The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by , 2016-05-12 02:40:09

Full Sidang Terbuka (1)

Full Sidang Terbuka (1)

444

Panama, Papua Nugini, Paraguay, Filipina, Republik Demokratik Kongo, Kepulauan
Solomon, Sri Lanka, Tanzania, Vietnam dan Zambia 262

Salah satu tindak lanjut komitmen Sulawesi Tengah untuk membangun kapasitas
pemangku kepentingan dibentuklah kemudian Kelompok Kerja Sulawesi Tengah
REDD+. Kelompok Kerja didirikan untuk mengkoordinasikan kegiatan REDD+ di
Sulawesi Tengah dengan terdiri dari perwakilan pemangku kepentingan. Hal ini
kemudian ditegaskan dengan adanya Surat Keputusan Sulawesi Tengah
522/84/Dishutda-G.ST/2011, pada tanggal 18 Februari 2011 yang menjadi dasar
pelaksanaan REDD + di Sulawesi Tengah dengan membagi tugasnya pada 4 (empat)
bidang utama yaitu :263

1. Kebijakan terkait dengan implementasi REDD+ Provinsi yang tugas utama untuk
memberikan masukan serta pertimbangan baik teknis maupun sosial kepada
Pemerintah Daerah terkait pelaksanaan skema REDD+ di Provinsi Sulawesi
Tengah.

2. Melakukan penguatan dalam bidang metodologi serta kelembagaan terkait
pelaksanaan skema REDD + di Provinsi Sulawesi Tengah. Pokja ini diharapkan
dapat memfasilitasi serta menyusun metodologi, pemantauan, mekanisme dan
distribusi pembiayaan di Provinsi Sulawesi Tengah.

262 Lihat informasi dalam UN-REDD Programme Indonesia terdapat dalam situs http://www.un-
redd.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=89&Itemid=166 diakses tanggal 1 Januari
2013.

263 Lihat informasi dalam Central Sulawesi REDD+ Working Group terdapat dalam situs
http://www.un-redd.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=96&Itemid=175 diakses pada
tanggal 1 Januari 2013.

445

3. Mempersiapkan secara rinci kriteria Demonstration Activities (DA) di wilayah
Provinsi Sulawesi Tengah termasuk menyusun rencana penyelesaian sengketa
dalam usaha meredam konflik yang timbul dalam wilayah DA

4. Melakukan peningkatan kapasitas dari masyarakat lokal terhadap keberadaan
REDD + guna melaksanakan prinsip – prinsip Free Prior Inform Consent (FPIC)
untuk turut serta dalam upaya pencegahan deforestasi dan degradasi hutan.
Hal ini pun diikuti dengan perumusan dokumen Strategi Daerah Strategi Daerah

REDD+ (Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degradation Plus)
Provinsi Sulawesi Tengah yang dilakukan pada tahun 2012. Pada dasarnya STRADA
REDD+ merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2005-2025, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2011-2016, Rencana Revisi
Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Tengah Tahun 2010-2030, Rencana
Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030, Strategi Nasional REDD+ dan
Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK). STRADA
REDD+ dapat dijadikan sebagai dasar bagi pemerintah provinsi, kabupaten/kota serta
pemangku kepentingan lainnya dalam menyusun program dan kegiatan yang
mendukung pelaksanaan REDD+.264

Terkait dengan penentuan baseline emisi sebagai dasar perhitungan penurunan
emisi di Sulawesi Tengah menggunakan dasar pengukuran historical base.265 Penentuan
Provisional REL Sulawesi Tengah menggunakan metode sejarah emisi (historical base)

264 Lihat Dokumen Strategi Daerah REDD+., Op.Cit., hlm. 7.
265 Ibid., hlm. 52.

446

yakni mengintegrasikan data aktivitas dan perubahannya dengan faktor emisi dari
masing – masing data aktivitas yang ada. Analisis perubahan tutupan lahan periode 2000
– 2011 menggunakan Remote Sensing dan Geographic Information System yang
kemudian diproyeksikan sampai pada tahun 2020 maka emisi tahunan provinsi Sulawesi
Tengah dari sektor berbasis lahan adalah 14,3 juta ton CO2 emisi. Sumber utama emisi
dari sektor ini adalah deforestasi dan degradasi hutan sebagai implikasi dari beberapa hal
utama266 :

a. Ekstensifikasi kegiatan perekonomian yang berbasis pada ekstraksi sumberdaya
lahan

b. Peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman, lahan usaha dan pembangunan
infrastruktur

c. Belum maksimalnya sinergitas kebijakan pembangunan antar sektor, termasuk
implementasi tata ruang wilayah.
Dalam konteks ini diharapkan kebijakan pembangunan daerah Sulawesi Tengah

dapat mengakomodir program penurunan emisi GRK bidang kehutanan dan sektor
terkait untuk mengurangi emisi minimal sampai 26 % terhadap REL. Namun dalam
prakteknya, justru Sulawesi Tengah ditengarai telah melakukan pelanggaran terhadap
keberadaan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin
Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut. Hal ini
diindikasikan dari pengamatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah
bahwa alih fungsi kawasan hutan terus berlangsung bersamaan dengan izin
pertambangan baik yang berada di kawasan hutan sekunder maupun hutan primer.

266 Lihat Rauf Ompo., “Tingkat Emisi Acuan (Reference Emission Levels) Bidang Kehutanan
Provinsi Sulawesi Tengah., FGD UN-REDD., hlm. 8.

447

Dalam catatan Jatam hingga tahun 2012, produksi izin pertambangan di sejumlah
daerah, seperti Morowali dan Banggai tidak pernah berhenti dan diperkirakan total
keseluruhan perizinan sudah mencapai 300 Izin Usaha Pertambangan (IUP).267

Sedangkan terkait dengan skala pelaksanaan dari program UN REDD di
Indonesia, model bertingkat (nested) dianut dengan melakukan penyelerasan dari tingkat
lokal, provinsi hingga tingkat nasional.

GAMBAR IV.23
Integrasi Sistem Pelaksanaan Nasional dan Sub Nasional

Sumber : Strategi Daerah REDD Sulawesi Tengah

Dalam tataran pelaksanaan dari Free Prior Informed Consent (FPIC) di kawasan
REDD+ di Sulawesi Tengah, dapat dikatakan bahwa prinsip ini menegaskan adanya hak
masyarakat adat dan atau masyarakat lokal untuk menentukan bentuk – bentuk kegiatan
yang masyarakat adat inginkan pada wilayah mereka. Secara lebih rinci dapat
dirumuskan bahwa instrumen FPIC digunakan sebagai hak masyarakat adat dan atau

267 Lihat dalam “Moratorium Hutan di Sulteng Gagal” terdapat dalam situs
http://www.jatamsulteng.or.id/2012/05/moratorium-hutan-di-sulteng-gagal.html diakses pada tanggal 2
Januari 2013.

448

komunitas lokal untuk mendapatkan informasi (Informed) sebelum (Prior) sebuah
program atau proyek pembangunan dilaksanakan dalam wilayah adat atau kelola
mereka, dan berdasarkan informasi tersebut, mereka secara bebas tanpa tekanan (Free)
menyatakan setuju (Consent) atau menolak.268

Dalam pelaksanaan komponen di atas, pelaksanaan FPIC terikat dengan beberapa
prinsip yang melekat yaitu269 :

a. Transparan, yaitu ketersediaan dan akses terhadap segala informasi terkait
perencanaan, pelaksanaan, dan hasil FPIC serta mengeluarkan
pernyataan/pendapat yang terbuka dari pihak terkait;

b. Akuntabilitas, yaitu proses dan hasil FPIC dapat dipertanggungjawabkan kepada
para pemangku kepentingan yang terkait;

c. Inklusivitas, yaitu menjamin efektivitas keterlibatan beberapa elemen/para pihak
tanpa mempertimbangkan kriteria jenis kelamin, etnik, usia, agama, dan lain lain;

d. Integritas, yaitu konsistensi dalam tindakan, nilai-nilai, metode, prinsip-prinsip
pelaksanaan FPIC;

e. Partisipasi, yaitu melibatkan seluruh anggota masyarakat yang akan terkena
dampak kegiatan REDD+, termasuk perempuan, anak muda, anak-anak, dan
lansia;

f. Kebebasan, yaitu kebebasan lahir batin menyatakan pendapat dan bebas dari
tekanan kepentingan.

268 Lihat dalam Dokumen Strategi Daerah REDD+., Op.Cit., hlm. 59.
269 Ibid., hlm. 60-61.

449

Namun dalam prakteknya, beberapa catatan lahir dari pelaksanaan proyek UN
REDD di Sulawesi Tengah terkait dengan pelaksanaan instrumen FPIC. Dalam kajian
yang dirilis oleh HuMA ditemukan fakta bahwa terdapat beberapa pengabaian dari
masyarakat adat terkait pelaksanaan REDD+ di Sulawesi Tengah. Hal ini seperti dapat
dilihat dalam tahapan pelaksanaan dan lembaga yang menjadi eksekutor serta akibat –
akibat negatif yang akan diterima dari proyek yang akan berjalan hingga peran penduduk
lokal dan keuntungan yang akan didapat. Berdasarkan pengakuan dari masyarakat
sekitar, disebutkan bahwa belum ada seorang pun, baik dari pihak yang mewakili
pemerintah nasional/lokal, UNREDD, ataupun organisasi non-pemerintah lokal, yang
datang untuk memberikan informasi-informasi memadai terkait dengan DA-REDD+ di
wilayah mereka, apalagi mengajak mereka berkonsultasi terkait dengan rencana
pemerintah lokal menjadikan wilayah mereka sebagai kawasan uji coba. Selain itu
paling tidak tercatat bahwa lebih dari 8.000 orang komunitas adat/lokal yang tinggal di
tiga wilayah yang direncanakan menjadi DA-REDD+ mengaku tidak pernah dimintai
pendapat tentang rencana proyek tersebut, apalagi dimintai persetujuan. 270

Kondisi seperti ini jelas mencederai dari pelaksanaan REDD+ di Sulawesi
Tengah, khususnya terkait pelanggaran prinsip. Prinsip Inklusivitas yang
menitikberatkan pada efektivitas keterlibatan beberapa elemen/para pihak tanpa
mempertimbangkan kriteria jenis kelamin, etnik, usia, agama yang secara jelas tidak
dipenuhi dalam konteks ini. Penyampaian informasi yang asimetris serta tidak adanya

270 Lihat dalam Bernadinus Steni dan Sentot Siswanto., Tak Ada Alasan Ditunda Potret FPIC
dalam Proyek Demonstration Activities REDD+ di Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah., (Jakarta :
Perkumpulan HuMa Indonesia, 2011)., hlm. 25.

450

proses partisipasi dari masyarakat menjadi faktor pelanggaran lain yang menambah
potret buruk FPIC di Sulawesi Tengah.

Dalam perspektif Arnstein, keikutsertaan dari masyarakat merupakan bentuk
kekuatan masyarakat dalam tataran kontrol di lapangan.271 Salah satu teori klasik tentang
partisipasi masyarakat karya Arnstein diungkapkan bahwa tingkatan partisipasi
masyarakat dapat dikategorikan dalam 8 (delapan) tingkatan sebagaimana tergambar
dalam skema di bawah ini.

GAMBAR IV.24
Tingkatan Partisipasi Masyarakat

Sumber : Arnstein, Sherry R. “A Ladder of Citizen Participation”
Lebih lanjut dikatakan Arnstein, bahwa dasar penentuan derajat, bukan pada
seberapa jauh masyarakat telah terlibat dalam proses pembentukan kebijakan atau
program dilaksanakan oleh negara tetapi seberapa jauh masyarakat dapat menentukan

271 Lihat Arnstein, Sherry R. “A Ladder of Citizen Participation” Journal of the American
Institute of Planners, Vol. 35, No. 4, July 1969, hlm. 216.

451

hasil akhir atau dampak dari kebijakan atau program tersebut.272 Derajat terbawah terdiri
dari dua tingkat partisipasi, yaitu manipulasi (manipulation) dan terapi (therapy). Dalam
tingkat ini partisipasi hanya bertujuan untuk menata masyarakat dan mengobati luka
yang timbul akibat dari kegagalan sistem dan mekanisme pemerintahan. Tidak ada
niatan sedikit pun untuk melibatkan masyarakat dalam menyusun kegiatan atau program
pemerintah.273

Derajat menengah yang semu terdiri dari tiga tingkat partisipasi, yaitu:
pemberitahuan (informing); konsultasi (consultation); dan peredaman (placation).
Dalam tahap ini sudah ada perluasan kadar partisipasi, masyarakat sudah bisa
mendengar (tingkat pemberitahuan) dan didengar (tingkat konsultasi), namun begitu
tahap ini belum menyediakan jaminan yang jelas bagi masyarakat bahwa suara mereka
diperhitungkan dalam penentuan hasil sebuah kebijakan publik. Sedangkan pada tahap
peredaman memang sudah memungkinkan masyarakat pada umumnya khususnya yang
rentan untuk memberikan masukan secara lebih signifikan dalam penentuan hasil
kebijakan publik, namun proses pengambilan keputusan masih dipegang penuh oleh
pemegang kekuasaan.274

Derajat tertinggi terdiri dari tiga tingkat partisipasi, yakni kemitraan
(partnerships), delegasi kekuasaan (delegated power), dan yang teratas adalah kendali
masyarakat (citizen control). Dalam tahap ini partisipasi masyarakat termasuk yang
rentan sudah masuk dalam ruang penentuan proses, hasil, dan dampak kebijakan.

272 Ibid.
273 Ibid., hlm. 218.
274 Ibid., hlm. 219.

452

Masyarakat sudah bisa bernegosiasi dengan penguasa tradisional dalam posisi politik
yang sejajar (tingkat kemitraan). Bahkan lebih jauh mampu mengarahkan kebijakan
karena ruang pengambilan keputusan telah dikuasai (tingkat delegasi kekuasaan).
Sehingga pada tahap akhir partisipasi masyarakat telah sampai pada puncaknya, yaitu
ketika masyarakat secara politik maupun administratif sudah mampu mengendalikan
proses, pembentukan, pelaksanaan, dan kebijakan tersebut (tingkat kendali
masyarakat).275

Kondisi pelaksanaan dari FPIC baik di Kalimantan Selatan maupun Sulawesi
Tengah dapat dikatakan hanya berada pada tataran konsultasi atau bahkan manipulasi
semata. Berbagai bentuk pengabaian yang dilakukan baik dalam model hanya
menuliskan nama dari masyarakat adat tersebut serta tidak adanya upaya monitoring
secara berkala mengenai pelibatan masyarakat pasca pelaksanaan proyek REDD pun
tidak dilakukan dan akan menyebabkan ketidakadilan bagi masyarakat lokal di sekitar
kawasan proyek REDD.

Dalam kondisi seperti ini paling tidak terdapat 2 (dua) opsi yang dapat digunakan
untuk meminimalisir ketidakadilan yang terjadi. Pertama, mengandalkan badan atau
lembaga pemerintah dalam melakukan validasi terhadap proses FPIC yang telah
dilakukan. Model seperti ini digunakan di Filipina, National Commission on Indigenous
Peoples (NCIP) dipercaya untuk mengemban tugas melakukan verifikasi bahwa proses
FPIC yang ada telah dipenuhi dalam memastikan hasil terkait persetujuan masyarakat
terhadap pelaksanaan proyek. Keputusan yang diambil harus didasarkan atas monitoring
terhadap seluruh prosedur FPIC oleh Tim Review Regional dari NCIP. Namun kondisi

275 Ibid., hlm. 221-223.

453

ini dikeluhkan oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi adat yang
mengatakan bahwa proses ini kadangkala dilakukan tanpa didasarkan atas kajian yang
layak terkait kegiatan yang telah diikuti masyarakat.276

Opsi kedua adalah menunjuk sebuah lembaga atau badan yang independen dalam
rangka menguji validitas dari proses FPIC itu sendiri. Skema ini dirujuk oleh Forest
Stewardship Council (FSC) yang telah mengembangkan standar sukarela terhadap
perusahaan dan komunitas yang mengelola hutan dalam rangka menilai kondisi nyata
terkait pelaksanaan pengelolaan proyek secara bertanggung jawab atau tidak. FSC juga
memiliki prosedur yang tegas yang dirancang untuk menjamin kenetralan auditor.
Auditor hanya bisa mendapat akreditasi untuk melaksanakan audit FSC jika mereka
sudah memiliki sertifikat sesuai standar audit internasional dan telah disetujui oleh
organisasi khusus yang telah mapan yang meneliti bahwa auditor telah mengembangkan
prosedur penilaian dengan baik.277

Berdasarkan uraian pembahasan 2 (dua) proyek pelaksanaan REDD di Indonesia
baik d Sulawesi Tengah maupun di Kalimantan di bawa skema KFCP dapat dilihat
bahwa pelaksanaan REDD di Indonesia belum dapat memenuhi nilai keadilan secara
utuh. Dalam konteks proyek KFCP sebagai pionir dalam pelaksanaan REDD di
Indonesia masih banyak terdapat kekurangan di banyak sisi. Paling tidak perhatian

276 Lihat Christoph Schwarte., “Social Safeguards in REDD: A Review of Possible Mechanisms
to Protect the Rights and Interests of Indigenous and Forest-Dependent Communities in a Future System
for REDD”., McGill International Journal of Sustainable Development Law & Policy 55., 2010., hlm. 75.

277 Saat ini FSC tengah memperkuat prosedur mereka untuk akreditasi auditor menindaklanjuti
sejumlah keluhan bahwa auditor mengembangkan hubungan yang terlalu dekat dengan perusahaan yang
mereka nilai, sebab mereka mendapat bayaran dari perusahaan untuk melakukan audit. Lihat Simon
Counsell, Trading in Credibility, Rainforest Foundation, London., 2003., hlm. 214. Meski begitu
kemajuan ini tampaknya tidak menyurutkan anggapan bahwa auditor akreditasi FSC dan perusahaan
penebangan menikmati hubungan yang menyenangkan.

454

utama berada pada beberapa hal utama yaitu tidak jelasnya target penurunan emisi yang
hendak dicapai, buruknya mekanisme pengelolaan di daerah sendiri dalam tataran
regulasi dan institusi serta tergusurnya kepentingan masyarakat sekitar hutan yang
notabene dikorbankan dalam pelaksanaan proyek REDD itu sendiri.

Sedangkan dalam pelaksanaan proyek REDD di Sulawesi Tengah yang didukung
penuh oleh UN REDD mulai mempunyai sedikit perbaikan walaupun tetap hanya
berorientasi pada bentuk pengurangan emisi secara instan di mata negara donor dan
mendapatkan uang dalam jumlah besar di mata Indonesia. Masyarakat sekitar tetap
hanya menjadi aksesoris semata sehingga dalam konteks ini nilai keadilan pun diabaikan

Beberapa pembelajaran dapat diraih dari pelaksanaan proyek REDD di beberapa
negara lain di luar Indonesia. Dalam hal ini penulis merujuk pada kondisi pelaksanaan
REDD+ di Republik Demokratik Kongo atau Zaire dan Brazil. Republik Demokratik
Kongo dapat dikatakan menjadi salah satu negara yang mempunyai irisan dengan
Indonesia dengan jumlah hutan tropis yang cukup besar. Berdasarkan catatan dari UN
REDD, Kongo mempunyai hutan tropis seluas 134 juta hektar yang dimanfaatkan
sebagai sumber makanan, obat, sumber energi hingga pemasukan ekonomi bagi sekitar
40 juta orang di dalamnya.278

Kongo dalam menanggulangi laju deforestasi yang relatif rendah yaitu sebesar
0,3% per tahunnya. Laju deforestasi di Kongo sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan
berbasis pertanian yang menjadi pemicu utama terjadinya konversi dari kawasan hutan

278 Lihat dalam “United Nations Collaborative Programme on Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries. 2009. Engaging civil society in REDD –
best practice in the Democratic Republic of Congo” terdapat dalam situs
http://europeandcis.undp.org/environment/sthelena/show/59787F57-F203-1EE9B7DD3AC2958A8CA8>.
Diakses pada tanggal 1 Februari 2013.

455

menjadi kawasan perkebunan yang menjadi akibat lanjutan dari adanya migrasi besar –
besaran pasca perang yang terjadi pada tahun 1996 sampai 2003. Selain faktor di atas,
tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan pembalakan ilegal serta ekspansi ladang kelapa
sawit turut memberikan sumbangsih dalam peningkatan laju deforestasi.279

Upaya pelaksanaan REDD di kawasan Afrika sendiri dilaksanakan dalam
berbagai bentuk mekanisme pendanaan seperti Climate Finance Options, Fast Start
Finance, Forest Carbon Partnership Facility (FCPF), Forest Investment Program (FIP),
UNREDD, GEF, Amazon Fund, Congo Basin Forest Fund (CBFF) dan UN Permanent
Forum on Indigenous Issues (UNFPII).280 Khusus di Kongo terdapat Forest Carbon
Partnership Facility (FCPF) yang merupakan salah satu proyek yang berasal dari UN
REDD sejak tahun 2009 dengan menyediakan bantuan dalam implementasi. Tahapan
awal dari kesiapan proyek REDD di Kongo dimulai pada Maret tahun 2011 dengan
awalan berupa persiapan proposal dengan bantuan dana sebesar 4,3 juta dollar
Amerika.281

Proses pelaksanaan REDD di Kongo dimulai pada Oktober 2009 dengan
hadirnya sebuah keputusan untuk mendukung REDD dalam langkah nyata yang diikuti
dengan pembentukan Badan Koordinasi Nasional dengan melibatkan beberapa
kementerian dan Komite Nasional REDD. Hal ini yang menurut penulis dapat dipelajari

279 Lihat Hari Bansha Dulal, Kalim U. Shah & Chandan Sapkota “Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation (REDD) Projects : Lessons For Future Policy Design and
Implementation”, International Journal of Sustainable Development & World Ecology, 2012., 19:2, hlm.
117.

280 Lihat Climate Fund Update, ‘Climate Fund Update’, terdapat dalam situs
http://www.climatefundsupdate.org/_. Diakses 2 Februari 2013.

281 Lihat dalam Nordic Agency for Development and Ecology. First program evaluation for the
Forest Carbon Partnership Facility (FCPF)., 2011., Copenhagen (Denmark): Nordic Agency for
Development and Ecology., hlm. 13.

456

dari cerita sukses pelaksanaan REDD+ khususnya terkait isu FPIC dan keadilan dalam
konteks Kongo. Dalam komposisi dari Komite Nasional REDD, perwakilan dari
masyarakat adat dan masyarakat sipil mendapatkan porsi sepertiga yang akan
memberikan kesempatan kepada mereka untuk turut serta dalam pembuatan keputusan
dan memiliki peran pengawasan dalam pelaksanaan serta pemantauan proses REDD.
Selain lembaga Komite Nasional REDD, Kongo juga mempunyai task force yang
didalamnya terdapat pula perwakilan masyarakat sipil yang mempunyai kewenangan
untuk berhubungan langsung dengan negosiator dari United Nation Framework
Convention on Climate Change. Kehadiran skema ini merupakan salah satu instrumen
yang digunakan dalam rezim REDD+ di Kongo untuk melakukan afirmasi terhadap isu
keadilan pada pelaksanaan REDD+. Sedangkan terkait dengan masyarakat lokal,
berbagai bentuk laporan dan konsultasi dilakukan secara berkesinambungan guna
memastikan terdapat proses yang aktif dan transparan sehingga masyarakat adat tidak
hanya terlibat dalam tataran perencanaan semata, namun juga hadir dalam rencana aksi
yang akan dilakukan.

Namun, seperti halnya Indonesia beberapa kelemahan dari sistem REDD+ di
Kongo juga terjadi. Paling tidak dapat dibedakan kelemahan yang terjadi dalam ranah
terkait hukum dan kelemahan yang non hukum. Dari perspektif hukum beberapa
kelemahan yang hadir dalam pelaksanaan REDD+ di Kongo dapat diidentifikasi sebagai
berikut :

Pertama, beberapa regulasi yang terkait dengan isu REDD seperti Bakajika Law
1967, Land Tenure Law 1973 dan Forest Code 2002 mengatur hal yang bersifat
inkonsistensi dan tidak mengatur secara jelas secara kesatuan sistem. Hal ini dapat

457

dilihat misalnya dalam pengaturan hak atas tanah. Dalam konstitusi Kongo tahun 2006
dinyatakan bahwa semua tanah yang ada di Kongo merupakan milik negara dan di
bawah kekuasaan negara secara penuh untuk kemakmuran rakyat.282 Namun, dalam
turunan dari konstitusi seperti dalam Bakajika Law 1967 dan Land Tenure Law 1973
justru menyediakan akses jaminan kepada warga negara untuk memperoleh konsesi
pribadi secara permanen dan hak untuk mendapatkan tanah di daerah terpencil.283

Kedua, beberapa peraturan yang terkait dengan REDD+ hingga kini belum
mempunyai peraturan turunan dalam bentuk keputusan – keputusan yang lebih nyata.
Hal ini terkait dengan adanya reformasi politik sehingga aturan seperti Forest Code 2002
dan Land Tenure Law 1973 hingga kini belum memberikan peraturan turunan sedangkan
hal ini diamanatkan dalam aturan tersebut. Salah satu terkait hal ini misalnya mengenai
partisipasi publik dalam rezim REDD+. Dalam konstitusi Kongo dikatakan bahwa setiap
warga negara berhak untuk mendapatkan jaminan informasi dari negara.284 Hal ini lalu
tersebar dalam beberapa ketentuan turunan seperti yang terdapat dalam Forest Code
2002285 dan Land Tenure Law 1973286, namun sayangnya hal ini tidak diturunkan
kembali dalam peraturan yang lebih konkrit terkait partisipasi masyarakat dan hak untuk

282 Lihat Konstitusi Republik Demokratik Kongo, Article 33 (3) “The land and the waters as well
as the natural riches therein are to be controlled by the state to be exploited to the greatest benefit of the
people".

283 Lihat dalam USAid Land Tenure and Property Rights Portal, Country Profile: Democratic
Republic of Congo: Trees and Forests, terdapat dalam situs
http://usaidlandtenure.net/usaidltprproducts/country-profiles/democratic-republic-of-congo/country-
profile-democratic-republic-ofcongo# diakses pada tanggal 12 Januari 2013. Lihat pula Lorenzo Cotula
and James Mayers, “Tenure in REDD: Starting Point or Afterthought?” Natural Resources Issues No. 15
(International Institute for Environment and Development, 2009), hlm. 36.

284 Art. 24, Constitution.
285 Arts. 4, 6, 9 and 84 of the Forest Code 2002
286 Art 193, 194 and 203 of Land Tenure Law

458

mendapatkan informasi. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa seharusnya
mekanisme FPIC di adopsi secara utuh dalam rezim yang sama, namun hal ini hanya
dapat ditemui dalam regulasi kehutanan, justru regulasi mengenai tanah belum mengatur
hal ini.

Ketiga, kekosongan hukum yang terjadi pada poin kedua memberikan
kesempatan untuk terjadinya ketidakpastian dalam pengukuran laju deforestasi dan
kerusakan hutan. Selain itu, terkait isu benefit sharing juga tidak memiliki kepastian dan
tidak mempunyai standar dalam pelaksanaan.287

Dalam hal kendala yang hadir di Kongo terkait pelaksanaan REDD+ dari aspek
non hukum juga hadir dan secara kesatuan sistem REDD+ di Kongo. Beberapa hal yang
dapat diidentifikasi sebagai berikut :

Pertama, dalam konteks pelaksanaan REDD+ di Kongo terdapat beberapa
kelompok yang mewakili kepentingan yang berbeda seperti masyarakat adat, lembaga
masyarakat sipil serta pecahan pasca konflik politik di Kongo. Hal ini mengakibatkan
multi interest yang terjadi sehingga sulit untuk dapat mengakomodasi dalam sebuah
kebijakan yang berlaku untuk semua.288

Kedua, faktor geografis serta dampak dari konflik yang terjadi di Kongo
membuat komunikasi belum dapat berjalan lancar hingga ke pelosok. Seringkali

287 Lihat Hari Bansha Dulal, Kalim U. Shah & Chandan Sapkota “Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation (REDD) Projects : Lessons For Future Policy Design and
Implementation”, International Journal of Sustainable Development & World Ecology, 2012., 19:2, hlm.
118.

288 Ibid.

459

informasi yang diberikan pada tingkat pusat mengalami keterlambatan pada tingkat
daerah.289

Ketiga, berbagai bentuk rencana aksi serta kebijakan yang disusun pada tingkat
nasional berdasarkan lembaga donor seringkali menggunakan bahasa Inggris, sedangkan
bahasa nasional serta bahasa yang dominan dimengerti penduduk Kongo adalah bahasa
Perancis, hal ini sedikit banyak juga mempengaruhi pelaksanaan kebijakan terkait
REDD+ khususnya di daerah. Hal ini lebih lanjut juga berdampak pada transformasi
program terkait REDD+ sulit untuk sampai ke daerah secara tepat.290

Perspektif berbeda hadir dari pelaksanaan REDD+ di negara Brazil khususnya
di Amazon. Kawasan Hutan Amazon sendiri berada di 9 (sembilan) negara secara
bersamaan dan dua pertiga (63%) berada di kawasan teritorial Brazil.291 Kawasan Hutan
Tropis Amazon yang berada di Brazil sendiri menguasai lebih dari sepertiga kawasan
hutan tropis di dunia dengan luas 4,1 juta km2.292

289 Ibid.
290 Ibid.
291 Beberapa negara yang dilewati oleh Hutan Amazon terdiri dari Peru seluas 2,4 Juta Km2
(37%), Kolombia sebanyak 7%, Bolivia sebanyak 6%, Venezuela sebanyak 6%, Guyana Inggris sebanyak
3%, Suriname sebanyak 2%, Ekuador sebanyak 1,5% dan Guyana Perancis 1.5%. Lihat dalam May, P.H.,
Millikan, B. and Gebara, M.F., “The Context of REDD+ in Brazil: Drivers, Agents and Institutions”.,
Occasional paper 55. 2nd edition., 2011. CIFOR, Bogor, Indonesia., hlm. 3.
292 Ibid., hlm. 4.

460

GAMBAR IV.25
Kawasan Hutan Amazon

Sumber : The Context of REDD+ in Brazil, CIFOR, 2011.

Salah satu proyek REDD+ yang berada di kawasan Brazil adalah proyek
pengembangan kawan REDD+ Juma seluas 589,612.8 hektar yang berada di kawasan
Novo Aripuanã, Bagian Tenggara Hutan Amazon Brazil. Proyek ini berjalan dengan
tujuan untuk mengembalikan fungsi hutan Amazon sebagai penyerap karbon. Upaya ini
dilakukan sebagai tindak lanjut dari tingginya laju kerusakan hutan yang terus menerus
terjadi dengan pendekatan business as usual yang berlangsung selama ini. Dalam hasil
…………….

461

perhitungan selama ini kerusakan dari kawasan Amazon bersumbangsih sebanyak 3,5
Miliar Ton CO2 ke atmosfer.293 Berdasarkan pendanaan yang didapat dari skema
REDD+, pemerintah Brazil mengutamakan penggunaan dana untuk melakukan
pengukuran secara ilmiah terhadap wilayah proyek, penegakan hukum hingga sebagai
upaya peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat lokal di kawasan proyek.294

Pada tahun 2012 kawasan Hutan Amazon menyentuh titik terendah dalam laju
kerusakan hutan dalam kurun waktu 24 tahun terakhir. Berbagai pihak mencoba untuk
mempelajari kaitan antara turunnya laju deforestasi di Amazon Brazil dengan konsep
REDD+ yang diterapkan. Berdasarkan data yang dirilis oleh Brazil's National Space
Research Agency dikemukakan bahwa hutan Amazon mengalami kehancuran pada
kurun waktu Agustus 2011 hingga Juli 2012 sebesar 4,656 kilometer2, hal ini menurun
sebesar 27% dari awal tahun sebelumnya sebesar 6,418 kilometer2.295 Jika tren ini terus
berlangsung, maka perkiraan yang diungkapkan pada tahun 2050 kawasan proyek Juma
akan mengalami deforestasi sebesar 329.483 hektar hutan tropis yang akan
bersumbangsih sebesar 189,7670,279 ton CO2.296

293 Besaran ini ekuivalen dengan jumlah emisi yang dihasilkan oleh Uni Eropa atau China serta
setara dengan 4 (empat) kali emisi dari Jerman setiap tahunnya. Lihat The Juma Sustainable Development
Reserve Project: Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation in the State of Amazonas,
Brazil. A project design document (PDD) for the Climate, Community & Biodiversity Alliance (CCBA)
Standard. May 2008, hlm. 5.

294 Lihat Climate, Community & Biodiversity Alliance., The Juma Sustainable Development
Reserve Project : Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation in the State of Amazonas,
Brazil., 2008. Project design document (PDD)., hlm. 75.

295 Lihat “Amazon Deforestation Hits Record Low” terdapat dalam situs
http://www.guardian.co.uk/environment/2012/nov/28/amazon-deforestation-record-low diakses pada
tanggal 10 Februari 2013.

296 Lihat Climate, Community & Biodiversity Alliance., Op. Cit., hlm. 31.

462

GAMBAR IV.26
Laju Deforestasi Amazon

Sumber : “Amazon Deforestation Hits Record Low”., The Guardian.

Beberapa variabel cukup mempengaruhi penurunan laju deforestasi hutan di
Amazon dengan skema REDD+ yang dijalankan. Berbagai regulasi terkait pembakaran
lahan yang juga terjadi di Amazon ditanggulangi oleh Pemerintah Brazil dengan
mengedepankan insentif dalam skema Payment Environmental Services. Upaya yang
dilakukan oleh pemerintah Brazil mencoba untuk melibatkan secara utuh masyarakat
lokal dalam bentuk skema Direct Payment for Environmental Services yang dikenal
dengan konsep Bolsa Floresta.297 Metode pendanaan ini meliputi 4 (empat) jenis
distribusi finansial.

Pertama, Pendanaan berbasis individu atau yang dikenal dengan istilah Bolsa
Floresta Familiar yang diberikan dana sebesar 25 $ US melalui kartu debit setiap

297 Lihat Simone Novotny Couto Pereira., “Payment for Environmental Services in the Amazon
Forest: How Can Conservation and Development Be Reconciled ?”., The Journal of Environment
Development 2010 19., hlm. 177.

463

bulannya untuk perempuan di suatu anggota rumah tangga. Dalam model ini isu gender
diutamakan bagi mekanisme pendanaan.

Kedua, Pendanaan yang terasosiasi dengan keluarga atau yang dikenal dengan
Bolsa Floresta Associação yaitu program dengan memberikan bantuan uang tunai
sebesar 500 $ US setiap bulannya termasuk hibah bantuan berupa peralatan transportasi
dan sambungan komunikasi di dalamnya.

Ketiga, Pendanaan berbasis bantuan sosial atau yang dikenal dengan Bolsa
Floresta Social dengan skema pemberian bantuan sebesar 70.000 $ US setiap tahunnya
dalam bentuk investasi skala mikro dalam bidang kesehatan atau pendidikan dengan
bekerja sama pada pemerintahan tingkat lokal.

Terakhir, Pendanaan yang berbasis keberlanjutan lintas generasi atau yang
dikenal dengan Bolsa Floresta Renda dengan program pemberian bantuan sebesar
70.000 $ US setiap tahunnya yang direalisasikan dalam bentuk berbagai program yang
berbasis keberlanjutan sumber daya dan penggunaan lahan.298

Skema pendanaan yang menyentuh langsung masyarakat serta dijalankan dengan
transparan seperti ini patut menjadi contoh bagi Indonesia, sehingga kondisi dilematis
untuk menaati aturan namun tidak memberikan keuntungan dapat berjalan lebih efektif.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa metode seperti diungkapkan di atas memberikan
tanggung jawab yang besar pula khususnya biaya yang harus diemban. Keunggulan dari
proyek ini jelas terletak dari adanya perbaikan infrastruktur dari masyarakat lokal itu
sendiri, namun pada sisi lain pembangunan ini akan meningkatkan jumlah populasi

298 Lihat Viana VM, Ribenboim G, Della Méa R., The Costs of REDD : Lessons from Amazonas.
London (UK): The International Institute for Environment and Development (IIED)., 2009., hlm.3.

464
seiring dengan peningkatan kualitas pembangunan di daerah yang berujung pada
perebutan lahan yang ada.299

Dari kondisi pelaksanaan REDD di Brazil dapat dilihat bahwa keterlibatan
masyarakat sekitar memiliki peran yang cukup strategis. Hal ini dapat digunakan sebagai
dasar perumusan penerimaan dari masyarakat sekitar kawasan hutan terhadap
keberhasilan proyek REDD itu sendiri.

299 Lihat Hari Bansha Dulal, Kalim U. Shah & Chandan Sapkota., Loc. Cit., hlm. 125.

BAB V
PENUTUP

5.1. Simpulan
Dari hasil penelitian disertasi yang diungkapkan dalam pembahasan bab

– bab terdahulu dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut :
Pertama, kondisi perubahan iklim saat ini berada dalam tahapan yang

mengkhawatirkan dan menuju arah yang lebih buruk. Bersandar kepada hasil
kajian dari Intergovernmental Panel on Climate Change selaku lembaga
penelitian yang diberikan kewenangan dalam pengaturan perubahan iklim
internasional secara jelas diungkapkan bahwa kondisi iklim saat ini telah
berubah menuju arah yang mengancam eksistensi bumi dan isinya. Merujuk
kepada data bahwa peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang menyebabkan
perubahan iklim diketahui bahwa negara – negara maju berkontribusi dominan
dalam perubahan iklim. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan dampak
yang diterima. Beberapa dampak dalam dimensi waktu yang sama saat ini
menunjukkan bahwa justru negara – negara berkembang memiliki kerentanan
yang jauh lebih besar di bandingkan dengan negara maju. Keunggulan negara
maju baik dari segi pendanaan maupun teknologi membuat mereka lebih siap
dalam menghadapi perubahan iklim. Hal serupa pun diprediksi dalam kondisi
iklim di masa yang akan datang. Perubahan iklim ditengarai akan mengancam
generasi penerus dunia pada saat masa hidup dari gas rumah kaca yang menjadi

465

466

penyebab perubahan iklim relatif panjang. Berdasarkan penelitian IPCC
diketahui bahwa masa hidup dari gas – gas utama penyebab perubahan iklim
hidup dalam kisaran waktu 5 – 200 tahun. Kenyataan ini tentu akan mengancam
kehidupan dari generasi yang akan datang dengan bencana yang bersumber dari
perubahan iklim. Fenomena ini ditanggapi serius oleh masyarakat internasional
mulai dengan memasukkan isu perubahan iklim dalam topik pembicaraan pada
serangkaian pertemuan internasional hingga menjadikan isu perubahan iklim
sebagai pembahasan utama perumusan sumber hukum internasional. Kontribusi
yang besar dari negara maju serta dampak yang begitu hebat dari perubahan
iklim membuat para pengambil kebijakan pada tataran internasional untuk
mengemas isu perubahan iklim menjadi isu global dan dirundingkan dalam
negosiasi internasional. Ketepatan secara ilmiah mempunyai porsi penting untuk
dapat menetapkan kebijakan di masa kini dan akan datang. Hal inilah yang akan
menjadi alas utama pertimbangan scientific evidence yang kemudian menjadi
legal evidence.

Kedua, saat ini berkembang 2 (dua) model komitmen dalam langkah
mitigasi perubahan iklim yaitu komitmen yang bersandar pada model top down
dan komitmen yang bersandar pada model bottom up. Model Top Down yang
diusung pada model pembentukan komitmen di Protokol Kyoto telah mengalami
kegagalan dari perspektif nilai keadilan dan efektifitas. Hal ini tidak pelak
berujung pada tujuan yang tertuang dalam rezim dari UNFCCC untuk mencapai
kestabilan iklim tidak tercapai. Belajar dari pengalaman yang ada dalam rezim
Top Down sebelumnya, dalam Conference Of the Parties (COP) di Copenhagen

467

ditentukan bahwa perlu adanya alternatif pendekatan komitmen baru yang
mengusung diharapkan lebih efektif dan adil. Konstruksi politis yang tertuang
dalam Copenhagen Accord tersebut merujuk pada kesepakatan komitmen yang
merujuk pada model Bottom Up yang memberikan keleluasaan dari masing –
msing negara untuk mengajukan komitmen penurunan emisi. Namun tidak jauh
berbeda dengan model sebelumnya, konstruksi ini gagal saat memenuhi kaidah
efektifitas karena hasil yang dicapai hanya berbasis pada kenyamanan bukan
pertimbangan ilmiah. Opsi alternatif dalam model ini disuguhkan dengan
mengusung konsep Multi Track. Konsep yang berbasis tujuan jangka pendek ini
menuntut keaktifan dari semua pihak guna menghadirkan komitmen yang
mengawal tujuan dari regulasi itu sendiri. Perjanjian lintas sektor dan lintas
negara ini dikawal dengan adanya suatu konsep Common Framework yang
menjadi tujuan akhir pencapaian penurunan emisi. Dalam konteks efektifitas
model ini dapat dikatakan berhasil, namun saat diuji dengan konsep keadilan
khususnya merujuk kepada prinsip Common But Differentiated Responsibilities
maka negara – negara berkembang merasa tidak proporsional terkait dengan
sumber emisi yang dihasilkan.

Ketiga, peran dan langkah kebijakan Indonesia terkait dengan isu
mitigasi dalam penanggulangan perubahan iklim saat ini dapat dikatakan tidak
mencerminkan keseriusan dari Pemerintah Indonesia. Keikutsertaan Indonesia
dalam langkah – langkah persetujuan Konvensi Perubahan Iklim pada tataran
internasional yang diikuti dengan ratifikasi baik terhadap United Nations
Framework Convention on Climate Change melalui Undang Undang Nomor 6

468

Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention On
Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa
Mengenai Perubahan Iklim) maupun terhadap Protokol Kyoto dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto
Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate Change
(Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa – Bangsa
Tentang Perubahan Iklim) ternyata tidak diikuti oleh keseriusan kebijakan dalam
tataran nasional sebagaimana termuat dalam Peraturan Presiden Nomor 61 tahun
2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-
GRK) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% tanpa bantuan
asing dan 41% dengan bantuan asing. Dalam penelitian ini penulis menyoroti 3
(tiga) bidang utama yaitu kehutanan, transportasi dan energi yang dalam
pelaksanaan dari komitmen langkah mitigasi ternyata justru diwarnai oleh
kebijakan – kebijakan yang bertentangan dengan langkah penurunan emisi gas
rumah kaca sehingga justru menjadikan upaya mitigasi Indonesia akan
berdampak kontradiktif. Hal ini diperburuk pula dengan hadirnya kehadiran
instrumen utama dan instrumen pendukung dari Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) sebagai andalan dari
negara hutan tropis seperti Indonesia justru tidak menunjukkan keseriusan dari
pemerintah Indonesia dan hanya berbasis kepentingan jangka pendek semata.
Dalam konteks instrumen utama dalam hal ini ditunjukkan dengan
ketidaktepatan pemilihan instrumen hukum yang digunakan hingga tidak
kunjung rampungnya lembaga REDD yang sudah 2 (dua) kali melewati batas

469

kadaluarsa. Sedangkan terkait instrumen pendukung berupa moratorium
kawasan kehutanan justru pada faktanya bersumbangsih pada peningkatan emisi
pada saat terjadinya kebakaran hutan tahun ini yang terbesar pada kurun waktu
20 tahun terakhir.

5.2. Saran
Dari hasil kesimpulan yang terungkap dalam penelitian disertasi yang

diungkapkan di atas, terdapat beberapa saran yang hendak penulis sampaikan
sebagai berikut :

Pertama, dalam konteks Internasional perlu adanya penguatan negosiasi bagi
pada Delegasi Republik Indonesia dalam menghadiri Konferensi Perubahan Iklim
khususnya pada saat adanya pembahasan mengenai langkah – langkah nyata dalam
perbaikan iklim. Keterpaduan antara kualitas dan kuantitas yang unggul dalam
forum – forum internasional akan membuat Indonesia lebih dapat memainkan peran
maksimal serta menyuarakan kepentingan nasional guna menjamin hadirnya
instrumen – instrumen internasional yang efektif dan berkeadilan pada tataran
nasional.

Kedua, perlu adanya penguatan baik secara kelembagaan maupun secara
regulasi yang mengedepankan isu perubahan iklim dalam tataran yang lebih nyata.
Hal ini dapat berupa hadirnya Peraturan Pemerintah yang terkait dengan isu
perubahan iklim pada tingkat nasional. Kehadiran peraturan tersebut tidak hanya
menegaskan komitmen Indonesia dalam perbaikan kondisi lingkungan, namun juga

470

dapat digunakan sebagai pedoman serta menegaskan kebijakan hukum pada tingkat
pusat dan daerah dalam langkah mitigasi perubahan iklim.

Ketiga, penguatan secara instrumental perlu diikuti dengan adanya
penguatan secara institusional dalam kebijakan perubahan iklim nasional. Memang
hingga saat ini Indonesia telah memiliki Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)
sebagai focal point, namun dalam prakteknya seringkali kebijakan yang dihasilkan
bertentangan bukan hanya pada tataran horizontal (sesama lembaga negara) namun
juga dalam tataran vertikal yang menyentuh pelaksanaan di tingkat daerah.
Tumpang tindih kewenangan tentu akan berdampak pada hadirnya pada bedanya
pemahaman dan sudut pandang yang digunakan, hal ini perlu dihindari dengan
menentukan secara pasti dan jelas leading sector yang akan menjadi pengarah utama
dalam langkah perubahan iklim nasional. Dari perspektif ini peneliti mengusulkan
isu perubahan iklim dilebur dalam Kementerian Negara Lingkungan Hidup guna
menjadi leading sector sehingga dapat menjadi institusi yang lintas kelembagaan
serta memadukan kebijakan – kebijakan sektoral yang terkait dengan perubahan
iklim.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Adolf, Huala. Aspek – Aspek Negara dalam Hukum Internasional,
Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1991.

Akehurst, Michael. A Modern Introduction to International Law., London :
George Allen and Unwin, 1982

Aldy, E. Joseph dan Stavins N Robert. Post Kyoto International Climate
Policy., United States : Cambridge University Press, 2009.

Attefield, Robin. The Ethics of Global Environment., Edinburg University
Press, 1999.

Bell, Stuart & Donald McGillivray. Environmental Law, London : Blackstone
Press, 2001.

Birinie, W Patricia and Alan E Boyle. International Law and the
Environment., Oxford : Clarendon Press, 1992.

Bradley, Megan. The Conditions of Just Return : State Responsibility and
Restitution for Refugees, United Kingdom : University of Oxford,
2007.

Carson, Rachel. Silent Spring, 1963.

Creswell, John W, Research Design : Quantitative & Qualitative Approach.
Sage Publication, 1994.

Dales, J.H. Pollution Property & Prices, Toronto : University of Toronto
Press, 1986.

Danusaputro, St Munadjat, Hukum Lingkungan, Buku I. Bandung : Binacipta,
1982.

__________, St Munadjat, Hukum Lingkungan, Buku V. Bandung : Binacipta,
1982.

Dixon, Martin. Cases and Material on Internaional Law, New York:Oxford
University Press, 2003

Dobson, Andrew., Justice and the Environment., New York : Oxford
University Press, 1998.

Earthscan, Cropland or Wasteland : The Problems and Promises of
Irrigation, London : Earthscan, 1984.

Eckholm, Eric. Down to Earth, New York : WW Norton, 1982.

Freestone, David. The Precationary Principle and International Law. London
: Kluwer Law International, 1996

Friedman, Lawrence M. Introduction to American Law., Jakarta: PT Tatanusa,
2001.

Fukuyama, Francis. Guncangan Besar. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
2005.

Harris, David J Cases and Materials on International Law., London:Sweet
and Maxwell, 1983.

Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan, Cet.19., Yogyakarta:
UGM Press, 2006.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang :
Bayumedia, 2006.

Istanto, F. Sugeng Hukum Internasional, Yogyakarta : Universitas Atma jaya,
1998.

Jackson, Robert H. “Quasi States : Sovereignity, International Relations, and
The Third World”, Cambridge : Press Syndicate of The University of
Cambridge, 1990.

Johnston, R.J. Nature, State, and Economy : A Political Economy of the
Environment., New York : John Willy & Sons, 1989.

Juwana, Hikmahanto. Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum
Internasional., Jakarta : Lentera Hati, 2001.

__________________. Hukum Internasional : Dalam Perspektif Indonesia
sebagai Negara Berkembang, Jakarta : PT Yarsif Watampone, 2010.

Kamil, Melda, Hukum Internasional hukum yang Hidup. Jakarta: Diadit
Media, 2007

Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Lingkungan Hidup.
Jakarta : Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan, 2006.

Kelsen, Hans. General Theory of Law and State., New York:Russel & Russel,
1973.

Keraf, Sonny, Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas, 2006.

Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional. Bandung:
Alumni, 2003.

Krisnajadi, Deklarasi Stockholm 1972 dan rekomendasi – rekomendasinya
tentang Lingkungan Hidup. Bandung: Sekolah Tinggi Hukum
Bandung, 1990.

Kolstad, Charles. Environmental Economics. New York : Oxford University
Press, 2000

Lauterpacht, Hersh. Oppenheim’s International Law, A Treatise, Vol I, 8th
Edition, 1995.

Lian, Koh Kheng et. al., Crucial Issues in Climate Change and the Kyoto
Protocol : Asia and the World, Singapore : World Scientific
Publishing, 2010.

Lillich,Richard B. “Development in State Responbility”, American Society of
International Law Proceedings, 1989.

Locke, John. Two Treatises of Government : A Critical Edition with an
Introduction and Apparatus Criticus by Peter Laslet,
London:Cambridge University Press, 1970.

Lomborg, Bjorn. The Skeptical Environmentalist: Measuring The Real State
of The World., Cambridge Univ. Press 2001.

Marsh, George Perkins. Man and Nature, Cambridge : Harvard University
Press, 1965.

McCormick, John. The Global Environment Movement, New York : John
Wiley & Son, 1989

Merriem,C.E. Jr. History of The Theory of Sovereignty since Rousseau ,
Kitchener, Ontario:Batoche Books, 1900.

Millls, Kurt. Human Rights in The emerging Global Order : A New
Sovereignty ?., London:MacMillan Press, 1999.

Murdiyarso, Daniel, Protokol Kyoto Implikasinya bagi Negara Berkembang.
Jakarta: KOMPAS, 2003.

_________, Daniel, Sepuluh Tahun perjalanan Negosiasi Konvensi
Perubahan Iklim. Jakarta: KOMPAS, 2003.

Nordhaus, W.D. and J. Boyer, 2000: Warming The World: Economic Models
Of Global Warming, MIT Press, Cambridge, MA

Posner, Richard. Economic Analysis of Law. Kluwer : Aspen Law and
Business, 1998.

Potter,Donald W. ”State Responsibility, Sovereignity, and Failed States”,
Australia : University of Tasmania, 2005.

Pound, Roscoe. Interpretation of Legal History., Florida : WM Gaunt & Sons,
1986.

Prabowo Soedarso, Bambang. Kumpulan Bahan Kuliah Hukum Lingkungan,
Jakarta : Yayasan Indonesia Lestari, 2007

Putra, Ida Bagus Wyasa .Hukum Lingkungan Internasional : Perspektif Bisnis
Internasional. Bandung : Refika Aditama, 2003.

Rhiti, Hyronimus, Hukum Penyelesaian Sengeketa Lingkungan Hidup.
Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2006.

____, Hyronimus, Kompleksitas Permasalahan Lingkungan Hidup.
Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2005.

Riyanto, Budi, Hukum Kehutanan dan Sumber Daya Alam. Bogor: Lembaga
Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, 2004.

Rousseau, Jean – Jacques. The Social Contract and Other Later Political
Writings., Cambridge:Cambridge University Press, 1997.

Salim, Emil, Pembangungan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: LP3ES, 1986.

_________. Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta : Mutiara Sumber
Widya, 1989.

Sands, Philipe. Principle of International Environmental Law I, Manchester :
Manchester University Press, 1995.

Shaw., Malcom N. International Law, Cambrige:Cambrige University Press,
2003.

Siahaan, NHT, Hutan, Lingkungan dan Paradigma Pembangunan. Jakarta:
Pancuran Alam, 2007.

______, NHT, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta:
Pancuran Alam, 2004.

Silalahi, Daud, Hukum Lingkungan Indonesia dalam Sistem Penegakan
Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung : Alumni, 2001.

Simonovic, Ivan. “Relative Sovereignty of The Twenty First Century”,
Hastings International and Comparative Law Review Summer 2002.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet.3.. Jakarta : UI Press,
2006.

Soemartono, Gatot P, Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
2004.

Soemarwoto, Otto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:
Djambatan, 1983

__________, Otto, Meninergikan Pembangunan dan Lingkungan.
Yogyakarta: Percetakan Negeri, 2005.

Soltau, Friedrich., Fairness in International Climate Change Policy., United
States : Cambridge University Press, 2009.

Starke, J.G. Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Jakarta: Sinar Grafika,
2006

Sumacher, E. F. Small is Beautiful, Great Britain : Cox & Wayman Reading,
19830

Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Suryokusumo, Sumaryo, Hukum Organisasi Internasional. Jakarta: UI Press,
1990.

Swasono, Sri Edi. Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial. Jakarta :
Perkumpulan Prakarsa, 2005

Starke, J.G. Pengenatar Hukum Internasional. cetakan kesepuluh. Jakarta :
Sinar Grafika, 2006.

Tasrif, S. Hukum Internasional tentang Pengakuan dalam Teori dan Praktek,
Bandung : Abardin, 1987.

Taufik Makarao, Mohammad, Aspek – Aspek Hukum Lingkungan . Jakarta:
Indeks, 2006.

Thontowi, Jawahir. Hukum Internasional Kontemporer. Yogyakarta :
Universitas Atmajaya, 2006.

Tim Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan, Negara Kesejahteraan dan
Globalisasi, Jakarta : Pusat Studi Islam dan Kenegaraan, 2008.

Verheyen, Roda., Climate Change Damage and International Law.
Netherlands : Martinus Nijhoff Publishers, 2005

Ward, Barbara & Rene Dubos. Hanya Satu Bumi, Jakarta : PT Gramedia,
1974.

Wattimena, Reza A.A. Melampaui Negara Hukum Klasik : Locke – Rousseau
- Habermas., Yogyakarta : Kanisius, 2007.

Westra, Laura., Environmental Justice and The Rights od Unborn and Future
Generations., United Kingdom : Earthscan, 2006.

B. MAKALAH DAN JURNAL

Agora, What Obligation Does Our Generation Owe to the Next? An Approach to
Global Environmental Responsibility, American Journal of International
Law January, 1992.

Bodansky, Daniel., “The United Nations Framework Convention on Climate
Change: A Commentary”, 18 Yale Journal. International Law. 451, 1993.

Coase, Ronald H. The Problem of Social Cost, Journal Law and Economic.
(1960).

Harris, Paul G. Collective Action on Climate Change: The Logic of Regime
Failure, 47 Natural. Resources Journal. 195., 2007.

_____________., “Climate Change And The Impotence Of International
Environmental Law: Seeking A Cosmopolitan Cure”., Penn State
Environmental Law Review Winter., 2008.

Koh, Harold Hongju., Why Do Nations Obey International Law?, 106 Yale Law
.Journal. 2599.,1997.

Nollkaemper, Andre. "Protecting Forest through Trade Measure: The Search
for Substantive Benchmarks", Georgetown International Environmental
Law Review, Vol. 8, 1996

Pardy, Bruce. “The Kyoto Protocol: Bad News for the Global Environment”,
Journal of Environmental Law and Practice., 2004.

Sloane, George B dan Barry N. Rosen. "Environmental Product Standards, Trade
and European Consumer Good Marketing: Processes, Threats and
Opportunities," Columbia Journal of World Business, Vol. 30, No. 1,1995

Taylor. Prue., “An Ecological Approach To International Law: Responding To
Challenges Of Climate Change”., 1998.

Thürer, Daniel. The “Failed States” and International Law , International Review
of the Red Cross , 1999.

Weiss, Edith Brown. International Environmental Law: Contemporary Issues and
the Emergence of a New World Order, 81 Georgia Law Journal. 675, 679
(1993).

C. LAIN - LAIN

Intergovernmental Panel on Climate Change, Working Group II, Climate Change
Impacts, Adaptation and Vulnerability.

The United Nations Framework Convention on Climate Change

Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change


Click to View FlipBook Version