Bab 7
Alunan musik mengalun kian sendu, para tamu sedang
menikmati hidangan sederhana yang disediakan keluarga
Syahbandar. Bliz kamera masih menyilau bak kilat
menyambar. Senyum kedua mempelai semakin lebar,
tanpa terlihat rasa lelah sedikit pun. Tiada henti tamu
berdatangan mengantri memberi semangat naik di
singgahsana di mana Meylani dan Halim bersanding
penuh bahagia.
Di halaman samping kanan, seorang wanita yang
berpenampilan ellegan dengan gaun panjang bermotif
bunga-bunga membungkus tunuhnya. Ia berdiri di antara
para tamu yang sedang menyantap makanannya masing-
masing. Kursi berlapis kain putih tertata rapi. Gadis yang
telah dilangkahi oleh adiknya itu asik menyaksikan acara
malam yang begitu syahdu, hingga melupakan malam
semakin larut.
Secangkir kopi kesepian di genggamannya masih penuh
tak tersentuh secuilpun.
"Cantik." sapa seseorang memujinya,
"Kamu cantik malam ini, seperti dia," sambungnya lagi
memandang jauh ke atas langit di mana rembulan
bersinar terang.Yang dipuji tersenyum simpul menatap
wajah tampan nan menawan di hadapannya.
"Dia luar biasa, penerang alam semesta," balasnya santai
sambil berjalan ke pinggir kolam dan duduk di salah satu
kursi kosong. Pria itu mengikuti dan ikut berdiri di
hadapannya,
"Kamu ibarat dia, Ain. Bersinar, dan menyejukkan,"
pujinya lagi membuat jantung Aini berdetak.
Aini menyungging senyum, "Kamu masih selebay dulu,
Fir. Kamu gak lupa membawa seseorang kan?" Aini
menempelkan tubuhnya pada dingding kursi dengan
kedua tangan ia lipat ke dada. Yang ditanya tidak
langsung menjawab melainkan meneguk terlebih dahulu
minuman di tangannya,
"Dia ada di antara kita, Aini. Sedang menyaksikan aku
dan kamu di sini," deg, apa maksud Firdose, batin Aini.
Gadis itu meneliti wajah Firdose yang bercahaya di
bawah sinar rembulan. Jas silver dipadu kemeja hitam
sangat cocok di tubuh pria itu. Aini melembutkan
tatapannya berganti dengan siluet kesedihan,
"Mak--sud, kamu,"
Laki-laki berhidung pesek itu melangkah mendekati
tepian kolam. Ia memandang kosong sirkulasi air dari
pancuran di tengah-tengah kolam dengan desiran yang
menyesakkan dadanya,
"Dia sudah tiada, Ain. Tiara sudah pergi untuk
selamanya," deg. Aini mengangga mendengar kebenaran
itu, "Jadi kamu menikah dengan Tiara, Fir," bathin Aini
tersentil sakit. Wanita itu tidak mneyangka bahwa
Firdose telah menikah dengan Tiara, perempuan licik
yang begitu sadisnya merebut Firdose darinya, kilasan
masa lalu itu hinggap dan menggoroki alam bawah
sadarnya,
Flash Back
"Jadi, ini cara kamu menyakiti aku, yang katanya pergi ke
rumah teman. Oh, jadi teman kamu itu Tiara! dasar
cowok leboy,"
"Aini, tunggu! dengarkan dulu penjelasan aku Ain..?" kaki
jenjang itu terus melangkah menyusuri trotar jalan.
Sementara Firdose terus mengejar menggapai Aini,
namun wanita itu sangat cepat berjalan. Kelakuan dua
remaja berseragam SMA itu disaksikan oleh orang-orang
yang meintasi jalan itu.
"Ani, dengarin aku dulu? aku tidak bermaksud menyakiti
kamu! aku dengan Tiara engga ada hubungan apa-apa,
dia hanya meminta tolongku untuk menemaninya beli
buku.. gak lebih? pliase Aini, jangan kayak anak kecil
deh!" sontak Aini berhenti seketika, ketika mendengar
dirinya dikatai anak kecil hingga membuat Firdose
menabraknya,
Tatapan tajam seakan membunuh, Aini merapatkan
giginya, "Dengar ya, Tuan Firdose. Aku bukan cewek
gampangan yang bisa kamu permainkan seenak jidat
kamu. Silakan lanjut dengan Tiara, tapi, tolong. Tolong
jangan mengataiku seperti anak kecil!!" pipi mulus itu
memerah, diiring siuet kemarahan terpancar dari
wajahnya.
"Bu--kan begitu, maksud aku, Ain..."
"Firdose, cukup. Aku sudah muak dipermainkan terus,
hubungan kita sudah berakhir di sini, ti--tik. Permisi,"
"Aini, aini wait, Aini.. aku minta maaf, Aini...!!" jeritan itu
sudah tidak berarti lagi, Aini berjalan setengah berlari
ketika dilihatnya sebuah bus trans kotaraja akan melintas
di depannya. Gadis itu menyetop bus itu, segera pergi
dari hadapan Firdose.
Tidak ada yang mampu mencegahnya, walaupun itu
seorang Firdose, laki-laki yang teramat sangat
dicintainya. Penghianatan atas cinta pertama Aini oleh
Firdose meninggalkan luka yang dalam sampai sekarang.
Namun, sungguh Aini tidak menyangka kalau Tiara sudah
pergi dari dunia ini untuk selamanya. Aini melihat Firdose
sibuk melontarkan pelet makanan ikan ke dalam kolam
yang dipenuhi ikan-ikan hias. Kerumunan mas koki
mengunjuk moncongnya mengharap makanan dari
Firdose.
"Dia sakit?" kata Aini mendekat dan ikut berjongkok di
samping Firdose. Cara mereka mendapat perhatian dari
para tamu undangan yang sedang menikmati hidangan
lezat di atas meja prasmanan.
"Kanker," balas Fiirdose singkat
Kembali Aini mengangga, kali ini lebih lebar dan iya
menutupnya dengan telapak tangan.
"Tiara mengidap kanker servirk dari semenjak SMA, Aini.
Karena itu juga, aku sering menemaninya, sampai kamu
tau dan meninggalkan aku. Semenjak itu aku
memutuskan untuk selalu ada di samping Tiara." Firdose
menelan ludah kepahitan, rasa sakit masih terasa
menusuk-nusuk hatinya ketika Allah datang menjemput
Tiara dari sisinya,
"Maafkan aku, ya? aku gak bermaksud menghianati
kamu," Firdose berkata dengan mata berkaca-kaca.
Pancaran kesedihan dibalut luka mendalam menguap
kepermukaan.
Tiba-tiba sebuah sentuhan mendarat di pundak laki-laki
itu, dia menoleh melirik jemari lentik sedang hinggap di
tubuhnya,
"Kamu yang ikhlas ya, Insya Allah dia sudah di syurga,
Emm.." ucap Aini lembut. Gadis itu menarik tangannya
ketika seseorang melihat dirinya dari kejauhan. Wajah
mengeras itu menatapnya tak berkedip. Aini menyadari
kesalahannya karena sudah dekat-dekat dengan pria
biasa.Tapi, apakah itu salah? Dirinya hanya berteman dan
merasa kasihan pada Firdose.
Sebelum laki-laki yang tak lain adalah Rafli Syahbandar
ayahnya datang, dan mengupat padanya, Aini segera
pamit dengan Firdose. Pria tampan itu sempat heran
dengan kerutan di keningnya. Namun, ketika ia mengikuti
arah pandang Aini pada Rafli di sebrang kolam sedang
menbidik keduanya dengan tatapan tajam, setajam
singa? Firdose mengulum senyum melihat aura Aini yang
ketakutan. Ia cukup mengerti polemik yang dihadapi Aini
dan keluarganya, setiap keturunan Syahbandar itu tidak
boleh dekat selain kedekatan sebagai sahabat dengan
pemuda dari kalangan biasa
Firdose dan Aini pergi ke arah masing-masing, tanpa
perduli Rafli masih memperhatikan gerak-gerik
keduanya. Adalah hal yang terberat dan teraneh yang
dirasakan Firdose atas peraturan keturunan Syahbandar,
seorang raja Hulu Balang pada masa feodal Belanda dulu
yang terkenal protective. Anehnya, masa itu sudah lama
berlalu, bahkan sudah berabad-abad dalam kurunan
waktu sejarah terjadi
Acara masih berlangsung meriah, meskipun musik telah
berganti melow yang dilantunkan oleh Nissa Sabyan
seorang pemusik gambus yang lagi viral akhir-akhir ini.
Di singgah sana, terlihat Halim dan Meylani sedang
bercerita, saling tersenyum bahagia. Malam ini mereka
sah membuat pengunjung cemburu dengan kemesraan
dan cengkrama yang mereka paparkan dari atas kursi
pelaminan nan megah.
"Kamu kapan ... jangan lama-lama, ntar keburu tua,"
suara itu tidak membuatnya ingat. Tapi kata-kata itu
menyindirnya sakit. Aini yang sedang duduk tidak jauh
dari pelaminan memutar badannya ke belakang. Gadis
itu terkejut, siapa yang datang menyapanya dengan
tamparan kata-kata,
"Fiona? eh datang? tapi, lu bukan ya?" Aini mencubit
lengan Fiona sampai gadis itu mengaduh,
"Ih, lu masih hobby nyubit.. kepiting banget sih lu?
padahal zodiak pisces," ngemel Fiona sambil menggosok-
gosok kulitnya yang merah. Aini tergelak tak berhenti.
Bila tadi sebentuk wajah beningnya tersirat kesedihan,
kini berubah bahagia.
"Senang lu? nyubit aja, dari dulu. Lagian ngapain sih?
natapnya gitu banget. Iri? pengen..." timpalnya lagi
membuat Aini semakin terkekeh.
"Pengen apaan? lu kali pengen." balas Aini balik nuduh.
"Jiiah, Eh sumpel. Gua udah bebuntut! ya gak mungkin
lah, gua pengen lagi. Kalau pun kepingin ... tinggal nyeret
Bang Gilang, udah? selesai," tampiknya menyolet bahu
Aini. Gadis itu melongo dengan kerutan di keningnya,
"Helllah. Pamer lu? mentang-mentang, Gilang atlid
binaraga, sok nyeret-nyeret aja lu, emang siapa yang
keyok? lu kan ... ayu ngaku?" goda Aini meremehkan
sahabatnya. Fiona membuka mulut lebar memicing pada
Aini,
"Enak, aja.. gua gak pernah keyok cuk. Nih, lu dengar?
gua di atas terus.. sampai dia babak belur, tau gak lu!?"
kata Fiona membela diri. Wanita itu menampakkan
badan singsetnya di depan Aini. Aini tertawa terbahak-
bahak hingga para tamu undangan menoleh padanya.
"Ih, mesum banget, lu?" Aini disela tawanya membuat
Fiona makin gerem pada sahabatnya.
Fiona adalah sahabat dekat semasa Aini SMA. Mereka
berdua terkenal usil se antero SMA Modal Bangsa. Tak
terkecuali Aini dan Fiona hampir tiap hari membuli
cowok culun di kelasnya. Padahal Aini sendiri terkenal
cewek cuek sesekolah mereka, namun ia tidak pernah
berhenti mengerjai kawan-kawannya satu kelas.
Malam kian larut menjemput kegelapan. Acara mulai
sunyi, hanya bersisa sebagian keluarga sedang merapikan
tempat dan hidangan sisa. Akhirnya, Halim dan Meylani
telah berhasil menggapai mahligai pernikahan,
kendatipun dengan restu terpaksa. Namun itu tidak
membuatnya peduli, yang penting ia telah berhasil
meraih mimpi dan cintanya hidup bersama Halim.
Hubungan bukan seberapa kuat kita membinanya,
namun seberapa restu yang kita raup dari orang tua,
karena tanpa kita sadari, itu juga akan jadi penguat suatu
hubungan.
Bab 8
"Katakan sesuatu yang kau ketahui tentang, Aini,"
Victor menatap datar wajah sonya yang berdiri di
depannya. Victor Walidin yang terkenal cuek pada semua
gadis di kampusnya, kini berdiri di hadapan Sonya Felida,
teman sekaligus orang terdekat dengan Aini kekasihnya.
Sebagai seorang asisten Dosen, Victor hampir setiap saat
menjaga sikapnya, terlebih pada mahasiswa dan
mahasiswi kelas Hukum Komunikasi. Penampilannya sulit
dibaca oleh Sonya, Victor yang selalu tampil rapi dengan
kemeja dilapisi jas, namun hari ini, rambutnya acak-
acakan, pakaian seadanya, Sonya berfikir ada apa dengan
Victor, kenapa dia menanyakan Aini.
"Apa maksud kau, Vic," tanya Aini mengadah meneliti
Victor yang menjulang tinggi di depannya. Victor
mendengkus menghentak tangannya tak tentu arah.
"Kau tau. Aini tidak membalas chat dari aku, apa lagi
menjawab telphon aku, Sonya.. aku ... Agghhrrr....
kenapa Son, kenapa?" Victor berkata dengan nada
menekan frustasi, pria itu mondar-mandir di depan
Sonya membuat wanita itu kebingungan.
"Bukan kah, Aini sedang di Kampungnya, Vic. Terus,
kenapa pula kau jadi seperti ini? kau gila.." kata Sonya
mengeleng kiri-kanan karena mengikuti gerakan Victor
berjalan sana-sani, Sonya merasa jengah. Jadi dia
memanggil aku ke mari untuk menanyakan Aini? tapi
kenapa.. 'kan mereka gk pernah jadian! batin Sonya.
Memang benar, pagi-pagi Victor menghubunginya, dan
mengajaknya ketemuan di taman kampus belakang, di
mana Aini dan Sonya sering menghabiskan waktu
sebelum jadwal kuliah dimulai
"Aku memang sudah gila, Son. Aku gila karena Aini tidak
pernah mengabariku dari semenjak dia pulang, kau tau.
Ini membuatku gila," suara Victor low, pria itu akhirnya
duduk di sebuah bangku yang terbuat dari kayu, dan
diikuti Sonya duduk menghadapnya. Sonya
memperhatikan wajah Victor yang sedikit pucat dengan
kantung mata menebal.
"Ya, tapi kenapa? Kalian kan belum pernah jadian?
kenapa pulak kau gila secepat ini," cetus Sonya menekan
kata gila. Ia sengaja terus pura-pura tidak tau untuk
memancing Victor. Iya yakin, tidak mungkin ada hujan
tanpa ada petir. Victor duduk sedikit mengangkangkan
pahanya dengan kedua tangannya bertaut. Ia menatap
ke atas langit di mana burung sedang terbang hinggap
dari satu pohon ke pohon lain.
Sonya diam, menunggu jawaban Victor, fikirannya
dipenuhi pertanyaan, ada apa antara Aini sahabatnya
dengan Victor. Apa mungkin, Kalian sudah jadian di
belakangku?
"Aku ... Aini, kami sudah jadian satu malam sebelum Aini
pulang, Son. Aku mencintai Aini, lebih dari apapun, aku
gak mau kehilangan dia, Sonya. Tolong hubungi dia untuk
aku, apa pun caranya, please ... Sonya," Victor memohon
dengan kedua belah tangannya menyatu di depan Sonya.
Wajahnya kelam terselimuti kegundahan, dan kesedihan.
Sonya menutup mulutnya yang mengangga dengan
telapak tangannya, gadis itu menggeleng iba pada
keadaan Victor saat ini. Jadi, kalian sudah jadian,
Gadis itu menarik nafas dalam lalu menghembus
perlahan, ia menatap lembut pada Victor sedang
menunduk memijit pelepisnya,
"Vic, kau gak perlu segundah ini? Mungkin saja, Aini
sibuk? bukan kah acara resepsi itu sangat merepotkan?
aku akan mencoba menghubunginya nanti, kau tenang
saja, gak perlu kek gini, Vic," kata Sonya mencoba
menberi pengertian, namun ia juga tidak yakin, sedalam
ini kah cintanya pada Aini? Sonya sibuk memikir hal yang
sudah terlewatkan begitu saja. Ia juga sedang
membayangkan, seandainya orang tua Aini tidak
merestui hubungannya dengan Victor, baru dua hari Aini
tidak mengabarinya, Victor sudah gila kayak gini? gimana
kalau mereka benar-benar tidak bisa bersama, apa Victor
akan bunuh diri? huuf! ribet banget, teganya lu Ain..
kasian Victor, dia hancur!
"Kau gak gak pernah tau, Son, bagaimana rasanya
ditinggal orang yang sangat berarti dalam hidup kita,"
sontak Sonya menatap wajah Victor, mata pria itu
berkaca, samburat kesedihan terpancar dari sana. Sonya
dilanda kebingungan, antara menyentuh tangannya, atau
berkata, agar laki-laki itu bersabar.
"Iya, aku tau, Vic? tapi, kau... "
"Udah, Son. Aku balik dulu, tolong hubungi Aini untukku,
atau aku akan menyusulnya," Sonya melongo tak
percaya. Victor bangkit melangkah gontai seakan tak ada
lagi kegairahan hidup. Begitu beratnya ketika perasaan
menyatu dengan kisah kehilangan, karena itu melahirkan
trauma menyakitkan yang pernah terlewati teramat sulit,
sampai suatu hari ia dipertemukan dengan Anggraini.
Saat itu, Victor baru saja mendapat mandat menjadi
seorang asisten dosen prody Fakultas Hukum,
"Selamat pagi semua,"
"selamat pagi, pak.."
"Perkenalkan saya Victor Walidin, asisten Dosen Prof.
Kamla. Beliau sedang padat, jadi saya mendapat mandat
untuk mengajar mata kuliah, Hukum Komunikasi."
"Ain, Ganteng juga, ya?" gersah gersuh di sudut ruangan.
Aini dan Sonya berbisik-bisik, dan tanpa mereka sadari,
Victor sudah berdiri tepat di depan Aini.
"Namanya siapa?"
"Anggraini pak." Victor mengangguk anguk sambil
menatap Aini,
"Bisa minta tolong jelasin definisi ilmu Hukum
Komunikasi, silakan," Aini mengambil sebuah spidol yang
diberikan pria itu, lalu dengan santai menuju ke depan,
dan menulis apa yang ditanyakan sang Dosen.
Aini menggambarkan semua tentang ilmu tersebut
membuat Victor dan semua yang ada di dalam ruangan
itu melongo tak percaya. Terkenal cuek seantero kampus
pasca sarjana, tidak ada yang tau kalau Aini memiki EQ di
atas rata-rata.
Semenjak itu, Victor sering mendekati Aini, bahkan
mengajak Aini pulang bareng. Namun gadis itu sangat
susah ditaklukkan. Meskipun akhirnya, Aini sendiri juga
menyukai Victor? akan tetapi, gadis itu tidak ingin
terpaut dengan laki-laki mana pun, mengingat maklumad
menyakinkan yang di wariskan leluhurnya? Aini memilih
diam, dari pada ujung-ujungnya melahirkan duka yang
menyedihkan.
Tapi apa? ujung-ujungnya... jadian juga kan? itu karena
Aini wanita biasa, tidak mudah baginya menahan
amukan rasa yang terus menyiksa apalagi Victor terus
berusaha menggodanya.
Sonya bergerak meninggalkan taman itu dengan sejuta
pertanyaan dan kebingungan mendera dirinya. Satu
malam sebelum Aini pulang, itu artinya.. Sonya mampir
sebentar ke kelas untuk mengambil tas dan barangnya
yang lain, setelah itu ia pergi ke suatu tempat, di sana
mungkin ia dapat menemukan jawaban tentang ini
semua.
Sementara itu, pria tampan yang sedang frustasi karena
telah diabaikan oleh kekasihnya duduk pasrah di sebuah
sofa merah. Ia menempelkan tubuh dan kepalanya pada
dingding itu sambil menghisap sebatang rokok di
tangannya. Fikirannya hanya ada Aini dan Aini sampai
detik ini tidak pernah menghubunginya. Hatinya tersentil
sakit, setiap chat yang ia kirim untuk gadis itu hanya di
baca doang, tanpa pernah sekalipun membalasnya.
"Woi, cok. Sendiri..? yang lain pada ke mana?" Victor
tidak mengindahkan suara itu, ia masih betah memejam
matanya. Semburan asap bergulung membentuk corong
keluar dari mulutnya membentuk kabut dalam ruangan
"Kau kenapa rupanya? mukak kau macam bambu belah
depan rumah mbah juki, cok. yang benar saja, kau patah
hati?" Victor membuka mata lalu menegakkan tubuhnya
menyentil abu rokoknya ke dalam asbak.
"Entahlah, Juf. Kepala ku rasanya pening kali," ujar Victor
menampakkan sisi kacauan dirinya,
"Bah, tak biasanya kau seperti ini, Vic. Katakan, kau
butuh sesuatu, aku akan mencarinya untuk kau! susah
kalipun kulihat kau begini," kata Jufri menyeringai di
depan Victor. Pria itu mendengus tak perduli pada laki-
laki berketurunan Sireger itu,
"Carikan wanita bernama Anggraini untukku, aku butuh
dia, silakan ko cari," Victor menenggelamkan wajahnya
kepungan asap rokok dari mulutnya,
Alis Jufri bertaut, ia heran dengan keadaan Victor hari ini,
pria berwajah petak itu baru tau, jadi Victor sedang
patah hati? tapi siapa Anggraini itu, sampai-sampai
membuat Victor frustasi seperti ini..
"Duluan," ucap Victor lalu pergi meninggalkan Jufri
sendirian. Jufri menggeleng-geleng kepala, ia tidak
menyangka kalau victor sedang patah hati
Tidak ada yang tau tentang hubungannya Aini, karena
mereka jadian di tengah malam buta, dan esoknya
mereka berpisah sementara waktu, namun apa yang
dilakukan Aini dengan mengabaikan Victor, telah
membuat pria sebatang kara itu meniti hari penuh
kelukaan
Victor menyetir mobilnya pulang kerumahnya di
daerah Rajawali, salah satu komplek perumahan elit di
Sikambeng kota Medam. Sepanjang jalan Victor dari
kampus menuju rumahnya terus mendengar musik Dewa
19 berjudul 'Kangen' air matanya bercucuran
membayangkan rasa sakit yang ditorehkan Aini di
hatinya. Hari-harinya lumpuh, semangatnya padam, yang
membara hanyalah kerinduan telah bermuara
menenggalamkan segalanya.
Ia sampai di rumah besar nan mewah miliknya,
peninggalan almarhum mamanya. Victor melangkah
masuk ke dalam, seketika kesunyian menyergap tubuh
dan fikiranya. Pria itu berjalan menuju kamarnya di lantai
dua, dan segera menghempas tubuh besarnya di atas
king sed, membenam segala beban rasa yang
menyiksanya dua hari ini***
Bab 9
Di luar sudah gelap. Victor tidak mengingat apapun,
setelah miras meracuni jiwanya. Memang ada sedikit
ketenangan, namun dirinya oleng menyetir mobil dalam
perjalanan pulang ke rumahnya. Dengan sisa kesadaran
yang ia kumpulkan akhirnya ia sampai di rumah dengan
selamat.
Berbagai macam upaya ia lakukan untuk mengalihkan
ingatannya pada Aini, sampai menghabiskan waktu
hingga larut malam di sebuah diskotik.
Keluar dari mobil seketika kedinginan menyergap
tubuhnya. Pria itu memeluk dirinya sendiri dan terus
berjalan masuk ke dalam kamarnya di lantai dua.
Kesunyian melingkupi hari-harinya tanpa ada yang
menemani. Kisah hidupnya yang teramat perih,
membuat Victor melumpuhkan diri dari segala
keseriusan hidup. Sampai akhirnya ia bertemu Aini secara
tidak terencana. Semenjak itu semangatnya pulih, dan
terus mengejar cinta wanita berdarah Aceh itu.
Hakikat rasa adalah penjelmaan. Di mana setiap di
sentuh akan memberikan sensasi kenormalan yang dapat
menstimulasi reaksi seseorang. Ketika rasa rindu
diabaikan, maka akan terjadi amukan dalam hati karena
tidak terobati. Sebaliknya rasa sakit atas pengabaian
yang dialami seorang Victor oleh Anggraini Syahbandar
adalah satu pukulan dasyat meruntuhkan kekuatan
berganti dengan kehancuran, keterpurukan dan
kesakitan teramat sangat dalam. Terus? apakah ini murni
perbuatan disengaja? Ketika kembali pada sosok Aini
yang dominannya adalah sosok yang sangat cuek, bahkan
dingin. Mungkin ini hanyalah masalah waktu, di mana
Aini belum pernah terikat dengan lelaki manapun, dan
tidak mengharuskannya untuk perduli dengan Victor. Toh
ia juga tidak tau sedalam mana Victor mencintainya.
Hubungan yang terbilang masih tua usia jagung dari pada
kisahnya dengan Victor, tidak membuat Aini
memusingkan hal yang remeh temeh seperti adegan di
flm-flm.
“Lu. Ya Allah, Ain... lu tau gak sih, apa yang udah lu
lakuin.” Suara dari seberang membuatnya heran.
“Emang kenapa sih? lebay banget, lu." Aini beranjak dari
ranjangnya, lalu membuka pintu menuju balkon. Gadis
itu menerima telphon dari Sonya setelah beberapa pesan
masuk, dan Sonya marah-marah tidak jelas. Dengan
berat hati ia menganggkat penggilan dari Sonya.
“Lu lupa. Udah ninggalin anak orang! Terus lu cuekin gitu
aja. Eh Ain, lu gak sadar udah mainin perasaan Victor?! lu
angkat kek telphon Victor, atau seenggaknya lu balas kek
chat dari dia. Gua heran ya? sama lu Ain. Cuek lu itu udah
keblablasan tau gak.” Serangan dari Sonya
menyentakkan jantung Aini. Gadis itu menatap langit
terang disinari sang rembulan. Jadi, dia udah bilang ke
Sonya?
Aini mendengkus lalu menjawab Sonya, “Son.. lu
ngomong apa sih, gua gak ngerti? Memangnya Victor
kenapa? Lu ketemu dia.. kan hari ini memang jadwal
mata kuliahnya dia," elak Aini berusaha tidak terpancing
dengan Sonya. Ia duduk menyenderkan kepala pada
dingding kursi sambil mendengar umpatan dari sebrang.
“Lu benar-benar ya! gua tau kalian sudah jadian.. lu gak
usah nutupin semua sama gua! Dan lu tau. Saat ini Victor
seperti orang gila terus mencari ellu, sampai ia tidak
perduli dengan tugasnya sebagai dosen. Aini please...
kasihan dia? Harusnya lu gak usah terima dia kalau
memang lu gak bisa bahagiain dia,” seerr... darah Aini
berdesir kencang. Apa maksud perkataan Sonya. Hati
gadis itu bergemuruh seiring ingatan membawanya pada
Victor dan chat yang masuk dalam beberapa hari ini. Aini
menarik nafas panjang, sekelebat bayangan kisah pagi itu
menari di pelupuk matanya. Ia bertanya, apakah ia salah
tidak membalas pesan dari Victor? Tapi bukan kah itu gak
begitu penting.
“Son. Aku lupa, aku sibuk. Tolong sampaikan padanya,
aku minta maaf, Son,” kata Aini tidak mencoba
menjelaskan detail permasalahan
“Sori, Ain. Gua gak bisa. Lu punya nomor Victor, dan dia
sekarang kekasih lu kan? Kalau lu sayang sama dia, lu
telphon dia, lu jelasin sendiri semuanya. Udah. Gua mau
istirahat, bye..”
“Bye..”
Aini kembali menadah ke langit, dan rembulan menatap
begitu pongahnya. Jantungnya berdegub kencang setiap
kali mengingat nama Victor. Bukan dirinya tidak tersiksa,
akan tetapi jarak yang terbentang saat ini yang
memaksanya harus diam memendam rasa. gadis itu tidak
perduli angin malam menampar wajah cantiknya. Ia
duduk setengah berbaring di kursi panjang terbuat dari
rotan.
Vic, sori.. aku tidak bermaksud mengabaikanmu, tapi aku
berusaha memberi ruang agar rasa antara kita tidak
terjerat lebih dalam.
Mata sebening embun pagi itu basah oleh genangan air
mata. Tak kuasa, dan biarkan saja orang berkata apa,
kesalahan yang sudah terjadi akibat tak mampu
mendustai rasa dengan membiarkan cumbuan malam itu
terjawab sebuah balasan cintanya. Aini menggutuk
dirinya sendiri, seandainya ia tidak terlena malam itu,
atau lebih bagusnya tidak merimanya, mungkin keadaan
gak serumit ini. Kadang masalah itu bukan datang dan
pergi. Namun seberapa pandai kita menghindari dari
masalah itu sendiri.
Aini memutuskan untuk mengirim sebuah pesan untuk
Victor, dan ia lakukan dengan hati tersentil sakit
"Vic,"
Ia mengetik baris kata, dan menghapusnya kembali
karena merasa bahasa yang tulisnya tidak cocok, sampai
Aini menuliskan sebait puisi
Aku lalai, karena aku tidak mengerti apa rasa ini benar
adanya, aku sibuk meraba hati, memastikan kamu adalah
milikku, namun itu juga berada dititik buta. Maafkan aku,
Victor.
setelah menekan tombol send di layar hanphonenya, Aini
bangkit masuk ke dalam kamarnya dan menutup malam
berselimut kerinduan dan terhalang, terbentang silsilah.
******
Hubungan yang dibangun tanpa pondasi, namun itu
bukanlah satu rencana membuat sebuah mahligai. Akan
tetapi, pelampiasan rasa rindu ingin memiliki. Apakah
Aini telah menjadi seorang yang egois, yang tanpa
sengaja ia sudah menggoreskan luka di hati Victor. Terus
apa yang ingin dilakukannya saat ini. Balik ke Medan
menjumpai Victor menjelaskan semuanya? buat apa..
laki-laki itu sudah terlanjur jatuh, bahkan tak mampu
berdiri lagi.
"Kapan, kuliah kamu kelar Aini.." Aini menatap datar
wajah yang sudah menua di depannya dengan mulut
terus mengunyah makanan. Suasana sarapan pagi
sedang berlangsung sunyi, hanya terdengar dentingan
sendok dan garpu.
"Sebentar lagi papa. Insya Allah." Balasnya tanpa melihat
papanya. Rafli menatap sendu sebening wajah anak
sulungnya yang kini menginjak sangat dewasa. Terkadang
perih merintih dalam hati. Harusnya sosok cantik dan
lembut di depan sudah menikah karena umurnya hampir
menginjak kepala dua. Namun, apa daya dirinya sebagai
ayah hanya menunggu. Berharap garis keturunan datang
melamar Aini.
"Ain..." panggil sang ibu lembut. Beliau duduk di samping
suaminya berhadapan dengan Aini.
"Ya, ma.." Aini menjawab lembut sambil menatap sayu
pada wajah Kartini. Wajah yang kini layu ditelan usia
"Mama berencana mengajak kamu pulang ke riung. Di
sana kamu bisa mengenal sepupu-sepupu kamu, nak?"
ajak Kartini berharap Aini tidak menolak. Riung adalah
desa terpencil sedikit jauh dari tempatnya tinggal.
Sebuah desa di kaki gunung nan sejuk. Desa tempat Rafli
dan Kartini dilahirkan. Aini memang jarang mengunjung
ke sana karena tidak pernah diajak oleh orang tuanya.
Tapi, ia bingung. Melihat mamanya heran. Tumben-
tumbenan dirinya diajak ke sana. Aini memilih diam
sebab menurutnya itu sebuah rencana. Mungkin dia ikut
aja kalau mamanya memaksa.
Dia cuek aja. Gak mau ribet. Gak mau pusing. Selagi itu
bisa memberi energi positif buatnya kenapa enggak.
Walaupun terkadang yang dilakukannya sekedar
memenuhi keinginan orangtuanya. Memang bisa apalagi.
Toh, peraturan keluarga gak boleh membantah. Ya,
terima sajalah.
Bab 10
"Papa harap, kamu menempatkan dirimu di lingkungan
yang lebih baik. Hindarilah bergaul dengan laki-laki yang
tidak sepantaran dengan kita," Rafly berkata disela
hembusan asap rokok bergulung dari mulutnya. Jantung
Aini bergemur bak ombak menghantam batu karang di
lautan. Dadanya sesak serasa penuh di rongga.
"Ya, yah.. Aini akan menjaga diri," lirih Aini pelan nyaris
tek terdengar. Gadis itu duduk menegakkan tubuhnya
sambil memijid ujung pakaiannya. Semakin kesini, ia
semakin tertekan dengan keadaan. Rasa bersalah
menghantui dirinya, mengingat Victor sedang
menunggunya diujung rindu.
"Papa tidak punya harapan lagi selain denganmu, nak.
Papa ingin melihat kamu bahagia dengan lelaki baik-baik
dari keturunan kita. Papa yakin, kamu akan
mendapatkan, bila kamu yakin.. berdoalah, InsyaAllah."
Rafli menarik nafas panjang yang kian sesak menyiksa
alam sadarnya.
Anggraini adalah sandaran terakhir bagi Rafli, saat ini
beliau sedang terpukul membayangkan sehari telah
berlalu anaknya bersanding dengan pria yang berlatar
belakang mafia pengedar. Hatinya tersandung sakit,
bahkan tak mampu terobati lagi selain Aini menikah
dengan sesama Hulu Balang sendiri. Kedengarannya
memang sangat kulot dan semena-mena, namun hak
dirinya memilih jodoh yang terbaik untuk anank-anaknya,
dan jelas asal asul keturunan.
Jiwa Aini semakin hampa. Semangatnya runtuh hancur
berkeping-keping. Cinta yang yang baru ia sematkan
dalam ikatannya dengan Victor Walidin, sosok lelaki yang
memiliki kepintaran nyaris sempurna.
Gadis itu merogoh sakunya mengambil hanphone lalu
menghubungi seseorang.
"Ya Aini.. tumben? kamu baru ingat aku?" kata dari
sebrang bernada lembut. Aini tersenyum simpul,
"Aku ingin berteduh, Rey.. apa kau sedang di rumah?"
tanya Aini menatap ujung jalan, ia sedang berdiri di teras
rumahnya lengkap dengan jaket membalut tubuhnya.
"Silakan, sayang. Aku selalu menunggumu," Aini
melebarkan senyumnya, merasakan kehangatan dalam
hatinya,
Ia bergegas meninggalkan rumahnya dengan mengendrai
sepeda motor bertulis Yamaha. Gadis dengan segala
kesempurnaan itu melarikan scuter matic menembus
kepadatan ibu kota Nanggroe. Jarak tempuh antara
desanya dengan tempat tujuan lumayan jauh, hingga ia
harus lebih cepat.
"Assalamua'alaikum?" ucap Aini sopan. Ia tiba di
halaman dengan rumah sederhana namun memiliki
ketenangan melebihi apapun.
"Wa'alaikumussalam.. Aini?" saut seorang gadis
berpenampilan sederhana, pakaian hijab menutupi
hingga mata kaki, kerudung besar menutup kepala
hingga separuh badannya. Ia berjalan cepat
menyongsong Aini dan memeluknya erat. Mereka
berpelukan tak ubahnya waktu yang telah berlalu semasa
SMU yang begitu indah. Reyhan adalah wanita biasa yang
hidup sederhana dari dirinya ditinggal pergi kedua orang
tua, semenjak dirinya duduk bangku kelas satu
menengah umum. Kedua orang tuanya meninggal dalam
sebuah tragedi menyedihkan yaitu bencana gempa dan
stunami Aceh yang juga ikut merengut ribuan nyawa
pada masa itu. Reyhan yang pada saat itu sedang
menginap di rumah Aini karena urusan pekerjaan sekolah
selamat dari bencana itu. Tinggal di pesisir pantai daerah
pantai kerawang ujung Banda Aceh telah merengut
keluarga Reyhan tidak ada satupun yang bersisa, kecuali
Nek Ijah pembantu di rumahnya.
"Ya, ampun Aini... kau makin cantik aja deh? kayaknya
cuaca Medan itu bersahabat banget ya?" Reyhan
mengajak Aini untuk berteduh di bawah rumah
panggungnya yang sederhana.
"Biasa aja, Rey? sana lebih panas dari cuaca di sini. Oiya,
nek ijah ke mana, kok sepi?" Aini berkata sambil melirik
kiri kanan mencari Nek Ijah, neneknya Reyhan, gak nenek
sih, bekas pembantu lebih tepatnya, namun Reyhan tidak
lagi menganggap nek Ijah itu pembantunya, karena
semenjak orang tuanya telah tiada ia diasuh penuh kasih
oleh nek Ijah. Bahkan nek Ijah menjaga dan merawat
Reyhan lebih dari anak kandungnya. Mengingat mereka
sama-sama hidup sebatang kara maka Nek Ijah
mengangkat Reyhan sebagai anak.
"Nenek masih di pantai Ain, lagi nyari kerang?" tiba-tiba
mata Aini berkaca mendengar itu. Hatinya perih setiap
kali ia datang ke rumah sahabatnya selalu melihat nek
Ijak basah-basah karena berendam di lautan demi sesuap
nasi. Mirisnya hidup Reyhan dan nek Ijah membuat Aini
bersedih, namun ia menyembunyikan rasa itu dari
Reyhan.
"Emm, tapi ini kan sudah mau sore Rey? nanti nenek
sakit kelamaan di air," suara Aini sengau dan hampir
tercekat bila dirinya tak segera mencegah, salah-salah air
mata itu jatuh tanpa dipaksakan.
"Nenek suka batat, Ain. Aku sudah sering mengingatkan,
tapi nenek bukanlah perempuan tua yang suka menyerah
dengan hidup. Beliau senang bekerja, Ain.." Reyhan
mengaduk teh dalam dua cangkir di depan Aini, mereka
duduk di sofa tua peninggalan sisa stunami.
"Kamu sedang sibuk kah, aku ingin ke pantai melihat nek
Ijah, Rey?" Aini meneguk teh manis yang diseduhkan
Reyhan dengan rasa gula seadanya,
Reyhan mengangguk sambil menatap wajah Aini penuh
kecurigaan. Selain itu, dia juga menangkap gelagat
suntuk terpancar di sana. Meskipun kecantikan wanita
bangsawan itu dapat menutupi semuanya, akan tetapi
Reyhan adalah orang terdekat selama bertahun-tahun di
sisi Aini. Dia tau persis saat Aini sedang dirundung
masalah, wanita itu pasti ingin ke pantai menghabiskan
waktunya berjam-jam di bibir pantai.
Senja semakin menua menjemput siluet mega merah
dari pantulan permukaan laut. Para nelayan mulai
kembali dari pelayaran mencari nafkah dengan
menangkap ikan di tengah lautan. Angin kencang
menerpa, panas terik tak membuat pejuang nasip
berhenti berusaha demi menghidupi keluarganya.
Kegelisahan di hati Aini berangsur surut, ketika angin dan
air laut menjilat separuh tubuhnya. Reyhan setia
menemani sahabatnya berlama-lama duduk di atas batu
karang besar, biarpun terpaan dan panas terik
menampar wajah cantiknya.
"Aini.. apa kau sedang gundah? wajahmu penuh durja,"
Reyhan mengelus lengan Aini. Mereka duduk
berhadapan dari semenjak tiba sampai waktu telah
menjelang senja dan matahari akan berubah menjadi
sunset, Aini belum menceritakan apapun sama Reyhan.
Gadis itu enggan bertanya, hingga kegelisahan
memaksanya.
Aini menangkup kedua pipinya memandang bibir pantai
yang terus dijilati oleh buih pasang surut
"Aku dalam dilema, Rey. Meylani sudah menikah dengan
Halim kekasihnya.. "
"Apah, jadi kau tega gak mengundangku, kau sengaja
melupakan aku, Ain.." potong Reyhan menyergah Aini.
Aini tersenyum tipis, gadis itu tidak perduli itu, dirinya
sekarang sedang kacau
"Hanya pernikahan kecil-kecilan, Rey! papa tidak
mengundang selain keluarga. Papa kecewa, dan terpaksa
merestui mereka," Aini menjeda ucapannya membuat
Reyhan mengeryit dahi.
"Emang mereka kenapa Ain!" tanya Reyhan ingin tau. Ia
memicing melihat Aini sedang menarik nafas panjang.
"Semua karena perbedaan. Halim bukanlah keturunan
Bangsawan seperti kami, tapi Meylani mengancam papa,
kalau papa tidak menerima Halim. Satu sisi aku kasihan
melihat, papa Rey! tapi dilain sisi, kenapa selalu itu yang
jadi penghalang," Aini menunduk menghentak kakinya di
atas pasir dengan membungkam rasa sakit, sakit ketika
membayangkan dirinya tidak bisa bersama Victor, laki-
laki yang sedang setia menunggunya,
"Ain.. setiap orang tua itu? pasti menginginkan yang
terbaik untuk anak-anaknya, ya mungkin om Rafli punya
alasan kenapa begitu. Menjadi seorang ayah itu tidak
mudah, beliau adalah orang yang dimintai petanggung
jawaban di akhirat nanti. dengan memilih jodoh yang
sekufu, sepantaran? maka orang tua akan merasa
terlepas dari namanya tanggung jawab memilih jodoh
untuknya. Ain.. aku yakin, sepantaran dan sekufu itu
yang diinginkan papa kamu." urai Reyhan memberi
pandangan dari sisi pemikirannya sebagai orang awam.
Aini mengerjab mata menatap Reyhan takjub.
"Aku berharap, juga seperti itu, Rey. Tapi, papa
melarangku menikah dengan laki-laki pilihanku sendiri,
kalau dia bukan dari kalangan Bangsawan. Aku bingung,
Rey!" nada Aini melemah. Siluet keputus asaan
tergambar jelas dari wajahnya. Reyhan tersenyum gelik
melihat sahabatnya, kau sudah punya kekasih, Ain.. aku
yakin, bathin Reyhan
Bab 11
“Khabar keluarga kamu sehat, nak..” Aini mengunyah
kerupuk di tangannya sambil mendengar nek Ijah.
“Alhamdulillah, Nek? Meraka semua sehat,” Jawab Aini
santun. Gadis itu duduk bersila di tengah Reyhan dan nek
Ijah. Reyhan meminta Aini untuk menginap semalam di
rumahnya, karena besok lusa Aini berencana balik ke
Medan untuk melanjutkan perjuangannya, disamping
masa cutinya telah habis, Aini ingin segera
menyelesaikan masalah dengan Victor. Meskipun saat ini
dia bingung, masalah apa yang harus ia selesaikan.
Namun gadis itu ngotot berniat mengakhiri hubungannya
dengan Victor yang baru saja jadian. Kedengarannya
sangat menyedihkan, tapi mau tidak mau, Aini harus
melakukan itu sebelum Victor terlalu jauh mencintainya.
“Ain.. bawakanlah seseorang untuk Reyhan. Dia sudah
sangat berurmur? Bukan kah kalian seumuran? Apa lagi
yang kalian pikirkan!” celoteh nek Ijah di tengah suasana
makan malam yang lezat. Aini dan Reyhan saling melihat.
Mereka mengulum senyum, tidak tertohok karena nek
Ijah terkekeh setelah mengucap itu.
“Nenek seriiius! Ingin punya menantu? Apa nenek ga
kerepotan, ngurus menantukan ribet, nek?” ujar Aini
menggoda nek Ijah. Perempuan paruh baya itu
melebarkan senyumnya, terlihat suasana menyejukkan
jiwanya
“Ya, ndak lah, Aini... kan Reyhan yang mengurus. Nenek
kan sudah tua, ingin melihat Reyhan bahagia,” air
mengambang di mata perempuan tua itu. Ia meneliti
seraut wajah Reyhan yang teramat disayanginya, bahkan
melebihi apapun. Keadaan berubah sad, Aini menarik
nafas pelan, Gadis itu ingin mengucapkan sesuatu,
namun Reyhan membuka suara
“Reyhan sudah bahagia bersama nenek. Nenek jangan
aneh-aneh, nek?” sangga Reyhan mendekat mengelus
bahu yang menua itu. 10 tahun telah berlalu, di mana ia
terpisah dari orang tuanya, badai dasyat itu telah
merengut segalanya, namun Reyhan tegar atas ujian
Tuhannya. Reyhan sempat drop dan, membuat dirinya
hampa. Hampa tentang sebuah kebahagiaan, gelap akan
arti sebuah hubungan dan cinta. Dia bisa selamanya di
sisi nek Ijah saja, itu sudah melebihi dari segalanya.
“Nek. Bukan kah malam ini terang bulan? Wah, pasti
besok pagi kerangnya banyak nek.” Aini bangkit
mendekati jendela dan menatap langit terang disinari
rembulan. Aini sengaja melakukan itu untuk mengalihkan
suasana yang mulai redup.
“Iya, Aini.. mudah-mudahan besok hari keberuntungan
nenek..” Beliau merapikan sisa makanan di piringnya, lalu
mencuci tangan beranjak dari ruang sederhana itu. Aini
melirik Reyhan duduk memandang nek Ijah telah hilang
dibalik dingding rumah.
“Rey... lihat lah. Indahnya bulan,” Aini menelan ludah.
Dadanya sesak membayangkan kepedihan hidup yang di
jalani sahabatnya itu, perlahan bulir bening lolos dari
matanya yang ayu. Andai saja ia punya kesempatan
untuk melakukan sesuatu, demi Tuhan Aini melakukan
untuk Reyhan. Rumitnya kisah yang ia jalani, tapi tidak
sebanding dengan kesedihan yang menimpa Reyhan.
“Bulan yang sendiri aja, tetap terang Ain. Apa lagi kita?
Aku yakin, Allah punya rencana yang lebih baik,” Reyhan
menarik nafas panjang dan menghembusnya perlahan,
“Jodoh itu sudah ada yang ngatur, besok atau lusa sudah
Allah catat di Lauhul Mahfudz,” ucap Reyhan pasrah. Ia
merapatkan tubuhnya ke dingding jendela memandang
langit yang terang menderang. Hatinya menghangat
merasakan kebesaran Allah di angkasa nan luas
membentang
Malam kian larut menjemput sunyi nan kelam, dua gadis
cantik itu akhirnya merebahkan tubuhnya di kamar
sederhana dan hanya berlapis tikar pandan. Aini melirik
Reyhan sudah mendengkur di sampingnya, sementara
dirinya masih meratap langit-langit kamar. Dilema rasa
yang di hadapi saat ini semakin menyiksa bathinnya,
belum lagi baru saja ia mendengar keluh nek Ijah. Gadis
itu semakin bingung menposisikan dirinya. Mata sayu itu
terus mengerjab hingga terlena dalam problema yang
sekarang menghantui masa depannya.*****
Apa yang dipikirkan pria lemah itu! Selalu saja
menghubungiku. Apa cinta sudah membuatnya gila!
Hadeuuhh?? Victor ... Victor, kau mengganggu saja.
Sonya mengomel sepanjang jalan menuju kantin, di
mana Victor menghubunginya barusan, dan memintanya
datang ke kantin. Sonya mulai kesal melihat kelakuan
Victor yang terkesan kayak anak-anak. Setiap hari Cuma
ada Aini dalam pikirannya, dan itu membuat Sonya
gerah.
Sonya membanting buku dan tasnya di atas meja kantin
membuat Victor tersentak, “Kau gila? Kalau aku serangan
jantung gimana, emang kau mau bertanggung jawab!”
sergah Victor bernada kesal. Sonya menyenderkan
badannya pada kursi sambil menarik nafas ngos-ngosan.
Ia jengkel dengan Victor saat ini, “What Ever!!” jawabnya
gak perduli
Victor menggeleng kepala melihat pemandangan di
depannya, kenapa dia.. batin Victor
“Sebenarnya kau ngapain sih, Vic. Bisa gak, kau tidak
menggangguku sehari saja,” kesal Sonya lalu bangkit
mengambil sebuah minuman botal di dalam kulkas
bertulis teh sosro dan menyerupnya setengah,
“Aku butuh informasi tentang Aini, Son,” Victor
memperhatikan Sonya duduk sambil menunggu jawaban,
“Kalian ‘kan sudah saling bicara kemaren! Apalagi sih,
Vic. Kau pikir aku asistennya Aini... setiap hari kau nanya
info mlulu!” Sonya mengidik bahu menata bukunya yang
berserakan, “Mending kau bantu aku nyelesein tugas,
nih. Gila kau ya? ngasih tugas gak mikir-mikir!” Victor
menyeringai membuat sonya makin menggerem. Gara-
gara tugas yang diberikan Victor, semua mahasiswa
khusus jurusan Sonya dan Aini mengeluh.
Mereka sedang di kantin kampus bersama segerombolan
mahasiswa pasca sarjana. Kantin yang terbilang lumayan
jauh dari gedung fakultas hukum membuat Sonya ngos-
ngosan berjalan menemui Victor. Gadis itu menendang
kaki Victor akibat dirinya diketawain gara-gara tugas
latihan,
“Kuperhatikan, kau benar-benar sudah gila Vic. Apa
wanita lain sumbeng di matamu? Kau lihat Salsa mati-
matian mengejar cinta kau! Malah kau menggilai Aini
yang jelas-jelas fatamurgana,” omel Sonya tidak
menyadari bahasanya menyakiti perasaan Voctor.
“Apa maksud kau, fatamurgana. Memangnya kau tau?
dunia mau kiamat, jelaslah sedikit kau bicara Son,” Sonya
menganggkat kedua bahunya pasrah, “Dunia kau yang
kiamat, bodoh!” Sonya meneguk lagi teh sosronya
sampai habis. Entah kenapa hari ini moodnya sedang
rusak gara-gara tugas yang diberikan Victor, hatinya
mengupat tiada henti
“Hallah. Bukan urusanmu Sonya, duniaku adalah Aini,
kau iri!” Sonya melonjak dari duduknya menyodong
muka ke Victor, “Apa kau bilang, kau gila! Aini itu
keturunan Bangawan? Apa kau pikir semudah itu
diterima dikeluarganya..” Sonya berdecak kesal pada
Victor, laki-laki itu mengangga dengan mulut terbuka
lebar. Dia baru tau perihal itu? Benarkah begitu.. tapi
kenapa? Apa itu salah, toh dirinya juga orang baik-baik.
“Tapi kenapa Son. Apa bedanya, apa Bangsawan itu
masih berlaku? di jaman yang canggih ini? Kau gak usah
ngada-ngada, Son,”
Sonya mengidik bahu yang kesekian kali, jenuh. Itu yang
dirasakan Sonya saat ini,
“Serah kaulah! Vic. Aku malas membahas ini, yang jelas!
Orang tua Aini itu tidak menerima menantu selain dari
kaum bangsawan, kalau memang gak berlaku? Ngapain
juga Aini ngejomblo selama ini,” deg. Dada Victor
bergemuruh serasa badai dasyat menghantamnya. Jadi,
Aini selalu menolakku karena itu? Tidak-tidak. Ini tidak
mungkin, aku tidak perduli, apapun yang terjadi,
Anggraini harus jadi milikku
Aini menaut alis mendengar guman Victor, gadis itu
sudah habis cara untuk menyadarkan Victor, namun laki-
laki itu masih saja keras kepala. Sonya tidak bisa
membayangkan apa yang terjadi dengan Victor ke depan,
kecuali Aini akan mengikuti jejak adiknya Meylani dengan
cara mengancam ayahnya. Tapi Sonya gak yakin, karena
Sonya bukan lah calon anak durhaka. Bahkan Aini pernah
bilang pada Sonya, dia tidak akan menyakiti orang tuanya
hanya demi mementingkan satu hubungan yang bisa
diakhiri dengan perdamaian.
“Bilang sama kawan-kawan kau yang lain, suruh kumpul
tugas besok pagi. Aku permisi ada kelas tambahan,” ucap
Victor beranjak dari kafe itu.
Sebagai asisten dosen, ia dituntut ekstra dengan jam
tambahan, seperti sekarang ia mendapat mandat dari
pak Marwan untuk menghandel kelas s1 komunikasi
public. Victor mendedikasi dirinya menjadi dosen terbaik
dikalangan mahasiswa didikannya. Terlebih rektor
mempercayakan dirinya sebagai asisten dosen handal
yang dapat memicu lahirnya generasi calon asisten dosen
selanjutnya.
Victor meninggalkan Sonya di kantin, setelah membayar
bil. Ia pergi dengan sejuta pertanyaan membebani
pikirannya, hingga dirinya tidak bisa berkonsentrasi
ketika sedang memberi materi dalam kelas. Akhirnya
Victor membantai lagi mahasiswanya dengan memberi
mereka tugas, setelah itu ia mengambil mobil
meninggalkan kampus dengan hati bimbang.
Bab 12
Anggraini tiba di kos-kosannya tepat jam 9 pagi, karena
perjalanan dari dari Nanggroe ke Medan memakan
waktu hingga 13 jam perjalanan. Berhubung menempuh
perjalanan pada malam hari maka siang ini Aini ingin
beristirahat seharian. Belum lagi tubuhnya yang remuk
redam akibat bus yang ditumpangi Aini berlari menggila
di atas rata-rata.
Memangkas rasa lelah di jiwa karena perjalanan yang
ditempuhnya, pikiran Aini mulai padat dengan kisahnya
dengan Victor yang makin memasuki area dilema. Ia
berusaha menenangkan kepalanya yang penat oleh
berbagai masalah. Namun, Aini menghela nafas. Rasa
lega itu musnah setelah sesaat ia menghidupkan hp-nya
dipenuhi dengan chat dari Victor.
“Jadi, selama ini kamu mengabaikanku, karena kamu
berketurunan Bangsawan. Alasan itu juga kamu tidak
pernah membalas chat aku? Segitu cuman kedewasaan
kamu, Ain..” Aini menatap poselnya dan mengansurnya
sampai ke bawah. Chat berisi umpatan terhadap dirinya
yang sudah bersikap seperti anak kecil, bahkan ada kata
pengecut di sana. Dari kata-kata sudah sudah jelas Victor
menunjukkan dirinya sedang kesal dan kecewa pada Aini.
Namun, bukan Aini namanya, repot-repot menanggapi
maksud Victor. Ia memilih mengabaikan dengan
mencampak hanphonenya gitu aja, lalu merebahkan
tubuhnya di atas ranjang yang sudah seminggu tidak
ditidurinnya, Aini segera berselencar ke alam mimpi
menutup, dan menenggelamkan semua kesalahpahaman
itu
**********
Aini menatap hiruk pikuk kota Medan dengan wajah lesu.
Seminggu ia tinggalkan, tidak membuat suasana kota
berubah. Kota yang terkenal dengan sebutan agan-agan
itu selalu ramai siang dan malam tak henti oleh aktivitas.
Aini melambaikan tangan pada sebuah angkutan yang
hendak lewat di depannya rute ke kampus. Angkutan
yang berhenti dan mengambil Aini lantas berlanjut
mengambil beberapa sewa sedang berdiri di pinggir
jalan. Meskipun sedikit berdesak-desakkan, namun Aini
tetap rileks menjani kesehariannya pergi ke kampus
dengan angkutan umum. Bukan karena pelit, atau
mengirit. Aini adalah tipe seorang wanita yang pantang
mengeluh, hidup sederhana sesuai dengan fitrahnya.
“Gimana perjalanannya?”
Aini tersenyum kecut, dan sulit digambarkan oleh Farida.
Gadis yang telah menjadi teman curhatnya selama
dirinya di kampung halaman. Ya.. diam-diam Aini sering
menghubungi Farida, karena menurutnya, Farida lah
sahabat yang bisa diajak berbagi problemanya tentang
Victor. Terus, kenapa Aini tidak memilih Sonya. Bukan
kah selama ini Sonya yang selalu di samping?
Jawabannya adalah benar. Tapi Sonya bukanlah orang
yang tepat menurut Aini
“Ya, seperti biasalah. Emang gimana lagi?”
“Oh, ya? mana tau.. ada seseorang yang mengesankan di
samping,” Farida mencolek tangan Aini. Gadis itu
menyeringai membuat Aini memasang wajah kecut
“Lu, gak kangen Victor?” Farida memicing menunggu
jawaban Aini.
Aini menarik nafas tak menjawab pertayaan Farida, gadis
itu memilih diam menatap jauh ke halaman kampus. Dari
balik kaca akademik, Aini dan Farida janjian ketemuan di
ruang itu karena Aini ingin mengusul penyusunan tesis.
Farida yang sehari-hari mendapat pekerjaan sampingan
membantu kak Butet di bagian akademik, karena itu juga
Farida jarang bergabung dengan Aini dan Sonya.
“Emang, kapan terakhir kali kamu ketemu Victor,” Farida
mencetak beberapa form untuk biodata pengajuan tesis
dan diberikan pada Aini.
“Sehari sebelum aku pulang,” Aini menerima form itu
dan membacanya sekilas
Farida menatap Aini si minim eskpresi dengan kerutan
dikeningnya. Terlintas dalam benaknya untuk mengajak
Aini ke kantin sekedar meminum kopi, tapi ia urung. Aini
sedang tidak baik-baik saja.
“Hari ini? Ada jadwal kuliah, lu gak berencana cepat
pulang kan?” Farida bertanya lagi. Aini merapatkan
badan di sofa tempat ia duduk sambil menatap Farida,
“Belum tau Far, kenapa?” jawab Aini ragu. Farida
menghempas badannya di samping Aini, dan
memberikan wanita itu sepotong kue. Aini mengambil
menggigit makanan lunak yang dibubuhi ceres di
atasnya.
“Kupikir kita akan ke kantin, aku sudah lama tidak
meminum kopi, Ain,” perempuan itu mengambil dua
buah air mineral dalam kardus satu untuk dirinya, satu
lagi ia sodorkan untuk Aini.
Aini tidak berfikir untuk memamerkan diri dulu di kantin
untuk saat ini. Mengingat kesiapannya belum rampung,
ia enggan untuk berjumpa Victor. Dan, semoga saja
kedatangannya barusan tidak ada yang melihat. Memang
dirinya tidak berapa terkenal, namun ia takut ada
seseorang dari angkatan yang sama yang melihatnya, lalu
menyampaikan pada Victor.
“Terus! Apa rencana lu setelah ini?”
“Tidak ada rencana Far. Aku pulang saja untuk
melanjutkan istirahat,”
“Aini.. apa perjalanan semelelahkan itu? Bahkan kamu
belum bertemu Sonya... “
“Far. Tolong jangan kasih tau Sonya. Aku yakin, di mana
ada Sonya pasti ada Victor,” Aini menelan ludah,
Membayangkan bertemu Victor dan menyergapnya
dengan umpatan.
“Terus gimana dong?!” tanya Farida mendengus tak
mengerti. Aini bangkit berdiri di depan jendela
memandang halaman kampus dan segerombolan
mahasiswa sedang bersantai di tengah-tengah lapangan.
“Biarlah begini untuk sementara waktu Far, aku belum
menemukan alasan,”
Farida menggeleng kepala dan memilih diam. Ia
melanjutkan pekerjaannya mengurus akademik. Dirasa
urusan sudah selesai, akhirnya Aini pamit pada Farida
untuk kembali ke indekostnya.
Langit kota begitu cerah. Asap debu beterbangan
membuat polusi udara mengotori udara bersih. Aini
berjalan kaki lebih kurang 10 metar dari jalan raya untuk
sampai di kos-kosannya. Gadis itu menapak dengan
fikiran mamadati otaknya. Nama Victor berwara-wiri di
sana membuatnya semakin tersiksa.
Saat tiba di rumah, gadis itu tidak langsung masuk ke
dalam. Ia duduk menyantaikan tubuhnya di atas kursi
lapuk yang ada di terasnya. Tidak tau lagi apa yang harus
ia lakukan akhirnya Aini masuk dan menghempas
badannya di atas ranjang sampai sore tiba.
Bab 13
HARI belum berganti, masih pukul 23.49, tetapi Aini
sudah gelisah karena mengingat Victor, di ranjangnya
segera turun. Berkaca memandang wajah yang kusut.
Seharusnya dia tidak terlalu cepat menerima seorang
Victor dan berkencan semudah itu, dan seolah sekarang
seperti permainan, dia membenci situasi yang kini
menjebaknya. Aini mencintai Victor itu harus diakui
olehnya. Namun, cinta itu tidak mungkin bersatu, saat
mengingat dirinya bukanlah perempuan biasa. Dia
terlahir dari rahim bangsawan yang menuntutnya untuk
menikah sesama bangsawan pula. Gadis itu memakai
celana pendek Adidas abu-abu baju kaos kebesaran
kesukaannya, keluar kamar, mencari angin di depan
teras. Beberapa saat kemudian, dia sudah berdiri di
depan mengamati pemandangan lampu-lampu Kota
Medan sambil memegang secangkir kopi.
Ketika dia memikirkan cara untuk mengusir bayangan
Victor, sebuah notifikasi berdering di hanphonenya. Dia
menaruh asal cangkir di meja lapuk, dan mengambil hp-
nya dalam saku celana.
Aini membuka chat yang ternyata dari Victor lagi,
"Ternyata, kamu tidak benar-benar mencintai aku, tapi
kamu rela aku cium. Memang aku baru tau, kamu bukan
wanita biasa. Tapi, inikah caramu, membuatku tidak
berarti dalam pandanganmu, jujur aku kecewa, karena
kamu penipu atas cintaku,"
Aini menghela nafas kasar, lagi-lagi Victor menamparnya
dengan kata-kata.
Tiba-tiba hatinya menciut, dan rasa sakit membuat
tubuhnya berdesir. Apakah pantas dirinya mendapat
tuduhan menyakitkan seperti itu?
Dia menyeruput kopinya sambil berfikir, membalas atau
mengabaikan. Aini sudah tidak tahan dengan kata-kata
Victor yang terus menyerangnya.
"Vic. Please, berhenti bersikap seperti anak kecil, yang
kita jalani ini adalah proses, seenggaknya mengertilah
dengan keadaan. Aku butuh ruang, kalau memang kamu
sudah mengetahui semuanya, oke aku memang bersalah,
tapi apakah itu penting! enggakkan? aku wanita biasa,
yang juga jatuh cinta. Tolong stop, menyebutku penipu,"
Dia mengirim goresan itu ke Victor lalu masuk ke dalam
kamar membanting tubuhnya, tanpa perduli gelas kopi
masih tergeletak di luar.
Kadang ada masanya seseorang itu lemah. Sikap cuek
bukan berarti dia tidak punya perasaan sedih. Melainkan
dia berusaha kuat demi kesuksesannya, tujuannya adalah
lulus, meskipun sekarang ada Victor yang juga ingin
diperjuangkannya.
“Apa aku salah, lahir sebagai kaum bangsawan? kenapa
kaumku begitu kejam memaksa keturunannya," gadis itu
mengerutu dan mengutuk diri sendiri. Bukan karena
menyesal terlahir sebagai kaum itu, namun peraturan
dari jaman kuno dulu, sampai sekarang masih saja dianut
orangtuanya, membuat Aini tak bisa mengepak sayap.
Membenamkan wajah dibalik bantal, dia menangis
tersedu-sedu. Perasaannya hancur, setiap kali Victor
mengatainya begitu sadis. Kadang begitulah manusia
yang bisanya mengupat menuduh tanpa berusaha
mencari tau, atau sekedar memahami orang lain. Terus!
apa Victor tidak memiliki kedewasaan? untuk
menyelesaikan masalh ini? tentu gak mungkin 'kan? rasa
cinta kadang berubah jadi aneh, antara cinta dan
mengatai.
Aini menangisi keadaan. “Kamu datang di saat yang
tepat, Vic. Aku tidak berusaha menolakmu, karena cinta
telah memperbudakku selama ini. Jangan berfikir seolah
kau saja dalam posisi sulit ini, aku makhluk kuat dalam
kasat mata, tapi lemah sebagai wanita biasa,”
Hanya mampu berguman dengan diri sendiri. Dia
menutup tubuhnya dengan selimut, dirasa hawa dingin
menyergab tubuhnya.
Esok hari Aini melangkah gontai menuju ruang akademik
untuk mengembalikan form yang sudah diisinya. Ia
berjalan pelan memasuki gedung itu, dan baru saja dia
akan mendorong pintu kaca bertulis room pasca sarjana,
sebuah tangan menarik dan menyeretnya ke sudut pojok
ruangan. Aini terkejut melihat siapa yang pelakunya,
"Son! apa-apaan sih, kamu?" sergah Aini pada Sonya,
Sonya menatap nanar pada Aini, dan tidak dimengerti
oleh dia
"Jadi, gini kelakuan lu, Ain. Lu udah balik, tapi tidak
mengabari Victor, lu berencana menyakiti dia! tega sekali
lu, Ain.. gua gak nyangka ya.. ternyata lu perempuan
pengecut," cerca Sonya tak berperasaan. Dia, Aini diam
mengatub bibir, tidak menyangka Sonya sahabatnya
sendiri begitu tega mengatainya juga.
Berjalan dua langkah mencari posisi untuk duduk, karena
Aini merasa hari ini tubuhnya kurang vit akibat semalam
memikirkan Victor.
Dia duduk di tembok pembatas antara pintu keluar
dengan tangga yang menghubungkan ke lantai dua.
"Terserah lu, Son. Silakan lu maki gua, hina, cerca.
Silakan. Gua terima, tapi satu! tolong jangan bilang dulu
sama Victor. Gua butuh waktu mengambil keputusan,
Sonya. Please, gua mohon, setelah ini gua janji, akan
melakukan apapun untuk Victor,"
Sonya berdecak heran melihat Aini. Sedetik kemudian,
gadis itu merasa iba pada Aini. Akhirnya menyetujui
permintaan dia, asalkan mau menemaninya duduk di
taman belakang untuk membantu Sonya membuat tugas
dari Victor.
Sambil mendengus kesal, Aini terpaksa mengikuti Sonya
ke belakang, dan berharap tidak ada Victor di sana.
“Sonya, aku kedinginan.”
Tatapan Sonya pada Aini bersamaan mengarah pada
tubuhnya yang bergetar. Sonya mengangga,
"Lu, demam! panas banget, Ain?" Meletakkan tangan di
kening Aini memeriksanya dengan punggung tangannya
“Hei! You're sick!” Sonya, menjerit panik, berusaha
menutupi mulutnya di balik jemari
Aini memelototinya, dan dia otomatis menunduk seperti
seekor anak kucing kenak lempar sandal. “Lu, sakit?
gimana donk. Gua telphone Victor ya, lu harus ke dokter,
Ain..” Aini mulai terkekeh dibuat-buat, terdengar
mengerikan. Dan Sonya semakin grasuh-grusuh oleh
kepanikan
“Sonya, please! gua baik-baik aja, gak usah lebay deh?”
Perempuan itu semakin panik ketika tubuh Aini sedikit
bergetar.