"Lu, bisa aja Son," balas Elang santai. Pria itu terlihat
lebih tenang dari biasanya. Mungkin kalau di lihat secara
kasat mata.Tapi, siapa yang tau hatinya saat ini
mengaduh kesakitan menahan siksaan rindu pada Aini.
Sulit ditepis, juga ... bimbang bagaimana mengungkapkan
rasa. Kendatipun, ia tau Aini milik Victor, namun ia
berniat memperjuangkan secara sehat. Ya, paling tidak,
sportiflah...
"Ain, gua duluan ya? banyak kerjaan nih, lanjut ya? kata
Farida bangkit dan meletakkan sejumlah uang di atas
meja.
"Lah. Lu ke mana? main ninggalin aja. Gua ikut ah,"
sangga Sonya cepat menyamai Farida berdiri hendak
pergi.
"Son. Duduk. Lu gakkan liat gua lagi, kalau lu pergi
sekarang," Ancam Aini bernada dingin
"Jiiiah. Lu ngancam gua, Ain? tegak lu ya.." Sonya duduk
kembali membuat Farida tergelak menertawakan Sonya.
Sonya mengerutu pada Farida dengan membuat bogem
ke arah sahabatnya itu. Elang ikut terkekeh gelik
memperhatikan tingkah ketiga moster cantik di
hadapannya.
"Sini aja napa, Son? mang, mau ke mana buru-buru?"
saut Elang ikut mencegah Sonya. Gadis itu duduk kembali
dengan wajah merengut.
"Terus! gua harus jadi obat nyamuk buat kalian berdua!"
omel Sonya kesal.
"Kok obat nyamuk sih. Ini kan siang, ngapain obat
nyamuk Sonya Felida..." balas Aini membola pada Sonya.
Sonya tau, Aini tidak ingin ditinggal berdua dengan Elang.
Tapi, Sonya juga bingung! kenapa coba, Aini gak ikutan
pergi. Harusnya dia menghindar dong dari Elang. Apalagi,
hubungannya dengan Victor lagi retak. Bukankah
sebaiknya Aini menjaga itu? supaya tidak terjadi
kesalahpahaman yang kedua kali?
Suasana jadi canggung setelah Farida pergi. Karena masih
kesal, Sonya memilih diam menyibukkan diri dengan
bermain hp. Dia juga berusaha tidak mendengar
percakapan Elang dengan Aini yang menurutnya tidak
terlalu asik. "Dasar cewek kulkas," gumannya, dan di
dengar oleh Aini. Aini menyepak sedikit kaki Sonya dari
bawah meja membuat Sonya meringis
"Lu, apaan sih? resek deh..." kata Sonya menyapu
kakinya. Elang memicing melihat keanehan Aini dan
Sonya.
Hari beranjak begitu cepat. Aini melirik Arlojinya, lalu
meminta maaf pada Elang. Ia harus segera pulang untuk
mengistirahatkan badannya. Seberapapun sibuk Aini, dia
selalu menyempatkan waktu untuk tidur siang. Maklum,
Aini seorang wanita penikmat kopi, dan hampir tiap
malam ia meminum kopi hingga membuatnya tidak bisa
tidur lebih awal. Alhasil? siang hari, otomatis, dia
terngantuk-ngantuk.
Elang merelakan Aini pergi dengan berat hati. Mengingat
dirinya gak punya hak mencegah? Elang ikut berdiri,
kemudian mereka berpencar ke arah masing-masing.
Bab 30
Azan magrib terdengar lantang dari toa mesjid dekat
rumah Victor. Aini bingung. Ia duduk gelisah dalam
kamar itu. Belum lagi tubuhnya gerah karena belum
mandi.
"Son, lu gak sholat gitu? masak, aku harus ninggalin sih?"
Aini mendengus prustasi mendekati Sonya sedang duduk
mengotak ngatik hanphonenya. dia melirik Aini sekilas,
"Ya, mau gimana, Ain.. gua juga bingung? ya udah, lu
sholatnya besok aja," jawab Sonya santai. Gadis itu masih
menyibukkan diri dengan ponselnya, hingga membuat
Aini kesal.
"Apah. Lu gila, apa.." Aini mengacak pinggang di depan
Sonya. Namun, gadis berambut gelombang itu tidak
perduli malah fokus dengan tontonan tiktoknya.
Aini menyerah, lalu mendarat kembali di sofa panjang itu
dengan posisi menjulur kaki merebahkan badannya.
Baru, ia akan merenggangkan otot-ototnya, suara Victor
terdengar disaat dirinya hendak memejam mata. Aini
bangun bergerak ke arah ranjang di mana lelaki malang
itu tidur.
"Ain.."
Sonya menatap Aini dengan menahan senyum gelik
membuat Aini melongos kesal atas sikap sahabatnya.
Tubuh Aini berdesir mendengar namannya dipanggil,
bahkan dalan tidur sekalipun. Aini sadar? ternyata Victor
sangat mencintainya, atau mungkin, pria itu sakit gara-
gara Aini tidak perduli padanya beberapa hari yang lalu
setelah kejadian kesalahpahaman itu terjadi
"Aini... sayangku, saking cintanya sampai me ngingau,"
"Son? apaan sih lu? gak lucu tau. Liat dia menggingil lagi,
panasnya juga makin tinggi, Son..?" ratap Aini meraba
kening kekasihnya yang mulai panas lagi.
Sonya ikut meraba kulit Victor, dan ternyata tubuh kekar
itu benar-benar sangat panas.
"Waduh. Cemmana, nih Ain. Panas banget lagi si agan."
Pastinya mereka panik. Kondisi Victor tidak sedang baik-
baik saja. Sonya menepuk jidat memutar otaknya.
Sementara Aini hanya bisa duduk di tepi ranjang
menumpu kepala dengan kedua tangannya.
Tuhan.. kek mana ini? ke mana harus kubawa dia dengan
keadaan seperti ini?
"Haa.. gua punya ide," kata Sonya bersuara besar
mengagetkan Aini.
"Lu. Bisa gak, gak ngejutin," balas Aini reflek berdiri.
Sonya menaut kedua alisnya melihat keterkejutan Aini
yang berlebihan
"Yah, sori. Gua gak tau jantung lu selemah itu, Aini.
Udah? sekarang ... kita bawa Victor ke rumah sakit,
setelah itu? gua telepon om andreas. Gimana? cocok."
Usul Sonya merasa yakin dengan idenya. Dia berecana
membawa dulu Victor ke rumah sakit, kemudian dia akan
mengabari papanya Victor. Tapi, sepertinya itu bukanlah
ide yang bagus menurut Aini.
"Iya.. tapi, apa mungkin? lu, gua, gendong dia ... berdua?
gak gak gak. Gua gak sangup Son. Kita harus cari
bantuan. Gimana ... kalau lu telphon papanya Victor
langsung ke sini, kan bisa langsung beliau yang tangani?"
Aini ada benarnya juga.. lagian masuk akal kan? dengan
menghubungi Andreas papanya Victor? Sonya dan Aini
tidak perlu repot-repot menangani urusan rumah sakit.
Ya, bukan masalah uang sih? tapi, proses rumah sakit itu
rumit! Aini sendiri sangat malas berurusan dengan
peraturan rumah sakit yang menurutnya sangat
berlebihan. Terlebih lagi masa pandemi kek gini. Setiap
pasien harus menjalani swablah, rapid testlah, atau
apalah, tetek bengeknya.
"Okeh, lu benar. hp mana?" kata Sonya menadah
tangannya pada Aini. Aini mengkerut kening.
"Hp. Maksud, loh. Hp gua? buat apa..." tanggap Aini
bingung. Ia makin pusing melihat tingkah Sonya yang
aneh.
"Yaa.. hp Victor lah... masak hp, lu.."
"Kok di gua. Ya, enggaklah." Balas Aini jengah. Ia
mengacak pinggang menatap Sonya kesal.
"Lah. Jadi hp dia di mana Ain... kan kontak om andreas
ada di hp Victor.." Sonya mendekat, menyingkap selimut
yang menutupi tubuh Victor. Ia meraba seluruh badan
mencari ponsel di sekitar Victor, namun ia tidak
menemukan yang dicarinya.
"Son. Lu apaan, sih. Lu gilak apa? mana ada di situ?
mungkin ketinggalan di mobilnya?" protes Aini mencegah
aksi Sonya. Aini mulai gelik melihat Sonya meraba-raba
seluruh badan kekasihnya. Bukan karena ia cemburu,
namun. Aini merasa itu tidak pantas. Apa Sonya tau?
kalau sampai Victor bangun dan melihat Sonya sedang
melakukan hal aneh terhadapnya gimana? memang sih..
tidak masalah? tapi, ya ... Aini gelik aja, gitu?
"Terus, gua musti apa, Ain.. lu bantu mikir kek?" Sonya
mulai gerah. Ia melangkah mengelilingi kamar Victor dan
mengobra ngabrik sebagian buku di atas meja kerja laki-
laki itu. Ia juga membuka laci-laci meja, dan Sonya
melihat sebuah buku agenda tergeletak rapi dalam laci
tersebut. Tanpa menunggu, ia meraih buku berwarna
hitam bertulis agenda itu, dan segera membukanya, kali
aja ada no ponsel papanya Victor di dalamnya. Dia
sempat terhenyak melihat begitu banyak coretan dalam
buku itu, namun Sonya menepis rasa itu. Bukan saatnya
meneliti goresan yang di tulis Victor. Dia terus membuka
lembaran demi lembaran mencari no kontak Andreas.
Sonya mengomel sendiri karena belum menemukan yang
dicari. Satu persatu lembaran itu di singkap hingga ia
berhenti tepat di tengah-tengah lembaran buku. Sonya
mengangga dan menutup dengan sebelah tangannya
"Ain.." panggilnya tercekat. Aini yang menyaksikan itu
cepat mendekat berdiri di samping Sonya ikut melihat isi
dalam buku itu. Seketika, gadis itu melakukan hal yang
sama dengan sahabatnya. Sesaat mereka saling menatap
dengan ekspresi sedih di wajah keduanya.
Hening. Itu yang terjadi. Setelah lelah memcari, namun
tidak mereka temukan juga. Akhirnya, Aini dan Sonya
memutuskan untuk memberikan pertolongan pertama
dengan mengompres kepala dan bagian ketiak Victor
untuk mencegah panas semakin tinggi. Aini
melakukannya dengan mata berkaca-kaca. Sama halnya,
Sonya. Ia duduk di bagian kepala Victor sambil
memperhatikan wajah sahabatnya yang tampan, akan
tetap menyimpan sejuta kesedihan tertutup rapat tiada
seorangpun yang tau selain dirinya dan pemilik bumi ini.
*************
"Alhamdulillah... dia sehat, may? wajahnya persis
kamu.."
Rona bahagia terlukis di wajah wanita paruh baya
bernama Kartini. Berdiri menggedong seorang bayi
mungil yang baru saja hadir ke dunia ini.
Akhirnya Katini bisa juga menimang cucu, setelah sekian
lama ia menanti tangisan itu, kini terdengar lantang di
tengah-tengah keluarga Syahbandar. Bayi tanpa dosa itu
adalah; buah cinta Meylani dan suaminya Halim Kusuma
yang baru saja lahir melalui operasi cesar di rumah sakit
ternama di daerahnya, dengan berat 3,8 kg. Bayi itu
sehat, dan juga tampan
Meylani terbaring letih dengan peluh masih bercucur di
keningnya. Ia tersenyum bahagia melihat ibunya
menimang anaknya dengan tulus dan penuh kasih. Bayi
laki-laki yang sudah diberi nama Hendra Saputra oleh
Kartini sejam setelah lahir itu mewarisi wajah oriantal
yang sama dengan Rafli. Dari bentuk hidung, mata hingga
dagu yang terbelah. Sungguh di luar dugaan, ternyata ...
Rafli sangat senang menyambut cucu pertamanya. laki-
laki itu mengecup berulang-ulang pipi gembul itu sampai
si kecil Hendra menggeliat mengeluarkan suara
protesnya. Rafli dan Kartini terkekeh merasa lucu
digelitik oleh cucunya
"Ma.. " suara Meylani lemah. Wanita yang baru saja
menjadi seorang ibu itu tersenyum puas karena melihat
Rafli begitu menyangi buah hatinya. Awal yang baik
menurut Meylan yang sempat berpikir buruk tentang
Rafli, bahwa, beliau tidak menginginkan kehadiran
anaknya, karena Hendra bukanlah seorang pewaris
Syahbandar. Hendra terlahir sebagai anak dari orang
yang biasa. Ternyata, perkiraan Meylan salah. Dia lega,
ketika Rafli ikut datang menyemangatinya dalam
menghadapi detik-detik persalinan.
"Kamu harus kuat, Mey. Banyak-banyak berzikir, supaya
Allah memperlancarkan lahiran, kamu nak?"
Ucapan itu masih terngiang pada saat dirinya memasuki
ruang operasi. Rafli datang mengingatkan itu dan
mengecup dalam keningnya.
Saat itu ia baru tau, bahwa sebenci-bencinya seorang
ayah terhadap anak, namun tidak akan meninggalkan
anak tersebut dalam keadaan tak berdaya, apalagi,
sedang menghadapi perjuangan melahirkan dengan
nyawa pertaruhannya. Rafli meruntuhkan segala ego,
dan harga dirinya sebagai pewaris Syahbandar dengan
menerima semua kenyataan. Pria tua itu mencoba
berpikir realistis sebab Hendra adalah cucu pertamanya,
dan itu tidak bisa dipungkiri olehnya.
"Mey? kasih asi dulu, gih. Dia haus? tuh, lihat. Bibirnya
melet-melet," Kartini menyerahkan bayi itu pada Meylan,
di sambut dengan kecupan di kening merah nan mungil
itu.
"I.. cayang? anak mami haus ya?" manja Meylan pada
bayi mungilnya. Ia mulai belajar memberi asi pada
Hendra dengan hati-hati. Karena asinya belum banyak.
Dan, untuk sementara, Meylan membantu dengan susu
formula agar Hendra kenyang, dan tidak rewel.
Kehadiran Hendra telah mengubah semuanya kecuali,
antara Rafli dan Halim. Tak dapat dipungkiri oleh Rafli.
Kebenciannya pada Halim belum juga musnah. Malahan,
ia pernah membesit hatinya untuk memisahkan Halim
dengan Meylani sebelum Meylani ketahuan hamil. Akan
tetapi, niat buruk itu ia urungkan setelah mendengar
berita dari Kartini istrinya, bahwa, Meylan sedang
mengandung
Sampai detik ini Rafli belum pernah mengiklaskan
anaknya dinikahi oleh seorang bandar narkoba, dan
dengan sengaja mengguna-guna Meylan agar gila dan
mau menikah dengannya. Semua ketahuan, setelah Rafli
menelusuri kenapa Meylan sampai membabi buta ingin
menikah dengan Halim. Dan, alhasil? Meylani terkena
ilmu pelet ampuh milik mbah Mun. Seorang dukun tua
yang terkenal dengan ilmu sihir sakti mandra guna. Halim
membayar mbah Mun untuk melancarkan niatnya,
sungguh busuk perlakuan Halim terhadap Meylan,
sampai-sampai Meylan rela memaki kedua orang tuanya
hanya karena Rafli melarang menikah dengan Halim.
"Anakmu di guna-guna oleh mbah Mun, Raf. Coba kamu
lihat. Meylani dalam pengaruh guna-guna.
Rafli menggepal kedua tangannya setiap kali mengingat
itu. Kalau bukan karena Kartini istrinya, mungkin Mbah
Mun dan Halim sudah menjadi tumpukan daging. Akan
tetapi, Kartini selalu mengendalikan amarahnya, bahkan
Rafli tidak bisa lagi dikendalikan. Untung, Rafli masih
punya sedikit hati mau mendengar nasehat Kartini
istrinya.
Bab 31
Dreet.. dreet...
"Ya, Assalamualaikum, Ma.."
"Apa kamu, sudah sholat subuh Ain? jam berapa di
sana,"
"Iya, Ma.. ini mau sholat," Tidak menyadari, kalau dirinya
sedang berkata bohong pada Kartini ibunya yang
menelphon dari Aceh.
"Kenapa, Ma. Kok pagi amat telphonnya?" tanya Aini
mengucek kedua matanya. Sekilas ia melihat Sonya
terbaring membungkus di atas sofa.
"Engga, nak. Ini, mama mau kasih kabar. Adik kamu baru
saja melahirkan bayi laki-laki. Dia sehat. Kamu gak
berniat pulang menjenguk keponakan?" suara lembut
dalam ponsel membuat Aini terperanjat.
"Apa? Jadi, Meylan lahiran, ma. Wah, aku punya
keponakan sekarang,"
Kartini terkekeh terdengar bahagia di telinga Aini.
"Iya, sayang? namanya Hendra Saputra."
"Oh, Ya sudah, ntar kapan-kapan, Aini pulang Ma, ya?"
"Ya sudah? mama tutup ya. Assalamu'alaikum?"
Aini menarik nafas panjang. Ia meletakkan kembali
ponselnya di atas meja, dan ngak sengaja ia melihat ke
ranjang memastikan Victor baik-baik aja. Dia terkejut.
Ternyata, Victor sedang memperhatikannya dengan
tatapan sayu. Mereka hanya berjarak satu meter dari
ranjang ada sebuah sofa panjang yang sengaja di pajang
Victor di kamarnya. Di sofa itu juga Aini dan Sonya tidur
separuh separuh.
"Hey," kata Victor mengerjab.
"Hey," bangun Aini beranjak ke ranjang kemudian duduk
di tepi sambil meraba kening kekasihnya.
"Wah. Turun panasnya. Kamu, udah baikan?" ucap Aini
lembut. Victor berusaha untuk bangun karena merasa
gak enak berbicara sambil tidur.
"Eh, ngapain. Istirahat aja, gak apa-apa kok." sangga Aini
menahan Victor. Laki-laki itu menurut dengan
memiringkan tubuh ke samping menghadap Aini.
"Makasih? aku ... ngeropotin ya," Victor meraih tangan
Aini dan mengecup sekilas. Aini tersenyum manis
membelai kening hingga kepala Victor.
"Subuh-subuh pacaran. Sholat, Ain? ntar nyokap lu
telphon lagi ingetin salat,"
Aini dan Victor saling menatap mendengar suara Sonya
dalam tidur. Gak tidur juga sih, pura-pura tidur lebih
tepatnya.
"Dasar! tukang ngintip." Balas Aini melebar senyumnya
diikuti Victor. Sonya malah diam seolah ucapan barusan
benar-benar mengingau
"Kita ke dokter yah." kata Aini menatap Victor. Entah
kenapa, setelah mendengar hampir setiap menit pria itu
memanggil namanya dalam tidur. Dia seperti terhipnotis
kembali. Kini dia mengerti kenapa Victor sampai semarah
itu saat melihat dirinya bersama Elang.
Hah. Mengingat Elang. Beberapa jam yang lalu, pria itu
mengiriminya sebuah pesan yang isinya tentang
ungkapan. Dari awal Aini sudah curiga dengan sikap over
perhatian Elang padanya. Namun, Aini tidak menggubris.
Perasaan Aini tetap sama. Pria kalau ada maunya mah
begitu? banyak embel-embel sok perhatian.
"Kamu dokter aku, Ain. Aku gak butuh yang lain. Please,
jangan tinggalin aku, emm.." deg. Jantung Aini
bergemuruh. Lagi-lagi hatinya tersentil sakit
membayangkan suatu saat dirinya akan pergi dari sisi
Victor. Ia diam untuk waktu yang sedikit lama.
Memikirkan jawaban apa yang harus diberikan untuk pria
yang dicintainya. Sekarang saja, Victor seperti hilang
keseimbangan gara-gara kejadian dengan Elang. Gimana
nanti gadis itu benar-benar pergi untuk selamanya.
Aini menghela nafas panjang, "Yeah, kamu sehat terus
yah. Kasian kami banyak ketinggalan kuliah." Aini
menyolek sedikit hidung Victor membuat laki-laki
tampan itu terkekeh menampakkan deretan gigi
putihnya. Aini mengulum senyum manis, senyum
andalannya yang membuat separuh pria-pria kampus
klepek-klepek. Sayangnya Aini dingin tak tersentuh. Tidak
mempan dengan godaan. Tak heran, namanya sering
dibincangkan oleh mahasiswa hukum seangkatan.
"Oiya, Vic. Aku haus banget. Dapur kamu di mana ya?
dari tadi malam aku sama Sonya gerah, nih." tandas Aini
berdiri melihat sekeliling. Bersamaan Victor memaksa diri
untuk bangun juga.
"Dapurnya di bawah, Ain. Aku antar ya?"
"Eh, kamu belum sehat loh. Aku bisa sendiri kok,"
sanggah Aini menahan Victor. Namun kali ini pria itu
tidak lagi menurut. Ia turun dari ranjang dibantu Aini.
Mereka keluar lantas turun ke lantai bawah di mana
dapur berada.
"Tapi, benaran loh, Ain. Aku udah ngeropotin kalian.
Pasti dari tadi malam kalian belum makan apa-apa 'kan?"
Victor membuka lemari dapur mengeluarkan semua
peralatan sarapan. Dari nuget, keju, kopi dan snac
lainnya.
"Ain. Tolong buatkan sarapan, boleh ya?" pria itu melihat
Aini dengan tatapan penuh harap. Lagi-lagi Aini
mengulum senyum.
"Emang, kamu biasanya sarapan apa?" jawab Aini
menyentuh bungkusan makanan itu.
"Aku mau omelet aja, Ain. Sama kopi," Aini mangut-
mangut
"Okeh. Tapi, kalau gak enak, jangan ngejek ya? soalnya
aku ... gak berapa pinter, sih."
Victor mendekat meraih dagu Aini.
"Apapun karya kamu, aku pasti suka, sayang." Victor
menatap lekat bola mata pimpong itu tanpa berkedip.
Lama. Semakin dekat. Dan, ia melabuhkan ciuman pagi di
bibir Aini. Aini terkejut, bergeming. Akan tetapi, tidak
berupaya menolak lumatan itu. Merka saling melumat
dalam durasi cukup lama hingga deheman mengagetkan
mereka.
"Astaqfirullah? pagi-pagi udah ciuman aja. Eh, kalian
sadar gak sih. Kalian belum mandi. Ih, mau-maunya lu,
Ain." Usil Sonya tak perduli suasana. Gadis itu bergabung
dan berdiri masa bodoh di depan Aini dan Victor.
"Paan, sih Son. Resek tau gak." Aini tersipu malu
kepergok sedang berciuman dengan Victor. Memang,
bagi Sonya itu hal yang biasa. Tapi, tidak bagi Aini. Ia
merasa sangat tabu dengan hal seperti itu. Kadang dia
berpikir, kalau dirinya terlalu mudah di dapatkan oleh
Victor. Sehingga, Aini sering menyesali perbuatannya.
Tapi, dia juga manusia biasa yang mungkin tidak bisa
melawan rasa. Ia mencintai Victor meskipun tidak terlalu
menampakkan. Bukan karena Aini sok jual mahal atau
mengedapankan ego. Karakteristiknya tidak bisa
mengubah itu. Aini gak bisa bersikap heboh atau
berlebihan seperti wanita pada umumnya.
Cinta cukup dirasa dan dimengerti. Selain itu, cinta
adalah bagian dari nafsu. Mencintai Victor adalah
vitrahnya sebagai wanita normal. Menbiarkan Victor
menyentuh dan menciumnya, itu sebagai bentuk
pernyataan. Bahwa dirinya juga mengalami hal yang
sama.
"Hemm.. ya sudah. Buatkan aku sarapan. Kalian berdua
cocok jadi koki pagi-pagi." Sonya duduk di kursi pantry
menunggu sarapan. Sementara Aini melongo seraya
menggeleng kepala gak habis pikir. Dengan sangat
terpaksa ia membuatkan sarapan untuk Sonya dan
kekasihnya.
Empat piring omelet keju ditemani empat cangkir kopi
khas Aceh. Aini menghidangkan ke hadapan mereka
berdua.
"Lu, kapan sih, Son. Bisa masak. Dari dulu kerja lu makan
... aja." omel Victor pada Sonya. Aini melirik wajah Sonya
biasa aja. Dia malah mengunyah omelet buatannya
santai
"Ngapain masak kalau ada pembantu. Kan, udah
dimasakin, tinggal makan," jawab Sonya cuek.
"Lah. Ntar laki lu siapa masakin. Pembantu juga?"
tambah Victor lagi. Dia heran. Dari dulu Sonya gak suka
masak. Bahkan gadis itu lebih suka jajanan di luar dari
pada merepotkan diri di dapur.
"Ya, beli ajalah. Tu aja kok repot. Ya, kan Ain?" balasnya
melempar ke Aini. Aini sendiri diam hanya jadi
pendengar yang budiman
"Iya aja, dari pada benjol?" datar Aini melirik Sonya
sekilas. Sonya melongo digituin sama sahabatnya. Ia
kesal. Aini mah aneh? tau dia! benak Sonya.
Victor terkekeh menutup mulutnya dengan punggung
tangan sendok terjepit di jemarinya.
Sarapan yang mengesankan. Sulit terlukis. Namun, cukup
untuk sebuah kenangan bagi Aini. Semoga saja ada jalan
untuk terus bersama. Walaupun, perpisahan semakin
dekat merengut kebahagiaan itu.
Aini dan Sonya meminta izin pulang sama Victor karena
jam 11 siang nanti mereka ada jadwal kuliah. Awalnya,
Victor tidak memberi izin pada Aini. Dia masih ingin
ditemani Aini dalam kondisi kurang fit seperti itu. Aini
memberi pengertian dan janji sepulang kuliah akan main
lagi ke rumah itu. Akhirnya, alasan itu membebaskannya
dari cengkraman sang kekasih
Hari terus berlalu, detik jam berpindah dari pagi ke siang,
siang ke malam. Kini, hubungan Victor dan Aini berangsur
membaik. Mereka sering menghabiskan waktu bersama,
makan bersama pulang kuliah bersama. Hingga tiba
waktunya, Aini menghadapi persidangan di mana dirinya
telah menyelesaikan S2 sesuai dengan target. Di tahun
ketiga Aini berhasil meraih gelar comlaud dengan
capaian nilai di atas rata-tata.
Adalah kebanggaan bagi orang tuanya, meskipun, Rafli
tidak terlalu mengerti hal yang begitu. Dia cuma bahagia
akhirnya Aini selesai dan bisa cepat kembali ke tanah
rencong, tanah kelahirannya. Melanjutkan cita-cita sang
papa, yaitu menikah dengan sesama bangsawan.
Bab 31
Ain..? selamat ya beb." pekik Sonya dari luar gedung
pasca sarjana tepatnya di ruang persidangan tesis Aini
saat ini. Sonya berjalan cepat memeluk Aini dan mereka
saling menyatu pipi masing-masing.
"Makasih, sayang. Berkat lu juga." Jawab Aini bahagia.
Tubuh langsing itu merangkul bahu Sonya yang lebih
pendek darinya
"Yah, tapi lu tega ninggalin gua. Lu ingkar, kan. Janji dulu
barengan. Lu mau cepat-cepat back ke Aceh?" Sonya
melepas diri dari rangkulan Aini dan berdiri berhadapan.
Aini menaut alis dengan sedikit merapikan hijabnya.
"Ngomong apa sih, lu? gua kan belum 100 % kellas, Son.
Tesis gua banyak yang harus direvisi,"
Mereka bergerak bersama-sama ke arah kantin tanpa
melirik kiri kanan saking renyah percakapan.
"Selamat ya, yang udah dapat cumlaod," bariton itu
menghentikan keduanya, sama-sama berbalik ke arah
sumber suara. Sosok gagah dan tampan berdiri tinggi
menjulang di depan Sonya dan Aini. Aini memicing
memperhatikan wajah bersih tanpa bulu sehelaipun.
Kemeja panjang berwarna putih dipadu jeans hitam
sepatu pantofel mengkilat membuat sosok tegap itu
terkesan bersahaja.
"Hay, Thanks ya?" ucap Aini terpesona.
Sonya melirik dengan menaikkan sebelah alisnya, dalam
hatinya, tumben, Aini pangling gitu. Ya, sih. Victor hari ini
tampil tampan. Secara dia kan calon CEO, ya.. dia harus
belajar tampil elleganlah. Aini mungkin belum tau, bahwa
ada banyak perusahaan yang akan dipangku Victor ke
depan.
"Jadi, gak ada makan-makannya, ni?" Victor bergerak
lebih dekat ke hadapan Aini tanpa melepas pandangan
menggoda pada Aini.
"Emm.. mulai-mulai? woi sadar woi! ini tu kampus bukan
disotik." Sonya mengacak pinggang ketika dilihat
keduanya saling menatap tak berkedip. Aini tergelak
dengan aksi yang dilakukan Sonya sahabatnya.
"Kalau ini Diskotik. Aku tidak akan membiarkan dia
menganggur seperti itu, Son..." saut Victor dengan
senyum penuh arti. Pria itu selalu saja bergairah ketika
melihat bibir Aini mengulum senyum. Andai saja bukan di
depan umum. Mungkin, bibir itu sudah jadi santapan
baginya. Hari ini, Adalah hari terakhir Aini menginjak kaki
di kampus itu, walaupun masih masih ada yang harus
diperbaiki namun. Victor yakin, Aini akan lebih banyak
waktu di rumah ketimbang di kampus.
Rencana untuk makan di kampus gagal. Sonya mengalah
demi keutuhan hubungan kedua sahabatnya. Victor
membawa Aini ke suatu tempat di mana tidak yang lain
selain mereka berdua.
Vic. Kita ke mana? ini kan arah ke---"
"Iya, sayang. Aku ingin menghabiskan waktu dengan
kamu di sana. Aku ingin, hari ini menjadi momen indah
atas keberhasilan kamu, em.." Victor mengelus bagian
kepala Aini yang tertutupi hijab dengan sebelah
tangannya, sementara sebelah lagi ia gunakan untuk
mengendalikan setiran mobil.
Aini memiringkan wajahnya melihat pria yang semakin
hari membuatnya berat meninggalkan kota itu untuk
kembali ke tanah kelahirannya.
"Ya? tapi, untuk apa kita kemari sayang? kan bisa di
rumah? ngapain jauh-jauh kita--"
"Ain, please. Aku lagi nyetir. Kamu tenang yah." sangga
Victor tanpa melihat Aini.
Dalam beberapa waktu, mereka tiba di sebuah lokasi
yang disuguhkan oleh pemandangan indah. Penampakan
gunung Sibaya sedang mengeluarkan asap tebal.
"Yuk, sayang," ajak Victor bergegas turun. Beda dengan
Aini. Gadis itu masih bingung kenapa Victor
membawanya ke tempat itu. Inikan bukan momen
liburan, ngapain dia ke tempat ini. Batin Aini. Tak lama
Victor membukakan pintu untuk Aini, dan mengulur
tangannya agar keluar.
Mereka berjalan ke sebuah memasuki sebuah Villa yang
terlihat sepi, namun sejuk. Sesaat, kednginan menyergap
tubuh Aini. Victor membukakan pintu bangunan yang
lumayan luas dan menarik tangan Aini ke dalam.
"Ain. Kamu istirahat dulu ya? aku ke dapur sebentar."
Kata Victor menyuruh Aini duduk di sofa ruang tamu.
Setelah Victor pergi, Aini memandang sekeliling ruangan.
Akan tetapi, sepertinya ruangan itu tidak bisa memberi
jawaban apa-apa. Hanya ada Sofa dan sebuah jam
dingding. Aini bertanya dalam hati. Apa ini ... Villa milik
dia?
"Sayang, kamu laper gak. Kita masak dulu yuk, soalnya
makanan daerah sini, gak ada untuk muslim. Kamu tau
kan," kata Victor mendekat meraih bahu Aini. Aini hanya
diam. Memang sih. Dia tau, brastagi adalah daerah yang
di huni oleh hampir 70 persen non muslim.
Aini memgidik bahu, "siapa takut," jawabnya senang.
Dilihat dari gayanya sih? layaknya Aini lagi kepingin
masak nih. Secara diakan anak kos? pasti jarang masak,
atau gak masak sama sekali. Pastinya gitu sih.
Victor mengeluarkan semua bahan yang ada di dalam
kulkas dari buah sayur dan telor. Aini memicing, kapan
Victor membelikan semua bahan itu? apa dia sering ke
sini? Batin Aini.
"Okeh, aku akan masakin kamu omelet plus aku buatin
salad buah. Sekarang kamu duduk di situ jangan ganggu
aku, oke?" Aini mendorong tubuh Victor dari dapur ke
meja pantry dan menyuruhnya duduk di salah satu kursi
tinggi itu.
"Hey, aku ingin membantu kamu ngupas bawang? kamu
itu calon istriku, jadi aku harus belajar romantis di dapur
dong, Ain.."
Sejenak, dada Aini bergemuruh. Satu kata yang
membuatnya menghentikan aktivitasnya. Calon istri.
Perlahan Aini mulai memotong tomat dan cabai merah
untuk ia buatkan omelet. Sekarang, pikirannya terganggu
dengan kata-kata Victor barusan. Pun, ia mencoba
menepis, malah rasa bersalah yang selalu
menghantuinya.
Setelah ini, aku akan pulang, Vic. Maafkan aku, aku tidak
ingin membuatmu semakin terjerat jauh. Katakan aku
wanita jahat, Vic. Batin Aini jadi nelangsa. Ingin rasanya
ia menjerir sekuatnya dan mengutuk dirinya sendiri.
Harusnya, ia gak memberi harapan sejauh ini pada Victor.
Tiba-tiba bulir bening itu mengalir lepas begitu saja.
Victor yang melihat keanehan dari gasture Aini turun dari
kursinya mendekati dan memeluk Aini dari belakang
"Hey, kamu kenapa.. kok sedih." ucapnya mengecup
leher Aini yang tertutupi dengan hijab. Aini memejam
mata lalu memutar balik badannya berhadapan dan
saling menatap.
"Ain. Kamu gak apa-apa, emm.."
Victor menyapu pipi yang basah oleh air mata itu sambil
memicing bingung.
"Gak, sayang. Aku gak apa-apa, kok," elak Aini
menanggkup kedua pipi gerahang itu dan saling
menatap.
"Benar? gak bohong, kan?" balas Victor mengecup
kening Aini sejenak. Ia mengangkat dagu gadis itu dengan
jemarinya lalu mendekat dan mencium bibir Aini lembut.
Lama tak ada respon sampai akhirnya Victor melumat
bibir ranum itu dengan kelembutan membuat Aini
memejam mata dan terbuai. Victor menyeret perlahan
gadisnya dan menyenderkan di dingding agar leluasa
mencium Aini.
Mereka terbawa suasana beberapa saat tanpa ada rasa
lapar lagi. Victor kian buas menyerang Aini. Melumat dan
mencium setiap lekuk wajah gadis itu. Yang dicium ikut
membalas memberikan sensasi gairah bagi Victor.
Aini melampiaskan segala kekesalan dengan membalas
ciuman Victor lebih hot dati biasanya. Terus terlena
sampai mereka lupa kompor masih menyala. Bau gosong
tercium oleh Aini sontak gadis itu melepas ciuman dan
berlari ke arah kompor.
"Yah... gosong. Gimana donk, Vic." gerutunya sambil
menganggkat teflon yang sudah berasap. Victor terkekeh
gelik berdiri di samping Aini.
"Ya, udah? tinggal buat aja lagi, Ain.."
Aini mendengus kesal dan terpaksa meracik kembali
bumbu untuk membuat kembali omeletnya
Bab 32
Hari semakin sore. Matahari akan segera kembali
keperaduan. Setelah menghabiskan waktu hampir
setengah hari bersama kekasih, akhirnya Aini pulang ke
kosan diantar Victor.
Gadis itu bersemu bahagia terlihat jelas dari wajah
manisnya. Seharian ini, Victor memuja dan
mencumbunya dengan kasih sayang. Sampai Aini
menyadari satu hal dalam hati bahwa dirinya benar-
benar mencintai Victor lebih dari segalanya. Rasa itu
seakan baru lahir hingga terbesit merencanakan nikah
siri dengan Victor. Dan, itu sudah menjadi tekadnya. Aini
tidak lagi memikirkan dirinya dari mana, dan lahir dari
rahim siapa. Persetan dengan silsilah. Sekarang, Aini
hanya memikirkan kebahagiaannya dengan Victor.
"Kalau Meylani bisa, kenapa aku enggak. Pa.. maafkan,
Aini. Aini gak bisa hidup tanpa Victor." Aini berbicara
sendiri ketika hendak membuka pintu kos-kosannya.
"Assalamualaikum..." ucapan salam dari seseorang
membuat Aini tidak jadi membuka pintu rumahnya.
Gadis itu membalikkan tubuhnya mencari suara itu.
"Paapa--" gumannya
"Iya, nak. Papa dari tadi menunggu kamu. Kenapa baru
pulang, ini kan sudah sore," saut pria berwajah tegas dan
berhidung mancung itu sambil berjalan mendekati Aini.
Aini menelan ludah tidak menyangka orang yang baru
saja terlintas dalam benaknya untuk dihianati kini berdiri
tegap dengan setelan batik kerawang Aceh membalut
tubuhnya.
"Kenapa, baru pulang papa tanya!" ucapnya lagi
menyadarkan Aini.
"I--iya, pa. Aini, dari kampus pa, baru siap," jawab Aini
terbata. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari
jarum jam di tangannya. Kembali ia menelan ludah
menatap sosok yang berkharismatik bersedekap meneliti
wajahnya.
"Terus! apa kamu akan membiarkan papa berdiri sampai
malam di sini. Kamu sudah lulus S2 tapi etika kamu
semakin berkurang Aini! kata Rafli menohok putrinya.
Aini bingung sambil berpikir apa yang salah. Dan, ia
menyadari ketika Rafli menyodorkan tangannya untuk
berjabat. Aini tertegun dan salah tingkah. Secepat kilat
gadis itu meraih tangan papanya dan menciumnya lama.
Sebenarnya, bukan karena etika sih. Shok dengan
kedatangan sang papa, itu lebih tepatnya.
"Maaf, pa.. Aini, gak nyangka papa datang tanpa
memberi khabar dulu. Papa bisa telphon Aini supaya
tidak menunggu lama, pa?" jelas Aini setelah membuka
pintu dan mempersilakan Rafli masuk.
"Papa sengaja tidak mengabari kamu. Papa mau lihat,
kebiasaan kamu di sini. Dan, ternyata kamu suka pulang
telat kayak gini," jelas Rafli lagi menyentil perasaan Aini.
Aini terpaku sesaat ia menyadari, "Untung saja, Victor
tidak mampir, kalau enggak. Aku gak tau apa yang
terjadi. Lagian, papa datang tiba-tiba, gak ngasih kabar
lagi. Apa, papa tau? kalau aku sidang hari ini?"
"Ain. Sampai kapan kamu bengong di situ! buatkan papa
kopi, papa belum minum kopi dari pagi," titah Rafli
menoleh pada Aini sedang berdiri di depan cermin.
"Iya, pa.." Jawab Aini segera menyalakan teko dan
memanaskan air untuk membuat kopi. Kedatangan
papanya sedikit menserabutkan pikiran gadis itu.
Pasalnya, Rafli sama sekali tidak mengabari, atau
mengirim satu pesan supaya ia bisa membuat
penyambutan kecil untuk papanya.
Syukur-syukur Victor langsung pergi setelah
mengantarnya. Coba kalau tidak. Aini gak bisa
membayangkan apa yang akan terjadi. Mungkin, Rafli
akan berubah menjadi harimau kelaparan ketika melihat
anaknya di gandeng pria yang sama sekali tidak
diharapkannya.
Meskipun, dewi fortuna sedang berpihak pada Aini hari
ini? namun, itu tidak cukup membuatnya aman dari Rafli.
Gadis itu masih bingung dengan kehadiran papanya.
Sebab, sudah hampir dua jam ia duduk bersama, tapi,
Rafli belum mengatakan maksud kedatangannya.
Terbesit untuk bertanya. Namun, Aini takut, malah Rafli
salah sangka. Takut, ia gak mengharapkan kedatangan
papanya, dan itu bisa mnimbulkan pertanyaan
pertanyaan lain tentang dirinya selama ini. Bisa saja, Rafli
mencurigainya macam-macam.
"Pa, papa istirahat dulu ya? ini udah jam 10. Nanti papa
sakit. Kan, papa masih capek naik pesawat." ujar Aini saat
dilihat papanya menguap beberapa kali.
"Iya, nak. Papa lelah. Papa tidur dulu ya? oiya, Ain. Kamu,
siap-siap ya? besok kita balik ke Aceh. Bukankah, kuliah
kamu sudah selesai? papa ke sini menjemput kamu. Papa
bangga sama kamu, Ain. Akhirnya, kamu sukses meraih
prediket terbaik di kampus." ungkap Rafli memberitahu.
Aini tercengang dengan mulut mengangga. "Apah, jadi.
Papa ke mari menjemput aku! gila, tapi, kenapa secepat
ini, dan kenapa harus dijemput. Aku kan bisa pulang
sendiri! Trus! Dari mana papa tau aku mendapat nilai
terbaik. Tidak, ini aneh--"
"Ain"
Aini!" Panggil Rafli meninggi suara ketika dilihat anaknya
termenung.
"Eh, iya, pa?" jawab Aini gagap
"Kamu kenapa? " Tanya Rafli lembut. Sosok pewaris
ketahtaan Syabandar itu menatap lembut wajah putri
sulungnya. Dalam hati pria paruh baya itu, "kamu harus
pulang, Ain. Papa ingin kamu segera menemukan jodoh
yang sepantaran dengan kita,"
"Gak, pa? tapi, pa.. Aini belum selesai semuanya. Banyak
yang harus Aini revisi. Papa pulang aja duluan, yah. Aini
janji, setelah semuanya selesai, Aini akan pulang cepat,"
jelas Aini dengan sedikit rasa deg-degan di hatinya. Tak
disangka, Rafli mengulas senyum tulusnya dan memberi
kelegaan di hati gadis itu.
"Baiklah, kalau begitu. Papa akan menunggu sampai
urusan kamu selesai, nak." tandas Rafli bangkit dari kursi
lapuk yang adabdi teras, dan melangkah masuk ke dalam
kamar menidurkan tubuh tegapnya di kasur Aini.
Tinggallah Aini dalam kebimbangan. Ia memijit pelipis
memikirkan tentang kekacauan diri, bila sempat papanya
mengetahui tentang hibungannya dengan Victor. Aini
tidak tau, mungkin Rafli akan membakarnya hidup-hidup
atau membawanya paksa pergi dari kota itu.
Malam kian beranjak menjemput kepekatan. Kesunyian
hampir tidak pernah terjadi di tempat Aini tinggal, karena
letaknya dekat dengan jalan raya yang tidak pernah
terhenti dari yang nama aktivitas kenderaan. Gadis itu
bergerak gelisah di samping Rafli sambil sesekali ia
memperhatikan wajah yang sudah beranjak senja itu
dengan perasaan haru. Terkadang, ia tidak ingin melukai
papanya, dan merencanakan pernikahan siri dengan
Victor. Tapi, kadang ia berpikir bahwa dirinya berhak
bahagia, walaupun harus menyakiti kedua orang tuanya,
juga keturunannya. Kontrakdisi hati yang dirasakannya
saat ini semkin membuat Aini bingung menentukan arah
hubungannya dengan Victor. Sepertinya, ia harus
mencari alasan lain, agar papanya bisa cepat pulang.
Dan, Aini bisa mematangkan keputusannya perihal
pernikahan siri yang sudah ia rencanakan.
Memikirkan bagaimana caranya, semakin
susah ia memejam mata padahal, jarum jam sudah
menunjukkan di angka 2 waktu menjelang pagi. Aini
mendengkus kasar menaik turun selimutnya, namun
ketenangan masih jauh dari kata harapan.
Ending malam yang kian dingin oleh hawa menjelang
subuh. Aini membungkus tubuhnya dengan sweeter
tebal lalu beranjak ke ruang tamu mungil duduk
bersedekap sambil terus mencari inisiatif atau alasan
apa, agar Rafli segera kembali ke Aceh. Ia memutar
otaknya, namun, sepertinya ia sedang blank. Dan,
beberapa detik kemudian, gadis itu tertidur di atas sofa
ruang tamu setelah kelelahan berpikir.
Bab 33
Pagi menyapa dalam kerisauan. Gadis itu terbangun saat
azan subuh terdengar dan segera menunaikan ibadah
sholat subuh juga membangunkan papanya untuk
melakukan hal yang sama. Selang beberapa menit, Aini
disibukkan dengan penyajian sarapan dan secangkir kopi
panas untuk sang papa. Di samping itu, ia juga
menyempatkan diri berolah raga sejenak dengan
melompat tali di halaman rumah yang sudah menjadi
rutinitas paginya selama ini.
Jarum jam sudah menunjukkan 7 pagi. Aini mulai gelisah
memikirkan Victor, takut pria itu datang menjemputnya.
Maka sebelum itu terjadi, Aini mengambil ponselnya di
atas nakas lalu mengirim pesan singkat untuk kekasihnya.
Dia berdiri di teras dengan gasture gelisah dalam
pandangan Rafli. Pria paruh paruh baya itu
memperhatikan Aini yang sedari tadi tampak gelisah.
Rafli memilih diam karena beliau ingin melihat apa yang
terjadi dengan putri kesayangannya itu.
"Ekhem," beliau berdehem sengaja sambil membaca
sebuah koran di tangannya, dan sesekali melirik ke arah
Aini yang berdiri tidak jauh darinya. Mereka berada di
teras, dan sama-sama menikmati secangkir kopi.
"Kamu kenapa, Ain? dari tadi, papa peratiin gelisah aja?"
tanya Rafli ketika Aini tidak menggubris dehemannya.
Aini menyibak rambut panjangnya dan duduk kembali di
samping Rafli.
"Gak, Pa? gak, kenapa-kenapa kok," jawabnya bernada
lembut. Hatinya kian resah menunggu balasan dari
Victor. Sudah hampir 10 menit, namun Victor belum
membaca pesan yang dikirim Aini. Keresahan semakin
membuat Aini stres hingga tanpa ia sadari keringat
bercucuran di tubuhnya. Bahkan, dibagian keningnya
terlihat keringat tergenang hampir sebesar biji jagung.
"Ain, kalau kamu mau ke kampus ... pergilah. Cepat
selesaikan urusan kamu setelah itu kita akan balik ke
Nanggroe. Jangan berlama-lama. Kamu taukan, papa
kangen sama cucu papa." Rafli memberitahu. Aini
menatap wajah layu sang papa dengan perasaan gundah.
Ia gak tau, apakah dirinya sanggup berada dalam situasi
seperti sekarang ini. Meninggalkan Victor begitu saja,
dan kembali ke tanah kelahiranya. Apa yang terjadi
dengan pria itu nanti. Sementara, setingkat ia duduk
sama Elang saja? Victor mengamuk bahkan sampai drop
berhari-hari. Terus, bagaimana mungkin, Aini tega kabur,
dan mencampakkan Victor tanpa belas kasihan. Apa kata
Sonya nanti. Pasti Sonya akan mengupatnya habis-
habisan
Berada di ambang keputusan Antara orangtua dan
kekasih, Jelaslah pilihan yang sulit karena keduanya
sama-sama sangat berharga dalam hidup Aini. Juga tidak
ada yang lebih penting untuk saat ini selain mereka
berdua.
Aku harus gimana, Ya, Tuhan? aku tau ini kesalahan yang
telah kuperbuat. Tapi, tidak adakah sedikit celah untukku
bebas dari problema ini?
"Bentar lagi, Pa.. masih pagi?" saut Aini setelah diam
beberapa saat. Rafli menyeruput kopi panasnya sembari
melirik Aini dengan ujung matanya. Beliau yakin, ada
yang disembunyikan putrinya.
Lihat saja Ain, kalau sampai papa tau ada laki-laki yang
mendekati kamu, dan dia bukan dari bangsawan! papa
akan pastikan kamu tidak akan pernah bertemu
dengannya lagi.
Hening, keduanya diam larut dengan pikiran masing-
masing. Rafli yang fokus membaca lembaran demi
lembaran koran di tanganya, tapi tidak melepaskan
pantauan terhadap gasture Aini yang bergerak gelisah.
Laki-laki itu segera mencetus Pikiran piciknya untuk tetap
kekeh menunggu Aini sampai selesai merevisi tesisnya.
Padahal sebelumnya, ia sempat berpikir untuk kembali
esok karena rasa kangennya terhadap cucu pertama yang
baru beberapa hari lahir dari rahim Meylani adiknya Aini.
Beliau mengurung niatnya.
Sikap ketidak tenangan Aini memang tidak diragukan lagi
oleh Rafli. Vit, putrinya merahasiakan sesuatu, tentunya
itu bukan masalah biasa. Mesti terkait hubungan dengan
seseorang. Rafli meraih ponsel dan sebungkus rokok di
atas meja lalu bangkit dari duduk masuk ke dalam
"Ain. Papa mandi dulu, tolong kamu siapkan baju papa
ada dalam koper," titah Rafli dan dimengerti oleh Aini.
Gadis itu ikut masuk ke dalam dan meraih sebuah koper
berwarna hitam yang tergeletak di kaki ranjang. Ia
mengeluarkan satu setel pakaian untuk dipakai oleh sang
papa lengkap dengan peralatan badan beliau. Aini
memangku pakaian itu dengan membiarkan koper
terbuka, sementara dirinya larut dalam lamunan.
Bayangan seandainya, Victor datang tiba-tiba langsung
masuk ke kamarnya seperti biasa. Jantung Aini semakin
deg-degan memikirkan bila itu terjadi.
"Apa kamu akan terus melamun seperti itu sampai sore,
Ain. Sini baju papa! mendingan kmau pergi ke kampus
dan selesaikan semua urusan kamu." Ucap Rafli kesal.
Pria tua itu benar-benar tidak mengerti apa yang
membuat putri seperti itu. Tanpa melihat Aini beliau
mengambil pakain dan memakainya cepat, setelah itu
menyisir rambut tipisnya segera keluar dari kamar duduk
kembali di teras. Aini menatap kosong pada sang papa
karena yang ada dalam pikirannya hanyalah Victor.
Kesekian kali ia mengecek ponselnya, namun belum ada
tanda-tanda balasan dari kekasihnya, dan Aini
memutuskan untuk pergi saja ke kampus. Padahal, ia
merencanakan hari ini menjadi hari paling santai
sepanjang hidupnya. Bagaimana tidak? setelah
ketukankan palu tiga kali di atas meja hijau bahwsanya
dirinya dinyatakan lulus dan mendapat prediket cumload
terbaik? saat itu juga seluruh beban dan penat di
pundaknya lerai seketika berganti dengan kelegaan. Akan
tetapi, di luar dugaannya. Sang papa datang membawa
sebuah kejutan membuat Aini di dera gelombang
kebimbangan dalam menentukan langkah. "Inikah
saatnya. Haruskah aku berpisah dengannya,"
Dua puluh menit berlalu. Kini Aini sudah rapi dengan
setelan kemeja tunik motif bunga berwarna kream
dilapisi kardigan hitam. Hijab pashmina ia lilit di leher
dan bibir ranum nan indah diolesin liptiks pink sof
membuat Aini tampil elegan.
"Pa, Aini ke kampus dulu ya? kalau ada apa-apa, papa
khabri Aini, nanti Aini langsung pulang." ujarnya seraya
mencium tangan papanya. Rafli menyungging senyum
tipis, "hati-hati. Kamu tidak usah risau, papa sedang
menunggu kolega papa. Mungkin ... papa pergi
dengannya, Ain." jawab Rafli lempang. Pria itu
menunjukkan sikap santainya yang jarang terlihat oleh
Aini selama ini. Sesaat, Aini menatap papanya dengan
perasaan hangat, lalu melebarkan senyum manisnya.
"Ya, udah kalau gitu, Aini pergi dulu ya? papa juga hati-
hati?" setelah mengucap salam, Aini pergi ke jalan
menunggu angkutan umum jurusan kampus.
"Papa tidak akan tinggal diam Ain. Papa akan segera tau
siapa lelaki itu." Rafli berkata sendiri seusai Aini pergi.
Pria itu mendengus lalu meraih ponsel di atas meja
menghubungi seseorang untuk segera menjemputnya.
***
Kampus
Aini tiba di kampus Hukum yang terkenal megah di kota
Medan. Kampus tempat dirinya menimba ilmu selama
ini. Gadis itu melangkah gundah memasuki gerbang
melewati jalur taman bagian belakang tempat biasanya
ia berkumpul dengan sahabat-sahabatnya.
Sebelum ke kampus, Aini sudah menghubungi Sonya dan
Farida agar menemaninya hari ini. Namun, cuma Sonya
yang bisa mengabulkan itu. Sementara Farida seperti
biasa, gadis itu disibukkan dengan berkas dan
pengurusan administrasi akademik. Memang, sejak ia
bekerja jadi ADM di bagian akademik hukum, Farida
sering absen bila Sonya dan Aini mengajaknya untuk
sekedar minum kopi. Alhasil, Farida hampir ketinggalan
setiap update berita tentang seputaran kampus
termasuk tentang hubungan Aini dan Victor. Tuntutan
keadaan yang memaksanya untuk bekerja tidak terlepas
dari yang namanya ketidak cukupan biaya kuliahnya.
Farida yang berasal dari keluarga biasa-biasa, sangat
bersyukur ketika ada tawaran menjadi tenaga ADM,
tentu semua itu juga berkat Victor. Victor yang
merekomendasi dirinya agar diterima oleh Ka. Prodi. Itu
juga, yang membuat Farida enggan membantah Victor
ketika mereka dalam masalah. Beda dengan Sonya yang
memang berasal keluarga kaya raya. Waktunya hanya
untuk kuliah dan bersenang-senang.
Aini melirik gelisah jam alexander cristy di tangannya.
Janji ketemu Sonya sudah lima menit berlalu. Namun,
Sonya belum menampakkan batang hidungnya. Sambil
menunggu, Aini mencoba menghubungi Victor melalui
panggilan WA hingga kesekian detik hanya nada
memanggil dan tidak kunjung diangkat oleh pria itu.
Entah ke mana perginya Victor, Ainipun bingung. Kenapa
hanphonenya tidak aktif dari tadi pagi.
"Vic, kamu ke mana sih? dari tadi gak aktif hp-nya?"
guman gadis itu menghela nafas. Dia duduk di tempat
biasa menunggu Sonya datang.
Harapan untuk menenangkan diri hari ini punah seketika
dikarenakan kedatangan sang papa. Dan, yang lebih
membuatnya shok. Rafli datang dari jauh khusus
menjemputnya. Bagai disambar petir Aini mendengar
berita itu. Sekarang, ia harus memeras otak bagaimana
caranya agar sang papa bisa pulang duluan tanpa harus
menunggunya. Makanya, Aini memanggil Sonya untuk
membantunya mencari ide.
"Wess... ada cewek kampungan rupanya? sendirian aja?
kuper? gak ada temen.. cuuihh!" Tiba-tiba ia disapa oleh
suara itu. Suara yang sama dan orang yang sama dulu
pernah menghinanya sampai-sampai ia memutuskan
pergi bersama Elang untuk menenangkan diri.
Aini diam tak menggubris hinaan itu. Ia fokus menatap
ujung jalan berharap Sonya cepat datang. tapi,
sepertinya hari ini bukanlah hari keberuntungan bagi
Aini. Sonya tak kunjung tiba dan itu membuat Aini geram.
"Cii.. sok kalem rupanya? woi, cewek kampung.
Ngomong donk!? emang enak? jadi anak kampung!"
sewot salah satu dari mereka. The geng Salsa yang
kebetulan lewat taman itu melihat Aini duduk sendiri dan
mereka sengaja menghampirinya dengan tujuan buli. Aini
menatap dingin wajah Silsa dan kedua temannya.
"Enak dong, Nov? secara ni ya? anak kampung, tetap aja
anak kampung. Gak harus sok kekotaan kale..!"Ejek Salsa
sedikit meninggikan suaranya di depan Aini. Dara
berdarah pejuang itupun mulai meradang. Jujur, saat ini
moodnya sedang kacau. Jadi, dia tidak bisa terus-terusan
diam mendengar dirinya dibuli oleh Salsa yang notabane-
nya sebagai seleb kampus. Dia merasa hebat apalagi,
baru-baru ini Salsa mendapat kesempatan dari tabloid
kampus menjadi banner caver edisi terbaru. Jelas wajah
Salsa terpangpang di sana. Dan itu, semakin membuat
gadis itu sombong.
Aini menatap tajam wajah Silsa yang dilaburi blus on
hampir menyurupai wajah pemain serimulat dan
ditantang olehnya
"Apa ko liat-liat. Sadar! udah ngerebut tunangan orang.
Ngaku!" tuding Silsa dengan menunjuk wajah Aini. Silsa
selalu berpikir bahwa Aini telah merebut Victor darinya.
Padahal, jelas-jelas dia hanyalah bagian dari masalalu
Victor.
"Semakin ke sini, gua semakin heran. Kok, ada ya?
perempuan secantik ellu di campak sama tunangan. Eh,
aku bingung deh. Victor ngakunya? belum pernah
bertunangan. Atau ... lu lagi yang suka ngaku-ngaku?"
balas Aini menohok Silsa. Gadis itu melongo dengan
wajah melebur.
"Heh, jaga mulut kou. Sok lu gue lagi! ini tu Medan,
bukan jakarte. Kampungan ajapun, blagu.." desis Novi
gengnya Silsa. Wanita itu berdiri angkuh di samping Silsa
menatap Aini geram.
"Oh, ya? terus! masalah buat lu! gua, lu, What ever!"
Balas Aini ketus. Ia berusaha mengendalikan tensinya
yang mulai gak stabil. Bukan tidak bisa dia membalas
cercaan itu. Percuma melayani orang seperti Silsa.
Seantero kampus juga tau siapa dia. Angkuh dan sok
populer.
"Halla.. hajar aja Sil. Biar tau rasa ni perempuan."
Tambah Novi lagi memancing amarah Silsa yang sedari
tadi diam setelah Aini menohoknya.
"Sori, gua gak banyak waktu melayani anak kecil seperti
kalian," sangga Aini hendak pergi tapi dicegat cepat oleh
Silsa dengan menarik kerudung Aini dan membuat
kepala Ain terangkat ke atas. Aini menggepal kedua
tangannya menahan segala rasa dalam benaknya agar
tidak berujung ribut. Akan tetapi, Salsa tidak
mengindahkan kelakuannya.
"Heh! Dengar ya? sampai kapan pun, Victor itu tunangan
aku. Aku gak akan ngebiarin kou ngerebutnya dariku.
Ingat itu, kampungan!" Ancam Silsa menatap Aini penuh
dendam.
Aini tersenyum sinis, "oyah. Tapi, sayang. Gua dan Victor
sedang mempersiapkan pernikahan. Lu, tunggu aja
undangannya?" akunya dengan bangga. Silsa terbelalak
gak percaya, dan darahnya mulai mendidih sulit
dibendung lagi. Tanpa ia sadari karena terbawa emosi
gadis itu mengangkat tangannya hendak menampar Aini,
namun secepat kilat Aini menangkap tangan Silsa
sebelum mendarat di pipi mulusnya. Aini mencengkram
lengan Silsa sekuat tenaga hingga membuat gadis itu
meringis kesakitan.
Aini menatap tajam wajah Silsa dengan bola mata berapi.
"Ko, boleh menghina aku. Tapi, jangan coba-coba ko
sentuh kulitku kalau tidak. Kupastikan, Ko tidak akan
pernah melihat matahari lagi. Ingat itu!" Kecam Aini
dengan gigi rapat. Aura ayu bangsawan itu mengembang
karena menahan gejolak emosi. Tubuhnya bergetar
saking kerasnya ia mencengkram tangan gadis itu. Sudah
cukup Aini bersabar untuk tidak meladeni keusilan Silsa.
Tapi kali ini, gadis itu benar-benar ngelunjak dan
berusaha ingin menamparnya.
"Lepas." Berontak Silsa, dan Ainipun melepaskannya
tanpa berhenti memberi tatapan mematikan pada Salsa.
Gadis menor itu tampak ketakutan terlihat dari rautnya,
sementara Novi dan Siska menarik tangan Salsa untuk
segera pergi dari situ. Mereka tidak menyangka Aini akan
semarah dan sekuat itu hingga tangannya berbekas. Dan,
tanpa membantah lagi, Silsa dan kedua temannya pergi
dari hadapan Aini.
Aini terduduk melepas nafas dengan mulut beonya. Ia
juga mengelus dada sambil beristiqfar. Aini menyadari
satu hal dalam hatinya. "Kok, aku bisa kayak gini ya?"
Bab 32
Papa datang untuk menjemput gua, Son--"
"What! lu seriiius? Emangnya, lu mau dijodoin? Ya,
ampun Aini.. lu mikir donk? tu si tuan petruk lu
kemanain? lu gak mikir dia tu bakalan gila kalau sampai
lu tinggalin?" keget Sonya gak habis pikir. Gadis itu
melihat Aini yang sedang menunduk menyembunyikan
ekspresinya.
"Gua tau, Son. Maka dari itu, aku ngajak sharing sama
ellu. Lu, pasti bisa bantu gua, Son." lirih Aini melihat
Sonya dengan tatapan memohon. Sonya memicing
mengerutkan wajah bingung atas apa yang baru saja
dikatakan sahabatnya.
"Hey? apa-apaan ellu, Ain? jelas-jelas ini masalah privasi
ellu, lantas gua bisa bantu apa, say? ngaco banget, sih."
Sanggah Sonya melambai tangan di depan Aini. Sonya
belum mengerti apa maksud kata 'tolong' yang dimaksud
Aini.
Lagi-lagi Aini menarik nafas berat. Ia melempar
pandangan pada hamparan alam yang terbentang di
hadapanya dengan sejuta kegalauan. Hembusan angin
menerpa wajah cantiknya. Gadis bangsawan itu sedang
resah karena mengemban sebuah keputusan dan pilihan.
Ia merasa saat berada di persimpangan dan menentukan
arahnya ke mana
"Gua ... merencanakan nikah sirih dengan Victor, Son.
Tapi, lu harus bantu gua--"
"Iya, gua tau? tapi gua harus bantu apa, Ain..? gua harus
nyariin penghulu kah? dekor resepsikah? apa! kalau
cuma untuk jadi saksi, itu mah gampang? kapan dan di
mana kalian nikah." cerocos Sonya panjang lebar
membuat Aini menggeleng kepala.
"Lu, harus cari cara supaya papa gua cepat pulang, Son.
Gua gak mungkin bisa nikah kalau papa gua masih di
sini," ucap Aini serius dengan harapan Sonya mau
melakukannya. Namun, di luar dugaan Aini. Sonya tidak
berani mengambil resiko bila harus melakukan itu.
"Lu, gila ya? emang gua harus cari cara di mana Ain? gak
mungkin di supermarket kan? Ain. Emang kenapa sih,
papa lu gak ngerestuin aja hubungan kalian. Tinggal
nikah, udah. Rebet amat sih, Ain.." omel Sonya makin
mumet memikirkan Aini.
Aini tersenyum pasrah namun, ada nada sinis terdengar
oleh Sonya. Ia benar-benar gak habis pikir dengan pola
pikir orangtua Aini. Masak iya? di zaman serba modern
kayak gini masih ada jodoh menjodoh, harus dengan
Teuku pulak lagi. Sonya mendengkus geram mendengar
semua cerita Aini tentang adat, ya.. yang menurutnya
aneh gitu?
"Masalahnya, gua juga bingung, Son. Gimana caranya
agar papa bisa pulang cepat. gua minta maaf, Son. Kalau
gua ... "
"Kalau apa? Ain, Lu gak boleh nyerah dong? gini ya?"
kata Sonya menjelaskan dengan memainkan kedua
tangan persis seperti sedang membela satu perkara.
Maklum, calon pengacara.
"Menurut gua? lu jujur aja dulu sama bokap. Urusan
bokap nerima atau engga, itu kita pikirkan nanti. Yang
penting, lu udah nunjukin sikap yang baik pada ortu lu,
biar lu juga gak dianggap anak durhaka. Lu mau? dicap
kayak gitu? engga kan--"
"Ya, enggalah." Saut Aini cepat. Sekalipun ia bukan anak
kebanggaan, seenggaknya ia tidak menjadi anak durhaka.
Aini memejam mata membayangkan wajah Rafli saat tau
dirinya ingin menikah dengan Victor. Bayangan
kemarahan bahkan kemurkaan yang berujung fatal
baginya
"Yo wes. Lu, tu kudu jujur, say? gak ada cara lain. Dan,
kalau lu berani, sekalian aja Victor lu bawa menghadap
sang raja Syahbandar. Biar jelas, lu tu nikahnya ama
manusia! bukan serigala! Repot amat sih." Kesal Sonya
bermuka lecek. Sonya yang terkenal dengan gaya santai,
hari nampak kesal dan geram. Bagaimana tidak? Apa sih,
yang diinginkan orangtua Aini? gak masuk akal dan
sangat ortodoks
Memang sih, setiap orang tua pada dasarnya
menginginkan yang terbaik untuk masadepan anaknya,
mendapatkan jodoh yang sekufu dan sepantaran
dengannya. Namun, dalam artian sepadan itu memiliki
kecocokan bagi mereka yang menjalaninya. Bukan hanya
sekedar menikah berumah tangga saja? ortu juga harus
mikirin kelanjutan hidup anak-anaknya, rukun gak?
damai gak? jangan-jangan, pecah piring tiap hari.
Namun, kembali lagi pada takdir dan keegoisan
seseorang. Rafli memiliki sikap apatis terhadap mereka
yang bukan segaris dengannya. Itu juga yang ditegaskan
oleh leluhurnya. Bisa saja sih? Aini menikah dengan
sesama bangsawan seperti yang diinginkan orangtuanya,
masalahnya, mereka cocok gak? sepaham gak? bukankah
itu semua kembali kepada diri masing-masing?
Benar juga kata Sonya, minimal aku jujur dulu sama
papa. Tapi, kalau seandanya papa marah besar, terus
memaksa aku pulang gimana? tidak, ini bukan ide yang
tepat. Batin Aini. Ia tau betul bagaimana watak papanya.
Soal jodoh, Aini gak bisa bermain-main. Bukan kehebatan
yang dicari Rafli. Tapi satu garis keturunan supaya anak
cucunya tidak berpindah dari darah Syahbandar.
Rumitnya problematik yang dihadapi Aini membuat
Sonya pusing tujuh keliling. Ya, dia gak habis pikir aja
dengan sudut pandang papanya Aini. "Apa hebatnya sih.
Kawanan bangsawan itu! sebenarnya sama aja sih.
Dibilang beda darah? darah juga sama, merah. Ah, pusing
gua. Ada pulaknya? pemikiran kek gitu? zaman
melenialnya ni? huuf, tepok jidat gua," gerutu Sonya
memukul setir mobilnya
Hari semakin menua menggapai senja. Langit sedikit
mendung dengan munculnya kawanan awan hitam.
Sementara Sonya baru saja mengantar Aini pulang ke
kosannya. Tadinya? gadis itu meminta izin sebentar
untuk bertemu papa Aini. Namun, Anggraini
melarangnya. Ya.. katanya sih, waktunya gak tepat.
Padahal kan, cuma kenalan terus jabat tangan. Sonya
yang bertipikal ramah dan ingin tau sempat merajuk
pada pada Aini. Percuma! Aini tetaplah Aini. Sekali A
tidak akan berubah b. Begitulah watak manusia, punya
prinsip dan keteguhan masing-masing. Cocok gak cocok.
Ya, tinggal dicocokin aja. Bereskan?
"Dari mana saja kamu, Aini!"
Glek.
Aini menelan ludah serasa susah payah mendengar nada
tegas itu. Gadis itu menghentikan langkah ketika baru
saja kaki jenjangnya berpijak pada lantai teras rumahnya.
"Papa tanya kamu dari mana jam segini baru pulang,
Aini! begini kelakuan kamu sebagai perempuan!" Ulang
Rafli lagi menatap Aini tajam. Beliau berdiri tidak jauh
dari Aini dan sengaja tidak menampakkan diri dari awal
tujuannya ingin memantau kelakuan putrinya sehari-hari
selama ini. Aini menghela nafas dengan berat ia
membalikkan arah menghadap sang papa.
"Aini ada acara di kampus pa? jadi, telat pulang."
Bohongnya tanpa hambatan walaupun ada rasa takut
dalam hati. Ia berusaha tenang agar papanya tidak curiga
kalau sebenarnya ia sedang berbohong.
Rafli melangkah perlahan mendekati putrinya dengan
tatapan bak serigala hendak memangsa buruannya.
"Papa tidak pernah mengajari kamu berbohong, Aini.
Atau jangan-jangan, kuliah kamu itu belajar tiori
bagaimana cara berbohong! jelas-jelas papa mengikuti
kamu tadi ke kampus. Dan, kampus kamu itu sepi tidak
ada acara apapun di sana, Aini?! kelakar Rafli menekan
nama anaknya dengan nada mendesis. Tubuh Aini
bergetar seraya menelan ludahnya lagi. "Hah. Jadi! papa
mengintaiku sampai ke kampus? tapi buat apa?
Astarqfirullah ... papa? ngapain sih, sampai segitunya?"
Aini mengupat dalam hati merasa kesal terhadap
papanya
"Ada kok pa? tadi Aini benaran ada acara di aul---"