The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by soedito, 2017-07-30 07:19:28

BUKU_AJAR_PT_2012_YY_periksa

BUKU_AJAR_PT_2012_YY_periksa

Dengan menggunakan Prinsip II maka korelasi antara fenotipe induk dan progeni
(fenotipe yang dapat diukur) sama dengan rPDPO

rPdPo  h b a h  h m b a h persamaan (3)
 a b h (1  m)

F  b2m, apabila dalam familii dapat mempunyai

harga  1 h 2  e persamaan (4)
4
m  F b diganti dengan harga pada persamaan (2) akan diperol eh
b2
m  2F  F' dengan mengganti a, b dan m pada persamaan (3) dari persamaan 1, 2
1
dan 4 akan diperoleh

rPd Po  2 1  F'2F h2 atau
1  F 1  F'

h 2  2 rPdPo  1 F 1 F'  apabila menggunaka n perkawinan acak maka
1 F  F'

F  F' 0 sehingga diperoleh

h 2  2 rPdPo

Berarti bahwa pada percobaan yang menggunakan kawin acak, dapat memberikan
penaksiran heritabilitas dengan cara perhitungan yang sederhana. Heritabilitas
tersebut dapat ditaksir ( dua kali korelasi) apabila dapat mencatat produksi
(karakteristik) induk dan progeni yang ditaksir heritabilitasnya.

14.2 Hubungan antara kelompok

Dalam penggunaan path coefficient analysis pada bab atau bagian seleksi,
mencari korelasi antara individu dan nilai tengah hasil pengamatan pada progeni
individu tersebut, sering diperlukan.

97

Cara menghitungnya

O1
rOO x

rSO O2 x

S O3 x X

x

O n-1 x

On

M enggunakan Prinsip II persamaan (5)
rsx  n rso x
M enggunakan Prinsip I

nx 2  n(n -1) x 2 roo  1

nx 2[1  (n 1)roo ]  1

x2  1 1  n 1roo  persamaan (6)
n

Dengan menggunaka n kedua persamaan, (5) dan (6) diperoleh

rsx  rso n berarti bahwa

1  n 1roo

x n

1  n -1roo

98

Permulaan Pedigree Breeding
Pedigree breeding adalah suatu cara perkawinan yang hanya mengawinkan

individu-individu seasal usul atau individu-individu murni.
Barton (1970) menyatakan ―Pedígree cattle breeding can be defmed as the
method of breeding in which only pedigrre and purebred, are mated”

A. Sejarah Pedigree Breeding di Inggris dan Eropa
Pedigree breeding mulai di England pada abad ke 18 dan breed societies

terbentuk sekitar pertengahan abad ke 19. Robert Bakewell (masa hidupnya 1725
- 1795) peternak dan Dishley Grange, England, adalah orang yang mula-mula
menggunakan pedigree breeding dan dikenal sebagai pendiri atau bapak animal
breeding. Sebutan tersebut kiranya tidak berlebihan kalau kita dapat mengerti
bahwa kemampuan Robert Bakewell dalam masa itu melebihi kemampuan
peternak pada umumnya.

Ia mempunyai beberapa murid antara lain Collin bersaudara2 Charles dan
Robert, mereka yang meletakkan dasar-dasar pembentukan bangsa Shorthorn.
Ada pula beberapa muridnya yang berasal dari Herefondshire yang kemudian
memperbaiki sapi lokal yang akhirnya menjadi bangsa Hereford. (Robert
Bakewell dalam pedigree breedingnya menggunakan sapi Longhorn, domba
Leicester dan kuda Shires).

Mereka dan murid-murid Bakewell yang lain dengan cepat dapat
memperbaiki mutu ternak-ternaknyà dan kemudian dapat mengembangkan export
ternak bibit. Dengan makin berkembangnya perbaikan mutu ternak tersebut maka
kemudian timbul kebutuhan baru yakni perlu adanya “ breed -registry societies ―

99

yang bertujuan menjaga kemurnian individu yang dipakai dalam pedigree dan
yang diexport.

Prinsip-prinsip yang dipakai Bakewell adalah : Like produces like or the
likenes of some ancestor; inbreeding produces prepotency and refmement; breed
the best to the best.
Sedang sumbangan tcrbesar kepada cara-cara breeding adalah mengenai
inbreeding yang dinyatakan - inbreeding is the most effective tool for producing
refmement and fixing type.

Bakewell dalam kerjanya memakai cara meminjamkan pejantan dengan
tujuan ia akan mendapatkan keturunan yang banyak dari pejantan tersebut.
Dengan cara demikian maka dia dapat menguji pejantan-pejantannya dan ia
selalu mendapatkan calon pejantan yang kemudian dapat menjadi yang lebih
unggul dari yang telah dimiliki. Dengan digunakannya clover and root crops
dalam bidang pertanian di Inggris maka pcrkembangan animal breeding makin
pesat, karena bidang pakan ternak ikut diperbaiki.

Kemudian dengan adanya revolusi industri maka pasaran hasil-hasil
pertanian, termasuk ternak makin berkembang pula. Export ternak menjadi
tambahan penghasilan yang cukup besar bagi peternak.

B. Sejarah Pedigree Breeding di Amerika
Secara singkat pcrkembangan animal breeding di USA dapat dibagi

menjadi 4 periode.
1. Periode pionir, dalam periode ini ternak belum mendapat tempat yang penting.
2. Periode mengembangkan ternak lokal dan mulai mengadakan percobaan

dengan ternak import.
3. Periode menggunakan ternak import dengan percobaan secara extensip dan

100

mulai mengembangkan dan mcmpertahankan kemurnian bangsa ternak.
4. Periode mengembangkan bangsa ternak khususnya memenuhi permintaan

akan pejantan unggul.

C. Perkembangan Animal breeding di Indonesia ?.
Saya anjurkan saudara menulis jawaban pertanyaan di atas setelah cukup

membaca publikasi, penerbitan atau laporan, hasil seminar, atau loka karya dan
yang berhubungan dengan pcrkembangan peternakan di Indonesia.

D. Pembentukan Bangsa Ternak
Barton (1970) menulis tentang definisi bangsa (breed) sebagai berikut - A

breed can be regarded as comprising a group of animals derived from a selected
small sample of the species and this sample is more or less kept separate from
other groups or breeds.-

Menurut Lush (1945) pembentukan bangsa berjalan dengan urutan
demikian.
1. Mengenali munculnya tipe ternak yang diakui mempunyai kelebihan dalam

kegunaan dan memenuhi keinginan peternak, bila dibandingkan dengan tipe
yang biasa.
2. Ternak yang mempunyai tipe terbaik dipilih kemudian diternakkan secara
tertutup, tanpa memasukkan ternak dari luar. Sehingga terjadi inbreeding
yang kuat dan menghasilkan ternak yang berbeda (perwujudannya) dari
ternak di sekitarnya atau di daerah itu.
3. Apabila 2 berhasil mendapatkan individu baru yang dapat diterima, maka
bangsa baru tersebut kemudian akan dikenal dan kemudian dikembangkan
hingga menjadi terkenal.

4. Kemudian karena jumlah ternak yang makin meningkat, maka asal usul

101

individu sukar ditelusuri sehingga diperlukan Central Herd Book Akhirnya
Breed society terbentuk dengan tujuan mempertahankan kemurnian
bangsa, dan mengadakan promosi.
Perlu diingat bahwa individu yang dipakai dalam pembentukan bangsa
adalah merupakan contoh acak dari populasi asal usul yang berada di suatu
daerah tempat bangsa tersebut dibentuk. Oleh karena itu individu yang terpilih
tersebut tidak akan dapat memiliki seluruh gen yang ada di dalam populasi,
bahkan sebaliknya dapat terjadi yakni contoh acak tersebut membawa gen yang
tidak diinginkan.

102

BAB IV
VARlASI

Variasi, yaitu perbedaan antara individu, materi yang digunakan oleh
peternak dalam bekerja. Kalau tidak ada variasi maka peternak tidak punya
rangsangan dan harapan dalam memajukan peternakannya.

Rice et al., (1957) mengatakan bahwa - Variation is at once the hope and
despair of the breeder - merupakan harapan karena peternak dapat mengharapkan
mendapat ternak yang lebih baik dari ternak yang telah dimilikinya, merupakan
kekecewaan apabila setelah bekerja keras mendapatkan hasil yang malah lebih
jelek karena makin banyaknya perbedaan yang muncul dan yang tidak
diharapkan.

Ada perbedaan tersebut tidak berarti bahwa pasti ada perbedaan yang
menyolok, ada yang sangat jelek dan ada yang sangat baik, sehingga peternak
dengan begitu saja dapat memilih individu yang unggul dan sempurna. Penyebab
timbulnya variasi karena ada perbedaan pengaruh dua faktor.
a) Perbedaan dalam faktor temurun/kebakaan yang dimiliki oleh individu sejak

mulai hidup.
b) Perbedaan pengaruh faktor lingkungan, luar dan dalam, baik yang diketahui

maupun yang tidak, yang ada di sekitar individu pada masa perkembangan
dan pertumbuhannya.
Sangat jarang ada, dua individu mempunyai susunan atau kombinasi gen yang
identik, kecuali mungkin pada kembar identik yang berasal dari satu telur.
Demikian juga tidak ada dua individu yang berkembang dan tumbuh di bawah
faktor lingkungan yang betul-betul identik. Oleh karena itu di dalam prakteknya
adanya perbedaan antara individu selalu disebabkan oleh kedua faktor tersebut,
yakni faktor kebakaan (genetik) dan faktor lingkungan. Besarnya perbedaan
yang ditumbukan oleh kedua faktor tersebut mempunyai taraf tertentu, tetapi

103

kedua faktor tersebut pasti ada. Keduanya dapat bekerja searah dan dapat pula
saling bertentangan. Efek bersama dapat timbul karena adanya korelasi antara
dua faktor tersebut. Dapat pula kerjasamanya kedua faktor tersebut memberi efek
yang tidak dapat dijumlahkan; sehingga efek faktor temurun dapat lebih besar di
bawah suatu faktor lingkungan bila dibandingkan di bawah faktor lingkungan
yang lain dan scbaliknya. Satu perubahan pada faktor lingkungan dapat
menyebabkan pcrubahan yang besar pada individu dengan genotipe yang sama,
tetapi perubahan itu akan kecil pada individu dengan genotipe yang lain.

Adanya korelasi positip antara faktor temurun dan faktor lingkungan
menyebabkan populasi lebih beragam disebabkan efek faktor temurun dan efek
faktor lingkungan tidak saling menghilangkan, sedang kalau keduanya tidak
berkorelasi efek tersebut dapat saling menghilangkan sehingga populasi dapat
lebih seragam.

Diperkirakan bahwa efek yang tidak dapat dijumlahkan adalah kecil,
tetapi kerjasama yang demikian itu memang dapat terjadi.

1. Variasi Temurun
Variasi yang disebabkan perbedaan faktor temurun, terjadi karena
perbedaan genotipe yang dimiliki individu. Parbedaan gonotipe itu dapat pula
terjadi karena:
1.1 timbulnya rekombinasi
1.2 mutasi gen, dan
1.3 kelainan kromosom.
Oleh karena itu variasi tetap ada meskipun di dalam spesies yang sama. Variasi
temurun dapat dibagi menjadi :
(a) variasi temurun yang disebabkan oleh efek faktor temurun yang dapat
dijumlahkan, yang disebut additively gentic effect;
(b) variasi temurun yang disebabkan oleh efek faktor temurun yang tidak dapat

104

dijumlahkan dan disebut non additively gentic effect.
2. Variasi yang Disebabkan oleh Faktor Lingkungan
Variasi ini timbul karena faktor lingkungan tata laksana, pakan, iklim, dan
sebagainya membatasi atau mempengaruhi perwujudan fenotipe suatu individu
meskipun tidak membatasi genotipenya (genotipenya tetap).
Kekurangan pakan yang menyebabkan individu kerdil tidak berarti genotipe
individu tersebut berubah, Anak individu tersebut akan dapat tumbuh normal
kalau pakan yang diterimanya cukup. Oleh karena itu variasi yang disebabkan
oleh faktor lingkungan tidak diwariskan (temurun).

Hubungan antara faktor temurun dan faktor lingkungan dalam hal
menyebabkan timbulnya variasi fenotipe pada individu akan lebih jelas kalau
dinyatakan dalam bentuk model sebagai berikut.

E P = nilai fenotipe (karakteristik terukur)
G = nilai genotipe

r P E = simpangan lingkungan (pengaruh f lingkungan)
rGE r = 0

GE

G
P =G +E
VarP = VarG + VarE

Apabila individu dalam populasi, di bawah (satu) faktor lingkungan yang sama
maka VarE = 0 sehingga VarP = VarG , berarti bahwa nilai karakterisitk dapat
digunakan sebagai penaksir yang baik nilai genotipe.

105

H arg a angka banding VarG disebut Heritabilitas (Heritability), H 2 , dalam
Var P

arti luas . Karena VarG dapat dipecah menjadi VarA (efek genetik yang aditif) 
VarD (efek dominan)  VarI (efek epistatik) maka
h 2  VarA disebut Heritabilitas dalam arti sempit

Var P

Cara menaksir harga h2 dapat memakai bermacam-macam cara. Secara umum
dapat dibedakan tiga pola cara penaksiran.
Beberapa karakteristik tertentu dapat diukur berulang kali pada individu yang
sama, misal 1) produksi susu, 2) jumlah anak sepelahiran, 3) berat wol, 4)
produksi telur, 5) berat sapih, dan karakteristik produktif dan reproduktif yang
lain.

Setiap hasil pengamatan, P, adalah hasil kerja sama antara G dan E, karena
pengamatan berulang kali maka E pada pengamatan pertama tidak sama dengan E
pada pengamatan yang kedua. E pada pengamatan yang kedua tidak akan sama
dengan E pada pengamatan yang ketiga, dan berikutnya. Hubungan P, G dengan
E pada pengamatan berulang dapat disederhanakan sebagai berikut.

Pengamatan I P1 = G ± E1 P1 P
Pengamatan II P2 = G ± E2 ht x
Pengamatan III P3 = G ± E3 G P2

Pengamatan n Pn = G ± En Pn

E(1+2+3+n)

P=G± n

Untuk menaksir taraf perbedaan antara P2 dan P1, dapat dicari dengan memakai
nilai t = repeatability.

106

Apabila t 1  h 2 berarti VarG  VarG  1; VarP1  VarP2; P1  P2
VarP1 VarP2

nilai t  VarG  VarG dapat dicari dengan

VarP VarA  VarD  VarE  VarI  VarPE

korelasi intra klas rI s
sw

3. Perbedaan antara Bangsa

Ada dua dasar genetik yang menyebabkan timbulnya perbedaan antar

bangsa.

3.1 Suatu bangsa dapat mempunyai gen dalam keadaan atau susunan

homozigot dominan sedang gen tersebut pada bangsa lain dalam

keadaan homozigot resesif. Apabila keadaan ini berlaku untuk semua

gen, maka dapat digambarkan sebagai berikut.

Bangsa 1 AA BB cc dd EE …………………………NN

Bangsa 2 aa bb CC DD ee ………………………….nn

3.2 Sepasang gen tidak dalam keadaan homosigot, tetapi frekuensi gen

tersebut berbeda pada bangsa yang berbeda.

Bangsa 1 qA A  (1 qA )a2 qB B  (1 qB )b2........q N N  (1  q N )n2

q )a 2 q )b 2 ......q )n 2

Bangsa 1 ' A  (1  q ' ' B  (1  q ' ' N  (1  q '
A A B B N N

107

PERBAIKAN MUTU GENETIK
DAN VARIANSI GENETIK

Variasi kualitatif dan kuantitatif

Tujuan peningkatan mutu genetik adalah meningkatkan efisiensi
reproduksi dan produksi dengan meningkatkan kemampuan reproduksi dan
produksi setiap ternak di dalam populasi. Menaikkan nilai tengah populasi
biasanya dinyatakan sebagai produksi per individu. Misal 15 l susu per ekor, 19
kg wol per ekor, 200 butir telur per ekor dst.

Menaikkan produk per individu tidak selalu sama dengan menaikkan
keuntungan ekonomis. Keadaan demikian disebabkan karena menaikkan
produksi biasanya diikuti dengan kenaikan ongkos produksi. Diperoleh banyak
bukti bahwa individu yang lebih produktif biasanya lebih efisien dalam
menggunakan pakan. Apabila fenomena tersebut benar maka tidak menyebabkan
kesalahan yang besar apabila karakteristik dinyatakan dalam unit produksi per
individu. Perlu selalu diperhitungkan dan ditirijau kembali efisiensi produksi
apabila produksi individu naik. Individu yang lebih produktif akan membutuhkan
pakan yang lebih banyak, tetapi biasanya lebih rentan terhadap penyakit.

Asumsi yang digunakan dalam membahas karakteristik ialah bahwa suatu
karakteristik ditentukan paling tidak oleh kombinasi gen atau yang sering disebut
dengan potensi genetik individu. Berdasar asumsi tersebut maka perbedaan antara
individu (kemampuan produksinya) menghasilkan suatu produk, sebagian
ditentukan oleh perbedaan kombinasi gen (potensi gen) yang dimiliki individu.

Pertanyaan yang perlu dijawab ialah - Bagaimana sesungguhnya
perbedaan tersebut terjadi ? Apakah kita dapat memanfaatkan perbedaan
tersebut?. Jawaban pertanyaan tersebut akan ditemui dalam mengikuti kuliah dan

108

membaca materi kuliah, mengikuti praktikum, diskusi dan membaca sumber
pustaka yang lain (di perpustakaan).

Beberapa perbedaan (genetik) tampak jelas pada individu dan dapat
diklasifikasikan dalam klas diskrit. Misal, warna kulit pada sapi, laju
pertumbuhan bulu pada ayam. Karakteristik yang masuk dalam klas diskrit
disebut karakteristik discontiriues atau kualitatif. Tidak semua karakteristik
kualitatif jelas dapat dilihat, misal gol darah, memerlukan bantuan teknik tertentu
untuk dapat membedakan golongan darah. Karakteristik kualitatif kalau
digunakan untuk mengelompokkan individu akan diperoleh klas diskrit.
Misalnya, pada sapi Shorthorn, RR merah, Rr roan (merah campur putih) dan
rr putih (tidak ada pigment). Untuk karakteristik tertentu, meskipun fenotipenya
diketahui, pengetahuan tersebut tidak dapat digunakan untuk spesifikasi individu
secara sempurna.

Berbeda dengan karakteristik kualitatif, karakteristik yang ekonomis
(kuantitatif) umumnya karakteristik yang tidak dapat dipakai untuk
mengelompokkan individu menjadi klas diskrit, tetapi dapat dalam klas
contiriues. Misal produksi susu pada laktasi pertama berkisar dari 800 l sampai
4000 liter. Berarti pada laktasi pertama tersebut ada kisaran variasi
(perbedaan/selisih) yang kontiriyu, seperti yang telihat dalam Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Klas contiriues 3200 4000 l

800 1600 2400

109

Perbedaan karakteristik kualitatif dan kuantitatif dapat dijelaskan sebagai berikut.

Karakteristik kualitatif Karakteristik kuantitatif

Diskripsi dan analisinya Diskripsi dan analisinya ditirijau dari
secara individual populasi

Diskripsi variasi kuantitatif pada contoh di atas bagian terbesar individu
mempunyai produksi di sekitar nilai tengah, sebagian kecil anggota populasi
mempunyai produksi menjauhi nilai tengah.

-2 -1 0 +1 +2
Gambar 4.2 Frekuensi distribusi produksi susu dalam standar

deviasi , liter susu

Kurva frekuensi Gambar 4.2 dapat dicirikan dengan besaran, rata-rata
aritmetik atau mean, dan standar deviasi atau simpang baku. Kurang lebih 2/3
(dua pertiga) anggota populasi terletak di daerah -2 s/d +2. Besaran pengukur
yang lain adalah variansi (variansi = kuadrat simpang baku). Variansi
disimbolkan dengan V dan simpang baku disimbolkan dengan . Berdasar con-
toh pada Gambar 1 dan 2 dapat dimengerti bahwa 2/3 anggota populasi
produksinya berkisar dari 1600 s/d 3200 liter (karena  = 400 liter).

110

Komponen Variasi

Telah diuraikan bahwa hanya dengan mengetahui fenotipe individu, kita
tidak dapat dengan pasti menentukan kombinasi gen yang dimiliki individu.

Konsep Genetik

1. Landasan genetik atau konsep genetik karakteristik kuantitatif

adalah kompleks.

Banyak pasangan gen mempengaruhi ekspresi atau pemunculan karakteristik
kuantitatif. Beberapa gen pengaruhnya terhadap fenotipe adalah kecil

Kombinasi atau banyak Karakteristik
pasangan gen kuantitatif

.
Telah banyak macam analisis dijalankan untuk mengetahui berpasang gen

mempengaruhi karakteristik kuantitatif tertentu. Estimasi yang diperoleh tidak
cermat. Hasil yang diperoleh melaporkan , ada petunjuk bahwa jumlah pasangan
gen tersebut berkisar 10 (sepuluh) sampai dengan 100 (seratus) pasang. Lepas dari
hasil tersebut yang bagi kita adalah, bagaimna kita dapat menaksir dan
selanjutnya dapat memilih individu dengan kombinasi gen atau potensi genetik
yang tidak diketahui dengan pasti berdasarkan hasil pengukuran karakteristik
kuantitatif. Proses fisiologik baik yang bersifat hormonal maupun enzymatik
banyak terlihat dalam pemunculan karakteristik kuantitatif.

111

2. Ekspresi karakteristik kuantitatif tidak hanya tergantung pada

kombinasi gen, tetapi juga pada faktor lingkungan.

Dua individiu monozygote indentical twin memiliki kombinasi gen yang
sama. Apabila kedua individu tersebut dipelihara di bawah faktor lingkungan
yang berbeda maka akan memunculkan karakteristik kuantitatif yang berbeda
pula. Gambarannya sebagai berikut.

G1 E1 G1 P1 = G1 +
1 1 E1
G2 E2 G2 P2 = G2 +

E2
E2 P3 = G3 +
G3 G3

E2

G4 E3 G4 P4= G4 +
E3

Gambar 4.3 Gambaran ekspresi potensi genetik yang sama di bawah pengaruh
Faktor lingkungan yang berbeda

Berdasar penggambaran di atas dapat dimengerti bahwa perbedaan/variasi
ekspresi karakteristik ( P1, P2, P3 dan P4) disebabkan atau ditentukan oleh
perbedaan genetik dan atau lingkungan (iklim, cuaca, tata ransum, tata
perkawinan, sinatasi dll).

112

Setiap individu mempunyai kombinasi gen yang tetap dari saat individu
terbentuk sampai saat individu tersebut mati atau dihilangkan manusia.
Penyimpangan dari kejadian tersebut dapat terjadi apabila ada proses dapat
menimbulkan mutasi. Mengetahui hanya fenotipe individu tidak memberi
informasi bagaimana kemampuan berproduksi individu telah ditentukan oleh
kombinasi gen yang dimiliki individu.

Contoh yang telah diuraikan memunculkan problema pokok yang kita
hadapi dalam membahas dan mempelajari karakteristik kuantitatif.

Misal dapat dipertanyakan, Berapa proporsi variasi total yang ada di
dalam satu populasi yang merupakan variasi genetik ?

Pertanyaan tersebut dapat dijawab setelah beberapa batasan ditetapkan.
Batasan tersebut, ialah Kemampuan produksi seekor individu yang diukur
berdasar satu karakteristik ditentukan oleh genotipe atau kombinasi gen yang
dimiliki individu tsb dan pengaruh faktor lingkungan yang diterima individu
tersebut selama berproduksi-. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut.

P=G+E

P = nilai fenotipe individu (dinyatkan sebagai kemampuan produksi yang
terukur; n liter susu, n butir telur, n kg daging )

G = nilai pemuliaan (dengan mengabaikan efek dominan dan epistasis)
E = efek atau pengaruh faktor lingkungan (dapat positif atau negatif)

113

Nilai Pemuliaan (Breeding Value)

Misal suatu genotipe dapat dibangkitkan berulang kali, dan hasil
pembangkitan genotipe yang sama tersebut dipelihara di bawah faktor
lingkungan yang berbeda. Dapat digambarkan secara sederhana sebagai berikut.

P1 P2 P3 P4
G G G G

E1 E2 E3 E4

P5 G P6 G
E6
E5

Gambar 4.4 Individu dengan G yang berbeda dipelihara di E
yang berbeda memunculkan P yang berbeda

Performans atau kinerja dari G yang berinteraksi dengan E yang berbeda
akan memunculkan P yang berbeda pula. Di dalam populasi yang besar maka
dapat diasumsikan bahwa efek faktor lingkungan terdistribusi acak dan normal
sehingga memiliki  = 0 dan  = 1.; dapat dijelaskan sebagai berikut.

P G E pengaruh E
P1 = G + E1 (+)
P2 = G + E2 (-)
P3 = G + E3 (+)
P4 = G + E4 (-)
P5 = G + E5 (+)
Pn = G + En (-)

 = P = G + 0 (+)

114

Karena asumsi jumlah seluruh efek faktor lingkungan sama dengan nol
maka kemampuan produksi rata-rata individu (dengan genotipe tertentu) sama
dengan nilai pemulaian genotipe yang dimilikinya. Atau, apabila sejumlah
individu yang berbeda genotipenya merupakan satu populasi (misal seluruh sapi
dalam populasi tersebut memiliki laktasi pertama), maka untuk populasi tersebut
berlaku P = G. Nilai tengah populasi sama dengan nilai tengah fenotipe, dan
sama dengan nilai tengah genotipe seluruh anggota populasi. Dapat dijelaskan
seperti pada Gambar 4.

N P=G

P =  P/N

1

P=G+E Gi =Gj ya E=0 P=G

tidak tidak

P=G
Gambar 4.5 Interaksi G dengan E menghasilkan P

115

Harus diingat bahwa kemampuan individu diasumsikan sama dengan P,
dan P = G + E. Berdasar dari Gambar 3 dan 4 dapat disimpulkan bahwa variasi
dalam suatu karakteristik di suatu populasi disebabkan oleh perbedaan genetik
antar individu dan faktor lingkungan. Dalam bentuk persamaan dituliskan
sebagai berikut.

Variansi P = Variansi G + Variansi E atau VP = VG + VE
Angka banding (VG/VP) disebut heritabilitas = h2 = heritability
karakteristik.

VG  h 2
VP

Variansi, Heritabilitas dan Perbaikan Mutu Genetik

Tujuan program pemuliaan ternak adalah menaikkan atau memperbaiki
produktifitas rata-rata populasi ternak yang dikembangkan. Dari urian di muka
dapat diketahui bahwa peningkatan produktifitass untuk suatu karakteristik dapat
diperoleh dengan jalan menaikkan nilai pemuliaan rata-rata.

Berbeda dengan tujuan pemuliaan yang sering digariskan oleh para stud
breeder tersebut, tujuan yang lain adalah tidak hanya mencapai sampai tingkat
produksi yang ideal di dalam populasi yang sekarang, tetapi merubah seluruh
populasi sehingga nilai tengah dapat dinaikkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Bagaimana cara mencapai tujuan tersebut ?

Konsep dasar program pemuliaan ternak adalah memilih kelompok
individu generasi sekarang untuk dapat dijadikan tetua generasi yang akan datang.
Masalah yang dihadapi adalah – Bagaimana dapat memilih individu yang terbaik
tersebut untuk dijadikan tetua generasi yang akan datang ? Supaya dapat

116

menjawab pertanyaan tersebut perlu diketahui dan ditetapkan 1) batasan

karakterisik (kemampuan produksi ) yang akan diperbaiki, 2) cara mengukur

karakteristik tersebut, 3) metode seleksi dan program kerja.

Hasil perbaikan atau peningkatan mutu genetik tergantung atau

dipengaruhi oleh variansi genetik yang ada di dalam populasi yang akan

diperbaiki. Dibahas lebih dahulu dua kasus ekstrim di bawah ini.

1) Misalkan variasi fenotipe (untuk karakteristik tertentu) di dalam suatu

populasi diketahui sebagai berikut. h2 = (VG/VP) = 0
VG =0  VP = VE  h2 =0

Apabila seleksi dilakukan untuk memperbaiki karakteristik tersebut maka :

nilai tengah tetua terpilih lebih tiriggi (baik) dari nilai tengah populasi tetua awal;

generasi progeni mempunyai nilai tengah sama dengan nilai tengah populasi

tetua awal;

berarti tidak ada kenaikan mutu genetik.

Generasi tetua P Ps VG=0
Generasi progeni VP=VE

h2=0

Po G=0
Gambar 4.6 Keadaan ekstrim, VG=0

117

2) Misalkan variasi genotipe untuk karakteristik yang lain disebabkan oleh

(seluruhnya) faktor genetik, maka diketahui sebagai berikut.

VE = 0  VP = VG  h2 =1 h2 = (VG/VP) = 1

Apabila seleksi digunakan untuk memperbaiki karakteristik tersebut maka

akan terjadi sebagai berikut.

a) Nilai tengah tetua terpilih lebih tiriggi dari nilai tengah tetua awal.

b) Nilai tengah keturunan (progeni) akan mempunyai nilai tengah sama

dengan nilai tengah tetua terpilih.

c) Pebaikan yang diperoleh maksimal.

Generasi tetua P Ps VE=0
Generasi progeni VP=VG

h2=1

Po G=maksimal
Gambar 4.7 Keadaan ekstrim, VE=0

118

BAB V

GENETIKA POPULASI

Dalam membicarakan pewarisan gen multipel maka pendekatan dengan
memakai genetika Mendel. tidak lagi dapat dipakai secara eksperimentil.
Mengapa demikian, disebabkan karena genotipe individu tidak dapat dikenali.
Sebagai akibatnya angka banding keturunan hasil suatu perkawinan tak dapat
diamati dan tidak dapat dipakai sebagai informasi. Oleh karena itu unit yang
dipelajari tidak lagi famili atau kelompok lebih bcsar yang terdiri dan beberapa
famili.

Kensep baru perlu dipakai, perlu untuk mempelajari karakteristik genetik
yang dimiliki oleh suatu populasi, disebut Genetika Populasi. Perlu diingat bahwa
perbedaan genetika Mendel dan genetika populasi adalah bahwa pada yang
pertama yang dipelajari adalah individu, dikelompokkan da1am kelas atau
kelompok (genotipe) yang berbeda, sedang pada genetika populasi yang dipelajari
adalah pengukuran karakteristik (yang dikontrol oleh mutlipel gen) pada
individu. Sehingga pcrlu dipelajari pewarisan pengukuran (inheritance of
measurements).

1. Frekuensi Gen

Frekuensi gen A, adalah proporsi lokus di dalam populasi yang membawa
gcn A. Misalknn kita punya populasi dengan sepasang gen , A dan a (untuk 1ebih
sepasang cara penghitungannya sama). Di dalam populasi akan kita dapati tiga
macam genotipe yakni: AA, Aa dan aa. Populasi ini dapat pula dinyatakan dalam
bentuk frekuensi ketiga genotipe tersebut, disebut frekuensi genotipe atau
frekuensi zigotik.

119

Suatu populasi ternak pada kenyataannya adalah suatu kelompok (sebagian)
hasil perkawinan antara individu anggota populasi tersebut (hasil perkawinan
silang dalam). Dalam populasi tersebut terjadi pewarisan gen dari satu gcnerasi
ke generasi yang berikutnya, jelas bukan genotipe yang diwariskan tetapi
genotipe akan terpecah lebih dahulu pada waktu meiosis, dan gen (kombinasi)
yang kemudian diwariskan.

Teladan 5.1 Mencari Frekuensi Gen

Jumlah individu AA Aa aa Jumlah
Jumlah lokus gen A
Jumlah lokus gen a 40 50 10 100
Jumlah lokus 80 50 0 130
0 50 20 70
180 100 20 200

Frekuensi gen A qA  130  0,65
200

Frekuensi gen a  qa  70  0,35
200

(qA  qa )  1 atau qA  (1  qa )

Frekuensi gen dapat mempunyainilai antar 0 (nol) sampai 1(satu)

qA  0 berarti semua gen yang ada adalah a (individu aa)
qA  1 berarti semua gen yang ada adalah A (individu AA)

Keuntungan menggunakan frekuensi gen ialah menghemat (ekonomis)

sebab, misal untuk sepasang gen cukup satu frekuensi gen; tetapi kalau

menggunakan frekuensi genotipe maka dibutuhkan 3 (tiga) frekuensi (AA, Aa,

aa). Untuk n pasang gen hanya dibutuhkan n frekuensi gen, tetapi untuk frekuensi

genotipe dibutuhkan 3n.

120

2. Kawin Acak (Random matirig or Panmixia)

Disebabkan karena sigot adalah hasil persatuan gamet (♂ + ♀) maka
frekuensi sigotik ditentukan oleh cara perkawinan individu ( penghasil gamet).
Kawin acak terjadi apabila setiap macam gamet jantan mempunyai kemungkinan
bertemu dengan setiap macam gamet betina dengan peluang sebesar proporsi
gamet betina di dalam populasi.

3. Frekuensi Gen dan Frekuensi Zigotik

Misal di dalam suatu populasi terjadi kawin acak. Frekuensi gen A sama

dengan qA dan frekuensi gen a sama dengan (1- qA). Keadaan demikian berarti

bahwa gamet yang dihasilkan oleh populasi tersebut sebanyak qA akan membawa

gen A, dan sebanyak (1- qA). gamet akan membawa gen a. Kawin acak yang
terjadi dapat digambarkan sebagai berikut.

Spermatozoa
Aa
q (1-q)

Aq q2 AA q(1-q) Aa Luas setiap segi 4 sama dengan
frekuensi setiap genotipe.
Telur a (1-q) (1-q)q aA Apabila frekuensi gen dihitung
dari jumlah sigot maka didapat
(1-q)2 aa qA = 0,64 + 0,16 = 0,8

0,8 A 0,2a = q2 +q(1-q) = q
(q) (1-q) Berarti frekuensi gen tetap dari
Generasi ke generasi
berikutnya

0,8A 0,64 AA 0,16
(q) 0,16 Aa Aa

0,2 0,04 aa
a
(1-
q)

121

4. Hukum Hardy-Weinberg

Hukum Hardy - Weinberg mula-mula diketemukan oleh Hardy dan

Weinberg secara tersendiri pada tahun 1908.

Hukum tersebut berbunyi - Apabila di dalam suatu populasi kawin acak

yang berukuran besar dan tertutup tidak terjadi mutasi, migrasi atau seleksi maka:

(1) frekuensi sigotik sama dengan kuadrat frekuensi genetik, dan

(2) frekuensi gen dan frekuensi genotipe akan tetap dari generasi ke generasi atau

berada dalam keadaan equilibrium (seperti pada teladan).

Sebagai konsekuensi dari hukum H-W tersebut ialah bahwa, berapapun besar atau

nilai frekuensi genotipe awal maka satu generasi hasil kawin acak akan

memberikan frekuensi sesuai dengan harapan hukum H-W.

Genotipe

AA Aa Aa

q q2 2q(1-q) (1-q)2

0,00 0,0000 0,0000 1,0000

0,01 0,0001 0,0198 0,9801

0,10 0,0100 0,1800 0,8100

0,30 0,0900 0,4200 0,4900

0,50 0,2500 0,5000 0,2500

0,70 0,4900 0,4200 0,0900

0,90 0,8100 0,1800 0,0100

0,99 0,9801 0,0198 0,0001

Dari tabel di atas dapat dicatat keadaan sebagai berikut.

122

1. Apabila q = 0,5 maka angka banding genotipe menunjukkan angka banding
F2 pada genetika Mendel. Juga terlihat bahwa pada q = 0,5 maka proporsi
heterosigot adalah maksimum. Grafik 2q(1-q) terlukis sebagai berikut.

½
.

0 1
0 0,5 aa
AA Aa

2. Apabila qA mempunyai nilai mendekati nol maka proporsi gen A yang ada
pada susunan homosigot sangat kecil dan hampir seluruh gen A ada dalam
heterosigot, misal qA = 0,1 maka hanya (0,02/0,20) atau 0,1 gen A yang
berada di AA sedang apabila qA = 0,5 maka 0,5 gen A berada di AA. Begitu
juga keadaannya apabila qa mendekati nol, yang berarti qA mendekati 1, maka
gen a banyak terdapat pada heterosigot.
Contoh. Apabila karakteristik resesif, warna merah, pada Aberdeen Angus

mempunyai frekuensi ± (1/400) =(qa)2, maka frekuensi gen = (1/20) = 0,05
maka akan dapat diharapkan 0,095 atau 9,5% populasi yang mempunyai warna
merah adalah heterosigot.

5. Frekuensi Perkawinan

Apabila perkawinan terjadi secara cak maka frekuensi macam perkawinan
dapat ditentukan sebagai berikut:

JANTAN

123

BETINA 2 2q(1-q)Aa 2
q2AA
q AA 32 (1-q) aa
2q(1-q)Aa
4 2q (1-q) 22
2
q 22 q (1-q)
(1-q) aa
3 4q (1-q) 3

2q (1-q) 3 2q (1-q)

22 2q (1-q) 4

q (1-q) (1-q)

Dari perkawinan di atas dapat dilihat adanya nama tipe perkawinan. Tipe
perkawinan seperti pada F2 adalah salah satu dari keenam tipe tersebut yaitu, (Aa
X Aa ), oleh karena itu deduksi data F2 tidak mewakili populasi kawin acak.

6. Dasar Distribusi Genetik

Mengacu pada persilangan antara AaBbCc x AaBbbCc, maka akan dapat

memberi hasil dengan distribusi (½ + 2n , n adalah jumlah gen. Tetapi

½)

distribusi spesifik yakni qA = qB = qC = ½ bentuk yang lebih umum adalah :

qA  (1 qA 2qB  (1 qB2qC  (1 qC2 apabila semua frekuensi gen sama

 maka rumus tersebut menjadi q  (1 q 2n , merupakan distribusi binomium.

7. Faktor-faktor Penyebab Frekuensi Gen Berubah

a. Kekuatan Sistematik
Adalah kekuatan yang dapat merubah yang dapat merubah frekuensi gen ;

perubahan yang terjadi dapat diduga besar dan arahnya.

Mutasi. Yang dibicarakan adalah mutasi bolak-balik dengan keccpatan

tertentu. Andaikan gen A mutasi ke gen a dengan frekuensi µ per generasi (µ
adalah proporsi semua gen A populasi yang berubah ke gen a dan terjadi diantara
satu generasi dengan generasi berikutnya). Dengan demikian apabila dalam suatu
populasi frekuensi gen A sama dengan q, maka akan terjadi µq mutant.

124

Sehingga pada generasi berikutnya frekuensi gen A =q1 akan menjadi : q1 = q -
µq. Maka perubahan frekuensi gen q (q) = q1 – q = q-µq-q = -µq

Sudah diterangkan dimuka bahwa laju mutasi sangat rendah (umumnya 10-5
–10-7 per generasi). Oleh karena itu mutasi hanya dapat mengubah frekuensi gen

secara sangat lambat, sehingga tak begitu pcntirig (dan sudut perubahan tersebut)

dalam animal breeding, kecuali apabila :

Mutasi tersebut merupakan satu-satunya proses yang dapat memunculkan

keragaman genetik yang baru, sehingga dalam jangka panjang dapat mengubah

spesies.

Kebanyakan mutan adalah recesive dan merugikan individu. Oleh karena itu

perlu dikeluarkan dari populasi dengan seleksi, berarti perlu mendapat perhatian

khusus.

Imigrasi . Apabila sejumlah imigran yang mempunyai frekuensi gen

tertentu (berbeda dengan yang dipunyai populasi yang akan dimasuki) masuk atau

dimasukkan ke dalatn suatu populasi, maka frekuensi gen dalam populasi akan

berubah.

Contoh
m = proporsi imigran
1-m = proporsi populasi asli
qm = frekuensi gen dalam imigran
qo = frekuensi gen dalam populasi asli
q1 = frekuensi gen dalam populasi campuran
Maka, q1 = mqm + (1-m)qo = m(qm-qo) + qo dan laju perubahan frekuensi gen

q = q1 – qo = m(qm – qo)

b. Seleksi I

Apabila individu yang membawa gen A, karena sesuatu hal, mempunyai

kemampuan reproduksi lebih tiriggi dan daya hidup lebih baik dibanding dengan

125

individu yang membawa gen a, maka individu kelompok pertama akan
menghasilkan keturunan yang lebih banyak dibanding individu kelompok kedua.
Dengan demikian maka frekuensi gen A akan naik. Keadaan demikian
sesungguhnya adalah hasil dari proses seleksi (akan diuraikan kemudian).

c. Proses-Proses Memencarkan (Chance Processes)
Termasuk dalam proses ini adalah proses yang dapat diduga arahnya .
Proses terpenting adalah proses random sampling pada waktu terjadi segregasi
Mendel.
Gen yang diwariskan dari generasi ke generasi sebenarnya adalah contoh gen
dari generasi tetua. Oleh karena itu frekuensi gen tersebut dipengaruhi oleh
variasi yang tcrjadi dalam proses sampling tersebut, dari generasi ke generasi..
Makin kecil jumlah tetua (populasi kecil ) maka makin besar variasi.
Misal kita hanya membicarakan dua sel A dan a, q = 0,5 pada dua populasi.
Populasi pertama terdiri dari 100 0000 individu. Populasi kedua terdiri dari 50
individu.
Populasi I akan menghasilkan gamet 200 000 (A dan a). Jumlah gamet A dan a
yang akan diwariskan ke generasi berikutnya tidak akan pasti dalam jumlah yang
sama. Mungkin kurang dari 100 000. Kalau ditirijau dari distribusi binomium
maka jumlah gamet tersebut adalah sbb.

100 000  100 000 x 100 000 100 000  233
200

Pada populasi II akan terdapat
50  50 x 50  50  5

100

223 dan 5 adalah standard deviasi. Kalau dibandingkan dengan jumlah individu
maka pada standard deviasi pada populasi I = 0,233% dan pada populasi II
=0,10%.

126

Dapat juga diterangkan sebagai berikut
Misal jumlah individu pada populasi generasi tetua adalah N; dan jumlah ini

tctap pada generasi yang berikutnya maka generasi berikut tersebut merupakan
contoh dengan besar Gambar 4.6 Keadaan ekstrim, VG=0.

Dengan distribusi tersebut berarti kita akan mempunyai contoh yang banyak

qA  (1 qa )2N

sekali masing-masing dengan besar 2N. Maka contoh yang yang tidak membawa

gen A ada (1 — 2N , sedang yang membawa 2N

q) gen A ada 2Nq(1-q) dan

seterusnya.

Apabila tidak ada kekuatan-kekuatan yang menekan maka nilai tengah

distribusi tidak akan berubah dan mempunyai s2= q(1-q)/2N (varian dari

2

distribusi binomium). Ragam (s ) yang menentukan perubahan frekuensi gen

sebagai akibat sampling proces.

Perhatikan, untuk 2N = 100.000
S2  q(1- q) untuk q  0,5

2N
S  100.000 x 100.000  223

200.000

Sampling proses pada generasi yang kemudian, berjalan kembali, setiap galur
(lme) mulai dengan frekuensi gen yang baru, dan contoh tersebut akan makin
memencar. Sebagai konsekuensinya maka akan terbentuk banyak galur. Apabila
satu galur telah terjadi maka q = 0 atau q = 1 dan akan tetap dalam keadaan
demikian, dengan sendirinya kalau tidak ada mutasi. Sehingga akibat yang timbul
adalah menaikkan proporsi homozigot dalam populasi.

127

Teladan 5.2

Misal suatu populasi dengan 2 individu ( N = 2 ) frekuensi gen awal q = 0,5.

Anggaplah dua individu tersebut adalah Aa dan Aa. Generasi berikutnya akan

4

terdiri dari 4 gen dan akan tersebar menurut distribusi (½ + ½) sehingga akan

diperoleh sebaran sebagai berikut.

Jumlah gen A q Frekuensi
4A=0a 1.0
3A=1a 0,75 4
2A=2a 0,5
1A=3a 0,25 (½) = 1/16
0A=4a 0,0
4
Ringkasan
4(½) = 4/16

4

6(½) = 6/16

4

4(½) = 4/16

4

(½) = 1/16

The effects of sampling in small populations are
(1) To cause differentiation between lmes or sub-populastions.
(2) To increase the frequency of homozygotes and consequently decrease the

proportion of heterozygotes.
(3) As a result of (2) the gentic variation within a small population is

decreased.

d. S e l e k s II
Dalam spesies atau bangsa setiap individu mempunyai kemampuan yang
berbeda dalam menghasilkan anak atau keturunan. Meskipun demikian masih ada
faktor-faktor lain. Seekor sapi yang mempunyai siklus birahi yang teratur, dapat
juga mempunyai anak yang sama dengan jumlah anak yang dihasilkan oleh sapi
yang mempunyai siklus birahi yang tak teratur. Peternak ikut juga menentukan,

128

karena mereka akan mengatur individu mana yang akan dikawinkan, berdasarkan
nilai-nilai genotipe dan fenotipe individu yang telah diketahui.

Misalkan, kemampuan reproduksi atau fitness dikontrol oleh satu gen,
apabila gen tersebut akan mempunyai efek yang mematikan dalam homozigot
maka individu yang hidup adalah individu heterozigot. Gen yang lain yang
mempengaruhi kemampuan reproduksi, dapat berada dalam keadaan homozigot
tapi menyebabkan penurunan fertilitas, sedang heterozigot dapat mempunyai
fertilitas yang normal apabila allel normal adalah dominan. Keadaan diatas akan
jelas dalam tabel berikut.
Jumlah rata-rata anak homozigot normal A1A1 ditunjukkan oleh W. Penurunan
fitness heterozigot A1A2 ditunjukkan koefisien seleksi S1 dan S2.

Apabila S1=0,1 dan S2=0,2 maka jumlah rata-rata anak individu A1A2
berjumlah 90% dari jumlah anak A1A2 dan anak A2A2 akan 80%. Karena ― gen
pool‖ generasi tetua tergantung dari jumlah individu yang mencapai umur kawin
dan berproduksi, oleh karena itu seleksi koefisien untuk jumlah individu yang
telah mencapai umur kawin dan berproduksi.

Tabel 5.1 Fitnes genotipe

Frekuensi A1A1 Genotipe A2A2
p2 q2
Fitnes A1A2
w 2pq w(1-S2)
Frekuensi pada p2 w(1-S1) (1-S2)q2
generasi anak 2(1-S1)

129

Apabila ada atau terjadi dominan lengkap (complete dominance) maka individu
heterozigot dan homozigot dominan tak dapat dibedakan. Apabila sifat dominan
tersebut adalah kemampuan reproduksi maka frekuensi anak individu dengan
genotipe A1A1, A1A2, dan A2A2 akan terlihat sebagai berikut:
(S1 = 0 dan S2 = S)

Tabel 5.2 Seleksi tak lengkap melawan resesif

Frekuensi progeni A1A1 Genotipe A2A2
sebelum seleksi p2 q2
Frekuensi setelah A1A2
seleksi p2 2pq q2(1-S)
Frekuensi relativ q2(1-S)
p2 2pq 1-Sq2
Gamet yang 1-Sq2 q2(1-S)
2pq 1-Sq2
dihasilkan A1 p2 1-Sq2
1-Sq2 130
pq
A2 1-Sq2

pq
1-Sq2

Setelah seleksi frekuensi gen A1 =

2p2  2pq  2p(p  q)

2(p2  2pq  q2  q2S) 2(1  Sq 2)

maka perubahan frekuensi gen A1karena adanya seleksi

 p  p 2  p  Sp q2
Sq 1  Sq 2
1 -

Teladan 5.3
Misalkan suatu populasi mempunyai frekuensi gen A2=0,1 (=q) sedang
koefisien seleksi (S)=0,5. Maka seleksi melawan (anak) A2A2 akan menambah
frekuensi gen A1 (p) perubahan tersebut (p)

p  0,5x0,9x0,01  0,00452
1  0,005

masih memakai S yangsama tetapi q  0,5 maka
p  0,5x0,9x0,25  0,07

1  0,125
Perbedaan hasil pada dua teladan tersebut menunjukan bahwa

perubahan frekuensi gen tidak hanya tergantung pada koefisien seleksi (S), yang
berarti kekuatan menghilangkan genotipe yang tidak di ingini, tetapi juga
tergantung pada frekuensi gen. Hal ini memang benar apabila terjadi dominan

pq  p
q2 q
lengkap, yang berarti pula bahwa pada frekuensi gen yang rendah, hampir

seluruh gen resesif terbawa dalam heterozigot hingga terlindung terhadap seleksi.

Angka banding antara gen resesif yang berada di heterozigot dan yang berada di

homozigot adalah sama dengan

pq  p
q2 q

Kalau harga q kecil maka angka banding tersebut mempunyai harga agak besar.
(q=0,01, p/q=99; q=0,001, p/q=999)

Untuk dua allel dan genetika maka rumus umum untuk perubahan
frekuensi gen karena seleksi tak lengkap melawan resesif menjadi

p  pq[qS2  S1(1  2p)]
1  2pqS1  q2S2

Apabila seleksi yang dilakukan hanya melawaan homosigot resesif yang berarti

S1  0 maka formula di atas menjadi 131

p  Sp q2 seperti telah diuraikan di muka.
1  Sq 2

Apabila terjadi semi dominan maka kerugian reproduksi heterosigot sama

dengan setengah kemampuan reproduksi homosigot resesif , S1 = S2/2 maka

perubahan frekuensi gen setelah seleksi ( satu generasi ) =

0,5p qS2
1  qS2

Apabila seleksi yang dilakukan adalah melawan dominan (A2), berarti

S1=S2 maka perubahan frekuensi gen A1 sama dengan p.

p  Sqp 2
S(1  p2)
1

Pembagi pada formula di atas dapat disamakan dengan satu tanpa
menambahkan kesalahan yang besar, sehingga formula untuk perubahan
frekuensi gen karena seleksi menjadi sebagai berikut.
Seleksi melawan gen resesif p  Spq2

Seleksi melawan gen semi dominan p  0,5 Spq

Seleksi melawan gen dominan p  Sqp2

Apabila seleksi melawan resesif yang lethal maka frekuensi gen normal akan
mendekati nilai = 1. Perubahan frekuensi gen lethal akan mendekati harga=q2
karena p dan S diandaikan sama dengan 1 atau mendekati 1. Sebagai teladan;
apabila q=0,01 maka seleksi akan menurunkan frekuensi gen lethal sekitar 0,0001
setiap generasi.

Seleksi paling efektif akan terjadi apabila frekuensi gen mempunyai nilai
ditengah (intermediate) dan paling tidak efektif apabila frekuensi gen mempunyai
nilai (1) atau (0).

Pada rumus p untuk seleksi melawan resesif maka hasilnya terutama
dipengaruhi oleh q2. Apabila q mempunyai nilai rendah maka p akan menjadi

132

sangat kecil. Kalau q rendah/kecil maka sebagian besar gen (A2) akan berada di
heterozigot, apabila gen tersebut resesif maka akan terhindar dari seleksi.

1) Koefisien seleksi

Dapat mempunyai nilai dari nol sampai dengan satu dan mungkin juga
mempunyai nilai negatif. Nilai negatif tersebut disebabkan karena suatu genotipe
mempunyai fitnes yang lebih tiriggi dari standart pembanding yang dipakai.

Koefisien seleksi mempunyai nilai satu berarti pula menghilangkan gen
lethal yang menyebabkan kematian individu sebelum mencapai umur kawin.

Didalam bangsa-bangsa yang terdaftar, maka penyimpangan dari standard
bangsa mempunyai koefisien seleksi=1 karena hewan yang mempunyai
penyimpangan tersebut akan tidak terdaftar. Contoh penyimpangan tersebut
adalah warna merah pada F.H dan Abendeen-angus

Terlepas dari persoalan diatas umumnya nilai S tidak akan besar, mengingat
kerugian dan bahaya yang akan ditimbulkan pada populasi. Kita boleh
menganggap bahwa sebagian besar gen yang tak diingini mempunyai S kurang
dari 0,01.

dominan resesif

S/8

Semidominan

Tekanan
mutasi

0 0,5 titik 1
Change of gen frequency by selection equilibrium

133

Penggunaan seleksi melawan resesif atau untuk gen dominan efisiensi
tertiriggi akan tercapai apabila frekuensi gen dominan sekitar 0.33. Seleksi
melawan dominan atau untuk resesif akan mempunyai efesiensi tertiriggi apabila
gen yang diinginkan sekitar 0,67.
Pada keadaan demikian kemajuan akan terbesar apabila gen yang diinginkan
sudah banyak.Hal ini disebabkan karena jumlah homozigot resesif yakni genotipe
yang dapat memunculkan gen resesif masih dalam jumlah kecil, selama gen masih
sedikit. Dengan demikian variasi dalam populasi belum banyak sehingga seleksi
tak efektif.

Sebaliknya apabila seleksi untuk (=melawan resesif) dominan akan tampak
juga pada heterozigot, sehingga meskipun pada frekuensi gen yang rendah (berarti
sebagian gen terbawa pada heterozigot) maka dapat dibedakan individu yang
membawa gen dominan (meskipun dalam heterozigot) dan yang tidak membawa
gen dominan (homozigot resesif). Apabila gen dominan telah menjadi banyak
maka sebagian besar fenotipe adalan dominan(A1A1,A1A2) sehingga resesif
sedikit berarti pada waktu ini seleksi untuk dominan atau melawan resesif akan
kurang efektif (=karena resesif yang dapat dikeluarkan hanya sedikit)

2) Generasi Yang Dibutuhkan

Waktu yang dibutuhkan untuk merubah frekuensi gen sampai harga tertentu

dapat diperkirakan. Untuk memudahkan perhitungan baiklah kita umpamakan,

tidak terjadi mutasi sedang gen normal adalah dominan lengkap, koefisien

seleksi=1 berarti homozigot resesif adalah lethal atau steril.

Apabila kita tentukan A sebagai gen normal, dan gen lethal, maka

frekuensi genotipe setelah seleksi :

AA Aa aa

p2 2pg 0

134

Frekuensi gen A pada generasi 1, populasi yang ada setelah seleksi, adalah

p . Karena seluruh gen A t et ap dalam p op ulasi,sedang jumlah gen a dikeluarka n
 q2
1

dari populasi,maka frekuensi gen A akan naik. Gen frekuensi pada generasi 1(pertama)

juga dapat dihitung dengan cara sebagai demikian.

p1  p 1 dan q1 q
p2  2pq 1 q 1 q

Setelah terjadi kawin acak, frekuensi genitipe pada generasi 2 (kedua) dapat dihitung

AA Aa aa

1 2q q2
(1  q)2 (1  q)2 (1  q)2

Individu aa tak mampu beranak (steril). Setelah seleksi maka frekuensi gen A

akan menjadi,

gen A --  p2  1q0 , gen a - -  1- 1  q 0  1  2q 0 1  q 0
1  2q 0 1  2q 0 1  2q 0

 q0
1  2q 0

q 0  berarti frekuensi gen tersebut sama dengan frekuensi gen di dalam generasi asal

p2  q2 1

Dari rumus di atas kemudian dapat dicari hubungan antara frekuensi gen dan
jumlah generasi yang diperlukan untuk seleksi.

Apabila n menunjukkan generasi yang ke n dalam seleksi maka gen
frekuensi pada generasi tersebut sama dengan

135

qn  q0
1  nq 0

Kemudian jumlah generasi yang dibutuhkan untuk mengubah frekuensi gen dari

q 0 ke q n dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

1  1  nq 0  1  n selanjutnya 1  1  n
qn q0 q0 qn q0

Apa yang telah diuraikan dimuka bahwa efesiensi seleksi tergantung dari
frekuensi gen, dengan rumus diatas dapat dijelaskan dengan cara lain yakni
dengan membandingkan jumlah generasi yang dibutuhkan dalam seleksi untuk
mengadakan perubahan frekuensi gen dengan nilai yang berbeda.

Teladan 5.4
Misalkan dalam suatu populasi 1% anggotanya mempunyai gen lethal atau
genotipe yang tidak diinginkan. Diketahui bahwa frekuensi gen lethal= 0,1.
Ditanyakan berapa generasi dibutuhkan dalam seleksi untuk menurunkan
frekuensi genotipe yang tak diinginkan menjadi 0,1% (atau frekuensi gen lethal)=
 0,001 = 0,032
Cara menghitungnya
n  1  1  1  1  31 10  21 generasi
q n q 0 0,1 0,032

Untuk frekuensi gen dengan harga menengah, untuk mengadakan
perubahan yang sama, generasi yang dibutuhkan akan lebih sedikit. Perubahan
setelah satu generasi seleksi akan lebih besar dari 1%. Untuk merubah frekuensi
gen dari 0,5 ke 0,1 akan dibutuhkan

1  1  10  2  8 generasi
0,1 0,5

136

Perubahan frekuensi gen hasil seleksi adalah permanent. Frekuensi gen baru
yang telah diperoleh akan tetap setelah seleksi selesai. Apabila seleksi dimulai
lagi maka frekuensi gen akan berubah lagi. Apalagi seleksi diteruskan pada salah
satu arah tanpa ada proses-proses yang melawan maka gen yang diseleksi akan
hilang, tetapi membutuhkan waktu yang sangat panjang.

Angka banding antara heterozigot dan homozigot sangat sedikit dipengaruhi
oleh seleksi. Apabila p adalah perubahan pada frekuensi gen maka frekuensi

homozigot akan perubah dengan 2 [p(p-q) + p2] pada satu arah dan

frekuensi heterozigot akan berubah dengan jumlah yang sama tetapi pada jurusan
yang berlawanan. Pada contoh di muka, waktu q=0,1 dan S=0,5 maka p =
0,005. Setelah satu generasi seleksi maka homozigot naik dari 0,82 ke 0,828 dan
heterozigot turun dalam nilai yang sama. Pada q=0,5; S=0,5 ; p=0,07
perubahan dalam homozigot =0,0049.

3) Seleksi untuk Heterozigot

Frekuensi A1A1 Genotipe A2A2
Fitness A1A2
2 2pq 2
1
p q
(1-S1) (1-S2)

Apabila A1A2 heterozigot mengungguli A1A2 dan A2A2 maka keadaan ini
disebut over dominan. Kalau hal ini terjadi maka seleksi akan melawan kedua
homozigot. Satu contoh extrim over dominan adalah balance lethals, pada

137

keadaan ini S1 dan S2 sama dengan satu. Besarnya perubahan frekuensi gen A1
= p

p   pq(S1p  S2 )
1  p2S1  q2S2

Besarnya perubahan tersebut dapat positif, negatif atau dapat nol. Laju

perubahan itu (p) = nol apabila S1p =S2q, populasi telah mencapai equilibium.

Frekuensi gen pada titik equilibium =

pE  S2
S1  S2

Apabila frekuensi gen lebih tiriggi dari frekuensi gen pada titik

equilibium maka seleksi akan menurunkannya. Apabila frekuensi gen lebih

rendah dari frekuensi gen pada titik equilibium maka seleksi akan menaikkannya.

Perubahan ini berlangsung terus sampai akhirnya titik equilibium tercapai.

Dengan demikian populasi tidak akan dapat menjadi homozigot, kecuali secara

gen a1 sebesar kebetulan dalam populasi yang kecil seleksi tak efektik untuk

merubah frekuensi gen menjauhi titik equilibium.

Contoh

Misal S1 = 0,1, S2 = 0,01, individu A1A1 mempunyai anak dengan jumlah
90% dari jumlah anak A1A2 dan individu A2A2 mempunyai anak dengan jumlah
99% dari jumlah anak A1A2. Jelaslah bahwa genotipe A2A2 mengungguli A1A1.

Gen A2 akan mendesak gen A1 hingga menyebabkan frekuensi gen A2 tetap
sama dengan

0,91  (1  p E  S2 )
S1  S2

138

f. Mutasi Timbal Balik

Untuk penyederhanaan suatu lokus mempunyai dua allel A1 dan A2. A1
adalah bentuk asli atau wild-type allele . Sejumlah bagian allel A1 mengalami
mutasi menjadi A2. Mutasi ini akan merubah frekuensi –(u)p, yakni pengurangan
jumlah bagian gen asli karena mutasi dikalikan frekuensi gen A1. Kemudian gen

A2 mutasi balik menjadi gen A1 dengan laju mutasi (v), yang berarti akan r
(1969). Menaikkan frekuensi gen A1 sebesar v(1-p). apabila equilibrium tercapai

maka gen yang hilang karena mutasi akan kembali karena adanya mutasi balik

sehingga sebagai akibatnya:

-up + v(1-p) =0 up = v(1-p)

Frekuensi gen (A1) pada titik equilibriu m  p v
uv

Sebagian besar peneliti mendapatkan bahwa mutasi balik jauh lebih jarang

bila dibandingkan dengan mutasi kemuka. Apabila frekuensi kedua mutasi

tersebut mempunyai angka banding qu =v maka frekuensi gen asli = 1/(9+1) =

0,1.

Perhatian : Baca PIRCHNER (1969). Population Gentics in Animal Breeding;

mengenai lethal equivalents .

g. Seleksi dan Mutasi

Karena hampir semua mutasi itu merugikan, maka seleksi secara otomatis
akan melawan fenotipe mutan, yang mempunyai fitness yang tidak sempurna.
Seleksi menekan mutasi yang merugikan sampai mempunyai frekuensi yang
rendah. Apabila seleksi menghilangkan gen mutan pada suatu lokus sama
jumlahnya dengan gen baru hasil mutasi maka populasi akan berada dalam
equilibium dan frekuensi gen mutan akan tetap (stabil).

139

Besar frekuensi equilibium gen mutan dipengaruhi oleh gen tersebut
dominan atau resesif. Seleksi melawan gen mutan resesif hanya dapat dilakukan
terhadap genotipe resesif. Frekuensi gen resesif pada keadaan equilibium antara

up  Spq2 Hasil mutasi = hasil seleksi
q2  u U = laju mutasi
S = koefisien
S

q u
S

seleksi dan mutasi dapat dinyatakan sebagai berikut .

Dengan perkataan lain frekuensi mutan resesif homozigot sama dengan

angka banding antara laju mutasi dan koefisien seleksi. Apabila koefisien seleksi

diketahui maka laju mutasi dapat diduga dari frekuensi fenotipe mutan.

Pada kasus fenotipe lethal maka S = 1 , sehingga dengan demikian laju

mutasi sama dengan frekuensi fenotipe mutan (pada populasi yang besar dan

terjadi panmiksis). Frekuensi mutan dominan, apabila tak ada mutasi balik

akan sama dengan

uq  Spq2 ; pq  u p u
S S

Frekuensi gen dominan (p) akan sangat kecil apabila S besar, dan q akan

mendekati 1 sehingga akibatnya :

S mempunyai nilai lebih besar dibanding u, bahkan dibanyak kasus nilai S jauh

lebih besar,

u  u atau (pq)
Sv
Frekuensi gen mutan resesif akan selalu lebih besar dari frekuensi gen

mutan dominan. Keadaan ini tidak berarti bahwa mutasi ke gen dominan kurang

140

sering dibanding mutasi ke gen resesif. Suatu gen mutan yang lethal akan

menghasilkan fenotipe mutan, sedang laju mutasi mempunyai nilai salah satu dari

2

q = u apabila gen mutan resesif
p = u apabila gen mutan dominan

-6

Laju mutasi diduga 10 (terdapat satu mutasi dalam tiap satu juta gamet).

Koefisien seleksi yang berbeda-beda akan menyebabkan frekuensi fenotipe mutan

(Q) yang berbeda pula :

S 0,01 0,1 1,0

-4 -6 -6

Q 10 10 10

Jelas bahwa mutasi merupakan kekuatan yang lemah terhadap gen

frekuensi (untuk dapat mengubah). Meskipun demikian pada koefisien seleksi

tertentu mampu menurunkan frekuensi gen mutan berarti juga fenotipe mutan, di

bawah frekuensi equilibium.

Meskipun untuk menghilangkan populasi suatu gen (dari suatu

populasi), yang memiliki frekuensi gen rendah, seleksi membutuhkan waktu yang

sangat lama, tetapi akan berhasil apabila tidak terjadi mutasi (atau imigrasi bolak

balik). Mutasi yang terjadi akan menciptakan gen baru yang telah dihilangkan

oleh seleksi, sehingga frekuensi gen tersebut tetap pada titik equilibium.

h. Gentic dan Mutation-load (beban genetik dan beban mutasi)

Yang dimaksud dengan gentic load adalah pengurangan atau penurunan
fitness suatu populasi disebabkan karena adanya genotipe sub optimal.
Penurunan fitness tersebut dapat juga disebabkan oleh tumbuhnya fenotipe mutan,
disebut mutatiaon load atau dapat juga disebabkan individu dalam keadaan
homozigot sedang individu heterozigot mempunyai fitness optimal, disebut
segregation load .

141

Beban mutasi sama dengan laju mutasi apabila gen mutan adalah lethal

2

resesif (q = u).
Apabila allel normal dari gen mutan tersebut menunjukkan dominan yang

tak lengkap, maka fitness individu heterozigot akan sedikit menurun dan frekuensi
gen lethal serta frekuensi homozigot resesif akan mempunyai nilai sangat kecil.
Hampir sebagian besar penurunan fitness disebabkan karena penurunan fitness
dari heterozigot (= 2S1pq). Pada titik equilibium frekuensi heterozigot tersebut
akan mendekati frekuensi mutasi, yakni 2S1pq = up sehingga q = (u/2S1). Oleh
karena itu beban mutasi dapat dinyatakan dengan rumus LM = (u/S1)S1 apabila p
mendekati nilai 1.

Apabila populasi dapat terdiri hanya dari individu homozigot, maka hanya
akan ada genotipe pA1A1 dan qA2A2 . Karena harga q pada titik eguilibium =
(u/2S1) , maka beban populasi homozigot = (u/S1) x S2 apabila S1 = hS2
sehingga (u/2S1) x S2 = (u/2hS1) x S2 = (u/2h) (= inbred load)
Dengan demikian maka angka banding antara beban pada populasi kawin acak
dengan beban populasi inbread = ( u / (2h/u)) = 1/2h.

22

Beban seagregasi dapat dinyatakan = S1p + S2q apabila fitness genotipe
optimal, yakni heterozigot sama dengan 1. Pada keadaan demikian maka
frekuensi gen pada titik equilibium p = S2/(S1 + S2). Beban seagregasi pada
frekuensi equilibium = (S1 S2)/(S1 + S2), apabila populasi hanya terdiri dari
individu homozigot (pA1A1 dan qA2A2) maka beban seagregasi populasi inbred
sama dengan (2S1 S2)/(S1 + S2), dua kali beban populsi kawin acak

Dengan k multiple allel beban inbread akan menjadi k x besar beban
populasi kawin acak.

Pengertian mengenai beban genetik perlu dipakai untuk mempelajari adanya
keragaman fitness .

142

BAB VI
HERITABILITAS DAN REPITABILITAS

Pengertian dan Manfaat Heritabilitas

Heritabilitas didefinisikan dalam arti luas (broad sense) dan arti sempit
(narrow sense) yang dibedakan dalam bentuk persamaan. Heritabilitas dalam arti
luas disimbolkan H2 dan dalam arti sempit disimbolkan h2.

Hubungan Saudara Kovariansi

Anak-dengan –satu tetua ½ VA
Anak-dengan –Mid Parent ½ VA
Saudara tiri ¼ VA
Saudara sekandung ½ VA + ¼ VD + VEC

Kovariansi x dan y = (x-x) (y-y)/(n-1)
(Periksa Bab III)

Telah diketahui bahwa efek (pengaruh) genetik maupun lingkungan
menyebabkan timbulnya keragaman pada pengamatan berbagai karakteristik
kuantitatif. Berapa bagian dari perbedaan yang terukur pada individu akan
diwariskan kepada keturunan. Dari Ilmu Genetika telah dipahami bahwa hanya
efek genetik yang ditimbulkan oleh gen-gen dalam khromosom yang mungkin
diwariskan, sedang efek lingkungan tidak dapat diwariskan.

143

Selain itu diketahui pula bahwa masing-masing gen mempunyai cara

bereaksi yang berbeda, secara aditif, dominan atau epistatik. Efek gen tidak dapat

diketahui secara langsung, yang dapat diupayakan adalah mengadakan penaksiran

tersebut ditaksir terpisah dari efek dominan dan epistatik terhadap keragaman

fenotipik, yaitu dengan koefisien heritabilitas. Cara ini dapat dilakukan setelah

ditemukan cara statistik untuk menguraikan ragam fenotipik menjadi komponen

genetik dan non genetik. Selanjutnya para pemula memusatkan perhatiannya

kepada komponen genetik yang dapat diwariskan dari tetua kepada keturunannya

Selanjutnya perlu diketahui pula, apakah fenotipe seekor ternak dapat

dipakai untuk menaksir nilai atau mutu genetik seekor ternak ?; untuk dapat

menjawab pertanyaan tersebut maka dikembangkan suatu konsep yang berupa

koefisien heritabilitas. Oleh karena itu sangat penting untuk mendalami

mengertian heritabilitas. Heritabilitas mempunyai dua pengertian.:

(a). Heritabilitas dalam arti luas yang diberi notasi H didefinisikan dengan

beberapa cara. Heritabilitas adalah suatu koefisien yang menggambarkan

proporsi atau bagian dari keragaman fenotipik total yang disebabkan oleh

pengaruh genotipe secara keseluruhan. H dapat dinyatakan dengan rumus

H = Vg sedangkan Vg = Va + Vd + Vi, Vp = Vg + Ve
Vp

H = Va  Vd  Vi = Va  Vd  Vi
Vg  Ve Va  Vd  Vi  Ve

H = heritabilitas dalam arti luas

Vg = ragam genetik total
Vp = ragam fenotipik
Va = ragam genetik aditif
Vd = ragam genetik dominant
Vi = ragam genetik epistatik
Ve = ragam efek lingkungan (non genetik)

144

Menurut teori, pada setiap karakteristik kuantitatif atau poligenik, Vg adalah
hasil keragaman genetik total yang terdiri dari Va + Vd + Vi, tetapi dalam
kenyataan tidak mungkin dipisahkan ke dalam komponen tersebut. Demikian juga

pada umumnya sulit untuk menguraikan Vp menjadi komponen Vg dan Ve.
Heritabilitas dalam arti luas (H) hanya menjelaskan berapa bagian dari

keragaman fenotipik yang disebabkan oleh keragaman genetik dan berapa oleh

keragaman efek faktor lingkungan. Akan tetapi tidak menjawab pertanyaan -

Berapa bagian dari keragaman fenotipik yang ada pada tetua yang dapat

diwariskan kepada keturunannya ?.

Genotipe seekor ternak tidak diwariskan seluruhnya kepada keturunannya.

Karena keunggulan seekor ternak yang disebabkan oleh kombinasi gen yang

beraksi secara dominan dan epistasi akan terpecah dalam proses pindah silang dan

seagregasi dalam meiosis. Oleh karena itu heritabilitas dalam arti luas dianggap

tidak bermanfaat bagi Ilmu Pemuliaan Ternak maka tidak akan dibahas lebih

lanjut.
(b). Heritabilitas dalam arti sempit (h2) yang selanjutnya secara singkat

disebut heritabilitas atau dengan notasi h2, t didefinisikan dengan beberapa cara.
Heritabilitas (h2) adalah suatu koefisien yang menggambarkan proporsi atau

bagian dari keragaman fenotipik total yang disebabkan oleh keragaman pengaruh

kelompok gen yang beraksi secara aditif, yang dinyatakan dengan rumus sebagai

berikut.

h2 = Va = Va = Va

Vp Vg  Ve Va  Vd  Vi  Ve

 Heritabilitas (h2) menggambarkan proporsi atau bagian dari keragaman antar
individu dalam kelompok tetua terseleksi yang dapat diwariskan kepada
keturunannya.

145

 Heritabilitas (h2) menunjukkan arah ketepatan fenotipe seekor individu

digunakan sebagai penaksir nilai genetiknya.
 Heritabilitas (h2) adalah regresi antara nilai genetik (pemuliaan) dengan nilai

fenotipik, atau dengan rumus

h2 = bAP =  (A  A)2 / n 1 = Va
 (P  P)2 / n 1 Vp

A = nilai genetik (pemuliaan)
A = rataan nilai genetik (pemuliaan)
P = fenotipe individu suatu karakteristik kuantitatif, P = rataan fenotipe
bAP = regresi antara nilai genotipik dengan nilai fenotipik

n = jumlah ternak dalam kelompok

Heritabilitas karakteristik kuantitatif dapat menaksir :

a. Nilai Pemuliaan (nilai genetik individu ternak),

b. menyusun rancangan program pemuliaan,

c. Menaksir respon seleksi

Di samping itu dengan mengetahui nilai heritabilitas maka kita dapat

mengetahui beberapa hal sebagai berikut.

a. Proporsi keragaman fenotipik total yang disebabkan oleh keragaman

efek kelompok gen yang beraksi secara aditif

b. Proporsi keragaman antar individu dalam kelompok tetua terseleksi

yang dapat diwariskan kepada keturunannya.

c. Aras ketepatan fenotipe seekor individu kalau digunakan untuk

menaksir nilai genetiknya

d. Secara kasar, dapat untuk mengetahui seberapa baik faktor lingkungan

yang dapat disediakan dalam populasi tersebut.

146


Click to View FlipBook Version