buku. Meskipun berasal dari naskah, teks bukan hasil peleburan
naskah, teks adalah (salinan) teks itu sendiri. Dalam pembicaraan
ini keduanya disamakan yang secara ringkas didefinisikan sebagai
bahasa yang dipergunakan.
Ratna (2010:397) menjelaskan bahwa ada perbedaan antara
naskah atau karya dengan wacana dan teks. Naskah atau karya
adalah istilah yang menunjukkan identitasnya sebagai benda
kasar, seperti naskah novel, naskah lontar, naskah sumpah pemuda
dan undang-undang dasar 1945, dan sebagainya. Dalam bentuk-
bentuk kasar inilah terikat wacana dan teks. Jadi, naskah atau
karya jelas berbeda dengan wacana dan teks.
Dalam pandangan Fairclough (dalam Ratna, 2010:397) Secara
praktis wacana dapat dianalisis melalui empat tahapan yaitu :
a) perbendaharaan kata-kata, b) tata bahasa, c) kohesi, dan d)
struktur dan arsitektur teks. Cara pertama dilakukan melalui
kata-kata secara individual, cara kedua melalui kata-kata yang
dihubungkan dengan klusa dan kalimat, cara ketiga melalui antar
hubungan klausa dan kalimat, sedangkan cara keempat melalui
hubungan antar organisasi teks dengan struktur sosial.
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami, jika dikaitkan dengan
pemikiran Ricoeur, Ratna, dan Fairclough mengenai naskah, karya,
wacana, dan teks, kemudian juga bila dikaitkan dengan pemikiran
Beaugrande & Dress ler tentang kriteria sebuah teks, dua hal pokok
yang mencirikan ‘teks’, yaitu kohesi dan koherensi, Ślokāntara
belum menunjukkan indikasi ke arah dua hal tersebut. Ślokāntara
lebih sebagai sebuah himpunan sloka yang secara koherensi tak
jarang menunjukkan ‘ketidak-terhubungan’ antara sloka. Hal
tersebut dapat diketahui dari tema yang tidak berhubungan. Untuk
memperjelas, akan ditunjukkan contoh sebagai berikut:
1. Ślokāntara, Sloka 44 (62)
Na tṛptī-rājño dhanasangraheṇa, na sagāra-pṛptirato
jalena, na paṇḍitatṛptiḥ subhāsitena, na tṛptiścakṣoḥ
priyarśanena.
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 37
dalam Slokantara
(Kalinganya, sira sang prabhu, pira kwehan ing-kanaka rajata
ratna wastra bhūṣaṇa, lawan artha sinimpĕnan de nira, tathāpi
tan tṛpti manaḥ nira mahyun muwa juga sira ring sarwa-
dhasya, ndatan santoṣa sira de nika, mangkana tĕkang sāgara,
yan pira kwehan ing bañu prāpti manāmbeh irika, tathāpi tan
tṛpti ika dening bañu tumambĕh irikang jaladhi, tan kahanan
kĕbĕk juga denya pratidina tĕka, mangkana tĕka sang paṇḍita,
yan pira kwehan ikang aji śāstrāgama katama de nira, lawan
pira kwehan ing karma śubhāśubha kapangguh de nira, tathāpi
ḍatĕng ika kabeh tan tṛpti sira de nika tan warĕg sira dening
gawe hala-hayu, muwah tan kĕbĕk juga wĕtĕng ira, sumimpĕn
irikang aji kabeh, mangkana tĕkāng cakṣur-indriya, yan pira tan
kwehan ing tumĕkanana kahyun ika, tathāpinya tan tṛpti ika de
nika manon asing sahana ning manohara wīnulatan mahyun
mangko rahayu muwah-muwah, mangkana ling sang hyang
āgama).
Terjemahan:
Seorang raja itu tidak puas pada harta bendanya yang telah
menggunung. Samudra itu tidak puas dengan air sungai-
sungai yang membanjirinya. Seorang yang bijaksana tidak
akan puas dengan ilmu yang dimilikinya. Dan mata itu
tidak akan puas-puas melihat yang dikasihinya.
(Betapa besar jumlah emas, perak, permata, pakaian, dan
perhiasan lainnya ditambah lagi dengan harta benda yang
diwarisinya, namun hati raja itu tidak puas, baginda ingin
kekayaan itu ditambah dan ditambah lagi. Namun demikian
baginda belum puas juga. Demikian juga halnya samudra yang
luas itu. Walaupun beberapa banyak air yang telah dialirkan
ke dalamnya oleh sungai-sungai di dunia ini namun ia belum
puas juga. Walaupun air itu mengalir terus setiap hari namun
samudra itu belum penuh juga. Sama halnya dengan seorang
pandita (orang yang cinta pada ilmu). Betapa banyak ajaran
yang diketahuinya, betapapun banyak kitab-kitab yang
38 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
telah di bacanya, dan betapapun banyaknya pahala-pahala
kebajikan yang telah dibuatnya, namun ia tidak puas juga, dan
tidak hentinya berbuat baik. Dan perbendaharaan ilmunya
belum penuh-penuh juga, sama juga halnya dengan mata
kita. Meskipun begitu banyak pemandangan-pemandangan
yang indah dilihat mata kita, namun ia itu belum puas. Ia mau
melihat yang indah-indah lagi, yang dicintainya lagi, dan yang
dirindukannya lagi.
Demikian kata kitab suci) (Sudharta, 2003:153).
2. Ślokāntara, sloka 45 (79)
Kaścit praśno wiwādārtha kaścid bālasamarthanaḥ, kaścit
paraparīksārtha kaścit paribhawāya ca.
(Kalinganya, ikang patakwan ing wwang, hana ujar makadon
acĕngil, hana ujar makadon patakwan kadi pataña ning rare,
hana ujar makadon parīkṣā mahyun wruha ri prakāra ni
guṇa ning tinañan, hana ujar makadon ahyun, kālahan ing
tinakwanan, nahan ika prabhedanyan papat, wiwādārtha,
(baladartha) parīkṣārtha, paribhawārtha, ya ika ujar patakwan
papat, asing awakan ing pataña, mengkana juga kawruhakna
dya sang widagdha puruṣa).
Terjemahan:
Pertanyaan diajukan, ada untuk menimbulkan suatu
persoalan, ada untuk membuktikan kebenaran, ada untuk
menguji kepandaian seseorang, dan ada pertanyaan untuk
mempermalukan orang lain.
(Pertanyaan yang diajukan orang itu ada empat macam yaitu:
ada pertanyaan yang menimbulkan suatu persoalan atau
perselisihan. Ada pertanyaan yang diajukan dengan jujur seperti
pertanyaan seorang anak kecil. Ada pertanyaan untuk menguji,
karena ingin mengetahui sampai di mana kepandaiannya yang
telah dicapai oleh orang yang ditanya itu. Ada pertanyaan
yang diajukan dengan maksud untuk mengalahkan orang
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 39
dalam Slokantara
yang ditanya itu. Keempat macam pertanyaan itu dinamai
Wiwadartha, balasamartha, pariksartha dan paribhawartha.
Inilah keempat bentuk pertanyaan yang berlain-lainan. Ini
harus diketahui oleh orang bijaksana) (Sudharta, 2003:156).
Pada Ślokāntara, sloka 44 dalam dijelaskan mengenai
‘ketidakpuasan’ sedangkan pada sloka 45 dijelaskan mengenai
‘empat jenis pertanyaan’. Dari kedua sloka tersebut, jika dilihat
dari kriteria kohesi dan koherensi jelas menunjukkan ‘ketidak-
hubungan’, padahal menurut Beaugrande & Dress ler dinyatakan
bahwa sebuah teks haruslah memiliki kedua kriteria tersebut.
Hendaknya kedua sloka tersebut memiliki keterhubungan
‘sintaksis teks’ (kohesi) dan menyusun makna sebuah teks
(koherensi). Hal ini menjelaskan bahwa Ślokāntara pada dasarnya
belum menunjukkan ‘kestrukturan’ dan kriteria teks.
40 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
Nilai Pendidikan Tattwa
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 41
dalam Slokantara
42 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
BAB III
NILAI PENDIDIKAN TATTWA
3.1. Widdhi Tattwa
Walaupun tidak secara langsung menjelaskan mengenai
teologi Hindu (Brahmavidya), namun dijumpai satu konsepsi
penting terkait dengan teologi, yaitu mengenai Deva. Hal itu
menunjukkan bahwa Ślokāntara sesungguhnya memiliki substansi
teologi meskipun dalam ‘wacana samar’, sehingga upaya-upaya
elaboratif untuk mewujudkan ‘wacana terang’ tentang Deva dalam
Ślokāntara, sloka 80 (47) ini sangat diperlukan.
Ambbhojam kantakātyam, sahimahimagiriś candānaḥ
saparjuṣṭaḥ, sūryatīkanaḥ śaśangkaḥ śaśamalinatanuḥ,
sāgaras tiktatoyaḥ, wiṣṇurgopah, surendraścapalatara-
gatiḥ, śangkaro nīla kaṇṭaḥ, ete sarwe sadoṣāḥ, kimuta
bhuwi janā doṣawanto bhawanti.
(Kalinganya, tan hana juga tan pacala. Pūrwa nikang śabda
inicapakĕn. Tunjung arwi cala nika. Ikang gunungatis dening
hima calanya. Ikang kayu cendāna, mesi ulā kuwungnya calanika,
Sanghyang wulan makatalutuh wungkukan calanira. Ikang
sāgara apahit bañunya calanika. Sanghyang Āditya mapanes
teja nira pinacala ring sira. Bhaṭāra Wiṣṅu angon lĕmbu calanira.
Sanghyang Indra capala dahat calanira. Bhaṭāra Śangkara
ahirĕng gulu nira dening wiṣakālakūṭa calanira. Sangkṣepanya,
tan hana tan pacala ngaran ika. Saniṣṭanya hyang Deva tuwi
hana cala rumakĕt ing sira. Kimuta, sampun karuhun ikang
janma wwang. Tan hana wastu tan pacala. Anghing makĕdik
lawan akweh prabedanya. Kunang kadeyakna de sang sādhujana
kabeh, prihĕn akeng doṣa akĕdik. Ling sanghyang aji).
43
Terjemahan:
Bunga seroja mempunyai tangkai berbulu menggatalkan,
gunung Himalaya penuh ditutupi salju, pohon cendāna
digemari ular, matahari itu panas, bulan itu dinodai
oleh bentuk kelinci, Samudra berair asin, Deva Wisnu
menggembala sapi, raja Deva-Deva (indra) imannya
kurang teguh, kerongkongan Deva Siwa berwarna
hitam. Semuanya mempunyai kekurangan atau ketidak-
sempurnaan. Lalu apa jika manusia di dunia ini kadang-
kadang tak luput dari kesalahan?
(Tidak ada yang sempurna! Ini sudah kita tegakkan di sloka
yang terdahulu. Bulu-bulu halus itu merupakan cacat bagi
bunga seroja. Kesalahan Gunung Himalaya karena dingin
disebabkan oleh saljunya. Lubang-lubang pohon cendāna yang
harum itu penuh dengan ular. Bulan itu dinodai oleh bentuk
perempuan tua bungkuk. Air asin adalah kesalahan samudra.
Sinar surya itu terlalu panas. Deva Wisnu cacatnya ialah
karena ia menggembala sapi. Deva Indra itu tidak teguh iman.
Kerongkongan Deva Siwa itu hitam karena racun Kalakuta.
Inilah kekurangan-kekurangan mereka. Pendeknya, tidak ada
yang luput dari kekurangan-kekurangan di dunia ini. Deva-
Deva pun mempunyai cacat dan kekurangan-kekurangannya.
Jika Deva-Deva itu mempunyai kekurangan-kekurangan,
apalagi manusia. Tidak ada suatu benda pun bebas dari
kekurangan atau cacat. Perbedaan terletak pada jumlah,
apakah banyak atau sedikit. Orang-orang baik harus berusaha
untuk mengurangi sesedikit mungkin kesalahan-kesalahan
atau cacat itu. Demikianlah telah ditentukan dalam kitab suci)
(Sudharta, 2003:263).
Secara etimologis, kata teologi berasal dari kata theos yang
artinya ‘Tuhan’, dan logos yang artinya ‘ilmu’ atau ‘pengetahuan. Jadi
teologi adalah ‘pengetahuan tentang Tuhan’. Teologi secara harfiah
berarti teori atau studi tentang Tuhan. Dalam praktek , istilah
44 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
ini dipakai untuk kumpulan doktrin dari kelompok keagamaan
tertentu atau pemikiran individu. Teologi dalam bahasa Sanskerta
dinamakan Brahmavidya atau Brahma Tatwa Jnana, yang berati
ilmu tentang Tuhan (Donder, 2006:4).
Dewa merupakan terminologi penting dalam teologi Hindu.
Selain untuk bekal sradha dan bhakti bagi intern umat Hindu,
Brahmavidya atau teologi Hindu dirasa penting dalam konteks
interaksi dan diskusi antar iman. Bahkan tidak jarang, umat Hindu
menjadi gagap bila harus menjelaskan apa itu Brahmavidya atau
teologi Hindu? Apakah Dewa dan bagaimana kedudukan Dewa
dalam teologi Hindu? Apakah Dewa sama dengan Tuhan? Apakah
Hindu agama politheisme atau monotheisme? dan masih banyak
pertanyaan lain yang membebani umat bila berkaitan dengan
urusan teologi. Karena itu, tak disangsikan lagi pemahaman teologi
Hindu merupakan urgensi bagi setiap umat Hindu, termasuk
bagaimana memahami Dewa dalam teologi Hindu.
Menurut Donder (2006:110) Hinduisme mencakup isme
atau kepercayaan yang ada di muka bumi, ia mengandung paham
kepercayaan yang paling kuno hingga yang paling modern. Tidak
ada satu isme pun yang tidak ada dalam Hinduisme. Ia adalah cikal
bakal semua isme di dunia. Selanjutnya Donder (2006:117) juga
menyatakan bahwa teologi Hindu terbagi atas dua bagian besar
yaitu teologi Saguna Brahma dan teologi Nirguna Brahma. Teologi
Nirguna Brahma merupakan teologi tingkat tinggi yang tidak
mudah dicerna dan mutlak membutuhkan seorang satguru, yaitu
guru yang telah mampu merealisasikan kebenaran sejati sebagai
penuntun. Teologi Nirguna Brahma lebih sulit dibandingkan
dengan Saguna Brahma. Pada teologi Saguna Brahma, Tuhan
bersifat cintya (boleh dibayangkan) sebagai teja (sinar Tuhan)
yakni sebagai wujud para Dewa. Ia sesungguhnya Brahman atau
Tuhan itu sendiri dalam aspek kuasanya.
Mengenai teologi Hindu, Titib (2003:88) menyatakan bahwa
teologi Weda adalah Monotheisme Trancendent, Monotheisme
Immanent dan Monisme. Tuhan menurut pandangan Monotheisme
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 45
dalam Slokantara
Trancendent digambarkan dalam wujud Personal God (Tuhan Yang
Maha Esa Yang Berpribadi), sedangkan menurut Monotheisme
Immanent, Tuhan Yang Maha Esa selalu digambarkan Impersonal
God (tidak berpribadi).
Titib (2003:12-14) juga berpendapat bahwa Weda secara
tegas menyatakan bahwa Tuhan itu Esa adanya, para bijaklah
yang memberikan nama atau abhisekanama, yang berbeda-beda,
seperti Agni, Indra, Vayu, dan lain-lain, seperti yang dinyatakan
dalam Weda sebagai berikut:
Nārāyaṇa eWedaṁ sarvaṁ yadhūtaṁ yacca bhavyam,
niṣkalaṅko nirañjano nirvikalpo nirākhyātaḥ śuddho deva eko
nārāyaṇo na dvitīyo’sti kaścit
Terjemahan:
Ya Tuhan Yang Maha Esa, dari Engkaulah semua ini berasal
dan kembali yang telah ada dan yang akan ada di alam raya ini.
Hyang Widhi Yang Maha Gaib, mengatasi segala kegelapan, tak
termusnahkan, maha cemerlang, maha suci (tidak ternoda),
tidak terucapkan, tiada duanya (Narayana Upanisad 2).
Indraṁ mitraṁ varuṇam agnim āhur atho divyaḥ sa suparṇo
garutmān, ekaṁ sadviprā bahudhāvadanty agniṁ yamaṁ
matariśvānam āhuḥ
Terjemahan:
Mereka menyebut-Nya dengan Indra, Mitra, Varuna, dan Agni,
Ia yang bersayap keemasan Garuda, Ia adalah Esa, para maharsi
(vipra) memberinya banyak nama, mereka menyebut Indra,
Yama, Matarisvan (RgWeda I.164.46).
Dalam kitab Nirukta VII.4.,dijelaskan mengenai Dewa, yaitu :
Mahā bhāgyād devatāyā ekam evātmā bahudha stuyate,
ekasyātmāno’tye devāḥ pratyaṅgāni bhavanti, karmajanmanā
ātmāivaisaṁ rathebhavatyatmā svā ātmayudhamatmesava
atma sarva devasya-devasya.
46 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
Terjemahan:
Oleh karena demikian tinggi makna dan ciri khas dari devata
(dalam hal ini Tuhan Yang Maha Esa). Yang merupakan jiwa
alam semesta yang dipuja dengan berbagai pujian. Lainnya,
para deva (disebutkan di dalam kitab suci Weda), hanyalah
bagian dan atau manifestasi-Nya (dari Jiwa Yang Agung Itu).
Para deva tampil dengan aneka wujudnya oleh karena berbagai
aktivitas-Nya (yang berlipat ganda). Kereta (ratha) adalah deva
(jiwa alam semesta), kuda-kuda kereta adalah deva adalah
cahaya-Nya. Panah-panah-Nya adalah deva, cahaya-Nya adalah
jiwa-jiwa yang sama. Jiva itu adalah deva (Titib, 2003:75).
Mengenai Dewa dalam teologi Hindu, Suryanto (2006:8)
berpendapat bahwa anggapan yang mempersamakan Tuhan
dengan Dewa itulah yang membuat Hindu dikira memuja banyak
Tuhan. Orang beranggapan bahwa memuja salah satu Dewa
berarti memuja Tuhan, karena tidak ada bedanya Tuhan dengan
Dewa. Sayangnya, banyak orang Hindu sendiri yang juga masih
bingung apa bedanya antara Tuhan dengan Dewa. Penyebab
mereka mempersamakan Dewa dengan Tuhan antara lain adalah
beberapa sloka dalam kitab Catur Weda, yang mengatakan bahwa
Agni, Indra, Waruna, Soma, dan lain-lain seolah-olah adalah Tuhan
yang satu. Artinya, Tuhan Yang Satu itu disebut dengan berbagai
nama, yaitu Brahma, Wisnu, Siwa, Rudra, Indra, Agni, Soma,
Waruna, dan sebagainya.
Untuk memperjelas, maka perlu diketahui secara garis besar,
apa saja isi kitab-kitab Catur Weda itu. Menurut Stephen Knapp,
kitab Rg Weda berisi doa-doa pujian kepada para Deva yang terdiri
dari 10.522 Sloka. Yajur Weda berisi pelajaran tentang tata cara
melakukan korban suci. Sama Weda berisi mantra-mantra yang
biasa digunakan dalam berbagai upacara atau ritual Weda, terdiri
dari 1.549 sloka. Sedangkan kitab Atharva Weda berisi doa dan
mantra yang memberikan petunjuk cara memuja berbagai planet,
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 47
dalam Slokantara
upacara penghormatan, doa untuk mengusir roh jahat,
pengaruh buruk dan sebagainya (Suryanto, 2006:8-9).
Untuk mendukung argumentasinya, Suryanto (2006:13-20)
mengutip sloka Bhagavad gītā 9.25, sebagai berikut:
Yānti deva-vratā devān pitṝn yānti pitṛ-vratāḥ, bhūtāni yānti
bhūtejyā yānti mad-yajino ‘pi mām
Terjemahan:
Orang yang menyembah Dewa-Dewa akan dilahirkan di
antara para Deva, orang yang menyembah leluhur akan pergi
ke leluhur, orang yang menyembah hantu dan roh halus akan
dilahirkan di tengah-tengah makhluk-makhluk seperti itu,
dan orang yang menyembah-Ku akan hidup bersama-Ku
(Prabupada, 2006:482).
Dalam ayat ini, Sri Krishna menjelaskan hasil yang diperoleh
dari berbagai jenis pemujaan yang dilakukan manusia. Pemujaan
Dewa hanya sampai kepada Dewa, sedangkan pemujaan Tuhan
mencapai kerajaan Tuhan. Kalau memang Dewa sama dengan
Tuhan seperti anggapan sementara orang, mengapa Krsihna
membedakan hasil pemujaan kepada Dewa dengan hasil pemujaan
kepada Tuhan? Jelaslah bahwa Tuhan berbeda dengan Dewa.
Lalu siapa sesungguhnya Dewa, dan apa tugas mereka? Dalam
ayat-ayat Bhagavad gītā 3.11-12 ditemukan jawabannya:
Devān bhāvayatānena te devā bhāvayantu vaḥ, parasparaṁ
bhāvayantaḥ śreyaḥ param avāpsyatha
Terjemahan:
Para Deva, sesudah dipuaskan dengan korban-korban suci,
juga akan memuaskan engkau. Dengan demikian, melalui kerja
sama antara manusia dengan para Deva, kemakmuran akan
berkuasa bagi semua (Prabupada, 2006:172)
Iṣṭān bhogān hi vo devā dāsyante yajña-bhāvitāḥ, tair dattān
apradāyaibhyo yo bhuṅkte stena eva saḥ
48 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
Terjemahan:
Para Deva mengurus berbagai kebutuhan hidup. Bila para
Deva dipuaskan dengan pelaksanaan yajna (korban suci),
mereka akan menyediakan segala kebutuhan untukmu.
Tetapi orang yang menikmati berkat-berkat itu tanpa
mempersembahkannya kepada para Deva sebagai balasan
pasti adalah pencuri (Prabupada, 2006:173).
Dari sloka-sloka Bhagavad gītā di atas, jelaslah bahwa
Tuhan adalah penguasa tertinggi, Dewa adalah makhluk
dengan kemampuan ilahi ciptaan Tuhan untuk menjalankan
kemahakuasaan Tuhan. Lalu mengapa orang Hindu lebih dekat
dengan para Dewa bila dibandingkan dengan Tuhan sendiri?
Penjelasan mengenai hal itu akan ditemukan dalam Bhagavad gītā
7.23 dan 9.23:
Antavat tu phalam teṣāṁ tad bhavaty alpa-medhasām, devān
deva-yajo yānti mad-bhaktā yānti mām api
Terjemahan:
Orang yang kurang cerdas menyembah para Deva, dan hasilnya
terbatas dan sementara. Orang yang menyembah para Deva
pergi ke planet-planet para Deva, tetapi para penyembah-Ku
akhirnya mencapai planet-Ku yang paling tinggi (Prabupada,
2006:396)
Ye ‘py anya-devatā-bhaktā yajante śraddhayānvitāḥ, te ‘pi mām
eva kaunteya yajanty avidhi-pūrvakam
Terjemahan:
Orang yang menjadi penyembah Dewa-Dewa lain dan
menyembah Deva-Deva itu dengan kepercayaan sebenarnya
hanya menyembah-Ku, tetapi mereka berbuat demikian dengan
cara yang keliru, wahai putera Kunti (Prabupada, 2006:480).
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 49
dalam Slokantara
Uraian di atas bila dikaitkan dengan sloka 80 Ślokāntara di
atas kiranya dapat dipahami bahwa selain menjabarkan mengenai
‘ketidak-sempurnaan makhluk Tuhan’, Ślokāntara sesungguhnya
juga menyiratkan Tattwa Hindu, Brahmavidya, yaitu keberadaan
nama-nama Dewa seperti Dewa Indra, Dewa Wisnu, dan Dewa
Siwa dalam sloka tersebut. Dalam hal ini, sesuai dengan penjelasan
mengenai Dewa sebelumnya kiranya dapat dimengerti bahwa
keberadaan Dewa dalam Ślokāntara dimaknai sebagai bukan
Tuhan, melainkan Dewa yang memiliki kuasa Ilahi Tuhan.
3.2. Moksa Tattwa
Ślokāntara memiliki nilai moksa tattwa, yaitu yang terjabarkan
dalam sloka 49-51 mengenai svarga dan naraka. Walaupun di
dalamnya menjelaskan mengenai ciri kelahiran manusia, baik itu
dari svarga maupun naraka. Berangkat dari penjelasan tersebut,
kita disuguhkan mengenai tattwa yaitu ‘svarga’ dan ‘naraka’.
Selanjutnya dalam pembahasan ini tidak akan membahas kembali
mengenai ciri-ciri kelahiran baik dari svarga maupun naraka,
melainkan akan menjelaskan pandangan Weda terhadap ‘svarga’
dan ‘naraka’.
1. Svarga
Tattwa selanjutnya yaitu mengenai svarga, yang terdapat
dalam Ślokāntara, sloka 49 (37) sebagai berikut:
Śūratwamārogyam ratirawadyā, deweṣu bhaktiḥ
kanakasya lābhaḥ, rājapriyatwam sujanapriyatwam,
swargacyutānām kila cihnam atat.
(Kalinganya, hana inajarakĕn swarga-cyuta ngaranya,
wwang huwus amukti sukha ring swarga, dadi tibā
sangkeng Indraloka, taha tan mangkana ika, tuhon yan
hana inajarakĕn, wāhyanya mangke lingĕn, hana sira sang
janmottama ring kula, makādi yan sira prabhu, sāwakan
ing sang janmottama, yan sira wibhuh, agöng kasugihan
ira, dharma-buddhi ring kadi sira, wruh ring kajanmaning
50 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
mānusa sowang-sowang, mawĕlas ing kawulanira, ikang
kāsyasih, mangampura ri tiwas ing dāsa-dāsi, panghöban
ing kapanasan, amayungi ring kodānan, lanangiwoha
ri wwang kasĕpĕr, saka lor, saka kidul, saka wetan, saka
kulwan, anginaki buddhi ning madwa, tan maweh lara
ning thāni-bala, sawĕngku de nira, rahayu pangucap ing
mosyan, makadi inalĕm buddhi nira de sang brāhmana, ṛṣi,
śaiwa sogata, salwir ing sang sinanggah paṇḍita ngastuti,
kalunghā-lunghā pocapan ira pinūji dening rāt, tan pati-
pati amāti-māti, tan pati-pati angdaṇḍa, yan tan sudoṣa,
yan hana wwang pinatyanira, dinaṇḍanira, huwus sayogya
doṣanya, telas winulik de nira ring āgama pramāṇa, ya
ta samangka katon hala ning kawulan ira, kawayang
duṣṭanya, de sang dharmādhyakṣa, irika tan yan tinibāu
daṇḍa, saṣĕdĕng ing doṣanya, de sang rumakṣa bhūmi nira,
angḍaṇḍa tuwi sira, tan trāsa ikang dinoṣa de nira, apan
sudharma ḍaṇḍa pangdoṣan ireng wwang duṣṭa, yan hana
wwang mangkana, yadyan matya sira, tumut ikang dharma
rahayu, ri hilang ing prāṇa nira, mangdadi muah kottaman
ira, mangjanma ring prabhu, yan ring sang pradhāna ring
bhūmi kunang, nahan lwir ing dadi nira, śuratwa ngaranya
makawak wāni, tan iring ireng paprangan, ārogya ngaranya
tan kĕneng gĕring salawas hurip, rati ngaranya kinahyunan
dening rāt, deweṣu baktih ngaranya apagĕh kabhaktinireng
sang hyang, kanakalābha ngaranya atyama sugih mās, rāja-
priyatwa ngaranya sira pāwak ning kinasihan sang prabhu,
ika ta cihna ning wwang mangulah puṇyadāna, rahayu
dharmiṣṭha, ring sama janma, yeka wwang sinangguh tibā
sangkeng swarga, ling sang sujana mangucap).
Terjemahan:
Berani, sehat, menikmati kesenangan yang halal,
berbhakti kepada Tuhan, menerima harta benda,
kehormatan, dan cinta dari orang-orang besar dan
orang-orang suci, inilah tanda orang kelahiran sorga.
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 51
dalam Slokantara
(Mereka yang dapat dinamai swargacyuta (kelahiran
sorga) ialah mereka yang telah menikmati kehidupan di
sorga dan lahir ke dunia dari Indraloka. Tetapi bagaimana
kita bisa tahu? Untuk itu akan dibicarakan ciri-ciri luar
mereka dalam kehidupan di dunia ini. Misalnya antara lain:
Orang yang lahir dalam keluarga baik-baik, yang utama di
antara mereka-mereka adalah raja (atau yang sederajat),
ia yang merupakan penjelmaan yang tertinggi, orang yang
berkuasa, kaya raya, mempunyai budhi dharma, yaitu
laksana dan pikiran yang baik berdasarkan agama, serta
mengenal jiwa tiap-tiap orang di sekelilingnya. Ia yang
penyayang terhadap rakyat jelata dan pemurah terhadap
yang miskin. Ia yang bersedia mengampuni kesalahan
pembantu-pembantunya baik laki-laki maupun wanita.
Ia yang melindungi orang yang tertimpa malapetaka. Ia
yang sebagai payung pada waktu hujan bagi rakyat. Ia
yang selalu menunjukkan muka manis pada setiap orang
yang menemuinya, baik dari utara, selatan, timur, dan
barat. Ia yang menyenangkan hati rakyatnya. Ia yang tidak
memberikan kesusahan pada golongan buruh dan tani kalau
ia menjadi atasan mereka itu. Dalam permusyawarahan, ia
yang selalu tenang dan cerdas. Brahmana, Rsi, Pendeta Siwa
dan Buddha pada datang memuji-muji kebaikan budinya.
Semua orang bijaksana memujinya juga. Kemasyurannya
tersebar ke semua penjuru dan ia yang dihormati oleh
seluruh dunia. Ia yang tidak doyan menghukum, asal saja
kesalahan yang diperbuat tidak terlalu besar. Ia tidak suka
menjatuhkan hukuman yang berat-berat. Dan jika ada
orang sampai dihukum olehnya, tentulah orang ini memang
patut menerima ganjaran dosanya. Tetapi raja baru akan
menghukumnya setelah mencocokkan dalam kitab hukum
yang dapat dipertanggungjawabkan (Agama Pramana).
Setelah itu ia serahkan kepada jaksa untuk mengusut
kejahatan yang telah dilakukan itu. Ia tidak menghukum
52 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
dengan sewenang-wenang saja, karena orang “Sudharma”
atau orang hidupnya berpegang pada agama, hanya
menghukum kejahatan yang telah dilakukannya, lain tidak.
Kemudian pada kelahirannya yang akan datang ia lahir
kembali sebagai orang besar, sebagai raja atau pemimpin
dunia. Jika seseorang itu lahir dalam keluarga baik-baik
(tetapi bukan raja atau pemimpin) ciri-cirinya adalah
sebagai berikut: Suratwa, artinya menjelma dengan sifat
ksatriya. Ia tidak dapat ditandingi dalam medan perang.
Arogya, artinya ia tidak pernah sakit selama hidupnya.
Rati, artinya ia disayangi oleh rakyat. Dewesu-bhaktih,
artinya ia selalu berbhakti kepada Tuhan. Kanakalabha,
artinya mendapat emas perak kekayaan dengan halal.
Rajapriyatwa, artinya ia sangat dikasihi oleh raja. Inilah
ciri-ciri mereka yang dulunya benar-benar dermawan
dan betul-betul saleh di antara manusia. Orang bijaksana
mengatakan bahwa orang demikian ini ialah orang-orang
berbahagia yang lahir di sorga) (Sudharta, 2003:166-168).
Kata ‘Sorga’ yang selama ini kita dengar berasal dari bahasa
Sanskerta Svarga yang artinya sorga, alam Deva, kahyangan
(Suradha, 2007:305).
Dalam kitab suci Weda dan susastra Hindu lainnya, svarga
digambarkan sebagai berikut:
a. Tempat kediaman para leluhur dan Dewa Yama, yang
letaknya ditengah-tengah ruang angkasa (RegWeda
X.15.14)
b. Tempat yang amat damai di angkasa yang merupakan
tempat tertinggi dan terdapat cahaya yang abadi (RegWeda
IX.113.7, 8 dan 9)
c. Tempat yang sangat tinggi (AtharvaWeda XI.4.11)
d. Dunia yang dipenuhi cahaya (AtharvaWeda IV.34.2)
e. Di atas angkasa (AtharvaWeda XVIII.4.11)
f. Tempat para leluhur/dunia ketiga atau lapisan ketiga
(Maitrayani Samhita I.10.18, II.3.9)
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 53
dalam Slokantara
g. Di svarga roh-roh orang yang meninggal menikmati
kepuasan hidup (RegWeda X.14.8, X.15.14, X.16.5)
h. Tempat yang memenuhi semua keinginan (RegWeda
IX.113.3, IX. 113.11)
i. Tempat yang dilalui para Dewa (RegWeda X.14.14)
j. Teristimewa dihadapan Yama dan Varuna (RegWeda
X.14.7)
k. Memperoleh umur panjang dan mengatasi usia tua
(RegWeda X.27.21)
l. Menyatu dengan tubuh agung yang mereka cintai dan
disambut oleh para Dewa (RegWeda X.14.8, X.16.5, X.56.51)
m. Merekamelihatayah,ibudanputra-putranya(AtharvaWeda
VI.120.3)
n. Bersatu dengan istri dan anak-anaknya (AtharvaWeda
XII.3.17)
o. Bebas penyakit dan tubuh tidak pernah merasa lelah
(RegWeda X.14.8, AtharvaWeda VI.120.3)
p. Tubuh sempurna dan memperoleh kehidupan yang
berbahagia (RegWeda X.14.30, X.15.14).
q. Cahaya selalu memancar, abadi dan air mengalir deras,
terdapat makanan yang memuaskan selera, riang gembira,
bahagia dan segala keinginan terpenuhi (RegWeda
IX.113.7-11)
r. Bergelimang dengan kehidupan seksual (AtharvaWeda
IV.34.2)
s. Penuh berkah, terdengar suara seruling dan nyanyian
merdu (RegWeda 135.7)
t. Minuman soma, mentega cair mengalir (RegWeda X.154.1)
u. Terdapat kolam-kolam berisi mentega cair dan mengalir
bersama susu, madu dan anggur (AtharvaWeda IV.34.5,
Srimad Bhagavatam IX 5.6.4)
v. Banyak sapi berwarna-warni yang dapat memberi segala
yang diinginkan/kamadughah (AtharvaWeda IV.34.8),
(Macdonell dalam Titib, 2006:87).
54 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
Di dalam Bhagavad gītā juga disinggung mengenai svarga,
yaitu:
Na hi prapaśyāmi mamāpanudyād yac chokam ucchosanam
indriyāṇām, avāpya bhūmāv asapatnam ṛddham rājyaṁ
surāṇām api cādhipatyam
Terjemahan:
Hamba tidak dapat menemukan cara untuk menghilangkan
rasa sedih ini yang menyebabkan indria-indria hamba
menjadi kering. Hamba tidak akan dapat menghilangkan
rasa itu, meskipun hamba memenangkan kerajaan yang
makmur yang tiada taranya di bumi ini dengan kedaulatan
seperti para Deva di surga (Bhagavad gītā 2.8).
Yadṛcchayā co’papannaṁ svarga-dvāram apavṛtam,
sukhinaḥ kṣatriyāḥ pārtha labhante yuddham īdṛśam
Terjemahan:
Wahai partha, berbahagialah para ksatriya yang
mendapatkan kesempatan untuk bertempur seperti itu
tanpa mencarinya-kesempatan yang membuka pintu
gerbang planet-planet surga bagi mereka (Bhagavad gītā
2.32).
Hato vā prāpsyasi svargaṁ jitvā va bhokṣyase mahīm,
tasmad uttiṣṭha kaunteya yuddhāya kṛta-niścayaḥ
Terjemahan:
Wahai putera kunti, engkau akan terbunuh di medan
perang dan mencapai planet-planet surga atau engkau
akan menang dan menikmati kerajaan di dunia. Karena
itu, bangunlah dan bertempur dengan ketabahan hati
(Bhagavad gītā 2.37).
Yām imāṁ puṣpitāṁ vācaṁ pravadanty avipaścitaḥ, Weda-
vāda-ratāḥ pārtha nānyad astīti vādinaḥ kāmātmānah,
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 55
dalam Slokantara
svarga-parā janma-karma-phala-pradām, kriyā-viśeṣa-
bahulāṁ bhogaiśvarya-gatiṁ prati
Terjemahan:
Orang yang kekurangan pengetahuan sangat terikat pada
kata-kata kiasan dari Weda, yang menganjurkan berbagai
kegiatan yang dimaksudkan untuk membuahkan pahala
agar dapat naik tingkat sampai planet-planet surga,
kelahiran yang baik sebagai hasilnya, kekuatan dan
sebagainya. Mereka menginginkan kepuasan indria-indria
dan kehidupan yang mewah, sehingga mereka mengatakan
bahwa tiada sesuatu pun yang lebih tinggi dari ini. Wahai
putera Prtha (Bhagavad gītā 2.42-43).
Merujuk kitab Mahabharata, khususnya Sabdaparva,
Titib (2006:90-93) menceritakan kahyangan para Dewa
yang diceritakan oleh Dewarsi Narada ketika mengunjungi
Yudhisthira saat baru saja diresmikannya penggunaan istana
Indraprastha. Devarsi Narada menjelaskan pengalamannya
mengunjungi istana para Dewa, sebagai berikut:
a. Svarga Deva Indra
Svarga dan khusus sabha (balai sidang Deva Indra)
penuh dengan cahaya gemerlapan. Svarga tersebut dapat
dicapai karena pahala dari perbuatan baik. Panjangnya 150
yojana dan lebarnya 100 yojana dan tingginya 5 yojana.
Di sana tidak ada umur tua, penderitaan, kelelahan dan
kekhawatiran, penuh keberuntungan dan kebahagiaan,
dilengkapi dengan kamar-kamar dan tempat duduk, sangat
indah dihiasi dengan tanaman kahyangan. Di sana duduk
Dewa Indra dan sakti-nya Dewi Saci yang merupakan
perwujudan kecantikan dan kemakmuran. Sulit
digambarkan keindahan penampilan Dewa Indra dengan
mahkota bercahaya di kepalanya, mengenakan gelang emas
berkilauan pada lengan bagian atas, mengenakan pakai
kebesaran berwarna putih dan dihiasi dengan kalungan
56 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
bunga warna-warni berkilauan, dan duduk di sampingnya
adalah Dewi keindahan, kemasyhuran dan kejayaan.
Setiap hari Indra didampingi oleh para Maruta yang
masing-masing hidup berumah tangga. Para Siddha dan
Rsi kahyangan, para sadhya yang gemerlapan, semuanya
dihiasi dengan kalungan bunga berwarna keemasan. Para
pengikut yang tinggal di kahyangan semuanya berwujud
surgawi (cahaya) dan dipuja oleh makhluk-makhluk
suci. Semuanya suci bagaikan api karena semua dosanya
sudah dihapuskan. Semuanya penuh energi, tanpa derita,
tanpa kecemasan dan selalu ada persembahan soma
(Mahabharata Sabha 7.1-10).
b. Svarga Deva Yama
Balai sidang Deva Yama penuh diliputi cahaya, sangat
luas yakni 100 yojana, penuh diliputi cahaya matahari
kahyangan. Apa saja yang diinginkan seseorang di sana
langsung bisa terwujud. Udaranya tidak terlalu dingin
dan juga tidak terlalu panas membuat suasana hati
senantiasa riang gembira. Di svarga Deva Yama ini tidak
ada penderitaan, rasa lapar, dan haus, tidak ada yang
tidak menyenangkan. Tidak ada sesuatu yang menjadikan
stress dan tidak pernah merasa kelelahan. Segala objek
yang diinginkan selalu muncul baik mahkluk kahyangan
maupun manusia suci tampak di sana. Segala sesuatu yang
menyenangkan, manisan, jus buah-buahan, makanan dan
minuman. Kalungan bunga yang sangat harum baunya dan
pohon-pohon svarga tumbuh di sekitar sana dan buahnya
berupa buah apa saja yang diinginkan akan muncul dengan
sendirinya. Terdapat permandian air panas dan dingin,
dan semuanya penuh keramahan. Para Rsi kahyangan,
para Brahmana, Yayati, Nahusa, Puru, Mandata, Somaka,
Nrga dan banyak Rsi kahyangan lainnya sangat banyak di
sana, juga ratusan dan bahkan ribuan raja-raja yang karena
karma baiknya sampai di sana, juga makhluk-makhluk
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 57
dalam Slokantara
svarga seperti Gandharva dan orang-orang yang berbuat
baik tinggal di svarga Deva Yama (Mahabharata Sabha 8.1-
33).
c. Svarga Deva Varuna
Luas balai sidang Deva Varuna sama luasnya dengan
balai sidang Deva Indra dan Deva Yama. Tembok berwarna
putih. Istana Deva Varuna dibangun oleh Deva Visvakarma
yang tempatnya di bawah air, dikelilingi oleh berbagai
pohon kahyangan yang dibuat dari permata batu manikam
yang menghasilkan bunga yang indah dan buah yang lezat.
Banyak tumbuh-tumbuhan warna-warni, biru, kuning,
hitam, putih, dan merah kuncupnya sedang mekar sangat
indah. Udara di svarga Deva Yama sangat nyaman, tidak
terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Ratusan dan bahkan
ribuan burung-burung dengan aneka spesiesnya selalu
berbunyi nyaring laksana lagu-lagu melodi. Istana Deva
Yama terdiri atas banyak kamar dan banyak tempat duduk
yang indah-indah. Pada singgasana balai sidang duduk Deva
Varuna dan sakti-nya Varuni dihiasi dengan ornamen dan
permata yang sangat indah. Juga mengenakan kalungan
bunga kahyangan yang harum baunya. Di sana juga tinggal
para Aditya, Vasuki, Taksaka, para naga, dan Airavata. Krsna
Lohita dan banyak lagi roh-roh raja yang suci semuanya
ada di sana. Di sana juga mengalir semua sungai surgawi,
Tirtha dan permandian suci ada di sana, juga dānau-dānau,
sumur-sumur, telaga besar dan kecil, juga semua gunung-
gunung kahyangan, semua jenis binatang laut (binatang
air) ada di sana. Juga para Gandharva dan Apsara. Mereka
menunggu Deva Varuna. Semua gunung-gunung di sana
dipenuhi oleh permata (Mahabharata Sabha 9.1-29).
d. Svarga Deva Kuvera
Svarga Deva ini dibangun sendiri oleh Deva Kuvera
melalui kekuatan tapa-nya. Bentuknya seperti puncak
gunung Kailasa yang penuh dengan cahaya termasuk juga
58 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
cahayabulan.DidukungolehparaGuhyaka(makhluksvarga)
seperti tampak bergantung di angkasa. Svarga-nya dihiasi
dengan emas demikian pula istananya, yang menunjukkan
keindahan dengan mutunya yang sangat tinggi. Kahyangan
ini udaranya nyaman berbau harum surgawi dan dimana-
mana dihiasi dengan batu-batu permata yang besar-besar.
Di puncak istana tampak awan putih yang menjadikan
istana laksana mengapung di angkasa. Istananya dihiasi
dengan lukisan memakai cat emas dan oleh karenanya
dimana-mana tampak gemerlapan cahaya. Di balai sidang
terdapat tempat duduk yang sangat indah yang semuanya
tampak bercahaya bagaikan sinar matahari, demikian pula
karpetnya yang indah dan tampak Dewa Kuvera duduk
di singgasana, mengenakan pakaian yang sangat indah,
mengenakan perhiasan, anting dan kalungnya semuanya
dari emas dengan corak ribuan gelombang laut. Angin segar
dan nyaman bertiup dari gunung Mandara membawa bau
yang harum semerbak, bau bunga melati dan juga bunga
teratai dari sungai kahyangan bernama Alaka, demikian
pula hutan kahyangan bernama Nandānantempat raja
Yaksa bercengkerama. Raja kahyangan yang agung ini
dikelilingi oleh para Gandharva dan Apsara. Banyak
bidadari cantik tinggal di sana seperti Misarakesi, Rambha,
Citrasena dan lain-lain. Ruang sidang dilengkapi dengan
para penyanyi dan penari kahyangan yang memainkan
berbagai alat musik yang mengeluarkan suara yang merdu.
Dewi Laskmi, juga Nalakuvera senantiasa ada di ruang
sidang utama. Banyak Brahmana, Ksatriya dan orang-orang
yang baik tinggal di sana (Mahabharata Sabha 10.1-19.
e. Svarga Dewa Brahma
Svarga Dewa Brahma tak terhingga luasnya dan
bahannya adalah immaterial dipenuhi dengan cahaya
gemerlapan dan semua makhluk yang tinggal di sana
semuanya tampak bercahaya. Devarsi Narada bisa
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 59
dalam Slokantara
memasuki surga Dewa Brahma berkat kekuatan tapa yang
dilakukannya. Sangat tidak mungkin untuk melukiskan
keindahan dan luar biasanya bentuk svarga Dewa Brahma.
‘Saya belum pernah melihatnya di kahyangan manapun di
sana’, demikian pernyataan Devarsi Narada. Svarga dibuat
dari bermacam-macam batu permata yang berkilauan dan
semuanya tampak berbeda-beda yang menyangga setiap
pilarnya. Pada balai sidang yang gemerlapan itu duduk di
singasana-Nya Dewa Brahma sebagai Dewata tertinggi. Di
sana tampak para rsi seperti Bhrgu, Atri, Vasistha, Gautama,
Angira, Pulastya, Kratu dan lain-lain. Segala bentuk element
alam semesta tampak di sana berkilauan. Demikian pula
orang-orang yang tekun melakukan pertapaan serta para
sarjana (yang melakukan karma baik) yang ahli di bidangnya
masing-masing semuanya tampak di sana. Demikian pula
para Gandharva, Apsara, Visvakarma, Savitri, Sarasvati, dan
seluruh sukta mantra Weda tampak di sana (Mahabharata
Sabha 11.1-136).
Demikianlah gambaran mengenai svarga dalam pandangan
Weda. Kiranya dapat dimengerti bahwa svarga menurut
Ślokāntara maupun rujukan dari kitab-kitab Weda lainnya,
merupakan benar adanya. Svarga merupakan suatu tempat
yang diperuntukkan bagi manusia dengan kualifikasi tertentu.
Sebab setiap posisi tentu memerlukan kualifikasi. Berikut ini
adalah pandangan kitab suci mengenai prasyarat seseorang
yang akan memperoleh svarga:
a. Bhagavad gītā 9.20
Trai-vidyā māṁ soma-pāḥ pūta-pāpā yajñair iṣṭvā svar-
gatiṁ prārthayante
te puṇyam āsādya surendra-lokam, aśnanti divyān divi
deva-bhogān
60 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
Terjemahan:
Orang yang mempelajari Weda dan minum air soma
dalam usaha mencapai planet-planet surga, menyembah-
Ku secara tidak langsung. Setelah mereka disucikan dari
reaksi-reaksi dosa, mereka dilahirkan di planet indra yang
saleh di surga. Di sana mereka menikmati kesenangan para
Deva (Prabupada, 2006:477).
b. Bhagavad gītā 9.21
Te taṁ bhuktvā svarga-lokaṁ viśālam kṣīṇe puṇye
martya-lokaṁ viśanti, evaṁ trayī-dharmam anuprapannā
gatāgataṁ kāmā-kama labhante
Terjemahan:
Bila mereka sudah menikmati kesenangan indria-indria
yang luas di surga seperti itu dan hasil kegiatan salehnya
sudah habis, mereka kembali lagi ke planet ini, tempat
kematian. Jadi, orang yang mencari kenikmatan indria-
indria dengan mengikuti prinsip-prinsip dari tiga Weda
hanya mencapai kelahiran dan kematian berulang kali
(Prabupada, 2006:478).
c. Sārasamuccaya 7
Apan iking janma mangke, pagawayan śubhāśubhakarma
juga ya, ikang ri pena. Pabhuktyan karmaphala ika,
kalinganya, ikang śubhāśubhakarma mangke ri pẻna ika
an kabukti phalanya, ri pẻgatni kabhuktyanya, mangjanma
ta ya muwah, tūmūta wāsanāning karmaphala, wāsanā
ngaraning sangakara, turahning ambemātra, ya tinūtning
paribhāsā, swargacyuta, narakaṣyuta, kunang ikang
śubhāśubhakarma ri pẻna, tan paphala ika, matangnyan
mangke juga pẻngpönga śubha aśubhakarma.
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 61
dalam Slokantara
Terjemahan:
Sebab kelahiran menjadi manusia sekarang ini adalah
kesempatan melakukan kerja baik ataupun kerja buruk,
yang hasilnya akan dinikmati di akhirat; artinya, kerja baik
ataupunkerjaburuksekarangini,diakhiratsesungguhnyadi
kecap akan buah hasilnya itu; setelah selesai menikmatinya,
menitislah pengecap itu lagi; maka turutlah bekas-bekas
hasil perbuatannya: wasana disebut sangskara, sisa-sisa
yang tinggal sedikit dari bau sesuatu yang masih bekas-
bekasnya saja, yang diikuti penghukuman yaitu jatuh
dari tingkatan sorga maupun dari kawah neraka; adapun
perbuatan baik ataupun buruk yang dilakukan di akhirat,
tidaklah itu berakibat sesuatu apapun, oleh karena yang
sangat menentukan adalah perbuatan baik atau buruk
yang dilakukan sekarang juga (Kajeng, 1999:10-11).
d. Sārasamuccaya 8
Iking tang janma wwang, ksanikaswabhāwa ta ya, tan
pahi lawan kȇḍapning kilat, durlaba towi, matangnyan
pöngakena ya ri kagawayanning dharmasadhāna,
sakarananging manāṣanang sangsāra, swargaphala
kunang.
Terjemahan:
Kelahiran menjadi manusia, pendek dan cepat keadaannya
itu, tak ubahnya dengan gerlapan kilat, dan amat sukar
pula untuk diperoleh; oleh karena itu gunakanlah sebaik-
baiknya kesempatan menjadi manusia ini untuk melakukan
dharma yang menyebabkan musnahnya proses lahir dan
mati, sehingga berhasil mencapai sorga (Kajeng, 1999:12).
e. Bhagavad gītā 9.25
Yānti deva-vratā devān pitṝn yānti pitṛ-vratāḥ, bhūtāni
yānti bhūtejyā yānti mad-yājino ‘pi mām
62 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
Terjemahan:
Orang yang menyembah Deva-Deva akan dilahirkan di
antara para Deva, orang yang menyembah leluhur akan
pergi ke leluhur, orang yang menyembah hantu dan roh
halus akan dilahirkan di tengah-tengah makhluk-makhluk
seperti itu, dan orang yang menyembah-Ku akan hidup
bersama-Ku (Prabupada, 2006:482).
f. Sārasamuccaya 58
Kunȇng ulaha sang kratriya, umajya sang hyang Weda,
nitya agnihotrā, magawayang yajnā, rumakṣang rat,
huninga ring wadwa, tȇka ring kula gotra, maweha danā,
yapwan mangkana, swargapada antukanira dȇlāha.
Terjemahan:
Maka yang harus dilakukan oleh sang ksatriya; harus
mempelajari Weda, senantiasa melakukan korban api suci,
mengadakan upacara kebhaktian, menjaga keamanan
negara, mengenal bawahannya sampai sanak keluarga dan
kaum kerabatnya, memberikan sedekah; jika ia berbuat
demikian, tingkat alam sorga akan diperolehnya kelak
(Kajeng, 1999:49).
g. Sārasamuccaya 59
Nihan ulaha sang waicya, mangajyā sira ri sang brahmana,
ring sang kṣatriya kunȇng, mwang maweha dāna ri
tȇkaning dānakāla, ring cubhadiwasa, dumdumana nira
ta sakwehning mamarāṣrāya ri sira, mangȇlȇma amūjā
ring sang hyang tryagni ngaranira sang hyang apuy
tiga, pratyȇkanira, āhawanīya, gārbhaspatya, citāgni
āhawanidha ngaranira apuy ning asuruhan, rumateng i
pinangan, gārhaspatya ngaranira apuy ning winarang,
apan agni sākṣikā kramaning winarang i kālaning wiwāha,
citāgni ngaranira apuy ning manunu ṣawa, nahan ta sang
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 63
dalam Slokantara
hyang tyagni ngaranira, sira ta pūjān de sang waiya, ulah
nira ika mangkana, ya tumekāken sira ring swarga dlāha.
Terjemahan:
Yang patut dilakukan oleh sang waisya: ia harus belajar
pada sang brahmana, maupun pada sang ksatria dan
hendaklah ia memberikan sedekah pada saatnya; waktu
persedekahan tiba, pada hari yang baik, hendaklah ia
membagi-bagikan sedekah kepada semua orang yang
meminta bantuan kepadanya, dan taat mengadakan pujaan
kepada tiga api suci, perinciannya adalah: ahawaniya,
garhaspatya, dan citagni; ahawaniya artinya api tukang
masak untuk memasak makanan, garhaspatya artinya
api upacara perkawinan; itulah api yang dipakai saksi
pada waktu perkawinan dilangsungkan; citagni artinya
api untuk membakar mayat, itulah yang disebut tiga api
suci; api itu harus dihormati dan dipuja oleh sang waisya;
perbuatannya demikian itu menyampaikan dia ke alam
sorga kelak (Kajeng, 1999:50-51).
h. Sārasamuccaya 71
Nyang pajara waneh, indriya ikang sinangguh
swarganaraka, kramanya, yan kawaṣa kahṛtanya, ya ika
sāksāt swarga ngaranya, yapwan tan kawaṣa kahṛtanya
sākṣāt naraka ika.
Terjemahan:
Inilah lagi akan diuraikan, nafsu yang dianggap penyebab
sorga ataupun neraka; keterangannya, jika nafsu itu
dapat dikuasai pengekangannya, itulah merupakan sorga
namanya; apabila tidak dapat dikuasai pengekangannya,
itulah merupakan neraka (Kajeng, 1999:60).
64 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
i. Sārasamuccaya 21
Kunang ikang wwang gumawayikang śubhakarma,
janmayan sangkȇ ring swarga dȇlaha, litu hayu maguna,
sujanma, sugih, mawīirya, phalaning śubhakarmāwasāna
tinȇmunya.
Terjemahannya:
Begitulah orang yang melakukan perbuatan baik,
kelahirannyadarisorgamenjadiorang-orangyangrupawan,
gunawan, muliawan, hartawan dan berkekuasaan, buah
perbuatan yang baik diperolehnya (Kajeng, 1999:20).
2. Naraka
Ślokāntara, sloka 50/51 (11-12)
Anapatyākāmarasan klābo’bale wadhriḥ kiluḥ,
māngsī pittī kujihwānggumūtri-binneṣṭha-badherāḥ.
nimattonmattakuṣṭhaśca rogakkukṣirwigantikaḥ,
khanjah kubjo’ndha ekadṛghraswaḥ śleṣmi-kunetrakau.
(Kalinganya, anapatya ngaranya tan panganaki, akāmarasa
ngaranya kuming, klīwa ngaranya kĕḍi, walawadi ngaranya
strī tansrī, kilu ngaranya wwang welū, māngsī ngaranya
gembolĕn, pittī ngaranya wwang mĕngi, busung adinya,
kujihwa ngaranya wwang bisu, anggu ngaranya jingkĕng,
mūtrī ngaranya beser, bhinnoṣṭha ngaranya dawir
lambenya, waḍhira ngaranya tuli, nimatta ngaranya hayan,
unmatta ngaranya edan, kuṣṭha ngaranya wudug, rogakukṣi
ngaranya salwir ing wyādhi wĕtĕng, wigantika ngaranya
sangar, khañja ngaranya piñcang, kubya ngaranya wungkuk,
andha ngaranya wuta, ekadṛk ngaranya micĕksu tunggal.
hraswa ngaranya cabuwal, bahunya pingkĕr kunang, śleṣma
ngaranya humbĕlĕn, tumbung adinya, kunentra ngaranya
asing wyādhi-netra pinakamalanya, jilak adinya, kunentra
ngaranya asing wyadhi-netra pinakamalanya, jilak
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 65
dalam Slokantara
adinyaika ta kabeh cihna ning saking kawah, tutug halanya
mukting naraka ring yamaniloka, tinibākĕn ing madyapada
ika tĕmahnya, matangyan ikang buddhi sakalwir ing ahala
tinggalakna,apanikitĕmahninganangsāra janmahetunyan
sinangsāra de Sanghyang Yamarāja, muwah pājarakna ikang
wwang keli dening buddhi bala, sumangsāra sama samanya
mangdadi, kathamapi anangsāra ring sang paṇḍita, kahila-
hilangya, yadyan Deva tuwi yan salah buddhi nira, pramada
kurang iki halanira).
Terjemahan:
Orang yang mandul, orang wandu, orang banci, orang
lemah, dan tak punya urat-urat sebagaimana mestinya,
orang berbentuk bundar, orang tumbuh daging di tempat
yang tidak semestinya, orang yang selalu muram, orang
yang lidahnya cacat, orang yang berpenyakitan tulang,
berpenyakit kencing, berbibir sumbing, tuli, ayan, gila,
berpenyakit lepra, berpenyakit perut busung, kemasukan
setan, lumpuh, bungkuk, buta kedua belah matanya, buta
sebelah, kerdil, bicara tidak karuan, dan orang yang bermata
rusak, jika semua cacat ini dibawa dari lahir, mereka adalah
orang-orang yang datang dari neraka.
Anapatya ialah orang yang tidak bisa mempunyai keturunan
(mandul). Akamarasa yaitu orang tak mendapatkan
kenikmatan dalam senggama (impotent). Kliba artinya
orang yang kelaminya tidak wajar fungsinya. Walawadi
ialah orang perempuan yang bukan perempuan, artinya ia
kelihatan perempuan tetapi tidak mempunyai jenis kelamin
perempuan (banci). Kilu artinya orang yang bundar. Mangsi
ialah orang yang kelaminya bengkak atau ditumbuhi daging.
Pitti yaitu orang yang berpenyakit asma, atau orang yang
busung perutnya dan lain-lain. Kujihwa artinya orang yang
bisu. Anggu ialah orang yang berpenyakit tulang. Bhinosta
ialah orang yang sumbing. Wadhira berarti tuli. Nimatta
66 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
artinya orang berpenyakit ayan. Unmatta itu penyakit gila.
Kustha itu ialah orang yang berpenyakit lepra. Rogakuksi
artinya orang yang mempunyai segala macam penyakit.
Wigantika ialah orang kemasukan setan. Khanja artinya
orang yang pincang atau lumpuh. Kubja itu orang bungkuk.
Andha artinya buta. Ekadrk artinya orang yang bermata
sebelah (peceng). Hraswa artinya orang yang kerdil atau
sengkok (anggota badanya bengkak). Slisma ialah orang
berpenyakit selesma dan bicaranya tidak terang. Kunetra
yaitu orang bermata juling. Semuanya ini ialah merupakan
tanda-tanda mereka yang datang dari neraka. Setelah
hukuman perbuatan-perbuatan jahatnya selesai, ia dilepas
dari neraka, kerajaan Bhatara Yama itu, untuk menjelma
ke dunia ini. Oleh karena itu manusia harus membuang
jauh-jauh segala pikiran yang jahat karena pikiran-pikiran
yang jahat demikian akan membawa kita kembali ke
dunia yang penuh sengsara ini. Itulah sebabnya manusia
di hukum oleh Deva Yamaraja. Kepada mereka yang takut
akan pikiran yang jahat itu harus diberi petunjuk-petunjuk.
Ia harus dilarang menyakiti makhluk lainya, apalagi untuk
menyakiti orang (pendeta). Walau ia itu seorang Deva
sekalipun, tetapi jika ia mempunyai niat jahat, atau ia itu
ceroboh atau tidak sanggup menjalankan yoga (disiplin
badan dan pikiran) ia akan celaka (Sudharta, 2003:169-
171).
Nilai tattwa yang dapat kita petik dari sloka di atas yaitu
mengenai naraka. Selanjutnya, bagaimana pandangan Weda
terhadap naraka ini, apakah agama Hindu mengenal naraka
seperti yang ada dalam agama lain ataukah berbeda.
Menurut Titib (2006:462) naraka adalah alam penderitaan,
tempat penyiksaan bagi roh yang melakukan karma buruk di
alam baka.
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 67
dalam Slokantara
Garuda Purana menyebutkan adanya ‘84 lakh (8.400.000)
macam kawah naraka’ hanya 63 saja yang dapat dikenali
dengan sebutan masing-masing seperti diuraikan pada
berbagai Purana. Sebanyak 22 terdapat dalam Markandeya dan
Srimadbhagavatam (Bhagavata Purana) yang masing-masing
tampak terpisah-pisah, yakni disebutkan dalam Brahma, Visnu,
Skanda, Padma, dan Garuda Purana. Sebagian lagi diuraikan
pada beberapa Purana dengan macam-macam nama. Adapun
naraka tersebut adalah:
1. Tapta Kumbha atau Kumbhipaka (kawah panas)
2. Tailapaka (minyak mendidih)
3. Gudapaka (gula mendidih)
4. Tilapaka (uap mendidih)
5. Raurava (tempat menakutkan)
6. Maharaurava (tempat yang sangat menakutkan)
7. Mahavici (gelombang panas yang sangat terik)
8. Apratistha (tempat yang bergoyang/berayun-ayun)
9. Vilepaka (plester panas)
10. Manjusah (peti batu)
11. Jayanti (peti minuman)
12. Salmali (kolam darah dan nanah)
13. Mahaprabha (palu besar)
14. Tamisra (kamar gelap)
15. Mahatamisra (tempat yang sangat gelap)
16. Asipatravana (hutan berduri tajam)
17. Karabha-baluka (telaga pasir)
18. Kakola (jambangan ular)
19. Kaddamala (penjepit)
20. Mahabhima (tempat yang menakutkan)
21. Mahavata (ruang besar gelap dan kosong)
22. Vajra-kapata (belenggu atau pintu besi)
23. Nirucchvasa (ruang tanpa udara)
24. Angaropacaya (timbunan kerikil panas)
68 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
25. Mahapayi (tempat yang sangat dalam yang tak dapat
diduga)
26. Mahajvala (lautan api)
27. Kracaka (mesin potong)
28. Ksuradhara (ujung pisau bedah)
29. Ambarisa (panci penggorengan)
30. Vajrakuthara (kapak besar bercahaya)
31. Paritapa (siksaan daya ingat atau penyesalan)
32. kalasutra (lubang baja)
33. Kasmala (lendir dan kotoran)
34. Ugragandha (bau busuk yang menyengat)
35. Durdhara (sakit yang tidak tertahankan atau digigit
kalajengking)
36. Vajramahapida (ditekan dengan putaran baut baja yang
keras/skrup baja)
37. Sukaramukha (kandang babi yang buas)
38. Andhakupa (berupa lubang sumur yang gelap)
39. Krmibhoja (kolam cacing)
40. Sandansa (penjepit dari besi)
41. Vajrakantasali (duri yang tajam)
42. Taptasurmi (tiang panas membara)
43. Vaitarani (sungai penuh nanah dan kotoran yang harus
diseberangi)
44. Puyoda (tempat penuh dengan nanah)
45. Pranarodha (suasana yang membuat sesak nafas)
46. Vasasana (pemotongan bagian-bagian tubuh)
47. Lalabhaksa (tempat penampungan air ludah)
48. Svabhojana atau Sarameyadāna (ditelan anjing yang
buas)
49. Avicih (tempat roh-roh menjerit minta tolong namun
tidak ada yang membantu)
50. Ayahpana (meneguk cairan besi yang panas)
51. Ksarakardama (menelan kotoran yang amis)
52. Raksoganabhojana (ditelan oleh raksasa)
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 69
dalam Slokantara
53. Sulaprota (dipukul dengan tongkat pengait)
54. Dandasuka (kawah penuh ular berbisa)
55. Bhrama (berada pada rotasi roda berputar)
56. Raudra (terbakar oleh panas sinar matahari yang
menyengat)
57. Vimohana (mengucapkan kata-kata yang tidak dapat
dipahami)
58. Rudhirambha (kawah darah merah)
59. Ghora (ledakan suara yang memekakkan telinga dan
menakutkan)
60. Tala (masuk ke dalam tempat yang terkunci dari luar)
61. Avatanirodha (digigit serangga berbisa)
62. Paryavartana (berputar-putar kembali ke tempat
berangkat tiada henti)
63. Sucimukha (dicocok dengan peniti yang tajam (Ghosh
dalam Titib, 2006:99-100).
Di dalam kitab Devi Bhagavata Purana VIII dan Visnu
Purana II.6 disebutkan adanya 28 jenis neraka, sebagai berikut:
1) Tamisra
Naraka bagi mereka yang mencuri kekayaan milik orang
lain termasuk istri orang, anak-anak orang lain dan lain-
lain, diikat dengan tali oleh prajurit Dewa Yama selanjutnya
dilemparkan ke dalam naraka tasmira. Di neraka ini mereka
dipukul sampai pingsan. Setelah sadar, diikat kembali,
dipukul keras dan hal ini dilakukan berulang-ulang.
Mereka yang mencoba melarikan diri, kakinya diikat dan
dilemparkan kembali, serta dipukul tiada hentinya, sampai
berakhir sesuai dengan batas akhir penikmatan pahala
karma buruk tersebut.
2) Andhatamisra
Naraka ini dinikmati oleh seorang istri yang mengambil
makanan dengan mencuri atau berbuat curang terhadap
suaminya atau sebaliknya suami berbuat curang untuk
70 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
mendapatkan makanan dari istrinya. Hukumannya sama
seperti naraka tamisra, di samping pukulan. Siksaan yang
mengerikan dibalas oleh korban dan diikat oleh prajurit
Yama, menjadikannya jatuh pingsan.
3) Rauravana
Naraka ini dinikmati oleh mereka yang melakukan
penyiksaan terhadap makhluk lain. Juga bagi mereka yang
menginginkan milik orang lain juga jatuh dalam naraka ini.
Ketika orang-orang dilemparkan ke naraka ini kemudian
setelah selesai masa penikmatannya, kembali menjelma ke
bumi dalam wujud seekor ruru dan melakukan penyiksaan
dengan berat. Ruru adalah sejenis ular yang menakutkan.
Naraka ini disebut ‘Rauravam’ karena banyak ruru yang
tinggal di sana.
4) Maharauravam
Naraka ini juga penuh dengan ular ruru, hanya
jenisnya lebih buas. Mereka yang rakus terhadap warisan,
mengambil bukan warisnya dan berusaha menguasai milik
atau kekayaan orang lain, disiksa sampai mati oleh belitan
ular di sekujur tubuhnya.
5) Kumbhipakam
Naraka ini diterima oleh mereka yang melakukan
pembunuhan dan memakan burung-burung dan binatang-
binatang. Di naraka ini minyak panas mendidih ditempat-
kan pada bejana-bejana besar. Lamanya hukuman diterima
selama sejumlah bulu-bulu binatang dan burung-burung
yang telah dibunuh dan dimakan.
6) Kalasutra (Yamasutram)
Naraka ini sangat panas dan mengerikan. Mereka
yang menerima hukuman ini adalah mereka yang tidak
respek kepada ibu, bapak, dan orang yang lebih tua serta
sejenisnya. Mereka didorong dijatuhkan ke dalam naraka
ini, mereka disiksa kepanasan dari waktu ke waktu.
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 71
dalam Slokantara
7) Asi (ta) patram
Mereka yang menerima naraka ini adalah mereka yang
meninggalkan svadharma, yakni tugas dan kewajiban
yang dibebankan kepadanya dan menerima paradharma
(kewajiban yang bukan semestinya) dicambuki oleh
prajurit Yama dengan cambuk yang berbuat dari Asipatra
(pedang yang tajam berbentuk daun-daun). Ketika mereka
lari karena dicambuki, mereka jatuh ke atas batu dan
duri-duri sehingga ketika jatuh wajah terluka. Mereka
ditebas dengan pisau yang terbuat dari asipatra. Mereka
jatuh pingsan dan ketika siuman kembali didera dengan
cambukkan dan tebasan pisau dari asipatra tersebut tiada
hentinya.
8) Sukaramukham
Seorang raja atau pemimpin pemerintah (pejabat)
yang melalaikan tugasnya dan menindas rakyatnya dengan
tidak menegakkan hukum menerima neraka ini. Mereka
dihancurkan dan dipukul sampai menjadi bubur sampai
pingsan, ketika sadar kembali terus menerus mendapatkan
pukulan tiada hentinya.
9) Andhakupam
Naraka ini dinikmati oleh mereka yang melakukan
penindasan terhadap brahmana, menghina para Dewa dan
orang-orang miskin. Di dalam sumur kupa ini, binatang
buas seperti harimau, beruang dan lain-lain, termasuk
burung garuda, elang, dan lain-lain, begitu juga ular-ular,
kalajengking, nyamuk-nyamuk beracun yang mematikan
bertempat tinggal di sana. Orang yang melakukan dosa
diserang oleh berbagai jenis binatang tersebut sampai
berakhir masa hukumannya.
10) Krmibhojanam
Brahmana yang rusak akhlaknya, yang menikmati
makanan tanpa mempersembahkannya terlebih dahulu
72 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
kepada Tuhan dan kepada para tamu dilemparkan ke neraka
ini. Tempat ini luasnya 1 laksa yojana. Cacing, nyamuk dan
ular-ular buas menggigit dan memakannya. Ketika badan
seseorang sudah habis dinikmati oleh makhluk-makhluk
tersebut, mereka mendapatkan badan baru kembali, yang
juga secara berulang-ulang disiksa dan dimakan oleh
makhluk-makhluk tersebut. Penyiksaan ini berlangsung
terus sampai akhir masa hukuman yang mesti diterimanya.
11) Taptamurti
Mereka yang merampas atau mencuri emas, permata,
perhiasan dan uang dilemparkan ke dalam tungku naraka
yang terbuat dari baja yang terbakar panas berwarna
merah dilalap api terus menerus.
12) Salmali
Naraka ini dinikmati oleh mereka baik laki-laki maupun
perempuan yang berzina. Sebuah patung manusia terbuat
dari baja, yang dibakar hingga berwarna merah dan sangat
panas ditempatkan di sana. Korban diminta memeluk
patung yang membara itu dan prajurit Yama memukul dari
belakang.
13) Vajrakantakasali
Naraka ini ditujukan kepada mereka yang melakukan
hubungan seks tidak normal seperti berhubungan dengan
sapi atau binatang lainnya. Di sini mereka yang terpidāna
dihukum untuk memeluk patung yang di sekujur tubuh
patung itu ditancapkan jarum intan yang sangat tajam.
14) Vaitarani
Naraka ini ditujukan kepada para raja, pemimpin
pemerintahan atau pejabat yang melanggar hukum dan
ajaran agama (sastra) dan melakukan zina. Tempat ini
sangat mengerikan bagi terhukum. Vaitarani adalah sebuah
sungai yang berisi kotoran manusia, air kencing, darah,
rambut, tulang-belulang, kuku-kuku, daging, lemak, dan
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 73
dalam Slokantara
berbagai macam kotoran. Di dalamnya terdapat berbagai
jenis binatang buas. Mereka yang dilemparkan ke dalam
sungai tersebut diserbu untuk diterkam oleh berbagai jenis
binatang dari berbagai arah. Mereka yang dihukum harus
menikmati kotoran yang terdapat dalam sungai tersebut.
15) Puyodakam
Naraka ini berupa sebuah telaga yang penuh berisi
kotoran, air kencing, darah, lendir, dan sebagainya.
Brahmana dan yang lain yang melakukan hubungan seks
dengan wanita murahan, yang melanggar hukum dan
sebagainya, pengembara yang mengembara dan tidak
memiliki tanggung jawab seperti halnya binatang-binatang
dan burung-burung dan yang lain-lain yang berdosa
tersebut dilemparkan ke dalam neraka ini.
16) Pranodham
Naraka ini adalah bagi terhukum seperti para Brahmana
yang memelihara anjing, keledai dan binatang yang kotor
dan secara terus menerus berburu dan membunuh binatang
untuk menyambung hidup. Mereka yang melakukan dosa
ini dikelilingi oleh prajurit Yama dan satu persatu anggota
badan mereka dipotong dengan senjata (panah) dan
menderita karena terus menerus dilecehkan.
17) Visasanam
Naraka ini adalah berupa penyiksaan kepada mereka
yang melakukan upacara yajna dengan membunuh sapi
untuk memamerkan kekayaan dan kemashyuran. Mereka
yang melakukan dosa itu akan tinggal menikmati hukuman
secara terus menerus dicambuki oleh prajurit yama.
18) Lalabhaksam
Naraka ini diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak
mampu mengendalikan nafsu. Laki-laki yang sangat ber-
nafsu yang meminta istrinya untuk meminum spermanya.
Terhukum terlentang dan meminum spermanya sendiri.
74 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
19) Sarameyasanam
Terhukum adalah mereka yang melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan ketertiban masyarakat, seperti
melakukan pembakaran rumah, meracun, melakukan pem-
bantaian masal, meruntuhkan negara dilempar ke naraka
ini. Tempat ini berupa sebuah tempat yang menyediakan
daging anjing sebagai makanan. Terdapat 700 ekor anjing
dalam naraka ini. Semua anjing tersebut sangat buas sep-
erti macan. Anjing-anjing tersebut menyerang orang-orang
yang berdosa dari segala arah dan daging mereka berjatu-
han dari badan karena gigi-gigi anjing tersebut.
20) Avici
Naraka ini diperuntukkan bagi mereka yang menjadi
saksi palsu, sumpah palsu dan juga nama palsu. Mereka
digelandang dari pegunungan yang tingginya 100 yojana
menuju ke naraka avici. Seluruh wilayah naraka ini selalu
bergerak seperti samudra bergelombang badai. Demikian
tiba roh yang terhukum tersebut langsung dihempaskan
sehingga hancur luluh tubuhnya bagaikan abu, kemudian
dikembalikan lagi seperti tubuhnya semula, kemudian
dihancurkan kembali sampai berakhirnya masa hukuman
yang mesti diterima.11
21) Ayahpanam
Mereka para brahmana, ksatriya, dan vaisya yang
tidak mampu mengendalikan diri, mengumbar hawa
nafsunya untuk meminum air soma, sura (minuman yang
memabukkan) dan lain-lain, mereka semua diikat dan
dilemparkan ke dalam naraka ini. Mereka yang berdosa
semua dipaksa untuk meminum minuman berupa baja
yang cair.
22) Ksarakardānam
Orang yang angkuh dan menghina orang suci dilempar
ke naraka ini. Dalam naraka ini roh digantung dalam posisi
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 75
dalam Slokantara
terbalik yakni kaki di atas dan kepala di bawah kemudian
prajurit Yama menyiksa dengan berbagai cara tiada
hentinya.
23) Raksobhaksam
Naraka ini ditujukan kepada mereka yang memakan
daging. Dipisahkan tempatnya di alam naraka terutama
mereka yang mempersembahkan manusia, yang memakan
daging manusia, atau yang memakan daging binatang atau
makhluk lainnya. Semua binatang yang pernah dibunuh
sebelumnya, mereka yang melakukan itu akan menuju
ke naraka ini bersama-sama. Diserang, dipukuli, dilumat.
Protes dan jeritan tidak ada gunanya di sini.
24) Sulaprotam
Seseorang yang membunuh orang yang tidak berdosa
kepadanya, dengan jalan menipu atau berkhianat, dengan
tombak, seperti tombak berujung tiga yang tajam,
dilemparkan roh yang bersangkutan ke dalam naraka
ini. Prajurit Yama mengambil mereka yang berdosa dari
kalangan atas ke ujung trisula. Mereka didorong untuk
merengsek ke dalam posisi yang mengerikan, menderita,
kehausan, dan kelaparan, selama mereka menikmati
hukumannya yang disiksa oleh prajurit Yama.
25) Dandasukam
Mereka yang menyiksa binatang seperti ular beracun
dilempar ke naraka ini. Di sana terdapat binatang buas dan
ular bertanduk yang beracun. Binatang tersebut memakan
orang yang melakukan dosa tersebut di sana.
26) Vatarodham
Mereka yang menyiksa binatang yang ada di puncak-
puncak gunung, di tengah-tengah hutan yang lebat, di
lubang pohon atau cabang kayu, dan lain-lain. Binatang
yang tinggal di gunung-gunung, gua-gua, hutan dan lain-
lain. Setelah seseorang dilemparkan ke dalam naraka,
76 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
ia disiksa dengan api, ular, racun, dan senjata tajam, ia
menderita seperti ketika menyiksa binatang-binatang
tersebut sewaktu masih hidup di bumi dahulu.
27) Paryavartanakam
Seseorang yang menolak tawaran makan ketika saatnya
makan dan melakukan kekejaman, dilempar ke naraka ini.
Pada saat ia jatuh, bola matanya dikeluarkan oleh binatang
buas seperti gagak, elang dan lain-lain. Penderitaan yang
sangat mengerikan dialami oleh yang melakukan dosa
seperti itu.
28) Sucimukham
Orang yang angkuh dan pelit dan tidak mau menyimpan
uangnya walaupun untuk keperluan yang paling sederhana
dalam hidup. Mereka yang meminjam uang dan tidak
bersedia mengembalikannya, akan dilempar ke naraka
ini. Di sini badan mereka terus menerus akan diremukkan
dan ditusuk-tusuk dengan jarum yang menyakitkan (Mani,
Darmayasa dalam Titib, 2006:101-105).
Svarga maupun naraka merupakan situasi yang diperoleh
dari karma manusia. Subhakarma akan mengantarkan
manusia menuju svarga loka, sedangkan asubhakarma akan
mengantarkan manusia menuju naraka loka. Oleh Sebab itu
senantiasa berhati-hati dalam berkarma dan menjadikan Weda
sebagai otoritas dalam bersikap. Demikian yang disampaikan
dalam Weda, seperti yang tertuang dalam Bhagavad gītā XVI.24,
sebagai berikut:
Tasmāc chāstraṁ pramāṇaṁ te kāryākārya-vyavasthitau,
Jñātvā śāstra-vidhānoktaṁ karma kartum ihārhasi
Terjemahan:
Karena itu, seharusnya seseorang mengerti apa itu kewaji-
ban dan apa yang bukan kewajiban menurut peratuan
kitab suci. Dengan mengetahui aturan dan peraturan
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 77
dalam Slokantara
tersebut, hendaknya ia bertindak dengan cara supaya
berangsur-angsur dirinya maju ke tingkat yang lebih tinggi
(Prabhupada, 2006:759-760).
Berikut ini merupakan perilaku-perilaku yang akan
mengantarkan manusia menuju naraka loka menurut kitab
suci, sebagai berikut:
a. Brahma Purana X.81-82
Raureva kūṭasākṣi tu yāti yascānṛtī naraḥ, brahmaghno
hatyayādiṣṭo goghnaśca pitṛghātakaḥ, Kṣetradārāpahārī
ca sīmānikṣepahārakaḥ, gurupatnyabhigāmī ca kanyāgāmī
tathaiva ca
Terjemahan:
Mereka yang suka berbohong dan memberi keterangan
palsu melawan orang lain ditempatkan di kawah Raurava
yang mengerikan, sebagaimana juga mereka yang
membunuh atau secara langsung membunuh seorang
brahmana, sapi atau ayah.
Juga bagi mereka yang melanggar batas (menjarah) kebun
orang lain atau isteri prang, atau berkencan dengan isteri
seorang guru, atau menggauli saudara perempuan sendiri
(Titib, 2006:100).
b. Brahma Purana XXII.10
Rājanyavaiśyaha caiva tathaiva gurutalpagaḥ,
Taptakumbhe svasṛgāmī hanti rājabhattanca yaḥ
Terjemahan:
Membunuh seorang pangeran, seorang pedagang,
seorang pegawai, atau seseorang yang menggauli saudara
perempuannya atau isteri guru, semua ditempatkan di
taptakumbha (kawah naraka yang sangat panas) (titib,
2006:100).
78 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
c. Bhagavad gītā 1.43
Utsanna-kula-dharmāṇāṁ manuṣyānāṁ janārdāna, narake
niyatam vāso bhavatīty anuśuśruma
Terjemahan:
O Krsna, pemelihara rakyat, saya sudah mendengar menurut
garis perguruan bahwa orang yang membinasakan tradisi-
tradisi keluarga selalu tinggal di neraka (Prabhupada,
2006:66-67).
d. Bhagavad gītā 14.18
ūrdhvaṁ gacchanti sattva-sthā madhye tiṣṭhanti rājasāḥ,
jaghanya-guṇa-vṛtti-sthā adho gacchanti tāmasāḥ
Terjemahan:
Orang yang berada dalam sifat kebaikan berangsur-
angsur naik sampai planet-planet yang lebih tinggi; orang
yang berada dalam sifat nafsu hidup di planet-planet
seperti bumi; orang yang berada dalam sifat kebodohan
yang menjijikkan turun memasuki dunia-dunia neraka
(Prabhupada, 2006:694).
e. Bhagavad gītā 16.16
Aneka-citta-vibhrāntā moha-jāla-samāvṛtāh, prasaktāḥ
kāma-bhogesu patanti narake ‘Sucau
Terjemahan:
Dibingungkan oleh berbagai kecemasan seperti itu
dan diikat oleh jala khayalan, ikatan mereka terhadap
kenikmatan indria-indria menjadi terlalu keras dan mereka
jatuh ke dalam neraka (Prabhupada, 2006:751).
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 79
dalam Slokantara
f. Bhagavad gītā 16.21
Tri-vidhaṁ narakasyedaṁ dvāraṁ nāśanam ātmanaḥ,
kāmaḥ krodhas tathā lobhas tasmād etat trayaṁ tyajet
Terjemahan:
Ada tiga pintu gerbang menuju neraka tersebut-hawa nafsu,
amarah, dan loba. Setiap orang waras harus meninggalkan
tiga sifat ini, sebab tiga sifat ini menyebabkan sang roh
merosot (Prabhupada, 2006:756-757).
g. Sārasamuccaya 5
Hana pwa wwang tan gawayakȇn ikang śubhakarma,
tambaning narakaloka kangkȇn lara, pejah pwa ya, wong
alara mararing desa katunan tamba ta ngaranika, rūpa
ning tan katȇmu ikang enak kolahalanya.
Terjemahan:
Adalah orang yang tidak mau melakukan perbuatan baik,
(orang semacam itu) dianggap sebagai penyakit yang
menjadi obat neraka-loka; apabila ia meninggal dunia,
maka dia dianggap sebagai orang sakit yang pergi ke suatu
tempat di mana tidak ada obat-obatan; kenyataannya
ia selalu tidak memperoleh kesenangan dalam segala
perbuatannya (Kajeng, 1999:9-10).
h. Sārasamuccaya 7
Apan iking janma mangke, pagawayan śubhāśubhakarma
juga ya, ikang ri pena pabhuktyan karmaphala ika,
kalinganya, ikang śubhāśubhakarma mangke ri pȇna ika
an kabukti phalanya, ri pȇgatni kabhuktyanya, mangjanma
ta ya muwah, tūmūta wāsanāning karmaphala, wāsanā
ngaraning sangakāra, turahning ambemātra, ya tinūtning
paribhāsā, swargacyuta, narakaṣyuta, kunang ikang
80 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
śubhāśubhakarma ri pȇna, tan paphala ika, matangnyan
mangke juga pȇngpönga śubha asubhakarma.
Terjemahan:
Sebab kelahiran menjadi manusia sekarang ini adalah
kesempatan melakukan kerja baik ataupun kerja buruk,
yang hasilnya akan dinikmati di akhirat; artinya, kerja baik
ataupunkerjaburuksekarangini,diakhiratsesungguhnyadi
kecap akan buah hasilnya itu; setelah selesai menikmatinya,
menitislah pengecap itu lagi; maka turutlah bekas-bekas
hasil perbuatannya: wasana disebut sangskara, sisa-sisa
yang tinggal sedikit dari bau sesuatu yang masih bekas-
bekasnya saja, yang diikuti penghukuman yaitu jatuh
dari tingkatan sorga maupun dari kawah neraka; adapun
perbuatan baik ataupun buruk yang dilakukan di akhirat,
tidaklah itu berakibat sesuatu apapun, oleh karena yang
sangat menentukan adalah perbuatan baik atau buruk
yang dilakukan sekarang juga (Kajeng, 1999:10-11).
3. Moksa
Dalam Ślokāntara memang tidak di singgung mengenai
‘moksa’, tetapi yang jabarkan mengenai svarga dan naraka,
khususnya kelahiran manusia. Namun dalam bab ini juga
dirasa perlu untuk menambahkan sekilas tentang moksa,
sebagai pelengkap penjelasan mengenai moksa tattwa ini.
Suardeyasa (2007) menyatakan bahwa moksa adalah
suatu istilah untuk menyebutkan atma manusia telah kembali
dan menjadi satu dengan Brahman atau Tuhan Yang Maha
Esa, di mana ia tidak mengalami kelahiran kembali, bebas
dari punarbhawa atau samsara serta mencapai kebahagiaan
tertinggi. Jiwatman dalam kehidupannya terlepas dari ikatan
keduniawian maka jiwatman tersebut menyatu dengan Tuhan,
akan tetapi sifat-sifat jiwatman-nya tidak menyatu seluruhnya.
Dalam Bhagavad gītā 2.70, menyebutkan:
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 81
dalam Slokantara
āpūryamāṇam acala pratiṣṭhaṁ samudram āpaḥ praviśanti
yadvat, tadvat kāmā yaṁ praviśanti sarve sa sāntim āpnoti na
kāma kāmī
Terjemahan:
Hanya orang yang tidak terganggu oleh arus keinginan yang
mengalir terus menerus yang masuk bagaikan sungai-sungai
ke dalam lautan, yang senantiasa diisi tetapi selalu tetap tenang,
dapat mencapai kedamaian. Bukan orang yang berusaha
memuaskan keinginan itu yang dapat mencapai kedamaian
(Pudja, 1999:75).
Moksa adalah tujuan akhir bagi penganut agama
Hindu, Swami Wiwekananda (dalam Maswinara, 1996:199)
mengatakan “atmano moksartham jagadhitaya ca iti
dharma” yang artinya, dharma bertujuan untuk memberikan
kesejahteraan jagad dan kebebasan kepada atman. Umat Hindu
menghendaki agar bisa hidup hanya sekali saja di dunia ini.
Mereka ingin lepas dari siklus perputaran Cakra Punarbhawa.
Dengan demikian dia dapat mengenyam kehidupan yang
abadi dengan kebahagiaan yang langgeng, hal ini hendaknya
dapat dibedakan antara sorga abadi dengan moksa. Sorga
abadi hanyalah kesenangan kama semata, sedangkan moksa
dalam Hindu kedamaian tiada batas, buka kesenangan tubuh.
Akan tetapi kedamaian yang dialami oleh atman baik dalam
hidup maupun setelah mati. Untuk dapat memahami secara
mendalam konsep moksa dalam Hindu sebagai berikut:
a. Jenis-jenis Moksa:
1) Samipya
Samipya adalah suatu kebebasan yang dapat
dicapai oleh seseorang semasa hidupnya di dunia ini.
Hal ini dapat dilakukan oleh para yogi dan oleh para
maharsi. Beliau dalam melakukan yoga samadhi telah
dapat melepaskan unsur-unsur maya, sehingga beliau
82 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
dapat mendengarkan sabda Tuhan. Dalam keadaan
yang demikian itu Atman berada sangat dekat sekali
dengan Tuhan. Setelah Beliau melakukan samadhi,
maka keadaan Beliau kembali sebagai biasa, di mana
emosi, pikiran, dan organ jasmaninya aktif kembali.
2) Sarupya (Sadharmanya)
Sarupya adalah suatu kebebasan yang didapat
oleh seseorang di dunia ini, karena kelahirannya, di
mana kedudukan Atman merupakan pancaran dari
kemahakuasaan Tuhan seperti halnya Sri Rama, Buddha,
dan Sri Kresna. Walaupun Atman telah mengambil
perwujudan tertentu, namun ia tidak terikat oleh segala
sesuatu yang ada di dunia ini.
3) Salokya
Salokya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai
oleh Atman di mana Atman itu sendiri telah berada
dalam posisi dan kesadaran yang sama dengan Tuhan.
Dalam keadaan itu dapat dikatakan bahwa Atman telah
mencapai tingkatan Dewa yang merupakan manifestasi
dari Tuhan itu sendiri.
4) Sayujya
Sayujya adalah suatu tingkat kebebasan yang
tertinggi, di mana Atman telah dapat bersatu dengan
Tuhan Yang Maha Esa. Dalam keadaan seperti inilah
sebutan Brahman Atman Aikyan muncul yang artinya
Atman dan Brahman sesungguhnya tunggal.
Istilah lain yang dipergunakan untuk mengkla-
rifikasikan tingkatan-tingkatan moksa itu yaitu Jiwa
mukti, wideha Mukti (karma mukti), dan purna mukti.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat berikut ini:
5) Jiwa Mukti
Jiwan mukti adalah suatu kebebasan yang didapat
oleh seseorang dalam hidupnya di dunia ini, di mana
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 83
dalam Slokantara
Atman tidak terpengaruh oleh indriya dan unsur-unsur
dari maya. Dengan demikian, jiwa mukti sama sifatnya
dengan Samipya dan Sarupa (Sadharmya).
6) Wideha Mukti (Karma mukti)
Wideha Mukti (Karma mukti) adalah suatu
kebebasan yang dapat dicapai semasa hidupnya, di
mana Atman telah meninggalkan badan kasar, tetapi
wasana dari unsur maya tidak kuat lagi mengikat Atman
itu. Dalam keadaan seperti itu kesadaran yang di capai
oleh Atman sudah setaraf dengan Tuhan, tetapi belum
dapat bersatu karena masih adanya imbasan dari unsur
maya. Dengan demikian, wideha (Karma Mukti) dapat
disamakan dengan salokya.
7) Purna Mukti
Purna mukti adalah kebebasan yang paling
sempurna dan yang tertinggi, di mana Atman telah
dapat bersatu dengan Tuhan. Dengan demikian Purna
mukti dapat disamakan dengan Sayujya.
b. Upaya Mencapai Moksa
Memperhatikan pengertian Moksa di atas hendaknya
disadari kehidupan atau perjalanan hidup ini pada
hakikatnya adalah perjalanan mencari Sang Hyang Widhi
(Tuhan Yang Maha Esa) dan bersatu dengannya. Tetapi
perjalanan ini penuh dengan rintangan-rintangan. Bagaikan
kita mengurangi samudra agar kita bisa selamat tiba di
tempat yang menjadi tujuan kita. Adapun yang dimaksud
dengan alat itu adalah dharma. Hanya dengan berbuat
dharma manusia akan dapat bersatu dengan Brahman.
Dalam Hindu disebutkan empat jalan untuk mencapai
kesempurnaan sebagai berikut:
1) Bhakti Marga
BhaktiYogaialahsuatuusahauntukmenghubungkan
diri dengan sang Hyang Widhi, Deva dan Bhatara
84 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara
dengan cara bersujud bakti, menyucikan pikiran,
mengagungkan kebesaran-Nya dan menghindarkan
diri dari perbuatan tercela. Di dalam bakti ini umat
Hindu membuat berbagai sarana sebagai media
untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Sarana-sarana
itu antara lain: Arca, pratima, murti puja, padmasana,
meru prasada, candi, pura, wali, upakara, upacara dan
lain-lain. Tentang bhakti di dalam Arjuna Wiwaha di
sebutkan:
Om sembahning ananta tinghalana de triloka sarana,
Wahya dhyatmika sembahning hulun I jong ta hana
waneh, Sanglwir agni sakeng tahen kadi minyak sakeng
dadhi kita, Sang saksat metu yan hana wwang amuter
tutur pinahayu.
Terjemahan:
Om, mohon disaksikan sembah sujud hamba oleh
pelindung ketiga dunia, lahir dan batin sembah hamba
kepada-Mu tiada lain, yang bagaikan api di dalam kayu,
bagaikan minyak di dalam susu, yang nyata-nyata
muncul bermanifestasi pada orang yang bhakti yang
tekun melaksanakan ajaran suci. Inilah jalan bhakti
yang dianjurkan oleh Hindu (Arjuna Wiwaha,10.1).
2) Karma Marga
Karma Marga atau Karma Yoga adalah suatu usaha
untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi,
Dewa dan Bhatara melalui kebajikan dan keikhlasan
untuk melakukan kerja demi terwujudnya Jagadhita
dan Moksa. Bekerja dengan tidak terikat oleh keinginan
dan nafsu serta tidak oleh pahala, sebab setiap
perbuatan yang baik akan menghasilkan pahala yang
baik pula. Kerja adalah suatu kewajiban bagi hidup
manusia. Tentang keikhlasan untuk bekerja, Bhagawad-
Nilai-nilai Pendidikan Hindu 85
dalam Slokantara
gita 4.19 menjelaskan ‘Yasya sarve samarambhah kama
samkalpa virjitah janagni dagdha karmanam tam
ahuh panditam budhah’. Terjemahannya yaitu orang
yang bekerja, bebas dari nafsu dan keinginan untuk
mendapatkan hasil yang karmanya telah dibakar oleh
api kebijaksanaan, dialah yang disebut arif bijaksana.
Bhagawad-gita 11.55 menjelaskan tentang karma,
‘Matkarmakrin mat paramo madbhaktah sangavar
jitah, nirvairah sarva bhutesu yah sa mam eti pandawa’.
Terjemahannya ialah orang yang bekerja untuk-Ku,
memakai Aku sebagai tujuan, dan sujud bhakti kepada-
Ku, terlepas dari ikatan duniawi dan tiada pernah
membenci makhluk apapun, dia akan mencapai Aku,
Oh Pandawa.
3) Jnana Marga
Jnana Marga atau Jnana Yoga ialah suatu usaha untuk
menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi, Dewa
dan Bhatara melalui kebijaksanaan filsafat yang disebut
Jnana. Tentang Jnana Marga ini, di dalam Bhagawad-
gita 5.20 disabdakan ‘Na prahrisyet priyam prapya no
dvijet prapya cha priyam sthira buddhir asammudho
Brahamavid Brahmani sthitah’. Terjemahannya adalah
orang yang bijaksana yang insyaf dengan wujud
Brahman selalu memadukan suksmanya dengan
Brahman, tetap berjiwa tenteram dan tidak terbuai
oleh kebodohan, tidak bergirang di kala senang dan
tidak bersedih di saat duka.
4) Yoga Marga
Yoga Marga atau Raja Yoga ialah suatu usaha untuk
menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi, Deva
dan Bhatara melalui Tapa, Yoga dan Samadhi. Tentang
Yoga Marga ini di dalam Bhagawad-gita 5.24 disebutkan
‘Yo ntahsukho’n tararamas tatha’ ntarjyotir evayah
sa yogi brahmanivanam brahmabhute’ dhigacchati’,
86 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara