"Aini!!" Teriak Rafli menggelegar memotong cepat
penjelasan putri kesayangannya. Aini tersentak kaget
seluruh tubuhnya bergetar hebat. Seumur hidupnya baru
kali ini sang papa meneriakinya seperti barusan. Ia gak
menyangka, papanya akan semurka itu hanya karena ia
pulang terlambat.
"Besok, satu hari lagi papa kasih kamu waktu untuk
menyelesaikan semuanya Setelah itu kita kembali ke
Aceh. titik!!" Tegas Rafli dengan mata merah menyala.
Pria itu melangkah setelah menyergah putrinya tanpa
perduli keadaan sekitar di mana tetangga menyaksikan
fenomena alot menjelang magrib.
Dan, tidak jauh dari situ, tepat di gerbang masuk kos-
kosan, seorang pemuda berdiri mematung menyaksikan
perdebatan antara anak dan ortunya. Pria itu tidak lain
adalah Victor yang sengaja datang ke kosan Aini tujuan
meminta maaf karena seharian ia sengaja men-offkan
hanphonenya dan ketika menghidupkan hp-nya sebuah
pesan masuk dari kekasihnya. Ia tidak mengerti maksud
dari pesan itu, yang melarangnya datang ke kos untuk
sementara. Tanpa bertanya atau sekedar mengirim
sebuah pesan 'kenapa' Victor memaksa pergi menjumpai
gadis itu. Dan, alhasil? Victor tidak percaya apa yang ia
dengar barusan bahwa Aini akan pulang ke Aceh
bersama papanya.
Pria itu menggepal kedua tangannya dengan tubuh
bergetar hingga gerahangnya mengeras menahan
amarah. Hatinya hancur berkeping-keping bagaikan
disayat sebilah pisau. Ia menatap Aini yang ketakutan
sedang menitikkan air mata keaedihan. Melihat itu,
Nafas Victor kian diburu, ingin rasanya ia mendekap
tubuh mungil itu dan membawanya pergi jauh dari situ.
Namun, ia tidak ingin bertindak gegabah dengan
merecokkan rencana yang baru saja ia susun. Ia butuh
ketenangan sampai besok pagi. Karena waktu yang
diberikan Rafli satu kali 24 jam di mulai sekarang.
Tak lama, Victor memutuskan pergi dari tempat itu
setelah puas menatap wajah kekasihnya yang
bermandikan air mata. Pria itu kembali ke mobilnya dan
sebelum pergi ia mengirim sebuah pesan singkat untuk
Aini lewat media WA. "Besok pagi, aku menunggu kamu
di rumahku. Tolong datang, aku merindukanmu, sayang."
Pesan terkirim namun masih cheklist. Victor
melemparkan ponselnya ke jok samping lalu melarikan
mobilnya membabi buta. Ia tidak perduli dengan
kepadatan jalan dan terus menggila. Pikiran yang campur
aduk, darah yang mendidih ketika mendengar ucapan
Rafli barusan.
Jadi, itu papa kamu, Ain. Sekarang aku baru tau, kenapa
selama ini kamu selalu menolak aku. Tidak, Ain. Kamu
tidak boleh pergi. Kamu harus jadi milikku, kamu milik
aku Ain. Persetan dengan papa kamu. Aku tidak akan
membiarkan Aini pergi, tidak! Aini harus jadi istriku..
hiks.. hiks...
Tidak sanggup menahan perasaan, Victor menepi
mobilnya di tempat yang sepi lalu menangis meratapi
ketakutan dan kekecewaannya. Rasa cinta yang begitu
dalam terhadap Aini membuatnya tak mampu berpisah
lagi dengan gadis itu. Apapun, ia lakukan termasuk
membawa Aini dari kota Medan. Namun, di luar dugaan
ia keduluan dengan Rafli.
Setelah puas berbicara dan menangis sendiri, Victor
menyetir kembali mobilnya dan pergi ke suatu tempat
untuk mencari ketenangan diri sambil berpikir cara untuk
membawa Aini sesegera mungkin.
Bab 33
Rafli Pov ...
Ada apa dengan Aini. Dari tadi pagi dia gelisah seperti
ketakutan. Apa yang dirahasiakan. Jangan-jangan, Aini
punya seorang kekasih yang sengaja disembunyikan,
terus mereka berhubungan diam-diam. Saya harus
mencari tau, kalau sampai itu benar! saya tidak akan
membiarkan Aini berlama-lama lagi di sini. Akhirnya
Angraini pergi ke kampus setelah aku memaksanya, dan
itu saya lakukan agar dapat mengikutinya sampai ke
kampus. Saya menghubungi mamad kolega bisnis saya
selama ini di bidang pertanian dan bibit tanaman. Saya
meminta Mamad untuk mengantar ke kampus Aini
dengan alasan ingin tau tempat anak saya belajar. Dan,
tentu tanpa sepengetahuan Aini, saya mengikutinya
sampai ke gerbang kampus. Tapi, saya kehilangan jejak.
Mamad membawa saya keliling kampus namun
sepertinya kampus sepi. Saya tidak melihat Aini ada di
kampus tadi. Maka saya putuskan pergi ke tempat
mamad di daerah pengunungan danau toba. Mamad
membawa saya melihat-lihat kebunnya sebentar, setelah
itu pulang ke kosan Aini jam 5 sore. Tapi, Aini belum ada
di rumah. Saya langsung berpikir macam-macam tentang
anak gadis saya. Saya takut dia terjebak dengan laki-laki
sembarangan. Sambil menunggu Aini saya melakukan
video call dengan Kartini istri saya. Kangen dengan
Hendra cucu saya. Saat sedang sedang asik saya berculub
ba dengan Hendra? saya mendengar suara mobil
berhenti di depan, dan ternyata Aini di antar oleh
temannya seorang wanita. Saya lega. Tapi, saya tidak bisa
menerima kelakuan Aini setiap hari pulang sore. Apa dia
tidak tau? kalau perempuan itu tidak boleh kelayapan
kek gitu sampai sore! Aini pulang dalam keadaan lesu
seolah-olah baru saja pulang dari bekerja, padahal dia
melalak entak ke mana-mana. Saya kesal lalu
menanyakan padanya dengan memarahinya. Dan, saya
tidak perduli lagi kelar gak kelar urusan dia di kampus.
Saya mencekalnya dengan memberi satu hari lagi waktu
untuk menyelesaikan semua tek tek bengek yang katanya
revisilah, atau apalah. Memang, Aini tidak pernah
membantah. Namun, saya merasakan ada kejanggalan
disetiap gerak gerik Aini.
*******
"Aini. Papa ke masjid, mau sholat berjamaah di masjid,
mungkin papa pulang setelah sholat isya'. Kamu
makanlah duluan." Ucap Rafli sambil mengancing
bajunya. Beliau berdiri di depan kaca tanpa melihat Aini
yang sedang menyiapkan makan malam untuk mereka
berdua.
"Ya, pa? hati-hati," jawab Aini bernada lemah. Gadis itu
menuang dua gelas air putih di atas meja kecil dan duduk
lesehan. Rafli pergi ke masjid setelah memakai peci dan
sarungnya. Aini menatap kepergian sang papa sampai
hilang di balik pintu. Sejenak ia memperhatikan menu
makanan yang dibelikan papanya tadi sore. Daging
rendang, sayur lemak ubi, dan cah kankung. Aini menelan
ludah tidak sedikitpun menggugah seleranya, dan
memutuskan menunda makan, lalu berbaring di ranjang
sambil membuka ponselnya. Ia melihat ada pesan dari
Victor. Ia buru-buru membuka pesan yang menyuruhnya
datang ke rumah Victor besok pagi. Aini mengelus layar
bening itu dengan perasaan risau. Maaf, Vik bila
hubungan kita harus berakhir disini. Maafkan aku, aku
salah dengan membiarkan rasa tumbuh antara kita.
Aini menelungkupkan tubuh, membenamkan wajahnya
di atas bantal dan terisak menumpahkan air mata
kepedihannya. Ia semakin terdampar di titik buta dan
pikirannya kian buntu. Bahkan, ia tidak lagi memikirkan
rencana pernikahan sirinya dengan Victor. Gadis
bangsawan itu terus terisak sesegukan hingga tidak
disadarinya suara ponsel terus berdering memanggilnya.
Akhirnya, setelah sekian lama. Seorang Anggraini
Syahbandar yang terkenal cuek, dingin, menangis juga.
Dan, air mata itu terpaksa keluar karena menangisi
sebuah perpisahan yang terbentang nyata di
hadapannya. Berpisah dengan sang kekasih yang sangat
dicintainya, bahkan sedang berusaha lari dari
keluarganya demi Victor. Tapi, akankah itu sanggup
dilakukan Aini? sementara, sang papa terus mengawasi
dan mendesaknya segera mengurus urusan kuliah agar
cepat pulang.
Selang beberapa waktu, ponselnya berbunyi lagi, dan ia
melirik dengan halau air mata. Aini meraih hp-nya
sebuah panggilan dari Farida. Ia segera mengeser layar
itu cepat.
"Hallo, Far. Kenapa?" sengaunya sambil menyapu sisa air
di pipinya dengan punggung tangan.
"Loh, Ain. Nangis? kenapa?" tanya Farida heran dari
sebrang. Perlahan bulir itu jatuh lagi tanpa dipaksakan.
"Gak, kok say? kenapa telp," jawabnya benada lemah.
Aini bangkit berjalan ke ruang tamu dan mendaratkan
tubuhnya di sofa.
"Ain. Sori ya? tadi siang gua gak bisa temenin lu? aku
udah dengar semua kok, dari Sonya.Yang sabar ya, say.
Saran aku, lu jangan ngelakuin hal-hal aneh yang bisa
menjerat lu ke lubang neraka, Ain."Jelas Farida terdengar
suara berat.
"Tapi, Far. Gua ... gak mung---"
"Ain. Jodoh sudah ada yang ngatur? orangtua adalah
segalanya buat kita Ain. Bicaralah baik-baik dengan
papa? kalau memang lu bingung. Cobalah untuk
istiqhorah. Minta petunjuk sama Allah, Ain. Gua yakin,
bila Victor itu jodoh lu? dia gakkan ke mana-mana kok,
Ain." Urai Farida menasehati Aini. Gadis itu terdiam
mencerna ucapan Farida ada benarnya juga.
"Gitu, Far ya? lu tau kan? gimana papa gua. Papa gua gak
pernah ngijinin gua nikah selain dengan pria bangsawan,
Far?" keluh Aini berderai air mata. Seluruh tubuhnya
panas dingin membayangkan kisah cintanya akan
berakhir dalam satu kali 24 jam.
"Ain. Tenang ya? lu harus percaya takdir, Ain.
Seberapapun kita berencana? namun Allah maha yang
menentukan. Lu gak boleh lemah hanya karena sebuah
keputusan, karena itu takdir Allah yang tidak pernah bisa
lu tentang dengan apapun, Aini? lu ga mau kan? lihat
kedua orangtua lu kecewa. Ayolah, Ain... demi
birullwalidin? kapan lagi? biarlah Allah yang menetukan
segalanya?"
Aini mengatub kedua bibirnya hingga tergigit dengan gigi
ginsulnya dan menimbulkan perih yang terabaikan.
Cucuran air mata tak terhenti sampai terdengar isakan
oleh Farida.
"Ain? Aini.. kok lu nangis? gua salah ya? ngomong gitu?
sori deh, Ain.. lu boleh ga--"
"Far, ga papa kok. Lu benar, Far. Gua gak boleh sedih.
Gua salah telah berpikir untuk kabur dengan Victor. Gua
akan coba bicara dengan papa, juga Victor. Dan, gua
harus siap apapun jawabannya, Far." Tutur Aini disela
isakannya.
"Iya, Ain. Gua tau gimana rasanya di posisi, ellu. Gua
hanya bisa berdoa, semoga kalian dipersatukan karena
Ridho Allah dan Ridho kedua orang tua lu, Ain.
"Semoga saja, Far." Balas Aini pasrah
"Ya, sudah. gua tutup ya? yang kuat dan sabar? insya
Allah, Allah punya rencana yang lebih baik buat
hambanya? Dah, Ain?"
"Dah, Far?"
Jantung Aini berdetak gelisah ketika ia melirik jam di
dingding sudah menujukkan 20 malam yang artinya Rafli
sang papa akan segera kembali dari masjid. Ia menyapu
kedua pipinya sambil berlari ke kamar mandi untuk
mencuci muka agar papanya tidak mencurigai kalau
dirinya baru saja siap menangis.
tok..tok..
"Assalamualaikum.." ucap Rafli dan dijawab sama Aini
sambil membuka pintu untuk papanya. Gadis itu
menyungging senyum pada papanya, namun Rafli
membalas dengan picingan aneh.
"Kamu kenapa? kenapa matanya merah." Tanya Rafli
heran. Aini menunduk sesaat lalu menatap papanya
kembali.
"Gak, kok pa? kelilipan barusan Aini angkat jemuran di
samping?" bohong Aini menyakinkan papanya.
"Benar? kelilipan?"
"Benar kok pa?" Jawab Aini manja. Gadis itu melangkah
ke dapur untuk mengambil piring dan sendok untuk
papanya. Mereka duduk lesehan menyantapkan makan
malam dengan menu sederhana masakan khas padang.
Meskipun terlihat lezat, namun Aini tidak bersemangat
menelan butiran nasi dalam piringnya. Bak menelan duri
itulah yang dirasakan dalam kerongkongan gadis itu.
Pikirannya dipenuhi dengan nama Victor, dan di matanya
bayangan Victor terenyum menawan sedang
menjulurkan tangannya mengharap dirinya datang dalam
pelukan laki-laki itu. Aini menatap sang papa mengunyah
makanan dengan lahapnya tanpa melirik kiri kanan.
Sementara Aini gelisah ingin bertanya sesuatu namun
sudah hampir dua puluh menit mereka di meja makan,
Aini belum berani membuka suaranya. Ia mengaduk
ngaduk nasi dalam piringnya membuat Rafli menyadari
suatu hal. "Ada apa lagi dengan Aini? kenapa dia tidak
memakan makanannya. Aini!!" geramnya dalam hati
Rafli telah menyelesaikan makan malamnya dan hendak
bangkit, namun dicegah oleh Aini. Rafli duduk kembali
sambil menatap dingin pada putri sulungnya.
"Pa, Aini boleh ngomong sebentar?" kata Aini lantang
tanpa keraguan. Ia sendiri tidak menyangka seberani itu
menahan papanya pergi.
"Kenapa, Ain? dari kemaren papa lihat, kamu gelisah.
Ada masalah?" balas Rafli lembut. Aini tersenyum lega
ketika mendengar respon papanya begitu.
"Anu pa? Aini ... Aini?" singkatnya enggan melanjutkan
kata-katanya lagi. Rafli memicing sambil membakar
sebatang rokok di tangannya dan menghembus asap
tebal memenuhi ruangan itu. Aini tidak lagi
memperdulikan asap itu mengganggu pernafasannya
karena yang ada dalam pikirannya hanya menyampaikan
hasratnya untuk menikah dengam Victor
"Aini! ngomong yang benar. Ada apa?" tegas Rafli
menyentil rokoknya dalam asbak di depannya. Seketika
jantung Aini berdetak cepat tanpa henti. Ia menelan
ludah beberapa kali seraya mengumpulkan keberanian
yang tersisa.
"Pa, Aini boleh ... mengenalkan seseorang sama papa.
Dia pria baik juga dosen Aini di kampus, pa?" ujar Aini
lempang dan bebas hambatan lalu ia menunduk tak
berani menatap papanya yang sedang murka. Ya, Rafli
menatap tajam putri kesayangannya. Dalam hati,
"ternyata benar dugaan papa, Ain."
"Kenapa kamu berpikir papa akan senang mendengar
berita ini! kamu tau, syarat seorang jodoh untuk kamu,
Ain. Dia Harus sebangsawan dengan kita, mengerti kamu,
Ain!" kelakar Rafli mengetuk dua kali meja makan itu
membuat Aini terperanjat kaget. Ia menunduk senunduk
nunduknya sambil meremas kencang ujung tunik yang
melekat di tubuhnya.
Suasana berubah alot dan hening setelah Rafli mengetuk
meja itu. Yang terdengar hanya deru nafas keduanya
hingga beberapa menit berlalu. Rafli menarik nafas
menghembus kencang bersama asap dalam mulutnya.
"Siapapun pria itu, sebaik apapun dia! papa tidak akan
pernah ridho, Ain. Kecuali, dia datang dari keluarga baik-
baik dan keluarga itu satu silsilah dengan kita. Sudah
cukup, Ain? sudah cukup papa kecewa dengan adik
kamu, papa kecewa dengan Meylani, Ain? papa gak
sangup lagi kecewa yang kedua kalinya. Papa mohon,
mengertilah perasaan papa sekali ini saja?" lirih Rafli
memohon pada anaknya dengan segenap kekecewaan
yang dipikulnya selama ini. Hati Aini tersentil sakit saat
melihat dua bulir mengalir dari pelupuk mata yang mulai
keriput itu. Jiwanya hampa, sakit bagai diremas kuat.
"Pa.."
"Terserah kamu, nak. Papa lelah. Papa tidak tau harus
bagaimana lagi supaya kamu mengerti perasaan papa.
Besok, papa berangkat pulang pagi. Jaga diri kamu baik-
baik." Rafli bangkit setelah berkata pasrah pada putrinya
dengan perasaan hancur. Entah apa yang membuat
beliau berkata seperti itu, padahal beliau sama sekali
tidak merelakan Aini menikah dengan pria pilihannya,
apalagi merestuinya.
Malam beranjak begitu cepat menampakkan sisi gelap
yang sulit didiskripsikan. Kesunyian menyelimuti hati dan
jiwa Anggraini yang telah patah menjadi dua.
Bab 34
Tiba-tiba hujan mengguyur kota Medan. Langit hitam
dengan kabut bergulung. Aura malam kian dingin
menusuk jiwa memendam kerinduan. Namun, jalanan
kota belum juga sepi dari wari-wiri kendaraan.
Di tengah kepadatan itu juga sebuah mobil land cruiser
berlari kencan menuju komplek perumahan ayahanda
petisah. Mobil itu berlari dengan kecepatan di atas rata-
rata. Untung jurusan yang dituju sedikit sepi sehingga
tidak membuat pengemudi susah untuk ngebut.
Tak lama, 10 menit jarak tempuh mobil itu telah berada
di depan sebuah rumah megah milik seorang pengusaha
sukses yang bergerak di bidang property dan perumahan.
Ia turun dengan santai namun hati dan pikiran diselimuti
kesedihan.
ting ton..
ting tong..
Ia menekan bel beberapa kali hingga pintu terbuka
menampakkan seorang gadis dengan rambut gelombang
tergerai lepas. Penampilan dengan mengenakan piyama
membuat gadis itu terlihat santai.
"Loh, Vic. Ada apa? sendiri?" tanya gadis itu sambil
melihat keluar memastikan Victor datang dengan siapa.
akan tetapi, di luar hujan lebat dan tidak ada siapapun
kecuali Victor. Pemuda itu uring uringan setelah
mendengar semua pembicaraan Aini kekasihnya dengan
Rafli Syahbandar. Sejak itu, Victor tidak bisa tenang dan
ia terus memikirkan bagaimana caranya membawa lari
Aini sebelum malam tiba. Ia juga berencana meminta
bantu Sonya, maka tak perduli hujan, bahkan malam-
malampun ia nekat datang ke rumah sahabatnya guna
mencari dukungan dan sharing dengan Sonya selaku
teman dekatnya Aini
"Iya, Son. Sori ya? aku ganggu malam-malam." Jawab
Victor bernada segan
"Ya, ga papa, Vic. Masuk dulu yuk," kata Sonya ramah
melebarkan senyumnya
"Em, Son. Kita di luar aja ya? aku gak lama kok. Ga enak
ama nyokap. Udah malam soalnya," sangga Victor
menatap ragu pada gadis itu. Sebenarnya ia segan
malam-malam ke rumah Sonya. Tapi, dia juga gak punya
pilihan lain. Sebab ... merasa sedang di buru oleh waktu.
Sekilas ucapan Rafli yang memberi waktu untuk Aini 1x24
jam tergiang di telingannya.
"O ... ya udah. Tapi, kau tunggu bentar ya? aku buatkan
kopi dulu. Kau pasti kedinginan." Victor berbalik dan
mendaratkan bokongnya di kursi yang terbuat dari rotan
Sonya berlalu pergi ke dapur membuatkan secangkir kopi
hangat untuk Victor. Dan, sedetik kemudian ia kembali
dengan segelas kopi lalu menaruh di atas meja kecil yang
ada di teras lalu iapun duduk di kursi sebelahnya.
"Minum dulu, Vic. Emang dari mana sih? kok malam-
malam." tanya Sonya melirik Victor sedang menunduk.
Pria itu menarik nafas berat seraya menegakkan
tubuhnya.
"Aku yakin, kau udah tau tentang kedatangan papanya
Aini. Aku ke sini ingin mendengar yang sebenarnya, Son.
Apa benar? papanya ke mari untuk menjemput Aini?"
tutur Victor melihat wajah Sonya. Yang dilihat diam
seraya mengerjab matanya dengan wajah melebur.
Sonya menghela nafas berat seakan ada beban di
dadanya. Dia semakin iba melihat dilema cinta kedua
sahabatnya yang sampai detik ini belum juga menepi
"Hiya, Vic. Kau yang kuat ya? aku pernah bilang, kalau
Aini bukanlah sepantaran kita. Dia seorang anak
bangsawan, Vic--"
"Tapi kenapa, Son. Apa yang membedakan itu? bukankah
aku juga bisa membahagiakan Aini! Apa kurang aku, Son.
Aku memiliki segalanya, apapun yang diinginkan papanya
akan kuberikan, Sonya!" Sangkalnya berekspresi kesal
dan dongkol
"Iya, itu bukan syarat untuk menjadi pendamping hidup
Aini, Vic. Kau memang punya segalanya tapi kau pria dari
kalangan bangsawan. Kau juga harus sadar, Vic. Aini milik
keluarganya, dan kapanpun orang tuanya datang
menjemput, itu sah sah saja kan?" Jelas Sonya
menyadarkan pemikiran Victor. Pria itu menggepal
tangan hingga kukunya memutih. Sonya memperhatikan
reaksi Victor sedang menahan amarah. Hatinya resah
melihat keadaan Victor ke depan saat Aini benar-benar
akan meninggalkannya. "Vic. Kau harus merelakan Aini.
Batin Sonya. Gadis itu menghela nafas kebuntuan yang
mendera membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa untuk
menyatukan Victor dan Aini.
"Tidak, Sonya. Aku tidak akan melepaskan Aini. Aku akan
membawa dia. Aku tidak bisa tinggal diam membiarkan
dia pulang ke Aceh. Tidak akan!" tegasnya menatap ke
depan dengan kedua giginya rapat. Ia menoleh sejenak
dan menatap Sonya di sampingnya dengan tatapan mata
menyala
"Besok. Aku akan membawa Aini pergi jauh dari sini, Son.
Aku gak perduli dengan orangtuanya. Aku hanya butuh
Aini. Dan, kuminta tolong rahasiakan rencana ini, Son."
Jelasnya lagi membulatkan tekadnya. Sonya
membulatkan mata memicing heran pada Victor.
"Tapi, Vic. Kau gak bisa gitu dong? kau harus tanya dulu,
Aini setuju gak? Jangan main bawa lari anak orang
sembarangan, Vic. Kau mau? berurusan dengan hukum?
gak kan?" Sangkal Sonya berusaha membuka logika
berpikir laki-laki itu.
"Sebaiknya, kau tenangin pikiran dulu? coba gunain
logika kau itu. Membawa lari anak orang ada undang-
undang pidana, kau tau itu kan? taulah. Kau kan dosen
hukum. Masak iya sih. Gak tau. Sadar, Vic. Gunakan akal
sehat! Mendingan, kau datangin papanya Aini dan lamar
baik-baik tunjukin sikap jentle kau sama papanya. Saran
aku kau jangan asal bertindak, Vic" urai Sonya lagi dan
kali ini benar-benar menohoknya. Perlahan, ia
mulai menyadari rencana yang salah yang dapat
menjeratnya ke ranah hukum. Victor mendengkus kasar
sambil menuduk menopong kepala dengan telapak
tangannya. Tidak mau membayangkan kepupusan dalam
harapnya, Victor berusaha memikirkan cara lain.
"Mungkin, Sonya ada benarnya juga. Aku harus melamar
Aini besok siang. Yah, aku harus berani melakukan itu
demi Aini. Aku tidak akan sanggup berpisah dengan Aini."
"Baiklah, Son. Aku akan melamar Aini besok siang. Aku
minta kau temani aku ke kosan Aini besok. Aku gak
mungkin datang sendiri, kan." Ujarnya pasrah.
"Hay.. kenapa aku? kan, kau punya om Andreas.
Harusnya kau mengajak papamu, Vic. Ini momen penting
dalam hidup kau, dan om Andreas wajib menemani kau
menjumpai pak Syahbandar--"
"Tapi, Son. Aku gak mau mel--"
"Ayolah, Vic. Seburuk apapun, dia papa kau. Kau darah
dagingnya. Lagian, apalagi sih yang kau dendamkan?
semua udah berlalu juga. Sudah waktunya kalian rukun?
kasian papa kau mengurus perusahaan sendiri, Vic. Kau
gak kasian apa?" cecar Sonya memojok pria tampan itu.
Sementara Victor sejenak diam mencerna setiap ucapan
Sonya yang sedikit mulai menyadarkannya. Meskipun
peristiwa itu masih membekas di benaknya, namun ia
mencoba mendengar nasihat Sonya dan perlahan,
pikirannya terbuka.
"Aku balik dulu ya? thank's udah kasih saran. Kadang-
kadang kau cerdas juga, Son. Tapi, banyak tololnya
masih." Canda Victor meneguk kopi yang hampir dingin.
Sonya melongo melebarkan bibirnya
"Yee? enak aja? aku memang cerdas? kau aja yang gak
mengakui." soraknya membela diri. Victor mengidik bahu
menolak pernyataan itu. Pria itu memohon diri untuk
pergi dengan perasaan sedikit lega.
Sebelum pergi, ia membunyikan klakson mobilnya dan di
lambai oleh Sonya. Gadis itu menggeleng kepala sambil
menghembus nafas plong lantas masuk ke dalam
rumahnya menutup pintu kembali ke kamarnya. Namun,
sebelum ia sampai di kamar, Sonya disapa oleh papanya,
"loh, kamu dari mana? kok belum tidur sayang?"
"Eh, papa. Anu pa.. tadi ada tamu. Papa ngapain,"
jawabnya melirik sesuatu dalam genggaman papanya.
"Oh, gak sayang. Ini ... ada kopi oleh-oleh kawan papa
dari Aceh. Kopinya nikmat sayang. Kamu mau cicip," jelas
papanya memberikan cangkir ke putrinya, namun ditolak
oleh Sonya dengan alasan takut gak bisa tidur.
"Pa, Sonya bobok dulu ya? ngantuk." Ucapnya menguap
sambil menggaruk rambutnya.
"Oke, sayang. Lanjut,"
Akhirnya papa dan anak masuk ke kamar masing-masing
berbaring dipembaringan menuju ke peraduan malam.
Telah banyak hal yang dilewati oleh anak manusia
terutama berjuang menggapai cita-cita. Sejatinya hidup
adalah perjuangan, maka tidak ada kata menyerah
meskipun itu suatu tantangan yang berat untuk diraih.
Bab 35
Keesokan harinya di kediaman Aini. Gadis itu melamun
setelah menyiapkan sarapan untuk papanya Rafli. Ia
duduk di teras menatap kosong penampakan jalan yang
disibukkan oleh kenderaan. Pikirannya terngiang
pembahasan tadi malam bersama sang papa tentang
hubungannya dan Victor. Awalnya, jawaban papanya
tegas, namun pada akhirnya pasrah memberinya pilihan.
Dan, itu dilema yang berat buat Aini. Jujur, melihat
papanya pasrah sampai meneteskan air mata hati Aini
bagai dicabik-cabik dengan sebilah posau dan semakin
ragu untuk mempertahan hubungannya dengan Victor.
Sentilan rasa sakit saat melihat raut sang papa yang
seakan putus asa terhadap dirinya
"Aku harus jujur dengan Victor. Aku akan meminta maaf
padanya, aku tidak bisa menepati janjiku, Vic. Maafkan
aku." Batin Aini terus mengutuk dirinya sendiri.
Hubungan yang dibinanya selama ini telah menjerat
seorang Victor ke ujung kehancuran dan mungkin pria itu
akan patah hati dengan keputusan Aini
"Papa keluar sebentar. Kamu pergilah ke kampus, Ain.
Jangan menunggu papa. Kalau sudah selesai papa akan
langsung ke Terminal." Kata Rafli tiba-tiba muncul berdiri
di depan pintu. Aini terkejut segera bangun menghadap
sang papa.
"Papa balik hari ini? papa bilang, mau nunggu Aini
sampai besok, pa?" reflek Aini berkata seperti itu
membuat Rafli berpaling cepat menatapnya tak percaya.
Beliau melangkah mendekat dan menangkup kedua bahu
putrinya. Enatahlah, Aini juga tidak mengerti kenapa ia
berkata seperti itu. Yang jelas derita cinta telah menusuk-
nusuk jiwanya yang hampa kini.
"Papa tau, kamu sangat menyangi papa. Papa janji, nak.
Papa akan mencarikan kamu jodoh yang sepantaran
dengan kita, percayalah sama papa, Ain." ucapnya serius
dengan mata berbinar. Aini tersenyum pasrah dengan
segenap jiwa yang hancur berkeping-keping. Ia
menunduk sejenak menormalkan rasa sesak dalam dada.
Rafli dapat merasakan keterpaksaan yang diperlihatkan
Aini dari wajahnya yang sembab, namun beliau tidak
perduli. Keegoisannya tidak pernah surut untuk sebuah
kebahagiaan anaknya. Ia hanya mementingkan kepuasan,
dan ambisinya menjodohkan Aini dengan lelaki yang
segaris keturunannya
"Hiya, pa.. Aini tau. Tapi, Mungkin Aini gak menyiapkan
urusan dengan kampus kalau hanya sampai hari ini.
Biarlah, Aini balik bulan depan saja," jelas Aini bernada
lemah. Perlahan senyum di wajah Rafli surut berganti
dengan siluet kelam yang sulit diartikan oleh Aini.
"Ya, sudah Ain. Tidak apa-apa? kamu boleh balik bulan
depan bersama papa. Papa akan temani kamu, nak.
Emm.." tandas Rafli mengerjab menatap wajah putri
kesayangannya. Aini menarik nafas yang terasa sesak,
bahkan seperti ada gumpalan yang memblokir
aveolusnya untuk menyaring okxigen dalam paru-
parunya. Bersamaan dengan itu juga, tubuhnya tiba-tiba
bergetar menahan agar tidak mengeluarkan air
matanya.
"Iya, pha.." lirihnya tercekat di keronkongan. Berulang
kali ia menelan ludah yang terasa getir dan kepahitan
melingkupi ulu hati sampai dadanya.
"Ya, sudah. Papa pergi dulu ya? kamu segera ke kampus,
mudah-mudahan bisa kelar hari ini, emm.." seru Rafli
semangat. Laki-laki itu tidak lagi memikirkan embel-
embel tentang kuliah Aini. Yang beliau pikirkan
bagaimana caranya Aini bisa pulang bersamanya.
Aini menyungging senyum tipis melihat raut papanya
bahagia. "Asalkan papa bahagia, Aini rela pa.. Aini rela
melepaskan kebahagiaan Aini sendiri,"
Aini bergerak dua langkah mengiringi kepergian sang
papa dengan deraian air mata. Setelah bersusah payah ia
melawan gejolak dalam dadanya, kini ia lepaskan tanpa
memikirkan keadaan sekitar.
"Aku harus siap-siap untuk menemui Victor sebelum
semuanya terlambat"
Aini bergegas masuk ke kamar menggantikan custum
rumahan dengan tunik kesukaannya, jumper jeans,
kerudung senada. Ia mengoles sedikit lipstik berwarna
bibir membuatnya tampil elegan. Walaupun wajahnya
sedikit pucat dan murung, namun tidak menyurutkan
kecantikan gadis berdarah bangsawan itu. Aini memesan
ojek online untuk tujuan ke rumah Victor kekasihnya
Waktu bergulir begitu cepat menuju perempatan pagi ke
siang, dan dalam hitungan menit Anggraini tiba di
kediaman Victor. Setelah membayar ojek Aini melangkah
perlahan memasuki sebuah rumah bergaya eropa
dengan hamparan halaman begitu luas yang ditumbuhi
pepohonan buah dan rumput-rumput halus tertata rapi.
Gadis itu mengetuk pintu dua kali dan muncullah seorang
pria paruh baya membukakan pintu untuknya.
"Permisi, ppak. Vic ... tor ada?" tanya Aini bernada segan.
Pria itu memicing menatap Aini dengan sedikit wajah
mengkerut.
"Siapa, pa?" tanya Victor berjalan ke pintu untuk
memastikan siapa yang datang
"Aini? kamu sudah datang? yuk, masuk dulu. Oya, pa..
kenalin, ini Aini calon istriku, Ain. Papa aku," jelas Victor
sembringah. Ia tidak menyangka Aini benar-benar datang
untuknya. "Aku tau kamu datang, Ain. Aku tau kamu juga
sangat mencintai aku," batin Victor
"Owhh,, jadi ini yang namanya Aini?" ujar Andreas ramah
sambil menjabat tangan Aini. Gadis itu mencium tangan
pria paruh baya itu menunjukkan sikap sopannya di
hadapan ayah dan anak. Sejenak, Victor tertegun melihat
cara Aini menghormati papanya, bahkan dia sendiri saja
tidak pernah seperti itu.
"Mari masuk, Aini. Jangan malu-malu? anggap aja rumah
sendiri.." tukas Andreas mendaratkan bokong di sofa
ruang tamu. Aini dan Victor duduk berdekatan satu sofa
bersebrangan dengan Andreas.
"Jadi, kapan kalian akan menikah. Jangan lama-lama son,
ntar masuk angin loh. Kamu kan suka kluyuran?" cicit
Andreas dengan gaya santainya. Beliau nampak senang
hari ini. Bagaimana tidak? di tengah malam buta putra
yang dirinduinya selama ini mendatangi apartemennya
dan menyampai maksud dan tujuan. Dan, sesuai dengan
saran dari Sonya, Victor melakukan semuanya termasuk
menceritakan rencananya melamar Aini siang ini. Papa
dan anak terlihat akur dan damai membuat Aini bangga
pada Victor. "Akhirnya, kamu baikan juga dengan papa
kamu, Vic. Semoga saja, ke depan kalian akan lebih baik."
sesaat batin Aini menjadi yevadu
"Secepatnya pa.. kalau bisa siang ini kita pergi ke
kosannya Aini untuk melamar Aini sama papanya,
bolehkan, sayang." Jawab Victor meraih tangan Aini dan
menggenggamnya erat.
"Hah. Kamu serius, son. Itu mah, bukan cepat lagi, son..
tapi ngebut?" canda Andreas tergelak. Aini diam
meratapi hati dan pikirannya. Bagaimana mungkin, Victor
dan papanya datang ke kosannya. Sementara, Rafli
sendiri sudah mengklaim bahwa tidak ada lamaran dari
siapapun kecuali pilihannya sendiri, dari kalangan Hulu
balang.
"Pa, aku mohon. Jangan tunggu lagi, pa. Aku takut Aini
akan pergi meninggalkan aku, pa. Dia berencana pergi
seperti mama, pa?" ungkap Victor sad. Aini menoleh
cepat menatap wajah sang kekasih dan mereka terkunci
dalam tatapan yang dalam. Hati keduanya bagai diremas-
remas menjadi remuk redam. Aini mengerjab setelah
menyadari ucapan Victor barusan itu memang benar.
"Ekhem. Ya, sudah. Vic, kita akan ke sana tepat jam
makan siang, gimana? papa ada meeting sebentar ... aja.
Nanti jam 12 papa akan jemput kalian berdua. Gimana?
bisakan. Emm, Aini?" kata Andreas melihat ke arah Aini.
Seluruh tubuh gadis itu berdesir kuat. Jantungnya
berdetak cepat menatap tertegun pada sosok laki-laki
berpenampilan rapi dengan jas mewah melekat di
tubuhnya. Aini mengulas senyum tipis pada beliau
dengan segenap kekalutan mendera jiwanya.
"I--i--ya, om." Papa dan anak lega mendengar jawaban
Aini, meskipun ada sedikit rasa sedikit rasa ragu akan
jawaban Aini
"Ya, sudah. Papa pergi dulu ya?" ucap pria bertubuh
tinggi itu lalu pergi meninggalkan anak dan calon
menantunya berduaan.
"Sayang, makasih ya? kamu udah datang untuk aku. Aku
yakin ... kamu pasti ngelakuinnya demi aku, Ain." tutur
Victor membelai sudut bibir Aini dengan ibu jarinya. Aini
mengerjab menatap Victor dalam kebimbangan. "Aku
kemari untuk pamit, Vic. Benar kata kamu, kalau aku
akan pergi ninggalin kamu."
"Sayang. Hey? kamu kenapa?" tanya Victor mendekatkan
wajahnya dengan wajah Aini mencari sesuatu di sana.
Aini menghela nafas panjang menuduk sejenak.
"Maaf, Vic. Aku ... aku ... "
"Kenapa? kangen ya." Jawab Victor cepat. Ia memicing di
depan muka Aini mengharap Aini menjelaskan sesuatu.
Namun, sudah beberapa detik berlalu, Aini belum
mengungkapkan apapun. Sungguh ia tidak pernah tega
melihat Victor hancur. Tapi, ia juga tidak punya pilihan
lain. Orang tua juga segalanya buat Aini. Ingin rasa
menjerit menumpahkan segala kerinduannya di pelukan
kekasihnya dan menjelaskan semuanya dari hati ke hati.
Sementara Victor sendiri, ia merasa telah memenangkan
perkara itu dengan datangnya Aini ke ruamahnya. Akan
tetapi, itu semua salah. Justru Aini datang untuk
berpamitan dan meminta maaf atas semua yang telah
terjadi. Atas hubungan yang tidak bisa ia pertahankan,
dan harus berakhir demi kebahagiaan orang tuanya.
Bab 36
"Vic. Kamu yakin, ingin ketemu papa. Aku ... aku ... "
"Aku tau, Ain. Aku sudah mendengar semuanya, aku
tidak akan mundur selangkahpun sebelum mendapatkan
apa yang sudah menjadi tekadku, Ain. Kumohon,
sebelum tuan Syahbandar membawa kamu pergi izinkan
aku melamar kamu, Ain. kamu tau? aku gak mungkin
bisa hidup tanpa kamu, Ain?" ungkap Victor meraih
tangan Aini dan mengecupnya lembut. Ia memandang
wajah gadis itu dengan penuh perasaan diiringin air
mengambang di pelupuk matanya. Sebongkah jiwa yang
terombang ambing tergulung dan bermuara dalam
dilema rasa yang semakin tak tentu arah
Lagi-lagi Aini menelan ludah dengan segenap perasaan
yang hancur berkeping-keping. Tak kuasa ia melawan
perjuangan itu. Tak kuasa untuk tidak meneteskan air
mata. Sesesak ini rasa perpisahan, Ya Tuhan ... Ke mana
aku menbawa rasa ini. Haruskah aku pergi demi baktiku
pada orangtua, meninggalkan sepotong hati yang
sedang rapuh untuk remuk kembali? kepergian sang
bundanya saja sudah cukup membuat Victor terpuruk
bahkan ia nyaris bunuh diri. Tuhan, aku harus gimana?
"Iya, aku tau, tapi gak semudah itu, Vic. Kamu gak tau
gimana papa ak---"
"Aini? please. Aku tau! bahkan aku sudah mendengar
semua pembicaraan kalian kemaren itu, waktu itu kamu
terlambat pulang." Kata Victor melepaskan gemggaman
tangannya lalu ia beranjak berdiri di jendela besar dalam
kamarnya. Masih terngiang di telinga bagaimama Rafli
memaksa Aini pulang ke kampung halamannya dalam
satu kali 24 jam.
"Jadi!" Ucap Aini menelan ludah. Ia memandang tubuh
kekar kekasihnya dengan hati teriris pedih. Tak kuasa
menahan itu hingga membuat Aini berlinang air mata.
Darahnya berdesir kuat seluruh tubuh memdadak panas
dingin.
"Iya, Ain. waktu itu aku sengaja datang ke kosan kamu,
karena aku bingung apa maksud chat kamu itu. Namun,
sampai di sana, aku terkejut melihat papa kamu marah-
marah. Semenjak itu aku jadi tau, gimana papa kamu
sayang. Tapi, aku gak mau nyerah gitu aja. Apapun yang
terjadi, aku tetap akan melamar kamu hari ini juga."
Victor mendekat kembali pada Aini dan menangkup
kedua pipinya lembut. Sesaat keduanya saling menatap
mendalami perasaan masing-masing. Suasana berubah
hening hanya terdengar deru nafas diburu oleh gejolak
yang kian bergelora.
"Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Apa yang terjadi
seandainya, Victor dan pak Andreas bertemu dengan
papaku. Aku harus mencegah ini jangan sampai
kemarahan papa menghancurkan perasaan Victor." Batin
Aini semakin takut akan terjadi sesuatu.
"Vic. Kamu tau, kan? kalau hubungan itu bukan hanya
tentang dua hati." Cetus Aini menunduk meremas
jemarinya. Gelombang kebimbangan menghantam
segenap jiwanya yang rapuh kini
"Maksud kamu," balas Victor meneliti raut gadis manis
yang tertutupi separuh hijabnya. Batin pria itu
bergemuruh hebat hingga melemahkan otot-ototnya.
Aini melangkah menghadap jendela dan melempar
pandangannya pada hamparan langit yang mulai kelam.
Ia menarik nafas berat lalu menghembus perlahan.
"Seandainya papaku tidak merestui hubungan kita, aku
gak tau langkah apa selanjutnya yang harus kutempuh.
Tidak menutup kemungkinan ... aku dan ka---"
"Berpisah. Itu maksud kamu. Jadi kamu akan menyerah
begitu saja! pasrah lalu kamu pergi ninggalin aku, gitu!
harusnya dari awal aku sadari itu, kalau sebenarnya
kamu tidak pernah mencintai aku, Ain. Aku bodoh!
bodoh!" Sangganya cepat menggurutu diri sendiri. Pria
itu mendaratkan tubuhnya di sofa sambil memijit
pelipisnya yang mulai nyeri. Aini memaling cepat
menatap prianya dengan menggeleng kepala sebagai
iyarat bahwa yg diucapkan Victor itu salah. Gadis itu ikut
duduk di samping Victor dan meraih kedua tangan kekar
itu mengelusnya lembut.
"Vic. Aku tau kamu akan berpikir seperti itu. Aku terima
itu, karena seberapapun besarnya cintaku untukmu ...
kamu tidak akan tau kalau hubungan kita terbentang
perbedaan." ungkap Aini menjeda sesaat. Victor
menatap dalam mata bak bola pimpong itu dengan
keraguan yang dalam.
"Maafkan aku, Vic. Aku terlahir sebagai anak, dan yang
harus kulakukan adalah berbakti pada kedua orangtuaku.
Namun, bukan berarti aku harus memilih. Aku hanya
berserah pada Sang pengatur jodoh. Bila kamu jodoh aku
maka kita pasti bersatu. Bukankah kita sudah berusaha
membina hubungan ini dengan baik? aku harap kamu
mengerti, Vic. Aku juga tersiksa berada di posisi yang
sulit ini," Bulir bening lolos dari mata indah itu dan
tergenang menjadi saksi bahwa begitu terlukanya hati
Aini. Victor meremas erat jemari lentik nan lembut itu
dengan perasaan tertegun namun penuh kehancuran.
Keduanya lena dalam tatapan saling menyalurkan
kekuatan dalam ketersiksaan. Ia mengecup sebutir
bening yang masih tergenang di pipi Aini dan
meneguknya dengan mata terpejam. Sejenak keduanya
terdiam merasakan kehangatan dalam hati masing-
masing.
Deru nafas semakin sesak terdengar di telinga Aini
sementara Victor masih menempel bibirnya di pipi Aini.
Sedetik kemudian, kedua bibir itu menyatu terlena dalam
lumatan dan hisapan syahdu. Aini mengiringi ciuman itu
selembut mungkin seraya menyalurkan rasa cinta
sedalam perasaannya saat ini.
"Ain. Aku mohon jangan pergi. Aku gak bisa hidup tanpa
kamu, Ain. Aku gak perduli papa kamu nolak aku atau
engga yang penting sekarang aku harus ngelamar kamu,
Ain. Percaya sama aku kita pasti berjodoh, Ain?" ucap
Victor menghentikan ciumannya. Ia mengelus sudut bibir
ranum itu yang bengkak akibat ulahnya.
"Hiya, tapi kamu jangan kecewa seandainya papaku
menolak lamaran kamu. Ya, semoga saja papaku berubah
pikiran, dan merestui hubungan kita, Vic." Ain
menangkup gerahang kokoh kekasihnya dengan hati
tersentil sakit. Ia terus berjuang mempertahankan
benteng pertahanan dalam dirinya walaupun hatinya
hancur melebur tak bersisa.
"Ain. Kamu harus yakin kekuatan cinta itu besar? Tuhan
tidak mungkin membiarkan kita terpisah sementara niat
kita itu menikah dan itu ibadah sayang?"
Kamu gak tau gimana papa aku Vic. Dia tidak akan
mengubah keputusannya sekalipun aku harus menangis
darah. Batin Aini. Ia menghela nafas menatap pria itu
dengan mengulas senyum tipis seakan itu sebagai isyarat
begitu tipisnya harapan.
"Udah, sekarang kamu tenang ya? kita tunggu papa aku
sebentar lagi setelah itu kita sama-sama ke kosan kamu,
emm.." senyum pasrah tergaris di bibir Aini membuat
Victor mendengus kasar. Ia mengacak pinggang dengan
sebelah tangan dan sebelah tangan lagi meraup
wajahnya prustasi.
"Aku gak ngerti jalan pikiran kamu. Sebenarnya kamu
serius gak sih, dengan hubungan kita. Yang kamu
tunjukkan selalu keraguan dan keraguan. Apa sedangkal
itu cinta kamu untukku, Aini. Katakan! katakan, Aini?"
tubuhnya luruh di atas sofa menangkup kepalanya
kecewa. Melihat keadaan Victor Aini menitikkan air mata
yang kesekian kalinya, Victor mengatainya seperti itu.
Hatinya bagai diremas tiada kuasa menahan lagi. Ia
melangkah cepat menghampiri Victor dan menatap
wajah laki-laki itu dari samping dengan tarikan nafas
memburu
"Sampai kapan. Sampai kapan kamu menganggap aku
seperti itu, Vic. Apa masih kurang! bahkan kamu sudah
menyicip seluruh tubuhku, Apa itu belum cukup
membuktikan kalau aku mencinta kamu lebih dari yang
kau tau!" Pekik Aini megatup bibirnya menahan perihnya
kesakitan. Victor menoleh dan tertegun melihat kilatan
kemarahan di wajah Aini. Ia mengerjab tak percaya
dengan apa yang di dengarnya barusan sungguh
menusuk jantungnya.
"Ain. Aku ... aku gak bermaksud ber---"
"Aku tau, Vic. Kamu tidak pernah menghargai apa yang
sudah kulakukan. Dan, kamu selalu berpikir seolah-olah
hanya kamu pemilik cinta sejati. Kamu tidak tau, aku
hampir gila memperjuangkan hubungan kita!" Jeda Aini
membiarkan Victor menatapnya dalam linangan air mata
"Awalnya, aku ingin kita lari dan menikah di satu tempat.
Namun, sebagai anak aku gak kuasa membiarkan air
mata papaku menangisi keinginanku. Papaku ingin aku
pulang untuk menikah dengan sesama keturunannya dan
aku gak bisa cegah itu, Vic. Aku gak tau apa aku bisa
mencintai pria lain selain kamu. Maafkan aku, aku tidak
tau harus bagaimana lagi, hiks..hiks.." Victor menggeleng
kepala dan segera membawa Aini dalam pelukannya,
membiarkan dara bangsawan itu menangis tersedu di
pundaknya. "Maafkan aku Ain. Aku gak bermaksud
seperti itu. Aku hanya takut kehilangan kamu tolong
percaya sama aku?" begitulah Victor. Ia selalu
mengedepankan emosi saat menghadapi suatu masalah.
Kerap kali beranggapan seolah-olah Aini sedang
mempermainkan perasaannya. Dan, Aini cukup tau
dengan karakter Victor yang satu itu. Pasti dia berkata
seenak perutnya karena anggapannya salah, atau yang
membuatnya tidak puas.
"Maafin aku, ya?" ucap Victor menangkup kedua pipi Aini
dengan tangannya dan menyapu lelehan air mata yang
terus mengalir tanpa henti. Pertama dalam sejarah hidup
seorang Anggraini Syahbandar menangis di hadapan
seorang pria yang teramat dicintainya. Siapa yang
sangka, perputaran waktu telah berhasil mengubah hati
seseorang dari kebekuan pada yang namanya cinta
menjadi terlena dan terperangkap dalam pesona Victor
Walidin pria gagah dan tampan yang memiliki segala-
galanya namun sangat merindukan belaian seorang
wanita setelah ibunya meninggalkan dunia ini selama-
lamanya. Karena itu juga, Victor tumbuh menjadi pria
posesif dan emosional.
Harapan itu ia sandarkan pada Aini wanita yang telah
membuatnya cinta mati dan berharap bisa membina
bahagia dalam satu mahligai rumah tangga bersamanya.
Namun, waktu belum terlalu jauh beranjak mereka harus
dihadapkan dengan yang namanya perpisahan yang
terbentang nyata di depan mata hanya karena sebuah
perbedaan di antara mereka.
Degub jantung dipacu dua kali lebih cepat menghadirkan
desiran dalam hati Aini. Gadis itu mengerjab dan setiap
kali itu terjadi beriringan dengan air mata memaksanya
begitu rapuh di hadapan pria yang dicintainya.
"Sstt... Ain. Udah ya? jangan nangis lagi, aku gak bisa lihat
kamu seperti ini. Aku ... Aku ... "ia terbata dalam
kebingungan melihat Aini tak berhenti mengeluarkan air
mata. Harus diakuinya, yang terjadi sekarang tidaklah
mudah apalagi Aini sendiri meragukan restu dari
orangtuanya, dan itu membuat Victor bimbang
menentukan langkah. Ia bermaksud melamar Aini
secrpat mungkin supaya Rafli tidak membawa Aini jauh
darinya. Ia juga ingin membuktikan pada Rafli kalau
dirinya juga mampu membahagiakan Aini tanpa harus
menjadi seorang bangsawan.
Arlogi telah menunjukkan di angka 12 tepat waktu kota
Medan dan sekitarnya. Hampir 15 menit mereka saling
diam meratapi hati masing-masing. Takkala disela itu
mereka dibuyarkan oleh deringan ponsel milik Aini. Ia
merogoh tas di atas meja lalu mengambil benda pipih itu
dan menatap sejenak layar yang menampil ayahanda lalu
menggesek kemudian menempelnya di telinga.
"Assalamualaikum, pa. Kenapa?" jawabnya lembut
seraya bangkit menjauh dari sisi Victor.
"Aini. Papa gak pulang malam ini. Papa masih ada urusan
dengan kawan papa. Tutuplah pintu dan jangan
menunggu papa," jawab Rafli tanpa jeda.
"Baik, hati-hati pa?" kata Aini pasrah. Ia merenggangkan
tempelan itu sebab suara Rafli begitu pecah di telinganya
"Ingat, Ain. Jangan pulang malam-malam. Jaga diri kamu,
jangan berbuat macam-macam. Papa tutup dulu," Aini
berdiri bersedekap dengan hp masih dalam genggaman.
Ia menatap datar tirai jendela yang bergerak ke sana
kemari akibat terpaan angin dengan pikiran kosong. "Apa
maksud ucapan papa jangan berbuat macam-macam,"
batinnya
Bab 37
kegelisahan melingkupi hati Anggrani saat ini. Gadis itu
tak berhenti meremas ujung tuniknya melampiaskan
segala rasa tentang hubungan yang kian rumit meskipun,
tangan kekar Victor terus mengelus punggung dan
menguatkannya dengan sebuah belaian. Kisah yang
sudah di ujung tanduk semakin membuat Aini tersesat
dalam dilema rasa akan sebuah keputusan.
"Kamu harus yakin, Tuhan akan mempersatukan kita,
emn.." ucap Victor meraih kedua tangan Aini dan
mengecupnya dalam. Kesedihan mereka di saksikan oleh
dedaunan yang bergoyang oleh terpaan angin malam.
Entah apa yang membuat Aini hingga ia belum
merencanakan untuk pulang ke kosannya. Rasanya
enggan meninggalkan Victor saat ini, apalagi ia baru
dapat kabar Rafli papanya, juga tidak pulang karena
menginap di rumah temannya.Jadi, memanfaatkan
kesempatan itu untuk menghabiskan waktu bersama
kekasihnya.
Aini menarik nafas panjang seraya memandang bulan
purnama yang mulai menerangi langit malam. Ia
terkesima dengan sinar indah, namun menatapnya
pongah. Sesaat ia menunduk melihat jari manisnya yang
kini tersemat cincin permata merah delima pemberian
Victor pada malam pelamaran waktu itu. Sebenarnya,
cincin itu sudah dikembalikan Aini pada Victor setelah
tragedi penghinaan atasnya gara-gara ia pergi dengan
laki-laki yang bernama Elang. Dan barusan, Victor
menyematkan kembali cincin itu di jari manis Aini
sebagai bukti bahwa Aini miliknya sampai kapan pun,
walau jurang pemisah kini terbentang di hadapan
mereka. Ia mengelus permata itu dengan tubuh berdesir
hebat disaksikan Victor. Pria itu memperhatikan
wanitanya masih diam tak menjawab sepatahpun
membiarkanya dalam kebingungan, apa sebenarnya yang
dipikir Aini.
"Vic?"
"Emm.."
setelah keheningan beberapa saat, akhirnya Aini
mengeluarkan suara yang begitu merdu terdengar di
telinga Victor. Darah pria itu berdesir melahirkan
kerinduan yang ingin segera ia tumpahkan.
"Aku lelah. Boleh? malam ini aku beristirahat di
rumahmu," ujar Aini bernada berat. Ia menyembunyikan
wajahnya dari Victor untuk sekedar menutupi rasa malu
atas permintaannya. Victor mengulas senyum bahagia
dan meraih lagi tangan gadis pujaannya.
"Aini. Ini rumahmu juga, kamu tidak usah berkata seperti
itu, karena setalah menikah nanti? kita akan tinggal di
sini membangun mahligai yang indah dan sakral, Insya
Allah. Semoga Allah merestui kita," Jawab pria itu sambil
melihat sekeliling halaman rumah megahnya yang hanya
dihuni oleh dirinya sendiri. Aini menatap sejenak wajah
lelaki di depannya dengan rasa bersalah kian
menyesakkan dadanya. "Vic. Maafkan aku. Besok aku
akan kembali ke orangtuaku."
"Ya, sudah. Sekarang kita masuk ya? ini juga udah mau
isya'. Yuk, aku antar ke kamar?" ajak Victor meraih bahu
Aini membimbing gadis itu masuk. Dia menangkup
posesif pinggang ramping Aini berjalan melewati pohon-
pohon buah diiringi pantulan cahaya bulan purnama di
langit nan lepas.
"Nah, kamu istirahat di sini aja ya? gak usah sungkan?
anggap saja ini kamar kamu, emm.." Victor membawa
Aini ke sebuah kamar yang bernuansa biru lembut.
Kamar yang di isi oleh perabotan mewah, tempat tidur
king sed yang dilapisi sprai Biru soft tertata rapi tak
terjamah. Lemari pakaian berdiri di sebelah kanan rajang
berwarna senada serta sebuah lampu tidur kristal di
letakkan di atas nakas sedang menyala menerangi
remang suasana.
"Vic, emang ini ... kamar siapa? gak apa-apa aku---"
"Gak, sayang. Ini kamar mama aku kok. Dulu, almarhum
mama pernah bilang, Kalau suatu saat aku menikah.
Mama ingin kamar ini dijadikan sebagai kamar
pengantin. Aku juga gak tau, kenapa mama ngomong kek
gitu. Padahal, waktu itu mama sehat-sehat aja," Victor
mengantungi kedua tangannya sambil menatap ranjang
milik almarhum sang ibu yang selalu tertata rapi padahal
ia hampir tidak pernah mengunjunginya.
"Ain, sini." pria itu memanggil kekasihnya yang masih
berdiri di pintu sementara dirinya sedang membuka
lemari pakaian ingin ia tunjukkan pada Aini semua
pakaian-pakaian yang tresusun rapi di dalamnya.
"Kamu ganti baju ya, ini ada baju piama punya mamaku.
Kamu pakai aja gak papa." Dia meraih tangan Aini untuk
melihat susunan pakaian itu. Sejenak Aini tertegun
menatap isi dalam lemari itu. Barang-barang milik
ibunya Victor dari perhiasan sampai tas tas branded
bermerek masih utuh dan terawat.
"Ain. Kelak, kalau kita sudah menikah nanti ... semua
peninggalan mama menjadi milik kamu dan kamu boleh
memakai apa saja yang kamu sukai, emm.." ucap Victor
menangkup kedua bahu Aini lembut. Laki-laki itu
menatap gadis pujaannya dengan senyum tulus
menghias bibir tipisnya.
Aini menelan ludah tercekat di kerongkongannya. Ia
membalas tatapan itu dengan kosong. Pikiran Aini
tersesat dalam lumuran dosa dan kebersalahan atas
harapan yang telah ia sematkan di hati Victor hingga kini
tenggelam dalam muara yang begitu dalam.
"Hey? kamu gak apa-apa, Ai... "
"Hiya, aku gak gak papa. Sori, aku ... aku ... " pungkas Aini
kebingungan. Gadis itu mengulas senyum getir ketika tak
ada lagi kata-kata yang ingin ia sampaikan. Victor sudah
membuktikan segalanya, bahkan pria itu merelakan
semua peninggalan sang bunda untuk Aini sebagai mana
itu semua amanah dan keinginan nyonya Andreas
semasa beliau masih hidup.
"Kamu tau, Ain. Dulu, mama sangat mengharapkan Salsa
menjadi menantunya. Tapi---"
"Tapi, kenapa?" jawab Aini cepat. Gadis itu tersentak,
"jadi, benar? Salsa mantan tunangnnya, kamu." Batin
Aini.
"Dulu. Aku dan Salsa pernah bertukar cincin di depan
mama, dan itu kulakukan supaya Salsa percaya kalau aku
gak main-main dengan dia." Victor diam sesaat dan
melangkah mendekati sebuah jendela yang di tutupi tirai
berwarna biru motif bunga-bunga. Ia menyingkap tirai
tersebut hingga menampakan pemandangan kolam
dikelilingi bunga-bunga yang sedang bermekaran. Aini
memperhatikan punggung kekar kekasihnya dengan hati
tersentil sakit. Dalam hati ia semakin bersalah karena
setelah ini, dia orang pertama yang akan menabur garam
di atas luka lama Victor. Tiba-tiba, tubuh Aini berdesir
kuat serasa otot-ototnya lemah tak mampu menopang
lagi. Ia semakin terpojok dengan situasi saat ini.
Berapapun ia berusaha mengontrol diri, namun
percuma! Akhirnya gadis itu luruh terduduk di ranjang
empuk itu dengan satu tangan menekan kesesakan di
dadanya. Sementara Victor tidak menyadari apa yang
terjadi dengan Aini di belakangnya, karena ia terus
menceritakan kilasan masalalunya dengan Salsa dan
sekilas tentang kematian sang bundanya sambil menatap
genangan air tenang dalam kolam di hadapannya.
"Salsa pergi dengan pria lain, Ain. Sejak itu, aku berpikir
tidak ada wanita yang bisa kupercaya selain mama, dan
ternyata mama juga pergi ninggalin aku. Waktu itu aku
gak sangup lagi menghadapi hidup sendiri. Mamaku
meninggal karena serangan jantung mendadak, dan itu
gara-gara aku selalu pulang dalam keadaan mabuk.
Mama stresa sampai ... jantungnya kumat. Saat itu, yang
bisa kulakukan adalah menbenci diriku sendiri sampai
aku stagnan ingin bunuh diri dan menyusul
mamaku. Seandainya--"
"Aini! kamu kenapa," Victor menghentikan lanjutan
ceritanya ketika membalikkan tubuhnya melihat Aini
dalam keadaan terisak sedang meremas area dadanya.
Victor meraih bahu Aini mengangkat wajah gadis itu
dengan jemarinya, dan terlihat lelahan air mata dibaluti
kesedihan yang sulit dijelaskan.
"Ain?" Panggilnya lembut membuat hati Aini mengangga.
Victor menyeka air yang terus berjatuhan di pipi wanita
bangsawan itu dengan kedua ibu jarinya sambil
mengecup keningnya yang tertutup hijab kemudian
membawanya dalam pelukan. Victor baru saja
merasakan degup jantung Aini berserta tubuhnya
bergetar hebat. Pria itu mulai panik, ia menangkup wajah
Aini menatapnya dalam.
"Ain. Hey? bicara padaku,, kamu kenapa? aku salah ya.
Ya udah udah, sekarang kamu istirahat dulu, maafin aku,
aku gak bermaksud membuat kamu sedih, sayang. Aku
hanya... "
"Vic, aku gak, app appha." Sangga Aini terisak. Ia menarik
nafas sesak berusaha menghentikan air mata yang
seharian ini begitu mudah keluar dan itu membuatnya
kesal.
"Ain, mulai sekarang Kamu janji sama aku," Deg. Jantung
Aini berdetak sontak ia menatap Victor dengan raut
ketakutan
"Maksud, kamu ..." sengau Aini menyeka hidung dengan
tissu di tangannya. Victor mengulum senyum menawan
dan menankup kembali kedua pipi halus Aini membuat
jarak yang sangat dekat
"Kamu harus janji tidak akan seperti ini lagi. Kamu harus
selalu tersenyum untukku, Ain. Karena kamu
penyemangat hidupku, juga nafas buatku."
Keduanya terkunci dalam tatapan syahdu saling
merasakan degupan jantung yang dipacu mengejar
kerinduan tak ingin terpisahkan. Dan, semenit kemudian
keadaan berubah menjadi romantis. Victor membawa
kedua tangan Aini mengalungi lehernya, juga sebaliknya
dia memeluk pinggang ramping gadis itu merapatkan
ketubuhnya. Dara ayu itu berdesir ketika merasakan
tonjolan keras di perutnya, namun ia tidak berusaha
menolak. Perlahan, Victor mendekatkan bibirnya pada
bibir Aini dan melumatnya lembut. Aini diam menerima
setiap sentuhan yang dilakukan Victor dengan lidahnya
yang lihai. Remang lampu semakin menambah
kesyahduan suasana percintaan mereka tanpa
memikirkan apapun lagi. Aini mulai pasrah membiarkan
Victor membuka satu persatu pakaian yang melekat di
tubuhnya dengan mata terpejam. Ia menyerah pada rasa
yang menyiksa dirinya akhir-akhir ini. Entah apa yang
merasuki pikirannya hingga ia terlena terbawa dalam
suasana nafsu yang bergelora.
Nafas keduanya kian diburu, saling memberikan
sentuhan-sentuhan yang selama menjadi sebuah
pantangan bagi Aini. Namun, malam ini terlalu indah
untuk dilewatkan ditambah lagi keengganan untuk
berpisah sampai kini, tubuh keduanya polos tanpa
sehelai benangpun yang menutupinya
"Kamu, yakin sayang? aku gak mau melakukannya kalau
kamu tidak menginginkan.." ujar Victor merapikan
rambut Aini yang acak acakan. Tinggal selangkah lagi
keduanya akan terbang ke langit yang biru menggapai
kenikmatan, menyampaikan ketulusan cinta walaupun
itu dalam bentuk dosa yang sulit termaafkan karena
mereka belum diikat oleh tali pernikahan
"I lover you, Vic. Sangat," balas Aini mengelus lembut
gerahang Victor yang sedang menindihnya. Ia mengulas
senyum pasrah iringan dua butir bening lolos dari mata
indahnya.
"I Love you to, Ain. I love you more?" seraya mengecup
lama jemari lentik itu, Victor menatap sejenak siluet
kepasrahan di wajah Aini membuatnya ragu. Namun,
hasratnya terlanjur memuncak, dan kelelakiannya sudah
mengacung ingin berlabuh di syurga milik Aini.
Di luar, malam indah diterangi cahaya bulan purnama.
Kerlap kerlip lampu kota menambah keindahan kota
Medan, kota yang telah berjasa mencetak seorang
mahasiswi terpandai tamat dengan prediket cumload
pertama. Dia datang dengan segenap harapan dan cita-
cita meraih gelar terbaik dan itu telah ia miliki. Namun, ia
belum tau. Apakah dia akan kembali ke tanah
kelahirannya dengan membawa sebingkai kesuksesan
itu? sementara saat ini, Aini sedang mendesah dengan
sentuhan Victor mengecup lembut puncak dadanya. Ia
bahkan mengeluarkan suara erangan membuat Victor
semakin liar menjamah setiap inci tubuh dara bangsawan
itu tanpa ampun. Sungguh yang terjadi sekarang pertama
dalam hidup Aini, dan dia hanya bisa pasrah menerima
kecupan-kecupan maut Victor di tubuh yang tadinya suci.
"Vic...stop it, please." ucap Aini ingin berhenti namun
tubuhnya terus menikmati setiap sentuhan Victor.
"Why? please, Ain. I want you so bad, honny," pinta
Victor merangkak keatas tubuh Aini, dan sejenak
keduanya saling menatap dalam kabut gairah
"Aku ... aku ... " suara ini terputus karena Victor kembali
menghujam ciuman di bibirnya sampai tak ada lagi kata-
kata yang dapat dikeluarkan Aini. Pria itu terus
melakukan aksinya, dan membuat Aini semakin
tenggelam dalam gairah hingga ia pasrah ketika Victor
sudah berhasil menembus selaput dara miliknya. Derai
air mata membasahi pipinya membuat gadis itu hancur
sehancur hancurnya.
Aini merintih merasakan kesakitan akibat tusukan di
intinya, namun itu tidak berlangsung lama karena Victor
selalu menciumnya untuk meredakan rasa sakit
menggantikan dengan kenikmatan dan kepuasan.
Aini menatap hampa langit-langit kamar dengan sisa
kenikmatan dan kelelahan setelah dua jam ia cumbu
habis-habisan oleh Victor. Mata indah itu mengerjab,
sementara Victor terus memeluknya posesif.
"Sayang. maaf, ya? aku janji kita akan segera menikah.
Tolong, jangan tinggalin aku, Ain. Aku sengaja melakukan
ini, agar kamu tidak pergi dariku, sekali lagi maafkan aku,
sayang." Bisik Vicktor sambil menempel bibirnya di
antara pipi dan telinga Aini. Aini tersadar kekosongan lalu
menoleh menatap kekasihnya tersenyum pasrah.
"Gak apa-apa kok, sayang. Aku ikhlas kok," balas Aini
menampakkan kelembutannya hingga membuat dada
Victor mengembang. "Maafkan aku, Vic. Cinta kita akan
tumbuh, dan aku akan merawatnya untukmu,"
Selang beberapa waktu, merekapun tertidur kelelahan
dalam satu selimut di ranjang suci yang kini ternodai.
Mereka menutp malam dengan sebuah ciuman lembut
penuh kasih sayang seakan mereka telah berhasil meraih
impian. Cinta telah membutakan Aini hingga rela
menyerahkan mahkota kegadisannya untuk Victor
sebagai bukti bahwa dirinya sangat mencintai laki-laki
itu. Namun, bukan berarti Aini tidak menyadari akan
resiko yang harus ditanggungnya nanti. Tapi, tidak
mungkin Aini melakukan ini tanpa alasan, bukan? apa
sebenarnya yang direncanakan Ain. Hingga ia begitu
tulus ikhlas memberikan segalanya untuk Victor!
padahal, ia sendiri meyakini kalau hubungan tidak akan
pernah direstui oleh papanya. Tentu hanya Aini yang tau.
Bab 38
Pagi menyapa. Semilir angin berhembus menerpa
dedaunan menambah kesejukan suasana di kediaman
tuan Andreas seorang pembisnis dan pengusaha sukses
di bidang mebel dan elektrikal di mana usahanya
itu tersebar di beberapa kota besar selain kota Medan.
Salah satunya Batam, dan palembang
Secercah cahaya pun masuk dari jendela yang tirainya
sudah tersingkap rapi membuat udara pagi masuk
menyapa wajah laki-laki tampan sedang terlelap damai
tanpa beban sedikit pun. Baru kali ini ia merasakan tidur
yang begitu nyenyak dan panjang. Bagaimana tidak?
peristiwa semalam sungguh membuatnya puas karena
telah berhasil membawa wanita pujaannya menggapai
puncak kenikmatan dengan harapan, Aini akan
seutuhnya menjadi miliknya.
Victor mengerjab menyamai pencahayaan yang
menampar begitu menyengat di wajahnya. Laki-laki itu
menoleh kiri kanan sambil meraba-raba berharap Aini
masih tidur di sampingnya dengan harapan bisa
memeluk dan mencium kening gadis itu sebagai
ungkapan 'Morning Kiss'. Namun, sisinya hampa dan
dingin. Sontak ia terkejut.
"Ain. Aini..." teriaknya buru-buru menyingkap selimut
berhambur keluar mencari Aini kekasihnya.
"Ain!! Kamu di mana, sayang!" pekiknya tak berhenti
mencari Aini dari ruang ke ruang bahkan sampai ke
taman belakang, kolam renang dan kamar mandi. Akan
tetapi, ia tidak menemukan gadis itu. Kepanikan,
ketakutan mendera hati pria itu hingga ia berjalan ke
sana ke mari sambil menggurutu dan menjambak
rambutnya kasar. Victor berlari ke arah dapur ketika
terlintas makanan di benaknya, berharap Aini sedang
memasak untuk dirinya. Dan, ternyata benar. Gadis itu
sudah menyiapkan sepiring nasi goreng spesial lengkap
dengan kopi susu dan secarik kertas putih bertulis
"morning honny. Nasi goreng sepesial buat kamu," di
atas meja pantry. Victor meraih goresan kertas putih itu
dengan tangan gemetar dan meremasnya kuat seraya
mengeluarkan butiran bening dari matanya. Ia menatap
nasi goreng yang mengeluarkan aroma khas dan
menggugah seleranya dengan tatapan sendu.
Arrggghhh......
Ia memekik keras menggeram sekuat-kuatnya hingga
tubuhnya luruh ke lantai tak mampu menopang lagi.
Lelehan air mata terus mengalir mebasahi wajah
tampannya dengan tidak melepas jambakan di
rambutnya. Menyedihkan, itulah yang terjadi dengan
Victor. Ia tidak menyangka Aini akan pergi sepagi ini
padahal, kisah semalam sudah cukup untuk dijadikan
belenggu oleh Victor.
"Ain.. kenapa kamu tega ninggalin aku, Ain. Kenapa,
Ain...." rintihnya di sela air mata. Sebuah mahkota
berharga telah berhasil ia miliki dan itu artinya? Aini
tidak akan pernah pergi lagi dari sisinya meskipun karena
alasan orang tua. Namun, harapan tinggallah harapan
yang akan menjadi bui dalam sebingkai kenangan yang
menyakitkan bagi dirinya.
"Kamu tidak boleh pergi, Ain. Tidak semudah ini. Kamu
harus menjadi istriku, Aini!" lirih Victor dengan memeluk
kedua lututnya diiringi tangisan pilu menyayat seisi
jiwanya.
Meskipun tak mampu ia menahan kehancuran, namun
pria itu enggan membenci sosok Aini yang telah pergi
tanpa berpamitan padanya. Ia bangkit menatap nasi
goreng yang masih mengeluarkan aroma itu dengan
kabut air mata yang kemudian cicip sedikit demi sedikit.
Ia memaksa menelan butiran nasi dengan harapan Aini
akan kembali untuknya dan memulai lembaran baru
tanpa coretan apalagi perselisihan tentang silsilah juga
perbedaan yang terlalu mencolok itu. Hingga isi piring itu
tak bersisa, Victor menikmati kenikmatan cita rasa cinta
dari nasi goreng buatan Aini membuatnya yakin. Aini
tidak akan sanggup hidup tanpa dirinya meskipun gadis
itu memaksa diri untuk berpisah.