lalu mengulur tangannya dan disambut ramah oleh
Virdose,
"Oke, Vir. Aku balik dulu ya? see u.." kata Aini melambai
pada Virdose dan hanya dibalas dengan senyum simpul
oleh pria itu. Hatinya berdesir setiap kali melihat senyum
Aini. Sonya menyetir perlahan meninggalkan parkiran
dan sosok tampan masih berdiri sampai mobil itu
menghilang dari pandangannya.
Virdose menggeleng kepala dan mengambil motornya
juga pergi meninggalkan tempat itu.
Dalam mobil Aini banyak diam, entah apa yang
dipikirkannya. Sonya beberapa kali meliriknya namun
Aini masih saja diam.
"Lu kenapa sih, Ain.. dari tadi diiiemmm aja." akhirnya
Sonya memberanikan diri bertanya. Ia gak sangup di
diemin berjam-jam apa lagi sama Aini.
Gadis berdarah bangsawan itu mendengkus pasrah lalu
menyenderkan kepalanya ke dingding jok.
"Meylani, Son." jawabnya singkat. Sonya menaut alis
"Ya, Meylani kenapa?" tanya Sonya jengah
"Suaminya lagi di sini ada sedikit urusan." Kata Aini
bernada lemas.
"Terus! hubungan sama lu apa!" imbuh Sonya lagi
"Itu dia? gua juga bingung, kenapa aku harus ke Hotel
untuk melihatnya, ada-ada aja,"
"What! lu seriiius dia ngomong gitu? ya buat apa
Ain.. dia kan ipar? cuali ada sesuatu yang dititip buat
ellu.."
"Ntah lah, Son. Aku juga bingung. Males bahas. Anterin
gua pulang. Gua mau istirahat." pungkas Aini mencoba
memejam matanya namun Sonya berkicau lagi
"By the way... Virdose tadi tampan juga? kalau gua
perhatiin, dia mantan ellu deh. Ya bukan sih!"
Aini mengulum senyum menatap jauh ke depan jalan.
"Iya kali'" singkatnya cuek membuat Sonya terkekeh.
"Seeriiius. Wah. Ketemu mantan nih!" ledek Sonya
senang. Aini memalingkan wajahnya ke arah jendela
malas menanggapi ocehan Sonya. Namun bukan Sonya
namanya kalau diam saja tanpa menggoda Aini habis-
habisan. Aini kesal dibuatnya hingga gadis itu buka suara
tentang alkisah semasa SMU itu.. Kisah yang berakhir
dengan penghianatan yang pada ujung-ujung demi
seorang wanita yang sedang bertaruh nyawa karena
penyakit kanker stadium akhir.
"Weess... berarti dia duda donk Ain!" cicitnya serius.
"Iyah. Emang kenapa!" jawab Aini santai
"Ya, engga sih.. cuma sayang aja? ganteng-ganteng uda
duda... hidup gak ada yang tau ya Ain. Semua berjalan
sesuai porosnya, contoh lu sama Victor! siapa yang tau
ke depan. Mana tau kalian beneran jodoh," jelasnya
panjang lebar. Aini melirik Sonya sekilas lalu menatap
jalan dari balik jemdela besar di depannya.
Sonya melarikan mobilnya di atas rata-rata dan pukul
tiga sore mereka tiba di kediaman Aini.
"Thankyou... gua duluan," ucap Aini sambil membuka
pintu.
"Sami-sami... awas, sang mantan mendekat. Jangan
sampai kepergok sama Victor! bisa-bisa besok kiamat,"
seru Sonya menggoda Aini lagi. Aini menoleh lagi
sebelum ia benar-benar keluar dari mobil Sonya,
"Apaaan sih lu! Ngacok aja, udah! sono pergi! da..." balas
Aini menutup pintu dan sempat terdengar sekilas suara
Sonya terbahak.
Aini melangkah membukakan pintu kosannya. Dan
sebelum ia masuk,
"Assalamualaikum..?" bariton itu mengejutkannya. Aini
menoleh di belakang sosok tinggi menjulang berdiri
dengan setelan kemeja putih celana jeans biru, sepatu
cat putih menandakan dia baru sampai. tersenyum kalem
membuat Aini heran. Sejenak lalu meleraikan
kekakuannya setelah orang itu menyatakan maksud
kedatangannya.
Suasana jadi canggung, mengobrol tanpa topik membuat
Aini semakin diserang rasa kantuk. Ia ingin tidur rebahan
di kasurnya, tapi tamunya belum juga pergi, akhirnya Aini
melayani dengan mood buruk.
Bab 20
"Emangnya kamu kemari ada urusan apa? kerja.." Aini
meneliti wajah pria berambut ceppak di hadapannya.
Yang ditatap senyam senyum gak jelas membuat Aini
mendengus kasar
"Ga juga sih kak. Aku janjian ketemuan sama kawan aku
yang baru balik dari Singapure," balasnya lempang. Aini
mengkerut kening mamandang suami adiknya yang
hampir satu jam lebih bertamu ke kosannya.
"Jadi.. kamu bela-belain demi itu?" kesal Aini meradang.
Gadis itu menghela nafas memalingkan wajahnya dari
pria bernama Halim Kusuma pria pilihan Meylani
keturunan terakhir dar Rafli Syahbandar.
"Ya, sekalian aku jalan-jalan juga si kak, Kan udah lama
aku gak ke Medan setelah dulu... "
"Setelah dulu kamu ketangkap ketahuan bandar
Narkoba, Gitu!"potong Aini bernada menekan. Ia
mendesis kurang senang bila mengingat profesi Halim
dulu. Dia juga gak yakin, kalau Halim sudah berhenti dari
pekerjaan haramnya itu.
Halim menaut alis memicing pada Aini. Batinnya mulai
terpancing ketika melihat Aini menyilang kakinya hingga
menambah keanggunan wanita itu.
Kecantikan kakak sedikit lebih ayu dari Meylani. Tapi aku
telat mengenal kakak.
"Sekarang apa rencana kamu, saya mau istirahat.
Pergilah temui kawan kamu itu, Lim," suruh Aini sedikit
ketus. Ia bangkit duluan keluar dari ruang tamu yang
mulai sumpek. Bagaimana tidak. Kedatangan Halim yang
tiba-tiba tanpa mengabarinya membuat Aini mau tak
mau menerima laki-laki itu bertamu. Yang lebih kesal
lagi, tingkah dan cara tatap Halim seolah ingin
menerkamnya.
"Ya, udah kak. Aku pamit ya?" Halim menjulur untuk
berjabat dengan Aini, awalnya gadis itu tidak sudi,
namun dia berfikir gak pantas juga ia bersikap sombong
seperti keluarganya yang lain. Gimana pun juga? Halim
sudah menjadi bagian dari Syahbandar, ya..meskipun
masih belum dianggap sama keluarganya, aka tetapi Aini
tidak mau ikutan. Apalagi dia juga sedang berdoa dan
berjuang agar dirinya berjodoh dengan Victor. Mungkin
dirinya lebih rumit, selain tidak sebangsawan? dia dan
Victor berbeda suku dan adat istiadat. Membayangkan
itu, jantung Aini berdenyut nyeri
Aini menutup pintu ketika dilihatnya Halim sudah
menghilang dari pandangannya. Ia menutup pintu lalu
melepas semua pakaiannya yang hanya bersisa tantop
dan celana so fahrensheit motiv bunga-bunga.
Menghempas dan merentang bebas melepas semua
kepenatannya.
baru sekejap mata ayu itu terpejam, sebuah notifikasi di
ponselnya berdering. Aini meraba nakas di samping
ranjangnya lalu mengambil hp-nya. Samar ia menatap
layar bening itu dan nama Victor tertera di situ.
"Malam ini aku akan menjemputmu selepas ba'da
magrib. Tidak ada alasan apalagi penolakan," Aini
tersentak dan reflek bangun terduduk tanpa
mengalihkan pandangan dari ponselnya,
Hem.. dia pikir dia siapa? sembarangan, maksa pulak lagi,
huff! Aini menghela nafas panjang selanjutnya ia melepar
benda pipih itu sembarangan di atas kasur lalu
menjatuhkan kembali tubuhnya terlentang pasrah,
namun mata ayu itu tak bisa terpejam lagi. Dia sibuk
memikirkan apa gerangan Victor menjemputnya, apa dia
akan membawaku ke Bar itu lagi? tidak. Aku tidak mau
pergi ke tempat haram itu!
****
Aku tidak akan tahan dengan rindu ini, karena sikap
dinginmu. Sebaliknya cinta bergelora tak kenal kata.
Sajak ini untukmu, izinkan aku melamarmu.
"Anggraini!"
Aini menoleh ketika sedang menutup pintunya, barusan
gadis itu dari luar mengambil sesuatu di samping kos-
kosannya, tiba-tiba bariton itu membuatnya berfikir..
membuka perlahan pintu yang belum tertutup rapat. Ia
menaut alis melihat sosok gagah berdiri dengan stelan
blazer hitam dilapisi kaos oblong putih polos. Seorang
pria berdiri tersenyum menawan dibawah sinar
rembulan.
"Virdose!"
Aini keluar dua langkah membentuk jarak satu meter
dengan sosok Virdose. Pria itu menatap takjub pada Aini
mantan kekasihnya,
"Kamu ... dari mana... "
"Aku melacak GPS kamu, aku ... sengaja, ini kejutan."
cicitnya malu-malu memasang gaya santai, Virdorse
mengantungi kedua tangannya dengan senyum tulus
menghias bibirnya.
"Tapi kenapa? dari tempat kamu ke mari kan jauh! kan
bisa besok Vir? gak harus malam-malam, terus kamu naik
apa nih," balas Aini melihat ke depan jalan tidak ada
kenderaan yang terpakir di sana. Victor terkekeh lalu
melangkah lebih dekat dengan Aini. Ia menunduk
menatap lembut gadis dengan tinggi hanya sebahunya.
"Aku naik ojek online, Ain. Aku jauh-jauh ke mari mau
ngajak kamu jalan-jalan, ini kan malam minggu Ain, mau
ya?" Ajak Victor berharap. Aini menyurutkan senyumnya
menatap wajah Virdose intens. Sedetik kemudian Aini
tersadar menormalkan keadaan. Mungkin saat ini
benaknya sedang bertanya-tanya, karena awalnya dia
menyambut Virdose sebagai tamu yang wajib ia jamu.
Namun suasana hatinya berubah, satu menit lagi Victor
akan datang menjemputnya, sementara dirinya belum
siap berdandan.
Aini mengulum senyum bergerak kesamping bersender di
tiang kosannya sambil memperhatikan Lelaki yang
pernah singgah di hatinya.
"Kamu lucu Vir. Emang anak ABG jalan-jalan malam
minggu?" kilahnya melipat kedua tangan di dada. Ia
berusaha tenang meskipun pikirannya kacau memikirkan
Victor.
"Yah, mungkin kita perlu mengulang masa itu, Ain.." deg..
Victor memicing meneliti reaksi wajah Aini. Gadis itu
memperbaiki gaya berdirinya memiring badan menatap
ke jalan.
"Masa itu sudah berlalu, Vir. Sekarang kita sudah dewasa
dengan langkah yang berbeda.. maaf Vir, Aku gak bisa."
Jawab Aini tersenyum getir, dan sontak membuat
Virdose memudarkan senyum di wajahnya. Pria itu
menatap sekejap Aini yang berdiri memiringkan dirinya
lalu menunduk.
"Yah.. kamu benar Ain, dari dulu juga tidak ada maaf
buatku, aku sadar itu," lirih Victor lemah membuat Aini
menahan nafas. Seandainya ia sanggup jujur orang yang
tidak ingin dia jumpai saat ini maka orang tersebut
adalah sosok yang sedang berdiri si sampingnya. Ia
bersikap ramah bukan berarti Virdose bebas
menemuinya kapan saja. Hanya sebatas sahabat itu
sudah lebih dari cukup mengingat rasa sakit di hatinya
dulu akibat Victor lebih memilih wanita lain demi dirinya,
dan torehan luka masih membekas hingga kini.
"Apa yang membuatmu ingin mengajakku dan
mengulang masa itu, bukan kah istrimu baru meninggal?
bahkan kuburannya saja masih basah," pungkas Aini
menohok hati pria itu.
"Ain"
Nafas pria itu sedikit memburu. Aini hanya diam
mematung melihatnya. Andai saja ia bisa mengusir
Virdose sekarang maka itu yang sangat ingin ia lakukan.
"Aku tau, Ain. Maaf aku sudah menggangu kamu. Aku ...
aku balik ya? Assalamualaikum.." laki-laki itu memohon
diri mundur dengan teratur. Aini menatap kepergian pria
tampan itu dengan hati berkecamuk. Jujur dia tidak ingin
terjebak lagi dengan Virdose, apalagi Virdose family
dekat dengan Halim, Bahkan mereka ternyata masih satu
darah. Huuf! bagaimana bisa ini terjadi..
Ain memutar badan hendak masuk, namun lagi-lagi
dirinya terganggu dengan kedatangan seseorang. Kali ini
tamu yang sedang ia tunggu-tunggu.
"Apa aku harus membawamu ke salon sekarang? atau
aku sendiri yang akan menghias wajah cantikmu,
Honny.." suara itu membuat langkahnya terhenti dan
melihat ke arah suara. Sosok tinggi berdiri menjulang
dengan gaya cool memamerkan senyum mautnya. Aini
menkerut kening melihat ketampanan kekasihnya malam
ini dengan setelan ala brad pit. Kemeja putih dilapisi jas
ketat menbalut tubuhnya.
"Bukankah kamu pernah bilang? kalau aku tidak perlu
cantik untuk orang lain?" balas Aini melangkah masuk ke
dalam kamarnya membiarkan Victor di luar. Namun
bukan Victor namanya rela diabaikan begitu saja, ia
mendorong pintu kamar Aini yang belum sempat di kunci
dari dalam menerobos masuk lalu menyergap Aini dari
belakang.
"Baiklah? kamu tidak perlu berdandan sebab aku akan
merusak dengan ini," Victor membalikan tubuh mungil
itu menghadapnya dan mencium bibir merah merekah
itu dalam. Tidak sampai disitu, pria itu memungut dan
melumat bibir Aini rakus. Aini menyambutnya dengan
membuka lebar mulutnya memberikan akses untuk
kekasihnya menyedot dan mencercap seisi mulutnya,
Emm... sebuah desah lolos dari mulut Aini dan semakin
membuat Victor bernafsu. Ia menambah ritme ciuman
lebih panas hingga Aini tercekat kehabisan oksigen.
Segera ia menepuk bahu kekar itu untuk menyadarkan
Victor.
"Sori.." ucap Victor menyatukan keningnya dengan Aini
sambil mengelus lembut sudut bibir Aini dengan ibu
jarinya,
Wajah Aini merah merona menunduk lalu mencubit kecil
pinggang Victor.
"Kamu siap-siap gih? aku ingin mengajakmu kesuatu
tempat, emm.." Victor memperhatikan punggung Aini
sejenak lalu ia keluar dari kamar Aini memberikan waktu
untuk kekasihnya berganti pakaian.
***
Victor membuka pintu untuk Aini. Sesaat, udara dingin
menyergap tubuhnya dan sedikit membuatnya
menggigil. Sejenak Aini terpaku menatap pemandangan
di depannya. Sudah hampir 3 tahun dia menginjak kaki di
kota ini. Namun belum pernah dirinya mendatangi
tempat seromantis ini,
"Kenapa! gak suka ya?" Victor melirik gadisnya diam saja,
Ia berfikir mungkin Aini tidak menyukai tempat yang
dipilihnya,
"Uh, gak.. suka, aku suka kok," Aini melebarkan
senyumnya hingga menapakkan deretan giginya yang
putih bersih. Kini giliran pria itu yang diam menatap
senyum itu begitu tulus untuknya. Jantungnya
bergemuruh setiap kali melihat senyum itu.
"Ya, sudah. Yuk," Victor menyerahkan tangannya untuk
dirangkul oleh Aini, dengan malu-malu dan rasa
canggung, Aini meraih tangan itu lalu berlenggang masuk
ke dalam sebuah restoran yang terkenal dengan pesona
malam dari lantai dua. Victor membawa Aini menaiki
tangga dan memilih tempat duduk di balkon luar agar
dapat menikmati pemandangan kerlipan lampu kota dan
semilir angin menyapa keduanya. Sesaat semua mata
tertuju pada mereka, bagaimana tidak? pasangan yang
sungguh luar biasa, gadis berbadan tinggi semampai
dengan gaun hitam membalut tubuhnya. Pria gagah dan
tampan dengan penampilan senada.
The Edge Restorant ada di dalam sebuah hotel
Combridge Hotel di daerah petisah menjadi pilihan Victor
untuk malam yang panjang. Ia menarik kursi untuk Aini
dan langsung di duduki oleh gadis pujaannya. Perasaan
Aini memuncah melahirkan kelenjar aneh mengalir
dalam darahnya. Selain Malam ini ia tampil cantik? Aini
terlihat elegan dengan gaun hitam hijab pasymina dililit
sempurna di lehernya hingga tereskpos bagian dada yang
membuat Victor berkali-kali menelan ludahnya.
"Sayang," panggilnya lembut
"Emm," Aini menatap Victor sekilas lalu menunduk lagi.
Hatinya berdesir seiring degub jantung dipacu lebih cepat
dari biasa.
Perlahan tangan lembutnya diraih dan diremas semakin
membuat gadis itu merona. Victor mengecup dalam
punggung tangan itu sambil melirik wajah kekasihnya
yang dipenuhi kemerah merahan.
"I love you, Ain. I love so much," ungkapnya bernada
tulus dan kilatan kerinduan terpancar dari sinar mata pria
itu. Aini mengulum senyum membiarkan tangannya
diremas dengan hujaman kecupan bertubi-tubi
"I love you to, Vic, I love you more," balas Aini lugas
tanpa hambatan. Sesaat Victor tertegun meneliti bibir
yang berucap barusan. Tiba-tiba hatinya berbunga-bunga
dengan senyum mengembang. Hampir dua bulan ia
menjalin hubungan, baru kali ini membalas kata-kata itu.
Aini yang terkenal cuek, dingin hampir setiap hari
mengabaikan ungkapan cinta dari Victor. Sungguh malam
ini adalah kejutan pada moment yang sudah diciptakan
sedemikian rupa oleh Victor. Aini memang bukan gadis
luar biasa, namun bukan juga dia tidak mencintai Victor,
hanya saja dia tidak suka mengumbar begitu saja kata-
kata yang menurutnya krusial sebelum ia menyakini
bahwasanya dirinya sudah benar-benar telah
memutuskan pilihann atas Victor. Dan malam ini, gadis
itu tidak akan menahan lagi akan gejolak perasaannya
selama ini. Yah, dia mencintai Victor, sangat mencintai
pria di hadapannya, pria tampan dengan kejeniusan di
atas rata-rata.
Victor berbinar dan terus mencium tangan Aini tanpa
henti,
"Thankyou honny? akhirnya aku lega," ucapnya menatap
Aini dengan mata berkaca,
"Hey, Vic. Are you oke? emm.." khawatir Aini ketika
melihat mata Victor berair. Ia tahu, kalau kekasihnya
sedang terharu, ia melepas genggaman Victor lalu
menangkup sebelah pipi Victor dengan tangannya.
"Kamu janji kan? gak ninggalin aku," Deg.. hati Aini bagai
diremas, entah kenapa kata-kata itu terasa menyakitkan
hati. Namun ia segera menepis segala kegundahan dalam
hatinya, dan ia juga sudah berjanji akan
memperjuangkan hubungannya, apapun yang terjadi.
"Ya, Vic. Aku janji. Aku akan selalu ada untukmu," Entah
dorongan dari mana, ia berani mengikrarkan janji yang
menurutnya adalah perjanjian buta. Iya? Aini
memantapkan keputusannya bahwa dia harus membuat
janji buta agar tidak lagi ada keraguan selama hubungan
itu tidak menunjukkan halangan. Ia tidak perduli lagi
dengan silsilah, karena saat ini ia ingin bahagia apapun
endingnya.
Victor melebarkan senyumnya lalu pria itu berdehem
sekedar menormalkan detak jantungnya karena seorang
pelayan datang membawa mereka dua piring steak dan
dua gelas minuman.
"Mari, selamat menikmati? ada lagi yang bisa kami
bantu?" kata pelayan wanita dengan pakaian seksi
tersenyum ramah.
"Emm.. tidak, terimakasih," jawab Aini ramah pula
"Kamu suka steak juga?" seru Victor memotong
steaknya. Aini melirik dan melipatkan tangannya di atas
meja. Gadis itu mengangumi ketampanan Victor malam
ini. Pria yang kini sering hadir dalam kerinduannya
terlihat gagah dan tampan bak dewa yunani. Bibir tipis
tergaris sempurna, mata elang dengan alis tebal, bulu
mata lentik membuat Aini memuja setiap kali
menyorotnya dengan tatapan liar.
"Selama makanan itu halal? aku juga gak suka milih-
milih," Aini menyeruput coklat hangat kesukaannya yang
sengaja ia pesan untuk mendoping tubuhnya agar tetap
segar.
"Emang, yang gak halal gimana sih, kok aku baru dengar?
bukannya semua makanan itu halal ya?" pungkas Victor
memicing wajah cantik di depannya.
"Ya, banyak? pastinya aku gak bisa sebutin donk? udah,
ah.. malas bahas,"
Victor terkekeh menutup mulutnya dengan punggung
tangannya, sepertinya ia sengaja? memancing Aini agar
gadis itu tidak bisa diam. Pastinya malam ini Victor
bahagia, apalagi mendapat balasan atas cintanya.
Victor menyesap kopi panasnya, ia juga bingung.
Harusnya malam ini ia tidak memesan kopi, karena
kebanyakan dari pasangan saat kencan istimewa, mereka
memesan wiski atau vodka. Tapi Victor tidak sedang
berkencan dengan gadis kota yang pergaulannya bebas.
Dia sedang mengencani seorang gadis bangsawan dari
Nanggroe, daerah yang kental dengan Syariat Islam. Tapi
dia bahagia, suasana baru sepanjang sejarah
percintaannya? Aini adalah wanita paling unik yang
membuatnya jatuh cinta terlalu dalam.
Aini ikut menyesap coklat hangatnya dengan nikmat,
sejenak ia menatap indahnya kerlipan lampu kota dari
lantai tak beratap. Tiba-tiba ia membayangkan wajah
ibunya, entah mengapa, suasana di langit lepas
mengingatnya akan belaian sang ibu yang pernah ia
rasakan. Slede-slede bayangan itu mengembara bebas
dalam ingatanya, ia menyandarkan kepalanya di kursi,
lslu terhenyak sesaat ketika irama smooth jazz
menenangkan batinnya. Victor memicing memperhatikan
perubahan aura sang kekasih.
Malam ini amat panjang, hingga keduanya terlena, tidak
banyak berbicara, tapi saling mengangumi. Cinta terlalu
indah, semenjak pria itu mengenal sosok Aini. Hidupnya
goncang, ketika gadis itu membencinya gara-gara sebuah
bir. Victor merencanakan sesuatu, namun ia juga masih
bingung apa ending yang cocok untuk malam ini.
Bab 21
Aura malam kian sejuk memancarkan keindahan dan
binar kebahagiaan di wajah Victor. Senyum senantiasa
mengembang membuat Laki-laki itu terselimut rasa. Ia
memeta wajah cantik ayu nan lembut di hadapannya,
terus memuja dan takjub. Ainggaraini, gadis berdarah
Aceh yang dilahirkan dari rahim bangsawan yang kini
berhasil menjerat seorang Victor dalam pesonanya
hingga malam ini keduanya terikrar dalam sebuah janji
akan selalu bersama apapun rintangan yang
membentang.
Victor menegakkan tubuh tegapnya sambil merogoh saku
jas mewahnya dengan menatap Aini tak berkedip.
"Ain," panggilnya lembut. Aini menyungging senyum
manis bahkan mengalahi rasa gula. Jantung Victor
berdegub dua kali lebih cepat dari biasanya,
Victor mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jasnya, lalu
bangkit memutar dan berlutut di depan Aini. Aini
tertegun, mengangga tak percaya melihat keberanian
Victor di depan khalayak ramai.
"Aini," panggilnya lagi lalu meraih kedua tangan Aini dan
mengecupnya sekilas.
"Will you marry me," Victor membuka sebuah kota
berwarna merah terang yang beirisi dua buah cincin
berlian berkilau. Lagi-lagi Aini mengangga dan
menggeleng kepalanya. Victor masih menatapnya penuh
harap membuat Aini bingung. Ia terjebak dalam dilema,
sungguh ia tidak menyangka kalau malam ini adalah
malam terindah yang tidak pernah ia bayangkan.
"Please? jawab aku," melas Victor lagi, hatinya deg-
gegkan. Yang ia bayangkan pertama adalah seandainya
Aini menolaknya maka hidupnya di ambang kehancuran.
Sedetik kemudian, Aini menarik nafas panjang,
menormalkan detak jantungnya, mengontrol sebisa
mungkin rasa takut dalam benaknya. Ia mengedarkan
pandangan dan bertabrakan dengan sepasang sejoli yang
juga sedang menikmati indahnya malam ini. Aini
mendapat senyuman manis dari wanita dan laki-laki itu,
dan dari situlah Aini menyakinkan bahwa ia harus
menerima Victor.
Aini menatap lembut wajah tampan yang masih
bersimpuh di hadapannya, ia menangkup lembut
gerahang keras itu dan mengerjab seumpama memberi
isyarat pada sang kekasih,
"Yes, I will," spontan senyum merekah di wajah tampan
Victor dengan binaran di mata elangnya. Tanpa
menunggu lagi, Victor mengambil satu cincin dan
menyematkan di jari manis Aini, setelah itu ia mengecup
dalam cincin itu dengan mata terpejam. Kelegaan
mengangga
"Thanks, I love you, Ain. I love you so much," sesaat Aini
terpaku, perdana dalam hidupnya ia dilamar begitu tulus
oleh seorang pria tampan seantero kampus.
Victor menyodorkan kotak berbentuk love itu pada Aini
dan diterima olehnya. Seketika jantungnya berdegub
kencang serasa ingin pindah dari tempatnya.
Victor menyerahkan jarinya untuk Aini, dan perlahan
gadis itu mengambil cincin itu dengan tangan bergetar
lalu menyematkan di jari kekasihnya, mereka saling
menatap tak ada yang berkedip,
"Aku janji, akan memetik bintang untukmu, meskipun
aku harus membangun tangga untuk meraih bulan
tersenyum di ketinggian langit Bangsawan. Kamu, tau?
cinta akan mendobrak benteng silsilah itu," Aini
mengerjab dalam tatapan elang itu membuatnya
lumpuh. Pernyataan itu menyuri konsentrasinya, tapi dia
juga bingung, momens ini baru di mulai untuk sebuah
pelanggaran akan peraturan Syahbandar. Ah, rasanya
Aini tak ingin kembali ke habitatnya yang sungguh
menoton. Hidup di lingkungan silsilah rasa mencerabut
kesadarannya akan sesuatu yang tidak ia mengerti
sampai detik ini.
Aini termenung dalam buaian Victor, sepertinya ia
sedang kehilangan rohnya. Apa yang dikatakan pria yang
telah melamarnya satu menit yang lalu, dia ingin
mendobrak benteng kokoh yang dibangun oleh
Syahbandar? dia siapa...
"Ain?" Victor menangkup pipi yang terbalut kerudung itu
lalu mendekatkan wajahnya dan mengecup lembut bibir
merah merekah itu. Aini mengadah menatap lekat lekuk
wajah Victor, dan sesaat kemudian mareka larut dalam
ciuman dan lumatan. Aini kehilangan segala
kesadarannya, lumatan itu terus menghipnotis dirinya
hingga ia memejam mata dan terbuai.
Malam semakin larut, angin kian berhenbus
menyampaikan udara yang sejuk.
"Are you oke, honny." ucap Victor lalu kembali duduk di
kursinya tanpa melepas tangan Aini. Sulit dilukiskan
malam ini terasa masih panjang, padahal alrloji di tangan
Aini sudah menunjukkan pukul 12 lewat 50 menit wib.
Sejengkal jarak mulai terasa jauh semenjak jari-jari itu
terselip janji bak pernikahan suci. Mereka saling
mengikat seolah sang pencipta telah merestui kisah yang
dibangun di atas larangan.
Rasa-rasanya menggelik dalam hati setiap kali Victor
mengucapkan kata cinta bertubi-tubi. Ia membayangkan
bila ini benar-benar terjadi, Victor siap menghadapi
ketajaman bola mata Rafli ayahnya Aini.
Udara semakin dingin, Aini tersenyum tipis dan lidahnya
sedikit kelu. suara musik semakin samar mengisyaratkan
kepekatan malam. Namun dua nyawa yang tersisa tidak
kunjung beranjak, hingga seorang pelayan datang
menyapa mereka.
"Permisi? tuan Victor kamar untuk anda sudah siap," Aini
melongos, ia memicing menatap Victor kemudian beralih
ke pelayan itu,
"Oke, terimakasih," jawab Victor salah tingkah. Ia melihat
Aini sedang menatapnya datar.
"Sayang, maaf malam ini kita .. kita.. bermalam di sini ya?
soalnya ... udah larut, kamu... "
"Ini juga bagian dari rencana?" ucap Aini me-roling
mataya pada Victor. Pria itu menggaruk kepalanya yang
tidak gatal terlihat bingung karena Aini
mengintimidasinya.
"Aku ga ... bermaksud, aku akan tidur di sofa, Ain..
please, jarak dari sini ke kota sedikit jauh. Aku mohon,
percaya padaku." Victor menyodong sedikit tubuhnya
menyakinkan Aini dengan jurus andalannya, memohon
dan merengek seperti anak kecil. Aini mendengus kasar,
serasa malam ini menjadi malam penutup kegadisannya.
"Kamu yakin, bila sekamar dengan yang bukan
mahromnya tidak akan terjadi apa-apa?" cicit Aini
menohok Victor. Pria itu tertegun, semur-umur ia tidak
pernah diingatkan oleh wanita manapun, malah.
Sebagian dari mereka dengan senang hati menghabiskan
malam hingga pagi di atas ranjang dengannya. Ia benar-
benar menemukan sesuatu yang langka, hari gini masih
ada gadis yang takut di nodai?
Victor tersenyum smirk membuat Aini mengidik takut.
Dia gadis desa, sudah pasti tabu dengan kehidupan
malam. Apalagi harus menginap di hotel satu kamar
dengan pria yang bukan suaminya, mungkin bagi Victor
itu hal yang biasa, tapi tidak bagi Aini. Ia menolak dengan
cara halus ajakan Victor.
"Kamu yakin? gak menodai aku. Yakin, bahwa setan tidak
aka ikut campur? Vic. Aku tidak keberatan kalau kamu
sendiri menyakini itu," tandas Aini mengintip wajah
kekasihnya sedang menunduk. Memang sih? tidak ada
yang sangup melawan itu, tapi Victor juga tidak mampu
berjanji apalagi menyakini, tapi dia kekeh untuk
mengajak Aini bermalam bersamanya malam ini.
Ia mengerti maksud ucapan Aini, dan dengan leluasa dan
menyakini itu,
"Aku yakin, Ain. Aku janji tidak akan menyentuh kamu
sayang, percaya padaku, emm.."
Aini memejam mata, membayangkan malam ini begitu
berat baginya. Ia sadar ini kehidupan kota, mungkin
bercinta seperti ini sudah hal yang biasa. Sejenak ia
menormalkan sensasi lain dalam tubuhnya, lalu
mengangguk pasrah. Victor berbinar bangkit meraih
bahu gadis itu segera membawanya ke kamar hotel yang
tidak terlalu jauh dari restoran.
Victor membuka pintu mempersilakan Aini masuk.
Perlahan setapak demi setapak gadis itu melangkah
sambil memperhatikan dekor kamar dan kemewahan
perangkap di dalamnya. Ia berdiri kaku sambil memeluk
dompet besarnya, enggan dan takut, itu yang
dirasakannya saat ini.
"Ain, kamu tidur di ranjang, aku akan tidur di sofa ini,"
kata Victor menghempas tubuhnya di sofa berwarna biru
laut setelah mengkunci pintu. Dia sedang berjuang untuk
tidak berdekatan dengan Aini, dan tidak ingin melirik
sekejabpun
Aini mendaratkan bokongnya di ranjang dengan ragu-
ragu. Dadanya berdebar keras, jantung menghentak
kuat. Ranjang king size dilapisi selimut putih dan empat
bantal tertata rapi dengan aroma lavender sejati. Ia
memejam mata lalu berbaring membelakangi Victor agar
tidak terpancing suasana. Diraihnya selimut putih bersih
itu lalu menutup tubuhnya hingga batas leher. Sejam
kemudian, ia terlelap damai.
Di sofa, Victor bergerak gelisah membetulkan posisi
tidurnya yang belum menemukan kenyamanan, belum
lagi gairanya mulai terpancing. Adik kecilnya menggeliat
membuat pembungkusnya sesak. Ia sudah gak tahan,
namun tetap menahan demi janji yang sudah ia sepakati.
Duduk memandang gadis pujaannya, ia melepas jasnya,
seketika hawa pendingin menampar tubuhnya,
Shitt. Ia mengupat lalu bangkit berjalan mondar mandir
kayak gosaan. Sesekali ia menatap wajah Aini, dan bibir
itu membuatnya kian candu. Ingin rasanya menerkam
gadis itu dan menjelajah tubuh langsing di bawah selimut
itu.
Arrghhhrrrr....
Victor menjambak rambutnya hingga acak-acakan.
Penampilannya betul-betul kacau. Menghempas kembali
tubuhnya berbaring pasrah menganggkang lebar-lebar
membiarkan dirinya tak berdaya dengan sibuyueng
mengeras menumbuk dingding pertahanannya
Malam telah beranjak, hampir menepi menjemput pagi.
Antara terpejam, mata elang itu menah untuk tidak
melihat ke ranjang, di mana Aini tertidur damai, wajah
ayu, bibir berkilat seolah terus menarik nafsu Victor
Walidin. Resah, menggeram sendiri hingga azan subuh
terdengar samar-samar
Bab 22
Aini menggeliat dalam selimut. Gadis itu merasakan
himpitan tubuhnya terasa sesak. Ia mengerjab
menyamarkan pencahayaan. Dan, dia tersentak kecil
ketika melihat tangan kekar melingkar di perutnya.
Nafasnya memburu menahan sesak. Hal yang tidak
pernah terjadi membuat gadis itu gerah dipeluk erat
seperti itu.
Perlahan dia mengangkat dan memindah, dan berusaha
bergeser dari dekapan pria yang telah melamarnya
semalam. Namun, sepertinya Victor menyadari apa yang
dilakukan Aini.
"Ain, aku mohon biarkan begini, aku kangen
memelukmu," kata Victor berbisik di tekuk Aini. Gadis itu
memejam mata merasakan seluruh tubuhnya meremang.
Bersusah payah ia melawan gejolak rasa takut ketika
Victor merapatkan tubuhnya dengan Aini. Aini menelan
ludah, mengigit bibirnya untuk melawan rasukan birahi
dalam dirinya.
Remangan lampu di atas nakas sedikit memberi suasana
romantis, meskipun Aini tidak menganggap itu. Victor
telah melanggar janjinya untuk tidak menyentuhnya.
Memang Aini tidak marah. Namun saat ini ia ketakutan.
Pikirannya mulai liar membayangkan sesuatu akan terjadi
padanya.
"Ain.." desah Victor memanggil namanya tepat di antara
daun telingan bagian leher belakang. Bagian paling
sensitiv bagi seorang wanita. Aini bergerak ingin
membuat jarak dengan Victor. Lagi-lagi Victor meraih
tubuh mungil itu ke dalam pelukannya, kali ini lebih erat
hingga Aini merasakan sesuatu keras mengenai
bokongnya. Dia mengerjab gelisah, melawan pasrah.
Otaknya mendekati blank, tapi ia berjuang mempertahan
tingkat kesadarannya. Bagaimana mungkin ini terjadi,
seandainya ia bersikeras menolak ajakan Victor untuk
bermalam di Hotel.
Aini melirik Arloji di tangannya sudah pukul 7 pagi. Ia
melewatkan kewajibannya sebagai umat muslim yaitu
sholat subuh. Malah sekarang ia tidur dengan laki-laki
yang bukan dengan mahromnya. Kali ini ia sedikit kasar.
Memaksa diri untuk keluar dari kunkungan Victor dan
terlepas.
"Vic. Ayo kita pulang. Ini sudah jam 7 pagi. Aku harus
pulang, Vic."
Aini berhasil turun dari ranjang, dan berdiri menatap
Victor yang mengubah posisi tidurnya menjadi telentang.
Jantung Aini dipacu kuat ketika tidak sengaja ia melihat
gundukan di bawah perut Victor mengacung keras.
Reflek ia mengelus dadanya memalingkan wajah ke
dingding. Victor sengaja mengintip dengan ekor mata
dan terkekeh dalam hati melihat kepolosan wantitanya.
"Bentar lagi, Ain... aku masih ngantuk banget?" ucap
Victor dengan mata terpejam. Pria itu mulai memainkan
akal bulusnya untuk memancing Aini.
"Tapi, aku mau pulang cepat, Vic? kamunkan bisa lanjut
tidur di rumah?" balas Aini memelas. Suaranya merdu
semakin memancing gairah Victor. Dia membuka mata
memaksa netra memandang Aini yang kini duduk di sofa.
Victor memperhatikan wajah gadis itu pucat, dan
ketakutan. Ia bangun berdiri mendarat di samping Aini.
"Kamu kenapa? kok ketakutan gitu? tenang sayang... aku
gak ngapa-ngapain kamu kok? kan aku cuma meluk
doank. Masak gak boleh," bujuknya lembut. Victor
merapikan kerudung Aini yang sedikit kusut dengan
menyibak ke belakang. Penampilan keduanya memang
kusut. Karena mereka tidak menggantikan custum tidur.
Mereka kan tidak berniat tidur di hotel? lantas apa yang
harus diganti!
"Aku ... aku gak takut kok. Kamu kan juga udah janji? gak
deket-deket," kata Aini polos. Seketika Victor tergelak
mengetahui yang sebenarnya Anggraini. Jadi, dia cuek
selama ini dengan keadaan untuk menutupi
kepolosannya? Victor tertawa gelik membuat pipi Aini
merah merona menahan malu.
"Aini .. Aini. Kamu lucu ya? mana ada laki-laki yang
sangup tahan gak deket-deket dengan wanita yang
dicintainya? apalagi kamu. Kamu udah buat aku gak
berdaya Ain?" Victor meraih dagu belah itu
menghadapnya. Ia meneliti setiap inci kecantikan wanita
bangsawan yang telah berhasil meluluh lantakan
kerasnya hati. Membuatnya bertekuk hingga
membawanya pada momens lamaran. Ratusan wanita
yang sudah dikencaninya, namun tidak berarti bagi
Victor. Dia hanya menikmati one nigth lalu
mencampakkan begitu saja. Dan esok ia mencari lain.
Apakabarnya sekarang. Ia berhasil melawang letupan
gairahnya dengan tidak menodai Aini. Bukan tidak bisa.
Namun ia tidak mau melakukan bila Aini tidak
menginginkannya. Seberapa pun ia menggoda untuk
memancing gadis itu? tetap aja Aini menolak. Voctor
menghargai itu, dan sebaiknya ia menjaga kegadisan Aini
untuk persembahan di malam pertamanya nanti.
"Ain, aku janji tidak akan menodai kamu, bila kamu tidak
menginginkannya. Percayalah. Aku mencintaimu,
sungguh-sungguh." ungkap Victor mengelus sudut bibir
gadis itu. Aini mengerjab sambil sesekali menggigit
bibirnya. Sesaat mereka saling menatap dan perlahan
Victor mendekatkan wajahnya kemudian memungut
bibir ranum itu. Aini membuka mulutnya memberi akses
untuk Victor memainkan lidahnya. Decakan terdengar
syahdu, semakin dalam ia mengulum lidah Aini meneguk
saliva pagi tanpa rasa jijik sedikitpun.
Aumm... suara itu lolos dari Aini sendiri, ia terlena,
terbuai dengan permainan Victor. Matanya terpejam
menikmati lumatan dasyat dari seorang penikmat cinta.
Tidak ada niat berhenti keduanya saling mengalung
mempererat ciuman. Victor mulsi aktif meraba pinggang
dan bokong Aini. Diam. Ya, Aini diam saja membiarkan
Victor membuka pengikat kerudungnya, kemudian
ditariknya perlahan hingga benar-benar terlepas.
Belaian sejenak di rambut panjang Aini tanpa melepas
lumatan masing-masing. Entah apa yang merasuki diri
Aini hingga ia lupa akan pendiriannya. Ungkapan cinta
yang bertubi-tubi dari Victor membuat gadis itu
tersanjung sampai-sampai tidak menyadari kalau
sekarang Victor sedang mengelus bukit kembarnya.
Victor twrus menyerang gadis itu dan dia juga
merebahkan perlahan tubuh Aini di sofa menindih, dan
menghujam rakus leher wanita itu. Ia menghirup aroma
vanila dari kulit putih bersih Aini memberi tanda kiss
mark di beberapa titik.
"Vic. Stop," katanya menahan nafas dan menjambat
rambut pria itu. Ia mengadak kekiri dan kekanan
merasakan kenikmatan sentuhan, belaian bibir Victor di
bagian dadanya.
"Vic. Aku mohon, stop." ulangnya lagi, namun matanya
masih terpejam. Victor melirik sekilas lalu menyungging
senyum devil. Hatinya gelik melihat kepolosan Aini. Dia
juga bahagia ketika mengetahui gaun yang membalut
tubuh kekasihnya terdapat resleting dari depan. Tanpa
menunggu lagi ia melancarkan serangannya dengan
menurunkan perlahan sampai terbuka dan
memperlihatkan belahan indah terbungkus ranum.
Awalnya pria itu cuma mengecup belahan itu, namun
lama-lama ia gak tahan dengan aroma vanilla lembut
yang mulai menggoda birahinya.
"Vic." Panggil Aini berkali-kali. Namun Victor seperti
menulikan pendengarannya. Ia berhasil mengulum bukit
itu dan menyesap nepel berwarna pink milik Aini. Aini
mengelinjang tak karuan ketika Victor menggigit sedikit
pucuk bukitnya.
Emm... Vic, tolong. gumannya tak terdengar oleh Victor.
Dia tak kuasa lagi, kecanduannya pada tubuh Aini kian
membuatnya mabuk. Meraup rakus dua gundukan itu
dan memainkan lidahnya tanpa henti. Sesekali ia melirik
wajah Aini yang mengadah mendesah prustasi.
Victor bergerak lihai membuka kancing penutup busana
Aini hingga merosot ke bawah. Menatap takjub pada
kemolekan tubuh kekasihnya dengan kilatan gairah
terpancar dari mata elangnya.
"Kamu akan mengingkari janjimu, Vic." dalam setengah
sadar, Aini mengingatkan Victor walaupun dirinya tidak
berusaha menolak. Dia membiarkan Victor menjamah
seluruh tubuhnya, namun bukan berarti ia rela di nodai.
Ia cukup sadar diri. Sebagai wanita tidak punya kekuatan
melawan hasrat, apalagi memberontak dalam keadaan
telanjang seperti sekarang ini.
"Sayang, percaya sama aku, aku mencintaimu Ain?
apapun yang terjadi," balas Victor menyakinkan Aini.
Hingga pada titik pasrah, Aini trus mengontrol
kesadarannya. Dirinya tidak lagi mendesah meskipun
Victor terus mengecup tubuhnya. Pikiran fantasy bebas
bukan pada pusat kenikmatan. Melainkan bayangan
kehancuran segara menjemputnya. Ia memejam mata
dan setitik bulir menyusuri pipinya. Victor yang
menyaksikan kelamnya wajah sang kekasih menjeda
menatap dengan hati bagai diremas sakit.
"Honny, Don't cry, I won't hurt you? please.. Ain..
maafkan aku," Victor merangkak menyatukan keningnya
dengan Aini sambil mencium kening itu brusaha
menenangkan kekacauan dalam hati Aini.
"Aku gak tau, Vic. Harus senang atau sedih. Yang aku
bayangkan, aku akan menjadi wanita terhina di hadapan
para leluhurku yang mungkin sekarang sedang
mnyaksikan kenistaanku," lirih Aini menusuk jantung
Victor. Ia menatap pasrah pada sebening wajah yang kini
terselimuti kesedihan. Inikah sebenarnya wanita? pikir
Victor. Ia membuka lebar-lebar cakrawalanya, berfikir
dengan tenang dan bahagia. Sungguh berharaganya
wanita yang sedang ditindihnya saat ini. Rela
membiarkan tubuhnya dijamah, namun menangisi harga
dirinya. Terus! bagaimana dengan wanita-wanita yang
sudah dikencaninya hingga spanjang malam mencapai
klimaks. Apa mereka tidak ada harga diri? Victor me-
roling matanya mencari sesuatu yang tidak mungkin bisa
ia temukan di wajah Aini. Gadis itu sedang pasrah,
menyerah pada keadaan.
"Apa kamu ... masih perawan, Ain." tanya Victor ragu. Ia
memandang lembut wajah ayu nan jelita. Aini tersenyum
putus asa.
"Jadi kamu berani melakukan itu karena anggapan status
perawan atau gak."
Victor menutup kembali hidangan lezatnya dan
merapikan gaun hitam polos di tubuh Aini. Sebelum
menjawab, ia merangkul hati-hati bahu Aini menduduki
di sampingnya.
"Aku tau, aku pria bangsat. Tapi juga aku menghormati
mahkota berharga yang masih utuh. Tidak mungkin kamu
menangis kalau bukan karena itu, kan?" cicit Victor
mencolek hidung Aini. Gadis itu mengulum senyum.
Beginikah sebuah hubungan? taruhannya sebuah
mahkota yang seharusnya berharga di malam pertama
yang sakral, batin Aini.
"Kamu pria pertama yang berhasil menjamah tubuhku,
Vic. Aku bukan wanita bebas. Leluhurku mengajariku
etika bergaul. Berkat itu? sampai sekarang aku masih
suci. Kuharap kamu tidak kecewa," Terang Aini tanpa
melihat yang di samping. Victor terhenyak, kagum pada
pendirian Aini. Tidak menolak kasar, namun terselip
ketakutan dan kesedihan.
"Aku beruntung Ain, tapi seandainya kelak nanti kamu
bukan jodoh aku, bukan hanya kecewa, mungkin aku
akan mati lebih cepat dari perkiraan tuhan," paparnya
menunduk lalu membawa Aini ke pundaknya.
"Kamu yakin? akan mampu memperjuangkan hubungan
kita, sementara kamu sendiri terikat dengan kesilsilahan,
Ain. Aku gak tahu berapa tebal dingding itu untuk
mampu kuterobos," imbuhnya bernada lemas. Aini
mengangkat kepalanya menatap sayu wajah tampan itu
dengan hati tertusuk sembilu.
"Vic. Jodoh itu ada pada kekuatan cinta. Mungkin kita
bisa sama-sama berjanji, namun jodoh itu rahasia Tuhan,
Vic. Tugas kita menjalani, mengupaya yang terbaik.
Percayalah. Ini masih panjang," Kias Aini mencoba
menenangkan keresahan sang kekasih. Dan, Victor
kembali tertegun pada Aini. Ia mengangkat tangannya
menyelip beberapa helai rambut Aini ke balik telinga.
"Kamu benar, Ain. Jodoh itu rahasia, tapi aku pinta, kamu
tidak merahasiakan hubungan kita pada keluargamu. Dan
aku menunggu momens wisuda nanti. Keluarga kamu
akan datang kan?" harap Victor mengecup tangan Aini
brtubi-tubi. Harapan itu meresahkan batin Aini. Gadis itu
bungkam seolah kehabisan kata-kata. Bagaimana
mungkin ia membeberkan hubungannya dengan Victor
pada Rafli. Kalaupun itu ia paksakan, hal yang akan
terjadi adalah pengusiran, atau lebih kejam dari itu,
mungkin Rafli akan menggorok lehernya di tempat.
"Yaa.. akan kulakukan," ucapnya kaku, termenung dalam
kurungan mata elang milik Victor
Kisah yang smakin rumit, di saat ia mulai serius. Kenapa
di saat dirinya menemukan tambatan hati justru dia juga
harus berhadapan dengan peraturan silsilah. Apakah
tidak ada cara lain yang lebih sederhana agar dirinya
leluasa menjalani hidup seperti kebanyakan orang.
Bab 23
"Tet. Kayaknya ada yang baru di lamar ni! kesemsem
gitu?.. ha ha ha..." sorak Sonya memancing suasana. Aini
menaut alis melihat Sonya seperti orang kesambet.
"Yah. Serius wak. Siapa rupanya? kok gak nyampek
undangan ke kita," balas Farida menyuap bakso untuk
dirinya sendiri. Sonya tergelak melihat wajah Aini
tersenyum kecut.
"Itulah, Tet. Gua juga mikir gitu.. lamaran biasanya kan
rame-rame yak. Tapi kok sepi ya.." ledek Sonya lagi
membuat Aini gerah. Namun, Aini bukanlah wanita
baperan yang suka terpancing dengan ujaran kedua
sahabatnya. Dia memilih diam seolah buli itu bukan
untuknya.
"Iya ni, Aini. Gak ngabar-ngabar lagi, tau-tau dah di
lamar–aja?" Farida mengunyah bakso dalam mulutnya
tanpa melihat Aini. Aini yang merasa namanya disebut,
melirik sekilas.
"Kok gua. Kalian ngomongin gua?!" tangap Aini cuek. Dia
sadar? dirinya sedang di ledekin! ya.. Aini sengaja
menulikan telinganya–kaedah bukan dirinya yang sedang
dibahas kedua perempuan resek itu
Sonya menatap Farida, dan Farida mengidik bahu.
Keduanya kesel akibat Aini gak merasa di buli.
"Ya, iya lah ellu! emang siapa lagi di sini yang lagi berkilau
jari maisnya. Gak mungkin si butet 'kan.. dia aja gak ada
yang naksirin–" beo Sonya membuat Farida keseleg.
"Sembarangan kalau ngomong. Eh, gua bukan gak ada
naksir! tapi gua aja yang gak demen pacaran. Emang lu..
kerjaan tepe-tepe mlulu. Gak jellas." marah Farida
membuat Aini terkekeh. Memang jurus cuek itu selalu
bisa nyelamatin dirinya sendiri. Buktinya? buli itu
membal ke mereka berdua.
"Hah. Tepe-tepe? apa tuh, kok gua ga pernah dengar!"
Sonya menyengir gak mengerti. Gadis itu menaruh
sendok dan garpu menunggu penjelasan.
"Lah. gitu aja gak tau! katanya gaul? tepe-tepe itu–
artinya ... tebar pesona Sonya Felida!! ih, kuper banget
sih lu." Kata Butet dengan mulut mendesis. Kedua mata
Sonya melotot, mulut terbuka. Aini Terkekeh tanpa
mengeluar suara melihat dua manusia astral tersandung
bahasa istilah.
"Dia bukan kuper, Far. Tapi katrok." tambah Aini
kesempatan membalas ledekan. Sonya mengomel lanjut
memakan bakso dalam mangkoknya. Tujuan membuli
Aini, eh malah balik ke diri sendiri. Kalau dipikir-pikir?
menurut Aini, Sonya cocoknya jadi tukang kepo, atau
masuk ke tim perundungan. Secara? dia kan resek. Suka
nyebarin informasi. Saking ngebetnya ingin tau yang
begituan! akhirnya lari ke ghibah. Heran gak sih. Aini mah
udah gak peduli? sisi baiknya patut dipertahankan.
Urusan profesinya sebagai tukang kepo? urusan Sonya
sendiri.
"Emang lu serius, Ain.. di lamar Victor?" tanya Farida
ingin tau. Gayanya agak beda dengan Sonya. Farida
punya jurus santai agar Aini mau buka suara.
Aini mengintip Farida sedang menyeruput kopinya. Itu
lagi? batinnya.
"Bee... kepo juga ko kan. Makanya ... jadi orang itu
jangan sok jaim..." nyeplok Sonya memperkeruh
suasana.
"Gua kepo ... bukan membuli!" ketus Farida menyicip sisa
kuah dalam mangkoknya.
"Lu nambah napa? kelaparan lu..." nyelip Aini sengaja.
Pasalnya ia tidak berniat menjawab pertanyaan Farida.
Makanya dia mengalihkan topik. Sayangnya–butet gak
kepancing.
"Konyang. Dah, sekarang jelasin. Lu benaran di lamar?"
desak Farida mengintrogasi Aini lagi.l Gadis berdarah
bangsawan itu salah tingkah. Mau jawab ia.. apa itu
namanya di lamar? terus kalau jawab engga–cincin di jari
manisnya sebagai apa? sebenarnya dia bukan maksud
menghindar. Tapi, Aini merasa malu harus menjawab
apa?
"Apa kalau di pasangin cincin gini–lamaran? Gua gak
ngerti!" balasnya ambigu. Sonya mendengus kasar
sampai mengetok kepalanya.
"Iihh... lu tu bodoh apa begok sih, Ain. Ya, iyalah itu
dilamar! emang kalau bukan, apa tu namanya. Lu lagi gak
ulang tahun kan!" kesal Sonya menyondong sedikit
wajahnya ke depan Aini. Aini mengulum senyum polos
menambah tensi geram di otak Sonya.
"Deal donk." ucap Farida.
"Deal? apaan?" saut Aini bingung. Dia memicing menatap
kedua gadis penyandang seregar itu gak habis pikir.
"Ya, deal dilamar lah. Apa lagi. Lu gak usah pura-pura
dungu napa, Ain. Toh, juga udah terjadi. Santai aja..
jalani, nikmati? ye.." terang Farida lagi. Dia meneguk air
meneral dalam botol lalu bersendawa dengan mulut
monyong mengeluarkan gas beracun ke depan Aini.
"Ih, jorok banget sih, lu? crocodil tau gak." ngomel Aini
langsung menutup hidungnya. Bau bakso menyeruak dari
mulut Farida.
"Ntah. Gak sopan banget lagi. Udah, ah. Kita cabut yuk.
Bentar lagi kelasnya Victor nih. Males banget gua kenak
semprot kalau telat. Lu tet. Back rumah, apa ke Biro?"
kata Sonya melirik Farida.
"Crocodil. Ya balik ke habitatnya lah. Ke mana lagi?"
canda Aini tajam. Sonya membelalakkan matanya
mendengar candaan Aini yang tidak biasanya. Setelah itu
ia tergelak besar. Seisi kantin menyuri perhatian. Tiga
gadis cantik itu jadi bahan omongan. Mereka
mengabaikan itu, lalu bergegas pergi dari kantin karena
sebentar lagi asisten dosen, calon suami Aini masuk. Kata
Sonya. Gadis itu sering kesal karena tingkah Victor yang
sok paten di depan kelas. Bergaya seolah-olah. Yang
sebenarnya kebaperan oleh Aini. Kalau sudah begitu?
Sonya jadi bahan pertanyaan Victor setiap habis
menjelaskan materinya.
Aini beriringan dengan Sonya menuju gedung c tempat
mereka akan belajar. Keduanya mendekap dua buah
buku tebal tentang hukum publish. Saling bercerita tidak
sadar mereka sudah di depan pintu,
"Ekhem.."
Deheman itu menghentikan langkah Aini dan Sonya.
Seketika jantung Aini ingin pindah dari tempatnya.
"Kalian tau kan. Hukuman kalau telat." kata sosok sedang
berdiri bersedekap di depan pintu. Kedua gadis itu saling
menatap, lalu Sonya mengidik bahu menerobos ke dalam
meninggalkan Aini sendirian.
"Apaan sih, kamu? Blagu banget." balas Aini tak lama
setelah Sonya pergi. Ia menyungging senyum manis
membuat Victor melongos. Aini memperhatikan gaya
kekasihnya dengan setelan kebapakan. Kemeja putih
celana jeans hitam sepatu pantofel hitam mengkilat.
Kayak mau nikah aja? batin Aini
"Apa katamu? aku blagu. Aku bukan Blagu, Ain.."
"Terus! apa?" jawab Aini mengkerut kening. Ia memicing
menunggu tanggapan kekasihnya. Victor menyeringai
devil mendekatkan sedikit wajah ke telinga Aini.
"Aku kebaperan karena kangen kamu," ekspresi Aini
berubah menjadi merah merona. Setelah berkata Victor
pergi gitu aja masuk ke dalam kelas. Gadis itu
menggeleng kepala Victor pergi setelah meninggalkannya
sebuah godaan maut membuat dada gadis itu berdebar
kencang.
Aini menarik nafas panjang lalu memghembus kasar.
Setelah dirasa jantungnya normal gadis itu melangkah
masuk mencari bangku kosong. Dia melewati Sonya yang
sudah duluan duduk di bangku depan. Sonya berdehem
ketika Aini melintas di depannya dan mendapat jolakan
kepala dari Aini. Sonya tergelak menutup mulutnya
dengan sebuah buku. Bisa dikatakan, sekarang ia punya
hobby baru yaitu membuli dan menggoda Aini.
Aini mengeluarkan perlengkapan belajarnya. Gadis itu
selalu saja fokus bila sedang belajar. Tidak suka melirik
kiri kanan, tapi dirinya sedang diperhatikan seseorang.
Selain Bapak dosen tampan yang suka mencuri pandang
padanya? ada juga babang ganteng yang duduk di
pojokan. Dia memuja Aini dari kejauhan. Ingin rasa
pindah di samping gadis itu. Memandangnya tak
berkedip.
Aini lembut. Manis mengalahi rasa gula. Ayu, matanya
bulat kayak bola pimpong. Penampilannya selalu elegan.
Sopan dan anggun. Hanya Aini yang tampil muslimah
meskipun tidak hijaber. Hari ini Aini memakai busana
tunik berwarna pink sofe. Rok kulot sedikit ngepas.
Kerudung pashmina menjadi andalan untul menambah
kesempurnaan penampilannya.
"Anggraini.. coba kamu jelaskan apa definisi dari hukum
publik. Yang lain, tolong disimak karena saya tidak
mengulang lagi" suara Victor dari depan mengarah
padanya.
Aini menatap datar sosok dosen killer menurut teman-
temannya yang lain. Setalah itu ia menarik nafas dan
menjelaskan tentang apa itu hukum publik.
Tidak ada yang tertinggal. Aini mendikte setiap
penjelasan dan segera di catat oleh teman-temannya.
Beda dengan Sonya. Gadis itu senyum-senyum sendiri
merasa gelik melihat Aini menjadi sasaran Victor akhir-
akhir ini.
Bab 24
Ternyata kisah ini bukan tentang kita dan perbedaan itu.
Ada dia tiba-tiba hadir dari masa lalumu. Terus, aku
harus apa? mungkin ini jalan, tidak usah dipaksakan.
Setiap orang pastinya punya masa lalu. Namun seberapa
kelamnya perjalanan seseorang pada masa itu? itu hak
dan privasinya. Seberapapun kita dekat. Maka masa lalu
tetap lembaran yang sudah ditutup dengan alasan 'Dulu'.
Terus, selama itu tidak menggangu lembaran baru?
otomatis aman-aman saja. Tapi, bagaimana seandainya
seseorang di masa lalu hadir dan menjadi momok di
masa depan? sebaiknya, itu diperjelas. Agar tidak
menimbulkan perselisihan.
"Jadi, ini... cewek kampungan yang sudah merebut Victor
dariku, beb? kok dekil sekali! apa cewek Medan udah
pada buruk rupa semua.. sampai Victor menyukai gadis
kampungan? wah. wah. Pasti ada yang salah ini, Feb."
Salsa mendesis menatap hina pada Aini. Gadis itu berdiri
angkuh di hadapan Aini dengan melipat kedua
tangannya. Wajah menor dipenuhi blus on, lipstik merah
merona.
"Awak juga bingung, Sa.. Victor kau itu sakit jiwa apa-apa
ya?" balas Febri sahabat Salsa. Aini mengerjab, menatap
datar dua wanita seksi yang tiba-tiba datang
mengatainya wanita kampungan. Akhirnya Salsa
memprogoki Victor sedang menggoda Aini sewaktu jam
belajar belum dimulai. Gadis itu marah, dan ia baru tau
kenapa selama ini Victor acuh padanya. Ternyata Aini
penyebabnya. Dan setelah jadwal kuliah selesai, Salsa
mengikuti Aini sedang berjalan menuju ke Birokrasi
untuk menemui Farida. Eh, malah dia dihadang oleh dua
monster seksi. Aini menaut alis, ia bingung ada perkara
apa ini. Dan, di luar dugaan. Keterkaitan yang sangat
krusial.
"Maksudnya apa, ya?" balas Aini singkat. Gadis itu
terlihat tenang dengan sikap andalannya. Salsa
mengelilingi Aini sambil meneliti penampilannya dari atas
ke bawah. Aini diam. Berusaha tidak menggubris cara
gadis jengking yang sedang merendahkannya.
"Heh. Dengar ya! perempuan kampung. Jauhi Victor
karena dia milikku, dia calon suamiku. Oh, mungkin kau
gak tau.. kalau kami sudah bertunangan dan akan segera
menikah. Jadi, jangan coba-coba kamu merebut dia
dariku. Lagian aku heran. Apa yang dilihat Victor dari si
bodoh ini, Feb. Kampungan." Hina Salsa dengan bibir
mengejek penampilan Aini. Aini menarik nafas,
menghembus perlahan. Kini dia mengerti kenapa tiba-
tiba dirinya dihadang. Rupa-rupanya, masalah Victor.
"Oh, jadi hanya gara-gara itu! kau menghina aku!" kata
Aini datar. Gadis itu masih bersikap santai dengan
melipat kedua tangannya bersedakap.
"Kau memang hina, karena telah merebut tunangan
orang, perempuan bodoh!" Gadis itu kelepasan, dan itu
memancing Aini untuk membela diri. Aini menggigit
bibirnya, berusaha mengontrol. Pasalnya ini di tengah
lapangan, dia gak mau ribut hanya gara-gara
memperebutkan seorang pria. Mau ditaruh di mana
harga dirinya. Syukur-syukur dirinya dapat pembelaan.
Nah, kalau tidak? apa dia mau... viral seluruh kampus?
Victor itu idola segelintir gadis di kampus itu, jadi wajar
ada yang mengaku tunangan atau semacamnya. Emang
kenapa? toh, juga Victor yang memulai.
"Oh, jadi kau mantannya, Victor? bilang donk dari tadi."
ejek Aini dengan senyum sinis.
"Eh, Aku tunangannya, bukan mantannya. Jangan
macam-macam kau ya? aku gak bakalan segan-segan
ngehancurin hidup kau!"
"Aku gak perduli. Permisi.." kata Aini bergegas pergi
meninggalkan dua wanita sombong itu.
"Dengar ya gadis kampungan. Jangan pernah dekatin,
Victor lagi!!!" jeritnya lantang, namun tak digubris oleh
Aini. Aini menggeleng kepala dan terus berjalan.
"Sabar, wak. Kurasa Victor kena santet. Kok bisa-bisanya
dia suka sama gadis kampungan kek dia. Kali aja lakik kau
itu sudah gak waras." Nyeletuk Febri semakin membuat
Salsa kesal. Gadis itu menghentak kaki meninggalkan
tempat itu disusul Fabri.
Sementara itu. Aini telah mengurungkan niatnya untuk
pergi ke tempat Farida sahabatnya. Gadis itu
melangkahkan kaki jenjangnya menuju gerbang kampus
tujuan pulang. Hatinya sakit mendapat hinaan barusan.
Dia tau? Victor banyak penggemar, tapi Victor tidak
pernah memberitahunya, kalau dia punya mantan
bahkan Salsa ngaku sebagai tunangannya. Tunangan.
Reflek ia meraba cincin di jari manisnya. Apa mungkin?
dulu juga, Victor melamar Salsa seperti ini?
"Angkot, dek.." kata kernet angkot yang melintas di
depan Aini. Gadis itu diam terus berjalan menyusuri
pinggiran jalan dengan pikiran kacau. Semua tentang
pengakuan Salsa. Gadis rumit seantero kampus. Siapa
yang tidak mengenal gadis berbibir tipis dan menor itu.
Meskipun ia tidak pernah mengikuti berita update
tentang seleb kampus? tapi Aini mendengar sayup-sayup
tentang wanita itu. Dan, Sonya juga pernah cerita sedikit
bahwa Salsa si gadis seksi yang masuk ke dalam tabloid
seleb kampus.
Aini ga menyangka. Orang yang selalu menjadi topik
ghibah para mahaiswa dia bagian dari Victor. Aini gak
tahu, kenapa ia harus memikirkan itu. Bukan kah Victor
sudah melamarnya? dan Aini tidak menemukan
kebohongan dari tatapan pria itu setiap kali
menghujamnya dengan kata cinta. Apa Aini terlalu polos?
bisa saja 'kan. Victor berkata dusta untuk mendapatkan
apa yang diinginkan dari tubuh Aini?
Berjalan sedikit gontai, mencengkram erat tali tas
selempangnya seolah sedang menahan sesak di rongga
dada.
"Vic, apa benar kamu sudah bertunangan dengan Salsa?
kenapa kamu gak berterus terang aja sama aku, Vic."
Batin dara bangsawan itu campuraduk. Dia bingung
antara percaya atau membiarkan pengakuan Salsa.
Sudah hampir 100 meter ia berjalan menapak kaki
dengan kekalutan hati. Dan, ia tidak menyadari
seseorang sejak tadi mengikutinya dari belakang. Sekalut
itukah Aini? hingga tidak bisa menyadari sekelilingnya.
Bahkan sosok itu menggunakan motor gedek yang
suaranya jelas-jelas berisik. Sosok itu terus mengikuti dan
memperhatikan gerak-gerik Aini. Kadang menunduk
memandang ujung sepatunya, kadang menatap ke depan
jalan. Saking serius ia tidak berusaha melirik kiri kanan.
Bayangkan seandainya dia kecopetan.
Sosok itu semakin penasaran. Ada apa dengan Aini. Gadis
manis yang sering hadir dalam benaknya akhir-akihir ini.
Motor gedek itu berjalan ke depan menghadang langkah
Aini. Sontak gadis itu terkejut mengelus dadanya
ketakutan.
"Astarqfirullaha'azim ... Lang?? kamu apa-apa an sih!
kamu mau buat aku jantungan!" kelakar Aini menatap
pria gagah di atas motor tersenyum ramah pada Aini
tanpa memperdulikan jantung gadis itu sedang
mengaduh karena terkejut
Elang. Pria yang hampir menembak Aini beberapa hari
yang lalu seandainya Victor tidak datang waktu
menjemputnya. Kini mereka bertemu kembali, dan itu
secara tidak sengaja. Elang hendak melintasi jalan raya,
namun tidak sengaja pria berbadan atletis itu melihat