Cara menghitung koefisien silang dalam ialah dengan menggunakan Rumus :
FX = [( 1 )n1n 2 1(1 Fa)
2
FX = koefisien inbreeding individu X
n1 = jumlah garis generasi dari pejantan individu X ke tetua bersama
n2 = jumlah garis generasi dari induk (Ibu) individu X ke tetua bersama
Fa = koefisien inbreeding tetua bersama individu X
Langkah-langkah menghitung koefisien inbreeding menggunakan rumus
tersebut adalah :
a. Carilah pejantan (Bapak) dan induknya (Ibu) dari individu inbred
(X) yang akan dihitung koefisien inbreedingnya.
b. Carilah tetua bersama, yaitu dengan jalan menelusuri garis generasi
(anak panah) dari pejantan (Bapak) dan induk (Ibu) individu
inbreed hingga bertemu pada satu titik. Maka individu yang
terdapat pada titik bertemunya garis generasi dari pejantan dan
induk tersebut itulah yang merupakan Tetua Bersama individu
inbred.
c. Hitunglah jumlah garis generasi dari Pejantan individu inbred ke
tetua bersama dan juga dari Induk individu inbred ke tetua
bersama.
d. Hitunglah untuk setiap tetua bersama (commond ancestors)
kemungkinan seluruh jalan yang dapat ditempuh dari Pejantan
inbred lewat Tetua Bersama menuju ke Induknya inbred.
Perjanjian dan aturan
Perjanjian : Satu perjalanan penelusuran ialah dari Pejantan lewat
Tetua Bersama ke Induk inbred
Aturan
347
Dalam menelusuri garis generasi tidak boleh searah dengan anak panah
Dalam satu perjalanan penelusuran tidak boleh melewati satu individu dua
kali.
Menghitung RXY dan Kesukaran Pelaksanaan Inbreeding
Dua individu mempunyai hubungan keturunan, apabila dua individu
tersebut mempunyai minimal satu tetua bersama dalam 1-6 generasi
pertamanya. Sebagai konsekuensinya maka ke 2 individu mempunyai peluang
memiliki gen identik pada satu lokus karena keturunan. Peluang yang bisa
terjadi bahwa ke 2 individu yang berkerabat mempunyai kesamaan gen yang
dibawa ditunjukkan oleh koefisien kekerabatan (RXY). Rumus yang
digunakan adalah :
[( 1 )n1n2 (1 Fa )]
2
RXY =
(1 Fx)(1Fa)
RXY = koefisien kekerabatan individu X dan Y
n1 dan n2 = jumlah garis generasi (anak panah) dari individu X
dan Y ke tetua bersama
FX = koefisien inbreeding individu X
FY = koefisien inbreeding individu Y
Fa = koefisien inbreeding tetua bersama
Cara menghitung koefisien kekerabatan (RXY) ialah sebagai berikut::
a. Carilah tetua bersama individu X dan Y, yaitu dengan menelusuri anak
panah dari X ke tetua bersama (n1) demikian pula dari Y ke tetua bersama
(n2). Di titik pertemuan n1 dan n2 inilah yang merupakan tetua bersama.
b. Hitunglah jumlah garis generasi dari individu X ke tetua bersama (n1)
demikian pula dari individu Y ke tetua bersama (n2).
c. Hitunglah untuk setiap tetua bersama kemungkinan seluruh jalan yang
dapat ditempuh dari individu X lewat tetua bersama ke individu Y.
348
Kesukaran-kesukaran pelaksanaan inbreeding, yaitu :
1. Hubungan yang dapat dicapai antara 2 individu ternak tidak
akan sedekat dari self fertilization.
2. Fertilitas pada hewan tidak setiggi pada tumbuhan,
menyebabkan pada suatu generasi jumlah individu tidak
tercapai.
3. Generasi interval pada ternak akan lebih panjang dari pada
tumbuhan, kecuali pada hal-hal tertentu, misalnya cengkeh
dengan marmut.
4. Ternak biasanya harganya lebih mahal dari pada tanaman.
Pengertian Serta Efek Genetik dan Fenotipik Crossbreeding
Out breeding ialah perkawinan antara dua individu yang tidak
mempunyai hubungan keturunan (tidak berkerabat). Perkawinan out breeding
dapat dalam bangsa maupun antar bangsa. Perkawinan antara individu yang
tidak berkerabat tetapi dalam bangsa yang sama disebut out crossing, sedang
perkawinan antara dua individu yang berbeda bangsa disebut crossbreeding.
Tujuan dari crossbreeding ialah menyatukan gen-gen yang membawa sifat
unggul dari kedua bangsa atau lebih yang dikawinkan, jadi tujuannya
menyatukan kombinasi gen dari dua atau beberapa bangsa.
Efek genotipik crossbreeding ialah meningkatkan jumlah pasangan gen yang
heterozigot yang dimiliki oleh individu keturunannya (crossbred). Sedang
pada umumnya individu heterozygote mempunyai vigor yang lebih baik dari
pada homozygote. Sehingga dapat diharapkan crossbreed mempunyai
kemampuan yang lebih tinggi dari salah satu atau kedua orang tuanya,
peristiwa inilah yang kemudian disebut Heterosis.
Oleh karena itu efek fenotipik dari peristiwa heterosis dapat dilihat bahwa
keturunan dari perkawinan crossbreeding (crossbred) mempunyai produksi
yang melebihi produksi populasi rata-rata salah satu atau kedua orang tuanya.
349
Penggunaan /Manfaat dan Kesukaran
Pelaksanaan Crossbreeding
a. Perbaikan satu sifat yang dimiliki suatu bangsa secara cepat dapat dengan
memasukkan kombinasi gen yang dimiliki oleh bangsa lain yang
keunggulannya sudah diteliti.
b. Crossbreeding dapat dipakai sebagai pembentukan bangsa baru. Jika
mendapatkan crossbred yang diingini maka crossbreed dapat
dikembangkan menjadi bangsa yang baru.
c. Menghasilkan individu crossbred yang memenuhi permintaan pasar.
Walaupun demikian ada beberapa kesulitan dalam prakteknya penggunaan
Crossbreeding antara lain :
a. Agar mendapatkan hasil yang maksimal harus mempunyai bangsa yang
amat berbeda dalam keunggulan salah satu atau beberap sifat yang
dikehendaki
b. Gen yang menguntungkan dominan terhadap gen yang merugikan tidak
selalu mutlak, sebab harus mengingat adanya faktor-faktor interaksi dan
lain sebagainya antara gen yang bukan alelnya.
c. Terbentuknya crossbred hasil persilangan baru dalam keadaan tertentu
dapat menghancurkan bangsa yang sudah cukup lama dikembangkan.
d. Timbulnya kesukaran dalam tatalaksananya sebab dalam pelaksanaan
crossbreeding harus mempersiapkan individu-individu tersebut sesuai
dengan keunggulan masing-masing.
1. Inbreeding (Silang dalam) pada Sapi Potong
Silang dalam adalah perkawinan antara saudara atau antara individu
yang mempunyai hubungan keturunan. Silang dalam mempunyai kejelekan
yaitu dapat menimbulkan kemerosotan kemampuan produksi, yang disebabkan
karena bersatunya kembali kombinasi gen resesif.
350
Efek Inbreeding terhadap kemampuan produksi sapi
pedaging
Peneliti Amerika melaporkan bahwa kenaikan 10% koefisien inbreeding
dapat menurunkan 5 kg berat sapi. Inbreeding juga mempunyai pengaruh
jelek terhadap karakteristik produksi pada periode setelah disapih.
Setelah mempelajari efek inbreeding sampai 30% (koefisien inbreeding)
Dinkel (1968) berpendapat bahwa pengaruh jelek yang utama adalah terhadap
karakterisitk produktif pada periode sapihan. Oleh karena itu dianjurkan
dalam pemakaian inbreeding derajat inbreeding harus ditekan serendah
mungkin (misal dengan cara menggunakan 4 ekor pejantan yang tidak
mempunyai hubungan keturunan).
2. Grading up (kawin tatar)
Kawin tatar adalah perkawinan antara pejantan unggul (biasanya
import) dengan sapi betina lokal. Pemerinatah Indonesia pernah menjalankan
program grading up selama ± 20 tahun yaitu program Onggolisasi. Pada
Pelita II pemerintah berketetapan melaksanakan kawin tatar dengan
menggunakan pejantan American Brahman.
Kemanfaatan kawin tatar telah banyak terbukti, dengan catatan bahwa
kemanfaatan perkawinan tersebut diperoleh apabila kawin tatar diikuti dengan
seleksi yang cermat. Kemanfaatan yang nyata adalah bahwa kawin tatar dapat
digunakan untuk mengganti sapi lokal dengan bangsa sapi import. Karena
perkawinan tatar termasuk perkawinan silang maka dapat diharapkan pula
timbul heterosis. Heterosis adalah fenomena munculnya kemampuan produksi
progeni yang melebihi kemampuan produksi rata-rata tetuanya.
Persyaratan dibutuhkan untuk mensukseskan program tersebut adalah
kecukupan jumlah pejantan unggul yang dibutuhkan. Oleh karena itu
penggunaan AI (artificial insemination) dan AB (artificial breeding) sangat
diperlukan. Persyaratan untuk melaksanakan program peningkatan mutu
351
genetik juga perlu disediakan yakni program pencatatan kemampuan produksi,
uji kemampuan dan seleksi.
3. Crossbreeding (Perkawinan silang)
Perkawinan silang adalah perkawinan antara dua bangsa yang telah
diketahui dengan saksama kemampuan produksi masing-masing bangsa.
Perkawinan silang dapat dipakai untuk tujuan sebagai berikut.
(1) Menghasilkan ternak F1 yang memenuhi permintaan pasar.
(2) Menaikkan kemampuan produksi (memanfaatkan heterosis).
(3) Memasukkan karakteristik baru yang dimiliki suatu bangsa .
(4) Menghasilkan keturunan yang akan dipakai untuk membentuk
bangsa baru.
Rae (1970) menyatakan bahwa apabila beberapa bangsa disilangkan
maka efek non-aditif dapat menimbulkan terjadinya heterosis. Heterosis
cenderung timbul untuk karakteristik fertilitas, daya tahan hidup, dan
pertumbuhan. Oleh karena itu kawin silang mempunyai peranan yang penting
dalam produksi ternak potong.
Perkawinan silang pada sapi potong telah banyak dikerjakan. Faktor
yang perlu diperhatikan adalah kemampuan menilai kemampuan produksi
bangsa sapi yang digunakan dalam perkawinan silang. Berdasar bangsa sapi,
untuk karakteristik pertambahan berat badan, Preston (1973) berdasar hasil
penelitian telah menyusun Tabel urutan bangsa sebagai berikut.
352
Tabel 9.2. Urutan bangsa sapi ditirijau dari rataan pertambahan berat badan
harian
No Bangsa 11111 2222 11211122 1111 Jml acuan
1 Charolais 21
2 Simmental 11111 111 111 1 12
3 German Gelbieh 4
4 Romagnola 22 41 3
5 Marchigiana 2
6 Chianina 112 1
7 Limousin 10
8 Blond d‘Aquitame 21 1
9 Mame Anjou 1
10 Brown Swiss 2 8
11 Frisian 11
12 South Devon 23233 22 43 3 4
13 Santa Gertrudis 1
14 Danish Red 3 3
15 Devon 3
16 Brahman 3 1
17 Hereford 7
18 Angus 222 42 5 2 3 8
19 Shorthorn 4
332 7 2 33 1 222
3 223
3
22 3
434
5
4 2555 34
2 6 5666 45
7677
Preston (1973)
Data mengenai kemampuan produksi bangsa dan hasil perkawinan silangnya
dapat dipelajari di reprint yang dimiliki penulis atau pustaka yang di
perpustakaan. Sebagai contoh periksalah contoh hasil penelitian karakteristik
bangsa dan hasil persilangan, pada beberapa Tabel yang dikutip oleh penulis.
353
Tabel 9.3. Performance Testirig (on all concentrate diet ) Different Breeds
from 90 days (weaning) to 400 kg live weight.
Breeds No Weight Average to Daily Conversion
at 90 weaning gain on (kg feed/kg
Charolais Days (kg)
Holstein test gain)
Santa Gertrudis
Brahman 44 119 0,90 1,30 5,41
Char X Bra
B.Sw X Bra 20 90 -- 1,20 6,91
Hol X Bra
17 109 0,84 1,08 6,48
37 101 0,80 0,88 7,62
31 107 0,84 1,15 6,10
31 104 0,83 1,13 6,09
13 104 0,84 1,12 6,00
Preston (1973)
Tabel 9.4 Cracss Composition of Bulls of Different Breeds slaughtered at
Fixed live weight (400 kg)
Trait Charloais Holstein Brahman
72,5 71,5
Total edible * 75,2 29,5 27,5
8,7 12,1
First quality * 31,2 18,8 16,6
40,7 38,3
Excess fat * 7,9 3,86 4,29
54,7 56,8
Bone * 16,9 39,7 40,4
16,1 15,5
Conformation index 41,5
Preston (1973)
Meat : Bone (ratio) 4,45
Dressing % 58,2
Edible meat, % of lw 43,8
First quality, % of lw 18,2
* as percentage of cold carcass
354
Tabel 9.5 Projected Beef Surplus and Demands (‗000 tons)
Region 1970 1980 Increase
Surplus 696
133
Argentme 650 1346 104
79
Australia 320 453 915
New Zealand 170 274 488
435
Ireland 290 369 1103
141
World total 2575 3490 2876
Everrit (1972)
Demand
USA & Canada 710 1198
EEC & UK 1055 1490
USSR & China 115 1218
JAPAN 25 116
World total 2252 5128
Tabel 9.6. Breed effect on Protein Production Constant Age
Character Breed Angus
Frisiean 520*
352
Age (days) 520* 0,67
184
Slaughter Live Weight (kg) 411 126
242
Mean Daily LW gain (kg/day) 0,79 28
54
Carcass weight (kg) 213 Everrit (1972)
Meat weight (kg) 139
Meat gain/day of age (g/day) 267
Meat protein (kg) 31
Meat protein /day of age 60
Tabel 9.7. Relative Growth and Maturity Rates of Some common Breed and
Crosses in New Zealand
Angus
Jersey
Hereford
Increasing Growth rate Hereford x Jersey Increasing early
potential Charolais x Jersey maturity
Friesian x Jersey
Hereford x Friesian
Charolais x Friesian
Friesian
355
Everrit (1971)
Tabel 9.8. Mean Live Weight and Carcass Details of Steers of Six Breeds
Slaugthered at 30 months in trial
Angus Here- Beef Gallo- Milking Firies-
ford Short way Short an
Horn Horn
No of steers 15 15 14 15 14 15
Live weight (lb) at 634 548 661 487 586 495
start
At end 1240 1177 1155 1101 1268 1213
Gain over 530 days 606 629 494 614 682 718
Daily gain over 530 114 119 93 116 129 135
days
Carcass wt (lb) 669 630 630 596 662 617
Dressing out (%) 53,9 54,4 54,5 54,1 52,2 50,9
Kidney and Channel 17,9 12,9 19,1 15,0 24,1 18,6
fat
Excess fat (%) 18,3 18,8 22,3 16,8 19,8 14,1
Fat depth at 12th rib 12,5 11,6 13,6 10,5 8,8 4,4
Rib eye area at 12th 10,59 10,06 9,19 10,76 9,00 9,64
rib (inch)
Barton (1972)
Tabel 9.9. Slaugther Data and Carcass Composition
Breed of Sire Friesian Angus (A) FA
AA
Breed of Dam (F) F
16 43
F 26 20
861 775
No of steers 33 19 452 404
52,3 52,0
No of heifers 15 25 302 277
107 95
Final ive weight (lb) 904 898 49 39
66 67,3
Frozen carcass wt (lb) 468 476 23,4 23,1
10,6 9,5
Dressing out (%) 51,9 52,9
3,4 2,8
Total meat (lb) 306 317
Height et al., (1971)
Total bone (lb) 117 111
Total fat (lb) 48 52
% Meat 65 66
% Bone 24,5 23,2
% Fat 10,3 10,8
Fat depth over eye 2,9 3,4
muscle (mm)
356
Tabel 9 .10. Calf Performance
Sire breed Friesian Angus Friesian Angus
Cow breed Friesian Friesian
Calf weight Birth (lb) Angus Angus
Weaning (age corrected) 75 72
339 389 66 58
343 319
Everrit (1971)
Tabel 9.11. Performance of F1 British X Brahman Calves as compared
To the average of the pure breeds used in the cross
As percentage of the average of the
pure breeds
Percent calf crop weaned 101,2
Weaning weight of calves in lb 115,5
Lb of calf weaned per cow bred 116,9
Lasley (1972)
Percent heterosis (mean of F1 offspring) - (mean of present breeds ) X 100
(mean of percent breeds)
Tabel 9.12. Mean Birth Weight‘s (kg)
Breeds or Bulls No Heifers
Cross No Birth wt ± Sd 231 Birth wt ± Sd
451 31,2 ± 4,52 341
FxJ 339 28,8 ± 4,14 326 28,5 ± 4,85
HxJ 359 33,9 ± 5,20 264 27,0 ± 4,39
CxJ 303 24,3 ± 4,08 83 31,3 ± 5,55
JxJ 96 27,7 ± 4,53 149 22,4 ± 4,01
AxA 291 38,7 ± 4,47 25 27,1 ± 4,19
FxF 21 32,6 ± 4,04 23 37,1 ± 3,83
HxF 16 40,9 ± 7,16 30,7 ± 5,08
CxF H = Hereford A = Angus 37,3 ± 6,45
F = Friesian C = Charolais
J = Jersey Everrit
(1971)
357
Tabel 9.13. Calf Weaning from Mixed age dams Corrected from age of dam
Where kwon, age of calf and sex
Year Weaning age Weaning Weaning Season
(days) weight of weight
1970 males (kg) females (kg) Drought
1971 178 Good
1972 140 153 144 Dry
1973 164 158 145 Dry
156 189 169
194 189
Dalton et al., (1974)
Tabel 9.14. Berat Lahir dan Lingkar Dada Pedet Betina Sapi Perah (FH)
Baturaden
No No Pedet Tanggal lahir Berat lahir Lingkar PBBH
1 1116 FS 25-8-75 (kg) dada (cm) (kg)
2 1115 FS 16-8-75
3 1106 FS 21-7-75 29 77 0,57
4 1101 FS 14-7-75 23 76 0,57
5 1110 FS 12-8-75 25 81 0,29
6 1117 FS 28-8-75 24 80 0,57
7 1100 FS 09-7-75 22 76 0,34
8 1105 FS 19-7-75 32 81 0,57
9 857 FS 20-6-75 28 89 0,43
10 1103 FS 16-7-75 32 89 0,72
11 1109 FS 09-8-75 28 94 0,64
12 1107 FS 02-8-75 35 87 0,43
13 1094 FS 23-5-75 28 80 0,50
14 0856 FS 05-5-75 19 78 0,50
15 0854 FS 27-4-75 26 96 0,07
16 0852 FS 15-4-75 23 104 0,21
17 0853 FS 20-4-75 27 110 0,07
18 1108 FS 08-3-75 31 107 0,14
19 1089 FS 09-4-75 31 110 0,14
20 0856 FS 23-4-75 26 112 0,29
30 108 0,29
29 99 0,28
Sri Wigati dan Munadi (1975)
358
Tabel 9.15 . Data Ukuran Tubuh Pedet Hasil Persilangan PO x American
Brahman di Kabupaten Rembang
No Jenis kelamain Umur Tiriggi Lingkar Panjang
(bulan) gumba dada (cm) badan
(cm) (cm)
1 6 120
2 2 111 85 101
3 5 86 121 91
4 1 110 79 92
5 6 79 119 93
6 6 102 130 85
7 1 112 93 94
8 10 88 122 74
9 5 111 101 98
10 1 98 85 83
11 1 81 76 70
12 7 79 110 64
13 4 100 90 87
14 9 80 135 65
15 1 110 81 89
16 1 77 82 66
17 10 79 128 63
18 2 111 90 89
19 3 87 95 107
20 3 89 107 75
21 1 97 88 87
22 5 81 94 63
23 1 95 97 78
24 8 96 101 78
113 91
Munadi (1975)
359
BAB X
SISTEM PERBIBITAN TERNAK NASIONAL
RUANG LINGKUP TERNAK RUMINANSIA KECIL
I. Latar belakang pentingnya Sistem Perbibitan Ternak
Ruminansia Kecil
Pengembangan peternakan, ternak termasuk Ruminansia Kecil tidak
akan dapat dilaksanakan tanpa kecukupan bibit. Bibit memiliki pengertian
yang ganda, dapat diartikan bakalan ternak (jantan dan betina) yang disiapkan
untuk menghasilkan turunan, dan turunan tersebut disiapkan untuk dijual. Jadi
tekanan pengertian bibit dalam batasan ini adalah ternak (jantan dan betina )
tidak steril. Batasan yang kedua adalah ternak jantan dan betina yang
disiapkan (dibudidayakan) untuk menghasilkan calon induk dan pejantan
yang di masa datang akan dijadikan bibit (Gambar 1.)
ternak jantan bibit
ternak betina bibit
Jantan diseleksi
ternak jantan bibit
Betina diseleksi ternak betina bibit
ternak jantan bibit
ternak betina bibit
Jantan dan betina diseleksi
Gambar 1. Pola penggunaan/kebutuhan bibit
360
Sampai saat ini bibit yang digunakan atau dibutuhkan belum dapat
sediakan khusus oleh suatu kelompok, institusi, bahkan oleh pemerintah bila
ditinjau bahwa bibit yang digunakan dan dibutuhkan tersebut harus dihasilkan
oleh suatu proyek, kegiatan yang memang khusus bertujuan untuk
mengasilkan bibit. Bibit yang memenuhi syarat dari aspek gentis belum
pernah dihasilkan di Indonesia, karena Pemerintah memang belum memiliki
kebijakan perbibitan ternak nasional. Sebagai konsekuensinya produktivitas
ternak, termasuk ruminansia kecil masih rendah.
Mencermati pengembangan peternakan di Indonesia khususnya
ruminansia kecil, bibit merupakan kebutuhan pokok bagi peternak untuk dapat
menjamin keberhasilan budidaya dan mendapatkan peningkatan keuntungan
dari peningkaan produktifitas ternaknya.
Dari analisis sumbangan subsektor peternakan pada pendapat nasional
dapat direkomendasikan bahwa peternak berpotensi sebagai sumber
pertumbuhan baru. Ternak dalam pelita VI telah tercatat sebagai komoditi
yang harus dikembangakan di beberapan kawasan andalan
Hasil penelitian yang telah dilaporkan memberikan informasi bahwa
ada peluang yang besar untuk pengembangan ruminansia kecil apabila
perbaikan tatalaksana dan program peningkatan mutu dapat dilaksanakan
secara bersamaan.
Masalah yang dihadapai adalah bagaimana dapat mendisain pola
perbibitan yang dilaksanakan di Indonesia yang menjamin hasil yang
memenuhi persyaratan kualitas dan kuantitas serta peternak/kelompok
peternak dapat ikut berpartisipasi aktif, produktif dan efisien.
361
II. Tinjauan sistem perbibitan Ternak Ruminansia kecil
Sistem Perbibitan Ternak Ruminansia Kecil secara Nasional belum
pernah direncanakan dan diinformasikan. Informasi yang sudah
disebarluaskan adalah Wilayah Sumber Bibit berdasarkan SK Direktur
Jenderal Peternakan No. 87/TN.220/Kpts/Dirjenak/ Deptan/1989. Domba
memiliki wilayah sumber bibit di Jabar, Jateng, NTB, dan NTT. Kambing PE
mempunyai wilayah sumber bibit di Jateng, Jatim, NTB. Kambing Kacang
mempunyai wilayah sumber bibit di Sumut, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim,
Sulteng, Sulsel , NTB dan NTT (Boediman, 1991).
Usaha yang berkaitan dengan perbibitan ternak rumainansia kecil telah
lama dilakukan oleh Dirjen Peternakan bekerjasama dengan para peneliti
domba dan kambing lewat lokakarya dan atau seminar (Adjisoedarmo dkk.,
1977; Amsar dkk., 1983; Abdulgani, 1987; Gunawan, 1988; Adjisoedarmo,
1989; Siregar, 1991; Soehadji, 1991; Boediman, 1991; Adjisoedarmo dkk.,
1993; Adjisoedarmo dkk., 1994; Adjisoedarmo, 1995; Adjisoedarmo dkk.,
1996).
Para peneliti melaporkan bahwa untuk dapat menghasilkan bibit unggul
genetik diperlukan penggunaan seleksi dan sistem perkawinan yang sesuai
dengan tujuan penggunaan bibit ( untuk produksi daging, wol, atau susu) yang
akan dihasilkan. Pelaksanaan seleksi membutuhkan aktivitas yang
mendahului yaitu program pencatatan produksi. Dari hasil penelitian yang
telah dilaporkan di luar negeri, diperoleh informasi bahwa tingkat reproduksi
dan produksi domba yang telah dicapai merupakan hasil dari peningkatan
mutu genetik. Bibit unggul dapat dihasilkan dengan menggunakan program
peningkatan mutu genetik (Adjisoedarmo dkk., 1996).
Eropean Association for Animal Production (EAAP) telah melaporkan
bahwa program pencatatan produksi dilaksanakan di dua puluh negara Eropa.
Komputerisasi program telah dilaksanakan di dua belas negara yaitu,
362
Bulagaria, Cekoslawakia, Irlandia, Perancis, Finlandia, Inggris, Hunggaria,
Islandia, Norwegia, Swedia, Spanyol dan Switserlandia (Croston, 1980).
Keberhasilan penggunaan program pencatatan produksi, seleksi dan
sistem perkawinan telah dilaporkan di banyak negara maju peternakan.
Peningkatan mutu genetik (PMG) domba pada dasarnya akan menghasilkan
bibit unggul genetik, yang selanjutnya digunakan untuk meningkatkan nilai
tengah populasi, ditingkat kelompok, regional dan nasional. Program PMG
pada dasarnya menggunakan seleksi dan perkawinan silang (Dickerson, 1969;
Tumer dan Young, 1969; Hight dan Rae, 1970; Rae dan Barton, 1970; Hight
dkk., 1975; Pattie, 1975; Dalton dan Rae, 1978; Tumer, 1979; Mc Quirck
dan Atkins, 1979; Watherly, 1979; Erasmus, 1979; Maulen, 1979; Smith,
1979; Boyland, 1979; Cardellino, 1979; Jhetobruch, 1979).
Progam seleksi dilakukan untuk cempe, calon induk dan pejantan,
serta induk dan pejantan. Seleksi dengan Indeks dilakukan di Cekoslowakia,
Perancis, Islandia, Norwegia, Polandia, dan Jerman barat. Indeks yang
digunakan dapat dikelompkan menjadi 1) basic indexes, menggunakan nilai
ekonomi relatif, 2) heritabilty indexes, menggunakan nilai ekonomi relatif
dikalikan dengan koefisien pewarisan, dan 3) regression indexes,
menggunakan nilai ekonomi relatif, koefisien pewarisan dan korelasi genetik
serta korelasi fenotipik.
Di Amerika Serikat, program pemuliaan domba dititik beratkan pada
evaluasi trah dan penggunaannya untuk produksi yang efisien (Boyland,
1979). Dilaksanakan demikian karena hasil penelitian manipulasi hormon dan
stimulasi hormon tidak digunakan oleh para pengusaha peternakan domba.
Dilaporkan (Shelton dan Menszies, 1968) bahwa efisiensi produksi dapat
dinaikkan dengan menggunakan trah terpilih, sistem perkawinan dan seleksi
dalam trah.
363
Di Inggris, program pencatatan produksi dilakukan sebagai prasyarat
program seleksi (King, 1979). Berat sapih dijadikan kriteria seleksi di daerah
dataran tinggi. Jumlah cempe per induk dijadikan kriteria seleksi di daerah
dataran rendah. Perkawinan silang antar trah digunakan sebelum seleksi.
Di Perancis, permintaan produksi ternak yang utama adalah karkas
cempe sapihan dengan berat 18-21 kg. Oleh karena itu program pemuliaan
bertujuan untuk meningkatkan produksi daging dan dilaksanakan melalui
perkawinan silang, menggunakan trah Romanov dan Finnish (Mauleon,
1979).
Di Selandia Baru peningkatan produksi cempe dilaksanakan dengan
program pencatatan produksi yang diikuti seleksi, dimulai tahun 1968.
Karakteristik produktif yang dijadikan kriteria seleksi adalah jumlah cempe
saat lahir, berat sapih cempe, berat pada umur 6, 9 dan 12 bulan, serta
berat wol (Rae, 1979). Hasil yang telah dicapai menunjukkan bahwa seleksi
dalam trah dapat meningkatkan mutu genetik ; dengan tolok ukur produksi
cempe per tahun, telah dilaporkan peningkatan 1,75 ekor cempe per 100 ekor
induk yang dikawinkan.
Di Selandia Baru (Dalton dan Hight, 1972), untuk memenuhi memenuhi
kebutuhan bibit, di tingkat peternak telah diterapkan kuantitatif genetik.
Praktek yang dilakukan untuk jangka pendek adalah 1) Simple Recording
System, berdasar dari hasil pencatatan kemampun reproduksi dan produksi
maka kemudian dilakukan, 2) Culling Barren Ewes, 3) Buying Bet ter
Stock, dan atau 4) Change Breeds.
Dalam jangka panjang maka kegiatan yang direncanakan adalah a)
Defme Desire Traits, b) Buy Better Ram, dan selanjutnya melaksanakan c)
Large-Scale Breeding Schemes.Pada Large-Scale Breeding Schemes ,
beberapa peternak (dapat mencapai 30) bergabung sehingga dapat memilih
ribuan induk dengan
364
performans tinggi (175%) . Induk tersebut dijadikan kelompok inti untuk
menghasilkan pejantan, bibit unggul genetik, yang dibutuhkan. Pejantan
unggul digunakan dengan imbangan per pejantan mengawini 40-50 ekor induk
.
Berdasar pengalaman tersebut maka diterbitkan Pratical Points in a
Breeding Schemes sebagai berikut.
a) Realistic and simple programe
b) Indentifying supeerior dams
c) Simple recording system
d) Twinning Ewes
e) Lamb Mortality
f) Culling Ewes lambs
g) Hogget oestrus
h) Hogget live
i) Pregnancy diagnosis
Di New Zealand dalam program uji kemampuan produksi (domba
silangan) diawali dengan menggunakan populasi yang terdiri dari 300 ekor
induk. Uji dilakukan selama 4 (empat ) kali beranak dengan menggunakan
karakteristik , berat lahir, mortalitas cempe, laju pertumbuhan dan produksi
wol. Pejantan domba yang digunakan adalah trah Finnish Landrace, East
Frisian, German Whiteheaded Mutton dan Oxford, yang memiliki litter size
dengan rentangan berturut -turut 2,2-2,7 ek; 2,1 - 2,5 ek; 1,5 -1,9 ek dan 1,5 -
1,8 ek (Mayer dkk., 1977).
Di Afrika Selatan program perbaikan mutu genetik domba (dengan
menggunakan bibit unggul) dimulai tahun 1964. Program bertujuan
meningkatkan mutu genetik domba lokal dan impor serta mencipatakan trah
baru yang dapat menyesuaikan dengan kondisi setempat dan permintaan
pasaran.
365
Indeks seleksi digunakan untuk meningkatkan berat tubuh, berat wol,
diameter wol dan nilai pintal (Erasmus, 1979).
Di Uruguay, program pencatatan produksi dimulai tahun 1969. Tujuan
utama industri domba di Uruguay adalah menghasilkan wol.
Pengembangan program pemuliaan dimulai dari sistem tradisional yang
dicirikan dengan kawin tatar dengan trah Merino.Dalam program ini
dikembangakan cara mengidentifikasi pejantan dan induk unggul
sebelum pencukuran; yang memenuhi syarat diberi tato tunggal. Dalam
tahun berikutnya domba yang bertato diamati . Domba yang telah
bertato dicatat dibuku induk. Dengan cara demikian maka dapat
dibedakan peternak yang menggunakan domba tidak bertato, bertato
tunggal dan bertato ganda.
Di Asia Tenggara, Indonesia, Burma, Malaysia dan Thailand perbaikan
mutu genetik domba masih dalam tahap uji kemampuan produksi domba
lokal dan import serta percobaan persilangan (Smith, 1979). Di Indonesia
hasil beberapa penelitian persilangan domba import dan lokal telah dilaporkan
(Purwati, 1975; Purwanto, 1980; Hardjosoebroto dkk., 1978; Noersinggih,
1980; Soediono dkk., 1979; dan Warsiti, 1982).
Adjisoedarmo dkk., (1993, 1994, 1995 dan 1996) telah melaporkan hasil
penelitiaannya menciptakan bibit unggul domba lokal menggunakan seleksi.
Metode seleksi (direct pedigree selection) yang digunakan selama empat
tahun dapat membantu untuk 1) memilih induk yang enam kali berturut-turut
selalu beranak kembar; 2) mendapat induk baru hasil turunan induk terbaik
yang juga beranak kembar; 3) penggunaan Indeks seleksi memungkinkan
memilih induk yang selalu beranak kembar (JCSI=2) dan jumlah berat cempe
sapihan umur 100 hari per induk (JBCSI) di atas 20 kg; 4) penekanan angka
kematian (menggunakan induk buatan) memungkinkan memperbanyak
jumlah calon pengganti; 5) penggunaan tata pakan yang sesuai
366
memungkinkan pemunculan kemampuan genetik yang optimal; 6) perkawinan
yang diatur dengan menggunakan kalender reproduksi ( Adjisoedarmo dan
Amsar, 1983) berhasil memperpendek selang beranak; 7) Efisiensi reproduksi
dan produksi masih memungkinkan untuk ditingkatkan dengan seleksi; 8)
Seleksi selama empat tahun belum cukup untuk menghasilkan bibit unggul
yang teruji.
Dari hasil penelitian diperoleh 10 ( induk) yang memiliki jumlah berat
sapih cempe per induk di atas 15 kg, dan minimal ber anak 3 (tiga) kali
dalam 2 (dua) selalu kembar. Dari sepuluh induk tersebut telah diperoleh 3
(tiga) ekor cempe yang telah menjadi induk dan juga beranak kembar. Metode
yang diguanakan selajutnya mulai Agustus 1996 dikembangkan di tingkat
kelompok binaan.
367
PARITAS I- VI TIPE KELAHIRAN
NO TAG IND PJT 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 JC
1 I-01 BL I 2 2
2 I-02
3 I-03 I I II III IV 2 1 2 1 1 7
4 I-04
5 I-05 I I III IV 2 313 9
6 I-06
7 I-07 I II III III 2 113 7
8 I-08
9 I-09 I II III IV 2 222 ITSA
10 I-10
I II 22 4
11 I-11
12 I-12 I II III 2 23 7
13 I-13
14 I-14 I II III 2 11 4
15 I-15
16 I-16 I I II III IV 2 2 2 2 2 10
17 I-17
18 I-18 I I II III 2 222 8
19 I-19
2O I-20 RM I I II III IV 2 2 1 1 1 7
21 I-21 I I II IV IV 2 2 1 3 1 9
22 I-22
23 I-23 I II II III III IV 2 2 2 2 2 2 12
24 I-24
25 I-25 I I II III IV IV 2 2 2 2 2 2 12
26 I-26
27 I-27 I II II III IV 2 2 2 2 2 10
28 I-28
29 I-29 I I II III IV 2 2 1 3 1 9
30 I-30
I II 21 3
31 I-31
32 I-32 I III IV 2 22 6
33 I-32
34 I-34 I I II III IV 2 2 3 2 2 11
35 I-35
36 I-36 I II III IV 2 211 6
37 I-37
38 I-38 BN II IV 23 5
39 I-39
40 I-40 II III 21 3
II II III IV 2 111 5
II III IV 2 12 5
II III III IV 2 122 7
II II III IV IV 2 2 2 2 2 10
II III 21 3
II III III 2 21 5
II III IV 2 23 7
II III IV IV 2 112 6
BM II IV 23 5
II II III 2 22 6
II III 22 4
II III III IV IV 2 1 1 1 1 6
II III IV 2 22 6
II 2 2
II IV 22 4
II IV 21 3
II III 22 4
II III IV 2 21 5
RATAAN 6.3
SIMPANG BAKU 2.2
368
Berdasar catatan kemampuan produksi dapat dipilih induk
yang selalu beranakkan kembar 2 kali sampai dengan 6 kali
berturut-turut
INDUK YANG SELALU BERANAK KEMBAR
TAG INDUK TAHUN PARITAS JCEMPE
1 2 3 4 56
1 I-13 I II II III III IV 2 2 2 2 2 2 12
2 I-14
3 I-19 I I II III IV IV 2 2 2 2 2 2 12
4 I-09
5 I-15 I I II III IV 2 2 3 2 2 11
6 I-26
7 I-05 I I II III IV 2 2 2 2 2 10
8 I-10
9 I-07 I II II III IV 2 2 2 2 2 10
10 I-29
11 I-18 II II III IV IV 2 2 2 2 2 10
12 I-32
13 I-35 I II III IV 2 222 8
14 I-21
15 I-31 I I II III 2 222 8
19 I-06
20 I-32 I II III 2 23 7
21 I-37
22 I-39 II III IV 2 23 7
I III IV 2 22 6
II II III 2 22 6
II III IV 2 22 6
BN II IV 23 5
BM
II IV 23 5
I II 22 4
II III 22 4
II IV 22 4
II III 22 4
RATAAN 7.315789
SIMPANG BAKU 2.365651
369
Ilustrasi peningkatan nilai tengah populasi (litter size)
pada induk terpilih (7,3 ekor/induk, pada populasi 22 ekor
induk)
370
HASIL AKHIR PENELITIAN
10 INDUK DENGAN INDEX TERTINGGI
NO TAG RATAAN RATAAN INDEX FB
INDUK JCSI JBCSI
1 I-05 2.00 20.01 233,377 4
2 I-14 2,00 19,13 223,277 6
3 I-13 2,00 18,98 221,542 6
4 I-15 1,80 18,26 212,977 5
5 I-12 2,00 17,97 209,785 4
6 I-35 2,00 17,90 209,014 3
7 I-18 2,00 17,53 204,773 3
8 I-19 2,00 17,27 201,689 5
9 I-16 1,80 16,96 197,942 5
10 I-40 1,67 16,40 191,333 4
DIGADUHKAN KEPADA KELOM POK
PETERNAK DOM BA BINAAN
III. TANTANGAN DAN PELUANG
Tantangan
Pertanyaan/tantangan awal yang membutuhkan jawaban adalah, '
Berapa jumlah bibit yang akan dihasilkan untuk digunakan sendiri dan yang
akan dijual di pasar lokal dan atau di luar daerah (desa, kecamatan,
kabupaten, propinsi atau negara) ?'
Pertanyaan tersebut tidak mudah untuk dapat dijawab. Pertama,
disebabkan karena harus diketahui lebih dahulu potensi wilayah atau daya
tampung wilayah untuk dapat menyediakan pakan (hijauan dan konsentrat)
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan reproduksi dan produksi sapi
371
yang dipelihara. Kedua, disebabkan karena harus dapat menaksir berapa
jumlah bibit dan non bibit yang dapat dihasilkan per tahun atau dalam periode
tertentu. Ketiga, sudah siapkah SDM yang ada di wilayah asal calon
transmigran dan pemukiman berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan
pembibitan (usaha yang membutuhkan jangka waktu menengah sampai
panjang, 7-25 tahun). Keempat, kegagalan atau gangguan proses reproduksi
pada domba/kambing dapat menyebabkan penaksiran yang salah atau target
yang ditetapkan tidak akan dapat dicapai. Kelima, tersediakah atau dapatkah
para penyandang dana/Iptek diyakinkan untuk bersedia menjadi pelopor
pembangunan untuk wilayah pemukiman transmigrasi.
Apabila semua data dan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjawab
pertanyaan atau tantangan yang merupakan issue utama yang selalu timbul di
seputar usaha pembibitan.
Dapat diringkas tantangan yang dihadapai dalam pengembanan sistem
perbibitan nasional adalah sebaai berikut.
1) Penyediaan bibit unggul
2) Pengkondisian tanah untuk mempertahankan/peningkatakn kesuburan dan
produktifitasnya
3) Peningkatan produktifitas hijauan pakan dan konsentrat ternak
4) Peningkatan efisiensi reproduksi dan produksi ternak
5) Peningkatan kualitas SDM (di tirigat bawah, menengan dan atas
6) Peningkatan kinerja lembaga kemasyarakatan peternakan
7) Peningkatan dukungan dana pembanguan dari pemerintah
Peluang
a) Mengisi kesenjangan antara komsumsi dan produksi daging
b) Mengisi kebutuhan ternak untuk pemenuhan kegiatan keagamaan (haji,
kurban, kekah, hariraya, perkawinan
c) Memenuhi permintaan ekspor (ke timur tengah dan asean)
Tanpa tersedianya bibit unggul genetik yang cukup dan berkelanjutan,
telah dilaporkan bahwa produksi ternak di Indonesia pada umumnya
masih rendah.
372
Kesenjangan antara konsumi dan produksi ternak di Indonesia makin lama
main melebar. Tantangan untuk menyempitkan kesenjangan tersebut tetap
terbuka sebelum dapat memenuhi kebutuhan bibit unggul genetik untuk semua
ternak di Indonesia dapat diproduksi di dalam negeri. Bibit tersebut
diharapkan dapat menjamin peningkatan efisiensi reproduksi dan produksi
ternak di Indonesia.
Ketersediaan lahan kelas 3 (marginal) yang dapat digunakan untuk hijauan
pakan ternak masih tersedia cukup, dan selalu ditawarkan ke pihak peternakan.
Tantangan yang dihadapi adalah mampukah mengadakan pengkondisian lahan
sebelum ternak datang; mampukah mempertahankan kesuburan dan
produktifitass lahan, untuk dapat menunjang jumlah ternak yang diproduksi
makin meningkat.
Peningkatan efisiensi reproduksi dan produksi ternak dalam arti luas
membutuhan ketrampilan dan menerapkan Iptek. Sehingga dibutuhkan pula
ketersedian SDM dengan tingkat ketrampilan dan penguasan Iptek yang
sesuai.
Kebijakan Pembangunan Peternakan
1) Tahapan Pembangunan Peternakan
2) Era Tinggal Landas Pembangunan
3) Peran dan Posisi Pembangunan Peternakan
4) Konsepsi Pembangunan Peternakan
a) Kaidah dan operasionalisasi
b) Pendekatan
Pembangunan Peternakan di Indonesia dilaksanakan melalui 3 (tiga)
evolusi pendekatan yaitu 1) pendekatan teknis, 2) pendekatan terpadu
dan 3) pendekatan agribisnis (Soehadji, 1993).
5) Potensi
6) Masalah yang dihadapi
7) Sasaran
a) Sasaran jumlah ternak
b) Sasaran mutu/reproduktifitas
c) Sasaran teknis
373
Kebijakan perbaikan mutu bibit
Kebijakan perbaikan mutu bibit ditempuh lewat Perwilayahan ternak
dengan menetapkan a) wilayah sumber bibit, yaitu denga menetapkan jenis
suatu bibit ternak tertentu di suatu wilayah tertentu sebagai wilayah sumber
bibit dan b) wilayah produksi /pengembangan ternak.
a) Wilayah sumber bibit
Kebijakan menetapkan suatu jenis ternak tertentu sesuai dengan potensi
pengembangan di wilayah tersebut. Misal sapi Bali di pulau Bali dan
Sumbawa, sapi Madura di pulau Madura dan Sumba Onggole di pulau
Sumba.
Wilayah sumber bibit Domba dan Kambing mengacu kebijakan
tersebut dapat ditetapkan/diusulkan sebagai berikut; untuk domba ekor gemuk
di Jawa Timur, Domba ekor tipis di Jawa Barat dan Jawa Tengah; untuk
Kambing Kacang, Jawa randu, Etawah dan Peranakan Etawah di Jawa Tengah
dan Jawa Timur, Sumatera .........dst ditempuh
Langkah yang ditempuh di wilayah sumber bibit meliputi,
1) pemurnian bibit (ternak lokal maupun impor) dengan menetapkan jenis
bibit tertentu di suatu lokasi tertentu;
2) impor bibit unggul;
3) persilangan grading up;
4) inseminasi buatan;
5) progeny test;
6) embryo transfer;
7) random sample test.
b) Wilayah produksi/pengembangan
Pengembangan wilayah diarahkan untuk meningkatkan produksi ternak
atau sebagai wilayah sumber baru. Wilayah tersebut meliputi
374
daerah/lokasi di luar daerah sumber bibit yang telah
ditetapkan.(diusulkan di daerah padat populasi ternak yang didukung
dengan potensi pakan yang memadai)
Langkah yang ditempuh di wilayah prodouksi atau pengembangan
dilakukan melalui:
1) penyebaran bibit ternak lokal;
2) persilangan atau terminal cross;
3) inseminasi buatan.
2 . Progam Pengembangan Perbibitan Ternak
Ruminansia Kecil
Mengacu pada Kebijakan Pengembangan Peternakan di Indonesia yang
telah ditetapkan (Soehadji, 1993), telah diuraikan di atas, Sistem perbibitan
Nasional belum dijelaskan secara rinci. Oleh karena konsep Sistem Perbibitan
Nasional Ternak Ruminansia Kecil diharapkan dapat mengisi kekosongan
tersebut.
Program Pengembangan Perbibitan Ternak, termasuk untuk rumansia
kecil, harus didukung landasan hukum yang jelas. Landasan tadi dapat
berupa Undang-undang, Keputusan Menteri Pertanian, Instruksi Dirjen
Peternakan, tentang Perbibitan Ternak Nasional.
Keputusan Menteri digunakan sebagai petunjuk pelaksanaan, sedang
Instruksi Dirjen digunakan untuk menyusun Petunjuk Teknis. Di dalam teknis
tersebut diuraikan secara rinci mengenai pengembangan perbibitan, termasuk
perbibitan ternak ruminansia kecil.
375
Konsep yang diajukan penulis
Pendekatan
Pendekatan pola operasional perbibitan didasarkan pada, peternakan
adalah suatu sistem bio-sosio-ekonomik. Sistem tesebut akan berhasil apabila
semua faktor yang terlibat di dalamnya dapat ditangani dengan benar. Faktor
tersebut adalah 1) kebutuhan bibit unggul genetik (khusus trah/rumpun
lokal) ruminansia kecil, 2) ketrampilan peternak, 3) budaya setempat, 4)
penyediaan, kuantitas dan kualitas pakan, 5) tatalaksana ( pakan, kesehatan,
reproduksi, produksi, pemuliaan dan pemasaran), 6) persaingan pasar.
Pendekatan yang lain adalah bahwa peternakan merupakan a) pendukung
upaya swasembada protein, b) preferensi masyarakat terhadap ruminansia
kecil, c) potensi ruminansia kecil sebagai penghasil daging, kulit , pupuk, dan
susu , d) potensi daerah dalam penyediaan hijauan pakan ternak dan pakan
tambahan (konsentrant), e) peternakan sebagai sumber pertumbuhan baru
(khususnya di kawasan andalan dan Kapet), f) pendukung upaya pengentasan
kemiskinan (khususnya di desa IDT, daerah transmigrasi).
Pengertian bibit dan perbibitan
Bibit atau calon bibit adalah ternak jantan atau betina yang diternakkan
(budidayakan) untuk menghasilkan bibit baru atau calon bibit baru, bakalan
atau ternak komersial/ ternak potongan ( Amsar dkk., 1983). Bakalan
diartikan sebagai ternak yang dipelihara sampai umur tertentu untuk dijadikan
ternak potongan. Ternak yang tidak layak dijadikan calon bibit atau bibit
digolongkan sebagai afkiran. Ternak afkiran jantan dapat dikebiri menjadi
ternak kebiren. Tidak semua kebiren adalah ternak afkiran karena bakalan juga
dapat dikebiri.
Ternak bukan bibit (unggul) sebaiknya disebut sebagai pawitan (modal awal)
untuk menghindari kerancuan antara bibit (yang bersertifikat) dan ternak
376
jantan dan betina bukan bibit yang diberikan oleh pemerintah kepada
peternak, atau ternak jantan dan betina yang oleh peternakan di pasar ternak
untuk diternakan.
Perbibitan merupakan kegiatan usaha atau perusahaan yang
dilaksanakan oleh perorangan, lembaga, badan hukum atau pemerintah, yang
bertujuan untuk menghasilkan (memproduksi) bibit atau calon bibit atau
bakalan. Bibit yang dihasilkan harus memenuhi kriteria (genetik dan non-
genetik) bibit yang telah ditentukan (oleh pemerintah cq dewan bibit nasional).
Sistem Perbibitan Nasional
Sistem Perbibitan Nasional diartikan sebagai suatu metode (berdasar
IPTek) yang digunakan sebagai patokan dalam usaha perbibitan, baik yang
dilakukan oleh pemeritah, swasta ataupun perorangan, untuk menghasilkan
bibit unggul genetik yang teruji baik dari aspek kinerja reproduksi maupun
produksinya dibawah faktor lingkungan budidaya tertentu. Bibit tersebut
selanjutnya diteguhkan dengan sertifikat bibit yang dikeluarkan oleh Dewan
Bibit Nasional. Dewan Bibit Nasional (diusulkan, adalah suatu
badan/instusi/lembaga pemerintah atau swasta yang diberi kewenangan oleh
pemerintah ,Menteri Pertanaian/ Dir Jen Peternakan, untuk memberikan
sertifikat bagi bibit yang telah teruji).
Berdasar pengalaman di luar negeri maka sistem perbibitan nasional
(umum dikembangkan oleh pihak swasta) dikembangkan dengan
memanfaatkan dan mengoptimasikan penerapan teknologi beternak yang
dikenal dengan peningkatan mutu genetik dengan menggunakan seleksi dan
sistem perkawinan. Di luar negeri (khususnya di New Zealand dan Australia)
sistem perbibitan didukung dengan program komputerisasi yang teleh
377
dikembangkan dan lembaga perkoperasian yang mantap (peternak
berpartisipasi aktif). Meskipun rumenasia kecil di kedua negara tersebut
utamanya adalah domba tetapi sistem perbibitan yang dikembangkan dapat
digunakan sebagai acuan.
Tujuan
1. Membentuk Dewan Pertimbangan Bibit Ternak Nasional, yang bertugas
menetapakan landasan hukum perbibitan Nasional dan Sistem perbibitan
yang digunakan serta memberi sertifikat bibit unggul yang telah teruji,
mengadakan mengawasan terhadap menggunaan bibit ternak di Indonesia.
2. Mendirikan pusat perbibitan yang bertugas menghasilkan bibit unggul
genetik yang dibutuhkan (oleh pemerintah, swasta dan masyarakat).
3. Mengembangkan pola perbibitan yang dapat menjamin menghasilkan bibit
unggul genetik yang berkelanjutan.
4. Menguji bibit unggul genetik (baik hasil dalam negeri maupun hasil
importasi) sebelum disebarkan.
5. Melaporkan hasil kepada Dewan Pertimbangan Bibit Ternak Nasional
untuk mendapatkan sertifikat bibit unggul genetik yang telah teruji.
6. Menyebarluaskan bibit unggul bersetifikat ke masyarakat yang
membutuhkan.
Tahapan
Program perbibitan terdiri beberapa tahap yaitu 1) penyiapan populasi
awal, 2) uji kemampuan produksi, 3) proses seleksi calon bibit, 4)
pengujian bibit, 5) penyebaran bibit, 6) evaluasi bibit.
Strategi dan Pengembangan
Meningkatkan populasi (menurunkan angka kematian dan penanganan
penyakit) Meningkatkan efisiensi reproduksi dan produksi individu
sehingga dapat meningkatkan nilai tengah populasi.Strategi penggunaan
tanah.
378
Peningkatan Populasi
Meningkatkan Populasi yang awal harus diusahakan adalah
menyelamatkan populasi yang telah dihasilkan (baik oleh pemerintah maupun
masyarakat). Cara utama yang harus ditempuh adalah menekan angka
kematian pada cempe yang disebabkan kerena penyakit dan kekurangan
pakan.
Peningkatan Efisiensi Reproduksi dan Produksi
a) Memanfaatkan populasi yang ada, lewat uji kemampuan produksi di
tingkat peternak. Hasil uji kemampuan produksi digunakan sebagai
populasi awal di tingkat UPT (Unit Pelaksana Teknis) perbibitan.
Jumlah ternak dalam populasi awal disesuaikan kemampuan UPT tetapi
merupakan kelipatan populasi calon bibit terkecil yang terdiri dari 8
(delapan) ekor pejantan dan 40 (empat puluh) ekor induk. Uji
didasarkan pada kriteria beranak pertama kembar dan berasal dari
kelahiran kembar umur di bawah 24 bulan.
b) Melaksanakan program seleksi untuk meningkatkan efisiensi reproduksi
dan produksi. Kriteria yang digunakan untuk memilih bibit dan calon bibit
adalah jumlah cempe sapihan per induk per kelahiran (JCSI) dan
jumlah berat cempe sapihan per induk per kelahiran (JBCSI). Kedua
kriteria tersebut dapat dijadikan satu kriteria dengan menggunakan Indeks
seleksi untuk JCSI dan JBCSI seperti yang digunakan Adjisoedarmo
(1989) dan Adjisoedarma (1996). Calon bibit diuji minimal setelah
beranak tiga kali. Metode seleksi yang digunakan adalah direct pedigree
selection dilanjutkan dengan uji progeni untuk calon pejantan. Seleksi
379
ditujukan untuk menciptakan bibit unggul genetik yang selalu beranakan
kembar dan jumlah cempe sapihan (umur 100 hari) di atas 20 kg.
c) Melaksanakan uji dan perbanyakan bibit di tingkat peternak.
d) Mengadakan evaluasi bibit.
e) Membentuk Dewan Pertimbangan Bibit Nasional
DAFTAR PUSTAKA
Adisudono, 1982. Pola Pemuliaan Sapi Perah di Indonesia. Seminar
Nasional Sapi. Sapi Perah. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta.
Adjisoedarmo, S., B. Purnomo, A.T. Ari Sudewo, E. Agus Marmono dan
Suparwi., 1994. Menciptakan Bibit Unggul Domba Lokal Menggunakan
Seleksi. Laporan Akhir Penelitian. HB II/1. DP3M Dirjen Penti
Adjisoedarmo, S., B. Purnomo, A.T. Ari Sudewo, E. Agus Marmono dan
Agus Setya., 1995. Menciptakan Bibit Unggul Domba Lokal
Menggunakan Seleksi (Lanjutan). Laporan Akhir Penelitian. HB II/2.
DP3M Dirjen Penti
Adjisoedarmo, S., B. Purnomo, A.T. Ari Sudewo, E. Agus Marmono dan
Agus Setya., 1996. Menciptakan Bibit Unggul Domba Lokal
Menggunakan Seleksi (Lanjutan). Laporan Akhir Penelitian. HB II/3.
DP3M Dirjen Penti
Adjisoedarmo, S., B. Purnomo, A.T. Ari Sudewo, E. Agus Marmono dan
Agus Setya., 1997. Menciptakan Bibit Unggul Domba Lokal
Menggunakan Seleksi (Lanjutan). Laporan Akhir Penelitian. HB II/4.
DP3M Dirjen Penti
Adjisoedarmo, S., 1976. Pemuliabiakan Ternak Sapi Potong. Bagian
Produksi Ternak Daging. Fakultas Peternakan Unsoed, Purwokerto.
380
Adjisoedarmo, S., 1978. Pengaruh Waktu Penyapihan terhadap Pertumbuhan
Cempe Domba Lokal . Proceeding Seminar Ruminansia. Bogor, 24-25
Juli 1978.
Adjisoedarmo, S., 1984. Analisis Genetik Karakteristik Pertumbuhan
Sebelum Disapih Domba Bercak Hitam Jawa Tengah. Proceeding
Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. Bogor Indonesia. 163-
166.
Adjisoedarmo, S., 1989. Simulasi Seleksi untuk Meningkatkan Mutu Genetik
Domba Lokal. Disertasi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Adjisoedarmo, S., 1991. Small Ruminant Loan in Kind Project in The Central
Jawa Province. International Seminar on Small Ruminant Production
in the Tropics. Brawidjaya University, Malang, Indonesia.
Adjisoedarmo, S., 1991a. Uji Keturunan untuk Membandingkan Keunggulan
Dua Ekor Pejantan di bawah Kondisi Pedesaan. Fakultas Peternakan
Unsoed, Purwokerto
Adjisoedarmo, S., 1995. Pemilihan dan Penanganan Bibit (Domba induk)
untuk Meningkatkan Produktifitass Cempe, di Desa Tambak Sari Kidul,
Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas. Laporan Pelaksanaan
Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat. LPM Unsoed, Purwokereto.
Adjisoedarmo, S., Amsar, S. Martodipoetro dan A. Muljono., 1977. Tahapan
Penyusunan Pola Usaha Ternak Kecil (domba dan kambing). Lokakarya
Penyusunan Kebijkasanaan Pengembangan Usaha Sapi Perah dan
Ternak Kecil. Dit. Bina Program Peternakan Ditjen Peternakan. 1-4
Agusutus 1977. Jakarta 104 p.
Adjisoedarmo, S., dan D. Purwantirii, 1988. Performans Cempe Hasil
Persilangan Pejantan Pernakanan Etawah dengan Betina Kacang di
tingkat Kelompok Peternak Kabupaten Rembang. Fakultas Peternakan
Unsoed.
Adjisoedarmo, S., 1997. Sistem Pembibitan Ternak Nasional Ruang Lingkup
Ternak Ruminansia Kecil Ditirijau dari Aspek Mutu Gentis, Budidaya,
Standar dan Pengawasan Mutu. Kajian Kebijaksanaan Pembangunan
Pertanian PJP I dan Pokok-Pokok Pemikiran Untuk Pelita VII, 24 Maret
1997, Bogor.
381
Amsar, Soedjadi, Is Rismaniah dan S. Adjisoedarmo., 1983. Pola Pembibitan
dalam Penyediaan Bibit Ternak untuk Bantuan dan Penyebaran Aneka
Ternak (Khususnya ternak kambing). Fakultas Peternakan Unsoed.
Pertemuan Pemantapan Proyek Bantuan dan Pengembangan Ternak di
Desa Rawan.
Anonimus, 1984. Laporan Kegiatan. Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan
Makanan Ternak Baturraden. Pertemuan Koordinasi UPT BPT dan HPT
Indonesia Bagian Tengah di Baturraden, Jawa Tengah. 13-16 September
1984.
Anonimus, 1986. Hasil Pencatatan Performans dan Produksi Susu Sapi Peran
dari Frozen Semen Progenty tested Bull. Proyek Produksi Semen Beku
Bandung. BIB. Lembang. Dir. Jen. Pet. Departemen Pertanian.
Anonimus, 1990. Peningkatan Pendapatan Petani Ternak Melalui Usaha Tani
Ternal Ruminansia Besar. DPP PPSKI. Disampaikan pada acara
Seminar dalam peringatan HUT XXVI Fakultas Perternakan Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto. 3 Maret 1990
Anonimus, 1990a. Petunjuk Operasional Pembinaan Usaha Peternakan dalam
Rangka Deregulasi Tahun 1989/1990. Dir. Jen. Pet. Direktorat Bina
Usaha Petani Ternak dan Pengolahan Hasil Peternakan.
Baker, F. H., dan M.E., 1984. Sheep and Goat Handbook. Volume 4.
International Stockmen's School Handbooks. Westview Press.
Becker, W.A. 1975. Manual of Quantitative Gentics. Wasington State
University Press. Washington University. Pullman. Washington.
Becker, W.A., 1975. Manual of Quantitative Gentics. 3 rd ed. Students
Book Corporation., Washington. Boediman, S. 1991. Peraturan dan
KebUakan Pemuliaan di Jndocnsia Serta
Boediman, S., 1991. Peraturan dan Kebijakan Pemuliaan di Indonesia
Serta Permasalahannya. Disampaikan dalam Seminar Sehari Bersama
Pemuliaan Ternak , 26 September 1991. Fakultas Peternakan IPB.
Bogart, B.. 1952 Improvement of Livestock. First Printng. The Macmillan
Company, New York.
Bracken, B.O., Seidel, G.E., and S.M. Seide, 1981. New Teechnologies
382
in Animal Breeding. Academic Press, New York, London
Chapman, All 1985. Genral and Quantitative Gentics. Elsevier
Science Publisher BY. Amsterdam, Oxford, NewYork, Tokyo.
Coop, I.E., 1982. Sheep and Goat Production. Lincoln College, Centerbury,
New Zealand. 492 p
Cuningham, E.P., 1970. SELIND. A Fortran Computer Program for Gentic
Selection. Proc. N.Z. Soc. Anim. Prod., 36:23-29
Dalton, D.C. 1987. An Introduction to PracticalAnimal Breeding. Granada.
London. Toronto, New York
Dalton, D.C. and A.L. Rae, 1978. The New Zealand Romneey Sheep: A
Review of Productive Performance. Animal Breeding Abstracts. 46:
657-600
Dalton, D.C. dan G.K. Hight, 1972. Breeding Better Livestock for Hill
Country. Proceeding Ruakura Farmers' Conference. 62-76
Dent, J.B. and JR. Anderson. 1971. System Analysis in /Ditirijau dari Segi
Perbaikan Mutu Gentis. Disampaikan pada Seminar Sehari Bersama
Peinuliaan Ternak. Fakultas Peternakan IPB , Bogor.
Djanuar, R. dan Adjisoedarmo, 1977. Potensi Peternakan di DAS
Serayu. Seminar Pengembangan Peternakan di DAS Serayu.10-11
Januari 1977.
Djojodihardjo, H., 1984. Pengantar Sistem Komputer. Erlangga. Jakarta.
Elseth, G.D. and X.D. Baumgardner. 1984. Gentics. Adison –Wesley
Publishing Company. Massucheset, Menlo Park, Califorania, London,
Amsterdam, Don Mills, Ontario, Sydney.
Falconer, D.S. 1987. Introdstction to Quantitative Gentics. Second
Edition, Longman Inc. London, New York.
Gie, T.L., 1984. Konsepsi tentang Ilmu. Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi.
120 p
383
Grossman, M. 1975. Quantitative Gentics. Fakutas Peternakan Universitas
Gajah Mada. Yogyakarta.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapang. Cetakan
Pertain. P.T. Gramedia. Widiasarana. Indonesia, jakarta.
Hughes, H.G., 1983. AGNET. A National System for Cttlemen. Sheep and
Goat Handbook. Volume 3. Winrock International Project Published by
Westview Press. 359-368
Ibrahim M.N.M., R. de Jong, J van Bruchem dan H. Purnomo, 1991.
Lovestock and Feed Development int The Tropics. Proceeding of the
International Seminar held at Brawidjata University, Malang,
Indonesia, 21-25 October, 1991
Kamrudin, A. dan S. Adjisoedarmo., 1984. Pelaksanaan Sistem Gaduhan
Ternak Kambing di Jawa Tengah pada Wilayah PDP I Tahun 1979/1980
– 1983/1984. Proceeding Lokakarya Bagi Hasil Ruminansia Kecil.
Ciawi Bogor, 21 November 1983.
Lasley, J.F. 1978. Gentics of Livestock Improvement. 3‖‘ Edition. Prentice-
Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.
Li CC. 1955. Population Gentics. The University of Chicago Press
Chicago and London.
Lush, JR. 1963. Animal Breeding Plan. 3‖‘ Edition Iowa State University
Press.
McLaren, D.G., Buchanan D.S. dan J.F. William., 1987. Economic
Evaluation of Alternative Crossbreeding System Involving four Breeds
of Swme. J. Anim. Sci. 65:910-918
Martojo, H., 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Pusat Antar
Universitas Bioteknologi IPB. Direktorat Jenderal Pendidikan Tiriggi,
Departemen Pendidikan Tiriggi, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Bogor.
Martoyo, H. 1986. Pelestarian Sumber Daya Genetik Bangsa Ternak Ash di
Indonesia.Dis~mpaikan Pada Penetaran Pengembangan Metode
Pengajaran di FakultasPeternakan UGM, Yogyakarta.
384
Mason, I.L., dan V. Buvanendran., 1982. Breeding for Ruminant Livestock
in the Tropics. FAO., Animal Production and Helath Paper., Rome.
Meyer, H.H., J.N. Clarke, M.L. Bigham dan A.H. Carter, 1977. Reproductive
Performance, Growth and Wool Production of Exotic Sheep and Their Crosses
with Romney. Proceeding of the New Zealand Society of Animal Production,
37:220-9
Minkema, D., 1993. Dasar Genetika Dalam Pembudidayaan Ternak.
Cetakan Kedua. P.T. Bharata Niaga Media, Jakarta
Mubyarto, 1982. Growth and Equaty in Indonesia Agricultural
Development. XVIII International Conference of Agricultural
Economics. Jakarta August 24 –September 2, 198. Yayasan Agro
Ekonomi. 258 p
Natasasmita, A., Nana Sugana, M., Duljaman dan Amsar., 1986. Penentuan
Parameter Seleksi dan Pengarahan Metoda Pembibitan Domba di
Kalangan Petani. IPB. Fakultas Peternakan., Bogor.
Padmowijoto, S., 1988. Pola Perkembangan Usaha Ternak Domba dan
Kambing untuk Ekspor. Seminar Ekspor Ternak Potong. Kumpulan
Makalah Panitia Seminar Ekspor Ternak Potong, 1988.
Pane, I., 1986. Pemuliabiakan Ternak Sapi. P.T. Gramedia, Jakarta.
Permasalahannya. Disampaikan pada Seminar Sehari Bersama
Pemuliaan TernakiFakultas Peternakan LPB , Bogor.
Pirchner, 1981. Population Gentics in Animal Breeding. S. Cliand &
Company Ltd Ram Nagar, New Delhi.
Preston, T.R., 1973. Intensive Beef Production. Proceeding of the
Ruakura Farmer‘s Conference.
Rahardja, P., 1989. Geografi dan Kependudukan. Ed. Pertma. Pt Intan
Parawira. 201 p
Rice, V, A, Andrews F.N, Warwick E.J. and J.E. Legates, 1957. Breeding
and Improvement of Farm Animals. 5 th ed. Mc Graw Hill Book
Company, Inc., New York.
385
Robertson, A., 1980. The Contribution of Computer Studies to Selection
Theory. Experiments in Laboratory of Domestic Animals. The
Proceeding a Symposium.
SBPT, 1988. Pengembangan Usaha Ternak Domba di Jawa Tengah. Hasil
Scheinberg, E., 1968. Methodology of Computer Research. Can. J.Gent.
Cytol., 10:75-761
Soehadji, 1991. Pembangunan dan Pengembangan Peternakan di Indonesia di
Ditirijau dari segi Perbaikan Mutu Gentis. Disampaikan dalam Seminar
Sehari Bersama Pemuliaan Ternak , 26 September 1991. Fakultas
Peternakan IPB
Soehadji, 1993. Peneliltlian Unggulan di Bidang Peternakan yang Mendukung
Kebijaksanaan Pengembangan Peternakan di Indonesia. Disampaiakan
Pada Forum Komunikasi Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat di
Yogyakarta 22 Nopember 1993. Departemen Pertanian Dijen
Peternakan.
Soehadji, 1993. Strategi dan Kebija.ksanawa Pen gem bangan Agroindustri
Peternakan Pada PJPT II. Disainpaikan Dihadapan Civitas Academica
Unsoed, Purwokerto
Subandryo dan R. M. Gatenby, 1993. Advances in Small Ruminant
Research in Indonesia. Proceding of a workshop held at the Reserach
Institute for Animal Production, Ciawi-Bogor Indonesia, Agust 3-4,
1993
VanVleck, D., 1976. Notes On The Theory and Application of Selection
Principle for the Gentic Improvement of Animals. Department of
Animal Science. Comell University. New York. 14853
Warwick, E.J. and E.J. Legates. 1979. Breeding and Improvement of Farm
Animals. Seveth Edition. Tata McGraw-Hill Publishing Company. Ltd.
New Dehhi.
Warwick, E.J., Astuti, M., Hardjosubroto, W., 1983. Pemuliaan Ternak.
Gajah Mada Unmersity Press, Yogyakarta.
Weller, J.J. 1994. Economic Aspects of Animal Breeding. Published by
Chapman &Hall, 2-6 Boundary Row, London SE! SHIN, UK
386
Widodo, R.J., 1984. Pengantar Sistem Komputer. Dasar-dasar Sistem
Komputer. Erlangga. Jakarta. 7-19
Martojo, H., 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Pusat Antar
Universitas Bioteknologi IPB. Direktorat Jenderal Pendidikan Tiriggi,
Departemen Pendidikan Tiriggi, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Bogor.
Martoyo, H. 1986. Pelestarian Sumber Daya Genetik Bangsa Ternak Ash di
Indonesia.Dis~mpaikan Pada Penetaran Pengembangan Metode
Pengajaran di FakultasPeternakan UGM, Yogyakarta.
Mason, I.L., dan V. Buvanendran., 1982. Breeding for Ruminant Livestock
in the Tropics. FAO., Animal Production and Helath Paper., Rome.
Meyer, H.H., J.N. Clarke, M.L. Bigham dan A.H. Carter, 1977. Reproductive
Performance, Growth and Wool Production of Exotic Sheep and Their
Crosses with Romney. Proceeding of the New Zealand Society of
Animal Production, 37:220-9
Minkema, D., 1993. Dasar Genetika Dalam Pembudidayaan Ternak.
Cetakan Kedua. P.T. Bharata Niaga Media, Jakarta
Mubyarto, 1982. Growth and Equaty in Indonesia Agricultural
Development. XVIII International Conference of Agricultural
Economics. Jakarta August 24 –September 2, 198. Yayasan Agro
Ekonomi. 258 p
Natasasmita, A., Nana Sugana, M., Duljaman dan Amsar., 1986. Penentuan
Parameter Seleksi dan Pengarahan Metoda Pembibitan Domba di
Kalangan Petani. IPB. Fakultas Peternakan., Bogor.
387
Padmowijoto, S., 1988. Pola Perkembangan Usaha Ternak Domba dan
Kambing untuk Ekspor. Seminar Ekspor Ternak Potong. Kumpulan
Makalah Panitia Seminar Ekspor Ternak Potong, 1988.
Pane, I., 1986. Pemuliabiakan Ternak Sapi. P.T. Gramedia, Jakarta.
Permasalahannya. Disampaikan pada Seminar Sehari Bersama
Pemuliaan TernakiFakultas Peternakan LPB , Bogor.
Pirchner, 1981. Population Gentics in Animal Breeding. S. Cliand &
Company Ltd Ram Nagar, New Delhi.
Preston, T.R., 1973. Intensive Beef Production. Proceeding of the
Ruakura Farmer‘s Conference.
Rahardja, P., 1989. Geografi dan Kependudukan. Ed. Pertma. Pt Intan
Parawira. 201 p
Rice, V, A, Andrews F.N, Warwick E.J. and J.E. Legates, 1957. Breeding
and Improvement of Farm Animals. 5 th ed. Mc Graw Hill Book
Company, Inc., New York.
Robertson, A., 1980. The Contribution of Computer Studies to Selection
Theory. Experiments in Laboratory of Domestic Animals. The
Proceeding a Symposium.
SBPT, 1988. Pengembangan Usaha Ternak Domba di Jawa Tengah. Hasil
Scheinberg, E., 1968. Methodology of Computer Research. Can. J.Gent.
Cytol., 10:75-761
Soehadji, 1991. Pembangunan dan Pengembangan Peternakan di Indonesia di
Ditirijau dari segi Perbaikan Mutu Gentis. Disampaikan dalam Seminar
Sehari Bersama Pemuliaan Ternak , 26 September 1991. Fakultas
Peternakan IPB
Soehadji, 1993. Peneliltlian Unggulan di Bidang Peternakan yang Mendukung
Kebijaksanaan Pengembangan Peternakan di Indonesia. Disampaiakan
Pada Forum Komunikasi Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat di
Yogyakarta 22 Nopember 1993. Departemen Pertanian Dijen
Peternakan.
388
Soehadji, 1993. Strategi dan Kebija.ksanawa Pen gem bangan Agroindustri
Peternakan Pada PJPT II. Disainpaikan Dihadapan Civitas Academica
Unsoed, Purwokerto
Subandryo dan R. M. Gatenby, 1993. Advances in Small Ruminant
Research in Indonesia. Proceding of a workshop held at the Reserach
Institute for Animal Production, Ciawi-Bogor Indonesia, Agust 3-4,
1993
VanVleck, D., 1976. Notes On The Theory and Application of Selection
Principle for the Gentic Improvement of Animals. Department of
Animal Science. Comell University. New York. 14853
Warwick, E.J. and E.J. Legates. 1979. Breeding and Improvement of Farm
Animals. Seveth Edition. Tata McGraw-Hill Publishing Company. Ltd.
New Dehhi.
Warwick, E.J., Astuti, M., Hardjosubroto, W., 1983. Pemuliaan Ternak.
Gajah Mada Unmersity Press, Yogyakarta.
Weller, J.J. 1994. Economic Aspects of Animal Breeding. Published by
Chapman &Hall, 2-6 Boundary Row, London SE! SHIN, UK
Widodo, R.J., 1984. Pengantar Sistem Komputer. Dasar-dasar Sistem
Komputer. Erlangga. Jakarta. 7-19
389
PETUNJUK PRAKTIKUM
PEMULIAAN TERNAK
390
KATA PENGANTAR
Petunjuk praktikum ini dilengkapi dengan buku laporan, disusun dengan
tujuan untuk membantu para mahasiswa menyiapkan diri lebih awal untuk
mengikuti praktikum. Dimaksudkan pula supaya mahasiswa dapat lebih
mudah memahami tugas-tugas yang harus dikerjakan untuk praktikum dan
untuk membantu mahasiswa memahami bahan kuliah lebih mudah.
Pada edisi ke 13 ini ada perubahan acara praktikum serta laporan.
Perbaikan tersebut dimaksudkan agar mahasiswa dapat lebih memahami dan
melaksanakan praktikum dengan baik. Untuk mempermudah bimbingan dan
pengawasan, praktikan dikelompokkan sehingga laporan praktikum dinilai
secara kelompok.
Disadari oleh Kepala Laboratorium Pemuliaan Ternak bahwa dalam
Buku Petunjuk ini masih banyak kekurangannya. Saran, masukan, dan usulan
yang bersifat membangun kami hargai untuk perbaikan penerbitan Buku
Petunjuk dan Laporan Praktikum yang akan datang.
Terima kasih disampaikan kepada seluruh staf Laboratorium
Pemuliaan Ternak yang telah berhasil menerbitkan Buku Petunjuk Praktikum
edisi ke 13 tahun 1999/2000.
Purwokerto, 1 September 1999
Lab. Pemuliaan Ternak Terapan
Fakultas Peternakan UNSOED
Kepala Laboratorium,
ttd
Ir. Bambang Purnomo SU
NIP. 130604349
391
TATA TERTIB PRAKTIKUM
ILMU PEMULIAAN TERNAK
Tata tertib ini berlaku untuk seluruh mahasiswa yang mengikuti
praktikum ilmu pemuliaan ternak semester gasal tahun 1999. Praktikan yang
tidak dapat sepenuhnya mengikuti tata tertib ini akan menanggung resiko
dapat ditunda menyelesaikan praktikumnya sampai tahun depan.
1. Acara praktikum harus diikuti 100 persen dan dilaksanakan setiap hari
Rabu.
2. Praktikan diwajibkan membawa mesin hitung dan mempelajari buku
petunjuk praktikum dengan kesungguhan hati.
3. Praktikum dimulai pukul 14.15 WIB dan diakhiri pukul 18.00 WIB kecuali
ada perubahan yang sebelumnya telah diumumkan.
4. Terlambat datang dapat menyebabkan nilai praktikum dikurangi hingga 60
persen. Tiga kali berturut-turut terlambat tanpa alasan yang dapat
diterima, menyebabkan yang bersangkutan praktikumnya ditunda tahun
depan.
5. Sebelum praktikum dimulai, diadakan tes selama 15-20 menit mengenai
acara praktikum yang akan dilakukan.
6. Hasil praktikum langsung ditulis pada buku laporan praktikum dengan
ballpoint warna hitam.
7. Selama praktikum berlangsung, praktikan dilarang meninggalkan ruang
kecuali untuk melaksanakan sholat.
8. Kartu praktikum diisi pada saat praktikum, diserahkan kembali bersama-
sama laporan pada saat menyerahkan hasil praktikum kepada dosen
pengawas.
9. Praktikan wajib merapikan tempat duduk sebelum meninggalkan ruang.
Bila ada regu yang tidak merapikan tempat duduk, semua anggota regu
yang duduk di ruang tersebut nilai praktikumnya dikurangi 25 persen.
392
10. Laporan praktikum dapat diambil kembali mulai Selasa pukul 09.30 WIB
dengan mengisi daftar pengambilan yang sudah disiapkan.
11. Kartu puas praktikum merupakan syarat untuk bebas laboratorium
pemuliaan ternak. Bila tidak diambil dalam waktu yang sudah
ditentukan, bebas laboratorium tidak akan dilayani.
393
DAFTAR ACARA PRAKTIKUM
1. PENAKSIRAN REPITABILITAS DAN HERITABILITAS
2. SELEKSI INDIVIDU
3. METODE SELEKSI
4. UJI KETURUNAN
5. SELEKSI n GENERASI
6. KORELASI GENETIK
7. INBREEDING
8. OUT BREEDING
9. TUGAS AKHIR
10. PRESENTASI I
11. PRESENTASI II
12. PRESENTASI III
I. PENAKSIRAN REPITABILITAS DAN
HERITABILITAS
SASARAN BELAJAR
Setelah melaksanakan praktikum ini mahasiswa diharapkan dapat:
1. Memahami repitabilitas
2. Memberikan definisi repitabilitas
3. Menaksir repitabilitas dengan analisis variansi
4. Memahami heritabilitas
5. Memberikan definisi heritabilitas
6. Menaksir heritabilitas dengan analisis variansi
DASAR TEORI
Repitabilitas adalah besaran yang menggambarkan bagian dari ragam
total suatu populasi yang disebabkan oleh perbedaan antar individu yang
bersifat permanen. Hal ini terjadi karena adanya pengukuran yang berulang
pada individu yang sama dalam waktu yang berbeda.
Repitabilitas adalah konsep yang erat hubungannya dengan heritabilitas
dan berguna untuk sifat/karakterisitik yang dapat diuukur berulang kali pada
waktu yang berbeda dan pada individu yang sama. Misalnya produksi susu,
jumlah anak sepelahiran dan produksi wol. Keeratan hubungan tersebut dapat
dilihat pada rumus matematiknya.
t Var G Var Ep
Var G Var Et Var Ep
Var Et dan Var Ep merupakan pecahan Var E (ragam lingkungan). Var
Et merupakan pengaruh lingkungan temporer sedangkan Var Ep merupakan
pengaruh lingkungan yang permanen. Jadi repitabilitas meliputi semua
pengaruh genetik ditambah pengaruh lingkungan yang bersifat permanen.
Pengaruh lingkungan yang permanen adalah semua pengaruh yang
bukan bersifat gentis tetapi mempengaruhi produktifitass seekor ternak selama
hidupnya. Misalnya penyakit, kurang gizi pada awal pertumbuhannya, dll.
Heritabilitas dan repitabilitas dapat ditaksir apabila variansi genetik telah
diketahui. Variansi fenotipik dapat dihitung dari data produksi dalam
populasi. Variansi gentis dapat ditaksir dengan menggunakan kovariansi antar
saudara, misalnya tetua dengan anak. Kovariansi tersebut dapat digunakan
untuk menaksir h2 dengan menggunakan analisis regresi. Untuk menaksir
koefisien pewarisan pada praktikum ini digunakan data produksi yang telah
dikoreksi untuk JHP (305, ME, kali pemerahan dan umur).
TUGAS YANG HARUS DILAKUKAN PRAKTIKAN
1. Praktikan menghitung taksiran nilai repitabilitas untuk sifat produksi susu
menggunakan 3 catatan produksi.
2. Praktikan menghitung taksiran nilai heritabilitas untuk sifat produksi susu
menggunakan catatan produksi laktasi pertama.
Contoh penaksiran repitabilitas
Individu Prod-1 Prod-2 Prod-3
2