NILAI-NILAI PENDIDIKAN HINDU
dalam Ślokāntara
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-Undang No. 28 Tahun 2014
Tentang Hak Cipta
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus
juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
NILAI-NILAI PENDIDIKAN HINDU
dalam Ślokāntara
Puspo Renan Joyo
NILAI-NILAI PENDIDIKAN HINDU DALAM ŚLOKĀNTARA
Puspo Renan Joyo
Copyright@2020
Editor
Prof Dr. Drs. I Nengah Duija, M.Si
Desain Sampul
[email protected]
Penata Letak
[email protected]
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang
Ketentuan Pidana Pasal 112–119
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014Tentang Hak Cipta.
Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
Memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Diterbitkan dan dicetak pertama kali oleh
CV. Jakad Media Publishing
Graha Indah E-11 Gayung Kebonsari Surabaya
(031) 8293033, 081230444797, 081234408577
https://jakad.id/ [email protected]
Anggota IKAPI
No. 222/JTI/2019
Perpustakaan Nasional RI.
Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN: 978-623-6551-82-0
x + 380 hlm.; 15,5x23 cm
KATA PENGANTAR PENULIS
Tabe Salamat Lingu Nalatai Salam Sahujud Karendem Malempang
Oṁ Swastyastu
Slokantara merupakan kesusastraan Hindu yang sangat penting
karena di dalamnya mengupas ajaran-ajaran etika yang dapat
dijadikan rujukan berpikir, berkata dan bertindak. Sebagai sumber
nilai, ia memiliki posisi strategis dalam wacana pembangunan moral
yang hingga hari ini tetap relevan. Sebagaimana yang dinyatakan
dalam Slokantara [5] bahwa aktualisasi dharma atau perbuatan
mulia bersifat inhern di setiap jiwa manusia. “To give pleasure to a
single heart by a single act is better than a thousand heads bowing in
prayer”, demikian Mahatma Gandhi mengingatkan kita semua betapa
etika menjadi hal yang berharga bagi kehidupan dan tingkah laku
manusia sehari-hari. Buku ini secara spesifik ditujukan kepada para
pelajar, mahasiswa dan mereka yang baru berada pada tahap awal
studi etika Hindu. Bagi para cendikia, ini lebih bersifat mengingatkan
kembali tentang pembicaraan etika Hindu secara umum. Buku ini
disarikan dari sebuah karya penelitian yang berjudul “Kajian Nilai
Pendidikan Hindu dalam Teks Slokantara”. Objek material penelitian
ini adalah teks Slokantara, yang mengacu pada karya Prof. Dr. Tjok.
Rai Sudharta, M.A., berjudul “Slokantara Untaian Ajaran Etika [Teks,
Terjemahan dan Ulasan], yang diterbitkan oleh penerbit Paramita
Surabaya tahun 2003. Buku ini hampir tidak mengalami perubahan
apapun dari sumber asalnya [penelitian], hal ini dimaksudkan untuk
menjaga jejak perjalanan pemikiran penulis. Penulis memberanikan
diri untuk menerbitkan buku ini dengan alasan ingin menampilkan
kembali ajaran etika Hindu yang adi luhur kepada generasi muda
Hindu khususnya dan menumbuhkan motivasi bagi penulis sendiri
untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat dan berkarya walaupun
penuh dengan keterbatasan diri.
iii
Banyak pihak yang sangat berjasa atas penerbitan buku ini, oleh
sebab itu saya ingin mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga
kepada: 1] Ida Hyang Widhi Wasa, Gusti Kang Akarya Jagat, Ranying
Hatala Langit, atas segala waranugrahanya, sehingga penulis dapat
mewujudkan karya ini; 2] Rektor Institut agama Hindu Negeri
Tampung Penyang [IAHN-TP] Palangka Raya, Bapak Prof. Drs. I
Ketut Subagiasta, M.Si., D.Phil., yang telah memberikan bimbingan,
motivasi serta perkenan beliau memberikan kata pengantar buku
ini; 3] Wakil Rektor I IAHN-TP Palangka Raya, Bapak Dr. Pranata,
S.Pd., M.Si., yang tak henti-hentinya memberikan motivasi dan
mengingatkan hampir setiap saat kepada para dosen untuk berkarya
bagi kemajuan kampus; 4] Wakil Rektor II IAHN-TP Palangka Raya,
Bapak Mitro, S.Pd., M.Si., yang memberikan semangat dan dukungan
penuh ketika saya menghubungi beliau terkait rencana penerbitan
buku ini; 5] Wakil III, Bapak Budi Widodo, S.H., M.H., atas dorongan
dan perkenannya menjadi rekan berbagi cerita banyak hal terkait
dengan urusan akademik maupun kemahasiswaan; 6] Kabid Bimas
Hindu Kemenag Prov. Kalteng, Ibu Dra. Sisto Hartati, M.Si., beserta
jajarannya yang telah memberi ruang selama ini untuk mengasah
diri; 7] PHDI Prov. Kalteng, Bapak Prof. Dr. I Nyoman Sudyana,
M.Sc., beserta Jajarannya, MB-AHK Pusat Palangka Raya, Bapak
Drs. Walter S. Penyang, Sukaduka Kota Palangka Raya, Bapak I
Wayan Pait, MAP., berserta Jajarannya, yang telah menjadi orang
tua dan pembimbing dalam bermasyarakat; 8] Bapak Prof. Dr. Drs.
I Nengah Duija, M.Si., atas tuntunan yang luar biasa selama ini dan
perkenannya menjadi editor buku ini; 9] Bapak Wayan Pait, S.Ag.,
MAP, dan Bapak Letus Tarung Putra Utama, SE., atas dukungan
dan kesabarannya disaat saya bertanya banyak hak terkait proses
penerbitan buku ini; 10] Bapak Prof. Dr. Tjok. Rai Sudharta, M.A.,
atas karya luar biasa yang menjadi pijakan penting dalam penelitian
hingga lahirnya buku ini. 11] Rekan dosen, pegawai, dan seluruh
keluarga besar IAHN-TP Palangka Raya yang telah menjadi rekan
diskusi yang menyenangkan; 12] Penerbit Jakad Publishing yang
telah membantu proses penerbitan buku ini.
iv
Akhirnya, saya persembahkan karya kecil ini kepada: 1] kedua
orang tua tercinta, Suargi ayah, Suprapto ngatni, Ibu, Supatmi atas
segalanya yang tak akan pernah mampu saya kembalikan; 2] kedua
Cinta abadiku, istriku, Desak Putu Ratih Juniari, dan Estu Luhung
Pramudyo, putraku yang telah berbahagia di sana; 3] Para Sedulur:
Mas Haryanto, Mbak Tar, Mas Kamil, Mbak Atim, Suargi Mas Wit,
Mbak Endang, Mas Jurito, Mbak Sus, Mas Putu, Mbak Ninik, Mas
Muji, Mbak Pung, Krishna, Arum, Danang, Deny, Rama, Ana, Wawan,
Moko, Ketut, Tikol, Aji, Paelan, Madun dan keluarga besarku di Jero
Kanginan, Ubud, Bali, 4] Masyarakat Plajan dan khususnya Umat
Hindu Plajan yang saya banggakan, dan 5] Kampusku tercinta
Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang [IAHN-TP] Palangka
Raya dan alamaterku Universitas Hindu Negeri [UHN] I Gusti
Bagus Sugriwa, Denpasar, dan 6] Para Sedulur di Pandi Jawi, dan 7]
Semeton GGC.
Tak ada gading yang tak retak, oleh sebab itu saran dan kritik
yang membangun menjadi hal yang sangat dinantikan demi kebaikan
karya ini dan karya-karya di masa yang akan datang. Semoga karya
ini bermanfaat dan menjadi awal lahirnya karya-karya berikutnya
yang lebih baik.
Oṁ Śāntiḥ, Śāntiḥ, Śāntiḥ.
Sahey
Palangka Raya, 05 Nopember 2020
Puspo Renan Joyo
v
vi
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA HINDU NEGERI
TAMPUNG PENYANG (IAHN-TP) PALANGKA RAYA
Alamat: Jalan G. OEwb-oemsbasXiiltT:eei:ahlpht.tnp(t0/a5/Pm3wap6lwau)nnw3gg.2kph2aet9tnRp9yas4ay:2n/a/[email protected]/,a Kode Pos 73112
KATA PENGANTAR REKTOR
Rektor Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang
Palangka Raya
Tabe Salamat Lingu Nalatai Salam Sahujud Karendem Malempang
Oṁ Swastyastu
Sebuah Lembaga Pendidikan Tinggi dicirikan setidaknya
dalam tiga aktivitas penting, yaitu pendidikan dan pengajaran,
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat atau yang lazim
dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Ketiganya berkaitan
satu dengan yang lain, namun dari ketiga aktivitas tersebut,
penelitian merupakan fondasi penting bagi dua aktivitas yang
lain. Sebuah penelitian merupakan upaya akademis dalam rangka
pengembangan pengetahuan. Dari aktivitas tersebut diharapkan
muncul penemuan [discovery] dan kebaruan [novelty] yang pada
akhirnya akan dijadikan sebagai pijakan dalam aktivitas pendidikan
dan pengajaran serta pengabdian kepada masyarakat. Buku karya
Puspo Renan Joyo yang berjudul Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara yang disarikan dari sebuah karya penelitian ini
merupakan upaya diseminasi pemikiran dan pengetahuan terkait
dengan studi etika Hindu yang dapat dijadikan referensi dalam
vii
dunia pendidikan, refleksi pemikiran dalam pembinaan generasi
muda Hindu dan perenungan dalam keseharian.
Slokantara merupakan kesusastraan penting dalam Agama
Hindu yang mengupas banyak hal terkait dengan nilai edukasi
yang patut dijadikan rujukan dalam tingkah laku dalam kehidupan
sehari-hari. Uraian mengenai nilai-nilai tattwa, susila dan upacara
dan kebermaknaan nilai tersbut dalam kehidupan saat ini baik
yang berkaitan dengan perihal religiusitas, sosial kemasyarakatan
dan estetika merupakan pengetahuan yang patut untuk dimiliki.
Berangkat dari pengetahuan tersebut diharapkan dapat diaktuali-
sasikan pada tataran praksis dalam interaksi sosial agar mampu
mewujudkan pribadi yang baik dan turut berkontribusi dalam
keharmonisan hidup.
Saya menyambut baik hadirnya buku ini dan mengapresiasi atas
segala upaya yang telah dilakukan sehingga karya ini dapat dibaca
oleh khalayak. Saya berharap karya ini dapat dijadikan sebagai
motivasi untuk melahirkan karya-karya berikutnya yang lebih baik.
Semoga buku ini memberikan banyak manfaat kepada segenap
pembaca, khususnya generasi muda Hindu.
Oṁ Śāntiḥ, Śāntiḥ, Śāntiḥ.
Sahey
Palangka Raya, 6 Nopember 2020
Rektor,
Ttd.
Prof. Drs. I Ketut Subagiasta, M.Si., D.Phil.
NIP. 19621219 198303 1 002
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................... i
KATA PENGANTAR PENULIS........................................................ iii
KATA PENGANTAR REKTOR........................................................ vii
DAFTAR ISI....................................................................................... ix
BAB I : PENDAHULUAN........................................................... 3
1.1. Latar Belakang............................................................. 3
1.2. Hakikat Pendidikan................................................... 6
1.3. Hakikat Pendidikan Hindu...................................... 15
BAB II : STRUKTUR TEKS SLOKANTARA............................ 29
2.1. Gambaran Umum Ślokāntara................................ 29
2.2. Masa Disusunnya Ślokāntara................................. 29
2.3. Kedudukan Ślokāntara dalam Weda.................. 30
2.4. Isi dan Struktur Ślokāntara.................................... 30
BAB III : NILAI PENDIDIKAN TATTWA.................................. 43
3.1. Widhi Tattwa................................................................... 43
3.2. Moksa Tattwa.................................................................. 50
3.3. Varna Tattwa .................................................................. 87
3.4. Dharma Tattwa.............................................................. 99
3.5. Yuga Tattwa..................................................................... 107
BAB IV : NILAI PENDIDIKAN SUSILA..................................... 119
4.1. Satyam ............................................................................ 119
4.2. Susila................................................................................. 128
4.3. Dosajna............................................................................ 134
4.4. Kerti................................................................................... 137
4.5. Sangsarga....................................................................... 142
4.6. Suputra............................................................................ 148
4.7. Sad Atatayi..................................................................... 152
4.8. Dasa Paramarta........................................................... 156
ix
4.9. Dasa Mala....................................................................... 174
4.10. Nawa Wagsa............................................................... 179
4.11. Pataka ........................................................................... 184
BAB V : NILAI PENDIDIKAN UPACARA................................ 197
5.1. Dāna.......................................................................................... 197
5.2. Yajna.......................................................................................... 206
BAB VI : MAKNA NILAI PENDIDIKAN HINDU DALAM
TEKS ŚLOKĀNTARA BAGI KEHIDUPAN
MASYARAKAT KONTEMPORER.............................. 225
6.1. Makna Religius............................................................. 225
6.2. Makna Sosial................................................................. 234
6.3. Makna Estetik............................................................... 241
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... 261
LAMPIRAN........................................................................................ 269
GLOSARIUM...................................................................................... 371
x
Pendahuluan
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 1
dalam Slokantara
2 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kitab suci Weda merupakan kebenaran abadi yang diwahyukan
Tuhan. Buku tertua dalam kepustakaan umat manusia. Kebenaran-
kebenaran yang terkandung dalam semua agama diperoleh
dari Weda dan akhirnya dapat ditelusuri menurut Weda. Weda
merupakan sumber utama dari agama. Sumber tertinggi dari
semua sastra agama, berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Weda
diwahyukan pada permulaan adanya pengertian waktu (Sivananda,
2003:13-14).
Weda mengandung ajaran yang memberikan keselamatan di
dunia ini dan di akhirat nanti, memberi tuntunan tindakan umat
manusia sejak lahir sampai pada nafasnya yang terakhir. Ajaran
Weda tidak terbatas hanya sebagai tuntunan hidup individual,
tetapi juga dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bagaimana hendaknya seorang atau masyarakat bersikap
dan bertindak, tugas-tugas individu dan tugas-tugas umum
sebagai anggota masyarakat, demikian pula bagaimana seorang
rohaniawan bertingkah laku, tugas dan kewajiban kepada negara
atau pemerintah dalam mengemban tugasnya. Segala tuntunan
hidup ditujukan kepada kita oleh ajaran Weda yang terhimpun
dalam kitab-kitab Samhita, Brahmana, Aranyaka dan Upanisad,
maupun yang dijelaskan kembali dalam kitab-kitab susastra Weda
atau susastra Hindu lainnya (Titib, 2003:19-20).
Maharsi Manu, peletak dasar hukum Hindu dalam kitab
Manawadharmasastra II.6, menjelaskan bahwa Weda adalah
sumber dari segala dharma atau hukum Hindu, yakni:
Vedo’khilo dharma mūlaṁ smṛti śīle ca tad vidam, ācāraśca iva
sadhunam ātmanas tuṣṭir eva ca
3 Nilai-nilai Pendidikan Hindu 3
dalam Slokantara
Terjemahan:
Weda adalah sumber dari segala dharma, yakni agama, kemudian
barulah smrti, di samping sila (kebiasaan atau tingkah laku yang
baik dari orang yang menghayati dan mengajarkan Weda), acara
yakni tradisi-tradisi yang baik dari orang-orang suci (sadhu) atau
masyarakat yang diyakini baik serta akhirnya atmanastusti, yakni
rasa puas diri yang dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa (Ngurah, 1999:39).
Mengingat betapa pentingnya Weda dalam kehidupan
manusia, khususnya umat Hindu, maka dipandang penting untuk
menyebarkan kebenaran ini agar dapat dimengerti sebagai
pengetahuan yang paling elementer, seperti yang tertuang dalam
Yajur Weda XXVI.2, sebagai berikut:
Yathemām vācaṁ kalyāṇīm āvadāni janebhyaḥ, brahma
rājanyābhyāṁ śūdrāya cāryāya ca svāya cāraṇāya ca
Terjemahan:
Hendaknya disampaikan sabda suci ini kepada seluruh umat
manusia, cendikiawan-rohaniawan, raja/pemerintah/masya-
rakat. Para pedagang, petani dan nelayan serta para buruh, kepada
orang-orangku dan orang asing sekalipun (Titib, 2003:3).
Sri Krisna, sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, dalam
Bhagavad gītā XVI.24, juga menyerukan agar manusia senantiasa
menjadikan kitab Suci Weda sebagai pedoman bertingkah laku.
Demikian sabda Beliau:
Tasmāc chāstraṁ pramāṇaṁ te kāryākārya-vyavasthitau Jñātvā
śāstra-vidhānoktam karma kartum ihārhasi
Terjemahan:
Karena itu, biarlah kitab-kitab suci menjadi petunjuk untuk
menentukan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan; setelah mengetahui apa yang dikatakan dalam aturan
4 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
kitab suci engkau hendaknya mengerjakannya di sini (Pudja,
1999:384).
Weda merupakan sumber pengetahuan tanpa batas. Bila
orang Kristen dapat menyebutkan buku otoritatif yang melandasi
agamanya dengan sebutan ‘Injil’, orang Islam menyebutnya ‘Qur’an’,
bagi masyarakat Buddha dengan kitabnya ‘Dhammapada’, dan
orang Parsi menyebutnya ‘Zend Avesta’, tapi kita orang Hindu tidak
ada jawaban serupa, karena kitab sucinya lebih dari satu; dan tidak
bisa dikatakan bahwa pengarangnya adalah manusia (Saraswati,
2009: 1-2).
Di Indonesia, banyak terdapat pustaka-pustaka lontar kuno
yang substansinya adalah penjabaran Weda. Sayangnya, sebagian
besar umat Hindu belum dapat mempelajari secara mendalam isi
lontar tersebut, mengingat lontar-lontar tersebut menggunakan
bahasa Jawa Kuno dan memerlukan upaya terjemahan lebih lanjut.
Menyadari betapa pentingnya sosialisasi terhadap isi lontar-lontar
tersebut kepada khalayak luas, Parisadha Hindu Dharma Indonesia
(PHDI) Pusat telah melakukan upaya terjemahan lontar-lontar,
salah satunya adalah teks Ślokāntara.
Teks Ślokāntara merupakan salah satu pustaka lontar
berbahasa Jawa Kuna yang belum dikenal secara luas. Teks ini
diyakini telah ada sejak ratusan tahun yang lalu, diperkirakan
bahwa disusunnya teks Ślokāntara ini pada zaman Majapahit
akhir, yakni setelah pustaka suci Sārasamuccaya dan Nitisastra.
Mengingat isi dari Teks Ślokāntara memiliki banyak persamaan
slokanya dengan kedua pustaka suci tersebut, Pada tahun 1961,
teks Ślokāntara diputuskan dalam ‘Piagam Campuan’ sebagai salah
satu Pustaka Suci Smerti (Sudharta, 2003:1-2).
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk menggali
nilai-nilai yang terkandung dalam teks Ślokāntara tersebut serta
menyuguhkan dengan format sederhana, sehingga akan mudah
dipahami oleh khalayak awam sekalian. Penelitian ini mengkaji
nilai pendidikan Hindu, struktur teks, dan makna nilai pendidikan
Hindu bagi kehidupan masyarakat kontemporer.
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 5
dalam Slokantara
1.2. Hakikat Pendidikan
Secara etimologi, pendidikan berasal dari bahasa Yunani
“Paedagogike”. Ini adalah kata majemuk yang terdiri dari kata
“Paes” yang berarti “anak” dan kata “Ago” yang berarti “Aku
membimbing”. Jadi Paedagogike berarti aku membimbing anak.
Secara definitif, pendidikan (Padagogie) diartikan oleh para ahli
sebagai:
1. John Dewey
Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-
kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke
arah alam dan sesama manusia.
2. Rousseau
Pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang tidak
ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan
sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan
dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (Ahmadi & Uhbiyati,
2001:69-70).
3. Driyarkarya
Pendidikan ialah hidup bersama dalam kesatuan
tritunggal, ayah-ibu-anak, di mana terjadi pemanusiaan anak,
pembudayaan anak, dan pelaksanaan nilai-nilai dengan di
mana dia berproses untuk akhirnya memanusia sendiri,
membudaya sendiri dan bisa melaksanakan sendiri sebagai
manusia purnawan (Driyarkarya, 1980:129-131).
Membahas mengenai pendidikan tentu tak lepas dari tujuan
pendidikan itu sendiri. Untuk mencapai tujuan tersebut, salah
satu ahli pendidikan, Bloom (1956) membuat sistematika
pengelompokan atau pembagian berdasarkan kerangka berpikir
untuk keperluan studi mengenai perilaku (Taksonomi) untuk
kali pertama dengan nama ‘Taksonomi Bloom’. Dalam hal ini,
tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain, dan setiap
domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih
rinci berdasarkan hierarkinya. Domain bisa disebut juga dengan
6 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
kawasan, dalam hal ini domain pendidikan bisa juga diartikan
dengan kawasan atau wilayah ataupun juga cakupan tentang
pendidikan.
Dalam konteks pendidikan, Benjamin Bloom menjelaskan tiga
domain atau kawasan tentang perilaku individu serta sub domain
dari masing-masing domain tersebut. Adapun domain tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Kawasan Kognitif
Adalah kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek
intelektual atau secara logis yang bias diukur dengan pikiran
atau nalar. Kawasan ini terdiri dari:
a. Pengetahuan (Knowledge).
Pengetahuan ini merupakan aspek kognitif yang paling
rendah tetapi paling mendasar dalam dunia kependidikan.
Dengan pengetahuan ini individu dapat mengenal dan
mengingat kembali suatu objek, hasil pikiran, prosedur,
konsep, definisi, teori, atau bahkan sebuah kesimpulan.
Pengetahuan ini juga digolongkan menjadi:
1) Mengetahui secara khusus:
a) Mengetahui terminologi yaitu berhubungan dengan
mengenal atau mengingat kembali istilah atau
konsep tertentu yang dinyatakan dalam bentuk
simbol, baik berbentuk verbal maupun non verbal.
b) Mengetahui fakta tertentu misalnya mengingat
kembali tanggal, peristiwa, orang tempat, sumber
informasi, kejadian masa lalu, kebudayaan masyara-
kat tertentu, dan ciri-ciri yang tampak dari keadaan
alam tertentu.
2) Mengetahui tentang cara melakukan sesuatu/proses:
a) Mengetahui kebiasaan atau cara menyampaikan ide
atau pengalaman.
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 7
dalam Slokantara
b) Mengetahuiurutandankecenderunganyaituproses,
arah dan gerakan suatu gejala atau fenomena pada
waktu yang berkaitan.
c) Mengetahui penggolongan atau pengategorisasian,
misalnya mengetahui kelas, kelompok, perangkat
atau susunan yang digunakan di dalam bidang
tertentu, atau memproses sesuatu.
d) Mengetahui kriteria yang digunakan untuk meng-
identifikasi fakta, prinsip, pendapat atau perlakuan.
e) Mengetahui metodologi, yaitu perangkat cara
yang digunakan untuk mencari, menemukan atau
menyelesaikan masalah.
f) Mengetahui hal-hal yang universal dan abstrak
dalam bidang tertentu, yaitu ide, bagan dan pola
yang digunakan untuk mengorganisasi suatu
fenomena atau pikiran.
g) Mengetahui prinsip dan generalisasi.
h) Mengetahui teori dan struktur.
b. Pemahaman (Comprehension).
Pemahaman/mengerti merupakan kegiatan mental
intelektual yang mengorganisasikan materi yang telah
diketahui. Temuan-temuan yang didapat dari mengetahui
seperti definisi, informasi, peristiwa, fakta disusun kembali
dalam struktur kognitif yang ada. Temuan-temuan ini
diakomodasikan dan kemudian berasimilasi/bergabung
dengan struktur kognitif yang ada, sehingga membentuk
struktur kognitif baru. Dalam tahap pemahaman ini
memiliki beberapa tingkatan yaitu:
1) Translasi yaitu mengubah simbol tertentu menjadi
simbol lain tanpa perubahan makna. Misalkan simbol
dalam bentuk kata-kata diubah menjadi gambar, bagan
atau grafik.
8 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
2) Interpretasi yaitu menjelaskan makna yang terdapat
dalam simbol, baik dalam bentuk simbol verbal
maupun non verbal. Seseorang dikatakan telah dapat
menginterpretasikan suatu konsep atau prinsip tertentu
jika dia telah mampu membedakan, memperban-
dingkan atau mempertentangkannya dengan sesuatu
yang lain. Contoh seseorang dapat dikatakan telah
mengerti konsep tentang “motivasi kerja” dan dia
telah dapat membedakannya dengan konsep tentang
”motivasi belajar”.
3) Ekstrapolasi yaitu melihat kecenderungan, arah
atau kelanjutan dari suatu temuan. Misalnya siswa
dihadapkan rangkaian bilangan 2, 3, 5, 7, 11, dengan
kemampuan ekstrapolasinya tentu dia akan mengata-
kan bilangan ke-6 adalah 13 dan ke-7 adalah 19. Untuk
bisa seperti itu, terlebih dahulu dicari prinsip apa yang
bekerja di antara kelima bilangan itu. Jika ditemukan
bahwa kelima bilangan tersebut adalah urutan
bilangan prima, maka kelanjutannya dapat dinyatakan
berdasarkan prinsip tersebut.
c. Penerapan (Aplication)
Adalah menggunakan pengetahuan untuk memecahkan
masalah atau menerapkan pengetahuan dalam kehidupan
sehari-hari. Seseorang dikatakan menguasai kemampuan
ini jika ia dapat memberi contoh, menggunakan,
mengklasifikasikan, memanfaatkan, menyelesaikan dan
mengidentifikasi hal-hal yang sama. Contoh, dulu ketika
pertama kali diperkenalkan kereta api kepada petani di
Amerika, mereka berusaha untuk memberi nama yang
cocok untuk alat angkutan tersebut. Satu-satunya alat
transportasi yang sudah dikenal pada waktu itu adalah
kuda. Bagi mereka, ingat kuda ingat transportasi. Dengan
pemahaman demikian, maka mereka memberi nama pada
kereta api tersebut dengan iron horse (kuda besi). Hal ini
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 9
dalam Slokantara
menunjukkan bagaimana mereka menerapkan konsep
terhadap sebuah temuan baru.
d. Penguraian (Analysis)
Penguraian adalah menentukan bagian-bagian dari
suatu masalah dan menunjukkan hubungan antar bagian
tersebut, melihat penyebab-penyebab dari suatu peristiwa
atau memberi argumen-argumen yang mendukung suatu
pernyataan. Kemampuan analisis menurut Bloom secara
rinci dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1) Menganalisis unsur:
a) Kemampuan melihat asumsi-asumsi yang tidak
dinyatakan secara eksplisit pada suatu pernyataan.
b) Kemampuan untuk membedakan fakta dengan
hipotesa.
c) Kemampuan untuk membedakan pernyataan
faktual dengan pernyataan normatif.
d) Kemampuan untuk mengidentifikasi motif-motif
dan membedakan mekanisme perilaku antara
individu dan kelompok.
e) Kemampuan untuk memisahkan kesimpulan dari
pernyataan-pernyataan yang mendukungnya.
2) Menganalisis hubungan:
a) Kemampuan untuk melihat secara komprehensif
interelasi antar ide dengan ide.
b) Kemampuan untuk mengenal unsur-unsur khusus
yang membenarkan suatu pernyataan.
c) Kemampuan untuk mengenal fakta atau asumsi
yang esensial yang mendasari suatu pendapat atau
tesis atau argumen-argumen yang mendukungnya.
d) Kemampuan untuk memastikan konsistensinya
hipotesis dengan informasi atau asumsi yang ada.
10 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
e) Kemampuan untuk menganalisis hubungan di
antara pernyataan dan argumen guna membedakan
mana pernyataan yang relevan mana yang tidak.
f) Kemampuan untuk mendeteksi hal-hal yang tidak
logis di dalam suatu argumen.
g) Kemampuan untuk mengenal hubungan kausal dan
unsur-unsur yang penting dan yang tidak penting di
dalam perhitungan historis.
3) Menganalisis prinsip-prinsip organisasi:
a) Kemampuan untuk menguraikan antara bahan dan
alat.
b) Kemampuan untuk mengenal bentuk dan pola
karya seni dalam rangka memahami maknanya.
c) Kemampuan untuk mengetahui maksud dari
pengarang suatu karya tulis, sudut pandang atau
ciri berpikirnya dan perasaan yang dapat diperoleh
dalam karyanya.
d) Kemampuan untuk melihat teknik yang digunakan
dalam menyusun suatu materi yang bersifat
persuasif seperti advertensi dan propaganda.
4) Memadukan (Synthesis)
Adalah menggabungkan, meramu, atau merangkai
beberapa informasi menjadi satu kesimpulan atau
menjadi suatu hal yang baru. Ciri dari kemampuan ini
adalah kemampuan berpikir induktif. Contoh: memilih
nada dan irama dan kemudian menggabungkannya
sehingga menjadi gubahan musik yang baru.
5) Penilaian (Evaluation)
Adalah mempertimbangkan, menilai dan mengam-
bil keputusan benar-salah, baik-buruk, atau bermanfaat-
tak bermanfaat berdasarkan kriteria tertentu baik
kualitatif maupun kuantitatif. Terdapat dua kriteria
pembenaran yang digunakan, yaitu:
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 11
dalam Slokantara
a) Pembenaran berdasarkan kriteria internal, yang
dilakukan dengan memperhatikan konsistensi atau
kecermatan susunan secara logis unsur-unsur yang
ada di dalam objek yang diamati.
b) Pembenaran berdasarkan kriteria eksternal, yang
dilakukan berdasarkan kriteria-kriteria yang
bersumber di luar objek yang diamati. Misalnya
kesesuaiannya dengan aspirasi umum atau
kecocokannya dengan kebutuhan pemakai.
2. Kawasan Afektif
Adalah kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek
emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap
moral dan sebagainya. Kawasan ini terdiri dari:
a. Penerimaan (Receiving/Attending)
Kawasan penerimaan diperinci ke dalam tiga tahap, yaitu:
1) Kesiapan untuk menerima (awareness), yaitu adanya
kesiapan untuk berinteraksi dengan stimulus (feno-
mena atau objek yang akan dipelajari), yang ditandai
dengan kehadiran dan usaha untuk memberi perhatian
pada stimulus yang bersangkutan.
2) Kemauan untuk menerima (willingness to receive), yaitu
usaha untuk mengalokasikan perhatian pada stimulus
yang bersangkutan.
3) Mengkhususkan perhatian (controlled or selected atten-
tion). Yang mana dimungkinkan perhatian itu hanya
tertuju pada warna, suara atau kata-kata tertentu saja.
b. Sambutan (Responding)
Mengadakan aksi terhadap stimulus atau rangsangan,
yang meliputi proses sebagai berikut:
1) Kesiapan menanggapi (acquiescene of responding). Con-
toh: mengajukan pertanyaan, menempelkan gambar
dari tokoh yang disenangi pada tembok kamar yang
12 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
bersangkutan, atau menaati peraturan lalu lintas.
2) Kemauan menanggapi (willingness to respond), yaitu
usaha untuk melihat hal-hal khusus di dalam bagian
yang diperhatikan. Misalnya pada desain atau warna
saja.
3) Kepuasan menanggapi (satisfaction in response), yaitu
adanya aksi atau kegiatan yang berhubungan dengan
usaha untuk memuaskan keinginan mengetahui.
Contohnya bertanya, membuat coretan atau gambar,
memotret dari objek yang menjadi pusat perhatiannya,
dan sebagainya.
c. Penilaian (Valuing)
Dalam tahap ini sudah mulai muncul proses internalisasi
untuk memiliki dan menghayati nilai dari stimulus yang
dihadapi. Penilaian terbagi atas empat tahap sebagai
berikut:
1) Menerima nilai (acceptance of value), yaitu kelanjutan
dari usaha memuaskan diri untuk menanggapi secara
lebih intensif.
2) Menyeleksi nilai yang lebih disenangi (preference for
a value), yang dinyatakan dalam usaha untuk mencari
contoh yang dapat memuaskan perilaku menikmati.
3) Komitmen yaitu kesetujuan terhadap suatu nilai dengan
alasan-alasan tertentu yang muncul dari rangkaian
pengalaman.
4) Komitmen ini dinyatakan dengan rasa senang,
kagum, terpesona. Kagum atas keberanian seseorang,
menunjukkan komitmen terhadap nilai keberanian
yang dihargainya.
d. Pengorganisasian (Organization)
Pada tahap ini yang bersangkutan tidak hanya
menginternalisasi satu nilai tertentu seperti pada tahap
komitmen, tetapi mulai melihat beberapa nilai yang relevan
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 13
dalam Slokantara
untuk disusun menjadi satu sistem nilai. Proses ini terjadi
dalam dua tahapan, yakni:
1) Konseptualisasi nilai, yaitu keinginan untuk menilai
hasil karya orang lain, atau menemukan asumsi-asumsi
yang mendasari suatu moral atau kebiasaan.
2) Pengorganisasian sistem nilai, yaitu menyusun
perangkat nilai dalam suatu sistem berdasarkan
tingkat preferensinya. Dalam sistem nilai ini yang
bersangkutan menempatkan nilai yang paling disukai
pada tingkat yang amat penting, menyusul kemudian
nilai yang dirasakan agak penting, dan seterusnya
menurut urutan kepentingan atau kesenangan dari diri
yang bersangkutan.
e. Karakterisasi (Characterization)
Karakterisasi yaitu kemampuan untuk menghayati
atau mempribadikan sistem nilai. Kalau pada tahap
pengorganisasian di atas sistem nilai sudah dapat disusun,
maka susunan itu belum konsisten di dalam diri yang
bersangkutan. Artinya mudah berubah-ubah sesuai situasi
yang dihadapi. Pada tahap karakterisasi, sistem itu selalu
konsisten. Proses ini terdiri atas dua tahap, yaitu:
1) Generalisasi, yaitu kemampuan untuk melihat suatu
masalah dari suatu sudut pandang tertentu.
2) Karakterisasi, yaitu mengembangkan pandangan
hidup tertentu yang memberi corak tersendiri pada
kepribadian diri yang bersangkutan.
3. Kawasan Psikomotorik
Adalah kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek
keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot
(neuronmuscular system) dan fungsi psikis. Kawasan ini terdiri
dari:
14 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
a. Kesiapan (set) yaitu berhubungan dengan kesediaan
untuk melatih diri tentang keterampilan tertentu yang
dinyatakan dengan usaha untuk melaporkan kehadirannya,
mempersiapkan alat, menyesuaikan diri dengan situasi,
menjawab pertanyaan.
b. Meniru (imitation) adalah kemampuan untuk melakukan
sesuai dengan contoh yang diamatinya walaupun belum
mengerti hakikat atau makna dari keterampilan itu. Seperti
anak yang baru belajar bahasa meniru kata-kata orang
tanpa mengerti artinya.
c. Membiasakan (habitual) yaitu seseorang yang dapat
melakukan suatu keterampilan tanpa harus melihat contoh,
sekalipun ia belum dapat mengubah polanya.
d. Adaptasi (adaption) yaitu seseorang yang sudah mampu
melakukanmodifikasiuntukdisesuaikandengankebutuhan
atau situasi tempat keterampilan itu dilaksanakan.
e. Menciptakan (origination) di mana seseorang sudah
mampu menciptakan sendiri suatu karya (dhesiana,
2009/02/15).
1.3. Hakikat Pendidikan Hindu
Titib (2001:7) menyatakan bahwa sistem pendidikan menurut
Weda menggambarkan lembaga pendidikan sebagai kula atau
parivara yang artinya keluarga yang bertanggung jawab untuk
melahirkan putra yang suputra, karena kelahiran dari ibu,
dipandang lebih rendah dibandingkan lahir dari kandungan
pendidikan sastra (sebagai dvija, yang lahir ke dua kali).
Sebelum mendefinisikan pendidikan Hindu, akan dijelaskan
mengenai pendidikan menurut Weda. Dalam Bhagavad gītā (10:32)
dinyatakan bahwa ‘adhyatma-vidya vidyanam vadah pravadatam
aham’, yang artinya adalah ‘di antara semua ilmu pengetahuan,
Aku adalah ilmu pengetahuan rohani tentang sang diri dan di
antara para ahli logika, Aku adalah kebenaran sebagai simpulan’.
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 15
dalam Slokantara
Oleh sebab itu harus dipahami semua pendidikan, pengetahuan
spiritual adalah bentuk tertinggi pendidikan dan tanpa hubungan
atau koneksi spiritual tersebut, pendidikan dianggap tidak begitu
lengkap dan tidak begitu maju (Swami, 2008:17).
Kata Sanskerta untuk sang diri adalah ‘atma’. Kesusastraan
Weda mendefinisikan atma pada tingkatan yang berbeda. Tingkatan
sang diri yang pertama dan yang paling mudah diamati adalah
badan material yang tersusun atas lima elemen material (stula
sarir), yaitu tanah (prthvi), air (apah), api (tejas), udara (vayu) dan
eter (akasa). Yang kedua adalah badan material halus, badan astral
yang tersusun dari tiga elemen, yaitu pikiran, kecerdasan, dan ego
(suksma sarira). Ini dapat ditemukan dalam Bhagavad gītā sloka
7.4. Tingkat ketiga adalah badan spiritual (antakaran sarira) , sang
roh yang memiliki ciri-ciri sat (kekal), cit (penuh pengetahuan),
dan ananda (penuh kebahagiaan) seperti yang dijelaskan dalam
Brahma-samhita 5.1. Dengan demikian kebudayaan Weda
membicarakan atma-jnana atau pengetahuan tentang sang diri,
kesempurnaan tentang pengetahuan roh individual (atma) dan
sumbernya yaitu Roh Yang Utama (Paramatma), (Swami, 2008:19).
Dalam Taittiriya Upanisad pada bagian Brahmananda-valli,
dijelaskan mengenai lima tingkatan kesadaran yang diuraikan
sebagai berikut:
1. Anna-maya
Pada bagian awal kehidupan, setiap makhluk hidup sadar
akan makanan. Seorang anak atau seekor binatang puas hanya
dengan mendapatkan makanan yang enak. Tahap kesadaran
ini, yang tujuannya adalah makanan dengan mewah atau
kesadaran yang terserap hanya dalam makanan disebut anna-
maya (Srimad-Bhagavatam, 10.87.17).
2. Prana-maya
Seseorang hidup dalam kesadaran memiliki kehidupan
(memiliki daya hidup, yaitu prana). Jika seseorang mampu
bertahan hidup tanpa diserang atau dimusnahkan, ia merasa
dirinya bahagia. Atau kesadaran yang terserap hanya dalam
16 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
memelihara keberadaan badan seseorang, tahap ini disebut
pranamaya (Srimad-Bhagavatam, 10.87.17).
3. Jnana-maya atau mano-maya
Seseorang berada pada tingkatan mental atau kejiwaan,
kesadaran atau kesadaran yang terserap dalam memikirkan,
merasakan dan berkehendak disebut jnana-maya (Srimad-
Bhagavatam, 10.87.17).
4. Vijnana-maya
Proses evolusi filsafat kehidupan, manusia dapat mencapai
tingkat kehidupan intelektual dan memahami bahwa dia bukan
badan material ini tetapi roh atau jivatma, atau kesadaran
dengan pengetahuan lengkap yaitu sadar bahwa sang diri
sebagai hal yang berbeda dengan material, disebut tahap
vijnana-maya (Srimad-Bhagavatam, 10.87.17).
5. Ananda-maya
Evolusi kehidupan spiritual. Mulai memahami Personalitas
Tuhan atau Paramatma. Pengembangan hubungan denganNya
dan melaksanakan bhakti, atau kesadaran yang penuh dengan
kebahagiaan dalam kesadaran spiritual, kesadaran Tuhan,
tahap ananda-maya. Ananda-maya adalah kehidupan bahagia
yang penuh dengan pengetahuan dan kekekalan (Srimad-
Bhagavatam, 10.87.17).
Menurut filsafat Weda, kehidupan memerlukan kehadiran akan
kesadaran dan kesadaran adalah ciri adanya sang roh (jivatma).
Oleh karena itu, kehidupan yang sejati didefinisikan sebagai
kehadiran sang roh. Karena sang roh penuh dengan pengetahuan,
seluruh kehidupan seseorang dimaksudkan untuk membangkitkan
pengetahuan sejati dan kesadaran sejati. Karena alasan inilah
pada filsafat Weda kita menemukan ungkapan “kehidupan adalah
pendidikan dan pendidikan adalah kehidupan”.
Dari uraian tersebut, Swami (2008:44) memberikan definisi
pendidikan Hindu sebagai segala yang berhubungan dengan cara
pemerolehan, pengembangan dan penyebarluasan pengetahuan.
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 17
dalam Slokantara
Pengetahuan dijelaskan dalam Weda sebagai sesuatu yang
menyadarkan seseorang terhadap kenyataan hidup baik yang
dapat dilihat maupun yang tidak dapat dilihat (Bhagavad gītā 7.2).
Definisi lain tentang pendidikan Hindu adalah usaha yang
dilakukan secara sadar, terencana, dan berkesinambungan
dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
memperteguh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan berakhlak mulia, serta peningkatan potensi spiritual
sesuai dengan ajaran agama Hindu (BSNP, 2006).
Sedangkan tujuan pendidikan Hindu menurut Swami
(2008:31-32) adalah untuk memenuhi tiga tingkat kebutuhan
dasar manusia, yaitu kebutuhan tingkat jasmaniah (tingkat badan),
kebutuhan pikiran (kebutuhan emosional, kognitif dan sosial),
serta kebutuhan-kebutuhan spiritual.
Menurut (Titib, 2001:12-13) tujuan pendidikan Hindu pada
hakikatnya adalah untuk mencapai ‘Jagadhita’ (kesejahteraan
dan kebahagiaan di dunia ini) dan ‘Moksa’ (kebahagiaan abadi,
bersatunya Àtmà dengan Brahman).
Swami Sivananda dalam ‘All About Hinduism’ menjelaskan
tujuan pendidikan adalah untuk mengantarkan menuju jalan
yang benar dan mewujudkan kebajikan, yang dapat memperbaiki
karakter seseorang (menuju karakter yang mulia) yang dapat
menolong seseorang mencapai kebebasan, kesempurnaan dan
pengetahuan tentang sang diri, dan dengan demikian seseorang
akan dapat hidup dengan kejujuran, hal-hal yang mengarahkan
seperti tersebut adalah merupakan pendidikan yang sejati
(1988:259).
Mewujudkan nilai-nilai ‘Moksartham Jagadhita’ dalam
kehidupanmerupakandimensiaksiologispendidikanagamaHindu.
Dimensi ini lebih menekankan pentingnya kegunaan nilai-nilai
pendidikan agama Hindu dalam praktik kehidupan empiris sehari-
hari. Seperti telah dijelaskan di atas, ‘moksartham’ merupakan
dimensi kehidupan berkaitan dengan hubungan manusia secara
vertikal, yakni dengan Tuhan sebagaimana keyakinan sradha
18 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
dan bhakti pelayanan yang diajarkan agama Hindu. Sebaliknya,
‘jagadhita’ merupakan dimensi kehidupan berkaitan dengan
hubungan manusia secara horizontal, yakni hubungan antara
manusia dengan sesama sebagaimana keyakinan (sradha) dan
pelayanan (bhakti) yang diajarkan agama Hindu. Kedua dimensi
ini pada gilirannya akan bermuara pada pembangunan manusia
susila sebagai dimensi ketiga. Dikatakan demikian karena hanya
manusia susila yang mampu mewujudkan nilai-nilai jagadhita
dan moksartham, baik dalam kehidupan individual maupun sosial
secara normal dan sempurna. Walaupun demikian, ketiga dimensi
ini (tattwa, susila, dan acara) merupakan satu-kesatuan yang bulat
dan utuh atau ketiganya merupakan dimensi teratur-setimbang
dalam tatanan holistik dan komprehensif. Dari tattwa mengalir
nilai kebenaran (sathyam); dari susila mengalir nilai kebajikan dan
kebijaksanaan (siwam); dan acara mengalirkan nilai keindahan
(sundaram) dan kebahagiaan (Sukarma, 2010/10). Tattwa, Susila
dan Upacara yang pada akhirnya menjadi pilar atau kerangka
dalam orientasi pendidikan agama Hindu.
Tattwa berasal dari kata tat yang artinya itu, yang dimaksud
adalah hakikat atau kebenaran (thatness) (Tim, 1994:117). Dalam
Kamus Sanskerta, tattva bermakna kebenaran status, kebenaran
alam, penting, pikiran, suatu unsur. Dari kata tattva kemudian
muncul banyak terminologi lain, yaitu: 1) tattvajna yang artinya
seorang ahli filsafat, 2) tattvatas yaitu sungguh-sungguh, 3)
tattvabiyoga artinya suatu muatan positif, 4) tattvartha adalah
kebenaran. (Surada, 2007:140-141).
Tattwa memiliki peranan yang fundamental dalam cara
keberagamaan umat Hindu, sebab tattwa-lah yang mendasari
susila dan upacara Hindu. Tattwa menjadi perihal yang pertama
dan utama bagi umat Hindu, karena di dalamnya diberikan
petunjuk tentang perihal yang hendaknya dilakukan dan tidak
dilakukan. Pemahaman dan penghayatan tattwa dalam setiap
tindakan manusia diyakini akan mengantarkan manusia pada
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 19
dalam Slokantara
kebahagiaan. Tentang hal ini dijelaskan dalam Bhagavad gītā 16.24
dan 4.36, sebagai berikut:
Tasmāc chāstraṁ pramāṇaṁ te kāryākārya-vyavasthitau,
Jñātvā śāstra-vidhānoktam karma kartum ihārhasi
Terjemahan:
Karena itu, biarlah kitab-kitab suci menjadi petunjukmu untuk
menentukan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak
boleh; setelah mengetahui apa yang dikatakan dalam aturan
kitab suci engkau hendaknya mengerjakannya di sini (Pudja,
1999:384).
Api ced asi pāpebhyaḥ Sarvebhyaḥ pāpa-kṛt-tamaḥ Sarvaṁ
jñāna-plavenaiva Vṛjinaṁ santariṣyasi
Terjemahan:
Walaupun seandainya engkau paling berdosa di antara manusia
yang memikul dosa, dengan perahu ilmu pengetahuan ini,
lautan dosa akan engkau seberangi (Pudja, 1999:128).
Sebaliknya, jika dijelaskan bahwa apabila manusia tidak lagi
mengindahkan aturan kitab suci dan lebih memilih bertindak
berdasarkan nafsu keinginannya, niscaya manusia itu tidak akan
memperoleh kebahagiaan, tujuan hidup dan kesempurnaan,
seperti yang erjelaskan dalam Bhagawad-gita 16.23 berikut ini:
Yaḥ śāstra-vidhim utsṛjya vartate kāma-kārataḥ na sa siddhim
avāpnoti na sukham na parāṁ gatim
Terjemahan:
Ia yang meninggalkan ajaran kitab suci, berada di bawah
pengaruh nafsu keinginan, tak akan mencapai kesempurnaan,
kebahagiaan dan tujuan hidup (Pudja, 1999:384).
Susila atau etika berarti juga pengetahuan tentang kesusilaan.
Kesusilaan berbentuk kaidah-kaidah yang berisi larangan-larangan
20 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
atau suruhan-suruhan untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian
dalam etika atau susila akan di dapati ajaran tentang perbuatan
yang baik dan perbuatan yang buruk. Perbuatan yang baik itulah
supaya dilaksanakan dan perbuatan buruk itu dihindari (Ngurah,
dkk. 1999:135).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Susila berarti : 1)
baik budi bahasanya, beradab, sopan; 2) kesusilaan. Terminologi
lain terkait dengan susila di antaranya, Bersusila dimaknai artinya
mempunyai sifat susila, dan kesusilaan yaitu: 1) perihal susila,
2) adat istiadat yang baik, 3) pengetahuan tentang adab (KBBI,
2008:1363). Dalam sumber yang sama juga dikatakan bahwa
susila bermakna sama dengan moral. Moral sendiri dimaknai
sebagai: (1) Ajaran tentang baik buruk yang diterima umum
mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban, dsb; akhlak; budi
pekerti, susila; (2) Kondisi mental yang membuat orang tetap
berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb; isi hati atau
keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan;
(3) Ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita (KBBI,
2008:929). Sivananda (2003:64) menyatakan bahwa susila adalah
ilmu tentang perilaku, pelajaran dari apa yang baik benar dalam
perilaku atau sadacara.
Hindu memberikan perhatian yang berlimpah dan intens
tentang kesusilaan. Perilaku merupakan awal dari penghayatan
agama Hindu. Susila adalah gerbang menuju realitas Tuhan. Ciri-ciri
dari dharma adalah ‘acara’ atau perilaku baik. Tanpa kesempurnaan
susila, tak akan pernah terjadi kemajuan spiritual realisasi. Setiap
manusia Hindu harus menekankan pada masalah susila. Ia harus
jujur dan murni dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Ia harus
memiliki perilaku yang cemerlang. Ia tidak boleh merugikan
makhluk hidup manapun dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
Ia harus melaksanakan secara tegas pemikiran yang benar,
perkataan dan perbuatan yang baik. demikian yang disampaikan
oleh Sivananda (2003:64-65).
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 21
dalam Slokantara
Begitu banyak sloka dalam kepustakaan Weda yang
menjabarkan mengenai ajaran kesusilaan, salah satunya dalam
kitab Sārasamuccaya sloka 2 dan 9, sebagai berikut:
Mānusah sarvabhūteṣu varttate vai ṣubhāśubhe, aśubheṣu
samaviṣṭam śubhesvevāvakārayet.
Terjemahan:
Di antara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan
menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan
baik ataupun buruk; leburlah ke dalam perbuatan baik, segala
perbuatan buruk itu; demikianlah gunanya (pahalanya)
menjadi manusia (Kajeng, dkk. 1999:8).
Yo durlabhataram prapya manusyam lobhato narah,
dharmāvamantā kāmātma bhavet sakalavañcitah.
Terjemahan:
Bila ada yang beroleh kesempatan menjadi orang (manusia),
ingkar akan pelaksanaan dharma; sebaliknya amat suka ia
mengejar harta dan kepuasan nafsu serta berhati tamak; orang
itu disebut kesasar, tersesat dari jalan yang benar (Kajeng, dkk.
1999:13).
Uraian tentang ajaran etika dalam kitab Sārasamuccaya di atas
menegaskan bahwa Weda mengedepankan aspek perilaku dalam
penghayatannya. Tak ada toleransi bagi tumbuhnya perilaku-
perilaku asusila (perilaku yang menyimpang dari kebenaran).
Susila merupakan indikasi awal penghayatan Weda.
Upacara dalam konteks agama Hindu merupakan tindakan-
tindakan keagamaan yang memiliki relasi dengan perihal tertentu,
yang dimaksudkan untuk menciptakan ‘moksartham jagadhita’.
Dalam agama Hindu, upacara ini memiliki relasi dan kedekatan
makna dengan konsep ‘Yajna’, bila tidak ingin dikatakan sebagai
konsep yang tepat dan bahasa lain dari istilah upacara. Dalam
Kamus Sanskerta, Yajna berarti pengorbanan atau pemujaan. Kata
22 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
yajna sendiri berasal dari urat kata ‘Yaj’ yang artinya pemujaan;
memuja; mengorbankan; memberi (Surada, 2007:256-257).
Yajna merupakan perihal yang penting dalam Hindu. Seperti
yang telah dijelaskan bahwa yajna merupakan tindakan-tindakan
keagamaan yang memiliki relasi dengan perihal tertentu, yang
dimaksudkan untuk menciptakan moksartham jagadhita, yaitu
untuk kebahagiaan manusia, keharmonisan dunia dan pencapaian
tujuan tertinggi manusia. Berikut ini adalah uraian dari Bhagavad
gītā III.10-16, yang memiliki relevansi dengan yajna, yakni:
Saha-yajñaḥ prajāḥ sṛṣṭva purovāca prajāpatiḥ, anena
prasaviṣyadhvam eṣa vo’stv iṣṭa-kāma-duk
Terjemahan:
Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan, Tuhan telah
menciptakan manusia melalui yajna, berkata: dengan (cara) ini
engkau akan berkembang, sebagai sapi perah yang memenuhi
keinginanmu (sendiri) (Pudja, 1999:84).
Devān bhāvayatānena te devā bhāvayantu vaḥ, parasparaṁ
bhāvayantaḥ śreyaḥ param avāpsyatha
Terjemahan:
Adanya para Deva adalah karena ini, semoga mereka
menjadikan engkau demikian, dengan saling memberi engkau
akan memperoleh kebajikan paling utama (Pudja, 1999:85).
Iṣṭān bhogān hi vo devā dāsyante yajña-bhāvitāh, tair dattān
apradāyaibhyo yo bhuṅkte stena eva saḥ
Terjemahan:
Sesungguhnya keinginan untuk mendapat kesenangan telah
diberikan kepadamu oleh para Deva karena yajnamu, sedang-
kan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi
yajna sesungguhnya adalah pencuri (Pudja, 1999:85-86).
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 23
dalam Slokantara
Yajña-śiṣṭāsinaḥ santo mucyante sarva-kilbiṣaiḥ, bhuñjate te tv
aghaṁ pāpā ye pacanty ātma-kāraṅāt
Terjemahan:
Ia yang memakan sisa yajna akan terlepas dari segala dosa,
(tetapi) ia yang memasak makanan hanya bagi diri sendiri,
sesungguhnya makan dosa (Pudja, 1999:86).
Annād bhavanti bhūtani parjanyād anna-sambhavaḥ, yajñād
bhavati parjanyo yajñaḥ karma-samudbhavaḥ
Terjemahan:
Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan
karena hujan, adanya hujan karena yajna, adanya yajna karena
karma (Pudja, 1999:87).
Karma brahmodbhavam viddhi brahmākṣara-samudbhavam,
tasmat sarva-gataṁ brahma nityaṁ yajñe praṣṭhitam
Terjemahan:
Ketahuilah, adanya karma karena Brahma yang ada dari Yang
Maha Abadi, karena itu Brahma yang melingkupi semuanya ini
selalu berkisar disekitar persembahan (Pudja, 1999:87).
Evaṁ pravartitaṁ cakraṁ nānuvartayatīha yaḥ, aghāyur
indriyārāmo moghaṁ pārtha sa jīvati
Terjemahan:
Demikianlah sebab terjadinya perputaran roda, (dan) ia yang
tidak ikut dalam perputarannya itu berbuat jahat, selalu
berusaha memenuhi nafsu indriyanya, sesungguhnya ia hidup
sia-sia, wahai Partha (Pudja, 1999:88).
Berdasarkan uraian sloka tersebut di atas, ‘yajna’ tidak terhenti
pada perihal persembahan dan pengupayaan kebahagiaan
manusia semata, tetapi sesungguhnya yajna merupakan satu
tindakan yang telah tertata dan dipatuhi sebagai seperangkat
24 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
hukum yang mengikat manusia. Mengikuti pemahaman ini maka
niscaya manusia akan beroleh kebahagiaan dan tercapai segenap
tujuan hidupnya, namun bila tidak, maka akan terjadi sebaliknya.
Ketiga di domain pendidikan Hindu (tattwa, susila, upacara)
bila dikaitkan dengan pemikiran Bloom (kognitif, afektif,
psikomotorik) mengenai pendidikan, ternyata memiliki kemiripan.
Seperti yang dinyatakan Sukarma (Sukarma, 2010/10) bahwa
kognitif merupakan pengetahuan tentang religiusitas dan spiritual.
Pengetahuan tentang moral, sosial, dan budaya. Pengetahuan
tentang ibadah. Pengetahuan tentang organisasi. Afektif Sikap
terhadap Tuhan. Sikap terhadap sesama umat manusia dan
alam. Sikap terhadap sesama umat Hindu dan Tuhan. Sikap
terhadap organisasi. Psikomotor yaitu kemampuan menata dan
meneguhkan hubungan dengan Tuhan sesuai dengan kehendak-
Nya. Kemampuan menata dan mempererat hubungan dengan
sesama umat Hindu dan umat manusia sesuai dengan aturan dan
norma moral menurut agama Hindu. Kemampuan mengapresiasi
upacara agama. Kemampuan manata dan mempererat hubungan
dengan sesama umat Hindu dan umat lain.
Dalam pembahasan ini, pendidikan Hindu diartikan
sebagai usaha yang dilakukan secara sadar, terencana, dan
berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan
peserta didik untuk memperteguh keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, serta
peningkatan potensi spiritual sesuai dengan ajaran agama Hindu
yang dicapai melalui tiga domain yaitu tattwa, susila dan upacara.
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 25
dalam Slokantara
26 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
Struktur Teks Slokantara
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 27
dalam Slokantara
28 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
BAB II
STRUKTUR TEKS ŚLOKĀNTARA
2.1. Gambaran Umum Teks Ślokāntara
Kitab Ślokāntara sebagaimana yang kita kenal saat ini
merupakan kitab yang membahas permasalahan yang terkait
dengan etika keagamaan, yaitu hal-hal yang pantas dan tidak
pantas dilakukan di dunia ini. Oka (1992:v) menganggap
Ślokāntara ini laksana “tirta amerta” yang dapat memberikan
kesejukan hati sehingga apabila dihayati akan membangun rasa
dan daya kehidupan rohani keagamaan. Ślokāntara ini tiada lain
merupakan sebuah upaya dalam rangka pembangunan kesusilaan,
budi pekerti, moralitas dan spiritualitas keagamaan.
Teks Ślokāntara yang diterjemahkan oleh Tjok. Sudharta, dkk.
adalah teks Ślokāntara yang telah diterbitkan dengan huruf latin
dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Ślokāntara bentuk
aslinya merupakan pustaka lontar, yang kemudian diterjemahkan
oleh Tjok. Rai Sudharta atas mandat dari Parisada Hindu Dharma
Pusat selaku Majelis tertinggi Agama Hindu di Indonesia, sebagai
satu upaya penggalian harta karun kesusastraan berbahasa Jawa
Kuna dan Sanskerta peninggalan nenek moyang. Punia Atmaja
(Sudharta, 2003:xi) menilai bahwa walaupun umat Hindu memiliki
banyak sekali sastra keagamaan yang sangat baik untuk dijadikan
pegangan tetapi jika tidak dipelajari karena masih dalam bentuk
rontal yang langka, hal tersebut akan menjadi tidak bermanfaat.
Apa gunanya harta yang terpendam itu jika tidak digali, ditelaah,
dan dimanfaatkan.
2.2. Masa Disusunnya Teks Ślokāntara
Seperti halnya teks-teks klasik lainnya, teks Ślokāntara tidak
menyebutkan penulisnya bahkan tahun atau nama raja sehingga
kapan teks ini ditulis tidak dapat diketahui dengan pasti.
29
Diyakini bahwa Ślokāntara telah disusun beratus-ratus tahun
yang lalu. Menurut Sudharta (2003:1-3) penyusunan Ślokāntara
dipastikan tidak pada abad pertama sebelum ma-sehi. Belum
ada penyelidikan mengenai hal ini. Namun karena banyak sekali
persamaan-persamaan slokanya dengan apa yang terdapat
di dalam Pustaka Suci Sārasamuccaya dan Nitisastra, maka
diperkirakan bahwa disusunnya Ślokāntara ini setelah kedua
pustaka tersebut, yaitu pada zaman Majapahit akhir.
2.3. Kedudukan Ślokāntara dalam Weda
Kitab suci agama Hindu berdasarkan tafsir yang dimasukkan
ke dalamnya, terdiri atas dua kelompok besar, yaitu kelompok
Kitab Suci Weda dan Kelompok Nibanda. Kitab Suci Weda pun
dibagi lagi menjadi Kitab Suci Weda Sruti dan Kitab Suci Smrti.
Kitab Suci Weda Sruti adalah kitab suci yang ditulis langsung begitu
mendengar wahyu (atas apa yang didengar), sedangkan Kitab
Suci Weda Smrti adalah wahyu yang ditambah dengan ulasan dari
maharsi (berdasarkan ingatan).
Permasalahan yang dibahas dalam Ślokāntara memiliki banyak
sekali persamaan dengan sloka yang terdapat di dalam Pustaka
Suci Sārasamuccaya dan Nitisastra. Tema-tema yang menjadi
pembahasannya pun tidak jauh berbeda, yakni memperbincangkan
mengenai moralitas. Karena Parisada merasa bahwa isi Ślokāntara
itu sejajar dengan Pustaka Suci Sārasamuccaya, maka dalam
Piagam Campuhan pada tahun 1961 diputuskan bahwa Ślokāntara
masuk ke dalam Pustaka Suci Smrti (Sudharta, 2003:1).
Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa kedudukan
Ślokāntara merupakan bagian dari Kitab Suci Weda, yang secara
spesifik adalah bagian dari Kitab Smrti.
2.4. Isi dan Struktur Teks Ślokāntara
Kata Ślokāntara dimaknai “untaian sloka-sloka”, sama dengan
kata “nusantara” yang berarti “untaian pulau-pulau”. Untaian itu
tidak memikirkan sistematika urutan besar kecilnya pulau-pulau.
30 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
Karena itu dapat dimengerti pikiran penyusun Ślokāntara ini
mengapa isi naskah itu disusun secara tidak sistematis. Sehingga
untuk menemukan adanya sistematika teks, layaknya sebuah teks
terstruktur yang memiliki bagian manggala atau proplog, bagian
isi, dan bagian akhir, tidak akan dijumpai.
Di samping anggapan bahwa Ślokāntara ini merupakan bahan
pelajaran yang diturunkan dari beberapa pustaka suci, ia juga
bukan merupakan kitab suci sendiri karena Ślokāntara tidak
memulai susunannya dengan bait ‘manggalacarana’, seperti yang
terdapat dalam pustaka suci lainnya, sebut saja Sārasamuccaya yang
memiliki bait manggalacarana yang ditujukan kepada Bhagawan
Wyasa dan Nitisastra yang memiliki bait manggalacarana yang
diperuntukkan bagi Bhatara Hari dan Bhatara Surya (Sudharta,
2003:2).
Jika Sārasamuccaya memiliki 517 sloka dan Nitisastra
mempunyai 120 sloka, maka Ślokāntara ini mempunyai 84
sloka. Dari 84 sloka ini ada 2 sloka yang tidak bisa diterima yaitu
mengenai Candala di dalam sloka no. 65 (29) dan 66 (43). Memang
tersebut di dalam naskah tetapi pemberian nama golongan itu
tidak ada di dalam masyarakat Hindu di Indonesia. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa, tema yang menjadi isi pokok
dalam teks Ślokāntara ini berkisar mengenai permasalahan
yang berhubungan dengan etika, budhi pekerti, moral, karma,
kepemimpinan, yajna, kelahiran, dāna, varna, dosa, catur yuga,
dan hal-hal lain menyangkut spiritual keagamaan. Dalam banyak
hal memiliki kesamaan dengan apa yang juga disampaikan dalam
Sārasamuccaya dan Nitisastra.
Struktur Tek Ślokāntara dapat dikatakan sangat berbeda
dengan teks-teks klasik Bahasa Jawa Kuna yang lain seperti
Sārasamuccaya, Nitisastra, Agastya Parwa, Wrhaspati Tattwa,
Deva Raja Bhrema, dan lainnya. Hal ini juga diakui oleh Sudharta
ketika sedang dalam proses penerjemahan teks Sokantara atas
mandat dari Parisada ketika itu. Bahkan Sudharta berinisiatif
untuk mengubah susunan sloka teks Ślokāntara dari yang semula,
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 31
dalam Slokantara
dengan pertimbangan pengelompokan sloka, agar terlihat lebih
sistematis dan mudah dipahami, tanpa harus mengurangi konten
(Sudharta, 2003:2).
Kata Ślokāntara dimaknai “untaian sloka-sloka”, sama dengan
kata “nusantara” yang berarti “untaian pulau-pulau”. Untaian itu
tidak memikirkan sistematika urutan besar kecilnya pulau-pulau.
Karena itu dapat dimengerti pikiran penyusun Ślokāntara ini
mengapa isi naskah itu disusun secara tidak sistematis. Sehingga
untuk menemukan adanya sistematika teks, layaknya sebuah teks
terstruktur yang memiliki Bagian ‘manggala’ atau proplog, bagian
isi, dan bagian akhir, tidak akan dijumpai.
Di samping anggapan bahwa Ślokāntara ini merupakan bahan
pelajaran yang diturunkan dari beberapa pustaka suci, ia juga
bukan merupakan kitab suci sendiri karena Ślokāntara tidak
memulai susunannya dengan bait manggalacarana, seperti yang
terdapat dalam pustaka suci lainnya, sebut saja Sārasamuccaya yang
memiliki bait ‘manggalacarana’ yang ditujukan kepada Bhagawan
Wyasa dan Nitisastra yang memiliki bait manggalacarana yang
diperuntukkan bagi Bhatara Hari dan Bhatara Surya (Sudharta,
2003:2).
Sehingga, untuk menyebut bahwa Ślokāntara dapat
dikategorikan sebagai teks dalam pengertian sesungguhnya,
seperti yang dijabarkan oleh Beaugrande & Dress ler ketika
mendefinisikan sebuah teks, cukup kesulitan apabila kita
mengategorikan Ślokāntara sebagai sebuah teks. Oleh Beaugrande
& Dress ler (1981:1ff, dalam Titscher, 2000:35-36) memberikan
salah satu definisi teks yang paling dikenal luas, yaitu dengan
mengatakan bahwa teks merupakan sebuah peristiwa komunikatif
yang harus memenuhi beberapa syarat, yakni tujuh kriteria teks.
Tujuh kriteria teks itu ialah:
1. Kohesi, yaitu yang berkaitan dengan komponen dan permukaan
tekstual, yakni keterhubungan ‘sintaktis teks’. Rangkaian
linier elemen linguistik di suatu teks tidaklah terjadi secara
kebetulan, namun mematuhi ketergantungan-ketergantungan
32 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
dan kaidah-kaidah gramatikal. Semua fungsi yang diterapkan
untuk menciptakan hubungan di antara unsur-unsur
permukaan dikategorikan sebagai kohesi. Berikut ini akan
dikemukakan beberapa cara yang digunakan untuk mencapai
kohesi, yaitu:
a. Perulangan, dengan perulangan unsur-unsur leksikal,
komponen kalimat, dan unsur linguistik yang lain,
terbentuklah struktur-struktur teks.
b. Anafora dan katafora, anafora mengarah perhatian kepada
apa yang dikatakan atau dibaca sebelumnya (misalnya-
nya dengan menggunakan profom, yaitu kata yang secara
gramatikal bisa digantikan dengan kata lain-peny.),
sedangkan katafora merujuk sesuatu yang akan kemudian
terjadi melalui penggunaan unsur-unsur deiktik.
c. Elipsis, unsur-unsur struktur ini biasanya tidak bisa
dipahami tanpa adanya situasi komunikatif dan pengeta-
huan bersama tentang dunia (praanggapan) para partisipan
dalam sebuah peristiwa perbincangan. Dengan demikian,
singkatan tekstual terutama tergantung pada unsur-unsur
konstelasi pembicaraan (ketergantungan pada peranti
retorika dalam linguistik teks tidaklah terjadi secara
kebetulan, terlepas dari stylistics-nya, dari sudut pandang
historis, retorika merupakan salah satu sumber paling
penting bagi gramar supra-sentensial (supra-Sentensial
Grammar).
d. Konjungsi, Konjungsi-konjungsi ini menandakan adanya
relasi atau koneksi antara peristiwa-peristiwa dan
situasi-situasi. Jenis konjungsi meliputi: konjungsi
(menghubungkan struktur kalimat yang memiliki
status yang sama), disjungsi (menghubungkan struktur
kalimat yang punya status yang berbeda), kontrajungsi
(menghubungkan struktur kalimat yang memiliki status
yang sama yang tampak tidak disatukan, seperti sebab dan
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 33
dalam Slokantara
akibat yang tidak diharapkan), dan subordinasi (digunakan
bila satu struktur kalimat tergantung pada struktur kalimat
yang lain).
2. Koherensi (atau semantik tekstual) menyusun makna sebuah
teks. Koherensi sering kali mengacu pada unsur-unsur teks
yang tidak mesti memerlukan realitas linguistik. Misalnya,
beberapa jenis penelitian menguasai struktur kognitif pada
reisipen yang diaktualisasikan melalui teks dan membantu
menentukan interpretasi. Begitu pula dalam keadaan tertentu,
unsur-unsur pengetahuan yang tidak diungkapkan dalam teks
mungkin juga bersifat tersirat dan mungkin pula memengaruhi
penerimanya. Beaugrande & Dress ler (1981, Titscher,
2000:37) menyatakan bahwa ‘konsep-konsep’ (makna)
tertentu diikat melalui ‘hubungan’ dan kemudian diwujudkan
pada permukaan tekstual (textual surface). Misalnya, kausalitas
merupakan sebuah hubungan: kausalitas memengaruhi cara
sebuah peristiwa atau situasi tertentu bisa memengaruhi
peristiwa atau situasi lain. Pada kalimat “Jack fell down and
broke his crown”–kata fall merupakan penyebab timbulnya
peristiwa break. Teks tidak menciptakan pengertian dalam
dirinya sendiri, namun hanya menghubungkan pengetahuan
dunia dengan teks. Hal ini menyiratkan bahwa dalam proses
penguasaan bahasa, cara-cara tertentu dalam penstrukturan
realitas dan juga teks. Hal ini telah merujuk ke konsep utama
intertekstualitas: setiap teks berhubungan, secara sinkronis
maupun diakronis, dengan teks-teks lain, dan inilah satu-
satunya cara mencapai pemahaman sebuah teks.
3. Intensionalitas berhubungan dengan sikap dan tujuan produser
teks. apa yang dia inginkan dan dia maksudkan dengan teks
tersebut? Sejalan dengan perhatian tersebut, mengigau tidak
akan dianggap sebagai teks, sebaliknya telepon dipandang
sebagai teks.
4. Akseptabilitas merupakan cermin intensionalitas. Sebuah
teks harus diakui oleh resipien-resipien dalam sebuah
34 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
situasi tertentu. Kriteria ini tentu saja berhubungan dengan
konvensionalitas dan tidak berarti bahwa resipien dapat
dengan mudah menolak sebuah teks secara sembarangan.
Dengan demikian, akseptabilitas berkaitan dengan tingkat
kesiapan pendengar dan pembaca untuk mengharapkan
sebuah teks yang berguna atau relevan. Di titik ini dapat muncul
konflik-konflik komunikasi yang besar. Sebagai contoh, sebuah
teks ternyata tidak bisa diterima (tidak bisa dipahami, tidak
koheren, tidak utuh, dan sebagainya), atau para pendengarnya
mungkin mempertanyakan akseptabilitas teks tersebut, meski
intensionalitasnya terekspresikan dengan jelas. Misalnya, pada
beberapa narasi pendengar bisa mempertanyakan rincian
kesil-keci yang sepenuhnya tidak relevan dengan percakapan
tertentu.
5. Informatif mengacu pada kuantitas informasi yang baru atau
diharapkan dalam sebuah teks. secara bersama, informativitas
tidak hanya berhubungan dengan kuantitas, namun juga
kualitas dari hal yang ditawarkan: bagaimana materi baru itu
distrukturkan dan menggunakan peranti kohesif apa?
6. Situasional berarti bahwa konstelasi-pembicaraan dan situasi
tuturan memainkan peran penting dalam memproduksi teks
(Wodak, dkk. 1989:120, dalam Titscher, 2000:36). Hanya
ragam atau tipe-tipe teks dan gaya tuturan atau bentuk sapaan
tertentu sajalah yang secara situasional dan kultural. Kriteria
seperti ini ke arah lahirnya konsep ‘wacana’ karena wacana
umumnya didefinisikan sebagai ‘teks dalam konteks’.
7. Intertekstualitas memiliki dua jenis makna. Di satu sisi,
intertekstualitas menyatakan bahwa suatu teks hampir selalu
terkait dengan wacana sebelumnya atau wacana yang muncul
secara bersamaan dan di sisi lain, intertekstualitas juga
menyiratkan kalau ada kriteria formal yang menghubungkan
teks-teks tertentu dengan teks-teks lain dalam genre-genre
atau jenis-jenis teks tertentu. Dalam terminologi perencanaan
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 35
dalam Slokantara
teks, genre-genre seperti itu diuraikan sebagai ‘skema’
(schema) atau ‘kerangka’ (frame) (Wodak 1986, dalam Titscher,
2000:36):
a. Ragam teks naratif (kisah, cerita, dan sebagainya)
bergantung pada prinsip penataan temporal.
b. Ragam teks argumentatif (penjelasan, artikel ilmiah, dan
sebagainya) menggunakan peranti pengontrasan.
c. Ragam teks deskriptif kebanyakan menggunakan unsur-
unsur lokal (yakni unsur spasial atau temporal), seperti
dalam penyampaian deskripsi, gambaran, dan sebagainya).
d. Ragam teks instruktif (seperti buku paket) bersifat
argumentatif dan juga anumeratif.
Ciri tambahan dari semua definisi teks yang juga penting untuk
diketahui diungkapkan dalam tujuh kriteria teks: dua kriteria
yang pertama (kohesi dan koherensi) dapat didefinisikan bersifat
internal teks, sedangkan kriteria sisanya bersifat eksternal teks.
Dengan demikian, bisa dibuat pembedaan pertama antara linguistik
teks tradisional dengan analisis wacana. Pada pendekatan yang
orientasinya murni ‘linguistik teks’, penelitian dan pemodelan
kohesi dan koherensi cukup dominan dan semua faktor eksternal
teks, dalam pengertian bergantinya variabel-variabelnya, hanyalah
menjadi pendukung. Namun dalam analisis wacana, faktor-faktor
eksternallah yang sangat memainkan peran penting, dan sebuah
teks (yakni, fenomena kohesi dan koherensi) dipandang sebagai
sebuah manifestasi dan hasil dari pengombinasian faktor-faktor
tertentu. Pendekatan modern kebanyakan menekankan aspek
fungsional ini (Renkema, 1993, Dressler 1989, dalam Titscher, dkk.
2000:39).
Dengan definisi yang berbeda-beda, pada umumnya teks
dengan wacana dianggap sama. Ricoeur (2009) menyebutkan
teks sebagai wacana yang dibakukan melalui tulisan, sedangkan
Barthes (dalam Ratna, 2010:398) mendefinisikan teks sebagai
semata-mata merupakan ruang metodologis, hanya dialami
dalam proses produksi, terikat dalam bahasa, tidak ada di rak
36 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara