The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by nurimandina3025, 2022-05-22 19:54:25

ctdn

ctdn

Simposium Pengantarabangsaan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

MENINGKATKAN MINAT BELAJAR BAHASA MELAYU DI AUSTRALIA

Ismet Fanany
([email protected])

Deakin University
Melbourne, Australia

PENGENALAN

Bahasa Melayu, atau lebih tepat Bahasa Melayu ragam Indonesia, sudah lama dikenal
dan diajarkan di sekolah dan universitas di Australia. Sejarah lebih dari 50 tahun ini
ditandai oleh ketidakstabilan dalam minat, pendanaan, serta perhatian di bidang
pendidikan. Salah satu akibatnya pengajaran Bahasa Melayu mengalami masa
berkembang dan masa kemunduran seperti terlihat akhir-akhir ini.

Pada tahun 2010 laporan nasional tentang pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah-
sekolah Australia menyarankan perlunya sebuah rasional yang akan menjadi dasar
dalam pengajaran dan pembelajaran Bahasa Indonesia (Kohler dan Mahnken, 2010).
Pada waktu itu saran tersebut tidak diikuti dengan tindakan, barangkali karena
keadaan program bahasa di sekolah dan universitas kelihatan cukup kuat. Kini
keadaan sudah berubah dengan drastis sehingga banyak pakar bahasa dan
pendidikan menganggap jumlah pelajar yang belajar Bahasa Indonesia tidak cukup
dan pengetahuan yang diperlukan untuk menjaga kepentingan Australia terancam
hilang.

Keinginan pelajar Australia untuk belajar Bahasa Melayu tergantung pada pandangan
mereka terhadap dunia Melayu, khususnya Indonesia yang jauh lebih banyak dikenal
di Australia, dan penilaian mereka tentang apa yang akan berguna dalam
mendapatkan pekerjaan atau melanjutkan pendidikan (Raymond dan Trefalt, 2019).
Masa kini kebanyakan pelajar dan orang tua mereka merasa bahwa bahasa asing
tidaklah sepenting matematika, sains dan Bahasa Inggris.

Makalah ini membahas keadaan pengajaran Bahasa Melayu/Indonesia di Australia,
dan khususnya negara bagian Victoria, yang menggambarkan masalah yang disentuh
di atas. Dari dahulu, Victoria menjadi pusat pengajaran dan pembelajaran Bahasa
Melyu/Indonesia di Australia. Selain itu status Bahasa Melayu sebagai bahasa
surpranasional juga dibicarakan dari segi prestise bahasa dan sebagai salah satu
unsur “kekuatan lunak,” soft power, dunia Melayu.

ISU KAJIAN

Bahasa Melayu ragam Indonesia sudah lama diajarkan di Australia, bukan saja di
universtas tapi juga di tingkat sekolah di mana ribuan pelajar tingkat Sekolah Dasar,
primary school, pun mulai diperkenalkan dengan Bahasa Indonesia yang sederhana.
Dari ribuan pelajar ini sebagian besar meneruskan pembelajaran Bahasa Indonesia
sampai ke tingkat Sekolah Menengah, high school, terutama untuk mendapatkan
Victorian Certificate of Education (VCE) yang diambil di tahun 11 dan 12. VCE wajib
bagi mereka yang ingin melanjutkan ke universitas dan mata pelajaran yang diambil
pada tingkat itu menjadi dasar bagi kuliah mereka nantinya.

Meningkatkan Minat Belajar Bahasa Melayu di Australia

Pada masa kini bahasa asing wajib di primary school dengan. Semua pelajar harus
belajar satu bahasa yang bukan Bahasa Inggris. Setiap sekolah di tingkat ini
menawarkan paling kurang dua bahasa, satu bahasa Eropa dan satu bahasa Asia.
Bahasa Indonesia sering dipilih karena dianggap lebih mungkin dikuasai penutur
Bahasa Inggris dibandingkan bahasa Asia yang lain (ACARA, 2020). Bahasa asing
wajib pula di tingkat junior secondary (kelas 7, 8 dan 9). Pelajar seharusnya
melanjutkan bahasa yang dipelajari di tingkat primary tetapi kenyataannya ini tidak
selalu terjadi sehingga banyak pelajar mengambil bahasa baru di kelas 7. Di tingkat
senior secondary (kelas 10, 11 dan 12; termasuk VCE) bahasa merupakan mata
pelajaran pilihan sehingga ia harus bersaing dengan mata pelajaran lain termasuk
seni, IT, musik, dan beberapa lainnya. Di VCE khususnya, pelajar hanya dapat
mengambil lima mata pelajaran ditambah Bahasa Inggris yang wajib di kelas 11.
Sedangkan di kelas 12, pelajar mengambil empat mata pelajaran saja selain Bahasa
Inggris. Hal ini berarti pelajar serta orang tua mereka harus mengambil keputusan
tentang mata pelajaran apa yang paling berguna dalam mencapai tujuan pendidikan
yang mereka inginkan. Misalnya pelajar yang ingin masuk bidang teknik di universitas
harus mengambil matematika dan sains di VCE dan hampir pasti tidak akan
mengambil bahasa asing.

Jumlah pelajar Bahasa Indonesia di negara bagian Victoria dapat dilihat dalam Jadual
1 di bawah. Beberapa Bahasa lain diperlihatkan sebagai perbandingan.

Jadual 1: Jumlah Pelajar Beberapa Bahasa Asing di Victoria, 2020

Bahasa Primary Secondary Total Persentase Pelajar

Bahasa

Indonesia 46992 14937 61929 13.3

Cina 76707 14705 91412 19.6

(Mandarin)

Jepang 58439 21959 80398 17.3

Perancis 30346 23324 53670 11.5

Melayu 21 19 40 <0.1
Sumber: Department of Education and Training Victoria (2021).

Beberapa tahun yang lalu Bahasa Indonesia menduduki peringkat 1. Kini Bahasa
Mandarin menjadi nomor 1. Bahasa Indonesia menjadi nomor 4, itu pun disebabkan
oleh kenyataan bahwa bahasa Indonesia menjadi pilihan banyak primary school yang
diwajibkan menawarkan satu bahasa Asia. Pada tingkat ini, bahasa Indonesia
dianggap lebih mudah bagi pelajar. Bahasa Melayu (ragam Bahasa Melayu Malaysia)
tidak ditawarkan di sekolah tetapi dapat diambil melalui Victorian School of Languages
sebagai community language, istialh yang dipakai untuk bahasa keturunan yang
menjadi bagian dari warisan budaya pelajar yang keluarganya berasal dari negara
bersangkutan. Community Languages dipalajari di luar sekolah, biasanya secara
iformal atau di kelas yang diadakan masyarakat penutur di lingkungan mereka. Jumlah
sekolah yang menawarkan keenam Bahasa yang paling banyak dipelajari di tingkat
primary school dari 2014 sampai 2020 dapat dilihat dalam grafik 1.

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

Grafik 1: Jumlah Primary School yang Menawarkan Keenam Bahasa yang Paling
Banyak Dipelajari, 2014-20

300 Cina
(Mandarin)

250 JJaeppaannegse
Bahasa

200 Indonesia
Italia

150
Auslan

100
Perancis

50

2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Sumber: Department of Education and Training Victoria (2021).

Peningkatan dalam jumlah primary school yang menawarkan Bahasa Indonesia yang
terjadi pada 2015 disebabkan oleh jumlah sekolah yang bertambah serta masuknya
Asia and Australia’s Engagement with Asia ke dalam Australian Curriculum (Kohler,
2021).

Grafik 2 memperlihatkan jumlah secondary schools yang menawarkan keenam
Bahasa yang paling banyak dipelajari dari 2014 samapi 2020

Grafik 2: Jumlah Secondary School yang Menawarkan Keenam Bahasa yang
Paling Banyak dipelajari, 2014-2020

120
Jepang

100
Perancis

80 Bahasa
Indonesia

60 Cina
(Mandarin)

40 Italia

20 Jerman

2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Meningkatkan Minat Belajar Bahasa Melayu di Australia

Sumber: Department of Education and Training Victoria (2021).

Sementara Bahasa Indonesia menurun, bahasa yang lain meningkat atau stabil. Ini
menunjukkan minat pelajar terhadap bahasa tertentu karena sekolah cenderung
mengikuti keinginan pelajar serta orang tua mereka pada tingkat secondary, apalagi
di tingkat VCE di mana mata pelajaran bahasa tidak wajib.

Penurunan dalam minat belajar Bahasa Indonesia mempengaruhi program Bahasa
Indonesia di universitas. Pada saat ini Bahasa Indonesia bisa dipelajari di 12
universitas di Australia (22 universitas menawarkan bahasa Indonesia pada tahun
1992) (Williams, 2021). Tetapi hanya tiga universitas saja yang menawarkan program
lengkap, artinya dari tingkat 1 sampai tingkat 3/4 dan honors (Schmidt, 2021).
Walaupun dalam kebijakan “Job-ready Graduates” pemerintah Australia pelajaran
bahasa merupakan prioritas nasional (Department of Education, Skills and
Employment, 2021), mahasiswa enggan menganbil bahasa Indonesia karena terlihat
tidak menjanjikan bagi masa depan mereka.

GAGASAN KESIMPULAN

Sangat susah menyumbang terhadap pengajaran Bahasa Melayu di Australia dari luar
Australia itu sendiri. Namun, pembelajaran bahasa bukan satu-satunya ukuran status
dan pentingnya suatu Bahasa. Bahasa Melayu merupakan bahasa supranasional
yang menjadi bahasa nasional atau bahasa resmi di empat negara, Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Bahasa Melayu juga dipaki oleh
masyarakat penutur tertentu di beberapa negara lain di wilayah Asia Tenggara
maupun bagian dunia yang lain. Hal ini jarang disadari di luar dunia Melayu.

Bahasa, budaya dan masyarakat dunia Melayu belum begitu dikenal, kecuali sebagian
kecilnya. Hal ini berkaitan erat dengan status dan prestise Bahasa Melayu. Inilah
aspek bahasa yang dapat dipengaruhi oleh banyak hal karena status suatu bahasa
muncul dan tumbuh dari kesan dan pandangan orang di luar masyarakat
penggunanya. Dalam hal ini bahasa dan budaya dapat dijadikan salah satu unsur
‘kekuatan lunak’ atau soft power.

“Kekuatan lunak,” atau “soft power,” adalah kekuatan yang berasal dari budaya,
lingkungan sosial, atau hal lain yang dipandang baik oleh orang luar sehingga dapat
mempengaruhi pendapat, pandangan dan sikap mereka. Malaysia dianggap
mempunyai pengaruh budaya di wilayah Asia Tenggara (Lowy Institute, 2021).
Pengaruh ini dapat dipakai untuk meningkatkan status Bahasa Melayu di luar
Malaysia.

Sebagai contoh menggunakan kekuatan lunak, Malaysia mengundang orang-orang
tertentu yang dipilih karena mereka sudah atau bakal menjadi penting di negara
mereka, yaitu mereka yang disebut oleh Baran dan Davis (2014) sebagai opinion
leaders. Orang-orang tersebut mungkin politikus muda, wartawan, seniman, penulis
dan sebaginya yang berasal dari negara ASEAN, Asia Timur dan Australia. Atau
negara mana saja. Tujuannya untuk memperlihatkan seperti apa kehidupan modern
di dunia Melayu yang cenderung dianggap atau dipikirkan sebagai budaya tradisional
yang kolot dan kaku. Dengan mengalami sendiri kenyataan yang jauh berbeda dari
anggapan dan pikiran umum di negara mereka, para undangan ini dapat diharapkan
menulis tentang apa yang mereka lihat yang kemudian akan dibaca dan disimak oleh
masyarakat tempat asal mereka. Mereka juga dapat diharapkan berbicara dengan
teman, kolega dan masyarakat pada umumnya di negara mereka masing-masing.

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

Dengan begitu pandangan umum tentang dunia Melayu bisa dirubah secara pelan-
pelan dan kekuatan lunak tersebut akan meningkat.
Kemajuan dunia Melayu, budaya Melayu, dan kehidupan dalam masyarakat Melayu
saat ini tidak dapat diharapkan akan diketahui oleh orang di luar dunia Melayu melalui
pengajaran bahasa saja. Peningkatan “kekuatan lunak” itu tidak akan bisa terjadi
dengan sendirinya. ‘Opinion leaders’ tadi itu, yang membawa pulang pengalaman
kunjungan mereka ke negara masing-masing dan menyebarluaskan pengalaman itu
dalam masyarakat mereka, diharapkan akan meningkatkan minat belajar Bahasa
Melayu di negara mereka. Inilah barangkali salah satu cara terbaik untuk menunjang
dan memperbaiki pengajaran bahsa Melayu di Australia.

BIBLIOGRAFI

Australian Curriculum, Assessment and Reporting Authority (ACARA). 2021.

Indonesian: Context Statement. https://www.australiancurriculum.edu.au/f-10-

curriculum/languages/indonesian/context-

statement/#:~:text=Indonesian%20has%20been%20taught%20in,education%20fo

r%20school%2Daged%20children akses 9 Mei 2022.

Baran, S.J. dan Davis, D.K. 2014. "Theories of Mass Communication:
Glossary". Introduction to Mass Communication. New York: McGraw-Hill

Education.
Department of Education and Training Victoria. 2021. Languages Provision in Victorian

Schools, 2020. Melbourne: DET.

Department of Education, Skills and Employment. 2021. Job-ready Graduates

Package. https://www.dese.gov.au/job-ready akses 9 Mei 2022.
Kohler, M. 2021. A Contemporary Rationale for Indonesian Language and Culture
Studies in Australian Schools. Canberra: Asia Education Foundation.

Kohler, M. dan Mahnken, P. 2010. The Current State of Indonesian Language
Education in Australian Schools. Canberra: Australian Government Department of

Education, Employment and Workplace Relations.

Lowy Institute. 2021. Asia Power Index.

https://power.lowyinstitute.org/compare/?countries=malaysia,indonesia akses

pada 9 Mei 2022.
Raymond, R. dan Trefalt, B. 2019. Report on the Teaching of Indonesian in Victorian

Government Schools: Understanding constraints and opportunities: a qualitative
report. Melbourne: Department of Education and Training Victoria.

Schmidt, N. 2021. Indonesian Language Study in Australia at a Crossroads After
Decades of Decline. New Bloom April 2021.

Williams, E. 2021. Can Australia’s Declining Indonesia Literacy Survive COVID19

Cuts? University of Melbourne 28 September 2021.

https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/can-australias-declining-indonesia-

literacy-survive-covid-19-

cuts/#:~:text=In%20fact%2C%20from%20next%20year,down%20from%2022%20

in%201992 akses pada 7 Mei 2022.

Simposium Pengantarabangsaan Bahasa Melayu / 136 - 145
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

ASTERAWANI: MENDUKUNG DASAR BAHASA MELAYU SEBAGAI
BAHASA RASMI NEGARA DAN KEWUJUDANNYA SEBAGAI BAHASA

SUPRANASIONAL DAN DIASPORA BAHASA MELAYU

Ampuan Haji Brahim bin Ampuan Haji Tengah
([email protected])
Universiti Brunei Darussalam
Brunei

PENGENALAN

Pada dasarnya, bahasa Melayu ialah bahasa yang utama atau sebahagian
dituturkan oleh beberapa buah negara atau kawasan di Asia Tenggara, iaitu Negara
Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura dan Selatan Thailand. Hal ini
memperlihatkan bahawa bahasa Melayu ialah bahasa yang banyak penuturnya di
Asia Tenggara. Masing-masing negara atau kawasan yang mahu mengekalkan dan
melestarikan bahasa Melayu sebagai identiti dan warisan bangsa telah melakukan
beberapa langkah agar bahasa Melayu terus berkembang menjadi bahasa
perhubungan yang meluas seperti keberadaannya pada masa lalu. Dalam hal ini,
Negara Brunei Darussalam telah berusaha ke arah itu, dan seterusnya walaupun ia
mempunyai jumlah penutur bahasa Melayu yang paling sedikit, tetapi dari segi
kedudukannya sebagai sebuah negara, Negara Brunei Darussalam dapat
menyumbang pertambahan jumlah negara dalam meletakkan bahasa Melayu itu
sebagai salah satu bahasa utama di Asia Tenggara, malah di dunia.

Dalam Perlembagaan Negeri Brunei 1959, Bab 82(i) telah menyebutkan bahawa
“Bahasa rasmi Negeri ialah Bahasa Melayu dan hendaklah ditulis dengan huruf yang
ditentukan oleh undang-undang bertulis.” Jadi kedudukan bahasa Melayu sudah
lama dipelihara dan hal ini secara tidak langsung memperlihatkan usaha Negara
Brunei Darussalam dalam mengukuhkan kedudukan bahasa Melayu di negaranya
yang menjadi salah satu akar kepada pengukuhannya di Asia Tenggara atau
kewujudannya sebagai bahasa supranasional dan diaspora bahasa Melayu . Hal ini
diperkuat lagi dengan sokongan pemerintah, iaitu Kebawah Duli Yang Maha Mulia
Paduka Seri Baginda Sultan Haji Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah ibni
Al-Marhum Sultan Haji Omar ‘Ali Saifuddien Sa’adul Khairi Waddien, Sultan dan
Yang Di-Pertuan Negara Brunei Darussalam yang telah menekankan lagi perkara ini
seperti titah baginda:

“Pemartabatan bahasa Melayu yang telah diperundangkan dalam
Perlembagaan Negeri Brunei 1959 dan Pindaan 2004 sebagai bahasa
rasmi negara membuktikan, kerajaan beta adalah mengiktiraf peranan
bahasa Melayu itu. Ianya juga menandakan, tidak ada bahasa lain
yang mengambil alih peranan bahasa Melayu dalam memahami
secara menyeluruh konsep, budaya dan minda bangsa Melayu.”1

Untuk itu, Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Brunei yang awalnya dikenal sebagai
Lembaga Bahasa telah ditubuhkan pada tahun 1961 dengan lima tujuan dasar, iaitu
pertama, berusaha dan berikhtiar mengembangkan dan meninggikan bahasa

1 Majlis Sambutan Jubli Emas 50 Tahun Penubuhan Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei (1961 – 2011)
pada hari Sabtu, 19 Syawal 1432 bersamaan 17 September 2011 di Pusat Persidangan
Antarabangsa, Berakas.

136

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

Melayu; kedua, menyesuaikan pemakaian bahasa Melayu yang telah dijadikan
bahasa rasmi negara mengikut kehendak dan semangat Perlembagaan Negeri
Brunei 1959 dalam Bab 82(i); ketiga, mengeluarkan atau menentukan pengeluaran
buku; keempat, menyatupadukan ejaan dan sebutan dan mengadakan perkataan
teknikal dalam bahasa Melayu; dan kelima, menggalakkan orang-orang yang
berkebolehan dalam mempelajari bahasa Melayu. Selain daripada DBP sebagai
institusi kerajaan yang utama, pertubuhan NGO juga turut terlibat dalam hal ini.
Salah satu pentubuhan NGO yang turut membantu mengukuh, mengembang dan
melestarikan bahasa Melayu di Negara Brunei Darussalam ialah Angkatan
Sasterawan dan Sasterawani atau ringkasnya dikenali sebagai ASTERAWANI. Oleh
itu, kertas kerja ini akan membincangkan peranan ASTERAWANI tersebut dalam
mendukung dasar bahasa Melayu sebagai bahasa rasmi negara dan kewujudannya
sebagai bahasa supranasional dan diaspora bahasa Melayu.

ASTERAWANI yang ditubuhkan pada 13 Jun 1962 merupakan sebuah organisasi
kebahasaan dan kesusasteraan yang ahli-ahlinya ialah para penulis yang
kebanyakannya terdiri daripada guru, dan beberapa orang pegawai kerajaan yang
menjadi penggiat dan pencinta bahasa dan sastera Melayu. Pendaftaran
ASTERAWANI yang pertama telah disahkan pada 6 Julai 1962 di Sekolah Melayu
Raja Isteri Fatimah yang terletak di tepi Sungai Tong Kadih, Bandar Brunei.2
Penubuhannya dirangsang oleh tertubuhnya Lembaga Bahasa (yang kemudian
dikenali sebagai DBP Brunei) pada tahun 1961, iaitu setahun setelah DBP
ditubuhkan dengan inisiatif guru-guru Melayu yang terdidik dari Maktab Perguruan
Melayu Brunei yang memandang betapa pentingnya sebuah penubuhan atau
organisasi mengenai bahasa dan sastera di Brunei.3 Selain itu, penubuhannya juga
sedikit sebanyak muncul daripada inspirasi perjuangan ASAS ’50 di Tanah Melayu
pada ketika itu.

Matlamat penubuhan ASTERAWANI adalah atas dasar untuk menyebar dan
meningkatkan mutu sastera dalam kalangan masyarakat dengan objektif
penubuhannya pula untuk menyatukan penulis-penulis tanah air daripada semua
peringkat dan golongan untuk membawa penulis ke arah kemajuan, dan menyokong
dasar kerajaan yang menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa rasmi negara, dan
seterusnya mengembangkan bahasa Melayu dalam kegiatan seni dan budaya
Brunei. Dalam melaksanakan matlamat tersebut, ASTERAWANI sering bekerjasama,
berganding bahu dengan persatuan-persatuan NGO lain yang mempunyai matlamat
dan tujuan yang lebih kurang sama. Salah satu institusi kerajaan yang utama
menjalin hubungan rapat dengan ASTERAWANI ialah DBP Brunei. Malah
ASTERAWANI telah menjadikan Pengarah DBP Brunei sebagai penasihat sejak
awal penubuhannya. Hal ini memperlihatkan bahawa ASTERAWANI ialah rakan
strategik DBP Brunei dalam memelihara, mengukuh dan melestarikan penggunaan
bahasa Melayu di Negara Brunei Darussalam, meliputi memajukan bidang
kesusasteraan, kebudayaan dan kesenian Melayu di Negara Brunei Darussalam.

Sebagai persatuan NGO, kewujudan ASTERAWANI yang dapat bertahan
sejak 1962 sehingga sekarang memperlihatkan semangat perjuangan yang kental,
yang tidak pernah kendur-kendur dalam menyokong dasar kerajaan menjadikan
bahasa Melayu sebagai bahasa rasmi negara, dan mengembangkan bahasa
Melayu dalam kegiatan sastera, seni dan budaya Brunei. Ketahanan ASTERAWANI
tersebut terserlah dengan runtuhnya persatuan-persatuan NGO di Brunei yang lain,

2 “ASTERAWANI Mengukir Pena Menabur Jasa,” dlm. Pelita Brunei (Aneka), 2 Mac 1991, hlm. 2 – 3.
3 Buku Program Sambutan 50 Tahun Angkatan Sasterawan dan Sasterawani (ASTERAWANI) sempena

majlis sambutan ASTERAWANI yang berlangsung pada 9 Julai 2012.

137

Asterawani: Mendukung Dasar Bahasa Melayu sebagai
Bahasa Rasmi Negara dan Kewujudannya sebagai Bahasa
Supranasional dan Diaspora Bahasa Melayu

yang tidak dapat bertahan. Timbul tenggelam. Malah sebahagian kecil sahaja atau
mungkin tidak ada langsung persatuan NGO di Brunei yang ditubuhkan dalam
tahun-tahun 1960 dan 1970-an yang dapat bertahan sehingga sekarang selain
daripada ASTERAWANI.

Sejak penubuhannya pada tahun 1961, ASTERAWANI telah melaksanakan aktiviti
dan kegiatan, penerbitan dan penyelidikan bahasa, kesusasteraan, dan kebudayaan
baik secara persendirian mahupun bersama dengan DBP Brunei, serta institusi atau
organisasi dalam dan luar negara, termasuk beberapa ahli ASTERAWANI terlibat
dengan beberapa jawatankuasa dalam Majlis Bahasa Brunei
Darussalam-Indonesia-Malaysia (MABBIM) dan Jawatankuasa Tetap Bahasa Melayu
Brunei Darussalam (JKTBMBD) walaupun peranan mereka kurang menyerlah.
Dalam konteks kertas kerja ini, terdapat beberapa kegiatan ASTERAWANI atau
melibatkan ASTERAWANI yang secara tidak langsung mendukung dasar
menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa rasmi negara dan kewujudannya
sebagai bahasa supranasional dan diaspora bahasa Melayu, misalnya Pertemuan
Sasterawan Nusantara (PSN), Pertemuan Penyair Nusantara (PPN), dan
Perhimpunan Sasterawan Budaya Negara Serumpun (PSBNS).

PERTEMUAN SASTERAWAN NUSANTARA (PSN)

PSN ialah pertemuan para sasterawan, penulis, bahasawan dan peminat sastera
Nusantara yang diadakan di Negara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan
Singapura secara bergilir-gilir setiap dua tahun sekali. Bagi Negara Brunei
Darussalam, ASTERAWANI telah menjadi tuan rumah PSN sebanyak lima kali, iaitu
pada tahun 1985, 1994, 2001, 2010 dan 2015. Pada dasarnya, objektif PSN yang
diadakan tersebut adalah untuk memberikan peluang kepada para sasterawan
berkumpul, berinteraksi atau bertukar-tukar fikiran mengenai isu-isu semasa dalam
bidang bahasa, sastera, budaya dan penulisan kreatif. Dan seterusnya menjadi salah
satu platform untuk mengetahui karya-karya sastera Nusantara yang mempunyai
keterampilan daripada pelbagai sudut pemikiran dan keindahan melalui
pembentangan kertas kerja.

PSN XV yang diadakan di DBP Brunei pada 11 Disember 2009 telah mengumpulkan
130 orang pembicara dari dalam dalam dan luar negara. Sebanyak 20 buah kertas
kerja telah disampaikan oleh sarjana daripada pelbagai negara seperti Viddy AD dari
Indonesia, Prof. Dato’ Dr. Zainal Kling dari Malaysia, Djamal Tukimin dan Mohamed
Pitchay Ghani bin Mohamed Abdul Aziz dari Singapura, Prof. Madya Dr. Victor
Progadey dan Razak Panaemalae dari Thailand. PSN XV yang dikendalikan oleh
ASTERAWANI dengan kerjasama DBP Brunei tersebut bertemakan “Mencarukkan
Sastera Nusantara” dengan mengetengahkan Sir Muda Omar ‘Ali Saifuddien, Raja
Ali Haji dan Hamzah Fansuri yang merupakan tokoh penulis sastera Islam di
Nusantara.

PERTEMUAN PENYAIR NUSANTARA

PPN juga satu pertemuan para penyair Nusantara yang diadakan di Negara Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura secara bergilir-gilir dua tahun
sekali. Pertemuan kali ke-4 pada 18 Julai 2010 di Negara Brunei Darussalam yang
bertema “Lestari Kehijauan Alam dan Kehidupan” telah mengumpulkan seramai 34
orang peserta tempatan dan 125 orang peserta luar negara. Pertemuan yang
dikendalikan oleh ASTERAWANI dengan kerjasama DBP Brunei ini mempunyai

138

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

objektif, antaranya untuk mengumpul para penyair daripada beberapa persatuan
penulis di Indonesia, Malaysia dan Singapura. Dengan pertemuan ini, para penyair
mempunyai kesempatan untuk bersemuka dan berbincang mengenai kepenyairan
dan kreativiti serta perkembangan bahasa, sastera dan budaya negara
masing-masing mahupun secara global.

SAMBUTAN BULAN BAHASA

Salah satu kegiatan yang dilaksanakan oleh DBP Brunei dalam sama-sama
memartabatkan bahasa Melayu ialah Sambutan Bulan Bahasa. Sambutan Bulan
Bahasa diadakan setiap bulan Julai pada menjunjung titah Kebawah Duli Yang Maha
Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang Di-Pertuan Negara Brunei Darussalam
semasa Sambutan Jubli Emas 50 Tahun Penubuhan DBP Brunei (1961 – 2011) pada
hari Sabtu, 19 Syawal 1432 bersamaan 17 September 2011 bertempat di Pusat
Persidangan Antarabangsa, Berakas:

“Beta juga dengan ini sukacita mengumumkan pengisytiharan bulan
JULAI sebagai BULAN BAHASA. Ia dilihat sebagai harapan supaya
rakyat memiliki sikap dan semangat positif untuk menjadi satu bangsa
yang bermaruah, yang mendaulatkan bahasanya sendiri. Maka
sehubungan ini, beta menyarankan kepada kementerian-kementerian,
jabatan-jabatan dan sektor swasta untuk melaksanakan
tindakan-tindakan yang proaktif bagi melestarikan bahasa Melayu
dalam segmen perkhidmatan mereka.”

Sempena Sambutan Bulan Bahasa pada tahun 2021, DBP Brunei telah mengadakan
Siri Kongres Antarabangsa Bahasa, Sastera dan Budaya Melayu (KABSBM) yang
bertemakan “Bahasa Jiwa Bangsa” pada 14 Mac hingga 22 Jun 2022. Kongres ini
diadakan secara dalam talian (online) melalui aplikasi Zoom dan penstriman ke
Facebook Page DBP Brunei. Siri KABSBM telah dan akan disertai oleh
pemakalah-pemakalah kebangsaan, serantau dan antarabangsa. Pada 16 Mac
2022, Prof. Dr. Awang Haji Asbol bin Haji Mail, ahli ASTERAWANI telah
membentangkan kertas kerja ucaptama bertajuk “Memartabatkan Bahasa Melayu
sebagai Bahasa Kebangsaan (1930 – 2008 Masihi): Kajian Perbandingan Brunei dan
Malaysia”. Pada 23 Mei 2022, Dr. Laurent Metzger, pemakalah dari Perancis akan
membentangkan kertas kerja bertajuk “Kekayaan Perbendaharaan Kata dalam
Bahasa Melayu-Indonesia”. Sementara pada 1 Jun 2022, Dr. Mohamed Pitchay
Ghani bin Mohamed Abdul Aziz, pemakalah dari Singapura akan membentangkan
kertas kerja bertajuk “Bahasa dan Ideologi Negara: Kajian Bandingan Keberdayaan
Bahasa di Negara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura.”

BACA BAHANA PUISI ANTARABANGSA 2022

Pada 18 April 2022, DBP Brunei melalui Bahagian Sastera dan Majalah dengan
kerjasama ASTERAWANI dan Kumpulan Putra Seni (KPS) telah mengadakan Baca
Bahana Puisi Antarabangsa 2022 bersempena Hari Puisi Sedunia. Acara ini
dilaksanakan secara dalam talian melalui aplikasi Zoom dan penstriman ke
Facebook DBP Brunei.

Selain memperingati Hari Puisi Sedunia pada 21 Mac setiap tahun, acara ini juga
bertujuan untuk mempertemukan dan menjalin hubungan antara para penyair dari

139

Asterawani: Mendukung Dasar Bahasa Melayu sebagai
Bahasa Rasmi Negara dan Kewujudannya sebagai Bahasa
Supranasional dan Diaspora Bahasa Melayu

dalam dengan luar negara. Penyair-penyair tempatan yang terlibat kebanyakannya
daripada ASTERAWANI, KPS, Badan Kebudayaan dan Kesenian (B2K), Alumni
Program Penulisan Mastera, Kelab RAKIS Universiti Brunei Darussalam, para belia
serta penggiat seni sastera dari luar negara seperti Aksan Taqwin (Aksan Taqwin
Embe), Guru Institusi Pendidikan Tertinggi: (Sarjana Pendidikan) Universitas PGRI
Ronggolawe Tuban - Jawa Timur, Alumni Program Penulisan Mastera dari Indonesia,
Norbusalman bin Sulaiman (Salman Sulaiman), Johan Sayembara Deklamasi Puisi
Bulan Bahasa Kebangsaan Peringkat Negeri Kelantan 2015, Alumni Program
Penulisan Mastera​ dari Malaysia, Aisyah Liyana, Mahasiswi Universiti Kebangsaan
Singapura, Golden Point Award Johan Pertandingan Puisi Kebangsaan, Singapura,
Nikfatimah Wama, Mahasiswi Institut Universiti Fatoni, Thailand, Dr. Perwaiz
Shaharyar, Editor General, National Council of Educational Research and Training
(NCERT), New Delhi, Zhao Dan (Tuah), Pensyarah Bahasa Melayu di Universiti
Bangsa-Bangsa Guangxi, China, Dr. Ashraf Aboul-Yazid (Ashraf Dali), Presiden Asia
Journalist Association dari Mesir; Dr. Maria Miraglia, Literary Director of P. Neruda
Cultural Association Taranto, Itali, Pendidik, Pemuisi dan Penterjemah Itali ​dan
Kwonsik Moon Public Accountant, Seoul, Korea.

SIRI KULIAH SASTERA BANDINGAN

Siri Kuliah Sastera Bandingan ialah program Majlis Sastera Asia Tenggara
(MASTERA) yang dikendalikan oleh MASTERA Malaysia. MASTERA ditubuhkan
oleh tiga negara pendiri, iaitu Negara Brunei Darussalam, Indonesia dan Malaysia,
dalam Kongres Bahasa Melayu Sedunia pada 12 Ogos 1996 yang dirasmikan oleh
wakil Yang Berhormat (YB) Menteri Pendidikan Malaysia, iaitu YB Datuk Khalid
Yunus, selaku Timbalan Menteri Pendidikan sempena Majlis Pelancaran MASTERA
dan Sidang Pertama (Ke-1) MASTERA di DBP, Kuala Lumpur. MASTERA
dianggotai oleh wakil ketiga-tiga negara pendiri, iaitu DBP Brunei, Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Indonesia dan DBP Malaysia. Selain itu, MASTERA
turut menjemput wakil-wakil daripada organisasi yang sama di negara-negara
Singapura, Thailand, Filipina, Vietnam, Kemboja, Laos dan Myanmar untuk
mengganggotai majlis ini sebagai pemerhati dengan harapan majlis ini akan dapat
berkembang maju ke hadapan dalam menyebarkan bahasa Melayu ke peringkat
antarabangsa. Sehingga kini, keahlian MASTERA telah bertambah dengan
kemasukan Singapura dan Thailand.

Program ini telah mempertemukan para pembentang dan perserta kebangsaan,
serantau dan antarabangsa. Beberapa orang ahli ASTERAWANI terlibat memberikan
kuliah dalam Siri Kuliah Sastera Bandingan misalnya pada 17 Ogos 2000, Ampuan
Dr. Haji Brahim bin Ampuan Haji Tengah, Ketua I ASTERAWANI memberikan kuliah
bertajuk “Sastera Brunei Darussalam sebagai Warga Penting Kesusasteraan
Bandingan Nusantara.” Pada tahun 2004, Dr. Haji Hashim bin Haji Abdul Hamid,
mantan Ketua I ASTERAWANI memberikan kuliah bertajuk “Jalur Sastera Brunei
dalam Sastera Nusantara.” Pada tahun 2011, Dr. Haji Morsidi bin Haji Muhamad, ahli
Jawatankuasa tertinggi ASTERAWANI memberikan kuliah bertajuk “Puisi Islam
Brunei dalam Hubungannya dengan Puisi Islam Nusantara.” Pada tahun 2014,
Dayang Hajah Aminah binti Haji Momin, ahli ASTERAWANI memberikan kuliah
bertajuk “Jaringan Komuniti Sastera Mastera Secara Lintas Budaya,” dan pada tahun
2018, Awang Mohd. Zefri Ariff bin Mohd. Zain Ariff, mantan Setiausaha I
ASTERAWANI memberikan kuliah bertajuk “Rekonstruksi Sosial Drama
Melayu/Indonesia.” Selain itu, pada tahun 1990, MASTERA Malaysia juga
mengundang seorang sarjana dari University of the Philippine, iaitu Dr. Luisa J.
Mallari untuk memberikan kuliah bertajuk “Perbandingan Sastera di Filipina dan

140

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

Malaysia.” Kefasihannya berbahasa Melayu mencerminkan keupayaan bahasa
Melayu sebagai pengucapan ilmiah menyeberangi negara-negara pendiri
MASTERA.

SEMINAR ANTARABANGSA KESUSASTERAAN ASIA TENGGARA
(SAKAT)

SAKAT bermula pada tahun 1997 yang sebelumnya dikenali sebagai Seminar
Sastera MASTERA. Seminar ini merupakan salah satu kegiatan MASTERA yang
secara tidak langsung melibatkan ahli-ahli ASTERAWANI. SAKAT mempertemukan
para pembentang dan peserta atau penyair serantau dan antarabangsa. Ahli-ahli
ASTERAWANI juga sering dijemput untuk membentangkan kertas kerja, misalnya
Ampuan Dr. Haji Brahim bin Ampuan Haji Tengah, Dr. Haji Hashim bin Haji Abdul
Hamid, Dr. Morsidi bin Haji Muhamad dan Awang Mohd. Zefri Ariff bin Mohd. Zain
Ariff. Para perserta seminar terdiri daripada mahasiswa universiti negara-negara
serantau serta turut dihadiri oleh pembentang atau peserta antarabangsa.

PERHIMPUNAN SASTERAWAN BUDAYAWAN NEGARA SERUMPUN
(PSBNS)

PSBNS ialah perhimpunan yang disertai oleh Negara Brunei Darussalam, Indonesia,
Malaysia, Singapura dan Thailand. PSBNS dideklarasikan secara rasminya semasa
perhimpunan pertama di Rumah Budaya Fadli Zon, Indonesia pada 21 November
2013. Antara yang hadir pada waktu itu ialah sasterawan dan budayawan dari
negara-negara serumpun, iaitu Negara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia,
Singapura dan Thailand serta dua orang peserta dari Itali yang kedua-duanya fasih
dan lancar berbahasa Melayu. Datuk R.M. Jasni, perwakilan pendiri PSBNS melantik
Fadli Zon selaku Ketua Umum PSBNS. Dalam majlis itu juga, ketua chapter bagi
setiap negara serumpun telah dilantik, iaitu Prof. Ampuan Dr. Haji Brahim bin
Ampuan Haji Tengah (Negara Brunei Darussalam), Jasni Matlani (Malaysia), Anie
Din (Singapura), Phousan Jehwae (Thailand), Alexandra Araujo Tilma (Timor Leste),
dan Handoko F. Zainsam (Indonesia).4 Sementara keahlian PSBNS, menurut Fadli
Zon tidak hanya terbatas pada enam negara Asia Tenggara, tetapi juga terbuka
kepada para penulis dan kritikus sastera daripada negara lain.

PSBNS merupakan pertubuhan yang percaya bahasa dan sastera boleh dijadikan
medium untuk menghubungkan negara-negara yang berbeza. Mengenali dan
mempelajari bahasa Melayu membuka ruang kepada mereka yang berbeza budaya
untuk saling memahami antara satu dengan yang lain. Dengan saling memahami,
timbulnya kepercayaan dalam kalangan mereka yang secara tidak langsung
menyumbang kepada pembentukan hubungan kerjasama yang lebih erat daripada
sebelumnya. Fadli Zon, Ketua Umum PSBNS sewaktu PSBNS dideklarasikan
mengatakan:

“Bahasa dan sastra sebagai produk kebudayaan adalah salah satu
faktor yang dapat menjembatani pemahaman antar negara dan
bangsa. Melalui karya sastra yang ditulis oleh penulis dari
masing-masing negara serumpun, kita dapat pula mengenali budaya
dan bahasa dari masing-masing negara tersebut.”

4 Hermanto Ansam (2013). “Perhimpunan Sastra Budaya Negara Serumun Dideklarasikan di Rumah Budaya Fadli
Zon,” dlm. GoRiau.com.

141

Asterawani: Mendukung Dasar Bahasa Melayu sebagai
Bahasa Rasmi Negara dan Kewujudannya sebagai Bahasa
Supranasional dan Diaspora Bahasa Melayu

Pada tahun 2017, Negara Brunei Darussalam menjadi tuan rumah PSBNS yang
diselenggarakan oleh ASTERAWANI dan PSBNS Brunei Chapter. Perhimpunan
disertai oleh 77 orang peserta yang terdiri daripada lima buah negara ASEAN, iaitu
Negara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand. Antara
aktiviti yang diadakan ialah lawatan ke Daerah Belait yang dikelolakan oleh Majlis
Perundingan Mukim Seria, Persatuan PERTIWI dengan kerjasama Koperasi
Perniagaan dan Perusahaan Melayu Seria Berhad, yang bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan tentang budaya negara masing-masing terutama budaya
Negara Brunei Darussalam selaku tuan rumah. Selain itu, perhimpunan tersebut juga
diisi dengan pembentangan kertas kerja oleh para pemakalah dari dalam dan luar
negara, iaitu Free Hearthy, Dr. Haji Ramlee bin Haji Tingkong, Rohani Din, Sastri
Yunizarti Bakry, Datuk Jasni Matlani, Haji Mohd. Salleh bin Abdul Latif, Zusneli Zubir,
Dr. Haji Morsidi bin Haji Muhammad, Hasmin Azroy, Dato’ Dr. Zurinah Hassan, Dr.
Noorhayati binti Abd. Rahman dan Asri Indah Nursanti.

HUBUNGAN ASTERAWANI DAN PERSATUAN PENULIS LUAR NEGARA

ASTERAWANI juga memiliki jalinan ikatan dan hubungan yang erat dengan
persatuan-persatuan penulis di luar negara melalui perjanjian persefahaman dan
kerjasama. Melalui hubungan tersebut, ASTERAWANI seringkali diundang untuk
menghadiri acara-acara yang berkaitan dengan kebahasaan, kesusasteraan,
kesenian dan kebudayaan. Salah satu hubungan ASTERAWANI dengan persatuan
luar negara yang penting dan istimewa adalah dengan Gabungan Persatuan Penulis
Nasional Malaysia (GAPENA). Penting kerana GAPENA yang ditubuhkan pada 23
Oktober 1970 dan giat mencari dan menyalin hubungan dengan masyarakat Melayu
di luar negara seperti Afrika Selatan dan Saudi Arabia, telah membuka ruang
kepada ASTERAWANI untuk melibatkan diri dalam kegiatan kebahasaan,
kesusasteraan, kesenian dan kebudayaan yang lebih luas dan bersifat global.
Istimewa kerana keakraban yang dijalan sejak dahulu terus subur dan seterusnya
menjadi jambatan penghubung antara ASTERAWANI dengan persatuan-persatuan
penulis negeri di bawah GAPENA seperti Persatuan Penulis Nasional Malaysia
(PENA), Persatuan Penulis Johor (PPJ), Badan Bahasa dan Sastera Sabah
(BAHASA), Persatuan Penulis Wilayah Persatuan Labuan (Perwila), Ikatan Penulis
Sabah (IPS), Persatuan Penulis Utara Sarawak (PUTERA) dan Persatuan Penulis
Sawarak (PERPES). Sejak bersama dengan GAPENA, ASTERAWANI banyak
terlibat dalam kegiatan yang berkaitan dengan bahasa Melayu secara global
misalnya menghadiri Persidangan Dunia Melayu, Hari Sastera dan Dialog Teluk.

Pada 28 November 2017, ASTERAWANI telah dijemput untuk mengikuti Pertemuan
Dunia Melayu anjuran GAPENA, Dunia Melayu Dunia Islam Thailand (DMDI) dan
Universiti Kasim Bandit yang diadakan di Bangkok, Thailand. Pertemuan tersebut
disertai oleh 110 orang peserta dari Negara Brunei Darussalam, Malaysia, Indonesia
dan Thailand. Tujuan pertemuan itu diadakan adalah untuk membincangkan bahasa
Melayu sebagai bahasa ASEAN menjelang tahun 2050. Dalam pertemuan tersebut,
Tan Sri Dr. Rais Yatim, Penasihat Sosiobudaya Kerajaan Malaysia mengatakan:

“Bahasa induk di wilayah Asia Tenggara ini adalah bahasa Melayu
tetapi sayangnya bahasa Melayu tidak diletakkan di tempatnya, yakni
tidak digunakan sebagai bahasa diplomatik dan komunikasi rasmi
pada majlis dan acara rasmi ASEAN,”5

5 Bernama (2017). “Bahasa Melayu perlu jadi bahasa rasmi ASEAN - Rais Yatim,” dlm. Malaysiakini.

142

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

Menurut Tan Sri Dr. Rais Yatim, pemimpin ASEAN yang menggunakan
bahasa Melayu perlu memainkan peranan dengan mengangkat agenda bahasa
Melayu ke peringkat yang lebih tinggi, iaitu di peringkat serantau. Selain itu,
institusi-institusi yang berkaitan, kumpulan-kumpulan masyarakat atau para penulis
seperti GAPENA, DMDI dan ASTERAWANI perlu memainkan peranan yang penting
dalam sama-sama menyokong usaha untuk meningkatkan martabat dan status
bahasa Melayu.

Satu lagi sumbangan kecil ASTERAWANI secara tidak langsung dalam menyokong
dasar bahasa Melayu sebagai bahasa rasmi negara dan kewujudannya sebagai
bahasa supranasional dan diaspora bahasa Melayu ialah melalui karya-karya yang
ditulis oleh ahli-ahli ASTERAWANI yang telah disebarkan bukan sahaja di peringkat
serantau tetapi juga di peringkat antarabangsa. Misalnya karya-karya Muslim
Burmat, seorang novelis Brunei yang pertama menerima Anugerah Penulis Asia
Tenggara (SEA Write Award), telah menjadi koleksi perpustakaan di beberapa buah
universiti di negara-negara ASEAN, malah juga di universiti luar negara seperti
SOAS University of London dan Frankfurt University. Beberapa orang pensyarah dan
mahasiswa telah membaca dan mengkaji karya-karya Muslim Burmat tersebut dan
hal ini secara tidak langsung menggambarkan bahawa bahasa Melayu ialah bahasa
supranasional.

KESIMPULAN

Kesimpulannya, ASTERAWANI yang ditubuhkan pada tahun 1962 ialah persatuan
penulis nasional Brunei yang sejak penubuhannya mendapat sokongan dan sentiasa
berganding rapat dengan DBP Brunei, serta sentiasa berhubung dengan
persatuan-persatuan penulis luar negara khususnya GAPENA telah melaksanakan
atau terlibat atau dilibatkan dalam aktiviti-aktiviti mengenai bahasa, sastera dan
budaya yang secara langsung dan tidak langsung memperlihatkan bahawa
ASTERAWANI mendukung dasar menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa rasmi
negara dan kewujudannya sebagai bahasa supranasional dan diaspora bahasa
Melayu. Bagi memantapkan lagi sokongan tersebut, ASTERAWANI telah dan terus
merancang beberapa kegiatan yang bersifat global dan terus merapatkan lagi
hubungan dengan GAPENA dan juga persatuan-persatuan penulis serantau dan
antarabangsa yang lain terutama yang berbahasa Melayu. Dalam hal ini, GAPENA
sebagai sebuah persatuan yang mantap, kuat, terkenal dan mempunyai jaringan
networking yang luas diharap akan terus melaksanakan kegiatan yang sedia ada,
dengan lebih terarah dan kerap seperti yang dihasratkan supaya bahasa Melayu
akan wujud dan mantap sebagai sebagai bahasa supranasional dan diaspora
bahasa Melayu. ASTERAWANI yang sejak dulu bekerjasama dengan GAPENA akan
tetap dan terus memberikan sokongan dan menjayakan apa sahaja kegiatan yang
dihasratkan.

BIBLIOGRAFI

“Asterawani Indong Pergerakan Sasterawan Tanah Ayer,” dlm. Pelita Brunei, 1981.
11 November 1981.

“Asterawani Mengukir Pena Menabur Jasa,” dlm. Pelita Brunei (Aneka), 1991. 2 Mac
1991.

“Penulis Diseru Memberi Perhatian Golongan Muda,” dlm. Pelita Brunei, 1984. 29
Ogos 1984.

143

Asterawani: Mendukung Dasar Bahasa Melayu sebagai
Bahasa Rasmi Negara dan Kewujudannya sebagai Bahasa
Supranasional dan Diaspora Bahasa Melayu

“Perjanjian Persefahaman dan Kerjasama,” dlm. Bahana, 1996. Februari 1996, hlm.

30 – 32.

AJK Publisiti, Seranta dan Perhubungan Awam, Siri Kongres Antarabangsa Bahasa,

Sastera dan Budaya Melayu Sempena Bulan Bahasa, Dewan Bahasa dan

Pustaka Brunei, Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan, 2022. Bulan

Bahasa: Pembentangan Ke-10 Siri Kongres Antarabangsa Bangsa, Sastera dan

Budaya Melayu. Diakses melalui

https://www.kkbs.gov.bn/Lists/News/NDispForm.aspx?ID=1345 pada 5 Mei 2022.

Bahasa Jiwa Bangsa Jilid 1, 2000. Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan

Pustaka Brunei.

Bahasa Jiwa Bangsa Jilid 2, 2000. Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan

Pustaka Brunei.

Bahasa Jiwa Bangsa Jilid 3, 2000. Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan

Pustaka Brunei.

Bernama (2017). “Bahasa Melayu perlu jadi bahasa rasmi ASEAN - Rais Yatim,”

dlm. Malaysiakini. 25 November 2017. Diakses melalui

https://www.malaysiakini.com/news/403317 pada 5 Mei 2022 pada 5 Mei 2022.

Bolhassan Haji Abu Bakar, Wan Mohamad Sahran Wan Ahmadi (2011). “Jangan

dikelasduakan Kedaulatan Bahasa Melayu,” dlm. Pelita Brunei. 19 September

2011. Diakses melalui

http://www.pelitabrunei.gov.bn/Arkib%20Dokumen/2011/September/PB190911.pdf

pada 4 Mei 2022.

Buku Program Sambutan 50 Tahun Angkatan Sasterawan dan Sasterawani

(ASTERAWANI) (1962 – 2012). Bandar Seri Begawan: Ezy Printing and Trading

Co. Sdn. Bhd.

Dewan Bahasa dan Pustaka, 2017. “Jawatankuasa Tetap Bahasa Melayu Brunei

Darussalam.” Diakses melalui

http://www.dbp.gov.bn/Jalinan%20Kerjasama/Jawatankuasa%20Tetap%20Bahas

a%20Melayu%20Brunei%20Darussalam.aspx pada 5 Mei 2022.

Dr. Haji Jaludin bin Haji Chuchu (2018). “Bahasa Melayu Brunei: Pemantap Jati Diri

Bangsa Brunei”. Diakses melalui

http://mabbim.gerbangbahasa.gov.bn/filebase/files/201805/3725570718jaludin.pdf

pada 5 Mei 2022.

Dr. Norhayati Ab. Rahman, 2015. “Peranan Sastera dalam Hubungan Dua Hala

Malaysia- Indonesia: Analisis Keberkesanannya.” Kuala Lumpur: Universiti

Malaya.

Haji Ahmad H.S., 2003. “Asterawani Pertubuhan Intelektual Aktif Memperkaya

Sastera Melayu Brunei,” dlm. Pelita Brunei (Aneka). 3 September 2003.

Haji Awang Mohd. Jamil Al-Sufri, 2000. “Sejarah dan Perkembangan Bahasa Melayu

di Negara Brunei Darussalam,” dlm. Bahasa Jiwa Bangsa, hlm. 130. Bandar Seri

Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei.

Hermanto Ansam, 2013. “Perhimpunan Sastra Budaya Negara Serumun

Dideklarasikan di Rumah Budaya Fadli Zon,” dlm. GoRiau.com. 21 November

2013. Diakses melalui

https://www.goriau.com/ragam/perhimpunan-sastra-budaya-negara-serumpun-did

eklarasikan-di-rumah-budaya-fadli-zon.html pada 6 Mei 2022.

Normazlina M.D., 2012. “ASTERAWANI Sambut Ulang Tahun ke-50,” dlm. Media

Permata. 10 Julai 2012.

Pelita Brunei (2018). “Negara Tuan Rumah Seminar Kebahasaan MABBIM 2018,”

dlm. Pelita Brunei. 26 April 2018. Diakses melalui

https://www.brudirect.com/news.php?id=45622 pada 3 Mei 2022.

Pelita Brunei, 2020. “Membarigakan Sistem Ejaan Bahasa Melayu,” dlm. Pelita

Brunei. 24 Oktober 2020. Diakses melalui

http://www.pelitabrunei.gov.bn/Lists/Berita%202008/NewDisplayForm.aspx?ID=29

144

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

577&ContentTypeId=0x01000AD708F3C215FA4CB59342165B677943 pada 4

Mei 2022.

Perhimpunan Sasterawan Budayawan Negara Serumpun (PSBNS) Brunei 2017,

2017. Bandar Seri Begawan: Pencetak dan Perdagangan Borneo Sdn. Bhd.

Shawal Rajab, 1977. “Penubohan dan Kegiatan Persatuan Asterawani (Bahagian

Pertama),” dlm. Bahana keluaran April – Jun, Bil. 26. Hlm. 6 – 12.

Shawal Rajab, 1978. “Penubohan dan Kegiatan Persatuan Asterawani (Bahagian

Akhir),” dlm. Bahana keluaran April – Jun, Bil. 27. Hlm. 19 – 22.

Syahmi Hassan, 2019. “Siri Kuliah Perkaya Ilmu Sastera,” dlm. Media Permata. 10

Oktober 2019. Diakses melalui

https://mediapermata.com.bn/siri-kuliah-perkaya-ilmu-sastera/ pada 5 Mei 2020.

Syahmi Hassan, April 24, 2018. “Bahasa Pemangkin Peradaban,” dlm. Media

Permata. Diakses melalui

https://mediapermata.com.bn/bahasa-pemangkin-peradaban/ pada 5 Mei 2022.

Zaiton Ajamain, 2012. Muafakat Persuratan Melayu Serantau-Lima Tahun

MASTERA (1995 – 1999). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

145

Simposium Pengantarabangsaan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

KARYA SASTERA MEWAKILI BAHASA MELAYU
DI PENTAS DAN FORUM ANTARABANGSA

Anwar Ridhwan
([email protected])

Akademi Seni Budaya
dan Warisan Kebangsaan (ASWARA) Malaysia

Abstrak

Bahasa merupakan metode atau kaedah paling asas bagi perhubungan antara manusia,
mengandungi perkataan dan ayat dalam peraturan tatabahasa yang tertentu. Bahasa juga
merupakan sistem lambang bunyi suara yang digunakan sebagai alat perhubungan dalam
lingkungan sesuatu kelompok manusia, antara seorang individu dengan individu yang lain dan
sebagainya. Bahasa berkembang daripada lisan kepada tulisan yang membentuk wacana ilmu
pengetahuan dan kesusasteraan. Sebagai produk budaya masyarakat, kesusasteraan Melayu
mempunyai kekuatan untuk berkembang di peringkat antarabangsa, diawali dengan puisi
tradisional Melayu iaitu pantun Melayu umpamanya. Sejumlah karya kesusasteraan Melayu
moden pula memperlihatkan kualiti terbaik yang menggabungkan tema kemanusiaan yang
mendalam dengan anyaman teknik serta gaya bahasa Melayu yang tinggi, justeru berpotensi
untuk berkembang di peringkat antarabangsa melalui penterjemahan. Bagaimanapun
beberapa kendala sekitar penterjemahan, penerbitan dan promosinya harus diatasi bagi
membolehkan lebih banyak karya sastera Melayu yang berkualiti berada di pentas global.

Kata Kunci: Bahasa Melayu, pantun, sastera Melayu moden, penterjemahan,
pengantarabangsaan sastera Melayu

PENDAHULUAN

Bahasa merupakan kaedah paling asas bagi perhubungan antara manusia. Bahasa
mengandungi perkataan dan ayat dalam peraturan tatabahasa yang tertentu. Bahasa
juga merupakan sistem lambang bunyi suara yang digunakan sebagai alat
perhubungan dalam lingkungan sesuatu kelompok manusia, antara seorang individu
dengan individu yang lain dan sebagainya. Bahasa berkembang daripada lisan
kepada tulisan yang membentuk wacana ilmu pengetahuan dan kesusasteraan.
Sebagai produk budaya masyarakat, kesusasteraan Melayu mempunyai kekuatan
untuk berkembang di peringkat rantau dan antarabangsa.

Makalah ini akan membicarakan peranan karya sastera di pentas atau forum
antarabangsa. Peranan tersebut hanya dapat dimainkan oleh karya sastera yang unik
serta bernilai tinggi dalam gabungan tema, pemikiran, struktur serta gaya bahasa
sasteranya.

ISU, GAGASAN DAN CADANGAN

Puisi Melayu tradisional iaitu pantun merupakan karya sastera Melayu yang paling
awal mendapat perhatian di peringkat antarabangsa, seterusnya membentuk genre
‘pantoum’ dalam kalangan penyair antarabangsa khususnya di Eropah.
Pengantarabangsaan karya sastera dalam bahasa Melayu yang diawali dengan
pantun harus diteruskan dengan karya-karya sastera Melayu moden. Bagaimanapun

Karya Sastera Mewakili Bahasa Melayu di Pentas
dan Forum Antarabangsa

beberapa isu berkaitan bidang penterjermahannya, penerbitannya dan promosinya
haruslah diberikan perhatian lebih serius dan diatasi beberapa kendalanya.

Pantun merupakan satu daripada lima jenis puisi Melayu tradisional (Mohd.Taib
Osman, 1978), selain syair, gurindam, selokja dan ikatan puisi bebas (seperti teromba,
endui, mantera, pepatah dan petitih).

Bilakah pantun mula dibawa belayar ke barat? Mungkin orang Portugis dan Belanda
telah mengenali pantun lebih awal berbanding dengan orang Inggeris kerana Portugis
dan Belanda terlebih dahulu meneroka dan menjajah dunia Melayu. Bagaimanapun
peranan William Marsden, seorang Inggeris menerbitkan sebuah pantun berkait dalam
A Dictionary and Grammar of The Malayan Language pada tahun 1812 (Anwar dan
Kratz, 2016:x) telah menjadi pemangkin kepada pembentukan genre ‘pantoum’ dalam
kalangan beberapa penyair Eropah.

Menurut seorang penulis dan pengkaji sastera dari Perancis, Francos-Rene
Daillie (1988), kemungkinan sahabat Victor Hugo (1802-1885) bernama Ernest
Fouinet telah membaca kamus Marsden dan terpengaruh dengan pantun tersebut.
Fouinet kemudiannya menyerahkan terjemahan dalam bahasa Perancisnya sahaja
kepada Hugo (Daillie, 1988:28). Ternyata Hugo teruja dengan pantun kerana genre
‘pantoum’ ditemui dalam karya-karyanya. Selain Hugo, ‘pantoum’ juga dicipta oleh
Theophile Gautier (‘La Papillons’, 1838), penyair Jerman Adolbert von Chamisso dan
sebagainya hingga ke era mutakhir termasuk yang menjadi gubahan muzik. Sejumlah
sarjana barat telah mengkaji pantun, mereka termasuklah Wilhelm von Humboldt
(Jerman), Hans Overbeck dari Jerman (Kratz, dlm. JMBRAS, Vol. 53.1, 1980) dan
Francois-Rene Daillie (1988).

Ketika pengantarabangsaan pantun telah menemukan takdir baiknya (termasuk
pengiktirafan UNESCO (pantun sebagai ‘Warisan Budaya Tidak Ketara
Kemanusiaan’) pada 2020, terdapat beberapa isu yang melibatkan usaha
pengantarabangsaan karya-karya sastera Melayu moden khususnya bagi genre
cereka (cerpen dan novel), puisi dan drama. Pernyataan ini bukanlah menafikan
usaha-usaha baik yang telah dilakukan oleh penerbit-penerbit seperti Dewan Bahasa
dan Pustaka (DBP), Institut Terjemahan & Buku Malaysia (ITBM), penerbit-penerbit
universiti awam dan sebagainya. Penerbit-penerbit ini bukan sahaja telah menerbitkan
karya-karya terjemahan Sasterawan Negara dan penerima S.E.A Write Award, malah
beberapa penulis kebangsaan yang lain. Bagaimanapun isu-isu di bawah ini haruslah
diberi perhatian dan diatasi:

PER. ISU MASALAH CADANGAN

1 Penterjemah Masih banyak Melantik penterjemah yang
mengusai bahasa asing
bergantung pada (bahasa sasaran karya
terjemahan) sebagai bahasa
penterjemah ibunda mereka.

tempatan yang

menguasai bahasa

asing sebagai

bahasa kedua.

Justeru terjemahan

mereka mungkin

kurang

mengandungi roh

sastera dalam teks

terjemahan.

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

2 Penerbit dan Banyak karya Setiap karya sastera yang

Penerbitan terjemahan diterjemahkan ke dalam

diterbitkan oleh bahasa asing harus

penerbit-penerbit diterbitkan oleh penerbit

dalam negara. asing di mana bahasa asing

Akibatnya hanya itu menjadi bahasa sasaran

berlaku edaran dan terjemahan teks.

jualan domestik

sahaja.

Jumlah karya Memperbanyak penerbitan
karya sastera kebangsaan
sastera yang (dalam pelbagai genre) ke
dalam bahasa-bahasa asing,
diterjemahkan masih meliputi karya Sasterawan
Negara, penerima SEA Write
kurang dan belum Award dan penulis-penulis
muda yang menghasilkan
cukup inklusif. karya berkualiti.

3 ‘Literary Agent’ Tiada ‘literary agent’ Melantik ‘literay agent’ yang

antarabangsa yang sesuai bagi rantau Eropah,

memilih dan Amerika Utara dan Selatan,

mempromosi Afrika dan Asia.

sesebuah

karya/seseorang

pengarang

kebangsaan.

4 Program Program Mewujudkan program

Antarabangsa antarabangsa pengantarabangsaan

sastera kebangsaan sastera kebangsaan,

tidak tekal dan tidak termasuk:

menyeluruh.

Akibatnya sastera • Seminar Dwitahunan

moden kita kurang Pengantarabangsaan

diketahui oleh Sastera Kebangsaan,

masyarakat melibatkan para

antarabangsa. sarjana luar & dalam

negara serta para

penulis tempatan.

• Aktiviti

kesusasteraan yang

melibatkan

pensyarah dan

pelajar di pusat-pusat

pengajian

3

Karya Sastera Mewakili Bahasa Melayu di Pentas
dan Forum Antarabangsa

Melayu/Malaysia di

luar negara.

• Menghidupkan

semula acara

tahunan ‘Kuala

Lumpur World Poetry

Reading’.

• Pendedahan kepada

penulis kreatif ke

program sastera di

luar negara.

• Melibatkan Kedutaan

Malaysia /Perwakilan

Malaysia di luar

negara dalam

kegiatan sastera

kebangsaan di luar

negara.

• Mewujudkan laman

sesawang “Malay

Literature : Classical

and Modern” yang

menyeluruh tentang

karya dan

pengarang, dalam

pelbagai bahasa

penting dunia.

• Mencalonkan

pengarang

kebangsaan yang

sesuai untuk

anugerah sastera

peringkat rantau dan

antarabangsa.

PENUTUP

Setiap aktiviti manusia secara organiknya terkait dengan bahasa. Karya
kesusasteraan pula menanjakkan bahasa ke tahap gaya bahasa sastera tinggi bagi
mengolah persoalan kemanusiaan sejagat yang menyumbang kepada penyuburan
emosi, pemikiran dan estetika kepada khalayaknya. Karya yang mengandungi ciri-ciri
ini mudah menerobos arena antarabangsa. Justeru hal ini juga harus terjadi kepada
sastera Melayu moden jika beberapa kendalanya dapat diatasi di samping mempunyai
strategi pengembangan jangka pendek dan jangka panjang yang ampuh.

BIBLIOGRAFI

Anwar Ridhwan dan Kratz, E.U., 2016. Hati Mesra: Pantun Melayu Sebelum 1914
Suntingan Hans Overbeck. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.

Behn, Meyer & Co., 1983. Arnold Otto Meyer (A Company History).Hamburg: Hans
Christians Verlag.

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

Daillie, Francois-Rene, 1988. Alam Pantun Melayu:Studies on The Malay Pantun.
Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.

Holman, C.Hugh, 1975. A Handbook to Literature. Indianapolis : The Odyssey Press.
Kamus Dewan Perdana, 2021. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kratz, E.U., 1980. “A Brief Description of the ‘Malay’ Manuscript of the ‘Overbeck

Collection’ at the Museum Pusat Jakarta.” JMBRAS, Vol. 53.1.
Mohd. Taib Osman, 1978. Warisan Puisi Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan

Pustaka.

5

Simposium Pengantarabangsaan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

PERKEMBANGAN PENGAJIAN BAHASA MELAYU DI AMERIKA SYARIKAT

Dustin Carrell Cowell
([email protected])
Universiti Wisconsin-Madison

Amerika Syarikat

PENDAHULUAN

Dalam pembentangan ini saya membicarakan tentang sejarah perkembangan program yang
memfokuskan kepada pengajaran bahasa Melayu/Indonesia di Amerika Utara, iaitu Amerika
Syarikat dan Kanada. Semua program memerlukan pembiayaan, dan ini adalah isu teras. Saya
menbentangkan sejarah pembiayaan daripada kerajaan Amerika Syarikat dan insentif-insentif
yang ditawarkan oleh pembiayaan tersebut untuk membina program-program “area studies” /
“pengajian wilayah” yang kukuh di universiti-universiti di Amerika Syarikat. Semua pusat “area
studies” / “pengajian wilayah” yang dibiayai oleh Jabatan Pendidikan Amerika Syarikat hendaklah
menjadikan pengajian bahasa dalam wilayah masing-masing sebagai unsur teras.
Memandangkan bilangan pelajar yang mempelajari apa yang kami istilahkan sebagai “Less
Commonly Taught Languages” / “Bahasa-bahasa yang kurang biasa diajar” [di Amerika Syarikat],
sokongan kewangan daripada Jabatan Pendidikan Amerika Syarikat adalah sangat penting demi
kelestarian dan kesinambungan program-program ini. Selepas ini, saya akan membincangkan
pelbagai organisasi yang memainkan peranan utama dalam mempromosikan pengajaran
“bahasa-bahasa yang kurang biasa diajar” di satu pihak, terutamanya pengajaran bahasa
Melayu/Indonesia di pihak yang lain. Saya akhiri dengan perbincangan mengenai “student
centered communicative approaches”/“pendekatan-pendekatan komunikatif berpusatkan pelajar”
serta usaha Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington untuk mempromosikan pengajian
bahasa dan budaya Indonesia.

ISU KAJIAN

Sejak Perang Dunia II, kerajaan Amerika Syarikat mula memberi perhatian kepada kajian bahasa
bukan Eropah. Pada tahun 1940-an, terdapat usaha pemerintah untuk mendidik rakyat Amerika
dalam bahasa kritikal seperti bahasa Arab, Cina, Jepun, dan Melayu. Senator J. William Fulbright
mengemukakan sebuah rang undang-undang di Kongres pada tahun 1946 yang menyediakan
pembiayaan untuk banyak program antarabangsa dalam apa yang disebut sehingga hari ini
sebagai “Program-program Fulbright”. Program-program ini telah diperluaskan dengan
penggubalan “Fulbright–Hays Act of 1961” / “Akta Fulbright–Hays 1961, yang secara rasmi
dikenali sebagai “Mutual Educational and Cultural Exchange Act of 1961”/“Akta Pertukaran
Pendidikan dan Kebudayaan Bersama 1961”. Program antarabangsa di bawah naungan Akta
Fulbright-Hays berkembang dan pada tahun 1960-an sejumlah pusat yang dinamakan “National
Resource Centers” / “Pusat-pusat Sumber Negara” for "Area Studies” / “Pengajian Wilayah", telah
ditubuhkan dengan tujuan untuk menggalakkan orang Amerika mempelajari bahasa-bahasa
terkemuka di wilayah tertentu dan memahami secara mendalam budaya yang berkaitan dengan
wilayah sasaran.
Program Pengajian Asia Tenggara di Universiti Cornell telah memastikan dirinya sebagai perintis
dalam kajian Indonesia dengan penubuhan, pada tahun 1966, jurnal bertajuk Indonesia, jurnal

Perkembangan Pengajian Bahasa Melayu di Amerika Syarikat

yang telah diterbitkan secara berterusan sehingga ke hari ini sebanyak dua kali setahun. Di
bawah inisiatif “area studies”/ “kajian wilayah” di bawah program kerajaan Amerika Syarikat,
beberapa universiti di Amerika Syarikat telah menerima pembiayaan untuk penubuhan pusat
untuk kajian Asia Tenggara. Pusat-pusat ini mesti bersaing setiap tiga atau empat tahun untuk
memperoleh geran untuk kesinambungan program mereka masing-masing. Aplikasi dikaji
semula dengan perhatian utama kepada daya maju program bahasa dalam Pengajian Asia
Tenggara selain kekuatan dalam pelbagai disiplin di seluruh universiti, dengan penekanan khusus
pada kesusateraan dan sains sosial, tetapi termasuk juga undang-undang, pendidikan,
kejuruteraan, dan perubatan. Sokongan kerajaan persekutuan untuk program “area studies” /
“kajian wilayah” ini merupakan aspek penting dalam pengajaran bahasa Asia Tenggara di
universiti-universiti Amerika sejak tahun 1970-an hingga sekarang. Biasanya, pendaftaran
mahasiswa di kursus-kursus bahasa tersebut tidak mencukupi untuk membenarkan pengajaran
bahasa-bahasa ini tanpa sokongan kerajaan persekutuan.

Antara program yang dibiayai oleh Jabatan Pendidikan ialah "Group Study Abroad Programs”/
“Program Pengajian Antarabangsa Berkelompok" yang membenarkan pelajar universiti yang
sudah mempunyai pengetahuan sederhana tentang bahasa tertentu untuk menyertai program
pengajian di luar negara yang diselaraskan oleh sebuah konsortium universiti yang diketuai oleh
salah satu anggota konsortium tersebut. Universiti Cornell, di bawah arahan Profesor John U.
Wolff, menubuhkan pada tahun 1976 sebuah konsortium yang dipanggil “Consortium for the
Teaching of Indonesian” (COTI)/ “Konsortium untuk Pengajaran Bahasa Indonesia”. Konsortium
tersebut telah dianugerahkan dana untuk menjalankan program yang berlangsung selama
sebelas minggu di kota Salatiga di Jawa Tengah dari awal bulan Jun hingga pertengahan Ogos
pada tahun yang sama. Dari situlah bermulanya tradisi program yang dijalankan oleh konsortium
ini sehingga ke hari ini. Pembiayaan seterusnya biasanya diberikan kepada konsortium ini untuk
menjalankan sebuah program yang berlangsung sepuluh minggu setiap tahun sepadan dengan
tempoh kontrak geran, yang biasanya harus diperbaharui setiap tiga tahun.Pelbagai universiti
telah mengetuai program ini selain Universiti Cornell seperti Universiti Oregon, Universiti
Wisconsin-Madison, Universiti Ohio, dan Universiti California, Los Angeles. Pada tahun 1998 dan
1999, program ini telah dijalankan di Universiti Kebangsaan Malaysia di Bangi di bawah naungan
Prof. Ulung Datuk Dr. Shamsul Amri Baharuddin, pengarah Institut Alam dan Tamadun Melayu
(ATMA) pada ketika itu. Pada masa itu, konsortium itu dinamakan semula sebagai “Consortium
for the Teaching of Indonesian and Malay” (COTIM)/ “Konsortium Pengajaran Bahasa Indonesia
dan Melayu". Walau bagaimanapun, sejak beberapa tahun kebelakangan ini, konsortium ini telah
menggunakan nama asalnya iaitu “Consortium for the Teaching of Indonesian” (COTI) bagi
memberi peluang kepada organisasi-organisasi yang lain pada masa hadapan untuk memberi
tumpuan khusus kepada bentuk bahasa Melayu yang dituturkan di Malaysia, Singapura, dan
Brunei Darussalam.

Universiti Cornell, di bawah arahan Profesor John U. Wolff sekali lagi, menubuhkan program
intensif yang berlangsung sepanjang setahun akademik untuk kajian intensif bahasa Indonesia,
yang menjadi salah satu daripada tiga program serupa untuk bahasa Mandarin, bahasa Jepun,
dan bahasa Indonesia. Pada waktu penubuhannya, ketiga-tiga program ini adalah cawangan
Program FALCON, singkatan kepada “Full-year Asian Language CONcentration Program”.
Program FALCON untuk bahasa Indonesia berlangsung dari penubuhannya pada akhir tahun
1970-an sehingga tahun 2002 apabila Profesor Wolff bersara.

Langkah besar telah dibuat dalam pengajaran bahasa asing di Amerika Utara sejak pelaksanaan
pendekatan-pendekatan baru untuk pengajaran bahasa yang mula diamalkan pada tahun 1960-
an. Walaupun pendekatan pedagogi tradisional pada tahun 1940-an dan 1950-an dan
sebelumnya biasanya memberi tumpuan kepada kajian tatabahasa, pemerolehan kosa kata dan

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

pembangunan kemahiran membaca dan menterjemah, pendekatan-pendekatan baharu juga
memberi penekanan yang lebih kepada pembangunan kedua-dua kemahiran komunikasi yang
benar-benar aktif, iaitu kemahiran bertutur dan menulis.

Bermula pada tahun 1980-an, penekanan yang meningkat telah diberikan kepada pengetahuan
budaya yang berkaitan dengan wilayah di mana bahasa yang dipelajari itu dituturkan. Penggerak
utama ke arah ini adalah “American Council on the Teaching of Foreign Languages (ACTFL)” /
“Majlis Amerika untuk Pengajaran Bahasa Asing”, sebuah majlis yang pada tahun 1966
berkembang dari “Foreign Language Program”/“Program Bahasa Asing” di bawah “Modern
Language Association” (MLA)/“Persatuan Bahasa Moden”, yang telah ditubuhkan pada tahun
1883. Pada tahun 1974, ACTFL menjadi organisasi bebas daripada “Modern Language
Association” (MLA)”. Selama bertahun-tahun ia telah menerajui inovasi dalam pengajaran bahasa
moden dengan tumpuan khusus pada kemahiran komunikatif. Pada tahun 1982, ACTFL
menerbitkan “Provisional Oral Proficiency Guidelines”/"Garis Panduan Kemahiran Oral
Sementara" yang selepas empat tahun diterbitkan pada tahun 1986 sebagai “ACTFL Proficiency
Guidelines” / "Garis Panduan Kemahiran ACTFL”. Tiga tahun kemudian, muncul penggambaran
tentang “the ACTFL Oral Proficiency Interview” / “Temubual Kemahiran Lisan ACTFL” dan
pelaksanaan latihan sistematik untuk para penguji dan pensijilan mereka melalui penyelarasan
bengkel di seluruh negara. Garis panduan yang ditetapkan oleh ACTFL berkembang daripada
“United States Interagency Language Roundtable”/ “Meja Bulat Bahasa Antara Agensi Amerika
Syarikat” yang telah ditubuhkan pada tahun 1955 untuk membolehkan agensi kerajaan
persekutuan berkongsi pengetahuan tentang kemajuan pendekatan dalam pengajaran bahasa
dan ujian kecekapan bahasa. ACTFL telah membawa usaha ini dari peringkat kerajaan
persekutuan ke peringkat pendidikan bagi institusi-institusi pendidikan kami di seluruh peringkat.

Terdapat sebuah program yang sangat berjaya di mana pelajar yang merupakan warganegara
Malaysia atau Indonesia boleh memohon untuk menyertai sebuah program Fulbright bernama
“The Fulbright Foreign Language Teaching Assistant Program (FLTA)” / “Program Fulbright untuk
Pembantu Pengajar Bahasa Asing” sama ada melalui “The Malaysian-American Commission on
Educational Exchange (MACEE)” / “Suruhanjaya Pertukaran Pendidikan Malaysia-Amerika” atau
“The American Indonesia Exchange Foundation (AMINEF)” / “Yayasan Pertukaran Indonesia
Amerika”.

Para peserta dalam program sembilan bulan ini mesti mengikugti kursus di bidang “American
Studies” / “Pengajian Amerika” dan “Approaches to Teaching Foreign Languages” / “Kaedah
Mengajar Bahasa Asing” selain bidang kepilihan masing-masing sambil menghabiskan sehingga
20 jam seminggu dalam aktiviti yang berkaitan dengan pengajaran bahasa Melayu (mengajar di
bilik darjah, menyiapkan bahan pengajaran, dan mengatur aktiviti budaya di kampus untuk
mempromosikan pengajian bahasa dan budaya alam Melayu).

Program ini telah terbukti sangat menyokong misi program bahasa Melayu di pelbagai universiti
di Amerika Syarikat. Para pembantu pengajar yang berasal dari Malaysia dan Indonesia ini
membawa semangat baru dalam pengajaran bahasa Melayu. Sebagai pelajar sendiri di negara
asal mereka, mereka boleh berhubung dengan pelajar kami dan bercakap tentang budaya
kontemporari yang relevan dengan generasi pelajar kami. Mereka sangat berkesan dalam
menyelaras acara kebudayaan, seperti program kebudayaan Malaysia dan Indonesia yang sering
disokong oleh konsulat masing-masing di Amerika Syarikat. Mereka berinteraksi dengan pelajar
di semua peringkat program bahasa melalui perbincangan dengan pelajar di dalam aktiviti yang
dikenali sebagai “language table”/“meja bahasa”, iaitu sebuah aktiviti ekstrakurikuler yang

3

Perkembangan Pengajian Bahasa Melayu di Amerika Syarikat

biasanya diadakan di tempat yang menyenangkan di mana para pelajar bersantai-santai sambil
menggunakan bahasa dalam aktiviti komunikatif.

Kerjasama antara konsulat Malaysia dan Indonesia di Amerika Syarikat dan organisasi pelajar
masing-masing di kampus universiti adalah amat penting dalam memperkenalkan budaya alam
Melayu yang kaya kepada komuniti pelajar universiti di negara kami. Batik, silat, muzik
tradisional, tarian, dan drama mempunyai daya tarikan yang luar biasa dalam merangsang minat
pelajar kami. Program antarabangsa di kampus universiti Amerika Serikat kerap kali
menyelaraskan acara antarabangsa di mana pelajar dari Malaysia dan Indonesia diundang untuk
mempamerkan pameran kebudayaan, termasuk lagu, alat muzik tradisional, silat, dan tarian,
yang kadangkala digabungkan dengan hidangan makanan ringan khas alam Melayu. Antara
tarian yang sering dipersembahkan ialah tarian saman dari Aceh dengan iringan vokalnya.
Aktiviti-aktiviti di kampus seperti ini merangsang minat pelajar kami dan kadang-kadang
membangkitkan semangat mereka untuk mempelajari bahasa Melayu.

Kedua-dua pertubuhan pelajar kampus Amerika Syarikat terbesar dari alam Melayu, iaitu
“Malaysian Student Association” (MSA) / “Persatuan Pelajar Malaysia” dan “Persatuan
Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat (PERMIAS)”, masing-masing secara tradisinya
mengadakan perayaan kebudayaan yang dilengkapkan dengan hidangan banyak makanan
tradisional yang lazat, kadang-kadang pada awal atau akhir semester atau pada kesempatan
perayaan tertentu, seperti Tahun Baru Cina, Depavali, Aidilfitri atau Hari Kemerdekaan.

Mulai tahun 2020, konsulat Indonesia di Washington memperluaskan program pengajaran
mereka dalam bahasa dan budaya dengan beralih daripada kelas bersemuka untuk orang yang
tinggal di kawasan Washington, DC, ke format maya supaya orang yang berminat di mana sahaja
mereka berada dapat mengambil bahagian. Program bahasa dan budaya ini telah terbukti cukup
popular. Pada dua kesempatan, pada tahun 2020 dan 2021, Kedutaan Besar Republik Indonesia,
dengan kerjasama Konsortium untuk Pengajaran Indonesia (COTI), menganjurkan pertandingan
pelbagai bentuk, iaitu mencipta dan membaca puisi asli, menulis dan membentangkan esei,
mendongeng, dan menyampaikan pidato. Setiap jenis pertandingan telah diberikan slot dua jam
pada masa tertentu (petang atau malam) untuk pelaksaannya di mana tiga orang juri yang dipilih
daripada ahli COTI menemu bual setiap peserta dalam bahasa Melayu selepas peserta
berkenaan membuat persembahannya. Persembahan oleh finalis dalam setiap kategori ini
diselitkan dengan persembahan oleh pihak konsulat yang mengetengahkan aspek tertentu
budaya Indonesia. Pertandingan ini terbukti dapat merangsang minat terhadap program bahasa
Melayu di seluruh negara.

Bagaimanakah kita dapat memastikan bahawa pensyarah-pensyarah Bahasa Melayu kekal
bersemangat dan terkini? Salah satu cara yang terbukti ialah pelaksanaan bengkel di mana
pensyarah membincangkan pengalaman mereka. Bengkel untuk kalangan pensyarah bahasa
membantu membentuk semangat kemasyarakatan. Antara lembaga yang menyelaraskan
bengkel untuk bahasa Asia Tenggara adalah “Council of Teachers of Southeast Asian Languages
(COTSEAL)” / “Majlis Guru-guru Bahasa Asia Tenggara” yang ditubuhkan pada 1984.
COTSEAL, seterusnya, bergabung dengan “National Council of Less Commonly Taught
Languages” (NCOLCTL) / “Majlis Kebangsaan untuk Bahasa Kurang Diajar”, yang diasaskan
pada tahun 1990.

COTSEAL bekerjasama dengan “Southeast Asian Studies Summer Institute” (SEASSI)” / “Institut
Musim Panas untuk Pengajian Asia Tenggara”, yang ditubuhkan pada tahun 1983 dan
menawarkan pengajaran dalam bahasa Asia Tenggara sehingga ke hari ini. Antara bahasa yang
diajarkan di SEASSI, Bahasa Indonesia sering kali mencatat pendaftaran tertinggi.

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

“Indonesian Flagship Language Initiative” (IFLI)/“Initiatif Pertama untuk Bahasa Indonesia” adalah
inisiatif yang menawarkan beasiswa kepada warganegara Amerika Syarikat untuk mempelajari
bahasa Indonesia pada mulanya dalam program SEASSI selama delapan minggu (Jun – Ogos)
dan kemudian di Universitas Negeri Malang selama satu semester (September - Disember),
dengan pilihan untuk menyertai program pengajian individu di institusi yang sama selama satu
semester lagi (Januari - Jun).
Walaupun ramai pengajar di Amerika Utara telah membuat sumbangan yang luar biasa dalam
bidang leksikografi, kajian linguistik, penyediaan bahan pedagogi dan alat untuk penilaian
kemahiran bahasa, ruang tidak membenarkan perbincangan tentang aspek penting ini dalam
kertas kerja yang sangat terbatas ini.

GAGASAN KESIMPULAN
Pengajaran bahasa Melayu di Amerika Syarikat telah diwujudkan melalui sokongan berterusan
oleh kerajaan Amerika Syarikat selama kira-kira 60 tahun. Kelestarian program ini bergantung
terutamanya pada sokongan tersebut. Inovasi dalam pengajaran bahasa moden dan kaedah
penilaian telah mengukuhkan program ini. Kepentingan program Fulbright “Foreign Langauge
Teaching Assistant” tidak boleh dipandang remeh. Sokongan pengajaran bahasa Melayu oleh
organisasi kampus pelajar Malaysia dan Indonesia serta masing-masing kedutaan besar telah
meningkatkan minat terhadap bahasa Melayu di Amerika Syarikat. Ini semua menunjukkan
bahawa dengan kerjasama penggerak di pelbagai peringkat dan perkembangan semangat dalam
misi kita bahawa proses pengantarabangsaan Melayu terus maju.

5

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

SUMBANGAN BELANDA DALAM PENGANTARABANGSAAN BAHASA
MELAYU DI EROPAH

Surya Suryadi
([email protected])

Universiteit Leiden
Belanda

Abstrak

Kertas kerja ini menelusuri sumbangan yang telah diberikan Belanda dalam
pengantarabangsaan bahasa Melayu di Eropah. Perhatian bangsa Belanda terhadap bahasa
dan budaya Melayu sudah bermula sejak tahun-tahun pertama persentuhan mereka dengan
penduduk Nusantara. Pada tahun 1603, setahun selepas Verenigde Oostindische
Compagnie (VOC) ditubuhkan, penerbit J. Ez. Kloppenburch di Amstelredam menerbitkan
kamus Belanda-Melayu pertama Spraeck ende woordboeck…susunan Frederick de
Houtman. Sepanjang lebih dari 4 abad berikutnya sumbangan orang awam dan ahli
akademik Belanda terhadap pengantarabangsaan bahasa Melayu, sama ada untuk tujuan
praktis ataupun akademis (ilmu bahasa), terus berlanjut. Sejak separoh pertama kurun ke-
19 sampai tahun 1940an, Universiteit Leiden telah memainkan peranan penting di bidang ini.
Keadaan berubah ketika Indonesia merdeka: pengajaran bahasa Melayu beralih ke bahasa
Indonesia mengikut perubahan politik dengan tercapainya kemerdekaan Indonesia pada 17
Ogos 1945 yang mengakhiri penjajahan Belanda di Nusantara. Namun, pada 1992
Universiteit Leiden cuba lagi melanjutkan tradisi pengajian Melayu dan pengajaran bahasa
Melayu dengan penubuhan European Chair of Malay Studies di IIAS Leiden atas kerjasama
dengan pemerintah Malaysia. Kerjasama itu berjalan cukup sukses sebelum akhirnya
terhenti pada tahun 2007. Penyebab terhentinya program ini akan cuba dievaluasi dalam
kertas kerja ini, sambil melihat peluang-peluang untuk menjayakan semula upaya
pengantarabangsaan bahasa Melayu di Belanda/Eropah pada masa hadapan.

Kata Kunci: Pengantarabangsaan bahasa Melayu, kolonialisme, Eropah, Universiteit
Leiden, Belanda, European Chair of Malay Studies

PENGENALAN

Kertas kerja ini menumpukan perhatian pada sumbangan bangsa Belanda
(Nederlands) dalam pengantarabangsaan bahasa Melayu. Belanda sebagai bangsa
yang pernah lama menjajah sebagian besar wilayah Nusantara di masa lampau
telah memainkan peranan penting dalam pemerkasaan bahasa Melayu di Eropah.
Pengenalan bahasa Melayu oleh bangsa Belanda di Eropah telah membuka peluang
bagi pengenalan bahasa ini ke wilayah yang lebih luas di arena antarabangsa.

Mungkin tidak terlalu berlebihan bila dikatakan bahawa peranan bangsa Belanda
dalam pengenalan bahasa Melayu di luar wilayah tempat tinggal penutur aslinya
(Nusantara) dapat digolongkan ke dalam kategori perintis (pioneer). Sejak bangsa
Belanda pertama kali bersentuhan secara fizikal dengan wilayah Nusantara pada
akhir abad ke-16, mereka langsung menunjukkan minat untuk mempelajari bahasa
dan budaya Melayu, suatu watak yang tampaknya terbina dalam diri mereka kerana
kesukaan mereka menjelajahi lautan yang telah memberi peluang kepada bangsa
ini untuk bertemu dengan bangsa-bangsa lain yang bertutur dalam bahasa masing-
masing. Guna membuka kontak komunikasi dengan bangsa-bangsa yang mereka
temui di belahan dunia lain, mereka berusaha mempelajari bahasa-bahasa bangsa-
bangsa itu, termasuklah bahasa Melayu.

1

Sumbangan Belanda dalam Pengantarabangsaan Bahasa Melayu di Eropah

Dalam kertas kerja ini saya akan memberikan lakaran sejarah mengenai upaya-
upaya yang telah dilakukan oleh bangsa Belanda di zaman kolonial dalam
memperkasakan bahasa Melayu di Eropah yang merangkumi masa sepanjang lebih
kurang 4 abad (awal abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-20). Saya akan
menggambarkan pihak-pihak yang terlibat aktif dalam usaha ini. Selanjutnya, kertas
kerja ini akan menghuraikan upaya-upaya pemerkasaan bahasa Melayu oleh
bangsa Belanda di Eropah selepas zaman kolonial dan cabaran-cabaran yang
dihadapi. Pada bagian akhir kertas kerja ini saya akan mendiskusikan seberapa
besar peluang yang masih kita miliki untuk meneruskan upaya-upaya untuk
memperkasakan bahasa Melayu di arena antarabangsa melalui ‘pintu gerbang’
Belanda.

PELOPOR PENGANTARABANGSAAN (PENG-EROPAH-AN)
BAHASA MELAYU

Bersama dengan bangsa Portugis, Sepanyol, dan Inggeris, bangsa Belanda
terkenal sebagai penjelajah lautan di zaman sebelum teknologi kapal terbang
ditemukan. Orang Belanda ialah bangsa Eropah ketiga selepas bangsa Portugis dan
Sepanyol yang berhasil mencapai Kepulauan Nusantara. Pada tahun 1596
rombongan kapal dagang Belanda yang pertama di bawah pimpinan Cornelis de
Houtman sampai di Banten/Bantam (Lodewycksz, [ca. 1913]; Blonk,1938).
Penemuan jalan laut ke pusat rempah ratus di Timur ini menandai awal eksploitasi
panjang bangsa Belanda terhadap kekayaan alam Nusantara.

Dua tahun kemudian Cornelis de Houtman, kali ini dengan mengajak adiknya,
Frederick de Houtman, dan seorang navigator berkebangsaan Inggeris, Kapten
JohnDavis, kembali ke Nusantara dalam Ekspedisi Zeeland yang dibiayai oleh orang
kaya Balthasar de Moucheron dari kota Verre di Provinsi Zeeland. Dua kapal
mereka, Leeuwin (dikapteni Frederick) dan Leeuw, berangkat dari “Middleborough”
(Middelburg), Zeeland pada 15 Maret 1598 dan sampai di Teluk Acheh pada 15 Jun
1599 (Davis, 1880:132; Vorstman dkk., 1880). Di Acheh mereka disambut dengan
penuh penghormatan, bahkan dengan pasukan gajah, oleh Sultan Alau’d-din Ri’ayat
Shah (Sayyid al-Mukamil) pada 21 Jun 1599. Cornelis de Houtman telah bersetuju
bahawa sebagai pertukaran dengan bekalan lada dia akan belayar ke kerajaan
Johor bersama-sama tentera Acheh untuk berperang bagi pihak Sultan Acheh.
Sejak Portugis menaklukkan Melaka pada 1511, Kerajaan Acheh terus mengambil
sikap berperang melawan ‘infidels’ dari Semenanjung Iberia itu (Mitrasing, 2011:1).

Dalam bulan September 1599, ekspedisi untuk memerangi Johor sudah siap
berangkat. Namun, kemudian berlaku hal yang tidak disangka-sangka: tentara
Acheh yang sudah berada di kapal menyerang para pelaut Belanda. Dikatakan
bahawa kejadian ini dicetuskan oleh pengaruh makanan dan minuman yang
mengandungi bahan yang dapat menimbulkan kesan halusinogen pada
penggunanya, yang mungkin diolah dari bunga kecubung (tapi juga mungkin ganja,
tanaman yang biasa dimakan orang di Acheh). Selepas sebahagian daripada anak
kapal telah dibius, orang asli menyerang, membunuh Cornelis de Houtman dan 27
orang lain di atas kapal itu. Seramai 22 orang lagi anak kapal yang masih berada di
darat juga dibunuh dan yang hidup dijadikan hamba. Frederick de Houtman dan
beberapa orang anak kapal Leeuw dan Leeuwin dipenjarakan selama sekitar dua
tahun oleh penguasa Acheh, kemudian dibebaskan dengan tebusan (hadiah) dari
Putera Maurits van Oranje-Nassau (Mitrasing, 2011:79). Amok besar yang
mengambil banyak mangsa itu masih menjadi tanda tanya besar di kalangan ahli
sejarah. Namun, ada dugaan bahawa para penghasut Portugis turut bermain dalam

2

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

peristiwa tragis itu (Poeze, 2008:2; Mitrasing, 2011:80). Orang-orang Portugis yang
sudah menanamkan pengaruhnya di Melaka merasa terancam dengan kedatangan
para pelaut Belanda kerana takut monopoli mereka dalam perdagangan rempah
ratus akan mendapat saingan oleh para pedagang laut Belanda. Oleh itu mereka
menghasut penguasa Johor untuk menentang orang-orang Belanda itu.
Selama lebih kurang 26 bulan masa penahanannya dalam penjara Fort Pidie (1599
-1602), Frederick de Houtman (dibantu oleh beberapa orang kawannya) menyusun
sebuah kamus yang kemudian dikenal sebagai kamus pertama yang mencatat erti
beberapa kosa kata bahasa Melayu dalam bahasa Belanda dan contoh-contoh
kalimat dalam bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.
Kamus itu diterbitkan oleh penerbit J. Ez. [Jan Evertsz] Kloppenburch di
Amstelredam (kini: Amsterdam) pada tahun 1603 dengan tajuk Spraeck ende
wordboeck in de Maleysche ende Madagaskarsche talen, met vele Arabische ende
Turcsche woorden. – noch de Declinatien van vele vaste sterren, staende omtrent
den Zuyd-pool. Terjemahan bebasnya sebagai berikut: Percakapan dan kamus
dalam bahasa Melayu dan bahasa Madagaskar, dengan banyak perkataan Arab dan
Turki. – mahupun deklinasi banyak bintang tetap yang tampak di sekitar [langit]
Kutub Selatan. Buku ini menjadi pembuka mata orang awam di Eropah untuk
pertama tentang bahasa Melayu yang tempat hidupnya jauh ribuan kilometer di
daerah khatulistiwa (evenaar) di timur. Dalam tahun 1614 terjemahan bahasa
Inggeris buku ini oleh Gotardvs Arthvsivs dan Avgvstine Spalding (Gotthard Arthus
dan Augustine Spalding) terbit di London dengan judul: Dialogves in the English and
Malaiane langvages; or certaine common formes of speech, first written in Latin,
Malaian and Madagascar tongue (Dialog dalam bahasa Inggeris dan Melayu; atau
sejumlah bentuk umum percakapan, yang pertama ditulis dalam aksara Latin,
bahasa Melayu dan Madagaskar).

3

Sumbangan Belanda dalam Pengantarabangsaan Bahasa Melayu di Eropah

Buku Spraeck ende woord-boek karangan Frederick de Houtman (1603): halaman tajuk
dan halaman 85 (halaman pertama senarai kosa kata Belanda–Melayu–Madagaskar).

Kamus susunan Frederick de Houtman ini terdiri daripada dua bahagian. Bahagian
pertama mengandungi perbualan mudah dalam bahasa Belanda-Melayu (12 topik)
dan Belanda-Madagascar (3 topik) dan bahagian kedua, kamus bahasa Belanda-
Melayu-Madagaskar. Memandangkan Frederick juga seorang ahli astronomi dan
juga sebagai kapten, pada 17 halaman pertama mengandungi bahagian-bahagian
langit selatan dan posisi bintang-bintang, lengkap dengan koordinat. Kandungan
isinya memberi kesan bahawa kamus ini ditujukan untuk kapten Belanda dan
pegawai-pegawai syarikat pelayaran agar dapat membina komunikasi dengan orang
Melayu. Untuk memudahkan pengguna, kamus ini menyertakan nama bulan dan
hari dan juga konjugasi kata kerja berdasarkan bahasa Belanda (Lombard, 1970;
Suratminto, 2012:529). Bahasa Melayu yang dikodifikasikan dalam kamus ini

4

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

menunjukkan pengaruh lingkungan bahasa dan budaya Acheh (Drewes, 1972), hal
yang wajar mengingat Frederick menulisnya selama berada dalam penjara di Acheh
di Pidie. Dari tajuknya yang panjang itu (satu ciri buku-buku Belanda klasik) dapat
dikesan bahawa kamus pertama Belanda-Melayu karangan Frederick de Houtman
ini menandai perhatian orang Belanda yang tinggi pada beberapa bangsa asing
yang sudah mereka kenal yang dianggap penting, seperti bangsa Melayu,
Madagaskar, Arab, dan Turki.

Bangsa Belanda yang tidak seberapa ramai jumlahnya itu berusaha untuk survive
dengan belajar banyak mengenai bangsa-bangsa dan kebudayaan asing yang
mereka temui dalam pelayaran mereka mengharungi samudera luas. Bolehlah
dikatakan bahawa Frederick de Houtman merupakan salah seorang yang mula-mula
(perintis) pengantarabangsaan (dalam konteks semasa: peng-Eropah-an) bahasa
Melayu. Ia juga telah menulis beberapa buku lain yang mengandungi maksud
memperkenalkan bahasa Melayu di Belanda/Eropah pada abad ke-17 (Nyenhuis,
1834). Salah satu buku lain hasil karangannya yang memperkenalkan bahasa
Melayu kepada pembaca Belanda iaitu Dictionarium, ofte Woord en spraeckboeck,
in de Duytsche en Maleysche tale, met verscheyde t’samen-spreeckingen, in ’t
Duytsch en Maleysch, aengaende de schipvaert allerleye koopmanschap (Houtman,
1680).1 Bersama dengan Antonio Pigafetta (15252) dan François Valentijn (1724-
1726; Vol. 2), Frederick de Houtman tercatat sebagai generasi pelopor dalam
mengantarabangsakan bahasa Melayu di Benua Eropah.

SUMBANGAN UNIVERSITEIT LEIDEN DALAM PENGANTARABANGSAAN
BAHASA MELAYU

Kuliah-kuliah mengenai dunia Melayu-Nusantara mulai diperkenalkan dalam
kurikulum Universiteit Leiden dalam dekad-dekad pertama abad ke-19. Jadi,
walaupun Universiteit Leiden sudah ditubuhkan pada 1575, selama masa VOC
hingga runtuhnya Syarikat Perdagangan Hindia Timur ini pada akhir abad ke-19,
Universiteit Leiden belum terlibat dalam pengajaran bahasa dan budaya Melayu.
Perhatian universiti ini terhadap bidang ini mulai tampak ketika Kerajaan Belanda
mengambil alih Hindia Belanda (kini: Indonesia) dari VOC.

Sejak tahun 1825 Universiteit Leiden mulai terlibat dalam melatih para calon pegawai
kanan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (De Nederlands-Indië ambtenaar)
dengan tujuan untuk menyediakan tenaga pegawai kanan yang boleh berkomunikasi
dalam bahasa-bahasa kaum bumiputera di tanah jajahan mereka, khasnya bahasa
Melayu dan Bahasa Jawa (Fasseur 1989:187-8; Fasseur 1994:47). Gubernur Hindia
Belanda G. A. G. P. van der Capellen telah pula memikirkannya dan idea ini disetujui
oleh Menteri Urusan Tanah Jajahan (Minister van Koloniën) melalui Colonial Home
Secretaris selepas mendapat restu Raja Willem 1. Sebagai bagian dari perwujudan

1 Terjemahannya: Kamus, atau kosa kata dan percakapan dalam bahasa Belanda dan Melayu dengan
pelbagai percakapan dalam Belanda dan Melayu mengenai perkapalan semua hal mengenai
perdagangan. “F. de H.” yang tercatat sebagai penulis di buku ini adalah singkatan dari ‘Frederick de
Houtman”. Tampaknya buku ini dimaksudkan sebagai buku pelajaran bagi para pelaut dan pedagang
yang akan berlayar ke Nusantara. 2 J. Gonda (1938:101) mengatakan bahawa senarai 425 kosa kata
Melayu dari Maluku yang dicatat oleh Figafetta ini, yang melebihi jumlah kosa kata dari beberapa
daerah lain yang dicatatnya (Brazilia 8 kata, Patagonia 90 kata, Cébu 160 kata), mempunyai nilai yang
sangat istimewa kepada pengamal bahasa Melayu dan bahasa yang berkaitan. Berkat jasa Figafetta,
untuk pertama kalinya kosa kata bahasa Melayu telah sampai kepada bangsa Eropah, menandai tahap
paling awal penghantaran bahasa Melayu ke arena antarabangsa.

5

Sumbangan Belanda dalam Pengantarabangsaan Bahasa Melayu di Eropah

program ini, Universiteit Leiden melantik beberapa orang profesor di bidang
pengajaran bahasa, agama, dan budaya masyarakat tanah jajahan.

Pada tahun 1842 terbit buku pelajaran pertama bahasa Melayu untuk mahasiswa
Universiteit Leiden. Buku itu dikarang oleh A. Meursinge, lektor bahasa Melayu di
Leiden yang kemudian menjadi professor di Akademie Delft. Buku itu bertajuk Maleis
Leesboek voor Eerstbeginnenden en Meergevorderden (Buku pelajaran bahasa
Melayu untuk pemula dan tingkat lanjut). Kemudian Meursinge menulis pula Jilid 2
dan Jilid 3 dengan tajuk yang sama.2 Selepas itu banyak penyarah dan ahli
akademik lain mengarang buku pelajaran dan buku bacaan bahasa Melayu untuk
pengguna Belanda, antaranya ialah J. Pijnappel, J.J. de

Hollander, H.N. van der Tuuk, J.R.P.F. Gonggrijp, A.A. Fokker, dan Ch. A. van
Ophuijsen – untuk menyebut beberapa nama sahaja. Pengguna yang dituju oleh
buku-buku seperti itu tidak hanya orang-orang di lingkungan akademik (universiti)
tapi juga untuk pembaca umum, murid-murid sekolah tentera diraja dan orang-orang
yang bekerja di bidang perdagangan dan pentadbiran yang akan bekerja di Hindia
Belanda. Untuk yang terakhir ini, ambillah contoh buku Populair Maleische Taalgids
karangan A. Dijkstra (1883), Selamat Djalan oleh H.J. Vermeer (seorang pensiunan
pegawai pentadbiran Hindia Belanda), dan Orang-Kapal (De Schepeling) oleh
Raden S. Nimpoeno yang ditujukan untuk murid-murid sekolah askar udara dan
marin.

Sebuah rancangan dari Kerajaan Belanda yang disebut “de Rijks-instelling van
onderwijs in Indische taal-, land- en volkenkunde te Leiden” diwujudkan dengan
penubuhan Jabatan Pengajian Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (Bahasa-
bahasa, Geografi, dan Etnologi Melayu-Nusantara) di Universiteit Leiden secara
rasmi pada 1 Julai 1864. Sejak semula Universiteit Leiden memang memiliki trade
mark di bidang pengajaran dan pengajian ilmu-ilmu kemanusiaan
(Otterspeer,1989).3 Hal ini pula yang telah mendorong penubuhan Jabatan
Pengajian Indische Taal-, Land- en Volkenkunde di universiti ini, sebagai
perwujudan dari rancangan Kerajaan itu. Program ini diletakkan di bawah Faculteit
der Letteren (Fakulti Sastera). Kuliah-kuliah yang ditawarkan terkait dengan bahasa,
budaya, agama, dan geografi Nusantara, iaitu: 1) De Indische taal- en letterkunde
(Ilmu bahasa dan sastera Hindia Belanda) dengan fokus utama pada bahasa dan
sastera Melayu dan Jawa; 2) De land- en volkenkunde van Nederlandsch Indie
(Geografi dan etnologi Hindia Belanda); 3) De geschiedenis van Nederlandsch Indie
(Sejarah Hindia Belanda); 4) Het publiek regt en het stelsel van bestuur in
Nederlandsch Indie (Hukum awam dan sistem pemerintahan di Hindia Belanda); 5)
De godsdienstige wetten, volkstellingen en gebruiken in Nederlandsch Indie (Hukum
agama, sensus penduduk dan kelaziman di Hindia Belanda) (Fasseur, 1994:218).
Dengan amanah dari Kerajaan Belanda kepada Universiteit Leiden sebagai
universiti milik kerajaan pada masa itu, universiti ini mempunyai peraturan yang amat
ketat dalam “groot- ambtenaarsexamen" untuk para calon pentadbir yang akan
diberangkatkan ke Hindia Belanda, antara lain syaratnya ialah: mereka harus lulus
peperiksaan untuk subjek sejarah Hindia Belanda, bahasa Melayu atau bahasa

2 Jilid 1 mengandungi teks-teks bertulisan Jawi yang diambil dari sejumlah manuskrip Melayu; Jilid 2
mengandungi teks-teks beraksara Jawi dan terjemahan beberapa warkah raja-raja Melayu-Nusantara
tempatan dalam aksara Latin; Jilid 3 pula, yang seluruhnya beraksara Jawi, juga berisi kutipan beberapa
warkah raja-raja Melayu-Nusantara tempatan dan beberapa peristiwa sejarah, seperti sejarah
peperangan orang Belanda di Riau dan Selangor dan kisah Perang Paderi di dataran tinggi
Minangkabau.
3 Imej Universiteit Leiden yang berkait erat dengan ilmu kemanusiaan itu masih bertahan hingga kini,
walaupun bidang-bidang pengajian lainnya juga sudah berkembang pula di universiti ini.

6

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

Jawa (Gonggrijp, 1874). Dalam tahun 1865 J. Pijnappel dilantik sebagai professor
pertama dalam pengajaran bahasa Melayu di Universiteit Leiden dan Professor P.
J. Veth untuk geografi dan etnologi Melayu-Nusantara.4

4 Selain itu, diangkat juga A. C. Vreede sebagai professor bahasa dan sastera Jawa, G. J. Grashuis
sebagai pensyarah bahasa dan budaya Sunda dan Batak ((Otterspeer 1992: 66).

7

Sumbangan Belanda dalam Pengantarabangsaan Bahasa Melayu di Eropah

Empat buku pelajaran/bacaan bahasa Melayu yang dipakai di Belanda, khususnya di Universiteit
Leiden, yang telah turut menyumbang dalam pengantarabangsaan bahasa Melayu di Eropah pada
abad ke-19. (Lihat Bibliografi).

Sampai berakhirnya penjajahan Belanda di Indonesia, pengajian Melayu-Nusantara
di Universiteit Leiden terus berkembang. Ini dapat ditandai dengan dibentuknya
Fakulti Indologi di tahun 1870-an (Fasseur, 1994). Dunia akademik di Belanda pun
kian bersaing kerana setiap universiti berlomba-lomba meningkatkan kualitinya.
Namun, untuk bidang ilmu bahasa, sastera, geografi, dan etnologi Melayu
Nusantara, Universiteit Leiden tetap berada di peringkat atas.

KEADAAN SELEPAS INDONESIA MERDEKA
Pada 17 Ogos 1945 Indonesia merdeka. Secara de facto, penjajahan Jepun dan
Belanda di Indonesia berakhir. Belanda yang ingin kembali lagi menjajah Indonesia
mendapat perlawanan haibat dari bangsa Indonesia. Pada tahun 1957 Malaysia pun
mengisytiharkan kemerdekaannya dan menjadi sebuah negara yang berdaulat. A.
Teeuw (1987:4) mengatakan bahawa pembentukan negara-negara pasca kolonial
di dunia Melayu ini menambah lagi satu tahap perkembangan bahasa Melayu.
Perubahan politik yang mendasar yang berlaku di Asia Tenggara itu secara
langsung atau tidak telah mempengaruhi pula pengajaran bahasa Melayu dan arah
pengajian Melayu-Nusantara di Universiteit Leiden.
Selepas kemerdekaan Indonesia, istilah “Melayu” lambat laun mulai digantikan
dengan istilah ‘Indonesia’. Yang kemudian lebih dikembangkan ialah pengajaran

8

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

bahasa Indonesia.5 Namun demikian dalam pengajian ilmiah dunia Melayu masih
terus menjadi salah satu pusat perhatian di Universiteit Leiden. Sepanjang 1960-an
hingga 1080-an banyak buku mengenai kebudayaan dan aspek sosial politik
masyarakat Melayu dan Nusantara pada amnya diterbitkan oleh KITLV Press.
Kajian-kajian ilmiah sama ada tentang sastera Melayu klasik ataupun kebudayaan
dan masyarakat Melayu kontemporari berkembang dengan baik. Kegemilangan
Leiden sebagai ‘the Mecca of Malay Studies” dalam dekad-dekad ini tidak lepas dari
peranan besar A. Teeuw, professor pengajian Melayu-Indonesia di Universiteit
Leiden yang terkemuka selepas Indonesia merdeka. A. Teeuw dilantik menjadi
profesor untuk Universiteit Leiden pada tahun 1955. Beliau telah membuat banyak
kerjasama dengan Pemerintah Malaysia dan Indonesia, memberi banyak peluang
pada kandidat-kadidat doktor dari kedua negara serumpun untuk mengikuti
pelatihan (training), kajian literatur (library research) atau membuat PhD di
Universiteit Leiden. Begitu juga dengan rakan beliau yang lebih muda, Prof. Dr.
H.M.J. Maier (dilantik tahun 1987). Keduanya telah berjasa dalam upaya
pemerkasaan pengajian Melayu di Universiteit Leiden selepas kemerdekaan.

Prof. Dr. A. Teeuw (kiri) dan Prof. Dr. Henk M.J. Maier (kanan), dua Ahli
akademik Universiteit Leiden yang berjasa dalam memperkasakan dan
menjayakan pengajian Melayu di Universiteit Leiden selepas
kemerdekaan Indonesia.

PENUBUHAN EUROPEAN CHAIR OF MALAY STUDIES DI LEIDEN (1992)
Satu pencapaian penting dalam pemerkasaan bahasa Melayu di Eropah melalui
pintu’ Leiden (dalam konteks ini termasuk pengajian Melayu) iaitu ditubuhkannya
European Chair of Malay Studies (Kerusi Pengajian Melayu untuk Eropah;
selanjutnya disebut ECMS) di Universiteit Leiden pada tahun 1993 ECMS terwujud
berkat kerjasama antara Universiteit Leiden (Department of Southeast Asia and
Oceania) dengan Pemerintah Malaysia (dalam hal ini diwakili oleh Kementerian
Pendidikan Tinggi Malaysia).
Memorandum Persefahaman (MoU) dimulakan pada tahun 1992. Walau
bagaimanapun, idea ke arah MoU ini terbuka apabila Prof. Dr. Henk M.J. Maier

5 Di zaman sekarang pengajian Malaysia dan Indonesia di luar negara dapat dibezakan dengan jelas.
Pemerintah Malaysia sendiri aktif mempromosikan pengajian Melayu berdasarkan perspektif Malaysia.

9

Sumbangan Belanda dalam Pengantarabangsaan Bahasa Melayu di Eropah

beroleh kesempatan untuk berjumpa dengan Datuk Anwar Ibrahim pada suatu hari
dalam tahun 1992. Masa itu Datuk Anwar menjabat sebagai Menteri Pelajaran
Malaysia.6 Akhirnya MoU antara Universiteit Leiden dengan Pemerintah Malaysia
berhasil ditandatangani pada tahun itu juga (1992). Sebagai merealisasikan MoU ini,
Universiteit Leiden kemudian menjemput calon penyandang pertama kerusi ECMS
dari Malaysia mulai tahun 1993. Prof. Dr. Muhammad Haji Salleh dari Universiti
Kebangsaan Malaysia terpilih sebagai penyandang pertama kerusi ini. Dalam daftar
alumni IIAS beliau tercatat sabagai: “Professorial fellow, holder of the European
Chair of Malay Studies” dengan bidang kepakaran “Malay Literature” untuk periode
1993-1995.7 Namun, mengikut keterangan dari Prof. Muhammad Haji Salleh sendiri,
beliau bertugas di Leiden selama setahun sahaja (1 September 1994 hingga 1
September 1995).8 Tugas beliau ialah mengajar dan melakukan pengkajian
mengenai manuskrip Hang Tuah yang bekerjasama dengan Prof. H.M.J. Maier.
Mengikut laporan Dick van der Meij yang disiarkan dalam IIAS Newsletter,
No.2/Spring (1994:19; lihat: Meij, 1994:19) dinyatakan:
A rotating for professorship was inaugurated in Leiden University in 1993. The
position is meant to be for Malay scholars to serve two year terms in Leiden, and
may comprise the fields of Malay Humanities: Literature; Linguistics; History;
Religion; and anthropology. The chair is financed by Leiden University, the Dutch
Ministry of Education and Culture, and Dutch companies operating in Malaysia.

Penyandang pertama kerusi European Chair of Malay Studies: Prof. Dr. Muhammad Haji Salleh
(Sumber: IIAS Newsletter, No.2/Spring 1994:1,19).

6 Maklumat dari Sasterawan Negara Prof. Dr. Muhammad Haji Salleh (temubual melalui media
sosial/medsos, 5 Mei 2022).
7 Lihat: https://www.iias.asia/alumni-southeast-asia (akses pada 3 Mei 2022). Lihat juga:
https://issuu.com/iias/docs/iias_nl02_fullhttps://www.thestar.com.my/news/education/2004/11/07/promoti
ngmalay-studies-abroad (akses pada 3 Mei 2022).
8 Untuk menyusun sejarah European Chair of Malay Studies di IIAS Leiden ini, saya sudah pula
melakukan temubual melalui media sosial (medsos) dengan beberapa bekas penyandang kerusi ini,
antara lain: Prof. Dr. Muhammad Haji Salleh, Prof. Dr. Md. Salleh Yaapar, Prof. Dr. Wahab Ali, dan
Prof. Dr. Abu Hasan bin Mohd. Sham, juga dengan beberapa ahli akademik Malaysia lainnya yang
terkait dengan program ini. Temubual diadakan dalam minggu pertama dan kedua bulan Mei 2022.

10

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

Pandangan Professor Muhammad Haji Salleh tentang Universiteit Leiden cukup
menarik. Beliau berpendapat bahawa keadaan hidup di Leiden (Belanda) juga
sangat berbeza dengan di Malaysia. “The atmosphere is really scholarly. Social
demands are very limited in comparison to the situation in Malaysia.” Kata beliau
pula (Meij, 1994:19). Beliau amat berkesan dengan kekayaan Leiden University
Library dengan koleksi yang terkait dengan dunia, kebudayaan, dan masyarakat
Melayu. “[T]here are more Malay manuscripts in Leiden than in Malaysia, so I am in
exactly the right spot for Malay studies.” kata beliau (Meij, 1994:19). Pengguna
perpustakaan tidak banyak membuang masa untuk datang ke perpustakaan kerana
letaknya yang dekat dengan tempat tinggal para pensyarah dan mahasiswa. “In
Malaysia [if] I want to go to library I have to confront traffic jams, taking me to hours
to get to the library and another two hours to come back. It is so time consuming.
Leiden is far better. I just go around the corner and I am where I want to be.” ungkap
beliau pula (Meij, 1994:19). Namun, mengikut beliau pula, terdapat perbezaan yang
jelas antara cara belajar mahasiswa di Belanda dengan di Malaysia. Dengan
demikian, suasana di kelas pun terasa berbeza. Beliau memandang hubungan
mahasiswa dan pensyarah di Belanda lebih terasa sebagai layaknya kontrak bisnis
sahaja. The students “are too free and do not attend the class regularly.” kata beliau.
Kadang-kadang hanya tiga orang mahasiswa yang datang, tapi pensyarah harus
tetap mengajar dan melayani mereka. “In Malaysia I will refuse to teach” bila berlaku
keadaan seperti ini, kata beliau pula (Meij, 1994:19). Beliau berkata (Meij, Ibid.):

Apparently many students simply want a degree and are not really interested in
the subject of their study. However, it does appear that Malay students are
working harder and wrestle more with their studies than those in Holland,
although the curiosity they show is virtually the same.

Mengikut pendapat beliau pula, “Europe is deconstructing its scholarly tradition. The
person of the scholar is foregrounded and his research is backgrounded.” Kenyataan
ini mengkhawatirkan dan mengganggu beliau. Menurut beliau, interaksi di kelas
antara pensyarah dan mahasiswa tetaplah penting. “People who do not attend the
class, for instance, do not understand that there are some things you simply cannot
learn from books.” kata beliau (Meij, 1994:19). Banyak hal telah dilakukan oleh Prof.
Dr. Muhammad Haji Salleh selama masa pengkhidmatan beliau di Leiden. Selain
mengajar dan memberi syarahan di beberapa kota utama Eropah, beliau juga
mengusulkan secara pribadi pertukaran penerbitan antara Koninklijk Instituut voor
Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV) Leiden dengan Perpustakaan Negara
Malaysia.

Penyandang kedua kerusi ECMS di IIAS Leiden ialah Prof. Dr. Wahab Ali dari
Universiti Malaya. Masa beliau berkhidmat di Leiden kerusi ini dialihkan
pengurusannya ke International Institute of Asian Studies (IIAS) yang juga beribu
penjabat di Leiden. IIAS ialah satu pusat pengajian penting dalam bidang ilmu-ilmu
sosial dan kemanusiaan di Belanda. Secara pentadbiran, IIAS berdisi sendiri, tapi
bekerjasama erat dengan Universiteit Leiden. Salah satu foundation IIAS ialah: “To
act as a national centre for Asian studies to improve international co-operation in the
European context.”9

Prof. Wahab Ali dicadangkan memulai tugasnya di Leiden pada bulan Januari 1995.
Akan tetapi kerana berbagai halangan birokrasi, beliau tidak bisa datang tepat pada
waktunya. Untuk menghindari kekosongan, Prof. Abu Hasan bin Mohd. Sham yang
juga berasal dari Universiti Malaya ditunjuk untuk menyandang kerusi ini selama

9 IIS Newsletter, No. 1 (Opening Special)/Autumn 1993:4.

11

Sumbangan Belanda dalam Pengantarabangsaan Bahasa Melayu di Eropah

semester sahaja (1 Januari – 1 Mei 1995). Kemudian kerusi ini diserahkan kepada
Prof. Dr. Wahab Ali yang sudah ditunjuk semula. Beliau berkhidmat di Leiden salama
2 tahun (1 Jun 1995 – 31 Mei 1997).
Kementerian Pendidikan Tinggi Malaysia sudah mencadangkan Prof. Dr. Hashim
bin [Hj] Musa (Universiti Malaya) sebagai peyandang kerusi ECMS seterusnya. Akan
tetapi beliau menolak tugas ini kerana menurut beliau masa tugasnya terlalu pendek
(beberapa bulan sahaja).10 Akhirnya yang menjadi pengganti Prof. Wahab Ali ialah
Prof. Dr. Yaakob bin Harun yang juga berasal dari Universiti Malaya. Masa
pengkhidmatan beliau di Leiden kurang lebih setahun: 20 November 1997 – 10 Mac
1998.11
Selepas masa pengkhidmatan Prof. Yaakob, kerusi ECMS di IIAS Leiden ditutup
kerana MoU antara IIAS dengan Pemerintah Malaysia untuk melanjutkan kerusi ini
tidak diperpanjang. Akan tetapi pada awal November 2004 ditandatangani lagi MoU
antara Pemerintah Malaysia dengan IIAS Leiden untuk melanjutkan kerjasama ini.12
Nota persefahaman ditandatangani di Kuala Lumpur oleh Dr. Shafie Abu Bakar,
Menteri Pendidikan Malaysia, dan Direktur IIAS, Prof. Dr. W.A.L. Stokhof (lihat
gambar). MoU yang kedua ini berlaku sampai tahun 2009.

Penandatanganan MoU antara IIAS Leiden dengan Pemerintah Malaysia di Kuala
Lumpur, November 2004. Ketua Setiausaha Kementerian Pendidikan Tinggi
Malaysia, Datuk Dr. Mohd. Yahya Noordin dan Prof. Dr. W.A.L. Stokhof saling

10 Menurut Prof. Hashim dalam beberapa bulan sahaja MoU untuk kerusi ini akan berakhir. Itulah
sebabnya beliau menolak datang ke Leiden. (temubual medsos, 6 Mei 2022). Akhirnya, Prof. Hashim
bin [Hj] Musa datang juga ke Leiden sebagai research fellow di IIAS (19 Mac-15 Jun 1999) dengan
tajuk penyelidikan: “To identify, Classify and Briefly Describe Unstudies Malay Manuscripts of Acheh,
Johor-Riau and Patani Pertaining to Malay Islamic Thought” (Lihat: https://www.iias.asia/alumni-
southeast-asia), akses pada 3 Mei 2022. Hasil penyelidikan beliau ini akhirnya ditebitkan pada 1999
dengan tajuk A brief survey on the study of the Malay sastera kitab on Malay Islamic thought oleh
Akademi Pengajian Melayu, Universiti Malaya.
11 Lihat: https://www.iias.asia/alumni-southeast-asia (akses pada 4 Mei 2022).
12 Lihat laporan tentang penandatanganan MoU kedua ini dalam The Star edisi Ahad 7 November 2004
dengan tajuk berita: “Promoting Malays Studies abroad”
(https://www.thestar.com.my/news/education/2004/11/07/promoting-malay-studies-abroad; akses pada 3
Mei2022).

12

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

bertukar dokumen nota persefahaman, disaksikan oleh Menteri Pendidikan
Malaysia, Dr. Shafiie Abu Bakar (tengah). (Kredit foto: Prof. Dr. Md. Salleh Yaapar).

Tampaknya MoU kedua ini sudah dirancang setahun sebelumnya, kerana pada
2003 Prof. Dr. Md. Salleh Yaapar dari Universiti Sains Malaysia dijemput datang ke
Leiden untuk menyandang kerusi ECMS di bawah MoU yang baru ini. Prof. Salleh
menyandang kerusi ini untuk tempoh dua tahun (1 Februari 2003 sampai 1 Februari
2005), kemudian diperpanjang setahun lagi (4 Februari 2005 – 4 Februari 2006).13
Beliau sangat aktif mempromosikan pengajian Melayu selama berkhidmat di Leiden
dengan mengajar, memberi syarahan di beberapa kota Eropah, dan juga
menyelenggarakan seminar dengan menjemput ahli-ahli akademik Belanda dan
Malaysia. Salah satu seminar yang diselenggarakan oleh beliau bertajuk “Windows
on the Malay world; Poetry reading and seminar on Malay-Indonesian literature
navigating convention in new terrains; Writing in the eighteenth to early twentieth
centuries” yang diadakan pada 20 Oktober 2005 di Leiden di mana saya juga ikut
serta sebagai salah seorang pembentang kertas kerja.14

Professor Dr. Mashudi Kader (Universiti Sains Malaysia) menjadi penyandang kerusi
ECMS berikutnya. Tempoh pengkhidmatan beliau di Leiden ialah dari 1 Oktober
2006 hingga 1 Oktober 2008.15 Namun, beliau hanya berkhidmat di Leiden selama
setahun sahaja; beliau pulang ke Malaysia sebelum masa pengkhidmatan beliau
berakhir. Prof. Mashudi menyelenggarakan dua kali seminar di kampus Universiteit
Leiden dengan menjemput pembentang kertas kerja dari Malaysia dan juga dari
Eropah.16 Seminar pertama diadakan pada 12 April 2007 dengan tajuk:

“Language Planning: Language Policy in Education”. Seminar kedua diadakan pada
26-28 Mac 2008 dengan tajuk: “A Thee-Days Round-Table Meeting on Malay
Language, Knowledge and Communication.” Kedua pertemuan ilmiah itu sukses
memperkenalkan kampus dan suasana akademik Universiteit Leiden kepada para
ahli akademik yang datang dari Malaysia.17

Selepas kepulangan Prof. Dr.Mashudi Kader, kerusi ECMS di IIAS Leiden dibiarkan
kosong hingga akhir batas MoU kedua ini (2009). Saya belum tahu pasti apa
masalah yang berlaku, namun agaknya juga terkait dengan masalah
kewangan/pembiayaan kerusi ini. Sampai kini, selah lebih 14 tahun sejak
berakhirnya masa pengkhidmatan Prof. Dr. Mashudi Kader, tampaknya sampai hari
ini belum tampak ada usaha untuk meneruskan kewujudan kerusi ECMS di Leiden
ini.

13 Lihat: https://www.iias.asia/profile/md-salleh-yaapar (akses pada 4 Mei 2022).
14 Kertas kerja saya kemudian diterbitkan dalam Jurnal Wacana (Universitas Indonesia), Vol.16, No.2
(2015).
(https://www.researchgate.net/publication/323799220_A_linguistic_kaleidoscope_of_the_Malay_letter_
The_case of_the_eighteenth_century_official_letters_from_the_Sultanate_of_Buton), akses pada _ 4
Mei 2022.
15 Lihat: https://www.iias.asia/profile/mashudi-kader (akses pada 4 Mei 2022).
16 Dari Malaysia, antara pembentang yang dijempur adalah Prof. Dr. Abdullah Hasan, Prof. Dr. Asmah
Haji Omar, dan Dr. Syed Farid Alatas.
17 Saya mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Abdullah Hasan yang telah memberikan banyak
maklumat dan catatan yang berkenaan dengan kehadiran beliau sebagai salah seorang pembentang
kertas kerja utama dalam kedua seminar ini. (Temubual medsos, 5-6 Mei 2022).

13

Sumbangan Belanda dalam Pengantarabangsaan Bahasa Melayu di Eropah

Senarai nama-nama para penyandang kerusi European Chair of Malay Studies di Leiden, 1993-
2008

No Nama Institusi asal di Masa jabatan sebagai
Malaysia penyandang
1 Prof. Dr. Muhammad Kerusi European Chair of Malay
Haji Salleh Universiti
Kebangsaan Studies di IIAS Leiden
2 Prof. Dr. Abu Hasan Malaysia 1 September 1994 – 1 September
bin Mohd. Sham Universiti Malaya 1995

3 Prof. Dr. Wahab Ali Universiti Malaya 1 Januari -1 Mei 1995
4 Prof. Dr. Yaakob bin Universiti Malaya (*Penyandang sementara)
1 Jun 1995 -31 Mei 1997
Harun Universiti Sains 20 November 1997 – 19 Mac 1998
5 Prof. Dr. Md. Salleh Malaysia
1 Februari 2003 - 1 Februari 2005,
Yaapar Universiti Sains kemudian diperpanjang setahun
Malaysia lagi: 4
6 Prof. Dr. Mashudi Februari 2005 – 4 Februari 2006
Kader 1 Oktober 2006 – 1 Oktober 2008

Dari kiri ke kanan: Prof. Dr. Abu Hasan bin Mohd. Sham; Prof. Dr. Wahab Ali; Prof. Dr. Yakoob bin
Harun; Prof. Dr. Md. Salleh Yaapar; Prof. Dr. Mashudi Kader.

PENUBUHAN MALAYSIAN RESOURCE CENTRE DI KITLV LEIDEN

Sebagaimana sudah dimaklumkan di atas, Prof. Dr. Muhammad Haji Salleh semasa
berkhidmat di Leiden sebagai penyandang pertama kerusi ECMS mengusulkan
diadakannya pertukaran hasil-hasil penerbitan antara KITLV Leiden dengan
Perpustakaan Negara Malaysia. Ternyata usulan ini kemudian dapat diwujudkan
dengan penubuhan The Malaysian Resource Centre (MRC) di KITLV Leiden dalam
bulan Disember 1995. Nota persefahaman ditandatangani di Kuala Lumpur antara
National Library of Malaysia dengan Library of the Royal Institute of Linguistics and
Anthropology (KITLV) Leiden.18 Ketika ditanya oleh Dick van der Meij dari IIAS
Newsletter (No.8/ Spring,1996:27) mengenai apakah sebenarnya MRC dan
mengapa penting bagi KITLV untuk menubuhkannya, librarian/pustakawannya, Dr.
Roger Tol, menjawab sebagai berikut:

18 “The Director of KITLV, Prof. Peter Boomgard, and the librarian, Dr. Roger Tol made a special visit
to Malaysia to sign the agreement at a ceremony attended by the Malaysian Minister of Education
[Dato’ Seri Haji Mohammad bin Tun Haji Abdul Razak] and the Dutch Ambassador to Malaysia” (Meij,
1996:27).

14

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

The Malaysian government is keen to highlight Malay studies all over the world. The
first Malaysian Resource Centre was installed in Ohio and we in Leiden are the
second. The Malaysian government is keen to promote Malaysia and put it firmly in
academic map. The agreement includes an annual donation of 3000 books and
periodicals to ensure that scholars are able to inform themselves fully about anything
going on in Malaysia at the present moment.

The KITLV Library was chosen to house the Resource Centre for a number of
reasons. In fact this move has close ties with the installation of Rotating
Professorship of Malay Studies at Leiden University. The first professor to hold this
chair was Professor Muhammad Haji Salleh. […] He was on the lookout for a place
to install the Resource Centre and quite naturally he chose the KITLV. I say ‘quite
naturally’, because the most important reason the KITLV was chosen is that it has
the one of the major collections on the Southeast Asia in the world, the Indonesian
collection in particular is world renowned. Not only is it a collection which redounds
with academic importance, it is also one of the most easily accessible in the world.
Even though the collection primarily contains materials on Indonesia, it also has a
good collection on Malaysia and other countries in Southeast Asia. It goes without
saying that this collection will benefit to an immeasurable degree from the installation
of the Resource Centre.

Kutipan di atas memberi kesan bahawa ada keterkaitan erat antara penubuhan The
Malaysian Resource Centre (MRC) di KITLV dengan European Chair of Malay
Studies (ECMS) di IIAS. Dapat dikesan pula bahawa sebagai perintis dan orang
pertama yang menyandang kerusi ECMS, Prof. Dr. Muhammad Haji Salleh telah
meninggalkan legacy yang cukup jelas. MRC di KITLV Leiden wujud bermula atas
gagasan beliau. Kerjasama ini telah memperkaya lagi koleksi Perpustakaan KITLV
Leiden dengan sumber-sumber Malaysia yang lebih moden (pelbagai penerbitan
dalam wujud buku dan majalah-majalah selepas kemerdekaan).

Dijelaskan juga oleh Dr. Roger Tol bahawa sumbangan (donation) untuk MRC
tidak terbatas pada bahan-bahan terbitan (‘books and other printed matter’) yang
berbahasa Melayu sahaja, melainkan juga terbitan-terbitan dalam bahasa Inggeris
(Meij, 1996:27). Penting pula diungkapkan di sini bahawa usaha yang dirintis oleh
Prof. Dr. Muhammad Haji Salleh ini didukung sepenuhnya oleh Pemerintah
Malaysia. Ini memberi kesan yang jelas betapa bersemangatnya Pemerintah
Malaysia mempromosikan negara Malaysia di peringkat antarabangsa pada masa
itu, termasuk melalui jalur akademik. Ketika ditanya apa kekhasan egreement ini,
Dr. Roger Tol (Meij, Ibid.) menjawab:

This Resource Centre really forms part of the Self Promotion of Malaysia. Other
countries are apparently not yet so keen to promote themselves in this way,
more’s the pity. Perhaps this first agreement with Malaysia will quicken the
interest of other Southeast [Asian] countries to follow suit, but naturally that is
entirely up to them. Of course, the KITLV would more than happy to enter into
agreement like this with other Southeast Asian countries, especially those on
mainland. We already have a nice collection of books on Singapore, the
Philippines, Thailand, Vietnam and other mainland Southeast Asian countries.
We would be delighted to augment these collections too.

15

Sumbangan Belanda dalam Pengantarabangsaan Bahasa Melayu di Eropah

Librarian/Pustakawan KITLV Leiden Dr. Roger Tol yang ahli dalam pernaskhan Bugis (kiri) dan
Gedung KITLV Leiden (kanan). (Sumber: IIAS Newsletter No.8/Spring 1996:1; foto Suryadi).

Dr. Roger Tol juga memberi pujian terhadap Perpustakaan Negara Malaysia yang
telah dikunjunginya. Ia berkata bahawa perpustakaan ini sangat moden. Oleh itu,
merupakan suatu keberuntungan bahawa KITLV Leiden boleh membina kerjasama
dengan perpustakaan milik negara Malaysia itu. “I was amazed to see their modern
library and super modern facililities. It was absolutely fantastic. […] We enjoy a very
close working relationship with the library.” kata beliau pula (Meij, 1996:27).

PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TAK DAPAT DIELAKKAN
Pelbagai kerjasama dengan Malaysia, khasnya European Chair of Malay Studies
dan Malaysian Resource Centre19, terhenti di akhir dekad pertama abad ke-21. Hal
ini disebabkan oleh pelbagai faktor, sama ada faktor dalaman (internal) ataupun
faktor luaran (eksternal). Keadaan ini tentu secara langsung atau tidak juga
bermakna melemahnya usaha-usaha pengantarabangsaan bahasa Melayu. Antara
faktor-faktor dalaman yang dapat dikesan ialah:
● Universiteit Leiden mengalami penurunan dalam jumlah pakar (ahli akademik)

tentang pengajian Melayu selepas Prof. A. Teeuw bersara pada tahun 1986 dan
selepas Prof. H.M.J. Maier hijrah ke University of California, Riverside, pada
tahun 2000. Di universiti-universiti Eropah adalah hal yang biasa berlaku bahawa
pengajian tentang suatu wilayah menjadi semarak, berjaya dan bergairah
selama ahli (professor) tentang wilayah itu masih aktif. Bila ahlinya sudah
bersara atau meninggal dunia, maka bidang kajian yang dulu dibinanya dapat
sahaja hilang atau ditutup oleh otoriti universiti kerana tidak ada ahli yang boleh
meneruskan. Setakat ini, di Universiteit Leiden pengajian Asia Tenggara
digabungkan dengan Pengajian Asia Selatan di bawah Department of South and
Southeast Asian Studies, dengan fokus pengajaran bahasa pada bahasa
Indonesia, bahasa Hindi dan bahasa Tibet. Walau bagaimanapun keadaan di
sini masih lebih baik berbanding negara-negara lain di Eropah dan Amerika.

19 Kerjasama dengan KITLV terhenti kerana KITLV Library pun ditutup pada tahun 2014 sebagai akibat
dari berkurangnya sokongan kewangan dari Kerajaan Belanda (lihat Andy Fuller, “KITLV reading room
gone, collection remains”, dalam: http://www. insideindonesia.org/kitlv-reading-room-gone-collection-
remains (akses pada 14 Mei 2022). Seluruh koleksi perpustakaan KITLV sepanjang lebih dari 10 km.
kini diurus oleh Leiden University Library (Suryadi, 2017:26).

16

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

● Keadaan di lingkungan Universiteit Leiden yang demikian itu tentu terkait pula
dengan keadaan di luarnya. Secara am boleh dikatakan bahawa kenangan
terhadap kolonialisme dan sejarah masa lampau bangsa sendiri di kalangan
orang muda Belanda/Eropah juga kian menipis. Oleh itu, sekarang ramai anak
muda yang belajar tentang Asia Tenggara lebih memilih isu-isu yang bersifat
kekinian/kontemporari, khasnya bidang ekonomi, politik, dan lingkungan.
Mereka kurang berminat lagi pada isu-isu yang bersifat klasik, contohnya isu-isu
yang terkait dengan manuskrip dan sastera Melayu klasik. Oleh kerana pilihan
untuk mempelajari bahasa dari rantau ini juga terbatas (sekarang hanya bahasa
Indonesia sahaja; dulu ada bahasa Thai, Vietnam, Tagalog, Sunda dan Jawa),
maka untuk kajian-kajian yang dibuat juga lebih banyak mengenai topik-topik
yang terkait dengan Indonesia.20

● Secara am di Eropah kita melihat sekarang munculnya rasa malu terhadap
sejarah masa lampau bangsa sendiri yang berkaitan dengan penjajahan yang
dilakukan oleh nenek moyang mereka sejak abad ke-16 hingga separuh pertama
abad ke-20. Penjajahan itu telah melanggar hak azasi manusia, disertai dengan
eksploitasi alam dan pencurian benda-benda budaya. Sekarang banyak
bendabenda museum di Eropah dikembalikan ke negara asalnya di Afrika dan
di Asia. Banyak di antara benda-benda itu dicuri atau dirompak dan dibawa ke
Eropah di zaman penjajahan. Jerman, Inggeris, Belgia, dan Belanda, adalah
antara negaranegara Eropah sudah mengembalikan sejumlah benda seni yang
disimpan di muzium-muzium mereka ke negara-negara yang dulu menjadi
daerah jajahan mereka
,

Adapun faktor-faktor luaran (dari pihah bangsa Melayu sendiri), pada pendapat
saya, adalah sebagai berikut:

● Dukungan yang melemah dan tidak berterusan dari pemerintah, utamanya
pemerintah Malaysia, untuk memerkasakan pengantarabangsaan bahasa
dan pengajian Melayu di luar negara, dala konteks ini Eropah, khasnya
Belanda. Pada tahun 1980an dan 1990an dukungan itu terasa amat kuat, tapi
pada masa sesudahnya terasa melemah. Ini mungkin berkenaan dengan
masalah kewangan dan ekonomi negara. Sejak tahun 1998, banyak negara
di Asia Tenggara mengalami krisis ekonomi cukup teruk yang menyebabkan
berlakunya perubahan politik (misalnya di Indonesia: Pemerintahan Soeharto
jatuh kerananya). Ketika keadaan ekonomi belum sepenuhnya pulih, datang
lagi bawak Covid-19. Hal ini, langsung atau tidak, berpengaruh pada
program-program yang bertujuan memerkasakan bahasa Melayu di arena
antarabangsa, kerana berkurangnya sokongan kewangan dari Pemerintah
dan institusi-istitusi lain yang berkenaan.

● Tiadanya strategi bersama dan kuat di antara negara-negara yang didiami
oleh puak-puak Melayu di Asia Tenggara untuk memerkasakan dan
menggelorakan penyerbaluasan bahasa Melayu di arena antarabangsa.
Masalah antara bahasa

20 Walau bagaimanapun ada satu-dua orang muda Malaysia yang membuat PhD di Universiteit Leiden.
Sebagai contoh, di bidang ilmu-ilmu kemanusiaan, tahun lepas Shafa’atussara Silahudin dari Universiti
Malaya berhasil memperoleh ijazah kedoktoran dengan disertasi yang bertajuk ‘Malay singing in Pahang:
identity and practice’ di bawah seliaan Prof. Dr. B. Arps dan saya. (lihat Silahudin, 2021). Universiteit
Leiden yang memiliki perpustakaan yang amat kaya dengan bahan-bahan tertulis dan audio-visual
mengenai dunia Melayu belum sepenuhnya digunakan oleh orang-orang muda Malaysia sebagai tempat
untuk tempat mengambil PhD. Diharapkan di masa hadapan kerjasama antara universiti-universiti di
Malaysia dan Universiteit Leiden dapat lebih ditingkatkan untuk memberi peluang lebih luas kepada
mahasiswa Malaysia untuk datang ke Leiden guna melakukan kajian literatur (library research) atau
membuat PhD di Universiteit Leiden.

17

Sumbangan Belanda dalam Pengantarabangsaan Bahasa Melayu di Eropah

● Melayu dan bahasa Indonesia, yang dulu cuba dijembatani melalui MABBIM
(Majlis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia) belum memberikan
hasil yang memuaskan semua fihak. Usaha-usaha yang sudah dilakukan
harus terus dilanjutkan, utamanya untuk menghadapi isu-isu tentang bahasa
ASEAN yang mengemuka lagi baru-baru ini, walaupun isu ini sudah
dikemukakan oleh Perdana Menteri Malaysia, Najib Tun Razak, lima tahun
lepas (Tang, 2017).22 Hendaknya ketiga negara yang terlibat dalam MABBIM
duduk bersama untuk membahas isu ini.23 Perbezaan-perbezaan pandangan
di antara penutur asli bahasa Melayu sendiri perlu dihilangkan sehingga
kekuatan yang lebih besar dapat dihimpun untuk memperkasakan bahas
Melayu di arena antarabangsa.

● Pemerkasaan bahasa Melayu di arena antarabangsa akan lebih berhasil
apabila di negara-negara asalnya sendiri statusnya kuat, berwibawa dan
menjadi kebanggaan semua warganegara. Dalam konteks ini kita melihat
adanya dualisme kerana penggunaan bahasa Inggris yang diperluas di
Malaysia, termasuk dalam bidang pendidikan. Hal ini berlaku sejak tahun
1996 apabila Akta Pendidikan 1996 dan Akta Institusi Pendidikan Tinggi
Swasta (IPTS) 1996 diluluskan Parlemen Malaysia yang memberi izin dan
peluang sepenuhnya penggunaan bahasa Inggeris sebagai bahasa
pengantar pendidikan di Malaysia. Keadaan ini secara langsung atau tidak
telah turut mempengaruhi kewibawaan bahasa Melayu di tanah sendiri (Hj
Musa, 2008). Kini, 26 tahun setelah kedua akta itu diluluskan, kita mungkin
boleh memetakan dimana posisi bahasa Melayu di lidah generasi muda
Malaysia dan pada tingkat mana rasa bangga masyarakat kita, sama ada
orang awam ataupun ahli politik, terhadap bahasa Melayu.

22 Bahkan isu ini sebenarnya sudah muncul lebih awal lagi. Pada tahun 2008, semasa Yang di-Pertua
Dewan Negara Malaysia sekarang, Tan Sri Dato' Seri Utama Dr. Rais bin Yatim, menjadi Menteri Luar
Negeri Malaysia, beliau sudah mengemukakan gagasan mengenai ‘bahasa rasmi ASEAN’ ini dengan
pelbagai kemungkinan rintangan yang akan dihadapi. (Temubual melalui media sosial, 13 Mei 2022).
Lihat juga: “Rais Yatim: Bahasa Melayu should be made official language of Asean”, Malay Mail,
Saturday, 17 November 2017

(https://www.malaymail.com/news/malaysia/2017/11/25/rais-yatim-bahasa-melayu-should-be-made-
officiallanguage-of-asean/1518509); “Make Malay official language of Asean, Rais says”, Malaysiakini,
25 November 2017 (https://www.malaysiakini.com/news/403334); “Bahasa Melayu perlu jadi bahasa
Asean, kata Rais Yatim”, The Malaysian Insight, 25 November 2017
(https://www.themalaysianinsight.com/bahasa/s/24529), akses pada 13 Mei 2022.
23 Mengenai isu bahasa ASEAN ini, lihat antara lain: Mahayana (2022) dan Setiawan (2022).

STRATEGI-STRATEGI MASA HADAPAN

Hashim bin Hj Musa (2008:132-135) telah mengemukakan beberapa strategi
pemerkasaan bahasa Melayu di arena antarabangsa, antaranya ialah: 1) Mengatasi
sikap negatif dan rendah diri bahawa bahasa Melayu dianggap tidak mampu menjadi
bahasa pengantar sains; 2) Membangun budaya ilmu, sains, dan teknologi dalam
bahasa Melayu dengan sokongan kewangan yang maksimum dari negara; 3)
Mengadakan promosi yang gigih dan berterusan untuk mengantarabangsakan
bahasa Melayu sebagai bahasa Asean.

Saya hendak mengemukakan beberapa strategi lain yang mungkin dapat kita
lakukan untuk memperkasakan bahasa Melayu di arena antarabangsa.
Cabarancabaran yang kita hadapi kini tentu berbeza dengan satu-dua dekad lepas.
Walau bagaimanapun, pada pendapat saya, pengantarabangsaan bahsa Melayu

18

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

melalui jalur akademik masih lagi penting. Akan tetapi kita sudah melihat pasang
surut pengajian Melayu di banyak negara. Keadaannya tidak sesemarak di zaman
kolonial ketika kepentingan penjajahan bersemuka dengan kepentingan ilmu untuk
memahami sifat-sifat dan kebudayaan masyarakat yang dijajah guna kepentingan
penjajah sendiri. Di zaman sekarang, minat orang muda di negara-negara asing
untuk mempelajari Asia Tenggara, dengan demikian juga bererti mempelajari
bahasa-bahasanya, sangat menghitung-hitung seberapa besar peluang kerja yang
mungkin dapat mereka perolehi setelah tamat belajar. Ini bermakna bahawa imej
negara-negara rumpun Melayu juga mesti bagus, khasnya dari segi ekonomi dan
politik, yang boleh menumbuhkan harapan dan memberikan kesempatan peluang
kerja lebih banyak kepada orang asing yang mempelajari negara kita. Kalau dari
segi budaya dan geografi sudah jelas bahawa negara-negara rumpun Melayu amat
menarik kerana alamnya yang cantik dan budayanya yang beragam! Berbanding
tahun 1980an dan 1990an, sekarang kerusi-kerusi pengajian Melayu di luar negara
jauh berkurang. Beberapa kerusi ini di negara lain, termasuk di Leiden, sebagaimana
sudah dijelaskan di atas, telah ditutup. Kerusi terakhir di Beijing yang masih aktif
sebelum wabak Covid-19 melanda dunia, kini juga ditinggalkan dalam keadaan
kosong.21 ‘Kemunduruan’ ini, bila boleh disebut demikian, mesti diambil perhatian
serius oleh Kementerian Pengajian Tinggi (KPT) Malaysia.

Di sini saya tidak akan membicarakan keadaan di benua-benua lainnya, tapi untuk
Eropah, empat tempat mungkin boleh diberi perhatian ialah Frankfurt/Jerman
(Goethe University Frankfurt), Leiden/Belanda (Universiteit Leiden/IIAS Leiden),
Paris/Perancis (Institut national des langues et civilisations orientales/INALCO), dan
London (SOAS University of London). Kalaupun keempatnya tidak dapat dipenuhi,
paling tidak dua harus diaktifkan dan mendapat prioriti. Mengingat dan
mempertimbangkan peran aktif Eropah (utamanya Belanda dan Inggeris) dalam
pengantarabangsaan bahasa Melayu di masa lampau (awal abad 17 – separuh
pertama abad ke-20), sebagaimana sudah saya jelaskan di atas, komuniti akademik
di benua ini mestilah tetap mendapat perhatian dan terus dijemput dalam upaya-
upaya pemerkasaan bahasa Melayu di arena antarabangsa di masa kini. Leiden
masih menjadi salah satu tempat yang menarik memandang kekayaan
perpustakaannya (Leiden University Library) dengan bahan-bahan mengenai
kebudayaan,masyarakat dan dunia Melayu, sama ada yang klasik ataupun moden.

Namun, semua itu tentu bergantung pada peruntukan kewangan dan
semangat Pemerintah Malaysia (dalam hal ini KPT). Dapatkah semangat tinggi dan
kegemilangan yang pernah dicapai pada tahun 1980an dan 90an boleh diulang
semula? Sebagaimana ditunjukkan dalam pembentukan kerjasama dengan IIAS
pada tahun 1990an, KPT dapat mengajak pelbagai institusi lain untuk upaya ini (dulu
IIAS dan KPT mengajak perusahaan-perusahaan Belanda yang beroperasi di
Malaysia untuk turut memberikan sokongan kewangan). Keadaan memang telah
berubah. Sekarang kitalah yang mesti lebih aktif.

Pilihan lain yang juga mungkin dapat dilakukan ialah dengan menawarkan
pelajaran bahasa Melayu di beberapa universiti-universiti di luar negara dengan
sokongan dari Pemerintah Malaysia. Dari segi kewangan dan skim kerjasama, cara
ini mungkin memerlukan biaya yang lebih kecil berbanding kerusi Pengajian Melayu
yang mungkin berbiaya lebih besar. KPT dapat pula mengirimkan tenaga-tenaga
pengajar bahasa Melayu ke universiti-universiti berkenaan, yang memberi peluang
pada mereka untuk mendapat pengalaman antarabangsa. Kerjasama ini boleh

21 Maklumat dari Prof. Datuk Seri Dr. Haji Awang Sariyan, yang dua kali menyandang kerusi di Beijing
ini, iaitu mulai Januari 2008 hingga Julai 2011, kemudian dari Julai 2016 hingga Mas 2018. (Temu bual
melalui media sosial, 14 Mei 2022).

19

Sumbangan Belanda dalam Pengantarabangsaan Bahasa Melayu di Eropah

dikaitkan dengan universiti-universiti di dalam negeri. Dalam semester ke-3 atau ke-
4 para pelajar antarabangsa itu dijemput datang ke Malaysia selama tiga bulan atau
satu semester dalam program pertukaran (exchange programme). Kesempatan ini
menjadi pengalaman yang amat berharga bagi mereka.22 Sambil mengasah
kemampuan bahasa Melayu mereka, para pelajar antarabangsa itu juga dapat
mempelajari budaya Melayu. Skim kerjasama ini dapat pula dikaitkan dengan
Kedutaan-kedutaan Malaysia (Malaysian Embassies) di luar negara. Di banyak
Malaysian Embassies sudah ada Pejabat Pelancongan, tapi Pejabat Atase
Kebudayaan (Cultural Attache) mungkin harus diperbanyak. Cultural Attache ini
penting bagi pengenalan bahasa dan kebudayaan Malaysia di luar negara. Selain
menyelenggarakan sendiri kursus bahasa Melayu, Cultural Attache di setiap

Kedutaan Malaysia dapat bekerjasama dengan universiti-universiti di negara
tempatan yang berminat pada pengembangan pengajian dan pengajaran bahasa
Melayu. Kesan saya, untuk Belanda, Kedutaan Malaysia di Den Haag mesti proaktif
merancang kerjasama-kerjasama, membuka dan mengeratkan hubungan dengan
universiti-universiti di negara berkenaan (Universiteit Leiden, Universiteit van
Amsterdam, dll.).

Melihat fenomena global yang sedang berlaku, tampaknya upaya-upaya yang
dilakukan untuk memperkasakan bahasa Melayu di arena antarabangsa harus
dipelbagaikan. Memang jalan akademik masih lagi penting, tapi mesti dicari pula
upaya-upaya lain di luar jalur akademik. Salah satu alternatif lain adalah melalui
budaya popular. Dalam kehidupan generasi muda di banyak negara di zaman kini,
kita melihat kelit kelindan antara dunia akademik dan budaya popular ini. Sekarang
di banyak negara studi tentang Jepun, China dan Korea makin diminati oleh
orangorang muda. Ini disebabkan oleh kesuksesan negara-negara di Asia Timur itu
mengembangkan budaya popular, sama ada melalui muzik ataupun media
audiovisual (filem animasi, komik/kartun, dll.). Oleh itu para penggiat budaya popular
di Malaysia juga harus diajak bekerjasama dan diminta ikut aktif dalam upaya-upaya
pengantarabangsaan bahasa Melayu. Pelaksanaan konkritnya tentu boleh
dipikirkan dan direka lebih lanjut oleh pihak-pihak yang berkenaan.

KESIMPULAN

Huraian di atas telah mendedahkan peranan yang telah dimainkan oleh bangsa
Belanda dalam pengantarabangsaan bahasa Melayu di Eropah. Rintisan yang
mereka buat sejak persentuhan mereka secara fizik dengan dunia Melayu di akhir
abad ke-16 berlangsung secara berterusan selama lebih dari 4 abad. Sepanjang
abad ke-19 hingga separuh pertama abad ke-20, Universiteit Leiden telah
memainkan peranan sebagai ‘think tank’ kolinialisme Belanda di Nusantara. Dunia
Melayu, sama ada bahasa, kebudayaan, masyarakat atau alamnya, menjadi subjek
yang penting yang diajarkan di Universiteit Leiden dalam upaya memahami kaum
bumiputera dan untuk mengekalkan hegemoni politik mereka di tanah jajajahan.
Dalam konteks ini kita dapat melihat bahwa pengantarabangsaan bahasa Melayu
oleh orang Belanda di zaman lampau ibarat dua sisi mata wang: di satu pihak upaya
ini menguntungkan bagi pemerkasaan bahasa Melayu di arena antarabangsa

22 Dalam pandangan saya, program lomba Pidato Antarabangsa Bahasa Melayu (PABM) yang diadakan
sejak 2007 (semula setiap tahun, tapi sekarang dua tahun sekali) ialah satu cara pengantarabangsaan
bahasa Melayu yang bagus dan mesti diteruskan. Namun, saya tidak tahu apakah Pemerintah Malaysia
sudah memanfaatkan para alumni program ini untuk memerkasakan pengantarabangsaan bahasa
Melayu di luar negara. Alangkah bagusnya apabila para alumni program ini membentuk jaringan
(network) yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Malaysia untuk menyebarluaskan bahasa Melayu
di negara masing-masing.

20

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

(Eropah), tapi di lain pihak ianya merupakan bagian dari upaya orang Eropah (dalam
konteks ini Belanda) dalam pempertahankan penjajahan mereka di dunia Melayu.

Keadaan berubah apabila Indonesia mengisytiharkan kemerdekaannya pada tahun
1945. Sepanjang separuh kedua abad ke-20 Universiteit Leiden memang masih
menjadi salah satu pusat terpenting dalam pengajian Melayu di Eropah dan di dunia,
tetapi pengajaran bahasa Melayu telah digantikan dengan pengajaran bahasa
Indonesia. Ini tentu membawa efek: tidak banyak lagi orang muda di Belanda/Eropah
yang boleh berbahasa Melayu. Usaha-usaha untuk membangkitkan kejayaan masa
lampau itu masih cuba dilakukan dengan penubuhan European Chair of Malay
Studies di Universiteit Leiden (IIAS) dan penubuhan Malaysian Resource Centre di
KITLV Leiden dalam tahun 1990an. Namun, upaya-upaya ini tidak berhasil
mengembalikan pengajaran bahasa Melayu ke jalur (track) semula di Universiteit
Leiden yang begitu berjaya pada masa-masa sebelumnya.

Kombinasi faktor-faktor dalaman (Eropah/Belanda) dan faktor-faktor luaran (negara-
negara rumpun Melayu sendiri) menjadi penyebab melemahnya upaya
pemerkasaan bahasa Melayu di arena antarabangsa. Dukungan pemerintah
terkesan tidak berterusan, dan hal ini barangkali disebabkan oleh ekonomi negara
yang turun naik sebagai akibat daripada krisis ekonomi global atau, yang lebih
mendasar lagi, oleh kemerosotan rasa bangga terhadap bahasa Melayu sendiri
sebagai akibat dari perubahan sosial budaya di dalam negeri sendiri yang
disebabkan oleh penembusan (penetrasi) budaya global yang tidak terbendung,
seperti antara lain dapat dikesan dari makin menguatnya kuasa bahasa Inggeris di
lidah orang-orang Melayu.

Menghadapi kenyataan yang berlaku sekarang, kita berharap Pemerintah Malaysia
menunjukkan komitmen yang kuat lagi, seperti semula, untuk menyokong
pemerkasaan bahasa Melayu di arena antarabangsa. Mengikuti perubahan zaman,
keupayaan untuk memperkasakan bahasa Melayu di arena antarabangsa itu mesti
lebih dipelbagaikan, termasuk melalui jalur budaya popular. Namun, jalur akademik
masih lagi penting, dan dalam konteks ini beberapa universiti di Eropah,
memandangkan peranan negara tempatan dalam pengantarabangsaan bahasa
Melayu di masa lampau, semestinya tetap diberi perhatian. Kerjasama-kerjasama
dan inisiatif mestilah lebih digerakkan oleh pihak kita (Malaysia) sendiri sekarang.

Malaysia sebagai salah satu ‘tiang utama’ penjaga marwah kebudayaan dan bangsa
Melayu di dunia harus sentiasa berada di garis depan dalam upaya-upaya
memperkasakan bahasa Melayu di arena antarabangsa, suatu upaya yang
sepaturnya mendapat sokongan berterusan dari Pemerintah yang melampaui
batasbatas kepentingan sebarang parti yang memegang tampuk kekuasaan di
negara ini.

BIBLIOGRAFI

Sumber online

https://issuu.com/iias/docs/iias_nl02_fullhttps://www.thestar.com.my/news/educatio
n/ 2004/11/07/promoting-malay-studies-abroad (akses pada 3 Mei 2022).
https://www.iias.asia/alumni-southeast-asia (akses pada 3 Mei 2022).
https://www.iias.asia/profile/mashudi-kader (akses pada 4 Mei 2022).
https://www.iias.asia/profile/md-salleh-yaapar (akses pada 4 Mei 2022).

21

Sumbangan Belanda dalam Pengantarabangsaan Bahasa Melayu di Eropah

http://www. insideindonesia.org/kitlv-reading-room-gone-collection-remains (akses
pada 14 Mei 2022). https://theconversation.com/debat-kusir-bahasa-resmi-kedua-
asean-tidak-relevandan-mengancam-ribuan-bahasa-daerah-lain-di-asia-tenggara-
181064 (akses pada 13 Mei 2022).
https://www.iseas.edu.sg/media/commentaries/a-futile-call-making-bahasa-
melayuaseans-official-language-by-tang-siew-mun/ (akses pada 13 Mei 2022).
https://www.malaymail.com/news/malaysia/2017/11/25/rais-yatim-bahasa-
melayushould-be-made-official-language-of-asean/1518509 (akses pada 13 Mei
2022). https://www.malaysiakini.com/news/403334 (akses pada 13 Mei 2022)
https://www.themalaysianinsight.com/bahasa/s/24529) (akses pada 13 Mei 2022)

Buku/Artikel/Jurnal/Berkala

Blonk, A, 1938. Cornelis de Houtman en het begin onzer zeevaart op Indië (1565-
1599). Rijswijk: V.A. Kramers.

Davis, John, 1880. “The Voyage of Captaine John Davis to the Easterne India, Pilot
in a Dutch Ship; Written by Himselfe”. Dalam: Albert Hastings Markham (Ed.),The
Voyages and Works of John Davis, hlm.129-156. London: The Hakluyt Society.

Dijkstra, A., 1883. Populair Maleische taalgids; praktisch leerboek voor allen die naar
Indië gaan en in eenige werken het conversatie-Maleisch willen leren.

Rotterdam: J.H. Dunk.
Drewes, G.W.J., 1972. “De invloed van de Atjehse omgeving op het Maleise spraeck

ende Woordenboek van Frederick de Houtman”, Indië”, Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde 128:4: 447-457.
Fasseur, C., 1989. “Leiden and empire: University and colonial office 1825-1925”.
Dalam: Willem Otterspeer (ed.), Leiden Oriental connections 1850-1940, hlm.
187-203.
Leiden [etc.]: E. J. Brill., 1994. De indologen: ambtenaren voor de Oost 1825-1950.
Amsterdam: Uitgeverij Bert Bakker (2e ed.).
Gonda, J., 1938. “Pigafetta’s vocabularium van het “Molukken-Maleisch”, Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 97:1: 101-124.
Gonggrijp, G. P. H. H., 1874. Verzameling van bepalingen omtrent de
benoembaarheid en examens van ambtenaren voor de burgerlijke dienst in
Nederlasch-Indië voor en de voordeelen en verplichtingen aan hunne uitzending
uit Nederlands verbonden, bijeengebragt en in behoorlijke orde gerangschikt.
Batavia: H.M. van Dorp & Co.; ’s Hage: De Erven Thierry & Mensing, C. Van Doorn
& Zoon.,1876. Maleisch leesboek voor eerstbeginnenden en meergevorderden.
Leiden: Gualth Kolff. (Achtste stukje).
Hj Musa, Hashim bin, 2008. “Pemerkasaan bahasa Melayu di arena antarabangsa
demi kemajuan negara bangsa Malaysia di persona dunia.” Dalam: Prosiding
Persidangan Bahasa Melayu dalam Perspektif Antarabangsa Tahun 2008:
Pemerkasaan Bahasa Melayu dalam Arena Antarabangsa, hlm.107-138. Subang:
IPGM Kampus Bahasa Melayu, Bahagian Pendidikan Guru, Kementerian
Pelajaran Malaysia (18-20 November 2008).
Hollander, J.J. de, 1857. Maleisch leesboek voor eerstbeginnenden en
meergevorderden. Leyden: E.J. Brill. (Vijfde stukje).
Houtman, Frederick de, 1603. Spraeck ende word-boeck in de Maleysche ende
Madagaskarsche talen, met vele Arabische ende Turcsche woorden. – noch de
Declinatien van vele vaste sterren, staende omtrent den Zuyd-pool.Amstelredam:
J. Ez. Kloppenburch.
Houtman, Frederick de, 1614. Dialogves in the English and Malaiane langvages; or
certaine common formes of speech, first written in Latin, Malaian and Madagascar
tongue. (Penterjemah: Gotardvs Arthvsivs dan Avgvstine Spalding). London: Felix
Kyngston.

22

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

Houtman, Frederick de, 1680. Dictionarium, ofte Woord en spraeck-boeck, in de
Duytsche en Maleysche tale, met verscheyde t’samen-spreeckingen, in ’t Duytsch
en Maleysch, aengaende de schipvaert allerleye koopmanschap.

Amsterdam: Paulus Matthysz.
IIAS, 1993. IIS Newsletter No. 1 (Opening Special)/Autumn 1993.
1994. IIAS Newsletter No. 2/Spring dan No.3/Autumn1994.
1996. IIAS Newsletter No.8/Spring dan No.10/Autumn 1996.
Fuller, Andy, 2014. “KITLV reading room gone, collection remains”, Inside Indonesia,

November 2014 (http://www. insideindonesia.org/kitlv-reading-room-gone-
collection-remains.
Leupe, P.A., 1880. “Cornelis de Houtman’s Tweede Reis naar Indië”, Bijdragen tot
de Taal-, Land- en Volkenkunde 28:1(1880): 527-534.
Lodewycksz, Willem, [ca.1913]. De eerste schipvaart der Nederlanders naar Oost-
Indië onder Cornelis de Houtman, 1595-1597. Amsterdam: Druk de Bussy.
Lombard, Denis, 1970. Le “Spraeck ende Woord-boek” de Frederick de Houtman;
Première méthode de malais parlé (fin du XVIIe s.), berkolaborasi dengan
Winarsih Arifin dan Minnie Wibisono. Paris: École Française d’Extrême– Orient.
Mahayana, Maman S., 2022. “Bahasa resmi ASEAN”, Kompas, Senin 25 April
2022. Meij, Dick van der, 1994. “Muhammad Haji Salleh: ‘Europe is deconstructing
its scholarly tradition’”, IIAS Newsletter No. 2/Spring,1994:19.
1996. “Interview with librarian Roger Tol. The New Malaysian Resource Centre”, IIAS
Newsletter No.8/Spring,1996:27.
Meursinge, A., 1842. Malesich leesboek voor eerstbeginnenden en
meergevoorderden. Leyden: S. en J. Luchtmans. (Eerste stukje). , 1847. Maleisch
voor eerstbeginnenden en meergevorderden. Leiden: S. en J. Lutchmans. (Derde
stukje).
Mitrasing, Ingrid Saroda, 2011. ‘The age of Aceh and the evolution of kinship 1599-
1641’. [Disertasi Universiteit Leiden].
Musa, Hashim bin, 1999. A brief survey on the study of the Malay sastera kitab on
Malay Islamic thought. Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Melayu, Universiti
Malaya.
Nimpoeno, Raden S., 1941. Orang-Kapal (De Schepeling): Maleis leerboek voor de
bemanning van Zee- en Luchtvaart. Deventer: Uitgeverij W. van Hoeve. Nyenhuis,
J.T. Bodel (Mr.), 1834. Over het leven en de letterkundige verdiensten van
Frederick de Houtman. Dordrecht : Blussé en Van Braam.
Otterspeer, Willem (ed.), 1989. Leiden Oriental connections 1850-1940. Leiden [etc.]:
E. J. Brill.
Pigafetta, Antonio,1525. Relazione de primo viaggio intorno al mondo. Roma: tanpa
penerbit.
Poeze, Harry A. 2008. Di negeri penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda
16001950. Jakarta: KPG dan KITLV-Jakarta.
Silahudin, Shafa’attusara, 2021. ‘Malay singing in Pahang villages: identity and
practice.’ [Disertasi PhD Leiden University].
Suratminto, Lilie, 2012. “Understanding the ninth conversation in the dictionary of
Frederick de Houtman (1603) through comparative approach between ancient
Dutch and Malay and modern Dutch and Malay.” Dalam: Irmayanti Moeliono (ed.),
Prosiding the 4th international conference on Indonesian studies unity, diversity
and future, hlm. 529-541. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia.
Setiawan, Billy Nathan, 2022. “Debat kusir ‘bahasa resmi kedua’ ASEAN: tidak
relevan dan mengancam ribuan bahasa daerah lain di Asia Tenggara’, The
Conversation, 14 April 2022 (https://theconversation.com/debat-kusir-
bahasaresmi-kedua-asean-tidak-relevan-dan-mengancam-ribuan-bahasa-
daerah-laindi-asia-tenggara-181064).

23

Sumbangan Belanda dalam Pengantarabangsaan Bahasa Melayu di Eropah

Suryadi, 2015. “A linguistic kaleidoscope of Malay letter: the case of eighteenth
century Malay letters from the Sultanate of Buton”, Wacana 16:2 (2015): 304-338.

Suryadi, 2017. “Dinamik pengajian Melayu-Nusantara di Belanda: dulu, kini, dan
masa hadapan”. [Makalah untuk syarahan umum di Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kuala Lumpur, 6 Januari 2017].

Tang Siew Mun, 2017. “A Fulatile Call: Making Bahasa Melayu ASEAN’s Official
Languages”, Fulcrum: Analysis of Southeast Asia, 31 July 2017

(https://www.iseas.edu.sg/media/commentaries/a-futile-call-making-bahasa-
melayu-aseans-official-language-by-tang-siew-mun/).

Teeuw, A., 1978. “Pertumbuhan bahasa Melayu menjadi bahasa dunia.” [Pidato
Syarahan Tun Sri Lanang, Kuala Lumpur, 7 November 1987]. Tuuk, H.N. van der,
1866. Maleisch leesboek voor eerstbeginnenden en meergevorderden. Leiden:
E.J. Brill (Zesde stukje).

Valentijn, François, 1724-1726. Van oud en nieuw Oost-Indiën, Vol. 2. Amsterdam –
Doordrecht: Van Braam (8 vols.).

Vermeer, H.J., 1920. Selamat Djalan: Populaire Handleiding voor de Maleisch Taal
in de Praktijk, met Voorwoord van Baginda Dahlan Abdoellah. ’s-Gravenhage:
Zuid Hollandsche Boek- en Handelsdrukkerij.

Vorstman, M.A.G. dkk., 1880. Kort verhael vant’ gene wederuaren is Frederick de
Houtman tot Atchein, enz. Gounda: G.B. van Goor Zonnen.

24

Simposium Pengantarabangsan Bahasa Melayu
22-24 Mei 2022/Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur

PERJUANGAN MEMARTABATKAN WARISAN BAHASA MELAYU SEBAGAI
TUNJANG PERADABAN MELAYU

Tan Sri Profesor Datuk Wira Dr. Abdul Latiff Abu Bakar 1
Dunia Melayu Dunia Islam
Malaysia

PENGENALAN

Dalam usaha kita mewarisi budaya yang tinggi dalam peradaban Melayu, bangsa
Melayu yang terdiri daripada pelbagai suku bangsa (etnik) mewarnai peradaban
bangsa Melayu di rumpun Melayu, di bumi Nusantara. Bahasa Melayu merupakan
bahasa pengantara dalam berkomunikasi dan menjadi bahasa perdagangan, serta
bahasa rasmi pemerintahan, bahasa ilmu dan pendidikan di rumpun Melayu.

Sejak zaman pemerintahan Empayar Kesultanan Melayu Melaka, sesiapa yang
datang ke rumpun Melayu perlu menggunakan bahasa Melayu sebagai alat
perhubungan dan menjadi bahasa antarabangsa serta bahasa peradaban Melayu.
Kekuatan bahasa Melayu ini dapat disesuaikan dengan mengambil istilah daripada
bahasa Arab, Inggeris, India, Portugis, Parsi dan sebagainya. Bahasa Melayu tulisan
Jawi telah menjadi tulisan rasmi kepada pemerintahan di rumpun Melayu, diikuti
dengan bahasa Inggeris dan Belanda apabila mereka berpengaruh dalam sistem
pentadbiran tempatan terutamanya di Persekutuan Tanah Melayu, Indonesia,
Singapura dan Brunei. Namun begitu, bahasa Melayu tetap dan berterusan
menggunakan tulisan Jawi dan rumi sebagai tulisan yang menggambarkan jati diri
bangsa Melayu.

Sejak Gabungan Persatuan Penulis Nasional Malaysia yang dikenali sebagai
GAPENA pada tahun 1971, di bawah kepimpinan Tan Sri Profesor Emeritus Ismail
Hussein hingga tahun 2012 dan diikuti oleh Tan Sri Profesor Datuk Wira Dr. Abdul
Latiff Abu Bakar (2012 ‒ 2016), GAPENA telah memainkan peranan penting dan
menjadi pakar rujuk dan panduan dalam usaha memartabatkan bahasa, budaya dan
warisan bangsa Melayu yang berbudaya tinggi yang menjadi teras kepada peradaban
Melayu sebagai teras peradaban Malaysia. Hal ini selaras dengan hakikat sejarah dan
peruntukan Perlembagaan Malaysia yang menjadikan negara Malaysia sebagai
negara yang mengamalkan pemerintahan demokrasi berteraskan sejarah dan raja
berperlembagaan.

Hal ini bermakna pemerintahan Malaysia amat menghargai hakikat rakyat Malaysia
yang terdiri daripada pelbagai kaum dengan mengekalkan hak asasi berbilang bangsa
dan bebas mengamalkan warisan masing-masing. Namun begitu, Perlembagaan
Persekutuan tetap mengakui dan menjelaskan hak ketuanan Melayu sebagai teras
utama dengan memperuntukkan dan menghormati institusi Raja-raja Melayu yang
memimpin dan mewarisi peradaban Melayu dan agama Islam serta bahasa dan
warisan bangsa Melayu dilindungi dan dijamin dalam Perlembagaan Persekutuan

1 Tan Sri Prof. Datuk Wira Dr. Abdul Latiff Abu Bakar ialah Pengerusi Sosio-Budaya Warisan,
Dunia Melayu Dunia Islam


Click to View FlipBook Version