The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Nilai-Nilai Pendidikan Hindu dalam Slokantara Ebook

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Jakad Media, 2020-11-24 22:07:38

Nilai-Nilai Pendidikan Hindu dalam Slokantara Ebook

Nilai-Nilai Pendidikan Hindu dalam Slokantara Ebook

Hana pwa wwang tan linggar apagȇh buddhinya, artūtakȇn
kadamȇlaning dharmasādhana, ya ikang wwang bhāgyamanta

ling sang pandita, tan kalarākȇna dening kadang mitranya,
yadyan mānācakāna panapana mangatītajiwīta tuwī.

Terjemahan:

Adalah orang yang tidak bimbang, bahkan budinya tetap
teguh untuk mengikuti jalan pelaksanaan dharma; orang
itulah sangat bahagia, kata orang yang berilmu, tidak akan
menyebabkan kaum kerabat dan handai tulannya bersedih
hati, meski ia sampai berkelana meminta-minta sedekah untuk
menyambung hidupnya (Kajeng, 1999:19).

Hal serupa juga tersirat dalam Yogasutra ajaran dari Maharsi
Patanjali, yang menempatkan ajaran susila sebagai dasar dalam
pencapaian samadhi, yakni Yama dan Nyama Brata. Dalam
komentarnya, Sivananda (2003:65) mengatakan bahwa keteguhan
dalam pelaksanaan kebenaran merupakan pintu gerbang manusia
untuk menuju realisasi Tuhan.

4.4. Kerti

Ślokāntara, sloka 7 (17)

Ācireṇaparasyabhūyasīm,wiparītāmwigaṇayyacātmanah,
kṣayayuktimupekṣate kṛtī, kurute tatpratikāramanyathā.

(Kalinganya, kṛti ngaran ing sang paṇdita, haywa sira
manglawani hala ning maweh lara ring sira, yadnyana sādhya
mamātyanana kunĕng, tan walĕsana halanya, kewalagumĕgöha
lara nira prihawak, mājarakĕn teka ning lara, mwang pralaya,
pilih māsa ning surud ing hurip ira, ya pinakasopana ning
paratra, ambal ing mantuk ing śiwaloka, anghing ikang śīlayukti
juga pagĕhakna mwang tapabrata sang wiku, yeka ksaya yukti.
Upekṣa ngaranya, hana pwekang dusta manghalahala ring sira,
makanguni mamātyanana, tan-wandhyānĕmu ng upadrawa, de
nira, ya ta pamalĕs nira, yeka pratikāra ngaranya, mabalik ikang

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 137
dalam Slokantara

lara-upadrawa, Devadanda irikang manghalahala, mapan

pinakabala-kośa-wahana nira, prabhāwa ning tapabrata juga,

yekāwās manĕmu papa magöng ikang wwang duṣṭa makārya
duḥkha ri sira, mangkana krama sang paṇḍita).

ARTI

Orang Budiman yang telah mendalami pengetahuannya

tentang dharma akan tidak menghiraukan segala

usaha-usaha jahat dan tipu muslihat musuhnya untuk

menjatuhkan dirinya. Jika tidak berbudi, ia pasti akan

membalas dendam.

(Kerti artinya orang bijaksana dan budiman, ia tidak boleh
mendendam terhadap orang lain yang berhati curang
terhadap dirinya. Walaupun mungkin mereka berniat untuk
membunuhnya, namun ia tidak boleh mendendam. Ia
hendaknya menyadari sumber kejahatan itu terletak di hati
manusia itu sendiri, namun ia harus percaya juga bahwa ia
akan sanggup membasmi kejahatan itu dengan menyadari
akan kedatangan kejahatan itu. Tentang orang lain ia hanya
boleh berkata bahwa mereka itu pada akhirnya akan mati
juga. Hal ini merupakan tangga naik guna mencapai ketinggian
Siwaloka (yaitu bersatu dengan Tuhan). Setiap orang itu harus
tetap teguh dalam melaksanakan kebaikan dan kebenaran, di
samping menjalankan tapa dan brata bagi para pertapa dan
pendeta. Inilah cara-caranya untuk membasmi tindakan atau
niat jahat yang ditujukan terhadap kita.

Upeksa artinya kalau ada seseorang hendak membencanai
kita, mungkin malah hendak membunuh kita, ia itu pasti akan
menderita papa dan kutukan. Inilah yang merupakan balasan
baginya. Ini juga dinamai pratikara, yaitu kejahatan atau
kesaktian itu akan berbalik kembali dari mana asalnya. Inilah
hukuman yang dijatuhkan oleh Tuhan kepada mereka yang
melakukan kejahatan. Sebaliknya balasan terhadap perbuatan

138 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

tapa dan brata itu ialah mendapat kekuatan (lahir batin) yang
seolah-olah merupakan kekayaan atau sarana baginya. Dan bagi
mereka orang jahat yang membencanai, pasti akan mendapat
ganjaran yang setimpal atas dosa yang telah diperbuatnya.
Demikianlah keadaan orang yang bijaksana dan budiman)
(Sudharta, 2003:27).

Kerti atau bijaksana dalam Ślokāntara dimaknai sebagai
satu bentuk sikap pengendalian diri. Tanda kebijaksanaan
seseorang diukur dari seberapa mampu orang tersebut mampu
mengendalikan dirinya sebagai bentuk aktualisasi pengetahuannya
tentang bagaimana bertindak yang benar. Orang bijak secara
spesifik lebih diartikan sebagai aktualisasi dari pengetahuan
atau filsafat tindakan. Orang bijaksana adalah orang yang mampu
memilah tindakan yang baik dan tidak baik bagi dirinya (wiweka
jnana). Di contohkan dalam sloka di atas bahwa tindakan balas
dendam hanya akan menjauhkan manusia dari tujuan hidupnya
untuk menyatu dengan Tuhan, dan orang bijaksana tidak akan
melakukan hal tersebut.

Di medan laga Kuruksetra, Arjuna pernah bertanya tentang
kebijaksanaan ini kepada Sri Kresna (Bhagawad-gita 2.54), sebagai
berikut:

Sthita-prajnasya kā bhāṣā samādhi-sthasya keśava, sthita-dhīḥ

kiṁ prabhāṣeta kim āsīta vrajeta kim

Terjemahan:

Wahai Krsna, apakah tanda-tanda dari orang yang mantab
kearifannya dan teguh imannya dalam samadhi? Bagaimana
pula cara orang bijaksana itu berbicara, duduk, maupun
caranya berjalan?(Pudja, 1999:66).

Kemudian Sri Krsna sebagai perwujudan Tuhan (Avatara)
menjawab pertanyaan Arjuna tersebut (Bhagawad-gita 2.55-2.58),
sebagai berikut:

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 139
dalam Slokantara

Prajahāti yadā kāmān sarvān pārtha mano-gatān, ātmany
evātmanā tuṣṭaḥ sthita-prajñas tadocyate

Terjemahan:

Wahai Arjuna, Orang dapat melenyapkan segala keinginan
dalam hati dan hanya terpuaskan pada atman oleh sang atman
saja, maka ialah orang yang disebut bijaksana (Pudja, 1999:67).

Duḥkheṣv anudvigna-manāḥ sukheṣu vigatah-spṛhaḥ, vīta-
rāga-bhaya-krodhaḥ sthita-dhīr munir ucyate

Terjemahan:

Orang yang tidak sedih dikala duka, tidak kegirangan dikala
bahagia, bebas dari nafsu, rasa takut dan amarah, ia disebut
orang bijak yang teguh (Pudja, 1999:67).

Yaḥ sarvatrānabhisnehas tat tat prāpya śubhāśubham,
nābhinandati na dveṣṭi tasya prajña pratiṣṭhitā

Terjemahan:

Ia yang tak mempunyai keterikatan di mana saja bila mendapat
sesuatu yang baik atau buruk, tak akan ada rasa senang atau
benci padanya, sesungguhnya ia adalah orang arif bijaksana
yang telah memiliki kemantapan (Pudja, 1999:68).

Yadā saṁharate cāyaṁ kūrmo’ngānīva sarvaśaḥ,
indriyāṇīndriyārthebyas tasya prajñā pratiṣṭhita

Terjemahan:

Ibarat penyu menarik anggota badan ke dalam cangkangnya,
demikianlah ia menarik semua indranya dari segenap objek
keinginannya, yang arif bijaksana dalam keseimbangan (Pudja,
1999:68).

Sri Krsna (Bhagawad-gita, 10.8-10.11) juga menyatakan bahwa,
kebijaksanaan seseorang sangat ditentukan dari kepemilikan
pengetahuan rohani seseorang, yakni pemahaman bahwa Tuhan

140 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

sebagai sumber eksistensial dan adi kodrati. Sehingga bijaksana
dalamkonteksiniadalahtindakanyangsenantiasamengekpresikan
sikap-sikap pengakuan, kepatuhan, persembahan dan motivasi
“Tuhan” sebagai puncaknya. Penjelasannya sebagai berikut:

Ahaṁ sarvasya prabhavo mattaḥ sarvaṁ pravartate, iti matvā
bhajante māṁ budhā bhāva-samanvitāḥ

Terjemahan:

Aku adalah asal mula segala yang ada, dari Aku lahirnya segala
sesuatu ini, mengetahui ini-orang bijaksana memuja-Ku
dengan sepenuh kalbu (Pudja, 1999:250).

Mac-cittā mad-gata-prāṇā bodhayantaḥ parasparam,
kathayantaś ca māṁ nityaṁ tuṣyanti ca ramanti ca

Terjemahan:

Memikirkan tentang Aku, dengan seluruh hidupnya tercurah
kepada-Ku, saling mencerahi satu sama lain dan senantiasa
membicarakan Aku terus menerus, mereka merasa puas dan
bahagia (Pudja, 1999:251).

Teṣāṁ satata-yuktānāṁ bhajatāṁ priti-purvakam, dadāmi
buddhi-yogaṁ taṁ yena mām upyānti te

Terjemahan:

Bagi mereka yang senantiasa patuh, yang memuja Aku
dengan kasih sayang, Aku memberi Yoga pembeda yang
memungkinkannya mencapai Aku (Pudja, 1999:252).

teṣām evānukampārtham aham ajñāna-jaṁ tamaḥ, nāśayāmy
ātma-bhāva-stho jñāna-dipena bhāsvatā

Terjemahan:

Karena kasih sayang murni-Ku pada mereka, yang bersemayam
dalam hatinya, Aku menghancurkan kebodohan yang timbul
oleh kegelapan, dengan sinar cahaya kebijaksanaan (Pudja,
1999:252).

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 141
dalam Slokantara

Demikianlah signifikansi kebijaksanaan dalam Weda, begitu
dalam dan memiliki peran yang fundamental dalam pencapaian
kehidupan manusia. Banyak Interpretasi dan makna tentang
kebijaksanaan menurut umum, namun Weda memberikan
definisi secara spesifik, aplikatif dan jelas. Dalam pandangan
Weda, kebijaksanaan merupakan akulturasi antara pengetahuan
dan kesadaran tindakan yang terealisasi.

4.5. Sangsarga

Ślokāntara, sloka 16 (45)

Gawāśanānām sa girah sṛonoti, aham tu rājan munīnām
ṣṛṇomi, pratyakṣametad bhawatāpi dṛṣṭam samsargajā
doṣaguṇā bhawanti.

(Kalinganya, yan hana wwang masangsarga lawan wwang
nīca, niyata nika katularan buddhi durjana nīca, mangkana
yan asangsarga lawan ikang wwang sādhu, katularan budhi
sādhu, dṛṣṭopamānyatah, kadyangga nikang atat rwang siki,
mangaran si Gāwākṣa, mwang si Girikā, ikang sasiki, inalap
ing tuha buru, iningū nika, ikang sasiki, inalap de sang paṇḍita,
iningū nira, kathañcit hana ta sira ratu maburu-buru, kasasar ta
sira prihawak, kuwawa marery umah ning tuha buru, kahanan
ikang atat si Girikā, mojar tĕkang atat ring sang prabhu, lingnya,
ndah mah ta mah, siwak kapālanya, mangkana ta wuwus nikang
atat, karĕngö de sang prabhu, alayū ta sira rumĕngö wuwusnya,
ri wĕkasan ta sira, kawawa mareng patapan sang paṇḍita,
ri kahanan ikang atat si Gāwākṣa, mojar ta ya, lingnya, dhūh
bhāgya ta kita sang prabhu, dingāryan ta rahadyan sangulun,
kasĕpĕra ring patapan, arāryana ta laki, alungguha ring widig
añar, anginanga wwah ampiji, mwang sĕrĕ hañar, apūh mĕntah,
yapwan anghel rahadyan sanghulun, madamwa śrī mahārāja,
irikang walukan, mangkā ling nikang atat ri sira, kāścaryan
ta manah nira sang prabhu, rumĕngwakĕn ujar ikang atat, ri
wĕkasan ta sang prabhu, matakwan ri sang paṇḍita, irikang

142 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

atat iningū nira, mojar ta sang paṇḍita, yan kawawa dening

sangsarga nika, sangkṣepa nika sang sādhujana, haywa sira tan

pamilihi sangsarga nira, ikang sayogyāmu wuhana guna ri sira,

haywa sira masangsarga lawan ikang wwang durjana, apan
amawa mareng kawah, ling sang hyang aji).

Terjemahan:

Dia mendengarkan nasihat-nasihat orang pemakan

daging sapi, tetapi hamba, oh raja mendengarkan nasihat-

nasihat orang-orang suci. Dan dengan ini tuanku telah

terang mengetahui bahwa baik atau buruk sifat kelakuan

manusia itu ditentukan oleh pergaulannya.

(Jika ada orang yang bergaul dengan orang yang berbudi
rendah, pasti dia akan dipengaruhi oleh kerendahan dan
kejahatan budi kawannya itu. Demikian juga jika kita bergaul
dengan orang baik, sudah pasti ia akan dipengaruhi budi baik
mereka itu. Hal ini dapat disamakan dengan cerita dua ekor
burung beo bernama Gawaksa dan Girika. Seekor dipelihara
dan dilatih oleh seorang pemburu. Yang lainnya dipelihara dan
dilatih oleh seorang pendeta agung. Suatu hari ada seorang
raja yang sedang berburu dan tersesat sendirian saja, hingga
akhirnya baginda sampai ke rumah pemburu itu, yang ditunggui
oleh burung beo bernama Girika. Burung itu berkata kepada
raja, “Nah ini dia, ini dia datang, bunuh saja, potong lehernya”.
Demikianlah kata-kata burung ini yang menyebabkan raja itu
ketakutan dan lari dari tempat itu sehingga akhirnya baginda
sampai di pertapaan Sang Pendeta yang dijaga oleh burung beo
yang bernama Si Gawaksa. Burung itu berkata, “Kami bahagia
Tuanku, karena Tuanku telah sudi mampir ke pertapaan ini.
Beristirahatlah di sini, Tuanku. Silakan Tuanku duduk di tikar
baru itu. Maafkan sajian kami berupa buah pinang yang agak
keras, daun sirih muda, dan kapur mentah ini. Tampaknya
Tuanku telah berpayah-payah benar hingga sampai kemari.
Silakan segarkan badan Tuanku dengan istirahat di telaga

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 143
dalam Slokantara

permandian itu. Demikian ucapan burung itu, sehingga baginda
terperanjat mendengarnya. Baginda lalu bertanya dengan sang
pendeta tentang burung yang dipelihara di asrama itu. Dan sang
pendeta berkata bahwa burung itu dipelihara dari kecil sampai
besar dan dipengaruhi oleh keadaan sehari-hari sang pendeta.
Tegasnya orang-orang baik janganlah lengah sehingga salah
dalam mencari kawan pergaulan. Haruslah diusahakan mencari
kawan yang dengan pergaulan itu, dapat mempertinggi pribadi
sendiri. Jangan sekali-kali bergaul dengan orang jahat karena
pergaulan demikian akan membawa ke neraka. Demikianlah
kitab suci) (Sudharta, 2003:53-55).

Sangsarga berarti pergaulan. Dalam pengertian umum, per-
gaulan dimaknai sebagai kontak langsung antara satu individu
dengan individu lain, atau antara pendidik dan anak didik. Di ka-
takan bahwa pergaulan merupakan salah satu sarana untuk men-
capai hasil pendidikan yang baik. Langevel menyatakan bahwa,
pergaulan itu merupakan ladang atau lapangan yang memungk-
inkan terjadinya pendidikan (Ahmadi dan Uhbiyati, 2001:1&5).

Weda mengajarkan pentingnya pergaulan, karena dalam
pergaulan tersebut akan secara signifikan membentuk karakter
seseorang. Seperti yang telah dicontohkan dalam sloka di atas
tentang cerita burung beo Gawaksa yang dipelihara oleh seorang
brahmana dan Girika yang dipelihara oleh seorang pemburu.
Dalam perkembangannya, burung tersebut memiliki karakter
yang sangat bertolak belakang, Gawaksa memiliki sifat-sifat yang
lembut hati, bicaranya sopan, menyejukkan hati, seakan Gawaksa
telah mewarisi sifat-sifat brahmana yang membesarkannya,
sedangkan Girika memiliki sifat yang jahat, bicaranya kasar,
keras, menyakitkan hati, bahkan sadis, hal tersebut karena dalam
kesehariannya, Girika senantiasa mendengar dan melihat hal-
hal kejam dan buruk setiap hari dari seorang pemburu yang
membesarkannya. Oleh sebab itu Weda begitu menekankan
pentingnya memilih pergaulan yang baik. Dalam Sārasamuccaya
sloka 300-301, dijelaskan sebagai berikut:

144 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Nyang sȇlangakȇna, ikang sang-sarga, agȇlis juganularakȇn
guna ya, irikang lot masangsarga lawan maguna, wyaktinya,
nahan yāmböning sȇkar, an tular mara ring dodot, wwai, lȇnga,
lȇmah, makanimitta pasangsarganya lawan ikang kȇmbang.

Terjemahan:

Inilah tentang pergaulan; lekas benar pergaulan itu
memindahkan sifat yang baik kepada orang yang selalu
bergaul dengan orang yang bersifat utama; buktinya baunya
bunga beralih kepada kain, air, minyak dan tanah, disebabkan
persentuhannya dengan bunga itu (Kajeng, 1999:227).

Matangnyan maṇḍȇh ikang buddhi, yan pasangsargan ngwang
lawan wwang sor hinabuddhi, yapwan wwang madhyama

sangsarganing wwang, madhyama ikang buddhi denya, wwang
uttama pwa sang sinangsarga, uttama buddhining wwang yan

mangkana.

Terjemahan:

Oleh karena itu merosotlah budi seseorang; jika bergaul dengan
orang yang hina budi, jika orang yang madya-budi menjadi
sahabatnya, maka madya-budi yang dihasilkannya; jika orang
yang utama budi dijadikan teman bergaul, maka utamalah budi
orang itu karenanya (Kajeng, 1999:228).

Pandangan senada juga terdapat dalam Pustaka Weda yang
lain, yaitu dalam kitab Nitisastra VIII.6, yang berbunyi:

Tan mitran tikanang durātmaka, sirang sujana jūga minitra
séwaken. Tan luputéng yaśa dharma punya, gawayén rahana

wĕngi taman hĕlĕn-hĕlĕn. Éwĕhing pati tan kĕnénaku, ang
uripta sukha wibhawa nora saśwata. Yatna séwaka ring

mahāmuni, sipat siku-siku patitis tañakéna.

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 145
dalam Slokantara

Terjemahan:

Jangan hendaknya bersahabat dengan orang-orang yang
jahat, bersahabat dan bergaullah dengan orang baik-baik saja.
Janganlah hendaknya dilalaikan berbuat kebajikan, melakukan
kewajiban suci dan berderma, laksanakanlah setiap hari
jangan ditangguhkan. Yang menyebabkan kita takut pada
kematian ialah, karena kita tidak kenal apa maut itu dan kapan
datangnya. Yang diketahui bahwa hidup bahagia dan kaya
ini tidak kekal. Oleh karena itu berguru dengan rajin kepada
pendeta besar, tanyakan dengan secermat-cermatnya mana
jalan yang baik dan mana jalan yang tidak baik guna sampai
pada apa yang dicita-citakan, yaitu: ketinggian budi dan
kepribadian (Sudharta, 2004:56).

Apa yang dijelaskan dalam Weda tersebut sejalan dengan yang
terjelaskan dalam aliran klasik tentang perkembangan manusia
(Tirtarahardja dan Sulo, 2005:194-198) yaitu terdiri:

1. Aliran Empirisme atau Environmentalisme
Tokoh perintis pandangan ini adalah seorang filsuf Inggris

bernama John Locke (1704-1932) yang mengembangkan
teori “Tabula Rasa”, yakni anak yang lahir di dunia bagaikan
kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh
dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan
perkembangan anak.

2. Aliran Nativisme
Istilah nativisme dari asal kata natie yang artinya terlahir.

Schopenhauer (filsuf Jerman 1788-1860) merupakan tokoh
penting dalam aliran ini. Schopenhauer berpendapat bahwa
bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan
buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh
pembawaan yang sudah di bawa sejak lahir.

Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya,
sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi
perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan

146 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

bahwa kalau anak mempunyai pembawaan jahat maka dia akan
menjadi jahat, sebaliknya kalau anak mempunyai pembawaan
baik maka dia akan menjadi orang baik. Pembawaan buruk
dan baik itu tidak dapat di ubah oleh kekuatan luar.

3. Aliran Naturalisme atau Negativisme
JJ Rousseau, filsuf Prancis (1712-1278) merupakan pelopor

pandangan ini. Berbeda dengan Schopenhauer, Rousseau
berpendapat bahwa semua anak yang baru dilahirkan
mempunyai pembawaan buruk. Pembawaan baik anak akan
menjadi rusak karena dipengaruhi oleh lingkungan. Rousseau
juga berpendapat bahwa pendidikan yang diberikan orang
Devasa malahan dapat merusak pembawaan anak yang baik
itu. Aliran ini juga disebut negativisme, karena berpendapat
bahwa pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak pada
alam. Jadi dengan kata lain pendidikan tidak diperlukan. Yang
dilaksanakan adalah menyerahkan anak didik ke alam, agar
pembawaan yang baik itu tidak menjadi rusak oleh tangan
manusia melalui proses pendidikan itu.

4. Aliran Konvergensi
Perintis aliran ini adalah Willian Stern (1871-1939), seorang

ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa
seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan
baik maupun buruk. Penganut aliran ini berpendapat bahwa
dalam proses perkembangan anak, baik pembawaan maupun
faktor lingkungan sama-sama mempunyai peranan yang
sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan
berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan
yang sesuai untuk perkembangan bakat itu. Sebaliknya,
lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan
anak yang optimal kalau memang pada diri anak tidak terdapat
bakat yang diperlukan untuk mengembangkan itu.

William Stern berpendapat bahwa hasil pendidikan itu
tergantung dari pembawaan dan lingkungan, seakan-akan dua
garis menuju ke satu titik pertemuan. Karena itu teori W. Stern

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 147
dalam Slokantara

disebut teori konvergensi (konvergensi artinya memusat ke
satu titik). Jadi menurut teori konvergensi:
a. Pendidikan mungkin untuk dilaksanakan
b. Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan

lingkungan kepada anak didik untuk mengembangkan
potensi yang baik dan mencegah berkembangnya potensi
yang kurang baik.
c. Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan
lingkungan.

Aliran konvergensi pada umumnya diterima secara luas
sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh-
kembang manusia.

Kiranya dapat dimengerti bahwa Weda memiliki relevansi
dengan teori-teori pendidikan tumbuh kembang manusia.
Pergaulan memiliki pengaruh yang sangat penting dalam
tumbuh kembang manusia, apa yang terjabarkan dalam Weda
memiliki persamaan dengan apa yang telah dijelaskan dalam
teori-teori pendidikan tumbuh kembang manusia seperti di
atas, utamanya pada aliran naturalisme dan aliran konvergensi.

4.6. Suputra
Ślokāntara, sloka 24 (52)

Śarwarīdīpakaścandraḥ prabhāte rawidīpakaḥ, trailokye
dīpako dharmaḥ suputeraḥ kuladīpakah.

Kalinganya, yan ing wĕngi sang hyang candra sira pinaka damar,
Yan ring rahina sang hyang rawi pinaka damar. Yan ing triloka
sang hyang dharma pinaka damar. Kunan yan ing kula, ikang
anak suputra punika damar, ling ning aji.

ARTI

Bulan itu lampunya malam, surya itu lampu dunia di siang
hari, dharma ialah lampu ketiga dunia ini, dan putera yang
baik itu cahaya keluarga.

148 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

(Waktu malam, bulanlah sebagai lampunya, di siang hari
mataharilah lampunya, di ketiga dunia ini dharmalah sebagai
lampunya; dan dalam suatu keluarga, putera yang baik itulah
cahayanya.

Demikian kata kitab suci).

Istilah Suputra berasal bahasa Sanskerta, su yang berarti baik,
dan putra artinya seorang putra atau anak (Surada, 2007: 214,
298). Sehingga suputra memiliki arti putra atau seorang anak yang
baik.

Kita tentunya sepakat bahwa setiap manusia normal itu
dilahirkan. Artinya, setiap manusia sesungguhnya adalah
seorang putra. Setiap manusia dalam hidupnya niscaya memiliki
tujuan yang hendak digapai. Dalam pandangan Hindu, tujuan
manusia adalah dalam rangka menggapai kebahagiaan dunia dan
kebahagiaan rohani (Moksartam jagadhita ya ca iti dharma). Untuk
menggapai cita-cita tersebut, syarat yang harus dilakukan adalah
dengan jalan berbuat baik atau mengubah perilaku yang kurang
baik menjadi baik dalam kehidupan ini, seperti yang terjelaskan
dalam Sārasamuccaya sloka 2 yang berbunyi:

Mānusah sarvabhūtesu vartate vai śubhāsubhe, Aśubheṣu

samaviṣṭam śubhesvevāvakārayet

Terjemahan:

Di antara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan
menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan
baik ataupun buruk; leburlah ke dalam perbuatan baik segala
perbuatan buruk itu; demikianlah gunanya menjadi manusia
(Kajeng, 1999:8).

Sivananda (2003:64-65) menyatakan bahwa susila merupakan
jalan spiritual, fondasi yoga, pilar dari struktur bhakti dan gerbang
menuju Tuhan. Tanpa kesempurnaan susila, tak mungkin ada
kemajuan spiritual atau realisasi. Artinya, menjadi suputra

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 149
dalam Slokantara

merupakan kualifikasi yang harus di gapai bagi setiap manusia,
sebagai konsekuensi atas cita-cita hidupnya.

Secara lebih spesifik, dalam Nitisastra 2.4, menjelaskan perihal
dharma (tugas) utama yang hendaknya dipatuhi setiap orang agar
memiliki kualifikasi sebagai suputra, yakni:

Te putrā ye pitur-bhaktāḥ sa pitā yastu paśakaḥ, tan mitraṃ

yatra viśvāsaḥ sā bhāryā yatra nirvṛtiḥ

Terjemahan:

Yang disebut putra adalah mereka yang berbhakti kepada
bapak. Yang disebut bapak adalah dia yang menanggung
(memelihara) anak-anaknya. Yang disebut teman adalah dia
yang memiliki rasa percaya dan bisa dipercaya, dan seorang
istri adalah dia yang selalu memberikan kebahagiaan.

Sloka di atas menerangkan prasyarat untuk layak disebut
sebagai putra yang baik (suputra) ketika seorang anak mampu
melaksanakan bhaktinya kepada kedua orang tua. Wujud bhakti
itu berupa kepatuhan, penghormatan, cinta kasih, pelayanan
yang tulus, penghargaan yang tinggi, tutur kata yang lembut
menyenangkan, perilaku yang santun, dan senantiasa berpikir
yang luhur untuk kemuliaan kedua orang tua. Pintu pertama yang
harus dilalui oleh suputra adalah tindakan yang teruji kepada
orang tua, kemudian menjalar kepada sesama. Sehingga sebaik
apapun sikap dan perilaku yang dilakukan kepada orang lain,
namun mengesampingkan orang tua, berarti seseorang tersebut
belum memiliki kualifikasi sebagai suputra. Bhakti kepada orang
tua merupakan dharma seorang suputra. Pelaksanaan dharma
ini sungguh utama, yang akan mengantarkan seseorang tersebut
menuju tempat yang utama pula. Sebab, melakukan dharma diri
sendiri itulah yang diyakini sebagai yang paling utama walau tidak
secara sempurna terlaksanakan. Demikian yang dinyatakan Sri
Krisna, dalam Bhagawad-gita 18.47:

150 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

śreyān sva-dharmo viguṇaḥ para-dharmāt sv-anuṣṭhitāt,

svabhāva-niyataṁ karma kurvan nāpnoti kilbiṣham

Terjemahan:

Lebih baik menekuni kewajiban sendiri, meskipun dilakukan
secara kurang sempurna, daripada menerima kewajiban orang
lain dan melakukan secara sempurna. Tugas kewajiban yang
ditetapkan menurut sifat seseorang tidak pernah dipengaruhi
oleh reaksi-reaksi dosa.

Dalam pustaka Ślokāntara sloka 2 (Sudharta, 2003: 14-15),
menjadi suputra memiliki arti yang sangat fundamental, utamanya
dalam konteks yajna. Demikian dinyatakan:

“Orang yang membuat (menggali) sumur itu dikalahkan
kegunaannya oleh orang yang membuat telaga untuk umum.
Lebih berjasa orang yang membuat telaga. Sedangkan yang
membuat telaga seratus, dikalahkan oleh kebajikan orang
yang melakukan yajna (korban suci). Jauh lebih berjasa yang
mengadakan yajna. Yang melakukan seratus yajna dikalahkan
pahalanya oleh yang mempunyai putera, walaupun seorang,
asal saja putera itu saleh dan pandai“.

Suputra tidak hanya memiliki arti penting bagi diri sendiri,
tetapi juga orang tua. Suputra tidak hanya menyelamatkan diri
sendiri, tetapi juga orang tuanya. Menjadi suputra tidak semata-
mata berorientasi individual, tetapi sosial, demikian juga suputra
tidak hanya berkepentingan terhadap urusan jadaghita (jasmani,
materi, dunia), tetapi juga rohani (moksa).

Kitab Ślokāntara menempatkan tematik Suputra ini menjadi
sebuah tata nilai edukasi yang begitu fundamental. Nilai ini
merupakan amanat Weda yang memiliki kadar penting dalam
orientasi sosial religius masyarakat Hindu terutama.

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 151
dalam Slokantara

4.7. Sad Atatayi

Ślokāntara, sloka 71 (32)

Agnido wiṣadātharwau śāstraghno dārātikramaḥ, piśunas-
tatra tadrāñi ṣaḍete hyātatāyinaḥ.

(Kalinganya, agnida ngaranya wwang anuwani nagara, yan
dudū makakāraṇa ng prang, wwang anunwani umah sang Deva
sang hyang, wwang anunwani umah sang paṇḍita, yeki agnida.
Śāstraghna ngaranya wwang angamuk. Daratikrama ngaranya
wwang ambahud angris, rājapiśuna ngaranya wwang angadoni
tukar, makādi yan piśuna ring sang ratu, sang mantrī, maglawe
ujar sangkaning deśa ruga, salwir ing ujar irśya, magawe
kirakira ring hala, tan tuhu asingwuwusnya, piśuna juga.
Wisada ngaranya mangupasi. Atharwa ngaranya manĕluh,
andeṣṭi, amĕmĕṇḍĕm, aninibāni hala-hala, salwiranya akriyāla,
yeka saḍātatāyī ngaranya. Tan ulanghing janma, ikang ulah
nĕm prakāra, tan wurung ika tumampuh ring naraka, kinĕla
de Bhatara Yama inarwākĕn prāṇanya, dening kingkara ling
sang hyang aji. Nihan pang-janmanya, yan wuwus kinĕla ring
kawah, siniratakning bhūmi, kadi duk tinetek, pating samburat
tĕmahanya, nihan kadadi ning wwang mangkana).

Terjemahan:

Orang yang membakar rumah, suka meracuni, dukun
jahat, pembunuh, pemerkosa perempuan, penghianat,
keenam ini dimasukkan dalam ‘atayayi’.

(Agnida ialah orang yang membakar rumah kota pada waktu
tidak dalam perang, orang yang membakar tempat-tempat
persembahyangan, membakar rumah pendeta, semua itu
dinamai agnida. Sastraghna ialah orang yang suka membunuh.
Daratikrama, yaitu orang yang suka melakukan perkosaan
sampai-sampai menusuk dengan keris. Rajapisuna, yaitu orang
yang suka mengadu-dombakan orang lain supaya berkelahi

152 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

atau berkhianat terhadap raja dan menterinya sehingga kata-
katanya itu dikeluarkan karena iri hati, melakukan kecurangan
ini dengan maksud busuk. Apa yang dikatakan , dusta belaka.
Inilah penghianat besar. Wisuda artinya orang yang suka
meracuni orang lain. Atharwa, yaitu orang yang suka melakukan
ilmu sihir, memasang guna-guna, melakukan pepasangan
(memendam sesuatu ramuan misalnya, dan jika dilangkahi
atau diinjak menyebabkan sakit atau gila). Dan selalu menyakiti
orang-orang tak bersalah. Segala perbuatannya jahat. Keenam
macam manusia ini digolongkan dalam enam atatayi. Keenam
pekerjaan ini jangan dilakukan oleh manusia waras, karena
sudah pasti perbuatan itu akan menyeret ke lembah neraka
dan akan dianiaya berat oleh Deva Yama. Jika ia hidup, ia akan
disakiti dan disiksa oleh budak-budaknya sendiri. Demikian
kata kitab suci. Setelah mereka dimasak hidup-hidup dalam
api neraka, mereka akan diserahkan ke permukaan bumi ini
seperti menyerahkan serabut remuk. Akhirnya merek akan
bertebar di sana-sini. Mereka yang bersifat dan berlaksana
demikian adalah kelahiran neraka) (Sudharta, 2003:235-236).

Menurut Prof. Dr. J. Gonda, kata sad itu berasal dari kata
Sanskerta yang berarti enam dam kata atatayi pun berasal dari
bahasa yang sama berarti: a) ia yang siap dengan busur terpasang
untuk membunuh dan, b) orang yang telah melakukan dosa atau
kejahatan besar (Sudharta, 2003:236). Dalam Kamus Sanskerta
Indonesia, atatayin berarti : a) bajingan ulung, b) pencuri, dan c)
pembunuh (Surada, 2007:52).

Dari penjelasan etimologis ini, kiranya dapat dipahami makna
sad atatayi, yakni enam perilaku jahat atau enam kejahatan besar,
yakni:
1. Agnida yaitu orang yang membakar rumah kota pada waktu

tidak dalam perang, membakar tempat persembahyangan dan
membakar rumah pendeta.
2. Sastraghna yaitu orang yang suka membunuh.

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 153
dalam Slokantara

3. Daratikrama yakni orang yang suka melakukan perkosaan
sampai-sampai menusuk dengan keris.

4. Rajapisuna yakni orang yang suka mengadu dombakan dengan
orang lain supaya berkelahi atau berkhianat terhadap raja dan
menterinya sehingga kata-katanya itu dikeluarkan karena iri
hati, melakukan kecurangan ini dengan maksud busuk. Apa
yang dikatakan dusta belaka. Inilah penghianat besar.

5. Wisuda adalah orang suka meracuni orang lain.
6. Atharwa adalah orang yang suka melakukan ilmu sihir,

memasang guna-guna, melakukan pepasangan (memendam
sesuatu ramuan misalnya, dan jika dilangkahi atau diinjak
menyebabkan sakit atau gila. Dan selalu menyakiti orang-orang
tak bersalah. Segala perbuatannya jahat.

Kiranya dapat dimengerti bersama bahwa sad atatayi adalah
perilaku yang begitu kontradiksi dengan Weda yang sangat
menjunjung tinggi kesusilaan dan dharma. Artinya, perilaku-
perilaku yang masuk dalam kategori sad atatayi sesungguhnya
merupakan tindakan “terlarang” dan sebisa mungkin untuk tidak
pernah terlakukan dalam kehidupan manusia.

Sad atatayi begitu strategis sebagai media reflektif bagi manusia,
mengingat apa yang terlarang senantiasa menjadi fenomena
dalam kenyataan hidup manusia itu sendiri. Bahkan dalam sejarah
kehidupan manusia, perilaku “terlarang” seperti dalam kategori
sad atatayi senantiasa terjadi hingga jaman kini, di mana manusia
telah mengklaim dirinya sebagai yang telah beradab. Bahkan,
keberadaan ini semakin menunjukkan kebiadaban dari hari ke hari
dalam kuantitas yang terus meninggi. Dalam kehidupan modern
seperti sekarang ini, setiap hari, bahkan ketika kita baru bangun
tidur telah mendapatkan pewartaan-pewartaan tentang fenomena
kejahatan dan kekerasan di muka bumi ini, baik itu pembakaran,
pembunuhan, pemerkosaan, dan fenomena-fenomena kejahatan
lainnya yang terjadi hampir di setiap detiknya, bahkan di dekat
kita.

154 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Fakta ini terasa begitu pahit dan sangat ironis bagi kita
sebagai manusia yang dikarunia akal budi dan rasa, sebab kedua
karunia itu seperti tidak memiliki dampak signifikan, bahkan
kontraproduktif atas hasrat manusia yang bercita-cita untuk
memperbaiki dan memuliakan hidupnya, yang juga tersuratkan
dalam Sārasamuccaya sloka 8-9, berikut ini:

Iking tang janma wwang, ksanikaswabhāwa ta ya, tan pahi

lawan kȇḍapning kilat, durlaba towi, matangyan pöngakena ya

ri kagawayaning dharmasadhāna, sakarananging manāṣang

sangsāra, swargaphala kunang.

Terjemahan:

Kelahiran menjadi orang (manusia) pendek dan cepat
keadaannya itu, tak ubahnya dengan gerlapan kilat, dan amat
sukar pula untuk diperoleh; oleh karena itu, gunakanlah sebaik-
baiknya kesempatan menjadi manusia ini untuk melakukan
penunaian dharma, sehingga berhasil mencapai sorga (Kajeng,
1999:12-13).

Hana pwa tumȇmung dadi wwang, wimukha ring

dharmasadhāna, jȇnȇk ring arthakama arah, lobhāmbȇknya, ya

ika kabañcana ngaranya.

Terjemahan:

Bila ada yang beroleh kesempatan menjadi manusia, ingkar
akan pelaksanaan dharma; sebaliknya amat suka ia mengejar
harta dan kepuasan nafsu serta berhati tamak; orang itu disebut
kesasar, tersesat dari jalan yang benar (Kajeng, 1999:13).

Perilaku-perilaku yang terkategorisasi dalam Sad atatayi
merupakan fenomena keseharian yang begitu dekat dengan
kehidupan kita. Seperti pisau, hal tersebut dapat berdampak
positif (momentum reflektif) dan negatif (menstimulasi tindak
kekerasan sebagai sesuatu yang lazim. Dalam konteks ini,
Ślokāntara berperan mengedukasi manusia melalui penjabaran

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 155
dalam Slokantara

sad atatayi, agar dijadikan sebagai cerminan dalam bersikap
dalam kehidupan ini.

4.8. Dasa Pzaramarta

Ślokāntara, sloka 72 (84 Paragraf 1)

Nihan daśa paramārtha, kawruhakna de sang sewaka-
dharma, sang tumaki-taki ambĕk awiratin, sang mahyun
walwi mānuṣajāti, kang sangkan ing luput ing pāpa kawah,
ya ta ulahakna ikang daśa paramārtha. Ndya ta, tapa, brata,
samādhi, śānta, sanmata, karuṇā, karuṇi, upekṣa, muditā, maitrī.
Kramanya, tapa nga ambĕk kawiratin. Brata nga anglongi
sakawiṣaya ning mahurip. Samādhi nga mābhyāsa atanging
wĕngi angitung sang hyang dharma. Śānta ng śabda tunggal tan
lĕñok. Sanmanta nga tunggal karĕp ira kewala ring karahaywan,
dera gawayakĕn. Karuṇa nga awĕlas ri sasama ning mahurip.
Karuṇi nga asih ring sarwa tumuwuh, muwah sakweh ing sarwa
sato. Upekśā nga wruh ing hala-hayu, ata mamarahi ring wong
mūḍha, maring apĕkik. Muditā nga ambĕk ayu lĕgeng buddhi,
tan purik yen pinituturan. Maitrī nga aweh śabda rahayu ring
sasama ning ahurip.

Terjemahan:

Inilah sepuluh paramartha (tujuan hidup utama), yang harus
diketahui oleh orang menjalankan dharma. Orang yang ingin
melepaskan pikirannya dari hidup sebagai manusia lebih
tinggi. Kesepuluh paramartha itu ialah jalan untuk melepaskan
diri dari neraka. Karena itulah maka ia harus menjalankan
kesepuluh Paramartha ini yaitu: Tapa, Brata, Samadhi, Santa,
Sanmanta, Karuna, Karuni, Upeksa, Mudita, dan Maitri.

Tapa artinya meninggalkan keduniawian. Brata yaitu
memperkurang kepentingan hidup di dunia ini. Samadhi
ialah membiasakan diri memusatkan pikiran di waktu sunyi
malam sepi, merenungkan tentang dharma. Santa artinya tidak

156 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

pernah berbohong. Sanmanta, yaitu satu-satunya keinginan
ialah berbuat kebajikan. Karuna ialah cinta dan sayang pada
sesama manusia. Karuni ialah cinta kepada segala makhluk
hidup termasuk juga binatang. Upeksa artinya mengetahui
mana yang baik atau mana yang buruk. Di dalamnya juga
termasuk pengetahuan bagaimana cara mengajar manusia
lainnya yang bodoh, walaupun mereka tampaknya berbahagia,
sehat dan berwajah tampan. Mudita ialah selalu berbahagia,
gembira dalam hati, puas pikiran, dan selalu menuruti petunjuk
melakukan kewajiban. Maitri artinya selalu berkata sopan dan
tidak menyakiti hati orang lain (Sudharta, 2003:238-240).

Dasa Paramarta berasal dari kata ‘dasa’ dan ‘paramarta’. Dasa
artinya sepuluh dan paramarta berarti tujuan hidup. Dalam Kamus
Sanskerta Indonesia (2007:199), paramartha berarti pengetahuan
yang paling tinggi. Dari penjelasan tersebut kiranya dapat dipahami
bahwa dasa paramarta berarti sepuluh tujuan hidup atau sepuluh
pengetahuan tertinggi. Adapun kesepuluh paramarta adalah : 1)
Tapa, 2) Brata, 3) Samadhi, 4) Santa, 5) Sanmanta, 6) Karuna, 7)
Karuni, 8) Upeksa, 9) Mudita dan, 10) Maitri.

Kesepuluh bagian dari paramarta tersebut sesungguhnya
memiliki substansi mengenai ajaran tapa atau pengendalian
diri (etika) dalam rangka mencapai tujuan hidup manusia yang
utama. Tebaran nilai-nilai dalam dasa paramarta tersebut juga
merupakan nilai-nilai tapa atau pengendalian diri (etika) dalam
kepustakaan Weda. Dalam Kamus Sanskerta Indonesia (2007:142)
tapa berarti terbakar; pengekangan; pemanasan; menyusahkan;
matahari; musim yang panas; penebusan dosa. Terminologi lain
terkait dengan kata tapa, yakni: 1) Tapas artinya panas; sakit;
penebusan dosa; jasa; tugas khusus tentang segala kasta/suku
bangsa tertentu; salah satu dari tujuh dunia.; Bulan Magha., 2)
Tapasvarana, tapasvarya artinya praktek penebusan dosa., 3)
Tapasya artinya praktik penebusan dosa., 4) Tapasvin berarti
praktek kesederhanaan/sifat keras religius; tanpa pengharapan.

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 157
dalam Slokantara

Tapa memiliki makna yang sangat penting bagi umat Hindu dan
manusia pada umumnya. Mengapa demikian, sebab telah dijelaskan
dalam pustaka Weda, bahwa tapa dapat melepaskan manusia dari
belenggu kesengsaraan material dan mengantarkannya menuju
kedamaian abadi. Dijelaskan dalam Bhagawad-gita 5.29, yakni:

Bhoktāraṁ yajña-tapasāṁ sarva-loka-maheśvaram, suhṛdaṁ
sarva-bhūtānāṁ jñātvā māṁ śāntim ṛcchati

Terjemahan:

Orang yang sadar kepada-Ku sepenuhnya, karena ia mengenal
Aku sebagai penerima utama segala korban suci dan
“pertapaan”, Tuhan Yang Maha Esa penguasa semua planet dan
Deva, dan penolong yang mengharapkan kesejahteraan semua
makhluk hidup, akan mencapai kedamaian dari penderitaan
kesengsaraan material (Prabhupada, 2006:301-302)

Ajaran mengenai tapa (pengendalian diri), banyak dijumpai
dalam Kepustakaan Weda, di antaranya adalah:

Yama, Yogasutra Patanjali (II.30) membagi, yama atas 5 bagian,
yaitu:

Ahimsa satyasteya brahmacaryaparigraha yamah

Terjemahan:

Ahimsa, satya, asteya, brahmacari, aparigraha, semuanya ini
adalah yama.

Selanjutnya, kelima bagian dari yama tersebut akan dijelaskan
sebagai berikut:

1. Ahimsa
Ahimsa artinya tidak membunuh-bunuh, tetapi juga

bermakna tidak menyakiti. Ahimsa merupakan hal pertama
yang harus dilakukan sebelum lebih jauh menghayati yoga.
Mengapa ahimsa menjadi yang pertama? Hal tersebut tiada lain
karena peradaban Weda (Hindu) menjunjung tinggi dharma.

158 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Inti dari pelaksanaan dharma adalah susila atau perilaku yang
baik, yang tidak menyakiti, merugikan atau bahkan meniadakan
makhluk yang lain.

Sivananda(2003:65)menyatakanbahwatanpake-susila-an,
manusia tidak memiliki kemampuan dalam jalan spiritualitas.
Susila merupakan fondasi dari yoga. Susila merupakan pintu
gerbang menuju relitas Tuhan.

Dalam Sārasamuccaya 141 dan 146 dinyatakan:

Hana mara wwang mangke kramanya, tapwan pagawe
parikleṣa ring prāṇī, tan pangapusi, tan pamāti, kewala
sānukhana ring prāṇī tapwa ginwenya, ya ika singgah

amanggih paramasukha ngaranya.

Terjemahan:

Adalah orang yang perilakunya demikian, sekali-kali tidak
pernah menyakiti makhluk lain, tidak mengikatnya, tidak
membunuhnya, melainkan hanya menyenangkan makhluk
lain, itulah yang diperbuatnya, orang yang demikian itu
dianggap memperoleh kebahagiaan yang tertinggi (Kajeng,
1999:115).

Apan tan hana lwih sangkeng prāña ngaranya, nghing
hurip mūlya ring tri loka, matangnyan māsiha juga
juga ngwang, sāsihning ngwang māwak, mangkana
asihaningwan ring len.

Terjemahan:

Sebab tidak ada sesuatu yang kiranya lebih utama dari pada
hidup, hanya hidup yang berharga tinggi di dalam tri loka,
oleh karena itu hendaklah orang selalu menunjukkan cinta
kasihnya, sebab cinta kasihnya terhadap dirinya; demikian
hendaknya cinta kasih orang kepada orang lain (Kajeng,
1999:118-119).

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 159
dalam Slokantara

Tentang ahimsa ini, Mahatma Gandhi pernah berpesan
kepada para mahasiswa dan generasi muda Hindu, dalam to
student:

Peradaban kita memberitahu kita dengan kepastian yang
berani bahwa pelaksanaan ahimsa yang sempurna dan
pantas yang dalam bentuknya yang aktif berarti cinta dan
welas asih yang paling murni, membawa seluruh dunia ke
bawah kaki kita. Pengarang dari penemuan ini memberikan
banyak ilustrasi yang membuat kita makin yakin akan
ahimsa. Ujilah hasilnya dalam kehidupan politik. Tidak
ada hadiah dan anugerah yang demikian berharga dari
pustaka suci kita seperti halnya anugerah kehidupan.
Pertimbangkan bagaimana jadinya hubungan kita dengan
penguasa kita bila kita memberikan keamanan mutlak
dari hidup kita kepada mereka. Kalau saja mereka dapat
merasakan, tidak soal apa yang mungkin kita rasakan
tentang perbuatan mereka, kita akan menganggap tubuh
mereka sama sucinya dengan tubuh kita, di sana akan segera
muncul satu suasana saling percaya, dan di situ akan ada
kejujuran pada masing-masing pihak yang akan membuat
jalan bagi solusi yang adil dan terhormat bagi banyak
masalah yang mengkhawatirkan kita Devasa ini. Harus di
ingat bahwa mempraktikkan ahimsa, tidak perlu ada balas
dendam, sebagai suatu kenyataan, dalam tahapnya yang
terakhir ahimsa menguasai keinginan untuk balas dendam.
Banyak dari kita percaya, dan saya satu dari antara mereka,
bahwa melalui peradaban kita, kita memiliki satu pesan
untuk disampaikan kepada dunia (Gandhi, 1999: 94).

Demikian Gandhi berpesan. Cinta dan welas asih merupakan
perwujudan ahimsa yang paling murni dan sempurna. Ahimsa
adalah tentang bagaimana melihat dan memperlakukan orang
lain sebagai diri kita sendiri, sehingga tak ada alasan untuk
berbuat yang buruk pada orang lain. Dengan demikian akan

160 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

menciptakan rasa saling percaya, jujur, rasa hormat, cinta kasih
yang berujung terciptanya keharmonisan.

2. Satya
Artinya setia, benar. Kata satya atau satyam berasal dari

Bahasa Sanskerta yang artinya kejujuran atau kebenaran
(Surada, 2007:292). Dalam Sārasamuccaya 130 dikatakan
bahwa satya merupakan dharma yang utama, adapun sebagai
berikut:

Yan ring janma mānusa, brāhmana sira lwih, kunāng yan

ring teja, sang hyang āditya sira lwih, yan ring awayawa,

nāng pānipādādi, hulu ikang wiṣeṣa, yapwan ring dharma,

nghing kasatyan wiṣeṣa.

Terjemahan:

Maka diantara yang dilahirkan sebagai manusia,
brahmanalah yang utama; diantara yang bersinar, matahari
itulah yang utama; mengenai anggota-anggota tubuh,
seperti tangan, kaki dan lain-lain, kepalalah yang utama,
jika dharma, maka satya (kebenaran) yang mengatasi
keseluruhan (Kajeng, 1999:106-107).

Sloka di atas menegaskan bahwa tak ada dharma bila telah
menerabas nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Bagaimana
mungkin ada dharma bila dalam ucapan terdapat kebohongan
dan tindakan yang melenceng dari kebenaran. Pertanyaannya
kemudian adalah, mengapa harus satya, mengapa harus
dharma? sebab dharma, satyalah yang akan mengantarkan
manusia dalam kebaikan, surga. Demikian yang terurai dalam
Sārasamuccaya 14, yakni:

Ikang dharma ngaranya, hȇnuning mara ring swarga ika
kadi gatining parahu, an henuning baṇyaga nȇntasing tasik.

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 161
dalam Slokantara

Terjemahan:

Yang disebut dharma adalah merupakan jalan untuk pergi
ke sorga; sebagai halnya perahu, sesungguhnya adalah
merupakan alat bagi orang dagang untuk mengarungi
lautan (Kajeng,1999:16).

Satya (kejujuran, kebenaran) adalah sifat yang selalu
dituntutolehorang-orangbaikbudikepadasemuaorang,karena
sifat-sifat itu akan membawa manusia pada ketenangan. Bila
seseorang hendak mewujudkan sifat-sifat keDewataan dalam
dirinya, maka satya mutlak dilaksanakannya secara sungguh-
sungguh, karena sesungguhnya Tuhan itu adalah kebenaran.
Hanya hidup dalam satya seseorang dapat melakukan satya.
Sebab Tuhan itu adalah kebenaran, maka Ia hanya dijumpai
dalam kebenaran (Sura, 1985:51).

3. Asteya
Artinya tidak mencuri. Tindakan mencuri telah ada dari

jaman dahulu kala. Sejak jaman itu pula perbuatan ini dicela
orang dan dihukum pula, sebab hal tersebut mengakibatkan
kesengsaraan dan kesedihan, baik bagi yang mencuri maupun
bagi korban pencurian. Fenomena ini patut untuk kita kaji
bersama sebagai media refleksi diri. Dikatakan bahwa mencuri
itu dicela, dilarang dan dianggap burung oleh semua orang,
tapi mengapa mencuri tidak pernah berhenti. mengapa?

Perbuatan-perbuatan asusila itu tidak lain disebabkan oleh
nafsu yang berkuasa yang ada dalam diri manusia itu sendiri.
Nafsu yang tidak terkendali kemudian melahirkan tindakan-
tindakan yang salah dan jahat. Dalam Sārasamuccaya 105-106,
dijelaskan:

Kunang ikang wwang kakawaṣā dening krodhanya,

niyata gumawe ulah pāpa, makantang wȇnang amātyani

guru, wȇnang ta ya tumiraskara sang sadhu, tumȇke sira

paruṣawacana.

162 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Terjemahan:

Maka orang yang dikuasai nafsu murkanya, tak dapat tidak
niscaya ia melakukan perbuatan jahat, sampai akhirnya
dapat membunuh guru, dan sanggup ia menunu hati
seorang yang saleh, yaitu menyerang akan dia dengan kata-
kata (Kajeng, 1999:87).

Lawan lwirning kakawaṣā dening krodha, tan wruh juga ya
ri salah kȇnaning ujar, tātan wruh ya ring ulah larangan,
lawan adharma, wȇnang umajarakȇn ikang tan yukti
wuwusakȇna.

Terjemahan:

Tambahan pula orang yang dikuasai hawa nafsu murka,
sekali-kali tidak tahu akan perkataan yang keliru dan
yang benar, sekali-kali mereka tidak mengenal perbuatan
yang terlarang dan yang menyalahi dharma serta sanggup
mereka mengatakan sesuatu yang tidak layak untuk
dikatakan (Kajeng, 1999:87).

Dalam Bhagawad-gita III.37, juga dijelaskan bahwa nafsu
itu bersifat merusak, penuh dosa dan musuh bagi dunia.
Penjelasannya sebagai berikut:

Kāma eṣa krodha eṣa rajo-guṇa-samudbhavaḥ, mahāśano
mahā-pāpmā viddhy enam iha vairiṇam

Terjemahan:

Itu adalah nafsu, amarah yang lahir dari rajaguna; sangat
merusak, penuh dosa, ketahuilah bahwa keduanya ini
adalah musuh yang ada di bumi ini (Pudja, 1999:100).

Begitu besarnya pengaruh nafsu yang menguasai diri
manusia. Tidak hanya merugikan bagi diri sendiri tetapi juga
orang lain yang menjadi korbannya. Pastilah akan merasa
berduka dan bersedih hati karena kehilangan sesuatu yang

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 163
dalam Slokantara

sangat dicintainya. Oleh sebab itu, dalam Sārasamuccaya 149,
dikatakan bahwa, mencuri tidak hanya merampas dharma
seseorang itu, tetapi juga artha dan kama juga. Bila dharma
telah terampas sirna, mana mungkin ada moksa, bahkan surga
saja tidak mungkin.

Yapwan mangke kraman ikang wwang, angalap māsning

mamās, makapanghada kaṣaktinya, kwehning hambanya,

tātan mās nika juga inalap nika, apa pwa dharma, artha,

kāma, nika milu kālap denika.

Terjemahan:

Jika ada orang yang merampas kekayaan orang lain dengan
berpegang kepada kekuatan dan banyak pengikutnya,
malahan bukan harga kekayaan hasil curiannya saja yang
terampas darinya, tetapi juga dharma, artha dan kamanya
itu turut terampas oleh karena perbuatannya (Kajeng,
1999:121).

4. Brahmacari
Artinya pantang hubungan kelamin. Bagi orang yang hendak

mengabdikan diri dalam hidup kebenaran atau kesucian diri,
suci pikiran, kata-kata, perbuatan, maka ia harus hidup sebagai
seorang brahmacari. Demikian ajaran yoga. Hal ini terutama
ditujukan kepada seorang yogi, orang yang sepenuhnya
mengikhlaskan hidupnya mengabdikan diri kepada Tuhan.
Untuk melaksanakan ajaran yoga itu orang memerlukan
tenaga-tenaga yang tersimpan dalam diri. Orang mempunyai
dua aspek yaitu aspek yang tidak halus dan aspek yang halus.
Aspek yang tidak halus itu adalah tenaga asmara yang selalu
menampakkan dirinya melalui indriya. Aspek yang halus
ialah tenaga rohani yang cenderung mengantar orang pada
kesadaran. Seorang yoga mengubah tenaga asmara menjadi
ojassakti, tenaga yang bercahaya terang yang mengantarkannya

164 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

ke dalam samadhi yang dalam. Ini merupakan pengendalian
diri yang luar biasa (Sura, 1985:52).

5. Aparigraha artinya tidak menerima, tidak loba.
Aparigraha adalah tidak menerima, tidak loba, atau tidak

menerima sesuatu dalam jumlah yang berlebih-lebihan.
Artinya seseorang hendaknya menerima sesuatu seperlunya
saja untuk menunjang kelangsungan hidup, sesuai dengan
kebutuhannya. Dalam Bhagawad-gita 14.17, dijelaskan bahwa:

Sattvāt sañjāyate jñānaṁ rajaso lobha eva ca, pramāda-
mohau tamaso bhavato ‘jñānam eva ca

Terjemahan:

Pengetahuan yang sejati berkembang dari sifat yang sejati
berkembang dari sifat kebaikan; loba berkembang dari
sifat nafsu; dan kegiatan yang bukan-bukan, sifat gila dan
khayalan berkembang dari sifat kebodohan (Prabhupada,
2006:693).

Dari sloka Bhagawad-gita tersebut jelas bahwa ketamakan
atau loba itu bersumber dari nafsu. Sedangkan nafsu
sendiri bersifat merusak dan penuh dosa. Oleh sebab itu Sri
Krsna menasihati Arjuna dalam Bhagwad-gita 3.41, untuk
mengendalikan indriyanya dan membasmi nafsu yang ada di
dalam diri. Demikian penjelasannya:

Tasmāt tvam indriyāṇy ādau niyamya bharatarṣabha,
pāpmānaṁ prajahi hy enam jñāna-vijñāna-nāśanam

Terjemahan:

Dari itu, pertama-tama kendalikanlah panca indramu
dan basmilah nafsu yang penuh dosa, perusak segala
pengetahuan dan kebajikan, wahai Arjuna yang baik (Pudja,
1999:102-3).

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 165
dalam Slokantara

Itulah alasan mengapa sifat loba atau tamak itu perlu
dikendalikan sebisa mungkin. Karena hanya akibat buruk
saja yang akan diperoleh bagi yang tamak hatinya, tak ada
sedikitpun bahkan perihal baik yang akan diterima orang
tersebut.

Niyama, merupakan tahap kedua ajaran yoga, yang terdiri
atas lima bagian sebagaimana yang dijelaskan dalam Yogasutra
Patanjali II.32, yaitu:

Sauca santosa tapah svadhyayesvarapranidhana niyama

Terjemahan:

Sauca, santosa, tapa, swadhyaya dan isvarapranidhana,
semuanya ini adalah niyama.

Penjelasan kelima bagian niyama adalah:

1. Sauca
Artinya suci lahir bathin. Untuk memperoleh kesucian itu

diperoleh melalui pertapaan yang ketat. Dengan demikian pen-
gendalian diri harus meliputi tingkatan lahir dan bathin agar
benar-benar tercipta kesucian dalam tingkatan lahir maupun
bathin. Sārasamuccaya sloka 74-76, dijelaskan mengenai be-
berapa praktek pertapaan yang memungkinkan untuk mela-
hirkan kesucian lahir dan bathin manusia dan membimbing
manusia pada tingkat kerohanian yang lebih maju, yakni:

Prawṛttyaning manah rumuhun ajarakȇna, tȇlu kwehnya,
praktyekanya, si tan engin adȇngkya ri drbyaning len, si
tan krodha, ring sarwa sattwa, si mamituhwa ri hana ning
karmaphala, nahan tang tiga ulahaning manah, kahrtaning

indriya ika.

Terjemahan:

Tindakan dari gerak pikiran terlebih dulu akan dibicarakan,
tiga banyaknya, perinciannya: tidak ingin dan dengki pada
kepunyaan orang lain, tidak bersikap gemas kepada segala

166 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

makhluk, percaya akan kebenaran ajaran karmaphala, itulah
ketiganya perilaku pikiran yang merupakan pengendalian
hawa nafsu (Kajeng, 1999:62).

Nyang tanpa prawrttyaning wāk, pāt kwehnya,
pratyekanya, ujar ahala, ujar aprgas, ujar picuna,
ujar mithyā, nahan tang pāt singgahananing wāk, tan

ujarakena, tan angȇna-angȇnan, kojaranya

Terjemahan:

Inilah yang tidak patut timbul dari kata-kata, empat
banyaknya, yaitu perkataan jahat, perkataan kasar
menghardik, perkataan memfitnah, perkataan bohong (tak
dapat dipercaya); itulah keempat harus disingkirkan dari
perkataan, jangan diucapkan, jangan dipikir-pikir akan
diucapkan (Kajeng, 1999:62-63).

Nihan yang tan ulahakȇna, syamātimāti mangahalahal, si
paradāra, nahan tang tȇlu tan ulahakena ring asing ring
parihāsa, ring āpatkāla, ri pangipyan tuwi singgahana

jugeka.

Terjemahan:

Inilah yang tidak patut dilakukan: membunuh, mencuri,
berbuat zina; ketiganya itu jangan hendaknya dilakukan
terhadap siapapun, baik secara berolok-olok, bersenda
gurau, baik dalam keadaan dirundung malang, keadaan
darurat dalam khayalan sekalipun, hendaknya dihindari
saja ketiganya itu (Kajeng, 1999:63).

Demikianlah yang dijelaskan Sārasamuccaya mengenai
tindakan yang perlu dijaga dengan baik, yang meliputi laksana,
kata-kata dan pikiran. Bila tindakan dari ketiga hal tersebut
mampu dijaga dengan sebaik mungkin, niscaya akan tercapai
kesucian baik itu lahir maupun bathin.

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 167
dalam Slokantara

2. Santosa
Artinya kepuasan. Santosa tidak diartikan sebagai

mengumbar keinginan, kepuasan indriya atau nafsu, melainkan
perasaan bahagia atas apa yang telah diperolehnya secara
wajar, tidak berlebih-lebihan. Rasa puas dalam hal ini adalah
perasaan puas diri yang akan membimbing manusia pada hal-
hal yang bersifat kerohanian atau kesadaran rohani. Dalam
Bhagawad-gita sloka 4.20-23, telah diberikan pemahaman
mengenai kepuasan sebagai mana yang dimaksudkan dalam
santosa, yakni:

Tyaktvā karma-phalāsaṅgaṁ nitya-trpto nirāśrayaḥ,
karmaṇy abhipravṛtto ‘pi naiva kiñcit karoti saḥ

Terjemahan:

Dengan melepaskan segala ikatan terhadap segala hasil
kegiatannya, selalu puas dan bebas, dia tidak melakukan
perbuatan apapun yang dimaksudkan untuk membuahkan
hasil atau pahala, walaupun ia sibuk dalam segala jenis
usaha (Prabhupada, 2006:242).

Nirāśīr yata-cittātmā tyakta-sarva-parigrahaḥ, śārīraṁ
kevalaṁ karma kurvan nāpnoti kilbiṣam

Terjemahan:

Orang yang mengerti bertindak dengan pikiran
dan kecerdasan dikendalikan secara sempurna. Ia
meninggalkan segala rasa memiliki harta bendanya dan
hanya bertindak untuk kebutuhan dasar hidup. Bekerja
dengan cara seperti itu, ia tidak dipengaruhi oleh reaksi-
reaksi dosa (Prabhupada, 2006:243).

Yadṛcchā-lābha-santuṣṭo dvandvātīto vimatsaraḥ, samaḥ
siddhāv asiddhau ca kṛtvāpi na nibadhyate

168 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Terjemahan:

Orang yang puas dengan keuntungan yang datang dengan
sendirinya, bebas dari hal-hal relatif, tidak iri hati, dan
mantap baik dalam sukses maupun kegagalan, tidak pernah
terikat, walaupun ia melakukan perbuatan (Prabhupada,
2006:244).

Gata-saṅgasya muktasya jñānāvasthita-cetasaḥ,
yajñāyacarataḥ karma samagraṁ pravilīyate

Terjemahan:

Pekerjaan orang yang tidak terikat kepada sifat-sifat alam
material dan mantap sepenuhnya dalam pengetahuan
rohani menunggal sepenuhnya ke dalam kerohanian
(Prabhupada, 2006:245).

3. Tapa
Tapa artinya pengekangan diri. Bhagawad-gita sloka 17.14-

16, menjelaskan beberapa jenis pertapaan yang memungkinkan
terciptanya kesucian lahir dan bathin manusia, sebagai berikut:

Deva-dvija-guru-prājña pūjanaṁ śaucam ārjavam,
brahmacaryam ahiṁsā ca śārīraṁ tapa ucyate

Terjemahan:

Pertapaan jasmani terdiri dari sembahyang kepada Tuhan
Yang Maha Esa, para brahmana, guru kerohanian dan atasan
seperti ayah dan ibu, dan kebersihan, kesederhanaan,
berpantang hubungan suami isteri dan tidak melakukan
kekerasan (Prabhupada, 2006:776).

Anudvega-karaṁ vākyaṁ satyaṁ priya-hitaṁ ca yat,
svādhyāyābhyasanaṁ caiva vāṅ-mayaṁ tapa ucyate

Terjemahan:

Pertapaan suara terdiri dari mengeluarkan kata-kata yang
jujur, menyenangkan, bermanfaat, dan tidak mengganggu

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 169
dalam Slokantara

orang lain, dan juga membacakan kesusastraan Weda
secara teratur (Prabhupada, 2006:777).

Manaḥ-prasādah saumyatvaṁ maunam ātma-vinigrahaḥ,
bhāva-saṁśuddhir ity etat tapo mānasam ucyate

Terjemahan:

Kepuasan, kesederhanaan, sikap yang serius, mengen-
dalikan diri dan menyucikan kehidupan adalah pertapaan
pikiran (Prabhupada, 2006:778).

4. Swadhyaya
Swadhyaya artinya belajar. Dalam hubungannya dengan

ajaran yoga, Swadhyaya berati belajar kitab-kitab suci, kitab-
kitab sumber ilmu pengetahuan suci sumber ajaran-ajaran
agama yang menuntun orang hidup suci dan tenteram
(pengetahuan kerohanian). Karena dengan pengetahuan
itulah manusia mampu menolong dirinya dari kesengsaraan
hidupnya. Demikian yang dijelaskan dalam Bhagawad-gita
sloka 4.38 dan 4.36:

Na hi jñānena sadṛśaṁ pavitram iha vidyate, tat svayaṁ
yoga-saṁsiddhaḥ kālenātmani vindati

Terjemahan:

Di dunia ini, tiada sesuatupun yang semulia dan
sesuci pengetahuan yang melampaui hal-hal duniawi.
Pengetahuan seperti itu adalah buah matang dari segala
kebatinan. Orang yang sudah ahli dalam latihan bhakti
menikmati pengetahuan ini dalam dirinya sesudah
beberapa waktu (Prabhupada, 2006:263).

Api ced asi pāpebhyaḥ sarvebhyaḥ pāpa-kṛt-tamaḥ, sarvaṁ
jñāna-plavenaiva vṛjinaṁ santariṣyasi

170 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Terjemahan:

Walaupun engkau dianggap sebagai orang yang paling
berdosa di antara semua orang yang berdosa, namun
apabila engkau berada di dalam kapal pengetahuan rohani,
engkau akan dapat menyeberangi lautan kesengsaraan
(Prabhupada, 2006:261).

5. Isvarapranidhana
Isvarapranidhana artinya bhakti kepada Tuhan. Bhakti

yoga merupakan metode pemujaan Tuhan bagi mereka yang
mencari penyatuan melalui cinta kasih . Jalan ini merupakan
kasih sayang yang mendalam kepada Tuhan, yang merupakan
jalan kepatuhan atau bhakti.

Sivananda (2003:133-134) menyatakan bahwa Tuhan
adalah pengejawantahan dari kasih sayang dan setiap insan
akan dapat mencapai-Nya dengan mencintai-Nya. Cinta kasih
kepada Tuhan harus senantiasa diusahakan. Mereka yang
mencintai Tuhan tak memiliki keinginan ataupun kesedihan.
Ia tak pernah membenci makhluk atau benda apapun, dan tak
pernah tertarik dengan objek-objek duniawi. Ia merangkul
semuanya ke dalam dekapan hangat kasih sayangnya. Kama
(keinginan duniawi) dan trsna (kerinduan) merupakan musuh
dari rasa bhakti. Selama ada jejak-jejak keinginan dalam pikiran
terhadap objek duniawi, kita tak pernah memiliki kerinduan
yang mendalam terhadap Tuhan.

Bhagawad-gita sloka 5.12 dan sloka 2.51, menjelaskan
mengenai manfaat pelaksanaan bhakti yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh, sebagai berikut:

Yuktaḥ karma-phalaṁ tyaktvā śāntim āpnoti naiṣṭhikim,

ayuktaḥ kāma-kāreṇa phale sakto nibadhyate

Terjemahan:
Orang yang berbhakti secara mantap mencapai kedamaian
yang murni karena dia mempersembahkan hasil segala

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 171
dalam Slokantara

kegiatan kepada-Ku; sedangkan orang yang tidak bergabung
dengan Yang Mahasuci, dan kelobaan untuk mendapat hasil
dari pekerjaannya, menjadi terikat (Prabupada, 2006:282).

Karma-jaṁ buddhi-yukta hi phalaṁ tyaktvā manīṣiṇaḥ,

janma-bandha-vinirmuktāḥ padaṁ gacchanty anāmayam

Terjemahan:

Dengan menekuni bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa
seperti itu, resi-resi yang mulia dan penyembah-penyembah
membebaskan diri dari hasil pekerjaan di dunia material.
Dengan cara demikian mereka dibebaskan dari perputaran
kelahiran dan kematian dan mencapai keadaan di luar
segala kesengsaraan (dengan kembali kepada Tuhan Yang
Maha Esa) (Prabupada, 2006:137).

Seperti yang telah dijelaskan dalam sloka di atas bahwa,
bhakti memiliki manfaat yang sangat besar dalam rangka
mendekatkan diri manusia kepada dunia rohani dan Tuhan.
Bhakti menjauhkan manusia dari sifat-sifat buruk seperti
ketamakan hati, karena dia tidak pernah berhasrat akan buah
dari perbuatannya. Tujuan utama dari setiap tindakannya
adalah semata-mata untuk mempersembahkan kepada Tuhan,
ingin memberikan pelayanan yang terbaik kepada Tuhan.
Membangun relasi cinta kasih dengan Tuhan sebagai sumber
kebahagiaan abadi. Bhakti juga menciptakan kedamaian yang
paling murni yang senantiasa diharapkan manusia dalam
hidupnya. Dan pelaksanaan bhakti secara murni dan serius
akan membebaskan manusia dari kesengsaraan hidup dan
memutuskan rantai kelahiran kematian dan kembali kepada
Tuhan.

Pelaku-pelaku bhakti tidak senantiasa bertujuan untuk
tujuan yang paling murni, yaitu sebagai sujud bhakti kepada
Tuhan, dan Tuhan sebagai tujuan utamanya. Oleh sebab itu,
Sri Krsna mengidentifikasi bhakti dalam empat kategori yang

172 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

kesemuanya memiliki motivasi-motivasi yang bersifat material,
sehingga keempat jenis orang ini belum benar-benar sebagai
bhakta yang murni. Adapun penjelasan mengenai tipe-tipe
bhakti itu diuraikan dalam Bhagavad gītā sloka 7.16, sebagai
berikut:

Catur-vidhā bhajante māṁ janāḥ sukṛtino ‘rjuna, ārto

jijñasur arthārthi jñāni ca bharatarṣabha

Terjemahan:

O Yang paling baik di antara para Bharata, empat jenis orang
saleh mulai ber-bhakti kepada-Ku-orang yang berduka cita,
orang yang menginginkan kekayaan, orang yang ingin tahu,
dan orang yang mencari pengetahuan tentang yang mutlak
(Prabupada, 2006:386).

Jadi orang-orang yang menjalankan bhakti dikategorikan
dalam empat jenis, yaitu: 1) Bhakti karena sedang dilanda
duka cita; 2) Bhakti karena menginginkan kekayaan; 3)
Bhakti karena semata-mata ingin tahu; dan 4) Orang yang
mencari pengetahuan tentang yang mutlak. Demikian Sri
Krsna menjelaskannya kepada Arjuna. Mengenai hal Swami
Prabhupada (2006:387) memberikan ulasan bahwa , keempat
jenis orang tersebut belum benar-benar menjadi penyembah
yang murni, sebab mereka mempunyai cita-cita yang harus
dipenuhi sebagai balasan bhakti. Bhakti yang murni bebas dari
cita-cita dan bebas dari keinginan untuk mendapat keuntungan
material. Selanjutnya, Prabhupada mengutip sloka dari Bhakti-
rasamrta-sindhu 1.1.11, bhakti yang murni diuraikan sebagai
berikut:

Anyābhilāṣitā-śūnyaṁ jñāna-karmādy-anāvṛtam,

ānukūlyena kṛṣṇānu śīlanaṁ bhaktir uttamā

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 173
dalam Slokantara

Terjemahan:

Orang haru melakukan cinta bhakti rohani kepada Tuhan
Yang Maha Esa, Krsna dengan cara yang menguntungkan
dan bebas dari keinginan untuk laba material melalui
kegiatan yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil
atau angan-angan filsafat. Itulah yang disebut bhakti yang
murni.

Demikian penjelasan dari Bhakti-rasamrta-sindhu
mengenai bhakti yang murni yang akan membawa manusia
menuju pada dunia rohani dan Tuhan. Penjelasan mengenai
kemurnian bhakti juga dijelaskan dalam Sri Krsna dalam
Bhagavad gītā sloka 7.17, sebagai berikut:

Teṣām jñāni nitya-yukta eka-bhaktir viśiṣyate, priyo hi

jnanino ‘tyartham ahaṁ sa ca mama priyaḥ

Terjemahan:

Di antara orang tersebut, orang yang memiliki pengetahuan
sepenuhnya dan selalu tekun dalam bhakti yang murni
adalah yang paling baik. Sebab dia sangat mencintai-Ku
dan Aku sangat mencintainya (Prabupada, 2006:388).

Demikian Sri Krsna menjelaskan kepada Arjuna, bahwa
bhakti yang murni, yang menyerahkan dan mempersembahkan
semua kepada Tuhan sebagai cara bhakti yang paling
baik, karena tidak ada lagi hasrat ataupun keinginan yang
diharapkan.

4.9. Dasa Mala
Ślokāntara, sloka 72 (84 Paragraf 2)

Nihan ambĕk daśa-mala nga, tan yogya ulahakna, lwirnya,
tandrī, kleda, lĕja, kuhaka, metraya, mĕgata, rāga-strī, kuṭila,
bhaksa-bhuwana, (kimburu). Tandrī ng wwang sungkanān,
lĕson balĕbĕh sĕmpĕnĕh adoh ing rahayu, anghing hala juga

174 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

kaharĕpnya. Kleda ng ambĕk angĕlĕm-ĕlĕm, merangan maring

harĕp, tan katĕkan pinakĕanya. Lĕja nga ambĕk Tamah, agöng

tṛṣṇa, agöng lulut asih, maring hala. Kuṭila nga parachidra, pesta

peda ring kawĕlas asih, pramāda pracala, nor ana wwang den

keringi. Kuhaka nga ambĕk krodha, agöng runtik, capalaśabda,

banggaporaka. Metraya nga bisāgawe ujar mahala, sikara-

dumikara, wiwiki-wiweka, sapa kadi sira, botārsa rabi ning

arabi, tan hana ulahnya rahayu, yan mĕtu śabdanyārūm amanis

anghing hala ri dalĕm, tan papilih buddhi cawuh, kāla ri hatinya

purikan. Rāga-strī nga bahud lañji wawadonĕn, rambang panon,

bhaksa-bhuwana aṇḍĕṇḍa sasama ning tumuwuh, akirya ring

wwang sādhu, ardeng pangan inum, hangkāra śabda prĕngkang.

Kimburu nga anghing gawene akirya-kirya drĕwĕ ning wwang

sādhu, tan papilih, nor kadang-sanak-mitra, yata memet drĕwĕ

ning sang wiku, mangkana krama ning daśa-mala, tan rahayu.

Terjemahan:

Sekarang lihatlah daftar-daftar yang tidak suci yang tidak pantas
dituruti. Semuanya ada sepuluh, yaitu: Tandri, Kleda, Leja,
Kuhaka, Metraya, Megata, Raga-stri, Kutila, Bhaksabhuwana,
dan Kimburu.
Tandri yaitu orang yang malas, lemah, suka makan dan tidur
saja, enggan bekerja, tidak tulus, dan hanya ingin melakukan
kejahatan. Kleda artinya suka menunda-nunda, pikiran buntu,
dan tidak mengerti apa sebenarnya maksud-maksud orang
lain. Leja artinya pikiran selalu diliputi kegelapan (tamasika)
bernafsu besar. Ingin segala dan gembira jika melakukan
kejahatan. Kutila artinya menyakiti orang lain, menyiksa,
menyakiti orang miskin dan malang, pemabuk, dan penipu.
Tidak seorang pun berkawan baik terhadapnya. Kuhaka
artinya orang pemarah selalu mencari-cari kesalahan orang
lain, berkata, asal berkata dan sangat keras kepala. Metraya,
yaitu orang yang hanya dapat berkata kasar, suka menyakiti
dan menyiksa orang lain, sombong pada diri sendiri. “siapa

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 175
dalam Slokantara

dapat menyamai aku?” pikirnya. Ia suka mengganggu dan
melarikan istri orang lain. Megata ialah tidak ada tingkahnya
yang dapat dipuji. Meskipun ia berkata atau kata-katanya
manis dan merendah tetapi dibalik lidahnya ada maksud jahat.
Ia tidak merasakan kejelekannya, berbuat jahat, menjauhi
susila. Ia kejam! Ragastri artinya suka memperkosa perempuan
baik-baik dan memandang mereka dengan mata penuh
nafsu. Bhaksabhuwana artinya orang yang suka membuat
orang lain melarat. Ia menipu orang jujur. Ia berfoya-foya dan
berpesta-pesta melewati batas. Ia sombong. Kata-katanya
selalu menyakiti telinga. Kimburu yaitu orang yang menipu
kepunyaan orang jujur. Ia tidak peduli apa mangsanya itu
keluarga, saudara atau kawan. Ia tidak segan mencoba mencuri
milik para pendeta. Inilah tingkah orang melakukan kesepuluh
dosa itu. Ini tidak bagus (Sudharta, 2003:238-241).

Kata dasa mala berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu ‘dasa’ yang
artinya sepuluh dan ‘mala’ yang artinya kotoran atau dosa (Surada,
2007:250). Jadi dasa mala berarti sepuluh kekotoran atau sepuluh
perbuatan dosa. Kesepuluh bagian dasa mala itu adalah:
1. Tandri artinya orang yang malas, lemah, suka makan dan tidur

saja, enggan bekerja, tidak tulus, dan hanya ingin melakukan
kejahatan.
2. Kleda artinya suka menunda-nunda, pikiran buntu, dan tidak
mengerti apa sebenarnya maksud-maksud orang lain.
3. Leja artinya pikiran selalu diliputi kegelapan (tamasika)
bernafsu besar. Ingin segala dan gembira jika melakukan
kejahatan.
4. Kuhaka artinya orang pemarah selalu mencari-cari kesalahan
orang lain, berkata, asal berkata dan sangat keras kepala.
5. Metraya artinya yaitu orang yang hanya dapat berkata kasar,
suka menyakiti dan menyiksa orang lain, sombong pada
diri sendiri. “siapa dapat menyamai aku?” pikirnya. Ia suka
mengganggu dan melarikan istri orang lain.

176 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

6. Megata artinya tidak ada tingkahnya yang dapat dipuji.
Meskipun ia berkata atau kata-katanya manis dan merendah
tetapi dibalik lidahnya ada maksud jahat. Ia tidak merasakan
kejelekannya, berbuat jahat, menjauhi susila. Ia kejam.

7. Raga-stri artinya suka memperkosa perempuan baik-baik dan
memandang mereka dengan mata penuh nafsu.

8. Kutila artinya menyakiti orang lain, menyiksa, menyakiti orang
miskin dan malang, pemabuk, dan penipu. Tidak seorang pun
berkawan baik terhadapnya.

9. Bhaksabhuwana artinya orang yang suka membuat orang lain
melarat. Ia menipu orang jujur. Ia berfoya-foya dan berpesta-
pesta melewati batas. Ia sombong. Kata-katanya selalu
menyakiti telinga.

10. Kimburu artinya orang yang menipu kepunyaan orang jujur. Ia
tidak peduli apa mangsanya itu keluarga, saudara atau kawan.
Ia tidak segan mencoba mencuri milik para pendeta.

Seluruh bagian dari dasa mala tersebut kiranya telah dimengerti
sebagai tindakan-tindakan yang tidak sejalan dengan dharma.
Perilaku-perilaku adharma biasanya disebabkan oleh nafsu
yang menguasai diri manusia atau orang-orang yang tidak dapat
mengendalikan nafsunya. Nafsu begitu jahat dan sangat merusak.
Karena nafsunya, manusia tidak lagi bisa membedakan mana
perbuatan yang baik dan tidak baik, yang patut dan tidak patut
dilakukan. Mata dan hati manusia yang telah dikuasai nafsu telah
terbutakan, tertutupi oleh hasrat yang menggebu. Demikian yang
dijelaskan dalam Sārasamuccaya sloka 105-106 dan Bhagavad gītā
III.37, yakni:

Kruddah pāpāni kurute kruddho hanyād gurūnapi, Kruddhah

parusayā vācā narah sādhūnapi kṣipet

Terjemahan:

Maka orang yang dikuasai nafsu murkanya, tak dapat tidak
niscaya ia melakukan perbuatan jahat, sampai akhirnya dapat
membunuh guru, dan sanggup ia menunu hati seorang yang

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 177
dalam Slokantara

saleh, yaitu menyerang akan dia dengan kata-kata (Kajeng,
1999:87).

Vācyāvācyam prakupito na vijānāti karhicit, Nākāryamasti
kruddasya nāvācyam vidyatae kvacit

Terjemahan:

Tambahan pula orang yang dikuasai hawa nafsu murka,
sekali-kali tidak tahu akan perkataan yang keliru dan yang
benar, sekali-kali mereka tidak mengenal perbuatan yang
terlarang dan yang menyalahi dharma serta sanggup mereka
mengatakan sesuatu yang tidak layak untuk dikatakan (Kajeng,
1999:87-88).

Kāma eṣa krodha eṣa rajo-guṇa-samudbhavaḥ, Mahāśano
mahā-pāpmā viddhy enam iha vairiṇam

Terjemahan:

Kepribadiaan Tuhan Yang Maha Esa bersabda: Wahai Arjuna,
hanya hawa nafsu saja; yang dilahirkan dari hubungan dengan
sifat nafsu material dan kemudian diubah menjadi amarah,
yang menjadi musuh dunia ini. Musuh itu penuh dosa dan
menelan segala sesuatu (Prabhupada, 2006:201-202).

Demikianlah yang disampaikan oleh pustaka suci Weda tentang
tindakan-tindakan jahat yang bersumber dari nafsu manusia
yang tidak terkendali. Sedangkan nafsu tersebut bersumber dari
rajaguna. Tentang keterkaitan nafsu dengan rajaguna diungkapkan
dalam Wrhaspatti Tattwa sloka 18, di sana dinyatakan bahwa
pengaruh rajaguna yang mendominasi diri pikiran bersifat sangat
jahat dan merusak. Demikian penjelasannya:

Ikang ambek krora, lawan ikang ulah krodha katatakut,
darpa ta ya sahasika yat panasbharan lobha, capalahasta,
capalapada, wakcapala, tan hana kasihnya, paleh-paleh

masiga, yeka laksana ning citta si rajah ngaranya.

178 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Terjemahan:

Kekejaman, keangkuhan, kekerasan, kegarangan, keserakahan,
ketidak-mantapan, kebengisan, dan kecerobohan adalah
sifat-sifat rajasa. Hati bersifat bengis, perilaku penuh amarah
dan menakutkan, angkuh dan suka kekerasan. Ia garang dan
serakah. Tangan, lidah dan kaki tidak tenang. Tidak ada yang
dicintai. Ia ceroboh dan kurang hati-hati. Itulah sifat-sifat
pikiran rajasa (Putra, 1998:16).

Dasa mala merupakan contoh konkret dari tindakan yang
bersumber dari nafsu, tindakan-tindakan dari kegagalan manusia
dalam mengendalikan nafsunya. Oleh sebab itu hendaknya apa
yang terjabarkan dalam dasa mala sebisa mungkin untuk tidak
dilaksanakan, walaupun itu dalam pikiran saja. Tetapi hendaknya
dijadikan sebagai refleksi diri, mulat sarira bagi kita sebelum
bertindak.

4.10. Nawa Wangsa

Ślokāntara, sloka 72 (84 Paragraf 3)

Nihan ambĕk nawa-sanga nga marapwan sira siddha rahayu,
lwirnya, andrayuga, guṇabhikṣama, (Sādhuniragṛha), widagdha
prasanna, wirotasādhāraṇa, kṛtarājahita, tyāga prasanna,
śūralaksana, śūra pratyayana, sanga kwehnya. Andrayuga
nga prajña ning dharmātutur, watĕk angaji, widagdha wruh
ring hala-hayu. Guṇabhikṣama nga sādhu sira ring artha ning
gusti, lumanglang sira ring pakewĕh, upekṣā sira rorowang,
anūt sakrama ning wwang akweh, enak de nira Krta rahayu.
Sādhuniragṛha nga sādhu sira ring wawadon, tan cĕkap
sira ring sama-sama wwang, Widagdha prasanna nga tan
mamangan sira ingaturan śabda tan yogya, tan sungsut purik
sira, prasannabuddhi nira enak. Wirotasādhārana nga wani tan
karahatan, (tan?) asor ing ujar, mrih ring nītī. Kṛtarājahita nga
wani asor, wruh ring Kuṭāra-mānawādi. Tyagaprasanna nga tan

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 179
dalam Slokantara

panĕngguh angel, yen ingutus dening gusti. Sūralakṣaṇa nga tan

anĕngguh wĕdi, enggal tan asuwe, śūrapratyayana nga bhakty

agusti, śūra-lakṣaṇa ring papĕrangan, sumangga ring pakewĕh,

rumakṣa ring gusti. Iti ambĕk nawangsa, kayatnākna kramanya,

sowang-sowang, rahayu dahat, yan kalakṣaṇan.

ARTI

Ini lagi perilaku yang dinamai nawasanga yang dapat
menyebabkan hidup kita menjadi bahagia yaitu: Andrayuga,
Gunabhiksama, Sadhuniraga, Widagdhaprasanna, Wirota-
sadharana, krtaraja-hita, Tyagaprasanna, Suralaksana, Sura-
pratyayana yang berjumlah sembilan itu.

Andrayuga artinya menguasai ajaran-ajaran dharma, segala
macam pengetahuan, bijaksana, dan tahu akan apa yang baik
dan apa yang buruk.

Gunabhiksama artinya jujur akan harta kepunyaan atasannya,
selalu dapat mengatasi segala kesukaran, tidak melibatkan diri
pada pertentangan-pertentangan yang timbul, seiring sehaluan
dengan kehendak umum dunia berbahagia, jika melakukan
kebajikan.

Sadhuniragrha artinya jujur terhadap wanita, dan tidak
menyakiti sesama manusia.

Widagdhaprasanna artinya tidak termakan oleh ucapan-
ucapan tidak benar yang ditujukan kepadanya, dan tidak
merasa marah atau sedih, selalu bahagia dan tenang pikirannya.

Wirotasadharana ialah keberaniannya tidak ada bandingannya,
tidak bisa kalah dalam perdebatan dan selalu memegang
keadilan hukum.

Krtarajahita artinya tidak segan-segan mengalah (kalau merasa
salah) dan memahami benar isi kitab hukum Kutaramanawa
dan lain-lainnya.

180 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Tyagaprasanna artinya tidak mengenal rasa lelah jika sedang
melakukan tugas yang dibebankan oleh atasannya.

Suralaksana artinya tidak mengenal rasa takut, selalu cepat
dan tidak lamban dalam bertindak.

Surapratyayana artinya hormat dan setia pada atasan, tidak
pernah mundur dari medan perang, tidak lari dari kesukaran,
tetap waspada dalam menjawab atasan.

Semua ini adalah perbuatan Nawasanga yang harus diusahakan
melakukannya satu demi satu sampai seluruhnya terlaksana
karena hal itu merupakan sesuatu yang sangat baik adanya jika
dapat dilaksanakan (Sudharta, 2003:239-242).

Nawasanga adalah sembilan tindakan atau perilaku yang dapat
menyebabkan hidup manusia menjadi bahagia. Adapun bagian-
bagiannya meliputi:
1. Andrayuga artinya menguasai ajaran-ajaran dharma, segala

macam pengetahuan, bijaksana, dan tahu akan apa yang baik
dan apa yang buruk.
2. Gunabhiksama artinya jujur akan harta kepunyaan atasannya,
selalu dapat mengatasi segala kesukaran, tidak melibatkan diri
pada pertentangan-pertentangan yang timbul, seiring sehaluan
dengan kehendak umum dunia berbahagia, jika melakukan
kebajikan.
3. Sadhuniraga artinya jujur terhadap wanita, dan tidak menyakiti
sesama manusia.
4. Widagdhaprasanna artinya tidak termakan oleh ucapan-
ucapan tidak benar yang ditujukan kepadanya, dan tidak
merasa marah atau sedih, selalu bahagia dan tenang pikirannya.
5. Wirotasadharana artinya keberaniannya tidak ada
bandingannya, tidak bisa kalah dalam perdebatan dan selalu
memegang keadilan hukum.
6. Krtaraja-hitaartinyatidaksegan-seganmengalah(kalaumerasa
salah) dan memahami benar isi kitab hukum Kutaramanawa
dan lain-lainnya.

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 181
dalam Slokantara

7. Tyagaprasanna artinya tidak mengenal rasa lelah jika sedang
melakukan tugas yang dibebankan oleh atasannya.

8. Suralaksana artinya tidak mengenal rasa takut, selalu cepat
dan tidak lamban dalam bertindak.

9. Sura-pratyayana artinya hormat dan setia pada atasan, tidak
pernah mundur dari medan perang, tidak lari dari kesukaran,
tetap waspada dalam menjawab atasan.

Berbeda dengan dasa mala yang harus tidak dilakukan, namun
dalam nawasanga ini mengajarkan sifat dan sikap yang harus
dilaksanakan, sebab apa yang dijabarkan dalam ajaran ini bersifat
baik, yang dapat menggentarkan manusia pada kebahagiaan hidup.

Dalam kepustakaan Weda dijelaskan bahwa sifat dan
perbuatan baik itu muncul dari satwika guna. Dalam Wrhaspati
Tattwa sloka 17, dijelaskan bahwa sifat-sifat dan tingkah laku yang
baik bersumber dari satvika guna. Dijelaskan sebagai berikut:

Ikang ambek duga-duga dredha, maso ta ya wruh ta ya ri

palenan ing wastu lawan maryada, wruh ta yeng isvaratattva,

widagdha ya, mamanis ta ya denyan pametwaken wuwusnya,

mahalep pindakarany awaknya, yeka laksana ning citta

satvika.

Terjemahan:

Kejujuran, kebebasan, kelembutan, kekuatan, keagungan,
ketangkasan, kehalusan dan keindahan adalah sifat-sifat
pikiran sattvika. Pikiran jujur dan teguh dapat membedakan
antara benda dan batas-batasnya, memiliki pengetahuan
tentang Isvaratattva, pandai menunjukkan kelembutan dalam
bicara, memiliki bentuk badan yang indah, merupakan sifat
pikiran satvika (Putra, 1998:16).

182 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Penjelasan lain mengenai hal ini juga dapat dijumpai dalam
Bhagavad gītā 14.6, yang menyatakan bahwa:

Tatra sattwaṁ nirmalatvāt prakāśakam anāmayam, sukha-
saṅgena badhnāti jñāna-saṅgena cānaga

Terjemahan:

Dari sini, sifat sattva memancar karena kesuciannya, tanpa
mengenal penderitaan, dengan belenggu kebahagiaan dan
ilmu pengetahuan, wahai yang tanpa dosa (Arjuna) (Pudja,
1999:344-345).

Dari sloka ini dapat dipahami bahwa, satwika guna
memancarkan kebajikan-kebajikan dalam diri manusia. Segala
tindakan apapun yang bersumber dari satwika guna senantiasa
penuh dengan kesucian, kejujuran, berdasarkan pengertian
kebenaran dan mengakibatkan kebahagiaan bagi semua makhluk.
Bahkan dalam sloka selanjutnya (Bhagavad gītā, 14.14) dinyatakan
bahwa orang yang senantiasa berbuat dalam pengaruh satwika
hingga ajal tiba, maka ia akan sampai pada alam tertinggi tanpa
cela. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

Yadā sattve pravṛddhe tu pralayaṁ yāti deha-bhṛt, tadottama-
vidāṁ lokān amalān pratipadyate

Terjemahan:

Tetapi apabila sattva bertambah pada saat menemui ajal, para
arif bijaksana mengetahui perginya ke alam tertinggi tanpa
cela (Pudja, 1999:349).

Uraian sloka tersebut menegaskan bahwa pelaksanaan
nawasanga sebagai bentuk tindakan-tindakan kebajikan meru-
pakan perbuatan yang hendaknya selalu untuk diupayakan dalam
kehidupan manusia setiap harinya. Sebab, hal tersebut akan
memberikan pengaruh baik tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi
juga mampu memberikan kebahagiaan bagi makhluk yang lain.

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 183
dalam Slokantara

4.11. Pataka

Ślokāntara, sloka 75 (69)

Bhrunahā Puruṣaghnaśca kanyācoro’grayājakaḥ, ajñāta-
sāmwatsarikaḥ pātakāḥ parikīrtitāḥ.

Kalinganya, brūṇahā ngaranya mamatyani rareng jro wĕtĕng.
Puruṣaghna ngaranya mamatyani Sang Puruṣa, rwa lwir ika
sang Puruṣa, ndya ta, yan hana wwang wīrya sugih wiśeṣa
ring deśa nira, yeka Puruṣa, dhanawān ngaranira, muwah
yan hana wwang bahu-śāstra, tan hana kapunggung ireng aji
tattwāgama, yeka Puruṣa śāstrawān ngaranira, kanyā-cora
ngaranya amaling ing rara larangan, agrayajaka ngaranya
alaky arabi manglumpati kaka, tan panūt krama ning akakāri,
ajñātasamwatsarika ngaranya masasawah salah māsa, yan
hana wwang mangkana, tibā ring kawah, dadi hitip ning niraya-
pada, ling sang hyang aji.

Terjemahan:

Orang yang menggugurkan kandungan, orang yang
melakukan pembunuhan, orang memperkosa gadis, orang
yang kawin sebelum saudara-saudaranya yang lebih tua,
orang yang tidak tahu masa baik untuk mengerjakan
sesuatu, ini semuanya termasuk orang-orang berdosa.

(Bhrunaha artinya membunuh bayi yang masih dalam
kandungan (menggugurkan). Purusaghna, yaitu melakukan
pembunuhan terhadap manusia lain. Ada dua macam manusia
yang dimaksud yaitu pertama, orang yang sangat berkuasa di
daerahnya itu karena harta. Orang demikian dinamai orang
hartawan. Kedua, ialah orang yang bahu-sastra artinya ia tak
lagi kekurangan ilmu pengetahuan. Ia dinamai sasatrawan.
Kunyacora artinya orang yang mencuri atau melarikan dengan
paksa seorang gadis perawan. Agrayajaka ialah seorang yang
kawin mendahului kakak laki atau kakak perempuannya. Ia

184 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

tidak mengindahkan hukum. Ajnata-samwatsarika artinya
orang menanam atau mengolah tanah di musim yang salah.
Semua orang-orang demikian itu masuk neraka. Ia hidup di
dasar Neraka Niraya.
Demikian ucap sastra agama) (Sudharta, 2003:252-253).

Nilai pendidikan Hindu yang diungkapkan Ślokāntara
berikutnya adalah mengenai pataka. Kata pataka berasal dari
bahasa Sanskerta yang artinya dosa (Surada, 2007:208). Istilah
pataka menunjukkan pada perilaku atau tindakan-tindakan yang
masuk dalam kategori berdosa, sebab tindakan tersebut melanggar
dharma, nilai-nilai kebenaran, keadilan, kesucian, melanggar aturan
kitab suci, menyengsarakan diri sendiri dan orang lain sekaligus
membawa manusia pada penderitaan dalam kehidupannya, baik
di dunia ini maupun kehidupan di masa mendatang.

Seperti yang telah dinyatakan dalam Ślokāntara tersebut di
atas, contoh perbuatan yang dikatakan sebagai pataka, misalnya:
1. Bhrunaha artinya membunuh bayi yang masih dalam

kandungan.
2. Purusaghna artinya melakukan pembunuhan terhadap

manusia lain.
3. Kunyacora artinya orang yang mencuri atau melarikan dengan

paksa seorang gadis perawan.
4. Agrayajaka artinya seorang yang kawin mendahului kakak laki

atau kakak perempuannya. Ia tidak mengindahkan hukum.
5. Ajnata-samwatsarika artinya orang menanam atau mengolah

tanah di musim yang salah.

Dijelaskan bahwa barang siapa melakukan salah satu atau
bahkan semua perbuatan-perbuatan tersebut di atas, maka si
pelaku akan memperoleh penghukuman di neraka niraya kelak.
Demikian sastra agama menjelaskan. Rujukan dari sumber
kepustakaan Weda yang lain terkait dengan sala satu perbuatan
pataka di atas, yaitu purusaghna, dalam Sārasamuccaya 148
dijelaskan sebagai berikut:

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 185
dalam Slokantara

Kunȇng tikang wwang mangke kramanya, mangjanma ring

wwang kaṣmala, wyadhi ta ya, durācārā, hingsāprawṛtti,

alpāyusa, dumeh ya mangkana, krūrakarma ngūniring

pūrwajanmanya kalinganika.

Terjemahan:
Akan tetapi orang yang keadaannya begini, menitis lahir
menjadi manusia pada orang yang bernoda, berpenyakitan,
berkelakuan jahat, bertabiat menyakiti (membunuh), pendek
umurlah diperoleh oleh orang yang berkeadaan demikian, hal
ini akibat perbuatannya bengis dulu pada waktu penjelmaannya
sebelum ini (yang lampau) (Kajeng, 1999:119-120).

Akibat dari tindakan bengis, setelah mendapatkan siksaan
di naraka niraya, sesuai penjelasan Ślokāntara, maka setelah
terlahir ke dunia ini, orang tersebut akan berkeadaan buruk
dalam hidupnya. Ia akan terlahir menjadi manusia yang bernoda,
berpenyakitan, berkelakuan jahat, bertabiat menyakiti, pendek
umur. Artinya, orang yang melakukan tindakan-tindakan pataka
atau dosa, maka ia akan senantiasa bergelut dengan hal-hal
buruk, yang menjauhkan diri dari kesucian, jauh dari kehidupan
rohani, apalagi mendambakan moksa, sedangkan surga saja
akan sulit untuk mendapatkannya. Bagaimana seseorang
tersebut mendambakan surga atau bahkan moksa, jika setiap
yang dilakukannya mengakibatkan penderitaan orang lain, yang
kemudian mengantarkannya ke neraka, ke tempat-tempat yang
jauh dari kesucian. Oleh sebab itu, hendaknya apa yang telah
tersurat dalam pustaka suci Weda, khususnya Ślokāntara ini,
menjadi media refleksi dalam bertingkah laku dalam kehidupan
ini, agar kita terhindarkan dari hal-hal buruk, jahat, menyakiti,
yang pada akhirnya akan mengantarkan kita pada kehidupan yang
lebih buruk, yaitu naraka.

Selanjutnya akan diuraikan perbuatan-perbuatan yang
termasuk pataka dan tingkatan-tingkatan pataka, menurut
Ślokāntara, yaitu:

186 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara


Click to View FlipBook Version