MAHLIGAI
SKANDAL
BAB 1
Saat-saat menyenangkan adalah ketika kita selalu punya
waktu bercanda dan bercengkrama dengan orang-orang
terdekat, apalagi mereka adalah sahabat-sahabat
seperjuangan, sama-sama merantau di negeri orang.
Namun, itu harus terhenti sejenak oleh sebab sesuatu
dan lain hal. Perihal, Aini mendapat telphone dari
papanya Rafli Syahbandar tadi pagi, dan memintanya
untuk segera kembali. Rafli mengabari anak Aini
bahwasanya, Meylani akan segera menikah dua hari
mendatang. Khabar itu sedikit membuat Aini terkejut. Ia
tidak menyangka ternyata Meylani telah berhasil
meluluhkan hati ayahnya Rafli. Padahal, seminggu yang
lalu ia masih mendengar cerita Asril adik laki-lakinya,
kalau papa tidak akan pernah menerima Halim
dikeluarga Syahbandar. Sungguh tidak ada satu pun yang
bisa menentang takdirnya Allah. terlebih masalah jodoh,
itu sudah diatur sedemikian rupa.
Hari ini, Aini memutuskan untuk bertemu dengan Sonya
sahabatnya. Anggraini sudah mengirim chat pada Sonya
agar menunggu di kantin kampus fakultas Hukum
Sumatera, tempat dirinya menempuh pendidikan jenjang
S2.
Sebelum bertemu Sonya, Aini mampir ke Birokrasi
kemahasiswaan untuk menyerahkan surat cuti selama
dirinya di kampung halaman nanti. Aini juga sudah
menyiapkan beberapa tugas kuliah yang diberikan
dosennya dua hari yang lalu. Gadis itu terkenal rajin di
antara teman-temannya yang lain. Ia selalu tampil
terdepan bila ada tugas yang diberikan dosen
bersangkutan. Aini hanya berpedoman pada teori
harapan, bahwa pencapaian itu adalah sebuah harapan.
Ia jauh-jauh dari Aceh ke Medan untuk menggapai
sebuah harapan yaitu meraih gelar Master Hukum.
Aini berjalan menyusuri koridor kampus menuju kantin
yang tidak terlalu jauh dari birokrasi. Mengingat waktu
yang sedikit mengendor, tidak sesuai dengan janjinya
pada Sonya. Alhasil, Sonya terus-menerus
menghubunginya, dan bertanya “Jadi apa tidak?” Aini
mempercepat langkahnya agar segera sampai di kantin.
“Sori, Son. Gua ke Biro dulu, ngasih surat cuti,” kata
Anggraini dengan nada ngos-ngosan akibat sedikit berlari
untuk sampai di kantin.
“Ah, ellu, sibuknya ngalahin buk Ratna tau, gak?” balas
Sonya santai, namun nyindir. Memang sih, teman-teman
Aini sering menbandingkan dirinya dengan Buk Ratna
dosen fakultas S2 bidang ilmu komunikasi publik, dan
beliau mengajar disemua jurusan S2 yang ada di
Universitas tersebut.
“Lu bisa aja, Son. Gua kesayangannya, lu gak iri, kan?”
tukas Aini gak kalah seloroh. Sonya mengerut kening,
dalam hati sejak kapan Anggraini tertawa selepas ini.
“Iri kali pun. Secara, buk Ratna kan tomboy, mana tau... “
“Sonya.. udah, gak usah ngaur pagi-pagi ya, mending lu
nambah baksonya, lumayan, kan?” Aini memotong kata-
kata Sonya karena dianggapnya tidak pantas. Pasalnya
mereka tidak berdua di kantin itu, kalau sempat ada yang
menguping, bisa timbul fitnah, kan?
“Ya, lah. Dari pada bonyok. Terus, serius nih, mau balik?”
kata Sonya mengalihkan topik. Mulutnya tak henti
mengunyah makanan yang tersedia di depannya, dari
semenjak ia tiba sampai Aini muncul menyuruhnya
nambah lagi. Sonya Felida, gadis manis berambut ikal
bermarga Nenggolan. Kuliah satu angkatan dengan Aini
membuat keduanya akrab dan saling melengkapi. Aini
yangbsedikit memiliki kepintaran di atas rata-rata sering
menjadi sandaran Sonya untuk menyelesaikan tugas
kuliah yang diberikan dosen mereka.
Anggraini menyeruput minuman yang baru saja diantar
abang kantin, sebelum menjawab pertanyaan Sonya. Ia
tidak berniat untuk menceritakan tujuannya balik ke
kampung, bila Sonya tidak bertanya. Tapi, Aini gak yakin
Sonya akan diam saja. Secara cewek itu punya kebiasaan
kepo yang sudah akut. Mau diapain juga tetap aja
keponya kebangetan
“Emm.. serius sih. Kalau gak ada halangan. Insyaa Allah,
penerbangan pagi.” Terangnya santai. Aini menghela
nafas berat ketika mengingat Meylan telah
melangkahinya tanpa mempertimbangkan perasaannya.
Anggraini rela dilangkahi adiknya meskipun ia harus
menanggung sedikit rasa malu, karena seharusnya kakak
duluan lah yang harus menikah menurut adat istiadat
keluarga Syahbandar. Namun, apa hendak dikata.
Kerasnya ancaman Meylan membuat orang tuanya luluh
walaupun itu sangat terpaksa.
“Emang, mendadak banget. Lu mau dijodohin?” tambah
Sonya lagi. Secara tidak langsung gadis itu berusaha
memancing Aini untuk bercerita. Aini tau maksud Sonya.
Dia membiarkan Sonya menunggu penjelasannya.
“Jodoh, dari mana ... Hongkong? Lu pikir gua Siti
Nurbaya?” elak Aini mengidik bahu. Sonya tergelak
mendengar nada Aini seperti orang kebakaran jenggot.
“Iya, kali aja lu penerus Siti Nurbaya. lu kan pernah
bilang? Kalau bokap lu bakalan ngejodohin kalian anak-
anaknya dengan sesama Bangsawan. Lu gak lupa itu, kan
Ain?” Sonya terus menerus mengait-ngaitkan tentang
jodoh, membuat Aini gerah. Sonya tidak tau lagi harus
bagaimana supaya Aini mau bercerita sedikit soal
kepulangannya yang menurutnya sangat mendadak.
“Gak.” Jawab Aini singkat. Gadis itu terus mengunyah
bulatan bakso dalam mulutnya tanpa melihat wajah
Sonya. Ia tau, kalau sebenarnnya Sonya sedang berusaha
mengorek informasi tentang rencana kepulangannya
“Terus,” sambung Sonya lagi tak perduli Aini bakalan
marah diintrogasi seperti itu
“Adik gua. Meylan nikah besok lusa,” Aini menjeda
sejenak lalu menyerup air mineral dalam botol sampai
habis. Sonya memicing pada wajah Aini, menunggu
lanjutan cerita. Aini masih diam sambil memperbaiki
posisi kerudungnya yang sedikit rusak akibat terpaan
angin. Sifat datarnya sering kali membuat Sonya gerem,
apalagi sedang berbicara, paling lama menjawab seolah
otaknya sedang kosong kata-kata.
“Meylan tidak nikah dengan Teuku. Malah dia dilamar
sama pria biasa. Memang awalnya papaku menolak. Tapi
... “
“Tapi kenapa?” potong Sonya cepat, gadis itu semakin
penasaran.
“Kepo banget sih, lu?” Sanggah Aini tanpa melanjutkan
ceritanya. Ia menganggkat tangan memanggil abang-
abang kantin, dan mengabaikan Sonya. Sonya menaut
kedua alisnya, hampir setiap hari gadis itu dibuat
penasaran sama Aini yang suka menggantungkan info
apa pun.
“Hitung, Bang." kata Aini pada pemilik kantin.
“Hey? Kita belum selesai. Lu harus tuntasin dulu cerita,
baru lu boleh pergi? Lu gak mau kan, liat gua mati
penasaran?” rengek Sonya seperti wanita meminta
kepastian pada kekasihnya.
Setelah membayar semua makanan, Aini bangkit diikuti
Sonya mengimbangi langkahnya.
“Papa gua gak pernah setuju Meylan nikah dengan
Halim, kekasihnya. Tapi, Meylan mengancam papaku,
Son. Gua juga kurang tau, apa bentuk ancaman itu.
Lagian, kasihan juga Meylan. Sudah bastreet selama tiga
tahun.” Papar Aini detail. Bicara sambil jalan membuat
Sonya kesusahan membaca ekspresi Aini.
“Emang, lu gak masalah keduluan?” tutur Sonya lagi. Aini
menghentikan langkahnya tiba-tiba. Ia menatap Sonya
sendu, ada kekecewaan di lubuk hatinya yang dalam.
Namun, ia juga tidak mau mempermasalahkan keadaan
sekarang, karena menurutnya jalan hidup seseorang
sudah ada yang ngatur, termasuk pernikahan Meylan, itu
tidak terlepas dari pantauan Allah. Apa aku harus
kecewa? sementara pernikahan Meylan saja terpaksa.
Lebih baik tidak menikah dari pada hidup dibawah
tekanan. Aku yakin, Meylan akan dikucilkan dari keluarga
Syahbandar. Semua hanya sia-sia. Biarlah waktu yang
menentukan perkara jodoh dan pernikahan, serta embel-
embel itu. Aku capek, memikirkan keluarga setiap hari
disibukkan dengan silsilah dan adat turun temurun.
“Masalah sih, enggak. Kecewa sih, sedikit. Tapi, bukan
kah itu suatu hal yang lumrah. Toh, jodoh kan sudah
diatur?” tutur Aini menepis semua sisi sakit dalam
hatinya. Sonya mangut-mangut mendengar setiap
penjelasan sahabatnya. Ia takjub dengan pendirian Aini,
tidak mau dekat dengan pria manapun dari pada ujung-
ujungnya engga dapat restu.
Huf! Rumit banget peraturan keluarga lu, Ain.
“Lumrah sih? Akan lebih lumrah lagi, kalau lu bisa terima
Victor. Kasian tuh, jungkir balik.” Canda Sonya menyeret
topik ketika dilihatnya mata Aini berkaca.
“Paan, sih. Gak lucu tauk,” Aini mengulum senyum
menahan gelitik dalam hatinya.
“Cii ... cii.. benaran kan? Lu senang..”
“Lah. Siapa yang senang, biasa aja kali’. Udah ah. Gua
balik dulu. Mau nyari oleh-oleh buat nyokap.” Protes Aini
malu-malu. Sonya pun terbahak-bahak. Sepertinya hari
ini ia berhasil mengorek sahabatnya sekaligus membuat
pipi Aini merona.
“Yo wes. Sori yah. Gua ada kelas gak bisa nemenin lu
belanja,” Sonya memeluk sejenak tubuh Aini. Keduanya
berpisah di taman kampus. Aini mengambil jalur kiri jalan
menuju gerbang kampus, sementara Sonya menuju
gedung c tempat dirinya belajar. Namun sebelum
menjauh, Sonya memanggil Aini kembali
“Ain.. hati-hati ya? Barakallah, buat Meylan!!” teriaknya
dari jarak dekat. Aini tersenyum bahagia melihat Sonya
selalu perduli pada dirinya. Aini menyetop angkutan kota
untuk sampai di mall. Ia hendak berbelanja oleh-oleh
untuk keluarganya. Oleh-oleh khas Medan palingan bika
ambon, tapi papanya tidak suka memakan makanan
manis-manis, jadinya Aini bingung, akhirnya berinisiatif
mencari pakaian sholat saja. Lebih bermanfaat dan yang
pasti, papanya senang.
Hiruk pikuk kota berjulukan Andalas tidak pernah
berhenti. Wara-wiri aktivitas jalan raya dari terbit
matahari sampai terbenam keufuk barat. Aini berkeliling
mall mencari oleh-oleh untuk kedua orang tuanya,
namun tak jua dapat apa yang diinginkannya.
Sebenarnya bukan tidak dapat sihgalau harus beli apa, itu
lebih tepatnya.
Menyusuri koridor mall terbesar di kota Medan
membuat Aini kelehan berjalan, apalagi gadis itu tidak
ditemani oleh siapa pun. Aini menjatuhkan pilihan pada
seperangkat alat sholat beserta style busana Timur
tengah sebagai hadiah istimewa untuk orang yang
teristimewa.
"Terimakasih, kak Aini ... senang berkenalan dengan
kakak, lain kali kalau berbelanja ingat toko kami, ya?"
ucap pelayan toko tempat Aini membeli oleh-olehnya.
Wanita itu tersenyum ramah dan memberikan
belanjaannya.
"Sama-sama, Kak? yok, mari.." balas Aini tak kalah
ramah. Gadis itu bergegas pergi dari keramaian karena
hari hampir menjelang sore. Memburu waktu agar tidak
terjebak kemacetan, Aini memesan ojek online untuk
inisiatif cepat sampai di rumah.
BAB 2
Mengingatmu adalah kesalahan, apalagi menggantung
asa yang terlihat kerdil dari jauh. Dunia kita berbeda
bukan karena harta dan kasta. Tapi, kita tidak diciptakan
dari satu garis keturunan. Hidupku miris, maka
kugantung rasa ini di ubun-ubun keputus asaan
Sebuah coretan ia gores di atas selembar memo lalu ia
tempelkan pada mading pengingat berwarna pink. Gadis
itu tersenyum miris, menatap sebentuk wajah dibalik
cermin besar di samping ranjangnya.
"Ayah, Aini sudah tidak remaja lagi," gumannya pasrah.
Kemudian ia hendak merebahkan tubuhnya yang terasa
lelah, tiba-tiba suara ketekun pintu membuatnya
mengurungkan niat dan menoleh ke arah pintu. Aini
melirik jam backer di atas meja kecilnya sudah
menunjukkan 10 malam. Tidak segera membuka pintu
itu, Aini meraih cardigan di cantolan baju lalu mencoba
mengintip lewat jendela dengan menyembunyikan wajah
dari balik tirai. "Victor? ngapain malam-malam."
gumannya, Ia heran. Ternyata Victor mengunjungi kos-
kosannya. Aini bersandar sejenak dibalik pintu sekedar
menormalkan detak jantungnya.
"Permisi, Aini?" deg. Suara Victor serasa menghentak
jantungnya. Aini menarik nafas lalu menghembus
perlahan.
Krak.
perempuan itu membuka pintu perlahan, dan
menampakan pria gagah dan tampan berdiri
mengantungi kedua tangannya, tersenyum penuh
pesona.
"Hai, sori. Aku ngangu, ya?" ucapnya memicing pada
wajah Aini. Wanita itu mengulum senyum hingga
terpancar aura keanggunannya membuat Victor menelan
ludah. Pria itu kian tersiksa menahan rasa yang terus
bergelora iingin memiliki Aini.
"Ada yang penting? kok malam-malam," kata Aini
melebar senyumnya, ia menatap Victor lembut, seakan
ingin mengucapkan satu kata, "Kamu tampan, Vic"
namun itu tidak mungkin terjadi, karena mereka masih
berada dalam zona sahabat.
Victor berdiri memperhatikan kecantikan Aini secara
natural, tanpa polesan. Gadis itu kikuk terus dipandang
begitu sampai akhirnya dia menawari Victor masuk.
"Em, Vic. Mau masuk atau di luar aja?" Aini membuka
lebar-lebar pintu kos-kosannya, memberi akses untuk
Victor masuk.
Victor mengangguk senang dengan bola mata berbinar.
Pria itu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang
sudah lama ia nanti-nantikan bertamu ke rumah Aini.
Senyumnya sembringah, dan segera berhambur ke
dalam, lalu duduk di sebuah sofa tua tanpa menunggu
perintah yang punya rumah. Sofa tua yang sengaja
ditaruh di ruang tamu oleh pemilik kosan, tujuannya agar
setiap tamu yang datang tidak duduk dilantai atau masuk
ke dalam kamar.
"Kamu sendiri? Ain," tanya Victor basa-basi. Pria itu
kehabisan stok kata saking bahagianya bisa menatap Aini
lebih dekat.
"Keluargaku, semua di Aceh, Vic. Jadi aku sendiri di sini,"
jawab Aini santai. Wanita itu berusaha tenang meskipun
jantungnya terus megaduh dan sikap cueknya mampu
meredam semua respon melalui gasture tubuhnya yang
terlihat malu-malu.
"Emm,, khabarnya kamu mau balik besok? kok
mendadak amat sih, urgent?" Victor menyeringai di
depan Aini. Mereka duduk bersebelahan di sofa yang
terpisah. Pria itu tidak menyurutkan tatapan memuja
pada kecantikan Aini, pada hal wanita itu tidak dalam
polesan. Namun, aura bersinar ayu khas wanita
bangsawan terlihat kentara.
"Kata siapa?" canda Aini memancing Victor. Ia menyilang
kaki panjangnya mencari posisi lebih santai, seraya
merapatkan kardigan agar tertutup bagian dadanya.
Victor sempat menyuri dengan lirikan matanya pada
bagian itu sebelum Aini menutupnya. Pria tampan itu
menelan ludah menyaksikan kulit putih bersih ter-ekspos
dari leher jenjang Aini. Dada pria itu bergemuruh
menahan hasrat kelelakiannya.
"Yeah, tadi sore, aku gak sengaja ketemu Sonya. Katanya
kamu mau balik ke Aceh," cicit Victor sambil menunduk
menggosok-gosok pahanya untuk sekedar menormalkan
detak jantungnya.
Aini memperhatikan gelagat laki-laki yang namanya kini
bersemayam dalam hati, bertahta tak tentu arah.
Mengingat segala pantangan dalam hidupnya membuat
Aini diam tak mengindahkan apa pun tentang perasaan
bahkan cinta sekalipun. Berat dijinjingnya, jika rasa itu
berpadu dan ujung-ujungnya hanyalah kefanaan yang
diterimanya. Kisah penentang dalam keluarganya
semakin membuat Aini terseret dalam kesingglelan
bahkan diusia sekarang yang tidak terbilang remaja lagi.
Aini tersenyum tipis, dan itu semakin melipat gandakan
pesonanya bagi Victor. Pria itu berusaha mengumpulkan
keberanian untuk mengungkapkan keresahan yang
selama ini menggangu hari-harinya, maksud
kedatangannya malam ini ke kediaman Aini adalah ingin
menyampaikan rasa yang bersemayam dalam hati.
Namun, lidahnya terasa kelu untuk berucap.
"Emm, Ain.." katanya tercekat, dan Aini memicing mata
bingung. Gadis itu menaut alis melihat tidak biasanya
Victor bersikap se-nerves ini.
"Aku ... aku ... anu, apa kamu mau makan malam
denganku malam ini," gagap Vicktor mengalihkan
maksud dari ucapannya. Sebenarnya pria itu ingin
menembak Aini, namun serasa berat, dan Aini juga ikut
heran, ada apa dengan Victor malam ini. Tidak ada angin
tidak ada hujan, Pria itu terlihat sangat gugup, pada hal
Aini mengenal Victor seorang pria gentle selama ini.
Waduh. gimana ini? dia gak salah, ngajak makan malam,
ini kan sudah jam 11. huuf! jadi kedatangan dia kemari
nawarin itu? tapi kenapa selarut ini? dalam benaknya
"Ain..." panggil Victor lembut, dan menyadarkan Aini dari
lamunan,
"Gimana?" tambah Victor mengharap jawaban Aini.
Gadis berdarah Aceh itu menarik nafas panjang dan
menghembus perlahan,
"Vic, ini uda larut Banget, lain kali, ya?" jawab Aini
bernada berat, namun lugas. Seketika senyum diwajah
Victor surut berubah masam. Ia bingung harus memulai
dari mana, ruangan itu terasa sesak untuknya menghirup
oxsigen. Apakah separah itu? hingga rongganya menjadi
sempit, gara-gara getaran benih cinta yang kian tumbuh
di hatinya?
"Oke, lain kali," ucap Victor putus asa. Ia tersenyum miris
karena misinya tidak tercapai.
Sejenak kesenyapan menyelimuti keduanya, hanya
terdengar deru nafas, dan sesekali Victor berdehem
akibat kerongkongannya terasa kering. Aini
memperhatikan Victor gersah-gersuh tidak tenang. Dara
manis itu bangkit masuk ke kamarnya mengambil segelas
air putih lalu memberikan pada Victor
"Minum dulu, Vic. Di sini hawanya panas, pasti kamu
haus," kata Aini sambil menyodorkan segelas air putih
itu, dan diterima dengan senyum sembringah oleh Victor.
Entah haus, atau memang tubuh Victor kekeringan akibat
lelah menenej rasa yang mendera
Aini hendak berbalik untuk duduk kembali, namun Victor
menangkap secepat kilat tangan lembut itu membuat
langkah Aini terhenti dan perlahan menghadap laki-laki
itu. Victor bangkit tanpa melepas tangan Aini dalam
genggamannya. Mata indah itu melirik di mana
tangannya sedang dielus lembut. Sekilas, lalu kembali
menatap wajah tampan yang ditumbuhi bulu halus
tersisir rapi membentuk jambang hingga kebawah dagu.
Sejenak mata keduanya saling bertabrakan, berkedip
tanpa ada isyarat di sana.
Lama saling menatap, akhirnya Victor memberanikan diri
menggerakkan bibirnya, "I lave you, Ain. Aku cinta kamu,
please i need you, sekarang, selamanya," Victor
memantapkan ucapanya tanpa memikirkan respon dari
Aini. Gadis itu membeku merasakan gemuruh dalam
dadanya. Hawa tubuh mugilnya dingin, diiringi kelenjar
aneh mengalir memadati aliran darahnya.
Victor kian mengeratkan genggaman tangannya,
menyalurkan sejuta rasa yang sedang bergejelok, dan
sulit ia kendalikan saat ini. Perlahan, laki-laki itu
mendekatkan wajahnya ke wajah Aini, kian dekat dan
hanya bersisa satu inci. Victor mengunci tatapannya pada
bibir basah merah merekah itu, sementara Aini hanya
diam seakan kokosongan melingkupi hati dan fikirannya.
Semenit kemudian, sebuah kecupan mendarat tepat
dibelahan kelopak mawar nan indah berseri. Lama Victor
menempel bibirnya di bibir Aini, dan dirasa gadis itu tidak
menolak? akhirnya Victor mulai memungut pelan bibir
ranum itu. Masih dalam keadaan membeku, Aini seperti
telah hilang kesadaran, ia membiarkan Victor melumat
bibirnya penuh gairah, bahkan gadis itu mencoba
membuka mulut memberi akses untuk laki-laki yang
dicintainya dalam diam selama ini.
Emm...
Sebuah desah lolos dari mulut Victor membuat keduanya
kian terbuai oleh kenikmatan saliva masing-masing. Pria
tegap itu semakin mabuk meraup bibir lembut itu,
tangannya pun mulai bergerak mencengkram leher dan
tekuk Aini. Wanita itu memejam mata merasakan
sentuhan Victor mengelus pungung, leher hingga
pinggang rampingnya.
Desahan kian membahana dalam ruangan 2 meter
persegi yang di tempati oleh Aini. Waktu terus bergulir
menjemput kepakatan malam. Namun, dua insan yang
dilanda asmara belum menyadari keterbatasan waktu
antara meraka. desis suara lumatan terus berirama
seiring jarum jam berdetak. Kisah yang terpendam, telah
lama menyiksa dua hati saling mengangumi. Kini, semua
tersalur hanya dalam waktu singkat menuju penyatuan,
saling berbagi saliva.
Victor mendekap erat tubuh mungil yang dirinduinya
akhir-akhir ini, tanpa melepas lumatan liarnya. Aini mulai
terengah, karena pasokan oxigen mulai habis. Ia
menepuk dada bidang itu agar berhenti menyedot
lidahnya yang terasa perih.
Saling menatap, tanpa kata. Victor mengelus lembut
sudut bibir Aini dengan ibu jarinya yang terlihat bengkak
akibat perbuatannya. Menangkup lagi wajah ayu itu,
Victor memuja dengan pandangan sayu berkabut gairah,
kemudian membawa tubuh kurus itu dalam dekapannya.
Terdengar degupan jantung masing-masing bersamaan
dengan nafas tersengal.
Malam kian menua mengantar gelap pada kepekatan.
Setelah semuanya tersalurkan, melalui ungkapan,
akhirnya Victor mohon diri untuk pulang, mengingat jam
sudah berada di angka 12 lewat 30 menit tengah malam,
artinya hampir dua jam dua anak manusia itu
melampiaskan segala kerinduan yang terpendam selama
ini.
*******
Bab 3
"Ain.. kamu cukup cantik untukku saja? gak perlu
momeles berlebihan, Sayang," suara dari balik pintu
terdengar posesif. Mengedor-ngedor, namun Aini tidak
perduli. Ia tidak menyangka sepagi ini Victor datang ke
kosannya, dan berniat mengantarkan Aini ke Bandara.
Aini sempat menolak karena tidak ingin merepotkan laki-
laki yang kini namanya bertahta di hati.
"Sejak kapan kamu mengklaim seperti itu," balas Aini
datar dari dalam. Wanita itu sering kali membuat orang
sekeliling gemes bahkan greget gara-gara sifat cueknya
yang berlebihan.
Victor mengkerut kening sambil mendengus kesal, sebab
Aini belum juga membukakan pintu dan membiarkanya
masuk. Kisah semalam begitu cepat merubah waktu dari
kecanggungan menjadi akrab seolah mereka sudah lama
memadu kasih.
"Ain.. kamu sekarang milikku? jadi, tolong la.. aku gak
mau kamu tampil berlebihan?" ungkapnya posesif. Aini
menghentikan polesan lipstik di bibirnya, ia berfikir
dalam senyum. Ada rasa hangat menjalar ke seluruh
tubuhnya, menghasilkan getaran yang sulit ia lukiskan.
Aini menatap dirinya dari pantulan kaca, terlihat kantung
matanya bengkak akibat kurang tidur. Iya.. Aini tidak bisa
memejam mata semalaman gara-gara terbayang terus
cumbuan Victor tadi malam hingga membuatnya terlena.
Hati Ainib bahagia, meskipun ada rasa nyeri disudut nan
dalam. Menjelaskan tentang ketabuannya atas kejadian
semalam, Victor telah berhasil mengambil first kiss nya,
dan sungguh itu harapan Aini, jika suatu hari nanti ia
akan memberikan pada orang yang dicintainya.
"Aini..?" panggil Victor kesal. Pria itu disiksa oleh Aini
dengan tidak membiarkannya masuk.
"Sabar, Vic. Aku udah mau siap ni?" saut Aini santai.
Wanita itu meraih tas beserta koper ia seret ke depan
pintu, lalu segera membukanya.
Krakt.
Pintu terbuka lebar menampilkan sosok lelaki tampan
berdiri bersedekap menatap liar pada gadis itu. Sedetik
kemudian, Victor menyergap tubuh Aini, mendekap erat
dengan menghujam ciuman panas di bibir dan leher Aini
yang tertutupi kerudung tipis. Aini tertegun bersamaan
tas berserta koper terlepas dari tangannya. Anggraini
meronta dengan suara mulut membungkam dalam
lumatan Victor. Pria yang baru menjadi kekasihnya itu
tidak memberi ampun padanya, yang pada dasarnya
tidak terlalu suka dicium terus. Tapi, sepertinya Victor
sulit dicegah, gairah bersemayam dalam kerinduannya,
apalagi mengingat kekasihnya akan pulang ke kampung
halaman dalam waktu yang cukup terbilang lama.
"Vic, please? nanti aku ketinggalan pesawat!" katanya
terengah akibat Victor mencumbu leher jenjangnya dan
meninggalkan tanda kepemilikan di sana. Victor tidak
menghiraukan pinta Aini, ia terus mengisap kulit bersih
Aini bak vampire menghisap darah.
"Vic?! tolong berrhentilaah," ucapnya bernada serak
namun meninggi. Gadis itu semakin terpancing oleh
sentuhan ketika tangan Victor meremas bokongnya.
Semakin liar, semakin tak terkendalikan. Pria itu
menendang dari belakang pintu kosan Aini agar tertutup,
lalu menyeret Aini ke ranjang yang tidak begitu lebar.
Keduanya terhempas di kasur empuk dengan penampilan
Aini sudah sangat kacau.
"Vic, please? jangan seperti ini, aku mohon. Aku tidak
mau ketinggalan pesawat, Vic." pinta Aini memohon
pada Victor. Laki-laki itu menatap Aini sayu berkabut
gairah.
"Aku mohon, tetaplah di sini untukku, Ain, aku tidak
sangup berjauhan denganmu selama itu," ungkapnya
serak. Mata elang itu mengunci wajah sang kekasih
seolah tak kuasa melepas kepergiannya.
Aini mengulum senyum manis seraya membelai wajah
tampan sedang menindihnya, "Aku janji, tidak akan lama.
Aku butuh pulang, Vic. Adik aku akan menikah besok,"
jelas Aini menyakinkan Victor. Namun, pria itu tak
merespon. Ia mulai mendekatkan wajahnya kembali
melumat bibir ranum itu, dalam ia memungut
menyalurkan sejuta kerinduan, walaupun hubungan baru
terikrar 15 jam yang lalu. Tak dapat dipungkiri, Aini
sangat menikmati cumbuan itu, hingga ia membiarkan
Victor melakukan lebih dari sebuah ciuman.
Perlahan, tangan kekar itu membuka satu persatu
kancing kemeja yang dikenakan Aini, dan menampilkan
belahan indah dibungkus penutup natural. Entah apa
yang ada dalam fikiran keduanya, cinta telah membuat
mereka terbuai oleh getaran nikmat dari sentuhan
masing-masing. Aini benar-benar telah tenggelam ketika
Victor meraup rakus dua gundukan berharga miliknya.
Pria itu diselimuti gairah yang meletup hingga membawa
tangannya menyentuh bagian sensitive milik Aini.
Namun, seketika Aini menahannya. Wanita itu berusaha
mengumpulkan kesadaran dengan meraih kedua tangan
Victor, lalu mengecupnya hangat.
"Kamu tidak akan menodaiku secepat ini, kan? Emm,,"
bisik Aini lembut membuat Victor tertegun. Pria itu
membalas kecupan di tangan Aini, dan juga menjilat
jemari lentik itu seperti sedang mengisap permen.
Setelah melewati bujukan, berjanji akan segera kembali,
akhirnya Victor melepaskan Aini dan membiarkan wanita
itu merapikan kembali pakaian dan make up-nya. Itu juga
tidak terlepas dari pelukan pria itu. Enggan menolaknya,
Aini membiarkan Victor memeluknya, bahkan
memainkan bagian lehernya.
Hari kian beranjak. Jam kian berdetak. Kegelisahan
terpancar dari aura Aini. Gadis itu takut pesawat akan
lepas landas, karena jarak tempuh dari kota ke Kuala
Namu amat teramat jauh. Victor merasa kasihan melihat
wanita yang dicintainya tidak sedikit pun tenang
sepanjang perjalanan.
Ia menekan pedal gas mobilnya hingga lari di atas rata-
rata agar secepat mungkin sampai di bandara.
"Vic? hati-hati, kamu tidak perlu menyetir sekencang
ini?" protes Aini panik. Wanita itu duduk disebelah di
dalam mobil Victor. Tetapi, Victor tidak mengindahkan
kata-kata Aini. Ia melarikan mobil seakan roda tidak
berpijak pada bumi.
"Aku gak mau kamu terlambat sayang, aku juga minta
maaf, sudah menahan kamu tadi," ucapnya tersenyum
jahil. Seandainya ia membiarkan Aini segera berangkat ke
bandara, mungkin sekarang mereka tidak perlu ngebut
seperti itu. Tapi apalah kuasa seorang Victor yang setiap
melihat Aini, libidonya meronta-ronta. Bukan hal yang
mudah baginya, mengabaikan pesona Aini yang seolah-
olah menggoda imannya, padahal? Aini tidak bermaksud
seperti itu. Rasa yang terpendam lama, apa jadinya
ketika itu tersalurkan. Maka seperti itulah mereka,
hubungan belum mencapai angka 24 jam, namun serasa
telah bertahun-tahun dan sulit terkendalikan.
Lari dengan membabi buta, mobil mewah bertulis
landcruiser milik Victor memasuki halaman Bandara
Kuala Namu. Ia segera turun membukakan pintu untuk
Aini, dan mengambil koper di bagasi lalu diseretnya ke
dalam bersama Aini, pria itu mengurus check in atas
nama Anggraini Syahbandar.
"Sayang, cepat. Pesawatnya mau berangkat, lima menit
lagi," Victor menganggkat koper mengantarnya ke lobi.
Suara pemberitahuan keberangkatan terdengar
menggangu percakapan antara Aini dan Victor, membuat
mereka harus lebih dekat lagi, "Vic. Aku pergi ya, hati-
hati, Emm,," ucap Aini menatap sejenak wajah tampan
yang kini menjadi bayang-banyangannya setiap saat.
"Kamu janji, akan segera kembali. Aku tidak butuh
penolakan, apa lagi janji di atas ingkar, Ain," balas Victor
seraya menangkup sebelah pipi Aini dengan tangannya.
Saling menatap, seakan sedang mengirim kekuatan untuk
saling bertahan selama jarak membentang.
Suara pemberitahuan terdengar kembali menyadarkan
dua nyawa yang sedang mati suri. Aini meraih kopernya
lalu ia seret perlahan tanpa melepas pandangannya pada
Victor yang masih berdiri melepas kepergiannya tanpa
kerelaan. Akan tetapi, ia tak kuasa mencegah gadis
berdarah Hulu balang yang telah menyeretnya dalam
pesona kebangsawanannya.
Pesawat telah lepas landas, Victor melangkah kaki
meninggalkan bandara dengan separuh jiwanya terbang
bersama Aini. Pria itu menyetir mobil tiada bersemangat
sampai ia lupa hari ini ada jadwal mengajar di
kampusnya. Sebagai asisten dosen, Victor harus bisa
menghandle jadwal yang sudah ditentukan oleh
akademik. Ia baru sadar akan tugas itu dan segera
mengebut mengejar waktu agar tidak terlambat.
********
Bab 4
Hujan mengguyur Nanggroe sejak pesawat mendarat di
bandara Sultan Iskandar Muda. Berkubik air berjatuhan,
tumpah dari langit angkasa, seolah enggan berhenti.
Suhu udara menjadi dingin, namun tak sedingin kota
bersalju. Akan tetapi, iklim tropis yang sesekali diguyur
hujan sepanjang hari, juga akan merubah hawa udara
menjadi sejuk.
Aini melangkah ke luar dari lobi mencari tempat
beristirahat untuk meminum kopi supaya dapat
menghangatkan tubuhnya. Ia menjatuhkan pilihan pada
sebuah kedai kecil yang berisi makanan dan minuman.
"Selamat siang, Kakak? mari silakan duduk, mau pesan
apa?" baru Aini mendaratkan tubuhnya, seorang pelayan
toko datang menyapanya.
"Sanger arabica panas," jawab Aini singkat dan ramah.
"Baik, itu saja kakak?" tambah pelayan berwajah pas-
pasan, namun berpenampilan keren.
Aini tersenyum sambil mengangguk, dan dimengerti oleh
laki-laki keren itu.
Ia duduk menempelkan tubuhnya pada dingding kursi
lalu menatap ruas-ruas jalan yang basah akibat air hujan.
Mobil berlalu lalang melakukan penjemputan, sementara
pejalan kaki bisa dihitung dengan jari bergegas mencapai
perteduhan. Pepohonan yang tumbuh di pelataran
parkiran bergoyang karena terpaan angin kencang,
membuat suasana kian dingin.
Aini tersenyum ketika pelayan datang membawa
secangkir kopi khas Nanggroe dengan gumpalan asap
menawarkan aroma biji kopi pilihan yang dapat
menenangkan saraf-sarafnya.
Pria keren itu memperhatikan Aini, dan itu dirasakan
olehnya. Dia modar-mandir seperti setrikaan di hadapan
Aini, sedang melayani pengunjungnya. Lalu, seorang pria
paruh baya datang menyapanya, "Dia Akmal, peracik
kopi sekaligus barista di kedai ini," suara bapak tua yang
ternyata pemilik kedai sederhana tempat Aini singgah
datang menjelaskan. Gadis itu mengkerut kening sambil
berfikir, aku tidak bertanya, apakah engkau harus
menyampaikan, bapak?
Pria tua itu berkata sambil menyodorkan sepiring kue
kering ke hadapan Aini. Lalu, dengan lancang ia mengulur
tangannya untuk Aini. Gadis itu melihat sejenak sebelum
menjabat tangan yang dipenuhi kerutan dikulitnya,
"Burhan, orang-orang di bandara ini memanggil saya
dengan nama lain, pak cek. Kamu bebas, boleh mengikuti
orang disini, atau Burhan saja,"
Aini menganguk anguk, namun fikirannya masih dipenuhi
tanda tanya. Matanya menatap kosong pada wajah yang
sudah mulai menua di depannya, mencoba menelusuri
aura keramah tamahan yang amat taramat kentara.
"Bapak pemilik kedai ini?" kata Aini mencoba bertanya, ia
merasa beban setelah beberapa menit si bapak berbicara
padanya, namun tak sepatah pun ia balas.
Burhan terkekeh, melebarkan mulutnya hingga
menampakkan jejeran gigi yang sudah menguning, "Milik
bapak sementara, milik Allah selamanya," jawabnya
ambigu. Aini mengerut kening, tapi, dia mengurungkan
niatnya untuk bertanya lagi. Ia memandang jauh ke luar
dan terlihat hujan mulai reda. Perlahan gadis itu
merogoh tasnya mengambil hanphone untuk
menghubungi jemputan.
"Apa kamu menunggu jemputan? berapa lama kamu di
sini, apa kamu akan memesan satu cangkir lagi?" tanya
Burhan serius. Ia merapikan gelas dari meja lain,
sementara Akmal menyimak perbincangan antara Aini
dan Pak Cek-nya.
Aini mengangkat bahu, "Saya sedang menunggu
jemputan, dan ini surplus untuk bapak," Aini tersenyum
ramah dengan memberikan uang senilai lima puluh ribu,
padahal harga kopi tidak sampai segitu
"Baik, lah? semoga kamu mendapat luahan rezeki nona?
dan jodoh terbaik sejagat raya," Aini menghentikan
langkahnya, dan berusaha tersenyum. Sebenarnya ia
bingung atas sikap pria bernama Burhan si pemilik kedai.
Selain itu, Aini juga heran kenapa tiba-tiba ia terjebak di
kedai yang pemiliknya aneh.
"Anda pelanggan pertama saya yang sangat pemurah.
Jarang yang memberi tips seperti ini, apa anda pewaris
suatu keturunan?" tebaknya tak beralasan. Aini hanya
menghadiahi paruh baya itu dengan seulas senyum,
kemudian memohon diri melenggang pergi dari kedai
Burhan.
Aini melangkah di pinggir menunggu jemputan taxi
online. Dia memesannya tadi sewaktu sedang berbicara
pada Burhan.
Tak lama deringan ponselnya berbunyi menampilkan
panggilan nomor asing. Ia yakin itu sang ojek, dan
ternyata sudah berhenti tepat di depannya, "Dengan
Anggraini?" tanya seorang pria berambut tipis, berwajah
sedikit petak setelah menurunkan kaca mobilnya.
"Ya, benar. ojek?" jawab Aini mendekat pada taxi itu, dan
segera naik ke dalamnya. Duduk tenang tanpa berbicara,
sekelebat kejadian pagi tadi berputar dalam benaknya. Di
mana Victor menyerangnya buas. Bahkan sekarang tubuh
dan lehernya dipenuhi kiss mark milik Victor. Gadis itu
menyenderkan kepalanya pada dingding jok mobil.
Fikiran dipenuhi oleh kisah dua puluh empat jam yang
telah mengikat hatinya pada Victor Walidin, laki-laki yang
selama ini mengejar dan memohon cintanya. Di luar
dugaan, semua terjadi begitu saja, dan itu sungguh alot
kelanjutannya. Ia menarik nafas, mencoba menenangkan
firasat ke depan yang belum tentu terjadi, dengan
memejam mata membayangkan setiap sentuhan Victor,
gadis itu tersenyum merona.
"Mbak, sudah sampai?" suara supir ojek menyadarkan
Aini. Ia bergegas turun setelah membayar ongkos.
Berdiri sejenak memandang sebuah bangunan tua
berlantai dua. Halaman luas ditumbuhi pohon-pohon
buah, dan bunga-bunga dari berbagai jenis. Aini
mendorong pintu pagar besi, melangkah kaki dengan
menyeret koper di tangannya. Suasana tampak sepi,
sepertinya penghuninya sedang pergi. Apa mungkin ibu
juga pergi? bathinnya.
mengetuk dua kali pintu dengan pentilasi berbentuk
masjid, namun tak kunjung di buka. Aini bergerak ke
samping mendongokkan wajahnya mencari sesuatu, akan
tetapi tidak ada tanda-tanda apa pun. Akhirnya Dara
manis itu memilih duduk di kursi besi yang terpajang di
teras rumah. Menyilang kaki panjangnya sambil
memainkan hanphone-nya.
sebuah notifikasi di inbox wa, dan nama Victor tertera di
sana.
"Aku butuh khabar sesibuk apa pun kamu, atau besok
pagi kamu akan melihatku di tengah pernikahan adik
kamu, Aini," Aini mengelus layar bening itu dengan
senyum menghias wajahnya. Sulit ia percaya, kalau
ternyata Victor seposesif ini.
"Nak ... Aini? kamu kah itu?" bariton itu mengalihkan
pandangan Aini pada sebaris kata dari chat Victor. Ia
tertegun melihat sosok yang sudah menua
menghampirinya dengan pakaian lusuh.
"Pak Mamad!" sebutnya pada sosok tua telah berdiri di
depannya. Aini menjabat tangan kotor itu tanpa
memikirkan telapak tangannya juga ikut kotor.
"Pak Mamad, sehat?" tanya Aini ramah. Ia menatap
wajah puluhan tahun yang sudah mengabdi pada
keluarganya menjadi seorang tukang kebun.
"Bahkan bapak lebih kuat dari kamu, Nak," Mamad yang
jalannya saja sudah renta, tapi masih menganggap
dirinya binaraga. Pak tua itu menampakkan kesehatanya
dengan memutar badan di depan Aini.
Aini tertawa gelik menyaksikan aksi konyol pak Mamad
situkang kebun,
"Bapak sungguh menyebalkan!" kata Aini mendengus
kesal, namun bahagia.
Pak Mamad adalah mantan pria perkasa yang bekerja
menjadi tukan kebun dari sepuluh tahun telah berlalu di
keluarga Syahbandar. Ia membersih kebun dan
perkarangan rumah besar itu. Ia tergolong rajin dan ulet.
Karena kesetiaanya, Pak Mamad mendapat penghargaan
dalam bentuk tempat tinggal dari Syahbandar di ujung
lahan 7 meter jarak dengan istana Syahbandar. Dia pria
miskin yang tidak banyak berbicara, patuh, sopan dan
penyayang terhadap anak-anak dan cucu Syahbandar.
salah satunya Aini sendiri. Gadis itu kerap kali ditinggal
Rafli ayahnya ketika pergi ke luar kota. Perawakannya
sederhana, sedikit botak, dan berhidung pesek.
Melihat pak Mamad, menurut Aini seperti memandang
tokoh abdi pada kerajaannya, karena bekerja adalah
sebuah pengabdian bukan sebuah tuntutan atau profesi,
apalagi sebagai ladang penghasil uang. Syahbandar
mengangkatnya menjadi bagian dari keluarganya
sehingga mengharuskan Mamad terus mengabdi sampai
sekarang.
"Kamu pasti kangen sama bapak, bukan?" Mamad duduk
melantai diikuti Aini. Gadis itu sangat menghargai dan
rendah hati. Mereka terlibat obrolan sampai membawa
pak Mamad pada titik kesedihan.
"Jadi, bapak punya anak?" tanya Aini iba, dan di angguk
pelan oleh pak Mamad
Pak Mamad meninggalkan keluarganya di kampung
pedalaman selama 10 tahun telah berjalan. Ia jarang
pulang hanya mengirim uang dan keperluan lainnya. laki-
laki tua itu berniat mengajukan pensiun pada Rafli,
namun sama sekali belum berani ia ungkapkan. Aini
mengelus lembut pundak ringkih milik pak Mamad,
dalam hati ia akan membantu pak Mamad agar bersatu
dengan keluarganya.
Waktu telah menjemput senja, akan tetapi Aini masih
betah berselonjoran di depan pak Mamad sambil
menunggu penghuni rumah pulang. Bercerita, serta
menghibur, keduanya tergelak tiada henti. Melewati
waktu yang jarang terjadi, membuat Aini menemukan
pemikiran baru tentang arti sebuah kehidupan. Bahwa,
"Kebersamaan itu jauh lebih berharga dari sebongkah
berlian apapun, karenanya, jangan pernah kau sia-siakan
itu,"
Bab 5
Mega merah mulai menampakkan siluetnya, remang
senja memancar sendu dari balik celah dedaunan.
Setelah seharian diguyur hujan, namun suasana itu tidak
mampu menyentuh atmosfir menawan dalam sebuah
rumah megah dengan ornamen khas bangsawan raja
Syahbandar di tengah-tengah Desa bernama Riung
Gunung. Desa yang terkenal dengan panorama alam nan
indah.
Di sebuah kamar bernuansa biru laut, seorang wanita
berparas jelita dengan ornamen wajah bangsawan
sedang merapikan pakaian dan membersihkan debu-
debu bertebaran akibat terlalu lama tidak di tempati.
Kamar yang terletak di lantai dua tepatnya menghadap
balkon menjadi pilihan Aini diantara kamar-kamar lain.
Dari dulu Aini memang memilh kamar itu karena bisa
menikmati view alam dari lantai dua. Nyaman, dan jauh
jankauan orang-orang yang ada di rumahnya.
Aini menghempas tubuhnya setelah semua barang-
barangnya rapi. Perempuan itu melepaskan jepitan
rambutnya, dan membiarkan rambut panjangnya indah
tergerai. Melirik sejenak ke atas meja dimana benda
pipihnya berbunyi nada bip, tanda notivikasi masuk. Aini
mengkerut kening seraya bangkit berjalan dua langkah.
Meraih hp-nya, dan tertera nama Victor di layarnya
"Ain ... kamu tidak sedang mengabaikan aku kan?"
"Kamu cek log panggilan, sudah hampir seribu kali aku
menghubungi kamu,"
Aini memicing layar ponselnya dengan senyum tipis
menghias bibirnya,
Perempuan itu menekan back di layar itu untuk
memastikan log atau notivikasi panggilan. Ternyata
memang benar, Victor sudah menghubungi dari pikul 16
sampai 18 waktu sekarang. Tidak berencana untuk
menjawab atau sekedar meminta maaf karena telah
mengabaikan kekasihnya? Aini malah menaruh kembali
ponsel itu lalu bergegas ke kamar mandi untuk
membersihkan tubuhnya. Sifat cuek yang sudah
mendarah daging dalam diri Aini semakin mencuap
kepermukaan. Bayangkan dengan kekasihnya saja, dia
bisa bersifat dingin seperti itu? bagai mana dengan orang
lain! Mungkin, Aini menganggapnya seperti angin lalu.
Sebelum mengguyur tubuhnya dengan air, Aini menatap
sejenak wajahnya di cermin wastafel berbentuk oval. Aini
menyentuh lehernya nanar. Beberapa kiss mark yang
ditinggalkan Victor. Sekelebat bayangan Victor sedang
mencumbunya liar tadi pagi, sebelum berangkat ke
Bandara, bahkan hampir saja pria itu menelanjanginya,
jika Aini tidak segera mencegahnya. Ia tersenyum getir,
entah apa yang terlintas dalam benak gadis itu. Baru
jadian saja, Victor telah berani melakukan lebih padanya,
dan anehnya? Aini juga menikmati setiap sentuhan Victor
hingga terbawa suasana. Apakah mungkin? gara-gara
rasa yang terpendam selama ini membuatnya tak
mampu membendung hati yang bergejolak? Aini sendiri
semakin ambigu dengan hubungan yang baru terjalin itu.
Kemana kah arah tujuan ikatannya dengan Victor,
sementara jelas-jelas badai penghalang terbentang di
depan.
"Kak Aini ... cepetetan mandinya!! kakak mandi apa
bersemedi, sih?" suara gedoran pintu dari luar
menyadarkan Aini. Wanita itu sibuk bermunalog sendiri
hingga lupa kalau selepas magrib nanti akan ada rapat
keluarga yang digelar oleh Rafli sang ayah
"Ya, may ... bentar!?" katanya dari dalam. Wanita itu
segera menyiram badanya dengan air dan tidak
membutuhkan waktu lama ia sudah keluar dari kamar
mandi dengan handuk melilit tubuhnya,
"Hey, Mey? ada apa, tumben dimari," kata Aini berdiri di
tengah-tengah kamar memperhatikan Meylani adik
perempuannya yang akan menikah besok
"Kakak? Wah. Ada yang aneh nih, eh ini apa? kak Ain ...
ya ampun.. siapa yang sudah berani melakukan ini sama
kakak Anggrainiku?" desis Meylani mendekat dan
menyentuh bercak merah di leher Aini. Namun bukan
Aini namanya kalau perduli dengan hal apapun itu,
"Apaan, sih Mey? kepo banget tau gak. Ngapain kemari
sih! keluar ... keluar." Kata Aini mendengkus sambil
mendorong Meylani keluar dari kamarnya. Ganggu aja
sih, jadi orang. Omel gadis itu mengunci pintu kamarnya,
tidak memperdulikan Meylani mengedor-ngedor
kencang dari luar.
"Kak ... kakak? bukain dong? Mey mau ngobrol
sebentar!!" kata Meylani sedikit berteriak.
"What ever! emang gue pikirin," desisnya tak perduli,
dan segera mengenakan pakaian dengan style rumahan,
rok kulot sandana dipadu atasan kaus kebesaran
berwarna putih dan sehelai selendang ia lilitkan di
lehernya agar tidak terlihat kiss mark oleh orang tuanya.
Penampilan seperti itu semakin membuat Aini tampil
cantik meskipun, agak sedikit terkesan cuek.
Azan magrib terdengar lantang dari masjid ke masjid
menyerukan panggilan ibadah sholat magrib. Aini turun
ke bawah bergabung dengan keluarganya untuk sholat
berjamaah sekalian melepaskan segenap kerinduannya
pada sang bunda.
Setelah sholat berjamaah bersama, kini Aini dan keluarga
sedang duduk di ruang keluarga untuk menyantap makan
malam bersama. Suasana di meja makan berlangsung
tenang tanpa ada yang berani berbicara. Sebab
peraturan yang turun temurun dari nenek moyang raja
Syahbandar harus diam saat makan. Alasannya, selain
dilarang dalam agama? berbicara sambil menyantap
makanan adalah salah satu tabiat orang yang tidak
berilmu dan beradap
"Sudah sampai di mana kuliah kamu, Aini?" Suara itu
ditengah keheningan ketika anak-anaknya sudah selasai
makan malam. Wajah yang ditumbuhi bulu-bulu dibagian
dagu sudah memutih, dan layu. Sinar matanya tajam di
bawah cahaya lampu menatap Aini tak berkedip.
Aini melihat sekilas wajah layu Rafli lalu melirik sang
bunda sedang duduk dihadapannya,
"Insya Allah yah. Sebentar lagi selesai," balas Aini datar.
Gadis itu menempelkan tubuhnya di kursi berukukir
jepara jeumpa Aceh khas milik kerajaan para Hulu
Balang. Aini menunduk, ia tidak banyak berbicara, dan
memang tidak ada yang berani memulai. Di sampingnya
Meylani duduk dengan posisi gersah-gersuh mencari
kenyamanan. Gadis itu kian risih berada ditengah
keluarganya, apalagi Rafli selalu membuang muka saat
berhadapan dengannya.
"Besok," kata Rafli menjeda ucapannya, dan menatap
Meylani dengan wajah berubah kelam. Yang ditatap
segera menunduk sambil menormalkam detak
jantungnya, antara senang atau takut. Senang karena
akhirnya Rafli merestuinya menikah dengan Halim.
Takut, sebab Rafli terus menatapnya horor, seolah
dirinya seperti musuh
"Besok, adik kamu akan menikah dengan laki-laki
pilihannya, bukan dari garis keturunan kita," jelas Rafli
bernada berat. Suaranya serak seperti menahan tekanan
nafas agar tidak menguap amarahnya.
"Siapa pun dia, yang penting 'kan sekufu, yah?" sangga
Aini tanpa melihat wajah Rafli. Tapi, setelah itu
jantungnya berdebar ketakutan. "Mampus! ngapain
nyeplok sih ... ni lidah?
"Sekufu kata kamu! bahkan pria itu tidak menapak kaki di
masjid mana pun. Kamu berani bilang sekufu!" deg. Rafli
mengetatkan giginya sambil menatap Aini tajam.
"Ayah, sudah lah. Semua sudah kehendak yang di atas?
cobalah untuk berdamai dengan keadaan. Meylan akan
menikah besok, biarkan lah dia bahagia, yah?" ucap
Kartini lembut. Wajah ayu milik wanita paruh baya itu
tersenyum tulus pada Meylani. Sepertinya, kartini sedang
membela Meylan, bukan membela sih. Menguatkan hati
Meylani lebih tepatnya. Karena Kartini memperhatikan
wajah Meylani mulai redup.
"Benar yah? engga ada salahnya kita terima ini semua
sebagai bentuk takdir Allah?" imbuh Aini lagi. Ia semakin
berani bersuara di depan ayahnya, padahal itu tidak
biasa terjadi.
"Jangan terlalu membesar-besarkan masa... "
"Cukup!" sergah rafli memotong ucapan Kartini.
"Cukup. Kalian tidak perlu mengajari saya. Saya tau apa
yang terbaik untuk keluarga ini!"
Rafli bangkit berdiri sejenak menatap satu persatu wajah
anak dan istrinya, lalu membalikan badan pergi
meninggalkan ruang makan, padahal rapat belum dimulai
Ketiga perempuan cantik itu saling menatap tanpa
menunjukkan ekspresi masing-masing.
"Kalian istirahat aja ya? gak usah terlalu difikirin? yang
penting sekarang? Aini, kamu tolong bantu Meylan
menyiapkan segala sesuatu untuk persiapan besok ya?
kata Kartina bersuara indah dan mendayu.
Aini dan Meylani hanya diam mendengar nasehat ibunya,
sebelum waktu menunjukkan tengah malam, kedua gadis
berketurunan bangsawan itu beranjak pergi menuju
kamar Meylani. Mereka saling diam sambil terus
memilah milah kue-kue kering ke dalam wadah,
persembahan untuk para tamu undangan besok.
Bab 6
"Saya terima nikahnya? Maylani binti Rafli Syahbandar
dengan seperangkat alat sholat beserta 30 gram emas
mulia dibayar tunai!"
Ucap Halim lantang.
"Bagaimana saksi? sah!"
"Sah!!!" Suara itu menggema seisi masjid Babussalam
tempat Meylani melakukan akad nikah dengan seorang
pria pilihan hatinya. Pria yang terlahir dari rahim seorang
ibu biasa, dan hidup sederhana tanpa gemerlap harta
dan embel-embel silsilah
Dengan lugas dan mantap. Halim mengucapakan kalimat
yang sudah mengikatnya dengan keluarga Syahbandar.
Hati kedua mempelai bergemuruh bak ombak menerjang
kekokohan lautan hati keduanya. Senyum menghias,
diiringi rona pipi memerah karena mengulum
kebahagiaan.
Namun, disegelintir dari mereka, ada hati yang tergores
begitu dalam. Penerus Bangsawan yang sudah berpindah
dari koridornya, membuat Rafli dihantam kehancuran. Ia
tersenyum tipis berdiri di sisi kanan kedua mempelai
untuk menerima ucapan selamat dari para tamu yang
datang
Kaum Hulu Balang yang datang menyaksikan pernikahan
itu bisa dihitung dengan jari. Rafli sengaja tidak
mengundang keluarga besarnya, karena ia enggan
melihat siluet kemarahan di wajah sepupu sepupunya.
"Selamat, kakanda?" kata seorang laki-laki berprawakan
bapak-bapak. Pria itu menggengam tangan Rafli dan
menatap datar wajah Rafli.
"Terimakasih, sim." jawab Rafli tak kalah datar.
Kasim adalah adik sepupu dari pihak kartini istri Rafli.
Kasim sempat menentang atas pernikahan Meylani dan
Halim. Namun, Rafli tidak memperdulikannya, semua
karena ia takut atas ancaman Meylani yang akan
melakukan kawin lari dengan Halim Kusuma. Dan, bila itu
terjadi, juga sangat melukai seluruh hati keturunan
Syahbandar.
"Apa kakanda bahagia?" Kasim bertanya di antara bliz
kamera sedang menyambar membidik wajah-wajah para
pemberi restu. Meskipun aura sebagian sanat keluarga
terlihat suram, akan tetapi mereka berusaha tersenyum
demi menutupi segala ketidak nyamanan atas
pernikahan terpaksa itu. Rafli menghela nafas dalam hati
mendengkus pasrah,
"Menurut kamu? yang tersulit dalam hidup ini adalah
ketika berhadapan dengan sebuah keputusan," balas
Rafli tanpa melihat Kasim di sampingnya. Kedua kakak
beradik itu memilih duduk di tangga mesjid dari pada
terus-terusan menerima tamparan cahaya dari camera
men. Rafli jengah melihat pose anaknya dengan Halim.
"Apa Kanda tidak bertanya pada Tuhan! Kanda bisa
istikharah, harusnya kita gak tercoreng seperti ini,
Kanda?" Kasim semakin memanaskan keadaan, dan
membuat Rafli tersenyum getir. Pria paruh baya itu
menatap ke sisi kanan masjid, dan tidak sengaja ia
menangkap seorang gadis dengan gaun muslimah
berwarna silver melekat di tubuhnya, berdiri menatap
keramaian di depannya. Kerudung hijab pashmina melilit
leher menambah pesona keanggunannya. Hati Rafli
tersentil sakit membayangkan anak sulungnya telah
terlangkahi.
"Yang terjadi hari ini adalah jawaban dari istikharah,
berhentilah mengoceh padaku, Sim. Kau tidak akan tau
bagai mana rasanya berada di posisi kandamu ini!" Rafli
megeraskan gerahangnya, ia mulai gerah di introgasi
terus sama kasim. Rafli tak mengalihkan pandangannya
dari gadis ayu yang tidak lain adalah Anggraini putri
sulungnya sendiri. Wanita itu sedang berlindung dibawah
pohon kelapa untuk sekedar mencari angin, akibat di
dalam terlalu gerah. Gadis itu memilih keluar dari pada
ikut bergabung dengan para tamu undangan yang
berdesakan ingin memberi selamat pada pasangan
pengantin
"Ku Harap, Kanda tidak menyesal. Tidak sedikit orang
kampung sini yang tau tentang siapa Halim sebenarnya,"
kata Kasim bangkit dari sisi Rafli. Pria dengan penampilan
batik kerawang Aceh itu melangkah pergi meninggalkan
Rafli dalam diam. Rafli pun ikut beranjak dari tangga itu
masuk ke dalam masjid untuk bergabung dengan istrinya.
Sementara Anggraini masih berteduh di bawah
pepohonan halaman masjid. Gadis itu duduk di salah satu
bangku tua terbuat dari papan. Ia tidak bermaksud
menghindar dari suasana bahagia adiknya, namun ia
gerah dengan keramaian, apalagi sebagian dari
keluarganya bertanya, "Kamu kapan, Ain? kok keduluan,
sih?" Aini menanggapi dengan senyum, tanpa berniat
menjawab pertanyaan itu. Karena menurut Aini itu akan
percuma. Ya ... walaupun ia tidak memungkiri? bahwa
dilangkahi itu rasanya tidak enak. Akan tetapi, Aini tidak
mau memikirkan hal yang remeh temeh itu. Toh, jodoh
sudah diatur? cepat lambat, ntar juga nongol.
Angin bertiup melambaikan dedaunan. Aini disibukkan
dengan pemandangan keluarga Halim yang semangat
berpose. Gadis itu tersenyum tipis sampai ia tidak
menyadari seseorang memperhatikannya dari jarak
dekat.
"Apakabar, Aini?" sontak Aini menoleh ke samping. Deg,
Wajah itu begitu dekat dalam hatinya, hingga membuat
Aini tak berkedip.
"Hey? Aini," sapa seseorang itu lagi.
"Eh, hay ... Fir--dose." Sautnya terpesona. Aini berdiri,
mempersilakan Seseorang yang ternyata bernama
Firdose berdiri menjulang di depannya,
tubuhnya tinggi, dan memicing meneliti wajah Aini
dengan seksama. Yang di perhatikan hanya tersenyum
manis,
"Fir, kok kamu di sini? ada yang nikah juga?" Aini
bertanya ramah hingga membuat laki-laki itu tersenyum
lebar.
"Kebetulan, Ain. Aku dan Halim family dekat,"
"Owh, yah! Masak sih. Bukanya ... kamu orang jawa ya?"
heran. Itu yang terlihat dari wajah Aini. Firdose duduk
menyilang kaki di depan Aini. Mereka terlihat sangat
akrab.
"Iya, Ain. Papaku asli jawa, dan mamaku Asli Bintai,
kampung Halim sekarang. Ayahku juga ayahnya Halim.
Kami saudara tiri, Ain," terang Firdose. Laki-laki itu
menceritakan bagai mana kronologis hubungannya
dengan Halim. Memang sih? Aini meneliti kembali wajah
Halim hampir mirip Firdose, walaupun hidung mereka
berbanding jauh. Halim lebih mancung, sementara
Firdose sedikit pesek. Itu karena mereka mewarisi dua
orang yang berbeda.
"Sseriius! wah. Kebetulan banget, ya?" kata Aini
tersenyum manis. Firdose memperhatikan setiap inci
wajah Aini, getaran aneh dalam hati seraya berfikir,
Apakah kamu sudah berkeluarga Ain..
"Hem.." singkat Firdose terus memandang Aini dengan
tatapan memuja. Aini menyadari keadaan itu, namun
bukan Aini namanya kalau terbawa suasana.
"Kamu sendiri, apa sudah menikah? kayaknya kalau
dilihat dari gasturenya nih? uda kebapakan banget, benar
ga sih?" terka Aini menggoda Firdose. Laki-laki tampan
dengan style batik lengan panjang membalut tubuh
tegap itu tergelak hingga menampakkan deretan gigi
putinya
Aini memicing, menunggu jawaban Firdose, tapi
sepertinya.. laki-laki dari masa lalunya itu sedang
mencoba mengalihkan topik pembicaraan, dengan
bertanya, "Ntar malam, acaranya di rumah kamu Ain,"
"Yaa ... gitu deh," balas Aini mengidik bahu
Firdose mengangguk-angguk. Namun pikirannya
dipenuhi tanda tanya. Mata Firdose memandang lekat
wajah wanita bangsawan itu berubah kelam.
"kamu, cantik hari ini, Ain." Firdose menyentilkan
pakaiannya yang kejatuhan beberapa bunga kering dari
pepohonan. Ia berusaha menemukan siluet kekosongan
dalam hati Aini.
"Kamu berlebihan, Firdose. Sebagai tanda terimakasih,
aku menunggu kamu nanti malam lengkap dengan
seseorang. Ingat Fir? aku tidak menerima penolakan,"
Aini bangkit berdiri di depan Firdose. Sumpah, laki-laki itu
benar-benar terpesona dengan penampilan Aini hari ini.
"Baiklah, aku pamit dulu. Catat, jam 9 malam," ulang
Aini, dan ditanggapi dengan gelak tawa oleh Firdose.
Pria itu tak mengalihkan pandangannya pada tubuh
singset yang sedang berjalan meninggalkannya sendirian.
"Harusnya aku tidak membawa siapa pun, Ain. Tapi,
cukup medampingimu saja, Huuf!
****
Bulan di atas langit bersinar terang. Kerlipan bintang
mengelilingi awan menantang kabut agar tidak menutupi
sinarnya
Dari balkon lantai dua, Aini berdiri memandang ke sudut
halaman di mana acara peresmian Meylani dan Halim
sedang berlangsung. Wajah kedua mempelai itu tidak
surut dari senyuman hari ini. Kebahagiaan di atas singgah
sana yang dihias pernak-pernik, dan pelaminan yang
terbuat dari kerajinan khas Aceh. Pakaian adat Aceh
Teuku Umar dan Cut Nyak dien membungkus tubuh
keduanya bak raja dan ratu. Namun hanya sehari.
Selanjutnya, tinggal membina mahligai yang terikrar
dalam janji suci dan sakral tentunya
Tamu mulai berdatangan, musik mengalun lembut.
Memang acara di buat sesederhana mungkin oleh Rafli,
karena ia tidak mau bermegah-megah. Mengingat
menantunya bukan lah dari kaum bangsawan. Maka Rafli
hanya menggelar acara untuk menyambut keluarga pihak
mempelai laki-laki saja. Di situ, Aini cukup tau jawaban
tentang jodohnya, meskipun hubungannya dengan Victor
terlanjur mengikat. Tapi, tidak ada salahnya mencoba
menjalani. Mana tau bisa senasib dengan Meylani.
Tapi, sebenarnya itu bukanlah cita-cita Aini. Sebagai
gadis sederhana ia berharap jodoh dari Allah karena
sekufu dan seiman. Cinta boleh di mana saja, akan tetapi
pendamping hidup adalah krusial, ya.. kalau bisa ia
menginginkan dari keluarga baik-baik gak harus
bangsawan yang terpenting adalah restu dari Rafli. Tapi,
itu juga gak semudah yang ia pikirkan. Mungkin
sebaiknya ia menjalani saja apapun jawaban dari takdir.