The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by soedito, 2017-07-30 07:19:28

BUKU_AJAR_PT_2012_YY_periksa

BUKU_AJAR_PT_2012_YY_periksa

Tabel 8.25 Rumus untuk menaksir nilai pemuliaan

Informasi yang Rumus/Persamaan
digunakan

Satu catatan produksi h2  (P  P)
individu
n Catatan produksiindividu nh 2 (P  P)
1  (n 1)t
n Catatan produksiinduk
Re rata produksifamili 1 nh 2
(individu ikut menentukan Pf ) 2
 1)t (PD  P)
Rerata produksiprogeni 1 (n

r n h2 (Pf  P)
1  (n 1)t

1 nh 2
2
1 (n  1)t (P os  P)

Produksi individu dan rerata famili h 2 1  r (Pi  Pf )  1  (n  1)r (Pf  P f 
1  t 1  (n  1)t )


297

Teori Seleksi

Di dalam suatu populasi, meskipun gen merupakan unit pewarisan dan
generasi ke generasi, tetapi yang dapat dipilih atau ditolak dalam seleksi bukan
gen tetapi individu (ternak). Oleh karena itu individu dapat dikatakan sebagai
unit terkecil dalam seleksi. Unit yang lebih besar adalah famili, galur dan bangsa.
Berdasar pengertian tersebut maka seleksi adalah memilih individu untuk tetua
generasi yang akan datang.

Apa yang terjadi dapat dijelaskan dengan Gambar 1.

induk
terpilih =b
proporsi
individu
z terpilih

P Ps
*p = titik pemenggalan

Po

Gambar 8.6. Populasi awal seleksi dan hasil seleksi

P = nilai tengah populasi
Ps = nilai tengah individu terpilih
Po= nilai tengah populasi progeni tetua terpilih
b = proporsi populasi yan dipilih
p*= titik pemenggalan
z = f(p*) tiriggi ordinat pada p*
S = seleksi diferensial

298

Diasumsikan bahwa P tersebar normal dengan frekuensi individu mengikuti
persamaan

 1 (PP)2
2

f (P)  1 e P Fungsi kepekatan baku (Nasituion,19..)
P 2

 1 p* 2
S  P e 2

b 2

P  simpang baku fenotipik /karakteristik

S  PS P  P z  Pi
b

i  disebut selection intensity atau standardized selection differential atau

intensitas seleksi

i  S  PS  P
P P
Berdasar persamaan tersebut dapat dimengerti bahwa kalau S naik maka i

naik sedang b turun

Contoh

b i

0,80 0,35
0,50 0,80
0,40 0,91
0,20 1,41
0,10 1,76
0,01 2,66

b = 0,80 artiriya indlvidu yang dipertahankan untuk generasi yang akan
datang 80%

299

Menaikkan proporsi individu yang dipertahankan 10 x lipat, dari 0,01
menjadi 0,10 akan menurunkan i sebesar 50% (1.76/2,66)

Respon seleksi

Pengertian. Respons seleksi atau tanggapan seleksi adalah selisih rerata
nilai fenotipik populasi progeni tetua terpilih dengan rerata nilai fenotipik
populasi asal tetua terpilih dipilih. Kelompok individu yang terpilih untuk tetua
generasi yang akan datang mempengaruhi atau mengubah rerata populasi dengan
2 (dua) jalan. Pertama, individu terpilih tersebut akan mewariskan sebagian
keunggulannya kepada anaknya, sehingga menaikkan kemampuan produksi
generasi yang akan datang. Kedua, sebagian keunggulan individu terpilih tersebut
akan tetap berada dalam populasi selama mereka tetap dipertahankan dan akan
berproduksi. Sebagai hasilnya maka produksi pada periode produksi dalam
generasi yang sedang berjalan (current genration, Laktasi I, II, III dan
seterusnya) akan dinaikkan.

Respon seleksi dalam gcnerasi yang sedang berjalan

Respons seleksi dalam generasi yang sedang berjalan , Rc = current
respons) dihitung dengan rumus

Rc = r S atau Rc = r i P
(r = repitabilitas)

Respons seleksi untuk generasi yang sedang berjalan dihitung atas dasar

keunggulan kelompok individu terpilih dalam waktu periode tertentu, misal 10

tahun. Kenaikan rerata nilai pemuliaan akibat seleksi bersifat kumulatif, baik

dalam generasi yang sedang berjalan maupun generasi yang akan datang.

Kalau respons per tahun = Ry maka selama sepuluh tahun untuk generasi

yang sedang berjalan selama 10 tahun = 10 Rc sedangkan berdasar tanggapan
pada generasi yang akan datang maka diperoleh

300

1 Ry + 2 Ry + 3 Ry + 4 Ry + 5Ry…….+ 10 Ry = 55 Ry
Maka jumlah seluruh respons (Rt)

Rumus umum Rt = 55 Ry + 10 Rc

Respon seleksi pada generasi yang akan datang

Karena tujuan seleksi adalah peningkatan rerata populasi dari generasi ke
generasi yang berikutnya, maka respons seleksi pada generasi yang akan datang
yang lebih dipentingkan dalam seleksi.

Tanggapan seleksi untuk generasi yang akan datang (selisih rerata
fenotipik generasi progeni tetua terpilih dengan rerata populasi asal tetua
terpilih dipilih) dihitung dengan rumus:

G = R = h2S
untuk satu generasi setelah seleksi

Nilai h2 dapat dianggap konstan untuk keperluan penaksiran respons seleksi
meskipun pada kenyataannya tidak demikian. Rumus dapat digunakan apabila
pemilihan tetua telah dilaksanakan meskipun seleksi belum selesai karena S
sudah dapat dihitung. S, diferensial seleksi, diperhitungkan baik untuk individu
jantan maupun betina (SM dan SF SMP = ½ (SM + SF )

Apabila seleksi sudah selesai maka tanggapan seleksi dapat dihitung
dengan rumus

G = R = Po-Pt

301

Apabila i dan P dianggap konstant maka h2S dapat digunakan untuk
menghitung tanggapan seleksi pada n generasi. Rumus lain adalah

G = R= h2 i P atau
G = R= h (G/P) i P= h i G
S = seleksi diferensial
i = intensitas seleksi
h2 = heritabalitas
P = simpang baku fenotipik
Dapat lebih mudah dimengerti dengan bantuan gambar di bawah mi

Tetua terpilih

Pt Ps
S = seleksi diferensial

Po R=Responseleksi

Gambar 8.7. Respon seleksi

S = ukuran keunggulan rerata tetua terpilih, sama dengan selisih rerata tetua

terpilih dengan rerata populasi asal tetua terpilih dipilih (=Ps-Pt).
Pt = nilai tengah populasi asal tetua terpilih dipilih
Ps = nilai tengah tetua terpilih
Po = nilai tengah populasi progeni tetua terpilih
R =h2S
R =h2(Ps-Pt) ; R =(Po-Pt).

302

Apabila yang dipentingkan adalah respons per tahun maka rumus di atas
arus dibagi dengan interval generasi. Interval generasi adalah rerata umur tetua
waktu beranak. Hubungan antara tetua terpilih dengan dengan progeninya dapat
digambarkan sebagai berikut.
S = diferensial seleksi
R = selection respons = gentic gain = tanggapan seleksi

Dapat pula dijelaskan dengan persamaan lain
Po=Pt + bop(Ps-Pt)
Po=Pt + h2 S

Faktor yang mempengaruhi respons seleksi

Diferensial seleksi
Pengertian. Diferensial seleksi (S) adalah selesih rerata produksi individu
terpilih dengan rerata populasi asal tetua terpilih dipilih. Berdasar teori bahwa
karakteristik terdistribusi normal maka S dapat diketahui kalau:
1. Proporsi individu yang terpilih untuk tetua akan datang diketahui.
2. Jumlah individu dalam populasi diketahui
Metode penaksiran S dan proporsi individu yang terpilih dengan
menggunakan Standardized Selection Diferential (SSD) dapat digunakan untuk
semua karakteristik. SSD dapat dihitung dengan bantuan tabel yang tersedia.

303

Tabel 8.26 SSD yang diperoleh dan intensitas seleksi yang berbeda

Persentase SSD Lush (1945)
Terpilih (untuk populasi besar)

90 0,20
80 0,35
70 0,50
60 0,64
50 0,80
40 0,97
30 1,16
20 1,40
10 1,75
5 2,06
4 2,15
3 2 ,27
2 2,42
1 2,67

Faktor yang mempengaruhi S. Diferensial seleksi dipengaruhi oleh 1)
proporsi populasi yang terpilih untuk generasi yang akan, 2) simpang baku
karakteristik yang di1ibatkan dalam seleksi.

Contoh P = 2 unit S = 2 x 0,80 = 1,60 unit
Populasi A 50 % dipilih P = 2 unit S = 2 x 1,40 = 2,80 unit
Populasi B 20 % dipilih P =1 unit S = l x 1,40 = 1,40 unit
Populasi C 20% dipilih

Berdasar rumus S = i P, i = (z/b) maka dapat dimengerti kalau S
dipengaruhi oleh simpang baku karakteristik yang dilibatkan dalam seleksi.
Seleksi diferensial harus dihitung pada individu jantan dan betina, apabila seleksi
dilakukan untuk individu jantan dan betina, kemudian dihitung untuk mid
parent. Rumus yang digunakan

304

Contoh

Misal diketahui 4 % pejantan muda dan 30 % calon induk dibutuhkan untuk

calon pengganti.

P = 1,2 kg (berat sapih)
Penghitungan SMP

(SM) 4 % ———> 2,15 P = 2,15 x 1,2 = 2,58 kg
(SF) 30 % ———> 1,16 P = 1,16 x 1,2 = 1,40 kg

SM + SF 2,58 + 1,40
SMP = = = 2 kg

2 2

R = h2 S

Lebih lanjut mengenai seleksi diferensial dan intensitas seleksi
S = i P
R = h2 i P

R
— = a genralised measure of the response
P
Dapat digunakan untuk membandingkan respons seleksi secara umum,

respons seleksi dalam populasi yang berbeda dengan menggunakan kriteria

seleksi yang berbeda pula.

S
— = a genralised measure of the selection differential
P

= standardised selection differential
= i, intensity of selection, intensitas seleksi

Dapat digunakan untuk membandingkan metode yang berbeda dalam
melaksanakan seleksi.

R = h2 i P
R = i A h

305

Persamaan tersebut, R, sering digunakan untuk membandingkan metode
seleksi karena i hanya tergantung pada proporsi populasi yang terpilih.
Menggunakan asumsi bahwa nilai fenotipik terdistribusi normal maka i dapat
dihitung atau ditetapkan dengan menggunakan tabel.

Tabel 8.27 Nilai S/P untuk populasi kecil (Van Vlek, 19..)

Jumlah yg Jumlah sample
diseleksi

98765432
1 1,49 1,42 1,35 2,27 1,16 1,03 0,85 0,56
2 1,21 1,14 1,06 0,96 0,83 0,67 0,42
3 1,00 0,91 0.82 0,70 0,55 0,34
4 0,82 0,72 0,62 0,48 0,29
5 0,66 0,55 0,42 0,25
6 0,50 0,3S0,23
7 0,35 0,20
8 0,19

Contoh Menghitung Generasi Interval

Induk disisihkan (di-cull) dari populasi umur ± 8,5 th

Kelompok umur 1 2 3 4 5 67
I Umur induk waktu 2 3 4 5 6 7 8 th

beranak 143 143 143 143 143 143 143 ekr
Jumlah induk

LF (Gnerasi Interval ) = 143 (2+3+4+5+6+7+8) / (7*143) = 5 th

306

Kelompok umur 12

II Umur pejantan waktu beranak 2 3 th

Jumlah pejantan 20 20 ekr

LM (Gnerasi Interval ) = 20 (2+3) / (2*20) = 2,5 th
Kalau kelompok umur diubah

Kelompok umur 1 234
3 4 5 th
III Umur pejantan waktu beranak 2 10 10 10 ekr

Jumlah pejantan 10

LM (Gnerasi Interval ) = 10 (2+3+4+5) / (4*10) = 3,5 th

Dari I dan II LMP = 5 + 2,5 / 2 = 3,75 th

Dari I dan III LMP = 5 + 3,5 / 2 = 4,25 th

Berdasar contoh di atas maka diperoleh informasi tentang struktur
hubungan pengaruh umur terhadap interval generasi.

Menghitung SM, SF dan SMP

Misal diasumsikan Net reproduction rate = 50 %

Jumlah induk = 20 ekor per tahun (II) per kelompok

Jumlah individu yang dipakai seluruhnya adalah

2 x 20 = 40 ekor

Pejantan/ induk = 20 : 143 (I)

Angka banding seks progeni = 1:1

Jumlah progeni yg diperoleh dari (1000) induk 250 + 250 = 500

PADA MODEL II

Per tahun dibutuhkan 20 ekor pejantan
Akan dipilih dari 250 calon pejantan (progeni)

Maka iM dapat dicari dgn bantuan tabel i
dengan persentase pejantan terpilih 20 / 250 = 8% (0.08)

307

diperoleh iM = 1.86 SM = 1.86 p
Pada Model I

Per tahun dibutuhkan 143 ekor induk
Akan dipilih dan 250 calon induk (progeni)
Maka iF dapat dicari dgn bantuan tabel i
dengan persentase induk terpilih 143 / 250 = 57% (0.57)
diperoleh iF = 0.69

Sehingga iF = 0.69 p iMP = 1.89 + 0.69 / 2
SMP = 1.24 p iMP = 1.24

Menggunakan
Induk dengan 7 kelompok umur (I)
Pejantan yang digunakan 2 kelompok umur (III)

Jumlah induk dibutuhkan per tahun 142 ekor
Jumlah pejantan yang dibutuhkan per tahun 10 ekor
Induk pengganti dipilih dari 250 calon induk (progeni betina)
Pejantan pengganti dipilih dari 250 calon pejantan (progrni jantan)

Dengan bantuan tabel diperoleh

iM = 2,15 iF = 0,69 iMP = 1,48
SM = 2,15 p
SF = 0,69 p
SMP = 1,48 p

Respon Seleksi per tahun
iMPph2

Ry =
LMP

LMP (I,II) = 3,75 th
LMP (I,III) = 5,25 th
Kenaikan i tidak berarti apabila diikuti dengan kenaikan L (generasi
interval)

308

METODE
SELEKSI

SELEKSI SELEKSI
ANTAR BANGSA DALAM BANGSA

UNTUK SATU UNTUK > SATU
KARAKTERISTIK KARAKTERISTIK

SELEKSI MASA SELEKSI TANDEM
SELEKSI ICL
SELEKSI FAMILI
SELEKSI INDEKS
SELEKSI
KOMBINASI

Individual Selection Membutuhkan

Pedigree Selection Heritabilitas
Progeni Selection Repitabilitas
Sib Selection Korelasi genetik
Within Family Selection Korelasi fenotipik
Combined Selection Korelasi lingkungan
REV

Menggunakan catatan produski tetua

MenggunakSanEcLataEtaKn pSroIduFksAi sMaudIaLraIkanduung
MMeenngggguunnFaakkAaannMccaaIttaaLttaaYnn ppSrrooEdduuLkkssEii spCaruoTdgaeIrnOai tNin

Menggunakan catatan famili
Menggunakan catatan produksi dan berbagai sumber

309

Seleksi Famili (Family Selection)

Seluruh anggota famili dipilih atau disisihkan berdasar rerata nilai fenotipik
famili, dengan demikian maka perbedaan yang ada di dalam famili (sama sekali)
tidak diperhatikan Famili yang digunakan dapat berupa saudara tiri atau
sekandung

Pertimbangan penggunaan seleksi famili
1. Heritabilitas karaktenistik rendah
2. Penggunaan (dasar) rerata nilai fenotipik famili berarti menghilangkan

pengaruh faktor lingkungan yang dimiliki anggota famili, berarti
bahwa rerata famili merupakan indikator yang baik untuk rerata nilai
genotipik famili
Faktor yang menurunkan efektivitas
1. Apabila pengaruh faktor lingkungan yang berlaku umum menyebabkan
perbedaan yang menyolok antar individu di dalam populasi.
2. Efektivitas seleksi dipengaruhi oleh ukuran (besar kecilnya) famili.

310

Gambaran perbedaan metode seleksi

1 23 45 B C D
A

A, B, C dan D terdiri dari 5 (lima) famili, masing-masing memiliki 5 (lima)
Anggota.

Rata-rata famili
Individu yang akan dipilih
Individu yang tidak terpilih

A = individu dipilih berdasar SELEKSI INDIVIDU
B = individu dipilih berdasar SELEKSI FAMILI
C = individu dipilih berdasar WITHIN –FAMILY-SELECTION
D = individu dipilih berdasar WITHIN-FAMILIY-SELECTION

Pada kondisi D WITHIN-FAMILIY-SELECTION paling menguntungkan;
Variasi antar famili besar dan variasi di dalam famili kecil

311

Kecermatan Seleksi

(Accuracy of Selection)

Statistically the accuracy of selection is presented by the correlation of the

Genotype of individual with the Phenotypic (Average)

Lasley (19..)

Contoh

KECERMATAN h

SELEKSI INDIVIDU G P

rGP= h

Efisiensi relatif

(Relative efficiency)

Efisiensi relatif dihitung dengan angka banding respons seleksi, hasil seleksi
dengan suatu metode, dengan respons seleksi hasil seleksi individu

Contoh

Relativ efisiensi seleksi dengan menggunakan n record individu
dihitung sebagai berikut.

GP ih 2 P n
GP 1  (n 1)t
Re  
ih 2P

Re  n
1  (n 1)t

312

I. Seleksi Famili

Rumus

Heritabilitas  hf2  h2 1  (n 1)r
1  (n 1)t

Respon harapan  Rf  i P h2 1  (n 1)r
n[1  (n 1)t]

 P  simpang baku nilai fenotipik individu
r  fullsib  1 ; half sib  1

24
t  korelasi nilai fenotipik individu anggota famili

Kriteria seleksi  rerata famili (rerata nilai fenotipik seluruh anggota famili

II. Seleksi dalam Famili (Within-family Selection)

Rumus

Heritabilitas  h2w  h2 (1  r)
(1  t)

Respon harapan  R w  i P h2(1  r)  n 1   iwh2w
 
 n(1  t) 

 P  simpang baku nilai fenotipik individu
w  simpang baku dalam famili

r  fullsib  1 ; half sib  1
24

t  korelasi nilai fenotipik individu anggota famili

Kriteria seleksi  deviasi setiap individu (nilai fenotipik) terhadap nilai

nilai tengah familinya

313

Taksiran hw2 dihitung dari pemecahan variansi between dan within family dalam
famili yang besar sbb:

Konsep heritabilitas yang diterapkan pada rerata famili atau deviasi dalam

famili mengintroduksikan prinsip baru. Heritabiiitas tersebut secara sederhana

adalah proporsi variansi fenotipik rerata family atau deviasi dalam famili yang

terdiri dan variansi aditif. Konsep heritabilitas ini dapat dinyatakan dalam
heritabilitas individu (karakteristik) = h2. Korelasi antar anggota famili dan

jumlah inidividu dalam famili dapat diperoleh dari pengamatan. Diasumsikan

famili cukup besar sehingga rerata famili dapat ditaksir dengan tepat (tanpa

error).

Dibahas lebih dahulu variansi fenotipik. Korelasi intraklas = t, antar

anggota famili, sama dengan komponen antar kelompok dibagi dengan vaniansi

total.

t  B2  B2  t T2
T2

2W  T2 - 2B  T2  2W  2B

2W  (1- t) T2

Pemecahan variansi aditiv antar dan dalam famili dapat diekspresikan
dengan cara yang sama. Korelasi antar NP dilambangkan r.

Vaniansi aditiv antar Famili = r VA ( t 2T= t VP )
Variansi aditiv dalam Famili = (l-r)VA
Pemecahan variansi dalam famili dan antar famili

314

Komponen teramati variansi variansi
aditiv fenotipik

Between family, 2 VB r VA tVP

Within family, 2 VW (l-r)VA (1-t)VP

Konsep heritabilitas menghasilkan

h 2  rVA  r h2
AF tVP t

h 2  (1  r) VA  (1  r) h2
DF (1  t) VP (1  t)

h 2  r h2
B t

h 2  (1  r) h2
W (1  t)

III. Seleksi Saudara (Sib Selection)

Kriteria yang digunakan adalah rerata famili tetapi indvidu yang akan
dipilih tidak ikut menentukan rerata famili.

hS2  h2 nr
1 (n 1)t

RS  i S hS2

IV. Seleksi Kombinasi (Combmed Selection)

Model yang digunakan
(P  P)  (P  Pf )  (Pf  P)
(P  P)  (P  Pf )  (Pf  P)

P  Pf  Pw
NPindividu  h 2Pf  h 2Pw atau individu dipilih berdasar
Index (I)

I  P   (r - t) x n  315
 (1- r) 1 (n 1)t  Pf
 

Efisiensi Relatif
Seleksi individu dengan N catatan produksi untuk nilai t yang

berbeda

Re n
1 (n 1)t

Jumlah catatan t = 0.05 t = 0.10 t = 0.25 t = 0.50 I

2 1.28 1.35 1.26 1.15
5 2.04 1.89 1.58 1.29
10 2.63 2.29 1.75 1.35
25 3.37 2.71 1.89 1.39
50 3.81 2.91 1.94 1.40
100 4.10 3.03 1.97 1.41
200 4.27 3.09 1.98 1.41
500 4.39 3.13 1.99 1.41

Grossman (1975)

316

TABLE 8.12 The ralative accuracy of progeny test as compared to selection
on the basis of individual performance

Number Heritabilitas karakteristik
of 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9
progeny
0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50
1 0.70 0.69 0.68 0.67 0.66 0.65 0.65 0.64 0.64
2 0.85 0.83 0.81 0.79 0.78 0.76 0.76 0.73 0.72
3 0.97 0.93 0.90 0.88 0.85 0.83 0.81 0.79 0.77
4 1.07 1.02 0.98 0.95 0.91 0.88 0.86 0.83 0.81
5 1.16 1.10 1.04 1.00 0.96 0.93 0.89 0.87 0.84
6 1.23 1.16 1.10 1.05 1.00 0.96 0.92 0.89 0.86
7 1.31 1.22 1.15 1.09 1.03 0.99 0.95 0.91 0.90
8 1.37 1.27 1.19 1.12 1.08 1.01 0.97 0.93 0.90
9 1.43 1.31 1.22 1.15 1.09 1.03 0.99 0.95 0.91
10 1.67 1.49 1.35 1.25 1.17 1.10 1.04 0.99 0.95
15 1.84 1.60 1.44 1.31 1.22 1.14 1.08 1.02 0.97
20 1.98 1.69 1.49 1.36 1.25 1.17 1.10 1.04 0.99
25 2.09 1.75 1.54 1.39 1.27 1.18 1.11 1.05 1.00
30 2.18 1.80 1.57 1.41 1.29 1.20 1.12 1.06 1.01
35 2.25 1.84 1.60 1.43 1.31 1.21 1.13 1.07 1.01
40 2.32 1.88 1.62 1.44 1.32 1.22 1.14 1.07 1.02
45 2.37 1.90 1.64 1.46 1.33 1.22 1.14 1.08 1.02
50 2.57 2.00 1.69 1.49 1.35 1.25 1.16 1.09 1.03
75 2.69 2.05 1.72 1.52 1.37 1.26 1.17 1.10 1.04
100

Uji Keturunan
Keuntungan dan kerugian

Faktor yang mempengaruhi respon seleksi
1. Kecermatan seleksi (RGP)
2. Intensitas seleksi ( I ), ( P)
3. Generasi interval

317

Keuntungan menggunakan Uji Keturunan diperoleh kalau

1. Heritabilitas (h2) karakteristik rendah
2. Karakteristik Sex limited

Kerugian

1. Intensitas seleksi lebih rendah
2. Membutuhkan seleksi pendahuluan untuk memilih calon pejantan yang

akan diuji (biasanya menggunakan uji performans atau direct pedigree
selection)
3. Menaikkan jumlah calon yang akan diuji akan menurunkan jumlah
progeni per jantan ( fasilitas terbatas) —> berakibat menaikkan
intensitas seleksi tetapi menurunkan kecermatan ( rGP)
Apabila struktur famili dalam populasi digunakan, maka rerata nilai
fenotipik setiap famili dapat dihitung. Rerata tersebut disebut rerata famili (family
mean). Misal dalam suatu populasi individu dikelompokkan ke dalam famili, full
sibs atau half sibs, dan semua individu memiliki catatan produksi serta rerata
setiap famili telah dihitung informasi yang tersedia tersebut memberikan peluang
untuk melakukan seleksi dengan menggunakan rerata famili.
Pertama mari kita amati masalah yang berhubungan dengan informasi
tambahan dan saudara. Misal seekor individu memiliki nilai pada batas untuk
dapat diseleksi dan dikeluarkan dari populasi, dia memiliki saudara yang memiliki
nilai tiriggi sehingga menyebabkan rerata famili menjadi tiriggi.

318

Kita dapat menginterpretasikan keadaan tersebut dengan dua cara.

a) Produksi individu rendah disebabkan karena pengaruh jelek faktor
lingkungan. Rerata famili yang tinggi memberikan informasi bahwa NP nya
individu lebih baik dibanding dengan nilai fenotipiknya

b) Atau dapat dikatakan bahwa rerata famili yang tinggi disebabkan karena
pengaruh faktor lingkungan umum yang baik, mungkin disebabkan oleh induk
yang baik, individu tersebut juga ikut mendapat pengaruhnya. Berdasar
interpretasi tersebut maka NP individu kurang baik dibanding nllai
fenotipiknya.

Pada kasus 1 harus diartikan bahwa informasi dari saudara lebih baik
sehingga kita akan memilih individu tersebut. Pada kasus 2 harus diartikan bahwa
informasi dari saudara kurang berguna oleh karena itu individu tersebut ditolak.

Pertanyaan yang harus dijawab, interpretasi 1 atau 2 yang
benar ?

Ada tiga hal yang perlu diketahui :

1. Macam famili (Full Sib atau Half Sib)
2. Jumlah anggota famili
3. Korelasi fenotipik antar karakteristik

Pemilihan metode cukup sederhana tetapi menerangkan pilihan tersebut
yang tidak sederhana. Oleh karena itu perlu mengetahui berbagai metode
seleksi dengan menggunakan informasi saudara.
4.Apabila progeni per pejantan ditambah maka kecermatan akan tinggi
tetapi akan memperpanjang interval generasi sehingga akan menurunkan
respon seleksi.

319

Contoh Go Po
(S) Beranak

5Th

GS GO1 P1 P
2 th 3 th

rt

S GOn Pn

6 th Go(calon pejantan terpilih
berdasar NP pejantan

Kecermatan Uji Keturunan

Dapat diukur dengan
1. Regresi NP pejantan (yang diuji) terhadap rerata progeni

bGP  0.25.nh 2
(n 1).0.25.h 2
1

bGP  perubahan rata - rata NP pejantan untuk setip satu unit perubahan
rerata progeni

n  jumlah progeni (diasumsikan tidak ada korelasi non - genetik antar

saudara

2. Menggunakan ½ bGP = bFP

bFP = (¼ nh2)/(1+(n-1) ¼h2 )

320

bFP = perubahan rata-rata NP progeni akan datang untuk setiap satu unit
perubahan rerata NP progeni sekarang

1. Menggunakan informasi saudara (famili)
Nilai fenotipik individu, P, yang diukur sebagai deviasi dari nilai

tengah populasi terdiri dari dua bagian.
a. Deviasi rata-rata famili dari nilai tengah populasi

(Pf - P) = Pf
b. Deviasi nilai individu dari rerata famili

(Pi – Pf) = Pw
P = (Pf + Pw)
Seleksi yang akan dilakukan tergantung pada perhatian yang diberikan
terhadap bobot dari kedua bagian tersebut. Kalau seleksi berdasar hanya pada
nilai individu maka berarti memberi bobot yang sama pada Pf dan Pw individu
tersebut. Seleksinya disebut seleksi individu (individual selection). Dapat pula
kita hanya mendasarkan rerata famili saja maka metode seleksinya disebut
(family selection) = Seleksi Family. Dapat pula kita hanya mendasarkan pada
deviasi dalam family, Pw, maka metode dan seleksi tersebut disebut seleksi
dalam famili (within-family selection).

c. Korelasi NP pejantan dengan rerata progeni

rGP  ¼nh 2
1  (n 1)¼h 2

321

Kecermatan seleksi uji keturunan dengan menggunakan bFP

 Progeni --------------------heritabilitas -----------------------
(n) 0.2 0.3 0.4 0.5

1 0.050 0.075 0.100 0.125
2 0.095 0.140 0.182 0.222
3 0.136 0.196 0.250 0,300
4 0.114 0.245 0.308 3.364
5 0.200 0.288 0.377 0.417
6 0.240 0.327 0.400 0.462
7 0.269 0.362 0.438 0.500
8 0.296 0.393 0.471 0.533
9 0.321 0.422 0.500 0.563
10 0.345 0.448 0.526 0.588
20 0.513 0.619 0.590 0.141
30 0.612 0.709 0.769 0.811
40 0.678 0.764 0.816 0.851
50 0.725 0.S02 0.8.47 0.877

Kecermatan seleksi uji keturunan mengukur juga efisiensi seleksi apabila
kecermatan tersebut tidak tergantung pada diferensial seleksi. Interval generasi
biasanya tidak demikian, apabila jumlah pejantan yang akan diuji sudah
ditetapkan dan jumlah progeni juga ditetapkan (sesuai dengan fasilitas yang
tersedia) maka makin banyak progeni diuji makin sedikit progeni pejantan.

Contoh

Misal akan memilih 4 calon pejantan, fasilitas tersedia untuk
400 progeni karakteristik B S = 0,4

rGP  ¼n h2  ¼ n (0.4)  n
1 (n 1)¼h2 1 (n 1)¼(0.4) n9

322

Pejantan Progeni rGP I rGP x I

10 40 0.900 4/10=0.97 (0.97)(0.900)=0.88

40 10 0.725 4/40=1.75 (1.75)(0.725)=1.27

Lebih baik menguji pejantan lebih banyak meskipun kurang cermat.

Cara yang ketiga, seleksi berdasarkan Pf dan Pw, Pf dan Pw diberi bobot
yang berbeda, metode seleksi demikian disebut seleksi menggunakan kombinasi
optimum (combmed selektion) = seleksi kombinasi. Metode ini diharapkan
dapat memberikan respon yang optimum sedangkan ketiga metode dimuka
merupakan kasus yang khusus dari seleksi kombinasi dengan memberi bobot 1
atau 0 pada Pf atau Pw Pada dasarnya seleksi kombinasi merupakan metode yang
terbaik tetapi perbedaannya dengan 3 metode tersebut tidak pernah terlalu tiriggi.

Tetapi meskipun demikian superioritasnya tidak melebihi 10 % pada famili

dengan 2 anggota (RR) superioritas S K mencapai 20 % apabila t = 0.875.

Berdasar nilai t tersebut dapat dikatakan bahwa superioritas S K mempu

nyai range untuk nilai yang sempit 0.75 0.875.

Secara umum dapat dikatakan bahwa hanya sedikit tambahan yang diperoleh

dengan seleksi kombinasi dibandingkan dengan metode yang lain yang lebih

sederhana.

Expected Response

(respon harapan)

323

Tabel Heritabilitas dan respon harapan pada metode seleksi yang
berbeda

Metode Heritabilitas Respon Harapan
Seleksi

Individu h2 R =iPh2

Famili h 2  h2 1 (n  1)r R f  iPh 2 1  (n 1)r
Sib f 1 (n  1)t n[1  (n 1)t]
Within  family
Kombinasi h 2  h2 1 nr R s  iPh 2 nr
s (n 1)t n[1  (n 1)t]

h 2  (1  r) R w  iPh 2 (1  r)  n 1 
w (1  t)  n(1  t) 

- R c  iPh 2  (r - t)2 x 1 (n 1) 
1  (1  t)  (n 1)t 
 

Informasi yang dapat digunakan untuk seleksi
calon pejantan

Apabila seleksi ditujukan untuk karakteristik yang memiliki heritabilitas
yang tinggi maka seleksi individu akan memberikan hasil yang cukup
memuaskan. Tetapi sex limitted karakteristik seperti produksi susu dan kadar
lemak susu, hanya dapat diukur pada ternak betina. Sehingga pejantan hanya
dapat dievaluasi untuk karakteristik tersebut dengan menggunakan informasi dari
kerabat betinanya. Kerabat tersebut dapat tetua, saudara tiri dan atau progeninya.
Informasi dan progeni pejantan merupakan informasi yang paling cermat untuk

324

menaksir nilai pemuliaan pejantan. Sedangkan informasi milik pedigree lebih
penting digunakan untuk menaksir nilai pemuliaan calon pejantan.

Informasi dan kerabat atau saudara dapat digunakan secara terpisah atau
dikombinasikan. Prinsip penggunaan berbagai informasi untuk menaksir nilai
pemuliaan pada dasarnya adalah menggunakan metode regresi (sederhana dan
ganda). Peubah bebasnya adalah hasil pengukuran karakteristik, nilai fenotipik,
baik pada individu dan atau dan kerabat. Peubah tak bebasnya adalah nilai
pemuliaan individu. Partsial regresi dapat dicari dengan menggunakan
penyelesaian persamaan simultan dengan menggunakan prinsip least squares.

Metode lain yang sangat membantu dalam penaksiran nilai pemuliaan
adalah analisis sidik jalur (Path Coefficient Analysis) yang dikembangkan oleh
Sewall Wright (1937). Diagram sidik jalur memberikan gambaran yang
lebih .jelas mengenai hubungan biometrik individu dengan kerabat dan informasi
yang dimiliki mereka.
Memilih calon pejantan

Dalam populasi pembibitan informasi tersedia yang digunakan untuk
menyeleksi calon pejantan adalah :
a) informasi milik pejantan calon pejantan tsb
b) informasi milik induk calon pejantan
c) informasi milik kerabat

a) Penggunaan informasi dari pejantan
Pejantan adalah kerabat jantan paling dekat calon pejantan. Pejantan ini
dapat dievaluasi dengan menggunakan produksi dari progeninya. Jelas bahwa
progeni betina pejantan-pejantan tersebut adalah saudara tiri calon pejantan yang
ditaksir nilai pemuliaannya. Oleh karena itu metode seleksi yang digunakan

325

adalah seleksi famili. Oleh karena itu generasi interval dan umur pejantan pada
waktu seleksi uji tidak penting karena pejantan tidak akan digunakan. Anak
pejantan tersebut yang akan dipilih. Karena calon pejantan tidak memiliki
produksi jelas tidak akan ikut menentukan rerata famili ( periksa rumus yang
harus digunakan ).

Menggunakan diagram sidik jalur maka dengan mudah akan dapat
diperoleh rumus untuk menaksir nilai pemuliaan calon pejantan.

NPind  bgi Pos (Pfos  P)
Apabila jumlah anggota famili yang digunakan n maka

NPcp  0,25nh 2 (Pf  P)
1  (n 1)t

Re sponseleksi dihitung dengan rumus

R  iph 2 nr
n[1  (n 1)t

Pertanyaan yang perlu diajukan adalah, berapa saudara tiri yang diperlukan
untuk mendapatkan taksiran yang cukup cermat ?. Falconer (1960) melaporkan
bahwa respons akan meningkat dengan meningkatnya jumlah anggota famili,
namun di lapangan hanya jumlah tertentu yang akan memberikan maksimum
respons.

b) Penggunaan informasi induk

Produksi induk penting dalam evaluasi pejantan muda karena induk
mewariskan separuh kombinasi gen yang dimilikinya kepada anak jantannya.
Penggunaan informasi dari induk untuk menghitung nilai pemuliaan dapat
diperiksa pada diagram jalur path coefficient. Pada gambar terlihat bahwa
korelasi antar individu yang diseleksi dengan K catatan produksi induk sbb:

326

rGI PD  0,25Khx, x 1
K[1  (K 1)R]
 0,25h K
R  0,5 (repitabilitas), untuk K  3, Kecermatan  0,3
1  (K -1)R

Selanjutnya dapat dihitung bG I PD  rG I P D ( GI )
PD

 0,25Kh2
1  (K 1)R

dan nilai pemuliaan pejantan muda  1 0,25Kh 2 (P D  P)
 (K 1)R

Penggunaan K catatan produksi induk untuk menaksir nilai pemuliaan
pejantan muda menurunkan pengaruh faktor lingkungan temporer yang
berpengaruh terhadap pengukuran produksi yang berbeda. Menggunakan K
catatan produksi menyebabkan hanya ada peluang 1 / K untuk pengaruh faktor
lingkungan temporer yang merupakan bagian dari rerata induk. Sebagai akibatnya
variansi fenotipik yang disebabkan oleh pengaruh faktor lingkungan turun, tetapi
variansi genetik aditiv tetap sama. Oleh karena itu penurunan variansi pengaruh
faktor lingkungan akan meningkatkan heritabilitas dan akhirnya penaksiran nilai
pemuliaan akan lebih efisien.

Pada kenyataannya apabila efek pengaruh faktor lingkungan temporer besar
dan repitabilitas rendah, maka dengan menggunakan beberapa catatan produksi
pada induk akan cukup membantu mengisi kelemahan tersebut. Kalau tidak
demikian maka ongkos produksi tambahan dan selama menunggu catatan
produksi tidak akan ekonomis.

Efek jumlah catatan produksi pada induk berbagai nilai repitabilitas dapat
diperiksa pada tabel di bawah ini.

327

Tabel 8.30 Pengaruh K dan repitabilitas terhadap koefisien regresi

bGI PD
K R = 0,5 R = 0,3

1 0,12 0,12
2 0,16 0,19
3 0,18 0,23
4 0,28 0,26
5 0,21 0,28

c) Penggunaan informasi kerabat atau moyang

Informasi milik maternal grand dam dan paternal grand dam ,juga dapat

digunakan untuk menaksir nilai pemuliaan individu yang diuji. Hubungannya

antara informasi tersebut dengan individu dapat diperiksa pada diagram jalur

koefisien di bawah ini.

Ppgd Go1 Po1

Gpgd Ppgd Ppgd Gs Go2 Po2 Po

Ppgd Go3 Po3
Ppd1 GI

Gs Ppd2 Ppd

Ppd3

Pmgd

Gmgd Pmgd Pmgd

Pmgd

328

Nilai pemuliaan pejantan muda dapat ditaksir dengan menggunakan
persamaan :

rG IPmgd  0,25m h x, x 1
m[1  (m -1)R

R  repitabilitas

Nilai pemuliaan pejantan muda 

bGIPmgd  0,25 m h 1 x G 1
m[1  (m -1)R P m[1  (m 1)R

 0,25 m h 2 (P mgd  P),
1  (m 1)R

P  rerata populasi, m  jumlah catatan produksiG mgd

Hasil yang akan diperoleh apabila informasi yang digunakan berasal dari

paternalgrand dam, maka nilai pemuliaan pejantan muda 

 0,25 ph2 (P pgd  P)
1  (p 1)R

P  rerata populasi
p  jumlah catatan produksiG pgd

Terlihat dari rumus bahwa induk mewariskan 1/2 nilai permuliaannya
sedangkan maternal dan paternal grand dan hanya 1/4. Oleh karena itu informasi
induk dan pejantan lebih memberikan informasi taksiran nilai pemuliaan individu
yang diuji.

Seleksi menggunakan index.

Nilai pemuliaan dapat ditaksir lebih cermat dengan menggunakan
kombinasi beberapa informasi yang berasal dari individu, saudara dan tetua.

329

Karena pejantan tidak memiliki catatan produksi maka informasi yang
dikombinasikan berasal dari saudara, tetua atau moyangnya.

Masalah yang dihadapi dalam menggunakan kombinasi informasi adalah
bagaimana menetapkan faktor pembobot untuk masing-masing informasi yang
digunakan dalam penaksiran. Masalah ini dapat dipecahkan dengan cara
menyusun index seleksi seperti yang telah dikaji oleh Smith (1936), Hazel
(1943), Handerson (1952, 1961), Legates and Lush (1954), dan Dickerson
(1958).

Teori Indeks Seleksi Xn maka indeks se1eksinya berbentuk
Misal tersedia informasi X1, X2

I  b1(X1  1)  b2 (X2  2 )  ........................  bn (Xn  n )
Pada kasus di atas  adalah rerata informasi yang digunakan sedangkan b adalah

faktor pembobot yang harus ditaksir untuk masing-masing informasi yang
digunakan. Hazel (1943) menyatakan bahwa laju peningkatan mutu genetik
(genetic gain) hasil dari seleksi menggunakan indeks =

G = iRG IG

i = intensitas seleksi
RGI = koefisien korelasi ganda
G = simpang baku nilai pemuliaan.

Berdasar persamaan di atas G dapat dimaksimumkan dengan cara memilih
nilai b sehingga RG I maksimum.

Persamaan yang digunakan untuk menaksir b adalah sebagai berikut:

330

b12X1  b2X1X2  ....................  bnX1Xn  X1G
b12X1  b22X2  ....................  bnX1Xn  X2G
____________________________________________

b1Xn X1  b2Xn X2  ....................  bnn  XnG

Teori ini berlaku juga untuk seleksi lebih dan satu karakteristik. Henderson
(1961) menyatakan bahwa X1G dalam persamaan di atas sama dengan ai2G.
Nilai ai adalah korelasi genetik antara individu dengan informasi ke i dan 
nilai pemuliaan individu yang ditaksir.
Persamaan di atas dapat ditulis dalam bentuk sbb:

1  F1h 2  a12h 2  .............a1n h 2  b1 a1h 2 
 
a h2 ...............a 2n h 2  2
 211 F2   b 2 a 2h 
 
________________________  _____________ 
  b 
a n1 a n2 1  Fnh2  n a n h 2 

Fi adalah koefisien inbreeding ke i

rGI  biai  bna n

Formula di atas diasumsikan bahwa seluruh variansi adalah variansi aditiv,
tidak ada korelasi antar nilai pemuliaan individu dan pengaruh faktor lingkungan,
lingkungan individu berkerabat tidak berkorelasi serta tak ada seleksi di dalam
populasi.

Apabila individu memiliki lebih satu record atau apabila rerata record
digunakan maka rumus yang digunakan

331

1  (ni  1)t Fi h 2 , ni  jumlah record yngdirata - ratakan, t  repitbilitas
ni

Apabila group means digunakan maka rumus menjadi

1  (ni 1)t  (Fih 2  (Pi 1))aiih 2
Pi Pi

ni = jumlah record anggota group
Pi = jumlah individu dalam group
Fi = koeficient inbrreding anggota group
aii = intraklas korelasi

Apabila ni = 1 rumus menjadi

(1  Fih 2  (Pi 1))aiih 2
Pi

Prinsip di atas kemudian digunakan untuk menggabungkan informasi dari
pejantan, induk, paternal dan maternal grand dam untuk menaksir nilai
pemuliaan pejantan muda.

Berdasar hubungan biometrik korelasi koeficient teoritik antar record milik
saudara yang berbeda, dapat disusun dalam matrik. Kasus hanya benar apabila
terjadi dalam populasi kawin acak yang besar dan tidak ada korelasi invaremental
antar mereka.

332

PD PS Pmgd Ppgd

b’1 b’2 b’3 b’4

PD b’1 1 0 0,5h2MK 0

PS b’2 0 1 0 0,25h2NP

Pmgd b’3 0,5h2MK 0 1 0

Ppgd b’4 0 0,25h2NP 0 1

K K P P
1  (K 1)R 1  (P 1)R

M M N N
1  (M 1)R 1  (N 1)R

Berdasar teori, koefisien korelasi antar catatan produksi berasal dari

berbagai kerabat, seperti dalam matrik di atas, nilai standardised partial regression
coefficient, b‘1, b‘2, b‘3 dan b‘4 dapat diperoleh dengan pemecahan persamaan

simultan di bawah ini.
rGiPD (a) = b‘1 +cb‘3
rGiPS (d) = b‘3 +cb‘1
rGiPmgd (e) = b‘2 +fb‘4
rGiPpgd (g) = b‘4 +fb‘2

333

Penyelesaian empat persamaan tersebut akan menghasilkan :

a-cd
b‘1=

1-c2

e-fg
b‘2=

1-f2

b‘3=d-c a-cd
1-c2

b‘4=g-f e-fg
1-f2

Menggunakan nilai b‘ kemudian disusun indeks = I

I=b‘1 (PD - P) + b‘2(PS - P) + b‘3(Pmgd - P) + b‘4(Ppgd - P)

334

BAB IX

SISTEM PERKAWINAN

Mengontrol Pewarisan Karakteristik Kuantitatif

Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh peternak mengontrol atau
mengatur atau mengubah pewarisan karakteristik temurun pada ternaknya. Apa
yang dapat mereka lakukan adalah memutuskan individu yang boleh beranak
atau tidak boleh beranak. Dengan sendirinya untuk dapat beranak ternak tersebut
harus dikawinkan lebih dahulu. Sekali lagi peternak dapat menentukan individu
yang akan dikawinkan atau disilangkan.

Untuk melaksanakan program perkawinan tersebut peternak dapat
memakai beberapa sistem perkawinan yang dibedakan atas dasar ras hubungan
keturunan yang dimiliki oleh individu yang akan dikawinkan. Karena pejantan
dan betina yang akan dipasangkan dalam perkawinan menurut sistem perkawinan
tersebut adalah dipilih lebih dahulu, maka. jelas bahwa perkawinan tersebut
bukan lagi perkawinan acak.

Apabila pasangan individu yang dikawinkan mempunyai hubungan
keturunan yang lebih dekat dari hubungan keturunan rata-rata yang ada dalam
populasi (tempat individu tersebut menjadi anggota ) maka sistem perkawinan
demikian disebut inbreeding atau silang dalam.

Apabila hubungan keturuan antara pasangan individu yang akan
dikawinkan lebih jauh dari hubungan rata-rata hubungan keturunan yang ada
dalam popu1asi (tempat kedua individu tersebut menjadi anggota) maka sistem
perkawinan tersebut disebut out breeding atau silang luar.

335

Dapat pula perkawinan tidak didasarkan atas hubungan keturunan tetapi
atas dasar kesamaan atau kemiripan fenotipe. Apabila pasangan individu yang
dikawinkan mempunyai lebih banyak kemiripan bila dibandingkan dengan
kemiripan rata-rata yang ada di dalam populasi (tempat dua individu tersebut
menjadi anggota) maka perkawinan tersebut disebut positive assortive matirig.
Apabila kemiripan fenotipe antara pasangan lebih jauh dari kemiripan rata-rata,
perkawinan tersebut disebut negative assortive matirig ( misal jantan besar
dikawinkan dengan betina kecil)

Silang dalam (Inbreeding)

Inbreeding adalah perkawinan antara dua individu yang mempunyai
hubungan keturunan, karena mempunyai moyang bersama (common ancestor).
Oleh karena mempunyai moyang bersama maka pasangan individu tersebut
mempunyai gen serupa yang berasal dari moyang bersama tersebut.

Keturunan (progeni) yang berasal dari inbreeding akan dapat mempunyai.
dua gen pada satu lokus, yang identik (AA) yang masing-masing berasal dari
tetuanya.

Salah satu cara untuk mengetahui derajat silang dalam tersebut dapat
diukur dengan mnghitung koefisien silang dalam. Wright (19..) memberi batasan
koefisien silang (F), sebagai korelasi antara gamet, yakni antara nilai genetiknya.

Pada dasarnya dua gen misal x1 dan x2, dapat merupakan gen yang
equivalent melalui dua cara. 1) Gen tersebut mempunyai fungsi yang sama,
karena mempunyai susunan nucleotida yang sama (misal pada sapi, gen yang
berada pada lokus golongan darah ). Dalam keadaan demikian kedua gen tersebut
dikatakan sama dalam status (alike in state). 2) Dua gen dapat pula identik
karena kedua gen tersebut merupakan gen yang sama yang berasal dari moyang
bersama. Dengan sendirinya kedua gen tersebut mempunyai fungsi dan

336

nucleotida yang sama. Dalam keadaan demikian kedua gen tersebut disebut
identik karena karena keturunan. Beberapa atau bahkan kebanyakan gen yang
identik karena status sebenarnya juga identik karena keturunan karena gen
tersebut berasal dari nenek moyang yang jauh, mungkin beberapa ratus generasi
kebelakang.

Di dalam inbreeding generasi kebelakang ke moyang bersama, disepakati
hanya sampai enam generasi. Kemudin gen yang identik karena status, dalam
populasi dasar atau awal dinyatakan bukan identik karena keturunan ( F = 0 ).
Malicot (19..) membatasi koefisien inbreeding sebagai peluang untuk dua gen
dalam satu lokus menjadi identik karena keturunan. Kalau ditinjau dari jumlah
total lokus, koefisien inbreeding berarti proporsi lokus sebanyak F diharapkan
akan membawa gen yang identik karena keturunan atau dalam kata lain adalah. :
F proporsi lokus yang heterozigot pada generasi awal telah menjadi homozigot.
Misal l suatu populasi (generasi awal) mempunyai 50% lokus heterozigot maka,
setelah mengalami inbreeding dan F = 40% berarti bahwa 40% lokus heterozigot
dalam populasi awal telah menjadi homozigot..

Koefisien silang dalam (koefisien inbreeding)

Koefisien inbreeding dapat dicari atau dihitung dengan cara demikian

A Misalkan individu V menerima gen a1
dari tetuanya, A. Peluang individu
VY Y menerima gen yang sama, a1 , dari

W individu A adalah ½.
X

Peluang individu W menerima gen a1 d.ari V adalah ½. Peluang individu
X menerima gen a1 dari individu W juga sama dengan ½.. Dengan demikian
maka peluang individu X dan Y menerima gen a1 dari A adalah = ½ x ½ x½ =
(½) 3.

337

Peluang individu X menerima gen a1 dari individu Y juga sama dengan ½.
Oleh karena itu jumlah peluang individu X menerima gen a1 dari kedua tetuanya

4

= (½) = 1/16.
Selanjutnya peluang individu X menerima gen a1 dari salah satu tetuanya

dan gen a2 dari tetua yang lain, apabila kedua gen tersebut adalah gen yang
identik karena keturunan dan telah dimilki oleh individu A, adalah sama dengan
FA yakni koefisien inbreeding A (tetua). Oleh karena itu jumlah (semua) peluang
supaya individu X mempunyai gen yang identik karena keturuna menjadi 1/16
(1+FA). Contoh tersebut dapat dipakai dalam bentuk umum sebagai berikut.

Apabila jumlah generasi salah satu tetua ke moyang bersama adalah n1, dan
jumlah generasi dari tetua yang lain dari satu individu ke moyang bersama adalah
n2, sedang koefisien inbreeding moyang bersama tersebut FA maka koefisien
inbreeding individu tersebut adalah FX

FA   ( ½)n1n21(1 FA)
Penjumlahan tersebut tidak hanya berlaku untuk tiap moyang bersama tetapi
berlaku pula untuk setiap hubungan yang ada antara kedua tetua dan moyang
bersama. Supaya lebih jelas periksalah perhitungan koefisien inbreeding seperti
di bawah ini.

A E Yang dihitung adalah FX
X C Misalkan diketahui FE = 1/8

F

BD

Gambar 9.1 Inbreeding

338

A – E – C – B = (½)4 + (1+ = 9/128
1/8) = 9/128A – E – D – B = (½)4 + (1+1/8) = 1/32
A – E – F –D – B = (½)5 = 11/64

FX

Cara lain menghitung koefisien inbreeding, terutama untuk populasi
kecil, ialah yang berdasarkan pada penghitungan koefisien kekerabatan
(coefficient of coancestry) yang dibuat oleh Malcot. Koefisien kekerabatan
berbeda dengan koefisien hubungan (coefficient of realtionship) Wright (19..).
Koefisien hubungan adalah korelasi antara nilai genetik individu (efek genetik
aditif). Dalam populasi kawin acak (panmiksis) koefisien hubungan
mempunyai nilai dua kali koefisien kekerabatan Malcot. Koefisien
kekerabatan dibatasi sebagai peluang satu gen pada satu individu dapat
menjadi gen identik karena keturunan dengan dua gen pada satu lokus dari
individu yang lain. Lebih jelasnya, misal gen pada satu lokus tertentu dalam
individu X diberi nama a dan b, sedang dua gen pada lokus yang sama dalam
individu Y diberi nam c dan d. Apabila p(a=b) mencerminkan peluang bahwa
gen a identik karena keturunan dengan gen b, maka koefisien kekerabatan
antara X dan Y adalah sebagai berikut.

rxy = ¼ [ P(a=c) + P(a=d) + P(b=c) + P(b=d)]

Keadaan yang istimewa adalah mencari koefisien kekerabatan seekor
individu dengan individu itu sendiri. Kalau ditinjau dari batasan di atas maka
koefisien tersebut adalah peluang satu gen dapat menjadi identik karena
keturunan dengan dua alil (gen) yang ada. Peluang untuk identik diri sendiri
adalah 1. Sedang peluang satu gen untuk identik karena keturuna dengan gen
yang lain sama dengan besarnya koefidien inbreeding individu tersebut. Nilai
rata-rata dari kedua peluang tersebut menjadi koefisien kekerabatan.

Rxx = ½(1+Fx)

Dengan menggunakan persamaan di atas maka hubungan dari koefisien
kekerabatan antara individu di dalam contoh silsilah seperti pada gambar 9.2
dapat dihitung, dan terhitung seperti pada Tabel 9.1

Tabel 9.1 Koefisien kekerabatan C D E F
9/64 21/128 9/32 1/8
AB
53/128 11/32 29/128
A 1/2 11/64 13/64 9/32 1/4
5/8 13/32 3/8
B 75/128 45/128 9/16 1/4
C 1/2 1/2
D
E

F

Supaya lebih jelas, ditinjau kembali silsilah pada Gambar 9.2
AE

X CF
BD

Gambar 9.2 Inbreeding -2
Telah diketahui bahwa F mempunyai koefisien inbreeding = 0, sedang E
mempunyai koefisien inbreeding = 1/8. Individu yang terlihat dalam silsilah
dan tidak mempunyai hubungan dengan pasangannya disebut O. Koefisien
kekerabatan dihitung sebagai berikut.
rFF = ½ ; rFxO, F = ½ (1+ FE) = ½ (1+1/8) =9/16, individu adalah E adalah
anak F, oleh karena itu
rFF = rFxO, F = ½ (rOF + rFF) = ¼ , rOF = 0, rFxO, F = rFO, F = koefisien

340

kekerabatan antara individu (progeni) hasil perkawinan [F x O] dan sesekor
tetuanya yakni F. Koefisien kekerabatan antara tetua dan anak sama dengan
nilai rata-rata koefisien kekerabatan tetua sendiri (dengan dirinya sendiri) rFF +
koefisien kekerabatan antara tetua, rFO. Individu D adalah progeni E dan F
oleh karena itu
rDE = rExF,E = ½ (rDE + rEF ) = ½ (9/16 + ¼) = 13/32 . Selanjutnya
rCE = rExO,E = ¼ (rEE + rEF) = ½ (9/16 + 0) = 9/32
rAC = rExO,ExO = ¼ (rEE + 2rEO + rOO) = ¼ x 9/16 = 9/64
rCD = rExF,ExO = ¼ (rEE + rEO + rEF + rFO) = ¼ x (9/16 + 4/16) = 13/64

Koefisien inbreeding dapat ditaksir dari koefisien kekerabatan dirinya
sendiri, misal
rDD = ½ ( 1 + FD ) , 2 rDD = 1 + FD , FD = 2rDD-1, dengan menggunakan
Tabel 13.1.1 FD = 2(5/8) – 1 = ¼
Cara yang lebih mudah adalah menggunakan koefisien kekerabatan antara
individu , misal FD = rEF = ¼
FX = rAB + rExO,CxD = ¼ (rEC + rED + rOC + rOD)
= ¼ (9/32 + 13/32 + 0 + 0) = ¼ x 44/64 = 11/64
Jelaslah bahwa hasil-hasil di atas persis seperti kalau dicari dengan memakai
rumus Wright (19..)

Dengan contoh-contoh di atas maka saudara dapat menghitung
koefisien inbreeding individu hasil sistem perkawinan yang regular. Sistem
perkawinan regular adalah suatu sistem yang mengawinkan dua individu, pada
generasi berurutan, yang mempunyai taraf hubungan yang sama. Hasil
perhitungan koefisien inbreeding tersebut akan diperoleh seperti pada Tabel
9.1

Self-feretilization

Selfing adalah inbreeding yang terkuat Selfing tak mungkin

341

dilaksanakan pada hewan tingkat tinggi tetapi biasa pada hewan tingkat rendah
dan tanaman. Pada lebah perkawinan antara lebah jantan (drone) dan ratu
induk (mother queen) mempunyai nilai sama atau equivalen dengan selfing.
Misalkan generasi ke 0 ditandai dengan A, generasi ke I dengan 1, generasi ke
2 dengan Z, maka formula umum yang berlaku adalah sebagai berikut

Generasi 1, FY = rXX = ½ (1+FX) apabila FX = 0
Generasi 2, FZ = rYY = ½ (1+FY) apabila = ½(1 + ½ ) = ¾
Apabila jumlah generasi disebut t, maka persamaan umum adalah sebagai
berikut :

Ft = ½ ( 1+ F t-1)

Selanjutnya dapat dicari persamaan untuk indeks panmiks, P, yakni peluang

bagi gen pada satu lokus supaya tidak identik karena keturunan. Persamaan

tersebut sebagai berikut.

PA = 1- FA
PY = 1- FY = 1 – ½ (1+FX) = ½ - ½ FX = ½ (1-FX) = ½ PX
PZ = 1- FZ = 1 – ½ (1+FY) = ½ PY = ¼ PX

Bentuk umum

Pt =( ½)t Po

Dengan kata lain, heterozigot akan berkurang pada tiap generasi selfing
sebesar setengah jumlah yang ada pada generasi yang terdahulu.

342

Full-sib Matirig

Full-sib matirig merupakan sistem inbreeding terkuat yang dapat

dilaksanakan pada hewan tingkat tinggi, termasuk ternak. Periksalah Gambar

13.3.1 , apabila huruf S dan V sebagai pengganti individu S, sedang T dan W

sebagai pengganti individu B maka dengan menggunakan rumus terdahulu.

FZ = rXY = rAxB,AxB AB

= ¼ (rAA + rBB + rAB)

apabila FA = FB ST VW
rAA = rBB = ½ (1 + F t-2) X Y
selanjutnya

rAB = F t-1 Z

Gambar 9.3 Full-sib Matirig

Karena X dan Y adalah full-sib maka koefisien inbreeding tetua sama dengan
koefisien kekerabatan tetuanya. Selanjutnya persamaan umum menjadi
sebagai berikut.

Ft = ¼ (1 +F t-2 + 2 F t-1) atau dalam bentuk indeks panmiktik

Pt = ½ P t-1 + ¼ P t-2

Parent – Offspring Matirig

Perkawinan antara anak dan tetua dapat dalam dua bentuk. Anak dapat
dikawinkan dengan tetua yang lebih muda. Bentuk yang kedua anak
dikawinkan dengan salah satu tetua nya berulang kali.. Periksa Gambar 13.4.1

HBalf-FsBib= 0Matirig Apabila FB = 0 maka
Ft = ¼ (1 + 2 F t-1) atau
A J CDE
P = ¼ + ½ P t-1

hubungan antara induk. Apabila hubungan tersebut berupa half-sib maka

Gambar 9.4 Parent Offspring Matirig Ft = 1/8 (1 + F t-2 + 6 F t-1)

343

Pengertian dan Peranan Sistem Perkawinan dalam IPT (Ilmu
Pemuliaan Ternak)

Sistem Perkawinan ialah salah satu program dalam program peningkatan
mutu genetik disamping program seleksi. Sistem perkawinan digunakan untuk
penentuan mengenai bagaimana ternak yang tersedia dan bibit bibit unggul
yang telah terpilih akan dikawinkan (menentukan sistem perkawinan) sesuai
dengan tujuan peternakannya.
Di dalam program peningkatan mutu genetik sistem perkawinan akan sangat
berguna sekali apabila kita ingin meningkatkan suatu sifat yang mempunyai
heritabilitas rendah, karena dengan program seleksi kurang menguntungkan.

Macam Sistem Perkawinan

Sistem perkawinan berdasarkan ikut tidaknya campur tangan manusia,
maka sistem perkawinan dapat dibedakan menjadi dua yaitu Perkawinan Acak
dan Non Acak. Perkawinan acak, yang disebut juga Random Matirig atau
Panmixia, ialah suatu perkawinan yang terjadi apabila setiap ternak jantan
maupun betina mempunyai peluang yang sama untuk saling bertemu. Sedang
Perkawinan Non Acak atau disebut juga perkawinan Sistematis, ialah
perkawinan yang terjadi apabila ternak jantan maupun ternak betina tidak
mempunyai peluang yang sama untuk saling bertemu karena diatur oleh
manusia sesuai dengan tujuan peternakannya. Sistem Perkawinan berdasarkan
fenotipiknya dibedakan menjadi dua yaitu Assortive Matirig Positif dan
Assortive Matirig Negatif.
Assortive Matirig Positif ialah perkawinan antara ternak-ternak yang
mempunyai derajat kemiripan fenotipik yang sama, misalnya ayam berbulu
putih dikawinkan dengan ayam yang berbulu putih, sapi bertanduk dengan
sapi yang bertanduk dst. Sedangkan Assortive Matirig Negatif ialah
perkawinan antara ternak-ternak yang derajat fenotipiknya berbeda, misalnya

344

perkawinan antara ayam bulu putih dengan ayam bulu hitam, sapi bertanduk
kawin dengan sapi tak bertanduk dll.
Sedang berdasarkan genetiknya (ada tidaknya hubungan keturunan) maka
sistem perkawinan dibedakan menjadi Inbreeding dan Out Breeding.
Inbreeding ialah perkawinan antara ternak-ternak yang mempunyai hubungan
keturunan (bersaudara), misalkan perkawinan antara anak dengan induknya,
perkawinan antara saudara tiri dll.

Out Breeding ialah perkawinan antara ternak-ternak yang tidak
mempunyai hubungan keturunan (tidak bersaudara), misalkan perkawinan
antara Sapi FH dengan Sapi Brahman (beda bangsa),yang kemudian disebut
Crossbreeding, perkawinan antara sapi lokal dengan sapi import yang
kemudian disebut Grading Up, perkawinan antara sapi-sapi dalam bangsa
yang sama tetapi tidak bersaudara yang kemudian disebut Out Crossing, dan
lain sebagainya.

Pengertian Efek Genetik dan Fenotipik serta Manfaat
Inbreeding

Inbreeding ialah perkawinan antara ternak-ternak yang mempunyai
hubungan keturunan (bersaudara/berkerabat). Sedangkan dua ekor ternak (dua
individu) dikatakan bersaudara apabila dalam 1 – 6 generasi pertamanya dua
individu tersebut minimal mempunyai satu tetua bersama (tetua yang sama).
Dua individu bersaudara maka sebagai konsekuensinya kedua individu
tersebut mempunyai peluang memiliki gen identik pada suatu lokus.
Oleh karena itu dua individu bersaudara mempunyai kemungkinan yang lebih
besar mempunyai kombinasi gen yang serupa, sehingga apabila kedua
individu yang bersaudara tadi dikawinkan maka akibatnya keturunannya akan
lebih homozigot, karena meningkatnya loci dalam populasi yang akan menjadi
homozigot, baik homozigot dominan maupun resesif, maka dari itu akan

345

terjadi fiksasi gen yang disukai sama cepatnya dengan gen yang tidak disukai.
Disamping itu pula akan terbentuk famili-famili yang jelas bisa dibedakan.
Efek fenotipik akibat Inbreeding, dilaporkan diantaranya oleh Charles Darwin
(1868) bahwa perkawinan keluarga dekat yang berlangsung dalam waktu yang
lama dapat menurunkan ukuran kekuatan (vigor) badan serta fertilitas, bahkan
kadang diikuti bentuk cacat, hal ini diakibatkan oleh naiknya homozigot akibat
Inbreeding.
Berdasarkan efek genotipik Inbreeding, maka Inbreeding dapat digunakan,
apabila :

a. Peternak menghendaki mempertahankan salah satu sifat dari
tetuanya yang sudah diketahui keunggulannya.

b. Jika peternak ingin menghilangkan gen-gen resesif dalam populasi.
c. Jika peternak menginginkan suatu famili yang mempunyai

uniformitas tersendiri dari famili-famili lainnya.
d. Inbreeding yang diikuti dengan seleksi yang cermat dapat untuk

menghasilkan suatu bibit.
e. Inbreeding paling banyak digunakan untuk membentuk galur, galur

tersebut selanjutnya digunakan untuk perkawinan silang luar.

Hitungan FX

Apabila dua individu yang berkerabat dikawinkan maka terjadilah
Inbreeding, oleh karena dua individu yang dikawinkan bersaudara berarti
mempunyai peluang memiliki gen identik pada satu lokus karena keturunan
(identical by descent), oleh karena itu kemungkinannya akan lebih besar
mempunyai kombinasi gen yang serupa. Maka dari itu akibatnya
keturunannya (hasil inbreeding) akan lebih homozigot.
Peluang besarnya kemungkinan dua gen pada satu lokus, pada satu individu
identik karena keturunan diukur dengan koefisien silang dalam (FX).

346


Click to View FlipBook Version