The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by , 2016-05-12 02:40:09

Full Sidang Terbuka (1)

Full Sidang Terbuka (1)

94

mempunyai keunikan tersendiri dalam kerangka Konvensi Perubahan Iklim karena
lahir terlebih dahulu sebelum Konvensi Perubahan Iklim tersebut dirumuskan.207

Secara umum struktur dari IPCC dibagi dalam 3 (tiga) struktur utama yaitu
(i) Sidang Panel, (ii) Kelompok Kerja dan Gugus Kerja serta (iii) Sekretariat.
Sidang panel sebagai lembaga utama yang dapat melakukan pengambilan
keputusan beranggotakan para perwakilan dari setiap pemerintahan yang
melakukan pertemuan rutin setiap tahunnya. Pada setiap sidang nya, panel akan
memilih pula anggota dari Biro di dalam tubuh IPCC dengan memperhatikan
perwakilan wilayah masing – masing negara.

Bagian penting lainnya dalam tubuh IPCC adalah keberadaan dari Working
Group yang memiliki kadar keilmiahan lebih rendah dibandingkan dengan panel
utama dalam IPCC mengingat anggota di dalamnya lebih beranggotakan
perwakilan resmi dari negara yang tidak terikat pada kondisi apapun. Sedangkan
Sekretariat IPCC bertempat di Jenewa dan berkantor bersamaan dengan World
Metrological Organization (WMO) yang berkomposisi seorang ketua, sekretaris
dan beberapa staf di dalamnya. 208

Tugas utama dari Sekretariat IPCC adalah untuk menyusun jadwal dalam
rangka pelaksanaan dari sesi pertemuan dengan lembaga – lembaga lainnya,
membantu para pihak dalam melaksanakan isi konvensi, memberikan dukungan
kepada proses negosiasi yang sedang berlangsung, serta mendukung berkoordinasi

207 Lihat A. Barrie Pittock, “What Next For IPCC: How Can IPCC Best Inform Policymaking and
Help Develop Viable Strategies to Address Climate Change”, 44 Environment 20-36 (2002)

208 Lihat Tora Skodvin, The Intergovernmental Panel on Climate Change, in Science and Politics
in International Environmental Regimes, 2000., hlm.154.

95

dengan sekretariat dari perjanjian lain atau badan internasional lain yang relevan
dengan isu perubahan iklim.209

Kelembagaan IPCC memiliki 3 (tiga) Working Group utama yaitu Working
Group I yang membawahi pembahasan teknis kondisi fisik akibat perubahan iklim,
proyeksi ke depan mengenai perubahan iklim serta atribusi dari proses perubahan
iklim. Selanjutnya Working Group II membawahi pembahasan penilaian terhadap
dampak dari perubahan iklim terhadap ekosistem alam, sistem sosial ekonomi,
kerentanan serta pola – pola adaptasi yang strategis dan potensial untuk dapat
diterapkan dalam praktek. Terakhir Working Group III yang bertugas menguji
alternatif teknologi dan kebijakan yang dapat ditempuh dalam usaha mitigasi
perubahan iklim yang tetap bersandar pada perhitungan cost benefit analysis.210

209 Lihat perumusan Pasal 8 United Nations Framework Convention on Climate Change. Lihat
pula Report of the Conference of the Parties on Its Eight Sessions, dec. 13/CP.8, para. 4,
FCCC/CP/2002/7/Add.1 (2003).

210 Lihat Agrawala, S.: 1998, ‘Context and Early Origins of the Intergovernmental Panel on
Climate Change’, Climatic. Change 39, 605–620.

96

GAMBAR II. 9
Struktur Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

Secara struktural, komposisi dari IPCC dapat dikatakan mengalami
perubahan secara rutin yang awalnya merupakan wadah para ilmuwan dalam
memberikan kajian ilmiah berubah menjadi institusi politik yang kadang turut
menentukan arah dan langkah kebijakan perubahan iklim yang akan ditempuh.211
Dalam perspektif mantan Ketua IPCC Robert Watson salah satu kekuatan dari
IPCC adalah transparansi dan kredibilitas dari lembaga tersebut, dengan
melibatkan proses peer reviewed secara mendalam serta keterlibatan para ahli yang
kompeten di bidangnya menjadi justifikasi bahwa IPCC merupakan lembaga yang
layak untuk dijadikan sandaran.212

Namun hal ini dikritik oleh pemikir lain yang menganggap bahwa
keberadaan sidang panel dalam kerangka IPCC merupakan forum yang paling

211 Lihat N. H. Ravindranath, “IPCC: accomplishments, controversies and challenges”., Science,
Vol. 99, No. 1, 2010., hlm.1.

212 Lihat Robert T. Watson, “The Future of the Intergovernmental Panel on Climate Change”,
Climate Policy, 2002., hlm. 269.

97

kental dengan muatan – muatan politis dari masing – masing negara yang terdapat
di dalamnya. Dalam wadah ini masing – masing delegasi dari setiap negara
melakukan negosiasi terhadap rumusan akhir dari laporan yang akan dibawa dalam
mekanisme persetujuan atau penolakan berdasarkan hasil konsensus.213

Salah satu tugas utama yang diemban oleh IPCC adalah kemampuan untuk
menyuguhkan informasi ilmiah serta kondisi sosial ekonomi yang relevan untuk
dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari bukti kontribusi manusia
terhadap perubahan iklim.214 Pelaksanaan tugas dari IPCC tidak dapat dilepaskan
dari hasil publikasi – publikasi yang dilakukan, publikasi utama yang kerap
dijadikan rujukan oleh banyak pihak adalah keberadaan Assessment Reports yang
berisi kajian ilmiah secara utuh dan pembantuan teknis.

Setiap bentuk laporan dibagi dalam 3 (tiga) volume, yaitu volume pertama
memuat kajian ilmiah terhadap informasi – informasi seputar perubahan iklim
yang ada serta untuk kemudian menentukan prioritas yang ingin disampaikan
dalam penelitian secara keseluruhan.215 Volume kedua dari laporan ini hadir
dengan memuat kemungkinan dampak, pola – pola adaptasi serta isu kerentanan
yang terkait dengan perubahan iklim. Sedangkan pada volume terakhir memuat

213 Lihat Tora Skodvin, Op. Cit., hlm. 153.
214 Lihat IPCC, Principles Governing IPCC Work, para. 2, Oct. 1-3, 1998, terdapat dalam situs
http://www.ipcc.ch/about/princ.pdf., Lihat pula IPCC, About IPCC, http://www.ipcc.ch/about/about.htm
diakses pada tanggal 1 Juni 2013.
215 Dalam bahasa lain volume ini mencoba untuk menggambarkan kondisi kekinian terhadap
pemahaman dari negara – negara di dunia serta mencoba untuk memberikan jawaban serta proyeksi masa
depan dari keragu – raguan negara – negara tersebut. Lihat Berrien Moore III et al., Advancing Our
Understanding, in Climate Change 2001: The Scientific Basis: Contribution of the Working Group I to the
Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change., hlm. 769.

98

tentang usaha – usaha mitigasi yang dapat dilakukan dalam rangka
penanggulangan perubahan iklim.216

Dalam hal keanggotaan dari IPCC paling tidak dapat akan lebih mudah jika
dikategorikan dalam 2 (dua) kondisi besar yaitu kondisi hakikat dari IPCC dan
kondisi partisipasi yang luas dari IPCC. Dalam kondisi hakikatnya dinyatakan
bahwa IPCC sebagai lembaga yang menjalankan tugas untuk melakukan kajian
ilmiah tentang perubahan iklim beranggotakan para ilmuwan dari masing – masing
negara yang sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan dari rezim
perubahan iklim baik pada tingkatan internasional maupun nasional. Pada kondisi
hakikat seperti ini para peserta dari IPCC dituntun dalam sebuah IPCC's Rules of
Procedure yang memang menuntut adanya kapabilitas dari masing – masing
peserta, sehingga dalam konteks ini sangat kecil kemungkinan sangat sulit untuk
dimasukkannya kepentingan – kepentingan yang tidak didasari pada kajian
ilmiah.217

Kondisi keanggotaan yang kedua dari IPCC adalah pada saat badan –
badan di bawah IPCC seperti Working Group dan Biro melaksanakan tugasnya.
Seperti digambarkan dalam penjelasan sebelumnya bahwa masing – masing

216 Lihat IPCC, Home Page, terdapat dalam situs http://www.ipcc.ch/ diakses pada tanggal 23
Januari 2012.

217 Salah satu peneliti dari Earth Institute yang bertempat di Columbia University, Shardul
Agrawala, mengatakan bahwa IPCC sebagai salah satu lembaga terpenting dalam pemikiran perubahan
iklim karena IPCC dalam hasil kerjanya akan menghasilkan penilaian secara ringkas dari perspektif yang
begitu luas dan laporan inilah yang akan cukup mempengaruhi mulai dari proses pendidikan dan
pemahaman masyarakat awam terhadap perubahan iklim hingga proses negosiasi antar negara dalam
menyusun perjanjian internasional di bidang perubahan iklim. Lihat Shardul Agrawala, Context and Early
Origins of the Intergovernmental Panel on Climate Change, 39 Climatic Change 605, 611 (1998). Lihat
pula Tora Skodvin, Structure and Agent in the Scientific Diplomacy of Climate Change--An Empirical
Case Study of Science-Policy Interaction in the Intergovernmental Panel on Climate Change., 2000.,
hlm.168.

99

institusi tersebut anggotanya dipilih berdasarkan perwakilan dari masing – masing
wilayah dan memungkinkan untuk masuknya perwakilan – perwakilan yang tidak
mempunyai pemahaman secara menyeluruh terhadap perubahan iklim.218

Bersandar pada model seperti ini paling tidak terdapat 2 (dua) masalah
yang akan kemudian timbul. Pertama adalah isu mengenai representativeness,
seringkali perwakilan – perwakilan dari negara – negara selatan tidak mendapatkan
porsi yang optimal dalam penyelenggaraan pertemuan – pertemuan pada tingkatan
working group.219 Kedua adalah kesenjangan yang akan terjadi dalam hal finansial
dari para ilmuwan perwakilan negara – negara maju dan berkembang. Para
ilmuwan dari negara berkembang menerima insentif yang minim dari negaranya,
sedangkan ilmuwan dari negara – negara maju mendapat insentif yang dari
negaranya dengan jumlah besar. Walaupun hal ini terlihat sederhana, namun
menurut Ogunlade Davidson selaku mantan wakil ketua Working Group III hal ini
cukup memberikan pengaruh dalam tingkat keseriusan para ilmuwan.220

Momentum berikutnya terjadi pada tahun 1989 dengan untuk pertama
kalinya Belanda mengadakan pertemuan para kepala negara untuk mendiskusikan
masalah perubahan iklim dan isu lingkungan hidup lainnya di Provinsi Noordwijk.
Pada tahun yang sama pula diadakan pertemuan negara – negara kepulauan kecil

218 Lihat Tora Skodvin, The Intergovernmental Panel on Climate Change, in Science and Politics
in International Environmental Regimes, hlm. 154

219 Lihat Tora Skodvin, Structure and Agent in the Scientific Diplomacy of Climate Change--An
Empirical Case Study of Science-Policy Interaction in the Intergovernmental Panel on Climate Change.,
2000., hlm.132.

220 Lihat Robert T. Watson, “The Future of the Intergovernmental Panel on Climate Change”, 2
Climate Policy, (2002).271. Lihat pula hasil wawancara dengan Ogunlade Davidson yang terdapat dalam
“Assessing The Mechanisms For The Input Of Scientific Information Into The UNFCCC”., Colorado
Journal of International Environmental Law and Policy Spring, 2006., hlm.11.

100

yang disebut dengan Francophone Summit di Dakar, yang diikuti dengan
pertemuan G7, serta pertemuan dari negara – negara persemakmuran. Praktis pada
pertemuan – pertemuan tersebut isu perubahan iklim telah menjadi perbincangan
hangat para politisi.221

Pada tahun 1990, World Meteorological Organization mengadakan
pertemuan kedua tentang perubahan iklim. Dalam pertemuan ini dicoba untuk
dirumuskan beberapa isu utama dalam melihat perkembangan tahapan
perbincangan politik mengenai perubahan iklim.222 Pada tahun yang sama pula
akhirnya untuk pertama kali Intergovernmental Panel on Climate Change
mengeluarkan publikasi perdananya yang membicarakan perubahan iklim yang
menyangkut 3 (tiga) aspek utama yaitu mengenai aspek ilmiah dari perubahan
iklim, dampak dari perubahan iklim dan kebijakan terkait dengan perubahan
iklim.223

Beberapa pertemuan tentang perubahan iklim memang dapat dikatakan
kental dengan isu politis antara negara maju dengan negara berkembang. Dalam
pertemuan – pertemuan awal seperti halnya yang dilakukan di Belanda serta
pertemuan UN Economic Commission for Europe (ECE) ditegaskan bahwa negara
– negara maju dan negara – negara berkembang memiliki peran yang berbeda

221 Wolters G, Swager J, Gupta J. Climate change: A Brief History of Global, Regional and
National Policy Measures. Paper Presented at the International Global Warming Symposium Organized
by the Japan Society for Air Pollution, Tokyo, November 15, 1991, Climate Change Department, Ministry
of Physical Planning and the Environment., hlm. 51.

222 Ministerial Declaration, Second World Climate Conference, Adopted by the Ministers and
Other Representatives of 137 Countries and the EC, Geneva, November 6–7, 1990.

223 Laporan dipersiapkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change Working Group I J.T.
Houghton, G.J. Jenkins and J.J. Ephraums (eds.). Cambridge University Press, Cambridge, Great Britain,
New York, NY, USA and Melbourne, Australia., hlm.440.

101

dalam menanggulangi masalah perubahan iklim.224 Isu lain yang mencuat dalam
pertemuan tentang perubahan iklim adalah mengenai pentingnya kepemimpinan
dari masing – masing negara untuk mengambil inisiatif dari langkah kebijakan
penanggulangan perubahan iklim. Hal ini erat kaitannya dengan pembahasan
mengenai perlu adanya tindakan pencegahan untuk menanggulangi perubahan
iklim. Bersandar pada konsep precautionary principle setiap negara diharapkan
memiliki target dari segi politis maupun ilmiah untuk dapat melakukan tindak
lanjut terhadap usaha penanggulangan terhadap perubahan iklim.225

224 Lihat Noordwijk Declaration on Climate Change, Adopted by the 67 Countries Attending the
Atmospheric Pollution and Climatic Change Ministerial Conference, Noordwijk, The Netherlands,
November 6–7, 1989, para 7. Lihat pula Bergen Ministerial Declaration on Sustainable Development in
the ECE Region, Adopted by the Environmental Ministers from the 34 ECE countries, at the Regional
Conference on the Follow-Up to the Report of the World Commission on the Environment and
Development (WCED) in the ECE region, May 16, 1990, para 11.

225 Keberadaan Precautionary Principle mulai ditanggapi secara serius pada awal tahun 1990,
hampir seluruh dari negara – negara yang tergabung Organization for Economic Co-operation and
Development (OECD) kecuali Amerika Serikat dan Turki secara eksplisit memiliki target pencapaian yang
jelas. Sedangkan komunitas Eropa pada saat itu beserta negara – negara yang tergabung dalam European
Free Trade Association (EFTA) menyepakati untuk melakukan upaya stabilisasi kandungan emisi CO2
pada tahun 2000 berdasarkan tingkatan tahun 1990. Lihat European Council, European Community
Conclusions on Climate Change, October 1990.

102

TABEL II. 4
Hasil Penting dan Isu Utama Perubahan Iklim

Sebelum Era 1990

TAHUN HASIL PENTING ISU UTAMA
1979 World Climate
Conference Setiap negara harus melakukan kegiatan
– kegiatan yang berdampak terhadap
1985 Villach Conference perubahan iklim

1985 Advisory Group on Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca
1987 Greenhouse akan mengakibatkan peningkatan suhu
Gases global
Brundtland Report
Kerangka kerjasama pertama kali dalam
1988 Toronto Conference pembahasan perubahan iklim secara
ilmiah
1988 IPCC
1989 Hague Declaration Perubahan iklim berkaitan erat dengan
1989 Noordwijk Declaration isu kehidupan lainnya, menunggu
kepastian terhadap perubahan iklim akan
1989 Male Declaration terlambat

1990 Second World Climate Perubahan iklim memiliki tingkat
Conference keseriusan yang setara dengan Perang
Nuklir, negara – negara maju mutlak
1990 ECE Conference harus mengurangi emisi gas rumah kaca
sebanyak 20 % pada tahun 2005
berdasarkan tolak ukur tahun 1998.

Lahirnya institusi pertama kali yang
secara resmi melakukan pengkajian
terhadap perubahan iklim

Pertemuan 22 Kepala Negara dalam
Pembahasan Perubahan Iklim

Negara – negara maju sepakat untuk
melakukan stabilisasi kandungan CO2
pada tahun 2000 dengan tolak ukur
tahun 1990 dan melakukan pembantuan
kepada negara berkembang.

Melakukan identifikasi terperinci
terhadap dampak perubahan iklim
terutama terhadap negara – negara
kepulauan kecil

Pembahasan mengenai isu kemungkinan
pengurangan emisi dari negara – negara
maju melalui sektor penggunaan energi
dengan memprioritaskan teknologi
modern ramah lingkungan

Peneguhan keberadaan Precautionary
Principle sebagai salah satu upaya

103

pengurangan emisi

1990 Report of IPCC Dalam kondisi skenario business as

usual diperkirakan akan terjadi

peningkatan suhu sebanyak 1% pada

tahun 2030

1990 EC target Upaya stabilisasi akan dilakukan dengan

menurunkan sebanyak 20% dari tolak

ukur tahun 1990

Sumber : Joyeeta Gupta., “A History Of International Climate Change Policy”.,

Wiley Interdisciplinary Reviews. Climate Change., Vol. 1:5., 2010.

Keberadaan institusi dan pertemuan pada tingkat internasional mengenai

perubahan iklim sebagaimana diungkapkan di atas semakin jelas membuktikan

bahwa perlu adanya tindakan kolektif dalam rangka mengatasi isu perubahan

iklim. Dalam pandangan Richard N. Cooper, terdapat paling tidak 3 (tiga) alasan

mengenai hal ini yaitu Pertama kondisi peningkatan konsentrasi gas rumah kaca

terhadap lapisan atmosfir yang notabene merupakan milik bersama mengandung

makna di dalamnya bahwa semua pihak terdapat kepentingan di dalamnya.

Selanjutnya, dengan adanya limitasi dari jumlah emisi gas rumah kaca yang

dikeluarkan oleh masing – masing negara akan memberikan keuntungan jangka

panjang yaitu generasi yang akan datang dapat memperoleh keuntungan dari usaha

yang dimulai pada saat ini sehingga porsi keadilan akan disalurkan secara

distributif. Terakhir, Cooper percaya dengan adanya tindakan bersama maka akan

ada sebuah proses yang akan merubah perilaku ratusan juta manusia untuk menuju
pola hidup yang lebih ramah lingkungan.226

Setelah perjalanan panjang dari reaksi masyarakat internasional mengenai

isu perubahan iklim, pada era 1990-an rezim perubahan iklim memasuki babak

226 Lihat Richard N. Cooper., International Approaches to Global Climate Change., Working
Paper in Harvard University., hlm. 10-11.

104

baru.227 Terdapat 2 (dua) alternatif perumusan kebijakan pada saat itu yang

berkembang dalam memberikan perhatian lebih kepada perubahan iklim, pertama

adalah usulan dari Kanada untuk membuat suatu kebijakan yang bersifat umum

mengenai peraturan pada lapisan atmosfir seperti yang telah dibuat untuk

ekosistem laut yang terdapat dalam United Nations Convention on the Law of the

Sea (UNCLOS) pada tahun 1982. Kedua, merumuskan sebuah regulasi yang

secara khusus mengatur mengenai perubahan iklim seperti halnya pengaturan

mengenai perlindungan ozon yang dituangkan dalam The Vienna Convention for

the Protection of the Ozone Layer pada tahun 1985.228

Alasan pembenar bagi mereka yang mengusung model pertama adalah

dengan mengusung upaya perbaikan bagi atmosfir maka seketika pula akan

dilakukan upaya perbaikan secara komprehensif baik menyangkut semua hal yang

terkait dengan atmosfir itu sendiri termasuk isu perubahan iklim.229 Sedangkan

mereka yang mengusung opsi kedua menitikberatkan bahwa dengan adanya

227 Beberapa ahli mengatakan bahwa era 1990 merupakan generasi ketiga dari perkembangan
hukum lingkungan internasional. Generasi pertama bermula dari era 1970-an dengan milestone Konferensi
Stockholm pada tahun 1972 dan keberadaan United Nations Environment Programme (UNEP). Generasi
Kedua dilanjutkan pada era 1980-an dengan hadirnya beberapa pertemuan lingkungan internasional di
berbagai bidang seperti Abidjan Convention for Cooperation in the Protection and Development of the
Marine and Coastal Environment of the West and Central African Region pada tahun 1981, Lima
Convention for the Protection of the Marine Environment and Coastal Areas of the South- East Pacific
pada tahun 1981, Cartegena Convention for the Protection and Development of the Marine Environment
of the Wider Caribbean Region pada tahun 1985, Noumea Convention for the Protection of the Natural
Resources and Environment of the South Pacific Region pada tahun 1986. Sedangkan generasi ketiga
dalam hukum lingkungan internasional ditandai dengan keberadaan United Framework Convention on
Climate Change (UFCCC). Lihat Lynton K Caldwell, International Environmental Policy: Emergence
And Dimensions., Durham : Duke University Press, 1990., hlm. 83-85.

228 Lihat Durwood Zaelke dan James Cameron, “Global Warming and Climate Change – An
Overview of the International Legal Process”., American University International Law Review 5, no. 2.,
1990, hlm. 272.

229 Lihat Proceedings of the World Conference on the Changing Atmosphere: Implications for
Global Security, Toronto, June 27-30, 1988, WMO & U.N. Environment Program (UNEP), WMO/OMM
Doc. 710., hlm. 297.

105

pengaturan secara umum maka akan sulit untuk dilakukan dalam tataran politis
karena begitu banyak variabel yang akan terkait, bahkan dengan merujuk kepada
Protokol Montreal tingkat keberhasilannya jauh lebih tinggi sehingga dalam
tataran politis lebih aplikatif. 230

Dalam diskusi yang berlangsung pada era itu, masyarakat internasional
lebih memilih untuk merumuskan sebuah kebijakan tersendiri dalam konteks
perubahan iklim. Hal ini pun ditindaklanjuti dalam pertemuan lanjutan di bawah
naungan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dengan
kepemimpinan Amerika Serikat pada saat itu yang di hadiri oleh 43 Kepala
Pemerintahan.231 Hasil dari pertemuan IPCC's Response Strategies Working
Group tersebut menyatakan secara lebih detil dan serius mengenai perlu adanya
sebuah kerangka kerja terhadap permasalahan iklim yang menekankan pada usaha
pengawasan dan penilaian terhadap fenomena perubahan iklim serta melakukan
pengembangan terhadap kebijakan – kebijakan yang berkaitan dengan dampak dari
perubahan iklim tersebut.232

Rekomendasi dari IPCC untuk kemudian diajukan kepada United Nations
Environment Programme (UNEP) yang kemudian membuat keputusan untuk
memulai proses negosiasi. Hal ini pun diperkuat dengan adanya resolusi dari

230 Salah satu argumen yang mendukung pilihan dari opsi ini adalah pendapat Direktur Eksekutif
United Nation Environmental Programme (UNEP), Mostafa Tolba, mengatakan bahwa pilihan model
pertama untuk membuat regulasi atmosfir secara umum tidaklah realistis secara politis, sehingga Tolba
lebih cenderung kepada adanya regulasi yang bersifat khusus dan meruncing kepada satu konteks tertentu
seperti pemanasan global. Lihat Mostafa Tolba, A Step-by-Step Approach to Protection of the
Atmosphere, International Environmental Affair., Vol.1. 1989., hlm. 304.

231 Lihat Report of the 2nd Session of IPCC Working Group III/Response Strategies Working
Group, Geneva, Oct. 2-6, 1989, WMO & UNEP. , hlm., 65.

232 Ibid., hlm.1.

106

Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa yang berkaitan dengan perlindungan
iklim dan generasi mendatang dari umat manusia.233

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa dampak dari perubahan iklim
menurut perspektif ilmuwan bukan lagi sekadar hal yang bersifat kajian, namun
sudah menyentuh tataran dampak nyata. Berbagai bentuk dampak yang terjadi
paling tidak dapat dibedakan menurut kondisi yang sama pada saat ini sehingga
masing – masing negara mempunyai tingkat kerentanan yang berbeda satu sama
lain. Bahkan lebih daripada itu dampak dari perubahan iklim juga mengancam
generasi yang akan datang dengan merujuk dampak yang diterima saat ini sebagai
hasil dari generasi terdahulu. Dalam konteks sebagaimana diungkapkan di atas,
perlunya adanya pengarusutamaan nilai – nilai keadilan iklim sebagai respons
terhadap kenyataan yang terjadi.

Respon yang diberikan oleh masyarakat internasional dapat dilihat dari
besarnya atensi yang diberikan terhadap perubahan iklim yang terjadi. Bahkan
lebih daripada itu masyarakat internasional juga dalam bentuk kebijakan
internasional yang diawali dengan langkah – langkah negosiasi terkait perubahan
iklim. Pembahasan mengenai dinamika perhatian masyarakat internasional yang
dituangkan dalam berbagai bentuk pertemuan serta sumber hukum internasional
akan penulis lakukan di bab selanjutnya guna memberikan gambaran perubahan
iklim sebagai isu strategis di abad 21.

233 Lihat Report of the Ad Hoc Working Group of Government Representatives to Prepare for
Negotiations on a Framework Convention on Climate Change, Geneva, Sept. 24-26, 1990, UNEP/WMO
Doc. Prep./FCCC/L.1/REPORT.

BAB III
PILIHAN MODEL KOMITMEN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

YANG ADIL DAN EFEKTIF

Pada bab sebelumnya telah diuraikan beberapa hal yang menjadi landasan utama
dalam peningkatan kesadaran dan pengetahuan global terhadap perubahan iklim.
Hadirnya serangkaian fakta dan realita yang menunjukkan bahwa perubahan iklim
mengancam kehidupan umat manusia menuntut masyarakat internasional untuk
mengambil kebijakan dengan segera. Kontroversi juga terjadi dalam melihat kebijakan
perubahan iklim dalam perspektif keadilan iklim. Hadirnya perbedaan cara pandang
antara negara maju dan negara berkembang, membuat kadar nilai – nilai keadilan iklim
dalam perhatian internasional di bidang perubahan iklim dimaknai secara berbeda.

3.1. Pengantar
Salah satu hal penting dalam upaya penanggulangan isu perubahan iklim adalah

tanggapan dari setiap negara terhadap isu tersebut pada tingkatan global. Hal ini
semakin rumit pada saat seluruh komposisi zat – zat penyebab emisi gas rumah kaca
dari berbagai negara pada akhirnya akan bersatu di lapisan atmosfir. Dampaknya pun
sama dengan penyebab yang bersumbangsih. Keseluruhan ekosistem bumi akan
menerima dampaknya secara nyata, hanya tingkatan kesiapan dan tanggapan saja yang
berbeda – beda satu sama lain.

107

108

Dalam konteks di atas, salah satu hal yang menentukan terkait dengan upaya
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yaitu komitmen dalam rezim perubahan iklim.1

Sepanjang perjalanan dari rezim penanggulangan perubahan iklim paling tidak terdapat

2 (dua) tipe dari komitmen terkait regulasi dan institusi internasional yaitu pendekatan
berbasis bottom up dan pendekatan berbasis top down.2 Tipe yang pertama adalah tipe

penaatan yang mengusung pendekatan top down. Dalam model ini instrumen dan

institusi hukum internasional dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan hukum nasional. Oleh karena itu ekspektasi tingkat kepatuhan dari

masyarakat hukum pada tingkatan nasional untuk tunduk kepada institusi hukum
internasional diharapkan lebih tinggi.3

Sedangkan dalam model pendekatan berbasis bottom up berbasis pada

kenyamanan dari masing – masing negara dalam mewujudkan komitmen penurunan

……………

1 Rezim dalam konteks ini dimaknai sebagai sebuah kesatuan norma, prinsip dan institusi,
mekanisme yang diarahkan pada sebuah tujuan dengan menggunakan kebijakan dan intervensi terhadap
prilaku. Lihat Stephen D. Krasner., “Transforming International Regimes What the Third World Wants
and Why”., International Studies Quarterly, Vol. 25, No. 1, World System Debates, Mar., 1981., hlm.
119.

2 Lihat Daniel Bodansky., “A Tale of Two Architectures: The Once and Future U.N. Climate
Change Regime”., Arizona State Law Journal, Fall 2011., hlm. 698.

3 Pendekatan berbasis Top Down diartikan sebagai salah satu bentuk perumusan aturan yang
berbasis pada perjanjian yang bersifat multilateral atau universal dalam keanggotaannya. Dalam beberapa
konstruksi hukum internasional model seperti ini kerap kali dirujuk seperti yang dapat ditemukan dalam
International Monetary Fund dan World Bank Group. Salah satu contoh dari rezim perubahan iklim yang
menggunakan model ini dapat terlihat saat perumusan dari Protokol Kyoto yang menetapkan kewajiban
bagi negara – negara Annex untuk melakukan mitigasi gas rumah kaca dengan angka tertentu yang
dituangkan dalam Quantitative Emission Limitation and Reduction Objectives (QELROs). Lihat A.
Lowenfeld, International Economic Law., Oxford University Press, 2nd Edition, 2008, hlm.610. Lihat
pula Berlin Mandate: Review of the Adequacy of Article 4(2)(a) and (b) of the Convention, Dec. 1/CP.1,
in COP-1 Report, U.N. Doc FCCC/CP/1995/7/Add.1, hlm. 4.

109

emisi yang sanggup dilakukan.4 Pada bentuk ini masing – masing negara akan
mendeklarasikan komitmen mereka yang untuk kemudian akan dituangkan dalam suatu
perjanjian internasional dalam rangka melakukan tindakan mitigasi. Oleh karena itu
pada bentuk seperti ini kedaulatan dari masing – masing negara menjadi harga mutlak
untuk kemudian dikodifikasi oleh sistem hukum internasional.5

Dalam rangka menguji keabsahan dari kedua pendekatan di atas, penulis akan
menggunakan tolak ukur keadilan dan efektifitas. Kedua tolak ukur ini menjadi penting
untuk digunakan terkait dengan pisau uji terhadap konsep komitmen penaatan yang
berkembang dalam ranah hukum perubahan iklim. Untuk variabel keadilan tolak ukur
yang akan digunakan adalah distribusi tanggung jawab dari masing – masing negara
………..

4 Aliran neo realisme ini menekankan pada kenyamanan dari negara sebagai subyek pelaksana
aturan menjadi tumpuan penting. Institusi internasional dimaknai sebagai sebuah gejala dari kehendak
nasional yang dituangkan dalam sebuah instrumen internasional. Model ini menjanjikan bahwa selama
negara merasa nyaman maka selama itu pula dirinya akan tunduk namun pada saat kenyamanan tersebut
tidak ada lagi maka seketika tidak akan terjadi penaatan. Lihat Xinyuan Dai., “Global Regime and
National Change”, Climate Policy, 2010., 10:6, hlm. 624.

5 Dalam konteks rezim perubahan iklim pendekatan ini digunakan dalam pendekatan yang

diusung pada model hasil Copenhagen Accords yang meminta masing – masing negara untuk mengajukan

mitigasi yang akan dilakukan. Hal ini yang kemudian dikenal dengan istilah Nationally Appropriate

Mitigation Actions (NAMA’s). Diharapkan dalam model ini akan lebih tepat sasaran. Lihat dalam

Copenhagen Accord, Dec. 18, 2009, in COP-15 Report, U.N. Doc. FCCC/CP/2009/11/Add.1. Lihat pula

Lihat Report of the Conference of the Parties on its sixteenth session, held in Cancun from 29 November

to 10 December 2010 Addendum Part Two: Action taken by the Conference of the Parties at its sixteenth

session., FCCC/CP/2010/7/Add.1 terdapat dalam situs

http://unfccc.int/resource/docs/2010/cop16/eng/07a01.pdf diakses pada tanggal 1 Juli 2013.

110

berdasarkan kontribusinya terkait dengan dampak perubahan iklim yang terjadi.6
Sedangkan variabel efektifitas akan melakukan kajian terhadap instrumen yang memang
mampu untuk mencapai tujuan dari sebuah rezim yang dituangkan dalam regulasi
perubahan iklim.7

3.2. Peran dan Kepentingan Nasional dalam Rezim Perubahan Iklim
Dalam realitas politik global, perebutan pengaruh dan kepentingan menjadi

prioritas utama baik bagi negara – negara dan entitas lainnya yang berkeinginan untuk
memberikan dominasi kekuasaan. Hal yang serupa pun terjadi dalam konteks perubahan
iklim dengan mendudukkan negara – negara lemah hanya akan menjadi penguasa tanpa
kekuasaan yang nyata sehingga tidak mampu untuk melakukan tawar – menawar dalam
perundingan global terkait perubahan iklim.

Antonio Cassase pada tahun 1986 telah mengutarakan bahwa negara – negara
Barat yang identik dengan negara maju memiliki sikap yang berbeda dalam memandang
hukum internasional dengan negara Timur atau negara berkembang. Negara barat dalam
perspektif Cassase memiliki kultur bahwa hukum internasional sangat dihormati dan
wajib untuk dipatuhi dalam interaksi antar negara. Namun, Cassase mengingatkan

6 Model seperti ini kerap kali disebut dengan Causal Responsibility. Paling tidak terdapat 2 (dua)
alasan utama penulis menggunakan model ini sebagai pisau analisis. Pertama, dengan mengusung Causal
Responsibility dapat menyentuh langsung kepada pelaku emisi besar dengan mengedepankan konsep
Polluter Pays Principle yang akan bertanggungjawab kini maupun yang akan datang. Kedua, terjadi
hubungan yang tidak simetris antara negara – negara pengguna bahan bakar fossil dengan negara yang
menjual bahan bakar fossilnya. Model tanggung jawab seperti ini akan memberikan beban tanggung jawab
yang tepat pada kontributor perubahan iklim. Lihat Sonja Klinsky & Hadi Dowlatabadi.,
“Conceptualizations of Justice in Climate Policy”, Climate Policy, 9:1, hlm. 90.

7 Dalam konteks perubahan iklim Secara spesifik, di dalam Pasal 2 UNFCCC tersebut dinyatakan
bahwa tujuan UNFCCC adalah: “.... to stabilize greenhouse gas concentrations in the atmosphere at a
level that would prevent dangerous anthropogenic interference with the climate system”. Ini artinya bahwa
masyarakat dunia sepakat untuk menjaga kestabilan konsentrasi GRK dengan melindunginya dari kegiatan
manusia yang akan mengganggu kestabilan iklim.

111

bahwa negara barat justru akan memasukkan kepentingan – kepentingan di negaranya
sendiri dalam perumusan sebuah instrumen hukum internasional. Sedangkan negara –
negara Timur kerap kali mempunyai ekspektasi bahwa hukum internasional dapat
memberikan perlindungan terhadap kepentingan dari negara berkembang tersebut.8

Hal ini sejalan dengan pemikiran dari penganut Critical Legal Studies yang
mempunyai preposisi awal bahwa hukum dalam politik dalam kemasan yang berbeda
sehingga hukum akan berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuatan. Bersandar
pada kenyataan bahwa dalam perumusan sumber hukum internasional, negara maju
menjadikan hukum internasional sebagai sarana penekan kepada negara maju dalam
rangka kepentingan negara maju.9

Namun fenomena yang menarik dalam pembahasan hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Nico Krisch adalah adanya fenomena dari negara – negara maju
untuk melakukan perlawanan atau penarikan diri pasca terbentuknya sebuah sumber
hukum internasional tersebut. Amerika Serikat merupakan salah satu contoh negara
yang dapat digunakan dalam menggambarkan hal ini. Dalam beberapa sejarah dinamika
hadirnya sumber hukum internasional, terlihat Amerika Serikat berada dalam posisi
yang anomali seperti yang tergambar dalam tindakan untuk inisiatif namun saat sudah
terbentuk justru menarik diri dalam tataran implementasi seperti yang terjadi Convention

8 Lihat Antonio Cassase, International Law in Divided World., (Oxford: Oxford University Press,
1986)., hlm. 106-107.

9 Lihat Louis Henkin. et. al., International Law : Politics and Values., (Dordrecht : Martmus
Nijhoff Publishers, 1996)., hlm. 79.

112

on Biodiversity, Comprehensive Test Ban Treaty, Convention on Landmines, Statute of
the International Criminal Court serta nasib yang sama pula menimpa Kyoto Protocol.10

Tidak dapat dipungkiri proses negosiasi dalam pembentukan sebuah perjanjian
internasional memiliki peran yang penting dalam rangka menginternalisasi sebuah
kepentingan negara dalam regulasi. Latar belakang kondisi kepentingan yang sama pun
menjadi alasan kuat bergabungnya beberapa negara dalam pembahasan perubahan iklim.

Dalam Konvensi Perubahan Iklim secara umum pada awalnya terdapat 2 (dua)
kelompok besar negara-negara, yang terbagi dalam kelompok negara maju dan
kelompok negara berkembang.11 Secara lebih khusus, kedua kelompok besar tersebut
terbagi pula dalam beberapa kelompok kecil dengan kepentingan yang lebih spesifik
satu sama lain.

Kelompok yang relatif besar dan memiliki anggota cukup banyak adalah
keberadaan dari Uni Eropa (European Union). Keberadaan Uni Eropa mengalami
pergerakan dari awalnya pada tahun 1992 memiliki 15 anggota negara sekarang menjadi
27 negara anggota yang terdiri dari Swedia (sejak 1 Januari 1995), Finlandia (sejak 1
Januari 1995), Estonia (sejak 1 Mei 2004), Latvia (sejak 1 Mei 2004), Lithuania (sejak 1
Mei 2004), Polandia (sejak 1 Mei 2004), Denmark (sejak 1973), Jerman (sejak
permulaan), Belanda (sejak permulaan), Belgia (sejak permulaan), Luxemburg (sejak
permulaan), Irlandia (sejak 1973), Britania Raya (sejak 1973), Perancis (sejak

10 Lihat Nico Krisch., “International Law in Times of Hegemony: Unequal Power and the
Shaping of the International Legal Order”., The European Journal of International Law, Vol. 16(3), 2005.,
hlm. 20.

11 Sebenarnya di luar dari 2 (dua) kelompok ini terdapat pula kelompok lainnya seperti Non-
government Organization dan Lembaga Internasional, namun kedua kelompok ini tidak memiliki suara
dalam negosiasi dan tidak memiliki akses terhadap pertemuan – pertemuan tertentu.

113

permulaan), Portugal (sejak 1986), Spanyol (sejak 1986), Italia (sejak permulaan), Malta
(sejak 1 Mei 2004), Austria (sejak 1 Januari 1995), Slovenia (sejak 1 Mei 2004),
Republik Ceko (sejak 1 Mei 2004), Slovakia (sejak 1 Mei 2004), Hongaria (sejak 1 Mei
2004), Yunani (sejak 1981), Siprus selatan (sejak 1 Mei 2004), Bulgaria (sejak 1 Januari
2007) dan Rumania (sejak 1 Januari 2007).12

Dalam rezim perubahan iklim kedudukan Uni Eropa secara utuh memberikan
corak tersendiri dalam perjalanan perubahan iklim dengan perspektif negara maju. Hal
ini paling tidak mulai berlangsung pada saat diadakannya beberapa pertemuan penting
pada tahun 2007 seperti pertemuan G-8, pertemuan Badan Keamanan PBB hingga
pertemuan Sidang Umum PBB yang menjadikan isu perubahan iklim sebagai salah satu
sorotan utama.13

Uni Eropa memiliki kepentingan besar terutama pada saat kelompok ini menjadi
salah satu importir besar bahan bakar fosil. Produksi domestik bahan bakar fosil yang
dimiliki Uni Eropa sendiri hanya mampu untuk mengatasi separuh dari kebutuhan bahan
bakar fosil yang diperlukan. Ketergantungan yang begitu tinggi terhadap hadirnya bahan
bakar fosil membuat masyarakat Uni Eropa mempunyai posisi strategis untuk
mengambil langkah pengembangan energi alternatif atau justru memperparah kebutuhan
dan semakin merusak keberlanjutan iklim. Oleh karena itu hadirnya isu perubahan iklim
menjadi peluang untuk Uni Eropa dalam memimpin isu perubahan iklim pada tataran

12 Lihat informasi sejarah Uni Eropa yang terdapat dalam http://europa.eu/about-
eu/countries/index_en.htm., diakses pada tanggal 1 November 2012.

13 Lihat Sebastian Oberthür & Claire Roche Kelly., “EU Leadership in International Climate
Policy: Achievements and Challenges, The International Spectator”., Italian Journal of International
Affairs, Vol. 43(3), 2008, hlm.35.

114

internasional dengan melakukan strategi penghematan bahan bakar fossil dan
mengembangkan energi alternatif.14

Namun sayangnya, pada tataran internal Uni Eropa sendiri terdapat perbedaan
kepentingan yang diusung masing-masing. Yunani, Portugal dan Spanyol adalah tiga
negara dalam lingkup Uni Eropa yang dapat dinilai memiliki kondisi ekonomi
tertinggal, oleh karena itu segala kebijakan dilandasi kepentingan memperbaiki ekonomi
yang meninggalkan variabel perlindungan iklim. Atas dasar pemikiran seperti itu ketiga
negara tersebut mempunyai usulan jika rencana pembatasan emisi harus tetap dilakukan
maka mereka menuntut mendapatkan kompensasi dari negara – negara maju di Uni
Eropa lainnya seperti Denmark, Jerman dan Belanda.15

Kondisi dikotomi North South di lingkup Uni Eropa sendiri semakin tajam pada
saat negara – negara di Eropa Timur dan Eropa Tengah bergabung dalam Uni Eropa.
Negara – negara yang bergabung dengan Uni Eropa seperti halnya Polandia, Hongaria,
Czechoslovakia, Estonia dan Slovenia yang notabene berada dalam tingkat kemapanan
yang berbeda dengan negara maju lainnya dalam Uni Eropa.16

14 Pada tahun 2006 Uni Eropa telah memiliki regulasi terkait penghematan energi alternatif
sebagaimana termuat dalam Directive 2006/32/CE. Lihat dalam A. Bengochea & O. Faet., “Renewable
Energies and CO2 Emissions in the European Union, Energy Sources”., Economics, Planning, and Policy,
7:2, 2012., hlm. 122. Lihat pula Sebastian Oberthür “The European Union’s Performance in the
International Climate Change Regime”, Journal of European Integration, 33:6, 2011., hlm. 670.

15 Ibid., hlm. 671. Lihat pula Ian Bailey ”Climate change policy in the European Union:
confronting the dilemmas of mitigation and adaptation”, Journal of Integrative Environmental Sciences,
7:4, 2010, hlm. 320.

16 Lihat Anne Therese Gullberg “Access to Climate Policy-making in the European Union and in
Norway”, Environmental Politics, 20:4, 2011, hlm. 470. Lihat pula Wil Arts & Loek Halman., “Identity:
The Case of the European Union”., Journal of Civil Society, 2:3, 2006., hlm. 183.

115

Kelompok negara – negara maju lain yang berada di luar Uni Eropa (Non UE)
tergabung dalam kelompok yang dikenal dengan akronim JUSSCANNZ yaitu negara
Jepang, Amerika Serikat, Switzerland, Canada, Australia, Norwegia, dan Selandia Baru.
Kelompok ini saling bertukar informasi dengan membentuk forum diskusi dengan
kelompok negara lain seperti Meksiko dan Korea Selatan. Negara lain terbuka untuk
masuk ke dalam forum diskusi kelompok ini. Seringkali dalam banyak hal pendapat dari
JUSSCANNZ berseberangan dengan pendapat yang diusung oleh Uni Eropa.17

Karakteristik kepentingan pada umumnya dari JUSSCANZ adalah berupa
kepentingan untuk mengarusutamakan kegiatan mitigasi yang dilakukan di luar
yurisdiksi negara yang bersangkutan. Hal ini dilatarbelakangi oleh tingginya biaya
(opportunity cost)18 jika semua tindakan mitigasi dilakukan dalam lingkup domestik.
Atas pertimbangan yang sama pula, JUSSCANZ lebih menghendaki agar penurunan
emisi dilakukan tidak secara ketat.19

Kelompok JUSSCANZ memiliki heterogenitas tinggi dalam kondisi latar
belakang anggota-anggotanya. Jepang misalnya, selaku negara dengan jumlah emisi
terbesar kedua di kelompok ini lebih mengutamakan pada efisiensi energi yang berasal
dari minyak bumi.20 Dalam kondisi demikian, Jepang melihat isu perubahan iklim

17 Lihat Ingrid Barnsley “Dealing with Change: Australia, Canada and the Kyoto Protocol to the
Framework Convention on climate change,” The Round Table: The Commonwealth Journal of
International Affairs, 95:385, 2006., hlm. 342.

18 Opportunity Cost berarti sebuah bentuk kesempatan yang hilang akibat memilih sebuah opsi
(pilihan) yang tersedia. Lihat dalam Surna T Djajadiningrat., Pengantar Ekonomi Lingkungan., Jakarta :
LP3ES., 1997., hlm. 16

19 Ibid., hlm. 346.
20 Sebastian Oberthur dan Hermann E. Ott., The Kyoto Protocol : International Climate Policy
for the 21st Century., Springer, 1999., hlm. 20

116

sebagai peluang untuk mempromosikan energi alternatif seperti pemberdayaan nuklir
sebagai komoditi pasar dunia dalam konvensi dan protokol yang akan dianut kemudian
hari.21

Berbeda dengan kedudukan Jepang, Amerika Serikat selaku emitter nomor satu
di dunia memiliki kemampuan negosiasi yang relatif kuat dalam praktek-praktek
diplomasi yang dilakukan. Posisi Amerika Serikat sendiri dalam konteks penggunaan
energi dapat dikatakan berada dalam posisi yang paradoks. Pada satu isi Amerika adalah
negara produsen batu bara, minyak dan gas terbesar di dunia.22 Namun pada saat yang
bersamaan Amerika Serikat juga merupakan salah satu importir produk energi.23 Salah
seorang campaigner perubahan iklim dari Amerika Serikat, Al Gore, sempat mengkritik
keras adanya kebijakan harga energi di lingkup domestik Amerika Serikat yang begitu
rendah, yang oleh Al Gore dipercaya sebagai salah satu faktor yang menyebabkan
tingginya konsumsi energi di Amerika Serikat.24

Pasca hadirnya Protokol Kyoto dengan sejumlah instrumen penurunan emisi di
dalamnya, kelompok payung hadir sebagai salah satu bentuk kelanjutan dari
JUSSCANNZ. Terdapat beberapa negara yang masuk dalam Umbrella Group ini, yaitu
Eslandia, Rusia dan Ukraina, Amerika Serikat dan Jepang. Sedangkan Swiss lebih
memilih untuk berpisah dari kelompok JUSSCANNZ dan Kelompok Payung untuk

21 Lihat dalam Yasuo Takao “The Transformation of Japan's Environmental Policy”,
Environmental Politics, 21:5, 2012., hlm. 776.

22 Lihat Peter Newell & Matthew Paterson., “A Climate for Business : Global Warming, the State
and Capital”., Review of International Political Economy, 5:4., 1998., hlm. 683.

23 Ibid.
24 Lihat Joanna Depledge “Against the grain: the United States and the global climate change
regime, Global Change, Peace & Security”., Pacifica Review: Peace, Security & Global Change, 17:1,
2005, hlm.16.

117

selanjutnya membentuk Environment Integrity Group bersama Meksiko dan Korea
Selatan.25

Pasca hadirnya Protokol Kyoto posisi Amerika Serikat dan Jepang di dalam
Kelompok Payung tidak mengalami banyak perubahan. Bahkan Amerika Serikat
cenderung untuk menghambat proses ratifikasi dengan menghapus dana riset dan
insentif pajak dalam lingkup domestik.26 Lebih dari itu, Amerika Serikat juga tidak
merasa canggung untuk menunjuk India dan Cina, dengan jumlah penduduknya yang
besar, sebagai negara yang harus turut bertanggung jawab dalam upaya mitigasi.27

Sementara Rusia sebagai pendatang baru dalam kelompok ini dapat dikatakan
belum dapat mempunyai kebijakan yang relatif pro terhadap upaya mitigasi terkait
dengan kondisi krisis keuangan pada tahun 1998.28 Kondisi kebijakan yang kurang
mendukung aksi perubahan iklim juga ditunjukkan oleh negara – negara anggota lainnya
seperti Australia, Kanada dan Selandia Baru pada saat itu. Hal ini dilatarbelakangi oleh
keadaan finansial yang belum stabil sehingga kepentingan perubahan iklim masih
terabaikan. Dalam konteks kekinian, Kanada justru mengambil sikap untuk
mengundurkan diri dari skema dalam Protokol Kyoto pada saat diselenggarakannya
…………..

25 Lihat Daniel Mudyarso., Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim.,
KOMPAS., 2004., hlm. 51.

26 Ibid.
27 Ibid.
28 Lihat Nikitina Elena., “Russia : Climate Policy Formation and Implementation During the
1990s”., Climate Policy, 1:3, 2001., hlm. 292.

118

Konferensi Para Pihak ke 17 yang berlangsung di Durban, Afrika Selatan pada tahun
2011.29 Dalam bentuk yang berbeda, Selandia Baru memutuskan untuk tidak mengikuti

periode komitmen kedua dari Protokol Kyoto. Selandia Baru mengambil posisi ini untuk

kemudian dapat bergabung dengan beberapa negara besar seperti Amerika Serikat dan
Jepang dalam membuat mekanisme tersendiri dalam upaya mitigasi gas rumah kaca.30

Saat ini dalam perundingan berlakunya komitmen kedua (pasca 2012) dari Protokol

Kyoto baik Rusia maupun Jepang bersepakat untuk tidak mengambil peran dalam upaya
perbaikan iklim secara global.31 Sedangkan Australia memilih untuk melanjutkan pasca

periode komitmen kedua dari Protokol Kyoto dengan pertimbangan terdapat banyak

………….

29 Kanada merupakan negara yang pertama kali melakukan pengunduran diri dari periode
komitmen pertama Protokol Kyoto. Adapun yang menjadi latar belakang tindakan ini karena besarnya
beban yang harus ditanggung oleh warga Kanada dalam rangka penaatan terhadap Protokol Kyoto.
Sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Lingkungan Kanada, Peter Kent “"That's $1,600 from every
Canadian family-that's the Kyoto cost to Canadians, that was the legacy of an incompetent Liberal
government". Terdapat dalam situs http://www.bbc.co.uk/news/world-us-canada-16151310 diakses pada
tanggal 2 Januari 2013.

30 Lihat dalam “Government shuns second Kyoto commitment” terdapat dalam situs
http://www.stuff.co.nz/dominion-post/news/politics/7929559/Government-shuns-second-Kyoto-
committment diakses pada tanggal 1 Januari 2013.

31 Dalam tindak lanjut periode komitmen kedua dari Protokol Kyoto Pemerintahan Rusia melalui
Juru Bicara Menteri Luar Negeri Alexander Lukashevich menyatakan bahwa regulasi tidak akan berjalan
efektif seperti yang dikemukakan dalam pernyatannya “The Russian Federation finds the extension of the
Kyoto protocol in its current state ineffective and does not intend to take on obligations to lower
greenhouse gas emissions as part of the so-called second round of liabilities”. Lihat dalam “Russia Will
Not Cut Emissions Under Extended Kyoto Climate Pact” terdapat dalam situs
http://www.reuters.com/article/2012/09/13/us-russia-kyoto-idUSBRE88C0QZ20120913 diakses pada
tanggal 1 April 2013. Sedangkan Jepang mengambil keputusan untuk menolak pula periode komitmen
kedua dari Protokol Kyoto (pasca 2012) dalam pertemuan pada Mei 2012 sebagaimana terdapat dalam
“Bonn Climate Talks: EU Plays Down Talk of Kyoto Protocol Rift” terdapat dalam situs
http://www.guardian.co.uk/environment/2012/may/16/bonn-climate-talks-eu-kyoto diakses pada tanggal 1
April 2013.

119

keuntungan yang akan diperoleh oleh Australia dengan mekanisme berbasis pasar di
dalam usaha penurunan emisi gas rumah kaca.32

Pada dimensi yang lain, solidaritas dari negara – negara berkembang dapat

dikatakan relatif kuat. Beberapa hal yang melatarbelakangi ini antara lain adalah kondisi

latar belakang yang sama-sama pernah menjadi bangsa yang dijajah oleh negara Barat

sehingga mereka mempunyai kesamaan cara pandang terhadap hegemoni dari negara
Barat.33 Bersandar pada pemahaman tersebut, negara – negara ini kemudian membentuk

Kelompok 77 (G 77) yang dimulai pada tahun 1964 dalam konteks UN Conference on

Trade and Development (UNCTAD) dan terus berlanjut dalam forum internasional

hingga kini beranggotakan 130 negara. Kehadiran Cina dalam lingkup G 77 selalu

didasarkan kepada justifikasi dari Cina bahwa mereka bagian dari negara berkembang
sehingga sekarang lebih dikenal dengan G 77 + Cina.34

Dalam konteks rezim perubahan iklim, keberadaan G 77 + Cina pun mengambil

peran dalam beberapa proses perundingan seperti yang terlihat dalam konteks

mekanisme keuangan dan transfer teknologi. Namun karena jumlah yang begitu besar

32 Lihat dalam Siaran Pers Resmi dari Minister for Climate Change and Energy Efficiency, yang
memuat pernyataan sikap dari Australia sebagai berikut :

• Continued progress in international negotiations towards the new 2015 agreement. This will
require serious commitments from all countries, developed and developing alike.

• The second commitment period ending in 2020 in line with the start of the new agreement.
• Access to the Kyoto market mechanisms, including the Clean Development Mechanism, from 1

January 2013.
• The existing land sector rules continuing, providing opportunities to cut emissions through

better land management, including under the Carbon Farming Initiative.
• The rules applying to carryover of units from the first commitment period of the Kyoto

Protocol being appropriate for Australia.
Terdapat dalam situs http://www.climatechange.gov.au/minister/greg-combet/2012/media-
releases/November/MR-302-12.aspx diakses pada tanggal 1 Januari 2013.
33 Lihat Ia Clark, Hegemony in International Society., Oxford ; New York : Oxford University
Press, 2011., hlm. 210.
34 Daniel Mudyarso., Op. Cit., hlm. 58.

120

dan kepentingan yang beragam antara negara satu dengan yang lain, maka terdapat
beberapa sub kelompok yang terdiri dari AOSIS (Alliance of Small Islands States),
OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) , GRILA (Group of Latin
America) dan Kelompok Afrika.35

Negara-negara yang tergabung dalam AOSIS didasari pada kepentingan yang
sama, yaitu bahwa 42 negara yang tergabung di dalamnya memiliki tingkat kerentanan
yang tinggi terhadap dampak kenaikan air laut yang timbul dari perubahan iklim.36
Karena tidak semua anggota AOSIS merupakan negara anggota G 77 + Cina, maka
negara-negara ini berkeyakinan untuk membuat suatu kelompok tersendiri untuk
mengadvokasi kepentingannya dalam forum perubahan iklim internasional.
Pengutamaan dari kelompok ini terhadap isu perubahan iklim dibuktikan pada saat
kelompok ini yang pertama kali mengajukan usulan bentuk Protokol yang akan dianut
pada Pertemuan Para Pihak Pertama kali pada tahun 1994.37 Selain itu kelompok ini
pula lah yang menghendaki adanya target penurunan emisi sebesar 20% yang dapat
dicapai pada tahun 2005 bukan hanya 5% dalam jangka waktu 2008 – 2012 seperti yang
diadopsi sekarang ini.38

35 Ibid., hlm. 56.
36 Lihat Carola Betzold , Paula Castro & Florian Weiler., “AOSIS in the UNFCCC Negotiations:
from Unity to Fragmentation ?”., Climate Policy, 12:5, 2012., hlm. 591.
37 Ibid., hlm. 594.
38 Daniel Mudyarso., Op. Cit.

121

Pecahan dari negara G 77 + Cina lainnya adalah kelompok negara-negara
pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC.39 Sebagai negara dengan jumlah
minyak yang surplus jelas kepentingan dari OPEC adalah terus melakukan kegiatan
ekspor minyak dan gas yang dimiliki. Memang di dalam negara – negara anggota OPEC
sendiri memiliki ketergantungan yang variatif terhadap sektor minyak dan gas. Hal ini
pula yang melatarbelakangi tingginya kepentingan dari negara-negara OPEC untuk tetap
dapat menjual minyak dan gas yang dimiliki. Di sisi lain, isu perubahan iklim dimaknai
oleh negara-negara OPEC sebagai bentuk ancaman terhadap kepentingan mereka karena
isu perubahan iklim dapat memaksa negara-negara eksportir minyak ini untuk
melakukan diversifikasi usaha dalam rangka menekan laju emisi.40

Kelompok selanjutnya berada dalam kepentingan untuk tetap mendapatkan
kesempatan melakukan pembangunan dalam dimensi ekonomi yang dikemas dalam
kelompok GRILA. Pada awalnya kelompok informal ini beranggotakan Argentina,
Bolivia, Cili, Kostarika, Dominika, Ekuador, El Savador, Guatemala, Honduras,
Kolombia, Kuba, Meksiko, Nikaragua, Panama, Paraguay dan Uruguay. Negara-negara
ini berharap bahwa mereka dapat meningkatkan kondisi perekonomian dengan menarik
proyek – proyek berbasis Clean Development Mechanism termasuk dalam sektor
LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) yang merupakan salah satu

39 OPEC adalah organisasi yang bertujuan menegosiasikan masalah-masalah mengenai produksi,
harga dan hak konsesi minyak bumi dengan perusahaan-perusahaan minyak yang didirikan pada tanggal
14 September 1960 dan bermarkas di Wina, Austria. Pada awalnya OPEC beranggotakan 5 (lima) negara
utama yang kemudian menjadi pendiri yaitu Republik Islam Iran, Irak, Kuwait, Arab Saudi dan Venzuela.
Lihat informasi dalam http://www.opec.org/opec_web/en/about_us/25.htm diakses pada tanggal 25
November 2012.

40 Daniel Mudyarso., Op. Cit., hlm. 57.

122

instrumen penurunan emisi dalam skema Protokol Kyoto.41 Dalam perkembangannya
kelompok informal ini melakukan peleburan dengan beberapa negara yang berada di
kawasan Laut Karibia sehingga menjelma menjadi 33 negara nama GRULAC (Group of
Latin America and Caribbean).

Sub kelompok terakhir yang hadir adalah Kelompok Afrika yang terdiri dari
negara – negara yang terletak di Benua Afrika. Sub kelompok ini memiliki kepentingan
kerentanan yang tinggi namun dalam bentuk kelaparan dan anomali cuaca. Kondisi ini
diperburuk pula dengan keterbatasan mereka dalam melakukan tindakan berbasis
mitigasi maupun adaptasi dengan keterbatasan sumber daya manusia maupun
infrastruktur di dalamnya.42

Indonesia sendiri berada dalam posisi irisan di beberapa kelompok. Indonesia
sempat berada dalam kelompok negara-negara OPEC namun seiring dengan keluarnya
Indonesia dari keanggotaan OPEC pada Januari 2009, maka Indonesia tidak lagi
tergabung dalam kepentingan tersebut. Indonesia bahkan pernah menjadi ketua
kelompok G77 + Cina pada saat diadakannya pertemuan tahunan perubahan iklim di
Buenos Aires pada tahun 1998. Memang Indonesia sendiri relatif dikenal dalam
negosiasi perubahan iklim sebagai “anak baik” karena cenderung mengutamakan
kepentingan bersama dan seringkali mengabaikan kepentingan negara sendiri. Hal ini
misalnya dapat dilihat dari tindakan Indonesia saat Indonesia mendaftarkan komitmenya
sebagai hasil dari Copenhagen Accord untuk menurunkan emisi sebesar 26% tanpa
bantuan asing dan 41% dengan bantuan asing. Sayangnya, dengan berlindung di balik

41 Ibid., hlm. 58.
42 Ibid.

123

prinsip Unanimity, Indonesia seringkali tidak mampu memberikan langkah tegas untuk

menolak persetujuan pada tingkat internasional dalam usaha perbaikan iklim dengan
memperhatikan kerentanan yang dimiliki pada tingkat nasional.43

TABEL III.1
KELOMPOK NEGARA DAN KEPENTINGAN DALAM PERUNDINGAN

PERUBAHAN IKLIM

KELOMPOK KEPENTINGAN DALAM NEGOSIASI PERUBAHAN
NEGARA IKLIM

Uni Eropa Kebutuhan yang tinggi terhadap sumber energi bahan bakar
fossil sehingga mendorong kebijakan yang berbasis lahirnya
Uni Eropa Bagian rendah emisi dan bahan bakar alternatif
Selatan (Yunani, Bagian dari negara Eropa dengan struktur ekonomi tertinggal
Portugal dan sehingga variabel lingkungan hidup kurang menjadi prioritas
Spanyol) sehingga dalam negosiasi kepentingan ekonomi menjadi
Uni Eropa Bagian variabel utama
Utara (Belanda, Bagian dari negara Eropa yang relatif sudah mapan, prioritas
Denmark dan pembenahan perubahan iklim sudah kuat. Di sisi lain negara
Jerman) Eropa bagian Selatan minta di subsidi oleh negara Eropa Utara.
JUSSCANNZ
(Jepang, Amerika Kepentingan untuk mengarusutamakan kegiatan mitigasi yang
Serikat, dilakukan di luar yurisdiksi negara yang bersangkutan. Hal ini
Switzerland, dilatarbelakangi oleh tingginya biaya (opportunity cost) jika
Canada, Australia, semua tindakan mitigasi dilakukan dalam lingkup domestik.
Norwegia, dan
Selandia Baru) Mengedepankan tanggung jawab yang sama untuk seluruh
Umbrella Group negara di dunia terkait perubahan iklim. Bahkan cenderung
(Eslandia, Rusia, untuk menghambat proses ratifikasi dengan menghapus dana
Ukraina, Amerika riset dan insentif pajak dalam lingkup domestik
Serikat dan Jepang) Mendorong adanya kepemimpinan dari negara – negara maju
Environment dengan kondisi ekonomi yang sudah mapan dalam negosiasi
Integrity Group perubahan iklim
(Swiss, Meksiko dan
Korea Selatan) Mendorong kepentingan negara berkembang dengan skema
G 77 + Cina perundingan melalui instrumen mekanisme keuangan dan
transfer teknologi.

43 Penulis mendapatkan kesimpulan ini melalui wawancara dengan DELRI (Delegasi Republik
Indonesia) Ari Wahyudi saat melakukan wawancara di kantor Dewan Nasional Republik Indonesia pada
pertengahan 2012.

124

AOSIS (Alliance of Satuan kecil dari G77 + Cina yang di dalamnya memiliki

Small Islands States) tingkat kerentanan tinggi terhadap dampak kenaikan air laut

yang timbul dari perubahan iklim. Pengutamaan dari kelompok

ini terhadap isu perubahan iklim dibuktikan pada saat

kelompok ini yang pertama kali mengajukan usulan bentuk

Protokol yang akan dianut pada Pertemuan Para Pihak Pertama

kali pada tahun 1994. Selain itu kelompok ini pula lah yang

menghendaki adanya target penurunan emisi sebesar 20% yang

dapat dicapai pada tahun 2005 bukan hanya 5% dalam jangka

waktu 2008 – 2012 seperti yang diadopsi sekarang ini.

OPEC Isu perubahan iklim dimaknai oleh negara-negara OPEC

(Organization of sebagai bentuk ancaman terhadap kepentingan mereka karena

Petroleum Exporting isu perubahan iklim dapat memaksa negara-negara eksportir

Countries) minyak ini untuk melakukan diversifikasi usaha dalam rangka

menekan laju emisi

GRILA (Group of Negara-negara ini berharap bahwa mereka dapat meningkatkan

Latin America) kondisi perekonomian dengan menarik proyek – proyek

berbasis Clean Development Mechanism termasuk dalam

sektor LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry)

yang merupakan salah satu instrumen penurunan emisi dalam

skema Protokol Kyoto

African Group Kelompok ini memiliki kepentingan kerentanan yang tinggi

namun dalam bentuk kelaparan dan anomali cuaca. Kondisi ini

diperburuk pula dengan keterbatasan mereka dalam melakukan

tindakan berbasis mitigasi maupun adaptasi dengan

keterbatasan sumber daya manusia maupun infrastruktur di

dalamnya

Sumber : Modifikasi Penulis dari informasi yang diuraikan sebelumnya.

3.3. Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim dalam Kerangka United Nations
Framework Convention On Climate Change (UNFCCC) dan
Kelengkapannya
Dalam hadirnya sebuah kebijakan internasional tentu sarat dengan

kepentingan dan adanya perundingan yang melatarbelakanginya. Dalam bagian ini
penulis akan memberikan deskripsi terkait dengan proses pembentukan dari United

125

Nations Framework Convention On Climate Change (UNFCCC) mulai dari pra
hadirnya regulasi tersebut hingga isi dari ketentuan yang ada.
3.3.1. Tahapan Sebelum UNFCCC

Setelah melalui proses negosiasi dalam kerangka kepentingan negara dan
kelompok negara maka tahapan selanjutnya kesepakatan mengenai regulasi yang
lebih nyata. Tahapan selanjutnya dalam perjalanan rezim perubahan iklim dimulai
pada pasca tahun 1990. Periode pada waktu ini memiliki peran penting bagi
masyarakat internasional secara keseluruhan maupun bagi perkembangan masalah
lingkungan hidup pada khususnya.

Dalam perspektif hukum lingkungan internasional secara umum pada kurun
waktu ini ditandai dengan setidaknya 2 (dua) kejadian penting yaitu diadakannya
pertemuan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED)
di Rio de Janeiro pada tahun 1992 serta terbentukanya badan khusus Perserikatan
Bangsa Bangsa yang membawahi khusus masalah lingkungan hidup yang dikenal
dengan United Nations Environment Programme (UNEP).44

Hal lain yang menggambarkan begitu besarnya perhatian masyarakat
internasional terhadap perubahan iklim salah satunya terlihat pada saat Majelis
Umum Perserikatan Bangsa Bangsa mendirikan Intergovernmental Negotiating
Committee (INC) yang bertugas untuk mempersiapkan kerangka kerja dari Konvensi

44 Pada tahun yang sama juga terjadi beberapa proses negosiasi dalam berbagai bidang di dalam
konteks lingkungan hidup seperti pembahasan mengenai keanekaragaman dan pembahasan awal mengenai
negosiasi di bidang perubahan iklim. Lihat Joyeeta Gupta., “A History of International Climate Change
Policy”., Volume 1, September/October 2010. hlm. 639.

126

Perubahan Iklim pada tahun 1990.45 Komite ini kemudian bertugas untuk melakukan
tahapan negosiasi dalam menentukan komitmen dari negara – negara yang akan
mengikuti United Nation Conference on Environment and Development (UNCED)
pada Juni 1992.46

Dalam kurun waktu Februari 1991 sampai dengan Mei 1992 INC telah
mengadakan pertemuan sebanyak 6 (enam) kali dalam membicarakan komitmen
terhadap penanggulangan perubahan iklim. Dalam pelaksanaan tugasnya INC
menyadari bahwa tugasnya tidaklah mudah. Beberapa hambatan dalam proses
sebelum perundingan mewarnai pemikiran peserta komite.47 Hambatan tersebut
adalah:

Pertama, terdapat perdebatan yang hangat mengenai risiko yang harus
diemban dalam perumusan konvensi perubahan iklim pada diri komite sendiri.
Sebagaimana diketahui pada saat itu ekonomi dunia sedang berada dalam posisi
ketergantungan atas bahan bakar fosil. Dengan demikian, hadirnya kebijakan
konvensi perubahan iklim yang menghendaki adanya penurunan emisi gas rumah
…………

45 Lihat Maria Adebowale, “Intergovernmental Negotiating Committee for a Framework
Convention On Climate Change”, Review of European Community and International Environmental Law,
Vol. 4. Nomor 1., 1995, hlm. 63.

46 Lihat Protection of Global Climate for Present and Future Generations of Mankind, G.A. Res.
45/212, U.N. GAOR, 45th Sess., 71st plen. mtg., Supp. No. 49, at 147-49, U.N. Doc. A/45/49 (1990).

47 Lihat Michael Grubb, “The Greenhouse Effect: Negotiating Targets”, 66 International Affairs
67, 1990., hlm. 71-72. Lihat pula James K. Sebenius, “Designing Negotiations Towards a New Regime:
The Case of Global Warming”, International Security, Spring., 1991, hlm. 118- 122.

127

kaca yang salah satunya disumbangkan oleh bahan bakar fosil tersebut tentu

mempunyai risiko besar akan mengguncang ekonomi dunia.48

Kedua, pada saat itu komite mengalami keraguan dalam merumuskan

komitmen perubahan iklim karena adanya ketidakpastian dalam perumusan sumber

dan dampak dari perubahan iklim pada saat itu.49 Walaupun IPCC selaku badan

ilmiah telah hadir dalam beberapa laporannya, namun beberapa pihak tetap

mempunyai keraguan terhadap fenomena perubahan iklim.50 Keraguan ini pun pada

akhirnya mempengaruhi langkah-langkah yang akan ditempuh oleh negara dengan

mempertimbangkan keuntungan atau kerugian terhadap suatu ketidakpastian.51

Ketiga, pada saat itu proses negosiasi dilakukan dalam tataran yang sarat

kepentingan karena turut melibatkan seluruh negara di dunia dan kelompok

pemerhati yang turut hadir. Masih diperdebatkannya sumber dan dampak dari

perubahan iklim membuat negara – negara yang hadir mempertahankan

48 Lihat Philippe Sands, “The United Nations Framework Convention on Climate Change”, 1
Review Europe Community & International Environmental Law., 1992., hlm. 271.

49 Dalam laporan IPCC pertama kali tahun 1990 diungkapkan bahwa terdapat beberapa hal yang
dapat mempengaruhi kondisi iklim sebagaimana diungkapkan dalam Laporan IPCC First Assessment
Report (FAR), hlm. xxvii, xxxi-xxxii.

50 Dalam pemahaman Manabe dan Wetherald dikatakan bahwa perubahan iklim merupakan suatu
fenomena alam yang memang lazimnya terjadi. Dikatakan dalam publikasinya di Journal of Atmospheric
Science bahwa peningkatan suhu yang terdapat pada lapisan troposphere merupakan dampak dari efek
doubling karbon dioksida yang merupakan fenomena alami. Lihat Syukuro Manabe & Richard T.
Wetherald, “The Effects of Doubling the CO2 Concentration on the Climate of a General Circulation
Model”, 32 Journal of Atmospheric Science., 1975., hlm. 3.

51 Dikatakan oleh Skolnikoff bahwa pada saat awal – awal perbincangan isu perubahan iklim
terdapat keraguan untuk mengambil langkah nyata dalam merespons isu perubahan iklim. Sebagaimana
dikatakan Skolnikoff “While scores of policy proposals have al-ready been advanced, a few general
prescriptions seem in order here. Perhaps the most important, though the most difficult to accept, is to
recognize that the uncertainties surrounding climate change are genuine. A premature commitment to
action can pose serious dangers of error and backlash and can incur costs that would affect a wide variety
of interests. Not all these interests are narrow; indeed, one is the economic growth necessary to have
resources adequate for later needs as they emerge” Lihat Eugene B. Skolnikoff, “The Policy Gridlock on
Global Warming”, 79 Foreign Policy., 1990., hlm. 91.

128

kepentingannya. Dalam konteks perubahan iklim di dorong oleh penggunaan energi
fosil misalnya, negara – negara penghasil minyak mengalami ketakutan pada saat
mereka harus membatasi penjualannya. Pada sisi lain negara – negara yang
tergabung dalam AOSIS menjadi sangat takut terhadap dampak dari kenaikan air
laut.52 Hal ini menjadi halangan pada saat setiap negara mempunyai perspektif dan
kepentingan yang berbeda mengenai perubahan iklim.53 Dalam kondisi ini dengan
semakin banyaknya negara yang turut serta dalam proses negosiasi, maka semakin
banyak pula perspektif yang digunakan. Tentu hal ini akan berdampak pada alotnya
proses negosiasi yang dilakukan dalam rangka menghadirkan Konvensi Perubahan
Iklim.54

Keempat, kendala yang ditemui oleh INC adalah sedikitnya waktu yang
disediakan untuk merumuskan pola komitmen yang akan diadopsi dalam Konvensi
Perubahan Iklim. INC dalam pertemuan – pertemuannya praktis hanya mempunyai
waktu selama 18 (delapan belas) bulan untuk menyimpulkan hasil dari negosiasi –

52 Lihat Jesse H. Ausubel, “A Second Look at the Impacts of Climate Change”, American
Scientist 210, 1991., hlm. 214.

53 Pada saat itu terdapat lebih dari 150 negara dan lebih dari puluhan Non-Governmental
Organization (NGO) berpartisipasi dalam proses yang dilakukan oleh INC. Hal ini jauh berbeda dengan
melihat keikutsertaan dari negara – negara dalam proses negosiasi sejenis dalam forum lain. Misalnya
dalam proses negosiasi Vienna Ozone Convention hanya diikuti oleh 43 negara. Selain itu dalam proses
negosiasi dalam Montreal Protocol juga hanya diikuti oleh 60 negara. Lihat Richard Benedick, Ozone
Diplomacy: New Directions In Safeguarding The Planet., 1991., hlm.44.

54 Lihat Climate Change Secretariat Bonn, A Guide To The Climate Change Convention Process.,
Preliminary 2nd edition, 2002., hlm.6.

129

negosiasi yang melibatkan 154 negara.55 Walaupun hal ini berkaitan dengan teknis,

namun keluhan hadir pada saat hasil kerja dari INC wajib untuk dituangkan dalam 6
bahasa resmi dari Perserikatan Bangsa Bangsa dalam waktu yang tidak lama.56

Terakhir, INC mempunyai beban berat untuk dapat mengawinkan pola pikir

dan arah bangsa yang berbeda-beda dalam forum persiapan perubahan iklim. Proses

negosiasi dalam INC sebagai langkah awal Konvensi Perubahan Iklim tidak hanya

mempertemukan antara pemikiran negara-negara maju dan negara-negara

berkembang semata, namun juga mempertemukan antara pemahaman sesama negara

maju serta menyamakan pemahaman di antara sesama negara berkembang terhadap
isu perubahan iklim.57 Dalam konstruksi demikian tentu proses perundingan yang

dilakukan oleh INC memiliki tingkat kesulitan dan kompleksitas yang berbeda

dengan perjanjian lingkungan internasional lainnya.

Hasil dari serangkaian pertemuan INC pun terkristalisasi dalam kesepakatan

yang tertuang dalam United Nation Framework Convention on Climate Change

55 Dikatakan oleh Bodansky waktu 18 (delapan belas) bulan merupakan waktu yang terlalu
singkat untuk merumuskan isu yang penting dan global seperti perubahan iklim. Ditambah pula dengan
kewajiban untuk melakukan alih bahasa dalam 6 (enam) bahasa resmi Perserikatan Bangsa Bangsa
menambah tingkat kesulitan tersendiri. Bodansky membandingkan hal ini dengan proses perumusan dari
perjanjian lain dengan tingkat urgensi lebih rendah menghabiskan waktu perundingan yang lebih lama
seperti dalam proses perumusan Long-Range Transboundary Air Pollution Convention yang memakan
waktu 2 (dua) tahun serta Vienna Ozone Convention yang menghabiskan waktu hampir 4 (empat) tahun
untuk mencapai kata sepakat. Adapun urutan dari pertemuan yang diselenggarakan oleh INC adalah INC
1: Chantilly, Virginia, February 4-14, 1991; INC 2: Geneva, June 19-28, 1991; INC 3: Nairobi, September
9-20, 1991; INC 4: Geneva, December 9-20, 1991; INC 5: New York, February dan May 1992; dan
Terakhir bersamaan dengan diselengarakannya Konferensi di Rio de Jainero. Lihat Protection of Global
Climate for Present and Future Generations of Mankind, G.A. Res. 45/212, U.N. GAOR, 45th Sess., 71st
plen. mtg., hlm. 148. Lihat pula Daniel Bodansky., “The United Nations Framework Convention on
Climate Change: A Commentary”., Yale Journal of International Law Summer, 1993., hlm. 477.

56 Ibid.
57 Lihat Philippe Sands, “The United Nations Framework Convention on Climate Change”,
Review on European Community & International Environmental Law., ., Volume 1 Issue 3., 1992., hlm.
271

130

(UNFCCC) yang diadopsi pada 9 Mei 1992. Konvensi perubahan iklim diajukan
dalam UNCED untuk ditandatangani negara – negara yang hadir. Pada saat itu
tercatat 154 negara ditambah dengan negara-negara yang tergabung dalam
komunitas Eropa58 turut menandatangani perjanjian hukum lingkungan internasional
mengenai perubahan iklim tersebut.59

Secara umum UNFCCC terbagi dalam 4 (empat) bagian utama. Bagian
pendahuluan memuat berbagai definisi penting dalam konvensi ini, tujuan yang
hendak dicapai dalam konvensi, serta prinsip-prinsip yang dianut dalam konvensi
perubahan iklim. Bagian kedua memuat komitmen dari upaya penurunan emisi gas
rumah kaca baik berupa kerjasama di bidang pengetahuan, informasi publik dan
pendidikan, serta alih teknologi dan pendanaan. Bagian ketiga dalam konvensi ini
akan membicarakan mengenai institusi dan mekanisme dalam rangka pelaksanaan
dari isi perjanjian dan bagian terakhir adalah bagian yang memuat protokol dan
lampiran, amandemen, ratifikasi serta keberlakuan dari konvensi.

58 Komunitas Eropa secara historis merupakan kumpulan dari 3 (tiga) kelompok yang ada di
kawasan Eropa yaitu negara – negara yang tergabung dalam European Coal and Steel Community
(ECSC), European Atom Energy Community (EAEC) dan European Economic Community (EEC). Negara
– negara yang tergabung dalam Komunitas Eropa pada saat itu meliputi : Belgia, Italia, Luxemburg,
Perancis, Belanda, Jerman , Denmark, Irlandia, Inggris Raya, Yunani, Portugal, dan Spanyol. Dalam
konteks ini menjadi hal penting untuk memperhatikan proses metamorfosis dari Komunitas Eropa yang
kemudian menjadi Uni Eropa. Dalam rezim perubahan iklim internasional Uni Eropa memiliki beberapa
perlakukan khusus yang akan di bahas dalam pembahasan di depan.

59 Pada Desember 2009, UNFCCC telah memiliki 192 pihak yang ikut menandatangani
perjanjian tersebut. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang Undang Nomor 6 Tahun
1994. Lihat United Nations Conference on Environment and Development: Framework Convention on
Climate Change, May 9, 1992, in Report of the Intergovernmental Negotiating Committee for a
Framework Convention on Climate Change on the Work of the Second Part of Its Fifth Session,
INC/FCCC, 5th Sess., 2d Part, at Annex I, U.N. Doc. A/AC.237/18 (Part II)/Add.1,.

131

GAMBAR III. 1
Anatomi

United Nations Framework Convention On Climate Change
(UNFCCC)

Sumber : Joyeeta Gupta., “A History Of International Climate Change Policy”.,
Wiley Interdisciplinary Reviews. Climate Change., Vol. 1 :5., 2010.

Tidak dapat dipungkiri bahwa UNFCCC hadir sebagai bentuk hasil
negosiasi masyarakat hukum lingkungan internasional berkaitan dengan
perubahan iklim pada khususnya.60 Seperti halnya hasil perundingan lainnya,
UNFCCC menjadi sangat menarik untuk dibahas dengan 2 (dua) alasan utama.

60 Dalam pemahaman Hukum Lingkungan Internasional kontemporer masyarakat hukum
lingkungan internasional beranggotakan negara, institusi internasional, individu, Non-Governmental
Organizations, pelaku usaha dan para ahli. Dari komponen masyarakat hukum lingkungan internasional
ini, Bodansky mengklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok utama yaitu kelompok yang mempunyai
kekuatan dalam tataran pembuatan kebijakan, kelompok yang mempunyai kekuatan dalam kekuasaan baik
keilmuan maupun politis, dan kelompok yang mempunyai kekuatan dalam memberikan pengaruh kepada
kebijakan. Lihat Daniel Bodansky, International Environmental Law., Oxford University Press, 2008.,
hlm. 17.

132

Pertama, konvensi ini merupakan proses politik panjang yang pada

akhirnya dituangkan dalam bentuk dokumen hukum. Dalam konteks ini setiap

negara memiliki kepentingan yang ditunjukkan dalam bentuk intervensi hukum
berupa teks dan pemilihan kata dalam konvensi.61

Kedua, mengingat pentingnya konvensi ini maka perumusan pasal-pasal

yang terdapat di dalamnya dirumuskan secara hati-hati dalam kerangka
keterlibatan semua pihak.62

3.3.2. UNFCCC

3.3.2.1. Perdebatan mengenai Semangat dan Bentuk Konvensi

Sebelum masuk pada tahapan pembahasan klausula yang memuat

mengenai mitigasi dalam Konvensi Perubahan Iklim, perlu kiranya dipahami

semangat dari keberadaan konvensi ini.

INC sebagai lembaga yang bertugas untuk merumuskan UNFCCC

diamanatkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa untuk menyusun

kerangka kerja yang efektif dalam konteks. perubahan iklim yang sesuai dengan

61 Sebagai contoh untuk konteks ini adalah perbedaan pendapat mengenai negara-negara maju
dengan negara-negara berkembang mengenai konsep pembangunan ekonomi. Dalam proses pembahasan
konvensi ini semula tolak ukur yang digunakan untuk menggambarkan pembangunan ekonomi adalah
versi negara maju, namun hal ini diprotes oleh negara berkembang dengan alasan tidak terdapatnya
kesamaan kapasitas dan kapabilitas dari kedua kelompok negara tersebut. Lihat Daniel Bodansky, “The
United Nations Framework Convention On Climate Change: A Commentary”., Yale Journal of
International Law Summer, 1993., hlm.18.

62 Hal ini dapat diindikasikan dari keberadaan beberapa ketentuan yang mengatur kepentingan
dari negara maju dan negara berkembang. Walaupun tidak sepenuhnya adil, namun Konvensi ini mencoba
memberikan perlakuan yang simetris seperti adanya alih teknologi dan mekanisme pendanaan antara
negara maju dan negara berkembang dalam konvensi ini. Lihat perumusan Pasal 4 ayat (2), Pasal 11 dan
Pasal 13 United Nations Framework Convention on Climate Change.

133

komitmen dari masing – masing pihak.63 Dalam perjalanannya, INC melakukan
serangkaian perundingan dalam rangka membentuk sebuah konsep kerangka
kerja (framework) yang akan memberikan panduan awal dalam penanggulangan
perubahan iklim.64 Dalam tahapan ini timbul pertanyaan mengenai isi dari
pertauran yang hendak dibuat. Paling tidak terdapat 3 (tiga) opsi yang
berkembang yaitu membuat ketentuan yang bersifat prosedural sebagai landasan
tindakan penanggulangan perubahan iklim di masa depan, ketentuan yang
bersifat substantif dengan menentukan langkah – langkah nyata seperti
komitmen para pihak, target dan metode pengukuran yang akan digunakan atau
sekedar peraturan yang bersifat umum dengan diteruskan pada pertemuan –
pertemuan rutin tahunan berikutnya.65

Dalam skema framework, negara-negara yang terlibat di dalamnya
melakukan beberapa tahapan permulaan yang dimulai dari proses negosiasi
kerangka kerja, menetapkan kewajiban baik secara umum maupun secara
…………….

63 Lihat Protection of Global Climate for Present and Future Generations of Mankind, G.A. Res.
45/212, U.N. GAOR, 45th Sess., 71st plen. mtg., hlm.148.

64 Lihat Richard Elliot Benedick, “Lessons from “the Ozone Hole” dalam Michael Grubb, “The
Greenhouse Effect: Negotiating Targets”, 1990., 66 International Affairs 67, hlm.9, 11-12. Lihat pula
Winfried Lang, “Is the Ozone Depletion Regime a Model for an Emerging Regime on Global Warming?”,
1991., 9 U.C.L.A. Journal of Environmental Law and Policy., hlm. 161. Lihat pula Peter M. Morrisette,
“The Montreal Protocol: Lessons for Formulating Policies for Global Warming”, 1991., 19 Policy Study
Journal., hlm. 152.

65 David G. Victor, “How to Slow Global Warming”, Nature., vol. 349., 1991., hlm. 451.

134

spesifik bagi masing-masing pihak, pertukaran informasi hingga rencana
pembentukan sistem hukum yang lebih mapan di kemudian hari.66

Konsep framework yang dipilih oleh INC menimbulkan tanggapan dari
beberapa negara yang berharap adanya sebuah kepastian dalam konteks ini.67

Memang pada tahapan awal perbincangan mengenai regulasi terkait perubahan

iklim diwujudkan dalam bentuk konvensi atau protokol seperti yang telah

dilakukan dalam rangka regulasi terkait hujan asam dan perlindungan ozon.

Dalam model seperti ini negara – negara pada awalnya akan melakukan

negosiasi dalam rangka menetapkan landasan ilmiah dan saling bertukar

informasi termasuk pilihan instrumen dan institusi hukum di masa yang akan

datang. Untuk kemudian dalam rangka memberikan langkah – langkah nyata dan
metode penaatan akan ditentukan dalam bentuk protokol.68

Memang dalam model ini terdapat kelebihan dari model konvensi atau

protokol yang diusung. Pertama, model ini mengusung pendekatan yang lebih

bertahap dalam mengambil tindakan. Dalam tahapan pertama negara – negara

yang terlibat dalam perjanjian dapat melakukan identifikasi permasalahan

terlebih dahulu tanpa harus mengedepankan suatu bentuk respons yang masih

66 Dalam pembahasan hukum lingkungan internasional, model framework memiliki 2 (dua)
fungsi utama, yaitu pertama sebagai langkah awal dalam mencapai pembahasan secara serius dan bertahap
serta kedua adalah sebagai bentuk rangkaian pembahasan yang dapat memberikan umpan balik dalam
rangka penyusunan komitmen secara lebih nyata. Lihat Mostafa Tolba, “A Step-by-Step Approach to
Protection of the Atmosphere”, 1989., International Environmental Law Affairs, 1, 4 fall, hlm. 305. Lihat
pula Marc Levy et al., “Institutions for the Earth: Promoting International Environmental Protection”,
Environment, May 1992, hlm. 12

67 Beberapa negara yang menyatakan keberatan terhadap model ini terdiri dari negara – negara
Komunitas Eropa seperti Austria, Swedia, Switzerland serta Kelompok AOSIS dan Kelompok CANZ
(Canada, Australia, and New Zealand)., lihat dalam INC Preparatory Meeting Report, hlm. 6.

68 Lihat Daniel Bodansky., “The United Nations Framework Convention on Climate Change: A
Commentary”., Op. Cit., hlm. 494.

135

belum jelas penyebabnya dan hal ini akan memberikan keleluasaan bagi negara –
negara yang masih meragukan unsur ilmiah dalam sebuah perjanjian. Kondisi ini
dapat dilihat dalam Long-Range Transboundary Air Pollution Convention
(LRTAP) dan Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer (Vienna
Ozone Convention) misalnya, pada saat negara – negara peserta masih
meragukan unsur ilmiah dan kepastian dari masalah yang terjadi negara tersebut
tetap masih mengikuti konvensi karena belum memberikan kewajiban di
dalamnya.69 Dalam perkembangannya seiring dengan semakin kuatnya bukti
ilmiah mengenai dampak serta penyebab yang terjadi maka dapat dituangkan
lebih nyata dalam bentuk protokol dengan kewajiban yang lebih terukur dan
mengikat. Kedua, dengan metode bertingkat seperti ini maka tingkat penerimaan
dari negara – negara yang turut serta dalam protokol sebagai instrumen lanjutan
akan mempunyai potensi lebih tinggi. Lembaga – lembaga yang hadir sebagai
tindak lanjut pun akan leluasa memainkan perannya sebagai lembaga yang
melakukan pengumpulan data, memberikan bantuan teknis pelaksanaan hingga
penerbitan laporan.70

Namun sayangnya para peserta INC kecewa pada saat hasil pertemuan
justru mengusung model kerangka kerja dalam isu perubahan iklim. Paling tidak

69Dalam konteks pembahasan Long-Range Transboundary Air Pollution Convention (LRTAP)
misalnya, dari 30 (tiga puluh) negara yang turut serta hanya 2 (dua) negara yang meyakini masalah
tersebut secara ilmiah mempunyai kepastian yang akurat. Lihat dalam Marc A. Levy, “Acid Rain in
Europe”, Environment, May 1992, hlm. 16.

70 Dikatakan oleh Levy bahwa institusi lingkungan internasional mempunyai fungsi untuk
melakukan tindakan – tindakan dalam rangka meningkatkan perhatian negara peserta, menyediakan forum
– forum dalam rangka penanggulangan masalah, meningkatkan tingkat penaatan dari peserta perjanjian
serta menawarkan bantuan – bantuan teknis pelaksanaan. Lihat dalam Marc Levy et al., “Institutions for
the Earth: Promoting International Environmental Protection”, Environment, May 1992,hlm.12.

136

2 (dua) alasan mengemuka saat beberapa negara menolak konsep framework ini.
Pertama, dengan bersandar pada konsep framework maka negara-negara hanya
dapat melakukan langkah prosedural semata tanpa menetapkan secara jelas
rangkaian langkah penurunan secara nyata mulai dari komitmen hingga target
penurunan yang hendak dicapai.71 Kedua, beberapa pihak beranggapan bahwa
dengan adanya bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa perubahan iklim telah
terjadi maka seharusnya ada sebuah konvensi yang memuat langkah yang lebih
konkret dari sekedar sebuah kerangka kerja.72

Perdebatan ini pun berakhir pada saat INC menetapkan nama dari
Konvensi Perubahan Iklim ini. Penggunaan kata framework dalam United Nation
Framework Convention on Climate Change dianggap oleh Bodansky sebagai
sebuah kondisi yang tidak memuat kejelasan yang dianut dalam penanggulangan
perubahan iklim. Menggunakan istilah “the Convention lies somewhere between
a framework and a substantive convention” Bodansky mengungkapkan bahwa
ekspektasi pada saat itu adalah hadirnya sebuah regulasi yang dapat memberikan
suatu masukan yang konkrit serta komitmen dalam langkah nyata terhadap
perubahan iklim. Namun, sebagai suatu framework maka hasil dari INC hanya

71 Lihat Daniel Bodansky, Op. Cit., hlm. 19.
72.Di sisi lain, langkah dari INC ini sebenarnya bertolak belakang dengan beberapa negara yang
bahkan telah mengambil langkah nyata dalam penanggulangan perubahan iklim. Jerman misalnya, telah
mengusulkan dalam proses negosiasi mengenai kebijakan penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan langkah
– langkah nyata dalam rangka adaptasi terhadap perubahan iklim. Lihat Set of Informal Papers Provided
by Delegations, INC/FCCC, 2d Sess., Provisional Agenda Item 2, at 53, U.N. Doc.
A/AC.237/Misc.1/Add.1 (1991)., hlm. 21

137

dapat memberikan kerangka semata tanpa mengatasi substansi permasalahan
yang ada.73

3.3.2.2. Pembukaan dan Tujuan UNFCCC

Salah satu bagian penting dalam United Nation Framework Convention
on Climate Change terdapat pada bagian pembukaan.74 Beberapa konsep dan

latar belakang pemikiran hukum lingkungan internasional diungkapkan secara

eksplisit dalam preamble ini. Dalam bagian awal dikatakan bahwa latar belakang

dari hadirnya konvensi adalah kesadaran bahwa perubahan iklim adalah masalah
bagi seluruh umat manusia.75 Atas dasar tersebut maka perlu adanya kerjasama

internasional dalam rangka melindungi iklim dengan tetap memperhatikan hak
dari masing – masing negara.76 Selain itu UNFCCC juga menegaskan bahwa

tujuan dari hadirnya konvensi ini dalam rangka menjamin keberadaan dari
generasi yang akan datang.77

Dari perspektif keadilan iklim, bagian pembukaan mempunyai nilai

tersendiri dengan dikotomi negara berkembang dan negara maju sebagai

73 Lihat Daniel Bodansky, Op. Cit., hlm. 20

74 Pembukaan atau Preamble dalam sebuah sumber hukum internasional lazimnya memuat
mengenai latar belakang, tujuan dan konteks dari sumber hukum tersebut. Lihat György Haraszti, Some
Fundamental Problems Of The Law Of Treaties., 1973., hlm. 106 – 107.

75 Lihat Paragraf 1 Pembukaan United Nations Framework Convention on Climate Change.

76 Dalam Pembukaan Paragraf 8 dinyatakan bahwa “States have, in accordance with the Charter
of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own
resources pursuant to their own environmental and developmental policies, and the responsibility to
ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other
States or of areas beyond the limits of national jurisdiction.” Hal ini sama dengan yang ditemui dalam
hasil perjanjian di bidang lingkungan hidup sebelumnya baik pada perumusan Pasal 21 Konvensi
Stockholm 1972 maupun dalam Pasal 2 Deklarasi Rio 1992.

77 Lihat Paragraf 23 Pembukaan United Nations Framework Convention on Climate Change.

138

pertimbangan kebijakan perubahan iklim. Dalam konteks ini, UNFCCC
menyatakan:

“…that the largest share of historical and current global
emissions of greenhouse gases has originated in developed
countries, that per capita emissions in developing countries
are still relatively low and that the share of global
emissions originating in developing countries will grow to
meet their social and development needs”.78

Dari kutipan Paragraf 3 Pembukaan UNFCCC di atas terlihat adanya
pengakuan secara eksplisit dari UNFCCC bahwa negara maju merupakan
penyumbang terbesar pada perubahan iklim yang terjadi. UNFCCC juga
mengakui bahwa emisi per kapita dari negara – negara berkembang masih
berada pada titik yang rendah.79 Namun demikian, kalimat akhir dari paragraf 3
di atas juga mengindikasikan bahwa secara implisit UNFCCC hendak
menyampaikan bahwa emisi negara berkembang saat ini sedang dalam tren yang
meningkat, sehingga tidak tertutup kemungkinan negara berkembang pun akan
menjadi salah satu kontributor emisi gas rumah kaca. Karena itulah, maka
keikutsertaan negara dalam usaha penurunan konsentrasi emisi gas rumah kaca
merupakan hal yang tidak dapat dielakkan di kemudian hari.

Dalam rangka memberikan arahan yang menyeluruh terhadap mitigasi
perubahan iklim dalam konvensi dinyatakan secara jelas tujuan yang hendak
dicapai dalam UNFCC. Dalam hal ini, UNFCCC menyatakan:

78 Paragraf 3 Pembukaan United Nations Framework Convention on Climate Change.
79 Konsep ini dalam keberadaan di UNFCCC dipelopori oleh India yang mengatakan bahwa perlu
adanya pendekatan perhitungan emisi yang memperhatikan kondisi populasi negara yang bersangkutan.
Lihat Consolidated Working Document in Report of 4th Session, , Annex II. art. III(2).

139

“The ultimate objective of this Convention and any related
legal instruments that the Conference of the Parties may
adopt is to achieve, in accordance with the relevant
provisions of the Convention, stabilization of greenhouse
gas concentrations in the atmosphere at a level that would
prevent dangerous anthropogenic interference with the
climate system. Such a level should be achieved within a
time frame sufficient to allow ecosystems to adapt naturally
to climate change, to ensure that food production is not
threatened and to enable economic development to proceed
in a sustainable manner.” 80

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa ujung dari tujuan utama UNFCCC
adalah untuk melakukan stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca dengan
melakukan pencegahan terhadap pengaruh dari tindakan manusia yang dapat
membahayakan sistem iklim yang ada dalam kurun waktu tertentu sehingga
dapat memberikan kesempatan ekosistem untuk beradaptasi dan dapat
mewujudkan konsep pembangunan berkelanjutan.

Dicantumkannya variabel atmosfir dan sistem iklim dalam kalimat
pertama Pasal 2 UNFCCC dapat dilihat sebagai bentuk pernyataan mengenai
aspek internasional dari perubahan iklim itu sendiri. Hal ini dimaknai sebagai
bentuk perlu adanya pelibatan dari berbagai negara dalam hal menyelesaikan
masalah internasional.81

Sedangkan kalimat selanjutnya dalam perumusan Pasal 2 yaitu “…Such a
level should be achieved within a time frame sufficient to allow ecosystems to
adapt naturally to climate change, to ensure that food production is not

80 Pasal 2 United Nations Framework Convention on Climate Change.
81 Lihat Philippe Sands, “The United Nations Framework Convention on Climate Change”,
Review on European Community & International Environmental Law., Volume 1 Issue 3., 1992., hlm. 272

140

threatened and to enable economic development to proceed in a sustainable

manner” dalam pendapat Sands dianggap rumusan yang lebih menitikberatkan

pada usaha-usaha pencegahan dan adaptasi terhadap perubahan iklim

dibandingkan dengan memperkuat komitmen untuk penurunan emisi. Sands

mengatakan bahwa perlu adanya upaya untuk menguatkan komitmen dalam
bentuk kewajiban untuk semua pihak secara lebih nyata.82

3.3.2.3. Prinsip-Prinsip UNFCCC

Konvensi ini pun mengadopsi beberapa prinsip penting dalam upaya

kebijakan penanggulangan perubahan iklim. Prinsip pertama yang dianut dalam

konvensi ini prinsip Common But Differentiated Responsibilities (CBDR).

Prinsip ini mengakui adanya perbedaan kapasitas dan juga kontribusi antara

negara-negara anggota, sehingga dalam penerapan aturan-aturan dalam konvensi

ini, baik dalam rangka melindungi kepentingan saat ini maupun kepentingan di
masa yang akan datang.83 Berdasarkan perbedaan kapasitas dan kontribusi itulah

maka penerapan CBDR dalam upaya mitigasi dirumuskan dalam Pasal 2

UNFCCC dengan menyatakan bahwa “…Accordingly, the developed country

Parties should take the lead in combating climate change and the adverse effects

thereof.”. Dengan demikian, Prinsip CBDR seperti dirumuskan oleh UNFCCC

secara tidak langsung telah mendikotomikan anggota UNFCCC dalam kelompok

negara maju dan kelompok negara berkembang.

82 Ibid.
83 Pasal 3 ayat (1) United Nations Framework Convention on Climate Change.

141

Pendikotomian ini secara sadar disepakati oleh negara maju dan negara

berkembang, namun dengan alasan yang berbeda. Negara berkembang setuju

dengan redaksional ini karena mereka beranggapan bahwa negara maju lah yang

harus memegang tanggung jawab utama dalam upaya mengatasi permasalahan
perubahan iklim.84 Sedangkan negara maju, khususnya, Amerika Serikat

menolak bahwa dasar mereka untuk bertindak lebih awal karena kondisi iklim

merupakan kontribusi mereka. Negara maju mengambil langkah tersebut karena

adanya kenyataan bahwa mereka lebih unggul baik dari segi keuangan maupun
kemampuan teknologi dibandingkan dengan negara berkembang.85

Prinsip kedua yang dianut oleh UNFCCC mengatakan bahwa dalam

konvensi ini harus menaruh perhatian lebih banyak kepada negara – negara

berkembang dengan tingkat kerentanan yang lebih besar dibandingkan dengan

………..

84 Doktrin ini dipahami sebagai bentuk “main responsibility” dari negara – negara maju. Anil
Agarwal dan Sunita Narain menjelaskan doktrin “main responsibility” menerangkan bahwa terdapat skala
prioritas dalam usaha menurunkan emisi gas rumah kaca, perbedaan kontribusi menjadi dasar utama
dalam hal ini. Lihat Anil Agarwal & Sunita Narain, Global Warming In An Unequal World: A Case Of
Environmental Colonialism., 1991., hlm. 1.

85 Selanjutnya, pendapat bahwa negara maju dianggap lebih unggul dari sisi keuangan dan
teknologi dapat dilihat dari perumusan Pasal 4 UNFCCC terkait komitmen dari negara maju dalam hal
teknologi dan pendanaan. Pasal ini menyatakan “The developed country Parties and other developed
Parties included in Annex II shallprovide new and additional financial resources to meet the agreed full
costs incurred by developing country Parties in complying with their obligations under Article 12,
paragraph 1. They shall also provide such financial resources, including for the transfer of technology,
needed by the developing country Parties to meet the agreed full incremental costs of implementing
measures that are covered by paragraph 1 of this Article and that are agreed between a developing
country Party and the international entity or entities referred to in Article 11, in accordance with that
Article. The implementation of these commitments shall take into account the need for adequacy and
predictability in the flow of funds and the importance of appropriateburden sharing among the developed
country Parties.”

142

negara-negara maju.86 Hal ini sejalan dengan uraian dari Edith Ewiss dalam

melihat eksistensi Prinsip Common But Differentiated Responsibilities sebagai

bentuk prinsip yang diawali dari ketidaksamaan dari berbagai aspek yang

dimiliki oleh suatu negara saat ini baik dari sisi kekuatan ekonomi, kemampuan

teknologi, kesadaran masyarakat hingga kondisi kerentanan alam sendiri yang

terkait dampak perubahan iklim.87 Secara lebih spesifik Duncan French

menyebutkan Pasal 3 UNFCCC sebagai bentuk penerapan Common But

Differentiated Responsibilities merupakan bentuk dari Differential Norms yang

secara eksplisit telah menuangkan secara tekstual alasan pembeda secara natural

sehingga harus membedakan pula secara kebijakan.88

Prinsip ketiga yang dianut dalam UNFCCC adalah prinsip kehati-hatian

(precautionary principle). Dalam Pasal 3 ayat (3) UNFCCC menyatakan bahwa :

86 Pasal 3 ayat (2) UNFCCC menyatakan The specific needs and special circumstances of
developing country Parties, especially those that are particularly vulnerable to the adverse effects of
climate change, and of those Parties, especially developing country Parties, that would have to bear a
disproportionate or abnormal burden under the Convention, should be given full consideration.

87 Lihat Edith Brown Weiss., “Common but Differentiated Responsibilities in Perspective”.,
Proceedings of the Annual Meeting (American Society of International Law), Vol. 96 (March 13-16,
2002)., hlm. 366.

88 Duncan French dengan merujuk pada pendapat Daniel Barstow Magraw memberikan
kategorisasi untuk tipe – tipe pembedaan dalam penerapan Prinsip Common But Differentiated
Responsibilities baik yang tertuang dalam rumusan Contextual Norms, Differential Norms dan Absolute
Norms. Contextual Norms merupakan bentuk perumusan norma yang tidak secara eksplisit membedakan
perlakukan terhadap subyek yang diatur sehingga perlu ada pemaknaan secara kontekstual terhadap
terminologi yang digunakan. Sedangkan Differential Norms hadir berada sebagai norma yang memang
secara eksplisit sudah membedakan terhadap subyek di dalamnya. Terakhir Absolute Norms merupakan
bentuk perumusan norma yang tidak memberikan perbedaan sama sekali terhadap subyek yang diatur.
Lihat dalam Duncan French., “Developing States and International Environmental Law: The Importance
of Differentiated Responsibilities”., The International and Comparative Law Quarterly, Vol. 49, No. 1
(Jan., 2000), hlm. 39. Lihat pula Daniel Barstow Magraw., “Legal Treatment of Developing Countries :
Differential, Contextual, and Absolute Norms” Colorado Journal of International Environmental Law and
Policy Summer, 1990 (69)., hlm. 73-76.

143

“The Parties should take precautionary measures to
anticipate, prevent or minimize the causes of climate
change and mitigate its adverse effects. Where there are
threats of serious or irreversible damage, lack of full
scientific certainty should not be used as a reason for
postponing such measures, taking into account that policies
and measures to deal with climate change should be cost-
effective so as to ensure global benefits at the lowest
possible cost. To achieve this, such policies and measures
should take into account different socio-economic contexts,
be comprehensive, cover all relevant sources, sinks and
reservoirs of greenhouse gases and adaptation, and
comprise all economic sectors. Efforts to address climate
change may be carried out cooperatively by interested
Parties.”

Prinsip ini secara tegas menyatakan bahwa perlu diambilnya sebuah

tindakan pencegahan dalam mengurangi dampak dari perubahan iklim. Dalam

kondisi tidak terdapatnya kepastian ilmiah, terutama mengenai penyebab dari

perubahan iklim, tidaklah dapat dijadikan alasan untuk menunda kebijakan yang

mencegah atau meminimalisasi penyebab perubahan iklim. Salah satu titik fokus

pada saat perumusan pasal ini dalam tahapan INC terdapat perdebatan antara

kebijakan yang berperspektif “cost-effective” atau mendahulukan kepentingan
lingkungan.89 Namun akhirnya pada perumusan tahap akhir ditentukan bahwa

penggunaan terminologi “cost-effective” akan ditanggalkan dalam konsep

………………..

89 Sempat muncul usulan dari Second World Climate Conference Ministerial Declaration untuk
mendefinisikan Precautionary Principle dengan rumusan “Where there are threats of serious or
irreversible damage, lack of full scientific certainty should not be used as a reason for postponing cost-
effective measures to prevent such environmental degradation” Lihat SWCC Conference Statement.,
paragraf 7.


Click to View FlipBook Version