The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by soedito, 2017-07-30 07:19:28

BUKU_AJAR_PT_2012_YY_periksa

BUKU_AJAR_PT_2012_YY_periksa

16. Epistasis dan interaksi gen

Tidak mungkin menganalisis semua kejadian atau proses yang
berhubungan dengan pewarisan sifat apabila proses yang dimaksud merupakan
proses yang terjadi dalam sel demi sel. Oleh karena itu cara tertentu diperlukan
untuk dapat mengetahui adanya interaksi antara gen. Cara yang dipakai adalah
dengan mengamati atau menghitung jumlah keturunan atau anak dan
mengelompokkan sesuai dengan yang ada. Sedang tetua (parent) yang dipakai
dalam perkawinan telah diketahui lebih dahulu genotipenya atau diduga dengan

Dari persilangan suatu dihibrida pada F2 dapat diamati angka banding
empat bentuk fenotipe yakni 9 : 3 : 3 : 2. Keadaan demikian dapat terjadi apabila
ada gen yang terlibat mempunyai efek yang terpisah dan terletak pada kromosom
yang berbeda (tidak ada kaitan). Tetapi kejadian-kejadian lain dapat terjadi misal
gen yang satu. merubah atau mempengaruhi efek gen yang lain secara langsung
atau lewat rantai antara kerja gen dan fenotipe. Dapat terjadi satu gen
mempengaruhi satu rantai reaksi, misal menghentikannya. Karena pengaruh
tersebut maka tidak terbentuk subtrat yang dibutuhkan maka rantai reaksi yang
berikutnya akan terputus pula meskipun rantai tadi dipengaruhi oleh gen yang
lain. Contoh untuk kejadian tersebut adalah gen yang menyebabkan Albinisme,
gen ini akan memutus semua efek gen yeng mengontrol pigmentasi.

Kemampuan yang dimiliki oleh satu gen menutupi manifestasi gen lain
disebut epistasis. Gen-gen epistatik menutupi atau mempengaruhi gen-gen
hipostatik ( hypostatic gen). Apabila ada epistatis dan interaksi gen, maka contoh
angka banding 9 : 3 : 3 : 1 akan berubah, kemungkinan yang dapat timbul adalah
sebagai berikut.

47

16.1 Tidak ada interaksi 9 AB : 3 Ab = 3 aB : 1 ab
16.2 Epistatis resesif (A, gen epistatik ), (B, gen hipostatik)

9 AB : 3Ab : 4 (aB, ab)
A berbeda dengan B dan b ditutupi oleh a atau b hanya tampak kalau
ada A
16.3 Epistatis dominan
12 (AB, Ab) : 3 aB : 1 ab
A berbeda dengan B , b ditutup A atau hanya tampak kalau ada a.
16.4 Gen Komplementer
9 AB 7 (Ab, aB, ab)
Fenotipe dominan hanya terlihat kalau A dan B bersama-sama
16.5 Gen Supresor
B menekan kerja A atau Ab menampakkan fenotipe lain
13 (AB, aB, ab) : 3 Ab
16.6 Gen Duplikat
A atau B mempunyai fenotipe yang sama tetapi efeknya tidak dapat
dijumlahkan, a harus bersama dengan b.
15 (AB, aB, Ab) : 1 ab.
16.7 Gen Aditif
A dan B mempunyai efek yang sama dan dapat dijumlahkan.
9 AB : 6 (Ab, aB) : 1 ab

17. Sifat yang dikontrol banyak gen

Dalam pemuliaan ternak dan tanaman sifat yang dipelajari biasanya
kompleks, misal produksi padi, berat wol, produksi susu dan lain-lain.
Bagaimana kekomplekan tersebut dapat mudah dimengerti bila kita melihat atau
meneliti semua faktor yang dapat mempengaruhi sifat yang dipe1ajari tersebut.

48

Misal sifat tersebut adalah berat sapih cempe.
Skema pada halaman 43 belum memasukkan semua faktor yang terlibat.

Meskipun demikian sudah dapat memberikan gambaran bahwa minimal sudah
dua kelompok faktor yang kerjanya tergantung pada genotipe induk (untuk
produksi susu) dan faktor lingkungan semua faktor di atas bisa mengadakan
interaksi dalam bentuk yang bermacam-macam.

FAKTOR BERAT SAPIH

LINGKUNGAN

nNN

PERTUMBUHAN DARI LAHIR
SAMPAI DISAPIH

PRODUKSI SUSU PAKAN TUNGGAL/ BERAT
INDUK GANDA
LAHIR

GENOTIPE FAKTOR
INDUK GENETIK

Andaikan dua cempe mempunyai genotipe identik untuk pertumbuhan dan berat
lahir maka faktor lingkungan masih dapat menjadi penyebab timbulnya variasi
pada berat sapih.

Dalam kejadian ini kita tak mungkin mengenali genotipe tersebut dengan
menggunakan analisis genetika Mendel. Cara yang dapat dipakai adalah
menggunakan data atau informasi yang ada dan mengadakan penaksiran hasil dari

49

bermacam-macam perkawinan. Inilah persoalaan yang kita hadapi dan harus
dipecahkan dalam pemuliaan ternak.
Cara di atas didasarkan atas kelakuan satu gen dan kemudian mengadakan
modifikasi yang diperlukan sehingga cara tersebut dapat digunakan dalam
praktek.

Misal 17.1.

Kita sepakati bahwa tiga pasang gen yang berbeda mengalami segregasi

dan menentukan suatu sifat yang bisa kita ukur. Setiap pasang gen mempunyai

efek yang sama untuk sifat tersebut, setiap gen dengan huruf besar memberi harga

(tambahan) satu unit pada sifat tersebut, sedangkan gen dengan huruf kecil

memberi nol.

Efek untuk tiap fokus dapat dijumlahkan, sehingga AA BB CC

mempunyai harga 6 unit. Aa BB CC = AA BB Cc = 5 unit dan seterusnya.; aa bb

cc = 0, Aa Bb Cc = 3 unit. Kalau perkawinan yang terjadi sebagai berukut :

Aa Bb Cc X Aa Bb Cc,

Maka akan dihasilkan 8 (delapan) macam gamet oleh setiap tetua, yakni akan

terdapat 8 x 8 = 64 macam kombinasi (tidak semuanya berbeda) gamet. Apabila

kemudian disusun menurut unit pengukuran maka diperoleh

Fenotipe 65 4 3 2 1 0

Jumlah anak

(kombinasi) 1 6 15 20 15 6 1

Jelas bahwa distribusi di atas adalah distribusi binomium yang rumus umumnya

dapat ditulis sebagai berikut.
(½ A + ½a) 2 (½ B + ½b) 2 (½ C + ½c) 2

Karena A, B, dan C mempunyai efek yang sama maka dapat ditulis
(½+ ½) 6

50

Distribusi Binomial merupakan distribusi pokok dalam genetika, untuk

asumsi yang tetapi dengan n pasang gen maka rumusnya menjadi sbb.
(½+ ½) 2n

Apabila n makin besar maka Bionomial distribusi mendekati distribusi

normal; berarti bahwa penggunaan distribusi normal kontinue dapat dipakai

dalam mengadakan penaksiran. Perlu diingat bahwa gen memisahkan diri atau

mengalami segregasi sesuai dengan Basic Mendelian Mechanism.

Kembali ke contoh di muka mean (nilai tengah) tetua (parents) = 3 unit

sedang nilai tengah anak atau progeni = 3 unit juga. Ragam (variance) progeni =

1,5 unit (S = npq = 6 x ½ x ½ = 1,5 ). Nilai tengah dan ragam merupakan dua

sifat yang penting dari distribusi keturunan.

Hampir semua sifat yang dipelajari dalam pemuliaan ternak dikontrol oleh

banyak gen dan dipengaruhi oleh variasi lingkungan. Efek lingkungan ini dapat

digambarkan dengan menyusun efek lingkungan dalam unit yang sama dengan

genetik dan harganya -1, 0, dan + 1., sedang distribusinya tersebar dengan angka

banding 1:2:1, untuk setiap genotipe maka distribusi yang baru dapat disusun

sebagai berikut.

Genotipe (AA BB CC = 6) dst

Harga genotipe 6 5 4 3 2 1 0 (sebelum + efek lingkungan)

Efek lingkungan Frekuensi distribusi Angka banding sebaran

1 1 6 15 20 15 6 1 1

0 2 12 30 40 30 12 2 2

- 1 1 6 15 20 15 6 1 1

Apabila efek lingkungan ditambahkan pada nilai genotipe dengan proporsi
1:2:1 maka akan diperoleh susunan nilai genotipe sbb.

51

7 6 5 4 3 2 1 0 -1 (nilai genotipe + efek
lingkungan)

1 6 15 20 15 6 1
2 12 30 40 30 12 2
1 6 15 20 15 6 1

1 8 28 56 70 56 28 8 1

Distribusi baris terbawah dapat dijelaskan secara berikut.

G G
P ber- ubah menjadi P dengan distribusinya

E E
+1 1
+0 2
-1 1

Dapat dihitung bahwa nilai tengah (mean) masih tetap = 3 tetapi ragamnya
berubah menjadi 2 (dua) unit. Harga 2 ini berasal dari ragam genetik (semula)
yang 1,5 unit ditambah dengan ragam lingkungan 0,5 unit . Munculnya angka
banding 1,5/2 = 75% menunjukkan besarnya ragam yang disebabkan oleh
adanya perbedaan genetik pada progeni, sedang sisanya 25% , adalah ragam yang
disebabkan oleh karena efek lingkungan. Angka banding (1,5/2) = (ragam
genetik/ ragam fenotipik) disebut heritabilitas (heritability) = h2 . Heritabilitas
merupakan parameter pokok dalam pewarisan karakteristik yang dikontrol oleh
multiple gen.

52

Masih berhubungan dengan multipel gen perlu dicatat.
1. Apabila jumlah pasangan gen (n) besar maka genotipe yang akan terjadi juga

makin besar.

Jumlah gen Jumlah gamet Jumlah genotipe

1 2 3
2 4 9
3 8 27
4 16 81
n 2n 3n

Silahkan hitung untuk n = 20
2. Efek dari masing-masing gen jarang dapat dibedakan, tetapi tidak boleh

dilupakan bahwa adanya dominan, interaksi, dan epistrasi serta kaitan.
3. Hampir semua karakteristik yang dikontrol oleh multipel gen dipengaruhi oleh

lingkungan, sering malah mudah dipengaruhi sehingga yang dapat diamati
tidak dapat dipakai sebagai indikator yang baik untuk genotipenya.

53

BAB III

PENGGUNAAN STASTIKA DALAM
PEMULIAAN TERNAK

Tujuan penggunaan statistika dapat dibagi menjadi dua pokok.
1. Menyingkat data menjadi hanya beberapa tetapan sederhana bentuknya dan
2. Menilai pentingnya peranan tetapan-tetapan tersebut.
Satistics is the branch of scientific method which deals with the data obtamed by
countirig or measuring the properties of populations of natural phenomena.

Data yang diperoleh dapat berasal dari segala bidang yang sedang dipelajari.
Dengan sendirinya data yang (akan) dibutuhkan dan akan dibicarakan adalah yang
berasal dari bidang pemuliaan ternak.

Populasi adalah kumpulan item atau individu. Populasi mempunyai
anggota tertentu atau terbatas dan kecil, dapat terbatas dan besar, atau dapat
dengan jumlah tak terbatas. Oleh karena itu populasi dapat digunakan sebagai
sumber pemilihan dan pengambilan contoh. Pengambilan contoh dilakukan
karena tak dapat mengukur semua individu anggota populasi tersebut. Populasi
didefinisikan oleh tetapan-tetapan yang berparameter. Dari contoh dapat
ditentukan tetapan-tetapa-n yang disebut statistik.
Contoh yang diambil dari populasi yang sama akan menghasilkan statistik yang
belum tentu sama nilainya dengan statistik yang dihasilkan dari contoh
sebelumnya. Oleh karena nilai statistik suatu contoh dipengaruhi oleh kesalahan
acak yang timbul karena proses pengambilan contoh.
Dalam garis besarnya analisis statistik perlu dilakukan karena asalan sebagai
berikut.

54

1. Adanya variasi atau perbedaan diantara populasi dan contoh yang dipelajari.
2. Data yang dibutuhkan atau yang ada tidak sempurna
3. Tak mungkin dan tak efisien untuk mengumpulkan data dalam jumlah besar

dengan harapan dapat menarik kesimpulan bebas dari kesalahan.
4. Statistik merupakan cara yang rasional dan cocok untuk membuat

kesimpulan-kesimpulan secara induktif.
Dalam menggunakan statistika dalam pemuliaan ternak perlu sekali lagi diingat
hal-hal sebagai berikut.
a. Cara mendefinisikan atau menerangkan suatu populasi, mengurangi jumlah

data yang dibutuhkan sedemikian rupa sehingga mudah dimengerti dan
dipergunakan.
b. Cara membandingkan dua kelompok data dengan menggunakan Uji Nyata
(Test of Significance).
c. Bagaimana mendefinisikan atau menerangkan suatu populasi yang tersifat

karena adanya lebih dari satu peragam ( misal berat wol dan kualitas wol

pada domba).
d. Bagaimana membandingkan lebih dari dua kelompok.

Pengertian yang Diperlukan

1. Populasi
Dipakai untuk kumpulan obyek, individu atau sejumlah ketegori. Contoh
populasi dalam pemuliaan ternak.
(1) Berat lahir anak domba di Baturraden.
(2) Nilai pemuliaan untuk karakteristik berat sapihan domba.
(3) Tiriggi dan berat domba umur tertentu.
(4) Data produksi harian per laktasi sekelompok sapi perah.

55

Perlu diperhatikan pentingnya spesifikasi pengukuran. Berat lahir domba lokal (1
kg) misalnya akan berbeda kalau yang dimaksudkan lokal di Baturaden dan lokal
di lain daerah, daerah Priangan misalnya, maka berasal dari dua populasi yang
berbeda.

2. Peubah (variabel)
Dipakai untuk menerangkan kuantitas, karakteristik atau pengukuran yang
berbeda beda.
a. Mengenai punya tidaknya tanduk pada ternak dalam populasi ternak
tertentu, disebut variabel yang diskrit (descrete). Contoh lain adalah
jawaban ya dan tidak atas pertanyaan yang diajukan, jumlah cempe per
induk yang mati atau hidup (merupakan hasil penghitungan ).
b. Berat wol adalah karakteristik yang dapat diukur sampai kecermatan
tertentu dapat diukur misalnya 0,5 kg , 1 kg, 1,1 kg atau sampai satu angka
dibelakang koma, dan dalam kg, Variabel yang bersifat demikian disebut
variabel kontiriyu (Contiriues); variabel yang merupakan hasil pengukuran.

3. Contoh Acak (Random Sample)
Yang dimaksud dengan contoh acak adalah contoh yang diambil dari
populasi dengan cara sedemikian rupa sehingga setiap anggota dari populasi
tersebut mempunyai peluang yang sama untuk dapat menjadi contoh. Dengan cara
demikian contoh dapat dipakai untuk manaksir parameter populasi dengan
kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan.

4. Sebaran Frekuensi
Hasil pengukuran terhadap beberapa karakteristik suatu kelompok individu
akan berbeda beda. Langkah pertama yang harus dikerjakan adalah menyusunnya

56

ke dalam beberapa golongan nilai. Dari hasil penyusunan tersebut akan diperoleh

sebaran frekuensi.

Teladan 3.1

Dari pengukuran satu karakteristik diperoleh data sebagai berikut. 23
24 23 24 28 35 30 28 27 26 31 26 28
27 29 31 28 26 29 32 29 27 25 26 31
26 25 30 31 32 27 25 27 19 25 36 24
29 30 32 28 31 22 29 28 23 32 33 30
28 28 29 33 26 30 26 29 30 27 37

Data tersebut apabila disusun dalam bentuk frekuensi distribusi maka dapat

memberi lebih banyak informasi. Susunan data menjadi sebagai berikut.

X ( pengukuran ) Grafik F (frekuensi) XF

19  1 19
20
21  1 22
22  3 69
23  3 72
24  4 100
25  6 156
26  6 162
27  8 224
28  7 203
29  6 180
30  6 186
31  4 128
32  2 66
33
34  1 35
35  1 36
36  1 37
37

57

Setelah data disusun dalam distribusi frekuensi memiliki   dan  1695
maka lebih untuk dilihat adanya perbedaan dalam variabel Dalam frekuensi distri
busi dapat lebih mudah dilihat bahwa frekuensi tertinggi terdapat pada nilai 28 dan
rentangan data mulai dari nilai sampai 37.

Besaran-besaran statistika

Mean  rata  rata  nilai tengah  x   x
n

atau pada sebaran frekuensi x   xf
f

Variance contoh  ragam contoh  S2

S2  1  (x  x)2 atau S2  1  x 2   x 2 
 
n 1 n 1  n 

Standard deviasi  simpang baku contoh  S

S  (x  x)2
n 1

Apabila distribusi normal maka  68% dari pengamatan terletak dalam range

x  S dan x  S kurang lebih 95% dalam range x  2S dan x  2S

dan kurang lebih 100% berada dalam range x  6S dan x  6S

Nilai tengah populasi  

Populasi dengan individu yang memiliki nilai pengamatan sebagai berikut

x1, x 2 , x3, x 4........................................... x n

mempunyai nilai tengah    x
n

Simpang baku populasi  

  (x  )2 58
N

 Peragam contoh Wxy , covxy

Wxy   (x  x)(y  y)
n 1

Jumlah kuadrat (JK)

 JKx 2   x2   x2
 x x
n
 Jumlah hasil kali antara x dan y JHKxy

  JHKxy   x  x y  y atau   xy   x y

n

Nilai tengah dan simpang baku binomium

Pada suatu populasibinomium dangan N individu, masing - masing dengan nilai

pengamatan x1, x2, x3........................................xn
se jumlah A nilai x1 bernilai 1 dan sejumlah N - A nilai bernilai 0
A P

N

  P(1  P)  PQ kalau Q  1- P

Nilaitengahdan simpang baku suatu contoh yang berasal dari populasi

binomium Pada suatu contoh berukuran n, yang berasal dari populasi binomium,

diamati n individu dengan nilai pengamatan x1, x2, x3................................xn
Pada suatu contoh berukuran n, yang berasal dari populasi binomium, diamati

n individu dengan pengamatan x1, x2, x3.................................... .....xn
x1 1 dan n - a nilai lain yang bernilai 0
x  a  p,

n

s  np(1  p)(n 1) Periksa 16.1

S alahbaku (Standard erroro )
S impangbaku nilaitengancontoh

Kalau suatu populasimemepunyainilai tengah  dan ragam 2, dan dari
populasi itu diambil contoh acak berukuran n maka nilai tengah contoh

itu x, juga merupakan perubah acak. Dengan perkataan lain kalau dari populasi
tersebut berulang - ulang diambil contoh acak untuk mengamati rata - rata contoh

x1, x2,................................xk dan seterusnya.
Populasi rata - rata contoh tersebut mempunyainilai tengah x yang sama dengan
nilai tengah

59

Sedang ragamnya, x   harga ini disebut simpang baku nilai tengah contoh
n

Nilai yang didapatkan dari x dengan menyisipkan ragam contoh s2 untuk

ragam populasi 2 yaitu sx  s dinamakan salah baku.
n

Untuk suatu populasi binomium dengan

  A  P,   PQ, x  a  p, q  1  p
Nn

s npq
, maka
(n 1)

x  p  PQ dan
n

sx  npq /(n 1)  pq
n (n 1)

Koefisien Korelasi
Apabila dua variabel atau peubah saling tergantung, tanpa memperhatikan apakah

yang tergantung terhadap x atau sebaliknya, maka dua peubah dikatakan berko
relasi. Keeratan korelasi dinyatakan dengan koefisien korelasi.

Korelasi antar - kelas
Apabila dapat dibedakan antara sesama y dan antara sesama x maka dapat
dipakai metode korelasi antar - kelas. Ukuran keeratan korelasi antar - kelas
diukur dengan menaksir koefisien rho   (huruf Yanani rho).
Penaksir koefisien korelasi adalah r.

r  y(x - x) x(y  y)
 (x - x)2(y  y)2

 y(x  x)   (y  y)(x  x) dan    ( x)( y)
n
xy

 y(x  x)   (y  y)(x  x) sehingga

 r 
 (y  y)(x  x) 2
(x  x)2(y  y)2

 r   (y  y)(x  x) jika pembilang
(x  x)(y  y)

60

Jika pembilang dan penyebut dibagi oleh jumlah derajat bebas (n -1)

maka akan diperoleh r  Wxy  Covxy
xy VarxVary

Korelasi dalam Kelas

Apabila tidak mungkin membedakan antara sesama y dan antara sesama x

maka metode yang dipakai adalah korelasi dalam kelas (pada pemuliaan

ternak dipakai untuk menaksir repitabilitas)

Rumus yang dipakai sebagai berikut.

I  B2 penaksir - nya adalah rI
B2  2W

B2  ragam antar kelompok

2W  ragam dalam kelompok

Teladan Penggunaan

Menghitung x, s2, dan s

x (x  x) (x  x)2

5 -1 1

8 2 4

600

5 -1 1

_____ ______

24   x 6   (x - x)2

x  24  6
4

s2  n 1 1  (x  x)2  1 x 6  2 atau pakai rumus
 3

s2  n 1 1  x2   x2 
  n 
 

61

Teladan 3.2 Data tersusun dalam distribusi frekuensi

x f xf xf2

4 3 12 48
5 4 20 100
6 6 36 216
7 4 28 196
8 3 24 192
 30 20 120 752

s2  1    xf 2 
 x 2f 
n  1   f 

s2  1  - 1202   1 752 - 720
752 
19  20  19

Teladan 3.3

Dua contoh acak dengan nilai tengah yang sama tetapi dengan s
yang berbeda

6 6
6 567
457 3456789
45678 2 3 4 5 6 7 8 9 10
45678
45678 x6
s2  4,74
x6 s  2,2
s2 1.68
s 1,3

62

Pengambilan contoh dari distribusi normal
Diumpamakan suatu populasi (pertambahan berat badan) yang mempunyai nilai
tengah () = 30 kg dan  = 10 kg. Dari populasi tersebut contoh diambil.
Contoh yang diambil secara acak dengan pertolongan angka random .
Gambaran populasi tersebut sebagai berikut.

Tabel 3.1. Populasi berat badan dengan () = 30 kg dan  = 10 kg

NX N X N X NX

00 3 25 24 50 30 75 37

01 7 26 24 51 30 76 37

02 11 27 24 52 30 77 38

03 12 28 25 53 30 78 38

04 13 29 25 54 30 79 39

05 14 30 25 55 31 80 39

06 15 31 26 56 31 81 40

07 16 32 26 57 31 82 40

08 17 33 26 58 31 83 40

09 17 34 26 59 32 84 41

10 18 35 27 60 32 85 41

11 18 36 27 61 33 86 41

12 18 37 27 62 33 87 42

13 19 38 28 63 33 88 42

14 19 39 28 64 33 89 42

15 19 40 28 65 33 90 43

16 20 41 29 66 34 91 43

17 20 42 29 67 34 92 44

18 20 43 29 68 34 93 45

19 21 44 29 69 35 94 46

20 21 45 30 70 35 95 47

21 22 46 30 71 35 96 48

22 22 47 30 72 36 97 49

23 23 48 30 73 36 98 53

24 23 49 31 74 36 99 57

Data di atas (populasi) mendekati distribusi normal dengan  =30 dan  = 10

63

Yang perlu dipikirkan adalah kegunaan dan proses pengambilan contoh acak
yang berulang kali dari suatu populasi dengan distribusi normal dalam membantu
pengambilan atau penarikan kesimpulan secara statistik.

Tabel 3.2. Angka Random

89262 86332 51718 70663 11623 29834
86866 09127 98021 03871 27789 584444
90814 64833 08759 74645 05046 94056
19192 82756 20553 58446 55376 88914

23757 16364 05096 03192 62386 45389
45989 96257 23850 26216 23309 21526
92970 94243 07316 41467 64837 52406
74346 59596 40088 98176 17896 86900

50099 71030 45146 06146 55211 99429
10127 46900 64984 75348 04115 33624
67995 81977 18984 64091 02785 27762
23604 80217 84934 82657 69291 35397

Teladan 3.4
Dengan pertolongan Tabel 3.2 maka akan dapat diambil contoh (!0) secara
acak dari populasi pada Tabel 1, yang mempunyai .  = 30 kg dan  = 10 kg. Cara
menggunakan Tabel 2 tersebut adalah sebagai berikut. Pilih satu (deret) angka ( 5
digit) yang mewakili nomor yang akan dipakai sebagai anggota contoh acak.
Misalnya 41309 maka 09 merupakan anggota contoh acak no 1. Kalau Tabel 1
diperiksa maka menunjukkan hasil pengamatan pada no 17. Untuk menentukan
anggota yang kedua dilanjutkan gerakan ke bawah, ke samping atau ke atas. Misal
ke bawah maka akan didapatkan angka 71038. Periksa pada Tabel 1 maka
menunjukkan nomor urut 38 dengan data x =28 kg. Demikian seterusnya
sehingga jumlah data dalam contoh acak yang dibutuhkan terpenuhi, yaitu contoh
acak yang beranggotakan 10. Setelah contoh acak diperoleh kemudian dihitung

64

rataan, simpang baku dan variansi, apabila diperlukan dihitung pula salah baku,
serta mencari t.

sx  s s2
n n

t x
sx

Proses pengambilan contoh acak dengan n = 10 di atas diulangi sehingga
memperoleh jumlah 511 contoh acak. Kemudian distribusi frekuensi nilai tengan
ke 511 contoh acak tersebut tersusun sebagai berikut.

Tabel 3.3 Distribusi frekuensi nilai tengah dari 511 contoh acak

Klas Frekuensi Frekuensi teoritis

19 1 0,20
20 1
21 0 0,41
22 7
23 5 1,18
24 10
25 19 2,71
26 30
27 41 5,62
28 48
29 66 10,78
30 72
31 56 18,60
32 46
33 45 29,02
34 22
35 24 41,14
36 12
37 5 52,07
38 0
39 1 61,63
Jumlah 511
64,23

61,63

52,07

41,14

29,02

18,60

10,78

5,62

2,71

1,84

511,00 x=29,87

65

Dari uraian di muka dapat dilihat bahwa

1. Tiap nilai tengah dari contoh acak adalah penduga untuk nilai tengah

populasi, yakni  = 30 kg. Jadi dari contoh tersebut x mempunyai range 19

sampai 39. Dari informasi yang diperoleh jelas bahwa apabila sipeneliti

hanya mengambil satu kali contoh kemudian x-nya begitu saja dipakai

sebagai penduga  maka resiko yang dihadapi jelas terlihat.

2. Distribusi dari nilai tengah mendekati distribusi normal (teoritis normal).

3. Nilai tengah contoh acak lebih seragam dibandingkan dengan nilai masing-
masing individu

Salah baku dari distribusi x, mempunyainilai   yakni 10  3,16 kg.
n 10

Nilai ini ditaksir dengan memakai sx, sx  s yang disebut salah baku nilai
n

4. Nilai tengah dari distribusi nilai tengah adalah 29,87 kg, merupakan penduga
yang tidak bias (unbiased estimate) untuk nilai tengah populasi  = 30 kg.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap contoh acak akan memberi
penduga nilai tengah populasi, dan penduga salah baku dari nilai tengah populasi,
dan penduga salah baku dari nilai tengah tersebut. Besarnya nilai salah baku ini
akan memberikan gambaran ketepatan pendugaan (mendekati atau menjauhi)
yang telah dikerjakan. Dapat pula dikatakan bahwa 2/3 nilai tengah dalam
contoh acak yang diambil berulang kali terletak di dalam.

66

2
Dapat pula dikatakan bahwa nilai tengah dalam contoh acak yang diambail ber -

3
ulang kali terletak di dalam   sx makin kecil sx berarti makin dapat dipercaya

hasil penaksiran yang diperoleh ; dari rumus sx  s s2
n jelas bahwa mak

n

5. Distribusi t
Dari rumus di atas dapat diperiksa bahwa t dalam kata-kata adalah
perbedaan nilai tengah taksiran dengan nilai tengah populasi yang sebenarnya.
Distribusi t ini secar teroritis telah disusun oleh W.S Gosset pada tahun 1908
dalam bentuk tabel statistik.
Dari rumus dapat dilihat bahwa nilai t dari hasil perhitungan akan besar
apabila nilai tengah contoh acak mempunyai nilai yang berbeda jauh dengan nilai
tengah populasi (), dan atau jika salah baku mempunyai nilai kecil.
Pada Teladan 4.4, distribusi t dari 511 contoh acak dapat dilihat pada Tabel
4 yang disertai pula distribusi t secara teoritis, tampak bahwa keduanya mendekati
kesamaan. Dikatetahi bahwa contoh acak berasal dari populasi yang sama yang
mempunyai  = 30 kg. Setiap t memberi gambaran sejauh mana nilai tengah
contoh acak menumpang dari nilai . Dapat dilihat dalam Tabel 4 bahwa
meskipun semua nilai acak berasal dari populasi yang sama 5% dari contoh
tersebut mempunyai t yang bernilai lebih besar dari 3,250 dan lebih kecil dari
-3,250. Dapat dinyatakan bahwa dengan contoh acak beranggota sepuluh (n=10)
tersebut di atas peluang t mempunyai nilai di luar  2,262 adalah 0,05 apabila
contoh acak berasa dari populasi yang sama dan peluang t mempunyai nilai di
luar  3,250 adalah 0,01.
Menggunakan dasar pemikiran di atas, setelah mengadakan penghitungan
nilai t, maka dapat dibuat hypotesis bahwa nilai tengah contoh acak sama dengan
nilai tengah populasi.

67

Hipotesis tersebut dapat ditulis dalam bentuk H (x = ) atau H (x- = 0) dan
disebut Hipotesis nol (Null Hypothesis) yang menyatakan tidak adanya perbedaan
antara nilai tengah contoh acak dan populasi. Penghitungan t termasuk dalam
langkah atau rangka pengujian hipotesis tersebut. Uji tersebut kemudian disebut
uji t (test stastistic t).

Dalam perocobaan sesungguhnya tidak diketahui harga  (nilai tengah
populasi), tetapi meskipun demikian hipotesis nul tetap dapat dipakai, yang
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara nilai tengah populasi dan nilai
tengah contoh acak yang diambil dari populasi tersebut. Langkah yang dikerjakan
adalah menghitung nilai t dari contoh acak tersebut, kemudian memilih batas
peluang (5% atau 1%) yang dipakai untuk monolak atau menerima hipotesis.

Apabila nilai t dari penghitungan tersebut lebih besar dari nilai t dari tabel
dengan batas peluang 5%, maka hipotesis nol ditolak. Alasannya adalah apabila
hipotesis nol benar maka nilai t (dari contoh) yang lebih besar dari t 0,05 tabel
akan jarang diketemukan, jadi pada kejadian di atas diketemukan t yang lebih
besar berarti bahwa hipotesis ditolak. Pemilihan batas 5% atau 1% tergantung dari
peneliti dan macam penelitian (untuk penelitian obat misalnya menggunkan batas
1%).

Teladan 3.5
Misal dari contoh acak diperoleh data 8, 9, 10, 7, 9, 9, 8, 11, dan 10 unit. Uji
hipotesis bahwa nilai tengah populasi yang telah diambil contohnya tersebut
mempunyai nilai tengah 8 unit ?

68

Jawaban

Perhitungan n  9 n -1  8

 x  81

x  81  9,0
9

sx  s2  0,4
n

t  x  x  9 - 8  2,5
sx 0,4

Kalau kita pilih batas peluang 5% maka t 0,05  2,306
berarti bahwa t kalkulasi  t 0,005 tabel, berarti bahwa hipotesis ditolak yang

berarti bahwa nilai tengah populasitidak sama dengan 8.

Dapat juga memaki selang kepercayaan (confidence interval) untuk menguji

apakah   8

Dari rumus  t  x  x dapat ditulis   x  t 0,05 x dengan derajat bebas
sx

(n -1) untuk batas peluang 5%, dapat ditulis dalam bentuk

x - t 0,005 s x    x  t 0,05 s x
Dengan memaki nilai di yangsudah dihitung diperoleh

x - t 0,05 sx  9 - 2,306 x 0,4  8,08

x  t 0,05 sx  9  2,306 x 0,4  9,92
sehingga selang kepercayaan yang diperoleh adalah 8,08    9,92 dan dengan

69

6. Menghitung Koefisien Korelasi
Dua peubah (x dan y) yang saling tergantung dapat dilihat pada satu
individu dan data diperoleh dengan pengukuran pada individu tersebut.

Misal
1. Berat wol dan berat tubuh dari setiap domba (Romney)
2. Kualitas wol dan berat wol
3. Berat hidup dan berat karkas

Koefisien korelasi (r) dapat mempunyai harga dari -1 sampai +1; (r) = 0
berarti tidak ada korelasi ; (r) = - berarti bahwa nilai x yang berada di atas x
berhubungan atau tergantung pada nilai y di bawah y; (r) = + berarti bahwa nilai
x di atas x berhubungan dengan nilai y di atas y

Teladan 3.6  x  37  y  37
xY
67  x 2  279  y2  297;  x2  273,8  y2  273,8
76
89 n n
77
98     x - x 2  5,2 ;  y - y 2  5,2

37 37  xy  (6 x 7)  (7 x 6)  (8 x 9)  (7 x 7)  (9 x 8)  277

   x y  273,8 r 
x-x yy  3,2  0,6

   n  x  x 2  y  y 2 5,2x5,2

70

Menguji hipotesis untuk koefisien korelasi

1 Hipotesisi Nol H( .  0)
2. t  r n - 2 dengan derajat bebas (n - 2)

1- r2
M isal r  0,597 dengan n  9 t  9 - 2 x 0,597 1,969

1 - 0,5972
t 0,05 tabel dengan derajat bebas 7  2,365 Sehngga t kalkulasi  t 0,05 tabel berarti
hipotesis nol diterima -    0
Penggunaan uji yang lain dipersilahkan mempelajari di buku wajib statistik

7. Regresi Linier dan Multipel
Pada banyak kejadian dua peubah dalam populasi , x dan y, yang satu (y)
tergantung atau dikontrol oleh peubah yang lain (x). Misal
1. Berat wol anak tergantung atau dikontrol sampai batas-batas tertentu oleh
berat wol induk.
2. Besar dan berat seekor hewan tergantung, sampai batas-batas tertentu pada
umurnya.
3. Laju pertumbuhan tergantung, sampai batas-batas tertentu pada jumlah
pakan yang dimakan.
Pada banyak kejadian tersebut hubungan antara dua peubah tersebut dapat
digambarkan dalam bentuk persamaan garis lurus. Persamaan tersebut adalah y=
a + bx , a mempunyai nilai sama dengan y untuk x = 0; b adalah besar perubahan
pada y apabila terjadi perpubahan satu unit pada x. Apabila ada regresi maka
titik-titik pada (x,y) tidak terletak tepat pada garis lurus dan hubungannya tidak
pasti. Garis lurus tersebut hanya merupakan pendekatan keadaan yang
sebenarnya kecuali kalau rxy = 1.

Untuk menetapkan posisi dan kecondongan garis tersebut memerlukan
71

penaksiran nilai a dan b. Dasar yang dipakai dalam penaksiran tersebut adalah
mencari harga paramater tersebut sehingga kuadrat jumlah deviasi pengamatan
terhadap garis tersebut kecil sekali. Cara demikian disebut Method of Least
Squares. Cara tersebut dapat diterangkan sebagai berikut.
Umpamakan setiap pengukuran y mempunyai model Yi = a + bxi + eI, Yi dan xi
adalah peubah sedang a dan b adalah seperti telah diterangkan di muka; e adalah
deviasi yi dari garis ( sering disebut kesalahan = error)
ei = yi - a - bx = deviai

n ei2  i yi  a  bxi 2  kuadrat jumlah deviasi



i

Kemudian a dan b ditaksir sehingga  e 2 sekecil mungkin, maka selanjutnya
i


a  y - bx

    cov xy
 b varx
  x1  x y1  y
 x1  x 2

Dalam pemuliaan ternak, penggunaan pokok regresi linier adalah sebagai alat penaksir

(means of prediction ) . M enggunakan cara lain dapat ditulis sebagai berikut.

    
 
 a  b x1 bx x1
  b 

 y1 b
y -  y x1 - x



y adalah harg y yang ditaksir untuk harga x yang diberikan

72

8. Membandingkan dua kelompok

Misal seorang peneliti ingin mempelajari efek pemberian suatu vitamin,

dengan cara injeksi, pada sekolompok anak ayam. Sejumlah 18 ekor anak ayam

digunakan dan dibagi secara acak dalam dua kelompok, masing-masing kelompok

dengan 9(sembilan) ekor. Satu kelompok diinjeksi dengan vitamin dan kelompok

yang lain dipakai sebagai kontrol. Kedua kelompok kemudian dipelihara dalam

satu kandang, kemudian dicatat kenaikan berat badannya, hasilnya sebagai

berikut.

Teladan 3.7

Diinjeksi dengan 11 13 12 12 10 8 7 6 11 90
vitamin (x)

Kontrol (y) 7 4 5 6 6 9 11 11 7 66

 x  90  y  66 x 10 y  7,3

Jelas terlihat bahwa terdapat variasi dalam masing-masing kelompok. Yang perlu
dipertanyakan adalah, apakah perbedaan antar kelompok tersebut disebabkan
karena pengaruh injeksi vitamin, meskipun kedua kelompok tersebut berasal dari
populasi yang sama (faktor genetik dianggap sama). Untuk menjawab pertanyaan
tersebut diperlukan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Memilih menggunakan hipotesis H(1 = 2) atau H(1 - 2 = 0)
2. Menentukan batas nyata. Batas nyata yang biasanya diterima adalah P = 0,05

(5% batas nyata) dan P = 0,01 (1% batas nyata). Tetapi batas yang lain dapat
pula dipilih.
3. Menentukan uji nyata. Pada penelitian di atas yang dipakai adalah uji t.
4. Menghitung harga t.
5. Membandingkan harga t hasil perhitungan dengan t ,pada pada batas yang
dipilih, dari tabel.
6. Apabila tkalkulasi > t tabel (peluang lebih rendah dari peluang pada batas nyata)
maka hipotesis ditolak, dan apabila sebaliknya maka hipotesis diterima atau
uji diulang.

73

Kalau disusun kembali dalam bentuk rumus maka langkah tersebut tampak lebih
sederhana.
1. H(1 - 2 = 0)
2. Batas nyata yang dipilih 5%
3. Uji t

 t  x1  x2  s x1  x2  s 1  1  s 2
s x1  x2 nn n

Persoalan selanjutnya adalah mencari s1 dan s tersebut dapat dihitung

dengan rumus

   s2 2
 x1  x1 2   x2  x2
 dengan derajat bebas 2(n -1)
2n 1

Teladan 3.8 Jumlah yang tidak sama dalam 2 (dua) kelompok
Jumlah individu pada tiap kelompok yang akan dibandingkan tidak perlu

sama, seperti pada teladan IX.1, tetapi rumus yang dipakai juga tidak sama. Misal
jumlah individu pada dua kelompok tersebut n dan k. Jumlah kuadrat ( (x)2)
dihitung dengan cara yang sama, tetapi derajat bebas yang dipakai menjadi (n + k
- 2).

s x1x2   s 11 dengan derajat bebas (k  n - 2)
kn

t  x1  x2

s x1x2 

Kecermatan uji t akan tergantung dari (besar/harga) (1/k + 1/n), yakni sekecil
mungkin. Oleh karena itu apabila jumlah (k+n) sudah ditentukan maka (1/k +
1/n) akan paling kecil kalau k = n atau dalam arti lain dua kelompok mempunyai
jumlah individu yang sama.

Perlu diingat bahwa pada penggunaan pola percobaan di atas unit
74

experiment harus diletakkan dalam kelompok secara acak, dan unit diusahakan
mempunyai keseragaman yang maximal sebelum percobaan dimulai, untuk unit
ternak hal ini tidak begitu mudah.

9. Uji t berpasangan (the Paired t Test)
Dalam suatu percobaan untuk membandingkan dua perlakuan dapat
digunakan dasar pengelompokan unit percobaan secara berpasangan. Misal
apabila unit percobaan yang tersedia atau akan dipakai adalah, kembar identik,
permukaan daun, dst. Dalam percobaan ini maka setiap pasangan dapat
dipandang sebagai satu unit percobaan dan perlakuan disebarkan secara acak pada
dua individu atau anggota dalam pasangan tersebut.
Sebagai teladan, misal kita akan membandingkan keunggulan dua varietas
A dan B (kalau pada bidang pemuliaan misal akan membandingkan keunggulan
dua ekor pejantan). Maka dua varietas kemudian ditanam, secara acak, pada
perak unit percobaan yang telah disusun berpasangan (pada bidang pemuliaan,
pada pasangan kembar identik). Data yang diperoleh kemudian disusun sebagai
berikut.

Teladan 3.9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
28 23 29 43 21 29 36 44 28 29
Petak 22 17 20 30 12 23 29 25 31 31
Varietas A 6 6 9 13 9 6 7 19 -3 -2
Varietas B
d = (A-B)

Cara penyelesaian di halaman 72

75

Hipotesis : H(d  0)

Batas nyata : 1%

Uji t : t  d
sd

 s2   d  d 2 sd  s2
n 1 n

 d  6  6  9............. - 2  70 d7
s2  372  2,03
 s2   d  d 2  862  490  372 sd  n9
n 1 9 9

t  d  7  3,45 untuk derajat bebas 9 t 0,05  3,250
sd 2,03

t kalkulasi  t 0,01 oleh karena itu A dengan nyatalebih baik dari B

pada batas kenyataan1%

Perhatian 3.9
Condition Required for Validiy of t Test
For the t test to be valid, it is necessary in the strictest sense that :
1. The errors in the variables must be independent.

(Is achieved by randomisation)
2. The variables be normally distributed.

(The accuracy of the t test is little affected by quite wide departurs from
normally)
3. The groups have the same variance.
(Test of equality of variance between groups are available and special
methods of nalysis are available when equality not hold , (Snedecor, 1964))

76

10. Sidik Ragam (Analysis of Variance)
Cara-cara statistik yang dipakai untuk membedakan dua kelompok atau
perlakuan dengan data pengukuran telah diuraikan secara singkat.
Seorang peneliti sering perlu membandingkan lebih dari dua kelompok atau
perlakuan. Untuk keperluan itu diperlukan analisis yang disebut Analysis of
Variance dan uji yang dipakai bukan uji t tetapi uji F. Misal dari suatu populasi
diambil 4 contoh acak, masing-masing dengan 5 pengamatan. Hasil
pengambilan contoh tersebut disusun dalam tabel seperti berikut.

Tabel 3.4 Susunan data yang disiapkan untuk contoh Sidik ragam

Contoh I II III IV 360
a a+2 b +0 c c+1 d d-3 18
x 29 31 18 18 01 63 8398
x 13 15 16 16 20 21 10 7 6480
 x2 35 37 99 67 17 14 1918
( x)2/n 9 11 28 28 26 27 22 19
SS 24 26 34 34 28 29 10 7
110 120 105 105 80 85 65 50
22 24 21 21 16 17 13 10
2892 3352 2601 2601 1896 2061 1009 664
2420 2880 2205 2205 1280 1445 845 500
247 472 396 396 616 616 164 164

Data diolah sebagai berikut
Karena keempat contoh acak berasal dari satu populasi maka dapat

dianggap sebagai satu contoh acak dengan 20 pengamatan (4 x 5), kemudian
varians dapat dicari.

77

1) Total S.S. /JK total  8398 - 6480 1918 ( x 2   x2 )

n
ambar s 2  1918 atau dapat ditulis
(20 - 1)

JK total  (20 - 1)s 2

2) Cara kedua mencari menaksir ragam dengan mengumpulkan JK dari setiap contoh

JK  2892 - 2430  472

s 2  472 atau
(5 - 1)

JK  (5 - 1) s 2 dan seterusnyasehingga untuk 4 contoh acak diperoleh :

dari contoh acak 1. (5 - 1)s 2  472

2. (5 - 1)s2  396

3. (5 - 1)s2  616

4. (5 - 1)s2  164

_______________

16 s 2  1648 menggambar kan within group s 2
3) M encari variansi dari 4 mean. Empat nilai tengah contoh acak adalah penaksir 

s2
dan mempunyaivariansi karena nilai tengah berasal dari 5 pengamatan
5

Variansi dapat dihitung pula dengan cara s 2  ( x 2   x2 )

n
(22)2  (21)2  (16)2  (13)2 - (72)2  1350 - 1296  54 dengan d.b (4 - 1)  3
4
s2
sehingga diperoleh SS  54 nilai ini merupakan penaksir oleh karena itu
n -1 3 5
s 2  5 x 54  270  90 atau 3 s 2  270
33
Ketiga hasil perhitungan di atas dapat disusun sebagai berikut

Ketiga hasil perhitungan dapat disusun sebagai berikut

Source of variance d.f S.S Var Estimate of F
Sumber variasi d.b JK KT
Total 19 1918 1009 Taksiran F
Between mean of group 3 270 90 s2
Within groups (pooled) 16 1648 103 s2
s2

78

Dalam tabel analisis variansi tersebut terlihat bahwa
1. Setiap baris memberi penaksiran untuk s2 karena semua contoh acak berasal

dari populasi yang sama.
2. Derajat bebas dan SS/JK untuk between groups dan within groups kalau

dijumlahkan sama dengan d.b dan JK total.
3. Karena kenyatan pada butir 2 tersebut maka cara pengolahan data yang

demikian disebut Analysis of Variance. Total SS dipisah menjadi 2 bagian
(yang dapat dijumlah) dengan d.b. yang sesuai.
4. Perlu diperhatikan angka banding

Between group M.S  90  F
Within group MS 103

Dapat dilihat bahwa pada teladan di atas harga F mendekati nilai 1, ini
desebabkan karena F merupakan penaksir (s2/s2=1)

10.1 Efek Perlakuan

Gunakan Tabel 3.4

Misalkan bahwa 4 perlakuan (A, B, C, dan D) yang berbeda diberikan pada 4

contoh acak tersebut. Efek perlakuan tersebut mempunyai nilai sebagai berikut.

Perlakuan A pada contoh nomor I = + 2 unit

B pada contoh nomor II = 0 unit

C pada contoh nomor III = + 1 unit

D pada contoh nomor IV = - 3 unit

+ berarti menambah, - berarti mengurangi, periksa kembali Tabel 3.4

79

Pengelohan data setelah ada perlakuan
1. Total S.S = 8678 - 6480 = 2198 dengan d.b. 19
2. Within group S.S mempunyai harga seperti sebelum perlakuan 16 s2 = 1648
3. Between group S.S. = 550 dengan d.b. 3

Tabel Analisis Variansi

Sumber Variasi d.b. JK KT penaksir F
550 183.3 s2+5s2t
Antar kelompok 3 1648 103 s2
2198
Dalam kelompok 16

Total 19

Catatan
1. JK antara kelompok = (5 x 3) (ragam kelompok nilai tengah). Tetapi karena

perlakuan maka nilai tengah kelompok tersusun dari dua bagian. Bagian
pertama merupakan nilai tengah dari 5 pengamatan yang berasal dari populasi
awal, sedang bagian kedua merupakan hasil efek dari perlakuan (nilai tengah
kelompok I = 22 + 2). Karena ragam suatu jumlah sama dengan jumlah
ragam dari bagian tersebut maka ragam nilai tengah kelompok adalah penaksir
dari

(s 2  s2 ) (s 2  ragam p erlakuan) sehingga akhirnya JK antar kelompok merupa
t 5 t

kan penaksir nilai (5 x 3) (s 2  s2 ) dan JK antara kelompok merupakan penaksir
t 5

SS 5x3(s 2  s2 )
( t 5
s2 2 n -1 2 s2)
dari  5s t  KT  3  5s t 

80

2. Angka banding F menjadi s2  5s2t  183,3  1,78
s2 103

F0,05 dari tabel dengan d.b  3 dan 16 mempunyainilai  3,29 berarti

Fkalkulasi  F0,05 tabel mempunyaiarti bahwa perbedaan nilai tengah perlakuan

tidak nyata

3. Hipotesis yang diuji adalah H(s2t  0)

Apabila hipotesis benar maka nilai F mendekati 1. Sebaran F adalah distribusi
dari angka banding dua taksiran variansi yang bebas, yang berasal dari distribusi
normal yang sama, dengan derajat bebas yang sesuai. Seperti halnya t, apabila
mengambil berulang kali 4 contoh acak dengan 5 pengamatan dan menghitung
harga F maka dapat diharapkan mendapatkan 5% dari contoh akan mempunyai
nilai F lebih besar dari 3,29 (ini berarti kalau hipotesis (H(st2 = 0) benar). Perlu
diingat bahwa persis sama dengan H( 1 = 2 = 3 = 4 ),  adalah nilai tengah
perlakuan yang benar, apabila the true treatment means sama, maka ragamnya =
0, sedang kalau berbeda ragamnya harus lebih besar dari 0

11. Model umum Sidik Ragam untuk Penggolongan tunggal
Apabila suatu percobaan menggunakan p perlakuan dan tiap perlakuan
pada n individu, maka jumlah individu yang dipakai adalah pn Data yang
diperoleh disusun dalam table, sebagai berikut.

Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan i Perlakuan p
X11 X21 Xi1 Xp1
X12 X22 Xi2 Xp2
X13 X23 Xi3 Xp3

X11 X21 Xi1 Xp1

81

Setiap mengamatan dapat dinyatakan dalam bentuk

Xij =  + ti + eij
 = nilai tengah populasi
xij = hasil pengukuran pada individu yang ke j pada perlakuan yang ke i
t i = efek perlakuan yang ke i = 1, 2………………. P
eij = kesalahan acak pada setiap individu
eI = dianggap tersebar secara bebas dan normal dan mempunyai nilai tengah = 0

Total S.S (T) =  xi2j  C.T

ij

C.T = (. xij)2 / pn

ij

. X12
Between Tretament S.S. (B)  i  C.T

n
Xi  . xij  sum for treatment i

j

Within Treatment S.S (W)  T - B

Disusun dalam tabel berbetuk sebagai berikut

Source of variation d.f S.S M.S
Total Pn-1 T
Between Treatments p-1 B B/p-1
Within Treatment p(n-1) W W/p(n-1)

Apabila Fkalkulasi < F 0,05 maka perbedaan treatment tidak nyata, apabila diantara F
0,05 dan F0,01 maka nyata untuk taraf 5%. Apabila lebih besar dari F0,01 maka nyata
untuk taraf 1%.
Apabila didapat F tidak nyata maka analisis sudah selesai atau berhenti. Akan
tetapi apabila didapatkan F yang nyata maka analisis perlu dilanjutkan untuk
mengetahui kelompok atau golongan nilai tengah yang berbeda dari yang lain.

82

Salah satu cara yang dapat dipakai adalah menghitung Least Significant Different
(LSD) pada taraf 5% dengan uji t.
Nilai tengah yang memiliki beda dari LSD dinyatakan berbeda nyata . LSD
menunjukkan besarnya perbedaan yang dipakai sebagai syarat untuk dapat
dikatakan berbeda nyata diantara sepasang perlakuan yang diambil secara acak.
Standard error nilai tengah perlakuan dinyatakan dengan rumus
SE  M.S (N)

n

Penggunaan lebih lanjut F test dipersilahkan mempelajari pada penggunaannya
dalam pola percobaan.

12. Penggunaan Sidik Ragam dalam Pemuliaan Ternak

(Variance Component and Intra Class Correlation)

Misalkan pengamatan yang dilakukan mengenai berat wol anak betina dari

p ekor penjantan; tiap penjantan mempunyai n ekor akan betina. Berdasar pada

bahasan yang telah diuaraikan berat wol dapat dinyatakan dalam bentuk

Xij =  + si + eij
i = 1,2,……………..p pejantan
j = 1,2………. …….n progeni (anak)
si = efek pejantan yang ke I

Asumsi yang dipakai seperti yang telah diterangkan yaitu

mean (xij)  var(eij)   2

mean (eij)  0 cov(eije1ij)  0 (tidak ada korelasi)

ditambah dengan asumsi

mean (si )  0 ; var (si )   2
cov (s1,s1i )  0 ; cov (si,eij)  0

Berarti bahwa pejantan yang dipakai, diambil secara acak, berasal dari populasi

pejantan yang mempunyai nilai tengah = 0 dan ragam = s2 . Dalam konteks ini
83

s2 dan 2 disebut variance component dan tujuan analisis sering untuk mencari
penaksir komponen tersebut. Cara yang dipakai adalah analisis Sidik Ragam

Source of variation d.f S.S M.S M.S estimate
Total pn-1 T
Between Treatments p-1 B M.S (B)  2  n 2
M.S (W) s(ire)
Within Treatment p(n-1) W
2

Selanjutnya diadakan pengecekan apakah ada korelasi antara dua individu dari

kelompok pejantan yang sama. Pengecekan tersebut dilakukan dengan

menghitung r (koefisien korelasi), yakni Intra Class korelasi. Cara menghitung

nya sebagai berikut.

Pejantan 1 Pejantan 2 r x1ij  cov xy.xy1
varx1ijx1ij
x11 x21 x ij
x12 x22
x13 x23  (xij  )2
x14 x24
n 1
varxij  varx1ij 

xij    si  eij sehingga

 (xij   )2   (si  eij)2 
n -1 n 1

 Si2   ei2j   2  2
n 1 n 1 s

sehingga

var x   2  2
s
x1n x2n ij

84

r ijx1ij  cov xijx1ij
varxij varx1ij
x

cov xijx1ij   (xij  )(x1ij  )   (si  eij)(si  e1ij)
n 1 n 1

karena   s12   sie1ij   sieij   eije1ij
n -1 n 1 n 1 n 1

 sie1ij  0 ;  sieij  0 ;  eije1ij  0 maka
n 1 n 1 n 1
 s12
cov xijx1ij  n -1   2 sehingga
s

r  cov xijx1ij   2 disebut korelasi dalam klas (intra class)
s
x ijx1ij
varxij varx1ij  2   2
s

rI   2  rxy  korelasi intra klas
s

 2   2
s

Dalam pemuliaan ternak digunakan untuk menghitung repitabilitas

Teladan 3.10

Po J Pejantan 1 Pejantan 2 Pejantan 3 Pejantan 4

Anak betina 1 3 3 6 5

Anak betina 2 2 4 8 5

Anak betina 3 1 3 7 5

Anak betina 4 3 5 4 3

Anak betina 5 1 0 10 2

Jumlah 10 15 35 20

Rataan 23 7 4

p = 4, n = 5, pn = 20

85

 xij  80 C.T  (80)2  320  x 2  436
20 ij

Between S.S  102  152  352  202  C.T  70 (B)
555 5
T ot al S.S.  T  B  116  70  46

Tabel Anova d.f S.S M.S Estimate of F
Source 19 116
Total 23,3  2  5 2
3 70 2,9 s
Between 2
16 46
Within

S2  2,9

Ss2  23,3  ( 2,9)  20,4  4,08
5 5
4,08
rI  4,08  2,9  0,58

Apabila ingin menguji perbedaan nilai tengah pejantan, maka menggunakan uji F

F = (23,3/2,9) = 8,03 dengan d.b. 3 dan 16

F 0,01 = 5,29; F kalkulasi > F 0,01 berarti perbedaan nilai tengah sangat nyata

LSD  t M.S(W) x 2 t dengan d.b p(n -1)
n

 2,12 2,9 x 2  2,29
5

Setelah nilai tengah pejantan diperiksa, maka terlihat bahwa pejantan 3

berpengaruh nyata (taraf 5%) lebih tiriggi dibanding yang lain. Salah baku nilai

tengah pejantan :

ss  s2  2,9  0,76
n 5

86

13. Rangkuman

Besaran Statistik yang dipakai dalam Pemuliaan Ternak

1. Umum

varx   2  (xi  x)2
x n 1

x   2  simpang baku, standard deviation
x

cov xy   (xi  x)(yi  y)
n 1

2. Regresi linier (Liniar Regression)



Persamaan Y  Y  b(X  X)  ey.x

y  peubah bergantung (dependent variate)

x  peubah bebas (independent variate)

b   (X  X)(Y  Y)  Covxy  Koefisien regresi
 (X  X)2 Var xy

In animal breeding Y will often represent the breeding value of an animal and X will be
the phenotypicmeasurement of particular trait. b measures the amput of change
in Y for a unit change in X.

3. Korelasi (Correlation)

r  Koefisien korelasi

r   (X - X)(Y  Y)  Cov xy
(X  X)2  (Y  Y)2 Varx Vary

b  ry r  bx
x y

4. Regresi ganda (Multiple Regression)

It is easy to genralize from simple lmear regression to the case where there is

more then one independent variate e.g.

87

yi  y  b1(x1i  x1)  b2 (x 2i  x 2 )  ei

Examp le

1. Rate of gain of lambs is dependent on age and on initial weight

2. We may want to predict offspring 's fleece weight from knowledge of dam' s

fleece weight and grand dam' s fleece weight

The method of least squares is used, to estimate b1 and b2. Application of the method
yields a pair of simultaneous equations
b1 Varx1  b2 Cov x1x 2  Cov yx1
b1 Cov x1x 2  b2 Varx1  Cov yx2
An alternative approach is to express each of the three variates as standardised

variates; i.e express each variates as a deviation from its mean and divide by its

standard deviation. Then the multiple regression becomes:

Y  b1' ' X1  b'2 where for example

Y  y1  y
y

Then the equation to be solve become

b1'  r12 b '  ry1
2

b1' r12  b '  ry 2
2

Solving this gives

b1'  ry1  ry2 r12 b '2  ry2  ry1 r12
1  r122 1  r122

T he b1' and b ' are called standard partial regression coefficien ts and related to
2

b1 and b2 (partial regression coefficien ts) as follows

b1  b1' y b2  b ' y
 x1 2 x2

88

To show these partial regression coefficients are interpreted consider the
following : y is rate of gain pr day in pogs, x1 is initial age, x2 is initial weight.
Then Y = 1.388 - 0,0033 (x1 - 77) + 0,0074 (x2 - 52,7) Then b1 = -0,0033
indicate that the average daily gain increased 0,0033 lb (pound) per day with
each day increase in initial age. On the other hand daily gain increased 0,0074
lb/day with each pound increase in initial weight.

5. Analisis Variansi dan Korelasi Intraklas (Analysis of Variance and
Intraclass Correlation)

As an example of the use of the intraclass correlation, we consider the paternal
half -sib correlation which is the correlation between offspring having the same
sire. Let there be p sires, each with n offsprings, and on each of the pn offsprings
we have a record of a trait say, fleece weight. Then from this data the following
analysis of variance can be computed.

Source of variation d.f S.S M.S.
Total pn-1 T
Between sires p-1 B M.S (B)
Within sire groups p(n-1) W M.S (W)

Where T   .x 2  CT
ij
ij

( .x ij ) 2
CT  ij

pn

 . x 2
i
B  i  C.T
n
Xi  (. xij)
ij

W TB

89

If the variance component between sires is represented by s and variance

component within sire b W then

M.S (B)  w  ns

M.S(W)  w

Then s  M.S(B) - M.S(W) and intraclass correlation rI  s which equals
n sw

The proportion of the total variationin the trait which is associated with

differences between sires. Another way of expressing this I s to say that it is the

correltation berween individuals which have the same sire - the paternal - half-

sib correlation. Since the variation berween sires involves gentic differences, the

correlation allows the estimates of the gentic variation of the trait within the

population from which the sires were drawn.

6. Useful theorems concerning variance and covariance
6.1 Variance of a Sum of Variates

Let x, y and z be three variates with variance denoted by Varx, Var y, and Var z.
Let a, b, and c be constants. Let S = ax + by + cz then
Var (S) = a2 Varx + b2 Vary + c2Varz + 2ab Covxy + 2ac Covxz + 2bc Covyz
Note that the covariances area multplied by two. This arises from the fact that,
for example, Cov xy is the as Cov yx and so the two are combmed and writtern as
2 Cov xy. If there were n variates in the sum then there are n(n-1)/2 covariances.

A special form of the above theorem occure if all variates are uncorrelated.
Then Var (S) = a2 Varx + b2 Vary + c2Varz
If in addition a = b = c = 1
Then Var (S) = Varx + Vary +Varz

90

Example

The variance of a mean when the observations are assumed uncorrelated (Which

is the case with random samples) can be found using the above theorem:

x  1 (x1  x2  x3  x4  ..............................  xn )
n
The the variance of x is Varx
Ap p ly ingt heorem 1

Varx  1 (Varx  Varx  Varx  ...............  Varx )
n2
1
 n2 (n Varx )

Varx  Varx
n

The square root of this is the standard error of a mean as noted earalier. When the

observations are assumed correlated, then we need to take account of the

covariances, xixj = r Varx

There are 1 n(n 1) of covariances, hence applyingtheorem1
2

Var  1  nVar x  n(n 1) 2r Varx 
x n2  2 

 1 nVarx [(n 1)r]
n2

Varx  1  (n -1)r  Varx
 n 

We will use this result many times in later situations

Covariance Between Two Sum
Let U = (x + y)

V = (w + z)
Then Cov UV = Cov (x + y)(w + z)=Covxw+Covxz+Covyw+Covyz
This often occurs in the form Cov x(x + y) = Varx + Covxy
Ofen x and y are uncorrelated, in which case : Covx(x+y) =Varx

91

14. Path Coefficient Analysis
Korelasi antara dua peubah yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara
dua peubah tersebut, tidak memberikan petunjuk tentang sebagai adanya
hubungan tersebut dan hubungan efek antara dua peubah tersebut. Untuk
memecahkan persoalan tersebut Sewall Wright (19..) memperkenalkan metode
yang disebut Path Coefficient Analysis, dengan tujuan menggunakan atau
memperhatikan sebab sebenarnya adanya korelasi atau hipotesis mengenai Causal
Relationships dalam mempelajari hubungan antara dua peubah. Cara ini telah
jauh dikembangkan dalam genetika karena di dalam genetika telah dikembangkan
teori mengenai hubungan kausa dan hubungan efek atau pengaruh.

Untuk menggambarkan metode ini, dimisalkan peubah Y dikontrol atau
tergantung pada tiga peubah A, B, dan C. Selanjutnya diketahui pula bahwa A
dan B dan C berkorelasi, sedang A dan C tidak berkorelasi. Informasi di atas
dapat digambarkan sebagai berikut.

A a
rAB

B bY

rBC c
C

Pada diagram di atas path coefficient dirupakan sebagai garis lurus dengan anak
panah menunjukkan arah dari asal kausa dan kausa tersebut menimbulkan
pengaruh. Pada diagram di atas diberi nama a, b, dan c. Dengan diagram tersebut
maka informasi bahwa peubah A mengontrol atau mempengaruhi Y tampak lebih
jelas dengan pertolongan path coefficient . Path Coefficient sesungguhnya adalah
standardised partial regression coefficient, yang dinyatakan dalam bentuk
persamaan Y = aA + bB + cC

92

Dalam persamaan Y = aA + bB + cC, Y, A, B, dan C adalah deviasi dari
nilai tengah masing-masing dibagi dengan simpang baku (standar deviasi).
Sehingga dengan demikian a, b dan c adalah Standardised Partial Regression
Coefficient. Ada dua prinsip utama yang dipakai dasar dalam penggunaan Path
Coefficient.

Prinsip I

Kuadrat dari path coefficient (a2, b2, dan c2) menunjukkan derajat kekuatan

A, B, dan C dalam mengontrol Y. Apabila A, B, dan C adalah peubah bebas

(berarti rAB = rBC =0) maka :

a2 + b2 + c2 = 1

Apabila rAB = 0 dan rBC = 0 (B dan C berkorelasi) maka :
a2 + b2 + c2 + 2bc rBC = 1

Apabila rAB = rBC = 0 maka :
a2 + b2 + c2 + 2bc rBC + 2ab rAB = 1
dan seterusnya

Perhatian 14.1

Prinsip di atas memakai asumsi bahwa Y dikontrol oleh A, B dan C secara

sempurna. Oleh karena itu pemakaian metode di atas di luar genetika

membutuhkan perhatian yang istimewa atau khusus.

(The model underlying the conformation of path coefficient assumes complete

determination of dependent variable by differences in A, B and C. Therefore the

sum of squares and of products of path coefficient is unity)

Prinsip II

Misalkan peubah X dikontrol oleh tiga kasus A, B dan C. Peubah Y
dikontrol oleh B, C dan D. Juga diketahui bahwa B dan C berkorelasi, sedang

93

korelasi antara A, B, C dan D = 0. Informasi tersebut kemudian dibuat dalam
bentuk gambar sebagai berikut.

A aX

B bc Y
rBC
b'
C c'
d'

D
Prinsip II yang dipakai berdasarkan analisis korelasi antara X dan Y
menjadi beberapa komponen; dinyatakan dengan kata-kata sebagai berikut.
Korelasi antara dua peubah, sama dengan jumlah hasil kali antara path
coefficient yang menjadi penghubung antara dua peubah yang berkorelasi
tersebut. Pada diagram di atas diperoleh 4 (empat) penghubung anatara X dan Y.
1) X-B-Y lewat bb'
2) X-C-Y lewat cc'
3) X-B-C-Y lewat b rBCc'
4) X-C-B-Y lewat c rBCb' sehingga diperoleh hasil penjumlahan sbb.

rxy = bb' + cc' + b rBCc' + c rBCb'

14.1 Teladan Penggunaan Prinsip I dan II
Akan digunakan kedua prinsip yang berlaku dalam path coefficient analysis
untuk menganalisis korelasi antara fenotipe induk dan fenotipe progeni-nya.
Yang diperlukan adalah informasi genetik bahwa :
a) Fenotipe suatu individu ditentukan oleh nilai genotipenya ditambah dengan

komponen yang ditimbulkan oleh faktor lingkungan.

94

a) Fenotipe suatu individu ditentukan oleh nilai genotipenya ditambah dengan

komponen yang ditimbulkan oleh faktor lingkungan.

Ee

P

Gh

E dan G biasanya tidak berkorelasi. Dengan memakai Prinsip I maka
diperoleh : h2 + e2 = 1 atau h2 = h2/(h2 + e2)

b) Meiosis menyebabkan terbentuknya gamet yang membawa contoh acak

separo gen yang dibawa oleh individu penghasil gamet.
b o gamet ♂

G
b o gamet ♀

b = path coefficient antara nilai genotipe individu dan gamet yang dihasilkan

c) Nilai genotipe progeni ditentukan dengan sempurna oleh dua gamet (+)

yang bersatu dan membentuk progeni tersebut.
gamet ♂ o a

F G (genotipe progeni)
gamet ♀ o
a

Dapat terjadi gamet jantan dan betina berkorelasi, yakni dalam inbreeding.

a 1 persamaan (1)
2(1  F)

Apabila terjadi kawin acak maka F  0 sehingga

a 1
2

Menggunakan Prinsip I diperoleh a2 + a2 + 2 a2F = 1

95

Untuk menghitung nilai b, dipakai dua dasar pemikiran (1) gen yang dibawa oleh

gamet ditentukan oleh gen yang dibawa oleh zigot tetua.; (2) gen yang dibawa

oleh gamet ditentukan oleh chance dalam meiosis. Sedang pada (1) gen yang

dibawa zigot tetua ditentukan oleh gen yang dibawa oleh gamet yang membentuk

zigot tersebut. Dapat lebih jelas dengan menggunakan diagram di bawah ini.

Gamet ♂ o a' b o Gamet ♂
F' o G b o Gamet ♀

Gamet ♀ a'

Path Coefficient antara G dan gamet yang dihasilkan sama dengan korelasi

antara G dan gamet yang membentuknya. Dengan menggunakan Prinsip II maka

diperoleh :

rG = a' + a'F' = b

a' 1 persamaan (2)
2(1  F')

b  1 (1  F')
2(1  F')

Apabila tidak terjadi inbreeding F'  0 maka b  1
2

Dengan informasi di atas dapat dibuat diagram korelasi fenotipe tetua dan
progeni sebagai berikut.

E e PD

h b o♂ a Ee
GD a
F GO h PO
m o♀

GS b
h PS

e
E

96


Click to View FlipBook Version