The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Nilai-Nilai Pendidikan Hindu dalam Slokantara Ebook

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Jakad Media, 2020-11-24 22:07:38

Nilai-Nilai Pendidikan Hindu dalam Slokantara Ebook

Nilai-Nilai Pendidikan Hindu dalam Slokantara Ebook

1. Pataka, telah diuraikan di atas wadhyate,
2. Upapataka.

Ślokāntara, sloka 76 (70)
Gowadho yuwatīwadho bālawṛddhaśca
āgāradāhaśca tathā upapātakamucyate.

Kalinganya, nihan ulah nikang wwang ring Kali Yuga, go-
wadha ngaranya mamunuh lĕmbu, yuwatī-wadha ngaranya
mamatyani wong wadon, bāla-wadha ngaranya mamatyani rare
durung wruh ing hiḍĕp, wṛddha-wadha ngaranya mamatyani
wong huwus atuha tumakul, āgāra-dāha ngaranya angrañcab
andukeni, yeka upapātaka ngaranya, yan hanawwang
mangkana, tibā ring kawah, dadi hitip ning mahāniraya pada,
ling ning aji.

Terjemahan:

Membunuh sapi, membunuh wanita dan anak-anak atau
orang tua renta, dan membakar rumah, orang itu termasuk
golongan dosa upapataka.

Di bawah ini akan dinyatakan betapa dosa mereka yang
hidup di zaman Kali Yuga. Gowadha artinya membunuh sapi.
Yuwatiwadha artinya membunuh wanita muda. Bala-wadha
artinya membunuh anak-anak yang belum tahu apa-apa.
Wrddha-wadha artinya membunuh orang yang sudah tua renta.
Agara-daha artinya membakar rumah dengan penghuninya.
Ini semua dinamai dosa upapataka demikian. Orang berdosa
masuk neraka juga. Mereka menjadi penghuni neraka
Mahaniraya. Demikian ucap sastra (Sudharta, 2003:254).

3. Mahapataka

Ślokāntara, sloka 77 (71)

Brahmawadhaḥ surāpānam suwarṇasteyamewa ca,
kanyāwighnam gurorwadho Mahāpātakamucyate.

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 187
dalam Slokantara

Kalinganya, nihan ulah nikang wwang ring Kali Yuga,
brahma-wadha ngaranya amatyani sang Brāhmaṇa, surā-
pāna ngaranya akon anginuma sajöng ri sang bhujangga
śaiwasiddhānta, suwarṇa-steya ngaranya añolong mās,
kanyā-wighna ngaranya wananggama rara durung māsa
nika rowangĕn ing masanggama tĕhĕr agring, makādi
yan mati, yeka mamighnani kanyā, guru-wadha ngaranya
amateni guru, yeka mahāpātaka ngaranya, yan hana wwang
mangkana, tibā ring kawah, dadi hitip ning rorawa pada,
ling ning aji.

Terjemahan:

Membunuh brahmana, meminum-minuman keras,
mencuri emas, memperkosa gadis kecil, dan mem-
bunuh guru, ini semua dinamai dosa besar (mahapa-
taka).

Beginilah perbuatan dosa mereka yang menghuni
zaman Kali Yuga. Brahma-wadha artinya membunuh
orang brahmana, membunuh orang saleh penganut
Siwa Siddhanta. Surapana meminum-minuman keras.
Suwarnasteya artinya mencuri emas. Kanyawighna artinya
merusak gadis sebelum remaja, sebelum ia pantas diajak
bersenggama, sampai sakit atau mati. Inilah memperkosa
gadis. Guru-wadha artinya membunuh guru. Ini dinamai
dosa besar. Orang yang melakukan dosa-dosa ini masuk
neraka dan hidup bagai makhluk yang rendah di neraka
rauwana (Sudharta, 2003:255).

4. Atipataka

Ślokāntara, sloka 78 (72)

Swam putrīm bhajate yastu bhajate yastu mātaram,
yaścodgṛhnātti tallingāmatipātakam ucyate.

(Kalinganya, swaputri-bhajana ngaranya wwang arabi

188 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

anaknya, mātr-bhajana ngaranya wwang arabi ibunya,

lingga grahaṇa ngaranya wwang anāhasa andĕdĕl lingga,

arca, kabuyutan, angrusak umah ning Deva sang hyang,

sakalwiran ing angrusak lingga, arca, tinugĕl-tugĕlnya

makādi, yeka lingga-grahaṇa ngaranya, mangkana

pāmbĕkan ing janma wwang ring Kali Yuga, hetunya tan sama

lawan wwang ring Kṛta Traitā Dwāpara, pāmbĕkannya, yan

hana wwang manūt ing pracāra ning janma ring Kali Yuga,

atyanta ring kuhaka-buddhi, makangūni lingga grahaṇa,

yeka tibā ring kawah, dadi hitip ning mahārorawa pada,
inajarakĕn atipatāka ngaranya, ling sang hyang aji).

Terjemahan:

Ia yang memperkosa putrinya sendiri atau ibunya

sendiri atau memperkosa perempuan-perempuan

lain yang sama kedudukannya, yaitu wanita-wanita

anak misan atau bibi, maka ia telah melakukan dosa

terbesar.

(Swaputri-bhajana artinya memperkosa kehormatan putri
sendiri. Matr-bhajana artinya memperkosa kehormatan
ibu sendiri. Lingga-grahana artinya orang yang merusak
dan menghancurkan lingga (lambang Bhatara Siwa),
artinya arca pemujaan leluhur (pamerajan), atau tempat
pemujaan Tuhan. Pendeknya semua macam gerakan
yang dibawakan terhadap lingga atau arca, mulai dari
mematahkannya sampai menghancurkannya sama
sekali, tindakan ini dinamai lingga grahana. Demikianlah
tingkah laku orang-orang di zaman Kali Yuga. Karenanya
mereka itu tidak dapat disamakan dengan budi pekerti
orang-orang yang hidup di zaman Krta, Traita Yuga, atau
Dwapara Yuga. Jika ada orang-orang yang menuruti jejak
kejahatannya yang dilakukan oleh orang-orang di zaman
Kali Yuga, jika mereka keterlaluan melakukan kejahatan
itu, apalagi telah berani Lingga Grahana (merusak segala

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 189
dalam Slokantara

yang suci pemujaan Tuhan) mereka akan masuk neraka
maharorawa. Kejahatan-kejahatan ini dinamai dosa besar)
(Sudharta, 2003:255).

Dari penjelasan Ślokāntara di atas, pataka diklasifikasikan
menjadi empat, yaitu: 1) Pataka (dosa); 2) Upapataka (dosa
menengah); 3) Mahapataka (dosa besar), dan 4) Atipataka
(dosa terbesar). Dalam Ślokāntara tersebut telah dijelaskan
secara detail mengenai tindakan-tindakan pataka sesuai
dengan tingkatan pada masing-masing pataka tersebut.

Sebagaimana dipahami bersama bahwa pataka merupakan
perbuatan dosa yang seharusnya tidak pernah dilakukan oleh
manusia yang bercita-cita mulia. Sebab tindakan-tindakan
melanggar dharma, melanggar aturan kitab suci yang
mengakibatkan penderitaan.

Hal menarik yang perlu dikaji adalah bahwa manusia pada
dasarnya mengerti tentang apa yang disebut baik dan tidak baik,
yang mengakibatkan kedukaan ataupun tidak, yang merugikan
dan menguntungkan, tetapi mengapa manusia seakan sulit
untuk memastikan dirinya senantiasa sadar, sehingga tak
jarang terjerumus untuk melakukan tindakan-tindakan
yang melawan dharma itu sendiri. Apa yang menyebabkan?
Pertanyaan inilah yang diajukan oleh Arjuna kepada Sri Krsna
ketika berada di medan Kuruksetra saat terjadinya perang
Bharatayudha. Demikian yang ditanyakan Arjuna kepada Sri
Krsna (Bhagavad gītā 3.36):

Atha kena prayukto ‘yaṁ pāpam carati pūruṣah, anichann

api vārṣṅeya balād iva niyojitaḥ

Terjemahan:

Apa yang mendorong seseorang untuk melakukan
perbuatan yang berdosa, walaupun dia tidak menginginkan
demikian, seolah-olah dia dipaksakan untuk berbuat
begitu? (Prabhupada, 2006:200-201).

190 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Kemudian Sri Krsna menjawab pertanyaan Arjuna tersebut,
sebagai berikut (Bhagavad gītā 3.37-3.41):

Kāma eṣa krodha eṣa rajo-guṇa-samudbhavaḥ, mahāśano
mahā-pāpmā viddhy enam iha vairiṇam

Terjemahan:

Wahai Arjuna, hanya hawa nafsu (raja guna) saja; yang
dilahirkan dari hubungan dengan sifat nafsu material dan
kemudian diubah menjadi amarah, yang menjadi musuh
dunia ini. Musuh itu penuh dosa dan menelan segala
sesuatu (Prabhupada, 2006:201-202).

Dhumenāvriyate vahnir yathādarśo malena ca
yatholbenāvṛto garbhas tathā tenedam āvṛtam

Terjemahan:

Seperti halnya api ditutupi oleh asap, cermin ditutupi oleh
debu, atau janin ditutupi oleh kandungan, begitu pula
mahluk hidup ditutupi oleh berbagai tingkat hawa nafsu ini
(Prabhupada, 2006:203).

āvṛtaṁ jñānam etena jñānino nitya-vairiṇā kāma-rūpeṇa
kaunteya duṣpūreṇānalena ca

Terjemahan:

Seperti itulah kesadaran murni mahluk hidup yang
bijaksana ditutupi oleh musuhnya yang kekal dalam bentuk
nafsu, yang tidak pernah puas dan membakar bagaikan api
(Prabhupada, 2006:204).

Indriyāṇi mano buddhir asyādhiṣṭhānam ucyate, etair
vimohayaty eṣa jñānam āvṛtya dehinam

Terjemahan:

Indria-indria, pikiran dan kecerdasan adalah tempat
duduk hawa nafsu tersebut. Melalui indria-indria, pikiran

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 191
dalam Slokantara

dan kecerdasan hawa nafsu menutupi pengetahuan sejati
makhluk hidup dan membingungkannya (Prabhupada,
2006:205).

Demikian penjelasan Sri Krsna kepada Arjuna, yang intinya
dinyatakan bahwa perilaku-perilaku jahat disebabkan oleh nafsu
yang bersumber dari raja guna. Pengaruh nafsu dalam tindakan
manusia dikatakan sangat jahat yang sanggup mengharuskan dan
menelan segala sesuatu termasuk dharma itu sendiri, oleh sebab
itu nafsu adalah musuh dunia. Orang yang dikuasai hawa nafsu
bagaikan api yang ditutupi oleh asap, cermin yang tertutupi debu,
dan nafsulah yang menutupi kesadaran dan kebijaksanaan manusia.
Indriya, kecerdasan dan pikiran adalah kendaraan bagi nafsu.
Oleh sebab itu, Sri Krsna menyatakan kepada Arjuna, bagaimana
mengatasi nafsu tiada lain adalah dengan mengendalikan indria-
indria dalam diri dan menjadikan kitab suci sebagai pedoman
dalam setiap tindakan. Demikian yang disampaikan Sri Krsna
(Bhagavad gītā, 3.41 dan 16.24):

Tasmāt tvam indriyāṇy ādau niyamya bharatarṣabha,

pāpmānaṁ prajahi hy enaṁ jñāna-vijñāna-nāśanam

Terjemahan:

Wahai Arjuna, yang paling baik diantara para Bharata, karena
itu, pada awal sekali batasilah lambang dosa yang besar ini (
hawa nafsu ) dengan mengatur indria-indria, dan bunuhlah
pembinasa pengetahuan dan keinsafan diri ini (Prabhupada,
2006:206).

Tasmāc chāstraṁ pramāṇaṁ te kāryākārya-vyavasthitau,
jñātvā śāstra-vidhānoktaṁ karma kartum ihārhasi

Terjemahan:

Karena itu, seharusnya seseorang mengerti apa itu kewajiban
dan apa yang bukan kewajiban menurut peraturan kitab suci.
Dengan mengetahui aturan dan peraturan tersebut, hendaknya

192 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

ia bertindak dengan cara supaya berangsur-angsur dirinya
maju ke tingkat yang lebih tinggi (Prabhupada, 2006:760).

Dalam Sārasamuccaya 103 juga dijelaskan mengenai cara
untuk mengendalikan nafsu di dalam diri manusia agar tidak
menimbulkan perilaku-perilaku yang dapat menyebabkan pataka
(dosa), demikian dijelaskan:

Nityaṁ krodhāt tapo rakṣecchriyaṁ raksecca matsarāt vidyāṁ

mānāvamānābhyāmātmānam tu pramādatah

Terjemahan:

Ini yang harus diperhatikan baik-baik, tapa (pengendalian &
penyucian jiwa) itu hendaknya dipegang teguh, diselamatkan
dengan menggunakan punahnya/hilangnya nafsu murka,
kebahagiaan yang tinggi adalah lenyapnya kedengkian
penyelamatnya; maka sastra suci, binasanya angkara murka
serta lenyapnya kecongkakan merupakan penyelamatnya,
yang menjaga diri Anda adalah sikap tidak lalai atau waspada
yang merupakan upaya untuknya itu (Kajeng, 1999:85-86).

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 193
dalam Slokantara

194 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Nilai Pendidikan Upacara

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 195
dalam Slokantara

196 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

BAB V

NILAI PENDIDIKAN UPACARA

5.1. Dāna

Ślokāntara, sloka 19 (40)

Kiñcid yadyapi taddānam śraddhayā sahitam kṛtam,
mahāphalamawāpnoti nyagrodhāmkurabîjawat.

Kalinganya, ikang sang sādhujana, yan sira maweh puṇyadāna,
yadyapi akĕdika tuwi, paweh nira irikang dāna, magawe sukha
ning manah ikang dinānan, makakārana śuddha ning hati sang
maweh dāna, śuddha ngaranya hĕning, mamangguh ika phala
magöng sang maweh dāna, mapa ta pada nika, kadyangga
ning wiji ning waringin tunggal, mĕlĕjik ta ya wĕkasan,
iningu pwa yenupadita, ri wekasan sangśaya magöng, tĕhĕr
pinakapanghöban ing wwang, wenang ta yenungsiring janma
kaniṣṭha-madhyamottama, mangkana tang puṇyadāna yan
akĕdik, yan dinuluran manah śuddha, magöng phalanya de
bhaṭāra.

Terjemahan:

Walaupun dāna itu jumlahnya kecil dan tidak berarti,
tetapi jika diberikan dengan hati suci, akan membawa
kebaikan yang tidak terkira sebagai halnya sebuah biji
pohon beringin.

Meskipun dāna yang diberikan oleh seorang saleh itu kecil,
pasti akan menimbulkan kebahagiaan dihati penerima, jika
dāna ini disertai oleh ketulusan hati si penderma, maka
hasil yang diterima oleh si penderma itu akan tidak terkira
besarnya. Ini dapat diumpamakan dengan sebutir beringin,
yang jika sekali tumbuh, dirawat dan dipupuk dengan baik,

197

akhirnya akan bertambah besar. Dan ini akan merupakan
tempat berteduh bagi semua orang yang datang mencari
perlindungan, baik mereka itu kelahiran rendah, menengah,
atau tinggi. Demikianlah jika dāna kecil itu diberikan dengan
hati suci, Tuhan akan membalas dengan kebaikan yang tak ada
taranya (Sudharta, 2003:71-72).

Nilai pendidikan upacara yang dijelaskan dalam Ślokāntara
sloka 19 ini adalah tentang dāna. Kata dāna berasal dari bahasa
Sanskerta yang artinya adalah derma; penyuapan; suatu hadiah;
bekas roda/kereta dari gajah; pembagian; pemurnian (Surada,
2007:156). Sloka di atas menjelaskan bahwa dāna mampu
memberikan kebahagiaan baik bagi yang menerima maupun
bagi si penderma itu sendiri. Khususnya bagi si penderma, akan
mendapatkan kebaikan yang tiada tara dalam kehidupannya.
Demikian kata sastra agama.

Hal penting yang harus diupayakan ketika berderma (dāna)
adalah ketulusan hati, kesucian dan kemurnian hati, demikian
Ślokāntara menyatakan. Sebab kondisi bathin sangat menentukan
kualitas derma itu sendiri. Akan sangat tidak bermanfaat bila kita
memberikan dāna kepada seseorang bila dalam hati kita penuh
dengan penyesalan dan ketidakikhlasan. Bila demikian, maka
bukan banyak atau sedikitnya uang yang kita berikan, tapi setulus
apakah hati kita ketika berderma. Seperti yang dinyatakan dalam
Sārasamuccaya 207, sebagai berikut:

Ndātan pramāṇa kwehnya, yadyapin sakwehaning

drbyanikang wwang, puṇyākȇnanya, ndān yan agȇlȇh

buddhinya, kapalangalang tan tulus tyāga, tan paphala ika,

sangksepanya, ṣraddhaning manah prasiddha kāraṇaning

phala.

Terjemahan:

Bukanlah besar jumlahnya, biarpun semua miliknya
disedekahkan, namun jika keji budinya, bimbang tidak tulus

198 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

ikhlas, tidak berpahala itu; singkatnya kerelaan hatinya yang
sesungguhnya menentukan pahala itu (Kajeng, 1999:159).

Mengapa dāna atau derma itu penting dalam konteks keberaga-
maan Hindu dan Weda? Hal ini tiada lain adalah tindakan ber-dāna
atau berderma ini merupakan tindakan mulia yang memberikan
kebahagiaan bagi orang lain juga diri sendiri. Demikian juga
dalam Weda juga dinyatakan bahwa berderma (dāna) sungguh
dianjurkan dalam kehidupan ini. Berderma juga mencerminkan
tingginya pengetahuan seseorang. Dāna merupakan satu tindakan
dharma dan internalisasi nyata atas pengetahuan rohani. Demikian
dinyatakan dalam Sārasamuccaya 175-176:

Mangke māra de sang enak wruhnira, tar tinȇngȇtnira māsnira,
huripnira tuwi, yan pakaphalang kaparamārthan, wruh wi sira
ring niyataning pati mwang ri tan hana ning wastu langgȇng,

matangnyan lȇhȇng, ikang winaṣa makaphalang kapara
mārṭhan.

Terjemahan:

Maka tindakan orang yang tinggi pengetahuannya, tidak
sayang merelakan kekayaannya, nyawanya sekalipun, jika
untuk kesejahteraan umum; tahulah beliau akan maut pasti
datang dan tidak adanya sesuatu yang kekal; oleh karena itu
adalah lebih baik berkorban demi untuk kesejahteraan umum
(Kajeng, 1999:139).

Matangnya deyanikang wwang, haywa juga tȇngȇt, maweweha
gawaya dānapunya, mamuktya, apan tan henti ikang wibhawa,

yan tan henti ikang karmaphala humānakȇnya.

Terjemahan:

Sebab itu yang patut diperbuat, janganlah kikir, bersedekahlah,
kerjakan amal saleh, nikmatilah, karena kekayaan itu tidak
akan habis-habisnya, jika karmaphala yang mengadakannya
itu tidak putus (Kajeng, 1999:139).

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 199
dalam Slokantara

Dalam berderma atau ber-dāna, kitab suci memberikan aturan-
aturan yang hendaknya diperhatikan oleh si penderma, sebab hal
tersebut akan mempengaruhi kualitas dāna itu sendiri. Aturan
yang dimaksudkan meliputi lima (5) hal, yaitu: 1) Penerima dāna,
2) waktu ber-dāna, 3) Motivasi berdāna, 4) Sikap ber-dāna, dan 5)
Tingkatan dāna. Demikian yang dinyatakan oleh kitab suci:

1. Penerima

Sārasamuccaya 181

Samangkeng amuhara göngning dānaphala, pratyekanya,

desa, kāla, āgama, kṣetra, dṛbya, dātā, manah, hayun

ika kabeh, yatika amangun bhāraning dānaphala, desa

ngaraning bhūbhāga, anung rahaywa ṣucya tikang

bhūbhāga, deca pawehana, kala ngaraning śubhakāla,

nang uttarāyānādi, āgama ngaranya warah sang hyang

aji, anung tumasakakȇning warah sang hyang āgama,

tah kramanya, kṣetra ngaran sang wehana dāna, anung

sulaksana supātra ta sira, drbya ikang wastu dānākȇna,

anung uttama taya, dātā ngaran sang masung dāna, sang

yajamāna, craddā Iwā ta ya, makanimitta atiṣayaning

dānaphala, hetunyan panȇmung hayu.

Terjemahan:

Inilah yang menyebabkan besarnya pahala pemberian
(amal) perinciannya: deca, kala, agama, ksetra, drwya, data
manah; hendaknya kesemuanya itu dimuliakan, karena
itulah membuat pentingnya dānaphala; deca artinya:
bagian-bagian tanah; yang baik dan suci itulah patut
disedekahkan; kala adalah waktu yang bersedekah waktu
uttarayana (saat matahari berkisar ke utara); agama adalah
ajaran sastra suci, yang menerangkan dengan mendalam
tentang ajaran keagamaan; ksetra artinya orang yang
patut diberi sedekah, yang berkelakuan baik dan tidak
cacat dan sangat patut untuk menerima sedekah; drwya,

200 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

barang yang akan disedekahkan yang baik keadaannya;
data, artinya orang yang memberikan sedekah, atau sang
yajamana, orang yang melakukan upacara korban atas
biaya sendiri; manah artinya pikiran si pemberi sedekah/
korban yang mengandung keikhlasan dan kemurahan
yang menyebabkan dānaphala itu bertambah-tambah yang
mengakibatkan ia beroleh kebahagiaan (Kajeng, 1999:143-
144).

Sārasamuccaya 185

Haywa ta maweh dāna ring tan sajjana, haywa ta mucap
guna ing awakta, haywa tānaggap dānapuṇya sangkeng

tan saḍhu, haywa ta marāṣṛaya ring tan sajjana.

Terjemahan:

Janganlah memberikan sedekah kepada orang yang tidak
berpekerti luhur; janganlah menceritakan kebajikan itu
sendiri; janganlah menerima derma dari orang yang bukan
orang saleh; janganlah mencari perlindungan kepada orang
yang bepekerti licik/orang jahat (Kajeng, 1999:147).

Sārasamuccaya 187

Lwirning yukti ikang wehana dāna wwang cuddhācāra,
wwang daridra, tan panemu āhāra, wwang mara angȇgöng

harȇp kuning, ikang dāna ring wwang mangkana agöng
phalanika.

Terjemahan:

Orang yang patut diberikan derma/sedekah, ialah orang
yang berkelakuan baik, orang miskin, yang tidak beroleh
makanan, orang yang benar-benar mengharapkan bantuan,
pemberian derma/sedekah kepada orang yang sedemikian,
besar pahalanya (Kajeng, 1999:148)

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 201
dalam Slokantara

Sārasamuccaya 189

Kunȇng yan bapa ibunta sira maminta dāna, yadyan
huripta towi, sungakena juga ri sira, apan sira humana

kȇnika.

Terjemahan:
Maka jika ayah-bunda meminta suatu pemberian, meski
nyawa Anda sekalipun, persembahkan kepada beliau sebab
merekalah yang menjadikan Anda (Kajeng, 1999:149).

2. Waktu
Sārasamuccaya 182

Lawan ta maneh, ikang wwang mapuṇya sekul, ri kālaning
durbhikṣa, mwang hana ta mapunya mās, ri kālaning
subhiksa, ika ta kālih, paḍa ya ta rakweka munggu ing ruhur
ning swarga dlāha

Terjemahan:
Dan lagi orang yang menyedekahkan nasi pada waktu
paceklik, dan orang yang menyedekahkan emas pada
waktu subur makmur, keduanya itu, sama pahalanya, yaitu
sama-sama mendapat sorga kelak (Kajeng, 1999:144-145).

Sārasamuccaya 183

Nyang cubhakāla, pratyekanya, hana daksināyana
ngaranya, tambe sang yang ādityāngdul, hana

uttarāyana ngaranya, tambe sang hyang ādityangalor,
hana ṣaḍaṣitimukha ngaranya, somagraha, suryagraha,

wisuwakala kunang, ikang wastu dānākȇna ri kāla
samangkana, atisaya rakwa bhārani phalanika

Terjemahan:
Inilah perincian waktu yang baik: ada yang disebut
daksinayana, waktu matahari mulai berkisar ke arah

202 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

selatan; utarayana, waktu mulai matahari ke arah utara;
ada yang bernama saat menjelang sadaciti mukha; saat
gerhana bulan atau gerhana matahari; juga waktu baik
ketika matahari berada di khatulistiwa (wisuwakala);
sesuatu barang yang disedekahkan pada waktu itu, bukan
alang kepalang besar pahalanya (Kajeng, 1999:145).

Ślokāntara, Sloka 17 (2)

Tithau daśaguṇam dānam grahane śatamewa ca,
kanyāgate sahasrāṇi anantam yugāntakāle.

Kalinganya, yan purnama tilem, kāla sang sadhujana
mangahanākĕn puṇyadāna, tunggal mulih sapuluh ika de
bhaṭāra, kunang yan sandragrahana, sūryagrahana, kala
sang sādhu mangahanākĕn puṇyadāna, tunggal mulih
sātus ika de bhaṭāra, kunang yan kanyagatakāla, sang
sādhu manghanakĕn punyadāna, tunggal mulih sewu ika
de bhaṭāra, kunang yan sĕdĕng ing yugantakāla sang sādhu
mangahanākĕn punyadāna ika, tunggal mulih tanpa hingan
ika de bhaṭāra, kengĕtakna de sang mangusir kapradhānan
ika.

Terjemahan:

Dāna yang diberikan di bulan purnama dan bulan mati
itu menyebabkan sepuluh kali kebaikan yang diterima,
jika waktu gerhana, membawa pahala seratus kali, jika
di hari suci sraddha menjadi seribu kali lipat, dan jika
dilakukan di akhir yuga, pahala kebaikan akan tidak
terbatas.

Demikianlah, jika di waktu bulan purnama dan bulan mati
itu para dermawan memberi sedekah balasannya akan
diterima satu lawan sepuluh. Jika di waktu gerhana bulan
dan gerhana matahari para dermawan memberi dāna akan
dibalas seratus kali oleh Tuhan. Jika dāna diberikan pada

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 203
dalam Slokantara

hari-hari pemujaan arwah leluhur maka balasannya kepada
para dermawan itu akan berlipat seribu. Kalau di waktu
akhir yuga sang dermawan memberi dāna itu, maka dari
satu akan kembali dalam jumlah yang tak terhitung. Inilah
yang harus diingat oleh mereka yang ingin akan ketinggian
jiwa hidupnya (Sudharta, 2003:61-62).

3. Motivasi

Sārasamuccaya 188

Deyaning aweha dāna, haywa maprayojana pālȇman,
haywa dening wȇdi, haywa maphala pratyupakāra, haywa
ring bhandagina, mangkana deya sang dhārmika, maweha

mata sira, ndātan dāna ngaranika, weweh dȇmakan
pratyupakāra ngaranika.

Terjemahan:

Hendaknya orang memberikan sedekah, jangan disertai
tujuan akan pujian, jangan karena rasa takut, jangan
mengharapkan balasan, jangan kepada pemain sandiwara;
demikianlah caranya sang dharmika, jika memberi sedekah;
akan tetapi bukan sedekah namanya, jika diberikan dengan
mengharapkan balasan (Kajeng, 1999:148-149).

4. Sikap

Sārasamuccaya 223

Lawan waneh, wulat amanis, manah alȇba abȇting, wuwus
enak, sȇgȇh, yatika gawayakȇna, duluran Ikang dāna,
yathāyukti.

Terjemahan:

Dan lagi pandangan yang manis, hati yang lapang dan
senang gembira, kata-kata yang sedap menyenangkan
hati, tegur sapa yang ramah tamah, itulah hendaknya

204 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

diusahakan yang menyertai pemberian itu, sesuai dengan
kebiasaan, keadaan.

5. Tingkatan

Ślokāntara, sloka 21 (67)

Anandānam kaniṣṭam ca dhanadānam ca madhyamam,
uttamam kanyānam ca widyādānamanantakam.

Ikang aweh sĕkul, kaniṣṭhadāna ngaranya; ikang wwang
adāna mās manik, madhyama-dāna ngaranya. Muwah
ikang wwang aweh kanyā, uttamadāna ngaranya. Muwah
ikang wwang amarah marahi dharma aji śastrāgama,
manuduhakĕn hala hayu ning ulah, anantadāna ngaranya,
tan pahingan phala nika, ling sang hyang Āgamawidhi.

Terjemahan:

Pemberian berupa makanan itu mutunya terkecil,
pemberian berupa uang mutunya menengah dan
pemberian berupa gadis itulah yang dianggap
tertinggi. Tetapi di samping itu pemberian berupa
ilmu pengetahuan itu mengatasi semuanya dan
membawakan kebaikan besar.

Seseorang memberikan nasi, pemberian ini dianggap
terkecil. Ada orang memberikan emas dan batu permata,
ini dianggap pemberian tingkat menengah. Ada lagi orang
yang memberikan gadis guna dikawini. Ini dianggap
pemberian yang tertinggi.
Tetapi jika ada orang yang memberikan pelajaran dharma
dan inti sari kitab-kitab suci, serta memberitahukan
mana tindakan yang jahat dan mana yang baik, dianggap
pemberian yang tak terbatas tingginya. Pahalanya tak
terbatas juga.

Demikian kitab suci (Sudharta, 2003:77-78).

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 205
dalam Slokantara

Sārasamuccaya 209

Nya bheddaning dāna, yan inundang inārambha sang
brāhmana, inupakāra pinūjā saha pādyādi manggala,

wineh ta sira dāna, dāna mangkana kramanya, ya
ika uttamadāna ngaranya, uttamaphala ika, yapwan
pakahetu paminta ikang dāna, madhyamadāna ngaranika

madhyamaphala ika dlāha.

Terjemahan:

Inilah perbedaan/tingkatan dāna itu; jika seorang
brahmana diundang, dihantarkan untuk ke tempat suatu
peralatan, serta diperlukan secara baik-baik, dihormati
dengan air pembasuh kaki dan ucapan selamat bahagia,
lalu kepadanya dipersembahkan dāna, dāna yang demikian
disebut dāna utama, pahalanya pun bersifat utama; apabila
pemberian sesuatunya itu dilakukan karena permintaan,
hadiah itu disebut dāna madya, pahalanya pun tingkat
menengah kelak (Kajeng, 1999:160-161).

5.2. Yajna

Ślokāntara, Sloka 61 (78)

Lalātājjāyate wiprāḥ kṣatriyo bāhujastathā, urubhyām
jāyate waiśyaḥ śūdrastu pādajastatha.

Kalinganya, pat ikang janma ngaranya, mijil saking awak
Sanghyang Brahmā ngūni, inajarakĕn catur-warna ngaranya
ring loka, wiprā ngaranira sang brāhmaṇa, mijil saking lalāṭa
Bhaṭāra Brahmā, kārya nira mamūjā, mahoma, mayajña,
majapāmantrā-yogāsamādhi, mangawruhi sarwa-śāstra, sira
sthāna ning catur-Weda, sira wiśeṣa jāti. Kṣatriya ngaranira
ratu, mijil saking bāhu Sanghyang Brahmā, kārya nira wruh
ring ayuddha, ring sarwa-śāstra, wruh ring dhanuh, śtrī-
sampanna ya ta sira, wīryawān ing rāt, wiweka rumaksa ring

206 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

sang brāhmaṇa kārya nira, maweh dāna, rumakseng rāt, śūra
watĕk prang, masih ring kasyasih, ahalapi durjana, panghöban
ing sang sādhu. Kunang ikang waiśya, wwang thāni jātinya,
mĕtu saking pupu Sanghyang Brahmā ngūni, kārya nira
rumaksa ng lĕbu, magaga masawah-sawah, mananĕm-nanĕm
sakalwiran ing sarwa-wīja tinandur nira, amĕtwakĕn pangan
ing rāt, pinakahulun de sang kṣatriya. Muwah ikang śūdra,
baṇijakriya, mĕtu saking talarupakan suka Sanghyang Brahmā,
kraya-wikraya ga nya, kraya wikraya ngaranya madol atuhu
magadang alayar, mahutang mapihutang, mamarĕkakna
bhūṣaṇa, pinakahulun de sang kṣatriya, nahan prabheda ning
kārya ning catur janma, ikang kṣatriya, waiśya, śūdra, paḍa
bhakti matwang ring sang brāhmaṇa, pinakaguru katattwanira
de sang kṣatriya, waiśya, śūdra, kunang yan tan mengĕt ing
krama nira sowang-sowang, yeka jagat harohara ngaranya,
tan wring sor tan wring aruhu, acarub ngaranya, tatan asor
tatan aruhur, yeka çihna ning rāt sanghāra, samangkana tang
jagat kabalik, tan ana sānak kadang-warga, mwang paman
tuwwa (?), adyapi bapa ibu tan kinawĕdyanya, langghana ri
sang sinagguh atuha-tuha mwang guru, amatyani pinatyan
lawan sanaknya mwang paman tuwwa (?), yadyapi bapa pinaka
śatrunya, makweh prang, lĕbu mĕlĕk, hudan tan tumibā, tahun
tan dadi, gĕring urĕm uris gigil amöwĕh tamba tan mandi, cacab
magalak maling makweh, apan ikang rāt tan paratu, tanpa
bapa-ibu tan pakabuyutan tan pasanggar, tan apilih sing den
patyani, hana sang brāhmaṇa, minrang, sang paṇḍhita śaiwa
sogata ṛṣi pinrang pinatyan makahetu galaknya, makapangaya
yeka wininya, laṇḍapi sañjatanya, mawĕrĕ sadā buddhinya,
pĕngön bingung, kadyangga ning liman awĕrĕ ikang asārathi
tuwi tinujah denya, haywenucap ikang wwang lyan, makahetu
palingya ring halahayu, kadyangga ning iwak ing sāgara
padanya iwak pinanganya, mangkana swabhāwa ning wwang
ring Kali Yuga, padanya janma pinanganya wyaktinya pinatyan

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 207
dalam Slokantara

tinawan kinārya dagangan, dinol winĕlinya matangyan sang

wruh haywa sira tumūt ri buddhi ning wwang ring Kali Yuga.

Terjemahan:

Orang brahmana lahir dari kepala, ksatriya itu lahir dari

tangan, orang waisya lahir dari paha, dan sudra itu lahir

dari kaki brahmana.

Di zaman dahulu dikatakan bahwa keempat golongan
kasta itu lahir dari badan brahmana. Mereka itu dinamai
Catur Warna di dunia ini. Wipra artinya seorang
brahmana, ia dikatakan lahir dari kepala Bhatara Brahma
(Tuhan Yang Maha Pencipta Semesta Alam). Kewajiban
ialah bersembahyang, mengadakan persembahyangan
kepada Deva Api, mengadakan upacara-upacara korban,
menguncapkan mantra-mantra, duduk beryoga samadhi dan
mempelajari Kitab-kitab Suci Weda. Ksatriya artinya raja. Ia
dikatakan lahir dari lengan Bhatara Brahma. Kewajibannya
ialah ia harus mengetahui peraturan dan tehnik peperangan,
mengetahui semua isi kitab suci, harus unggul dalam
mempergunakan busur dan panah. Ia kaya, perwira dalam
segala lapangan. Kewajiban lainnya ia harus melindungi
para pendeta, memberikan dāna, melindungi seluruh dunia
(rakyat). Ia harus menjadi pahlawan dalam medan perang
dan penyayang pada yang lemah dan miskin. Ia menguasai
dan menundukkan semua orang jahat. Ia melindungi para
pertapa. Waisya adalah golongan orang petani. Ia dikatakan
lahir dari paha Bhatara Brahma. Kewajibannya ialah
melindungi ternak, memelihara, dan menyuburkan tanah
ladang atau sawah yang kering, menanam segala macam
bibit, memelihara, dan menghasilkan makanan untuk seluruh
dunia (masyarakat), dan menuruti petunjuk-petunjuk orang
ksatriya. Sudra kewajibannya ialah berdagang. Ia dikatakan
lahir dari kaki Bhatara Brahma. Pekerjaannya ialah kraya
wikarya yaitu berjual-beli dan mengembara membawa

208 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

dagangan dengan berlayar. Ia meminjam dan meminjam
uang, sewa-menyewakan perhiasan. Ia juga menuruti
petunjuk orang-orang ksatriya. Inilah perbedaan kewajiban
dari keempat golongan ini. Orang-orang ksatriya, waisya, dan
sudra harus menghormati orang brahmana, karena mereka
patut dijadikan guru para ksatriya, waisya, dan sudra. Jika
mereka tidak mau melakukan kewajiban-kewajiban yang
telah ditentukan untuknya itu, dunia akan hancur dan campur
aduk. Tidak akan ada perbedaan tinggi rendah. Inilah tanda
kehancuran dunia. Dunia akan berputar balik aturannya.
Tidak ada orang dianggap keluarga atau sanak saudara,
paman atau orang tua-tua. Walaupun ada ibu dan Bapak
tetapi mereka itu tidak ditakuti siapapun juga. Para orang tua
dan guru-guru akan tidak dihormati lagi. Mereka akan saling
bunuh melawan keluarga, paman dan para orang tua. Bapak
akan menjadi musuh. Peperangan akan berkecamuk dimana-
mana. Angin puyuh akan mengamuk. Hujan akan turun tidak
pada waktunya (tidak akan turun pada waktunya). Tanaman
palawija akan hampa. Wabah penyakit merajalela, penyakit
influensa dan desentri berjangkit. Obat-obatan tiada manjur.
Bermacam-macam golongan pencuri akan berkeliaran
dengan tak mengenal ampun. Karena negara akan tanpa raja,
tidak ada orang yang dianggap orang tua, atau leluhur. Tidak
ada tempat pemujaan Tuhan dan arwah leluhur (sanggar).
Pembunuhan akan terjadi di mana-mana. Para brahmana, rsi,
pengikut Siwa dan Buddha pun akan dibunuh juga. Mereka
akan dipancung karena kemarahan. Menganiaya, itulah
keberanian mereka. Senjata mereka selalu dipertajam. Tetapi
pikiran mereka tumpul selalu mabuk, lupa daratan, dan
bingung. Mereka akan bertindak sebagai gajah liar yang galak,
yang sampai menghancurkan pengendaranya yang diinjak-
injak. Semua akan saling tuduh, mengatakan orang lain, orang
baik atau orang jahat yang menjadi biang keladi kebingungan
pikirannya itu. Manusia dalam masyarakat itu akan berlaku

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 209
dalam Slokantara

sebagaimana ikan di laut, yang besar menelan yang kecil.
Demikianlah tingkah laku orang di zaman Kali Yuga. Mereka
itu saling telan saling memusnahkan. Di muka umum mereka
tidak segan membakar orang yang dapat ditangkapnya, atau
memperjual-belikan orang. Oleh karena itu orang berbudi
luhur, janganlah hendaknya menurutkan jalan pikiran orang-
orang jahat di zaman Kali Yuga itu (Sudharta, 2003:201-204).

Sloka di atas memang tidak secara spesifik menjelaskan atau
menekankan penjabarannya mengenai yajna, namun menyimak
secara lebih mendalam apa yang terdapat dalam sloka tersebut
di atas, terdapat pula nilai-nilai pendidikan ritual Hindu, yang
semestinya menjadi perhatian penting dan patut dikaji. Nilai-
nilai pendidikan ritual yang dimaksud, yaitu mengenai Yajna. Hal
tersebut terlihat ketika dalam sloka tersebut di atas menyinggung
mengenai upacara-upacara persembahan kepada para Dewa,
makna penghormatan terhadap orang tua dan guru. Atas dasar
inilah, disimpulkan bahwa sloka tersebut memiliki kandungan
nilai pendidikan ritual, yaitu yajna. Berikut ini akan dijelaskan
perihal mengenai yajna.

Yajna berarti pengorbanan atau memuja. Kata yajna berasal
dari bahasa Sanskerta dari urat kat ‘yaj’ yang berarti pemujaan;
memuja; mengorbankan; memberi (Surada, 2007:256). Dalam
Kitab Agastya Parwa, yajna digolongkan menjadi beberapa bagian,
adapun penjelasannya sebagai berikut:

Kunan ikan yajna lima praktekanya, lwirnya: deva yajna, rsi

yajna, pitra yajna, bhuta yajna, menusa yajna; nahan tan panca

yajna rin loka. Deva yajna naranya taila pwa krama ri bhatara

siwagni makagelaran in mandala rin bhatara, yeka deva yajna

naranya, rsi yajna naranya, kapujan san pandita mwan san

wruh ri kalinganin dadi wwan ya rsi yajna naranya. Pitra yajna

naranya tilemin bwat hyan siwasraddha, yeka pitra yajna

naranya. Bhuta yajna naranya tawur mwan kapujan in tuwuh

ada pamunwan kunda wulan makadi walikrama, ekadasa

210 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Devata mandala, ya bhuta yajna naranya. Aweh amanan rin

kramanya ya ta manusa yajna naranya; ika ta liman wiji i sden

nin lokacara manabhyasa ika makabheda lima.

Terjemahan:

Adapun yang disebut yajna lima bentuknya, yaitu deva yajna,
rsi yajna, pitra yajna, bhuta yajna, manusa yajna. Semuanya
disebut panca yajna. Deva yajna adalah upacara persembahan
kepada api suci Siva (Sivagni) dengan membuat mandala
yajna, rsi yajna adalah pemujaan kepada para pendeta dan
orang-orang yang memahami hakikat hidup, pitra yajna adalah
pemujaan kepada roh suci leluhur, bhuta yajna adalah tawur
dan upacara kepada tumbuh-tumbuhan, antara lain dalam
bentuk upacara walikrama dan Eka Dasa Rudra. Dan memberi
makanan kepada masyarakat itu disebut manusia yajna; itulah
disebut panca yajna, lima jumlahnya, pelaksanaannya berbeda
satu sama lain (Ngurah, dkk. 1999:154-155).

Dari penjelasan kitab Agastya Parwa tersebut, yajna
digolongkan menjadi lima bagian, yang kesemuanya dilaksanakan
secara berbeda-beda. Kelima bagian yajna itu disebut panca yajna.
Adapun bagian-bagian dari panca yajna tersebut adalah, Deva
Yajna, Rsi Yajna, Pitra Yajna, Bhuta Yajna, dan, Manusa Yajna.

Deva yajna, merupakan pemujaan (korban suci) sebagai
ungkapan syukur kepada Tuhan, karena Beliaulah sebagai sumber
segala eksistensi. Penjelasan tentang keberadaan dan kuasa Tuhan
tentang segenap eksistensi ini terdapat dalam kepustakaan Weda,
di antaranya adalah:

1. Atharva Weda X.8.1

Yo bhūtaṁ ca bhavyaṁ ca Sarvaṁ yaścādhitiṣṭhati

svaryasya ca kevalaṁ tasmai jyeṣṭhaya brahmaṇe namaḥ

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 211
dalam Slokantara

Terjemahan:

Kami memuja Tuhan Yang Maha Ada, yang menjadikan
segalanya yang ada di masa lalu, kini dan yang akan datang,
yang merupakan satu-satunya intisari kebahagiaan (Titib,
1996:v-vi).

2. Rg Weda X.121.3

Yaḥ prāṇato nimiṣato mahitvaika idrājā jagato babhūva,
ya īśe asya dvipadaścatuṣpadaḥ kasmai devāya haviṣā
vidhema

Terjemahan:

Ia Yang oleh keagungan kekuatan-Nya sebagai Satu-Satunya
Pengatur eksistensi makhluk hidup dan segala obyek tak
berjiwa di alam semesta, Ia yang adalah Raja tertinggi
dari yang berkaki dua dan empat, kepada-Nya, sumber
kebahagiaan yang suci, kami persembahkan doa kebaktian
kami dengan ketulusan hati (Titib, 1996:vii).

3. Yajur Weda XXXVI.3

Om bhūr bvaḥ svaḥ tat savitur vareṇyam, bhargo devasya
dhīmahi dhiyo yo naḥ pracodayāt

Terjemahan:

Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, sumber segala yang ada, luhur
dan maha mulia, pencipta alam semesta. Kami memuja
kemahamuliaan-Mu, anugerahkanlah kecerdasan dan budi
pekerti yang luhur kepada kami (Titib, 2003:51).

4. Bhagavad gītā 10.8

Ahaṁ sarvasya prabhavo mattaḥ sarvaṁ pravartate, iti
matvā bhajante māṁ budhā bhāva-samanvitāḥ

212 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Terjemahan:

Aku adalah sumber segala dunia rohani dan segala dunia
material. Segala sesuatu berasal dari-Ku. Orang yang
mengetahui kenyataan ini secara sempurna menekuni
bhakti kepada-Ku dan menyembah-Ku dengan sepenuh
hatinya (Prabhupada, 2006:511).

5. Katha Upanisad II. 2.15

Na tatra sūryo bhāti, na candra tārakaṁ nemā vidyuto
bhānti, kuto’yam agniḥ, tam eva bhāntam anubhāti sarvaṁ

tasya bhāsā sarvam idaṁ vibhāti

Terjemahan:

Matahari tidak bersinar di sana, demikian pula bulan dan
bintang-bintang, jadi dimanakah datangnya api? Semuanya
bersinar sesudah sinar-Nya. Seluruh dunia disinari oleh
sinar-Nya itu (Titib, 2003:19).

Sloka di atas menunjukkan bahwa Tuhan merupakan sumber
eksistensi, oleh sebab itu patut kiranya manusia sebagai ciptaan
Beliau, menyatakan rasa syukur dan bhakti. Seperti juga kita, akan
menyampaikan terima kasih kepada orang yang telah membantu
atau berbuat baik kepada kita. Logika inilah yang mendasari
pelaksanaan Deva yajna, karena Tuhan telah memberikan cinta
kasih , karunia yang tak ternilai dan kebaikan tiada henti.

Rsi yajna, merupakan bentuk korban suci dan penghormatan
kepada seorang guru kerohanian atas kemurahan Beliau
memberikan tuntunan dan pengertian dalam pengetahuan
kerohanian. Dalam tradisi Hindu, rsi dikategorikan sebagai orang
sadhu (orang suci), seperti juga muni, sadhu, svami, yogi, sanyasi,
acarya, upadhyaya, dan lain-lain. Seorang rsi adalah tokoh pemikir
dan ahli agama, ia juga seorang ‘jnanin’, filosuf dan pejuang dalam
bidang keagamaan. Ia adalah penyebar ajaran agama dan sekaligus
moralis, pendeknya guru dengan pelbagai sifat istimewanya
yang serba mulia. Ia rendah hati dan tahan uji, ia memiliki

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 213
dalam Slokantara

pandangan yang luas, dan mampu menatap masa depan, mampu
mengendalikan indriya-nya, suka melakukan tapa, brata, yoga,
samadhi, karena itu ia senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan
Yang Maha Esa (Titib, 2003:37).

Pentingnya keberadaan seorang rsi dalam tradisi Hindu
semakin dikukuhkan dalam kitab Manusmrti II.6, dinyatakan
bahwa untuk memahami dan menjalankan dharma, manusia
harus berpegang pada sumber-sumber dharma, yang salah satu
di antaranya adalah perilaku orang-orang suci (sadhu). Demikian
penjelasannya:

Vedo’khilo dharma mūlam smṛti śīle ca tad vidam ācāraśca iva

sadhunam ātmanas tuṣṭir eva ca

Terjemahan:

Weda adalah sumber dari segala dharma, yakni agama,
kemudian barulah smrti, di samping sila (kebiasaan atau
tingkah laku yang baik dari orang yang menghayati dan
mengajarkan Weda) dan kemudian acara yakni tradisi-tradisi
yang baik dari orang-orang suci (sadhu) atau masyarakat yang
diyakini baik, serta atmanastusti, yakni rasa puas diri yang
dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
(Suryanto, 2011:7).

Demikianlah penjelasan Manusmrti tentang pentingnya rsi
dalam tradisi Hindu. Rsi tidak hanya sebagai sumber keteladanan,
tetapi juga referensi penting dalam pemahaman dan penghayatan
nilai-nilai dharma. Dalam konteks inilah rsi yajna dilaksanakan.

Pitra Yajna, merupakan bentuk pemujaan kepada para leluhur.
Pitra Yajna, berasal dari bahasa Sanskerta, pitra dari urat kata
‘pitr’, artinya Ayah; orang tua; nenek moyang. Kata yajna berasal
dari bahasa Sanskerta dari urat kat ‘yaj’ yang berarti pemujaan;
memuja; mengorbankan; memberi (Surada, 2007: 212, 256).

Ajaran suci Weda di samping mengamanatkan untuk
memuja Tuhan Yang Maha Esa, para dewata, juga diamanatkan

214 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

untuk memuja leluhur, karena pada hakikatnya leluhur adalah
perwujudan atau pengejawantahan devata (Titib, 2003:225).
Hal tersebut dijelaskan dalam Taittiriya Upanisad I.11, yang
menyatakan sebagai berikut:

Matṛdevo bhava pitṛdevobhava ācāryadevo bhava atithidevo
bhava

Terjemahan:

Seorang ibu adalah deva, seorang bapak adalah deva, seorang
guru adalah juga deva dan para tamu pun adalah deva (Titib,
1996:74).

Dalam tradisi Hindu, leluhur (pitr) memiliki makna begitu
penting, bahkan bagi seorang tamu sekalipun. Hal tersebut kiranya
dapat dimengerti karena leluhur, ibu dan bapak telah begitu
banyak berperan dalam kehidupan kita. Beliau telah memberikan
segenap cinta kasih, bimbingan, nasehat, petunjuk, pendidikan,
perlindungan, dan sebagainya. Terlampau tak terhingga untuk
disebutkan satu demi satu. Kasih Beliau begitu tulus, murni dan
tak bersyarat. Bahkan cinta kasih Beliau, tak pernah berakhir
walau telah tiada di alam material ini. Para leluhur senantiasa
memberikan keberkahan dan bimbingan kepada segenap putra-
putranya. Hal ini dinyatakan dalam Rg Weda X.15.11, sebagai
berikut:

Āgniṣvāttāḥ pitara eha gacchata saḥ-sadaḥ sadata

supraṇītayaḥ, attā havīṁṣi prayatāni barhiṣiathā rayiṁ

sarvavīraṁ dadhātana

Terjemahan:

Wahai para leluhur (badan Anda) telah dilalap api, datanglah
kemari, silakan duduk pada tempat duduk yang telah disiapkan
masing-masing, Anda adalah pembimbing (kehidupan),
yang menikmati persembahan yang ditaburkan bertebaran,
kemudian Anda menganugerahkan kekayaan diikuti oleh
seluruh putra-putra yang kuat (Titib, 2003:229).

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 215
dalam Slokantara

Apa yang telah dinyatakan dalam RgWeda ini memberikan
pemahaman bahwa sesungguhnya, kasih, cinta dan kebaikan
para leluhur kepada keturunannya, tidak hanya terjadi ketika
masih hidup, melainkan juga tetap berlanjut hingga Beliau telah
meninggalkan dunia material ini. Peran Inilah yang dimaknai
dalam pelaksanaan pitra yajna dalam tradisi Hindu.

Bhuta Yajna, seperti dalam penjelasan kitab Agastya Parwa
dinyatakan sebagai upacara tawur dan upacara kepada tumbuh-
tumbuhan, seperti dalam upacara Walikrama dan Eka Dasa Rudra.
Bhuta Yajna berasal dari kata bhuta dan yajna. Bhuta artinya telah
lalu; lampau; anak laki-laki; Dewa Siwa; makhluk hidup; hantu,
unsur; dahulu; sejahtera. Sedangkan kata yajna berasal dari bahasa
Sanskerta dari urat kat “yaj” yang berarti pemujaan; memuja;
mengorbankan; memberi (Surada, 2007: 244, 256). Dalam Weda
Smrti I.6, dinyatakan:

Tatah swaaambhurbhagawan awyaktowyanjayannidam, maha

bhutadi wrttaujah predurasitta manudah

Terjemahan:
Kemudian dengan kekuatan tapa-Nya, Ia, Yang Maha Ada,
menciptakan ini, Maha Bhuta (Unsur alam semesta) dan
lainnya nyata terlihat melenyapkan kegelapan.

Kata ‘Bhuta’ sering dirangkaikan dengan kata ‘Kala’ yang
artinya waktu atau energi. Bhuta Kala artinya unsur alam
semesta dan kekuatannya. Upacara ini bertujuan untuk menjalin
hubungan yang harmonis dengan bhuta kala (energi alam)
dan memanfaatkan daya gunanya. Walaupun secara kenyataan
(sekala) upacara dan upakara ditujukan kepada bhuta kala, tetapi
yang akan memberikan anugerah adalah Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, sebagaimana disebutkan dalam Bhagavad gītā 7.22, sebagai
berikut:

Sa tayā sraddhayā yuktas tasyārādhanam īhate labhate ca

tataḥ kāmān mayaiva vihitān hi tān

216 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Terjemahan:

Diberkati dengan kepercayaan itu, dia mencari penyembahan
kepada itu, dan dari itu ia mendapatkan apa yang dicita-
citakannya, dan hasil mana adalah pemberian dari Aku sendiri
(Suarjaya, 2008:29).

Hakikat dari pelaksanaan bhuta yajna tiada lain adalah dalam
rangka menggapai keharmonisan dalam kehidupan di alam
semesta raya ini. Pemujaan terhadap unsur-unsur alam dimaknai
secara menghakikat sebagai jalinan harmoni, penghormatan,
pemujaan, karena telah sangat berarti bagi kelangsungan hidup
semua makhluk, termasuk manusia. Bentuk-bentuk lain dari
pelaksanaan bhuta yajna yang dapat dilakukan setiap hari adalah
dengan menjaga dan merawat dan memanfaatkan dengan sebaik
mungkin terhadap unsur-unsur alam (Panca mahabhuta yang
terdiri atas pertiwi (tanah); apah (air); teja (api); vayu (angin), ini,
ether atau akasa) dengan cara menjaga dan merawat kebersihan
tanah, air, udara, angin, yang lebih riil misalnya dengan jalan
menanam pohon, tidak merusak hutan, tidak merusak kesuburan
tanah, membuang sampah dan mengaturnya dengan baik sehingga
tidak menimbulkan pencemaran, tidak membakar hutan, menjaga
kebersihan sungai dengan tidak membuang sampah di sana, dan
sebagainya. Demikianlah makna dari pelaksanaan bhuta yajna.

Manusa Yajna, adalah yajna yang dilaksanakan kepada sesama
manusia. Kitab Agastya Parwa memberikan contoh pelaksanaan
manusa yajna ialah dengan jalan memberikan makan kepada
masyarakat.

Pelaksanaan manusa yajna juga dapat diartikan sebagai
pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual
terhadap seseorang sejak terbentuknya jasmani di dalam
kandungan (janin) sampai akhir hidupnya. Jenis-jenis upacara
manusa yajna yang sering dijumpai dalam pelaksanaan agama
Hindu di Indonesia, khususnya di Bali adalah:

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 217
dalam Slokantara

1. Upacara magedong-gedongan (Garbhadhana Samskara), yaitu
upacara ketika janin dalam kandungan berusia tujuh bulan.

2. Upacara kelahiran (Jatakarma Samskara), yaitu upacara yang
ditujukan kepada bayi yang baru lahir. Upacara ini mengandung
makna sebagai ucapan angayubagya atas kehadirannya di
dunia.

3. Upacara kepus puser, adalah upacara dilakukan pada saat
puser bayi lepas (Kepus).

4. Upacara 12 hari (Namadheya Samskara), yaitu upacara
setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan upacara yang disebut
“Ngelepas Hawon”. Sang anak biasanya baru diberi nama
(Namadheya), demikian pula sang catur sanak atau saudara
empat kita telah dilukat berganti nama di antaranya: Banaspati
Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan Prajapati.

5. Upacara tutug kambuhan (42 hari), upacara dilakukan ketika
bayi berumur 42 hari, dengan tujuan untuk membersihkan
lahir batin untuk bayi dan ibunya, dan untuk membebaskan si
bayi dari pengaruh negatif (mala).

6. Upacara bayi umur 3 bulan (Niskramana Samskara), yaitu
upacara penyucian yang dilakukan pada saat bayi berumur
105 hari.

7. Upacara satu Oton (Wetonan), yaitu upacara yang dilakukan
setelah bayi berumur 210 hari. Upacara ini bertujuan untuk
menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan
yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai
kehidupan yang lebih sempurna.

8. Upacara tumbuh gigi (Ngempugin), yaitu upacara yang
dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama. Upacara
ini bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan
baik.

9. Upacara tanggal gigi pertama (Makupak), yaitu upacara
mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu pengetahuan.

10. Upacara menginjak dewasa (Rajaswala), yaitu upacara yang
dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Upacara ini

218 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

bertujuan untuk memohon kehadapan Sanghyang Semara
Ratih agar diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan
bagi yang bersangkutan.
11. Upacara potong gigi (mepandes), yaitu upacara yang bertujuan
untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu yang ada pada dirinya.
12. Upacara perkawinan (Wiwaha), yaitu upacara persaksian ke
hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa
kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai
suami istri dapat dibenarkan dan segala akibat perbuatannya
menjadi tanggung jawab mereka bersama (Suarjaya, 2008:49-
76).

Sejalan dengan penjelasan di atas, Sivananda (2003:95-100)
menyatakan tentang sepuluh samksara, yaitu upacara-upacara
yang berkenaan dengan tahap kehidupan manusia. Kesepuluh
samskara yang dimaksud adalah:
1. Garbhadhana, yaitu menyucikan kegiatan penciptaan. Sang

suami berdoa dengan penuh semangat dari hati sanubarinya,
sambil membayangkan seorang anak. Ia mengulang-
ulang mantra-mantra suci selama upacara Ritu-Santi atau
perkawinan.
2. Pumsawana, yaitu upacara yang dilakukan pada bulan ketiga
bayi dalam kandungan; karena pada bulan itu lapisan makanan
(Anna-maya kosa) dan lapisan vital (Prana-maya kosa) dari si
anak dibentuk.
3. Simantonayana, yaitu upacara yang dilaksanakan pada saat
kandungan berumur tujuh bulan, dengan pengucapan mantra
Weda untuk melindungi sang ibu dari pengaruh jahat dan
memberikan kesehatan pada si anak.
4. Jatakarma, yaitu upacara kelahiran si anak. Sang ayah
menyambut anaknya yang baru lahir dan ia berdoa untuk umur
panjang si anak, kecerdasan dan kesejahteraannya.
5. Namakarana, yaitu upacara pemberian nama. Si anak yang
baru lahir diberi nama pada usia 10, 11 atau 12 hari dengan
penguncaran mantra Weda.

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 219
dalam Slokantara

6. Annaprasana, yaitu upacara ketika anak berusia 6 bulan, ketika
si anak diberikan makanan padat untuk pertama kalinya.

7. Cudakarana, yaitu upacara pencukuran rambut kepala
dilakukan pada tahun pertama atau ketiga. Karnawedha atau
upacara pelubangan daun telinga dilakukan pada tahun ke-5
atau ke-7 atau pada akhir tahun pertama dengan pelaksanaan
Cudakarana. Samskara lainnya adalah Widyarambha yaitu
mengajarkan aksara kepada si anak, yang juga dikenal
dengan nama Aksarabhyasa, yang berkenaan dengan tahapan
kehidupan si anak.

8. Upanayana, merupakan upacara yang sangat penting yang
menandai permulaan dari tahapan kehidupan selanjutnya,
yaitu tahapan remaja adalah Upanayana, yang merupakan
samskara yang sangat penting yang merupakan tonggak sejarah
dalam kehidupan si anak. Upacara ini merupakan kelahiran
spiritual atau kelahiran yang kedua. Kata upanayana artinya
mendekatkan, saat itu si anak didekatkan dengan guru-Nya
yaitu guru spiritual. Sang guru mengenakan benang suci yang
disebut Yajnopawita, dan mentahbiskannya dengan pemberian
mantra Gayatri, dan sebuah tongkat. Ini merupakan permulaan
dari Brahmacarya Asrama, saat ini si anak diperintahkan
untuk menjalani kehidupan membujang, dan mulai kehidupan
belajar. Pentahbisan ini membuatnya sebagai seorang dwija,
atau kelahiran kedua.

9. Samawartana, yaitu upacara yang menandakan sebagai
berakhirnya kehidupan sebagai pelajar, atau brahmacarya.
Murid telah menyelesaikan pelajaran Weda dan Wrata,
menghadiahi gurunya dengan sebuah hadiah dan mendapatkan
perkenan mandi secara formal yang menandakan penutupan
karier sebagai murid. Ia ke rumah dan melaksanakan
samawartana, atau upacara kembali pulang. Sekarang ia siap
untuk berumah tangga dan memasuki tahapan ke-2 atau
Grhastha Asrama, kehidupan sebagai kepala rumah tangga.

220 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

10. Wiwaha, yaitu perkawinan atau masuk ke dalam asrama
ke-2 dan kehidupan berumah tangga dimulai. Sekarang ia
berkewajiban sebagai orang dan membayar hutang spiritualnya
dengan upacara kurban dengan belajar dan berketurunan.

Sebagai mana dijelaskan dalam Weda, yajna merupakan perihal
yang sangat penting dalam siklus kesemestaan ini, selain memang
berarti bagi kepentingan manusia itu sendiri. Hal ini dijelaskan Sri
Krisna kepada Arjuna dalam Bhagavad gītā 3.10 dan 3.12, yang
menyatakan:

Saha-yajñāḥ prajāḥ sṛṣṭvā purovāca prajāpatiḥ, anena

prasaviṣyadhvam eṣa vo’stv iṣṭa-kāma-dhuk

Terjemahan:

Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan, Tuhan setelah
menciptakan manusia melalui yajna, berkata: dengan (cara
ini engkau akan berkembang, sebagaimana sapi perah yang
memenuhi keinginanmu (sendiri) (Pudja, 1999:84).

Iṣṭān bhogān hi vo devā dāsyante yajña-bhāvitāḥ, tair dattān

apradāyaibhyo yo bhuṅkte eva saḥ

Terjemahan:

Sesungguhnya keinginan untuk mendapat kesenangan
telah diberikan kepadamu oleh para Deva karena yajnamu,
sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa mem-
beri yajna sesungguhnya adalah pencuri (Pudja, 1999:86-86).

Penjelasan sloka di atas kiranya dapat dipahami bahwa, yajna
merupakan media kreasi Tuhan atas keberadaan semesta raya ini,
demikian juga pelaksanaan yajna akan menjadi sumber pencapaian
keinginan manusia. Artinya, hasrat manusia akan dapat terpenuhi
melalui pelaksanaan yajna itu sendiri. Berbicara mengenai yajna,
berarti membahas mengenai siklus kehidupan alam semesta, dan
bagi siapapun yang tidak berada dalam sikluk ini, sesungguhnya ia
telah sedang melanggar hukum alam yang telah ditetapkan.

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 221
dalam Slokantara

222 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Makna Nilai Pendidikan Hindu
dalam Teks Slokantara Bagi Kehidupan

Masyarakat Kontemporer

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 223
dalam Slokantara

224 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

BAB VI

MAKNA NILAI PENDIDIKAN HINDU DALAM TEKS
ŚLOKĀNTARA BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT
KONTEMPORER

6.1. Makna Religius
Religius merupakan hal yang bersifat religi, bersifat keagamaan,

bersangkutpautdenganreligi.Religisendiribermaknakepercayaan
kepada Tuhan, kepercayaan akan adanya kekuatan adi kodrati di
atas manusia atau yang bersifat agama, demikian Kamus Bebas
Bahasa Indonesia mendefinisikannya (KBBI, 2008:1159).

Pada dasarnya kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam
sastra adalah suatu keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan sastra
tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Pada awal mulanya
segala sastra adalah religius. Religiusitas menurut Mangunwijaya
adalah aspek lubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas
kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian religius bersifat
mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak
formal dan resmi (Mangunwijaya, 1982:11-12).

Ślokāntara sebagai salah satu teks keagamaan Hindu
merupakan media strategis dalam rangka transformasi dan
internalisasi nilai-nilai religius kepada masyarakat penikmatnya.
Tebaran nilai edukasi dalam teks Ślokāntara (tattwa, susila,
upacara) tidak hanya berhenti pada pemahaman secara kognitif,
tetapi juga menstimulasi hadirnya imajinasi religius.

Untuk memperjelas penjelasan ini, akan di analisa satu contoh
nilai pendidikan tattwa (widdhi tattwa) dalam Teks Ślokāntara
yang menghadirkan imajinasi religius (makna religius) dalam
sloka 79 dan 80, sebagai berikut:

225

Ślokāntara, sloka 79 (46)
Doṣo’pyasti guna’pyasti nirdoṣa jayate, kardamādiwa
padmasya nāle doṣo’sti kaṇṭakaiḥ.

Kalinganya, ikang dadi wwang ngaranya, tan hana luputa ring
doṣa, yāwat ikang wwang inalĕma guṇa dening loka, hana ika
calanya, dening padanya wwang, yadyan sugiha, pira wruhanya
mangaji, pira lituhayuhan ing rūpanya, yayanika cinalan dening
paḍanya janma, sangkṣepanya, tan hana juga manulus, tan
pacalaha, kadyangga nikang kĕmbang padma, inucap pawitra
tĕmĕn ika, arah aparan tan yan cinalan, agatĕl ling nikang loka.

Terjemahan:

Ada kebaikannya ada pula keburukannya, tidak ada
manusia dilahirkan yang bebas dari kesalahan. Bunga
seroja itu tumbuh dari lumpur dan tangkainya bersalah
karena mempunyai bulu halus menggatalkan.

Tak ada orang yang luput dari kesalahan. Walaupun dia
itu dipuji atau dikagumi oleh rakyat, tetapi ia juga punya
kelemahan, justru karena ia manusia. Walaupun orang itu kaya
raya, pandai dalam segala ilmu, dan walau bagaimana cantik
rupanya, namun demikian dengan lahirnya sebagai manusia,
ia tidak luput dari kesalahan. Hal ini dapat disamakan dengan
bunga seroja yang sudah terkenal kesuciannya. Apakah
kekurangan atau kesalahannya? Tangkainya menyebabkan
gatal! Masyarakat umum mengatakan demikian (Sudharta,
2003:261-262).

Ślokāntara, sloka 80 (47)

Ambbhojam kantakātyam, sahimahimagiriś candānaḥ
saparjuṣṭaḥ, sūryatīkanaḥ śaśangkaḥ śaśamalinatanuḥ,
sāgaras tiktatoyaḥ, wiṣṇurgopah, surendraścapalatara-
gatiḥ, śangkaro nīla kaṇṭaḥ, ete sarwe sadoṣāḥ, kimuta
bhuwi janā doṣawanto bhawanti.

226 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

Kalinganya, tan hana juga tan pacala. Pūrwa nikang śabda
inicapakĕn. Tunjung arwi cala nika. Ikang gunungatis dening
hima calanya. Ikang kayu cendāna, mesi ulā kuwungnya calanika,
Sanghyang wulan makatalutuh wungkukan calanira. Ikang
sāgara apahit bañunya calanika. Sanghyang Āditya mapanes
teja nira pinacala ring sira. Bhaṭāra Wiṣṅu angon lĕmbu calanira.
Sanghyang Indra capala dahat calanira. Bhaṭāra Śangkara
ahirĕng gulu nira dening wiṣakālakūṭa calanira. Sangkṣepanya,
tan hana tan pacala ngaran ika. Saniṣṭanya hyang Deva tuwi
hana cala rumakĕt ing sira. Kimuta, sampun karuhun ikang
janma wwang. Tan hana wastu tan pacala. Anghing makĕdik
lawan akweh prabedanya. Kunang kadeyakna de sang sādhujana
kabeh, prihĕn akeng doṣa akĕdik. Ling sanghyang aji.

Terjemahan:

Bunga seroja mempunyai tangkai berbulu menggatalkan,
gunung Himalaya penuh ditutupi salju, pohon cendāna
digemari ular, matahari itu panas, bulan itu dinodai
oleh bentuk kelinci, Samudra berair asin, Deva Wisnu
menggembala sapi, raja Deva-Deva (indra) imannya
kurang teguh, kerongkongan Deva Siwa berwarna
hitam. Semuanya mempunyai kekurangan atau
ketidaksempurnaan. Lalu apa jika manusia di dunia ini
kadang-kadang tak luput dari kesalahan?

Tidak ada yang sempurna! Ini sudah kita tegakkan di sloka
yang terdahulu. Bulu-bulu halus itu merupakan cacat bagi
bunga seroja. Kesalahan Gunung Himalaya karena dingin
disebabkan oleh saljunya. Lubang-lubang pohon cendāna yang
harum itu penuh dengan ular. Bulan itu dinodai oleh bentuk
perempuan tua bungkuk. Air asin adalah kesalahan samudra.
Sinar surya itu terlalu panas. Deva Wisnu cacatnya ialah
karena ia menggembala sapi. Deva Indra itu tidak teguh iman.
Kerongkongan Deva Siwa itu hitam karena racun Kalakuta.
Inilah kekurangan-kekurangan mereka. Pendeknya, tidak ada

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 227
dalam Slokantara

yang luput dari kekurangan-kekurangan di dunia ini. Deva-
Deva pun mempunyai cacat dan kekurangan-kekurangannya.
Jika Deva-Deva itu mempunyai kekurangan-kekurangan,
apalagi manusia. Tidak ada suatu benda pun bebas dari

kekurangan atau cacat. Perbedaan terletak pada jumlah,
apakah banyak atau sedikit. Orang-orang baik harus berusaha
untuk mengurangi sesedikit mungkin kesalahan-kesalahan
atau cacat itu. Demikianlah telah ditentukan dalam kitab suci
(Sudharta, 2003:263-264).

Kedua sloka tersebut menjelaskan kepada kita bahwa

setiap manusia memiliki keterbatasan, bahkan juga dinyatakan

bahwa keterbatasan itu berlaku bagi Dewa sekalipun. Dari

segala keterbatasan, kekurangan, kelemahan, dan sebagainya,

setiap manusia tersadarkan bahwa ia bukanlah kesempurnaan

itu, tetapi justru sebaliknya. Dari kesadaran dan pengakuan itu

kemudian menumbuhkan rasa “kerendahan hati” untuk mengakui

ketidaksempurnaan dirinya.

Keterbatasan itulah yang kemudian memicu manusia untuk

mengetahui dirinya dan segala eksistensi, yang menurut Tafsir
(2009:5) rasa ingin tahu itu adalah built-in dalam penciptaan
manusia atau dapat dikatakan sebagai takdir. Oleh sebab itu,
Aristoteles ketika mengawali metafisikanya mengatakan bahwa
setiap manusia dari kodratnya ingin tahu (Hadi, 1994:13).

Menurut Plato (Hadi, 1994:14) Filsafat mulai dengan rasa
kagum. Lebih jauh dikatakan bahwa tidak ada seorang pun yang
dapat berfilsafat kalau dia tidak bisa kagum. Rasa kagum yang
dibicarakan di sini tidak boleh disamakan dengan ‘keingin-tahuan’
dalam pengertian umum. Rasa kagum ini juga tidak bisa disamakan

dengan kepanikan orang yang bingung sewaktu melihat suatu
mesin canggih. Rasa kagum filosofis terutama bukanlah kekaguman
terhadap hal yang canggih dan rumit, tetapi terhadap sesuatu yang

sederhana, yang tampak jelas di dalam pengalaman harian. Justru

hal yang biasalah yang paling sulit dilukiskan. Di dalam khazanah
kehidupan biasa dan harianlah bahwa pertanyaan-pertanyaan

228 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

filosofis muncul dan terus hadir. Seorang yang berfilsafat dapat

diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah
ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam

kesemestaan galaksi. Atau seseorang yang berdiri dipuncak bukit

tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin

menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya.
Oleh sebab itu Socrates pernah berkata dalam filsafatnya dengan
mengatakan bahwa ‘saya tidak tahu apa-apa’. (Suriasumantri,
1987:20).

Kekaguman manusia pada keteraturan alam semesta dan

misteri tentang dirinya tak terbendung. Kekaguman dan misteri itu

tidak dapat dipuaskan dengan jawaban yang bersifat materialistik

semata. Kekaguman dan misteri seperti itu telah menumbuhkan
sejumlah argumen tentang adanya Tuhan dalam sejarah filsafat.
Bahkan ada yang menyebut, para filosuf itu sesungguhnya adalah

para pencari Tuhan. Bacon dengan cerdas mengungkapkan
‘Little philosophy inclineth men’s mind to atheism, but depth
in philosophy bringeth men’s mind about to religion’ (Santeri,
2000:16).

Kekaguman dan misteri itu pulalah yang membuat seorang suci
seperti M.K. Gandhi meyakini, Tuhan-lah Sang Maha Pengatur alam
semesta itu. Bagi Gandhi, Tuhan adalah kebenaran (Truth is God).

Tuhan adalah hidup, kebenaran cahaya. Dia adalah kasih sayang.
Dia adalah Sang Maha Baik. Mahatma Gandhi juga yakin Tuhan

bersemayam dalam diri manusia. Orang ingin menguji tentang

fakta adanya Tuhan dalam dirinya sendiri, dapat melakukannya

dengan iman yang hidup. Dan karena iman itu sendiri tak dapat

dibuktikan dengan bukti lahiriah, maka jalan yang paling aman

adalah percaya pada pengaturan dunia berdasarkan moralitas,

dengan kata lain percaya pada keunggulan hukum moral, yakni
hukum kebenaran dan kasih sayang (Gandhi, 1996:23).

Senada dengan Mahatma Gandhi, pemikir Hindu abad ke-19,
Swami Vivekananda, dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan

adalah jiwa dan Dia harus disembah dalam jiwa dan dalam

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 229
dalam Slokantara

kebenaran. ‘God is spirit and He should be worshipped in spirit
and in truth’, ujarnya. Bagi Vivekananda, kita ini sesungguhnya

adalah jiwa yang sama. Tetapi kita tidak menyadarinya karena kita

selalu menganggap diri kita adalah badan ini. Badan inilah yang
membuat kita merasa berbeda-beda, ‘Forget the body, and all is
spirit’. (Santeri, 2000:16).

Kiranya dapat dimengerti bahwa nilai-nilai pendidikan Hindu
(Widdhi Tattwa) yang terdapat dalam teks Ślokāntara di atas

mampu menstimulasi pikiran manusia untuk menghadirkan
perasaan-perasaan religius tentang yang Adi Kodrati, Hyang Widhi

Wasa sebagai sumber dari segala yang ada dan tempat kita kembali.
Demikian juga dengan relasi nilai pendidikan Hindu terkait

dengan sikap atau perilaku (nilai pendidikan susila Hindu)
dengan religiusitas. Dalam pandangan Hindu, setiap tindakan

manusia memiliki orientasi yang jelas, yaitu bermuara pada tujuan

kesempurnaan hidup atau pembebasan dari lingkaran penderitaan
hidup (moksa). Hal ini menjadi sangat berbeda dengan orientasi

tindakan pada keyakinan yang lain. Bila keyakinan lain bermuara
pada Svarga (sorga), Hindu tidak demikian. Sebab, svarga belum

menawarkan adanya pembebasan.
Hindu menjelaskan tentang kesadaran tindakan (pekerjaan),

yaitu: pertama, kesadaran bahwa bertindak, berbuat atau bekerja
(karma) merupakan kewajiban. Karma itu bersifat mengikat.

Tiada seorangpun yang dapat terlepas dari hukum tindakan itu.

Karenanya, setiap insan hendaklah dan pasti bertindak dalam
hidupnya. Kedua, bertindak (karma) merupakan jalan mencapai
pembebasan diri dari belenggu kesengsaraan. Hal ini semakin

menegaskan hal yang pertama, bahwa bertindak merupakan

sebuah keharusan dan kebutuhan. Ketiga, bekerja sesuai
kewajiban. Bentuk-bentuk tindakan merupakan refleksi dari

sebuah kewajiban diri. Maksudnya, kita hendaknya memahami

tugas dan kewajiban, apa yang harus kita lakukan dan apa yang

tidak, apakah itu kewajiban kita atau bukan. Oleh sebab itu, hal

pertama yang mesti kita lalukan adalah perihal orientasi dan

230 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

identifikasi diri. Siapakah saya, dan apa tugas dan kewajiban
yang mesti saya lakukan. Weda menjelaskan bahwa melakukan
kewajiban sendiri itu jauh lebih mulia walau kurang sempurna,
dari pada mengerjakan tugas orang lain walaupun itu sempurna.
Kesadaran keempat, yaitu memastikan bahwa setiap tindakan
kita adalah tindakan-tindakan yang bernilai, tentang kebajikan.
Sebab ini merupakan bagian dari dharma manusia. Ini adalah
titah manusia. Keluar dari frame ini berarti kita telah sedang
melanggar dharma, dan hal tersebut menjadi bias dengan
semangat awal tentang moksa atau pembebasan. Kelima, yaitu
kesadaran bertindak semata-mata sebagai persembahan kepada
Tuhan, Hyang Widdhi. Yang terakhir, kesadaran keenam adalah
kemampuan untuk melepaskan atau membebaskan ikatan hasil
tindakan. Sebab dengan demikian, kita akan terbebas dari ikatan
karma itu, yang kemudian akan mengantarkan pada pembebasan
diri (moksa).

Berikut ini adalah penjelasan dari kitab suci tentang keenam
kesadaran tindakan di atas, sebagai berikut:

1. Kesadaran Pertama

na hi kaścit kṣaṇam api jātu tiṣṭhaty akarma-kṛt, kāryate hy
avaśaḥ karma sarvaḥ prakṛti-jair guṇaiḥ

Terjemahan:

Walaupun untuk sesaat tak seorangpun mampu untuk
tidak berbuat, karena setiap manusia dibuat tak berdaya
oleh hukum alam, yang memaksanya bertindak (Bhagavad
gītā III.5).

2. Kesadaran Kedua

na karmaṇam anārambhān naiṣkarmyaṁ puruṣo’śnute, na
ca sannyasanād eva siddhiṁ samadhigacchati

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 231
dalam Slokantara

Terjemahan:

Tanpa kerja orang tak akan mencapai kebebasan,
demikian juga ia tak akan mencapai kesempurnaan karena
menghindari kerja (Bhagavad gītā III.4).

3. Kesadaran Ketiga

niyataṁ kuru karma tvaṁ karma jyāyo hy akarmaṇaḥ,
śarīra-yātrāpi ca te na prasiddhyed akarmaṇaḥ

Terjemahan:

Bekerjalah seperti yang telah ditentukan, sebab berbuat
lebih baik dari pada tidak berbuat, dan bahkan tubuh pun
tak akan berhasil terpelihara tanpa berkarya (Bhagavad
gītā III.8).

4. Kesadaran Keempat

Mānusah sarvabhūteṣu vartate vai ṣubhāsubhe, Aśubheṣu
samaviṣṭam śubhesvevāvakārayet

Terjemahan:

Di antara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan
menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan
perbuatan baik ataupun buruk; leburlah ke dalam
perbuatan baik segala perbuatan buruk itu; demikianlah
gunanya menjadi manusia (Sārasamuccaya 2).

5. Kesadaran Kelima

mayi sarvāṇi karmāṇi sannyasyādhyātma-cetasā, nirāśīr
nirmamo bhūtvā yudhyasva vigata-jvaraḥ

Terjemahan:

Pasrahkanlah semua kegiatan kerjamu itu kepada-KU,
dengan pikiran terpusat pada sang atman, bebas dari nafsu
keinginan dan ke-aku-an, berperanglah, enyahkanlah rasa
gentarmu (Bhagavad gītā III. 30).

232 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

yat karoṣi yad aśnāsi yaj juhoṣi dadāsi yat, yat tapasyasi
kaunteya tat kuruṣva mad-arpaṇam

Terjemahan:

Apapun yang engkau lakukan, apapun yang engkau makan,
apapun yang engkau persembahkan atau berikan sebagai
sumbangan serta pertapaan dan apapun yang engkau
lakukan-lakukanlah kegiatan itu sebagai persembahan
kepada-Ku, wahai putera Kunti (Bhagavad gītā IX.27).

6. Kesadaran Keenam

tasmād asaktaḥ satataṁ, kāryaṁ karma samācara asakto
hy ācaran karma param āpnoti pūruṣaḥ

Terjemahan:

Oleh karena itu, laksanakanlah segala kerja sebagai
kewajiban tanpa terikat (pada akibatnya), sebab dengan
melakukan kegiatan kerja yang bebas dari keterikatan,
orang itu sesungguhnya akan mencapai yang utama
(Bhagavad gītā III.19).

śubhāśubha-phalair evaṁ, mokṣyase karma-bandhanaiḥ,
sannyāsa-yoga-yuktātmā, vimukto mam upaiṣyasi

Terjemahan:

Dengan cara seperti ini engkau akan dibebaskan dari ikatan
terhadap pekerjaan serta hasil yang menguntungkan dan
tidak menguntungkan dari pekerjaan itu. Dengan pikiran
dipusatkan kepada-Ku dalam prinsip pelepasan ikatan ini,
engkau akan mencapai pembebasan dan datang kepada-Ku
(Bhagavad gītā IX.28).

Tindakan (nilai-nilai pendidikan susila) dalam pandangan
Hindu tidak hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat
duniawi, materi, fisik, tetapi jauh melampaui itu semua, yaitu
spiritual, metafisika, religius. Semua tindakan mengerucut pada

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 233
dalam Slokantara

sebuah obsesi tentang kebebasan, penyatuan dan Tuhan. Dengan
demikian, nilai-nilai pendidikan Hindu jelas berorientasi religius,

dan bukan yang lain. Dengan demikian menjadi sinergi dengan asa
manusia Hindu tentang kebebasan dan penyatuan (moksa).

6.2. Makna Sosial
Sosial artinya yang berkenaan dengan masyarakat (KBBI,

2008:1331). Pertanyaan selanjutnya adalah, siapakah masyarakat

itu? Pertanyaan ini menjadi penting dengan maksud agar kita

memiliki pemahaman yang menyerupai. Dengan demikian akan

lebih mudah untuk mencari benang merah dalam konteks relasi
nilai pendidikan Hindu yang ada dalam teks Ślokāntara dengan
masyarakat. Sehingga pada muaranya akan menampakkan

kebermaknaan atau tidaknya relasi keduanya.
Beberapa Sarjana telah mencoba untuk memberikan definisi

masyarakat (society) seperti berikut ini:
1. Maclver dan Page mengatakan bahwa, ‘masyarakat ialah

suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang

dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan,
dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan

manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan

masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial.
Dan masyarakat selalu berubah’.
2. Ralph Linton berpendapat, ‘masyarakat merupakan setiap

kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup

lama sehingga mereka dapat mengatur siri mereka dan

menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan
batas-batas yang dirumuskan dengan jelas’.
3. Selo Soemardjan menyatakan bahwa, ‘masyarakat adalah
orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan
kebudayaan’.

Walaupun definisi dari sarjana-sarjana tersebut berlainan,

pada dasarnya isinya sama, yaitu masyarakat yang mencakup
beberapa unsur berikut:

234 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara

1. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama. Di dalam
ilmu sosial tidak ada ukuran mutlak ataupun angka pasti untuk

menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada. Akan

tetapi, secara teoretis angka minimnya adalah dua orang yang

hidup bersama.
2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari

manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati
seperti umpamanya kursi, meja dan sebagainya. Karena dengan
berkumpulnya manusia, maka akan timbul manusia-manusia
baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa dan
mengerti; mereka juga mempunyai keinginan-keinginan untuk
menyampaikan kesan-kesan atau perasaan-perasaannya.
Sebagai akibat hidup bersama itu, timbullah sistem komunikasi
dan timbullah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan
antar manusia dalam kelompok tersebut.
3. Mereka sadar bahwa merupakan suatu kesatuan.
4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem
kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan karena setiap

anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan lainnya
(Soekanto, 2009:22).

Manusia senantiasa mempunyai naluri yang kuat untuk

hidup bersama dengan sesamanya. Apabila dibandingkan dengan

makhluk hidup lain seperti hewan, misalnya, manusia tidak akan

mungkin hidup sendiri. Manusia tanpa manusia lainnya pasti akan

mati. Manusia yang dikurung sendirian di suatu ruangan tertutup

pasti akan mengalami gangguan pada perkembangan pribadinya
sehingga lema-kelamaan dia akan mati.

Semenjak dilahirkan manusia sudah mempunyai naluri untuk
hidup berkawan sehingga dia disebut social animal. Sebagai social
animal manusia mempunyai naluri yang disebut gregariousness.

Pada hubungan antara manusia dengan sesamanya, agaknya

yang penting adalah reaksi yang timbul sebagai akibat adanya
hubungan tadi. Reaksi-reaksi itu mengakibatkan bertambah
luasnya sikap tindak seseorang. Misalnya, apabila seseorang

Nilai-nilai Pendidikan Hindu 235
dalam Slokantara

menyanyi, dia memerlukan rekasi yang mungkin bersifat positif
(pujian) atau negatif (celaan), yang merupakan dorongan untuk
menyempurnakan sikap tindaknya (yaitu menyanyi) pada
masa-masa mendatang. Dalam memberi reaksi tersebut asa
kecenderungan-kecenderungan bahwa untuk memberikan rekasi,
manusia cenderung menyerasikannya dengan sikap pihak-pihak
lain. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya manusia mempunyai
dua hasrat yang kuat dalam dirinya, yakni:
1. Keinginan untuk menjadi satu dengan sesamanya atau manusia

lain di sekelilingnya (misalnya, masyarakat)
2. Keinginan untuk menjadi satu dengan lingkungan alam

sekitarnya.

Untuk dapat menghadapi dan menyesuaikan diri dengan kedua

lingkungan tersebut, yakni lingkungan sosial dan lingkungan alam,

manusia mempergunakan pikiran, perasaan dan kehendaknya.
Selain itu, dalam menyerasikan diri dengan lingkungan-lingkungan

tersebut manusia senantiasa hidup dengan sesamanya untuk

menyempurnakan dan memperluas sikap tindakan agar tercapai
kedamaian dengan lingkungannya (Soekanto, 2009:23).

Dari penjelasan di atas dapat dimengerti bahwa dalam

rangka mewujudkan harmoni dengan lingkungan sosial dan
lingkungan alamnya, manusia memerlukan upaya-upaya, baik

itu berupa adaptasi maupun sikap tindakan yang senantiasa
dalam penyempurnaan. Hal ini menjadi relevan dengan apa

yang disampaikan oleh Parson dalam pendekatan teoritiknya,
fungsionalisme-struktural yang menjelaskan 4 fungsi yang harus
dilaksanakan agar suatu struktur sosial dapat bertahan, yaitu:

Adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan pemeliharaan pola

atau manajemen ketegangan. Parson adalah tokoh fungsionalisme
struktural modern terbesar hingga saat ini (Hakim, 2011:12-13).

Pada ranah ini, nilai-nilai pendidikan Hindu yang terdapat
dalam teks Ślokāntara memiliki visi dan misi yang sejalan.
Nilai-nilai pendidikan Hindu sangat berkepentingan terhadap

terwujudnya keselarasan atau keharmonisan, utamanya dalam

236 Nilai-nilai Pendidikan Hindu
dalam Slokantara


Click to View FlipBook Version