beberapa masalah tersebut di antaranya meliputi
ketidakjelasan orientasi dan skala prioritas, tumpang tindih kebijakan, dan masalah
dalam pengelolaan dan pemanfaatan energi (termasuk ketiadaan blue print energi yang
komprehensif dan terintegrasi menyeluruh).

Contoh misalnya energi berbasis geothermal yang dapat menghasilkan potensi
energi sebesar 28.543 megawatt (MW), namun hingga kini belum terdapat peraturan
yang memberikan landasan untuk dapat melakukan pemanfaatan energi tersebut yang
terdapat mayoritas di kawasan pertambangan. Orientasi jangka pendek masih menjadi
penghalang bagi terciptanya kelestarian serta diversitas energi di masa yang akan
datang.118

Kendala lain dalam menyiapkan energi alternatif adalah infra struktur yang
terkesan tidak siap. Dalam hal ini misalnya dapat dilihat dari keterbatasan jumlah
Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas yang dimiliki oleh Jakarta sejumlah 4 unit yaitu di Jl
Pemuda, Kampung Rambutan, Pinang Ranti, dan Pesing.119 Sedangkan strategi untuk
menggunakan converter kit ke energi alternatif diharapkan dapat berkontribusi sebesar

117 Lihat Fahey, L., and R.M. Randall., What is scenario learning? In Learning from the Future:
Competitive Foresight Scenarios., 1998., John Wiley & Sons, Inc. New York., hlm. 23.

118 Lihat http://www.antaranews.com/berita/1336508103/investasi-panas-bumi-terhambat-
payung-hukum diakses pada tanggal 25 Desember 2012.

119 Lihat “Jumlah Busway-Transjakarta Belum Ideal” terdapat dalam situs

http://www.mediaindonesia.com/read/2011/03/23/212294/35/5/Jumlah-Busway-TransJakarta-belum-Ideal

diakses pada tanggal 12 Desember 2012.

354

0,04 Juta Ton pada tahun 2020.120 Alih – alih melakukan perbaikan ketersediaan infra

struktur yang menunjang kemudahan energi ramah lingkungan, pemerintah justru

mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak

yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan

Atas Barang Mewah. Regulasi ini memberikan insentif kepada mobil – mobil dengan

spesifikasi tertentu dengan porsi gradasi dasar pengenaan pajak tertentu pula.121

Keberadaan regulasi ini tentu akan berdampak pada banyaknya kendaraan yang

tergolong Low Cost Green Car (LCGC) yang hadir di jalan – jalan Indonesia yang akan

menambah macet dan berujung pada kenaikan emisi dari sektor transportasi itu sendiri.

Ketidakjelasan orientasi dan skala prioritas terutama dapat dilihat dari tidak

adanya tujuan dan arah yang jelas pada kebijakan energi. Kebijakan energi Indonesia

masih berfokus pada satu sisi, yakni berorientasi pasar (market). Kondisi inilah yang

menyebabkan terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap suatu sumber energi

(minyak, gas bumi, batu bara) tetapi tidak meningkatkan sumber energi yang lain (energi

120 Lihat Lampiran Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, Sektor Energi dan Transportasi., hlm. 10.

121 Gradasi Dasar Pengenaan Pajak sebesar yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 2013 ini terdiri dari a. 75% (tujuh puluh lima persen) dari Harga Jual untuk kendaraan bermotor
yang menggunakan teknologi advance diesel/petrol engine, dual petrol gas engine (converter kit
CNG/LGV), biofuel engine, hybrid engine, CNG/LGV dedicated engine, dengan konsumsi bahan bakar
minyak mulai dari 20 kilometer per liter sampai dengan 28 kilometer per liter atau bahan bakar lain yang
setara dengan itu; b. 50% (lima puluh persen) dari Harga Jual untuk kendaraan bermotor yang
menggunakan teknologi advance diesel/petrol engine, biofuel engine, hybrid engine, CNG/LGV dedicated
engine, dengan konsumsi bahan bakar minyak lebih dari 28 kilometer per liter atau bahan bakar lain yang
setara dengan itu; dan c. 0% (nol persen) dari Harga Jual untuk kendaraan bermotor yang termasuk
program mobil hemat energi dan harga terjangkau, selain sedan atau station wagon, dengan persyaratan
sebagai berikut: 1. motor bakar cetus api dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.200 cc dan
konsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 kilometer per liter atau bahan bakar lain yang setara
dengan itu; atau 2. motor nyala kompresi (diesel atau semi diesel) dengan kapasitas isi silinder sampai
dengan 1.500 cc dan konsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 kilometer per liter atau bahan bakar
lain yang setara dengan itu. Lihat perumusan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013
tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah.

355

terbarukan). Dari sisi kuantitatif sebuah hasil penelitian di Inggris mengungkapkan
bahwa langkah untuk menunda penggunaan energi terbarukan hanya akan menambah
beban finansial bagi generasi yang akan datang antara 8,8 sampai dengan 9 Miliar Dolar
Amerika Serikat per hari.122

Orientasi pasar ini diperkuat dengan ketiadaan skala prioritas dalam kebijakan
energi. Kondisi energi fosil Indonesia yang semakin tipis tidak diimbangi dengan
penggunaan energi alternatif yang lebih hemat, aman, dan terjamin. Ketiadaan skala
prioritas ini didasarkan pada kondisi kebijakan energi Indonesia yang tidak memiliki
ketentuan yang menetapkan penggunaan energi prioritas. Akibatnya terjadi tumpang
tindih yang memungkinkan berbenturannya kepentingan masing-masing energi.

4.2. Kewenangan Institusional Nasional Dalam Perubahan Iklim
Perubahan iklim sebagai isu yang bersifat lintas sektoral dan menafikan batas

wilayah tentu memiliki urgensi untuk dapat ditanggapi baik pada tataran internasional,
regional, maupun nasional. Pada tataran regional, Indonesia yang termasuk dalam
kawasan ASEAN memiliki kerentanan yang lebih besar dalam menghadapi fenomena
perubahan iklim dalam 5 (lima) hal utama.

Pertama, beberapa negara ASEAN memiliki konsentrasi populasi yang berada di
kawasan pesisir pantai. Hal ini akan mengalami dampak yang begitu hebat pada saat
dampak perubahan iklim berupa kenaikan air laut mengalami pasang secara berkala.123

122 Lihat Matthias Kroll, The Monetary Cost of the Non-Use of Renewable Energies., World
Future Council., 2013., hlm.8.

356

Kedua, dampak nyata dari perubahan iklim akan terjadi secara tidak merata
dalam skala yang besar. Hal ini tentu akan memberikan kesulitan tersendiri pada saat
penyusunan kebijakan perubahan iklim harus dapat menanggulangi secara
keseluruhan.124

Ketiga, dampak nyata dan cenderung lebih berat akan dirasakan pada sektor –
sektor yang menjadi andalan dari negara – negara anggota ASEAN. Kondisi bahwa
sebagian besar negara – negara ASEAN merupakan negara berkembang yang
mengandalkan sektor – sektor informal berbasis perkebunan, perikanan, kehutanan, serta
berbasis sumber daya alam lainnya akan mempengaruhi jumlah pendapatan dan angka
pengangguran suatu negara saat terkena dampak dari perubahan iklim.125

Keempat, kondisi kesejahteraan yang relatif rendah di negara – negara yang
tergabung dalam ASEAN merupakan salah satu variabel yang memperburuk kondisi
kerentanan yang telah ada.126

Kelima, keterbatasan dari negara – negara anggota ASEAN yang memiliki
limitasi baik dari segi teknologi, keuangan maupun kemampuan kapasitas institusi.127

123 Lihat Koh Kheng Lian, Lovleen Bhullar., “Thematic Focus: Climate Change Governance:
Policy and Litigation in a Multi-Level System Governance on Adaptation to Climate Change in the
ASEAN Region”., Carbon & Climate Law Review, 2011., hlm. 2.

124 Jens H. Christensen et al., “Regional Climate Projections” in Susan Solomon et al (eds),
Climate Change 2007: the Physical Science Basis, Contribution of Working Group II to the Fourth
Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (Cambridge: Cambridge
University Press, 2007),, hlm. 469.

125 Lihat Koh Kheng Lian, Lovleen Bhullar., Op. Cit.
126 Gary Yohe and Richard S. J. Tol, “Indicators for Social and Economic Coping Capacity:
Moving Toward a Working Definition of Adaptive Capacity”, 12 Global Environmental Change: Human
and Policy Dimensions (2002), hlm. 25.
127 Lihat Koh Kheng Lian, Lovleen Bhullar., Op. Cit.

357

Faktor kelembagaan sendiri memang merupakan salah satu faktor penentu dalam

jalannya kebijakan perubahan iklim pada tingkatan nasional dan lokal. Walaupun negara

– negara ASEAN tidak termasuk dalam negara – negara yang wajib melakukan tindakan

penurunan emisi gas rumah kaca secara resmi dan terukur, namun beberapa negara

mengambil tindakan proaktif dalam bentuk kelembagaan. Hal ini dilakukan dalam

rangka kepentingan pengarusutamaan konsep pembangunan berkelanjutan dan

implementasi kebijakan, rencana serta pengukuran untuk isu perubahan iklim.

TABEL IV.9
Kelembagaan Perubahan Iklim Negara – Negara ASEAN

Negara Focal Point UNFCCC Tingkat Lembaga Nasional Untuk
Brunei Nasional Kebijakan Perubahan Iklim
Darussalam National Council on Climate Change
Kamboja Department of Environment, Parks and
Indonesia Recreation National Climate Change Committee
Laos Dewan Nasional Perubahan Iklim
Ministry of Environment
Malaysia Kementerian Lingkungan Hidup : National Steering Committee on
Myanmar Climate Change
Philipina Deputi Perubahan Iklim
Department of Environment: Water National Steering Committee on
Singapura Climate Change
Thailand Resources and Environment
Administration --------------------------
Vietnam
Ministry of Natural Resources and Inter-Agency Committee on Climate
Environment Change; Presidential Task Force on
Climate Change; Advisory Council
National Commission on Environmental
Affairs on Climate Change Mitigation,
Adaptation and Communication
Presidential Task Force on Climate National Climate Change Committee;
Change National Climate Change Secretariat
National Committee on Climate
Ministry of Environment and Water Change; National Board on Climate
Resources Change Policy and Climate Change

Ministry of Natural Resources and Coordinating Unit
Environment: Office of Natural

Resources and Environmental Policy
and Planning

Ministry of Natural Resources and National Climate Change Committee
Environment: Department of

Meteorology, Hydrology and Climate
Change

358

4.2.1. Kewenangan dan Peran Institusi Perubahan Iklim
Indonesia sebagai salah satu pihak baik dalam Konvensi Perubahan Iklim

maupun Protokol Kyoto secara fungsional dituntut untuk dapat memiliki sebuah institusi
untuk dapat menindaklanjuti isu perubahan iklim. Paling tidak institusi tersebut akan
hadir dalam 2 (dua) bentuk kewenangan yang berbeda yaitu kewenangan eksternal
sebagai focal point dalam serangkaian proses internasional serta kewenangan internal
dalam rangka menjadi penyelaras kebijakan perubahan iklim dalam lingkup nasional.

Dalam konteks eksternal saat ini Indonesia telah menetapkan Dewan Nasional
Perubahan Iklim. Kehadiran Dewan Nasional Perubahan Iklim disahkan dengan
diaturnya secara khusus dalam Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2008 tentang
Dewan Nasional Perubahan Iklim. Secara normatif, Dewan Nasional Perubahan Iklim
(DNPI) lahir karena beberapa alasan dan urgensi tertentu dalam menghadapi perubahan
iklim.128

Pertama, pemerintah berpendapat peningkatan gas rumah kaca yang berlebihan
pada saat ini telah menimbulkan terjadinya perubahan iklim global yang dapat
menurunkan kualitas lingkungan hidup dan merugikan berbagai kehidupan;

Kedua, dengan mempertimbangkan posisi geografis Indonesia yang merupakan
negara kepulauan yang sangat rentan terhadap perubahan iklim maka pemerintah
berpendapat perlu adanya tindakan pengendalian dengan bersandar pada prinsip semua
bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan sosial, ekonomi dan teknologi yang
dimiliki negara masing – masing;

128 Lihat Bagian Konsiderans Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional
Perubahan Iklim.

359

Ketiga, dalam rangka merealisasikan kedua hal di atas serta dalam rangka
meningkatkan koordinasi pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan untuk
memperkuat posisi Indonesia di forum internasional dalam pengendalian perubahan
iklim, dipandang perlu membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim.

Kehadiran DNPI sebenarnya dapat dikatakan sebagai tindakan spontan dan
cenderung tidak direncanakan terlebih dahulu sebagai respon atas inisiatif Presiden
Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono di akhir Sidang COP -13/CMP-3 di
Hotel Westin, Bali, 15 Desember 2007. Sebagai lembaga yang hadir dalam semangat
perubahan iklim DNPI memiliki keunikan tersendiri baik secara struktural maupun
secara substansial.

Secara struktural lazimnya sebagai lembaga pemerintah non departemen, sebuah
dewan atau komisi nasional biasanya berada di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada presiden. Namun, rapat DNPI justru dipimpin langsung oleh Presiden SBY
sebagai ketua dewan, dua menteri koordinator sebagai wakil ketua, dan para menteri
anggota kabinet sebagai anggota.

Sedangkan secara substansial dalam Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2008
disebutkan bahwa jabatan Ketua Harian DNPI adalah Rachmat Witoelar yang ketika itu
masih menjabat sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup. Hal ini menjadi unik pada
saat lazimnya suatu Peraturan Presiden yang mengatur pembentukan suatu lembaga
negara menyebutkan jabatan menteri atau pimpinan lembaga pemerintah yang secara ex-
officio menjabat sebagai ketua dan para anggota dewan atau lembaga negara tersebut.

Sasaran kebijakan DNPI dalam rangka memperkuat peran sektor pembangunan
untuk mencapai target dan tujuannya mutlak dituntut untuk adanya koordinasi antar

360

sektor. Pada awalnya, pencapaian sinergi dalam rangka kebijakan berkarbon rendah
sudah dimulai pada tahun 1990. Pada saat itu telah dibentuk Komisi Nasional Perubahan
Iklim melalui Kepmen Nomor 07/MENKLH/1/1990 tentang Pembentukan Komite
Pemantauan dan Evaluasi Dampak Perubahan Iklim pada Lingkungan. Pada Tahun 1992
komite tersebut dibubarkan dan diganti berdasarkan Kepmen Nomor
35/MENKLH/8/1992 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Komite Nasional Iklim dan
Lingkungan yang bertujuan untuk meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas-tugas di
bidang lingkungan hidup dan dampaknya. Bulan April 2003, Kementerian Negara
Lingkungan Hidup kembali membentuk Komisi Nasional dan Tim Teknis Perubahan
Iklim (Kepmen Nomor 53 Tahun 2003) dalam rangka mengantisipasi perubahan iklim di
tingkat nasional dan koordinasi serta kerjasama berbagai pemangku kepentingan. Karena
keterbatasan bentuk dari lembaga yang ada maka efektifitas pelaksanaan perubahan
iklim masih jauh dari harapan.

Pembentukan DNPI, yang diketuai langsung oleh Presiden Republik Indonesia
Soesilo Bambang Yudhoyono, dapat dianggap sebagai upaya untuk mengatasi persoalan
keterbatasan kelembagaan perubahan iklim yang ada selama ini. Keberadaan DNPI di
sisi lain juga menandakan bahwa persoalan perubahan iklim diakui sebagai persoalan
ancaman utama pembangunan yang harus segera memperoleh perhatian prioritas dari
pilihan-pilihan strategi pembangunan.

Serangkaian tugas yang diamanatkan kepada DNPI tentu memiliki kesulitan
dalam tataran implementasi. Pemahaman yang sama mengenai isu perubahan iklim serta
kemampuan penurunan emisi yang dimiliki setiap sektor merupakan hal utama dalam
menjamin keberlangsungan kinerja Dewan Nasional Perubahan Iklim.

361

Kerjasama yang bersifat lintas sektor serta lintas wilayah menjadi suatu hal yang
mutlak pada saat implementasi kebijakan cross cutting issues seperti perubahan iklim
ini. Paling tidak terdapat 2 (dua) hal yang mengindikasikan bahwa Dewan Nasional
Perubahan Iklim mutlak melakukan ini.

Pertama, dengan keikutsertaan dari 17 Kementerian dan 1 Badan dalam struktur
Dewan Nasional Perubahan Iklim menggambarkan bahwa isu lintas sektoral menjadi hal
penting dalam kinerja DNPI.

Kedua, sebagai institusi yang secara khusus lahir sebagai bentuk tindak lanjut
dari kebijakan perubahan iklim pada tingkat nasional DNPI wajib untuk
mengintegrasikan seluruh bentuk tindakan mitigasi.

Kondisi seperti ini mendorong DNPI untuk segera melakukan tindakan aktif
dalam tataran sinkronisasi dan harmonisasi.

Tindakan sinkronisasi dilakukan dalam rangka melakukan tindakan – tindakan
penyesuaian vertikal ke bawah dengan menyelaraskan tindakan dari Dewan Nasional
Perubahan Iklim tingkat pusat dengan kebijakan iklim di daerah. Dalam semangat
desentralisasi dan otonomi daerah saat ini sebenarnya sangat dimungkinkan untuk
pembentukan lembaga sejenis di daerah yang merupakan kepanjangan tangan dari
kebijakan pemerintah pusat. Dalam hasil penelitian dari Lorraine Sugar dan Christopher
Kennedy terungkap bahwa kota – kota di dunia secara teknis mampu mengurangi emisi
gas rumah kaca hingga 70% atau bahkan lebih dalam jangka panjang. Menurut kedua
peneliti, saat ini lebih dari separuh penduduk dunia tinggal di perkotaan dan mereka
menghasilkan lebih dari 70% emisi gas rumah kaca global. Kebijakan praktis yang

362

diusulkan oleh tim peneliti berfokus pada bangunan, pasokan energi dan sistem
transportasi.129

Hal ini sangat wajar, melihat pengalaman di beberapa kota di Amerika Serikat
menunjukkan hal tersebut. Contoh, Komisi Perubahan Iklim di Vermont di bawah
mandat Gubernur yang bertugas menguji pengaruh nyata dan potensi dari perubahan
iklim termasuk terhadap kesehatan, sumber daya alam dan ekonomi. Selain itu, komisi
ini bertugas melakukan inventarisasi dan rencana tindak yang berpengaruh pada
pemanasan rumah kaca, meningkatkan kesadaran publik serta pelibatan sektor bisnis,
lingkungan, kehutanan, transportasi dan lembaga – lembaga nonprofit lainnya. Komisi
ini memberikan rekomendasi kepada Gubernur terhadap upaya-upaya menurunkan emisi
gas rumah kaca.130

Berbeda halnya dengan Vermont, komisi perubahan iklim di negara bagian
Maryland bertugas menyusun rencana tindak yang menekankan pada faktor penyebab
perubahan iklim. Komisi untuk selanjutnya akan menyiapkan gambaran konsekuensi
dampak dan menentukan agenda jadwal pelaksanaan rencana tindak tadi untuk menjadi
rekomendasi mereka.131

Di belahan Eropa, Rotterdam merupakan salah satu contoh dari kota yang
mengambil tindakan proaktif sebagai bagian dari negara Belanda. Penyuguhan hasil
studi yang menyatakan bahwa Uni Eropa berkontribusi sebanyak 15% – 20% emisi gas

129 Lihat Lorraine Sugar dan Christopher Kennedy., “A Low Carbon Infrastructure Plan for
Toronto, Canada”., Canadian Journal of Civil Engineering 40, 2013., hlm. 95.

130 Lihat Profil Climate Change Team Vermont Agency of Natural Resources, terdapat dalam
situs http://www.anr.state.vt.us/anr/climatechange/Vermont_Initiatives.html diakses pada tanggal 5 Mei
2012.

131 Lihat “Climate Action Plan Interim Report to the Governor and the Maryland General
Assembly”, Maryland Commission on Climate Change., hlm. 35.

363

rumah kaca dunia. Oleh karena itu seluruh negara anggota UE telah bersepakat akan
mengambil bagian dalam aksi kolektif ini dengan menetapkan target pengurangan emisi
CO2 sebesar 20%. Pemerintah nasional Belanda sendiri mentargetkan reduksi CO2
sebesar 30% dibandingkan dengan tahun 1990.132

Hal yang menarik dilakukan oleh Pemerintahan Daerah Rotterdam adalah
mengikutsertakan sektor swasta dalam menciptakan pembangunan kota yang rendah
emisi dalam sebuah wadah yang dinamakan Rotterdam Climate Initiative (RCI). Dalam
wadah ini tergabung 3 (tiga) komponen besar yaitu Port of Rotterdam, Deltalings133 dan
DCMR (Environmental Protection Agency Rijnmond)134 yang merupakan tiga pemangku
kepentingan utama selain pemerintah kota Rotterdam.

Tujuan utama dari inisiatif ini adalah untuk mengkombinasikan tiga fungsi kota
sekaligus, yaitu memperkuat perkembangan ekonomi, mewujudkan kota yang atraktif
sebagai tempat tinggal warganya, serta menjadikan Rotterdam sebagai kota yang lebih

132 Lihat Adji Krisbandono., “Kerjasama Pemerintah dan Swasta Dalam Adaptasi dan Mitigasi
Perubahan Iklim: Pengalaman Kota Rotterdam”, hlm.5.

133 Deltalings merupakan konsorsium/aliansi yang beranggotakan lebih dari 600 perusahaan dan
asosiasi yang khusus bergerak di bidang logistik dan perusahaan industri. Sebagai salah satu partner
strategis pemerintah, organisasi ini juga cukup berpengaruh baik di tingkat regional maupun di Uni Eropa.

134 Sedangkan DCMR adalah salah satu lembaga regional yang bertanggungjawab meningkatkan
kualitas lingkungan hidup dalam lingkup Rijnmond area. Mengingat banyaknya kawasan industri di
wilayah ini (seperti pengolahan minyak, tempat pembuangan akhir sampah, pabrik pengolahan bahan
kimia, metalurgi, pengolahan makanan, insinerator sampah), maka dapat dipastikan bahwa tugas DCMR
adalah menyusun regulasi serta memonitor kinerja sektor industri tersebut agar tetap bekerja menurut
standar dan kriteria baku mutu lingkungan.

364

ramah lingkungan dengan langkah – langkah yang seiring berkurangnya emisi gas

rumah kaca.135

Dalam tataran internal hadirnya isu perubahan iklim dengan segala bentuk

dampak menjadikan isu ini ditanggapi secara beragam oleh berbagai institusi internal.

Saat ini paling tidak tercatat selain Dewan Nasional Perubahan Iklim terdapat

Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, Unit Kerja Presiden Bidang

Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan (UKP4) dan Badan Perencanaan

Pembangunan Nasional.

Memang tidak dapat dipungkiri hadirnya DNPI mereduksi dari lembaga –

lembaga lain yang semula mempunyai domain tentang perubahan iklim. Dalam

Kementerian Lingkungan Hidup contohnya, isu perubahan iklim pada awalnya terdapat

dalam bagian Deputi III yang membawahi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan

dan Perubahan Iklim namun sekarang dalam tataran nasional sebagian kewenangannya

135 Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam program ini meliputi : (i) Mengurangi 50% emisi
CO2 pada tahun 2025 dibandingkan tahun 1990; (ii) Mewujudkan kota yang 100% climate proof pada
tahun 2025; yang disertai dengan (iii) Perkuatan ekonomi kota. Hal ini tentu wajib diikuti dengan
komitmen dan partisipasi para pemangku kepentingan dalam program mitigasi dan adaptasi yang
diwujudkan melalui beberapa langkah nyata yaitu : Pertama, perwujudan program Green roofs (atap hijau)
terhadap bangunan – bangunan di Rotterdam. Upaya ini telah diaplikasikan di atap perpustakaan kota dan
direncanakan pada gedung – gedung yang lain. Tujuan yang ingin dicapai dalam program ini selain
memperpanjang umur atap, atap hijau juga dibangun untuk mengurangi panas mengingat konstruksinya
telah dilengkapi dengan sistem drainase, tanah, dan tanaman (rumput). Mekanisme insulasi bangunan juga
berfungsi optimal sehingga upaya konservasi energi dapat berjalan. Selain itu, beberapa partikulat udara
yang merupakan komponen gas rumah kaca juga dapat disaring sehingga menghasilkan udara yang lebih
bersih. Kedua, Deltalings Energy Forum; forum ini dibentuk untuk mendukung upaya konservasi energi
di sektor industri. Beberapa isu yang didiskusikan antara lain carbon footprint dalam proses produksi,
konservasi energi, pendekatan‐pendekatan baru dari aspek teknologis, dan mekanisme terkait lainnya.
Ketiga, CO2 capture and storage (CCS); baru‐baru ini pemerintah kota Rotterdam tengah
mengkampanyekan proyek CCS sebagai salah satu upaya mitigasi CO2 yang diproduksi oleh sektor
industri dan pembangkit energi. Masifnya aliran kapital dan kepastian pasar kredit karbon (carbon
market), khususnya di Eropa menjadi salah satu pemicu pengusaha untuk membenamkan investasi dan
teknologi CCS di kota ini. Baru‐baru ini, Deltalings telah menerima grant dari the Global Carbon Capture
Storage Institute (Global CCS Institute) sejumlah 1,5 juta Euro untuk ekspansi dan pengembangan
instalasi CCS. Keempat, Instalasi energi angin; pada tahun 2008, di beberapa titik area pelabuhan telah
dibangun kincir angin berkapasitas total 151 MW.

365

sudah diberikan ke DNPI.136 Bahkan pada tahun 1990 pada tahun 1990, telah dibentuk
Komisi Nasional Perubahan Iklim melalui Kepmen No. 07/MENKLH/1/1990 tentang
Pembentukan Komite Pemantauan dan Evaluasi Dampak Perubahan Iklim pada
Lingkungan. Pada Tahun 1992 komite tersebut dibubarkan dan diganti berdasarkan
Kepmen No. 35/MENKLH/8/1992 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Komite
Nasional Iklim dan Lingkungan yang bertujuan untuk meningkatkan kelancaran
pelaksanaan tugas-tugas di bidang lingkungan hidup dan dampaknya. Bulan April 2003,
Kementerian Negara Lingkungan Hidup kembali membentuk Komisi Nasional dan Tim
Teknis Perubahan Iklim (Kepmen No. 53 Tahun 2003) dalam rangka mengantisipasi
perubahan iklim di tingkat dan koordinasi serta kerjasama berbagai pemangku
kepentingan.

Banyaknya institusi yang terlibat dari isu perubahan iklim ini pada satu sisi dapat
dianggap sebagai indikasi besarnya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam
menghadapi perubahan iklim. Dalam hal ini setiap institusi pemerintah diharapkan akan
mencoba untuk memaksimalkan segala bentuk potensi yang dimiliki dalam rangka
memenuhi komitmen nasional melakukan tindakan mitigasi. Namun pada sisi lain,
banyaknya institusi tersebut memerlukan keselarasan, koordinasi, dan harmonisasi di
antara institusi tersebut untuk menjamin efektivitas pemenuhan komitmen dan kebijakan
pemerintah terkait perubahan iklim.

Namun demikian, fakta menunjukkan bahwa keselarasan, koordinasi, dan
harmonisasi pelaksanaan kebijakan mitigasi perubahan iklim masih jauh dari kondisi

136 Lihat Pasal 50 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 9 Tahun 2001 Tentang :
Organisasi Dan Tata Kerja Staf Menteri Negara Lingkungan Hidup.

366

ideal. Hal ini misalnya dapat dilihat dari ketidaksamaan inventarisasi dari proyek –
proyek yang terkait perubahan iklim di Indonesia. Proyek REDD contohnya, Satuan
Tugas REDD di bawah Unit Kerja Presiden Bidang Pengendalian dan Pengawasan
Pembangunan (UKP4) memilih daerah Sulawesi Tengah sebagai proyek percontohan137
sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup sendiri menetapkan Sumatera Selatan
sebagai daerah percontohan.138 Ke depan Pemerintah Indonesia harus menentukan
leading institution yang menjadi penentu arah kebijakan secara komprehensif mengenai
langkah – langkah perubahan iklim.
4.2.2. Lembaga Sektoral

Dapat dikatakan bahwa isu perubahan iklim di Indonesia merupakan isu yang
menarik perhatian banyak pihak. Beberapa lembaga sektoral pun tidak sekedar diam
melihat keberadaan isu ini, jika melihat dari keberadaan Peraturan Presiden Nomor 61
Tahun 2011 terdapat beberapa lembaga yang mengemban amanat upaya mitigasi gas
rumah kaca yaitu Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala BAPPENAS, Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian
Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM), Kementerian Perhubungan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
dan Kementerian Perindustrian.

137 Lihat informasi dalam http://www.redd-indonesia.org/pdf/BrosurUN-REDDSulteng-
INDO.pdf diakses pada tanggal 12 Desember 2012.

138 Lihat “Sumsel percontohan REDD Plus” terdapat dalam situs
http://www.antaranews.com/berita/344210/sumsel-percontohan-redd-plus diakses pada tanggal 12
Desember 2012.

367

Secara struktural sebenarnya isu perubahan iklim menurut wawancara penulis
dengan pihak Kementerian Lingkungan Hidup berada dalam kewenangan Deputi III
MenLH Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim. Namun
dengan hadirnya Dewan Nasional Perubahan Iklim pada tahun 2008 beberapa
kewenangan terkait perubahan iklim seperti Inventarisasi Gas Rumah Kaca, Tindakan
Mitigasi dan Adaptasi serta pendanaan berada di kewenangan Dewan Nasional
Perubahan Iklim.139

4.3. Posisi Pelaksanaan REDD di Indonesia
4.3.1. Pengantar

Indonesia sendiri sebagai negara yang menjadi penyumbang sepertiga emisi
global yang berasal dari sektor kehutanan mutlak menjadi subyek utama penerapan
rezim REDD. Potensi ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia sehingga pada tahun 2009
Indonesia menjadi negara pertama yang mempunyai regulasi khusus untuk melakukan
langkah – langkah penyesuaian terhadap REDD dengan adanya Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari
Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD).

139 Wawancara penulis lakukan dengan Tris Mardiyati dari Kementerian Lingkungan Hidup pada
tanggal 10 November 2012.

368

GAMBAR IV.17
Dinamika Kebijakan REDD di Indonesia

Sumber : Studi Komparatif Global, CIFOR.
Isu pelaksanaan REDD di Indonesia sendiri menuai beberapa tanggapan dari

berbagai pihak di Indonesia. Dalam perspektif Rully Syumanda, selaku Senior
Campaigner Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WAHLI) mengatakan bahwa
mekanisme REDD hanya merupakan instrumen pengalihan perhatian masyarakat
internasional tentang perubahan iklim. Isu REDD hanya akan menggeser secara
sistematis negara berkembang untuk lebih aktif dalam upaya mitigasi dibandingkan
………………

369

dengan melakukan tindakan mitigasi di negara maju selaku kontributor utama.140 Dalam
perspektif keadilan intra generasi hal ini tentu akan memberikan nilai keadilan iklim
yang tidak simetris antara negara maju dan negara berkembang.

Dalam konteks Indonesia, terdapat beberapa hal penting dari REDD+ yang
membuat isu ini menjadi layak dibahas.

Pertama, secara historis Indonesia dapat dikatakan merupakan tempat lahirnya
REDD+ karena untuk pertama kalinya skema REDD+ diperbincangkan secara lengkap
pada Conference of the Parties (CoP) ke 13 dari United Nations Framework Convention
on Climate Change (UNFCCC) di Bali-Indonesia pada bulan Desember 2007. Salah satu
latar belakang penting dalam rezim REDD+ adalah sebagai instrumen peningkatan
kemajuan ekonomi negara berkembang. Dalam Copenhagen Accord menekankan bahwa
pelaksanaan REDD+ harus dapat memberikan insentif positif bagi negara pelaksana
program REDD+ tersebut.141

Selanjutnya, pentingnya posisi Indonesia dalam pembahasan REDD+ juga
ditunjang dengan kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara pemilik hutan tropis
terbesar ke tiga di dunia setelah Brazil dan Congo. Dalam rilis yang dikeluarkan oleh
Kementrian Kehutanan Republik Indonesia, terdapat paling tidak 60 % dari keseluruhan

140 Lihat pembahasan mengenai hal ini lebih mendalam pada situs
http://wwwnew.menlh.go.id/home/index.php?option=com_content&view=article&id=3467:Ringkasan-
Berita-Media-Massa&catid=43:berita&Itemid=73&lang=id., diakses pada tanggal 25 November 2012.

141 Lihat 15th Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate
Change, Copenhagen, Den., Dec. 7-18, 2009, Copenhagen Accord, P 6 U.N. Doc. FCCC/CP/2009/L.7
yang secara eksplisit mengatakan bahwa “We recognize the crucial role of reducing emissions from
deforestation and forest degradation and the need to enhance removals of greenhouse gas emission by
forests and agree on the need to provide positive incentives to such actions through the immediate
establishment of a mechanism including REDD-plus, to enable the mobilization of financial resources
from developed countries.”.

370

wilayah daratan di Indonesia merupakan kawasan hutan. Menurut data resmi yang

dimuat dalam Statistik Kehutanan 2007, luas kawasan hutan Indonesia mencapai
133.964.685 Ha.142 Sedangkan dalam catatan perhitungan yang dilakukan oleh FAO

pada tahun 2005 yang mengatakan bahwa luas kawasan hutan Indonesia adalah
88.495.000 Ha143, berbeda pula menurut perhitungan Forest Watch Indonesia yang
menyatakan bahwa luas kawasan hutan Indonesia hanya 83.655.000 Ha.144

Terakhir, posisi Indonesia menjadi jauh lebih penting dalam diskusi REDD+

karena pernah menyandang predikat sebagai salah satu emiter terbesar ketiga jika

memasukan emisi CO2 dari sektor LULUF. Penting untuk dicatat bahwa menurut data
resmi dari Kementrian Kehutanan bahwa tingkat deforestasi di Indonesia mencapai
1,089,560 ha/tahun,145 sehingga menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara

dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia. Keadaan ini, telah memberikan kontribusi

yang signifikan pada peningkatan emisi global yang berasal dari LULUF yang
diperkirakan mencapai 1.65 Gt per tahun.146

142 Perlu dicatat bahwa tidak berarti bahwa seluruh wilayah hutan tersebut memiliki hutan yang
baik, karena sebagian wilayah yang dikategorikan sebagai ‘kawasan hutan’ oleh Kementerian Kehutanan
ada yang berupa alang-alang atau bahkan ada yang merupakan wilayah perkampungan penduduk yang
menurut Kementerian Kehutanan ditempati secara ilegal, sehingga masih dianggap sebagai kawasan
hutan. Untuk melihat versi terbaru kondisi hutan Indonesia, lihat dalam ‘Tropical Rainforest’ terdapat
dalam situs http://rainforests.mongabay.com/deforestation/2000/Indonesia.htm di akses pada tanggal, 25
November 2010.

143 Lihat dalam FAO, Global Forest Resources Assessment 2005 (2005), terdapat dalam situs
http://www.fao.org/forestry/country/32185/en/idn/, diakses pada 1 November 2011.

144 FWI/GFW. 2002. The State of the Forest: Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch
Indonesia, and Washington DC: Global Forest Watch.

145 Lihat Departemen Kehutanan, Statistik Kehutanan Indonesia 2007, Departemen Kehutanan,
Jakarta, 2008, Tabel 1.1.3, hlm.19.

146 Ministry of Forestry of the Republic of Indonesia, Consolidating Report Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia, Ministry of Forestry, 2008, Jakarta, hlm. 2.

371

4.3.2. Evaluasi atas Praktek REDD di Indonesia
4.3.2.1. Aspek Kebijakan dan Kelembagaan

Dalam mengantisipasi isu perubahan iklim ini, terutama dengan semakin
menguatnya dorongan dari komunitas internasional untuk mengikutsertakan hutan
dalam hal ini pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan untuk masuk ke
dalam strategi mitigasi perubahan iklim dalam bentuk kelembagaan. Untuk Indonesia
pasca komitmen penurunan emisi sebesar 26% tanpa bantuan asing dan 41% dengan
bantuan asing maka semakin penting untuk menghadirkan instrumen mitigasi melalui
ekosistem hutan.

REDD+ sebagai salah satu instrumen mitigasi berbasis hutan memiliki posisi
strategis dalam hal ini. Negara maju seperti halnya Norwegia pun menaruh perhatian
dengan memberikan bantuan sebesar 1 Miliar dollar Amerika Serikat yang diberikan
dalam beberapa tahapan yaitu sebesar 200 juta dollar pada fase persiapan / identifikasi
status IPTEK dan kebijakan terkait dalam kurun waktu 2007 – 2008 dan fase kedua pada
tahap penyiapan perangkat IPTEK dan kebijakan REDDI / REDDI Readiness pada tahun
2009 sampai dengan 2012 serta sisanya sebesar 800 juta dollar pada tahapan akhir saat
implementasi penuh sesuai aturan COP pada saat REDD menjadi bagian dari skema
Konvensi Perubahan Iklim Pasca 2012.147

Dari aspek kebijakan hukum, Indonesia memiliki keunikan pada saat absence
nya regulasi pada tingkat nasional untuk mewadahi pelaksanaan REDD+ secara utuh.

147 Lihat Surat Pernyataan Kehendak (Letter of Intent) antara Pemerintah Kerajaan Norwegia
dan Pemerintah Republik Indonesia tentang “Kerja sama dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dari
deforestasi dan degradasi hutan” terdapat dalam situs http://forestclimatecenter.org/files/2010-05-
26%20Surat%20Pernyataan%20Kehendak%20%28Letter%20of%20Intent%29%20antara%20Pemerintah
%20Kerajaaan%20Norwegia%20dan%20Pemerintah%20Republik%20Indonesia%20tentang%20Kerjasa
ma%20dlm%20--.pdf diakses pada tanggal 1 Januari 2013.

372

Adapun regulasi yang mengatur mengenai REDD dalam hukum Indonesia hanya
terdapat dalam instrumen Peraturan Menteri Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 30
Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi Dari Deforestasi Dan Degradasi
Hutan (REDD). Permenhut ini terdiri dari 12 (dua belas bab) dan 23 (dua puluh tiga)
pasal yang meliputi: Pengertian; Maksud dan Tujuan; Lokasi dan Pelaku; Persyaratan
REDD; Tata Cara Permohonan, Penilaian dan Persetujuan; Jangka Waktu; Hak dan
Kewajiban; Penetapan Referensi Emisi, Pemantauan dan Pelaporan; Verifikasi dan
Sertifikasi; Distribusi Insentif dan Liabilitas; Peralihan; dan Ketentuan Penutup.

Secara Hierarki kedudukan dari Peraturan Menteri tidak diakui dalam susunan
jenis Peraturan Perundang-undangan dalam hukum positif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat 1 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang – undangan yang mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang –
undangan menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah
Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

GAMBAR IV. 18
Tata Urutan Peraturan Perundang – Undangan Di Indonesia

373

Eksistensi dari Peraturan Menteri menjadi absah pada saat telah hadirnya terlebih
dahulu peraturan di atasnya. Permenhut Nomor 30 Tahun 2009 secara mandiri
mengandung beberapa kecacatan hukum.

Pertama, dalam sistem hukum lingkungan internasional hingga saat ini belum
terdapat sebuah aturan yang mengikat dan berkekuatan hukum secara jelas dan pasti
perihal kewajiban REDD. Oleh karena itu konsiderans dari Permenhut Nomor 30 Tahun
2009 yang merujuk pada hasil Conference Of the Parties 13 di Bali sebagai dasar tindak
lanjut maka ini melanggar ketentuan perjanjian internasional yang tidak menjadikan
hasil pertemuan konferensi sebagai dasar tindakan transformasi hukum. Dalam konteks
ini seharusnya keberadaan dari Letter of Intent antara Pemerintah Indonesia dan
Kerajaan Norwegia menjadi dasar rujukan.148

Kedua, keberadaan dari Permenhut Nomor 30 Tahun 2009 merupakan bentuk
lompatan hukum karena Presiden selaku pemegang kekuasaan administrasi negara
tertinggi tidak dilibatkan sedangkan diatur dalam Pasal 17 Undang Undang Dasar 1945
bahwa Presiden dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh menteri – menteri yang

148 Dalam penjelasan umum Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional ditentukan bahwa “Perjanjian internasional yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah
setiap perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah
dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Bentuk dan nama perjanjian
internasional dalam praktiknya cukup beragam, antara lain: treaty; convention, agreement, memorandum
of understanding, protocol, charter, dedaration, final act; arrangement, exchange of notes, agreed
minutes, summary records, process verbal, modus vivendi, dan letter of intent.”. Sedangkan pemahaman
lain mengenai eksistensi dari Letter of Intent terdapat pula dalam Black’s Law Dictionary yang
menyamakan konsep Letter of Intent dengan Memorandum of Understanding yang bermakna “A written
statement detailing the preliminary understanding of parties who plan to enter into contract or some other
agreements.”. Dari rumusan ini dapat dilihat bahwa keberadaan dari Letter of Intent merupakan langkah
awal dari sebuah perjanjian yang dirumuskan berdasarkan komitmen para pihak.

374

membidangi urusan tertentu.149 Sehingga keberadaan dari Permenhut Nomor 30 Tahun
2009 ini secara konstitusional cacat.

Kecacatan hukum di atas tentu akan berdampak pula pada tidak adanya
kesamaan cara pandang dan mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum
(rechtvacuum) serta besarnya kemungkinan interpretasi yang berbeda – beda pada aturan
yang berada pada tataran teknis. Jika kita telisik dari peraturan perundang – undangan
tertinggi yaitu Undang Undang Dasar sebenarnya telah terdapat pengakuan dari negara
untuk memberikan perlindungan optimal kepada warga negara terhadap isu lingkungan
hidup termasuk skema REDD+ di dalamnya. Tertuang dalam perumusan Pasal 33 ayat
(2) dan (3) yang mengatakan bahwa :

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Selain itu hal yang sama juga diperkuat dalam perumusan Pasal 28 H Undang
Undang Dasar 1945 yang mengakui bahwa :

“setiap orang berhak mendapatkan ... lingkungan hidup yang baik dan sehat..”
Dari uraian amanat konstitusi di atas serta memperhatikan asas hukum bahwa
aturan yang berada pada tataran Undang Undang Dasar wajib untuk diturunkan dalam
bentuk aturan di bawahnya yang lebih nyata maka seharusnya ini dapat menjadi dasar

149 Pemahaman serupa juga hadir dari Bagir Manan yang menyatakan bahwa eksistensi dari
Presiden memiliki peran besar paling tidak dapat dilihat dari 2 (dua) bentuk yaitu 1. Presiden di Indonesia
adalah penyelenggara pemerintahan (chief executive) di samping kepala negara (head of state). 2. Selain
wewenang administrasi negara, Presiden mempunyai wewenang mandiri dalam membuat aturan – aturan
untuk menjalankan pemerintahan. Lihat dalam Bagir Manan., Lembaga Kepresidenan., (Yogyakarta :
Pusat Studi UII – Gama Media, 1999)., hlm.31.

375

pertimbangan hadirnya regulasi secara khusus. Kedua perumusan pasal dalam konstitusi
di atas menunjukkan komitmen yang besar dari para founding father terhadap
perlindungan lingkungan dan penguasaan sumber daya alam untuk kepentingan dan
kemakmuran rakyat tidak saja diatur pada tingkatan undang-undang tapi telah menjadi
mandat konstitusi sebagai pedoman berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu menjadi
kewajiban semua pihak untuk mewujudkan amanat konstitusi tersebut dalam peraturan
perundang-undangan dan kebijakan nasional di bidang pembangunan ekonomi dan
perlindungan lingkungan hidup. Namun sayangnya, dalam perspektif Laode Syarif
kerangka hukum dasar perlindungan lingkungan hidup dan pembangunan ekonomi yang
berbasis sumber daya alam yang ada sekarang ini masih jauh dari cita-cita konstitusi di
atas.150

Kajian penting hadir dalam perspektif Syarif yang melihat urgensi dari hak
karbon (carbon tenure) dalam proses pelaksanaan REDD+ di Indonesia.151 Terkait
dengan isu tenurial, paling tidak dapat dilihat bahwa penguasaan atau hak atas tanah di
Indonesia merujuk ke rumusan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dari
rumusan di atas dapat dilihat dari perspektif hermeneutika hukum bahwa terjadi
…………………….

150 Lihat dalam Laode Syarif., “Indonesia REDD+ Legal Summary”., GLOBE International,
2011., hlm. 4.

151 Ibid., hlm. 2.

376

hubungan kausalitas antara kata “dikuasai” dan kata “dipergunakan”.152 Penguasaan oleh

negara menjadi sah pada saat hal tersebut akan berujung pada kemakmuran rakyat yang

sebesar – besarnya, sehingga dalam kata lain rumusan di atas tersusun atas induk kalimat

dan anak kalimat dengan hubungan sebab akibat. Namun dalam kenyataannya

khususnya dalam konteks REDD+ di Indonesia seringkali justru skema REDD+ menjadi
salah satu pemicu hadirnya konflik di masyarakat itu sendiri.153

Aspek lain dari isu tenurial berkutat tentang penguasaan hak atas tanah termasuk

hutan di dalamnya. Penjabaran lebih lanjut dari Pasal 33 ayat (3) di atas pun termaktub

secara nyata dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok Pokok Agraria (UUPA). Dalam perspektif Boedi Harsono selaku pemrakarsa

UUPA dikatakan paling tidak terdapat 9 (sembilan) hal penting yang tertuang dalam
legislasi tersebut.154

152 Secara etimologis kata “hermeneutika” itu berasal dari bahasa Yunani kata kerja
“Hermeneuein” yang berarti: menafsirkan atau menginterpretasi, kata benda “hermenia’ yang berarti:
penafsiran atau interpretasi. Dari kata kerja hermeneuein dapat ditarik tiga bentuk makna dasar dalam
pengertian aslinya, yaitu: (1) mengungkapkan kata – kata, misalnya “to say”; (2) menjelaskan, seperti
menjelaskan sebuah situasi; (3) menerjemahkan, seperti di dalam transliterasi bahasa asing. Ketiga makna
itu bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja Inggris “to interpret”, namun masing – masing dari ketiga
makna tersebut membentuk sebuah makna yang independen dan signifikan bagi interpretasi. Adapun yang
dimaksud dengan hermeneutika hukum, sebagaimana yang didefinisikan oleh Gregory Leyh dalam buku
“Legal Hermeneutics: History, Theory and Practice”, dimana Gregory mengutip pendapat Gadamer yang
menyatakan bahwa hermeneutika hukum bukanlah merupakan suatu kasus yang khusus, tetapi ia hanya
merekonstruksikan kembali dari seluruh problema hermeneutika dan kemudian membentuk kembali
kesatuan hermeneutika secara utuh, dimana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora
Lihat Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Yogyakarta, UII Press: 2005, hlm. 20.

153 Dalam catatan HuMa, mengacu pada enam provinsi kajian saja, telah terjadi 359 konfrontasi
di kawasan hutan antara 1997 dan 2003. Lihat dalam “Hak Tenurial, Indonesia Nomor Buncit di Kawasan
ASEAN” terdapat dalam situs http://www.antaranews.com/print/267328/hak-tenurial-indonesia-nomor-
buncit-di-kawasan diakses pada tanggal 1 Maret 2013.

154 Lihat Boedi Harsono., Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Penyusunan, Isi dan
Pelaksanaannya., Bagian Pertama, Djambatan, Jakarta, 1975., hlm. 12.

377

Pertama, pernyataan bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah
Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai
bangsa Indonesia dan hubungan tersebut bersifat abadi.155

Kedua, pernyataan bahwa bumi, air dan ruang angkasa yang demikian itu sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan nasional.156

Ketiga, pernyataan bahwa bumi, air dan ruang angkasa pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.157

Keempat, pernyataan bahwa hukum agraria yang mengatur tentang bumi, air dan
ruang angkasa harus mewujudkan penjelmaan dari asas kerohanian negara dan cita – cita
bangsa yang terkandung dalam Pancasila dalam wadah negara hukum yang
berkedaulatan rakyat.158

Kelima, perintah agar negara (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; (b) menentukan
dan mengatur hubungan – hubungan hukum antara orang – orang dengan bumi, air dan
ruang angkasa; (c) menentukan dan mengatur hubungan – hubungan hukum antara orang
– orang dan perbuatan – perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.159

Keenam, perintah agar wewenang yang bersumber dari hak menguasai negara
tersebut digunakan untuk mencapai sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.

155 Lihat Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.,
Pasal 1 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (3).

156 Ibid., Pasal 1 ayat (2).
157 Ibid., Pasal 2 ayat (1).
158 Ibid., Pasal 2 ayat (3).
159 Ibid., Pasal 2 ayat (2)

378

Ketujuh, perintah agar negara melalui pemerintah (a) mengatur hubungan –
hubungan hukum antara orang, masyarakat dan negara160; (b) membuat aturan untuk
mengusahakan tanah secara bersama berdasar kerjasama dan untuk kepentingan
bersama161; (c) membuat aturan yang bertujuan dapat meningkatkan kemakmuran rakyat
serta menjamin bagi setiap warga negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan
martabat manusia baik bagi dirinya maupun keluarganya162 dan (d) membuat aturan
yang melarang penggunaan tanah melampaui batas, mencegah adanya unsur pemerasan,
mencegah adanya unsur monopoli serta aturan mengenai fungsi sosial dalam
penggunaan tanah serta kewajiban untuk mengusahakan sendiri penguasaan tanah dan
mencegah kerusakan.163

Kedelapan, pemerintah juga diharuskan untuk membuat rencana umum
mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah untuk kepentingan negara,
kepentingan peribadatan dan keperluan suci lainnya serta untuk kepentingan pusat –
pusat kehidupan masyarakat, sosial, budaya, dan lain – lain kesejahteraan untuk produksi
pertanian, perikanan, dan peternakan termasuk jaminan sosial perburuhan dengan
memperhatikan golongan ekonomi lemah serta perkembangan industri, transmigrasi dan
pertambangan.164

160 Ibid., Pasal 11 ayat (1)
161 Ibid., Pasal 12
162 Ibid., Pasal 13 ayat (1)
163 Ibid., Pasal 15
164 Ibid., Pasal 13 dan 14 ayat (1)

379

Kesembilan, pemerintah secara koordinatif dan berjenjang harus bekerjasama
untuk menjabarkan tugas dan fungsi kewenangan yang diembannya berdasarkan asas
taat asas.165

Namun sayangnya kesembilan prinsip penting di atas tidak lagi dimaknai sebagai
suatu hal yang utama sekarang ini khususnya dalam konteks REDD+. Pemanfaatan
hutan sebagai salah satu domain dari pemanfaatan tanah justru kerap kali bertentangan
dengan esensi sebagaimana diungkapkan oleh Boedi Harsono di atas. Dalam catatan dari
HuMa pada enam tahun terakhir, tercatat paling tidak 232 konflik sumberdaya alam dan
agraria terjadi di Indonesia. Konflik yang menjadikan masyarakat sebagai korban ini pun
terjadi secara merata dan cenderung menyebar di 98 kota dan kabupaten di 22 provinsi.
Luasan area konflik mencapai 2.043.287 hektar atau lebih dari 20 ribu kilometer persegi
atau sebanding dengan separuh dari wilayah Sumatera Barat. Penyumbang konflik
terbesar diberikan oleh sektor perkebunan dan kehutanan, kedua variabel ini
mengalahkan kasus pertanahan atau agraria non kawasan hutan dan non kebun. Sektor
perkebunan 119 kasus, dengan luasan area mencapai 413.972 hektar, sedang sektor
kehutanan 72 kasus, dengan luas area mencapai 1, 2 juta hektar lebih.166

165 Ibid., Pasal 14 ayat (2)
166 Hal tersebut termuat dalam Outlook Konflik Sumberdaya Alam dan Agraria 2012 yang secara
ringkas dipaparkan dalam “Tersebar di 98 Kabupaten, Konflik Agraria Didominasi Sektor Perkebunan dan
Kehutanan” terdapat dalam situs http://www.mongabay.co.id/2013/02/16/tersebar-di-98-kabupaten-
konflik-agraria-didominasi-sektor-perkebunan-dan-kehutanan/ diakses pada 20 Maret 2013.

380

GAMBAR IV.19
Sebaran Konflik Agraria Dan Sumber Daya Alam

Sumber : HuMa., Outlook Konflik Sumberdaya Alam dan Agraria 2012.
Hal ini pun sejalan dengan ungkapan dari Noer Fauzi yang menyatakan bahwa
konsep Hak Menguasai Negara sebagai kekuasaan tertinggi yang bisa dilekatkan atas
tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, tetap dianut dan dijadikan
dasar legitimasi bagi pelbagai unjuk kekuasaan dalam pengadaan tanah untuk proyek –
proyek pembangunan.167
Lemahnya pengakuan normatif ini pun turut mempengaruhi pada tataran empiris
dari korelasi antara agraria dan REDD+. Dalam studi yang dilakukan oleh Mumu
Muhajir terkait dengan perebutan lahan yang terjadi di Kalimantan Tengah, terlihat
bahwa kepentingan pasar karbon pun turut melakukan ekspansi sehingga berujung pada

167 Lihat dalam Noer Fauzi dan Dianto Bachriadi, dikutip oleh Rikardo Simarmata, “Prakata
Penulis: Polemik Konsep Hubungan Negara dengan Tanah, di atas Realitas Problem Agraria” dalam
Rikardo Simarmata, Kapitalisme Perkebunan: Dinamika Konsep Pemilikan Tanah oleh Negara, Insist
Press & Pustaka Pelajar, Yogyakarta., 2002., hlm. x.

381

tidak adanya keamanan masyarakat terkait lahan pangan yang mereka miliki.168

Berdasarkan pelaksanaan REDD+ di sekitar suku Dayak, Mumu menemukan bahwa

banyak dalih kepentingan pasar karbon yang digunakan dalam rangka melakukan

penyerobotan lahan dengan janji – janji nilai ekonomis yang begitu besar, bahkan lebih

daripada itu pada Demonstration Activities REDD+ terjadi pembenturan kepentingan
ekologis dan kepentingan ekonomis yang sangat kuat.169

Kondisi sebagaimana diungkapkan di atas juga terjadi dalam kondisi dualisme

hak atas tanah dalam sistem hukum yang dibangun UUPA. Pada konstruksi pertama

UUPA merujuk pada rezim hukum positif sebagai dasar pengakuan alas hak atas tanah
sebagaimana diungkapkan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA.170 Sedangkan dalam

konstruksi lainnya UUPA mengakui eksistensi dari Hukum Adat sebagai dasar

pemberian hak terhadap tanah selama tidak bertentangan terhadap undang – undang dan
kepentingan umum lainnya.171 Kondisi ini hendaknya dijembatani dengan penguatan

168 Mumu Muhajir., “REDD+ di Indonesia dan Pentingnya Meningkatkan Ketahanan Pangan
Masyarakat Lokal : Sebuah Kasus di Kalimantan Tengah”., Epistema Climate Change Update., Volume 1.
Tahun 2012.

169 Ibid.
170 Dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA dikenal 8 (delapan) hak atas tanah yang terdiri dari a. hak
milik, b. hak guna-usaha, c. hak guna-bangunan, d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka tanah, g. hak
memungut-hasil hutan, h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan
ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam
Pasal 53.
171 Lihat perumusan Pasal 3 UUPA yang berbunyi “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan
dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”. Lihat pula perumusan Pasal 5
UUPA yang berbunyi “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-
undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama.”

382

terhadap masyarakat hukum adat di tengah gerusan pembangunan yang berbasis
kuantitatif semata saat ini.

Disamping Undang Undang Pokok Agraria, peraturan lainnya yang relevan
dalam menentukan hak atas hutan (forest tenure) adalah Undang Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan). Undang Undang ini memiliki sejumlah
pasal yang mengatur tentang hubungan hukum antar hutan dan warga negara sehingga
akan menyentuh kebijakan dalam tataran yang paling praktis. Paling tidak terdapat 5
(lima) tujuan yang hendak dicapai dalam regulasi ini dengan berdasar pada usaha untuk
memastikan pengelolaan hutan yang dapat memakmurkan rakyat, berkeadilan dan
berkelanjutan dengan cara172 :

a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang
proporsional;

b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi
lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial,
budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;

c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan

masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan
sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan
terhadap akibat perubahan eksternal; dan
e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

172 Lihat Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan., Pasal 3

383

Dalam rangka melaksanakan tujuan tersebut, Kementerian Kehutanan diberikan
peran dan kewenangan yang cukup besar guna menyiapkan instrumen yang merupakan
derivasi dari tujuan tersebut. Hal ini paling tidak memuat kewenangan dari Kementerian
Kehutanan terkait 3 (tiga) hal utama yaitu173 :

a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan;

b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan
sebagai bukan kawasan hutan; dan

c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan
hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Dari sudut ini terlihat dengan jelas peran dari Undang Undang Kehutanan dalam

proses pengelolaan REDD+ di Indonesia. Syarif memberikan penekanan mengenai
pentingnya untuk melihat kewenangan dalam rangka melakukan fungsi sebagaimana
diungkapkan di atas. Dalam rezim otonomi daerah beberapa kewenangan dari
Pemerintah Pusat diberikan kepada Pemerintah Daerah sebagai konsekuensi logis
adanya desentralisasi walaupun dalam satuan yang kecil.174 Kondisi ini menjadi
kontradiktif pada saat banyak izin kawasan hutan di daerah justru diberikan tanpa
pertimbangan ekologis di dalamnya yang justru akan menimbulkan pemanfaatan
kawasan hutan secara masif.

173 Ibid., Pasal 4 ayat (2).
174 Dalam perumusan Pasal 10 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, ditetapkan beberapa hal yang masih berada di bawah kewenangan Pemerintah Pusat yaitu a.
politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.

384

Ketiadaan regulasi secara menyeluruh tentang upaya mitigasi gas rumah kaca
sektor kehutanan dalam skema REDD+ di atas membuat adanya kondisi mendesak
hadirnya sebuah regulasi khusus terkait REDD+ di Indonesia. Dalam penelitian ini
penulis mengusulkan kehadiran Peraturan Presiden guna menjadi payung hukum tentang
REDD+. Kehadiran instrumen Peraturan Presiden tentang REDD+ menurut penulis
menjadi layak dipertimbangkan dilatarbelakangi beberapa alasan utama.

Pertama, dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengamanatkan kepada Pemerintah Pusat
untuk mengeluarkan kebijakan terkait Perubahan Iklim.175 Langkah pengaturan tentang
REDD+ sebagai salah satu bentuk upaya mitigasi terkait perubahan iklim. Dalam bentuk
penafsiran secara restriktif dari kebijakan terkait perubahan iklim maka kebijakan
REDD+ yang merupakan instrumen mitigasi perubahan iklim menjadi layak dituangkan
dalam instrumen Peraturan Presiden.176

Selanjutnya, keberadaan dari Peraturan Presiden terkait REDD+ menjadi langkah
tepat karena mampu mengatasi konflik norma yang berada pada masing – masing sektor
baik kementerian maupun non kementerian sebagaimana diungkapkan sebelumnya. Hal
ini menjadi sejalan dengan definisi dari Peraturan Presiden yang merupakan bentuk
Peraturan Perundang – undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan

175 Lihat Pasal 63 ayat (1) huruf j., Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

176 Penafsiran Restriktif dipahami sebagai bentuk penafsiran yang menyempit terhadap sebuah
regulasi atau klausa tertentu. Lihat dalam Sudikno Mertokusumo., Penemuan Hukum., (Yogyakarta :
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010)., hlm.82. Selain itu ditentukan pula dalam Pasal 13 Undang
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan bahwa “Materi
muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk
melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan.”

385

perintah Peraturan Perundang – undangan yang lebih tinggi atau dalam
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.177 Untuk kemudian instrumen hukum

inilah yang akan melakukan proses harmonisasi dan koordinasi yang bersifat lintas
sektoral baik kementerian maupun non kementerian terkait REDD+ di Indonesia.178

Terakhir, hadirnya instrumen Peraturan Presiden sebagai bentuk tindakan nyata

komitmen Indonesia guna turut serta dalam upaya mitigasi gas rumah kaca yang pernah

disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara langsung sebesar 26%

tanpa bantuan asing dan 41% dengan kontribusi asing dalam konteks perubahan iklim

serta tanggung jawab Presiden untuk tindak lanjut Letter of Intent yang telah dibuat.

Sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan di Indonesia, Presiden mempunyai tugas

untuk tampil dalam garda terdepan karena dalam struktur hukum administrasi negara
kekuasaan dan tanggung jawab terpusat pada Presiden.179

Bersandar pada tataran kebijakan REDD+ dengan penuh konflik norma yang

disebutkan terdahulu, sebenarnya hingga kini masih terdapat beberapa perbedaan dalam

memandang keberadaan hutan di beberapa kawasan di Indonesia. Paling tidak sekarang

ini terdapat 3 (tiga) aturan yang berbicara mengenai konsep REDD di Indonesia yaitu
Peraturan Menteri Nomor 68/Menhut‐II/2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration

177 Lihat pengaturan dalam Pasal 1 Butir 6 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang Undangan.

178 Lihat pengaturan penyusunan Peraturan Presiden yang terdapat dalam Pasal 55 yang
menyatakan bahwa (1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, pemrakarsa membentuk panitia
antar kementerian dan/atau antar non kementerian. (2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi Rancangan Peraturan Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia
antarkementerian dan/atau antarnonkementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian
Rancangan Peraturan Presiden diatur dalam Peraturan Presiden.

179 Menurut tata bahasa kata President merupakan bentuk derivasi dari to preside yang artinya
tampil atau memimpin di depan. Lihat dalam Harun Al Rasid., Pengaturan Jabatan Presiden., (Jakarta :
PT. Pustaka Utam, 1999)., hlm.10.

386

Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan, Peraturan
Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor 30/Menhut‐II/2009 Tentang Tata Cara
Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Peraturan Menteri
Kehutanan (Permenhut) Nomor 36/Menhut‐II/2009 Tentang Tata Cara Perizinan Usaha
Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan
Hutan Lindung.

Walaupun ketiga peraturan pada tingkat kementerian tersebut berhubungan
dengan REDD, namun menarik untuk dicermati bahwa ketiga kebijakan tersebut
memiliki acuan pembentukan yang berbeda. Dua kebijakan yang pertama merupakan
tindak lanjut dari keputusan SBSTA dalam COP 13 di Bali yang mendorong
terselenggaranya berbagai demonstration activities atau aktivitas uji coba, untuk
menemukan metodologi REDD yang memadai. Bahkan menurut Nur Masripatin,
anggota Pokja REDD Departemen Kehutanan, kehadiran Peraturan Menteri Kehutanan
(Permenhut) Nomor 30/Menhut‐II/2009 juga dipicu oleh semakin merajalelanya inisiatif
REDD di daerah yang berpotensi menggunakan hutan yang ada tanpa kontrol memadai
dari kerangka hukum yang ada. Karena itu, Permenhut REDD dibentuk dalam kapasitas
minimal terlebih dahulu agar bisa mengatur lalu lintas REDD yang terdiri dari berbagai
warna proposal, baik skema benefit sharing, jangka waktu, bentuk hubungan hukum,
penyelesaian sengketa dan sebagainya.180

Sedangkan keberadaan dari Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor
36/Menhut‐II/2009 Tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan
dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung merupakan

180 Nur Masripatin dalam Seminar dan Lokakarya Masyarakat Sipil dalam REDD, Hotel Cemara,
Jakarta 29 Juli 2009.

387

peraturan mengenai Pemanfaatan Jasa Lingkungan (PJL) berupa penyerapan karbon
(carbon sequestration) dan penyimpanan karbon (carbon sink). Konsep PJL sendiri
sebenarnya sudah tersebar dalam berbagai peraturan perundang ‐ undangan baik secara
langsung maupun tidak seperti yang dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

TABEL IV.10
Peraturan Perundang‐Undangan Mengenai Pemanfaatan Jasa Lingkungan

PERATURAN ISI
Undang Undang Nomor 5
Pasal 34 ayat 3:
Tahun 1990 tentang Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah
Konservasi Sumber Daya
dapat memberikan hak pengusahaan atas zona
Alam Hayati pemanfaatan

Undang Undang Nomor taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
41 Tahun 1999 tentang dengan mengikut sertakan rakyat.

Kehutanan Pasal 26 ayat 1
Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan
PP No 6 Tahun 2007 kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan
tentang Tata Hutan dan
hasil hutan bukan kayu.
Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan Pasal 1 angka 6
Pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk
Perencanaan Hutan serta memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak
Pemanfaatan Hutan merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya

Terlihat dalam konteks di atas bahwa peraturan yang dihasilkan sebagai bentuk
tindak lanjut dari REDD memiliki rujukan hukum yang berbeda – beda. Konsekuensi
keragaman ini adalah sulitnya menarik garis lurus peraturan – peraturan ini dalam satu
rezim hukum. Misalnya, sebagai peraturan yang merupakan bagian dari rezim hukum
perubahan iklim, baik yang mengatur mengenai dagang karbon berada di bawah rezim
jasa lingkungan yang mengikuti suatu regim hak atau konsesi tertentu atau ditempatkan
dalam kerangka rezim karbon sebagai suatu entitas baru dari regim perubahan iklim.
Pada bentuk ini, yang terjadi adalah satu aturan yang memiliki substansi yang mirip

388

dengan yang lain justru memiliki dasar acuan yang berbeda. Dalam situasi seperti ini,
overlapping pengaturan dan berbagai kerumitan mengidentifikasi bagan suatu regim
hukum pasti akan terjadi.

Masalah lain juga hadir pada saat mekanisme pendanaan dari proyek REDD di
Indonesia khususnya yang merujuk kepada regulasi Peraturan Menteri Kehutanan baik
dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor 30/Menhut‐II/2009 Tentang
Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan maupun Peraturan
Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor 36/Menhut‐II/2009 Tentang Tata Cara
Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan
Produksi dan Hutan Lindung. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 30 Tahun
2009 memang tidak menyebut secara tegas sumber pendanaan dari proyek berbasis
REDD, tapi secara implisit menggambarkan perdagangan sertifikat yang merupakan
bagian dari skema pasar. Penyebutan yang lebih tegas muncul dalam Pasal 20 Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor 36 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa sumber pendanaan
dapat diperoleh dari : (1) dana sendiri; (2) corporate social responsibility (CSR), (3)
dana hibah.

Mekanisme pendanaan seperti ini memberikan ketidakjelasan tersendiri dalam
perspektif hukum. Pertama – tama ijin usaha karbon merupakan skema pemanfaatan jasa
yang pasti mendapat kontra prestasi atau keuntungan langsung. Dalam hal ini,
penyebutan CSR sebagai sumber pendanaan sangat berbeda dengan ketentuan tentang
fungsi CSR dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Dalam ketentuan Pasal 74 ayat (1) disebutkan bahwa “Perseroan yang menjalan kegiatan
usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan wajib melaksanakan tanggung jawab

389

sosial dan lingkungan”. Selanjutnya dalam perumusan Pasal 1 angka 3 diberi definisi,
“tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan
lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun
masyarakat pada umumnya”. Hal ini mempertegas bahwa secara konseptual dan dalam
sejarahnya pun CSR adalah investasi sosial untuk pemberdayaan masyarakat, bukan
investasi komersial.181

Kejanggalan lainnya dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia Nomor : P. 36/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Perizinan Usaha
Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan
Hutan Lindung pada Pasal 19 yang menyatakan bahwa Usaha Pemanfaatan Penyerapan
dapat berjalan terus sampai dengan izin yang dikantongi selama 25 tahun habis dan
dapat diperpanjang kembali. Hal ini mempunyai perhitungan waktu yang berbeda
dengan rujukan pertimbangan hukumnya yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
Serta Pemanfaatan Hutan yang menetapkan dalam kurun waktu 30 tahun.

Salah satu respons kelembagaan dalam rangka menyikapi bantuan pendanaan
tersebut adalah dengan hadirnya lembaga Satuan Tugas REDD dengan dikeluarkannya
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2010 Tentang Satuan Tugas
Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+, yang berakhir masa tugasnya pada
tanggal 30 Juni 2011 yang kemudian dilanjutkan dengan adanya Keputusan Presiden
Nomor 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+. Namun

181 Lihat Sutan Remy Sjahdeini., “Corporate Social Responsibility”., Jurnal Hukum Bisnis., Vol.
26 No. 3 Tahun 2007., hlm. 57.

390

sayangnya tugas tersebut pun tidak kunjung selesai hingga batas akhir jabatan dari
lembaga persiapan ini pada 31 Desember 2012. Kondisi ini akhirnya membuat Presiden
harus memperpanjang dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2013
tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2011 tentang Satuan
Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ pada tanggal 22 Januari 2013 dengan tenggat
waktu keberadaan Lembaga REDD+ pada 30 Juni 2013 yang pada akhirnya juga tidak
ditepati hingga saat penulisan ini dibuat.

Menurut ketentuan Pasal 3 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2010 Tentang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+
dikatakan bahwa tugas dari lembaga ini meliputi :

a. Memastikan penyusunan strategi nasional REDD+ dan Rencana Aksi
Nasional Pengurangan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK);

b. Mempersiapkan pendirian lembaga REDD+;
c. Menyiapkan instrumen dan mekanisme pendanaan;
d. Mempersiapkan pembentukan lembaga MRV (monitorable, reportable

and verifiable, atau termonitor, terlaporkan dan terverifikasi) REDD+
yang independen dan terpercaya;
e. Menyusun kriteria pemilihan provinsi percontohan dan memastikan
persiapan provinsi terpilih; dan
f. Melaksanakan kegiatan lain yang terkait dengan persiapan implementasi
Surat Niat dengan Pemerintah Norwegia.
Dalam hal ini terlihat inkonsistensi dengan peraturan yang telah ada sebelumnya
dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 68/Menhut-II/2008

391

Tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari
Deforestasi dan Degradasi Hutan yang menyatakan bahwa Menteri akan menugaskan
Kelompok Kerja Pengendalian Perubahan Iklim di Lingkungan Departemen Kehutanan
untuk melakukan penilaian terhadap kelayakan permohonan demonstration activities.
Namun dengan hadirnya Satuan Tugas REDD+ kewenangan ini seolah diamputasi dan
ditarik dalam kelembagaan REDD+.

Dalam periode pertama dari persiapan keberadaan lembaga REDD+ dihasilkan
beberapa dokumen penting dalam rangka menunjang jalannya REDD+ yang bersumber
dari pendanaan Norwegia dengan hadirnya Strategi Nasional REDD+. Meskipun
merupakan program nasional, penerapan REDD+ memiliki fokus berbeda untuk setiap
provinsi, tergantung profil spesifik biofisik dan ekonomi setempat. Maka, Strategi
Nasional REDD+ harus diterjemahkan menjadi rencana kerja provinsi yang nyata dan
selaras dengan tujuan-tujuan spesifik provinsi tersebut. Penerjemahan agenda nasional
ini dalam tujuan spesifik provinsi dilakukan untuk menumbuhkan rasa kepemilikan
(ownership) terhadap agenda lokal REDD+. Namun hal ini berada pada tingkatan
nasional semata, hal tersebut perlu ditindaklanjuti dengan adanya Strategi Daerah terkait
dengan daerah percontohan aktivitas REDD+.

Pada Departemen Kehutanan sendiri semangat untuk dapat membentuk sebuah
lembaga yang khusus membahas mengenai REDD juga dapat dikatakan begitu tinggi.
Selain memberdayakan fungsi-fungsi kelembagaan yang telah ada seperti Dirjen Bina
Produksi Kehutanan, Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Dirjen PHKA
dan Baplan serta Balitbang Dephut, Kementerian Kehutanan juga merasa penting untuk

392

membentuk badan ad-hoc di luar lembaga-lembaga yang sudah ada baik yang
merupakan amanat dari Peraturan Menteri Kehutanan terkait REDD maupun di luar itu.

Di dalam tubuh Departemen Kehutanan sendiri sebenarnya telah lama ingin
dibentuk sebuah lembaga yang disebut dengan Komisi REDD. Disebutkan dalam
Strategi Nasional REDD bahwa REDD Indonesia dilakukan secara bertahap (phased-
approach), dengan implementasi di tingkat sub-nasional (Propinsi/Kabupaten/Unit
Manajemen), yang diintegrasikan ke tingkat nasional (national accounting with sub-
national implementation). Strategi di tingkat nasional terbagi ke dalam lima kategori
dengan komponen kunci sebagai berikut182 :

1. Intervensi kebijakan untuk penanganan penyebab mendasar deforestasi
dan degradasi di berbagai lanskap penggunaan lahan hutan (hutan
konservasi dan hutan lindung, hutan produksi, lahan gambut, perubahan
penggunaan hutan alam untuk hutan tanaman dan tanaman kelapa sawit),

2. Penyiapan regulasi REDD antara lain tata cara pelaksanaan REDD dan
pembentukan Komisi REDD.

3. Penyiapan aspek metodologi untuk penetapan REL/RL (Reference
Emission Level/Reference Level) dan pembangunan sistem MRV
(measuring, reporting dan verification).

4. Penyiapan/penguatan kelembagaan (pembentukan kelembagaan untuk
pelaksanaan REDD termasuk registrasi nasional, pendanaan, distribusi
insentif dan tanggung jawab, peningkatan kapasitas, komunikasi/
koordinasi/konsultasi para pihak).

182 Lihat Laporan dalam Strategi REDD - Indonesia Fase Readiness 2009 – 2012 dan Progress
Implementasinya., Departemen Kehutanan, 2006., hlm. 10.

393

5. Analisis terkait (REL/RL, MRV, analisis biaya dan manfaat, resiko,
dampak, ).

Sedangkan di tingkat sub-nasional strategi terbagi ke dalam tiga kategori dengan
komponen kunci sebagai berikut :183

1. Penyiapan aspek metodologi untuk penetapan REL/RL (Reference
Emission Level/Reference Level) dan pembangunan sistem MRV
(measuring, reporting dan verification).

2. Penyiapan/penguatan kelembagaan (pembentukan/ penguatan
kelembagaan untuk implementasi REDD termasuk distribusi insentif dan
tanggung jawab, peningkatan kapasitas, komunikasi/konsultasi/
koordinasi/konsultasi para pihak).

3. Pembangunan Demonstration Activities (DA) REDD yang
merepresentasikan berbagai kondisi bio-socio-geografis.

Namun hingga penelitian disertasi ini disusun belum terdapat Komisi REDD
yang diamanatkan, justru pada tingkat daerah khususnya yang telah mempunyai Strategi
Daerah REDD mempunyai Komisi Daerah REDD yang tergabung dalam Dewan Daerah
Perubahan Iklim. Bahkan sistematika ini pun pada tingkat lokal tidak berjalan seragam
karena di beberapa tempat lebih dahulu terdapat Komisi Daerah REDD+ baru dibuat
Dewan Daerah Perubahan Iklim.184

183 Ibid., hlm. 11.
184 Dalam hasil wawancara dengan Mumu Muhajir dari Epistema dikatakan bahwa Sulawesi
Tengah memiliki DDPI terlebih dahulu lalu terdiri dari beberapa Komisi Daerah REDD+ di dalamnya,
namun di daerah Kalimantan Tengah Justru Komisi Daerah REDD+ didirikan terlebih dahulu lalu
menyusul DDPI. Hasil wawancara dengan Mumu Muhajir 4 Januari 2013 di Epistema Institut.


Click to View FlipBook Version