terjemahannya adalah rang yang menikmati
kebahagiaan batin yang kesenangannya bersumber
dalam hatinya dan yang rohaninya cerah bersinar. Yogi
beriman yang selalu menunggalkan suksma dengan
Brahman. Ia menunggalkan dengan Brahman.
3.3. Varna Tattwa
Tattwa selanjutnya yang terungkap dalam Ślokāntara yaitu
mengani varna atau sistem sosial dalam Weda. Dalam Ślokāntara,
sloka 61 (78) dinyatakan sebagai berikut:
Lalātājjāyate wiprāḥ kṣatriyo bāhujastathā, urubhyām
jāyate waiśyaḥ śūdrastu pādajastatha.
(Kalinganya, pat ikang janma ngaranya, mijil saking awak
Sanghyang Brahmā ngūni, inajarakĕn catur-warna ngaranya
ring loka, wiprā ngaranira sang brāhmaṇa, mijil saking lalāṭa
Bhaṭāra Brahmā, kārya nira mamūjā, mahoma, mayajña,
majapāmantrā-yogāsamādhi, mangawruhi sarwa-śāstra, sira
sthāna ning catur-Weda, sira wiśeṣa jāti. Kṣatriya ngaranira
ratu, mijil saking bāhu Sanghyang Brahmā, kārya nira wruh
ring ayuddha, ring sarwa-śāstra, wruh ring dhanuh, śtrī-
sampanna ya ta sira, wīryawān ing rāt, wiweka rumaksa ring
sang brāhmaṇa kārya nira, maweh dāna, rumakseng rāt, śūra
watĕk prang, masih ring kasyasih, ahalapi durjana, panghöban
ing sang sādhu. Kunang ikang waiśya, wwang thāni jātinya,
mĕtu saking pupu Sanghyang Brahmā ngūni, kārya nira
rumaksa ng lĕbu, magaga masawah-sawah, mananĕm-nanĕm
sakalwiran ing sarwa-wīja tinandur nira, amĕtwakĕn pangan
ing rāt, pinakahulun de sang kṣatriya. Muwah ikang śūdra,
baṇijakriya, mĕtu saking talarupakan suka Sanghyang Brahmā,
kraya-wikraya ga nya, kraya wikraya ngaranya madol atuhu
magadang alayar, mahutang mapihutang, mamarĕkakna
bhūṣaṇa, pinakahulun de sang kṣatriya, nahan prabheda ning
kārya ning catur janma, ikang kṣatriya, waiśya, śūdra, paḍa
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 87
dalam Slokantara
bhakti matwang ring sang brāhmaṇa, pinakaguru katattwanira
de sang kṣatriya, waiśya, śūdra, kunang yan tan mengĕt ing
krama nira sowang-sowang, yeka jagat harohara ngaranya,
tan wring sor tan wring aruhu, acarub ngaranya, tatan asor
tatan aruhur, yeka çihna ning rāt sanghāra, samangkana tang
jagat kabalik, tan ana sānak kadang-warga, mwang paman
tuwwa (?), adyapi bapa ibu tan kinawĕdyanya, langghana ri
sang sinagguh atuha-tuha mwang guru, amatyani pinatyan
lawan sanaknya mwang paman tuwwa (?), yadyapi bapa pinaka
śatrunya, makweh prang, lĕbu mĕlĕk, hudan tan tumibā, tahun
tan dadi, gĕring urĕm uris gigil amöwĕh tamba tan mandi, cacab
magalak maling makweh, apan ikang rāt tan paratu, tanpa
bapa-ibu tan pakabuyutan tan pasanggar, tan apilih sing den
patyani, hana sang brāhmaṇa, minrang, sang paṇḍhita śaiwa
sogata ṛṣi pinrang pinatyan makahetu galaknya, makapangaya
yeka wininya, laṇḍapi sañjatanya, mawĕrĕ sadā buddhinya,
pĕngön bingung, kadyangga ning liman awĕrĕ ikang asārathi
tuwi tinujah denya, haywenucap ikang wwang lyan, makahetu
palingya ring halahayu, kadyangga ning iwak ing sāgara
padanya iwak pinanganya, mangkana swabhāwa ning wwang
ring Kali Yuga, padanya janma pinanganya wyaktinya pinatyan
tinawan kinārya dagangan, dinol winĕlinya matangyan sang
wruh haywa sira tumūt ri buddhi ning wwang ring Kali Yuga.
Terjemahan:
Orang brahmana lahir dari kepala, ksatriya itu lahir dari
tangan, orang waisya lahir dari paha, dan sudra itu lahir
dari kaki brahmana.
(Di zaman dahulu dikatakan bahwa keempat golongan kasta itu
lahir dari badan brahmana. Mereka itu dinamai Catur Warna
di dunia ini. Wipra artinya seorang brahmana, ia dikatakan
lahir dari kepala Bhatara Brahma (Tuhan Yang Maha Pencipta
Semesta Alam). Kewajiban ialah bersembahyang, mengadakan
persembahyangan kepada Deva Api, mengadakan upacara-
88 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
upacara korban, mengucapkan mantra-mantra, duduk beryoga
samadhi dan mempelajari Kitab-kitab Suci Weda. Ksatriya
artinya raja. Ia dikatakan lahir dari lengan Bhatara Brahma.
Kewajibannya ialah ia harus mengetahui peraturan dan tehnik
peperangan, mengetahui semua isi kitab suci, harus unggul
dalam mempergunakan busur dan panah. Ia kaya, perwira
dalam segala lapangan. Kewajiban lainnya ia harus melindungi
para pendeta, memberikan dāna, melindungi seluruh dunia
(rakyat). Ia harus menjadi pahlawan dalam medan perang dan
penyayang pada yang lemah dan miskin. Ia menguasai dan
menundukkan semua orang jahat. Ia melindungi para pertapa.
Waisya adalah golongan orang petani. Ia dikatakan lahir dari
paha Bhatara Brahma. Kewajibannya ialah melindungi ternak,
memelihara, dan menyuburkan tanah ladang atau sawah
yang kering, menanam segala macam bibit, memelihara, dan
menghasilkan makanan untuk seluruh dunia (masyarakat),
dan menuruti petunjuk-petunjuk orang ksatriya. Sudra
kewajibannya ialah berdagang. Ia dikatakan lahir dari kaki
Bhatara Brahma. Pekerjaannya ialah kraya wikarya yaitu
berjual-beli dan mengembara membawa dagangan dengan
berlayar. Iameminjamdan meminjam uang,sewa-menyewakan
perhiasan. Ia juga menuruti petunjuk orang-orang ksatriya.
Inilah perbedaan kewajiban dari keempat golongan ini.
Orang-orang ksatriya, waisya, dan sudra harus menghormati
orang brahmana, karena mereka patut dijadikan guru para
ksatriya, waisya, dan sudra. Jika mereka tidak mau melakukan
kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan untuknya itu, dunia
akan hancur dan campur aduk. Tidak akan ada perbedaan
tinggi rendah. Inilah tanda kehancuran dunia. Dunia akan
berputar balik aturannya. Tidak ada orang dianggap keluarga
atau sanak saudara, paman atau orang tua-tua. Walaupun
ada ibu dan Bapak tetapi mereka itu tidak ditakuti siapapun
juga. Para orang tua dan guru-guru akan tidak dihormati lagi.
Mereka akan saling bunuh melawan keluarga, paman dan
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 89
dalam Slokantara
para orang tua. Bapak akan menjadi musuh. Peperangan akan
berkecamuk dimana-mana. Angin puyuh akan mengamuk.
Hujan akan turun tidak pada waktunya (tidak akan turun pada
waktunya). Tanaman palawija akan hampa. Wabah penyakit
merajalela, penyakit influensa dan desentri berjangkit. Obat-
obatan tiada manjur. Bermacam-macam golongan pencuri
akan berkeliaran dengan tak mengenal ampun. Karena negara
akan tanpa raja, tidak ada orang yang dianggap orang tua, atau
leluhur. Tidak ada tempat pemujaan Tuhan dan arwah leluhur
(sanggar). Pembunuhan akan terjadi di mana-mana. Para
brahmana, rsi, pengikut Siwa dan Buddha pun akan dibunuh
juga. Mereka akan dipancung karena kemarahan. Menganiaya,
itulah keberanian mereka. Senjata mereka selalu dipertajam.
Tetapi pikiran mereka tumpul selalu mabuk, lupa daratan, dan
bingung. Mereka akan bertindak sebagai gajah liar yang galak,
yang sampai menghancurkan pengendaranya yang diinjak-
injak. Semua akan saling tuduh, mengatakan orang lain, orang
baik atau orang jahat yang menjadi biang keladi kebingungan
pikirannya itu. Manusia dalam masyarakat itu akan berlaku
sebagaimana ikan di laut, yang besar menelan yang kecil.
Demikianlah tingkah laku orang di zaman Kali Yuga. Mereka
itu saling telan saling memusnahkan. Di muka umum mereka
tidak segan membakar orang yang dapat ditangkapnya, atau
memperjual-belikan orang. Oleh karena itu orang berbudi
luhur, janganlah hendaknya menurutkan jalan pikiran orang-
orang jahat di zaman Kali Yuga itu) (Sudharta, 2004:201).
Hindu mendapat pencitraan begitu buruk mengenai kesalah-
pahaman tentang varna dan kasta. Oleh masyarakat luas, kedua
istilah ini dipersamakan begitu saja tanpa adanya penelusuran
secara mendalam. Sehingga, ketika menyebut istilah varna berarti
secara tidak langsung berarti kasta, dan berbicara kasta berarti
terkait dengan agama Hindu. Bagaimana sebenarnya penjelasan
kedua istilah ini dan sebenarnya apa yang terjelaskan dalam Weda.
90 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
Pengertian varna sesungguhnya amat bertolak belakang
dengan pengertian kasta. Catur varna adalah landasan konsepsi
ajaran kemasyarakatan Hindu yang bersumber pada kitab suci
Hindu. Varna berasal dari Bahasa Sanskerta dari urat kata vri
artinya memilih lapangan kerja. Catur varna membagi masyarakat
Hindu menjadi empat kelompok profesi secara pararel horisontal.
Varna ditentukan oleh guna dan karma. Guna adalah sifat, bakat,
dan pembawaan seseorang, sedangkan karma artinya perbuatan
atau pekerjaan. Guna dan karma inilah yang menentukan varna
seseorang (Wiana, 1993:12).
Sedangkan mengenai kasta, DR. W. Durant berpendapat:
Kiranya perlu ditegaskan di sini bahwa kata kasta tidaklah
berasal dari Bahasa Sanskerta (India) tetapi dari bahasa orang-
orang Portugis casta yang diambil dari Bahasa Latin castus
yang berarti suci. Yang ada sebenarnya dalam masyarakat
Hindu menentukan golongan dalam masyarakat ialah kata
varna yang berarti memilih di mana setiap orang berhak
memilih lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan
dan kebutuhan masyarakat. Dan lapangan pekerjaan inilah
oleh masyarakat ditentukan apakah ia termasuk golongan
brahmana atau ksatriya atau waisya ataukah sudra (Sudharta,
2003:204).
Dalam Weda tidak dikenal istilah kasta tetapi varna. Berikut ini
yang terjelaskan dalam Weda:
1. Bhagavad gītā 4.13
Cātur-varṇyaṁ mayā sṛṣṭaṁ, guṇa-karma-vibhāgaśaḥ, tasya
kartāram api māṁ viddhy akartāram avyayam
Terjemahan:
Menurut tiga sifat alam dan pekerjaan yang ada hubungannya
dengan sifat-sifat itu, empat bagian masyarakat manusia
diciptakan oleh-Ku. Walaupun Akulah yang menciptakan
sistem ini, hendaknya engkau mengetahui bahwa Aku tetap
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 91
dalam Slokantara
sebagai yang tidak berbuat, karena Aku tidak dapat diubah
(Prabhupada, 2006:234).
2. Bhagawad-Gita 18.41
Brāhmaṇa-kṣatriya-viśāṁ, śūdrāṇāṁ ca parantapa, karmāṇi
pravibhaktāni svabhāva-prabhavair guṇaiḥ
Terjemahan:
Para brahmana, para ksatria, para vaisya, dan para sudra
dibedakan oleh ciri-ciri yang dilahirkan dari watak-watak
mereka sendiri menurut sifat-sifat material, wahai penakluk
musuh (Prabhupada, 2006:819).
3. Bhagawad-Gita 18.42
śamo damas tapaḥ śaucaṁ, kṣāntir ārjavam eva ca, jñānaṁ
vijñānam āstikyaṁ, brahma-karma svabhāva-jam
Terjemahan:
Kedamaian, mengendalikan diri, pertapaan, kesucian, toleransi,
kejujuran, pengetahuan, kebijaksanaan dan taat pada prinsip
keagamaan-para brahmana bekerja dengan sifat yang wajar ini
(Prabhupada, 2006:819-820).
4. Bhagawad-Gita 18.43
śauryaṁ tejo dhṛtir dākṣyaṁ, yuddhe cāpy apalāyanam, dānam
īśvara-bhāvaś ca kṣātraṁ karma svabhāva-jam
Terjemahan:
Kepahlawanan, kewibawaan, ketabahan hati, pandai
memanfaatkan keadaan, keberanian di medan perang ,
kedermawanan dan kepemimpinan adalah sifat-sifat pekerjaan
yang wajar bagi para ksatriya (Prabhupada, 2006:820).
92 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
5. Bhagawad-Gita 18.44
Kṛṣi-go-rakṣya-vāṇijyaṁ, vaiśya-karma svabhāva-jam,
paricaryātmakaṁ karma śūdrasyāpi svabhāva-jam
Terjemahan:
Pertanian, melindungi sapi dan perdagangan adalah pekerjaan
yang wajar bagi para vaisya, dan bagi para sudra ada pekerjaan
buruh dan pengabdian kepada orang lain (Prabhupada,
2006:820).
6. Sārasamuccaya 55
Brāhmana ādining warna, tumūt ksatnya, tumūt waicya,
ika sang warna tiga, kapwa dwijāti sira, dwijāti ngaraning
ping rwa mangjanma, apan ri sedeng niran brahmacāri
gurukulawāsi kinȇnan sira dīksābratasangkāra, kaping
rwaning janma nira tika, ri huwus nira krtasangkāra, nahan
matangnyan kapwa dwijati sira katiga, kunang ikang ṣudra
kapāting warna, ekajāti sang kadi rasika, tan dadi kinenana
bratasangkāra, tatan brahmacāri, mangkana kāṇḍanikang
warna an pat, ya ika caturwarna ngaranya, tan hana
kalimaning’ warna ngaranya.
Terjemahan:
Brahmana adalah golongan pertama, menyusul ksatriya, lalu
wesia; ketiga golongan itu sama-sama dwijati; dwijati artinya
lahir dua kali, sebab tatkala mereka menginjak masa kelahiran
yang kedua kali, adalah setelah selesai mereka menjalani
upacara pensucian, itulah sebabnya mereka itu ketiga-
tiganya disebut lahir dua kali; adapun sudra yang merupakan
golongan ke-empat di sebut eka jati; lahir satu kali; tidak
boleh dikenakan kepadanya bratasangkara; tidak diharuskan
melakukan brahmacari; demikian halnya keempat golongan
itu; itulah yang disebut caturwarna, tidak ada golongan yang
kelima (Kajeng, 1999:45-46).
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 93
dalam Slokantara
7. Sārasamuccaya 56
Nyā dharma sang brāhmana, mangajyā, mayajña, maweha
dānapunya, magelema atīrtha, amarahana, wikwaning yajñā,
mananggapa dāna.
Terjemahan:
Berikut ini adalah dharma sang brahmana; mempelajari Weda,
mengadakan upacara kebaktian atau pujaan, memberikan
amal sosial, berkunjung ke tempat-tempat suci, memberikan
ajaran-ajaran (penerangan agama), memimpin upacara dan
dibenarkan menerima derma (Kajeng, 1999:46-47).
8. Sārasamuccaya 57
Nyang brata sang brāhmana, rwa wȇlas kwehnya, prateknaya,
dharma, satya, tapa, dama, wimatsaritwa, hrīh titikṣā, anasūyā,
yajñā, dāna, dhṛti, kṣamā, nahan pratyekanyan rwawȇlas,
dharma, satya, pagwanya, tapa ngaranya ṣarīra sang ṣosana,
kapanasaning ṣarīra, piharan ,kurangana wiṣaya, dama
ngaranya upaṣama dening tuturnya, wimatsaritwa ngarani
haywa īrsyā, hrih ngaraning irang, wruha ring irang wih, titiksā
ngaraning haywa gong krodha, anasūyā ngaraning haywa
doṣagrāhī, yajña magelem amūjā, dāna, maweha dānapunya
dhṛti ngaraning manȇb, ahning, ksama ngaraning kȇlan, nahan
brata san brāhmaṇa.
Terjemahan:
Inilah brata sang brahmana, dua belas banyaknya,
perinciannya: dharma, satya, tapa, dama, wimatsaritwa, hrih,
titiksa, anusuya, yajna, dāna, dhrti, ksama, itulah perinciannya
sebanyak dua belas; dharma dari satyalah, sumbernya, tapa
artinya carira sang-cosana yaitu dapat mengendalikan jasmani
dan mengurangi nafsu; dama artinya tenang dan sabar, tahu
menasehati diri sendiri, wimatsaritwa artinya tidak dengki-iri
hati, hrih berarti malu, mempunyai rasa malu, titiksa artinya
94 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
jangan sangat gusar, anasuya berarti tidak berdosa, yajna
adalah mempunyai kemauan mengadakan pujaan; dāna adalah
memberikan sedekah, dhrti artinya penenangan dan pensucian
pikiran, ksama berarti tahan sabar dan suka mengampuni;
itulah brata sang brahmana (Kajeng, 1999:47-48).
9. Sārasamuccaya 58
Kunȇng ulaha sang ksatriya, umajya sang hyang Weda, nitya
agnihotrā, magawayang yajnā, rumakṣang rat, huninga
ring wadwa, tȇka ring kula gotra, maweha danā, yapwan
mangkana, swargapada antukanira dȇlāha.
Terjemahan:
Makayangharusdilakukanolehsangksatria;harusmempelajari
Weda, senantiasa melakukan korban api suci, mengadakan
upacara kebaktian, menjaga keamanan negara, mengenal
bawahannya sampai sanak keluarga dan kaum kerabatnya,
memberikan sedekah; jika ia berbuat demikian, tingkatan alam
sorga akan diperolehnya kelak (Kajeng, 1999:49).
10. Sārasamuccaya 59
Nihan ulaha sang waicya, mangajyā sira ri sang brahmana,
ring sang kṣatriya kunȇng, mwang maweha dāna ri tȇkaning
dānakāla, ring cubhadiwasa, dumdumana nira ta sakwehning
mamarāṣrāya ri sira, mangȇlȇma amūjā ring sang hyang
tryagni ngaranira sang hyang apuy tiga, pratyȇkanira,
āhawanīya, gārbhaspatya, citāgni āhawanidha ngaranira apuy
ning asuruhan, rumateng i pinangan, gārhaspatya ngaranira
apuy ning winarang, apan agni sākṣikā kramaning winarang i
kālaning wiwāha, citāgni ngaranira apuy ning manunu ṣawa,
nahan ta sang hyang tyagni ngaranira, sira ta pūjān de sang
waiya, ulah nira ika mangkana, ya tumekāken sira ring swarga
dlāha.
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 95
dalam Slokantara
Terjemahan :
Yang patut dilakukan oleh sang waisya : ia harus belajar pada
sang brahmana, maupun pada sang ksatria dan hendaklah ia
memberikan sedekah pada saatnya; waktu persedekahan tiba,
pada hari yang baik, hendaklah ia membagi-bagikan sedekah
kepada semua orang yang meminta bantuan kepadanya, dan
taat mengadakan pujaan kepada tiga api suci, perinciannya
adalah: ahawaniya, garhaspatya, dan citagni; ahawaniya artinya
api tukang masak untuk memasak makanan, garhaspatya
artinya api upacara perkawinan; itulah api yang dipakai saksi
pada waktu perkawinan dilangsungkan; citagni artinya api
untuk membakar mayat, itulah yang disebut tiga api suci; api
itu harus dihormati dan dipuja oleh sang waisya; perbuatannya
demikian itu menyampaikan dia ke alam sorga kelak (Kajeng,
1999:50-51).
11. Sārasamuccaya 60
Yapwan ulahaning ṣudra, bhaktya sumewā ri sang brāhmana,
ri sang kṣatriya, ring waiṣya, yathakrama juga, parituṣṭa sang
telun sinewakanya, hilang ta pāpanya, siddha sakaryanya.
Terjemahan:
Akan perilaku sang sudra, setia pengabdi kepada brahmana,
ksatria dan waisia, sebagaimana harusnya; apabila puaslah
ketiga golongan yang dilayani olehnya maka terhapuslah
dosanya dan berhasil segala usahanya (Kajeng, 1999:50-51).
12. Manawa Dharmasastra X.10
Brahmanah ksatria vaisuas, Trayovarna dvijatayah, Caturtha
ekajatistu, Sudro nastitu pancamah
Terjemahan:
Brahmana, ksatria, vaisya ketiga golongan ini adalah dapat
melakukan dwijati, sedangkan sudra yang keempat adalah
ekajati dan tidak ada golongan yang kelima (Wiana, 1993:15).
96 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
13. Manawa Dharmasastra I.87
Sarwasya sya tu sargasya guptyartham sa mahadyutih, mukha
bahu rupajanam prthak karmanya kalpayat
Terjemahan:
Untuk melindungi alam ini, Tuhan Yang Maha Cemerlang
menentukan kewajiban yang berlainan terhadap mereka yang
lahir dari mulutnya (brahmana), dari tangannya (ksatriya), dari
pahanya (waisya), dan dari kakinya (sudra) (Wiana, 1993:16-
17).
Dari urian Weda di atas kiranya dapat dipahami bahwa,
Hindu hanya mengenal varna dalam tatanan kemasyarakatannya.
Pelapisan masyarakat tersebut terjadi dengan sendirinya, secara
alami. Varna tersebut didasarkan atas guna (Sifat, bakat) – karma
(perbuatan, pekerjaan) seseorang. Penyamaan antara varna dan
kasta merupakan vatalistik dan sangat tidak berdasar. Kalaupun
terjadi, hal tersebut lebih karena urusan kepentingan politis
semata.
Terkait dengan penjelasan Sārasamuccaya 55 dan
Dharmasastra X.4, tentang sudra yang dibenarkan melakukan
dwijati, menurut DR. Gangga Prasad Upadhyaya berpendapat
bahwa sudra itu adalah orang yang tingkat kecerdasannya sangat
rendah, tidak dapat memilih atau menentukan pekerjaan untuk
dirinya sendiri, ia tidak akan dibiarkan hidup malas berpangku
tangan saja. Ia diberikan pekerjaan oleh ketiga varna yang lainnya.
Keadaan diri sudra itulah yang menyebabkan ia tidak dibenarkan
melakukan dwijati. Dwijati adalah kedudukan yang amat penting
dan memerlukan kecerdasan tertentu agar ia dapat berfungsi
sebagai dwijati yang benar dan berguna bagi masyarakat.
Keempat varna ini memiliki hak yang sama dalam mempelajari
Weda. Hal ini ditegaskan dalam Yajur Weda ke XXV.2 sebagai
berikut:
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 97
dalam Slokantara
Yatenam cvacam kalyanim avadani janebyah, brahma
rajanyabhyah cudraya caryaya ca svaya caranaya ca
Terjemahan:
Biar Ku nyatakan di sini kata suci ini, kepada orang-orang banyak
kepada kaum brahmana, kaum ksatriya, kaum waisya, kaum sudra
dan bahkan kepada kepada orang-orang Ku dan kepada mereka
(orang asing) sekalipun.
Kata suci yang dimaksud dalam kata ini adalah Weda Sruti
yang boleh dipelajari oleh keempat golongan (brahmana, ksatriya,
waisya dan sudra) atau apapun golongannya. Jadi, Yajur Weda
memberikan penjelasan bahwa kedudukan masing-masing varna
dalam catur varna dalam mempelajari Weda adalah sama. Tidak
ada satupun golongan yang ditinggalkan (Wiana, 1993:15-16).
Varna merupakan tata kemasyarakatan berdasarkan
hukum-hukum alamiah, yang berdasarkan atas guna dan karma.
Varna adalah hukum Tuhan (Bhagavad gītā 4.13). Varna juga
semata-mata untuk kepentingan alam ini, Tuhan menentukan
kewajiban setiap manusia dalam dharmanya sendiri-sendiri
(Manawa Dharmasasatra I.87). Varna tidak dimaksudkan untuk
mengklasifikasi manusia secara prestige, tidak juga dimaksudkan
untuk menggambarkan bahwa kaum brahmana lebih mulia
dari sudra. Keberbedaan itu hanya semata-mata pada peran
dan fungsinya masing-masing dan semua fungsi tersebut sama
pentingnya.
Hal terpenting dalam sistem varna ini adalah bagaimana setiap
manusia mampu menjalankan tugas, peran dan fungsi sebaik
mungkin sesuai dengan dharma-nya masing-masing. Dengan
demikian, karma tersebut yang akan mengantarkan manusia
menuju kesempurnaan hidupnya. Hal ini tersurat dalam Bhagavad
gītā 18.45 dan 18.47 sebagai berikut :
Sve sve karmany abhirataḥ, saṁsiddhiṁ labhate naraḥ sva-karma-
nirataḥ siddhiṁ, yathā vindati tac chṛṇu
98 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
Terjemahan:
Dengan mengikuti sifat-sifat pekerjaannya, setiap orang dapat
menjadi sempurna. Sekarang dengarlah dari-Ku bagaimana
kesempurnaan ini dapat dicapai (Prabhupada, 2006:821).
śreyān sva-dharmo viguṇaḥ, para-dharmāt sv-anusthitāt,
svabhāva-niyataṁ karma, kurvan nāpnoti kilbiṣam
Terjemahan:
Lebih baik menekuni kewajiban sendiri, meskipun dilakukan
secara kurang sempurna, daripada menerima kewajiban orang
lain dan melakukan secara sempurna. Tugas kewajiban yang
ditetapkan menurut sifat seseorang tidak pernah dipengaruhi oleh
reaksi-reaksi dosa (Prabhupada, 2006:821).
3.4. Dharma Tattwa
Dalam agama Hindu, ‘dharma’ merupakan terminologi yang
sangat penting. Dalam kepustakaan Weda, ‘dharma’ senantiasa
menjadi sumber pembahasan. Demikian juga dalam Ślokāntara,
sloka 1 (1) ini juga disinggung perihal mengenai ‘dharma’ yang
patut untuk dijadikan kajian secara lebih mendalam, sebagai
berikut:
Brāhmano wā manusyanām ādityo wāpi tejāsam, śiro wā
sarwagātreṣu dharmesu satyamuttamam
(Kalinganya, nihan dharma rĕngön de sang mahyun wruheng
kawiśeṣaningjanma,yanmanuṣyatanhanalĕwihkadibrāhmaṇa,
brāhmaṇa ngarannya sang kumawaśākĕn kabrahmacāryan,
tiga lwirnya, ndya ta nihan, hana śuklabrahmacāri, hana
śawalabrahmacāri, hana kṛṣṅabrahmacāri, sira Brāhmaṇa
ngaranira, sira ta lĕwih sakeng mānuṣajanma, śuklabrahmacāri
ngaranira, tan parabisangkan rare, tan mañju tan kuming
sira, adyāpi tĕka ring wṛddha tuwi, sira tan pangucaparabi
sangka pisan, mangkana sang brahmacari ngaranira, yan
sira śukla brahmacāri. Sawalabrahmacārī ngaranira, marabi
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 99
dalam Slokantara
pisan, tan parabi muwah, kunang yan kahalangan mati strī
nira, tan parabi muwah muwah sira, adyāpi tĕka ri kapati
nira, tan pangucap arabya, mangkana sang brahmacāri, yan
sira śawalabrahmacāri. Kṛṣṅabrahmacāri ngaranira, marabi
papat ta nghing hinganya, tan parabi muwah, syapa kari
pinakadarśaneng loka mangkana, Sang Hyang Rudra sira pat
dewi nira, ndya ta lwir ing dewī nira, Umā, Ganggā, Gaurī, Durgā,
nahan Dewī Caturbhaginī, tiniru de Sang Kṛṣṅabrahmacāri,
ndan wruha ta sireng kāladeśa ning strisanggama, mangkana
krama sang brahmac Kṛṣṅabrahmacāri sowang-sowang.
Kunang ika yan teja, tan hana kadi teja sang hyang āditya, sira
wiśeṣa ning teja ring loka.
Kunang yan ring sarwagātra ning śarīra, tan hana kadi sirah
wiśeṣa. Mangkana ikang dharma, tan hana lewih kadi kasatyan,
yeka uttama ring loka).
Terjemahan:
Seperti halnya golongan brahmana di antara manusia,
sebagai halnya matahari di antara sumber cahaya, seperti
halnya kepala di antara anggota badan, demikian pulalah
halnya kebenaran (satya) di antara kewajiban (dharma)
manusia.
(Demikianlah, bahwa dharma ini seharusnya didengarkan oleh
mereka yang ingin mengetahui arti dan maksud hidup manusia
ini. Di antara manusia tidak ada yang melebihi brahmana. Yang
dimaksud dengan brahmana ialah yang dapat menguasai dan
menjalankan kebrahmacarian yang tiga macam itu, yaitu:
Suklabrahmacari, Sewalabrahmacari, dan krsnabrahmacari.
Itulah yang patut dinamai brahmana yang lebih agung dari
manusia-manusia lainnya. Suklabrahmacari ialah orang yang
tidak kawin seumur hidupnya dari kecil sampai tua, bukan
karena mempunyai cacat badan atau wandu (lemah syahwat),
malah ia tidak pernah berbicara tentang perkawinan sampai
100 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
dihari tuanya. Inilah bramacari yang dinamai suklabrahmacari.
Sewalabrahmacari ialah orang yang kawin hanya sekali dan
tidak lagi, walaupun sudah ditinggal mati oleh istrinya. Ia
tidak kawin lagi sampai tiba ajalnya. Malah ia tidak pernah
lagi mempersoalkan hal perkawinannya. Inilah brahmacari
yang dinamai sewalabrahmacari. Krsnabrahmacari ialah orang
yang kawin paling banyak empat kali, dan tidak lagi. Siapakah
yang dipakai contoh dalam hal ini? Tidak lain adalah Sang
Hyang Rudra yang mempunyai empat dewi, yaitu Dewi Uma,
Dewi Gangga, Gauri, dan Durga. Empat dewi yang sebenarnya
hanyalah empat aspek dari yang satu, inilah yang ditiru
oleh yang menjalankan krsnabrahmacari. Asal saja ia tahu
waktu dan tempat dalam berhubungan dengan istri-istrinya.
Demikianlah halnya perincian brahmacari itu masing-masing.
Adapun di kalangan cahaya, tidak ada yang menyamai cahaya
matahari. Inilah sumber cahaya yang paling sempurna di
dunia. Antara anggota badan, tak ada yang melebihi ketinggian
kepala. Demikianlah juga dalam dharma, tidak ada yang
menyamai ketinggian kebenaran. Inilah yang paling utama di
dunia) (Sudharta, 2003:5-6).
Kata dharma banyak digunakan oleh masyarakat luas di
Indonesia, seakan-akan kata dharma telah diadaptasi ke dalam
Bahasa Indonesia. Dalam penggunaannya, kata dharma juga
memiliki arti yang sangat luas, sangat tergantung pada konteks
kalimatnya. Misalnya, Dharma Negara, Dharma Wanita, Tri
Dharma Perguruan Tinggi, Dharma Bhakti, dan sebagainya. Dalam
Ślokāntara di atas, dharma dimaknai sebagai ‘kewajiban suci’.
Selanjutnya bagaimana pandangan kitab Weda yang lain.
Kata dharma berasal dari bahasa Sanskerta ‘dhr’ yang artinya
menjadi, memegang, menjaga, membawa, mendukung, menahan,
menyangga. Secara harfiah dharma berarti hukum; kebiasaan;
kealiman; kebajikan; aturan; kebenaran; tugas; keadilan; jasa;
karakter; suatu keanehan; jiwa; Deva; kematian; anak sulung dari
Pandawa (Surada, 2007:169).
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 101
dalam Slokantara
Maharsi Jaimini mendefinisikan dharma sebagai sesuatu yang
diperintahkan oleh kitab Weda dan akhirnya tidak menghasilkan
penderitaan. Rsi Kanada, penemu sistem filsafat waisesika, telah
memberikan definisi dharma yang sangat baik dalam Waisesika
Sutra-nya, yaitu: ‘Yato bhyudayanihsreyasa-siddhih sa dharmah’,
artinya yang menuntun untuk pencapaian dari abhyudaya
(kemakmuran di dunia ini) dan Nisreyasa (penghentian total dari
derita dan pencapaian kebahagiaan abadi setelahnya), adalah
dharma. Maharsi Bhisma pernah berkata dalam perintahnya
kepada Yudhistira, bahwa apapun yang menimbulkan pertentangan
adalah adharma, dan apapun yang menyudahi pertentangan
dan membawa pada kesatuan dan keselarasan adalah dharma.
Sedangkan Swami Sivannanda mengatakan bahwa yang disebut
dharma adalah yang memberi kesejahteraan; yang menjamin
pemulihan dari makhluk-makhluk; yang membawa menuju
kebahagiaan abadi dan kekekalan; kebenaran; yang menuntun
menuju Tuhan; kebajikan; kewajiban; prinsip-prinsip kebajikan;
yang memberikan kebahagiaan di dunia ini dan di alam baka; cara
pemeliharaan diri; yang meningkatkan seseorang; yang menuntun
pada jalan kesempurnaan; yang menolong untuk memiliki
penyatuan dengan Tuhan; yang membuat bersifat Ilahi; tangga
naik menuju Tuhan; acara atau pengaturan kehidupan sehari-
hari. Sedangkan adharma adalah apapun yang menimbulkan
perselisihan, keretakan, dan ketidakselarasan serta menimbulkan
kebencian (Sivananda, 2003:38-39).
Dalam Sārasamuccaya, kata Dharma menjadi sloka pertama (1),
sebagai berikut:
Dharme cārte ce kāme ca moksa ca bhārataṣabha, yadihāsti
tadanyatra yannehāsti an tat kvacit
Terjemahan:
Dharma, artha, kama dan moksa (Catur Warga), baikpun
sumber maupun uraian ada terdapat di sini; singkatnya segala
yang terdapat di sini akan terdapat dalam sastra lain; yang
102 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
tidak terdapat di sini tidak akan terdapat dalam sastra lain dari
sastra ini (Kajeng, 1999:7).
Sloka di atas, menjelaskan makna dharma dalam konteks
Catur Warga atau Catur Purusha Artha, yakni empat tujuan hidup
manusia Hindu. Ke-empat hal yang dimaksud ialah dharma, artha
(Materi), kama (keinginan) dan moksa (pembebasan). Dalam
Catur Warga, dharma menjadi landasan dalam meraih ketiga
tujuan manusia yang lain. Artinya, dharma merupakan prasyarat
mutlak yang harus dilalui dan dipenuhi secara benar, bila ingin
mendapatkan hal yang lain. Dharma merupakan norma tertinggi
yang mesti dipegang dalam setiap tindakan. Hal ini seperti yang
terurai dalam Sārasamuccaya 12:
Yan paramārthanya, yan arthakāma sādhyan, dharma juga
lȇkasakȇna rumuhun, niyata katȇmwaning arthakāma mȇne
tan paramārtha wi katemwaning arthakāma deninganasar
sakeng dharma.
Terjemahan:
Pada hakikatnya, jika artha dan kama dituntut, maka seharusnya
dharma hendaknya dilakukan lebih dulu; tak tersanksikan lagi,
pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti; tidak akan ada
artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari
dharma (Kajeng, 1999:15).
Sloka di atas menunjukkan nilai konkret dharma dalam konteks
Catur Warga yaitu melandasi setiap upaya dalam pencapaian artha,
kama dan moksa dengan landasan kebenaran (dharma). Sehingga,
setiap langkah kita dalam memperoleh, baik itu materi, cita-
cita dan kebebasan hidup haruslah senantiasa dilandasi dengan
kebenaran sebagai landasan.
Sārasamuccaya 46 menjelaskan mengenai hakikat dharma bagi
manusia, yaitu sebagai tujuan hidup.
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 103
dalam Slokantara
Apan purih nikang prthagjana, tan dharma, tan kāma,
kasiddha denya, nghing mātya donyan ahurip, doning patinya,
nghing janma muwah, ika tang prthagjana mangkana
kramanya, tan hana patinya idep nika, tahā pih, tan hana
pahinya lawan dukut, ring kapwa pāti doning jānmanya, janma
doning pātinya.
Terjemahan:
Sebab peri keadaan orang kebanyakan (orang yang belum
mencapai tingkat filsafat) ia tidak mengerti akan hakikat
dharma, dan juga tidak tahu bagaimana cara mengendalikan
nafsu; yang dapat dicapainya hanyalah untuk mati tujuannya
mereka hidup, maksud matinya adalah hanya untuk lahir lagi;
orang kebanyakan yang demikian keadaannya itu, bukan mati
yang dipikirkannya, cobalah pikirkan, kehidupannya serupa
itu tiada bedanya dengan rumput yang mati untuk tumbuh
kembali, dan tumbuhnya hanya untuk menunggu matinya
(Kajeng, 1999:38-39).
Selanjutnya dalam Sārasamuccaya 14 mendefinisikan dharma
sebagai berikut:
Ikang dharma ngaranya, hȇnuning mara ring swarga ika kadi
gatining parahu, an henuning baṇyaga nȇntasing tasik.
Terjemahan:
Yang disebut dharma adalah merupakan jalan untuk pergi
ke sorga; sebagai halnya perahu, sesungguhnya adalah
merupakan alat bagi orang dagang untuk mengarungi lautan
(Kajeng,1999:16).
Penjelasan detail mengenai dharma dapat dijumpai pada sloka
12 hingga 54, pada bab keagungan dharma dan sumber dharma.
Selain dalam Sārasamuccaya, kata dharma juga menjadi kata
pembuka dalam sloka Bhagavad gītā (1.1), yaitu:
104 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
dhrtarāṣṭra uvāca dharma-kṣetre kuru-kṣetre, samavetā
yuyutsavaḥ māmakāh pāṇḍavāś caiva kim akurvata sañjaya.
Terjemahan:
Dhrtarastra berkata: Wahai Sanjaya, sesudah putera-puteraku
dan putera Pandu berkumpul di tempat suci kuruksetra dengan
keinginan untuk bertempur, apa yang dilakukan oleh mereka?
(Prabhupada, 2006:33).
Dharma dalam sloka ini dimaknai sebagai ‘tempat suci’ atau
‘medan dharma’. Mengapa dikatakan demikian, sebab situasi
tersebut menunjukkan adanya penegakan prinsip-prinsip dharma
(kebenaran) yang diwakili oleh Pandawa, atas dharma (kejahatan)
oleh Korawa.
Prabhupada (2006:223) memberikan pengertian dharma
sebagai prinsip-prinsip yang digariskan dalam Weda, dan
penyelewengan apapun dalam hal pelaksanaan aturan Weda
disebut adharma. Dalam Srimad-Bhagavatam dinyatakan
‘dharmam tu saksad bhagavat-pranitam’, dharma adalah perintah-
perintah langsung dari Tuhan.
Prinsip dharma tertinggi adalah menyerahkan diri kepada
Tuhan dan tidak lebih dari itu. Prinsip-prinsip Weda mendorong
seseorang menuju penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan;
dan bilamana prinsip-prinsip seperti itu diganggu oleh orang jahat,
maka Tuhan akan muncul untuk menegakkan prinsip dharma itu,
seperti yang terjelaskan dalam Bhagavad gītā 4.7 dan 4.8, sebagai
berikut:
Yadā yadā hi dharmasya glānir bhavati bhārata, abhyutthānam
adharmasya tadātmānam sṛjāmy aham
Terjemahan:
Kapan pun dan di mana pun pelaksanaan dharma merosot dan
hal-hal yang bertentangan dengan dharma merajalela-pada
waktu itulah Aku sendiri menjelma, Wahai putera keluarga
Bharata (Prabhupada, 2006:222).
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 105
dalam Slokantara
Paritrāṇāya sādhūnāṁ vināśāya ca duṣkṛtām dharma-
saṁsthāpanārthāya, sambhavāmi yuge yuge
Terjemahan:
Untuk menyelamatkan orang saleh, membinasakan orang jahat
dan untuk menegakkan kembali prinsip-prinsip dharma, Aku
sendiri muncul pada setiap jaman (Prabhupada, 2006:224).
Dalam Svetasvara Upanisad (3.8) juga dinyatakan bahwa
syarat seseorang mencapai tingkat pembebasan ialah dengan jalan
mengenal Tuhan. Adapun slokanya sebagai berikut:
Tam eva viditvati mrtyum eti nanyah pantha vidyate yanaya
Terjemahan:
Seseorang dapat mencapai tingkat pembebasan sempurna
dari kelahiran dan kematian hanya dengan mengenal Tuhan,
Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada cara lain lagi
untuk mencapai kesempurnaan ini (Prabhupada, 2006:227).
Dharma merupakan aspek fundamental dalam susila Hindu.
Weda mengajarkan bahwa setiap tindakan manusia senantiasa
dilandasi dengan nilai-nilai dharma, sehingga akan mengakibatkan
hal-hal baik yang berguna bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Dharma adalah prinsip hidup manusia Hindu. Dharma adalah
aspek pertama dalam setiap moralitas, cita-cita dan tujuan
hidup. Sehingga tak berlebihan bila Weda mengatakan apabila
ada manusia yang dalam hidupnya senantiasa ingkar akan
pelaksanaan dharma, sebaliknya sangat suka mengejar harta
dan kepuasan, nafsu serta berhati tamak, maka orang tersebut
sejatinya telah kesasar, tersesat hidupnya, seperti yang terurai
dalam Sārasamuccaya 9 sebagai berikut:
Hana pwa tumȇmung dadi wwang, wimukha ring
dharmasadhana, jȇnȇk ring arthakāma arah, lobhāmbȇknya, ya
ika kabañcana ngaranya.
106 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
Terjemahan:
Bila ada yang beroleh kesempatan menjadi orang (manusia),
ingkar akan pelaksanaan dharma; sebaliknya amat suka ia
mengejar harta dan kepuasan nafsu serta berhati tamak; orang
itu disebut kesasar, tersesat dari jalan yang benar (Kajeng,
1999:13).
3.5. Yuga Tattwa
Tattwa selanjutnya yang terjabarkan dalam Ślokāntara 81 (65)
yakni adalah Yuga, yaitu pembagian masa (zaman). Yuga sendiri
berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti zaman. Menurut Weda
perputaran waktu jaman terbagi menjadi empat masa besar, yakni
Krta Yuga, Traita Yuga, Dwapara Yuga, dan Kali Yuga. Keempat
masa tersebut disebut Catur Yuga. Adapun Sloka yang menyatakan
tentang yuga dalam Ślokāntara sloka 81 (65) yakni sebagai berikut:
Tapaḥ param kṛtayuga tretāyām jñānamityāhuh, dwāpare
yajñamityāhurdānamewa kalua yuge.
(Kalinganya, ulah ngūni ring Krta Yuga, ikang wwang atapabrata
sinangguh wiśeṣa, mūlya kinalĕwihakĕn samangkā, kunang
ring Traitā Yuga, jñāna sinangguh luwih lĕwih, jñāna ngaranya
yoga, yeka winiśeṣākĕn ing wwang samangkā, muwah ikang
Dwāpara-kāla, homa yajña wiśeṣākĕn ing wwang, mapa ta lwir
ning yajña, aśwamedha yajñādi, yeka sinangguh lĕwih, kunang
kāla ning Kali Yuga mangke, mās pirak sĕkul ulam sinangguh
lĕwih dening wwang, matangyan sira sang sādhu, duhkha ri
kāla ning Kali Yuga, apan sinakitan dening wwang durjana
mĕta, śangkṣepanya, ikang durjana duṣṭa pinakawwang awak
ing sanghāra, apan magawe kahilangan ira sang sādhujana,
matangyan sang ahyun ing buddhi rahayu, haywa sira tumūt
anglarani ri sang sādhu mahāpaṇḍita, marapwan tan tumūt
ta pātaka ning janma ring Kali Yuga, ndatan sinanggah pāwak
ing sanghāra, apan ikang wwang pāwak ing sanghāra ring
Kali Yuga, amukti mahāpātaka, tĕmahnya ring kāla ning Kṛta
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 107
dalam Slokantara
Yuga, Traitā Yuga, Dwāpara Yuga, yeka lawasnya dadi itip ning
kawah, apan doṣanya n panglarani ri sang paṇḍita,amati-mati
sang paṇḍita, hetunya mamangguh pāpa, irikang kapitingan
ing yuga, yeka sinangguh cakra-bhāwa, tuhun sukha ri tĕka ning
Kali Yuga kewala, apan pinakapananghāra buddhi sang paṇḍita,
pinakapāwak ing mangharuhara rāt, ginawe pananghāra sarwa
rahayu, gatinya tinuwuhakĕn ring Kali Yuga, yeka śumīrṇākĕn
sarwa dharma gwenya, ling sang hyang aji).
Terjemahan:
Di waktu zaman Krta (Krta Yuga) tapa bratalah yang
diutamakan, di zaman Treta (Treta Yuga) pengetahuanlah
yang diutamakan, di zaman Dwapara (Dwapara Yuga)
upacara korbanlah yang diutamakan, dan di zaman Kali
(Kali Yuga) hanya kebendaan yang diutamakan.
(Dahulu di zaman Krta pelaksana tapa dan bratalah yang
dianggap paling utama. Mereka itu dihargai dan dipuja-puja.
Di zaman Treta pengetahuan (jnana) yang dianggap terutama.
Dalam pengetahuan ini termasuk juga yoga (mendisiplinkan
badan, napas, dan pikiran). Pelaksanaan jnana ini mendapat
tempat yang paling tinggi dalam masyarakat di masa itu. Di
zaman Dwapara, penyembahan kepada Deva Api (homa)
dan upacara-upacara korban (yajna) inilah yang disanjung-
sanjung setinggi langit. Dan upacara korban yang paling tinggi
di antara semuanya ialah Aswamedha (pengorbanan kuda). Di
zaman Kali Yuga ini, emas, perak, sandang dan panganlah yang
dihargai setinggi awan oleh masyarakat. Oleh karena inilah di
zaman Kali Yuga ini orang-orang berbudi tinggi merasa pedih
menderita karena disusahkan oleh orang-orang jahat dan gila.
Tegasnya, yang jahat dan rusak itu sumber kekacauan. Mereka
menyakiti orang-orang baik. Oleh karena itu bagi mereka yang
ingin mempunyai hati suci janganlah turut menyusahkan
orang-orang pandai, pendeta besar, agar jangan sampai seolah-
olah mengumpulkan dosa dalam hidup di zaman Kali Yuga
108 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
ini sehingga akhirnya sebagai sumber kehancuran. Karena
jika ia sampai dianggap sebagai sumber kehancuran dan
keruntuhan di zaman Kali Yuga ini, ia akan memetik buah
dosanya, yang maha hina itu. Dan nanti jika masa Krta Yuga,
Treta Yuga, dan Dwapara Yuga itu kembali lagi ia akan sudah
ada di dasar kawah neraka karena ia telah berani menyakiti,
mungkin membunuh para pendeta. Kejahatan ini merupakan
dosa besar yang buahnya harus dipetik di waktu datangnya
ketiga yuga yang lainnya. Ini terkenal dengan nama “lingkaran
hidup” (cakra bhawa). Kebahagiaan bagi orang-orang baik
itu hanya sampai di permulaan zaman Kali Yuga. Karena Kali
Yuga itu masa kehancuran bagi budi dan hati orang-orang
saleh (pandita). Masa ini ialah masa kegelisahan dan perasaan
tidak aman di seluruh dunia. Tidak ada kedamaian hidup.
Masa ini ialah kesempatan bagus untuk membasmi kebenaran.
Kesempatan yang “bagus” itu terus memuncak di masa Kali
Yuga itu. Semua dharma terbengkalai dan semua tergeletak
di debu tidak dihiraukan. Demikian apa yang dikatakan dalam
kitab suci) (Sudharta, 2003:268-269).
Penjelasan mengenai Catur Yuga ini juga terdapat di dalam
Kitab Korawasrama (Swellengrabel 54), sebagai berikut:
Mangkana ling sang mahārṣi, kalinganya, duk Kṛta tan hana
wighnāngucap, tumiba kang Tretā1), ana wighna, apa ta
wighnanya sukha pinakawighna, duk Tretā, yoga lumamsama,
ten kĕnĕng pangan turu, yoga kangkĕn nasi samana, samādhi
kangken ulam samana, tapa kangkĕn bañu ..... 2) ya ta Kali Yuga,
pira ta pangadĕg ing wwang samana duk ing kṛta, matangyan
tan kĕnĕng sukha-duḥkha, kadi manik winsĕhan buddhi ning
wwang samana, kadi Devatā Devatī rūpa ning wwang duk kṛta,
tan kĕnĕng lapa ngel, ya ta sakālanya, patang iwu, patang atus,
patang puluh, patang wiji, samangkana duk Kṛta, duk Tretā pwa
ya, tĕlung iwu, tĕlung atus, tĕlung puluh, tĕlung wiji, samangkana
sakālanya duk Tretā, tumiba kang Dwāpara, ana pati, ana
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 109
dalam Slokantara
kamalan, ana kaṇḍĕhan, upadrawa, sakalwirning kapātakan,
lara wirang, amati-mati padanya janma, amunuh lĕmbu
sakaṇḍang, amateni Brāhmana pitu, manunwani maṇḍala
sanga, anĕluh, amaling, ambegal, marĕbut mamet sukha, amet
pangan inum, amet kaswargan, amet kawah, ana brata, ana
tapa, ana kīrti, ana punya, ana dāna, ana bhakti, ana campali,
mangkana krama ning Dwāpara, kang mangke, sakālanya rong
iwu, rong atus, rong puluh, rong wiji, ya ta kang mangke tibanya
Dwāpara, tĕmbe tumiba Kalisanghāra, kunang sakālanya, sewu,
satus, sapuluh lan sawiji, mangkana kang sinangguh caturyuga,
ngaranya de sang ambĕk bhikṣu.
Terjemahan:
Demikian pawarah maharsi, katanya ketika jaman Krta itu tidak
ada godaan, godaan bathin ada ketika datang jaman Traita dan
godaan itu berupa kesukaan dan kebahagiaan. Di waktu Traita,
yogalah yang diutamakan dengan tidak menghiraukan makan
minum, menjalankan yoga itulah yang dianggap nasinya,
menjalankan samadhi itu dianggapnya lauk-pauk, dan tapa
itu dianggapnya air minum. Pada waktu jaman Krta manusia-
manusia itu tidak mengenal perasaan suka dan duka, budi dan
hati mereka itu sebersih mutiara di cuci. Paras muka orang-
orang di jaman Krta itu sebagai Deva dan dewi. Tak pernah
merasakan lapar atau lemah atau lelah. Lama umur yaman
Krta Yuga itu 4444 tahun. Lamanya Traita Yuga 3333 tahun.
Kemudian tibalah masa Dwapara Yuga ketika kematian datang
semakin sering, ketika keruntuhan moral mulai timbul dengan
adanya orang dikeroyok, didenda, adanya pembunuhan sapi
sekandang, pembunuhan terhadap orang-orang pandai dan
suci, membakar tempat-tempat sembahyang, melakukan
sihir, mencuri, merampok memperebutkan kesukaan diri,
memperebutkan makanan dan minuman, ingin mencapai
kenikmatan sorga, ada tiba di kawah, ada yang melakukan tapa
brata, ada membuat jasa, derma kebaikan (kebhaktian), dan
110 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
macam-macam lagi perbuatan yang bertentangan. Demikianlah
keadaan jaman Dwapara Yuga waktunya zaman maksimum
2222 tahun. Dan kini tiba masa Kali Yuga atau Kalisangara yang
lamanya sampai 1111 tahun (Sudharta, 2003:277-278).
Dalam pustaka Koraswasrama (Swellengrebel, 1436:64,66)
dikatakan bahwa:
Nguni, duk Kṛta pwa ya tan-ana ning tuwa pati ikang manusa,
arok lawan Devatā manusa samana, tan kĕnĕng pangan turu,
tan kĕnĕng sukha duḥkha, samana, apa ta ambĕk ing wwang
samana, tapa pinaka buddhi ning wwang samana, aneng awak
sang hyang urip samana, tumiba pwa kang Tretā, anĕng ati
sang hyang urip samana, apa ta ambek ing manusa samana,
yoga, samādhi, brata ambĕk ing manusa samana, bañu pangan
ing wwang samana, nora durśila maling-śilāṇḍĕngkyārīṣyā,
ĕnti pwa kang Tretā, tumiba pwa Dwāpara, dakara sawarṣa
rwang warṣa, sukha duḥkha ambĕk ing wwang samana, tan
ana sang hyang urip samana ring śarīra, anna ring pattra tṛṇa
taru sang hyang urip samana, ya tāguñing ogah angenggunang
ikang nuṣa Jawa samana, tan enak panampaknya ring samudra
ikang Yawadwīpa, apan manusa kĕnĕng sukha dukha samana,
tan apageh ing wuwusnya, tan apagĕh ing tuwuhnya, mwang
uripnya, ya ta milu tan apageh ikang nuṣa Jawa panañcĕbnya.
Terjemahan:
Jaman Krta Yuga itu manusia tidak ada tua dan tak ada yang
mati. Mereka itu bercampur baur dan tak dapat dibedakan
dengan Deva-Deva. Mereka tak mengenal makan atau tidur,
tidak mengenal suka atau duka, yang diperbuat mereka itu
selama hidupnya ialah bertapa dan itulah yang menjadi cita-
cita mereka. Kemudian tibalah jaman Traita. Jiwa di masa itu
ada di dalam hati. Apakah yang diperbuat manusia di waktu itu?
Beryoga, bersamadhi, berpuasa itulah yang menjadi cita-cita
mereka dan yang merupakan makan dan minumannya. Tidak
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 111
dalam Slokantara
ada yang berhati jahat, mencuri, curang, dan perasaan dengki
iri hati. Habislah Traita dan diganti oleh masa Dwapara. Setelah
kita-kira satu dua tahun lamanya peralihan itu, terasalah ada
suka dan duka di hati manusia itu. Dan jiwa mereka itu tidak
masih terletak di dalam badannya, tetapi pada daun-daunan,
pada rumput-rumputan, dan kayu-kayuan. Oleh karena itulah
maka pulau Jawa menjadi goyang, kocak, dan bergerak-gerak
karena letak pulau Jawa tidak bagus pada waktu itu, maka
mulailah kini terjadi kebohongan, tidak setia pada apa yang
diucapkan dan karena keguncangan dalam hati itu, guncang
pula hidup dan jiwanya. Karena itu pulalah mengapa kedudukan
pulau Jawa menjadi goyah (Sudharta, 2003:278-279).
Selanjutnya Kitab Nitisasatra IV. 7-11 akan menjelaskan
mengenai tanda-tanda jaman Kali Yuga secara lebih detail, sebagai
berikut:
Singgih yan tĕkaning yugānta kali tan hana lĕwiha sakéng
mahādhana. Tan wāktan guṇa śūra paṇḍita widagdha paḍa
mangayap ing dhanéśwara. Sakwéhning rinahasya sang wiku
hilang, kula ratu paḍa hinakāsyasih. Putrādwe pita niṇḍa ring
bapa si śūdra banija wara wīrya paṇḍita.
Terjemahan:
Sesungguhnya bila jaman Kali datang pada akhir Yuga, hanya
kekayaan yang dihargai. Tidak perlu dikatakan lagi, bahwa
orang yang saleh, orang-orang yang berani, pendeta-pendeta,
dan orang-orang yang pandai, akan mengabdi pada orang kaya.
Semua pelajaran pendeta yang gaib-gaib dilupakan orang,
keluarga-keluarga yang baik dan raja-raja menjadi hina papa.
Anak-anak akan menipu dan mengumpat orang tuanya, orang
hina dina akan menjadi saudagar, mendapat kemuliaan dan
kepandaian (Nitisastra IV.7).
Mĕnggung rāt bhuwānaṇḍhakāra ratu hīna-dāna dinananing
dhanéśwara. Sang widw angga wana-prawéśana samudra
112 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
gali manut i lampahing klai. Śūdrāsampay i wéśya, wéśya
mawalĕpa ri sira naranātha niṇḍita. Rājāsampayi sang dwija,
dwija sirālĕmĕh angulahakĕn śīwārcana.
Terjemahan:
Dunia guncang dan diselubungi kegelapan, raja-raja tidak lagi
memberi sedekah, tapi disedekahi oleh orang-orang kaya.
Pelaku-pelaku sandiwara dengan kemauan sendiri pergi
bertapa ke hutan-hutan, sambil melakukan gerakan-gerakan
mudra, sesuai dengan suasana jaman Kali yuga. Orang hina
dina menghina golongan waisya, dan waisya tidak menghargai
raja-raja, sebab memang pantas tidak dihargai lagi. Raja-raja
menghina para brahmana. Dan brahmana segan menerapkan
sejarah agama Siwa (Nitisastra IV.8).
Nirwa hyang prĕthiwi tang osadhilatahilang gunaniramrĕténg
jagat. Wipra-kṣatriya-wéśya-śūdra paḍa sangkara sama-
sama pakṣa paṇḍita. Sampunyān maka-wéśapaṇḍita wiśéṣa
kaharĕpika nora sangśaya. Niṇḍéng śāstra samādhi yoga japa,
tungga tanunika paniṇḍa śūnyata.
Terjemahan:
Dunia hilang kesuciannya, sandilata yang berfaedah kepada
dunia hilang kekuatannya. Brahmana, ksatriya, waisya dan
sudra hidup campur dan masing-masing menganggap dirinya
pendeta. Dan jika rupanya sudah seperti pendeta pula, lalu
nyata kelihatan apa yang dikehendakinya, dihinanya kitab-
kitab suci, smadhi, yoga dan mantra. Dirinya ditinggi-tinggikan
seakan-akan badan mereka sudah sama dengan “Kesunyian”
(Nitisastra IV.9).
Pangdĕning kali mūrkaning jana wimoha matukar arĕbut
kawīryawān. Tan wring rātnya makol lawan bharata
wandhawa, ripu kinayuh pakāśrayan. Déwa-drĕwya
wināśadharma rinaruh kabuyutan inilan paḍāsĕpi. Wyartha ng
śapatha su praśāsti linĕbur tekaping adhama mūrka ring jagat.
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 113
dalam Slokantara
Terjemahan:
Karena pengaruh jaman Kali, manusia menjadi kegila-gilaan,
suka berkelahi, berebut kedudukan yang tinggi-tinggi. Mereka
tidak mengenal dunianya sendiri, bergumul melawan saudara-
saudaranya dan mencari perlindungan kepada musuh. Barang-
barang suci dirusakkan, tempat-tempat suci dimusnahkan, dan
orang-orang dilarang masuk ke tempat suci, sehingga tempat
itu menjadi sepi. Kutuk tak berarti lagi, hak istimewa tidak
berlaku, semua itu karena perbuatan orang-orang angkara
murka (Nitisastra IV.10).
Wwang mahyun ri kawĕhaning dāna darīdra, krĕpaṇa
dumadak dhanéśwara. Wwang durātmaka dīrgha-jīwita,
sirang sujana dumadak alpakāmrĕta. Wwang dusśīla suśīla,
durṇaya wiwéka, kujana sujanāwibhāgana. Sang rājāsiwitĕng
suṣéna ta ya, sang madum-amilih ulah wiparyaya.
Terjemahan:
Orang-orang yang suka memberi sedekah jatuh miskin, orang
yang kikir menjadi kaya raya. Penjahat-penjahat panjang
umurnya, akan tetapi orang-orang baik lekas mati. Tingkah
laku hina dianggap utama, dan kebodohan dinamakan
kebijaksanaan, orang yang rendah budinya disebut mulia,
sungguh suatu anggapan yang aneh! Raja menurut kepada
menteri-menterinya, dan orang yang harus mengurus
segalanya bertindak salah (Nitisastra IV.11).
Demikianlah penjelasan mengenai Catur Yuga beserta
penjelasan keadaan pada masing-masing yuga-nya (jaman).
Utamanya pada jaman Kali Yuga, telah dijelaskan secara detail
dalam Kitab Nitisastra.
Swami Sivananda (2003:62) memiliki pandangan mengenai
Catur Yuga beserta seperangkat dharma yang harus diperhatikan
dalam setiap yuga-nya. Dinyatakan bahwa Satya Yuga atau jaman
keemasan, ada seperangkat dharma (hukum) yang berbeda; pada
114 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
Treta Yuga, mereka berubah menjadi bentuk lain; pada Dwapara
Yuga yang lain dan pada Kali Yuga, mereka tetap mengenakan
bentuk lain. Dharma berubah sesuai dengan perubahan jaman.
Manusia mengalami perubahan melalui pengalaman-pengalaman.
Oleh karena itu bentuk luar dharma-nya juga harus berubah.
Yang diperoleh melalui perenungan pada Satya Yuga, melalui
pengorbanan pada Treta Yuga, dan melalui pemujaan hari pada
Dwapara Yuga, dapat dicapai melalui kirtana atau menyanyikan
keras-keras nama-nama Tuhan Wisnu pada Kali Yuga atau jaman
besi sekarang ini.
Pada Satya Yuga, pikiran orang umumnya murni. Mereka tidak
memiliki gangguan pikiran. Tak ada bioskop, hotel, bangsal tari dan
gangguan-gangguan sejenisnya. Oleh karena itu meditasi mudah
dan wajar bagi mereka. Itulah sebabnya mengapa perenungan
diberlakukan bagi orang-orang pada Satya Yuga. Pada Treta Yuga,
bahan-bahan untuk melakukan yajna atau pengorbanan dapat
diperoleh secara mudah. Orang-orang memiliki kecenderungan
aktif. Oleh karena itu mudah bagi mereka untuk melaksanakan
upacara Agnihotra, Jyotistoma, Darsa-Paurnima dan yajna-yajna
yang lain. Itulah sebabnya mengapa yajna dinyatakan sebagai
bentuk luar dari sanatana dharma pada jaman itu. Pada Dwapara
Yuga, ada perwujudan Awatara dan orang-orang secara mudah
dapat memuja langsung pada Tuhan. Oleh karena itu pemujaan
dinyatakan sebagai bentuk prinsip Sadhana pada masa itu. Pada
Kali Yuga, banyak terdapat gangguan pada pikiran. Orang-orang
dalam masa Brahmacarya kurang memiliki kekuatan kehendak
dan daya penalaran atau penyelidikan rasional. Sangat sulit untuk
memperoleh bahan-bahan untuk melakukan upacara kurban.
Oleh karena itu Hari Kirtana, atau menyanyikan kuat-kuat nama-
nama ilahi dan pelayanan tanpa pamrih dari umat manusia telah
dinyatakan sebagai bentuk prinsip-prinsip sadhana (Sivananda,
2003:63).
Sebagaimana uraian kitab suci Weda, Catur Yuga tidak hanya
menjelaskan pengetahuan mengenai pembagian masa alam
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 115
dalam Slokantara
semesta ini, tetapi juga dalam Catur Yuga menjelaskan mengenai
dharma (hukum atau aturan) yang mengikat yuga tersebut.
Sebagai contoh Satya Yuga dharma yang dijalankan dalam rangka
merealisasikan Tuhan dalam dirinya dilakukan dengan jalan
perenungan, tetapi dharma itu kemudian berbeda dan berubah
ketika memasuki Kali Yuga. Sebab dinamika jaman dan manusia
telah berubah sedemikian drastis, sehingga dharma Satya Yuga
tidak mungkin dilakukan pada Kali Yuga. Tidak mungkin melakukan
perenungan yang sedemikian dalam seperti pada jaman Satya
Yuga karena situasi telah benar-benar berubah, sehingga dharma
Kali Yuga adalah dengan jalan Hari Kirtana dan pelayanan tanpa
pamrih.
116 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
Nilai Pendidikan Susila
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 117
dalam Slokantara
118 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
BAB IV
NILAI PENDIDIKAN SUSILA
4.1. Satyam
Ślokāntara, Sloka 2 (6)
Kupaśatād wai paramam saro’pi, saraśatād wai paramo’pi
yajñaḥ, yajñaśatad wai paramo’pi putraḥ, putraśatād wai
paramam hi satyam
(Kalinganya, hana pweka wwang magawe sumur sātus, alah ika
dening magawe talaga tunggal, lĕwih ikang wwang magawe
talaga, hana pweka wwang magawe talaga sātus, alah ika
phalanya dening wwang gumawayaken yajña pisan, atyanta
lĕwih ing gumawayakĕn yajña, kunang ikang wwang mayajña
ping sātus, alah ika phalanya de nikang wwang mānak-anak
tunggal, yan anak wiśesa, kalingannya ikang manak-anaka
ta lewih phalanya, muwah ikang wwang mawĕka sātus, alah
dening kasatyan, sangksepanya, lĕwih phala nikang wwang
satya, ya ta matangyan sang sādhu, haywa tan-satya ring brata,
mwang ring wacana, mangkana ulaha nira)
Terjemahan:
Membuat sebuah telaga untuk umum itu lebih baik dari-
pada menggali seratus sumur. Melakukan yajna (korban
suci) itu lebih tinggi mutunya daripada membuat seratus
telaga. Mempunyai seorang putera itu lebih berguna dar-
ipada melakukan seratus yajna. Dan menjadi manusia se-
tia itu jauh lebih tinggi mutu dan gunanya daripada mem-
punyai seratus putra.
(Orang yang membuat (menggali) sumur itu dikalahkan
kegunaannya oleh orang yang membuat telaga untuk umum.
119
Lebih berjasa orang yang membuat telaga. Sedangkan yang
membuat telaga seratus, dikalahkan oleh kebajikan orang
yang melakukan yajna (korban suci). Jauh lebih berjasa yang
mengadakan yajna. Yang melakukan seratus yajna dikalahkan
pahalanya oleh yang mempunyai putera, walaupun seorang,
asal saja putera itu saleh dan pandai. Dikatakan bahwa pahala
orang yang mempunyai seratus putera yang baik itu diatasi
oleh yang melakukan kebenaran (satya). Pendeknya, hasil
dari laksana yang benar (satya) itu mengatasi segalanya. Oleh
karena itu orang suci harus tidak berdusta, dalam sumpah
maupun kata-kata. Itulah yang harus dilaksanakan) (Sudharta,
2003:14).
Ślokāntara, sloka 3
Nāsti satyāt paro dharmo nānṛtāt pātakam param, triloke
ca hi dharma syāt tasmāt satyam na lopayet.
(Kalinganya, tan hana dharma lĕwiha sangkeng kasatyan,
matangnya haywa lupa ring kasatyan ikang wwang).
ARTI
Tidak ada dharma (kewajiban suci) yang lebih tinggi dari
kebenaran (satya), tidak ada dosa yang lebih rendah dari
dusta. Dharma harus dilaksanakan di ketiga dunia ini dan
kebenaran harus tidak dilanggar.
(Dikatakan bahwa tidak ada kewajiban suci yang melebihi
kebenaran, oleh karena itu jangan lupa bahwa manusia harus
melakukan kebenaran) (Sudharta, 2003:16).
Nilai susila pertama yang dijelaskan dalam Ślokāntara ialah
Satyam. Kata Satyam atau satya berasal dari Bahasa Sanskerta
yang artinya kejujuran atau kebenaran (Surada, 2007:292).
Dijelaskan dalam sloka di atas bahwa aktualisasi atas nilai satyam
(kebenaran atau kejujuran) itu melebihi kepemilikan telaga
yang diperuntukkan untuk umum, lebih mulia dari melakukan
yajna, bahkan melampaui kemuliaannya dari sebuah keluarga
120 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
yang memiliki seratus putra utama (suputra). Dalam sloka di
atas menjelaskan bahwa pelaksanaan kebenaran atau kejujuran
merupakan puncak dari semua upaya kebajikan. Satyam
merupakan tujuan dari semua perilaku bijak, dan tak ada kebajikan
yang sesungguhnya tanpanya.
Hal ini juga dijelaskan dalam Sārasamuccaya 129, bahkan
dikatakan bahwa pelaksanaan satya ini akan mengantarkan
manusia pada pembebasan diri dari belenggu dunia ini.
Nihan ta kottamaning kasatyan, nāng yajna, nāng danā, nāng
brata, kapwa wenang ika mengȇntasakȇn, sor tika dening
kasatyan, ring kapwa angȇntasakȇn.
Terjemahan:
Keutamaan kebenaran adalah demikian, yajna (pengorbanan),
dāna (amal-sedekah), maupun brata janji diri (sumpah
batin); semuanya itu dapat membebaskan; akan tetapi masih
dikalahkan oleh satya (kebenaran) dalam hal sama-sama
membebaskan diri dari kehidupan di dunia ini (Kajeng,
1999:106).
Dalam pandangan Weda, Satya merupakan nilai kesusilaan yang
sangat fundamental. Begitu pentingnya, satya dikatakan sebagai
penyangga bumi, seperti yang terdapat dalam AtharvaWeda XIV.1.1
berikut ini:
Satyena-uttabhitā bhūmiḥ sūryena-uttabhitā dyauḥ, ṛtena-
ādityās tiṣṭhanti divi somo adhi śritaḥ
Terjemahan:
Kebenaran/kejujuran menyangga bumi. Matahari menyangga
langit. Hukum-hukum alam menyangga matahari. Tuhan Yang
Maha Kuasa meresapi seluruh lapisan udara yang meliputi
bumi (Atmosfir) (Titib, 2003:309).
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 121
dalam Slokantara
Jika dalam AtharvaWeda, satya dinyatakan sebagai penyangga
bumi, maka dalam Sārasamuccaya 130 dikatakan bahwa satya
merupakan dharma yang utama, adapun sebagai berikut:
Yan ring janma mānusa, brāhmana sira lwih, kunāng yan ring
teja, sang hyang āditya sira lwih, yan ring awayawa, nāng
pānipādādi, hulu ikang wiṣeṣa, yapwan ring dharma, nghing
kasatyan wiṣeṣa.
Terjemahan:
Maka di antara yang dilahirkan sebagai manusia, brahmanalah
yang utama; di antara yang bersinar, matahari itulah yang
utama; mengenai anggota-anggota tubuh, seperti tangan, kaki
dan lain-lain, kepalalah yang utama, jika dharma, maka satya
(kebenaran) yang mengatasi keseluruhan (Kajeng, 1999:106-
107).
Satyam merupakan fondasi dalam kesusilaan Hindu. Seperti
yang dijelaskan dalam Sārasamuccaya 130, bahwa satyam
merupakan dharma yang utama. Kiranya dapat dipahami
bahwa peradaban Hindu (Weda) telah secara tegas memberikan
pengetahuan dan norma kesusilaan, selebihnya tak ada toleransi.
Satyam merupakan aspek fundamental yang mesti terpikirkan
pada setiap tindakan manusia. Hal tersebut dapat dimengerti
bersama bahwa, bagaimana mungkin tindakan manusia akan
berujung baik apabila tidak didasari atas kebenaran/kejujuran
(satyam).
Setiap orang dapat melihat bagaimana tindakan yang dilandasi
oleh ketidakbenaran atau ketidakjujuran itu pada akhirnya.
Contoh yang paling sederhana adalah seperti tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh koruptor. Dapat dipastikan bahwa, siapapun
yang melakukan korupsi, hampir tidak ada pertimbangan yang
benar terhadap aspek satyam (Kebenaran/kejujuran) sebelumnya.
Orang yang ingin mengambil uang negara, kemudian sempat
mempertimbangkan dengan benar nilai satyam dalam dirinya, hal
122 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
tersebut tidak akan mungkin terjadi. Namun bila seseorang telah
mengerti bahwa korupsi itu salah, namun tetap saja dilakukan,
berarti seseorang tersebut tidak dalam situasi mempertimbangkan
nilai satyam secara benar. Sebab, orang yang sungguh-sungguh
menghayati nilai satyam dalam dirinya, seseorang tersebut akan
teguh memegang kebenaran walau harus menerjang rintangan
yang berat sekalipun. Seperti yang dikatakan oleh Swami
Vivekananda, “Apakah ada kemauan keras dihatimu dan kebulatan
tekad yang dapat merombak gunung halangan, jika seluruh dunia
bangkit dengan pedang terhunus untuk melawanmu? Masih
berani jugakah engkau melakukan apa yang benar? Jika anak
istrimu sendiri menentang dan meninggalkan kamu, serta jika
seluruh hak milikmu jadi sirna karenanya dan jika namamu tidak
bersemarak lagi, masih maukah engkau tetap berpegang pada
kebenaran? Jika engkau bertekad demikian, kaulah putra-puteri
yang diperlukan oleh nusa dan bangsa. Kejarlah kebenaran walau
ke mana kau dibawanya. Lanjutkan cita-citamu sampai ke akhir
yang sewajarnya. Janganlah menjadi manusia pengecut dan palsu
akan cita-cita”. (Sudharta, 2003:31).
Satya merupakan salah satu tiang penyangga dalam ajaran
Yama (pengekangan diri) dalam agama Hindu, Sebagaimana
dijelaskan dalam Sārasamuccaya 259 berikut:
Nyang brata ikang inaranan yama, pratyekanya nihan, sapuluh
kwȇhnya, anṛṣangsya, kṣamā, satya, ahingsā, dama, ārjawa,
prīti, prasāda, mādhurya, mārdawa, nahan pratyekanya
sapuluh, ānrṣangsya, si harimbawa, tan swārtha kewala,
ksama, si kȇlan ring panastīs, satya, si tan mṛṣāwāda, ahingsa,
manukhe sarwa bhāwa; dama, si upacama wruh mituturi
manahnya, ārjawa, si dugādugabȇnȇr, prīti, si göng karuna,
prasāda, heningning manah, mādhurya, manisning wulat
lawan wuwus, mārdawa, pösning manah.
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 123
dalam Slokantara
Terjemahan:
Inilah brata yang disebut Yama, perincianya demikian:
anrsangsya, ksama,satya, ahimsa, dama, arjawa, priti, prasada,
madhurya, mardawa, sepuluh banyaknya; anrsangsya yaitu
harimbawa, tidak mementingkan diri sendiri; ksama, tahan
akan panas dan dingin; satya, yaitu tidak berkata bohong
(berdusta); ahimsa, berbuat selamat atau bahagianya sekalian
makhluk; dama, sabar serta dapat menasihati diri sendiri;
arjawa, adalah tulus hati dan berterus terang, priti, yaitu sangat
welas asih; prasada, kejernihan hati; madhurya, manisnya
pandangan (muka manis) dan manisnya perkataan (perkataan
yang lemat lembut); mardawa, kelembutan hati (Kajeng, dkk.,
1999:195).
Satyam adalah tidak berkata dusta (bohong). Satyam
juga diartikan sebagai kebenaran. Dalam etika Hindu, Satyam
merupakan dasar dari spiritualitas. Kejujuran dan kebenaran
merupakan mentalitas yang mesti diupayakan secara terus
menerus dan sedini mungkin. Aktualisasi satyam secara konsisten
akan mengantar manusia pada keagungan diri dan penghargaan
tak ternilai. Hal tersebut yang mengantarkan kemasyuran Maharaja
Yudistira dan Hariscandra. Kedua pribadi ini begitu dikagumi
dunia, karena kejujuran dan kebenarannya yang tanpa tanding.
Sivananda menyatakan bahwa Sat (kebenaran) adalah
Brahman, kebajikan tertinggi dan sumber kemuliaan dari
kehidupan susila. Dalam Taittiriya Upanisad sang guru berkata
kepada muridnya, “satyam wada - berkatalah yang benar”. Dunia
berakar pada kebenaran. Dharma dipakukan pada kebenaran.
Semua agama didasarkan pada kebenaran. Kejujuran, keadilan,
kelurusan hati dan ketulusan, hanya modifikasi atau pernyataan
dari kebenaran (Sivananda, 2003:48).
Di bawah ini adalah kisah yang terkait dengan penghayatan
satyam dalam kehidupan, sebagai berikut:
124 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
Di sebuah desa ada seorang peternak sapi yang sangat rajin
dan sangat sayang kepada anaknya. Nama peternak sapi itu
adalah Ramaprasadha. Ia mempunyai dua orang anak, masing-
masing bernama Surya dan Candra. Pada suatu hari ayah ini
berpesan kepada anak-anaknya: “Anak-anakku, kalian berdua
adalah bersaudara kandung, tidak ada yang lain. Ingatlah, kalian
harus rukun, saling menyayangi, jujur, kalian jangan dengki, dan
membenci salah satu dari kalian. Bekerjalah dengan tekun, jujur
dan senantiasa pula berbhakti kepada Tuhan. Dengan demikian
engkau akan memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan.
Suatu hari Ramaprasadha memarahi Surya dengan keras
karena ia lalai mencarikan rumput untuk sapi peliharaannya itu.
Surya sangar terluka hatinya dan kemudian pergi meninggalkan
rumah serta mengambil keputusan tidak akan kembali ke rumah
orang tuanya. Ramaprasadha sangat sedih dengan kehilangan
Surya, anaknya yang tertua. Beberapa puluh tahun kemudian,
sebelum Ramaprasadha meninggal dunia, ia memanggil Candra
dan berpesan: “Anakku sayang, cobalah dengan segala usaha
cari kakakmu Surya sampai ketemu. Kamu dengan mudah
mengenalinya, karena ada tahi lalat di dahinya. Dari sepuluh ekor
sapi yang kita miliki, berikanlah lima ekor kepadanya dan lima
ekor sisanya menjadi milikmu. Umur ayah tidak akan panjang,
ayah akan pergi meninggalkanmu selama-lamanya”.
Setelah Ramaprasadha meninggal, Candra berusaha
melaksanakan pesan ayahnya. Ia pergi ke pelbagai pelosok desa
dan kota, di mana ada keramaian atau pesta, ia datangi tempat
itu dengan harapan akan bertemu dengan kakaknya, yakni Surya.
Semua usaha untuk menemukan kakaknya gagal. Pada suatu hari,
sewaktu Candra menggembalakan sapinya untuk merumput,
ia menjumpai seorang yang tampaknya asing, duduk di bawah
sebatang pohon yang rindang, mengenakan pakaian kotor dan
compang-camping. Candra tidak ragu lagi mendatangi orang itu
dan memanggilnya sebagai kakak, karena tanda tahi lalat yang
besar di dahi masih jelas tampak. “Oh kakak Surya mengapa
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 125
dalam Slokantara
begini, engkau sangat menderita dan menjadi pengemis. Marilah
kita pulang, ayah telah meninggal setahun yang lalu. Saya terus
mencari kakak, namun rupanya Tuhan baru mempertemukan
saat ini. Pesan ayah, sapi yang sepuluh ekor jumlahnya dibagi dua,
kakak mengambil lima ekor, saya lima ekor. Mari kita pulang dan
hidup sebagai peternak, kita perah sapi kita dan menjual susu ke
pasar”. Surya menuruti perintah adiknya untuk bersama-sama
pulang. Mereka makan bersama, tetapi Surya tampak diam saja
dan jarang berbicara. Besok paginya ketika Candra bangun dari
tidurnya, dia terkejut karena Surya telah tidak ada di rumah.
Ia mencoba mencari di sekitar rumah, juga tidak bisa bertemu
dengan kakaknya itu. Ia mencari ke kandang sapi, ternyata lima
ekor sapinya telah tiada di tempat. Rupanya Surya telah pergi
membawa sapi-sapi yang menjadi bagiannya. Candra sangat heran,
mengapa kakaknya bersikap demikian. Setelah lama berpikir, ia
merasa sedikit terhibur: “Saya telah melaksanakan pesan ayah
dengan baik kepada kakak Surya dan saya telah berikan warisan
lima ekor sapi sesuai pesannya. Mengapa saya harus bersedih?”.
Beberapa hari kemudian, sebuah kereta yang indah berhenti di
depan rumahnya. Candra mengintip dari celah jendela rumahnya,
siapa yang datang dengan kereta seindah itu. Ia sangat terkejut
karena yang datang dengan pakaian yang indah adalah orang yang
mempunyai tahi lalat besar di dahinya mirip kakaknya. Tetapi ia
ragu karena penampilannya sangat tampan, mengenakan pakaian
yang indah berbahan wool dan sutra yang mahal dan tampak
kaya raya. Orang itu mendekati Candra dengan senyum manis
dan berkata: “Wahai adikku, apakah kamu tidak ingat padaku?”.
Candra menjawab dengan suara sedih: “Oh kakak tentu saya
masih ingat dan bisa mengenali kakak karena ada tahi lalat yang
besar di dahi kakak. Saya sangat menyesal. Saya telah membuat
kesalahan besar. Dua minggu yang lalu saya telah memberikan
lima ekor sapi warisan ayah kepada orang yang mirip wajahnya
seperti kakak tetapi berpakaian compang-camping dan tampak
seperti pengemis. Saya telah berbuat keliru, saya minta maaf, saya
126 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
akan serahkan sapi saya lima ekor sebagai bagian kakak karena
saya telah keliru memberikan seseorang yang mirip kakak”. Surya
berkata dengan lembut dan penuh kasih sayang, sambil memeluk
adiknya dan berkata: “Adikku Candra, kamu tidak bersalah dan
tidak keliru. Aku sendirilah yang datang berpakaian compang-
camping seperti pengemis yang kotor untuk menguji kesetiaan
dan kejujuranmu. Sungguh kamu sama jujur dan setianya seperti
ayah kita. Ketahuilah adikku, walaupun kakak pergi meninggalkan
ayah, aku selalu memohon doa restu beliau. Berkat restu beliau,
aku kini berhasil menjadi seorang pedagang besar dan memiliki
beberapa toko di kota, di antaranya toko berjualan buah dan
sayuran. Kakak berusaha dengan kejujuran dan ketulusan hati
serta giat bekerja, dan kakak sekarang sudah mampu, termasuk
memiliki sebuah kereta yang sangat mahal. Kakak juga mempunyai
rumah besar dengan halaman yang luas di kota, lengkap dengan
kebun dan taman yang indah. Kedatangan kakak kemari adalah
untuk menjemput kamu, untuk mengajak kamu tinggal bersama
di kota. Kakak telah membeli sebuah toko buah, sayuran dan
susu di dalam pasar untuk kamu ambil dan kelola menjadi milik
sendiri”. Kedua saudara itu bergandengan tangan ke tembok
rumahnya untuk melihat foto ayahnya yang tampak berwibawa,
jujur dan suka bekerja keras. Mereka berdua mencakupkan tangan
di dada masing-masing dan berkata: “Ayah, engkau mendidik kami
dengan baik dan mengajarkan kepada kami untuk menjadi orang
yang jujur, suka bekerja keras dan hidup sederhana. Kami sangat
beruntung mempunyai ayah yang mendidik kami dengan baik.
Kami kini hidup sejahtera dan bahagia karena restu ayah dan ibu”.
Demikian orang yang jujur memang sering mendapat cobaan,
namun kejujuran pasti akan tetap unggul. “Satyam eva jayate,
satyam nasti paro dharmah na anrtam”, kejujuran pasti jaya,
kejujuran adalah bentuk agama yang tertinggi, bukan kebohongan
(Titib, 2004:70-72).
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 127
dalam Slokantara
4.2. Susila
Ślokāntara, sloka 5 (36)
Tṛṇakuśamuditānām kāñcanaiḥ kiṁ mṛganām, phalata-
rumuditānām ratnabhirwānārām, asurabhimmuditānām
gandhibhiḥ sūkarāṇām, naca bhawati narāṇāmtu priyam
taswiśeṣam.
(Kalinganya, ikang mrga, kidang, manjangan, tan pinakasukha
ning twasnya ika yan wehana mās mwang bhūṣaṇa, kunang
ika yan pinakasukha ning manahnya, yan haneng alas akweh
dukutnya hayu, mwang alang-alang, ramban-rambanan, yeka
jĕnĕk ing manahnya, mangkana ikang wānara, yan wehana
sahana ning ratna mūlya, tan pinakasukhanya ika, kunang yan
umulat irikang wwah-wwahan mĕnduh pada matasak, yeka
magawe sukhanya, mangkana tekang wök, tan sukha ika dening
sarwa-sugandha, kunang ikang magawe sukha ri twasnya,
pangĕmĕh rikang pacaryan durgandha, yeka manukhani
ring cittanya, mangkana ikang wwang dadiha ika ring tan
kinahyunan de nika, taha tan mangkana, asing winiśeṣakĕn
ing twasnya, yeka singhit ing hatinya, hetu ning janma wwang,
hana sor, hana wwang menak, hana kawula, hana tuhan, hana
mūdha, hana guna, hana wirūpa, hana surūpa, hana manĕmu
hala, hana manĕmu hayu, hana manuṣya, hana sattwa, hana
taru, hana latā, hana trna, irika ta katinghalan ikang swarga
lawan naraka, mapa rūpanya, yan hana wwang atyanta
wibhuh ring bhūminira, yeka swarga ngaranya, yeka dinalih
Sang Hyang Indra, yan hana wadwanira kasihan, yeka sāksāt
widyādhara, yan hana bujangga mwang Brāhmana Weda-
pāraga, tan kakurang ing tattwa sarwaśāstrāgama, yeka
Bhagawan Wṛhaspati ngaranira, muwah yan hana wwang
wirūpa, mūdha kasyaśth, gringan, göng dukhanya, yeka kawah
ngaranya, nguni-nguni ikang wwang kandĕhan lara tan
sāmānya, tan ucapĕn ikang tiryak kabeh, tĕkeng tṛṇa, taru, latā,
pipilikā, ikang satumuwuh, yeka neraka, matangyan ikang ulah
128 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
rahayu, gawayakna, narapwan tan kalebwing maharorawa,
sang wruh irika yeka wruh ring dharma rahayu, yan tan hana
buddhidharma, inajarakĕn mahaniraya ngaranya, nir ngaranya
nor, aya ngaranya laku, tan lumakwakĕn dharma rahayu
kalinganya, matangyan singgahana ikang hawan mareng
kawah, lakwanana ikang mārga mareng swarge, ling Sanghyang
Dharma, ya tutur ngaranya, ling ning aji).
Terjemahan:
Bagi seekor kijang yang berbahagia dengan rumput dan
buluh muda, perhiasan emas itu tidak berarti. Bagi kera
yang berbahagia dengan buah-buahan pada pohon kayu,
Mutiara itu tidak ada artinya. Bagi babi yang gembira
dengan makanan yang sudah busuk, bau bunga harum
itu tidak berarti apa-apa. Tetapi bagi manusia, dharmalah
(perbuatanbaiklah)yangharusdiutamakandandilakukan
walaupun kadang-kadang tidak menggembirakan.
(Marga atau kijang dan menjangan itu tidak merasa berbahagia
dalam hatinya walaupun mereka diberi emas dan perhiasan
indah. Tetapi hati mereka akan gembira jika hutan di sekitar
mereka menghijau oleh rumput dan dedaunan muda.
Demikian juga halnya kera. Walaupun mereka itu dihadiahi
dengan permata sebanyak-banyaknya, mereka tidak akan
berbahagia tetapi mereka bahagia bila buah-buahan pada
bergelantungan dan masak. Demikian juga babi, tidak
berbahagia diberi makanan serba harum, tetapi jika mereka
diberi makanan berbau busuk mereka sangat berbahagia.
Apakah sifat manusia itu mau saja menerima apa yang tidak
disukainya? Kenyataannya tidaklah demikian segala apa yang
mereka anggap bagus, itu pulalah yang dirindukan hatinya.
Dan inilah suatu sebab mengapa mereka itu lahir kembali
dalam tingkatan yang berbeda-beda, ada yang lahir di tingkat
rendah atau tinggi, menjadi budak atau majikan, menjadi
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 129
dalam Slokantara
orang bodoh atau pandai, orang cacat atau orang sempurna
kecantikannya, menderita sengsara atau berbahagia, lahir
sebagai manusia atau binatang atau menjadi pohon-pohonan,
tumbuh-tumbuhan merambat atau rumput. Kita dapat melihat
perbedaan kelahiran mereka itu apakah dari sorga ataukah
dari neraka. Apakah tanda-tandanya yang jelas? Ia yang lahir
menjadi orang besar di daerahnya, pasti kelahiran sorga. Ia
dapat disamakan dengan Deva Indra, sedangkan rakyat yang
disayangi dapat diandaikan bidadari-bidadari dari kahyangan.
Para pendeta dan cendekiawan yang pandai dalam ajaran Kitab
Suci Weda dan tidak tanggung-tanggung pengetahuannya
dalam kitab-kitab suci lainnya, mereka itu dapat dianggap
keturunan Bhagawan Wrhaspati yang agung itu.
Sebaliknya, mereka yang lahir sebagai manusia cacat, dungu,
sengsara, merangkak-rangkak, dan menderita siksaan hidup,
mereka itu kelahiran neraka yang termasuk golongan rendah
sampai kepada rumput, kayu-kayuan, tumbuh-tumbuhan
merambat, semut, dan tumbuh-tumbuhan lainnya. Mereka itu
semua datangnya dari neraka.
Oleh karena itu tiap orang harus berbuat yang baik, agar tidak
sampai terjerumus ke dalam Neraka Maharorawa. Mereka yang
mengerti ini, mengerti ajaran dharma. Dan mereka yang tidak
mengerti sama sekali tentang dharma dinamai sangat “niraya”.
“Nir” artinya tidak “aya” artinya melakukan, jadi “niraya”
artinya tidak berbuat yang baik. Oleh karenanya, manusia
harus menghindari jalan yang membawanya ke neraka dan
memilih serta mengikuti jalan menuju sorga.
Demikianlah ajaran dharma yang dinamai “tutur” (nasihat
yang patut).
Semuanya ini ada dalam kiab suci) (Sudharta, 2003:21-24).
Sloka di atas menjelaskan bahwa sikap atau tindakanlah yang
akan mengantarkan manusia pada kehidupan yang baik atau buruk
dikemudian hari. Orang yang melakukan kebajikan atau susila (ulah
130 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
rahayu) akan menuju pada kebaikan dalam hidupnya. Kebajikan
akan mengantarkan manusia pada alam svarga. Kebajikannya
pula, yang akan memberikan sifat-sifat yang baik, kehidupan yang
utama, kondisi badan yang rupawan, dan banyak hal-hal baik yang
akan diperolehnya ketika lahir di dunia. Sebaliknya, perilaku yang
jahat atau asusila akan mengantarkan manusia pada kehidupan
yang buruk. Perbuatan jahat akan membawa manusia pada naraka
loka. Kemudian jika lahir di dunia, maka manusia jahat itu akan
senantiasa tidak beruntung dalam kehidupannya, bernasib buruk,
tidak rupawan, cacat, bodoh, dan banyak hal-hal buruk yang akan
diterima dalam kehidupannya. Demikianlah, kesusilaan sangat
penting untuk dilaksanakan oleh setiap manusia, dan Ślokāntara
telah menjelaskan mengenai hal ini.
Ulah rahayu artinya berperilaku baik. Ulah rahayu memiliki
pengertian yang sepadan dengan kata sila atau susila. Sila artinya
1) aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau bangsa,
2) kelakuan atau perbuatan yang menurut adab (sopan santun),
3) dasar; adab; akhlak, moral. Sedangkan Susila artinya baik budi
bahasanya; beradab; sopan (KBBI, 2008:1305 &1363).
Agama Hindu Sangat menganjurkan bahwa dalam setiap
perbuatan hendaklah dipastikan bahwa perbuatan itu baik.
Bahkan dalam Sārasamuccaya 7 dikatakan bahwa setiap kelahiran
manusia tiada lain adalah waktu melaksanakan ulah rahayu, susila
atau subhakarma.
Apan iking janma mangke, pagawayan śubhāśubhakarma juga
ya, ikang ri pena pabhuktyan karmaphala ika, kalinganya,
ikang śubhāśubhakarma mangke ri pȇna ika an kabukti
phalanya, ri pȇgatni kabhuktyanya, mangjanma ta ya
muwah, tūmūta wāsanāning karmaphala, wāsanā ngaraning
sangakāra, turahning ambemātra, ya tinūtning paribhāsā,
swargacyuta, narakaṣyuta, kunang ikang śubhāśubhakarma ri
pȇna, tan paphala ika, matangnyan mangke juga pȇngpönga
śubha aśubhakarma.
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 131
dalam Slokantara
Terjemahan:
Sebab kelahiran menjadi manusia sekarang ini adalah
kesempatan melakukan kerja baik ataupun kerja buruk,
yang hasilnya akan dinikmati di akhirat; artinya, kerja baik
ataupun kerja buruk sekarang ini, di akhirat sesungguhnya di
kecap akan buah hasilnya itu; setelah selesai menikmatinya,
menitislah pengecap itu lagi; maka turutlah bekas-bekas hasil
perbuatannya: wasana disebut sangskara, sisa-sisa yang tinggal
sedikit dari bau sesuatu yang masih bekas-bekasnya saja, yang
diikuti penghukuman yaitu jatuh dari tingkatan sorga maupun
dari kawah neraka; adapun perbuatan baik ataupun buruk yang
dilakukan di akhirat, tidaklah itu berakibat sesuatu apapun,
oleh karena yang sangat menentukan adalah perbuatan baik
atau buruk yang dilakukan sekarang juga (Kajeng, 1999:10-
11).
Dalam kehidupan manusia, susila adalah upaya terus menerus.
Susila hendaknya mengiringi setiap pikiran, kata-kata dan tingkah
laku manusia. Bila kelahiran manusia tanpa diiringi dengan
kesusilaan maka disebut sia-sia belaka, manusia yang tidak
mengerti dengan tujuan hidupnya. Hal tersebut diungkapkan
dalam Sārasamuccaya 156 dan Sārasamuccaya 160, sebagai
berikut:
Matangnyan nihan kadāyakȇnaning wwang, tan wāk, kāya,
manah, kawarjanā, makolahan aśubhakarma, apan ikang
wwang mulahakȇn ikang hayu, hayu tinȇmunya, yapwan hala
pinakolahnya, hala tinȇmunya.
Terjemahan:
Oleh karenanya, inilah harus diusahakan orang, jangan biarkan
kata-kata laksana dan pikiran melakukan perbuatan buruk,
karena orang yang melakukan sesuatu yang baik, kebaikanlah
diperolehnya; jika kejahatan merupakan perbuatannya, celaka
yang ditemukan olehnya. (Kajeng, 1999:126).
132 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
Çila ktikang pradhāna ring dadi wwang, hana prawrttining
dadi wwang duccīla, aparan ta prayojananika ring hurip, ring
wibhawa, ring kaprajñān, apan wyartha ika kabeh, yan tan
hana silayukti.
Terjemahan:
Susila itu adalah yang paling utama (dasar mutlak) pada titisan
sebagai manusia, jika ada perilaku (tindakan) titisan sebagai
manusia itu tidak susila, apakah maksud orang itu dengan
hidupnya, dengan kekuasaan, dengan kebijaksanaan, sebab
sia-sia itu semuanya (hidup, kekuasaan dan kebijaksanaan)
jika tidak ada penerapan kesusilaan pada perbuatan (praktek
susila) (Kajeng, 1999:128).
Hampir tidak ada makna dalam hidup seseorang ketika
mengabaikan nilai kesusilaan, orang tersebut dikatakan sebagai
tersesat, tak memiliki maksud atau tujuan dalam hidup, namun
ketika manusia benar-benar melaksanakan susila dalam
kehidupannya dengan baik, maka seseorang tersebut akan
memperoleh segala yang dicita-citakan. Hal tersebut dijelaskan
dalam Sārasamuccaya 159, sebagai berikut:
Apan iking tribhuwana tuwi, kinaniṣcayakȇn ikān alaha,
kakawasa wih, denika sang apagȇh ring śīlayukti, apan tan
hana tan katȇkan denikang sang suṣīla.
Terjemahan:
Sebab triloka ini sekalipun, pasti akan kalah dan dikuasai
oleh orang yang berketetapan hati melaksanakan kesusilaan,
karena tidak ada sesuatu yang tidak tercapai oleh orang yang
berperilaku susila (susilawan) (Kajeng, 1999:127-128.
Sivananda menyatakan bahwa susila merupakan jalan spiritual,
fondasi yoga, pilar dari struktur bhakti dan gerbang menuju Tuhan.
Tanpa kesempurnaan susila, tak mungkin ada kemajuan spiritual
atau realisasi. Seorang sisya yoga atau calon, harus secara ketat
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 133
dalam Slokantara
menekankan pada masalah susila. Ia harus jujur dan murni dalam
pikiran, perkataan dan perbuatan. Ia harus memiliki perilaku yang
cemerlang. Ia tidak boleh merugikan makhluk hidup manapun
dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Ia harus melaksanakan
secara tegas pemikiran yang benar, perkataan dan perbuatan yang
baik (2003:64-65).
Terkait dengan hal tersebut, Sri Krsna dalam kitab Bhagawad-
gita bersabda kepada Arjuna, sebagai berikut:
Tasmāc chāstraṁ pramāṇaṁ te kāryākārya-vyavasthitau,
jñātvā śāstra-vidhanoktaṁ karma kartum ihārhasi
Terjemahan:
Karena itu, seharusnya seseorang itu mengerti apa itu
kewajiban dan apa yang bukan kewajiban menurut peraturan
kitab suci. Dengan mengetahui aturan dan peraturan tersebut,
hendaknya ia bertindak dengan cara supaya berangsur-
angsur dirinya maju ke tingkat yang lebih tinggi (Prabhupada,
2006:759-760).
Inti dari apa yang telah di Sabdakan Sri Krsna kepada Arjuna
dalam sloka tersebut tiada lain adalah, hendaknya setiap manusia
memahami tugas serta kewajibannya yang baik dan benar, dan
didasarkan atas otoritas kitab suci sebagai dasar dalam bersikap.
Hal tersebut karena setiap manusia memiliki daya dan waktu
yang sangat terbatas untuk berpikir tentang prinsip dan tertib
moral, oleh sebab itu kitab suci dan orang-orang suci memberikan
penjelasan tentang prinsip-prinsip moral universal.
4.3. Dosajna
Ślokāntara, sloka 9 (83)
Ᾱpadgato’pi doṣajño dharmaśāstram na warjayet, saroru-
ham yathā bhṛṅgaśchinnpakso’pi jñātibhiḥ.
134 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
(Kalinganya, doṣajña ngaranira sang pandita, āpad-gata
ngaranya tĕka ning laraning wong waneh doṣa sira dening
durjana, tathāpinya ngkana, tan patinggal dharma mwang
śāstrāgama sira, tan surud sira ring ulah rahayu, makakārana,
swajāti nireng pandita, kadyangga nikang bhṛṅga, bhṛṅga
ngaranya brahmara, chinnapakṣa apituwi tugĕl hĕlar ika,
tathāpinya tan patinggal kambang ing saroruha inisĕp ika,
pisaningū mangisĕpa purisa, taha tan mangkana, mangkana
sang paṇdita, pisaningū sira ngangĕn-angĕna hala ri sama-
sama nira tumuwuh, tah tan mangkana ulah nira, yadyapi
wehana larāmbĕk sira, mwang dalihen durjana dening wwang,
tan pangangĕn-mangen ahala sira ring loka).
ARTI
Seorang teguh iman walaupun ia berada dalam kesusahan
atau bencana besar, ia tidak akan mau melanggar
ketentuan-ketentuan dan nasihat-nasihat kitab suci. Sama
dengan kumbang yang tidak akan mau meninggalkan
bunga seroja walaupun sayapnya dicabut.
(Dosajna artinya orang teguh iman. Apagata, yaitu orang
yang disusahkan oleh orang lain, orang yang telah dibencanai
oleh orang jahat. Walaupun demikian ia tidak akan mau
meninggalkan dan melanggar ajaran-ajaran agama dan
dharma. Ia tidak akan berhenti mengerjakan kebajikan karena
ia telah dilahirkan dalam lingkungan orang bijaksana. Ia
dapat diumpamakan sebagai seekor “bhrnga”, yaitu kumbang,
“Chinnapaksa” artinya sayapnya dicabut putus, walaupun
demikian ia tidak akan mau meninggalkan bunga seroja yang
sedang diisapnya itu. Ia tidak akan mau mengisap kotoran. Ia
tidak akan pernah berbuat itu. Demikian juga seorang bijaksana
walaupun ia dibencanai atau dihina oleh orang lain, namun ia
tidak akan mau membalas dendam dan berniat jahat terhadap
manusia lain) (Sudharta, 2003:32)
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 135
dalam Slokantara
Dosajna dalam konteks ini dimaknai sebagai keteguhan dalam
pelaksanaan prinsip-prinsip dharma, yaitu teguh dalam perbuatan-
perbuatan benar atau sadacara. Pelajaran penting tentang
keteguhan dapat disimak ketikan Sri Krsna sebagai penjelmaan
Tuhan yang turun ke dunia, memberikan wejangan kepada Arjuna
di Kurusksetra dalam perang Bharatayudha ketika sedang dilanda
kebingungan dan kebimbangan karena harus melawan keluarga
sendiri, bahkan gurunya. Salah satu wejangan itu Sri Krsna ketika
itu adalah mengenai keteguhan diri, Beliau menyatakan:
Duḥkheṣv anudvigna-manāḥ, sukheṣu vigata-spṛhaḥ, vīta-rāga-
bhaya-krodhaḥ sthita-dhir munir ucyate
Terjemahan:
Orang yang tidak sedih di kala duka, tidak kegirangan dikala
bahagia, bebas dari nafsu, rasa takut dan amarah, ia disebut
orang bijak yang teguh (Pudja, 1999:67).
Sri Krsna bahkan menyatakan bahwa keteguhan hati
merupakan kualifikasi yang harus dipenuhi bagi orang-orang yang
mencita-citakan pembebasan dalam hidupnya. Berikut adalah
penjelasan Beliau:
Yam hi na vyathayanty ete puruṣaṁ puruṣarsabha, sama-
duḥka-sukhaṁ dhīraṁ so mṛtatvāya kalpate
Terjemahan:
Wahai manusia yang paling baik (Arjuna), orang yang
tidak goyah karena suka ataupun duka dan mantap dalam
kedua keadaan itu pasti memenuhi syarat untuk mencapai
pembebasan (Prabhupada, 2006:92).
Weda juga menegaskan bahwa keteguhan dalam pelaksanaan
prinsip-prinsip dharma merupakan sumber dari kebahagiaan
manusia. Sebagaimana yang terjelaskan dalam Sārasamuccaya 19
sebagai berikut:
136 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara