194
ragu untuk melakukan tindakan nyata dalam tataran internasional yang berkaitan
dengan mitigasi gas rumah kaca, seperti emission trading. 222 Namun kelompok
ini menuntut adanya kesamaan cara pandang baik terhadap masalah yang
dihadapi hingga tujuan yang hendak dicapai dalam menangani perubahan iklim.
Kriteria serta bentuk dari komitmen sebagaimana diungkapkan di atas
tentu tidak dapat dipahami sebagai suatu bentuk yang statis semata. Terhadap
komitmen yang ada, seharusnya dapat dilakukan evaluasi secara komprehensif
dan berkelanjutan baik dari sisi kebijakan (policy) maupun dari sisi politis
keberadaan suatu komitmen. Bersandar pada pemahaman bahwa suatu komitmen
merupakan bagian dari kebijakan, maka terdapat 5 (lima) pertimbangan yang
layak digunakan yaitu efektifitas dari segi ekologi, efektifitas dari segi ekonomi,
keadilan, kelenturan dari komitmen serta sifat melengkapi dari komitmen
tersebut.
Pertama adalah pertimbangan yang memperhatikan adanya efektifitas
dari segi ekologi terhadap komitmen yang telah ditentukan. Secara jujur harus
diakui bahwa kunci dari komitmen dalam perubahan iklim adalah adanya suatu
tindakan nyata yang berujung kepada penurunan emisi atau hanya sekedar
pembatas dari emisi yang dihasilkan. Dari tolak ukur ekologis, jelas pesan yang
ingin disampaikan berupa pengetatan dari sumber-sumber emisi yang ada.223
Selain bicara mengenai pengetatan, pengukuran efektifitas dari perspektif
ekologi juga dapat diukur dari faktor kebocoran terhadap komitmen yang ada.
222 Pembahasan lebih mendalam mengenai emission trading akan diulas dalam pembahasan
setelah ini.
223 Lihat Bodansky., Op.Cit.
195
Sebagaimana diketahui bahwa dalam rangka membuat suatu komitmen dalam
tataran global maka yang dituju adalah keterlibatan dari negara sebagai aktor
utama dalam hukum internasional. Seringkali pelaku usaha yang sebenarnya
merupakan subyek penurun emisi secara nyata mengalihkan tanggung jawabnya
kepada aktor non negara sehingga akan berdampak menambah emisi dalam
bentuk lain. dalam usaha penurunan emisi. Seringkali dalam usaha penurunan
emisi pelaku usaha hanya menekankan penurunan emisi pada hal yang
ditentukan dalam proyek namun justru menambah emisi dari sektor lain yang
memberikan sumbangsih emisi dari fossil fuel lebih banyak.224
Efektifitas ekologi juga selanjutnya dapat ditunjang dari usaha-usaha
yang meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap masalah perubahan iklim,
baik dapat berupa diseminasi yang berkelanjutan, penyampaian penelitian serta
pelatihan di bidang mitigasi gas rumah kaca secara berkelanjutan sehingga
menanamkan pondasi perlu adanya usaha pengurangan emisi gas rumah kaca
demi masa depan yang lebih baik.225
Pertimbangan kedua dalam mengukur efektifitas komitmen dalam
perspektif kebijakan adalah adanya efektifitas dari ekonomi terhadap kebijakan
224 Lihat Aldy, Joseph E., Richard Baron dan Laurence Tubiana. “Addressing Cost: The Political
Economy of Climate Change.”., hlm. 234. dalam Beyond Kyoto: Advancing the International Effort
Against Climate Change, 2003. Pew Center on Global Climate Change, Arlington, VA.
225 Lihat Irene Lorenzonia, Sophie Nicholson-Coleb, dan Lorraine Whitmarsh., “Barriers
Perceived To Engaging With Climate Change Among The UK Public And Their Policy Implications”.,
Global Environmental Change 17., 2007., hlm. 450. Lihat pula John Virgoe., “International Governance
Of A Possible Geoengineering Intervention To Combat Climate Change”., Climatic Change., 2009., hlm.
110. Lihat pula “Declaration For An Increased Public Awareness Of Climate Change”., terdapat dalam
http://portal.unesco.org/ci/en/ev.phpURL_ID=29099&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=201.htm
diakses pada tanggal 8 Maret 2012.
196
yang ditempuh.226 Bersandar pada kondisi dari negara-negara tertentu dengan
keterbatasan yang dimiliki, baik dalam bentuk pemenuhan dari kebutuhan negara
tersebut secara internal maupun pemenuhan komitmen dari perjanjian eksternal
dengan negara lain. Dalam kaitannya dengan hal ini, kebanyakan ekonom
berpendapat bahwa model yang berbasis pada mekanisme pasar sekarang ini
merupakan skema terbaik dalam usaha penurunan emisi yang efisien.227 Hal ini
sejalan dengan argumentasi dari Nordhaus yang menyatakan bahwa penggunaan
mekanisme pasar dapat memberikan insentif baik kepada negara berkembang
maupun negara maju dalam rangka melakukan upaya penurunan emisi.
Pertimbangan ketiga dalam melihat efektifitas komitmen dari parameter
kebijakan adalah isu keadilan yang termaktub dalam komitmen yang ada.228
Harus diakui bahwa sebuah komitmen harus berlaku adil bagi semua peserta dari
komitmen yang dibentuk tersebut. Keberadaan isu keadilan dalam komitmen
mitigasi perubahan iklim tidak dapat dilepaskan dari keberadaan isu efisiensi.
Hal ini karena proses penaatan sendiri akan dilakukan tidak semata – mata pada
saat hukum tersebut adil namun juga efisien.229 Banyak pemikir percaya bahwa
isu keadilan tidak hanya akan memberikan kemanfaatan secara politis semata,
226 Lihat Bodansky., Op.Cit., hlm. 47.
227 Lihat Aldy, Joseph E., Richard Baron, and Laurence Tubiana. 2003. “Addressing Cost: The
Political Economy of Climate Change.” dalam Beyond Kyoto: Advancing the International Effort Against
Climate Change, Pew Center on Global Climate Change, Arlington, VA., hlm. 80.
228 Lihat Ashton, John and Xueman Wang. 2003. “Equity and Climate: In Principle and Practice.”
dalam Beyond Kyoto: Advancing the International Effort Against Climate Change, Pew Center on Global
Climate Change, Arlington, VA. Barrett, Scott. 2002. Environment and Statecraft. Oxford University
Press., hlm. 77.
229 Lihat dalam P.R. Shukla ., “Justice, Equity and Efficiency in Climate Change: A Developing
Country Perspective”., hlm. 4.
197
namun juga berpengaruh terhadap keberlangsungan dari komitmen itu dengan
sendirinya.230
Pertimbangan keempat dalam melihat efektifitas sebuah komitmen dari
perspektif kebijakan adalah fleksibilitas dari komitmen itu sendiri. Layaknya
sebuah dokumen dalam ranah internasional, tentu akan ada banyak kepentingan
yang membuka kesempatan akan adanya revisi dari komitmen tersebut. Atas
dasar tersebut akhirnya para pemikir internasional sampai pada kesimpulan
bahwa semakin fleksibel suatu komitmen maka akan semakin menguntungkan
bagi komitmen itu sendiri.231
Pertimbangan kelima dalam melihat efektifitas dari segi kebijakan adalah
adanya usaha untuk saling melengkapi dari komitmen yang ada pada satu
perjanjian dengan komitmen di perjanjian lain.232 Tidak ikut sertanya Amerika
Serikat dari rezim Protokol Kyoto serta mundurnya Kanada pada detik-detik
terakhir berakhirnya periode komitmen pertama Protokol Kyoto membuka
………………
230 Lihat Madeleine Heyward., “Equity And International Climate Change Negotiations : A
Matter Of Perspective”., Climate Policy 7., 2007, hlm. 520. Lihat pula Marina Cazorla dan Michael
Toman, “International Equity and Climate Change Policy”., Climate Issue Brief No. 27., hlm.6.
231 Lihat Bodansky., Op.Cit., hlm. 48
232 Ibid.
198
wacana banyak ahli bahwa sangat memungkinkan adanya kelompok lain dalam
usaha penurunan emisi gas rumah kaca.233 Hal ini perlu ditanggapi dengan
adanya sifat komplementer dari sebuah komitmen untuk bersinergi dengan
komitmen yang ada di perjanjian internasional lainnya dalam rangka
mewujudkan penurunan emisi gas rumah kaca.234
Sedangkan bersandar pada pertimbangan secara politis, terdapat beberapa
kriteria untuk mengukur efektifitas dari keberadaan sebuah komitmen. Beberapa
point utama yang kerap dipertanyakan pada pembahasan model ini adalah
mengupas sejauh mana sebuah komitmen tersebut dapat dinegosiasikan.235
Sebagaimana diketahui dalam beberapa skema komitmen yang ada dalam
sumber hukum lingkungan internasional terlihat jelas bahwa komitmen mitigasi
dari satu waktu ke waktu yang lain cenderung berbeda. Bahkan di negara tertentu
233 Pada tanggal 27 April 2001, Christine Whitman, Pemimpin United States Environmental
Protection Agency menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak akan mengikuti mekanisme yang terdapat
dalam Protokol Kyoto. Amerika Serikat sendiri sebenarnya turut serta turut serta dalam United Nation
Framework of Climate Change Convention, namun saat diadakan COP 3 di Kyoto yang menghasilkan
Protokol Kyoto Amerika Serikat memilih sikap untuk tidak mengikuti protokol tersebut. Lihat “U.S.
Won't Follow Climate Treaty Provisions, Whitman Says,” New York Times, March 28, 2001. Lihat pula
Valerie Lawton, Canada Stays Calm on Kyoto Pullout, Toronto Star, Mar. 30, 2001. Sedangkan Kanada
mengambil keputusan untuk keluar dari Protokol Kyoto pada saat diadakannya Konferensi Para Pihak ke-
11 di Durban, Afrika Selatan. Dalam press release nya, Peter Kent, Menteri Lingkungan Hidup Kanada,
menyatakan bahwa Protokol Kyoto bukalah skema yang tepat untuk mengatasi perubahan iklim. Selain itu
Kent juga berpendapat bahwa mekanisme dalam Protokol Kyoto cenderung merugikan negaranya
tersebut. Seraya ingin membuktikan secara nyata kerugian yang terjadi, Kent menyatakan bahwa "That's
$1,600 from every Canadian family - that's the Kyoto cost to Canadians, that was the legacy of an
incompetent Liberal government". Lihat “Canada To Withdraw From Kyoto Protocol” terdapat dalam
situs http://www.bbc.co.uk/news/world-us-canada-16151310 diakses pada tanggal 8 Maret 2012.
234 Lihat Haites, Erik. 2002. Linking Domestic and Industry Greenhouse Gas Emission Trading
Systems. Makalah dalam konferensi yang dilaksanakan kerjasama Electric Power Research Institute,
International Energy Agency dan International Experience and Technical Assistance.
235 Lihat Bodansky., Op.Cit.
199
seperti Amerika Serikat dapat dipastikan bahwa pajak lingkungan di masa yang
akan datang tidak akan diterima oleh pihak siapa pun.236
Namun harus diakui pula bahwa terdapat beberapa pertimbangan lainnya
yang mempengaruhi adanya proses negosiasi dalam usaha komitmen di bidang
mitigasi perubahan iklim.
Pertama adalah kondisi dilematis secara politis yang ada pada masa
depan dari Protokol Kyoto. Dalam periode komitmen pertama dari Protokol
Kyoto (2008 – 2012) dapat dikatakan bahwa banyak negara yang secara
substansial telah berinvestasi dalam ragam skema mitigasi perubahan iklim di
dalamnya. Sebaliknya, keberadaan Amerika Serikat serta beberapa negara
lainnya yang memutuskan untuk tidak mengikuti dari skema mitigasi yang ada
dalam Protokol Kyoto memberikan anggapan buruk bagi mereka.237 Dalam
kondisi ini, penentuan target penurunan emisi melalui pendekatan yang bersifat
bersyarat (conditional) layak untuk dipertimbangkan. Penetapan target secara
fixed seperti yang ditemui dalam Protokol Kyoto tentu memberikan kesulitan
sendiri bagi negara – negara yang di luar Protokol Kyoto, namun dengan adanya
skema penawaran target penurunan emisi yang bersyarat tentu akan tetap
mengikat mereka untuk usaha mitigasi gas rumah kaca dalam skema yang
kemungkinan besar lebih diminati untuk pasca Protokol Kyoto.
236 Lihat Haites, Erik. 2002. Linking Domestic and Industry Greenhouse Gas Emission Trading
Systems. Makalah dalam konferensi yang dilaksanakan kerjasama Electric Power Research Institute,
International Energy Agency dan International Experience and Technical Assistance.
237 Lihat Adil Najam, Saleemul Huq, dan Youba Sokona., “Climate Negotiations Beyond Kyoto:
Developing Countries Concerns and Interests”., Climate Policy, 2003, Volume 3 Nomor 3., hlm. 230.
200
Kedua adalah pertimbangan ekonomi dalam pelaksanaan dari komitmen
mitigasi yang telah ditentukan. Dalam sorotan beberapa negara dalam melihat
eksistensi komitmen mitigasi dalam UNFCCC maupun Protokol Kyoto adalah
pembahasan mengenai biaya yang relatif besar dalam mematuhi komitmen
tersebut. Memang dalam prakteknya biaya dari untuk patuh terhadap komitmen
yang telah dibuat dapat berada di luar prediksi yang dipengaruhi baik oleh faktor
pertumbuhan ekonomi suatu negara, pertumbuhan populasi suatu negara hingga
angka pertumbuhan di bidang teknologi yang relatif sukar untuk ditebak secara
politis.238 Hal ini lah yang mendasari bahwa pertimbangan prediksi secara
ekonomi kadang lebih penting dibandingkan dengan efisiensi ekonomi itu sendiri
dalam perspektif politis.
Ketiga adalah pertimbangan prioritas antara kepentingan perwujudan
mitigasi gas rumah kaca dengan isu lain. Sudah merupakan fakta umum bahwa
negara – negara berkembang memiliki keterbatasan dalam kehidupan sehari –
hari. Hal ini menjadi kondisi dilematis saat biaya yang akan dikeluarkan dalam
penaatan komitmen mitigasi harus beradu kepentingan dengan biaya yang
dikeluarkan untuk keperluan internal lainnya.239 Hal ini tentu perubahan cara
pandang dan pola pikir yang mendasar bahwa perubahan iklim dan
pembangunan berkelanjutan merupakan suatu hal yang sejalan sehingga dengan
238 Amerika Serikat contohnya, prediksi dari biaya yang akan dikeluarkan oleh pemerintah
Amerika Serikat untuk turut serta dalam Protokol Kyoto sekitar 400 Milyar Dollar Amerika per tahunnya.
Lihat Weyant, John dan Jennifer Hill (Eds.). “Costs of the Kyoto Protocol: A Multi-Model Evaluation,”
Energy Journal, Special Issue., 1999., hlm. 67.
239 Lihat Heller, Thomas C. and P.R. Shukla.. “Development and Climate: Engaging Developing
Countries.” Dalam Beyond Kyoto: Advancing the International Effort Against Climate Change, Pew
Center on Global Climate Change, Arlington, 2003., VA., hlm. 85.
201
melaksanakan komitmen mitigasi perubahan iklim akan mendorong peningkatan
laju pembangunan secara berkelanjutan.240
3.4.2. Setelah Tahun 2012
Terhitung mulai berlaku pada tahun 2005, Protokol Kyoto akan menemui
masa berakhir setelah 7 tahun berlaku yaitu pada tahun 2012. Berbagai bentuk
analisa terhadap eksistensi Protokol Kyoto di dominasi oleh suara – suara
sumbang yang mengindikasikan kegagalan dari rezim Kyoto untuk menurunkan
emisi gas rumah kaca secara keseluruhan.241 Terkait dengan isu mitigasi gas
rumah kaca, langkah awal untuk merumuskan kebijakan telah dibicarakan pada
saat diadakan Conference Of the Parties ke – 13 di Bali dengan menghasilkan
Bali Road Map.242
Meskipun banyak pendapat yang mengutarakan kegagalan dari Protokol
Kyoto, namun tidak dapat ditampik bahwa keberadaan dari Protokol ini telah
240 Mitchell, Ronald. Intentional Oil Pollution at Sea: Environmental Policy and Treaty
Compliance, MIT Press., 1994., hlm. 76.
241 Tulisan yang melakukan penilaian terhadap eksistensi dari Protokol Kyoto serta kegagalannya
telah diungkap dalam pembahasan sebelumnya semisal tulisan dari Bruce Pardy dalam tulisannya “The
Kyoto Protocol : Bad News for the Global Environment”. Pardy menyoroti pada 6 (enam) fokus utama
dalam mengkritisi keberadaan Protokol Kyoto yaitu : (i) kesalahan dalam menentukan target penurunan
emisi; (ii) inkonsistensi dan kegagalan penerapan Prinsip Common But Differentiated Responsibilities;
(iii) kegagalan menerapkan prinsip pencemar membayar secara proporsional; (iv) mengedepankan
pembangunan dan meninggalkan kelestarian lingkungan hidup; (v) pengelolaan iklim yang berkomitmen
rendah dan (vi) tidak terpenuhinya keadilan substantif. Lihat Bruce Pardy, “The Kyoto Protocol: Bad
News for the Global Environment”, Journal of Environmental Law and Practice 2004., volume, tahun,
hlm. 5- 17.
242 Pada saat diadakannya Conference Of the Parties ke – 13 di Bali, Indonesia, para pihak yang
tergabung dalam Protokol Kyoto sepakat untuk merancang bentuk kebijakan yang terkait pasca
berakhirnya periode komitmen pertama dari Protokol Kyoto (2008 – 2012). Salah satu hasil dari
pertemuan COP – 13 di Bali adalah dihasilkannya Bali Roadmap sebagai panduan dalam menghadapi
termin waktu kedua dari Protokol Kyoto. Secara umum Bali Roadmap dapat dipisahkan dalam 4 (empat)
isu utama yaitu terkait dengan (1) Mitigasi, (2) Adaptasi, (3) Invoasi dan Transfer Teknologi, dan (4)
Keuangan dan Investasi. Lihat UNFCC Conference of the Parties, Report of the Conference of the Parties
on its Thirteenth Session, FCCC/CP/2007/6/Add.1., hlm. 3 – 5.
202
memberikan pembelajaran sendiri dalam kebijakan perubahan iklim.243 David
Hunter dalam pandangannya mengemukakan bahwa eksistensi dari Protokol
Kyoto telah memberikan sumbangsih besar mengenai efektifitas dari keberadaan
instrumen pasar dalam usaha mitigasi gas rumah kaca. Hal ini kemudian memicu
perkembangan pola pasar karbon yang berada di beberapa penjuru dunia yang
mempertimbangkan mekanisme penurunan emisi yang efektif dan efisien.244
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Protokol Kyoto menurut Hunter
gagal dalam 2 (dua) tolak ukur utama, yaitu :
Pertama, pada saat banyak pengamat berpendapat bahwa mekanisme
penurunan emisi dalam Protokol Kyoto merupakan langkah awal dari kebijakan
perubahan iklim ternyata secara ilmiah langkah yang ditempuh saat ini sudah
dianggap terlambat. Sebagaimana telah diketahui bahwa fenomena perubahan
iklim yang ada sekarang ini diperlukan suatu kebijakan yang signifikan dalam
waktu yang cepat.245
Kedua, pada saat diharapkan eksistensi dari Protokol Kyoto dapat
menarik perhatian dari Amerika Serikat selaku salah satu penyumbang emisi
terbesar di dunia ternyata menemui kegagalan. Dalam kenyataannya dapat dilihat
243 Penting kiranya dalam pembicaraan konteks ini untuk memperhatikan hasil dari pertemuan
tahunan yang diadakan oleh American Society of International Law pada tahun 2008 dengan
mengedepankan tema Beyond Kyoto: Dilemmas Of Climate Regulation And Equity. Lihat David Hunter.,
“Beyond Kyoto: Dilemmas Of Climate Regulation and Equity”., American Society of International Law
Proceedings April 9-12, 2008, hlm.13.
244 Lihat Kate Vinot, “Beyond Kyoto: The Move Towards Carbon Trading”., Australian Mining
and Petroleum Law Journal., 1998, Volume 17., hlm. 5. Lihat pula David Hunter., “Beyond Kyoto:
Dilemmas Of Climate Regulation And Equity”., Op. Cit., hlm. 2.
245 Lihat David Hunter., “Beyond Kyoto: Dilemmas Of Climate Regulation And Equity”., Ibid.,
hlm. 4.
203
bahwa Amerika Serikat tidak setuju dengan serangkaian instrumen
penanggulangan emisi yang dianut dalam Protokol Kyoto. Terdapat 3 (tiga)
alasan penting yang paling tidak dapat diprediksi dari sikap penolakan Amerika
Serikat ini. Pertama terkait dengan lemahnya komitmen yang dianut oleh negara
berkembang dalam upaya penurunan emisi secara signifikan, kedua tidak adanya
pertimbangan ilmiah dari perubahan iklim yang terjadi secara nyata dan besarnya
pengaruh adopsi Protokol Kyoto terhadap kondisi ekonomi politik bagi Amerika
Serikat itu sendiri.246 Namun dengan dalih mempunyai mekanisme yang lebih
ketat, Amerika Serikat justru memilih untuk membuat ketentuan penurunan
emisi sendiri dalam tingkat nasional.247
Berbagai pemikir sudah mulai memperhatikan kelemahan dan
keunggulan dari Protokol Kyoto serta evaluasi dari pelaksanaan di periode
komitmen pertama untuk menjadi masukan dalam periode komitmen kedua
pasca Protokol Kyoto. Beberapa isu mitigasi perubahan iklim yang menarik
untuk dibahas dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) isu berikut.
Pertama, penetapan target penurunan emisi serta jangka waktu yang
disediakan dalam pencapaian target penurunan emisi. Salah satu ciri khas dari
mekanisme mitigasi Protokol Kyoto adalah penentuan secara tepat target
246 Lihat dalam Martin Phillipson ., “The United States withdrawal from the Kyoto Protocol”
Irish Jurist., 2001, Volume 36., hlm. 292.
247 Lihat Fogel, C., “Constructing Progressive Climate Change Norms: The US In The Early
2000s”, dalam M.E. Pettenger, ed., The Social Construction Of Climate Change: Power, Knowledge,
Norms, Discourses. Burlington, VT: Ashgate Publishing Company, 1997., hlm. 120. Lihat pula Nygren,
A. and Rikoon, S., “Political Ecology Revisited: Integration Of Politics And Ecology Does Matter”., 2008,
Society and Natural Resources, 21, hlm. 780.
204
penurunan serta batas waktu yang disediakan.248 Berbeda dengan yang berlaku
pada komitmen pertama Protokol Kyoto, Jeffrey Frankel mengusulkan bahwa
dalam penetapan target penurunan emisi serta batas waktu penurunan emisi yang
telah ditetapkan tidak dapat diberlakukan secara merata. Frankel mengusulkan
perlu adanya pertimbangan dari beberapa variabel lain untuk menunjang
penetapan target serta batas waktu penurunan emisi berupa pendapatan suatu
negara, jumlah penduduk, sejarah sumbangsih emisi dan, sumber daya yang
terbarukan.249 Pola seperti ini akan menghasilkan 2 (dua) bentuk pendekatan
secara sekaligus yaitu dalam jangka pendek mampu menghadirkan penentuan
target secara progresif sedangkan dalam jangka panjang dapat menjadi
pendekatan emisi per kapita suatu negara yang dapat mengakomodir kepentingan
keadilan dari negara berkembang.250
Kedua, pemberlakuan secara domestik dari kebijakan perubahan iklim
baik secara regulasi maupun institusi. Beberapa akademisi dan pemerhati hukum
internasional mengamati bahwa prinsip kedaulatan yang dimiliki oleh sebuah
negara kerap kali menjadi penghalang dalam pelaksanaan komitmen
internasional. Pelaksanaan kebijakan – kebijakan seperti model di atas atau yang
dikenal dengan pendekatan top down approach seringkali menemui benturan
248 Dalam Protokol Kyoto ditentukan bahwa target penurunan emisi yang harus dilakukan oleh
negara – negara yang terdapat dalam Annex I sebanyak 5% dalam jangka waktu 2008 – 2012. Lihat
pengaturan Pasal 3 ayat (1) Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate
Change.
249 Lihat J. Frankel, “Formulas for Quantitative Emission Targets,” dalam J. E. Aldy and R. N.
Stavins, eds., Architectures for Agreement: Addressing Global Climate Change in the Post-Kyoto World
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2007, hlm. 45.
250 Lihat R. Lutter, “Developing Countries’ Greenhouse Emissions: Uncertainty and Implications
for Participation in the Kyoto Protocol,” The Energy Journal 21, 2000., hlm. 100.
205
saat berhadapan dengan kekuatan institusi serta regulasi pada tingkat domestik.
Untuk menjawab kebuntuan ini, David Victor mengusulkan perlu adanya suatu
kebijakan yang berbasis pada Climate Club’s yang beranggotakan beberapa
negara penting dengan kepentingan dari negara tersebut.251 Victor memberikan
contoh usulan dari Paul Martin’s selaku Perdana Menteri Kanada yang
mengusulkan kelompok negara L 20 yang beranggotakan 20 (dua puluh) negara
industrialis dan 20 (dua puluh) negara berkembang.252 Dalam skema yang
ditawarkan pada Proposal L 20 ini negara – negara beserta sepakat untuk
membuka kesempatan untuk saling bertransaksi dalam bidang lingkungan, energi
dan finansial.253 Konsep yang ditawarkan oleh L 20 ini memiliki paling tidak 3
(tiga) keunggulan dibandingkan dengan mekanisme yang hadir saat ini. Pertama,
mekanisme dalam L 20 akan memperkenalkan prinsip – prinsip baru yang
diusung guna menanggulangi isu perubahan iklim.254 Kedua, mekanisme dalam
L 20 akan menyuguhkan beberapa kemungkinan model trade off terkait dengan
251 Lihat D. G. Victor, “Fragmented Carbon Markets and Reluctant Nations: Implications for the
Design of Effective Architectures,” dalam Aldy and Stavins eds., Architectures for Agreement: Addressing
Global Climate Change in the Post-Kyoto World Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2007,
hlm. 135. Lihat pula Checkel, Jeffrey., “International Norms And Domestic Politics: Bridging The
Rationalist Constructivist Divide’, European Journal of International Relations, 3:4, 1997., hlm. 480.
252 Pembahasan secara lebih mendalam mengenai eksistensi serta rencana – rencana dari
kelompok L 20 dapat dilihat antara lain dalam David G. Victor, Barry Carin and Margaret Winterkorn-
Meikle., “Climate Change at the L20 ? Overview of the Issues”., Post-Kyoto Architecture: Toward an
L20?, Commissioned Briefing Notes for the CIGI/CFGS L20 Project. September 20-21, 2004 New York
City., hlm. 25. Lihat pula Nigel Purvis., “Climate Change and the L20 Options for Non-Emission Target
Commitments”., Commissioned Briefing Notes for the CIGI/CFGS L20 Project. September 20-21, 2004
New York City., hlm. 14.
253 Lihat David G. Victor, Barry Carin dan Margaret Winterkorn-Meikle., “Climate Change at
the L20 ? Overview of the Issues”., hlm. 26.
254 Ibid.
206
target penurunan emisi serta instrumen pencapaiannya255 dan Terakhir, L 20
akan fokus pada bentuk kegiatan yang banyak melibatkan negara – negara
berkembang di dalamnya sebagai suatu bentuk yang lebih efektif dalam
menanggulangi isu perubahan iklim.256
Beberapa tawaran baru yang dikemukakan oleh kelompok L 20 ini
menyentuh 3 (tiga) prinsip perubahan utama. Pertama, dalam argumentasi
kelompok L 20 ini mengatakan bahwa isu perubahan iklim hadir dalam bentuk
kandungan emisi yang bercampur baik yang dihasilkan negara maju maupun
negara berkembang. Oleh karena itu perlu kiranya memperluas kewajiban bagi
negara anggota L 20 sehingga dapat memberikan kontribusi lebih terhadap usaha
perbaikan iklim.257 Kedua, pemahaman dalam rangka melakukan upaya
perbaikan iklim ini harus bertitik tumpu pada upaya perbaikan jangka panjang
terhadap kondisi iklim yang ada. Masih belum jelasnya dampak serta kurun
waktu kerugian yang akan dihasilkan dari perubahan iklim membuat berbagai
bentuk regulasi terkait menjadi tidak memiliki acuan yang jelas. Penggunaan
kalimat “prevent[ing] dangerous anthropogenic interference with the climate
system” membuat masyarakat saat ini hanya sadar bahwa hal tersebut berbahaya
namun belum jelas waktu dan bentuknya.258 Terakhir, konsep yang ditawarkan L
20 merujuk pada hadirnya bentuk mekanisme pembiayaan yang tepat. Seringkali
255 Ibid.
256 Ibid., hlm. 28
257 Ibid.
258 Ibid.
207
sebuah biaya yang dikenakan kepada entitas yang berkewajiban untuk
menurunkan emisi justru tidak berdampak karena sesungguhnya biaya ini akan
mencerminkan kemampuan untuk membayar subyek yang diatur. Ketiga prinsip
ini dipercaya akan mengikatkan kewajiban lebih banyak pada tataran
domestik.259
Pendapat ini pun didukung oleh Warwick McKibbin yang mengatakan
bahwa dengan mengedepankan kerjasama pada tingkat domestik akan
memudahkan dari negara-negara pada tingkat lokal untuk melakukan kreatifitas
dalam target penurunan emisi yang tidak hanya semata-mata terikat pada
ketentuan internasional.260
Ketiga, modifikasi upaya mitigasi dengan mengedepankan efektifitas
penurunan emisi gas rumah kaca. Pendekatan dengan berbasis top down
sebagaimana dituangkan dalam paragraf di atas dapat dilihat bukan hanya tidak
akan berjalan efektif namun juga tidak memberikan insentif bagi para negara
peserta. Scott Barrett misalnya, mengusulkan pendekatan yang disebutnya
sebagai Multi-Track Approach.261 Bentuk pendekatan ini berintikan bahwa
dalam rangka melakukan upaya mitigasi pasca 2012 secara efektif, perlu adanya
259 Ibid., hlm. 29.
260 Lihat W. J. McKibbin and P. J. Wilcoxen, “A Credible Foundation for Long Term
International Cooperation on Climate Change,” dalam J. E. Aldy and R. N. Stavins, eds., Architectures for
Agreement: Addressing Global Climate Change in the Post-Kyoto World Cambridge, UK: Cambridge
University Press, 2007, hlm. 201. Lihat pula Cortell, Andrew P and James WDavis, Jr., “How Do
International Institutions Matter? The Domestic Impact Of International Rules And Norms’, International
Studies Quarterly, 40:4, 1996., hlm. 465.
261 Lihat S. Barrett, “A Multi-Track Climate Treaty System,” dalam Aldy and Stavins, eds.,
Architectures for Agreement: Addressing Global Climate Change in the Post-Kyoto World Cambridge,
UK: Cambridge University Press, 2007, hlm. 249 . Lihat pula Cary Coglianese dan
Jocelyn D'Ambrosio., “Policymaking Under Pressure: The Perils Of Incremental Responses To Climate
Change”., Connecticut Law Review July, 2008, Vol. 40.., hlm. 4158.
208
pendekatan upaya penurunan emisi yang digabungkan dengan metode-metode
lain seperti pembujukan kepada negara berkembang. Barrett mengusulkan bahwa
perlu adanya pengaturan dalam kelanjutan protokol yang berbasis penggalangan
dana untuk melakukan transfer teknologi tanpa harus mengikat negara
berkembang untuk melakukan proyek tertentu.262 Hal senada juga diungkapkan
oleh William Pizer yang mengusung pendekatan Pledge and Review.263 Dalam
model yang diusulkan oleh Pizer ini berbasis pada pendekatan moral yang
mengartikan insentif sebagai nama baik yang diperoleh suatu negara dan
disinsentif sebagai bentuk yang memalukan (shaming) oleh suatu negara.264
Konsep ini akan melakukan mekanisme pengawasan terhadap komitmen yang
telah ditentukan. Namun perbedaan mencolok dalam model komitmen ini adalah
tidak adanya keterikatan dari komitmen tersebut dan tidak adanya batas
minimum dari komitmen yang hendak dibuat. Walaupun secara yuridis hal ini
rentan untuk adanya cidera janji, namun dengan dukungan komunal yang kuat
dalam komunitas internasional maka upaya mitigasi akan berjalan efektif.265
Secara normatif salah satu langkah terkini terkait komitmen mitigasi dari
perubahan iklim terlihat dari dimungkinkannya untuk negara – negara Non
262 S. Barrett, “The Incredible Economics of Geoengineering,” Environmental and Resource
Economics 39, 2008., hlm.50.
263 Lihat W. A. Pizer, “Practical Global Climate Policy,” dalam Aldy and Stavins, eds.
Architectures for Agreement: Addressing Global Climate Change in the Post-Kyoto World Cambridge,
UK: Cambridge University Press, 2007, hlm. 301.
264 Lihat pembahasan mengenai dasar dari pendekatan ini dalam Abbott, Kenneth and Duncan
Snidal., “Hard And Soft Law In International Governance”, International Organization, 54:3, 2000., hlm.
435. Lihat pula Andresen, Steinar and Shardul Agrawala., “Leaders, Pushers And Laggards In The
Making Of The Climate Regime”, Global Environmental Change, 12:1, 2002., hlm. 45.
265 Paula J. Dobriansky & Vaughan C. Turekian., “Climate Change and Copenhagen: Many Paths
Forward, Survival”., Global Politics and Strategy, 2009., volume, hlm. 26.
209
Annex untuk turut serta. Berawal dari pertemuan COP 13 di Bali, para negara
anggota sepakat bahwa dalam kurun waktu 2 tahun setelah pertemuan di Bali
maka perlu ditetapkan secara pasti terkait dengan upaya mitigasi, adaptasi dan
mekanisme lainnya terkait pasca periode komitmen pertama dari Protokol Kyoto
(2008 – 2012).266
Namun, pada saat waktu yang telah ditentukan dengan
diberlangsungkannya COP 15 di Copenhagen para pemimpin yang hadir dalam
forum tersebut gagal untuk mencari titik temu terkait formulasi pasca periode
komitmen pertama. Perundingan yang berlangsung di Denmark ini dapat
dikatakan menemui jalan buntu dan tidak mampu untuk menyepakati sebuah
komitmen penurunan emisi secara pasti. Copenhagen Accord sebagai produk
yang dihasilkan dari COP ini pun hanya memberikan ikatan politik bagi negara –
negara peserta.267
Eskalasi selanjutnya hadir pada saat diadakannya COP 16 di Cancun
yang mencoba membawa negara – negara berkembang untuk turut serta dalam
upaya perbaikan iklim. Pada dokumen Cancun Agreement, diperkenalkan sebuah
sistem mitigasi untuk negara berkembang yang dikenal dengan Nationally
……………………
266 Lihat The Bali Roadmap Address to Closing Plenary By His Excellency Mr. Rachmat
Witoelar, President, Un Climate Change Conference., Closing of Joint High-Level Segment Bali, 15
December 2007.
267 Lihat Report of the Conference of the Parties on its fifteenth session, held in Copenhagen from
7 to 19 December 2009 Addendum Part Two: Action taken by the Conference of the Parties at its fifteenth
session., FCCC/CP/2009/11/Add.1 30 March 2010
210
Appropriate Mitigation Actions (NAMA’s). Komitmen mitigasi ini terbagi dalam
3 (tiga) model utama yaitu268 :
Pertama, Unilateral NAMAs yang merupakan aksi mitigasi oleh negara
berkembang secara mandiri untuk mencapai tingkat penurunan emisi GRK
tertentu tanpa dukungan internasional (negara lain) berdasarkan kerangka kerja
UNFCCC. Pembiayaan NAMAs jenis ini berasal dari sumber keuangan dalam
negeri dan menitikberatkan kepada penghematan biaya dan pelaksanaan langkah
mitigasi dengan biaya murah untuk per-ton karbon, terutama bagi aksi yang
secara khusus menargetkan opsi ‘no regret’ atau memiliki biaya negatif.
Kedua, Supported NAMAs yaitu aksi mitigasi dari negara berkembang
dengan dukungan langsung dari negara maju sebagai aksi mitigasi yang
didukung secara internasional berdasarkan kerangka kerja UNFCCC. Supported
NAMAs sendiri terdiri dari pilihan aksi mitigasi yang membutuhkan biaya
sedang hingga biaya tinggi. Akan tetapi, hasil dari aksi penurunan emisi tersebut
tidak dapat diperdagangkan di pasar karbon dengan negara lainnya untuk
memenuhi komitmen mereka.
Terakhir, Credited NAMAs yaitu aksi mitigasi negara berkembang yang
menghasilkan kredit karbon untuk dijual di pasar karbon yang akan digunakan
sebagai kompensasi (offset) untuk penurunan emisi GRK di negara maju.
Beberapa contoh Credited NAMAs antara seperti Clean Development
Mechanism (CDM / Mekanisme Pembangunan Bersih), proyek pasar karbon
268 Lihat Report of the Conference of the Parties on its sixteenth session, held in Cancun from 29
November to 10 December 2010 Addendum Part Two: Action taken by the Conference of the Parties at its
sixteenth session., FCCC/CP/2010/7/Add.1 terdapat dalam situs
http://unfccc.int/resource/docs/2010/cop16/eng/07a01.pdf diakses pada tanggal 1 Juli 2013.
211
secara sukarela, mekanisme kompensasi bilateral (BOM) atau kegiatan lainnya
yang menghasilkan kredit karbon.
Terkait dengan komitmen penurunan emisi dari negara – negara maju,
dalam Cancun Agreement disepakati bahwa eksistensi dari Protokol Kyoto masih
akan berjalan dengan hadirnya komitmen baru yang akan berlaku pasca 2012
sebagaimana dinyatakan bahwa “
“In the second commitment period the base year shall be
1990, or the base year or period determined in accordance
with Article 3, paragraph 5, of the Kyoto Protocol, for the
purpose of calculating assigned amounts; in addition, a
reference year may be used by a Party on an optional basis
for its own purposes to express its quantified emission
limitation and reduction objectives as a percentage of
emissions of that year, that is not internationally binding
under the Kyoto Protocol, in addition to the listing of its
quantified emission limitation and reduction objectives in
relation to the base year”
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa terdapat sebuah keinginan dari
negara –maju untuk tetap melakukan langkah penurunan emisi namun tidak
mengikat secara kurun waktu sebagaimana diatur dalam periode komitmen
pertama dari Protokol Kyoto.
Dalam tahapan ini pula timbul saran untuk menghadirkan sebuah
instrumen baru dalam rangka melakukan usaha perbaikan iklim dengan model
dan metode yang lebih jelas dan target yang terukur. Negara – negara yang
mengusung model ini antara lain Rusia, Jepang dan Selandia Baru. Selain itu
juga muncul pengajuan untuk tetap menggunakan mekanisme Protokol Kyoto
namun dengan waktu pelaksanaan yang diperpanjang.
212
Tahapan selanjutnya dalam pertemuan COP 17 di Durban para pihak
yang hadir bersepakat bahwa terkait dengan perubahan iklim perlu adanya
sebuah instrumen hukum internasional yang mengikat paling lambat tahun 2015.
Mengenai hal ini negara – negara berkembang tetap menyuarakan bahwa
hadirnya instrumen tersebut tidak menghilangkan hak untuk membangun dari
negara berkembang. Bahkan India secara eksplisit mengatakan bahwa isu
keadilan iklim harus menjiwai instrumen hukum internasional yang akan hadir
tersebut.269
Terkait dengan upaya mitigasi, beberapa negara yang hadir dalam
pertemuan tersebut sepakat untuk melanjutkan periode kedua untuk Protokol
Kyoto. Namun sayangnya, hal ini hanya didukung oleh minoritas negara –
negara peserta. Tercatat hanya 38 dari 192 negara yang menyetujui kesepakatan
memperpanjang umur dari Protokol Kyoto. Konsekuensi dari perpanjangan ini
adalah negara yang setuju diwajibkan untuk menyetorkan Quantified Emission
Limitation and Reduction Objectives (QELROs) sebagai dasar perhitungan
sebelum 1 Mei 2012. Namun ironisnya beberapa negara yang ikut dalam periode
komitmen pertama tidak mengikuti komitmen lanjutan ini seperti Jepang,
Kanada dan Rusia. Bahkan dalam perkembangannya, Kanada menyatakan
mengundurkan diri dari skema Protokol Kyoto.270
269 Lihat Establishment of an Ad Hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced
Action.
270 Langkah Kanada ini sempat mengejutkan para anggota dari Protokol Kyoto karena merupakan
negara pertama yang menggunakan haknya untuk mundur dari Protokol Kyoto. Dalam statement nya,
Menteri Lingkungan Kanada mengatakan bahwa skema penurunan emisi dalam Protokol Kyoto tidak
efisien bagi negaranya oleh karenanya Kanada menarik keikutsertaannya dari Protokol Kyoto. Lihat dalam
http://www.bbc.co.uk/news/world-us-canada-16151310, diakses tanggal 25 November 2012.
213
Dalam perkembangan terkini, Australia sudah menyatakan bergabung
dengan kelompok yang menyetujui perpanjangan periode komitmen pertama dari
Protokol Kyoto. Sedangkan Selandia Baru secara eksplisit sudah menyatakan
tidak turut dalam komitmen periode kedua dari Protokol Kyoto dan akan
menunggu keputusan dari Cina dan Amerika Serikat selaku penyumbang
terbesar dari perubahan iklim yang kemudian akan membentuk sebuah perjanjian
tersendiri yang lebih efektif.271
COP terakhir untuk periode komitmen pertama Protokol Kyoto dalam
perundingan perubahan iklim berlangsung di Doha, Afrika Selatan. Besar
harapan banyak pihak bahwa dalam COP kali ini memberikan kejelasan
mengenai umur dari komitmen Protokol Kyoto, mengingat ini merupakan tahun
terakhir. Namun bukannya menjawab ambisi penyelamatan iklim tersebut,
beberapa negara justru mengambil langkah yang berseberangan. Dua negara
maju, sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, Kanada
dan Amerika Serikat menyatakan keluar dari Protokol Kyoto. Sementara tiga
negara maju lainnya, Rusia, Jepang dan Selandia Baru memutuskan tetap
menjadi anggota Protokol Kyoto namun tidak berkomitmen untuk menurunkan
emisi. Selebihnya, 37 negara maju dan Uni Eropa menyepakati pelaksanaan
periode kedua selama 8 tahun pelaksanaan Protokol Kyoto, terhitung mulai 1
271 Australia mengambil langkah seperti ini karena mereka berharap akan mendapatkan banyak
dana dari mekanisme Clean Development Mechanism pasca periode komitmen pertama dari Protokol
Kyoto. Sedangkan Selandia Baru menyatakan akan bergabung dalam sebuah perjanjian tersendiri dengan
Cina dan Amerika Serikat pasca periode komitmen pertama. Lihat dalam
http://www.reuters.com/article/2012/11/09/kyoto-climate-australia-newzealand-
idUSL3E8M90S620121109., diakses pada tanggal 25 November 2012.
214
Januari 2013. Keseluruhan nilai emisi karbon negara-negara ini adalah sekitar
20% atau kurang dari seluruh emisi karbon dunia.272
3.5. Pendekatan Berbasis Top Down
Salah satu bentuk awal pengikatan terhadap negara – negara dalam
rangka penanggulangan perubahan iklim pada awalnya dimulai dengan
mekanisme pendekatan berbasis top down. Model seperti ini diusung dalam
Protokol Kyoto dalam kurun waktu yang telah ditentukan untuk komitmen
periode pertama (2008 – 2012) dengan menentukan pula target yang hendak
dicapai. Konstruksi Top Down Approach seperti ini sudah dapat terlihat saat
diadakannya pertemuan Conference Of the Parties (COP) 1 di Berlin pada tahun
1995 para negara yang hadir sepakat untuk menegosiasikan beban penurunan
emisi yang harus dilakukan. Luaran dari pertemuan ini menghasilkan target
penurunan emisi yang kemudian dikenal dengan Quantitative Emission
Limitation and Reduction Objectives (QELROs) bagi negara – negara yang
masuk dalam kelompok Annex.273
Dalam hasil dari pertemuan COP 1, proses negosiasi dibiarkan dinamis
terhadap masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu target penurunan emisi
yang hendak dicapai masih belum mengikat pada awalnya karena lebih dimaknai
272 Lihat Pernyataan Resmi dari UNFCC sebagaimana termuat dalam Doha amendment to the
Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention
on Climate Change terdapat dalam situs
http://unfccc.int/kyoto_protocol/doha_amendment/items/7362.php diakses pada tanggal 1 Februari 2013.
273 Lihat Conference of the Parties of the United Nations Framework Convention on Climate
Change, First Session, Berlin, Ger., Mar. 28-Apr. 7, 1995, Report of the Conference of the Parties on its
First Session, Held at Berlin from 28 March to 7 April 1995, at 4-6, U.N. Doc. FCCC/CP/1995/7/Add.1
215
sebagai salah satu instrumen pencapaian tujuan UNFCCC yang telah
dirumuskan. Namun pada pertemuan COP selanjutnya pada tahun 1996,
Amerika Serikat menyetujui usulan dari Uni Eropa bahwa target penurunan
emisi harus mengikat secara hukum agar memberikan kepastian pencapaian
target yang dituangkan dalam UNFCCC. 274
Salah satu keunggulan dari mekanisme yang terdapat dalam Protokol
Kyoto adalah fleksibilitas terhadap upaya pemenuhan komitmen. Skema dalam
Protokol Kyoto dapat dikatakan tidak memiliki prasyarat yang ketat terkait upaya
pemenuhan komitmen yang diwajibkan. Dalam skema Protokol Kyoto, masing –
masing negara diberikan kedaulatan untuk memilih instrumen pencapaian
komitmennya melalui pertimbangan biaya dan target pencapaian yang lebih
mudah.275
Walaupun Protokol Kyoto memberikan keleluasaan terkait dengan
pemenuhan komitmen masing – masing negara, namun pilihan instrumen yang
disediakan serta besaran dari kewajiban masing – masing negara terikat secara
pasti. Bahkan terkait dengan hal ini Protokol Kyoto menyediakan hanya satu
jenis terkait dengan pemenuhan komitmen internasional yang wajib dilakukan
274 Lihat Conference of the Parties of the United Nations Framework Convention on Climate
Change, Second Session, Geneva, Switz., July 8-19, 1996, Report of the Conference of the Parties on its
Second Session, Held at Geneva from 8 to 19 July 1996, at 70, 73, U.N. Doc. FCCC/CP/1996/15/Add.1
275 Hal inilah yang kemudian dikenal dengan Flexible Mechanism dalam skema penurunan emisi
dalam Protokol Kyoto. Adapun instrumen yang tersedia meliputi Emission Trading, Joint Implementation,
Clean Development Mechanism. Adapun penjelasan terhadap masing – masing skema penurunan emisi
akan dijelaskan dalam sub bab setelah ini.
216
terlepas dari kondisi ekonomi nasional dan perubahan prioritas nasional dari gas
– gas yang termasuk dalam kriteria gas rumah kaca yang telah ditetapkan.276
Namun model pendekatan berbasis Top Down seperti ini mendapatkan
kritik saat negara – negara yang diatur di dalamnya pada akhirnya tidak taat
terhadap komitmen yang telah ditentukan. Walaupun masing – masing negara
terkait dengan target pencapaian masing – masing, namun pada akhirnya tidak
tercapai.277 Dalam konteks Protokol Kyoto hal ini disebabkan oleh 3 (tiga) hal
yaitu Pertama, pelaku kontributor emisi besar dunia seperti Amerika Serika dan
Cina tidak mengikuti skema penurunan emisi yang ditawarkan dalam Protokol
Kyoto. Hal ini tentu berdampak pada keengganan dari negara – negara lain saat
mengetahui tindakan mereka tidak memberikan sumbangsih berarti. Kedua,
penentuan target penurunan emisi yang tidak didasari oleh keinginan masing –
masing negara melalui pendekatan yang bersifat unilateral sehingga lebih
didasari oleh legitimasi hukum internasional dan mengabaikan kepentingan
nasional dalam mencapai tujuan dan Terakhir, sanksi yang diberikan kepada
negara yang tidak mampu memenuhi targetnya tidak diikuti oleh keberlakuan
yang mengikat pada periode komitmen yang selanjutnya.
276 Lihat perumusan Pasal 3 dan Pasal 12 Kyoto Protocol to the United Nations Framework
Convention on Climate Change.
277 Secara umum kegagalan dari mitigasi perubahan iklim yang ada dalam Protokol Kyoto
disebabkan oleh tidak ikut sertanya penyumbang emisi besar di dunia seperti Amerika Serikat dan Cina.
Bahkan dalam publikasi majalah The Economist pada tahun 2011 secara jelas dikatakan bahwa “If cutting
global carbon emissions was [the Kyoto Protocol's] aim, the UN scheme has failed.”. Lihat UN Climate
Talks: Pretty Basic, Economist, Sept. 3, 2011.
217
3.6. Pendekatan Berbasis Bottom Up
Terlepas dari kehadiran Protokol Kyoto sebagai awal dari instrumen
internasional yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat, beberapa
keterbatasan dari Protokol Kyoto terutama terkait dengan komitmen mitigasi
hadir paling tidak dari 2 (dua) hal utama. Pertama, negara – negara peserta dari
Protokol Kyoto hanya menginginkan kontribusi mitigasi kurang dari 30% dari
total gas rumah kaca yang ada.278 Kedua, target penurunan emisi dalam skema
Protokol Kyoto hanya memberikan jaminan keberlakuan untuk jangka waktu
pendek yaitu 2008 – 2012. Sedangkan target mitigasi untuk jangka waktu 2013
dan setelahnya belum dirundingkan hingga kini.
Dalam proses perumusan komitmen di Protokol Kyoto pada tahun 1997
sendiri negara – negara menghabiskan waktu yang tidak sedikit. Paling tidak
butuh waktu 4 (empat) tahun untuk dapat merumuskan sebuah mekanisme
penurunan emisi serta instrumen yang dapat digunakan oleh negara – negara
yang masuk dalam kelompok Annex dan mulai berlaku pada tahun 2005.279
Namun segera setelah mekanisme penaatan dengan opsi instrumen yang tersedia
terbentuk, perhatian dari negara – negara tertuju pada permasalahan yang timbul
pasca komitmen periode pertama dari Protokol Kyoto. Beberapa isu yang
menjadi pembicaraan pada saat itu antara lain terkait jangka waktu dari Protokol
278 Gambaran ini berdasar dari World Resource Institute's Climate Analysis Indicator Tool
(CAIT), yang melakukan kompilasi emisi global dan nasional. Lihat dalam http://cait.wri.org/ diakses
pada tanggal 1 Agustus 2013.
279 Mekanisme ini diatur lebih lanjut dalam Conference of the Parties of the United Nations
Framework Convention on Climate Change, Seventh Session, Marrakesh, Morocco, Oct. 29-Nov. 10,
2001, Report of the Conference of the Parties on its Seventh Session, Held at Marrakesh from 29 October
to 10 November, 2001, U.N. Doc. FCCC/CP/2001/13
218
Kyoto yang akan berakhir pada tahun 2012 serta skema seperti apa yang tersedia
dalam post Kyoto terutama dengan belajar dari pendekatan berbasis Top Down
yang ada dalam Protokol Kyoto.280 Termasuk perdebatan terkait dengan perlunya
keikutsertaan dari negara – negara berkembang dalam upaya bersama melakukan
tindakan mitigasi pada rezim pasca Protokol Kyoto.281
Salah satu terobosan dalam perundingan komitmen pasca periode
komitmen pertama dari Protokol Kyoto dimulai pada saat diadakan perundingan
di Copenhagen, Denmark. Pertemuan pada tahun 2009 ini menjadi titik
pengharapan banyak pihak guna mendapatkan format kesepakatan untuk periode
komitmen kedua dari Protokol Kyoto. Dalam pertemuan COP 15 tersebut negara
– negara sudah mulai merumuskan langkah awal strategi pelaksanaan mitigasi
pasca periode komitmen pertama. Kegagalan pencapaian tujuan dari periode
komitmen pertama membuat para peserta COP berunding untuk skema alternatif
yang dapat lebih efektif. Atas dasar tersebut perundingan yang dihadiri oleh
beberapa pemimpin negara strategis dalam negosiasi perubahan iklim seperti
…………
280 Dalam perumusan Pasal 3 angka 9 dari Protokol Kyoto dinyatakan bahwa ““[c]ommitments
for subsequent periods for Parties included in Annex I shall be established in amendments to Annex B to
this Protocol”. Hal ini membuka kemungkinan untuk adanya peninjauan kembali masa daluwarsa dari
Protokol Kyoto beserta instrumen yang digunakan di dalamnya.
281 Mengenai hal ini dapat dilihat usulan dari Daniel Bodansky terkait beberapa argumentasi dan
skema keikutsertaan dari negara berkembang dalam periode komitmen kedua pasca Protokol Kyoto. Lihat
dalam Daniel Bodansky, Legal Form of a New Climate Agreement: Avenues and Options, terdapat dalam
situs http://www.c2es.org/docUploads/legal-form-of-new-climate-agreement-paper.pdf diakses 1 Agustus
2013.
219
Amerika Serikat, Cina, India, Brazil, Afrika Selatan, Jepang, Inggris, Perancis
dan Jerman berupaya untuk memberikan harapan yang lebih nyata.282
Namun, keinginan terbentuknya sebuah konstruksi hukum baru untuk
strategi mitigasi pasca periode komitmen pertama tidak tercapai. Sumbangsih
yang diberikan oleh Copenhagen Accord dalam rezim hukum perubahan iklim
mengusung secara jelas model pendekatan yang berada pada posisi diametral
dengan Protokol Kyoto yaitu berbasis Bottom Up. Skema yang ditawarkan oleh
Copenhagen Accord adalah kebebasan dari setiap negara untuk dapat
menentukan komitmen secara unilateral. Hal ini berbasis pada tujuan yang
dituangkan dalam Copenhagen Accord yaitu untuk menjaga kenaikan suhu yang
tidak menyentuh tingkatan 2° Celcius.283
Untuk negara maju diberikan kebebasan untuk dapat menentukan jangka
waktu baru sampai dengan tahun 2020 namun dengan baseline masing – masing
negara termasuk pola perhitungan serta target yang akan dicapai. Sedangkan
untuk negara berkembang dibebaskan untuk dapat meregistrasikan Nationally
Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) sebagai landasan komitmen yang akan
dirumuskan.284
Salah satu keunggulan dari model Bottom Up ini adalah memberikan
kemandirian suatu negara dalam mencapai tujuan perlindungan sistem iklim
282 Lihat Conference of the Parties of the United Nations Framework Convention on Climate
Change, Fifteenth Session, Copenhagen, Denmark, Dec. 7-19, 2007, Report of the Conference of the
Parties on its Fifteenth Session, Held in Copenhagen from 7 to 19 December 2009, at 4-7, U.N. Doc.
FCCC/CP/2009/11/Add.1
283 Ibid.
284 Ibid.
220
berdasarkan kapasitas dan kapabilitas negara tersebut masing – masing. Tujuan
internasional tersebut akan semakin mudah untuk diraih saat hukum
internasional tidak lagi hanya memberikan suatu aturan yang harus dilakukan
oleh suatu negara secara satu arah, namun lebih kepada memberikan mencoba
untuk memberikan penguatan kepada kebijakan pada tataran domestik terkait
dengan isu perubahan iklim.
Sedangkan kelemahan dari model seperti ini adalah perlu adanya
perhitungan secara ilmiah yang rigid terkait dengan tujuan yang hendak dicapai,
karena kemandirian suatu negara dalam menentukan komitmen tentu akan
mempengaruhi keberhasilan pencapaian tujuan yang dimaksud. Oleh karena itu
saran dari penulis perlu adanya batas ambang bawah atau minimum dalam model
bottom up seperti ini.
3.7. Pendekatan Berbasis Multi Track
Belajar dari kegagalan yang ada dalam Protokol Kyoto, maka model
pendekatan berbasis Top Down dianggap belum memberikan nilai keadilan dan
efektivitas secara sempurna. Sebaliknya, model pendekatan berbasis Bottom Up
yang diusung dalam skema Copenhagen Accord membuat tujuan dari mencegah
kenaikan suhu 2° Celcius sangat mungkin untuk tidak tercapai. Salah satu opsi
yang hadir dalam rangka menjawab kebuntuan 2 (dua) skema di atas, Multi
Track dianggap mencoba memberikan opsi yang mengedepankan nilai keadilan
dan efektivitas.
221
Dalam skema Multi Track setiap negara diberikan keleluasaan untuk
dapat mengajukan komitmen yang baik didasari oleh perjanjian yang bersifat
multilateral maupun perjanjian yang berbasis unilateral. Cakupan dari Multi
Track ini pun beragam yang tidak hanya mengatur terkait jumlah penurunan
emisi, namun juga dapat menyentuh tataran yang lebih spesifik terkait sumber
emisi tertentu satu sama lain seperti emisi yang bersumber dari kendaraan
bermotor dan sebagainya. Selain itu setiap negara juga diberikan kesempatan
yang seluas – luasnya untuk dapat melakukan kerjasama dalam berbagai bidang
guna menghadirkan sistem iklim yang lebih baik semisal melalui transfer
teknologi, kerjasama finansial, penelitian dan pengembangan hingga adaptasi.285
Bersandar pada ragam model komitmen pada berbagai sektor dan
cakupan di atas, Bodanksy dan Diringer menegaskan bahwa seluruhnya perlu
terintegrasi pada satu tujuan yang disebut dengan “common framework”. Hal ini
lah yang akan menjadi pembatas paling luar dari perjanjian yang akan dibentuk
yang terkandung makna integrated di dalamnya. Oleh karena itu pada tataran
minimum keseluruhan komitmen pada hakikatnya masih berada pada satu tujuan
semata dan para negara peserta telah menyepakati aturan main untuk masuk
dalam lingkup Multi Track ini.286
Bodanksy dan Diringer menekankan pentingnya unsur integrasi dalam
mengawal pendekatan berbasis Multi Track ini. Terdapat 3 (tiga) alasan utama
pentingnya terkait hal ini.
285 Daniel Bodansky dan Elliot Diringer., “Towards An Integrated Multi Track Climate
Framework”., Prepared for the Pew Center on Global Climate Change., December 2007., hlm. 2.
286 Ibid.
222
Pertama, bersandar pada konsep integrasi baik negara maupun kelompok
negara memperoleh sebuah kepastian yang pada akhirnya akan meningkatkan
unsur resiprositas dari masing – masing negara. Dalam bentuk ini setiap negara
akan memperoleh insentif untuk melakukan lebih pada saat dirinya mengetahui
bahwa negara lain juga melakukan hal yang sama dalam sektor serupa. Oleh
karena itu tindakan komitmen dari sebuah negara secara tidak langsung juga
memberikan dampak kepada negara lain untuk bertindak serupa sepanjang diikat
dalam sebuah integrasi yang baik.287
Selanjutnya, dalam skema yang terdapat dalam Multi Track yang
terintegrasi dimungkinkan adanya efisiensi yang melibatkan banyak pihak.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam Protokol Kyoto perjanjian penurunan emisi
hanya terjadi dalam lingkup negara Annex semata hal ini tentu hanya akan
memberikan efisiensi bagi negara – negara tertentu saja. Konsep yang
ditawarkan oleh Multi Track mencoba untuk memberikan dampak kepada negara
berkembang pula untuk ikut serta dalam mencapai tujuan penurunan emisi
melalui instrumen ekonomi.288
Terakhir, model Multi Track yang terintegrasi akan memberikan
penguatan dari sisi konsistensi, koordinasi dan mekanisme penyelesaian sengketa
serta penegakan hukum di dalamnya. Hal ini tentu akan memicu negara peserta
untuk turut serta.289
287 Ibid., hlm.5.
288 Ibid.
289 Ibid.
223
Legitimasi dari keberadaan pendekatan berbasis Multi Track ini dalam
perspektif keadilan dan efektifitas oleh Bodanksy dan Diringer dianggap akan
lebih memenuhi harapan efektifitas dibandingkan kedua sebelumnya. Hal ini
didasari oleh beberapa skenario yang diusung dalam Multi Track, yaitu :
Pertama, berdasarkan komitmen yang diusung dalam Protokol Kyoto
negara – negara maju yang tergabung dalam kelompok Annex dituntut untuk
dapat melakukan pengurangan dalam kurun waktu 2008 – 2012. Namun hal ini
tidak didasari oleh suatu perhitungan yang tepat baik dari segi jumlah maupun
sektor penurunan emisi. Dalam konsep Multi Track negara peserta diberikan
keleluasaan untuk dapat melakukan negosiasi yang tidak terikat skema
penurunan emisi secara keseluruhan namun juga kerjasama per sektor sehingga
efektivitas lebih terjaga. Selain itu dalam konteks kurun waktu, para peserta juga
dapat mengusung waktu tersendiri yang lebih cepat. Dalam model ini diharapkan
penurunan emisi secara keseluruhan dapat lebih mudah tercapai dibandingkan
dengan menyerahkan tindakan penurunan emisi secara umum semata.290
Selanjutnya, masih dalam skema penurunan emisi yang ada dalam
Protokol Kyoto dengan instrumen Cap and Trade namun aktor yang mengikuti
mekanisme ini tidak hanya terbatas pada negara maju semata namun juga negara
berkembang. Hal ini mutlak untuk dilakukan dalam rangka pencapaian target
penurunan emisi secara efektif guna mengikutsertakan negara berkembang yang
290 Ibid., hlm.3
224
pada akhirnya akan berkontribusi pula terhadap kondisi emisi global yang telah
ada dalam beberapa dekade mendatang.291
Terakhir, skenario yang mengusung model awal dari skenario kedua di
atas dengan menekankan bahwa seluruh perjanjian yang berbasis Multi Track
hendaknya berujung pada konsep penurunan emisi secara signifikan. Dalam
model ini diharapkan usaha penurunan emisi dapat berimbas pada beberapa
derivasi keuntungan seperti penurunan emisi dari sumber non gas rumah kaca,
penciptaan lapangan kerja, pembangunan teknologi ramah lingkungan dan
keuntungan lainnya.292
Namun kritik terhadap model Multi Track ini justru hadir dalam
perspektif nilai keadilan. Merujuk pada Daniel C. Esty melihat bahwa
keberadaan dari Multi Track yang mewajibkan semua negara untuk melakukan
tindakan pengurangan emisi justru mencerminkan ketidakadilan. Konsep yang
diusung oleh Protokol Montreal sebelumnya ini ditentang oleh negara – negara
yang tidak berkontribusi terhadap penggunaan bahan – bahan berbasis atau
menghasilkan CFC’s. Selain itu, dalam konteks perubahan iklim bertentangan
pula dengan konsep Common But Differentiated Responsibility yang
menghendaki pertanggungjawaban secara proporsional dari pelaku yang
berkontribusi lebih dalam pencemaran internasional.293
291 Ibid.
292 Ibid.
293 Lihat Daniel C. Esty., “Beyond Kyoto: learning from the Montreal Protocol” dalam
Architectures for Agreement : Addressing Global Climate Change in the Post-Kyoto World., United
Kingdom : Cambridge University Press 2007., hlm. 266.
225
3.8. Flexible Mechanism sebagai Instrumen Mitigasi Perubahan Iklim
3.8.1. Perdagangan Emisi (Emission Trading)
Perhatian masyarakat internasional terhadap konteks perdagangan karbon
saat ini dalam pandangan ahli meningkat seiring resahnya manusia dengan
semakin terbuktinya fakta bahwa iklim saat ini telah berubah dan mengancam
kehidupan manusia.294 Bersandar pada keresahan tersebut, kehadiran instrumen
UNFCCC pada tingkatan internasional membuka peluang untuk diwujudkannya
suatu tindakan bersama dalam rangka melakukan tindakan mitigasi gas rumah
kaca dalam rangka mencapai tujuannya yaitu menstabilisasi iklim yang ada.295
Amanat dari UNFCCC ini pun akhirnya diturunkan dalam Protokol
Kyoto yang telah secara spesifik menyatakan bahwa negara – negara maju
mempunyai tugas untuk menurunkan 5% emisi gas rumah kaca pada kurun
waktu 2008 – 2012 bersandar pada basis tahun 1990.296 Mengetahui bahwa perlu
adanya instrumen nyata dari upaya mitigasi gas rumah kaca tersebut, Konferensi
294 Dalam hasil laporannya IPCC menyatakan bahwa telah terjadi perubahan peningkatan
konsentrasi gas rumah kaca dari era sebelum revolusi industri yang hanya berada pada tingkatan 280 ppm
menjadi 379 ppm pada tahun 2005. Lihat Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Summary
for Policy maker A Report of Working Group I Of The Intergovernmental Panel On Climate Change, In
Climate Change 2007: The Physical Science Basis, Fourth Assessment Report For The IPCC., hlm. 2
295 Lihat UNFCCC, “Essential Background: The United Nations Framework Convention on
Climate Change”, terdapat dalam situs http://unfccc.int/essential-background/convention/items/2627.php
diakses pada tanggal 10 Maret 2012.
296 Lihat perumusan Pasal 3 Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On
Climate Change.
226
Para Pihak yang diadakan untuk ketujuh297 sepakat untuk menggunakan
“flexible mechanism298” sebagai upaya mitigasi tersebut yang mencakup di
emission trading299, joint implementation300, clean development
mechanism301, dan joint-fulfillment.302
Perdagangan karbon pada dasarnya menekankan pada suatu bentuk
efisiensi dari tindakan mitigasi yang menjadi pilihan dari negara – negara yang
297 Lihat Conference of the Parties to the Convention on Climate Change, Oct. 29-Nov. 10, 2001,
Report of the Conference of the Parties on its Seventh Session, FCCC/CP/2001/13/Add.2 (Jan. 21, 2002).,
hlm. 2 – 3 yang menyatakan bahwa "The use of the mechanisms shall be supplemental to domestic action
and domestic action shall thus constitute a significant element of the effort made by each Party included
in Annex I to meet its quantified emission limitation and reduction commitment’s."
298 Flexible Mechanism ini sebenarnya dapat dikategorikan dalam 2 (dua) bentuk mekanisme
pasar yang berbeda, yaitu mekanisme pasar yang berbasis cap and trade yang berbasis pada jumlah emisi
yang harus diturunkan oleh suatu negara tertentu. Bersandar pada skema ini maka kelebihan jumlah
penurunan akan menjadi komoditas dari negara tersebut untuk menjual kelebihan emisinya kepada negara
lain atau yang dikenal dengan emission trading. Mekanisme kedua adalah mekanisme yang bersandar
pada proyek – proyek yang dilakukan oleh negara yang dibebani kewajiban untuk melakukan penurunan
emisi, namun dapat dilakukan dengan mekanisme proyek – proyek yang dilakukan di luar negara yang
wajib menurunkan emisi seperti keberadaan instrumen Clean Development Mechanism. Untuk
pembahasan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Christopher Carr And Flavia Rosembuj., “Flexible
Mechanisms For Climate Change Compliance: Emission Offset Purchases Under The Clean Development
Mechanism”., New York University Environmental Law Journal., Vol. 16., 2008., hlm. 44.
299 Lihat perumusan Pasal 17 Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On
Climate Change yang menyatakan bahwa “The Parties included in Annex B may participate in emissions
trading for the purposes of fulfilling their commitments under Article 3”
300 Lihat perumusan Pasal 6 Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On
Climate Change yang menyatakan bahwa “For the purpose of meeting its commitments under Article 3;
any Party included in Annex I may transfer to, or acquire from, any other such Party emission reduction
units resulting from projects aimed at reducing anthropogenic emissions by sources or enhancing
anthropogenic removals by sinks of greenhouse gases in any sector of the economy....”
301 Lihat perumusan Pasal 12 Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On
Climate Change yang menyatakan bahwa “The purpose of the clean development mechanism shall be to
assist Parties not included in Annex I in achieving sustainable development and in contributing to the
ultimate objective of the Convention, and to assist Parties included in Annex I in achieving compliance
with their quantified emission limitation and reduction commitments under Article 3”
302 Lihat perumusan Pasal 4 Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On
Climate Change yang menyatakan bahwa “Any Parties included in Annex I that have reached an
agreement to fulfill their commitments under Article 3 jointly, shall be deemed to have met [Kyoto
Protocol] commitments"). Mekanisme Joint-fulfillment juga kerap disebut sebagai “bubbling” yang
memberikan kewenangan kepada negara – negara Eropa untuk menurunkan emisi secara bersama – sama
dengan kemudian menghitung agregasi dari beban setiap negara.
227
dibebani kewajiban oleh Protokol Kyoto. Dalam skema perdagangan karbon
negara dapat memilih biaya yang lebih murah baik dalam bentuk penurunan
emisi negara sendiri atau membeli upaya penurunan emisi yang telah dilakukan
oleh negara lain.303 Hal ini menjadi penting pada saat seringkali negara sebagai
aktor dominan dalam kancah internasional tidak memasukkan emisi sebagai
salah satu pengeluaran yang harus diemban.304 Padahal di sisi lain Stern
menganggap bahwa biaya yang akan timbul dari perubahan iklim pada ekonomi
dunia diperkirakan mencapai 5,5 Trilyun US $ atau 20 persen dari keseluruhan
pendapatan ekonomi dunia.305
Selama proses negosiasi yang dilakukan dalam rangka mempersiapkan
Protokol Kyoto ide – ide untuk merumuskan adanya mekanisme perdagangan
karbon pada awalnya memposisikan 2 (dua) kubu yang saling bertentangan.
Kubu pertama dengan mendudukkan Amerika Serikat sebagai pendukung dari
rezim dagang karbon serta Uni Eropa dan non-government Organizations (NGO)
pada kubu yang menentang adanya mekanisme dagang karbon tersebut. Hal ini
pun ditengahi oleh Inggris yang hadir dalam wacana bahwa perlu adanya suatu
303 Lihat Jonathan Donehower, “Analyzing Carbon Emissions Trading: A Potential Cost Efficient
Mechanism To Reduce Carbon Emissions”., Journal of Environmental Law Vo. 38., hlm. 181. Lihat pula
UNFCCC, Kyoto Mechanisms-Background, terdapat dalam situs
http://unfccc.int/kyotoprotocol/mechanisms/items/2998.php diakses pada tanggal 2 Maret 2012.
304 Lihat Al Gore & David Blood, For People and Planet., Wall Street Journal., March. 28, 2006,
hlm. A20.
305 Lihat Philip Bethge et al., Our Warming World- The Day the Climate Changed, Der Spiegel
Online, terdapat dalam situs http://www.spiegel.de/internationafspiegel/0,1518,447546,00.html diakses
pada tanggal 2 Maret 2012. Lihat pula HM Treasury, Stern Review: Frequently Asked Questions, terdapat
pada http://www.hmtreasury.gov.uk/independentjreviewsstemrevieweconomicsclimatechange/stemrevi
wfaq.cfm diakses pada tanggal 2 Maret 2012.
228
mekanisme yang mengedepankan prinsip perlu adanya tindakan untuk masa
depan yang lebih baik.306
Perdagangan karbon dalam rangka mitigasi gas rumah kaca memiliki
potensi untuk dapat menekan adanya kegagalan pasar dalam merespon besarnya
biaya yang dibutuhkan dalam rangka penanggulangan perubahan iklim.307
Sebuah praktek pengurangan emisi dalam skema perdagangan karbon dapat
memberikan pilihan-pilihan biaya penaatan yang dapat ditempuh, sehingga
kedua belah pihak dalam skema perdagangan ini sama – sama diuntungkan. Sifat
internasional dari perubahan iklim pun semakin membuat perdagangan karbon
memiliki pasar yang besar dan tidak terbatas oleh wilayah teritorial tertentu.308
Dalam skema perdagangan karbon yang terdapat dalam Protokol Kyoto
setiap negara diberikan hak untuk mengembangkan mekanisme perdagangan
karbon baik pada tataran nasional maupun regional.309 Selain itu dalam skema ini
pula setiap pihak diberikan kewenangan untuk melakukan peralihan emisi dalam
rangka melaksanakan kewajiban dari negara untuk melakukan mitigasi gas
rumah kaca.310 Setiap negara akan mendapatkan alokasi jumlah Assigned
306 Lihat Michael Jeffery QC., “Where Do We Go From Here? Emissions Trading Under The
Kyoto Protocol”., Forum : The Kyoto Protocol 2001., hlm. 573.
307 Kegagalan Pasar atau Market Failure diartikan sebagai When markets fail to achieve
efficiency, government intervention in the economy can provide us net benefits by influencing resource
allocation in ways that affect the kinds and quantities of goods and services available. Lihat dalam Surna
T Djajadiningrat., Pengantar Ekonomi Lingkungan., Jakarta : LP3ES., 1997., hlm. 16
308 Lihat dalam UNFCCC, Essential Background: The United Nations Framework Convention on
Climate Change, terdapat dalam situs http://unfccc.int/essential-background/convention/items/2627.php
diakses pada tanggal 2 Maret 2012.
309 Lihat perumusan Pasal 17 Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On
Climate Change.
229
Amount Unit (AAU) sebagai satuan dari perdagangan karbon yang dapat
dilakukan.311
Dalam pelaksanaannya, setiap negara wajib untuk melakukan
pengawasan serta pengontrolan terhadap unit – unit emisi yang telah sebelumnya
diregistrasikan pada tingkat nasional.312 Untuk memperlancar serta menjamin
efektifitas dari perdagangan karbon yang dilakukan, Protokol Kyoto memberikan
kesempatan kepada entitas hukum di luar negara baik dalam bentuk entitas bisnis
maupun non-governmental organizations untuk berpartisipasi pada tingkat
nasional dan regional sepanjang tercatat dalam registrasi negara yang menjadi
induk entitas tersebut.313
Saat ini dapat dikatakan bahwa perdagangan karbon telah diterima dalam
pasar luas di dunia ini. Hal ini paling tidak ditunjukkan oleh keberadaan pasar
karbon yang didirikan atas dasar inisiatif negara – negara di Eropa serta entitas –
entitas bisnis di kawasan Amerika Serikat. Paling tidak tercatat 2 (dua) pasar
yang menjadi wadah perdagangan karbon utama yaitu skema perdagangan dalam
European Union Emissions Trading Scheme (ETS) yang bersifat mengikat para
………..
310 Lihat “UNFCCC, Emissions Trading”, terdapat dalam situs http://unfccc.intlkyoto-
mechanisms/emissionstrading/items/2731.php diakses pada tanggal 2 Maret 2012.
311 Ibid.
312 Ibid.
313 Ibid.
230
pihak di dalamnya serta Chicago Climate Exchange (CCX) yang bersifat
sukarela pihak – pihak untuk bergabung dalam bertransaksi.314
Pelaksanaan dari perdagangan karbon dirasakan akan berjalan efektif
sebagai saran mitigasi gas rumah kaca apabila terikat dalam 5 (lima) kondisi
berikut.
Pertama pasar perdagangan karbon akan berjalan efektif pada saat karbon
yang tersedia dalam pasar atmosfir memiliki jumlah yang signifikan untuk
ditransaksikan. Hal ini menjadi penting karena mekanisme pasar akan berjalan
pada saat terdapat jumlah yang banyak dari terjadi dari komoditi yang
diperdagangkan.315
Kedua, perlu adanya jaminan sistem kepatuhan yang ada dalam skema
perdagangan karbon. Mekanisme kepatuhan ini akan menjadi sandaran
perhitungan emisi sehingga setiap negara akan memperoleh kepastian dari upaya
mitigasi yang dilakukan.316
Ketiga, perlu adanya fleksibilitas dari metode yang digunakan oleh
negara atau entitas bisnis dalam usaha mitigasi gas rumah kaca. Setiap negara
tentu mempunyai cara tersendiri untuk melakukan penurunan emisi gas rumah
kaca dengan cara termurah, namun pada saat ditentukan secara pasti dalam
314 Lihat “International Emissions Trading Assessment & The World Bank, State And Trends Of
The Carbon Market”., 2006., hlm. 3 – 5.
315 Ibid.
316 Ibid.
231
instrumen hukum internasional akan berakibat tidak adanya kompetisi untuk
mencari metode yang paling efisien.317
Keempat, perlu adanya diseminasi secara terus menerus serta
berkesinambungan mengenai pentingnya upaya mitigasi gas rumah kaca
terutama yang dilakukan oleh perusahaan. Kajian – kajian yang membuktikan
secara nyata memperlihatkan bahwa mitigasi gas rumah kaca akan berdampak
pada keuntungan di masa depan sebuah korporasi wajib disebarluaskan sejauh
mungkin untuk memberi keyakinan para pelaku pasar.318
Kelima, perlu adanya transparansi terhadap pelaksanaan dari proses
perdagangan karbon untuk menghindari adanya pasar yang semu dalam usaha
mitigasi gas rumah kaca.319
Untuk sekali lagi mekanisme dalam perdagangan karbon ini menekankan
bahwa perlu adanya upaya lebih dari negara – negara maju untuk menunjukkan
tanggung jawab mereka terhadap iklim yang terus berubah.320 Paling tidak
terdapat 4 (empat) alasan yang dapat memperkuat argumentasi yang mendukung
pernyataan ini.
317 Ibid.
318 Lihat Harri Laurikka & Tiina Kojonen, “Emissions Trading and Investment Decisions in the
Power Sector-A Case Study in Finland”, 34 Energy Policy., 2006., hlm.1063.
319 Lihat Joe Kruger & Christian Egenhofer, “Confidence Through Compliance in Emissions
Trading Markets” Sustainable Development Law and Policy., 2006., volume, hlm. 2.
320 Lihat perumusan Pasal 3 ayat (1) United Nations Framework Convention on Climate Change
yang menyatakan bahwa “The Parties should protect the climate system for the benefit of present and
future generations of humankind, on the basis of equity and in accordance with their common but
differentiated responsibilities and respective capabilities. Accordingly, the developed country Parties
should take the lead in combating climate change and the adverse effects thereof.”
232
Pertama, dalam catatan divisi perubahan iklim dari Wuppertal Institute
for Climate, Environment and Energy tercatat bahwa terjadinya peningkatan laju
emisi gas rumah kaca yang terjadi pasca era 1800-an dikontribusikan sebanyak
80% oleh negara – negara berkembang.321
Kedua, pada tahun 1996 United Nations Development Programme
melakukan afirmasi bahwa negara – negara maju berkontribusi sebanyak 61,5%
jumlah total emisi yang ada di dunia pada saat itu. Bahkan, dalam perkiraan yang
dibuat oleh International Environmental Agency (IEA) tren ini akan terus
berlanjut sampai dengan tahun 2020.322
Ketiga, dampak dari perubahan iklim itu sendiri kerap berbalik secara
tidak merata. Dalam beberapa kajian terdapat kenyataan bahwa negara – negara
maju sebagai pelaku utama dari perubahan iklim justru kerap menjadi pemenang
dari perubahan iklim. Sebaliknya, negara – negara berkembang dengan tingkat
kontribusi relatif rendah justru menjadi korban dalam rezim perubahan iklim.323
Keempat, negara – negara maju dianggap lebih mempunyai kapabilitas
untuk melakukan tindakan mitigasi gas rumah kaca paling tidak dari
pertimbangan ekonomi dan kemampuan teknologi dari negara – negara maju.324
321 Lihat Hermann E. Ott dan Wolfgang Sachs., Ethical Aspects of Emissions Trading dalam
Contribution to the World Council of Churches Conultation on "Equity and Emission Trading - Ethical
and Theological Dimensions", Saskatoon, Canada, May 9-14, 2000., hlm. 9.
322 Lihat UNDP., Human Development Report, New York: Oxford University Press., 1998., hlm.
202. Lihat pula IEA., International Energy Agency: World Energy Outlook 1998 Edition., Paris :
IEA/OECD., hlm. 205.
323 Lihat Hermann E. Ott dan Wolfgang Sachs., Op., Cit.
324 Ibid.
233
3.8.2. Implementasi Bersama (Joint Implementation)
Konsep Joint Implementation sebenarnya sudah mulai dikemukakan
dalam perumusan Pasal 4 ayat (2) huruf a Konvensi Perubahan Iklim yang secara
nyata menggambarkan bahwa dalam rangka mencapai tujuan dari Konvensi
setiap negara maju diberikan pilihan untuk bekerjasama dengan negara maju
lainnya.325 Sama halnya dengan mekanisme dalam perdagangan karbon, salah
satu rationale dari adanya Joint Implementation terikat pada 2 (dua) kondisi
utama yaitu pertama adanya kenyataan bahwa dalam konteks perubahan iklim
seringkali sumber emisi serta dampak yang diberikan tidak terikat secara
geografis serta; kedua adalah kenyataan bahwa biaya penurunan emisi yang
dilakukan satu negara dengan negara lainnya berada dalam harga dalam biaya
yang berbeda.326
325 Lihat perumusan Pasal 4 ayat (2) huruf a yang menyatakan bahwa “Each of these Parties shall
adopt national policies and take corresponding measures on the mitigation of climate change, by limiting
its anthropogenic emissions of greenhouse gases and protecting and enhancing its greenhouse gas sinks
and reservoirs. These policies and measures will demonstrate that developed countries are taking the lead
in modifying longer-term trends in anthropogenic emissions consistent with the objective of the
Convention, recognizing that the return by the end of the present decade to earlier levels of anthropogenic
emissions of carbon dioxide and other greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol would
contribute to such modification, and taking into account the differences in these Parties’ starting points
and approaches, economic structures and resource bases, the need to maintain strong and sustainable
economic growth, available technologies and other individual circumstances, as well as the need for
equitable and appropriate contributions by each of these Parties to the global effort regarding that
objective. These Parties may implement such policies and measures jointly with other Parties and may
assist other Parties in contributing to the achievement of the objective of the Convention and, in
particular, that of this subparagraph;”
326 Salah satu harapan besar dari adanya mekanisme Joint Implementation adalah terjadi
kerjasama yang saling menguntungkan antara negara – negara maju yang telah mapan secara ekonomi dan
teknologi dengan negara – negara maju yang masuk dalam kategori Economies in Transition (EITs) yang
dipercayai dapat melakukan usaha penurunan emisi dalam perhitungan biaya yang lebih murah. Negara –
negara yang tergabung dalam EITs ini antara lain Bulgaria, Croatia, Czech Republic, Estonia, Hungary,
Latvia, Lithuania, Poland, Romania, Russian Federation, Slovakia, Slovenia dan Ukraine. Lihat Katia
Karousakis, Joint Implementation: Current Issues And Emerging Challenges., Organization for Economic
Co-operation and Development : 2006., hlm. 6.
234
Bentuk yang lebih nyata dari Joint Implementation hadir dalam
perumusan Pasal 6 ayat (1) Protokol Kyoto yang merupakan ketentuan yang
mengikat bagi negara – negara berkembang dalam upaya mitigasi perubahan
iklim.327 Pada skema yang terdapat dalam Protokol Kyoto, mekanisme ini hadir
sebagai suatu bentuk transaksi karbon yang mendudukkan negara maju dalam
peran yang berbeda. Satu negara sebagai investor dengan negara lainnya yang
bertindak sebagai tuan rumah baik dalam usaha pemenuhan kewajiban di bawah
ketentuan Pasal 3 Protokol Kyoto maupun secara sukarela sebagai bentuk
perlindungan lingkungan hidup.328 Mekanisme ini selanjutnya akan memberikan
keuntungan bagi negara tuan rumah sebagai penyelenggara proyek – proyek yang
berbasis penurunan emisi berupa mendapatkan suntikan dana dari luar negeri
serta alih teknologi ramah lingkungan , sebaliknya bagi investor pelaksanaan
Joint Implementation akan memberikan keuntungan berupa Emission Reduction
Unit (ERU) sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban dalam penaatan Protokol
Kyoto.329
327 Lihat perumusan Pasal 6 ayat (1) Kyoto Protocol To The United Nations Framework
Convention On Climate Change yang menyatakan bahwa “For the purpose of meeting its commitments
under Article 3, any Party included in Annex I may transfer to, or acquire from, any other such Party
emission reduction units resulting from projects aimed at reducing anthropogenic emissions by sources or
enhancing anthropogenic removals by sinks of greenhouse gases in any sector of the economy, provided
that: (a) Any such project has the approval of the Parties involved; (b) Any such project provides a
reduction in emissions by sources, or an enhancement of removals by sinks, that is additional to any that
would otherwise occur; (c) It does not acquire any emission reduction units if it is not in compliance with
its obligations under Articles 5 and 7; and (d) The acquisition of emission reduction units shall be
supplemental to domestic actions for the purposes of meeting commitments under Article 3.”
328 Sama dengan perdagangan karbon, salah satu terobosan yang dilakukan dalam skema Joint
Implementation adalah diberikannya kemungkinan kepada pelaku non negara atau perusahaan untuk turut
serta dalam transaksi yang dilakukan.
329 Lihat Richard J. King, “The Law and Practice of Joint Implementation”., Review of European
Community and International Environmental Law Volume 6 Issue 1 1997., hlm., 62.
235
Perdebatan pada Konferensi Para Pihak ke-1 terjadi pada saat negara –
negara berkembang diminta untuk turut serta dalam skema Joint Implementation
yang akan dituangkan dalam Protokol Perubahan Iklim. Namun dari hasil
konsultasi internal akhirnya diputuskan bahwa negara – negara berkembang
menolak untuk bergabung dengan 4 (empat) alasan utama.
Pertama, negara – negara berkembang menganggap bahwa skema yang
terdapat dalam Joint Implementation memiliki biaya transaksi yang tinggi dan
tidak kompatibel dengan kemampuan dari negara – negara berkembang.330
Kedua, negara berkembang melihat tidak adanya garis awal (baseline)
yang dijadikan penentuan awal sebelum pelaksanaan dari proyek Joint
Implementation. Selain itu mekanisme ini juga rentan terhadap kemungkinan
adanya kebocoran (leakage) berupa kolusi di antara pihak – pihak yang terlibat
dalam proyek Joint Implementation.331
Ketiga, terdapat ketidaksebandingan antara negara maju dengan negara
berkembang dalam konteks negara – negara maju akan dengan mudah mengubah
strateginya jika terdapat proyek- proyek penurunan emisi yang relatif mahal di
negara berkembang, sedangkan negara berkembang sendiri belum siap untuk
melakukan teknologi ramah lingkungan baik dari segi teknis maupun finansial.332
330 Lihat Philippe Cullet and Annie Patricia Kameri-Mbote., “Joint Implementation and Forestry
Projects: Conceptual and Operational Fallacies”., International Affairs (Royal Institute of International
Affairs Vol. 74, No. 2 (Apr., 1998)., hlm., 340.
331 Lihat Jonathan Baert Wiener., “Global Environmental Regulation : Instrument Choice In
Legal Context”., Yale Law Journal January, 1999., hlm. 695.
332 Lihat Gabriela Llobet., “Trust But Verify”: Verification In The Joint Implementation
Regime”., George Washington Journal of International Law and Economics
1997-1998., hlm. 245.
236
Keempat secara lebih ekstrim dikatakan bahwa menurut pandangan
negara – negara yang tergabung dalam G77+Cina bahwa Joint Implementation
merupakan suatu bentuk kolonialisme bentuk baru yang harus ditolak.333 Hal ini
didasari pemikiran bahwa negara – negara maju akan menggunakan mekanisme
Joint Implementation sebagai bentuk alat penekan bagi negara – negara
berkembang melalui proyek – proyek berskala kecil namun dengan jumlah yang
banyak sehingga para pengusaha dari negara – negara berkembang akan berjalan
dengan ritme yang lambat sedangkan negara – negara maju berusaha untuk
menunda bentuk pertanggungjawaban mereka.334
Berdasarkan hasil perundingan kali pertama Meeting Of the Parties
ditetapkan bahwa terdapat 2 (dua) jalur yang dapat ditempuh untuk melakukan
kerjasama pada skema Joint Implementation. Pertama adalah keterlibatan dari
negara tuan rumah yang terikat pada ketentuan – ketentuan yang secara ketat
mempunyai sistem serta mekanisme yang ketat dalam penghitungan emisi yang
333 Dalam pendapat Wiser diyakini bahwa keberadaan dari Joint Implementation merupakan
wujud kolonialisme era baru yang digunakan oleh negara maju sebagaimana dituliskan bahwa “However,
China and several other developing countries expressed reservations at the Conference that JI might be
used by the developed countries as a form of “neo-colonialism.””. Lihat Glenn Wiser., “Joint
Implementation: Incentives For Private Sector Mitigation of Global Climate Change”., Georgetown
International Environmental Law Review Spring, 1997 Vol. (9)., hlm. 751.
334 Lihat Thomas C. Heller., “Environmental Realpolitik: Joint Implementation and Climate
Change”., Indiana Journal of Global Legal Studies: Vol. 3: Issue. 2, Article 1, 1996., hlm. 297.
237
telah diturunkan.335 Kedua adalah jalur untuk pelaksanaan Joint Implementation
yang dilakukan oleh negara tuan rumah yang melakukan langkah – langkah
verifikasi secara mandiri. Hal ini sebenarnya mirip dengan skema Clean
Development Mechanism namun dilakukan di negara – negara berkembang.336
Dalam pelaksanaannya, terdapat 3 (tiga) isu menarik yang kerap
diperbincangkan dalam menguji keberlakuan dari konsep Joint Implementation
dalam rezim perubahan iklim, antara lain :
Pertama, adanya perdebatan seputar bentuk pilihan kerjasama antara alih
teknologi atau bentuk proyek – proyek berbasis penyerapan karbon. Dalam
bentuk alih teknologi, pelaksanaan akan dilakukan dengan melibatkan pihak
investor baik negara maupun pihak perusahaan kepada pihak yang bertindak
sebagai tuan rumah baik negara ataupun pihak perusahaan. Untuk selanjutnya
akan dilakukan pengukuran di pihak tuan rumah mengenai jumlah dari emisi
335 Lihat ketentuan Paragraf 21 Panduan Pelaksanaan Joint Implementation yang menyatakan
bahwa syarat untuk negara mengikuti mekanisme dalam Joint Implementation meliputi : “(a) It is a Party
to the Kyoto Protocol (b) Its assigned amount pursuant to Article 3, paragraphs 7 and 8, has been
calculated and recorded in accordance with decision 13/CMP.1 (c) It has in place a national system for
the estimation of anthropogenic emissions by sources and anthropogenic removals by sinks of all
greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol, in accordance with Article 5, paragraph 1, and
the requirements in the guidelines decided thereunder (d) It has in place a national registry in
accordance with Article 7, paragraph 4, and the requirements in the guidelines decided thereunder (e) It
has submitted annually the most recent required inventory, in accordance with Article 5, paragraph 2, and
Article 7, paragraph 1, and the requirements in the guidelines decided thereunder, including the national
inventory report and the common reporting format. For the first commitment period, the quality
assessment needed for the purpose of determining eligibility to use the mechanisms shall be limited to the
parts of the inventory pertaining to emissions of greenhouse gases from sources/sector categories from
Annex A to the Kyoto Protocol and the submission of the annual inventory on sinks (f) It submits the
supplementary information on assigned amount in accordance with Article 7, paragraph 1, and the
requirements in the guidelines decided thereunder and makes any additions to, and subtractions from,
assigned amount pursuant to Article 3, paragraphs 7 and 8, including for the activities under Article 3,
paragraphs 3 and 4, in accordance with Article 7, paragraph 4, and the requirements in the guidelines
decided thereunder." Mekanisme yang pertama ini juga dikenal dengan istilah Track One., Lihat hasil
perundingan MOP1 FCCC/KP/CMP/2005/8/Add.2., Point 13 butir (a).
336 Mekanisme kedua ini juga dikenal dengan istilah Track Two., Lihat hasil perundingan MOP 1
FCCC/KP/CMP/2005/8/Add.2., Point 13 butir (b).
238
yang dapat diturunkan dengan menggunakan teknologi dari negara investor.337
Hasil akhir inilah yang kemudian diukur untuk dapat di claim sebagai bentuk
mitigasi yang telah dilakukan dari negara investor. Sedangkan dalam model
proyek-proyek yang berbasis penyerapan karbon dilakukan dalam bentuk
afforestation maupun reforestation yang dilakukan berdasar pada pendanaan dari
pihak investor yang bekerjasama dalam pelaksanaannya dengan pihak tuan
rumah dalam rangka memperbanyak jumlah emisi yang dapat diserap dari hutan
yang berada di negara tuan rumah tersebut. Hasil perhitungan secara teknis
berapa banyak jumlah karbon yang diserap dari hasil pemanfaatan kembali hutan
tersebutlah yang untuk kemudian dapat di claim sebagai suatu bentuk pemenuhan
kewajiban dari negara investor.338
Kedua, hadirnya perdebatan mengenai jumlah dari pihak yang terlibat
dalam pelaksanaan Joint Implementation. Pada umumnya konsep pelaksanaan
Joint Implementation hanya dilakukan dengan melibatkan 2 (dua) negara yang
337 Lihat Thomas L. Brewer : “Climate Change Technology Transfer: A New Paradigm And
Policy Agenda”, Climate Policy, 8:5, hlm. 520. Lihat pula Charikleia Karakosta, Haris Doukas & John
Psarras, “Carbon Market And Technology Transfer: Statistical Analysis For Exploring Implications”,
International Journal of Sustainable Development & World Ecology, 2011., hlm. 256. Lihat pula G.
MacDonald, ‘Technology Transfer: The Climatic Change Challenge,” Journal of Environment and
Development 1, no. , 1992., hlm. 30. Lihat pula G. Heaton Jr., R. D. Banks. and D. Ditz, Missing Links:
Technology and Environmental Improvement in the Industrializing World., Washington D.C.: World
Resources Institute, 1994., hlm. 45.
338 Lihat House JI, Prentice IC, Le Quere C. “Maximum Impacts Of Future Reforestation Or
Deforestation On Atmospheric CO2.” Glob Change Biology 2002, 8., hlm. 1048. Lihat pula Golub A,
Hertel T, Lee HL, Rose S, Sohngen B. The opportunity cost of land use and the global potential for
greenhouse gas mitigation in agriculture and forestry. Resource Energy Economic 2009, 31., hlm. 301.
Lihat pula Hohne N, Wartmann S, Herold A, Freibauer A. “The Rules for Land Use, Land Use Change
and Forestry Under the Kyoto Protocol-Lessons Learned for the Future Climate Negotiations”.
Environment Science & Policy, 2007, hlm. 360. Lihat pula Benitez PC, McCallum I, ObersteinerM,
Yamagata Y., “Global Potential For Carbon Sequestration: Geographical Distribution, Country Risk And
Policy Implications.”, Ecological Economic 2007, 60., hlm. 580.
239
bertindak sebagai investor dan tuan rumah pelaksanaan proyek.339 Adapun
kecenderungan yang ada sekarang ini terdapat beberapa keinginan untuk
melakukan modifikasi keberadaan jumlah pihak yang dalam satu proyek Joint
Implementation.340 Skema multilateral sejenis ini hadir dalam bentuk terdapat 2
(dua) atau lebih negara yang akan bertindak sebagai investor dalam suatu proyek
dengan melakukan kerjasama pendanaan terhadap satu proyek yang dilakukan di
negara tuan rumah. Sebagai bentuk konsekuensi logis dari skema ini tentu negara
– negara investor harus membagi jumlah penurunan emisi yang telah dilakukan
di negara tuan rumah tersebut.341 Sekilas memang skema ini terlihat sangat
mudah untuk disesuaikan dengan konsep Joint Implementation. Namun beberapa
permasalahan timbul dari bentuk perjanjian multilateral ini yang meliputi : (i)
harus ada penentuan tolak ukur yang jelas mengenai porsi pendaan dan
kerjasama yang dilakukan oleh pihak yang berfungsi sebagai investor. Hal ini
menjadi penting ketika variabel pertimbangan di dalamnya termasuk mencakup
perhitungan seberapa besar negara tersebut telah bersumbangsih dalam
perubahan iklim atau apakah jumlah penduduk dari negara tersebut menjadi
339 Lihat T. van der Burg, “Economic Aspects,” dalam Kuik, P. Peters, and N. Schrijver. Joint
Implementution to Curb Climate Change: Legal and Economic Aspects., Dordrecht, the Netherlands :
Kluwer Academic Publishers, 1994., hlm. 80. Lihat pula N. Lenssen, Empowering Development The New
Energy Equation, Worldwatch Paper I I I (Washington, D.C.: Worldwatch Institute, 1992).
340 Lihat pula J. Jansen and F, van der Vleuten, “Joint Implementation in the Cement Industry,”
dalam C. J. Jepma, ed., The Feasibility of Joint Implementation (Dordrecht, the Netherlands: Kluwer
Academic Publishers, 1995, hlm. 299 – 313.
341 Thomas C. Heller, Joint Implementation And The Path To A Climate Change Regime., The
Robert Shuman Centre at European University Institute, Jean Monnet Chair Paper No. 23, 1995. Lihat
pula Naoki Matsuo, Japanese “JI Initiative”, Joint Implementation Quarterly., Fall 1995, hlm. 4.
240
dasar penentu342; (ii) model kerjasama Joint Implementation yang melibatkan
banyak pihak saat ini belum diatur dalam regulasi internasional tentang
perubahan iklim sehingga sangat amat membuka kemungkinan akan adanya
interpretasi dari masing – masing negara yang belum tentu diakui pada tataran
internasional dan343 (iii) bentuk kerjasama pada model ini menuntut adanya
penyesuaian administrasi yang tidak mudah. Hampir semua dokumen – dokumen
baik yang berkaitan dengan dasar kerjasama hingga metode verifikasi perlu
disepakati oleh banyak pihak yang terlibat di dalamnya.344
Ketiga, selain memperdebatkan banyaknya para pihak yang terlibat dalam
proyek Joint Implementation banyak pula yang memperdebatkan mengenai
personalitas dari negara serta perusahaan dalam rezim Joint Implementation.
Keberadaan negara dalam rezim mitigasi gas rumah kaca memang saat ini sudah
tidak ada lagi yang dipertentangkan sebagai aktor utama dalam hukum
internasional.345 Proyek – proyek Joint Implementation yang melibatkan negara
saat ini mendudukkan negara dalam 2 (dua) fungsi yaitu sebagai negara investor
dan negara tuan rumah. Masing – masing memiliki rationale dalam
kedudukannya masing – masing. Sebagai negara investor dengan skema alih
342 Lihat Evans, M.: 1995, Joint Implementation in Countries in Transition: An Analysis of the
Potential and the Barriers, prepared for the U.S. Environmental Protection Agency Climate Change
Division. Pacific Northwest National Laboratory, Advanced International Studies Unit. Washington, D.C.
343 Lihat Bashmakov, “Strengthening the economy through climate change policy. The case of
the Russian Federation”, dalam C.J. Jepma and W. van der Gaast (eds), On the Compatibility of Flexible
Instruments, Boston, Kluwer Academic Publishers, 2009., hlm. 17–29.
344 Lihat Wrexler, P., Mintzer, I., Miller, A. and Eoff, D.: 1995, ‘Joint implementation:
Institutional options and implications’, dalam C. Jepma (ed.), The Feasibility of Joint Implementation,
Boston, Kluwer Academic Publishers, 2005., hlm. 120.
345 Lihat Ian Brownlie, Principles of Public International Law, 4th edition., Clarendon Press,
Oxford : 1990., hlm.550.
241
teknologi misalnya, negara investor akan mempunyai keuntungan selain
penurunan emisi namun juga untuk membuka kerjasama dengan negara atau
pihak lain di luar yurisdiksi negara tersebut.346 Sebaliknya dalam kedudukan
sebagai negara tuan rumah keuntungan akan diraih dalam bentuk kesempatan
untuk belajar menggunakan dan mengembangkan teknologi ramah
lingkungan.347 Selain itu negara – negara tuan rumah dengan secara
berkelanjutan melakukan proyek Joint Implementation secara efektif dan efisien
negara akan menjadi tempat investasi unggulan di pandangan negara – negara
lainnya.348 Perkembangan terkini yang memperbolehkan perusahaan untuk ikut
serta dalam skema Joint Implementation menimbulkan pertanyaan mengenai
personalitas dari entitas bisnis tersebut.349 Bersandar pada hasil putusan dari
Konferensi Para Pihak ke-1 di Berlin pada tahun 1995, perusahaan turut serta
dalam varian dari skema flexible mechanism ini. Semenjak adanya ketentuan
tersebut banyak perusahaan yang melakukan kerjasama di bawah naungan dari
Joint ………………….
346 Lihat Richard J. King, ‘Joint Implementation in APEC: Issues and that the standard and timing
of compensation is ‘prompt, Opportunities’, dalam Round Table on Environment and Ecomony, Ottawa,
Canada, 1996., hlm. 3-4.
347 Ibid.
348 Ibid.
349 Lihat Okereke C, Bulkeley H, Schroeder H. “Conceptualizing Climate Change Governance
Beyond The International Regime”. Global Environmental Politic 2009, 9., hlm. 67. Lihat pula Biermann
F, Pattberg P, Chan S, Mert A. “Multistakeholder Partnerships For Sustainability: Des The Promise Hold
?” dalam Glasbergen P, Biermann F, Mol APJ, eds. Partnerships, Governance and Sustainable
Development: Reflections on Theory and Practice. Cheltenham: Edward Elgar; 2007, hlm. 240.
242
Implementation dengan panduan dan pengawasan dari World Business Council
for Sustainable Development.350 Selain secara jelas perusahaan memperoleh
keuntungan secara finansial, beberapa keuntungan lainnya yang diperoleh oleh
perusahaan antara lain : (i) dalam tataran internasional nilai jual dari perusahaan
tersebut akan semakin dipertimbangkan sebagai perusahaan multinasional yang
perduli terhadap kondisi lingkungan sehingga tidak menutup kemungkinan akan
hadirnya investor lainnya351; (ii) dalam tataran nasional perusahaan yang turut
dalam proyek Joint Implementation akan dianggap mendukung kebijakan
pemerintah untuk melakukan tindakan mitigasi terhadap perubahan iklim352; (iii)
perusahaan yang turut serta dalam proyek Joint Implementation berkesempatan
untuk membangun relasi serta memperluas jaringan bisnis yang ada sekarang ini
di kancah internasional dan353; (iv) perusahaan yang terlibat dalam suatu proyek
Joint Implementation akan mendapat pengalaman yang tidak tergantikan pada
……………
350 Lihat Cashore B. “Legitimacy And The Privatization Of Environmental Governance: How
Non-State Market-Driven (NSMD) Governance Systems Gain Rule-Making Authority Governance”.
Governance 2002, 15., hlm. 525. Lihat pula Sch¨ aferhoff M, Campe S, Kaan C. “Transnational public–
private partnerships in international relations”. International Study Review 2009, 11(3)., hlm. 459..
351 Lihat Betsill MM, Bulkeley H. “Transnational Networks And Global Environmental
Governance: The Cities For Climate Protection Program”. International Study Quarterly 2004, 48., hlm.
480.
352 Lihat Pattberg P, Stripple J. “Beyond The Public And Private Divide: Remapping
Transnational Climate Governance In The 21st Century”. International Environmental Agreement 2008,
8., hlm. 380.
353 Lihat Pattberg P, Enechi O. “The Business Of Transnational Climate Governance: Legitimate,
Accountable And Transparent ?” Saint Antony International Review 2009, 5., hlm. 82.
243
saat mampu bekerjasama dengan negara atau perusahaan lain di luar yurisdiksi
baik dalam payung UNFCCC maupun dalam skema lainnya di kemudian hari.354
3.8.3. Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism)
Berbeda dengan keberadaan 2 (dua) instrumen mitigasi perubahan iklim
disebutkan di atas, model penurunan emisi gas rumah kaca pada skema Clean
Development Mechanism (CDM) melibatkan negara berkembang dalam
pelaksanaannya.355 Keberadaan CDM dalam rezim perubahan iklim pada
awalnya merupakan sesuatu yang mengejutkan karena hadir dalam sesi terakhir
penutupan dari Konferensi Para Pihak Ke-3 pada tahun 1997.356
Munculnya wacana untuk adanya keterlibatan dari negara berkembang
dalam upaya mitigasi serta adaptasi perubahan iklim hadir dari pengajuan
Proposal Brasil yang mengusulkan adanya kesempatan dari negara – negara
berkembang untuk mendapatkan dana dari upaya penanggulangan tersebut. Pada
awalnya Brasil mengusulkan keberadaan dari Green Development Fund (GDF)
354 Biermann F, Pattberg P, Chan S, Mert M. Partnerships for Sustainable Development: An
Appraisal Framework Global Governance Working Paper Series. Amsterdam: The Global Governance
Project; 2007., hlm. 5.
355 Dalam situs resmi dari United Nations Framework Convention on Climate Change dikatakan
bahwa Clean Development Mechanism yang diatur di bawah ketentuan Pasal 12 Protokol Kyoto
“…allows a country with an emission-reduction or emission-limitation commitment under the Kyoto
Protocol (Annex B Party) to implement an emission-reduction project in developing countries. Such
projects can earn saleable certified emission reduction (CER) credits, each equivalent to one tonne of
CO2, which can be counted towards meeting Kyoto targets.” Lihat dalam profil Clean Development
Mechanism, terdapat dalam situs
http://unfccc.int/kyoto_protocol/mechanisms/clean_development_mechanism/items/2718.php diakses
pada tanggal 25 Maret 2012.
356 Lihat Estrada-Oyuela, R. A. 1998. “First approaches and unanswered questions”, dalam The
Clean Development Mechanism: Issues and Options, ed. J. Goldemberg, 23–9. New York: UNDP. Lihat
pula Werksman, J. 1998. “The Clean Development Mechanism: Unwrapping The ‘Kyoto Surprise’”.
Review of European Community and International Environmental Law 7., hlm. 150..