The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

KISAH SKANDAL KAKAK DENGAN ADIK IPAR

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Rani, 2021-12-31 12:27:23

MAHLIGAI SKANDAL

KISAH SKANDAL KAKAK DENGAN ADIK IPAR

Keywords: ROMANS,SKANDAL

Aini berjalan sambil melamun. Elang berpikir, mesti ada
apa-apa dengan Aini. Ia sempat curiga.. sedikit berharap,
mudah-mudahan Aini break dengan Victor. Kalau sampat
iya? mungkin Elang merencanakan nazar atau syukuran
kecil-kecilan. Berharap banget, si Elang!

"Kamu ngapain? melamun di jalan. Lintas sini banyak
rampok Ain.. kamu mau kemalingan?" ujar Elang turun
dari motornya membuka Helm klasik bertulis KAPACITE
BELL dan kaca hitamnya kemudian di sangkut pada spion.
Aini memperhatikan laki-laki tampan itu mengingatnya
pada Firdose. Wajahnya percis banget, bahkan gaya
senyum Elang hampir sepenuhnya menyerupai Virdose
laki-laki dari masa lalunya.

"Emang iya? kok aku baru dengar," balas Aini mengulum
senyum manisnya. Gadis itu bersender pada sebuah
tiang lampu neon jalan. Elang menaut alis kelihatannya
Aini sedang ada masalah. Tapi, kenapa dia sendiri?
biasanya kan sama si Victor. Mana tu dosen sok killer,
Batin Elang

"Iiyah. Gak percaya? Ya, bennar lah. Masa bo'ong. Dosa
tauk," Elang duduk di atas motornya berbicara dengan
Aini. Penampilannya keren hari ini. Menurut Aini? Kaus
oblong putih dilapisi jaket kulit hitam plus celana jeans
hitam juga. Elang cool banget, care lagi. Aini melebar
senyum, tiba-tiba gelombang kegelisahan menghilang
dari benaknya. Sekarang wajahnya balik menjadi putri
imut sejagat raya. Bayangin mata berkedip kaya barbie
gitu? Elang gemes, dan betahan menatap Aini terus.

"Gitu ya? Makasih deh. Kamu udah ingetin. Oiya, Lang.
Aku ... duluan ya?" Aini gerah di tatap terus. Makanya dia
mau pergi aja. Tapi masalahnya? jalannya masih ke
hadang sama motor gedde? Aini muter ke samping untuk
bisa lewat. Eh, Elang main narik aja tangan halus Aini.
Aini melirik pada tangannya tercengkram erat dalam
genggaman Elang. Ia menatap Elang lagi. Pria itu
tersenyum manis. Kali ini tulus banget sampai-sampai
darah Aini berdesir.

"Ain. Aku anterin ya?" pinta Elang tanpa melepas
genggamannya. Ia memicing menunggu jawaban Aini.
Gadis itu diam dalam waktu yang sedikit lama. Setelah itu
ia menarik perlahan tangannya, dan Elang menyadari itu.
Dia cukup tau diri, mungkin Aini menolaknya.

"Thanks, Lang. Aku bisa sendiri kok. Ga enak ngeropotin
kamu?" ucap Aini lembut dengan suara paling merdu di
telinga Elang. Tubuh Elang berdesir. Jantungnya
berdegub tiba-tiba. Aini hendak melangkah, namun lagi-
lagi dicegah oleh Elang.

"Ain. Maukah ... kamu temenin aku ngopi? kali ini aja,
mau ya?" rayu Elang berdiri tegak memohon pasrah pada
Aini. Dara manis itu sedang di hadapkan pada
kebingungan. Andai dia mau? apa ... Victor akan marah!
dia kan posesif banget. Biarpun saat ini dia galau tentang
hubungan Victor dengan Salsa? tapi, bukan berarti
dirinya bebas pergi dengan pria lain apalagi Elang.

"Tapi, Lang. Aku ... aku... "

"Ain.. gada salahnya kan, kopi persahabatan?" potong
Elang cepat membuat Aini dilema. Ia berpikir sejenak.
Betul kata Elang. Gak ada salahnya? toh, ngopi
persahabatan. Akhirnya Aini menganggu pelan dengan

senyum tipis iya menyetujui ajakan seorang Elang
Perdana.

Elang memakai helmnya kembali, dan menyodorkan
satunya lagi untuk Aini. Gadis itu menerima dan menaruh
di kepalanya yang tertutup kerudung. Elang menyuruh
Aini naik di belakangnya, dan dipatuhi oleh Aini. Gadis itu
duduk mengangkang di belakang Elang tanpa menyentuh
sedikitpun tubuh Elang. Elang tau, Aini sengaja menjaga
jarak. Namun, ia tidak perduli sampai terlintas ide
konyolnya. Pria itu melarikan motornya sedikit kencang,
begitu sampai di perampatan ia harus membelokkan
arah tujuannya, Elang menginjak pedal rem sedikit kuat.
Alhasil, secara automatis tubuh Aini merapat menubruk
punggung keras milik Elang. Gadis itu mengupat dalam
hati, sementara Elang tersenyum penuh kemenangan.
Pria itu puas, akhirnya ia berhasil mengajak Aini
meskipun sekedar minum kopi. Setidaknya itu cukup
membuatnya merencanakan sebuah peluang.

Bab 25

Terkadang cinta sulit di artikan. Tentang perasaan atau
kegelisahan sering mengusik disaat konflik datang. Cinta
bukan berarti sebuah kecemburuan, kekhawatiran yang
berlebihan. Cinta adalah ungkapan, pengertian. Cinta
cukup sekedar mengerti, bukan pengekangan. Cinta
sejati tidak akan mati, Cinta tidak seharusnya dimiliki,
bila orang yang kita cintai tidak bahagia. Dan cinta akan
sakit ketika orang yang kita cintai ternyata dicintai orang
lain juga.

"Kamu udah kenal lama sama Victor, Ain? kayaknya ...
romantis banget," Pria bertubuh kekar menegakkan
tubuhnya menyimak segenap gerakan Aini. Dara
Bangsawan yang kini merasuki benaknya. Hampir setiap
hari ia terpesona memandang Aini dari ke jauhan.
Namun ibarat mawar di tepi jurang, susah diraih hanya
mampu dilihat dari kejauhan.

Sebelum menjawab, Aini mengedar pandangan ke sudut-
sudut kafe bernama SAMANTA. Ia mengamati lukisan
abstruk di setiap dingding kafe tersebut. Ada juga sebuah
tulisan unik tentang filosofi kopi. "Sesempurna apapun
kopi yang kamu buat, kopi tetaplah kopi. Punya sisi pahit
yang tidak mungkin berubah"

"Biasa aja, Lang. Perasaan kamu aja?" datar Aini. Elang
memicing menyadari sesuatu. Aini sosok yang terkenal

cuek dan datar sefakultas hukum. Elang melirik sekali lagi
dan rasa penasarannya, setelah itu dia membuka buku
menu makanan yang diberikan seorang pelayan.

"Kamu suka ngopi juga?" tanya Elang serius. Dia
bersedekap menatap Aini seksama.

"Ya.. boleh dikatakan begitu," Jawabnya singkat mengidik
bahu. Minim ekspresi selain senyum tipis, menaut alis
atau hal-hal yang tidak berbaur heboh.

"Oiya.. aku lupa. Kamu kan, orang Aceh ya? pastilah
penikmat kopi. Secara di sana kan penghasil kopi terbaik.
Dan, Aceh sekarang terkenal dengan kota seribu warung
kopi. Ya gak sih?"

Lagi-lagi Aini menyungging senyum tipis. Tapi cukup
manis di mata Elang. Gadis itu susah ditebak. Bahkan
Victor sendiri.

"Kata siapa? sekarang kan semua daerah punya warung
kopi?" Aini menempel badan di dingding kursi balas
menatap Elang. Bola mata bak bola pimpong itu
menyorotnya begitu tajam hingga menghujam tepat di
jantung Elang yang kian mengaduh

"Ya sih. Tapi tetap aja di sana itu penghasil kopi terbaik.
Kamu di Aceh daerah mana? Banda Aceh, bukan?" Elang
tidak berhenti bertanya dan dibalas datar oleh Aini. Pun,

pada akhirnya wanita itu sedikit nyaman dengan Elang.
Ya... karena Elang banyak guyonnya.

Mereka terlihat seperti sedang bercengkrama. Padahal,
Aini hanya mengikuti suasana. Pertanyaan Elang aneh-
aneh. Gadis itu merasa tertantang. Sebenarnya? Elang
kepo aja sih Menurut Aini, makanya Aini sempat
menggelitik. Pertanyaan macam apa itu? benaknya

"Kira-kira, perempuan Aceh? maharnya mahal gak sih,
Ain. Aku pernah dengar tuh, kebetulan kawan aku nikah
sama orang Aceh," jelas Elang malu-malu.

"Terus!" jawab Aini cepat memicing dengan wajah
bersemu merah. Elang salah tingkah. Ia terkekeh pada
akhirnya.

"Ya.. katanya sih? mahal gitu? ampek 50 mayam atau
setara dengan 165 gram. Kan banyak tu Ain," seru Elang
mengidik ngeri. Pria bergasture macho itu menggeleng
kepala gak habis pikir.

Aini mengulum senyum mendengar pengakuan Elang.
Dalam hatinya, apa sejauh itu? Elang tau terkait adat di
daerahnya? tapi kenapa Elang harus mikirin itu? emang
dia punya rencana merry dengan wanita Aceh. Memang
dilema mahar di Nanggroe semakin menyebar khabarnya
sampai ke penjuru kota di Indonesia. Tak heran juga.
Kalau Elang mungkin salah satu pemburu wanita

bangsawan terhormat di hadapannya. Sebenarnya,
mahar itu sebuah tradisi islami yang disarankan para
stakeholder yang sudah terdahulu. Namun perkara
mahal tidaknya? itu tergantung lagi pada keluarga
masing-masing. Seyogyanya menikahi anak adalah wajib?
orangtua juga harus bijaksana dalam membuka harga
mahar. Menikahi anak kan bukan berjualan. Yah, tawar
menawarnya harus sesuai syariat dong.

"Memangnya? teman kamu dimintai berapa? maharnya,
paling 80 gram 'kan?" cicit Aini menyeruput kopi dalam
cangkir unik berukuran sedang. Elang makin tertantang
untuk bertanya lebih detail tentang adat istiadat tradisi
pelamaran di sana.

"Ya ... se–yang aku sebutin tadilah, Ain? aku aja shok
banget dengarnya.. masa iya segitu... "

"Oh! Jadi begini kelakuan kamu di belakangku. Murahan
sekali, aku gak nyangka ya! ternyata wanita yang aku
cintai selama ini penikmat lelaki tampan." Sosok itu tiba-
tiba muncul berdesis dengan kilatan api di wajahnya
berdiri tegap di hadapan Aini dan Elang

"Vic. Kamu," kata Aini bangkit berdiri menatap Victor
berdiri angkuh di hadapannya. Pria itu menatap horor
pada Elang, hingga membuatnya serba salah.

"Vic, ini gak yang seperti kamu pikirkan? aku ... sa... "
"Aku tau Aini. Mungkin kamu gak tau, kalau aku
mengikuti kamu dari semenjak kamu berboncengan
dengan laki-laki ini!" Victor menatap tajam pada Elang
lalu beralih pada Aini. Jantung Aini bagai diremas begitu
sakit. Api cemburu di mata Victor bak halilintar
menyambar tubuhnya, dan siap membakar hati gadis itu.

"Aini diam tanpa ekspresi. Ia menatap dalam wajah
tampan itu dengan perasaan hancur. Sungguh ia tidak
mengerti maksud dari sikap kekasihnya. Kalau memang
Victor cemburu, kenapa harus mencercanya begitu
sadis.

"Tapi, Vic. Aini benar. Kami hanya berteman gak lebih."
Elang ikut berkomentar menjelaskan yang sebenarnya. Ia
juga ga kuat melihat cara Victor menuding Aini tanpa
mendengar dulu penjelasan gadis itu.

"Diam kau bangsat!! Gak usah ikut campur!!" bentak
Victor dengan suara menggelegar hingga sebagian
pengunjung sontak mengalihkan pandangan
menyaksikan perdebatan mereka. Elang tertegun gak
percaya bahwa seorang Victor akan semarah ini hanya
karena seorang wanita.

"Coma on, men.. ini tu masalah sederhana..."

Buks...
Sebuah pukulan tinju mendarat di bibir elang membuat
bibirnya sobek dan mengeluarkan darah segar.

"Vic!! Stop. Jaga sikap kamu!! Ini tempat umum, Vic."
Pekik Aini dengan wajah memerah. Nafasnya tersengal
menahan gejolak yang meletup dalam dadanya. Kali ini ia
tidak bisa diam lagi. Sikap Victor sudah kelewat batas
membuatnya meradang.

"Oh, jadi kamu bela dia? aku tau sekarang. Kau memang
jalang tidak tau diri!! kau..."

"Stop, aku bilang!!"
Tepakk... Aini melayangkan sebuah tamparan di pipi
Victor. Dan tamparan itu cukup membuat Victor diam
membeku. Sambil mengelus pipinya yang perih, Victor
menatap dengan kabutan kesedihan di mata elangnya.

"Sudah cukup kamu menghina aku, Vic. Sudah cukup."
pasrah Aini membiarkan lelehan air mata di pipinya. Ia
melihat Elang sebentar, ada kesediahan di mata
Hazelnya, lalu beralih ke Victor. Tanpa mengatakan
sepatah katapun, Aini meraih tasnya lalu melangkah
melewati Victor yang masih diam membeku menatapnya
dengan tatapan yang sulit di artikan dengan kata
sekalipun. Gadis itu pergi, namun sebelum jauh. Ia balik
lagi mendekati Kedua pria tampan itu. Aini membuka
cincin permata di jari manisnya menunjukkan di depan

mata Victor dan berkata, "ini milikmu!" setelah itu Aini
melangkah cepat keluar dari kafe klasik itu dengan di
saksikan oleh beberapa pengunjung. Ia berlari kecil
menapak berjalan sambil menyapu bulir yang terus
menglir lepas tanpa dipaksakan. Hatinya telah remuk
dengan tamparan kata-kata dari Victor, pria yang sangat
dicintainya. Aini tidak menyangka, beraninya Victor
menghina dan mengatainya jalang. Dan, siapapun pasti
akan merasa sakit bila itu keluar dari mulut sang
kekasihnya

Ia menyusuri jalan dan berdiri tepat di sebuah halte.
Duduk sejenak menenangkan kekacauan sambil merogoh
tasnya serta mengambil ponsel lalu men-dial nama Sonya
di sana. Hingga beberapa kali Sonya tak kunjung
menganggkatnya, akhirnya Aini menghubungi Farida.

Sementara itu, Victor masih berdiri di depan Elang. Dia
luruh di kursi bekas Aini duduk barusan menyenderkan
kepalanya, memejam mata merasakan tamparan perih di
wajahnya. Mendengkus kasar lalu menatap Elang sengit.

"Kau senang! Sekarang Aini membenciku," ucap Victor
pasrah. Laki-laki itu memijit pelipis sekedar
menenangkan denyut di kepalanya

"Bukannya kau sendiri yang sudah menghina
mengatainya jalang! kau tidak bisa mengontrol sikap, Vic.
Padahal aku sudah bilang. Aku sama Aini gak ada

hubungan apa-apa," balas Elang mendecis jijik pada
Victor. Ia benci saat kata-kata menyakitkan itu keluar dari
mulut Victor untuk Aini. Seharusnya wanita itu
dilembutin dan tidak direndahkan harga dirinya.

"Apa kau bilang. Kau yang sembarangan boncengin pacar
orang. Aku heran sama kau Lang. Cak kau pikir. Aini itu
kekasihku, Tapi kau selalu saja menggangunya. Kau ingin
merebutnya dariku, hah!!" Victor berdiri merasa geram
dengan cara Elang seolah mengajarinya. Dia bangkit
menatap tajam sekilas pada Elang setelah itu pergi
meninggalkan pria itu dengan kebencian menyelimuti
hatinya. Elang menggeleng kepala melihat sisi lemah
seorang Victor. Menurut Elang. Victor rela harga dirinya
hilang sebagai sorang dosen, dengan membuat
perselisihan di muka umum. Semoga saja tidak ada yang
iseng merekamnya. Kalau tidak. Tamatlah karir Victor

Hari merapat senja. Kabut kelam menampakkan diri di
ufuk barat. Menandakan mega akan segera tenggelam.
Di tempat yang berbeda. Tiga anak manusia sedang
dirundung luka. Emosi, dan patahan hati berkeping-
keping.

Anggraini. Dara bangsawan yang terkenal cuek, namun
selalu menjunjung tinggi harkat dan martabatnya di
manapun bumi ia pijak. Namun ketika dirinya dihina
dengan sebutan yang tidak pantas, maka kemurkaan
meluap kepermukaan.

Dan, saat ini ia sedang berusaha menata hati.
Menenangkan separuh jiwanya yang telah hilang dengan
memandang ombak berkejaran menggapai tepi pantai.
Berulang kali ia menelan ludah yang terasa kering di
kerongkongan. Sesakit inikah rasanya dihina? batinnya
berkata seraya mata terpejam. Apa yang dilakukan Victor
telah melukai ketulusan hati, kekuatan cinta yang telah ia
bangun dengan kokoh. Ia semai begitu indah meskipun
gelombang keraguan selalu saja datang menghantam.
Keteguhan ia bentengi dengan lamat-lamat cinta yang
tubuh dari hari ke hari. Namun, dalam tempo sesingkat
singkatnya, semua itu runtuh berlerai tak bersisa.
Mahligai itu goyah bersama perkataan dasyat memporak
porandakan Jiwa dan perasaannya.

Aini tidak tau. Apakah ini bisa diperbaiki. Tapi, yang jelas
untuk saat ini ia ingin menenangkan diri. Mungkin bagi
wanita lain ini hal yang lumrah. Akan tetapi tidak bagi
Aini. Sisi kebangsawanannya menyeruak menentang
sebuah penghinaan atasnya. Gadis itu menggigit bibir
bawahnya menahan rasa sakit setiap kali kata-kata itu
terngiang di telingannya.

Bab 26

Arrgghhhrrr...
Siaalll.... bangsattt....!!

"Apa maksud kamu pergi dengan laki-laki gila itu, Ain!!
apa bedanya kamu dengan perempuan lain, Aini.. hiks ...
hiks ... aku mencintaimu, Anggraini!!? kenapa kamu tega
menghianati aku..."

Victor menghempas semua barang yang ada dalam
ruangan itu. Vase hiasan, kaca dan lukisan dingding ia
lempar ke lantai hingga hancur berserakan. Tidak mampu
menjadi kuat, dia meluapkan perasaan panas pada
benda-benda yang ada di depannya. Apa cemburu telah
membakar segenap amarah dalam dadanya hingga
berujung pada kehancuran?

Luruh. Kacau, itulah yang terjadi dengannya. Mejambak
habis-habisan rambutnya melampiaskan segala rasa sakit
karena sebuah penghianatan. Cinta telah mematahkan
segalanya, angkuh, sombong. Bahkan sisi kebiasaan
mempermainkan wanita telah punah berganti dengan
ketulusan akan sebuah rasa. Cintanya pada Aini begitu
nyata melahirkan kecemburuan, konon katanya dulu itu
bukan lah sifat seorang Victor.

Sungguh perubahan seseorang tiada yang tau. Setelah
sekian lama berkelana dari satu wanita ke wanita lain,

namun tak kunjung berlabuh. Justru kehadiran Aini bak
simphoni menggetarkan jiwa kelelakiannya. Cinta
tumbuh bagai cindai terukir indah.

Ia bangkit memijak kaki pada tumpukan pecahan kaca
yang berserakan di lantai menuju pantry. Tidak perduli
kakinya berdarah, laki-laki itu menuang segelas bir yang
selalu ia sediakan di rumahnya.

Meneguk berkali-kali sampai melarutkan diri dalam
kesedihan dengan air mata terus mengalir. Kerapuhan
kembali menyelimuti hidupnya setelah dulu ditinggal
sang ibu.

Kenapa, Ain.. kenapa kamu tega? hiks ... hiks..

"Vic, hey.. Vic. Kau kenapa? kenapa jadi berantakan kek
gini? Ya ampun, Victorr.... kamu ini kenapa sih, nak.. apa
yang terjadi!?"

Victor menatap datar sosok yang datang melalui kabut
air mata. Ia diam tak perduli pada sosok itu yang
mencoba mendekatinya lalu memeluk tubuhnya dari
samping. Pria itu juga diam. Ia tidak berhenti meneguk
botol minuman keras di tangannya hingga tak bersisa.

"Mau apa kamu kemari, bangsat!! Siapa yang
mengizinkanmu masuk," ucap Victor setengah sadar.
Pengaruh minuman haram itu membuatnya berbicara

ngaur. Ia berusaha berjalan, namun langkahnya
sempoyongan. Sosok yang baru datang membantunya
berjalan, memapah Victor masuk ke kamar dalam
keadaan susah. Pasalnya, badan Victor lebih besar
darinya. Dia menyeret tubuh Victor yang sudah tidak
seimbang lalu menidurinya di ranjang.

Pria yang separuh rambutnya memutih itu menatap
nanar wajah tampan Victor dengan hati tersayat perih.
Apa lagi yang terjadi dengan kamu, Vic.

Ia meraih kain tebal di kaki Victor lalu menyelimutinya.

"Ain... kenapa kamu tega," Ucap Victor dalam keadaan
setengah sadar karena pengaruh alkohol

Racauan itu membuat pria itu menaut alis. Duduk di
samping Victor sambil membelai lembut kepalanya.
"Vic. Maaf kan papa, papa baru bisa menjenguk kamu.
Sampai kapan kamu seperti ini, nak. Papa janji, sekarang
papa akan selalu mendampingi kamu kapan pun kamu
butuh papa," nadanya sengau. Hatinya sakit bagai di
sayat sebilah pisau ketika mengetahui Victor masih sama
seperti terakhir kali ia meninggalkannya.

Andreas. Beliau baru saja tiba setelah sekian lama pergi
meninggalkan putranya terlunta lunta hidup sendirian.
Akibat keegoisan memilih istri sirihnya, Andreas tega
meninggalkan Victor berjuang hidup sendiri tanpa kasih

sayang kedua orangtua. Andreas tidak sengaja datang
untuk menjenguk Victor yang sudah lama ia tinggalkan
setelah istrinya pergi meninggalkan dunia ini. Pria paruh
baya yang memiliki bisnis dimana-mana itu tidak
menyangka kalau Victor putra kesayangannya masih
terpuruk seperti sekarang ini.

Mendengus kasar melepas semua hal negatif dalam
benaknya. Tapi, siapa Aini? apa dia wanita yang dekat
dengan Victor sekarang? bukan kah Salsa? batinnya

Andreas merogoh hanphone dalam saku celananya lalu
bergerak beberapa langkah berdiri di depan jendela
sambil menghubungi seseorang. Disela itu juga ia
mendengar suara Victor mengingau memanggil nama
Aini. Andreas semakin yakin bahwa ini masalah cinta.

Akhirnya beliau memutuskan untuk menginap di rumah
anaknya menemani, menunggu sampai Victor bangun.
Andreas juga sudah menghubungi asistennya agar
membatalkan semua jadwal meeting hari ini dan dua hari
ke depan. Sudah saatnya Andreas menembus semua
penyesalannya selama ini. Bahwa langkah menikah lagi
dengan wanita lain tidaklah tepat. Di mana wanita itu
juga bukanlah sosok istri yang baik. Setiap Andreas pergi
bekerja, istrinya mengundang pria lain ke rumah untuk
mememuaskan birahinya yang tak kesampaian dengan
Andreas. Waktu itu, pria paruh baya itu tidak sengaja
pulang cepat dari biasanya. Awalnya dia tidak curiga

melihat sebuah motor di depan rumahnya. Namun saat
dirinya masuk dan mendengar suara bercengkrama laki-
laki perempuan. di dalam kamarnya, Andreas baru sadar.

"Lagi, sayang. Aku belum puas,"
"Pasti donk sayang. Aku akan siap menusukmu lebih
lama lagi. Asalkan kamu bersedia membelikan aku
sebuah mobil. Ambil semua uang pak tua itu, Melanie..
setelah itu kita akan menikah dan pergi dari sini."

Bagai disambar petir, Andreas mendengar pembicaraan
disela enjotan istrinya dengan pria lain. Andreas
menendang pintu sekuat tenaga hingga terbuka lebar.
Darahnya mendidih, tubuhnya kaku menggepal kedua
tangannya hingga kuku-kukunya memutih. Saat itu juga
ia menjatuhkan talak tiga pada Melanie dan mengusir
perempuan murahan itu dari rumahnya.

Sejak itu juga Andreas menyadari kesalahan serta
menyesali semuanya. Dan, kini beliau ingin memperbaiki
semuanya dari awal, tentunya dengan meminta maaf
pada putra kesayangannya.

**********

"Apa yang lu rasain, Ain. Mungkin Victor cemburu, dan
gak seharusnya lu pergi sama Elang?" Farida
menyerahkan sebotol air meneral pada Aini kemudian
duduk di sampingnya. Aini meneguknya sedikit lalu ia

melempar pandangannya jauh ke tengah lautan yang
mulai tenang karena senja telah singgah di ufuk barat.

"Harus kah dia menghina gua, Bed. Aku hanya minum
kopi, dan itu gak lebih dari teman," Balas Aini pasrah.
Wajahnya datar sulit dijelaskan. Kepingan kepedihan atas
hinaan itu masih membekas direlung hatinya, dan
kejadian itu terjadi empat jam berlalu.

Farida mengelus lembut bahu sahabatnya, memberikan
kekuatan agar bersabar. Farida sendiri di hubungi oleh
Aini pas saat dirinya sedang di parkiran kampus hendak
pulang. Namun mendengar suara Aini terisak, dia
langsung menjemput wanita itu di halte bis kota tidak
terlalu jauh dari kampus.

Aini mengajaknya duduk di sebuah pantai 88. Pantai yang
terkenal tropis namun sangat cocok untuk menikmati
udara segar di sore hari sambil menunggu sunset kembali
keperaduan.

"Saran gua. Lu harus jelasin lagi sama Victor, kalau
kejadian itu tidak seperti yang dia bayangkan. Atau kalian
bisa saling meminta maaf itu jalan yang terbaik," saran
farida beranjak dua langkah. Ia merentang tangan
menghirup angin segar dengan hidung lalu mengeluarkan
dari mulutnya.

Aini menunduk. Apa yang Farida bilang barusan bukanlah
solusi baginya. Aini tidak akan meminta maaf setelah
Victor mngatainya jalang. Dia juga merasa harga dirinya
dilecehkan di depan Elang dengan menyebutnya seperti
itu. Aini tidak perduli seberapapun besar cinta yang
sedang tumbuh. Cukup dengan satu cacian, rasa itu bagai
ditelan kebencian dan itu lebih sakit dari apapun, apalagi
Victor tidak memberinya kesempatan untuk menjelaskan
permasalahan yang sebenarnya, Malah dia sengaja
menuduhnya sebagai wanita penikmat pria tampan.
Victor tidak tau betapa kecewanya Aini dengan ucapan
itu.

Aini memutuskan untuk saat ini, tidak ingin bertemu atau
berbicara pada kekasihnya sampai ia berhasil menata
hatinya yang terluka. Aini juga berencana meminta
tolong pada Farida agar mengantikan jadwal mata kuliah
yang berhubungan dengan Victor untuk beralih ke dosen
lain. Dan, itu disetujui oleh Farida. Gadis itu mengerti
kondisi sahabatnya saat ini. Gadis yang akrab dipanggil
butet itu akan melakukan apapun asalkan Aini senang.
Biarpun itu tidak mudah, namun sebagai staf administrasi
ia akan berusaha mengumpulkan semua jadwal dosen
pengajar pasca sarjana untuk mengetahui ada tidaknya
peluang.

Terkadang cinta itu buta. Hingga susah membedakan
antara kesetiaan dan ketulusan. Padahal semua
ketulusan itu cinta, dan hanya membedakan rasa saja.

Cinta Persahabatan juga butuh kesetiaan dan ketulusan.
Terus! apakah salah? Aini pergi dengan Elang hanya
sekedar ngopi, bercerita hal-hal yang receh. Oke,
mungkin kesalahannya ada di posisi Aini karena
berboncengan dengan Elang. Tapi, tetap aja Aini tidak
bermaksud apa-apa kan?

"Ya, menurut Victor itu salah, Ain? dia kan cowok. Bisa
saja ia merasa direndahkan oleh Elang. Kan Elang tau
kalian itu punya hubungan spesial? kenapa cobak dia
ngotot ngajakin lu ngopi. Aneh kan?"

Aini menatap Farida dengan bola mata sayu. Ia berusaha
menelaah argumen sahabatnya. Namun, Aini tidak
menemukan sesuatu yang riskan di sana. Elang tidak
bermaksud apa-apa. Bahkan Elang bilang. "Semoga kalian
langgeng sampai kepernikahan" Aini merasa dirinya
menjadi manusia ambigu sejagat raya. Apa mungkin sifat
cueknya terlalu akut? hingga semua-semua yang terjadi
dalam hidupnya adalah sederhana?

"Yang terpenting aku tidak berselingkuh. Itu sudah lebih
dari cukup, Bed," jelasnya tepat dan padat.

Farida menyungging senyum. Ia tidak pernah heran,
kalau Aini berfikir seperti itu. Terlebih sifat Aini yang
selalu 'what ever'

"Ya, sih. Tapi lu gak bisa salihin Victor juga, Ain. Cemburu
itu kan hak dia, itu tandanya? dia cinta mati sama ellu!
ntar kalau dia gak cemburu? lu mikirnya dia gak benaran
cinta lagi. Salah juga kan? pokoknya urusan cinta itu
ribet, Ain. Lu harus kuat-kuatin deh. Yang begini-begini
itu! pada lumrah, tau gak lu!?" nyorocos Farida kesal.
Gayanya seperti orang sedang memainkan serimulat
berdiri menyeringai konyol di depan Aini. Aini menaut
alis antara senyum atau kesal dengan gaya Farida.

"Lu kenapa? Mabuk?" kata Aini cepat. Farida mendengus
kesal. Lalu terkekeh gak jelas. Aini mencurigai sesuatu. Ini
si butet kenapa sih. Keserupan apa-apa dia! Aini
membatin.

Tapi, memang sih. Kata-kata Farida ada benarnya juga.
Ya, tapi tetap aja sikap itu gak dewasa menurut Aini.
Coba Victor mau mendengar penjelasan Aini. Kan gak
serumit ini! Nasi sudah menjadi bubur. Mau diapain lagi,
kecuali dijemur, buat inang-inang, kremes, lezat?

Hidup ini dikremesin aja? biar ga ribet apalagi rempong.
Lempengin... kayak kata Aini. Yang penting kan dia gak
selingkuh. Tetap setia sama babang Victor. Aman kan?
Terus! masalahnya di mana atuu??

Bab 27

Kemelut rindu kian menyiksa. Derita hati semakin
menepi. Namun, keegoisan terbentang nyata sedang
membudaki cinta hingga tak berdaya. Dua hati yang kini
terkikis saling menyalahkan memaksa menolak realistis
sesungguhnya rasa tak dapat didustakan

Tak terasa sudah tiga hari terlewatkan semenjak konflik
terjadi. Tiga hari itupula keduanya tidak saling bertemu
apalagi bertanya kabar. Aini yang sudah memutuskan
masuk ke kelas lain, yang tidak ada jadwal bidang study
Victor membuat Sonya bertanya-tanya. Apakah
mungkin? Aini pulang ke kampungnya di Nanggroe?
karena sudah tiga hari gadis itu tidak menampakkan
batang hidungnya di kampus. Sama halnya Victor. Setiap
kali jadwal mengajarnya, pria itu termenung
memperhatikan kursi yang biasanya di duduki Aini.
Selama tiga hari sikapnya dingin, wajahnya datar tidak
sedikitpun terukir senyum di sana. Itu juga membuat
Sonya curiga, apa mungkin? mereka sedang ada masalah,
atau marahan.

Victor berdiri lemah di depan para mahasiswanya dengan
style lebih santai namun terkesan keadaan kurang sehat.
Celana jeans Kemeja lengan pendek berwarna biru laut
dilapisi sweeter panjang kain sal melilit di lehernya.

Sonya yang duduk di kursi paling depan memperhatikan
dosen sekaligus sahabatnya tampak tidak bergairah.
Kobaran semangat setiap kali berdiri di depan kini loyo
seiring Aini pun hilang bak di telan bumi.

Mesti terjadi sesuatu dengan mereka. Kalau gak. Gak
mungkinkan? si Victor mukanya kusam kek gitu! Apalagi
sih tu manusia? heran. Sonya membatin sambil menatap
kosong pada papan tulis.

Jam sudah menunjukkan 11 30. Waktu Victor me
gajarpun habis. Semua mahasiswa berhambur ke keluar.
Sebelum pergi dari ruangan itu, Victor berdiri sebentar
mengecek hanphonenya, namun tiba-tiba ia dikagetkan
dengan suara lembut menggoda pendengarannya. Pria
itu melihat moster seksi di depannya dengan tatapan
dingin bak salju di kutub utara

"Hai Vic? kita makan siang bareng ya? kan udah lama kita
ga seperti ini... kamu kenapa sih? menghindar terus dari
aku?" gadis itu mencoba meraih lengan Victor, namun di
tepis halus olehnya. Sosok itu memaksa mendekati Victor
agresif hingga membuat pria itu hilang kesabaran.

"Ennyahlah dari hadapanku, Sal! pergilah sejauh
mungkin. Aku muak melihatmu!" sergah Victor menekan
kata muak. Sosok yang ternyata bernama Salsa itu
melongo tak percaya. Ia terus memaksa Victor dengan
menarik narik tangan lelaki yang dicintainya, namun

sebaliknya Victor. Laki-laki itu menatap horor wajah salsa
yang dipenuhi dempulan tebal serta lipstik merah
menyala

"Kamu masih marah? aku kan dah bilang, Victor? aku
sama dia ga ada hubungan apa-apa? ayoo laah.. kita
mulai dari awal lagi... "

"Bukan urusanku. Pergilah sebelum aku menyeretmu
dengan paksa!!" Victor menhentak giginya menyuruh
gadis itu untuk tidak menampakkan diri di depannya lagi.

"Tapi, Vic," sambung Salsa lagi. Wanita itu tidak gentar
sedikitpu dalam upaya mengait Victor kemabli setelah
sekian lama mereka saling menjauh karena sebuah
kesalahpahaman.

"Pergi kataku!!" Pekik Victor lagi menunjuk pintu keluar
dengan telunjuknya. Gadis itu menggeleng kepala
perlahan menatap sedih pada sosok yang dicintainya.
Pria yang selama ini membuatnya sembraut karena
sudah memutuskan hubungan gara-gara kepergok Salsa
pergi dengan pria lain. Saat itu, Victor sedang ada acara
talkshow tentang pendidikan berbasis digital di Mall, dan
dia mendapat tugas dari kampus untuk menghadiri
undangan itu menggantikan ketua prody yang
berhalangan. Waktu bersamaan, kekasihnya jjuga sedang
berjalan-jalan ke mall dengan seorang pria yang asing
dalam pandangannya. Victor tidak sengaja melihat

mereka bergandengan tangan dan pria itupun sengaja
mengikutinya.

"Oww.. jadi begini kelakuan kamu di belakangku!
murahan sekali!!" kata Victor berdiri di belakang Salsa
dan selingkuhannya sedang berjalan menyusuri koridor
mall. Victor tidak berniat mendengar penjelasan Salsa,
laki-laki itu pergi begitu saja membawa luka dalam
hatinya. Dan, semenjak itu juga, Victor menutup diri dari
yang namanya cinta berganti dengan kenakalan. Yang
dilakukan Victor adalah menggoda cewek-cewek cantik
dan mengajaknya one night di ranjang. Sampai akhirnya
ia bertemu Aini dan terpesona dengan kesederhanaan
dan sikap Aini yang cuek pada laki-laki yang mencoba
menggodanya.

Namun, asmara kembali dihujam dengan pemandangan
yang sama. Di mana kekasihnya Aini pergi dengan laki-
laki lain pula. Dunia Victor serasa mau runtuh. Darah
dalam tubuhnya serasa berhenti mengalir. Ia harus di
hadapkan kembali dengan kenyataan itu. Ke mana dia
harus mengadu, di mana dia harus menyandarkan luka
dalam hatinya. Ia tidak menyangka bahwa Aini tak
ubahnya bak menyiram racun atas luka lamanya. Yang
terjadi sekarang adalah kekeliruan dan kesalahpahaman.
Namun, untuk saat ini seperti tiada penyelesaian,
mengingat ego di antara keduanya begitu kuat. Tidak ada
yang mengalah untuk sekedar menjelaskan keadaan,

atau setidaknya mengedepankan kedewasaan agar
semua masalah dapat dipecahkan.

Victor menjejal semua peralatannya ke dalam tas setelah
Salsa pergi dari hidupnya. Dia melangkah tanpa melihat
kiri kanan yang ternyata masih ada satu nyawa lagi dalam
ruangan itu juga mendengar, menyaksikan dengan kedua
belah matanya bagaimana Victor memarahi si monster
seksi Salsa seleb kampus.

"Vic. Tunggu," panggilnya menghentikan langkah pria itu.
menoleh, menatap dingin padanya.

"Sonya. Ada apa! Aku buru-buru," kata Victor sengaja
ingin menghindar dari Sonya.

"Lu kenapa? becek banget mukaknya, sakit?" tanya
Sonya sambil berjalan mendekati Victor.

"Ya, kurang sehat. Lu masih di sini gak pulang." alih Victor
membuat Sonya mengkerut kening.

"Aneh. Lu bisa sakit juga? o iya? tau Aini ke mana gak.
Soalnya udah tiga hari aku gak liat dia, Vic.
Kalian ... baik-baik aja kan." Sonya memicing pada Victor
meneliti wajah kusut itu penuh kecurigaan

Victor mendengus berat lalu mengajak Sonya duduk
kembali. Setelah menarik nafas dalam dan

menghembusnya panjang, Victor mulai memceritakan
kronologis kisahnya yang begitu tragis beberapa hari
yang lalu. Sonya membuka lebar-lebar pendengarannya
agar tidak ada yang terlewatkan. Gadis itu
memperhatikan sosok di depannya dengan seksama. Ada
air mengambang di mata elangnya. Samburat merah
menguap membuat wajah tampan itu sendu memendam
luka.

"Jadi lu menghina Aini hanya gara-gara dia pergi sama
Elang! terus, lu juga mengatainya wanita jalang! Vic?...
Vic. Dari dulu lu gak berubah ya? selalu saja terbawa
emosi, harusnya kau percaya sama Aini, Vic. Kau mungkin
tidak tau Aini. Tapi gua tau luar dalam siapa Aini
sebenarnya. gua percaya mungkin Elang memang
menyukai Aini. Tapi tidak Aini. Dia tu cintanya sama ellu
begok." kata Sonya sedikit mendikte Victor. Sonya
mendengkus kesal melihat sahabatnya yang tidak
kunjung merubah sikap kecemburuannya yang
berlebihan.

Victor diam, menerima digituin sama Sonya. Memang
dari dulu Victor tidak pernah membantah Sonya setiap
kali Sonya mengajarinya ilmu kedewasaan. Mungkin
kalau dilihat dari kepintaran, Sonya gak ada apa-apanya
dengan Victor. Tapi, menurut Sonya itu juga belum
cukup. Maka Sonya sering mengajari cara berpikir yang
lebih realistis seperti sekarang ini.

"Lu salah, Vic. Aini pasti sangat terluka mendapat
perlakuan seperti itu. Harusnya lu bertanya dan
mendengar penjelasan Aini. Aku gak tau Vic. Apakah Aini
masih bisa ditaklukan setelah kau menyakitinya dengan
kata-kata yang menyakitkan itu, siapa pun Vic. Wanita
manapun? pasti sakit katain seperti itu! apalagi Aini? dia
itu gadis bangsawan terhormat. Kau jangan lupa itu?"

"Aku harus gimana, Son. Aku benci melihat wanitaku
dibonceng pria lain. Ya, gua cemburu! tapi gak
seharusnya dia melakukan itu, Son!?? kelakarnya
menggepal kedua tangan dan merapatkan kedua
giginya.

"Okeh, mungkin lu punya masalalu yang sama. Tapi lu
juga harus bisa bedain donk? mereka kan gak
bergandengan? okeh, gua tau Aini salah, dan mungkin
juga dia mengakuinya. Tapi? lu gak harus mencaci anak
orang kan? Mikir Vic.." Sonya semakin geram melihat
Victor belum sadar juga.

"Cemburu boleh saja Vic. Gak harus cemburu buta juga
lah." Sonya mengayun kedua tangannya mengajari Victor
padahal itu adalah seorang dosen

"Vic. Gua tau ya? gak mungkin Aini pergi sama Elang
kalau tidak ada sebab musababnya. Lu cek deh? dari
pada merasa diri paling benar! untuk apa cobak."

Pria itu menunduk memandang ujung sepatu sportnya
dengan perasaan gundah. Mendengar penjelasan Sonya
rasanya ia ingin menjumpai Aini dan memeluknya.
Namun membayangkan bagai Aini duduk berdekatan di
atas motor Elang? membuat darahnya mendidih.

"Vic. Coba lu pikir? lu pake otak lu yang cerdas itu, Kalau
seandainya Aini punya hubungan dengan si Elang? gak
mungkin dia tuh, nerima lamaran ellu! lagian cuma ngopi
aja pun. Lunya aja terlalu posesif. Dah, sekarang terserah
lu, ni ya? Mau gimana.. yang jelas, aku yakin, ini berat
buat Aini."

"Tapi, Son. Cara dia seperti itu gak menghargai aku
sebagai pacarnya..." ngotot Victor mempertahankan
harga dirinya. Dia merasa Aini bersikap semena-mena
dengan pergi bersama Elang. Terlebih Elang menaruh
hati pada Aini. Sudut pandang Victor ada benarnya,
namun itu juga termasuk perkara yang sederhana
menurut Sonya.

"Itu kan menurut lu, Vic. Mungkin Aini tidak bermaksud
seperti itu? ini hanya masalah kecil, Vic. Udah de.. lu
jangan terlalu kebaperan..." geram Sonya menahan
nafas. Dia menatap sengit wajah datar itu dan ingin
rasanya mencakar kedua gerahang keras itu.

Sesaat sunyi hanya terdengar deru nafas masing-masing.
Jam berdetak cepat dipacu oleh waktu meninggalkan

segenap kekacauan mencekram pikiran Victor. Pria itu
menarik nafas panjang mencoba menerjemah semua
ucapan Sonya walaupun ada sedikit kontradiksi dalam
hatinya.

"Yeah... gua coba menerima ini, Son. Thanks ya.. gua
balik dulu," ucap Victor lirih. Pria itu melangkah pergi
dengan hati legowo. Sonya menggeleng kepala berdiri
bersedekap menatap punggung kekar itu hilang di balik
dingding. Sedetik kemudian gadis itu juga pergi, dan
berencana mencari Aini di manapun berada bahkan ke
lobang semut sekalipun.

Bab 28

Hujan deras kembali menguyur kota Medan. Berkubik air
jatuh membasahi bumi. Udara dingin berhembus
menyelimuti kediaman Victor Walidin sang dosen jenius
di salah satu universitas ternama di kotanya.

Jutaan percikan air menerpa dingding kaca membuat
kabut menghalau pandangan. Pemuda jenius itu berdiri
di depan jendela besar dalam kamarnya di lantai dua. Ia
memperhatikan air hujan membasahi balkon dengan
tatapan kosong. Secangkir kopi di tangannya yang masih
mengeluarkan asap. Tubuhnya dibaluti dengan sweteer
celana training berwarna hitam tidak lupa sehelai syall
melilit lehernya.

Victor menyeruput kopi yang rasanya sangat nikmat
dengan mata terpejam. Seketika ia mengerjab
mendengar suara pintu terbuka. Namun pria itu tidak
menggubris. Ia melanjutkan perhatiannya pada air yang
berjatuhan tanpa henti membasahi lantai balkon

"Vic, kamu yakin tidak mau ke dokter? apa gak sebaiknya
kita chek up dulu?" kata sosok yang berdiri segan di
belakangnya.

Victor menghela nafas lalu bergerak dua langkah ke
samping untuk menaruh kopi di atas nakas dekat
jendela.

"Seharusnya papa tidak perlu bersusah payah
memikirkan aku. Aku sudah terbiasa hidup seperti ini.
Pergilah, urus pekerjaan papa," kata Victor sakras. Dia
mendaratkan tubuhnya di kursi kebesaran berukir di
samping nakas, lalu meraih sebuah buku bacaan
berjudul; 'Filosofi Hidup' tanpa melihat pada pria
setengah baya yang berdiri acuh di depannya.

"Papa tau kamu masih marah, silakan kamu benci pada
papa, itu hak kamu, nak? tapi, tolong? izinkan papa
melakukan sesuatu sebagai bentuk tebusan kesalahan
papa selama ini, Vic?" Mohon sang papa bernada lembut.
Wajahnya layu tampak diselimuti penyesalan atas
perbuatannya di masa lalu. Membiarkan Victor tumbuh
bersama seorang pembantu rumah tangga bernama Bik
Ijah yang sekarang juga sudah pergi menghadap sang
khalik akibat penyakit diabetes menggorogoki wanita itu.
Dan, saat itu juga, Victor kembali hidup sendiri dalam
kesunyian tanpa ada kasih sayang dari orang tuanya

"Papa tidak salah. Aku sudah memaafkan papa? sekarang
pergilah, aku ingin sendiri." Ucap Victor menusuk jantung
pria paruh baya itu. Beliau tahu, bagaimana watak
putranya, maka tanpa berkata lagi beliau pergi dengan
sejuta kesedihan di hatinya. Sama halnya Victor. Dia
menatap punggung Andreas dengan linangan air mata.
Tidak seharusnya ia melakukan itu pada papanya, namun
ia juga belum bisa melupakan sikap sang papa yang
begitu sadis meninggalkannya demi wanita lain, padahal

dirinya baru saja ditinggal sang ibu. Kepasrahannya pada
jalan hidup telah membuat Victor terbiasa jauh dari yang
namanya kasih sayang dan perhatian.

Duduk termenung memikirkan nasip hidup yang belum
kunjung mujur, bahkan hingga detik ini. Akan teltapi, dia
tetap tegar menghadapi hujaman kepedihan dalam
meniti hari-harinya. Berjalan, merangkak seorang diri
sampai takdir menjadikannya sebagai seorang dosen
hebat

Profesi itulah, yang selama ini ia jadikan sandaran
sebagai bentuk pengalihan kesedihannya saat ini.
Memiliki harta berlimpah, juga sebagai pewaris tunggal
keluarga Sandreas Siregar? tidak membuat Victor bangga
atau merasa sempurna. Karena yang dibutuhkan
hanyalah ketulusan orangtua dalam memberinya kasih
sayang.

Tiada yang tahu, siapa dibalik Victor yang ramah dan
tampan itu. Kegelapan, dan kesunyiaan mendera
batinnya, setiap kali ia kembali ke rumah mewah
peninggalan kedua orangtuanya. Ia sempat
menggantungkan harapan pada Aini, jika suatu saat
mereka menikah akan tinggal bersama membangun
mahligai rumah tangga sakinah mawaddah warrahmah.

Namun, hingga hari ini, Victor mengalami penurunan
stamina setelah kejadian kesalahpahaman dengan Aini

beberapa hari yang lalu. Pria itu sering merasakan
tubuhnya menggigil dan suhu badan panas tinggi. Karena
itu juga, Andreas ingin membawanya ke dokter. Akan
tetapi, Victor tidak mengindahkan itu sampai laki-laki itu
pergi dengan keputus asaan.

Hujan mulai reda, tapi cuaca masih terlihat mendung.
Victor melirik jam di atas nakas pukul 14 kurang 10
menit. Ia menggigit ibu jari memikirkan sesuatu,
berhubung 10 menit lagi jadwalnya mengajar, dia berniat
mengajak Aini berbicara, karena hanya itu satu-satunya
cara agar dirinya bisa kembali bersama. Walaupun, tipis
harapan, karena membujuk seorang Aini tidaklah
semudah mengajak kencan cewek-cewek centil lain.

Anggraini Syahbandar, nama yang kini menserabutkan
pikirannya, hingga Victor harus jungkir balik untuk
mendapatkan wanita bangsawan itu. Bagaimana tidak?
setelah sekian semester ia mencoba mendekatinya, baru
sekarang ia diterima, itupun Victor harus menghadapi
pengabaian dan sikap cuek Aini yang sempat menguras
emosinya.

Dalam waktu 10 menit, Victor sudah rapi dengan style
kebapakannya. Kemeja lengang panjang dipadu dengan
celana bahan sepatu pantofel coklat mengkilat mambuat
aura ketampanannya berkali kali lipat.

Meskipun badannya sedikit meriang, namun Victor tetap
menunaikan tanggung jawabnya sebagai dosen. Dia tidak
mau melalaikan tanggung tugas yang sudah diembannya.
Sebab itu juga, pihak akademi sering memberinya
penghargaan dalam bentuk sertifikat sebagai dosen
terbaik.

Sebuah landcruiser mewah memasuki halaman kampus
dan berhenti di parkiran khusus area dosen. Victor keluar
dan berjalan gagah memasuki sebuah gedung akademik
prodi pasca sarjana. Ia mengetuk pintu kaca kemudian
mendorong tanpa menunggu jawaban dari dalam.

"Hey, Vic. Apakabar? tumben ke mari,"
Victor mengabaikan basa-basi itu yang menurutnya tidak
penting. Ia menghempas badannya di sofa sambil
menatap datar pada sosok wanita bertubuh mungil
kerudung menutupi tubuhnya.

"Katakan, apa benar Aini pindah jadwal. Kau yang
mengatur semuanya kan?" ucapnya bernada dingin.
Ternyata Victor sudah mengetahui kecerdikan Aini untuk
menghindar darinya. Hari ini ia akan memberikan Aini
sebuah kejutan dengan mengambil alih sementara waktu
jadwal Ismuha dosen yang mengajar di gedung A dengan
mata kuliah yang sama dengannya. Victor mengetahui
Aini telah mengubah jadwal dan gedung yang berbeda
dengan Victor pada seorang mahasiswa yang tidak
sengaja sedang menceritakan kehadiran Aini di kelas

mereka. Saat itu ia hendak ke parkiran untuk mengambil
mobilnya, dan tidak sengaja mendengar obrolan mereka

"Bro, Anggraini itu cakep ya? kayaknya dia pindahan dari
gedung C. Tapi, kenapa ya,"

"Gak betah kali, manalah awak tau? mang kenapa.. kau
naksir?"

Oh, jadi begitu.. kamu memang cerdik, Ain. Tapi kamu
belum tau siapa aku di kampus ini.

Farida membeku menatap Victor dengan sedikit rasa

tidak enak.

"Kata siapa? gua aja jarang ketemu dia, Vic?"

"Aku gak nanyak kau ketemu atau gak. Aku nanyak kau

kan, yang atur jadwal, Aini!" sergah Victor menatap

tajam Farida. Gadis itu diam, tidak berani menjawab

Victor sembarangan terlebihnya dirinya jarang berbicara

dengan Victor.

"Tapi, aku gak tau, Vic. Mungkin kak Laina? dia yang lebih

berwewenang dalam masalah rolling kellas?" kilah Farida

menyakinkan Victor. Tapi, bukan Victor namanya kalau

bisa ditipu semudah itu.

"Okeh, aku paham. Kalian berteman baik. Dan, sekarang

aku pinta cansel jadwal Ismuha, karena hari ini aku akan

menggantikannya. Aku tidak suka dibantah, Far. Jadi ...

tolong lakukan sekarang." geram Victor menatap wajah

hitam manis di balik kerudung itu tercengir.

"Tapi, Vic. Kau gak bisa gitu dong. Itu kan hak Aini?"

sangga Farida mengajari Victor. Laki-laki itu bangkit dari

sofa bergerak dua langkah menyondong badannya ke

depan Farida.

"Mulai sekarang. Segala yang menyangkut dengan Aini,

itu menjadi urusanku. Catat itu." Kata Victor sakras.

Sejenak dia menatap tajam Farida, dan gadis itu menelan

ludah ketakutan. Dalam hati, sejak kapan kau kejam

seperti ini, Vic.

Farida berdiri mengiringi kepergian Victor. Dan, setelah
pria itu benar-benar hilang di balik pintu, Farida mulai
gelisah memikirkan Aini, perempuan itu meraih
hanphonenya lalu segera men-dial no kontak Aini. Hingga
beberapa kali nada berdering, namun tak kunjung di
angkat oleh Aini.

"Euhh... lu ke mana sih, Ain... lu dalam masalah tau gak.
huuf! gimana donk? pasti Aini marah lagi sama gua.
Lagian si Victor ngapain sih. Udah ngumpatin orang,
masih aja nyari-nyari. Ga tau diri banget. Nyesal kali tu
orang."

Farida berbicara sambil mengerutu diri sendiri. Bingung
harus ngapain, akhirnya ia memutuskan mencari Aini. Ia
berhambur keluar berjalan cepat menuju gedung A.
Langkahnya tergesa-gesa sambil melihat kiri kanan kali
aja Aini ada di tengah-tengah mahasiswa lain. Namun,
Farid tidak menemukan wanita itu. kini ia tiba di depan

gedung C berjalan pelan mengintip dari luar. Ternyata
benar, Victor tidak main-main dengan perkataannya.
Farida mendengar suara Victor sedang menjelaskan
materi kuliahnya.

Gadis itu mendengus kasar, lalu beranjak pergi dari situ.
Dia hanya bisa pasrah pada keadaan. Mungkin ini harus
terjadi agar kemelut cinta Aini berakhir happy. Yah,
Semoga saja? gumannya.

*****

Bab 29

Arloji berdetak di tangan Aini. Dara berdarah Aceh itu
duduk tenang di sudut ruangan memperhatikan papan
tulis di depannya.

Keterkejutan yang tidak bisa dianggap biasa. Dia merasa
belum pikun, atau lupa diri. Jelsa-jelas dia masuk di
gedung A. Tapi, dia sempat ragu. Bagaimana tidak? ke
mana pak Ismuha, bukannya hari ini beliau ya? pikir Aini
bingung.

Aini menepis segala perasaan aneh dalam dirinya. Ia
memusatkan perhatian belajarnya karena itu tujuan ia
datang ke kampus. Aini juga tau? siapa Victor di kampus
ini. Semua bisa dilakukan pria itu. Mungkin, sebaiknya
enjoy saja? toh, bukan urusannya lagi?

Satu jam telah berlalu, Aini duduk tenang mendengar
setiap baik kata penjelasan tentang hukum public. Ia
mendatarkan pandangan setiap kali Victor menatap
canggung. Kepribadian cuek dan gak perduli seorang
Syahbandar telah mengalir dalam darah Aini. Ia tak
tergoyahkan meskipun Victor berkali-kali lewat di
sampingnya sambil menjelaskan tentang materi tersebut.

Semua mahasiswa berhambur keluar, karena jam untuk
mata kuliah Hukum Public telah selesai. Menyisakan Aini
sedang fokus menulis sedikit catatan yang tertinggal.

Saking serius, gadis itu tidak menyadari sosok yang
merinduinya beberapa hari ini berdiri menatapnya tak
berkedip.

"Ekhem.."

Victor berdehem lalu mendaratkan bokongnya di sebuah
kursi dekat Aini. Gadis itu menganggkat kepalanya
menatap Victor dingin. Tiada senyum di wajah ayu nan
manis itu, lalu menuduk lagi menulis kembali catatan itu.

"Jadi, gini? cara kamu menghindari masalah." sindir
Victor tanpa melihat gadis di depannya. Lagi-lagi Aini
membalasnya dengan tatapan dingin menusuk. Suasana
berubah kelam, sekelam aura dosen tampan yang kini
terombang ambing oleh amukan rasa.

"Maksudnya apa ya." tanya Aini datar. Gadis itu
memperhatikan sekilas wajah kusut kekasihnya. Ada
sentilan di sudut hatinya yang dalam, namun ia menepis
itu dengan kasar.

"Aini," panggilnya lembut. Pria itu menjeda sejenak, lalu
menarik nafas dalam, kemudian menghembus panjang.

"Aku ... aku minta maaf, Ain."
"Untuk." balas Aini singkat namun menusuk

Victor bergeser menghadap gadis pujaannya dengan
menatap sayu pada wajah yang selama ini hinggap setiap
saat di pelupuk matanya.

"Aku sadar," kata Victor terputus. Aini menghela nafas
jenuh melihat laki-laki yang telah begitu kejam
menghinanya di tempat umum, dan itu sangat melukai
harga dirinya

"Aku terbawa emosi, aku cemburu. Yah ... aku akui, aku
cemburu melihat kamu bercengkrama dengan Elang.
Kupikir, aku sudah menunjukkan sikap yang benar, tapi,
ternyata aku salah Ain," Victor memejam mata berusaha
menekan rontaan ego dalam jiwanya untuk tidak
menampakkan sisi kelemahannya di hadapan Aini. Ia
yakin, dirinya telah patah, bersama kesombongan akan
pesonanya yang menjadi pujaan gadis-gadis kampus
selama ini.

Aini merapatkan tubuhnya di dingding kursi, dan tidak
mengubah ekspresi datar di wajahnya. Hatinya beku, bak
flezeer bertemperatur tinggi. Tidak merasa menang, Aini
juga menyesali apa yang telah terjadi.

"Terus!" singkatnya ketus. Dia melipat tangan
bersedekap sambil terus meneliti wajah Victor yang
terlihat muram.

"Yeah, aku minta maaf, kalau boleh... "
"Semudah itu. Bahkan, kamu sedang meminta maaf pada
seorang jalang, Vic. Apa menurut kamu pantas." Lantang
Aini menohok pria itu dengan sikap sadisnya.

Victor mengerjab menatap dengan manik yang sulit
dijelaskan. Hati bagai dihujam batu besar tertumbuk
begitu sakit.

Aini membereskan perlengkapannya, lalu menjejal dalam
tas slempangnya. Sebelum bangkit dia melihat Victor
sekali lagi,

"Kamu tidak perlu bersusah payah meminta maaf pada
seorang jalang seperti aku, Vic. Maaf, aku harus pergi."
Sindir Aini ketus. Gadis itu bangkit melenggang pasrah
melewati Victor begitu saja tanpa memperdulikan
perasaan sosok yang mencintainya

Lalu, apakah benar? Aini sudah melupakan Victor
semudah itu? tentu tidak. Aini menelan ludah melangkah
dengan hati berkeping-keping. Ia sadar telah menghardik
Victor tanpa memberinya kesempatan, namun ia juga
melakukan itu, agar Victor menyadari kesalahannya, dan
tidak berkata sembarangan padanya.

"Ain. Aini.. aku mohon. Maafkan aku, Aini?" Victor
menyambar secepat kilat tangan Aini dan menghela
dalam pelukannya. Victor memeluk tubuh langsing itu

seraya mengucapkan kata maaf bertubi-tubi. Aini
tertegun, dan pasrah dipeluk oleh pria itu. Ia memejam
mata menahan agar bulir di dalamnya tidak keluar.

"Maafkan aku, Ain. Aku berjanji akan menjadi lebih baik
untukmu, please.. kasih aku kesempatan untuk
memperbaiki semua dari awal, aku mohon." Victor
memohon dengan nada sengau akibat menahan tangis.
Aini tau. Victor juga sedang memperjuangkan diri dari air
mata agar tidak tumpah.

Aini menarik perlahan tubuhnya dari cengkraman Victor,
dan dia menyadari itu hingga pria itu berlutut bersimpuh
memeluk lutut Aini. Aini benar-benar gak percaya
dengan apa yang dilakukan Victor padanya. Perlahan
hatinya melunak. Ia meranggkul kedua bahu gagah itu
menganggkat berdiri tepat di hadapannya.

"Apa yang membuatmu terus-terusan meminta maaf
padaku, sementara kamu tidak berusaha menyadari apa
yang terjadi. Jangan membuatmu terhina di depan jalang
sepertiku, Victor." umpat Aini tidak memberinya ampun.
Kalau dilihat dari sisi karakter, sifat keras Aini
membiarkan Victor seperti itu juga sebagai upaya ia
mempertahankan harga dirinya. Karena menurut Aini,
kalau kita sudah gak bisa mempertahankan harga diri
lagi, terus, apalagi yang harus kita perjuangkan dalam
hidup ini. Bukankah, Harga diri itu tidak bisa ditukar
dengan nilai permata sekalipun?

Tanpa selang waktu, Aini mundur beberapa langkah lalu
membalikkan tubuhnya meninggalkan Victor terpaku tak
berkutik.

Dia menatap kepergian Aini dengan leburan air mata. Ia
telah kalah oleh egonya sendiri. Cinta memang sulit
diartikan, terkadang indah, namun tidak jarang cinta
membuat seseorang terpuruk dan depresi. Ia bergeser
menghadap dingding dan memukuli tembok bertubi-tubi
mengerutu dirinya sendiri.

Setelah dirasa tenang, Victor merapikan pakaiannya,
meraih tas ransel, lalu pergi meninggalkan ruangan itu
dengan perasaan hancur. Ia menyusuri koridor kampus
menuju arah parkiran di mana mobilnya berada. Sebelum
ia masuk ke mobil, ia sempat melihat Aini berjalan
beriringan dengan Farida dan Sonya ke arah kantin.

Ia menatap dari kejauhan dengan segenap kerinduan
menyelimuti hatinya. Kau milikku Ain. Kita lihat saja.
Gumannya tersenyum licik.

Mengenderai mobil dengan membabi buta, Victor

hampir saja menabrak seorang pedagang keliling hendak

menyebrang jalan.

Untung kontrolnya masih kuat. Kalau tidak. Mungkin saat

ini, Victor dan pedagang itu sudah berakhir di rumah

sakit. Dia mengupat sendiri memaki pedagang itu.

***

Bab 29

"Jadi, lu gak mau maafin dia, Ain?"
suara Sonya di tengah keramaian suasana kantin. Gadis
itu meneliti wajah Aini yang dirundung pilu.

Aini menarik nafas panjang seraya merapatkan tubuhnya
ke dingding kursi. Sesak, itu yang dirasakannya saat ini.

"Mungkin, lu butuh waktu, Ain. Coba, lu tenanngin
pikiran dulu? memang ini rumit, apalagi, lu ngerasa ...
Victor gak ngehargai, ellu," tambah Farida menenangkan
Aini. Ia mengelus bahu Aini lembut.

"Yeah... mybe," lirih pasrah.

Memang tidak mudah bagi siapapun, ketika harga dirinya
di lecehkan. Apalagi, Aini merasa dirinya bukanlah
perempuan gampangan seperti yang dikatakan Victor.
Terlebih, dirinya menyandang gelar kebangsawanannya
yang begitu kental. Meskipun, tidak semua orang
menganggap itu suatu kehormatan. Namun, bagaimana
pun, siapapun, berhak menjaga kehormatan marga
masing-masing.

Sonya mendengus melihat kerapuhan sahabatnya, ia
merasa ikut terhanyut dalam problema Aini saat ini.
Sebegitu tulusnya, ia menempatkan Aini sebagai sahabat
sejati dalam hidupnya.

Sama halnya dengan Farida. Gadis itu, rela melakukan
apapun untuk Aini. Termasuk mengurus bagian
keperluan sidangnya yang tinggal beberapa hari lagi. Yah,
Aini sudah menyiapkan semua berkas naik sidang tesis
mengingat mata kuliah dan ujian semester akan segera
selesai, dan setelah itu? ia akan kembali ke kampung
halamannya untuk sementara waktu sambil menunggu
kelanjutan tujuan hidupnya.

"Ya, aku sih, berharap kalian bisa baikan, Ain. Kasian
Victor, kayaknya dia benar-benar gila sama ellu," kata
Sonya sebelum menyeruput kopi panasnya.

Jujur, dia bingung dengan posisi saat ini, karena
keduanya adalah sahabat. Victor, mereka sudah
bersahabat dari semenjak SMA, sementara Aini? sahabat
semenjak ia duduk di bangku kuliah. Bukan hal yang
mudah bagi Sonya. Akan tetapi, ia juga tidak punya
kapasitas memaksa siapapun dalam hal ini. Secara
logika? Aini dan Victor sama-sama salah. ya.. mungkin
mereka punya hak mempertahankan ego masih-masing.

"Gua mau fokus nyelesain tesis dulu, Son. Gua gak mau
terganggu." ucap Aini pelan. Ia menyurup kopi latte

dalam segelas cangkir, dan merasakan kehangatan dalam
tubuhnya.

"Mungkin itu lebih baik. lu, harus mengutamakan itu.
Terus. apa rencana lu setelah ini?" tanya Farida serius.
Gadis itu menatap Aini menunggu jawabannya. Namun,
sepertinya Aini belum bisa memastikan kelanjutan
perjalanan hidupnya.

Merilekskan segenap kekacauan diri dengan menepis
segala ketergiangan hardikan Victor waktu itu. Ia
menegakkan tubuhnya menopang dagu dengan sebelah
tangan, sambil mengaduk kopi sebelahnya lagi.

Serasa berat berdamai dengan keadaan, terlebih ini
persoalan hati. Jujur ia masih sangat mencintai Victor,
tapi ... ini tidak semudah membalik telapak tangan.
Victor harus menanggung sikap arogannya terhadap Aini.
Ia juga ingin melihat sebesar apa kesabaran Victor dalam
memperjuangkan dirinya.

"Emangnya? Elang, suka sama ellu, Ain. Kok, gua jadi
ingat ya?" cicit Sonya sambil menbumbui saus dalam
mangkok baksonya.

"Maksud, lu?" picing Aini menaut kedua alisnya.

"Yah, gua ingat. Waktu si Elang suka lirik-lirik ellu ... pas
materinya Victor. Gua sempat meratiin sih... gelagat, si

Elang. Cuma... ya? gua gak tahu.Rupanya ada udang di
balik bakwan," jelasnya mengidik bahu.

Aini mendatarkan wajahnya, mungkin ia juga merasakan
perhatian Elang yang sedikit mencolok setiap kali
bertemu. Seperti hal mengingatnya menjaga kesehatan,
jangan bergadang? mungkin itu hal yang lumrah. Tapi,
gak bisa juga dilumrah-lumrahkan 'kan? memannya
setiap perhatian itu tandanya, dia menyukai kita? gak
juga kan... Aini tipe cewek yang super cuek. Jadi, yang
gitu-gitu? payah membuatnya baper. Asik gak sih? jadi
dia.

"Lu kali, juling? masa ia. Dia lirik-lirik lagi belajar? emanh
iya, Ain?" tambah Farida ingin tau. Gadis yang satu ini?
sering los informasi, Gara-gara jarang gabung. Secara dia
kan mengabdi mengurus birokrasi? Sebab itu juga
membuatnya ketinggalan infirmasi.

"Tauk" Aini mengidik bahu cuek.

"Hai, semua? boleh gabung."

Suara itu menghentikan obroblan Aini cs. Mereka sama-
sama menoleh pada sosok yang berdiri menjulang di
hadapan mereka dengan gagahnya. Style jaket branded,
rambut di sisir rapi, mata hazel menyorot Aini lembut.

"Kok, bengong." tambahnya lagi tersenyum manis

Ketiga dara manis itu saling menatap membuat si
penyapa canggung menggaruk kepalanya yang tidak
gatal.

"Eh, boleh, kok Lang. Silakan." Saut Sonya terbata.
"Silakan, kang Elang?" ledek Farida menpersilakan sosok
itu ternyata Elang. Gadis itu menarik kursi di samping
memberikan untuk Elang. Pria bermata hazel dengan
semangat mendaratkan bokongnya sambil melepas jaket
dan tas ranselnya, dan memamerkan tubuh atletis
tercetak dari balik kaus oblong ketat melekat di
tubuhnya. Sejenak ketiga perempuan-perempuan itu
menelan ludah, kecuali Aini. Gadis cuek tidak merubah
ekspresi datarnya. Dia hanya melihat sekilas lalu
mengaduk kembali kopinya yang hampir dingin.

"Ain, kok kita jarang ketemu ya? sekarang. Kamu pindah
jadwal ya?" basa-basi Elang sekedar menormalkan
keadaan. Pria itu selalu merasa canggung kala bertemu
Aini. Entah sejak kapan, perasaan sering berdebar-debar
setiap kali bertatapan mata dengan Aini.

"Yeah, kok kamu tau?" jawab Aini pasrah. Ia menatap
Elang sekilas kemudian menyeruput kopi dinginnya lagi.

"Taulah. Elang 'kan ditektif hati?" nyelutuk Sonya
menggoda Elang. Aini melongo manatap Sonya jengah.
Sementara Elang hanya melebarkan senyumnya
menanggapi godaan itu.


Click to View FlipBook Version