"Oke, ya, udah. Sekarang lu ikut gua, gua akan bawa lu ke
dokter.... "
"Tapi, Son, gua gak... "
"Ikut! gua gak suka ditolak!" Sonya meraih dan memapah
Aini ke perkiran tempat mobilnya berada.
"Masuk, gua kabarin Farida dulu," Sonya menutup pintu
lalu memutar balik masuk ke dalam mobilnya, sambil
menelphon Farida,
"Eh, tet. Lu ke klinik sekarang ya? gua tunggu." Sonya
memutuskan sambungan segera melajukan mobilnya
menuju klinik terdekat dengan kampus
“Awas! Sonya, lu gak berencana ajak gua ke dokter
jantung kan, di depan tikungan tajam," perempuan
minim ekspresi kalau ngomong juga sambil merem, "Gua
tau lu belum kawin, kasian juga Victor bisa-bisa merana
kudus tu orang," sahut Sonya miris, gadis berdarah
Batak-Jawa itu menyetir dengan lihainya hingga dalam
waktu sepuluh menit tiba di halaman klinik kasih ibu.
Sekarang, gua kasih waktu 5 menit untuk lu
menenangkan fikiran, kita akan turun, lu tau! dokter
tampan menunggu di sana. Jangan khawatir, tepis fhobia
lu tentang jarum, atau–”
"Atau apa? banyak banget lu ngoceh hari ini," Aini
meregang badan melegakan rasa pegel di tubuhnya.
Sebelum Sonya turun, dia menceklek pintu mobil agar
Aini bisa turun sendiri. Detik berikutnya Sonya
melangkah buru-buru menggapai Aini dan memapahnya.
Aini menurut karena memang kondisinya sedang lemah.
"Lu masuk angin kali gak? makanya jadi orang itu! jangan
suka makan angin?" belum berminat membela diri. Aini
mendengus kasar, menjawab Sonya sekarang membuat
urusan panjang, biarlah dia berceloteh sendiri dirinya
butuh obat penenang saat ini sebelum demamnya makin
tinggi. "Dokter, tolong periksa dia, badannya panas dok."
Sonya menyuruh Aini duduk di kursi tepat di depan
dokter dengan prawakan kebapakan. Kacamata mines
bertenggeng manis di atas hidungnya. Bibir tipis
tersenyum ramah membuat Sonya menelan ludah.
"Oyah, mari kita periksa dulu ya?" Dokter tampan
meminta Aini naik ke brangka untuk diperiksa.
Sementara Sonya duduk di sofa menyaksikan cara dokter
tampan memasang alat tensi darah di tangan Aini.
"Darahnya 90, kamu kurang istirahat? saya kasih vitamin
ya?" dokter selesai mengecek suhu tubuh lalu balik ke
mejanya untuk menulis resep obat
Sonya cepat-cepat menghampiri dan memeluk Aini
membantu turun dari brangka, dengan sigap ia
membawa Aini duduk kembali di depan dokter. Dia
menatap dokter berwajah tampan dengan gelombang
rasa aneh memenuhi dadanya. Bukan rasa cinta untuk si
dokter, tapi kekaguman atas sikap wibawa sang dokter.
Sonya sudah beberapa kali datang ke klinik itu, dan dia
sering memperhatikannya, tetapi kali ini Sonya benar-
benar kagum. Apa dokter berkharismatik? dia membatin.
Merasa kagum itu? tentu beda dengan simpati. Enaknya
rasa apa ya? karena terus terang dia sudah melibatkan
perasaan dalam kekagumannya.
"Silakan ditebus obatnya ya? semoga lekas sembuh,” Aini
menyungging senyum dan dibalas manis sama dokter
yang belum ia tau namanya.
Sonya mengangkat kedua tangan menjulur ke depan
dokter. Dokter tersenyum tipis menjabat tangan Sonya
dengan senang hati. Aini mundur beberapa langkah
sambil menggeleng kepalanya lalu melangkah lemah
kebagian apotik. “Jadi, ada apa? Kau menyukainya? cari
tau dulu, dia sudah beristri belum? lu gak mau kan,
harimu berakhir buruk.”
“Tidak juga.” Perempuan itu mengentakkan kaki. Duduk
di samping Aini, ada sesuatu yang terasa menggemaskan
tiap kali ia berhadapan dengan dokter itu, membuatnya
tidak tahan untuk tidak tersenyum. “Bisakah kau memilih
pria yang lebih pantas?” Jengah Aini bernada lemah
Rona merah perlahan merangkak di wajah Sonya, dengan
pipi bersemu merah ketika tidak sengaja tertangkap
basah beradu pandang dengan sang dokter.
“Minimalis, tapi mewah,” Sonya menatap girang dari
jauh. Ia memuja dengan hati bahagia. "Woi, tole..
tolongin.." Aini menyentil Sonya dari samping,
"Nona Aini.. " panggil asisten apoteker dari celah lobang
kaca. Dia sedikit pening meminta Sonya mengambilkan.
"Terimakasih, semoga lekas sembuh," suara ramah dari
dalam,
"Sama-sama," Sonya mengambil sebungkus obat dan
memberikan pada Aini. Dia memapah kembali ke mobil.
Bab 14
Sonya membukakan pintu untuk Aini, perlahan Aini
keluar dari mobil dibantu oleh Sonya, sesaat hawa dingin
menyergab tubuhnya. Dibimbing Sonya gadis cantik itu
masuk ke dalam indekostnya.
Menghenyak badan di atas ranjang sederhana, Aini
meringkuk melawan rasa nyeri dibagian kepala.
"Son, dingin banget," Aini mengingau terus meringkuk di
bawah selimut
"Ya, aku tau ... maka lu harus minum obat dulu," Sonya
menyalakan teko pemanas air mengambil gelas dan
menuang air hangat,
"Ain, lu jangan main-main. Ini masa pandemi, lu gak
berniat menularkan untukku, kan?" cerocos Sonya sudah
sangat dipahami oleh Aini. Gadis itu bangun sedikit
mengulum senyum, jujur untuk saat ini ia tidak punya
daya untuk membalas Sonya. Patuh dengan menelan
beberapa tablet pereda sakit, Aini merebahkan badannya
kembali.
Cuaca tampaknya tidak begitu menentu belakangan ini,
mengingat bulan pancaroba sudah mulai masuk. Kini,
peralihan musim kemarau ke hujan mulai terasa. Bahkan,
sesekali hujan dengan disertai angin pun datang. Seorang
gadis berusia 28 tahun yang jauh dari pantauan
keluarganya terus menggigil dalam selimut. Sonya duduk
setia di tepi ranjang menjaga Aini dalam kebingungan
antara menghubungi Victor atau membiarkan Aini
terbaring lemah.
Menelan ludah kerongkongan yang kering, Sonya bangkit
bergerak ke luar. Dia mondar-mandir gelisah memikirkan
situasi. Dapat di katakan, dirinya tidak mungkin bisa
merawat Aini sendirian, apalagi dia harus pulang kalau
tidak ingin keluarganya cemas. Sonya adalah anak
perempuan satu-satunya dari keluarga bermarga
nenggolan ayahnya Ismuha Nenggolan sangat
mengkhawatirkan setiap kali Sonya pulang terlambat.
Sonya melirik arloji ditangannya, jam favoritnya
menunjukkan 5 sore, itu artinya ia harus segera pulang.
Melepas penat dari aktivitas memikirkan Aini, akhirnya
Sonya menghubungi Victor dengan sangat terpaksa. "Sori
Ain, aku gak bisa memegang janji lu," Kalau sudah seperti
itu, terkadang ada seorang pria yang mencintai kita apa
salahnya kita meminta tolong, itu yang terlintas di benak
Sonya.
Hari semakin sore, langit tampak tak terlalu bersinar.
Suasana yang sejuk di bawah pepohonan rindang depan
kosan Aini, membuat semilir angin lembut menerpa
wajah Sonya sedang duduk gelisah menunggu laki-laki
pemuja Aini. Sepertinya pun, sebentar lagi akan turun
hujan, Sonya takut meninggalkan Aini sendirian. Di
rumah yang terbilang cukup sepi. Mata Sonya tiba-tiba
saja terlempar ke sebuah mobil mewah memasuki
perkarangan kosan Aini dan berhenti tepat di samping
mobilnya. Dengan gaya casual seorang Victor turun
begitu gagah dan tampan. Kaos oblong ketat membalut
tubuhnya, celana jeans berwarna gelap. Di atas kepala,
sebuah topi putih bertenggeng semakin menambah
ketampanan pria itu.
"Sonya, kok bisa! kapan Aini balik?" Victor tergesa-gesa
menerobos masuk ke dalam kamar Aini. Sonya heran,
namun ia menepis pikiran itu karena ini bukan waktu
yang tepat untuk bertanya
"Aini baru balik tadi malam, dan tadi pagi tiba-tiba dia
demam, Vic." Sonya berdiri memperhatikan Victor
menyentuh kening dan dada Aini yang sedang tertidur
pulas.
"Kau sudah membawanya ke dokter! kenapa masih
panas," selanya tidak melepas tangan di kening Aini.
"Lah. Mana kutau! kan dokter yang kasih obat, katanya
sih ... vitamin? karena Aini kurang istirahat," pasrah
Sonya duduk di ranjang tepatnya di kaki Aini.
Victor mendengkus kasar. Pria itu terlihat panik, itu
tercermin dari auranya sedang cemas.
"Okeh, aku akan bawa Aini ke rumah sakit. Tolong kau
beresin segala sesuatu keperluan dia," Sonya mengkerut
kening. Keperluan yang bagaimana ... Vic!!
"Keperluan apaan! aku gak ngerti, Vic," keluhnya
bernada bingung
Victor menatapnya sekilas, menggeleng kepala, "Emang
kau bukan perempuan! Ya ... keperluan perempuan lah.
Masak aku yang harus ngobrak ngabrik lemari dia, kau
gila!?"
Sonya tertawa cekikikan ketika tau apa yang dimaksud
dengan keperluan. Gadis itu melangkah membuka lemari
Aini dan mengambil beberapa potong pakain, bahan
dalam untuk beberapa hari ke depan.
***
Namanya Aini Syahbandar. Sonya menyebutkan di depan
seorang petugas rumah sakit untuk rekam medis. Ya..
sekarang Victor dan Sonya sedang di rumah sakit
membawa Aini untuk ditangani lebih serius.
"Kedua orang tuanya ada?" kata seorang petugas
bertubuh kurus, berhidung pesek. Victor menggeram
mendengar kata-kata itu,
"Saya calon suaminya, buat apa kau tanya lagi orang
tuanya, cepat kau tangani dia sudah sangat menggigil
bodoh!" kelakar Victor membuat dua petugas laki
perempuan itu ketakutan. Sonya terkekeh juga
memasang wajah kagum
"Dalam banget, cinta kau, Vic," batinnya.
Sedetik kemudian, perawat itu membawa Aini keruang
rawat inap dan diperiksa oleh seorang dokter paruh
baya.
"Dok, gimana dia," Victor mendekat berdiri di samping
dokter. Ia menatap wajah Aini dengan hati mendesir.
Wajah cantik itu merah, pucat dan lemas. Mereka saling
beradu pandangan tanpa isyarat hanya ekspresi datar
"Tidak apa-apa? hanya kecapean, dan sedikit kekurangan
cairan, pak Victor.." jawab dokter yang sudah ubanan di
usianya yang cukup terbilang senja. Ramah, dan teliti
"Beneran kan dok? gak apa-apa," tanya Victor lagi
menunjukkan kekhawatirannya. Dokter terkekeh, lalu
menepuk bahu Victor dua kali,
"Tenang, pak Victor? asalkan dia gak banyak berfikir?
Baiklah, saya permisi dulu, buk Aini cepat sembuh ya.."
Aini mengerjab sambil tersenyum pasrah. Gadis itu
menatap tangannya tertancap oleh jarum infus.
"Hei! gimana? enakan," Victor duduk di kursi samping
Aini setelah dokter selesai memeriksanya. Aini
menyungging senyum berserta rona merah jambu di
pipinya.
"Lumayan, makasih ya? sori udah ngerepotin," tutur Aini
sengau. Victor melebar senyum, lalu memberanikan diri
menggenggam tangan gadisnya mengelus ibu jari
dibagian jarum yang sedikit berdarah. Tangan kanannya
membelai rambut panjang Aini menyalurkan beribu kasih
sayang untuk gadis yang teramat sangat dicintainya.
Tubuh Aini berdesir, kelenjar aneh memenuhi rongga
dada dan jantungnya.
"Vic, Sonya mana," Victor mengidik bahu
"Balik, kamu tau, kan. Anak mami gak boleh telat-telat
pulang,"
Aini memendam rasa ingin tertawa melawan nyeri di
bagian kepala. Adalah ketersentuhan melingkupi
hatinya, dia berusaha menyadari dan melawan
gelombang rasa bersalah telah membuat Victor
terkatung-katung yang pada akhirnya, di luar dugaan,
Victor datang merawatnya penuh kasih.
"Vic," panggil Aini lembut
"Emm.. sakit, aku pijit, yah?" jawab Victor tersenyum
devil. Masih setia memijit pelipis gadisnya, Victor
menggoda Aini disela keterdiaman.
"Paan, sih kamu, mesum banget," Terkekeh Victor
menyaksikan rona merah di pipi mulus itu. Gemes, itu
yang terlintas di benaknya.
"Maaf, aku ... "
Bibir itu berhentik berucap, sesaat bungkam karena
terengut oleh bibir Victor. Pria yang sempat kehilangan
keseimbangan karena ditinggal Aini tanpa khabar, kini
kembali merasakankan manisnya bibir tipis ranum itu.
Tidak perduli tempat sedang memprotes aksi mereka,
suara decakan saliva terdengar merdu di balik tirai hijau
pembatas ruangan.
Sungguh tidak mudah melawan rasa, Aini membalas
ciuman itu dengan sisa tenaganya. Sebuah pengabdian
telah meluluh lantakan silsilah tersingkir oleh kuatnya
bibit rasa yang sedang tumbuh di dasar lubuk hati.
Hingga Aini teperangkap dalam dilema melawan rasa,
berusaha memusnahkan cinta. Meskipun duri dan onak
terbentang begitu tajam siap menamcap pijakan kaki,
namun saat ini ia butuh kebahagiaan, butuh semangat
hidup yang lebih baik. Bagaimana pun, hubungan berhak
diperjuangkan, apapun rentetan yang berujung pada
jurang pemisah. Namun, detik sekarang adalah mutlak,
mereka telah bersatu, dan siap membangun rasa dalam
cinta sejati.
"Tolong, jangan katakan, bila itu kesakitan, jangan pergi
lagi, Aini.. please? aku membutuhkanmu, I'm nothing
without you,"
Sekarang ini, dapat dikatakan ia sudah tidak sekaku
kemaren dulu atau dengan bahasa lain malu-malu, Aini
lebih menantang, mungkin logikanya sedang menyatu
dengan alam bawah sadar. Sejak Victor datang disaat
yang tepat memapahnya dalam ketidak berdayaan, Gadis
itu berhasil tertaklukkan. Dan, pikirannya sekarang
adalah bahagia di samping laki-laki yang sudah menjadi
tambatan hatinya.
Bab 15
"Aini.." panggil Sonya disela rebahan di atas ranjang Aini
"Em.." saut Aini suaranya terbungkap karena posisi gadis
itu sedang menelungkupkan tubuhnya di kasur
"Lu yakin ... dengan keputusan lu?" seru gadis berdarah
Batak-Jawa itu gelisah. Entah kenapa sejak Victor tergila-
gila sama Aini, Sonya merasakan hawa kekhawatiran
pada diri Victor. Mengingat Aini akan segera tamat, dan
kembali ke kampung halamannya? maka malapetaka
besar akan menimpa Victor. Aini mengerjab membenam
separuh wajahnya di bantal. Ia sedang berfikir apa
maksud Sonya, walaupun ia tau, namun makna yang
tersirat membuatnya susah menjawab.
"Maksud lu apa? gua ngantuk Son.. lu tidur napa?" Kilah
Aini menyeret topik. Jujur untuk saat ini Aini belum
memiliki jawaban apa pun untuk status hubungannya
dengan Victor
"Lu cinta gak sih, ama Victor? aku heran, Son. Victor kok
sampai tergila-gila kayak gitu ya sama ellu, padahal dia
udah tau! lu bakalan pergi setelah kuliah selesai,"
ucapnya menatap langit-langit kamar. Malam ini Sonya
memutuskan untuk menginap di kos-kosan Aini
menemani Aini yang baru saja keluar dari rumah sakit.
Tadinya ada Farida juga, namun gadis itu tidak bisa ikut
menginap berhubung orangtuanya kurang sehat.
"Lu gak usah banyak bacot napa! tidur ah. Lemes gua,"
sangga Aini merubah posisi membelakangi Sonya.
"Yee... ellu! giliran ditanyain aja?" Sonya melirik Aini
membelakanginya menggeleng kepala dan Semenit
kemudian matanya terpejam merangkak ke alam mimpi
*****
Disaat kita sedang berusaha meraba rasa, disaat itu
seseorang datang menanyakan tentang keseriusan pada
sebuah hubungan yang mungkin kita sendiri tidak pernah
tau menepi tanpa menunggu waktu, atau suatu saat
akan pergi berakhir dengan kepatahan
"Anggraini..." bariton itu menyadarkan Aini dari lamunan.
Gadis itu menoleh. Sosok jangkung sedang berdiri
tersenyum manis di sampingnya.
"Hai! apakabar," saut Aini tersenyum tipis.
Sekelebat kisah manis terlintas di pelupuk matanya, di
mana Aini sedang berlari mengejar jam mata kuliah
hukum. Ia terlambat 10 menit membuatnya harus sedikit
berlari, dan saat hendak masuk di pintu ia bertabrakan
dengan sosok itu. Aini melebar bibirnya mengulum
senyum menawan hingga tak ia sadari sosok itu terpana
tak berkedip.
"Sendiri.." tanya sosok itu lagi. Dia menarik kursi duduk
berhadapan dengan Aini tanpa menunggu persetujuan
gadis itu.
"Iya, Lang. Lu ngapain. Nyari bahan juga?" Aini menaruh
bolpain di atas buku-buku berukuran tebal tersusun di
depannya. Ia menatap sosok pria yang bernama elang
dengan seksama. Entah kenapa.. setiap kali melihat Elang
serasa ada Virdose di sana. Aini heran.. apa mungkin
secara kebetulan Virdose dan Elang memiliki kesamaan
wajah? bedanya Elang dan mata elangnya cocok.
Sementara Virdose hanya matanya saja yang elang.
Aneh, Alisnya sama-sama tebal, bulu mata juga ikutan
lentik. Apa mereka kembar? gak mungkin kan? Virdose
sejak kecil sudah menjadi penduduk Aceh asli, terus
Elang. Katanya sih ... orang Minang gitu? batin Aini ketika
dia gak habis pikir secara kebetulan dua orang yang kini
menjadi orang terdekat dalam dirinya.
"Ya, gitu deh. Aku mau cepat-cepat Ain, Jenuh lama-
lama. Oiya? lu nampak buku Hukum Perdata gak sih,"
Elang mengedar pandangan kesetiap sudut ruangan yang
dipenuhi buku-buku dan rak berjejer dalam ruangan itu.
Mereka sedang berada di perpustakaan mencari bahan
untuk penyusunan tesis.
"Engga sih lang. Aku kan judulnya Hukum Public, jauh kali
dengan data?" tutur Aini ramah. Elang memicing
memperhatikan gadis yang dikaguminya setelah kejadian
tabrakan di pintu masuk kelas beberapa hari telah
berlalu.
"Iya juga ya?" balas Elang menyilang kaki panjangnya.
Aini menyungging senyum melanjut kembali menulis
sesuatu di buku catatannya.
"Ain," panggil Elang lagi, dan hanya dijawab dengan
lirikan oleh Aini.
"Lu, udah ... punya pacar blom," ucap Elang
memperhatikan tangan Aini memegang bolpain. Jemari
lentik itu menjadi sasaran kepuasan mata elangnya.
"Maksud loh!" Jawab Aini memicing pada Elang. Pria itu
mengulum senyum menunduk malu diiringi gemuruh
dalam dadanya.
"Yah! pacar, kekasih mungkin? atau calon suami bisa
jadi? secarakan ... lu dah mau kellar tuh, pasti donk mau
nikah juga?" Elang berkata serius, membuat Aini
tersenyum geli. Gadis itu sedikit terpukau dengan gaya
Elang bersahaja dalam bertutur kata.
"Emang gitu?" seru Aini memandang Elang dengan
sorotan lembut. Sedikit bercanda Aini meghayal berada
di depan Virdose. Ingatannya terakhir kali malam resepsi
itu menjadi malam yang menyakit baginya. Malam di
mana ia melihat wajah Virdose terlukis samburat
kesedihan atas kepergian istrinya.
Elang menarik nafas hendak mengucapkan sesuatu,
namun suara hanphone Aini menghentikan ucapan itu
dengan mulut masih terbuka. Aini melirik dingin pada
benda pipih tergeletak di atas meja, lalu meraih lemas.
Sebuah notifikasi wa tertera nama Victor di dalamnya.
"Nanti pulang bareng, aku kangen," Aini membaca pesan
singkat itu lalu menekan tombol kunci tanpa berusaha
menjawabnya. Elang meneliti gelagat Aini yang sulit
ditebak karena terbentengi oleh sifat cuek level akut.
"Gak dibalas? 'kan penting!" kata Elang sok menegur
padahal hatinya ingin tau. Aini mengidik bahu masa
bodoh dan melanjutkan pencatatannya.
"Lu punya indera keenam? kok tau itu pesan penting,"
tutur Aini sedikit mengendorkan suasana. Ia tau Elang
mulai menunjukkan sikap anehnya dengan tidak berhenti
menatapnya.
Aini dan Elang terlibat pembahasan receh sampai
keduanya tidak menyadari seseorang melangkah cepat
berdiri tepat di antara Aini dan Elang,
"Apa-apaan nih." teriaknya mengejutkan Aini. Gadis itu
mendongak menatap wajah berlambang siluet
kemarahan bak api menyala. Elang ikut berdiri sambil
menjinjing tas rancelnya menunjukkan keanehan.
"Vic, kamu nga... "
"Jadi kamu di sini! bagus.. kamu gak berusaha membalas
pesan aku juga karena ini!?" Hardik Victor menatap
gerem pada Aini. Meskipun dia tau gadis yang
dipacarinya adalah berspesies cuek yang hidup di gurun
kutub utara? namun Victor tidak pernah bisa menerima
perlakuan itu terus menerus dilakukan Aini untuknya.
Victor mengetat giginya menoleh pada Elang, dan dibalas
sapa ramah oleh Elang. Sebagai seorang mahasiswa
sudah sepantasnya Elang menghormati Victor yang
notabinenya adalah seorang asisten dosen terfavorit di
kampus itu.
"Vic, aku gak bermaksud seperti itu? tenanglah." tutur
Aini menyentuh tangan Victor.
"Terus! ngapain kamu dua-duan disini, kamu sengaja?"
kelakar Victor menyorot Aini dengan mata tajam.
"Em.. maaf, Aini, pak Victor. Saya permisi dulu," pinta
Elang disela debat itu. Ia menunduk sopan lalu
meninggalkan Aini dan Victor. Aini menyungging senyum
sambil mengangguk pada Elang.
"Udah, sekarang kamu ikut aku pulang," Victor meraih
tangan Aini serta buku-buku ia susun setelah itu
dimasukkan dalam tas rancelnya.
"Vic, kenapa sih? kamu kek gini.. aku lagi belajar Vic!
tolong lah!?" Aini berkata sambil dipaksa jalan dalam
bimbingan Victor. Aini mengutuk diri sendiri. Dalam hati
berani sekali Victor bersikap semena-mena dengannya,
apa yang ada dalam pikiran pria itu? Dia sudah
mencoreng arang di mukanya di depan Elang!
mendengkus kasar Aini sudah berada dalam mobil dan
Victor mengendrainya tak karuan.
"Vic. Ada apa sih? jangan kayak anak kecil dong! kamu
mau apa sih?" jerit Aini dari samping. Sumpah ia tidak
mengerti kenapa Victor datang-datang marah gak jelas.
"Aku mau kamu tidak berbicara dengan lelaki manapun
kecuali aku," terangnya bernada keras. Tiba-tiba Aini
tersenyum menggeleng kepala
"Jadi, kamu cemburu...? Ya ampun Vic?? kamu salah
sangka, aku sama Elang hanya kebet... "
"Kebetulan ketemu!! gitu maksud kamu. Kamu sadar gak
kalau si Elang itu menatap kamu memuja. Kamu tau
gak?!" Victor mendecis sinis. Api cemburu sedang
menyala dan susah dipadamkan. Ia menyetir tanpa
melihat kiri kanan, meskipun sekali-kali ia menoleh kesal
pada Iani,
"Ya, itu kan dia? aku 'kan gak. Lagian kamu cemburuan
gak pada tempatnya. Elang itu kan adik leting aku Vic.
Gak mungkin lah dia suka sama kakak-kakak," jelas Aini
membela diri. Namun percuma, kalau lagi cemburu ya
cemburu aja? ya... salusinya tunggu tensi itu reda?
Hubungan yang seumur jagung itu tidak membuat
keduanya saling menyadari kekurangan dan kelebihan
masing-masing. Akibat terlalu romantis seolah tiada
rintangan. Akan tetapi Aini baru menyadari kalau Victor
mulai menampakkan sisi posesif yang tidak bisa
dikatakan biasa. Ini parah, sampai laki-laki itu tidak bisa
mengendalikan amarahnya.
Seenggaknya ini sebagai catatan buat Aini. Meskipun
kadang dia berfikir, apakah dengan usia yang tidak
terbilang muda lagi harus cemburuan kayak gitu? Aini
mengidik bahu, semua terasa aneh, dan ia malas
memikirkan hal ruwet seperti itu. Dan akhirnya ia
berujung dengan diam tak berniat berkomentar apalagi
memperpanjang masalah karena semuanya akan sia-sia
Bab 16
Aini menatap datar sosok asisten dosen yang terkenal
dengan kepintaran dan ketampanan di atas rata-rata di
kampusnya.
Laki-laki itu duduk menyender tubuh pada dingding sofa
di sebuah diskotik yang biasa dikunjunginya. Aini menaut
kedua alis melihat sekeliling ruangan. Suasana terlihat
sepi pengunjung namun lampu disco tidak berhenti
berputar menyilaukan cahaya ke sudut-sudut ruangan.
Beberapa orang pelayan sedang duduk bersantai di dekat
meja bar sambil tubuhnya bergoyang mengikuti irama
musik. Aini bergidik memperhatikan pakaian seorang
pelayan wanita berambut kuning bergelombang. Busana
ketat melekat di tubuh gadis itu sudah sangat jelas
memancing gairah para lelaki. Pakaian yang tipis setipis
urat malu itu mengekspos bagian dalam milik gadis
berambut peran membuat Aini merinding disco.
"Vic. Ngapain kemari?? kamu gak salah membawaku ke
tempat ini, Vic." Bisik Aini di samping Victor. Pria itu
memutar bola mata seraya memeluk pinggang Aini.
"Tenang sayang. Kamu akan terbiasa dengan tempat ini,
tenang ya?" jawab Victor melebarkan bibir tipisnya. Aini
bergeser beberapa senti dari Victor, gadis itu menyorot
horor pada kekasihnya.
"Vic. Antarkan aku pulang sekarang! aku tidak suka
dengan tempat ini," balas Aini sarkas. Victor menyeringai
seolah pernyataan Aini sebuah gurauan. Laki-laki yang
kini menjadi dilema rasa dalam hati Aini meneguk vodka
yang baru saja di antar seorang pelayan.
"Santai sayang? kita perlu rileks ... ayolah Aini? kita
nikmati, dan bercinta di sini?" bujuk Victor lagi dan
sepertinya pria itu tidak mengindahkan kata-kata Aini
hingga Aini menyurutkan wajah lembutnya,
"Antarkan aku pulang, atau aku pulang sendiri!! aku
bukan wanita penikmat minuman keras Vic. Kalau kamu
menganggap aku seperti itu! Maka kamu salah." sergah
Aini merapatkan kedua giginya. Wajah cantik nan ayu itu
berubah padam dengan bola mata tajam menatap Victor.
Saat ia lihat Victor terkekeh tak perduli, Aini semakin
marah dan dia bangkit meraih tasnya di atas meja.
Namun ketika hendak pergi Victor mencegahnya dengan
menarik tangan Aini lalu meraih pinggang gadis itu
merapatkan ketubuhnya. Aini diam mendongok
wajahbya menatap Victor datar.
"Ain.. aku gak nyuruh kamu minum sayang? aku hanya
butuh teman.. temani aku itu saja? ayolah sayang? kamu
milikku, Emm.." pinta Victor sambil menyentuh pipi Ain
yang kemudian ditepis lembut oleh gadis itu. Victor
memicing dan berkata,
"What's the matter with you dear? Come on, don't get
mad?
"Sorry, I need to go home. Please enjoy yourself," Aini
melepas paksa tangan kekar yang bertenggeng di
pinggang rampingnya dengan mehentak kaki panjang
Aini melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Sekilas ia
melihat pelayan-pelayan itu seperti sedang
menertawakannya. Namun, Aini tidak perduli ia
melangkah menuju pintu keluar. Akan tetapi, baru
tangan lembut itu akan meraih gagang pintu,
kembali langkahnya dicegat Victor.
"Aini tunggu!" Aini berhenti namun tidak berusaha
melihat ke belakang di mana Victor sedang menggengam
tangannya.
"Aku janji akan mengantar kamu pulang, tapi tolong?
temani aku sebentar aja? aku butuh minum Ain..?
ayolah.. "
Aini tidak menjawab sepatahpun dan seketika sebuah
tamparan kecil mendarat di pipi Victor, "Carilah
perempuan lain, Vic. Aku bukan pelacur yang suka
bermain dalam diskotik. Aku memang bukan wanita baik-
baik, tapi aku juga bukan wanita penikmat tempat
seperti ini. Terserah kamu mau bilang aku cewek
kampungan! karena itu lebih baik. Maaf aku tidak bisa,"
Victor terpaku seraya meraba pipinya. Memang ia tidak
kesakitan, namun ia juga gak menyangka Aini berani
menamparnya dengan sadis. Hati pria itu berdesir, ia
mengerjab dalam kebekuan menatap hampa pada
sebening wajah yang telah membuatnya jatuh dan
tersesat dalam pesona gadis bangsawan itu.
"Aini, kamu ... "
"Iya! kenapa. Kamu marah!" Kelakar
Aini lalu menarik tangannya perlahan seraya menatap
kecewa pada Victor. Victor bergeming di tempat.
Mungkin apa yang dilakukannya sekarang adalah hal
yang lumrah. Datang ke sebuah Diskotik bersenang-
senang dan menikmati minuman keras hingga mabuk.
Namun, tidak bagi Aini. Ia adalah gadis keturunan
bangsawan berasal dari Nanggroe yang senantiasa
menjaga kehormatannya, Nanggroe adalah daerah yang
tercatat syariah Islam kental di sana.
Cukup menjadi wanita biasa itu sudah lebih dari cukup
bagi Aini. Dari pada dirinya menjadi cewek gampangan
lalu berkeliaran di club-club malam yang dapat
mencemarkan nama baik keluarganya, apalagi
pertanggung jawaban di hadapan Tuhan. Pemahaman itu
cukup membuat Aini mawas diri.
Tidak mudah memujuk seorang Anggraini yang terkenal
komit dengan keputusannya. Menurut Aini, Meskipun
dirinya mudah di dapatkan seperti sekarang ini? namun
bukan berarti Victor bebas memperlakukannya, apalagi
membawanya ke tempat yang menurutnya haram dan
dilarang agama.
Aini menyetop sebuah bis kota yang kebetulan sedang
melintas di depannya. Gadis itu masuk ke dalam bis
tersebut tanpa memperdulikan jeritan Victor
memangilnya. Ia duduk di sudut jendela sambil memijit
pelipis Sambil menahan nafas gadis itu menadah ke atas
menatap langit-langit bis yang ditumpanginya dengan
perasaan kacau. Jadi dia seorang pemabuk!
Astaqrfirullah..
Hari beranjak sore di langit kota Medan. Namun
matahari masih bersinar terang serasa membakar alam
semesta. Tepat di sebuah stasiun bis kota seorang wanita
turun berjalan kaki menuju sebuah taman yang tidak
terlalu jauh dari keramaian. Aini menyusuri trotoar jalan
dengan hati berkecamuk. Pikirannya dipenuhi kejadian
beberapa menit yang lalu.
Gadis itu bingung menggerakkan kaki ke mana lagi,
hingga sebuah deringan di ponsel menyadarkannya. Ia
merogoh tas dan menatap layar yang menampilkan
nama Sonya di sana. Aini menarik nafas lalu mengangkat
panggilan tersebut.
"Ya, Son. Kenapa?"
"Eh, pake nanyak lagi! lu ke mana aja sih, Ain!? lu lupa
hari ini ada jadwal kuliah jam dua!" Aini tersentak
mengelus dadanya.
"Astaqrfirullah. Ya Allah, ia benar? kok aku lupa ya?"
"Ya ellah. Jangan bilang lu asik bacinto sama Victor ampe
lupa jadwal kuliah!" omel Sonya dari sebrang. Aini diam
sejenak membayangkan pria pujaan hati yang
ditinggalnya begitu saja disebuah club diskotik terkenal di
kota Medan.
"Lu di mana sekarang. Boleh kita ketemu?" ucap Aini
lembut. Terdengar desah panjang menghembus dalam
hanphonenya membuat Sonya ingin bertanya.
"Lu ... gak kenapa-kenapa kan. Oke, lu di mana? gua
jemput sekarang," balas Sonya bernada khawatir.
Kebimbangan kini mendera seorang Anggraini yang
terkenal cuek dan datar. Kisah cinta yang baru dimulai
bersama Victor kini harus mengalami keretakan lagi. Aini
mendengkus kasar menyaksikan kesibukan kota.
Kesalahan terbesar dalam hidupnya adalah ketika ia
menyadari dirinya telah terjerumus dalam hubungan
terlarang dengan Victor. Walaupun itu terlarang dalam
arti kata tidak sebangsawan? namun Aini terlanjur
menjalin hubungan tanpa mengetahui terlebih dahulu
seluk beluk siapa Victor sebenarnya. Dan, ternyata? pria
itu suka menghabiskan waktu dengan meminum
minuman keras. Apa itu artinya ...
"Ain...!!!" suara teriakan memanggil dari sebrang jalan,
Aini menoleh dan terlihat Sonya datang dengan mobilnya
menjemput Aini. Ia segera bangkit menyebrang jalan
menghampiri dan segera masuk ke dalam mibil
sahabatnya.
Huufff! deru nafas kasar keluar dari mulut Aini setelah
gadis itu menutup pintu mobil
"Kenapa! berat banget kayaknya, lu lagi mikir?" kata
Sonya melirik Aini sambil menyetir
Aini menatap jauh ke depan menembus kaca lebar itu.
Berfikir dari mana harus memulai, apakah mungkin ia
memberi tahu Sonya? pasti Sonya menertawakannya.
Secara 'kan. Sonya orang kota? pasti yang begituan udah
biasa. Aini melirik sekilas pada Sonya,
"Lu kenapa sih! aneh banget.." Sonya melajukan
mobilnya dengan kecepatan sedang membelah
kepadatan kota Medan. Gadis itu membawa Aini ke
sebuah restoran yang terkenal dengan makanan seafood
lezat. Mereka keluar dari mobil disambut ramah oleh
seorang pelayan.
"Kok kemari Son. Lu belum makan?" tanya Aini seraya
memandang sekeliling restoran.
"Ya, belum lah. Gua kan baru siap kuliah. Emang lu? ke
mana sih, Ain.. ga biasanya lu bolos!" selanya seraya
memanggil seorang pelayan.
Aini menunduk sejenak menormalkan kekacauan dalam
hatinya,
"Mbak, saya pesan nasgor seafood plus orenge jus satu,"
"Baik, mbak."
"Ain.. lu pesan apa?" Sonya memicing melihat keanehan
di wajah Aini.
"Samain aja Son,"
"Samain Mba ya?" Pelayan itu pergi Sonya kembali
mengintrogasi Aini.
"Lu kenapa sih?? ribut.. ama Victor?" terka Sonya
memperhatikan perubahan pada raut Aini, gadis yang
terkenal cuek seantero kampus. Ainu menarik nafas
panjang lalu menghembus kasar.
"Ya, Son. Tadi gua sama Victor. Tapi... "
"Tapi kenapa? ribut..?" potong Sonya ingin tau.
"Dia membawaku ke diskotik New Zone, Son. Gua ... "
"Gak suka?" kata Sonya memahami raut Aini. Dia
mengenal Aini bukan sehari, melainkan sudah beberapa
tahun semasa mereka duduk di jenjang strata 1. Sonya
paham. Aini bukan lah wanita pada umumnya yang suka
dengan dunia malam apalagi yang namanya Bar. Dia juga
gak heran, bila saat ini Aini sedang memikirkan hal
negatif tentang Victor, itu juga wajar. Aini wanita polos
yang datang dari desa. Selain itu, Aini juga terlahir
sebagai wanita bangsawan yang senantiasa menjaga
harkat dan martabat keturunannya.
"Apa gua salah? apa dia sering bermabuk mabukan?"
keluh Aini bernada lemas. Gadis itu melipat kedua
tangannya di atas meja menatap Sonya penuh harap.
"Yeah.. namanya juga anak muda, Ain.. mungkin itu
sudah jadi kebiasaannya. Dulu, gua juga sering ke situ
Ain.. tempat itu milik Febri teman satu angkatan SMU
kami. Tapi, aku yakin, Victor hanya minum, mungkin gak
lebih dari itu," terang Sonya mengelus tangan Aini. Ia
mencoba memberi pengertian walaupun ini gak mudah
diterima oleh Aini.
"Gak tau Son. Gua ngerasa ... tempat itu gak pantas buat
gua. Gua takut terjerumus Son,"
Aini menghela nafas lalu menopang bagian dagunya
dengan sebelah tangan, dan sebelah lagi mengaduk kopi
panas yang baru saja disajikan seorang pelayan.
Mungkin segala sesuatu yang berbaur miras dan dunia
malam menurut Aini sebagai wanita awam itu adalah hal
yang sangat tabu. Dan ketabuan itu membuatnya takut
untuk melangkah kesitu, dan memang sebaiknya begitu?
karena tidak menutup kemungkinan kelemahan iman
seseorang akan terseret kelembah nista. Aini bukan lah
wanita yang pintar dengan ilmu agama meskipun ia
berasal dari negeri yang terkenal dengan syariat Islam.
Namun ia merantau cukup dengan sedikit bekal
akhlakulkarimah dalam dirinya.
"Saran gua ... lu perlu bicara lagi sama Victor. Memang
kedengarannya sih aneh! Masa gara-gara itu aja lu marah
terus ninggalin Victor gitu aja. Tapi, gua maklum kok. Lu
kan cewek katrok." canda Sonya lalu tergelak merasa
gelik dalam hati.
"Biar... masalah! buat lu!" balas Aini ketus. Sonya si
marga nenggolan mengunyah nasi goreng sambil
terkekeh karena melihat muka Aini yang kemerahan.
"Udah, sekarang lu baikan? terus ... bilang sama Victor?
mabukan itu dosa, sekalian lu ajarin dia sholat. Gua gak
tau, tu orang pernah sholat apa enggak." Aini melongo
dengan wajah tercengir heran.
"Lu seriiius!" kata Aini dengan wajah heran. Sonya
mengidik bahu sambil meneguk jus orengnya
Terkadang Aini tidak ingin mempertimbangkan hal remeh
seperti itu. Bukan kah itu hak Victor? Bahkan mereka
baru saja menjalin hubungan serius, mungkin butuh
waktu untuk menerima kebiasaan satu sama lain. Benar
kata Sonya, Aini akan mencoba membicarakan ini jikalau
memang perlu. Perlu dalam arti kata Victor datang dan
meminta maaf padanya, tapi apakah mungkin? dia akan
meminta maaf. Sementara masih membekas di telapak
tangan lembut itu, tamparan kecil pada pipi Victor.
Mungkin tidak membuat pria itu marah atau sakit hati,
namun Aini merasa bersalah karena tidak bisa
mengendalikan emosinya.
Semua menjadi masalah baru bagi Aini. Bagai mana
wanita itu mensikapi keadaan, menerima dan menjalani
sesuai kriteria masing-masing. Ya.. mungkin sebaiknya
begitu, berjalan seiring waktu seraya memahami satu
sama lain.
Jarum jam sudah di angka 5 sore. Mereka menyelasaikan
tongkrongan dan kembali ke kediaman masing-masing.
Bab 17
Sering gadis itu mempertanyakan setiap kali
membayangkan ketika sedang bertapak pulang ke rumah
sehabis dari kampus
Kira-kira, sosok laki-laki seperti apakah yang akan
menjadi pendamping hidupnya kelak nanti? Apa laki-laki
itu dari kaum bangsawan juga. Atau Victor? tapi Rafli
melarangnya menikah dengan selain kaum itu. Mimpi
setiap orang adalah, menikah dengan seorang aktor seksi
favoritnya seperti di film yang ceritanya selalu bikin
cewek-cewek histeris. Namun dia gak sampai separah itu.
Mendambakan seorang laki-laki yang seenggaknya
bukanlah seorang pemabuk. Minimal pria baik-
baik. Atau, sosok laki-laki yang mungkin punya kriteria
dan memenuhi sebagai calon suami.
Aini sampai di rumah langsung membuka pintu kos-
kosannya, lalu membanting tubuh di atas ranjang. Ia
mengerjab mata menatap langit kamar. Dalam lamunan
yang sama ditemani suara percakapan acara televisi—
yang sebenarnya sudah menyala sejak tadi pagi—dia lupa
mematikannya
Bagaimana perangai calon suami masa depannya
nanti, dan saat menghadapinya nanti akan bersabar
karena seorang Aini yang cuek.
Aini terus berangan-angan bahwa suatu saat nanti ia
akan bersama dengan laki-laki yang hidupnya sederhana
namun punya budi pekerti yang baik. Akan kah itu
terwujud, sementara perjalanan masih panjang
terbentang dengan berbagai rentetan kesilsilahan.
Perlahan pandangan itu terus meredup sampai akhirnya
tertutup kelopak mata indah itu.
Baru sedetik mata ayu itu terpejam harus terbangun lagi
karena terdengar ketukan pintu. Ia mendengus kesal
bangun duduk sejenak menunggu rohnya kembali. Masih
lengkap dengan pakaian kerudung acak-acakan Aini
bangkit memandang dirinya dari pantulan cermin yang
terlihat kacau. Sedetik kemudian terdengar lagi ketukan.
Aini memutar badan melangkah ke depan pintu. Tanpa
melakukan kebiasaan mengintip dulu sebelum
membukakan pintunya
Krak..
Gadis itu tercengang menatap sayu pada sosok tinggi
menjulang di depannya.
"Hai, Sori. Aku ganggu ya.." sambil mimicing wajah
tampan itu tersenyum membuat Aini terpesona. Namun,
sekelebat bayangan tempo hari seketika wajah Aini
berubah datar.
"Ada apa kemari." ketusnya bersedekap. Tamu tidak
hanya di depan pintu tapi juga di dalam hati itu terkekeh
menanggapi gaya Aini menantang begitu anggun dalam
pandangannya.
"Dosen kamu ngunjung, suruh masuk dulu dong? mau...
nilai kamu berkurang?" cicitnya ikut bersedekap
menyeringai gagah.
Aini menatap jengah membuang muka dan mendesis
tidak menyukai kedatangan pria itu.
"Maaf, Vic. Aku lagi gak mood, aku butuh istirahat.
Pulanglah." Aini berkata sambil menutup pintu, namun
secepat kilat Victor menahan dengan kedua tangan
kekar.
"Aini...? please! maafin aku. Aku butuh bicara sebentar
aja, please.. " Gerahang keras itu melemas. Memohon
dengan kedua tangannya.
Perlahan hati Aini luluh dan membiarkan pintu terbuka
lebar. Victor bergerak dua langkah berdiri tepat di depan
Aini, dan meraih kedua tangan lembut itu, lalu
mengecupnya lembut.
"Jujur, aku gak bisa kek gini. Aku butuh kamu Ain..
maafkan aku, aku tidak bermaksud menjerumuskan
kamu, Ain. Aku tau kamu wanita baik-baik maka ajarilah
aku tentang agama. Aku mohonn?" ucapnya bernada
lembut. Victor mengelus lembut sudut bibir merah
merakah itu dengan tatapan yang membuat Aini bergetar
seluruh tubuh.
Kekuatan cinta semakin menjelma diantara keduanya.
Lama saling menatap hingga detik berlalu semakin dekat
dan tanpa penolakan Victor mendaratkan kecupan
mendalam di bibir Aini. Gadis itu membeku tak
bergeming. Aliran darah serasa berhenti seiring degupan
jantung dipompa begitu cepatnya.
"Aku mencintaimu, Ain. Lebih dari segalanya, please..
Please, don't leave me. Sudah cukup kelelahan ini.
Sekarang kamulah satu-satunya tempat aku bersandar,"
Victor menyatukan keningnya dengan Ainu dan
menangkup kedua bahu gadis itu. Aini me-roling mata
menatap pria yang telah meluluh lantakan benteng
pertahanan untuk sebuah cinta. Bibir basah itu mengatub
tak kuasa berucap.
Di antara ratusan juta bidadari di luaran sana, dirinya
salah satu wanita yang dipilih Victor dengan satu
peribahasa 'Sandaran' Setelah melewati beberapa bukit
dan lembah, Victor menjatuhkan pilihannya pada Aini.
Dan, sekarang. Dilema dalam diri semakin
melambangkan kehancuran menguap kepermukaan
"Ikutlah denganku. Aku ingin membawamu ke suatu
tempat," Victor menarik tangan Aini sebelum masuk ke
mobil, Victor menutup dan mengunci pintu kosan Aini.
Dia diam, tanpa mencoba membantah atau melawan.
Entah apa yang dipikirkan Aini. Jantungnya bergemuruh
hebat menghantam kebekuan
"Vic. Kita ke mana.. ini kan jalur ke pemakaman umum
porta. Kita ngapain ke sini?" gelisah Aini duduk grasah
grusuh. Victor melirik gadis di sampingnya tampa
menjawab hanya tersenyum tipis.
Mobil yang ditumpangi Victor dan Aini berhenti tepat di
gerbang TPU porta. Victor keluar lalu membukakan pintu
untuk Aini.
Pria itu menggengam tangan Aini membawa perlahan
masuk ke dalam lokasi pemakaman menyusuri deretan
gundukan tanah liat dan berhenti di sebuah kuburan
berlapis keramik bertulis, Rafizah Siregar binti Solaiman
Seregar. Lahir 22 Juni 1989, Tanggal wafat 19 Des 2019
Victor mengajak wanitanya berjongkok di hadapan
pusara yang tertata rapi dengan rumput dan bunga
akasia tumbuh subur. Deru angin berhembus mengirim
wangi-wangian dari bunga-bunga yang tertabur di atas
pusara dengan hamparan luas terbentang pusara-pusara
berjejer rapi.
"Mam, aku datang. Mami apakabar, lihat mi ... aku bawa
siapa." Dia merangkul tubuh Aini kaidah
memperkenalkan pada pusara itu yang ternyata adalah
maminya sendiri.
Aini menatap sendu pada batu nisan dengan perasaan
yang sulit ia jelaskan. Jadi, ibumu sudah meninggal Vic.
Tapi, kenapa Victor harus membawaku ke mari, batinya.
"Aini.. ini mamiku. Mamiku sudah tiada Ain. Dia ninggalin
aku sendiri. Aku berjuang hidup sendiri di dunia ini. Mi..
lihatlah mi.. aku menemukan dia. Doakan kami segera
bersatu mami ya?" Victor berbicara panjang lebar di
hadapan pusara orangtuanya. Air mata mengambang
dipelupuk yang semakin panas. Perlahan dua butir lolos
begitu aja membuat Aini menatap iba. Ia mengelus
lembut punggung kekar Victor namun pria itu terlanjur
tersedu.
"Vic...? kamu gak boleh kek gini, mami kamu sudah
tenang di alam syurga? kamu harus kuat, Vic." ucap Aini
menguatkan kekasihnya. Victor menyapu air mata
dengan punggung tangannya lalu menoleh pada Aini.
Sejenak mata mereka bertabrakan. Aini melebarkan bibir
meskipun tidak terlihat tertawa, namun ia memastikan
senyum itu mencerminkan isyarat damai.
"Makasih, Ain. Kamu sudah memaafkan aku?" isaknya
dengan wajah memerah. Victor terus menggengam
tangan Aini dan sesekali menciumnya lembut.
“Iya, Vic. Kamu yang ikhlas ya?” ujarnya menyentuh
sekilas gerahang keras itu.
Mereka berpamitan pada mami Victor yang terbaring di
bawah timbunan tanah, lalu beranjak pergi dengan
sejuta gejolak dalam hati Aini.
"Sayang. Kamu lapar?" sesekali Victor melirik Aini. Gadis
itu lebih banyak diam seperti sedang memikirkan
sesuatu. Dia menatap jauh ke depan jalan menembus
kaca besar di hadapannya.
Ya, Aini nyaris mengusir Victor dengan kasar tanpa
mencoba berbicara. Sebelum suatu saat ia akan benar-
benar mengetahui jawaban dari ending kisahnya nanti.
"Antar aku pulang aja ya?" ucap Aini lembut menyender
kepalanya diantara jok dan pintu mobil.
Kali pertama Victor melihat kesuraman dalam diri
kekasihnya., Kali pertama juga ia menemukan wanita
yang sudah menamparnya saat itu di sebuah Bar. Ada
banyak teman dan cewek-cewek sekelasnya yang
mendambakan untuk menjadi kekasihnya, namun Victor
menjatuhkan pilihannya pada Aini, si gadis cuek nan
datar.
Hal pertama yang selalui diingat Victor adalah, dia nggak
seperti wanita kebanyakan, yang akan suka mencuri
pandang padanya, padahal sering mengajak Aini untuk
mengobrol, namun Aini malah mengabaikannya, dari
situlah. Victor selalu mengejar Aini dari rasa
penasaranya. Tidak melontarkan gombalan-gombalan
receh, yang biasanya ditanggapi cewek-cewek centil,
bahkan histeris kalau disapa oleh seorang Victor
“Ah, aku pasti dapatin dia,” sambil mencoba tertawa,
meskipun seringnya Victor nggak nyaman karena
biasanya dikejar kali ini harus mengejar dan sekarang
bertekuk lutut di hadapan Aini.
“Kamu yakin.. gak makan dulu? Masih marah, Emm...”
Victor mengelus bahu Aini dengan sebelah tangannya,
sebelah lagi ia gunakan untuk mengendalikan stior.
Bab 18
Jumat sore yang cerah dimana langit terlihat biru,
matahari di ufuk barat berwarna keemasan serta
beberapa kawanan awan putih transparan hilir mudik
tertiup angin.
Hiruk pikuk kota tiada berhenti meskipun masa pandemi
terus digaungkan melalui PPKM. Proses belajar mengajar
secara daring diterapkan dibeberapa daerah termasuk
Medan sendiri. Namun khusus pasca S2 sedikit diberi
kelonggaran.
Aini berjalan keluar kelas psikologi karena jadwalqq
kuliah telah habis. Jam menujukkan pukul tiga lebih dua
puluh menit.
“Aini.....” Sonya berteriak sambil melambaikan tangan
kearahnya
Aini tersenyum getir dan berjalan bergegas
menghampirinya.
“Son...”
Sonya mendekat menggapai tangan Aini dan
membawanya ke sebuah tempat yang tidak terlalu jauh
dari gedung pasca sarjana. Setiap membayangkan Sonya,
terkadang Aini iri, Sonya yang selalu periang dengan
tubuh ramping bermata sipit, tinggi badannya sekitar
seratus enam puluh centimeter, berambut ikal
kecoklatan, berkulit sawo matang, hari ini dia memakai
kemeja kotak-kotak celana jeans dengan gaya lebih
tomboy dari biasanya. Sonya juga memakai sweater
rajutan berwarna hitam Lehernya dihiasi dengan kalung
bulat berwarna hitam, bersepatukan heels berwarna
hitam dan memakai tas selempang.
“Ada apa sih, Son..” kataku setelah jarak dudukku dekat
dengannya.
“Gua mau ngasih nampak ini Ain,” katanya sambil
memberikan aku hanphone miliknya.
“Apaan?” Aini meraih dan memegang benda pipih milik
Sonya dan menatap takjub pada gambar di dalamnya,
Aini melirik Sonya sekilas lalu melihat lagi foto seorang
laki-laki sedang memegang sebuah Al-quran di
tangannya, dari penampakan sepertinya foto itu di ambil
disebuah mesjid.
"Lu dapat dari mana?" Aini memberikan hanphone itu
kembali dengan perasaan bersalah.
"Gua dapat dari Febri.. teman satu angkatan SMU. Foto
ini dimasukin ke group alumni SMU. Aku sengaja
menyimpannya supaya lu juga bisa lihat, Ain. Menurut lu
dia keren gak sih.
Aini bangkit sambil mendengus kasar berdiri bersedekap.
"Lu gak pernah bilang kalau ibunya sudah gak ada. Dia
membawa gua ke sana. Ini rumit Son. Gua bukan orang
yang tepat Son,"
"Lu sok tau sih? yang namanya kecocokan tergantung
pada yang menjalani, Ain? masalahnya itu ... lu serius gak
sama dia!" seru Sonya menyangga pernyataan Aini.
Sebenarnya bukan masalah cocok tidaknya, melainkan
hubungan yang terhalang silsilah membuat Aini semakin
ragu melangkah. Perkiraan dua bulan lagi, Aini akan
segera menyelasaikan studynya dan kembali ke tanah
kelahirannya.
"Entahlah Son, gua bingung. Tidak berat menjalani, yang
rumit adalah keluarga gua, Ain. Gua takut ini akan
berakhir menyakitkan," Jujur Aini duduk kembali di
samping Sonya, gadis itu meneliti raut Aini yang mulai
redup. Perlahan ia mengelus bahu Aini, "lu harus bisa
menyakinkan keluarga lu sendiri kalau memang pilihan lu
Itu Victor?"
Aini tersenyum sinis terselip kegetiran di wajahnya.
"bahkan lebih mudah menyebrangi lautan dari berjuang
meruntuhkan kekuatan seorang Syahbandar, Son."
Sejenak Sonya tertegun mendengar setiap ucapan Aini.
Dalam hati ia tidak bisa menelaah arti sebuah kekuatan,
benarkah di dunia modern ini masih menganut hal-hal
seperti itu. Bukankah itu sudah berlalu ratusan tahun
berlalu?
***
Aini bergerak gelisah dibalik selimut yang membungkus
tubuhnya. Perlahan ia membuka mata menangkap
pemandangan langit kamar yang remang oleh cahaya
lampu tidur
Bayangan foto dalam ponsel Sonya menari dipelupuk
matanya. Sang kekasih berdiri gagah dengan memakai
stelan pakaian sholat dan peci hitam menutupi kepalanya
beserta sebuah Al-quran dipeluk erat di dadanya. Aini
sempat bingung. Apa yang dilakukan Victor dengan
penampilan seperti itu ini
Aini menyingkap selimut bangun, merasa sia-sia
memaksa diri untuk tidaur. Turun dari ranjang ia
menyalakan lampu utama dan seketika kamar itu terang
menderang lalu ia menyalakan teko pemanas air dan
menyeduhkan secangkir kopi susu
Aini bergerak membuka pintu keluar dari kamarnya
duduk di kursi teras yang mulai lapuk. Suasana lampu
kota menyihir. Kebiasaan yang selama ini jarang ia lakoni.
Duduk menikmati suasana malam dengan cahaya lampu
menakjubkan saat aktivitas mulai sepi. Hanya terdengar
deru angin dan beberapa kendaraan bersisa.
Perasaannya berkecamuk, tak mampu mengalihkan
ingatannya pada pria yang kini bertahta dalam istana
hatinya. Ini hal baru setelah belasan tahun ia menyendiri
menutup hati setelah Virdose menghianati cinta
pertamanya. Memikirkab setiap sentuhan bibir Victor
menghujam dirinya, sulit ia lupakan bagaimana Victor
merawatnya selama di rumah sakit. Seraya menghembus
nafas panjang Aini menyeruput kopi panasnya dan terasa
menghangatkan seluruh indera perasanya.
Apa sebenarnya yang kupikirkan sampai aku harus
terjebak dalam pesonanya. Bagaimana caranya
kujelaskan semua ini di hadapan Ayah.
Aini mendesah frustasi menyesali padahal hidupnya
sempurna sebelum kisah rumit itu dimulai. Aini
medengus menyenderkan tubuhnya dengan tarikan
nafas berat. Sebuah keputusan yang sulit ia ungkapkan
mengingat Victor yang semakin menunjukkan keseriusan.
Ini jelas harapan dirinya, namun ia juga tidak mau semua
berakhir dengan menyisakan luka di hati kekasihnya.
Malam kian merangkak menuju pagi, namun Aini belum
bisa memejam mata. Pengaruh kafein semakin mengusir
rasa kantuk hingga membuat Aini kian gelisah. Ia meraih
hanphonenya membuka sebuah situs sosial dan sesaat ia
tertegun. Sebuah gambar yang dilihatnya tadi siang
terpangpang di Istgramnya. "Untukmu aku akan menjadi
yang terbaik,"
Aini menutup segara dan melempar ponselnya ke sisi
tempat tidur sambil meraup dan memijit pelepisnya.
"Tuhan... ini bukan kesengajaan, ini hanyalah kebetulan.
Aku mencintainya, tapi tidak seburuk ini?"
Aini melentangkan tubuh mengerjab mata menyorot
lampu tepat di atas mukanya. Kegundahan hidup yang
semakin tidak ia mengerti semenjak dirinya terjerat kisah
asmara dengan Victor. Aini masih terus berfikir kejadian
apa yang terselubung dibalik kepergian ibu pria itu.
"Mamiku udah ninggalin aku sewaktu masih SMU, Ain.
Mamiku orang pertama yang kucintai,"
Bukankah kata-kata itu penuh makna? Batin Aini, apakah
ada masa lalu yang terselip dibalik pernyataan itu.
Detak jam bergerak begitu cepat dipacu seiring degub
jantung Aini. Perlahan samar terdengar suara pengajian
dari masjid terdekat. Ia pun menguap rasa kantuk mulai
menyerang. Perihnya pelupuk mata akibat tidak bisa
tidur membuat Aini kesusahan melek maka tanpa
memikir apa-apa lagi, ia tertidur pulas.
Bab 19
Arloji mewah di tangan Sonya menunjukkan angka 12
tepat. Mereka tiba di resto yang menjadi favorit Sonya
akan lezatnya nasi goreng seafood. Mereka mengambil
posisi tepat di tengah-tengah restoran dan itu sedikit
risih dirasakan Aini. Namun sepertinya gadis itu lagi
kurang mood untuk berkomplain.
"Gimana hubungan kalian, Ain.."
basa-basi Sonya ketika ia melihat Aini lebih banyak diam
dari biasanya. Aini menatap Sonya datar. Ia menghela
nafas berat serasa sesak di dadanya.
"Aku gak tau, Son. Masih seperti biasa," tutur Aini
menegakkan tubuhnya ke dingding kursi. Sonya meneliti
raut Aini yang terlihat sedikit pucat. Sebagai sahabat
mungkin ia bisa merasakan kegalauan Aini saat ini.
"Cobalah lebih tenang, Ain.. semua butuh proses,"
tandas Sonya lalu mengambil bolpain mencatat pesanan.
Aini mengedar pandangannya menyaksikan kesibukan
restoran oleh pelayan berlalu lalang melayani
pengunjung. Dan, tak sengaja ia menangkap seseorang di
sudut kiri dekat jendela.
"Virdose!" gumannya dan sedikit terdengar oleh Sonya,
"Ain, lu bilang apa. lu nyebut seseorang?" tanya Sonya
heran, dia mengikuti arah pandang Aini, namun Sonya
juga gak tau sebenarnya Aini sedang melihat apa.
"Son. Sebentar ya? aku ke sana dulu," Aini bangkit tanpa
menunggu jawaban Sonya, ia melangkah perlahan ke
arah jendela dan berdiri anggun di hadapan seseorang itu
sedang memainkan hp-nya
"Ekhem," dehemnya melipat tangan di dada. Sejenak
saling menatap antara iya atau enggak.
"Ai ... ni? kamu Aini?" katanya pangling. Laki-laki itu
bangun beranjak dua langkah ke depan Aini sambil
tersenyum lebar.
"Serius banget, padahal aku dari tadi loh," cicit Aini
menggoda. Mereka saling berjabat tangan dan
memyuruh Aini duduk. Aini tidak menolak menerima
dengan sambutan hangat.
"Masak sih. Tapi bener, aku pangling banget loh, liat
kamu berpenampilan kayak gini. Ternyata di desa ama di
kota beda ya, casing kamu?" kata dia memandang Aini
memuja.
"Biasa aja kali' Vir? eh kamu ama siapa sih. Kok
sendirian," Aini berkata sambil melihat sekeliling mencari
mungkin ada seseorang bersama laki-laki ternyata
Virdose mantan pacar terindah namun menyakitkan di
ujungmya.
"Vir, teman kamu lagi ke kamar mandi?" tambah Aini
yang belum juga di jawab oleh Virdose. Akhirnya Aini
melihat pria itu sedang menatapnya tak berkedip. Aini
tertegun dengan apa yang dilakukan Virdose. Dalam
benaknya, apa Virdose datang sendiri? ke tempat ini, gak
mungkin kan?
"Vir, hello.. Virdose?" Aini melambai tangan di depan
muka Virdose hingga membuat pria itu terbangun dan
menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Eh, iya Ain.. maaf aku... "
"Kamu kenapa... terpesona?" canda Aini makin membuat
Virdose salah tingkah.
Siiial, kenapa dia cantik banget. Perasaan bulan kemaren
biasa aja? apa mungkin pengaruh penampilan.
"Woi, Vir. Aku tanya kamu sama siapa?" kesal Aini gara-
gara Virdose belum menjawab pertanyaannya.
Pria itu mengulum senyum menunduk sebentar
mengaduk oreng jus dalam gelasnya.
"Aku sendiri Ain. Kebetulan aku dapat job di daerah sini,
jadi tiap hari aku makan siang di restoran ini. Kamu
sendiri juga?"
Aini mengangguk menjawab oo..
"Oyah, kebetulan aku sama teman Vir. Tuh, di sana."
jawab Aini menunjuk ke meja di mana Sonya sedang
duduk sendiri. Virdose menelengkan sedikit kepalanya
dan tampak seorang wanita sedang duduk sendiri tidak
jauh dari tempatnya
"Oiya, Vir. Aku ke sana dulu ya? kapan-kapan kita ngobrol
lagi," seru Aini hendak bangkit namun Virdose
memanggilnya lagi,
"Ain, tunggu," Aini duduk kembali dan menautkan alisnya
bingung
"Aku boleh save no kamu?" pinta Virdose menyerahkan
ponselnya pada Aini. Sejenak Aini menatap benda pipih
itu lalu berpindah ke muka Virdose. Laki-laki itu
tersenyum sambil mengisyaratkan silakan dengan sedikit
menggerakkan kepalanya.
Aini menerima ponsel itu dan segera menyimpan no
kontaknya tanpa ada rasa ragu sedikitpun. Setelah itu ia
bergegas pergi kembali ke Sonya.
"Ih, lu ke mana aja sih! nyebelin tau gak?" gerutu Sonya
melihat Aini baru balik padahal makanan sudah disajikan
dari tadi.
"Emang kenapa? kan lu bisa langsung makan." balas Aini
cuek. Ia meraih gelas berisi kopi pesanannya dan
menyeruputnya sedikit.
"Ya, gak enaklah. Ntar keduluan..." keluh Sonya namun
tidak dihiraukan oleh Aini. Sonya menghela nafas jengah
setiap kali ucapannya di tanggapin dengan wajah cuek.
Keduanya menyantap nasi goreng seafood lezat dengan
lahap tanpa saling berucap sepatah pun.
Saat keterdiaman mereka karena asiknya menikmati
hidangan suara telepon membuyarkan konsentrasi
keduanya. Aini menoleh pada ponselnya sedang
berdering dan menampilkan nama Meylani di layarnya. Ia
menaut alis meraih dan menatap sejenak.
"Siapa Ain. Kok gak diangkat," kata Sonya disela
kunyahannya. Aini tidak menjawab lalu menggeser layar
bening itu, "Ya, Mey. Knapa?" tanya Aini memegang
sebelah ponselnya di telinga, dan sebelah lagi mengaduk-
ngaduk nasi gorengnya.
"Apa urusannya sama kakak. Kan dia pergi urusan
sendiri?" ketusnya membuat Sonya melongo
"Hellah. Uda ah. Kakak males, laki kamu juga, kakak lagi
makan ni, uda ya? da.." Aini memutuskan sambungan
menaruh hp-nya kembali tanpa melihat Sonya yang
sedang heran menatapnya. Gadis itu menggeleng kepala
gak habis pikir.
Sehabis menerima telepon wajah Aini sedikit berubah.
Ada rasa kesal yang membuat auranya kecut. Gadis itu
belum mengajak Sonya berbicara begitu juga Sonya. Dia
memilih diam dari pada salah bertanya.
Hilir pengunjung terus berdatangan membuat suasana
sedikit riuh. Aini mengajak Sonya balik karena ia merasa
gak tahan dengan gerah akibat kebanyakan pengunjung.
Mereka menuju parkiran setelah Sonya menebus bill.
Dan saat di parkiran Aini dikejutkan dengan Virdose lagi,
"Ain!" panggilnya saat Aini hendak masuk ke mobil milik
Sonya. Ia menoleh dan mendapati Virdose melangkah
mendekatinya. Gaya cool dari dulu ke dulu belum hilang
dari Virdose. Kaus oblong ketat melekat membungkus
tubuh kekarnya hingga menampakkan lekuk atletisnya.
"Vir? belum pulang? balas Aini ketika Virsdose berada
berjarak satu meter darinya.
"Aku menunggu kamu, ini.. kamu lupa?" Virdose
menyerahkan sebuah bolpen milik Aini yang tertinggal
sewaktu ia datang ke meja Virdose menyapanya.
"Oh, iya.. makasih ya? padahal kamu gak perlu repot-
repot loh, nungguin aku hanya gara-gara ini? kan aku bisa
beli lain, Vir?" ucap Aini ramah dan terasa hangat di hati
Virdose. Pria itu tersenyum menawan menampakkan gigi
putihnya yang rapi.
"Oh, iya Vir, Kenalin. Ini teman aku Sonya? Son, Ini
Virdose sahabat aku sewaktu SMU dulu, kami juga
tinggal satu daerah." kata Aini menjelaskan pada Sonya.
Sonya tertegun melihat laki-laki tampan di hadapanya