The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Nilai-Nilai Pendidikan Hindu dalam Slokantara Ebook

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Jakad Media, 2020-11-24 22:07:38

Nilai-Nilai Pendidikan Hindu dalam Slokantara Ebook

Nilai-Nilai Pendidikan Hindu dalam Slokantara Ebook

konteks lingkungan sosial. Hal ini terlihat, misalnya pada nilai-
nilai susila dan upacara yang secara langsung bersentuhan dengan
kehidupan sosial. Salah satu nilai susila yang dapat kita jadikan
contoh di sini adalah satya (kebenaran).

Satya berati kebenaran. Nilai ini terdapat dalam teks Ślokāntara
sloka 2 (6) dan Ślokāntara sloka 3 (7) sebagai berikut:

Kupaśatād wai paramam saro’pi, saraśatād wai paramo’pi
yajñaḥ, yajñaśatad wai paramo’pi putraḥ, putraśatād wai
paramam hi satyam

Kalinganya, hana pweka wwang magawe sumur sātus, alah ika
dening magawe talaga tunggal, lĕwih ikang wwang magawe
talaga, hana pweka wwang magawe talaga sātus, alah ika
phalanya dening wwang gumawayaken yajña pisan, atyanta
lĕwih ing gumawayakĕn yajña, kunang ikang wwang mayajña
ping sātus, alah ika phalanya de nikang wwang mānak-anak
tunggal, yan anak wiśesa, kalingannya ikang manak-anaka
ta lewih phalanya, muwah ikang wwang mawĕka sātus, alah
dening kasatyan, sangksepanya, lĕwih phala nikang wwang
satya, ya ta matangyan sang sādhu, haywa tan-satya ring brata,
mwang ring wacana, mangkana ulaha nira

Terjemahan:

Membuat sebuah telaga untuk umum itu lebih baik
daripada menggali seratus sumur. Melakukan yajna
(korban suci) itu lebih tinggi mutunya daripada membuat
seratus telaga. Mempunyai seorang putera itu lebih
berguna daripada melakukan serratus yajna. Dan menjadi
manusia setia itu jauh lebih tinggi mutu dan gunanya
daripada mempunyai seratus putra.

Orang yang membuat (menggali) sumur itu dikalahkan
kegunaannya oleh orang yang membuat telaga untuk umum.
Lebih berjasa orang yang membuat telaga. Sedangkan yang
membuat telaga seratus, dikalahkan oleh kebajikan orang

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 237
dalam Slokantara

yang melakukan yajna (korban suci). Jauh lebih berjasa yang
mengadakan yajna. Yang melakukan seratus yajna dikalahkan
pahalanya oleh yang mempunyai putera, walaupun seorang,
asal saja putera itu saleh dan pandai. Dikatakan bahwa pahala
orang yang mempunyai seratus putera yang baik itu diatasi
oleh yang melakukan kebenaran (satya). Pendeknya, hasil
dari laksana yang benar (satya) itu mengatasi segalanya. Oleh
karena itu orang suci harus tidak berdusta, dalam sumpah
maupun kata-kata. Itulah yang harus dilaksanakan (Sudharta,
2003:14).

Nāsti satyāt paro dharmo nānṛtāt pātakam param, triloke
ca hi dharma syāt tasmāt satyam na lopayet.

Kalinganya, tan hana dharma lĕwiha sangkeng kasatyan,
matangnya haywa lupa ring kasatyan ikang wwang.

Terjemahan:

Tidak ada dharma (kewajiban suci) yang lebih tinggi dari
kebenaran (satya), tidak ada dosa yang lebih rendah dari
dusta. Dharma harus dilaksanakan di ketiga dunia ini dan
kebenaran harus tidak dilanggar.

Dikatakan bahwa tidak ada kewajiban suci yang melebihi
kebenaran, oleh karena itu jangan lupa bahwa manusia harus
melakukan kebenaran (Sudharta, 2003:16).

Kedua sloka tersebut menjelaskan tentang keutamaan satya
(kebenaran) dalam peri kehidupan dan tindakan manusia.
Sivananda menyatakan bahwa Sat (kebenaran) adalah Brahman,
kebajikan tertinggi dan sumber kemuliaan dari kehidupan susila.
Dalam Taittiriya Upanisad sang guru berkata kepada muridnya,
‘satyam wada-berkatalah yang benar’. Dunia berakar pada
kebenaran. Dharma dipakukan pada kebenaran. Semua agama
didasarkan pada kebenaran. Kejujuran, keadilan, kelurusan hati

238 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

dan ketulusan, hanya modifikasi atau pernyataan dari kebenaran
(Sivananda, 2003:48).

Dalam pandangan Weda, Satya merupakan nilai kesusilaan yang
sangat fundamental. Begitu pentingnya, satya dikatakan sebagai
penyangga bumi, seperti yang terdapat dalam AtharvaWeda XIV.1.1
berikut ini:

Satyena-uttabhitā bhūmiḥ, Sūryena-uttabhitā dyauḥ ṛtena-
ādityās tiṣṭhanti, divi somo adhi śritaḥ.

Terjemahan:

Kebenaran/kejujuran menyangga bumi. Matahari menyangga
langit. Hukum-hukum alam menyangga matahari. Tuhan Yang
Maha Kuasa meresapi seluruh lapisan udara yang meliputi
bumi (Atmosfir) (Titib, 2003:1996).

Jika dalam AtharvaWeda, satya dinyatakan sebagai penyangga
bumi, maka dalam Sārasamuccaya 130 dikatakan bahwa satya
merupakan dharma yang utama, adapun sebagai berikut:

Yan ring janma mānusa, brāhmana sira lwih, kunāng yan ring
teja, sang hyang āditya sira lwih, yan ring awayawa, nāng

pānipādādi, hulu ikang wiṣeṣa, yapwan ring dharma, nghing
kasatyan wiṣeṣa.

Terjemahan:
Maka di antara yang dilahirkan sebagai manusia, brahmanalah
yang utama; di antara yang bersinar, matahari itulah yang
utama; mengenai anggota-anggota tubuh, seperti tangan, kaki
dan lain-lain, kepalalah yang utama, jika dharma, maka satya
(kebenaran) yang mengatasi keseluruhan (Kajeng, 1999:106-
107).

Jelaslah, Weda menyerukan bahwa satya merupakan satu nilai
yang hendaknya ditegakkan dalam kehidupan. Senantiasa menjadi
pijakan dalam setiap tindakan manusia. Dalam konteks sosial, ini
menjadi begitu krusial artinya. Mengapa demikian, tiada lain karena

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 239
dalam Slokantara

apa yang mesti kita harapkan dari sebuah kehidupan masyarakat
tanpa dilandasi kebenaran (satya). Kebaikan dari tindakan mana
yang mengesampingkan nilai-nilai kebenaran (satya) di dalamnya.

Tentu mustahil, apabila manusia mengharapkan kebahagiaan dan
keharmonisan hidup apabila tindakan-tindakannya menjauh dari
nilai kebenaran. Seperti yang dinyatakan dalam AtharvaWeda
XIV.1.1, bahwa satya merupakan tiang penyangga kehidupan,

penyangga bumi. Kiranya dapat dibayangkan apabila kita tinggal
di sebuah bangunan bila tiang penyangganya patah. Sudah tentu

bangunan itu akan roboh, hancur memusnahkan penghuninya.
Demikian juga dengan absennya pelaksanaan satya (kebenaran)

sudah tentu akan menjadikan penyebab kehancuran tatanan

kehidupan masyarakat.

Tentunya kita dapat bercermin dari perilaku para pejabat

negara yang mengeruk uang rakyatnya untuk kepentingan sendiri.
Yang terjadi adalah rakyat menjadi tidak sejahtera, rakyat akan

mengalami guncangan hidup yang sangat dahsyat. Tidak ada
jaminan keamanan, kesehatan, pendidikan. Segala kebutuhan

hidup menjadi mahal, karena ulah para pengambil kebijakan

pangan, yang juga diperparah oleh tindakan jahat para importir.

Kesemuanya jelas, bahwa yang dilakukan menyimpang dari satya
(kebenaran). Namun sebaliknya, apabila setiap tindakan kita

senantiasa berpijak pada kebenaran, tentunya tidak akan ada
tindakan-tindakan korup dan kejahatan yang mengakibatkan
kesengsaraan. Demikian pula konflik sosial-horizontal, yang

mengakibatkan derita masyarakat yang sering kita saksikan di

negeri kita ini. Kesemuanya, karena absennya kebenaran dalam

tindakan.
Satya (kebenaran), yang merupakan nilai pendidikan

Hindu yang diamanatkan dalam teks Ślokāntara memiliki relasi
makna dalam konteks kemasyarakatan. Nilai pendidikan Hindu,
baik itu tattwa, susila maupun upacara, memiliki visi dalam

mewujudkan harmoni sosial dan lingkungan. Nilai pendidikan
Hindu mengakomodasi perwujudan keselarasan manusia dengan

240 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan

lingkungan alamnya.

6.3. Makna Estetik
Estetika berasal dari kata Yunani Aesthesis, yang berarti

perasaan atau sensitivitas. Itulah sebabnya maka estetika erat
sekali hubungannya dengan selera perasaan atau apa yang disebut

dalam bahasa Jerman Geschmack atau taste dalam bahasa Inggris.
Estetika timbul tatkala pikiran para filusuf mulai terbuka dan
mengkaji berbagai keterpesonaan rasa. Estetika bersama dengan
etika dan logika membentuk satu kesatuan yang utuh dalam ilmu-
ilmu normatif di dalam filsafat (Wadjiz, 1985:10).

Ide terpenting dalam sejarah estetika filsafat sejak zaman
Yunani Kuno sampai abad ke-18 ialah masalah yang berkaitan
dengan keindahan (beauty). Persoalan yang digumuli oleh
para filsuf ialah, ‘Apakah keindahan itu?’. Menurut asal katanya,
keindahan dalam perkataan bahasa Inggris: beautiful (dalam
bahasa Perancis: beau, sedang Italia dan Spanyol: bello; yang
berasal dari kata Latin bellum). Akar katanya adalah bonum
yang berarti kebaikan, kemudian mempunyai bentuk pengecilan

menjadi bonellum dan terakhir dipendekkan sehingga ditulis

bellum. Menurut cakupannya dibedakan antara keindahan sebagai

kualita abstrak dan sebagai sebuah benda tertentu yang indah.

Untuk perbedaan ini dalam bahasa Inggris sering dipergunakan
istilah beauty (keindahan) dan the beautiful (benda atau hal yang
indah). Dalam bahasan filsafat, kedua pengertian itu tak jarang
dicampur aduk. Selain itu terdapat pula perbedaan menurut
luasnya pengertian yaitu: 1) Keindahan dalam arti yang luas, 2)
Keindahan dalam arti estetis murni, dan 3) Keindahan dalam arti
terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan.

Keindahan dalam arti yang luas, semula merupakan pengertian
dari bangsa Yunani, yang di dalamnya tercakup pula ide kebaikan.
Plato misalnya menyebut tentang watak yang indah dan hukum

yang indah, sedang Aristoteles merumuskan keindahan sebagai

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 241
dalam Slokantara

sesuatu yang selain baik juga menyenangkan. Plotinus menulis
tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Orang Yunani

dulu berbicara pula mengenai buah pikiran yang indah dan
adat kebiasaan yang indah. Tapi bangsa Yunani juga mengenal

pengertian keindahan dalam arti estetis yang disebutnya
symmetria untuk keindahan berdasarkan penglihatan (misalnya
pada karya pahat dan arsitektur) dan ‘harmonia’ untuk keindahan
berdasarkan pendengaran (musik).

Jadi pengertian keindahan yang seluas-luasnya meliputi:

keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral, keindahan

intelektual. Keindahan dalam arti estetika murni, menyangkut

pengalaman estetis dari seseorang dalam hubungannya dengan

segala sesuatu yang dicerapnya. Keindahan dalam arti terbatas,
lebih disempitkan sehingga hanya menyangkut benda-benda

yang dicerap dengan penglihatan, yakni berupa keindahan dari

bentuk dan warna secara kasat mata. Pembagian dan pembedaan

tersebut masih belum jelas apakah sesungguhnya keindahan itu.
Ini memang merupakan suatu persoalan filsafati yang jawabannya
beranekaragam. Salah satu jawaban menjadi ciri-ciri umum

yang pada semua benda yang dianggap indah dan kemudian
menyamakan ciri-ciri atau kualitas hakiki itu dengan pengertian

keindahan. Jadi keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualitas

pokok tertentu yang terdapat pada suatu hal. Kualita yang paling
sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony),
kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance) dan
perlawanan (contrast). (Dharsono, 2007:1-2).

Nilai-nilai pendidikan Hindu yang meliputi: tattwa, susila dan
upacara dalam teks Ślokāntara memiliki dimensi estetika, baik itu

estetika dalam arti luas, estetika murni maupun estetika dalam arti
terbatas. Visual dari dimensi estetika ini dapat kita jumpai dalam
nilai pendidikan tattwa, misalnya dharma tattwa. Teks Ślokāntara

yang menyinggung mengenai dharma tattwa, terdapat dalam
Ślokāntara, sloka 1 (1), sebagai berikut:

242 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Brāhmano wā manusyanām ādityo wāpi tejāsam, śiro wā
sarwagātreṣu dharmesu satyamuttamam

Kalinganya, nihan dharma rĕngön de sang mahyun wruheng
kawiśeṣaningjanma,yanmanuṣyatanhanalĕwihkadibrāhmaṇa,
brāhmaṇa ngarannya sang kumawaśākĕn kabrahmacāryan,
tiga lwirnya, ndya ta nihan, hana śuklabrahmacāri, hana
śawalabrahmacāri, hana kṛṣṅabrahmacāri, sira Brāhmaṇa
ngaranira, sira ta lĕwih sakeng mānuṣajanma, śuklabrahmacāri
ngaranira, tan parabisangkan rare, tan mañju tan kuming
sira, adyāpi tĕka ring wṛddha tuwi, sira tan pangucaparabi
sangka pisan, mangkana sang brahmacari ngaranira, yan
sira śukla brahmacāri. Sawalabrahmacārī ngaranira, marabi
pisan, tan parabi muwah, kunang yan kahalangan mati strī
nira, tan parabi muwah muwah sira, adyāpi tĕka ri kapati
nira, tan pangucap arabya, mangkana sang brahmacāri, yan
sira śawalabrahmacāri. Kṛṣṅabrahmacāri ngaranira, marabi
papat ta nghing hinganya, tan parabi muwah, syapa kari
pinakadarśaneng loka mangkana, Sang Hyang Rudra sira pat
dewi nira, ndya ta lwir ing dewī nira, Umā, Ganggā, Gaurī, Durgā,
nahan Dewī Caturbhaginī, tiniru de Sang Kṛṣṅabrahmacāri,
ndan wruha ta sireng kāladeśa ning strisanggama, mangkana
krama sang brahmac Kṛṣṅabrahmacāri sowang-sowang.

Kunang ika yan teja, tan hana kadi teja sang hyang āditya, sira
wiśeṣa ning teja ring loka.

Kunang yan ring sarwagātra ning śarīra, tan hana kadi sirah
wiśeṣa. Mangkana ikang dharma, tan hana lewih kadi kasatyan,
yeka uttama ring loka.

Terjemahan:

Seperti halnya golongan brahmana di antara manusia,
sebagai halnya matahari di antara sumber cahaya, seperti
halnya kepala di antara anggota badan, demikian pulalah
halnya kebenaran (satya) di antara kewajiban (dharma)
manusia.

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 243
dalam Slokantara

Demikianlah, bahwa dharma ini seharusnya didengarkan oleh

mereka yang ingin mengetahui arti dan maksud hidup manusia
ini. Di antara manusia tidak ada yang melebihi brahmana. Yang
dimaksud dengan brahmana ialah yang dapat menguasai dan
menjalankan kebrahmacarian yang tiga macam itu, yaitu:
Suklabrahmacari, Sewalabrahmacari, dan krsnabrahmacari.
Itulah yang patut dinamai brahmana yang lebih agung dari
manusia-manusia lainnya. Suklabrahmacari ialah orang yang
tidak kawin seumur hidupnya dari kecil sampai tua, bukan
karena mempunyai cacat badan atau wandu (lemah syahwat),
malah ia tidak pernah berbicara tentang perkawinan sampai di

hari tuanya. Inilah bramacari yang dinamai suklabrahmacari.
Sewalabrahmacari ialah orang yang kawin hanya sekali dan
tidak lagi, walaupun sudah ditinggal mati oleh istrinya. Ia

tidak kawin lagi sampai tiba ajalnya. Malah ia tidak pernah

lagi mempersoalkan hal perkawinannya. Inilah brahmacari

yang dinamai sewalabrahmacari. Krsnabrahmacari ialah orang
yang kawin paling banyak empat kali, dan tidak lagi. Siapakah
yang dipakai contoh dalam hal ini? Tidak lain adalah Sang
Hyang Rudra yang mempunyai empat dewi, yaitu Dewi Uma,
Dewi Gangga, Gauri, dan Durga. Empat dewi yang sebenarnya

hanyalah empat aspek dari yang satu, inilah yang ditiru

oleh yang menjalankan krsnabrahmacari. Asal saja ia tahu
waktu dan tempat dalam berhubungan dengan istri-istrinya.
Demikianlah halnya perincian brahmacari itu masing-masing.
Adapun di kalangan cahaya, tidak ada yang menyamai cahaya

matahari. Inilah sumber cahaya yang paling sempurna di

dunia. Antara anggota badan, tak ada yang melebihi ketinggian

kepala. Demikianlah juga dalam dharma, tidak ada yang

menyamai ketinggian kebenaran. Inilah yang paling utama di
dunia (Sudharta, 2003:5-6).

Kata dharma berasal dari bahasa Sanskerta ‘dhr’ yang artinya
menjadi, memegang, menjaga, membawa, mendukung, menahan,
menyangga. Secara harfiah dharma berarti hukum; kebiasaan;

244 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

kealiman; kebajikan; aturan; kebenaran; tugas; keadilan; jasa;

karakter; suatu keanehan; jiwa; Dewa; kematian; anak sulung dari
Pandawa (Surada, 2007:169).

Maharsi Jaimini mendefinisikan dharma sebagai sesuatu yang
diperintahkan oleh kitab Weda dan akhirnya tidak menghasilkan
penderitaan. Rsi Kanada, penemu sistem filsafat waisesika, telah
memberikan definisi dharma yang sangat baik dalam Waisesika
Sutranya, yaitu, ‘Yato bhyudayanihsreyasa-siddhih sa dharmah’,
artinya yang menuntun untuk pencapaian dari abhyudaya
(kemakmuran di dunia ini) dan Nisreyasa (penghentian total dari
derita dan pencapaian kebahagiaan abadi setelahnya), adalah
dharma. Maharsi Bhisma pernah berkata dalam perintahnya
kepada Yudhistira, bahwa apapun yang menimbulkan pertentangan
adalah adharma, dan apapun yang menyudahi pertentangan

dan membawa pada kesatuan dan keselarasan adalah dharma.
Sedangkan Swami Sivannanda mengatakan bahwa yang disebut
dharma adalah yang memberi kesejahteraan; yang menjamin
pemulihan dari makhluk-makhluk; yang membawa menuju
kebahagiaan abadi dan kekekalan; kebenaran; yang menuntun
menuju Tuhan; kebajikan; kewajiban; prinsip-prinsip kebajikan;
yang memberikan kebahagiaan di dunia ini dan di alam baka; cara

pemeliharaan diri; yang meningkatkan seseorang; yang menuntun

pada jalan kesempurnaan; yang menolong untuk memiliki

penyatuan dengan Tuhan; yang membuat bersifat Ilahi; tangga
naik menuju Tuhan; acara atau pengaturan kehidupan sehari-
hari. Sedangkan Adharma adalah apapun yang menimbulkan
perselisihan, keretakan, dan ketidakselarasan serta menimbulkan
kebencian (Sivananda, 2003:38-39).

Kata dharma, dalam sloka di atas memiliki makna kewajiban,

tugas, hukum, aturan. Tugas dan kewajiban manusia itu memiliki

nilai kemuliaan, dan bukan sebaliknya. Artinya, manusia

sesungguhnya memiliki tugas untuk senantiasa melakukan
tindakan-tindakan kebajikan dalam kehidupannya. Bekerja untuk
kemajuan dirinya, apa yang dilakukan hendaknya memiliki nilai,

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 245
dalam Slokantara

baik bagi dirinya maupun lingkungannya. Seperti yang dijelaskan
dalam Sārasamuccaya sloka 2 dan 9 sebagai berikut:

Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga
wȇnang gumawayaken ikang śubhāśubhakarma, kuneng
panȇntasakȇna ring śubhakarma juga ikangśubhakarma,

phalaning dadi wwang.

Terjemahan:

Di antara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan
sebagai manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan
baik ataupun buruk, leburlah ke dalam perbuatan baik, segala
perbuatan buruk itu; demikianlah gunanya (pahalanya)
menjadi manusia (Kajeng, 1999:5).

Hana pwa tumȇmung dadi wwang, wimukha ring
dharmasadhāna, jȇnȇk ring arthakāma arah, lobhāmbȇknya, ya

ika kabañcana ngaranya.

Terjemahan:

Bila ada yang beroleh kesempatan menjadi orang (manusia),
ingkar akan pelaksanaan dharma; sebaliknya amat suka ia
mengejar harta dan kepuasan nafsu serta berhati tamak; orang
itu disebut kesasar, tersesat dari jalan yang benar (Kajeng,
1999:13).

Dengan demikian, dharma sungguh memiliki dimensi
estetika dalam arti luas, seperti yang dinyatakan bangsa Yunani,
yang di dalamnya tercakup pula ide kebaikan, buah pikiran yang
indah dan adat kebiasaan yang indah. Penjelasan dari Plato yang
mengidentifikasi estetika sebagai watak yang indah dan hukum
yang indah, demikian juga Aristoteles merumuskan estetika
(keindahan) sebagai sesuatu yang selain baik juga menyenangkan,
dan Plotinus yang memaknai keindahan sebagai ilmu yang indah
dan kebajikan yang indah.

246 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Nilai estetika juga ditunjukkan dalam nilai pendidikan Hindu
dalam teks Ślokāntara yang menyangkut tentang susila, yang
kesemua nilai itu juga (satya, susila, dosajna, kerti, sangsarga,
sad atatayi, dasa paramarta, dasa mala, dan nawa wangsa)
menggambarkan estetika dalam arti luas, yang bersentuhan
dengan nilai-nilai moral dan kebajikan.

Nilai pendidikan Hindu juga memiliki dimensi estetika dalam
arti sempit, yaitu yang berhubungan dengan apa yang mampu
diserap oleh penglihatan manusia (art), antara lain estetika pada
karya pahat, arsitektur, musik, lukis, tari, dan sebagainya. fenomena

itu dapat kita jumpai, misalnya dalam kebudayaan Bali dan Jawa,
di mana semua bentuk-bentuk kebudayaan dan karya seninya
membaur dengan ide-ide religius. Sehingga, kita akan tampak
kesulitan untuk memisahkan yang mana agama, budaya dan seni.

Sebagai contoh, dalam ajaran bhakti agama Hindu (bhakti yoga)
dikenal ajaran Nawawidha Bhakti atau Navalaksana Bhakti, yaitu

sembilan cara bhakti atau bentuk bhakti yang terjabarkan dalam
kitab Bhagavata Purana 7.5.23, yang dijabarkan sebagai berikut:

śravaṇaṁ kīrtanaṁ viṣṇoḥ smaraṇaṁ pāda sevanam arcanaṁ

vandānaṁ dāsyaṁ sakhyam ātma nivedānam

Terjemahan:

Sembilan bentuk bhakti kepada Sang Hyang Visnu, yaitu (1).
Sravanam, (2). Kirtanam, (3). Smaranam, (4). Pada Sevanam,
(5). Arcanam, (6). Vandānam, (7) Dasyam, (8). Sakhyam, (9).
Atma Nivedānam.

Adapun penjelasan dari bentuk-bentuk bhakti di atas yaitu:
1. Sravanam, yaitu mempelajari keagungan Tuhan Yang maha Esa

melalui membaca atau mendengarkan pembacaan kitab-kitab
suci.
2. Kirtanam, mengucapkan/menyanyikan nama-nama Tuhan
Yang Maha Esa.
3. Smaranam, mengingat nama Tuhan atau meditasi tentang-Nya.

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 247
dalam Slokantara

4. Padasevanam, memberikan pelayanan kepada Tuhan Yang

Maha Esa, termasuk melayani, menolong pelbagai makhluk
ciptaan-Nya
5. Arcanam, memuja keagungan-Nya umumnya dengan sarana
arca dan persembahan air, bunga, biji-bijian, buah-buahan, dan

sebagainya.
6. Vandānam, sujud bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
7. Dasya, melayani-Nya dengan pengertian mau melayani mereka

yang memerlukan pertolongan dengan penuh keikhlasan,
memandang mereka sebagai ciptaan-Nya.
8. Sakhya, memandang Tuhan Yang Maha Esa sebagai sahabat

sejati, yang memberikan pertolongan ketika dalam bahaya.
9. Atmanivedānam, penyerahan diri secara total kepada-Nya.

Salah satu praktik bhakti dalam Nava Laksanabhakti

adalah Kirtanam, yaitu cara bhakti kepada Tuhan dengan jalan
mengucapkan atau menyanyikan nama-nama suci Tuhan Yang

Maha Esa. Dalam aktualisasinya, bhakti Kirtanam mewujud dalam

bentuk kidung, macapat dan palawakya. Kesemuanya itu sarat

dengan nilai estetika. Lebih jauh akan dianalisa tentang makna

kidung, yang digunakan sebagai aktualisasi keberagamaan umat
Hindu, khususnya di Bali.

Sebagai sastra profetik, kidung diasumsikan memiliki semangat

profetik yang merupakan segi sentral atau pusat bertemunya

dimensi sosial dan transedental. Dimensi sosial menunjuk pada

kehidupan kemanusiaan di alam nyata atau bersifat profan
(sakala). Dimensi transendental menunjuk pada kehidupan yang
lebih tinggi (niskala), yang berpuncak pada Tuhan Yang Maha
Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dimensi transendental

ini memberikan kedalaman pada sastra kidung, menopangnya
dengan nilai-nilai kerohanian, membuat karya kidung bersifat
vertikal. Dengan demikian, sastra kidung dapat dipandang sebagai

jalan menuju Tuhan atau ibadat keindahan serta merupakan

sarana menuju penemuan dan pengenalan kembali hakikat diri

manusia. Karena itu, kidung akan dilihat sebagai sistem simbol

248 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

yang berfungsi mengarahkan tingkah laku atau bentuk-bentuk
simbolik yang dianggap sebagai media penyimpan makna, sebagai

proses penandaan, bersifat relatif, arbitrer, buatan yang secara

aktif diciptakan oleh peneliti selaku penikmat dengan menetapkan
kode-kode untuk menentukan pelbagai jenis signifikansi dengan
sejumlah lexias (elemen-elemen yang dapat memuat beragam
makna untuk beragam penikmat) di seluruh teks. Peneliti selaku
penikmat berada dalam posisi writerly text yakni penikmat aktif

dalam suatu proses kreatif untuk membuka ruang penafsiran
(Barthes, 2007). Sejalan dengan itu, pendekatan hermeneutik
menjadi pendekatan yang relevan dengan memandang kidung
sebagai pengalaman hermeneutik yang menyingkap kebenaran.

Kemunculan kebenaran di dalam pengalaman hermeneutik
mendatangkan pertemuan dengan negativitas yang intrinsik
pada pengalaman sehingga pengalaman menjadi momen estetik.

Momen estetik menjadikan kidung secara nyata dapat digunakan,

untuk membuka ruang di dalam sesuatu, untuk memfungsikan

kebenaran menjadi termanifestasikan. Pengalaman hermeneutik

memahami apa yang dikatakan, dalam hal ini kidung, menurut
keadaan sekarang (Suarka, 2011:2).

Kata kidung merupakan onomatope, yakni kata tiruan bunyi.

Kata kidung merupakan kata tiruan bunyi ding-dung, seperti halnya

kata cecak sebagai tiruan bunyi cak…cak…cak…cak kata tokek

tiruan bunyi tok…kek…tok…kek…tok…kek; kata gelatik tiruan bunyi

tik…tik…tik, dan sebagainya. Dugaan ini diperkuat oleh keberadaan

kidung dibangun dan diikat oleh aturan yang dinamakan guru

ding-dung, yakni pola nada akhir pada tiap baris atau larik dalam
satu bait matra. Demikian pula, alat-alat musik tradisional di Bali
menggunakan nada-nada dasar dong, deng, dung, dang, ding atau
ndong, ndeng, ndung, ndang, nding (Bandem, 1992).

Mengapa suara ding dan dung digunakan sebagai penamaan
aturan tersebut? Hal ini dapat dimengerti melalui pemahaman
konsep tata letak dan aturan kombinasi suara tersebut, yang

menurut lontar Prakĕmpa, dinamakan sandi awyañjana dan mantra

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 249
dalam Slokantara

lingga. Sesuai dengan aturan hukum sandi awyañjana dan mantra

lingga itu, bunyi yang paling serasi dan harmoni adalah ding besar

dan dung kecil karena nada ding dan dung merupakan nada pokok

yang disebut ampĕl swara atau lingga swara. Nada ding termasuk

kelompok suara anughoûa dan nada dung merupakan kelompok
suara udantya (Bandem, 1986:48-49, 72-73). Menurut lontar

Kidung Rangsang, sebuah karya sastra kidung yang digubah oleh
Ida Pedanda Made Sidemen pada tahun 1943 (Agastia, 1994:25),
sesungguhnya kidung diesensikan oleh bunyi-bunyi o, e, u, a, i.

Dalam bahasa Bali, bunyi o, e, u, a, i dinamakan aksara suara
atau bunyi vokal (Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 2002:5).
Karena itu, vokal o, e, u, a, i adalah bunyi atau aksara suara.

Untuk bisa menjadi nada, maka suara o, e, u, a, i harus disusun
secara beraturan menurut tinggi rendah bunyi-bunyi tersebut.

Dengan demikian, prinsip dasar penyusunan metrum kidung,

menurut Kidung Rangsang, adalah dimulai dengan menyusun
bunyi-bunyi itu secara teratur, lalu menghitung jumlah suku kata

menurut melodi, dan menyusun kembali pada baris berikutnya,

dan seterusnya, ‘polos deng dung patirone den ketung ding dang
dong teku mupuhang mingsoreng untat’ (Agastia, 1994:26-27).
Sementara itu, menurut Sugriwa (1977:6), bentukan nyanyian

Bali tradisional pada umumnya berdasarkan nada dasar gamelan
(tabuh gĕnding gong), yaitu nada dong, deng, dung, dang, ding atau
ndong, ndeng, ndung, ndang, nding. Kalimat disusun menurut nada-
nada itu dengan cara menempatkan bunyi-bunyi o, e, u, a, i itu pada
suku kata akhir masing-masing kata yang digunakan dalam lirik.

Misalnya, syair “goak maling taluh sudang kĕnyer taluh lengkong,

nyen uli kauh nĕgĕn celeng ngadut meong” dimelodikan menjadi

dong dang dang ding dang dung dung dang deng deng dang dung
deng dong. Hal ini berarti bahwa nada yang menjadi patokan
dasar (guru) dalam menyusun melodi nyanyian Bali tradisional,

seperti gěgěndingan, pupuh, kidung dan lagu atau melodi gamelan

Bali adalah nada dasar dong, deng, dung, dang, ding atau ndong,

deng, ndung, ndang, nding yang lazim dinamakan guru ding-dung

250 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

atau guru ding-dong. Bentuk kombinasi bunyi ding-dung telah

mengindikasikan adanya melodi, lagu atau nyanyian. Karena itu,

kidung sebagai tiruan bunyi ding-dung dapat dipahami sebagai
nyanyian atau tembang (Suarka, 2011:3-5).

Menurut lontar Prakĕmpa, dalam instrumen dan nyanyian Bali
tradisional dikenal nada-nada dasar, yaitu dong, deng, dung, dang,
ding atau ndong, ndeng, ndung, ndang, nding. Nada-nada tersebut

menempati penjuru alam, yaitu nada dong bersama ndong berada

di tengah, nada deng berada di barat, nada ndeng berada di barat

laut, nada dung berada di utara, nada ndung berada di timur laut,

nada dang berada di timur, nada ndang berada di tenggara, dan

nada ding berada di selatan, dan nada nding berada di barat daya
(Bandem, 1986:42-43). Nada tersebut dibangun oleh suara atau
bunyi-bunyi o, e, u, a, i.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa kidung merupakan kata
tiruan bunyi ding-dung. Bunyi ding dilambangkan dengan hulu (
i ), berada di arah selatan. Dalam kiblat agama Hindu (pangider-
ider nawa sanga), selatan yang disebut daksina, adalah wilayah

Dewa Brahma, warna merah, simbol api, bersenjata gada, dan
mempunyai kekuatan sebagai pencipta (utpati). Bunyi ding
menyimbolkan penciptaan atau kelahiran (utpati). Dalam realitas
kelahiran manusia yang pertama kali muncul (ut) atau yang lebih
dulu lahir adalah kepala (hulu).

Bunyi dung dilambangkan dengan suku ( u ) berada di arah
utara. Menurut kiblat agama Hindu, utara merupakan wilayah Deva

Wisnu, warna hitam, simbol air, bersenjata cakra, dan mempunyai
kekuatan sebagai pemelihara (sthiti). Urutan bunyi ding-dung
menyimbolkan proses kelahiran atau penciptaan (utpati) ke
kehadiran yang berkelanjutan atau pemeliharaan (sthiti) yang
disebut hidup (urip). Hal ini sejalan dengan perhitungan jumlah

suku kata dalam satu bait metrum kidung yang dinamakan urip

sebagaimana dijelaskan dalam Kidung Tantri Piśacarana karya Ida
Pedanda Made Sidemen (Agastia, 1994; Suarka, 2007).

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 251
dalam Slokantara

Nada deng disimbolkan dengan taleng (e) berada di barat. Dalam

lontar Kaputusan Dasaksara dijelaskan bahwa taleng merupakan

simbol tangan kanan yang bermakna kebenaran. Jika urutan nada

ding-dung dimaknai sebagai proses kehidupan dapat dijelaskan
lebih jauh bahwa setelah manusia lahir dan hidup di dunia ini (dari
ding ke dung), manusia akan melanjutkan perjalanan hidupnya
untuk mencari kebenaran (ke deng). Selanjutnya, manusia

mencari kebenaran ke sumbernya yakni dang yang disimbolkan
dengan cecek ( , ). Cecek juga menyimbolkan Dewi Saraswati
sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan dan Keterampilan Hidup. Hal ini
diindikasikan dalam keyakinan dan kepercayaan umat Hindu Bali
bahwa bilamana mereka sedang bercakap-cakap membicarakan

sesuatu, lalu mendengar suara cecak, maka dengan serta merta
mereka mengucapkan sesapan ‘Singgih Sanghyang Aji Saraswati’.

Maksudnya adalah apa yang diperbincangkan itu diyakini dan
dipercaya telah direstui atau dibenarkan oleh Dewi Saraswati.
Demikianlah umat Hindu mencari dan menemukan kebenaran

pada sumbernya yakni ilmu pengetahuan yang dipegang oleh
Guru Agung (Deva Iswara) berada di timur dengan simbol senjata

Bajra, yang bermakna bahwa guru berkewajiban menyuarakan

kebenaran, mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan

hidup bagi umat manusia.
Setelah mendapatkan ilmu pengetahuan sebagai sumber

kebenaran dan menjalankannya dalam kehidupan sebagai sumber
keterampilan hidup, umat Hindu akan kembali ke asalnya. Dalam

urutan nada kidung, kembali ke asal disimbolkan dengan nada
dong (o) yang berada di tengah. Dalam kiblat agama Hindu, posisi

tengah merupakan tempat beristana Deva Siwa yang mempunyai
kekuatan sebagai pelebur kembali (pralina) segala ciptaan yang

ada di alam semesta ini. Nada dong beranalogi dengan gong

menyimbolkan sesuatu telah berakhir sebagaimana suara gong
mengakhiri suatu gending (lagu) dalam gamelan. Nada dong
ditandai dengan vokal o. Tanda o dapat dibaca nol sebagai simbol

kekosongan, kenihilan, ketiadaan. Jika tanda o dikecilkan dan atau

252 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

dipadatkan akan menjadi tanda titik. Dalam ilmu linguistik, tanda
baca titik berfungsi mengakhiri sebuah kalimat (Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, 1993: 37). Karena
itu, Deva Siwa diyakini dan dipercaya sebagai sumber asal dan

sekaligus tujuan kembalinya segala yang ada di alam semesta ini
(sangkan paraning sarat).

Hakikat kidung sebagai permainan harmonis antara nada-

nada ding-dung-deng-dang-dong menyimbolkan siklus kehidupan
manusia itu sendiri, yang mengalir mulai dari utpati (ding) menuju
ke sthiti (dung) dan berakhir atau kembali ke pralina (dong).

Karena itu, kaidah prosodi metrum kidung dinamakan guru ding-
dung atau ding-dong (Suarka, 2011:4-6).

Kidung merupakan bagian dari Sekar Madya atau tembang

tengahan. Kata sěkar dapat berarti bunga, tembang, dan badan
(Sugriwa, 1977). Analogi bunga, tembang (kidung), dan badan

sebagai “sěkar” sangat jelas dapat dilihat dalam rangkaian upacara
kematian di Bali, yakni upacara Ngajum. Sehari setelah upacara

pemetikandaunberingin,biasanyadilakukanupacaraNgajum,yaitu

upacara membuat sěkah atau puûpalingga sebagai pengganti raga
mendiang. Dengan sarana sesajen (bantěn), doa-doa (pujastawa),
dan air suci (tirta), pendeta pemimpin upacara mempersilakan

roh mendiang untuk masuk ke dalam puûpalingga sebagai wujud
sukûmaśarīra-nya atau badan halus. Istilah puûpalingga atau sěkah
tampak dekat dengan sěkar. Puûpa juga berarti bunga (Zoetmulder
dkk., 1995:889). Kata sěkah berkorespondensi dengan kata sěkar
karena bunyi h dan r dalam bahasa-bahasa Nusantara kerap kali
mengalami variasi bunyi, seperti tampak pada kata-kata bahas -
beras, bahat - berat, kěbiah - kěbiar.

Dalam kidung, bunga merupakan sumber keindahan

sebagaimana dimuat dalam bait Kidung Wargasari di atas. Kata
‘wargasari’ yang berarti kelompok bunga mengindikasikan hakikat

bunga dalam berbagai jenis, nama, bentuk, warna, dan baunya
sebagai tempat persemayaman Dewa keindahan atau Dewa Kāma

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 253
dalam Slokantara

sehingga dipilih dan dijadikan sumber inspirasi penciptaan Kidung

Wargasari.
Dalam kidung, tampaknya bunga merupakan simbol Dewa. Hal

ini dijelaskan dalam Kidung ‘Ajikěmbang’. Sesuai dengan judulnya,
‘ajikěmbang’ ‘pengetahuan bunga’, kidung tersebut melukiskan

formasi sembilan Dewa di sembilan penjuru bersemayam di atas
bunga teratai, yaitu di alam timur adalah Deva Iswara dengan

bunga teratai berwarna putih, di tenggara adalah Dewa Maheswara

dengan bunga teratai berwarna merah muda, di selatan adalah

Dewa Brahma dengan bunga teratai berwarna merah, di barat daya
adalah Deva Rudra dengan bunga teratai berwarna jingga, di barat
adalah Deva MahaDeva dengan bunga teratai berwarna kuning, di
barat laut adalah Deva Sangkara dengan bunga teratai berwarna
hijau, di utara adalah Deva Wisnu dengan bunga teratai berwarna
hitam, di timur laut adalah Dewa Sambu dengan bunga teratai
berwarna biru tua, dan di tengah adalah Dewa Siwa dengan bunga
teratai lima warna: putih, merah, kuning, hitam, dan campuran

keempat warna itu.
Sejalan dengan etimologis kata kidung sebagai kata tiruan bunyi

ding-dung, maka dapat dijelaskan lebih jauh bahwa kidung analog
dengan api (ding), air (dung), dan bunga (ding-dung). Sebagaimana

diketahui bahwa ada tiga sarana pokok dalam persembahyangan
umat Hindu, yaitu bunga, api, dan air. Bunga merupakan simbol

inti sari bumi atau perwujudan ganda atau merupakan simbol
Tuhan atau Dewa Siwa. Api merupakan saksi dan pengantar

persembahan itu atau merupakan simbol Dewa Agni yang

berperan sebagai pendeta pemimpin upacara, sebagai perantara

yang menghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja, sebagai

pembasmi segala kekotoran dan pengusir roh jahat, serta sebagai
saksi upacara. Sementara itu, air merupakan pembersihan bāyu
(nafas), śabda (suara), dan iděp (pikiran) (Parisada Hindu Dharma,
1968:64). Dalam lontar Yajñaprakrěti dijelaskan bahwa bunga itu
merupakan simbol pikiran yang tulus ikhlas dan suci (Sri Arwati,
1999:43).

254 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Sekar dalam arti tembang dapat dikenali lewat kemunculan
istilah sekar rare (tembang rare), sekar alit (tembang alit), sekar
madya (tembang madia), dan sekar agung (tembang gede, tembang
agung). Dalam rangka kidung sebagai sekar yang berarti tembang,

kidung dikategorikan sebagai sekar madya atau tembang tengahan.
Sebagai tembang atau nyanyian, kidung menggunakan titi nada

atau laras, baik laras pelog maupun laras slendro. Dalam lontar

Prakempa dijelaskan bahwa laras pelog merupakan simbol Deva
Kama dan laras slendro adalah simbol Dewi Ratih (Bandem, 1986).
Manu (1987:113) mengatakan bahwa peranan dan fungsi Deva
Kāma, terutama ketika Dewa Kāma diidentikkan dengan Deva

Agni adalah sebagai perantara yang menghubungkan manusia
dengan para Deva melalui upacara korban atau yajña. Kidung
sebagai perwujudan Deva Kāma di alam fana atau sakala menjadi

perantara jiwa manusia untuk mencapai pembebasan sempurna

dari ikatan keduniawian, dan kemudian bersatu dengan asalnya di
alam Keilahian yang kekal, abadi, dan damai (Suarka, 2011:6-7).

Dengan melihat kidung sebagai karya yang memadukan

pengalaman estetik dan religius serta kedudukan dan fungsi

sastra dan agama sangat dekat dalam kehidupan masyarakat Bali,

tampaknya fungsi kidung di Bali lebih tepat dijabarkan ke dalam

dua lingkaran fungsi, yaitu lingkaran fungsi utama dan lingkaran

fungsi sampingan. Lingkaran fungsi utama terdiri atas dua macam
fungsi, yaitu fungsi keagamaan dan fungsi keindahan. Fungsi

keindahan meliputi fungsi hiburan.
Fungsi keagamaan, sesuai dengan tiga kerangka dasar agama

Hindu (Parisada Hindu Dharma, 1968:16), terdiri atas fungsi
filosofis atau tattwa, fungsi etika atau susila, dan fungsi ritual atau

upacara.
Dalam rangka fungsi filosofis atau tattwa, kidung dipahami

dalam hakikatnya sebagai mantra. Titib (2005:2) menjelaskan
bahwa proses turunnya wahyu Tuhan, yakni mantra-mantra

Weda yang menjadi kitab suci dan sumber tertinggi ajaran agama
Hindu, dimulai dengan svaranada atau gelombang vibrasi. Dengan

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 255
dalam Slokantara

demikian, sejak Weda pertama kali diturunkan ke bumi dan

diterima oleh para maharesi sudah dikenal nyanyian pujaan. Hal
ini dapat dibuktikan berdasarkan istilah RěgWeda yang berarti
mantra-mantra pujaan yang dinyanyikan.

Sebagai nyanyian pujaan atau gita, kidung melukiskan
hakikat Tuhan beserta ciptaan-Nya. Dalam filsafat Hindu dikenal
satu Tuhan yang dinamakan Sanghyang Widhi. Sebagai Yang
Mahakuasa, Sanghyang Widhi memberikan kekuatan suci untuk

kesempurnaan hidup makhluk dalam wujud sebagai Dewa.
Demikian pula, Sanghyang Widhi memberikan perlindungan
kepada ciptaan-Nya dalam wujud bhatara. Sanghyang Widhi

bertindak sebagai pencipta atau utpati, pemelihara atau sthiti,
dan pelebur atau pralina (Parisada Hindu Dharma, 1968:19).

Berdasarkan kepercayaan bahwa segala sesuatu yang ada di alam

semesta ini berasal dari Tuhan dan akan kembali kepadaNya,

pengarang melukis-kan hubungan Tuhan dengan ciptaanNya
dalam sastra kidung. Perwujudan sinar suci Sanghyang Widhi
dalam bentuk Deva-Deva dan bhatara memberikan kekuatan dan
perlindungan kepada ciptaan-Nya sering menjadi bagian penting

dalam kidung.

Dalam Kidung Ajikěmbang (bait 1-bait 10) dijelaskan bahwa
sinar suci Sanghyang Widhi dalam wujud sembilan Dewa
menghuni kesembilan penjuru alam semesta dan organ vital tubuh

manusia dalam rangka memberikan kekuatan dan perlindungan

demi kesempurnaan hidup manusia. Kesembilan Dewa itu disebut

Devata nawa sanga, terdiri atas Deva Iswara, Deva Maheswara,
Deva Brahma, Deva Rudra, Deva MahaDeva, Deva Sangkara, Deva
Wisnu, Deva Sambu, dan Deva Siwa.

Di alam semesta, Deva Iswara berada di alam timur. Di dalam
tubuh manusia, Deva Iswara bersemayam di jantung bertugas

memberikan keselamatan dan pelindung, kekayaan, serta

menumbuhkan rasa bakti manusia kepada Tuhan. Deva Maheswara
berada di alam tenggara. Di dalam tubuh manusia, Deva Maheswara
bersemayam di paru-paru, memberikan kepandaian sehingga

256 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

manusia menjadi mahir dalam kehidupan politik dan memperoleh
kekuasaan di bumi. Deva Brahma berada di alam selatan. Di dalam
tubuh manusia, Deva Brahma bersemayam di hati, memberikan

kekuatan dan perlindungan sehingga manusia menjadi sempurna,
panjang umur, dan mampu menguasai pengetahuan suci. Deva

Rudra berada di alam barat daya.
Dalam tubuh manusia, Deva Rudra bersemayam di usus,

memberikan kesadaran akan kebenaran, mendidik manusia
berperilaku baik, dan menjadi teladan di muka bumi. Deva
MahaDeva berada di alam barat. Di dalam tubuh manusia, Deva
MahaDeva bersemayam di ginjal, memberikan kekuatan dan

perlindungan kepada manusia serta menumbuhkan sifat dan sikap
keberanian pada diri manusia. Deva Sangkara berada di alam barat
laut. Di dalam tubuh manusia, Deva Sangkara bersemayam di limpa,

memberikan kekuatan dan perlindungan kepada manusia dalam
mengendalikan diri dan memiliki kesetiaan. Deva Wisnu berada
di alam utara. Di dalam tubuh manusia, Deva Wisnu bersemayam

di empedu, memberikan kekuatan dan perlindungan sehingga

manusia memiliki keteguhan hati, sopan dalam bertingkah laku,
bijaksana, dan rupawan. Deva Sambu berada di alam timur laut. Di
dalam tubuh manusia, Deva Sambu bersemayam di katup jantung,

memberikan kekuatan dan perlindungan serta menumbuhkan rasa
kedamaian dan cinta kasih pada diri manusia. Deva Siwa berada
di alam tengah. Di dalam tubuh manusia, Dewa Siwa bersemayam

di tumpukan hati, memberikan kekuatan dan perlindungan

serta menumbuhkan kewibawaan, tingkah laku luhur, kesetiaan,

kejujuran, dan kegemaran untuk melakukan semadi pada diri

manusia.
Sementara itu, Kidung Padmareka (bait 6) menjelaskan bahwa

Dewa Maheswara berada di daging, Dewa Sambu berada di otak,
Deva Rudra berada di urat, Dewa Sangkara berada di kepala, dan
Dewa Siwa berada di titik pusat mata. Dewa-Dewa itu menguasai

manusia dan menumbuhkan “rasa” sehingga manusia memiliki

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 257
dalam Slokantara

perasaan dan mampu merasakan serta memikirkan segala hal

yang tidak bisa dirasakan dan dipikirkan makhluk lain.
Deskripsi sembilan Dewa dalam Kidung Ajikěmbang ataupun

lukisan para Dewa di dalam Kidung Padmareka menunjukkan
bahwa kidung memiliki fungsi filosofis, yakni menyadarkan
manusia, khususnya umat Hindu, bahwa segala sesuatu yang ada,
baik yang ada di dalam diri maupun di luar diri manusia, berasal
dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Karena itu, manusia
harus memelihara dan memanfaatkan semua ciptaan Tuhan
dengan sebaik-baiknya.

Fungsi filosofis di atas berkaitan erat dengan fungsi etika
karena aspek filosofis atau tattwa merupakan dasar etika atau
susila Hindu. Maksudnya, etika atau susila Hindu bersumber pada
tattwa. Sikap dan perilaku umat Hindu diupayakan senantiasa
berdasarkan dharma dan yajña, yakni menjaga hubungan harmonis

antara manusia dengan Tuhan, antara sesama manusia, dan

antara manusia dengan alam lingkungan berdasarkan keikhlasan

dan kasih sayang. Dalam rangka itu, kidung diyakini dapat

menggetarkan hati nurani yang paling suci atau budi manusia.

Budi nurani yang suci akan dapat menguasai pikiran. Pikiran

yang kuat akan mengendalikan nafsu keinginan. Nafsu keinginan

yang terkendali dengan baik akan dapat mengarahkan perbuatan

manusia senantiasa berpegang pada kebenaran. Perbuatan yang

berpegang pada kebenaran atau dharma akan menghasilkan

pahala mulia berupa kehidupan bahagia lahir dan batin.

Dalam rangka ritual atau upacara, kidung merupakan bagian

integral atau fungsional. Umumnya, dalam pelaksanaan suatu
upacara agama dan adat (nangun yajña) di Bali ditandai lima
jenis bunyi atau suara yang disebut pancagita, terdiri atas suara

kentongan, suara gamelan, suara orang menyanyikan kidung, suara

genta, dan rapalan doa pemimpin upacara. Karena itu, membaca
dan menembangkan kidung (makidung) dalam tradisi umat Hindu
telah berlangsung cukup lama. Dalam upacara persembahyangan
di tempat-tempat suci di Bali, irama kidung terdengar mengalun

258 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

syahdu memberikan vibrasi kesucian, membangun suasana

hikmat, membantu konsentrasi umat pada saat melakukan
persembahyangan. Sastra kidung diyakini sebagai salah satu unsur
yang dapat membuat upacara Yajña menjadi satwikayajña, yakni
upacara Yajña yang menghasilkan pencerahan rohani, membawa
sinar kebijaksanaan, yang mampu menuntun umat Hindu dalam
mendapatkan kasih sayang Tuhan yang tertinggi. Bhagawan Sri
Sathya Narayana menyatakan bahwa fungsi kidung suci adalah
menyebabkan pikiran menjadi berkembang ke dalam nilai-nilai

abadi, kemuliaan, dan keagungan Tuhan, serta menghentikan

pikiran sempit terhadap kesenangan duniawi. Kidung suci

menumbuhkan keinginan dalam diri untuk merasakan dan

mengalami kebenaran serta memandang bahwa keindahan itu

adalah perwujudan Tuhan. Kidung suci memberikan dorongan

kepada manusia untuk menyelami dirinya sendiri dan menjadi
dirinya sendiri (Jendra, 1996:13).

Fungsi kidung sebagai bagian integral dalam tindak kebaktian

di Bali dapat dipahami karena kidung pada hakikatnya merupakan

mantra dan sekaligus yantra. Dalam rangka mantra, kidung berisi
doa-doa pemujaan. Dalam rangka yantra, kidung merupakan alat

yang diyakini mempunyai kekuatan spiritual untuk meningkatkan

kesucian dalam mendekatkan diri kepada Tuhan.

Padaakhirnya,dalamrangkafungsikeagamaan,dapatdikatakan
bahwa kidung berfungsi: (1) sebagai ibadat keindahan; (2) sebagai
persembahan; (3) meningkatkan keimanan dan ketaqwaan atau
śradha dan bhakti umat Hindu kepada Tuhan atau Ida Sanghyang
Widhi Wasa; (4) sebagai sarana penyebar-luasan ajaran suci Weda.
Hal ini sejalan dengan kedudukan kidung sebagai gita atau syair

indah yang terikat aturan metrum yang terdapat di dalam pustaka
suci Weda, baik śruti, smrti, maupun susastra nibandha (Dāna,
2005:3); (5) membimbing dan menuntun umat manusia menuju

kesejahteraan lahir batin berdasarkan kebenaran, kesucian, dan
keindahan; serta (6) sebagai upaya penyadaran umat Hindu

menuju kehidupan yang damai dan sejahtera serta pencerahan

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 259
dalam Slokantara

batin untuk menuju pembebasan diri dari ikatan keduniawian atau
“moksartham jagadhitayaca iti dharmah” (Suarka, 2011:7-11).

Dari penjabaran di atas, kiranya dapat diketahui bahwa kidung
sebagai wujud konkret dari nilai-nilai pendidikan Hindu (Widdhi
Tattwa dan susila), memiliki dimensi estetika, baik itu estetika

dalam arti luas, estetika murni, maupun estetika dalam arti
terbatas. Hal ini tampak dalam pengungkapan nilai-nilai moral,
kebaikan, estetika murni (misalnya: kidung) yang menghadirkan
kualita-kualita kesatuan (unity), keselarasan (harmony) maupun
keseimbangan (balance).

260 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

DAFTAR PUSTAKA

Agastia, Ida Bagus Gede. 1994. Ida Pedanda Made Sidemen: Pengarang
Besar Bali Abad ke-20. Denpasar : Yayasan Dharma Sastra.

Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur. 2001. Ilmu Pendidikan. Jakarta : Rineka
Cipta

Al-Barry, Dahlan Yacub. 2000. Kamus Sosiologi Antropologi. Surabaya
: Indah

Ananda, I Nyoman. 2004. “Konsep Ketuhanan dalam Teks Wrhaspati
Tattwa”. (Tesis). Denpasar : Program Pasca Sarjana STAH Negeri
Denpasar.

Arikunto, Suharsini. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta : PT Rineka Cipta

Bandem, I Made. 1986. Prakempa Sebuah Lontar Gambelan Bali.
Denpasar : Akademi Seni Tari Indonesia.

Bertens, K. 2004. Etika. Jakarta : Gramedia.

Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer. Yogjakarta : Fajar
Pustaka Baru

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Penyusunan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar
dan Menegah. Jakarta : Diknas

Bungin, M. Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik dan Ilmu sosial Lainnya. Jakarta : Kencana

Cahyoto. 2002. Budhi Pekerti dalam Perspektif Pendidikan. Malang
: Depdiknas-Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah-Pusat
Penataran Guru IPS dan PMP Malang

Capra, Fritjof. 2000. Titik Balik Peradaban. Terjemahan M. Thoyibi.
Yogyakarta : Bentang

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta : PT Rineka Cipta

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 261
dalam Slokantara

Dāna, I Nengah. 2005. “Aktualisasi Dharma Gita dalam Kehidupan
Keagamaan”. Makalah Dibawakan dalam Sarasehan Utsawa
Dharma Gita Nasional IX, tanggal 14—18 Juli 2005, di Bandar
Lampung.

Darmadi, Hamid. 2007. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung :
Alfabeta.

Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta
: PT. Gramedia Pustaka Utama

Dharsono (Sony Kartika). 2007. Estetika. Rekayasa Sains : Bandung.

Driyarkarya. 1980. Driyarkarya Tentang Pendidikan. Yogyakarta :
Yayasan Kanisius

Gandhi, M.K. 1996. Tuhanku (My God). Denpasar : Yayasan Bali Canti
Sena.

Gandhi, Mahatma. 1999. Kepada Mahasiswa dan Generasi Muda Hindu.
Denpasar : PT Pustaka Manikgeni

Grondin, Jean. 2008. Sejarah Hermeneutik Dari Plato Sampai Gadamer.
Jogjakarta : AR-RUZZ Media

Hakim, Lukman, 2011: “Pandangan Islam tentang Pluralitas dan
Kerukunan Umat Beragama dalam Konteks Bernegara”. Jurnal
Multikultural & Multireligius, Harmoni, Vol.X, Nomor 1, Januari-
Maret 2011:11-23

Hoed, Benny H. 2002. “Strukturalisme, Pragmatik dan Semiotik dalam
Kajian Budaya,” dalam Indonesia: Tanda yang Retak. Jakarta:
Wedatama Widya Sastra

Hornby, A.S. 2001. Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 6th Edition.
New York : Oxford University Press.

Luthans, Fred. 2002. Organizational Behavior. New York : Mc Graw Hill
Irwin

Kajeng, I Nyoman. 1999. Sārasamuccaya. Surabaya : Paramita

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik (Edisi Keempat).
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

262 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Mantra, Ida Bagus. 1983. Tata Susila Hindu Dharma. Denpasar :
Parisada Hindu Dharma Indonesia.

Manu. 1987. “Kakawin Banawa Sěkar Tanakung: Studi Mengenai
Upacara Sraddha pada Akhir Majapahit”. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.

Marshal, Catherine dan Gretchen B Rossman. 1995. Designing
Qualitative Research. California : Sage Publication,. Inc.

Maswinara, I Wayan. 1996. Nawa Darsana (Sistem filsafat India).
Surabaya : Paramita.

Miles, Mattew B. dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data
Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Jakarta :
Universitas Indonesia.

Donder, I Ketut. 2006. Brahmavidya:Teologi Kasih Semesta (Kritik
Terhadap Epistemologi Teologi, Klaim Kebenaran, Program Misi,
Komparasi Teologi, dan Konversi. Paramita : Surabaya

Muhammad, Abdulkadir. 2005. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Bandung :
PT. Citra Aditya Bakti

Ngurah, I Gusti Made. 1999. Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk
Perguruan Tinggi. Surabaya : Paramita

Oka, I Gusti Agung. 1992. Ślokāntara. Jakarta : Hanuman Cakti
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika Teori Baru Mengenai

Interpretasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

PHDI. 2001. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap
Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV. Denpasar : Proyek Peningkatan
Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama.

Pidarta, Made. 2000. Jakarta: Landasan Kependidikan, Stimulus Ilmu
Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta : Renika Cipta.

Poedjawiyatma. 2003. Etika: Filsafat Tingkah Laku. Jakarta : Rineka
Cipta

Poespoprodjo. 1998. Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek.
Bandung : CV Pustaka Grafika.

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 263
dalam Slokantara

Pudja, G. 1999. Bhagawad Gita (Pancama Weda). Surabaya : Paramita

Pusat Bahasa. 2001. Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum. Jakarta : Balai
Pustaka.

Prabhupada, AC BhaktiWedanta Swami. 2006. Bhagavad gītā Menurut
Aslinya. Jakarta : Hanuman Sakti, Lisensi The BhaktiWedanta
Book Trust International, Inc.

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metode Penelitian Kajian Budaya dan
Ilmu Sosial Humaniora Pada umumnya. Yogyakarya : Pustaka
Pelajar

Rianto, Milan. 2000. “Budi pekerti dalam PPKn Kini dan Masa Depan”.
Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari PPKn, SD, SLTP,
SMU di Gedung Sabha Nugraha. Depdiknas-Surabaya, Kerja Sama
Depdiknas Dirjen Dikdasmen dengan Pusat Pengembangan
Penataran Guru IPS dan PMP Malang.

Ricoeur, Paul dan Pane Ricaner. 1996. Teori Penafsiran Wacana
dan Makna Tambah. (Hani’ah) Jakarta : Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Ricoeur, Paul. 2009. Hermeneutika ilmu Sosial. Yogyakarta : Kreasi
Wacana

Robson, S.O. 1978. “Pengkajian Sastra-sastra Tradisional Indonesia”
dalam Bahasa dan Sastra V. G. Jakarta : Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Saenong, Ilham B. 2002. Hermeneutik Pembebasan. Bandung : Teraju.

Santeri, Raka. 2000. Tuhan dan Berhala, Sebuah Perjalanan dalam
Hindu. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha.

Saraswati, Sri Chandrasekharendra. 2009. Peta Jalan Weda. Jakarta :
Media Hindu

Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.
Yogyakarta : Graha Ilmu

Seri Hukum dan Perundangan. 2011. Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) UU RI No. 20 Tahun 2003 dan

264 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Penjelasannya. Jakarta : SL Media

Sivananda, Sri Swami. 2003. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya : Paramita

Sivananda, Sri Swami.1988. All About Hinduism, A Divine Life Socoety.
India : Himalaya

Sri Arwati, Ni Made. 1999. Upacara Upakara. Denpasar : Upada Sastra.

Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Soebadio, Haryati. 1991. “Relevansi Pernaskahan dengan Berbagai
Bidang Ilmu”  dalam Naskah dan Kita. Lembaran Sastra. Jakarta :
Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Soejono, Trimo. 1986. Pengembangan Pendidikan. Bandung : CV.
Remaja Karya

Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali

Sugriwa, I G.B. 1977. Penuntun Pelajaran Kakawin. Denpasar : Proyek
Sasana Budaya Bali.

Suardeyasa, IG. Nym. 2007. Bunga Rampai Ajaran Hindu Dharma.
Denpasar : Universitas Mahendradatta

Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantripisacarana. Denpasar : Pustaka
Larasan

Suarka, I Nyoman. 2011. “Fungsi Dan Makna Kidung Panca Yadnya”.
Makalah dibawakan dalam kegiatan Pembinaan Sekaa Santi
Angkatan I, Kota Denpasar, tanggal 18 Juni 2011 di Aula
Kementerian Agama Kota Denpasar

Suarjaya, I Wayan., Dkk. 2008. Panca Yajna. Denpasar : Widya Dharma

Sudharta, Tjok Rai. 2003. Ślokāntara (untaian ajaran etika, teks,
terjemahan dan ulasan). Surabaya : Paramita

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D.
Jakarta : Alfabeta

Sugriwa, I G.B. 1977. Penuntun Pelajaran Kakawin. Denpasar : Proyek
Sasana Budaya Bali

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 265
dalam Slokantara

Suhardāna, K.M. 2006. Pengantar Etika dan Moralitas Hindu: Bahan
Kajian Untuk Memperbaiki Tingkah Laku. Surabaya : Paramita

Sumaryono, E. 1996. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta
: Pustaka Filsafat

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan.
Yogyakarta : Kanisius

Sura, I gede. 1985. Pengendalian Diri dan Etika dalam Ajaran Agama
Hindu. Jakarta : Hanuman Sakti

Surada, I Made. 2007. Kamus Sanskerta Indonesia. Denpasar : Widya
Dharma

Suriasumantri, Jujun S. 1987. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta : Pustaka Sinar Harapan

Suryanto. 2010. “Fungsi Acarya, Parampara, dan Sampradaya dalam
Sistem Pendidikan Tradisional Hindu”. (Tesis). Denpasar :
Universitas Hindu Indonesia.

Suryanto. 2011. “Transformasi Figur, Karakter, dan Peranan Acarya
dalam Sastra Hindu India ke Dalam Dunia Wayang Kulit Purwa
di Jawa”. (Penelitian Mandiri Dosen). Palangka Raya : STAHN-TP
Palangka Raya

Suweta, I Made. 2006. “Aksara Pada kajang Dalam Upacara Ngaben
MasyarakatHindudiBali(SebuahKajianLinguistikKebudayaan)”.
(Tesis). Denpasar : Program Pascasarjana Universitas Udayana

Swami, Bhakti Raghava. 2008. Pendidikan Varnasrama sebagai
Pendukung Pendidikan Tradisional. Yogyakarta : Narayana Smrti
Press

Tafsir, Ahmad. 2009. Filsafat Ilmu, Mengurai Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi Pengetahuan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Tanu, I Ketut. 2010. Konsep dan Makna Pendidikan di Era Global.
Denpasar : Sari Kahyangan Indonesia

Teeuw. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra : Pengantar Teori Sastra. Jakarta
: Pustaka Jaya

266 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Tilaar. H.A.R. 1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani
Indonesia Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung :
Remaja Rosdakarya

Tirtarahardja, Umar., & Sulo, S.L. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta
: PT Rineka Cipta

Titib, I Made. 2003. Weda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan.
Surabaya : Paramita

Titib, I Made. 2006. Svarga, Naraka, Moksa dalam Svargarohanaparwa
(Perspektif Kajian Budaya). Surabaya : Paramita

Titib, I Made & Sapariani, Ni Ketut. 2004. Keutamaan Manusia dan
Pendidikan Budhi Pekerti. Surabaya : Paramita

Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu.
Surabaya : Paramita.

Titib, I Made. 2001. “Filosofi Pendidikan Hindu Menurut Weda, Konsep
dan Kemungkinan Implementasinya di Indonesia”. Makalah
Seminar dan Lokakarya Nasional Reformulasi Sistem Pendidikan
Hindu pada masyarakat majemuk di Indonesia, tanggal 8-9
September 2001 bertempat di Universitas Hindu Indonesia,
Tembau-Penatih, Denpasar.

Titscher, Mayer, Wodak dan Vetter. 2009. Metode Analisis Teks dan
Wacana. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Van Zoest, Aart. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan
Apa yang kita Lakukan Dengannya. Jakarta : Yayasan Sumber
Agung.

Wadjiz, Anwar. 1985. Filsafat Estetika. Yogyakarta:Nur Cahaya
Wiranata, I Gede A.B. 2005. Dasar-Dasar Etika dan Moralitas. Bandung

: Citra Aditya Bhakti

Yupardi, M. 2004. Disiplin dan Sadhana Spiritual. Surabaya : Paramitha
Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang.

Penerjemah Dick Hartoko SJ. Jakarta : Djambatan.

Zuchdi, Darmiyati. 2009. Humanisasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 267
dalam Slokantara

Zuriah, Nurul. 2008. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif
Perubahan (Menggagas Platfom Pendidikan Budi Pekerti Secara
Kontekstual dan Futuristik). Jakarta : Bumi Aksara

Sumber dari Internet :
Dhesiana. 2009. Domain Pendidikan menurut “Benjamin Bloom”
(http://dhesiana.wordpress.com/2009/02/15/domain-pendidikan
menurut-“benjamin-bloom”/., diakses 1-9-2011)
Sukarma, I Wayan. 2010. Penelitian pendidikan Hindu (http://
sukarma-puseh.blogspot.com/2010/10/penelitian-pendidikan-
hindu.html., diakses 1-9-2011)

268 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

LAMPIRAN

TEKS ŚLOKĀNTARA1

1. SLOKA 1 (1)

Brāhmano wā manusyanām ādityo wāpi tejāsam, śiro wā
sarwagātreṣu dharmesu satyamuttamam

Kalinganya, nihan dharma rĕngön de sang mahyun wruheng
kawiśeṣan ing janma, yan manuṣya tan hana lĕwih kadi brāhmaṇa,
brāhmaṇa ngarannya sang kumawaśākĕn kabrahmacāryan,
tiga lwirnya, ndya ta nihan, hana śuklabrahmacāri, hana
śawalabrahmacāri, hana kṛṣṅabrahmacāri, sira Brāhmaṇa
ngaranira, sira ta lĕwih sakeng mānuṣajanma, śuklabrahmacāri
ngaranira, tan parabisangkan rare, tan mañju tan kuming sira,
adyāpi tĕka ring wṛddha tuwi, sira tan pangucaparabi sangka pisan,
mangkana sang brahmacari ngaranira, yan sira śukla brahmacāri.
Sawalabrahmacārī ngaranira, marabi pisan, tan parabi muwah,
kunang yan kahalangan mati strī nira, tan parabi muwah muwah
sira, adyāpi tĕka ri kapati nira, tan pangucap arabya, mangkana
sang brahmacāri, yan sira śawalabrahmacāri. Kṛṣṅabrahmacāri
ngaranira, marabi papat ta nghing hinganya, tan parabi muwah,
syapa kari pinakadarśaneng loka mangkana, Sang Hyang Rudra
sira pat dewi nira, ndya ta lwir ing dewī nira, Umā, Ganggā, Gaurī,
Durgā, nahan Dewī Caturbhaginī, tiniru de Sang Kṛṣṅabrahmacāri,
ndan wruha ta sireng kāladeśa ning strisanggama, mangkana
krama sang brahmac Kṛṣṅabrahmacāri sowang-sowang.

Kunang ika yan teja, tan hana kadi teja sang hyang āditya, sira
wiśeṣa ning teja ring loka.

1Teks dan Terjemahan Slokantara ini diambil dari “Slokantara, Untaian
Ajaran Etika” karya Prof. Dr. Tjok. Sudharta, M.A., tahun 2003, penerbit Paramita
– Surabaya., hal. 5-298.

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 269
dalam Slokantara

Kunang yan ring sarwagātra ning śarīra, tan hana kadi sirah wiśeṣa.
Mangkana ikang dharma, tan hana lewih kadi kasatyan, yeka
uttama ring loka.

ARTI

Seperti halnya golongan brahmana di antara manusia, sebagai
halnya matahari di antara sumber cahaya, seperti halnya
kepala di antara anggota badan, demikian pulalah halnya
kebenaran (satya) di antara kewajiban (dharma) manusia.

Demikianlah, bahwa dharma ini seharusnya didengarkan oleh
merekayangingin mengetahuiartidanmaksudhidupmanusiaini. Di
antara manusia tidak ada yang melebihi brahmana. Yang dimaksud
dengan brahmana ialah yang dapat menguasai dan menjalankan
kebrahmacarian yang tiga macam itu, yaitu: Suklabrahmacari,
Sewalabrahmacari, dan krsnabrahmacari. Itulah yang patut
dinamai brahmana yang lebih agung dari manusia-manusia lainnya.
Suklabrahmacari ialah orang yang tidak kawin seumur hidupnya
dari kecil sampai tua, bukan karena mempunyai cacat badan atau
wandu (lemah syahwat), malah ia tidak pernah berbicara tentang
perkawinan sampai di hari tuanya. Inilah bramacari yang dinamai
suklabrahmacari. Sewalabrahmacari ialah orang yang kawin
hanya sekali dan tidak lagi, walaupun sudah ditinggal mati oleh
istrinya. Ia tidak kawin lagi sampai tiba ajalnya. Malah ia tidak
pernah lagi mempersoalkan hal perkawinannya. Inilah brahmacari
yang dinamai sewalabrahmacari. Krsnabrahmacari ialah orang
yang kawin paling banyak empat kali, dan tidak lagi. Siapakah
yang dipakai contoh dalam hal ini? Tidak lain adalah Sang Hyang
Rudra yang mempunyai empat dewi, yaitu Dewi Uma, Dewi Gangga,
Gauri, dan Durga. Empat dewi yang sebenarnya hanyalah empat
aspek dari yang satu, inilah yang ditiru oleh yang menjalankan
krsnabrahmacari. Asal saja ia tahu waktu dan tempat dalam
berhubungan dengan istri-istrinya. Demikianlah halnya perincian
brahmacari itu masing-masing. Adapun di kalangan cahaya, tidak
ada yang menyamai cahaya matahari. Inilah sumber cahaya yang

270 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

paling sempurna di dunia. Antara anggota badan, tak ada yang
melebihi ketinggian kepala. Demikianlah juga dalam dharma, tidak
ada yang menyamai ketinggian kebenaran. Inilah yang paling
utama di dunia.

2. SLOKA 2 (6)
Kupaśatād wai paramam saro’pi, saraśatād wai paramo’pi
yajñaḥ, yajñaśatad wai paramo’pi putraḥ, putraśatād wai
paramam hi satyam

Kalinganya, hana pweka wwang magawe sumur sātus, alah ika
dening magawe talaga tunggal, lĕwih ikang wwang magawe
talaga, hana pweka wwang magawe talaga sātus, alah ika phalanya
dening wwang gumawayaken yajña pisan, atyanta lĕwih ing
gumawayakĕn yajña, kunang ikang wwang mayajña ping sātus,
alah ika phalanya de nikang wwang mānak-anak tunggal, yan anak
wiśesa, kalingannya ikang manak-anaka ta lewih phalanya, muwah
ikang wwang mawĕka sātus, alah dening kasatyan, sangksepanya,
lĕwih phala nikang wwang satya, ya ta matangyan sang sādhu,
haywa tan-satya ring brata, mwang ring wacana, mangkana ulaha
nira

ARTI

Membuat sebuah telaga untuk umum itu lebih baik daripada
menggali seratus sumur. Melakukan yajna (korban suci)
itu lebih tinggi mutunya daripada membuat seratus telaga.
Mempunyai seorang putera itu lebih berguna daripada
melakukan serratus yajna. Dan menjadi manusia setia itu
jauh lebih tinggi mutu dan gunanya daripada mempunyai
seratus putra.

Orangyangmembuat(menggali)sumuritudikalahkankegunaannya
oleh orang yang membuat telaga untuk umum. Lebih berjasa orang
yang membuat telaga. Sedangkan yang membuat telaga seratus,
dikalahkan oleh kebajikan orang yang melakukan yajna (korban

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 271
dalam Slokantara

suci). Jauh lebih berjasa yang mengadakan yajna. Yang melakukan
seratus yajna dikalahkan pahalanya oleh yang mempunyai putera,
walaupun seorang, asal saja putera itu saleh dan pandai. Dikatakan
bahwa pahala orang yang mempunyai seratus putera yang baik itu
diatasi oleh yang melakukan kebenaran (satya). Pendeknya, hasil
dari laksana yang benar (satya) itu mengatasi segalanya. Oleh
karena itu orang suci harus tidak berdusta, dalam sumpah maupun
kata-kata. Itulah yang harus dilaksanakan.

3. SLOKA 3 (7)

Nāsti satyāt paro dharmo nānṛtāt pātakam param, triloke ca
hi dharma syāt tasmāt satyam na lopayet.

Kalinganya, tan hana dharma lĕwiha sangkeng kasatyan, matangnya
haywa lupa ring kasatyan ikang wwang.

ARTI

Tidak ada dharma (kewajiban suci) yang lebih tinggi dari
kebenaran (satya), tidak ada dosa yang lebih rendah dari
dusta. Dharma harus dilaksanakan di ketiga dunia ini dan
kebenaran harus tidak dilanggar.

Dikatakan bahwa tidak ada kewajiban suci yang melebihi kebenaran,
oleh karena itu jangan lupa bahwa manusia harus melakukan
kebenaran.

4. SLOKA 4 (9)

Anityam yauwanam rūpamanityo drawyasamcayaḥ, anityaḥ
priyasamyogastasmād dharmam sāmacaret.

Kalinganya, ikang kayowanan mwang rūpa , tan lanā jātinya, ikang
kasugihan samūha ning drĕwya, tan lanā ika, muwah ikang wwang
amangan aturu lawan rabinya, tan lanā ika, matangya ulahakna
dharma juga, tan angalah-alaha sama ning dadi janma, wĕnang
matakwana salwir ing sinanggah dharma śāsana ri sang paṇḍita
marapwan tan anĕmu pāpa, mangkana krama ning dadi janma.

272 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

ARTI

Keremajaan dan kecantikan rupa itu tidak langgeng.
Timbunan kekayaan pun tidak langgeng. Hubungan dengan
yang dicintai pun tidak langgeng. Oleh karena itu kita harus
selalu mengejar dharma (kebenaran) karena hanya itulah
yang langgeng.

Dikatakan bahwa keremajaan dan kecantikan rupa itu ialah
sesuatu yang tidak kekal. Kekayaan dan kumpulan harta benda pun
demikian halnya. Dan kesenangan hidup sehari-hari umpamanya
makan serba lezat. Dari itu orang harus mencurahkan pikiran pada
pelaksanaan kebenaran saja. Ia tidak boleh melakukan kekerasan
terhadap sesama manusia. Dan selanjutnya ia wajib bertanya-
tanya kepada pendeta, tentang melaksanakan peraturan dharma
(dharmasastra). Dengan demikian tidak akan menemui malapetaka.
Inilah kewajiban manusia.

5. SLOKA 5 (36)

Tṛṇakuśamuditānām kāñcanaiḥ kiṁ mṛganām, phalatarumu-
ditānām ratnabhirwānārām, asurabhimmuditānām gandhi-
bhiḥ sūkarāṇām, naca bhawati narāṇāmtu priyam taswiśeṣam.

Kalinganya, ikang mrga, kidang, manjangan, tan pinakasukha ning
twasnya ika yan wehana mās mwang bhūṣaṇa, kunang ika yan
pinakasukha ning manahnya, yan haneng alas akweh dukutnya hayu,
mwang alang-alang, ramban-rambanan, yeka jĕnĕk ing manahnya,
mangkana ikang wānara, yan wehana sahana ning ratna mūlya, tan
pinakasukhanya ika, kunang yan umulat irikang wwah-wwahan
mĕnduh pada matasak, yeka magawe sukhanya, mangkana tekang
wök, tan sukha ika dening sarwa-sugandha, kunang ikang magawe
sukha ri twasnya, pangĕmĕh rikang pacaryan durgandha, yeka
manukhani ring cittanya, mangkana ikang wwang dadiha ika ring
tan kinahyunan de nika, taha tan mangkana, asing winiśeṣakĕn ing
twasnya, yeka singhit ing hatinya, hetu ning janma wwang, hana sor,
hana wwang menak, hana kawula, hana tuhan, hana mūdha, hana

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 273
dalam Slokantara

guna, hana wirūpa, hana surūpa, hana manĕmu hala, hana manĕmu
hayu, hana manuṣya, hana sattwa, hana taru, hana latā, hana trna,
irika ta katinghalan ikang swarga lawan naraka, mapa rūpanya, yan
hana wwang atyanta wibhuh ring bhūminira, yeka swarga ngaranya,
yeka dinalih Sang Hyang Indra, yan hana wadwanira kasihan, yeka
sāksāt widyādhara, yan hana bujangga mwang Brāhmana Weda-
pāraga, tan kakurang ing tattwa sarwaśāstrāgama, yeka Bhagawan
Wṛhaspati ngaranira, muwah yan hana wwang wirūpa, mūdha
kasyaśth, gringan, göng dukhanya, yeka kawah ngaranya, nguni-
nguni ikang wwang kandĕhan lara tan sāmānya, tan ucapĕn ikang
tiryak kabeh, tĕkeng tṛṇa, taru, latā, pipilikā, ikang satumuwuh, yeka
neraka, matangyan ikang ulah rahayu, gawayakna, narapwan tan
kalebwing maharorawa, sang wruh irika yeka wruh ring dharma
rahayu, yan tan hana buddhidharma, inajarakĕn mahaniraya
ngaranya, nir ngaranya nor, aya ngaranya laku, tan lumakwakĕn
dharma rahayu kalinganya, matangyan singgahana ikang hawan
mareng kawah, lakwanana ikang mārga mareng swarge, ling
Sanghyang Dharma, ya tutur ngaranya, ling ning aji.

ARTI

Bagi seekor kijang yang berbahagia dengan rumput dan
buluh muda, perhiasan emas itu tidak berarti. Bagi kera yang
berbahagia dengan buah-buahan pada pohon kayu, Mutiara
itu tidak ada artinya. Bagi babi yang gembira dengan makanan
yang sudah busuk, bau bunga harum itu tidak berarti apa-apa.
Tetapi bagi manusia, dharmalah (perbuatan baiklah) yang
harus diutamakan dan dilakukan walaupun kadang-kadang
tidak menggembirakan.

Mrga atau kijang dan menjangan itu tidak merasa berbahagia
dalam hatinya walaupun mereka diberi emas dan perhiasan indah.
Tetapi hati mereka akan gembira jika hutan di sekitar mereka
menghijau oleh rumput dan dedaunan muda.

Demikian juga halnya kera. Walaupun mereka itu dihadiahi dengan
permata sebanyak-banyaknya, mereka tidak akan berbahagia

274 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

tetapi mereka bahagia bila buah-buahan pada bergelantungan dan
masak. Demikian juga babi, tidak berbahagia diberi makanan serba
harum, tetapi jika mereka diberi makanan berbau busuk mereka
sangat berbahagia.

Apakah sifat manusia itu mau saja menerima apa yang tidak
disukainya? Kenyataannya tidaklah demikian segala apa yang
mereka anggap bagus, itu pulalah yang dirindukan hatinya. Dan
inilah suatu sebab mengapa mereka itu lahir kembali dalam
tingkatan yang berbeda-beda, ada yang lahir di tingkat rendah atau
tinggi, menjadi budak atau majikan, menjadi orang bodoh atau
pandai, orang cacat atau orang sempurna kecantikannya, menderita
sengsara atau berbahagia, lahir sebagai manusia atau binatang
atau menjadi pohon-pohonan, tumbuh-tumbuhan merambat atau
rumput. Kita dapat melihat perbedaan kelahiran mereka itu apakah
dari sorga ataukah dari neraka. Apakah tanda-tandanya yang jelas?
Ia yang lahir menjadi orang besar di daerahnya, pasti kelahiran
sorga. Ia dapat disamakan dengan Deva Indra, sedangkan rakyat
yang disayangi dapat diandaikan bidadari-bidadari dari kahyangan.
Para pendeta dan cendekiawan yang pandai dalam ajaran Kitab Suci
Weda dan tidak tanggung-tanggung pengetahuannya dalam kitab-
kitab suci lainnya, mereka itu dapat dianggap keturunan Bhagawan
Wrhaspati yang agung itu.

Sebaliknya, mereka yang lahir sebagai manusia cacat, dungu,
sengsara, merangkak-rangkak, dan menderita siksaan hidup,
mereka itu kelahiran neraka yang termasuk golongan rendah sampai
kepada rumput, kayu-kayuan, tumbuh-tumbuhan merambat, semut,
dan tumbuh-tumbuhan lainnya. Mereka itu semua datangnya dari
neraka.

Oleh karena itu tiap orang harus berbuat yang baik, agar tidak
sampai terjerumus ke dalam Neraka Maharorawa. Mereka yang
mengerti ini, mengerti ajaran dharma. Dan mereka yang tidak
mengerti sama sekali tentang dharma dinamai sangat “niraya”. “Nir”
artinya tidak “aya” artinya melakukan, jadi “niraya” artinya tidak

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 275
dalam Slokantara

berbuat yang baik. Oleh karenanya, manusia harus menghindari
jalan yang membawanya ke neraka dan memilih serta mengikuti
jalan menuju sorga.

Demikianlah ajaran dharma yang dinamai “tutur” (nasihat yang
patut).

Semuanya ini ada dalam kiab suci.

6. SLOKA 6 (16)

Yo dharmaśīlo jitamānaroṣo, widyāwinīto na paropatāpī,
swadāratuṣṭaḥ paradārawarjī, na tasya loke bhayamasti
kiñcit.

Kalinganya, ulaha sang tapa, bhujangga śaiwasiddhānta, dharma
gawayakna, śīla nira rahayu pagĕhakna, haywa manabuddhi, jitaka
ikang mana, haywa matukar lawan para, yeka rosa ngaranya,
haywa katunan widyā wruha ring sarwaśāstra kabeh, tan butuhan
ing patakwan ri sarwāgama pramana, ślokadiwākya, mwang
hala-hayu ning rāt, haywa mamanasi sama janma, yan amuwus
madhurawacana, tuṣṭa dening swadāra, swadāra ngaranya rabi
prihawak, yeka hetu nira winĕnangakĕna rabi papat, paradārawarjī
ngaranya haywa mangangĕn-angĕna strī ning para, yeka donya yan
mangkana, tan hana bhaya nira ring loka, kunang sira yan linaran
dening para, tan sayogya doṣa nira, kinkinĕn, tan pinakaduhkha,
ning manah: uttama, angucap ing lara nira ri dalĕm hati: madhyama,
yan angucap lara nira met ring śabda: kaniṣṭha, yapwan amaḍani
halanya: kaniṣṭha ning kaniṣṭha yan mangkana, ling sang hyang aji.

ARTI

Ia yang setia pada kewajibannya, yang mengatasi
kesombongan dan kemarahan, yang bijaksana tetapi rendah
hati, tak pernah menyakiti orang lain, puas dan setia pada
istrinya, hormat pada wanita lainnya, baginya tidak ada
sesuatu pun yang perlu ditakuti di dunia ini.

276 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Kewajiban seorang pendeta, pertapa, dan pengikut ajaran Siwa
Siddhanta ialah melaksanakan dharma (kewajiban suci). Ia harus
teguh hati dalam menjalankan kebenaran. Ia tidak boleh sombong,
perasaan tinggi diri itu harus dihilangkan. Ia tidak boleh berkelahi
dengan siapapun. Berkelahi itu dinamai dosa. Ia harus tidak picik
pengetahuan, yaitu ia harus tahu dengan mendalami segala ilmu.
Pengetahuannya harus mendalami tentang isi kitab suci, tentang
sloka-sloka ajaran susila dan segalanya yang dianggap baik dan
buruk, untuk dapat membedakannya. Jangan gendaknya menyakiti
hati orang lain. Kalau berbicara pakailah kata-kata manis
menyedapkan. Ia harus puas dan tetap setia pada istrinya sendiri,
dan untuk ini sudah diperbolehkan beristri sampai empat orang jika
perlu. Paradarawarji artinya ia tidak boleh merindukan istri orang
lain.

Jika sudah demikian kelakuan dan tujuan hidupnya ia tidak akan
mempunyai perasaan takut atau sangsi terhadap apa dan siapa pun
di dunia ini. Dan jika seandainya orang lain masih juga menyakiti
atau mencela, menjahati dia, maka ia tidak boleh mengutuk orang
itu. Tegasnya, jika seseorang itu tidak peduli pada kejahatan yang
ditimpakan kepadanya oleh orang lain, dia itu orang utama.
Tetapi jika orang itu merasa di dalam hati bahwa dirinya disakiti
ia termasuk golongan madhya (menengah). Dan jika orang itu
memperlihatkan perasaan sakit hatinya dengan kata-kata, ia itu
termasuk orang tingkat rendah (kanistha). Dan akhirnya jika orang
itu membalas sakit hatinya dengan perbuatan yang setimpal dengan
apa yang telah dilakukan terhadap dirinya, ia itu orang yang paling
rendah.

Demikianlah ajaran kitab suci.

7. SLOKA 7 (17)

Ā cireṇa parasya bhūyasīm, wiparītām wigaṇayya cātmanah,
kṣayayuktimupekṣate kṛtī, kurute tatpratikāramanyathā.

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 277
dalam Slokantara

Kalinganya, kṛti ngaran ing sang paṇdita, haywa sira manglawani
hala ning maweh lara ring sira, yadnyana sādhya mamātyanana
kunĕng, tan walĕsana halanya, kewalagumĕgöha lara nira
prihawak, mājarakĕn teka ning lara, mwang pralaya, pilih māsa
ning surud ing hurip ira, ya pinakasopana ning paratra, ambal
ing mantuk ing śiwaloka, anghing ikang śīlayukti juga pagĕhakna
mwang tapabrata sang wiku, yeka ksaya yukti.

Upekṣa ngaranya, hana pwekang dusta manghalahala ring sira,
makanguni mamātyanana, tan-wandhyānĕmu ng upadrawa,
de nira, ya ta pamalĕs nira, yeka pratikāra ngaranya, mabalik
ikang lara-upadrawa, Devadanda irikang manghalahala, mapan
pinakabala-kośa-wahana nira, prabhāwa ning tapabrata juga,
yekāwās manĕmu papa magöng ikang wwang duṣṭa makārya
duḥkha ri sira, mangkana krama sang paṇḍita.

ARTI
Orang Budiman yang telah mendalami pengetahuannya
tentang dharma akan tidak menghiraukan segala usaha-
usaha jahat dan tipu muslihat musuhnya untuk menjatuhkan
dirinya. Jika tidak berbudi, ia pasti akan membalas dendam.

Kerti artinya orang bijaksana dan budiman, ia tidak boleh
mendendam terhadap orang lain yang berhati curang terhadap
dirinya. Walaupun mungkin mereka berniat untuk membunuhnya,
namun ia tidak boleh mendendam. Ia hendaknya menyadari sumber
kejahatan itu terletak di hati manusia itu sendiri, namun ia harus
percaya juga bahwa ia akan sanggup membasmi kejahatan itu
dengan menyadari akan kedatangan kejahatan itu. Tentang orang
lain ia hanya boleh berkata bahwa mereka itu pada akhirnya
akan mati juga. Hal ini merupakan tangga naik guna mencapai
ketinggian Siwaloka (yaitu bersatu dengan Tuhan). Setiap orang itu
harus tetap teguh dalam melaksanakan kebaikan dan kebenaran,
di samping menjalankan tapa dan brata bagi para pertapa dan
pendeta. Inilah cara-caranya untuk membasmi tindakan atau niat
jahat yang ditujukan terhadap kita.

278 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Upeksa artinya kalau ada seseorang hendak membencanai kita,
mungkin malah hendak membunuh kita, ia itu pasti akan menderita
papa dan kutukan. Inilah yang merupakan balasan baginya. Ini juga
dinamai pratikara, yaitu kejahatan atau kesaktian itu akan berbalik
kembali dari mana asalnya. Inilah hukuman yang dijatuhkan oleh
Tuhan kepada mereka yang melakukan kejahatan. Sebaliknya
balasan terhadap perbuatan tapa dan brata itu ialah mendapat
kekuatan (lahir batin) yang seolah-olah merupakan kekayaan atau
sarana baginya. Dan bagi mereka orang jahat yang membencanai,
pasti akan mendapat ganjaran yan setimpal atas dosa yang telah
diperbuatnya.

Demikianlah keadaan orang yang bijaksana dan budiman.

8. SLOKA 8 (31)

Nirdhano’pi naraḥ sādhuḥ karma nindyam na kārayet,
Śardūlaśchinnapādo’pi tṛṇam jātu na bhakṣayet.

Kalinganya, sang sādhu-jana sira sang wwang uttama-janma,
yadyapi sira nirdhana, kasyasiha tuwi, agaweha ta sira salah kārya,
salah hidĕp, taha tan mangkana sang wwang uttama-janma,
iwa padanira nihan, kadyangga ning śārdūla, śārdūla ngaranya
macan, tugĕl jarijinya, pisaningū ika mamangana dukut, nora juga
mangkana prawṛttinya, apan engĕt ing pinanganya kaja umanya,
mangkana ling ing aji.

ARTI

Orang saleh walaupun ia amat miskin, ia tidak akan
melakukan pekerjaan haram. Seekor harimau, walaupun
dipotong kakinya sampai remuk, ia tidak akan mau makan
rumput.

Demikian bahwa seorang sadhujanma, yaitu orang yang lahir dari
keluarga baik-baik, walaupun ia menjadi semiskin pengemis dan
bernasib buruk, tetapi ia tidak akan mau melakukan pekerjaan yang
jahat. Apalagi akan mengerjakan, sedangkan memikirkan yang

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 279
dalam Slokantara

jahat-jahat pun ia tidak mau. Ia itu dapat dibandingkan dengan
seekor harimau. Walaupun cakar harimau itu dipotong, namun ia
tidak akan memamah rumput. Ia tidak mungkin akan melakukan
itu karena ia tahu makanan apa yang boleh dimakannya.

Demikian ajaran kitab suci.

9. SLOKA 9 (83)

Ᾱpadgato’pi doṣajño dharmaśāstram na warjayet, saroruham
yathā bhṛṅgaśchinnpakso’pi jñātibhiḥ.

Kalinganya, doṣajña ngaranira sang pandita, āpad-gata ngaranya
tĕka ning laraning wong waneh doṣa sira dening durjana,
tathāpinya ngkana, tan patinggal dharma mwang śāstrāgama
sira, tan surud sira ring ulah rahayu, makakārana, swajāti nireng
pandita, kadyangga nikang bhṛṅga, bhṛṅga ngaranya brahmara,
chinnapakṣa apituwi tugĕl hĕlar ika, tathāpinya tan patinggal
kambang ing saroruha inisĕp ika, pisaningū mangisĕpa purisa, taha
tan mangkana, mangkana sang paṇdita, pisaningū sira ngangĕn-
angĕna hala ri sama-sama nira tumuwuh, tah tan mangkana ulah
nira, yadyapi wehana larāmbĕk sira, mwang dalihen durjana dening
wwang, tan pangangĕn-mangen ahala sira ring loka.

ARTI

Seorang teguh iman walaupun ia berada dalam kesusahan
atau bencana besar, ia tidak akan mau melanggar ketentuan-
ketentuan dan nasihat-nasihat kitab suci. Sama dengan
kumbang yang tidak akan mau meninggalkan bunga seroja
walaupun sayapnya dicabut.

Dosajna artinya orang teguh iman. Apagata, yaitu orang yang
disusahkan oleh orang lain, orang yang telah dibencanai oleh
orang jahat. Walaupun demikian ia tidak akan mau meninggalkan
dan melanggar ajaran-ajaran agama dan dharma. Ia tidak akan
berhenti mengerjakan kebajikan karena ia telah dilahirkan dalam
lingkungan orang bijaksana. Ia dapat diumpamakan sebagai seekor

280 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

“bhrnga”, yaitu kumbang, “Chinnapaksa” artinya sayapnya dicabut
putus, walaupun demikian ia tidak akan mau meninggalkan bunga
seroja yang sedang diisapnya itu. Ia tidak akan mau mengisap
kotoran. Ia tidak akan pernah berbuat itu. Demikian juga seorang
bijaksana walaupun ia dibencanai atau dihina oleh orang lain,
namun ia tidak akan mau membalas dendam dan berniat jahat
terhadap manusia lain.

10. SLOKA 10 (38)

Suwarṇapuṣpām pṛthiwīm bhuñjanti catwāro narāḥ,
upāyajñaśca śūraśca kṛtawidyaḥ priyaṁwadaḥ.

Kalinganya, ikang wwang sinangguh mamukti kĕmbang hĕmās
ring lĕmah pāt lwirnya, wruh magawe upāya, wruh ring upāya ning
śatru, yeka upayajña ngaranya. Wani ring samara, tan hana pada
nira, yeka śūra ngaranya. Wicaksana ring aji śāstrāgama, tan hana
kapunggung ira ring sarwa-tattwa, yeka kṛta-widya ngaranya.
Bahu strī-ratna, pada wagĕd animi sang mahāpurusa priya, irika
ta sang amawa wruh ring ananggaśāstra, kinalulutan ing strī, yeka
priyaṁwada ngaranya, yan hana mangkana kadadi ning wwang
pradhāna mangulahakĕn punyadharma, pilih dadi ning wwang
gumĕgö tapabrata ling ning śāstra.

ARTI
Empat golongan manusia yang menikmati kebahagiaan hidup
ini, yaitu: orang yang tahu tujuan dan cara hidup, orang yang
pemberani, orang yang bijaksana, dan orang yang pandai
berbicara ramah menarik.

Dikatakan bahwa mereka yang dapat menikmati hidup keemasan
di dunia ini ada empat macam. Perinciannya adalah :
1) Ia yang tahu membuat taktik daya upaya, ia yang tahu daya

upaya yang dibuat oleh musuh, orang ini dinamai upayajna
(cerdik).
2) Orang yang berani dan perwira dalam medan perang. Orang
yang tak ada tandingannya ini dinamai orang sura (pemberani).

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 281
dalam Slokantara

3) Orang yang tahu dengan mendalam segala ajaran agama dan
semua petatah petitih serta macam ilmu, orang ini dinamai
krtawidya (bijaksana dalam segala ilmu).

4) Orang yang dikelilingi oleh perempuan-perempuan cantik dan
tahu cara menyenangkan hati pemuja-pemuja dan pandai
dalam ilmu asmara serta dicintai dengan setia oleh wanita-
wanita. Ia ini dinamai orang yang priyamwada (peramah).

Orang besar sebagian ini ialah penjelmaan dari orang-orang yang
dahulu melakukan dharma yang suci. Atau mungkin juga mereka
itu penjelmaan orang yang telah menyelesaikan tapa bratanya.

Demikian kata kitab suci.

11. SLOKA 11 (64)

Dwijātirabhiwyākhyātānāmanugrahī, Prabhuśca yogayuktaś-
ca ccatwāro’ wyabhicariṇaḥ.

Kalinganya, ikang tan adwa śabda nira ring loka, sang Brāhmana
paripūrṇa ring caturWeda, sira tan lĕñok, muwah sang huwus
anĕmu dewā nugraha, tan lĕñok sira, muwah sang ratu yan wus
prabhu cākrāwarti, tan lĕñok sira, sang paṇḍita, yan sira tĕlas yukti
gumawayakĕn yoga wiśeṣa, kakawaśeng niṣkala jñāna, tan lĕñok
sira, ika ta kapat ndatan kahanan lĕñok, ling sang hyang aji.

ARTI
Keempat orang ini seharusnya tidak pernah goyang dalam
melaksanakan kebenaran. Brahmana yang pandai, orang
yang dapat anugerah dari Deva-Deva, raja, dan orang yang
telah mencurahkan hatinya dalam melakukan yoga.

Orang-orang yang seharusnya tidak pernah berdusta ini adalah :
1) Brahmana yang sudah mendalami tentang ajaran keempat

Kitab Suci Weda. Ia selalu dapat dipercaya.
2) Orang yang dapat anugrah dari Deva-Deva hingga ia mengerti

inti sari ajaran agama dan mengetahui Tuhan. Ia selalu dapat
dipercaya.

282 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

3) Seorang raja yang telah menjadi cakrawarti, berkuasa penuh
terhadap negara dan rakyatnya. Baginda selalu dapat dipercaya.

4) Seorang yang telah mencapai tingkat yoga tertinggi dan
mengerti dengan sempurna ajaran-ajaran agama ia selalu
dapat dipercaya. Mereka ini keempatnya tidak pernah berdusta.

Demikian kata kitab suci.

12. SLOKA 12 (75)

Dagdham dagdham punarapi punaḥ kāñcanam kāntiwarṇam,
ghṛṣṭam ghṛṣṭam punarapi punaścandānam cārugandham,
chinnam chinnam punarapi punaścekṣudaṇḍam sakhaṇḍam,
bhāwānte’pi prakṛtiwikṛtirjāyate nottāmānam.

Kalinganya, ikang mās ngaranya inaluban ta ya muwah-muwah,
ri wĕkasan suteja warṇanya, makārya harṣa ing tumon phalanya,
mangkana ikang candāna, cinacal-cacal linwang muwah-muwah,
tĕkeng dalĕm ing twasnya, ri wĕkasan sangśaya ring atiśaya
wanginya, makārya harṣa ning angambung phalanya, nihan ikang
tĕbu, tinugĕl ta ya sakhaṇḍa-khaṇḍa, saking tuntungnya, malah tĕka
ring bungkah, ri wĕkasan ta ya rinasa-rasa yan pinangan surasa
ning manisnya, ndi ta ya pangrasa ning amangan, kalinganya, sang
tumon ing rūpawarna rahayu, mās aji ning warna, ndi ta wĕkas ing
panon sang manon, mangkana ikang candāna, mawangi inambung
dening anggandha, ndi tĕka wĕkas ikang pangambung, lawan ikang
manis ning tĕbu, rinasaning jihwā manisnya, ndi tĕka wĕkas ing rasa,
kalinganya, rūpa, gandha, rasa, yeka mūla ning janma tumuwuh,
yeka prakṛti lawan wikṛti, ikang wikṛti mareng prakṛti, dadi nara,
ikang akṣara na, tan pasangkan tĕkanya, ikang akṣara ra, langgĕng
hananya ring rāt, sangkṣepanya, ikang na amor ing ra, hetu ning rat
tumuwuh, hetu ning rāt matĕmahan pati, yeka ingĕtakna tĕkanya,
lawan ulihnya, yeka dharma ngaranya, ling sang wruh, ikang
mĕtu, kalawan lunghā tan hana kottamanya, matangyan mangke
tangabhyāsanĕn, prih-prih haywa lunghā, haywa tĕka, ling sang
hyang aji.

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 283
dalam Slokantara

ARTI

Emas tulen, walaupun dipanasi dan ditempa berkali-kali,
tetap cemerlang. Kayu cendāna, walaupun digosok-gosok
berulang kali, tetap mengeluarkan bau harum. Batang tebu
walaupun dipotong-potong dan dkunyah berulang kali, tetap
mengeluarkan rasa manis. Demikianlah kebaikan yang sejati
tidak akan berubah walaupun sampai ke akhir zaman.

Emas sejati walaupun dibakar berulang kali namun masih tetap
bersinar cemerlang, malah tambah menyedapkan mata. Demikian
juga kayu cendāna walaupun digosok-gosokkan berulang kali
sampai-sampai pada terasnya namun bau harumnya tetap dipuji-
puji, malah tambah menyedapkan hati jika menciumnya; batang
tebu oun demikian juga, walaupun dipotong direcahkan dari pucuk
sampai ke pangkal, namunnamun jika kita rasakan manisnya
tetap menggiurkan lidah, malahan menjadi yang termanis antara
makanan yang manis. Maksudnya ialah: bagi yang pandai menilai
bentuk rupa, dan warna, emaslah yang dikatakan paling utama,
tidak ada yang menyangkal, keunggulan warna bagi mereka
yang memandang. Juga kayu cendāna, dianggap yang terbagus
disebabkan oleh baunya yang harum. Kayu inilah yang dianggap
terutama di antara benda yang dapat dicium. Dan kini sampai pada
kemanisan batang tebu yang kelezatannya dapat dirasakan oleh
lidah. Tebu ini dianggap yang terutama di antara benda-benda yang
manis yang dapat dirasakan. Kesimpulannya ialah bahwa rupa
(bentuk dan warna), gandha (bau) dan rasa itu merupakan unsur-
unsur dasar dari kelahiran manusia. Ketiga itu adalah prakrti (dasar
alam) dan wikrti (sifat luar). Wikrti masuk ke dalam prakrti terjadi
nara (masuk). Kata “na” berarti bahwa tidak ada sebab penciptaan
bentuk-bentuk yang kita lihat ini. Huruf “ra” berarti bahwa ciptaan
di dunia ini tetap. Pendeknya “na” bergabung dengan “ra” dan
inilah merupakan sebab dari apa yang diciptakan di dunia ini, juga
sebab kemusnahan dunia. Orang harus tahu adanya dan kiamatnya
dunia ini. Hal ini dinamai dharma oleh mereka yang bijaksana.

284 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Tetapi ketahuilah pula bahwa kedatangan dan kepergian itu tidak
mempunyai manfaat apa-apa terhadap kita. Inilah sebabnya, maka
dalam kelahiran sekarang ini harus melaksanakan dharma. (makna
“kedatangan dan kepergian adalah manusia harus melepaskan diri
dari lingkaran hidup mati).

Demikian ucap sastra

13. SLOKA 13 (10)

Artha gṛhe niwartante śmaśāne mitrawāndhawāḥ, sukṛtaṁ
duskṛtaṁ caiwa chāyāwadanugacchati.

Kalinganya, ikang mās pirak ratnādibhūṣaṇa, salwiring drĕwe, tatan
tumūt ika tĕka ning kapatin, hinganya maṇḍeg ing gṛha, rinĕbut ing
anak putu buyut, yan salah hidĕp ikang putw anak santāna, dadi
tukarnya, dadya matyani pinatyan, kunang ikang anak kadang
warga, hinganya mandĕg ing śmaśāna, śmaśāna ngaranya uggwan
ing asalah wangke, lwir ing tumūt ing kapatin, ulah hala mwang
ahayu, tumūt ri hilang ing prāṇa, yan ala ikang ulah, yeka tibeting
naraka, yapwan ikang ulah rahayu, yeka tibeng swarga, songgwan
ing prāṇa tumiba, yeka patibanya, yan pangjanma ikang prāṇa tinut
ing halahayu yeka patangyan ngaranya, matangyan takwanakna
ring sang wruh ring kalingan ika, hetu ning hana sinanggah upadeśa,
ring sang paṇḍita, mangkana ling sang hyang aji, ndya tan inĕntas
sakeng naraka, yan pangjanma nihan.

ARTI

Kekayaan itu hanya tertinggal di rumah setelah kita meninggal
dunia, kawan-kawan dan sanak keluarga hanya mengikuti
sampai di kuburan. Hanya karmalah, yaitu perbuatan baik
atau buruk itu, yang mengikuti jiwa kita sebagai bayangannya.

Emas, perak, dan barang perhiasan, yaitu semua harta benda
kekayaan tidak ada yang mengikuti kita meninggalkan dunia.
Tempat batasnya hanyalah rumah, kekayaan ini dimiliki, kemudian
dibagi oleh anak-anak, cucu, dan anak-anak dari cucu-cucu kita.

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 285
dalam Slokantara

Jika anak-anak, cucu-cucu, dan sanak keluarga yang lain itu jahat,
maka percekcokan tidak bisa dihindari. Malah mungkin mereka itu
saling bunuh.

Sanak saudara atau keluarga lainnya, batas mereka mengantarkan
kita hanya sampai kuburan. Yang mengikuti sang mati selanjutnya
hanyalah karma atau perbuatan yang baik ataupun buruk.
Walau arwah telah meninggalkan badan, namun karma itu tetap
mengikuti. Jika perbuatan selama hidupnya baik, ia akan mencapai
sorga. Kemana saja jiwa (prana) itu pergi, ke sana jugalah perginya
karma itu. Karma yang baik atau buruk itu akan mengikuti jiwa itu
dikelahiran yang akan datang. Karma itu merupakan kawan setia
dari jiwa. Kita sepatutnya menanyakan arti dan guna karma itu
kepada mereka yang tahu. Itulah sebabnya ada, apa yang dinamai
ajaran dari pendeta. Yang karenanya, dapat melepaskan jiwa
dari kelahiran kembali (punarbawa) dan dari neraka. Demikian
dikatakan kitab suci.

14. SLOKA 14 (35)

Bālo yuwā ca wṛddhaśca yatkaroti śubhāśubham, tasyām
tasyāmawasthāyām bhukte janmani-janmani.

Kalinganya, yan rare ikang wwang hayu, katemu phalanya ring
janmāntara rahayu, ri sĕdĕng ing rare, kunang yan agawe hala,
katĕmu ikang hala ri sĕdĕngnyan rare. Kunang yan tĕngah tuwuh,
ikang wwang agawe hayu, katĕmu tika phalanya hayu, ri sĕdĕng
ing tengah tuwuh, kunang yan agawe hala, katĕmu ta ya ikang hala
ri sĕdĕng ing tĕngah tuwuh ring janmāntara. Muwah yan atuwa
ikang wwang agawe hayu, katĕmu tika phalanya hayu, ri sĕdĕng ing
matuwa, kunang yan magawe hala, katĕmu ta ya ikang hala ri sĕdĕng
ing matuwa ring janmāntara, mangkana wĕkas ring gumawayakĕn
hala-hayu tan hana tan kabhuktya, yāwat katĕmu ring pañjanmanya,
matangyan gawayakna juga ikang buddhi rahayu, sangkan rare, de
n tĕka ring kawaṛddhan, maraning janmāntara manĕmu bhāgya
sangkan rare, tĕkeng atuha, mangkana ling sang hyang aji.

286 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara


Click to View FlipBook Version